Kisah Sepasang Rajawali 30

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 30


itu. Subo, kauajak aku, ya.... eh, siapa dia ini" Tentu jahat sekali, Subo." Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan takut.
"Dia ini Paman Topeng Setan, tidak perlu kau takut dan jangan mengatakan jahat karena dia adalah seorang pendekar besar," jawab Ceng Ceng.
Akan tetapi Hwee Li masih memandang dengan penuh keraguan. "Seorang pendekar biasanya berwajah gagah, tidak seperti ini. Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku percaya bahwa di balik topeng itu tentu tersembunyi wajah yang gagah aman, boleh aku membuka topengmu" Dengan sikap lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu. Tentu saja Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.
"Hwee Li, jangan kurang ajar kau! Mundur!" Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur dengan cemberut.
"Boleh jadi dia pendekar besar, akan tetapi dia tidak adil dan penakut!" Dara remaja ini memandang kepada Topeng Setan dengan sikap menantang.
"Hemm, Nona cilik, mengapa kau mengatakan aku tidak adil dan penakut" Topeng Setan bertanya.
"Engkau tidak adil karena kau bisa melihat dan mengenal wajahku dan wajah semua orang, akan tetapi sebaliknya aku tidak bisa melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya" Dan biarpun Subo mengatakan kau seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah dan tidak penakut kalau kau selalu bersembunyi di belakang topeng"
Menghadapi dara cilik yang lincah dan pandai bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ceng Ceng yang melihat ini segera maju menolong pendekar itu. "Hwee Li, diam kau, jangan cerewet. Aku tidak akan mengajakmu kalau kau cerewet!"
Wajah dara cilik itu menjadi girang sekali. Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan berkata, "Subo mau mengajakku" Ah, terima kasih, dan aku tidak akan berani nakal dan banyak cerewet lagi!"
Ceng Ceng baru teringat bahwa dia sudah kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan menghambat perjalanan saja. Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia lalu membelokkan persoalan dengan bertanya, "Jadi engkau sendirian di sini" Pakaian siapa di dalam guha itu"
Nona cilik itu tertawa, nampak deretan giginya yang putih seperti mutiara. "Pakaianku, Subo. Tadi kucuci, sudah kotor sih! Lalu aku merasa lapar dan.... eh, mana kelinciku yang gemuk tadi" Dia teringat kelincinya dan mencari-cari. Tentu saja binatang itu sudah sejak tadi melarikan diri tidak dapat ditemukan lagi. "Wah, celaka, rugi besar aku...." Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.
"Kau lapar, Nona" Kami membawa bekal roti kering dan daging dendeng kering...." kata Topeng Setan menawarkan.
"Benarkah" Wah, ternyata kau baik sekali, Paman," katanya melihat Topeng Setan pergi menghampiri belakang batu besar di mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera kembali membawa roti kering dan dendeng.
Setelah makan roti kering dan minum air, Hwee Li lalu berkata, "Subo, sekarang Subo hendak mengajak aku ke mana"
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah terlanjur berkata hendak mengajak bocah ini! "Kami berdua mempunyai urusan yang amat penting dan juga amat berbahaya, Hwee Li. Oleh karena itu, kau menanti saja di guha ini untuk beberapa lamanya. Setelah urusan kami selesai, aku pasti akan menjemputmu di sini."
"Ah, aku sudah bosan di sini sendirian saja, Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo katakan tadi!"
Ceng Ceng merangkul pundak "muridnya" itu. "Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik! Kami menghadapi urusan yang sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau kuajak sekarang, tentu akan memperlambat perjalanan...."
"Wah, Subo tidak perlu memikirkan hal itu. Aku tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman ini menggunakan ilmu lari cepat seperti terbang sekalipun. Pendeknya, asal Subo memperbolehkan aku ikut, Subo tidak perlu menggandeng atau menggendongku, dan aku pasti akan dapat mengikuti Subo, bahkan bisa pula mendahului kalau perlu!"
Topeng Setan terkejut mendengar kata-kata yang sombong dan sikap yang jumawa itu.
"Eh, Nona cilik, jangan main-main. Benarkah engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari kami"
"Mengapa tidak" Eh, apa Paman pandai terbang"
"Terbang"
"Ya, terbang di angkasa."
"Tentu saja tidak bisa!"
"Nah, kalau begitu apa sukarnya mengikuti Paman dan Subo" Aku akan mengkuti kalian sambil terbang!"
"Hwee Li, jangan main-main kau!" Ceng Ceng menegur. "Masa kau bisa terbang"
Anak perempuan yang manis itu tertawa. Ceng Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini sungguh sama sekali tidak pantas menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu. Begini manis dan wajar. "Subo, tentu saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap. Akan tetapi burungku bisa dan ke mana-mana aku naik burungku itu."
"Eh, mana burung itu"
"Dia galak sekali, kalau kupanggil sekarang mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini. Nanti kalau Subo berdua sudah pergi, dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo. Bolehkah"
Ceng Ceng kini tidak dapat menolak lagi. "Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh nakal dan harus menurut semua omonganku."
"Baik, Subo. Baik, ah, Subo manis sekali!"
Mau tidak mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini memang menyenangkan dan andaikata dia masih memiliki ilmu-ilmunya yang beracun dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau menurunkannya kepada bocah manis ini, karena ilmu itu terlalu keji.
"Nah, kami akan melanjutkan perjalanan. Kalau burungmu tidak dapat membayangi kami, sebaiknya kau kembali saja ke sini dan dalam perjalanan pulang aku tentu akan menjemputmu di sini."
Gadis cilik itu hanya mengangguk dan memandang ketika subonya dan Topeng Setan melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Setelah mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit menyaring dan berkali-kali. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan seekor burung rajawali hitam yang amat besar menyambar turun. Hwee Li tadi tidak membohong ketika mengatakan bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang orang asing. Burung itu adalah hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka yang oleh ayahnya ditinggalkan kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan untuk mengantarnya kembali ke Pulau Neraka kalau dikehendaki oleh Hwee Li. Akan tetapi ternyata bocah ini tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang berkeliaran ke mana-mana dan mengejar-ngejar ayahnya.
Setelah mengambil pakaiannya dari dalam guha, Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali hitam. "Terbanglah, hek-tiauw dan ke sana....!" Dia menepuk leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan sayapnya, terbang cepat ke atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh nona cilik itu.
Ceng Ceng yang berlari cepat bersama Topeng Setan mengharap agar "muridnya" itu tidak benar-benar mengejarnya.
"Heran sekali, engkau mempunyai murid seperti dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula. Akan tetapi memang tidak bisa dielakkan lagi karena seperti telah kauceritakan dahulu, dia telah menolong membebaskanmu, Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah yang cerdik dan luar biasa sekali."
"Memang, akan tetapi sekarang aku tidak bisa mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan kelambatan dan kerepotan saja. Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai burung dan dapat menyusul seperti yang dibualkan."
Hening sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng Setan tertawa. "Kau terlalu memandang rendah muridmu itu. Lihat!" Dia menuding ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya memandang dan benar saja, di atas mereka kelihatan seekor burung rajawali hitam besar sedang terbang lewat dengan cepat sekali.
"Subo....! Hiiiii!!" Hwee Li bersorak dan melambaikan tangannya. Burung itu terbang berputar-putar dan terus mengikuti ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.
"Luar biasa puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!" Ceng Ceng berkata. "Mudah-mudahan saja dia tidak akan membikin keributan."
Namun ternyata Hwee Li tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan dalam perjalanan itu. Kalau malam tiba dan melihat subonya dan Topeng Setan beristirahat, dia pun menyuruh burungnya turun agak jauh dari situ, lalu membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu menghampiri subonya, membantu subonya membuat api unggun, mencari binatang hutan untuk dipanggang dan dimakan bersama. Keesokan harinya, setelah subonya dan Topeng Setan berangkat, dia memanggil hek-tiauwnya dan kembali naik ke atas punggung burung yang segera menerbangkannya mengikuti gurunya.
Akhirnya, pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng dan Topeng Setan di depan sebuah istana setelah melalui perjalanan melintasi gurun pasir selama setengah hari lamanya. Sungguh aneh sekali, di tengah gurun seperti ini, di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan besar yang begitu megah, kelihatan sunyi sekali dan karenanya kelihatan "angker" dan keramat.
"Hati-hati, Paman...." Ceng Ceng berbisik sambil melambaikan tangan ke atas. Hwee Li menyuruh burungnya menukik turun, kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata kepada muridnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya, "Kau pergi agak jauh, jangan ikut turun di sini! Tunggu sampai kami keluar!"
"Baik, Subo....!" Hwee Li menjawab dengan suara agak mengkal karena dari atas, istana itu kelihatan aneh dan indah, dan sebetulnya dia ingin sekali turun masuk. Akan tetapi karena dilarang subonya, maka dia lalu menyuruh burungnya terbang tinggi di atas dan berputaran di sekeliling istana itu.
"Mari kita masuk, Paman...." Ceng Ceng berkata kepada Topeng Setan setelah melihat burung dan muridnya itu melayang tinggi dan jauh. Topeng Setan mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk dengan hati-hati sekali. Istana itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh kuat dan amat indah, terbuat dari batu-batu berwarna sehingga kelihatan aneh dan mencolok di tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di belakang dan samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa pohon-pohon dan bunga-bunga, cukup segar dan indah!
Mereka berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong di dalam istana itu. Berliku-liku jalannya lorong-lorong itu, diapit-apit tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran, berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf yang tidak dimengerti artinya oleh Ceng Ceng. Istana ini ternyata luar biasa luasnya, akan tetapi sungguh mengherankan hati Ceng Ceng mengapa dia tidak bertemu dengan seorang pun di dalamnya. Padahal istana itu mempunyai banyak sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan halaman-halaman di mana terdapat tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua sekali akan tetapi kate, tingginya hanya dua tiga kaki, diatur seperti sebuah taman yang indah dan di tengahnya terdapat kolam ikan emas dengan air memancar dari tengah-tengahnya! Dan melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik, mustahil kalau tidak ada penghuninya.
"Heran sekali, mengapa kosong, Paman" Apakah penghuninya sedang pergi" Ceng Ceng berbisik.
"Hemm.... mungkin begitu...." jawab Topeng Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik. Ceng Ceng bergidik. Topeng Setan biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi sekarang mendengar suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jerih! Apalagi dia. Dia sudah merasa serem dan longak-longok memandang ke sana-sini.
"Sregggg....! Sregggg....!" Ceng Ceng terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu tiba-tiba dipecahkan suara yang amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu lidi. Suara itu terdengar dari halaman yang baru saja mereka lewati, halaman di depan gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi.
Mendengar suara ini, giranglah hati Ceng Ceng. Tentu itu seorang perawat atau pelayan rumah besar ini dan dapat ditanyai tentang Kok Cu si pemuda laknat. Maka otomatis kakinya bergerak, berlari cepat menuju ke halaman depan gedung perpustakaan itu.
