Kisah Sepasang Rajawali 16

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


tahu dia lari atau dilarikan ke mana."
"Jangan-jangan dia terjatuh ke tangan pemberontak! Bagaimana kalau kita menyerbu ke benteng dan mencarinya di sana"
"Terlampau berbahaya, Bu-te. Penjagaan tentu ketat sekali. Pula, mengingat akan cerita Jenderal Kao, andaikata Puteri Syanti Dewi terjatuh ke tangan pemberotak sekalipun, agaknya dia tidak akan diganggunya, bahkan mungkin diantarkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, calon suaminya. Dan kita sudah menyelidiki cukup teliti, baik dari pihak yang pro pemberontak maupun yang anti, mereka menceritakan berita yang sama bahwa puteri itu lenyap di dalam keributan."
"Habis, apa yang harus kita perbuat sekarang"
"Tidak ada lain jalan, kita kembali ke kota raja dan di sepanjang perjalanan kita harus memasang mata dan telinga, mencari-cari barangkali puteri itu melarikan diri bersama para pengungsi. Andaikata tidak berhasil, kita kembali dan melapor kepada Enci Milana dan Jenderal Kao tentang keadaan di benteng ini."
"Akan tetapi aku masih menduga bahwa agaknya Sang Puteri ditawan oleh pemberontak. Menurut penuturan Enci Milana, Panglima Kim yang memberontak itu kini bermarkas di kota Teng-bun, sebaiknya kalau kita mengambil jalan melalui pusat pemberontak itu, sambil mencari-cari."
"Baiklah, Bu-te."
"Lee-ko, sudah jelas bahwa aku akan mencari Puteri Syanti Dewi untuk memenuhi perintah Enci Milana, akan tetapi agaknya yang kaucari adalah puteri lain lagi, bukan Syanti Dewi."
"Hemmm, maksudmu...."
"Engkau mencari adiknya, Candra Dewi atau Lu Ceng!"
Wajah Suma Kian Lee menjadi merah. "Bu-te! Sekarang bukan waktunya main-main!"
Melihat kakaknya marah, Kian Bu tidak berani menggoda lebih lanjut lagi dan keduanya lalu keluar dari kota benteng itu dengan aman karena mereka mencampurkan diri di antara rombongan para pengungsi. Hanya mereka yang masuk kota itu yang digeledah oleh para penjaga pemberontak, yang keluar dari situ hanya diawasi saja penuh perhatian.
Kota Teng-bun yang dimaksudkan sebagai pusat atau markas besar para pemberontak itu terletak agak ke barat, merupakan kota yang dikelilingi tembok benteng kokoh kuat dan terletak di lereng bukit, dikelilingi perbukitan sehingga merupakan tempat yang sukar untuk diserbu dari luar. Karena mereka ingin menyelidiki tempat ini kalau-kalau Syanti Dewi dibawa oleh pemberontak ke tempat itu, kedua kakak beradik ini membelok ke barat. Perjalanan menjadi sunyi karena arus pengungsi semua menuju terus ke selatan atau ke utara dan timur, tidak ada yang ke barat karena semua orang menjauhi Teng-bun yang sewaktu-waktu tentu akan menjadi medan perang.
Pada suatu hari mereka tiba di sebuah dusun yang kelihatan aman dan tenteram, masih agak jauh dari Teng-bun. Di luar dusun itu terdapat perkemahan tentara, yaitu pasukan yang masih setia kepada kerajaan, dipimpin oleh seorang panglima bawahan Jernderal Kao yang mempertahankan atau menjaga daerah itu sebagai daerah terdepan di sebelah barat, bahkan paling depan atau paling dekat dengan Teng-bun, pusat pemberontak. Panglima Thio Luk Cong itulah yang mengutus penyelidik Puteri Milana untuk cepat pergi ke kota raja melapor kepada Puteri Milana tentang gerakan pemberontak yang menguasai benteng dan yang kini berpusat di Teng-bun itu. Dia sendiri bersama pasukannya lalu menetap di luar dusun Ang-kiok-teng itu untuk berjaga-jaga sambil menanti bala bantuan yang pasti akan datang dari kota raja.
Ketika Kian Lee dan Kian Bu memasuki dusun itu, penduduk dusun kelihatan tenang-tenang saja karena memang pasukan Panglima Thio melakukan penjagaan yang ketat dan menjaga keamanan dengan baik. Juga jumlah pasukan makin bertambah saja karena banyak pula di antara anggauta pasukan dari benteng Jenderal Kao yang melarikan diri, tiba di tempat itu dan segera menggabungkan diri dengan pasukan Panglima Thio Luk Cong.
"Aku lelah sekali, Lee-ko. Mari kita beristirahat dulu di rumah penginapan."
Kian Lee menyetujui permintaan adiknya. Memang mereka telah melakukan perjalanan jauh yang tidak berhenti, dan tadipun begitu memasuki dusun, Kian Lee sudah lantas melakukan kebiasaannya berputar dusun untuk mencari.... Lu Ceng, karena benar seperti yang pernah dikatakan Kian Bu, pemuda ini lebih mementingkan mencari Lu Ceng daripada mencari Syanti Dewi!
Rumah penginapan di dusun itu kosong karena memang tidak ada pengunjung datang di dusun itu. Dengan mudah mereka memperoleh sebuah kamar. Kian Lee duduk di bangku dan Kian Bu segera merebahkan diri di atas pembaringan sambil memijit-mijit pahanya yang terasa lelah sekali.
Pelayan penginapan itu masuk membawa teh panas untuk tamu baru ini, membungkuk hormat sambil meletakkan poci dan cawan di atas meja. Melihat Kian Bu rebah memijit-mijit pahanya, dengan ramah dia bertanya, "Engkau lelah sekali, Kongcu"
"Wah, kakiku lelah sekali...." Kian Bu menjawab, tertarik oleh keramahan pelayan itu, tidak mempedulikan pandang mata kakaknya yang penuh curiga.
"Kebetulan sekali, di dekat sini terdapat seorang ahli pijat yang pandai, Kongcu. Dia seorang yang buta matanya, akan tetapi setiap jari tangannya bermata dan dapat mencari semua kelelahan Kongcu dan mengusirnya."
Kian Bu tertawa. "Begitukah" Coba panggil dia ke sini dan suruh dia mengusir kelelahan kakiku ini!"
"Baik, baik, Kongcu, kautunggu sebentar." Bergegas pelayan itu pergi dari kamar itu.
Setelah pelayan itu pergi, Kian Lee menegur adiknya, "Bu-te, engkau ini ada-ada saja! Aku melihat sikap pelayan itu amat mencurigakan seolah-olah dia terlalu memperhatikan kita."
"Aihh, Lee-ko, aku memang lelah sekali, kalau memang betul tukang pijat itu pandai, apa sih salahnya kalau dia menghilangkan kelelahanku" Dan pelayan itu adalah seorang yang ramah, agaknya girang dia karena akhirnya rumah penginapan yang sunyi dan kosong ini memperoleh tamu juga."
Tak lama kemudian pelayan itu sambil tersenyum-senyum datang lagi memasuki kamar menuntun seorang kakek buta yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. "Kongcu mana yangg merasa lelah kakinya" Kakek itu bertanya dengan suaranya yang lemah dan agak gemetar.
Pelayan itu menuntunnya mendekati pembaringan Kian Bu. "Inilah Kongcu yang ingin kaupijat kakinya, Lo-sam!" kata Si Pelayan.
Kakek buta itu menjulurkan tangan meraba-raba. Takut kalau kakek itu meraba yang bukan-bukan, Kian Bu lalu menangkap tangan itu dan mendekatkannya ke arah kakinya sambil berkata, "Di sini kakiku, Lopek."
Kakek itu meraba-raba kaki Kian Bu, melepaskan tongkatnya ke atas lantai sambil berkata, "Hemm...., hemmm.... kasihan kedua kakimu, Kongcu. Tentu sedikitnya telah lima hari dipergunakan untuk berjalan kaki terus-menerus siang malam. Otot-ototnya sampai menegang dan keras begini."
Mulailah dia memijit-mijit kaki Kian Bu dan pemuda ini harus mengaku bahwa tukang pijit itu amat pandai memijit. Jari-jari yang berkulit halus itu dengan lembutnya memijit-mijit dan meraba-raba tepat pada otot-otot besar sehingga mengendurkan otot-otot yang tegang dan melancarkan kembali jalan darah. Juga terasa enak menyenangkan. Tidak terlalu dilebih-lebihkan ucapan pelayan tadi. Tukang pijat ini benar pandai, biarpun matanya buta namun jari-jari tangannya seperti mempunyai mata yang dapat mencari otot-otot kakinya.
"Lee-ko, sebaiknya engkau juga menyuruh dia memijit kakimu. Enak dan dapat melenyapkan lelah," Kian Bu berkata.
"Ah, aku tidak begitu lelah, Bu-te. Dipakai beristirahat sebentar saja pun akan pulih," jawab kakaknya.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dan ternyata Si Pelayan tadi yang masuk, diiringkan oleh seorang tentara berpangkat perwira yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, berkumis pendek dan berwajah ramah.
"Maafkan kalau saya mengganggu, Ji-wi Kongcu. Ciangkun ini datang diutus oleh panglima untuk memanggil tukang pijit!"
"Ah, bagaimana ini" Aku belum selesai dipijit!" Suma Kian Bu berseru.
"Tidak mengapa, saya bisa menanti sebentar sampai engkau selesai dipijit, orang muda. Komandan kami bukan seorang yang keras, dan tentu beliau suka menunggu, apalagi karena sekarang beliau sedang menjamu dua orang tamu yang agaknya merupakan tamu agung yang amat penting."
Kian Lee menjadi tertarik. Dalam suasana seperti sekarang ini, setiap peristiwa mengenai komandan pasukan yang menerima tamu merupakan hal yang penting.
"Siapakah tamu-tamu agung, itu, Ciangkun"
Perwira itu agaknya senang bercerita. Dia duduk di atas bangku dan menerima suguhan teh panas dari pelayan, minum tehnya lalu berkata, "Kami semua tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Yang seorang laki-laki setengah tua, pakaiannya biasa saja seperti seorang petani sederhana, akan tetapi orang ke dua adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Biarpun pakaian gadis itu pun sederhana, akan tetapi kecantikannya sungguh sukar dicari bandingannya...."
"Berapa kira-kira usia gadis itu dan bagaimana perawakannya" Tiba-tiba Kian Lee bertanya, otomatis dia tertarik sekali dan membayangkan Ceng Ceng.
"Ah, tentu tidak akan lebih dari tujuh belas tahun, akan tetapi sikap dan sinar matanya seperti seorang wanita yang sudah matang dan dewasa, bentuk tubuhnya ramping, air mukanya angkuh dan agung, pendiam...."
Jantung di dalam dada Kian Lee berdebar. Tentu Lu Ceng gadis itu! Kian Bu juga menduga demikian dan diam-diam dia melirik kepada kakaknya.
"Apakah komandanmu suka pijit, Ciangkun" tanya Kian Lee.
"Sebetulnya tidak, akan tetapi beliau mendengar berita dari anak buah bahwa di dusun ini kedatangan seorang tukang pijit yang pandai. Beliau tertarik dan menyuruh saya datang menjemputnya."
Kian Bu sejak tadi diam saja, lalu berkata kepada tukang pijit itu, "Sudah cukup, Lopek. Kau kuharap menanti di luar, aku hendak bicara penting dengan Ciangkun ini."
Kian Bu berteriak memanggil pelayan tanpa memberi kesempatan kepada Kian Lee yang memandangnya dengan heran itu untuk mengeluarkan suara, kemudian minta kepada pelayan untuk mengantar tukang pijit itu keluar dan menanti mereka di sana. Setelah pelayan dan tukang pijit itu keluar, baru dia berkata kepada perwira itu, "Ciangkun, terpaksa aku menyuruhnya keluar karena apa yang akan kukatakan ini tidak enak untuk dia. Berita bahwa dia pandai memijat itu bohong sama sekali. Pijitannya tidak enak, dia tidak tahu tentang otot-otot dan orang yang kelelahan kalau dipijit olehnya akan menjadi makin lelah. Komandanmu akan marah kalau dipijat oleh dia."
"Kalau begitu, kenapa engkau membiarkan dirimu dipijit olehnya, orang muda"
Kian Bu tertawa. "Engkau tidak mengerti, Ciangkun. Ketahuilah bahwa kami berdua kakak dan adik adalah keturunan tukang pijit yang amat pandai, bahkan kakek kami dahulu biasa memijiti Kaisar dan keluarganya! Sebagai ahli-ahli pijat, ketika kami tadi mendengar bahwa di sini terdapat seorang tukang pijat pandai, tentu saja kami tertarik dan ingin mengujinya. Kiranya dia hanya tukang pijit yang ngawur saja. Orang seperti itu hendak kausuruh memijati komandanmu" Ah, engkau akan mendapat marah, Ciangkun."
Perwira itu memandang dengan curiga dan tidak percaya. "Dia sudah tua, dan lagi buta, sudah pantas kalau menjadi tukang pijat yang pandai. Akan tetapi kalian" Orang-orang muda begini.... mana bisa memijat...."
"Ha-ha, ucapan seperti itu, keheranan itu sudah sering sekali kami dengar, dan orang tidak akan percaya sebelum membuktikannya sendiri. Nah, sebaiknya kaucoba sendiri, Ciangkun. Kami tidak membohongimu, ke sinilah, biar kaurasakan pijatan ajaib dari tanganku."
Dengan pandang mata masih tidak percaya perwira itu tersenyum menghampiri lalu duduk di atas pembaringan Kian Bu. Pemuda itu lalu mulai memijati kedua pundak dan tengkuknya. Tentu saja diam-diam dia mengerahkan sedikit tenaga Hwi-yang Sin-kang sehingga perwira itu merasa betapa hawa yang hangat mendatangkan nikmat menyelusuri tubuhnya, dan betapa jari-jari tangan pemuda itu dengan amat tepat menyentuh otot-ototnya sehingga sebentar saja dia terasa keenakan, tubuhnya terasa nyaman dan kantuk mulai menyerangnya, membuat matanya meram melek!
"Nah, bagaimana rasanya, Ciangkun" Kian Bu bertanya dan menghentikan pijatannya.
