Kisah Para Pendekar Pulau Es 15

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


mereka berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat
itu sunyi tidak ada orang lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga orang itu
agaknya tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka, mudah diduga bahwa tiga orang
ini tentu "berisi". Akan tetapi, keheranan hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal
kakek berpakaian hitam yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuh-nya
dengan sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis itu yang
kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berba-haya itu" Ketika mengerling kepada dua
orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam Hong dan isterinya tidak mengenal mereka, akan
tetapi dapat menduga bahwa dua orang yang datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i
Mo-ong, mudah diduga tentu juga bukan orang-orang baik dan juga tentu memiliki
kepandaian yang tinggi.
Sikap Kam Hong amat tenang ketika sambil ter-senyum dia menjura. "Ah, kiranya Hek-i
Mo-ong yang datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau dalam
keadaan sehat, Mo-ong?"
Sungguh tidak dapat dimengerti oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh
me-nyambut Hek-i Mo-ong dengan keramahan se-perti itu, seolah-olah bertemu dengan
seorang sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga men-jawab dengan suara wajar, akan
tetapi mengan-dung penuh ancaman.
"Orang she Kam, selama belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat
berte-mu lagi denganmu dan menebus kekalahanku da-hulu. Nah, sekarang kita bertemu di
sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!"
Kam Hong menarik napas panjang. "Mo-ong, seorang tua seperti engkau ini, pantaskah untu
meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan oleh kekalahan dalam suatu
perkelahian" Sungguh kasihan!"
Saat itu dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke arah muka
wa-nita cantik itu sambil bertanya, "Apakah engkau yang bernama Bu Ci Sian dan dahulu
telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw--siang-cu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
431 Bu Ci Sian memandang laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang
berwajah ganteng berpakaian pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat pernah
berkenalan dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa laki-lakiinipun
baru sekarang bertemu dengannya.
"Benar, siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?" tanyanya, suaranya
juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari suaminya sendiri dan kini
menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai dibandingkan dahulu sebelum ia menjadi isteri
Kam Hong. Sikap seorang yang penuh kepercayaan akan diri sendiri.
"Namaku Ouw Teng dan orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok
adalah guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku ini."
Bu Ci Sian tersenyum dan menoleh kepada su-aminya, saling pandang, lalu berkata kepada
suaminya, sikapnya tak acuh, "Aihh, sudah belasan tahun kita tidak pernah mencampuri
urusan dunia, siapa tahu kini bajingan-bajingan ini malah yang datang mengantar nyawa.
Sungguh tidak dapat disalahkan peribahasa ular mencari penggebuk!"
Kam Hong mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka diapun
hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan, "Apa boleh buat. Akan tetapi
berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani datang mengantar nyawa tentu telah
memperhitungkan sebelumnya dan agaknya mereka ini sudah mem-bawa bekal yang cukup
memadai." Setelah berka-ta demikian, pendekar ini berdiri membelakangi isterinya beradu
punggung. Isyarat ini dapat dime-ngerti oleh Bu Gi Sian. Suaminya bersikap hati-hati dan
karena lawan mereka bertiga, sedangkan mereka belum mengenal sampai di mana
kepan-daian mereka bertiga itu, suaminya minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan
berdiri saling membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di pinggang dan
memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut, persis seperti orang yang
hendak meniup suling! Akan tetapi, suaminya berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut
sulingnya, seolah-olah hendak menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi
karena Kam Hong menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah Hek-i
Mo-ong maka diapun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan membiarkan isterinya
menghadapi dua orang lawan lainnya.
Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan wanita
mu-suh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada muridnya untuk maju bersama
mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i Mo-ong ketika me-lihat sikap Kam Hong yang
demikian tenangnya, muncul kembali rasa gentar di hatinya. Memang benar bahwa dia sudah
menguasai ilmu baru se-perti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api
Beracun), akan tetapi diapun dapat menduga bahwa selama ini tentu Kam Hong juga
memperdalam ilmunya! Baru tiupan sulingnya tadi saja sudah membuat dia dapat mengerti
akan kelihaian lawan ini. Maka teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia
mengerahkan khi-kangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya suara itu
dibawa oleh tenaga khi-kang sampai jauh sekali.
"Ceng Liong, cepat engkau ke sinilah....!"
Kam Hong tersenyum. "Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup untukmu"
Haruskah engkau mendatangkan teman lagi untuk me-ngeroyok kami?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
432 Ucapan yang halus ini lebih menusuk daripada makian. Hek-i Mo-ong menjadi merah
mukanya dan diapun mengeluarkan suara gerengan. Akan tetapi sebelum dia menggerakkan
tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya sudah lebih dulu maju menyerang Bu Ci Sian.
Begitu maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya mengeluarkan ilmnnya yang istimewa, yaitu
Kiam-ci yang merupakan ilmu andalan mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Suara
mencicit terdengar ketika jari-jari tangannya menyambar ke arah lawan. Ci Sian sudah
mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebat-annya, maka iapun sudah mengebutkan sulingnya
menghalau dan balas menotok. Dari samping, Tek Ciang mengirim serangan hebat karena
pemuda ini menggunakan Ilmu Thian-te Hong-i (Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah
menjadi ilmu an-dalan dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari
pusingan itu mencuat lengan-nya yang mengirim serangan amat cepat dan kuat-nya! Ci Sian
terkejut, tidak mengira bahwa laki-laki muda ini demikian hebat sudah menguasai ilmu
andalan dari Sam-ok yang pernah menjadi musuh lamanya, maka iapun cepat menyambut
lengan lawan yang menyerang dengan totokan ke arah pergelangan tangan. Melihat kecepatan
wa-nita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali lengannya. Dia tahu bahwa betapapun cepat
serangannya tadi, kalau dilanjutkan, dia kalah cepat dau sebelum tangannya mengenai tubuh
lawan, tentu pergelangan tangannya akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga sudah me-nyerang Kam Hong. Karena maklum akan
kelihai-an pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan sepasang
senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia tidak mau mencoba untuk
menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa kuatnya sin-kang dan khi-kang pendekar itu
yang tidak akan dapat ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka diapun sudah menyerang
dengan hebat, menggunakan tombak-nya menyerang dan kipas merahnya menyambar ke arah
muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut. Serangan ini amat hebatnya karena
Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan begitu menyerang telah mengerahkan seluruh
tena-ga sin-kangnya!
"Tringg....
trakkk....!"
Hebat sekali cara Kam Hong mencabut suling dan mempergunakan-nya. Sekali bergerak, suling itu menangkis tombak dan kipas berturut-turut
dan lawannya terdorong dua langkah ke belakang! Hek-i Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa
selama ini Kam Hong telah mela-tih diri dan tenaga sin-kangnya menjadi jauh lebih hebat
daripada dahulu. Dia harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sin-kang.
"Hiyeeeeehhhh!" Dia mengeluarkan ben-takan aneh dan tangan kiri yang sudah menyimpan
kipasnya itu kini menyambar ke depan dengan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian hebat dan cepatnya dan mengandung hawa yang
menye-ramkan, seperti digerakkan oleh tenaga mujijat. Itulah Ilmu Coan-kut-ci yang selama
itu dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama muridnya! En-tah sudah berapa banyak
tengkorak yang menjadi bulan-bulan jari-jari tangannya ketika dia ber-latih. Dan sebelum
serangan dengan ilmu menye-ramkan ini dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih
dahulu ke arah lambung lawan!
Kini Kam Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal ilmu serangan aneh itu, akan tetapi
de-ngan tenang dia menghantamkan lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan
sin-kang sekuatnya. Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan tenaganya pada
tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka pegangan pada tombaknya
tidak begitu kuat, dan tombaknya itupun tadi hanya menggertak saja, sedangkan serangan
dipusatkan pada tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu. Ka-rena itu, begitu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
433 kena dihantam oleh lengan kini Kam Hong, tombaknya terlepas dan terlempar jauh. Akan
tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah kepala dengan kedahsyatan yang
mengerikan. Akan hancurlah kepala itu kalau terkena cengkeraman itu!
Kam Hong mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah mencabut kipasnya dan kini sekali
bergerak, kipasnya yang berkembang menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri
melempar kepala ke belakang.
"Bretttt....!" Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman Coan-kut-ci dan Kam
Hong terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke belakang, bergulingan dan meloncat
bangun. Ki-pasnya hancur dan dia melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti satu lawan
satu. Tombak Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur. Kam Hong
tersenyum gembira. Ter-nyata lawannya ini jauh lebih lihai daripada da-hulu dan tentu saja
memperoleh lawan yang de-mikian kuatnya, timbul kegembiraannya.
"Mo-ong, engkau makin tua makin hehat saja!" katanya dengan tenang dan gembira, seolah-
olah dia baru saja tidak terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya! Kini Kam Hong
menerjang de-ngan sulingnya. Demikian hebat terjangannya se-hingga Hek-i Mo-ong
terpaksa meloncat ke sana-sini sambil terus mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci yang hebat itu.
