Kisah Para Pendekar Pulau Es 14

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga
Pulau Es, pemuda ini mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian,
dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang
harum baunya. Melihat betapa puteranya ini berbakat sekali ber-main pedang, ayahnya
memberi kepadanya sepa-sang pedang yang amat baik buatannya, dari baja murni dan pedang
itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang
Pedang Bunga Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang
dimasukkan dalam satu sarung, gagang-nya terukir indah dan dihias emas permata, juga
gagangnya diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada
da-sarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini amat disukanya.
Dari ayah-nya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat
(Ilmu Pedang Se-pasang Iblis).
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu.
Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat benar ketika
dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun. Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit
memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir
tidakdapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan
membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat
mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya
dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.
"Hui-moi....!" Jeritan hatinya ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.
Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia
sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biarpun teriakannya tadi tidak begitu
ke-ras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh kedua orang
kakak ber-adik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh
dan melihatnya.
Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika
melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
401 "Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini" Ah, engkau kurus benar!"
Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja
seperti te-lah berobah menjadi patung dan dia melihat be-tapa wajah gadis itu menjadi pucat
sekali. "Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ah, ilmu silatmu tentu sudah tinggi
sekali sekarang!" kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.
"Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kauberi petunjuk
padaku agar aku dapat melihat di mana letak ke-kurangan dan kesalahanku!" berkata
demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.
Melihat kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil tertawa
diapun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih dengan saling serang.
Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut sekali mendapat kenyataan betapa
kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga sin-kang yang menggerakkan lengan itu!
Diapun terseret ke da-lam kegembiraan dan bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia
mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali.
Sementara itu, Suma Ciang Bun iuga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan
keponakan yang amat dikagumi dan disu-kainya itu, melainkan karena kini dia memperoleh
kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia hanya dapat berlatih
mela-wan encinya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat mereka sama, maka tentu saja dia
menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu.
Akan tetapi, kini menghadapi Cin Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang
sungguh-sungguh. Dia harus berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini
merupakan latihan yang amat baik dan menarik. Serang-menyerang terjadi dan makin lama
Cin Liong semakin kagum. Tak disang-kanya bahwa selama beberapa tahun ini, Ciang Bun
telah memperoleh kemajuan yang demikian pesatnya dan memiliki banyak macam ilmu silat
yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas serangan, karena kalau dia hanya bertahan,
bukan tidak mungkin dia akan kalah oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah
bertanding atau berlatih sampai lima puluh jurus!
Suma Hui dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara
mendadak, ia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja ia melarikan diri atau
roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada saat pertemuan itu,
maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia mempunyai banyak kesempatan
untuk mengatur pernapasannya dan meredakan jantungnya yang bergelora tadi. Muka-nya
yang tadinya pucat sekali itu perlahan-lahan berobah merah dan kedua matanya terasa panas.
Ia menahan-nahan tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu. Betapa kurusnya muka Cin
Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu. Baru kini terbuka matanya
bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia
bertekad untuk mencari dan membunuh Cin Liong, hal itu bukan karena benci melainkan
karena kecewa mengapa pemuda yang dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan
kini" Ternyata pemuda itu sa-ma sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difit-nahnya!
Dituduhnya melakukan hal yang demi-kian kotor dan rendah! Baru kini ia merasa me-nyesal
sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang pendekar gagah perkasa
seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir, seorang panglima muda yang dipercaya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
402 kaisar, mau melakukan perbuatan serendah itu" Kenapa ia dahulu tidak bicara terang-terangan
saja dengan Cin Liong dan menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu"
"Cukup, paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!" Cin Liong meloncat ke
belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil tertawa
dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.
"Wah, setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu
mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu."
"Engkau terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat
menahannya," kata Cin Lion memuji.
Suma Hui kini melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan
Cin Liong yang cepat memberi hormat. "Hui-i, maaf-kan kalau aku datang mengganggu,"
katanya de-ngan suara gemetar.
Suma Hui tak mampu menjawab, hanya me-mandang dan dua titik air mata yang sejak tadi
sudah memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh
kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, "Bun-te, tinggalkan kami
sendirian...."
Ciang Bun mengangguk maklum dan pemuda inipun lalu pergi dan lari dari tempat itu.
Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, baru-lah Suma Hui memutar tubuh
menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar suara gadis itu
lirih, "Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?"
Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan hati
terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus mengetahui segala
yang ter-jadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak akan mengganggu, tidak berani,
karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri orang"
"Bibi Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami sekeluarga
kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka menyuruhku
bertanya kepadamu sendiri."
Suma Hui mengerutkan alisnya dan memejam-kan matanya sebentar untuk mengusir semua
ke-nangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Kemudian, ia melolos sepasang
pedangnya. Meli-hat ini, Cin Liong terkejut bukan main.
"Hui-i, kalau sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku
tidak akan melawanmu."
Sepasang mata itu terbelalak memandang, ke-mudian perlahan-lahan beberapa butir air mata
mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkan-nya ke dekat kaki Cin Liong dan suaranya
berbi-sik gemetar, "Cin Liong, aku telah bersalah kepa-damu, kepada keluargamu, dosaku
besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku, boleh kauper-gunakan pedangku yang
pernah kupakai menyerang dan melukaimu dahulu itu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
403 "Hui-i...." Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan
melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada
pemiliknya. "Mengapa begitu" Simpanlah kembali pedangmu...."
Akan tetapi Suma Hui tidak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan iapun menjatuhkan
dirinya, bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua pundaknya
saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari ta-ngannya yang menunjukkan
bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.
Cin Liong berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin dia
menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingat-an bahwa wanita ini adalah isteri orang lain
me-nahan gelora hatinya.
"Hui-i.... harap jangan menangis. Di mana-kah.... eh, suamimu?"
Pertanyaan ini agaknya amat mengejutkan Su-ma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya,
muka-nya pucat dan matanya merah basah, kini meman-dang kepada wajah pemuda itu
seperti orang, me-rasa heran dengan pertanyaan itu. "Engkau.... engkau belum mengetahuinya
dari ayah dan ibu-ku?"
"Belum. Ketika aku menghadap mereka, mere-ka hanya menyuruh aku menemuimu di sini
dan minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apa-kah yang telah terjadi" Aku merasa
bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian orang tuaku yang
datang meminang me-nerima penghinaan dan aku dituduh melakukan.... perkosaan. Apakah
artinya semua itu" Dan di mana adanya suamimu" Bukankah engkau telah me-nikah
dengan.... suhengmu sendiri itu?"
Menerima pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air
matanya saja yang menyatakan betapa hancur perasaan ha-tinya. Melihat keadaan wanita ini,
Cin Liong me-rasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul, mendekap kepala itu
dan menyembu-nyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan mengusap air matanya. Akan
tetapi dia tidak be-rani selancang itu terhadap wanita yang sudah bersuami. Dan diapun tahu
bahwa agaknya baru sekarang Suma Hui dapat melampiaskan perasaan-nya maka dia
membiarkan saja wanita itu mena-ngis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama bagi
wanita yang halus perasaannya, kadang-ka-dang tangis merupakan obat mujarab bagi
ganjal-an hati.
