Kisah Sepasang Rajawali 12

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


ari menghampiri sambil mengeluh panjang, "Paman...., ahhh, Paman....!" Syanti Dewi menubruk dan merangkul leher Bun Beng, menangis di atas dada pendekar itu.
Bun Beng mengelus rambut kepala yang halus itu, berkali-kali menarik napas panjang dan memejamkan kedua matanya, kemudian baru ia berkata lirih, "Aih, Dewi, kau kenapakah" Semalam engkau berada di taman dan engkau.... menangis" Apa yang menyusahkan hatimu" Apakah engkau masih berduka karena kematian adikmu Candra Dewi"
Syanti Dewi terisak-isak dan mempererat pelukannya, kemudian dia melepaskan rangkulannya, memandang wajah pendekar itu, berusaha tersenyum akan tetapi kelihatan makin mengharukan. "Maafkan aku, Paman....! Tentu saja aku masih berduka kalau teringat kepada Adik Candra, akan tetapi semalam aku.... aku cemas sekali memikirkan Paman...."
Bun Beng tersenyum dan kembali jantungnya seperti ditusuk. Betapa besar kasih sayang dara ini kepadanya! Mencemaskan keadaannya sampai tidak tidur semalam suntuk. Makin terasa olehnya betapa Puteri Bhutan ini mencintanya, makin tidak enaklah rasa hati Gak Bun Beng, apalagi dia juga merasakan betapa hatinya tertarik dan di situ terdapat kecondongan cinta kasih yang amat besar terhadap dara ini, seolah-olah pencurahan kasih sayangnya yang gagal dan terputus terhadap Milana kini dibelokkan ke arah Syanti Dewi!
Bun Beng memaksa senyum untuk menutupi perasaan hatinya. "Dewi, kau lucu sekali. Mengapa mengkhawatirkan aku"
"Ada dua hal yang membuat aku merasa khawatir sekali dan yang membuat aku menangis, Paman. Sampai saat ini pun, biar Paman telah kembali dengan selamat, namun masih ada hal ke dua yang mencemaskan hatiku. Yang pertama, tadinya aku khawatir Paman akan celaka dan ternyata Paman telah kembali dengan selamat. Akan tetapi ada hal ke dua...." Kembali Syanti Dewi menundukkan muka menahan tangisnya.
"Ada apakah, Dewi" Katakanlah kepadaku."
"Aku.... aku khawatir.... bahwa Paman.... Paman akan meninggalkan aku...."
"Ah, Dewi, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu"
Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu memegang kedua lengan pendekar itu, wajahnya berseri, matanya bersinar penuh harapan. "Jadi Paman tidak akan meninggalkan aku" Paman, berjanjilah bahwa Paman tidak akan pernah meninggalkan aku, bahwa kita tidak akan saling berpisah!"
Bun Beng menghela napas panjang. "Aihh, bukan begitu maksudku, Dewi. Mengapa engkau mengkhawatirkan perpisahan antara kita yang memang sudah semestinya" Biarpun engkau sudah kuanggap sebagai keponakan sendiri, akan tetapi kenyataannya adalah bahwa kita bukanlah sanak kadang, bukan keluarga. Antara kita tidak ada ikatan keluarga, dan memang aku akan melanjutkan perjalananku, meninggalkan engkau di sini bersama Jenderal Kao yang menganggap kau sebagai anak sendiri...."
"Tidak....! Aku ikut denganmu, Paman."
Bun Beng menggeleng kepala. "Aku seorang yang hidup sebatangkara, tidak tentu tempat tinggalku, tidak tentu makanku, mana mungkin engkau ikut"
"Biar! Aku akan ikut ke mana pun engkau pergi!"
"Perjalanan hidupku hanyalah menghadapi kesengsaraan belaka...."
"Aku tidak takut! Aku bersedia menderita sengsara di sampingmu, Paman."
"Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan, Dewi! Diantara kita tidak ada ikatan apa-apa, tidak ada hubungan keluarga dan...."
"Siapa bilang tidak ada ikatan apa-apa, Paman"
"Maksudmu...."
"Tidak terasakah oleh Paman akan adanya ikatan yang amat erat diantara kita, ikatan batin yang amat kuat" Dan Paman masih mengatakan tidak ada ikatan apa-apa" Mengapa aku, seorang puteri yang biasanya hidup serba mewah dan mudah, dapat melakukan perjalanan yang sukar dan menderita dengan hati tetap bergembira dan berbahagia di samping Paman" Bukankah itu membuktikan adanya ikatan yang amat luar biasa diantara kita"
"Maksudmu...."
"Maksudku...." Wajah itu pucat dan dari kedua matanya mengalir air mata di pipinya, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar. "Masih perlukah kujelaskan lagi" Mengapa aku gelisah kalau Paman pergi" Mengapa aku setengah mati kalau Paman sakit" Mengapa aku berbahagia kalau berada di samping Paman" Perlukah kujelaskan lagi, Paman" Perlukah...." Syanti Dewi tersedu.
Wajah Bun Beng pucat. Inilah yang ditakutinya, yang dikhawatirkannya selama ini. Bibirnya bergetar, alisnya berkerut, seluruh tubuhnya terasa menggigil.
"Kau.... kau...."
"Aku cinta padamu, Paman! Kurasa Paman tidak buta untuk melihat hal itu...."
"Aku tahu.... aihh, Dewi.... aku tahu.... tapi...."
"Paman....!" Syanti Dewi merangkul dan menangis di dada pria itu, dan Bun Beng juga memeluknya, mengelus rambutnya, mukanya ditengadahkan, menghadap ke angkasa seolah-olah dia mohon kekuatan dari atas, akan tetapi dia merasa ngeri untuk menyaksikan kenyataan ini sehingga kedua matanya terpejam. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk sambil berdiri dan tak bergerak seperti telah berubah menjadi arca.
Ketika Syanti Dewi yang tadinya menangis di dada pria itu merasa betapa tubuh itu bergoyang-goyang, dia mengangkat mukanya dan betapa kaget hatinya melihat Bun Beng menitikkan air mata! Pendekar sakti itu menangis!
"Paman....!" Dia berseru kaget karena hal ini merupakan hal yang amat aneh dan luar biasa. Sukar dapat membayangkan betapa pendekar yang sakti itu, pria yang gagah perkasa, kuat dan budiman, dapat menangis!
Gak Bun Bengg memejamkan kedua matanya, melepas pelukannya dan menghapus air mata di pipi dengan ujung lengan bajunya, kemudian terdengar suaranya agak parau, "Syanti Dewi, duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Tenanglah dan jangan membiarkan perasaan mencengkeram hati kita."
Dengan pandang mata khawatir Syanti Dewi melepaskan pelukannya lalu duduk di atas bangku taman itu. Bun Beng juga duduk di sampingnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian setelah berulang kali menarik napas panjang, Bun Beng berkata, suaranya sudah tenang dan biasa kembali, "Dewi, aku merasa berterima kasih dan terharu sekali bahwa engkau, seorang puteri kerajaan yang cantik jelita dan masih muda sudi memperhatikan dan menaruh hati kasih kepada seorang laki-laki seperti aku, miskin dan pengembara, sengsara dan sudah hampir tua...."
"Paman Gak Bun Beng! Apakah cinta kasih itu harus disertai usia dan kedudukan seseorang"
"Tentu saja tidak, Dewi. Akan tetapi cinta kasih antara pria dan wanita yang menuju kepada perjodohan, sudah tentu harus memperhatikan hal itu, demi kebahagiaan dan kelangsungan perjodohan itu sampai selama hidupnya. Engkau masih muda, berdarah bangsawan, dan...."
"Cukup, Paman! Aku tidak mau mendengar hal itu lagi. Aku sekarang adalah seorang gadis yang tidak mempunyai apa-apa, yang sebatang kara pula seperti Paman.... dan aku.... aku tidak sanggup kalau harus hidup berpisah dari samping Paman."
"Dewi....! Pikirlah baik-baik, tidak mungkin keadaan kita ini dilanjutkan. Hari ini juga aku datang menemuimu untuk berpamit. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku, melanjutkan hidupku yang merana, dan aku tidak akan begitu kejam untuk menyeretmu ke dalam kehidupanku yang penuh derita ini. Aku hendak pergi, dan aku sudah membicarakan tentang dirimu kepada Jenderal Kao. Dialah yang akan mengatur kesemuanya demi kebaikanmu, Dewi...."
Gak Bun Beng sudah bangkit berdiri, akan tetapi Syanti Dewi juga meloncat bangun dan menubruknya, memegangi lengannya sambil menangis. "Jangan, Paman.... Jangan tinggalkan aku.... ah, jangan tinggalkan aku, Paman.... aku tidak akan kuat menanggungnya...."
Bun Beng menjadi terharu sekali. Dia benar-benar merasa tidak tega dan berat melihat keadaan dara itu, dan dia hanya dapat mengelus rambut dara itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya. Tidak, pikirnya, dia tidak boleh menurutkan kelemahan hatinya, dia harus ingat akan masa depan gadis ini!
"Jangan begitu, Dewi. Aku melakukan ini demi masa depanmu sendiri, aku harus pergi, sekarang juga. Jenderal Kao akan mengurus segala keperluanmu, tinggal engkau rundingkan dengan dia yang menganggap kau sebagai anaknya. Dia dapat mengantarmu kembali ke Bhutan atau kota raja menghadap Kaisar...."
"Paman.... Paman Gak.... apakah Paman tidak cinta kepadaku"
"Demi Tuhan.... satu-satunya orang yang kusayang sepenuh hatiku pada saat ini adalah engkau seorang, Dewi. Akan tetapi, ngeri aku membayangkan untuk mencintamu dengan disertai keinginan memiliki dirimu lahir batin. Aku.... ah.... agaknya luka di hatiku masih belum sembuh, aku belum berani lagi mencinta wanita.... pengalaman yang lalu.... ah, kau mengerti, Dewi. Betapapun juga, kalau ada orang yang kusayang, kukasihi sepenuh hatiku, selain dia.... ah, kiranya orang itu hanya engkau, Dewi...." Gak Bun Beng memeluk erat-erat, seolah-olah dia tidak ingin lagi melepaskan dara itu, kemudian mencium dahi yang halus itu, lalu tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya dan meloncat pergi, dalam sekejap mata saja lenyap dari pandangan Syanti Dewi, hanya suaranya saja yang terdengar, mengandung rintihan jiwa yang menggetar, "Selamat tinggal, Dewi....!"
"Paman Gak....!" Syanti Dewi menjerit dan lari ke sana ke mari mencari-cari, namun pendekar itu telah lenyap dan akhirnya dara ini menjatuhkan diri di atas tanah, berlutut sambil menangis sampai mengguguk. Sampai lama sekali dara itu menumpahkan kedukaan hatinya seperti itu, sampai lupa waktu.
"Syanti Dewi, anakku.... mengapa engkau berduka seperti ini"
Syanti Dewi mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Jenderal Kao Liang berdiri di situ, mendengar jenderal itu tidak lagi menyebutnya tuan puteri, bahkan menyebutnya "anakku", hatinya yang penuh kecewa dan duka itu menjadi terharu.
"Paman....!" Serunya sambil berlari ke depan lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenderal itu sambil menangis.
Jenderal Kao Liang mengangkatnya bangun dan membiarkan gadis itu menangis dengan muka di atas dadanya, sambil mengelus rambut itu dengan hati penuh kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.
"Tenanglah, anakku. Jangan meneruskan hati yang gelisah dan duka. Engkau tentu menangisi kepergian Gak-taihiap, bukan"
Tanpa menjawab, Syanti Dewi mengangguk. Jenderal itu menghela napas panjang lalu berkata, "Dia memang seorang yang amat luar biasa, seorang pendekar besar yang patut dijunjung tinggi, patut dihormati, bahkan patut pula menerima kasih sayang dara seperti engkau. Aku mengerti, seorang gagah seperti dia tentu tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi jangan kau khawatir, Anakku. Jodoh tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipisahkan. Kalau memang sudah berjodoh, tentu kelak dapat berkumpul kembali."
Sambil menghibur, Jenderal Kao Liang mengajak puteri itu kembali ke dalam rumah sehingga akhirnya reda juga kedukaan hati puteri itu. Akan tetapi setelah dia tidak menangis lagi, Syanti Dewi lalu mengajukan permintaan kepada Jenderal Kao Liang untuk mengantarkannya ke kota raja, ke istana Puteri Milana!
"Apakah kau tidak ingin kembali saja ke istanamu di Bhutan" Jenderal Kao Liang bertanya.
"Tidak, saya ingin bertemu dan bicara dengan Puteri Milana!" jawab Syanti Dewi dengan tegas. Dia tidak mengatakan kepada jenderal itu bahwa dia ingin bertemu dengan Puteri Milana bukanlah untuk keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk menegur puteri itu yang telah membuat hidup Gak Bun Beng menjadi sengsara! Dia ingin menegur Puteri Milana!
"Baiklah, Syanti Dewi. Akan tetapi kau bersabarlah, karena tidak mungkin aku mengantarmu sekarang. Aku sudah menyusun pelaporan ke kota raja dan aku akan menunggu jawaban pelaporan tentang pemberontakan di sini dari Kaisar. Kalau jawaban itu tiba, tentu aku harus menghadap ke sana dan engkau sekalian akan kuantarkan kepada Puteri Milana."
Terpaksa Syanti Dewi menanti dengan sabar dan menekan kedukaan hatinya yang selalu mengenangkan Gak Bun Beng, pendekar sakti yang amat dikagumi dan yang telah menjatuhkan hatinya itu.
