Kisah Sepasang Rajawali 3

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


r ke arah harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan berkelojotan.
"Bunuh dia!" Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, lalu menggunakan tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu.
Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu.
Sesosok bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!
"Heiiii....!" Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.
"Plakkk....!" Tek Hoat terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu terasa sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul hebat. Dia mengagulkan kepandaiannya dan ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang! Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman! Betapa memalukan!
"Hei, bocah lancang! Tunggu....!" Terdengar panglima itu berseru.
"Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian, memang biasanya keras kepala dan sombong!" terdengar wanita itu mencegah.
Tek Hoat berlari makin kencang. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Dia mengepal tinjunya. Dia harus belajar lagi. Dia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jage nomor satu di dunia agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi!
Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari Pendekar Siluman! Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu, bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apalagi kepandaian Puteri Milana!
Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapapun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut di antara mereka.
Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran. Apalagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.
"Hemm, jelas dia bukan bocah biasa," kata Milana.
"Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan."
"Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun" Heran sekali....!"
Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In! Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca ceritaSepasang Pedang Iblis), akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.
Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa"
Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang" Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!
"Brukkk!" Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.
"Ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini," kata seorang di antara mereka.
"Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh" Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk," kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.
"Twako, air di sinipun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh" Kakap tinggal tangkap saja, apa sukarnya"
"Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha!" kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.
Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas! Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.
"Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja" Marilah duduk bersama kami!" tiba-tiba seorang di antara mereka menegur Tek Hoat. Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.
"Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!" kata pula orang ke dua.
Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!
"Bagaimana" Bagus, bukan" Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!" Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.
"Huh!" Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia yang mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula.
Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.
"Wirrrr.... trakkk!" Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam. Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. "Kalau yang kubidik tubuhmu, tentu sekarangpun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!"
Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya. Empat orang itu masih tertawa akan tetapi tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka terbelalak ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu mematahmatahkan paku seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Kemudian, tangan kiri Tek Hoat menjemput kwaci di atas piring dan dengan pengerahan tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci itu ke atas, ke arah lima batang paku yang menancap di balok melintang. Terdengar suara berdenting dan lima batang paku itu jatuh semua ke atas lantai!
Empat orang itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan kirinya dan segenggam kwaci melayang ke arah empat orang itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh dan.... muka mereka berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu menancap di muka mereka!
Pada saat itu, pelayan datang membawa daging dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera berkata, "Bungkus semua itu, aku akan makan di luar, di sini banyak lalat."
Pelayan yang melihat empat orang kasar tadi mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan darah bercucuran, kaget sekali, cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek Hoat dan memberikannya kepada pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam buntalan, mengeluarkan uang harganya dan menekan uang itu di atas meja, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Pelayan itu terbelalak memandang uang yang telah gepeng dan meja yang berlubang terkena tekanan jari tangan pemuda itu. Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang kaget sekali. "Jari.... Jari Maut...." Bisiknya, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat meninggalkan rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan kemudian mengambil uang yang gepeng dan melesak di atas meja itu dengan mencukilnya dengan pisau.
Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapapun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut di antara mereka.
Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran. Apalagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.
"Hemm, jelas dia bukan bocah biasa," kata Milana.
"Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan."
"Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun" Heran sekali....!"
Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In! Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca ceritaSepasang Pedang Iblis), akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.
Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan wajah murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa"
Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang" Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!
"Brukkk!" Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.
"Ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini," kata seorang di antara mereka.
"Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh" Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk," kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.
"Twako, air di sinipun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh" Kakap tinggal tangkap saja, apa sukarnya"
"Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha!" kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.
Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas! Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.
"Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja" Marilah duduk bersama kami!" tiba-tiba seorang di antara mereka menegur Tek Hoat. Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.
"Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!" kata pula orang ke dua.
Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!
"Bagaimana" Bagus, bukan" Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!" Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.
"Huh!" Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia yang mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula.
Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.
"Wirrrr.... trakkk!" Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam. Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. "Kalau yang kubidik tubuhmu, tentu sekarangpun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!"
Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu. Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya. Empat orang itu masih tertawa akan tetapi tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka terbelalak ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu mematahmatahkan paku seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Kemudian, tangan kiri Tek Hoat menjemput kwaci di atas piring dan dengan pengerahan tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci itu ke atas, ke arah lima batang paku yang menancap di balok melintang. Terdengar suara berdenting dan lima batang paku itu jatuh semua ke atas lantai!
Empat orang itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan kirinya dan segenggam kwaci melayang ke arah empat orang itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh dan.... muka mereka berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu menancap di muka mereka!
Pada saat itu, pelayan datang membawa daging dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera berkata, "Bungkus semua itu, aku akan makan di luar, di sini banyak lalat."
Pelayan yang melihat empat orang kasar tadi mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan darah bercucuran, kaget sekali, cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek Hoat dan memberikannya kepada pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam buntalan, mengeluarkan uang harganya dan menekan uang itu di atas meja, lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Pelayan itu terbelalak memandang uang yang telah gepeng dan meja yang berlubang terkena tekanan jari tangan pemuda itu. Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang kaget sekali. "Jari.... Jari Maut...." Bisiknya, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat meninggalkan rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan kemudian mengambil uang yang gepeng dan melesak di atas meja itu dengan mencukilnya dengan pisau.
Dengan hati yang mendongkol sekali Tek Hoat keluar dari dusun dan memasuki sebuah hutan. Kalau saja dia tidak mengingat bahwa ilmu kepandaiannya sebenarnya belum berapa tinggi kalau dibandingkan dengan panglima dan wanita cantik yang ditemuinya dalam hutan, di luar kota raja, tentu dia tadi sudah membunuh empat orang kasar itu. Sekarang dia harus berhati-hati, tidak mencari permusuhan karena kepandaiannya belum tinggi.
"Wan-kangcu....!"
