Kisah Para Pendekar Pulau Es 21

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


n untuk melawan ngantuk, para penjaga keamanan di rumah Koo-taijin minum arak penghangat
tubuh dan main kartu. Naga Merah dan Naga Hitam mela-kukan perondaan. Melihat semua
aman, merekapun segera memasuki kamar masing-masing. Si Naga Besi seperti biasa, sejak
tadi sudah mendekam dalam kamar seorang selir Koo-taijin. Sekali ini dia berani mati sekali,
berhasil merayu selir ke tiga pembesar itu, selir yang paling disa-yang oleh Koo-taijin.
Karena malam gelap dan dingin, para penjaga segan berjaga di udara terbuka. Mereka agak
le-ngah. Ah, siapa orangnya yang mencari penyakit berkeliaran di luar dalam cuaca seperti
itu" Me-reka tidak mengira bahwa sedikit kelengahan me-reka itu telah dimanfaatkan sesosok
tubuh bayang-an hitam yang berkelebat di atas genteng rumah Koo-taijin ketika tidak melihat
adanya penjaga di luar rumah seperti biasa. Dengan gerakan yang amat lincah dan ringan,
bayangan itu sudah berloncatan di wuwungan gedung, lalu melayang tu-run dan menyelinap
di dalam bayang-bayang ge-lap. Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela sebuah
kamar. Hanya sebentar dia meng-intai lalu membuang muka. Sudah cukup baginya. Seorang
laki-laki tinggi besar yang diketahuinya melalui penyelidikan beberapa hari ini sebagai Naga
Besi, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik dalam kamar itu. Wajah bayangan itu
tersenyum mengejek lalu meninggalkan kamar itu, menyelidiki kamar lain.
Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Kamar Koo-taijin! Pembesar yang kurus
kering itu, ternyata sudah tidur pulas, mendengkur dalam pelukan seorang pelayan perempuan
muda yang malam itu bernasib bagus dipilih majikannya untuk melayaninya. Tanpa
mengeluarkan suara sehingga tidak terdengar oleh enam orang penjaga yang bermain kartu di
dalam ruangan yang menembus ke kamar itu, bayangan tadi membuka jendela dan sekali
meloncat dia telah berada di dalam kamar Koo-taijin. Sinar lampu kemerahan di kamar itu
menimpa mukanya.
Dia masih muda. Antara dua puluh tiga tahun usianya. Wajahnya bulat dan kulit mukanya
agak gelap, akan tetapi muka dan rambutnya terawat rapi sehingga nampak tampan sekali.
Pakaiannya juga rapi dan indah, bersih dan terawat. Di pung-ungnya tergantung sepasang
pedang yang berada dalam sarung pedang yang terukir indah. Gagang pedangnya bagus pula,
dengan ronce-ronce biru. Sejenak dia berdiri dalam kamar dan menyingkap kelambu. Apa
yang sudah dilihatnya samar-samar dari luar kelambu tadi kini nampak jelas. Tubuh seorang
wanita muda yang telanjang bulat memeluk tubuh kerempeng seorang kakek setengah
te-lanjang. Bibir itu bergerak seperti membayangkan perasaan jijik, lalu tangan kirinya
bergerak. Dua batang jarum halus yang harum baunya menyam-har tengkuk wanita itu.
Wanita itu menggerakkan tubuh berkelojotan, lalu mengeluh dan terlentang diam, pingsan
karena dua jalan darah tertusuk dua batang jarum halus.
Dengan tenang pemuda itu menggulung tubuh Koo- taijin dengan selimut, lalu
mengempitnya dan membawanya keluar kamar. Tubuh itu tidak mampu bergerak atau
berteriak karena sudah ditotoknya terlebih dahulu. Dia membawa tubuh pembe-sar itu melalui
jendela dan tak lama kemudian dia sudah tiba di luar kamar di mana selir ke tiga pem-besar
itu masih berdekapan dengan Si Naga Besi. Daun jendela dibukanya dari luar dan setelah dia
membebaskan totokannya pada tubuh Koo-taijin, dia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam
kamar, ke atas pembaringan di mana dua orang manusia itu sedang berjina. Begitu terbebas
dari totokan, Koo-taijin yang sejak tadi ketakutan setengah mati langsung bergerak.
"Tolooonggg....!" Dan tubuhnya terbanting ke atas pembaringan, di antara dua tubuh
telanjang yang tumpang tindih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
615 "Brukkk.... aduh, aduhh....!" Koo-taijin berteriak-teriak, juga selirnya menjerit karena tubuh
suaminya itu jatuh menimpa dada dan kepalanya. Akan tetapi Si Naga Besi yang merasa
terkejut sudah meloncat turun dari atas pemba-ringan, menyambar pakaiannya dan bergegas
me-makainya. Ketika Koo-taijin melihat selirnya yang tersa-yang tidur bertelanjang bulat bersama Si Naga
Besi, dia lupa akan rasa kaget dan takutnya. Seke-tika dia maklum apa yang terjadi antara
se-lirnya dan jagoan itu. Dia sudah mendengar desas-desus di antara para pengawalnya bahwa
satu di antara tiga jagoan yang menjaga keselamatannya itu kabarnya main gila dengan
beberapa orang se-lirnya. Akan tetapi karena dia tidak melihatnya sendiri, diapun tidak
percaya dan pura-pura tidak tahu. Apalagi pada waktu itu dia amat membu-tuhkan
perlindungan dan bantuan tiga orang ja-goan itu. Akan tetapi kini, melihatnya sendiri be-tapa
selirnya ke tiga yang paling disayangnya ber-ada dalam satu pembaringan bertelanjang bulat
dengan Si Naga Besi, kemarahannya memuncak.
"Perempuan hina, apa yang kaulakukan ini?" Dan dia tidak dapat menahan kemarahannya,
ditinjunya muka selirnya dengan keras.
"Bukk....!" Perempuan itu sedang menge-luh kesakitan karena tadi kepala dan dadanya
ter-timpa tubuh suaminya, kini menjerit dan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terjengkang di
atas kasur. Koo-taijin semakin marah, turun dari pemba-ringan dan menyerang Si Naga Besi sambil
me-maki-maki, "Bajingan kamu! Berani meniduri isteriku?" Dan dia mencoba untuk
memukul ja-goan yang sedang sibuk mengenakan pakaiannya itu. Akan tetapi, Si Naga Besi
dengan tak sabar menangkis dan mendorong pembesar itu sehingga jatuh terjengkang.
"Tenanglah, taijin. Siapa yang melempar tai-jin?"
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Para penjaga tadi mendengar teriakan
si pembesar itu dan mereka berlari ke sana-sini bere-butan mencari majikan mereka yang tadi
berteriak minta tolong. Mendengar pertanyaan Si Naga Besi, baru Koo-taijin teringat akan
peristiwa tadi. Mu-kanya pucat dan sekali lompat dia sudah bersem-bunyi lagi ke dalam
kelambu dan merangkul selir ke tiga yang tadi dipukulnya, tubuhnya menggigil ketakutan.
"Tolong.... penjahat.... pembunuh....!"
Dari luar terdengar pintu digedor-gedor oleh para pengawal. "Taijin! Taijin! Apakah paduka
berada di dalam?"
Ketika Si Naga Besi hendak membuka pintu, setelah membereskan pakaiannya, tiba-tiba dari
atas menyambar sesosok bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung garuda
menyam-bar. Kiranya bayangan itu adalah pemuda yang tadi melemparkan tubuh Koo-taijin,
yang ternyata tadi bersembunyi di atas tihang melintang di atas kamar itu.
Melihat pemuda tampan ini, Si Naga Besi se-gera dapat menduga bahwa tentu inilah musuh
yang dinanti- nanti, maka tanpa banyak cakap dia sudah menerjang ke depan dan menyerang
dengan dahsyatnya. Pemuda itu tidak mengelak, melain-kan menangkis dan begitu lengannya
beradu de-ngan lengan Si Naga Besi, penjahat itu terpelanting dan meringis kesakitan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
616 Lengannya yang ter-tangkis tadi rasanya seperti bertemu dengan baja membara saja, keras dan
panas! Dia maklum akan kelihaian lawan dan sekali meloncat dia telah me-nyambar golok
besarnya yang tadi dia letakkan di atas meja.
"Bocah setan bosan hidup!" bentaknya dan dia memutar-mutar goloknya yang besar di atas
ke-palanya lalu menerjang maju, menyerang secara membabi buta. Pemuda itu mengelak
dengan lon-catan ke kanan kiri, kemudian menggerakkan ta-ngan kiri. Nampak betapa golok
menyambar lewat kepalanya dan tangan kirinya itu menonjok ke depan, disusul tendangan
kaki kanannya. "Tuk....! Bruukk!" Golok terlepas ketika sodokan tangan kiri pemuda itu mengenai dada di
bawah ketiak kanan lawan, dan pada saat tendang-an mengenai perut membuat tubuh Si Naga
Besi terlempar menimpa tembok, nyawanya telah mela-yang. Ternyata pukulan tangan kiri
tadi sedemi-kian hebatnya sehingga mengguncang dan memecahkan jantungnya!
Pada saat itu daun pintu kamar pecah dan masuklah dua orang kakek yang bukan lain adalah
Naga Merah dan Naga Hitam, masing-masing memegang pedang dan tombak gagang
panjang. Di belakangnya nampak belasan orang pengawal yang memegang senjata, siap
mengeroyok! Pemuda itu tidak memperdulikan mereka. Dia memungut golok Si Naga Besi dan sekali
meng-gerakkan kaki dia telah meloncat ke pembaringan, dengan tangan kiri menjambak Koo-
taijin. Pem-besar itu sedemikian ketakutan dan mendekap se-lirnya lebih kuat lagi sehingga
ketika tubuhnya terseret turun dari pembaringan, selirnya ikut ter-tarik dan terbanting.
"Ampun....ampunkan saya....!" Pembesar itu meratap dan kini dia sudah melepaskan tubuh
selirnya dan berlutut, merangkak dengan kedua tangan di depan dada.
"Orang she Koo! Engkau ini seorang pembesar kepala daerah yang jahat! Engkau
bersekongkol dengan para penjahat, korup dan makan sogokan. Engkau bukan pemimpin
rakyat yang baik. Orang macam engkau ini sudah selayaknya mampus!"
"Ampun.... ampun, taihiap....!" Pem-besar itu meratap. Sementara itu, Naga Merah dan Naga
Hitam sejenak tertegun melihat Naga Besi menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian melihat
pemuda itu membelakangi mereka dan mencurah-kan perhatiannya kepada pembesar yang
berlutut di depannya, Naga Merah menggerakkan pedang-nya dan Naga hitam menggerakkan
tombaknya, menyerang dari belakang.
"Wuuutt....! Singg....!" Pedang me-nyambar kepala dan tombak meluncur ke arah lambung
pemuda itu. Pemuda itu masih tetap menjambak rambut si pembesar dengan tangan kirinya.
Dia tidak mengelak, juga tidak menengok menghadapi serangan-serangan itu. Akan tetapi
ketika pedang dan tombak itu sudah menyambar dekat, tangan kanannya bergerak dan golok
tadi dia gerakkan ke belakang tubuhnya.
"Trang....! Cringg....!" Pedang dan tombak itu tertangkis golok dan terpental, hampir terlepas
dari tangan pemegangnya yang meloncat ke belakang dengan kaget. Kulit telapak tangan yang
memegang pedang terasa panas dan perih.
"Pembesar Koo, sekali ini kuampuni nyawamu. Lekas kau robah cara hidupmu dan menjadi
pem-besar pelindung rakyat. Kalau tidak, lain kali aku dapat mengambil kepalamu!" Golok
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
617 berkelebat dan pembesar itu menjerit. Rambutnya terbabat habis dan hidungnya putus. Dia
mende-kap mukanya dan darah mengalir dari celah-celah jari tangannya, mulutnya
mengeluarkan suara se-ngau. "Aduh.... aduh.... aduh....!"
Sementara itu, dua orang jagoan sudah mem-beri aba-aba kepada para pengawal untuk
me-ngeroyok. Akan tetapi para pengawal itu hanya mengacung-acungkan senjata dan tak
berani maju. Betapapun juga, dengan adanya belasan orang pengawal itu, hati kedua jagoan
menjadi be-sar dan mereka berdua sudah menerjang maju lagi. Si Naga Merah yang
memegang pedang memutar pedang di atas kepala sedangkan Si Naga Hitam menggerak-
gerakkan ujung tombak untuk menggertak, mencari saat yang tepat untuk menusuk.
"Penjahat-penjahat keji macam kalian hanya mengotorkan dunia saja!" Nampak dua sinar
ber-kelebat. "Trang.... trang....!" Dua jagoan itu terbelalak kaget melihat senjata mereka yang pa-tah-
patah disambar dua sinar tadi. Akan tetapi sebelum mereka sempat menghindar, dua sinar
pedang yang berada di kedua tangan pemuda itu kembali berkelebat dan robohlah Naga
Merah dan Naga Hitam. Mereka berkelojotan dan nampak-nya tidak luka, akan tetapi dari
celah jari tangan mereka yang menutup dada nampak darah bercu-curan. Kiranya dua batang
pedang di tangan pe-muda itu telah menusuk dada menembus jantung!
Para pengawal terkejut dan berebutan menyer-bu. Pemuda itu sudah siap memutar sepasang
pedangnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teri-akan sengau dari Koo- taijin, "Tahan....!
Jangan serang dia! Taihiap, harap ampunkan kami. Mulai sekarang kami hendak merobah
semua ke-salahan!"
Pemuda itu menoleh kepada pembesar yang masih mendekap hidungnya yang berdarah, bukit
hidung itu sudah lenyap terbabat pupus oleh golok tadi. Nyeri bukan main dan berdarah terus.
Pemuda itu mengangguk, lalu melemparkan sebuah bungkusan kepada pembesar itu.
"Bagus, taijin. Biar cacad badan, kelak paduka akan menjadi pemimpin rakyat yang baik.
Pakai-lah obat ini, dilumurkan pada lukamu, tentu segera sembuh. Selamat tinggal!" Baru saja
kata-kata ini habis diucapkan, tubuh pemuda itu berkelebat ke arah langit- langit kamar.
Terdengar suara keras ketika atap itu jebol berlubang dan tubuhnya lenyap menerobos atap!
Ternyata di kemudian hari bahwa Koo-taijin benar- benar bertobat, berobah menjadi seorang
pembesar yang baik, memperhatikan kepentingan rakyatnya dan mengerahkan pasukan
keamanan untuk mengadakan pembersihan, membasmi sarang--sarang penjahat, bahkan tidak
segan-segan menin-dak bawahannya yang melakukan penyelewengan.