*** Kita tinggalkan dulu Puteri Syanti Dewi yang merana dan menderita kesengsaraan batin sebagai akibat cinta pertama itu dan kita mengikuti keadaan Candra Dewi atau Lu Ceng atau Ceng Ceng yang seolah-olah terkubur hidup-hidup di dalam dunia bawah tanah bersama nenek lumpuh Ban-tok Mo-li.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, melihat betapa Ceng Ceng membelanya ketika Siang Lo-mo datang menuntut diberikannya kitab catatan racun, timbul rasa sayang di dalam hati nenek lumpuh yang tidak waras lagi otaknya itu terhadap Ceng Ceng. Dengan penuh kesungguhan hati mulailah nenek itu menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ceng Ceng, terutama sekali ilmu menggunakan racun-racun berbahaya ke dalam tubuh sehingga dalam waktu beberapa bulan saja Ceng Ceng telah berubah menjadi seorang "gadis beracun" yang amat menyeramkan karena bukan saja dara ini dapat mengisi hawa, pukulan dan serangannya dengan hawa beracun, akan tetapi juga dapat menggunakan racun ke dalam seluruh anggauta tubuhnya sehingga setiap tamparan, jamahan tangan, kalau dikehendakinya, dapat membuat lawan roboh dan tewas. Bahkan dengan pengerahan istimewa, gadis ini dapat membuat ludahnya beracun pula! Dengan amat tekun Ceng Ceng melatih dirinya dengan semua ilmu kaum sesat yang mengerikan itu dan dalam waktu tiga bulan dia telah memperoleh kemajuan hebat sehingga jauhlah kalau dibandingkan dengan sebelum dia terjerumus ke dalam sumur maut. Memang nenek yang sudah putus asa untuk dapat membalas dendam sendiri kepada Siang Lo-mo, mewariskan ilmu-ilmunya kepada muridnya ini, dengan harapan agar kelak Ceng Ceng dapat membalaskan dendamnya kepada sepasang kakek kembar yang lihai itu. Bahkan catatan racun yang aslinya, tidak seperti yang diberikan kepada Siang Lo-mo yang mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja, telah diperlihatkan dan diserahkan kepada Ceng Ceng untuk dipelajarinya sehingga dara ini bukan saja menjadi ahli dalam ilmu silat beracun, juga ahli pula dalam soal segala macam racun sehingga dengan tuntunan kitab catatan kecil itu dia dapat menyembuhkan segala macam keracunan!
Selain memperoleh ilmu silat dan ilmu tentang racun, juga Ceng Ceng memperoleh sebatang pedang dari gurunya, sebatang pedang yang indah dan ampuh, akan tetapi sudah direndam racun yang bermacam-macam, lama, dan amat jahatnya. Pedang ini yang tadinya merupakan sebatang pedang pusaka ampuh, terbuat dari logam pilihan, oleh Ban-tok Mo-li telah diubah menjadi sebatang pedang iblis yang amat mengerikan dan oleh nenek itu diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun).
Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan pada suatu senja, seperti biasa kalau sudah lelah berlatih, Ceng Ceng yang tidak ada bosan-bosannya itu memeriksa terowongan dan mencari-cari jalan rahasia dari mana datangnya Siang Lo-mo. Terutama sekali dia memeriksa terowongan di mana dahulu sepasang kakek kembar itu muncul karena dia yakin bahwa tentu di sekitar tempat inilah terdapat sebuah pintu rahasia. Dia sudah hampir setiap hari mengetuk, memukul, mendorong dan menarik batu-batu dinding terowongan itu tanpa hasil. Sekali ini ia melihat-lihat ke atas. Terowongan itu cukup tinggi, tidak kurang dari dua tombak tingginya, dan permukaan dindingnya agak kasar karena batu-batunya menonjol. Kalau pintu rahasia itu tidak berada di kanan kiri dinding terowongan itu, apakah terdapat di atas, di langit-langit terowongan, pikirnya. Dia lalu mengangkat kakinya menginjak batu menonjol, lalu mengenjot tubuhnya ke atas, berpegang kepada batu menonjol di langit-langit, kaki yang sebelah lagi menginjak batu menonjol yang lain, kemudian dengan kedua tangannya, mulailah dia mengetuk-ngetuk dan mendorong atau menarik batu-batu menonjol di sekitar langit-langit terowongan itu.
Tiba-tiba jantungnya berdebar tegang ketika sebuah batu menonjol yang dipegang tangan kirinya ketika dia dorong bergerak sedikit! Dia membenarkan letak kakinya mencari tempat berpijak yang kuat, kemudian mengerahkan tenaganya mendorong batu menonjol itu.
"Kraaakkkk....!" Terdengar suara batu bergeser dan tampaklah sebuah lubang yang bergaris tengah hampir satu meter terbuka di langit-langit terowongan itu! Ceng Ceng hampir bersorak girang. Tentu saja sampai bertahun-tahun Ban-tok Mo-li tidak dapat menemukan pintu rahasia ini karena nenek yang bernasib malang itu telah lumpuh kedua belah kakinya dan tidak dapat mempergunakan lagi kakinya itu, sedangkan rahasia pintu terowongan di langit-langit itu hanya dapat ditemukan kalau orang menggunakan kedua kakinya untuk memanjat dan kedua tangan untuk menarik. Dan agaknya ini pula yang menjadi satu diantara sebab mengapa dua orang kakek kembar itu membikin lumpuh kaki Ban-tok Mo-li.
Dengan hati girang sekali Ceng Ceng lalu meloncat turun, mengambil kitab catatan racun dan pedang Ban-tok-kiam pemberian subonya, kemudian dia lari kembali ke bawah pintu rahasia itu. Akan tetapi baru saja kedua kakinya bergerak hendak meloncat ke atas memasuki lubang itu, tiba-tiba terdengar suara berkaok ular besar yang melingkar di batu menonjol tak jauh dari lubang rahasia itu, kemudian dengan kaget Ceng Ceng mendengar suara teguran subonya, "Ceng Ceng, kau hendak pergi ke mana membawa-bawa pedang dan kitab"
Ceng Ceng terkejut sekali. Dia maklum bahwa dia harus pergi meninggalkan gurunya, karena tidaklah mungkin baginya untuk pergi mengajak subonya yang cacad kedua kakinya itu. Tanpa menjawab dia menyelinap di ujung terowongan untuk bersembunyi. Akan tetapi tiba-tiba tampak tubuh subonya yang merangkak cepat sekali datang dari dalam.
"Heh-heh, aku tahu kau berada di situ, Ceng Ceng. Kau mencurigakan sekali, tentu engkau telah menemukan pintu rahasia itu, bukan" Heh-heh, jangan kautinggalkan tempat ini tanpa aku, muridku!"
"Tidak! Subo harus tinggal di sini, biar teecu yang keluar dan kelak teecu akan membalaskan dendam Subo terhadap Siang Lo-mo!"
"Heh-heh-heh, enak saja! Tidak, kau harus membawa aku atau kau tidak akan dapat pergi dalam keadaan hidup!"
Ceng Ceng maklum akan watak subonya yang amat kejam. Ancaman subonya itu tentu akan dilaksanakan kalau dia tidak mau menurut, akan tetapi dia pun tidak mau menyia-nyiakan jalan kebebasan ini. Dan keluar dari tempat itu bersama subonya bukanlah kebebasan namanya. Subonya lihai sekali dan sekali mereka keluar dari neraka di bawah tanah itu, dia akan dipaksa untuk memenuhi kehendak subonya di bawah ancaman maut.
"Tidak, Subo. Teecu akan pergi sendiri!" Ceng Ceng meloncat ke atas, ke arah lubang dan pada saat itu dia tidak lengah, melainkan dengan waspada dia memandang ke arah subonya.
"Kalau begitu mampuslah!" Ban-tok Mo-li menggerakkan tangan kanannya dan melayanglah sebuah benda bulat yang mengeluarkan sinar ke arah Ceng Ceng dengan kecepatan hebat.
Ceng Ceng terkejut. Dia maklum bahwa subonya memiliki senjata-senjata rahasia yang aneh-aneh dan dia belum sempat mempelajarinya. Dia tidak tahu senjata rahasia apakah yang dipergunakan subonya saat itu untuk menyerangnya, maka dia mengambil keputusan untuk mengelak dengan jalan meloncat turun kembali karena dia tidak berani menangkis atau menendang bola yang meluncur ke arahnya itu sebelum dia tahu benda macam apa yang dipergunakan untuk menyerangnya selagi tubuhnya melayang ke atas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan meluncur dari atas menyambar ke arah bola yang melayang itu. Ceng Ceng sudah bergantung ke pinggir lubang sambil memandang ke bawah. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang meluncur itu adalah ular besar yang dengan moncong terbuka lebar menyambar ke arah senjata rahasia berupa bola itu.
"Ular tolol! Jangan....!" Terdengar Ban-tok Mo-li yang sudah tiba di bawah tempat itu berteriak. Namun terlambat karena ular itu sudah mencaplok benda melayang itu dan terdengarlah bunyi ledakan keras dan tampak api bernyala besar membakar tubuh ular itu yang terpaksa melepaskan belitannya pada batu, jatuh ke bawah merupakan api berkobar-kobar.
Terdengar jerit melengking mengerikan dan Ceng Ceng terbelalak memandang, lalu dia meloncat turun sambil berteriak, "Subo....!"
Akan tetapi gadis ini hanya berdiri bingung dengan jari-jari tangan saling cengkeram, tidak tahu harus berbuat bagaimana melihat subonya yang tertimpa ular itu kini juga terbakar secara hebat! Melihat ular dan subonya bergulingan dan berkelojotan tanpa dia mampu menolong sedikit pun, Ceng Ceng memejamkan matanya, tidak tega menghadapi peristiwa yang amat mengerikan itu, kemudian dia meloncat lagi memasuki lubang terowongan, lalu merangkak dengan cepat melalui terowongan yang ternyata amat panjang dan gelap itu.
Terowongan yang gelap itu ternyata amat panjang, berlika-liku dan selalu naik. Dara itu tidak tahu sampai berapa jauhnya dia merangkak-rangkak, kaki dan tangannya sampai terasa lelah, namun mengenangkan gurunya dia merasa ngeri dan terus melanjutkan perjalanan yang sukar itu tanpa berhenti.
Setelah melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, kadang-kadang terowongan itu sempit dan licin basah, kadang-kadang melalui lantai yang penuh batu tajam dan runcing, akhirnya dia berhenti karena jalan itu buntu. Selama menempuh perjalanan sukar sambil merangkak-rangkak itu, dia harus meraba-raba dengan kedua tangannya karena amat gelap. Kini pun dia meraba-raba dan mendapat kenyataan mengejutkan bahwa jalan itu berhenti dan buntu, di depannya adalah dinding batu. Ketika dia meraba-raba lantai yang penuh dengan benda-benda berserakan seperti batu-batu besar, tiba-tiba keadaan di situ menjadi agak terang dan dia cepat mengangkat muka memandang ke atas. Hampir dia berteriak saking kaget dan heran, juga girangnya, dan cepat dia bangkit berdiri. Betapa enaknya rasa tubuhnya berdiri seperti itu setelah berjam-jam merangkak terus! Kiranya tempat itu merupakan sebuah sumur yang cukup tinggi, biarpun tentu saja tidak setinggi sumur di padang pasir, sumur maut di mana dia terjungkal. Dan cuaca di dasar sumur itu menjadi makin terang, bahkan kini terdengar suara-suara orang di atas sumur! Ceng Ceng terkejut dan cepat menyelinap bersembunyi ke terowongan sambil mengintai ke atas. Tampaklah obor-obor dipegang tangan banyak orang, lalu tampak kepala-kepala orang yang kelihatannya aneh dan menyeramkan dari bawah itu. Keadaan menjadi makin terang dan ketika dia melihat lagi ke atas lantai sumur, hampir saja Ceng Ceng menjerit. Pantas saja sejak tadi dia mencium bau yang amat tidak enak, bau busuk, bau bangkai! Hanya karena dia sudah melatih diri dengan ilmu yang membuat tubuhnya beracun, maka tadi dia tidak begitu merasakan hal ini. Sekarang, setelah keadaan menjadi terang oleh sinar banyak obor di atas sehingga dia dapat melihat bahwa benda-benda berserakan yang disangkanya batu-batu tadi ternyata adalah tumpukan tulang-tulang dan tengkorak manusia, barulah dia tahu bahwa tempat itu merupakan gudang tulang-tulang manusia, bahkan ada tulang-tulang yang masih belum bersih betul, masih ada sisa hancuran dan cairan bekas tubuh manusia yang tentu saja berbau busuk sekali!
Ceng Ceng memandang lagi ke atas. Agaknya terdapat kesibukan-kesibukan di atas sumur itu, akan tetapi suara orang-orang itu tidak terdengar jelas, karena campur aduk tidak karuan. Tiba-tiba tampak oleh Ceng Ceng betapa banyak tangan manusia mengangkat sesuatu kemudian melemparkan benda yang panjang ke dalam sumur itu! Dengan cepat Ceng Ceng merangkak mundur ke dalam terowongan dan merasa ngeri karena dia sudah menduga benda apakah itu yang dilempar ke bawah.
"Bukkk!" Benda itu terbanting keras dan betul dugaannya bahwa benda itu adalah mayat seorang manusia! Dia tidak sempat melihat apakah mayat itu laki-laki atau wanita, yang jelas bahwa mayat itu telanjang bulat dan jatuh menimpa tulang-tulang yang berserakan di tempat itu, karena agaknya orang-orang yang berada di atas itu mulai pergi meninggalkan sumur sehingga keadaan kembali menjadi gelap pekat.
Ceng Ceng terpaksa merangkak mundur sampai belasan meter dari dasar sumur itu. Dia akan menanti sampai terang. Kalau dia mengingat-ingat akan waktu yang dipergunakan untuk merangkak-rangkak tadi, dia dapat menduga bahwa saat itu tentu sudah lewat tengah malam dan kiranya pagi tidaklah lama lagi. Dia lalu rebah terlentang di dalam terowongan, beristirahat. Dia akan mencari jalan keluar kalau sudah pagi dan terang, dan untuk menanti datangnya pagi, dia memilih terowongan sempit ini daripada dasar sumur yang luas akan tetapi penuh dengan tulang dan mayat manusia.
Tentu saja Ceng Ceng tak dapat tidur sekejap mata pun. Hatinya terlalu tegang dan dia ingin lekas-lekas dapat keluar dari tempat itu. Hatinya girang sekali ketika sinar matahari pagi mulai masuk ke dalam sumur itu. Ketika dia merangkak ke dasar sumur, hatinya jijik sekali melihat mayat telanjang seorang laki-laki tua yang dilempar dari atas semalam, dia menujukan perhatiannya ke atas tanpa banyak membiarkan pandang matanya melihat ke bawah. Tepat seperti diduganya malam tadi bahwa pasti ada jalan keluar karena terowongan rahasia ini adalah yang dilalui Siang Lo-mo, dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun sumur itu dalamnya tidak kurang dari lima belas meter, namun dia sanggup naik melalui dindingnya yang kasar dan penuh batu-batu dan injakan kaki. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Ceng Ceng merayap atau mendaki naik dengan harap-harap cemas agar jangan sampai ada muncul orang yang mengganggunya setelah dia tiba di luar sumur.
