Kisah Para Pendekar Pulau Es 23

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas dasar biru
bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara halus akan tetapi
me-ngandung nada mengejek. "Siapa adanya aku tidak perlu dibicarakan, akan tetapi kalau
tidak salah, ji-wi adalah orang- orang Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan" Dan tiga
orang yang menj-adi murid ji-wi itu adalah anggauta-anggauta Pek-lian-pai. Akan tetapi
mengapa mereka ber-sikap seperti penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita"
Apakah memang para murid Pek- lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?"
Wajah dua orang kakek itu berobah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek
meng-hentakkan tongkatnya di atas tanah. "Siancai, nona muda yang bermulut lancang! Mana
mungkin mu-rid-murid kami melakukan hal yang rendah" A-kan kutanya mereka!" Dia lalu
menoleh kepada tiga orang yang masih menyeringai itu. "Coba ka-takan, apakah benar kalian
mengganggu wanita" Hayo jawab sebenarnya!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
675 Si mata sipit yang mewakili dua orang kawan-nya cepat menjawab. "Sama sekali tidak,
susiok! Kami mana berani mengganggu wanita" Kami bertemu dengan nona ini dan karena
merasa bah-wa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami menganggapnya
sebagai seorang sa-hahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia marah-marah dan memaki-
maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami."
Tosu pendek gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis
itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek. "Aku mendengar bahwa
Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) yang menjadi
cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih untuk menunjukkan bahwa
Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira, murid-muridnya selain pemabok- pemabok
dan pengganggu wanita, juga pembohong-pembohong besar dan pengecut, tidak berani
mengakui kesalahan dan tidak mau memper-tanggungjawabkan perbuatan mereka!"Si tosu
gendut marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan, melintang di depan dada-nya.
"Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong, agaknya mengandalkan
sedi-kit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah, hendak pinto melihat sampai di
mana keli-haianmu." Setelah berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di
atas tanah dan dia menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu.
Bagaimanapun juga, sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus
menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya, dan ketika menyerangpun dia hanya
menampar pundak karena tidak bermaksud men-celakai, melainkan hanya memberi hajaran
saja ke-pada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan telah berani melukai
tiga orang murid Pek-lian-pai itu. Agaknya kakek ini merasa ya-kin bahwa tamparannya itu
tentu akan berhasil, karena bukan tamparan biasa, melainkan jurus il-mu silat Pek-lian- pai
yang lihai, tamparan yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat,
juga mengandung tenaga sin--kang yang cukup kuat.
Akan tetapi kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga
dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke
belakang, gadis itu sudah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat baiknya. Hal
ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia mengirim serangan ke
dua, kaki menendang ke arah lutut di-lanjutkan cengkeraman ke arah pundak dengan tangan
kiri dan totokan jari tangan kanan ke arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan
yang amat berbahaya!
Kembali kakek itu kecelik. Dengan gerakan tu-buh yang amat lincah, gadis itu dapat
menghindar-kan diri pula dengan amat baiknya dan tiga se-rangan beruntun itupun semua
hanya mengenai tempat kosong belaka. Setelah lewat belasan jurus serangan yang semua
dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah, tiba-tiba ketika kakek itu
menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah gadis itu karena diapun sudah mulai
penasar-an dan kini menyerang sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya
menangkis. Melihat ini, kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi.
Gadis itu terlalu lincah ge-rakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti menyerang
seekor kupu-kupu yang lincah saja. Akan tetapi kalau gadis itu menangkis, dia akan dapat
menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis itu akan menerima
hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis itu mengangkat tangan
menangkis, diapun segera mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam lengan kanan yang
ditangkis. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
676 "Dukkk....!" Dua lengan bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan
yang diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya menbuat gadis
itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan lengan te-rasa nyeri
sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis tenaganya dan tenaga itu bahkan
mendorongnya sehingga tanpa dapat diper-tahankannya dia terhuyung ke belakang.
"Totiang, apakah engkau masih hendak melanjutkan kesesatanmu?" Gadis itu membentak,
keli-hatan marah. Dalam pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama
sekali tidak bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sin-kangpun gadis itu
lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah nekat karena
merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, men-cari tongkat yang tadi
menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang maju lagi. Tongkat itu
membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin mendesir ketika bergerak
memyambar ke arah kepala gadis itu!
"Wuuuuttt....!" Tongkat menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut
pula menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan maksud
me-robohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok, maka iapun meloncat
jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya. Nampak sinar
keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata telah memegang seba-tang suling terbuat
dari emas yang indah sekali!
"Hemm, kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!" Gadis itu kini menantang. Dua
orang kakek itupun merasa penasaran sekali. Me-reka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-pai,
masa menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mam-pu menang" Keduanya tidak tahu
malu lagi kare-na terdorong rasa penasaran untuk dapat menga-lahkan gadis itu.
Akan tetapi sebelum bergerak, tiba-tiba ber-kelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ
telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua -puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan
bersi-kap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah. Pemuda ini segera menyelinap
di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek itu sam-bil mengangkat kedua tangan ke
atas, lalu menjura dengan hormat.
"Ji-wi totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup pantas
kalau ji- wi melanjutkan perkelahian ini?" pemu-da itu bertanya dengan suara lantang.
Melihat sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu
merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. "Orang muda, mengapa engkan mencampuri
urusan kami dan apa yang kaumaksudkan dengan kata-katamu tadi?"
"Ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian--pai dan kedatangan ji-wi di tempat ini bersama
anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan patriot yang
akan diadakan di tempat ini, bukan?"
"Benar, lalu apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?"
"Totiang, harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukan orang jahat,
melainkan puteri pendekar sakti Suling Emas, Kam-locian-pwe. Iaadalah seorang pendekar
wanita yang li-hai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungan-nya dengan pertemuan para
pendekar patriot. To-tiang, kalau pertemuan para pendekar dan patriot diawali dengan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
677 perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita bersatu menghadapi pemerin-tah
penjajah?"
Dua orang tosu itu kelihatan terkejut. Biarpun mereka belum pernah berkenalan atau
berjumpa namun nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka dengar. Pantas
saja gadis itu lihai bukan main.
"Tapi, nona ini telah melukai tiga orang murid kami," bantah si gendut untuk menempatkan
pi-hak sendiri di sudut yang menguntungkan.
"Tentu saja aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar
meng-gangguku!" bantah gadis itu. "Kalau bukan tiga orang mabok itu menggangguku, perlu
apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?"
Pemuda itu mengangkat kedua tangan menya-barkan kedua pihak. "Ji-wi totiang, harap
sudahi saja perkara kecil ini. Bagaimanapun juga, nona ini adalah seorang pendekar dan tidak
mungkin tan-pa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan ternyata bahwa murid-
murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu bagaimana sikap laki-laki yang
sedang mabok kalau melihat wanita muda dan cantik. Kalau sampai terdengar oleh para
pendekar dan patriot lain, tentu nama Pek- lian-pai akan menjadi merosot saja kalau
perkelahian dengan puteri Kam-locian-pwe ini dilanjutkan."
Memang dua orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka
tentu yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya karena
merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga karena malu
sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa nona itu adalah
puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat bahwa kalau dilanjutkan
pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak nama karena membela tiga orang murid mabok!
"Baik, kami akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?" Tosu
tinggi kurus bertanya.
"Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!" Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti
hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri pendekar Suling
Emas. Tentu saja dua orang kakek Pek-lian-pai itu
semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es" Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil
menjura mereka lalu mengundurkan diri dari mem-bentak tiga orang murid mereka yang
menjadi gara-gara pertikaian itu. Setelah mereka pergi, pe-muda itu membalikkan tubuh,
menghadapi gadis itu.
Mereka berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara, dua
pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika. Bayangan
dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka dan tiba-tiba keduanya mengeluarkan
seruan hampir berbareng.
"Bi Eng....!"
"Ceng Liong....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
678 Keduanya melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan ia
ber-diri memandang dengan muka berobah merah se-kali. Teringat ia bahwa yang berada di
depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah dikenalnya beberapa tahun yang
lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi
seorang gadis dewasa, bahkan menjadi seorang calon isteri, tunangan pe-muda yang kini
menjadi murid ayahnya, yaitu Sim Houw!
Melihat keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini
mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati wajah itu
dengan hati pe-nuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh hidung dan mulut itu.
Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut penglihatannya tera-mat cantik. Belum
pernah ada seorang gadis yang begini menarik hatinya. Jantungnya berdebar te-gang, penuh
kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-
ong bahtwa kelak dia akan menjadi suami Bi Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang
wajah itu bahwa dia akan berbahagia sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh
cinta kepada gadis ini sekarang! Dan Ceng Liong me-rasa terkejut sendiri mengikuti jalan
pikirannya. "Bi Eng.... ah, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat
mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini be-sar....!"
Bi Eng memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah diri jantung Ceng
Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!
"Ceng Liong, engkau bilang tidak dapat menge-nalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu
kepa-da kakek- kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku pu-teri pendekar Kam!"
Memang tadinya aku tidak mengenalmu, dan baru aku teringat ketika engkau mengeluarkan
su-ling emas itu."
Bi Eng mengangguk-angguk. "Dan engkaupun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang
pemuda dewasa."
"Akan tetapi engkau langsung menganalku."
"Yang berobah hanya tubuh dan mukamu, akan- tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu
masih sama."
"Bi Eng, kalau tidak salah dugaanku, engkaudatang ke sini tentu ada hubungannya dengan
per-temuan para pendekar dan patriot di Hutan Cema-ra, bukan?"
Gadis itu mengangguk. "Benar, dan tentu eng-kaupun datang untuk keperluan itu, bukan"
Apa-kah engkau datang bersama orang tuamu" Apakah para pendekar keluarga Pulau Es ikut
datang meng-hadiri pertemuan itu?"