Perwira itu terbangun dari keadaan setengah pulas dan terkejut. "Aih, benar hebat sekali engkau, orang muda. Pijatanmu amat hebat dan luar biasa sekali, terasa oleh seluruh tubuh, menghilangkan capai dan membuat aku mengantuk. Dan saudaramu ini pun mahir"
"Kakakku ini malah lebih pandai daripada aku, Ciangkun. Kalau engkau suka mengajak kami berdua ke sana, tentu komandanmu akan puas sekali dan memujimu."
Tiba-tiba sikap perwira itu berubah. Pandang matanya tajam menyelidik ketika dia bertanya, "Orang muda, kenapa engkau ingin sekali ikut dengan aku ke perkemahan kami"
Sebetulnya, kalau mereka berdua memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Kao dan Puteri Milana, tentu perwira itu segera akan tunduk dan taat. Akan tetapi mereka tidak ingin sembarang orang mengenal bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Jenderal Kao atau Puteri Milana, dan kalau tidak perlu sekali, mereka tidak akan sembarangan memperkenalkan diri.
"Ciangkun, harap kau tidak mencurigai kami kakak dan adik," tiba-tiba Kian Lee yang mengerti akan maksud adiknya agar mereka dapat dibawa ke perkemahan untuk melihat apakah dara yang diceritakan tadi benar-benar Ceng Ceng atau bukan, segera berkata meyakinkan, "Sesungguhnya biarpun kami adalah ahli-ahli pijat, kami tidak mempergunakan kepandaian kami untuk mencari uang. Akan tetapi.... terus terang saja, kami telah kehabisan. Kami meninggalkan kota benteng Khi-ciang yang geger, pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan semua milik kami, hanya membekal uang dan pakaian seadanya. Akan tetapi di tengah jalan, kami kehabisan uang. Tadi mendengar bahwa komandan Ciangkun suka dipijit, adikku menawarkan diri karena tentu komandanmu suka membayar mahal, dan belum para perwira yang membiarkan kami memijatnya, tentu akan dapat kami mengumpulkan sedikit uang untuk bekal perjalanan."
Perwira itu mengangguk-angguk. "Baiklah, memang sudah kubuktikan sendiri kemampuanmu memijat. Akan tetapi, tukang pijit buta itu pun harus kubawa agar jangan aku mendapat marah dari komandan."
Maka berangkatiah perwira itu bersama Kian Lee, Kian Bu, tukang pijit buta yang digandeng oleh pelayan. Karena rumah penginapan itu sepi, Si Pelayan boleh mengantarkan si tukang pijat buta untuk nanti sekedar mendapat persen, karena memang Si Buta itu harus ada pengantarnya.
Demikianlah, dengan amat mudahnya mereka memasuki benteng perkemahan pasukan yang dipimpin oleh komandan Panglima Thio Luk Cong itu. Akan tetapi ternyata penjagaan dilakukan amat ketat dan tidak mudahlah bagi kedua orang kakak beradik itu dapat bertemu dengan dara yang diceritakan tadi. Bahkan tidak mudah pula bagi mereka untuk dapat bertemu dan memijat panglima yang masih bercakap-cakap di kamar tamu dengan dua orang tamu agungnya. Sambil menanti keluarnya Sang Panglima, mereka itu diuji dulu oleh para perwira tinggi yang menaruh curiga.
Diam-diam Kian Bu merasa mendongkol. Dia ingin agar mereka segera dapat bertemu dengan komandan dan terutama sekali dengan dua orang tamu, orang setengah tua dan dara yang diceritakan tadi. Dia tahu bahwa betapa kakaknya sudah panas dingin membayangkan bahwa gadis itu tentulah gadis yang dicarinya, karena selain Lu Ceng siapa yang memiliki kecantikan demikian hebat dan diterima sebagai tamu agung oleh seorang panglima" Akan tetapi para perwira tinggi yang menyambut mereka demikian bercuriga, maka dia lalu mendemonstrasikan kepandaiannya memijit! Seorang perwira dipijitnya, dan tiga kali raba saja dia telah memijit dengan tepat dan perwira itu pun tidur pulas!
Hal ini mengherankan banyak perwira. Beberapa orang maju lagi dan kini Kian Lee terpaksa mengikuti jejak adiknya. Beberapa kali dua orang kakak beradik ini memijit para perwira dan sebentar saja mereka sudah tidur nyenyak di atas kursi!
Seorang perwira tinggi bertubuh kurus memasuki ruangan yang ramai oleh gelak tawa para perwira ini. Dia adalah wakil panglima, bernama Louw Kit Siang, seorang ahli lwee-keh yang tentu saja menjadi curiga menyaksikan sepak-terjang dua orang "tukang pijat" muda itu. Cepat dia melangkah maju dan berkata kepada Kian Bu, "Hemm, semuda ini sudah memiliki kepandaian memijat yang luar biasa! Coba engkau memijati tubuhku yang capai-capai!"
Melihat wakil panglima sendiri maju, semua perwira menjadi gembira dan ingin menyakaikan wakil panglima itu pun kepulasan di kursi. Louw Kit Siang duduk di atas kursi itu dan mengulurkan lengan kanannya. "Nah, kaupijitlah lengan kananku ini."
Lengan itu kurus tinggal tulang dan kulitnya saja. Kian Bu cepat duduk berhadapan dengan wakil panglima itu dan memegang lengannya. Dia makin mendongkol. Mengapa Sang Panglima dan dua orang tamunya belum juga muncul" Melihat Si Kurus yang menantang ini, tahulah dia bahwa Si Kurus ini memiliki sedikit kepandaian maka dia cepat mengerahkan tenaganya. Tepat seperti diduganya, dari dengan wakil panglima itu keluar getaran tenaga lwee-kang yang cukup kuat, yang seolah-olah hendak melawan dan menahan saluran Hwi-yang Sin-kang yang hangat dari telapak tangannya. Louw Kit Siang terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari jari tangan pemuda itu keluar hawa yang amat hangat dan kuat, yang menerobos memasuki tubuhnya melalui lengannya. Dia mengerahkan tenaganya menangkis dan melawan, namun sukar untuk membendung tenaga yang hangat itu.
Mereka bersitegang dan berkutetan tanpa diketahui orang lain kecuali Kian Lee yang memandang penuh perhatian. Akan tetapi, akhirnya Louw Kit Siang kalah juga. Biarpun memakan waktu tiga empat kali lebihlama daripada para perwira yang telah tertidur, akhirnya dia menguap dan tertidur pulas di atas kursinya, diiringi suara ketawa para bawahannya!
Akan tetapi, hanya sebentar saja wakil panglima itu tertidur. Tiba-tiba dia sudah terbangun lagi dan cepat dia meloncat sambil mencabut pedangnya dan berteriak, "Tangkap mereka! Dua orang ini mencurigakan, siapa tahu mereka adalah mata-mata musuh!"
Semua perwira cepat mencabut senjata dan mengurung, sambil membangunkan mereka yang tadi tertidur pulas sehingga merasa gelagapan dan panik, akan tetapi cepat mereka itu mencabut senjata pula dan ikut mengepung. Kian Lee dan Kian Bu tenang-tenang saja, karena memang inilah yang dikehendaki Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi, menimbulkan kegemparan untuk memancing keluarnya Sang Panglima dan terutama dara itu!
"Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!" Panglima Louw Kit Siang membentak.
"Kami hanya mau menyerah kepada Panglima sendiri!" Kian Bu menjawab.
"Aku sudah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah seorang panglima bertubuh kurus tinggi dan berjenggot pendek, wajahnya gagah dan keras, diikuti oleh seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara yang cantik jelita.
Semua perwira segera mundur ketika melihat komandan mereka keluar. Tentu saja di depan komandan mereka, para perwira ini tidak berani berbuat sembrono dan hanya menanti perintah.
"Orang muda, siapakah kalian" Dan perlu apa kalian hendak bertemu dengan aku" Panglima Thio Luk Cong bertanya dan suaranya menggeledek penuh wibawa.
Akan tetapi Kian Lee dan Kian Bu tidak menjawab, hanya memandang kepada dara itu dengan mata terbelalak, terpesona. Kian Lee memandang dengan penuh kekecewaan karena biarpun ada persamaan antara dara ini dengan Ceng Ceng, namun wajahnya berbeda sekali. Jelas bahwa dara itu bukanlah Ceng Ceng yang dicari dan diharapkannya akan dapat dia jumpai di dalam benteng perkemahan ini. Sedangkan Kian Bu juga memandang dengan terbelalak karena pemuda ini benar-benar terpesona oleh kecantikan dara itu. Pandang matanya seperti melekat pada wajah itu, sukar untuk dialihkan dan jantungnya berdebar keras, hatinya jungkir balik karena selama hidupnya di antara sekian banyaknya dara cantik jelita yang dijumpainya, belum pernah dia melihat seorang dara secantik ini! Seperti bidadari dari kahyangan yang baru saja turun dari langit! Biarpun berbeda dasarnya, namun kakak beradik ini tidak mendengar pertanyaan menggeledek dari panglima itu dan tanpa menoleh mereka terus memandang dara itu yang agaknya merasa betapa dua orang pemuda tampan itu memandang kepadanya maka dia lalu menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan kedua pipi kemerahan.
"Hei, Thio-ciangkun telah bertanya kepada kalian!" Louw Kit Siang membentak marah.
"Oh, maaf...." Kian Lee berkata sambil menyentuh lengan adiknya yang masih terlongong memandang dara itu. "Maaf, Tai-ciangkun. Kami berdua kakak beradik adalah tukang-tukang pijit yang diundang ke sini, akan tetapi entah mengapa, setelah memijiti banyak perwira, kami hendak ditangkap."
"Tai-ciangkun, mereka bukan tukang-tukang pijit sembarangan. Mereka memiliki kepandaian tinggi dan tentu mereka adalah mata-mata!"
"Ihh, orang yang ketakutan selalu mencurigai siapa saja!" Kian Bu berkata sambil melirak-lirik ke arah dara yang masih menundukkan mukanya itu.
"Begitukah" Panglima Thio membentak. "Hemm, hendak kucoba sendiri. Orang muda, cobalah engkau memijiti lenganku!"
"Boleh kalau Tai-ciangkun menghendakinya," Kian Bu berkata tenang. "Silakan duduk di sini." Dia menunjuk ke arah bangku di dekat meja dan sengaja dia duduk menghadapi ke arah dara itu agar selalu dapat memandangnya!
Akan tetapi sebelum panglima itu melangkah maju, orang setengah tua yang menjadi tamunya dan yang tadi berdiri dengan tenang di belakang dara jelita itu, melangkah maju dan berkata halus, "Biarkanlah saya yang dipijitnya, Ciangkun, karena saya pun merasa agak lelah." Dia lalu duduk di atas bangku dekat meja, menyingsingkan lengan bajunya, menaruh tangan kiri di atas meja dan mengulurkan lengan kanannya kepada Kian Bu sambil berkata, "Nah, kaupijitlah lenganku, orang muda yang baik."
Melihat sikap orang setengah tua ini, diam-diam Kian Bu tidak berani berbuat sembarangan. Orang tua ini biarpun kelihatan amat sederhana dalam pakaian, sikap dan kata-katanya yang halus, namun ada sesuatu yang mengejutkan hatinya terpancar dari sinar matanya. Dan dia pun sudah dapat menduga bahwa seorang yang diterima sebagai seorang tamu agung oleh komandan itu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Maka dia tidak berani main-main dan ingin memijit biasa saja, memijati otot-otot lengan itu agar orang ini merasa nyaman dan hilang kelelahannya.
Akan tetapi betapa kaget hati Kian Bu ketika dia mulai meraba dan mengerahkan tenaga memijat lengan itu, tiba-tiba ada getaran keluar dari lengan itu, getaran yang disertai hawa sin-kang yang amat kuat! Panaslah hati Kian Bu. Hemm, kiranya orang ini memiliki juga kepandaian. Baiklah, kalau orang ini ingin mengadu sin-kang, dia tidak akan mundur! Apalagi, agaknya orang ini mengawal dara itu, dan dia harus dapat memamerkan kepandaiannya agar mendatangkan kesan kepada orang ini dan terutama bagi dara itu yang berdiri dengan muka agak khawatir menonton adu tenaga yang tidak nampak oleh orang iain itu.
Akan tetapi begitu Kian Bu mengerahkan tenaga sin-kangnya yang melalui jari-jari tangannya menekan lengan orang itu, pada saat yang sama orang itu pun mengerahkan sin-kang dan bertemulah dua tenaga dahsyat yang tidak tampak oleh mata. Dua tenaga panas dari Hwi-yang Sin-kang, yaitu tenaga inti api yang amat panas. Tenaga yang sama kuatnya dan sama pula panasnya! Kian Bu terkejut dan orang itu pun kaget sekali!
Akan tetapi dasar Kian Bu seorang pemuda yang tidak mau kalah oleh orang lain, dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat pandai, maka dia yang ingin mendemonstrasikan kepandaiannya, biarpun tidak langsung dan melalui orang ini, kepada dara cantik jelita itu, cepat mengerahkan seluruh sin-kangnya dan merubah hawa sin-kangnya. Kini dia mengeluarkan ilmu sin-kang yang khas dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang (Tenaga Inti Salju)!
Kian Lee terkejut sekali. Melihat muka dan sikap adiknya, dia sudah dapat mengerti bahwa adiknya itu mengeluarkan ilmu simpanan mereka ini, maka dia makin terheran dan memandang orang laki-laki setengah tua yang nampaknya juga terkejut ketika merasakan perubahan pada jari-jari tangan pemuda yang memijiti lengannya. Hawa sin-kang yang amat dingin menggetar dengan dahsyatnya melalui jari-jari tangan itu.
"Uhhh....!" Terdengar suara ini dari laki-laki setengah tua itu dan tiba-tiba wajah Kian Bu berubah saking kagetnya. Kiranya lawannya itu kini juga mengerahkan tenaga yang sama dinginnya! Tenaga mujijat dan dahsyat yang mampu menandingi Swat-im Sin-kang! Dan kedua tenaga itu kini saling dorong dan saling menindih, dan perlahan-lahan Kian Bu terdesak, mukanya makin pucat dan matanya mulai mengantuk!
