Kisah Para Pendekar Pulau Es 13

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


ayah ibu, antara aku dan Suma Hui sudah terjalin tali
cinta kasih. Kami saling mencinta dan biarpun kami tahu akan besarnya halangan di antara
kami karena ikatan keluarga, kami berdua sudah bertekad untuk bersama-sama
menghadapinya. Akan tetapi, ketika aku pergi ke kota raja dan sebelum menerima perintah
kaisar aku pergi ke Thian-cin, ketika bertemu denganku, secara aneh dan tiba-tiba saja ia
menyerangku dan hendak membunuh-! Ia begitu marah sehingga sukar diajak bicara, maka
aku lalu pergi meninggalkannya. Kemudian, aku terikat tugas dan sampai demikian lamanya
tak pernah bertemu dengannya, dan selama ini aku memang bertanya-tanya bagaimana
jadinya dengan pinangan ayah berdua."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
371 Ayahnya mengangguk-angguk, "Aku makin yakin bahwa tentu ada sesuatu di balik semua
itu. Suma Hui menuduhmu memperkosa, bahkan ber-usaha membunuhmu. Dan engkau tidak
merasa sama sekali telah melakukan perbuatan keji itu. Tentu terselip suatu rahasia di antara
kedua perbe-daan yang saling berlawanan itu."
"Sudah menjadi kuwajibanku untuk membikin terang persoalan ini, ayah. Aku akan segera
be-rangkat ke Thian-cin dan aku akan bicara terus terang dengan mereka."
"Akau tetapi, keluarga Suma sudah begitu ma-rah kepadamu...." kata ayahnya sambil
menge-rutkan alisnya.
"Ayah. Kita semua tahu bahwa Suma Kian Lee locianpwe adalah seorang pendekar besar.
Aku yakin bahwa kalau kuajak dia terus terang membicarakan persoalan itu dan menyelidiki
rahasia-nya, dia akan dapat menerimanya."
"Tapi, Cin Liong...." Suara Wan Ceng men-jadi lembut dan pandang matanya penuh iba
kepa-da putera tunggalnya. "Engkau terlambat sudah.... karena tak lama setelah engkau pergi,
Suma Hui telah menikah...."
Ciu Liong adalah seorang pemuda yang amat kuat batinnya. Berita yang diucapkan dengan
lem-but oleh ibunya ini sebetulnya amat hebat meni-kam jantungnya. Akan tetapi hanya
mukanya saja yang sedikit pucat dan matanya tergetar sedikit, akan tetapi selanjutnya dia
nampak tenang. "Ah, begitukah....?"
"Kami tidak datang karena.... engkau tahu sendiri, tentu tidak enak bagi kami untuk hadir
setelah peristiwa peminangan dahulu itu," kata Kao Kok Cu.
"Kami mendengar bahwa ia menikah dengan suhengnya sendiri, murid tunggal paman Suma
Kian Lee," sambung Wan Ceng.
"Ah, tentu Louw Tek Ciang itu! Hemmm.... syukurlah kalau begitu, karena pemuda itu
kelihat-an baik dan berbakat." Cin Liong menunduk, ti-dak tahan melihat pandang mata
ibunya yang pe-nuh iba. Dia telah gagal lagi dalam asmara!
"Engkau tentu tidak jadi ke Thian-cin, bukan?" tanya ibunya.
Cin Liong mengangkat muka, memandang ke-pada ibunya dengan senyum. Senyum layu!
"Tentu saja, ibu. Aku pergi untuk menjernih-kan kekeruhan antara keluarga kita dengan
keluarga Suma. Bagaimanapun juga, di antara kita masih ada hubungan keluarga, maka
tidaklah baik kalau sampai awan hitam itu tidak dijernihkan. Aku harus dapat menyadarkan
mereka bahwa aku kena fitnah, bahwa aku tidak melakukan perbuat-an itu."
"Tapi.... tapi Suma Hui telah menjadi isteri orang. Tidak baik kalau sampai urusannya yang
mendatangkan aib itu dibicarakan." Kao Kok Cu memperingatkan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
372 "Aku akan membicarakannya dengan Suma-locianpwe dan isterinya. Pula, ketika terjadi
keri-butau, Louw Tek Ciang juga mengetahui sehingga diapun telah mengetahui segala-
galanya. Diapun sudah meugenalku."
Karena memang masalah yang merisaukan itu perlu dijernihkan, akhirnya Kao Kok Cu dan
Wan Ceng tidak dapat membantah dan setelah berma-lam di rumah orang tuanya selama
sepekan, berang-katlah Cin Liong kembali ke selatan, hendak pergi ke Thian-cin.
Pada suatu hari tibalah dia di dusun Pei-san yang terletak di kaki Pegunungan Tai-hang-san,
tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat. Karena hari sudah lewat senja dan diapun merasa
lelah setelah pada hari itu sejak pagi dia melakukan perjalanan jauh naik turun gunung, maka
Cin Liong ingin bermalam di dusun itu. Biarpun dusun Pei-san berada tidak jauh dari kota
raja, akan tetapi Cin Liong belum pernah lewat dusun ini. Dia ki-ni memang sengaja
mengambil jalan lain di sepan-jang kaki Gunung Tai-hang-san ketika dia menu-ju ke Thian-
cin, untuk melihat-lihat keadaan dan dia memang hendak mengambil jalan memutar agar
jangan melalui kota raja. Kalau dia melalui kota raja, dia khawatir kalau dia mendengar
sesuatu yang membuat dia menunda kepergiannya ke Thian-cin. Kalau urusannya dengan
keluarga Su-ma sudah selesai, barulah dia akan kembali ke kota raja menunaikan tugasnya
sebagai panglima kembali. Dan karena jenderal muda ini bepergian dengan pakaian preman,
tidak ada pejabat atau petugas yang mengenalnya sehingga dia dapat me-lakukan tugasnya
secara bebas kalau dia sedang melakukan penyelidikan. Baru dia mengenakan pakaian
kebesaran kalam dia memimpin pasukan dengan resmi.
Pei-san merupakan sebuah dusun di lereng bu-kit Pegunungan Tai-hang-san. Sebuah dusun
yang cukup makmur karena tanahnya yang su-bur karena letaknya yang dekat dengan kota
raja, di sebelah baratnya sehingga dusun ini menjadi semacam pintu masuk atau jembatan,
juga menjadi tempat perhentian mereka yang datang dari barat hendak menuju ke kota raja.
Para pedagang yang datang dari barat atau pergi ke barat, selalu sing-gah di dusun ini, untuk
mengaso, atau makan, atau juga untuk melewatkan malam kalau mereka ke-malaman di jalan.
Tidaklah mengherankan apabila di dusun itu bertumbuhan usaha penginapan dan kedai-kedai
makan minum. Ketika Cin Liong memasuki dusun Pei-san, kesan pertama dalam hatinya adalah bahwa
dusun ini amat ramai dan sibuk. Akan tetapi, penglihat-annya yang tajam dapat menangkap
bayangan-ba-yangan ketakutan tersembunyi di balik senyum dan pandang mata para
penduduk. Agaknya ada sesua-tu, atau telah terjadi sesuatu yang membuat hati penghuni
dusun itu dicekam ketakutan.
Kesan ini dirasakannya pula ketika Cin Liong memasuki sebuah kedai makan yang tidak
begitu ramai dan terletak di ujung jalan raya. Perutnya lapar dan tubuhnya lelah sekali. Dia
tidak suka memasuki kedai makan yang penuh sesak oleh ta-mu, melainkan memilih kedai
yang sepi itu. Dalam keadaan lapar, tidak perlu terlalu memilih makan-an yang enak. Segala
macam makanan terasa enak di mulut kalau perut sedang lapar.
Di kedai itu ada beberapa orang tamu yang du-duk berpencaran. Cin Liong memilih sebuah
meja di sudut dalam. Seorang pelayan tua segera menghampirinya dan dengan ramah lalu
bertanya ma-kanan apa yang hendak dipesan oleh pemuda itu. Cin Liong juga melihat betapa
di wajah kakek pe-layan inipun terbayang rasa cemas seperti yang dilihatnya pada wajah
orang-orang lain itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
373 Dia memesan makanan dan ketika pelayan tua itu datang membawakan makanan, Cin Liong
lalu berkata, "Lopek, aku melihat wajahmu seperti orang ketakutan, dan juga pada wajah
penghuni dusun ini ada bayangan ketakutan seperti itu. Apa-kah yang telah terjadi, lopek?"
Kakek pelayan itu memandang dengan muka pucat, lalu dia menoleh ke kanan kiri,
nampaknya semakin takut, akan tetapi juga ada pandang mata heran mengapa ada orang
menanyakan hal itu, karena bukankah semua orang sudah tahu"
"Lopek, aku bukan orang sini, dan aku baru sa-ja masuk ke dusun Pei-san ini. Ada peristiwa
apa-kah?" tanya pula Cin Liong secara sambil lalu seperti lumrahnya seorang tamu yang ingin
tahu dan diapun makan hidangan yang diantarkan oleh pelayan itu.
"Tidak ada apa-apa, tuan.... tidak ada apa-apa...."
Cin Liong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengerling ke arah para tamu yang duduk
di situ. Akan tetapi para tamu itu tidak memperlihat-kan suatu ketidakwajaran. Mereka duduk,
ada yang sedang makan minum, ada yang sedang bercakap-cakap urusan perdagangan dan
pekerjaan mereka. Dia tahu bahwa kakek ini membohong dan takut bicara.
"Lopek, jangan takut. Ceritakanlah, kalau ada apa-apa aku yang akan tanggung. Kalau terjadi
kesukaran menimpa dusun ini, tentu aku akan ber-usaha untuk membereskannya," kata pula
Cin Liong lirih agar tidak sampai terdengar oleh orang lain.
Pelayan itu memandang dengan ragu, akan te-tapi matanya terbelalak ketika dia melihat
betapa tangan tamunya itu meremas sebuah sendok batu yang menjadi hancur seperti tepung
di antara jari-jari tangannya tanpa mengeluarkan suara sedikit-pun. Tahulah pelayan itu
bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar.
"Di.... di dusun ini semenjak dua pekan yang lalu ada.... ada.... Eng-jiauw-pang...."
Hanya sampai di situ saja pelayan itu berani bicara karena diapun cepat meninggalkan Cin
Liong sambil menoleh ke kanan kiri penuh rasa cemas. Cin Liong tidak mendesak lebih jauh,
lalu melan-jutkan makan sambil termenung. Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda)"
Dia penrah men-dengar nama itu. Kalau dia tidak salah ingat, Eng-jiauw-pang adalah
perkumpulan orang jahat, perkumpulan para perampok yang amat lihai, terkenal dengan
anggauta-anggauta mereka yang mempergunakan sarung tangan kuku garuda yang selain ahli
dalam ilmu silat, juga lihai dalam penggunaan racun. Akan tetapi, perkumpulan perampok
Eng-jiauw-pang itu berada di daerah Se-cuan, jauh di barat. Bagaimana bisa muncul di tempat
ini dan apa yang telah mereka lakukan sehingga orang-orang menjadi ketakutan"
Tiba-tiba terdengar jeritan lemah dan Cin Liong cepat menoleh. Dapat dibayangkan betapa
kaget hatinya ketika dia melihat kakek pelayan yang tadi melayaninya, tiba-tiba jatuh
terpelan-ting dan mangkok-mangkok terisi makanan dalam baki yang dibawanya ikut
terbanting dan menim-bulkan suara gaduh. Gegerlah di rumah makan itu. Para pelayan lain
dan para tamu segera meng-hampiri. Cin Liong tidak ketinggalan, malah dia paling dulu
menghampiri kakek ini, lalu dia berlutut dan memeriksa. Ternyata pelayan itu telah tewas
dengan muka berobah kebiruan, sedangkan di leher sebelah kanan nampak tiga guratan yan
masih mengeluarkan darah. Guratan tanda kuku garuda! Dan sekali lihat saja maklumlah Cin
Liong bahwa kakek ini tewas keracunan yang memasuki tubuhnya melalui guratan-guratan
pada leher itu. Dia menjadi marah sekali dan meman-dang kepada semua orang yang berada
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
374 di situ pe-nuh selidik. Akau tetapi, karena dia tidak melihat sendiri penyerangan itu, siapa
yang hendak ditu-duhnya" Pula, melihat kenyataan bahwa tidak ada orang yang melihat
bagaimana caranya kakek itu diserang dan dibunuh, menjadi bukti bahwa penjahat itu lihai
sekali, juga bahwa penjahat itu dapat mendengar atau mengetahui bahwa kakek pelayan tadi
telah menceritakan sedikit tentang Eng-jiauw-pang kepadanya, membuktikan bahwa
gerombolan penjahat itu benar-benar lihai.
Dia lalu bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. "Siapa di antara saudara sekalian yang
tahu di mana adanya sarang gerombolan Eng-jiauw-pang?" tanyanya, suaranya halus akau
te-tapi penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan. Ada kejahatan kejam terjadi di depan
hidungnya, sungguh hal ini menjengkelkan sekali, merupakann tantangan kepadanya. Dia
merasa menyesal meng-apa tadi dia tidak memperhatikan kakek pelayan itu sehingga dia akan
dapat mengetahui kalau kakek itu diserang orang. Akan tetapi siapa pula mengira bahwa di
situ akan terjadi pembunuhan"
Begitu Cin Liong mengeluarkan pertanyaan ini, semua orang terbelalak, muka mereka
menjadi pucat dan cepat-cepat mereka menjauhkan diri, meninggalkan tempat itu seperti
orang ketakutan, juga para pelayan yang lain menggelengkan kepa-la, tanpa menjawab
pertanyaan itu.
"Wiirrr.... singgg....!" Cin Liong dengan tenang mengelak dan tangannyya bergerak
menang-kap benda hitam yang meluncur di dekat telinga-nya, yang tadinya menyambar ke
arah lehernya. Dengan ibu jari dan telunjuk, ditangkapnya benda itu yang ternyata adalah
sebatang senjata rahasia berbentuk paku yang biasanya disebut Touw-kut-ting (Paku
Penembus Tulang) akan tetapi melihat warnanya yang hitam kehijauan, mudah diduga bahwa
paku ini mengandung racun yang amat berbahaya! Begitu menangkap senjata rahasia itu, Cin
Liong meloncat ke pintu, akan tetapi dia tidak melihat bayangan siapapnn yang boleh
di-sangka melakukan penyerangan itu. Akan tetapi di daun pintu nampak sehelai kain yang
tertancap pisau belati, di mana terdapat tulisan dengan hu-ruf merah.
