Kisah Para Pendekar Pulau Es 17

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


ihkan nama keluarga kita." jawab kakek itu dengan suara
mengandung keke-rasan dan ketegasan. "Panggil pamanmu Cu Kang Bu ke sini."
Ketika Cu Kang Bu datang menghadap kedua orang kakaknya, Cu Han Bu berkata bahwa dia
dan Cu Seng Bu hendak pergi menyusul Sim Houw dan mengajak pulang anak itu, dan dia
memesan agar Cu Kang Bu menjaga lembah baik-baik.
"Akan tetapi, toako. Bukankah Houw-ji telah diserahkan kepada Kam Hong dan yang
menye-rahkannya adalah ayahnya sendiri?" Cu Kang Bu membantah, maklum bahwa
kepergian kakaknya itu berarti hanya akan memperdalam permusuhannya dengan keluarga
Kam saja. "Akan tetapi, aku adalah ibu kandungnya, paman! Aku berhak memintanya kembali dan
dalam hal ini aku diwakili ayah. Sebagai kakeknya, ayah berhak mewakili aku untuk minta
kembali Houw-ji!" Pek In berseru dengan nada suara penuh kemarahan. Iapun tahu bahwa
watak paman ke tiga ini lain, dan dalam banyak hal, Cu Kang Bu condong kepada suaminya.
Cu Kang Bu menggerakkan kedua pundaknya. "Terserah kepadamu. Tentu saja sebagai
ibunya, engkau berhak mengaturnya. Akan tetapi kalau yang menyerahkan ayahnya, dan yang
meminta ibunya, hal itu sama saja dengan membuka borok di muka umum, membuat orang
mengerti bahwa ada ketidakcocokan antara suami isteri," kata Cu Kang Bu.
"Sudahlah, sam-te. Kami sendiri tidak mempersoalkan itu, yang kami ingat hanyalah bahwa
kalau kita menyerahkan Houw-ji kepada keluarga Kam, sama saja artinya bahwa kita telah
merasa jerih dan merasa tidak mampu menandinginya. Penyerahan Houw-ji sama saja dengan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
492 tanda tak-luk. Karena itulah maka aku dan ji-te akan pergi ke sana untuk memintanya
kembali." Cu Kang Bu tidak dapat membantah, hanya merasa prihatin sekali ketika kedua orang
kakaknya berangkat meninggalkan Lembah Naga Siluman untuk pergi menyusul Sim Houw
dan mengajak anak itu kembali ke lembah. Dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi
ketegangan di sana dan dia hanya mengharapkan saja agar kedua orang kakaknya yang sudah
belasan tahun bertapa dan berlatih siu-lian itu kini memiliki cukup kesabaran untuk
menjauhkan pertikaian baru.
Dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu melakukan perjalanan secepatnya. Mereka
memiliki cukup bekal untuk membeli kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan
membalapkan kuda mereka, ditukar di setiap tempat setelah kuda me-reka kelelahan. Karena
mereka hanya merupakan dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pen-deta, tidak ada
gangguan di perjalanan dan akhir-nya, pada suatu siang, tibalah mereka di Puncak Bukit
Nelayan, di sebelah selatan kota Pao-ting.
Mereka langsung mendaki bukit itu dengan jalan kaki, meninggalkan kuda mereka di dusun
sebelah bawah dan ketika mereka tiba di gedung tua tem-pat tinggal keluarga Kam, kebetulan
sekali saat itu Kam Hong dan isterinya sedang melihat murid mereka berlatih silat yang baru
pada taraf gerakan dan geseran kaki membentuk dan merobah kuda-kuda yang dipergunakan
dalam Kim-siauw Kiam-sut.
Melihat munculnya dua orang laki-laki sete-ngah tua berpakaian pertapa, Kam Hong dan
iste-rinya memandang penuh kecurigaan, teringat akan malapetaka yang baru saja menimpa
keluarganya. Tentu saja mereka merasa curiga karena mereka tidak mengenal siapa adanya dua orang ini
yang melihat sinar mata mereka tentu sedang berada dalam keadaan marah.
"Kong-kong....!" Sim Houw menghentikan latihannya, lari menghampiri dan berlutut di
depan seorang di antara dua kakek itu dan seketika ter-ingatlah Kam Hong dan Ci Sian siapa
adanya dua orang kakek itu. Kiranya dua orang tokoh Lembah Naga Siluman yang dahulu
disebut Lembah Suling Emas!
"Aih, kiranya ji-wi locianpwe Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu yang
datang berkunjung!" kata Kam Hong sambil men-jura dengan hormat, diturut oleh isterinya.
Dua orang pertapa itu membalas penghormatan Kam Hong dengan sikap kaku, hanya
mengangkat dan merangkap kedua tangan di depan dada se-bentar saja, kemudian Cu Han Bu
berkata dengan lantang.
"Kam-sicu, kami datang untuk menjemput cucu kami Sim Houw dan mengajaknya pulang!"
Suami isteri itu saling pandang dan bersikap waspada. Dari sikap dan nada suara kakek itu
saja mereka berdua maklum bahwa dua orang itu datang bukan membawa iktikad baik,
melainkan di-dorong oleh hawa permusuhan yang panas.
"Locianpwe, Sim Houw adalah murid saya dan dia datang dibawa oleh ayahnya sendiri."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
493 "Kam Hong!" kini Cu Han Bu tidak lagi berpura-pura sopan melainkan menurutkan kata
ha-tinya yang panas. "Mana mungkin ada keganjilan seperti ini" Mana mungkin keturunan
keluarga Cu berguru kepada orang she Kam" Apakah kaukira kami sudah takluk dan tunduk
kepadamu, sudah menganggap kepandaianmu paling hebat di dunia sehingga cucu kami harus
menjadi muridmu?"
Ucapan itu sudah bernada menyerang. Kam Hong masih tenang saja, akan tetapi Bu Ci Sian
yang memang memiliki watak keras, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah
muka tamunya. "Orang she Cu, dengarkan baik-baik! Bukan kami yang membujuk Sim Hong
Bu datang ke sini. Dia datang sendiri bersama puteranya dan mengajukan pinangan kepada
puteri kami. Dan adanya puteranya di sini adalah atas persetujuan kedua pihak untuk saling
menurunkan ilmu kepada anak kita masing-masing. Kalau kalian datang mencari perkara dan
mengajak berkelahi, bilang saja terus terang, jangan memakai kata-kata yang memutar!"
"Eh, siapa takut kepadamu?" Cu Seng Bu juga membentak dan meloncat ke depan. Dia dan
nyo-nya rumah sudah saling berhadapan, seperti dua ekor ayam yang berlagak hendak saling
terjang. Akan tetapi Kam Hong maju memegang lengan isterinya dan dengan lembut
menariknya mundur, sedangkan Cu Han Bu juga menyentuh lengan adiknya agar adiknya
bersabar. "Kami bukan datang untuk mengajak berkelahi walaupun kami tidak pernah akan mundur
apabila ditantang. Kami adalah kakek Sim Houw, dan kami datang mewakili ibu kandung
anak itu untuk mengajaknya pulang. Hanya itu saja keperluan kami dan terserah bagaimana
kalian menyambut dan menanggapinya!"
Ci Sian hendak menerjang dengan kata-kata lagi, akan tetapi suaminya menyentuh tangannya
dan Kam Hong mendahuluinya. " Maaf Cu-locian-pwe. Sebagai tuan rumah, tentu saja kami
menyam-but kunjungan ji-wi locianpwe sebagai tamu de-ngan hormat dan senang hati. Mari,
silahkan ji-wi duduk di sebelah dalam dan kita bicara dengan leluasa."
"Tidak perlu, terima kasih. Cukup di sini saja, karena keperluan kami hanya menjemput cucu
kami," jawab Cu Han Bu yang masih bersikap kaku.
Kam Hong tersenyum dan menarik napas pan-jang. "Sesuka locianpwe kalau begitu. Harap
ji-wi suka mendengarkan dengan baik-baik. Di dalam urusan Sim Houw menjadi murid saya
ini tidak terdapat sesuatu yang buruk dan tercela...."
"Hemm, bagi kami tetap saja buruk kalau se-orang keturunan keluarga Cu berguru kepaada
orang she Kam!" Cu Seng Bu memotong.
Kam Hong tetap tersenyum. "Agaknya ji-wi lupa bahwa Sim Houw bukanlah she Cu
melainkan she Sim, jadi yang berhak menentukan tentang keadaan dirinya adalah ayah
kandungnya, Sim Hong Bu yang menjadi sahabat baik kami. Sim Houw dibawa ke sini oleh
ayahnya, dia diserahkan oleh ayahnya sendiri kepada kami sebagai penukar anak kami yang
dibawa Sim Hong Bu untuk dididik."
"Jadi jelasnya, engkau tidak mau menyerahkan Sim Houw kepada kami yang menjadi
kakeknya" Begitukah?" Cu Han Bu bertanya, nadanya me-nantang.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
494 "Ada tiga cara untuk mengajak Sim Houw pergi dan kalau satu di antara tiga cara itu
terpenuhi, dengan senang hati kami akan melepas Sim Houw pergi. Pertama, karena yang
menyerahkan dia kepada kami adalah Sim Hong Bu, maka biarlah Sim Hong Bu sendiri yang
datang menjemput dan memintanya kembali. Ke dua, karena anak ini berada di sini sebagai
penukar anak kami, maka kalau anak kami dikembalikan, boleh saja kedua anak itu ditukar
kembali. Ke tiga, kalau memang Sim Houw yang menghendaki sendiri pergi dari sini, tentu
kamipun tidak akan mau menahan atau memaksanya. Nah, kami harap saja ji-wi locian-pwe
dapat berpikiran luas dan bertindak bijaksana sesuai dengan nama besar ji-wi, dan tidak hanya
menuruti nafsu kemarahan sehingga kelak dapat ditertawakan orang gagah sedunia!"
Cu Han Bu dan adiknya adalah orang-orang gagah dan tentu saja mereka dapat menerima
ucapan itu dan dapat melihat bahwa Kam Hong sudah bersikap jujur dan adil. Kalau mereka
tidak dapat menerima, berarti merekalah yang bo-ceng-li (tidak mengenal aturan) dan mereka
akan berada di pihak salah kalau sampai terjadi bentrokan au-tara mereka. Akan tetapi, cara
pertama menyuruh Sim Hong Bu datang sendiri tidak mungkin, juga cara ke dua menukarkan
kembali dua orang anak -itu tidak mungkin pula, yang ada hanya tinggal cara ke tiga. Mereka
dapat membujuk Sim Houw untuk pulang dan kalau memang Sim Houw mau pulang,
keluarga Kam tidak akan mau menahan atau memaksanya. Maka Cu Han Bu lalu
meng-hampiri Sim Houw, mengelus kepala anak itu dan berkata dengan suara halus.
"Houw-ji, cucuku yang baik. Ibumu menyu-ruh kami menjemputmu dan mengajakmu
pulang. Ibumu selalu menangis dan rindu kepadamu, dan kalau kau pulang, aku sendiri yang
akan menggem-blengmu dengan ilmu-ilmu ciptaanku yang baru, yang tidak akan kalah
dibandingkan dengan ilmu yang bagaimanapun. Marilah, kau pamitlah kepa-da tuan rumah
dan ikut kami pulang ke lembah, cucuku."
Sim Houw adalah seorang anak yang pendiam akan tetapi bukannya tidak cerdik. Mendengar
ucapan kakeknya, dia tahu bahwa kakeknya hanya membujuknya. Selamanya, belum pernah
dia me-lihat ibunya menangis! Ibunya adalah seorang wanita gagah yang pantang menangis.
Mana mung-kin sekarang ibunya begitu cengeng, menangis hanya karena rindu kepadanya"
Dia tidak percaya. Dan tentang mempelajari ilmu, bukan dia tidak ingin menerima pelajaran
ilmu-ilmu sakti dari kakeknya, akan tetapi setelah dia mengetahui un-tuk apa dan sebab apa
dia belajar di bawah bim-bingan Pendekar Suling Emas Kam Hong, diapun tidak mungkin
dapat meninggalkan tempat ini tan-pa setahu ayahnya. Dia dapat menduga bahwa tentu terjadi
pertentangan antara ayahnya dan kakeknya, dan tentu saja dia berpihak kepada ayahnya.
Sejak kecil, jarang dia bertemu dengan ka-keknya, apalagi bergaul karena kedua orang
kakeknya yang kini muncul selalu bersembunyi di dalam guha pertapaan dan tidak pernah
bersikap manis kepadanya.
"Tidak kong-kong." katanya dengan suara te-gas. "Aku tidak mau pulang dan akan tetap
ting-gal di sini."
Wajah Cu Han Bu menjadi merah. "Anak bandel! Beraniengkau membantah perintah
kakekmu?" "Kong-kong, aku tidak berani melanggar pe-rintah ayah. Aku akan tetap berada di sini
sampai ayah datang menjemputku. Harap kong-kong maafkan!" kata pula Sim Houw dengan
suara tegas. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
495 Kakek itu marah sekali, bukan marah karena penolakan cucunya, akan tetapi marah karena
kembali dia merasa dikalahkan oleh Kam Hong. Jari-jari kedua tangannya meregang dan
melihat ini, Kam Hong sudah siap-siap untuk melindungi muridnya. Tiba-tiba Cu Han Bu
memutar tubuh-nya, kedua tangannya bergerak ke arah dua batang pohon yang tadi berada di
belakangnya. Mereka memang berada di dalam kebun di mana Kam Hong melatih muridnya.
"Ciuttuuuttt.... brakkk....!" Dua ba-tang pohon itu tumbang dan runtuh, mengeluar-kan suara
hiruk-pikuk. Inilah satu di antara ilmu-ilmu baru ciptaan kedua orang kakek yang sakti itu.
Diam-diam Kam Hong kagum sekali. Pukul-an tadi memang hebat. Batang pohon yang kuat
dan sebesar perut manusia itu sekali pukul remuk dan tumbang, apalagi badan manusia!
Setelah merobohkan dua batang pohon untuk memuntahkan kedongkolan hatinya, Cu Han Bu
lalu melangkah lebar pergi dari situ diikuti oleh adiknya. Kam Hong hanya memandang
dengan sikap tenang, dan isterinya tersenyum, sementara itu Sim Houw memandang dengan
mata terbelalak karena terkejut melihat ulah kakeknya tadi.
"Sim Houw, lihat betapa saktinya kakekmu. Sayang dia pemarah. Kesaktiannya itu boleh
kautiru, hasil daripada ketekunan, akan tetapi pema-rahnya itu jangan kautiru. Nah, mulai
sekarang belajarlah dan berlatihlah dengan tekun agar kelak tidak mengecewakan
keluargamu, juga kakek-ka-kekmu itu."