"Bu-te, agaknya Locianpwe ini terlalu kuat untukmu. Biar aku membantumu memijatnya!" Kian Lee yang mengikuti "pertandingan" itu, dapat melihat keadaan adiknya, maka timbul kekhawatirannya dan dia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu.
"Cukuplah!" Laki-laki setengah tua itu mengerahkan tenaganya dan.... kedua tangan Kian Bu seperti ditolakkan oleh tenaga mujijat dan terlepas dari lengan orang itu yang segera bangkit berdiri, berpaling kepada Panglima Thio Luk Cong sambil berkata, "Ciangkun, mari kita kembali ke kamar bersama kedua orang muda ini. Saya ingin bicara dengan mereka."
Thio Luk Cong sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak tahu jelas apa yang telah terjadi, hanya menduga-duganya saja bahwa tamunya itu tentu telah menguji kepandaian pemuda itu dan mendapatkan sesuatu yang amat penting. Maka dia mengangguk dan berkata kepada Kian Lee dan Kian Bu, "Orang-orang muda, silakan ikut bersama kami."
Kian Lee dan Kian Bu mengangguk dan kini Kian Bu yang merasa girang sekali, sungguhpun dia juga ikut merasa kecewa demi kakaknya yang melihat bahwa dara itu bukanlah gadis yang dicari-carinya. Mereka berlima, Panglima Thio, laki-laki setengah tua, dara cantik jelita itu, Kian Lee dan Kian Bu, semua memasuki ruangan, diikuti pandang mata para perwira yang terheran-heran melihat sikap panglima komandan mereka.
Setelah mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutup, laki-laki setengah tua itu langsung menghadapi Kian Lee dan Kian Bu sambil bertanya, suaranya sungguh-sungguh dan pandang matanya tajam penuh selidik, "Nah, orang-orang muda yang baik, sekarang katakan saja terus terang, siapakah kalian sesungguhnya"
Kian Lee sudah dibisiki oleh adiknya ketika mereka berjalan masuk tadi betapa orang setengah tua itu mampu menghadapi Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, maka dia menjura sambil berkata penuh hormat, "Kami kakak beradik adalah utusan-utusan dari Jenderal Kao dan Puteri Milana."
"Aihhh....!" Laki-laki itu dan juga Panglima Thio berseru kaget.
"Ah, mengapa Ji-wi tidak berterus terang saja sehingga kami dapat menyambutnya dengan baik" Silakan duduk.... dan mari kita bercakap-cakap dengan baik." Panglima itu cepat berkata. Mereka lalu duduk mengelilingi meja, dan betapa girangnya hati Kian Bu ketika melihat bahwa duduknya tepat berhadapan dengan dara itu sehingga kini dia dapat melihat dengan jelas betapa cantik jelitanya dara itu. Bukan main! Dia sampai menelan ludahnya sendiri dan sukarlah baginya untuk memindahkan pandang matanya dari mata itu, hidung dan bibir itu. Demikian luar biasa kecantikan gadis ini!
Kian Bu lalu bangkit berdiri dan menjura kepada orang laki-laki setengah tua tadi sambil berkata, "Harap Locianpwe maafkan saya yang lancang."
Orang itu tersenyum dan tampaklah ketampanan wajahnya yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan awan kedukaan yang menyelimuti wajahnya. "Tidak perlu bersikap sungkan, kalau tidak mengadu ilmu tidak saling mengenal kata orang. Dan sekali mengadu ilmu, agaknya aku dapat menduga siapa sebenarnya kalian. Kalau ada orang-orang muda yang memiliki sin-kang seperti apa yang saya rasakan tadi, di dunia ini tentu hanya dimiliki oleh orang-orang muda yang mempunyai nama keturunan (she) Suma. Benarkah dugaanku ini"
Suma Kian Bu memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi Kian Lee segera bangkit dan menjura kepada laki-laki itu. "Dan kami berdua telah bersikap kurang hormat kepada Gak-suheng!"
Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Mendengar ini, dia tertawa, bangkit berdiri dan merangkul dua orang muda itu. "Kau anak nakal, siapa namamu, Sute" tanyanya sambil memeluk pundak Kian Bu.
"Aih, kiranya Gak-suheng!" Kian Bu juga berseru girang bukan main. Tentu saja sudah lama dia mendengar nama ini disebut-sebut ayah bunda mereka, dan biarpun orang ini bukan langsung murid ayah mereka, namun karena pernah menerima ilmu dari ayah mereka, mereka menyebutnya suheng. "Namaku adalah Suma Kian Bu, Puteri Milana adalah kakak kandungku, dan ini adalah kakak Suma Kian Lee, putera dari ibu Lulu."
"Ahh....!" Panglima Thio berseru kaget sekali mendengar Suma Kian Bu memperkenalkan diri sebagai adik kandung Puteri Milana. "Gak-taihiap.... apakah benar bahwa kedua orang muda ini adalah.... adalah.... dari Pulau Es...."
Gak Bun Beng mengangguk.
"Maaf.... maaf.... betapa bahagia hatiku, dalam beberapa hari dikunjungi oleh orang-orang seperti Gak-taihiap dan Ji-wi Siauw-taihiap dari Pulau Es! Aih, kalau Pulau Es ikut turun tangan, aku yakin dalam waktu singkat saja semua pemberontak dapat dibasmi habis!"
Semua orang tersenyum mendengar ini, kecuali dara cantik jelita itu.
"Ji-wi Sute, tugas apakah yang kalian laksanakan sekarang ini sehingga kalian tiba di sini"
"Kami ditugaskan untuk pergi ke kota benteng Khi-ciang, selain untuk melihat keadaan karena kabarnya kota itu dirampas oleh pemberontak, juga untuk melindungi dan menyelamatkan seorang puteri yang bernama Syanti Dewi dan berada di benteng itu. Akan tetapi setelah kami tiba di sana, Sang Puteri lenyap tanpa ada yang tahu ke mana. Maka kami mencari-cari sampai ke sini, dengan maksud untuk mengunjungi Teng-bun mencari puteri itu...."
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Tanpa diperintah lagi, kedua orang kakak beradik itu melesat dengan cepat bersama Gak Bun Beng. Ternyata tukang pijit buta dan pelayan rumah penginapan tadi, di waktu keadaan ribut-ribut ketika kedua orang kakak beradik itu hendak dikeroyok, telah menyelinap dan memasuki kamar kerja panglima! Ketika ketahuan, mereka mengamuk, membunuh empat orang perwira dan berhasil kabur sambil membawa catatan-catatan tentang keadaan di perkemahan itu, kekuatan pasukan dan rencana penjagaan!
Gak Bun Beng dan dua orang sutenya cepat melakukan pengejaran, namun dua orang mata-mata pemberontak itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Panglima Thio cepat memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah rumah penginapan, akan tetapi pemilik rumah penginapan itu hanya menyatakan bahwa pelayan itu baru bekerja di situ selama satu bulan, dan pemijit buta itu pun baru beberapa hari berada di dusun itu sehingga tidak ada yang mengenalnya betul. Jelas bahwa kedua orang itu adalah mata-mata pemberontak!
Ketika memeriksa kamar kerjanya dan mendapatkan bahwa yang dicuri adalah catatan rahasia tentang kekuatan pasukan dan rencana penjagaan, Panglima Thio menjadi pucat wajahnya. "Jelas, ini tentu perbuatan mata-mata pemberontak yang berilmu tinggi. Keadaan kami di sini merupakan benteng pertama, kalau mereka tahu akan keadaan kami tentu mereka dapat mengetahui kelemahan-kelemahan kami dan akan menghancurkan kami dengan mudah."
"Mereka berdua tentu lari ke Teng-bun yang menjadi pusat pemberontak. Jangan khawatir, Ciangkun, biarlah kami pergi menyelundup ke Teng-bun. Kami akan menyelidiki apa yang akan terjadi setelah mereka mencuri barang-barang rahasia itu."
Wajah panglima itu berseri. "Kalau Sam-wi Taihiap sudi membantu, kami atas nama seluruh pasukan dan pemerintah menghaturkan terima kasih."
"Ji-wi Sute, sekarang juga kita menyusul mereka, pergi menyelundup ke Teng-bun," kata Gak Bun Beng kepada dua orang kakak beradik itu.
"Akan tetapi, Suheng. Kami harus mencari Puteri Syanti Dewi...." Kian Lee membantah.
"Tak perlu dicari lagi. Inilah dia!"
Dua orang kakak beradik itu terkejut bukan main. Dara cantik jelita itu, yang bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi, menjura sambil berkata manis. "Terima kasih atas bantuan kalian."
Kian Bu termenung dan menatap wajah itu dengan bengong. Setelah kakaknya menyentuh lengannya, barulah dia sadar, menarik napas panjang meniru perbuatan kakaknya menjura dengan hormat kepada puteri itu, lalu berkata, "Tak kusangka.... kiranya.... kiranya.... Sang Puteri.... ah, sukurlah bahwa Anda selamat!"
Syanti Dewi membalas pandang mata pemuda yang dianggapnya nakal dan lucu itu sambil tersenyum dan berkata singkat dengan sikap manis, "Terima kasih."
Hadirnya Syanti Dewi bersama Gak Bun Beng di tempat itu bukanlah hal yang aneh. Sungguhpun Gak Bun Beng telah meninggalkan kota Khi-ciang, yaitu kota perbentengan yang dikuasai oleh Jenderal Kao, namun hati pendekar sakti ini tidak rela secara menyeluruh meninggalkan puteri itu begitu saja. Dia percaya penuh alkan perlindungan Jenderal Kao kepada Syanti Dewi, akan tetapi betapapun juga, jenderal itu adalah seorang militer yang penuh dengan tugas-tugas berat, padahal keadaan sekarang amat berbahaya dengan adanya pemberontakan-pemberontakan itu. Dia ingin pergi menyelidiki tentang Si Jari Maut yang telah menodakan namanya, akan tetapi hatinya tidak tega meninggalkan Syanti Dewi sehingga perginya tidaklah terlalu jauh dari Khi-ciang. Setiap malam, apabila dia tidak dapat tidur pulas dan gelisah memikirkan keadaannya, berulang kali dia menghela napas panjang. Mengapa dia tidak dapat melupakan Puteri Bhutan itu sejenak pun" Mengapa wajah yang jelita itu terbayang terus di depan matanya dan mengapa pula dia selalu mendengar suara tangis dara itu, mendengar pula suara gadis itu yang mengatakan cinta kepadanya" Mengapa setiap kali teringat akan ini, hatinya menjadi seperti ditusuk oleh keharuan yang membuat dia ingin sekali terbang ke tempat gadis itu untuk sekedar memandang wajahnya dan mendengar suaranya" Mengapa"
Cintakah ini" Dia tidak dapat menyangkalnya, karena perasaan ini dahulu hanya pernah dirasakan terhadap Milana, bahkan perasaan itu sampai sekarang masih berakar di hatinya. Belum pernah dia merasakan sesuatu seperti ini terhadap Milana dan kedua kalinya terhadap Puteri Bhutan itulah. Akan tetapi perasaan ini hendak selalu dibuangnya jauh-jauh, ditolak dan disangkalnya sendiri. Tidak boleh dia begitu lemah, membiarkan hatinya jatuh cinta kepada Syanti Dewi sungguhpun dia yakin bahwa gadis itu patut menjadi anaknya! Usianya sudah hampir empat puluh tahun dan Syanti Dewi belum ada dua puluh tahun! Mana mungkin"
Betapapun juga, dia harus melihat puteri itu berada di tempat aman. Berada di kota raja atau sebaiknya berada di Bhutan, di istana ayahnya sendiri. Kalau Syanti Dewi masih berada di benteng Khi-ciang, berarti sewaktu-waktu puteri itu akan terancam bahaya. Karena inilah maka ketika Panglima Kim Bouw Sin yang telah menjadi tawanan itu dibebaskan kaki tangannya dan benteng diambil alih oleh panglima pembecontak ini dan kaki tangannya, Gak Bun Beng yang tidak berada di tempat terlalu jauh itu segera mendengarnya dan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kota benteng Khi-ciang dan kedatangannya tepat sekali karena Puteri Syanti Dewi yang ikut pula melarikan diri belum diketahui oleh pihak musuh!
Pertemuan mengharukan terjadi ketika puteri yang ikut berlari bersama sebagian penduduk Khi-ciang itu tiba-tiba berhadapan dengan Gak Bun Beng.
"Paman....!" Dia menjerit dan di lain saat dia telah menangis di dalam pelukan Bun Beng.
"Tenanglah, mari kita cepat pergi dari tempat ini." Bun Beng berbisik lalu mengajak puteri itu untuk cepat melarikan diri keluar dari kota benteng itu dan lari mengungsi ke selatan sampai akhirnya mereka tiba di dusun Ang-khok-teng, dan ketika Bun Beng mendengar bahwa Panglima Thio, komandan dari perkemahan di luar dusun itu adalah bawahan Jenderal Kao, dia langsung mengajak Syanti Dewi menemuinya. Panglima Thio sudah mendengar mereka dari Jenderal Kao, maka dia menyambut Gak Bun Beng sebagai tamu agung.
Demikianlah mengapa Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tahu-tahu berada di situ dan tanpa disangka-sangkanya di tempat itu dia bertemu dengan dua orang sutenya, putera-putera dari Suma Han, Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es!
"Sebaiknya kita berangkat sekarang juga. Ini adalah tugas kalian sebagai utusan dari kota raja, akan tetapi aku akan membantu kalian sampai berhasil. Pertama, kita mencoba untuk mencari Si Buta itu, dan kedua kita melakukan penyelidikan tentang keadaan pemberontak di sana agar dapat kalian bawa sebagai laporan ke kota raja."
"Baik, Suheng, kami siap berangkat," jawab Kian Lee.
"Dewi, engkau tinggal di sini dulu, menanti sampai aku kembali...."
"Tidak.... tidak, harap jangan tinggalkan aku sendirian lagi...., biarlah aku ikut ke Teng-bun," puteri itu menjawab sambil memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh permohonan. Pertemuannya dengan Bun Beng kembali seolah-olah mendatangkan sinar kebahagiaan di hatinya. Biarpun dia tahu bahwa pendekar sakti yang dikagumi dan dicintanya itu tidak berani membalas cintanya karena Puteri Milana, dan biarpun selama pertemuan mereka sampai tiba di dusun Ang-kiok-teng dia tidak pernah menyinggung soal cintanya, namun dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ditinggalkan atau terpisah dari pendekar yang amat dikaguminya, dipercaya, dipuja dan dicintanya itu.