ENG-JIAUW-PANG MENANTI DI KUIL TUA HUTAN CEMARA SEBELAH TIMUR
DUSUN. "Hemm....!" Cin Liong merasa penasaran sekali dan marah. Kiranya dia berhadapan dengan
perkumpulan yang mempunyai orang-orang pan-dai dan kejam sekali. Tentu penyerangan
senjata rahasia tadi mereka maksudkan untuk mengujinya dan kalau dia lulus ujian, tidak mati
oleh serangan itu, maka dia dianggap cukup berharga untuk ber-kunjung ke sarang
perkumpulan itu! Dia tahu be-tapa bahayanya mendatangi sarang itu, karena pa-ra penjahat
tentu telah siap siaga menanti keda-tangannya. Akan tetapi, Cin Liong adalah seorang
pendekar yang selain banyak pengalaman dan cu-kup waspada, juga memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan ketabahan luar biasa.
Cin Liong melemparkan paku itu dengan pe-ngerahan tenaga sampai amblas ke dalam tanah,
lalu dia meninggalkan rumah makan itu, langsung menuju ke arah timur dan keluar dari dusun
itu melalui pintu gerbang sebelah timur. Tidak sukar mencari hutan cemara itu karena begitu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
375 keluar dari pintu gerbang, hutan itu sudah nampak di sebuah lereng bukit di kaki Pegunungan
Tai-hang-san. Sebenarnya, perkumpulan apakah yang mena-makan dirinya Eng-jiauw-pang dan menjadi
mo-mok bagi para penghuni dusun itu" Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda)
sebetulnya ada-lah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang tadinya dipimpin oleh
seorang tokoh yang condong kepada golongan hitam atau kaum sesat. Mereka itu kadang-
kadang suka melakukan perampokan, walaupun perampokan kaliber besar, bukan
sembarangan perampok dan maling kecil saja. Mereka hanya melakukan perampokan
terhadap rombongan besar para pedagang kaya atau pembesar tinggi yang melakukan
perjalanan. Karena nama Eng-jiauw-pang sudah dikenal dan ditakuti, maka para piauwkiok
(perusahaan pengawal barang kirim-an) mendekatinya dan mengirim upeti-upeti se-hingga
perjalanan mereka tidak akan diganggu oleh perkumpulan ini. Upeti-upeti yang cukup banyak
itulah yang menjadi sumber nafkah per-kumpulan ini di samping hasil-hasil perampokan
mereka terhadap rombongan-rombongan yang tidak mangirim upeti kepada mereka.
Perkumpulan Eng-jiauw-pang memang tadi-nya berasal dari barat, dari daerah Se-cuan. Akan
tetapi semenjak pendirinya, yaitu Eng-jiauw Siauw-ong, tewas, perkumpulan itu
meninggalkan Se-cuan dan di bawah pimpinan ketua mereka yang baru, mereka yang terdiri
dari tiga puluh orang lebih, pindah ke timur dan kini sedang mencari-cari tempat yang baik
sampai mereka tiba di hutan ce-mara di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu.
Cin Liong memasuki hutan cemara dengan pe-nuh kewaspadaan, maklum bahwa dia
memasuki sarang harimau atau guha naga. Untung baginya bahwa hutan cemara itu tidaklah
begitu liar atau gelap karena pohon-pohon itu tidak lebat. Tak lama kemudian setelah dia
memasuki hutan cema-ra itu, nampaklah dinding kuil yang putih, agaknya tembok dinding itu
baru mengalami perbaikan dan pengecatan baru. Juga pekarangannya nampak bersih,
genteng-gentengnya ada pula sebagian yang baru, agaknya genteng-genteng tua yang jebol
telah diganti dan diperbaiki. Akan tetapi, tempat itu kelihatan suuyi saja. Biarpun begitu, Cin
Liong tidak tertipu oleh keadaan yang sunyi dan dia te-tap waspada, yakin bahwa pada saat
itu, mata pi-hak musuh tentu sedang mengamati gerak-gerik-nya. Selagi dia merasa heran
mengapa pihak musuh yang biasanya suka bertindak curang itu belum juga turun tangan
menyerangnya, tiba-tiba dia melihat gerakan di sekelilingnya dan tahu-tahu tempat itu sudah
terkurung oleh sedikitnya dua pu-luh orang yang kesemuanya nampak beringas dan kejam.
Dengan perasaan heran Cin Liong melihat betapa pada sinar mata dua puluh orang lebih itu
terbayang kemarahan dan dendam kebencian yang mendalam kepadanya! Sungguh aneh
pikirnya. Mengapa orang-orang Eng-jiauw-pang ini memusuhinya" Padahal, dia baru saja
datang ke du-sun itu dan hanya bertanya tentang Eng-jiauw-pang kepada pelayan rumah
makan yang kemudian dibunuh oleh orang-orang Eng-jiauw-pang sen-diri. Akan tetapi, hal
ini tidak membuat pendekar ini merasa gentar dan diapun mencari dengan matanya. Melihat
lima orang tinggi besar yang nam-pak keren dan agaknya menjadi pemimpin mereka semua,
dia lalu menghadapi lima orang itu dan memandang tajam ke sekeliling.
"Kao Cin Liong, engkau datang mengantar kematian. Sungguh bagus dan memudahkan kami
untuk membuat perhitungan denganmu!" Seorang di antara mereka yang berkumis lebat
berkata. Cin Liong mengerutkan alisnya. "Apakah kalian ini yang disebut Eng-jiauw-pang?""Benar!"
jawab si kumis lebat. "Kami adalah para anggauta Eng-jiauw-pang yang hendak membalas
kematian ketua kami!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
376 Cin Liong memandang heran. "Aku hanya le-wat di dusun itu dan mendengar bahwa
perkumpulan Eng-jiauw-pang mengacau penduduk, me-lakukan kejahatan sehingga para
penghuni dusun hidup dicekam ketakutan. Akan tetapi sekarang kalian mengatakan hendak
membalas kematian ketua kalian. Apa artinya ini?" Dia memandang si kumis dan melanjutkan
pertanyaannya. "Dan bagaimana kalian dapat mengenal namaku?"
"Jenderal Kao Cin Liong, tidak perlu berpura-pura tanya lagi. Engkau telah membunuh ketua
kami dan saat ini engkau akan menebus kematian ketua kami dengan nyawamu."
"Dan siapakah ketua kalian itu?"
"Ketua kami adalah mendiang Eng-jiauw Siauw-ong Liok Cau Sui! Engkau telah
membunuhnya di Pulau Es...."
"Ahh!" Kini Cin Liong teringat. Ketika rom-bongan para datuk kaum sesat menyerbu Pulau
Es, dia membela Pulau Es dan dalam pertempurau mati-matian itu dia telah merobohkan dan
menewaskan seorang kakek yang memakai sarung tangan kuku garuda, yang merupakan
lawan yang amat tangguh dan lihai. Kiranya kakek bersarung tangan kuku garuda itu adalah
ketua dari gerombolan ini! "Kiranya kakek jahat itu ketua kalian" Memang, aku telah
menewaskannya karena dia bersama orang-orang jahat lainnya melakukan penyerbuan kepada
keluarga Pulau Es. Nah, kalian mau apa" Apakah kalian hendak menyusul ketua kalian itu ke
neraka jahanam?"
Tentu saja dua puluh orang lebih yang mengu-rung pemuda itu menjadi marah mendengar
ucapan ini, terutama sekali lima orang pemimpin mere-ka yang merupakan murid-murid
utama dari mendiang Eng-jiauw Siauw-ong.
"Bocah sombong! Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih besar mulut!"
te-riak si kumis yang agaknya merupakan pemimpin nomor satu dan memang sesungguhnya
dia adalah murid kepala atau twa-suheng dari semua murid Eng-jiauw Siauw-ong. Setelah
memaki, lima orang itu lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan kuku garuda, diturut oleh
semua anggauta gerombolan itu dan kini semua tangan mereka telah mengenakan sarung
kuku garuda yang terbuat daripada baja. Setelah mengenakan sarung tangan kuku garuda,


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka itu nampaknya menjadi ber-tambah bengis. Kemudian, atas isyarat si kumis,
kepungan mereka makin merapat dan tiba-tiba beberapa orang anggauta gerombolan yang
berdiri di belakang Cin Liong, menubruk dengan serangan mereka menggunakan kedua cakar
garuda itu untuk mencengkeram. Mulut mereka mengeluarkan suara seperti teriakan parau
burung garuda dan gerakan-gerakan mereka juga seperti burung yang mencakar-cakar. Kedua
lengan mereka kadang-kadang dikembangkan dan mereka meloncat de-ngan gesitnya,
menubruk dari atas seperti gerakan burung menyambar dari angkasa, menggunakan kedua
cakar baja yang amat runcing itu. Akan tetapi, yang mereka serang adalah Kao Cin Liong,
pendekar muda yang memiliki kesaktian, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Begitu
pemuda perkasa ini memutar tubuh dan menggerakkan kedua lengannya sambil membentak,
tiga orang penyerang sudah terpelanting dan terbanting ke atas anah dengan keras, membuat
mereka tidak dapat segera bangun kembali karena merasa kepala mereka pening. Akan tetapi,
teman-teman mereka sudah menyerang dari empat jurusan sehingga Cin Liong terpaksa harus
mengeluarkan kepandaiannya karena pengeroyokan para anggauta Eng-jiauw-pang itu,
terutama lima orang pimpinan mereka, bukan merupakan lawan yang lunak!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
377 Kao Cin Liong adalah seorang pendekar gemblengan yang berjiwa gagah perkasa, selalu siap
untuk membela yang lemah menentang yang jahat tanpa dipengaruhi perasaan benci. Yang
ditentang-nya adalah perbuatan yang jahat dan mencelaka-kan orang lain, akan tetapi dia tidak
pernah membenci orangnya. Oleh karena itu, dalam sepak terjangnya menghadapi kejahatan,
selalu dia berniat untuk menghukum dan mendidik, tidak mau sembarangan membunuh
orang. Tentu saja kalau dia sudah berpakaian jenderal, sikap dan tindakannya lain lagi.
Sebagai perajurit tentu saja dia ha-rus membasmi musuh negara sesuai dengan hu-kum yang
berlaku. Menghadapi Eng-jiauw-pang ini, diapun tadinya bermaksud untuk menghajar dan
menghukum mereka agar bertobat dan tidak berani mengacau rakyat lagi. Akan tetapi setelah
mereka mengeroyok, dia terkejut dan mendapat kenyataan betapa para anggauta perkumpulan
ini benar-benar memiliki kepandaian silat yang kuat. Apalagi lima orang pemimpin mereka
itu sungguh merupakan lawan berbahaya setelah mereka maju bersama, dan pengeroyokan
kurang lebih dua losin orang itu membuatnya repot juga. Untuk dapat menghajar lawan
sedemikian banyaknya dia harus memiliki tingkat jauh lebih tinggi daripada para lawan itu.
Akan tetapi kenyataannya dialah yang terdesak karena dia tadinya tidak ingin membunuh dan
hanya menggunakan ilmu silat biasa saja. Melihat betapa dia malah terdesak, terpaksa Cin
Liong merobah permainannya dan demi keselamatannya sendiri, kalau perlu dia harus
merobohkan bebera-pa orang lawan yang mungkin saja dapat mene-waskan lawan karena dia
akan mengeluarkan ilmu simpanannya.
"Hyaaaattt....!" Si kumis tebal menyerang dengan ganasnya, kedua tangan cakar bajanya
me-nyambar cepat dan yang nampak hanya sinar hi-tam dua gulung menyambar ke arah muka
dan dada Cin Liong. Serangan ini disusul oleh serang-an empat orang kawannya dari kanan
kiri dan be-lakang. Cin Liong meloncat dan tubuhnya melesat keluar dari kepungan lalu tiba-
tiba tubuhnya mendekam setengah menelungkup di atas tanah. Para pengeroyok merasa
girang sekali, mengira bahwa pemuda itu lelah atau kehabisan tenaga atau ter-jatuh. Belasan
orang anak buah Eng-jiauw-pang seperti berebut menubruk musuh yang sedang mendekam di
atas tanah itu.
"Haiiiikk!" Tiba-tiba Cin Liong mengeluar-kan suara melengking nyaring dan tubuhnya yang
tadi mendekam secara tiba-tiba bergerak, kaki ta-ngannya mencuat ke sekelilingnya dan angin
yang dahsyat menyambar seperti badai mengamuk. Para pengeroyoknya terkejut sekali,
mereka berteriak kaget dan kesakitan dan belasan orang itupun terpelanting berjatuhan dengan
terbanting keras dan ada yang terlempar sampai beberapa tombak jauhnya! Dalam segebrakan
itu saja, empat orang pe-ngeroyok tewas seketika, empat orang lain terluka parah dan
beberapa orang lagi hanya terlempar dan mengalami kekagetan saja, hanya lecet-lecet karena
terbanting dan terguling-guling. Tentu saja para anggauta Eng-jiauw-pang terkejut se-kali.
Mereka tidak tahu bahwa ketika mendekam tadi, Cin Liong mengeluarkan ilmu simpanan
yang dipelajarinya dari ayahnya, Si Naga Sakti Gurun Pasir. Itulah Ilmu Sin-liong-hok-te
(Naga Sakti Mendekam Di Tanah) dan ketika dia mendekam sebetulnya dia sedang
mengerahkan sin-kang yang mengambil tenaga inti dari bumi. Ketika belasan orang
pengeroyok itu menyerang dan menubruknya seperti hendak berlomba mencengkeramnya,
Cin Liong mempergunakan Ilmu Sin-liong-cian--hoat (Silat Naga Sakti), maka akibatnya
sedemikian hebat. Lima orang pemimpin Eng-jiauw-pang dan sisa anak buah mereka melihat
kehebatan pe-muda ini menjadi gentar. Mereka tahu bahwa ka-lau dilanjutkan pengeroyokan
itu, akhirnya mere-ka semua akan roboh dan tewas. Maka lima orang pemimpin itu
mengeluarkan seruan memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk melarikan diri.
Merekapun berloncatan pergi sambil menye-ret teman-teman yang tewas atau terluka.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
378 Cin Liong sendiri masih tertegun melihat aki-bat dari ilmunya tadi. Jarang dia menggunakan
ilmu simpanan itu dan dia selalu merasa tertegun menyaksikan kehebatan ilmu yang
dipelajarinya dari ayahnya. Dia termangu-mangu, mempertim-bangkan apakah sepak
terjangnya tadi tepat, da-lam segebrakan saja dia telah membunuh dan me-lukai banyak
orang. Karena dia sendiri merasa agak menyesal, maka ketika melihat semua lawan melarikan
diri, diapun tidak mau mengejar dan hanya berdiri memandang sampai mereka semua lenyap
dari pandang matanya. Setelah menarik napas panjang, Cin Liong lalu melangkah mema-suki
hutan itu lebih dalam karena dia ingin men-cari kuil tua yang menjadi sarang Eng-jiauw-pang.
