Kisah Pendekar Bongkok 15

Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


adang me-nangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan kata-kata yang tidak jelas bahkan ti-dak karuan. Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa ia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang jembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa se-makin jijik karena ulahnya. Tak seo-rang priapun yang dapat merasa terta-rik oleh seorang perempuan seperti wa-nita gila itu. Mereka Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 355
bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apak itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wani-ta gila itu akan merangkul mereka!
Ia makan apa saja yang ia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggal-kan para nelayan.
Ada kalanya ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.
Tak seorangpun tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakon seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan.
Dan tak seo-rangpun tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi jembel menjijikkan! Ia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yanig telah yatim piatu itu. Ia tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walaupun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan kembali menjemputnya. Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili dan pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicin-tainya!
Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang wanita yang lemah, apa lagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu le-bib besar lagi mengancm dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pa-kaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia sengaja bergaya seperti orang gila yang menjijikkan dan menakutkan. Dengan cara demikian, benar saja tidak seorangpun pria sudi mendekatinya, apa lagi mengganggunya. Ia berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang. Akan tetapi makin hari semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Untuk bertanya-tanya, ia ti-dak berani karena ia maklum bahwa Pen-dekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu menangis dengan sedih, akan tetapi ka-lau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu memaksa diri untuk terta-wa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia disangka gila dan bebas da-ri gangguan orang.
Makin hari ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tidak mungkin dapat melupakan-nya dan meninggalkannya begitu saja. Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggugnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.
"Liong-ko.... ah, Liong-koko.... engkau berada di mana" Apakah engkau tidak merasakan di hatimu betapa aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkan-mu, betapa aku merindukannu"
Liong-koko...." demiklan ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya.
Setiap hari ia mangharapkan. Kalau matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, iapun mengharap bah-wa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu. Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, di lingkungan yang keras dan sukar, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya o-rang yang tidak pernah hidup dalam ke-kurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di mana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di guha-guha, di bawah pohon di balik semak belukar. Mula-mula ia merasa takut sekali, akan tetapi lam-bat laun rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 356
Pada senja hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah guha di tepi tela-ga. Guha kecil yang tertutup pohon dan ilalang, enak untuk melewatkan malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam. Tubuhnya terasa nyaman karena sore tadi seorang pelancong sekeluarga yang membawa me-kanan dan makan di tepi telaga, membe-rikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cu-kup banyak. Ia makan dengan gembiranya.
Karena perutnya kenyang, dan ha-rapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang dan siapa tahu di antara mereka terdapat Sie Liong. Karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya segar, malam itu iapun tidur nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong. Kalau ada yang dekat dengan guha kecil itu tentu dia akan mendengar betapa dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis kebahagiaan yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam mimpi!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, ia hendak membersihkan badannya pada bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih.
Bahkan setelah mencuci muka, segera ia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur! Ketika ia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba ia melihat bayangannya sendiri. Hampir ia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demiktan buruknya!
Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya! Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan ka-lau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru
membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya audah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main! Tidak, Sie Liong tidak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling pa-danya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!
"Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku...." keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh ia lalu meloncat ke dalam air yang amat di-ngin itu! Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah te-rendam air. Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah-olah ia hendak mandi sebersih-nya untuk menyambut perjumpaannya de-ngan Sie Liong. Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia me-nanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali.
Tubuhnya yang padat dan ranum, biarpun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis seperti tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan teru-rai panjang dan halus, dibiarkan teru-rai di depan tubuhnya menutupi payuda-ranya yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Dalam kegembiraannya karena ia hanya membayangkan pertemuannya yang a-mat
membahagiakan dengan Sie Liong, Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu betapa tak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalam suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam. Ketika mereka lewat dekat guha kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya berdiri bengong, terpukau seperti telah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.
"Gadis.... gila itu....!" bisik seorang di antara mereka.
"Benar, gadis gila. Lihat ia men-cuci pakaiannya yang butut."
"Tapi.... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu! Ah, betapa menarik dia."
"Benar! Lihat dadanya itu.... hemmm....!"
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 357
Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke ka-nan kiri. Setelah melihat bahwa di se-kitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat.
Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup ram-but panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia
melangkah ke arah guha-nya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangan-nya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!
Ling Ling membuat api unggun di dalam guhanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuh-nya yang agak kedinginan, akan tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang Cuma satu-satunya itu. Pakai-an itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walaupun butut tidaklah se-kotor tadi. Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pu-la, ia membeberkan pakaiannya dekat a-pi agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi "kegi-laannya".
Tiba-tiba in terbelalak dan ter-pekik ketika tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki guhanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menu-tupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti ma-ta seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau. Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukanlah penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita. Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala.
Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, jembel gila menjijikkan, yang biasanya mereka hindari, kini ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang indah menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebutan menguasai hati dan pikiran. Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbanganpun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.
"He-he, engkau cantik menggairahkan!" kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
"Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila....! Jangan ganggu aku!"
Ling Ling berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya.
Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut
panjang halus itu. Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Namun, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu berahi mereka semakin berkobar. Mereka tidak perduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapapun dengan nekatnya Ling Ling meronta, apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar" Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kela-paran memperebutkan seekor kelinci i-tu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.
"Jangan....! Lepaskan aku.... Aku orang gila, aku jelek.... aahhh.... toloooooong....!"
Seorang di antara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia sudah ditelentangkan di lantai guha dan seorang di antara tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam guha.
"Aduuuhh....!"
"Auhhh....!"
"Heiii, aduhh....!"
Demikian cepat terjadinya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 358
tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan merekapun seperti terseret keluar dari dalam guha sambil mengaduh-aduh.
"Aku gila.... Jangan ganggu aku,..... aku jelek dan gila....!" Ia cepat meraih tanah dari sudut guha dan melumuri muka dan semua tubuhnya de-ngan tanah basah itu, juga rambutnya, bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding guha yang lembab, kemudi-an ia mengenakan kembali pakaiannya, dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berte-riak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, mem-buat kedua lengan mereka seperti lum-puh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam guha dengan kasar.
Mereka meronta dan beru-saha melepaskan diri, namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama ku-lit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan di-am saja diseret keluar dari dalam guha lalu terus diseret sampai jauh dari guha. Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok, dan orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka bertiga menja-di satu dan menyeret mereka dengan ri-ngan saja!
Melihat bahwa yang menyeret mere-ka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga o-rang pemuda itu menjadi marah sekali.
"Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!" teriak mereka.
Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas i-ngatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teri-ngat pula mengapa lengan kirinya bun-tung. Dia mulai teringat semuanya. Ta-di, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong. Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-he-ran, tubuhnya berkelebat dan ketika dia memasuki guha kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meron-ta-ronta, dia lalu turun tangan. De-ngan ketukan perlahan saja, mengguna-kan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong su-dah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka keluar dari dalam guha.
Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Ti-ga orang
pemuda nelayan itu berloncat-an berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi.
Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan. Tanpa banyak cakap lagi, tiga orang pemuda itu me-nerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan mereka itu penuh kemarahan.
"Ehhh....?" Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada di belakang mereka. Mereka ber-gerak untuk menyerang lagi, akan teta-pi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga orang itupun terjengkang, terban-ting keras!
"Hemm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!" terdengar Sie Liong berkata lirih.
Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 359
bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher dan mereka merasa seperti disambar petir. A-khirnya, tiga orang itu menjadi keta-kutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
"Ampunkan kami...., taihiap, ja-ngan bunuh kami....!" Mereka berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan alisnya. "Kalian penjahat atau perampok?" tanyanya ragu karena dia melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
"Ampun, taihiap, kami.... kami bukan penjahat.... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala i-kan...."
"Huh, kalian jahat!" kata Sie Li-ong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. "Pergilah!" Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemu-da berandalan tadi, maka kakinya me-langkah perlahan menuju ke guha kecil di tepi telaga.
"Jangan ganggu.... aku jelek.... aku gila.... aku kotor, heh-heh-heh.... hi-hi-hik, jangan ganggu aku...."
Terdengar suara wanita itu dalam guha itu. Sie Liong cepat menyelinap di ba-lik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari guha dan alisnya berkerut. Seorang wanita jembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi! Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi" Gilakah mereka itu" Bagaimana mungkin ada pria yang bang-kit gairah berahinya melihat wanita jembel gila yang menjijikkan ini"
"Hi-hi-hik, aku gila.... ha-ha.... jangan ganggu aku.... ah, jangan ganggu aku....!" Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya menjadi jembel gila lagi, baru ia berani keluar dan un-tuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan teta-pi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawa-nya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan! Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teri-ngat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya.
Sementara itu, Sie Liong dari tempat pengintaiannya tadinya juga mengi-ra bahwa wanita itu memang jembel gi-la. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, kemudian menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis seseng-gukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut. Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru aseli! Dia mendengarkan dengan ketajam-an pendengarannya ketika wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
"Hu-huu.... Liong-ko.... ahhh, Liong-koko.... uhu-hu-hu.... kenapa engkau begitu tega....
Liong-ko.... uhu-huuu.... kalau ada engkau, tentu tidak ada.... yang berani mengangguku....
aih, Liong-koko.... di mana engkau....?"
Sie Llong merasa seperti kepala disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur ke arah wanita yang berlutut sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, diangkatnya mukanya lalu tangan yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka.
Dipandangnya muka yang kotor i-tu. Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.
"Ling-moi....! Ling Ling.... ah, Ling Ling.... kenapa engkau jadi begini....?" Sie Liong berlutut.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 360
Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali, diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah lengan kiri yang buntung.... lalu ke arah wajah itu kembali.
Mata-nya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes tu-run, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara.
"Liong-ko...." Engkau.... engkau...." matanya memandang lengan kiri yang buntung. "....
engkau Liong-koko....?"
"Ling-moi, ini aku, Sie Liong...."
"Liong-koko....!" Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.
"Ling-moi, ah, Ling-moi.... kaumaafkan aku, Ling-moi....!" Sie Liong merangkul dan mencimm pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu.
Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya. Dan agaknya, dangan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.
Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di a-tas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Ling Ling siuman kembali dan begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, ia sudah berseru gelisah, "Liong-ko, di mana engkau....?" Dan ia- pun serentak bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya dari sam-ping. "Aku di sini, Ling Ling...."
Ling Ling menoleh. "Aihhh, Liong-koko.... engkau benar Liong-koku....!"
Ia merangkul dan menangis seaunggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan ia melepaskan semua kegeli-sahan dan
kedukaan yang diderita sela-ma ini agar larut bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengang-kat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya ti-dak begitu pucat lagi dan matanya ki-ni bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi. "Liong-koko, kenapa eng-kau pergi begitu lama" Ah, Liong-ko-ko, jangan kau tinggal aku lagi. Lebih baik aku mati saja daripada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko...." Tiba-tiba in teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajah-nya pucat kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menang-kap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu. "Liong-ko.... di mana lengan kirimu" Liong-koko, apa yang terjadi...." Engkau....
lengan kirimu.... buntung....?"
Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia kehilangan lengan kiri, akan tetapi diapun sebagai gantinya mendapatkan ilmu yang amat hebat, sehingga kini dia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat dibanding-kan sebelum kehilangan lengan kirinya. "Aku terjebak oleh musuh ketika melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu dengan-mu."
"Liong-koko.... ah, Liong-koko, kasihan sekali engkau...." gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu. Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah hendak membersihkan lu-ka itu dengan air matanya.
Sie Liong merangkulnya dengan terharu. "Ling-moi, kenapa engkau masih selalu
mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku" Lihat baik-baik, aku seo-rang laki-laki yang cacat Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 361
ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kaulihat pada diri seorang cacat seperti aku" Apa yang kauharapkan dari seorang seperti aku?"
"Liong-koko, aku.... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya laki-laki yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingmu koko, tentu saja.... kalau.... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula."
"Ling Ling...." Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh
kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang matanya, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya. "Ling Ling, akupun cinta padamu. Aku.... aku ingin memperisterimu...."
"Liong-koko! Betapa bahagia hati-ku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh
mendampingimu selama hidupku!"
Sie Liong tersenyum. "Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap."
Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia bangkit, terse-nyum penuh
kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayang-kan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, dan tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.
Tak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biarpun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi ti-dak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul.
Ka-rena Sie Liong sendiri juga belum sem-pat berganti sejak keluar dari dalan kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ter-noda lumpur.
Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lasha sambil bercakap-ca-kap Ling Ling menceritakan semua pengalamannya, betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa menyamar sebagai seorang jembel gila untuk meng-hindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, presis seperti yang telah didu-ga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
"Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang jembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?" Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu. "Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko.
Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti jembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki guha. Agaknya, ketika man-di itu, mereka telah melihatku, dan ketika aku memasuki guha, mereka lalu menyerangku dan hendak
memaksaku...."
"Ah, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkah-Nya kepada kita!" seru Sie Liong dan gadis itu demikian terheran sehingga ia ber-henti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan heran.
"Berkah" Koko, engkau nyaris te-was, lengan kirimu buntung, dan aku menderita sengsara, menjadi jembel gila kemudian nyaris diperkosa orang, dan engkau mengatakan bahwa kita berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkah-Nya?"
Sie Liong juga memandang kepada kekasihnya dan tersenyum sambil meng-angguk. "Benar, Ling-moi. Itulah ber-kah-Nya. Bagaimanapun juga ternyata ki-ta berdua masih selamat dan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 362
masih da-pat saling bertemu, dan yang lebih membahagiakan lagi bagiku, biarpun kini lengan kiriku buntung, engkau masih tetap mencintaku."
"Liong-koko...." Ling Ling berkata penuh haru. "Sampai matipun cintaku kepadamu tidak akan pernah berku-rang, apalagi hilang. Akan tetapi pendapatmu tentang berkah Tuhan itu sung-guh membingungkan hatiku. Jelas bahwa kita berdua baru saja tertimpa kesengsaraan, dan engkau masih menganggapnya sebagai berkah."
