Kisah Sepasang Rajawali 15

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


n oleh cahaya matahari yang menembus celah-celah bilik. Dia membuka jendela bilik kecil dan menggunakan tangannya mengambil air untuk mencuci muka dan tangannya, kemudian dia keluar dari bilik. Dua orang laki-laki yang sedang mendayung perahu, mengangkat muka dan jelas kelihatan betapa mereka tercengang dan memandang kagum. Mereka sudah terheran-heran melihat betapa orang yang mereka jemput adalah seorang wanita muda, dan kini mereka menjadi makin heran dan kagum sekali melihat wajah dara, yang demikian cantik jelita, wajah yang bersinar kemerahan ditimpa matahari pagi sehabis digosok-gosok ketika mencuci muka tadi. Di lain pihak, Ceng Ceng merasa tak senang dipandang seperti itu, apalagi yang memandangnya adalah dua orang laki-laki tinggi besar yang kini kelihatan berwajah kejam, kasar dan kurang ajar!
"Kalian memandang apa" bentaknya marah. Suaranya melengking tinggi menggetarkan dan dua orang itu cepat-cepat menundukkan mukanya. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tebal sekali, berkata, "Maaf, Lihiap. Kami hanya mempunyai bekal roti kering dan arak kasar, kalau Lihiap suka...."
"Aku lapar! Aku ingin makan daging ikan."
"Akan tetapi.... kami tidak membawa pancing atau jala...."
"Bodoh! Biar aku yang menangkap ikan, kalian yang memanggangnya nanti!" Ceng Ceng lalu duduk di pinggir perahu. "Bawa perahu ke pinggir, di bawah pohon sana di mana tentu banyak ikannya."
Dua orang itu tidak membantah dan benar saja, di bawah pohon yang rindang itu terdapat banyak ikan lee-hi atau semacam itu. Ceng Ceng memasukkan tangan kirinya ke dalam air di dekat perahu, digoyang-goyang perlahan sehingga menarik beberapa ekor ikan besar. Setelah ikan-ikan itu dekat, Ceng Ceng mengerahkan sin-kangnya sehingga hawa beracun di dalam tubuhnya berkumpul di tangan, getaran-getaran hebat terjadi dan dua ekor ikan yang terdekat terkena hawa beracun tangannya, menjadi mabok dan diam saja ketika ditangkap oleh gadis ini! Ceng Ceng melemparkan dua ekor ikan itu ke dalam perahu sambil berkata, "Nah, kalian panggang ikan-ikan ini! Seekor untukku!" Setelah berkata demikian, dia meninggalkan mereka dan duduk di kepala perahu yang sudah dijalankan lagi oleh seorang di antara mereka sedangkan orang yang berkumis tebal sudah sibuk dengan ikan-ikan tadi. Mereka tadi terkejut dan melongo, dan kini mereka yakin akan kelihaian gadis cantik ini!
Ceng Ceng memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, kepandaian yang tidak dimengerti oleh dua orang itu, yang mengira bahwa gadis itu menggunakan ilmu aneh untuk menangkap ikan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di hadapan mereka adalah seorang gadis beracun yang amat berbahaya, murid tunggal dan pewaris tunggal dari Ban-tok Mo-li yang belum ada tandingannya dalam hal ilmu tentang racun!
Hari telah siang ketika perahu itu menyentuh tepi sungai di sebuah lembah yang penuh dengan batu-batu besar dan pohon-pohon liar. Ketika Ceng Ceng bersama dua orang laki-laki itu meloncat ke darat dari perahu, dia melihat banyak orang di lembah itu. Dia bersikap hati-hati dan waspada, maklum bahwa dia berada di antara kaum sesat yang agaknya telah berkumpul di tempat ini untuk mengadakan pemilihan seorang beng-cu, yaitu orang yang dianggap patut untuk memimpin mereka semua.
Memang dugaannya ini, berdasarkan cerita Si Kumis Tebal, adalah benar. Hari itu, semua tokoh kaum sesat yang tinggal di sekitar kota raja berkumpul di lembah itu atas undangan penyelenggara pertemuan itu, yaitu perkumpulan Tiat-ciang-pang. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan kaum sesat yang paling besar dan paling terkenal di sekitar daerah kota raja, karena para anggautanya adalah golongan perampok dan pencopet! Mereka ini menganggap diri mereka sebagai golongan sesat yang lebih "terhormat" dan lebih tinggi daripada tingkat golongan sesat yang lain. Terutama sekali terhadap golongan pencuri, Tiat-ciang-pang memandang rendah. Bagi mereka, pekerjaan kaum pencuri adalah kotor dan bersifat pengecut. Pencuri mengambili barang orang yang sedang tidur, sedang tidak berdaya dan pekerjaan ini dianggap kotor dan hina oleh kaum pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang! Berbeda dengan mereka, demikian pendapat mereka. Mereka adalah para pencopet dan perampok, yang mengambil atau merampas barang orang yang sadar, yang dapat berjaga diri yang dapat melawan. Pekerjaan mereka lebih menunjukkan kejantanan!
Memang demikianlah sifat kita manusia pada umumnya. Kita amat kritis terhadap orang lain karena dalam memandang orang lain, mata kita selalu mencari cacat-cacatnya dalam segala perbuatan orang lain. Kita amat pandai untuk menunjukkan kesalahan orang lain dan dalam menilai orang lain, kita biasanya membutakan mata terhadap kebaikannya akan tetapi menonjolkan cacat-cacatnya! Kita tidak pernah memandang seperti itu kepada diri sendiri. Sebaiknya, kita membutakan mata terhadap cacat-cacat kita dan menonjolkan kebaikan kita. Kalau toh kita terpaksa melihat kesalahan kita, kita akan selalu siap membela diri, siap mencarikan alasan untuk membela kesalahan kita itu agar tidak menjadi kesalahan lagi! Senjata kita untuk itu selalu adalah pembelaan diri, bahwa kita melakukan suatu hal yang tidak baik karena terpaksa dan sebagainya. Kita semua pada hakekatnya ingin baik, ingin menjadi baik, ingin menjadi budiman, ingin menjadi orang yang bajik. Akan tetapi betapa mungkin hal ini terjadi" Dalam keadaan diri kotor ingin tampak bersih, hal ini sama sekali tidak mungkin. Segala usaha palsu akan dilaksanakan untuk menutupi kekotorannya itu agar kelihatan bersih. Akan tetapi, ditutupi dengan apa pun, tentu saja akan tetap tinggal kotor! Yang penting bukanlah keinginan untuk bersih, melainkan kesadaran akan kekotoran dirinya! Kesadaran ini timbul dari pengertian, dari pengertian ini datang bersama pengenalan diri sendiri. Kesadaran dan pengertian akan melenyapkan kekotoran itu dan dengan lenyapnya kekotoran, hilang pula keinginan untuk bersih. Pengertian timbul pada kewaspadaan saat ini, pengertian adalah saat demi saat yang mendatangkan tindakan seketika. Pengertian yang disimpan menjadilah pengetahuan yang mati, seperti semua pengetahuan yang hanya menjadi barang lapuk di dalam gudang ingatan. Pengertian dari kewaspadaan adalah kesadaran akan segala sesuatu di luar dan di dalam diri kita setiap saat! Bukan aku yang mengerti, bukan aku yang waspada, bukan aku yang sadar! Begitu ada aku di situ terdapat penilaian, perbandingan dan pemilihan, si aku menimbulkan pengejaran akan kesenangan dan penolakan akan yang tidak menyenangkan. Maka segala perbuatan akan bersumber kepada si aku, makajauh dari kebenaran.
Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang merasa diri sebagai perkumpulan "orang-orang gagah" itu memiliki anggauta kurang lebih seratus orang banyaknya, semua terdiri dari pencopet dan perampok yang rata-rata memiliki kepandaian cukup hebat. Ketuanya adalah seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmunya yang dinamakan Tiat-ciang-kang (Ilmu Tenaga Tangan Besi) yang membuat kedua tangannya seperti besi kerasnya, dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan menghadapi lawan yang tidak terlalu kuat, kedua tangan ketua ini dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam! Ketua Tiat-ciang-pang ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) dan bernama Tong Hoat. Lembah Sungai Yung Ting itu menjadi pusat berkumpulnya para anggauta Tiat-ciang-pang dan setelah masuk menjadi anggauta perkumpulan ini, para pencopet dan perampok yang telah memiliki kepandaian itu diperkenankan untuk melatih diri dengan Ilmu Tangan Besi. Tentu saja tidak mudah memiliki ilmu ini secara sempurna karena latihan-latihannya yang amat berat dan sebagian besar yang melatih ilmu ini tidak kuat, atau yang dapat berhasil pun hanya sekedar dapat membuat lengan mereka lebih kuat dan keras dari biasanya. Tidak ada yang berhasil mencapai tingkat seperti yang dimiliki oleh ketua mereka, Tiat-ciang Tong Hoat sendiri.