Dia tadi sudah memberi hajaran ke-pada mereka, akan tetapi dia harus mene-mukan sarang
mereka dan membasmi sarang itu agar mereka bertobat dan tidak berani lagi beraksi
mengumbar kejahatan mereka.Kuil tua itu ternyata sudah mengalami banyak perbaikan.
Temboknya dicat baru, gentengnya ba-nyak yang diganti baru dan dari luar saja sudah
nampak bahwa kuil tua itu kini sudah menjadi ber-sih dan terawat. Bahkan di pekarangan kuil
itu banyak ditanami kembang dan juga nampak ber-sih, tanda bahwa setiap hari tentu disapu.
Akan tetapi ketika Cin Liong menghampiri kuil itu, keli-hatan sunyi sekali. Tentu mereka
sudah melarikan diri semua, pikirnya. Mereka agaknya dapat menduga bahwa aku tentu akan
mendatangi sa-rang mereka.
Namun dia tetap bersikap hati-hati dan was-pada ketika memasuki kuil. Dia tahu bahwa
meng-hadapi musuh seperti Eng-jiauw-pang itu, dia harus bersikap hati-hati karena mereka
tentu tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan dia tidak akan merasa heran andaikata
mereka kini memasang perangkap untuknya di dalam kuil ini. Maka, diapun melangkah
dengan hati-hati ke da-lam kuil yang sudah tidak dipergunakan sebagai tempat sembahyang
itu. Ruangan depan kosong, juga ketika dia memeriksa ke ruangan dalam dan kamar-kamar di
sekitarnya, tidak menemukan seorangpun. Akan tetapi Cin Liong tetap curiga. Dia melihat
sesuatu yang tidak wajar dalam keko-songan kuil ini. Biasanya, kalau orang-orang
me-ninggalkan sarang mereka dengan tergesa-gesa karena mengira bahwa sarang itu akan
diserbu musuh, tentu para penghuninya pergi mem-bawa barang-barangnya dan kamar-kamar
itu tentu akan mawut, barang-barang ada yang kececeran dan dibiarkan porak-poranda. Akan
tetapi di dalam ruangan dan kamar-kamar di kuil ini tidak nampak tanda-tanda demikian itu.
Semua kamar tetap bersih dan barang-barang seperti tempat pakaian dan lain-lain masih utuh,
juga tidak ada tanda-tanda orang membawa pergi barang-barang dengan tergesa-gesa. Apakah
para anggauta Eng-jiauw-pang itu langsuug melari-kan diri tanpa singgah dulu di sarang
mereka saking takutnya" Nampaknya begitulah atau.... ada maksud tertentu dari mereka.
Kalau benar tidak ada orangnya dan tempat ini sudah ditinggalkan para penjahat itu,
sebaiknya dibakar saja, pikir Cin Liong.
Tiba-tiba Cin Liong tak bergerak dau mencu-rahkan perhatian kepada suara yang
didengarnya. Suara itu datang dari arah belakang kuil itu, suara ah-ah-uh-uh, bukan seperti
suara manusia, diselingi suara berdebukan seperti benda dipukul-pukulkan di lantai. Dengan
hati-hati sekali dan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf di tubuhnya menegang dan siap
bergerak melindungi diri, Cin Liong lalu menuju ke ruangan belakang, satu-satunya ruangan
yang belum dimasukinya. Daun pintu yang menembus dari ruangan tengah ke ruang belakang
itu tertutup dan dengan perlahan dan hati-hati Cin Liong mendorongnya terbuka.
"Uhhh.... uhhhh....!"
Cin Liong melihat seorang gadis cantik yang terbelenggu kaki tangannya, diikat di atas
sebuah dipan kayu. Mulut gadis itu ditutup pula dengan sebuah saputangan yang diikatkan ke
belakang ke-pala sehingga mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh dan gadis
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
379 itu mencoba melepaskan diri, meronta-ronta dengan keras. Akan tetapi belenggu kaki
tangannya itu terlampau kuat sehingga kaki dipan kadang-kadang terangkat sedikit dan
memukul-mukul lantai mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.
Biarpun apa yang dilihatnya itu sudah jelas, yaitu seorang gadis tawanan yang ditinggalkan di
dalam ruangan belakang kuil itu, namun Cin Liong tidak tergesa-gesa menghampiri,
melainkan me-noleh ke kanan kiri dan meneliti keadaan sekitar tempat itu. Dia tidak mau
kalau sampai terjebak memasuki perangkap yang dipasang para penjahat. Melihat pintu
terbuka dan muncul seorang pemuda tampan, gadis itu menghentikan gerakannya me-ronta-
ronta tadi dan kini ia memandang kepada Cin Liong dengan kedua mata basah. Gadis itu
menangis dan sinar matanya mewakili mulutnya untuk minta tolong kepada Cin Liong.
Setelah meneliti keadaan dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali dia
sendiri dan gadis yang dibelenggu itu, Cin Liong melangkah masuk dan menghampiri gadis
itu sam-bil memperhatikannya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya tentu sudah dua
puluh tahun lebih, dengan bentuk tubuh yang matang dan padat. Agaknya gadis itu menjadi
tawanan baru dan be-lum diganggu oleh para penjahat. Hal ini dapat diduga melihat betapa
pakaian gadis itu masih lengkap dan utuh. Melihat pakaiannya yang serba mewah, dapat
diduga pula bahwa gadis ini tentulah puteri seorang hartawan atau bangsawan. Pa-kaian itu
belum diganggu, bahkan jubah luar ter-buat daripada bahan kain indah berwarna merah itupun
masih menempel di tubuhnya. Akan tetapi, kaki tangannya dibelenggu amat kuatnya, dengan
menggunakan pintalan kain sebagai tali. Halus dan tidak menyakitkan kaki tangan, akan tetapi
ulet dan sukar untuk melepaskan diri dari beleng-gu pintalan kain ini.
Cin Liong kini cepat menghampiri dan perta-ma-tama dia melepaskan saputangan yang
menu-tupi mulut dan diikatkan ke belakang kepala itu. Begitu bebas, gadis itu lalu berkata
dengan suara memohon, "Ah, tolonglah aku.... tolonglah aku.... mereka membelengguku dan
meninggalkan aku di sini, sebentar lagi mereka tentu datang kem-bali. Tolong lepaskan
belenggu kaki tanganku...."
Tanpa diminta sekalipun tentu saja Cin Liong bermaksud membebaskannya. Dia lalu
melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan merasa kasihan karena ternyata ikatan itu
kuat sekali sehingga ketika dilepaskan, kulit kaki di pergelangan yang halus putih itu menjadi
merah kebiruan! Diapun cepat melepaskan tali pengikat kedua lengan. Akan tetapi begitu
dilepaskan kedua tangannya, tiba-tiba gadis itu mencengkeram ke arah perut sendiri.
Wa-jahnya berobah pucat, keringat membasahi muka dan lehernya dan diapun mengeluh,
"Aduhhh.... perutku....aduhhh...."
Cin Liong terkejut sekali. "Perutmu kenapa, nona...."
"Aduhh.... di antara mereka tadi.... ada yang menampar ke arah perutku.... tadi tidak begitu
terasa, akan tetapi sekarang.... aduhhhh.... seperti terbakar rasanya...." Dan gadis itupun
menangis, kedua tangannya mencengkeram ke arah perutnya dan tubuhnya berkelojotan
se-perti dalam keadaan yang amat nyeri.
Cin Liong teringat bahwa orang-orang Eng-jiauw-pang pandai mempergunakan racun.
Agak-nya gadis ini terluka atau terkena racun. "Maaf, biarkan aku memeriksanya, nona,
mungkin aku dapat menolongmu...." katanya dengan perasaan kasihan kepada gadis itu dan
marah kepada para penjahat. Agaknya orang-orang Eng-jiauw-pang itu telah menaruhkan
racun entah apa yang akan terasa apabila gadis itu terbebas dari belenggunya. Racun yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
380 aneh dan jahat sekali. Karena khawatir kalau-kalau keadaan gadis sudah parah dan sukar
ditolong lagi, Cin Liong mengesam-pingkan segala perasaan malu dan canggung. De-ngan
hati-hati dia menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan kancing baju gadis itu di
bagian perut, untuk memeriksa keadaan perutnya yang agaknya terluka hebat itu, entah luka
di luar atau-kah di dalam. Pada saat dia berdiri membung-kuk dengan kedua tangan bekerja
membuka kan-cing dan mukanya menunduk, matanya memandang penuh perhatian ke arah
perut, tiba-tiba kedua tangan gadis itu bergerak dan jubah merahnya me-ngebut. Bubuk merah
halus yang seperti asap me-menuhi udara dan sebagian besar menimpa muka Cin Liong.
Pemuda ini sama sekali tidak menyang-ka. Tadi ketika dia melepaskan belenggu dan ber-ada
di dekat nona itu, memang dia mencium bau harum yang aneh. Akan tetapi karena keadaan
ga-dis itu sebagai seorang tawanan yang dibelenggu kuat-kuat dan kemudian bahkan
menderita nyeri yang hebat, keraguan dan kecurigaan sedikitpun terhadap gadis itu tidak ada.
Maka, betapapun li-hainya, dalam keadaan berdiri bungkuk seperti itu, dan dekat sekali
dengan nona yang ditolongnya, ketika nona itu menyerang dengan bubuk merah yang
agaknya memang sudah sejak tadi memenuhi jubah merahnya, pendekar ini sama sekali tidak
mampu menghindarkan diri dan mukanya terkena bubuk merah yang harum.
"Hehhh....!" Dia masih dapat mencengkeram ke depan, maksudnya untuk menangkap gadis
yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang luar biasa gesitnya, gadis
cantik itu menangkis dan meloncat jauh.
"Dukk!" Gadis itu terlempar dan Cin Liong juga merasa betapa tangkisan itu mengandung
tenaga sin-kang yang amat kuat. Tahulah dia bah-wa gadis itu memang seorang pandai yang
pura-pura tertawan sehingga dia terkecoh. Akan tetapi terlambat. Kepalanya terasa ringan dan
tiba-tiba saja semuanya gelap baginya. Tanpa diketahuinya, dia roboh terkulai di atas
pembaringan itu dalam keadaan pingsan.
Cin Liong tidak tahu berapa lama dia tidak sa-dar. Akan tetapi ketika dia siuman, dia
mendapat-kan dirinya berada di dalam ruangan yang sama. Akan tetapi kini dialah yang
terikat dan terbeleng-gu di atas dipan dan ketika dia memandang, ter-nyata gadis cantik
berpakaian mewah tadi juga berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dan se-dang
memandang kepadanya dengan sepasang ma-ta tajam penuh selidik. Mata itu amat tajam
ber-sinar-sinar. Sukarlah membaca perasaan yang berada di balik sinar mata itu. Dan tiga
batang lilin di atas meja menandakan bahwa hari telah malam! Juga suasana kuil yang tadinya
sunyi kini berobah. Dia mendengar suara orang-orang di luar ruangan itu dan tak lama
kemudian, daun pintu yang menembus ruangan itu dari belakang terbuka. Muncullah dua
orang pria datang mem-bawa baki-baki terisi hidangan makanan dan mi-numan. Dengan sikap
hormat mereka mengatur hidangan itu di atas meja. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak
melirik, tidak memperdulikan dan pandang matanya masih terus ditujukan kepa-da Cin Liong
dengan pandang mata yang aneh. Cin Liong tahu bahwa dua orang pria itu adalah anggauta-
anggauta Eng-jiauw-pang, karena di pinggang mereka tergantung sepasang sarung tangan
cakar baja itu.
"Siocia (nona), silahkan makan dulu, hari sudah malam!" kata seorang di antara mereka
dengan sikap hormat dan juga penuh rasa sayang. Gadis itu hanya mengangguk, lalu memberi
isyarat dengan tangannya agar dua orang itu pergi lagi me-ninggalkannya sendirian di
ruangan itu. Dua orang itu menjura, lalu keluar danmenutupkan daun pintu tembusan ke dapur
itu dengan perlahan dan hati-hati.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
381 Cin Liong yang sudah siuman itu sejak tadi pu-ra-pura masih belum sadar, dan hanya
mengintai dari balik bulu matanya saja. Kini dia melihat nona itu menghadapi hidangan dan
mulai makan. Akan tetapi, agaknya hidangan yang banyak ma-camnya dan kelihatan lezat
sehingga menimbulkan selera bagi Cin Liong yang memang lapar sekali, agaknya tidak
membuat nona itu bernafsu untuk makan. Hanya sedikit ia makan, lalu ia me-nenggak tiga
cawan arak. Cin Liong kini sadar bahwa dia sudah terpero-sok ke dalam perangkap yang dipasang oleh
gadis ini secara cerdik sekali. Dia menduga-duga siapa gerangan gadis ini. Tak mungkin
anggauta biasa dari Eng-jiauw-pang karena dua orang anggauta perkumpulan itu tadi bersikap
hormat kepadanya dan menyebutnya nona. Tentu seorang tokoh pim-pinan. Dan kecantikan
seorang wanita dengan sikapnya yang pendiam dan halus itu bahkan lebih mengerikan dan
berbahaya daripada sikap seorang musuh yang kasar dan bengis seperti orang-orang
gerombolan Eng-jiauw-pang. Diam-diam dia mengerahkan tenaga untuk menggunakan sin-
kang-nya menembus jalan darah yang tertotok. Dia ter-kejut. Totokan itu istimewa sekali dan
betapapun dia mengerahkan sin-kang, tetap saja dia tidak mampu menggerakkan pusarnya
dan hawa di da-lam pusarnya tetap dalam keadaan tidur karena tidak ada yang menggerakkan
keluar. Celaka, pi-kirnya. Kalau dia tidak dapat mengerahkan sin-kangnya, tentu dia tidak
dapat melindungi dirinya. Tali-tali belenggu itu bukan apa-apa baginya kalau dia mampu
mengerahkan tenaga sin-kangnya. Dia harus bersabar sampai pengaruh totokan itu
menghilang atau menjadi lemah.