Pemuda perkasa yang telah membunuh Lok--yang Sam- liong dan menghukum Koo-taijin itu
berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain dengan kecepatan seperti terbang saja. Dia
terus keluar kota dan memasuki kuil tua yang tak diper-gunakan orang lagi. Tak lama
kemudian dia sudah membuat api unggun di ruangan belakang, duduk bersamadhi di dekat
api unggun. Buntalan pakai-annya terletak di dekatnya. Biarpun dia telah ber-hasil baik sekali
dalam tugasnya sebagai pendekar pada malam itu, namun ketika cahaya api unggun
menerangi wajahnya, dia sama sekali tidak keli-hatan puas dan gembira.
Sebaliknya malah, wajahnya nampak suram mu-ram. Wajah yang tampan itu digelapkan
awan kedukaan dan sekali-kali dia menarik napas pan-ang, lalu terdengar keluhannya dengan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
618 suara menggetar, "Gangga.... ah, Gangga....!" Pemuda itu adalah Suma Ciang Bun. Seperti
telah diceritakan di bagian depan, ketika mende-ngar bahwa Gangga pergi tanpa pamit dan
menu-rut encinya pemuda Bhutan itu pergi ke Bhutan, Ciang Bun menjadi kaget dan berduka.
Diapun segera melakukan pengejaran ke barat. Akan tetapi, dia tidak menemukan jejak
pemuda Bhutan itu! Hatinya makin rindu dan makin berduka, takut kalau selamanya dia
takkan dapat bertemu lagi dengan orang yang amat dicintainya itu. Dia tak berani melakukan
perjalanan terlalu cepat, ta-kut membuatnya semakin jauh dari Gangga. Dia melakukan
perjalanan perlahan-lahan, berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, lalu
melanjutkan terus ke barat. Yang membuat dia berduka adalah karena dia tidak pernah
berhasil mendapat keterangan tentang pemuda itu. Dan untuk mengurangi kedukaannya,
untuk menghi-bur kekesalannya, Ciang Bun mulai bertindak se-bagai seorang pendekar yang
menentang semua penjahat yang diketahuinya. Juga dia memberi hajaran kepada para pejabat
yang korup, seperti yang telah dilakukannya di Lok-yang tadi. Mulai dia dikenal sebagai
seorang pendekar muda yang berilmu tinggi dan yang bertangan maut terhadap para penjahat.
Memang dia tak mau mengampuni penjahat. Hal ini mungkin menjadi akibat dari semua
pengalamannya. Di Pulau Es dahulu dia menyaksikan betapa kakek dan kedua orang
nenek-nya tewas dan Pulau Es lenyap karena perbuatan penjahat. Kemudian, betapa keluarga
ayahnya tertimpa aib karena perbuatan penjahat pula. Se-mua ini memupuk semacam dendam
kebencian di dalam hatinya terhadap para penjahat sehingga dia tak mau memberi ampun
kepada setiap penjahat yang ditemuinya.
Suma Ciang Bun terbenam dalam kedukaan. Dia teringat akan rencana pernikahan encinya.
Dia takkan dapat hadir dalam perayaan pernikahan itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk
tidak kem-bali sebelum dia dapat bertemu kembali dengan Ganggananda.
"Aih.... Gangga, di manakah engkau ber-ada....?" keluhnya penuh rindu sebelum dia
tenggelam ke dalam samadhinya.Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Bun sudah
meninggalkan kuil itu dan melanjutkan perjalanannya ke barat. Dia tidak lagi memasuki kota
Lok-yang karena selama beberapa hari dia sudah melakukan penyelidikan dan agaknya tidak
ada seorangpun melihat pemuda Bhutan seperti Ganggananda di kota itu. Ciang Bun mulai
men-duga bahwa mungkin sekali pemuda itu mengambil jalan lain, tidak melalui Lok-yang.
Akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda itu terus menuju ke barat dan dia akan mencari terus
sampai ke negeri Bhutan!
Ciang Bun mengambil jalan ke barat menyusuri sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Pada
waktu musim hujan membuat Sungai Huang-ho pasang dan airnya berlimpah-limpah. Dalam
keadaan seperti itu, sungai ini menjadi liar, arusnya kuat sekali sehingga amat berbahaya
untuk naik perahu menentang arus. Maka Ciang Bun hanya berjalan kaki saja, kadang-kadang
mempergunakan ilmu lari cepat kalau melalui jalan sunyi. Dia akan pergi ke kota Sian yang
jauhnya masih antara tiga ratus kilometer dari situ. Kalau dia melakukan perja-lanan cepat,
dalam waktu empat hari saja dia su-dah sampai di sana. Tentu saja kalau di tengah jalan tak
ada sesuatu yang akan menyita waktunya.
Dua hari kemudian tibalah dia di sebuah puncak bukit. Dari puncak itu dia dapat melihat
pe-mandangan yang amat indah. Sungai Huang-ho yang lebar nampak berkilauan dari atas.
Sejauh mata memandang, tidak nampak adanya dusun di sebelah barat, melainkan penuh
hutan memanjang di sepanjang tepi sungai. Maka diapun mengambil keputusan untuk
melewatkan malam di tempat indah ini.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
619 Ciang Bun lalu melepaskan buntalan dan siang-kiamnya dari punggung, menjatuhkan diri
duduk di atas rumput hijau tebal lunak. Indah bukan main pemandangan menjelang senja itu.
Indah dan su-nyi. Sunyi sekali. Dia mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci air jernih
dari buntalan. A-kan tetapi ketika dia menoleh ke kanan kiri, merasa betapa sunyinya
keadaan, betapa sepi dan kosong perasaan hatinya, roti kering itu tak jadi digigitnya. Dia
menyimpan kembali roti dan guci air. Tidak jadi makan atau minum walaupun perutnya lapar
dan tenggorokannya haus. Dia tidak dapat makan ka-rena pada saat itu hatinya dicekam
keresahan dan kedukaan. Dia merasa betapa sepi hidupnya, be-tapa rindu kepada
Ganggananda dan justeru ke-rinduan inilah yang mendukakan hatinya. Terngi-ang di
telinganya pertanyaan encinya ketika dia akan pergi mengejar Gangga.
"Yakinkah engkau bahwa cintamu terhadap Gangga itu murni" Ataukah hanya nafsu yang
timbul karena dia seorang pemuda tampan?" De-mikian encinya bertanya.
Ciang Bun menundukkan mukanya. Gangga adalah seorang pria! Dan bagaimana kalau
Gang-ga mendengar pengakuan cintanya, mengerti bah-wa dia adalah seorang dengan
kelainan" Apakah Gangga akan memandangnya dengan jijik, akan menjadi marah,
membencinya dan takkan sudi berdekatan lagi dengannya"
Ciang Bun mengangkat mukanya dan ternyata kedua pipinya yang menjadi pucat itu sudah
basah semua. Dia menangis dan tak mampu menahan perasaannya lagi. Ditutupnya mukanya
dengan ke-dua tangan dan dia menangis tersedu-sedu, seperti anak kecil, seperti perempuan!
"Ciang Bun....!" Suara halus terdengar oleh Ciang Bun seperti nyanyian sorga. Seketika dia
menurunkan kedua tangan dari mukanya.
"Gangga...." Gangga....?" bisiknya penuh keraguan, penuh harapan, penuh kegelisah-an
kalau-kalau pendengarannya telah menipunya dan harapannya akan hampa. Akan tetapi ketika
dia menoleh, di dalam cuaca remang-remang itu dia melihat pemuda itu dengan jelas! Bukan
mim-pi, bukan khayal!
"Gangga....!" Dia meloncat berdiri dan berlari menghampiri dengan lengan terbuka. Di situ
Ganggananda berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh haru, dengan bibir
tersenyum. "Ciang Bun....!" Katanya dengan air mata berlinang. Ciang Bun mengembangkan kedua
le-ngannya dan merangkul. Gangga diam saja dan membiarkan pemuda itu memeluknya dan
mende-kapnya dengan kuat sekali. Ganggananda diam--diam harus melindungi tubuhnya


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tenaga dalam dari pelukan Ciang Bun, kalau tidak bisa patah-patah tulang iganya
didekap sekuat itu!
"Gangga.... ah, Gangga.... betapa gi-rang hatiku, betapa.... rinduku kepadamu....!" Ciang Bun
berbisik berkali-kali, mendekap tubuh itu seolah-olah hendak memasukkan Gangga ke dalam
dadanya agar tidak sampai dapat berpisah lagi. Kemudian, saking girangnya dapat bertemu
dengan Gangga kembali, dan saking rindunya, dia lalu mencium pemuda itu, ciuman sayang
dan me-sra pada pipi kanannya. Dia merasa betapa tubuh Gangga gemetar keras dan tiba-tiba
Ciang Bun teringat akan keadaan dirinya.
"Ahhh....!" Dia melepaskan pelukannya seperti melepas ular, lalu membalikkan tubuhnya
dan menjambak- jambak rambutnya sambil mena-ngis!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
620 "Ciang Bun....!" Ganggananda terkejut, menghampiri dan menyentuh pundaknya. "Ada
apakah....?"
Ciang Bun menutupi muka dengan kedua ta-ngan, pundaknya bergoyang-goyang dan air
mata menetes dari celah-celah jari tangannya. Melihat ini, Gangga Dewi menjadi terharu
sekali. Betapa sikap pemuda ini seperti seorang wanita saja, pa-dahal sepak terjangnya selama
ini begitu gagah perkasa sebagai seorang pendekar sejati. Sungguh sulit membayangkan
betapa seorang pemuda seli-hai ini, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat menangis
sesenggukan seperti seorang wa-nita cengeng!
"Ciang Bun, ada apakah" Apakah yang me-nyusahkan hatimu?" tanyanya.
Ciang Bun mengusap air matanya dan dia lalu duduk di atas rumput tebal. Gangga Dewi juga
duduk dan untuk menghilangkan suasana yang ti-dak enak itu, ia berkata. "Tahukah engkau
betapa selama beberapa hari ini, dari sebelum engkau tiba di Lok-yang sampai sekarang, aku
selalu memba-yangimu?"
Ucapan ini berhasil menolong. Ciang Bun yang sudah dapat menguasai hatinya, memandang
heran. "Begitukah?" katanya. "Pantas aku tidak pernah dapat menyusulmu, kiranya engkau
berada di be-lakangku." Gangga Dewi tersenyum dan suasana yang amat tidak enak bagi
Ciang Bun tadi agak berobah, hatinya menjadi tenang kembali.
"Gangga, sebetulnya engkau hendak ke mana-kah" Apakah benar seperti keterangan enci Hui
bahwa engkau hendak pulang ke Bhutan?"
"Dan kau sendiri hendak ke mana?" Gangga balas bertanya.
"Aku.... aku hendak menyusulmu. Karena engkau pergi tanpa pamit padaku...."
"Aku memang tidak pamit karena masih pagi sekali dan aku memang ingin pulang ke
Bhutan. Kenapa engkau mengejarku?"
"Aku...." Aku.... merasa kehilangan sekali ketika engkau pergi, Gangga. Aku.... aku rindu
sekali kepadamu."
"Kau memang sahabatku yang amat baik, Ciang Bun. Akan tetapi di antara sahabat, ada
waktu berkumpul dan ada waktu berpisah."
"Akan tetapi aku tidak mau berpisah darimu, Gangga. Selamanya jangan sampai kita
berpisah!"
"Eh, mengapa begitu" Mana mungkin begitu?"
"Gangga, aku.... aku cinta padamu, Gangga!"
Gangga Dewi sengaja mengatur sikap untuk menguji batin Ciang Bun sesuai dengan
rencana-nya menolong pemuda itu sembuh, walaupun jan-tungnya terasa berdebar dan kedua
pipinya terasa panas. Ia pura-pura terbelalak heran.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
621 "Tentu saja, akupun suka sekali kepadamu, Ciang Bun. Kita memang sahabat yang saling
mencinta, sahabat karib, bukan?"
"Tidak, tidak! Bukan begitu, aku.... aku.... ahhh....!" Dan pemuda itu menunduk untuk
menyembunyikan mukanya.
Gangga Dewi memegang pundak Ciang Bun. "Ciang Bun, ada apakah" Sikapmu begini aneh.
Tadi juga kau.... menangis. Ada apakah?"
Inilah saatnya! Saat yang selama ini amat menggelisahkan hatinya. Akan tetapi,
bagaimana-pun, apapun yang akan menjadi akibatnya, dia harus mengaku terus terang kepada
Ganggananda. Mungkin Gangga akan menjadi jijik kepadanya, mungkin menjadi marah,
membencinya sehingga mungkin juga akan meninggalkannya, untuk sela-manya. Akan tetapi
dia harus berani menanggung akibatnya. Lebih baik menghadapi kenyataan dan memperoleh
kepastian, betapapun pahitnya, daripada tersiksa dalam keraguan dan ketidaktentuan,
tenggelam dalam kerinduan dan kebimbangan. Dia harus berani bersikap gagah sebagaimana
layaknya seorang pendekar! Maka, dia cepat menghapus air matanya. Untung baginya bahwa
cuaca sudah mulai gelap sehingga Gangga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Hal ini
me-nolongnya dan mengurangi rasa sungkan dan malunya.
"Gangga, sahabatku yang baik, kalau aku ber-terus tenang dan kata-kataku menyinggung dan
tidak menyenangkan hatimu, maukah engkau.... memaafkan aku?"
Diam-diam Gangga Dewi merasa terharu se-kali. Ia merasa kasihan kepada pemuda itu dan ia
tahu betapa sukarnya bagi Ciang Bun untuk menjawab pertanyaannya tadi.
"Tentu saja, Ciang Bun. Orang yang berte-rus terang, berarti mempunyai maksud baik dan
sudah sepatutnya kalau dimaafkan."
"Tapi.... tapi aku...." Ciang Bun meng-hentikan lagi kata-katanya, nampak berat sekali untuk
memhiiat pengakuan dan menceritakan kea-daan dirinya.
"Engkau kenapa" Katakanlah!"
Ciang Bun mengepal tinju dan menguatkan ha-tinya. Dia seorang pendekar, tdak boleh
bersikap lemah. "Gangga, aku akan bicara terus terang dan mungkin sekali akan tidak
menyenangkan hatimu, tidak enak kaudengar."
Melihat sikap tegas ini, Gangga tersenyum. "Nah, begitu lebih patut bagimu, pendekar Suma
Ciang Bun. Bicaralah!"
"Gangga, tadi aku mengatakan bahwa aku cinta padamu, akan tetapi bukan seperti yang
kaumak-sudkan, tidak seperti yang kausangka. Bukan cinta sebagai seorang sahabat!"
Gangga sudah tahu akan keadaan pemuda ini dari Suma Hui, akan tetapi ia pura-pura heran,
memandang dengan mata terbelalak. "Apa mak-sudmu" Aku tidak mengerti, Ciang Bun."