Mungkin karena merasa bahwa mereka adalah kaum sesat yang "terhormat" dan "gagah", maka timbullah semacam keangkuhan di dalam hati Tong Hoat, ketua perkumpulan itu, sehingga mereka memiliki pegangan atau pendirian sebagai orang-orang "gagah" yang tidak mau tunduk kepada golongan pemberontak yang membujuk mereka untuk bersekutu! Karena ada pertentangan dan perpecahan di antara kaum sesat itulah, gara-gara bujukan pihak pemberontakan yang berusaha untuk merangkul mereka, maka hari ini diadakan pertemuan yang dipelopori oleh Tiat-ciang-pang, untuk mengadakan pemilihan beng-cu. Selain untuk memperlihatkan kekuatannya, juga Tiat-ciang-pang ingin menyatukan golongan sesat dan membersihkan golongan ini dari pengaruh pemberontakan dengan jalan memilih seorang beng-cu.
Tong Hoat sendiri maklum bahwa di antara golongan kaum sesat ini, terdapat banyak orang pandai. Karena merasa bahwa belum tentu dia seorang diri dapat menangkan kedudukan beng-cu ini, maka dia teringat kepada seorang tokoh yang dia tahu amat tinggi kepandaiannya, yaitu orang pertama dari Loan-ngo Mo-li atau Lima Iblis Betina Sungai Loan. Dia mengundang Song Lan Ci, demikian nama wanita lihai itu, dan karena pada waktu itu terdapat banyak mata-mata, baik dari pihak pemerintah maupun dari pihak pemberontak, maka dia menyuruh dua orang kepercayaannya menyambut dengan tanda-tanda rahasia seperti yang telah dia janjikan dengan Song Lan Ci. Kehadiran wanita lihai ini adalah untuk memperkuat kedudukannya, atau kalau perlu, daripada kedudukan beng-cu jatuh ke tangan orang yang memihak pemberontak, lebih baik jatuh ke tangan tokoh wanita ini. Dan dia merasa yakin bahwa Song Lan Ci akan suka membantunya, mengingat bahwa di antara dia dan wanita itu terdapat hubungan yang cukup erat! Pernah dua tahun yang lalu, secara kebetulan dia bertemu dengan Sing Lan Ci yang sedang dikepung oleh musuh-musuhnya, dikeroyok banyak orang dan berada dalam keadaan terdesak. Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa dikeroyok banyak orang laki-laki, Tong Hoat segera maju membantu sehingga para pengeroyok dapat dipukul mundur dan terjalinlah perkenalan dan persahabatan di antara mereka.
Ceng Ceng mengikuti dua orang penjemputnya itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang. Ketika berjalan menuju ke sebuah pondok yang agak jauh dari tempat perhentian perahu, mereka berjalan melewati banyak sekali orang-orang golongan sesat yang sedang menanti di sekitar tempat itu. Ceng Ceng mencari-cari dengan matanya kalau-kalau musuh besarnya berada di antara mereka itu. Akan tetapi dia tidak melihat munculnya, dan agaknya akan aneh sekali kalau musuh besarnya itu, seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah, berada di antara orang-orang ini. Orang-orang yang jorok dan menimbulkan kengerian di hatinya. Ada di antara mereka yang sedang bermain kartu dan bertaruhan besar sehingga tempat itu menjadi bising dengan suara mereka. Itu adalah golongan para penjudi yang hidupnya hanya diisi dengan kegemaran ini, berjudi dan mempertaruhkan segala miliknya. Ada pula yang sedang minum arak sambil tertawa-tawa dan mereka ini semua sudah mabok atau setengah mabok. Inilah golongan pemabok yang hidupnya hanya mengejar kesenangan dibuai alam khayal ketika mabok. Golongan lain yang memisahkan diri mereka agak aneh.
Mereka ini terdiri dari orang-orang yang sebagian besar sudah tua dan tubuh mereka kurus, muka pucat. Mereka ini berkelompok dan kelihatan tenang-tenang saja, akan tetapi di antara mereka itu tampak asap bergulung-gulung ke atas seolah-olah di tempat itu terjadi kebakaran kecil. Ceng Ceng mendengus dan cuping hidungnya bergerak-gerak ketika dia mencium bau yang memuakkan. Tahulah dia bahwa kelompok ini adalah golongan pecandu madat dan penggemar asap beracun semacam ini. Hidup mereka tidak ada bedanya dengan golongan-golongan lain, mengejar kesenangan membiarkan dirinya diayun di angkasa oleh asap madat! Ada pula golongan lain yang pakaiannya mewah dan pesolek, sikap mereka genit dan ketika Ceng Ceng lewat, mereka itu tersenyum-senyum, bersuit, dan ada pula yang mengeluarkan kata-kata cabul sungguhpun mereka tidak langsung menujukan kata-kata itu kepada Ceng Ceng. Inilah golongan hidung belang yang kerjanya setiap hari hanya memikirkan kecabulan dan mengejar-ngejar wanita cantik.
Lengkaplah semua golongan sesat berada di tempat itu. Maling, pencopet, perampok, pemadat, pemabok, hidung belang, penjudi, semua berkumpul di situ dan merasa betah karena seperti berada di antara keluarga sendiri! Ceng Ceng merasa ngeri seolah-olah dia telah memasuki suatu masyarakat yang aneh dan asing baginya.
Pintu pondok terbuka dari dalam ketika diketok oleh dua orang penjemput itu. Mereka masuk melewati beberapa orang pengawal yang memandang tajam, kemudian memasuki sebuah ruangan di mana duduk seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya masih gagah. Di depannya duduk pula empat orang laki-laki lain yang agaknya menjadi tamunya. Ketika dua orang pembantu Ketua Tiat-ciang-pang itu melaporkan bahwa orang yang dijemput telah tiba, dan laki-laki itu memandang Ceng Ceng, dia mengerutkan alisnya. Kemudian mempersilakan empat orang sekutunya itu keluar, juga dua orang pembantunya yang menjemput Ceng Ceng disuruhnya keluar. Setelah mereka berada berdua saja di ruangan itu, laki-laki yang bukan lain adalah Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat itu, bangkit berdiri dan menjura ke arah Ceng Ceng. Ceng Ceng memandang tajam, melihat bahwa setelah berdiri, laki-laki itu bertubuh agak pendek dan gendut, namun sikapnya gagah dan berwibawa.
"Silakan duduk, Nona. Bagaimana kabarnya dengan Loan-ngo Mo-li, terutama sekali dengan Nona Song Lan Ci" Tong Hoat bertanya dengan ramah.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal siapa adanya Loan-ngo Mo-li atau Song Lan Ci sekalipun."
Mendengar jawaban ini, berubah wajah Tong Hoat dan dia meloncat berdiri, sejenak memandang ke luar seolah-olah dia hendak bertanya kepada dua orang pembantunya yang sudah disuruhnya keluar tadi, kemudian dia memandang wajah Ceng Ceng penuh perhatian dan keraguan. "Nona, apa yang kaukatakan ini" Bukankah engkau diutus oleh Nona Song...."
"Aku tidak mengenal dia!"
Tong Hoat menjadi makin curiga dan dia memandang marah. "Kalau begitu, siapa engkau dan mengapa engkau berani memalsukan orang yang kuundang"
Ceng Ceng mengangkat mukanya dan memandang dengan berani. "Siapa adanya aku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku tidak mengenal orang-orang yang kausebut namanya tadi, juga aku tidak mempunyai urusan dengan Tiat-ciang-pang. Aku datang ke sini karena ketika aku lewat di jembatan, aku menendang pot bunga dan aku disambut oleh dua orangmu yang membawa perahu. Nah, sekarang aku berada di sini dan aku bukan orang yang kauundang. Habis, engkau mau apa"
Mendengar ucapan Ceng Ceng dan melihat sikap gadis itu, Tong Hoat terheran-heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu dara muda yang cantik ini bukan orang sembarangan. Kalau sampai bocor rahasia ini dan ketahuan oleh pihak lawan bahwa dia telah keliru memanggil orang, tentu selain akan mendatangkan ejekan dan tertawaan, juga lawan akan melihat kelemahan Tiat-ciang-pang. Kembali dia memandang Ceng Ceng. Seorang wanita muda yang telah berani menempuh bahaya ketika dijemput dua orang pembantunya seperti dara ini, tentu memiliki kepandaian yang tinggi, pikirnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dua orang pembantunya akan mengetahui kekeliruan mereka dan sudah bertindak. Maka timbul pikirannya untuk menyambut orang yang keliru dlpanggil ini sebagal seorang kawan, daripada sebagai lawan dalam keadaan menghadapi pihak lawan yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dia lalu tertawa dan duduk kembali.