Tek Hoat terkejut sekali. Suara yang tiba-tiba terdengar di belakang itu demikian nyaringnya, merupakan lengking yang dahsyat tanda bahwa yang bersuara itu memiliki khi-kang yang kuat sekali. Dia cepat menoleh dan lebih terkejut lagi dia ketika melihat bahwa orang yang berseru itu ternyata masih jauh dan kini orang itu berlari dengan kecepatan yang membuatnya terbelalak heran dan kagum. Sebentar saja orang itu sudah berada di depannya dan untuk ketiga kalinya Tek Hoat terkejut. Orang ini memang luar biasa sekali. Mukanya merah, merah muda! Seperti muka seorang gadis cantik yang dirias bedak dan yanci (pemerah pipi), akan tetapi wajah itu buruk, bulat dan serba besar hidung dan bibirnya. Matanya berputaran liar seperti mata orang yang miring otaknya, dan kepalanya gundul, ditumbuhi rambut yang jarang dan layu. Tubuhnya gendut pendek. Akan tetapi yang membuat Tek Hoat terkejut adalah ketika melihat betapa dari mulut orang itu keluar asap tipis putih yang keluar masuk menurutkan jalan napasnya yang agaknya bukan hanya melalui hidung saja, akan tetapi juga melalui mulutnya yang terbuka itu. Melihat uap putih ini di waktu musim dingin, tidaklah aneh. Akan tetapi sekarang hawa sedang panasnya, bagaimana orang ini dapat menyebabkan uap dengan napasnya" Dan dari dalam perut orang itu terdengar bunyi seperti orang kalau sedang lapar, hanya bedanya, kalau perut orang lapar terdengar bunyi berkeruyuk, adalah perut orang ini mengeluarkan bunyi berkokok seperti katak, hanya agak jarang terdengarnya dan hanya telinga terlatih saja yang dapat menangkap suara itu.
Sejenak kedua orang ini saling berpandangan. Tek Hoat memandang penuh keheranan sedangkan orang aneh itu
memandang dengan mata berputaran dan mulut menyeringai. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Aha, tidak salah lagi, engkau adalah Wan-kongcu (tuan muda Wan)! Ha-ha-ha, akhirnya dapat juga kita saling bertemu!"
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Jelas bahwa orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi masih diragukan kewarasan otaknya. Maka dia bersikap hati-hati, tidak segera menyangkal dan dia malah memancing, "Siapakah engkau"
"Heh-heh-heh, kongcu sudah lupa kepada saya" Masa lupa kepada anak buah sendiri" Saya orang yang paling setia di Pulau Neraka, saya Kong To Tek."
Tentu saja Tek Hoat sama sekali tidak mengenal nama ini, bahkan sebutan Pulau Nerakapun baru sekarang dia mendengarnya. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menyangkal, maka dia diam saja dan segera menurunkan buntalannya, duduk di bawah pohon berhadapan dengan si kepala gundul yang aneh ini. Dikeluarkannya daging dan roti yang dibelinya tadi.
"Kau mau makan" Dia menawarkan.
Kong To Tek girang sekali, lalu tanpa sungkan-sungkan, seperti seekor anjing kelaparan, dia menyerbu daging dan roti itu sehingga Tek Hoat hanya kebagian sedikit.
Di dalam ceriteraSepasang Pedang Iblis diceritakan bahwa Kong To Tek adalah seorang di antara tokoh Pulau Neraka, menjadi pembantu ketua Pulau Neraka yang waktu itu dipegang oleh Lulu. Dia bahkan merupakan tokoh pembantu pertama, dan yang kedua adalah Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua baru Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo. Pulau Neraka ditinggal oleh para tokohnya, yaitu ketika dua orang kakek sakti tokoh Pulau Neraka yang penuh rahasia, yaitu Cui-beng Koai-ong dan sutenya, Bu-tek Siauw-jin, saling bertanding sendiri dan keduanya tewas bersama, kemudian ketua Pulau Neraka, Lulu juga meninggalkan pulau itu untuk kemudian ikut suaminya, Pendekar Siluman ke Pulau Es. Semua ini diceritakan dalam ceriteraSepasang Pedang Iblis . Mengapa Kong To Tek bisa berada di tempat itu, berkeliaran di daratan besar dan tidak tinggal di Pulau Neraka" Biarlah kita dengarkan sendiri penuturannya kepada Tek Hoat.
"Benarkah engkau Kong To Tek tokoh Pulau Neraka" Tek Hoat yang cerdik sekali itu berkata memancing. "Engkau berubah sekali sampai aku tidak mengenalmu lagi."
"Ha-ha-heh-heh-heh, di dunia ini masa ada Kong To Tek kedua" Saya adalah Kong To Tek yang tulen, Kongcu. Kong To Tek dari Pulau Neraka yang aseli!" Si gundul itu mengusap sisa makanan di bibir dan menggaruk-garuk kepalanya, matanya memandang liar ke kanan kiri. Diam-diam Tek Hoat merasa ngeri juga menyaksikan sikap liar ini.
"Ka1au engkau betul Kong To Tek yang aseli, coba katakan siapa namaku."
"Wah, masa aku bisa lupa kepadamu, kongcu. Engkau adalah kongcu Wan Keng In putera tunggal Ketua Pulau Neraka."
Tek Hoat terkejut sekali, akan tetapi bersikap tenang. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang disebut Wan Keng In itu sebenarnya adalah ayahnya, ayah kandung yang telah memperkosa ibunya! Dan bahwa wajahnya memang mirip sekali dengan Wan Keng In.
"Benar, akan tetapi aku belum puas. Coba katakan siapa guruku"
"Ha-ha, apakah kongcu main-main" Tentu saja guru kongcu adalah Cui-beng Koai-ong.... dan karena pesan mendiang gurumu itulah maka dengan susah payah saya mencari kongcu."
Tek Hoat pura-pura kaget. "Apa" Guruku.... Cui-beng Koai-ong telah meninggal dunia"
Si gundul itu mengangguk-angguk. "Banyak hal terjadi di Pulau Neraka, semenjak kongcu berlari pergi.... dan tocu (majikan pulau), yaitu ibu kongcu juga tidak pernah kembali lagi...."
Tek Hoat bisa menggambarkan apa yang diceritakan oleh si gundul ini. Agaknya dia disangka putera seorang majikan pulau, yaitu Pulau Neraka dan bahwa dia murid Cui-beng Koai-ong yang telah meninggal dunia. Dan ibunya, yaitu ketua pulau telah pergi dan tidak kembali lagi!
"Kong To Tek lopek (paman tua), coba kau ceritakan apa yang terjadi di Pulau Neraka."
Kong To Tek duduk setengah rebah, bersandar pohon dan sikapnya seenaknya biarpun berada di depan majikannya, hal ini menunjukkan kepada Tek Hoat bahwa orang Pulau Neraka adalah orang-orang liar yang kurang mempedulikan tata susila atau sopan santun. Akan tetapi dia tidak peduli dan mendengarkan penuturan kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek ini usianya tentu sudah enampuluh tahun lebih, otaknya miring, akan tetapi jelas berkepandaian tinggi dan ceritanya tentu aneh.