Akan tetapi begitu dia tiba di tempat itu, suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong tidak nampak seorang pun manusia. Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di sudut, bekas sapuan, padahal tadi ketika dia lewat di sini, daun-daun itu masih berserakan, Ceng Ceng berdiri termangu-mangu dan memandang ke kanan kiri. Tampak jelas bekas goresan sapu lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan main! Halaman seluas itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu" Dia baru saja mendengar suara menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi tempat itu telah selesai disapu orang dan si penyapu ajaib itu telah lenyap. Bulu tengkuknya meremang. Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau kalau manusia, tentu memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Keadaan yang sunyi itu, peristiwa yang amat aneh itu, menambah keseraman tempat yang demikian luas dan kosong. Ceng Ceng terlongong dan memandang ke arah bekas tempat yang disapu. Corat-coretan bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang melintang akan tetapi sangat teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian panjang dan rata, lalu ujung-ujung goresan itu makin menipis dan lenyap akan tetapi semua tempat bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga mujijat, bukan oleh lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu. Melihat jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng terkejut karena gerakan-gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa sambil membongkok sedikit, melainkan gerakan orang bermain silat yang aneh! Agaknya orang atau setan yang menyapu halaman ini tadi menyapu sambil bersilat! Dan semua "serangan" ditujukan ke sudut halaman sehingga semua kotoran berkumpul dan menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!
"Sreggg! Sreggg!" Ceng Ceng terloncat kaget dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke arah suara orang menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan samadhi. Akan tetapi setibanya di tempat itu, dia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang yang cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah disapu itu!
Dia hendak mengejar, akan tetapi kembali sudah terdengar suara orang menyapu, kini di sebelah kiri. Dia lari mengejar ke tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman lain yang sudah bersih dan hanya tinggal ada bekas-bekasnya saja seperti tadi. Sampai lima enam kali dia dipermainkan suara orang menyapu ini sehingga dia merasa mendongkol bukan main. Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan sengaja mempermainkan aku, demikian bisik hatinya yang panas. Dan dibandingkan dengan orang itu, kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya. Akan tetapi dia tidak takut. Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh besarnya itu di sini, dia sudah siap untuk menghadapinya dan menyerangnya mati-matian. Dia kini telah memiliki tenaga mujijat, khasiat anak naga itu. Di dalam perjalanan, dia sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga kini sedikit demi sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mujijatnya itu, sungguhpun belum seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng Setan, kalau dia sudah mampu menguasai seauruh tenaga mujijat itu, maka di dunia ini jarang ada yang akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya.
"Paman...." Dan Ceng Ceng terkejut sekali, baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia meninggalkan Topeng Setan dan sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di belakangnya!
"Ahh, di mana dia...." Ceng Ceng memandang ke kanan kiri. Dia sampai lupa kepada Topeng Setan karena dia digoda oleh tukang sapu yang dikejarnya ke sana ke mari. Dia lalu mencari ke mana-mana, akan tetapi istana itu luas bukan main, banyak sekali lorongnya sehingga dia sudah lupa lagi di mana tempat dia meninggalkan kawannya itu tadi. Dia seolah-olah telah "dipancing" untuk meninggalkan Tapeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu pihak musuh sengaja menggunakan siasat memecah-belah mereka berdua sehingga tidak dapat saling menjaga dan saling menolong!
"Paman....!" Dia mulai berteriak memanggil sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh ketegangan. Dia memasuki setiap lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi semua kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan serem, bulu tengkuknya meremang. Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana itu amat tinggi maka matahari yang sudah mulai condong ke barat itu terhalang sinarnya" Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi tempok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil.
Dia terus lari mencari-cari dan kini hatinya penuh rasa takut dan juga kagum. Kiranya di sebelah dalam istana ini luasnya bukan main, seperti sebuah kota saja. Ada tamannya, ada anak sungai dengan jembatan yang artistik, bangunan-bangunan kecil yang aneh bentuknya namun indah.
Ceng Ceng mulai terengah-engah. Lalu dia mengambil keputusan untuk keluar saja dari istana yang menyeramkan ini. Di luar sana setidaknya ada muridnya, Hwee Li dan burung rajawali hitam itu. Dan di luar dia akan menanti Topeng Setan, atau mungkin sekali Topeng Setan sudah keluar lebih dulu karena melihat istana itu kosong dan menanti dia di luar. Mulailah Ceng Ceng berlarian mencari jalan keluar. Akan tetapi celaka! Lorong mana pun yang diambilnya, tidak membawanya ke luar! Jalan-jalan di situ amat aneh, berputar-putar dan dia tidak dapat keluar, bahkan memasuki bagian-bagian yang tadi belum pernah dilalui. Dia tersesat di dalam istana luas kosong itu!
"Paman Topeng Setan....!" Dia berteriak-teriak karena hari makin gelap, suasananya makin menyeramkan. Akan tetapi, teriakannya itu kini bergema dan yang terdengar kembali hanya gema suara terakhir, "....setaaaann....!" sehingga makin meremang bulu tengkuknya. Tengkuknya terasa dingin, seolah-olah setiap saat tengkuknya akan diraba dan dicekik tangan setan yang dingin!
Ceng Ceng makin panik dan baru sekali ini dia merasa takut, takut karena jalan pikirannya yang mencipta yang bukan-bukan. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang dalam beberapa tahun telah digembleng oleh pengalaman-pengalaman aneh mengerikan, bahkan beberapa kali dia menghadapi bahaya maut. Namun baru satu kali ini dia merasakan ketakutan yang lain lagi sifatnya, rasa takut yang timbul karena menghadapi hal yang membingungkan dan tidak dimengertinya. Lebih baik dia menghadapi seratus orang lawan yang mengeroyoknya dan dapat dilihatnya. Sekarang ini, dia tidak dapat keluar, seorang diri dan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Padahal malam agaknya mulai tiba dan cuaca menjadi makin gelap.
Ceng Ceng hampir saja menangis. Cuaca menjadi demikian gelapnya sehingga dia tidak berani lagi berlari-larian, hanya berjalan dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci yang terkurung oleh jebakan.
Tiba-tiba dia menahan napas. Tampak olehnya bayangan orang di seberang jembatan di depan sana, bayangan hitam yang memegang sebatang lilin bernyala. Cahaya lilin itu terlalu kecil sehingga dia tidak dapat melihat wajah pemegangnya. Rasa ngeri dan takutnya lenyap. Pasti bukan setan yang memegang lilin bernyala itu. Bayangan itu menggunakan api lilin, menyalakan lampu-lampu minyak yang berdiri di setiap sudut. Gerakannya ketika membuka penutup lampu, menyulut dan menutupnya kembali amat cepatnya dan api lilin itu bergerak-gerak.
Ceng Ceng cepat menggerakkan kakinya mengejar. Akan tetapi orang itu makin cepat pula gerakannya, meloncat ke sana-sini, sulut sana-sini, lari ke depan, sulut lagi sana-sini, terus dikejar oleh Ceng Ceng dan akhirnya, setelah menyalakan lampu terakhir, orang itu meniup padam lilinnya dan lenyap!
Ceng Ceng terpaksa berhenti, memandang ke sana ke mari. Sunyi melengang dan cahaya lampu-lampu minyak di sekitar tempat itu yang telah disulut oleh orang aneh tadi menciptakan suasana yang makin menyeramkan. Akan tetapi sedikitnya ancaman kegelapan sudah tidak ada lagi dan Ceng Ceng berbesar hati. Andaikata muncul apa pun musuh atau siluman, dia masih dapat menjaga diri di bawah sinar-sinar lampu yang muram akan tetapi cukup terang itu.
Selagi dia termangu-mangu, tidak tahu betul apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di sebelah kanan, suara orang bertempur! Ceng Ceng cepat berlari ke arah suara itu, dan akhirnya dia tiba di bawah sebuah bangunan tingkat dua. Dia melihat ke atas dan ternyata ada dua orang bertempur saling serang dengan serunya di atas genteng bangunan tingkat dua itu. Yang seorang adalah kakek-kakek yang bertongkat, melawan seorang laki-laki bermantel lebar yang menutupi hampir sekujur badannya yang tinggi besar.
Agaknya laki-laki tinggi besar itu maklum akan kedatangan Ceng Ceng. Dia menoleh dan.... hampir saja Ceng Ceng menjerit. Itulah dia! Laki-laki berjubah lebar itu! Si pemuda laknat, tak salah lagi!
"Keparat....!" Mulutnya mendesis dan Ceng Ceng hendak meloncat ke atas. Akan tetapi pemuda itu yang menoleh dan melihat Ceng Ceng, nampak terkejut lalu meloncat jauh ke depan melarikan diri, dikejar oleh musuhnya, kakek bertongkat. Melihat ini, Ceng Ceng terus melayang ke atas genteng dan mengejar pula ke arah kedua orang itu tadi berkejaran. Akan tetapi, gerakan mereka cepat bukan main dan di atas genteng-genteng istana, cuaca tidaklah seterang di bagian bawah yang sudah diterangi banyak lampu.
Ceng Ceng terpaksa berhenti ketika dia kehilangan dua bayangan yang dikejarnya itu. Dia mengerahkan seluruh ketajaman telinga untuk mendengarkan. Benar, di kejauhan dia mendengar lagi suara orang bertempur. Cepat dia meloncat dan dari atas dia melihat ada satu orang dikeroyok tiga orang. Yang dikeroyok adalah seorang yang berjubah lebar tadi, si pemuda laknat, musuh besarnya. Karena Ceng Ceng tidak mempedulikan lain-lainnya, hanya mencurahkan seluruh perhatian terhadap si pemuda laknat, maka dia tidak peduli siapa yang mengeroyok itu dan dia langsung meloncat dari atas dengan maksud menyerang musuh besarnya sambil memaki, "Hendak lari ke mana kau"
Orang berselubung mantel atau jubah lebar itu menengok dan sekali ini Ceng Ceng dapat mengenal betul wajah yang gagah perkasa itu, wajah yang dahulu di dalam guha kelihatan kemerahan dan beringas, akan tetapi sekarang kelihatan terkejut. Orang itu mengeluarkan suara aneh di lehernya lalu meloncat dan melarikan diri lagi, dikejar oleh tiga orang musuhnya yang juga amat lihai dan memiliki gerakan-gerakan cepat bukan main sehingga kembali Ceng Ceng tertinggal jauh ketika mencoba mengejarnya dan sebentar saja sudah kehilangan bayangan mereka.