Ketika akhirnya dia meloncat keluar, ternyata sumur itu berada di tengah hutan di lereng gunung! Bukan di tengah padang pasir lagi! Pantas saja kalau terowongan itu banyak mendaki, kiranya membawanya ke lereng bukit. Dan sumur itu adalah sebuah kuburan! Agaknya penduduk di sekitar daerah ini mempunyai cara penguburan yang aneh, yaitu melemparkan mayat-mayat dalam keadaan telanjang bulat ke dalam sumur ini! Dia dapat mengetahui hal ini karena di tepi sumur terdapat banyak papan-papan nama yang ditancapkan di atas tanah, dan di situ terdapat pula bekas-bekas hio, agaknya mereka menyembahyangi leluhur mereka di tepi sumur ini secara beramai-ramai. Sumur ini merupakan kuburan bersama! Pantas saja Siang Lo-mo dapat menggunakan sumur ini tanpa diketahui orang, karena orang lain tentu tidak ada yang berani memasuki sumur yang dijadikan kuburan ini, yang tentu merupakan sebuah tempat yang keramat!
Dengan perasaan yang mungkin hanya dapat dirasakan oleh seekor burung yang baru terlepas dari sangkarnya, atau seekor harimau yang baru terlepas dari kerangkeng, Ceng Ceng segera pergi dari tempat itu, menuruni lereng atau memilih jalan menurun untuk keluar dari dalam hutan yang cukup lebat itu. Biarpun semalam suntuk tak pernah tidur dan baru saja mengalami ketegangan yang cukup hebat, namun kelegaan dan kegembiraan hatinya dapat terbebas secara yang tak disangka-sangkanya itu membuat wajah Ceng Ceng berseri-seri, dan segala yang tampak di depan matanya, pohon-pohon dan batu-batu, bahkan rumput dan daun kering, kelihatan amat indah dan menyenangkan hatinya. Ingin dia tertawa-tawa, ingin dia bernyanyi-nyanyi, akan tetapi kadang-kadang dia berhenti dan termenung, alisnya berkerut kalau dia teringat kepada gurunya. Betapapun juga, harus ia akui bahwa Ban-tok Mo-li yang kejam dan mengerikan itu telah menyelamatkan nyawanya, bukan itu saja, bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya. Kini nenek itu telah tewas.
"Subo, aku akan membalaskan sakit hatimu terhadap Siang Lo-mo!" bisiknya sambil mengepal tinju dan dia cepat mengusir bayangan subonya dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena dari atas dia melihat genteng-genteng rumah penduduk dusun di bawah sana.
Dia berhenti di luar dusun itu ketika melihat anak sungai yang airnya jernih sekali. Timbul keinginan hatinya untuk mandi dan minum. Atau setidaknya dia harus mencuci mukanya di air yang jernih itu, karena kalau mandi dia khawatir dilihat orang. Cepat dia menuruni anak sungai itu, akan tetapi baru saja kedua tangannya menyentuh air, tiba-tiba terdengar orang berseru penuh kekhawatiran, "Hei....! Nona...., jangan sentuh air itu...., lekas kau keluar dari situ!"
Tentu saja Ceng Ceng merasa heran sekali. Kalau orang itu melarangnya, tentu dia akan marah. Akan tetapi orang itu jelas bukan melarang, melainkan memperingatkannya seolah-olah orang itu merasa ngeri dan takut akan sesuatu.
"Mengapa tidak boleh, Lopek" tanyanya ketika laki-laki setengah tua itu sudah tiba dekat sambil berlarian.
"Aihh, Nona, harap cepat keluar. Air sungai itu beracun!"
"Hemm, beracun" Ceng Ceng tertarik sekali dan memandang air itu, lalu membawa tangannya yang basah ke depan hidungnya, bahkan lalu menjilatnya. Memang beracun, pikirnya, akan tetapi hanya tipis dan lemah saja kekuatan racun itu, agaknya karena sudah tercampur air yang amat banyak itu. "Biarlah aku ingin mencuci muka dan minum!" jawabnya seenaknya dan dia lalu mencuci mukanya, bahkan menyendok air dengan kedua telapak tangan dan diminumnya. Hemmm, menyegarkan rasanya.
"Nona! Jangan.... ahhh, anakku pun sekarang hampir mati karena minum air ini, dan di kampung kami sudah ada enam orang yang tewas. Mengapa Nona begini nekat"
Ceng Ceng makin tertarik dan dia lalu meloncat ke darat. Sekali loncat saja dia telah tiba di depan laki-laki tua itu yang memandang terbelalak kemudian menjatuhkan diri berlutut! "Kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita yang sakti....! Nona tidak takut racun dan Nona melompat seperti terbang.... kalau begitu, saya mohon dengan hormat, sudilah kiranya Nona menolong kami, mengobati puteraku dan beberapa orang lain yang belum tewas akan tetapi yang menderita sakit hebat karena air sungai ini."
Ceng Ceng mengangguk. "Baik, akan kucoba untuk menyembuhkan mereka. Mari!"
Kakek itu girang sekali dan cepat mengajak Ceng Ceng memasuki perkampungan itu langsung menuju ke sebuah rumah yang paling besar dan paling indah di dusun itu. Kiranya orang tua itu adalah hartawan yang paling kaya di dusun itu, dan dia lalu dengan singkat menceritakan kepada isterinya yang masih menangis bahwa nona muda ini hendak mengobati putera mereka. Ibu yang cemas ini cepat mengajak Ceng Ceng memasuki sebuah kamar dan di atas pembaringan rebahlah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang membengkak mukanya dan panas badannya.
Ceng Ceng menghampiri, dan sebentar saja dia sudah tahu bahwa anak ini memang keracunan, racun yang sama dengan yang dia dapatkan di dalam anak sungai tadi. Racun yang sama sekali tidak berbahaya kalau saja orang tahu cara pengobatannya. Cepat dia menotok jalan darah di dada kiri anak itu dan menyuruh Sang Ibu mengambil abu dapur, merendam abu itu di dalam air, lalu memberikan air itu setelah abunya mengendap, untuk diminumkan anaknya.
Setelah ditotok dan minum obat sederhana ini, anak itu benar saja sembuh, bengkak pada mukanya mengempis dan napasnya tidak memburu lagi, panas tubuhnya pun menurun! Tentu saja hartawan itu menjadi girang sekali dan orang lain yang menderita keracunan yang sama lalu dibawa ke rumah gedung itu dan semua diobati oleh Ceng Ceng dan dapat diselamatkan nyawanya.
Rumah itu penuh dengan penduduk dan mereka semua berlutut menghaturkan terima kasih kepada Ceng Ceng dipimpin oleh kepala dusun itu yang masih adik kandung sendiri dan Si Hartawan tadi. Ceng Ceng berkata, "Harap Cu-wi sekalian bangkit dan jangan berlebihan. Aku hanya ingin tahu mengapa air sungai itu beracun, apakah biasanya tidak begitu"
"Tentu saja tidak, Lihiap (Pendekar Wanita)," jawab Si Kepala Dusun setelah semua orang bangkit. "Sejak turun-temurun, anak sungai itu memiliki air yang jernih dan bersih dan yang menjadi air minum seluruh penduduk dusun. Akan tetapi sejak tiga hari yang lalu, tiba-tiba saja airnya mengandung racun yang jahat itu sehingga ada enam orang penduduk kami tewas, yang lain sakit dan tentu akan tewas pula kalau tidak ada pertolongan Lihiap."
"Hemm, sungguh aneh," kata Ceng Ceng. "Racun seperti itu adalah buatan orang dan tak mungkin dapat meracuni sungai kalau tidak sengaja dilakukan orang."
"Kami mendengar berita bahwa di selatan sana keadaan dusun-dusun lebih parah lagi karena mengamuknya racun yang entah datang dari mana. Kami tadinya tidak percaya sampai air sungai itu menjadi beracun," jawab Si Kepala Dusun. "Terpaksa kami menggunakan air dari sumber di atas bukit untuk keperluan kami."
"Dan Cu-wi tahu mengapa sebabnya semua itu"
"Tidak, Lihiap, kami tidak tahu."
"Hemm, kalau begitu tentu ada apa-apa di selatan sana. Aku akan pergi ke sana menyelidikinya."
Mendengar uacpan ini, semua orang memandang dengan muka berubah. "Ada apakah di selatan" Ceng Ceng bertanya melihat sikap mereka itu.
Si Kepala Kampung memandang ke kanan kiri seperti orang ketakutan, lalu berkata lirih, "Sebaiknya kalau Lihiap jangan mengambil jalan ke selatan. Kurang lebih lima puluh li dari tempat ini terdapat tempat yang dinamakan Lembah Bunga Hitam, dan tempat itu amat berbahaya...."
"Mengapa...."
"Penghuni Lembah Bunga Hitam adalah golongan yang amat ditakuti di sekitar daerah ini...., dan sudah banyak yang menjadi korban keganasan mereka, namun tidak ada yang berani melawan karena mereka itu amat lihai...."
Ceng Ceng tersenyum. "Tak usah Cu-wi khawatir, aku mampu menjaga diriku."
Akan tetapi kepala kampung dan hartawan itu, juga para penduduk, menahan Ceng Ceng pergi seketika. Mereka lebih dulu ingin menjamu Ceng Ceng untuk menyatakan terima kasih mereka. Bahkan melihat betapa pakaian yang dipakai dara itu sudah amat lapuk, Si Hartawan sudah cepat menyiapkan pakaian baru untuk Ceng Ceng, dan setelah dara itu dipaksa untuk makan minum bersama mereka, lalu seekor kuda yang besar dihadiahkan pula kepada dara itu. Ceng Ceng juga tidak menolak pemberian itu, menerima dengan gembira dan berterima kasih. Dia memang amat membutuhkan pakaian bersih, dan kuda itu pun dapat berguna baginya. Maka dengan diantar oleh para penduduk sampai di pintu dusun, dara ini berangkat melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan.
Akan tetapi baru kurang lebih sepuluh li kudanya dilarikan ke selatan, tiba-tiba di luar sebuah hutan dia melihat penduduk dusun berbondong-bondong pergi mengungsi ke utara. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, kelihatan muka mereka pucat ketakutan, pakaian kumal dan penuh duka, ada yang menggendong anak ada pula yang menggandeng dua anak di kanan kiri, ada yang menggendong buntalan pakaian dan memikul barang-barang yang sempat mereka bawa lari ngungsi.
Ceng Ceng meloncat turun dari kudanya dan memegang kendali kuda, memandang orang-orang itu yang agaknya tidak mempedulikannya, bahkan agaknya memandang kepadanya dengan penuh curiga dan penuh kebencian. Akhirnya dia bertanya kepada dua orang laki-laki setengah tua yang berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap, "Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua) agaknya kalian semua mengungsi dengan tergesa-gesa dan ketakutan, apakah yang terjadi di selatan"
Dua orang laki-laki itu berhenti dan memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh keheranan. "Apakah Nona hendak maksudkan bahwa Nona belum tahu akan apa yang sedang dan telah terjadi, dan sekarang Nona hendak melakukan perjalanan ke selatan" tanya yang berjenggot pendek.
"Benar, Lopek. Akan tetapi, apakah sebenarnya yang sedang terjadi" Mengapa Lopek sekalian melarikan diri dan pergi mengungsi"
"Aihh, tadinya kami mengira tentu Nona adalah seorang di antara mereka! Kalau ternyata bukan, harap Nona cepat membalikkan kuda dan ikut melarikan diri bersama kami sebelum terlambat."
"Sebelum terlambat"
"Ya, lihat. Kami adalah petani-petani akan tetapi sekarang terpaksa melarikan diri tanpa membawa seekor pun binatang peliharaan. Kuda Nona masih sehat, maka lekas-lekas Nona bawa pergi sejauhnya ke utara kalau ingin selamat."
Tentu saja Ceng Ceng menjadi makin tertarik. Jelas bahwa telah terjadi sesuatu yang amat hebat di selatan, yang akibatnya telah menggegerkan dusun di utara tadi di mana air sungai mendadak menjadi beracun.
"Lopek, tolong jelaskan. Apa yang sedang terjadi"
"Geger hebat, dunia akan kiamat, Nona! Sejak tiga hari yang lalu, terjadi pertempuran hebat di Lembah Bunga Hitam, antara golongan penghuni Lembah dan musuh-musuh mereka. Pertandingan yang mengerikan, dan akibatnya bagi para penghuni dusun di sekitar lembah, lebih mengerikan lagi. Bayangkan saja, ternak-ternak kami mati, air pun keracunan, hawa udara pun beracun, semua tanaman layu dan agaknya tanah pun menjadi beracun. Dua golongan ahli-ahli racun perang menggunakan racun-racun mengerikan. Banyak diantara penduduk dusun sekitar tempat itu mati konyol, maka kami semua cepat melarikan diri mengungsi. Nah, sekarang sebaiknya Nona cepat memutar arah perjalanan Nona, atau kalau ada keperluan ke selatan, sebaiknya mengambil jalan memutari pegunungan di selatan itu agar tidak melewati Lembah Bunga Hitam."
Ceng Ceng menjadi tertarik sekali. Dia meloncat ke atas punggung kudanya dan berkata, "Terima kasih, Lopek. Saya akan meninjau keramalan itu!" Lalu dia membedal kudanya ke selatan.
"Ah, sayang kuda sebaik itu akan mati konyol!" terdengar seorang berkata.
"Nona itu lebih sayang lagi, begitu muda remaja dan cantik jelita!" kata orang ke dua. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa Ceng Ceng, murid yang telah mewarisi ilmu dari nenek yang menjadi datuk racun, Ban-tok Mo-li, tentu saja tertarik sekali mendengar bahwa ada dua golongan ahli-ahli racun sedang bertanding dan tentu saja dia tidak merasa takut sama sekali.