Dan cerita Kong To Tek memang aneh. Dia menceritakan bahwa sebelum terjadi peristiwa hebat di Pulau Neraka, yaitu matinya Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, kakak beradik seperguruan yang merupakan manusia-manusia sakti jarang ada tandingnya, pada suatu hari dia didatangi oleh Cui-beng Koai-ong Si Mayat Hidup.
"Agaknya gurumu itu telah mempunyai firasat buruk, kongcu. Buktinya, baru dua hari setelah dia mendatangi saya, terjadilah pertandingan hebat antara gurumu dan susiokmu Bu-tek Siauw-jin yang mengakibatkan keduanya tewas!"
"Kong-lopek, apa maksudnya mendiang suhu mendatangimu" Tek Hoat mendesak, makin tertarik dengan cerita aneh ini.
"Gurumu menyerahkan dua buah kitab dan sepatang pedang yang katanya merupakan inti segala ilmu yang dimiliki suhumu dan susiokmu, dengan pesan agar kelak aku menyerahkan semua itu kepadamu."
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Tek Hoat. Dia melompat bangun dan menghardik. "Di mana pusaka-pusaka itu"
Si gundul tertawa. "Jangan khawatir, kongcu. Sudah saya simpan baik-baik. Ah, sayang sekali, saya buta huruf dan tidak dapat mempelajari kitab-kitab itu. Padahal, baru melihat-lihat gambar-gambarnya dan meniru dari gambar-gambar itu saja sudah membuat saya memperoleh kemajuan yang hebat ini, kongcu!" Si gundul menghampiri pohon sebesar dua kali tubuh orang. Dia memekik dan menubruk pohon itu dengan kepalanya, dengan loncatan yang kuat sekali.
"Heiii....!" Tek Hoat berseru kaget.
"Desss! Brakkkkk....!"
Pohon itu patah dan tumbang, sedangkan si gundul sudah tertawa-tawa lagi di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut setengah mati, akan tetapi diam-diam menjadi girang bukan main. Wajahnya tenang saja, bahkan dia mengejek, "Hem, Kong-lopek, apakah engkau hendak menyombongkan diri di depanku"
Tiba-tiba si gundul berlutut. "Sama sekali tidak, Kongcu. Ampunkan saya. Saya hanya ingin membuktikan betapa hanya dengan mempelajari gambar-gambarnya saja, kepandaian saya sudah meningkat hebat."
"Hayo cepat serahkan kitab-kitab dan pedang dari suhu kepadaku!"
"Baik, baik.... mari, kongcu. Benda pusaka itu kusembunyikan di dalam guha yang selama ini menjadi tempat tinggal saya."
Keduanya berlari-larian. Tek Hoat mengerahkan gin-kangnya dan berlari secepat mungkin, akan tetapi kakek gundul itu sambil tertawa-tawa masih dapat mengimbangi kecepatan larinya. Hebat!
Guha itu berada di daerah berbatu-batu di lereng gunung yang dikelilingi hutan lebat. Sunyi dan tak pernah dikunjungi manusia. Guha yang cukup besar, dalamnya ada lima meter dan gelap. Ketika akhirnya kakek itu menyerahkan dua buah kitab dan sebatang pedang kepadanya, Tek Hoat menjadi girang sekali dan dengan jantung berdebar dia membawa benda-benda pusaka itu keluar, ke tempat terang. Dicabutnya pedang itu dan matanya menjadi silau. Sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kebiruan dan mengandung wibawa yang kuat mengerikan, dan begitu tercabut terciumlah bau amis bercampur harum yang memuakkan. Ukiran huruf kecil-kecil di dekat gagang memperkenalkan nama pedang itu. Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa)! Disarungkannya kembali pedang itu dan diselipkan di pinggangnya. Kemudian dia membalik-balik lembaran dua buah kitab itu. Ternyata itu adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat yang mujijat, inti dari semua ilmu silat yang dikuasai oleh Cui-beng Koai-ong dan yang sebuah lagi adalah hasil ciptaan Bu-tek Siauw-jin. Dahulu, sebelum kedua orang manusia sakti itu saling bertanding sampai mati keduanya, Cui-beng Koai-ong yang agak jerih terhadap sutenya telah berlaku curang, mencuri kitab ke dua dari sutenya. Akan tetapi sebelum dia sempat mempelajari kitab sutenya, keburu mereka bertanding karena masing-masing membela murid (baca ceritaSepasang Pedang Iblis).
"Heh-heh-heh, apakah engkau tidak girang, kongcu"
Tek Hoat memandang kakek gundul itu dan mengangguk. "Terima kasih, Kong-lopek. Kau baik sekali. Memang kau seorang yang paling setia di Pulau Neraka. Kau berjasa sekali dan aku tentu tidak akan melupakan jasamu ini."
"Heh-heh-heh, betapa banyak kesengsaraan kuderita selama mencarimu, kongcu. Akan tetapi akhirnya berhasil juga, ha-ha, sekarang aku tidak takut lagi kelak harus bertanggung jawab di depan suhumu. Aku ngeri membayangkan betapa aku harus mempertanggungjawabkan kelak kalau aku tidak berhasil menyerahkan semua ini kepadamu."
Diam-diam Tek Hoat heran sekali. Kakek yang amat lihai ini ternyata takut luar biasa kepada "gurunya" yang bernama Cui-beng Koai-ong! Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran dan bertanya, "Kong-lopek, menurut pendapatmu, siapakah yang lebih lihai antara guruku dan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es"
Mendadak tubuh kakek itu gemetar dan kepalanya digeleng-gelengkan. "Jangan.... jangan.... sebut-sebut nama dia.... bisa datang secara tiba-tiba dia nanti.... ihhh.... aku takut, kongcu."
Kembali Tek Hoat terkejut. Kiranya Pendekar Siluman sedemikian hebatnya sampai kakek inipun ketakutan, padahal baru menyebut namanya saja.
"Jangan khawatir, lopek. Dia tidak akan muncul, tapi katakan, siapa yang lebih lihai di antara mereka"
"Entahlah, seorang bodoh seperti saya mana bisa menilai" Kepandaian beliau itu terlalu hebat, mengerikan.... tapi kalau suhumu dan susiokmu (paman guru) maju berdua, kiranya akan menang."