Ceng Ceng makin mendongkol. Terpaksa dia berdiri diam di sebuah taman, sambil mendengarkan lagi. Jantungnya berdebar tegang. Sekarang dia tidak akan keliru lagi. Tentu dialah orangnya! Selain wajahnya yang tak mungkin dia lupakan selama hidupnya itu, juga buktinya begitu melihat dia muncul, orang bermantel lebar itu melarikan diri. Padahal melihat kelihaiannya menghadapi lawan-lawannya, tidak mungkin laki-laki itu takut kepadanya. Tentu dia lari karena dia pun ingat kepadaku, pikir Ceng Ceng. Jantungnya berdebar aneh. Ingat padaku" Dia masih ingat padaku" Ingat secara bagaimana" Kalau dia sendiri tentu saja selama hidupnya akan teringat kepada pemuda itu, ingat dengan hati penuh kebencian. Akan tetapi bagaimana perasaan pemuda itu begitu melihat dan mengenalnya" Ingin sekali dia mengetahui perasaan pemuda itu.
Kembali terdengar suara orang bertempur. Ceng Ceng menahan kakinya yang sudah hendak berlari lagi. Tidak, dia harus cerdik sekarang. Dia tidak boleh lari tergesa-gesa, karena hal ini akan membuat kehadirannya ketahuan dan si laknat itu tentu akan lari lagi. Maka kini Ceng Ceng menghampiri tempat arah datangnya suara pertempuran dengan jalan kaki, berindap-indap dan hati-hati agar jangan sampai diketahui oleh mereka yang sedang bertanding, terutama tentu saja oleh pemuda musuhnya itu.
Akan tetapi setelah tiba di tempat itu dan melihat mereka tidak melarikan diri, hatinya kecewa karena yang bertanding sekali ini bukanlah si pemuda laknat yang memakai mantel lebar tadi, melainkan seorang kakek yang memegang sebatang sapu lidi bergagang panjang, dikeroyok oleh dua orang kakek yang bersenjata kebutan dan yang seorang bersenjata tasbeh. Dua orang kakek pengeroyok itu lihai sekali, akan tetapi kakek pembawa sapu lidi itu tidak kalah lihainya. Terutama sekali gin-kangnya, amat luar biasa sekali gerakannya, cepat seperti beterbangan sehingga pandang mata Ceng Ceng menjadi kabur melihat kakek itu berkelebatan dan sapu lidi di tangannya digerakkan menjadi gulungan sinar yang amat lebar mengelilingi dan menyelimuti dirinya. Biarpun dua orang pengeroyoknya itu pun amat lihai sehingga gerakan senjata mereka mendatangkan angin yang bersiutan, akan tetapi kakek tukang sapu ini mampu melindungi dirinya, bahkan masih sempat pula menyumpah-nyumpah dengan suaranya yang agak parau.
"Kurang ajar sekali! Kalian ini setan-setan dari mana malam-malam begini berani mengacau di rumah orang"
"Heh, pelayan rendah! Kedudukanmu hanya tukang sapu, jangan banyak bicara kau! Hayo antarkan kami ke gedung pusaka milik Si Bongkok kepada kami!" teriak lawannya yang bersenjata kebutan.
"Hemm, kiranya kalian ini maling-maling tak tahu malu" Benar-benar gagah perkasa, berani datang merampok selagi tuanku pergi. Kalau bellau berada di sini tak mungkin kalian berani datang. Dasar pengecut!"
"Pelayan hina bermulut lancang!" bentak lawan yang memegang tasbeh dan mereka sudah bertanding lagi makin seru.
Ceng Ceng yang sedang menonton pertempuran hebat itu dengan hati kecewa karena dia tidak melihat si pemuda laknat yang dikejarnya, tiba-tiba mendengar ada suara pertempuran yang lebih ramai di balik tembok kiri. Cepat dia lalu menyelinap dan menghampiri. Ketika dia sudah tiba di balik tembok itu, dia melihat si pemuda laknat yang memakai jubah mantel lebar itu dikeroyok oleh lima orang yang lihai. Agaknya si pemuda itu hanya menggunakan ujung mantelnya yang lebar untuk menghadapi pengeroyokan lima orang lawannya yang bersenjata pedang. Akan tetapi kedatangan Ceng Ceng yang sudah menyelinap hati-hati itu agaknya diketahuinya pula dan dia sudah meloncat lagi, menghilang ke dalam sebuah lorong yang agak gelap. Lima orang lawannya agaknya telah mengenal kelihaian pemuda itu maka melihat pemuda itu memasuki lorong gelap, mereka tidak berani mengejar, takut terjebak melainkan mengambil jalan atas dengan berloncatan ke atas genteng. Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan apa-apa lagi dan dia sudah mengejar secepatnya ke dalam lorong gelap itu. Sekali ini dia tidak akan melepaskan musuh besarnya itu, tekadnya sambil mempercepat larinya. Akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget dan terguling di dalam lorong gelap karena ada sesuatu yang membelit kedua kakinya. Cepat dia merenggut benda itu dan ternyata benda itu adalah sehelai jubah lebar seperti yang dipakai oleh pemuda musuhnya tadi! Tentu saja tergulingnya ini memperlambat pengejarannya dan ketika ia meloncat bangun kembali, bayangan pemuda itu telah lenyap. Ceng Ceng mendongkol dan sambil melempar mantel itu dia menyumpah-nyumpah dan melanjutkan pengejarannya sampai keluar dari lorong gelap.
Setibanya di luar lorong itu, di dalam halaman yang luas dan cukup terang, Ceng Ceng termangu-mangu, tidak tahu harus mengejar ke mana karena sudah tidak nampak lagi bayangan orang yang dicarinya sedangkan di situ terdapat banyak sekali jalan simpangan. Selagi dia kebingungan, kembali terdengar suara orang bertanding di sebelah kiri. Cepat dia menuju ke tempat itu, berindap-indap dan setelah melewati jembatan kecil, dia melihat seorang kakek yang bersenjata cambuk sedang berhadapan dengan Topeng Setan!
Ceng Ceng memandang heran. Agaknya istana yang sunyi itu hanya dihuni oleh tukang sapu yang lihai dan murid Si Dewa Bongkok, yaitu si pemuda laknat yang memakai mantel lebar, dan malam ini istana didatangi oleh banyak sekali orang lihai yang maksudnya tentu akan merampok pusaka-pusaka Istana Gurun Pasir ini. Dan Topeng Setan agaknya membantu pihak tuan rumah menghadapi rombongan perampok! Dia sendiri menjadi bingung. Pemuda laknat musuh besarnya tinggal di istana ini, dan dia harus memusuhinya. Akan tetapi, perampok-perampok ini, tidak mungkin dia harus bekerja sama dengan para perampok! Jelas bahwa Topeng Setan sendiri menentang para perampok dan dia tidak dapat menyalahkan Topeng Setan karena memang sudah sepatutnya bagi seorang gagah untuk mencegah perbuatan jahat seperti perampokan. Akan tetapi dia" Tak mungkin dia mau membantu musuh besarnya!
Kakek itu amat lihai menggerakkan cambuknya, namun dia bukanlah lawan berat bagi Topeng Setan sehingga ketika ujung cambuknya kena dicengkeram, ujung cambuk itu patah. Pemiliknya mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang melarikan diri. Topeng Setan bergerak mengejarnya.
"Paman....!" Ceng Ceng berteriak.
Topeng Setan berhenti, membalikkan tubuhnya dan berkata, "Ceng Ceng, istana ini kemasukan maling-maling, aku harus membantu. Kau berdiamlah dulu di sini, aku hendak mengejar mereka." Setelah berkata demikian, Topeng Setan meloncat ke atas genteng dan lenyap, agaknya hendak membantu si tukang sapu.
Ceng Ceng termenung, bingung. Lalu dia cemberut. Mengapa Topeng Setan lebih mementingkan urusan istana ini, urusan tempat tinggal musuh besarnya" Mengapa Topeng Setan tidak cepat-cepat membantunya menangkap si pemuda laknat" Dengan hati panas dia lalu mengejar pula.
Terdengar pertempuran hebat di lapangan yang luas, yang terletak di belakang istana. Ceng Ceng lari menghampiri dengan penuh harapan. Kalau dia bertemu dengan musuhnya di situ, tidak peduli Topeng Setan membelanya menghadapi para perampok, dia tetap akan menyerang di pemuda laknat! Dengan hati panas Ceng Ceng sudah mencabut pedangnya dan dengan pedang di tangan dia menghampiri tempat pertempuran itu. Akan tetapi kembali hatinya kecewa sekali. Ada sebelas orang yang lihai-lihai mengeroyok dua orang, yaitu kakek tukang sapu dan Topeng Setan, sedangkan pemuda laknat itu tidak kelihatan di situ! Masih ada empat orang musuh yang berdiri di luar tempat pertempuran dan terdengar seorang diantara mereka berkata nyaring, "Mereka berdua telah dikurung, mari kita mencari sendiri gudang pusaka!"
Empat orang anggauta gerombolan maling itu lalu meloncat, dengan gerakan luar biasa ringannya tubuh mereka melayang ke atas genteng. Terdengar kakek tukang sapu tertawa, "Ha-ha-ha, kalian berempat hanya mengantar nyawa!"
Ceng Ceng tidak mengerti mengapa kakek tukang sapu itu mentertawakan empat orang itu, tentu saja dia tidak mengira bahwa tukang sapu itu merasa yakin bahwa murid majikannya yang tadi menghadapi para penyerbu dan yang sekarang tidak nampak, tentu telah berlaku cerdik dan menjaga keselamatan gudang perpustakaan sehingga empat orang itu tentu akan tewas di tangan murid majikannya.
Kakek tukang sapu itu memang gagah berani. Biarpun dia yang telah dibantu oleh Topeng Setan itu berada dalam keadaan terdesak menghadapi keroyokan sebelas orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dia masih mampu mentertawakan para lawannya, sedikit pun tidak mengenal takut.
Tiba-tiba terdengar lengking aneh di atas, diikuti suara tertawa merdu nyaring, suara ketawa seorang gadis cilik yang menunggang seekor rajawali hitam. Kiranya rajawali hitam dari Pulau Neraka itu yang tadi mengeluarkan suara melengking dan kini atas dorongan dan bujukan Hwee Li, gadis itu, si rajawali hitam raksasa menyambar ke arah empat orang anggauta penyerbu yang tadi berlompatan di atas genteng! Empat orang itu kaget bukan main, cepat mereka menggerakkan pedang menyerang ke atas. Akan tetapi sepasang cakar rajawali hitam itu besar dan kuat sekali, melebihi baja kerasnya, sehingga dua orang berteriak kaget, pedang mereka terlepas dan tangan mereka berdarah kena dihantam cakar, orang ke tiga terpelanting kena disambar sayap dan orang ke empat berteriak-teriak menutupi mata kanannya yang disambar ujung sepatu Hwee Li yang tertawa-tawa! Empat orang itu cepat berloncatan turun lagi dan Hwee Li sambil tertawa menerbangkan rajawalinya ke atas, berputaran sambil menonton pertempuran hebat yang masih terjadi di halaman luas itu.
Pada saat itu, terdengar suara lengking nyaring berkali-kali dan rajawali yang ditunggangi Hwee Li itu menggerakkan sayapnya dan terbang tinggi sekali seperti terkejut atau ketakutan. Ceng Ceng mengkhawatirkan keselamatan muridnya dan berseru, "Hwee Li, hati-hati kau....!"