Pandang mata yang demikian penuh permohonan, demikian penuh arti seolah-olah pandang mata itu merupakan tanda penyerahan jiwa raga dan segala-galanya, membuat Bun Beng menunduk dan tidak mampu menjawab sampai lama.
"Kalau Sang Puteri ikut, kami akan.... ikut melindunginya, Suheng," tiba-tiba Kian Bu berkata penuh semangat. Mendengar suara sutenya ini, tiba-tiba timbul suatu harapan di dalam hati Bun Beng. Mengapa tidak" Dua orang sutenya ini adalah dua orang pemuda yang hebat!
Lihat, mana mungkin mencari dua orang muda sedemikian tampan dan gagahnya" Putera-putera Pendekar Super Sakti pula, selain tampan juga memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan dia sendiri tadi sudah mengukur betapa hebatnya kepandaian Kian Bu. Sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berjodoh dengan seorang, diantara mereka ini, bukan dengan dia! Dan Kian Bu, sutenya ini agaknya begitu bersemangat ingin melindungi Syanti Dewi. Siapa tahu! Kian Bu adalah adik Milana, Kian Bu adalah cucu Kaisar, putera dari Puteri Nirahai!
"Baik!" Tiba-tiba dia berkata sehingga Syanti Dewi menjadi berseri-seri wajahnya dan menangkap tangan Gak Bun Beng dengan girang, kemudian menoleh kepada Kian Bu dengan senyum lebar sambil berkata, "Terima kasih!"
"Akan tetapi, engkau harus menyamar sebagai pria!" kata Gak Bun Beng.
"Saya kira tidak perlu demikian, Gak-taihiap." tiba-tiba Panglima Thio berkata. "Menurut penyelidikan, biarpun Teng-bun telah direbut pemberontak, namun kota itu masih terbuka bagi umum dengan adanya para pengungsi yang keluar masuk, tentu saja rakyat juga terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra pemberontak. Hanya penjagaan di sana amat ketat sehingga sukarlah bagi penyelidik kami untuk memasukinya. Semua orang laki-laki digeledah dengan teliti, hanya wanita yang tidak mengalami penggeledahan hebat. Kalau Sang Puteri menyamar sebagai pria, dia tentu malah akan digeledah."
"Wah, kalau begitu bagaimana baiknya, Thio-ciangkun" Bun Beng bertanya kepada panglima yang tentu lebih paham akan bagaimana baiknya untuk memasuki tempat yang telah dikuasai oleh pemberontak.
"Hanya ada dua cara," panglima itu menjawab. "Pertama tentu saja menggunakan kepandaian Cu-wi yang begitu tinggi untuk menyelundup masuk secara sembunyi di waktu malam. Ke dua, jalan yang lebih aman lagi mengingat bahwa Sang Puteri ikut bersama Sam-wi (Anda Bertiga), masuk secara terang-terangan di waktu siang bersama dengan para pengungsi yang lain. Akan tetapi Sam-wi akan mengalami penggeledahan yang amat teliti, maka kalau mengambil cara ini, surat-surat kuasa yang dibawa oleh Ji-wi Suma-taihiap sebaiknya dititipkan dulu kepada saya. Dan diantara dua cara itu baru dapat ditentukan oleh Sam-wi sendiri setelah melihat keadaan di sana karena tentu saja setiap hari bisa terjadi perubahan hebat."
Kian Lee setuju dan segera meninggalkan dua surat kuasa dari Jenderal Kao dan dari Puteri Milana itu kepada Panglima Thio. Kemudian berangkatlah empat orang ini menuju ke Teng-bun, yang masih cukup jauh dari tempat itu, makan waktu perjalanan sampai dua hari. Tentu saja kalau mereka mempergunakan ilmu berlari cepat atau naik kuda, jarak itu dapat ditempuh tidak sampai satu hari. Akan tetapi mereka tidak berani mempergunakan ilmu karena hal ini tentu akan menarik perhatian orang, sedangkan kalau naik kuda, mana ada pengungsi bermewah-mewahan naik kuda"
Perjalanan dilakukan biasa saja, seperti orang-orang lain yang banyak terdapat di jalan-jalan sekarang, karena perjalanan antara tempat yang dikuasai pemberontak dan tempat yang masih dikuasai pasukan pemerintah itu merupakan daerah pengungsian di mana para pengungsi setiap harinya hilir mudik seperti anak-anak ayam ketakutan dan mencari tempat perlindungan dari marabahaya.
Di sepanjang perjalanan di bawah terik panas matahari dan banyak melalui lapangan tandus yang kering, amat melelahkan dan menyiksa badan ini, yang paling bergembira adalah Suma Kian Bu! Pemuda ini secara langsung saja sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada Syanti Dewi! Dan sekali ini bukan kepalang tanggung! Tidak seperti biasanya, terhadap setiap orang gadis muda memang dia senang untuk dekat, senang untuk memandang dan mengagumi kecantikan orang, senang untuk bicara dengan gadis manis, berkenalan dan bersendau gurau. Akan tetapi terhadap Syanti Dewi ini Kian Bu merasakan sesuatu yang laln terjadi dalam hatinya! Tak pernah bosan-bosannya dia memandang wajah itu, mengikuti garis, bibir, hidung dan mata itu dengan pandang matanya, seolah-olah dia hendak melukis semua itu dengan pandang matanya, ingin menyentuh dan membelai segala keindahan itu dengan sinar matanya!
Ketika mereka melewati padang rumput yang bergerak-gerak seperti ombak samudera karena banyaknya dan besarnya angin, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu melepaskan jubah luarnya yang lebar dan menyerahkannya kepada Syanti Dewi sambil berkata, atas nasihat Bun Beng kini menyebut "adik" kepada Syanti Dewi karena mereka menyamar sebagai paman, dua orang kakak dan adik.
"Adik Syanti, kaupakailah ini. Angin terlalu besar, agar engkau jangan masuk angin."
Wajah gadis itu menjadi agak merah karena dia merasa sungkan dan malu terhadap Bun Beng dengan kebaikan yang diperlihatkan pemuda ini. Akan tetapi Bun Beng yang melihat ini semua, melihat sikap Kian Bu semenjak mula-mula bertemu menaruh harapan besar dan sambil tersenyum dia berkata, "Dewi, terimalah. Kakakmu yang seorang ini memang baik sekali hatinya."
Terpaksa Syanti Dewi menerima jubah itu, memakainya dan kembali mingucapkan "terima kasih". Ucapan terima kasih yang telah diterimanya beberapa kali dari gadis ini semenjak bertemu, tidak menyenangkan hati Kian Bu. Ucapan seperti itu mendatangkan kerenggangan dan kekakuan dalam hubungan yang baik, karena membayangkan kesungkanan hati.
"Tidak usah berterima kasih. Bukankah kita adalah orang-orang sendiri" Apalagi dalam perjalanan ini engkau adalah adikku, kalau seorang kakak tidak mempedulikan adiknya, tentu malah mendatangkan kecurigaan!"
"Betul sekali! Betapa cerdas dan telitinya engkau, Bu-te. Tidakkah begitu, Adik Syanti" Adikku Kian Bu ini memang benar hebat, bukan"
Nada suara Kian Lee menggoda yang ditujukan kepada Kian Bu, akan tetapi sekali ini Kian Bu malah melempar pandang penuh terima kasih kepada kakaknya itu. Malam itu mereka terpaksa melewatkan malam di dalam sebuah hutan bersama belasan orang pengungsi yang juga melakukan perjalanan. Kian Bu cepat-cepat membuat api unggun dan mempersilakan "adiknya" duduk menghadapi api unggun. Ketika Bun Beng dan Kian Lee menangkap dua ekor kelinci dan seekor ayam hutan dan Bun Beng menyerahkannya kepada Syanti untuk dipanggang, Kian Bu cepat mendahului gadis itu, menguliti bangkai-bangkai binatang itu dan baru menyerahkannya kepada Syanti Dewi setelah dia tusuk dengan bambu dan tinggal memegang untuk memanggangnya saja! Seolah-olah dia hendak menghindarkan gadis itu dari pekerjaan kasar atau berat. Bun Beng makin girang melihat perkembangan ini, sedangkan Kian Lee hanya tersenyum-senyum saja. Apalagi ketika dilihatnya Kian Bu dengan susah payah mencarikan air untuk gadis itu hanya karena melihat Syanti Dewi kotor tangannya sehabis makan dan mengusap-usapkan jari tangannya pada rumput, Kian Lee tertawa sambil membalikkan tubuh agar tidak terlihat oleh Syanti Dewi dan Kian Bu.
Malam itu, Syanti Dewi tidur bersandarkan pohon berselimut jubah panjang pemberian Kian Bu. Bun Beng tidur terlentang. Kian Lee juga bersandar pohon tak jauh dari situ. Kian Bu yang berkeras untuk berjaga lebih dulu duduk sambil menjaga api agar jangan sampai padam karena malam itu hawanya dingin sekali dan banyak nyamuknya. Hatinya girang sekali. Dia telah menemukan seorang wanita yang memenuhi segala idaman hatinya! Akan tetapi dia termangu dan perasaannya tertekan ketika dia teringat akan cerita Jenderal Kao tentang gadis ini. Gadis ini adalah tunangan Pangeran Liong Khi Ong! Tunangan seorang diantara dua pangeran pemberontak! Pangeran yang kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih itu, tua dan pemberontak pula. Mana mungkin dara seperti ini harus terjatuh ke dalam pelukan pemberontak tua bangka itu"
"Tidak boleh....!" Tiba-tiba dia memukul ke arah api dengan sebatang ranting sehingga abu mengepul ke atas dan api itu bergoyang-goyang.
"Apanya yang tidak boleh" Syanti Dewi yang masih belum tidur dan duduknya tidak jauh dari api, terkejut dan bertanya.
Kian Bu menoleh, mukanya merah dan sejenak kehilangan kelincahannya karena dia sendiri terkejut bahwa suara hatinya sampai terlontarkan melalui mulut.
"Apanya yang tidak boleh, Bu-koko" Syanti Dewi bertanya lagi.
"Ah, tidak apa-apa.... aku.... aku hanya melamun, maafkan kalau mengagetkan engkau, Moi-moi."
Syanti Dewi tersenyum sendiri, memejamkan matanya. Pemuda ini seperti kanak-kanak. Memang masih kanak-kanak, pikirnya. Agaknya usia pun tidak mungkin lebih tua daripada dia. Akan tetapi harus diakuinya bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda yang tampan, dan berilmu tinggi, juga amat baik hati terhadapnya. Sifatnya agak nakal, suka menggoda dan riang gembira, lincah dan jenaka. Betapa jauh bedanya dengan Kian Lee, yang pendiam dan serius, halus dan penuh hormat. Akan tetapi keduanya memiliki segi-segi yang mengagumkan dan menyenangkan dalam sifat masing-masing. Hanya bedanya, kalau Kian Lee menghadapinya dengan sikap menghormat dan sopan, adalah Kian Bu jelas sekali memperlihatkan perhatian penuh dan rasa suka yang tidak disembunyi-sembunyikan! Pandang mata Kian Bu terhadapnya demikian penuh kekaguman, penuh rasa sayang. Kadang-kadang jantungnya terasa berdebar tegang dan dia merasakan sesuatu yang aneh. Heran dia mengapa Gak Bun Beng agaknya girang menyaksikan sikap Kian Bu sedemikian itu terhadap dirinya, bahkan dia merasa betapa pendekar yang dicintanya itu seperti mendorong-dorong dan memberi semangat kepada pemuda yang menjadi sutenya itu!
Pada keesokan harinya, mereka kembali melakukan perjalanan. Kini perjalanan melalui pegunungan kapur yang gundul dan panasnya bukan main matahari siang hari itu! Kedua pipi Syanti Dewi sampai kemerah-merahan, basah dahi dan lehernya oleh keringat, hati Kian Bu merasa tidak tega sekali. Dari pagi tadi dia sudah berusaha dengan susah payah membuat topi caping dari bambu dan rumput alang-alang, dan kini biarpun bentuk topi buatannya itu kasar, namun lumayan juga untuk melindungi wajah cantik dengan kulitnya yang putih halus itu dari sengatan sinar matahari yang panas.
"Kaupakailah ini, lumayan untuk menahan sinar matahari," katanya sambil memberikan caping yang sudah diberi tali anyaman rumput alang-alang itu kepada Syanti Dewi.
"Terima kasih, kau baik sekali," kata Syanti Dewi yang menerima topi itu dan memakainya di atas kepala. Kian Bu memandang penuh kagum, kekaguman yang tidak disembunyikannya melihat betapa gadis ini makin cantik dan manis saja memakai topi buatannya! Padahal topi caping itu amat kasar dan bersahaja!
Rasak suka dan benci memang mengakibatkan perangai yang lucu dan aneh kepada manusia. Barang siapa merasa suka akan sesuatu, baik sesuatu itu benda mati atau hidup, baik benda tampak maupun tidak, maka perasaan suka itu akan membuat sesuatu itu selalu kelihatan baik dan menarik, menyenangkan! Sebaliknya, perasaan benci membuat sesuatu yang dibencinya itu kelihatan selalu buruk dan tidak menyenangkan. Terutama sekali rasa suka dan benci terhadap seorang manusia lain. Rasa suka membuat orang yang disuka itu dalam keadaan cemberut, kusut dan kotor atau bagaimanapun juga akan kelihatan makin menarik dan menyenangkan saja. Sebaliknya, rasa benci membuat orang yang dibencinya itu dalam keadaan tersenyum atau sudah bersolek bagaimana pun akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan! Ada kelakar yang mengatakan bahwa bau kentut seorang yang sedang disuka adalah harum. Sebaliknya, kalau seorang yang dibenci sedang tertawa wajar karena gembira, dianggap mentertawakan dan mengejek!