Tiba-tiba Cin Liong mendengar langkah-lang-kah kaki dan diapun memejamkan matanya
kem-bali dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Daun pintu sebelah depan terbuka dan
muncullah lima orang laki-laki dipimpin oleh sikumis tebal. Mereka ini adalah pimpinan
gerombolan Eng-jiauw-pang! Diam-diam Cin Liong mera-sa betapa jantungnya berdebar
kencang. Agaknya bukan hanya dia yang terkejut melihat munculnya lima orang tokoh Eng-
jiauw-pang yang lihai itu, juga gadis cantik itu bangkit berdiri dan meman-dang kepada
mereka dengan alis berkerut.
"Suheng berlima datang memasuki ruangan ini mau apakah?" tanyanya dengan suara dingin.
Si kumis tebal melangkah maju. "Sumoi, kami datang karena khawatir akan dirimu dan ingin
melihat tampangnya musuh besar kita ini. Dia harus dibunuh secepatnya, sumoi, karena kalau
di-biarkan hidup lebih lama lagi, dia bisa mendatang-kan bencana bagi kita. Dia amat lihai
dan berba-haya."
"Twa-suheng, sudah kukatakan kepada kalian bahwa selama semalam ini, dia menjadi
tawanan-ku dan boleh kuperlakukan sesuka hatiku. Tidak boleh ada orang lain
mencampuriku! Besok ba-rulah kalian boleh bicara mengenai dia dan boleh kalian lakukan
sesuka hati kalian. Nah, sekarang keluarlah, jangan mengganggu aku yang sedang
termenung!"
"Akan tetapi, kita semua amat benci dan sakit hati kepadanya. Ah, betapa ingin aku
menggorok lehernya dan minum darahnya untuk memuaskan hatiku. Siang tadi dia
menambah sakit hati kita dengan membunuh empat orang anak buah dan melukai beberapa
orang lagi. Dia harus mati!" kata orang ke dua yang kepalanya botak.
"Ji-suheng!" gadis itu berkata, nada suaranya marah. "Bagaimanapun juga, orang itu telah
membu-nuh ayahku. Engkau hanyalah murid ayah, akan tetapi aku puterinya! Dendam sakit
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
382 hatiku jauh lebih mendalam dibandingkan denganmu, maka janganlah bicara tentang dendam


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebencian itu de-ngan aku!"
"Bagaimanapun juga, dia harus kupatahkan dulu siku dan lututnya, barulah hatiku lega," kata
pula orang pertama yang disebut twa-suheng dan yang berkumis tebal itu. "Kalau sudah
kupatahkan lutut dan sikunya, tentu dia tidak akan dapat me-lepaskan diri lagi dan tidak akan
membahayakan dirimu, sumoi."
"Twa-suheng dan suheng sekalian. Apakah kalian tidak percaya kepadaku" Ingat, siapa yang
telah menawannya" Kalian berlima, dibantu oleh para anak buah, masih tidak mampu
menangkap-nya, bahkan mengorbankan nyawa empat orang anak buah. Sedangkan aku
seorang diri saja mampu membekuknya. Akulah yang menangkapnya dan aku yang berhak
memutuskan apa yang haris dilakukan dengan dia! Aku pula keturunan tung-gal dari ayah.
Sudahlah, aku hanya ingin bersa-ma musuh besarku semalam ini, biarkan aku me-lampiaskan
dendam pribadiku dengan caraku sendiri. Besok baru kita bicarakan hukuman apa yang akan
kalian berikan kepadanya. Keluarlah sebelum aku marah!"
Lima orang itu saling pandang, lalu terpaksa mereka pergi meninggalkan ruangan itu.
Seorang di antara mereka, yang tubuhnya pendek kecil ku-rus, meludah ke arah Cin Liong
ketika mereka pergi, dan daun pintu mereka tutupkan dari luar de-ngan agak keras, tanda
bahwa hati mereka tidak puas dengan sikap gadis itu. Diam-diam Cin Liong yang mengikuti
semua ini harus mengakui bahwa pada saat itu, gadis cantik inilah yang telah
menyelamatkannya. Karena, kalau tidak dicegah oleh gadis itu, tentu dia sudah dibunuh atau
seti-daknya dibikin cacat oleh lima orang itu tanpa dia mampu melawan sama sekali. Dia
menarik napas lega.
Tiba-tiba gadis itu menoleh kepadanya. "Kao Cin Liong, apakah engkau masih hendak pura-
pura belum sadar?"
Cin Liong membuka matanya, menoleh dan memandang. Dia mampu menggerakkan
tubuh-nya, akan tetapi tidak dapat mengerahkan sin-kang-nya. Kemudian dia menarik napas
panjang. "Nona, kalau orang-orang seperti anggauta gerombolan Eng-jiauw-pang memusuhi aku, hal
itu tidaklah aneh karena mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi kalau sampai seorang
gadis cantik dan pandai seperti engkau memusuhiku, sungguh membuat aku heran dan
penasaran sekali!"
Gadis itu mengejek. "Manusia sombong! Eng-kau hendak mengatakan bahwa seorang
pendekar besar, seorang jenderal dan panglima muda seperti engkau tidak pantas dimusuhi
oleh orang baik-baik, begitukah?"
"Aku tidak biasa memuji diri sendiri, nona. Akan tetapi aku selalu hanya menentang
kejahatan, dan engkau sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Maka aku merasa
heran melihat eng-kau menjebakku dan menawanku seperti ini."
"Engkau tidak usah heran. Bukankah engkau yang telah menewaskan Eng-jiauw Siauw-ong
Liok Can Sui" Nah, aku adalah Liok Bwee, pute-rinya. Ayahku kaubunuh dan aku berusaha
mem-balas dendam itu. Apa anehnya?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
383 "Aneh, sungguh aneh dan sukar dipercaya....!" Cin Liong berkata, disengaja untuk mengulur
wak-tu dan mencari kesempatan membebaskan diri.
"Apunya lagi yaug aneh?" Liok Bwee bertanya penasaran.
"Mendiang Eng-jiauw Siauw-ong adalah orang jahat yang telah diperalat oleh Hek-i Mo-ong
dan antek-anteknya, para datuk sesat, untuk me-nyerang Pulau Es, menyerang keluarga
Pendekar Super Sakti. Dan engkau, nona, engkau mengaku puterinya, sungguh tidak pantas
dan aneh sekali bahwa seorang datuk sesat seperti dia mempunyai seorang puteri yang cantik
dan gagah perkasa se-perti engkau...."
Wajah itu sebentar merah sebentar pucat dan sepasang mata yang bening itu menatap wajah
Cin Liong yang tampan. "Sudahlah, bagaimanapun juga, aku adalah puterinya dan aku harus
memba-las dendam kematiannya itu."
"Nona Liok Bwee, ayahmu tewas karena kesalahannya sendiri. Andaikata dia tidak kebetulan
tewas karena berkelahi melawan aku yang membe-la keluarga Pulau Es, tentu dia akan tewas
pula oleh keluarga yang sakti itu."
"Cukup! Apakah kaukira aku mau menjadi anak yang tidak berbakti?" Dan di dalam suara
gadis ini terkandung kesedihan yang besar.
"Aku sudah terjatuh ke tanganmu, terserah kepadamu, nona. Aku tidak takut mati. Hanya aku
merasa sayang sekali, mengapa seorang gagah per-kasa seperti engkau ini sampai
menggunakan akal busuk untuk menangkapku. Aku tahu bahwa eng-kau seorang gagah
perkasa, sehingga engkau tidak membolehkan ketika para suhengmu hendak mem-bunuhku
tadi. Akan tetapi, kalau engkau membunuhku dalam keadaan aku sudah terjebak begi-ni,
sungguh aku merasa amat sayang, nona. Tidak patut seorang seperti nona ini melakukan
pembu-nuhan keji secara curang, tanpa memberi kesem-patan orang itu untuk membela diri.
Jauh lebih baik mati sebagai seorang gagah daripada hidup sebagai seorang pengecut."Gadis
itu memejamkan matanya dan dari kedua matanya itu menitik turun beberapa butir air ma-ta.
"Betapa kejamnya engkau.... betapa kejamnya engkau menusuk-nusuk perasaan hatiku. Aku
memang selamanya tidak setuju dengan sepak ter-jang ayah. Ibu sampai meninggal dunia
karena sedih memikirkan ayah yang suka bergaul dengan kaum penjahat.
Sepeninggal ibu, ayah menjadi semakin nekat, bahkan mengangkat diri menjadi seorang di
antara datuk kaum sesat. Ah, aku malu.... aku menyesal sekali. Ketika ayah diajak Hek-i Mo-
ong, aku sudah mencegahnya, menangis, akan tetapi percuma saja. Ketika aku mendengar
bahwa ayah tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong, tentu saja aku merasa sakit hati.
Akan teta-pi apa dayaku" Aku mendengar bahwa Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti
Gurun Pasir! Akan tetapi, para suhengku tak pernah putus asa dan pada suatu hari mereka
menemukan jejakmu. Akan tetapi mereka semna kalah olehmu. Ah, be-tapa kagum hatiku.
Selama hidupku, belum per-nah aku melihat pendekar seperti engkau, yang dapat memukul
mundur lima orang suhengku ber-ikut semua anak buah! Akan tetapi, aku harus membalas
kematian ayahku, maka aku.... aku...."
Cin Liong diam-diam merasa girang. Tidak keliru dugaannya. Gadis ini mempunyai
kelemahan, dan pada dasarnya bukanlah seorang jahat atau kejam. Akan tetapi keadaan yang
memaksanya karena ia puteri ketua Eng-jiauw-pang. Maka diapun tersenyum.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
384 "Nona, aku tidak takut mati dan mati di tangan-mu jauh lebih menggembirakan daripada mati
di tangan orang-orang Eng-jiauw-pang itu. Kalau eng-kau menganggap sudah sepatutnya aku
mati karena membela kebenaran, nah, bunuhlah, jangan ragu-ragu lagi. Kalau nona ragu-ragu
dan melakukan tindakan yang berlawanan dengan suara hati kecil, nona akan merasa
menyesal selama hidup."
Gadis itu mengusap air matanya dan dengan mata basah memandang kepada Cin Liong, lalu
menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak.... tidak.... sejak aku berhasil meringkusmu di sini dan
sampai sekarang, aku tiada hentinya menatap wajahmu dan terjadi perang di hatiku....
membuat aku gelisah dan bingung. Tidak, Kao Cin Liong, aku tidak mungkin dapat
membunuhmu...."
Cin Liong tersenyum. "Sudah kuduga, nona Liok Bwee. Seorang gadis sepertimu ini, tidak
mungkin menjadi seorang yang jahat atau curang. Tak mungkin engkau mau membunuh
orang begitu -saja. Engkau gagah dan baik...."
"Bukan....bukan begitu.... kalau bukan engkau musuh besarku, tentu sudah kubunuh sejak
tadi!" Cin Liong mengerutkan alisnya. Wanita ini sungguh aneh, pikirnya. Dan memang kalau tadi
dia memuji-muji, hal itu hanya dilakukannya untuk mengulur waktu sedangkan diam-diam
dia terus berusaha untuk memulihkan tenaganya, untuk membuyarkan jalan darahnya yang
buntu tertotok. Dia sendiri tidak mungkin dapat mengha-rapkan puteri seorang datuk sesat
dapat menjadi seorang yang berbudi mulia dan baik. Watak seseorang amat dipengaruhi oleh
lingkungannya, bahkan hampir dapat dipastikan bahwa watak dibentuk oleh lingkungan.
Kalau sejak kecil terlahir dan tumbuh di dalam lingkungan penjahat, mana mungkin gadis ini
tidak menjadi jahat pula"
"Apa yang kaumaksudkan, nona?" tanyanya dengan hati berdebar tegang dan tidak enak.
"Kao Cin Liong, aku.... sejak kecil aku bertemu dengan orang-orang kasar, setelah aku
de-wasa, ayahku berkali-kali mendesak agar aku suka menikah. Akan tetapi, di antara
pemuda-pe-muda kasar dan jahat itu, mana ada yang dapat menarik perhatianku" Sejak
dewasa aku seringkali membayangkan dan mengimpikan jodoh seorang pemuda yang gagah
perkasa, halus budi dan seperti pendekar-pendekar yang digambarkan da-lam dongeng. Maka,
begitu melihatmu dikeroyok oleh para suhengku dan dengan gagah perkasa engkau
mengalahkan mereka, melihat sikapmu yang halus, wajahmu, gerak-gerikmu.... sejak
perta-ma kali melihatmu aku sudah jatuh cinta padamu, dan aku.... aku menganggapmu
sebagai seorang taihiap yang patut untuk kulayani selama hidupku. Kao-taihiap.... aku cinta
padamu.... dan aku tidak akan mengingat lagi tentang permusuhan antara kita kalau saja
engkau sudi menerimaku.... menerima cintaku...."
Cin Liong kaget bukan main. Sungguh tidak disangkanya bahwa urusan akan membelok ke
arah itu. Mukanya menjadi merah dan jantungnya ber-debar. Cinta" Betapa anehnya bicara
tentang cinta pada waktu seperti itu, dalam keadaan seper-ti itu, di waktu nyawanya
bergantung pada sehelai rambut.
"Nona Liok, maksudmu...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
385 "Terimalah aku sebagai isterimu, taihiap. Ha-nya kalau aku menjadi isterimu saja aku akan
da-pat menghabiskan seluruh permusuhan antara kita. Cinta seorang isteri lebih kuat daripada
bakti ke-pada ayah yang sudah meninggal...."
"Ah, tidak mungkin, nona. Kita baru saja ber-temu, bagaimana mungkin bagiku untuk bicara
soal cinta?"
"Tapi aku cinta padamu, taihiap, aku cinta pa-damu...." Gadis itu mendekat, duduk di tepi
pembaringan dan tiba-tiba iapun sudah menjatuh-kan dirinya di atas dada Cin Liong dan
menciumi muka pemuda itu, dengan malu-malu akan tetapi juga dengan nekat dan penuh
perasaan. Tentu saja Cin Liong menjadi bingung. Dia hanya dapat membuat gerakan lemah, akan tetapi
tidak mampu menolak dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya seperti itu. Dan ketika bibir
yang lunak itu mencium bibirnya, bagaimanapun juga darah mudanya tersirap, jantungnya
berdebar dan seperti otomatis, bibirnya juga membalas, menyam-but ciuman itu. Hal ini terasa
oleh Liok Bwee yang mengeluarkan keluhan, mendekap lebih knat dan mencium penuh nafsu
sampai keduanya terengah-engah.
"Taihiap.... terimalah aku, aku mencintamu.... dengan seluruh jiwa ragaku.... aku akan
menja-di seorang isteri yang mencinta, setia dan akan melakukan apa saja yang
kaukehendaki...."