"Betapa tidak, Ling-moi" Kita hi-dup di dunia inipun merupakan berkah Tuhan! Lihat saja sinar matahari yang menghidupkan, hawa udara untuk berna-pas, lihat air, angin dan tanah yang menumbuhkan segala keperluan hidup ki-ta! Lihat panca indria kita, mata, te-linga, hidung, mulut dan segala perasaan, masih dilengkapi lagi dengan hati akal pikiran. Semua itu berlimpah dengan berkah-Nya. Apapun yang terjadi kepada diri kita sudah dikehendaki o-leh Tuhan! Dan segala kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan segala kehendak Tuhan merupakan berkah. Otak kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengukur, untuk menilai, untuk membuka tabir raha-sia yang menyelubungi pekerjaan yang dilakukan kekuasaan Tuhan. Akal pikir-an kita bergelimang nafsu daya rendah, maka apabila kita menilai, penilaian itupun bergelimang nafsu dan tentu saja hanya ingin senang sendiri. Penilaian seperti itu menimbulkan baik buruk, untung rugi. Kita tidak tahu apakah ar-tinya suatu peristiwa yang menimpa di-ri kita. Yang nampak buruk belum tentu buruk, mungkin mengandung hikmah, me-ngandung berkah tersembunyi. Yang nam-pak baik belum tentu seperti yang di-nilainya, mungkin mengandung ancaman. Jadi, apapun yang terjadi pada diri kita, mari kita serahkan kepada kekuasa-an Tuhan dengan penuh kepasrahan, dan mari kita bersukur dan berterima kasih kepada Tuhan."
Ling Ling hanya mengangguk, akan tetapi ia masih bingung untuk dapat menerima maksud dari ucapan itu.
Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walaupun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.
"Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu ke mana ia pergi. Sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan.... ih, pakaiannya seperti ini...."
Sie Liong tersenyum. "Kami tidak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, ke dua kalinya sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja."
"Liong-koko! Apa artinya kata-ka-tamu ini" Engkau.... hendak menitipkan aku.... hendak meninggalkan aku lagi?" suara itu sudah mengandung isak dan wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes.
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili. "Pergilah, bibi. Ca-rikan beberapa pasang pakaian untuk a-ku dan Ling-moi. Jangan khawatir, ka-lau urusanku sudah selesai, pasti har-ganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan tinggalnya Ling-moi di sini."
"Aih, tidak usah sungkan, taihi-ap. Keponakanku pemilik rumah makan i-tu akan memberikan uang berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu." Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling,
dirangkulnya gadis yang masih nampak ge-lisah itu.
"Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 363
aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itulah terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu kembali."
"Akan tetapi, Liong-ko.... setelah apa yang kita alami selama i-ni, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi" Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?"
"Aku dapat menjaga diri, Ling Ling. Andaikata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan engkau atau aku atau siapapun juga tidak akan mampu mencegah-nya."
"Biarpun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus matipun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku re-la! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku...."
Pada saat itu, seorang anak laki--laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya se-bagai anak laki-laki yang suka disuruh suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
"A-kian, ada apakah?" tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
"Ci-ci.... celaka, cici.... bibi Cici.... bibi.... Cili...."
"Ada apa dengan bibi Cili?" Sie Liong bertanya kepada anak itu.
"Ia.... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta dan dilarikan keluar kota...."
Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu anak buah Kim-simpang yang agaknya tahu a-kan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
"Ling-moi, aku harus menyelamat-kan bibi Cili...." katanya dan sebe-lum Ling Ling mampu menjawab, Sie Li-ong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu ten-tu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia
ketakutan dan bersembunyi ke dalam rumahaya sendiri. Ling Ling du-duk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya. Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, tentu pendekar itu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar! Ia telah terlalu mementingkin diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyara-kat, milik mereka yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh ber-kelebatnya bayangan orang. Tadinya de-ngan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh. Ling Ling hendak menjerit akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang membawanya lari melalui pintu bela-kang dengan gerakan cepat sekali.
Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tak lama kemu-dian, tepat diduganya, dia melihat se-buah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota.
Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul dan sekali dia melompat, dia telah berada di de-pan kuda yang menarik kereta dan biarpun dia hanya mempunyai sebuah tangan saja, namun tangan yang mengandung tenaga dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan ke-luar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu melompat turun. Mereka bar-lima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! A-kan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya berputar seperti sebuah gasing.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 364
"Plak-plak-plak-plak-plak....!"
Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi. Sie Liong tidak memperdulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Bibi Cili duduk di dalam kereta ketakutan dan menangis.
Sie Liong membimbingnya turun dari kereta. "Jangan takut, bibi. Mari kita pulang," katanya.
Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepat-nya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia telah tertipu!
Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia menda-patkan sehelai kertas di atas meja, tertancap sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dibaca tu-lisannya.
Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama Sie Liong mengepal surat itu da-lam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar
mencorong dan dia berkata lirih, "Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!" Dan tubuhnya berkelebat le-nyap dari depan bibi Cili yang menjadi semakin ketakutan.
*** "Omitnhud.... sampai sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama"
Kalau begitu, demi kea-manan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami harus mengambil tindakan."
Dalai Lama bicara dengan nada su-ara serius, setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang meng-hadap bersama Sie Lan Hong. Setelah mereka meninggalkan kuburan, di mana me-reka melihat kuburan Sie Liong meledak dan melihat Sie Liong yang kini buntung lengan kirinya itu membunuh Thai-yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali. Dalai Lama adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang dikuasai amarah.
Akan tetapi mendengar laporan dari Lie Bouw Tek tentang perbuatan Kim Sim Lama yang sengaja melempar fitnah kepadanya, apa lagi mendengar betapa Kim Sim Lama kini
membentuk gerombolan pemberontak dan bar-buat kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja.
Dalal Lama lalu memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie Bouw Tek kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak o-rang pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan untuk ikut dalam pe-rundingan itu, karena pendekar Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar memberi keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama.
Tidak kurang dari duapuluh empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Konga Sang sendiri, memimpin kurang le-bih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke sarang Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para pimpinan. Dan di belakang, menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak menuju ke sarang itu pula, mengam-bil jalan lain untuk melakukan penge-pungan.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 365
Di pihak Kim-sim-pang juga para pimpinannya membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk menghadapi Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para
penyelidik bahwa Thai-yang Suhu tewas dan berada di dalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah ko-song, sedangkan Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para pe-nyelidik untuk mencari di mana adanya Pehdekar Bongkok.
Para penyelidik ini yang melihat kemunculan Pendekar Bongkok ketika dia menolong wanita jembel gila dari gang-guan tiga orang nalayan. Mereka mela-porkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang cepat mengatur siasat bersama pa-ra pembantunya yang lihai. Dia marah sekali mendengar bahwa Pendekar Bong-kok masih hidup dan dapat keluar dari dalam kuburan!
Bahkan telah membunuh Thai-yang Suhu! Tadinya, ketika mendengar bahwa mayat Thai-yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat Pendekar Bongkok lenyap, dia manduga bahwa ten-tu tokoh Kun-lun-pai itu yang melaku-kan pembunuhan terhadap pembantunya i-tu dan melarikan mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi, ketika dia mendengar laporan para anak buahnya tentang ke-munculan Pendekar Bongkok yang meno-long gadis jembel gila, dia terkejut bukan main. Dia segera memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.
"Ahh, bagaimana mungkin dia hidup kembali?" Thai Hok Lama, orang ke em-pat Tibet Ngo-houw dan ahli racun itu berseru. "Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun, akan teta-pi bagaimana mungkin dia hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas sela-ma beberapa hari" Ini tentu ada yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu tentu Camundi Lama!"
"Hemmm, benar sekali!" kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. "Kami memang sejak dahulu ti-dak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama.
Hanya karena dia pandai ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya."
Kim Sim Lama mengangguk-angguk. Diapun curiga kepada Camundi Lama. "Panggil
Camundi Lama ke sini!" teriaknya kepada pengawal.