"Tidak, aku datang seorang diri saja. Orang tua-ku mewakilkan kepadaku. Dan engkau"
Apakah Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
679 Bi Eng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku." Tiba-
-tiba wajah gadis itu berobah merah. Hampir saja dia tadi menyebut "mertuaku", bukan
"guruku".
Jawaban ini mengherankan hati pemuda itu. "Bi Eng! Engkau adalah puteri tunggal Kam--
locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi la-ngit dan kurasa mewarisi ilmu-ilmu ayah
bun-damu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar dicari tandingannya. Dan
engkau ma-sih mempunyai seorang guru lain daripada ayah bundamu?"
Bi Eng bertolak pinggang dan memandang pe-muda itu dengan senyum mengejek. "Ceng
Liong, engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri. Apa
anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain" Tengok diri-mu sendiri. Engkau cucu
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga para pendekar Pulau Es"
Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang Hek-i Mo-ong!"
Ceng Liong tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi
dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan diapun menarik napas panjang.
"Hek-i Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku merasa
kasihan kepadanya."
"Akan tetapi dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk
sesat...."
"Dan dia mati ketika berhadapan dengan keluangamu."
"Akan tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah
pa-dahal dia dalam keadaan luka parah sehingga ge-rakan serangannya itu menewaskannya
sendiri!" Bi Eng membantah.
Ceng Liong menganggguk-angguk. "Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang
dia jahat bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimanapun juga, andaikata
dia te-was di tangan seorang pendekar sakti seperti ayah-mupun sudah sepatutnya. Dialah
yang menyebab-kan kakek dan nenek- nenekku di Pulau Es tewas, dia penyebab malapetaka
yang melenyapkan Pulau Es...."
Sepasang mata yang indah itu terbelalak. "Apa" Dan engkau masih mau menjadi muridnya?"
tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.
Ceng Liong menghela napas panjang. "Dia berkali- kali menyelamatkan nyawaku,
membelaku dan amat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu--ilmunya kepadaku dengan setulus
hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sa-yangnya dengan kebencian?"
"Tapi.... tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku...."
"Itulah satu di antara keanehan dan kejahatan-nya. Dia tidak pernah mau menerima
kekalahan. Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu
ingin membalas ke-kalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah meninggal dunia,
tewas oleh ulahnya sendiri. Baigaimanapun juga, aku tidak dapat melupakan semua
kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
680 Bi Eng mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
"Dan engkau ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu." Ceng Liong tertawa.
Teringat akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. "Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda
orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika dia
berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun."
"Dan dia memaksa kita bersumpah agar men-jadi.... suami isteri...."
Tiba-tiba wajah Bi Eng berobah merah sekali dan bersungut-sungut. "Engkau yang berjanji,
bukan aku!" Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. "Ceng Liong, kenapa engkau
berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?"
Ceng Liong memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa
tidak enak hati. "Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin menolongmu.
Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak ter-paksa karena melihat engkau
terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau menolak keras ketika disuruh berjanji"
Apakah.... apakah engkau benci kepadaku?"
Bi Eng menggeleng kepala. "Bukan karena benci, akan tetapi mana mungkin aku berjanji
se-perti itu" Bagiku, urusan pernikahan adalah ba-gaimana keputusan orang tuaku saja...."
"Ah, sungguh sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua
orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walapun orang lain
itu orang tua sendiri atau guru. Dulu itu, kalau tidak terpaksa untuk menolongmu, aku tidak
akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau
orang tuaku se-kalipun."
Gadis itu mengangguk-angguk, alisnya berke-rut dan ia melangkah perlahan-lahan
meninggal-kan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan tanpa
tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan- jalan di dalam hutan itu sambil bercakap-cakap.
"Kalau begitu.... janjimu itu tidak mengi-kat" Jadi.... engkau menganggap janji kepada
mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong be-laka....?"
"Begitulah! Aku tidak mau dipaksa oleh siapa-pun juga untuk menerima jodoh yang


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipilihnya atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.?"Hemm,
kalau begitu.... jodoh yang bagai-mana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu
selamanya?"
Bertanya demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuh menghadapi Ceng
Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang, ma-tanya memandang tajam dan mulutnya
tersenyum mengejek seperti orang menantang! Diam-diam Ceng Liong terkejut dan merasa
heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi. Akan tetapi dia me-nenangkan dirinya, dan
menjawab dengan suara sungguh-sungguh.
"Ia harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
681 Hening sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong.
Ga-dis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba--tiba saja ia berhenti lagi dan menghadapi
Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut berhenti. Mereka berdiri
berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat kaku bagi Ceng Liong.
"Ceng Liong, apakah sudah ada gadis yang kaucinta itu?"
Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba dan sama se-kali tidak tersangka oleh Ceng Liong, membuat
pemuda itu manjadi gugup. "Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum ada.... eh, me-mang
ada, ya, ada memang...."
Gadis itu mengerutkan alisnya. "Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak
suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah gadis yang
kaucinta itu" Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!"
"Ada.... ada.... Ya benar, ada memang!" Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya
de-ngan sikap tegas.
"Hemm.... dan.... dan iapun cinta padamu?"
Ceng Liong menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu...." Karena
pertanyaan- pertanyaan itu makin mendekati sa-saran, yaitu hal-hal yang mengguncangkan
batin-nya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu merasa betapa kedua kakinya agak
gemetar dan tubuhnya lemas. Maka diapun lalu duduk di atas batu yang besar di dekat situ.
Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan
tertarik sekali.
"Engkau belum tahu" Engkau mencinta seo-rang gadis dan engkau belum tahu apakah ia
men-cintamu atau tidak" Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?"
"Aku.... aku takut, Bi Eng."
"Kau" Kau takut?" Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan.
"Engkau cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan
eng-kau mengenal takut?"
"Bi Eng, aku takut kalau-kalau cintaku dito-lak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut
dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasihat, apa yang harus
kulakukan menghadapi keadaan begini?"
Bi Eng tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh. "Engkau...." Minta nasi-hat
dariku" Ah, bagaimana sih keadaanmu itu" Engkau mencinta seorang gadis dan engkau tidak
tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu atau takut bertanya, karena
takut ditolak" Begitukah?"
Ceng Liong mengangguk.
"Dan gadis itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?"
Ceng Liong menggeleng.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
682 "Wah, bagaimana ini" Jadi selama ini cintamu hanya kausimpan di hati saja" Lama-lama bisa
menjadi racun kalau begitu!"
Ceng Liong memandang kagum. "Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-
mencinta!"
"Tentu saja!" Bi Eng menghardik.
"Kalau begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda...."
"Kalau itu sih belum pernah!"
Ceng Liong terbelalak dan nampak girang. "Eh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu
tentang hal ihwal cinta"
"Aku kan wanita dan yang kaucinta itupun wa-nita, bukan?"
Ceng Liong mengangguk-angguk bingung. "Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut
nasihat-mu, Bi Eng" Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia
mencintaku, dan aku ta-kut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah dan
menolakku...."
"Ceng Liong, tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta
ke-padanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas akan ada
perasaan bang-ga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, kalau pernyataan cinta itu
dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tidak menyata-kan cintamu, mana ia
tahu" Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana kau tahu apakah ia mencintamu atau
tidak" Maka, kalau engkau min-ta nasihatku, datangi gadis itu dan akuilah terus terang
tentang cintamu dan minta jawabannya secara jujur."
"Begitukah nasihatmu, Bi Eng" Gadis itu be-nar- benar takkan marah?"
"Mengapa marah" Sepatutnya ia bangga me-nerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti
Pulau Es!"
"Nah, kalau begitu biarlah kupergunakan ke-sempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku
itu. Bi Eng, aku cintapadamu ...."
Seketika gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong,
mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan sinar
menyambar--nyambar ke arah wajah pemuda itu.
"Apa...." Apa yang kaukatakan itu....?"
"Bi Eng, aku cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat
membalas cinta kasihku kepadamu...."
"Ceng Liong, engkau berani main-main dengan-ku?" Bi Eng mengepal tinju dan mukanya
berobah merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
683 Melihat ini, Ceng Liong menjura. "Bi Eng, ma-afkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang
mena-sihatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa gadis itu takkan
marah...."
"Tapi.... tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi menga-takan
bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka" Bahwa janjimu itu tidak
mengikat apa-apa?"
"Memang benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku
menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa kita
untuk berjodoh begitu saja."
"Tapi.... kita baru saja berjumpa dan kau menyatakan cinta....?""Bi Eng, sejak pertemuan
kita dahulu, aku su-dah merasa kasihan dan suka sekali kepadamu. Tentu saja aku belum tahu
pada waktu itu tentang perasaan cinta. Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu
ketika engkau terpukul oleh si jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sen-diri, aku
bahkan melawan dan menyerang mendi-ang guruku sendiri karena mengira engkau
diracunnya. Akan tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin
bahwa aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap mendiang
Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbaha-gia sekali kalau engkaupun
membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau kenapa....?"
Gadis itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis,
seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya dan air mata nampak menetes-
netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu saja Ceng Liong terke-jut bukan main dan diapun
cepat menghampiri dan berlut pula di depan gadis itu. Ingin dia menghibur, ingin dia
menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya.
"Bi Eng.... ah, Bi Eng, kaumaafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung
perasaan-mu. Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah, aku
mengaku salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sum-pahi matipun aku tidak
akan membalas."
Bi Eng menurunkan kedua tangannya dan de-ngan mata basah dan hidung merah ia
memandang pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi,
menutupi lagi mukanya de-ngan kedua tangan.
Ceng Liong menjadi semakin bingung dan kha-watir. Dia adalah seorang pemuda gagah
perkasa, penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang
dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cinta-nya, dia menjadi bingung,
tidak tahu harus berbu-at apa.
