Kisah Sepasang Rajawali 25

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 25


ggelam dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan oleh Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat.
Pada keesokan harinya, ketika mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong Kui telah menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang menjadi tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara aneh seperti kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang menambah berkobarnya nafsu berahinya.
Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga wanita itu yang memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok. Dalam hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai daripada Hong Kui, namun dalam hal ilmu mengumbar nafsu berahi ini, dia merupakan seorang murid bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai.
Demikianlah, Suma Kian Bu, pemuda perkasa putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa sama sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya menghamba kepada nafsu berahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu. Selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang selain tampan dan memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, juga merupakan seorang pemuda yang romantis dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan cinta! Perjalanan mereka menuju ke Telaga Sungari seringkali tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk mencurahkan perasaan yang penuh oleh hawa nafsu.
Pada suatu hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang teduh. Kian Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong Kui sudah mengeluarkan suara mengerang seperti seekor kucing manja.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. "Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!"
Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang tadi menegur sambil tertawa mengejek. Lalu dari belakang mereka muncul pula Si Petani Liauw Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku liar yang menjadi kaki tangan mereka.
Kian Bu menjadi marah sekah. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk membasmi orang-orang ini. Dia marah karena merasa malu bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong Kui. Akan tetapi selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak, kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia mengenal nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek itu memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon!
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu. Sambil menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah senjata rahasia itu dan.... senjata rahasia itu meledak di udara!
"Aihhh....!" Hong Kui menjerit dengan kaget sekali.
Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon ternyata lebih banyak lagi, dia berbisik, "Mari kita pergi!"
Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan kiri dan depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah mereka, terus menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh asap.
"Siluman Kucing, hendak lari ke mana kau" terdengar Si Petani membentak.
"Bresss!" Liauw Kui yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan lompatan dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus melarikan diri.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi. Mendengar suara tertawa yang seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu seperti menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring yang mengandung wibawa aneh, "Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi, hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah....!"
"Enci Hong Kui....!" Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba wanita kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja dia tidak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.
"Haiii.... pemuda remaja yang tampan....! Berhentilah...., berhentilah...., jangan berlari lagi.... berhenti....!" Suara yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan telinganya dan sama sekali tidak mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai akhirnya dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya.
Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan merangkul lehernya. "Kian Bu, kekasihku.... kau telah menyelamatkan aku...." Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya untuk menyambut ciuman kekasihnya.
"Tempat ini sunyi dan teduh.... kita lanjutkan yang tadi terganggu orang...." Hong Kui yang sudah turun dari pondongan itu memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke atas rumput.
"Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari terus sampai benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus di waktu ruangan pesta Tambolon terbakar."
Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak dia terus berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.
"Dia memang bukan manusia!" katanya bersungut-sungut. "Dan aku hanya pernah mendengar namanya saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat membikin senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh hanya dengan suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak terdapat orang-orang ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di antara guru-guru dari Tambolon."
"Sebetulnya tidak terlalu aneh," Kian Bu berkata. "Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak sukar meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia menggunakan khi-kang yang mengandung kekuatan sihir untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sin-kang, atau kalau kau menulikan telinga tidak mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu. Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah tentu celaka!" tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya karena dia teringat bahwa tidak semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apalagi memperkenalkan ayahnya kepada Hong Kui.
Akan tetapi, pemuda int terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu bertekuk lutut oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar telah merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu selalu merahasiakan riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan) Suma. Ini saja sudah menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin merahasiakan dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda luar biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula. Namun dengan cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan riwayatnya dia pura-pura tidak menduga apa-apa. Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan mengatakan bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti atau juga yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar itu memiliki ilmu sihir yang kabarnya amat mujijat! Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia bisa menjadi mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka, dia mengambil keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari cerigkeramannya.
Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya. "Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita bersembunyi di sana!" Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke atas dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang seperti terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di cabang yang tinggi di antara daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan mencium telinga Kian Bu, hatinya bangga bukan main. Dia sendiri memiliki gin-kang yang sukar dicari tandingannya, namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan pendengaran telinga pemuda itu pun tajam bukan main. Dia sendiri belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda. Setelah berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tak lama kemudian mereka melihat bahwa dari kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh belas orang berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah kereta tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta ke dua jelas adalah kereta penuh dengan muatan barang.
Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak buah Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat wanita itu tersenyum manis.
"Eh, kenapa kau tersenyum"
Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu. "Kita bersembunyi di atas kereta yang terakhir itu. Tak usah capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita."
Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta itu rata dan cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah di atas atap yang tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka ketika kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka meloncat turun sambil mengerahkan gin-kang mereka sehingga ketika kedua kaki mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan oleh per yang halus dan tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh kusir kereta itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah berdampingan di atas atap kereta.
"Hi-hik, enak di sini....!" Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi kekasihnya, kaki dan tangannya sudah memeluk.
"Hishhh.... jangan di sini! Siang-siang begini.... dan malu kalau kelihatan orang!" Kian Bu berbisik mencela sambil bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh penolakannya itu sehingga Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke depan.
Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan berteriak kaget karena kaki kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal. Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut jatuh, bahkan mencelat ke atas, berpoksai di udara dan hinggap di atas punggung kuda penarik kereta pertama. Sungguh merupakan kepandaian yang mengagumkan. Akan tetapi kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika dia melihat orang itu yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke arah kudanya yang sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu terbakar habis sampai menjadi abu! Tentu saja Kian Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai dibandingkan dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari kaki tangan Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang disaksikannya tadi. Betapa tabah hati kekasihnya yang cantik ini!
Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi tanda-tanda suitan dan ternyata yang muncul adalah rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan jerih melihat betapa kuda tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap hati-hati dan lunak, lalu berkata, suaranya parau dan keras, "Sahabat-sahabat yang lewat harap suka menolong kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah sebagai pembagian rejeki!"
Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan malas-malasan, "Kalian menghendaki sedekah" Nih, maju dan terimalah!"
Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari dalam kereta itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya. Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan, kepala rampok itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main. Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya kemudian tertawa dan menjura ke arah kereta. "Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang amat dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah membikin kaget...."
"Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget." Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus mengintai dan tangannya mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak saking kaget dan herannya.
Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, lalu kedua tangannya menegang kemudian saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua tangan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangan menggaruki mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta. Melihat demonstrasi tenaga sin-kang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.
Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena racun, maka dengan marah mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan. Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelojotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.
Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia meloncat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu. Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik dekat telinganya, "Mereka begitu lihai, sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya"
Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang amat lihai, apalagi orang yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu saja amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa turun tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!
Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu menjadi layu dan daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.
"Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tak jauh lagi!" Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai tadi berada di belakang.
"Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!" Hong Kui berbisik, kemudian membalikkan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api merah dari sinar matahari senja.
Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka bahwa mereka ini adalah kelompok anggauta perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan melakukan perjalanan ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali. Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya! Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang amat lihai.
"Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi," kata yang seorang.
Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui berbisik, "Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah suhengku."
"Hek-tiauw Lo-mo"
"Benar, mereka bermusuhan karena memperebutkan kitab curian. Justeru karena mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah tubuhku keracunan."
Kian Bu mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, karena memperebutkan kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai. Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan pengejaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab curian itu. Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun juga.
Malam itu terang bulan dan suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu.
Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apalagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menahan diri sehingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam permainan cinta. Dia hanya merintih lirih.
Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di bibirnya, berbantalkan lengan sendiri, sedangkan Hong Kui yang rambut dan pakaiannya masih mawut itu terlentang memandang langit yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.
Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang besar dan jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.
"Eh, kenapa berhenti" Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.
"Ssssh...." Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.
"Wah.... dia...." bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan mereka menelungkup di atas kereta.
"Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang kaucuri!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan menggetarkan hutan itu.
Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.
"Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!" Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan orang-orang pilihan yang mengawal ketua mereka. Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menanti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan melakukan penyelidikan dan pengejaran.
Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu mujijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebut setengah bagian kitab yang mereka butuhkan, dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengar mengejar kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.
Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo melorncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Adapun anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama itu kini berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu. Karena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga kalau mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar mereka.
Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. "Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu...."
Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata, "Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya."
"Eihhh...."
"Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci."
Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum dan merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!
"Eh, lihat ada orang....!" Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri. Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sesosok bayangan manusia dengan gerakan cepat dan ringan berloncatan lalu berindap-indap menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayangan yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.
"Dia mencuri kitab!" bisik Hong Kui dan tangam kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat melayang ke arah kereta di belakang itu.
"Darrrr....!" Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar.
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding ramai itu, cepat menengok dan melihat kakek itu, mereka terkejut sekali.
"Dia mencuri kitab itu....!" teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.
"Wah, jadi ramai sekarang...." kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.
"Hayo kita nonton keramaian!" Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambutnya, membereskan pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara.
Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke manapun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang.
Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu lenyap sehingga dia bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pundaknya dan menggeleng kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.
Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya, pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu berlutut dan bersembunyi di balik meja!
Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan! Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal takut, apalagi ada Topeng Setan di situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung itu.
Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng.
Maka melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan membentak, "Bocah hina mundurlah!"
Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan "bocah hina" tadi, maka melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut!
Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sin-kang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!
"Aihhh....!" Dia berseru dan tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru sekarang dia teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena merasa benci dan mendendam kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya kini menggunakan pukulan beracun yang mematikan untuk membalas dendam.
"Dessss....!" Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.
"Hah! Kiranya engkau belum mampus"
Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sampai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara memerintah, "Paman, bunuh orang ini!"
Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati perintah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo!
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.
"Cuuss....! Dessss!"
Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari pintu warung!
Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua bertopeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan mautnya.
Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat. Hebat sekali sepak-terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi Topeng Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biarpun dia mampu menandingi dua orang datuk itu, akan tetapi dia pun tidak dapat mendesak mereka, apalagi mengalahkan. Kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali.
Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir daripada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding melawan kakek pencuri kitab melainkan bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir dia membuka mulut memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan kakek tiri dari Suma Kian Lee. Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk bertemu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan petualangannya dalam permainan cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, dia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.
"Aku.... aku mau.... pergi kencing dulu...." katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi.
Sementara itu, ketika melihat betapa suhengnya dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke pertempuran sambil mencabut pedangnya.
Topeng Setan terkejut sekali dan cepat mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin repot.
"Perempuan hina dan pengecut!" Ceng ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat sehingga hampir saja pundak Ceng Ceng terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
"Ceng Ceng mundurlah....!" Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar.
Pada saat itu, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, kini meloncat mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biarpun dibantu oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apalagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun.
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suhengnya mendesak Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apalagi yang mencuri kitab adalah kakek rambut putih itu. Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu mengelak dan lambungnya tertusuk pedang!
Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja, terus dia terjun dan menyerang kalang-kabut untuk membantu Topeng Setan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi masuk. "Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!"
Melihat munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga muncul.
"Kian Buuuu....!" Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.
"Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh....!"
Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Adapun nenek itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah melarikan diri.
Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab mereka.
Topeng Setan yang melihat kesempatan baik ini, cepat memanggul tubuh kakek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin meninggalkan tempat yang berbahaya itu.
*** Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa "terbang" oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.
Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, lalu menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pembaringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.
"Bibi Puteri Milana....!" tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air mata.
"Bibi.... apa yang terjadi...." tegurnya sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.
"Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga."
Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, namun pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.
Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!
Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya. "Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi."
"Eh, mengapa begitu" Mengapa tidak ke istana Bibi"
"Hemm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kaudengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku." Dengan singkat Milana lalu menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biarpun suaminya telah berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.
"Nah, karena itu aku harus pula pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa." Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.
"Ahhh.... Bibi....!" Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis. Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.
Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya, "Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya"
Milana menarik napas panjang. "Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya."
Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apalagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.
"Mari kita pergi," katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu. Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa malapetaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan malapetaka yang dialami oleh Puteri Milana.
Milana yang berpemandangaq tajam sekali, biarpun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi brang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang utara.
Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.
Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.
Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh, "Adik Milana, tunggu dulu....!"
Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.
Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguhpun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.
"Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri." Wanita itu berkata.