Rasa suka dan benci ini timbul dari pikiran yang berkeliling sekitar si pusat ialah si aku yang menciptakan prasangka dan lain-lain perasaan yang timbul dari keinginan si aku mengulang yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Si aku yang selalu haus akan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun batin, dan yang selalu ingin menjauhkan ketidaknikmatan yang tidak menyenangkan, selalu ingin mengerahkan segala sesuatu di dunia ini demi kesenangan dirinya dan demi menjauhkan segala yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Karena itu timbullah suka dan benci. Suka akan sesuatu yang menyenangkan dirinya dan benci akan segala yang tidak menyenangkan dirinya. Jika batin kita sudah dipengaruhi oleh rasa suka dan tidak suka, senang akan sesuatu dan benci akan sesuatu, maka tidak ada lagi kewajaran, tidak ada lagi kebijaksanaan dan selalu bermunculan pertentangan-pertentangan lahir batin.
Betapapun jahat dan busuknya seseorang bagi seluruh orang lain, kalau dia baik kepada kita, tentu akan kita suka. Sebaliknya, biar orang sedunia menyatakan bahwa seseorang itu baik dan budiman, kalau orang itu tidak baik kepada kita, merugikan kita lahir maupun batin, tentu akan kita benci! Jelaslah bahwa segala penilaian kita akan diri seseorang atau akan sesuatu, suka dan benci kita bukan karena keadaan si orang atau sesuatu itu seperti apa adanya sesungguhnya, melainkan didasari atas untung rugi atau menyenangkan tidak menyenangkan bagi si aku, baik lahir maupun batin. Sifat yang sudah mendarah daging pada diri kita semua inilah, yang dikuasai oleh si aku yang sesungguhnya adalah sang pikiran dengan segala ingatannya tentang segala pengalaman dan pengetahuan masa lalu, sifat inilah yang membuat hidup penuh dengan pertentangan seperti sekarang ini! Pertentangan batin maupun pertentangan lahir, karena sesungguhnya, konflik di luar diri kita konflik antara kita dengan orang atau benda dengan siapa kita berhubungan, hanyalah pencetusan dari konflik yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Batin yang penuh konflik tentu menimbulkan tindakan yang penuh konflik, dan konflik perorangan ini makin meluas menjadi konflik antara kelompok, antara suku, antara bangsa dan antara negara, maka terjadilah perang di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini!
Bun Beng dan rombongannya memasuki sebuah dusun. Melihat betapa Syanti Dewi sudah amat lelah karena kepanasan, Kian Bu mengusulkan kepada suhengnya untuk berhenti mengaso dan membeli minuman di sebuah warung di tengah dusun. Bun Beng menyetujuinya dan mereka masuk ke sebuah warung, satu-satunya warung di dusun itu. Akan tetapi warung itu penuh sesak dengan para tamu. Beberapa orang pelayan hilir-mudik dengan sibuknya melayani para tamu yang amat banyak. Padahal ruangan warung itu cukup luas dan bangku-bangkunya cukup banyak, akan tetapi semua telah diduduki orang. Agaknya hari yang amat panas itu telah memaksa semua orang untuk meninggalkan jalan dan berteduh sambil makan minum di warung itu, dan tentu saja, mereka ramai membicarakan tentang kekacauan dan ancaman perang yang sedang terjadi di daerah mereka itu. Mereka adalah sebagian besar para pengungsi yang kebingungan.
Kian Lee berbisik kepada suhengnya sambil menunjuk ke sudut yang menghadap ke luar. Di situ duduk seorang pemuda sendirian saja menghadapi meja, sedangkan tiga bangku yang lain di sekeliling meja itu kosong. Pemuda itu seorang diri, kelihatan tenang dan pendiam, membawa pedang. Agaknya sikapnya dan pedangnya itu yang membuat para tamu segan untuk minta duduk semeja dengan pemuda itu, namun pemuda yang amat tampan itu agaknya juga tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya yang demikian bising, bahkan dia kelihatan termenung dan tengelam dalam pikirannya sendiri.
Bun Beng mengargguk. Dalam keadaan seperti itu, tidak mengapalah menumpang di meja orang pikirnya. Terutama sekali Syanti Dewi memang perlu untuk beristirahat, sekedar makan dan minum sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang penuh bahaya itu. Dia melangkah lebar menghampiri meja pemuda tampan berpedang itu, diikuti oleh Syanti Dewi, Kian Lee dan Kian Bu.
"Maafkan kami, Sobat." Bun Beng membungkuk dan berkata dengan halus dan hormat. "Karena kami melihat tiga buah bangku ini masih kosong dan kami sendiri belum memperoleh tempat duduk, bolehkah kami ikut duduk di sini"
Pemuda itu terkejut, mengangkat mukanya memandang kepada empat orang itu penuh perhatian, kemudian wajahnya melembut ketika dia memandang Syanti Dewi, dan dia bangkit berdiri membalas penghormatan Bun Beng sambil berkata, "Silakan, memang saya sendirian dan bangku-bangku itu kosong."
Dia lalu duduk kembali dan selanjutnya seolah-olah tidak tahu bahwa di depannya kini terdapat tiga orang yang duduk dan seorang yang terpaksa berdiri karena kehabisan tempat. Yang berdiri itu adalah Kian Bu. Dia mengalah dan berdiri saja dan dialah yang memesankan makanan mi-bakso dan minuman teh dingin kepada pelayan.
Sejenak tadi pandang mata Kian Lee bertemu dengan pandang mata pemuda tampan berpedang itu dan keduanya mengerutkan alis karena merasa seperti pernah saling berjumpa, akan tetapi keduanya lupa lagi kapan dan di mana. Bun Beng yang bermata tajam dan sudah berpengalaman itu diam-diam juga memperhatikan pemuda di depannya. Pedang yang dibawanya itu, biarpun sarungnya biasa saja dan baru, akan tetapi gagangnya menunjukkan bahwa pedang itu sudah amat tua dan ada sesuatu yang menyeramkan pada gagang pedang itu seperti halnya pedang-pedang pusaka yang ampuh. Dan sukar pula mengukur keadaan pemuda yang pendiam dan tenang itu, akan tetapi Bun Beng diam-diam waspada karena dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia membandingkan pemuda ini dengan kedua orang sutenya. Mereka bertiga sebaya, sama tampan dan gagahnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mengira salana sekali bahwa pemuda itu dapat memiliki kepandaian setinggi kepandaian Kian Lee atau Kian Bu. Kiranya di dunia ini sukar dicari orang ke tiga yang mampu mengimbangi ilmu kepandaian dua orang sutenya itu!
Tentu saja Bun Beng sekali ini salah menduga sama sekali. Kalau saja dia tahu siapa pemuda tampan berpedang itu! Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Pemuda yang menganggapnya sebagai seorang musuh besar yang telah mati, pemuda yang sengaja menggunakan namanya di samping Si Jari Maut, pemuda yang dicari-carinya karena dianggap telah menodakan namanya. Dan pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan dahsyat, pewaris dari kitab-kitab peninggalan dua orang datuk besar Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Memang Tek Hoat pernah berjumpa dengan dua orang kakak beradik itu, bahkan sudah dua kali bertemu ketika kudanya akan menubruk Kian Bu, kemudian berjumpa lagi ketika Tek Hoat dan kawan-kawannya menyerbu rombongan Jenderal Kao dan dua orang kakak beradik itu membela Jenderal Kao. Akan tetapi pertemuan itu hanya sepintas lalu saja, maka kedua pihak tidak saling mengenal lagi.
Tek Hoat sendiri begitu melihat Syanti Dewi, tentu saja segera mengenalnya dan jantungnya sudah berdebar dengan amat kerasnya. Biarpun puteri itu kini telah mengenakan pakaian biasa, tidak mungkin dia dapat melupakan Sang Puteri ini. Andaikata Syanti Dewi menyamar sebagai pria atau bagaimana pun, dia akan mengenal wanita yang telah membuatnya tergila-gila ini. Akan tetapi, Tek Hoat juga bukan seorang bodoh yang sembrono. Dia sudah mendengar bahwa Sang Putri itu diselamatkan oleh seorang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian luar biasa, seorang yang tidak terkenal. Maka dia dapat menduga dengan pasti bahwa laki-laki setengah tua yang duduk di depannya ini tentulah penolong itu, dan dia pun dapat mengenal orang pandai, sungguhpun orang itu tidak memperlihatkan sesuatu. Selain laki-laki setengah tua itu, dia pun menaruh curiga terhadap dua orang pemuda tampan ini, karena gerak-gerik dua orang pemuda tampan ini jelas memperlihatkan orang-orang yang berilmu. Maka dia tidak berani sembrono, apalagi dia pun kini telah berubah pendiriannya mengenai diri Puteri Syanti Dewi. Dia jatuh cinta kepada puteri ini, dan sampai bagaimana pun dia tidak akan suka menyerahkan Sang Puteri ini kepada Pangeran Liong Khi Ong!
Maka terjadilah pertemuan itu yang amat aneh sekali! Tek Hoat mengenal Puteri Syanti Dewi dengan baik tapi sebaliknya puteri itu sama sekali tidak mengenalnya sebagai tukang perahu yang pernah menolong dia dan Ceng Ceng! Bun Beng mencari orang yang memalsu namanya, yaitu Si Jari Maut, tidak tahu bahwa orang yang dicarinya itu kini duduk di depan. Tek Hoat tidak tahu pula bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah Gak Bun Beng musuh besar ibunya yang disangkanya sudah mati, orang yang menurut ibunya adalah pembunuh ayahnya, padahal ibunya telah berbohong kepadanya karena ibunya menganggap bahwa Gak Bun Beng yang disangka sudah mati itu adalah pemerkosa ibunya dan karenanya ayah dari dia sendiri! Dan juga ada hubungan yang amat dekat antara Suma Kian Lee dan Tek Hoat. Seperti kita ketahui, sesungguhnya yang dahulu memperkosa Ang Siok Bi yaitu ibu Tek Hoat adalah mendiang Wan Keng In, (dan Wan Keng In itu adalah putera dari Lulu, ibu Suma Kian Lee!) Betapa dekat hubungan antara orang-orang yang kini duduk semeja itu, namun tidak diketahui oleh mereka sendiri, kecuali bahwa Tek Hoat mengenal Syanti Dewi dengan diam-diam.
Mi-bakso yang dipesan sudah datang diantarkan oleh pelayan, dan Bun Beng, Syanti Dewi dan Kian Lee sudah mulai makan setelah menawarkan kepada pemuda tampan berpedang yang mengangguk sopan dan ramah. Kian Bu terpaksa makan sambil berdiri. Tentu saja diam-diam dia merasa mendongkol juga. Lain orang dapat beristirahat dan makan dengan enak, akan tetapi dia harus makan sambil berdiri, kadang-kadang harus mengelak ke sana-sini karena tempat itu penuh dengan orang yang hilir mudik! Untuk menghindarkan diri dari bersentuhan dengan orang-orang yang hilir mudik, Kian Bu membawa mangkok mi-baksonya itu ke sana-sini mencari tempat yang longgar sehingga akhirnya dia berada di pintu luar karena memang meja mereka itu berada di sudut luar ruangan.
Dari luar tampak serombongan orang datang menghampiri warung. Melihat bahwa tamunya terus bertambah, Kian Bu makin mendongkol. Kalau ditambah orang lagi warung itu, mana bisa dia makan dengan sedap" Dia memandang ke kanan kiri dan tampak olehnya sebatang tonggak besar bekas tempat penambatan kuda yang sudah roboh dan menggeletak tidak terpakai. Dia memperoleh suatu akal yang baik. Dihampirinya balok yang besarnya sepaha orang itu, kemudian dengan mangkok masih di tangan kiri dia menggunakan tangan kanannya membabat sambil mengerahkan tenaga.
"Krakkk!" Tonggak atau balok besar itu patah dan dia lalu membawa potongan balok yang panjangnya satu meter itu ke dalam warung. Semua orang memandang dengan mata terbelalak, kagum dan kaget melihat betapa pemuda itu, dengan mi-bakso masih penuh di mangkok yang dipegang tangan kiri, dapat mematahkan balok itu sedemikian mudahnya dengan tangan yang dimiringkan. Akan tetapi Kian Bu seperti tidak mempedulikan atau tidak melihat mata orang-orang yang memandang kagum itu, sambil tersenyum dia berkata kepada suhengnya, dan Syanti Dewi, "Aku sudah memperoleh tempat duduk!"
Setelah berkata demikian, dia menancapkan potongan balok itu ke atas lantai, tentu saja dia memilih tempat di dekat bangku yang diduduki Syanti Dewi. Kemudian sekali tangannya menepuk ujung balok, kayu itu amblas ke lantai hampir separuhnya dan duduklah dia di atas "bangku" darurat yang aneh namun cukup dapat dipakai itu sambil tersenyum dan mulai menggerakkan sumpitnya memindahkan mi-bakso dari dalam mangkok ke dalam mulutnya!
Banyak tamu bersorak memuji menyaksikan ini, akan tetapi Kian Bu tidak peduli, seolah-olah mereka itu bersorak untuk hal lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya! Dusun itu merupakan dusun yang berbahaya dan gawat karena sudah dekat dengan Teng-bun. Orang-orang yang berada di dusun itu adalah orang-orang penuh rahasia, mungkin saja seseorang di situ bisa mata-mata pemberontak, bisa pula penyelidik pemerintah. Maka kini orang-orang yang berada di situ, diam-diam menduga-duga, golongan siapakah pemuda yang lihai itu dan teman-temannya. Sementara itu, Bun Beng yang memperhatikan pemuda tampan di depannya, melihat betapa pemuda itu juga memandang kepada Kian Bu dengan alis berkerut dan ada getaran sedikit pada tangan kiri pemuda itu yang berada di atas meja. Bun Beng melihat betapa tangan yang sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga itu membuat bekas di atas meja kayu, bekas menghitam! Maka terkejutlah dia karena dia tahu bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan waktu perasaannya terguncang oleh perbuatan Kian Bu tadi, tanpa disengaja sedikit tenaga sin-kang pemuda itu tersalur di tangan kirinya dan akibatnya demikian hebat!