Akhirnya Suma Hui dapat meuguasai hatinya. Tangisnya mereda dan setelah menghapus air
ma-ta dengan ujung lengan bajunya yang menjadi ba-sah, iapun berkata, "Sudah sepatutnya
engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Mala-petaka telah menimpaku. Semua
dimulai pada ma-lam jahanam itu.... malam itu aku menjadi korban asap pembius yang
ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadan setengah sadar, aku.... aku menjadi
korban perkosaan orang.... dan dia.... dia menirukan suaramu. Karena ka-mar itu gelap dan
suara itu mirip benar dengan su-aramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa eng-kaulah yang
melakukan perkosaan terhadap diriku itu."
Suma Hui tak dapat melanjutkan kata-kata-nya dan menahan tangisnya sambil menghapus air
matanya yang kembali membanjir keluar.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
404 Cin Liong mengepal tinjunya. "Hemm, jadi be-nar-benar ada yang melakukan perbuatan hina
itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, kemudian ketika
orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari keluargamu. Aku tidak
merasa heran seka-rang. Akan tetapi mengapa engkau tidak mau ber-terus terang saja
menegurku waktu itu sehingga aku mengetahui duduknya persoalan, Hui-i?"
Suma Hui menunduk. "Aku begitu yakin bah-wa engkaulah orang itu.... maka kuanggap
ti-dak perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku.... sehingga aku....
aku bersumpah.... untuk membunuhmu!"
Cin Liong mengangguk-angguk. "Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tapi.... lalu bagaimana
engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemer-kosa biadab itu?"
"Dengarkan ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang...."
"Suhengmu?"
"Ya, ayah sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik sehingga ayah berkenan mengangkatnya
se-bagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu ke-luarga kami kepadanya. Tek Ciang
dengan sikap-nya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai bintang
penolong untuk menyela-matkan aku dari aib. Biarpun dia sudah diberitahu bahwa aku telah
diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk menjadi suamiku."
"Ahhh....!"
"Aku tidak suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa
aku hanya ingin menikah dengan orang yang dapat me-ngalahkan aku. Ayah telah tergelincir
oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi lihai sekali. Aku
pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki Pegunungan Himalaya, dengan
maksud untuk menantangmn dan mengajakmu bertanding sampai aku mati di tanganmu...."
"Hui-i....!" Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap
kem-bali air matanya.
"Karena mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali
ke timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah men-jadi lihai sekali. Kembali ayah mendesak
aku ten-tang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau menikah deugan
orang yang dapat mengalahkan aku."
"Dan dia dapat mengalahkanmu?" tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.
Suma Hui mengangguk. "Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku
terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai, dia dapat
kumin-tai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu...."
"Hemm.... wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?" Hati Cin Liong mulai tertarik sekali.
"Pernikahan dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang penting...."
"Sayang kami tidak dapat hadir...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
405 "Tentu saja keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena
kesalahanku...."
"Sudahlah, Hui-i, penyesalan tidak ada guna-nya lagi dan sebetulnya bukan karena
kesalahan-mu, atau andaikata engkau melakukan kesalahan, maka engkau melakukannya
tanpa kausadari. Lalu bagaimana?""Malam pengantin itulah yang membuka raha-sia busuk
itu! Seperti kukatakan tadi, ketika ter-jadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat
melihat wajah pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu,juga
cara bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Akan tetapi ada satu hal lagi yang
menjadi rahasiaku, tidak kuberitahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara kebetulan
dalam keadaan setengah sadar itu aku menyentuh punggung jahanam itu dan aku
mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging...."
"Ah, makin menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau
melihat punggungku!" Tanpa menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan
membalik-kan tubuh, memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa ada
cacat benjolan da-ging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.
"Cin Liong, tanpa kauperlihatkan punggungmu, akupun kini sudah percaya, karena aku telah
menemukan orangnya."
"Ahhh...." Benarkah" Siapa si keparat itu?" tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi
bajunya. "Siapa lagi kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!"
"Hehh....?" Cin Liong yang sedang me-ngancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan,
matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tidak percaya akan
pendengarannya sendiri. "Apa.... apa maksudmu" Dia...." Suhengmu...., suamimu itu...."
Bagaimana pula ini?"
"Benar, dialah jahanam pemerkosa itu! Kebe-tulan aku melihat benjolan daging di
punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya dan malam pengantin itu berobah
menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali dan aku bukan
lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara ribut-ribut."
"Tentu dia sudah dapat dibekuk atau dibunuh!" kata Cin Liong penuh semangat.
"Sayang, dia yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain."-
"Siapa yang menyelamatkannya?"
"Kenalan lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru Tek
Ciang." Kembali Cin Liong terperanjat. "Jai-hwa Siauw-ok....?"
"Ya, dan munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa Jai-
hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu Pulau Es, yang
memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencela-kakan kami dengan cara lain.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
406 Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan Jai-hwa Siauw-ok yang
melepaskan asap pembius, kemudian Tek Ciang yang melakukan pemerkosaan dan menyamar
seperti engkau, tentu dengan mak-sud untuk mengadu antara keluarga Suma dengan keluarga
Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami memusuhi keluargamu.... aku telah bersikap bodoh
sekali...."
"Di mana jahanam itu sekarang?" Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya berobah
merah. "Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!"
"Tidak perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah
mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku sendiri
yang akan mencari jahanam itu!"
"Hui-moi.... sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi...."
Mendengar suara yang menggetar itu dan men-dengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi
pucat lalu berobah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia memandang kepada
laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.
"Cin Liong.... maafkan.... kaumaafkan aku...." ratapnya.
"Hui-moi....!" Cin Liong melangkuh maju dan menubruknya, merangkuluya dengan hati


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang penuh rindu. Seperti tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima
siraman hujan, Suma Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong
sambil menangis se-senggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka
hanya saling dekap dan saling rangkul, Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap
rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.
Tiba-tiba Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya,
memandang dengan mata terbelalak. "Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku.... aku sudah tidak
berharga untukmu, Cin Liong....!" Dia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua ta-ngan.
"Hui-moi, jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apapun yang telah dan akan
terjadi!" kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul lagi.
Akan tetapi Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, "Tidak,
engkau jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamah-ku, Cin Liong. Aku sudah kotor
dan tidak berhar-ga lagi. Aku bukan perawan lagi...."
"Hushh, anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan hanya mencinta
ke-perawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan ka-rena kesalahanmu. Aku tetap cinta
padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku cinta
padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu...."
"Tidak, Cin Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia,
disaksi-kan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek Ciang!
Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!"
"Ah, kalau engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas ikatan, ikatan pernikahan
dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
407 "Jangan berkata demikian, Cin Liong. Aku.... aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang tidak
berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, kalau engkau masih sudi menerimaku...."
Cin Liong menangkap tangan wanita itu, dike-palnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka
saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan itu. "Hui-moi,
aku akan membantumu...."
"Tapi, engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu."
"Tidak, aku akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku
meng-ambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan, agar
engkau tidak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan urusan dan
keadaan orang lain."