Dan mulai hari itu, Kam Hong menggembleng muridnya lebih tekun lagi dan pemuda remaja
itupun mengimbangi ketekunan gurunya dengan berlatih setiap ada kesempatan. Terjadilah
perlombaan antara Kam Hong dan Sim Hong Bu dalam melatih murid masing-masing, seperti
juga per-lombaan antara keluarga Kam dan keluarga Cu. Akan tetapi bentuk perlombaan
antara kedua orang pendekar sekali ini adalah perlombaan yang sehat, yang dapat membawa
kemajuan kepada kedua pihak.
*** Senja itu cerah akan tetapi tidak mampu menjernihkan batin orang-orang yang sedang
melakukan perbuatan jahat itu. Senja yang cerah dan tadinya hening itu kini dikotori oleh
teriakan-te-riakan, tawa bergelak, dan jerit tangis. Segerombolan orang laki-laki yang rata-rata
bersikap kasar, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkumis
lebat sedang menyerbu dua rumah yang agak terpencil di luar dusun pada sore hari itu. Pihak
tuan rumah meng-adakan perlawanan yang sia-sia, karena beberapa orang pria dari dua
keluarga itu dalam waktu singkat saja sudah rohoh bermandi darah terkena bacokan dan
tusukan golok gerombolan perampok itu. Kemudian, kepala gerombolan muncul dari rumah
sebelah kiri, tertawa-tawa dan kedua lengannya yang berbulu dan besar-besar itu mengempit
tubuh dua orang wanita dusun yang cukup cantik. Dua orang wanita itu menjerit dan meronta-
ronta, namun mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak mampu melepaskan diri dari
rangkulan kedua lengan yang kekar itu. Para anak buahnya bersorak dan tertawa-tawa ketika
meli-hat pemimpin mereka menawan dua orang wanita itu dan teriakan-teriakan yang bernada
kotor dan cabul terlontar dari mulut mereka.
Di balik sebatang pohon besar, seorang pria muda mengintai semua peristiwa itu sejak tadi.
Pria itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya agak pendek namun tegap,
mukanya putih dan matanya bersinar-sinar, pakaiannya mewah. Dia seorang pesolek muda
yang cukup tampan dan yang sejak tadi mengintai dan diam-diam menjadi penonton ketika
gerombolan perampok itu menjalankan aksi mereka merampok dua rumah yang terpencil itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
496 Rumah itu milik dua keluarga yang terhitung kaya di daerah itu, maka kini para anak buah
perampok dengan gembira mengangkuti peti-peti berisi pakaian dan harta benda mereka.
Ketika kepala perampok itu merangkul dua orang wanita muda yang meronta-ronta sehingga
kaki seorang di antara dua orang wanita itu nampak keluar sampai ke atas lutut, pemuda
pesolek itu memandang penuh gairah dan menggumam, "Hemm, lumayan untuk hiburan
malam ini!"
Kini para perampok keluar membawa peti-peti harta dan melihat ini, kembali pemuda
pesolek itu menggumam, "Lumayan untuk penambah bekal!" Dia sudah membayangkan
betapa malam ini dia akan menghibur diri bersenang-senang menggumuli seorang atau
mungkin keduanya dari wanita itu, dan menambah isi buntalan pakaiannya dengan emas
permata dari dalam peti itu.
Orang muda ini adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah kita ketahui, putera mendiang Louw-
kauwsu yang berhasil menipu keluarga Suma Kian Lee, bukan hanya diambil murid dan
mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, bahkan juga diambil mantu dan dia bahkan telah berhasil
memperkosa puteri Pendekar Pulau Es itu, telah ketahuan dan nyaris tewas kalau saja dia
tidak berhasil melarikan diri ditolong oleh gurunya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok. Kemudian, dia
mengikuti Jai-hwa Siauw-ok pergi ke Puncak Bukit Nelayan untuk membantu suhunya yang
hendak membalas dendam kepada keluarga Kam. Di tempat itu mereka bertemu dengan Hek-i
Mo-ong dan seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, akhirnya Jai-hwa Siauw-ok
tewas di tangan Hek-i Mo-ong sendiri karena memperebutkan Bi Eng, sedangkan Louw Tek
Ciang terpaksa melarikan diri.
Semenjak kehilangan gurunya yang amat menyayangnya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, Tek Ciang
hidup bertualang seorang diri. Dia sudah tidak mempunyai keluarga dan kini keluarga Suma
malah memusuhinya dan tentu akan selalu mencari-carinya untuk menghukumnya. Dia hidup
seorang diri, merantau ke mana-mana dan dari Jai-hwa Siauw-ok, selain mewarisi ilmu-ilmu
yang tinggi, dia juga mewarisi kegemarannya yang amat merusak, yaitu kalau membutuhkan,
tidak segan-segan melakukan pencurian dan setiap melihat wanita cantik, hatinya terpikat dan
diapun melakukan kebiasaannya yang terkutuk, yaitu mempergunakan kepandaian menculik
dan memperkosa wanita yang disukainya.
Pada senja hari itu, tanpa disengaja dia menyaksikan segerombolan perampok beraksi
menyerbu rumah dua keluarga. Dia menjadi penonton yang melihat peristiwa itu sebagai
suatu kejadian yang lucu. Biarkan mereka itu bekerja untukku, pikirnya. Kalau mereka sudah
selesai, dia tinggal turun tangan merampas dua orang wanita yang kelihatan montok dan
cukup menarik itu dan merampas beberapa buah barang berharga.
Ketika gerombolan itu sambil tertawa-tawa meninggalkan dua rumah yang sudah mereka
rampok ludes dan hendak menghilang ke dalam hutan yang berdekatan dengan rumah-rumah
itu, tiba-tiba saja Tek Ciang meloncat keluar. Gerakannya amat cepat, tahu-tahu sudah berada
di depan kepala gerombolan yang berjalan di muka.
"Serahkan dua anak ayam ini kepadaku!" bentak Tek Ciang dan tangannya sudah menusuk
ke arah sepasang mata kepala perampok itu dengan totokan yang amat berbahaya. Agaknya
pemuda ini bukan hanya hendak merampas wanita, akan tetapi juga ingin membikin buta
kepala perampok itu dengan tusukan dua buah jari tangan kanannya."Wuuuuuttt....!" Tiba-tiba
saja kepala perampok yang kumisnya tebal itu membuat ge-rakan meloncat ke belakang.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
497 Sambil tetap mengempit tubuh dua orang wanita itu, dia dapat membuat gerakan meloncat ke
belakang sedemikian ringan dan cepatnya sehingga amat mengejutkan hati Tek Ciang. Orang
yang dapat meloncat ke belakang secepat itu sambil mengempit tubuh dua orang berarti
memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan!
Agaknya kepala perampok itupun menyadari akan kelihaian pemuda yang hendak merampas
tawanannya, karena tusukan jari tangan ke arah matanya tadi benar-benar amat berbahaya dan
kalau kurang cepat sedikit saja dia meloncat, tentu kedua matanya telah menjadi buta!
Marahlah dia dan dengan suara menggeram hebat, dia mengge-rakkan tangan kanannya
melontarkan tubuh wanita yang dipegang tangan kanannya ke arah Tek Ciang sedangkan
wanita yang dipeluk tangan kirinya dia lemparkan begitu saja ke kiri. Tubuh dua orang wanita
itu melayang dan inipun membuktikan be-tapa kuat tenaga kepala perampok berkumis lebat
itu. Dengan mudah saja Tek Ciang menyambut tubuh yang melayang ke arahnya itu dan dengan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lunak tubuh wanita itu dapat dirangkulnya, kemu-dian dia menurunkan wanita itu yang segera
lari menjauh dan menangis di bawah pohon dengan ketakutan. Pada saat itu, sesosok
bayangan berke-lebat menyambar tuhuh wanita ke dua yang tadi dilemparkan tangan kiri si
kepala perampok. Cara bayangan iui menyambar tubuh itu mengagumkan hati Tek Ciang,
apalagi ketika dilihatnya bahwa yang menyambar tubuh itu adalah seorang pemuda berusia
antara dua puluh tahun dan berwajah gagah. Pemuda itupun menurunkan tubuh si gadis yang
terculik, yang berlari menghampiri kawannya dan mereka berdua berangkulan sambil
menangis. "Kau....?" Si kepala perampok terkejut dan marah ketika melihat pemuda yang baru tiba itu.
Sebaliknya, si pemuda juga memandang tajam dan tersenyum mengejek.
"Murid murtad, kiranya benar engkau yang mengotorkan nama Kun-lun-pai!" pemuda itu
meloncat ke depan menghadapi kepala perampok berkumis tebal. Kepala perampok itu marah
sekali dan cepat mencabut pedang yang tergantung di punggunguya, lalu menyerang pemnda
baju hijau yang menghadapinya itu. Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi si penuda dapat
mengelak de-ngan gesitnya.
"Phang Hok, aku datang atas nama suhu. Menyerahlah daripada harus kuwakili suhu
membunuhmu!" Pemuda baju hijau itu masih mencoba untuk mengajak damai. Akan tetapi
lawannya mendengus dan pedangnya berkelebat semakin dahsyat menyerang.
"Singg....!" Pemuda baju hijau itu mengelak sambil mencabut pedangnya dan kini terjadi-lah
pertandingan yang amat seru dan menarik. Tek Ciang berdiri menonton dengan hati kagum.
Tak disangkanya bahwa kepala perampok itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat, ilmu
pedangnya juga dahsyat. Akan tetapi pemuda baju hijau itupun ternyata memiliki ilmu pedang
yang sama ge-rakannya, bahkan lebih mantap dan lebih cepat. Dia dapat menduga bahwa
mereka itu tentulah saudara seperguruan dan melihat kelihaian pemuda baju hijau itu, Tek
Ciang mengambil keputusan lain. Melihat betapa belasan orang perampok itu kini mencabut
senjata dan bersikap hendak mengeroyok, diapun menerjang ke depan.
"Perampok-parampok hina, kalian hanya mengotorkan dunia saja!" bentaknya dan sebagai
se-orang pendekar tulen, diapun lalu menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok itu
dengan tangan kosong saja.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
498 Memang sukar mengatakan bahwa Tek Ciang seorang penjahat, walaupun dia jauh daripada
seorang pendekar! Dia tidak pernah melakukan kejahatan secara berterang. Kalau sekali
waktu dia mencuri uang, hal itu dilakukan karena dia membutuhkan untuk bekal perjalanan,
dan dia selalu tidak pernah meninggalkan jejak. Demikian pula kalau dia menculik dan
memperkosa wanita, dia melakukannya tanpa ada yang melihatnya dan untuk menghilangkan
jejaknya, bukan jarang dia membunnh wanita yang sudah dipermainkannya sampai puas itu.
Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa dia suka berhubungan atau berdekatan de-ngan kaum
penjahat. Bahkan tidak jarang dia menentang kalau terjadi kejahatan, bukan karena tergerak
hatinya menentang kejahatan itu sendiri, melainkan karena dia ingin mencari kepuasan
de-ngan anggapan sendiri bahwa dia adalah seorang pendekar. Bagaimanapun juga, dia adalah
seorang keluarga pendekar sakti Suma, keturunan para Pen-dekar Pulau Es!
Kecondongan untuk mencari nama dan kehor-matan bukan hanya merupakan penyakit yang
diderita Louw Tek Ciang ini. Keinginan agar di-anggap sebagai seorang baik, orang pandai
dan yang serba menonjol merupakan penyakit kita semua, walaupun kadang-kadang sifat itu
kita lakukan di luar kesadaran kita sendiri. Kita sukar menghentikan perbuatan-perbuatan
buruk yang sudah menjadi kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan buruk yang sesungguhnya menjadi
cara untuk mencari atau mencapai kesenangan. Akan tetapi di samping itu, ada hasrat dalam
batin kita untuk dianggap sebagai orang baik tanpa cacat. Inilah sebabnya mengapa para
koruptor condong untuk menjadi penderma paling royal. Bahkan orang yang dianggap paling
jahat sekalipun, di lubuk hatinya merindukan kehormatan dan nama baik ini. Maka terjadilah
konflik dalam batin antara kenyataan yang ada dengan keinginan yang kita dambakan. Kalau
saja pelaku kejahatan mengakui kejahatannya lahir batin, maka dunia dan kehidupan ini
agaknya akan menjadi berbeda. Kita condong untuk membela perbuatan kita, memulasnya
agar nampak tidak kotor, bahkan kita selalu mengingkari semua perbuatan buruk kita, hanya
karena ingin memenuhi hasrat hati, yaitu ingin dianggap baik dan terhor-mat itulah! Maka
timbullah kepura-puraan, timbullah kemunafikan. Perbuatan yang oleh umum dianggap baik
bagaimanapun juga, kalau hal itu dilakukan karena ada pamrih ingin dianggap baik, maka
perbuatan itu adalah suatu hal yang kotor dan palsu, yang munafik dan karenanya jelas tidak
baik lagi. Perbuatan baik adalah perbuatan yang tidak dinilai sama sekali oleh pelakunya,
perbuatan yang wajar, perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sehingga perbuatan
itu tidak ada ujung pangkalnya, tidak ada sebab akibatnya, tidak terikat karma. Perbuatan
berdasarkan cinta kasih adalah wajar, tidak melepas atau menanam budi, tidak menimbulkan
dendam, tidak ditumpuk dalam ingatan, dan selesai sampai di saat itu saja!
Pemuda berbaju hijau itupun kaget dan girang melihat munculnya seorang pemuda tampan
yang mengamuk dan menghadapi pengeroyokan anak buah perampok yang rata-rata memiliki
ilmu silat yang lumayan itu. Diapun kagum karena segera dapat melihat betapa lihainya
pemuda bertangan kosong itu menghadapi para pengeroyoknya yang semuanya bersenjata.
Perkelahian antara pemuda baju hijau itu sen-diri melawan kepala perampok tidak
berlangsung terlalu lama. Betapapun lihainya kepala peram-pok itu, menghadapi si pemuda
baju hijau, dia ka-lah cepat dan kalah tinggi tiugkatnya, kalah se-gala-galanya. Dalam waktu
kurang dari lima puluh jurus, pedang di tangan pemuda baju hijau itu sudah menusuk leher
lawannya yang roboh dan tewas seketika. Ketika pemuda itu menyimpan kembali pedangnya
dan menoleh, dia melihat be-tapa belasan orang perampok itu semua sudah roboh dan tewas,
sedangkan pemuda tampan itu se-dikitpun tidak terluka, bahkan pakaiannya yang mewah itu
sama sekali tidak knsut atau kotor. Pemuda itu kini berdiri memandang kepadanya sambil
tersenyum. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
499 "Ilmu pedangmu hebat sekali, sobat!" kata Tek Ciang memuji.
