Kisah Sepasang Rajawali 24

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 24


angan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan sebatang ranting yang ujungnya bernyala ke arah Petani Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya, menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu. Liauw Kui mendengus marah, batang pikulannya bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara anak buah pasukan Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini menjadi padam.
Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran ranting itu sedemikian kuatnya sehingga biarpun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh seorang anak buahnya.
Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan nampak di antara cahaya api ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah berteriak keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya.
"Singgg.... wirrr....!" Pikulan berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li, namun wanita ini tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya untuk balas menyerang.
"Tring-tring-tringgg....!" Berkali-kali kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling menyerang dengan marah.
Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah dan lihai sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena senjata batang pikulan itupun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan. Betapapun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan lawannya, sungguhpun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian.
Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.
"Iblis betina banyak tingkah!" teriaknya dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.
"Cring-cring-cring-tranggg....!" Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.
Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak, "Kian Bu, tiarap....!"
Terdengar bunyi ledakan keras dan empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat lari cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang amat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui menghantam punggungnya yang biarpun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.
"Wuuuttt.... desss!" Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan.
Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sin-kang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.
"Enci Hong Kui.... apakah engkau tidak apa-apa" Tidak terluka...." kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.
"Kian Bu, awas....!" Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.
Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.
"Plak-plak-bresss....!"
Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang. Liauw Kui tertangkis batang pikulannya yang membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.
Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh. "Awas peledak....!" Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh. Akan tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.
Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu telah berlutut di dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.
"Eh, engkau kenapa, Enci" tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.
"Kian Bu.... kau.... tak kusangka.... aihh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya.... kau hebat, aku kagum sekali padamu...."
"Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui."
Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya, jari-jari tangan wanita itu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah. Teringat dia akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu. Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata, "Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li.... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo"
Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu berahinya. Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya lalu menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi daripada kepandainnya sendiri.
"Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tidak suka kepadaku. Aku benci sekali, apalagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong Kui, wanita biasa saja...."
Kian Bu tersenyum. "Enci Hong Kui, biarpun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraca...."
Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita. "Benarkah, Kian Bu" Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita"
"Engkau memang cantik dan genit memikat...." Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. "Dan biarpun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In...." Kian Bu sudah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengar wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.
"Eh, Kian Bu, nanti dulu!" Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu. "Kenapa kau hendak pergi sekarang" Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku akan membantumu mencari dia, Kian Bu."
"Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu."
"Kau nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini" Kalau begitu, biar aku menemanimu."
Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.
"Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini."
Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.
"Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku dan selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In" Mengapa"
Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Seorang pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan biarpun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tidak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius atau obat perangsang. Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan melepaskan semua petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisamendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.
Dapatdibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!
"Eh, Enci...., kau kenapa" tanyanya sambil bangkit duduk.
Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk, "Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu...." Air matanya bercucuran.
"Eh, apa maksudmu, Enci" Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.
"Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi.... aku sangsi apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut...., maka aku membantumu sekuat tenagaku hanya.... hanya agar engkau menaruh kasihan kepadaku...."
"Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian" Tanpa engkau menolongku sekalipun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu takkan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku."
Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan. "Benarkah, Kian Bu" Ah, benarkah kau sudi menolongku" Aku.... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara...."
"Ada suhengmu...."
"Suhengku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...."
"Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia sucimu...." Ah, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas...."
"Andaikata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi daripada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu."
"Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya."
"Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tidak akan mungkin berhasil. Oleh karena itu, aku mohon kepadamu...., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku." Dan wanita itu menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!
Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu. "Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu."
"Terima kasih.... ohh, terima kasih....!" Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia sekali.
"Enci, kau aneh sekali." Kian Bu perlahan menarik tangannya. "Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini" Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu."
"Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku."
Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan berahinya karena dia tidak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itupun dia sudah merasa puas!
Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu" Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, dan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suhengnya dan menjalankan siasat untuk menipunya" Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan. Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapapun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya ketika dia dilatih sin-kang, di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik jantungnya.
Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabuhi oleh Hong Kui. Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabuhi seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu. Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapapun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikirannya yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula, pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya. Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu dapat membedakannya. Oleh karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya sehingga kelihatan amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah sehingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tidak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!
Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu berahinya telah terangsang dan ingin dia merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.
Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, akan tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi. Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sin-kang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mujijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.
Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik pengalaman tadi. Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum.
Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya sehingga bumi seperti terengah-engah kehausan. Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering diganggu mendung dan hujan.
Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang bersandar pada batang pohon dan kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguhpun tidak merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu.
Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua pengalamannya, teringat dia akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya akan tetapi ternyata adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun Beng, supeknya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan kekecewaan karena peristiwa yang tak tersangka-sangka olehnya. Betapa semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang besar dan pandai. Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul peristiwa hebat yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang penuh kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li, sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian malapetaka yang menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan atas dirinya! Semua itu agaknya masih belum habis sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil membantu demi kehancuran pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya! Dan sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya.
Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi, mungkin dalam belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya, belum juga dapat ditemukannya! Ah, mengapa nasibnya begini buruk" Ayahnya...., ah, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang lahir dari hasil perkosaan! Mengapa mesti disesalkan" Dia seorang yang tidak berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal singkat itu harus diisi dengan kedukaan" Tidak, dia harus bergembira! Dia dahulu selalu gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi. Sekarang, hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.
"Hemm, sebulan lagi....!" Dia berkata sambil membuka matanya.
Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan kekhawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di dunia ini. Manusia aneh yang berkali-kali telah menolongnya, yang amat setia kepadanya.
"Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka sekali" Topeng Setan bertanya, suaranya mengandung getaran aneh, seperti orang yang amat terharu, sungguhpun wajah yang kasar dan buruk itu tidak membayangkan apa-apa.
Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian sehingga beberapa lamanya mereka saling beradu pandang mata dan akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah tidak kuat menatap pandang mata itu.
"Kenapa engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku" Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya dan Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya.
"Harap bengcu tidak memaksaku, kita telah berjanji...."
Ceng Ceng menghela napas. "Aku tidak ingin melanggar janji, hanya karena engkau satu-satunya sahahatku yang baik dan karena aku ingin tahu apakah engkau ini seorang kakek tua renta, seorang setengah tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...."
"Mengapa" Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan panggilan itu...."
"Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah berulang kali membantu dan menyelamatkan aku. Apakah engkau seorang kakek-kakek ataukah seorang muda" Kepandaianmu demikian tingginya sehingga sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi...."
"Aku memang sudah tua, Bengcu...."
"Kalau begitu, biarlah kusebut engkau Paman...."
"Terserah kepada Bengcu...."
"Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi kepala dari para perampok dan maling itu. Apalagi dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu."
"Eh...." Topeng Setan berseru heran.
"Aku bukan she Lu, aku she Wan.... ah, aku sendiri baru tahu. Namaku Wan Ceng, nama terkutuk...."
Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah. "Bengcu...., mengapa.... mengapa begitu" Apa yang terjadi"
"Paman, maaf, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu paman, maka kauanggaplah aku keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Tentu saja kalau kau sudi...."
"Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi tertindih, Ceng Ceng. Apalagi dengan luka yang kauderita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran yang menimbulkan duka."
Ceng Ceng tersenyum. "Memang aku harus begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi, perlu apa aku berduka"
"Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, akan tetapi kau tidak mati...."
"Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, akan tetapi tidak perlu kau memberi harapan kosong. Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih dari satu bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai seperti Pendekar Super Sakti ayah dari.... Paman.... eh, dari Suma Kian Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau.... Ban-tok Mo-li guruku sendiri yang telah mati...."
"Ahhh....! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li"
"Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang amat dahsyat akan tetapi itupun masih dapat disembuhkan oleh Yok-kwi, kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun yang timbul karena latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa beracun, maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri, maka aku tidak dapat tertolong lagi...."
"Cukup, Ceng Ceng. Jangan kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan menyembuhkanmu."
"Siapa...."
"Aku sendiri!"
"Aihh.... Paman.... engkau yang telah menolongku berkali-kali.... katakanlah sejujurnya, apakah benar engkau dapat menyembuhkan aku" Ceng Ceng berteriak sambil meloncat berdiri dengan mata terbelalak dan wajahnya yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar, kedua matanya menjadi basah karena hatinya tergoncang penuh ketegangan.
Topeng Setan mengangguk. "Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa aku pun pernah mempelajari tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu."
Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan membiarkan pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar sambil menahan napas ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih halus itu. Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan berkata, "Maafkan aku harus meraba pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng."
"Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu sungkan" Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku sendiri."
Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu. Beberapa lamanya dia meraba-raba pundak dan punggung, menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.
"Bagaimana Paman"
"Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali...."
Ceng Ceng terkejut. "Kalau begitu.... benarkah bahwa aku.... aku akan mati dalam waktu sebulan"
Topeng Setan menjawab cepat. "Tidak! Memang demikian kalau tidak ada yang mengobati, akan tetapi aku akan menyembuhkanmu, Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan terjadi!"
Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata Topeng Setan.