Akan tetapi tiba-tiba nampak di angkasa dua bayangan besar hitam, lalu terdengar kelepaknya sayap-sayap burung raksasa. Kiranya dua bayangan hitam besar setelah kini tiba dekat, adalah dua ekor rajawali putih yang besar-besar dan di atas rajawali putih yang betina duduk seorang kakek yang berkaki satu dan berambut putih panjang riap-riapan.
"Hemm.... orang-orang yang tamak di mana-mana menimbulkan kekacauan saja!" Terdengar kakek berkaki buntung sebelah itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang turun dari atas punggung rajawali itu.
"Pendekar Siluman....!" Beberapa orang di antara para penyerbu itu berseru kaget dan kini mereka semua menjadi panik karena melihat betapa pendekar tua berkaki buntung sebelah itu ketika tiba di bawah telah terpecah-pecah menjadi sepuluh orang kembar yang menggerakkan tongkat secara hebat, tubuh sepuluh orang Pendekar Super Sakti itu mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti kilat karena dia menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun!
Melihat ini, peninglah kepala semua orang itu dan pandang mata mereka menjadi kabur.
"Lari....!" teriak seorang berpakaian tosu yang memegang kebutan dan tanpa diperintah dua kali, lima belas orang itu segera meningalkan ternpat itu dengan kacau-batau dan ketakukan. Padahal mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Sejenak kakek tukang sapu itu berdiri terbelalak memandang kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berdiri dengan tenang di depannya, kini sudah menjadi satu, tidak lagi terpecah menjadi sepuluh orang. Kemudian kakek itu membungkuk dengan penuh hormat kepada Suma Han dan berkata, "Kiranya Taihiap yang berjuluk Pendekar Super Sakti, tocu (majikan pulau) dari Pulau Es. Hamba mewakili majikan hamba dan kongcu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap mengusir para penjahat. Juga kepada Ji-wi berdua saya menghaturkan terima kasih," katanya lebih lanjut dan menjura ke arah Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Pendekar Super Sakti mengangguk. "Pelayan yang baik dan setia," katanya. "Di manakah adanya tuanmu" Aku datang karena melihat jejak puteraku, Suma Kian Lee, menuju ke tempat ini. Apakah dia bersama dengan majikanmu"
Tukang kebun itu kembali menjura. "Belum lama ini majikan hamba datang bersama Suma Kongcu, kemudian majikan hamba mengajak Suma Kongcu ke selatan setelah tiba undangan dan tantangan dari tiga orang datuk lainnya yang mengadakan pertemuan di Yin-san, pegunungan sebelah selatan. Kemudian datang Kongcu (Tuan Muda) murid majikan hamba dan kami berdua diserang oleh gerombolan penjahat tadi. Untung ada Sam-wi (Anda Bertiga) yang membantu kami."
Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat ke depan dan menodongkan pedangnya kepada kakek si tukang sapu yang menjadi terkejut sekali. "Hayo katakan, siapa kongcumu itu" Bukankah dia yang bernama Kok Cu"
"Benar, Nona.... kenapa...."
"Di mana dia" Lekas suruh dia keluar!"
"Eh, hamba.... hamba kira dia menjaga di gedung pusaka, sudah pasti begitu karena dia amat cerdik, tahu bahwa para penjahat tadi hendak menyerbu gedung pusaka."
"Nona muda, segala urusan dapat diselesaikan dengan baik, tanpa kekerasan." Tiba-tiba Pendekar Super Sakti berkata dan suaranya yang halus itu membuat Ceng Ceng meremang bulu tengkuknya.
"Maaf, Locianpwe," katanya dan dia menyimpan pedangnya.
"Biar saya yang mencarinya bersama orang tua ini," kata Topeng Setan. Tukang sapu mengangguk dan sekali berkelebat lenyaplah keduanya itu dari halaman.
Setelah mereka pergi, Pendekar Super Sakti memandang Ceng Ceng penuh perhatian dan bertanya, "Nona, semenjak pertemuan kita di warung itu, tak kusangka akan bertemu lagi dengan kau di sini. Sahabatmu yang bertopeng itu hebat sekali. Siapakah dia"
"Dia adalah sahabat dan pelindungku, Locianpwe. Dia adalah Paman Topeng Setan."
"Paman" Hemm, kukira dia belum setua itu. Tadinya kami kira dia itu suamimu. Kepandaiannya hebat. Akan tetapi mengapa kalian sampai di Istana Gurun Pasir ini" Tidak sembarang manusia dapat sampai di tempat berbahaya ini."
"Saya.... saya mencari.... seorang musuh besar saya," kata Ceng Ceng gagap. Jantungnya berdebar dan dia merasa jerih sekali berhadapan dengan pendekar yang hebat ini, yang juga masih terhitung kakek tirinya! Segala sesuatunya dari pendekar ini demikian berwibawa dan amat kuat pengaruhnya sehingga dia merasa tidak enak, takut dan sungkan.
"Hemm, jadi itukah yang kaukatakan urusan pribadi dahulu itu" Kasihan, semuda ini sudah dicengkeram oleh dendam yang begitu hebat...." Ucapan ini dikeluarkan oleh pendekar itu dengan lirih seperti bicara kepada dirinya sendiri. "Dan bocah perempuan yang naik rajawali hitam itu, siapa dia" Engkau tadi berseru kepadanya."
"Dia.... dia itu Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...."
"Eh! Ketua Pulau Neraka" Suma Han kelihatan tercengang juga.
"Benar, Locianpwe, dan dia.... dia menjadi murid saya."
Jawaban ini tentu saja membuat Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang tidak tahu akan duduknya perkara menjadi terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu, Topeng Setan dan kakek tukang sapu sudah muncul lagi sehingga percakapan mereka terhenti.
"Dia tidak ada lagi di sini, dan di kamarnya aku menemukan suratnya ini," kata Topeng Setan kepada Ceng Ceng, sedangkan kakek tukang sapu tadi hanya mengangguk membenarkan.
"Benar, Nona. Surat itu ditujukan kepada saya," katanya.
Ceng Ceng menerima surat itu dan membaca huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan tergesa-gesa, mengatakan bahwa penulisnya hendak pergi menyusul gurunya ke selatan, ke Yin-san untuk membantu gurunya menghadapi para datuk lainnya.
"Kalau begitu, kita susul ke Yin-san!" Ceng Ceng berteriak, penuh kekecewaan dan kemarahan.
"Akan tetapi Yin-san bukan tempat yang dekat dari sini...." Topeng Setan berkata.
"Tidak peduli, aku harus menyusulnya!" Ceng Ceng berkata penasaran.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas, "Subo.... celaka, dua ekor pek-tiauw (rajawali putih) itu mengejar-ngejar burungku! Aku terpaksa mendarat!" Dari atas menyambar turun burung rajawali hitam dan Hwee Li cepat meloncat turun, merangkul leher burungnya dan berkata, "Tenanglah, hek-tiauw, semua ini sahabat, kau tidak boleh nakal." Dengan susah payah Hwee Li menenangkan burungnya yang kelihatan marah dan gelisah melihat orang-orang asing itu.
Tiba-tiba Hwee Li menahan jeritnya ketika menoleh dan melihat Suma Han. Dia menudingkan telunjuknya kepada pendekar itu dan berkata gagap, "Celaka.... aku.... aku pernah mendengar.... kau.... kau Pendekar Super Sakti...."
Suma Han tersenyum dan mengangguk. "Anak baik, kau puteri Ketua Pulau Neraka" Sungguh bahagia sekali ayahmu memiliki seorang puteri seperti engkau."
Hwee Li memainkan matanya yang jeli. "Ehh" Kau.... kau tidak benci padaku, tidak membunuh aku...."
Suma Han tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"....tapi rajawali putih menyerang rajawaliku. Mereka itu tentu rajawali-rajawali dari Pulau Neraka dahulu, yang sekarang sudah menjadi besar dan lebih tangkas daripada hek-tiauw ini."
Suma Han bersuit panjang dan dua ekor rajawali putih itu menyambar turun, akan tetapi mereka itu mendekam di belakang Suma Han tanpa berani bergerak, sedangkan rajawali hitam dirangkul Hwee Li karena kelihatan gelisah dan gemetaran.
"Memang ini dua ekor pek-tiauw dari Pulau Neraka yang dahulu menerbangkan kedua orang puteraku dari Pulau Neraka." Kemudian dia menoleh kepada Ceng Ceng dan Topeng Setan. "Agaknya kita semua mempunyai niat yang sama yaitu ke Yin-san. Aku pun hendak menyusul Kian Lee yang pergi bersama Dewa Bongkok ke Yin-san, kalau kalian hendak ke sana, mari pergunakan pek-tiauwku yang seekor lagi. Nona dapat boncengan dengan muridmu ini di punggung hek-tiauw dan Saudara Topeng Setan ini boleh memakai pek-tiauw jantan ini."
Tentu saja Ceng Ceng dan Topeng Setan menerima penawaran itu dengan gembira. Ceng Ceng lalu meloncat ke atas punggung hek-tiauw bersama Hwee Li, sedangkan Topeng Setan meloncat ke punggung pek-tiauw jantan setelah Suma Han naik ke punggung pek-tiauw betina. Suma Han menerbangkan pek-tiauw betina itu di depan dan burung yang ditunggangi Topeng Setan segera mengejarnya. Hwee Li yang gembira sekali memboncengkan gurunya lalu memerintahkan rajawali hitamnya untuk mengikuti sepasang rajawali putih itu.
Memang hebat sekali Pendekar Super Sakti. Menunggang burung rajawali saja sudah merupakan hal yang amat mendebarkan hati penuh ketegangan, apalagi di waktu malam! Hwee Li sudah biasa sejak kecil menunggang burungnya, seperti menunggang kuda saja. Akan tetapi Ceng Ceng merasa ngeri, bahkan Topeng Setan sendiri mau tidak mau kadang-kadang menahan napas saking tegangnya. Namun Pendekar Super Sakti dengan enak saja melanjutkan penerbangan itu dan baru pada keesokan harinya menyuruh rajawalinya menukik turun ke atas sebuah bukit yang sunyi. Mereka memberi kesempatan kepada tiga ekor burung rajawali untuk beristirahat, dan juga mereka mencari tempat teduh untuk mengaso dan mengisi perut dengan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh Topeng Setan dan Ceng Ceng.
Saat beristirahat, setelah makan, dipergunakan oleh Pendekar Super Sakti untuk bersamadhi. Melihat ini, Topeng Setan, Ceng Ceng, dan Hwee Li tidak berani mengganggu, barrkan Topeng Setan mengajak mereka agak menjauhi di mana Topeng Setan memberi petunjuk kepada Ceng Ceng untuk menyempurnakan penguasaan tenaga sin-kangnya, sedangkan Ceng Ceng juga mulai mengajarkan semacam ilmu pukulan kepada Hwee Li.