Suma Hui tersenyum melalui air matanya. "Ah, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin
Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya" Aku telah ternoda
dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku telah melakukan
penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah meni-kah dengan orang lain.
Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti sudah merupa-kan suatu berkah
bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah merupakan suatu kemurahan darimu. Mana
mungkin semua ini ditambah lagi dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai
isterimu. Ah, terlalu langka dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu...."
Suma Hui lalu lari meninggalkan Cin Liong, sambil menangis.
"Hui-moi....! Hui-moi....!" Cin Liong mengejar.
Akan tetapi baru beberapa jauhnya dia menge-jar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya.
"Cin Liong, jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima
dengan te-nang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun, biarlah
kebahagiaan men-datanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba dan dipaksakan,
bahkan berbahaya bagi batinnya."
Cin Liong menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini.
Dalam beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi de-wasa dan matang, dan diapun
melihat adanya ba-yangan duka di wajah yang tampan itu. Akan te-tapi dia tidak tahu entah
apa dan mengapa.
"Aku hanya ingin membantunya meucari dan membalas dendam kepada musuh besarnya,"
ka-tanya."Si jahanam Tek Ciang?" Suma Ciang Bun tersenyum pahit. "Sejak semula aku
tidak suka ke-pada orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah,
penyesalan tiada guna-nya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu
keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biarpun demi-kian, enci Hui
dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah urusan pribadi. Urusan
dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan lakukan itu dengan berterang, Cin
Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia
mengangkat kembali kehormatannya dengan membalas dendam kepada orang yang
merenggutnya. Dan akulah satu-satunya orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap
dan sudah bersepakat akan mulai pergi mencari musuh itu besok pagi."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
408 Bersama Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee
dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu berkata,
"Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i, telah mendengar akan semua
yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya,
untuk sekali lagi mengajukan pinangan terhadap diri Hui--moi, untuk menjadi isteri saya."
Sungguh ucapan ini sama sekali tak pernah di-sangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li.
Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan seje-nak dia memejamkan mata sambil
menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hati-nya. Pernah ada seorang
pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walau-pun sudah
mendengar bahwa gadis itu sudah di-perkosa orang. Akan tetapi ternyata pemuda itu, Louw
Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi pemerkosanya sendiri. Akan
tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pende-kar besar, seorang panglima muda yang
berkedu-dukan tinggi, kini mau menerima Suma Hui seba-gai isteri, setelah mendengar Suma
Hui diperkosa orang, setelah menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar
diterima dan dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang
berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.
"Tapi.... tapi.... kami telah...." katanya gagap dan isterinya menolongnya.
"Cin Liong, kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi
mengulang kesalahan yang sama. Urusan perni-kahan Suma Hui adalah urusan pribadinya,
oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencinta-nya seperti yang kupercaya
sepenuhnya, bicarakan-lah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju, kami berduapun akan
menyetujuinya dengan penuh kebahagiaau hati."
"Saya sudah bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil
memba-las dendam kepada musuh besar itu."
"Kalau begitu, tidak ada persoalan lagi!" kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.
"Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini
dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami seke-luarga," akhirnya Suma Kian Lee berkata
dengan hati lega.
Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yaug agaknya
sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya
dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka diapun berpamit dari keluarga Suma
dan lang-sung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya,
kemudian akan menyusu1 dan membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang
dibantu oleh datuk sesat.
Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang
tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari
jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.
*** Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
409 Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang
di-gembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia
memang berbakat baik sekali dan juga amat suka mempelajari ilmu silat. Otaknya cerdas dan
dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukarpun. Kekuatan
ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepada-nya, baru berulang dua kali
saja sudah dapat diha-falnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal
mematangkannya dalam latihan saja!
Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga
memi-liki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan
penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan
menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan
kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa
sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka diapun
mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lem-bah Sungai Ceng-ho di
Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar se-hingga jarang
didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari Hek-i
Mo-ong mencurahkan seluruh perha-tiannya untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap
tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya
Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong se-bagai seorang datuk sesat, sedangkan
dia mengang-gap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa
cinta dari kakek itu ter-hadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang
dan kasihan kepadanya. Me-lihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-pa-yah
mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng
Liong kadang-kadang merasa terharu juga. Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya.
Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat be-kerja di ladang, juga setiap hari mencari ikan
untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Wak-tu kosong mereka selalu diisi dengan
latihan-la-tihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu,
Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh
tinggi besar, de-ngan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan
senyumnya mengandung kebe-ngalan kanak-kanak.
Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepa-da Ceng Liong sehingga dia bukan hanya
menga-jarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mujijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk
Tulang) dau Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu
berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggu-naan kedua ilmu ini, Ceng Liong
telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-
ong telah berusia delapan puluh tahunan. Ilmu silat kipas yang me-ngandung kekuatan sihir
dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tidak mau mencon-toh gurunya dalam
memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang
yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang. Di sam-ping
mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang
suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi
petun-juk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka diapun ha-nya dapat memperdalam beberapa ilmu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
410 silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-
coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti
Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia
tidak berhasil meugu-asai kedua ilmu ini.
Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya
be-sar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan ting-kat kepandaiannya sudah hebat, bahkan
Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalah-an kalau berlatih melayani muridnya
ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan
muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nam-pak serius sekali.
"Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?"
Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran, ingin tahu apa yang tersembunyi
di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, "Mungkin antara lima dan enam
tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?"
"Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan
tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku
khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpe-jam sebelum aku dapat
menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarangpun aku sudah mulai merasa
betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek,
sedangkan musuh besarku itu memiliki ke-pandaian yang hebat."
Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan
gurunya itu. Dan dia sendiripun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin
meninggal-kan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih
dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-
ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka
kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir,
yaitu menghadapi musuh besar ini.
"Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?" Tanyanya
langsung saja. Hek-i Mo-ong tertawa. "Heh-heh-heh, eng-kau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng
Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap
musuh besar itu. Ketika aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa
yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai menda-lam, pasti aku akan dapat
melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk
menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku
sangat mundur."
"Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?"
"Tidak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku
telah di-kalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan
merasa tente-ram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
411 Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulunya
terlalu mengagulkan diri, mengira bahwa di dunia ini ti-dak ada orang yang lebih pandai
daripadanya, dan karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa
penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.
"Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan
membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku
tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu."
"Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari
Pen-dekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan
merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan
bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!"
Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya
dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman da-hulu. Akan tetapi, dia tidak perduli.
Siapapun ada-nya musuh besar gurunya itu, bukankah dia me-nyanggupi hanya untuk
membantu gurunya mene-bus kekalahan saja" Itupun kalau dia dan guru-nya akan sanggup
mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu! Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya
bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia menger-ti
bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi.
Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dia
tidak lagi be-rani memandang diri sendiri terlalu tinggi.
"Siapakah nama musuh itu, Mo-ong" Dan di mana tinggalnya?"
"Namanya Kam Hong dan dia tinggal di pun-cak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-
san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau eng-kau sudah siap membantuku, mari kita
berangkat hari ini juga."
"Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat."