Pada saat itu terdengar suara gaduh di pintu depan. Kiranya rombongan baru yang tadi dilihat Kian Bu menghampiri warung, kini sudah masuk ke dalam warung. Mereka terdiri dari empat orang, dipimpin oleh seorang laki-laki yang perawakannya gendut pendek sehingga seperti karung beras. Empat orang itu masing-masing membawa potongan balok seperti yang dibawa oleh Kian Bu tadi, dan mereka tadi setelah menyaksikan perbuatan Kian Bu, lalu menirunya. Akan tetapi mereka memotong balok dengan menggunakan golok dan kini masing-masing memegang sepotong balok memasuki warung mencari-cari ruangan yang masih agak longgar, kemudian mereka sibuk memasang balok-balok itu ke atas lantai. Akan tetapi kalau tadi Kian Bu memasang balok untuk dijadikan tempat duduk dengan sekali tepuk membuat balok itu amblas ke dalam lantai, kini empat orang itu berkutetan dengan susah payah untuk "menanam" balok itu ke lantai yang keras. Apalagi Si Gendut yang kelihatannya kuat itu sampai mandi peluh dan dia memegang balok dengan kedua tangan, memeluk balok itu dan mendorongnya ke lantai sekuat tenaga, sehingga perutnya yang gendut dengan daging-daging menonjol berlebihan itu terguncang-guncang dan kelihatan lucu sekali. Setelah menghabiskan tenaga, kadang-kadang mendorong balok dan kadang-kadang menggunakan kaki untuk menginjak-injaknya ke bawah, akhirnya empat orang itu berhasil juga "memasang" balok-balok itu sehingga menjadi semacam tempat duduk yang doyong ke sana-sini, tidak lurus karena cara memasangnya tadi dengan tenaga paksaan, tidak sekaligus jadi. Melihat kejadian ini, banyak diantara para tamu tertawa geli, bahkan Syanti Dewi juga tersenyem geli menyaksikan hal ini. Tek Hoat mengerling tajam ke arah Syanti Dewi dan jelas bahwa dia terpesona melihat gadis ini tersenyum. Semua ini tidak terluput darl pengawasan Bun Beng, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan pemuda itu. Siapakah yang tidak akan terpesona melihat wajah Syanti Dewi" Apalagi kalau dia sedang tersenyum simpul!
Akan tetapi jelas kelihatan bahwa pemuda tampan berpedang itu nampak seperti orang gelisah atau tidak senang setelah empat orang yang dipimpin Si Gendut itu muncul. Bun Beng juga melihat betapa empat orang itu berkali-kali melirik ke arah pemuda itu, agaknya mempunyai niat tertentu.
"Maaf, saya harus pergi lebih dulu. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) melanjutkan makan minum," tiba-tiba pemuda itu bangkit, membungkuk sebagai tanda hormat, mengerling tak kentara ke arah Syanti Dewi, kemudian meninggalkan meja itu melangkah keluar.
Akan tetapi, tiba-tiba Si Gendut pemimpin dari empat orang tadi meloncat bangun. Gerakannya amat cepat bagi seorang gendut seperti dia dan dia sudah menghadang pemuda itu, membuat gerakan-gerakan dengan tangannya dan berbisik-bisik. Syanti Dewi menoleh dan semua orang juga memandang ke arah mereka berdua itu. Kini teman-teman Si Gendut juga sudah berdiri di belakang Si Gendut dan siap dengan golok mereka.
"Pergilah kalian!" Akhirnya terdengar pemuda itu membentak.
"Tidak!" Si Gendut membantah, kini tidak berbisik-bisik lagi. "Kami mentaati perintah beng-cu (ketua)...."
"Pulanglah dulu, aku sedang sibuk!"
"Maaf, kami terpaksa...."
"Setan!" Tek Hoat melangkah ke luar, lalu menanti di luar.
Empat orang itu bergegas keluar sambil mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Tek Hoat. Pemuda ini tidak mau menghunus pedangnya, hanya mempergunakan sarung pedang menangkis dan tangan kirinya menyambar. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang itu roboh terpelanting dan Si Gendut berteriak kesakitan karena perutnya yang gendut ditonjok oleh Tek Hoat yang menggunakan gagang pedangnya. Terasa mulas dan agaknya usus buntunya kena disodok!
Akan tetapi dari jauh datang serombongan orang lain yang agaknya merupakan kawan-kawan Si Gendut. Melihat ini, Tek Hoat yang tidak ingin ribut-ribut dengan mereka, sudah melompat pergi dan melarikan diri.
Si Gendut itu pun tidak banyak ribut lagi, segera mengajak teman-temannya yang tiga orang dan rombongan yang baru datang, untuk pergi dengan berpencar. Mereka tidak membayar kepada tukang warung karena memang belum sempat makan atau minum apa-apa.
Melihat ini, Bun Beng memberi tanda. Kian Lee membayar harga makanan dan mereka berempat juga pergi dari situ. Mereka keluar dari dusun dan melanjutkan perjalanan ke barat, menuju ke Teng-bun yang tidak jauh lagi, hanya kurang lebih tiga puluh li dari situ.
"Kiranya dia lihai juga!" Kian Bu berkata.
"Dia malah lebih lihai daripada yang tampak, jauh lebih lihai kalau saja diberi kesempatan. Sungguh seorarg pemuda yang aneh, entah siapa dia dan apa yang dilakukannya di tempat ini," kata Bun Beng.
"Aku seperti pernah melihatnya, entah di mana...." Kian Lee berkata.
"Engkau benar, Lee-ko! Aku pun merasa pernah bertemu dengan dia, akan tetapi lupa lagi kapan...." Kian Bu juga berkata.
"Sudahlah, kita tidak perlu berurusan dengan dia, kita mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, dia agaknya juga hendak menghindarkan diri dari kita," kata Bun Beng.
Akan tetapi Bun Beng tidak tahu bahwa sama sekali Tek Hoat tidak berniat mehghindarkan diri atau menjauhkan diri dari mereka. Sama sekali tidak, terutama sekali karena di situ terdapat Syanti Dewi! Siapakah orang-orang yang tadi mengeroyok Tek Hoat di depan warung dan mengapa Tek Hoat yang jelas akan mudah saja kalau mau membasmi dan membunuh mereka, malah melarikan diri seolah-olah segan melayani mereka"
Si Gendut dan kawan-kawannya itu adalah orang-orang Tiat-ciang-pang yang diutus oleh beng-cu mereka! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng berhasil menjadi beng-cu dengan cara membuat Tek Hoat tidak berdaya dengan sumpah dan janjinya. Bahkan dia memaksa Tek Hoat untuk menjadi pembantunya bersama Si Topeng Setan yang telah ditawannya atau yang sesungguhnya telah menyerahkan diri untuk ditawan! Diam-diam Tek Hoat mengerti bahwa atasannya, yaitu kedua Pangeran Liong, tentu akan marah kepadanya bahwa dalam hal mempengaruhi kaum sesat di sekitar kota raja ini dia telah gagal, akan tetapi dia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap Ceng Ceng. Tentu saja bukan semata-mata karena sumpah dan janjinya, akan tetapi karena terhadap gadis itu dia merasa lemah dan tidak tega untuk mengganggu atau memusuhinya, lebih-lebih karena gadis ini adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicintanya. Akan tetapi, ambisi pribadinya juga tidak memungkinkan dia meninggalkan dua orang Pangeran Tua yang memberontak itu, karena dia ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya melalui mereka.
Karena dia harus kembali ke kota raja, maka dia segera minta diri kepada Ceng Ceng dengan dalih untuk mulai membantu gadis itu mencari pemuda tinggi besar tampan dan lihai yang menjadi musuh besar Ceng Ceng tanpa dia ketahui sebab-sebabnya itu. Karena Ceng Ceng juga maklum bahwa dekat dengan Tek Hoat merupakan bahaya besar, bukan hanya bahaya pribadi karena sewaktu-waktu pemuda itu dapat mengingkari janji dan sumpahnya, melainkan juga karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membujuk kaum sesat untuk menggabungkan diri kepada pemberontak, maka dia segera menyatakan persetujuannya. Apalagi, kalau ada orang yang akan dapat membantunya menemukan musuh besarnya itu, kiranya orang itu adalah Tek Hoat, karena hanya pemuda itulah yang pernah bertemu muka dengan musuh besarnya, si pemuda laknat, yaitu ketika pemuda laknat itu menolong Jenderal Kao dari tangan Tek Hoat. Selain sudah mengenal muka musuh besarnya itu, juga Tek Hoat mempunyai kebencian pribadi kepada pemuda laknat itu yang telah menghalangi usahanya menculik Jenderal Kao.
Demikianlah, Tek Hoat meninggalkan Ceng Ceng dan ketika dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong, dia mendengar berita akan berhasilnya Siang Lo-mo membebaskan Panglima Kim Bouw Sin dan bahwa benteng Teng-bun telah dikuasai. Karena saat yang dinanti-nanti telah hampir tiba, yaitu menggerakkan pasukan dari utara menyerbu kota raja, Pangeran Liong Bin Ong tidak begitu mempedulikan urusan kaum sesat, dan dia segera memerintahkan Tek Hoat untuk ke utara, memimpin orang-orang lihai yang telah menjadi kaki tangan pemberontak dan membantu Panglima Kim Bouw Sin. Bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri berkenan berangkat pula ke utara dan selain dikawal oleh pasukan istimewa, juga Tek Hoat mengawalnya.
Setelah mengawal rombongan pangeran yang menyamar ini memasuki kota Koan-bun di sebelah timur Teng-bun, hanya terpisah sepuluh mil dan pangeran yang menyamar itu menyelundup ke dalam gedung pembesar setempat, Tek Hoat lalu keluar dan berjalan-jalan sampai ke dusun itu dalam usahanya untuk melakukan penyelidikan guna persiapan penyerbuan ke kota raja. Di dusun inilah dia bertemu dengan rombongan Syanti Dewi, hal yang membuat semua rencananya menjadi kacau karena dia tidak lagi dapat mencurahkan perhatiannya kepada tugasnya membantu Pangeran Liong Bin Ong, bahkan kini sebagian besar perhatiannya tercurah kepada diri Puteri Bhutan itu.
Inilah sebabnya mengapa dugaan Bun Beng itu meleset jauh. Mereka boleh jadi tidak mempunyai urusan dengan pemuda tampan berpedang itu, akan tetapi pemuda itu mempunyai urusan dengan mereka, atau setidaknya dengan Syanti Dewi! Dan tidak mengherankan pula kalau di hari itu juga, di luar dugaan mereka rombongan Bun Beng ini bertemu kembali dengan Tek Hoat!
Ketika itu hari telah menjelang senja dan Bun Beng bersama rombongannya tiba di kota Koan-bun, yaitu kota yang merupakan kota terdekat dari Teng-bun yang menjadi benteng pertahanan dan pusat para pemberontak. Untuk menyelidiki keadaan di Teng-bun, mereka harus bermalam dulu di Koan-bun, karena kota ini masih termasuk kota yang bebas dari cengkeraman pemberontak, sungguhpun orang tidak tahu lagi berapa banyak kaki tangan pemberontak dan siapa saja mereka itu yang berada di Koan-bun. Boleh jadi setiap orang pedagang, setiap orang buruh, adalah mata-mata pemberontak atau kaki tangan pemerintah, tidak ada yang dapat menduganya lebih dulu. Karena itu, suasana di Koan-bun amat menegangkan seolah-olah setiap saat akan terjadi ledakan perang di tempat ini.
Pembesar setempat telah melakukan penjagaan ketat dan setiap orang yang memasuki pintu gerbang kota Koan-bun mengalami penggeledahan. Tidak aneh dan memang telah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu bahwa pada setiap terjadi kekacauan, orang-orang yang mempunyai kedudukan dan wewenang akan mempergunakan kesempatan di waktu keadaan keruh itu untuk mencari keuntungan demi dirinya sendiri. Demikian pula dengan para penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang. Keadaan yang "panas" itu membuka kesempatan bagi mereka untuk bertindak seolah-olah merekalah yang paling berkuasa di dunia ini dan mereka pulalah yang berkuasa untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke kota Koan-bun. Tentu saja mereka membiarkan segala macam jenis ikan teri lewat tanpa banyak bicara lagi, akan tetapi setiap kali ada ikan jenis kakap lewat, otomatis sikap mereka berubah dan tanpa ada sesuatu yang menguntungkan mereka, jangan mengharap akan dapat lewat begitu saja tanpa gangguan.
Rombongan Bun Beng segera menarik perhatian mereka, terutama sekali karena di situ terdapat seorang nona muda yang cantik.
"Menurut peraturannya, semua yang akan memasuki kota ini harus digeledah! Tidak terkecuali!" berkata kepala penjaga yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat seperti orang yang kekurangan darah, akan tetapi lagaknya seolah-olah dia bertubuh tinggi tegap menakutkan, dadanya yang kerempeng dibusungkannya ke depan.
Melihat lagak seperti ini, otomatis Kian Bu menjadi naik darah. "Boleh saja menggeledah kami bertiga," katanya.
"Hemm....!" Si Kurus itu mengeluarkan suara dari hidungnya. "Kalian berempat, mengapa hanya bertiga yang harus digeledah" Harus keempat-empatnya...."
"Tapi dia ini wanita! Masa adikku, seorang wanita harus digeledah oleh para penjaga pria"
"Peraturan tetap peraturan, kalian tidak boleh melawan!"
Makin merah muka Kian Bu. Jangankan sampai menggeledah, baru berani menjamah sedikit saja tubuh Syanti Dewi, dia akan mematahkan tangan laki-laki yang berani melakukannya!
"Mengapa yang baru lewat tadi tidak ada yang digeledah" Aturan mana ini membeda-bedakan orang" bentaknya menuding kepada orang-orang yang telah dan sedang lewat dan yang didiamkan saja oleh penjaga itu.
"Hemm, itu adalah urusan kami! Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!" Si Kurus membentak pula dan kini para penjaga sudah berdatangan dan mengurung rombongan Bun Beng.
Pada saat itu, diantara banyak orang yang mulai tertarik dan menonton, muncullah seorang pemuda yang segera menghampiri komandan jaga dan berkata, "Mereka ini adalah sahabat-sahabatku, jangan kalian mengganggunya." Berkata demikian, pemuda itu mengeluarkan sekantong uang dan memberikannya kepada si komandan.