"Bi Eng, sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka" Kalau
engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat ku-mengerti, akan tetapi kenapa engkau
berduka" Kenapa menangis" Engkau yang segagah ini?"
Bi Eng semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis.
Agaknya gadis itu harus menghabiskan dulu air matanya, baru dapat diajak bicara, pikirnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
684 Dan biarpun pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi buktinya memang demikian.
Setelah puas mena-ngis, tangis gadis itu mereda, bahkan ia lalu dapat bicara.
"Ceng Liong, aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua
isi batinku dan membuatku berduka. Ke-tahuilah, aku.... aku telah bertunangan dengan orang
lain...." Ceng Liong menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berobah pucat
dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pe-dang. Dia menggigit bibirnya dan
termenung se-jenak.
"Tapi, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan
seorang pria?"
Gadis itu terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju. "Itulah sebabnya aku
menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut kehendak ayah ibuku saja...."
"Ah, dan dia" Dia tentu mencintamu, bukan?"
Gadis itu menggeleng kepala. "Diapun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua, dan
kami tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan kami,
kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat, sebaliknya dia ikut ayahku
untuk menerima pendidikan ilmu pula."
Ceng Liong menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak
orang--orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru melihat isteri
atau suami-nya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi mempelai seperti beli
undian saja, un-tung-untungan!
"Sungguh aku merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja
dijoodohkan tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sen-diri?"
"Aku tidak berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya
mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong."
Hening sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. "Jadi engkau tidak cinta
kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?"
"Aku tidak mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa."
"Siapakah dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eug?"
"Dia bernama Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu...."
"Ahh....?" Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan
mengangkat muka memandang. "Putera orang tua yang gagah perkasa itu" Ah, pantas Kalau
begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri, sungguh aku tidak tahu
diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu Sim- locianpwe. Maafkan kelancanganku,
nona.... dan selamat tinggal...." Dengan hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu
meng-galkan gadis itu, setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
685 "Ceng Liong.....!" Terdengar seruan lemah dan Ceng Liong seperti tertahan kakinya.
Benar-kah apa yang didengarnya tadi" Suara Bi Eng memanggilnya, disusul isak tangis gadis
itu! Dia membalikkan tubuh dan memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan
kedua tangan diulur ke depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas
sepasang pipinya.
"Ceng Liong.... jangan.... jangan pergi, jangan tinggalkan aku....!" gadis itu berkata terisak-
isak. "Bi Eng.... apa artinya ini....?" Ceng Liong lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling
rangkul, entah siapa yang bergerak merang-kul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya
di atas dada pemuda itu dan iapun menangis ter-isak-isak. Ceng Liong menjadi bengong
sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala itu ke
dadanya dan per-lahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus bajunya dan
membasahi dadanya. Tera-sa segar bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu
di dalam hatinyamembuat bu-nga itu berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak
dapat percaya akan keadaan ini. Seujung rambutpun tadi dia tidak pernah me-nyangka bahwa
Bi Eng akan bersikap begini, bah-kan sekarangpun, setelah dia merangkul gadis itu,
merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia masih ragu-
ragu dan belum percaya.
"Bi Eng.... ah, Bi Eng apa artinya ini" Kenapa engkau menangis....?" Kedua lengan-nya
memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar di
dada-nya itu penuh kasih sayang.
Tanpa mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, "Ceng Liong...., apakah
engkau belum dapat mengerti" Aku.... aku tidak hanya menerima cinta kasihmu, aku.... aku
bahkan juga.... mencintamu...."
Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu
yang meruncing itu dan mendorongnya ke bela-kang sehingga wajah gadis itu tengadah.
Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir air mata seperti
mutiara di kedua pipi itu.
"Bi Eng.... mimpikah aku....?" Ceng Liong bertanya seperti seperti orang bingung, suaranya
lirih mengandung getaran kuat.Wajah yang basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga
bermandikan embun kini merekah segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berki-lau dan
sepasang mata yang masih mengandung air mata itu memandang mesra. Biarpun dia belum
berpengalaman, dan biarpun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu
yang mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang
kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis saling
memeluk lebih ketat se-olah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam pelukan itu.
Setelah gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang sejak tadi masih dilanda keraguan dan
sulit menerima dan mempercaya kebahagiaan yang ti-ba-tiba melanda dirinya itu, sekali lagi
menyen-tuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya. Se-jenak mereka bertatapan pandang
penuh kemesra-an, kemudian terdengar Ceng Liong berkata lirih. "Bi Eng.... tapi.... tapi kau
telah bertu-nangan...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
686 Bagaikan dipagut ular berbisa, Bi Eng mele-paskan diri dari pelukan Ceng Liong, meloncat
ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong de-ngan muka berobah pucat sekali. Lalu
gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya mengeluarkan sinar dan ia nampak
penasaran se-kali.
"Engkau benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa
berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima begitu
saja. Aku harus me-nentangnya!"
"Tapi, Bi Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu
marah kepadaku dan menganggap aku yang men-jadi biang keladi, padahal mereka itu tidak
suka kepadaku. Dahulupun, mereka menolak keras ke-tika mendengar usul mendiang Hek-i
Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Pula, aku amat menghormati Sim-locianpwe,
bagaimana aku ada muka untuk berhadapan dengannya kalau kini aku menjadi pengrusak
pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?"
"Ceng Liong, benarkah engkau cinta padaku?"
"Tentu saja!"
"Sebesar aku mencintamu?"
"Ya, lebih lagi, ini aku yakin!"
"Kalau begitu, kenapa engkau kelihatan takut--takut menghadapi segala resiko dan
akibatnya?"
"Bukan takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi
orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang orang
tuamu...."
"Jadi, kalau begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku" Menerima saja
dijodohkan dengan orang lain" Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap
diriku?" "Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat
mem-beri alasan kepada orang tuamu agar mereka tidak memaksamu, dan kita.... dengan terus
terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita."
"Nah, begitu baru benar!" Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya
ke-dua tangan pemuda itu. "Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku
bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga. Aku be-rani bersamamu menghadap
guruku dan orang tu-aku untuk berterus terang, minta dibatalkan perta-lian jodoh paksaan itu
dan menceritakan tentang cinta kasih kita."
Ceng Liong merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. "Akupun tidak takut, Eng-
moi...." Bi Eng tersenyum. "Ihh, lucunya kau menyebut Eng- moi kepadaku!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
687 "Habis, bagaimana" Sudah sepatutnya demiki-an, bukan?"
"Dan aku harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?"
"Bagaimanapun juga, selain lebih tua darimu, akupun calon suamimu, kan" Pantasnya
engkau menyebut koko."
"Liong-koko.... ih, lucu juga!"


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kekasihnya itu dengan mata masih ba-sah bekas air mata kini tersenyum-senyum
manis dan gembira, Ceng Liong tak dapat menahan hati-nya dan diciumnya gadis itu, kini
diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung karena sela-ma hidupnya baru pertama
kali itu mencium, itupun dilakukannya hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja. Bi
Eng terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya men-jadi lemas dan
iapun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan sepenuh hati dan
merekapun berciuman, canggung namun mesra.
"Eng-moi, aku cinta padamu dan aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu."
"Tak perlu sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah
bundaku adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan
mereka. Kita me-nentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono dan
keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungkan lebih dulu,tanpa
memperdulikan isi hati antara yang bersang-kutan."
"Mudah-mudahan begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?"
"Aku datang ke tempat ini bersama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing melakukan
penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyu-ruh aku memasang mata kalau-kalau tempat
ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang me-nyelundup. Aku bertemu dengan orang-
orang Pek-lian-pai mabok yang menggangguku."
Ceng Liong melepaskan rangkulannya dan me-reka kini bicara dengan sikap serius, karena
perha-tian mereka mulai tertarik dan teringat akan ke-perluan mereka datang ke tempat itu.
"Akupun heran mengapa orang- orang seperti mereka itu hadir pula di sini. Kehadiran mereka
itu saja sudah membuat aku menjadi semakin ragu- ragu akan ke-benaran pertemuan ini."
"Menurut suhu, Pek-lian-pai adalah perkum-pulan yang paling gigih menentang pemerintah
sejak dahulu. Yang kita pandang bukanlah pera-ngai mereka, melainkan semangat mereka
menen-tang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah, akan tetapi karena
mereka sema-kin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka," kata Bi Eng.
"Sekarang mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-
moi." "Sebaiknya engkau pergi ke sana dulu, Liong--koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti
kita bertemu kembali di Hutan Cemara."
Menuruti perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya, akan
tetapi diapun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya atau juga
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
688 calon ayah mertu-anya itu begitu saja. "Baiklah, kita saling jumpa di Hutan Cemara, Eng-
moi," katanya dan mereka saling menggenggam tangan dan saling berpan-dangan dengan
penuh perasaan mesra. Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat,
lenyap di balik pohon-pohon. Sampai bebe-rapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong,
kemu-dian diapun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.
*** Di Hutan Cemara telah berkumpul banyak se-kali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah
datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat. Hutan di
kaki Pegunungan Tai-hang- san itu nampak ramai walaupun hal ini agaknya tidak diketahui
oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar Tai--hang-san namun cukup jauh dari
tempat pertemu-an yang sepi itu.