"Engkaulah yang berilmu tinggi sehingga dapat mengalahkan pengeroyokan para perampok
dengan tangan kosong saja," pemuda baju hijau itu balas memuji.
Tek Ciang tertawa, girang dan bangga karena dipuji. "Ah, dibandingkan dengan ilmu
pedangmu, apa artinya kepandaianku" Kalau tidak salah, ilmu pedangmu itu adalah ilmu
pedang dari Kun-lun-pai, benarkah" Sudah lama aku mengagumi ilmu-ilmu silat Kun-lun-pai
dan baru sekarang aku bertemu dengan seorang ahlinya. Perkenalkan, sobat, namaku adalah
Louw Tek Ciang." Tek Ciang memberi hormat yang cepat dibalas oleh pemuda itu.
"Engkau adalah penolongku, Louw-toako dan terima kasih atas bantuanmu. Namaku adalah
Pouw Kui Lok. Dugaanmu memang tepat karena aku adalah murid Kun-lun-pai, akan tetapi
sama sekali bukan tokoh ahli."Para pembaca tentu masih ingat akan nama ini. Pemuda baju
hijau itu adalah Pouw Kui Lok pe-muda murid Kun-lun-pai yang pernah mencari Hek-i Mo-
ong untuk membalaskan kematian gurunya, yaitu Yang I Cinjin yang dahulu tewas oleh Hek-i
Mo-ong. "Ah, Pouw-lauwte, kalau orang yang sudah pandai ilmu pedang seperti engkau ini masih
bukan ahli, lalu yang ahli yang bagaimana" Jangan terlalu merendahkan diri. Akan tetapi,
kalau tidak salah kepala perampok itu memiliki ilmu dari Kun-lun-pai pula. Benarkah?"
"Benar, dia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang murtad dan tersesat. Aku diutus oleh
para pimpinan Kun-lun-pai untuk mencari dan meng-hukumnya. Dia cukup lihai dan anak
buahnya juga rata-rata pandai ilmu silat. Untung ada engkau yang membantuku. Akan tetapi
marilah kita antar-kan dulu dua orang nona itu pulang dan membawa barang-barang rampasan
itu kembali ke keluarga mereka, baru kita bicara dan mempererat perke-nalan."
"Baik, kita harus menolong mereka tidak kepa-lang tanggung," kata pula Tek Ciang dengan
sikap gagah. Dua orang muda itu lalu menghampiri dua orang wanita yang masih berlutut
menangis. "Sudahlah, nona-nona, jangan menangis. Lihat, semua penjahat telah kami bunuh. Sekarang
mari kami antar pulang dan kami bawakan barang-barang keluarga nona yang dirampok."
Dengan sikap ramah Tek Ciang menghampiri mereka dan dua orang gadis itupun
menghentikan tangis mereka dan ketika mereka melihat bahwa semua penjahat telah tewas,
keduanya menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Ciang.
"Kami menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan taihiap...."
Tek Ciang tersenyum. Kebanggaan seperti hen-dak meledakkan dadanya. Kadang-kadang,
ke-gembiraan yang timbul karena kebanggaan ini lebih nikmat daripada kalau dia
memperkosa wa-nita.
"Ah, bukan hanya aku seorang yang turun ta-ngan, nona. Kami dua orang she Pouw dan she
Louw tidak akan membiarkan kejahatan merajalela di dunia ini," katanya dengan sikap orang
yang berhati lapang dan pandai merendahkan hati. Dua orang muda itu lalu mengangkut
semua barang rampokan, kemudian mengawal dua orang gadis itu kembali ke rumah mereka
yang tadi dirampok. Dan di tempat itu mereka disambut ratap tangis, bukan hanya karena
bersyukur melihat mereka pu-lang dengan selamat membawa semua barang yang dirampok,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
500 akan tetapi juga karena terlukanya para anggauta keluarga laki-laki yang tadi melakukan
perlawanan. Kui Lok dan Tek Ciang tidak berla-ma-lama di tempat itu. Mereka segera
meninggal-kan keluarga itu tanpa memberi kesempatan mere-ka berterima kasih, sesuai
dengan watak para pendekar yang tidak mengharapkan balas jasa atas pertolongan yang
mereka berikan kepada orang-orang yang dilanda malapetaka.
Demikianlah perkenalan yang terjadi antara dua orang muda itu. Ketika Pouw Kui Lok
mendengar bahwa pemuda yang lihai itu adalah murid pende-kar sakti Suma Kian Lee
keluarga Pulau Es, keka-gumannya bertambah dan diapun mempersilahkan Tek Ciang untuk
singgah di Kun-lun-pai cabang kota Tung-keng yang meliputi cabang perguruan silat ini di
daerah tengah, di mana Kui Lok kini tinggal bersama para tosu yang menjadi pimpinan kuil
Kun-lun-pai cabang Tung-keng itu. Kui Lok ingin lebih mempererat persahabatannya ka-rena
sejak lama dia sudah mendengar tentang ke-luarga Pulau Es dan merasa kagum sekali. Juga
para tosu Kun-lun-pai merasa gembira sekali dan kagum ketika mendengar bahwa pemuda
yang pesolek itu adalah murid keluarga Pulau Es!
Tek Ciang telah tinggal di kuil itu selama tiga hari ketika pada pagi hari ke empat, Hong Tan
Tosu, ketua kuil itu, seorang tosu tinggi kurus berusia enam puluh lima tahun, yang sejak pagi
tadi keluar kuil, kembali membawa dua orang tamu. Dan dua orang tamu itu adalah Cu Han
Bu dan Cu Seng Bu.
Seperti kita ketahui, dua orang sakti dari Lembah Naga Siluman ini baru saja kembali dari
Pun-cak Bukit Nelayan dimana mereka menanggung kecewa dan malu karena tidak berhasil
membawa pulang cucu mereka, Sim Houw. Dengan hati kesal mereka menuju pulang dan di
kota Tung-keng mereka berdua bertemu dengan Hong Tan Tosu. Tosu Kun-lun-pai ini
dahulu, ketika masih ber-ada di Kun-lun-san, pernah bertemu di lembah keluarga Cu sehingga
dia mengenal baik keluarga Cu. Maka, ketika bertemu dengan dua orang sakti itu, dia merasa
gembira sekali dan mempersilahkan dua orang kenalannya itu untuk singgah di kuilnya. Cu
Han Bu yang sedang kesal hatinya mene-rima undangan ini, maka mereka lalu mengikuti
Hong Tan Tosu mengunjungi kuil Kun-lun-pai. Dan di sinilah dua orang tokoh Lembah Naga
Si-luman itu bertemu dengan Pouw kui Lok dan Louw Tek Ciang. Kebetulan sekali pada saat
itu, ketika dua orang sakti memasuki kuil, mereka me-lihat dua orang pemuda itu sedang
berlatih silat di dalam kebun di samping kuil. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, dua orang kakak
beradik Cu itu segera merasa tertarik sekali karena sekali pandang saja maklumlah mereka
bahwa dua orang muda yang sedang berlatih silat itu memainkan ilmu-ilmu silat tinggi. Dua
orang muda itu adalah Kui Lok dan Tek Ciang. Mereka telah menjadi sahabat -karib dan pada
pagi hari itu, atas usul Kui Lok, mereka berlatih silat bersama. Melihat gerakan Kui Lok, dua
orang tokoh Lembah Naga Siluman itu mengenal ilmu silat Kun-lun-pai dan mereka kagum
karena pemuda itu memiliki gerakan yang amat ringan dan kuat. Akan tetapi mereka
terbelalak memandang dan memperhatikan gerakan Tek Ciang. Pemuda ini memainkan ilmu
silat yang aneh dan hebat, apalagi ketika terasa oleh mereka be-tapa dari kedua tangan
pemuda ini menyambar hawa yang berobah-robah, kadang-kadang dingin kadang-kadang
panas. Hong Tan Tosu yang menemani mereka, meli-hat kekaguman dua orang sakti itu, lalu
berkata lirih. "Orang-orang muda sekarang bertambah he-bat saja, akan kalah kita yang tua-
tua ini." "Hong Tan To-yu, siapakah mereka ini?" ta-nya Cu Han Bu dengan hati tertarik.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
501 "Yang berbaju hijau itu adalah Pouw Kui Lok, sute pinto sendiri dan dia memang sudah
mencapai tingkat tertinggi di dalam perguruan kami. Yang ke dua itu bukan orang
sembarangan. Namanya Louw Tek Ciang dan dia adalah murid Suma Kian Lee, pendekar
Pulau Es."
"Ahhh....!" Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menahan seruan mereka dan memandang kagum.
Pantas saja pemuda itu demikian lihainya, tidak tahunya murid pendekar Pulau Es! Pada
waktu yang bersamaan, kakak beradik ini saling pandang dengan gejolak hati yang sama.
Alangkah baiknya kalau mereka bisa menarik dua orang pemuda perkasa itu sebagai ahli
waris baru mereka yang akan mewarisi ilmu-ilmu silat keluarga Cu dan kelak menjunjung
tinggi nama keluarga Cu!
Setelah mereka duduk di dalam, Cu Han Bu langsung saja menyampaikan keinginan hatinya
kepada sahabatnya. "To-yu, melihat gerakan dua orang muda itu, hati kami amat tertarik.
Kebetulan sekalikami memang sedang mencari orang-orang yang agaknya tepat untuk
mewarisi semua ilmu kami, yang lama maupun yang baru saja kami cip-takan, dan kami
melihat bahwa dua orang muda itu agaknya tepat dan berjodoh sekali. Bagaimana
pendapatmu andaikata kami mengajak mereka ke lembah kami untuk menerima ilmu-ilmu
silat ke-luarga kami?"
Mendengar ucapan ini, sejenak tosu itu terbe-lalak penuh keheranan. Dia sudah mengenal
benar keluarga Cu ini yang selalu merahasiakan ilmu-ilmu mereka dan tidak akan
menurunkan kepada orang luar, maka pernyataan tokoh nomor satu dari keluarga Cu itu tentu
saja amat mengherankan hatinya. Diapun sudah mendengar bahwa keluarga Cu tidak
memiliki keturunan laki-laki, akan tetapi sudah mempunyai seorang mantu yang lihai sekali
dan kabarnya mantu itu yang telah mewarisi ilmu-ilmu keluarga Cu. Kenapa sekarang
mendadak Kim-kong-sian ini menyatakan hendak mewariskan ilmu-ilmu keluarga Cu kepada
orang luar" Akan tetapi, wajahnya segera berseri gembira ke-tika teringat bahwa yang dipilih
adalah sutenya sendiri.
"Ahh, entah bintang apa yang menerangi nasib sute!" Dia berseru gembira. "Tentu saja dua
orang muda itu beruntung sekali kalau dapat terpilih menjadi murid-muridmu, Cu-taihiap!
Biar pinto panggil mereka datang!" Tosu itu sendiri segera bangkit dan meninggalkan dua
orang tamunya untuk memanggil dua orang muda yang sedang berlatih silat di kebun. Setelah
tosu itu pergi, Cu Han Bu berkata kepada adiknya.
"Bagaimana pendapatmu, ji-te?"Cu Seng Bu mengangguk-angguk. "Aku setuju sekali, toako.
Agaknya merekalah yang amat tepat menjadi ahli waris kita yang kelak akan mengha-dapi
orang-orang yang hendak meremehkan nama kita. Apalagi mereka itu yang seorang adalah
mu-rid utama Kun-lun-pai dan yang ke dua bahkan murid keluarga Pendekar Pulau Es. Tepat
sekali!" jawab adiknya. Keduanya diam-diam merasa gi-rang sekali. Memang pilihan mereka
tepat. Dengan mengangkat murid dua orang muda itu, sedikit banyak Kun-lun-pai dan
keluarga Pulau Es akan berdiri di belakang mereka dan kalau sudah begitu, siapa berani
meremehkan mereka"
Tak lama kemudian, Hong Tan Tosu datang kembali ke dalam ruangan tamu diikuti dua
orang muda yang tadi berlatih dan kini masih basah berpeluh leher dan muka mereka.
Keduanya sudah mendengar secara singkat pemberitahuan Hong Tan Tosu bahwa dua orang
sakti dari Lembah Naga Siluman datang dan tertarik kepada mereka, dan mengambil
keputusan untuk mewariskan ilmu-ilmu sakti dari lembah itu kepada mereka. Tentu saja dua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
502 orang itu terkejut dan heran juga, terutama Pouw Kui Lok yang sama sekali tidak pernah
membayangkan akan berguru kepada orang lain kecuali Kun-lun-pai. Akan tetapi diam-diam
Louw Tek Ciang merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa dirinya mempunyai banyak
sekali musuh-musuh yang amat lihai, terutama sekali keluarga Pulau Es, maka kalau dia dapat
mengumpulkan ilmu-ilmu tinggi sebanyaknya, berarti dia akan lebih mampu membela diri.
"Ah, Pouw-lauwte, sungguh kita beruntung sekali!" katanya sambil memegang lengan Kui
Lok. "Aku sudah mendengar nama besar keluarga Cu dari Himalaya itu, dan kalau kita dapat
mewarisi ilmu-ilmu mereka, sungguh kita memperoleh keuntungan besar."
"Akan tetapi...." Kui Lok memandang ke-pada suhengnya dengan sinar mata ragu-ragu.
Agaknya Hong Tan Tosu dapat menduga pikiran sutenya. "Pouw-sute, jangan khawatir.
Setiap orang murid Kun-lun-pai memang dilarang ber-guru kepada orang lain, akan tetapi
kalau sudah mendapat perkenan orang yang berhak, dan meng-ingat bahwa keluarga Cu
adalah keluarga pendekar besar yang kukenal baik, maka piuto memberi per-kenan kepadamu
dan pintolah yang akan bertang-gung jawab kalau ada pertanyaan dari para suhu dan susiok."
Tentu saja ucapan Hong Tan Tosu ini membe-sarkan hati Kui Lok dan dengan girang mereka
berdua lalu mengikuti tosu itu ke ruangan tamu di mana telah menanti Cu Han Bu dan Cu
Seng Bu. Melihat dua orang setengah tua yang bersikap ang-ker itu, Kui Lok dan Tek Ciang
cepat memberi hormat.