Makin banyak Ceng Ceng bertemu dengan para rombongan pengungsi. Setelah Lembah Bunga Hitam tinggal lima belas 11 lagi jauhnya, dia memberikan kudanya kepada rombongan pengungsi terakhir, karena dia maklum bahwa hawa udara yang mulai bau wangi-wangi aneh itu amat berbahaya bagi kudanya. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke Lembah Bunga Hitam dengan berlari-lari.
Dusun-dusun sudah kosong dan makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikanlah keadaannya. Dusun-dusun itu ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, meninggalkan banyak mayat manusia di mana-mana. Pohon-pohon layu dan daunnya rontok menjadi gundul mengerikan. Bangkai-bangkai berserakan di atas tanah, dari bangkai binatang buas yang galak dan kuat seperti biruang hutan sampai kijang dan kelinci, dari belalang dan jengkerik sampai segala macam kadal, coro, kecoa, dan semut. Juga anak-anak sungai dan selokan-selokan penuh dengan bangkai katak, ikan, yuyu, belut dan sebagainya. Semua bangkai mulai membusuk, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya bau di sepanjang jalan dan dusun-dusun itu. Merupakan daerah mati, daerah yang menyeramkan di mana maut memperlihatkan taring dan kukunya yang tajam meruncing.
Makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikan keadaannya, bahkan banyak tanah yang hangus seperti terbakar, ada tanah yang merekah retak-retak dan masih mengeluarkan asap, ada air hitam menetes-netes dari pohon seperti darah, air yang mengandung racun ganas! Di samping kengerian yang dihadapinya, Ceng Ceng juga merasa tertarik bukan main karena segala macam racun yang diajarkan oleh subonya selama ini, sekarang dapat dia melihatnya dalam bentuk aslinya, melihat kenyataannya. Dia mengenal dari bentuk, warna, dan baunya, dan untuk setiap racun yang terdapat di situ, Ceng Ceng mengenal pula cara menolaknya, bahkan tubuhnya yang sudah dilatih dan diisi dengan hawa beracun boleh dikatakan kebal terhadap segala macam racun.
Ketika Ceng Ceng memasuki perkampungan terakhir yang berada di luar Lembah Bunga Hitam, perkampungan yang tadinya dihuni oleh anak buah Lembah Bunga Hitam tingkat terendah, dusun ini juga sudah kosong sama sekali dan di sini jelas nampak bekas-bekas pertandingan yang mengerikan karena banyak berserakan mayat-mayat yang membusuk, bahkan ada pula yang sudah tinggal rangkanya saja, padahal pertandingan baru berjalan tiga hari yang lalu. Memang ada beberapa macam racun yang kalau mengenal tubuh orang lalu menggeroti kulit daging dengan cepatnya sehingga dalam waktu satu hari satu malam saja yang ada tinggal kerangkanya, karena yang lain-lainnya telah mencair dan habis. Selain mayat-mayat ini, tampak pula binatang-binatang berbisa yang juga kebal terhadap racun-racun lain. Tampak kelabang, kalajengking dan ular-ular berbisa segala jenis, berkeliaran dan makan bangkai-bangkai binatang laln, ada pula beberapa ular jenis ular merah hitam tampak memperebutkan daging membusuk tubuh seorang manusia! Ceng Ceng bergidik, apalagi ketika dia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun rebah miring di atas tanah kering. Hatinya merasa ngeri dan kasihan akan tetapi juga terheran-heran melihat betapa mayat anak kecil ini masih utuh, hanya agaknya tidak lama lagi utuhnya karena di sekelilingnya terdapat banyak sekali ular berbisa yang seolah-olah menanti saat baik untuk nanti memperebutkan daging yang masih lunak dan utuh itu.
Tidak, pikir Ceng Ceng. Aku tidak mungkin membiarkan mayat anak itu dimakan ular-ular jahanam itu! Harus kuselamatkan mayat itu, akan kukubur baik-baik. Dia menghampiri mayat itu dan tiba di luar lingkaran ular-ular yang mengerumuni mayat anak kecil itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Ceng Ceng bangun berdiri saking ngerinya karena suara ketawa itu keluar dari mulut mayat anak perempuan itu! Dan "mayat" itu kini bangkit duduk, wajahnya cantik mungil akan tetapi pucat sekali seperti mayat, dan sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya yang tertawa-tawa itu tiba-tiba kini berdesis-desis seperti suara ular. Suara mendesis ini disambut oleh suara mendesis dari empat penjuru, dan bukan hanya ular-ular yang tadi berkerumun di situ saja yang bergerak, juga dari arah lain berdatangan banyak ular besar kecil yang mendesis-desis dan merayap secepatnya ke tempat itu, seolah-olah memenuhi penggilan anak perempuan itu!
Tiba-tiba, desis yang keluar dari mulut anak perempuan itu berubah dan terkejutlah Ceng Ceng ketika dia melihat betapa semua ular itu kini membalik dan seperti marah menyerbu ke arahnya! Sebentar saja ular-ular besar kecil, semuanya beracun, dipimpin oleh tujuh ekor ular sendok yang "berdiri" dan dengan leher berkembang menyembur-nyembur, mengurungnya dan anak perempuan itu kini sudah bangkit berdiri dan menari-nari kegirangan sambil tertawa-tawa, seolah-olah seorang anak kecil yang memperoleh permainan menarik sekali.
Mengertilah Ceng Ceng bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah yang luar biasa, tentu anak dari golongan sesat yang amat lihai. "Hemm....!" bentaknya dan dia melangkah maju ke arah tujuh ekor ular sendok yang paling galak. Tujuh ekor ular itu menyerangnya dengan berbareng, mematuknya. Ceng Ceng menggerakkan kedua lengannya setelah menyingsingkan lengan bajunya agar jangan tergigit robek. Tujuh ekor ular itu tentu saja tertarik dan kesemuanya lalu mematuk ke arah kedua lengan yang berkulit putih itu. Ketika Ceng Ceng mengangkat kedua lengannya, tujuh ekor ular cobra itu bergantungan pada lengannya dan kini Ceng Ceng menggerakkan tangannya, mencengkeram kepala ular-ular itu yang menggigit lengannya, lalu sekali mengerahkan tenaganya, kepala tujuh ekor ular itu hancur dan bangkai ular itu dia lemparkan ke bawah. Sementara itu, ular-ular yang lain sudah menyerbu, akan tetapi gigitan mereka sama sekali tidak mempengaruhi apa-apa pada tubuh dara itu, bahkan dia lalu menggerakkan kaki tangan dan menginjaki kepala ular, menangkapi dan membanting sehingga ular-ular itu menjadi morat-marit dan kacau balau, banyak yang mati, sisanya lalu ketakutan dan mulai menjauhkan diri.
Anak perempuan yang tadi menari-nari kegirangan, kini menghentikan tariannya, memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju. "Kau.... kau.... dapat mengalahkan ular-ularku...."
Ceng Ceng menangkap kepala seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya lebih dari satu meter, menggerakkan bangkai ular itu ke arah anak perempuan tadi.
"Plak! Plak!" Biarpun anak perempuan itu berusaha mengelak, tetap saja ekor ular itu menyabet kedua pipinya. Anak itu menangis dan menutupi mukanya!
Dingin kembali hati Ceng Ceng yang tadinya panas. Dia menghampiri dan mengelus kepala anak luar biasa itu. "Kau siapa dan mengapa kau di sini seorang diri" tanyanya dengan suara halus.
Anak itu mengangkat mukanya memandang. Cantik benar wajah anak ini, hanya sayang kepucatan wajahnya mengerikan, seolah-olah tidak ada darah mengalir di bawah kulit itu.
"Engkau.... engkau tidak akan membunuh aku" tanya anak itu.
Ceng Ceng tersenyum. "Ihh, mengapa aku harus membunuhmu"
"Enci, engkau orang aneh, tidak seperti yang lain. Ayah tentu akan senang sekali bertemu denganmu."
"Siapa ayahmu, dan engkau siapa"
"Namaku Kim Hwee Li, dan ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo!" Berkata demikian, anak itu memandang dengan sikap bangga. Akan tetapi kembali dia terheran-heran dan kecewa karena agaknya wanita yang dapat mengalahkan ular-ularnya itu sama sekali tidak kelihatan kaget. Memang Ceng Ceng selama hidupnya belum pernah mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) itu, tentu saja dia tidak menjadi kaget. Dia tidak tahu bahwa iblis tua itu bukan lain adalah raja atau Ketua Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main!
"Di manakah ayahmu" Mengapa kau ditinggalkan di sini seorang diri"
"Ayahku baru sibuk perang dengan orang-orang Lembah Bunga Hitam, mengatur anak buahnya. Aku bosan melihat perang selama tiga hari, maka aku pergi sendiri bermain-main di sini. Sini sepi tidak ada orang hidup, tidak ada lagi orang bertempur. Enci, apa kau tidak takut kepada ayahku" Ayahku ditakuti semua orang. Baru mendengar namanya saja, orang sudah lari ketakutan, akan tetapi kenapa engkau tidak lari"
"Aku tidak takut kepada siapapun juga."
"Bagus! Kiranya engkau di sini, Hwee Li. Dan kau bertemu dengan seorang bocah sombong! Ha-ha-ha, jangan ditiru sikap sombongnya itu, karena sikap itu hanya akan mencelakakan."
Ceng Ceng cepat membalikkan tubuhnya dan dia terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang manusia seperti ini, amat menyeramkan. Laki-laki itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan ketika tertawa tadi, mulutnya terbuka memperlihatkan dua buah gigi panjang meruncing seperti taring singa, kedua lengannya yang tidak tertutup karena bajunya berlengan pendek itu penuh bulu yang kaku seperti jarum hitam, matanya liar dan mengandung sinar kejam dan buas seperti mata singa sedang marah. Diam-diam Ceng Ceng merasa heran bukan main. Orang yang buruk seperti setan ini memiliki seorang anak perempuan yang demikian manis dan mungilnya! Sungguh tidak patut!
"Jadi engkau adalah ayah dari Hwe Li! Hemm, seorang anak kecil dibiarkan bermain-main sendiri di tempat seperti neraka ini. Sungguh ayah yang tidak dapat mendidik dan menjaga anak!" Ceng Ceng berkata untuk membalas ejekan kakek raksasa itu, sedikit pun tidak mengenal takut.
"Wah-wah, Nona muda. Apa anakku tidak mengatakan siapa adanya ayahnya"
"Sudah, Ayah. Akan tetapi enci ini hebat, dia tidak takut kepada Hek-tiauw Lo-mo!" tiba-tiba Hwe Li berseru.
Muka kakek itu berubah merah dan kedua matanya melotot lebar ketika memandang Ceng Ceng. "Kau tidak tahu siapakah Hek-tiauw Lo-mo"
"Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku sama sekali!"
"Keparat sombong! Engkau tentu orang pihak Lembah Bunga Hitam!"
"Aku tidak mengenal Lembah Bunga Hitam. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat akibat perang yang kotor dan keji, melihat anak kecil yang tidak terdidik baik-baik menyerangku dengan ular-ular beracun."
"Ha-ha-ha, engkau nona muda yang cantik, mulutmu kecil akan tetapi suaramu besar. Kau tidak takut kepada Pulau Neraka"
"Aku tidak peduli dan tidak kenal Pulau Neraka!"
"Ha-ha-ha! Dan kau juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam"
"Persetan dengan Lembah Bunga Hitam!"
"Ha-ha-ha-ha!" Ketua Pulau Neraka itu tertawa bergelak dan menjadi makin tertarik. Kalau tadi dia mendengar bahwa Pulau Neraka tidak ditakuti, dia agak mendongkol, akan tetapi sekarang mendengar bahwa dara muda jelita ini juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam yang menjadi lawannya, dia tertawa girang. "Ingin aku melihat muka Si Tua Bangka Hek-hwa Lo-kwi (Setan Tua Bunga Hitam) kalau mendengar bahwa Lembah Bunga Hitam tidak ditakuti oleh seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha!"
"Ayah, Enci ini tentu saja tidak takut. Dia lihai sekali. Ular-ularku banyak yang mati dan sama sekali tidak berdaya menghadapinya!" tiba-tiba Hwe Li berkata.
"Apa...." Ketua Pulau Neraka menjadi terkejut dan gembira. "Kiranya seorang nona muda yang lihai juga, ya" Tempat ini menjadi gelanggang pertandingan mengadu racun dan kau masih berani datang ke sini, bahkan kau telah mengalahkan ular-ular berbisa itu" Hemm, agaknya kau tidak takut racun, ya"
Ceng Ceng tersenyum mengejek, teringat akan mendiang subonya yang menjadi datuk ilmu racun! "Hemm, racun adalah makananku sehari-hari!" katanya, bukan semata-mata untuk bersombong karena memang selama berada di neraka bawah tanah bersama subonya, boleh dibilang setiap hari dia disuruh makan racun! Itulah cara subonya membuat dia kebal akan racun, dan tentu saja menelan racun itu disertai ramuan obat dan totokan-totokan pada jalan darah tertentu.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo menerimanya sebagai suatu kesombongan besar. Dia adalah Ketua Pulau Neraka yang terkenal sebagai tempat racun, dan dia adalah seorang ahli, maka mendengar kesombongan ini dia menjadi marah. "Bagus, kalau begitu makanlah ini!" Tangannya bergerak dan uap hitam menyambar dari tangan itu ke arah muka Ceng Ceng.
Ceng Ceng dapat mencium bau uap beracun itu, maka dia tahu racun apa yang dipergunakan kakek itu untuk menyerangnya. Dia tetap tersenyum, hanya miringkan sedikit kepalanya agar tidak terkena hawa pukulan yang menyambar dari tangan itu, dan uap hitam menyelimuti mukanya. Terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Uap hitam itu saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan tangguh, roboh dan pingsan, dan dia pun merasa yakin bahwa dara muda ini akan roboh pingsan pula. Akan tetapi, suara ketawanya berhenti dan dia terbelalak kaget ketika melihat setelah asap membuyar, gadis itu tetap saja berdiri tegak, mukanya tetap berseri, juga matanya masih bersinar-sinar, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan padahal gadis itu tidak menahan pernapasannya dan jelas telah menyedot uap hitam itu.