Pada waktu itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di
antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek--lian-pai atau Pek-lian-pang yang
intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang juga
merupakan perkum-pulan rahasia yang selalu dikejar- kejar pemerintah karena mereka itu
terang-terangan menentang pe-merintah Mancu yang berkuasa. Pada mulanya memang cita-
cita menentang penjajah ini digerak-kan oleh orang-orang yang berjiwa patriot di an-tara para
tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sa-yang, cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita
pribadi atau cita-cita kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri
pribadi atau kelompok, ambisi untuk mencari ke-dudukan atau keuntungan. Bahkan lebih
buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada yang terlalu
mengandal-kan kekuatan dan kekuasaan atau pengaruh per-kumpulannya sehingga seringkali
mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan ada pula orang-orang yang memang berwatak
jahat menyelundup masuk dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama
perkumpulan. Ketika Ceng Liong tiba di Hutan Cemara, ba-nyak orang sudah berkumpul. Yang amat
menyo-lok adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggauta yang puluhan
orang banyaknya dan nampaklah bendera-bendera me-reka berkibar dan pasukan mereka
berada di bela-kang bendera perkumpulan masing-masing. Di depan bendera Pek-lian-pai
berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat
akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang to-su tua yang tadi
ribut dengan Bi Eng. Sikap tiga orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap
ke depan, kedua tangan di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap
para anak buah Pek-lian-pai tidak teratur dan mereka itu nampak berbisik-bisik dan ada yang
tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri. Pat-kwa-pai dengan benderanya yang
angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa, dipimpin oleh seorang kakek pula
yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan kuning seperti pakaian pertapa, dengan rambut,
jenggot dan kumis awut-awutan panjang tak terpelihara, diiringkan dua puluh lebih anak buah
Pat-kwa-pai yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di
bagian dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam daripada para anak buah Pek-lian-pai
yang berbendera gambar bunga teratai itu. Berbeda dengan dua perkumpulan terdahulu,
Thian-li-pai yang datang dengan anak buah sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh
seorang pria berusia empat puluh tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang
pedang ter-gantung di punggung. Sikapnya pendiam dan ga-gah, juga anak buahnya kelihatan
gagah dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
689 Karena saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang dikelilingi
para peserta itu muncul seorang pria yang gagah per-kasa, yang memakai baju kulit harimau.
Pria ini berusia kurang lebih empat puluh tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu pria
itu menjura de-ngan sikap gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada
suara yang lantang. "Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!"
Suaranya yang mengandung getaran khi-kang yang kuat itu mengatasi suara berbisik para
pen-datang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang dan
sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-ma-sing, dan kini semua mata
ditujukan kepada pria itu.
Melihat pria itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andaikata tidak terjadi
per-temuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan rasa
girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim Hong Bu, pendekar
yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) dengan ilmunya itu.
Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon mertua!
Setelah memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih
lantang dan gagah. "Cu-wi yang terhormat, harap maafkan ke-lancangan saya mewakili para
locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini sebe-lum kita semua
memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya memperkenalkan diri bahwa
nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pen-dapat cu-wi, setujukah kalau saya untuk sementara
memimpin pertemuan ini?"
Terdengar teriakan "setuju!" dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini, sedangkan
mereka yang belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan.
Agaknya para pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itu-pun sudah mengenal pendekar
ini karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir
menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.
"Terima kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan sedikit tentang timbulnya
gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe dan sahabat baik,
yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa, mengadakan pertemuan dan
membicarakan tentang tanah air kita yang dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya.
Sebagai pendekar dan patriot, ten-tu saja kita tidak mungkin tinggal diam saja. Maka sayapun
diberi tugas untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, mengundang
mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini adalah untuk
menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagai-mana kita dapat berjuang membebaskan
tanah air dan bangsa dari tangan penjajah."
"Harus lebih dulu dipilih seorang bengcu (pe-mimpin rakyat)!" terdengar teriakan-teriakan di
antara mereka yang hadir.
Sim Hong Bu tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang.
Setelah ke-adaan menjadi tenang, dia berkata. "Memang se-perti yang cu-wi kehendaki,
pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya ka-takan bahwa saya hanya
untuk sementara memim-pin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara. Kita mengangkat
seorang pemimpin dan pemimpin itu-lah yang kemudian menentukan para pembantu-nya.
Setujukah cu-wi?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
690 Semua orang kembali berisik menyatakan setuj-u. Tosu gendut, yaitu yang pernah ribut
dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas dengan su-ara yang menggeledek dia berkata.
"Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!" Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah
Pek-lian-pai. "Kami usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!" teriak seorang di antara anak
buah Pat-kwa- pai dan teriakan inipun disambut sorak-sorai anak buah perkumpulan itu.
"Kami usulkan toako kami Su Ciok menjadi ca-lon bengcu!" teriak anak buah Thian-li-pai
di-sambut sorak- sorai teman-temannya.Kembali Sim Hong Bu mengangkat kedua ta-ngannya
ke atas untuk memberi isyarat agar sua-sana kembali tenang. Setelah keadaan tenang, dia-pun
berkata. "Memang untuk memilih bengcu, ha-rus lebih dahulu diajukan calon- calon. Seorang
calon yang diajukan harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa
maka dia dipilih menjadi bengcu. Saya mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan Pek-
lian-pai yang tadi diajukan sebagai calon. Harapdikemukakan alasan- alasan mengapa dia
dicalonkan." Sim Hong Bu sudah tahu siapa adanya tosu kurus yang memimpin rombongan
Pek- lian-pai itu dan dia tahu bahwa biarpun tosu itu memiliki ilmu ke-pandaian tinggi, akan
tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan terlalu me-mandang rendah
orang lain. Tosu gendut yang tadi mengusulkan agar ketua-nya dipilih bengcu, berkata. "Suhu Ci Hong
Tosu memiliki pengetahuan yang luas disamping itu kepandaian tinggi, dan terutama sekali
disamping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian--pai dan siapakah yang tidak tahu
bahwa sejak da-hulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan yang se-lalu berjuang untuk mengusir
penjajah?"
"Susiok kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!"
tiba--tiba terdengar suara dari rombongan Pat-kwa-pai. "Dan mengenai perjuangan
menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat terkenal."
"Dalam hal perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako
ka-mi Su Ciok boleh diandalkan!" teriak orang-orang Thian-li-pai. Kembali keadaan menjadi
berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.
Sementara itu, sejak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut mengajukan
ca-lon-calon bengcu karena dia mencari-cari Bi Eng dengan matanya. Begitu melihat
munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia sudah me-noleh dan memandang ke
sana- sini, mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa gelisah mengapa gadis itu
belum juga muncul. Akhirnya dia melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di an-tara penonton
di sebelah selatan, maka diapun me-nyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang ju-ga
melihatnya lalu bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan dan setujui
berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu berdesak-desak, berdiri berdampingan
dan sama--sama memandang ke arah Sim Hong Bu yang me-mimpin pertemuan itu.
"Suhumu memang gagah perkasa." Ceng Liong memuji lirih.
"Ya, dan kalau menurut aku, tidak ada yang lebih baik daripada suhu untuk menjadi calon
bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya tidak
perlu di-ragukan lagi," jawab Bi Eng lirih.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
691 "Kalau begitu, kenapa tidak kauusulkan agar dia dicalonkan pula?"
"Engkau benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?" Setelah
berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke depan, ke arah
bagian tanah yang agak tinggi walaupun tidak setinggi tanah datar di mana gurunya berada,
dan dengan pengerahan khi-kang yang membuat suaranya me-lengking tinggi mengatasi
semua kegaduhan ia berkata. "Cu-wi, saya juga mengajukan seorang ca-lon bengcu, yaitu
bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu yang cu-wi semua sudah mengenalnya!"
Usul ini disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik karena
meli-hat kecantikan dan keberanian Bi Eng daripada kepercayaan mereka terhadap Sim Hong
Bu sen-diri. Melihat ulah muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas. "Cu-wi
se-kalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya sebagai
calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang akan mengajukan calon?"
Ternyata banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan
ter-dapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti
banyak is-teri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam puluh tahun lebih akan tetapi
masih nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya tersenyum--senyum saja mendengar
betapa dia dicalonkan se-bagai bengcu yang memimpin para pendekar dan patriot untuk
berjuang menentang pemerintah penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bah-wa
masih ada orang yang percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya.
Jumlah para calon itu ada tujuh belas orang!
"Jumlah calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh belas
ini?" Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat de-mikian banyaknya calon yang
diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk me-nang dalam pemilihan ini.
"Mudah saja diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat
untuk melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih di
antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara calon-calon sudah maju
untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian tinggi!"
Yang bicara ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke
depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang kepadanya. Pria ini
tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai seo-rang yang ditakuti di Tai-
goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani.
Karena dia tidak pernah ja-hat, walaupun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya
dan selalu ingin benar sendiri, maka dia selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang
pendekar! Pria ini bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini ber-usia
empat puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu silat
Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar.Sebelum yang lain-lain mengemukakan penda-patnya
dan sebelum Sim Hong Bu sempat mence-gahnya, nampak bayangan berkelebat dan tahu-
-tahu Su Ciok, tokoh Thian- li-pai, sudah berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang
Gun! Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
692 "Bagus, engkau hendak menantang pibu" Baik sekali, akulah lawanmu. Lihat seranganku!"
ben-tak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat. Tokoh Thian-li-pai ini
memang ber-watak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali berkelahi. Begitu mendengar
usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik darah dan me-nyambut tantangan itu tanpa
banyak cakap lagi.
"Heh, kau ini tokoh Thian-li-pang tadi?" ben-tak Tang Gun sambil menangkis dengan
pengerah-an tengannya yang besar.
"Dukk....!" Pertemuan dua buah lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat
keduanya terdorong ke belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tidak mengira bahwa
lawan memiliki tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas
serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri ke arah
kepala lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenagabesar, maka melibat
datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok mengelak dan balas menyerang.
Serang-menyerangpun terjadilah de-ngan serunya.
Dan ternyata dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki
kepandai-an dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan me-reka saling bertemu dan keduanya
selalu terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua- puluh jurus lebih, tiba-
tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian itu. Kiranya bayang-an itu adalah Giam
San-jin tokoh Pat-kwa- pai.
