Kisah Sepasang Rajawali 19

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


p kasar Lu Ceng ketika dia menyamar sebagai tukang perahu dan "menolong" mereka dengan perahunya. Gara-gara kenakalan Ceng Ceng maka dia terpaksa berpisah dan kehilangan mereka! Bahkan hampir saja kitab-kitab dalam bungkusannya lenyap di dasar sungai karena dibuang oleh gadis galak itu.
Di kota Koan-bun, secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Syanti Dewi! Mula-mula bahkan melihat puteri itu di dusun Ang-kiok-teng di dalam warung. Betapa dia ingin merampas puteri itu di waktu itu juga. Akan tetapi sungguh tidak beruntung baginya, puteri itu disertai tiga orang yang demikian lihainya. Dua orang pemuda itu saja sudah amat lihai, dan dia ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah menolong Jenderal Kao, dengan sendirinya mereka tentulah orang-orang pemerintah, mungkin mata-mata yang memiliki kepandaian lihai. Juga orang tua itu, sungguh amat lihai dan tidak boleh dipandang ringan sama sekali apalagi orang setengah tua itu disebut paman oleh mereka. Di kota Koan-bun dia telah diam-diam membayangi mereka, akan tetapi kedatangan pasukan liar dari Tambolon mengakibatkan geger, ditambah lagi dengan gerakan orang-orang pemerintah dan pendudukan kota Koan-bun oleh Panglima Kim Bouw Sin, membuat dia kembali kehilangan Syanti Dewi di antara orang banyak. Dia sudah mengerahkan kaki tangannya untuk mencari di seluruh kota Koan-bun, namun hasilnya sia-sia. Gadis bangsawan itu seperti lenyap ditelan bumi tidak meninggalkan bekas. Hal inilah yang membuat Tek Hoat termenung dengan hati kesal dan murung, kehilangan kegembiraan hatinya, sungguhpun kini gerakan pemberontakan mulai maju dan hal ini berarti bahwa cita-citanya makin mendekati kenyataan. Dia sendiri merasa heran mengapa setelah kini bertemu dengan Syanti Dewi, dia menjadi kehilangan gairahnya terhadap cita-citanya, bahkan hampir tidak mempedulikan lagi tentang usaha pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Liong.
"Semua gara-gara gadis laknat si Lu Ceng itu," pikirnya gemas. Kalau tidak ada Lu Ceng, tentu sekarang dia masih berdekatan dengan Syanti Dewi. Akan tetapi, dia sendiri merasa heran mengapa kalau dia sudah bertemu dengan Lu Ceng yang nakal itu, dia seperti mati kutu, padahal biarpun gadis itu memiliki ilmu tentang racun yang amat lihai, dia toh akan dapat mengalahkan gadis itu dengan mudah. Ada sesuatu yang aneh terjadi kalau dia berhadapan dengan Lu Ceng, ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia tidak tega untuk memusuhinya!
Kini dia mengalihkan kemendongkolan hatinya pada dua orang pemuda tampan yang menemani puteri itu, dan kepada orang setengah tua gagah sederhana itu. Mereka itulah yang menjadi penghalang sehingga kembali dia kehilangan Syanti Dewi. Tadinya dia hampir berhasil menawan atau membunuh dua orang pemuda itu, dengan bantuan tiba-tiba dari Hek-wan Kui-bo Si Nenek Hitam buruk yang muncul membantunya, bahkan seorang di antara dua orang pemuda itu telah terluka parah. Akan tetapi, ini pun akhirnya gagal karena pemuda yang terluka itu dapat melenyapkan diri sedangkan pemuda yang ke dua telah ditolong oleh laki-laki setengah tua yang amat hebat ilmunya itu! Sungguh sial! Seolah-olah segala yang dipegangnya tidak berhasil baik!
Setelah Pangeran Liong Khi Ong memasuki gedung yang disediakan untuknya, Tek Hoat diperbolehkan mengaso dan pemuda ini memasuki kamarnya sendiri. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memejamkan mata, mengenangkan semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan ibunya. Betapa lama sudah dia meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho. Teringat akan ibunya, timbul rasa rindu di dalam hatinya. Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat rasa kasih sayang yang amat besar terhadap ibu kandungnya, juga perasaan iba yang besar. Teringat dia ketika beberapa tahun yang lalu dia meninggalkan ibunya, dia berjanji akan pulang menengok ibunya. Kenyataannya, sudah lima enam tahun dia pergi, tidak pernah dia pulang ke Bukit Angsa! Sungguh kasihan ibunya, hidup seorang diri, menanti-nanti kedatangannya.
"Kau anak tidak berbakti!" Dia memaki dirinya sendiri. "Sebetulnya engkau sudah harus pulang."
"Tidak!" Bentaknya sambil membuka kembali matanya. "Kalau aku pulang dalam keadaan begini saja, tentu hati ibu akan kecewa. Tidak! Aku baru akan pulang kalau cita-citaku sudah berhasil, menjadi raja atau pangeran atau setidaknya seorang pembesar yang berkedudukan tinggi dan mulia di kota raja. Baru aku akan pulang menjemput ibuku dengan segala hormat...." Dia lalu memejamkan matanya kembali, membayangkan betapa dia menjemput ibunya dengan kereta besar dan mewah, dikawal pasukan yang gagah, kemudian mengajak ibunya memasuki sebuah istana miliknya sendiri! Betapa ibunya akan girang dan bangga!
Dan dari dalam istana itu menyambut keluar mantu ibunya, Puteri Syanti Dewi yang cantik jelita! Puteri Raja Bhutan. Betapa ibunya akan makin bangga dan dia.... ahhh! Tek Hoat bangkit dan duduk, bertopang dagu. Dia melamun terlalu jauh, sedangkan puteri itu pun berada di mana dia tidak tahu. Mengapa dia bermalas-malas seperti ini"
Tek Hoat cepat meloncat, berganti pakaian lalu berlari keluar setelah memberitahukan pengawal dalam bahwa kalau Pangeran Liong Khi Ong bertanya tentang dia agar dikatakan bahwa dia pergi berjalan-jalan untuk memeriksa keadaan. Tek Hoat lalu memasuki kota Tek-bun yang sudah mulai normal kembali karena Panglima Kim Bouw Sin dengan tangan besi memaksakan keamanan dan ketenteraman di kota yang dijadikan benteng pemberontak itu.
Penjagaan di seluruh kota amat ketat dan pengawasan amat cermat sehingga agaknya amat sukarlah bagi mata-mata pemerintah untuk menyusup ke dalam kota pemberontak ini tanpa diketahui. Tek Hoat yang sudah banyak dikenal oleh para perwira yang memimpin penjagaan dan perondaan kota sebagai tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang memiliki kepandaian amat tinggi, berkali-kali disapa dengan hormat oleh mereka dan dibalasnya dengan anggukan kepala tak acuh karena hatinya sedang kesal. Dia tidak ingin mencari Syanti Dewi di kota Koan-bun lagi karena ada belasan orang kaki tangannya yang sudah diberi tugas untuk mencari gadis itu di sana. Tiba-tiba timbul pikiran yang aneh dalam kepalanya. Siapa tahu, yang dicarinya itu berada di Teng-bun! Betapapun aneh dan tidak masuk akalnya, dugaan ini, akan tetapi siapa tahu! Dia teringat betapa teman-teman puteri itu adalah orang-orang yang tinggi sekali ilmunya, siapa tahu dia yang membawa puteri itu menyelundup ke pusat pemberontak ini! Mulailah dia memasan mata memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Karena dia kini mulai memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan, maka tiba-tiba dia dapat melihat munculnya sesosok bayangan orang di antara kemuraman cuaca senja hari itu. Sosok bayangan tubuh seorang nenek bertongkat, nenek yang buruk rupa, yang telah membantunya menghadapi dua orang pemuda pengawal Syanti Dewi yang lihai. Nenek yang mengaku berjuluk Hek-wan Kui-bo, Si Iblis Lutung Hitam! Mau apa nenek aneh itu berkeliaran di Teng-bun" Padahal dia tahu betul bahwa nenek itu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pangeran Liong atau para pimpinan pemberontak lainnya. Bagaimana nenek ini dapat memasuki Teng-bun" Memang tidak begitu mengherankan andaikata nenek ini dapat menerobos penjagaan yang ketat karena memang nenek ini memiliki kepandaian hebat, akan tetapi, apakah kehendaknya memasuki benteng ini"
Dengan beberapa langkah saja Tek Hoat dapat mengejarnya. "Perlahan dulu, Hek-wan Kui-bo!"
Nenek itu terkejut bukan main, tubuhnya membalik dan tahu-tahu ujung tongkatnya sudah menyambar ke arah jalan darah di dada Tek Hoat dengan serangan totokan maut yang amat berbahaya.
"Siuuutttt.... plakk!" Tek Hoat terpaksa menangkis dengan tangan yang dimiringkan karena serangan itu dahsyat dan berbahaya sekali.
"Ihhh.... wah, kiranya engkau, orang muda yang tampan dan gagah perkasa" Hi-hik, hampir saja engkau mampus di ujung tongkatku!"
Merah muka Tek Hoat mendengar ini dan ia tersenyum mengejek. Kalau saja nenek ini tidak pernah membantunya, tentu sudah diserangnya nenek ini yang begitu memandang rendah kepadanya. "Hemm, kurasa tidaklah begitu mudah, Kui-bo!"
Nenek itu tertawa. Makin menjijikkan mukanya ketika dia tertawa. Muka yang kelaki-lakian dan buruk itu menjadi makin buruk karena kini mulutnya terbuka dan kelihatan tiga buah giginya yang besar-besar dan bergantung saling berjauhan, sehingga kelihatan seperti mulut binatang yang bertaring.
"Aku tahu.... aku tahu, engkau adalah Si Jari Maut, pembantu yang amat sakti dari Pangeran Liong, bukan" Masih begini muda sudah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan."
Tek Hoat merasa tidak suka kepada nenek ini. Wajah buruk itu membayangkan banyak sekali kepalsuan yang mengerikan. "Hek-wan Kui-bo, apakah maksud kedatanganmu menyelundup ke Teng-bun ini"
"Hi-hik, engkau mencurigai aku" Aku sudah membantu menghadapi dua orang mata-mata pemerintah yang masih muda-muda dan juga lihai itu."
"Dalam kedaan seperti sekarang ini, siapapun harus dicurigai, dan kami semua tidak tahu apa maksud kedatangan seorang tokoh seperti engkau, Kui-bo."
"Hi-hi-hik, apa sih yang diinginkan seorang nenek seperti aku" Laki-laki muda dan tampan" Wah, aku sudah muak dan tidak ada lagi nafsu di tubuhku yang tua! Kekayaan" Untuk apa" Memakai segala yang indah pun aku tidak akan dapat menjadi cantik, makan yang bagaimana mahal dan lezat pun, gigiku yang tidak lengkap akan mendatangkan rasa yang tidak enak! Akan tetapi kedudukan! Nah, itu! Nama besar, wah, itu masih kuperlukan. Kemuliaan dan penghormatan! Eh, orang muda, aku ingin bertemu dengan Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong!"
"Mau apa"
"Aku ingin membantu pemberontakannya dengan janji bahwa aku kelak akan mendapatkan balas jasa yang berupa pangkat dan kedudukan terhormat di dalam istana! Aku Hek-wan Kui-bo yang selalu dipandang rendah, dianggap iblis, aku ingin kelak mati sebagai seorang paduka yang mulia, ditangisi oleh rakyat senegara dan dibikin bong-pai (nisan) yang paling mewah dan besar, disembahyangi sampai ribuan tahun!"
Tek Hoat muak mendengar ini, akan tetapi dia pun tahu bahwa tenaga nenek ini memang amat diperlukan di waktu itu. "Hek-wan Kui-bo, tidaklah mudah untuk bertemu dengan kedua orang pangeran itu. Biasanya, sebelum orang diterima menjadi pembantu, dia harus memperlihatkan kecakapannya lebih dulu, harus membuat jasa lebih dulu. Apakah jasamu terhadap pemerintah baru yang dipimpin oleh kedua orang Pangeran Liong"
"Hi-hi-hi-hik, jadi di sini ada pula peraturan sogokan" Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Aku sudah siap dengan barang sogokan yang tentu akan menggirangkan hati Pangeran Liong Khi Ong!"
Tek Hoat mengerutkan alisnya. "Sogokan" Apa maksudmu"
"Aih-aihh.... kura-kura dalam perahu, ya" Pura-pura tidak tahu! Siapakah di dunia ini yang tidak mengenal sogokan" Aku mendengar bahwa seorang di antara kedua orang pangeran tua itu, seperti hampir semua lakl-laki di dunia ini, mahluk menyebalkan, gila akan wajah cantik dan tubuh mulus seorang perawan remaja! Nah, jasaku yang pertama untuk Pangeran Liong Khi Ong adalah persembahanku berupa seorang dara remaja yang cantik jelita!"
Tek Hoat menjadi makin sebal. "Hemm, Hek-wan Kui-bo, mengingat bahwa engkau pernah membantuku, aku tidak menaruh curiga kepadamu. Akan tetapi jangan engkau bermain gila dalam keadaan seperti ini. Tak perlu kututupi bahwa Pangeran Liong Khi Ong sekarang memang berada di Teng-bun dan memang beliau seorang laki-laki tua yang suka kepada wanita muda, akan tetapi jangan harap kalau engkau dapat bertemu dengan dia hanya karena engkau dapat mempersembahkan seorang gadis muda. Beliau sudah tidak kekurangan penghibur berupa banyak dara-dara jelita!"
"Eh-eh, jangan engkau memandang rendah, ya" Gadis jelita di seluruh Teng-bun ini, bahkan di seluruh daratan, belum tentu dapat menyamai gadis yang akan kupersembahkan sebagai uang sogokan atau uang kunci ini! Tidak ada keduanya! Bukan perawan biasa, bukan cantik sembarang cantik. Aku adalah seorang wanita tua, aku lebih tahu tentang kecantikan wanita daripada kalian kaum pria! Aku tahu mana kecantikan aseli, mana pulasan! Aku sendiri dahulu di waktu muda pun cantik jelita, akan tetapi terus terang saja, dibandingkan dengan perawan ini, aku mengaku kalah jauh!"
"Sudahlah, Hek-wan Kui-bo, harap jangan engkau mimpi yang bukan-bukan. Tunjukkan jasamu untuk perjuangan, baru aku ada pikiran untuk membawamu menghadap Pangeran Liong Khi Ong. Urusan kecil mengenai gadis itu tidak perlu kausebut-sebut lagi...."