"Maaf," Milana menjawab dengan hati-hati. "Aku tidak ingat lagi siapakah engkau"
"Ah, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku" Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar kita"
"Lu Kim Bwee...." Aihh, engkau Ang Siok Bi....!" Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, betasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu(baca cerita Sepasang Pedang Iblis) . Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya, "Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam"
"Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja."
"Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi" Ada keperluan apakah"
"Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu.... aku mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...."
"Hemm, apamukah pemuda itu"
"Dia itu puteraku. Ah, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat.... bahwa dia telah membantu pemberontak.... akan tetapi demi perkenalan kita.... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan." Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!
Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun. "Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu."
Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu saling mengenal itu.
"Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi" Bolehkah aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya" Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.
"Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu" Apa hubungannya denganmu"
"Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apabila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya."
"Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana" Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng itu"
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini, wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian. Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.
"Sudah kuduga demikian.... dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan"
"Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu" Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...."
"Enci Siok Bi!" Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang. "Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kaupesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kauceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng"
Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biarpun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, "Aku.... aku mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah.... Ang Thian Pa...."
"Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan"
Siok Bi mengangguk. "Dan aku katakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu"
Milana menggeleng kepada dan menarik napas panjang. "Pantas kalau begitu.... aihh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng....! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah"
"Tentu saja! Habis mengapa"
"Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikitpun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...."
"Ahhh....!" Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biarpun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biarpun puteranya itu tampan akan tetapi sedikitpun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng! "Apa.... apa maksudmu...."
"Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kauingat baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya"
Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng.... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!
"Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat."
Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap, "Bagaimana.... bagaimana aku dapat percaya ceritanya ini...." Setelah belasan tahun aku percaya demikian.... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana"
"Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguhpun tidak sampai tertimpa malapetaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati. Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih.... anggauta keluargaku sendiri dan.... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...."
"Ya Tuhan....!" Siok Bi mengeluh panjang. "Dan di mana keparat itu...."
"Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Puteramu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...."
"Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng....!"
"Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya." Milana berhenti sebentar. "Sungguh kasihan Gak-suheng.... dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, sekarang.... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan namanya."
"Ahhhh....! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu" Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana" Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.
"Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!" Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas. "Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dikasihani."
Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. "Siapakah dia ini, Adik Milana"
"Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya amat besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Akan tetapi pada akhir pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya."
"Ahhhh....!" Siok Bi berseru kaget. "Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana" Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap.... selain beliau bukan musuh kami.... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya"
"Agaknya engkau tidak tahu. Puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja."
"Kalau begitu aku akan mencarinya sekarang juga!" Siok Bi berteriak, lalu lari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja.
Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, "Agaknya belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi."
Milana menarik napas panjang. "Kami semua telah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dahulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...." Puteri ini menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu apakah dia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang dikasihinya itu.
"Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi" Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.
"Ke mana...." Ahh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi.... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau...."
"Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...."
"Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, dan akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat."
Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak serombongan pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang dengan alis berkerut. "Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan" Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana.
Akan tetapi ketika pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.
"Gi-hu....!" Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.
"Syukurlah.... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!"
Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin, "Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku"
Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan. "Sampai mati pun tidak ada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berdukacita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka."
"Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan."
"Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat." Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. "Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan"
Puteri itu mengangguk. "Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal...."
"Ah, mana mungkin" Jangan kau khawatir, biarpun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kaupakailah kudaku ini."
Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya, "Bibi.... jangan biarkan Paman Gak merana...." Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya lalu membalapkan kuda itu, diiringkan oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringkan oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.
Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja.
*** Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di daerah yang sunyi sekali.
Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang amat payah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang itu mengandung racun pula.
"Ahh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir" Tiba-tiba Ceng Ceng berseru ketika dia mengenal muka kakek itu, "Benar, dia adalah Louw Ki Sun.... aku pernah bertemu dengan dia....!" Ceng Ceng berseru lagi.
Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata, "Ceng Ceng, harap engkau suka membantu. Carikanlah air yang jernih.... dia memerlukannya...." Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu.
Akan tetapi ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, berkepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi mengapa sekarang menangis.
"Paman, kau.... kau.... menangis"
Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.
"Ah, dia telah mati" tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu.
Topeng Setan mengangguk. "Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena membantuku, Ceng Ceng."
Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka. Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi hormat ketika jenazah itu dikubur di depan kuil tua dan Topeng Setan melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat alat-alatnya. Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah, tepekur dan mengheningkan cipta.
Kemudian Topeng Setan mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.
Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apalagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama. Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luat biasa, melakukan perjalanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!
"Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke telaga itu," Topeng Setan berkata lirih ketika melihat keheranan Ceng Ceng. "Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan."
Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan dapat berhasil memperoleh anak naga atau anak ular itu" Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bahwa orang-orang lihai, datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini!
Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali sehingga pantai di seberangnya tidak nampak. Karena luasnya telaga maka biarpun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu di tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi. Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apalagi terang bulan di musim semi ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman! Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak "pesiar" di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga!
Akan tetapi, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri.
Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi perebutan yang hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau naga itu.
"Begitu banyak orang...." Ceng Ceng berbisik.
Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung tegang berdebar.
"Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di guha dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga itu."
"Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa kaukira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman"
"Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai."
"Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es," kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar sakti itu.
Topeng Setan menarik napas panjang. "Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana tingginya...."
"Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti" tanya Ceng Ceng tidak percaya.
"Mungkin sekali, bahkan mungkin beberapa kali lipat! Mereka yang tidak mau lagi mempergunakan ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia ramai, tidak bisa dibandingkan dengan kita, dengan mereka yang kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga." Topeng Setan menghela napas panjang. "Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai itu seperti dewa.... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...."
"Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia, Paman"
"Kenyataannya demikianlah.... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu.... ah, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng." Topeng Setan lalu menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.
"Eh.... kau ini...." Moi-moi.... Nona Ceng...." Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri.
Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah.... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya, pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.
"Ohhh.... Pangeran.... Yung Hwa...." Dia tergagap.
"Aih, Nona.... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ah, mukamu masih pucat.... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpandai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun...."
Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepaqa Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya, "Dia ini.... eh, siapakah dia, Nona Ceng"
Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, "Kiranya Paduka seorang pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini."
"Topeng Setan...." Nama yang aneh....!" Pangeran Yung Hwa kelihatan serem.
"Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana Pangeran btsa tahu bahwa aku terluka" Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini" Ceng Ceng bertanya.
Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan Topeng Setan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.
"Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su, beliau yang menceritakan semuanya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau.... ah, kasihan Kakak Milana...."
"Kenapa, Pangeran" Ceng Ceng bertanya heran.
"Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja" Ah, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk, membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana."
Ceng Ceng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberontakan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia kaget mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.
"Lalu ke mana mereka pergi" Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi" tanyanya.
"Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana" Dia sudah terbang.... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!" Wajah yang tampan itu berseri.
"Mengapa, Pangeran"
"Ah, engkau tidak tahu" Ceng-moi...., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku" Nah, dapat kau bayangkan betapa gelisah hatiku.... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau.... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain.... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil keputusan untuk minggat lagi...."
"Ah, jangan berkata begitu, Pangeran!" Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah kepada Topeng Setan yang hanya mendengarkan tanpa memandang.
"Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci Milana. Memang Enci Milana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini sambil pesiar, dan benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi....!" Pangeran itu kelihatan girang bukan main.
Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bangsawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu. "Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tidak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Kenapa engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran" Tempatmu di istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...."
"Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana" Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi" Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...."
"Paman Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran."
"Ouhhh....! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini" Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. "Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda" Akan kuserahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...."
Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan segera berkata, "Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku dan kini pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa."
"Ah, kalau begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!" Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Topeng Setan! Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel dan suka memberontak terhadap peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa.
Topeng Setan cepat-cepat mengangkat bangun pangeran itu. "Ah, harap Paduka jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran." Suara Topeng Setan mengandung keharuan. "Saya berjanji akan berusaha sekuat saya untuk menyembuhkan Nona Ceng."
"Terima kasih.... terima kasih....! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di telaga ini"
"Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran."
"Aihhh...." Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik. "Berebutan" Apa yang diperebutkan"


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!" kata Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum malapetaka kehidupan menimpa dirinya.
Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak. "Lucu....! Dongeng itu" Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kaulihat betapa indahnya permukaan telaga yang biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ akan muncul anak naga" Ha-ha, pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui dongeng menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!"
Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik hati ini. "Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak menulis sajak"
"Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...." pangeran itu menuding ke kanan. "Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan sendiri.... akan tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa ditulis pun rasanya sanggup aku menciptakan sajak untukmu. Kaudengar...."
Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang pada saat itu memang amat indah pemandangannya. Kemudian terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata biasa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian besar manusia.
"Merah nyala matahari
membakar langit senjakala
di atas Telaga Sungari!
Air terbakar merah seperti neraka
sebagai isyarat
munculnya sang naga
dari dongeng rakyat jelata.
Matahari senja, langit menyala,
Telaga Sungari, kisah naga,
tidak seindah saat ini
berjumpa kekasih di tepi sungai!"
Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimanapun juga, pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!
"Bagaimana, Ceng-moi" Baikkah sajakku tadi"
"Sajak yang indah sekali!" Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.
"Sajakmu memang bagus, Pangeran," kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu harus berkata apa di depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya secara langsung dan terang-terangan.
"Tunggu sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan hem.... aku maklum bahwa keindahan itu tidak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kautunggu sebentar, aku takkan lama...." Pangeran itu lalu bergegas pergi hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.
Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.
"Paman, mari kita pergi...." Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.
"Eh...." Topeng Setan berkata bingung.
"Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tidak akan berhasil mendapatkan anak naga itu.... dia.... dia.... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini."
Topeng Setan hanya mengangguk, tidak membantah lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tidak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa pangeran itu akan mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.
"Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...." Terdengar Topeng Setan berkata.
"Dia seperti orang gila saja...." Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.
"Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...."
"Sudahlah, Paman. Aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana."
Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu makin bertambah banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu masing-masing. Dan ketika prerahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu berseliweran dan agaknya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebutan dan kalau perlu mempergunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam perebutan itu!
Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya serem-serem dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan mendayung perahunya perlahan-lahan sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.
Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya dan meluncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras, perahu itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu tidak jauh jaraknya dari perahunya. Penumpangnya hanya satu orang. Orang berpakaian tosu tua yang wajahnya bengis. Orang-orang di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar itu.
"Tarrrr....!" Suara ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.
Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan berhasil mengelak lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!
"Hebat....!" Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi kepandaian gin-kang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu.
Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak panah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan "terbanglah" dia mengikuti luncuran anak panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Gin-kang tosu itu benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak boleh dibuat main-main.
Tubuh tosu yang "menunggang" empat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang terbalik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.
"Huhhhh!" Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya dan perahunya "terbang" terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.
"Hemmm....!" Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan.... perahunya "selulup" ke dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali ke depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguhpun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup!
Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan berhasil mendapatkan anak naga itu" Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.
"Cluppp....!" Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap. Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan menduga-duga, lalu bertanya kepada Topeng Setan, "Paman, apakah dia mati"
Topeng Setan mendengus, "Hemm, dia sudah kembali ke perahunya."
Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya.
Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi, masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau saling mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu beradu.
"Brakkkk....!" Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke air.
Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang perahu besar ke dua itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.
Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut akan tetapi dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah melayang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji keindahan gerakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.
Perahu ke dua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon! Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari balik perahu, dengan marah menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon. Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang dengan hati tegang. Tiba-tiba jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar dan.... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Akan tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.
Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah mendemonstrasikan ilmu sihirnya.
Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka, sudah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.
"Itu dia....! Naga sudah muncul....!"
Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu maka suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik. Untung bulan purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga kelihatan terang keemasan, akan tetapi belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing. Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak. Belum pernah dia merasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani berkedip karena matanya terbelalak menyapu seluruh permukaan air, mencari-cari.
Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apabila yang dinanti-nanti itu muncul.
Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apalagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya "naga" itu! Secara tiba-tiba saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya yang mencorong. Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ketika muncul itu, lehernya "berdiri" dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat dengan mudah menelan seorang manusia dewasa! Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.
"Koaaaakkk....!" Terdengar suara nyaring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar. Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali. Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak yang terlempar ke dalam air! Suasana m
Dewi Ular 6 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Hati Budha Tangan Berbisa 14
^