Setelah kini berhadapan dengan Kui Lok dan Tek Ciang, pandang mata kedua orang tokoh
Lembah Naga Siluman itu memandang penuh selidik dan mereka merasa puas dengan apa
yang mereka lihat. Kedua orang muda itu jelas memiliki tubuh yang baik sekali dan juga
memiliki sinar mata yang tajam dan cerdik. Calon-calon murid yang baik se-kali, apalagi
karena mereka telah memiliki dasar ilmu-ilmu silat yang tinggi pula. Dalam keadaan sekarang
inipun, mereka sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan dua orang muda ini dengan
mudah. Apalagi kalau dua orang muda ini sudah menguasai ilmu-ilmu silat keluarga Cu, tentu
ke-duanya akan jauh lebih lihai daripada mereka sendiri dan akan dapat menjunjung nama
kehormatan keluarga Cu dengan baiknya, jauh lebih baik daripada Sim Hong Bu yang murtad
itu! "Pouw Kui Lok dan Louw Tek Ciang," kata Cu Han Bu secara langsung setelah dua orang
muda itu diajak berkenalan. "Kami berdua telah mendengar keadaan kalian dari Hong Tan
To-yu, dan melihat kalian, kami tertarik sekali untuk mengajak kalian ke lembah kami dan
mengajarkan ilmu-ilmu silat keluarga Cu kepada kalian. Tentu saja kalau kalian sudi menjadi
murid kami."
"Saya akan merasa gembira dan terhormat se-kali, locianpwe," kata Tek Ciang dengan cepat
tanpa ragu-ragu lagi.
"Saya.... saya juga merasa setuju kalan memperoleh perkenan dari suheng sebagai wakil para
suhu di Kun-lun-pai," kata Kui Lok hati-hati.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha-ha-ha, sute. Pinto sudah memberi per-kenan dan harap saja engkau sebagai murid Kun-
lun-pai tidak mengecewakan menerima ilmu-ilmu keluarga Cu yang amat tinggi itu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
503 Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menjadi girang. Tak mereka sangka akan semudah itu mereka
me-nerima murid-muurid yang begini lihai.
"Pouw Kui Lok sudah disetujui oleh Kun-lun-pai untuk menjadi pewaris ilmu-ilmu kami,
akan tetapi bagaimana dengan engkau, Louw Tek Ciang" Kami mendengar bahwa engkau
adalah murid pendekar Suma Kian Lee tokoh Pulau Es, apakah gurumu tidak akan marah dan
berkeberat-an kalau mendengar engkau belajar silat kepada kami?"
Hampir saja Tek Ciang tertawa. Gurunya akan berkeberatan" Gurunya sekarang telah
menjadi musuh besarnya. Akan tetapi dengan cerdik dia memberi hormat dan berkata, "Suhu
telah mem-beri kebebasan kepada saya untuk memperluas pengetahuan dan mempelajari ilmu
apa saja asal ilmu itu dipergunakan demi kebaikan, menentang kejahatan seperti layaknya
seorang pendekar. Ka-rena itulah maka saya berani menerima uluran ta-ngan locianpwe."
Tentu saja hati kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu menjadi girang bukan main.
Dua hari kemudian, Kui Lok dan Tek Ciang berangkat mengikuti dua orang kakek itu ke
lembah di Pe-gunungan Himalaya itu, di mana mereka berdua digembleng secara telaten oleh
Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang merasa girang dan beruntung sekali melihat betapa dua
orang murid baru ini benar-benar tidak mengecewakan karena selain berbakat dan tekun, juga
mereka adalah dua orang muda yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, terutama sekali Tek
Ciang! *** Suma Kian Bu, seperti yang sudah kita kenal, adalah seorang pendekar sakti, putera Pendekar
Super Sakti yang selain memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang matang, juga
telah memiliki batin yang kuat. Demikian pula isterinya yang bernama Teng Siang In
bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang amat lihai dan
pandai pula ilmu sihir. Apalagi setelah kini mereka berusia kurang lebih sete-ngah abad,
kematangan lahir batin mereka sesungguhnya sudah sepatutnya mencapai tingkat yang tinggi.
Akan tetapi, biarpun mereka selalu dapat meng-atasi segala macam masalah kehidupan yang
timbul dalam rumah tangga mereka secara bijaksana, dengan kebesaran hati dan kematangan
batin, mereka runtuh juga ketika mereka kehilangan putera tung-gal mereka, yaitu Suma Ceng
Liong! Mereka, sebagai suami isteri pendekar, sudah berusaha ke sana-sini mencari jejak
putera mereka, namun se-lalu gagal dan akhirnya mereka seperti orang yang putus asa dan
terendam dalam kesedihan dan kekecewaan. Anak mereka hanya Ceng Liong satu-satunya
dan kini anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak, kalau hidup tidak diketahui di mana
adanya, kalau mati tidak diketahui bagaimana ma-tinya dan di mana makamnya. Mereka
menjadi sedih dan seolah-olah merasa jemu akan kehidup-an, selama bertahun-tahuu mereka
hanya bertapa di rumah mereka yang kini tidak terawat, yaitu di dusun Hong-cun di lembah
Huang-ho. Mempunyai tidak sama dengan memiliki. Mempunyai lahiriah adalah wajar, karena manusia
hidup dalam masyarakat ramai yang dikuasai oleh hukum-hukum. Mempunyai isteri atau
suami, mempunyai anak, keluarga, harta henda, keduduk-an, kepandaian, semua itu memang
perlu dan ada manfaatnya bagi kehidupan. Akan tetapi, kalau batin sudah memiliki, akan
terciptalah ikatan dan ikatan ini yang menjadi pangkal kesengsaraan! Kalau batin sudah
memiliki, maka akan tumbuhlah akar yang memasuki hati sehingga setiap perpi-sahan dari
yang kita miliki itu akan mencabut akar-akar dan hati kita akan terasa perih dan nyeri sekali.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
504 Yang memiliki tentu akan mempergunakan segala cara dan kekerasan untuk mempertahankan
miliknya sehingga timbullah pertentangan dan permusuhan. Yang memiliki tentu akan
bergantung karena dalam pemilikan itu terdapat kesenangan yang amat menghibur. Memiliki
ini jelas timbul dari keinginan untuk senang, mengulang kesenang-an itu, dan tidak mau
kehilangan kesenangan itu. Kalau dari yang dimiliki itu tidak dapat lagi dinik-mati
kesenangan, tentu yang tadinya dimiliki dan dipertahankun itu akan dicampakkan begitu saja,
dibuang karena dianggap tidak berguna lagi.
Cinta bukanlah memiliki. Yang memiliki adalah palsu. Akan tetapi kita manusia sedemikian
lemahnya sehingga selalu ingin memiliki sesuatu, baik itu berupa benda, berupa manusia lain,
ataupun hanya berupa gagasan. Kita takut dan bahkan merasa ngeri untuk membiarkan diri
kosong tanpa milik ketergantungan, takut untuk berdiri bebas tanpa pegangan. Padahal, hanya
dalam keadaan bebas ini sajalah kita akan dapat merasakan ba-gaimana hakekat hidup ini.
Dalam keadaan ber-sandar atau tergantung, kita hanya seperti robot saja yang bergerak di
bawah pengaruh yang kita gantungi. Dan karena kita selalu ingin memiliki, timbullah
kecondongan di dalam hati kita untnk dimiliki. Karena, di dalam memiliki dan dimiliki orang
lain terdapat perasaan aman, perasaan ber-sandar yang teguh. Kita lupa sama sekali bahwa
HANYA YANG MEMLIKI AKAN KEHILANGAN, dan kehilangan ini mendatangkan duka
dan sengsara. Bukan berarti bahwa kita menjadi tidak perduli akan segala yang kita punyai. Bukan berarti
bahwa kita lalu menjadi tidak perduli kepada isteri atau suami, kepada keluarga, dan anak-
anak, kedudukan, kekayaan, kepandaian kita dan sebagainya. Mencinta bukan memiliki akan
tetapi juga bukan acuh tak acuh. Mencinta berarti memberi kebebasan kepada yang
dicintanya, tidak mengikat, tidak menginginkan agar yang dicintanya itu selalu men-taatinya
dan melakukan segalanya sesuai dengan kehendak dan kesenangan hati sendiri. Mencinta
berarti tanpa pamrih dan tanpa pamrih baru ada kalau si-aku yang ingin senang sendiri itu
tidak ada. Suma Kian Bu yang sudah berusia lima puluh satu tahun dan terkenal sebagai seorang
pendekar sakti yang ditakuti kaum sesat dan disegani kaum pendekar, tetap saja kini
membuktikan bahwa diapun hanya seorang manusia biasa yang lemah saja. Dia merasa
kehilangan Ceng Liong dan menjadi berduka, hidup dalam penderitaan kesengsaraan batin
yang membuat dia dan isterinya setiap hari lebih banyak bersamadhi daripada melakukan
pekerjaan lain. Tubuhnya dan tubuh isterinya yang sudah berusia hampir lima puluh tahun itu
masih nampak segar dan sehat berkat samadhi dan latihan-latihan silat, akan tetapi wajah
kedua suami isteri ini nampak berkeriput dan nampak tua karena setiap saat dibakar
penderitaan hati yang berduka dan kecewa.
Pagi itu amat cerah di sepanjang lembah Huang-ho. Matahari pagi bersinar terang, tanpa
gangguan awan, dan dengan riangnya sinar mata-hari bermain-main mengejar pergi kabut
pagi dari permukaan air sungai dan rumput. Dan sece-rah itu pula wajah seorang pemuda
yang berjalan memasuki dusun Liong-cun. Seorang pemuda berusia lima belas tatun, bertubuh
tinggi tegap, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing dan lekuk dagu membayangkan
kekuatan batin, mulutnya selalu tersenyum membayangkan kena-kalan. Pemuda ini berjalan
sambil memandang ke kanan kiri, mulutnya tersenyum dan matanya ber-sinar-sinar membuat
wajah itu nampak cerah se-kali.
Pemuda itu adalah Suma Ceng Liong! Sudah lima tahun lebih dia meninggalkan dusun
tempat tinggalnya ini. Sejak dia kecil berusia kurang dari sepuluh tahun. Kampung halaman
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
505 atau tanah air di mana orang dilahirkan dan dibesarkan selalu mempunyai daya tarik mujijat
yang dirasakan oleh orang itu sendiri. Demikian pula dengan Ceng Liong. Seluruh permukaan
dusun ini amat dikenalnya, seperti seorang sahabat lama yang amat baik. Setiap batang pohon,
padang rumput, batu besar dan gundukan tanah berbukit, dikenalnya dengan baik karena
semua itu dahulu pernah men-jadi tempat dia bermain. Baru sekarang setelah dia kembali dan
melihat itu semua, terasa olehnya betapa dia amat mencinta tempat ini, jauh lebih besar
daripada tempat-tempat lain walaupun tempat ini sederhana sekali dan tidak sangat
me-nonjol. Beberapa orang penghuni dusun yang bekerja di ladang hanya menoleh dan memandang
kepada Ceng Liong dengan sinar mata penuh pertanyaan, akan tetapi dia tidak pernah ditegur
orang. Agaknya semua orang sudah lupa kepadanya, karena ketika pergi dahulu dia masih
seorang anak-anak dan kini telah menjadi seorang pemuda menjelang dewasa yang tingginya
sudah melebihi orang-orang dewasa pada umumnya. Ceng Liong masih mengenal wajah-
wajah itu, akan tetapi dia hanya menahan senyum dan sengaja berdiam diri karena dia telah
memilih orang-orang pertama untuk ditegurnya, yaitu ayah bundanya sendiri. Setelah
berjumpa mereka, barulah dia akan menjumpai semua penghuni dusun dan memperkenalkan
diri. Tentu mereka itu akan geger karena heran melihat dia sudah begini besar dan akan
meledak tawa gembira di dusun itu. Dia amat dikenal sebelum pergi, bahkan seluruh penghuni
dusun mengenalnya. Teringat akan ayah bundanya, Ceng Liong mempercepat langkahnya
menuju ke rumah pondok yang dari jauh sudah amat dikenalnya dan mendatangkan debar
pada jantungnya itu.
Dia merasa heran melihat betapa rumah kelu-arganya nampak sunyi dan agak kotor tak
teratur, seperti rumah kosong atau terlantar saja. Daun-daun pohon memenuhi halaman depan
dan meja kursi di serambi depan penuh debu, juga lantainya kotor tanda sudah lama tidak
disentuh sapu. Dia merasa heran. Apakah orang tuanya tidak berada di rumah" Kalau mereka
ada, tidak mungkin rumah sekotor ini. Apalagi ibunya ada-lah seorang wanita yang rapi dan
rajin, tidak se-nang melihat tempat yang kotor. Ah, jangan-jangan kedua orang tuanya tidak
berada di rumah. Atau jangan-jangan malah mereka sudah pindah dari rumah lama ini. Akan
tetapi kalau pindah, kenapa meja kursi lama itu masih ada"
Dengan hati gelisah Ceng Liong mendorong daun pintu yang ternyata mudah dibuka. Tiba-
tiba terdengar suara halus dari dalam, suara yang halus tapi tidak ramah.
"Siapa di luar?"
Suara ibunya! Tak mungkin dia salah dengar. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak mendengar
suara ibunya, akan tetapi selamanya dia tidak akan lupa kepada suara itu. Agaknya ibunya
sedemikian lihainya sehingga ada sedikit suara saja di luar, sudah mendengar dan mengetahui
adanya orang datang tanpa melihatnya. Jantungnya berdebar penuh haru dan gembira.
"Saya.... saya tamu....!" katanya de-ngan suara gemetar.
Hening agak lama, kemudian terdengar lagi suara ibunya, "Tamu siapa" Ada urusan apa"
Jangan ganggu kami....!"
Ceng Liong terkejut mendengar ini. Biarpun suara itu suara ibunya, halus merdu, akan tetapi
nada suaranya tidak seperti nada suara ibunya. Ibunya biasanya bicara ramah kepada siapapun
dan juga selalu memyambut tamu dengan ramah dan hormat, biar tamu orang desa sekalipun.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
506 Akan te-tapi suara ibunya ini demikian ketus dan galak, se-olah-olah ibunya merasa kesal dan
merasa ter-ganggu oleh datangnya seorang tamu walaupun belum diketahuinya siapa adanya
tamu itu. Meng-apa demikian" Benarkah wanita yang bicara dari dalam itu ibunya"
"Saya.... saya ingin bertemu dengan pende-kar Suma Kian Bu dan pendekar wanita Teng
Siang In!" jawabnya menahan getaran hati sehingga su-aranya terdengar lantang. Hening lagi
setelah u-capan Ceng Liong itu. Suasana sedemikian he-ningnya sehingga Ceng Liong dapat
menangkap suara air terjun yang berada tak jauh di belakang rumah.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dari dalam dan seorang wanita cantik yang bermuka
kurus dan agak pucat telah berada di situ, sikapnya seperti orang marah. "Hemm, siapa
engkau berani lancang mengganggu ketenteraman.... eh, siapa engkau....?" Kini sepasang
mata itu terbelalak menatap wajah Ceng Liong, bibir wanita itu gemetar dan bergerak-gerak
akan tetapi tidak mengeluarkan suara, tubuhnya tidak bergerak, ha-nya sinar matanya saja
yang menjelajahi seluruh tubuh Ceng Liong. Wanita itu adalah Teng Sian In, isteri pendekar
Suma Kian Bu, ibu kandung Ceng Liong. Ketika Ceng Liong pergi ke Pulau Es, dia baru
berusia kurang dari sepuluh tahun, masih kanak-kanak. Semenjak itu, dia berpisah dari ibunya
dan kini, biarpun usianya baru sekitar enam belas tahun, namun tubuhnya tinggi besar seperti
orang yang sudah dewasa benar. Tentu saja nyonya itu tidak dapat mengenalnya lagi,
wa-laupun ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berdiri di depannya itu.