"Urusan kecil! Mulut besar! Kaubilang urusan kecil, ya" Kau tahu, aku berani tanggung bahwa dia itu adalah keturunan raja, dia pasti seorang puteri bangsawan tinggi, dan bukan berdarah pribumi! Kalau Pangeran Liong melihatnya...."
Tiba-tiba perhatian Tek Hoat tertarik. Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan Syanti Dewi yang dimaksudkan oleh nenek ini" "Dari mana engkau memperoleh dia itu" tanyanya dengan suara datar sambil menekan guncangan hatinya.
"Heh-heh, jangan kau memandang rendah, ya" Susah payah aku membawanya dari himpitan orang-orang yang panik ketika terjadi geger di Koan-bun, susah payah aku membujuknya dan susah payah pula aku menyelundupkannya ke Teng-bun untuk kupersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong agar aku diterima membantunya, eh.... kau mengatakannya urusan kecil! Apa kau berarti menantangku, orang muda" Nenek itu sudah melintangkan tongkatnya di depan dada, sikapnya menantang dan marah sekali.
Jantung Tek Hoat terguncang makin keras. Kalau saja cuaca tidak menjadi makin gelap, tentu akan tampak perubahan pada wajahnya yang tampan. Dia yakin kini bahwa yang dimaksudkan nenek iblis ini adalah Syanti Dewi! Pantas saja disuruhnya cari di seluruh pelosok kota Koan-bun tidak berhasil, kiranya gadis itu terjatuh ke dalam tangan nenek ini dan diselundupkan ke Teng-bun!
"Hemmm, baiklah.... baiklah....! Aku percaya kepadamu, akan tetapi aku harus melihat dulu orangnya untuk kunilai apakah dia patut dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong. Engkau harus mengerti bahwa saat ini dia dikelilingi banyak gadis cantik, maka kalau persembahanmu itu tidak istimewa sekali, tentu beliau akan marah terganggu."
"Boleh-boleh, kau boleh melihatnya sendiri!" nenek itu berkata penuh keyakinan dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek ini berjalan menyusuri jalan raya itu. Kini nenek itu berjalan dengan terang-terangan karena dia tidak takut lagi berjumpa dengan para penjaga yang semua mengenal Tek Hoat bahkan menghormatinya.
Tek Hoat heran bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa nenek itu membawanya ke sebuah rumah gedung yang.... berdekatan dengan gedung yang dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh Pangeran Liong Khi Ong. Dia tahu bahwa gedung itu adalah milik seorang hartawan di kota Teng-bun.
"Eh, bagaimana kau dapat tinggal di sini, Kui-bo" Apakah engkau masih ada hubungan dengan Coa-wangwe (Hartawan Coa)"
Nenek itu terkekeh. "Tentu saja ada hubungannya, masuklah!"
Mereka memasuki lewat pintu samping yang kecil dan makin heranlah Tek Hoat karena tidak ada penjaga seorang pun di situ, juga tidak nampak seorang pun pelayan. Nenek itu sambil terkekeh mendahului Tek Hoat memasuki ruangan besar di tengah gedung dan terkejutlah Tek Hoat ketika melihat semua keluarga Coa termasuk semua pelayannya duduk berjajar-jajar di atas lantai ruangan itu, semuanya terbelenggu dan tidak mampu bergerak atau bersuara karena mereka telah tertotok gagu semua!
"He-he-he, aku terpaksa meminjam tempat mereka selama menanti diterimanya oleh Pangeran. Kelak belum terlambat bagiku untuk minta maaf kepada mereka ini yang telah berjasa kepadaku, hi-hi-hik!"
"Bebaskan mereka!" Tek Hoat berkata, menahan kemarahannya. Keluarga hartawan Coa ini adalah sahabat baik Panglima Kim Bouw Sin dan sudah banyak menyumbang untuk usaha pemberontakan itu.
"Heh-heh, bagaimana kalau mereka melarang kami...."
"Bebaskan, kalau engkau memang mempunyai makaud baik dengan kami semua, Kui-bo!"
"Hi-hi-hik, kau berwibawa juga, orang muda! Ha-ha, bebas, bebaslah....!"
Nenek itu berloncatan di antara orang-orang itu dan tongkatnya bergerak. Demikian cepatnya tongkat itu bergerak-gerak dan belenggu-belenggu itu beterbangan, semua orang itu terbebas dari belenggu dan dapat bergerak kembali. Diam-diam Tek Hoat memandang gerakan ini dan harus mengakui bahwa nenek ini benar-beinar lihai, di samping wataknya yang ku-koai (aneh).
"Mari, mari kaulihat bidadariku...."
Tek Hoat menghampiri Coa-wangwe yang sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, "Harap Coa-wangwe memaafkan perbuatan nenek yang aneh ini dan tidak perlu ribut-ribut karena aku sendiri yang akan mengurus dan membereskannya."
Coa-wangwe yang sudah mengenal Tek Hoat, mengangguk, dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek itu memasuki sebuah kamar yang besar dan mewah karena kamar ini adalah kamar tidur sendiri dari Coa-wangwe. Di sudut kamar terdapat sebuah pembaringan yang terukir indah sekali, dengan kasur dan tilam sutera yang berkembang dan dihias sulaman. Meja kecil di depan pembaringan itu juga terukir, dan sebuah lampu penerangan tergantung dari gantungan yang berupa burung emas!
"Lihat.... heh-heh-heh, lihat baik-baik.... pernahkah engkau melihat puteri secantik dia" Nenek itu menuding ke arah pembaringan di mana rebah seorang gadis dalam keadaan tidur pulas.
Tek Hoat berdiri tegang, jantungnya berdebar penuh kegirangan dan juga ketegangan. Gadis itu tidur dengan bibir agak tersenyum, lengan kanan tergantung sedikit di tepi pembaringan, tangan kiri di atas perut, pakaiannya sederhana saja akan tetapi kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan keagungan wajah. Puteri Bhutan itu bahkan membuat kecantikannya makin menonjol.
Memang siapa lagi puteri itu kalau bukan Syanti Dewi" Seperti telah kita ketahui, puteri ini terpisah dari Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ketika terjadi geger di kota Koan-bun. Dia ikut terseret oleh arus manusia yang berhimpit-himpit itu. Di dalam segala hal, manusia selalu berebutan, selalu memikirkan kepentingan diri pribadi. Di waktu tidak ada bahaya mengancam diri, manusia berlumba dan saling memperebutkan harta benda, kedudukan, atau nama dan dalam perebutan ini siapa yang menghalang di jalan akan diterjang. Demikian pula di dalam keadaan bahaya mengancam, mereka juga berebutan, saling memperebutkan keselamatan diri masing-masing tanpa menghiraukan orang lain, siapa yang menghalang di depan akan diterjangnya, bahkan setiap orang akan tidak malu-malu atau ragu-ragu untuk menggunakan mayat orang lain sebagai batu loncatan menuju ke arah keselamatan diri sendiri!
Syanti Dewi yang tadinya masih mempunyai harapan akan dapat tersusul oleh tiga orang temannya itu atau setidaknya oleh seorang di antara mereka, menjadi panik juga ketika makin lama makin jauh terseret sampai tidak dapat melihat Gak Bun Beng atau dua orang saudara Suma. Akhirnya dia tiba di tempat yang tidak begitu penuh orang karena pasukan itu telah lewat dan dia cepat mundur sampai mepet di tembok rumah agar tidak terseret terus makin menjauh. Dia memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan sepasang matanya membayangkan kekhawatiran.
"Nona yang cantik, engkau mencari siapakah" Tiba-tiba dia mendengar suara orang dan ketika dia menoleh, dia terkejut melihat seorang nenek yang mukanya buruk sekali, kasar, hitam, rambutnya riap-riapan dan memegang sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular. Akan tetapi karena betapa buruknya pun orang itu hanya seorang wanita tua, Syanti Dewi menjawab, "Aku terseret arus manusia dan terpaksa berpisah dari teman-temanku, Nek. Aku khawatir sekali, bagaimana dapat menemukan mereka kembali dalam arus manusia sebanyak itu"
"Aduh kasihan.... Nona tentu bukan orang sini...."
"Bagaimana engkau bisa menduga begitu, Nek"
"Hi-hik, aku hanya menduga-duga.... jangan khawatir, Nona. Aku akan membantumu mencarikan teman-temanmu itu. Mari, pegang tongkatku."
Karena sedang panik, tentu saja uluran tangan siapa pun untuk membantunya mencari tiga orang temannya itu merupakan hal yang amat menggembirakan. "Terima kasih, nenek yang baik," katanya dan tanpa ragu-ragu lagi dia menggandeng nenek itu, bukan memegang tongkatnya, melainkan memegang tangan kirinya.
Baru dia terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa nenek itu dapat berjalan cepat sekali, menyelinap dan menyusup di antara orang banyak sambil menariknya, dan dengan sedikit terdorong tangannya saja dia sudah dapat membuat banyak orang yang menghalangi jalannya terdorong tumpang tindih sehingga terkuak jalan untuk mereka!
"Aihh, kiranya engkau lihai sekali, Nek!" Syanti Dewi berkata.
"Hi-hi-hik, kalau Hek-wan Kui-bo tidak lihai, siapa lagi yang lihai di dunia ini"
Semenjak keluar dari istana Bhutan, Syanti Dewi terus-menerus mengalami hal-hal yang luar biasa dan dia bahkan terseret-seret ke dalam dunia persilatan di mana dia bertemu dengan banyaK tokoh persilatan yang lihai-lihai. Oleh karena ini maka begitu melihat nenek yang lihai ini dan mendengar julukannya yang menyeramkan, yaitu Biang Setan Lutung Hitam, mengertilah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan seorang tokoh hitam yang menyeramkan! Akan tetapi dengan pembawaannya yang tenang Syanti Dewi tidak memperlihatkan sikap takut, melainkan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari tiga orang temannya itu. Kalau saja dia dapat melihat seorang di antara mereka! Dia tidak akan terancam lagi oleh nenek ini! Akan tetapi dia tidak melihat seorang pun di antara mereka, dan nenek itu sudah menariknya lagi.
"Nanti dulu, Kui-bo. Kita berhenti dan cari mereka di sini!" Syanti Dewi berkata, menyebut "Kui-bo" seolah-olah tanpa mengerti artinya.
"Heh-heh, hayo ikut dengan aku. Seorang dara jelita seperti engkau ini amat berbahaya kalau berkeliaran seorang diri di tempat ini dalam keadaan seperti sekarang ini. Apa kau lebih suka dilarikan serdadu-serdadu dan diperkosa oleh mereka"
Tentu saja Syanti Dewi terkejut mendengar ini, memandang nenek itu dengan mata terbelalak dan menggeleng kepalanya. "Heh-heh, nah, kalau begitu hayo ikut dengan aku, kucarikan tempat yang baik untukmu. Orang seperti engkau ini pantasnya berada di dalam kamar seorang raja atau pangeran!" Dia menarik terus sampai mereka tiba di pintu gerbang kota Koan-bun. Tiba-tiba Syanti Dewi merasa betapa pundaknya nyeri dan tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas dan dia dipondong dan dibawa meloncat oleh nenek itu keluar dari kota Koan-bun melalui tembok pagar yang tinggi!
Setelah nenek itu turun ke luar tembok dan lari cepat sekali, Syanti Dewi yang tak mampu bergerak itu berkata, "Kui-bo, lepaskan aku!"
Mereka telah berada jauh dari kota dan di tempat sunyi. Sambil terkekeh Hek-wan Kui-bo membebaskan totokannya dan menurunkan tubuh Syanti Dewi. Dara ini membalik, menghadapi nenek itu tanpa sikap takut sama sekali, kemarahan berpancar dari sepasang matanya yang indah dan dia menegur, "Hek-wan Kui-bo, katakanlah sejujurnya, engkau ini hendak membantuku mencari teman-temanku ataukah mempunyai niat lain yang tidak baik"
Nenek itu tersenyum dan memandang penuh perhatian kepada dara yang berdiri di depannya. Kecantikannya yang tidak dapat disembunyikan dengan pakaian sederhana, sikapnya yang agung dari cara dara itu menggerakkan kepala dan cara dia memandang, dari gerak bibir dari dagunya, semua itu tidak luput dari penilaian Hek-wan Kui-bo.
"Nona yang baik, engkau puteri dari manakah"
Syanti Dewi terkejut, akan tetapi dengan sikap biasa dia berkata, "Aku seorang gadis biasa yang terpisah dari keluargaku dalam keributan dikota itu."
"He-heh-heh, engkau tidak bisa membohongi Hek-wan Kui-bo. Engkau tentu seorang puteri bangsawan tinggi, dari suku bangsa lain di luar daerah."
"Sudahlah, Kui-bo. Aku menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu, dan kalau engkau mempunyai keperluan lain, biarlah aku sendiri kembali ke Koan-bun untuk mencari keluargaku yang terpisah dariku.
Syanti Dewi menjura lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan hitam berkelebat dan apa yang dikhawatirkannya terjadi. Nenek itu sambil menyeringai telah berdiri di depannya!
"Jangan tergesa-gesa, Nona manis! Sudah kukatakan bahwa seorang dara seperti engkau sepatutnya berada di kamar seorang raja atau pangeran dan engkau akan membantu aku berhubungan dengan Pangeran! Haya!" Tiba-tiba nenek itu menerkamnya. Syanti Dewi yang sedikit banyak pernah belajar ilmu silat, mencoba untuk mengelak dan memukul leher nenek itu.
"Dukkkk!" Pukulannya mengenai leher dengan tepat akan tetapi diterima sambil tertawa saja oleh Hek-wan Kui-bo yang sudah mengempit tubuhnya dan membawanya lari cepat sekali! Syanti Dewi memukul-mukul sampai akhirnya nenek itu kembali menotoknya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi dan terpaksa memejamkan mata karena merasa ngeri dibawa lari seperti terbang cepatnya itu.
Dengan mempergunakan ilmunya yang tinggi mudah saja malam itu Hek-wan Kui-bo memasuki kota Teng-bun yang terjaga ketat oleh pasukan tentara pemberontak. Seperti seekor burung gagak, dia meloncati pagar tembok sambil mengempit tubuh Syanti Dewi, kemudian setelah menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, akhirnya dia memasuki pekarangan belakang gedung Coa-wangwe.