"Ha-ha-ha, ini namanya jodoh! Memang kita berjodoh untuk menjadi sahabat, Nona. Kuharap engkau suka memaafkan ketololan dua orang pembantuku. Akan tetapi sungguh kami merasa mendapat kehormatan besar memperoleh kunjungan seorang wanita gagah seperti Nona. Ketahuilah bahwa aku adalah pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang dan satu di antara kegemaranku adalah bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw."
Ceng Ceng memutar otaknya. Orang ini adalah ketua perkumpulan yang agaknya besar dan berpengaruh. Dia sudah datang ke tempat itu, sebaiknya kalau dia bersahabat dengan ketua ini. Dengan bantuan ketua ini, agaknya akan lebih mudah baginya untuk menyelidiki di mana adanya musuh besarnya.
"Kalau memang engkau berniat baik, Pangcu, aku pun datang bukan untuk mencari musuh baru. Namaku adalah Lu Ceng, dan seperti kukatakan tadi, aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan orang-orang yang kaundang, juga tidak ingin mencampuri urusan pemilihan bengcu di sini."
Tong Hoat kembali tersenyum, lalu bangkit dan menjura. "Aku merasa terhormat sekali, Nona Lu Ceng. Aku adalah Tong Hoat yang dikenal sebagai Tiat-ciang (Si Tangan Besi), ketua dari Tiat-ciang-pang. Sebelum kita bicara lebih jauh, sebagai tanda perkenalan dan penghormatanku, aku mempersilakan Nona minum arak penghormatan ini!" Ketua itu menuangkan secawan arak lalu memberikan cawan itu kepada Lu Ceng.
Ceng Ceng menerima tanpa banyak cakap, lalu membawa cawan itu ke dekat bibirnya. Sekali cium saja mengertilah dia bahwa arak itu dicampuri obat bius! Hatinya marah bukan main dan ingin dia melemparkan cawan dan araknya itu ke muka ketua Tiat-ciang-pang. Akan tetapi kemarahan ini ditahannya. Dia hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, pula dia malah ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan segala macam obat bius. Jangankan baru obat bius yang merupakan racun yang lemah saja, biar minuman itu dicampuri racun yang akan menghanguskan isi perut orang lain, dia masih akan berani meminumnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu minum habis arak itu sekali teguk, dipandang dengan sepasang mata bersinar-sinar oleh Tong Hoat.
"Bagus, ternyata engkau seorang yang gagah, Nona. Agaknya engkau sudah mendengar dari kedua orangku bahwa kami di sini menyelenggarakan pertemuan di antara golongan kami untuk memilih seorang beng-cu...." Ketua itu menghentikan kata-katanya saking herannya melihat Ceng Ceng sama sekali tidak kelihatan terpengaruh oleh obat bius yang biasanya amat kuat dan manjur itu. Apalagi ketika dia melihat Ceng Ceng bangkit berdiri dan menyambar guci arak yang istimewa itu di mana terdapat arak yang sudah dicampuri obat bius, kemudian tanpa banyak cakap Ceng Ceng lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya sampai dua kali dan terus meminumnya, ketua ini memandang bengong! Satu cawan arak itu cukup untuk membius dua tiga orang dewasa, dan tiga cawan arak itu akan berubah menjadi racun yang mematikan!
"Eh, sudah cukup arak itu, Nona....!" Dia menegur.
"Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!" Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas. Guci berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari dalam guci. Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan tenaga sin-kang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!
"Lekas, Nona Lu! Kauminumlah obat penawar racun ini!" Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan. "Lekas sebelum terlambat....!" katanya dengan nada khawatir sekali.
Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!
"Kenapa ribut-ribut" bentaknya sambil bangkit berdiri. "Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan"
Ketua itu makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang bercampur racun akan tetapi toh masih diminumnya, bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini"
"Nona Lu.... maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat kuharapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kauminumlah obat penawar ini!"
Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan saputangan, memandang ketua itu dan berkata, "Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya"
Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam. "Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apabila Nona sudi membantu kami!"
Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang, "Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu."
"Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu."
"Hemm.... bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukku, Pangcu" Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain...."
"Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itu pun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi beng-cu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan belaka" Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!"
"Menyelamatkan bagaimana"
"Agar jangan sampai mereka itu dibawa menyeleweng!"
Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!
"Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kaumaksudkan"
"Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biarpun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang beng-cu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan beng-cu tidak sampai terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!"
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapapun juga, dia adalah keturunan orang-orang yang setia kepada negara!
"Baik, kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to"
"Di antara kami kaum sesat telah terpecah belah menjadi empat kelompok," Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Selanjutnya dengan panjang lebar dia menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu.
Di antara empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja adalah perkumpulan Tiat-ciang-pang diketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya. Kelompok ke dua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk Tangan Malaikat! Kelompok ke tiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai beng-cu! Sedangkan kelompok ke empat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak mana pun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka.
Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih beng-cu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup besar.
Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian. Kemudian dia berkata, "Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya."
Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang. Juga kelihatan bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka kelilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggauta Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya.
Dengan gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura ke empat penjuru, lalu berkata lantang, "Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan beng-cu pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi beng-cu dan memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk naik ke panggung." Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon beng-cu.
Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para anggauta Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul. Seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya, "Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang tebal kantong!"
Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Akan tetapi orang ke dua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata, "Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah maupun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon beng-cu dan kalau kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah maupun pemberontak."
"Ho-ho, manusia-manusia sombong!" Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.
"Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini. Kalau kami telah berhasil menjadi beng-cu, baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan."
Orang ke dua dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak, "Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!"
"Ha-ha-ha!" Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa. "Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut, dan dalam memperebutkan kedudukan beng-cu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun daripada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!"
"Cet-cet-cet-cettt....!" Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya dan empat helai kartunya melayang dan menyambar papan, di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, kalau mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun.
Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu. "Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!" Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa!
Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang. Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok terdengar nyaring dan mengerikan.
Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggauta golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu. Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri. Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai golongan sesat.
Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggauta Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tidak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari, namun Tek Hoat tidak kelihatan bayangannya lagi. Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung. Ternyata dua orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan kini dua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah terluka. Dua orang penjudi terlempar ke bawah panggung dan cepat mereka ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka.
Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon beng-cu lain untuk menguji kepandaian, akan tetapi tidak kelihatan ada yang meloncat naik. Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong. Tek Hoat memang amat cerdik. Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merampas kedudukan beng-cu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali kalau memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat menjadi beng-cu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini, dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan. Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai beng-cu!
Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata lantang, "Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara mengangkat kami sebagai beng-cu dan wakilnya!"
"Setuju....!"
"Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai beng-cu dan wakilnya!"
Keadaan menjadi ribut karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tidak ada seorang pun yang bersuara.
"Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan" bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. "Sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan beng-cu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung, itu pun kalau engkau tidak mampu mengatasinya, Pangcu."
Ketua itu mengangguk. "Baiklah, aku hanya mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena aku pun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu." Setelah berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma.
Teriakannya ini membuat semua orang ini diam, apalagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung.
Dua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum. Ma Ciang berkata, "Aihh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pang-cu dan semua anggauta Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi beng-cu"
Ma Kai juga berkata, "Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan beng-cu!"
Tong Hoat memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab, "Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan beng-cu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan beng-cu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang beng-cu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Oleh karena itu, terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi beng-cu dan wakilnya. Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi diangkat menjadi pimpinan."
"Bagus! Dengan lain kata-kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pang-cu dari Tiat-ciang-pang ini!" Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.
"Tidak adil! Tidak adil!" tedengar teriakan dari para anggauta Tiat-ciang-pang.
"Dua orang mengeroyok satu orang sudah tidak adil!"
"Apalagi kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!"
Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dia orang penjudi. Golongan ini memang tidak pro atau anti pemberontakan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga, wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata, "Baiklah, kalau pang-cu dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau Pang-cu jerih menghadapi kami bersama." Ucapan ini pun lantang terdengar oleh semua orang.
Tong Hoat mengerutkan alisnya, dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biarpun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apalagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata maupun tidak.
"Silakan Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!" teriaknya.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul.
Tong Hoat sudah siap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.
"Dukkk! Dukkk!" Dua orang bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali ketika beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya Tangan Besi! Namun dua orang itu bukan menjadi jera bahkan menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat, disambut dengan tenang oleh Tong Hoat.
Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu. Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan beng-cu ini. Kecuali kalau Tek Hoat yang maju, jelas bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan! Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya itu.
Pertandingan di atas panggung masih berjalan dengan seru. Dua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, akan tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat, mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat.
Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat. Ketua Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dalam kesempatan yang terbuka dan berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Biarpun Ketua Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.
"Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!" Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung. Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang. Orang tinggi kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi pertandingan ramai!
Sebetulnya sudah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling dan golongan pencopet dan perampok yang bergabung di dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tidak mau menerima seorang pencuri sebagai anggauta, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh dendam. Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka. Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan mencuri. Akan tetapi selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar yang banyak anggautanya. Sekarang, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pemilihan beng-cu, apalagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.
Kini kedua orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang dianggapnya merupakan pengecut besar, apalagi setelah dia mengetahui bahwa Tangan Malaikat dan kawan-kawannya telah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum pemberontak.
"Memang hanya kaum pengecut saja yang mau menjadi pengkhianat," katanya dengan pandang mata mengejek. "Kalau golongan kita dipimpin oleh seorang pengecut dan pengkhianat, hancurlah kita semua!"
Muka Lauw Sek menjadi merah sekali karena ucapan itu biarpun tidak langsung ditujukan kepadanya, namun jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.
"Hem, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi beng-cu selain engkau, ya" Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandaianmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!" Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang hergerak cepat sekali sehingga tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan!
Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka dia pun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua pihak yang agaknya memiliki kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir. Sebaliknya, Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang, gerakannya kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan setiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi. Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya.
Biarpun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biarpun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi! Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya. Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, karena dia tidak mau memakainya, akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan.
Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu sarung tangan itu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia memandang rendah.
"Hemm, apakah lenganmu telah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu" dia mengejek.
Lauw Sek tersenyum. "Tanganmu memang keras seperti besi, akan tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!"
Tek Hoat tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.
"Plak-plak! Dukkk....!"
Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!
"Kau curang....!" serunya.
"Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut...." Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.
"Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!" Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggauta Tiat-ciang-pang melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya. Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng diam-diam telah membantunya. Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.
"Majulah, siapa takut sarung tangan beracunmu" Dia membentak dan menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung tangan, akan tetapi kini lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, karena memang dia kalah kuat tenaganya, dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit.
Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru. Akan tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main. Kesempatan baik dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang sudah tidak berani menangkis itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong Hoat menggerakkan kedua kakinya, mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya Lauw Sek terkena sebuah tendangan kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke bawah panggung!
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma. Akan tetapi di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai beng-cu itu, tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai. Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih. Biarpun pakaiannya terbuat dari kain yang mahal dan baru, akan tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota. Akan tetapi rambutnya yang hitam panjang itu merupakan kuncir yang besar mengkilap, bergantung di punggungnya, kulit mukanya putih dan ketampanan wajahnya makin mencolok dan sinar matanya yang tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul mengejek. Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
"Tiat-ciang-pangcu, apakah syaratnya bagi seorang beng-cu yang dipilih dalam pertemuan ini" Ang Tek Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang. "Bukankah syaratnya adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua"
Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda inl seorang anggauta biasa saja, atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.
"Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana"
Tek Hoat tersenyum. "Aku she Ang dan aku ingin memasuki pemilihan beng-cu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi beng-cu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku"
Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.
"Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi beng-cu. Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang beng-cu harus pula dapat melindungi semua anggautanya agar jangan sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biarpun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi pengkhlanat bangsa dan negara!"
Tek Hoat tersenyum lebar. "Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada beng-cu yang telah dipilih, bukan" Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi beng-cu"
Tong Hoat menggeleng kepalanya. "Belum tentu, selama maslh ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon."
"Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas"
Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tidak memandang mata kepadanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya biarpun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan membayangkan kesombongan hebat!
"Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!"
"Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini."
Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para angauta Tiat-ciang-pang ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan beng-cu.
Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi beng-cu, tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak! Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Dia harus biarpun sedikit memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!
Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian melakukan pukulan dengan disertai pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat. Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini. Pemuda ini jelas bukan anggauta golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan hal yang terlalu besar. Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jerih calon lain. Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat sudah mengeluarkan jurus yang paling hebat, bagaikan halilintar, kedua tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat.
"Bukk! Desss!"
Dua pukulan itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar. Pada saat itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak lagi!
Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja. Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguhpun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.
"Ilmu setan!"
"Bunuh siluman itu!"
Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para anggauta Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung. Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan kedua tangannya bergantian dan.... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung tanpa dapat bergerak lagi!
Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma, menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat, sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.
Ceng Ceng melihat sambil tersenyum simpul. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang yang menonton di bawah. Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka. Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.
"Apakah masih ada lagi orang yang tidak mau menerima aku sebagai beng-cu" Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung. "Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silakan naik."
Tentu saja semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung. Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggauta Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan dan terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari tangan yang menghitam!
"Si Jari Maut....!"
Terkejutlah semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang sungguhpun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, berseru keras, "Hidup beng-cu kita yang baru!"
"Hidup Si Jari Maut....!"
Tek Hoat tersenyum dan mengangkat kedua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring, "Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai beng-cu"
"Setuju....!" Semua orang berteriak.
Akan tetapi di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara itu, "Tidak setuju....!"
Tentu saja suara melengking ini mengejutkan sekali membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung. Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu. Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang.
Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai saputangan yang memang sudah dipersiapkan, lalu berkata, "Hemm, saputanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!"
"Aku.... tidak akan memandangmu...." berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup.
Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi beng-cu, tentu saja Tek Hoat akan menjagat namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Akan tetapi, dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan pemberontak. Maka dia lalu berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua orang yang berada di bawah,
"Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku. Saputangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai.... Ang Tek Hoat"
Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya. "Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!"
Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi beng-cu!
"Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan beng-cu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!"
"Apa...." Ah, untuk apa kedudukan beng-cu bagimu"
"Tidak perlu kau tahu. Pendeknya, kedudukan beng-cu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana" Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah sendiri"
Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja saputangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini!
"Baiklah, sesukamulah," jawabnya.
"Harus kauumumkan kepada mereka bahwa aku adalah beng-cu, dan engkau adalah pembantuku!" kata pula Ceng Ceng. Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan ke dua, dia hendak menggunakan kedudukan sebagai beng-cu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya!
Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan namanya!
"Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi beng-cu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan beng-cu kepada Nona...." Tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan bertanya, "Ehh....!" Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya, "Aku lupa lagi.... siapakah namamu"
"Bodoh! Namaku Lu Ceng."
Tek Hoat kembali berseru nyaring, "Kedudukan beng-cu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi beng-cu, sedangkan aku menjadi wakilnya...."
"Bukan wakil melainkan hanya pembantu!" Ceng Ceng menghardik.
"Bukan wakilnya, hanya pembantunya....!"
Tentu saja semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang demikian mengerikan dan kepandaian yang demikian tinggi, mengapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini"
Akan tetapi ada beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.
"Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau di sini!" teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.
"Kallan sudah bosan hidup" Mampuslah!" bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu. Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihatnya. Ketika tiga orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali, tiga orang kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus maju. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan lalu berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu di antara ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!
Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis ini pun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan menyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun.
Lumayan juga mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.
"Engkau hebat....!" katanya memuji tanpa memandang.
"Dan aku perkenankan engkau memandangku sekarang," kata Ceng Ceng. "Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!"
Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, akan tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biarpun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin matang, akan tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian!
Melihat kehebatan gadis itu, yang meludah saja sudah dapat membunuh orang-orang pandai seperti Tangan Malaikat, semua orang dengan suara bulat menyetujui mengangkatnya menjadi beng-cu. Bahkan mereka menjadi girang dan bangga bukan main karena maklum bahwa mereka dipimpin oleh dua orang yang lihai, dan otomatis kedudukan mereka menjadi kuat. Tentu saja golongan-golongan yang mempunyal ambisi, yang pro dan anti pemberontak, yang masih sangsi dan bingung karena mereka belum tahu benar orang macam apa adanya gadis ini. Orang yang suka bersekutu dengan pemberontak ataukah yang membencinya"
Sementara itu Ceng Ceng memerintahkan para anak buah Tiat-ciang-pang untuk menyingkirkan semua jenazah. Setelah Ketua Tiat-ciang-pang tewas, otomatis dia sebagai beng-cu pun dianggap sebagai Ketua Tiat-ciang-pang pula, maka dia lalu mengajak Tek Hoat untuk pergi memeriksa markas Tiat-ciang-pang untuk dijadikan pusat di mana beng-cu dan pembantunya tinggal.
Malam hari itu, biarpun dalam keadaan berkabung karena kematian Tong Hoat, namun para pimpinan Tiat-ciang-pang yang masih hidup segera mengatur hidangan untuk merayakan dan menyambut beng-cu yang berkenan tinggal di tempat mereka. Juga para tokoh golongan lain yang termasuk kaum sesat di sekitar daerah kota raja hadir untuk memberi hormat kepada beng-cu mereka. Ceng Ceng duduk semeja dengan Tek Hoat, dan mereka berdua makan bersama tanpa banyak cakap, hanya kadang-kadang saja Ceng Ceng tersenyum mengejek kalau memandang Tek Hoat.
