Kisah Sepasang Rajawali 11

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


alnya menghampiri pangeran tua ini, memberi hormat dan menyerahkan sepucuk surat tanpa berkata-kata. Pangeran Liong Bin Ong menerima surat itu dan memberi isyarat supaya pengawalnya mundur, kemudian sambil tersenyum dibacanya surat kecil itu. Mendadak mukanya berubah agak pucat ketika dia membaca surat laporan dari kepala pengawal yang disuruh melakukan penjagaan dan penyelidikan. Tulisan pengawalnya itu adalah seperti berikut :
Menurut hasil penyelidikan, orang-orangnya Puteri Milana telah menyelinap diantara para tamu, para penabuh musik, dan diantara para penonton. Bahkan pasukan istimewa Perwira Han Wi Kong melakukan baris pendam mengurung istana ini.
Pangeran Liong Bin Ong mengusap peluh dengan saputangannya. Untung bahwa semua rencananya membunuh kelompok di tempat kehormatan itu hanyalah merupakan lamunan kosong belaka. Kalau dilaksanakan, sebelum hal itu terjadi, tentu dia telah ditangkap dan istana itu diserbu! Bukan main cerdiknya Puteri Milana dan dia mengerling ke arah puteri itu dan suaminya dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu saja para penjaganya tidak melihat baris pendam yang telah diatur oleh Han Wi Kong. Tentu para anggauta pasukan istimewa itu melakukan pengurungan dengan bersembunyi, hanya siap sewaktu-waktu untuk menyerbu dan melindungi junjungan mereka!
Pangeran Liong Bin Ong masih memandang kepada Milana dan suaminya dengan penuh kemarahan dan kebencian. Akan tetapi karena pada saat ituhidangan sedang dikeluarkan, dia menahan sabar dan bahkan dengan muka dimanis-maniskan dia berdiri dari kursinya, menghampiri para tamu terhormat sambil terbongkok-bongkok dan mempersilakan mereka menikmati hidangan yang dikeluarkan. Mulailah para tamu makan minum sambil bercakap-cakap dan di bagian para tamu yang kebagian tempat duduk di dalam taman, tampak Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ikut pula makan minum dengan lahapnya di sebuah meja!
Ternyata Suma Kian Bu tidak dapat menahan keinginan hatinya ketika dia melihat para tamu mulai makan minum. Bau arak wangi dan masakan yang masih mengepulkan uap, membuat perutnya yang sudah lapar itu menjadi makin lapar, maka dia menyentuh lengan kakaknya dan memberi isyarat dengan kepala, kemudian tanpa menanti jawaban Suma Kian Lee yang mengerutkan alisnya, Suma Kian Bu pergi keluar dari rombongan para penonton yang memandang orang makan sambil menelan air liur itu. Kian Bu mengajak Kian Lee ke bagian yang sunyi, kemudian mereka menggunakan waktu semua penonton memandang ke dalam, seperti dua ekor burung rajawali mereka meloncati pagar tembok dan menyusup melalui tempat gelap, akhirnya mereka dapat menyelinap masuk dan duduk di kursi paling belakang dari rombongan tamu yang kebagian tempat di taman! Mereka bersikap biasa saja ketika para pelayan datang membawa hidangan dan mengangguk dengan sikap angkuh seolah-olah mereka juga tamu-tamu kehormatan ketika para pelayan menaruh hidangan dan memandang hidangan-hidangan dan arak yang diatur di atas meja itu dengan sikap angkuh dan acuh tak acuh, dengan pandangan yang jelas menyatakan bahwa mereka telah "biasa" dengan hidangan seperti itu, seperti sikap orang-orang muda bangsawan dan kaya raya. Akan tetapi begitu para pelayan itu meninggalkan meja mereka untuk melayani para tamu lain, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu segera menyerbu hidangan-hidangan itu dan makan dengan lahapnya karena memang perut mereka sudah lapar dan selamanya mereka belum pernah makan hidangan mahal selezat itu.
Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong sudah memutar otaknya. Rencananya gagal total. Tadinya dia dan anak buahnya telah merencanakan siasat keji untuk membasmi musuh-musuhnya. Rencana ini adalah memancing keributan sehingga terjadi pertempuran seolah-olah pihak pemberontak mengacaukan pestanya dan di dalam kekacauan ini dia akan mengerahkan kaki tangannya yang lihai untuk membunuh Puteri Milana dan Perdana Menteri Su, sedangkan dia telah merencanakan untuk membiarkan dirinya "diculik" oleh pengacau. Hal ini untuk membuktikan kebersihannya, sehingga selain musuh-musuh yang diseganinya, Perdana Menteri Su dan Puteri Milana dapat ditewaskan, juga Kaisar akan kehilangan kecurigaannya terhadap dirinya. Tentu saja yang "menculiknya" adalah kaki tangannya sendiri dan dia akan mencari akal untuk dapat lolos dari tawanan para penculik, kalau perlu dengan tuntutan penebusan kepada pihak istana. Akan tetapi, siapa kira, Panglima Han Wi Kong, atau lebih tepat lagi Puteri Milana karena dia menduga keras bahwa puteri itulah yang mengatur semua ini, agaknya telah mencium rahasia itu atau juga telah menduga akan terjadinya sesuatu yang tidak wajar sehingga istana itu dikepung oleh pasukan terpendam sehingga tentu saja rencananya gagal karena kalau dilanjutkan, tentu akan ketahuan bahwa dialah yang mengatur kekacauan itu.
Sambil bersungut-sungut Liong Bin Ong memberi isyarat kepada seorang yang berdiri sebagai penjaga di sudut ruangan. Orang ini sebetulnya adalah kepala pengawalnya yang sejak tadi memandang ke arah majikannya setelah dia menyuruh seorang pengawal menyerahkan laporan tertulisnya. Melihat kepala pengawal itu memandang kepadanya, Pangeran Liong Bin Ong lalu mengangkat tangan kanannya ke atas, menekuk semua jari tangannya kecuali jari tengah dan telunjuk. Ini merupakan isyarat rahasia bahwa dia menghendaki agar "siasat ke dua" dijalankan, karena siasat pertama gagal total. Memang, sebagai seorang ahli siasat, Pangeran Liong Bin Ong dan anak buahnya telah mengatur rencana selengkapnya, yaitu telah direncanakan siasat cadangan untuk merubah rencana kalau yang pertama gagal.
Rencana ini akan mempergunakan siasat ke dua, tidak lagi untuk membunuh Perdana Menteri Su dan Puteri Milana. Tak mungkin lagi dilakukan rencana pembunuhan setelah Puteri Milana dengan cerdiknya mengatur barisan pendam mengurung istana, bahkan menyelundupkan pengawal-pengawalnya ke dalam para tamu, para penonton bahkan ahli-ahli musik yang sedang menghibur para tamu. Akan tetapi siasat ke dua dapat dijalankan, yaitu untuk membuat pihak Puteri Milana malu di depan para tamu bangsawan, yaitu dengan jalan mengadu kepandaian antara jago-jago yang telah dipersiapkan oleh Pangeran Liong Bin Ong sebelumnya, dan pihak tamu kehormatan yang akan ditantang dengan jalan halus.
Kalau sampai berhasil memancing kemarahan Puteri Milana dan puteri yang perkasa itu turun tangan sendiri, itulah yang diharapkan karena hal itu berarti bahwa siasat mereka berhasil. Kalau Sang Puteri maju, maka hanya ada dua kerugian di pihak Puteri Milana. Kalau Sang Puteri kalah, jelas hal ini yang dikehendaki Pangeran Liong Bin Ong, apalagi kalau dalam pertandingan itu Puteri Milana sampai dapat ditewaskan. Andaikata sebaliknya, karena puteri itu memang amat lihai, setidaknya puteri itu telah merendahkan diri melayani jagoan-jagoan, dan merendahkan derajatnya sebagai puteri cucu Kaisar dan tentu hal ini akan mudah dijadikan bahan menghasut Kaisar agar Kaisar yang tua itu membenci cucunya yang dianggap mencemarkan kehormatan keluarga kerajaan!
Setelah semua tamu selesai makan, Pangeran Liong Bin Ong diam-diam memberi isyarat. Tak lama kemudian, dari rombongan tamu yang berada di dalam taman, berdirilah dua orang, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan kelihatan kasar dan kuat sekali, sedangkan orang ke dua tinggi kurus dengan muka kuning mata sipit, langkahnya gontai seperti orang lemah. Kedua orang ini seperti orang mabuk berjalan menuju ke tempat kehormatan, lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai di tengah ruangan yang memang telah dipersiapkan untuk menjadi tempat gelanggang adu kepandaian di mana hanya terdapat meja besar tempat menyimpan semua hadiah dan sumbangan. Kedua orang itu menghadap kepada Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus yang berkata dengan suara melengking nyaring sehingga terdengar oleh semua yang hadir, terutama sekali oleh mereka yang duduk di panggung kehormatan karena kedua orang itu berlutut menghadap ke situ.
"Mohon paduka sudi mengampunkan kami berdua. Akan tetapi kami berdua menagih janji paduka untuk menguji kami di depan para tamu yang mulia agar dapat memutuskan apakah kami patut menjadi pengawal pribadi paduka yang dapat dipercaya."
Semua orang tentu saja memandang dan selain merasa heran juga berkhawatir melihat keberanian dua orang itu mengganggu pesta dan tentu Pangeran Liong Bin Ong akan marah sekali. Akan tetapi pangeran itu hanya memandang dengan tersenyum, sedangkan yang menjadi marah adalah Pangeran Liong Khi Ong yang tadi mendekati kakaknya, tak lama setelah pengawal mengantar surat. Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dari kursinya dan sambil menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu dia membentak, "Manusia-manusia kurang ajar! Berani kalian mengganggu pesta dengan bicara tentang pekerjaan" Pangeran Liong Khi Ong sudah menoleh kepada pengawal untuk memberi perintah menangkap mereka, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong memegang lengan adiknya itu dan berkata nyaring sehingga semua tamu mendengar suaranya,
"Jangan persalahkan mereka! Memang aku sudah berjanji kepada mereka untuk menguji mereka dalam pesta ini!" Kemudian Pangeran Liong Bin Ong bangkit berdiri dan menghadapi para tamu di bagian kehormatan sambil berkata, "Cu-wi sekalian yang mulia. Di dalam keadaan terancam oleh pengacauan-pengacauan para pemberontak suku bangsa di luar tapal batas, kita perlu sekali menghimpun tenaga untuk menjadi pengawal-pengawal dan melindungl kita."
Puteri Mllana dan Perdana Menteri Su saling bertukar pandang dan Puteri Milana menahan senyum mengejek. Betapa tak tahu malu pangeran tua yang menjadi paman kakeknya itu. Sudah terang, biarpun belum ada bukti, bahwa kedua orang Pangeran Liong itulah yang mengandalkan semua pemberontak suku bangsa, sekarang masih berani bicara seperti itu!
"Dua orang saudara dari dunia kang-ouw ini mendengar bahwa kami sedang membutuhkan tenaga pengawal-pengawal yang sakti. Kemarin dulu mereka datang menghadap kami dan melamar pekerjaan menjadi pengawal pribadi. Karena kami sedang menghadapi perayaan, maka kami memutuskan untuk menguji mereka pada saat pesta ini, sekalian untuk memeriahkan suasana pesta. Karena kami mengerti bahwa pada saat inilah terkumpul semua tokoh gagah perkasa yang tentu akan sudi turun tangan membantu kami untuk menguji mereka berdua apakah benar mereka memiliki kepandaian dan patut menjadi pengawal pribadi kami. Yang tinggi besar bermuka hitam ini adalah Yauw Siu, seorang jagoan dari Pantai Po-hai!" Si Muka Hitam bangkit berdiri dan dengan mengerahkan tenaga membuat otot-otot lengan dan lehernya tampak menggembung, dia membungkuk dan memberi hormat ke empat penjuru.
"Yang tinggi kurus bermuka kuning adalah Sun Giam, jagoan dari pegunungan selatan," kata pula Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus juga memberi hormat ke empat penjuru.
"Silakan jika di antara Cu-wi ada yang suka membantu kami untuk menguji kedua orang calon pengawal ini!" Pangeran Liong Bin Ong menutup kata-katanya lalu duduk kembali. Suasana menjadi sunyi sekali. Biarpun terdengarnya seperti seorang yang minta bantuan menguji dan sekaligus memeriahkan suasana pesta, namun bagi mereka yang diam-diam menentang pangeran ini, jelas terasa bahwa pangeran itu mengajukan dua orang jagoannya untuk menantang! Betapapun, di antara para tamu kehormatan tidak ada yang sudi untuk memenuhi tantangan ini, karena mereka tidak sudi merendahkan diri melawan orang-orang yang dianggapnya rendah itu.
Kesunyian yang mencekam sekali dan tampak Puteri Milana menahan senyum, girang bahwa pancingan pangeran tua itu tidak berhasil. Dua orang jagoan yang kini masih berdiri itu memandang ke sekeliling, dan kelihatan blngung karena tidak ada yang menyambut tantangan Pangeran Liong Bin Ong. Timbullah kesombongan dalam hati Yauw Siu yang mengira bahwa diamnya para tamu ini adalah karena mereka gentar kepadanya! Maka sambil mengangkat dada dia berkata nyaring setelah tertawa, "Ha-ha-ha, harap para orang gagah yang hadir di sini tidak khawatir karena saya Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin Tiat-liong (Naga Besar Bermuka Hitam) tidak perlu membunuh dalam pi-bu (mengadu kepandaian)!"
Tiba-tiba tampak seorang pembesar bangkit dari kursinya, pembesar ini gemuk dan dia adalah seorang pembesar sastrawan yang berwenang memeriksa hasil ujian para calon sastrawan, seorang pembesar yang mata duitan dan tentu saja suka makan sogokan para calon sastrawan yang mengikuti ujian. Sambil tersenyum pembesar ini menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong dan berkata, "Harap paduka maafkan saya. Melihat bahwa tidak ada orang yang suka membantu paduka untuk menguji kedua orang calon pengawal itu, bagaimana kalau saya mengajukan lima orang pengawal pribadi saya" Kedua orang itu kelihatan gagah perkasa dan tentu lihai sekali, maka tidak tahu apakah mereka berani menghadapi lima orang pengawal saya."