Malam itu Coa-wangwe sekeluarga sudah tidur pulas di kamar masing-masing. Mereka merasa aman karena Coa-wangwe adalah seorartg yang kaya-raya dan pandai mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh kedudukan yang baik dalam pandangan para pimpinan pemberontak. Dia bersahabat baik dengan panglima pernberontak Kim Bouw Sin, bahkan siang tadi dia memperoleh kehormatan untuk menyambut tamu agung, Pangeran Liong Khi Ong yang memasuki Teng-bun secara menyamar. Gedung itu terjaga oleh sepasukan pengawal terdiri dari lima orang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan semua pintu dan jendela terbuat dari kayu-kayu tebal dan semua terkunci rapat.
Akan tetapi, betapa kagetnya Coa-wangwe dan isterinya ketika tiba-tiba mereka tersentak bangun karena selimut mereka direnggut orang. Mereka bangkit duduk dengan mata terbuka lebar dan melihat seorang nenek tua berwajah buruk sekali telah berada di depan pembaringan mereka. Nyonya Coa hendak menjerit, akan tetapi sinar hitam berkelebat dan ujung tongkat itu telah menotok lehernya, membuat dia terjatuh rebah kembali dan teriakannya tidak mengeluarkan suara! Juga tongkat itu menyambar ke arah Coa-wangwe yang menjadi lemas. Mereka berdua lalu diikat dan urat gagu mereka ditotok, kemudian diseret ke ruangan tengah dan dilemparkan ke sudut ruangan di mana telah penuh dengan para pengawal, pelayan dan keluarga lain, pendeknya Coa-wangwe suami isteri merupakan orang-orang terakhir dari seluruh penghuni rumah itu yang menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga selain tidak mampu bergerak juga tidak mampu bersuara. Coa-wangwe melihat ke arah lima orang jagoannya dan mereka ini hanya terbelalak penuh ketakutan memandang kepada nenek itu yang selalu terkekeh-kekeh seperti orang gila. Mereka masih merasa ngeri karena tadi tahu-tahu ada nenek buruk muncul di depan mereka. Lima orang pengawal dan penjaga itu sudah serentak mengepung dan menyerang dengan golok mereka, akan tetapi nenek itu menggerakkan tongkatnya, tiga batang golok patah, dua batang golok yang tepat mengenai punggung dan kepala nenek itu terpental seperti menghantam balok besi dan di lain saat sinar hitam tongkat itu berkelebat dan mereka roboh tanpa mereka ketahui bagaimana cara dan apa sebabnya!
Syanti Dewi tidak berdaya sama sekali ketika dia dituntun oleh nenek itu memasuki kamar Coa-wangwe yang indah dan megah. Dia duduk di atas kursi memandang nenek itu setelah totokannya dibebaskan, dan dengan suara halus dia bertanya, "Hek-wan Kui-bo, engkau telah merampas rumah orang dan membawaku ke sini. Apakah sebenarnya kehendakmu"
Kembali nenek itu tertegun. Sikap yang tenang dan agung itu, suara yang masih seperti orang memandang rendah kepadanya, sikap seorang ratu! Dalam keadaan terculik seperti itu, kalau lain gadis tentu akan menangis dan minta-minta ampun, minta dibebaskan. Akan tetapi gadis ini agaknya malah menguasai keadaan, mengajukan pertanyaan kepadanya seperti seorang dewasa bertanya kepada seorang anak kecil yang nakal!
"Kalau aku menyembelihmu di sini, mencincang tubuhmu sampai hancur lebur, bagaimana, heh-heh!" Nenek itu mengancam untuk menakut-nakuti gadis itu. Dia merasa tersinggung juga bahwa dia yang begitu hebat dan lihai sama sekali tidak ditakuti oleh gadis ini, gadis lemah ini, padahal lima orang jagoan penjaga gedung itu jelas merasa takut dan ngeri.
Sepasang mata indah itu sama sekali tidak berkedip, tanda bahwa ucapan yang mengandung ancaman gertakan itu sama sekali tidak mengusik hati dara jelita itu. Bahkan bibir yang merah dan bentuknya seperti gendewa terpentang itu membentuk senyum ketika hendak berkata, "Hek-wan Kui-bo, entah berapa puluh kali hidupku terancam maut sehingga kematian bagiku bukanlah hal yang menimbulkan rasa takut lagi. Aku tentu tidak akan mampu mempertahankan diri dan melawanmu jika engkau hendak membunuhku, akan tetapi hal itu pasti tidak akan kaulakukan."
"Eh...." Kalau kulakukan sekarang, kau mau apa"
Syanti Dewi menggeleng kepalanya. "Orang seperti engkau hanya akan melakukan sesuatu yang menguntungkan dirimu, Nenek yang baik. Kalau engkau ingin membunuhku, tentu tidak susah-susah kau membawaku ke sini, dan aku tidak melihat keuntungan apa-apa bagimu kalau kau membunuhku."
Nenek itu terbelalak, kaget dan tertawa bergelak. "Heh-heh-khek-khek-khek! Engkau cerdas sekali! Memang aku tidak membunuhmu, anak yang baik dan cantik! Tidak, malah engkau akan kumuliakan hidupmu. Kautunggulah saja di sini, dan besok engkau tentu akan berada di pangkuan seorang pangeran dan engkau akan berterima kasih kepada Hek-wan Kui-bo, hah-ha-ha-ha!"
Sekali ini di dalam hatinya Syanti Dewi merasa ngeri. Samar-samar dia dapat menduga bahwa tentu dia akan "dijual" oleh nenek iblis ini kepada seorang laki-laki yang suka membayarnya, bukan dengan harta karena pemilik gedung ini pun seorang hartawan, melainkan membelinya dengan kedudukan. Karena itulah maka nenek ini selalu menyebut raja atau pangeran!
"Aku akan menunggu di sini, Kui-bo. Lakukanlah apa yang kaukehendaki." Syanti Dewi lalu menghampiri pembaringan dan duduk di atasnya. Akan tetapi ternyata nenek yang sudah bangkotan dan kawakan itu mana mungkin dapat dibodohi dengan sikap wajar ini" Dia terkekeh dan melangkah maju. Syanti Dewi terkejut dan hendak meloncat menjauhi, namun dia jauh kalah cepat. Tahu-tahu nenek itu sudah mengebutkan sehelai saputangan hitam dan terciumlah bau yang keras oleh Syanti Dewi. Dara ini menjadi gelap mata dan pening seketika, dan tak lama kemudian dia pun terguling roboh di atas pembaringan dalam keadaan tak sadar atau tertidur pulas! Hek-wan Kui-bo terkekeh dan mendorong tubuh gadis itu sehingga rebah telentang di tengah pembaringan, kemudian tersaruk-saruk dia melangkah ke luar untuk mencari dan menjumpai Pangeran Liong Khi Ong yang dia tahu berada di dalam kota Teng-bun itu.
Demikianlah apa yang dialami oleh Syanti Dewi sampai nenek itu bertemu dengan Tek Hoat dan mengajak pemuda itu memasuki gedung hartawan Coa di mana Tek Hoat dengan terkejut sekali mengenal Syanti Dewi yang rebah miring di atas pembaringan itu!
"Syanti Dewi....!" tanpa disadarinya lagi Tek Hoat berseru lirih, akan tetapi bagi Hek-wan Kui-bo sudah cukup keras untuk dapat mendengarnya.
"Aih, kiranya dia puteri dari Bhutan yang dikabarkan lenyap itu....! Ha-ha-ha, tentu Pangeran Liong Khi Ong akan senang sekali menerima persembahanku ini....!"
Hati Tek Hoat terkejut sekali. Pemuda yang cerdik ini mempergunakan otaknya dengan cepat. Syanti Dewi kini sudah berada di tangannya, mana mungkin dia akan melepaskannya begitu saja kepada orang lain" Satu-satunya jalan, nenek ini harus disingkirkan!
"Haiiittt....!" Tiba-tiba dia memekik dan tangannya sudah menghantam dengan kecepatan kilat dan kekuatan dahsyat ke arah ulu hati nenek itu.
"Hayaaaa....!" Nenek buruk itu adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang yang selain memiliki kepandaian amat tinggi juga kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja sejak tadi dia sudah siap siaga karena di dalam hatinya dia tidak bisa percaya penuh kepada setiap orang manusia, apalagi Tek Hoat yang dia tahu amat lihai dan baru saja dikenalnya. Maka, betapapun hebatnya serangan dari pemuda itu, Hek-wan Kui-bo telah menduga sebelumnya dan cepat nenek ini melempar tubuh ke belakang ketika ada angin dahsyat menyambar, sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.
"Wuuuttt.... krekkkk!" Ujung tongkat nenek itu bertemu dengan lengan tangan Tek Hoat, menjadi patah dan pada saat itu juga, dari tongkat patah itu menyambar jarum-jarum hitam beracun ke arah dada Tek Hoat dari jarak yang amat dekat! Tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda itu untuk mengelak atau menangkis, maka dia menggigit bibir, mengerahkan tenaganya sehingga semua tenaga simpanan di dalam pusarnya naik ke dalam dada dan dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dengan menjejakkan kakinya kuat-kuat ke atas lantai. Belasan batang jarum itu menembus bajunya dan mengenai dadanya, namun kulit dadanya sudah menjadi seperti dilapisi baja saja sehingga jarum-jarum itu runtuh kembali tanpa melukainya sedikit pun. Sambil menerima jarum-jarum ini, Tek Hoat tidak tinggal diam saja, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu seperti main sulap saja, pedang Cui-beng-kiam telah terhunus dan berada di tangannya. Melihat pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan sekali itu, Hek-wan Kui-bo mengeluarkan suara tertawa aneh, tubuhnya mencelat ke belakang dan lenyap dari gedung itu! Nenek ini sama sekali bukan lari karena ketakutan sungguhpun dari pertemuan ujung tongkat yang patah, lalu runtuhnya jarum-jarumnya ditambah pedang ampuh mengerikan di tangan pemuda itu membuat dia maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan yang luar biasa beratnya. Dia lari pergi karena terdorong oleh kecerdikannya yang pandai mencari siasat dalam keadaan bagaimanapun juga. Nenek ini maklum bahwa sekali Tek Hoat berteriak, dia akan dikepung oleh tentara dan banyak orang lihai sebagai mata-mata dan celakalah dia karena dia maklum bahwa menghadapi seorang pemuda lihai dan cerdik seperti Tek Hoat Si Jari Maut ini, bantahan dan pembelaan dirinya akan sia-sia belaka. Karena itulah dia cepat pergi dan lari dari situ, bukan karena takut melainkan untuk menjalankan siasatnya!
Tek Hoat tidak mengejar nenek itu. Dia khawatir akan keadaan Syanti Dewi yang tampaknya terus tidur dan sama sekali tidak terbangun oleh keributan itu. Dengan satu loncatan saja dia sudah berada di dekat pembaringan itu, dan berlutut untuk memeriksa keadaan Syanti Dewi. Jantungnya berdebar keras melihat betapa tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu telentang di depannya, tinggal dia mengulur tangan saja! Dia meraba pergelangan tangan dara itu dan hatinya lega. Syanti Dewi memang sedang tidur pulas, kepulasan yang mencurigakan. Dia dapat menduga bahwa tentu dara ini telah dibius oleh nenek iblis itu sehingg tertidur daiam keadaan setengah pingsan.
Seperti orang terpesona Tek Hoat berlutut dan menatap wajah itu. Selama hidupnya belum pernah dia menjumpai seorang wanita yang memiliki daya tarik sehebat Puteri Bhutan ini. Dan puteri ini akan dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, Si Pangeran tua bangka yang mata keranjang itu" Nanti dulu! Tek Hoat mendengus dan dia lalu membungkuk dan.... menyentuh pipi itu dengan ujung hidungnya dengan mesra. Tiba-tiba dia meloncat berdiri. Dia harus cepat menyadarkan gadis ini dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Kalau sampai Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa Syanti Dewi berada di Teng-bun, tentu pangeran itu akan mengerahkan segalanya untuk mendapatkan puteri yang telah ditunangkan dengan dia itu, apalagi kalau pangeran tua itu sudah melihat sendiri kecantikan Syanti Dewi! Tergesa-gesa Tek Hoat lari ke belakang, mencari air dan tak lama kemudian dia sudah kembali ke dalam kamar membawa sepanci air dingin. Dengan hati-hati dia membasahi dahi dan tengkuk gadis itu, mengurut jalan darah di lehernya.
Tak lama kemudian usahanya berhasil. Syanti Dewi mengeluh panjang dan Tek Hoat cepat menaruh panci air itu ke atas meja dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kagum. Karena tidak sadar, Syanti Dewi menggerakkan seluruh tubuhnya, menggeliat dan penglihatan ini membuat Tek Hoat menelan air liurnya, apalagi ketika Syanti Dewi mengeluh dan mengerang perlahan sambil membuka bibirnya yang merah dan mengejap-ngejapkan matanya. Kini sadarlah Syanti Dewi dan cepat dara ini membuka matanya, teringat akan nenek buruk seperti setan. Ketika dia melihat seorang pemuda berdiri di dekat pembaringannya, dia berteriak dan bangkit duduk lalu meloncat turun dan tangannya meraba-raba di balik jubahnya yang panjang, kemudian ketika tangan itu keluar, dia sudah memegang sebatang pisau tajam yang gagangnya terhias permata, memegangnya dengan ujungnya mengarah ulu hatinya sendiri. Pisau ini adalah pemberian Jenderal Kao kepadanya dan sama sekali tidak disangkanya bahwa pisau ini ternyata pada saat itu merupakan sebuah benda yang amat berharga baginya.
"Mundur kau.... sekali saja engkau berani merabaku, pisau ini akan menembus jantungku dan engkau hanya akan memiliki mayatku!" Suara itu halus dan tenang dan tangan yang memegang pisau sedikit pun tidak gemetar, sedangkan tangan kirinya depgan jari-jari halus meruncing itu membuat gerakan seperti hendak mendorong pemuda itu untuk mundur.
Tek Hoat terkejut sekali dan melangkah mundur. Dia memandang penuh kekhawatiran ke arah ujung pisau yang menempel di antara dua tonjolan dada di balik baju itu, lalu menatap wajah yang tenang dan menggerakkan kedua tangannya ke atas sambil berkata, "Haiii.... engkau salah duga. Aku datang untuk menolongmu....!"
"Simpan bujukanmu yang palsu!" Syanti Dewi menghardik. "Kau kira aku takut" Nenek setan itu tentu telah menjualku kepadamu, entah iblis dari mana adanya engkau ini!"