"Ah, terima kasih.... harap Cu-wi sekalian maafkan...." Dia mengangguk-angguk seperti seekor ayam kelaparan makan beras.
Panas rasa perut Kian Bu ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah si pemuda tampan berpedang yang mereka jumpai di warung bakmi tadi. Apalagi ketika ia melihat Syanti Dewi memandang pemuda itu, membungkuk sedikit dan mengeluarkan kata-kata halus yang sudah amat dikenalnya, "Terima kasih!" perutnya menjadi bertambah panas. Pemuda itu mengangguk dan tersenyum kepada Syanti Dewi, untuk beberapa lama sepasang matanya memandang dengan amat tajamnya. Dua pasang mata bertemu dan wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali karena tertangkap olehnya betapa sepasang mata itu memandangnya penuh kagum dan penuh kemesraan, maka dia cepat menundukkan mukanya.
Melihat hal ini, Kian Bu hampir tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. "Siapa suruh engkau mencampuri...." Akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Kian Lee dan Bun Beng yang juga cepat melangkah maju dan menjura kepada pemuda itu sambil berkata, "Terima kasih atas bantuanmu, Sobat." Dia lalu menoleh kepada Kian Bu dan Kian Lee, berkata, "Hayo kita cepat masuk kota agar jangan sampai kehabisan kamar penginapan!"
Mendengar ini, Tek Hoat lalu menjura penuh hormat kepada Syanti Dewi dan dengan halus berkata, "Mencari tempat penginapan akan sukar sekali, dan kalaupun ada tidak cukup pantas untuk tempat Nona menginap. Kalau Cu-wi sudi, saya dapat menawarkan tempat menginap...."
"Ah, terima kasih, mana kami berani membikin repot Sicu" Biarlah kami mencari penginapan sendiri, terima kasih dan maaf!" Bun Beng cepat menolak dengan halus karena dia maklum bahwa pemuda berpedang ini jelas amat tertarik kepada Syanti Dewi dan kalau hal ini dibiarkan saja, bisa timbul keributan antara pemuda itu dan Kian Bu. Di tempat seperti itu, apalagi mengingat akan tugas mereka, sebaiknya menjauhkan keributan karena urusan pribadi.
Sambil bersungut-sungut Kian Bu mengikuti rombongannya pergi dari pintu gerbang itu, sedangkan pemuda berpedang itu pun pergi ke lain jurusan. "Lagaknya, seperti dia seorang yang mempunyai uang! Laginya, aku tidak sudi kalau harus menyogok-nyogok!" Kian Bu mengomel.
"Sute, dia telah melakukan itu untuk membantu kita, mengapa kau marah-marah" Bun Beng menegur, di dalam hatinya terasa geli melihat sikap pemuda yang masih kekanak-kanakan ini.
"Bu-ko, orang itu baik, kita semestinya berterima kasih," Syanti Dewi juga berkata dengan suara wajar.
Kian Bu terdesak, hatinya tidak puas, akan tetapi tentu dia tidak dapat membantah karena memang tidak ada bukti kesalahan orang itu. Mereka lalu mulai mencari tempat penginapan. Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda berpedang tadi, amat sukar mencari tempat penginapan. Semua penginapan telah penuh, bahkan rumah-rumah kosong dan kuil-kuil telah penuh dengan orang sampai berdesak-desakan dan banyak pula yang tidur di emper-emper depan toko dan rumah penduduk! Mereka ini adalah para pengungsi yang tinggal di dusun-dusun sekitar kota Koan-bun. Mereka mendengar akan ancaman perang yang sewaktu-waktu meletus, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota-kota sebelah timur dan selatan, dan tentu saja kota Koan-bun dibanjiri pengungsi karena kota ini pun merupakan kota yang terjaga oleh pasukan dan yang mereka anggap aman karena terlindung. Memang pada jaman itu, dusun-dusun yang tidak terjaga selalu menjadi korban pertama dari keganasan manusia dalam perang, bukan hanya gangguan dari para serdadu pihak musuh yang membunuh, memperkosa dan merampok, akan tetapi juga gangguan dari gerombolan-gerombolan orang jahat yang mempergunakan kesempatan itu untuk bersimaharajalela.
Cuaca sudah gelap, malam sudah tiba dan rombongan Bun Beng masih juga belum memperoleh tempat penginapan. "Tidak mengapalah, Paman," Akhirnya Syanti Dewi berkata karena maklum bahwa mereka bertiga itu bersusah payah mencarikan penginapan, khusus untuk dia seorang! "Kalau memang di mana-mana penuh, mencari pun tidak ada gunanya. Malam ini kita lewatkan di pinggir jalan juga tidak apa. Paman tahu bahwa aku bukan seorang yang takut menghadapi kesukaran."
Bun Beng tersenyum. Tentu saja dia tahu. Selama melakukan perjalanan dengan Syanti Dewi ke utara, di waktu dia sakit payah dan jalan pun tidak bisa, boleh dibilang gadis itulah yang merawatnya, yang mengatur segalanya, bahkan setiap malam tidur di mana saja! Akan tetapi dia tahu bahwa Kian Bu bersikeras untuk mencarikan tempat penginapan yang baik bagi gadis itu!
"Suheng, bagaimana kalau aku memasuki sebuah diantara gedung-gedung besar itu" Aku boleh paksa seorang diantara mereka meminjamkan kamar untuk Adik Syanti!" Kian Bu berkata.
Bun Beng menggeleng kepala. "Jangan mencari perkara di dalam suasana seperti ini, Sute. Biarlah kita melewatkan malam di tepi jalan, kita pilih yang agak sunyi seperti dikatakan Dewi tadi. Malam nanti aku akan pergi ke Teng-bun untuk menyelidiki suasana. Engkau dan kakakmu menjaga Dewi di sini."
Terpaksa Kian Bu menurut dan mereka lalu memilih pinggir jalan yang agak sunyi, lalu duduk di atas tanah begitu saja. Banyak pula para pengungsi lain yang juga seperti mereka, melewatkan malam di pinggir jalan! Suasana makin tegang dan agaknya malam itu tentu akan terjadi sesuatu yang hebat. Bun Beng mulai penyelidikannya dengan mendengarkan percakapan-percakapan diantara kelompok-kelompok pengungsi tak jauh dari situ. Bermacam-macam keterangan diperolehnya tentang kota Koan-bun ini. Ada yang mengatakan bahwa pembesar setempat masih setia kepada pemerintah, akan tetapi sebagian banyak pembesar lainnya sudah condong kepada pemberontak. Bahkan kabarnya pasukan di situ pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Ada yang mengabarkan lagi bahwa malam itu pemberontak akan melakukan serangan. Pendeknya, bermacam-macam berita simpang-siur yang didengarnya. Dia menceritakan semua yang didengarnya itu kepada Kian Lee, Kian Bu dan Syanti Dewi sambil makan malam sederhana berupa roti kering yang dibawa oleh kedua orang kakak beradik itu sebagai bekal. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng menghentikan ceritanya dan diam-diam dia memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk tidak bicara, telunjuknya menuding ke arah belakangnya.
Orang itu agaknya juga seorang pengungsi, sudah tua dan membawa bungkusan. Dia datang dan berjongkok, mengeluh panjang pendek tak jauh dari rombongan Bun Beng. Ketika tiba-tiba rombongan itu berhenti bicara, dia berdiri lagi dan pergi. Akan tetapi sejak itu, sering sekali kakek ini lewat di situ, juga beberapa orang lain yang Bun Beng lihat adalah orang-orang yang sama sehingga tahulah dia bahwa mereka telah dimata-matai atau diawasi!
Jalan itu makin ramai, dan makin banyak saja orang-orang yang berkelompok di tepi jalan. Agaknya mereka pun kehabisan tempat, ataukah memang sengaja berkelompok di situ" Bun Beng mulai curiga dan dia memperingatkan kedua orang sutenya agar waspada.
"Siapa tahu kalau-kalau mereka ini adalah pengungsi-pengungsi palsu yang sengaja mengurung kita," bisiknya.
"Sikat saja!" Kian Bu sudah bangkit dan memandang marah
"Sttt, tenanglah, Bu-te!" Kian Lee menarik tangannya sehingga dia terduduk kembali. Kian Lee maklum bahwa adiknya itu benar-benar telah mabuk asmara dan serangan demam cinta itu membuat Kian Bu selalu ingin menojolkan dirinya di depan gadis yang dicintanya. Diam-diam dia mendoakan mudah-mudahan adiknya itu lebih berbahagia dalam cintanya, tidak seperti dia, mencinta seorang gadis yang dia tidak ketahui sekarang berada di mana! Akan tetapi karena dia sudah mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa Lu Ceng itu adalah adik angkat dari Syanti Dewi dan hal itu tidak pernah disinggungnya, juga tidak oleh Kian Bu yang dipesannya selama mereka berdua melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi, maka sekarang dalam kesempatan menanti dalam suasana tegang itu, ingin dia mencari keterangan kepada Syanti Dewi tentang diri gadis yang dicintanya itu.
"Adik Syanti, aku.... aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu," katanya berbisik agar jangan terdengar orang lain kecuali mereka berempat.
"Apakah itu, Lee-koko"
"Aku ingin bertanya tentang Lu Ceng atau Candra Dewi...."
"Aihhh....!" Syanti Dewi hampir menjerit ketika mendengar disebutnya nama Lu Ceng dan tak terasa lagi air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Tentu saja Kian Lee dap Kian Bu terkejut.
Gak Bun Beng menghela napas panjang. "Sute, mengapa engkau menanyakan dia" Dia adalah adik angkat Dewi, dan sudah tewas secara menyedihkan sekali."
"Justeru itulah yang akan saya bicarakan, Suheng! Adik Candra.... dia itu.... Nona Lu Ceng itu, dia belum mati!"
Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, dan dengan bingung Syanti Dewi menoleh kepada Bun Beng. Pendekar ini memandang Kian Lee dengan tajam dan penuh teguran, kemudian dia berkata, "Sute, jangan bicara yang bukan-bukan! Aku sendiri telah turun ke dalam sumur di mana dia terjerumus untuk menyelidiki dan baru turun sebagian saja aku sudah pingsan. Dia sudah tewas."
"Kami juga mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa dia sudah mati di dalam sumur maut, sungguhpun Jenderal Kao tidak bercerita tentang Suheng," kata Kian Bu. "Akan tetapi.... tenangkan hatimu, Moi-moi.... sesungguhnya Nona Lu Ceng itu masih hidup. Kami sudah berjumpa beberapa kali dengan dia, bahkan yang terakhir ini kami melihat dia di kota raja!"
"Ahhh....! Be.... benarkah" Benarkah itu"
Kian Lee lalu menceritakan pertemuannya dengan Ceng Ceng di rumah Jenderal Kao, dan betapa gadis itu melarikan diri tidak mau menemui mereka atau Jenderal Kao, betapa jenderal itu sekeluarganya menyembahyangi nona itu!
"Kami yakin dia masih hidup, Adik Syanti. Hanya entah mengapa dia tidak mau menjumpai siapa pun, seperti menyimpan rahasia...." Kian Lee berkata dengan nada duka.
"Aahhh, benarkah itu" Benarkah dia masih hidup...." Ahh, Paman.... semoga begitu....!" Syanti Dewi dalam kegembiraan dan pengharapannya memegang lengan Gak Bun Beng erat-erat dan air matanya bercucuran.
"Mudah-mudahan begitulah....! Dia seorang gadis yang amat baik, menurut penuturanmu dan penuturan Jenderal Kao," kata Bun Beng sambil dengan halus menarik lengannya yang dipegang erat-erat oleh dara itu.
"Lee-ko, mengapa engkau menanyakan dia" Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya sambil memandang wajah Kian Lee. Untung mereka duduk di tepi jalan yang gelap sehingga tidak kelihatan betapa wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Kian Bu mengerti betapa kakaknya menjadi gugup mendengar pertanyaan ini, maka dialah yang menjawab,
"Kami mendengar dari Jenderal Kao bahwa dia adalah adik angkatmu, maka Lee-ko mengajukan pertanyaan tadi."
Syanti Dewi menghela napas panjang. "Dia adalah seorang yang amat baik, dan biarpun hanya adik angkat, akan tetapi kucinta seperti saudara kandungku sendiri. Kalau tidak ada dia, mungkin aku tidak kuat menanggung derita ketika kami berdua melarikan diri." Lalu dengan suara perlahan dia menceritakan tentang pengalamannya ketika dia meninggalkan Bhutan dan diserbu di tengah perjalanan kemudian dia bersama Ceng Ceng dan kakeknya melarikan diri. Betapa Kakek Lu tewas dan Ceng Ceng terus mengawalnya sampai akhirnya mereka celaka karena perahu yang ditumpanginya terguling dan dia ditolong oleh Gak Bun Beng.
"Tadinya aku mengira dia tewas di sungai itu karena kami berdua tenggelam dan hanyut. Akan tetapi, ternyata dia tidak tewas di sungai dan tahu-tahu aku mendengar tentang dia di utara, tewas di sumur maut hanya beberapa saat sebelum aku bersama Paman Gak tiba di sana. Dan sekarang, kembali ada berita bahwa dia tidak mati.... ya Tuhan, semoga benar demikianlah!"
"Sayang dia selalu melarikan diri...." Kian Lee berkata lirih yang kemudian disambungnya untuk menyembunyikan perasaan hatinya. "Kalau tidak, tentu dia sekarang sudah dapat bertemu dengan engkau, Moi-moi."
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara genta yang dipukul keras sekali. Genta atau lonceng itu digantung di atas benteng penjagaan dan kalau genta itu dipukul sedemikian rupa berarti bahwa kota itu terancam bahaya! Keadaan menjadi geger! Dari berita mulut ke mulut, ternyata bahwa kota itu malam-malam kedatangan pasukan asing dari utara yang berkekuatan kurang lebih seribu orang pasukan liar dan ganas dari suku bangsa biadab. Pintu-pintu benteng ditutup, penjagaan diperketat dan semua perajurit lari hilir mudik dengan sibuknya. Orang-orang berlarian pulang ke rumah masing-masing, pintu-pintu rumah ditutup namun di jalan tidak menjadi sunyi, bahkan sebaliknya karena para pengungsi yang berada di jalan-jalan lari berserabutan tidak karuan. Jerit-jerit tangis mulai terdengar dari mereka yang terpisah dari keluarganya, anak-anak hilang, barang-barang hilang, dan terjadilah keributan yang amat membingungkan. Berbondong-bondong orang berlari dan memenuhi jalan di mana rombongan Bun Beng berada.