Sementara itu, mendengar akan lo-losnya Pendekar Bongkok, bukan main kaget dan
marahnya hati Coa Bong Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena rahasia-nya tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri. Dia telah membacok buntung lengan kiri pendekar itu, dan tentu dia tidak akan tinggal diam saja, dan tentu akan membalas dendam. Pendekar Bongkok harus didahu-lui!
"Locianpwe, Pendekar Bongkok harus dapat dibasmi, dan saya tahu bagaimana caranya!"
kata Coa Bong Gan. Yauw Bi Sian yang hadir di situ tidak ba-nyak bicara. Memang ia masih merasa menyesal bahwa calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia semangatnya lemah, dan pula bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok a-dalah pembunuh ayah kandungnya.
"Bagaimana cara itu?" tanya Kim Sim Lama, tertarik.
"Dia harus dipaksa datang ke si-ni. Saya akan memancingnya keluar dari rumah
pondokannya, kemudian saya akan menculik gadis jembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba di sini, mudah saja untuk membunuhnya!"
Kim Sim Lama tersenyum cerah. "Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kau-buntungi,
betapapun lihainya, dia ti-dak ada artinya lagi. Lakukanlah sia-sat itu sekarang juga!"
Coa Bong Gan cepat pergi sambil mengajak empat orang pendeta Lama, membawa pula
sebuah kereta kecil. Untuk memancing Sie Liong keluar meninggal-kan rumah bibi Cili, dia menyuruh em-pat orang pembantunya itu menculik bi-bi Cili di tempat ramai. Hal ini disengajanya agar Sie Liong diberitakan o-rang tentang penculikan itu. Dan tepat seperti yang telah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam rumah ketika mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang dipergunakan Bong Gan untuk mema-suki rumah dan menculik Ling Ling, sambil meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si Pen-dekar Bongkok.
Ketika Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengo-batan itu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 366
menghadap sambil tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lo-losnya Pendekar Bongkok dari dalam ku-buran. Tidak sia-sialah usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau Kim Sim Lama mencurigainya.
"Camundi Lama!" bentak Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. "Engkau
pengkhianat! Apa yang telah kaulakukan ketika engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?"
Camundi Lama tersenyum dan merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud....
pinceng (aku) hanya melakukan yang benar. Kim Sim La-ma, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan kejahatan. Engkaulah yang menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai La-ma, mengkhianati kebenaran, mengkhia-nati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah
terjadinya pembunuhan keji terhadap diri Pendekar Bongkok. Pin-ceng memasang tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia dapat bernapas melalui tabung."
"Keparat jahanam!" Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama juga marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu.
"Tangkap dia! Akan kusiksa sendi-ri dia sampai mati!"
Akan tetapi, ketika para pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa. "Ha-ha-ha, tidak perlu kalian repot-repot. Sekarangpun pinceng akan meninggalkan kalian o-rang-orang yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama, engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak ha-nya akan meracuni dirimu sendiri lahir batin."
Setelah berkata demikian, Ca-mundi Lama roboh dan ketika semua o-rang memeriksanya, dia telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang kerjanya halus namun pasti.
Ketika Coa Bong Gan datang memondong Ling Ling, Kim Sim Lama menjadi girang sekali.
"Ah, pantas kalau Pendekar Bongkok mencinta gadis ini," kata-nya sambil memandang Ling Ling yang nampak ketakutan. "Kiranya gadis ini bukan jembel gila, melainkan seorang gadis yang cantik dan manis. Coa-sicu, biar kami serahkan gadis ini dalam pe-ngawasanau. Jangan sampai ia dapat lo-los sebelum Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan kami."
Coa Bong Gan mengangguk girang dan membawa Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi
Sian hanya memandang dengan a-lis berkerut, namun tidak perduli. Kini ia tidak perduli apa-apa lagi, ti-dak perduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya menjadi lemah karena ia selalu di-kuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat, ju-ga ahli dalam ilmu sihir. Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah gadis perkasa ini dikuasai ilmu sihir.
Akan tetapi, pada saat i-tu, hatinya sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau.
Sebagian ia merasa dendam dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia merasa iba. Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada rasa suka yang tim-bul dari nafsu berahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang pria yang cabul dan khianat, ber-main gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi
pemuda itu berada dalam keadaan ti-dak berdaya sama sekali.
Kini Kim Sim Lama, dan para pem-bantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan. Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tan-tangan Kim Sim Lama
untuk menyelamat-kan Ling Ling" Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini. Akan tetapi Bi Si-an sendiri diam-diam meragukannya. Be-gaimana Sie Liong akan berani datang" Selain Kim Sim Lama dan para pembantu-nya terlampau kuat bagi Sie Liong, ju-ga kini Pendekar Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga tentu saja kelihaiannya berkurang banyak!
Selain i-tu, mengapa pula pamannya itu akan ma-ti-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap" Bagaimanapun juga, ia ikut merasa tegang menan-ti kemunculan Sie Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 367
Liong, Si Pendekar Bongkok.
Akhirnya, saat menegangkan yang mereka tunggu-tunggu itupun tibalah. Dan munculnya Pendekar Bongkok sung-guh mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri.
Semenjak pencu-likan terhadap Ling Ling dilakukan dan semenjak kemunculan Sie Liong si Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua a-nak buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.
Akan tetapi betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantu-nya sedang duduk di dalam ruangan belakang, ruangan luas yang juga dipergunakan sebagai ruangan berlatih silat, duduk berunding untuk mengatur siasat kalau Pendekar Bongkok berani muncul, tiba-tiba saja terdengar suara keras pecahnya genteng di atas ruangan itu dan sesosok bayangan melayang turun dari atas, melalui atap yang berlubang. Dan bayangan ini bukan lain adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan kirinya!
Sie Liong kini yakin bahwa penga-lamannya di dalam kuburan telah menda-tangkan suatu tenaga sakti yang luar biasa baginya. Dia telah dapat menyerap tenaga sakti Intisari Bumi!
Dengan tenaga sakti yang dahsyat itu, dia mampu bergerak dangan kecepatan yang berlipat ganda dibandingkan sebelum dia menguasainya.
Karena itu, maka dia me-rasa yakin akan dirinya karena walaupun sebelah lengannya telah buntung, namun keadaannya jauh lebih kuat daripada sebelum lengan kirinya buntung.
Dengan tenaga sakti dahsyat itu, dia dapat bergerak ringan bagaikan burung sehingga dia mampu menyelinap cepat memasuki sarang para pemberontak itu tanpa diketahui para penjaga dan setelah mengetahui bahwa Kim Sim Lama dan para pembantunya berada di ruangan silat, diapun meloncat naik ke atas genteng, lalu memasuki ruangan itu memalui atap yang dijebolnya.
"Kim Sim Lama, aku telah datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!" kata Sie Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan pe-ngerahan tenaga sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu, mengandung tenaga yang menggetarkan i-si dada Kim Sim Lama dan para pembantunya.
Sikapnya tenang saja walaupun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di situ. Dan karena dia belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang melekat di tubuhnya masih pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong.
Sejenak, ucapannya itu bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan. Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya dan diapun mengeluarkan suara ter-tawa untuk mengusir ketegangan dan wi-bawa Pendekar Bongkok. Ketika tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang tertawa,
melainkan mengisinya dengan khi-kang, sehingga suara ketawanya juga bergema dan
menggetarkan jantung.
"Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung" Bagus sekali, engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku akan yakin bahwa engkau akan benar-benar mati, karena sekali ini kami tidak ingin gagal.