"Sama sekali salah. Aku telah mengusir nenek itu dan baru saja aku menyadarkanmu dengan air dingin. Engkau tertidur karena obat bius dan aku hendak menolongmu."
"Laki-laki bohong! Kaukira dengan kemudaan dan ketampananmu engkau akan dapat membujuk aku" Pergi dari sini!" Syanti Dewi berkata lagi dan ujung pisau itu masih mengancam dan menodong dadanya sendiri karena hanya itulah satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya dari gangguan laki-laki ini.
"Hemm, keangkuhan seorang puteri! Dalam keadaan begini, engkau masih angkuh dan memandang rendah orang lain. Baiklah kalau engkau lebih suka dibawa oleh nenek itu dan dihadiahkan kepada seorang laki-laki tua untuk menjadi permaisurinya!" Tek Hoat memutar tubuhnya. Syanti Dewi memandang bengong dan dia menjerit ketika tiba-tiba pemuda itu memutar tubuhnya secepat kilat, kaki pemuda itu telah menyambar dan tepat mengenai pisau yang dipegangnya.
"Takkk.... singgg.... ceppp!" Pisau yang kena ditendang itu terbang ke atas dan menancap di langit-langit! Tek Hoat tersenyum mengejek dan melangkah maju.
Akan tetapi Syanti Dewi sudah dapat menguasai dirinya, berdiri tegak dengan dagu diangkat dan memandang dengan sinar mata merendahkan sekali. "Sudah kuduga, engkau tentu manusia buruk juga. Apa kaukira hanya dengan pisau saja aku dapat membunuh diri" Hendak kulihat, kalau engkau berani menggangguku, lalu aku menutup pernapasanku, atau kutusuk pelipisku dengan jari tangan, atau kubenturkan kepalaku pada dinding, engkau akan dapat mencegahku atau tidak!"
Tek Hoat tertegun dan menghentikan langkahnya. Ancaman gadis itu terdengar mengerikan dan dia tahu bahwa Puteri Bhutan ini mempunyai ilmu silat yang cukup untuk dapat melakukan ancaman-ancaman tadi dengan hasil baik. "Engkau gadis keras kepala!" gerutunya.
"Dan engkau laki-laki rendah budi, kurang ajar, dan keji!" Syanti Dewi membalas.
"Sekali lagi aku katakan kepadamu bahwa aku datang untuk menolongmu, membawamu keluar dari kota ini dan...."
Tiba-tiba muka pemuda itu berubah dan dari luar menerobos masuk nenek Hek-wan Kui-bo diikuti oleh sepasukan pengawal yang mengiringkan Pangeran Liong Khi Ong sendiri!
"Tek Hoat, benarkah Nona ini adalah Syanti Dewi dari Bhutan"
Tek Hoat cepat menjura dan berkata dengan suara berat, "Benar, Pangeran."
"Heh-heh-heh, Pangeran Liong Khi Ong, bukankah benar keteranganku" Aku menemukan dia untuk Paduka!" nenek itu terkekeh. Tek Hoat mendongkol sekali dan merasa menyesal mengapa dia tadi tidak mengejar dan membunuh saja nenek yang ternyata amat cerdik ini.
"Bagus, jasamu besar sekali, Kui-bo," Pangeran Liong Khi Ong berkata sambil melangkah maju dan memandang Syanti Dewi dengan wajah berseri-seri, kemudian dia menjura dan berkata dengan suara halus dan teratur sebagaimana layaknya seorang pangeran berhadapan dengan seorang puteri raja, dalam hal ini seorang calon isterinya.
"Harap Sang Puteri sudi memaafkan kami bahwa baru saat ini kami dapat berhadapan dengan Sang Puteri yang mulia. Jelas bahwa bumi dan langit memang menghendaki perjodohan antara kita sehingga setelah melalui berbagai rintangan akhirnya kita dapat saling berjumpa juga. Selamat datang, Sang Puteri dan marilah kami iringkan ke tempat peristirahatan untuk menghilangkan kekagetan dan kelelahan."
Puteri Syanti Dewi sejak tadi memandang pria tua itu penuh perhatian. Laki-laki itu tentu sudah lebih dari lima puluh tahun usianya, pakaiannya mewah sekali dan dari muka dan tangannya yang terawat rapi, bahkan ada tanda-tanda bedak di pipinya, membuktikan bahwa pangeran tua itu adalah seorang pesolek. Pandang matanya jelas membayangkan nafsu berahi yang besar, mata yang seperti berminyak dan mengeluarkan sinar berapi, juga tidak malu-malu memandanginya dari atas ke bawah sehingga Syanti Dewi merasa seolah-olah tubuhnya ditelanjangi dan digerayangi oleh pandang mata itu yang berhenti di tempat-tempat tertentu! Dia bergidik, akan tetapi mengingat bahwa kini dia berhadapan dengan seorang pangeran, biarpun dia tahu bahwa pangeran ini adalah pemberontak, maka ketakutannya menipis dan harapannya timbul bahwa seorang pangeran setidaknya adalah seorang bangsawan terpelajar sehingga tentu tidak akan bertindak sewenang-wenang. Dia cepat berlutut dengan sebelah kaki sebagai tanda penghormatan, berdiri lagi dan berkata sambil menundukkan mukanya.
"Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Paduka Pangeran!" Dia lalu melirik ke arah Tek Hoat, kemudian ke arah Hek-wan Kui-bo. Nenek itu tersenyum kepadanya akan tetapi pemuda itu mengerutkan alisnya dan memandang kepadanya seperti orang marah-marah.
"Sang Puteri, silakan, mari kami antar ke istana kami yang darurat dan seadanya di kota ini." Pangeran itu mempersilakan dengan tangan kanannya dengan sikap hormat.
"Baik, Pangeran, akan tetapi saya harap dapat kiranya pisau saya di sana itu diturunkan dan dikembalikan kepada saya," Syanti Dewi menuding ke atas di mana pisaunya masih menancap di langit-langit kamar itu.
"Eh, bagaimana pisau Sang Puteri bisa terbang ke sana!" Pangeran Liong Khi Ong berseru aneh sambil menoleh kepada Tek Hoat.
"Hamba.... hamba terpaksa membuat pisau itu terlempar dari tangan Sang Puteri karena.... karena beliau tadi hendak menyerang hamba," kata Tek Hoat.
"Hemm, untung Sang Puteri tidak terluka. Tek Hoat, ambil kembali pisau itu!"
"Hi-hi-hik, Pangeran, biarlah hamba yang mengambilnya!" Nenek itu mendahului Tek Hoat, tangan kanannya didorongkan ke atas ke arah pisau itu. Dari telapak tangan nenek itu menyambar hawa dahsyat ke atas, pisau itu bergoyang-goyang dan nenek itu memperkuat dorongan hawa dari tangannya dan pisau itu akhirnya runtuh dan diterima oleh nenek itu sambil terkekeh. Semua pengawal memandang kagum bukan main dan Tek Hoat diam-diam juga harus mengakui bahwa nenek ini merupakan lawan yang tangguh.
"Bukan main! Engkau ternyata lihai sekali, Kui-bo. Sungguh senang hatiku, memperoleh seorang pembantu lagi yang memiliki kepandaian tinggi."
"Hamba bersedia membantu Paduka sampai berhasil segala yang Paduka cita-citakan, dan hamba hanya mengharapkan ikut menikmati kemuliaan Paduka kelak."
"Ha-ha-ha, tentu saja, Kui-bo. Bantulah kami dan kelak engkau akan kuberi kedudukan yang mulia," Pangeran itu mengulurkan tangan dan menerima pisau itu dari tangan Hek-wan Kui-bo, lalu mengamati pisau itu penuh perhatian. Dia menoleh kepada Syanti Dewi sambil bertanya, "Sang Puteri, kami lihat pisau ini bukanlah buatan Bhutan, sungguhpun amat indahnya!"
"Memang bukan, Pangeran. Pisau itu adalah pemberian seorang sahabat saya yang paling baik." Sambil berkata demikian, Syanti Dewi membayangkan wajah Jenderal Kao yang seolah-olah menjadi pengganti orang tuanya ketika dia ditinggalkan oleh Gak Bun Beng di dalam benteng jendela itu. Melihat pisau itu disimpan oleh Pangeran Liong Khi Ong di ikat pinggangnya, dia tidak berani minta dan dia hanya berjalan keluar diiringkan oleh pangeran itu dan semua pengawal serta kaki tangannya.
Puteri Syanti Dewi yang sekali berjumpa telah membuat pangeran tua itu tergila-gila, segera memperoleh sebuah kamar istimewa di dalam gedung besar yang menjadi tempat tinggal sementara dari Pangeran Liong Khi Ong itu, dilayani oleh lima orang pelayan wanita, diberi pakaian dan perhiasan-perhiasan indah. Akan tetapi dengan halus semua itu ditolak oleh Syanti Dewi. Hati puteri ini masih gelisah. Dia terjatuh ke tangan pangeran yang dahulu dicalonkan menjadi suaminya. Dahulu dia tidak berani dan tidak dapat membantah kehendak ayahnya dan dia sudah menyerah kepada keadaan, bahkan dia telah diboyong dari istana ayahnya. Akan tetapi sekarang lain lagi persoalannya. Dia telah secara aneh terbebas dari ikatan itu, telah melakukan perantauan dan mengalami hal-hal yang luar biasa, maka kini diam-diam hatinya memberontak dan dia tidak bersedia lagi untuk menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong. Burung manakah yang setelah terbang bebas lepas di udara merindukan kurungan kembali" Teringat akan Gak Bun Beng, dia agak terhibur. Pendekar sakti itu sudah pasti akan mencarinya dan akan menolongnya ke luar dari kurungan baru ini.
Akan tetapi hatinya gelisah melihat betapa tugas pertama yang diterima oleh nenek mengerikan itu adalah menjaga di luar kamarnya! Nenek itu sambil tersenyum muncul di pintu dan berkata, "Wahai, Puteri jelita, Nona calon pengantin yang bahagia! Bukankah semua kata-kataku tepat belaka" Paduka telah berada di kamar seorang pangeran besar! Heh-heh, Paduka patut berterima kasih kepada hamba dan mudah-mudahan kelak Paduka tidak akan lupa akan jasa-jasa hamba."
Syanti Dewi tidak menjawab dan nenek itu terkekeh lagi. "Dan harap Paduka jangan mencoba untuk melarikan diri dari sini. Aku sendiri yang menjaga di sini atas perintah Pangeran, hi-hi-hik!" Dan wajah yang buruk itu lenyap dari pintu. Puteri itu menahan tangisnya, dan dia menjatuhkan diri di atas pembaringan dengan penuh kecemasan.
*** Ceng Ceng mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan, namun sebelum dia berhasil, dia telah dibelenggu dengan erat sehingga tidak mampu bergerak lagi. Juga Topeng Setan yang agaknya masih di bawah pengaruh obat bius itu telah dibelenggu erat-erat. Keduanya lalu diangkat dan didudukkan di atas kursi.
Tambolon tertawa bergelak dan minum arak untuk memberi selamat kepada diri sendiri yang telah merobohkan gadis lihai dengan pembantunya yang bertopeng itu, ditemani oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut yang lihai, menanti sampai dua orang yang sudah terbelenggu itu sadar, atau tepatnya menanti Topeng Setan sadar karena gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh obat bius yang terkandung di dalam arak yang disuguhkan kepada mereka sebagai ucapan selamat jalan tadi.
Topeng Setan siuman kembali dan mengeluh, menggerakkan kepalanya yang tadi terkulai menunduk.
"Ha-ha-ha-ha!" Tambolon tertawa nyaring, "Betapapun lihai kalian berdua, mana mampu menandingi kecerdikan kami!"
"Tak tahu malu!" Ceng Ceng memaki sambil memandang dengan mata berapi. "Katakan saja kecurangan, siapa bilang kecerdikan"
Tambolon menghirup araknya lalu melempar cawan arak ke atas meja sambil berkata, "Ha-ha-ha, Nona manis, engkau seperti seekor kuda betina liar yang pernah kukejar-kejar di padang rumput! Ketahuilah, setiap muslihat yang berhasil selalu merupakan kecerdikan bagi yang menang akan tetapi dianggap kecurangan oleh yang kalah! Kalau hendak membunuhmu, apa sukarnya" Akan tetapi aku sayang sekali, sayang akan kecantikanmu, keliaranmu, dan kepandaianmu, ha-haha. Kuda betina liar seperti engkau ini amat menarik, harus kujinakkan sendiri!" Raja Tambolon yang sudah setengah mabok itu mengusap mulutnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia memberi aba-aba kepada dua orang pengawal yang berjaga di situ, "Bawa kuda betina ini ke kamarku!"
Dua orang pengawal itu memberi hormat, lalu menghampiri Ceng Ceng yang sudah terbelenggu kaki tangannya seperti seekor lembu hendak disembelih itu. Mereka mengulur tangan dan mengangkat tubuh Ceng Ceng dari kanan kiri. Pada saat itu, Ceng Ceng mengerahkan tenaga sin-kangnya karena totokan di tubuhnya tadi sudah buyar sendiri, lalu mengumpulkan hawa beracun, mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Ban-tok Moli.
"Cuhh! Cuhh!" Dua kali dia meludah ke kanan kiri, tepat mengenai muka kedua orang pengawal yang sedang mengangkatnya itu. Mereka menjerit, melepaskan tubuh Ceng Ceng dan roboh bergulingan di atas lantai sambil berteriak-teriak, mencakar-cakar muka sendiri yang terkena sudah beracun tadi!
Raja Tambolon kaget, memerintahkan pengawal-pengawal lain untuk menyeret pergi dua orang yang terkena sudah beracun itu dan dia sudah mencabut sebatang pedang panjang sambil memandang kepada Ceng Ceng dengan mata marah, "Iblis betina! Kiranya engkau benar-benar iblis beracun! Untung ketahuan kini bahwa engkau adalah ular beracun, siluman ular yang harus dibasmi sebelum mencelakakan kami semua!"
"Huh, mau bunuh lekas bunuh! Siapa sih yang takut mati" Seribu kali lebih baik mati dengan gagah daripada hidup menjadi pengecut curang macam kamu, raja liar!" Ceng Ceng memaki-maki.
Tiba-tiba Topeng Setan berkata, "Sri Baginda, tahan dulu! Kita merupakan dua kekuatan yang kalau bersatu padu akan mendatangkan keuntungan besar. Mengapa menjadi bentrok sendiri" Membunuh kami berdua pun tidak ada gunanya karena Sri Baginda bersama seluruh pasukan telah masuk perangkap dan hanya kami berdualah yang akan dapat menolong."