Akan tetapi diam-diam Majikan Pulau Es itu melihat betapa Topeng Setan kadang-kadang melakukan latihan yang aneh, dengan tubuh hampir menelungkup dan begitu Topeng Setan melakukan gerak silat, batang-batang pohon di sekelilingnya bergoncang seperti diamuk badai, daun-daun rontok berhamburan. Pendekar Super Sakti terkejut dan maklum bahwa Topeng Setan benar-benar merupakan seorang yang amat lihai. Dia tidak tahu bahwa itu adalah ilmu yang paling mujijat dari Istana Gurun Pasir, yaitu Ilmu Sin-liong-hok-te yang sedang dilatih dan disempurnakan oleh Topeng Setan, yang akhirnya menguasai ilmu mujijat itu setelah lengan kirinya buntung. Juga sering sekali Suma Han yang memiliki penglihatan waspada itu melihat sikap termangu-mangu dan tenggelam dalam kedukaan hebat dari orang yang wajahnya disembunyikan di balik topeng itu. Dia tahu bahwa Topeng Setan masih muda dan dia makin kagum, juga makin heran karena antara Ceng Ceng dan manusia aneh ini terselubung rahasia yang luar biasa. Akan tetapi karena dia merasa tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, pendekar besar yang hanya sedang mencari puteranya ini tidak menaruh perhatian, apalagi menanyakan.
Beberapa hari kemudian, menjelang tengah hari, tibalah mereka di atas Pegunungan Yin-san. Tiga ekor burung rajawali itu berputaran di atas pegunungan dan tiba-tiba Hwee Li yang bermata tajam melihat gerakan orang-orang di atas sebuah di antara puncak pegunungan itu.
"Subo, itu di sana ada orang bertempur!" serunya.
Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk muridnya. "Kalau begitu kita melihat ke sana. Biar mereka nanti pun mengikuti kita kalau melihat kita turun." Hwee Li lalu menepuk-nepuk leher rajawali hitam yang mengerti akan perintah ini. Dia menukik turun dan melayang cepat sekali.
Akan tetapi Suma Han atau Pendekar Super Sakti melihat hal lain lagi yang menarik hatinya, maka rajawali yang ditungganginya disuruhnya turun pula di tempat yang tidak jauh dari puncak di mana Hwee Li dan Ceng Ceng melihat orang-orang bertempur itu. Karena rajawali yang ditunggangi Topeng Setan, yaitu pek-tiauw jantan, selalu mengikuti pek-tiauw betina, maka burung ini pun menukik turun mengikuti burung yang ditunggangi Pendekar Super Sakti. Tak lama kemudian, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat turun dari punggung dua ekor rajawali itu yang segera beterbangan lagi ke atas, agaknya maklum bahwa mereka telah bebas tugas dan hanya tinggal menanti panggilan majikan mereka. Selama bebas tugas mereka lebih suka terbang ke atas dan mengintai korban, yaitu binatang-binatang hutan untuk menjadi mangsa mereka.
Pendekar Super Sakti berloncatan dengan kaki tunggalnya, menuju ke sebuah telaga kecil, diikuti oleh Topeng Setan. Baru sekarang Topeng Setan mengerti mengapa pendekar besar itu mendarat di situ. Kiranya di dalam telaga itu terdapat seseorang yang sedang merendam tubuhnya di dalam air, kelihatannya sedang bersamadhi. Seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah. Suma Kian Lee!
Pendekar Super Sakti melangkah maju mendekati puteranya, mengerutkan alisnya dan berkata halus, "Kian Lee, keluarlah kau dan biar kuobati lukamu itu."
Mendengar suara ayahnya yang diucapkan dengan pengerahan khi-kang sehingga suara itu langsung memasuki telinganya dan menggugahnya, Kian Lee membuka mata. Sebelum menoleh, dia sudah berbisik girang. "Ayah....!" Lalu ia menoleh, mengambil pakaian dan mengenakan pakaiannya lalu naik ke tepi telaga, gerakannya agak lemah dan ternyata setelah dia keluar dari air telaga nampak tanda telapak jari kehijauan di punggungnya.
Topeng Setan terkejut sekali dan diam-diam dia kagum. Kenapa Pendekar Super Sakti sudah tahu bahwa puteranya itu terluka hebat" Dia sendiri sebelum melihat telapak jari di punggung itu tidak akan mgngetahuinya. Dengan hanya mengenakan celananya, Kian Lee berlutut di depan ayahnya.
Pendekar Super Sakti memeriksa punggung puteranya itu. "Hemmm.... pukulan dengan dasar yang-kang akan tetapi beracun. Tidak berbahaya akan tetapi kalau disembuhkan di sini memakan waktu lama," kata pendekar itu, lalu dia berloncatan dengan cepat di sekeliling tubuh puteranya, jari tangannya menotok dan menampar di beberapa bagian tubuh pemuda itu, kemudian dia pun duduk bersila di belakang puteranya, menempelkan tangan kirinya ke punggung yang terpukul, menyalurkan tenaganya yang mujijat dan tak lama kemudian, ketika dia telah melepaskan tangannya, tanda telapak tangan kehijauan itu telah lenyap! Makin kagumlah Topeng Setan menyaksikan ini, karena dari peristiwa ini saja dia sudah dapat membayangkan betapa hebatnya tenaga sin-kang dari kakek buntung ini!
"Sekarang, pakai bajumu dan ceritakan dengan singkat bagaimana kau sampai tiba di tempat ini dan terluka," kata Pendekar Super Sakti.
Kian Lee menceritakan bahwa sesungguhnya dia ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi berputar-putar di daerah utara, katanya hendak mencari adiknya yang terpisah darinya. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang sakit hati atau patah hatinya karena gagal dalam bercinta ketika dia mendapat kenyataan bahwa Ceng Ceng yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri!
"Saya bertemu dengan Locianpwe Go-bi Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi)...."
"Siapa dia"
"Orang-orang mengenal beliau sebagai Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir...."
"Oh, dia" Lalu bagaimana"
"Ketika beliau mendengar nama Ayah, beliau suka sekali kepada saya dan mengajak saya ke istananya di gurun pasir. Akan tetapi setibanya di sana, Locianpwe itu menerima undangan pertemuan para datuk besar di Yin-san, maka beliau lalu datang ke sini dan saya yang ingin meluaskan pengalaman lalu ikut. Beliau sudah memesan agar saya tidak mencampuri urusan para datuk. Akan tetapi, Ayah, para datuk yang tiga orang itu bermain curang! Mereka tidak mengadu ilmu untuk menentukan orang terpandai seperti biasa, melainkan mengeroyok Locianpwe Go-bi Bu-beng Lojin. Tentu saja saya tidak mau tinggal diam melihat kecurangan itu dan saya maju membantu. Akibatnya saya terkena pukulan ini dan Locianpwe itu menasihatkan saya untuk merendam tubuh di sini, karena hawa dingin air telaga ini akan banyak menolong."
"Hemmm.... dia benar. Akan tetapi kurang dingin. Kau sudah terbebas dari hawa beracun sekarang, akan tetapi untuk memulihkan kesehatan dan semangatmu yang kulihat melayu dan muram, sebaiknya kau pulang dulu dan melatih diri dengan Swat-im Sin-kang di rumah."
"Baik, Ayah!"
Pendekar Super Sakti bersuit keras dan dua ekor burung pek-tiauw itu melayang turun. "Kaubawa pek-tiauw betina pulang ke Pulau Es."
"Tapi Ayah...."
"Biar aku yang akan membantunya."
Kian Lee maklum dari tegangan suara ayahnya bahwa dia tidak boleh menawar lagi, maka dia lalu memberi hormat, juga menjura kepada Topeng Setan yang dia tidak mengerti bagaimana bisa datang bersama ayahnya, kemudian dia meloncat ke atas punggung pek-tiauw betina yang segera terbang melayang tinggi sekali. Pek-tiauw jantan mengeluarkan suara aneh, seperti hendak menyusul, akan tetapi Pendekar Super Sakti menepuk punggungnya dan berkata, "Kau pergilah cari majikanmu, Kian Bu!" Burung itu seperti mengerti perintah ini, dan dia pun memekik keras dan terbang melayang, meninggalkan angin yang membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang.
"Mari kita melihat pertemuan itu," kata Pendekar Super Sakti kepada Topeng Setan dan mereka bergerak cepat menuju ke puncak gunung.
Ketika mereka tiba di puncak, mereka melihat Dewa Bongkok sedang bertempur dengan hebatnya melawan seorang nenek yang juga amat lihai. Ceng Ceng dan Hwee Li sudah berada di situ pula, menonton pertempuran dari jarak agak jauh karena gerakan dua orang itu mendatangkan angin dahsyat sekali sehingga pohon-pohon yang berdekatan pada tumbang!
Tak jauh dari situ terdapat dua orang kakek yang duduk bersila, agaknya mereka itu terluka dan sedang mengusahakan pengobatan dengan sin-kang. Begitu muncul di situ, terdengar suara bisikan dekat telinga Si Pendekar Super Sakti dan Topeng Setan. "Ini adalah urusan kami di luar tembok besar, harap kalian jangan mencampuri."
Suma Han mengangguk-angguk, dan kagum kepada kakek tua renta bongkok yang terkenal sebagai Si Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir dan yang memperkenalkan diri sendirl sebagai Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi itu. Biarpun dikeroyok tiga, dan sudah melukai dua orang lawan, akan tetapi dia sendiri pun telah lemah gerakannya, agaknya sudah mengeluarkan tenaga terlalu banyak, dan lawannya, nenek yang bermata biru dan rambutnya kuning emas, juga amat lihai sekali, namun toh Si Dewa Bongkok itu masih sempat minta kepada dia dan Topeng Setan agar jangan mencampuri! Padahal, biarpun yang mengadakan pertemuan adalah datuk-datuk di luar tembok besar, namun jelas bahwa tiga orang di antara mereka adalah orang-orang yang menggunakan kecurangan mengeroyok Si Dewa Bongkok.
"Kenalkah kau kepada mereka" Suma Han berbisik kepada Topeng Setan, karena sesungguhnya selama hidupnya dia belum pernah bertemu dengan empat orang ini, sungguhpun pernah dia mendengar nama Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir.
Topeng Setan mengangguk, dan hal ini tidak mengherankan hati Suma Han karena dia maklum bahwa orang ini pun bukan orang sembarangan dan dia melihat kini betapa gerakan Si Dewa Bongkok yang lengan kirinya juga buntung seperti lengan kiri Topeng Setan itu mirip sekali dengan latihan yang dilakukan oleh Topeng Setan di waktu mereka berhenti dan beristirahat dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yin-san ini. Maka dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan erat antara Topeng Setan dan Dewa Bongkok.
"Locianpwe, saya sendiri pun baru pernah mendengar nama dan gambaran tentang mereka. Yang berambut pirang bermata biru, nenek lihai itu adalah datuk dari daerah barat, sedangkan yang dua orang lagi dan agaknya sedang bersamadhi itu, adalah datuk-datuk dari kutub utara dan datuk pantai timur. Nama-nama mereka tidak dikenal orang, dan mereka itu adalah datuk-datuk di luar tembok besar yang tidak pernah menyeberang tembok besar maka tidak terkenal di pedalaman."