Tek Hoat kagum bukan main. Begitu hebatnya Pendekar Siluman! Akan tetapi kini dia memperoleh kitab wasiat suhu dan susioknya, berarti dia dididik oleh dua orang manusia sakti itu. Kelak tentu dia akan dapat menandingi Pendekar Siluman! Demikianlah, sejak hari itu, Tek Hoat tinggal di dalam guha bersama Kong To Tek yang melayaninya dan yang selalu menjaga di luar guha di waktu Tek Hoat sedang berlatih ilmu silat. Untuk kedua kalinya, pemuda ini berganti nama, kini namanya Wan Keng In, biarpun hanya terhadap kakek gundul itu! Dengan penuh ketekunan dia mempelajari semua ijmu yang berada di dalam dua kitab itu, dan melatih diri siang malam, kalau siang berlatih gerakan silatnya, kalau malam berlatih sin-kang dan bersamadhi menurut petunjuk di dalam kitab-kitab itu. Dia melarang Kong To Tek untuk menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya digunakan untuk persedian makan dan pakaian mereka berdua.
*** Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mujijat, ilmu yang amat hebat dan yang kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu, Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In. Untuk melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya.
Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang perajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh para perajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.
Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.
"Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu raja," kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya. "Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun"
"Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh."
Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata, "Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku."
"Tentu saja. Mari kita pergi."
Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang musuh. Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat. Kaki mereka yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka, dengan cahayanya yang suram.
Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat di mana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.
"Hemm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa rumah itu," kata Panglima Jayin.
"Ssttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarangan obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu."
Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.
"Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu" Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita di sana...."
Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak. Hujan senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu. Panglima Jayin mengamuk dengan pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!
Akan tetapi fihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.
"Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke benteng obor!" kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk. Ketika melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jerih dan tidak berani mengejar temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi. Dengan hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi sesak.
Para pengeroyok tadi kini menyerang mereka dari luar benteng obor, dengan menggunakan anak panah! Tentu saja dua orang gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu ke mana harus melangkah, kini diserang oleh hujan anak panah. Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka terkurung obor dan sempit, terpaksa Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kasar untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya. Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!
Dalam keadaan yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara, yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang. "Ke kiri melalui tiga obor....!"
Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga batang obor.
"Maju melalui sebatang obor...." kembali terdengar suara itu. "Lalu ke kanan melalui empat batang obor....!"
Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!
Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu. "Masuklah cepat, untung kalian masih dapat tertolong."
Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat. Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh. Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja. Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di belakangnya.
Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja Bhutan.
"Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!" kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.
"Berkat pertolongan orang gagah ini," kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu. "Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke sini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja."
Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit. "Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar, bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar."
"Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja."
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.
"Harap taihiap sudi memaafkan saya yang tidak tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!" Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum.
Laki-laki buntung itu menahan senyumnya dan berkata halus, "Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini" Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apa lagi hanya aku! Bangkitlah dan mari kita duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini."
Raja Bhutan dan dua orang panglimanya, tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Akan tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut. Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!
"Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di luar." Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor yang dibuatnya. Ketika dia melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.
Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.
"Betapapun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan kalau makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!"
"Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini," kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.
"Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka," berkata Panglima Jayin.
"Bagus kalau begitu!" kata raja. "Kita menanti sampai besok pagi."
"Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak," tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi "menuntun" Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.
"Ah, kalau begitu bagaimana" Raja bertanya khawatir.
"Bagaimana kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang di antara kita lari memanggil pasukan" Jayin mengusulkan.
"Tidak baik," kata Tan-ciangkun. "Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andaikata kita bertiga dapat menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda"
Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.
"Taihiap, bagaimana baiknya" Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman. "Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!"
Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi, "Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu."
Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu, "Dapatkah disebut perbuatan baik apabila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya" Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apabila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh kasih."
Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!
"Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita" Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
"Kita menunggu sampai api obor padam." Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali dia bersandar pada meja. "Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar." Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolaholah tidur sambil berdiri!
Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi. Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja beristirahat apabila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biarpun kecil, cukup kuat dan lengkap.
Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak, "Sudah ada di antara obor yang padam!"
Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar.
Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata, "Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, fihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah."
Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya, "Bagaimana dengan sri baginda"
"Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada."
Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu daripada mereka"
"Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kiam Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan"
Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu berkata, "Aku hanya minta apabila sewaktu-waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada di sini agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat."
"Tentu saja, taihiap!" Tiba-tiba raja menjawab. "Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka."
"Terima kasih." Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun, "Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan"
"Sayang sekali tidak, taihiap."
Kembali pendekar itu menarik napas panjang. "Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda."
Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor. Tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan juga di fihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapapun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar. Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika semua obor sudah padam. Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!
Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disabit-sabitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman. Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap di antara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut-ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan musuh.
Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata, "Harap paduka suka duduk di punggung saya."
Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.
Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi. Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai "menghilang" ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu malam berganti pagi.
Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras, "Cepat serbu ke sana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok musuh!"
Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang perajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!
Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja. Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit. Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!
*** Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itupun tidak mempunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.
"Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman," kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh daripada segala keramaian dan keributan dunia ramai. Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di mana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia. "Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil."
"Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi malapetaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!" kata Nirahai.
"Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang." Lulu menyambung.
"Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang" Pendekar Super Sakti membantah.
Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut, "Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!"
Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi "orang ke dua"!
"Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau tengok" Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja." Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.
"Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!" katanya cepat-cepat.
Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan, hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata, "Milana, mengapa kau menangis" Bukankah hidupmu bahagia di sini"
Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab, "Dia cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es."
"Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana." Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka. Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar! Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta suaminya dan diapun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.
"Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu" Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu.
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, "Hemmm...., justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupannya yang tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang ke sini"
Milana dan suaminya menggelengkan kepala. "Tidak ada, ayah. Aihhh, ke mana mereka pergi" Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan...."
"Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihh, ke mana gerangan mereka" Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali di sini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka...." Suma Han mengerutkan alisnya.
"Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu....!" Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.
"Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang." kata Milana.
"Rombongan utusan ke Bhutan" Suma Han bertanya.
"Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan," kata Milana menceritakan, "yaitu pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu."
Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangran Putera Mahkota yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu.
Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.
"Aihh....! Bhutan...." Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya" Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana! Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu."
"Bisa jadi!" Panglima Han Wi Kong berseru. "Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan terbuka."
"Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan." kata Suma Han dengan tetap.
"Ayah, bolehkah aku ikut" Tiba-tiba Milana berkata.
Suma Han memandang tajam. "Kau" Ikut" Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana."
Milana menunduk. "Aku.... aku ingin sekali seperti dulu...."
Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini" Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya" Aihh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.
Dia menggeleng kepala. "Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu di sini. Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan."
Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana.
"Ayah...."