"Awas, siap dan jaga....!" Bun Beng berbisik dan dia sudah mengelak ketika ada sesosok bayangan menerjangnya dengan pukulan. Cepat dia menggerakkan tangannya dan bayangan itu roboh tanpa bersuara karena sudah ditotoknya pingsan. Bayangan-bayangan lain datang mengurung dan kedua orang saudara Suma juga cepat beraksi dan merobohkan beberapa orang.
Akan tetapi, mereka segera hanyut oleh banjir manusia yang saling dorong, karena ada pasukan berkuda yang lewat di situ. Itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu di pintu gerbang, siap untuk menerjang keluar. Saking paniknya, rakyat mengira bahwa itulah pasukan liar dan ganas yang dikabarkan datang, maka mereka tidak ingat apa-apa lagi, satu-satunya keinginan hanya untuk lari menjauh sehingga terjadilah dorong-mendorong dan himpit-menghimpit. Biarpun Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun menghadapi arus manusia yang seperti air membanjir itu, mereka kewalahan juga. Tentu saja mereka tidak mungkin harus memukul semua orang yang tidak berdosa itu karena orang-orang itu juga terdorong dan terdesak serta terhimpit oleh arus manusia.


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dewi....!"
"Moi-moi....!"
Bun Beng dan Kian Bu berusaha sekuat mungkin untuk mencegah Syanti Dewi terseret oleh arus manusia, namun tidak mungkin lagi. Manusia sudah berdempet-dempet, tidak ada lagi tempat untuk kaki berpijak dan mau tidak mau mereka terbawa oleh arus manusia dan melihat betapa Syanti Dewi makin menjauh dari mereka!
"Paman....!" Syanti Dewi menjerit, akan tetapi jeritannya bercampur dengan jeritan-jeritan wanita dan kanak-kanak lain yang terjepit dan terhimpit. Keadaan menjadi panik dan geger, seolah-olah dunia sedang kiamat.
Karena keadaan gelap, maka kini topi caping buatan Kian Bu yang dipakai oleh Syanti Dewi hampir tidak tampak lagi dan tiba-tiba saja topi itu lenyap.
"Dewi....!"
"Moi-moi...! Moi-moi...!" Kian Bu berteriak-teriak, memaksa dengan tenaganya untuk mendekat, akan tetapi setibanya di tempat di mana yang terakhir kali dia melihat Syanti Dewi tadi, gadis itu sudah tidak nampak bayangannya lagi.
Sepasukan tentara yang datang melalui jalan itu membelah arus manusia. Karena takut para pengungsi itu saling desak memberi jalan dan keadaan menjadi makin panik. Arus manusia yang tadinya memenuhi jalan itu terbelah menjadi dua, semua mepet ke tepi jalan di kanan kiri. Bun Beng terpisah dari dua orang saudara Suma, dia terpaksa terdorong ke kiri jalan sedangkan dua orang saudara itu di seberang lain dan tak lama kemudian Bun Beng tidak dapat melihat mereka lagi karena obor-obor yang dibawa para perajurit tadi sudah menjauh sehingga keadaan menjadi gelap lagi. Dia merasa khawatir sekali akan diri Syanti Dewi, namun dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin mencari Syanti Dewi. Nanti kalau sudah agak reda dan dia dapat leluasa bergerak, tentu dia akan bisa menemukan gadis itu. Betapapun juga, Syanti Dewi bukanlah gadis lemah dan sudah cukup pandai untuk menjaga diri sendiri. Selain itu, juga dia yakin bahwa Kian Lee dan Kian Bu tentu juga berusaha keras untuk menemukan gadis itu kembali.
Tiba-tiba seorang wanita setengah tua yang berada di tempat itu, tidak jauh dari teanpat dia berdiri, menjerit dan roboh. Dia sudah sejak tadi terhimpit dan tidak dapat keluar dari himpitan manusia. Karena tidak tahan dia menjerit dan roboh pingsan dalam keadaan masih berdiri di antara himpitan orang-orang! Melihat ini, tentu saja semua orang berusaha menjauhkan diri dan Bun Beng cepat mendesak ke depan, menarik dan memanggul tubuh wanita yang pingsan dan bermuka biru itu keluar darl himpitan dan menuju ke pinggir sekali di mana orang tidak begitu berdesakan. Orang-orang itu berdesakan karena mereka hendak berdulu-duluan pergi dari tempat itu mencari tempat yang lebih aman, tidak tahu bahwa di seluruh kota keadaannya sama saja, semua orang dalam keadaan panik dan geger.
Bun Beng menurunkan tubuh wanita itu, memeriksa sebentar lalu memijat beberapa jalan darah sehingga wanita itu mengeluh dan siuman kembali. Akan tetapi dia tidak dapat berdiri karena kakinya salah urat dan membengkak, terinjak banyak orang dalam himpitan tadi.
"Ouhhh.... kakiku...." keluhnya dengan muka pucat dan menahan rasa nyeri dengan menggigit bibirnya. "Terima kasih.... atas bantuan Tuan...."
"Kau tidak bisa jalan" Bun Beng bertanya kepada wanita yang berpakaian seperti pelayan itu.
Wanita itu menggeleng kepalanya.
"Di mana rumahmu" Apakah engkau juga pengungsi"
"Bukan, saya adalah pelayan dari gedung di sana itu...."
"Kalau begitu, mari kuantar ke sana," kata Bun Beng tanpa ragu-ragu lagi dan dia lalu memondong tubuh wanita itu dan membawanya menuju ke gedung yang ditunjuk oleh wanita pelayan itu.
"Ah, engkau sungguh amat baik, Tuan..." Pelayan itu berkata dengan terharu. Selamanya sejak kecil dia adalah pelayan yang melayani orang, yang dipandang rendah dan yang selalu harus menghormat orang lain. Baru sekarang ini dia merasa diperhatikan orang, dianggap sebagai manusia, ditolong dan orang yang gagah perkasa dan bersikap seperti seorang bangsawan tinggi biarpun pakaiannya sederhana ini malah tidak ragu-ragu untuk memondongnya!
"Dalam keadaan seperti ini kita harus tolong-menolong...." Bun Beng menjawab singkat, mengerti akan perasaan hati pelayan ini.
Dia terkejut juga ketika tiba di pekarangan gedung itu. Sebuah gedung yang besar dan megah! Beberapa orang pelayan pria dan wanita berlari keluar dan mereka menjadi ribut-ribut melihat pelayan setengah tua itu dipondong orang.
"Eh, Kim-ma, engkau kenapa"
Mereka itu cepat menyambut dan menggotong Kim-ma ketika mendengar bahwa Kim-ma mengalami luka karena tergencet arus manusia. Ada yang mengomel kenapa dalam suasana seperti itu Kim-ma keluar ke jalan raya! Para pelayan itu menggotong Kim-ma ke dalam dan agaknya sudah melupakan penolong pelayan itu. Bun Beng juga tidak peduli dan dia sudah akan keluar lagi ketika tiba-tiba dari dalam keluar empat orang dengan langkah tergesa-gesa.
Melihat empat orang ini, Bun Beng menjadi heran karena tentu saja dia mengenal mereka, terutama sekali seorang di antara mereka, yang bertubuh gendut dan di pinggangnya terdapat sebatang golok besar! Mereka itu bukan lain adalah empat orang yang pernah ribut di dalam warung mi dan bertempur melawan pemuda tampan berpedang.
Sementara itu, ketika Si Gendut melihat Bun Beng, dia terkejut sekali. Tentu saja dia mengenal laki-laki setengah tua ini yang duduk semeja dengan Tek Hoat. Si Gendut tokoh Tiat-ciang-pang ini menduga bahwa tentu laki-laki ini pun anak buah Tek Hoat yang dia tahu telah berkhianat terhadap beng-cu karena pemuda itu bersekongkol dengan pemberontak. Tentu orang ini pun merupakan mata-mata pemberontak.
"Tangkap mata-mata!" bentaknya sambil mencabut golok besarnya, diturut oleh tiga orang temannya yang segera mengurung Bun Beng. Pendekar ini maklum bahwa dalam keadaan sekacau itu, tidak ada gunanya ribut mulut karena memberi keterangan pun agaknya tidak akan dipercaya oleh Si Gendut yang berangasan dan bodoh ini.
Empat orang tokoh Tiat-ciang-pang itu bersama anak buahnya yang berjumlah lebih dua puluh orang, memang menerima tugas dari Ceng Ceng untuk mencari pemuda laknat musuh besarnya dan sekaligus menyusul dan menyelidiki Tek Hoat yang tidak dipercayanya. Ketika Si Gendut dan kawan-kawannya memperoleh kenyataan bahwa Tek Hoat berhubungan dengan pemberontak, mereka terkejut sekali. Sebagai anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, biarpun mereka itu terdiri dari golongan perampok dan pencopet, akan tetapi mereka benci kepada pemberontak. Maka mereka segera menemui Tek Hoat di dalam warung itu, menuntut hasil penyelidikan Tek Hoat tentang musuh beng-cu, dan juga minta pertanggungan jawabnya karena pemuda itu mengadakan hubungan dengan pemberontak! Maka seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat tidak sudi melayani mereka dan merobohkan mereka lalu pergi.
Rombongan orang Tiat-ciang-pang ini melakukan pengejaran dan mereka pun memasukl kota Koan-bun. Meiihat pergolakan di situ, tanpa ragu-cagu lagi mereka lalu menghubungi Perwira Phang di gedung itu yang mereka tahu adalah seorang yang setia kepada kerajaan, dan mereka menawarkan tenaga bantuan mereka! Di tempat itu mereka bertemu dengan banyak orang kang-ouw yang lihai-lihai dan tentu saja penawaran bantuan empat orang Tiat-ciang-pang yang mewakili rombongan mereka dua puluh orang itu diterima baik oleh Perwira Phang. Kemudian mereka disuruh mengatur anak buah mereka untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang kabarnya mengurung kota Koan-bun itu. Maka Si Gendut dan teman-temannya keluar dan bertemu dengan Bun Beng yang mereka sangka mata-mata pemberontak dan langsung mengeroyoknya sambil berteriak marah.
Akan tetapi tentu saja mereka ini sama sekali bukan lawan Bun Beng. Pendekar ini membiarkan mereka menerjangnya, lalu menyambut dengan gerakan kedua tangannya dan dalam beberapa gebrakan saja mereka roboh terpelanting dan terjengkang. Si Gendut berteriak-teriak dan ketika Bun Beng sudah melangkah hendak pergi dari pekarangan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan terpaksa dia berhenti dan menengok. Terkejut jugalah dia ketika melihat di bawah penerangan lampu-lampu yang tergantung di depan dan kanan kiri gedung itu, belasan orang yang bergerak dengan cepat dan sigap sekali mengejarnya dan mengurungnya! Mereka itu terdiri dari bermacam orang, semuanya laki-laki, ada yang muda dan ada yang tua, pakaian dan sikap mereka jelas membayangkan orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi.
"Mata-mata pemberontak, menyerahlah engkau!" bentak seorang di antara mereka yang sudah agak tua namun masih gagah sikapnya. Bun Beng tercengang karena dia seperti pernah mengenal orang ini akan tetapi sudah lupa lagi. Sebelum dia menjawab, dua orang di antara mereka sudah melontat maju dan hendak menangkap kedua lengannya dari kanan kiri. Bun Beng mengerutkan alisnya dan sekali lengannya bergerak, dua orang itu terlempar lima meter jauhnya dan terbanting terguling-guling!
Semua orang terkejut sekali menyaksikan kehebatan tenaga ini. "Kau melawan" Bagus, engkau sudah bosan hidup agaknya!" Belasan orang itu lalu mencabut senjata masing-masing dan menerjang maju.
Bun Beng melihat bahwa gerakan mereka itu tidak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak bisa disamakan dengan Si Gendut dan teman-temannya. Dari gerakan mereka dia tahu bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan lawan yang tangguh juga kalau maju sekaligus sedemikian banyaknya. Dia lalu meloncat dan menggunakan kecepatan gerak tubuhnya, mencelat ke sana-sini di antara sambaran sinar senjata dan dalam belasan jurus saja dia sudah mampu membagi tamparan sehingga empat lima orang kehilangan senjata mereka yang terlempar ke sana-sini.
"Mundur semua....!" Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. "Dia bukan lawan kalian, biarkan aku menghadapinya!" Suara ini nyaring sekali, jelas bahwa pembicaranya, seorang wanita, memiliki khi-kang yang amat tinggi sehingga mengejutkan hati Bun Beng. Maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan lihai, dia cepat meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun melayang seperti seekor burung di depan sebuah patung singa yang besar, patung batu yang berada di depan gedung itu dengan maksud bahwa di tempat itu, dengan punggung terlindung arca besar ini, dia tidak akan dapat dibokong musuh.
Wanita itu yang baru keluar dari gedung dengan tangan kosong, bagaikan seekor burung walet saja telah melayang mengejar Bun Beng dan bagaikan sehelai bulu ringannya, kedua kaki yang kecil bersepatu indah itu hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, menandakan bahwa gin-kangnya sudah mendekati kesempurnaan. Bun Beng merasa tegang dan siap sedia karena maklum bahwa lawan ini benar-benar hebat bukan main dan dia pun merasa heran mengapa tempat ini penuh dengan orang-orang pandai.
Kini mereka berhadapan dan sinar lampu menerangi tempat itu, memungkinkan mereka untuk saling pandang. Seperti ada halilintar menyambar dan tepat mengenai kedua orang itu, seketika timbul perubahan pada wajah Bun Beng dan wanita itu. Bun Beng terbelalak, mukanya pucat, alisnya berkerut, mulutnya ternganga dan seluruh tubuhnya berkeringat. Dia terhuyung dan terpaksa menyandarkan diri pada arca singa itu agar tidak roboh.
Wanita itu amat cantik biarpun usianya sudah mendekati
Hati Budha Tangan Berbisa 14 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 7
^