"Tidak terasakah olehmu ketika aku.... memelukmu tadi" Aku.... ketika aku.... menciummu
tadi" Nah, cintaku seperti itulah!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
622 "Tapi aku.... aku seorang pria juga!" Gangga memancing.
"Itulah, Gangga, justeru itulah! Aku.... aku bukan seorang yang waras.... aku seorang yang
sakit dan menderita kelainan. Karena itulah aku merana dan aku.... takut kalau kau men-jadi
benci kepadaku, menjadi jijik lalu meninggalkan aku untuk selamanya...." Pemuda itu
menundukkan mukanya, tidak menangis lagi namun terbenam dalam kedukaan besar. Gangga
Dewi memandang dan hatinyaterharu. Ia sendiri belum merasa yakin benar apakah ia
mencinta pemuda ini setelah mengetahui rahasianya dari Suma Hui. Yang jelas ia tidak
membenci, tidak jijik melainkan heran, terkejut dan kasihan sekali.-
"Ciang Bun," katanya halus. "Sebetulnya apa-kah yang kauderita itu" Kelainan dan penyakit
bagaimanakah yang kaumaksudkan?"
Ciang Bun menghela napas panjang. Betapa-pun sukar dan beratnya, dia harus berterus
terang, harus menceritakan semua tentang dirinya kepada orang yang dicintanya ini.
"Gangga, mungkin engkau akan kaget, heran dan jijik setelah mendengar penyakit apa yang
mengganggu diriku. Baiklah aku mengaku terus terang saja, Gangga. Aku adalah seorang
laki-laki yang berselera wanita. Aku tidak tertarik kepada wanita sebagai teman hidup, aku
tertarik kepada sesama pria. Aku hanya bergairah terhadap seo-rang pemuda, aku hanya dapat
jatuh cinta kepada seorang pria! Dan aku aku cinta padamu. Bukan hanya sebagai sahabat,
melainkan lebih mendalam lagi, seperti.... seperti cinta suami isteri.... aku ingin hidup
bersamamu, sela-manya di sampingmu dalam suka maupun duka, tidak akan terpisah lagi.
Nah, aku sudah menceritakan semua dan.... dan engkau tentu muak dan membenciku!"
Hening sejenak. Gangga Dewi teringat akan siasat yang diatur Suma Hui. Memang, ia
berjanji untuk membantu penyembuhan pemuda ini. Akan tetapi hanya untuk mengguncang
batinnya, menya-darkanya dengan harapan mudah-mudahan pe-muda itu akan dapat sembuh,
melalui cinta pe-muda itu terhadap dirinya. Akan tetapi, ia sendiri tidak yakin apakah ia juga
mencinta pemuda ini. Ia merasa suka dan kagum, akan tetapi cinta" Ia sendiri belum tahu
benar, apalagi setelah me-lihat kelainan yang ada pada batin Ciang Bun.
"Ciang Bun, jadi kau.... kau mencinta di-riku?"
"Aku cinta padamu, Gangga, walaupun aku maklum bahwa mungkin sekali engkau akan
merasa muak dan membenciku."
"Engkau mencinta diriku karena.... aku seorang pria, seorang pemuda yang menarik
hati-mu?" Sepasang mata yang bening tajam itu ber-sinar menyaingi bintang- bintang yang
mulai ber-tebaran di langit, berusaha menembus kegelapan untuk dapat menjenguk isi dada
pemuda itu dan mengetahui isi hatinya.
Ciang Bun mengangguk, teringat bahwa cuaca gelap dan Gangga tidak akan dapat
melihatnya, maka dia berkata gagap, "Ya.... ya, begitu-lah....!"
Tiba-tiba Gangga bangkit berdiri. "Hemm, jadi yang kaucinta hanyalah diriku sebagai
seorang pemuda yang menarik" Ciang Bun, kalau engkau hanya membutuhkan pemuda
tampan menarik, mudah saja bagimu untuk memperolehnya setiap saat dan di manapun!
Aku.... aku tidak sudi menjadi korban nafsu-nafsumu!" Setelah berkata demikian Gangga
meloncat jauh dan lari.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
623 Sejenak Ciang Bun termangu. Dia sudah men-duga bahwa tentu hebat akibat pengakuannya
itu, akan tetapi begitu dia teringat bahwa Gangga telah pergi meninggalkannya, mungkin
untuk selamanya, diapun meloncat dan mengejar turun dari puncak bukit.
"Gangga....! Tunggu dulu, aku mau bicara denganmu!"
Gangga berhenti, membalik dan menanti sambil bertolak pinggang. "Mau bicara apa lagi?"
tanya-nya angkuh.
"Gangga, maafkan kalau aku telah menying-gung perasaanmu dengan kata-kataku tadi yang
bodoh dan canggung. Gangga, aku cinta padamu, sungguh bukan hanya karena engkau
seorang pe-muda tampan yang menarik. Tidak! Aku cinta pa-damu karena dirimu, karena
pribadimu, biar ditu-kar seribu orang pemuda tampan sekalipun aku tidak mau!"
"Ciang Bun, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak suka kepada wanita, bukankah
begitu?" "Benar, Gangga, dan itulah penyakitku, itulah kelainan diriku...."
"Nah, sekarang lihat baik-baik, Ciang Bun, lihat baik-baik!" Gangga menggunakan tangan
melepas kain pengikat dan penutup rambutnya, menanggalkan pula alis palsunya. Rambutnya
yang halus panjang terurai lepas. Biarpun cuaca re-mang-remang namun cukup terang bagi
Ciang Bun untuk melihat perobahan itu dan diapun terbelalak.
"Gangga....! Kau.... kau...."
"Namaku Gangga Dewi, aku seorang wanita yang menyamar pria agar aman dalam
perjalanan. Nah, aku seorang wanita dan engkau tidak bisa jatuh cinta kepada wanita, bukan"
Selamat ting-gal!"Gangga Dewi meloncat dan lari secepatnya, meninggalkan Ciang Bun yang
berdiri bengong de-ngan wajah pucat. Gangga seorang wanita! Ke-nyataan ini merupakan
pukulan hebat baginya. Baru dia mengerti akan pertanyaan encinya apa-kah dia mencinta
pribadi Gangga ataukah hanya karena Gangga dianggapnya pria saja. Kalau Gang-ga tadi
bertanya seperti encinya, agaknya masih mudah baginya untuk menjawab bahwa dia mencinta
Gangga, mencinta pribadinya, bukan ka-rena Gangga seorang pria. Akan tetapi, Gangga tidak
hanya bertanya, melainkan dengan mendadak saja merobah dirinya, membuka rahasianya. Hal
ini membuat Ciang Bun terkejut dan batinnya ter-guncang hehat, membuat dia tidak mampu
meng-ambil keputusan, tidak tahu harus berbuat apa. Gangga seorang wanita! Kenyataan ini
amatlah hebatnya, terlalu hebat mengguncang perasaannya sehingga dia hanya berdiri
terbelalak seperti pa-tung. Dia tidak mengejar lagi sekarang. Terlalu bingung dan pada saat
itu, dia sendiripun tidak tahu bagaimana perasaan hatinya terhadap Gangga. Masih tetap
mencintakah" Dia tidak tahu. Yang terasa pada saat itu hanyalah kekecewaan, kehe-ranan dan
penyesalan. Rasa kecewa jauh lebih besar dan dia dicekam kekecewaan yang membu-at
seluruh tubuh terasa lemas. Dia merasa seolah--olah piala harapan yang dirawatnya baik-baik
dan dipuja- pujanya itu mendadak hancur berke-ping-keping.
"Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?" ratap-nya sambil menutupi muka dengan kedua
tangan-nya. Kedua kakinya gemetar dan diapun jatuh terduduk di atas tanah.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
624 Cinta asmara didorong oleh nafsu berahi yang timbul karena kecocokan selera dan daya tarik
alamiah yang memang ada dalam diri setiap mahluk antara jantan dan betina. Daya tarik
alamiah ini memang amat diperlukan guna perkembang-biakan segala mahluk hidup. Dengan
adanya daya tarak ini, jantan dan betina didorong untuk saling mendekati, berhubungan dan
berkembang biak. Karena itu di dalamnya terkandung kenikmatan dan kepuasan, seperti
hanya makan atau minum yang megandnng keenakan dan kepuasan sebagai daya tarik
penyambung hidup, pengisian kebutuhan badan.
Kenikmatan dan kepuasan ini, yang menjadi pendorong pengisian kebutuhan badan,
sebaliknya dapat menjadi racun bagi batin. Batinlah yang dicengkeram oleh kenimatan
sehingga mencandu dan batin yang mendorong kita untuk mengejar--ngejar dan mengulangi
segala kenikmatan dan ke-puasan itu, batin yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan
itu. Padahal, kesenangan itu terpisahkan dari kesusahan dan kepuasan tak ter-pisahkan dari
kekecewaan, apabila kita kejar-kejar. Dalam pengejaran terkandung harapan atau keinginan
memperoleh, dan harapan inilah yang melahirkan kekecewaan apabila gagal diperoleh.
Karena ulah batin sendiri, maka cinta asmara yang sedianya menjadi pendorong sesuatu yang
dapat kita nikmati, seperti kelezatan makan selagi lapar dan kepuasan minum selagi haus,
sebaliknya men-jadi ajang pertentangan antara senang dan susah, antara puas dan kecewa.
Ciang Bun tenggelam ke dalam duka dan kebimbangan. Ada perasaan yang saling
bertentangan bergelut di dalam batinnya. Di satu pihak dia ingin selalu berdampingan dengan
pemuda Gang-gananda, di lain pihak dia tidak mungkin dapat mendekati dan bermesraan
dengan gadis Gannga Dewi. Padahal, Ganggananda dan Gangga Dewi adalah satu orang juga!
Ketika dia teringat bahwa Gangga telah meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, hatinya
merana. "Gangga....!" Dia berseru dan meloncat berdiri, hendak mengejar. Akan tetapi dia segera
teringat bahwa Gangga adalah seorang wanita dan tiba-tiba saja kedua kakinya mogok dan
berhenti berlari.
"Gangga.... ah, Gangga...." Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan seolah-olah
terasa ngeri menyaksikan keadaan dirinya sendiri dan dia membiarkan dirinya hanyut dalam
keti-daktentuan yang menimbulkan duka.
*** Kam Hong, pendekar sakti yang halus budi ba-hasanya dan sederhana hidupnya itu masih
tinggal menghuni istana kuno di puncak Bukit Nelayan, di Pegunungan Tai- hang-san.
Usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi karena dia hidup di pegunungan yang sunyi
dan berhawa sejuk ber-sih, apalagi karena dia tidak pernah mencampuri urusan dunia
sehingga kehidupannya tenang dan penuh damai, maka dia nampak masih amat muda, belasan
tahun lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Seperti biasa, dia selalu memakai
pa-kaian sasterawan yang sederhana dan kebesaran. Melihat sepintas lalu saja, orang akan
memandang rendah kepadanya. Seoang sasterawan setengah tua yang nampaknya malas-
malasan, hanya ber-main suling saja yang menjadi kesukaanya. Se-dikitpun, dalam gerak
gerik maupun sikapnya, dia tidak nampak seperti seorang pendekar. Akan te-tapi, kalau orang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
625 menyaksikan kelihaiannya, dia akan bergidik dan takjub. Pendekar ini telah me-nguasai
banyak sekali ilmu silat gemblengan yang ampuh-ampuh. Dialah pewaris ilmu-ilmu silat yang
amat tinggi dari Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya. Dari Sai-cu Kai-ong
dia mewarisi ilmu-ilmu silat, antara lain yang hebat adalah Khong-sim Sin-ciang (Tangan
Sakti Hati Kosong) dan Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Dari Sin-siauw Seng-jin dia
mewarisi ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas, antara lain yang hebat adalah Hong-in Bun-
hwat (Silat Sastera Angin Hujan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang De-lapan Dewa), dan Lo-
hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Biasanya pedangnya diganti dengan suling dan
dimainkan bersama kipas, sung-guh sukar dicari tandingnya. Semua warisan il-mu itu
diperhebat secara berlipat ganda ketika dia secara kebetulan sekali mewarisi ilmu mujijat dari
jenazah kuno, yaitu ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong
Sim-in yaitu ilmu meniup suling yang mengandung ge-taran khi-kang amat kuatnya sehingga
suara tiupan itu saja dapat merobohkan lawan tanpa menyen-tuhnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini hidup tenteram di tempat sunyi itu
ber-sama isterinya dan anak tunggalnya, yaitu Kam Bi Eng. Ketentraman itu tergangu hebat
dengan menimpanya malapetaka yang menewaskan enam orang pelayan atau murid mereka
dan hampir saja puteri mereka juga tertimpa bencana kalau saja tidak diselamatkan oleh Suma
Ceng Liong. Mala-petaka itu disebabkan oleh penyerbuan Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-
ok bersama seorang muridnya yang lihai, yang bukan lain adalah Louw Tek Ciang.
Kini Kam Bi Eng ikut bersama calon mertua-nya, Sim Hong Bu, untuk memperdalam ilmu
silat sedangkan putera Sim Hong Bu yang bernama Sim Houw, yang telahdipertunangkan
dengan gadis itu, berada di istana tua Khong-sim Kai-pang untuk memperdalam ilmunya pula
kepada pendekar Kam Hong. Memang sudah disetujui bersama oleh Kam Hong dan Sim
Hong Bu untuk menggabung kedua ilmu mereka yang sebenarnya berasal dari satu sumber
akan tetapi yang diciptakan untuk saling menentang itu.
Pagi hari suasana di sekitar istana kuno Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan sunyi
dan tenteram. Matahari pagi bersinar cerah seperti biasa, memandikan seluruh permukaan
puncak dengan sinar perak lembut yang menghidupkan. Sejak fajar tadi, Sim Houw telah
berlatih silat seorang diri di kebun belakang. Pemuda ini memang tekun sekali dan dalam
waktu tiga tahun saja, di bawah bimbingan Kam Hong, dia telah menguasai inti dari Ilmu
Pedang Suling Emas dan dibantu oleh Kam Hong menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut
(Ilmu Pedang Suling Emas) dengan Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang
dipelajarinya dari ayahnya. Biarpun Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari
Kam Hong itu tentu saja tidak sehebat yang dikuasai calon mertuanya dan ilmu Koai-liong
Kiam-sut juga tidak sehebat yang dikuasai ayahnya, namun penggabungan kedua ilmu ini
benar-benar amat hebat sehingga dalam usianya yang baru sembilan -belas tahun itu ilmu
pedangnya tidak kalah kuat dibandingkan dengan ayahnya maupun calon ayah mertuanya.