Ceng Ceng merasa heran sekali mendengar ucapan Topeng Setan itu, akan tetapi dia juga amat cerdas dan dapat menduga bahwa tentu orang yang menjadi pembantunya, juga penolong dan sahabatnya, boleh dibilang gurunya pula, mempunyai suatu akal yang belum dapat dia menduganya.
"Eh, Topeng Setan!" bentaknya. "Perlu apa bicara dengan raja biadab ini" Biar saja dia dan pasukannya tertumpas habis, hendak kulihat bagaimana dia akan dapat membunuh kita!"
Raja Tambolon mengerutkan alisnya, tangannya yang memegang pedang ragu-ragu.
"Sri Baginda, jangan mendengar gertakan mereka!" Yu Ci Pok Si Siucai berkata.
"Bunuh saja, Sri Baginda. Wanita ini terlalu berbahaya dengan kelihaian racunnya!" Liauw Kui juga berkata.
Tiba-tiba Topeng Setan tertawa bergelak. "Sayang sekali! Sri Baginda Tambolon yang benar-benar gagah perkasa itu mempunyai pembantu-pembantu yang tolol. Sahabatku ini seorang beng-cu, mana mungkin hanya menggertak sambal belaka" Kalau kita berniat buruk, apa sih sukarnya meloloskan diri" Sambil berkata demikian, Topeng Setan menggerakkan kaki tangannya. Terdengar suara keras dan semua belenggu itu patah-patah dan dia sudah bebas! Dengan cepat dia lalu menghampiri Ceng Ceng dan mematah-matahkan belenggu kaki tangan dara itu.
"Aihh, kenapa engkau tergesa-gesa" Ceng Ceng berkata, seolah-olah menegur Topeng Setan. "Apa kaukira aku sendiri tidak bisa membebaskan diri" Tadinya aku masih ingin melihat apakah raja liar ini akan dapat membunuh kita."
"Maaf, Beng-cu. Kiranya Sri Baginda Tambolon sudah dapat mendengar kata-kata kita yang bermaksud baik."
Tambolon dan dua orang pembantunya kaget setengah mati. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang ini benar-benar lihai bukan main dan tadi agaknya hanya pura-pura saja. Jelas bahwa gadis itu tidak terpengaruh obat bius, akan tetapi Topeng Setan itu pun agaknya hanya pura-pura pingsan saja!
"Kepung....!" Tambolon berteriak karena khawatir kalau-kalau dua orang ini akan mengamuk dan lolos.
"Sri Baginda, apakah masih tidak percaya kepada kami" Topeng Setan berkata. "Pasukanmu sengaja disuruh menduduki dusun yang tidak ada artinya ini, karena pasukan Kim Bouw Sin sebenarnya menganggap pasukan Paduka hanya pasukan liar yang harus dibasmi, akan tetapi lebih dulu akan dipergunakan menentang pemerintah."
"Bohong! Sudah lama aku berhubungan dengan Pangeran Liong!" Tambolon berteriak.
"Paduka sungguh tidak dapat berpikir panjang. Pangeran Liong adalah dua orang saudara pemberontak, mana mungkin mempunyai hati setia" Seorang pemberontak adalah orang yang tidak setia kepada rajanya. Kalau kepada rajanya sendiri, bahkan dalam hal ini kakaknya sendiri, tidak dapat setia, apalagi terhadap Paduka yang dianggap raja bangsa liar" Selama mereka membutuhkan, tentu saja mereka bersikap baik kepada paduka, akan tetapi mereka akan menghancurkan pasukan Paduka begitu mereka tidak memerlukannya lagi."
Ceng Ceng terheran-heran mendengar semua kata-kata Topeng Setan ini. Biasanya, pembantunya yang tak pernah dia lihat mukanya ini jarang bicara, dan amat pendiam. Akan tetapi sekarang pandai sekali bicara, dan mengerti tentang seluk-beluk pemerintah dan pemberontakan agaknya.
"Hemmm.... hemmm.... orang bertopeng! Siapakah engkau" Mari duduk dan bicara, apa yang menjadi kehendakmu." Raja Tambolon mempersilakan mereka duduk dan memberi tanda dengan tangannya, sehingga semua anggauta pasukan yang sudah mengepung tempat itu mengundurkan diri. Dia tidak khawatir terhadap dua orang lihai ini karena selain dia sendiri dan dua orang pembantunya juga berkepandaian tinggi, juga di luar masih ada pasukannya yang amat banyak dan tidak mungkin dua orang ini dapat lolos. Akan tetapi dia tertarik sekali oleh kata-kata Topeng Setan tadi.
Setelah mereka duduk, Ceng Ceng yang mulai mengerti bahwa temannya itu tentu hendak menggunakan suatu taktik yang amat lihai, berkata mengejek, "Sri Baginda, apakah masih ada arakmu yang mengandung racun lebih hebat daripada tadi"
Raja Tambolon tertawa, "Ha-ha-ha, engkau memang hebat, Nona, baik sebagai kawan maupun sebagai lawan engkau amat mengesankan. Apa artinya arak beracun bagi seorang dewi beracun seperti engkau" Haii, pelayan! Ambil arak wangiku dari kamar!"
Pelayan berlari-lari dan tak lama kemudian mereka berlima kembali duduk seperti tadi, mengelilingi meja sambil minum arak wangi.
"Nah, sekarang perkenalkan dirimu dan ceritakan maksud hatimu," kata Tambolon.
"Semua orang mengenal saja sebagai Topeng Setan dan Nona ini adalah Nona Lu Ceng beng-cu dari kalangan liok-lim yang terkenal dan baru-baru ini diangkat dalam pemilihan. Kami tahu betul bahwa pihak pemberontak hanya mempergunakan pasukan Paduka untuk memperkuat diri. Karena melihat bahwa Paduka adalah orang gagah, maka kami lebih senang berkawan daripada berlawan. Dengan berkawan kita dapat bersama-sama menghadapi Kim Bouw Sin dan pasukan pemberontaknya."
"Huh! Topeng Setan, jangan bicara yang bukan-bukan! Kalau memang Pangeran Liong dan Panglima Kim Bouw Sin berhati bengkok, kami pasti akan membasminya. Akan tetapi jangan mengharap kami akan membantu Kerajaan Ceng-tiauw! Kalian agaknya adalah mata-mata Pemerintah Ceng!"
"Raja Tambolon, jangan engkau bicara sembarangan saja!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Aku adalah seorang bengcu, mana sudi merendahkan diri menjadi mata-mata" Lalu dia menoleh kepada Topeng Setan sambil berkata, "Apa kubilang tadi! Percuma saja bicara dengan orang-orang bodoh ini, membuang-buang tenaga dan waktu saja. Biarkan saja mereka ini hancur lebur!"
Raja Tambolon menepuk meja. "Baiklah, aku mendengarkan! Coba katakan, mengapa engkau menduga bahwa kami ditipu oleh pasukan pemberontak"
"Bukan menduga saja, Sri Baginda. Beng-cu telah menyebar banyak penyelidik dan dari para penyelidik itulah kami mengetahui akan hal itu."
"Nanti dulu, Topeng Setan. Kalau kalian bukan mata-mata Pemerintah Ceng, mengapa kalian tadi membela Panglima Thio yang mengepalai pertahanan di Ang-kiok-teng ini" Si Siucai yang cerdik bertanya dan kembali Tambolon timbul kecurigaannya.
"Phuihhh!" Ceng Ceng bangkit berdiri dan menggebrak meja sehingga mangkok piring berloncatan di atas meja. "Masih tidak percaya" Apakah hal begitu saja kalian tidak dapat menduga" Kalau kami tidak membantu mereka, tentu mereka itu tentu akan tahu bahwa kami berada di pihak musuh dan semua anak buah kami tentu akan celaka! Dan kalau memang kami membantu musuh apa kaukira aku sudi memberi obat penyembuh seratus orang-orangmu" Pendeknya, pilih satu antara dua. Percaya dan menjadi sahabat kami, atau tidak percaya dan menjadi musuh kami!"
Tambolon mengangkat tangannya. "Sabarlah, Nona.... eh, Beng-cu. Kalian muncul dengan tiba-tiba membuat kami bingung, apalagi mendengar akan berita yang aneh dan mengejutkan itu."
"Sri Baginda, kalau memang Panglima Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong berniat baik, mengapa pasukanmu tidak disuruh masuk ke Koan-bun saja" Mengapa diberi dusun kecil tidak ada artinya ini" Padahal pemusatan kekuatan pasukan mereka berada di Teng-bun! Dusun ini miskin dan tidak mempunyai benteng yang ketat, sebaliknya Koan-bun penuh dengan harta benda dan benteng yang kuat. Bahkan semua perbekalan untuk pasukan pemberontak dipusatkan di Koan-bun. Nah, kalau pasukan Sri Baginda di sini dikepung dan diserbu, bagaimana akan dapat mempertahankan diri" Maka usul kami, mari kita bersatu, anak buah kami akan kami kerahkan sebagai penyelundup-penyelundup dan kita serbu Koan-bun. Kalau pasukan Paduka sudah bekedudukan di benteng itu, kita tidak takut terhadap serbuan siapa pun."
"Bagus!" Tambolon berteriak girang. "Sungguh pikiran yang bagus! Andaikata tidak benar Pangeran Liong memusuhi dan menipu kami, masih bisa kami kemukakan alasan bahwa pasukanku tidak suka di dusun ini, maka kami mengambil alih Koan-bun. Bagus! Kita bergerak malam nanti!"
"Nanti dulu, Sri Baginda....!" Liauw Kui Si Petani Maut berkata sambil mengerutkan alisnya, "Topeng Setan, usulmu memang baik sekali. Akan tetapi, mengapa kalian mengusulkan kerja sama menyerbu Koan-bun ini" Kalau kalian tidak berpihak kepada Pemerintah Ceng, mengapa kalian memusuhi Pangeran Liong dan Panglima Kim"
Diam-diam Ceng Ceng dan Topeng Setan memuji kecerdikan dua orang pembantu dari Raja Tambolon itu. Ceng Ceng cepat membantu Topeng Hitam dengan jawaban yang lantang, "Kami tidak membantu siapa-siapa dan memusuhi siapa-siapa, melainkan bergerak demi kepentingan kami sendiri, demi kepentingan perkumpulan kami. Aku diangkat menjadi beng-cu tidak percuma, aku hanya dapat memperlihatkan bahwa mereka tidak sia-sia memilih aku sebagai beng-cu! Kami melihat betapa sia-sia usaha para pemberontak hendak menggulingkan pemerintah yang terlalu kuat, dan kami melihat betapa pasukan pemberontak telah mengumpulkan harta benda yang arnat banyak di Koan-bun dan Teng-bun. Maka, kesempatan baik ini mengapa kami sia-siakan" Selagi para pemberontak saling gempur, kita turun tangan mencari keuntungan di sini, bukankah itu baik sekali"
Topeng Setan berkata dengan nada mencela, "Beng-cu, urusan pribadi kita mengapa harus diberitahukan orang lain"
"Biarlah. Mereka telah menjadi sahabat kita, bukan" Ceng Ceng menjawab.
Raja Tambolon tertawa girang. "Baik, kita bekerja sama. Di mana anak buah kalian"
"Mereka tersebar di Koan-bun dan Teng-bun dan setiap saat dapat bergerak, tinggal menanti perintah dari Beng-cu," kata Topeng Setan.
"Kalau begitu, pergilah seorang di antara kalian untuk menggerakkan mereka. Malam nanti kita mengadakan persiapan dan besok malam kita menyerbu Koan-bun," Raja Tambolon berkata.
"Topeng Setan,kita pergi!" Ceng Ceng bangkit berdiri.
"Nanti dulu!" Raja Tambolon juga berdiri dan mengangkat tangan kanannya ke atas. "Maaf, bukan karena kurang percaya, melainkan kami harus berhati-hati. Kami hanya mau bekerja sama dan mau percaya kalau seorang di antara kalian yang pergi melaksanakan tugas itu. Orang ke dua tinggal di sini bersama kami!"
"Kau tetap tidak percaya" Ceng Ceng membentak marah.
"Harap Lu-bengcu suka beristirahat saja di sini, biarlah saya yang menghubungi teman-teman kita. Malam nanti atau selambat-lambatnya besok pagi saya tentu sudah kembali."
Ceng Ceng mengangguk. Dia tahu bahwa sahabatnya itu hendak menjalankan sesuatu yang tidak diketahuinya. Yang jelas, siasat Si Topeng Setan itu telah mengadu domba antara Tambolon dan pasukan pemberontak, suatu siasat yang baik sekali untuk membantu pemerintah secara tidak langsung dan untuk mengurangi kekuatan pemberontak! Dia makin kagum kepada pembantunya ini. Kiranya Topeng Setan juga berjiwa patriotik, menggunakan kesempatan itu untuk berpura-pura tertawan, kemudian menjalankan siasat bersahabat dengan mengadu domba dua kekuatan yang merupakan bahaya bagi pemerintah.
Setelah Topeng Setan berangkat, Ceng Cang lalu beristirahat di dalam sebuah kamar yang disediakan untuknya, hatinya girang bahwa dengan bantuan Topeng Setan dia akan dapat melakukan sesuatu untuk negara. Akan tetapi kalau dia teringat akan nasibnya, semua rasa girang itu lenyap. Setelah selesai urusan ini, aku akan mengerahkan seluruh waktuku untuk mencari Si Jahanam itu, demikian pikirnya ketika dia teringat akan musuh besarnya, pemuda laknat itu. Dan aku akan minta bantuan Topeng Setan!
*** "Gak-suheng, kita harus mencari Lee-ko!" Kian Bu berkata setelah dia berhasil diselamatkan oleh Gak Bun Beng dari pengeroyokan Tek Hoat dan Hek-wan Kui-bo yang lihai.
"Dan kita harus juga mencari Dewi," Gak Bun Beng berkata pula.
Mereka berdua lalu berusaha mencari dua orang itu, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah ditawan oleh Hek-wan Kui-bo dan dibawa lari ke Teng-bun, sedangkan Kian Lee dirawat oleh anak perempuan dari Ketua Pulau Neraka di dalam sebuah rumah.
Pada waktu itu, kota Koan-bun geger karena pihak pemberontak mengadakan operasi pembersihan. Hal ini menghalangi Bun Beng dan Kian Bu melanjutkan usaha mereka mencari Syanti Dewi dan Kian Lee. Setiap kali bertemu dengan pasukan pemberontak yang melakukan penggeledahan di sana-sini, mereka segera bersembunyi.