Sebelum Pangeran Liong Bin Ong menjawab, Yauw Siu si Muka Hitam sudah cepat menjawab, "Boleh sekali! Silakan lima orang itu maju berbareng dan akan saya tandingi sendiri, tidak perlu Saudara Sun Giam turun tangan!"
Jawaban ini memancing suara berisik dari para tamu yang menganggap orang muka hitam itu sombong sekali. Akan tetapi Pangeran Liong Bin Ong melambaikan tangan dan mengangguk tanda setuju. Pembesar itu lalu menggapai ke belakang, maka muncullah lima orang pengawalnya yang berpakaian seragam biru, lima orang berusia tiga puluhan tahun dan kesemuanya bertubuh tegap dan gagah. Setelah menjura dengan penuh hormat kepada semua yang hadir, lima orang itu melangkah maju menghadapi Yauw Siu, sedangkan Sun Giam sambil menyeringai sudah mundur dan duduk di atas lantai di pinggiran.
Yauw Siu sudah menghadapi lima orang gagah itu sambil tersenyum lebar, kemudian terdengar dia bertanya, "Sebelum kita mulai, bolehkah saya bertanya Ngo-wi (Anda Berlima) ini murid-murid dari partai manakah"
Pertanyaan itu sungguh terdengar menantang dan tinggi hati, akan tetapi seorang di antara lima orang pengawal itu menjawab, "Kami adalah murid-murid dari Gak-bukoan (Perguruan Silat Gak) di Seng-kun."
"Ahhh! Ha-ha-ha, jadi Ngo-wi adalah murid-murid dari Gak-kauwsu" Bagus sekali! Aku sudah mengenal baik guru kalian itu dan tahu bahwa guru kalian mengandalkan ilmu menghimpun tenaga yang amat kuat di kedua lengannya dan terkenal dengan Ilmu Pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Halilintar), bukan"
Lima orang itu mengangguk dan Si Muka Hitam melanjutkan, "Kalau begitu, biarlah kalian menguji tenagaku dan sebaliknya aku akan menguji apakah benar-benar kalian telah mempelajari ilmu secara baik-baik dari Gak-kauwsu." Dia memberi isyarat kepada Sun Giam dan orang tinggi kurus ini melemparkan segulung tali yang besar dan kuat kepada temannya.
Yauw Siu lalu menyerahkan tali itu kepada lima orang pengawal sambil berkata, "Harap Ngo-wi suka mengikat kedua kaki dan tangan, juga pinggangku, kemudian Ngo-wi di satu pihak menarik dan aku di laln pihak mempertahankan. Dengan demikian kita mengadu tenaga satu lawan lima. Bukankah ini menarik sekali dan mengingat akan hubungan diantara kita, tidak perlu ada yang sampai roboh terluka atau tewas" Si Muka Hitam yang sombong itu ternyata pandai bicara dan pandai pula berlagak sehingga menarik perhatian para tamu.
"Bagus! Itu adil sekali! Hayo kalian cepat lakukan!" dari tempat duduknya, pembesar sastrawan itu bertepuk tangan gembira. Tentu saja hatinya menjadi lega dan dia mengharapkan kemenangan lima orang pengawalnya karena pertandingan yang ditentukan oleh Si Muka Hitam sendiri itu menguntungkan pihaknya.
Lima orang itu cepat memenuhi permintaan Yauw Siu. Pergelanaan kaki dan tangan, juga pinggang Si Muka Hitam itu diikat dengan tali, kamudian mereka berlima memegang ujung tali di depan Si Muka Hitam. Semua tamu menonton dengan gembira, bahkan diantara para pembesar itu kini sibuk bertaruh sehingga keadaan menjadi berisik dan gembira. Dua orang pangeran tua saling pandang dan tersenyum-senyum, kadang-kadang mereka melirik ke arah Perdana Menteri Su dan Puteri Milana yang kelihatan masih tenang-tenang saja.
"Siap....! Tarik....!" Tiba-tiba Yauw Siu berteriak dan lima orang pengawal itu sudah mengerahkan tenaganya menarik tali yang mengikat tubuh Si Muka Hitam.
Yauw Siu berdiri dengan tegak, mengerahkan tenaganya sehingga mukanya berubah menjadi makin hitam, urat-urat yang tampak di lengan dan leher yang tidak tertutup pakaian itu menggembung besar, matanya melotot dan betapa pun lima orang lawannya membetot dan mengerahkan tenaga sekuatnya, tetap saja tubuh Si Tinggi Besar itu tidak bergoyang sedikit pun!
"Tahan....!" Yauw Siu memekik keras dan kedua tangannya digerakkan ke belakang. Dua orang pengawal yang memegang dua ujung tali yang mengikat tangannya itu terhuyung ke depan. Kembali Yauw Siu berseru dan kedua kakinya melangkah mundur, juga mengakibatkan dua orang pengawal lain terbawa dan terhuyung, kemudian dia mengeluarkan bentakan keras, tubuhnya meloncat ke belakang dan lima orang itu jatuh tertelungkup dan terseret!
Tepuk tangan dan sorak memuji bergemuruh menyambut kemenangan Yauw Siu ini, yang sambil tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang besar dan kuat untuk memutus-mutuskan tali yang mengikat kedua kaki, tangan dan pinggangnya. Kembali demonstrasi tenaga yang amat kuat ini memancing tepuk tangan gemuruh. Yauw Siu mengangguk dan membungkuk ke empat penjuru menerima sambutan dan pujian itu.
Sun Giam meloncat ke depan dan memberi isyarat kepada temannya untuk mundur. Si Muka Hitam lalu mundur dan duduk di pinggiran, di atas lantai, sadangkan Sun Giam sendiri membantu lima orang itu berdiri, menggulung tali dan melemparnya kepada temannya. Kemudian Sun Giam berkata, ditujukan kepada pembesar sastrawan yang bersungut-sungut menyaksikan kekalahan lima orang pengawalnya.
"Apakah Taijin mengijinkan kalau saya menghadapi mereka ini dalam ilmu silat untuk menguji saya"
Wajah pembesar itu berseri. Kini terbuka kesempatan untuk membersihkan dan menebus kekalahan tadi. Dia tahu bahwa lima orang pengawalnya adalah ahli-ahli ilmu silat, maka sambil mengangguk dia berkata, "Baik, kami setuju sekali!"
Sun Giam kini berkata, ditujukan kepada semua hadirin, "Tadi sahabat saya, Yauw Siu, telah memperlihatkan kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Kalau hanya tenaga dua puluh lima oranq biasa saja kiranya dia masih akan mampu menandinginya. Akan tetapi, dia belum memperlihatkan ilmu silatnya dan karena dia telah mengeluarkan tenaga, biarlah saya yang akan menghadapi lima orang murid perguruan Gak-bukoan ini." Sambil menghadapi mereka, Si Muka Kuning ini berkata, "Harap Ngo-wi suka mendemonstrasikan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang telah terkenal itu dan sekaligus maju menyerang saya."
Lima orang yang sudah kalah dalam mengadu tenaga itu, kini mengepung Si Muka Kuning kemudian terdengar seorang diantara mereka mengeluarkan aba-aba dan serentak menyeranglah mereka dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan lemas dan lincah Si Tinggi Kurus itu dapat mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan kedua tangannya menyampok setiap pukulan yang tidak sempat dielakkannya. Tampaklah pemandangan yang mengagumkan di mana Sun Giam menggunakan kelincahannya dikeroyok lima orang itu. Jelas tampak oleh mata para ahli yang duduk di situ bahwa Si Tinggi Kurus ini memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya maka sengaja hanya mengelak dan menangkis, padahal jelas mudah dilihat betapa tingkatnya jauh lebih tinggi daripada para pengeroyoknya.
"Ngo-wi, awas....!" Tiba-tiba dia berkata halus, kaki tangannya bergerak dengan cepat sekali dan berturut-turut terdengar lima orang itu memekik disusul robohnya tubuh mereka di atas lantai karena totokan jari-jari tangan dan tendangan kaki Sun Giam.
Kembali terdengar sorak dan tepuk tangan memuji yang disambut oleh Sun Giam dengan membungkuk ke empat penjuru. Seperti dua orang yang sudah biasa berdemonstrasi dan menjual kepandaian di depan umum, kini Yauw Siu dan Sun Giam sudah berdiri mengangkat tangan ke atas, memberi kesempatan kepada lima orang pengawal itu mengundurkan diri dan setelah pujian agak mereda, terdengar Yauw Siu berkata dengan suaranya yang lantang, "Sahabatku Sun Giam telah memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi kami berdua masih belum puas karena apa yang kami perlihatkan tadi tidak ada harganya dan tentu belum memuaskan hati junjungan kami Pangeran Liong Bin Ong. Oleh karena itu kami mohon dengan hormat sudilah kiranya para tokoh besar yang hadir di sini suka turun tangan menguji kami. Lima orang pengawal tadi, biarpun kepandaiannya cukup hebat, namun masih jauh di bawah tingkat kami!"
Hening sampai lama setelah Si Muka Hitam ini bicara. Melihat bahwa tidak ada sambutan, Sun Giam membuka mulutnya, "Kami berdua mendengar sebelum memasuki kota raja bahwa kota raja menjadi pusat orang pandai, menjadi pusat para pengawal yang berilmu tinggi. Sungguh kami tidak percaya kalau sekarang tidak ada yang berani menghadapi kami!"
Ucapan ini mulai memanaskan hati para tamu yang merasa memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika Han Wi Kong yang mukanya menjadi merah karena marah hendak bangkit. Puteri Milana, isterinya yang duduk di sampingnya, mencegah dengan pandangan matanya. Puteri ini masih kelihatan tenang-tenang saja karena dia sedang memutar otak mencari tahu atau menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik semua ini, yang dia yakin tentu diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong. Dia tidak mau sampai terpancing oleh pangeran yang cerdik itu, maka dia menyabarkan suaminya yang mulai marah melihat sikap dan mendengar kata-kata kedua orang jagoan Pangeran Liong Bin Ong itu.
Sebagian para pengawal yang hadir di tempat itu dalam melaksanakan tugas mengawal para pembesar militer dan sipil, biarpun merasa marah dan penasaran, namun mereka ini tidak berani lancang turun tangan di dalam perjamuan orang-orang besar seperti itu tanpa perintah dari junjungan masing-masing. Sedangkan para pembesar jarang pula yang berani memerintahkan pengawalnya untuk menghadapi dua orang jagoan itu. Mereka yang memang terpengaruh oleh Pangeran Liong Bin Ong tentu saja tidak suka menentang, sedangkan mereka yang berpihak Kaisar dan diam-diam tidak suka kepada pangeran ini, juga tidak berani menyuruh pengawal mereka karena mereka merasa segan untuk menentang pangeran ini secara terang-terangan, mengingat akan pengaruh kedua orang pangeran di situ setelah Sun Giam membuka mulutnya setengah menantang para pengawal kota raja.
Melihat betapa tidak ada sambutan sama sekali, Yauw Siu dan Sun Giam yang memang sudah menerima tugas dari Pangeran Liong Bin Ong untuk memanaskan suasana dan untuk menujukan tantangan kepada Puteri Milana secara halus, lalu saling pandang dan Yauw Siu bangkit berdiri, menghadap ruangan kehormatan dan berkata lantang, "Kami berdua belum lama meninggalkan tempat pertapaan, saya meninggalkan pantai laut dan Sahabat Sun Giam meninggalkan pegunungan. Namun, kami telah mendengar akan kehebatan ilmu kepandaian para tokoh di kota raja, maka kami sengaja datang ke kota raja untuk mencari pekerjaan agar kepandaian kami dapat dipergunakan demi kepentingan kerajaan! Apakah sekarang tidak ada orang gagah yang sudi menguji kami" Ataukah benar seperti dugaan Sahabat Sun Giam tadi bahwa orang-orang di kota raja agak.... penakut"
"Manusia busuk....!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah bayangan orang, dan tahu-tahu di depan kedua orang jagoan itu telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, pakaiannya preman, jenggotnya panjang sekali dan wajahnya angker, mengandung wibawa.
"Di jaman kekacauan merajalela dan banyak manusia tak berbudi memberontak, muncul kalian yang bermulut besar! Kalau hanya menghadapi kalian berdua saja, tidak perlu orang-orang gagah di kota raja turun tangan. Aku Tan Siong Khi, cukuplah kiranya menghadapi orang-orang macam kalian yang bermulut besar!" Orang ini memang Tan Siong Khi, pengawal Kaisar yang gagah perkasa, yang telah kita kenal karena dialah yang memimpin rombongan penjemput Puteri Raja Bhutan!
Akan tetapi, sebelum dua orang jagoan itu sempat membuka mulut, tiba-tiba Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya kepada Tan Siong Khi sambil berkata, "Bukankah engkau Pengawal Tan Siong Khi yang telah gagal melaksanakan tugas mengawal Puteri Bhutan sehingga puteri itu lenyap tak diketahui ke mana perginya"
"Keparat! Berani engkau muncul di sini setelah engkau melakukan dosa dan kelalaian besar itu" Kebodohan dan kelalaianmu menyebabkan Sang Puteri lenyap tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Dan kau berani malam ini datang ke sini dan berlagak menjadi jagoan" Kenapa kegagahanmu tidak kauperlihatkan ketika rombonganmu dihadang musuh" Mengapa Sang Puteri yang kaukawal sampai lenyap sedangkan kau masih hidup" Aku akan minta kepada Sri Baginda untuk menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu!"