Suma Han mengangguk-angguk dan memperhatikan jalannya pertandingan. Dia terkejut karena mendapatkan kenyataan bahwa dua orang yang sedang bertanding itu benar-benar memiliki tingkat kepandaian yang sudah sempurna dan dia sendiri pun agaknya hanya dapat mengimbangi mereka saja.
"Dan yang gagah perkasa dikeroyok dan kini menandingi nenek itu tentu Si Dewa Bongkok majikan dari Istana Gurun Pasir, bukan" tiba-tiba Suma Han bertanya sambil menoleh dan memandang Topeng Setan dengan penuh selidik. Diteropong oleh dua mata yang amat tajam penglihatannya seolah-olah dapat menembus topengnya, bahkan menjenguk ke dalam dadanya itu, Topeng Setan mengangguk dan menunduk.
Pada saat itu, terdengar lengkingan keras sekali. Suma Han dan Topeng Setan terkejut memandang. Kiranya dua orang datuk yang tadi duduk bersila, kini sudah meloncat dan menyerang Si Dewa Bongkok dari dua jurusan. Suma Han dan Topeng Setan mengeluarkan teriakan kaget, namun betapa pun lihainya mereka, karena tadi mereka mengalihkan perhatian, mereka itu terlambat dan tidak dapat turun tangan mencegah lagi. Dua orang datuk itu sudah menyerang dari kanan kiri, dan Si Dewa Bongkok yang hanya berlengan satu itu memutar tubuh menyambut.
"Bresss....!" Dewa Bongkok terlempar, berputaran dan roboh.
Seperti menerima komando saja, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat ke depan, Suma Han menggunakan tongkatnya menghadang nenek berambut pirang sedangkan Topeng Setan sudah menerjang dua orang yang tadi secara pengecut membokong Dewa Bongkok.
"He-he-he-heiiik! Orang berkaki buntung berambut putih.... heiiii, matamu itu.... bukankah kau Pendekar Siluman dari Pulau Es" bentak Si Nenek sambil mencelat mundur ketika ujung tongkat Suma Han berkelebat.
"Dan kau seorang nenek dari barat yang amat curang, bertiga mengeroyok seorang saja."
"Hi-hi-hik, kau tahu apa" Kau melindungi Dewa Bongkok"
"Aku tidak melindungi siapa-siapa, hanya menentang yang lalim dan curang," jawab Suma Han dengan tenang.
"Kalau begitu mampuslah kau!" Nenek itu sudah menerjang lagi, didahului dua sinar emas dan perak yang melayang-layang ke arah kepala dan dada Suma Han. Pendekar Super Sakti cepat menggerakkan tongkatnya menghalau sinar emas dan perak itu.
"Tinggg! Tinggg!" Dua buah benda itu ternyata adalah dua buah gelang dari emas dan perak dan kini setelah kena ditangkis, dua benda itu melayang kembali kepada pemiliknya, yang cepat menyambarnya dan kini menggunakan dua buah gelang itu di tangannya untuk menyerang dengan gerakan seperti kilat cepatnya dan yang nampak hanya sinar emas dan perak berkilauan mengerikan.
Namun Pendekar Super Sakti sudah siap dengan tongkatnya dan karena dia maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang memiliki kesaktian hebat, Suma Han segera menggunakan ilmunya yang dahsyat, yaitu Soan-hong-lui-kun yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti menyambarnya halilintar, sukar diduga perkembangan gerakannya sehingga beberapa kali nenek itu terpekik kaget.
Memang benar seperti yang diceritakan secara singkat oleh Topeng Setan kepada Pendekar Super Sakti tadi. Di luar tembok besar sebelah utara Tiongkok, di luar perbatasan tanah Mongol, terdapat banyak pertapa dan tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dan yang paling tinggi kepandaiannya adalah empat orang datuk-datuk luar tembok besar itu. Lima tahun sekali, empat orang ini selalu mengadakan pertemuan di tempat-tempat sunyi, untuk saling menambah pengetahuan dan sekedar menguji hasil ciptaan masing-masing. Akan tetapi, setelah tiga kali berturut-turut Si Dewa Bongkok selalu unggul, tiga orang itu menjadi iri hati dan diam-diam mereka bersepakat untuk dalam pertemuan berikutnya, merobohkan Si Dewa Bongkok, lalu mengambil pusaka-pusakanya dan mempelajari ilmu-ilmu yang diciptakannya. Untuk itu, mereka bertiga telah mengutus anak-anak murid mereka menyelidiki ke Istana Gurun Pasir selagi Dewa Bongkok mereka undang ke Yin-san. Untung bahwa usaha murid-murid mereka itu digagalkan berkat bantuan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti. Dan di Yin-san, mereka ternyata berhasil merobohkan Si Dewa bongkok dengan siasat pengeroyokan yang curang, dan baiknya dalam saat terakhir itu muncul pula Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti.
Akan tetapi, kalau Pendekar Super Sakti dapat mengimbangi kelihaian nenek berambut pirang yang bersenjatakan sepasang gelang emas dan perak, adalah Topeng Setan yang sibuk sekali menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan tingkat para datuk lainnya itu. Dia sendiri belum dapat menguasai Sin-liong-hok-te secara sempurna, maka biarpun kedua lawannya itu telah terluka oleh Si Dewa Bongkok, akan tetapi tetap saja Topeng Setan terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.
Ceng Ceng yang menonton pertandingan itu, hanya memandang terbelalak. Dia dan Hwee Li tidak berani bergerak, karena dari tempat jauh saja sudah terasa oleh mereka sambaran hawa pukulan yang amat mujijat dari kalangan pertempuran.
Melihat ini, Hwee Li menjadi tidak sabar lagi. Dia bersuit keras dan burung rajawali hitamnya menyambar turun.
"Hek-tiauw, kaubantulah Paman Topeng Setan, cakar dan patuk dua orang kakek itu, hayo cepat!" teriaknya kepada burungnya. Hek-tiauw itu mengeluarkan suara memekik nyaring dan melayang ke atas, kelihatannya takut-takut dan ragu-ragu untuk turun karena naluri binatang ini agaknya memberi tahu kepadanya bahwa orang-orang yang bertanding di bawah itu bukanlah manusia-manusia biasa.
"Hayo, hek-tiauw....!" Hwee Li berteriak-teriak dan terpaksa burung itu menyambar ke bawah, langsung mencengkeram ke arah kepala seorang kakek yang kepalanya gundul licin mengkilap mengeluarkan uap dingin. Dia adalah datuk dari kutub utara dan melihat sambaran bayangan hitam, tangan kirinya menyampok, sedangkan tangan kanannya tetap saja menghantam ke arah Topeng Setan, dibarengi dari kiri oleh temannya. Mereka menyerang Topeng Setan dengan persatuan tenaga seperti yang mereka lakukan ketika merobohkan Si Dewa Bongkok tadi.
"Plak....! Bresss....!" Dalam sedetik itu terjadi banyak hal. Rajawali hitam kena ditangkis oleh tangan yang ampuh itu, terlempar mencelat jauh dan terbanting menabrak batang pohon lalu terjatuh sambil mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing digebuk. Sedangkan Topeng Setan yang tadi menangkis pukulan dari dua jurusan itu, terhuyung-huyung kemudian roboh, dari balik topengnya mengalir darah segar yang agaknya keluar dari dalam mulutnya. Akan tetapi dua orang kakek itu yang terkena tangkisan Topeng Setan yang mengerahkan tenaga sakti Sin-liong-hok-te, juga terhuyung-huyung, memuntahkan darah segar dan mereka pun terluka hebat.
"Paman....!"
"Hek-tiauw....!"
Kalau Hwee Li lari menghampiri burungnya Ceng Ceng lari menghampiri Topeng Setan, akan tetapi dua orang kakek itu mengira bahwa Ceng Ceng akan membela Topeng Setan dan menyerang mereka karena mereka melihat betapa loncatan Ceng Ceng menandakan bahwa dara itu mempunyai kepandaian istimewa. Seorang di antara mereka mengebutkan ujung bajunya.
"Prattt....!" Ceng Ceng kena disambar ujung baju pundaknya dan dia terguling roboh pingsan di dekat Topeng Setan.
Melihat ini, Suma Han menjadi tidak senang hatinya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang luar biasa dahsyatnya, dan kini tubuhnya berubah menjadi tiga orang Suma Han, dan dia bersama dua bayangannya itu menyerang tiga orang datuk itu kalang-kabut. Nenek berambut pirang berteriak kaget dan kesakitan, darah mengucur dari lehernya yang kena serempet tongkat, sedangkan dua orang datuk yang sudah terluka ketika mengadu tenaga dengan Topeng Setan, juga mundur-mundur dengan jerih. Akhirnya ketiganya maklum bahwa dalam keadaan terluka, mereka tidak akan menang menghadapi Dewa Bongkok dan para pembantunya yang istimewa itu, maka dengan teriakan nyaring melampiaskan kekecewaan hati mereka, tiga orang datuk itu lalu melarikan diri.
Suma Han tidak mengejar. Dia melihat Dewa Bongkok bersila mengatur pernapasan, Ceng Ceng pingsan di samping Topeng Setan yang agaknya sudah tewas, dan Hwee Li merangkul burungnya yang terluka. Dia menarik napas panjang. Di manapun juga, biar sudah menjadi tua bangka-tua bangka dan sudah mengasingkan diri dari keramaian manusia, tetap saja manusia merupakan mahluk-mahluk yang suka menggunakan kekerasan. Dan dia, sekali lagi terseret pula! Melihat bahwa bagi Topeng Setan sudah tidak ada harapan lagi, dan burung hek-tiauw itu hanya terluka ringan dan menjadi buas tidak mau didekati orang lain kecuali nonanya, Suma Han lalu menghampiri Dewa Bongkok.
"Maafkan kelancangan saya," bisiknya dan dia pun duduk bersila di belakang kakek bongkok itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang bongkok sambil mengerahkan tenaga murni dari tubuhnya untuk membantu kakek itu mengobati luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya.
"Terima kasih, sahabat adalah Tocu Pulau Es, bukan"
Suma Han mengangguk, dan keduanya lalu diam tak bergerak lagi.
Ceng Ceng siuman, lalu ditubruknya Topeng Setan. Dirabanya tubuh yang masih hangat itu, dipegang nadinya, diraba dadanya. Akan tetapi tidak ada lagi tanda-tanda hidup pada tubuh tinggi tegap itu!
"Paman....!" Dia menjerit. "Paman Topeng Setan, jangan kautinggalkan aku, Paman....!" Dia menangis dan mengguncang-guncang tubuh itu, tubuh satu-satunya manusia di dunia ini yang amat disayanginya, amat baik kepadanya dan yang telah mengorbankan apa saja demi dia. Teringat betapa orang ini telah mati, barulah terasa oleh Ceng Ceng betapa dia kehilangan besar sekali, betapa dia sesungguhnya.... cinta sekali kepada orang ini.