Pendekar Kam Hong sejak pagi juga sudah ba-ngun dan setelah berjalan-jalan ke atas puncak
selama beberapa jam, kini dia duduk menikmati suasana pagi yang cerah itu di depan istana
kuno seorang diri. Isterinya, Bu Ci Sian, sedang sibuk menyiapkan sarapan mereka di


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapur.Gerakan dua bayangan orang itu sejak tadi sudah ditangkap oleh pandang mata
pendekar Kam Hong dan diam-diam sambil duduk tenang me-nikmati burung-burung yang
menyambut datang-nya pagi dengan gembira, dia memperhatikan. Dia tidak tahu siapa adanya
kedua orang itu, akan te-tari melihat betapa mereka itu menyelinap dari pohon ke pohon, dan
melihat pula gerakan mereka yang ringan dan cepat, Kam Hong sudah dapat menduga bahwa
mereka berdua itu memiliki kepandaian tinggi dan tentu datang bukan dengan niat baik karena
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
626 datangnya menyelinap seperti orang bersembunyi. Namun, dia tidak mau meng-ambil
kesimpulan atau berprasangka, melainkan menanti dengan sikap tenang. Sejak kematian para
pelayan tiga tahun yang lalu, dia tidak menggunakan tenaga pelayan lagi. Kini dia hidup
bertiga saja bersama isterinya dan muridnya atau calon mantunya, cukup lihai untuk dapat
melindungi di-rinya sendiri. Dia tidak mau lagi membahayakan keselamatan orang lain
dengan mempergunakan bantuan tenaga pelayan, karena dia tahu bahwa di sana banyak
terdapat orang-orang dari golong-an hitam yang memusuhinya dan memusuhi isterinya. Siapa
tahu masih ada orang-orang yang mendendam kepada keluarganya dan kalau musuh da-tang
selagi dia dan keluarganya tidak ada atau sedang lengah, tentu para pembantu atau pelayan
yang akan tertimpa malapetaka. Dia tidak mau peristiwa menyedihkan itu terulang kembali.
Oleh karena itulah maka melihat dua bayangan orang yang mencurigakan itu, dia bersikap
tenang saja, diam-diam dia memperhatikan dan mendu-ga-duga siapa gerangan mereka itu
dan apa yang terkandung dalam hati mereka.
Dua orang itu agaknya kini dapat melihat pula pendekar yang duduk seorang diri di depan
istana kuno itu dan mereka muncul dari balik pohon-pohon dan langsung kini melangkah
lebar menghampiri Kam Hong. Pendekar ini sekarang dapat melihat mereka, dua arang pria
muda yang bersikap gagah. Kam Hong memandangpenuh perha-tian, merasa pernah melihat
mereka, atau setidaknya seorang di antara mereka yang bertubuh pendek tegap dan bermuka
putih tampan. Dia memperhatikan wajah mereka. Yang bertubuh pendek tegap itu berusia
kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya pesolek atau setidaknya rapi sekali, wajahnya cerah
dan terhias senyum, sepasang matanya membayangkan kecerdikan, langkahnya tegap dan
membayangkan tenaga sin-kang yang ku-at. Orang ke dua lebih muda, paling banyak dua-
puluh lima tahun usianya, pakaiannya sederhana berwarna hijau, sikapnya pendiam dan
alisnya ber-kerut, wajahnya diliputi keraguan dan kebimbang-an, tidak seperti kawannya yang
nampak tabah. Kam Hong adalah seorang pendekar yang su-dah mencapai tingkat tinggi. Biasanya, para
datuk atau pendekar yang sudah tinggi tingkatnya, ber-sikap dingin dan memandang rendah
kepada orang-orang muda. Akan tetapi Kam Hong adalah seorang sasterawan pula yang
menjunjung tinggi kesusilaan dan sopan santun, maka begitu dua orang menghampirinya, dia
bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat.
"Dua orang sobat yang muda dan gagah per-kasa, siapakah, dari mana dan kabar baik apakah
yang ji-wi bawa?"
Melihat kegagahan dan keramahan orang yang berpakaian sasterawan ini si baju hijau cepat
membalas dengan penghormatannya. Sikap Kam Hong ini saja sudah membuat hatinya
terpukul dan dia menjadi kagum. Si baju hijau ini adalah Pouw Kui Lok, sedangkan si pendek
tegap adalah Louw Tek Ciang. Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini ditemukan oleh Cu
Han Bu dan Cu Seng Bu di kuil Kun-lun-pai yang mengangkat keduanya menjadi murid-
murid dan dibawa ke Lembah Na-ga Siluman. Selama tiga tahun mereka digembleng oleh dua
orang tokoh barat itu dan kini mereka datang ke puncak Bukit Nelayan sebagai utusan para
tokoh keluarga Cu untuk menebus kekalahan mereka terhadap Kam Hong!
Begitu bertemu dengan Pendekar Suling Emas Kam Hond dan melihat sikapnya, Pouw Kui
Lok segera merasa tunduk dan kagum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang
pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Biarpun dia mak-lum bahwa adalah menjadi
tugas kewajibannya untuk menghadapi pendekar sakti ini sebagai lawan untuk berbakti
kepada guru-gurunya, yaitu kelu-arga Cu sebagai balas budi mereka, namun dia sebagai
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
627 seorang pendekar merasa ragu-ragu dan bimbang. Andaikata yang menjadi musuh guru-
gurunya itu seorang penjahat, atau setidaknya se-orang yang berwatak sombong, tentu
tugasnya akan terasa ringan dan hatinya tidak diliputi keraguan lagi.
Berbeda lagi dengan apa yang terasa di hati Louw Tek Ciang. Orang ini sama sekali tidak
memiliki jiwa pendekar walaupun pada lahirnya dia pandai sekali membawa diri dan berlagak
seperti seorang pendekar sejati. Di dalam hatinya, begitu melihat pendekar yang pernah
merobohkan dia dan gurunya ini, timbul suatu kebencian dan dendam yang besar. Ingin sekali
dia dapat membalas dan kalau mungkin membunuh pendekar itu, bukan demi membalas hudi
keluarga Cu yang sudah me-nurunkan ilmu-ilmunya kepadanya, melainkan de-mi membalas
dendamnya sendiri. Akan tetapi dia amat cerdik. Oleh Pouw Kui Lok yang kini men-jadi
sutenya karena mereka berdua sama-sama menjadi murid keluarga Cu, dia dikenal sebagai
se-orang yatim piatu yang berjiwa pendekar. Kui Lok tidak pernah dia ceritakan tentang
keadaan dirinya, kecuali hanya bahwa dia adalah murid keturunan pendekar Pulau Es! Sama
sekali dia tidak pernah bercerita bahwa dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok dan bersekutu
dengan Hek-i Mo-ong menyerbu ke Bukit Nelayan. Maka kini, melihat betapa Kam Hong
tidak mengenalnya, diapun diam saja dan pura-pura belum pernah bertemu dengan Kam
Hong. Bahkan dia membiarkan Kui Lok untuk menjawab pertanyaan tuan rumah itu.
Karena suhengnya diam saja tidak menjawab, Pouw Kui Lok cepat membalas penghormatan
tuan rumah dan dialah yang menjawab dengan suara lantang akan tetapi dengan sikap
menghormat. "Apakah locianpwe yang bernama Kam Hong?"
"Benar orang muda, aku yang bernama Kam Hong."
"Locianpwe, kami berdua adalah murid-murid dari Lembah Naga Siluman yang ditugaskan
oleh para suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu untuk menebus kekalahan mereka dan
menandingi locian-pwe!" Berkata demikian, Pouw Kui Lok mencabut pedangnya diikuti pula
oleh Louw Tek Ciang yang merasa girang bahwa Kui Lok tidak memperke-nalkan nama.
Memang pemuda baju hijau ini tidak memperkenalkan nama karena mereka datang bu-kan
karena urusan pribadi melainkan hanya me-wakili guru-guru mereka. Dan pula, Pouw Kui
Lok yang merasa lebih kuat kalau menggunakan pedang, telah mendahului mencabut pedang.
Dia mendengar bahwa lawannya ini adalah Pendekar Suling Emas yang biasa
mempergunakan suling sebagai senjata, maka dia mendahului mencabut pe-dangnya untuk
memaksa lawan bertanding dengan senjata. Pemuda inipun cerdik karena kalau me-reka
bertanding dengan tangan kosong, dia dapat membayangkan bahwa dalam hal tenaga sin-kang
dan ilmu silat tangan kosong, agaknya dia bukan tandingan pendekar sakti yann tentu sudah
lebih banyak pengalamannya itu. Tek Ciang yang bia-sanya mengandalkan tangan kaki dan
ilmu-ilmu silatnya yang banyak macamnya, kinipun mempergunakan senjata pedang karena
di Lembah Naga Siluman dia mempereleh latihan yang mendalam dalam ilmu pedang.
Diapun sudah mengenal baik kehebatan pendekar itu, maka dia juga bersikap hati-hati sekali.
Kam Hong menarik napas panjang. Hatinya menyesal sekali mendengar bahwa dua orang
muda yang gagah perkasa dan bersikap seperti pende-kar-pendekar gagah ini ternyata datang
sebagai musuh dan lawan. Apalagi mendengar bahwa mereka itu mewakili keluarga Cu di
Lembah Na-ga Siluman, dia semakin menyesal. Bagaimana-pun juga, antara keluarga
Pendekar Suling Emas, nenek moyangnya, dengan keluarga Cu sebetulnya terdapat hubungan
yang amat dekat, mengingat bahwa mereka berasal dari satu sumber. Dan dia-pun tahu bahwa
permusuhan keluarga Cu terhadap Suling Emas yang diciptakan oleh nenek moyang keluarga
Cu ternyata jatuh ke tangan keturunan keluarga Kam. Dia merasa menyesal mengapa keluarga
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
628 Cu demikian picik pandangan, demikian lemah batinnya sehingga mudah dikuasai iri dan
dendam hanya karena dikalahkannya. Padahal, selain iri, tidak ada urusan lain yang membuat
mereka harus barhadapan sebagai musuh.
"Aih, sobat-sobat muda yang baik. Sungguh merupakan kehormatan menerima kunjungan
kali-an dari tempat yang jauh, dan kehormatan itu akan disertai kegembiraan besar kalau
sekiranya ji-wi datang sebagai sahabat-sahabat. Akan tetapi sa-yang, ji-wi datang dengan
maksud mengajak bertanding. Mengapa keluarga Cu belum juga mau menghabiskan urusan
kecil yang tidak ada artinya itu" Bagaimana kalau ji-wi pulang saja dan melaporkan kepada
kedua orang locianpwe itu bahwa aku mengaku kalah dan menyampaikan permintaan maafku
kepada mereka?"
Mendengar ucapan ini, seketika hati Pouw Kui Lok jatuh dan andaikata dia seorang diri yang
me-wakili keluarga Cu, tentu dia akan mundur teratur dan dengan senang hati menyampaikan
pesan yang amat bijaksana itu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pendekar yang
begini rendah hati, padahal pendekar ini telah mengalahkan kedua orang gurunya, tokoh-
tokoh Lembah Naga Si-luman. Bukan main! Akan tetapi, selagi dia meragu dan bimbang,
tidak tahu harus bersikap bagaimana, Tek Ciang sudah menjawab dengan suara lantang.
"Tidak mungkin! Kami adalah utusan suhu dan sebagai murid-murid yang berbakti kami
harus membalas budi kebaikan suhu dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hanya ada
dua pilihan bagi kami, pertama, kalau kami kalah biarlah kami berdua tewas dalam
melaksanakan tugas kami atau kalau locianpwe tidak mau mela-wan kami, locianpwe harus
ikut dengan kami se-bagai tawanan dan kami hadapkan kepada suhu kami untuk diambil
keputusan."
Kam Hong mengangguk-angguk. Jawaban yang singkat dan gagah. "Sobat-sobat muda,
ketahuilah bahwa sesungguhnya antara Lembah Naga Siluman dan keluargaku tidak ada
permusuhan apa-apa, hanya kekerasan hati guru-gurumu yang tidak mau menerima kekalahan
dalam pertandingan yang sudah wajar. Karena itu, tidak mungkin kalau aku harus menghadap
ke sana sebagai tawanan. Dan pertentangan antara guru-gurumu dengan akupun bukan
merupakan permusuhan yang haus darah dan nyawa. Maka, biarlah aku yang sudah mulai tua
dan malas ini membuka mata melihat kemajuan para muda masa kini. Akan tetapi, harap ji-wi
suka memberitahukan nama ji-wi agar perkenalan ini menjadi lebih akrab."
"Kami datang bukan untuk berkenalan, juga tidak membawa urusan pribadi, melainkan
sebagai murid-murid Lembah Naga Siluman yang hendak menebus kekalahan. Karena itu,
locianpwe tidak perlu mengetahui nama pribadi kami, cukup kalau mengetahui bahwa kami
berdua adalah murid-murid dari suhu Cu Han Bu dan suhu Cu Seng Bu," jawab Tek Ciang
lagi mendahului sutenya. "Locianpwe, cabutlah suling emasmu itu dan ingin kami melihat
sampai di mana kehebatan suling emas yang tersohor itu!" Sengaja Tek Ciang me-nambahkan
untuk memanaskan hati pendekar itu dengan nada suara mengejek.
Sepasang alis Kam Hong berkerut, akan tetapi dia masih tenang saja. "Kalau ji-wi memaksa,
apa boleh buat. Akan tetapi biarlah sulingku kupakai untuk meniup lagu-lagu merdu saja,
tidak perlu kupakai untuk bertanding."
Pada saat itu nampak berkelebat bayangan yang amat cepat dari dalam rumah dan tahu-tahu
di situ telah berdiri seorang nyonya yang usianya su-dah tiga puluh enam atau tujuh tahun,
akan tetapi masih nampak jauh lebih muda daripada usianya. Nyonya ini sudah memegang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
629 sebatang suling emas kecil mungil dan mukanya nampak merah, matanya berkilat ketika ia
memandang kepada dua orang laki-laki muda yang memandang kaget dan ka-gum akan
kecepatan gerak wanita ini.
"Dua orang bocah banyak lagak! Murid-murid Lembah Naga Siluman mana ada yang tidak
sombong" Guru-gurunyapun orang-orang yang kukuh, keras kepala dan sombong. Apakah
kalian mengira akan mampu mengalahkan kami?"
"Nio-cu....!" Suaminya mencegah.
Akan tetapi Bu Ci Sian, nyonya itu, yang tadi sudah mendengar percakapan antara suaminya
dan dua orang pendatang itu, sudah marah. "Ka-lian minta agar suamiku menjadi tawanan dan
kalian bawa menghadap ke Lembah Naga Siluman" Huh, hal itu baru bisa terjadi kalau
melalui ma-yatku. Majulah kalian!" Nyonya itu menggerak-kan suling emasnya di tangan
kanan dan terdengar-lah suara suling itu melengking-lengking seperti ditiup dengan mulut!