"Nona, tenanglah dan mari kita bicara baik-baik. Cinta adalah urusan hati, tidak mungkin
orang dipaksa untuk mencinta atau membenci. Be-baskan dulu totokanku dan mari kita bicara
dengan hati terbuka...."
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Tidak, tai-hiap. Aku hanya mempunyai dua pilihan. Kalau
engkau berjanji mau menerima cintaku, berjanji akan mengambilku sebagai isterimu, baru aku
akan membebaskan totokanmu, bahkan akan membebas-kanmu dari sini, dari ancaman para
suhengku dan para anak buah Eng-jiauw-pang."
"Dan kalau aku menolak, engkau akan membu-nuhku?"
Kembali Liok Bwee menggeleng. "Tidak, aku cinta padamu, aku tidak tega untuk
membunuhmu. Kalau engkau menolak, aku akan menjagamu se-malam ini, akan tetapi besok
aku tak mungkin dapat mencegah kalau para suhengku datang membunuhmu."
"Nona, tidak dapatkah engkau melihat betapa tak masuk akalnya maksudmu ini" Mana
mungkin engkau memaksa seseorang untuk mencinta" Mana mungkin pertalian cinta
dihubungkan dengan pemerasan seperti yang kaulakukan ini! Engkau seolah-olah hendak
menukar nyawaku dengan janji cintaku. Apakah engkau tidak melihat bahwa kalau aku
berjanji menerima cintamu karena aku takut dibunuh, maka janji dan cintaku itu adalah palsu,
sekedar untuk alat menyelamatkan diri" Nona, janganlah engkau membiarkan dirimu ikut
tersesat. Bebaskan totokanku dan mari kita bicara. Bagaimanapun juga, sudah jelas bahwa
engkau ada-lah seorang yang baik, dan di antara kita terdapat pertalian persahabatan...."
"Aku membutuhkan cinta, bukan persahabatan."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
386 "Nona, cinta timbul kalau hati tertarik, teruta-ma oleh budi bahasa dan kelakuan yang baik.
Kalau hati ditekan, tak mungkin timbul cinta. Tidak-kah kau dapat menyadari hal ini" Kalau
kita ber-sahabat, mungkin dari situ tumbuh perasaan cinta, bukan dari paksaan."
Tiba-tiba gadis itu menangis dan merangkulnya kembali. "Ah, taihiap, aku takut.... aku takut
kalau aku membebaskanmu, kau lalu meninggalkan aku tanpa janji.... dan aku.... hidupku
akan kehilangan pegangan lagi...."
"Akan tetapi kalau engkau mempergunakan ke-sempatan ini untuk memerasku, untuk
memaksaku membalas cintamu, sikapmu ini saja sudah menja-uhkan hatiku, nona. Apakah
engkau tidak menya-dari akan hal ini" Dan seorang gadis seperti eng-kau, betapa mudahnya
mencari seorang suami yang akan sungguh-sungguh mencintamu, asal saja eng-kau tidak
mengikuti jejak lingkunganmu yang sesat."
"Kao-taihiap.... aku.... aku takut untuk menerima cinta pria lain, aku belum pernah bertemu
dengan pria sepertimu.... aku hanya menginginkan engkau seorang...." Gadis itu kembali
menciuminya dengan penuh kemesraan dan rasa cinta yang bercampur dengan nafsu berahi.
"Braaakkk....!" Tiba-tiba daun pintu ruangan itu pecah berantakan dan muncullah lima orang
suheng gadis itu dengan muka merah saking marahnya. Kedua tangan mereka masing-masing
telah memakai sarung tangan cakar garuda, menan-dakan bahwa mereka telah berada dalam
keadaan siap tempur! Liok Bwee terkejut dan melepaskan rangkulannya dari tubuh Cin Liong,
dengan marah menghadap lima orang suhengnya itu.-
"Kalian sungguh tidak tahu aturan, tidak pantas kuanggap sebagai saudara tua!" bentaknya
Si kumis tebal menudingkan telunjaknya ke arah muka gadis itu. "Dan engkau sungguh tidak
tahu malu dan amat merendahkan dirimu seperti pengemis cinta, lebih rendah daripada
seorang pe-lacur! Mendiang suhu menunjuk seorang di antara kami scbagai calon suamimu
dan engkau tinggal memilih seorang di antara kami. Akan tetapi eng-kau menolak kami
semua dan kini mengemis cinta dari seorang musuh besar, pembunuh ayahmu sendiri!"
"Tutup mulutmu!" bentak Liok Bwee. "Apa perdulimu dengan urusan pribadiku" Aku tidak
sudi menjadi isteri seorang di antara kalian dan ka-lian menjadi sakit hati. Cih, tak tahu malu.
Aku memilih siapapun untuk menjadi suamiku, apa hu-bungannya dengan kalian?"
Si kumis tebal menyeringai dan empat orang suhengnya juga tersenyum mengejek. Memang
mereka merasa sakit hati karena ditolak sumoi mereka itu. "Sumoi, kami tidak perduli engkau
mau memilih orang macam apa untuk menjadi suamimu. Engkau hendak memilih anjing Kao
Cin Liong inipun terse-rah, bukan urusan kami. Akan tetapi, si keparat Kao Cin Liong ini
adalah pembunuh suhu dan kami su-dah bersumpah untuk membalas dendam atas kema-tian
suhu. Maka, sekarang juga dia harus mati di tangan kami. Engkau boleh menikah dengan
bang-kainya saja!" Berkata demikian, si kumis menubruk ke arah Cin Liong yang belum
mampu melawan itu, kedua tangan cakar baja itu terulur.
"Tahan!" Liok Bwee berteriak sambil bergerak ke samping, kedua lengannya menangkis
serangan maut dari twa-suhengnya itu. "Plak! Plak!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
387 Tubuh Liok Bwee terhuyung akan tetapi serang-an si kumis tebal gagal. Marahlah murid
pertama dari ketua Eng-jiauw-pang itu. "Sumoi, engkau hendak membela musuh besar,
melindungi pembu-nuh ayahmu sendiri?"
"Dia adalah tawananku, siapapun tidak boleh mengganggunya!" bentak Liok Bwee dengan
si-kap garang dan ia sudah meloncat ke depan tem-pat tidur itu, melindungi Cin Liong.
Meiihat ini, lima orang murid kepala Eng-jiauw-pang itu menjadi marah bukan main. Mereka
me-langkah maju dengan sinar mata penuh ancaman.
"Sumoi, menyingkirlah. Biarkan kami memba-las dendam kepada musuh besar kita, dari
selanjut-nya kami tidak akan mencampuri urusanmu lagi," kata pula seorang di antara
mereka. "Tidak!"
Si kumis tebal melangkah maju. "Sumoi, sekali lagi kuperingatkan, jangan melindungi
musuh. Menyingkirlah!"
"Tidak. Siapapun tidak boleh mengganggunya selama aku masih hidup!"
"Sumoi, itu berarti pengkhianatan! Kami akan menganggap engkau berpihak kepada musuh
dan terpaksa kami akan menggunakan kekerasan terha-dapmu!"
"Terserah! Kalian orang-orang berwatak pe-ngecut, beraninya hanya pada orang yang sudah
tidak mampu melawan. Kalian harus melangkahi mayatku untuk dapat menjamahnya!" gadis
itu berkata dengan nekat.
"Engkau anak durhaka! Murid murtad!" Si kumis tebal berteriak marah dan diapun sudah
me-nyerang sumoinya sendiri dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. Liok Bwee
mengelak dan balas menyerang. Biarpun ia puteri mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, akan
tetapi ia tidak pernah me-makai sarung tangan cakar garuda. Sejak kecil ia merasa tidak
senang dan jijik dengan senjata ini, maka oleh ayahnya yang lihai ia dilatih ilmu silat tangan
kosong, terutama sekali ilmu menotok. Ilmu inilah yang kini ia pergunakan untuk melawan
dua tangan baja twa-suhengnya. Totokan-totok-an jari kedua tangannya menyambar dan
menyambut serangan lawan dan karena ilmu menotok jalan darah ini memang diciptakan oleh
Eng-jiauw Siauw-ong untuk mengganti ilmu cakar baja yang tidak disukai puterinya, maka
tentu saja ilmu me-notok ini tepat sekali untuk menghadapi cakar ba-ja itu. Terjadilah
perkelahian yang seru, ramai dan mati-matian antara sumoi dan twa-suhengnya itu. Empat
orang suhengnya yang lain hanya ber-diri menonton karena mereka merasa yakin bahwa twa-
suheng itu tentu akan dapat mengalahkan sang sumoi.
Dari tempat dia rebah, Cin Liong memperhati-kan perkelahian itu dan diapun dapat melihat
bah-wa kalau hanya satu lawan satu,ilmu silat tangan kosong yang disertai ilmu totokan lihai
dari Liok Bwee itu akan mampu menandingi cakar baja dari si kumis tebal. Akan tetapi di situ
masih ada empat orang suheng gadis itu yang dia tahu setiap saat dapat turun tangan
membantu si kumis. Maka dia amat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang
mempertahankan nyawanya dan membelanya mati-matian itu. Cin Liong kembali
mengerahkan tena-ga sin-kangnya, namun tetap saja jalan darahnya belum pulih dan tenaga
sin-kangnya tidak mau tim-bul, hanya dia mampu menggerakkan tubuhnya agak lebih kuat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
388 daripada tadi. Betapapun juga, dengan kekuatan otot biasa, tidak mungkin mele-paskan diri
dari belenggu kaki tangan itu dan ini berarti bahwa dia tidak akan mampu melindungi diri


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri, apalagi membantu Liok Bwee.
"Nona, bebaskan totokanku!" Tiba-tiba dia berseru karena kiranya hanya nona itu yang akan
mampu membebaskannya. Sekali terbebas, tidak sukar baginya untuk mematahkan belenggu
dan menghajar lima orang tokoh Eng-jiauw-pang itu.
Liok Bwee yang sedang berkelahi mati-matian melawan twa-suhengnya, mendengar teriakan
ini dan teringatlah ia bahwa pria yang dicintanya itu terancam bahaya maut dan hanya akan
selamat kalau totokan yang membuatnya tidak berdaya itu dibebaskan. Iapun tahu akan
kesaktian pemuda itu dan dapat menduga bahwa sekali totokannya dibebaskan, pemuda itu
akan mampu melepaskan diri dari belenggu dan sekali terlepas, lima orang suhengnya ini
bukanlah lawannya. Maka iapun cepat mengelak dari sambaran cakar besi twa-suhengnya
yang agaknya sudah marah sekali kepadanya dan mengirim serangan maut yang bermaksud
merobohkan dan menewaskan itu, kemudian cepat sekali Liok Bwee meloncat ke samping, ke
arah pembaringan di mana Cin Liong rebah dengan maksud untuk membebaskan totokannya
atas diri pemuda itu. Akan tetapi, empat orang suhengnya yang sudah tahu akan maksudnya,
cepat menu-bruknya dari kanan kiri sebelum ia sempat mende-kati Cin Liong. Delapan buah
cakar baja menye-rangnya dan tentu saja Liok Bwee tidak dapat melawan serangan empat
orang ini sehingga kedua lengannya telah kena dicenakeram!
"Lepaskan aku! Keparat! Lepaskan aku!" teriaknya dan meronta sehingga kuku-kuku baja itu
merobek baju dan kulit lengannya sehingga berdarah. Akan tetapi empat orang itu tidak mau
melepaskannya dan pada saatitu, si kumis tebal yang agaknya sudah marah dan benci sekali
ke-pada snmoi yang bukan saja menolak cintanya akan tetapi kini malah mencinta dan
melindungi musuh besar Eng-jiauw-pang, agaknya sudah tidak dapat menahan panasnya hati
lagi. Pada saat itu dia menubruk sambil menggerakkan kedua cakar bajanya.
"Crott! Crottt!" Cakar baja yang runcing itu telah mencengkeram tengkuk dan punggung
Liok Bwee. "Aihhhhh....!" Liok Bwee menjerit saking nyerinya ketika kuku-kuku baja yang tajam itu
menusuk kulit dagingnya. Melihat ini, empat orang suhengnya yang lain melepaskannya dan
twa-suhengnya, si kumis tebal itu agaknya juga terkejut sendiri melihat betapa dia telah
menceng-keram tubuh sumoinya yang pernah dicintanya! Maklum bahwa dia telah
membunuh sumoinya, kemarahannya ditumpahkan kepada Cin Liong. Dia mengangkat tubuh
sumoinya yang sudah tak berdaya itu ke atas kepalanya, dengan masih men-cengkeram
tengkuk dan punggung, lalu dilontar-kannya tubuh sumoinya itu dengan penuh geram ke arah
Cin Liong yang rebah di atas pembaringan.
"Nih, ambillah sebelum engkau kucincang!" bentaknya."Brukkkk....!" Tubuh Liok Bwee
yang sudah lunglai itu menimpa Cin Liong di atas pembaring-an dan dipan inipun runtuh
terguling. Tentu saja tubuh pemuda itu terbawa pula, terguling di atas lantai dalam keadaan
menelungkup. Dengan wajah beringas dan pandang mata be-ngis, lima orang itu kini menghampiri Cin
Liong dengan cepat, seolah-olah mereka hendak berlomba membunuh atau menyiksa musuh
besar yang sudah tidak berdaya, rebah menelungkup dengan kaki tangan terbelenggu dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
389 tubuh tertotok itu. Tubuh Liok Bwee juga terlempar sampai ke sudut ruangan di mana ia
menggeletak mandi darah, ti-dak mampu bergerak lagi.
"Jangan bunuh dia terlalu cepat!" Si kumis tebal memperingatkan para sutenya. Musuh besar
ini amat dibencinya dan sudah mendatangkan ba-nyak sekali kerugian. Bukan hanya kematian
suhu mereka, akan tetapi juga kematian empat orang anak buah, bahkan kini matinya Liok
Bwee juga dia timpakan kepada pemuda yang amat dibenci-nya itu. Para sutenya mengerti
dan setuju, maka mereka menubruk dengan maksud mencengkeram dan menyiksa musuh
besar itu agar mati perlahan-lahan dan mengalami penderitaan yang amat he-bat.
Akan tetapi, pada saat mereka berlima menu-bruk ke arah tubuh yang menelungkup tak
berda-ya itu, tiba-tiba terdengar suara melengking nya-ring dari mulut Cin Liong dan
tubuhnya yang me-nelungkup itu tiba-tiba saja bergerak, membalik dan kedua tangannya yang
tadinya terbelenggu itu tiba-tiba saja bergerak, belenggu terlepas dan kedua tangannya
mendorong dengan kekuatan yang dahsyat. Juga belenggu pada kedua kakinya putus semua
pada saat itu juga!