Semua tamu memandang dengan hati tegang. Semua mengenal siapa adanya Tan Siong Khi, seorang pengawal kepercayaan Kaisar, bahkan menjadi pembantu dari Puteri Milana dalam mengamankan kota raja. Mereka semua telah mendengar pula akan kegagalan pengawal itu menjemput Puteri Bhutan, calon isteri Pangeran Liong Khi Ong. Maka sepantasnyalah kalau pangeran itu, yang urung menjadi pengantin, yang kehilangan calon isterinya marah-marah kepada pengawal ini.
"Mengapa kau berani datang ke sini" Hayo pergi....! Pergi kau....!"
Tan Siong Khi yang kelihatan tenang itu menoleh ke arah Perdana Menteri Su dan Putri Milana. Dia melihat kedua orang pembesar itu mengangguk kepadanya dan memberi isyarat agar supaya dia pergi. Sebetulnya munculnya Tan Siong Khi di tempat itu adalah karena dia ditugaskan oleh Kaisar untuk mengawal Perdana Menteri Su yang malam itu juga mewakili Kaisar, berarti dia menjadi pengawal utusan Kaisar. Akan tetapi, sebagai seorang pengawal setia yang telah berpengalaman dan berpemandangan luas, di tempat umum itu dia tidak mau membela diri dengan menyebut nama perdana menteri, karena dia tidak mau menjadi penyebab terjadinya keributan atau perasaan tidak enak. Setelah menerima isyarat, dia lalu menjura kepada Pangeran Liong Khi Ong dan berkata, "Baik, hamba dengan langkah lebar meninggalkan tempat pesta melalui pintu gerbang depan."
Keadaan menjadi sunyi sekali setelah pengawal itu pergi. Peristiwa tadi menimbulkan ketegangan. Tiba-tiba suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara tertawa dari Yauw Siu. Dia sudah bangkit berdiri dan berkata, "Sungguh menyesal sekali bahwa Pengawal Tan Siong Khi tadi kiranya seorang yang telah melakukan dosa dan kelalaian besar dan sepatutnya dia dihukum. Kalau tidak agaknya dia memiliki sedikit kepandaian untuk diperlihatkan agar kami berdua dapat diuji. Harap Cu-wi yang merasa memiliki ilmu kepandaian sudi maju sebagai penggantinya. Kami maklum bahwa diantara Cu-wi banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi jangan khawatir bahwa kami akan celaka. Kami takkan mengecewakan Cu-wi. Selama kami merantau, kami belum pernah dikalahkan orang. Bahkan kami tadinya merencanakan untuk mencari Pulau Es...."
Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun suara ini menembus semua kegaduhan dan memasuki telinga Yauw Siu seperti jarum-jarum menusuk. "Mau apa kalian mencari Pulau Es"
Yauw Siu terkejut sekali dan cepat menoleh ke arah Puteri Milana yang telah mengajukan pertanyaan itu. Melihat sepasang mata yang amat tajam itu, diam-diam dia menjadi gentar juga. Tentu saja Yauw Siu dan Sun Giam maklum siapa adanya puteri cantik dan agung itu. Mereka maklum bahwa puteri itu adalah puteri dari Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, dan ibunya adalah bekas pangilma besar wanita Puteri Nirahai! Kalau saja mereka berdua tidak menjadi kaki tangan kedua orang Pangeran Liong, tentu mereka akan berpikir-pikir dulu untuk berani main-main di depan Puteri Milana. Akan tetapi, justru tugas mereka adalah untuk memancing puteri itu agar bangkit kemarahannya dan membuat puteri itu menjadi serba salah. Maju menghadapi mereka berarti merendahkan derajatnya, kalau tidak berarti terhina karena ditantang tanpa menanggapi!
"Kami hendak mencari Pulau Es karena kami tidak pernah bertemu tanding! Kami mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!" jawab Sun Giam.
"Akan tetapi, sebelum melihat sendiri, bagaimana kami dapat percaya" sambung Yauw Siu. "Hanya kabarnya, banyak pula muridnya berada di kota raja, maka apa salahnya kalau ada muridnya yang mau mencoba-coba dengan kami agar dari kepandaian muridnya kami dapat mengukur pula tingkat gurunya" Kami adalah dua orang baru yang tidak tahu apakah benar di kota raja ada murid Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es yang terkenal itu."
Tentu saja Yauw Siu cukup cerdik untuk melindungi diri mereka dengan dalih bahwa mereka tidak tahu menahu tentang Pendekar Super Sakti, tidak tahu bahwa puteri Pendekar Super Sakti berada di tempat perjamuan itu karena kalau demikian halnya, tentu Puteri Milana yang cerdik akan merasa curiga dan menduga akan adanya pancingan dan jebakan.
"Biar aku menghajar mereka!" Panglima Han Wi Kong berkata dan isterinya mengangguk. Tadi Puteri Milana telah menyaksikan gerakan kedua orang jagoan itu dan dia maklum bahwa mereka berdua itu hanyalah memiliki tingkat yang biasa saja sehingga dia merasa yakin bahwa suaminya akan dapat mengalahkan mereka. Mendengar dua orang jagoan kasar itu menyinggung nama ayahnya tanpa dia melakukan sesuatu, tentu akan mencemarkan nama dan kehormatannya. Akan tetapi kalau diaturun tangan sendiri juga merupakan hal yang tidak baik karena dia adalah seorang puteri cucu Kaisar dan puteri Pendekar Super Sakti, amat rendahlah untuk melayani dua orang jagoan kasar! Berbeda lagi kalau Han Wi Kong yang turun tangan karena suaminya itu juga bekas seorang pengawal kaisar yang kini turun tangan menghadapi mereka yang menantang-nantang semua orang gagah di kota raja!
"Manusia-manusia sombong! Biar akulah yang akan menghadapi kalian!" bentak Han Wi Kong yang sekali melancat sudah berada di depan kedua orang itu.
Sun Giam dan Yauw Siu cepat menjura dengan hormat, kemudian Sun Giam menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong sambil berkata, "Harap Paduka Pangeran sudi mengampunkan permohanan hamba berdua. Hamba berdua tentu tidak berani sembarangan mengangkat tangan menghadapi para tamu yang terdiri dari para pembesar dan bangsawan agung. Oleh karena itu, kami baru berani mengangkat tangan kalau yang datang ke gelanggang ini menganggap diri sendiri sebagai seorang kang-ouw, seorang ahli silat tanpa membawa-bawa kedudukannya."
Sebelum Pangeran Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong sempat menjawab, Han Wi Kong sudah membentak, "Aku tidak akan membawa kedudukanku karena aku pun bekas seorang pengawal! Aku maju karena ingin menyaksikan kepandaian kalian manusia sombong!" Han Wi Kong cukup mengerti untuk tidak membawa-bawa nama ayah mertuanya, yaitu Pendekar Super Sakti, maka dia mengaku bahwa dia maju sebagai seorang bekas pengawal, jadi atas namanya sendiri.
"Bolehkah kami mengetahui nama besar paduka" Yauw Siu bertanya. Tentu saja dia tadinya sudah memperoleh keterangan bahwa laki-laki gagah ini adalah suami Puteri Milana, akan tetapi dia ingin memancing agar dari mulut laki-laki ini keluar sendiri pengakuannya. Akan tetapi Han Wi Kong sudah terlalu marah, dan menjawab dengan bentakan nyaring, "Tidak perlu aku memperkenalkan nama kepada kalian! Semua yang hadir sudah tahu siapa aku! Hayo majulah kalian berdua!"
Sun Giam berseru, "Ehh....! Maju berdua" Benarkah kami disuruh maju berdua"
Han Wi Kong bukan seorang yang sombong atau sembrono. Kalau dia berani menantang agar mereka maju berdua secara berbareng adalah karena tadi dia sudah menyaksikan sepak-terjang mereka dan merasa yakin akan dapat mengalahkan mereka berdua, apalagi dia ingin cepat merobohkan mereka yang sombong ini, tidak usah mereka disuruh maju satu demi satu!
"Ya, majulah kalian berdua mengeroyokku. Aku ingin menguji kepandaian kalian yang sesungguhnya tidak patut menjadi pengawal seorang pangeran!"
"Bagus! Engkau yang menyuruh sendiri, Sobat. Kalau sampai kami kesalahan tangan membunuh, jangan persalahkan kami."
"Dalam pibu, membunuh atau terbunuh adalah soal biasa, mengapa kalian banyak cerewet lagi" Majulah!"
"Awas serangan. Hiaaaatttt....!" Sun Giam sudah menyerang.
"Haiiittt....!" Yauw Siu juga menyusul dengan pukulannya yang dahsyat.
"Hemmm....!" Han Wi Kong menggeram dan cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan menangkis dengan kedua lengannya.
"Dukkk! Dukkk!"
Tubuh Han Wi Kong tergetar akan tetapi pukulan kedua orang lawannya juga terpental. Diam-diam Han Wi Kong terkejut. Tak disangkanya sama sekali bahwa kedua orang ini ternyata memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Mengapa tadi mereka tidak memperlihatkan tenaga sin-kang ini" Di dalam otaknya segera dia mencari dan mengerti bahwa kedua orang ini telah menjebaknya! Tadi mereka sengaja berpura-pura sebagai ahli-ahli silat biasa saja dan menyembunyikan kepandaian asli mereka dan dia sudah terjebak! Dua orang ini ternyata bukan orang sembarangan dan segera dia memperoleh kenyataan akan hal itu karena kini mereka telah mainkan ilmu silat yang amat aneh, cepat, dan kuat sekali!
Wajah Puteri Milana juga berubah agak pucat. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun dapat melihat perubahan yang terjadi pada kedua orang jagoan itu. Dan gerakan-gerakan mereka sekarang ini, jelas tampak olehnya bahwa mereka bukanlah jagoan-jagoan kasar seperti semula setelah melihat sepak-terjang mereka tadi. Kiranya mereka adalah ahli-ahli yang tangguh, yang menyembunyikan kepandaian mereka di balik sikap kasar dan ugal-ugalan tadi. Tentu untuk memancing!
Puteri Milana menjadi serba salah. Memang, di dalam tahun-tahun pertama dari pernikahan mereka, dia telah menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada suaminya dan ilmu kepandaian suaminya sudah meningkat dengan pesat kalau dibandingkan dengan dahulu sebelum menjadi suaminya. Namun, suaminya tidak memiliki dasar untuk menjadi seorang ahli ilmu silat tinggi dan tidak mungkin dapat melatih sin-kang dari Pulau Es. Maka kini bertemu dengan dua orang jagoan itu, suaminya berada dalam keadaan terancam! Kalau maju seorang lawan seorang, mungkin suaminya masih dapat mengimbangi, akan tetapi dikeroyok dua!
Memang demikianlah sebenarnya! Dua orang itu bukanlah orang sembarangan dan tadi memang mereka berpura-pura, mengeluarkan ilmu-ilmu kasar untuk memancing dan menjebak. Sebenarnya mereka adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah lama menjadi tangan-tangan kanan dari Raja Muda Tambolon, yaitu raja muda kaum pemberontak di perbatasan barat yang sedang merongrong Kerajaan Bhutan. Karena kedua orang ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw maka mereka sama sekali tidak terkenal dan memang hal inilah yang dikehendaki oleh Pangeran Liong Bin Ong. Tadinya, untuk keperluan memancing kemarahan Puteri Milana untuk menjatuhkan orangnya atau namanya ini, Pangeran Tua Liong Bin Ong hendak menggunakan tenaga Siang Lo-mo, sepasang kakek kembar yang amat lihai itu. Akan tetapi sungguh di luar dugaan dan perhitungannya bahwa Siang Lo-mo ketika tiba di kota raja telah bentrok dengan Milana di dalam rumah penginapan ketika Siang Lo-mo bertemu dengan Gak Bun Beng yang mereka kenal setama ini sebagai "orang sakit yang lihai". Karena peristiwa itu, maka Pangeran Liong Bin Ong tidak berani dan tidak jadi menggunakan kedua orang kakek itu, dan mencari penggantinya. Siang Lo-mo pula yang mengusulkan kepada Liong Bin Ong untuk mengundang Yauw Siu dan Sun Giam, dua orang diantara para pembantu Raja Tambolon.
Untuk menjaga nama keluarga isterinya, yaitu para penghuni Pulau Es, juga untuk menjaga nama isterinya dan dirinya sendiri, biarpun maklum bahwa kedua orang itu merupakan dua orang lawan yang terlalu tangguh baginya, namun Han Wi Kong tidak menjadi gentar dan dia sudah menerjang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun dua orang lawannya dapat mengelak dan menangkis dengan cepat, bahkan langsung membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang kembali membuat Han Wi Kong terhuyung ke belakang ketika terpaksa menangkis dua serangan dari depan itu. Segera berlangsunglah pertandingan yang seru sekali antara tiga orang itu, disaksikan oleh banyak pasang mata dengan tegang. Diam-diam suasana tegang itu ditimbulkan oleh perasaan bahwa di dalam pertandingan ini seolah-olah terjadi persaingan antara Pangeran Tua Liong Bin Ong dan pihak Milana serta Perdana Menteri Su! Semua tamu maklum belaka atau setidaknya sudah dapat menduga bahwa diantara kedua pihak itu memang terdapat permusuhan atau persaingan terpendam! Dan kini, seolah-olah kedua orang jagoan itu mewakili pihak Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Han Wi Kong tentu saja mewakili pihak isterinya, Puteri Milana dan Perdana Menteri Su.