"Dan memang benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur dengan racun di tubuhmu yang timbul karena latihan-latihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan menyerang dirimu sendiri.... biarpun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo lenyap engkau tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu menderita dan kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat membersihkan tubuhmu sama sekali dari cengkeraman hawa beracun itu."
"Dan obat itu tak mungkin didapatkan...." Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal yang paling buruk sekalipun karena sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari tubuhnya.
"Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak naga yang berada di Telaga Sungari, yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas. Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari tempat sunyi untuk pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain."
Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang sunyi dan tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan minta agar Ceng Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian dia sendiri lalu duduk bersila dan bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan memusatkan panca indra.
"Kaulumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang kulakukan kepadamu, jangan kaulawan dan jangan kaget kalau nanti engkau muntah darah," terdengar suara Topeng Setan berbisik dan Ceng Ceng mengangguk, membiarkan dirinya "terbuka" dan melemaskan seluruh urat menyimpan semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu, pukulan seorang biasa saja sudah cukup untuk membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pengalamannya ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya, maka dia berkata, "Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya bagimu" Paman.... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sin-kang dan hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya."
"Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu mengadakan perlawanan otomatis. Nah, aku mulai!" Topeng Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya, kemudian mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa tubuh belakangnya menjadi panas sekali, akan tetapi dia mempertahankannya, bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan tubuh sedikitpun juga. Dia sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh bertopeng buruk ini. Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apakah artinya bahaya lain lagi yang mungkin mengancamnya dalam cara pengobatan ini"
Kemudian gerakan jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung dan pundaknya itu berhenti, lalu terasa olehnya betapa kedua telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar dari kedua telapak tangan itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat di pundaknya yang terluka. Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk tak bergerak dan hanya beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang menandakan betapa gadis itu menderita rasa nyeri yang hebat!
Kedua tangan yang lebar itu kini gemetar dan makin lama makin hebat, akhirnya menggigil dan Ceng Ceng merasakan betapa gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan menyerang pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi halus dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran. Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai ini" Siapa yang bersembunyi di balik topeng buruk itu dan mengapa orang ini menyembunyikan mukanya dari dunia" Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan.
Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya tercekik dari dalam, membuatnya tidak dapat bernapas lagi! Kalau saja Ceng Ceng tidak sudah menyerahkan seluruh keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah percaya sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan. Akan tetapi, dia pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam tubuhnya, yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak membuat dia menjadi panik. Bahkan dia merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat yang mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu sampai di tenggorokannya dan tak dapat ditahan lagi dia lalu muntahkan darah kental menghitam yang cukup banyak!
Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih, "Sekarang kau rebahlah, Ceng Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...."
Seperti terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng lalu merebahkan diri terlentang, bajunya masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh kedua tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan lelah luar biasa membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman meliputi dirinya, terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi, membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis ini pun sudah tidur pulas!
Ketika dia terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya menjadi lapar sekali. Dia teringat akan pengobatan tadi dan membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang dipakai menutupi dadanya kini terdapat sehelai jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia teringat bahwa tadi dia muntah darah, akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah dibersihkan oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng bangkit duduk dan memakai kembali bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar dan melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.
"Eh, kau sudah bangun" Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, eh.... apa yang kaulakukan ini"
Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!
"Paman telah berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan kepadaku, entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikan Paman."
"Eh, kau.... kau.... jangan begitu!" Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa bangkit berdiri.
"Ceng Ceng, jangan kauulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati tulus, sama sekali tidak mengandung pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku. Aku.... aku tidak suka engkau bersikap demikian. Pula engkau memang sudah terbebas dari pukulan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan kakek iblis itu."
Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, duduk dekat api tempat Topeng Setan memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu berkata, "Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka, Paman Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku" Mengapa engkau selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu itu" Mengapa"
"Karena.... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan"
"Ah, harap jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan alasan kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi daripada kepandaianku, namun engkau merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura, bersandiwara. Kau tahu bahwa aku menjadi bengcu karena hanya ingin membantu pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek Hoat yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan terikat sumpah dengan aku. Akan tetapi kau.... mengapa kau selalu menolongku"
Topeng Setan menarik napas panjang dan membalik panggangannya. "Mungkin karena aku kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari kita makan ayam panggang ini dan aku sudah mencari air minum." Dia mengangkat sebuah guci penuh air. "Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi petunjuk latihan untuk membersihkan sisa hawa pukulan itu, sungguhpun racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mujijat itu."
"Anak naga...."
Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yan masih mengepulkan uap itu. Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apabila perut sudah lapar dan tubuh membutuhkan tenaga baru. Apalagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya muda dan gemuk lagi! Tak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng Ceng bertanya, "Paman, kalau obat mujijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin kita menangkapnya"
"Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari guruku, yang berada di dasar Telaga Sungari itu adalah seekor ular besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan menjadi ular telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur dan kalau telurnya menetas, biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan membawa anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap inti tenaga matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan, maka kita harus berusaha untuk menangkap ular besar itu."
"Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)" Ceng Ceng berhenti sebentar dan memandang penuh selidik. "Kalau gagal memperoleh obat mujijat itu, akhirnya aku akan mati juga"
Topeng Setan menggeleng kepalanya. "Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya itu adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang kukenal, dilatihnya dengan menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati karena racun itu, Ceng Ceng, hanya.... karena racun di tubuhmu sudah diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk itu pun masih ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi sedikit racun itu dapat dikurangi pengaruhnya."
"Jalan apa, Paman"
"Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat."
"Paman, sudah sejak kecil saya berlatih silat...."
"Aku tahu, Ceng Ceng. Akan tetapi harus kau akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat dengan dasar membekali diri untuk perkelahian, bukan" Itulah maka engkau sampai terjeblos mernpelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya sama sekali mempunyai dasar lain, yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga kesehatan."
"Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan, aku belum pernah mendengar tentang itu."
"Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya lebih dulu sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti dan mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu kebatinan Agama Buddha untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi inti dari ilmu silat, terutama ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu Siauw-lim-pai."
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Soal Tat Mo Couwsu pernah didengarnya dari kakeknya. Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat yang dikenal sekarang.
"Ceritanya begini," Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia menceritakan riwayat penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian.
Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang (Tahun 506-556 M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh lemah terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat pula, maka dia lalu menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata harus dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan menyehatkan tubuh mereka. Dan delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat yang makin lama makin berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di kemudian hari, setiap jurus dikembangkan menjadi empat sehingga terciptalah ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai tujuh puluh dua jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari Tat Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.
"Demikianlah, ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu silat yang bertebaran di seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari negara lain," Topeng Setan melanjutkan. "Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu yang masih aseli, dan kini menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi hawa beracun di tubuhmu sebelum engkau dapat memperoleh obat mujijat itu, Ceng Ceng."
Gadis itu menjadi girang sekali. "Terima kasih, Lopek. Aku akan suka melatihnya dengan giat."
"Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun tidak boleh berlebihan, sungguhpun kalau kurang pun tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu Mengganti Otot), terdiri dari dua belas gerakan."
Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini mempunyai nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.
Gerakan Pertama :Kosongkan pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang sejauh satu kaki (30 senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan kedua lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan. Pada saat membengkokkan lengan tenaganya didorong ke bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua telapak tangan menekan meja dan siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan tangan kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan buang napas di waktu mengendurkan tenaga.
Gerakan ke dua :Agak dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu jari lurus mengacung. Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua ibu jari bersambung. Lalu tarik ibu jari (menegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini berulang 49 kali.
Gerakan ke tiga :Pentangkan kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah, tak pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan kendurkan kedua pundak. Lalu keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali mengeras dan mengendur sampai 49 kali.
Gerakan ke empat :Rapatkan kedua kaki. Kepal kedua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sampai lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan menahan napas. Lalu keluarkan napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.
Gerakan ke lima :Kedua kaki merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak terlentang sampai jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu kepal kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke enam :Pisahkan kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat kedua lengan ke samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Kemudian bongkokkan lengan menjadi segi tiga, permukaan tangan menghadap pundak. Lalu keraskan kepalan tangan. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke tujuh :Rapatkan kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke depan. Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak, kepalan menelungkup. Lalu angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan buka kepalan. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke delapan :Kedua kaki masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri di atas jari kaki angkat tumit. Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke sembilan :Kedua kaki masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke depan akan tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap ke muka sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke dalam sampai menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke sepuluh :Kaki tetap merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak. Lalu tarik kedua kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan, seolah-olah sedang mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang dan kepalan mengeras. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke sebelas :Kedua kaki merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar. Kepalan mengendur dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu jari ditegangkan. Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.
Gerakan ke dua belas :Kedua kaki merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan sejajar pundak dengan telapak terlentang, angkat pula tumit. Jangan mengerahkan tenaga. Tahan posisi ini sejenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi 12 kali.
Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng Ceng.
"Kaulatih gerakan semua itu, ulangi dari pertama sampai ke dua belas sebanyak tiga kali, dan lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas dikeluarkan."
"Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak berapa berat bagiku."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini makin akrab dan Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya dengan pengerahan sin-kang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di punggung gadis itu.
Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk seorang diri dengan mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil sambil memandang ke depan. Ceng Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak badan itu. Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia menghampiri Topeng Setan.
"Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis, Paman!" Ceng Ceng berseru kagum melihat lukisan seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.
"Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng."
"Kalau begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!"
Topeng Setan memandang heran. "Melukis orang" Siapa yang kaumaksudkan" Ceng Ceng duduk di atas tanah.
"Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil mencarinya, karena orang lain tidak ada yang tahu bagaimana macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua), maukah engkau menolongku lagi" Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!"
"Wajah siapa yang kaumaksudkan" Topeng Setan bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah di balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam penuh selidik.
Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan perasaannya, dia mengangkat muka memandang dan menjawab, "Siapa lagi kalau bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang musuh besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku mencari-cari tanpa hasil, maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku mempunyal akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya akan lebih mudah bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!" Ceng Ceng mengeluarkan kalimat terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit sekali, sampai dia lupa bahwa andaikata dia sudah berhadapan dengan musuh besarnya itu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, belum tentu dia akan dapat menandinginya!
"Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah musuh besarmu itu" Topeng Setan bertanya, suaranya penuh getaran karena merasa kasihan.
"Engkau adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman sendiri, maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu."
"Hemm...., Kok Cu" Dan siapa she (nama keluarga) orang itu"
"Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana Gurun Pasir bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid dari Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana, bahkan dibantu anak buah kita, akan tetapi tidak ada yang pernah mengenal nama itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar mukanya, tentu akan lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya."
Hening sejenak. Topeng Setan menunduk dan termenung, kemudian dia berkata, "Mana mungkin aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah kulihat sendiri"
"Tentu bisa, Paman" Ceng Ceng berkata penuh semangat. "Mari kita mencari kertas dan alat tulisnya, nanti aku yang menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman."
Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang baik dan pensil serta tinta, kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah menyapu lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada Topeng Setan untuk menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.
"Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...." katanya penuh gairah karena hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.
"Hemm, wajah bulat laki-laki muda" Berapa usianya" Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang pensil bulu.
"Entahlah.... hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah," Ceng Ceng menjawab.
Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah bulat. "Begini"
"Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wajahnya bulat.... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras berlekuk tengahnya...." Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.
"Nah.... nah, begitu lebih mirip.... sekarang rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan panjang, atasnya agak tebal disisir ke belakang, kucirnya panjang membelit leher dan pundak.... ah, tidak menutup telinga, Paman. Telinganya masih nampak.... yaaa, begitu lebih mirip, rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya begitu...."
Topeng Setan membuat coret-coret di atas lantai.
"Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal panjang seperti golok, ah, bukan begitu.... matanya tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja dan bibirnya membayangkan kekerasan hati.... aihhh.... mengapa berbeda...."
Ceng Ceng memandang coretan di atas lantai itu dengan mata disipitkan, kadang-kadang dipicingkan sebelah dan mulutnya menggerutu, "Hemmm.... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain" Seingatku tidak begitu dia.... ahh, tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!"
"Matanya berbeda bagaimana" Kau bilang tadi sudah mirip."
"Maksudku sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti binatang buas...."
"Eh...." Seperti binatang buas"
"Ya, seperti.... ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam seekor domba!"
"Aih, aneh betul mata orang itu."
"Memang aneh, Paman. Dia seperti.... eh, dia memang seorang yang gila pada saat itu. Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan dan bersinar penuh api, nah, begitu, Paman.... ya, ya.... tulang pipi dan dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan.... eh, dan jahat seperti seekor harimau jantan yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap Paman lukis di atas kertas ini!" Ceng Ceng merasa gembira sekali karena coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh besarnya!
Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas lantai itu ke atas kertas. Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah lukisan seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.
"Beginikah dia...." Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng Ceng. Akan tetapi dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata merah dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan itu dengan kasar dari tangan Topeng Setan.
"Plak-plak! Brettt.... reeeetttt....! Mampus engkau, jahanam....!" Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan itu sampai hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng melempar kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya dengan kedua kakinya penuh kemarahan.
Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng Ceng akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu sambil menangis.
Dengan hati-hati Topeng Setan mendekati, duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng mereda, dia bertanya lirih, "Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya"
Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih bertitik turun. "Benci" Tidak ada orang di dunia ini yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan dapat mati meram apabila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!"