Ketika dia terdesak oleh gulungan sinar emas suling, tiba-tiba dia membuka mulut-nya dan
uap putih yang amat panas menyambar ke arah muka Kam Hong! Kembali pendekar ini
terkejut. Dia tidak mengenal Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu bahwa uap itu berbahaya
sekali. Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping dia memutar sulingnya. Untung dia
melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi sudah disusul dengan cengkeraman tangan
maut itu lagi. Pemutaran suling menahan serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum
bahwa sekali tubuhnya ter-totok suling, tentu dia akan celaka. Mereka ber-tanding lagi dengan
hati-hati karena maklum bah-wa lawan masing-masing sungguh tak boleh di-hadapi dengan
ceroboh. Sementara itu, Bu Ci Sian juga mendapat ke-nyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu
lihai bukan main, dan terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda itu
malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang membuat ia
terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari ilmu silat keluarga Pulau Es! Ia
sendiri pernah meneri-ma pelajaran penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu,
dan kini ia melihat betapa la-ki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai sekali
memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu Hwi-yang Sin-ciang
dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada murid Pulau Es yang membantu
pen-jahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini. Akan tetapi karena tidak ada keseanpatan lagi
bertanya, iapun mengeluarkan semua ilmunya dan menge-rahkan seluruh tenaga untuk
menghalau setiap se-rangan dengan memutar sulingnya yang memiliki kecepatan dan
kekuatan luar biasa itu.
Melihat betapa dia dan gurunya dapat menan-dingi wanita yang hebat ini, timbul
kegembiraan di hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan siasat untuk
memancing kemarahan Ci Sian.
"Ha-ha, suhu, perempuan ini lebih montok daripada puterinya. Biarlah ia nanti diserahkan
kepadaku saja. Timbul berahiku melihatnya, su-hu!" Mendengar ucapan ini, Jai-hwa Siauw-
ok maklum akan akal muridnya dan iapun tertawa bergelak untuk memanaskan hati lawan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
434 Akal muslihat Tok Ciang ini memang baik se-kali untuk memanaskan hati lawan dan orang
yang sedang bertanding, sungguh merupakan pantangan besar untuk membiarkan hatinya
panas dan marah. Kemarahan mengurangi kewaspadan. Akan tetapi tentu saja kalau akal itu
ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap suami isteri itu, akal Tek Ciang
malah mendatangkan malapetaka bagi dia dan kawan-kawannya sendiri. Tadinya, Kam Hong
dan Ci Sian hanya mengerahkan ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk mengha-dapi
lawan karena memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan pertikaian itu tidak
ber-niat untuk mencelakai lawan. Cukup asal dapat menahan mereka dan mengusir mereka
saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat menghina tadi sama sekali tidak dapat
memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong, hanya mendatangkan rasa khawa-tir karena mereka
berdua teringat akan puteri me-reka yang disebut oleh Tek Ciang tadi. Mereka khawatir
kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang dilakukan oleh orang-
orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang membuat suami isteri itu merobah gerakan
mereka. Mereka hendak mengakhiri perkelahian itu secepatnya untuk dapat segera menengok
puteri mereka yang berada sendirian saja, hanya ditemani enam orang pelayan di dalam istana
tua. Kini terjadilah keajaiban. Bukan hanya perma-inan suling mereka yang berobah, akan tetapi
ter-dengarlah bunyi suara melengking-lengking dari suling mereka. Terutama sekali suling di
tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking demi-kian kuatnya sehingga Hek-i Mo-
ong merasa kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk pedang. Dia terkena pengaruh yang paling
hebat, sedangkan dua orang kawannya juga menjadi pusing oleh serangan suara suling yang
melengking-kngking itu. Per-mainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini
dipergunakan oleh suami isteri pendekar itu untuk mendesak.
Mula-mula Hek-i Mo-ong yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras,
akan tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan sampai jauh. Kam
Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya dan dengan cepat mereka juga
telahmengalahkan dua orang lawannya. Suling di tangan Ci Sian ber-hasil menotok lambung
Tek Ciang. Pemuda ini berteriak kesakitan dan terjengkang lalu berguling-an, sedangkan
pundak Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman suling Kam Hong. Tulang pun-daknya
remuk dan diapun terpelanting jauh.
"Mari pulang!" kata Kam Hong kepada isterinya dan tanpa memperdulikan tiga orang yang
sudah terluka parah itu, suami isteri ini mempergu-nakan ilmu lari cepat seperti terbang
menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.
Mereka memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika mereka berlari-
la-rian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat tubuh keenam orang pelayan mereka
malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Akan tetapi seorang di antara mereka
masih merintih. Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di dekat orang itu. Sekali pandang saja
tahulah mereka bahwa orang inipun tak mungkin tertolong lagi karena kepalanya retak.
"Mana.... mana nona?" tanya Ci Sian.
Orang itu mengumpulkan kekuatan terakhir. "Nona.... nona.... dilarikan.... seorang di
antara.... mereka, seorang pemuda...." dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan terku-lai,
tewas. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
435 Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke mana puteri
mereka dilarikan orang dan siapa pula yang mela-rikannya. Bagaimana mereka akan dapat
melaku-kan pengejaran"
"Iblis-iblis itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!" tiba-tiba Kam Hong berkata
dan diapun meloncat dan lari, diikuti isterinya.
"Kulumatkan kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!" teriak Bu Ci Sian yang
teringat bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang penjahat
pemerkosa wanita!
Dengan kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu lari ke tempat di
mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan tetapi, betapa kaget, gelisah dan marah
rasa hati mereka ketika mereka tidak menemukan tiga orang bekas lawan yang telah mereka
lukai tadi di tempat itu. Mereka mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka.
Tentu saja sua-mi isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka lalu mencari di sekitar puncak
Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal mereka lalu menjelajahi Pegunungan Tai-hang-san untuk
mencari puteri mereka yang dilarikan orang. Sebelumnya, mereka minta ban-tuan penduduk
yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus mayat enam orang pelayan mere-ka,
sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari tanpa jejak dan tujuan tertentu. Selama belasan
tahun hidup dalam keadaan aman dan tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu
meng-alami bencana yang menggelisahkan hati mereka.
*** Ceng Liong memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja yang lihai itu
terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan sia-sat curang, hatinya merasa
penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada gurunya maka dia tidak mau mencampuri
perkelahian itu, akan tetapi hati-nya berfihak sepenuhnya kepada gadis yang tidak berdosa itu
dan diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada Tek Ciang yang dianggapnya tak tahu
malu dan jahat. Maka begitu melihat nona itu terpukul roboh dan pingsan, dia lalu mendekati
lalu menyambar tubuh dara itu, dipanggul dan dibawanya pergi. Dia tidak memperdulikan
teguran Tek Ciang dan hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati
dara itu. Dia sudah memperhitungkan bahwa andaikata Tek Ciang menghalanginya, tentu dia
akan menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya. Akan tetapi, berkat
kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak berani menghalanginya maka Ceng
Liong cepat membawa tubuh yang pingsan itu menuruni lereng.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah tiba di tempat sunyi, dia menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan
hati-hati dia merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya sejenak.
Dilihatnya wa-jah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya tinggal satu-satu dan detik
jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan lemas tak berdaya sama se-kali. Ketika dia
membuka kelopak mata, ternyata mata itu kehilangan cahayanya.
Baju di pundak kanan nona itu hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru
kehijauan. Agaknya pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini. Ketika
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
436 disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat dinginnya, seperti ada
esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh itu mengandung hawa dingin, pikirnya.
Dia bukan ahli pengobatan, akan tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang sakti
seperti Hek-I Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan diapun tahu bahwa dara itu
menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka diapun lalu meletakkan
telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu, kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan
tenaga panas Hwi-yang Sin-kang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang
menempel di pundak berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu,
sedangkan yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan sin-kangnya ke dalam
pusar nona itu untuk membantu nona itu membangkitkan kombali sin-kangnya.
Dengan hati-hati dan penuh ketekunan Ceng Liong menyalurkan sin-kangnya yang panas,
dan tiba-tiba nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika melihat betapa
tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat, juga telapak tangannya merasa
betapa detak jantung nona itu tidak selemah tadi. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut dan
gelisah adalah ke-tika melihat bahwa warna kehijauau pada wajah dara remaja itu menjadi
semakin gelap! Pemuda remaja ini sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sin-kang yang
disalurkan pada tubuh dara itu memang benar mampu mengusir hawa dingin dari pukulan
Hoa-mo-kang, akan tetapi sama sekali tidak mampu mengeluarkan racun yang terkandung
dalam hawa dingin itu. Maka, nona itu hanya ter-bebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi tidak
terbe-bas dari racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni jalan darahnya!
Betapapun juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong ketika melihat nona itu membuka kedua
matanya. Sesaat dua pasang mata itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan terkejut dan
hendak meronta, akan tetapi ketika merasa betapa ada ha-wa panas memasuki tubuhnya dari
pundak dan pe-rut, puteri suami isteri pendekar sakti inipun me-ngerti bahwa pemuda yang
duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha mengobatinya. Maka iapun diam saja, bahkan
ia lalu mcnerima hawa panas yang memasuki perutnya itu dan mencoba untuk
membangkitkan hawa sin-kangnya sendiri dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia
mencoba mengerahkan sin-kang, ia merasakan kenyerian hebat di perutnya dan iapun
mengeluh. "Aduuuhhh....!"
Mendengar keluhan ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi berkeruyuk,
Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua ta-ngannya, lalu bangkit sambil membantu nona
itu bangkit duduk.
"Bagaimana" Sakitkah rasanya" Mana yang sakit?" tanyanya dengan wajah khawatir.
Bi Eng adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa mengeluh merupakan
suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang gagah, maka sambil menggigit bibir
menahan rasa nyeri yang mengaduk perutnya, ia menggeleng kepala. "Tidak sangat nyeri....
eh, bukankah engkau yang datang bersama iblis-iblis itu?"