Engkau akan mati di tanganku sendiri!"
Biarpun menghadapi ancaman dan berhadapan dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang.
"Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling Ling, menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku datang. Nah, aku sudah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!"
"Orang she Sie yang sombong!" Ti-ba-tiba Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal berangasan itu sudah moloncat dan memaki. "Tidak perlu engkau menjual Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 368
lagak. Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw" Nah, kami berlima sudah berada di depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-ho-uw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa" Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!"
Empat orang saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biarpun pernah mere-ka berlima mengeroyok namun tidak da-pat memperoleh
kemenangan, dan baru setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong, akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pende-kar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu meroboh-kan dan
membunuh Pendekar Bongkok.
Sie Liong memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim
Lama. "Kim Sim Lama, apakah o-mongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat
kupercaya" Tibet Ngo-houw hen-dak mengeroyok aku, apakah engkaupun akan turun tangan lagi membantu mereka" Lebih baik dari sekarang berterus te-rang apakah engkau ingin maju sendiri dan mengeroyokku dengan semua pembantumu yang berada di sini" Dan
mengerahkan pula semua anak buahmu!" Sie Liong kini menyapa semua orang dengan
pan-dang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama! Ucapan ini mengobarkan kemarahan dalam hati Thay Ku Lama, orang perta-ma dari Tibet Ngo-houw. Memang dia ha-rus mengakui bahwa seorang diri saja, dia pernah dikalahkan Pendekar Bong-kok. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok kehilangan lengan kirinya! Ja-ngankan dia maju berlima, bahkan seo-rang diripun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!
"Pendekar Bongkok, dengarlah! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapapun! Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami.
Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar! Nah, terimalah....!" Thay Ku Lama meloncat ke depan, dan tiba-tiba dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan kemudian tiba-tiba saja dia meloncat ke depan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak ta-ngan ke arah dada Sie Liong! Sesungguhnya, orang-orang dengan kepandaian se-tingkat Tibet Ngo-houw ini sudah lang-ka sekali dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Ba-dai). Kekuatan yang luar biasa
terkum-pul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka terciptalah gerak serangan yang a-mat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke arah dada Sie Liong.
Sejak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan tangan kanannya menyambut.
"Desss....! Plakkk!" Lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan kilat ketika tangan kanannya menyambut serangan lawan. Pertemuan tenaga sakti yang amat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thai Ku Lama, dan pada saat itu, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah semua tenaganya membalik dan menghantam isi perutnya sendiri. Pada saat itu, nampak sinar putih menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 369
sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya meme-riksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas! Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di ta-ngan Pendekar Bongkok yang hanya memi-liki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja.
Empat orang pendeta Lama itu se-lain terkejut, juga marah bukin main. They Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya. Mereka berempat lalu
mengepung dan menerjang dengan ganas.
Somentara itu, Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh mengejukan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang per-tama Tibet Ngo-houw dangan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu. Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya.
Sebelum le-ngan kirinya buntungpun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru" Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat sejak Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Sagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya!
Akan tetapi, kini sepasang mata-nya terbelalak penuh kekagetan dan ke-heranan. Pendekar Bongkok memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung! Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya menggerakkan tangan kanan yang mendorong-dorong, dan le-ngan baju kirinya menyambar-nyambar. Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu dengan tangan ka-nan, dan setiap kali bertemu ujung le-ngan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya. Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah hendak menguji tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya membungkuk ke de-pan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu lu-rus ke depan. Tangan kanannya menceng-keram ke depan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, mem-bentuk garis lurus seperti seekor naga meluncur, tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor naga itu menyambar ke depan.
Terdengar suara bersiutan dan di-susul pekik dan robohnya ernpat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat be-tapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak bangun kembali karena ter-nyata mereka telah tewas! Juga para pembantunya yang lain terbelalak, ham-pir tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian singkatnya"
Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiripun akan sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bong-kok. Maka tanpa malu-malu lagi dia la-lu mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengero-yok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!
"Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!" bentak Sie Liong, bukan khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya me-lainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak memperdulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya baginya, apalagi sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 370
utamanya yang merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bunuh dia!" perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah. Semua pembantunya sudah menghu-nus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung.
Ia terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang dapat membunuh Tibet Ngo-houw sedemiki-an mudahnya. Pamannya yang telah bun-tung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti! Diam-diam ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang i-tu! Ia akan rela
mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihi-nya itu. Akan tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya, kini ia termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia telah bersumpah untuk membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pende-kar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belas-an orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita di luar sarang gerombolan pemberontak i-tu, disusul suara pertempuran besar.
Kim Sim Lama terkejut, apalagi ketika seorang perajurit tergopoh-go-poh melapor bahwa sarang mereka diser-bu oleh pasukan yang dipimpin oleh pa-ra pendeta anak buah Dalai Lama, Kim Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya! Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bi-ngung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu pasukan Dalai Lama sehing-ga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan yang tinggal di situ akhirnya ha-nya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas panjang.
"Bi Sian...." kata Sie Liong lirih.
Akan tetapi, saat itu, ketika me-reka berdiri hanya berdua saja di da-lam ruangan yang luas itu, Bi Sian teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok i-ni. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia meninggalkan ibunya, merantau sampai bertemu dengan Song Gan dan a-khirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan, sutenya sendiri.
Semua ini membuat ha-tinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya i-tu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!
"Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau ha-rus menebus nyawa ayah, Bersiaplah!" Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam. Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami encinya.
Percuma saja dia menyangkal.
"Bi Sian, tolonglah aku. Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya kemudian pergi dari sini."
Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru, "Suci, mari kita pergi!"
Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera menghampirinya.
"Lepaskan Ling Ling....!"
Bong Gan tersenyum mengejek. "Mundur kamu, bongkok! Atau.... akan kubunuh gadis ini di depan matamu!"
Mendengar ancaman itu, Sie Liong terkejut dan diapun menahan langkahnya. Dia dapat menyerang Bong Gan, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh Ling Ling. Melihat sutenya hendak men-jadikan gadis peranakan Tibet itu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 371
men-jadi sandera, Bi Sian mengerutkan alisnya.
"Sute, lepaskan gadis itu!"
"Aih, tidak bisa, suci! Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!" Tanpa malu-malu Bong Gan berseru.
"Pengecut!" Bi Sian memaki. "Aku-pun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie Liong. Biar a-ku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku.
Bebaskan gadis i-tu kataku!"
Bong Gan memandang dengan bi-ngung. Dia menoleh ke luar dan mende-ngarkan suara
pertempuran yang tengah berlangsung di luar. "Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong, janjilah lebih dahulu bahwa engkau tidak akan menye-rangku kalau aku bebaskan gadis ini!"
Tentu saja dia merasa takut karena ta-di dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat membunuh lima o-rang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia
bukanlah lawan Pen-dekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok, maka dia merasa jerih kalau-kalau Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong menatap wajah Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. "Ka-lau engkau tidak mengganggu gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau engkau mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke manapun engkau, akan
kukejar sampai dapat!"
Bong Gan bergidik melihat mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke arah Sie Liong. Ga-dis itu yang sejak tadi diam saja, ha-nya memandang kepada Sie Liong dengan suka pucat, terhuyung ke arah Sie Li-ong yang segera menyambut dengan rang-kulan penuh kasih sayang.