Hening sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar Topeng Setan berkata, "Betapa hebat bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali kepada seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini membencinya." Orang tua bermuka seperti setan itu menghela napas panjang. "Apakah yang telah diperbuatnya terhadapmu"
Ceng Ceng menghapus air matanya. Lalu dia menggeleng kepala. "Hal itu tidak mungkin dapat kuceritakan kepada Siapapun juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar dengan nyawa, itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena Paman merupakan satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia, aku akan menceritakan sakit hatiku itu kepada Paman."
"Ke mana engkau hendak mencarinya"
"Ke mana saja, ke ujung dunia sekalipun. Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia dan membalas dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia dan.... ahhh, apa yang telah kulakukan" Gambar itu.... ah, gambar itu kurusak...." Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar yang dapat menolong dia mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya tadi.
"Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng." Topeng Setan lalu mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik daripada tadi. Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan wajah musuh besarnya itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari.
Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan setiap kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka, setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya, sedangkan dia sendiri lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang mengukus bakpao di dekat pintu.
"Bung, saya ingin bertanya kepadamu," katanya kepada seorang di antara dua tukang bakpao itu yang cepat menoleh dan memandang heran serta kagum karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan pandang mata pria di mana pun dia berada.
"Tentu saja, Nona...." Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil tersenyum bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau menyapanya.
Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh besarnya sambil berkata, "Harap kaulihat baik-baik, barangkali engkau mengenal orang ini dan tahu di mana dia berada"
Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di atas bibir itu ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut seolah-olah dia sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet. "Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah.... ehh, nanti kuingat-ingat dulu, Nona.... hemm...."
"Heiiii....! Subo (Ibu Guru)....!" Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil. "Kiranya Subo berada di sini...."
Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja berdiri di belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik sekali, bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan. Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara remaja itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di situ. Pernah dia melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan main sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati anak perempuan itu untuk mengajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera pandang matanya bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan bakpao di sudut ruangan, maka hatinya menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada Hek-tiauw Lo-mo.
"Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di sini" Ceng Ceng menegur setelah dara remaja itu menghampirinya.
"Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya" Ayahku sedang mengejar musuhnya dan aku ditinggal begitu saja, maka aku menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat ayahku"
"Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu."
"Subo sendiri mencari siapakah" Gambar siapa yang Subo pegang itu" Hwee Li yang lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng. "Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo. Apakah dia pacarmu" Biarpun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul seperti bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap genit dan tanpa sungkan-sungkan lagi.
Wajah Ceng-Ceng menjadi merah sekali. "Ihhh.... lancang mulutmu. Hayo katakan, apakah barangkali engkau tahu orang ini di mana."
Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala. "Sayang aku tidak tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang menyenangkan."
Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan kasar lalu berkata, "Sudahlah, kau mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan dia" Lekas pergi mencarinya di tempat lain!"
Hwee Li mengangguk. "Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu."
Ceng Ceng mengangguk tak sabar. "Baik, baik, nah, kau pergilah!" Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi meninggalkan warung itu.
"Eh, Nona.... agaknya Nona kehilangan pacar" Daripada mencari orang yang tidak ada, aku.... eh, aku pun masih membujang."
Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar. "Apa.... apa maksudmu...."
Tukang bakpao itu mengurut kumisnya. "Nona seorang dara cantik, tidak baik melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku akan membikin Nona hidup senang dan.... aughhh!" Tukang bakpao itu tak dapat melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung telah terbenam ke dalam uap panas dari tempat bakpao dikukus! Setelah menampar dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao yang panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan yang sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi dari tempat itu yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh!
Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu barulah Topeng Setan bertanya, "Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi"
"Ohh, dia" Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...."
"Hei...." Topeng Setan terkejut bukan main. "Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara keji" Tentu saja orang tua bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga terheran-heran. "Hek-tiauw Lo-mo memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa artinya semua ini"
Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas. "Memang di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apabila kami saling bertemu, apalagi akhir-akhir ini ketika dia memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku bertanding dengan dia dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu, menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi subonya. Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia membebaskan aku...."
"Akan tetapi, ayahnya sendiridemikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru"
"Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun dariku."
Topeng Setan menghela napas. "Memang tidak keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau adalah seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari. Akan tetapi dalam cara mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk digunakan sebagai ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan sesat. Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai mengalami hal yang membuatmu begini sengsara....!" Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya dan berjalan sambil menundukkan mukanya.
Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan terheran-heren. Dia menangkap getaran suara aneh penuh keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan kini makin heranlah dia ketika melihat sepasang mata yang besar sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu mata itu. Topeng Setan menangis!
"Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu."
Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri berhadapan. "Kau mau bertanya apa" Topeng Setan bertanya sambil menundukkan muka.