Nyonya itu nampak gagah sekali dan bagaimanapun juga, dua orang muda itu memandang
dengan bengong dan jerih! Apalagi Tek Ciang sudah mengenal kelihaian wanita itu.
"Tidak....!" Tiba-tiba Kam Hong melon-cat ke depan dan menghalangi isterinya. "Nio-cu,
ingatlah, mereka ini hanyalah orang-orang muda yang menjadi utusan saja. Dan yang
ditantang oleh keluarga Cu adalah aku seorang, maka kalau memang mereka ini hendak
mengadu kepandaian, biarlah dengan aku, bukan engkau. Mundurlah dan mari kita lihat
apakah dua sobat muda ini da-pat menandingi aku." Setelah berkata demikian, Kam Hong
meloncat ke depan menghadapi Kui Lok dan Tek Ciang. "Ji-wi, silahkan maju dan mari kita
main-main sebentar." Akan tetapi melihat betapa tuan rumah tidak mengeluarkan suling
emasnya yang amat ditakuti, diam-diam Tek Ciang merasa lega. Kalau dia dapat memancing
agar pendekar itu tidak mempergunakan suling, sungguh menguntungkan apabila mereka
maju berdua menandinginya. Yang amat ditakuti adalah sulingnya itu.
"Sute, locianpwe ini tidak bersenjata, sebaiknya kalau kitapun tidak mempergunakan pedang
kita," kata Tek Ciang dan cepat diu menyarungkab pe-dangnya kembali. Bagi dia, bertangan
kosong le-bih lihai daripada berpedang, karena selama ber-ada di lembah keluarga Cu, selain
ilmu pedang, juga dia mempelajari ilmu-ilmu silat tangan kosong keluarga itu sehingga ilmu-
ilmunya menjadi semakin banyak dan lengkap.
"Baik, suheng, memang demikianlah seharusnya agar adil," kata Pouw Kui Lok. "Bahkan
tidak enaklah kalau kita maju bersama melakukan pengeroyokan."
Kam Hong kagum mendengar ucapan-ucapan mereka berdua yang menunjukkan kegagahan
ini dan dia merasa semakin menyesal harus menghadapi dua orang gagah ini sebagai lawan.
"Tidak apa, aku jauh lebih tua dan aku malu kalau harus menghadapi ji-wi satu demi satu.
Majulah ji-wi bersama agar kita bertiga dapat main-main lebih gembira lagi."
"Locianpwe, awas serangan!" Tek Ciang sudah menerjang dengan cepat, tidak mau memberi
kesempatan kepada sutenya untuk bersungkan-sung-kan lagi. Melihat suhengnya sudah
menerjang ma-ju, dan maklum pula betapa lihainya tuan rumah, Kui Lok juga bergerak
menerjang sambil mem-bentak nyaring. Kam Hong sudah menantang mereka agar maju
bersama, maka diapun tidak ragu-ragu lagi membantu suhengnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
630 Melihat gerakan dua orang muda itu yang cu-kup dahsyat, Kam Hong merasa kagum dan
cepat dia mengelak dua kali untuk menghindarkan diri dari serangan mereka. Maklum bahwa
kalau dua orang muda itu maju bersama maka kekuatan mereka akan dapat mengimbanginya,
maka diapun tidak merasa sungkan lagi dan cepat membalas dengan tamparan kedua
tangannya ke arah lawan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar, dan dua orang muda itu
terkejut, akan tetapi dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang. Terjadilah
serang-menyerang dan mula-mula Kui Lok dan Tek Ciang bertahan dengan ilmu silat yang
mereka pelajari di Lembah Naga Siluman. Dari Bu-eng-sian Cu Seng Bu mereka
memper-oleh latihan gin-kang yang membuat tubuh mereka dapat bergerak cepat dan ringan,
sedangkan dari Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas) mereka
memperoleh ilmu-ilmu silat dan sin-kang. Akan tetapi, ternyata dengan ilmu slat yang mereka
pelajari selama tiga tahun itu mereka sama sekali tidak mampu mendesak lawan, bahkan
ketika Kam Hong membalas dengan ilmu silat Khong-sim Sin-ciang, mereka menjadi
bingung dan kewalahan. Karena terdesak dan be-berapa kali hampir terlanggar pukulan, tanpa
di-sadarinya lagi, secara otomatis dua orang muda itu menggunakan gerakan-gerakan yang
sudah mendarah daging pada diri mereka. Kui Lok sege-ra mainkan jurus-jurus Kun-lun-pai
yang sudah lebih lama dilatihnya sehingga lebih dikuasainya dibandingkan dengan ilmu silat
baru yang dipela-jarinya dari keluarga Cu.
"Wuuuuttt.... plakk!" Kam Hong terpaksa menangkis karena terkejut melihat jurus lihai dari
Kun-lun-pai dan dia meloncat mundur.
"Eh, engkau murid Kun-lun-pai....?" tegurnya heran.
"Dahulu sebelum menjadi murid keluarga Cu, saya adalah murid Kun-lun...." jawab Kui Lok
sejujurnya. Akan tetapi Tek Ciang sudah menerjang lagi, tidak memberi kesempatan kepada
mereka untuk bercakap-cakap. Dan tentu saja Kui Lok juga melanjutkan serangannya. Kam
Hong mengelak dan menangkis.
"Akan tetapi.... aku tidak mempunyai per-musuhan dengan Kun-lun-pai, bahkan
bersaha-bat...."
"Tugas saya hanya menghadapi dan menan-dingi locianpwe tanpa membawa-bawa Kun-lun-
pai, maka tentu saja saya menggunakan semua yang saya bisa untuk mencoba mengalahkan
lo-cianpwe," kata Kui Lok sambil melanjutkan ter-jangannya.
Kam Hong mengerutkan alisnya. Dia tidak senang kalau harus menghadapi ilmu Kun-lun-pai
karena hal ini berbahaya, dapat menyeret Kun-lun-pai menjadi lawan pula. Dia sama sekali
tidak tahu bahwa masuknya pemuda murid Kun-lun-pai ini menjadi murid keluarga Cu adalah
atas persetujuan ketua Kun-lun-pai pula. Tiba-tiba Kam Hong mengeluarkan suara gerengan
dahsyat dan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang karena terjangan Kam Hong yang
meng-gunakan jurus dari Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) dibarengi dengan
gerengan Sai-cu Ho-kang membuat tubuh kedua orang muda itu tergetar dan terhuyung.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Kam Hong untuk menubruk maju dan mengirim dorongan
telapak tangan untuk menggulingkan kedua orang muda itu dan meng-akhiri perkelahian.
Akan tetapi tiba-tiba Louw Tek Ciang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut,
sedangkan Pouw Kui Lok mengguna-kan loncatan dari ilmu meringankan tubuh Kun-lun-pai,
tubuhnya mencelat ke udara dan di situ dia berjungkir balik sampai lima kali, terhindar dari
terjangan hebat tangan Kam Hong tadi.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
631 "Dess....!" Tangan Tek Ciang menahan dorongan Kam Hong dan akibatnya, keduanya
ter-dorong mundur dan Kam Hong merasa betapa hawa dingin yang dahsyat menerjangnya
dari kedua telapak tangan Tek Ciang."Ihhh....! Ini.... ini.... ilmu dari Pulau Es....?" katanya
dengan mata terbelalak.
Tek Ciang tersenyum mengejek dan cepat dia menerjang ke depan, tubuhnya berjongkok
rendah dan kedua tangannya mendorong ke depan. Tena-ga dahsyat menyambar ke depan dan
tercium bau amis dan dariperut pemuda itu keluar bunyi ber-kokok. Kam Hong terkejut
sekali, akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti yang tangguh, maka menghadapi
pukulan Hoa-mo-kang yang ampuh ini dia masih dapat menangkis sambil menghindar ke
samping. Dia melanjutkan lompatannya ke belakang agak jauh dan mukanya berobah agak
pucat. "Tahan dulu! Apa artinya semua ini" Kalian bukan lagi menggunakan ilmu-ilmu Lembah
Naga Siluman, melainkan menggunakan ilmu Kun-lun-pai dan Pulau Es! Dan pukulan tadi....
pukulan keji.... bukankah itu pukulan dari golongan sesat?"
"Harap locianpwe tidak banyak berbantah lagi. Kalau locianpwe takut, lebih baik menjadi
tawan-an dan kami bawa menghadap para suhu di Lem-bah Naga Siluman. Kalau berani, ilmu


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apapun yang kami pergunakan, adalah hak kami untuk dapat menandingi locianpwe," kata
Tek Ciang. "Memang tidak perlu berbantah, kalian ini bocah-bocah sombong harus dibasmi!" Bu Ci San
meloncat ke depan dan memutar sulingnya. Akan tetapi kembali suaminya mencegahnya dan
memegang tangannya.
"Jangan mencampuri. Aku tadi hanya merasa heran mengenal pukulan-pukulan Kun-lun-pai
dan Pulau Es. Sungguh aku tidak ingin bermusuh-an dengan Kun-lun-pai, apalagi para
pendekar Pulau Es. Sungguh mengherankan sekali bagaimana keluarga Cu dapat memperalat
murid Kun-lun-pai dan murid keluarga Pulau Es. Aku menyesal sekali kalau harus bersalah
paham dengan mereka. Dan mereka berdua ini masih muda, tidak enaklah bagi seorang tua
seperti aku harus melawan yang mu-da...."
"Suhu, mohon perkenan suhu. Biarlah teecu yang mewakili suhu!" Tiba-tiba muncul seorang
pemuda yang bertubuh kekar dan berpakaian se-derhana, berusia sembilan belas tahun akan
tetapi karena tubuhnya yang kekar dan tinggi besar, nampak lebih tua. Dia adalah Sim Houw,
putera tunggal Sim Hong Bu, yang telah dipertunangkan dengan Kam Bi Eng dan kini berada
di Istana Khong-sim Kai-pang untuk belajar ilmu dari calon mertuanya. Dia masih menyebut
suhu dan subo kepada calon ayah dan ibu mertuanya dan selama ini dia telah dapat menguasai
Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut dengan baik, bahkan mulai dapat menggabung Kim-siauw
Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut.
Gurunya memandang murid atau calon mantu ini dengan alis berkerut. "Houw-ji, kenapa
engkau hendak mencampuri urusan ini?" tanyanya, dalam keadaan seperti itu dia ingin
menguji dan menge-nal isi hati calon mantunya itu.
"Suhu tadi mengatakan bahwa suhu merasa sungkan harus melawan orang muda yang
ting-katnya adalah murid suhu. Oleh karena itu, su-dah sepatutnyalah kalau suhu mewakilkan
kepada teecu sebagai murid suhu untuk menghadapi mereka, mewakili suhu. Bukankan
mereka itupun datang hanya sebagai wakil, murid-murid yang mewakili suhu mereka" Jadi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
632 sudah sepatutnya kalau di sini suhu juga mewakilkan kepada teecu untuk menghadapi
mereka." "Tidak, Houw-ji. Engkau tidak tahu. Mereka ini, yang seorang murid Kun-lun-pai dan
seorang lagi murid keluarga para pendekar Pulau Es! Ba-gaimana mungkin aku akan
menentang Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es?"
Sim Houw biasanya berwatak pendiam, pem-berani dan jujur. Akan tetapi sekali ini agaknya
dia tidak mau diam lagi karena tidak setuju de-ngan pendapat suhunya dalam menghadapi
orang-orang yang memusuhi suhunya. "Maafkan teecu, suhu. Sekali ini terpaksa teecu
menyatakan tidak dapat menyetujui pendapat suhu. Bukankah seo-rang pendekar tidak
melihat asal-usul seseorang, melainkan melihat perbuatan dan sepak terjang-nya" Biarpun
murid Kun-lun-pai atau keluarga Pulau Es, kalau tindakannya tidak patut, sudah semestinya
kita jadikan lawan, sebaliknya biar keturunan orang jahat, kalau tindakannya benar
seyogianya kita jadikan kawan. Yang kita musuhi bukanlah perguruannya, melainkan
perbuatan orang itu. Sebatang pohon belum tentu menghasilkan buah yang semuanya baik,
tentu ada beberapa butir buah yang busuk. Baik buruknya seseorang mana bisa diukur dari
perguruan atau keturunan-nya, suhu?"
Diam-diam Kam Hong merasa girang akan pendirian calon mantunya ini. Tentu saja diapun
seorang pendekar sejati dan dia membenarkan pendapat ini. Memang tepat. Kalau keluarga
Cu yang iri hati kepadanya dan memusuhinya kini mengirimkan murid, sepatutnyalah kalau
diapun mengajukan muridnya untuk menghadapi murid Lembah Naga Siluman itu. Dan
muridnya ini, dia tahu cukup boleh diandalkan. Biarlah hitung-hi-tung menguji kepandaian
murid atau calon man-tunya ini, dan kebetulan yang datang adalah lawan yang tangguh.
Hanya dia merasacuriga kepada lawan yang pendek tegap ini karena lawan ini tadi
menggunakan ilmu pukulan sesat yang amat berbahaya.
"Baiklah, kalau begitu coba kauhadapi murid Kun-lun-pai itu!" katanya dengan gembira
ka-rena dia ingin menguji kepandaian muridnya se-telah tiga tahun memperdalam ilmu
silatnya di situ.
Pouw Kui Lok yang tidak ingin menderita ke-kalahan, apalagi dari murid pendekar itu sudah
mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan dia merasa lebih aman, karena selain dia
memiliki ilmu pedang dari mendiang gurunya yang pertama yaitu Yang I Cin-jin, juga dia
telah mempelajari ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat, dan di Lembah Naga Siluman diapun
digembleng oleh ke-luarga Cu dengan ilmu pedang yang khas dari keluarga itu. Melihat
lawannya mencabut pedang, Sim Houw tersenyum girang. Memang itulah yang
dikehendakinya. Dia ingin mencoba ilmu pedang-nya yang kini sudah merupakan ilmu
pedang ga-bungan antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Maka diapun
melolos pedangnya. Pedangnya itu tentu saja tidak sehebat Koai-liong Po-kiam milik
ayahnya, atau tidak sehebat Suling Emas milik suhunya, akan tetapi juga bukan pe-dang
sembarangan dan karena dia telah mahir menggabung kedua ilmu itu, maka pedangnya itu
merupakan senjata yang amat ampuh.
"Silahkan!" tantangnya kepada Kui Lok sambil melintangkan pedangnya di depan
dada."Sambutlah seranganku!" teriak Kui Lok dan dia mengelebatkan pedangnya, selanjutnya
pedang itu diputar dan berobahlah pedang di tangannya itu menjadi segulung sinar yang tebal
dan panjang. Sim Houw menggerakkan pedangnya menangkis dan terdengar suara nyaring
ketika sepasang pe-dang bertenu, diikuti muncratnya bunga api. Me-reka menarik pedang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
633 masing-masing dan merasa lega ketika memeriksa dan melihat bahwa pedang masing-masing
tidak rusak. Mulailah mereka sa-ling serang dengan pedang masing-masing dan semakim
lama gerakan mereka semakin cepat, yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang yang
membungkus bayangan kedua orang muda itu. Akan tetapi, di samping suara berdesingnya
pe-dang, terdengar pula suara seperti tiupan suling dan ternyata pedang di tangan Sim Houw
itulah yang mengeluarkan suara seperti itu!