"Eh, ada apakah, Milana"
"Ayah...." suaranya lirih sekali, gemetar dan parau, "pernahkah ayah mendengar tentang.... dia...."
Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik, "Aku tidak pernah mendengar.... entah di mana.... kau.... kau tidak perlu lagi memikirkannya, anakku...." Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru dia berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi diapun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita! Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia. Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu (baca ceritaPendekar Super Sakti danSepasang Pedang Iblis) kini menimpa pula diri puterinya! Kasihan Milana....!
Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biarpun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh musuh-musuhnya.
*** Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka. Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan, dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan menyeret rantai panjang itu.
Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan, Kian Lee menyikut adiknya. "Lihat itu....!"
Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih dan seekor burung hitam yang besar sekali.
"Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko"
"Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah."
Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa. "Kalian mau tahu" Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan to-cu kami, dan yang dua ekor adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang membawa daging manusia untuk kami, he-he!"
Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumah-rumah di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan. Laki-laki itu dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi dua orang anggauta Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar. Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir mereka tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu. Kemudian mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan dipanggang!
"Lee-ko.... aku.... aku takut...." Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali.
Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.
"Bu-te.... kita harus dapat meloloskan diri.... sekarang juga...." bisiknya sambil merangkul adiknya. Mereka berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk itu!
Kedua orang pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut manusia! Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.
"Bu-te, sekarang....!" bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu. Dengan gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan gin-kang mereka dan meloncat ke atas punggung burung yang tinggi. Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.
"Rajawali, terbanglah!" Suma Kian Bu membentak. "Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!" Berkata demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapahelai bulu dari leher burung yang ditungganginya. Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan terbang pula!
"Yahuuuuu....!" Suma Kian Bu bersorak kegirangan. "Lee-ko! Kita terbang seperti dewa....!" Teriaknya pula sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.
"Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar....!"
Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di punggung burung besar itu duduk.... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali, menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya, dan dua ekor rajawali putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!
"Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri" Awas kau, sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!"
Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu mengeluarkan pekik nyaring dan.... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!
"Eh-eh, heiiitttt.... kurang ajar!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk rajawali hitam yang ditungganginya. Akan tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan ganas! Apakah yang terjadi" Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri"
Kiranya Suma Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan dia lalu mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya. Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya sehingga dia mengamuk membabi buta, karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam! Adapun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya, "Rajawali yang baik, kautolonglah kami berdua...."
Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat temannya menerjang rajawali hitam, diapun membantu dan menyerangnya dari belakang. Segera terjadi pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa tidak akan merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa dan sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk!
Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya memukul ke arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat diapun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.
"Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan" Kusembelih kalian!" bentaknya berkali-kali akan tetapi akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan kuat itu membuat rajawalinya sendiri kwalahan dan beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang dirinya! Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya. Tadinya dia sedang makan minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang pemuda cawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya!
Setelah terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan jerih, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapapun Hek-tiauw Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor rajawali putih sudah terbang lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat.
Akan tetapi makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.
"Aduhh.... indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya! Berwarna-warna, biru hijau kuning.... dan pepohonan itu demikian kecil!"
Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab, maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biarpun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.
"Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!" Kian Lee berteriak.
"Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas."
Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal daripada yang ditunggangi Kian Lee. Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan menarik bulu leher kanan. Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan. Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu dan mulailah dia "menyetir" burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu mengikuti ke mana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian Lee tidak sukar lagi menentukan arah.
"Ah, di sana itu, Bu-te...!" Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga berwarna putih dan berkilau seperti itu.
"Benar, mari kita pulang, Lee-ko!" Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya menuju ke sana.


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka, Pulau Es!
"Ayaaaaaaahhhhh....! Ibuuuuu....!" Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas.
Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali itu berputaran di atas pulau.
"Kian Lee! Kian Bu!" Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring. "Lekas kalian turun....!"
Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran dan betapapun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena mereka merasa takut.
"Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka turun....!" Kian Lee berseru keras ke bawah.
"Kalian totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!" Terdengar lagi Pendekar Super Sakti berseru.
Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring dan gerakan mereka menjadi lemah. Pada saat itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar Super Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.
"Kian Lee....!"
"Kian Bu....!"
Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada beritanya.
"Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu"
Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa dan menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan hampir berbareng kedua orang anak itu berkata, "Aku telah bersalah, ayah."
"Hayo ceritanya semuanya, ke mana kalian pergi dan dengan maksud apa," kata pula Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir. Merekapun tahu kalau suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.
Biarpun kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal daripada kakaknya, namun menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya. Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguhpun jantungnya dicekam rasa jerih. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan "petualangan" kakak beradik itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka.
Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. "Kalian ke Pulau Neraka" serunya dengan alis berkerut. "Apa yang terjadi di sana"
"Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka." Kian Lee melanjutkan, "dan di sana, kami dijadikan tawanan oleh ketuanya."
"Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka" Suma Han bertanya.
Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!" Nirahai berseru heran.
Mendengar suara ibunya, Kian Bu berani membuka mulut. "Wah, dia mengerikan sekali, Ibu! Untung Lee-ko dan aku dapat melarikan diri dibantu oleh sepasang rajawali putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau Neraka yang menunggang rajawali hitam, untung saja sepasang rajawali ini membela kami dan menerbangkan kami sampai ke sini!" Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lo-mo, ceritanya asyik sekali disertai gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu mendengarkan dengan tertarik.
"Biarlah kubebaskan dulu engkau dari belenggu itu!" Nirahai menghampiri Kian Bu sedangkan Lulu menghampiri Kian Lee dengan niat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan mereka dengan rantai besi panjang itu.
"Jangan buka belenggu itu!" Tiba-tiba Suma Han berkata. Kedua orang isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka.
Dengan suara tenang namun penuh kepastian Suma Han berkata lagi, "Mereka adalah dua orang anak yang telah membikin bingung dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan kekacauan di Pulau Neraka tanpa sebab. Mereka harus dihukum dan sepantasnyalah belenggu-belenggu itu untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan bersamadhi di sana selama dua hari dua malam. Pergi!" Suma Han mendekati ke dua orang puteranya dan tangan kirinya menampar dua kali, mengenai punggung mereka.
"Bukk! Bukk!"
Kedua orang anak itu tersungkur, kemudian bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata terbelalak, menggigit bibir, menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan melangkah lebar menuju bagian yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka sebut puncak.
Lulu dan Nirahai saling pandang dengan alis berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak tampak lagi, barulah Nirahai berkata, nadanya memprotes, "Mengapa mereka...."