"Plakk! Plakk!" kakek berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan
dua orang yang sedang berkelahi itu dan demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai
lengan me-reka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang berte-naga besar itupun terpelanting
dan hampir ter-banting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bu-kan main.
"Kalian mundurlah!" kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka. Dua
orang kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari per-temuan tenaga tadi saja merekapun
maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa- pai ini memang hebat se-kali, maka mereka menjadi
ragu dan jerih, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.
Giam San-jin memberi hormat ke empat pen-juru, lalu berkata dengan suara halus. "Kami
setuju dengan usul untuk menentukan siapa menjadi bengcu melalui ujian kepandaian. Akan
tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang diperlihatkan dua saudara tadi.
Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak kacau- balau. Per-tama ingin kami
mendengar apakah cu-wi yang hadir di sini setuju bahwa untuk menentukan beng-cu diadakan
ujian kepandaian di antara para calon dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?"
"Siancai....! Itulah yang paling baik. Kami setuju!" Terdengar Ci Hong Tosu tokoh Pek-lian-
-pai berseru, suaranya tinggi melengking sehingga terdengar jelas karena memang tosu ini
hendak memperlihatkan kekuatan khi-kangnya. Selain ketua Pek-lian-pai, banyak pula di
antara para tokoh yang tadi dicalonkan menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena
ada pula di antara para pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu
kepandaian itu.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceng Liong sejak tadi merasa tidak setuju de-ngan sikap para tokoh yang hendak melakukan
pe-milihan bengcu melalui adu ilmu silat. Dan diapun melihat sesuatu yang menarik hatinya,
yaitu ketika ada seorang pemuda gagah perkasa bercakap-cakap dengan Sim Hong Bu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
693 Bahkan pendekar berbaju kulit harimau itu memeluk pemuda itu. Dia lalu bertanya kepada Bi
Eng siapa adanya pemuda yang baru muncul itu. Bi Eng menoleh ketika ia memandang
pemuda itu, wajahnya menjadi merah sekali.
"Itulah putera suhu...." katanya lirih.
Jantung dalam dada Ceng Liong berdebar ke-ras penuh ketegangan. Jadi pemuda itukah
tunang-an kekasihnya" Seorang pemuda yang kelihatan gagah sekali! Akan tetapi Bi Eng
tidak mencinta-nya dan memilih dia!
Selagi semua orang berbisik dan bicara sendiri karena mereka terbagi menjadi dua golongan
yang mendukung dan menentang usul diadakannya pibu untuk menentukan siapa yang akan
menjadi beng-cu, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara keta-wa ini mengatasi semua suara
berisik sehingga se-mua orang lalu menoleh dan memandang kepada kakek yang tertawa-tawa
itu. Kakek ini sudah berdiri dan karena suara ketawanya yang luar bi-asa, maka semua orang
dengan mudah dapat menemukannya. Dia berdiri sambil bertolak pinggang. Seorang kakek
yang usianya tentu sudah enam puluhan tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak ganteng,
pakaiannya pesolek dan indah. Di dekatnya sendiri empat orang wanita setengah tua yang
kesemuanya cantik- cantik. Mereka yang berada di situ, hanya ada beberapa orang saja yang
sudah mengenalnya. Kakek ini bukan lain adalah Bu-taihiap atau nama lengkapnya adalah Bu
Seng Kin, seorang pendekar besar yang suka bertualang. Kini Bu-taihiap yang hadir bersama
empat orang isterinya itu memandang kepada Ci Hong Tosu, masih tertawa, dengan nada
mengejek. "Pertemu-an macam apakah ini" Pertemuan antara orang--orang yang berjiwa
patriot, ataukah pertemuan ge-rombolan tukang pukul yang hendak pamer kepandaian silat"
Ha-ha-ha, sungguh lucu!"
Ci Hong Tosu mengerutkan alisnya. Dia sen-diri tidak mengenal siapa adanya kakek itu,
akan tetapi dia mengenalnya sebagai seorang di antara para calon karena tadi ada orang yang
mencalonkan kakek ganteng ini.
"Siancai...., siapa menyetujui cara kami boleh maju memperebutkan kedudukan bengcu, yang
tidak setuju boleh mundur!"
"Harap cu-wi pikirkan baik-baik!" Tiba-tiba Sim Hong Bu maju menghadapi Giam San-jin
yang masih berdiri di dataran itu dengan sikap menan-tang lawan.
"Apa yang harus dipikirkan lagi, Sim-sicu" Bukankah kita berkumpul di sini untuk bicara
ten-tang perjuangan dan sebelum itu harus diangkat dulu seorang bengcu yang akan menjadi
pemimpin dan menunjuk orang-orang untuk menjadi pem-bantu-pembantunya. Nah, calon-
calon sudah di-ambil dan kini tinggal diadakan pemilihan melalui adu kepandaian!"
"Betul! Lebih baik cepat laksanakan pibu!" terdengar beberapa orang berseru. Sebagai ahli-
ahli silat, memang biasanya mereka ini suka sekali nonton orang mengadu ilmu silat, apalagi
kalau diingat bahwa yang berkumpul di situ sekarang adalah tokoh-tokoh besar dunia
persilatan, maka tentu akan menjadi ramai sekali dan mereka berkesempatan untuk melihat
ilmu-ilmu silat hebat yang akan dikeluarkan. Mereka akan memperoleh banyak kemajuan dan
pengalaman dalam pibu ini.
Sim Hong Bu mengangkat kedua tangan ke atas minta agar semua orang tenang. Kemudian
dia berkata kepada Giam San-jin. "Maaf, sobat. Akan tetapi saya kira tidaklah tepat kalau
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
694 diadakan pibu dalam pemilihan bengcu ini. Dalam pibu, mungkin ada yang akan roboh
terluka bahkan mungkin saja akan ada yang tewas."
Giam San-jin tertawa. "Ha-ha, siapa yang ti-dak tahu akan hal itu, sicu" Bukankah kita
semua ini adalah orang-orang yang sejak kecil sudah berkecimpung dengan dunia persilatan
dan sudah biasa dengan kalah menang, luka dan mati" Akan tetapi hal itu tidak dapat
dipisahkan dari kehidup-an orang-orang macam kita. Kalau ada orang yang takut terluka atau
tewas dalam pibu, mana ada harganya orang itu menjadi bengcu, menjadi pemimpin kita"
Karena itu, kami harap agar dapat diputuskan sekarang juga agar pibu segera diadakan untuk
menentukan siapa yang patut menjadi beng-cu. Ingat, sicu sekarang ini hanya memimpin
per-temuan sementara saja sebelum bengcu dipilih, karena itu sicu tidak berhak menentukan
sesuatu. Dan banyak saudara yang menyetujui diadakan pibu. Bukankah demikian, cu-wi
yang mulia?"
Ucapan ketua Pat-kwa-pai disambut sorak-sorai dan tentu saja dia menang suara karena baru
anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai saja sudah hampir separuh jumlah yang hadir.
Melihat ini, Sim Hong Bu menjadi bingung dan tidak tahu harus berkata apa lagi. Pada saat
itu, Ceng Liong melompat ke depan Giam San-jin dan tentu saja dia tidak mau bertindak
lancang dan ter-lebih dahulu dia menjura kepada Sim Hong Bu.
"Sim-locianpwe, bolehkah saya bicara kepada para hadirin yang terhormat?"
Sim Hong Bu memandang wajah Ceng Liong dan sejenak dia memandang tajam, kemudian
dia mengangguk. "Silahkan, dan mudah-mudahan ke-kacauan ini dapat diredakan," katanya
sambil mun-dur.
Giam San-jin mengerutkan alisnya memandang kepada pemuda remaja yang berani maju dan
hen-dak bicara itu, akan tetapi Ceng Liong sama sekali tidak memperhatikannya. Pemuda ini
menjura ke empat penjuru, kemudian suaranya terdengar menggeledek. "Cu-wi sekalian,
perkenankan saya bicara sebentar dan harap cu-wi sudi mempertim-bangkan dengan baik-
baik." Diam-diam Giam San-jin, juga para tokoh yang hadir di situ terkejut. Di dalam suara pemuda
ini terkandung getaran yang amat hebat, yang te-rasa sampai ke jantung mereka, tanda bahwa
ke-kuatan khi-kang pemuda yang bicara ini besar sekali. Karena itu, tentu saja semua orang
memandan kepadanya penuh perhatian dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan oleh
pemuda itu. Ceng Liong sudah mengambil keputusan untuk menghalangi terjadinya kekacauan dalam
pertemu-an ini, maka dengan sikap tenang namun tegas diapun mulai bicara, suaranya tetap
lantang karena memang dia ingin mengatasi semua kegaduhan agar dapat didengar dengan
baik oleh mereka semua.
"Cu-wi yang terhormat. Saya mengajak cu-wi untuk merenungkan sejenak dan menjawab
perta-nyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri, yaitu untuk apakah kita semua ini dari jauh
datang ber-kumpul ke sini dan mengadakan pertemuan ini" Jawabannya tentu mudah dan
dapat disetujui kita semua, yaitu bahwa kita berkumpul untuk bersatu padu dan berjuang
membebaskan negara dari pen-jajahan. Dan sekarang, dalam pemilihan bengcu, kita akan
berhadapan sebagai orang-orang yang hendak memperebutkan kedudukan! Bahkan untuk
memperebutkan kedudukan bengcu, kita tidak se-gan-segan untuk saling serang, saling
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
695 melukai dan bahkan saling bunuh! Para saudara yang tidak menyetujui pertandingan pibu
memperebutkan ke-dudukan ini tentu orang-orang gagah perkasa yang juga tidak takut terluka
atau mati, akan tetapi tidak setuju karena melihat bodohnya keputusan ini. Tidak setuju karena
cara yang dipergunakan untuk memilih bengcu ini tidak baik!"