"Ling Ling...."
"Liong-koko.... ahh, Liong-koko....!" Dan tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas dada Sie Liong. Air matanya membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi, mem-buatnya
sesenggukan dan tersedu-sedu.
"Suci, mari kita pergi. Pertempuran terjadi di luar. Dalai Lama dan pa-sukannya telah menyerbu. Kalau terlam-bat, kita celaka!" kata Bong Gan.
"Pengecut, engkau boleh pergi. A-ku tidak akan pergi, aku harus memba-laskan kematian ayahku. Dia telah mem-bunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayah, aku akan mati pula di tangannya!"
"Bi Sian, aku tidak membunuh ayahmu...." Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu, membantah lemah.
"Tidak perlu bohong! Tidak perlu menyangkal, Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu" Sie Liong, engkau pembunuh ayahku, maka bersiaplah, mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!"
"Sie Liong bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!" Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dan muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
"Ibuuu....!" Bi Sian berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. "Ibu, apa artinya ucapanmu tadi?"
"Bi Sian, anakku. Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!"
"Ibu....!" Bi Sian memandang kepada ibunya penasaran. "Kalau bukan dia yang membunuh ayah, habis siapa?"
"Engkau mau tahu siapa pembunuh ayahmu" Dialah orangnya!" Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan yang se-ketika pucat dan terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet ke dinding.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 372
"Ibu, apa artinya ini" Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah" Bagaimana pula ini" Ibu, aku bingung, aku tidak mengerti...." Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk akal.
"Tidak benar, suci, itu fitnah saja!" Bong Gan mencoba untuk membantah, walaupun wajahnya sudah menjadi pucat sekali.
"Diam kau!" bentak Bi Sian. "Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat mengerti."
"Bi Sian, setelah engkau pergi, aku lalu melakukan penyelidikan tentang kematian ayahmu.
Dan hasilnya sungguh mengejutkan. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah pelesir, tempat para pelacur dan ayahmu di tempat itu minum sampai mabok. Akan tetapi, menurut keterangan para pelacur di sana, sebelum ayahmu tiba, di sana ada seorang tamu lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itu-lah yang telah membunuh ayahmu."
"Siapa...., siapa dia, ibu?"
"Tamu itu adalah dia, Coa Bong Gan ini!"
"Bohong!" teriak Bong Gan. "Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?"
"Hemm, apa perlunya?" Sie Lan Hong berkata. "Suamiku telah melihatmu di rumah
pelacuran. Dan engkau tentu merasa takut kalau sampai suamiku menceri-takan kelakuanmu yang hina itu kepada puteriku. Engkau jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan" Tentu engkau tidak ingin puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila di rumah pelacuran, maka engkau membunuh suami-ku yang sedang mabok. Dan untuk menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku dan melempar kedok itu di dekat kamar Sie Liong!"
"Aihh, pantas dia bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku. Tentu untuk menghilangkan sama sekali jejaknya." kata Sie Liong yang masih merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak memandang kepada Bong Gan, saking kagetnya, herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling meronta lepas dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucap-an Sie Liong.
"Liong-koko, jadi dia i-tulah yang telah membuntungi lenganmu" Keparat jahanam....!" Ling Ling berlari menghampiri Bong Gan dengan sikap seperti seekor singa betina yang hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.
"Ling Ling, ke sinilah....!"
Namun, seruan Sie Liong itu terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling dan menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang dengan sikap menantang. "Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!"
Melihat betapa Ling Ling kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang pedang masing-masing, tidak berani maju. Akan tetapi, Bi Sian tidak perduli. Ia melangkah mnju menghampiri sutenya, pe-dang Pek-lian-kiam masih di tangannya, matanya tak pernah berkedip, terbela-lak memandang kepada pemuda itu.
"Coa Bong Gan.... kau.... kau..... yang telah membunuh ayah?" katanya lirih, seperti orang bertanya juga seperti orang meragu dan tidak per-caya.
"Suci, mundur kau! Akan kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mun-dur!" bentak Bong Gan.
"Bunuh aku! Keparat jahanam kau! Bunuh aku!" Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah terlepas, ia ne-kat meneakar dan menggigit. "Hayo bu-nuh aku! Jahanam busuk kau, bunuh aku! Engkau telah membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku....!" Dan bagaikan gila Ling Ling menubruk ke arah pedang yang dipegang Bong Gan. Pemuda ini kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika dia hendak menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena tubuh gadis itu Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 373
meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling de-ngan nekat menubruk ke arah pedang.
Pedang yang runcing itu memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh. Bong Gan terbelalak dan meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya.
"Ling-moi....!" Secepat kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi datah. Sekali memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu.
Gadis itu dalam sekarat!
"Ling Ling.... ahhh, Ling Ling.... kenapa kaulakukan itu....?" Sie Liong menangis, mengguncang tubuh gadis itu dan menciumi mukanya.
Ling Ling menggerakkan bibirnya, berkata lirih. ".... aku.... aku lebih baik mati.... koko.... aku tidak berharga lagi.... dia.... dia telah monodaiku...." Dan iapun terkulai, tewas dan tak bernyawa lagi.
"Ling-moi.... Ling-moi....!" Sie Liong mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan di atas muka dan lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak perduli betapa pakaian dan tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka di perut Ling Ling. Dia merasa seolah-olah nya-wanya sendiri yang melayang. Baru dia menyadari betapa dia amat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya.
"Jahanam engkau, Coa Bong Gan!" sekali meloncat, Bi Sian telah berada di depan pemuda itu, sepasang matanya seperti dua bola api yang bernyala. "Engkau sungguh seorang manusia berha-ti iblis! Aku yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu
sebagai murid! Ternyata engkau lebih rendah daripada seekor binatang! Eagkau telah membunuh ayahku, engkau telah membuntungi lengan kiri tangan kiri paman Sie Liong!
Engkau telah menodai a-ku dengan tipu muslihat, kini aku ta-hu! Dan engkau masih begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawan-an. Coa Bong Gan, kalau aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!"
Kini Bong Gan kelihatan ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai sandera untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tak disangkanya, Ling Ling dengan nekat membunuh diri. Dia menolch ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu. Di situ telah berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk
menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang ditakutinya itu masih menangis sambil mendekap mayat Ling Ling! Kalau saja dia dapat merobohkan sucinya, masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri selagi Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakuti hanya Pendekar Bongkok. Biarpun dia tahu akan kelihaian sucinya, bagaimanapun juga dia sanggup menandinginya.
"Bi Sian, ingat, engkau sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia berdua...." Dia masih mencoba untuk membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk ke arah dada Bi Sian.
Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk membuat Bi Sian lengah dan hampir dia berhasil. Bi Sian yang mendengar ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong Gan menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia terkejut. Tidak ada kesempatan lagi untuk menangkis dan ia segera melempar diri ke samping untuk menghindar. Akan tetapi ujung pundak, pada pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang membuat baju dan kulit di bagian itu terobek dan berdarah.
"Jahanam!" Bi Sian memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya. Demikian marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya jerih itu, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan pedang yang seru dan mati-matian antara suci dan sute ini, antara dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri. Bi Sian menggerakkan pedangnya penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu
membunuh berko-bar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan peraaaan gentar dan bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan cukup lama agar memberi kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang membantunya.