Tentu saja yang merasa paling tegang dan gelisah adalah Puteri Milana sendiri! Diam-diam dia merasa menyesal mengapa tadi dia membiarkan suaminya turun tangan dan memasuki jebakan pihak Pangeran Liong Bin Ong sehingga kini suaminya terancam. Dia adalah seorang yang amat cerdas, maka setelah berpikir sejenak maklumlah dia bahwa sesungguhnya yang diserang adalah dia! Suaminya tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Liong Bin Ong yang menjadi paman kakek tirinya itu, akan tetapi dia tentu saja dianggap musuh oleh pangeran tua itu. Maka pertandingan itu tentu dimaksudkan untuk memukul dia! Mulai merah kedua pipi puteri yang gagah perkasa ini dan setiap urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk membela suaminya. Dia merasa kasihan sekali kepada suaminya, seorang pria yang amat baik dan gagah perkasa. Bertahun-tahun dia menjadi isteri Han Wi Kong hanya pada lahirnya saja, namun mereka sebetulnya hanyalah merupakan sahabat setelah keduanya maklum bahwa tidak ada cinta kasih antara pria dan wanita, antara suami dan isteri di dalam hati mereka, atau setidaknya, di dalam hati Milana. Han Wi Kong maklum akan hal ini, maka dia pun secara jantan dan bijaksana membebaskan isterinya dan hanya mengakui isterinya secara lahiriah saja untuk menjaga nama baik isterinya! Bukan isterinyalah yang menemaninya di dalam kamarnya, melainkan dua orang selir cantik yang setengah dipaksakan oleh Milana untuk melayani suaminya itu!
Biarpun tidak ada hubungan kasih di dalam hatinya terhadap Han Wi Kong, namun Milana menganggapnya sebagai seorang sahabat yang paling baik di dunia ini, maka tentu saja dia merasa gelisah dan khawatir sekali menyaksikan keadaan suaminya dan dia sudah mengambil keputusan untuk melindungi suaminya dari bahaya.
"Yaaahhh!" Tiba-tiba Han Wi Kong yang sudah terdesak terus-menerus itu mengeluarkan teriakan nyaring, tubuhnya menerjang dengan kecepatan kilat ke depan, kedua tangannya dikepal dan menghantam ke arah muka dan pusar Yauw Siu secara hebat sekali! Milana terkejut menyaksikan gerakan suaminya ini. Kalau suaminya terus memperkuat daya tahannya, biar terdesak kiranya masih tidak mudah bagi kedua orang pengeroyoknya untuk merobohkannya. Akan tetapi agaknya suaminya itu tidak mau didesak terus dan kini mengeluarkan jurus nekat yang ditujukan kepada seorang diantara dua orang pengeroyoknya. Agaknya Han Wi Kong sudah bertekad untuk merobohkan seorang lawan dengan resiko dia sendiri terpukul oleh lawan ke dua. Milana maklum akan isi hati suaminya, yaitu bahwa biarpun suaminya roboh, setidaknya telah dapat merobohkan seorang lawan pula, sehingga tidaklah akan terlalu memalukan.
"Heiiiittt....!" Yauw Siu berteriak, kaget juga menyaksikan serangan hebat ini, dia mencelat mundur dan ketika lawan terus mengejar, dia juga melonjorkan kedua lengannya dan bertemulah kedua tangannya dengan kepalan tangan Han Wi Kong.
"Desss.... bukkk....!"
Yauw Siu kalah tenaga karena memang sedang mundur, begitu kedua tangannya bertemu dengan tangan lawan, dia terlempar dan terjengkang, akan tetapi pada saat itu juga, Sun Giam sudah menerjang dari samping dan pukulannya yang amat keras dan ditujukan kepada leher Han Wi Kong, biarpun sudah dielakkan oleh Han Wi Kong dengan miringkan tubuh, tetap saja masih mengenai pundaknya, membuat bekas panglima pengawal ini roboh pula!
Yauw Siu dan Sun Giam kini melompat ke depan, agaknya hendak mengirim pukulan maut kepada lawan yang sudah rebah miring dan belum sampai bangun itu, apalagi Yauw Su yang menjadi marah karena tubuhnya masih tergetar oleh pertemuan kedua tangannya tadi, dan pinggulnya masih panas dan nyeri karena dia terjengkang dan terbanting.
"Plakk! Plakk!"
Dua orang jagoan itu terkejut sekali dan terhuyung-huyung ke belakang. Mereka terbelalak memandang puteri cantik yang sudah berdiri di depan mereka yang tadi menangkis kedua tangan mereka yang sudah diayun untuk menghantam Han Wi Kong, tangan halus sekali yang ketika menangkis terasa dingin seperti es dan membuat mereka menggigil dan terhuyung ke belakang.
"Bedebah! Kalian manusia curang, setelah mengeroyok masih hendak membunuh orang yang terluka" Tunggulah sebentar!" kata Puteri Milana dengan nada suara dingin sekali, lalu dia memapah suaminya kembali ke kursinya. Setelah melihat bahwa luka suaminya tidaklah berat, hanya mengalami patah tulang pundak, dia lalu membalikkan tubuh hendak menandingi dua orang jagoan itu. Akan tetapi betapa heran hatinya ketika di tengah tempat pibu itu kini telah muncul dua orang pemuda remaja yang menghadapi Yauw Siu dan Sun Giam sambil tersenyum mengejek! Dan banyak tamu yang berbisik-bisik dan ada yang bertepuk tangan memuji karena ketika Milana sedang memapah suaminya tadi, dari tempat duduk para tamu di samping melayang dua sosok bayangan dan tahu-tahu dua orang pemuda itu telah berdiri di depan Sun Giam dan Yauw Siu. Gerakan meloncat yang indah inilah yang menarik perhatian para tamu.
"Siapakah mereka"
"Dari mana mereka datang"
Pangeran Liong Bin Ong sendiri terkejut dan bingung, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah dua orang pemuda yang masih remaja, dia percaya bahwa dua orang jagoannya itu akan dapat mengatasi mereka.
Sun Giam yang tinggi kurus bermuka kuning itu sudah meloncat ke depan dan matanya yang sipit menjadi makin sipit seperti terpejam ketika dia membentak marah, "Bocah-bocah lancang mau apa kalian datang ke sini"
Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Kian Bu yang setengah memaksa kakaknya untuk muncul di gelanggang itu, dengan mendahului meloncat dan disusul oleh kakaknya. Ketika tadi melihat Puteri Milana maju menyelamatkan laki-laki gagah yang maju menghadapi dua jagoan dan yang terkena pukulan, Kian Bu dan Kian Lee memandang penuh perhatian. Mereka berdua tidak tahu siapa adanya laki-laki itu. Mereka dahulu masih terlalu kecil ketika bertemu dengan Han Wi Kong sehingga mereka tidak ingat lagi. Akan tetapi tentu saja hati mereka berpihak kepada laki-laki ini ketika melihat betapa laki-laki gagah ini menghadapi dua orang jagoan yang menantang Pulau Es! Kalau tidak dicegah kakaknya, ketika mendengar tantangan tadi tentu dia sudah meloncat untuk menghajar Sun Giam dan Yauw Siu. Kini melihat kakaknya menolong laki-laki itu dan membawanya duduk kembali ke kursinya, Kian Bu berbisik kepada kakaknya, "Lee-ko, dia itu adalah Ci-hu (Kakak Ipar)!"
"Ah, benar....! Ci-hu telah terpukul oleh mereka!" kata Kian Lee.
"Dan Enci Milana akan maju sendiri, hayo kita dului!" Tanpa menanti jawaban Kian Lee, Kian Bu sudah meloncat dan terpaksa Kian Lee mengikuti adiknya sehingga mereka berdua kini berhadapan dengan Sun Giam dan Yauw Siu.
Kian Bu tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan kakaknya untuk bicara, kakaknya yang pendiam itu, maka dia cepat mendahului kakaknya menjawab bentakan Sun Giam tadi. "Siapa adanya kami bukan hal yang patut diributkan, akan tetapi yang penting adalah siapa adanya kalian berdua! Kalian berdua mengaku hendak melamar pekerjaan pengawal, akan tetapi kami tahu bahwa kalian tidak patut menjadi pengawal, karena kalian hanyalah dua orang badut yang tidak lucu!"
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya semua orang mendengar ucapan pemuda tampan yang suaranya lantang itu. Betapa beraninya bocah itu menghina dua orang jagoan yang demikian kosen, yang telah berhasil mengalahkan bekas Panglima Pengawal Han Wi Kong, suami Puteri Milana sendiri! Akan tetapi yang lebih heran dan juga amat marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Yauw Siu melangkah maju.
"Setan cilik, apa kau sudah bosan hidup"
"Setan gede, kalian yang sudah bosan hidup berani menjual lagak di sini. Apa kalian kira kami tidak tahu bahwa tadi kalian bermain curang. Kalau kalian tidak main curang, mana kalian mampu menang menghadapi orang gagah tadi" Manusia macam kalian ini, jangankan menjadi pengawal, menjadi jongos pun tidak patut," kata Kian Bu.
"Wah, pantasnya menjadi apa, Adikku" Kian Lee bertanya membantu adiknya.
"Jadi apa, ya" Pantasnya mereka ini tukang-tukang pukul kampungan, atau pencopet-pencopet di pasar, menjadi penjahat besar pun tidak patut!"
Tentu saja makin bising keadaan di situ karena para tamu maklum bahwa dua orang pemuda yang masih remaja itu dengan sengaja hendak mencari perkara dan sengaja menghina dua orang jagoan tangguh itu. Hati mereka menjadi tegang dan bertanya-tanya siapa gerangan dua orang muda yang nekat itu.
Yang paling marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Mereka adalah dua orang yang kasar dan tak mengenal takut karena bertahun-tahun lamanya mereka menjadi orang-orang yang memiliki kekuasaan diantara gerombolan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon, maka kini dimaki dan dihina oleh dua orang pemuda tanggung itu, hati mereka seperti dibakar rasanya. Akan tetapi, di samping kekasaran mereka, dua orang ini pun cerdik dan mereka menahan kemarahan hati karena mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang pandai dan bahwa mereka berada di kota raja yang besar dan tidak boleh bertindak sembarangan. Kalau saja tidak berada di tempat itu, tentu mereka sudah sejak tadi turun tangan membunuh dua orang pemuda yang berani menghina mereka seperti itu. Mereka masih tidak tahu siapa dua orang pemuda ini. Siapa tahu, melihat sikap mereka yang begitu berani, dua orang pemuda ini adalah putera-putera pembesar yang berkedudukan tinggi di kota raja! Maka Sun Giam lalu memberi isyarat kepada kawannya agar menahan kemarahan, kemudian dia menoleh dan berlutut ke arah Pangeran Liong Bin Ong.
"Mohon paduka mengampuni hamba berdua!" katanya lantang. "Tanpa perkenan atau perintah paduka, hamba tidak berani turun tangan sembarangan. Akan tetapi, dua orang pemuda ini telah menghina hamba berdua dan karena hamba adalah calon pengawal paduka, maka penghinaan yang dilakukan di sini berarti menghina paduka pula. Maka hamba berdua mohon perkenan untuk menghajar dua orang pemuda ini dengan perkenan paduka!"
Tadinya Liong Bin Ong juga terkejut dan marah, dan memang diam-diam dia merasa girang bahwa kedua orang jagoannya itu ternyata boleh diandalkan, berhasil melukai suami Milana dan mungkin akan berhasil membikin malu puteri yang menjadi musuhnya itu. Dia menduga bahwa kedua orang pemuda itu jelas merupakan pendukung puteri itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengangguk!
Tentu saja girang bukan main rasa hati Sun Giam dan Yauw Siu. Kalau tadi mereka masih terpaksa menelan kesabaran adalah karena mereka ragu-ragu karena tidak mengenal dua orang pemuda itu, takut kalau kesalahan tangan. Kini, setelah memperoleh perkenan Pangeran Liong Bin Ong, tentu saja hati mereka menjadi besar dan dengan muka beringas mereka menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.
"Bocah-bocah lancang, hayo lekas beritahukan siapa kalian dan siapa orang tua kalian. Kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau menghajar anak orang tanpa mengetahui siapa ayahnya!" kata Yauw Siu dengan lagak sombong karena dia kini tidak khawatir lagi terhadap ayah anak-anak ini setelah dilindungi oleh Pangeran Liong Bin Ong.
Semua tamu termasuk Milana yang sudah duduk kembali karena dia dapat melihat sifat luar biasa kedua orang anak itu, memandang dan mendengarkan dengan penuh perhatian karena dia pun ingin sekali mendengarkan siapa gerangan dua orang pemuda remaja yang sudah begitu berani mengacaukan pesta Pangeran Liong Bin Ong! Akan tetapi, diantara semua tamu yang hadir, hanya Milana seoranglah yang berani mempersiapkan diri untuk melindungi kedua orang pemuda remaja itu kalau-kalau terancam bahaya maut di tangan dua orang jagoan itu. Puteri ini tentu saja tidak tega membiarkan mereka tewas karena membela dia, atau membela nama Pulau Es yang disebut-sebut dan ditantang oleh dua orang jagoan itu.
Sementara itu, melihat lagak sombong dari Yauw Siu, Kian Lee yang pendiam hanya memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, akan tetapi adiknya, Kian Bu sudah tertawa riang dan mendahului kakaknya menjawab, "Kalian adalah she Yauw dan she Su, dan ketahuilah bahwa kakakku ini namanya Ta-yauw-eng (Pendekar Pemukul Orang she Yauw) dan namaku adalah Ta-sun-eng (Pendekar Pemukul Orang she Sun)! Nah, kalian tidak lekas berlutut minta ampun"
Jawaban yang tak disangka-sangka orang ini selain menimbulkan kemarahan hebat di dalam hati dua orang jagoan itu, juga membuat geli hati mereka yang berpihak kepada suami Puteri Milana yang terluka tadi. Namun kegelisahan hati mereka bercampur dengan kekhawatiran karena mereka maklum betapa marahnya dua orang tukang pukul yang sudah memperoleh perkenan dari Pangeran Liong Bin Ong untuk menghajar dua orang pemuda remaja itu dan tentu mereka tidak akan bertindak kepalang tanggung. Mungkin akan dibunuhnya dua orang pemuda remaja yang tampan dan sedikit pun tidak mengenal takut itu.
"Bocah setan! Kau sudah bosan hidup!" Sun Giam dan Yauw Siu membentak dan keduanya menerjang dan menyerang Kian Bu.