Ucapan pemuda itu membuat semua orang tertegun, bahkan mereka yang tadinya menyetujui
diadakannya pibu kini terdiam. Akan tetapi, Giam San-jin yang memelopori cara pibu yang
tadi didahului oleh Tang Gun dan Su Ciok, menganggap pemuda ini menjadi penghalang
yang menentang-nya.
"Cara apapun yang kita adakan, adalah baik karena untuk suatu tujuan yang baik. Tujuan kita
memilih bengcu yang benar-benar patut kita ja-dikan pemimpin. Apa salahnya cara pibu bagi
orang-orang yang menganggap diri pendekar?" demikian kepala rombongan Pat-kwa-pai
mem-bantah, juga dia mengerahkan tenaga khi-kang dalam suaranya sehingga terdengar
lantang. "Maaf," kata Ceng Liong, menjura kepada orang tua itu. "Bukan maksud saya untuk semata-
mata menentang pendapat itu, melainkan mengajak se-mua saudara untuk mempertimbangkan
dengan penuh kesadaran. Kita berkumpul dengan maksud untuk bersatu. Dalam menghadapi
perjuangan be-sar, kita perlu bersatu padu. Akan tetapi, cara pemilihan bengcu dengan jalan
pibu bukanlah hal yang menguntungkan, bahkan amat berbahaya. Dalam pibu, yang terluka
apalagi yang tewas tentu menimbulkan dendam dan hal ini akan me-mecah-belah persatuan
antara kita. Pula, harus diingat bahwa seorang bengcu yang akan memimpin perjuangan, tidak
cukup kalau hanya mempunyai kepandaian silat tinggi. Perang lebih membutuhkan ilmu
perang, walaupun dalam pertempuran dibutuhkan kemahiran ilmu silat bagi para pejuang
yang bertempur. Yang penting adalah ca-ranya untuk bersatu, karena caralah yang
menen-tukan sesuatu, yang menciptakan baik buruknya sesuatu, bukan tujuan."
Semua orang yang mendengarkan menjadi se-makin bingung, terutama yang tadi menyetujui
di-adakannya pibu. Mereka dapat merasakan kebe-naran ucapan pemuda itu, akan tetapi
sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, merekapun ingin sekali kalau pibu diadakan
agar mereka dapat menikmati pertandingan-pertandingan yang tentu akan hebat sekali itu.
Sementara itu, Giam San-jin sudah marah sekali, merasa bahwa dia disudutkan oleh pemuda
remaja yang tidak dikenal itu. Maka diapun melangkah maju menghampiri Ceng Liong dan
menegur keras. "Orang muda, siapakah engkau berani berlagak menggurui kami" Bagaimanapun juga, kami
tetap mengambil keputusan untuk memilih bengcu de-ngan cara pibu! Kalau sudah begitu,
engkau mau apa" Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari sini. Dalam urusan penting
ini, kami tidak membutuhkan nasihat-nasihat seorang bocah hi-jau seperti engkau!"Tentu saja
ucapan ini merupakan penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong tetap
bersikap tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa di situ terdapat
banyak tamu para pendekar sakti dan para locian-pwe, tentu dia sudah mempermainkan kakek
yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan bertindak tegas kalau dia menghendaki agar
pertemuan itu tidak sampai berobah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan
memecah-belah kekuat-an di antara mereka saja.
"Locianpwe," katanya dengan sikap hormat. "Bagimanapun juga, saya akan menentang pibu
yang diadakan untuk pemilihan bengcu." Ucapan-nya itu hormat, akan tetapi tenang dan tegas
sekali. Suasana menjadi tegang ketika pemuda itu menge-luarkan ucapan ini. Betapa
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
696 beraninya pemuda itu, pikir mereka. Atau lancang dan tak tahu diri" Be-rani menentang
seperti itu kepada Giam San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu kepandai-an hebat.
Bahkan Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itupun tadi gentar dan mundur berhadapan dengan
kakek berpakaian pertapa ini.
Tentu saja Giam San-jin menjadi semakin ma-rah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe,
berarti mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan tetapi berani
menentangnya! "Orang muda, dengan ucapanmu tadi berarti bah-wa engkau hendak
menentangku, ataukah engkau hendak memasuki pula pertandingan pibu ini me-lawan aku?"
Ceng Liong menggeleng kepala. "Harap lo-cianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak
bermak-sud ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti
saya hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah cara
yang buruk dan ha-nya yang membuat perpecahan di antara kita itu-lah."
"Hemm, orang muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak
menentang aku! Kalau aku melanjntkan pemilihan pibu ini, apakah engkau berani
menentangku?"
"Demi mencegah terjadinya perpecahan, siapa-pun juga akan saya tentang kalau
memaksakan di-adakannya pibu," jawab Ceng Liong tenang.
"Keparat! Engkau berani menentang aku" Orang muda, sebelum engkau kuhajar, katakan
du-lu siapa namamu?"
"Nama saya Suma Ceng Liong."
"Suma" Engkau she Suma" Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han
Pen-dekar Super Sakti Pulau Es?" tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.
"Saya adalah cucunya," jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi
ke-adaan keluarganya. Pengakuan Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang
karena siapakah yang tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es" Kini
pandang ma-ta mereka terhadap Ceng Liong makin penuh per-hatian dan semua orang ingin
menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.
"Ha-ha-ha!" tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh Pek-
lian-pai yang tinggi kurus itu. "Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, ya" Bagus, siapa
tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, kelu-arga Pulau Es adalah keluarga
pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu" Siapa tidak tahu bahwa isteri
Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu" Ingat nama Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi
panglima Mancu, dan Puteri Milana, puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan
sekarang cucunya berada di sini, sia-pa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!"
Tentu saja semua orang menjadi tegang mende-ngar kata-kata ini dan muka Ceng Liong
menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw de-ngan perkumpulannya, Pek-lian-pai
memang se-jak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga ka-keknya, karena memang banyak
di antara pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan pernah dihajar oleh keluarga
kakeknya itu. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
697 "Totiang, harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!" bentaknya.
Akan tetapi Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia
su-dah menyambar tongkatnya yang dipegang oleh seorang muridnya, sebuah tongkat baja
yang kecil panjang dan kedua ujungnya meruncing. Dia me-mutar tongkatnya dan berteriak,
"Mata-mata Man-cu atau bukan, engkau berani menentang kami dan berarti engkau harus
menandingi aku dalam ilmu silat! Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main
sebentar!"
Ceng Liong tersenyum pahit. Tak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar
dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang macam ini dan mengalami hal sepahit
ini. Akan tetapi diapun kini maklum bahwa selama ada orang-orang seperti ini mencampuri
perjuangan para patriot, maka perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia untuk
membebaskan negara dari tangan penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-
orang yang berambisi mencari kedu-dukan dan kemuliaan bagi diri sendiri maupun
gerombolannya. Maka, diapun harus memberantas-nya!
"Giam San-jin, akupun sudah banyak mende-ngar bahwa Pat-kwa-pai, apalagi Pek-lian-pai,
hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi sesungguhnya banyak hal-
hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan. Kalau engkau memaksa perkelahian,
baiklah, aku tidak pernah menggunakan senjata. Majulah, ba-kan pribadimu yang kulawan,
melainkan sikap perpecahan yang buruk itu yang kutentang!"
"Bocah sombong! Engkau yang mencari mati sendiri!" bentak Giam San-jin yang menjadi
sema-kin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu. Seorang pemuda
remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong, padahal dia
telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti, yaitu tongkatnya yang
jarang menemui tandingan! Kini dia menerjang maju, tongkatnya diputar sede-mikian rupa
sehingga nampaklah gulungan sinar yang mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing
yang mengeluarkan suara berdengung-de-ngung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu men-cuat
dan menyerang ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu
hebat sekali karena makin dielakkan, makin me-ningkat bahaya serangannya, makin gencar
dan makin kuat!
Akan tetapi sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biarpun masih
muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di samping itu
dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu,
menghadapi hujan se-rangan tongkat yang bergerak dengan amat cepat-nya itu dia bersikap
tenang saja. Tubuhnya mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-ka-dang kalau dia tidak
dapat mengelak lagi, dia ha-nya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu menyentil
ke arah ujung tongkat yang menotok. Setiap kali ujung tongkat bertemu dengan jari
ta-ngannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itupun terpental seperti ditangkis
oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak
satu kali-pun totokan-totokannya menemui sasaran!
Tentu saja hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja
mengelu-arkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu bahwa dia
berhadapan dengan keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu menyerang dia mengeluarkan
jurus simpanannya. Akan tetapi ternyata bahwa jurus yang ampuh itu dapat disambut dan
dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak kesulitan! Padahal, ilmu serangan-nya tadi adalah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
698 jurus dari Pat-kwa-pai yang ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan
memenuhi delapan penjuru, menutup se-mua kemungkinan jalan keluar. Namun, lawannya
dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan rahasia pat-kwa. Dan
me-mang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah hafal akan rahasia pat-kwa. Di
dalam ke-luarga para pendekar Pulau Es, terdapat ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan
Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-
kwa. Apalagi Ceng Liong, bah-kan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu. Dengan
demikian serangannya yang didasari per-hitungan pat-kwa tadi baginya seperti permainan
kanak-kanak saja.
Dalam kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain
yang kesemuanya merupakan serangan maut yang meng-ancam nyawa. Ceng Liong sengaja
menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika menangkis
dia tidak menge-rahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa se-gan untuk mengalahkan
kakek ini dalam beberapa gebrakan. Bukan maksudnya untuk membikin ma-lu orang dalam
pertemuan itu. Bagaimanapun ju-ga, dia hendak mencegah adanya perasaan den-dam agar
pertemuan itu dapat berlangsung dengan baik.