"Paman...., aku mana bisa hidup tanpa kau...." ratapnya dan menangis sesenggukan sambil memeluki leher mayat itu dan meletakkan mukanya di atas punggung yang bidang itu. Tak disengajanya tangannya meraba topeng yang kasar dan Ceng Ceng lalu sadar. Dia berlutut dan berkata lirih, "Paman Topeng Setan, engkau telah mengorbankan segalanya untuk aku, engkau begitu sayang dan cinta padaku, akan tetapi engkau selalu menyembunyikan wajahmu dariku. Sekarang engkau telah mati.... hu-huuukkk.... Paman, kauperkenankanlah aku melihat wajahmu, Paman. Kau.... kaumaafkanlah aku, Paman.... hu-hu-huuukk...." Dengan jari-jari tangan menggigil Ceng Ceng mengulurkan tangannya meraih topeng di muka yang miring itu, kemudian dengan amat hati-hati seolah-olah tidak ingin menyakitkan muka mayat itu, dia menanggalkan topeng itu!
Topeng itu terbuka direnggutnya, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak memandang wajah yang kini terbuka, wajah yang rebah miring itu, wajah yang tampan dan gagah, dengan alis yang tebal, hidung yang mancung dan mulut yang membayangkan kegagahan, wajah.... si pemuda laknat yang selama ini dikejar-kejar, dianggap musuh besarnya, yang hendak dibunuhnya karena amat dibencinya!
"Aiiiihhhh....!" Dia menjerit, memandang pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut, matanya terbelalak seperti tidak mau percaya, dan dikejap-kejapkannya lalu memandang lagi lebih teliti. Akan tetapi wajah itu tetap tidak berubah, wajah yang pucat dan tak bernyawa lagi dari si pemuda laknat, yang mengerikan karena di bawah mulut, di atas tanah itu nampak darah merah yang dimuntahkan akibat hantamman pukulan dahsyat dua orang lawannya.
"Aiiiihhh....!" Dia menjerit, memandang pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut.
"Ti.... tidaaaaakkk...., bukan.... ohh, bukan....!" Ceng Ceng kembali menjerit, tubuhnya menggigil dan dia tergelimpang setelah mengeluh panjang, roboh pingsan lagi untuk kedua kalinya di samping tubuh Topeng Setan yang ternyata adalah si pemuda laknat, musuh besar yang dahulu memperkosanya di dalam guha itu.
Ceng Ceng rebah terlentang di dekat tubuh Topeng Setan. Wajahnya pucat sekali seperti mayat, kedua pipinya masih basah air mata, tangan kanannya masih mencengkeram topeng dan mulutnya memperlihatkan tarikan muka yang menanggung kenyerian luar biasa, menanggung penderitaan batin yang amat hebat sehingga siapa pun yang melihat keadaannya tentu akan merasa kasihan sekali.
Memang hebat sekali penderitaan batin dara ini. Bertubi-tubi dia mengalami hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, kesengsaraan dan penderitaan lahir batin yang dideritanya semenjak dia meninggalkan Bhutan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditumpuknya dalam ingatan, menimbulkan sakit hati dan dendam kebencian.
Sesungguhnya, nasib berada di tangan kita sendiri. Suka duka adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran kita. Sebab akibat tidak terpisah, dan berada di dalam genggaman tangan kita sendiri. Adalah ingatan kita, pikiran kita yang menimbulkan kebencian terhadap sesuatu atau seseorang di dalam hati kita.
Dari mana timbulnya kebencian" Sesuatu terjadi atas diri kita, sesuatu yang merugikan kita, rugi lahir maupun batin. Kerugian menimbulkan kekecewaan, menimbulkan kemarahan dan terjadilah rasa benci kepada penyebab timbulnya kerugian itu. Dan sekali benci sudah menguasai hati kita, hati tidak akan puas sebelum melihat yang kita benci itu terbalas dan tertimpa malapetaka yang lebih hebat daripada yang dijatuhkannya kepada diri kita. Pikiran yang mencacat perbuatan orang lain yang dianggap merugikan kita inilah yang menimbulkan dendam kebencian seperti yang dialami oleh Ceng Ceng hidupnya dan dicengkeram oleh kebencian kepada seorang setelah terjadi peristiwa perkosaan atas dirinya di dalam guha itu. Dasar kebencian karena dia merasa dirugikan.
Kemudian dia bertemu dengan Topeng Setan yang telah melimpahkan banyak sekali budi kebaikan kepadanya. Hal ini pun membangun suatu rasa sayang di dalam hatinya terhadap laki-laki bermuka buruk itu, rasa sayang yang juga timbul dari ingatan betapa orang ini telah banyak menguntungkannya lahir batin! Jadi sesungguhnya tidak ada bedanya antara rasa bencinya terhadap si pemuda laknat yang dianggap merugikannya, dan rasa sayangnya terhadap Topeng Setan yang dianggap menguntungkannya. Rasa benci dan sayangnya itu hanyalah penonjolan dari sifat mementingkan diri pribadi. Selama kita mementingkan diri pribadi, di dalam hidup kita pasti kita akan menjadi bulan-bulanan dan permainan dari suka duka, puas kecewa, benci sayang, seperti Ceng Ceng itulah! Dan muncullah penderitaan-penderitaan hidup dan kesengsaraan-kesengsaraan.
Benci bukanlah kebalikan daripada cinta! Yaitu cinta sejati, karena cinta yang menjadi kebalikan benci hanyalah cinta nafsu, cinta yang timbul dari mementingkan diri pribadi. Cinta semacam ini hanya akan bertahan selama dirinya disenangkan, dipuaskan, dan dipenuhi kehendaknya. Cinta macam ini selalu mengandung bayangan benci sebagai kebalikannya, sehingga kalau tidak disenangkan, tidak dipuaskan, dapat berbalik menjadi benci. Cinta sejati tidak mempunyai sasaran seperti benci. Kalau sudah tidak ada benci di hati, sama sekali tidak ada benci, barulah mungkin cinta yang suci ini memperlihatkan mukanya di dalam batin kita.
Ceng Ceng yang menggeletak pingsan itu menjadi permainan dari suka duka, dari kekecewaan melihat bahwa orang yang paling dibencinya itu justeru adalah orang yang paling dicintanya. Dia menjadi permainan dari pikiran sendiri, sehingga kini menderita pukulan batin yang amat hebat, membuatnya kecewa, penasaran, dan putus harapan. Mula-mula dilihatnya Topeng Setan satu-satunya orang yang dicintanya tewas, kemudian melihat bahwa yang tewas itu adalah musuh besarnya! Jadi sekaligus dia kehilangan, dua orang manusia yang dianggapnya paling penting di dunia ini, yang dianggapnya sebagai sebab-sebab pokok mengapa dia masih suka hidup! Kini dia kehilangan segala-galanya, maka hancur leburlah hatinya.
"Kasihan sekali kau, Nona muda....!"
Suara ini terdengar seperti datang dari langit dari atas oleh Ceng Ceng yang mulai siuman. Tak terasa lagi air matanya mengalir turun sebelum dia membuka matanya. Kemudian teringatlah dia akan segala hal. Mendadak dia meloncat sambil membuka matanya, menoleh ke kanan kiri mencari mayat si laknat tadi.
"Keparat busuk! Jahanam kau....!" Dia memaki-maki dan menerjang ke sana-sini seperti orang gila! Dalam kemarahannya yang hebat, yang membanjiri rongga dadanya, membuat dadanya seperti akan meledak, Ceng Ceng mencak-mencak secara buas dan otomatis tenaga mujijat yang didapatnya sebagai khasiat anak naga itu timbul.
"Braaaak.... braaakkkk....!" Dua batang pohon kena dihantamnya. Pohon itu batangnya sebesar tubuh manusia, akan tetapi hantaman tangan Ceng Ceng membuat dua batang pohon itu tumbang.
"Eh, Nona....!" Pendekar Super Sakti yang merasa kasihan dan tadi menolong Ceng Ceng dan membuatnya sadar itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nona ini memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya.
Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah beringas dan mengamuk dengan buasnya itu tidak mendengarkan. Dia terus mencak-mencak dengan buasnya, dengan mata terbelalak dan mulutnya mengeluarkan keluhan-keluhan panjang.
"Haiiiittt.... darrr! Dessss!" Dua bongkah batu besar hancur berhamburan terkena tendangan dan pukulannya.
"Subo....!" Hwee Li menjerit dan lari menghampiri gurunya, melihat betapa kedua kepalan tangan subonya itu berdarah.
Memang tenaga mujijat dari Ceng Ceng itu hebat sekali, akan tetapi kulit kedua tangannya yang belum terlatih baik, belum dapat dengan sempurna terlindung oleh tenaga mujijat, menjadi berdarah ketika dia menghantami pohon dan batu.
Melihat berkelebatanya tubuh Hwee Li, Ceng Ceng yang sudah buas karena seolah-olah hendak menghantam si pemuda laknat itu, menggerakkan tangan menyerang Hwee Li!
"Plakkk.... dukkkk!" Ceng Ceng jatuh terduduk terkena tangkisan dan totokan Pendekar Super Sakti yang menolong Hwee Li tadi, dan sekaligus hal ini membuat Ceng Ceng sadar. Seperti linglung Ceng Ceng memandang ke kanan kiri, mencari-cari dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar suaranya lirih, "Paman.... Paman Topeng Setan...."
Lalu dia teringat akan segala peristiwa tadi dan menangislah dia, mengguguk seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya yang berdarah sehingga air matanya bercampur dengan darah dari tangannya, membentuk aliran merah muda menetes-netes ke bawah.
"Subo....!" Hwee Li merangkul gurunya dan juga menangis, tidak tahu apa yang ditangiskannya, hanya karena terharu melihat subonya begitu berduka.
Melihat dua orang wanita muda itu berpelukan dan bertangisan, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, lalu duduk di atas bongkahan batu membiarkan dua orang wanita itu melanjutkan tangis mereka. Tangis merupakan obat yang paling mujarab bagi orang-orang yang tertekan hatinya, karena tangis dengan air matanya merupakan pelepasan dari tekanan itu. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang lagi. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kesengsaraan, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pertentangan, kebencian dan penderitaan hidup di waktu muda. Betapa bodohnya manusia, betapa bodohnya dia dahulu. Kebahagiaan sudah berada di dalam diri masing-masing manusia, keindahan terbentang luas di sekeliling manusia, namun manusia menjadi buta, tidak melihat semua keindahan itu, tidak waspada akan kebahagiaan itu karena mata selalu ditujukan jauh ke sana, selalu mencari-cari sehingga yang berada di depan hidung tidak nampak lagi! Yang tidak ada selalu dicari-cari, dirindukan, dianggap yang paling baik, paling indah, sehingga anggapan ini membuat apa yang sudah ada kelihatan buruk, bahkan tidak kelihatan lagi! Manusia selalu menghargai yang belum diperoleh, memandang remeh yang sudah berada di dalam tangannya. Inilah sumber dari segala pengejaran yang tak dapat dihindarkan lagi pasti mendatangkan pertentangan, kekecewaan dan penderitaan. Pengejaran membuat mata buta, sehingga dalam usaha mengejar sesuatu yang diinginkan itu, manusia tidak lagi memperhatikan jalan, tidak lagi memperhatikan cara, bahkan segala jalan dan segala cara akan ditempuhnya demi memperoleh yang dikejar-kejarnya itu. Inilah sumber munculnya segala bentuk penyelewengan dan kejahatan.