"Heeiiitt....! Eiiittt....!" Kian Bu sudah berloncatan ke belakang dengan sikap mengejek dan mempermainkan, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka mereka bergantian. "Kiranya kalian ini benar-benar hanyalah tukang-tukang pukul kampungan yang beraninya mengeroyok orang! Tadi kalau tidak mengeroyok dan curang, tentu kalian telah roboh oleh orang gagah itu. Apa sekarang kau hendak mengeroyok aku pula"
Wajah kedua orang jagoan itu menjadi merah. Sudah banyak mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang mereka merasa diperrnainkan oleh seorang anak-anak! "Kalian juga berdua, majulah!" teriak Sun Giam menahan kemarahannya karena dia pun malu kalau dikatakan mengeroyok seorang bocah!
"Eh-eh, nanti dulu!" Kian Bu mengangkat kedua tangan ke atas menahan mereka, juga sekaligus menahan kakaknya yang sudah bersiap hendak menerjang Yauw Siu. "Katanya kalian adalah orang-orang gagah, maka sekarang di depan begini banyak tamu agung, perlihatkanlah kegagahanmu. Kalian merupakan dua jago tua dan kami adalah dua orang jago muda, mari kita bertanding satu-satu agar lebih sedap ditonton dan lebih dapat dinikmati bagaimana kalian menghajar kami satu-satu! Betul tidak"
"Betul....!" Otomatis Yauw Siu menjawab karena tertarik oleh cara Kian Bu bicara.
"Hushhh!" Sun Giam membentak dan barulah Yauw Siu sadar bahwa dia telah terseret oleh kata-kata bocah itu dan menanggapinya! Terdengar suara tertawa diantara para tamu menyaksikan sikap dua orang jagoan itu.
Yauw Siu yang menjadi malu sekali sudah melangkah maju. "Baik, mari kita bertanding satu lawan satu!" bentaknya sambil membusungkan dadanya yang bidang dan kekar.
"Nanti dulu, kau tidak sabar amat!" Kian Bu berkata sambil tersenyum. "Lawanmu adalah kakakku, ingat" Kakakku adalah Ta-yauw-eng, jadi harus dia yang memukul engkau! Sedangkan aku adalah Ta-sun-eng, biarlah sekarang aku menghadapi Sun Giam lebih dulu, baru engkau."
"Setan! Siapa pun diantara kalian boleh maju, kalau perlu boleh maju berdua kulawan sendiri!" teriak Yauw Siu yang hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Heiit, sabar, sabar! Hanya mau mengalami hajaran saja mengapa tergesa-gesa amat" Hayo, engkau orang she Sun, kauhadapilah aku Tukang Pemukul Orang she Sun!"
Sun Giam lebih pendiam daripada kawannya, dan juga dia tidak kelihatan menyeramkan seperti Yauw Siu yang tinggi besar bermuka hitam itu. Akan tetapi, orang berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus, bermuka kuning dan matanya sipit ini sebetulnya memiliki keahlian yang lebih berbahaya dibandingkan dengan Yauw Siu. Kalau Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin-tiat-liong (Naga Besi Bermuka Hitam) itu adalah seorang yang bertenaga raksasa dan seorang ahli gwa-kang (tenaga otot), sebaliknya Sun Giam adalah seorang ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang tangguh. Hal ini diketahui dengan baik oleh Milana ketika wanita sakti ini tadi menangkis pukulan mereka berdua. Tentu saja untuk dia pribadi, kepandaian mereka berdua itu tidak ada artinya, akan tetapi kini melihat betapa Sun Giam berhadapan dengan pemuda remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun itu, tidak urung hati Milana menjadi tegang juga.
Sun Giam orangnya pendiam, akan tetapi menyaksikan lagak dan mendengarkan ucapan pemuda tampan yang amat memandang rendah kepadanya itu, dia juga sudah tak dapat menahan kemarahannya. "Baik, bocah kurang ajar. Engkau yang menantang dan semua tamu agung yang hadir menjadi saksi. Kalau kau terpukul mampus nyawamu jangan penasaran dan menyalahkan aku!"
Setelah berkata demikian, Sun Giam sudah menggulung kedua lengan bajunya sehingga tampaklah kedua lengannya yang kurus kecil dan panjang. Melihat ini, Kian Bu tertawa, "He-he-he, kedua lenganmu kecil seperti kayu kering yang lapuk, perlu apa dipamerkan" Jangan-jangan untuk menyerangku menjadi patah-patah nanti!"
Kembali terdengar suara tertawa. Biarpun semua orang masih ragu-ragu apakah pemuda remaja yang tampan dan nakal jenaka itu dapat menandingi Sun Giam, namun setidaknya godaan-godaan itu cukup membuat hati mereka yang tidak suka kepada dua orang jagoan itu menjadi senang.
Akan tetapi suara ketawa itu terhenti dan semua mata memandang penuh ketegangan ketika mereka melihat Sun Giam menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan jari tangan berbentuk cakar dan terdengarlah bunyi berkerotokan mengerikan dari tulang-tulang lengan dan tangannya! Juga tampak betapa kedua lengan itu berubah menjadi kehijauan dan mengeluarkan getaran hebat.
Milana menggenggam tangan kanannya. Dia mengenal ilmu yang dimiliki oleh Sun Giam itu, semacam tok-ciang (tangan beracun) yang mengandung sin-kang kuat dan berbahaya karena beracun! Dia mengerti bahwa hantaman kedua tangannya itu selain amat kuat, juga dapat menembus kulit daging dan meracuni tulang dan otot di tubuh lawan. Dugaannya memang tidak salah, Sun Giam telah melatih semacam pukulan beracun dan kedua tangannya itu mahir dengan Ilmu Cheng-tok-ciang (Tangan Beracun Hijau) yang dahsyat!
"Wah-wah, kiranya engkau pandai main sulap. Tentu kau dahulu adalah seorang penjual obat yang suka main di pasar-pasar, bukan" Sayang permainanmu kurang menarik dan tidak kebetulan aku tidak membawa uang kecil!" kata Kian Bu sambil menyeringai. Tentu saja, sebagai putera Pulau Es, dia pun mengenal kedua tangan itu, akan tetapi dia memandang rendah.
"Bocah sombong, terimalah pukulan mautku!"
Sun Giam sudah menghardik sambil bergerak maju. Gerakannya cepat sekali, kedua kakinya maju tanpa diangkat, hanya bergeser mengeluarkan suara "syet-syet!" dan kedua lengannya sudah bergerak-gerak, setelah dekat dengan Kian Bu dia membentak keras,
"Huiii....! Wut-wut-wut-wut!" Empat kali beruntun kedua tangannya menyambar dahsyat, dimulai dengan tangan kiri membacok dengan tangan terbuka ke leher, disusul tangan kanan mencengkeram iga, kemudian tangan kiri menusuk lambung dan diakhiri dengan tangan kanan mencengkeram ke arah bawah pusar. Setiap serangan merupakan cengkeraman maut yang dapat merenggut nyawa seketika.
"Aihh....! Wuusss.... plak-plak-plak....!" Dengan gerakan lincah sekali Kian Bu mengelak lalu menangkis tiga kali dengan tangannya, lagaknya seperti orang kerepotan akan tetapi semua tangkisannya tepat membuat kedua tangan lawan terpental.
"Sayang luput.... desss....!" Kembali dia menangkis hantaman ke arah mukanya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya menampar ke depan.
"Plakk....! Aughhh....!" Sun Giam terkejut setengah mati. Bukan hanya semua serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, bahkan tahu-tahu pipi kirinya kena ditampar keras sekali sampai kepalanya mendadak menjadi puyeng dan matanya berkunang, pipi kirinya panas berdenyut-denyut! Dia terhuyung ke belakang sambil mengusap pipi kirinya.
"Wah, mukamu menjadi hitam sebelah!" Kian Bu menggoda. "Mari biar kutampar yang sebelah lagi agar tidak menjadi berat sebelah!"
Bisinglah keadaan para tamu ketika menyaksikan hal yang dianggapnya amat aneh ini. Pemuda nakal itu dalam segebrakan saja telah mampu menampar pipi Sun Giam! Dan dilakukan dengan cara semudah itu, seperti mempermainkan seorang anak kecil saja, malah diejek seolah-olah Sun Giam merupakan lawan yang sama sekali tidak mempunyai kepandaian apa-apa.
Sun Giam mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan, kini menggunakan jurus yang amat hebat, kedua lengannya sampai kelihatan menjadi amat banyak saking cepatnya kedua tangan itu bergerak mengirim pukulan-pukulan maut yang amat gencar bertubi-tubi dan saling susul-menyusul.
"Wuuut-tak-tak-tak-syuuuttt.... aih, lagi-lagi kena angin belaka!" Kian Bu mengejek, tubuhnya berloncatan, berputaran, seperti menari-nari dan dengan gerakan aneh menyelinap ke sana-sini namun selalu dia dapat mengelak atau menangkis semua pukulan itu.
"Mampuslah!" Sun Giam yang terus menyerang itu tiba-tiba berteriak, dan kaki kanannya melayang ke arah bawah pusar Kian Bu. Kalau tendangan maut ini mengenai sasaran bagian tubuh yang paling lemah dari seorang pria itu, tentu sukar dapat menyelamatkan nyawa. Semua orang yang ahli dalam ilmu silat diam-diam menahan napas menyaksikan serangan maut ini, kecuali Milana yang tampak tenang saja akan tetapi kini matanya mengeluarkan sinar aneh memandang pemuda remaja itu, duduknya enak dan sama sekali tidak bersiap-siap lagi untuk membantu.
"Wirrr....!" Tendangan itu melayang dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Kian Bu seolah-olah tidak melihat ini, akan tetapi begitu kaki lawan mendekat, dia menggeser tubuh ke kiri, membiarkan kaki lewat di sebelah kanan tubuhnya, tangan kanannya menyambar dan merangkul pergelangan kaki, sedangkan tangan kirinya menyambar ke depan.
"Plakkk!"
Kembali Sun Giam terhuyung ke belakang dan mengeluh, otomatis tangan kanannya mengusap pipi kanannya yang kena ditampar.
"Nah, sekarang baru berimbang, mukamu menjadi kemerah-merahan seperti muka seorang dara cantik yang segar, he-he-heh!" Kian Bu berkata sambil bertepuk tangan. Para tamu yang berpihak kepadanya juga tertawa dan bahkan ada yang bertepuk tangan pula.
Sun Giam menjadi mata gelap saking marahnya. Dia tahu sekarang bahwa pemuda yang bengal ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang mujijat. Bukan hanya dapat menangkis tangan beracunnya tanpa terluka sedikit pun, juga pemuda itu memiliki gerakan yang kelihatannya seenaknya dan sembarangan saja, namun selalu dengan tepat dapat menangkis semua pukulannya, dan setiap kali pukulannya tertangkis, Sun Giam merasa betapa seluruh lengannya dari ujung jari sampai ke ketiaknya, terasa tergetar hebat sekali tanda bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang amat luar biasa! Dia maklum, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia tidak sudi menerima kenyataan bahwa dia kalah menghadapi seorang bocah bengal. Maka sambil mengeluarkan lengking dahsyat, kembali ia menubruk, dengan kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan membentuk cakar harimau, lagaknya persis seekor harimau kelaparan yang menubruk kambing.
Kembali banyak orang terkejut karena melihat betapa pemuda itu enak-enak saja tertawa dan bertepuk tangan, seolah-olah terkaman itu tidak ada artinya sama sekali atau dia tidak tahu betapa dirinya terancam bahaya maut yang mengerikan. Dua lengan lawan itu bergerak-gerak dan sukar diduga ke arah mana akan menyerang dan sekali saja dirinya kena dicengkeram tentu akan hebat akibatnya. Namun tentu saja ini pendapat para penonton, tidak demikian dengan pendapat Kian Bu sendiri. Dia dapat melihat dengan jelas, dapat mengikuti gerakan kedua tangan lawan itu, maka dia enak-enak saja. Ketika jaraknya sudah dekat, tiba-tiba dia pun mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman kedua tangan lawan dan berbareng dia mengangkat lutut kirinya "memasuki" perut lawan.
"Ngekk....!" Biarpun Sun Giam sudah mengerahkan lwee-kangnya untuk membuat perutnya keras dan kebal, namun hantaman lutut yang dilakukan dengan kuat dan tiba-tiba itu tidak urung membuat perutnya mulas dan napasnya sesak, dan pada saat itu Kian Bu sudah menggerakkan tangan kanan yang saling berpegangan dengan tangan kiri lawan, menariknya tiba-tiba sehingga tubuh Sun Giam tertarik dan terbawa maju, lalu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kian Bu menekuk lengan kanannya itu, sikunya menyambar ke depan.
"Croott....!" Siku itu mencium muka Sun Giam, tepat mengenai hidungnya. Bagian ini sukar untuk diisi tenaga lwee-kang sekuatnya, maka biarpun batang hidung itu tidak remuk, akan tetapi getaran pukulan siku itu membuat darahnya muncrat keluar dari dalam!
"Aughhh....!" Sun Giam mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sibuklah kedua tangannya, yang satu mengelus perut yang mulas, yang satu lagi menutupi hidungnya yang berdarah.
"Bocah setan....!" Tiba-tiba Yauw Siu memaki dan langsung dia menubruk ke arah Kian Bu.
"Heiii....! Eh, uh, luput! Eh, kau adalah lawan kakakku!" Kian Bu mengelak ke sana ke mari dengan cekatan sekali sehingga setiap pukulan, setiap tubrukan mengenai tempat kosong. Namun Yauw Siu yang marah sekali menyaksikan betapa temannya tadi dipermainkan, saking marahnya terus menerjang seperti seekor harimau, kedua lengannya yang besar panjang itu bergerak-gerak dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas. Mukanya yang hitam menjadi makin hitam dan matanya melotot lebar menyeramkan.