"Harus dihukum, biar mereka tahu dan kelak mereka akan memperhitungkan setiap tindakan mereka, tidak sembrono dan asal berani saja," kata Pendekar Super Sakti dengan suara tegas sehingga kedua orang isterinya tidak berani membantah. Mereka hanya memandang dengan hati terharu melihat dua ekor rajawali itu mengeluarkan suara seperti orang menangis ketika mereka memandang ke arah perginya dua orang muda itu. Kemudian, sepasang rajawali itu terbang ke atas dan berputaran di atas Pulau Es.
Pada malam kedua diam-diam Lulu menyelinap ke puncak dan membawakan makanan dan minuman untuk mereka berdua. Ketika tiba di puncak, Lulu melihat bahwa sepasang rajawali ini seolah-olah sedang menjaga Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila seperti patung, muka dan tubuh mereka penuh salju putih sehingga mereka seperti sudah berubah menjadi manusia salju.
Lulu harus mengurut dan mengguncang sampai lama dan barulah Kian Lee sadar dari samadhinya. Melihat ibunya, dia hanya menggelengkan kepalanya dan hendak memejamkan matanya kembali.
"Lee-ji, bangunlah dulu. Kau harus makan dan minum dulu, baru boleh bersamadhi lagi. Ingat, tubuhmu takkan kuat bertahan dan kau bisa terancam sakit. Juga adikmu Kian Bu."
Karena dibujuk terus, akhirnya Kian Lee menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang muda ini lalu makan dan minum sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan tubuh. Setelah makan minum, mereka melanjutkan samadhi dan terpaksa Lulu meninggalkan mereka.
Pada keesokan harinya, dua hari dua malam telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya telah berada di puncak. "Bangunlah kalian, masa hukuman telah habis!" Suma Han berseru dan suaranya yang disertai khi-kang kuat itu seolah-olah menembus keadaan dua orang muda yang sedang samadhi itu sehingga mereka terbangun dan cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka.
Suma Han memandang kedua puteranya itu, lalu berkata dengan wajah berseri, "Sekarang, kerahkan hawa panas yang berputaran di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah pergelangan tangan dan coba renggutkan belenggu itu agar patah."
Dua orang muda itu menurut. Memang selama mereka bersamadhi, mereka terlindung oleh hawa panas yang berputaran di seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau berlatih sin-kang di waktu hujan salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan tenaga panas itu ke arah kedua lengan, mengerahkan sin-kang dan merenggut.
"Krekk! Krekk!" Patahlah belenggu di kedua tangan mereka!
Lulu dan Nirahai girang sekali menyaksikan kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata lantang,
"Haiii....! Apakah selama dua hari dua malam ini kalian pernah berhenti makan dan minum"
Kakak beradik itu saling pandang, lalu menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus mengaku bahwa ibunya telah membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan tidakpun dia tidak berani.
"Semalam aku datang dan menyuruh mereka makan dan minum," tiba-tiba Lulu berkata. "Hati siapa yang akan tega menyaksikan anak-anaknya disiksa"
Suma Han menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepal-ngepal tangannya sendiri. "Aihhh.... kelemahan hati wanita memang seringkali menimbulkan kegemparan dan juga kegagalan."
Lulu memandang suaminya dan wajahnya berubah. "Eh...., apa.... maksudmu...."
"Sebelum mengirim mereka ke puncak, aku telah membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku melihat bahwa mereka sedang dalam keadaan baik sekali, berhati besar dan baru mengalami ketegangan hebat. Pula, saatnya amat cocok untuk mereka melatih dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau tidak terganggu, kiranya saat ini mereka sudah dapat mengumpulkan sin-kang sepuluh kali lebih kuat daripada sekarang!"
"Ohhhh....!" Lulu memegangi dahinya dengan penuh penyesalan. "Mengapa kau tidak bilang lebih dulu sebelumnya"
"Tak baik kalau diberi tahu lebih dulu, akan menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga dapat menggagalkan latihan. Akan tetapi sudahlah, memang sudah demikian kenyataannya. Yang jelas sekarang mereka harus berlatih dengan giat sekali. Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa ilmu kepandaian kalian masih jauh daripada mencukupi sehingga sekali merantau meninggalkan pulau, kalian menjadi tawanan orang dan hampir saja celaka. Mulai hari ini, kalian harus rajin berlatih dan sebelum sempurna ilmu kepandaian kalian, kalian tidak boleh meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu memikirkan kakak kalian. Milana dalam keadaan selamat di kota raja dan kelak kalau ilmu kepandaian kalian sudah mencukupi, tentu kalian boleh mengunjunginya."
Dua orang pemuda remaja itu mengangguk-angguk dan untuk menyatakan penyesalan mereka, mulai hari itu mereka seperti berlumba dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga memperoleh kemajuan yang pesat. Adapun sepasang rajawali putih dari Pulau Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi kesayangan mereka. Seringkali kedua orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu mereka, menunggangi rajawali sekadar untuk terbang di udara, di atas Pulau Es.
Beberapa bulan kemudian, barulah kedua orang pemuda itu maklum betapa mereka telah membikin repot ayah mereka ketika mereka pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu akan hal ini ketika malam hari itu, setelah mereka semua makan malam, Pendekar Super Sakti menceritakan kepada putera-puteranya betapa dia mencari mereka sampai ke daratan besar, bahkan sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!
"Mengapa ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan" tanya Kian Bu. dengan heran.
"Sebetulnya aku hanya menduga saja kalian ikut rombongan utusan dalam petualangan kalian, akan tetapi kalau tidak ada terjadi suatu hal, akupun tidak akan menyusul sejauh itu." Pendekar itu lalu menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi Kong suami Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk menyelidiki keadaan di barat, sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak akan memboyong puteri. Hal ini karena ada kekhawatiran di istana bahwa kini di barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa dan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan. Mendengar ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu dan dia menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super Sakti ini bahkan mendahului rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua puteranya tidak ikut dalam rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super Sakti berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.
Seperti biasa kalau mendengarkan cerita-cerita ayahnya, kini mendengarkan pengalaman ayah mereka di Bhutan, kedua orang pemuda itu tertarik sekali dan hati mereka ingin sekali memperoleh kesempatan merantau ke daratan besar yang menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar biasa, penuh ketegangan dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong semangat mereka untuk berlatih ilmu silat lebih giat lagi.