Setelah berkemas dan membawa buntalan pa-kaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek
itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa
gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggal-kan tempat sunyi itu dan melihat
dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah
caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pe-dangnya, sebatang pedang
pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, ter-selip di pinggang dan
ditutupi jubah luarnya se-hingga tidak nampak menyolok. Adapun Hek-i Mo-ong sendiri,
seperti biasa, mengenakan pakai-an serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani.
Tubuhnya yang tinggi besar itu amat ku-rus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah
putih semua itu nampak kontras sekali dengan ba-junya yang hitam. Orang-orang yang
melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka
adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi me-nyangka bahwa kakek itu
adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik.
Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.Siapakah orang bernama Kam
Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu" Hek-i Mo-ong memang
orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha
pemberontakan yang lalu, yang menghancurkan seluruh harapan dan ambi-sinya, dia sama
sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi rupa-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
412 rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yalah kekalahan. Dia tidak pernah da-pat
melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat,
jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah
kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi
pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapapun. Akan tetapi, di
antara kekalah-an-kekalahannya yang hanya dapat dihitung de-ngan jari tangan itu, dia sukar
untuk dapat melu-pakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru
saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.
Para pembaca kisahSuling Emas Dan Naga Siluman tentu masih mengenal siapa pendekar
Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah ketu-runan terakhir dari Pendekar Suling Emas
dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara
kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemu-kan dan mewarisi suling emas


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat. Pendekar
ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoi-nya sendiri karena
gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ke-tika mereka
berdua menemukan benda pusaka be-rupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga ke-duanya
berhak untuk mempelajarinya. Kisah me-reka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri
kisahSuling Emas Dan Naga Siluman .
Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak
Bu-kit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah
dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai
di Pegu-nungan Tai-han-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipim-pin sejak turun-menurun oleh
keluarga Yu. Ketu-runan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berju-luk Sai-cu Kai-ong (Raja
Pengemis Bermuka Si-nga). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu
Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya
dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap seba-gai
anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah
perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk
tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di
antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.
Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang
mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali de-ngan ibunya di waktu muda, baik
wajahnya yang bulat manis itu, maupun kelincahannya, kejenaka-annya dan keberanian atau
kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan
seadanya. Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia ham-pir lima
belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga
ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis
sehingga da-lam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai me-nulis sajak dan kepandaian lain
seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara
para penghuni dusnn di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya
Kam-siocia. Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia
selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi
biar sederha dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan be-lum nampak tua dalam usia
hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
413 sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi. Sepasang matanya
mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya.
Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-
ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek mo-yangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu
menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang di-percaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk
kemudi-an disampaikan kepada keturunan terakhir keluar-ga Suling Emas. Dari kakek bekas
pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat,
Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in. Selain ini, dia pernah
digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-
ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang tcrmasuk ilmu silat tingkat
tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di
Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan
pengerahan khi-kang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini
tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya,
gagah perkasa dan sukar ditandingi!
Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah
digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja
Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini ia memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu
pawang ular. Kemudian, ia masih memperoleh hadiah dari Pen-dekar Suma Kian Bu yang
melatih penggabungan sin-kang Im dan Yang kepadanya. Selain itu, Bu Ci Sian ini adalah
puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang amat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai
seorang pendekar besar yang banyak isterinya!
Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi
ilmu memainkan suling sebagai senjata. Ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut
(Il-mu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata
suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiripun telah dibuatkan
sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula mempergunakan
sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk
mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian
merdu. Demikianlah serba singkat tentang keadaan ke-luarga Kam yang tinggal di istana tua bekas
milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tidak pernah mendapat
gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka
menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia
ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di
sekeli-ling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya
besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perla-han-
lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu" Bukan hanya Hek-i Mo-
ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua
orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Dan mereka itu
bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Ba-gaimanakah dua orang jahat ini
dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
414 Seperti telah kita ketahui, Hek-i Mo-ong ber-hasil membujuk Ceng Liong untuk
membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Guru dan murid itu melakukan
perjalanan naik perahu menuju ke timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan
mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus
mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka
sendiri melanjutkan perjalanan de-ngan melalui darat, menuju ke utara, ke arah Pe-gunungan
Tai-hang-san yang sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-
hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar
hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan
lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ke-tika guru dan murid itu lewat di
depan kuil, men-dadak Ceng Liong menahan langkahnya dan me-mandang ke arah kuil
dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i
Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita berkata dengan suara memohon. "....aku
ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang...."
Ceng Liong makin penasaran, akan tetapi Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata,
"Cin Liong, perlu apa mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang" Hayo
kita lanjutkan perjalanan kita."
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan mengge-leng kepala. "Aku tidak ingin mencampuri
urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan
suaranya ber-duka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya." Dan pemuda inipun melangkah
mendekati kuil.
"Heh-heh, engkau cari perkara saja!" kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak
men-cegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar ketika muridnya memasuki
kuil tua itu. Ruangan depan kuil itu kator karena genteng-nya sudah banyak yang berlubang sehingga
ruang-an itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu
datang dari arah belakang. Ceng Liang terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia
tidak mau me-ngagetkan wanita yang sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika men-dengar suara laki-laki tertawa mengejek,
agaknya tertawa kepada wanita itu. "Kau ingin pulang" Pulang ke akhirat" Ha-ha, jangan
khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat kalau aku sudah bosan padamu!"
"Cici....!" Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
"Siauw-moi, bersabarlah....!" Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita inipun
menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong semakin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan
belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainyapun agak bersih. Ketika dia
melangkahi pintu tanpa daun itu masuk, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika
berobah merah karena malu. Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
415 yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki
ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan
wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang
gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang
mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu
menangis, akan tetapi tidak mela-wan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mere-ka yang
merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong
menjadi malu dau kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang
wa-nita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan
dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan me-nemukan pemandangan seperti ini,
tentn dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinyapun
menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk"
Biarpun usianya sudah hampir enam -belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat,
rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan
para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan
mata-nya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam
keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.
"Apakah yang sedang terjadi di sini?" Perta-nyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri,
bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya
mereka asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak
mem-perdulikan Ceng Liong. Ketika Ceng Liong menge-luarkan pertanyaan itu, pria muda itu
mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, me-noleh dan memandang kepada
Ceng Liong sambil tersenyum! Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak
menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka diapun menentang
pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itupun tercengang melihat
penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walaupun pakaiannya
menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.
"Eh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak da-pat menduga apa yang sedang terjadi di sini"
A-pakah engkau belum pernah melihat orang berma-in cinta" Setidaknya ayah ibumu sendiri"
Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?"
Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa
un-tuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi hanya mengeluarkan pertanyaan itu untuk
menu-tupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua
orang ga-dis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang
memandang kepada-nya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci
dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknyapun lenyap. Ada sesuatu yang tidak
wajar di sini, pikirnya. Orang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut
dan duka seperti itu!
"Aku tadi mendengar suara tangis dan orang minta pulang...." katanya lagi sambil menatap
wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan
berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
416 "Kamu hendak mencampuri urusan kami?" bentak orang muda itu, kini senyumnya
menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong...."