"Blaaarrrr....!" Hebat bukan main tenaga yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu,
seperti ada kilat meledak dan akibatnya, lima orang yang tadi menubruknya itu terlempar dan
terjeng-kang semua, lalu terbanting keras ke atas lantai! Seketika itu dua orang di antara
mereka tidak mampu bergerak lagi karena kepala mereka pecah. Mereka berdua inilah yang
paling dekat dan lang-sung menerima hantaman kedua tangan Cin Liong. Tiga orang yang
lain hanya kena disambar hawa pukulan saja, akan tetapi hal itu cukup membuat mereka
terjengkang dan terbanting keras. Mereka masih dapat bangkit dengan kepala pening dan
muka mereka pucat, mata terbelalak saking kaget-nya. Sama sekali mereka tidak mengetahui
bahwa ketika tubuh Cin Liong terlempar dari atas dipan tadi dan jatuh menelungkup di atas
lantai, pada saat itu Cin Liong dapat meminjam tenaga inti bumi, dengan Ilmu Sin-liong-hok-
te dia dapat menggerakkan hawa sakti dari pusarnya dan seke-tika jalan darahnya pulih
kembali diterjang oleh hawa sin-kang yang berputar dari pusar. Maka, ketika para
pengeroyoknya menubruk, dengan Sin-liong-ciang-hoat dia menyambut dan karena sin-
kangnya masih sedang penuh-penuhnya menguasai kedua lengannya, maka tentu saja lima
orang musuh itu tidak kuat menahan, bahkan yang terke-na hantaman langsung seketika mati
dengan kepa-la pecah sedangkan yang lain, termasuk si kumis tebal, terguncang hebat
sehingga ketika mereka bangkit lagi, mereka merasa kepala mereka pening!
Cin Liong sudah bangkit dan pertama kali yang dilakukannya adalah meloncat ke dekat
tubuh Liok Bwee, berlutut dan memeriksa gadis itu tanpa memperdulikan akibat sambutan
terhadap lima orang pengeroyok itu. Dia melihat betapa pung-gung dan tengkuk gadis itu
luka-luka, demikian pula kedua lengannya, terkena cakar-cakar baja yang mengandung racun!
Cepat dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan jalannya racun ke jantung, dan
menotok jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri.
Pada saat itu, si kumis dan dua orang sutenya melihat kesempatan baik selagi pemuda itu
meme-riksa dan mengobati Liok Bwee. Dua orang sute si kumis tebal sudah menubruk dari
kanan kiri. Cin Liong maklum bahwa dirinya diserang oleh dua orang dari kanan kiri, maka
diapun dengan hati-hati menurunkan lagi tubuh Liok Bwee dan sece-pat kilat membalik,
kedua tangannya menyambut dengan dorongan, menyambut dua orang yang menyerangnya.-
"Dess! Desss....!" Dua orang itu tidak sem-pat mengeluarkan teriakan lagi karena tubuh
me-reka terlempar ke atas dan sudah putus nyawanya sebelum tubuh mereka itu terbanting ke
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
390 atas lan-tai! Melihat ini, si kumis tebal terbelalak dan diapun meloncat.... menjauhkan diri dan
hendak lari dari ruangan itu.
"Pengecut....!" Cin Liong memaki dan dia-pun mengejar. Akan tetapi si kumis tebal sudah
berteriak memanggil anak buahnya, maka begitu tiba di luar ruangan itu, Cin Liong sudah
dikepung oleh sisa anak buah Eng-jiauw-pang yang jum-lahnya masih ada hampir tiga puluh
orang! Mereka semua mempergunakan cakar garuda pada tangan mereka dan dengan
dipimpin oleh si kumis tebal, mereka menyerbu dan mengeroyok Cin Liong de-ngan mati-
matian. Karena mereka semua tahu bahwa pemuda itu adalah musuh besar, pembunuh
mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, bahkan kini si kumis tebal berteriak-teriak memberitahukan
bah-wa empat orang sutenya dan sumoinya juga sudah tewas di tangan musuh ini, maka
semua anggauta mengeroyok mati-matian untuk membalas den-dam. Si kumis tebal
sendiripun selain memberi komando, ikut pula mengeroyok, mengerahkan selu-ruh tenaganya
karena sekarang merupakan pengero-yokan dan harapan terakhir baginya, karena itu harus
berhasil. Akan tetapi, panglima muda puterapendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu memang hebat sekali
kepandaiannya. Cin Liong juga sudah marah dan juga dia melihat kenyataan betapa kejam
dan ja-hatnya gerombolan ini, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membasmi
mereka sampai ke akar-akarnya. Kini dia tidak ragu-ragu lagi dan dia mengerahkan sin-
kangnya, memainkan Sin-liong-ciang-hoat dan tentu saja anak buah gerombolan itu
merupakan makanan yang amat lunak bagi ilmu silatnya yang amat ampuh dan tenaganya
yang mu-jijat itu. Setiap kali dia menyerang, tiga empat o-rang roboh dan tewas seketika
sehingga tanpa me-makan waktu lagi, para pengeroyok itu roboh ber-turut-turut dan akhirnya
habislah mereka. Tempat itu penuh denyan mayat yang malang melintang dan tumpang
tindih! Hanya tinggal si kumis tebal seorang saja yang belum roboh karena tadi melihat
kehebatan lawan, dia menyingkir ke belakang anak buahnya dan memberi komando saja.
Melihat be-tapa semua anak buahnya roboh, si kumis ini men-jadi ketakutan dan dia
membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun, nampak bayangan
berkelebat dan tahu-tahu musuh besar itu telah berada di depannya, menghadang dengan
berdiri tegak dan sepasang mata pemuda itu mencorong seperti mata seekor naga sakti!
Karena tidak melihat jalan lain untuk me-larikan diri, si kumis tebal menjadi nekat.
"Haittt....!" Dia menyerbu dengan ganas, kedua tangannya membentuk cakar garuda dau
tubuhnya meloncat ke atas lalu melayang turun, persis scperti seekor burung garu-da yang
terbang turun menyambar seekor kelinci. Namun, yang diserangnya sama sekali tidak
mengelak atau menangkis, bahkan Cin Liong juga meng-ulur kedua lengannya dan kedua
tangannya me-nyambut cengkeraman lawan!
"Plakk! Plakk!" Kedua tangan itu bertemu dan secepat kilat Cin Liong mengerahkan sin-kang
pada jari-jari tangannya lalu dia membuat gerak-an mematahkan.
"Krekk! Krekk!" Si kumis tebal menjerit mengerikan dan tubuhnya terkulai, akan tetapi
kedua cakar garuda itu tertinggal dalam genggaman ta-ngan Cin Liong karena kedua
pergelangan tangan-nya patah tulangnya, kemudian putus sama sekali berikut daging, otot dan
kulitnya karena Cin Liong membuat gerakan mematahkan dengan kekuatan yang amat
dahsyat! Kedua lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan dan darah muncrat-muncrat.
Si kumis tebal itu masih belum pingsan, melolong-lolong karena nyerinya sambil berlutut dan
memandang kepada kedua lengannya yang buntung sambil menangis. Cin Liong
membalik-kan kedua cakar itu, lalu menghantamkan kedua senjata itu ke arah pemiliknya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
391 "Crott! Crott!" Si kumis roboh terjengkang dan kedua cakar garuda itu telah menancap
da-lam-dalam di kerongkongannya dan dadanya. Agaknya ketika menyerang tadi, Cin Liong
teringat akan apa yang dilakukan orang ini kepada Liok Bwee. Sejenak Cin Liong
memandang tubuh la-wan yang sudah tak dapat bergerak, kemudian dia meloncat masuk
kembali ke dalam ruangan bela-kang.
Liok Bwee yang sudah membuka kedua mata-nya itu, nampak tersenyum ketika melihat
siapa yang berlutut di dekatnya. Apalagi ketika Cin Liong mengangkat tubuh atasnya dan
memangku-nya, sinar matanya berseri gembira.
"Mereka.... mereka tewas semua....?" ta-nyanya lirih.
Cin Liong mengangguk.
"....aku.... aku akan mati.... ah, bagai-mana aku nanti dapat menemui ayah di alam baka....?"
Melihat kesedihan gadis itu, Cin Liong terharu. Bagaimanapun juga, gadis ini telah
menyelamatkan nyawanya dan kini gadis ini kehilangan sega-la-galanya, mula-mula
kehilangan ayahnya, lalu kehilangan para suhengnya dan anak buahnya, dan kini akan
kehilangan nyawanya pula. Semua ga-ra-gara dia! Dan gadis itu merasa takut untuk bertemu
dengan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu karena merasa telah mengkhianati Eng-
jiauw-pang. "Nona, kau.... maafkanlah aku...." katanya lirih.
Alis yang berkerut itu cerah kembali. "Ah, tidak apa. Akan kuhadapi dia, biar di alam baka
sekali-pun, karena dia yang bersalah, anak buahnya yang jahat. Taihiap.... engkau.... engkau
tidak benci kepadaku....?"
Cin Liong terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Benci" Ah, bagaimana dia dapat
mem-benci gadis seperti ini"
"Tidak, nona. Aku.... sama sekali tidak benci kepadamu, aku bahkan.... suka sekali
kepadamu...." Dia mempererat dekapannya seolah-olah hendak membuktikan kata-katanya
karena memang sesungguhnya tumbuh suatu perasaan sayang dan suka sekali dalam hatinya
terhadap ga-dis yang malang nasibnya ini.
Wajah itu berseri dan senasang mata itu berki-lat. "Aih, terima kasih, taihiap.... kata-katamu
itu akan menjadi sinar terang yang mengantarku ke alam sana.... terima kasih, aku sungguh
cinta padamu, Kao-taihiap.... sungguh...."
Cin Liong semakin terharu dan seperti ada dorongan yang amatkuat dia mendekatkan
mu-kanya. "Liok Bwee.... kau.... kau gadis yang malang....!" Dan diapun lalu menempelkan
bi-birnya pada mulut itu. Seperti tersentak kaget tubuh gadis itu mengejang, mulutnya terbuka
dan Cin Liong lalu menciumnya dengan sepenuh hatinya, dengan sepenuh rasa sayangnya.
Ketika dia melepaskan ciumannya dan meman-dang, wajah itu pucat sekali, akan tetapi
berseri dan air mata mengalir di kedua pipinya yang pu-cat. "....terima kasih, aku cinta
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
392 padamu.... terima kasih...." Dan kepala itu terkulai, matanya terpejam dan napasnya putus.
Gadis itu meng-hembuskan napas terakhir dengan senyum di mulut!
Cin Liong tahu bahwa gadis yang dipangku-nya itu telah meninggal dunia. Hal ini terasa
be-gitu menusuk perasaan hatinya, membuatnya me-rasa kesepian dan kehilangan. Dia
mendekap ke-pala itu dengan eratnya, memandangi wajahnya, menciuminya dengan air mata
berlinang. Terasa sekali olehnya betapa dia membutuhkan Liok Bwee, betapa dia
membutuhkan wanita, membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan cinta kasih wanita.
Dia merasa seperti setangkai bunga kekeringan, sebatang pohon kehausan.
"Bwee-moi.... ah, Bwee-moi...." keluh-nya, akan tetapi ketika dia memejamkan matanya,
terbayanglah wajah Suma Hui dan hatinya menja-di semakin berduka.
Tak dapat disangkal lagi bahwa telah menjadi pembawaan manusia betapa pria dan wanita
saling membutuhkan dan keduanya diciptakan seolah-olah memang sudah harus saling
mengisi. Wanita selalu mendambakan kasih sayang pria dan rasanya tidak lengkap hidupnya
tanpa adanya pria yang menyayangnya, melindunginya dan meman-jakannya, membutuhkan
dan mementingkan diri-nya. Di lain fihak, bagi seorang pria, kebutuhan akan adanya seorang
wanita dalam hidupnya ada-lah mutlak. Dia selalu membutuhkan kasih sayang wanita,
membutuhkan getaran dalam cinta kasih seorang wanita yang nampak dalam pandang
ma-tanya, dalam senyumnya, dalam suaranya dan da-lam sentuhannya. Tanpa adanya seorang
wanita yang menyayanginya seperti itu, seorang pria akan selalu merasa kehausan dan
kekeringan, akan se-lalu merasa betapa hampa hidupnya. Pria dan wanita memang merupakan
dua keadaan yang sa-ling mengisi, saling melengkapi dan bersatunya ke-dua unsur Im dan
Yang inilah yang menciptakan kehidupan, keindahan, dan keserasian, seperti ma-tahari
dengan bumi. Adanya yang satu tanpa ada-nya yang ke dua adalah pincang, janggal, dan tidak
lengkap. Dan ketimpangan ini, kesepian dan ketidaklengkapan ini mulai terasa mengganggu
batin Cin Liong semenjak dia gagal dalam hubungan cinta kasihnya dengan wanita, pertama
dengan se-orang pendekar wanita bernama Bu Ci Sian, ke-mudian kedua kalinya dengan
Suma Hui dan ke-gagalan yang kedua kalinya ini lebih parah! Tidak saja Suma Hui
memutuskan hubungan itu dengan tiba-tiba, bahkan dia kemudian mendengar bah-wa
pemutusan hubungan itu ditambah lagi dengan sebuah fitnah yang amat menyakitkan hatinya,
yaitu bahwa dia dituduh memperkosa Suma Hui!
Cin Liong mengubur jenazah Liok Bwee de-ngan kedukaan yang mendalam, kemudian dia
melapor kepada kota yang berdekatan, kepada komandan kota itu sebagai seorang panglima
muda agar komandan itu suka mcngerahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat para
anggauta gerombolan Eng-jiauw-pang. Dia sendiri lalu me-lanjutkan perjalanan menuju ke
Thian-cin untuk mencari Suma Hui!
Biarpun dia seorang pendekar sakti yang sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan
bahkan ancaman-ancaman nyawa sehingga batin-nya tergembleng dan dia memiliki
ketabahan yang jarang dimiliki pendekar lain, namun ketika dia memasuki pekarangan rumah
keluarga Suma, jantungnya tetap saja berdebar tegang dan hatinya tidak urung merasa gelisah
sekali. Dia telah men-dengar dari orang tuanya betapa orang tuanya te-lah mengalami
penghinaan dari keluarga ini, bah-kan hampir saja orang tuanya bentrok dengan ke-luarga ini.