"Ah, aku khawatir sekali bahwa mereka keduanya telah tertawan pihak pemberontak," akhirnya Gak Bun Beng berkata dengan suara penuh kekhawatiran. Tentu saja dia memikirkan Syanti Dewi. Kalau sampai terjatuh ke tangan Pangeran Liong Khi Ong, tentu sukar untuk ditolong lagi. Diam-diam dia menyesal mengapa dia begitu lengah sehingga dapat terpisah dari gadis yang seharusnya berada di dalam perlindungannya itu.
Tiba-tiba mereka melihat dari tempat persembunyian mereka sebuah kereta yang tertutup dan dikawal oleh pasukan pengawal di depan, sedangkan di belakang tampak mengawal seorang pemuda. Bun Beng dan Kian Bu segera mengenal pemuda lihai yang mereka lawan tadi.
"Ah, yang di dalam kereta itu jangan-jangan orang yang kita cari...." Gak Bun Beng berkata.
"Kita serbu saja...." Kian Bu berbisik.
Bun Beng yang lebih berhati-hati itu menggeleng kepala. Dia maklum bahwa kalau mereka berdua menggunakan kekerasan di dalam kota yang sudah tertutup itu, berarti mencari mati karena tentu mereka akan dikeroyok oleh ratusan, bahkan ribuan orang pasukan pemberontak, belum lagi orang-orang lihai sekali yang menjadi kaki tangan pemberontak.
"Tunggu sebentar di sini, aku ada akal!" kata Bun Beng dan sekali berkelebat dia lenyap dari situ, membuat Kian Bu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menjadi kagum. Dan tak lama kemudian, Bun Beng sudah datang lagi membawa seorang perajurit pemberontak yang tadi menyendiri dan berhasil ditangkap dan ditotoknya, lalu dibawanya ke belakang rumah kosong di mana mereka bersembunyi itu.
"Hayo katakan siapa yang berada di dalam kereta yang lewat tadi! Kalau membohong, terpaksa kubunuh engkau!" Bun Beng menghardik dan memijat suatu urat di punggung yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sehingga orang itu berkata sambil menyeringai.
"Amptan.... di dalam kereta adalah Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim Bouw Sin....!"
Bun Beng dan Kian Bu terkejut mendengar ini.
"Mereka ke mana"
"Ke.... ke Teng-bun....!"
Bun Beng mendorong orang itu ke samping dan terdengar suara berdesing disusul jerit tertahan. Bun Beng menoleh dan melihat orang itu telah tewas disambar batu kepalanya.
"Mengapa kau melakukan itu" tanyanya dengan alis berkerut kepada Kian Bu.
Kian Bu menarik napas panjang. "Suheng, dalam keadaan sekacau ini terpaksa kita harus bertindak keras. Kalau tidak kubunuh dia, tentu dalam waktu sebentar saja mereka akan mengerahkan pasukan besar untuk mencari dan mengejar-ngejar kita. Pula, keterangan itu amat penting. Setelah Pangeran Liong Khi Ong sendiri berada di sini dan pergi ke Teng-bun bersama panglima pemberontak itu, sudah pasti mereka akan melakukan gerakan."
Gak Bun Beng mengangguk. "Memang, dan hal itu amat penting sekali untuk segera dilaporkan kepada.... Puteri Milana dan Jenderal Kao. Akan tetapi, kita belum dapat menemukan kakakmu dan Syanti Dewi...."
"Habis, bagaimana baiknya, Gak-suheng" Kedua urusan itu penting!"
"Sebaiknya engkaulah yang pergi melapor tentang Pangeran Liong dan Panglima Kim itu kepada kakakmu Puteri Milana dan Jenderal Kao, sedangkan aku mencari Syanti Dewi dan Kian Lee di tempat berbahaya ini."
"Ke mana aku harus mencari mereka"
"Kubantu engkau keluar dari pintu gerbang selatan, dan dari situ engkau langsung ke selatan di mana terdapat sebuah bukit. Setelah engkau mendaki bukit itu, di balik bukit terdapat hutan lebat. Di sanalah Jenderal Kao mempersiapkan pasukannya."
Setelah menerima petunjuk-petunjuk Gan Bun Beng, Kian Bu bersama pendekar sakti itu lalu mencari jalan di antara rumah-rumah penduduk menuju ke gerbang selatan. Hari telah mulai gelap sekali, awan menutupi angkasa yang seolah-olah ingin menyembunyikan diri agar jangan menyaksikan kebuasan manusia-manusia di dalam perang.
Penjagaan di sepanjang pagar tembok ketat sekali. Kota Koan-bun ini merupakan benteng pertahanan pertama dari barisan pemberontak, maka Panglima Kim Bouw Sin telah memerintahkan agar dilakukan operasi pembersihan dan penjagaan yang amat ketat dan telah mengerahkan sebagian pasukannya untuk mempertahankan dan menjaga Koan-bun itu. Terutama sekali penjagaan empat pintu gerbang di empat penjuru, ada kurang lebih seratus orang tentara menjaga di setiap pintu gerbang.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang peronda di bawah pagar tembok sambil menuding ke depan. Tampak ada bayangan berkelebat di sebelah barat. Teriakan ini disusul oleh berkumpulnya puluhan orang penjaga dan nampak anak panah berserabutan meluncur ke arah bayangan tadi yang dengan cepat menghilang. Selagi para penjaga mencari-cari dan memperketat penjagaan di bagian itu, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang tadi di sebelah timur.
"Tuh dia....!"
"Tangkap mata-mata!"
"Serang anak panah!"
Kembali orang-orang yang menjaga di bagian itu berlarian ke arah tempat itu dan anak-anak panah beterbangan. Namun hanya sebentar saja bayangan itu memperlihatkan diri karena dia sudah lenyap lagi dan tak lama kemudian dia muncul kembali di barat. Sekali ini dia berdiri di tempat terang di bawah lentera yang tergantung di pagar tembok. Tentu saja para penjaga, baik yang di bawah maupun di atas benteng, segera berdatangan ke tempat orang itu dan lebih dulu mereka menghujankan anak panah. Akan tetapi orang itu hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya dan semua anak panah runtuh ke sekeliling tubuhnya, menancap di atas tanah di sekitarnya!
Kini puluhan orang pasukan pemberontak menyerbu dengan pedang, golok, atau tombak di tangan mereka. Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng yang segera menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana ke mari mengelak dari semua serangan dengan amat mudahnya. Kemudian tiba-tiba dia menghilang di tempat gelap dan selagi para penjaga itu sibuk mencarinya, dia sudah muncul lagi di tempat lain yang tampak dari situ sehingga para penjaga ini dibikin kacau dan bingung oleh gerakannya yang amat cepat itu, sampai akhirnya semua kekuatan pasukan penjaga di bagian selatan dikerahkan untuk menangkap atau membunuh pengacau yang amat lihai ini. Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Bun Beng. Pada saat semua penjaga tertarik perhatiannya oleh pengacauannya itu, Kian Bu memperoleh kesempatan baik sekali, meloncat ke pintu gerbang, bagian paling rendah di antara pagar tembok itu, merobohkan dua orang yang bertugas menjaga di situ sedangkan semua penjaga yang lain ikut mengeroyok Bun Beng, kemudian terus naik ke pagar tembok dan dengan mudahnya keluar dari kota Koan-bun.
Teriakan dua orang penjaga pintu gerbang yang dirobohkan Kian Bu menarik perhatian mereka yang mengeroyok Bun Beng. Sebagian meninggalkan pengacau ini karena terlalu banyak orang mengeroyok pun tidak ada artinya, bahkan gerakan mereka menjadi kaku dan kacau. Sebagian dari mereka berlari-larian ke pintu gerbang, akan tetapi mereka tidak dapat melihat siapa yang telah merobohkan dua orang penjaga itu, sedangkan Bun Beng yang melihat Kian Bu telah berhasil keluar dari kota, lalu menghilang pula di dalam kegelapan malam!
Kian Bu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sekali ke selatan. Untung bahwa mendung tebal telah pergi terbawa angin ke utara, sehingga kini tampaklah sinar bulan sepotong yang dibantu oleh beberapa buah bintang menerangi jalan kecil itu. Bukit di depan nampak seperti seorang raksasa berdiri tegak dan Kian Bu mempercepat larinya menuju ke bukit itu. Ternyata bahwa bukit itu tidak berapa jauh dari Koan-bun dan segera dia dapat melewati puncaknya, lalu menurun menuju ke hutan yang hanya tampak dari atas sebagai tempat menghitam yang mengerikan.
Akan tetapi baru saja dia tiba di luar hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan hampir saja dia jatuh menelungkup ketika kakinya terjerat tali yang ditarik orang kanan kiri dan bermunculanlah orang-orang dari depan kanan kiri dan mengepungnya!
"Tahan....!" Kian Bu berseru karena dapat menduga bahwa dia telah tiba di tempat yang dituju dan mereka ini tentulah penjaga-penjaga pasukan Jenderal Kao yang mempunyai barisan pendam di hutan itu. "Aku datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Aku bukan musuh!"
Orang-orang yang sudah mengepung ketat itu datang makin rapat, menodongkan senjata mereka ke arah pemuda itu. Seorang di antara mereka menghardik, "Ikut dengan kami menghadap!"
Kian Bu bersikap sabar dan dengan todongan senjata di sekelilingnya, dia digiring masuk ke dalam hutan. Beberapa orang perajurit mendekatkan lentera sehingga mereka dapat melihat wajah Kian Bu, akan tetapi tidak ada seorang pun mengenalnya, maka tentu saja pengepungan menjadi makin ketat. Diam-diam Kian Bu memuji mereka ini sebagai perajurit-perajurit yang baik, karena kalau perajurit-perajurit seperti ini yang menjaga pagar tembok kota Koan-bun tadi, agaknya dia tidak dapat keluar demikian mudahnya.
Masuknya seorang mata-mata di tempat pemusatan pasukan rahasia itu tentu saja merupakan hal yang amat penting. Kalau pihak pemberontak mengetahui akan pemusatan pasukan pemerintah di tempat itu, tentu semua rencana akan menjadi gagal. Maka begitu mendengar bahwa ada mata-mata memasuki hutan dan telah ditangkap, Jenderal Kao sendiri besama Puteri Milana keluar untuk melihat tawanan mata-mata itu. Ketika melihat bahwa yang disangka mata-mata itu adalah Kian Bu, tentu saja mereka menjadi girang sekali.
"Lepaskan dia, orang sendiri!" Jenderal Kao membentak. Para penjaga itu terkejut dan girang sekali bahwa mereka tadi tidak lancang tangan menyerang pemuda itu yang kelihatan begitu akrab dengan Jenderal Kao dan Puteri Milana, bahkan puteri itu sudah memegang lengannya dengan senyum manis. Mereka lalu memberi hormat kepada Kian Bu dan pemimpin mereka mengucapkan pernyataan maaf.
Kian Bu tertawa. "Kalian adalah penjaga-penjaga yang amat baik." Maka kembalilah pasukan penjaga itu ke tempat penjagaan masing-masing dengan hati lega karena mereka tidak dimarahi, bahkan dipuji.
Sementara itu, Kian Bu cepat diajak masuk ke dalam pondok darurat oleh Milana dan Jenderal Kao. Tak lama kemudian pemuda itu sudah menceritakan semua keadaan di kota Koan-bun dengan jelas. Juga diceritakannya betapa munculnya pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri menggegerkan kota Koan-tiun sehingga dia bersama Kian Lee terpisah dari Bun Beng dan Syanti Dewi. Kemudian betapa Kian Lee terluka oleh senjata peledak yang dilepas nenek buruk rupa, kemudian betapa dia pun terpisah dari Kian Lee sampai dia ditolong oleh Gak Bun Beng.
"Gak-suheng cepat menyuruh saya datang melapor ke sini setelah kami ketahui bahwa Pangeran Liong Khi Ong ternyata tadinya juga berada di Koan-bun dan sekarang bersama Kim Bouw Sin telah berada di Teng-bun."
Milana mengerutkan alisnya. Dia khawatir sekali mendengar bahwa adik tirinya, Suma Kian Lee, terluka dan lenyap, juga bahwa Puteri Syanti Dewi lenyap dan kini masih dicari-cari oleh Gak Bun Beng di Koan-bun. Akan tetapi karena dia sedang menghadapi tugas pemerintah yang lebih penting lagi, maka dia tidak menyinggung urusan yang amat dikhawatirkannya itu dan dia berkata kepada Jenderal Kao, "Hadirnya Pangeran Tua itu tentu merupakan tanda bahwa mereka sudah siap untuk menyerbu ke selatan. Agaknya kedua orang Pangeran Tua itu memecah diri, yang seorang mendampingi Kim Bouw Sin merupakan penyerbuan dari luar, sedangkan yang seorang lagi tentu melakukan gerakan dari dalam."
Jenderal Kao mengangguk-angguk dan mengusap-usap jenggotnya. "Jalan satu-satunya hanyalah menghancurkan mereka sebelum mereka bergerak! Kalau sampai terjadi perang di selatan tentu akan menimbulkan kerusakan hebat di kalangan rakyat. Akan tetapi, saya tahu betapa kuatnya benteng Teng-bun, dan menurut penyelidikan saya kekuatan mereka cukup besar, terdiri dari tiga puluh ribu orang lebih. Menyerbu Teng-bun merupakan pekerjaan yang sulit dan tentu akan makan korban banyak perajurit."
"Bagaimana kalau kita menyerbu Koan-bun" Puteri Milana mengajukan usul, tentu saja masih dipengaruhi kekhawatirannya tentang Kian Lee dan Syanti Dewi.
"Merebut Koan-bun jauh lebih mudah, akan tetapi tidak begitu besar manfaatnya, bahkan sisa pasukan mereka tentu akan lari ke Teng-bun, membuat benteng itu menjadi makin kuat. Kalau saja ada jalan untuk memecah kekuatan mereka menjadi dua...."
Jenderal Kao tidak melanjutkan kata-katanya karena mendengar teriakan penjaga minta diperkenankan masuk. Setelah perkenan diberikan, dua orang perajurit masuk dan memberi tahu bahwa lagi-lagi ada seorang yang disangka mata-mata telah ditangkap dan sudah digiring ke situ.
"Hemm, sungguh aneh.... tempat kita amat rahasia, siapa yang bisa tahu bahwa kita berada di sini" kata jenderal itu. "Bawa dia ke sini!"