Louw Tek Ciang hanya berdiri menonton. Dia merasa serba salah. Tak disangkanya bahwa
pihak lawan mempunyai seorang murid yang demikian tangguhnya. Seingatnya, tiga tahun
lebih yang lalu, keluarga Kam hanya mempunyai seorang anak ga-dis yang cantik dan dia
merasa yakin akan mampu mengalahkan gadis itu tanpa banyak kesukaran. Kini, murid
pendekar Kam itu demikian tangguh dan kalau sampai Kui Lok tidak mampu
mengalahkannya, bagaimana dia akan dapat menang menghadapi Kam Hong sendirian saja"
Belum lagi diperhitungkan isteri pendekar itu yang juga memi-liki kepandaian lihai sekali!
Mulailah dia merasa khawatir dan menyesal mengapa dia begitu bodoh menerima tugas barat
ini berdua dengan Pouw Kui Lok saja. Mereka berdua boleh jadi kini sudah memiliki tingkat
kepandaian yang sukar dicari tandingannya, akan tetapi kalau dihadapkan de-ngan keluarga
Kam, masih terlampau berat lawan itu.
Pertandingan pedang antara Sim Houw dan Pouw Kui Lok masih berjalan seru. Akan tetapi
sesungguhnya Kui Lok sudah terkejut bukan main karena setiap jurus serangannya dipatahkan
oleh lawan dengan amat mudahnya, seolah-olah lawan sudah mengenal semua jurus
serangannya. Dan memang kenyataannya juga demikian. Semua jurus ilmu pedangnya yang
didapatkannya di Lembah Naga Siluman tidak asing bagi Sim Houw, bahkan pemuda ini
adalah ahlinya dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut! Apalagi setelah dia mem-pelajari
Kim-sauw Kiam-sut, maka ilmu pedang keluarga Cu yang berasal dari satu sumber, amat
dikenal olehnya dan dengan demikian, selama Kui Lok mempergunakan ilmu pedang dari
Lembah Naga Siluman, dia seperti menghadapi seorang gu-ru atau setidaknya onang yang
jauh lebih ahli ketimbang dia! Barulah kalau dia bersilat pedang dengan ilmu pedang dari
Kun-lun-pai, pihak la-wan tidak mengenal dan bersikap hati-hati dan dengan Ilmu Pedang
Kun-lun Kiam-sut, baru dia dapat sedikit mengimbangi ilmu pedang lawan. Betapapun juga,
ilmu pedang lawan itu sungguh amat aneh gerakannya dan kadang-kadang mengeluarkan
bunyi melengking-lengking seperti suling ditiup dengan gerakan serangan yang luar biasa
sekali. Hal ini membingungkan hatinya dan mulalah dia terdesak hebat. Dia kini hanya dapat
memutar pedangnya melindungi dirinya saja, tanpa dapat membalas sedikitpun, hanya main
mundur. Tiba-tiba, ketika Sim Houw menyerang lagi dengan tusukan kilat, tubuh Kui Lok mencelat
ke atas dengan gaya yang amat indah. Sim Houw terkejut dan dia mengenal ilmu gin-kang
dari keluarga Cu, atau dari tokoh ke dua, yaitu Cu Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa
Tanpa Bayangan) yang juga merupakan paman kakeknya. Dia mak-lum akan kehebatan gin-
kang ini yang dia sendiri belum mempelajarinya karena tidak diberi kesem-patan, dan dia
dapat menduga bahwa dari atas, tentu lawan akan menyerangnya dengan Ilmu Pedang Naga
Siluman Mencakar Bumi, serangan yang paling tepat dilakukan dalam keadaan me-lompat
dan menukik seperti itu. Dan serangan ini amat berbahaya. Benar saja, dari atas, tubuh Kui
Lok menukik ke bawah dan kini dia menyerang bukan dengan jurus Kun-lun-pai, melainkan
dengan jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari keluarga Cu. Pedangnya menusuk ke
arah ubun-ubun dengan gerakan diputar-putar untuk membingungkan lawan. Akan tetapi Sim
Houw sudah mengenal jurus ini, menangkis dengan pe-dangnya lalu menjatuhkan diri dan
bergulingan sehingga serangan dahsyat itu dapat dihindarkan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
634 Melihat sutenya kewalahan, Tek Ciang tiba-tiba meloncat ke depan, tangan kirinya meluncur
dan mulutnya beseru, "Mundurlah, sute....!" Mulutnya berkata demikian dan tangannya sudah
meluncur ke depan. Terdengar suara bercicit dan terdapat sinar menyambar ke arah tubuh Sim
Houw yang sedang bergulingan itu. Tek Ciang memang curang sekali. Mulutnya menyuruh
sutenya mundur seolah-olah dia bersikap jujur tidak main keroyok, akan tetapi karena pada
saat itu pihak lawan sedang bergulingan menghindarkan serangan Kui Lok tadi maka sama
saja dengan dikeroyok!
Melihat serangan tangan kosong yang aneh ini, Sim Houw meloncat dan mengelak. Akan
tetapi dia kurang cepat. Terdengar suara "brettt....!" dan baju di pundaknya robek oleh
serangan aneh itu yang dilakukan oleh jari tangan Tek Ciang dari jarak jauh.
"Ihhhh.... itu.... itu.... Kiam-ci (Jari Pedang), ilmu iblis dari mendiang Ji-ok!" tiba-tiba Bu Ci
Sian berseru kaget. "Iblis itu ten-tu ada hubungannya dengan Ngo-ok!" Berkata demikian, Bu
Ci Sian hendak menerjang, akan te-tapi kembali suaminya mencegah dan memberi isyarat
dengan mencabut suling emasnya. Melihat suaminya mencabut suling emas, Bu Ci Sian tidak
melanjutkan serangannya.
Sementara itu, hanya sebentar saja Sim Houw terkejut dan kini dia sudah menerjang maju
me-lawan Tek Ciang yang juga sudah mencabut pe-dangnya. Tek Ciang lebih cerdik daripada
Kui Lok. Tadi dia maklum bahwa tentu pemuda kekar ini sudah mengenal ilmu dari Lembah
Naga Si-luman sehingga semua serangan dari Kui Lok da-pat dipatahkannya dengan mudah.
Maka, diapun tidak mau mempergunaikan ilmu pedang yang baru dipelajarinya itu dan dia
menghadapi lawan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan
sebatang pedang sedangkan untuk mengimbanginya, tangan kirinya juga menyerang dengan
Kiam-ci! Hebat bukan main permainan pedang yang diimbangi dengan Jari Pedang tangan
kiri ini. Akan tetapi sekali ini dia menemukan lawan yang amat tangguh. Maklum akan
kehebatan lawan, Sim Houw lalu mainkan ilmu pedang gabungan yang baru saja dipelajari
dan sedang dimatangkan, dan ilmu pedang ini me-mang hebat sekali, mampu menandingi
serangan lawan, babkan membalas dengan tidak kalah dah-syatnya.
"Sute, lekas bantu aku!" berkali-kali Tek Ciang berseru. Kui Lok merasa serba salah. Kalau
dia membantu berarti dia dan Tek Ciang mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda
usianya, akan tetapi kalau mendiamkan saja Tek Ciang ter-ancam bahaya sedangkan dia
hanya berdiri menon-ton, sungguh amat tidak enak. Dia sudah meng-gerakkan pedangnya,
akan tetapi masih ragu-ragu dan pada saat itu terdengarlah suara suling ditiup secara
istimewa! Alunan suara suling yang halus merdu itu naik turun dengan halus akan tetapi di
dalam kelembutan itu terkandung getaran suara yang menusuk telinga! Dan tak lama
kemudian, suara itupun disusul oleh lengkingan suling lain yang lebih tinggi akan tetapi yang
mengikuti lagu suling pertama.
Dua orang muda penyerbu itu terkejut karena merasa betapa suara suling itu seperti
menembus kulit daging dan menusuk jantung. Ketika mereka memandang, ternyata Pendekar
Suling Emas Kam Hong dan isterinya sudah duduk bersila sambil meniup suling emas
mereka. Tiba-tiba Sim Houw juga meloncat mundur ke dekat suhu dan subonya, duduk
bersila dan pemuda inipun mengeluarkan suara bersenandung dengan mulutnya yang
mengikuti pula nada dan irama kedua suling itu!
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
635 Tek Ciang yang memang berwatak licik dan amat curang, melihat tiga orang itu asyik
berlagu sambil duduk bersila, merasa memperoleh kesem-patan baik sekali untuk
melaksanakan niat busuk-nya. Dengan pedang di tangan dia meloncat dan menerjang,
maksudnya hendak membunuh Kam Hong, dengan sekali tusukan. Akan tetapi tiba-tiba
tubuhnya terjengkang dan jantungnya berdebar, seolah-olah suara suling yang halus itu
mempunyai tenaga mujijat yang menolaknya dan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Tanpa
memperdulikan suara suling yang seperti menusuk telinga dan menembus jantungnya, dia
berusaha untuk menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia meloncat, diapun terban-ting jatuh
lagi. "Suheng, jangan....!" Kui Lok berseru ka-get dan wajahnya sudah pucat sekali. Pemuda ini
menderita hebat oleh suara suling yang halus itu, makin halus suara itu, makin sakit rasa
telinga dan jantungnya.
Akan tetapi Tek Ciang memang bandel. Dia bangkit lagi dan hendak menyerang lagi, akan
te-tapi sekali ini, begitu meloncat, tubuhnya seperti menubruk benteng baja dan dilontarkan
ke bela-kang. Dia terbanting dan muntah darah, pedangnya terlepas dan pingsan! Kui Lok
yang sejak tadi mengerahkan sin-kang untuk melawan suara itu, memungut pedang
suhengnya, menyambar tubuh itu dan memanggulnya."Locianpwe, maafkan kami....!"
katanya terengah-engah dan diapun melarikan diri sam-bil memanggul tubuh Tek Ciang.
Mukanya pucat sekali, keringatnya bercucuran dan kedua kakinya menggigil. Hampir dia
tidak kuat menahan, dan dia memaksakan diri lari meninggalkan tempat itu, diiringkan dua
suara suling dan suara senandung itu. Untung baginya suara itu menghilang, tidak
mengejarnya lagi dan ketika tiba di sebuah lapang-an rumput di kaki bukit, Kui Lok tidak
kuat lagi, roboh bersama Tek Ciang yang dipanggulnya dan dia pingsan!
Sementara itu, keluarga Kam dan murid mere-ka itu bangkit berdiri. Wajah Bu Ci Sian
berwarna merah dan sepasang matanya berkilat. "Aku ingat sekarang! Pemuda pendek itu,
bukankah dia yang dahulu datang menyerbu bersama Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok"
Benar, dialah orangnya!"
Kam Hong seperti diingatkan. Tadi dia sudah merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing
ba-ginya. "Ah, benar. Dia murid Jai-hwa Siauw-ok dan agaknya dia merupakan cucu murid
Ngo-ok yang mewarisi ilmu-ilmu Lima Jahat itu. Akan tetapi, bagaimanakah cucu murid
Ngo-ok dapat menguasai pula ilmu-ilmu dari Pulau Es semahir itu" Dan diapun jelas
menguasai ilmu silat dari Lembah Naga Siluman! Bahkan kini datang me-wakili keluarga Cu
untuk menandingi kita."
Bu Ci Sian mengerutkan alisnya. "Jelaslah bah-wa keluarga Cu telah mencari dua jago muda
itu, yang seorang malah murid Kun-lun-pai, dua orang itu agaknya mereka didik untuk
kemudian menjadi utusan mereka, mewakili mereka untuk menyerbu ke sini. Kita harus
tangkap mereka!" Nyonya ini hendak melakukan pengejaran, akan tetapi suami-nya
mencegah. "Tidak perlu dikejar. Mereka itu hanya utusan yang diperintah untuk menandingi kita, untuk
mengalahkan aku. Kini mereka kalah dan melari-kan diri, tidak ada alasannya untuk dikejar
lagi." Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
636 "Akan tetapi, mereka itu datang dari Lembah Naga Siluman dan aku khawatir sekali akan
ke-adaan anak kita di sana. Bukankah Bi Eng berada di sana. Lalu apa yang terjadi dengan
anak kita itu kalau keluarga Cu masih memusuhi kita?"
Kam Hong menarik napas panjang. "Melihat bahwa tiga tahun yang lalu, dua orang
locianpwe she Cu itu datang ke sini untuk mengajak pulang Houw-ji, kurasa Bi Eng tidak
tinggal di sana. Tentu terjadi pertentangan antara saudara Sim Hong Bu dan keluarga Cu. Dan
aku yakin bahwa saudara Sim tentu bertanggung jawab atas kesela-matan anak kita. Bahkan
sekarang waktu tiga ta-hun yang kita janjikan dengan dia sudah lewat, kurasa tidak lama lagi
tentu dia akan datang mem-beri kabar."
Seperti biasa, Bu Ci Sian tunduk kepada kepu-tusan suaminya dan walaupun hatinya
mendong-kol, namun ia bersabar dan mereka bertiga menanti berita dari Sim Hong Bu. Tentu
saja mereka mem-pertajam kewaspadaan semenjak terjadi peristiwa itu agar pihak lawan yang
berniat buruk tidak da-pat mempergunakan kecurangan untuk menggang-gu mereka.
Tek Ciang dan Kui Lok tidak lama jatuh ping-san di lapangan rumput itu. Ketika sadar
kembali, Tek Ciang yang menderita luka dalam cepat duduk bersila dan mengumpulkan hawa
murni, mengobati dalam dadanya sendiri. Kui Lok bersila di sam-pingnya, memulihkan
tenaganya. Setelah rasa nyeri dalam dadanya mereda, Tek Ciang menarik napas panjang dan
menyeka darah yang mulai mengering di sudut bibirnya.
"Keluarga iblis Kam yarg keparat!" dia me-maki gemas.
Kui Lok memandang kepada suhengnya de-ngan alis berkerut. "Suheng, tahanlah rasa
pena-saran dan kemarahanmu itu. Aku sendiri merasa malu sekali kepada keluarga Kam.
Jelaslah betapa kita kelihatan jahat dan rendah dibandingkan de-ngan mereka. Kalau mereka
menghendaki, betapa mudah bagi mereka untuk membunuh kita. Tadi, baru dengan suara
suling saja mereka mampu mengusir kita dan membuat kita tidak berdaya sama sekali."