Dan dia mendengar pula betapa dia telah difitnah, dituduh telah memperkosa Suma Hui. Hal
inilah yang harus dibereskannya dan di-bikin terang. Kalau toh keluarga Suma hendak
menolak pinangannya terhadap Suma Hui, hal itu adalah hak mereka. Akan tetapi kalau
mereka hendakmenjatuhkan fitnah bahwa dia telah memperkosa Suma Hui, hal ini tidak boleh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
393 dibiarkan saja dan dia harus menerangkan persoalan yang amat gawat ini. Di sepanjang
perjalanannya me-nuju ke Thian-cin, tiada hentinya dia merenung-kan fitnah yang amat aneh
itu. Kiranya, keluarga seperti itu, keturunan langsung dari Pendekar Su-per Sakti, keluarga
Pulau Es yang terkenal itu, ti-dak mungkin menjatuhkan fitnah sembarangan sa-ja, apalagi
fitnah berupa kejahatan perkosaan! Akan tetapi, mungkinkah seorang dara seperti Suma Hui
itu berani atau sudi membohong" Kalau ia tidak benar-benar menjadi korban perkosaan, apa
artinya menuduh dia memperkosa" Benarkah gadis itn menjadi korban perkosaan" Ataukah
Suma Hui sengaja berpura-pura dengan pamrih lain di balik itu" Pamrih yang bagaimana"
Ka-lau benar terjadi peristiwa laknat itu, siapa orangnya yang akan dapat memperkosa
seorang dara seperti Suma Hui" Akan tetapi dia lalu teringat kepada Jai-hwa Siauw-ok. Datuk
sesat itupun pernah hampir dapat memperkosa Suma Hui kalau saja dia tidak muncul di saat
yang tepat! Pendeknya, apapun yang terjadi, dia harus me-nemui Suma Hui, menemui keluarga Suma
untuk menerangkan semua persoalan dan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
selalu mengganggu pikirannya itu. Ketila pelayan mem-persilahkannya duduk di ruangan
tamu sementara pelayan itu melaporkan kepada tuan rumah, Cin Liong duduk dengan hati
berdebar tegang. Apa yang harus dikatakannya kepada Suma Kian Lee dan isterinya kalau
mereka keluar menemuinya" Rasanya tidak patut kalau begitu datang dia lang-sung bicara
tentang hal yang merupakan aib bagi keluarga itu. Lalu, apa yang harus dikatakannya"
Bagaimana kalau begitu muncul, suami isteri sakti itu langsung menyerangnya" Haruskah dia
mela-wan" Akan tetapi dia teringat bahwa kini Suma Hui sadah menikah. Ah, itulah yang
dapat dijadi-kannya alasan. Dia datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan itu!
Langkah kaki tegap yang menuju ke ruangan tamu itu terdengar demikian kerasnya oleh Cin
Liong, menyaingi degup jantungnya. Dia sudah berdiri ketika daun pintu kamar tamu yang
menembus ke ruangan dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki setengah tua gagah
perkasa yang bukan lain adalah Suma Kian Lee. Sudah kurang lebih empat tahun dia tidak
bertemu dengan pen-dekar ini dan nampak oleh Cin Liong betapa waktu empat tahun itu
menambah usia sang pendekar seperti sepuluh tahun saja! Pendekar itu nampak jauh lebih tua,
rambutnya sudah hampir putih se-mua dan banyak garis-garis prihatin menghias mukanya,
menjadi keriput-keriput mendalam. Matanya yang lebar itu masih tenang seperti dulu, juga


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tajam, akan tetapi ada bayangan duka di balik ketenangannya. Pada saat itu, sepasang
mata itu terbelalak membayangkan kekagetan sehingga mengherankan hati Cin Liong yang
sudah cepat menjura dengan sikap hormat.
"Kao Cin Liong....!" kata pendekar itu dengan suara jelas membayangkanrasa kaget me-lihat
pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak disangkanya akan muncul di kamar tamunya.
"Engkau.... datang.... dengan maksud apa-kah...."
Memang sejak dari pertemuan dengan ayah bundanya, Cin Liong sudah membawa ganjalan
hati. Ayah bundanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, mungkin juga pcnghinaan
itu berlangsung di dalam ruangan tamu ini. Akan te-tapi dia datang bukan untukmelampiaskan
perasaan marah dan penasaran itu, melainkan untuk menjernihkan segala kekeruhan dan
menerangkan semua kegelapan dalam perkara itu. Maka dia masih bersabar walaupun alisnya
berkerut dan pandang matanya berkilat.
"Locianpwe, maafkan kalau kedatangan saya mengganggu. Saya datang untuk menghaturkan
selamat atas pernikahan bibi Suma Hui. Sayang saya sedang bertugas sehingga tidak dapat
meng-hadiri pesta pernikahan itu. Juga saya menyam-paikan ucapan selamat dari ayah dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
394 ibu." Cin Liong sengaja menyebut locianpwe agar tidak me-nonjolkan hubungan keluarga di
antara mereka, akan tetapi dia tetap menyebut bibi kepada Suma Hui mengingat bahwa gadis
itu telah menikah dan tidak enaklah kalau dia tetap menyebut adik se-perti biasa.
Akan tetapi, ucapan selamat dari Cin Liong ini terasa seperti pisau beracun menusuk hati
pende-kar itu. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan sepasang matanya menatap wajah
Cin Liong penuh selidik. Diapun lupa untuk mempersilah-kan tamunya duduk dan mereka
masih berdiri sa-ling berhadapan.
"Terima kasih," jawab Suma Kian Lee dengan suara lirih menahan perasaan yang bergolak.
"Lalu apa lagi keperluanmu mengunjungi kami?"
Kerut-merut di antara alis pemuda itu makin mendalam. Sungguh angkuh dan sombong
sekali orang ini, pikirnya. Beginikah sikap putera dari mendiang Pendekar Super Sakti" Tentu
saja dia tidak tahu bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Suma Kian Lee itu sungguh sama
sekali bukan sikap aselinya. Pendekar ini telah mengalami musibah, seteguh-teguhnya batu
karang seperti dia telah dilanda badai yang amat hebat sehingga membuat kekokohan
batinnya menjadi goyah.
"Memang ada lagi keperluan lain, locianpwe. Saya datang untuk membikin jernih kekeruhan
yang terjadi antara keluarga locianpwe dan ke-luarga kami."
"Bagus!" Suma Kian Lee berkata tegas dan mulutnya membayangkan senyum pahit.
"Seorang gagah harus menghadapi segala keadaan dengan sikap gagah pula. Engkau datang
karena merasa bahwa keluarga Kao telah menerima penghinaan dari keluarga kami?"
Kao Cin Liong mengangguk. "Setidaknya me-nerima perlakuan yang tidak semestinya kami
te-rima." "Bagus!" kembali pendekar itu berseru. "Mari kau ikut denganku, Kao Cin Liong!"
Melihat sikap yang tegas dan kaku itu, diam-diam di dalam hati Cin Liong sndah timbul
pena-saran dan hatinya semakin terbakar. Maka tanpa banyak cakap dia mengangguk dan
mengikuti tuan rumah itu yang berjalan melalui lorong di samping rumah, menuju ke lian-bu-
thia (ruangan berlatih silat). Dia pernah mengunjungi rumah ini dan se-dikit banyak sudah
mengenal keadaannya, maka diapun hanya mengikuti saja dengan hati penasaran ketika tuan
rumah membawanya ke ruangan itu. Ruangan yang luas itu kosong dan keadaan amat sunyi,
membuat hati Cin Liong menduga-duga ke mana perginya anggauta keluarga lainnya.Kini
mereka berdiri saling berhadapan di lian-bu-thia dan Suma Kian Lee, aneh sekali, kini berseri-
seri memandang wajah pemuda itu. "Se-orang gagah akan menyelesaikan urusan dengan cara
yang gagah pula. Keluarga Kao telah mera-sa terhina oleh keluargaku dan engkau datang
un-tuk membuat perhitungan, itu sudah adil sekali. Dan aku sebagai orang yang bertanggung
jawab atas keluarga Suma, sudah berdiri di hadapanmu, siap untuk menebus kesalahan
dengan cara yang gagah pula. Kao Cin Liong, aku sudah siap, maju-lah!" Suma Kian Lee
memasang kuda-kuda de-ngan sikap yang gagah.
Cin Liong terkejut dan juga marah. Sungguh sombong, pikirnya. Akan tetapi dia masih ingat
bahwa sungguh amat tidak baik menanam permu-suhan dengan keluarga Suma, apalagi kalau
dii-ngat bahwa ibunya masih terhitang anggauta ke-luarga Pulau Es pula. Dia datang untuk
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
395 menjelas-kan perkara, untuk mencari kebenaran, bukan un-tuk menuntut keadilan dengan
membalas dendam.
"Akan tetapi, locianpwe, kedatangan saya bu-kan untuk berkelahi!" bantahnya.
"Kao Cin Liong, siapa yang mau berkelahi" Kita bertanding untuk membuat perhitungan
yang ada. Aku tahu bahwa engkau adalah putera Si Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau telah
memiliki tingkat kepandaian yang setanding dengan aku, maka akupun tidak malu untuk
menandingimu. Mari, aku sudah siap. Kecuali kalau engkau seo-rang penakut, nah, tak perlu
banyak cakap, pergilah."
"Locianpwe terlalu tinggi hati dan terlalu memaksa!" bentak Cin Liong marah.
"Memang! Majulah, orang muda!" Anehnya, suara pendekar ini semakin gembira.
Melihat betapa lawannya sudah memasang ku-da-kuda, Cin Liong yang tidak sudi disebut
pe-ngecut itu sudah menerjang sambil mengeluarkan teriakan peringatan. Hantamannya amat
kuat dan cepat, namun dengan indahnya serangan pertama itu dapat dihindarkan oleh Suma
Kian Lee yang juga memiliki gerakan yang mantap dan kuat. Su-ma Kian Lee mengelak
sambil membalas serangan dengan tidak kalah kuatnya, akan tetapi Cin Liong juga dapat
mengelak dengan cepat. Terjadilah se-rang-menyerang dengan serunya dan diam-diam kedua
orang pendekar tua dan muda ini saling agum akan kehebatan dan kegesitan lawan. Ilmu silat
mereka berbeda sekali, dari sumber yang berlainan, akan tetapi keduanya sama kuatnya, sama
indahnya dan sama mantapnya. Mungkin saja Kian Lee menang latihan dan menang matang,
akan tetapi Cin Liong yang menang muda itu ten-tu saja menang napas dan menang cepat
gerak-annya. "Lihat pukulan!" Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru setelah mereka bertanding lebih dari tiga
jurus dan hanya mengandalkan kecekatan mereka untuk saling mengelak dan saling
membalas. Kini pendekar Pulau Es itu mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang dan
menghantam dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh lawan. Cin Liong
terkejut, mengenal pukulan ampuh yang hawanya mengandung dingin luar biasa ini. Dia
sudah mendengar bahwa para pendekar Pulau Es memiliki dua macam ilmu andalan, yaitu
Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api),
maka merasa betapa dinginnya pukulan ini, dia dapat menduga bahwa ini tentulah pukulan
Tenaga Sakti Inti Salju itu. Diapun cepat mengerahkan tenaganya dan karena maklum bahwa
kekuatan lawan amat hebat, diapun tidak mau membahayakan dirinya dan langsung saja dia
mempergunakan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dengan mempergunakan tenaga inti bumi dalam
pengerahan tenaga Sin-liong-hok-te. Tubuhnya tiba-tiba menelungkup dan ketika pu-kulan
datang, diapun meloncat dan menerima pu-kulan kedua tngan itu dengan kedua telapak
ta-ngannya sendiri.
"Desss....!" Dua tenaga raksasa bertemu di tengah udara dan akibatnya, tubuh Cin Liong
terpental ke belakang sampai tiga tombak, akan tetapi sebaliknya Suma Kian-Lee terhuyung,
mukanya menjadi pucat dan mulutnya mengeluarkan sedikit darah segar!
Cin Liong terkejut bukan main. Dia tidak me-rasa terluka walaupun tubuhnya terlempar, dan
kini dia menghampiri lawannya, bermaksud untuk memeriksa kalau-kalau lawannya terluka
parah. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika kini Suma Kian Lee membentak lagi, "Lihat
pukulan....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
396 Sekali ini, pukulan pendekar Pulau Es itu mem-bawa hawa yang panas dan tahulah Cin Liong
bahwa pukulan ini tentulah Hwi-yang Sin-ciang. Maka diapun cepat mengumpulkan
tenaganya dan menerima pukulan itu dengan kedua telapak ta-ngan. Untuk mengelakkan
pukulan sakti seperti itu jauh lebih berbahaya lagi.
"Blaarrr....!" Cin Liong terlempar lagi dan terbanting keras, seluruh tubuhnya terasa panas
dan dia terkejut bukan main. Akan tetapi hanya kepalanya yang terasa pening dan dia bangkit
kembali, menggoyang-goyangkan kepalanya meng-usir kepeningan, dan ketika dia
memandang, dia melihat lawannya berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang dan dari
mulutnya mengalir darah segar lebih banyak lagi. Dan pendekar tua itu tersenyum!
"Bagus! Tidak memalukan engkau menjadi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau
memang pantas mencuci penghinaan atas nama keluargamu. Aku tidak malu roboh di
tanganmu. Mari lanjut-kan....!" Dan Suma Kian Lee sudah melangkah maju lagi walaupun
terhuyung-huyung.
Cin Liong kebingungan. Dia tahu bahwa lawannya terluka parah. Akan tetapi, lawannya
ma-sih hendak menyerang lagi, maka terpaksa diapun cepat memasang kuda-kuda dengan
waspada ka-rena maklum bahwa para pendekar Pulau Es me-rupakan gudang-gudang ilmu
silat tinggi yang amat hebat.
"Kao Cin Liong, terimalah seranganku!" kata Suma Kian Lee, akan tetapi pada saat dia
melang-kah maju, siap menerjang, terdengar jeritan nya-ring.
"Tahan....!" Dan sesosok bayangan meluncur datang, lalu memeluknya dari belakang.
"Suamiku, apa yang kaulakukan ini" Ya Tuhan.... engkau.... engkau terluka....!" Wanita itu
adalah Kim Hwee Li yang segera memapah suaminya diajak duduk di atas bangku di sudut
ruangan yang luas itu.
Ditangani isterinya, Kian Lee tidak banyak membantah. Diapun segera duduk bersila di atas
lantai seperti yang diminta isterinya dan Kim Hwee Li sudah menempelkan kedua tangannya
ke dada suaminya.
"Kao Cin Liong, ke sinilah dan bantu aku mengobati suamiku. Cepat!" kata wanita itu.