Melihat betapa calon lawannya itu mengamuk dan menyerang adiknya, Kian Lee hanya berdiri tersenyum. Tentu saja dia tahu bahwa orang kasar itu sama sekali bukan tandingan adiknya, biar ada sepuluh orang seperti itu belum tentu akan dapat mengalahkan adiknya, maka dia tenang-tenang saja dan membiarkan adiknya yang jenaka itu bergembira memborong semua lawan!
"Wah.... eiiittt.... Koko, bagaimana ini" Kian Bu masih mengelak terus.
"Ambil saja untukmu, biar aku menonton saja!" jawab Kian Lee.
"Begitukah" Ha-ha, Yauw Siu, engkau masih untung! Kalau melawan kakakku, tentu kepalamu akan hancur. Aku masih mending, kau hanya akan mengalami benjut-benjut saja!"
"Keparat....!" Yauw Siu sudah menubruk lagi, kedua kaki dan tangannya dipentang lebar, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Kian Bu untuk mengelak. Dan pemuda ini pun sama sekali tidak mengelak lagi! Bahkan dia memapaki, menyambut terkaman itu, kedua tangannya didorongkan ke depan dan.... tubuh tinggi besar itu seperti daun ditiup angin, terlempar ke samping dan terbanting keras.
Yauw Siu terkejut bukan main. Dia tidak tahu bagaimana dia tadi terbanting roboh, yang dirasakannya hanyalah ada angin menyambar dahsyat, angin yang terasa amat dingin. Akan tetapi dia merasa penasaran, cepat dia meloncat berdiri dan menerjang lagi seperti angin puyuh, mengamuk membabi buta mengirim pukulan dan tendangan.
Kian Bu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan amat mudah dia mengelak dengan jalan meloncat ke belakang dan tahu-tahu lenyaplah dia dari depan Yauw Siu yang menjadi bingung dan terbelalak memandang, mencari ke kanan kiri. Terdengar gelak tawa para penonton karena mereka dapat melihat betapa tubuh pemuda lihai itu tadi mencelat dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu telah berada di belakang Yauw Siu sambil tersenyum-senyum. Mendengar suara ketawa para penonton, Yauw Siu menjadi makin bingung dan matanya memandang liar. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Dia membalik dan.... "Plak-plak!" kedua pipinya kena ditampar dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Tepuk tangan menyambut "kemenangan" pemuda itu dan Pangeran Liong Bin Ong memandang pucat, memberi isyarat dengan pandang matanya kepada para pengawalnya.
Yauw Siu terkejut dan makin marah. Biarpun dia kini juga maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai, namun rasa malu dan marahnya membuat dia nekat.
"Srattt....!" Dia telah mencabut sebatang ruyung lemas yang bergigi, yang tadi melingkar di pinggangnya.
"Singg.... wir-wir-wirrr....!" Sun Giam kini juga sudah mengeluarkan senjatanya yang tadi melibat pinggangnya, yaitu sebuah senjata rantai baja dengan bola berduri di kedua ujungnya.
"Mundurlah, Bu-te!" Kian Lee berkata dengan marah melihat betapa dua orang jagoan itu benar-benar tak tahu diri. Betapapun juga, dia amat sayang kepada adiknya dan melihat kenekatan dua orang itu yang telah mengeluarkan senjata, dia cepat melompat maju.
Kian Bu meloncat ke belakang. "Celakalah kalian sekarang," katanya mengejek kepada dua orang jagoan itu.
Akan tetapi dua orang jagoan yang sudah amat marah itu tidak mempedulikan ejekan Kian Bu. Melihat bahwa sekarang pemuda ke dua yang maju dengan tangan kosong saja, dengan sikap tenang sekali namun dengan wajah yang tampan itu membayangkan kemarahan dan mata yang tajam itu memandang tanpa berkedip, mereka sudah menerjang maju menggerakkan senjata masing-masing tanpa mempedulikan lagi teriakan-teriakan para tamu yang memaki mereka dan yang mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.
Han Wi Kong yang pundaknya sudah dibalut dan sejak tadi memandang kagum, kini hendak bangkit dari tempat duduknya. "Si keparat tak tahu malu!" desisnya. Akan tetapi tiba-tiba tangan Milana menyentuh lengannya.
"Biarkan saja...."
"Apa...." Kedua orang anak muda itu terancam...."
Milana menggeleng kepala, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar, wajahnya berseri-seri. "Apakah kau tidak dapat menduga siapa mereka" Apakah kau tidak mengenal Sin-coa-kun, kemudian loncatan Soan-hong-lui-kun dan dorongan pukulan Swat-im Sin-ciang yang dilakukan Kian Bu tadi"
"Kian Bu.... ahh dan yang satu itu...."
"Kian Lee, siapa lagi"
Han Wi Kong memandang terbelalak dan dengan penuh kekaguman dia melihat betapa Kian Lee menghadapi dua orang lawan bersenjata itu dengan sikap tenang sekali. Dua gulungan sinar senjata itu menyambar-nyambar ke depan. Kian Lee berkelebat mengelak diantara dua gulungan sinar senjata itu, gerakannya cepat sekali sehingga tidak dapat dilihat lagi bentuk tubuhnya, hanya bayangannya saja berkelebatan dan tiba-tiba terdengar dua kali teriakan keras, dua batang senjata itu terlempar dan dua orang jagoan itu terlempar dan roboh terbanting!
Kian Lee telah berdiri dengan sikap penuh wibawa, kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bersedakap dan dia menghardik, "Kalian masih berani menjual lagak lagi di sini"
Dua orang jagoan itu merangkak bangun, muka mereka menjadi pucat sekali, lalu mereka saling pandang dan membalikkan tubuhnya.
"Tunggu....!" Klan Bu mencelat dari tempat dia berdiri, tahu-tahu telah berada di depan kedua orang itu. "Tadi kalian melukai orang, terlalu enak kalau kalian dibiarkan pergi begitu saja tanpa dihukum!" Kedua tangannya bergerak cepat menyambar ke depan. Kedua orang jagoan yang masih merasa nanar itu berusaha membela diri, akan tetapi mereka jauh kalah cepat.
"Krek-krek! Krek-krek!" Dua orang itu jatuh berlutut, kedua tulang pundak mereka telah dipatahkan oleh jari tangan Kian Bu yang hendak membalaskan orang gagah yang tadi patah tulang pundaknya. "Nah, pergilah kalian!" bentaknya.
Dua orang itu mengeluh, menggigit bibir, memandang dengan mata melotot, kemudian bangkit berdiri dan pergi cepat meninggalkan tempat itu melalui pintu gerbang dengan gerak langkah yang amat lucu. Kaki mereka melangkah cepat setengah berlari, akan tetapi kedua lengan mereka tidak dapat berlenggang, hanya tergantung lumpuh di kanan kiri tubuh.
"Tangkap dua orang pengacau itu....!" Tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong berteriak memerintah sambil menudingkan telunjuknya ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Belasan orang pengawal bergerak maju mengepung dengan senjata di tangan.
"Eh, eh, kenapa kami hendak ditangkap" Kian Bu berseru heran sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Kaliah mengacau!" Pangeran itu membentak pula karena dia pun melihat betapa banyak diantara para tamu menggelengkan kepala tidak setuju kalau dua orang muda itu ditangkap.
"Ah! Ah! Jadi kami yang mengacau" Kian Bu berteriak pula tanpa takut sedikit pun. "Dua orang jagoan kampungan tadi telah mengeluarkan tantangan dan penghinaan terhadap Pulau Es, dan siapa pun tahu bahwa Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti! Pendekar itu adalah mantu dari Yang Mulia Kaisar dan ayah dari Puteri Milana yang hadir di sini sebagai tamu kehormatan! Kami berdua maju menghajar orang yang menghina mantu Kaisar malah dituduh pengacau! Kalau begini, siapa yang mengacau"
Mendengar ucapan ini, Liong Bin Ong menjadi merah mukanya. Apa yang diucapkan dua orang pemuda remaja itu terdengar oleh semua orang dan hampir semua orang mengangguk-angguk membenarkan.
"Siapa kalian" bentaknya.
"Sebagai putera-putera Pendekar Super Sakti, tentu saja kami tidak membiarkan orang-orang macam mereka itu menghina Pulau Es."
"Kian Bu....! Kian Lee....!" Milana tak dapat menahan lagi kegirangan hatinya. Dia sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pemuda itu yang serta merta berlutut di depan Milana.
"Enci Milana....!" Mereka berkata hampir berbareng.
Milana tertawa dan sekaligus mengusap air matanya, menyuruh bangun mereka dan memeluk mereka, menarik mereka ke ruangan tamu kehormatan dan memperkenalkan mereka kepada Pangeran Liong berdua dan para tamu.
"Mereka adalah adik-adikku Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dari Pulau Es!"
Melihat keluarga yang saling bertemu itu bergembira dan disambut oleh para tamu dengan girang, dua orang Pangeran Liong saling pandang dengan muka pucat. Tentu saja mereka tidak dapat berbuat sesuatu terhadap adik-adik Puteri Milana, yaitu cucu Kaisar sendiri, apalagi karena semua tamu tadi jelas menyaksikan betapa dua orang pemuda itu mengalahkan dua orang jagoan yang dianggap menghina Pulau Es. Berbondong para tamu datang dan menghaturkan selamat kepada Puteri Milana yang telah bertemu dengan dua orang adiknya yang gagah perkasa.
Dengan alasan kedatangan dua orang adiknya, Puteri Milana dan suaminya yang terluka pundaknya itu bergegas meninggalkan tempat pesta, pulang ke istana mereka sendiri. Setelah Han Wi Kong yang patah tulang pundaknya itu memperoleh perawatan dari seorang tabib dan mengundurkan diri untuk beristirahat di kamarnya sendiri, Milana mengajak dua orang adiknya bercakap-cakap sampai semalam suntuk. Tidak ada habis-habisnya mereka saling menceritakan keadaan masing-masing, dan terutama sekali dengan penuh kerinduan hati Milana ingin mendengarkan segala hal mengenai Pulau Es. Ketika dia mendengar tentang Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar yang pernah dilawannya di rumah penginapan itu ternyata pernah pula menyerbu Pulau Es dengan kawan-kawannya, puteri ini mengerutkan alisnya dan dengan penuh kekhawatiran dia dapat menduga bahwa Pangeran Liong ternyata dibantu oleh orang-orang pandai.
Beberapa hari kemudian, setelah membawa dua orang adiknya menghadap kepada Kaisar, Milana lalu memberi tugas kepada kedua orang adiknya yang dia tahu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk menjaga diri dan untuk menunaikan tugas rahasia itu. Dia menyuruh Kian Lee dan Kian Bu pergi ke utara, menemui Jenderal Kao Liang dan menceritakan semua keadaan di kota raja, mengajak Jenderal Kao yang amat setia dan yang menguasai sebagian besar pasukan itu untuk mengerahkan pasukan menumpas pemberontak-pemberontak tanpa menanti perintah Kaisar lagi karena Kaisar tentu saja terpengaruh oleh para pangeran yang menjadi saudaranya sendiri itu, dan tidak percaya bahwa mereka merencanakan pemberontakan. Pendeknya Milana mengajak Jenderal Kao untuk mendahului gerakan pemberontakan dan sekaligus membasmi pemberontak yang belum sempat bergerak itu.
*** Tengah malam telah lewat. Udara amat dingin membuat para penjaga yang berkumpul di gardu benteng mengantuk dan mereka berusaha untuk melawan dingin dengan api unggun besar. Perang antara dinginnya hawa udara dan panasnya api unggun mendatangkan kehangatan yang membuat orang cepat mengantuk, apalagi setelah bertugas menjaga dan meronda sehari semalam menanti penggantian giliran besok pagi. Banyak diantara para penjaga itu yang mendengkur tanpa dapat ditahan lagi, ada yang berbaring begitu saja di bawah gardu, ada yang tidur sambil bersandar gardu, dan yang belum tidur rata-rata sudah melenggut digoda kantuk yang berat. Mereka sudah malas meronda. Pula, perlu apa diadakan perondaan secara ketat" Benteng itu penuh pasukan tentara, siapa berani mengantar nyawa memasuki benteng"
Kelengahan para penjaga karena ngantuknya ini makin memudahkan dua orang yang bergerak seperti iblis saja di malam hari itu. Dengan gerakan ringan bukan main mereka meloncat ke atas pagar tembok, lalu melayang turun dan cepat menyelinap diantara bangunan-bangunan di dalam benteng, menghindarkan diri dari pertemuan dengan penjaga-penjaga yang bertugas di dalam.
Dua sosok bayangan orang itu berkelebatan kadang-kadang naik ke atas genteng dan berloncatan, kemudian melayang turun lagi dan menyelinap diantara bangunan-bangunan rumah asrama para pasukan tentara. Dari gerak-gerik mereka, jelas bahwa selain memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang ini sudah hafal akan keadaan di situ.
Tentu saja demikian karena seorang diantara mereka ini adalah Jenderal Kao Liang dan yang seorang lagi adalah Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jenderal Kao Liang dibantu Gak Bun Beng pergi ke benteng yang dikuasai oleh Panglima Kim Bouw Sin, untuk menumpas para pemberontak. Menyetujui pendapat Bun Beng agar tidak mendatangkan perang saudara secara terbuka antara pasukan-pasukan sendiri, maka jenderal itu bersama Bun Beng memasuki benteng berdua saja secara diam-diam dan menggunakan waktu malam untuk menyelidik. Sudah tentu saja andaikata Jenderal Kao masuk dari pintu gerbang, para penjaga akan mengenalnya dan tidak akan ada yang berani melarangnya, akan tetapi kalau hal itu dilakukan dan Kim Bouw Sin mendengar akah kedatangannya, tentu panglima yang memberontak itu akan mengadakan persiapan untuk mencelakakannya. Maka mereka berdua memasuki benteng malam itu secara diam-diam, dan berkat pengetahuan jenderal itu tentang benteng di mana dahulu dia pernah menjadi komandannya, maka mereka berdua dapat dengan mudah menyelinap masuk dan langsung menuju ke tempat kediaman Panglima Kim Bouw Sin.