"Engkau sekarang lihai sekali," Tek Hoat berkata lirih agar jangan terdengar oleh orang lain yang duduk mengelilingi meja-meja agak jauh dari mereka berdua.
"Masih tidak selihai engkau!" jawab Ceng Ceng jujur.
"Aku heran sekali, mengapa engkau menginginkan kedudukan beng-cu" Tek Hoat bertanya lagi.
"Karena aku ingin mengerahkan tenaga semua kaum sesat ini, termasuk engkau, untuk menyelidiki dan mencarikan musuh besarku."
Tek Hoat mengangkat mukanya, memandang tajam. Akan tetapi Ceng Ceng juga membalas pandang mata itu, sama tajamnya. Tek Hoat lalu menundukkan mukanya, merasa aneh mengapa dia tidak sanggup menentang pandang mata gadis itu terlalu lama. "Siapa...." tanyanya lirih.
"Seorang pemuda tinggi besar, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, aku tidak tahu dia berada di mana, juga tidak tahu siapa namanya."
"Hemm...., sungguh aneh. Pemuda tinggi besar dan lihai.... ahh....! Di dunia ini banyak sekali orang tinggi besar, dan banyak sekali yang lihai."
"Akan tetapi engkau pun sudah tahu siapa dia, dia yang menyelamatkan Jenderal Kao dari tanganmu."
"Aih, dia....!" Hampir saja Tek Hoat meloncat dari bangkunya. "Dia itu musuh besarmu"
"Benar."
"Kalau dia, aku senang sekali membantumu. Aku sendiri kalau bertemu dengan dia, ingin mematahkan batang lehernya!"
"Tidak, aku hanya menghendaki engkau dan para anggauta mencarinya dan paling banyak menangkapnya. Aku sendiri yang harus membunuhnya!" kata Ceng Ceng dan suaranya mengandung kemarahan dan kebencian hebat.
Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian, lalu bertanya, "Kenapa" Kenapa engkau mendendam kepadanya dan begitu benci kepadanya"
"Kau tidak perlu tahu!" Ceng Ceng menjawab dengan kasar dan membentak marah.
Melihat gadis itu marah-marah, Tek Hoat mengalihkan percakapan. "Lu Ceng, aku melihat bahwa engkau telah memiliki kepandaian hebat, jauh bedanya dengan dahulu ketika kita saling bertemu untuk pertama kalinya. Terutama sekali engkau hebat dalam ilmu beracun. Tentu engkau telah bertemu dengan seorang guru yang pandai."
Ceng Ceng mengangguk. "Aku telah mewarisi ilmu tentang racun yang tidak ada keduanya di dunia ini. Karena itu, di samping sumpah dan janjimu, kau pun harus tunduk kepadaku karena betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, sekarang juga. Lihat!" Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya di atas cawan arak Tek Hoat sambil merngerahkan ilmunya. Segumpal hawa seperti asap hitam keluar dari telapak tangannya dan ketika hawa itu menghilang, Tek Hoat melihat betapa arak di dalam cawannya menjadi kehijauan, mengandung racun!
"Sedikit saja kauminum arakmu, kau akan mati," kata Ceng Ceng.
Tek Hoat mengangquk-angguk dan membuang isi cawan itu ke atas lantai, lalu menggantikannya dengan arak baru dari guci. "Hemm, engkau telah membuat dirimu, sampai ludahmu pun dapat membunuh. Sungguh luar biasa!" Tek Hoat berkata memuji akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa jerih dan dia merasa yakin bahwa kalau terpaksa bertending, dia akan dapat mengalahkan gadis aneh ini.
Pade saat itu, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar, dan tak lama kemudian beberapa orang bekas pimpinan Tiat-ciang-pang menghampiri meja Ceng Ceng dan melapor. "Celaka, di luar terdapat seorang pengacau yang amat lihai, banyak kawan kita telah dirobohkan olehnya."
Tek Hoat merasa tidak senang karena dia diganggu. "Siapa dia dan mengapa dia mengacau"
"Dia tidak mengaku namanya dan tidak mengaku mengapa dia datang mengacau. Harap Ji-wi suka menundukkan sebelum dia merobohkan lebih banyak kawan dan menimbulkan kerusakan."
"Kurang ajar!" Tek Hoat bangkit berdiri dan bersama Ceng Ceng lalu berlari keluar.
Setelah mereka tiba di luar mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar sedang mengamuk, dikeroyok oleh banyak orang. Lebih dari tiga puluh orang anggauta Tiat-ciang-pang mengeroyok orang itu dan dari jauh Tek Hoat dan Ceng Ceng melihat betapa orang itu melempar-lemparkan para pengeroyoknya dengan amat mudahnya. Para pengeroyok itu seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkrik yang kuat. Berkali-kali mereka dilempar ke kanan kiri akan tetapi mereka bangkit lagi dan menerjang lagi.
"Hemm, orang itu kuat sekali," Tek Hoat berkata dan mempercepat larinya menghampiri.
"Tek Hoat, aku ingin dia itu ditawan saja, jangan sampai terbunuh!" tiba-tiba Ceng Ceng berkata kepada Tek Hoat sehingga pemuda ini menjadi heran.
"Eh, kenapa" Dia pengacau...."
"Dia lihai, aku ingin mengambilnya sebagai pembantuku, di sampingmu...."
"Hemmm...." Tek Hoat tidak berkata apa-apa lagi melainkan melompat dekat dan berteriak, "Semua orang mundur! Biarkan aku menghadapi pengacau ini!"
Ceng Ceng hanya menonton ketika Tek Hoat sudah meloncat maju. Tentu saja jantungnya berdebar dan dia memesan kepada Tek Hoat agar pembantunya itu jangan membunuh si pengacau karena dia mengenal si pengacau itu sebagai laki-laki tinggi besar yang pernah menolongnya! Laki-laki bermuka buruk seperti setan yang telah menolongnya ketika dia dikeroyok oleh para kaki tangan pemberontak di waktu dia hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng kagum melihat kepandaian orang ini, bahkan telah diujinya dan dia berpendapat bahwa penolongnya itu merupakan seorang sakti yang akan dapat membimbingnya agar kelak dia dapat membalas dendamnya terhadap musuhnya yang amat lihai. Akan tetapi laki-laki bermuka buruk, dengan kulit muka kasar seperti punggung buaya dan hitam kemerahan, mulutnya lebar hidungnya besar, mata besar sebelah dan rambutnya riap-riapan, laki-laki bermuka seperti setan itu telah menolak permintaannya menjadi murid. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga orang ini datang dan muncul sebagai seorang pengacau. Maka dia memperoleh pikiran yang cerdik. Dia tidak berhasil membujuk orang lihai ini agar suka menjadi gurunya, maka dia akan mempergunakan akal!
Tek Hoat sudah meloncat ke depan dan menyerang orang itu dengan totokan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis orang itu. Serangan yang amat hebat dan dahsyat ini membuat laki-laki tinggi besar bermuka setan itu mengeluarkan suara gerengan dahsyat, tubuhnya bergerak ke kanan, tangan kanannya menangkis totokan dan tangan kirinya menyampok cengkeraman ke pelipisnya dengan keras. Tek Hoat juga mengerahkan tenaga pada kedua lengannya karena dia bermaksud membuat orang itu terpental dan roboh ketika kedua lengan mereka beradu.
"Plakk! Duukkk!"
Keduanya terkejut dan terpental, akan tetapi dengan cekatan keduanya telah dapat mengatur keseimbangan tubuh dengan loncatan tinggi ke belakang. Sejenak mereka saling pandang dan Tek Hoat membentak marah. "Siapa kau"
Akan tetapi, orang tinggi besar itu tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Ceng Ceng yang sudah mendekati pula. Pada saat itu, Tek Hoat telah mencabut pedangnya, yaitu pedang Cui-beng-kiam yang mengeluarkan sinar dan hawa yang menyeramkan.
"Keparat, mampuslah kau!" bentaknya sambil menyerang.
Menghadapi serangan pedang ini, orang tinggi besar itu terkejut, apalagi ketika dia melihat pedang Cui-beng-kiam. Agaknya dia tahu akan pedang yang amat ampuh ini, yang memiliki pengaruh dan hawa mujijat, maka dia mengeluh dan cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran pedang. Tek Hoat merasa girang melihat kejerihan lawan. Dia terpaksa mencabut pedang karena maklum bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan. Akan tetapi ketika dia hendak maju menerjang lagi, Ceng Ceng berteriak, "Tek Hoat mundurlah! Aku akan menangkapnya!"