"Ha-ha-ha!" Tiba-tiba orang muda itu ter-tawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak
perduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang ti-dak tahu malu, seolah-olah di situ tidak
terdapat orang lain. Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, lalu menangis dan berkata,
ditujukan kepada Ceng Liong.
"Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik...."
Barulah Ceng Liong mengerti dan diapun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan
pemer-kosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik
Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar
mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda re-maja itu
menjadi marah, maka diapun tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Engkau
antar-kan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah le-bih dulu!" Tangannya bergerak ke
depan, ke arah Ceng Liong."Singgg....!" Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah
leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang
pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang dise-rang seperti
itu, tentu di lain saat dia sudah meng-geletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau
itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
"Huhhh!" Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari
te-lunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau ter-bang itu dengan gerakan yang sedemikian
tenang-nya seolah-olah apa yang dilakukannya tadi me-rupakan pekerjaan yang teramat
mudah! Kemu-dian, jari-jari kedua tangannya menekuk dan ter-dengar suara "krekk!" lalu
pisau yang sudah men-jadi empat potong itu dilemparkannya ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa
pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat
menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan
amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari,
kemudian mematah-matah-kan pisaunya itu seperti orang mematah-matahkan sebatang
ranting belaka! Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke
samping seperti orang membuang kain ko-tor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada
Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda rema-ja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara
lan-tang dia berseru, "Bocah setan, siapakah engkau" Berani engkau mencampuri urusan
pribadi kami?"
Ceng Liong tersenyum mengejek dan mengge-rakkan pundaknya. "Siapa mencampuri urusan
pribadi kalian" Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya.
Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
417 Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit
kepandaian menangkap dan mematahkan pisau se-demikian saja, tentu tidak akan membuat
dia men-jadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
"Setan cilik! Kau mau apa?"
"Setan besar!" Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli
melihat lagak orang di depannya itu. "Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu,
kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!"
Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bo-cah ini! Wajahnya menjadi merah saking
marah-nya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap
sedemikian kurang ajar kepadanya. "Keparat kau!"
"Jahanam kau!" Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia
tahu orang ini marah besar, dan justeru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang
suka menggoda orang timbul. "Eh, apakah bisamu ha-nya membikin susah wanita, melempar-
lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?"
Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya
kehabis-an akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan
menghantam de-ngan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong. "Mampuslah!" bentaknya
sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.
Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak. "Wuuutt!" Pukulan yang
mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget
melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari
pukulannya, sudah menyusul-kan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan ki-ni Ceng Liong
benar-benar terkejut. Dia menge-nal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun belum
dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan
Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar
pula untuk dielakkan, terpaksa diapun mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis
pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.
"Desss....!" Dua tenaga sin-kang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya
terpen-tal mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak
disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukul-annya dengan tenaga
yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya
seorang yang usil dan lancang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu
kesenangannya itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu
me-nahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga
memandang penuh perhatian dan diapun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu.
Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang
sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil. Maka Jai-hwa Siauw-ok
segera melakukan tin-dakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu
agar tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara mencicit seperti tikus ter-jepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu
yang sudah terlempar ke lantai. Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika karena
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
418 mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa
Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.
Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia
mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang
menyambar dan menghantamnya. Kini Tek Ciang mempergu-nakan pukulan Swat-im Sin-
ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali
dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Desss....!" Keduanya terpental lagi, tan-da bahwa keduanya memiliki tenaga yang
seim-bang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget
sekali. Gu-ru dan murid ini yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat
bergerak hen-dak maju berbareng.
"Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?" Dan muncullah
Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ru-angan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja
Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wa-jahnya berobah pucat.
"Hek-i Mo-ong....!" serunya dan seruan ini ditujukan kepada muridnya agar muridnya
me-ngenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu.
Dan Tek Ciang juga teringat akan cerita itu, maka pemuda inipun cepat melangkah mundur
dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
"Ah, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong" Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka
terja-di kesalahpahaman," kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.
Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-
ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai daripada Jai-hwa Siauw-ok.
Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiripun tidak kalah dibandingkan dengan
Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid ka-kek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau
ber-sahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan" Maka diapun
cepat men-jura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.
"Ah, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya
men-julang tinggi di angkasa dan sudah lama saya ka-gumi itu. Dan murid locianpwe yang
masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya
kepandaian locianpwe sebagai gurunya."Suasana penuh dengan ketegangan dan kege-lisahan
bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah me-ngenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa
dia pernah membantu Mo-ong dan ka-wan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau
Es dan dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis
cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi
Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya! Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul
perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua
yang cukup untuk mem-buat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu
saja dia tidak akan menye-rahkan nyawa begitu saja. Muridnya telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat daripadanya, dan dengan kepandaian
mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menan-dingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di
situ terda-pat murid Hek-i Mo-ong yang biarpun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal
ini membu-atnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tuhuhnya menegang dan dia sudah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
419 siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang
diduganya. Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk
besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut
nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu
terlalu besar. Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, lari menyelamatkan
diri sendiri tanpa memperdulikan kawan-kawan. Dan kini, Siauw-ok dan muridnya malah
berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok
itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan "menghukum" mereka. Akan tetapi,
sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.
"Siauw-ok, dia ini muridmukah" Sungguh murid yang baik sekali!"
Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mem-percayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong
tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Diapun merasa girang dan cepat
berkata, "Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!"
"Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalahpahaman tadi adalah
bi-asa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih."
"Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya."
"Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar dipertandingkan, engkau sendiripun tentu akan kalah oleh
dia. Akan tetapi, muridmu itupun bukan barang murahan. Siauw-ok, kenapa engkau dan
muridmu berada di sini" Apakah kebetulan saja" Ataukah ada hubungannya dengan puncak
Bukit Nelayan?"
"Bukit Nelayan...." Eh, Mo-ong, bagaimana.... bagaimana engkau bisa mengetahuinya....?"
"Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk
mencari Bu Ci Sian, bukan?"
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. "Agak-nya Mo-ong telah mengetahui segalanya."
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa "Tentu saja aku tahu. Coba kauingat di antara Im-kan
Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-
nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?"
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, "Dan kini Bu Ci Sian telah
menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan maka melihat engkau di sini bersama muridmu
yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu" Dan agaknya engkau
dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi
ilmu-ilmumu, melainkanjuga kebiasaanmu!" Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua
orang gadis belasan tahun itu.
Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. "Ah, hanya ke-senangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua
dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak
membalas dendam kematian guru-guruku."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
420 "Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan Jai-hwa Siauw-ok
menge-rutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu menter-tawakannya, akan tetapi dia menanti
keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-
sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya mau-pun musuhnya. Dan
memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang diawali suara ke-tawa mengejek ini.
"Dan engkau bersama murid-mu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk
mati konyol, ha-ha ha!"
Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bah-kan Louw Tek Ciang juga memandang tajam
de-ngan alis berkerut. Bagaimanapun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan
gurunya dan biarpun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak ber-hak memandang rendah orang
segolongan seperti itu.