Akhirnya, Jenderal Kao dan Bun Beng sudah tiba di balik pintu ruangan besar di mana Panglima Kim Bouw Sin tampak sedang berunding dengan belasan orang, dan kelihatan panglima itu marah-marah.
"Kalian sungguh-sungguh tidak ada gunanya!" Agaknya entah sudah berapa puluh kali dia memaki seperti itu. "Sekarang, semua gagal dan kita akan celaka."
"Kim-ciangkun, apakah tidak sebaiknya kalau kita mengirim pasukan yang lebih kuat dan diam-diam berusaha lagi untuk...."
"Jangan sembrono! Setelah kegagalan itu, tentu Kao Liang akan berjaga dengan teliti dan kuat. Lebih baik kita cepat melaporkan kepada Pangeran Liong dan kalian yang ikut membantu di sumur maut harus cepat menyembunyikan diri sehingga andaikata dia datang memeriksa, dia tidak akan menemukan bukti apa-apa di sini."
"Bagus sekali siasatmu, akan tetapi rahasiamu telah terbuka, Kim Bouw Sin! Pengkhianat hina, pemberontak busuk, menyerahlah kalian!"
Bentakan suara Jenderal Kao yang amat nyaring ini tentu saja amat mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Mereka meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ke arah jendela yang tiba-tiba bobol dari luar diikuti melayangnya tubuh dua orang yang kini sudah berdiri di situ memandang mereka dengan sinar mata berapi. Kim Bouw Sin tidak mengenal siapa adanya laki-laki gagah berpakaian sederhana bercaping lebar yang berdiri di samping Jenderal Kao itu, akan tetapi mengerti bahwa rahasianya telah terbuka, dia cepat berseru, "Bunuh mereka!"
Sebelum menyerbu masuk, Jenderal Kao yang melihat betapa diantara belasan orang itu terdapat Kim Bouw Sin dan tiga orang panglima pembantunya, juga terdapat dua orang yang dia lihat ikut mengeroyoknya di sumur maut, telah membisiki Gak Bun Beng bahwa mereka berdua harus dapat menangkap hidup atau mati Kim Bouw Sin, tiga orang pembantunya, dan dua orang pengeroyok itu. Yang lain-lain hanyalah kaki tangan yang tidak begitu penting, akan tetapi tiga orang pembantu dan dua orang pengeroyok itu merupakan saksi penting sekali akan pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong seperti dapat dibuktikan dari perundingan mereka tadi. Gak Bun Beng mengangguk dan menyerbulah mereka ke dalam ruangan itu.
Aba-aba yang dikeluarkan oleh mulut Kim Bouw Sin tidak perlu diulang kembali karena semua yang hadir dalam perundingan itu mengenal belaka siapa adanya laki-laki berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berpakaian panglima itu. Sungguhpun kebanyakan diantara mereka tidak ada yang mengenal laki-laki yang lebih muda, berusia empat puluh tahunan berpakaian sederhana itu, namun mereka dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah kaki tangan Jenderal Kao. Hanya dua orang yang ikut menyerbu ke sumur maut mengenal Bun Beng dan mereka ini menjadi begitu kaget dan ketakutan sehingga ketika Kim Bouw Sin dan yang lain-lain mencabut senjata dan menyerbu, dua orang ini lari menyelinap dan berusaha pergi dari tempat berbahaya itu.
Pada saat itu, Jenderal Kao Liang sudah mencabut pedang panjangnya dan dengan gagah perkasa menghadapi serbuan lima enam orang, sedangkan Gak Bun Beng dengan tangan kosong sedang menghadapi hujan senjata para kaki tangan Kim Bouw Sin yang rata-rata terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Akan tetapi melihat dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao sedang berusaha menyelinap pergi, Bun Beng melepaskan topi caping lebarnya dan sekali tangannya bergerak, topi caping lebar itu meluncur, mengeluarkan suara berdesing, berputar-putar seperti gasing dan menyambar ke arah lutut kedua orang yang melarikan diri itu dari belakang.
"Crak-crakkk!"
Dua orang itu mengeluarkan suara menjerit dan roboh terjungkal karena kedua lutut kaki mereka seperti dibacok senjata tajam, membuat mereka berdua lumpuh tak dapat bangun kembali sedangkan mata mereka terbelalak memandang ke arah benda yang masih berputaran dan kini melayang kembali ke arah Gak Bun Beng. Caping itu memang dilemparkan dengan gerakan istimewa pergelangan tangan sehingga berputar amat cepatnya, maka ketika menyentuh lutut kedua orang itu, dalam keadaan terputar seperti golok tajamnya dan bersentuhan dengan lutut mereka itu membuat caping tadi yang masih berputar cepat itu berbalik arah dan melayang kembali ke arah pemiliknya. Memang hal ini telah diperhitungkan oleh Bun Beng melalui latihan-latihan yang tekun bertahun-tahun lamanya.
Dengan tenang Bun Beng menghadapi pengeroyokan orang banyak, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas ketika dia melihat capingnya melayang kembali dan menyambar benda itu, terus dipakai di atas kepalanya dan mulailah dia menggunakan kaki tangannya menghadapi pengeroyok.
Jenderal Kao yang dikeroyok oleh Kim Bouw Sin sendiri bersama kaki tangannya, mengamuk hebat. Pedangnya bergerak seperti seekor naga bermain-main di angkasa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulungan sinar yang menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu di ruangan itu dan dalam belasan jurus saja dia telah berhasil merobohkan dua diantara tiga panglima pembantu Kim Bouw Sin yang mengakibatkan seorang tewas dan yang seorang lagi setengah mati karena kaki kanannya buntung dan pundaknya terluka parah.
Gan Bun Beng yang sudah lama sekali, belasan tahun sudah, tidak pernah melukai orang apalagi membunuh, merasa ngeri juga maka dia mengambil keputusan untuk cepat mengakhiri pertempuran itu tanpa terlalu banyak membunuh orang. Tiba-tiba dari dalam perutnya, melalui kerongkongannya keluar pekik melengking yang luar biasa sekali, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan. Menyambarlah angin-angin pukulan yang berhawa dingin, dan semua pengeroyoknya yang berjumlah delapan orang itu roboh semua, sebagian karena sudah lumpuh mendengar pekik melengking itu dan sebagian lagi roboh oleh dorongan angin pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa itu. Kemudian tubuhnya mencelat ke arah Jenderal Kao yang sedang mengamuk dan dengan beberapa kali menggerakkan tangan dan kakinya, robohlah seorang panglima pembantu dan dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao, yaitu dua orang yang pernah mengeroyok jenderal itu di sumur maut. Jenderal ini kagum dan juga girang sekali, pedangnya mendesak hebat kepada bekas pembantunya dan betapa pun Kim Bouw Sin mempertahankan dengan pedangnya, namun tidak sampai sepuluh jurus dia roboh, pedangnya terlepas dari pegangan dan lehernya sudah dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri Jenderal Kao!
Melihat robohnya para panglima itu, sisa para pengeroyok menjadi jerih dan cepat melarikan diri keluar dari ruangan sambil berteriak-teriak minta bantuan. Dari luar berbondong-bondong masuklah para pengawal dari penjaga yang bersenjata lengkap.
"Gak-taihiap, lekas bawa dua orang itu!"
Bun Beng sendiri bingung menghadapi keadaan yang amat gawat itu. Kalau semua pasukan datang menyerbu, mereka berdua mana mungkin mampu melawan puluhan ribu orang tentara" Maka dia tidak banyak bertanya, cepat dia menyambar dua orang yang dirobohkannya tadi, menotok mereka lalu mengempit tubuh mereka, mengikuti Jenderal Kao yang sudah memanggul tubuh Kim Bouw Sin dan meloncat keluar dari ruangan itu melalui jendela.
Terdengar suara anak panah yang banyak sekali mengaung dan berdesir menyambar, namun Jenderal kao dapat meruntuhkannya dengan putaran pedangnya sedangkan Bun Beng sudah melesat ke atas dengan cepat sekali, diikuti oleh Jenderal Kao.
"Mari kauikuti aku!" Jenderal Kao berkata dan keduanya lalu berloncatan melalui atap rumah-rumah di dalam benteng itu menuju ke menara! Dengan kecepatan luar biasa keduanya dapat tiba di menara. Belasan orang penjaga menara ketika melihat bahwa yang muncul adalah Jenderal Kao yang mengempit Panglima Kim Bouw Sin dan seorang pria gagah yang membawa dua orang, menjadi terkejut, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Hai, para penjaga! Aku Jenderal Kao datang untuk membasmi pemberontakan dan pengkhianatan. Hayo kalian lekas bunyikan tanda agar seluruh perajurit berkumpul!" dengan suara yang nyaring dan penuh wibawa jenderal itu membentak, lalu menambahkan. "Ataukah kalian hendak ikut memberontak pula dan ingin kubunuh semua di sini"
Para penjaga itu menjadi ketakutan, apalagi melihat bahwa panglima mereka telah tidak berdaya. Dua orang diantara mereka cepat meniup terompet dan memukul tambur tanda berkumpul bagi seluruh penghuni benteng itu. Sementara itu pagi sudah mulai tiba, biarpun cuaca masih remang-remang, namun tidaklah segelap tadi. Para perajurit yang sedang tidur lelap itu terbangun dan menjadi kaget sekali, cepat-cepat mereka berpakaian dan berlari-lari menuju ke lapangan terbuka di bawah menara. Dalam keadaan hiruk-pikuk itu, tentu saja berita tentang penyerbuan dua orang yang menggegerkan itu diterima dalam keadaan bingung dan simpang-siur oleh para perajurit sehingga mereka itu tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dan menyangka bahwa tanda berkumpul itu tentu ada hubungannya dengan berita kekacauan itu.
Karena sudah terlatih, dalam waktu singkat saja semua perajurit telah berkumpul rapi di lapangan itu, menghadap ke menara dipimpin oleh perwira yang mengepalai pasukan masing-masing. Dari atas menara, Jenderal Kao melihat bahwa tidak ada seorang pun panglima yang hadir. Dari atas dia dapat melihat jelas karena para perajurit yang bertugas bagian penerangan telah memasang banyak lampu dan obor untuk menerangi tempat itu. Padahal Kim Bouw Sin mempunyai lima orang pembantu sebagai panglima-panglima di benteng itu. Tiga orang di antara yang lima itu ikut mengkhianati pemerintah dan telah dirobohkan, akan tetapi yang dua lagi, Panglima Kwa dan Panglima Coa, tidak nampak hadir. Apakah yang dua itu pun ikut memberontak dan dalam keadaan berbahaya itu telah melarikan diri"
Setelah semua perajurit telah berkumpul, Jenderal Kao membawa Panglima Kim Bouw Sin yang setengah pingsan itu ke depan menara sehingga tampak oleh semua perajurit karena di bagian depan menara itu telah dipasangi lampu oleh para penjaga yang menjadi bingung sekali melihat betapa panglima mereka ditawan oleh Jenderal Kao yang terkenal galak dan ditakuti juga disegani dan dihormati semua perajurit itu.
Melihat munculnya Jenderal Kao yang memegang tengkuk Panglima Kim Bouw Sin dan memaksa bekas komandan benteng itu berdiri di sampingnya, terkejutlah semua perajurit dan di bawah menjadi bising.
"Semua tenang....!" Suara Jenderal Kao bergema sampai jauh di bawah menara dan seketika keadaan menjadi hening, tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Hati jenderal itu menjadi lega menyaksikan ketaatan ini. Hal ini hanya berarti bahwa belum semua perajurit dipengaruhi oleh rencana pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong. Dan dia pun bersyukur sekali bahwa dia menyetujui rencana Gak Bun Beng untuk mengakhiri urusan ini secara menyelundup ke dalam benteng, dibantu oleh pendekar yang sakti itu. Kalau dia datang bersama sepasukan tentara, tentulah terjadi salah paham dan pasukan benteng itu akan dapat mudah dibujuk untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi sekarang, setelah semua panglima yang memimpin pemberontakan dirobohkan dan ditawan, mereka tidak sempat lagi membujuk dan para perajurit yang kebingungan baru bangun tidur itu tentu saja tidak berniat untuk memberontak karena yang muncul hanyalah seorang saja, yaitu Jenderal Kao Liang yang mereka takuti dan hormati.
Setelah melihat semua perajurit tenang dan suasana menjadi hening, jenderal itu bicara dan suaranya menggema dari atas menara, "Para perwira dan para perajurit yang gagah perkasa! Diantara kalian tentu ada yang sudah tahu, ada yang dapat menduga dan mungkin ada pula yang belum tahu bahwa Panglima Kim Bouw Sin juga menjadi komandan kalian, yang menjadi pembantuku yang kupercaya, ternyata telah berkhianat dan menyelewengkan kalian ke arah pemberontakan yang amat hina dan rendah!"
Jenderal itu berhenti sebentar dan melihat banyak mata memandang dengan ketakutan. Cepat dia menyambung, "Kalian tahu apa yang akan menimpa kalian kalau hal itu terlaksana" Kalian akan dibasmi, dihancurkan dan masing-masing akan menerima hukuman berat sekali, dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak yang amat rendah sehingga sampai beberapa keturunan nama kalian menjadi busuk, bahkan nama nenek moyang terbawa-bawa ke dalam kehinaan! Untung bahwa aku mengetahui hal itu dan cepat malam ini aku turun tangan menangkap pengkhianat Kim Bouw Sin ini bersama kaki tangannya. Dan aku tahu bahwa kalian tidak berdosa, bahwa kalian hanya terbawa-bawa saja oleh atasan yang menyeleweng, oleh karena itu, kalau kalian mau insyaf dan mulai saat ini tunduk dan setia kepada pemerintah, aku Jenderal Kao Liang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum dan tidak dianggap berdosa. Bagaimana pendapat kalian"
Hening sejenak, keheningan yang amat menegangkan hati Gak Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa kalau sampai jenderal itu gagal menguasai para perajurit ini sehingga mereka memberontak, tentu dia dan Jenderal Kao tidak dapat meloloskan diri lagi dari kepungan puluhan ribu orang perajurit itu!