Di lain pihak, Ceng Liong juga memandang bengong dan hatinya seperti disayat rasanya.
Se-perti suaranya tadi, kini diapun dapat mengenal ibunya walaupun jauh bedanya dengan
wajah ibu-nya yang sering dijumpainya dalam mimpi atau jika dia merenungkan dan
membayangkan wajah ibunya. Wanita ini jauh lebih tua dan lebih kurus. Biarpun demikian,
tak mungkin dia dapat melupakan sepasang mata indah tajam mencorong itu, mata ibunya,
mata yang mengandung sinar aneh dan penuh kekuatan, yang dahulu seringkali
me-mandangnya dengan penuh kemesraan seperti yang belum pernah ditemuinya dalam
pandang mata siapapun. Dan mulut itu! Biarpun kini mulut itu membayangkan kekerasan dan
kedukaan, namun dia masih ingat akan mulut yang dahulu sering ter-senyum lembut
kepadanya, yang mengeluarkan kata-kata indah dan penuh kasih sayang kepada-nya. Inilah
ibunya, tak salah lagi! Dan tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
wanita itu. "Ibu....!" Seruan ini keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang sudah seringkali disuara-kan
hatinya selama bertahun-tahun ini, panggilan penuh kerinduan, penuh kasih sayang, penuh
keha-ruan. Wajah itu menjadi semakin pucat. Mata itu terbelalak semakin lebar dan memandang seperti
orang tidak percaya akan apa yang dilihatnya, seperti orang melihat setan di siang hari.
"Siapa.... siapakah.... anda....?" tanyanya gagap dan merasa seperti dalammimpi. Ia ingat
wajah ini, ingat pandang mata ini, akan tetapi hatinya tidak berani mengharapkan bahwa
pemuda tinggi besar ini benar-benar Ceng Liong puteranya. Ia takut kalau-kalau ia akan
kecelik dan mengalami lagi kekecewaan yang sudah terlalu sering dirasakannya. Setiap kali
melihat pemuda jantungnya seperti disentakkan, penuh harapan bahwa pemuda itu adalah
puteranya yang pulang, akan tetapi selalu ia kecewa. Kini ia tidak mau kecewa lagi.
"Ibu.... ibu.... aku anakmu, Ceng Liong, ibu....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
507 "Ceng.... Ceng Liong....?" Bibir itu berbisik lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, ke-dua
kakinya menggigil. Lalu kedua tangannya menangkap pundak Ceng Liong, ditariknya
pemu-da itu berdiri dan sepasang mata itu memandangi lagi penuh selidik, harus berdongak ia
kalau me-mandang wajah pemuda itu karena jauh lebih tinggi daripadanya.
"Ceng Liong...." Ya.... ya.... engkau Ceng Liong, anakku....!" Dan wanita itu terkulai hampir
pingsan, cepat dipeluk oleh Ceng Liong yang tak dapat menahan mengalirnya air matanya
saking terharu.
"Ceng Liong.... ohhh.... anakku....!" Kini wanita itu dapat menangis, menangis tersedu-sedu
di atas dada yang bidang itu, membasahi baju Ceng Liong yang merangkul ibunya.
"Kau.... kau diculik Hek-i Mo-ong....?" Akhirnya, di antara sedu sedannya, Teng Siang In
dapat bertanya. Wanita yang biasanya berhati baja ini akhirnya dapat menekan keharuan dau
kegirangan hatinya, memandang wajah puteranya melalui genangan air mata. "Apa yang telah
dila-kukan iblis itu kepadamu?"
Ceng Liong mengusap air mata yang memba-sahi pipinya, lalu tersenyum. "Dia.... dia
mengajarku, ibu. Dia menjadi guruku."
Siang In melapaskan rangkulannya, surut ke belakang dan terbelalak. "Selama ini, selama
ber-tahun-tahun ini, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong....?""Benar, ibu. Dia menolongku,
menyelamatkan-ku, dan mewariskan semua ilmunya kepadaku. Dia bukan iblis, ibu, dia amat
baik kepadaku...."
"Haiiiittt....!" Tiba-tiba sesosok bayang-an berkelehat dan tahu-tahu bayangan itu
menye-rang Ceng Liong dengan dahsyatnya. Suara pu-kulannya mengandung angin yang kuat
sehingga Ceng Liong terkejut bukan main. Pemuda ini menggunakan kelincahan tubuhnya,
mendorong ibunya ke samping dan diapun meloncat ke bela-kang. Serangan pukulan itu luput
dan dia mem-peroleh kesempatan untuk memandang. Yang menyerangnya adalah seorang
laki-laki yang me-ngenakan topeng hitam sehingga tidak dapat dike-nal mukanya.
"Eh, kenapa kau menyerangku" Siapa engkau?" tanyanya heran dan penasaran. Akan tetapi
orang itu sudah menerjang lagi, bahkan dengan serangan yang lebih dahsyat. Biarpun tangan
itu sendiri be-lum menyentuhnya, namun dia sudah merasakan hawa pukulan yang amat
hebat. Ceng Liong ter-kejut, maklum bahwa lawannya ini seorang sakti dan mempergunakan
pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang amat kuat. Maka diapun cepat bergerak,
menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Dukk....!" Kedua pihak merasa betapa mereka didorong oleh tenaga yang kuat sehingga
keduanya terpental ke belakang. Ceng Liong me-rasa semakin penasaran.
"Siapa engkau dan kenapa menyerangku" Ibu, siapakah dia ini?" Akan tetapi ibunya sudah
ber-diri di sudut dan hanya memandang dengan mata terbelalak. Dan karena orang itu sudah
menye-rangnya lagi, Ceng Liong tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bertanya. Dia
hanya tahu bah-wa ibunya tidak berdaya dan tidak pula berniat membantunya atau melerai,
maka diapun cepat mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang
dia tahu amat tangguh dan berbahaya ini. Dia melihat datangnya serangan yang ke tiga
kalinya, dia meugerti pula bahwa la-wannya tidak main-main melainkan menyerang-nya
dengan hebat, dengan serangan maut yang amat berbahaya. Diapun mengelak dan balas
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
508 me-nyerang! Terjadilah perkelahian yang amat seru dan baru sekarang Ceng Liong menemui
lawan yang demikian lihai. Akan tetapi diapun merasa heran ketika lambat laun mengenal
dasar ilmu silat yang dipergunakan lawan ini. Biarpun lawan agaknya hendak merobah dan
menyembunyikan ilmu silatnya agar jangan dikenal, namun akhirnya dia mendapat kenyataan
bahwa lawannya mempergunakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Jantungnya berdebar tegang
dan penuh keheranan.
"Hyaaaaatt....!" Untuk ke sekian kalinya, orang itu menyerangnya, kini dari kedua tangan
orang itu keluar dua macam hawa pukulan yang berlainan, yang kiri mengeluarkan hawa
dingin luar biasa, akau tetapi yang kanan mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap
panas. Ceng Liong terbelalak. Itulah pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-
ciang yang di-lakukan serentak. Yang dapat menggunakan dua pukulun ini sekaligus dengan
kedua tangan hanya-lah tokoh-tokoh tertinggi dari Pulau Es saja, ter-masuk ayahnya!
Ayahnyakah orang ini" Ataukah pamannya, ataukah seorang di antara murid men-diang
Pendekar Super Sakti" Tak perduli siapa adanya orang bertopeng ini, yang jelas serangan
gabungan itu adalah serangan maut yang sukar ditahan oleh lawan yang bagaimana kuatpun
jnga. Melihat bahaya maut mengancam dirinya, Ceng Liong lalu mempergunakan ilmu yang
dipelajari-nya dari Hek-i Mo-ong, yaitu Coan-kut-ci. Jari-jarinya terbuka menyambut dua
tangan lawan dan dia mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini sudah sangat kuat, tenaga
yang berdasar tenaga yang diterimanya dari mendiang kakeknya. Tusukan-tusukan jari
tangannya dengan ilmu Coan-kut-ci ini dimaksudkan untuk membuyarkan dan mengancam
telapak tangan lawan.
"Blarrrr....!" Dua tenaga yang amat dah-syat bertemu dan akibatnya, tubuh Ceng Liong
terlempar ke belakang, akan tetapi dia dapat ber-jungkir balik dan tidak sampai terbanting


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh. Sebaliknya, lawan yang bertopeng itu terpelanting. Ceng Liong menjadi terkejut bukan
main melihat ibunya lari menghampiri orang itu dan merangkul-nya, membantunya bangkit
berdiri. "Ha-ha-ha, bagus, kiranya belum ada hawa sesat memasuki tubuhmu....!" Kata orang
bertopeng itu sambil merenggut lepas topengnya.
"Ayah....!" Ceng Liong terkejut menge-nal wajah ayahnya yang juga kurus seperti wajah
ibunya. "Ayah.... maafkan aku....!" Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.
Yang dimaksudkau dengan maaf itu bukan karena perlawanannya tadi karena dia tahu bahwa
ayah-nya sengaja hendak mengujinya, akan tetapi dia minta maaf karena melihat betapa ayah
bundanya menjadi kurus, tentu banyak berduka karena di-tinggalkannya selama ini. Dia
merasakan sekarang betapa dia telah menyusahkan dan menggelisah-kan hati mereka, dengan
kepergiannya mengikuti Hek-i Mo-ong tanpa memberi tahu orang tua.
Tentu saja hati Suma Kian Bu tidak kalah terharunya melihat puteranya yang tadinya sudah
tak diharapkan akan dapat bertemu kembali dengannya itu tiba-tiba saja pulang! Di samping
keharuan dan kegirangan, juga terdapat rasa penasaran dan kemarahan di hati ayah ini.
Apalagi ketika tadi dia mendengar percakapan antara puteranya dan isterinya, bahwa
puteranya itu selama ini men-jadi murid Hek-i Mo-ong, hatinya merasa panas dan marah.
Hek-i Mo-ong adalah orang yang membawa tokoh-tokoh sesat menyerbu Pulau Es,
mengakibatkan tewasnya ayah dan kedua ibunya, juga mengakibatkan Pulau Es menjadi
musnah, dan kini puteranya mengaku malah selama ini menjadi murid musuh besar itu! Hati
siapa yang tidak akan marah" Yang paling tidak menyenang-kan hatinya adalah
membayangkan betapa putera-nya menjadi pewaris ilmu-ilmu hitam, ilmu kotor dan keji dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
509 jahat. Maka dia lalu cepat mengenakan topeng dan sengaja dia menyerang puteranya itu
dengan pukulan-pukulan maut dengan mak-sud untuk memancing dan mencoba kepandaian
puteranya, ingin melihat apakah puteranya benar-benar telah mewarisi ilmu jahat dari Hek-i
Mo-ong. Lebih baik melihat puteranya mati daripada melihatnya hidup menjadi seorang calon
datuk sesat! Akan tetapi, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ketika mereka beradu
tenaga, dasar tenaga yang dipergunakan Ceng Liong adalah tenaga Pulau Es! Walaupun harus
diakuinya bahwa ilmu terakhir yang dipergunakan puteranya dengan ja-ri-jari tangan terbuka
tadi amat mengerikan dan mengandung hawa iblis!
Kini dia melangkah maju dan meraba kepala puteranya dengan jari-jari tangannya, membelai
rambut di kepala itu sebentar. "Bangkitlah, Ceng Liong, ingin kulihat berapa tinggimu
sekarang!"
Dengan hati terharu karena dalam rabaan ta-ngan ayahnya pada kepalanya tadi dia merasakan
sentuhan kasih sayang yang mesra, Ceng Liong bangkit berdiri di depan ayahnya. Dua orang
la-ki-laki ayah dan anak itu saling berhadapan dan berpandangan, dengan sinar mata berseri
dan mulut tersenyum dan ternyata bahwa Ceng Liong kini sedikit lebih tinggi daripada
ayahnya! "Ha-ha-ha, engkau sudah lebih tinggi daripada aku! Mari kita duduk di dalam. Mari kita
bicara. In-moi, mana arak...." Aih, sudah lama sekali aku tidak minum arak. Mana arak dan
mana masakan?"
Siang In menahampiri mereka dan memeluk keduanya. Kedua lengannya melingkar di
ping-gang suami dan puteranya. Suasana menjadi gem-bira bukan main. "Arak" Ah, ada
kusimpan di gudang. Tentu kini sudah menjadi tua dan harum. Dan masih ada beberapa ekor
ayam kita. Tnnggu, akan kumasak untuk kalian....!"
"Nanti saja, ibu. Nanti kubantu. Aku seka-rangpun sudah pandai masak setelah banyak
me-rantau." kata Ceng Liong gembira.
"Engkau benar. Nanti saja. Mari kita bicara dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang selama
ini dialami Ceng Liong, baru kita merayakan pulangnya dengan makan minum." kata Suma
Kian Bu. Suami isteri itu kini berseri wajahnya, bersi-nar-sinar matanya, seperti hidup
kembali setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kecewa dan du-ka nestapa.Tak lama
kemudian, mereka telah membersihkan meja di ruangan dalam, juga kursi-kursinya mereka
bersihkan dengan sapu bulu ayam. Maka duduklah tiga orang itu saling berhadapan dan Ceng
Liongpun mulai menceritakan semua penga-lamannya, sejak Pulau Es diserbu dan dia
dilarikan Hek-i Mo-ong. Diceritakan betapa raja iblis itu telah berkali-kali menyelamatkan
nyawanya se-hingga akhirnya dia diambil murid.
"Mula-mula aku hanya ingin membalas budi-nya karena telah dua kali dia menyelamatkan
nya-waku. Akan tetapi lambat-laun, ilmu-ilmunya menarik hatiku dan selain itu, juga dia amat
baik kepadaku, amat menyayangku sehingga timbul ra-sa kasihan dan suka di dalam hatiku
terhadap orang tua itu."