"Kau dapat bertahan" Makanlah ini!"
Kakek itu kembali membentak dan kini dia membanting sesuatu di depan Ceng Ceng. Benda bulat putih itu meledak dan muncratlah cairan hijau yang mengeluarkan bau memuakkan. Cairan ini muncrat dan ketika mengenai tanah mengeluarkan suara mendesis dan mengeluarkan asap seolah-olah tanah yang terkena benda cair ini terbakar!
Ceng Ceng mengelak agar pakaiannya tidak terkena benda itu, akan tetapi kedua tangannya menyampok benda cair yang muncrat. Kedua tangan itu berlepotan benda cair hijau itu. Kembali Hek-tiauw Lo-mo terbelalak kaget. Benda cair itu adalah racun yang amat jahat dan segala benda, apalagi kulit daging, akan hancur membusuk terkena benda ini, akan tetapi kedua tangan nona itu yang berlepotan benda cair ternyata tidak apa-apa. Bahkan Ceng Ceng lalu membentak, "Kaumakanlah sendiri!" Kedua tangan nona itu bergerak dan benda cair yang berlepotan di tangannya memercik ke arah muka Hek-tiauw Lo-mo!
"Uhhhh....!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak kaget sekali, akan tetapi dia pun dapat menghindarkan diri dari percikan cairan hijau itu. Diam-diam dia menjadi terkejut sekali. Dia sendiri kalau harus menghadapi racun hijau pencabut nyawa itu harus menggunakan obat penawar lebih dulu karena racun ini terlalu berbahaya. Akan tetapi gadis itu dapat menangkisnya begitu saja, dengan seenaknya seolah-olah racun hijau itu bukan apa-apa! Dia menjadi penasaran. Mungkinkah gadis ini memiliki keahlian tentang racun yang melebihi dia" Tak mungkin!
"Kau hebat akan tetapi cobalah ini!" Kini Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua telapak tangan mendorong ke depan dengan cepat sekali. Ceng Ceng maklum bahwa itu merupakan pukulan beracun, maka dia yang melihat betapa cepatnya gerakan kakek ini, cepat mendorongkan kedua tangannya pula memapaki. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. Gadis itu berani memapaki pukulannya yang mengandung lima racun inti, pukulan yang disebut Ngo-tok-toat-beng-ciang (Pukulan Tangan Lima Racun Pencabut Nyawa)! Padahal pukulannya ini amatlah ampuhnya, dahsyat dan jarang, bahkan belum pernah ada yang mampu menerimanya kecuali Ketua Lembah Bunga Hitam tentunya.
"Ha-ha-ha, sekarang engkau mampus, bocah sombong!" teriaknya. Di samping hawa beracun yang amat ganas ini, juga dia mengandalkan kekuatan sin-kangnya yang mendorong hawa beracun itu sehingga daya serang racun itu tidak perlu disangsikan lagi kedahsyatannya.
"Plak! Plakk!"
"Aihhh...." Hek-tiauw Lo-mo kini benar-benar kaget. Tidak saja gadis itu berani menerima pukulannya dan jelas bahwa Ngo-tok-toat-beng-ciang tidak berbekas apa-apa, juga gadis itu ternyata memiliki sin-kang yang cukup tinggi sehingga mampu menangkis pukulannya tadi. Lebih lagi, dia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal tanda bahwa telapak tangan gadis itu mengandung racun yang luar biasa dan agaknya tak dapat ditahan oleh kulit telapak tangannya yang kebal karena terisi ilmu pukulan beracun tadi! Cepat dia memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya di mana sudah terdapat batu-batu mustika penawar racun, agar kedua tangan itu tidak sampai keracunan hebat.
Ceng Ceng tersenyum mengejek, "Bagaimana, Hek-tiauw Lo-mo" katanya.
"Bocah sombong, kiranya engkau setan cilik beracun pula! Akan tetapi jangan kira Hek-tiauw Lo-mo kalah olehmu dalam keahlian racun. Coba kaubebaskan dirimu dari lingkaran racun api ini kalau mampu!" Tiba-tiba kakek itu bergerak lari memutari tempat Ceng Ceng berdiri. Dara itu terkejut menyaksikan betapa cepatnya kakek itu bergerak. Tadi dia sudah merasakan kehebatan tenaga sin-kang kakek itu, kini dia menyaksikan gin-kang yang amat hebat sehingga diam-diam dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar amat sakti. Namun dia tidak menjadi gentar. Kalau hanya diserang dengan segala macam racun saja dia tidak akan takut! Maka sambil berdiri dengan tenang dia memandang lawan yang sambil berlari cepat mengelilinginya itu ternyata telah menaburkan semacam bubuk putih di atas tanah di sekitarnya.
"Ha-ha-ha-ha! Hendak kulihat bagaimana kau menghadapi racun api yang mengelilingimu!" Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan masih terus melangkah di sekeliling Ceng Ceng, agaknya siap untuk menyerang apabila dara itu melompat ke luar dari lingkaran itu.
Ceng Ceng memandang ke bawah. Dia tahu racun macam apa itu yang kini mulai membara dan perlahan-lahan api itu memakan tanah dan merayap mendekatinya sehingga dengan cepat lingkaran api itu menjadi makin menyempit. Sebentar lagi tentu lingkaran itu akan mencapai kakinya dan membakarnya!
Dari dalam neraka di bawah tanah, ketika dia pergi meninggalkan tempat itu, Ceng Ceng telah membawa semua persediaan racun-racun ampuh milik subonya. Maka kini dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hitam, menjumput obat itu dan menaburkan di sekeliling tubuhnya dengan sikap tenang.
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan penuh perhatian, dan mukanya berubah ketika dia melihat betapa api dari racun yang ditaburkannya tadi, ketika tiba di tempat yang sudah ditaburi obat bubuk hitam oleh Ceng Ceng, menjadi padam seketika! Padahal obat bubuk putihnya tadi adalah racun yang dapat membakar apa saja!
"Hemm, sekarang menangislah engkau!" Hek-tiauw Lo-mo membentak, tidak menggunakan ilmu sihir karena dia hendak menonjolkan keahliannya menggunaan racun, melainkan melemparkan bubuk hitam seperti uap ke arah muka Ceng Ceng. Dara ini mengenal pula bubuk yang membuat orang dapat menangis itu, akan tetapi karena dia tahu bahwa dirinya sudah kebal terhadap racun ini yang termasuk golongan menengah, tidak berapa kuat, dia tidak mengelak, hanya memejamkan mata sambil menerjang ke depan dan kini dia membalas dengan meludah ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Bukan meludah biasa, karena ludahnya itu memercik lebar seperti hujan menyerang lawan.
Hek-tiauw Lo-mo yang hanya menyangka bahwa nona itu karena marahnya meludah untuk menghinanya, mengelak akan tetapi ketika punggung tangannya terkena percikan ludah, dia berteriak kaget,
"Aduhhh....! Ihhh, keparat, sampai ludah-ludahnya pun beracun!" teriaknya kaget, cepat dia menggosok punggung tangan kirinya dengan batu mustika pemunah racun. Namun, tetap saja kulitnya terdapat titik-titik hitam sebagai bekas racun ludah itu!
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan mata terbelalak lebar. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli racun yang benar-benar amat lihai, bahkan mungkin melebihi kehebatan ilmunya tentang racun!
"Hebat.... hebat.... siapa mengira bahwa di dunia terdapat seorang ahli racun yang masih begini muda dan hebat! Aihh, orang harus mengenal batas kemampuannya dan mengakui keunggulan seorang ahli. Agaknya pengetahuanmu dalam hal racun tidak kalah olehku, Nona. Akan tetapi ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silatmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju, kini menggunakan ilmu silatnya untuk menerjang Ceng Ceng.
Sekali ini Ceng Ceng menjadi kelabakan! Tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi serangan seorang ahli seperti Hek-tiauw Lo-mo yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Padahal Ceng Ceng hanyalah memiliki kepandaian yang belum berapa tinggi, hanya berkat latihan dari kakeknya, sedangkan di waktu dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, dalam waktu hanya tiga bulan itu dia lebih banyak melatih diri dengan ilmu tentang racun dan pukulan-pukulan beracun serta kekebalan terhadap racun. Kalau dia diserang dengan racun dia dapat menghadapi dengan enak saja, kini diserang dengan ilmu silat tinggi, dia menjadi sibuk dan biarpun dia berusaha menghindarkan diri dengan elakan, tangkisan, bahkan sedapat mungkin membalas, namun dalam waktu dua puluh jurus saja dia sudah dapat dirobohkan dalam keadaan tertotok lemas dan lumpuh kaki tangannya!
"Ha-ha-ha-ha, kiranya ilmu silatmu tidak seberapa tinggi, tidak akan mampu menandingi seorang pembantuku di Pulau Neraka!" kata kakek itu. "Akan tetapi ilmu pengetahuanmu tentang racun hebat maka sayang kalau kau dibunuh. Hwee Li, bawa dia pulang, suruh para paman menjaga baik-baik agar dia tidak sampai lolos. Aku masih banyak urusan mengatur penyerbuan ke lembah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah tubuh kakek raksasa itu sehingga Ceng Ceng menjadi terkejut dan kagum sekali. Dia tidak merasa penasaran dikalahkan oleh kakek tadi karena memang kepandaian kakek itu agaknya tidak kalah oleh tingkat kedua orang kakek kembar sekalipun!
Anak perempuan itu menghampiri Ceng Ceng yang masih rebah telentang dalam keadan kaki tangannya lumpuh dan lemas, tersenyum manis dan matanya berseri-seri penuh sikap menggoda. "Wah, kau mengecewakan aku, Enci. Ketika kau mengalahkan semua ularku, kau hebat dan aku kagum, akan tetapi ternyata melawan Ayah, sebentar saja kau roboh seperti orang yang amat lemah."
Sejak kakek yang lihai tadi pergi, Ceng Ceng sudah memutar otaknya mencari akal. Tidak mungkin dia yang baru saja terbebas dari maut di dalam neraka bawah tanah, kini harus mandah saja terjatuh ke tangan kakek sakti itu. Dia harus mencari akal agar dapat lolos lagi dari bahaya maut. Sudah terlalu sering dia dicengkeram bahaya maut yang ganas sekali. Ketika bersama Syanti Dewi terkepung dan dikejar-kejar, ketika hanyut ke dalam sungai, kemudian ketika dia terjungkal ke dalam sumur maut, lalu jatuh ke tangan nenek gila Ban-tok Mo-Li, bahkan ketika dia hendak dibunuh oleh Siang Lo-mo. Semua bahaya itu dapat dihindarkannya, maka kini pun dia harus dapat membebaskan diri!
"Hwee Li, jadi engkau adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo"
"Ya, aku puteri tunggalnya. Ayahku adalah Ketua Pulau Neraka. Hebat ya ilmu kepandaiannya"
Ceng Ceng mencibirkan mulutnya, "Huh, hebat apa" Tidak lihatkah engkau tadi betapa dia kalah oleh aku dalam hal keahlian tentang racun"
Anak perempuan itu mengangguk. "Ya, akan tetapi akhirnya engkau toh kalah dan dirobohkan, kau mengecewakan hatiku, Enci."
"Hwee Li, engkau suka akan kegagahan"
"Tentu saja!"
"Ayahmu memang tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia belum lihai kepandaiannya tentang racun. Andaikata aku memiliki tingkat ilmu silat seperti dia, apakah dia tidak sudah tewas sekarang dan kalah olehku"
Hwee Li agaknya seorang anak yang cerdas. Dia mengangguk dan berkata, "Akan tetapi ilmu silatmu amat rendah, Enci...."
"Memang harus kuakui itu. Akan tetapi keahlianku tentang racun jauh melebihi ayahmu. Hwee Li, apakah kau kelak ingin menjadi seorang yang terpandai di dunia, tanpa ada yang mengalahkanmu"
"Tentu saja! Ayahku bilang, kalau aku berlatih dengan tekun dan kelak mewarisi semua ilmu ayahku, aku tentu akan menjadi seorang paling pandai nomor satu di dunia."
"Ayahmu bohong! Andaikata ayahmu memiliki ilmu silat nomor satu di dunia, tetap saja dia tidak dapat membikin kau menjadi ahli nomor satu kelak, karena kalau kau bertemu dengan ahli racun nomor satu di dunia, kau akan celaka. Kau baru benar-benar bisa menjadi orang paling pandai kalau selain mewarisi ilmu silat ayahmu engkau juga mewarisi ilmu tentang racun dariku!"
Anak itu mengerutkan alisnya dan mengangguk, "Omonganmu benar juga, Enci."
"Tentu saja benar. Kalau kau mau menjadi muridku kelak untuk mempelajari ilmu tentang racun, kau akan menjadi ahli racun nomor satu di dunia, tidak ada yang melawan lagi."
"Sebabnya"
"Karena aku adalah murid dan pewaris ilmu-ilmu dari datuk ahli racun Ban-tok Mo-li...."
"Aihhhh....! Ayahku sudah lama menyebut-nyebut nama ini, mengatakan sayang bahwa wanita ahli racun nomor satu di dunia itu lenyap."
"Memang lenyap bagi dunia umum, akan tetapi tidak bagiku. Aku menjadi muridnya dan pewaris ilmu-ilmunya dan karena sekarang dia telah meninggal dunia, aku adalah ahli nomor satu di dunia, dan kelak engkau yang akan mewarisi kalau engkau suka menjadi muridku."
"Tentu saja aku suka sekali!" jawab Hwee Li dengan wajah girang.
"Kalau begitu, kau kuterima sebagai murid dan kelak setelah kau tamat belajar ilmu silat dari ayahmu, aku akan mulai mengajarmu tentang ilmu racun. Tapi lebih dulu harus bebaskan aku agar aku dapat menerima penghormatan sebagai muridku."
Hwee Li memang cerdik sekali. Dia memandang ragu. "Akan tetapi, bagaimana kalau kelak kau melanggar janji dan kaupergunakan janji ini hanya untuk menipu aku agar kau dapat bebas"
Ceng Ceng memaki di dalam hatinya akan kecerdikan anak ini. "Bodoh!" bentaknya. "Apakah ayahmu sebagai ahli nomor satu dalam ilmu silat juga suka membohongi orang dan melanggar janji"
"Tentu saja tidak."