Ceng Liong menarik napas panjang dan me-nundukkan mukanya sebentar, lalu diangkatnya
lagi memandang wajah yang masih kehijauan itu. "Benar, aku adalah.... eh, murid Hek-i Mo-
ong." Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
437 Wajah yang gelap kehijauan itu nampak kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita
ayah ibunya tentang dania kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong
pernah dise-but oleh ayahnya sebagai seorang di antara para da-tuk sesat yang paling
berbahaya dan lihai. Akan te-tapi menurut ibunya, tokoh ini pernah dikalahkan oleh ayahnya
dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i Mo-ong. Dara inipun teringat akan kakek
berjubah hitam yang tua renta tadi. Seperti itulah penggambaran orang tuanya tentang diri
Hek-i Mo-ong. "Jadi kakek berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya" Lalu mengapa
engkau.... berusaha mengobati dan menolongku?"
Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat tajam penuh selidik,
Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki sepasang mata yang amat indah dan tajam,
membuat dia me-rasa tidak enak untuk menentang pandang matanya, apalagi karena dia
merasa malu akan sekutunya.
"Mo-ong dan aku sudah berjanji bahwa aku hanya belajar ilmu silat darinya, bukan
mempelajari kejahatannya. Aku melihat engkau tidak berdosa dan engkau dirobohkan secara
curang oleh murid Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke sini untuk mengobatimu,
akan tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana caranya...."
Hati Bi Eng merasa tertarik sekali. "Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau....
berani menentangnya?"
"Mo-ong baik kepadaku, sayang aku tidak da-pat merobah wataknya.... tapi.... aku menjadi
bingung bagaimana aku harus mengobatimu, no-na?"
"Engkau sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi...."
"Tapi.... wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali."
Bi Eng memaksa senyum. "Bagaimanapun juga, engkau sudah menyelamatkan dan
menolongku, mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mere-ka bunuh. Tentang
pengobatan, biarlah ayah ibu-ku yang akan mengobatiku. Eh, siapa namamu?"
"Namaku Ceng Liong.... dan.... dan eng-kau, nona?"
"Aku Kam Bi Eng dan orang tuaku...."
"Aku sudah tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar keturunan keluarga
Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu bernama Bu Ci Sian."
"Ah, mereka itu sedang mencari ayah dan ibu! Mari kita kembali ke sana...." Dara remaja itu
bangkit berdiri, akan tetapi ia segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya,
terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar dara itu tidak
sampai jatuh. "Kenapa, nona....?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
438 "Kepalaku.... ah, kepalaku pening sekali...." Terpaksa Bi Eng duduk kembali dan setelah
duduk barulah ia dapat membuka kedua matanya walaupun masih agak pening. Sepasang
matanya nam-pak kemerahan dan Ccng Liong menjadi semakin khawatir.
"Bagaimana rasanya, nona" Apakah engkau tidak dapat berjalan....?"
Bi Eng menggeleng kepala. "Jangankan berja-lan, baru berdiri saja rasanya tanah
sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main."
"Kalau begitu, mari kupondong engkau...."
"Ihh! Tidak sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!" Tiba-tiba Bi Eng menghardik.
Pemuda remaja itu memandang dengan mata ter-belalak. Selama ini sudah beberapa kali dia
ber-temu anak perempuan dan selalu sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona inipun tidak
terkecuali, baru bertemu sudah membuat dia bingung karena wataknya yang aneh.
"Apa salahnya" Bukankah ketika membawamu ke sini akupun memanggulmu, nona" Apanya
yang kurang ajar?" dia membantah penasaran.
Agaknya Bi Eng menyadari bahwa dengan ter-gesa-gesa ia telah menuduh orang. Ia teringat
betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan sedikitpun tdak memperlihatkan tanda-
tanda atau sikap kurang ajar. Iapun tersenyum. "Maafkan, Ceng Liong, dan jangan engkau
menyebut no-na-nonaan segala kepadaku. Namaku Bi Eng, lupakah engkau?"
Ceng Liong semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim hujan!
Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk. "Baiklah, Bi Eng. Bagaimana sekarang
baiknya" Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan kalau orang tuamu dapat mengobatimu, itu
baik sekali. Akan tetapi engkau tidak dapat berjalan sendiri, dan tidak mau kupondong...."
"Siapa bilang tidak mau?"
"Engkau tadi...."
"Bukankah aku sudah minta maaf" Kalau me-mang perlu kaupondong dan engkau
memondong-nya dengan sungguh-sungguh, bukan untuk main-main, tentu saja aku mau."
Ceng Liong menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak
dapat menyelami hati wanita. "Kalau begitu marilah, non.... eh, Bi Eng." Dia lalu
menggunakan kedua lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan
memanggulnya seperti tadi. Ki-ni Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik kalau
dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Eng juga
merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.
"Tidakkah terlalu berat, Ceng Liong?" tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa
meng-ganggu pemuda itu.
"Engkau" Berat" Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmupun aku masih
mam-pu mengangkatnya."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
439 "Hemm, jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat mengerahkan sin-kang,
hendak kulihat apakah engkau akan mampu memondong-ku...."
Tiba-tiba Ceng Liong menghentikan langkah-nya ketika melihat tiga orang sekutunya berlari
turun dari puncak dan wajah mereka namnak pu-cat. Tadi ketika dia sedang mengobati Bi
Eng, dia mendengar suara suhunya memanggil, akan tetapi dia sengaja diam saja tidak
menjawab karena hati-nya masih mendongkol melihat kecurangan Tek Ciang dan juga dia
sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak ada waktu untuk memenuhi pang-gilan gurunya.
Kini dia melihat mereka turun dan melihat gelagatnya, mereka bertiga itu sedang menderita
luka. Memang demikianlah. Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek
Ciang melarikan diri dari puncak dalam keadaan men-derita luka oleh pukulan-pukulan suling
suami isteri yang sakti itu.
Begitu melihat nona yang dirobohkannya itu dipondong dengan amat mesranya oleh Ceng
Liong, Tek Ciang menjadi marah sekali. Dia yang mero-bohkan, pemuda ingusan itu yang
menikmati hasilnya sedangkan dia dan garunya terluka oleh orang tua gadis itu!
"Ceng Liong, ia milikku, berikan kepadaku!" kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan,
me-nubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong. Namun dengan
sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubruk-an Tek Ciang.
"Berikan sandera ini kepadaku!" Jai-hwa Siauw-ok juga berteriak dan kakek cabul ini
menubruk pula ke depan. Ceng Liong terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk
mengelak. Kini guru dan murid itu menghadapinya dari kanan kiri de-ngan sikap mengancam.
Ceng Liong menjadi bi-ngung. Melawan mereka dia tidak takut. Akan tetapi kalau kedua
lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu melawan me-reka yang
lihai itu" Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu menghadapi mereka, dia khawatir kalau-
kalau seorang di antara mereka akan me-rampas dan mencelakai dara itu. Dia sudah
me-ngenal watak mereka yang cabul dan jahat.
"Perlahan dulu!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong melangkah maju menghadapi guru dan murid itu.
Ceng Liong melihat betapa gerakan gurunya ini lemah bahkan wajah gurunya amat pucat,
napas-nya juga memburu tanda bahwa gurunya itupun terluka, mungkin lebih parah daripada
luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan memang sesungguhnya begitulah. Luka
dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam
oleh kedua orang itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan membe-lanya.
Melihat Hek-i Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini
ti-dak merasa takut lagi karena mereka berdua mak-lum bahwa iblis tua itu telah menderita
luka yang lebih parah daripada mereka.
"Mo-ong, sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!" katanya.
"Aku yang tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!" kata pula Tek
Ciang. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
440 Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya dan se-pasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkan-nya, berarti akupun tidak membolehkan kalian
merampas gadis ini. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi!"
Akan tetapi, sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya tidak mau mentaati perintah kakek
iblis itu. Mereka melawan bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu, melainkan terutama
sekali mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Sete-lah mereka dihajar oleh suami isteri
dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi gentar sekali. Kalau suami isteri itu
mengetahui bahwa puteri mereka terculik, apalagi terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok, tentu
mereka berdua akan melakukan pengejaran dan celakalah kalau sampai suami isteri itu dapat
mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu harus mereka kuasai untuk dijadi-kan sandera kalau-
kalau orang tua gadis itu da-pat menyusul mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras
hendak merampas Bi Eng dari tangan Ceng Liong.
"Mo-ong, kami sama sekali tidak ingin mengganggumu, akan tetapi muridmulah yaug
merusak rencana kita. Kalau tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan
belum tentu kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka kami
berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan kami akan pergi dan
tidak akan mengganggumu lagi," kata Jai-hwa Siauw-ok sambil memandang dengan mata
disipitkan. "Setan, berani engkau menentangku, manusia rendah?" Hek-i Mo-ong marah sekali dan
tubuhnya bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar menyambar ke arah ubun-ubun
kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan dengan Ilmu Coan-kut-ci ini, akan tetapi Jai-
hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan kelihaian lawan, cepat meloncat ke belakang, kemudian
bersama murid-nya dia maju membalas dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!
Hek-i Mo-ong sudah terluka parah oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa
sesak dan napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali.
Bi-arpun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan gagah.
Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya juga sudah terluka, walaupun tidak separah
luka yang diderita Hek-i Mo-ong namun setidaknya me-ngurangi kekuatan mereka.