Tek Ciang mengepal tinju. Tentu saja hatinya semakin penasaran dan dendamnya menebal.
Dulu, ketika dia menyerbu bersama Jai-hwa Siauw-ok, dia sudah kalah dan terluka oleh
keluarga Kam. Sekarang, setelah tiga tahun dan digembleng ilmu oleh keluarga Cu, masih
saja dia kalah dan kem-bali terluka. Sungguh memalukan dan mengge-maskan.
"Aku masih belum mau menerima kalah! Sute, kita telah menerima budi besar keluarga Cu
sela-ma tiga tahun. Kalau untuk membalas budi itu mereka hanya minta kita mengalahkan
Kam Hong, kini sebelum hal itu terlaksana, mana kita ada muka untuk berjumpa dengan
kedua orang suhu kita" Aku masih penasaran. Kalau kita mengelu-arkan semua ilmu kita,
belum tentu kita kalah. Kita tadi hanya kalah oleh suara suling mujijat itu."
"Jangan terlampau membesarkan kepandaian sendiri dan meremehkan kemampuan orang
lain, suheng. Aku tahu bahwa kepandaian yang kauda-pat dari pendekar keluarga Pulau Es
amatlah he-bat. Akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Kam itupun memiliki ilmu silat
tinggi yang sukar dika-lahkan. Aku tadi heran, suheng. Ilmu silatmu ba-nyak dan aneh-aneh,
ini sudah kuketahui. Akan tetapi apa maksudnya ucapan isteri pendekar Kam itu" Ilmu
pukulanmu dengan jari yang hebat itu.... benarkah seperti katanya tadi disebut Kiam-ci dan
merupakan ilmu dari.... Ngo-ok" Be-narkah engkau ada hubungan dengan tokoh-tokoh hitam


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terkenal seperti iblis itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
637 Tek Ciang tersenyum. "Tidak kusangkal, sute. Memang ilmu itu namanya Kiam-ci dan
kudapat dari keturunan Ngo-ok. Akan tetapi tidak berarti bahwa aku mempunyai hubungan
dengan Ngo-ok yang sudah tiada. Memang aku suka sekali mem-pelajari segala macam ilmu
silat, sute. Apa salah-nya memperluas pengetahuan dengan mempelajari ilmu-ilmu yang
tinggi, dari manapun datangnya" Sekali waktu akan berguna bagi kita. Kalau tadi mereka
tidak menggunakan suara suling mujijat itu, belum tentu aku kalah."
Kui Lok menyangsikan kebenaran kalimat ter-akhir itu, akan tetapi dia enggan berbantah
dengan suhengnya, apalagi setelah mereka berdua men-derita kekalahan. Dia tidak mau
menyinggung perasaan suhengnya.
"Kurasa ilmu itulah yang oleh suhu Cu Han Bu disebut sebagai ilmu meniup suling Kim-
kong Sim-in yang harus kita hadapi dengan waspada. Tak kusangka suara tiupan suling akan
sehebat itu. Kita sudah digembleng oleh suhu untuk mengha-dapi suara itu. Kalau hanya
menghadapi suara suling yang menyerang kita itu, cukup bagi kita mengerahkan sin-kang
untuk bertahan. Akan tetapi apa artinya kalau kita hanya bertahan" Begitu kita menyerang,
tenaga kita membalik dan memu-kul diri sendiri, seperti yang kaualami tadi, suheng."
Tek Ciang mengangguk-angguk, wajahnya mu-ram, hatinya kesal. "Ah, kalau kita tidak
dapat memperoleh ilmu untuk menandingi suara suling itu, habislah harapan kita untuk
mengalahkan me-reka, dan bagaimana kita mempunyai muka untuk menghadap suhu di
Lembah Naga Siluman?"Kui Lok merasa kasihan melihat kemuraman wajah Tek Ciang. Dia
tahu akan rahasia hati suhengnya ini. Dia tahu bahwa antara suhengnya ini dan su-ci (kakak
perempuan seperguruan) me-reka, yaitu Cu Pek In, puteri guru mereka Cu Han Bu, yang
kabarnya sudah menjadi janda karena di-tinggal pergi suaminya, terdapat suatu hubungan
yang amat erat dan akrab, bahkan mesra sekali. Biarpun usia suci itu sudah hampir empat
puluh tahun, akan tetapi suci mereka itu tetap cantik dan terutama sekali memiliki kepandaian
yang cukup hebat. Diam-diam dia menduga bahwa telah ter-jalin hubungan asmara antara
keduanya itu secara gelap. Walaupun dia merasa tidak cocok, namun karena bukan urusannya,
dia pura-pura tidak tahu saja. Hanya dia merasa heran bagaimana suhengnya yang masih
muda dan cukup tampan dan ga-gah itu dapat jatuh cinta kepada seorang wanita yang sepuluh
tahun lebih tua. Kini dia tahu betapa resahnya hati suhengnya itu karena tugas yang ha-nya
satu-satunya itu gagal. Suhengnya tidak ha-nya merasa malu terhadap suhu-suhu mereka,
melainkan terutama sekali malu terhadap kekasih-nya atas kegagalannya.
"Suheng, aku sekarang teringat. Ketika masih belajar di Kun-lun-pai, suhu pernah bercerita
tentang suatu ilmu yang mirip dengan suara suling dari keluarga Kam itu. Ilmu itu disebut
Sin-liong Ho-kang (Ilmu Gerengan Naga Sakti). Akan tetapi ilmu itu dianggap sebagai ilmu
yang berbahaya oleh para tokoh pimpinan Kun-lun-pai, dianggap sebagai ilmu yang kejam
dan sesat sehingga tidak ada murid Kun-lun-pai yang diperbolehkan mempelajarinya."
"Ah, sungguh sayang sekali. Kalau begitu ber-arti ilmu itu telah lenyap dari perguruan Kun-
lun-pai!" kata Tek Ciang menyesal.
"Tidak, suheng. Sebetulnya tidaklah lenyap sama sekali. Ilmu itu masih disimpan baik-baik
dalam ujud kitab, akan tetapi kitab itu selalu di-simpan di dalam kamar pusaka dan tidak ada
se-orangpun murid yang boleh membuka atau membacanya. Dan biasanya, murid-murid Kun-
lun-pai amat patuh karena sudah terikat oleh sumpah kami."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
638 "Ah, begitukah, sute" Jadi memang ada pelajaran itu, masih berupa kitab" Sute, maukah
eng-kau bermurah hati kepadaku?"
"Maksudmu bagaimana, suheng?"
"Maukah engkau membawaku ke Kun-lun-pai dan minta ijin kepada ketua Kun-lun-pai agar
mengijinkan aku mempelajari ilmu itu?"
"Hemm, rasanya sukar, suheng...."
"Sute, larangan itu hanya terbatas pada murid-murid Kun-lun-pai, bukan" Dan aku bukanlah
murid Kun-lun-pai. Akan tetapi karena engkau seorang murid Kun-lun-pai tersayang dan kita
sudah terikat persaudaraan, kalau kita mencerita-kan tentang kegagalan kita, dan mengingat
pula hubungan baik antara gurumu dan para tokoh ke-luarga Cu di Lembah Naga Siluman,
kurasa banyak harapan aku akan diperkenankan mempelajarinya. Bahkan untuk maksud keji,
melainkan hanya untuk melawan suara suling keluarga Kam itu atau seti-daknya mencari cara
untuk mengatasinya."
Kui Lok mengerutkan alisnya lalu mengangguk-angguk. "Baiklah, akan kucoba. Kitab-kitab
Kun--lun-pai aselinya memang berada di pusat Kun-lun-pai di pegunungan Kun-lun-san, amat
jauh dari sini. Akan tetapi semua cabangnya mempu-nyai salinan-salinannya dan ada kulihat
suhu memiliki juga salinan kitab ilmu Sin-Liong Ho-kang itu. Mari kita menghadap suhu dan
mudah-mudah-an saja permintaan kita akan dikabulkan."
Tek Ciang merangkul sutenya. "Ah, aku tahu bahwa memang engkau seorang saudara yang
amat baik sekali, sute!"
Berangkatlah mereka menuju ke kuil Kun-lun-pai yang letaknya tidak berapa jauh dari situ,
ha-nya perjalanan dua hari saja.
*** Seperti dapat dibuktikan dalam catatan sejarah, pemerintah Kaisar Kian Liong merupakan
bagian yang paling gemilang dari masa Kerajaan Ceng, yaitu kerajaan penjajah Mancu atas
seluruh Tiong-kok. Harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong ada-lah seorang kaisar yang sejak
mudanya pandai dan bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan. Bahkan dia berhasil
menarik simpati para pemuka rakyat dengan cara melebur diri menjadi seperti orang Han,
bukan seperti orang asing yang men-jajah. Dia memerintahkan semua pejabat untuk
mempelajari kebudayaan rakyat, bersikap baik terhadap rakyat, akan tetapi di samping itu,
juga menyiapkan pasukan yang kuat untuk menjaga ke-wibawaan pemerintahannya. Dia
mempergunakan tangan besi bersarung sutera.
Akan tetapi, para pendekar bukanlah orang-orang yang bodoh semua. Di antara para
pendekar ada yang tahu benar rahasia apa yang terjadi di balik semua kebaikan yang
diperlihatkan kaisar itu. Pergolakan yang berkecamuk dalam hati para pen-dekar bukan hanya
karena jiwa patriot yang memberontak melihat nusa bangsa dijajah oleh bangsa asing,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
639 melainkan juga disebabkan pula oleh ulah Kaisar Kian Liong sendiri. Memang harus diakui
bahwa Kaisar Kian Liong, sejak mudanya, sejak masih pangeran, suka bergaul dengan rakyat
jelata sehingga dia amat populer di kalangan rakyat. Bahkan sejak dia masih pangeran, para
pendekar selalu melindungi dan menjaga keselamatan pange-ran yang dianggap sebagai calon
kaisar yang baik dan menguntungkan rakyat jelata ini.
Akan tetapi di balik semua kebaikan yang me-mang harus diakui ada pada diri Kian Liong,
dia memiliki suatu kelemahan, yaitu suka pelesir dan berhubungan dengan wanita-wanita
cantik. Akan tetapi karena memang perangainya baik dan terdidik sebagai seorang
sasterawan, dia tidak per-nah mau mengganggu wanita baik-baik dengan kekerasan, tidak
mau mempergunakan kedudukan-nya atau kekayaannya untuk memaksa wanita baik-baik
menjadi kekasihnya. Dia lebih suka mengunjungi rumah-rumah pelacuran. Tentu saja banyak
pula gadis-gadis dan wanita baik-baik yang tertarik kepada pangeran itu, baik karena
ke-dudukannya maupun ketampanannya, yang menyerahkan diri tanpa paksaan. Maka
tersiarlah berita bahwa Kaisar Kian Liong mempunyai banyak anak yang lahir dari wanita-
wanita yang berhubungan dengan dia di waktu dia masih pangeran yang sem-pat berkelana
dan bertualang itu.
Sejak masih pangeran, Kian Liong mempunyai seorang kepercayaan yang memungkinkan
dia se-ring pergi meninggalkan istana dan menyamar sebagai pemuda biasa dan
kepercayaannya ini pula yang memungkinkan dia mengunjungi rumah-ru-mah pelacuran dan
berhubungan dengan pelacur-pelacur paliing terkenal di kota raja dan kota-kota besar lainnya.
Orang kepercayaannya ini adalah seorang thaikam (pelayan kebiri) yang amat cerdik,
bernama Siauw Hok Cu.
Ketika Kian Liong masih menjadi pangeran, di dalam istana sendiri terjadi suatu peristiwa
yang kalau ketahuan orang luar atau kalangan istana sendiri tentu akan mendatangkan aib dan
kehe-bohan. Akan tetapi, thaikam Siauw Hok Cu demi-kian pandai menjaga rahasia
majikannya dan me-mang Pangeran Kian Liong sendiri amat cerdik sehingga peristiwa itu
merupakan rahasia yang ti-dak pernah diketahui orang lain.
Peristiwa itu dimulai dengan pertemuan antara Pangeran Kian Liong yang pada waktu itu
baru berusia delapan belas tahun dengan nyonya Fu Heng, kakak iparnya sendiri karena
nyonya ini ada-lah isteri seorang pangeran yang menjadi kakak tiri Kiang Liong terlahir dari
selir. Bertemu dengan nyonya yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini, Pangeran Kian
Liong seketika jatuh cinta dan bahkan tergila-gila. Akan tetapi, karena nyonya itu adalah isteri
kakak tirinya, tentu saja dia tidak berani bersikap kurang ajar dan hanya menyimpan
kerinduan hatinya itu di dalam dada saja. Nyonya Fu Heng memang cantik jelita, kulitnya
putih ha-lus tanpa cacad, mukanya putih itu agak kemerahan tanpa alat kecantikan, mukanya
bulat telur, sepa-sang matanya sipit akan tetapi lebar dan seperti sepasang bintang berkilauan,
hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak naik seperti menantang, dan terutama sekali
mulutnya amat mungil, dengan bibir yang selalu kemerahan dan selalu basah dan segar.
Dalam usianya yang tiga pu-luh tahun dan belum mempunyai anak, tubuh wa-nita ini penuh
dan matang, dengan gerak gerik lembut penuh daya pikat yang amat kuat.
Hanya thaikam Siauw Hok Cu yang tahu akan penyakit rindu berahi yang menyerang
majikannya, ketika Pangeran Kian Liong seringkali nampak termenung di dalam kamarnya
atau di kebun bu-nga.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
640 "Pangeran, harap paduka jangan banyak termenung berduka. Seekor kumbang tidak akan
kehabisan akal untuk dapat menghisap madu kembang yang disukai dan dipilihnya." Thaikam
gendut itu menghibur sambil mendekati majikannya yang sedang duduk termenung pada
suatu malam dalam taman bunga.
Pangeran Kian Liong mengangkat muka, me-mandang orang kepercayaannya itu dengan
heran dan bertanya, "Hok Cu, apa maksudmu" Jangan kau main-main!" Karena hatinya
sedang kesal, kata-kata yang belum dimengerti maksudnya itu dianggap mengganggu
hatinya.Akan tetapi thaikam gendut itu tersenyum. Mukanya yang seperti muka anak-anak
yang gendut dan sehat itu berseri, sepasang matanya menjadi semakin sipit sampai hampir
terpejam. "Pangeran, hendaknya paduka ketahui bahwa nyo-nya Fu Heng adalah sahabat baik
sekali dari Sang Puteri Kim."
Mendengar ini, Pangeran Kian Liong meman-dang dengan penuh perhatian. Dia kagum akan
kecerdikan orangnya ini, yang agaknya sudah da-pat menerka apa yang disusahkan. Puteri
Kim adalah puteri istana yang juga menjadi saudara iparnya. Akan tetapi disebutnya nama
nyonya Fu Heng jelas membuktikan bahwa orang kepercayaannya ini tahu akan isi hatinya.