"Nah, aku pun sebagai ahli racun nomor satu, mana sudi melanggar janji" Hayo cepat kaubebaskan aku, apakah kau bisa menotok"
"Aku sudah belajar ilmu menotok dari Ayah, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana harus membebaskan totokan Ayah pada tubuhmu."
"Mudah saja, asal engkau sudah dapat menggunakan jari tanganmu untuk menotok. Kautotoklah jalan darah di bawah tengkukku, dengan dua jari."
Hwee Li mendorong tubuh Ceng Ceng menjadi miring, kemudian dia menotok tempat itu.
"Dukk!"
Ceng Ceng menyeringai kesakitan. "Kurang ke atas sedikit...." keluhnya.
Hwee Li kembali menotok, agak ke atas. Akan tetapi mula-mula totokannya tidak berhasil membebaskan Ceng Ceng, malah mendatangkan rasa nyeri. Akan tetapi setelah diulang-ulang sampai lima kali, akhirnya totokan itu ada hasilnya dan kedua lengan Ceng Ceng dapat digerakkan sedikit akan tetapi jalan darahnya belum mengalir dengan sempurna. Dia lalu mengerahkan sin-kangnya mendorong dari dalam dan berhasillah dia. Setelah kedua lengannya bebas, dia mengumpulkan tenaga lalu menotok bawah punggungnya sendiri untuk membebaskan kedua kakinya.
"Aihhh....!" Dia bangkit duduk sambil mengelus-elus tempat yang ditotok Hwee Li tadi.
"Sekarang aku menjadi muridmu, Enci."
"Ya, kaulakukanlah upacara pengangkatan guru, berlutut dan memberi hormat delapan kali!"
Hwee Li lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng yang sudah bangkit berdiri, memberi hormat sampai delapan kali sambil menyebut, "Subo....!"
Begitu selesai memberi hormat, anak itu cepat meloncat bangun dan berkata, "Subo, sekarang tiba giliranmu untuk mengucapkan janji kepadaku!"
Ceng Ceng tersenyum. Memang dia sudah merasa suka. kepada anak kecil ini dan andaikata kelak mereka dapat saling jumpa kembali, agaknya dia tidak akan keberatan untuk menurunkan ilmu kepada anak yang cerdas ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata, "Aku berjanji...."
"Nama Subo siapa, harap sebutkan agar aku tidak lupa."
Ceng Ceng tersenyum dan memandang kagum. Anak ini kelak akan menjadi seorang yang hebat, pikirnya. "Aku Lu Ceng, berjanji bahwa kelak, kalau Kim Hwee Li telah mempelajari ilmu silat dari ayahnya, aku akan mengajarkan ilmu tentang racun kepadanya sebagai muridku yang baik."
Hwee Li tertawa girang. "Subo, mari sekarang kita pergi ke tempat yang dijadikan benteng ayahku dan para anak buah Pulau Neraka. Aku tanggung tidak akan ada yang berani mengganggumu setelah mereka tahu bahwa engkau adalah guruku."
"Tidak, Hwee Li. Aku harus pergi dulu, kelak kita akan bertemu kembali."
Anak itu menghela napas. "Akan tetapi ingatlah Subo. Kalau aku sudah tamat belajar dari Ayah dan Subo tidak datang mencariku, aku yang akan pergi mencarimu."
Ceng Ceng tersenyum, memegang dagu yang manis itu. "Engkau muridku yang baik, tentu kelak kita akan saling berjumpa. Percayalah. Nah, selamat tinggal, Hwee Li!" Ceng Ceng lalu cepat meloncat jauh dan berlari pergi dari situ, menuju ke selatan. Dia harus cepat pergi karena kalau sampai ayah anak itu datang kembali, belum tentu dia akan dapat menghindarkan diri dengan mudah dari kekuasaan kakek yang sakti itu.
Biarpun dia melakukan perjalanan cepat, namun Ceng Ceng selalu bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dia makin mendekati daerah berbahaya, yaitu Lembah Bunga Hitam. Jalan mulai mendaki dan tidak tampak lagi ada dusun. Keadaan amat sunyi melengang, sunyi yang menegangkan karena di dalam kesunyian ini seolah-olah maut mengintai di mana-mana, di balik batu, di atas pohon, di dalam jurang. Dan memang maut mengintai di mana-mana berupa binatang berbisa, racun-racun yang tersebar dan tercecer di mana-mana, jebakan-jebakan yang berisi ular, paku-paku berkarat dan beracun yang dipasang orang di mana-mana di tempat yang tak tersangka-sangka. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng dapat terhindar dari semua itu dan akhirnya tibalah dia di luar pintu gerbang sebuah dusun yang kelihatan amat sunyi melengang, di mana pohon-pohonnya banyak yang rontok dan mengering, rumah-rumah tembok kokoh kuat tanpa penghuni. Dia memasuki pintu gerbang itu dan jantungnya berdebar tegang. Memang menyeramkan sekali keadaan di dusun itu. Inilah agaknya Lembah Bunga Hitam, karena mulai tampak olehnya rumpun tetanaman yang kembangnya hitam kecil-kecil yang mengeluarkan bau yang jelas mengandung racun yang amat berbahaya! Dengan hati-hati Ceng Ceng berjalan terus dan tiba-tiba dia meloncat, menyelinap di balik semak-semak karena dia melihat ada beberapa orang di depan. Dari tempat sembunyiannya dia mengintai dan betapa herannya melihat sebuah kerangkeng di mana terdapat seorang laki-laki yang kepalanya tersembul di luar kerangkeng, kaki tangannya terbelenggu dan laki-laki itu mukanya merah sekali. Kerangkeng itu bentuknya seperti kerangkeng yang biasa dipakai untuk mengangkut seorang tawanan. Ada empat orang yang menjaga di dekat kerangkeng, seorang lagi berdiri agak jauh, mungkin orang ke lima ini menjaga kalau-kalau ada musuh yang muncul dari arah selatan.
Ceng Ceng merasa tertarik sekali, lalu dia menyelinap di balik pohon dan semak-semak, mendekati. Tak jauh dari tempat itu dia melihat sebuah sumur tua, dan tiba-tiba sekali, hampir tidak tampak olehnya kalau saja dia tidak sedang memperhatikan sumur itu, dia melihat bayangan berkelebat cepat sekali memasuki sumur itu! Keheranan dan kecurigaannya timbul. Mungkin dia salah lihat, pikirnya, akan tetapi sumur itu merupakan tempat yang tepat untuk mengintai dan bersembunyi, dan tidak ada jeleknya untuk memeriksa apakah benar bayangan tadi memasuki sumur. Dia menyelinap makin dekat dan akhirnya dia meloncat ke dalam sumur tua, berpegang pada bibir sumur yang terbuat dari batu-batu besar. Mudah saja baginya untuk bersembunyi di situ, karena dari jauh tadi pun sudah tampak betapa dinding sumur besar itu terbuat dari tumpukan batu-batu yang tidak rata.
Ketika dia menjenguk ke bawah, tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri karena kembali dia melihat bayangan orang berkelebat, sekarang di dasar sumur itu dan lenyap. Benarkah ada orangnya di bawah sana yang gelap dan hitam itu" Ataukah dia sudah salah lihat" Agaknya tidak mungkin ada orang di dalam sumur ini, pikirnya dan perhatiannya segera ditujukan lagi ke luar sumur, ke arah kerangkeng di mana seorang laki-laki terbelenggu itu. Kini nampak jelas wajah laki-laki yang tertawan itu. Wajah yang gagah bukan main, dan masih muda, akan tetapi kulit muka itu merah seperti terbakar dan matanya menyorotkan sesuatu yang amat aneh.
Tiba-tiba Ceng Ceng merasa jantungnya berdebar tegang. Pemuda tampan itu seperti pernah dijumpainya! Tampan dan gagah! Tak salah, pernah dia berjumpa dengan pemuda yang berada di dalam kerangkeng itu. Kalau tak salah...., ya, di dalam pasar kuda! Ketika dia menjual-belikan kuda, bersama Panglima Souw Kwee It, di dalam pasar itu terdapat dua orang pemuda yang menarik perhatiannya. Dua orang pemuda tampan. Tentu seorang di antara mereka itulah yang kini berada di dalam kerangkeng ini. Teringat akan sikap dua orang pemuda itu, yang memandang kagum kepadanya ketika di pasar dahulu, timbul keinginan hati Ceng Ceng untuk menolong pemuda di dalam kerangkeng ini.
Empat orang penjaga yang dekat dengan kereta itu bertubuh biasa saja, akan tetapi sinar mata mereka seram, membayangkan kekejaman hebat. Juga sikap mereka aneh, yang seorang malah tidak bersepatu, dan kadang-kadang mereka itu sama sekali tidak bergerak seperti arca. Tiga orang duduk di atas tanah, seorang berdiri dan seorang lagi berdiri jauh dari kerangkeng. Kalau aku serang mereka dan terjadi pertempuran, tentu kawan-kawan mereka akan berdatangan dan kalau banyak orang datang mengeroyok, akan gagallah usahaku menolong. Lebih baik dengan mendadak kubebaskan dia, agar dapat melarikan diri, pikir Ceng Ceng.
Ceng Ceng lalu bergerak naik dan meloncat keluar dari dalam sumur dengan hati-hati sekali, lalu dia mengeluarkan gin-kangnya berloncatan ke arah kerangkeng itu. Dia terkejut karena melihat betapa lima orang penjaga itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah mereka itu benar-benar telah berubah menjadi arca betul! Akan tetapi dia tidak mau peduli lagi, cepat menghampiri kerangkeng.
"Eh.... oh.... mau apa kau...." Pemuda di dalam kerangkeng melihat Ceng Ceng menghampirinya.
Mendongkol juga hati Ceng Ceng mendengar pertanyaan ini. "Tidak apa-apa," jawabnya dingin. "Hanya ingin membebaskan kau dari dalam kerangkeng ini, yaitu kalau kau mau."
"Tidak....! Tidak....! Jangan lakukan itu, lekas kau lari dari sini kalau kau sayang jiwamu!"
Ceng Ceng menjadi makin mendongkol lagi. Wataknya memang keras dan suka melawan, makin dikeras dia makin berani dan nekat.
"Manusia tak mengenal budi! Aku nekat hendak menolong kau malah menolak. Aku tetap hendak menolongmu, hendak kulihat kau mau bisa menolak atau tidak!" Dia sudah menggerakkan tangan hendak membongkar kerangkeng itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras dan lima orang penjaga itu sudah datang berlari-lari lalu menyerangnya kalang kabut!
"Nona, siapapun adanya engkau, lekas larilah!" Kembali pemuda di dalam kerangkeng berteriak keras. Akan tetapi, andaikata tadinya Ceng Ceng berniat untuk lari, mendengar kata-kata ini saja sudah cukup baginya untuk merobah niatnya itu. Dia menghunus pedang Ban-tok-kiam, memutar pedang itu dan menangkis serangan lima orang yang menggunakan senjata golok dan pedang. Terdengar suara nyaring dan lima orang itu meloncat ke belakang, seorang di antara mereka terus roboh terkena hawa beracun dari Ban-tok-kiam.
"Pedang hebat....!" Empat orang yang lain memuji karena sebagai anggauta Lembah Bunga Hitam tentu saja mereka mengenal senjata beracun yang amat berbahaya itu.
"Baik, kalau kalian sudah mengenal pedangku agar tidak mati penasaran. Majulah!" Ceng Ceng memegang sambil mengerling ke arah pemuda dalam kerangkeng dengan senyum mengejek dan menantang. Kerling dan senyumnya seperti berkata, "Aku tetap hendak melawan, kau mau apa!"
Akan tetapi mendadak Ceng Ceng melongo karena dia melihat empat orang lawannya itu sama sekali tidak bergerak lagi, seperti tadi, seolah-olah berubah menjadi patung! Melihat ini, dia tidak membuang waktu lagi, cepat dia menghampiri kerangkeng untuk membebaskan pemuda itu.
"Jangan, Nona. Lekas kau pergi. Mereka itu terkena hawa beracun yang membuat mereka sebentar sadar sebentar tidak seperti itu. Lekas pergi, kalau sampai ketahuan ketua lembah, lari pun akan terlambat bagimu!"
Ceng Ceng memandang dengan cemberut. "Kau ini cerewet benar, sih! Kau tidak ingin keluar dari kerangkeng, akan tetapi aku justeru ingin membebaskanmu!"
"Jangan.... jangan.... aku.... aku keracunan.... pergilah saja, Nona!" pemuda itu kembali berkata, wajahnya makin merah dan matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.
"Uh, cerewet! Tranggg....!" Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi menggunakan pedangnya membacok pinggiran kerangkeng, akan tetapi kerangkeng itu tiba-tiba miring dan pedangnya bertemu dengan bagian yang dilapis baja. Pemuda di dalam kerangkeng itu ternyata telah menggerakkan dirinya sehingga kerangkeng itu miring dan selain pinggiran baja, juga dia telah menangkis pedang itu dengan belenggu!
"Manusia tak mengenal budi! Kau bersikap hendak mempertahankan diri supaya tidak bisa bebas, ya" Dan aku pun berkeras hendak menghancurkan kerangkeng ini!" Dia mendesak lagi.
"Trang-trang-trakk....!"
Ceng Ceng kaget. Pedangnya menembus bagian kayu dari kerangkeng itu, akan tetapi selalu bertemu dengan belenggu baja. Pemuda ini ternyata berkepandaian tinggi, kalau tidak, mana mungkin dalam keadaan terbelenggu, di dalam kerangkeng pula, dapat menangkis pedangnya" Pula, pedangnya adalah pedang Ban-tok-kiam, bagaimana pemuda itu mampu menangkis begitu saja dan setiap tangkisan membuat lengan kanannya tergetar hebat" Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahannya!
Tiba-tiba empat orang itu bergerak lagi dan berseru keras menerjang. Akan tetapi, tiba-tiba secara beruntun mereka roboh terjengkang dan tidak bergerak lagi, entah mengapa.