Karena dikeroyok dua, Hek-i Mo-ong terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok yang menggunakan
Ilmu Kiam-ci. Jari tangan yang tajam seperti pe-dang itu menyerempet lambungnya, merobek
baju dan kulit lambung sehingga mengeluarkan darah dan pada saat itu juga, hantaman tangan
Tek Ciang yang disertai tenaga Hwi-yang Sin-ciang menge-nai punggung kakek iblis itu.
"Dukkk....!" Hek-i Mo-ong terpelanting roboh. Melihat ini, giranglah hati Jai-hwa Siauw-ok.
Kakek iblis ini harus ditewaskan dulu, baru dengan mudah akan dapat mereka hadapi
murid-nya dan merampas gadis itu. Diapun menubruk ke bawah, hendak menghabisi nyawa
Hek-i Mo-ong dengan Kiam-ci. Akan tetapi, pada saat itu, tiba-tiba saja Hek-i Mo-ong
mengeluarkan bentakan nyaring sekali.
"Diam kau....!" Dibentak dengan keku-atan sihir ini, seketika Jai-hwa Siauw-ok terdiam dan
tubuhnya seperti menjadi kaku. Pengaruh bentakan itu hebat sekali dan biarpun hanya
be-berapa detik dia berhenti, sudah cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk melontarkan
serangannya. Jari tangan kirinya mencengkeram, terdengar suara berbeletok ketika jari-jari
tangan itu terhunjam ke dalam kepala Jai-hwa Siauw-ok dan penjahat cabul ini menjerit
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
441 mengerikan, tubuhnya terjeng-kang roboh dan dari kepala yang berlubang-lubang itu mengalir
keluar darah bercampur otak!
Melihat ini, wajah Tek Ciang menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tanpa menoleh
lagi ke arah mayat gurunya, pemuda pengecut inipun sudah meloncat jauh dan melarikan diri
tunggang-langgang! Hek-i Mo-ong bangkit berdiri, terhu-yung-huyung dan dari mulutnya dia
muntahkan darah segar! Kiranya tenaga yang diperas dalam perkelahian itu, apalagi pukulan-
pukulan lawan, membuat luka yang dideritanya semakin parah. Diapun cepat menjatuhkan
dirinya duduk bersila dan mengatur pernapasan.
Ceng Liong menurunkan tubuh Bi Eng. Setelah Jai-hwa Siauw-ok tewas dan kini tinggal Tek
Ciang yang juga sudah melarikan diri, dia tidak khawatir lagi menurunkan dara itu. Andaikata
Tek Ciang datang lagi, dia dapat menghadapinya tan-pa mengkhawatirkan keadaan Bi Eng.
Kemudian Ceng Liong menghampiri gurunya yang duduk mengatur pernapasan. Tadi dia
tidak membantu Hek-i Mo-ong karena melihat bahwa gurunya belum perlu dibantu. Ketika
gurtnya terjatuh, diapun sudah tahu bahwa jatuhnya kakek itu setengah disengaja untuk
memancing lawan dan ternyata akalnya itu berhasil. Akan tetapi diapun tahu bahwa luka di
dalam tubuh gurunya semakin hebat.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Ceng Liong bersila di depan gurunya, menempelkan
kedua tangannya di dada dan pundak, lalu diapun mengerahkan sin-kangnya untuk membantu
guru-nya. Ketika Hek-i Mo-ong merasa ada saluran hawa panas memasuki tubuhnya, dia
membuka matanya dan melihat betapa muridnya yang mem-bantunya, diapun tersenyum lebar
dengan wajah berseri gembira.
"Heh-heh, manusia macam Ouw Teng itu be-rani melawan aku" Hah, dia bosan hidup!"
kata-nya terengah-engah.
"Mo-ong, tenanglah dan beristirahatlah. Biar-kan aku membantumu meringankan
penderitaan-mu," kata Ceng Liong dengan halus. Kakek itu terdiam dan beberapa lamanya
mereka duduk ber-sila, berhadapan dan Ceng Liong membantu guru-nya dengan penuh
ketekunan. Bi Eng melihat semua itu dengan sinar mata penuh keheranan. Jelas bahwa Ceng
Liong bukan orang jahat, akan tetapi bagaimana seorang pemuda seperti ini bisa menjadi
murid datuk sesat yang demikian menge-rikan seperti Hek-i Mo-ong"
Akhirnya Hek-i Mo-ong berkata, "Cukup untuk sementara ini. Ceng Liong, lekas bawa aku
pergi dari sini....!" Di dalam ucapan itu terkandung rasa gentar.
"Akan tetapi.... aku ingin membawa nona Kam kepada orang tuanya agar dapat memperoleh
pengobatan," Ceng Liong membantah.
"Apa engkau ingin melihat aku dibunuh mere-ka" Aku sudah terluka dan tidak mungkin
mela-kukan perlawanan."
"Tapi, luka nona Kam Bi Eng juga parah...."
"Bawa ia bersama kita, aku dapat mengobati luka akibat pukulan Hoa-mo-kang," kata kakek
itu. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
442

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat keraguan Ceng Liong, Bi Eng berkata, "Turutilah permintaannya, Ceng Liong,
karena ka-lau ayah dan ibu melihatnya tentu mereka akan turun tangan membunuhnya,
membikin aku merasa tidak enak kepadamu. Mari kita pergi."
Ceng Liong memandang heran. Sungguh makin tidak mengerti saja dia terhadap watak gadis
ini. Akan tetapi diapun menjadi girang dan tanpa ba-nyak cakap dia memondong tubuh Bi
Eng dan ber-sama gurunya diapun lari meninggalkan tempat itu. Gurunya yang mencari jalan
dan ternyata Hek-i Mo-ong yang banyak pengalamannya itu amat cerdik. Dia menuruni kaki
gunung dan mening-galkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia da-pat menduga bahwa Kam
Hong dan isterinya yang tidak tahu harus mengejar ke mana itu tentu akan mencari-cari di
sekitar Pegunungan Tai-hang-san dan untuk mencari daerah yang luas itu membu-tuhkan
waktu sedikitnya tiga hari! Maka dia me-ninggalkan daerah Tai-hang-san. Kalau tidak cerdik,
tentu dia memilih yang dekat, dan dianggap aman, yaitu di dalam hutan-hutan yang lebat dari
daerah itu dan kalau dia berbuat demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari
suami isteri yang luar biasa lihainya itu.
Pada keesokan harinya, di dalam sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai Sungai
Huang-ho, mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanji-kannya, Hek-i Mo-ong mencarikan
obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng Liong mencari anak-anak katak
yang banyak ter-dapat di tepi sungai. Puluhan ekor katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i
Mo-ong, air perasan ditampung dan dicampur dengnn obat pulung yang dibawanya. Hampir
tidak dapat Bi Eng menelan-nya karena baunya yang amis, akan tetapi Ceng Liong
membujuknya dengan halus.
"Minumlah, Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur.
Minumlah."
Bi Eng teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia bergidik. Akan tetapi ia
per-caya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil memejamkan kedua matanya iapun
menuang obat cair itu ke dalam perut dan terus ditelannya. Dengan menutup hidungnya, obat
itu tidak terasa apa-apa, bahkan baunya yang amispun tidak terasa. Baru setelah obat itu
memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan yang menutup hidung, tercium bau amis
yang hampir membuat ia muntah. Akan tetapi, dara remaja yang sejak kecil menerima
gemblengan orang tuanya itu cepat me-ngerahkan tenaga mencegah muntah.
Akan tetapi, dorongan dari dalam hampir tak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya
menjadi pucat sekali menahan rasa hendak mun-tah, terdengar suara Hek-i Mo-ong, "Ha-ha,
nona kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau engkau menahan
muntah itu, engkau akan mati dalam waktu tiga hari lagi, ha-ha-ha!"
Dapat dibayangkan betana kagetnya hati Bi -Eng mendengar ucapan itu dan seketika rasa
hen-dak muntah itu hilang. Tentu saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biarpun demikian,
wajah-nya menjadi semakin pucat karena nyawanya ha-nya tinggal tiga hari saja.
Kekagetan hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia mendengar ucapan
gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya mencorong menakutkan. "Mo-ong, apa
artinya kata-kata-mu itu?" tanyanya dengan suara membentak.
"Heh-heh, Ceng Liong. Kata-kataku sudah jelas bukan" Gadis ini akan mati seketika kalau
muntah, dan akan mati tiga hari kemudian kalau tidak muntah."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
443 "Mo-ong, engkau sengaja meracuni Bi Eng?" Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal
kedua tangannya.
Kakek itu mengangguk dan tertawa. "Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yaug
baik." Keheranan yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa
marahnya. "Apa.... apa maksudmu....?"
"Heh-heh, kau tunggulah saja." Kakek itu lalu memandang Bi Eug yang masih duduk dengan
muka pucat dan memegangi perutnya yang mual. "Nona, nyawamu tergantung kepada
keputusanmu sendiri. Yang kaumakan tadi menambah hebatnya pengaruh pukulan Hoa-mo-
kang dan engkau tentu akan mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat yang akan dapat
menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang atau.... obat dariku.
Sekarang, aku mau menukar nyawa-mu itu dengan sebuah janjimu."
Bi Eng merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan
kakek itu, ia menjawab dengan ketus, "Kakek iblis ber-hati keji! Janji apakah yang kau
kehendaki dariku maka engkau tidak segan melakukan kekejian yang kotor ini?"
"Berjanjilah bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku akan
mengembalikan nyawamu!"
"Ahhhh....!" Teriakan ini keluar dari mu-lut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya
dengan pukulan keras.