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 374
Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik daripada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang di-bantu banyak pendeta Lama yang berke-pandaian tinggi. Dan anak buah pembe-rontak itupun sudah terhimpit oleh pa-sukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah karena tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku ma-yat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka meman-dang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mende-ngar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan. Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang a-kan menjadi korban kejahatannya. Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk mem-bantu Bi Sian. Dia dapat melihat beta-pa pemuda itu tidak akan mampu
menga-lahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di am-bang pintu untuk menghadang larinya Bong Gan, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu de-ngan mata basah dan wajah pucat.
Iapun merasa iba kepada puterinya. Puterinya telah ditipu oleh sutenya sendiri yang jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya telah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suami-nya. Ia dapat merasakan betapa pedih hati puterinya. Tadi ia hendak melon-cat dan membantu puterinya, akan teta-pi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun--lun-pai itu menggeleng kepalanya.
"Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah," demikian kata Lie Bouw Tek.
Dia sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan memban-tu Bi Sian, sebaliknya malah akan men-jadi penghalang gerakan gadis yang a-mat lihai itu. Namun dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan walaupun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh
walaupun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat. Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh se-rangan pertama yang curang. Kini pe-dang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan se-hingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin menyempit. Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di da-lam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka diapun melawan mati-matian dan dengan nekat.
"Haiiiittt....!" Untuk ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada pemuda itu.
Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga. Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melin-dungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya, pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan jurus pukulan Menghan-curkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya menghan-tam ke arah kepala Bong Gan!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 375
"Plakkk!" Biarpun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhaya terpelanting. Saat itu, Bi Sian menu-bruk dan melihat ini, Sie Liong berse-ru kaget dan heran.
"Bi Sian, jangan....!"
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melo-tot besar itu menusukkan pedangnya.
"Cappp....!" Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
"Bi Sian....!" Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.
"Ibu.... maafkan.... aku...."
"Bi Sian.... anakku....!"
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, diapun menarik napas panjang.
Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar menyelamatkan nyawa gadis itu.
"Bi Sian, kenapa kaulakukan i-tu?" tegur Sie Liong. Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang ta-di menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
"Aku.... untuk apa aku.... hidup lebih lama...." Paman.... kau.... kau mau memaafkan aku....?"
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu. "Tentu saja.... engkau keponakanku tersayang...."
Bi Sian tersenyum walaupun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya. "Paman.... kalau aku hidup.... aku hanya akan menderita siksa batin....
menyesali kebodohanku.... aku.... aku ingin mati.... akan kuceritakan kepada ayah.... engkau tidak membunuhnya, engkau.... engkau pamanku yang baik...."
"Bi Sian...." Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. "Sudahlah....
jangan banyak cakap.... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik...."
"Paman, engkau amat mencinta.... Ling Ling....?"
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat si-tu, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk. "Aku.... cinta padanya, Bi Sian. Aku.... aku cinta...."
"Dan.... aku" Kau.... sayang padaku, paman...." Bukan" Kausayang kepadaku....?"
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam se-hingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia
mengangguk-angguk saja mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
"Bi Sian anakku....!" Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
"Ibu.... katakanlah, engkau.... memaafkan aku, ibu. Paman.... paman Liong juga.... sudah memaafkan aku...."
Bi Sian merangkul di antara isak-nya ia berbisik. "Ibu memaafkanmu.... nak...." Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas terakhir.
"Bi Sian....!" Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.
*** Pertempuran telah selesai. Kim Sim Lama dalam keadaan luka-luka berat menjadi tawanan.
Dia akan menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 376
dikeram sampai akhir hidupnya. Dalai Lama sendiri da-tang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah dimasukkan peti mati dan disembahyangi.
Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan ta-nah kuburan, yang tinggal di situ ha-nya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan kedua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeram-kan. Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, sete-lah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan menge-nangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis rema-ja, dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai melahirkan Bi Sian.
Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara.
Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh.
Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya dan gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya. Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini ia hidup sebatangkara, dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa baha-gia dalam hidupnya" Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun. Alangkah jantannya pria itu. Dan ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita. Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat bagi seorang calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu a-rah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Betapa setiap orang manusia sela-lu INGIN menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan kepribadiannya. Betapa seti-ap orang manusia haus akan hal ini. Dari seorang kanak-kanak sampai tua ren-ta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua orang takut a-kan kehilangan arti dirinya, takut un-tuk menjadi sesuatu yang BUKAN APA-APA. Semua orang berlumba untuk menjadi apa-apa,
menjadi yang terpenting, terpan-dai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbul-kan konflik dan perebutan,
persaingan dan permusuhan antara manusia. Justeru keinginan untuk menjadi yang "ter"
inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang berar-ti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air suci tidak dapat memasukinya. Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak a-da, melainkan menerima apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih"
Mungkinkah membiarkan diri kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan cinta kasih Tuhan dapat memenuhi-nya" Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan penuh ketawakalan" Mungkinkah selagi hidup ini memiliki kerendahan Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 377
hati yang membuat kita sadar sepenuh-nya bahwa kita ini sesungguhnya "bukan apa-apa", bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan "aku" ini hanya-lah segumpal darah daging penuh nafsu daya randah" Mungkinkah membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang berasal dari Tuhan itu dapat memperoleh kembali hu-bungan kontak dengan Tuhan" Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melaku-kan ini, karena pikiran hanyalah alat, alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang nafsu daya rendah!
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Demikianlah hidup.
Semua itu hanya ba-yangan, seperti awan berarak di angka-sa, hanya selewat saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, ha-nya selewat. Bukan, bukan itulah hake-kat hidup.
Semua yang terjadi itu ha-nyalah permainan nafsu atas badan. A-khirnya, semua itu akan musna, seperti gelembung-gelembung udara dalam air. Apa yang dicarinya dalam hidup ini"
Dan apa yang telah diperolehnya selama i-ni" Hanya kepahitan, hanya penderitaan lahir batin.
Dia tidak perlu mencari apa-apa. Yang dicari itu semua bukan, hanya khayalan kosong belaka. Bayangan kesenangan hanyalah muka kembar ke dua dari kesusahan, mereka
nampaknya bertolak belakang, namun tak terpisahkan.
Apakah dia harus menjadi patah semangat, menjadi mandeg dan mogok, ma-las melanjutkan kehidupan" Tidak, sama sekali tidak! Bahkan dia harus dapat menikmati kehidupan ini, saat demi sa-at. Dia harus hidup sepenuhnya, selengkapnya, seutuhnya. Dia akan berjalan terus dengan tegak dan mantap, tak mengharapkan apa-apa di luar jangkauannya, menikmati setiap langkah hidupnya. -Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, patut disyukuri, tak perlu dike-luhkan. Kehendak Tuhan jadilah! Dia melangkah terus dalam kehidupan, dengan batin sepenuhnya menyerah kepada Tuhan. Kekuasaan Tuhan akan menggantikan hati dan akal pikirannya. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbingnya, dan kekuasaan Tuhan yang akan membebaskannya dari pada kekuasaan natsu daya rendah. Kekua-saan Tuhan yang akan membangkitkan jiwanya, sehingga dia akan hidup sebagai seorang manusia yang seutuhnya, bukan sekedar segumpal darah daging yang di-jadikan boneka oleh nafsu daya rendah.
"Sie-taihiap!"
Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan me-mandang. Lie Bouw Tek yang memanggil-nya. Dia mengerutkau alisnya, tidak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini da-tang bersama enci-nya, dan melihat pu-la betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi.