Ceng Liong melanjutkan ceritanya, tentang petualangannya bersama gurunya itu ke barat,
bah-kan sampai di Bhutan. Betapa dia bertemu de-ngan bibi Syanti Dewi dan suaminya,
pendekar sakti Ang Tek Hoat dan puteri mereka yang bernama Gangga Dewi atau Wan Hong
Bwee. Suma Kian Bu dan isterinya mendengarkan penuturan putera mereka dengan penuh
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
510 perhatian. Mereka merasa heran, kadang-kadang terkejut, penasaran, kagum dan bermacam
perasaan mengaduk hati mereka. Mereka tidak dapat menilai lagi apakah mereka harus
menyalahkan atau membenarkan putera mereka. Begitu banyaknya pengalaman aneh dan
hebat dialami putera mereka. Ceng Liong menceritakan semuanya sampai matinya Hek-i Mo-
ong. Betapa dia pernah bertemu dan bertempur melawan pendekar sakti Kam Hong. Hanya di
bagian dia dijodohkan kepada Kam Bi Eng oleh mendiang Hek-i Mo-ong tidak dia ce-ritakan
kepada orang tuanya. Hal ini terlalu memalukan, dan dia dapat mengerti bahwa ayah
bundanya tentu tidak akan cocok dan tidak akan menerima begitu saja putera mereka
dijodohkan oleh Hek-i Mo-ong tanpa setahu mereka. Setelah pemuda itu menceritakan semua
pengalamannya, Suma Kian Bumenarik napas panjang. Teng Siang In lalu pergi mengambil
arak dan mempersiapkan makanan, memotong ayam peliharaan mereka dan mengambil
sayur-sayuran dari kebun belakang.
"Ceng Liong, tahukah engkau mengapa aku tadi mengenakan topeng dan menyerangmu?"
Kian Bu bertanya kepada puteranya.
Ceng Liong tersenyum. "Tadinya aku tidak tahu bahwa yang bertopeng adalah ayah. Baru
setelah aku mengenal dasar gerakan ayah, aku menduga tentu ayah atau paman lain dari
keluarga Pulau Es dan kalau benar ayah, tentu untuk mengujiku."
Kian Bu menggeleng kepala. "Bukan sekedar menguji, anakku. Dari dalam aku mendengar
per-cakapanmu dengan ibumu. Mendengar bahwa se-lama bertahun-tahun ini engkau menjadi
murid Hek-i Mo-ong, aku terkejut bukan main, juga marah dan kecewa. Kalau menjadi murid
Hek-i Mo-ong selama bertahun-tahun, tentu engkau sudah memperoleh warisan ilmu sesat
dan hawa yang kotor. Daripada melihat engkau menjadi seorang calon datuk sesat lebih baik
melihat engkau mati. Maka aku lalu keluar dan selain mencoba-mu, juga untuk melihat
apakah engkau benar-be-nar mewarisi ilmu kotor."
"Kalau benar demikian?"
"Aku akan berusaha memukulmu roboh."
"Ayah hendak membunuhku?"
"Bukan, melainkan hendak melenyapkan ilmu-ilmumu yang kotor. Kalau dalam penyerangan
itu engkau roboh dan tewas.... yah, lebih baik mati daripada menjadi orang jahat. Akan tetapi,
ternyata engkau memiliki dasar sin-kang keluarga kita, bahkan teramat kuat sehingga terus
terang saja, kalau engkau mengerahkan semua, belum tentu aku akan kuat melawannya.
Sungguh aneh, engkau menjadi murid Hek-i Mo-ong akan tetapi engkau memiliki sin-kang
keluarga kita yang amat kuat. Bagaimana ini, anakku?"
"Ayah, tenaga itu bukan kudapat dari mendiang suhu Hek-i Mo-ong, melainkan kuwarisi dari
mendiang kakek Suma Han...."
"Ahhh....?"
Ceng Liong lalu menceritakan tentang pengo-peran tenaga sin-kang dari kakeknya, sebelum
ter-jadi malapetaka menimpa keluarga Pulau Es itu. Mendengar cerita ini, bukan main girang
rasa hati Suma Kian Bu. Wajahnya berseri gembira dan matanya bercahaya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
511 "Ah, jadi kakekmu telah mengoperkan tenaga sin-kang kepadamu" Bukan main! Kepada
pute-ra-puteranya sendiri beliau tidak melakukan hal ini! Engkau menerima pengoperan
sumber tenaga yang amat hebat, anakku, dan kalau engkau mam-pu menghimpun dan
mempergunakannya, sungguh tenaga itu amatlah dahsyatnya. Sumber tenaga itu mengandung
tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang yang sudah tergabung. Akan teta-pi....
sayang, engkau telah mempelajari ilmu-ilmu kotor dari Hek-i Mo-ong...."
"Maaf, ayah. Akan tetapi apakah ayah lupa akan nasihat-nasihat ayah dahulu yang pernah
kuterima dan masih kuingat" Ayah, kita harus melihat kenyataan. Ilmu apakah yang kotor dan
bersih" Bukankah segala ilmu, segala benda, ha-nya dapat ditentukan bersih kotornya
tergantung dari pada si pemakai?"
Ucapan pemuda itu memang tepat sekali. Kita ini sudah biasa menilai-nilai, sudah biasa
menen-tukan pendapat akan sesuatu, memisah-misahkan menjadi yang baik dan yang tidak
baik. Padahal, segala ilmu, segala benda di dunia ini baru mem-punyai predikat baik atau
buruk kalau sudah di-pergunakan manusia. Penggunaannya itulah yang mengandung baik atau
buruk, bukan si ilmu atau si benda itu sendiri. Sebatang pisau umpamanya, apakah pisan itu
benda baik atau buruk" Tentu saja pisau ya pisau, sebuah benda mati, tidak baik tidak buruk.
Baru disebut buruk kalau orang mem-pergunakan pisau itu untuk menusuk perut orang lain,
untuk membunuh atau melukai, benda itu menjadi bernoda dan menjadi buruk. Akan tetapi
sebaliknya, kalan pisau itu dipergunakan untuk merajang bumbu masak, untuk membuat
kerajinun tangan, untuk keperluan pembedahan dan banyak lagi kegunaan yang baik, benda
itupun menjadi benda baik. Demikian pula dengan ilmu. Apapun macamnya ilmu itu, kalau
dipergunakan untuk ke-jahatan, menjadilah ia ilmu jahat, kalau untuk kebaikan, menjadi ilmu
baik. Jadi, baik buruk hanya terdapat dalam penilaian yang timbul karena ada-nya
penggunaan. Suma Kian Bu menarik napas panjang. "Engkau benar, akan tetapi jangan keliru. Di dalam
ilmu silat terdapat ajaran-ajaran yang mengandung kekejian dan kecurangan, dan hal-hal
semacam itu tidak akan dipergunakan oleh seorang pendekar."
Pemuda itu mengangguk. "Aku mengerti, ayah. Keji dan curang hanya terdapat dalam batin
seorang yang menyeleweng daripada kebenaran, yang batinnya dilanda kebencian. Biarpun
mendiang suhu mengajarkan banyak pukulan beracun dan kecurangan-kecurangan lain dalam
ilmu silat, aku tidak akan mempergunakannya untuk mencelakai orang. Betapapun juga, ilmu-
ilmu itu tetap masih berguna, misalnya untuk melindungi diri dari malapetaka."
Kembali pendekar itu mengangguk-anguk. Dia merasa gembira sekali melihat betapa
puteranya yang baru berusia enam belas tahun itu telah memiliki pandangan yang luas dan
matang. "Ceng Liong, engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es. Karena itu, engkau harus
mewarisi ilmu-ilmu keluarga kita. Engkau dipilih o1eh mendiang kakekmu untuk mewarisi
tenaga yang mujijat, sumber tenaga sin-kang itu. Akan tetapi ilmu-ilmu keluarga kita, belum
kaukuasai sepenuhnya, baru kauketahui dasar-dasarnya dan teori-teorinya belaka. Maka,
mulai sekarang, engkau harus menerima latihan-latihan dariku secara tekun agar kelak tidak
akan mengecewakan menjadi keturunan kakekmu di Pulau Es."
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Ceng Liong kembali menerima gemblengan-gemblengan,
sekali ini dari ayahnya sendiri yang menurunkan semua ilmu-ilmu Pulau Es kepada puteranya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
512 Ceng Liong sudah memiliki dasar yang kuat, juga sudah mewarisi tenaga kakeknya, maka
tidaklah terlalu sukar baginya untuk memahami ilmu-ilmu kelu-arganya. Bahkan diam-diam
pemuda yang cerdik ini dapat menciptakan ilmu-ilmu gabungan antara ilmu keluarga Pulau
Es dan ilmu-ilmu yang di-pelajarinya dari Hek-i Mo-ong. Tentu saja peng-gabungan dua ilmu
yang amat tinggi itu hasilnya hebat sekali dan semua ini dilakukan secara diam-diam oleh
Ceng Liong, bahkan ayahnya sendiripun tidak diberi tahu. Selama beberapa tahun Ceng Liong
digembleng oleh ayahnya, bahkan ibunya juga mengajarkan semua ilmunya, termasuk ilmu
sihirnya! *** Sang waktu meluncur dengan pasti, tak tere-lakkan oleh siapapun juga, menerkam dan
menelan segala sesuatu di jagad raya ini. Kalau lepas dari perhatian, waktu meluncur dengan
amat cepatnya, seolah-olah baru kita memejamkan mata sebentar saja, bertahun-tahun telah
lewat tak terasa. Seba-liknya kalau diperhatikan, sang waktu merayap dengan amat
lambatnya, kadang-kadang tak ter-tahankan oleh kesabaran kita. Nampak jelas betapa
cepatnya waktu meluncur lewat kalau kita mene-ngok ke belakang. Seolah-olah masa kanak-
kanak kita baru terjadi kemarin dulu! Waktu meluncur amat cepatnya sehingga kehidupan
normal seorang manusia antara enam puluh sampai delapan puluh tahun itu nampak pendek
sekali. Dan hal ini mem-buat kita termenung memikirkan. Di dalam waktu sesingkat itu
sebagai manusia hidup, apakah yang telah kita lakukan" Apakah kita mengisi penuh waktu
singkat dalam hidup itu hanya dengan mengejar kesenangan" Hanya untuk diombang-
am-bingkan oleh suka dan duka" Dihimpit bermacam penderitaan, kekecewaan, kegelisahan,
kebencian dan lebih banyak sengsara daripada bahagia" Pernahkah kita mengisi waktu yang
sesempit itu dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi
orang lain" Kalau tidak alau belum, mengapa tidak kita lakukan mulai saat ini juga sebelum
terlambat, sebe-lum kita kembali ke dalam tiada" Dan perbuatan yang bermanfaat, baik bagi
diri sendiri maupun bagi orang lain dan bagi dunia, hanyalah perbuat-an yang lahir dan batin
yang penuh cinta kasih. Perbuatan apapun juga, tanpa dasar cinta kasih, adalah palsu dan
hanya akan menimbulkan perten-tangan batin. Sungguh amat menyedihkan melihat betapa
kita sudah hampir kehilangan sinar cinta kasih itu, sehingga hampir semua perbuatan di
se-kitar kita adalah perbuatan pura-pura, tidak wajar, kesemuanya didasari perhitungan rugi
untung, kebaikan-kebaikan yang dilakukan hanyalah kebaikan rugi uutung, bahkan apa yang
kita namakan cinta kita juga adalah cinta berdasarkan rugi un-tung. Sang aku yang selalu
mengejar-ngejar kese-nangan itu tak pernah lepas daripada perhitungan rugi untung ini, baik
keuntungan lahir maupun ke-untungan batin yang dicarinya. Karena itu, setiap gerak
perbuatan adalah palsu.
Tanpa terasa tiga tahun telah lewat. Tiga tahun yang merupakan waktu penggemblengan bagi
para tokoh muda kita dalam cerita ini. Dan sudah ter-lalu lama kita meninggalkan Suma Hui
dan Suma Ciang Bun, enci adik yang bernasib malang itu.
Seperti telah kita ketahui, enci adik inipun menerima gemblengan yang amat keras dan tekun
dari ayah mereka sendiri, yaitu pendekar sakti Suma Kian Lee dan ibu mereka, pendekar
wanita Kim Hwee Li. Karena ayah bunda mereka khawa-tir kalau-kalau kedua orang anak
mereka itu tak-kan dapat mengalahkan Louw Tek Ciang musuh besar mereka, maka keduanya
menurunkan semua ilmu mereka. Kedua orang muda itu mewarisi se-mua ilmu keluarga
Pulau Es dari ayah mereka, bahkan ibu mereka menurunkan pula ilmu-ilmu-nya termasuk
ilmu menaklukkan ular.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
513 Dengan bekal banyak ilmu, Suma Hui dan Su-ma Ciang Bun meninggalkan Thian-cin, pergi
mencari musuh besar mereka, yaitu Louw Tek Ciang. Bukan hanya mencari murid ayah
mereka yang jahat dan murtad itu, akan tetapi juga hendak mencari musuh-musuh yang telah
menimbulkan malapetaka di Pulau Es, yaitu Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan kawan-
kawan mereka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa para tokoh yang pernah melakukan
penyerbuan ke Pulau Es itu telah meninggal dunia. Dan mereka tidak tahu pula bahwa musuh
besar mereka, Louw Tek Ciang, telah berada di tempat yang amat sukar untuk di-datangi
karena pemuda itu beruntung sekali terpi-lih oleh keluarga Cu untuk menjadi murid keluarga
sakti itu dan berada di Lembah Naga Siluman, di-gembleng oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu,
ber-sama Pouw Kui Lok pemuda murid Kun-lun-pai itu.
Tentu saja semua usaha enci dan adik itu untuk mencari musuh-musuh mereka tak kunjung
ber-hasil. Akan tetapi mereka tidak mau pulang ke Thian-cin sebelum berhasil, terutama
sebelum berhasil mencari Louw Tek Ciang. Dan untuk le-bih mudah mencari, akhirnya
mereka berpencar dan berpisah, dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian, sebulan
sebelum tiba hari raya Sin-cia (Hari Raya Musim Semi), mereka akan saling jum-pa di kota
raja untuk kemudian bersama-sama pulang dahulu ke Thian-cin, berhasil maupun ti-dak.
Selama melakukan perjalanan bersama encinya, Suma Ciang Bun juga melakukan segala
usaha untuk mengatasi masalah dirinya sendiri. Dibantu oleh encinya, dia berusaha untuk
menyelidiki kea-daan dirinya yang mempunyai kelainan di bidang sex, tidak seperti pria pada
umumnya. Dia mela-kukan penyelidikan mengapa dirinya memiliki kelainan seperti itu agar
dia dapat mengobatinya kalau hal itu merupakan penyakit, dan merobah-nya kalau memang
seharusnya demikian. Dengan latihan pernapasan dia mencoba untuk mengatasi masalah
tubuhnya. Dari penyelidikannya bersama Suma Hui, dia dapat menemukan kesimpulan. Ada berbagai
ke-mungkinan yang mungkin dapat menimbulkan ke-lainan itu. Pertama, pengaruh sekeliling.