"Dukkk!" Hek-i Mo-ong menangkis dan ter-jengkang, dari mulutnya keluar darah segar lagi
karena untuk menangkis pukulan hebat tadi dia harus mengeluarkan tenaga sin-kang
sekuatnya, pa-dahal luka di dalam tubuhnya belum sembuh benar.
"Ahhh...." kembali Ceng Liong berseru, kini bukan karena marah melainkan karena kaget
melihat suhunya terjengkang lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia menubruk dan
me-rangkul suhunya, dipapahnya duduk di atas rum-put."Heh-heh-heh....!" Hek-i Mo-ong
ter-kekeh melihat betapa muridnya yang tadinya me-mukulnya itu kini malah memapahnya.
"Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi muridku, baru sekarang berani
memyerangku, kusangka tadinya engkau lemah, kiranya berani memukulku. Hebat...."
Ceng Liong sudah lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang
amat aneh, tidak lumrah manusia. Diapun tahu bahwa kakek itu dalam pandangan umum tentu
merupakan iblis yang kejam dan ganas, akan tetapi dia sendiri mengenalnya sebagai seorang
kakek yang wataknya aneh dan kekejaman-kekejamannya itu-pun termasuk satu di antara
keanehan-keaneh-annya yang tidak normal. Kadang-kadang dia berpikir bahwa gurunya ini
sebenarnya menderita suatu penyakit dalam otaknya atau jiwanya, sudah gila sehingga segala
yang dilakukannya itu sama sekali bukan karena kekejaman, melainkan karena pandangannya
yang berbeda, bahkan kadang-ka-dang terbalik dari pandangan umum. Kinipun gu-runya telah
melakukan hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak kesenangan meli-hat
muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru macam ini di seluruh dunia ini"
Dan dia sendiri merasa amat menyesal. Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati
gurunya terhadap dirinya, dan kini dia berani memukul gu-runya yang sedang terluka parah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
444 itu! Diapun me-rasa tidak perlu minta maaf walaupun hatinya me-nyesal. Bagi orang seperti
Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!
"Mo-ong, mengapa kaulakukan itu" Terlalu sekali engkau!"
"Apanya yang terlalu" Sudahlah, kau diam saja dan biarkan aku menyelesaikan urusanku
de-nggan gadis itu!" Kakek itu masih bersila, akan te-tapi kini sambil mengatur pernapasan,
dia meman-dang kepada Bi Eng yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang
kepada Ceng Liong dan sebentar pula kepada kakek iblis itu, mukanya yang tadi pucat tiba-
tiba berobah merah, lalu pu-cat kembali. "Bagaimana, nona cilik" Jawablah sebelum
terlambat. Kalau racun itu keburu beker-ja, engkau takkan bisa menjawab lagi."
"Kakek iblis! Kaukira aku ini orang macam apa" Kaukira aku takut mampus" Lebih baik
mati daripada menuruti kehendakmu yang hina!"
"Eh-eh-eh, bocah sombong! Kaubilang hina kalau aku minta engkau menjadi calon isteri
Ceng Liong" Ha-ha-ha, bercerminlah. Sepuluh kali engkaupun belum tentu pantas menjadi
isteri mu-ridku, tahu?"
"Mo-ong....!" Ceng Liong memprotes.
"Diamlah dan jangan mencampuri urusanku!" kakek itu membentak muridnya dan Ceng
Liong terdiam sambil cemberut. Sungguh keterlahuan gurunya ini. Membicarakan urusan
perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh mencam-puri urusannya. Diam-diam
dia merasa geli. Bi-arkan saja kakek gila ini melanjutkan kehendaknya. Masih ada batu
penghalang besar bagi keinginan-nya yang gila itu. Kalau gurunya itu nanti hendak
melanjutkan niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan berhak menolak! Kalau gadis
itu tidak mampu menolak karena tertekan dan terancam nyawanya, masih ada dia yang dapat
menolak dan dia tidak terancam apapun!
"Iblis tua, kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab menyuruh aku
berjanji.... seperti itu?" Bi Eng yang menjadi tertarik dan ingin tahu, mengajukan pertanyaan
sebelum mengambil keputusan, walaupun dara ini tadi su-dah menunjukkan ketidaksetujuannya tanpa memperdulikan ancaman nyawa.
"Heh-heh, kenapa aku ingin menjodohkan muridku denganmu, begitukah maksud
pertanyaan-mu" Karena.... karena dia mencintamu, anak bodoh!"
"Ahhhh....!" Kembali Ceng Liong yang berteriak mendengar ini dan matanya melotot,
mukanya menjadi merah sekali dan dia meman-dang gemas kepada gurunya, namun teringat
bah-wa dia harus membiarkan gurunya itu menyelesai-kan "urusannya" dengan gadis itu.
Bi Eng memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek. Perbuatan kakek
itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang menjadi murid kakek iblis ini. Bahkan
kini timbul dugaannya bahwa Ceng Liong menolongnya dengan niat buruk, mungkin sudah
diatur terlebih dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap pemuda itupun hanya pura-pura,
hanya sandiwara saja!
"Kakek iblis, kaukira aku sudi menjadi isteri murid seorang iblis macam engkau" Lebih baik
seribu kali mati dari pada.... aukhhh....!" Dara remaja itu hampir muntah. Ia menekuk
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
445 tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual. Sekali meloncat, Ceng Liong sudah berada
di de-katnya dan menyentuh pundak dara itu.
"Bi Eng, jangan muntah...." katanya kha-watir sekali. Sekali muntah, dara ini akan tewas!
Betapa mengerikan bayangan ini.
"Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah" Dia adalah Suma
Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan kau bilang seribu kali lebih
baik mati daripada menjadi isterinya?"
"Mo-ong....!" Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah gurunya karena tidak
dapat menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini sungguh amat menghina Bi Eng dan seolah-
olah memaksa gadis itu agar mau berjanji menjadi is-terinya!
"Desss....!" Dalam keadaan bersila itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang
tertuju ke arah kepalanya dan tubuhnya ter-lempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit duduk,
dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.
"Ahhh!" Ceng Liong terkejut dan ce-pat menghampiri, berlutut dan membantu perna-pasan
gurunya dengan saluran sin-kang dari telapak tangannya.
"Heh-heh-heh," Hek-i Mo-ong merangkul-nya penuh kasih sayang. "Tahukah engkau bahwa
baru ini engkau memukulku" Semua terjadi karena engkau mencinta gadis itu, tahukah
engkau?" Ceng Liong terkejut bukan main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek
ini, bahkan tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia
menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan meli-hat gurunya menghina Bi Eng!
"Tapi, Mo-ong, kenapa kau lakukan ini" Kenapa....?"
"Uakhhhh....!" Mendengar suara muntah ini, Ceng Liong menoleh dan dapat dibayangkan
betapa kagetnya melihat Bi Eng tak dapat menahan lagi muntahnya, dan sudah mulai hendak
muntah. Melihat ini, sekali meloncat tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan
tangannya bergerak menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hehat itu tidak sempat
mengelak dan roboh terku-lai. Ceng Liong cepat memondongnya dan mere-bahkannya di atas
rumput. Dalam keadaan terto-tok pingsan, dara itu tidak jadi muntah.
Kini Ceng Liong kembali meloncat ke dekat gurunya. "Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng!
Cepat sebelum ia muntah!" teriaknya kepada gu-runya sambil memegang pundak gurunya.
"Heh-heh-heh....!" Kakek itu hanya terta-wa.
"Cepat, Mo-ong!" Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-
ong bergoyang-goyang keras.
"Heh-heh, kalau aku tidak mau mengobati-nya?"
Tangan yang mengguncang pundak itu men-cengkeram makin kuat. "Kalau tidak mau, aku
akan memaksamu!" bentak Ceng Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
446 "Ha-ha-ha, muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana....?"
Ceng Liong kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin dia akan dapat
memaksa kakek iblis ini" Gertakan-gertakannya tentu hanya akan disambut dengan ketawa
geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia merasa kalah segala-galanya.
"Ha-ha-ha, engkau paling-paling hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau
membunuh-ku, gadis itupun akan mati dan engkau ditinggal-kan dua orang yang mencintamu,
atau setidaknya ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kaucinta. Ha-ha, apa
enaknya hidup begi-tu" Masih lehih enak aku yang mati!"
Melihat bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup
semua harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri berlutut di depan
gurunya! "Su-hu, kau tolonglah Bi Eng....!"
Tiba-tiba sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat berdiri, mukanya yang
tadinya pucat itu berobah merah. Memang seorang manusia yang luar biasa kakek ini!
Menerima penghormatan seperti itu dia malah merasa ter-singgung dan marah, sedangkan
kalau muridnya bersikap tak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya Mo-ong saja dia
malah merasa girang!
"Enak saja! Aku baru mau mengobatinya ka-lau kau mau berjanji. Kalau tidak, biar kau
membu-nuhku, aku tidak akan sudi mengobatinya!"
"Baiklah, suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu."
"Nah, berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!"
Ceng Liong terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar
per-mintaan aneh itu.
"Hayo cepat berjanji sebelum aku berobah pi-kiran dan menolak pengobatan atas diri gadis
ini!" Hek-i Mo-ong mengancam.
Tidak ada lain jalan bagi Ceng Liong. "Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami gadis
ini...." "Sebutkan namamu dan nama nona itu!"