"Hidup Jenderal Kao....!"
"Basmi pemberontak....!"
Gak Bun Beng bernapas lega dan diam-diam dia kagum sekali atas ketenangan dan kepribadian jenderal itu. Jenderal Kao mengangkat kedua tangannya dan semua kebisingan yang di bawah berhenti.
"Yang memimpin pemberontakan adalah Kim Bouw Sin dan tiga orang pembantunya, mereka sudah kurobohkan, dibantu pula oleh tenaga-tenaga dari luar benteng. Akan tetapi aku tidak melihat adanya Panglima Kwa dan Panglima Coa, ke manakah kedua orang itu"
Terdengar jawaban dari bawah, dari mulut seorang perwira, "Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun telah ditangkap dan ditawan oleh Kim Bouw Sin!"
"Ahh!" Jenderal Kao Liang berseru. "Lekas bebaskan mereka dan hadapkan kepadaku!"
Dari bawah terdengar suara menyanggupi dan tampak beberapa orang perwira berlari ke dalam rumah tahanan dan tak lama kemudian mereka datang kembali membawa dua orang laki-laki bertubuh tegap yang pakaiannya kusut dan robek-robek, yang tubuhnya banyak luka-luka bekas cambukan. Mereka ini berlari ke depan, dan cepat menjatuhkan diri berlutut di bawah menara, menghadap ke arah Jenderal Kao.
"Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun, apa yang terjadi" Mengapa kalian ditangkap oleh Kim Bouw Sin" Jenderal Kao bertanya.
"Kami berdua menentang pemberontakannya, tidak mau terbujuk, maka kami ditangkap dan kami disiksa untuk mau membantu, akan tetapi kami berdua lebih baik memilih mati daripada harus memberontak," jawab Kwa-ciangkun.
"Para perwira dan perajurit! Kalian sudah mendengar sendiri. Itulah baru suara seorang perajurit sejati! Maka, untuk sementara waktu ini, aku mengangkat Kwa-ciangkun sebagai komandan benteng ini yang baru dan Coa-ciangkun menjadi wakilnya!"
Kembali terdengar sambutan sorak-sorai, sebagian besar dari para perajurit yang merasa beruntung sekali bahwa mereka yang tadinya terbujuk untuk membantu Kim Bouw Sin, memperoleh pengampunan yang demikian mudahnya. Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa lemah kedudukan mereka, betapa lemah pemimpin mereka yang mengajak memberontak sehingga dengan munculnya dua orang saja, para pemimpin itu telah dibuat tidak berdaya sama sekali! Kalau mereka terlanjur memberontak, menghadapi pasukan pemerintah di bawah pimpinan seorang panglima seperti Jenderal Kao, tentu mereka akan dibasmi hancur!
Jenderal Kao lalu menyerahkan pimpinan kepada kedua orang panglimanya yang baru. Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun lalu menggunakan kesempatan itu untuk memberi "kuliah" kepada para perajurit sampai hari menjadi terang, sedangkan Jenderal Kao dan Gak Bun Beng menyerahkan para tawanan itu, Kim Bouw Sin dan dua orang kaki tangannya yang akan diajukan sebagai saksi, kepada para penjaga agar mereka itu ditawan dengan kaki tangan dibelenggu. Akan tetapi ketika mereka turun dari menara dan memasuki ruangan pertempuran tadi, ternyata tiga orang pembantu panglima yang menjadi kaki tangan Kim Bouw Sin telah tewas semua, membunuh diri!
"Ahhh.... saya yang ceroboh, Panglima!" Bun Beng berseru menyesal. "Semestinya mereka itu kutotok lumpuh sebelum kita tinggalkan tadi."
"Tidak mengapa, Taihiap. Mereka pun sudah sepatutnya mampus, manusia-manusia rendah yang hanya mengejar kesenangan tanpa mempedulikan lagi caranya itu sehingga mereka mau saja diperalat oleh Pangeran Liong untuk memberontak. Yang penting adalah Kim Bouw Sin sebagai tokoh utamanya dan dua orang pembantunya itu sebagai saksi karena mereka berdua ikut mengeroyokku di sumur maut." Jenderal Kao lalu mengajak dua orang komandan baru untuk berunding, kemudian dia bersama Gak Bun Beng kembali ke bentengnya sendiri dikawal oleh sepasukan istimewa yang membawa Kim Bouw Sin dan dua orang pembantunya itu dalam kereta kerangkeng, karena Jenderal Kao menghendaki agar tiga orang tawanan itu dibawa ke bentengnya agar langsung berada di bawah penjagaannya sendiri menanti saatnya mereka dihadapkan ke kota raja. Dia pun sudah memerintahkan dengan tegas agar mereka bertiga tidak diberi kesempatan untuk membunuh diri, karena di dalam hatinya jenderal ini mengambil keputusan untuk menggunakan mereka bertiga itu untuk membongkar rahasia pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong.
Rasa persahabatan terhadap Bun Beng makin mendalam berakar di hati jenderal yang perkasa itu. Di sepanjang perjalanan kembali ke bentengnya, mereka yang duduk berkuda berdampingan, tiada hentinya bercakap-cakap dan di dalam percakapan ini Jenderal Kao Liang menceritakan tentang keadaannya. Di dalam pelaksanaan tugasnya yang penting, berbahaya, dan di perbatasan yang sunyi dan liar, dia tidak membawa keluarganya, meninggalkan isteri dan tiga orang anaknya di kota raja setelah terjadi hal menyedihkan ketika keluarganya dibawanya dahulu di perbatasan itu. Di waktu keluarganya ikut bersamanya di benteng perbatasan, puteranya yang sulung, ketika itu baru berusia sepuluh tahun, pada suatu hati telah lenyap ketika anak itu bermain-main di luar benteng seorang diri. Tentu saja Jenderal Kao sudah mengerahkan pasukan mencari-cari, dia sendiri pun sudah mencari, mengarungi padang pasir di utara, namun hasilnya sia-sia, puteranya pun tidak dapat diketemukan kembali bahkan mayatnyapun tidak! Setelah terjadi peristiwa menyedihkan itu, dia lalu mengirim kembali keluarganya ke kota raja dan peristiwa yang sudah terjadi selama belasan tahun yang lalu itu masih saja berbekas di dalam hatinya, kadang-kadang membuatnya termenung memandang padang pasir yang luas, teringat akan nasib puteranya yang dianggapnya tentu telah tewas tak tentu kuburnya itu.
Adapun Gak Bun Beng juga merasa makin kagum terhadap pribadi jenderal ini, yang ternyata selain seorang yang amat setia kepada pemerintah, keturunan orang-orang besar dalam bidang kemiliteran, juga adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berjiwa besar. Maka hatinya pun menjadi lega bahwa dia telah membawa Syanti Dewi kepada jenderal itu. Dan dia pun lalu menceritakan tentang diri Syanti Dewi selengkapnya, seperti yang diketahuinya.
"Saya merasa kasihan sekali terhadap Syanti Dewi. Dia seorang puteri raja, akan tetapi nasib membawanya mengalami banyak kesengsaraan lahir batin. Tidak hanya dia terpaksa mentaati kehendak orang tua untuk menikah dengan seorang pangeran tua yang sama sekali belum pernah dijumpainya, akan tetapi juga ternyata bahwa pangeran itu seorang berhati curang, bahkan mungkin sekali, karena hal ini belum dapat terbukti kuat, adalah seorang pengkhianat dan pemberontak. Lebih lagi setelah tiba di sini, dia mendengar akan kematian Candra Dewi atau Nona Lu Ceng, adik angkatnya."
Mendengar disebutnya nama Lu Ceng, Jenderal itu memejamkan matanya sebentar dan merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. Nona yang telah mati karena menolongnya itu! Tak pernah dia akan dapat melupakan betapa nona itu benar-benar telah mengorbankan nyawa untuk menebus nyawanya sendiri, karena kalau bukan Ceng Ceng yang menendangnya keluar dari sumur, tentu bukan dara itu melainkan dia yang akan tewas!
"Memang kasihan sekali dia...." katanya, tidak tentu lagi siapa yang dimaksudkan dengan "dia", puteri itukah atau Ceng Ceng.
"Maka saya mengharapkan kebijaksanaan dan kemurahan hatimu, Kao-goanswe, untuk menerima gadis itu dan melindunginya. Saya hendak pergi melanjutkan perjalanan, dan saya menitipkan Syanti Dewi kepadamu agar kelak dapat kauantarkan dia kepada Puteri Milana...."
"Hemm, kenapa kepada Puteri Milana" Jenderal itu menatap tajam wajah pendekar itu.
Bun Beng menahan getaran jantungnya dan bersikap tenang dan biasa saja. "Siapa lagi yang dapat melindunginya selain puteri yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan budiman, puteri dari Pendekar Super Sakti itu" Kalau Syanti Dewi berada di bawah perlindungannya, barulah hatiku akan merasa tenang."
"Baiklah, Taihiap. Syanti Dewi akan kuanggap sebagai anakku sendiri. Anakku ada tiga orang, kesemuanya laki-laki, yang paling besar telah hilang, dan aku akan senang sekali menganggap dia sebagai anakku sendiri. Akan kulindungi dia sampai ada kesempatan bagiku untuk mengantarnya sendiri kepada Puteri Milana."
Gak Bun Beng seketika mengangkat kedua tangannya memberi hormat dengan wajah berseri-seri. "Budimu amat besar, dan aku tidak akan melupakannya, Goanswe!"
Jenderal Kao memandang wajah itu makin tajam penuh selidik, kemudian dia menarik napas dan berkata, "Gak-taihiap, engkau memutarbalikkan kenyataan dan demikian memang sifat pendekar-pendekar budiman. Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, kemudian membantuku membasmi pemberontak. Tanpa bantuanmu, takkan begitu mudah urusan ini dapat diatasi. Akan tetapi.... hemm, sungguh aneh sekali.... aneh sekali....!"
Gak Bun Beng yang duduk di atas kudanya di sebelah kiri jenderal itu, menengok dan bertanya heran, "Apakah yang aneh, Kao-goanswe"
"Taihiap, pernahkah engkau mendengar Jit-hui-houw, tujuh jagoan dari kota Shen-bun"
Bun Beng memandang penuh pertanyaan, tidak mengerti mengapa jenderal itu menanyakan ini, mengingat-ingat, kemudian menggeleng kepalanya.
"Dan kurang lebih dua tahun yang lalu, pernahkah Taihiap tinggal di kota Shen-yang"
"Shen-yang dekat kota raja"
Jenderal itu mengangguk.
"Tidak pernah, Goanswe. Belasan tahun saya mengembara di gunung-gunung dan dusun-dusun, tidak pernah tinggal di kota besar."


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk. "Sudah kuduga demikian.... akan tetapi menurut berita, namanya juga Gak Bun Beng dan juga amat lihai, lebih terkenal dengan julukan Si Jari Maut...."
"Aiih, dahulu ketika pertama kali kita saling berjumpa, engkau pun menyebut Si Jari Maut. Siapakah dia dan apa sangkut-pautnya denngan saya, Kao-goanswe"
"Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya, hanya menurut kabar, dia lihai sekali, lihai dan kejam. Namanya Gak Bun Beng, julukannya Si Jari Maut, kabarnya masih muda, akan tetapi engkau pun belum tua benar, Taihiap."
"Hemm, tentu dia orang lain. Apakah pekerjaannya"
"Dia merampok, membunuh, memperkosa...."
"Ahhh....!" Bun Beng mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, tentu hanya ada dua kemungkinan."
"Maksudmu, Taihiap"
"Pertama, memang ada seorang penjahat keji yang lihai dan yang memiliki nama dan she yang sama dengan saya. Ke dua, dia adalah seorang musuh tersembunyi yang sengaja hendak merusak nama saya. Yang mana pun kenyataan dari kedua kemungkinan itu, saya harus pergi mencarinya, Kao-goanswe."
Jenderal itu mengangguk-angguk. "Saya lebih condong menyangka kemungkinan ke dua, Taihiap. Seorang yang lihai seperti Taihiap tentu dahulu sudah sering kali bentrok dengan golongan hitam dan kaum sesat, maka tidaklah aneh kalau ada yang mendendam dan kini membalas dengan cara memburukkan namamu."
Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya perlahan. "Agaknya tidak mungkin, Goanswe. Sudah belasan tahun saya tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw. Betapa pun juga, saya akan melakukan penyelidikan."
"Berita itu mula-mula muncul dari Shen-yang, kemudian di sekitar daerah sebelah selatan kota raja. Ke sanalah kalau engkau hendak melakukan penyelidikan, Taihiap."
"Baik, hari ini juga saya akan berangkat setelah saya pamit kepada Puteri Syanti Dewi."
Setelah tiba di benteng, Gak Bun Beng segera menemui Syanti Dewi. Akan tetapi puteri itu tidak berada di dalam kamarnya dan menurut pelayan, puteri itu sejak Gak Bun Beng dan Jenderal Kao berangkat, semalam suntuk tidak memasuki kamarnya dan berada di dalam taman. Bahkan para pelayan yang hendak menemaninya disuruh pergi semua. Cepat Bun Beng memasuki taman dan dengan langkah perlahan dia menghampiri puteri yang sedang duduk menutupi muka dengan saputangan yang basah air mata. Agaknya puteri itu menangis. Bun Beng mengerutkan alisnya dan menduga-duga. Selama dalam perjalanan yang amat susah payah, puteri yang sebetulnya lemah itu telah memperlihatkan sikap yang amat tabah dan tahan uji, tahan menderita, dan baru sekarang dia melihat puteri itu berduka dan menangis, bahkan, katanya semalam suntuk tidak meninggalkan taman itu!
"Dewi....!"
Saputangan basah itu terlepas, muka yang agak pucat dengan mata merah itu tampak, menengok, lalu dia meloncat, l
Harpa Iblis Jari Sakti 16 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 1
^