"Nona, lekas pergi... ketua lembah datang....!" Pemuda di dalam kerangkeng itu berseru, Ceng Ceng memandang dan melihat gerombolan orang yang jumlahnya paling sedikit ada dua puluh orang berlari-lari datang. Dia tidak takut, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan menang menghadapi begitu banyak orang, yang membuat dia mendongkol adalah bahwa kekalahannya itu membuat dia tidak akan berhasil membebaskan Si Pemuda! Memang terjadi perubahan aneh di dalam watak Ceng Ceng setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li dan setelah kini tubuhnya mengandung racun! Perubahan yang membuat dia keras hati, keras kepala, dan aneh tidak lumrah. Dia bukan takut kalau dia kalah dan terluka atau tewas, melainkan khawatir kalau-kalau tidak berhasil membebaskan pemuda itu yang makin diinginkannya begitu pemuda itu menolaknya.
"Kau pergi bersamaku!" katanya dan dia lalu mendorong kerangkeng yang beroda itu secepatnya pergi dari tempat itu!
"Wah-wah-wah.... mana bisa melarikan diri kalau mendorong kereta" Kau bocah bandel, keras kepala! Lepaskan kerangkeng, dan larilah!" pemuda itu meronta-ronta sehingga terasa berat sekali kerangkeng itu. Namun, makin dimarahi, makin marah pulalah hati Ceng Ceng dan dia makin nekat mendorong kereta itu keluar dari dusun itu.
Ceng Ceng mendengar pemuda itu mengomel akan tetapi tidak meronta-ronta lagi. Dan dia pun merasa heran mengapa dua puluh lebih orang tadi tidak juga dapat menyusulnya padahal larinya dengan cara mendorong kerangkeng itu tidak dapat dikatakan cepat" Huh, kalau begitu Ketua Lembah Bunga Hitam hanya mempunyai nama kosong belaka, pikirnya. Akan tetapi dia mempercepat larinya, lalu membelokkan kerangkeng, memasuki daerah di mana pegunungan itu mempunyai banyak batu-batu besar dan banyak guha-guha. Akhirnya dia mendorong kerangkeng memasuki sebuah di antara guha-guha itu.
"Hemm, hendak kulihat siapa di antara kita yang menang. Aku yang akan membuka kerangkeng atau engkau yang hendak mempertahankan diri di dalam kerangkeng seperti binatang!" kata Ceng Ceng dan mulailah dia menggunakan pedangnya untuk membacok-bacok kerangkeng.


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu kini mukanya makin merah, matanya melotot ketakutan, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata lagi, hanya sering kali dia mendengus dan mengeluh seolah-olah menderita sakit hebat. Ceng Ceng pun tahu bahwa pemuda ini keracunan, dan justeru karena itulah dia ingin membebaskannya, agar dia dapat memeriksanya dan memberinya obat. Sambil mendengus dan berusaha mengelakkan kerangkengnya dari sabetan pedang, pemuda itu memandang Ceng Ceng dengan mata berapi penuh kemarahan, kadang-kadang menggerakkan belenggunya untuk menangkis. Bahkan satu kali pemuda itu dapat menggerakkan kerangkengnya secara keras sekali sehingga tubuh Ceng Ceng terdorong dan roboh telentang! Tentu saja dara itu menjadi makin marah, menyimpan pedangnya, menubruk kerangkeng yang sudah patah-patah itu dan akhirnya dia berhasil merenggut dan kerangkeng itu cerai-berai, pemuda itu terguling ke luar dan bebas dari kerangkeng, akan tetapi dengan kaki tangan terbelenggu yang disambung rantai panjang.
"Oughhhh....!" Pemuda itu mendengus keras, tubuhnya mencelat dan dengan gerakan luar biasa sekali dia telah meloncat bangun. Ceng Ceng memandang bengong dan penuh takjub dan kagum. Pemuda itu memiliki tubuh seperti seekor singa jantan yang amat kokoh kuat dan tegap, tinggi besar dan pakaiannya yang compang-camping itu memperlihatkan sebagian kulit tubuh yang putih dengan otot-otot yang kekar. Seorang jantan yang memiliki tubuh kuat dan mengagumkan. Belum pernah selama hidupnya Ceng Ceng melihat seorang pria seperti ini, maka dia terlongong kagum. Dan sekarang jelas baginya bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang di antara dua orang pemuda yang pernah dijumpainya di pasar kuda. Bukan, pemuda ini jauh lebih tua dari mereka. Pemuda ini tentu sudah lewat dua puluh tahun uslanya, dan pada wajahnya nampak garis-garis tanda bahwa semasa mudanya pemuda ini mengalami banyak kesukaran hidup. Wajah yang tampan dan gagah namun tertutup oleh warna merah mengerikan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan kini memandang kepada Ceng Ceng dengan aneh.
"Oughhhh....!" Kembali dia mengeluh, tubuhnya gemetar, matanya dipaksa-paksa untuk dipejamkan, kedua tangan mengepal tinju dan belenggu di kaki tangannya berbunyi berkerincingan. Agaknya pemuda itu sedang menderita hebat, bahkan seperti terjadi pergulatan hebat di sebelah dalam dirinya.
Ceng Ceng yang sudah meloncat bangun dan memandang penuh perhatian itu, memandang penuh selidik dan biarpun dia belum memeriksa langsung, memandang keadaan pemuda itu dia sudah dapat menduga dan berseru, "Kau keracunan, racun yang membuat darahmu menjadi panas dan.... ehh.... haili....!" Ceng Ceng berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu menubruknya!
"Gila kau....!" Ceng Ceng membentak sambil mengelak ke kiri. Akan tetapi begitu tubrukannya luput, pemuda itu sudah dapat membalik dan menubruk lagi dengan gerakan yang bukan main cepatnya. Ceng Ceng kembali mengelak, akan tetapi dia kalah cepat maka dia membarengi dengan tangkisannya pada kedua lengan tangan yang hendak menangkapnya itu.
"Dukkk.... ihhhh....!" Ceng Ceng terhuyung dan menjadi marah sekali. Dia telah mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis tadi, namun dia masih saja terhuyung tanda bahwa pemuda itu selain memiliki gerakan cepat, juga memilik tenaga yang amat kuat!
"Keparat!" Dia memaki, marah sekali. Orang yang telah ditolongnya dan dibebaskannya itu membalas dengan serangan. Dengan kemarahan memuncak, kini Ceng Ceng membalas dengan pukulan keras dan beruntun, cepat sekali kedua tangannya menyambar ke arah pelipis dan menurun ke lambung dari kanan kiri, dan selain cepat dan kuat, dia juga mengerahkan tenaga yang mengandung racun.
"Ouhhhh....!" Kembali laki-laki itu mengeluarkan suara keluhan dalam, akan tetapi dengan sigapnya, biarpun kaki tangannya dibelenggu, dia dapat mengelak dan menangkis semua pukulan serangan Ceng Ceng. Dara itu makin terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini hebat bukan main, biarpun dibelenggu kaki tangannya namun agaknya tidak kalah oleh Hek-tiauw Lo-mo! Ketika dia menerjang lagi dan kedua tangannya memukul dada dan perut, pemuda itu tidak mengelak sama sekali.
"Dukkk! Desss!" Dada dan perut pemuda itu terkena pukulannya yang mengandung racun, akan tetapi ada hawa sin-kang kuat yang membuat kedua tangannya terpental kembali dan kedua lengannya seperti lumpuh seketika. Dan sebelum dia sempat bergerak lagi, tahu-tahu kaki pemuda itu telah menyambar kakinya sendiri dan sekali lagi Ceng Ceng roboh terguling!
"Keparat, kau sudah bosan hidup!" bentaknya sambil meloncat bangun dan dengan pedang Ban-tok-kiam di tangan dia menyerang lagi. Akan tetapi sebelum dia sempat menusuk, tiba-tiba pemuda itu sudah mendahuluinya, dengan gerakan aneh sekali kedua lengannya bergerak, rantai belenggu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring menulikan telinga, lenyap bentuk rantainya dan berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dahsyat didahului oleh angin pukulan yang amat kuat ke arah kepala Ceng Ceng.
Tentu saja Ceng Ceng menjadi terkejut sekali melihat serangan maut yang amat dahsyat ini, secepatnya dia mengelak ke samping akan tetapi tiba-tiba lengan tangannya yang memegang pedang menjadi lemas, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai guha karena entah bagaimana caranya, pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan pemuda itu.
"Aihhh....!" Ceng Ceng menjerit akan tetapi kembali sinar hitam rantai belenggu menyambar ke bagian tubuhnya. Dia membuat gerakan mengelak ke belakang, namun tiba-tiba dia sudah roboh tertotok dalam keadaan lemas dan telentang di atas lantai. Dan pemuda itu dengan mata mengeluarkan sinar mengerikan lalu menubruknya, memeluk dan menciumi mukanya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati Ceng Ceng, bercampur dengan rasa malu yang membuat dia hampir pingsan. Dia tidak mampu melawan lagi, tubuhnya sudah lemas dan menjadi lebih lemas dan gemetar saking tegangnya ketika dia merasa betapa hidung dan bibir yang amat panas itu, yang mendengus-denguskan napas yang memburu, merayapi seluruh mukanya. Lehernya, telinganya, matanya, dahinya, hidungnya dan kemudian bibirnya diciumi oleh pemuda itu! Jerit tertahan mencekik leher Ceng Ceng. Selama hidupnya, belum pernah dia dicium pria, apalagi dicium bibirnya seperti itu, ciuman penuh nafsu yang seolah-olah membetot semangat dari tubuhnya! Dalam keadaan setengah pingsan Ceng Ceng memejamkan matanya ketika bibir yang panas itu mencium mulutnya, kemudian mendadak muka orang itu terangkat dan menjauh.
Dia memaksa diri memicingkan mata dan melihat betapa pemuda itu berlutut, menutupi muka dan seperti orang menangis! Kemudian pemuda itu mendengus aneh dan meloncat berdiri, menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh duka, lalu sekali meloncat dia lenyap berberkelebat ke luar guha!
Ceng Ceng mengeluarkan keluhan panjang dan air matanya bergerak menuruni kedua pipinya. Hatinya lega bukan main. Nyaris dia mengalami hal yang amat mengerikan dan yang hanya dapat dia bayangkan di dalam mimpi buruk saja. Ngeri dia membayangkan hal itu, dan kegelapan hatinya untuk sementara menghapus bayangan pengalaman tadi ketika dia diciumi oleh pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak berdaya, dia masih tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu apakah bahaya sudah tidak ada lagi. Baru saja dia terbebas dari bahaya yang leblh mengerikan daripada kematian, akan tetapi bagaimana kalau para pengejar, ketua lembah dan orang-orangnya secara tiba-tiba muncul di situ selagi dia masih belum mampu bergerak" Bagalmana kalau orang-orang lembah yang ganas dan kejam itu mengganggunya.
"Uhuuuhhh...." Ceng Ceng terisak penuh rasa takut. Selama hidupnya baru tadi ketika dia dipeluk dan diciumi dia merasa ngeri dan ketakutan yang lebih hebat lagi. Sukar untuk membayangkan dia diganggu oleh orang-orang lembah. Lebih hebat daripada tadi!
"Keparat kau.... keparat kau....!" Dia memaki-maki pemuda itu yang meninggalkan dia seperti itu. Dia telah menolong pemuda itu, kenapa pemuda itu berbalik memperlakukannya seperti itu" Dan kini meninggalkannya dalam keadaan tertotok dan sama sekali tidak berdaya"
"Hekkk....!" Napas Ceng Ceng terhenti dan matanya memandang terbelalak ke luar guha. Tampak bayangan orang di luar guha, bayangan yang perlahan-lahan datang mendekat! Bayangan orang lembah" Makin dekat bayangan itu makin ngeri rasa hati Ceng Ceng. Dia berusaha mengerahkan sin-kangnya untuk membebaskan diri dari totokan, namun sia-sia belaka. Dia tidak berani bersuara bahkan napas pun ditahan agar jangan mengeluarkan bunyi.
Akhirnya bayangan itu muncul di depan guha dan ternyata adalah pemuda tadi! Rambutnya awut-awutan, mukanya merah dan matanya kembali mengeluarkan sinar aneh yang berapi-api.
Dengan langkah satu-satu pemuda itu menghampiri Ceng Ceng, langkah yang seolah-olah terjadi di luar kehendaknya.
"Jangan.... ah, jangan...." Ceng Ceng merintih perlahan sambil memandang dengan muka penuh ketakutan.
Pemuda itu kelihatan bingung, menjadi makin beringas dan sudah berlutut di dekat Ceng Ceng. Sampai hampir pecah rasa dada Ceng Ceng karena jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Pemuda itu menggerakkan tangannya sehingga rantai belenggu berdencingan, lalu jari-jari tangannya mengelus pipi Ceng Ceng. Dara ini mengeluh dan memejamkan matanya lagi, kemudian dikeraskan hatinya dan dia membuka mata lalu memaki, "Keparat laknat! Apa yang akan kaulakukan" Tidak malukah engkau" Aku telah berusaha menolongmu dan kau membalasnya dengan penghinaan seperti ini" Manusia macam apa engkau" Laki-laki macam apakah engkau ini"
Kemarahan mengusir semua rasa takut dan ngeri dan kini Ceng Ceng memandangdengan mata bersinar-sinar. Pemuda itu seperti terpukul oleh dampratan itu, dia bangkit berdiri lagi, meragu dan tiba-tiba tangannya bergerak menampar kepalanya sendiri, lalu membalikkan tubuh dan terhuyung pergi ke pintu guha. Hati Ceng Ceng menjadi lega.
Tiba-tiba Ceng Ceng menjadi pucat. Sampai di pintu guha, pemuda itu berhenti, perlahan-lahan membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh gairah berahi, kemudian mengeluarkan suara keluhan dalam di kerongkongannya lalu.... meloncat seperti seekor harimau menerkam ke arah tubuh Ceng Ceng! Ceng Ceng menjerit akan tetapi mulutnya tersumbat ciuman dan ketika jari-jari tangan pemuda itu bekerja, Ceng Ceng merintih dan pingsan tidak ingat apa-apa lagi!