Teriakan ini dikeluarkan oleh Ceng Ceng karena dia khawatir melihat serangan Tek Hoat yang mengeluarkan pedang. Dia pun mengenal pedang yang luar biasa ampuhnya, bahkan mengandung hawa mujijat yang lebih hebat lagi. Memang dia maklum akan kelihaian penolongnya ini, yang menyambut Ban-tok-kiam dengan tangan kosong, mencengkeram dan merampas pedangnya dengan mudah! Akan tetapi pedang seampuh itu di tangan Tek Hoat adalah laln lagi karena dia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tek Hoat. Pula, dia sengaja berteriak mengatakan hendak menangkap orang itu untuk memberi tahu bahwa dia tidak berniat membunuhnya.
Mendengar teriakan ini, biarpun hatinya mendongkol, terpaksa Tek Hoat meloncat mundur. Diam-diam dia mentertawakan Ceng Ceng yang berkata hendak menangkap orang ini. Biarpun baru bergebrak beberapa jurus saja, dia maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian hebat, lebih tinggi jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Ceng Ceng. Jangankan menangkapnya hidup-hidup, untuk mencari kemenangan pun tentu sukar. Entah kalau nona itu mempergunakan racunnya yang memang hebat.
"Engkau telah mengacau tempat ini. Aku yang menjadi beng-cu harus menawanmu!" Ceng Ceng berseru sambil menerjang orang tinggi besar itu dengan kedua tangannya, menotok jalan-jalan darah dengan kecepatan dua ekor ular mematuk.
Orang itu mengeluarkan seruan aneh dan meloncat mundur, terdengar berkata tidak jelas setengah berbisik akan tetapi dapat dimengerti oleh Ceng Ceng. "Kau.... kau gadis aneh....!"
Sudah dua kali orang itu mengatakan sebagai gadis aneh! Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah bertekad untuk menangkap bekas penolongnya ini, tidak menjawab melainkan menyerang terus bertubi-tubi dengan totokan jari-jari tangannya. Tek Hoat menonton sambil tersenyum simpul. Rasakan kau sekarang, pikirnya. Bocah sombong kau, kalau tidak kubantu mana bisa kau menang menghadapinya"
"Ehh....!" Tiba-tiba Tek Hoat menahan seruannya karena terkejut ketika melihat betapa orang tinggi besar itu terguling dan roboh tak dapat bergerak lagi karena telah menjadi lemas dan lumpuh tertotok oleh jari-jari tangan Ceng Ceng! Hampir dia tidak dapat mempercaya ini, akan tetapi laki-laki tinggi besar itu benar-benar telah roboh tak berdaya dan beberapa orang anggauta Tiat-ciang-pang cepat menghampiri dan membelenggu kedua tangannya ke belakang dengan erat atas perintah Ceng Ceng.
"Masukkan dia ke tempat tahanan di belakang dan jaga dengan ketat. Awas, jangan sampai dia lolos dan jangan ada yang berani mengganggunya. Besok aku akan memeriksanya!" demikian perintah Ceng Ceng kepada anak buahnya yang segera menggotong tawanan itu dan membawanya ke sebuah gudang di belakang rumah di mana orang tinggi besar itu dilempar ke dalam gudang itu dan dijaga dengan ketat oleh tidak kurang dari dua puluh orang.
Sementara itu, Ceng Ceng dan Tek Hoat kembali ke ruangan pesta perayaan, diikuti oleh bekas pimpinan Tiat-ciang-pang dan para tamu golongan kaum sesat lainnya yang tadi ikut pula menyaksikan peristiwa pengacauan itu. Semua orang memuji kelihaian beng-cu mereka yang dengan mudah dapat merobohkan orang yang sedemikian lihainya.
"Heran sekali, bagaimana engkau dapat menotoknya roboh sedemiklan mudahnya" Tek Hoat tidak dapat menahan keheranan hatinya, bertanya kepada Ceng Ceng ketika mereka telah duduk pula menghadapi meja.
Ceng Ceng sendiri tadi juga agak heran karena tidak disangkanya bahwa dia akan berhasil begitu mudahnya. Jelas bahwa laki-laki tinggi besar itu tidak melawan dengan sungguh-sungguh sehingga mudah saja ia merobohkan dengan pukulan hawa beracun yang lebih dulu dia pergunakan sehingga lawannya itu terpengaruh oleh hawa beracun dan tidak sempat menghindarkan diri lagi ketika dia menotoknya bertubi-tubi, membuatnya roboh tak berdaya. Mendengar pertanyaan ini, dia menjawab sederhana, "Biarpun dia lihai, akan tetapi dia tidak dapat melawan hawa beracun dari pukulanku yang membuat dia kurobohkan dengan totokan. Hanya engkau yang agaknya masih buta, belum melihat kelihaianku!"
Tek Hoat tidak mempedulikan ucapan itu. "Aku masih merasa heran dan menduga-duga, dia itu siapakah dan apa perlunya mengacau di sini" Mukanya seperti setan dan kepandaiannya pun hebat betul. Belum pernah aku mendengar ada orang seperti dia di dunia kang-ouw."
"Biar aku besok yang akan memeriksanya. Kau jangan sekali-kali mengganggunya, tunggu sampai aku besok memeriksanya. Kalau dia mau menjadi pembantuku, bekerja sama dengan kita, syukurlah. Kalau tidak...."
"Kalau tidak, bagaimana" Kita bunuh dia"
"Hemm.... bagaimana besok sajalah," Ceng Ceng sendiri bingung. Ketika dia berlutut dan memohon kepada orang itu menjadi gurunya, orang itu menolak dan pergi begitu saja. Sekarang, setelah berhasil menawannya, apakah dia akan berhasil pula memaksa orang itu menjadi pembantunya untuk menangkap musuh besarnya"
Malam itu Ceng Ceng tidur dengan gelisah sekali, diganggu mimpi buruk berkali-kali. Dia melihat di dalam mimpinya itu pemuda laknat musuh besarnya yang menyerangnya dan hendak memperkosanya lagi, akan tetapi wajah itu kadang-kadang berubah menjadi wajah Tek Hoat, dan kadang-kadang berubah menjadi wajah laki-laki tawanan bermuka setan itu! Dia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Maklumlah Ceng Ceng bahwa dia telah bermain-main dengan api. Dia berada di antara orang-orang jahat, dan terutama sekali Tek Hoat adalah seorang yang amat berbahaya. Juga laki-laki bermuka setan itu biarpun pernah menolongnya namun sikapnya begitu menakutkan dan menyeramkan, penuh rahasia pula. Dia seolah-olah dikelilingi oleh orang-orang yang aneh dan berbahaya. Pemuda laknat musuhnya itu, Tek Hoat dan laki-laki tinggi besar ini. Teringatlah dia kepada Pangeran Yung Hwa dan dia menjadi termenung. Betapa bedanya pangeran itu dengan tiga orang laki-laki! Pangeran itu begitu tampan, begitu halus, penuh hormat, lemah-lembut dan penuh kemesraan. Cinta kasih seorang seperti Pangeran Yung Hwa itu agaknya tidak perlu disangsikan lagi! Sebaliknya, Tek Hoat memang tampan dan gagah, biarpun tidak setampan Pangeran Yung Hwa namun Tek Hoat juga memiliki kepribadian yang menarik, ketampanan dan kegagahan yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi pemuda ini adalah seorang yang rendah, yang telah menghambakan diri kepada pemberontak! Pemuda laknat yang memperkosanya itupun tampan dan gagah sekali, lebih gagah daripada Tek Hoat, dengan sikap yang pendiam dan agung, membayangkan kekerasan seperti seekor singa, kokoh kuat seperti batu karang. Akan tetapi pemuda itu telah menjadi musuh besarnya, yang amat dibencinya, dan dia tahu bahwa membunuh pemuda itupun belum berarti terbalas dendamnya karena pemuda itu telah merusak hidupnya, merusak segala-galanya! Dan laki-laki yang bermuka setan ini, sudah tua dan menakutkan, biarpun pernah menolongnya dan berilmu tinggi, akan tetapi sikapnya begitu aneh dan penuh rahasia sehingga sukar baginya untuk mengambil kesimpulan orang macam apakah adanya laki-laki bermuka setan ini.
Pada keesokan harinya dia telah pergi ke belakang, ke gudang di mana tawanan itu berada. Di luar gudang masih terjaga oleh dua puluh orang lebih anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi dia mendengar suara orang bicara di sebelah dalam gudang atau lebih tepat lagi, suara Tek Hoat yang agaknya marah-marah.
Cepat dia memasuki gudang itu dan dia masih mendengar Tek Hoat berkata marah, "Kaukira aku tidak mampu memaksamu bicara" Engkau bersembunyi di balik topeng itu!"
Mendengar ucapan ini, orang bertopeng itu terkejut. "Ehh.... jangan....! Jangan buka topengku. Kalau dipaksa.... aku akan mengamuk dan akan hebat akibatnya!"