"Aku Suma Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi Eng...." katanya
dengan suara terpaksa sekali. Sementara itu, wa-jah Bi Eng berobah merah, akan tetapi nona
ini tidak mampu berkutik. Kalau ia bisa berkutik, ten-tu ia akan mengamuk dan menyerang
guru dan murid itu kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya,
keheranan yang muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan cucu Pendekar
Super Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu" Menurut penuturan ayahnya, Pendekar Super
Sakti adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang
memiliki keluarga hebat ter-diri dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu
pendekar itu malah menjadi murid seo-rang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong" Be-nar-benar
ia tidak mengerti sama sekali.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
447 "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ingat, seorang ga-gah harus memegang teguh janjinya sampai
mati!" kata kakek itu dengan girang bukan main.
"Suhu...."
"Heh" Apakah engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-
ong lagi?"
"Tidak, engkau adalah guruku dan sudah sepa-tutnya kusebut suhu. Nah, suhu, sekarang
cepat-lah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam nyawanya."
"Ha-ha-ha, siapa yang mengancam nyawa-nya" Ia sudah sembuh kalau engkau tidak usil tadi.
Bebaskan totokan itn dan biarkan ia mun-tah-muntah, tentu sembuh!"
Ceng Liong melongo. "Ehh...." Jadi...."
"Jadi apa" Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau ia mau
muntah karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat, kini tinggal muntahkan saja
dan sembuh!"
Ceng Liong tertegun. Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali
kakek ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia menotok
tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu bangkit duduk, Bi Eng
muntah-muntah! Dan yang dimnntahkan adalah gumpalan-gumpalan darah hitam! Ceng
Liong mendekatinya, berlutut dan menekan-nekan tengkuk dan mengelus pung-gung gadis itu
untuk membantunya mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula Bi Eng
yang dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia berhenti muntah-muntah,
ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun berdiri dengan sinar mata galak. Ia
merasa kepa-lanya agak pening dan tubuhnya gemetar, wajah dan lehernya penuh keringat,
akan tetapi dalam tubuhnya terasa ringan danenak. Ia benar-benar telah sembuh. Dengan
pikiran tidak karuan, ber-campur aduk antara rasa girang dan marah, terima kasih dan
dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal harus bicara apa dan
bertindak bagaimana. Mereka telah menghinanya, menipunya, akan tetapi juga telah
menyelamatkan nyawanya! Apa yang harus dilakukannya untuk mengimbangi semua
perbuatan mereka" Menda-dak ia memejamkan matanya karena rasa pusing membuat
pandangan matanya berputar melihat segala di sekelilingnya.
"Calon mantuku, engkau baru saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya.
Du-duklah dan bersilalah menghimpun hawa murni." kata Hek-i Mo-ong dan seperti mimpi
Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena sebagai puteri
seorang pendekar sakti iapun tahu bahwa nasihat itu amat tepat ba-ginya. Begitu bersila dan
mengatur pernapasan, tubuhnya terasa amat enak dan nyaman. Akan te-tapi pikirannya tidak
mau diam, melayang-layang tidak karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu ada-lah ingatan
tentang keadaan Ceng Liong seperti yang dikatakan oleh kakek iblis itu tadi. Cucu Pendekar
Super Sakti majikan Pulau Es! Hal ini-lah yang mengganggu pikirannya.
Pada saat itu terdengar bentakan orang. "Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukanmu setelah mencari bertahun-tahun lamanya!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
448 Hek-i Mo-ong saat itu sudah duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita
luka yang cukup berat. Pukulan yang diterima-nya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok membuat
luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling Emas Kam Hong makin
menghe-bat dan dalam keadaan luka parah sekali itu dia masih mengadu tenaga dengan
muridnya sendiri. Kalau bukan Hek-i Mo-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali,
tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pukulan sakti yang melandanya ber-tubi-tubi itu. Maka
ketika terdengar bentakan itu, walaupun telinganya dapat menangkapnya, dia ma-sih saja
duduk bersila dengan mata terpejam dan dia sibuk mengatur pernapasan. Juga Bi Eng ma-sih
duduk bersila dan mengatur pernapasan meng-usir kepeningan kepalanya. Tinggal Ceng
Liong seorang yang begitu mendengar bentakan ini lalu membalikkan tubuh menghadapi
orang yang baru datang itu.
Ternyata yang muncul itu seorang pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua
puluh tahun. Seorang pemuda bertubuh jangkung, dengan pung-gung agak bongkok,
pakaiannya sederhana dan si-kapnya juga sederhana seperti orang biasa. Akan tetapi sepasang
mata yang mencorong itu, dan wa-jah yang mengandung bayangan dendam penuh kebencian,
membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia dapat menduga bahwa orang ini datang
bukan dengan niat hati yang baik. Dengan penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu
karena dia merasa seperti pernah mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan di
mana. Pemuda itu agaknya tidak memperhatikan Ceng Liong karena pandang matanya ditujukan
terus ke-pada Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan
tenang na-mun penuh ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan terkejutlah Ceng
Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh. Pedang itu mengeluarkan
sinar berkilat ketika di-cabut dan tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang sembarangan,
melainkan sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik dan ampuh.
"Hek-i Mo-ong, jangan berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!" pemuda
itu membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong yang masih
duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.
"Perlahan dulu, sobat!" Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua
kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpe-dang itu dan dia bertolak pinggang
menghadang. "Mau apa engkau datang menghampiri guruku de-ngan menghunus pedang?"
Pemuda itu tertegun, mengamati wajah Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik
napas panjang. "Aih, jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu" Bagus, membasmi
pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh lagi!"
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan kini dia melihat sesuatu yang menggugah ingatannya.
Tahi lalat di ujung bawah telinga kiri itu! Terbayanglah dia ketika anak laki-laki berusia tiga
belas tahunan itu memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di tangan Hek-i Mo-ong,
pandang mata anak laki--laki itu yang penuh dendam kebencian kepada Hek-i Mo-ong!
"Ah, kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin....!"
Pemuda itu tersenyum. "Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki ingatan baik sekali.
Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu membawa pergi jenazah suhu ketika
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
449 suhu terbunuh oleh gurumu. Dan sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam yang
bertumpuk-tumpuk!"
Ceng Liong melihat betapa sikap pemuda ini gagah dan tidak kelihatan jahat. Diapun teringat
kepada mendiang Yang I Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang pendekar daripada
seo-rang sesat, walaupun pada waktu itu Yang I Cin-jin agaknya ikut pula bersekutu dengan
para pem-berontak. Diapun menarik napas panjang.
"Pouw Kui Lok, urusan antara guruku dan gu-rumu dahulu itu adalah urusan pribadi. Tentu
engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang menyerang lebih dahulu adalah gurumu
dan mereka lalu berkelahi secara adil. Kalau seorang di antara mereka kalah dan tewas,
bukankah hal itu wajar saja" Urusan di antara mereka, kenapa engkau harus
mencampurinya?"
Diam-diam Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu mempunyai pandangan seperti itu! Maka,
kema-rahannya terhadap Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan suaranyapun
terde-ngar lembut.
"Orang muda, urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau tidak tahu berapa
banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh mendiang kakek guruku yang
bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh paman guruku Yang Heng Cin-jin dan
memperkosa isterinya. Kemudian, ketika guruku mencoba untuk membalas dendam, guruku
malah tewas di tangan-nya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku mendi-amkannya saja"
Selama ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua kulakukau hanya untuk hari ini,
untuk membalas semua itu kepada guru-mu. Sebaiknya engkau jangan mencampuri, dan aku
tidak akan mengganggumu. Biarlah permu-suhan habis di sini saja setelah gurumu atau aku
tewas dalam suatu perkelahian yang adil!" Sikap Pouw Kui Lok gagah sekali dan diam-diam
Ceng Liong merasa menyesal mengapa dia harus berdiri di situ sebagai murid Hek-i Mo-ong,
sehingga dia terpaksa terlibat dalam urusan permusuhan pribadi yang tidak menyenangkan
itu, karena bagaimanapun juga dia dapat merasakan bahwa per-musuhan itu diawali oleh
perbuatan gurunya yang tidak benar.
"Pouw Kui Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas kematian gurumu. Aku tidak akan
mencam-puri urusan permusuhan pribadi, akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong sedang
dalam keadaan sakit, maka aku akan melarangmu kalau engkau hendak menyerangnya. Aku
terpaksa mencampuri karena melihat ketidakadilan...."
"Ho-ho-ho, siapa bilang aku sakit" Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan
ha-nya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk membunuhnya satu demi
satu!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan tertawa-tawa dengan sikap mengejek.
"Suhu....!" Ceng Liong berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhunya hanya
berpura-pura saja karena sebenarnya suhunya terluka parah dan tidak mungkin dapat
mengha-dapi lawan tanggah.
"Heh-heh, Ceng Liong. Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh" Jangan
kau turut campur, biar kuhabiskau riwayat bocah scmbong itu!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
450 Mendengar ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu
men-dengar bahwa musuh besarnya berada dalam kea-daan sakit, kini mendengar ucapan dan
tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega. De-ngan pedang di tangan, dia lalu
mengeluarkan suara geraman nyaring menyerang ke arah Hek-i Mo-ong. Akan tetapi,
bayangan Ceng Liong berkelebat dan pemuda remaja ini sudah mengha-dangnya dan
memandangnya dengan tajam.
"Guruku sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!"
"Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencam-puri urusanku!"
Akan tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan
pe-dangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw
Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping. Pada saat itu, muncullah dua orang tosu
berpakaian kuning dan mereka segera menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata,
"Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!" Dan mereka-pun langsung
menyerang Ceng Liong dengan ta-ngan kosong.
Ceng Liong melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan
ko-song akan tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka menyambar
dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang tosu ini bukan
lawan yang lunak, maka diapun cepat mengelak dan menangkis pu-kulan tosu ke dua untuk
mengukur tenaganya.