*** "Kong-lopek, mau apa kau" Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong...."
"Aiiih.... kongcu! Jangan main-main dengan obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu yang namanya obat perampas ingatan" Obat itu mengerikan sekali.... masa kongcu sendiri tidak ingat"
Tentu saja Tek Hoat tidak mengerti dan tidak ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan Keng In dan bahkan tidak pernah melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu mendiang Cui-beng Koai-ong itu! Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini tertawa dan berkata, "Tentu saja aku ingat, Kong-lopek. Mengapa engkau begitu bodoh" Ingatanku tentu lebih kuat daripada ingatanmu!"
"Tentu saja.... tentu saja, kongcu. Karena itu, harap jangan kongcu main-main dengan ramuan racun obat ini...."
"Hemm, aku ingin mencoba kekuatan ingatanmu, Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat dahulu sehingga kau menganggap obat ini begitu luar biasa dan menakutkan"
Kakek yang ingatannya sudah tidak terlalu waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil mengangguk-angguk kepalanya yang gundul dan memutar-mutar kedua matanya. "Hebat sekali obat itu.... siapa yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di Pulau Neraka ketika itu" Bukankah engkau sendiri yang menerima obat buatan suhumu itu, kongcu" Bukankah obat itu telah memperlihatkan keampuhannya yang mujijat" Puteri Pendekar Siluman sendiri.... ah, dia sampai lupa daratan, hilang ingatannya karena kauberi minum obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat lagi, murid Pendekar Siluman yang terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa dan kabarnya sudah kebal akan segala macam racun, bahkan dia telah menjadi murid susiokmu Bu-tek Siauw-jin dan oleh susiokmu telah diberi makan racun sehingga dia makin kebal racun, ternyata masih dikalahkan oleh suhumu! Nona yang kebal itupun menjadi korban dari obat perampas ingatan yang amat mujijat itu! Dan untuk itu, gurumu girang bukan main karena hal itu membuktikan bahwa dalam hal racun, gurumu lebih lihai daripada susiokmu."
Mendengar ini, bukan main girangnya hati Tek Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar Super Sakti dibuat tidak berdaya oleh ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan berguna sekali baginya! Dia tertawa dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini. "Ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat ingat semua itu, Kong-lopek! Justru karena khasiat obat itu, maka sekarang aku ingin sekali dapat membuat sendiri. Dahulu aku hanya menerima dari mendiang suhu, dan aku tidak pernah diajari membuat obat ini. Sekarang, catatan pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka aku ingin mencoba membuatnya."
Kong To Tek, kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka itu, menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang dan berkata, "Terserah kepadamu, kong-cu. Akan tetapi aku merasa ngeri.... hemm, obat itu hebat sekali dan berbahaya...." Dia lalu pergi meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng In majikan mudanya itu sambil menggeleng-geleng kepalanya. Tek Hoat tersenyum lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat obat perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong ini. Ini bukanlah sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa didapatkannya dengan bantuan Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati yang hanya bisa didapatkannya dengan menggali kuburan! Selain itu, apabila hendak mempergunakannya, mencampurkannya dalam makanan atau minuman orang yang hendak dirampas ingatannya, ada pula mantramnya yang harus dibaca. Ternyata bahwa obat perampas ingatan ini bukanlah racun biasa, melainkan racun yang mengandung kekuatan mujijat dari ilmu hitam!
Sampai hampir sebulan lamanya dia mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan akhirnya dia berhasil. Dengan wajah berseri-seri dia memandang bubukan berwarna putih yang berada di depannya.
"Terima kasih Cui-beng Koai-ong," bisiknya sambil menengadah. "Aku telah mewarisi sebuah lagi daripada ilmu-ilmu yang kautinggalkan!"
Kemudian pemuda itu termenung. Obat mujijat itu telah dibuatnya sesuai dengan yang ditulis dalam kitab. Akan tetapi bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya itu memang telah benar" Bagaimana cara membuktikannya bahwa obat perampas ingatan buatannya itu akan ampuh kalau dipergunakan" Jalan satu-satunya harus dicobakan kepada seseorang! Akan tetapi kepada siapa" Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar guha membuat dia tersenyum. Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat itu kalau bukan Kong To Tek! Sambil tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua macam obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan dan yang merah adalah obat penawarnya, dan membawa dua bungkusan itu ke dalam guha. Obat merah dia campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia masukkan ke dalam guci arak di mana masih ada sisa arak. Selama tinggal di dalam guha, Kong To Tek yang mencarikan segala keperluan mereka, termasuk arak wangi.
"Kong-lopek....!" Kemudian dia memanggil sambil menanti di depan guha, guci arak dan dua cawan kosong di tangannya.
Tak lama kemudian muncullah kakek gundul itu, pringas-pringis seperti biasanya. "Kau perlu apakah, kongcu"
"Kong-lopek aku telah berhasil membuat obat perampas ingatan itu!" Tek Hoat berkata sambil tersenyum girang.
Akan tetapi Kong To Tek mengerutkan alisnya dan mendengus. "Uhhh, obat mengerikan seperti itu, untuk apakah kongcu"
Tek Hoat tertawa. "Ha-ha-ha, aku sudah dapat membuat rahasia peninggalan suhu, bukankah itu menggirangkan sekali" Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo temani aku minum arak untuk merayakan hasil baik ini!" Dia menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan ternyata sisa arak itu hanya tepat dua cawan saja, lalu menyerahkan yang secawan kepada Kong To Tek. Tentu saja kakek ini menerima dengan girang tanpa curiga karena selain dia percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng In putera ketuanya itu, juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan ke dua yang diisi dari guci yang sama.
"Terima kasih, lopek. Sekarang pergilah beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali."
Kakek gundul itu mengangguk-angguk dan diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya. Melihat betapa kakek itu berulangkali menguap tanda mengantuk, dia girang sekali. Cocok dengan tulisan dalam kitab. Orang yang terkena racun itu tentu akan merasa mengantuk sekali dan setelah orang itu tertidur, maka terjadilah perubahan pada ingatannya, racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia tidak akan ingat hal-hal yang telah lalu sama sekali!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong To Tek yang masih tidur di bagian luar guha besar itu. Kakek gundul itu tidur mendengkur dengan keras sekali, tanda bahwa tidurnya amat pulas. Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi, mengguncang-guncang pundak kakek itu.
"Lopek! Kong-lopek, bangunlah....!"