Akan tetapi, sikap mengalah Ceng Liong ini disalahartikan oleh Giam San-jin. Biarpun kakek
ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian tinggi
sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan la-wan bahwa lawannya ini biarpun
masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya yang selalu mengagulkan diri
sendiri dan memandang rendah orang lain membuat dia mengira bahwa sikap Geng Liong
yang tidak pernah membalas itu bukan mengalah, melainkan takut! Maka diapun me-nyerang
semakin ganas lagi karena dia berpenda-pat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan
mudah dirobohkan.
Setelah lewat dua puluh jurus dan lawannya ti-dak mau tahu bahwa dia sudah banyak


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini me-mang tidak tahu diri. Biarpun dia
masih segan untuk membikin malu, akan tetapi dia mengambil keputusan untuk merampas
tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah mengalahkannya kalau
memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk melihat bagian-bagian
gerakan lawan yang mengandung kelemahan.
Pada saat itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke
arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya, maka agak
sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, diapun akan menghadapi
hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya dari kakek pertapa itu.
"Hyaaaat....!" Ceng Liong mengeluar-kan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba--tiba
lenyap dari pandang mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti
seekor burung terbang saja. Tongkat yang me-nyambar itu lewat di bawah kakinya dan
pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak lawan.
Cepat bukan main gerakannya ini. Giam San-jin terkejut bukan main, akan tetapi diapun
bukan seorang lemah. Kepan-daiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biar-pun serangan
Ceng Liong yang datangnya tiba--tiba dan tidak terduga-daga itu memang menge-jutkan,
namun dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan
rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong! Rambut itu bergerak seperti ujung
cam-buk dan menotok ke arah jalan darah maut di tenggorokan lawan. Ini memang
merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek itu, dan amat berbahaya karena rambut
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
699 itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata lain. Dengan pengerahan sin-kangnya,
rambut itu menjadi kaku dan menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang
keras. Akan tetapi Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka
mengha-dapi serangan balasan yang mendadak itu diapun bersikap tenang saja. Tangan kiri
yang tadi meno-tok pundak lawan ditariknya untuk menangkis se-rangan rambut itu
sedangkan tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan. Giam San-
jin miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang ter-hindar dari
totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu masih
menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.
"Plakk....!" Baju di bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah
merah sekali. "Maaf, locianpwe, harap suka menghentikan serangan!" Ceng Liong berkata sambil menjura
dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yanq tidak diharapkan itu.
Akan tetapi kakek itu sudah memuncak kema-rahannya sehingga dia menjadi mata gelap dan
dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih
unggul dan tangguh. Dia berseru. "Aku belum kalah!" kemu-dian dia menyerang lagi dengan
tongkatnya. De-ngan cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai
menyusup ke dalam hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.
Pada saat itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu,
bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka bertiga
itu hendak me-ngeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera duduk bersila dan
bersedakap, memejamkan mata. Pada saat itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang
getaran aneh yang melanda dirinya. Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-
kauw itu mempergunakan ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya!
Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, putera Pende-kar Siluman Kecil dan yang mempunyai
ibu seo-rang ahli sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat
dia mengerah-kan tenaga batinnya.
Pada saat itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek inipun tahu bahwa tokoh Pek-lian-
-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah memban-tunya dengan ilmu sihir. Giranglah hatinya
dan dia menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi be-tapa kaget hatinya ketika pemuda itu
menyahut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan yang mencengkeram!
"Braaakkkk....!" Begitu tongkat bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu
merasa tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan diapun terpelanting keras
sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan pemuda itu
dan memang Ceng Liong dalam kemarahannya tadi telah mempergu-nakan pukulan jari
tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yaug dipelajarinya dari Hek-i Mo-ong.Pada saat
itu, terdengarlah suara halus. "Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo cepat
merangkak dan menggonggong!" Suara yang penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong
Tosu yang masih duduk bersila bersama kedua orang pembantunya. Mereka bertiga itu
menggabungkan tenaga sakti untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong,
hendakmemasukkan dan memaksa keyakinan pemuda itu bahwa dia seekor anjing yang harus
merangkak dan menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
700 Dia hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar semua orang meli-hat
pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!
Gelombang tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada
tenaga mujijat yang memaksanya agar mentaati pe-rintah tadi. Akan tetapi, dia tahu apa
artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan menjatuhkan diri duduk di
atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk bersila dan dia-pun menyilangkan kedua
lengannya di depan dada dan mengerahkan kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari
serangan gelombang tenaga yang menyihirnya itu. Terjadilah pertandingan ilmu sihir yang
tidak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka yang berada di situ dapat merasakan
ada-nya getaran-getaran aneh yang memenuhi tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang
berlawanan saling tarik-menarik dengan kuatnya.
Tiba-tiba terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara seperti anjing-anjing
menggong-gong dan menyalak. Akan tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan
itupun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen. Dan semua orang terbelalak dengan
muka pucat ketika mereka me-lihat tiga orang Pek-lian-pai itu, yang tadinya duduk bersila,
kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong dan menyalak seperti tiga e-kor anjing
yang kebingungan! Tentu saja peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan
terheran-heran. Mereka teringat betapa tadi to-koh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong
merangkak dan menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang
dipergunakan kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan
tuan! Ceng Liong sendiripun terkejut dan merasa he-ran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk
menolak gelombang tenaga sihir yang menyerang-nya dan yang seperti hendak memaksanya
mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa kini mereka bertiga yang tersihir"
Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian ampuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia
tersenyum dan meman-dang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan ibunya dan tahulah dia
bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang Pek-lian-kauw yang hendak
menghinanya itu!
Kiranya di antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan
Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walaupun sudah mengutus
puteranya untuk mewakili mereka, masih merasa ragu-ragu dan mereka berdua pergi tak lama
setelah putera mereka berangkat.
"Bagaimanapun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak
mem-berontak walaupun pada prinsipnya kita setuju," antara lain Suma Kian Bu berkata
kepada isterinya. "Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan bersihnya cita-cita itu.
Pula, aku harus ingat ke-pada keluarga Pulau Es dan minta pendapat me-reka lebih dulu."
Isterinya setuju. "Memang, akupun merasa kha-watir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita
berunding dulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana
dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di kota raja."
Demikianlah, suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula
mereka mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penu-turan adiknya, Suma Kian Lee
terkejut sekali.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
701 "Bu-te, masalah ini gawat sekali!" kata Suma Kian Lee. "Memang aku sendiripun dapat
mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan Bangsa Mancu.
Akan tetapi urus-an besar itu tidak dapat dilukukan secara begitu sembrono. Apalagi kita
sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapapun juga, nenek--nenek kita adalah
wanita Mancu, walaupun kita tahu bahwa enci Milana dan suaminya juga tidak suka akan
penjajahan bahkan enci Milana tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri
bersama suaminya. Sebaiknya kalau kita bica-rakan hal yang amat gawat ini dengan Cin
Liong. Engkau mengenal dia. Biarpun dia seorang jende-ral dan panglima perang di kota raja,
akan tetapi dia adalah seorang pendekar."
Demikianlah, mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka,
berang-kat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja me-reka berjumpa dengan Kao Kok Cu
Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Mi-lana bersama suaminya,
pendekar Gak Bun Beng yang sudah hampir tujuh puluh tahun usianya, ber-ada pula di kota
raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau Es itu berkumpul.
Dengan hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah gedung Jenderal
Kao Cin Liong dan dia menceritakan tentang per-temuan para pendekar di Hutan Cemara
untuk merencanakan pemberontakan menggulingkan pe-merintah penjajah. Tentu saja berita
ini amat me-ngejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, teruta-ma sekali amat mengejutkan
hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.
Jenderal muda ini mengangguk-angguk. "Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu
bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya melihat
adanya penja-jahan. Akan tetapi, dengan jalan mengabdi peme-rintah dan melakukan tugas
dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan ke jalan yang benar dan tidak
menindas rakyat. Saya bi-ngung sekali, tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi
berita ini."
"Biarlah kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu," kata Suma Kian Bu.
"Sete-lah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap apa yang
harus kita ambil."
Puteri Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar
dan gagah itu lalu bicara, suaranya halus akan tetapi tegas. "Kita anggauta keluarga Pulau Es
harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga berdarah Mancu. Akan tetapi
dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai oleh keturunan atau bangsa. Yang
penting adalah rasa keadilan dan kegagahan, dan harus bertindak bi-jaksana. Urusan ini bukan
urusan yang remeh, melainkan gawat sekali. Kalau sampai terjadi pem-berontakan dan
perang, hal ini bukan hanya men-jadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh
rakyat akan terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini
bukan berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air daripada
penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut kehidupan
rakyat jelata."
Setelah mengadakan perundingan dan mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-
masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokkan harinya, Suma Kian Bu dan Suma
Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk melakukan
penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka melihat sendiri
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
702 bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah air dari ta-ngan
penjajah Mancu itu.
Demikianlah, dengan jalan menyelinap diantara para pendekar yang memenuhi Hutan
Cemara, -dua pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya
pertemuan dan mereka -menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh
Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan -Thian-li-pang. Akhirnya, melihat Ceng Liong maju menentang
tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang
menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya ini mempergunakan
keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi hajaran keras kepada tiga orang
tosu Pek-lian-kauw itu.
Dengan girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi
sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam hutan itu
dike-jutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup dengan gencar. Semua
orang me-mandang ke sekeliling dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat
bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak sekali pa-sukan tentara penyerintah!
Hutan Cemara itu su-dah dikepung, mungkin oleh ribuan orang tentara!
Bagaimanakah tempat itu begitu saja dikurung oleh ribuan orang tentara" Demikian para
pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar mengenal dua
pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka terdengarlah teriakan-teriakan yang
dipelopori olehi Ci Hong Tosu yang sudah sadar kembali dari keadaanaya seperti anjing
tadi. "Pengkhianatan! Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk
mengepung kita!"