"Dukk!" Tosu itu hampir terjengkang dan me-langkah sampai lima langkah ke belakang
dengan muka berobah.
"Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!" katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati
sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang sudah
diserang oleh Pouw Kui Lok.
Hek-i Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya,
hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya ini
amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap
bentuknya berobah menjadi sinar terang yang menyambar laksana kilat. Memang
sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan telah berhasil mewa-risi ilmu pedang
mendiang Yang I Cin-jin, bahkan telah memperdalam ilmu pedangnya di Kun-lun-pai
sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin adalah seorang tosu, dan
biarpun bukan menjadi pendekar budiman yangg terkenal, setidaknya bukan penjahat dan
sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai. Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok
menceritakan ten-tang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau
membantunya, menggem-blengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari mu-suh besarnya, dua
orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suhengnya menemaninya. Sebagai pendekar-
pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena
urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi me-reka
menemani pemuda itu karena ingin memban-tunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu
pedang-nya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong. Inilah
sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng
Liong membantu gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk bertanding
secara adil melawan musuh besarnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
451 Biarpun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya,
akan tetapi andaikata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita
luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mam-pu mengalahkannya. Akan tetapi
saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali. Dipakai bernapas saja dadanya terasa
nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya. Dan
penyerangnya yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-
gulung dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini. Dia tidak berani mempergunakan
kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat ampuh
dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga sin-kang.
Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan apabila
dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.
Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia
tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang
demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tan-tangan tadi. Kini, dia terkejut
melihat betapa mu-ridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga tentu saja Ceng Liong tidak
dapat membantunya. Dia harus menghadapi sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata
pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, su-dah dua
kali tubuhnya terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek.
Darah bercucuran!
Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini
tidak mengenal siapa adanya pemuda dan dua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan
Ceng Liong. Akan tetapi, iapun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah pendeta yang
mengutamakan kebaikan. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Pendekar Suling Emas dan
ayahnya sudah seringkali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari
keadaan lahirnya. Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, ke-kayaannya, kepandaiannya,
agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah manusianya itu
sendiri, lepas dari pada se-mua pakaiannya yang kadang-kadang hanya di-pakai untuk
menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan keburukannya.
Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali, walau-pun mereka behum juga dapat mendesak Ceng
Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu mena-han dua orang tosu yang demikian lihainya,
diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepa-danya. Dan ketika dara remaja ini
menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan alisnya. Kakek itu sedang
terluka parah dan kini didesak amat hebatnya oleh pemuda berpe-dang. Sudah terluka di sana-
sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng mempu-nyai harga diri. Ia tidak
mungkin danat turun ta-ngan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti pengeroyokan
dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan urnsan pribadi dua orang itu.
Bagaimanapun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya, kalau kini ia
men-diamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan
matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak
mengenal budi sa-ma sekali! Secara otomatis, matanya mulai men-cari-cari senjata karena
suling emasnya telah hi-lang ketika ia berkelahi melawan Louw Tek Ciang.
Melihat keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw Kui Lok memperhehat desakannya.
Pedang-nya membentuk sinar bergulung-gulung yang se-perti tali-temali melibat-libat tubuh
Hek-i Mo-ong. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
452 "Cetttt....!" Kembali ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu
terhuyung dan terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan
kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehirgga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke
dalam dada Hek-i Mo-ong.
"Cratttt....!" Kakek itu meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar
menyambar ke arah kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak
disangkanya bahwa kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu
melakukan serangan sedemikian he-batnya! Itulah ilmu mujijat Coan-kut-ci (Jari Penembus
Tulang) dari Hek-i Mo-ong! Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena
ilmu ini membutuhkan pengerahan sin-kang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama
saja dengan membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat.
Maka baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dada-nya, dia mengeluarkan ilmu ini.
"Crokkk....!" Betapapun lihainya Pouw Kni Lok dan biarpun dia sudah berusaha untuk
mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu
tetap saja men-cengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur,
dan ujung tulang pun-dak juga patah! Pouw Kui Lok mengeluh kesakit-an dan meloncat ke
belakang. Pundak kirinya ter-luka parah dan lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi
melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi
tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting
digerakkan secara istimewa menyerangnya dari samping!
Pouw Kui Lok terkejut dan menangkis dengan pedangnya. "Trakkk!" Ranting itu tertangkis,
akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan ta-hu-tahu ujung runting hampir menusuk
matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuh-nya ke belakang, terus
bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat dingin membasahi lehernya karena nyaris
matanya buta oleh tusukan ranting tadi. Ketika dia meloncat dan menyeringai kesa-kitan
karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat
de-ngan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja
yang wajah-nya masih pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.
"Suheng, pergi....!" Pouw Kui Lok berseru. Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil
menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti
akan mati, dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis
remaja yang memi-liki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan
menghadapi Ceng Liong, nme-loncat jauh ke belakang dan mereka bertiga me-larikan diri.
"Suhu....!" Ccng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan
kiri ke dadanya, wajahnya berseri akan te-tapi pucat sekali dan berdirinya terhuyung-huyung.
Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, dalam saat terakhir, muridku membelaku dan calon isterinya juga membantuku.
Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang
muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!" Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat
dipondong oleh Ceng Liong. Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng Liong
memondongnya dan me-rebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek
yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya.
Hatinya merasa terharu, apalagi ketika melihat bahwa gurunya telah menderita luka pa-rah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
453 sekali. Dada dan punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu.
Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka
berdua. Pada saat itu ada angin menyambar dan ber-kelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ
telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga menyusul dan
betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka meli-hat Bi Eng berada di tempat itu
dalam keadaan selamat, akan tetapi gadis itu berlutut di dekat tu-buh Hek-i Mo-ong yang
terluka parah, bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa
jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bcrcucuran dan
menghilangkan rasa nyeri.
Akan tetapi begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya
de-ngan halus dan diapun seperti memperoleh keku-atan baru, bangkit duduk lalu berdiri
menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya! "Heh-heh-heh, orang she Kam! Engkau
datang untuk me-lanjutkan perkelahian denganku" Baik, hayolah, aku sudah siap!" katanya
menantang. Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia
kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri mere-kapun terculik dan nyaris
celaka. "Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini ada-lah iblis jahat yang sudah sepatutnya
dienyahkan dari muka bumi!" bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.
"Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semuapun pada akhirnya akan
lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa
pena-saran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang
berhasil mengalahkan aku!" Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicarapun
sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati daripada hidup. Akan tetapi dia kelihatan
gembira mengha-dapi kematiannya dan dengan kedua tangannya membentuk cakar penuh


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.
Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pende-kar besar yang pantang melakukan hal-hal
yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biarpun dia
marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebab-kan tewasnya para pelayannya
yang dianggap se-bagai murid-murid pula, namun dia nampak ra-gu-ragu untuk menyerang
orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja telah berdiri menghadang
antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah
dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak
lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu be-rani berdiri menghadapi dan
menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!
"Suhuku sudah terluka dan tidak dapat mela-wan, biarlah aku yang menggantikannya
mengha-dapimu kalau engkau hendak menyerangnya." ka-ta Ceng Liong dengan sikap tenang
sekali, menan-dakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang
berpakaian sastera-wan sederhana ini. Diapun tahu dari ucapan gu-runya tadi bahwa
sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
454 Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid
Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. "Hemm, tidak patut aku menyerang seorang
bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku
mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat daripada gurunya kelak!"
Akan tetapi anak muda itu hanya berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang.
"Majulah," kata Kam Hong. "Engkau boleh me-wakili gurumu menghadapiku!"
Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin memusuhi siapapun juga, akan
tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapapun juga!"
Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari
hidungnya. "Hemm, seorang murid yang berbakti, ya" Murid iblis tua tentu menjadi calon
iblis pula!"
"Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan
mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti
daripada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!" Hek-i Mo-ong terkekeh, akan
tetapi ter-paksa dia cepat duduk bersila dan mengatur per-napasan karena kata-katanya dan
tawanya tadi membuat darah mengucur keluar dari luka di da-danya.
"Hahh!" Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong.
Tampar-an yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga
terdengar suara angin mendesis."Dukk! Dukk! Dukkk!" Tiga kali Kam Hong melakukan
tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan
baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa
tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang
mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah
bualan belaka. Anak ini, biarpun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari
kakek iblis itu! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andaikata diadukan
antara Hek-i Mo-ong -dan Ceng Liong, agaknya kakek itupun belum ten-tu akan mampu
mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma
Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han.
Selain itu, juga semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong telah diwarisinya.
Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau
membuang waktu lagi dan diapun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan
mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis
ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa
puterinya dalam keadaan sehat dan selamat. Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau
mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena iapun tahu bahwa Hek-i Mo-
ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga
mengakibatkan tewasnya para pelayan. Akan tetapi ke-tika ia melihat ayahnya menyerang
Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabnt suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan
kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong
yang telah begitu baik terhadap dirinya.
"Ayah....! Jangan....!" teriaknya sam-bil melompat.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
455 Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid
musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakan-nya, berdiri dan memandang
puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.
"Bi Eng! Kau kenapakah?" bentak ayah ini. Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya
telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah
melarangnya membunuh musuh yang jahat ini!
Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat
Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melin-dungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.
"Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!"
"Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?" tanya Kam Hong meragu.
"Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul
dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan di-obati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia
telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai im-balannya ayah hendak
membunuhnya?"
Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah
mu-rid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu
meno-long puterinya.
"Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!"
"Bukan Ceng Liong yang membunuh, melain-kan penjahat cabul itu dan gurunya!" Bi Eng
membela. Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan
penja-hat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau
memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembu-nuhan, dan sudah menyelamatkan
Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.
"Baik," katanya, "akan tetapi suruh dia ming-gir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat
Hek-i Mo-ong itu." Diapun melangkah maju dengan suling di tangannya.
"Siapapun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!" kata Ceng Liong,
sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas. Si-kap pemuda ini kembali
membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapa orangnya tidak akan ma-rah kalau
menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya"
"Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa
untuk membelaku...."
"Apa....?" Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak
disangkanya. "Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu di-tolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka
parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
456 hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan
tetapi dia sen-diri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong."
Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa
Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan
ganas. Entah bera-pa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan tetapi, kakek
itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau kini dia menyerang dan mem-bunuhnya, apakah dia
tidak akan merasa menyesal selama hidupnya" Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan,
berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan
watak seorang pendekar.
Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya
menye-ringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa
karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerah-kan kekuatan terakhir yang
masih bersisa, dia berkata, "Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti
aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati
siapa takkan bangga dan se-nang" Jangan khawatir, tanpa kau turun tangan-pun aku takkan
hidup lama lagi. Akan tetapi se-belum mati aku ingin memberitahu kepadamu bahwa
puterimu ini akan menjadi isteri murid-ku...."
"Apa" Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah
menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih daripada itu. Sampai mati kami tidak sudi
berbe-san denganmu!"
"Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!"
Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-
tiba menjadi marah. "Bi Eng! Apa artinya ini" Benarkah engkau berjanji seperti itu?"
"Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!" jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam
Hong saja ia dapat merobah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas
dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir membayang-kan puterinya akan
menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walaupun ia ha-rus mengakui
bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dili-hatnya tadi
ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.
"Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau men-jadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti
Hek-i Mo-ong itu" Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?"
Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak
per-nah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji
mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia
membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk. Akan
tetapi, mengenai per-jodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikir-kan. Biarpun
demikian, ketika didesak ibunya, da-lam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak
dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.
"Tidak, ibu, aku tidak mau."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
457 Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa
sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah
memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka
biasa saja. Kalau dia ber-sikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan
karena pada dasarnya dia memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan
matanya. Biarpun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya je-las
memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan
tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhunya
dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini,
bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, me-lainkan hanya untuk
menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.
"Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sen-diri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri
mu-ridmu!" kata nyonya itu dengan hati lega.
Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat beta-pa gurunya yang sudah tua itu kini
memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu
kecewa sehingga mewek-mewek seperti anak kecil yang mau me-nangis. Sepasang mata
kakek itu yang sudah kehi-langan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian
kepada Bi Eng dengan penuh duka, ke-mudian kepada suami isteri pendekar itu.
"Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ah, aku tidak
akan dapat mati dengan tenang kalan mereka belum terikat jodoh...." Seluruh sikap dan kata-
kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang antat
menyedihkan. Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong
dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkel-kan. Puteri tunggal mereka hendak
dijodohkan dengan murid datuk sesat itu" Sungguh merupa-kan suatu penghinaan besar!
Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam
keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menye-rangnya.
"Hek-i Mo-ong," kata Kam Hong dengan si-kap tenang, mendahului isterinya yang
dikhawatir-kannya akan mengeluarkan kata-kata keras. "Engkau tentu tahu bahwa kami
sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi
calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu
kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!" kata Kam Hong mengajak
puterinya dan isterinya untuk me-ninggalkan tempat itu.
"Kam Hong, kau.... kau....!" Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan,
maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba
dia mengeluh dan roboh terguling.
"Suhu....!" Ceng Liong dengan sigap me-rangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas
dalam pelukannya, tak bernapas lagi! Kakek itu tewas dengan muka membayangkan
kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah
merasa yakin bahwa ka-kek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di
atas tanah dengan sikap tenang.
Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian
Kam Hong melangkah maju. "Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
458 ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya
dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang
juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka
aku sudah membu-ang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, eng-kaulah murid yang
mewarisi kepandaiannya. Nah, kalau memang engkau mempunyai dendam terha-dap kami
dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silahkan agar urusan itu dapat
diselesaikan sekarang juga." Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan
tantangan. Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda
remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang,
akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, juga sikap pe-muda itu sama
sekali tidak mirip penjahat, maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk
menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan an-tara dia dan pihak Hek-i Mo-ong sampai di
situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja
iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan
tetapi kalau pe-muda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan
agar beres. Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas.
Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa
menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul ka-sih sayang gurunya terhadap
dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah
menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian. Biarpun dia tahu
bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah
melihatnya melakukan kejahatan, dan ter-hadap dirinya amat baik. Memang dia melihat dan
mengalami sendiri betapa gurunya dengan bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah
menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu.
Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara me-reka. Dia sendiri tidak
menyetujui cara hidup gu-runya, dan andaikata suhunya tidak menolong dan menyelamatkan
nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar
keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkor-ban nyawa,
hatinya terharu dan berduka juga. Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas.
Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong. Dia
sendiri tidak menyesal kalau tidak diperboleh-kan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu
adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri, akan tetapi cara penolakan keluarga
Kam itu ter-hadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!
"Kam-locianpwe," katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. "Aku tidak pernah
men-campuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku
membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatut-nya mengingat dia guruku. Kini
dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi, pernyataanku
ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan
rasa bencinya kepada su-hu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya
melalui aku sebagai muridnya, aku-pun tidak akan mengelak. Kalau locianpwe hendak
memusuhi aku sebagai murid suhu, akupun tidak akan melarikan diri."
Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi,
walaupun dia bersikap hormat. Ucapannya mengandung penyambutan tantangan!
Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului
isterinya yang berkata, "Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
459 baik-baik" Aku khawatir anak ini kelak akan le-bih jahat dari pada gurunya!" Bu Ci Sian
memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja
dia tidak begitu bi-nal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya
melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi akupun kematian enam
orang muridku. Biarpun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi
sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya
biarpun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang
saling bertentangan. Daripada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja.
Nah, kau majulah, orang muda!"
Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah
mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur. Wajah Ceng
Liong berobah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya seringkali mengatakan
bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi
hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat. Dia
sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan se-perti
mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merobah
jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi
semakin menjauh dan ganas.
"Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe
me-nantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya
dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, aku-pun tidak akan mundur
selangkahpun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silahkan!"
Diapun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak per-nah
memegang senjata, maka diapun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja!
Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wa-jah Kam Hong juga menjadi merah.
"Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!"
Aku hanya memiliki sepasang lengan dan se-pasang kaki, itulah senjataku!"
Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan
suling emasnya, maka diapun menyelipkan snlingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan
kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.
"Orang muda, lihat seranganku!" katanya dan diapun menerjang dengan amat cepatnya. Pada
waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi dan serangannya itu membawa
hawa pukulan yang dahsyat sehingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong,
menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja
yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu
mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, se-dangkan jari-
jari tangan itu menampar ke dada.
Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya
lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas
menyerang, karena dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
460 yang lihai ini. Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu ti-dak
melanjutkan pukulannya. Tangan kiri ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar,
mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini ta-ngan kanan yang memukul itu melayang
tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikitpun.
Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini meng-gunakan pukulan yang sama
sekali tidak mengan-dung sin-kang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan
lunak" Apakah pende-kar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan
serangan seperti itu ringannya" Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka diapun
kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu
terpental. "Dukk!" Dan tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa
melang-kah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan
mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Se-baliknya, Ceng Liong terkejut dan
merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sin-kang akan
tetapi begitu ditangkis-nya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya mem-balik dan membuat
dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi. Akan tetapi dengan ringan dia mampu
berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada. Memang tadi Kam Hong
mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang.
Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan
kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekeras-an. Maka Ceng Liong yang
mempergunakan sin--kang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.
Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, diapun
maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Kini dia membalas serangannya yang
dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh
memandang ringan sama sekali, begitu menyerang diapun mempergunakan ilmunya yang
paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!
Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil
mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut. "Ilmu keji....!" Serunya dan diapun tidak
berani semba-rangan menangkis melainkan mengelak. Akan te-tapi, ilmu ini memang hebat,
bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mu-jijat dan mengandung
hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-
tulang dan tengkorak manusia. Ja-ri-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang
dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biarpun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-
jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan
dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang
ganas. "Plak-plak-plakk!" Terpaksa Kam Hong me-nangkis beberapa kali untuk memunahkan daya
serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serang-an Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan
setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sin-kang, barulah daya serang jari-
jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh
beradunya kedua ta-ngan itu.
"Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah
Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!" Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara
ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayah-nya dan Ceng Liong.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
461 Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam
Hong sudah meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang
wajah pemuda re-maja yang tampan itu dan alisnya berkerut.
"Apa katamu....?" Dia berseru kepada pu-terinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah
Ceng Liong. "Dia.... dia she Suma....?"
"Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang
memberitahu padaku," kata Bi Eng.
Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur.
Bahkan dia kini bertanya halus. "Orang muda, benarkah eng-kau cucu Suma Locianpwe,
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es" Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi
murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong" Sungguh sukar dipercaya...."
Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, "Kam-locianpwe, orang
tidak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah
urusan pribadi yang ti
Hikmah Pedang Hijau 10 Bara Naga Karya Yin Yong Bukit Pemakan Manusia 18
^