"Kau tahu....?"
Thaikam itu mengangguk. "Jangan khawatir, hanya hamba seoranglah yang dapat
mengetahuinya."
"Lalu, apa maksudmu mengatakan bahwa ia sahabat baik Puteri Kim?"
"Pangeran, sudah beberapa kali nyonya Fu menjadi tamu Puteri Kim, bahkan sampai
berma-lam selama satu dua hari. Biasanya, nyonya itu berkunjung atas undangan sang puteri
dan kedua-nya bersantai di Taman Musim Semi!"
"Lalu, kalau begitu mengapa?" tanya sang pangeran yang masih belum mengerti apa yang
dimaksudkan pelayan yang mukanya penuh se-nyum gembira itu. "Apa artinya Cang-cun-
yuan (Taman Bahagia Musim Semi) itu bagiku?"
"Pangeran tentu ingin sekali bertemu berdua saja dengan nyonya Fu Heng, bukan?"
Wajah sang pangeran menjadi kemerahan. Bagaimanapun juga, memalukan sekali diketahui
ra-hasia hatinya bahwa dia jatuh cinta kepada kakak iparnya sendiri! Akan tetapi orang ini
adalah sa-tu-satunya orang yang dipercayanya, maka dia-pun mengangguk.
"Nah, kalau begitu hamba yang tanggung bah-wa pada besok malam, paduka akan dapat
men-jumpainya seorang diri saja di taman itu."
"Di Cang-cun-yuan" Bagaimana caranya?"
"Mudah saja, pangeran. Hamba akan membuat surat undangan atas nama Sang Puteri Kim,
meng-undang nyonya itu untuk berkunjung ke Taman Musim Semi. Nah, hamba akan
menyogok para dayang di taman itu agar dapat diatur sebaiknya, mempersiapkan pertemuan
antara paduka dan nyonya cantik jelita itu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
641 Wajah sang pangeran berseri gembira. "Ah, engkau cerdik sekali. Kau lakukanlah itu, Hok
Cu, kau lakukan itu, akan tetapi hati-hati, jangan sampai bocor dan awas, jangan gagal, karena
ini menyangkut nama baik keluarga istana, kau tahu?"
"Tanggung beres, pangeran. Hamba jamin de-ngan nyawa hamba yang tidak berharga!"
Demikianlah, thaikam Siauw Hok Cu yang cerdik itu lalu menjalankan siasatnya, membuat
surat undangan atas nama Puteri Kim kepada Nyo-nya Fu Heng agar pada besok sore sudi
datang berkunjung ke Cang-cun-yuan seperti biasanya dan mengirimkan undangan itu kepada
nyona cantik itu. Menerima surat undangan ini, Nyonya Fu Heng tidak menaruh hati curiga
sedikitpun, juga suaminya tidak menaruh curiga karena suami ini mengetahui betapa akrabnya
hubungan antara isterinya dan adik tirinya. Bahkan isterinya boleh bermalam ditaman itu
bersama adik tirinya sela-ma beberapa malam tanpa harus minta ijin lagi darinya.
Pada sore yang ditetapkan, berangkatlah Nyo-nya Fu Heng, seperti biasa melakukan
perjalanan yang cukup melelahkan itu dari kota raja ke istana sebelah barat, di ujung barat
kota. Perjalahan itu ditempuh dengan naik joli yang dipikul oleh empat orang yang dikawal
beberapa orang pengawal saja. Kunjungannya ke taman itu disambut oleh beberapa orang
dayang yang sudah dipersiapkan oleh thaikam Siauw Hok Cu! Para pemikul joli dan
pengawal diperkenankan pulang dengan pesan agar besok sore dijemput karena nyonya itu
akan bermalam di situ. Kemudian para dayang yang sudah dipengaruhi thaikam Siauw Hok
Cu, mengan-tar nyonya cantik itu ke dalam pondok mewah dan dipersilahkan untuk mandi
karena Puteri Kim akan datang, dalam waktu satu dua jam lagi.
Nyonya Fu Heng baru saja melakukan perja-lanan yang cukup melelahkan, maka ditawari
man-di, ia menerimanya dengan gembira. Bangunan kecil di antara pohon-pohon bambu
indah itu amat romantis dan mendatangkan rasa gembira di dalam hatinya. Nyonya itu lalu
dibawa oleh para dayang ke dalam kamar mandi dan mandilah Nyo-nya Fu Heng, dibantu
oleh para dayang. Setelah selesai mandi, para dayang memberikan sebuah kimono yang halus
terbuat dari sutera yang tembus pandang dan meninggalkan nyonya itu di dalam sebuah kamar
yang indah dan mewah. Nyonya Fu sudah mengenal baik kamar ini. Biasanya ia me-mang
bermalam di dalam kamar ini bersama adik suaminya, yaitu Puteri Kim kalau ia berkunjung
ke sini. Kini, sambil menanti datangnya adik itu, ia duduk menghadapi cermin besar,
mengurai rambutnya yang hitam panjang itu dan mulai me-nyisiri rambutnya yang harum
lembut. Sunyi sekali keadaan di bangunan itu dan cuaca mulai remang-remang. Tiba-tiba daun pintu
yang menembus ke ruangan belakang, terbuka dari luar. Nyonya Fu mengira bahwa yang
masuk itu tentulah Puteri Kim atau seorang di antara para dayang. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa yang masuk itu adalah Pangeran Kian
Liong, adik suaminya, pa-ngeran yang amat terkenal sebagai seorang pange-ran yang
bijaksana dan baik budi, juga tampan dan halus penuh kesopanan. Munculnya sang pangeran
ini di dalam kamar membuat Nyonya Fu demikian terkejut, terheran dan membuatnya tak
mampu berkata-kata, hanya terbelalak memandang pange-ran itu melalui cermin di depannya.
Pangeran Kian Liong menghampirinya sambil tersenyum dan di tangan pangeran itu terdapat
setangkai bunga ma-war merah.
"Alangkah indahnya rambutmu....!" kata Pangeran Kian Liong halus dan dipasangnya
se-tangkai bunga itu di atas rambut nyonya cantik itu. Nyonya Fu Heng hanya memandang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
642 dengan mata merah dan berusaha menutupi dadanya dengan ke-dua tangan karena kimono
tipis tembus pandang itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya dengan baik.
"Alangkah halusnya kulitmu....!" Pangeran Kian Liong membungkuk dan menyentuh leher
itu dengan bibirnya.
Nyonya Fu tersentak bangkit berdiri dan hen-dak menjerit, akan tetapi tiba-tiba pangeran
yang sudah tergila-gila itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut sambil mencabut pedangnya.
"Kalau engkau menolak cintaku, lebih baik se-karang juga aku membunuh diri di depan
kakimu daripada hidup menanggung rindu dan malu!"
Tentu saja nyonya cantik itu terkejut sekali. Pangeran yang berlutut di depan kakinya ini
ada-lah pangeran mahkota, yang akan menggantikan kaisar yang kini sedang menderita sakit
hebat. Pa-ngeran ini adalah calon kaisar, maka kalau sampai membunuh diri di depannya,
tentu hal itu meru-pakan malapetaka dan bencana hebat bagi dirinya dan
keluarganya."Tidak....! Aduh, pangeran, jangan bodoh.... harap simpan kembali pedang
paduka itu....!"
Pangeran Kian Liong tersenyum gembira. Pen-cegahan itu tentu saja boleh diartikan bahwa
nyo-nya cantik ini menerima cintanya. Dia melepaskan pedangnya, lalu bangkit berdiri sambil
memondong tubuh nyonya itu. Nyonya Fu Heng menahan je-ritannya, dan terkulai lemas tak
berdaya lagi se-telah berada dalam pondongan pangeran muda itu. Pangeran Kian Liong
membawa kekasihnya ke pembaringan dan dia menumpahkan rasa cintanya dan rindunya
dengan penuh kemesraan. Nyonya Fu hanya dapat memejamkan mata, tidak berani berteriak
atau menolak. Akan tetapi, nyo-nya ini merasakan pengalaman baru yang tidak pernah
didapatkannya selama ini. Dia merasakan kemesraan yang luar biasa, yang membuatnya
me-nerima pangeran itu dengan hati terbuka.
Semenjak malam itu, Nyonya Fu Heng tidak mau lagi digauli suaminya dan seringkali ia
mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Kian Liong. Hal ini terjadi sampai sang
pangeran menjadi kaisar. Bahkan ketika kaisar tua mening-gal, Pangeran Kian Liong
menerima berita kemati-an itu di dalam kamar ketika dia sedang menga-dakan pertemuan
asyik masyuk dengan Nyonya Fu Heng!
Akan tetapi hubungan itupun seperti putus ketika dia naik tahta dan Nyonya Fu melahirkan
seorang putera keturunan Kian Liong! Hanya ka-dang-kadang saja Kaisar Kian Liong
mengadakan pertemuan dengan kekasihuya yang masih menjadi kakak iparnya itu.
Setelah menjadi kaisar, kesukaan Kian Liong akan wanita-wanita cantik bahkan semakin
men-jadi. Tak dapat disangkal bahwa dia melakukan tugasnya sebagai kaisar dengan amat
baik, meme-rintah dengan bijaksana dan adil. Namun, kesuka-annya akan wanita
menimbulkan banyak persoalan, bahkan kebencian kepada sebagian orang, terutama para
pendekar yang memang sudah tidak suka melihat bangsanya dijajah oleh Bangsa Mancu.
Orang pertama yang memperoleh bagian kemu-liaan ketika Pangeran Kian Liong menjadi


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaisar adalah Thaikan Siauw Hok Cu. Begitu pangeran itu naik tahta menjadi kaisar, thaikam
ini lalu di-angkat menjadi Kepala Thaikam dan diberi nama Hok Sen. Thaikam Hok Sen ini
terkenal di dalam sejarah sebagai seorang thaikam yang berhasil me-numpuk kekayaan yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
643 luar biasa banyaknya dan menikmati kedudukan tinggi dan mulia selama Kian Liong menjadi
kaisar sampai puluhan tahun!
Peristiwa yang belum lama ini terjadi, kembali membuat hati para pendekar menjadi marah.
A-gaknya, setelah berusia tiga puluh tahun lebih dan hidupnya sudah dikelilingi banyak sekali
wanita cantik yang seolah-olah berlumba memperebutkan perhatian dan cintanya, Kaisar Kian
Liong belum juga merasa puas. Memang demikianlah kalau manusia sudah menjadi hamba
nafsunya sendiri. Nafsu itu dapat tumbuh menjadi keinginan apa saja, dalam makanan,
tontonan, pemuasan sex, pe-numpukan harta, pengejaran kedudukan dan sebagainya. Sekali
manusia dicengkeram dan menjadi hamba nafsu, maka dia tidak akan mengenal puas.
Memang segala macam nafsu itu menjurus ke arah kepuasan, akan tetapi, kepuasan seperti itu
tidak-lah dapat bertahan lama, segera disusul oleh kekecewaan dan kekurangan, ingin yang
lebih hebat, lebih enak, lebih besar, lebih banyak dan selanjutnya. Justeru pengejaran
kepuasan inilah yang me-niadakan kepuasan yang sesungguhnya, karena harapan selalu lebih
besar daripada kenyataan. Kaisar Kian Liong yang sudah dikelilingi banyak wanita cantik itu
masih kurang puas, masih menghendaki sesuatu yang lebih daripada semua yang telah ada
itu! Sudah menjadi hal yang wajar bahwa di dalam suatu pemerintahan terdapat banyak sekali
orang-orang berambisi yang ingin mencari kedudukan bagi dirinya sendiri. Pengejaran
kedudukan ini menimbulkan pelbagai cara yang curang dan kotor, di antaranya sifat menjilat.
Dalam sebuah peme-ritahan, selalu ada dan banyak saja orang-orang yang suka menjilat ini,
menjilat sebagai jalan untuk memperoleh imbalan. Menjilat untuk menyenangkan atasan agar
atasan membalas jasanya dengan kenaikan pangkat, dengan hadiah dan sebagainya. Demikian
pula halnya dengan Kaisar Kian Liong. Setelah kelemahannya diketahui orang, maka
banyaklah para pembesar korup yang mendekatinya dan menjilat-jilat dengan cara
menyuguhkan ga-dis-gadis cantik yang mereka dapatkan dengan berbagai cara, kadang-
kadang dengan cara yang kotor pula. Gadis-gadis itu mereka haturkan kepada kaisar dengan
harapan kaisar akan merasa senang dan tentu akan memberi imbalan jasa yang lumayan.
Apalagi kalau sampai gadis pemberian mereka itu kelak memperoleh kedudukan penting tentu
sang gadis tidak akan melupakan orang yang mula-mula membawanya kepada kaisar!
Pada suatu hari, seorang di antara para penjilat kaisar yang melihat kebosanan kaisar terhadap
para wanita cantik yang ada, memberitahukan kepada kaisar bahwa di Sin-kiang terdapat
seorang wanita yang luar biasa cantiknya! Wanita itu di se-luruh Sin-kiang terkenal dengan
sebutan Puteri Harum!
"Apakah ia masih gadis?" Kaisar Kian Liong segera saja memperlihatkan sikap tertarik
sekali. "Sayang bahwa ia telah menikah dengan seorang kepala suku di Sin-kiang, sri baginda, dan
dia ada-lah puteri kepala suku Ho-co. Akan tetapi, hamba sendiri pernah melihatnya dan
hamba berani ber-sumpah bahwa selama hidup hamba, belum pernah hamba melihat seorang
wanita secantik itu! Tidak ada cacat-celanya sedikitpun juga dan tubuhnya mengeluarkan bau
harum, bukan keharuman yang dibuat dengan minyak. Kabarnya sejak kecil ia diberi minum
semacam obat rahasia yang membu-at keringat dan tubuhnya berbau harum. Dan ia masih
amat muda, sri baginda, baru dua puluh lima tahun dan belum mempunyai anak."
Selanjutnya si penjilat ini menggambarkan kecantikan Puteri Harum dengan kata-kata
berma-du, membuat Kaisar Kian Liong tergila-gila dan sampai beberapa hari dia tidak dapat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
644 tidur nyenyak atau makan enak. Yang terbayang hanyalah Sang Puteri Harum dari Sin-kiang
itu! Akhirnya Kaisar Kian Liong tidak dapat mena-han lagi kerinduan hatinya. Dia tergila-gila
mendengar adanya seorang wanita yang memiliki ke-cantikan sedemikian luar biasa seperti
yang belum pernah didengarnya sebelumnya, apalagi dilihat-nya. Maka, dengan nekat dia lalu
memanggil Jen-deral Cao Hui, s
Golok Halilintar 2 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bara Naga 13
^