Dua orang perajurit memberi hormat, ke luar dan tak lama kemudian, sepasukan penjaga menggiring seorang pemuda tinggi besar memasuki pondok itu.
"Kok Cu....!" Jenderal Kao melompat bangun saking kaget dan girangnya melihat puteranya itu! "Lihat baik-baik!" katanya kepada para penjaga. "Dia ini adalah Kao Kok Cu, puteraku sendiri. Hayo kalian semua pergi dan menjaga lagi yang waspada!"
Kok Cu sudah melangkah maju dan berlutut di depan Jenderal Kao. "Ayah....!"
Jenderal Kao mengangkat bangun puteranya dan memandang dengan mata berseri. "Aih, ke mana saja engkau, Anakku" Cepat kau beri hormat kepada beliau ini. Beliau adalah Puteri Milana."
"Kiranya inilah puteramu yang dikabarkan kembali setelah lenyap bertahun-tahun, Jenderal" Sungguh gagah dia!" Milana berkata memuji ketika Kok Cu memberi hormat kepadanya.
"Apa kabar, Saudara Kok Cu yang gagah!" Kian Bu berkata dan Kok Cu juga menyalam pemuda Pulau Es yang pernah dijumpai sebentar di rumah ayahnya di kota raja.
"Ayah, maaf, agaknya tidak ada waktu untuk bicara tentang urusan pribadi dalam saat seperti ini. Anak datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi gerakan Ayah untuk membasmi pemberontak."
Jenderal Kao membelalakkan matanya, lalu menghela napas dengan perasaan gembira dan lega yang amat besar. Kiranya puteranya ini sama sekali tidak mengecewakan sebagai puteranya! Tanpa pernah dia memberi didikan sedikit pun, sikap puteranya ini sudah seperti seorang gagah sejati, seorang berjiwa pahlawan, dan tentu saja dia merasa amat bangga karena ucapan puteranya itu dikeluarkan di depan Puteri Milana, pahlawan wanita yang amat dikaguminya itu.
"Tentu saja, Anakku," jawabnya dengan nada biasa padahal hatinya membesar saking bangganya. "Ceritakanlah, berita apa yang kaubawa itu"
"Ayah, dan Paduka Puteri.... Ang-kiok-teng pagi hari tadi telah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon!"
Jenderal Kao mengerutkan alisnya. Kalau hanya itu beritanya, sama sekali tidak penting lagi. "Hemm, kami sudah mendengar dengan jelas tentang itu, Kok Cu, Panglima Thio telah tiba di sini menceritakan tentang terampasnya Ang-kiok-teng, dan bahkan betapa dia diselamatkan oleh seorang gadis cantik yang lihai dan seorang laki-laki bermuka buruk seperti setan." Dia berhenti sebentar, termenung.
"Aku sangat tertarik akan kelihaian gadis penolongnya itu, yang kabarnya dengan menggunakan racun merobohkan seratus orang anak buah Tambolon. Apakah engkau juga tahu dia itu siapa, Kok Cu" Jenderal Kao bertanya.
"Ayah sudah mengenal dia baik-baik," Kok Cu berkata. "Dia adalah gadis yang gambarnya Ayah sembahyangi dahulu itu...."
"Apa...." Kaumaksudkan Nona Lu Ceng...." Jenderal Kao bangkit dan memegang pundak puteranya. Kalau bukan Kok Cu yang dicengkeram pundaknya seperti itu saking kaget dan girangnya hati jenderal raksasa ini, agaknya akan remuk tulang pundaknya!
"Benar, Ayah. Saya telah menyelidiki dengan jelas."
"Dan laki-laki bermuka buruk seperti setan itu"
"Dia disebut Topeng Setan, kabarnya menjadi pembantu Nona Lu Ceng yang telah menjadi beng-cu orang-orang golongan hitam. Sekarang mereka bersekutu dengan Tambolon."


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa...." jenderal itu berseru kaget.
"Akan tetapi berita yang amat penting yang hendak anak sampaikan adalah bahwa besok malam pasukan-pasukan liar yang dipimpin Tambolon secara serentak akan meninggalkan Ang-kiok-teng dan menyerang Koan-bun untuk dirampasnya."
"Heiii...." Milana berseru kaget. Berita ini mengejutkan dan tidak terduga-duga sama sekali.
Jenderal Kao Liang memejamkan matanya, alisnya yang tebal berkerut-kerut dan dia berpikir-pikir. Tiba-tiba dia membuka matanya, memandang puteranya dan suaranya memecah kesunyian, "Engkau yakin benar akan berita ini, Kok Cu"
"Sudah pasti, Ayah. Saya mendengar sendiri keputusan itu keluar dari mulut Raja Tambolon dan mereka kini sedang bersiap-siap."
Tiba-tiba Jenderal Kao tertawa bergelak dan memukul-mukul pahanya sendiri. "Ha-ha-ha-ha! Bodoh sekali aku, hampir saja meragukan kebersihan hati seorang gadis pahlawan!" Lalu dia menoleh kepada Puteri Milana sambil berkata,
"Thian telah mengirim gadis itu untuk memberi jalan kepada kita! Tentu dia telah menggunakan siasat, bersekutu dengan Tambolon dan mengajaknya menghantam pemberontak di Koan-bun. Entah dengan janji dan siasat apa dia berhasil! Inilah kesempatan kita. Kita biarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak saling hantam, sampai salah satu hancur, kemudian kita gunakan kesempatan selagi pihak yang menang lengah dan lelah, kita serbu Koan-bun dan Teng-bun. Untuk membantu Koan-bun, tentu pasukan di Teng-bun akan dikurangi dan benteng itu tidak sekuat sekarang."
Puteri Milana mengangguk-angguk. "Siapakah dia Nona Lu Ceng itu, Kao-goanswe"
"Ha-ha-ha, sungguh dia hebat dan sudah membikin aku seorang tua tertipu beberapa kali. Tadinya dia terjungkal di dalam sumur maut ketika menolongku dari pengkhianatan Kim Bouw Sin, dia kusangka mati dan bahkan sudah kusembahyangi! Kiranya dia benar masih hidup! Tadi kusangka dia telah menjadi orang sesat karena selain menjadi ahli racun juga menjadi beng-cu kaum sesat, kiranya dia masih seorang patriot yang dengan caranya sendiri membasmi pemberontak!"
Malam ini juga Jenderal Kao dan Puteri Milana mengatur siasat dan membagi-bagi tugas. Sepertiga jumlah pasukan akan memasang barisan pendam di sekitar Koan-bun dan akan menanti sampai pasukan liar Tambolon menyerbu Koan-bun, membiarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak perang sendiri dan Kok Cu ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan ini.
"Tunggu sampai perang itu selesai dan pihak pemenang, baik pihak pemberontak maupun pihak Tambolon, berpesta merayakan kemenangannya sehingga lengah, baru turun tangan serbu dan rampas Koan-bun. Pasukan itu terdiri dari lima ribu orang perajurit pilihan, dan engkau dibantu oleh Perwira Thio Luk Cong, bekas komandan di Ang-kiok-teng. Nah, kauatur dan rundingkan dengan Thio-ciangkun, sedangkan urusan pribadi kita bicarakan kalau semua tugas sudah selesai dengan baik."
"Baik, Ayah."
Thio Luk Cong lalu dipanggil dan bersama Kok Cu mereka lalu keluar dari pondok itu untuk merundingkan dan mengatur pasukan mereka yang bertugas bergerak di Koan-bun setelah membiarkan pihak pemberontak bertempur sendiri dengan pasukan liar yang dipimpin Tambolon. Kok Cu menyerahkan pimpinan pasukan kepada Panglima Thio karena dia sendiri merasa tidak mampu mengatur barisan dan dia berjanji akan menyelundup lebih dulu ke Koan-bun dan menyelidiki keadaan. Panglima Thio memberikan anak panah-anak panah berapi kepada Kok Cu dan mereka berjanji bahwa panah berapi itulah yang akan menjadi tanda dari Kok Cu bahwa saatnya yang tepat telah tiba bagi pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Thio-ciangkun untuk turun tangan menyerbu Koan-bun.
Lima ribu orang pasukan lagi bertugas untuk memotong jalan kalau barisan pemberontak dari Teng-bun mengirim bala bantuan ke Koan-bun, dan lima ribu orang pasukan lagi bertugas menyerbu Teng-bun. Pasukan pertama dipimpin oleh Puteri Milana dan pasukan ini juga bertugas sebagai pembantu pasukan yang menyerbu Teng-bun yang menjadi pusat kekuatan pemberontak, sedangkan pasukan penyerbu Teng-bun itu dipimpin oleh Jenderal Kao sendiri, dibantu oleh Kian Bu. Pemuda ini masih merasa gelisah memikirkan Kian Lee yang tidak tahu berada di mana, juga Puteri Syanti Dewi yang lenyap. Akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan untuk mencari, dan perang sudah berada di depan mata, pemuda ini terpaksa menekan kekhawatirannya dengan hiburan bahwa kakaknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan biarpun mengalami luka di pahanya, kiranya masih akan mampu menjaga diri dengan baik. Hanya dia gelisah memikirkan Syanti Dewi, karena kalau puteri itu terjatuh ke tangan pemberontak, tentu celaka. Akan tetapi dia mempunyai harapan dan kepercayaan bahwa Gak Bun Beng kiranya akan dapat mencari dan menemukan kedua orang yang lenyap itu.
Setelah Kok Cu berunding dengan Panglima Thio Luk Cong dan menerima pesan-pesan ayahnya, menjelang pagi dia meninggalkan hutan itu untuk mulai dengan tugasnya, membantu Panglima Thio yang diam-diam menggerakkan pasukannya menjadi barisan pendam di sekitar kota Koan-bun.
Tek Hoat melayani Pangeran Liong Khi Ong makan minum. Pemuda ini kelihatannya biasa saja, akan tetapi sebenarnya hatinya merasa risau bukan main. Semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan melihat puteri bangsawan itu terjatuh ke tangan Pangeran Tua ini, hatinya selalu gelisah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa, akan tetapi dia merasa betapa semua semangatnya lenyap, kegairahannya untuk membantu pihak pemberontak agar dapat cepat mencapai kemenangan dan dia memperoleh kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi, kini menjadi dingin dan kehilangan artinya. Bahkan kegembiraan Pangeran Liong Khi Ong yang makan minum sampai mabok ditemani oleh panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan dia sendiri bersama Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mendatangkan kegembiraan pula di dalam hatinya, bahkan sebaliknya dia merasa tidak senang, sungguhpun ketidaksenangannya ini tidak dia perlihatkan. Tanpa disadarinya sendiri, terjadi perubahan di dalam hati Tek Hoat, dan perubahan itu terjadi di luar pengetahuannya dan hanya disebabkan oleh kehadiran Syanti Dewi sebagai orang tawanan Pangeran Liong Khi Ong.
Memang Pangeran Liong Khi Ong gembira sekali setelah dia dapat menawan Syanti Dewi yang ternyata luar biasa cantiknya, melebihi semua kabar yang pernah diperolehnya tentang Puteri Bhutan yang oleh Kaisar dijodohkan dengan dia itu. Kehadiran puteri itu secara tak terduga-duga sampai terjatuh ke tangannya sungguh merupakan hal yang amat menguntungkan, baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk perjuangannya. Puteri Bhutan itu merupakan orang penting pada waktu itu. Pertama-tama, siasat mereka menimbulkan sakit hati Raja Bhutan dengan lenyapnya Syanti Dewi ketika diantar ke timur telah berhasil, dan kelak, kalau perjuangan itu berhasil dan dia bersama kakaknya menduduki tampuk pemerintahan, lalu mereka "berjasa" menemukan kembali Puteri Bhutan yang hilang itu, berarti menanam hubungan baik dengan Bhutan. Ketiganya, dia dapat memiliki puteri cantik jelita itu disamping jasa-jasa baik ini!
"Eh, Kim-ciangkun, bagaimana beritanya tentang Tambolon dengan pasukannya yang menyerbu Ang-kiok-teng" Pangeran yang mukanya sudah merah itu bertanya kepada Panglima Kim Bouw Sin.
Kim Bouw Sin tersenyum lebar. "Tepat seperti yang kita rencanakan, berkat siasat Ang-taihiap yang cerdik sekali. Tambolon dan anak buahnya itu seperti gerombolan anjing kelaparan, diberi tulang-tulang busuk pun sudah berebutan! Kini mereka kekenyangan tulang busuk dan tidak banyak menggonggong lagi. Tunggu beberapa hari lagi dan kalau mereka sudah mulai lapar, kita pergunakan mereka sebagai pasukan-pasukan pelopor menyerbu ke selatan."
Pangerap Liong Khi Ong tertawa gembira dan berkata sambil memandang Tek Hoat, "Untuk jasa itu kami perlu memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Ang Tek Hoat."
Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong Khi Ong memberi selamat dengan minum arak yang terpaksa diterima dan diikuti oleh Tek Hoat dengan hati berat, akan tetapi Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak mengangkat cawan arak mereka. Melihat hal ini, Tek Hoat mengerutkan alisnya akan tetapi dia diam saja. Liong Khi Ong yang melihat hal ini menjadi tidak senang hatinya. Tek Hoat adalah pembantunya yang utama, tangan kanannya, sedangkan dua orang kakek aneh itu kiiti merupakan pembantu-pembantu Kim Bouw Sin.
"Eh, Ji-wi Siang Lo-mo mengapa tidak ikut memberi selamat kepada Ang Tek Hoat yang sudah berjasa besar"
Pak-thian Lo-mo yang mukanya putih itu tidak menjawab, hanya menunduk dan mengerling ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang. Sedangkan Lam-thian Lo-mo yang lebih pandai bicara, mengangguk hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong sambil berkata, "Siasat itu memang baik sekali dan sudah sepatutnya kalau semua memujinya. Akan tetapi setelah apa yang kami dengarkan dari Hek-wan Kui-bo, kami berdua menjadi agak ragu-ragu untuk memberi selamat, sebelum Ang-sicu memberi penjelasan akan perbuatannya itu."
Tek Hoat memandang kakek kembar itu dengan sinar mata tajam dan mereka pun menatap wajahnya dengan penuh selidik sehingga mereka saling pandang dengan sinar mata yang makin lama makin menjadi panas! Api persaingan telah mulai menyala di antara para pembantu utama pimpinan pemberontak itu!