"Hemmm.... ahhhh.... masih mengantuk.... ehhh, siapa kau...." Kakek gundul itu membuka matanya, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu memandang lagi kepada Tek Hoat, kemudian meloncat bangun dengan kaget dan heran.
"Di mana aku...." Siapa kau ini orang muda...." Ah, mengapa aku bisa berada di sini" Kakek itu kelihatan seperti orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali. Sikap kakek itu saja jelas membuktikan bahwa obat perampas ingatan itu benar-benar amat manjur dan hebat!
"Lopek, apakah benar-benar engkau tidak ingat apa-apa lagi"
"Orang muda, siapakah engkau" Dan aku.... hemm.... siapa pula aku dan di mana tempat ini" Mengapa aku tidur di guha"
Kini Tek Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji. "Lopek, masa engkau lupa akan namanya sendiri" Namamu adalah.... Ang Tek Hoat, masa engkau lupa" Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Ang Tek Hoat...." Hemm, terdengar asing akan tetapi mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau siapa, orang muda"
Tek Hoat menahan ketawanya. "Aku" Namaku Kong To Tek!"
"Kong To Tek" Nama itu tidak asing bagiku. Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal lama, Kong To Tek."
Tek Hoat tertawa. "Tentu saja, lopek! Kita adalah sahabat-sahabat lama!"
Sehari itu, Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik Kong To Tek yang hanya duduk di depan guha sambil termenung, agaknya bingung dan wajahnya membayangkan keraguan hebat. Ternyata kakek ini sama sekali tidak ingat akan masa lalu, dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek Hoat dan pemuda itu bernama Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama sekali baru!
Setelah kini merasa yakin akan kemanjuran ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya, ketika mereka berdua makan, Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke dalam minuman Kong To Tek. Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan minum obat penawar, tertidur dengan nyenyaknya.
Ketika pada keesokan harinya mereka terbangun, Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek dan dia akan memberitahu bahwa kakek itu telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil baik sekali. "Eh, lopek Ang Tek Hoat, kau baru bangun" Tegurnya menggoda.
Akan tetapi, segera Tek Hoat meloncat bangun dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh sekali, lain dari biasanya. Matanya tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu kini memandang kepadanya penuh selidik dan suaranya terdengar penuh wibawa, "Orang muda, siapa engkau" Namaku bukan Ang Tek Hoat, melainkan Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka! Siapa kau berani memasuki guha rahasia yang menjadi tempat persembunyianku ini"
Tentu saja Tek Hoat kaget setengah mati. Dia meloncat keluar dan kini mereka saling berhadapan di bawah sinar matahari pagi, di depan guha besar itu.
"Kong-lopek, jangan main-main. Bukankah engkau sudah mengenalku" Aku adalah Wan Keng In...."
"Bohong....!" Tiba-tiba Kong To Tek membentak marah sekali. "Biarpun wajahmu mirip sekali dengan Wan-kongcu, akan tetapi engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau jauh lebih muda, dan kalau dia masih hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu. Orang muda, jangan kau main-main dengan aku! Siapa kau" Hayo mengaku, dan mau apa engkau berada di sini" Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat sekali. "Kau...., sudah lamakah berada di sini"
"Aihhh, Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin...."
"Pedang itu....!" Kong To Tek menuding ke arah pedang Cui-beng kiam yang berada di punggung Tek Hoat. "Kembalikan! Pedang itu milikku, dan juga kitab-kitab pusaka.... di mana kitab-kitab itu" Kau sudah mengambilnya pula" Keparat, hayo kembalikan!" Dia menubruk maju hendak merampas pedang, akan tetapi sebuah tendangan kaki dari samping membuat dia terjengkang.
"Aihhhh....! Kau melawan" Kau berani kepada Kong To Tek tokoh Pulau Neraka" Bocah, kau sudah bosan hidup!"
Tek Hoat menjadi terheran-heran dan bingung. Mengapa terjadi perubahan yang hebat pada diri kakek itu" Akhirnya dia dapat menduga sebabnya. Mungkin karena racun perampas ingatan itu. Setelah minum obat penawarnya, agaknya pikiran atau ingatan kakek itu malah sembuh sama sekali, pulih seperti dahulu ketika belum gila sehingga kakek itu teringat akan segala-galanya! Celaka, pikir Tek Hoat, kalau begini berbahaya sekali. Orang ini harus dibunuhnya!
"Bocah keparat, pencuri pusaka! Kau harus mampus!" Dan kakek gundul itu sudah menerjang dengan terkaman seperti seekor singa kelaparan.
"Engkaulah yang akan mampus, Kong To Tek!" Tek Hoat miringkan tubuh ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menampar ke depan.
"Wuuuuttt.... dessss....!"
"Aihhh....!" Kong To Tek berteriak, karena sakit dan kaget melihat betapa pemuda yang dipandangnya rendah itu ternyata lihai sekali sehingga dua kali dia terjengkang. Tenaga sin-kang yang menyambar dari tangan pemuda itu membuka kedua matanya sehingga dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian hebat.
"Bagus! Kiranya engkau seorang penjahat cilik!" Dia memaki dan kini Kong To Tek mulai mengerahkan tenaga dari pusarnya. Kepandaian kakek ini memang hebat. Dahulu dia merupakan tokoh ke dua sesudah ketua di Pulau Neraka, dan ilmunya yang paling diandalkan adalah sin-kang dari perut yang membuat perutnya mengeluarkan bunyi seperti katak tertimpa hujan, dan kalau dia sudah mengerahkan tenaga sin-kangnya ini, dari mulutnya menyambar uap beracun pula! Apalagi setelah dia mempelajari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dari gambar-gambarnya, latihan itu membuat dia makin kuat dan lihai!
"Wuuuusssshh....!" Mulutnya menyemburkan uap putih ke arah muka Tek Hoat, tubuhnya merendah seperti berjongkok dan kedua kakinya bergerak aneh ke depan sambil berjongkok, kemudian tiba-tiba kedua lengannya bergerak melakukan serangan dari bawah dengan hebat dan hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya ke arah Tek Hoat.
Kalau saja Tek Hoat belum melatih diri dengan ilmu-ilmu dari dalam kedua kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu selama hampir dua tahun ini, kiranya dengan ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo saja dia tidak akan mampu menandingi tokoh gundul dari Pulau Neraka ini. Akan tetapi selama hampir dua tahun ini, di dalam guha itu Tek Hoat telah mempelajari ilmu-ilmu kesaktian yang amat hebat sehingga
Seruling Samber Nyawa 17 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 21
^