Tek Hoat tertawa. "Silakan mengamuk, aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!" Tek Hoat sudah melangkah dekat, menghampiri tawanan yang masih terbelenggu kedua tangannya ke belakang punggung dan sedang bersandar pada dinding gudang itu. Agaknya Tek Hoat hendak melakukan sesuatu karena tangannya sudah mendekati muka orang.
"Tek Hoat, jangan....!" Ceng Ceng membentak dan Tek Hoat terkejut.
Pemuda ini bersungut-sungut dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Mengapa dia menjadi begini lemah dan penurut" Agaknya, di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu memerintahnya seperti ini! Dan dia, yang memiliki kepandaian tinggi, yang dapat melakukan apa pun, tanpa Ceng Ceng dapat menghalanginya, dia tidak berdaya dan tidak sampai hati menolak perintah Ceng Ceng! Itulah soalnya, bukan sekali-kali hanya karena sumpahnya. Memang dia merasa terlampau gagah untuk melanggar sumpah, akan tetapi kalau sumpahnya itu dipergunakan Ceng Ceng untuk mempermainkannya tentu saja tidak bisa dia terus menurut.
"Hemmm....!" Dia mendengus dan membalikkan mukanya.
Ceng Ceng memandang wajah orang tawanan itu dan jantungnya berdebar tegang. Benar juga kata-kata Tek Hoat. Kiranya orang ini memakai topeng! Memakai semacam kedok yang amat tipis dan memang sukar dibedakan dari wajah aseli kalau saja dia tadi tidak melihat orang itu bicara dan bibir itu hampir tidak bergerak, tanda bahwa yang bergerak tentulah bibir aselinya yang berada di balik topeng! Seketika timbul akalnya untuk memaksa bekas penolongnya ini!
"Tek Hoat, keluarkan saputanganmu!" katanya memerintah.
"Untuk apa...." Tek Hoat bertanya dengan marah karena saputangan mengingatkan dia akan sumpah dan janjinya.
"Kaututup matamu dengan saputangan itu!"
"Hemm....!" Tek Hoat makin marah.
Akan tetapi tetap saja permintaan itu dia penuhi juga. Dia menutupkan saputangannya ke depan mata dan mengikatkan kedua ujung saputangan di belakang kepala. Diam-diam dia tertarik juga karena ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis aneh ini.
Setelah melihat Tek Hoat menutupi mukanya dengan saputangan, Ceng Ceng lalu menghampiri tawanan yang masih bersandar dinding itu. "Nah, In-kong sekarang kita boleh bicara berdua. Pembantuku ini sudah menutup matanya dengan saputangan sehingga tidak dapat melihat kita.... maksudku, tidak dapat melihat wajahmu."
Suara yang halus itu terdengar kini. "Nona, engkau benar-benar seorang gadis aneh. Apa maksudmu dengan menawan aku" Aku tidak bersalah, hanya melihat ramai-ramai di sini, menonton dan dikeroyok oleh orang-orang itu. Biarkan aku pergi."
"Tidak, sebelum engkau memperlihatkan siapa adanya engkau. Aku hendak membuka topeng yang menutupi mukamu, In-kong."
Tentu saja Tek Hoat menjadi kaget dan heran bukan main mendengar ucapan Ceng Ceng yang menunjukkan bahwa gadis ini telah mengenal Si Topeng Setan itu, bahkan menyebutnya In-kong (Tuan Penolong)! Biarpun kedua matanya tertutup, Tek Hoat memusatkan seluruh perhatiannya kepada pendengarannya sehingga dia dapat mengikuti seluruh gerak-gerik Ceng Ceng dan tawanan itu, bahkan tidak kalah jelasnya dari orang biasa yang memandang dengan kedua matanya.
"Jangan....! Jangan, Nona....! Ini adalah rahasiaku, kalau terbuka berarti aku mati! Harap kau jangan membukanya...." Orang itu berkata, suaranya penuh permohonan dan kekhawatiran sehingga Tek Hoat menjadi makin tertarik, makin curiga.
"Engkau pernah menolongku, tentu aku tidak akan memaksa. Akan tetapi aku tidak akan membuka topengmu asal engkau suka menjadi pembantu dan pelindungku, dan suka mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku. Bagaimana"
"Hemm...., baiklah. Aku berjanji."
"Dan seorang laki-laki gagah tidak akan melanggar janjinya."
"Lebih baik mati daripada melanggar janji."
Tiba-tiba Tek Hoat tertawa. "Ha-ha-ha, Lu Ceng! Engkau membuat kami berdua laki-laki yang memiliki kepandaian menjadi seperti lalat terjebak dalam janji-janjinya sendiri!"
"Tek Hoat, engkau dan dia ini berjanji sendiri, aku sama sekali tidak memaksanya. Nah, kau boleh membuka saputanganmu dan boleh memandang aku sekarang, dan kaubebaskan dia dari belenggu itu."


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tek Hoat menyambar saputangannya, lalu memandang kepada laki-laki bertopeng itu dengan tertawa mengejek. "Engkau telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesukaran, Sobat!" Dan dengan kedua tangannya Tek Hoat merenggut, mengerahkan sin-kangnya dan belenggu yang terbuat dari baja itu patah-patah! Bukan main hebatnya tenaga kedua tangan Tek Hoat dan agaknya dia sengaja mendemonstrasikannya di depan orang bertopeng itu yang memandang dengan sikap tenang saja. Setelah belenggunya dilepaskan dia bangkit berdiri, tinggi dan tegap.
"Sekarang kau setelah menjadi pembantuku harus memberitahukan namamu," Ceng Ceng berkata.
Orang itu menghela napas panjang. "Setelah Ji-wi (Anda Berdua) tahu bahwa aku bertopeng, maka biarlah aku dinamakan Topeng Setan."
Ceng Ceng bertepuk tangan gembira. "Bagus! Dua orang pembantuku hebat julukannya, yang seorang Si Jari Maut, dan seorang lagi Si Topeng Setan! Sekarang mari kita keluar untuk mengumumkan pengangkatan Topeng Setan sebagai pembantuku ke dua, dan kita mulai mengatur anak buah kita agar tidak lagi terjadi bentrok diantara rekan segolongan."
Tek Hoat dan Topeng Setan mengangguk. Ceng Ceng bergegas keluar gudang itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat untuk berbisik kepada laki-laki tinggi besar itu, "Awas, engkau mencurigakan. Sekali waktu akan kupatahkan batang lehermu seperti aku mematahkan belenggu tadi."
Topeng Setan menoleh kepada pemuda tampan itu dan tidak menjawab apa-apa kecuali memungut bekas belenggu dari atas lantai, kemudian dengan amat mudahnya jari tangannya mematah-matahkan rantai itu semudah yang dilakukan oleh Tek Hoat tadi!
"Tak perlu curiga, aku hanya ingin melindunginya, Sobat!" Si Topeng Setan berkata pula, berbisik.
Tek Hoat terkejut dan mengertilah dia bahwa Topeng Setan tadi agaknya memang sengaja membiarkan dirinya tertawan. Buktinya, kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membebaskan dirinya dari belenggu itu dengan amat mudah! Makin tertariklah dia dan diam-diam dia mengharapkan untuk dapat menarik tenaga yang amat kuat ini untuk membantu gerakan Pangeran Liong Bin Ong.
Yang merasa amat bergembira adalah Ceng Ceng. Dia sampai luka akan kesengsaraan hatinya melihat betapa dia kini telah menjadi seorang "beng-cu", mengepalai ratusan orang-orang lihai, bahkan mempunyai dua orang pembantu dan pelindung yang amat tinggi kepandaiannya. Kini dia merasa yakin bahwa tentu dia akan berhasil mencari musuh besarnya, pemuda laknat yang telah memperkosanya! Di samping itu, dia akan menuntun para kaum sesat itu agar tidak membantu para pemberontak, sebaliknya malah menentang pemberontak. Sedangkan Tek Hoat, yang dia tahu adalah anak buah pangeran pemberontak, setelah menjadi pembantunya akan dibujuknya agar dapat insyaf dan kembali ke jalan benar. Betapapun juga, pemuda inilah sebetulnya yang menjadi orang pertama, laki-laki pertama yang pernah menggerakkan perasaan mesra, kagum dan cinta di dalam hatinya, yang kemudian berubah menjadi benci karena pemuda yang dikagumi ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak. Pula, setelah mendengar pengakuan Tek Hoat akan cinta kasihnya kepada Syanti Dewi, lenyaplah perasaan mesra di hatinya terhadap Tek Hoat. Namun andaikata pemuda ini dapat insyaf dan kembali ke jalan benar, dia akan senang sekali melihat kakak angkatnya itu berjodoh dengan Ang Tek Hoat. Jauh lebih baik daripada menjadi isteri seorang pangeran tua di kota raja!
Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengalamannya yang baru sebagai seorang beng-cu atau ketua dari kaum sesat itu, dan mari kita mengikuti perjalanan kakak beradik dari Pulau Es, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu merencanakan hendak mengawal Jenderal Kao Liang kembali ke utara ketika pada malam hari itu muncul putera jenderal itu yang telah hilang dan disangka mati belasan tahun yang lalu, yaitu Kok Cu, yang kemudian pada malam hari itu juga pergi lagi meninggalkan rumah orang tuanya dengan alasan bahwa dia harus menunaikan dulu tugas yang diperintahkan gurunya.
Peristiwa hebat perjumpaannya dengan Ceng Ceng yang dianggap telah mati dan bayangan gadis itu dianggap rohnya, kemudian disusul dengan munculnya Kok Cu yang disangka sudah mati, mengguncangkan hati Jenderal Kao dan keluarganya. Akan tetapi demi tugasnya, jenderal yang perkasa ini sudah bersiap-siap untuk berangkat bersama Kian Lee dan Kian Bu, dengan diam-diam akan kembali ke utara.
Akan tetapi, baru saja mereka bersiap untuk berangkat naik kuda bertiga, tiba-tiba terdengar suara halus, "Kao-goanswe, berhenti dulu...." Dan berkelebatlah bayangan orang. Ternyata yang datang adalah Puteri Milana sendiri!
Tentu saja Jenderal Kao, Kian Lee dan Kian Bu terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap Jenderal Kao mengajak Puteri Milana dan dua orang adiknya itu masuk ruangan dan tidak mengijinkan anak isterinya ikut masuk, karena dia menduga bahwa kedatangan Puteri Milana tentulah membawa hal yang amat penting. Dan memang benarlah demikian!
Begitu dipersilakan duduk, puteri yang wajahnya agak tegang biarpun sikapnya masih tenang itu berkata lirih, "Jenderal, saatnya telah tiba bagi kita untuk mengambil tindakan secara terang-terangan."
Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya. "Paduka maksudkan...."
"Baru saja seorang penyelidikku datang malam-malam melaporkan bahwa Panglima Kim Bouw Sin yang kautawan itu telah dibebaskan kaki tangannya, bahkan telah menyusun kekuatan dari para pasukannya dan kini berpusat di Teng-bun, sudah siap untuk menyerbu ke selatan!"
"Si keparat!" Jenderal itu mengepal tinjunya dengan marah sekali. "Semua ini diatur dari sini, dan kita harus menumpas biang keladinya!"
"Sabarlah, Goanswe. Tugas kita hanyalah menumpas para pemberontak yang sudah terang-terangan memberontak seperti Panglima Kim Bouw Sin. Adapun para penggerak atau penganutnya sekarang masih bermain di belakang layar, amat sukar bagiku untuk bertindak tanpa adanya bukti-bukti yang kuat. Kedudukan mereka kuat. Sekarang, paling perlu kita harus bergerak ke utara. Biarlah kedua orang adikku ini lebih dulu menyelidiki ke sana dan sedapat mungkin menyelamatkan Syanti Dewi yang berada di bentengmu. Mudah-mudahan saja dia tidak terjatuh ke tangan pemberontak! Sedangkan engkau dan aku sendiri mengatur pasukan dari sini setelah kita besok menghadap Kaisar untuk melaporkan gerakan pemberontak Kim Bouw Sin itu. Akan tetapi hati-hatilah, jangan keliru bicara menyebut nama dua orang pangeran tua. Hal itu akan membikin marah Kaisar yang masih percaya kepada mereka sebagai adik-adiknya."
Jenderal Kao mengangguk-angguk. Memang kemarahannya disebabkan oleh dua hal. Pertama-tama tentu saja karena dia ditipu, orang menggunakan Kaisar untuk memanggilnya keluar dari benteng dan biarpun pihak pemberontak gagal membunuhnya di tengah jalan, mereka telah berhasil membebaskan Kim Bouw Sin yang tentu saja akan menarik sebanyak mungkin pasukan dibawah pimpinannya! Hal kedua yang membuat dia marah saking cemasnya adalah nasib Syanti Dewi yang ditinggalkan sendirian di dalam benteng!
Kian Lee dan Kian Bu berangkat meninggalkan kota raja setelah menerima pesan dari Puteri Milana dan Jenderal Kao. Mereka diberi tanda-tanda pengenal sebagai pembantu Jenderal Kao dan pembantu Puteri Milana agar tidak mengalami kesulitan di dalam perjalanan, karena dalam keadaan kacau dan gawat itu, perjalanan ke utara tentu amat sukar dan terdapat banyak rintangan berbahaya.
Dua orang pemuda Pulau Es ini melakukan perjalanan dengan terpaksa. Sebetulnya mereka tidak tahu apa-apa tentang pertentangan antara kerajaan dan pemberontak itu, dan hal itu pun tidak menarik hati mereka. Semenjak kecil mereka berada di Pulau Es dan tidak pernah mendengar atau tahu akan keadaan pemerintahan, maka kekacauan yang terjadi ini hanya menjemukan hati mereka. Akan tetapi, karena ada kakak mereka, Puteri Milana yang langsung tersangkut, mereka melakukan tugas itu sebagai perintah kakak mereka dan hal ini tentu saja menyenangkan hati mereka karena mereka merasa berguna bagi kakak mereka itu. Selain itu, juga sebagai dua orang muda remaja, mereka masih haus akan pengalaman.
Di sepanjang perjalanan yang mereka lakukan dengan cepat itu, di setiap dusun dan kota, Kian Lee selalu mengajak adiknya untuk berputar kota lebih dulu, dan biarpun Kian Bu diam-diam maklum bahwa kakaknya ini mencari seseorang atau setidaknya menyelidiki seseorang, dan seseorang itu pun telah dia ketahui siapa.
Karena mereka mendapat tugas untuk menyelamatkan Syanti Dewi yang oleh Jenderal Kao ditinggalkan di dalam bentengnya, maka dua orang kakak beradik itu langsung menuju ke kota benteng itu dan ketika mereka tiba di kota itu, kota yang dikelilingi benteng amat kuatnya, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Mereka berdua bercampur dengan rakyat yang menjadi panik, pengungsi-pengungsi yang kebingungan, ada yang mengungsi keluar dari kota, akan tetapi ada pula yang malah mencari perlindungan di kota itu sehingga keadaan kota itu ramai sekali dengan para pengungsi yang hilir mudik. Tampak tentara berseliweran di setiap tempat dan suasana tegang terasa di dalam kota itu.
Ternyata kota benteng itu telah terjatuh ke tangan kaum pemberontak! Setelah Jenderal Kao pergi ke kota raja, beberapa malam kemudian timbul keributan di dalam benteng. Panglima Kim Bouw Sin dilepaskan orang-orang lihai dari penjara, kemudian panglima itu menggunakan pengaruhnya untuk menguasai pimpinan. Para panglima dan perwira yang menentangnya dibunuh karena pada malam hari itu juga banyak muncul orang-orang pandai di kota itu, juga pasukan istimewa dari kaum pemberontak tahu-tahu telah memasuki kota. Gegerlah keadaan di situ. Pasukan yang masih setia kepada Jenderal Kao atau kepada kerajaan tentu saja tidak sudi dikuasai pemberontak, akan tetapi karena Jenderal Kao tidak ada dan para penglima dan perwira yang masih setia telah dibunuh, yang masih hidup telah menakluk kepada pemberontak, maka pasukan-pasukan itu kehilangan pegangan dan mereka lalu melarikan diri keluar dari benteng, lari ke selatan! Mereka tidak mampu mengadakan perlawanan tanpa ada yang memimpin mereka. Lebih dari tiga perempat jumlah pasukan yang berada di benteng itu melarikan diri, tersebar tidak karuan di daerah selatan dari benteng itu.
Berita ini tidak begitu diperhatikan oleh Kian Lee dan Kian Bu, akan tetapi mereka terkejut sekali ketika mendapat keterangan bahwa Puteri Syanti Dewi yang berada di benteng itu telah lenyap tanpa ada yang tahu ke mana! Bahkan tidak ada yang tahu bahwa puteri itu adalah Syanti Dewi, hanya kedua orang kakak beradik ini mendengar bahwa Jenderal Kao mempunyai seorang anak angkat atau anak keponakan perempuan yang berada di benteng itu dan yang ternyata lenyap tanpa ada yang tahu ketika terjadi kerlbutan di benteng itu.
"Wah, celaka, kita harus mencarinya, Lee-ko!"
"Hemm, mencari ke mana" Kita tidak
Bara Naga 11 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Istana Pulau Es 4
^