Apa bedanya manusia dengan binatang kalau kesadarannya lenyap" Kesadaran lenyap menghilangkan pengertian, dan yang tinggal hanyalah kekerasan berdasarkan dorongan kebutuhan jasmaniah belaka, seperti binatang. Naluri yang ada hanyalah naluri kebutuhan badan. Demikian pula dengan keadaan pemuda itu. Terpengaruh oleh racun yang amat hebat, yang bagi orang lain tentu mendatangkan akibat maut yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi, pemuda ini kehilangan kesadarannya. Biarpun dia sudah berusaha melawannya dengan sedikit ingatan yang masih ada, namun hawa racun itu akhirnya menang, merampas seluruh kesadarannya dan membuat dia bertindak seperti binatang dan menurutkan dorongan kebutuhan jasmani yang pada saat itu dikuasai oleh nafsu berahi yang amat dahsyat sebagai akibat pengaruh racun yang memenuhi tubuhnya. Maka terjadilah hal yang tak mungkin dapat terelakkan lagi oleh Ceng Ceng dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi oleh pemuda itu.
Beberapa lama kemudian, tampak pemuda itu melangkah keluar dari guha, berkali-kali menampar kepalanya sendiri, dengan wajah muram namun tidak liar lagi, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata berulang-ulang, "Terkutuk....! Terkutuk....!"
Jauh lebih lama kemudian, Ceng Ceng mengeluh dan siuman. Ternyata dia sudah dibebaskan dari totokan. tubuhnya terasa sakit-sakit dan ada sesuatu yang tidak wajar. Ceng Ceng teringat akan semua pengalamannya sebelum dia pingsan. Ingatan ini mengejutkan hatinya, apalagi, setelah dia melihat betapa pakaiannya terbuka dan terdapat noda darah di pahanya, tiba-tiba dia menjerit dan roboh pingsan lagi!
Perlahan-lahan dara yang tertimpa malapetaka itu siuman, merintih dan menangis dengan sedih sekali. Dia mencengkerami tanah dan batu, memukul-mukul tanah dan menangis makin sedih. Makin dikenang, makin dibayangkan, makin sakit rasa hatinya karena dia kini sudah merasa yakin bahwa dia telah diperkosa oleh pemuda itu. Tiba-tiba dia meloncat berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang terbuka, kedua tangannya dikepal, lalu disambarnya pedang Ban-tok-kiam yang masih berada di lantai guha. "Jahanam....! Keparat buruk....! Manusia laknat! Iblis keji, aku bersumpah akan membunuhmu! Aku akan menyiksamu, akan kusayat-sayat tubuhmu, kuhancurkan kepalamu, kuremuk semua tulang di tubuhmu!" Dia memaki-maki dengan air mata bercucuran, kemudian sambil menangis dia membetulkan pakaiannya dan lari keluar dari guha dengan pedang terhunus di tangannya. Timbul kebenciannya yang hebat kepada pemuda itu, kepada laki-laki pada khususnya, kepada manusia pada umumnya. Tanpa disadarinya, saat itu terjadilah perubahan hebat pada dirinya. Di lubuk hatinya tumbuh perasaan benci yang amat berat, yang meracuni seluruh darahnya, yang mengakibatkan watak yang kejam di dalam dirinya. Peristiwa hebat yang mengguncangkan seluruh batinnya itu menambah dengan hebatnya perubahan yang memang mulai terjadi di dalam dirinya akibat ilmu tentang racun yang sifatnya kejam semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-1i.
Dengan semangat berapi-api untuk mencari pemuda itu dan mengadu nyawa dengannya, Ceng Ceng kembali memasuki dusun yang menjadi sarang Lembah Bunga Hitam. Dari jauh sudah tampak olehnya serombongan orang yang jumlahnya sembilan, dan orang-orang itu menjadi terkejut ketika melihat seorang gadis dengan pedang di tangan berlari cepat mendatangi dan langsung menyerang mereka dengan ganas!
Dengan kemarahan dan kebencian meluap di dalam hatinya, Ceng Ceng merobohkan dua orang, lalu menghadapi pengeroyokan tujuh orang anggauta lembah. Pedang Ban-tok-kiam merupakan senjata ampuh yang membuat jerih para pengeroyoknya. Seorang di antara mereka lalu bersiul-siul dan datanglah lebah-lebah beterbangan. Lebah putih yang beracun! Melihat ini, Ceng Ceng yang masih memutar pedangnya, cepat mengeluarkan bubuk hijau dan menanti sampai lebah-lebah itu datang mendekat. Disebarnya bubuk hijau itu di sekeliling dirinya dan lebah-lebah yang terkena serbuk hijau ini sebagian jatuh dan mati, sebagian lagi mabok dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh anggauta lembah yang bersiul-siul! Sebaliknya, Ceng Ceng lalu mengeluarkan serbuk merah, sambil menyerbu ke depan dan menaburkan serbuk merah ini ke udara, kemudian dengan gerakan pedangnya yang diputar-putar sehingga mendatangkan angin, dia berhasil membuat serbuk merah yang kini berubah menjadi semacam uap merah, menyambar ke arah para pengeroyoknya!
Orang-orang lembah yang kesemuanya adalah ahli-ahli racun, ternyata tidak mengenal uap merah ini. Mereka hanya menjauhkan diri lalu menghampiri Ceng Ceng dari arah lain agar tidak terkena serbuk merah. Akan tetapi mereka mencium bau tajam dan celaka bagi mereka yang terdekat, karena kelihaian racun serbuk merah ini adalah pada baunya. Begitu mencium bau keras ini, dua orang menjadi pening dan terhuyung-huyung, berseru, "Celaka!" lalu meninggalkan gelanggang pertempuran.
Sementara itu, Ceng Ceng sudah menerjang lagi, pedangnya berhasil merobohkan seorang lagi karena hawa beracun yang keluar dari pedang itu, dan ludahnya merobohkan dua orang lain!
"Mampuslah kalian, keparat! Mampuslah!" Berkali-kali mulutnya berkata demikian karena dia membayangkan para pengeroyok itu sebagai pemuda yang telah memperkosanya, atau setidaknya mereka itu dianggap wakil pemuda itu yang harus dibalasnya. Oleh karena itu, sepak terjangnya mengerikan, dan dia mengamuk seperti seekor harimau kelaparan.
Akan tetapi berbondong-bondong datanglah orang-orang lembah yang tadinya meninggalkan lembah itu untuk melakukan perang melawan orang-orang Pulau Neraka. Karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang di antara orang orang Pulau Neraka, mereka menyerbu dan mengeroyok. Ceng Ceng tidak peduli dan sama sekali tidak gentar menghadapi pengeroyokan banyak orang ini. Dia mengamuk terus, menggerakkan pedangnya yang ampuh dan menyebar racun-racunnya, melakukan pukulan-pukulan beracun bahkan menyerang dengan ludahnya. Banyak di antara para pengeroyoknya roboh menjadi korban dan akhirnya terdengar bentakan keras, "Mundur semua!" dan Ceng Ceng berhadapan dengan seorang kakek tua yang amat mengerikan. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tinggi kurus dan mukanya hanya kelihatan tengkorak terbungkus kulit belaka. Pakaiannya serba hitam dan matanya hampir hitam seluruhnya karena bagian putihnya juga gelap, kemerahan mengarah warna hitam sehingga kalau dia memandang orang, amatlah mengerikan.
"Nona, siapakah kau" Apakah kau seorang Pulau Neraka"
"Banyak cerewet! Engkau tentu Ketua Lembah Bunga Hitam, bukan" Nah, majulah!" bentak Ceng Ceng yang sudah menerjang maju dengan pedangnya menyerang kakek itu. Kakek itu bertangan kosong, ketika dia menggerakkan kedua tangannya, terdengar suara, "Ccinggg....!" dan tangan kanan Ceng Ceng tergetar. Kiranya kakek itu telah menggunakan kuku jari tangannya menyentil dan sentilan ini saja sudah membuat pedangnya tergetar dan hampir terlepas dari pegangan! Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepandaian kakek ini hebat sekali, tenaga sin-kangnya juga jauh lebih tinggi dan kuat daripada tenaganya sendiri. Namun tidak ada sedikit pun rasa gentar di dalam hati dara yang sudah terbakar hangus oleh rasa dendam yang amat hebat itu. Mati baginya bukan apa-apa lagi dan yang terasa hanyalah kebencian, kebencian yang bernyala makin besar dan membakar semua perasaan ini. Dengan kenekatan yang luar biasa dia menyerang kakek bermuka tengkorak itu dengan pedangnya. Ketua Lembah Bunga Hitam itu tertawa dan menghadapi Ceng Ceng dengan tangan kosong saja, akan tetapi biarpun demikian, segera dia membuat dara itu kalang-kabut karena memang kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi. Ceng Ceng kembali mengalami pertandingan seperti ketika dia melawan Ketua Pulau Neraka, dan merasa dipermainkan tanpa dapat mendesak lawan sama sekali.
Biarpun dia juga membantu pedangnya dengan pukulan beracun tangan kiri, dan bahkan menggunakan rambutnya dan ludahnya yang beracun, namun tetap saja dia dipermainkan dan didesak hebat.
"Ha-ha-ha, bocah lancang, ilmu kepandaianmu lumayan dan pengetahuanmu tentang racun hebat. Lekas kau berlutut dan menjadi muridku, dan aku akan mengampunkan kesalahanmu...."
"Mampuslah!" Ceng Ceng membentak dan menusukkan pedangnya dengan nekat dan dahsyat.
"Pedang baik....!" kakek itu mengelak. "Tapi kau keras kepala!"
Pada saat pedang meluncur lewat, kakek itu menggerakkan kakinya yang merupakan tendangan berputar, sama sekali tidak diduga oleh Ceng Ceng sehingga lambung dara ini terkena tendangan. Dia terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi sebelum kakek itu menyusul dengan serangan lain yang tentu akan merupakan bahaya bagi Ceng Ceng, tiba-tiba terdengar suara lembut yang datangnya dari arah sumur tua yang pernah dipakai oleh Ceng Ceng untuk bersembunyi mengintai ketika pemuda yang telah memperkosanya itu menjadi tawanan dalam kerangkeng!
"Thio Sek, apakah kau sudah melupakan Istana Gurun Pasir...."
Ceng Ceng mendapat kesempatan untuk meloncat berdiri karena tiba-tiba, mendengar suara itu, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut setengah mati, mengeluarkan suara lirih dan berdiri bengong seperti orang melihat setan di tengah hari.
"Thio Sek, majikan kita menanti engkau datang menyerahkan kitab dan nyawa!" kembali suara aneh dan halus itu terdengar dari dalam sumur. Ketua lembah memandang ke arah sumur, mukanya pucat sekali sehingga dia makin mirip dengan mayat hidup, kemudian terdengar keluhan aneh dari dalam kerongkongannya dan dia membalikkan tubuhnya, mencelat jauh dan lari secepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari situ. Anak buahnya yang melihat keadaan ketua mereka ini, juga serentak lari pergi terbirit-birit dengan ketakutan.
Ceng Ceng masih berdiri dengan pedang Ban-tok-kiam di tangannya. Hatinya lega karena baru sekarang dia sadar bahwa dia telah terbebas dari ancaman bahaya maut, ditolong oleh suara dari sumur itu. Teringatlah dia ketika dia pernah melihat bayangan samar-samar di dasar sumur. Timbul keinginan-tahunya. Tentu ada seorang aneh di dalam sumur itu. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri sumur itu, menjenguk ke dalam. Akan tetapi tidak tampak apa-apa lagi, bahkan bayangannya pun tidak ada. Tentu orang itu sudah pergi, pikirnya. Betapa lihainya orang itu.
Suara sorak-sorai mengejutkannya. Dia cepat membalik dan melihat tujuh orang laki-laki memasuki pintu gerbang dusun itu sambil bersorak. Orang-orang ini semua memegang senjata di tangan kanan dan seekor ular berbisa di tangan kiri, sikap mereka buas dan seperti orang-orang yang gila. Apalagi ketika mereka melihat Ceng Ceng, mereka segera menyerbu dengan kata-kata yang membuat dada Ceng Ceng seperti dibakar, karena mereka mengeluarkan kata-kata kotor terhadap dirinya!
"Ha-ha, nona manis kesepian sendiri!"
"Engkau tentu sudah lama rindu kepada laki-laki!"
"Kami datang untuk menghiburmu, Nona!"
"Kalau kami bertujuh masih terlampau sedikit, teman-teman kami masih banyak di belakang!"
Ceng Ceng yang sedang berduka dan marah itu, tentu saja makin meledak kebenciannya terhadap pria. Sambil mengeluarkan seruan seperti lengking seekor binatang yang dahsyat, dia menyerbu, tangan kirinya sudah siap dengan segenggam bubuk putih yang tadi dia keluarkan dari saku bajunya, pedangnya diputar-putar di atas kepala. Tujuh orang itu tentu saja memandang rendah, sambil tertawa mereka menyambut dan mengurung.
"Yang memegang lebih dulu, mendapat giliran lebih dulu, ha-ha!" Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti seketika karena selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng yang menyambar-nyambar, dara ini menyebar bubuk putih ke udara. Terdengar teriakan-teriakan kaget karena bubuk putih yang dipandang rendah itu begitu tampak oleh mereka, menimbulkan rasa pedas di mata mereka sehingga air mata mengalir ke luar dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Dalam keadaan seperti ini, mudah saja Ceng Ceng menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan tewas seketika disambar Ban-tok-kiam!
Tiga orang lain terkejut bukan main. Mereka meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata mereka. Celaka, makin digosok makin pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka mulai membengkak! Seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk menjangan dan meniupnya sehingga terdengarlah suara mengaung. Adapun dua orang temannya sudah menerjang Ceng Ceng yang mengejar mereka. Ular di tangan kiri mereka mendesis-desis dan ketika mereka lontarkan, dua ekor ular itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua ekor ular itu dengan tepat menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu. Dua orang itu girang sekali karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit dua ekor ular mereka itu akan roboh. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat Ceng Ceng mengibaskan lengan kirinya dan dua ekor ular itu terbanting ke atas tanah dan.... berkelojotan! Agaknya bukan gadis itu yang keracunan, sebaliknya dua ekor ular itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu dari len
Bentrok Para Pendekar 5 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Dewi Ular 7
^