"Harap locianpwe suka menjelaskan!" katanya penasaran, sementara itu, Ceng Liong sejak
tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis
itu. "Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah" Dan apa macam
sua-minya" Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!"
Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tidak perduli karena memang pemuda
yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama
Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam do-ngeng persilatan, lebih tua
daripada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok su-dah mendengar akan
nama Pendekar Suling Emas, maka dia terbelalak dan bertanya dengan suara terheran.
"Ah, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan
ta-hun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu" Ma-na mungkin Bu Ci Sian menikah dengan
dia yang sudah lama mati."
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gem-bira, tawa seorang yang merasa unggul dan
lebih tahu. "Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan
dengan ke-turunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu
kepandaian kelu-arga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, se-lain berhadapan dengan
Bu Ci Sian, juga akan ber-hadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai daripada
Bu Ci Sian."
Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pan-dang dengan muridnya. Hal ini memang sama
se-kali tidak pernah disangkanya. Menurut penyeli-dikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak
Bukit Ne-layan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama
sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai daripada
pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Diapun
mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah pasti
tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan sa-ja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat
pen-ting. "Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana" Barangkali kalian hendak
mencari.... eh, orang she Kam yang lihai itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
421 Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak gi-ginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga
mulutnya. "Ha-ha-ha, engkau cerdik seperti sri-gala! Memang benar, aku hendak membuat
per-hitungan pribadi dengan Kam Hong."
Kini mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya.
Ki-ranya Raja Iblis inipun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis
ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas.
Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk
diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan me-nyerbu puncak Bukit
Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi
isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka diapun
berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh
lebih muda kalau tertawa.
"Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang su-dah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi
sekutu dan sekawan dalam menghadapi apapun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya,
aku dan murid-ku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pe-kerjaan kita menjadi jauh
lebih ringan, bukan?"
Hek-i Mo-ong tertawa. "Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja.
Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merenca-nakan siasat yang baik...."
Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang
bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang
memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu
menggunakan ke-dua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah
menjadi cangkul baja saja ke-tika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan
menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat
hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah da-pat menggali tanah yang cukup lebar dan pan-jang.
"Eh, apa yang kaulakakan?" Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.
Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, "Mo-ong, aku
tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini." Dan diapun menggali
semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya.
Setelah lubang itu cukup besar, diapun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang,
lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang
yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cu-kup pantas.
"Ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!" Jai-hwa
Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.
"Jai-hwa-cat! Kau majulah dan kaucoba kelemahanku!" Tiba-tiba Ceng Liong membentak,
memasang kuda-kuda dan kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya
menco-rong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.
Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Peme-tik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah,
bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sa-ma dengan pengakuan dan pujian!
Bagaimanapun juga, andaikata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
422 terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam
ditantang oleh seorang muda.
"Hemm, orang muda, gurumu dan aku adalah sekutu yang sama-sama akan menghadapi
lawan tangguh. Tidak baik kalau urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan
kedudukan kita sendiri," katanya.
"Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan, bukan Jai-hwa
Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti
perempu-an!" Mo-ong sengaja balas menghina untuk me-redakan kemarahan Ceng Liong
yang dikatakan berhati lemah tadi. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan
Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walaupun Tek Ciang memandang marah mendengar
gurunya dimaki.
Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok
berbincang-bincang membicarakan musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan
antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Buki Nelayan itu
dengan mereka berdua. Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini
telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat dia
merasa penasaran sekali dan hati-nya takkan puas sebelum dia dapat membalas ke-kalahan
itu. Adapun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pende-kar
wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong. Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu
telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan
Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama
sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah guru-nya dan juga kekasihnya. Dendam kedua
orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan
untuk dapat membalas dendam (baca kisahSuling Emas dan Naga Siluman).
Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman
dahulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan mempunyai
anggauta-anggauta yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal.
Akan tetapi, walaupun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan
rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias
gambar-gambar lukisan dari ne-nek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi
sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah
pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah
keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah
menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, ju-ga keturunan
terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, kini telah menikah dengan seorang
pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk
memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum
mem-baca kisahSuling Emas Dan Naga Siluman , mari-lah kita menjenguk riwayat singkat
pendekar sakti ini.
Kam Hong adalah keturunan terakhir dari ke-luarga Suling Emas dan sejak kecil dia
diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh
terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
423 digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan diapun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu
Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu pendiri Khong-sim Kai-pang, yang
bernama Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya Tu-han menghendaki lain. Kam Hong dan Yu Hwi
yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling
bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan
menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk
menjodohkan mereka gagal. Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan
akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu
bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta
suling emas aseli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi,
yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong- sim Kai-pang dan
menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suami-nya tinggal di Lembah Naga
Siluman di Pegunung-an Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam
Hong yang dahulu menjadi tunangannya.
Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia
hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal
yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang
pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang
wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang
inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi
sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai
ma-tahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar.
Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergan-deng tangan mendaki puncak sebelah
timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang ce-rah itu. Kadang-kadang Bi Eng
ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk
latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat
dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut
bersama ayah bundanya. Ia sedang ber-latih silat seorang diri di taman bunga di samping
istana dengan asyikya. Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu
oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti
ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Seperti ayah
bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini terbuat dari


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas aseli di tangan ayahnya, seperti juga yang
dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat
dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh. Akan tetapi,
lambat-laun suling di tangannya ber-gerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara
melengking keluar dari suling itu dan bentuk su-lingpun lenyap berobah menjadi gulungan
sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin
nyaring, naik turun seperti melagu. Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus galungan
sinar emas, amat indah-nya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, em-pat pasang mata
memandang dengan penuh kagum. Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng
Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-
hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang
dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai
bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
424 Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, lalu duduk bersila di atas tanah mengatur
pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat
orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan
lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu, dan keluarlah suara suling
yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.
Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah
dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat
mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu
santai, melainkan meniup untuk melatih khi-kang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu
di antara keistimewaan ilmu keluarganya. Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi
Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu
suara yang mengandung getaran dan da-pat menyerang lawan! Empat orang itu cepat
mengerahkan sin-kang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi
semakin kuat menusuk-nusuk telinga.
Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu
berahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik
hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapapun adanya
gadis itu harus dia dapatkan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang
pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara
mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberitahukan
teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.
"Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?" tegur seorang di antara
para pembantu keluarga Kam.
"Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?" tanya Tek
Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya kepada Bi Eng yang kini sudah menghentikan
tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.
"Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau
memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai
mereka kembali dari jalan-jalan."
"Ha-ha-ha, kiranya hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!" kata Jai-hwa Siauw-ok.
Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia
mendengar kata-kata itu.
"Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku" Orang tuaku tidak mempunyai kenalan
orang-orang kasar seperti kalian!" katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan
menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat
bersikap berani, bengal dan galak.
"Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian" Bagus, mari ikut aku
berse-nang-senang, nona manis!" kata Tek Ciang dan mendengar kata-kata ini, melihat sikap
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
425 ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja hanya
memandang. Enam orang pelayan itupun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat
menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini ti-dak mengandung niat baik, maka rasa
setia terha-dap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang.
Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan
murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka. Sambil tertawa mengejek, Tek
Ciang menggerakkan ta-ngannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang
pelayan pria mencoba untuk meng-elak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja
sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka
terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika!
Empat orang ka-wan mereka terkejut dan marah. Mereka mencabut pedang dan menerjang
maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa
Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh
dengan kepala retak dan tewas seketika dalam beberapa gebrakan saja!
"Ha-ha-ha-ha!" Mo-ong tertawa bergelak. "Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang
di-didik Kam Hong" Ha-ha-ha!" Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya,
dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutu-nya. Ceng Liong mengepal tinju, akan
tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji
membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya. Dia
sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat
sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam. Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-
pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya"
Akan tetapi karena dia tidak mempu-nyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya meman-dang saja
dengaan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.
Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas soketika, Bi Eng
menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat
yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat daripada orang-orang biasa. Akan tetapi,
dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang
ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya
lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, iapun sudah menerjang ke depan dengan suling
emasnya. "Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda be-tina yang muda dan liar ini!" Tek Ciang berkata
sambil menyambut terjangannya. Akan tetapi, bu-kan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda
ini ke-tika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona, tiba-tiba
saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan
nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang! Nona itu dapat
menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat
menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia
tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya! Tadinya dia berniat
mempermainkan dara ini sebeluan menangkapnya dan mempermainkan sepuas hatinya. Akan
tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat
semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap seperti asap tipis dihembus angin.
Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mem-pergunakan seluruh
kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
426 yang luar biasa cepat dan kuatnya itu! Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan
suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa
bising dan bingung juga. Untung dia memiliki il-mu silat yang amat tinggi, telah digembleng
oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-
ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan
bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu. Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan
dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali
tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di
bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat
dan sukar diduga gerakan-gerakannya.
Hampir saja Ccng Liong berseru kaget ketika dia mengenal gerakan ilmu silat keluarganya
dima-inkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang berna-nna Tek Ciang itu. Bagaimanakah
penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im
Sin-ciang sedemikian mahirnya" Bahkan setiap kali bergerak, muncul-lah hawa panas sekali
atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar menguasai
kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu! Juga Hek-i Mo-ong diam-diam terkejut dan
kagum. Murid dari sekutunya be-nar-benar hebat dan tidak boleh dipandang ringan, mungkin
lebih hebat daripada gurunya. Sedang- Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga.
Tek Ciang adalah muridnya dan dia ta-hu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu
keturunan keluarga Pulau Es!
Akan tetapi, di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu
silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar emas, gadis
itu mampu membendung semua serangan balasan la-wan. Diam-diam gadis itu sendiripun
kaget be-tapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka iapun tidak mau kalah dan mengeluarkan
ilmu-ilmu simpanannya. Ilmu Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mujijat, akan tetapi ia
belum mengua-sai secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih selama
beberapa bulan. Kepan-daiannya dalam ilmu silat ini belum matang dan menurut ayahnya,
kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan yang lama dan tepat. Maka, iapun
mengeluarkan bermacam ilmu yang dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah
bunda-nya. Sulingnya berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang yang
langka di dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, Hong-in Bun-hoat dan
Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.
Karena merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan mengandalkan
ilmu silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan dia hendak mengadu tenaga. Dia
maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, akan tetapi dia tidak
percaya kalau dia kalah kuat. Bagaimanapun juga, lawannya hanyalah searang dara remaja!
Maka, ketika untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gu-lungan sinar emas
menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan ta-ngan kanan
menangkis dengan usaha menangkap itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Plakkk!" Telapak tangan Tek Ciang bertemu dengan suling. Jangankan menangkap,
telapaknya malah terasa seperti dibakar. Cepat dia mengerah-kan Hwi-yang Sin-kang untuk
melawannya, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, se-dangkan dara itu hanya
melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah bahwa dara itu lebih
kuat dalam tenaga sin-kang daripadanya! Sesungguhnya tidaklah demikian. Kalau saja Tek
Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang hampir setiap malam menghamburkan te-naganya
dengan mempermainkan wanita yang di-culik dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
427 bahkan mungkin lebih kuat dari Bi Eng. Akan te-tapi, dia malas berlatih, malah memboroskan
tena-ganya dengan perbuatan jahat menculik dan memperkosa wanita seperti yang dilakukan
pula oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Benturan tenaga sin-kang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat orang ini merasa
malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimanapun juga, sejak tadi masih belum ada niat di
dalam ha-tinya untuk membunuh atau mencelakai gadis ini. Ingin dia membuat gadis itu tidak
berdaya, mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia dapat lebih dulu mempermainkannya
sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi, sikapnya yang menga-lah ini bahkan hampir
mencelakakan dirinya sen-diri.
"Ciiiittt.... ciiittt....!" Tek Ciang menye-rang ganas dan kini tusukan-tusukan jari tangan-nya
yang mempergunakan Ilmu Kiam-ci (Jari Pe-dang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng
terkejut. Belum pernah ia melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak
dan tu-sukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya itu terbabat
putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan kelincahannya sambil membalas
dengan sulingnya.
Tiba-tiba Tek Ciang tergelincir dan roboh mi-ring. Kalau saja Bi Eng sudah berpengalaman
da-lam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering berhadapan dengan lawan dari
golongan sesat, tentu ia akan bersikap waspada karena ia tentu tahu bahwa golongan sesat
tidak segan mempergunakan siasat curang untuk memperoleh keme-nangan. Ia tidak mengira
bahwa Tek Ciang mem-pergunakan siasat itu. Maka sulingnya menyambar dalam
kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang pelayannya. Pada saat ia
menu-bruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan suara berkokok dan dia mendorongkan
kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil mengerahkan ilmu
pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Ilmu pukulan ini dahulu
merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok yang
berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui Ji-ok dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek
Ciang. "Desss....!"
Bi Eng yang sama sekali tidak pernah menyang-ka lawan yang sudah tergelincir itu akan
mampu melakukan pukulan sehebat itu, terlanda pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya
terpelanting roboh dalam keadaan pingsan! Memang kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang
itu adalah cara penggu-naannya dari bawah, dari dalam keadaan rebah miring atau
berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu pukulan ini dilakukan dan Bi Eng yang roboh
pingsan itu mukanya berobah agak kehijauan ka-rena ia telah terkena pukulan beracun amat
hebat. "Tolol kamu....!" Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang cepat
melang-kah mundur dengan muka pucat. Biarpun dia te-lah berhasil, akan tetapi pukulannya
tadi bertemu dengan kekuatan sin-kang yang membuatnya merasa tergetar jantungnya dan
kini dia dibentak dan di-marahi, maka dia menjadi khawatir.
"Mo-ong, kenapa engkau marah-marah" Bukankah muridku telah berhasil...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
428 "Berhasil apa" Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu" Ia merupakan sandera yang
paling berharga, kenapa malah dibunuh" Kalau ia ditangkap dalam keadaan hidup dan sehat,
kita akan mudah menundukkan ayah ibunya!"