Teriakan-teriakan kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma
Kian Bu dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar tergugah oleh teriakan Ci Hong
Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pu-lau Es dengan alis berkerut.
Sebenarnya, apakah yang telah terjadi" Benar-kah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para
pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu" Seperti telah kita ketahui, hal itu sama sekali
tidak benar. Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan
mereka datang untuk menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan. Akan
tetapi, bagaimana tiba--tiba pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu telah mengepung
tempat itu" Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat" Juga tidak! Bi-arpun dia
merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi diapun berjiwa pendekar dan ti-dak
mungkin mau melakukan kecurangan dan peng-khianatan seperti itu terhadap para pendekar.
Lalu siapa pengkhianatnya" Kiranya tidak su-kar untuk menebaknya. Tentu saja, yang
menjadi pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan, laki-
laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat dari para
pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun, seorang panglima di
kota raja yang juga mempu-nyai ambisi besar untuk bersekutu dengan para pemberontak.
Seperti kita ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai
yang menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga
men-jadi anggauta para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan Cemara.
Tek Ciang bukan hanya merampas surat, akan tetapi bahkan memperkosa Can Kui Eng dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
703 kemudian dia mem-bunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sutenya sendiri itu, kemudian
menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada pimpin-an Kun-lun-pai
sebagai pemerkosa dan pembu-nuh Can Kui Eng! Setelah berhasil mengelabuhi para tosu
Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin--liong Ho-kang, Tek Ciang lalu menjanjikan un-tuk
mencari kitab itu dan pergilah manusia berhati kejam ini ke kota raja.
Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek Ciang berhasil juga dihadapkan
ke-pada kaisar dan dia melaporkan tentang pemberon-takan itu, menyerahkan suratnya kepada
kaisar. Tentu saja Kaisar Kian Liong merasa terkejut dan marah bukan main. Dia selalu
bersikap baik dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama
sekali bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak
kepadanya! Dengan kemarahan me-muncak, kaisar itu lalu memerintahkan pengawal pergi
menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hari itu
juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja ketika mendengar berita bahwa
Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan atas perintah kaisar sendiri!
Kaisai lalu memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang
mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar me-nyuruh baca surat dari para pendekar yang
ditu-jukan kepada Panglima Gan itu. "Sekarang juga kita harus mengirim pasukan besar ke
Hutan Ce-mara, menangkapi semua pemberontak laknat itu. Panggil Jenderal Kao, dialah
orangnya yang akan memimpin pasukan menangkapi para pemberon-tak!" bentak kaisar.
"Harap paduka sudi mengampunkan kelancang-an hamba, akan tetapi hamba rasa menyuruh
jen-deral itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak tidaklah tepat, sri baginda!"
Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang ber-ada di situ terkejut. Orang ini
sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri bagin-da kaisar. Akan tetapi
Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek Ciang, tidak menjadi
marah, hanya merasa heran.
"Louw Tek Ciang, apa maksudmu dengan ucap-anmu itu" Jenderal Kao Cin Liong adalah
seorang panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang akan
mampu menan-dingi para pendekar!"
"Ampun, sri baginda. Hamba berani mengemu-kakan pendapat hamba atas dasar perhitungan
yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari para
pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana. Seperti paduka
ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari seorang pendekar Pulau Es. Maka kalau
dia yang memimpin pasu-kan, hamba berani berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak
akan berhasil, mungkin malah gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol
dengan para pemberontak, atau seti-daknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih
tepatlah kalau paduka memerintahkan seo-rang panglima lain yang memimpin pasukan untuk
menyergap di Hutan Cemara. Adapun mengenai para pendekar di sana, hamba sendiripun
sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!"
Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Dia teringat akan permohonan
jenderal Kao Cin Liong untuk mengurdurkan diri. Sudah pernah jenderal muda itu mohon
agar di-perkenankan mengundurkan diri meninggalkan jabatannya, akan tetapi dia
menahannya. Dan seka-rang ada pemberontakan para pendekar itu!"Baiklah, kami akan
mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu. Jenderal Cao, bersiaplah
dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu, tangkap semua pemberontak. A-kan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
704 tetapi sebelumnya, kaucoba dulu Louw Tek Ciang ini apakah cukup tepat untuk
membantumu, apakah benar dia ada kepandaian ataukah tidak."
Jenderal Cao Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun. Selain


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai tenaga besar. Pernah dia
belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai dan karena itu dia cukup lihai. Setelah
menerima perintah kaisar, Jenderal Cao Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada
kaisar dan meng-hadapi Louw Tek Ciang yang masih berlutut.
"Louw-sicu, mari kita mentaati perintah sri baginda."
Tek Ciang berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar
dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan
di-tonton oleh kaisar dan para hulubalang.
"Louw-sicu, sambutlah seranganku ini!" Jen-deral Cao Hui menggerakkan kedua tangannya
mengirim serangan sambil mengerahkan tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji,
maka dia-pun hanya ingin menguji kecepatan dan kekuatan orang yang melapor tentang
adanya pemberontak-an dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.
"Ciangkun, maafkan saya!" jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan
me-nyambut serangan panglima itu. Gerakannya ini cepat bukan main dan ternyata kedua
telapak ta-ngannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.
"Plakk!" Tubuh jenderal yang tinggi besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung,
sedangkan tubuh Tek Ciang sebaliknya sedikitpun tidak ter-guncang. Tentu saja jenderal itu
menjadi terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan main.
Mereka mengenal jen-deral itu sebagai seorang yang memliki tenaga raksasa, akan tetapi kini
beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan terhuyung sedangkan pemuda itu sendiri tak
tergoyah sedikitpun! Baru segebrakan itu saja sudah membuktikan bahwa pe-muda itu
memang sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal inipun diketahui oleh Cao-goanswe,
maka diapun berlutut lagi memberi hormat kepada kaisar.
"Harap paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini boleh diandalkan
un-tuk membantu hamba dalam penyerangan itu."
Kaisar Kian Liong juga bukan seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di waktu mudanya
kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau dan berkenalan dengan orang-orang
kang-ouw. Oleh karena itu, sekali melihat pertan-dingan tadi, walaupun hanya segebrakan,
namun dia sudah tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang yang memiliki kekuatan lebih
besar dari pa-da jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar Kian Liong menjadi girang sekali dan
segera memerintahkan jenderal Cao dibantu oleh Tek Ciang untuk segera berangkat
mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada waktunya dapat melakukan pengepungan dan
penyergapan. Berita tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan ditangkapnya Gan-
ciang-kun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal Kao Cin Liong. Jenderal muda ini
terkejut bukan main, apalagi mendengar bahwa pasukan itu su-dah berangkat pagi-pagi sekali.
Dia cepat mem-beritahukan hal ini kepada isterinya dan ayah ibu-nya yang masih berada di
rumahnya, juga kepada Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Mendengar ini, keluarga inipun
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
705 terkejut sekali. Para pendekar itu harus diselamatkan, apalagi diingat bahwa Suma Kian Lee
dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu.
Maka, berangkatlah mereka dengan cepat menge-jar pasukan pemerintah agar dapat tiba di
hutan itu lebih dulu daripada para perajurit pemerintah.
Kita kembali ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu sudah dikepung pasukan
yang besar, sebagian menjadi panik juga. Akan te-tapi Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan
dan berseru. "Harap saudara sekalian tenang dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian
pertama bagi kita dan demi perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan
nyawa!" Ucapan ini disambut dengan gembira dan bang-kitlah semangat para pendekar itu. Mereka
sudah mencabut senjata masing-masing dan siap meng-hadapi serbuan pasukan besar yang
sudah me-ngepung hutan itu.
"Kita berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan mereka dan membuka jalan
darah untuk menyelamatkan diri!" kembali Sim Hong Bu berseru dan ternyata dalam keadaan
terancam bahaya itu pendekar ini memperlihatkan ketenang-an, ketabahan dan kepandaiannya
untuk memim-pin.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring. "Tahan dulu....!" dan muncullah Kao Cin
Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing
mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua agar tenang. "Saudara-saudara,
dengarlah dulu sebelum turun tangan!"
Yang bicara ini adalah Puteri Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih
ang-gun dan gagah, suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan
memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat me-reka ini, Suma Kian Lee dan
Suma Kian Bu ber-sama isteri mereka juga bergabung.
"Siapakah mereka itu....?" Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih berdiri di
dekat-nya. Ceng Liong juga terkejut melihat hadirnya semua keluarganya itu. Dia melihat
betapa Ciang Bun juga kini sudah menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah
keluarga para pende-kar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar per-tanyaan kekasihnya,
Ceng Liong menjawab lirih.
"Mereka adalah keluarga para pendekar Pulau Es...."
"Ahhh...." Yang mana ayahmu dan ibu-mu....?" gadis itu bertanya penuh kagum karena
rambongan itu memang nampak gagah perkasa.
"Itulah ayah dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman
Suma Kian Lee dan isterinya."
"Siapakah orang gagah berpakaian panglima itu?"
"Dia itu kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui, isterinya. Dan kakek
berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya pula...."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
706 "Ahh....!" Bi Eng tiada hentinya mengeluarkan seruan kaget dankagum. Ia sudah pernah
mendengar nama-nama itu disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru sekarang ia dapat
melihat mereka semua.
Munculnya keluarga para pendekar Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang,
terutama sekali mereka yang sudah mengenal beberapa di antara anggauta keluarga itu.
Pimpinan Pek-lian--kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan, mengenal
pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka. Ci Hong Tosu bang-kit dan
mengangkat tongkatnya sambil berseru. "Mereka adalah keluarga Pulau Es! Mereka sudah
mengkhianati kita! Me
Harpa Iblis Jari Sakti 14 Bara Naga Karya Yin Yong Hati Budha Tangan Berbisa 7
^