Cin Liong cepat menghampiri. Biarpun dia bi-ngung sekali, akan tetapi dia tidak ragu-ragu
untuk cepat duduk bersila di belakang kakek itu dan menempelkan kedua telapak tangannya
ke punggung Kian Lee sambil mengerahkan sin-kang perlahan-lahan. Diapun tahu cara
pengobatan dengan sin-kang untuk menyembuhkan luka sebelah dalam tubuh orang. Setelah
diobati oleh pengerahan sin-kang kedua orang itu, akhirnya wajah Kian Lee menjadi merah
kembali dan pernapasan-nya menjadi tenang dan pulih. Dia menarik napas berkali-kali lalu
berkata, "Sudah, cukuplah...."
Kim Hwee Li melepaskan tangannya dan ditu-rut pula oleh Cin Liong yang cepat bangkit
berdiri mundur beberapa largkah, menanti dengan sikap hormat. Kim Hwee Li mengajak
suaminya bang-kit duduk di atas bangku dan nyonya itu setelah memandang wajah suaminya
dan Cin Liong ber-ganti-ganti, lalu membanting kakinya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
397 "Suamiku ini semakin tua semakin bandel dan keras kepala!" Lalu nyonya itu menangis,
meng-usap air matanya dengan punggung tangan. Meng-harukan sekali melihat nyonya ini
menahan tangis-nya seperti anak kecil yang sedih sekali.
Suma Kian Lee kembali menghela napas. "Isteriku, kenapa engkau tidak membiarkan aku
mati terhormat seperti orang gagah" Apa artinya hidup akan tetapi menanggung malu dan
telah melaku-kan kesalahan memalukan yang besar sekali ter-hadap keluarga Kao" Aku
hanya akan menjadi bahan ejekan orang saja." Kedua mata pendekar ini menjadi basah dan
beberapa kali dia memejam-kan mata untuk nenahan runtuhnya air matanya.
Dengan air mata masih menetes di sepanjang pipinya, Kim Hwee Li bangkit berdiri dan
mene-puk dada, membanting kakinya. "Hendak kulihat siapa orangnya yang berani mengejek
suamiku! Ingin kulihat siapa berani! Siapa....?" Ia menantang-nantang seolah-olah di
depannya berdiri seluruh manusia di dunia yang berani lan-cang mengejek suaminya yang
dicintanya sepenuh hati. Diam-diam Cin Liong kagum melihat nyonya ini dan dapat
merasakan besarnya cinta yang terkandung dalam dada nyonya itu terhadap suaminya.
"Maaf.... ji-wi locianpwe.... sesungguhnya saya menjadi bingung sekali.... saya datang untuk
menjernihkan suasana, akan tetapi kiranya malah diterima salah dan kalau kedatangan saya
hanya makin mengeruhkan keadaan, harap sudi memberi penjelasan dan saya bersedia untuk
min-ta maaf," katanya merendah.
Kim Hwee Li menarik napas panjang. "Duduk-lah Cin Liong. Suamiku ini memang keras
kepala dan keras hati pula. Dia sedang dalam keadaan sakit yang cukup parah karena
guncangan batin. Dia tahu akan keadaannya itu maka agaknya me-nantangmu agar dia dapat
mati di tanganmu.?"Locianpwe....!" Cin Liong berseru terke-jut sekali sambil memandang
kepada Suma Kian Lee. Jadi itukah gerangan sebabnya mengapa pen-dekar itu menantangnya
dan membiarkan dirinya terluka dalam pertemuan tenaga sakti" Kiranya sedang menderita
sakit sehingga lemah dan men-cari kesempatan tewas dalam pertandingan itu! Dia bergidik.
Tanpa disadarinya hampir dia menjadi pembunuh orang yang sedang lemah dan sakit!
"Apa.... apa artinya semua ini?"
Suma Kian Lee menarik napas panjang dan memandang pemuda itu. Kemuraman dan
kedu-kaan membayang di wajahnya, sungguh berbeda dengan tadi ketika menghadapi maut,
wajah pen-dekar itu berseri gembira. "Kami telah menghina keluarga Kao, bahkan telah
menjatuhkan fitnah keji atas dirimu yang ternyata tidak berdosa. Aku merasa malu sekali.
Maka ketika engkau datang, mewakili keluargamu, sungguh kebetulan bagiku karena aku
dapat menebus dosaku itu. Kekuatan kita seimbang, akan tetapi aku sedang sakit dan kalau
aku tewas di tanganmu dalam sebuah per-tandingan yang adil, aku.... aku tidak perlu malu
bertemu dengan ayah bundamu...."
"Tapi, locianpwe. Kami sekeluarga sama sekali tidak mendendam atas perlakuan ji-wi
locianpwe sekeluarga karena ayah juga merasa yakin bahwa ada sesuatu di balik semua itu.
Begitu saya kem-bali ke rumah, ayah dan ibu menegur saya tentang.... eh, tentang....
perkosaan yang katanya saya lakukan. Karena itulah saya penasaran, locianpwe, dan ingin
membikin terang duduknya persoalan, bukan karena dendam oleh penghinaan itu. Kalau toh
ada penghinaan itu terhadap keluarga kami, tentu terjadi karena kesalahpengertian di pihak
locianpwe sekeluarga."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
398 "Memang sebenarnya demikianlah, Cin Liong. Ada salah pengertian besar di pihak kami
yang baru kami ketahui setelah terlambat...." kata Kim Hwee Li dengan suara berat.
"Akan tetapi, locianpwe, sebetulnya.... apakah yang telah terjadi dengan.... Hui-i (bibi Hui)"
Ji-wi locianpwe mengetahui perasaan saya terhadap Hui-i, dan maafkan kalau pertanyaan
saya itu terlalu mendesak, mengingat bahwa Hui-I kini telah menikah dengan bahagia...."
"Tidak! Dia.... dia.... ahhh...." Suma Kian Lee tidak melanjutkan kata-katanya dan menunduk
dengan muka muram.
Cin Liong menatap wajah pendekar itu, lalu menoleh kepada isteri pendekar itu. Akan tetapi
keduanya tidak melanjutkan keterangan mereka dan nampaknya berat sekali untuk bicara.
Akhir-nya Kim Hwee Li berkata, "Cin Liong, kami tidak dapat memberi tahu kepadamu...."
Cin Liong menunduk, merasa terpukul hatinya. Dia seperti diingatkan bahwa dia bukanlah
apa....apa, bukan keluarga dan tentu saja tidak berhak bertanya-tanpa tentang diri Suma Hui.
Dia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berat, "Maaf.... saya telah bersikap
lancang...."
"Tidak, Cin Liong. Engkau telah kejatuhan fitnah, biarpun kini kami mengaku telah salah
pa-ham menjatuhkan fitnah keji, namun engkau ber-hak mengetahui apa yang telah terjadi
maka sam-pai kami menuduhmu. Akan tetapi.... karena hal ini menyangkut pribadi Hui-ji,
maka sebaiknyalah kalau engkau mendengarnya dari mulutnya sendiri, kalau ia mau
menceritakan...."
"Tapi.... tapi.... Hui-i sudah...."
"Temui saja ia, Cin Liong," kata wanita itu. "Ia sedang berlatih di telaga kecil sebelah barat
di luar kota ini. Temuilah saja dan lihat saja per-kembangannya nanti."
Cin Liong sudah tahu di mana letaknya telaga kecil itu. Dia lalu memberi hormat kepada
kedua orang tua itu, kemudian tanpa bicara lagi dia lalu keluar dan berlari cepat keluar dari
kota Thian-cin menuju ke barat, ke arah telaga itu, tanpa memperdulikan orang-orang yang
memandang heran melihat seorang pemuda berlari-lari secepat itu.
Seorang gadis dan seorang pemuda sedang berlatih silat di tepi telaga kecil itu. Latihan
me-reka sungguh akan mentakjubkan orang yang me-lihatnya. Akan tetapi tempat itu sunyi
dan sean-dainya ada orang yang melihatnya, kiranya kedua orang muda itu tidak akan
melakukan latihan di tempat itu. Tadinya mereka berlatih silat tangan kosong, saling serang
dengan hebatnya dan dari sambaran kedua tangan mereka, ada hawa pukulan yang amat kuat
menyambar-nyambar, menimbulkan angin pukulan yang membuat pohon di seki-tar tempat
itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kadang-kadang pukulan mereka itu
mengeluarkan bunyi bercicitan, bahkan ada kala-nya pukulan mereka mengeluarkan uap yang
dingin sekali, kemudian berganti menjadi uap yang luar biasa panasnya! Keduanya sama
tangkas, sama cepat dan pukulan-pukulan mereka sungguh menggiriskan hati siapa yang
melihatnya. Setelah berlatih silat tanqan kosong, saling serang sampai seratus jurus lebih,
mereka beristirahat sebentar, kemudian mereka berlatih di tepi telaga. Bergan-tian mereka
mengirim pukulan-pukulan ke arah air telaga dan bukan main hebatnya pukulan itu. Pukulan
yang mengandung hawa dingin aneh se-kali sampai air yang terlanda pukulan mereka
men-jadi beku seperti salju dan es! Kemudian, dengan pukulan yang hawanya panas mereka
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
399 mencairkan kembali gumpalan-gumpalan salju itu, bahkan nona itu memasukkan lengannya
ke air, menggerakkannya dengan pengerahan tenaga, mengirirn getaran-getaran melalui
tangannya dan air di sekeliling lengannya menjadi panas!
Mereka itu adalah Suma Hui dan Suma Ciang Bun, dua orang putera dan puteri pendekar
Suma Kian Lee. Seperti telah kita ketahui, Suma Kian Lee merasa menyesal bukan main akan
aib dan musibah yang menimpa diri puterinya, merasa me-nyesal bahwa dia telah salah pilih,
telah menaruh kepercayaan yang amat besar kepada seorang pemuda seperti Louw Tek Ciang
yang kemudian ternyata adalah seorang penjahat cabul murid Jai-hwa Siauw-ok! Dia bukan
hanya mempercayai pemuda itu, bahkan telah mengambilnya sebagai murid, sebagai ahli
waris ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es dan juga telah memilihnya sebagai man-tu! Setelah
diketahuinya bahwa pemuda bejat ahlak itu seorang penjahat licik yang telah mem-perkosa
Suma Hui kemudian menggunakan nama Cin Liong untuk menjatuhkan fitnah, Suma Kian
Lee baru sadar akan kebodohan dan kekeliruan-nya. Dia melarang kedua orang anaknya
melaku-kan pencarian. Louw Tek Ciang sudah terlampau lihai bagi mereka, apalagi di
sampingnya masih terdapat seorang datuk sesat seperti Jai-hwa Siauw-ok! Maka, dia lalu
menggembleng kedua orang anaknya itu siang malam tanpa mengenal lelah. Dua orang muda
itupun berlatih dengan amat te-kunnya sehingga lewat dua tahun saja, mereka yang memang
sudah mempunyai dasar ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, telah menguasai kedua Ilmu Hwi-
yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang amat hebat itu.
Sejak mengalami peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya, yaitu pemerkosaan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap dirinya yang disusul dengan guncangan-guncang-an lain, Suma Hui kini nampak
matang dan ada garis-garis penderitaan di ujung bibir dan ujung matanya. Usianya baru dua
puluh dua atau dua puluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan lebih matang. Ia telah
digembleng pergalaman-penga-laman yang amat mengguncangkan batinnya. Pe-merkosaan
atas dirinya merupakan aib yang hebat, akan tetapi persangkaan yang sudah yakin bahwa
pemerkosanya adalah Kao Cin Liong, pemuda yang dicintanya, benar-benar menghancurkan
batinnya dan membuat ia hampir putus asa. Kemudian, se-mua ini masih d susul lagi oleh
peristiwa keribut-an antara keluarganya dan keluarga Kao, dan yang kemudian sekali,
kenyataan bahwa pemerkosanya ternyata sama sekali bukanlah Kao Cin Liong me-lainkan
Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suhengnya dan juga suaminya sendiri, benar-benar
merupakan pukulan terakhir baginya. Pukulan terakhir ini melandanya dengan perasaan-
perasa-an yang bercampur aduk. Ada rasa girang bahwa pemuda yang dicintanya, Kao Cin
Liong, ternyata bukanlah seorang jahat dan sama sekali tidak melakukan perbuatan laknat itu!
Rasa girang ini bercampur rasa penyesalan besar sekali karena ia telah menuduh pemuda itu,
menuduhnya dan ham-pir membunuhnya, bahkan menuduhnya di depan orang tuanya yang
mendatangkan penghinaan ke-pada keluarga Kao! Di samping rasa girang dan sesal yang
hampir tak tertahankan olehnya ini, ada lagi rasa marah dan dendam yang berkobar-kobar
terhadap Louw Tek Ciang! Dendam inilah yang membuat Suma Hui berlatih dengan amat
tekun-nya, tidak ingat waktu, tidak mengenal lelah, seo-lah-olah tujuan hidupnya hanya
tinggal belajar silat sepandai-pandainya untuk kemudian mencari dan membunuh Louw Tek
Ciang si jahanam!Suma Ciang Bun juga berlatih dengan sama giatnya. Bukan saja karena
semangat belajar enci-nya itu menular kepadanya, akan tetapi juga pe-muda ini mengalami
ketegangan dan guncangan batin karena konflik-konflik yang terjadi di dalam dirinya sendiri.
Melihat kelainan yang melanda batinnya, Ciang Bun menjadi gelisah sekali. Encinya
merupakan orang pertama, bahkan satu-satu-nya orang yang dipercayanya dan yang
mengetahui keadaan dirinya. Akan tetapi encinya juga bingung dan tidak mampu
menolongnya, bahkan tidak mampu memberi nasihat sehingga Ciang Bun lalu mencari
pelarian dalam berlatih mati-matian. Dengan melatih diri mati-matian tanpa mengenal lelah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
400 itu, sedikitnya dia dapat melupakan kegelisahannya dan karena dia tidak banyak bergaul,
maka kelainan itupun tidak terlalu mengganggunya.
Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini
berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah mencapai
tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja de-ngan latihan selanjutnya. Ayahnya
telah menuang-kan semua ilmunya kepada mereka, juga ibu me-reka. Saking besarnya
semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu
ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga
memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat
hebatnya itu dari ibunya. Bahkan, menurut petun-juk ibunya, gadis ini sudah berhasil
memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga
ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang
amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau
dipergunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat, akan tetapi Suma Hui ber-janji
bahwa ia akan mempergnuakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya
apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.
Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemu-da ini telah memilih ilmu yang diwarisi
ayahnya dari mendiang neneknya,
Hati Budha Tangan Berbisa 5 Bara Naga Karya Yin Yong Dendam Iblis Seribu Wajah 13
^