Jai-hwa Siauw-ok baru mengerti dan diapun menyesal. "Bagaimanapun juga, dara itu belum
mati, dan menghadapi suami isteri itu, kita ber-empat tentu akan mampu mengalahkan
mereka." "Hei, ke mana engkau akan membawanya?" Tiba-tiba Tek Ciang berteriak. Semua orang
me-nengok dan ternyata Ceng Liong sudah memang-gul tubuh Bi Eng yang sudah lemas tak
berdaya itu. "Mo-ong, aku akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya," Ceng Liong berkata,
di-tujukan kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak memperdulikan teriakan Tek Ciang.
"Tahan dulu....!" Tek Ciang hendak menge-jar.
"Diam kau....!" Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya. Tek Ciang menoleh dan melihat
betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong memandang kepadanya dengan marah. Tahulah dia
mengapa gurunya menghardik karena kalau dia mengejar murid iblis itu, siapa tahu Hek-i
Mo-ong akan membunuh-nya. Watak dan sikap kakek iblis itu memang sukar diselami, maka
diapun mengalah, bahkan di-am-diam tersenyum mengejek. Biarlah, biarlah dicobanya oleh
anak setan itu untuk mengobati bekas tangannya dengan pukulan Hoa-mo-kang tadi, pikirnya.
Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati, ingin
dia mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita dan sedang mekar
itu dibiarkan mati tanpa diganggu.
"Sudahlah, mari kita mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian," kata Hek-i Mo-ong,
kemarahannya mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut kepadanya. "Biar
nanti muridku menyu-sul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan sandera kita."
"Locianpwe, gadis itu tadi akulah yang merobohkannya, maka aku yang berhak untuk
menik-matinya, bukan murid locianpwe," kata Tek Ciang yang masih merasa penasaran, akan
tetapi suara-nya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek iblis ini akan menjadi marah.
"Cihh! Jangan samakan muridku dengan manusia gila perempuan macam engkau! Muridku
adalah laki-laki sejati. Kalau dia bilang mau men-coba mengobati, tentu dia akan mengobati
saja dan tidak melakukan hal lain! Mari kita pergi!"
Jai-hwa Siauw-ok berkedip kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi.
Bagaimanapun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan betapa Ceng
Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai gadis cantik yang sudah
pingsan itu! Memang, orang yang sudah biasa melakukan penyelewengan di dalam
kehidupannya, akan selalu menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan
dapat mempercayai orang lain. Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan gurunya
adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua orang laki-laki tentu
mempunyai watak seperti dia pula dan tim-bul cemburu dan tidak percaya ketika Ceng Liong
membawa pergi gadis cantik yang pingsan itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
429 Hek-i Mo-ong sendiri tentu saja sudah me-ngenal watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia
sedang melamun, dia merasa malu sendiri ke-pada muridnya. Jelas nampak olehnya bahwa
bi-arpun selama bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak itu sungguh
memegang te-guh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepa-danya dan tidak mau belajar
menjadi manusia sesat! Dia kadang-kadang merasa malu mengapa anak itu dapat memiliki
watak gagah, seorang pen-dekar tulen! Kadang-kadang timbul penyesalan di dalam hatinya
mengapa dia, yang di waktu mu-danya juga mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian
dapat menyeleweng dan sekali menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan, sukarlah untuk
keluar dari situ. Dia sudah merasa terlanjur menjadi tokoh kaum sesat dan dia akan merasa
malu kalau keluar dari lingkungan itu. Dia tahu bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis
yang terkena pukulan murid Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh Ceng
Liong dan tak mungkin ada sedikitpun niat buruk lain di dalam hati muridnya. Diam-diam
kakek iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa murid-nya adalah seorang pendekar,
bahkan bukan sem-barangan pendekar melainkan cucu aseli dari Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es! Diapun tahu bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sukar sekali ditolong, apalagi mu-ridnya tidak pernah mempelajari cara menyembuh-kan
korban seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal, gadis itu akan tewas dan tak lama
kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.
Akan tetapi, dia merasa kehilangan muridnya ketika tiba-tiba dia dan dua orang kawannya
mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mere-ka berhenti serentak, saling pandang dan
jelas betapa wajah mereka menjadi tegang. Bahkan Tek Ciang yang biasanya bersikap tenang
dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah air mukanya mendengar suara
suling itu. Suara suling itu aneh sekali, tidak seperti suara suling biasanya. Melengking-
lengking naik turun, dan terdengar dua suara suling yang saling susul, saling belit dan saling
mengisi. Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira, kadang-kadang seperti
berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu asmara, dan ada kalanya berabah
men-adi gegap-gempita seperti ada perang di sana. Dan dalam nada bagaimanapun juga,
selalu ada getaran yang amat kuat, yang membuat tiga orang itu harus mengerahkan sin-kang
untuk melawannya. Kemudian suara suling itu merendah, sampai ren-dah sekali dan jantung
tiga orang itu terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat, berdentang-dentang dan
dada seperti akan pecah rasanya. Ha-nya dengan pengerahan sin-kang saja mereka dapat
bertahan. Tiba-tiba, suara yang amat rendah itu melengking, makin lama makin tinggi dan
tiga orang itu hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan mengerahkan sin-kang.
Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai lenyap suaranya tak dapat tertangkap
lagi oleh pendengaran, akan tetapi getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk
jantung mereka rasanya.
Akhirnya, suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati mereka dan mereka membuka mata,
saling pandang dan muka mereka menjadi agak pucat. Bukan main hebatnya suara tadi dan
tanpa bicarapun mereka dapat menduga siapa yang meniup suling seperti itu. Dugaan mereka
terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan bergandengan tangan dan suling
yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan suara aneh, kini terselip aman di ikat pinggang
mereka. Yang seorang laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang
terlalu lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan
anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapnn membayangkan keramahan dan kehalusan
budi. Hanya sepasang matanya yang tak dapat dicuri memiliki sinar mencorong seperti na-ga.
Kumis dan jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat baik. Seorang sasterawan yang
tampan dan halus! Dan di sebelahnya berjalan seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga
puluh lima tahun, masih nampak cantik dan manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
430 itu dan kalau bicara melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu dengan
perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong, keturunan dari
keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci Sian yang juga menjadi sumoinya
dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan khi-kang yang
amat tinggi. Mereka kelihatan begitu rukun dan saling men-cinta. Melihat musuh besarnya, Hek-i Mo-ong
lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah meman-dang dengan mata mendelik dan napas
memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak dada. Adapun Jai-hwa Siauw-ok dan
muridnya memandang ke arah wanita itu. Seorang wanita can-tik yang sudah matang dan
agaknya inilah musuh besarnya, pikir Jai-hwa Siauw-ok dengan jan-tung berdebar. Kalau saja
dia mampu memba-laskan sakit hati guru-gnrunya! Dengan menga-lahkan wanita ini,
merobohkannya, memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan membunuh-nya!
Alangkah akan puas rasa hatinya.
Kini sepasang suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu, melihat
ada-nya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan dan mereka merasa heran dan
kaget. Bia-sanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati mata-hari terbit, mereka suka iseng-
iseng dan berlatih suling. Tadipun
Hati Budha Tangan Berbisa 6 Golok Halilintar Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 7
^