Tek Hoat yang cerdik itu tentu saja telah dapat menduga apa yang telah diceritakan oleh nenek buruk itu, akan tetapi dengan cerdik dia malah sengaja menantang untuk menimbulkan kesan bahwa dia tidak menyimpan rahasia apa-apa, dan dia bertanya, "Siang Lo-mo, di depan Pangeran dan Kim-ciangkun, tidak perlu bicara sembunyi-sembunyi, katakan saja mengapa kalian meragukan aku dan apa yang telah diceritakan oleh nenek iblis itu kepada kalian mengenai diriku."
Sepasang kakek kembar itu saling pandang dan nampaknya mereka terheran melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gugup atau takut sebagaimana biasanya orang yang melakukan kesalahan. Kemudian Lam-thian Lo-mo berkata lagi, "Kami mendengar dari Hek-wan Kui-bo bahwa ketika engkau diajak oleh Kui-bo melihat gadis yang ditawannya, tiba-tiba engkau menyerangnya sehingga nenek itu terpaksa melarikan diri dan cepat melapor kepada Pangeran tentang Puteri Bhutan itu. Bukankah perbuatanmu itu aneh sekali, Ang-sicu"
Suasana menjadi sunyi dalam ruangan itu setelah Lam-thian Lo-mo mengajukan pertanyaan ini. Pangeran Liong Khi Ong dan Panglima Kim memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata jelas membayangkan keheranan dan keinginan tahu, menuntut penjelasan. Tek Hoat telah memutar otaknya dan kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum ketika dia berkata kepada kakek kembar itu, "Tentu saja ada penjelasanku untuk hal itu. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku lebih dulu ingin mengetahui bagaimana pendapat dan dugaan Siang Lo-mo tentang perbuatanku itu sehingga kalian menaruh curiga kepadaku"
Pertanyaan ini jelas merupakan tantangan kepada sepasang kakek kembar untuk membuka isi hatinya di depan Pangeran Liong dan Panglima Kim. Pak-thian Lo-mo yang tidak pandai bicara, melihat saudara kembarnya ditantang, segera bertepuk tangan dan berkata tegas, "Ang-sicu mendengar Kui-bo hendak mempersembahkan gadis itu kepada Pangeran lalu menyerangnya, tentu berniat hendak memiliki sendiri dara cantik itu!"
Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada Lam-thian Lo-mo. "Demikiankah pendapatmu pula"
Lam-thian Lo-mo mengangguk. "Apa lagi kalau tidak begitu niatmu, Sicu" Karena kecantikan seorang gadis, hampir engkau meninggalkan kesetiaanmu!"
Tek Hoat lalu menoleh kepada Pangeran Liong dan Panglima Kim yang memandangnya tajam, lalu bertanya, "Apakah saya diharuskan menjelaskan perbuatan saya menyerang Hek-wan Kui-bo"
Pangeran Liong mengangguk. "Karena pertanyaan telah diajukan, hati kami tidak akan merasa puas sebelum mendengar penjelasanmu, Ang Tek Hoat."
Tek Hoat lalu berkata, suaranya lantang dan tenang, "Memang saya akui bahwa saya telah menyerang nenek iblis itu. Saya bertemu dengan nenek itu di jalan dan hal ini saja sudah menimbulkan kecurigaan saya, menyangka bahwa dia adalah seorang mata-mata musuh. Kemudian dia menyatakan hendak mempersembahkan seorang gadis. Tentu saja kecurigaan saya bertambah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, siapa tidak mencurigai nenek iblis yang tiba-tiba saja hendak mengabdi dan mempersembahkan seorang gadis sebagai sogokan" Dan ketika saya dibawanya masuk ke dalam gedung Coa-wangwe, melihat Coa-wangwe sekeluarga dibelenggu, saya hampir yakin bahwa nenek iblis itu tentulah seorang mata-mata musuh yang amat berbahaya. Coa-wangwe adalah seorang sahabat kita yang banyak membantu perjuangan, melihat dia sekeluarga diperlakukan seperti itu, siapa yang tidak merasa marah dan curiga" Apalagi setelah saya melihat bahwa gadis itu bukan lain adalah Sang Puteri Syanti Dewi yang tentu saja saya segera mengenalnya, kecurigaan saya menjadi bulat bahwa nenek ini mempunyai niat yang jahat, maka tanpa banyak cakap lagi saya lalu menyerangnya. Sampai detik itu pun saya masih mencurigai nenek itu, apakah hal ini berarti aku kehilangan kesetiaan"
Tek Hoat bicara dengan tenang dan lancar, dan alasannya cukup meyakinkan sehingga bukan hanya Pangeran Liong dan Panglima Kim yang mengangguk-angguk, bahkan Siang Lo-mo sendiri juga mengangguk dan lenyaplah kecurigaan mereka.
Pangeran Liong tertawa girang. "Bagus, dengan demikian teranglah sudah segalanya. Dan engkau tidak perlu meragukan, Tek Hoat. Nenek itu adalah seorang tokoh besar golongan hitam, mana mungkin dia membantu Pemerintah Ceng" Bahkan dia menyatakan bahwa suhengnya yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, yang katanya memiliki kepandaian paling tinggi di dunia ini, juga sudah berada di kota ini dan siap membantu perjuangan kita, demikian pula seorang sumoinya yang amat lihai berjuluk Mauw Siauw Mo-li."
Tek Hoat mengangguk-angguk. "Kalau begitu, saya tidak curiga lagi akan tetapi kecurigaan saya hanya karena saya setia terhadap perjuangan, tidak seperti kecurigaan Siang Lo-mo terhadap saya yang didasari oleh perasaan iri hati!"
"Hemm, apa maksudmu dengan kata-kata itu, Ang-sicu" Pak-thian Lo-mo bertanya dengan suara keren dan pandang mata tajam.
Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada kakek kembar itu dengan sinar mata mengejek, "Maksud saya sudah jelas! Kalian tidak suka memberi selamat kepadaku karena iri, maka biarlah sekarang saya yang memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" Sambil tersenyum, Tek Hoat membuka kedua tangannya ke arah dua buah cawan arak kosong yang terletak di atas meja, di depan dua orang kakek kembar itu dan seperti bernyawa saja, dua buah cawan arak kosong itu "terbang" ke arah kedua tangan Tek Hoat. Pemuda ini cepat mengisi dua cawan arak itu dengan arak sampai penuh, kemudian mengangkat dua cawan yang penuh arak itu dengan lengan kedua tangan dilonjorkan dan disodorkannya kedua cawan itu ke arah Siang Lo-mo sambil berkata, "Nah, terimalah pemberian selamat saya kepada kalian!"
"Tek Hoat dan Siang Lo-mo, jangan melakukan kekerasan dan bertentangan antara kawan sendiri!" Pangeran Liong Khi Ong berkata dengan khawatir.
"Saya hanya memberi selamat kepada Siang Lo-mo, Pangeran," Tek Hoat menjawab tenang.
Lam-thian Lo-mo tertawa, "Ha-ha-ha, harap Paduka jangan khawatir, agaknya Ang-sicu hanya ingin menguji hamba berdua." Dia menoleh kepada Pak-thian Lo-mo dan berkata, "Mari kita menerima pemberian selamat Ang-sicu."
Dua orang kakek kembar itu lalu meluruskan lengan dan menyambut cawan arak itu dengan tangan kanan mereka, tentu saja mereka yang maklum bahwa pemuda itu bukannya memberi selamat secara biasa saja, mereka telah mengerahkan sin-kang mereka, disalurkan melalui lengan sampai ke tangan mereka ketika jari-jari tangan mereka menyentuh cawan arak.
Jari-jari tangan tiga orang itu melekat pada dua buah cawan itu dan lengan mereka mulai tergetar hebat. Adu tenaga sin-kang terjadi, satu melawan dua! Sepasang kakek kembar itu sudah mengenal Tek Hoat dan maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi karena mereka maju berdua, mereka tidak menjadi gentar dan mereka yakin bahwa tidaklah mungkin lawan semuda itu akan dapat mengalahkan tenaga sin-kang mereka yang tergabung.
Pangeran Liong Ki Ong dan Panglima Kim Bouw Sin memandang dengan hati tegang akan tetapi juga gembira karena mereka memang sering menduga-duga siapa di antara mereka yang lebih lihai, sungguhpun terdapat kekhawatiran di dalam hati mereka bahwa adu tenaga sin-kang itu akan berubah menjadi pertandingan sungguh-sungguh. Mereka memandang dengan hati berdebar dan terkejutlah mereka melihat betapa arak di dalam dua cawan itu tiba-tiba menjadi naik dan terguncang. Mereka melihat Tek Hoat tersenyum dan agaknya pemuda itu hendak menggunakan sin-kangnya untuk membuat arak itu terus naik dan muncrat ke arah dua orang kakek kembar. Akan tetapi, dua orang kakek itu mengerahkan tenaga mereka dan arak itu turun kembali. Beberapa kali arak itu naik lagi, bahkan sampai melampaui bibir cawan, dan anehnya tidak tumpah seolah-olah arak itu menjadi beku, dan setelah dua orang kakek itu kelihatan mengerahkan seluruh tenaga, barulah arak itu turun lagi. Mereka bersitegang beberapa lamanya dan sepasang kakek kembar itu sudah mulai berkeringat dahi mereka akan tetapi Tek Hoat masih tenang dan tersenyum, seolah-olah dia tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biarpun dia dikeroyok dua, namun dia sama sekali tidak terdesak.
Melihat keadaan dua orang kakek yang menjadi pengawal dan pembantu-pembantunya itu kelihatan terdesak dan berkeringat, Panglima Kim hendak menghentikan adu tenaga ilmu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa halus seorang wanita dan tampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ tahu-tahu telah berdiri dua orang yang kedatangannya seperti setan saja! Yang seorang adalah kakek yang tubuhnya tinggi besar dan mukanya menyeramkan seperti raksasa liar, akan tetapi orang ke dua merupakan seorang wanita yang cantik dengan pakaian mewah dan dia muncul didahului bau harum semerbak! Sambil tersenyum wanita dan kakek raksasa itu mendekati meja. "Aihh, suguhan arak kalau tidak diterima sungguh sayang. Biar aku mengambil satu cawan!"
"Ha-ha, kau benar sekali, Mo-li! Engkau secawan dan aku secawan!" Kakek raksasa itu pun berkata sambil tertawa dan tampaklah dua buah taring di dalam mulutnya.
Mereka membuka mulut dan menyedot, dan.... arak dari dalam cawan yang sedang diperebutkan oleh Tek Hoat dan Siang Lo-mo itu tiba-tiba bergerak naik dan keluar, terus memancar naik memasuki mulut wanita dan kakek raksasa itu yang menelannya dengan enak sekali.
Melihat ini, Tek Hoat dan Siang Lo-mo menarik kembali tenaga mereka. Mereka tidak merasa heran dengan perbuatan dua orang pendatang baru itu. Karena tadi mereka saling mengadu tenaga dan mempertahankan cawan, tentu saja dua orang yang juga memiliki sin-kang kuat itu berhasil "mencuri" arak dari dalam kedua cawan. Andaikata mereka bertiga tidak sedang mengadu tenaga dan mempertahankan, tidak mungkin dua orang itu akan dapat "minum" semudah itu.
Tek Hoat dan Siang Lo-mo sudah meloncat berdiri untuk melindungi Pangeran Liong dan Panglima Kim, sedangkan panglima itu sendiri sudah berteriak memanggil para pengawal yang berada di luar. Pasukan pengawal berlari masuk dan mereka terheran-heran melihat adanya dua orang itu yang tidak mereka lihat masuknya.
"Heh-heh, harap Paduka Pangeran dan Ciangkun tidak salah paham. Suhengku dan sumoiku sudah datang untuk menyumbangkan tenaga!" Suara ini terdengar dari dalam, suara Nenek Hek-wan Kui-bo.
Mendengar ini, Pangeran Liong Khi Ong mengangkat tangan menahan pasukan pengawal yang sudah mengurung dua orang itu, lalu bertanya, "Apakah kalian yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li"
Kakek tinggi besar dan wanita cantik itu menjura dengan hormat, dan kakek raksasa itulah yang menjawab, "Tepat dugaan Paduka Pangeran Liong Khi Ong!"
"Maafkan kedatangan kami yang tidak diundang," kata pula Mauw Siauw Mo-li dengan suaranya yang halus, lirikan matanya menyambar ke wajah Tek Hoat yang tampan dan senyumnya memikat.
Pangeran Liong Khi Ong terkenal sebagai seorang yang pandai mengambil hati orang-orang pandai, maka dia ditugaskan oleh kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong sebagai penghimpun tenaga di luar kota raja yang ternyata berhasil baik. Bahkan Panglima Kim Bouw Sin adalah panglima yang kena dipikat oleh pangeran ini. Kini, menghadapi dua orang pandai dan golongan hitam itu, Pangeran Liong yang cerdik segera dapat menentukan sikapnya. Sannbil tertawa dia lalu berkata, "Ah, sudah lama kami menanti kedatangan kalian berdua. Silakan duduk dan terimalah ucapan selamat datang dari kami!"
Panglima Kim Bouw Sin menyuruh pengawal-pengawal mundur dan mereka lalu menjamu dua orang yang baru datang itu. Mauw Siauw Mo-li segera tertarik sekali kepada Tek Hoat dan dia mengangkat cawan araknyaa, memandang tajam penuh daya pikat kepada pemuda itu, berkata halus sambil tersenyum dan ketika bicara bibirnya bergerak penuh tantangan, "Saya telah mendengar nama besar pendekar muda Ang Tek Hoat dan sungguh seperti mimpi saja rasanya dapat bertemu dan makan semeja dengan pendekar muda Ang. Saya menghaturkan secawan arak untuk persahabatan antara kita!"
Biarpun hatinya masih bercuriga kepada dua orang ini, namun karena mereka sudah diterima oleh Pangeran Liong sendiri, Tek Hoat terpaksa bersikap manis, menerima pemberian selamat itu dan mengucapkan terima kasih. Pangeran Liong menjadi makin gembira ditemani oleh dua orang pembantu baru ini, apalagi sikap Mauw Siauw Mo-li yang penuh daya pikat itu membuat dia lupa bahwa sejak tadi dia sudah terlampau banyak minum arak keras. Akhirnya pangeran itu menjadi agak mabok oleh pengaruh arak.
"Ha-ha-ha, perutku sudah kenyang.... aih, aku ngantuk sekali, ingin tidur.... akan tetapi siapa yang mau menemaniku" Berkata demikian, dia bangkit dari bangkunya sambil memandang
Bukit Pemakan Manusia 17 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Seruling Samber Nyawa 17
^