"Maaf, aku belum mengenal siapa toako...." katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil
mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu. "Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkan encimu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita...."
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika manghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya!
"Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?"
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya kemudian tentang
perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
"Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan kemudian Lie-toako mengantar aku sampai ke Lasha dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini."
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 378
Sie Liong mengangguk-angguk, tidak tertarik lagi akan cerita mesa la-lu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia lalu bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata, "Kalau begitu terimalah hormatku dan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enciku, Lie-toako."
"Ah, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau tahu bahwa tidak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan."
"Lie-toako, setelah apa yang kau-lakukan kepada enciku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong."
"Baiklah, adik Liong, dan terina kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?"
"Liong-te, mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku," Kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan manghela napas panjang.
"Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin manuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku, aku pasrah kepada Tuhan ke manapun aku akan dibimbing."
"Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin menghiburmu...."
Sie Liong tersenyum, bukan senyum bahkan wajahnya nampak cerah. "Pandanglah aku, enci.
Apakah aku membutuhkan hiburan" Semua telah terjadi dan aku tidak merasa menyesal.
Kehen-dak Tuhan terjadilah! Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi kepadaku, a-kan tetapi Tuhan sudah menghendaki de-mikian dan aku hanya dapat menerima, penuh keikhlasan dan ketawakalan. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kausayangi, kauhormati, dan kauharapkan perlindungan-nya."
Sie Liong menatap wajah Lie Bouw Tek yang menjadi kemerahan. Pendekar Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan diapun kini menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
"Liong-te, sungguh aku kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang amat hebat, juga memiliki kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang agak-nya telah dapat kauduga, aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat bahwa ia tidak memiliki anggauta keluarga lainnya, maka aku ingin menggunakan ke-sempatan terakhir ini untuk minta per-setujuanmu. Setujukah engkau jika aku melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?"
Sie Liong tersenyum gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang ga-gah perkasa dan jujur. Cepat dia memberi hormat kepada pendekar itu.
"Lie-toako, aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku).
Tentu saja aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, se-mua keputusan kuserahkan kepada enci Lan Hong. Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan Hong."
Biarpun dia merasa rikuh bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw Tek lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang
menjadi keme-rahan.
"Hong-moi, engkau sudah mendengar sendiri percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku mempergunakan kesem-patan ini, disaksikan oleh adikmu, un-tuk mengajukan pinangan kepadamu. Hong-moi, sudikah engkau menjadi isteriku?"
Kepala itu semakin menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat muka, memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. Akhirnya, wanita itu lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 379
Sie Liong merangkul dan menepuk-nepuk pundak encinya, tanpa bicara. Dia membiarkan encinya menangis di pundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari hati encinya. Setelah tangis itu mereda, dia berbisik dekat telinga en-cinya.
"Enci Hong, aku percaya bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Ki-onghi (selamat), enciku yang baik."
Lan Hong mengusap air matanya. "Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia bersama kami..." Biarpun Lan Hong belum menjawab lamar-an Lie Bouw Tek, namun ucapan "hidup bersama kami" itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan lembut Sie Liong melepas-kan rangkulan encinya. "Terima kasih, enci Hong. Aku harus melanjutkan per-jalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepa-da kalian. Semoga Tuhan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap jaga baik-baik enciku yang kusayang ini, Enci Hong, selamat tinggal. Aku harus pergi seka-rang."
"Liong-te....!" Lan Hong berseru akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka.
"Liong-te....!" Lan Hong berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
"Sudahlah, Hong-moi. Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis. Mari, mari kita menyongsong hidup baru. Engkaupun berhak untuk menikmati kebahagiaan hi-dup, Hong-moi, bersamaku."
Mereka lalu perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang luas di ma-na mereka dapat hidup berbahagia sete-lah masa lalu yang suram mereka lewati.
Pemberontakan yang dipimpin Kim Sim Lama itupun habis riwayatnya. Kim Sim Lama
ditawan dan menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam pertempuran melawan para pendeta Lama dan pasukan pengi-kut Dalai Lama. Juga pasukan Dalai La-ma menyerang dan memukul mundur pasu-kan pemberontak Nepal yang dipimpin Pangeran Maranta Sing dan mengusir mere-ka dari daerah Tibet. Daerah Tibet seluruhnya menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram.
Di lembah bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri.
Keheningan menyelimuti seluruh alam di sekitarnya, namun Sie Liong tidak merasa kesepian.
Hening a-kan tetapi tidak kesepian. Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya. Kekua-saan Tuhan berada di mana-mana, di da-lam dan di luar dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian.
Nama Pendekar Bongkok kemudian dikenal di seluruh dunia persilatan, wa-laupun jarang ada yang pernah bertemu dengan dia. Hal ini adalah karena Pen-dekar Bongkok tidak pernah mau kembali ke selatan. Dia merantau di sepanjang gurun Gobi dan di manapun dia berada, dia selalu menentang kejahatan, membe-la yang benar dan lemah. Para pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah mendapat-kan pertolongan Pendekar Bongkok keti-ka mereka mengalami marabahaya, ketika mereka diancam gerombolan
perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama be-sar Pendekar Bongkok di dunia kang-ouw di selatan. Namun Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gu-run Gobi, bahkan dia tidak pernah mau memperkenalkan diri atau namanya se-hingga orang-orang yang tidak mau mem-pergunakan julukan ejekan Pendekar Bongkok itu lalu
menyebutnya Gobi Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi).
Sie Liong memang maklum sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, akan tetapi juga lengan kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan penghinaan saja di dunia ramai. Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih sa-yang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta antara pria dan wanita adalah cinta nafsu, cinta berahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik lahiriah. Dan untuk itu, dia su-dah tidak mempunyai daya tarik sama sekali. Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 380
Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak begitu terpengaruh oleh keindahan rupa. Tidak, dia tidak akan melibatkan diri dengan seorang wanita! Tentu saja lain halnya kalau me-mang Tuhan menghendaki lain. Dia hanya pasrah.
Hanya kalau nafsu daya rendah yang membentuk si-aku tidak lagi menguasai diri, hanya kalau hati dan akal pikir-an tidak lagi bersimaharajalela, jiwa akan mendapatkan kembali kontaknya dangan kekuasaan Tuhan! Dan kalau sudah begitu, kekuasaan Tuban akan bekerja dalam diri. Keadaan seperti ini tidak mungkin dapat ditimbulkan karena usaha pikiran, karena pikiran adalah si-aku, yang lapuk, si-aku yang mengaku-aku. Hanya dengan melenyapkan diri yang me-ngaku-aku, merendahkan dan mengecilkan diri, hanya dengan pasrah yang tulus ikhlas, maka diri lahir batin akan dibersihkan oleh kekuasaan Tuhan, kemudian kekuasaan Tuhan akan bersemayam, membangkitkan jiwa. Hanya kalau sudah demikian, maka kita dapat htdup seutuhnya, bebas daripada cengkeraman nafsu daya rendah yang telah kembali kepada kedudukan dan tugasnya semula, yaitu menjadi alat dan pelayan.
Demikianlah, kisah ini ditutup dengan harapan pengarang, semoga ada suatu manfaat yang dapat dipetik, dan semoga Tuhan memberkahi dan membimbing kita sekalian. Sampai jumpa di lain kisah.
Tamat Pendekar Bongkok >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 381
Dendam Iblis Seribu Wajah 23 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bukit Pemakan Manusia 10
^