"Paman, engkau agaknya selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan tetapi kulihat hidupmu sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu" Engkau menaruh kasihan kepadaku akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang menyebabkannya" Kalau hal ini belum kaujelaskan, hatiku selalu akan diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman."
Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab juga, "Engkau.... mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...."
"Ya...." Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang"
"Dia.... dia telah mati...."
"Ouhhh...." Maafkan, Paman...."
"Dia mati.... karena aku yang membunuhnya...."
"Aihhh....!" Ceng Ceng terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua pundak yang lebar itu berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat menyesali perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang tangan orang tua itu.
"Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya.... padahal.... agaknya engkau mencinta wanita itu, bukan"
Topeng Setan menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk. "Aku telah gila.... aku melakukan dosa besar dan karena itu.... tiada jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng...."
"Aihh, Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan jahat. Kalau bibi itu, wanita itu.... sampai mati olehmu, tentu dia yang bersalah.... dan jahatlah dia kalau bibi itu tidak dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman...."
"Cukup....! Dia baik dan suci seperti dewi.... akulah yang jahat...."
Melihat keadaan Topeng Setan amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan mengalihkan percakapan.
"Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang lalu. Yang jelas, Paman adalah seorang yang paling mulia bagiku...."
"Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tak kunjung habis...."
"Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai sembuh, kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi, apa sukarnya untuk mencari keparat itu" Sekarang, jangan dia mengganggu perjalanan kita ke Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat membunuh orangnya, biar kubunuh dulu gambarnya!" Ceng Ceng lalu merobek-robek gulungan gambar dari Kok Cu, musuh besarnya itu. "Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari mencari obat anak naga itu, Paman."
Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh besar Ceng Ceng.
"Auhhh....!" Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali. Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi dia tidak merasa lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.
"Bagaimana...." Pening sekalikah kepalamu...." Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu ketika hanyut...."
Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita" Dia teringat dengan kaget dan membuka matanya, apalagi ketika perasaannya makin sadar membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang wanita!
Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara!
Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali, "Aihhh.... Enci Hong Kui...."
Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum, "Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik" Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku.... eh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening...." Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya seperti seorang kakak perempuan mencinta adiknya" Akan tetapi.... sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.
"Ti.... tidak, Enci. Terima kasih. Ah, kiranya sudah pagi, biar aku pergi...." dia teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, "Marilah kita pergi mencari mereka...."
Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam.
Melihat wajah Kian Bu yang berduka dan khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata, "Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami malapetaka dan masih dapat menyelamatkan diri mereka."


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu Kian Bu memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya, "Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci"
"Mudah saja. Malapetaka yang dapat menimpa mereka hanya dua macam, bukan" Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu. Yang ke dua adalah bahwa mereka terjatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua malapetaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andaikata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andaikata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tfdak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini."
Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apalagi melihat gadis itu telah kehilangan encinya. "Ah, engkau hebat dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu."
Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali, "Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tak kusangka ternyata amat sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii.... sungguh menggemaskan!" Kembali dia mencubit, kini yang dicubitnya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa.
Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja. "Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali....!"
Kian Bu memandang tajam, kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biarpun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, bisa berbahaya. Jangan-jangan wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada! Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan dia bahwa di antara hal-hal yang amat berbahaya, lebih berbahaya daripada musuh yang sakti, selain kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita. Kecantikan seorang wanita mampu merobohkan pertahanan seorang pendekar yang bagaimana sakti pun! Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.
"Kenapa engkau berbahagia, Enci" pancingnya.
Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu makin mengetat dan mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung Kian Bu.
"Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari tubuhku dapat dibersihkan."
Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega bahwa kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena wanita ini agaknya menggantungkan harapannya kepadanya.
"Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali."
Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun. "Engkau.... engkau baik sekali...." Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu. Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil pasangannya di waktu malam!
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta! Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tidak diingatnya lagi. Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat! Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda, akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi daripadanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis!
Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu berahinya. Dia bersikap hati-hati dan biarpun tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar!
Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang, dia adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa. Akan tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang pemuda hijau. Andaikata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andaikata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang "baik-baik" akan tetapi tidak kebetulan menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hek-hwa Kuibo. Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong Kui.
Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu. Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya sudah bergerak meloncat, menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!
Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu. Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit, "Ular.... ahh, Kian Bu, ada ular....!" matanya terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon.
Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.
"Enci Hong Kui, kau kenapakah" Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...."
"Aihhh.... maafkan aku, Kian Bu...." Hong Kui menggunakan saputangan, menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali. "Engkau belum kuberi tahu.... aku.... aku paling takut melihat ular...."
Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak lagi.
"Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu" Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau"
"Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andaikata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular...."
"Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular"
"Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya.... ehh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia belasan tahun itu...." Wanita itu lalu menunduk. Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.
"Enci Hong Kui, diantara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu" Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan melihat seekor ular kecil tadi."
"Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun," wanita itu bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya. "Pada suatu hari ketika aku tertidur di dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan.... dan.... dapat kaubayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin bergerak-gerak di dalam.... celanaku, di paha...."
Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.
"Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian.... ternyata.... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan."
Hening sejenak. Entah mengapa, membayangkan pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang dan beberapa kali dia menelan ludah. "Memang.... memang mengerikan...." komentarnya pendek.
"Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya, apalagi anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!"
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ. Ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya amat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata, "Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi."
"Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...."
Hong Kui mengerling penuh celaan. "Habis ada engkau untuk apa" katanya menegur sambil tersenyum. "Kaujagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh."
"Baiklah...." Kian Bu lalu duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu. Memang panas hawanya siang hari itu dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In, akan tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya. Biarpun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apalagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan, seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh tubuhnya dan menggoncang jantungnya!
"Eiiihhh.... ular.... tolong.... Kian Bu....!"
Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai. Celaka, pikirnya, kalau tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas! Maka dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.
Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika dia mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.
Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya! Sekali melihat, dia tidak kuasa lagi untuk menahan matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali dia menelan ludah karena merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walaupun setengah memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja!
Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan, "Ular.... ular...."
Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu ular. "Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui."
Wanita itu kembali mengeluh, kemudian tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian. "Eh.... ahhh.... aku tadi sedang mandi.... ada ular hitam menjijikkan...."
"Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...."
"Dan aku...." Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati, "....aku tadi mandi.... kutanggalkan pakaianku...."
Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas. "Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui."
"Aihhh.... engkau.... engkau baik sekali, Kian Bu."
Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon maupun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.
Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan seringkali Kian Bu termenung. Dia tidak tahu betapa Hong Kui seringkali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu berahi yang berkobar. Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan selalu menindas kobaran nafsu berahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis membangkitkan berahinya. Apalagi memang sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dahulu, yaitu genit memikat, baik cara matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam berkata-kata atau tersenyum, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya yang mesra.
Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap darahnya. Dan malam itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.
"Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka aku hendak merayakannya. Engkau tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan"
Wajah Kian Bu berseri. "Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!" Kian Bu menjura dan dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.
"Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya."
Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata, "Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki dan berbahagia, Enci"
"Terima kasih!" Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.
"Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui"
Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri. "Coba kauterka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu"
Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua daripada nampaknya, mengingat bahwa suhengnya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan sucinya, mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab, "Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci."
"Hi-hi-hik!" Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam. "Masa kaukira aku semuda itu, Kian Bu" Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan" Setua nenek-nenek...." Dia menarik napas panjang.
"Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci" Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan.... dan...." Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.
"Ya...." Mengapa tidak kauteruskan" Katakanlah bahwa aku jelek dan tua."
Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka! Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju karena arak membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya, dia lalu melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.
Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sin-kang di Pulau Es, di atas salju yang amat dingin. Seperti ketika dia berlatih di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin sehingga uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular itu lalu menggelutnya. Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia terjengkang rebah terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit dan menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu mengeluarkan suara aneh, suara merintih dan mengeong seperti suara seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu berubah menjadi seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal, lunak halus dan hangat, lalu kucing itu menindih dan menggelutinya, menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke pipinya dan mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih mengerang.
Ketika kucing itu tidak hanya menjilat, akan tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut dan takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui telah duduk di atas pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang terurai lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang mata yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.
"Enci...." Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar. Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan ini membuat tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak sukar sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa diketahui Kian Bu yang tadi tidur pulas.
"Kian Bu.... Kian Bu.... kasihanilah aku...." Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong itu dan menangis, memeluk lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.
"Enci.... apa.... apa artinya ini...." Kian Bu gelagapan.
"Artinya.... bahwa aku.... aku cinta padamu, Kian Bu.... kaukasihanilah aku...." tangan Hong Kui terjulur ke arah lampu dan di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu mendekap dan menciuminya penuh nafsu.
Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih hijau dan sebelumnya dia telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah mengusahakan agar nafsu berahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu ketika melihat Kian Bu seringkali melamun dan di waktu berhadapan sering melihat pandang mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari leher turun sampai ke kaki. Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum banyak arak sampai setengah mabok sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu berahi yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat pandai dalam permainan cinta sehingga makin dalamlah Kian Bu ten
Dendam Iblis Seribu Wajah 15 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Harpa Iblis Jari Sakti 5
^