Kalau seorang anak laki-laki sejak kecil lebih dekat de-ngan ibunya, lebih banyak bergaul
dengan anak perempuan, maka kebiasaan-kebiasaan dan selera-selera wanita dapat
mempengaruhinya dan menular kepada anak laki-laki itu yang lambat laun bisa saja
memberinya selera wanita sehingga dia lebih menyenangi apa yang disukai wanita daripada
laki-laki biasa. Dan hal inipun dapat saja membuat dia lebih condong merasa peka dalam soal
sex terhadap seorang pria daripada terhadap seo-rang wanita. Ke dua, terjadinya suatu
peristiwa yang hebat dan mengguncangkan batin, misalnya kekecewaan berulang kali dengan
wanita, mungkin saja dapat membuat hati seorang pria menjadi hambar terhadap wanita dan
dia mengalihkan per-hatian untuk melepaskan gairah sexnya kepada pria lain, atau karena di
samping kekecewaan terhadap wanita itu kebetulan dia bertemu dengan seorang sahabat pria
yang amat menyenangkan dan disayangnya. Ke tiga, seorang pria yang bertemu dengan
seorang pria lain yang memiliki kelainan seperti itu, dapat saja terpengaruh dan ketularan.
Dan ke empat, kelainan pada tubuh, pada kelen-jar-kelenjar dan mungkin syaraf, dapat pula
men-datangkan kelainan selera di bidang sex seperti yang dialaminya itu.Dari penyelidikan
dia dan encinya, dia menarik kesimpulan bahwa sebab-sebab lain itu tidak pernah terjadi pada
dirinya sehingga satu-satunya kemungkinan adalah bahwa memang terdapat ke-lainan di
dalam tubuhnya. Dan hal ini tentu saja hanya dapat diatasi dengan pengobatan jasmani. Akan
tetapi, siapakah yang akan mampu memberi obat" Pula, berkali-kali Ciang Bun bertanya
ke-pada batin sendiri. Adakah dia menghendaki diri-nya berobah" Dan jawabannya adalah :
Tidak! Dia suka berdekatan dengan pria, dan hal ini sama sekali bukan hal yang aneh baginya,
bahkan terasa wajar. Kalaupun dia menjadi prihatin adalah ka-rena dia melihat betapa pria
pada umumnya tidak demikian, sehingga dia seolah-olah merasa ganjil dan terasing.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
514

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bun-te," kata Suma Hui setelah mereka ber-dua berbincang-bincang tentang hal dirinya.
"Engkau adalah seorang gagah, keturunan keluarga Pulau Es. Bagaimanapun juga beratnya,
engkau tentu kuat untuk melawan dorongan yang tidak wajar itu. Kalau perlu, kita tidak usah
berurusan dengan cinta berahipun kita akan kuat! Pergu-nakanlah tenaga dalam untuk
melawan dorongan-dorongan tidak wajar itu, dan kalau engkau belum dapat menemukan
obatnya, lawan saja dengan te-naga sakti. Pendeknya, engkau jangan menurutkan dorongan
hasrat hati sehingga melakukan perbuat-an yang ganjil. Apa sih sukarnya melawan dorong-an
berahi" Kita kan sudah terlatih."
Suma Ciang Bun mengangguk dan menarik na-pas panjang. "Benar, enci. Memang hal ini
tidak perlu dipersoalkan, tidak perlu dijadikan masalah. Ternyata yang paling berat adalah
karena adanya pertentangan dalam batinku. Kalau kudiamkan saja dan kuanggap sebagai
sesuatu yang wajar, dan aku tidak menurutkan dorongan hasrat nafsu, sebe-tulnya juga tidak
ada apa-apa."
Demikianlah, setelah berpisah dari encinya, Ciang Bun dapat menguasai diri sepenuhnya. Dia
tidak lagi mau memaksa diri untuk menjauhi pria ataupun berusaha mendekati wanita,
melainkan memandang dan mengikuti saja hasrat yang teng-gelam timbul di batinnya sebagai
dorongan naluri jasmaninya. Dan dia mengerti bahwa satu-satu-nya jalan terbaik untuk
penyaluran hasratnya tanpa menyinggung orang lain adalah kalau dia dapat bertemu dengan
seorang pria yang mempunyai masalah yang sama dengan dirinya! Akan tetapi, hal inipun
merupakan suatu kesukaran tersendiri. Pria yang tidak diganggu kelainan akan dapat me-milih
di antara laksaan wanita dan tentu akan bertemu dengan seorang yang disukainya. Akan
tetapi, berapa banyak adanya pria seperti dia" Audaikata adapun tentu tidak akan terang-
terang-an mengaku dan sukar dikenal dari keadaan lahirnya saja. Tentu hanya ada beberapa
orang saja dan andaikata bertemu dengan satu dua orang yang sama keadaannya dengan dia,
belum tentu dia menyukai orang itu. Maka, Ciang Bun meng-ambil keputusan untuk berdiam
diri saja dan me-lihat perkembangam hidupnya tanpa banyak me-ngeluh dan tanpa bunyak
menentang. Keadaan jasmaninyalah yang membuatnya seperti itu, bukan keadaan batinnya.
Namun, untuk sementara, kekuatan batinnya dapat menundukkan jasmaninya, sehingga dia
tidaklah menderita lagi.
Suma Ciang Bun kini sudah dewasa. Usianya sudah dua puluh tiga tahun. Kumis tipis mulai
tumbuh bersama jenggot tipis. Mukanya yang bu-lat dengan kulit yang agak gelap membuat
dia nampak gagah, dan keadaan dirinya membuat wa-taknya yang memang pendiam itu
menjadi semakin serius. Pakaiannya selalu rapi dan indah karena dia memang suka akan
pakaian yang halus dan indah. Kesukaan akan pakaian yang merupakan satu di antara
kecondongannya seperti wanita ini tidak ditekannya dan Ciang Bun selalu mengenakan
pakaian yang rapi dan rambutnya selalu disisir dan dikuncir dengan rapi pula. Pemuda ini
selalu nampak bersih dan tampan sekali. Kalaupun ada nampak sifat kewanitaannya mungkin
hanya pada kerling matanya. Biji matanya bergerak tanpa mukanya ikut bergerak, seperti
kebiasaan wanita mengerling ke kanan kiri. Akan tetapi kebiasaan inipun tidak akan mudah
diketahui orang kalau tidak amat memperhatikannya. Sepasang siang-kiam yang tergantung di
punggungnya juga bergagang indah, dengan ronce-ronce merah. Bahkan untuk memilih
senjata rahasiapun dia memilih jarum-jarum halus yang berbau harum! Senjata rahasia ini dia
peroleh dan dia pelajari dari ibunya.
Dandanan dan sikapnya yang halus pendiam itu tentu akan membuat dia disangka seorang
pelajar daripada seorang pendekar, kalau saja tidak nampak sepasang pedang di punggungnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
515 Pada waktu itu, untuk mengurangi terjadinya kekerasan, pemerintah melarang orang berlalu-
lalang membawa senjata tajam. Akan tetapi, para pendekar tidak mengabaikan larangan ini
dan memang bagi para pendekar , bukan penjahat, larangan itu tidak begitu menekan. Apalagi
seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es yang amat dikenal
oleh para pejabat tinggi. Bagaimanapun juga, keluarga Pulau Es masih mempunyai hubungan
keluarga dengan keluarga kaisar.
Hari masih pagi ketika dia memasuki taman umum di kota raja itu. Sejak kemarin dia berada
di kota raja, sesuai dengan janji yang telah diadakan dengan encinya, enam bulan yang lalu.
Selama ini dia merantau dan mencari jejak musuh-musuhnya tanpa hasil. Dia telah berpencar
dengan encinya, encinya mengambil jalan barat dan dia mengambil jalan timur. Dia telah
merantau memasuki Propinsi An-hwi, Ce-kiang, Kian-su dan Shan-tung. Banyak pengalaman
dirasakan dan perjalanan berbulan-bulan sendirian itu membuat pemuda ini menjadi semakin
matang. Banyak pertemuan dengan penjahat-penjahat dan di manapun dia berada, dia selalu
menentang para penjahat. Akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan Louw Tek Ciang
atau musuh-musuh lain, bahkan menemukan jejak merekapun tidak pernah.
Janji pertemuannya dengan Suma Hui di kota raja, di dalam taman umum itu, masih beberapa
hari lagi. Dia datang terlampau pagi dan memang dia ingin melihat-lihat dan berjalan-jalan di
kota raja yang indah. Dan pagi hari itu dia memasuki taman, bukan untuk bertemu dengan
encinya karena memang belum waktunya, melainkan untuk pelesir. Dia mengenakan pakaian
serba biru sehingga wajahnya nampak semakin gagah. Taman itu sudah mulai dibanjiri tamu.
Terdapat kolam-kolam ikan dengan bunga teratainya. Juga banyak terdapat kedai-kedai arak
yang diatur indah menarik. Ada pula beberapa buah pondok yang menjulang ke kolam teratai
di mana orang dapat bersembunyi diri menikmati ikan-ikan di kolam, atau termenung
sendirian melihat bunga-bunga teratai yang beraneka warna. Sebuah telaga buatan yang cukup
lebar berada di ujung taman dan di situ para pelancong dapat berperahu sambil minum arak.
Ciang Bun merasa perutnya lapar karena ketika meninggalkan kamar hotel di pagi hari itu dia
belum sarapan. Dimasukinya sebuah di antara kedai-kedai arak itu. Ketika dia masuk, di
ruangan itu sudah terdapat beberapa orang pelancong dan ada pula beberapa orang gadis dari
keluarga hartawan yang duduk di situ. Mereka ini segera mengangkat muka memandang
kagum kepada Ciang Bun. Pemuda ini tidak merasa aneh dengan pandangan ini. Di manapun
banyak dia menerima pandang mata seperti itu dari para wanita dan diapun bersikap wajar,
tersenyum sedikit lalu memilih tempah duduk di sudut. Seorang pelayan menghaanpirinya
dan diapun memesan beberapa butir bak-pauw dan air teh panas. Dia tidak biasa minum arak
di pagi hari. Bukan hanya para wanita yang memandang kagum melihat kegagahan pemuda yang baru
masuk ini, akan tetapi juga para tamu pria memandang, tertarik melihat sepasang pedang yang
tergantung di punggung itu. Ciang Bun tidak memperdulikan semua perhatian yang ditujukan
kepadanya dan dia segera makan bak-pauw dan minum teh panas sambil memandang lurus ke
depan. Akan tetapi, di sebelah depannya, di meja yang berde-katan, terdapat seorang pemuda
lain yang juga se-dang duduk sendirian, agaknya sudah selesai ma-kan minum karena ada
mangkok bubur kosong di depannya, juga cangkir teh. Dan kini pemuda itu sedang mencoret-
coret menggunakan pencil buhr di atas sehelai kertas putih, nampaknya asyik sekali.Berdebar
rasa jantung dalam dada Ciang Bun, akan tetapi segera ditekannya perasaan itu. Kam-buh
kembali penyakitnya, pikirnya tak enak. Ke-napa baru melihat saja seorang pemuda yang
amat tampan ini lalu jantungnya berdebar-debar" Benarkah dia semata keranjang ini" Apakah
seorang wanita juga akan berdebar seperti ini kalau melihat seorang pemuda tampan" Apakah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
516 wani-ta-wanita yang duduk di sana itupun berdebar ketika melihat dia masuk dan mereka tadi
meman-dang kepadanya"
Tanpa menggerakkan mukanya yang kini dimi-ringkan agar tidak lurus memandang ke
depan, Ciang Bun mengerling ke arah pemuda itu. Seo-rang pemuda yang masih amat muda,
paling-paling baru tujuh belas atau delapan belas tahun usianya. Pakaiannya sederhana,
berwarna hijau. Tubuhnya agak kecil kurus, akan tetapi wajahnya sungguh amat menarik hati.
Wajah itu berbentuk tampan bukan main, dengan hidung kecil mancung, mulut kecil yang
mengarah senyum, sepasang mata yang hidup dan tajam menatap kertas yang dicoretinya.
Rambutnya dikuncir besar karena rambut itu hi-tam gemuk dan panjang. Alisnya hitam dan
agak terlalu tebal, akan tetapi bulu matanya lentik panjang. Seorang pemuda yang amat
tampan, terlalu tampan malah, seperti seorang wanita saja. Akan tetapi bulu alis tebal itu jelas
bukan alis wanita.
Agaknya pemuda remaja itu sudah selesai me-nulis. Kini dia menyimpan alat tulisnya di
dalam buntalan pakaian yang berada di atas meja, sambil tersenyum-senyum sendiri dia
mengambil kertas itu dan diangkatnya untuk dibaca. Karena Ciang Bun duduk arah
belakangnya, tentu saja Ciang Bun dapat ikut pula membaca tulisan itu yang ditulis dengan
huruf besar dan indah. Tulisan indah ber-sajak! Ciang Bun membacanya cepat.
Pergi merantau seorang diri
Berkelana menjelajah negeri
Pamer senjata menimbulkan ngeri
Apakah hanya untuk menaknti"
Wajah Ciang Bun berobah merah. Biarpun tidak secara langsung, bukankah isi sajak itu
me-nyirdir, bahkan mengejeknya" Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa semua tamu
yang berada di situ tidak ada yang membawa senjata. Dialah satu-satunya orang yang
membawa pedang dan karena pedangnya itu tergantung di punggung, maka disebut pamer
oleh si penulis sajak. Akan tetapi penulis itu mengejeknya, mengatakan bahwa senjatanya itu
hanya untuk menakut-nakuti! Sungguh pemuda remaja ini usil, lancang, akan tetapi jenaka
dan tulisannya halus indah, dengan goresan-goresan aneh seperti yang biasa terdapat pada
tulisan seorang asing. Ciang Bun semakin tertarik dan memperhatikan. Hatinya tidak marah
oleh sindiran dan ejekan itu, bahkan diapun mera-sa geli dan lucu. Pemuda bengal, pikirnya,
akan tetapi menarik hati. Ingin diaberkenalan dengan-nya. Sekedar berkenalan karena selama
ini dia malah menjauhkan diri dari para pemuda. Kini dia tidak perlu khawatir. Dia sudah
dapat menguasai hatinya dan pula, pemuda itu masih remaja dan diapun hanya ingin
bersahabat, tidak lebih.
Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu memanggil pelayan dengan suaranya yang lantang dan
benar dugaannya, pemuda remaja itu mempunyai suara yang nadanya asing. Setelah
membayar harga ma-kanan, pemuda remaja itu bangkit berdiri, me-nyandang buntalannya
yang cukup panjang, lalu melangkah ke luar. Akan tetapi ketika lewat di dekat Ciang Bun,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
517 pemuda remaja itu mengerling dan tersenyum, kerling dan senyum yang mengejek. Ciang
Bun membalas senyuman itu, senyuman yang mengandung kesabaran dan menawarkan
persaha-hatan. Akan tetapi pemuda remaja itu membuang muka dan melangkah lebar keluar
dari kedai arak.
Ciang Bun menarik napas panjang dan menen-teramkan hatinya. Terasa benar olehnya bahwa
penyakit pada dirinya itu belum sembuh. Kalau selama ini dia tidak merasakan getaran seperti
ini, getaran yang harta pertama kali dirasakan ketika dia berada di Pulau Nelayan bersama Liu
Lee Siang, adalah karena memang hatinya tidak pernah tertarik oleh seorang pemuda seperti
halnya Lee Siang atau pemuda remaja ini. Biarpun dia lebih condong menyukai pria, akan
tetapi tidak sem-barang pria membuatnya berdebar seperti ini.
Setelah membayar harga makanan, Ciang Bun bangkit berdiri dan dengan keputusan hati
untuk segera melupakan pemuda tampan tadi, diapun melangkah keluar dari kedai arak. Dia
berjalan-jalan di taman itu dan tertarik oleh keadaan telaga bu-atan, dia menyewa sebuah
perahu sambil membeli seguci arak karena akan nikmat sekali naik perahu miuum arak nanti
kalau matahari sudah naik agak tinggi.
Taman ini indah sekali. Dahulu merupakan taman pribadi milik kaisar . Akan tetaapi sejak
kaisar Kian Liong bertahta, kaisar yang mencinta atau lebih dekat dengan rakyat
dibandingkan kaisar-kaisar terdahulu, membuka taman itu menjadi ta-man umum yang boleh
dikunjungi rakyat. Kaisar Kian Liong memang bijaksana dan pandai menyenangkan hati
rakyatnya, maka di jaman pemerintahannyalah rakyat merasa lebih tenteram hidupnya.
Ciang Bun mendayung perahunya berputar-putar di telaga buatan itu. Semua orang yang
berada di sekitar tempat itu, tidak ada yang tidak ber-seri wajahnya tanda bahwa mereka
semua bergembira. Ketika Ciang Bun mendayung perahunya tiba di dekat sebuah pondok
kecil yang berada di atas permukaan air di tepi telaga, tiba-tiba dia mendengar suara lantang
disertai ketawa mengejek.
"Ha-ha, Siang-kiam taihiap (Pendekar Besar Sepasang Pedang) nongol lagi memamerkan
pe-dangnya!"
Ciang Bun menghentikan dayungnya dan mengangkat muka. Kiranya pemuda remaja yang
tadi sedang nongkrong di pondok itu, menjenguk keluar dari sebuah jendela kecil dan
tersenyum mengejek. Mendongkol juga rasa hati Ciang Bun. Pemuda itu sungguh bengal,
suka menggoda orang. Akan tetapi dia masih dapat menahan rasa marahnya dan sam-bil
tersenyum ramah diapun berkata.
"Bersama pedangmenjelaja h negeri
bukan pamer bukan menakuti
sekedar alat pembela diri
harap adik jangan salah mengerti!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
518 Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbela-lak. "Aihh, kiranya engkau adalah seorang
terpelajar, pandai bersajak, bukan tukang pukul yang suka menakut-nakuti orang!"
Ciang Bun tersenyum. "Aku seorang biasa saja yang suka bersahahat. Kalau adik suka, kita
boleh berkenalan dan menunggang perahu bersama."
Sepasang mata itu bersinar-sinar. "Benarkah" Engkau tidak marah kepadaku karena aku telah
mengganggumu tadi?"
Ciang Bun tersenyum dan menggeleng kepala-nya. Hatinya merasa semakin tertarik dan suka
kepada pemuda remaja itu yang biarpun bengal akan tetapi ternyata pandai membawa diri dan
ju-ga jujur, mau mengakui kesalahannya. Buktinya, dia kini mengaku terus terang bahwa tadi
telah mengganggunya.
"Engkau gembira dan jenaka, bukan menggang-gu melainkan bicara sebenarnya. Di jaman
sekarang memang banyak orang berlagak, dan engkau tadi menganggap aku tukang menjual
lagak, jadi sajakmu tadi wajar saja."
Pemuda remaja itu nampak semakin gembira. "Ah, begitukah" Kalau begitu, biar aku ikut
naik perahu bersamamu."
Gembira sekali rasa hati Ciang Bun. "Tunggu, akan kudaratkan perahu ini....?"Tidak usah.
Awas, aku melompat turun!" Dan tiba-tiba saja pemuda remaja itu sudah meloncat keluar dari
jendela itu, meluncur turun ke atas perahu yang jaraknya masih cukup jauh. Ciang Bun
terkejut bukan main, akan tetapi dia memandang kagum ketika pemuda itu sudah tiba di
dalam pe-rahu dan perahu itu sama sekali tidak terguncang seolah-olah yang tiba di dalam
perahu dari atas itu hanya sehelai daun kering saja. Dia terkejut dan kagum, tahu bahwa
pemuda remaja ini memiliki gin-kang yang amat hebat.
"Aih, kiranya engkaulah sebenarnya seorang taihiap!" katanya jujur. "Sungguh malu sekali
aku yang tidak bisa apa-apa ini berani membawa-bawa pedang di depan seorang pendekar
lihai sepertimu ini."
Pemuda rernaja itu tertawa dan wajahnya nam-pak semakin muda dan tampan. "Sudahlah,
toako, tak perlu merendahkan diri. Dari sikapmu me-nanggapi gangguanku dan pujianmu tadi,
menun-jukkan bahwa engkau berhati lapang dan juga ber-watak rendah hati. Dan sikap ini
hanya dimiliki oleh orang yang sudah patut disebut pendekar. Pula, siapa lagi kalau bukan
pendekar yang lihai yang berani membawa-bawa pedang secara berterang, di kota raja pula?"
Seorang pemuda yang ahli gin-kang dan juga cerdik, pikir Ciang Bun. Juga nada suaranya
jelas menunjukkan lidah asing, walaupun bicaranya cu-kup lancar. Tentu seorang pemuda
asing yang su-dah lama berada di sini atau yang mempelajari Bahasa Han dengan baik.
"Siauw-te, tak perlu engkau memuji. Akan tetapi sungguh gin-kangmu yang kauperlihatkan
tadi mengagumkan hatiku. Dan mendengar suara-mu, agaknya engkau adalah seorang yang
datang dari jauh. Kalau boleh aku bertanya, siapakah na-mamu dan dari mana engkau
datang?" Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
519 "Akupun seorang pengembara seperti engkau, toako, hanya saja aku datang jauh dari luar
negeri, dari barat. Dan karena orang tuaku kagum akan kebesaran Sungai Gangga, aku diberi
nama Gang-gananda (Putera Sungai Gangga)."
"Ahh....! Kalau begitu engkau tentu da-tang dari See-thian (Negara Barat). Akan tetapi
kulitmu putih dan mukamu, biarpun agak asing, tidak jauh bedanya dengan muka bangsa
kami. Dan semuda ini engkau sudah berani merantau sejauh itu. Bukan main! Padahal,
usiamu tentu baru lima belas atau enam belas tahun, masih belum dewa-sa benar."
"Siapa bilang" Aku sudah berusia delapan be-las tahun! Dan aku sudah merantau selama satu
tahun lebih. Girang sekali hari ini di kota raja dapat bertemu dengan seorang pendekar seperti
engkau, toako. Siapakah namamu?"
Biasanya, Suma Ciang Bun segan memperkenal-kan nama, apalagi nama keturunannya,
karena she Suma akan mendatangkan daya tarik dan kecuriga-an, membuka rahasia bahwa dia
masih keturunan keluarga Suma dari Pulau Es. Memang tidak semua orang she Suma
keluarga Pulau Es, akan tetapi she ini jarang terdapat sehingga menarik perhatian. Akan tetapi
terhadap pemuda remaja yang jujur ini, yang amat menarik hatinya, dia tidak mau berbohong.
"Namaku Suma Ciang Bun...."
"Wah....! Kau tentu cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!"
Kini wajah Ciang Bun berobah agak pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda remaja yang
asing ini begitu mendengar namanya langsung saja menebak dengan demikian tepatnya.
Biarpun tokoh kang-ouw kenamaan tentu masih akan meragu.
"Pantas saja begitu bertemu aku tertarik untuk menggoda agar dapat berkenalan denganmu!"
kata lagi pemuda yang bernama Ganggananda itu.
"Eh, Ganggananda, bagaimana engkau bisa tahu?"
Pemuda itu tertawa. "Dan engkau tentu masih saudara dari Suma Ceng Liong, bukan?"
Kini Ciang Bun terbelalak memegang lengan pemuda remaja itu. "Engkau mengenalnya"
Eng-kau bertemu dengan Ceng Liong" Dia masih hi-dupkah?"
Ganggananda tersenyum. "Tentu saja dia masih hidup, setidaknya dia masih hidup enam
tujuh tahun yang lalu. Aku bertemu dan kenal dengannya ketika dia pergi ke barat." Tiba-tiba
wajah pemuda ini menjadi muram. "Heran sekali mengapa engkau tidak tahu dan mukamu
berobah ketika mendengar namanya?"
"Dengar, Nanda, aku berterus terang saja. Ka-mi semua mengira bahwa Ceng Liong sudah
tewas kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Dan se-karang, bertemu denganmu mendengar
bahwa dia masih hidup, sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan."
"Memang dia masih hidup, akan tetapi ada hal aneh sekali yang tentu akan membuatmu
menjadi semakin terkejut."
"Apa itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
520

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakanlah dahulu. Betulkah engkau dan Ceng Liong cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es" Kalian adalah keluarga para pendekar Pulau Es?"
"Benar, ayahku dan ayahnya adalah kakak ber-adik, dan Pendekar Super Sakti adalah kakak
ka-mi." "Nah, itulah yang aneh. Ceng Liong cucu Pen-dekar Super Sakti, akan tetapi dia juga
menjadi murid seorang raja iblis."
"Apa" Siapa?"
"Hek-i Mo-ong!"
"Ahhh....!" Tentu saja Ciang Bun kaget setengah mati mendengar berita ini, lebih kaget
daripada berita bahwa adiknya itu masih hidup. Hek-i Mo-ong adalah raja iblis yang
memimpin penyerbuan ke Pulau Es. Dialah musuh besar nomor satu. Bagaimana mungkin
kini Ceng Liorg malah menjadi muridnya" Dia begitu terkejut sehingga dia memandang ke
depan, jauh ke depan dan tiba-tiba wajahnya berobah pucat ketika dia melihat dua orang pria
berada di dalam sebuah perahu meluncur datang dan sudah dekat.
"Kau.... kau kenapa....?" Ganggananda memegang lengan Ciang Bun melihat pemuda itu
wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya me-ngeluarkan sinar berapi.
"Diamlah," bisik Ciang Bun, "Dan jangau men-campuri kalau aku nanti berkelahi. Aku
bertemu dengan musuh besarku!"
Perahu di depan itu kini mendekat dan yang membuat hati Ciang Bun terkejut adalah ketika
dia mengenal bahwa seorang di antara dua pria yang berada di dalam perahu itu adalah Louw
Tek Ciang! Dia tidak mungkin pangling. Pria itu bi-arpun kini sudah lebih tua, masih seperti
dahulu. Pakaiannya mewah dan bibirnya masih tersenyum-senyum mengejek, pandang
matanya membayangkan kecerdikan dan kelicikan. Biarpun dia belum bertemu dengan
encinya, akan tetapi setelah kini melihat musuh besar itu, dia harus turun tangan membunuh
orang yang telah merusak kehidupan encinya!
Akan tetapi, agaknya Tek Ciang juga bermata tajam. Mula-mula dia tidak mengenal Ciang
Bun, akan tetapi begitu Ciang Bun berdiri di dalam perahunya dan dia memandang penuh
perhatian, Tek Ciang segera mengenalnya. Dengan sikap congkak dan manis dibuat-buat
penuh ejekan, dia melam-baikan tangan.
"Aha, kiranya bertemu dengan adikku Ciang Bun di sini! Apa kabar, adikku?"
Akan tetapi Ciang Bun membentak sambil men-cabut sepasang pedangnya. "Louw Tek
Ciang ke-parat busuk! Bersiaplah untuk mampus!?"Aihh, anak kurang ajar. Lupakah engkau
bah-wa aku ini kakak iparmu, juga suhengmu sendiri" Keturunan keluarga Suma memang
kurang ajar semua!" Tek Ciang juga membentak. Kawannya, pemuda yang berpakaian serba
hijau, memandang dengan alis berkerut. Pemuda ini adalah Pouw Kui Lok, murid Kun-lun-pai
yang kini menjadi sute dari Tek Ciang itu. Seperti kita ketahui, dua orang ini beruntung sekali
diangkat menjadi murid-murid oleh kedua orang tokoh Lembah Naga Siluman, yaitu Kim-
kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu. Mereka diajak ke Lembah Naga
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
521 Si-luman di Pegunungan Himalaya dan selama ku-rang lebih tiga tahun mereka menerima
gembleng-an dari dua orang tokoh sakti itu. Karena Louw Tek Ciang adalah murid Suma
Kian Lee yang su-dah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari pendekar Pulau Es itu, juga murid
Jai-hwa Siauw-ok yang lihai, sedangkan Pouw Kui Lok adalah murid uta-ma Kun-lun-pai,
keduanya memiliki dasar yang kuat. Karena itulah, dalam waktu tiga tahun saja mereka
mampu menguasai ilmu-ilmu tertinggi ciptaan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Juga kedua orang
muda itu oleh guru mereka diberi masing-masing sebuah suling emas dan mereka mahir
mempergunakannya sebagai senjata.
Setelah turun gunung, kedua orang muda itu lalu kembali ke timur dan untuk bersenang-
senang setelah mereka bertapa selama tiga tahun itu, me-reka pergi ke kota raja untuk
bersantai. Secara ke-betulan sekali, ketika mereka berdua sedangber-pesiar di dalam taman
itu, Tek Ciang melihat Ciang Bun yang segera dikenalnya. Tentu saja Tek Ciang merasa
terkejut sekali, akan tetapi dia tidak merasa takut, malah mengejek. Selain ilmunya sendiri
sudah memperoleh kemajuan pesat, juga di sebelahnya terdapat Pouw Kui Lok, seorang
sutenya dan juga sahabat baiknya yang tentu akan membelanya kalan ada bahaya mengancam
dirinya. Apa yang ditakutkan lagi"
Pouw Kui Lok telah menjadi saudara seperguruan
Hati Budha Tangan Berbisa 13 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah 10
^