Setelah melihat tangis Ceng Ceng reda, Pendekar Super Sakti lalu berkata, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya dapat menembus segala suara lain dan memasuki telinga Ceng Ceng dengan getaran pengaruh kuat sekali, "Nona, hentikan tangismu dan ingat bahwa segala sesuatu tidak cukup hanya ditangisi belaka. Hentikan pikiranmu yang meremas-remas perasaan hatimu, hentikan perasaan iba diri yang mencengkeram dirimu dan mari kita bicara dengan hati terbuka."
Ceng Ceng terkejut dan kini dia sadar benar-benar. Didorongnya Hwee Li dengan halus, diangkatnya mukanya memandang pendekar besar itu, lalu dia memandang ke kanan kiri. Sunyi senyap di situ, tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga. Seperti mimpi saja semua peristiwa yang terjadi tadi.
"Di.... mana...." Di mana mereka semua...." tanyanya, suaranya lirih dan lemah.
Tiga orang datuk itu" Mereka telah pergi. Dan Go-bi Bu Beng Lojin, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir telah pergi pula, membawa muridnya. Membawa mayat Topeng Setan atau mayat Kok Cu. Membawa musuh besarnya, sekaligus juga mayat orang yang paling disayangnya, demikian bisik hati Ceng Ceng. Dia terisak lalu menghela napas hanjang. Habislah segala-galanya!
Melihat gadis itu menunduk dan tak bergerak-gerak, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang. "Nona, sekarang bagaimana kehendakmu" Engkau hendak ke manakah"
Sejenak Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya duduk di atas tanah dan memandang ke depan dengan pandang mata kosong. Ke mana" Dia harus ke mana" Ke mana lagi kalau tidak kembali ke Bhutan" Biarlah dia akan menghabiskan sisa hidupnya di tempat asalnya itu. Tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada Bhutan, rindu kepada kampung halaman di mana dia dahulu tinggal bersama kakeknya.
"Saya akan pulang ke Bhutan...." katanya perlahan.
Pendekar Super Sakti yang belum mengenal Ceng Ceng, merasa heran juga mendengar jawaban ini. "Eh, jadi engkau datang dari Bhutan" Siapakah engkau sebenarnya, Nona"
Ingin Ceng Ceng berlutut di depan pendekar itu dan mengaku bahwa dia masih cucu tiri pendekar itu sendiri, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. Tidak, tidak perlu dia memperpanjang riwayat buruk itu, riwayat buruk dari ibunya dan sekarang pun menurun kepadanya karena riwayatnya tidaklah lebih baik daripada keadaan ibunya. Maka dia lalu menjawab dengan perlahan.
"Nama saya Lu Ceng dan saya adalah adik angkat dari Puteri Bhutan. Saya ingin pulang saja, kembali ke Bhutan, Locianpwe."
"Subo, aku ikut!" Tiba-tiba Hwee Li berkata.
Ceng Ceng memandang anak perempuan itu. "Hwee Li, engkau akan dicari ayahmu. Sebaiknya engkau pulang saja dulu kepada ayahmu dan mana burungmu"
Anak itu menggeleng kepala kuat-kuat. "Burungku terluka dan sudah kusuruh terbang pergi mencari ayah agar diobati lukanya. Tidak, Subo. Aku tidak mau kembali kepada ayah yang tidak sayang kepadaku. Aku mau ikut Subo ke Bhutan."
Ada hawa hangat memasuki dada Ceng Ceng. Masih ada orang yang suka kepadanya, yaitu Hwee Li ini! "Hwee Li, perjalanan ke Bhutan amat jauh dan berbahaya, dan membawamu begitu saja tanpa perkenan ayahmu, aku akan dipersalahkan...."
"Tidak, Subo. Aku yang bertanggung jawab kalau ayah marah."
Suma Han berkata, "Nona Ceng, anak ini memang tidak bisa ditinggalkan seorang diri saja di sini. Biarlah dia ikut bersama kita ke Bhutan, kelak kalau aku pulang, akan kuantar dia kepada ayahnya. Aku tahu di mana adanya Pulau Neraka."
"Locianpwe hendak ke Bhutan" Ah, saya tidak berani membuat Locianpwe repot mengantarkan kami berdua...."
"Tidak ada yang mengantar, kita hanya kebetulan saja sejalan. Aku memang ingin ke barat untuk menyusul dan mencari Kian Bu. Ibunya sudah gelisah memikirkan anak itu karena sudah terlalu lama merantau. Apalagi setelah Kian Lee kembali, Kian Bu harus pulang juga."
Tentu saja Ceng Ceng tidak berani membantah, bahkan diam-diam merasa girang karena melakukan perjalanan dengan pendekar ini merupakan jaminan keselamatannya, dan setelah Topeng Setan tidak ada lagi, dia dapat minta petunjuk dari pendekar ini untuk dapat menguasai tenaga mujijat dalam dirinya.
Maka berangkatlah tiga orang itu menuruni Pegunungan Yin-san dan terus melakukan perjalanan menuju ke barat. Dengan adanya Hwee Li yang lincah jenaka, agak terhibur juga hati Ceng Ceng, sungguhpun kini dia berbeda sekali dengan Ceng Ceng sebelum dia tiba di Yin-san. Dia sekarang merupakan seorang wanita muda yang mukanya pucat, wajahnya muram seperti bulan tertutup awan tipis.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan para tokoh lain, maka biarlah kita lebih dulu meninggalkan Ceng Ceng yang melakukan perjalanan ke Bhutan bersama Pendekar Super Sakti dan Hwee Li, dan mari kita menengok pengalaman apa yang ditempuh oleh para tokoh lainnya dalam cerita ini.
Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ada pasukan pengawal dari Bhutan yang mengawal Puteri Syanti Dewi secara rahasia kembali ke Bhutan. Pengawalan dilakukan secara rahasia dan Sang Puteri bersembunyi di dalam kereta untuk mencegah terjadinya hambatan-hambatan dan serbuan-serbuan musuh. Akan tetapi tetap saja pasukan itu mengalami penyerbuan Tambolon dan kaki tangannya, dan secara kebetulan saja Tek Hoat yang membantu pasukan itu dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.
Telah kita ketahui pula betapa Suma Kian Bu tanpa setahu encinya, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, diam-diam juga melakukan perjalanan ke barat dan dia berhasil menyelamatkan Puteri Syanti Dewi dari ancaman Tambolon dan Durganini, akan tetapi begitu melihat kemesraan antara puteri itu dan Tek Hoat, untuk kedua kalinya hatinya patah dan dia pergi lagi dengan diam-diam dan dengan hati penuh duka. Dia tidak berani menghampiri rombongan pasukan Bhutan karena di situ terdapat Teng Siang In, dara remaja cantik jenaka yang baru saja diciumnya karena dia tidak dapat menahan diri melihat kecantikan dara bengal yang menggodanya itu. Diam-diam putera Pendekar Super Sakti itu pergi jauh meninggalkan hutan itu.
Teng Sian In juga tidak lama berada di situ, lalu diajak pergi oleh gurunya, yaitu See-thian Hoat-su, kakek rambut putih bekas suami Durganini yang lihai. Mereka berdua tidak begitu mempedulikan akan hilangnya Puteri Syanti Dewi, karena kehadiran mereka itu sesungguhnya semata-mata hanya ingin menghalangi sepak terjang Durganini belaka, yang timbul dari rasa sayang di hati See-thian Hoat-su yang hendak mencegah bekas isterinya itu melakukan hal-hal yang jahat!
Akan tetapi, Panglima Jayin dan semua pasukan Bhutan menjadi sibuk dan bingung sekali karena tidak melihat Sang Puteri. Selagi keadaan mereka menjadi sibuk dan bingung, tiba-tiba muncullah dua orang yang segera disambut oleh Panglima Jayin yang telah mengenal mereka, disambut dengan penuh penghormatan karena mereka itu bukan lain adalah Puteri Milana dan Gak Bun Beng.
Akan tetapi ketika Puteri Milana dan Gak Bun Beng mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan lenyap, mereka terkejut bukan main. "Bagaimana hal itu bisa terjadi" Puteri Milana menegur.
Panglima Jayin lalu menceritakan tentang penyerbuan Tambolon dan pasukannya, betapa keadaan mereka amat terancam akan tetapi berkat bantuan Tek Hoat yang gagah perkasa, keadaan Sang Puteri masih dapat diselamatkan. Kemudian mereka tertolong oleh pasukan dari Bhutan dan dalam keributan perang itu, tahu-tahu Ang Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi telah lenyap.
"Hemmm....!" Puteri Milana berkata sambil mengerutkan alisnya dan dia bertukar pandang dengan Gak Bun Beng. "Pemuda itu benar-benar mencurigakan sekali."
"Kami pun berpikir demikian," Panglima Jayin berkata kepada Gak Bun Beng. "Agaknya kalau Sang Puteri tidak tertawan oleh Tambolon, tentu dilarikan oleh pemuda itu."
"Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan," kata Gak Bun Beng. "Kita harus menyelidiki persoalan ini, akan tetapi yang terpenting adalah mencari jejak Sang Puteri."
"Aku pun akan membantu mencarinya," kata Puteri Milana.
"Terima kasih atas segala kebaikan paduka Puteri dan Taihiap. Tadipun telah datang adik paduka Puteri dan agaknya dia pun sedang ikut mencari Sang Puteri Syanti Dewi."
Mendengar ucapan Jayin ini, Milana dan Bun Beng tercengang. "Apa" Kaumaksudkan siapa" Milana mendesak.


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik paduka, tuan muda Suma Kian Bu."
"Aih, anak itu!" Milana mengomel. "Disuruh pulang malah mendahului ke sini...."
Gak Bun Beng lalu mengajak Milana ke sisi untuk dapat bicara empat mata. "Moi-moi, kau tentu sudah dapat menduga bahwa sesungguhnya adik kita itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi."
Milana mengerutkan alisnya. "Hemm, dia akan menjadi manusia yang bodoh sekali kalau nekat mencinta seorang yang tidak membalas perasaannya itu. Sebaiknya kita mencari mereka, mencari jejak Syanti Dewi dan juga jejak Kian Bu. Aku khawatir mereka terkena perangkap Tambolon yang cerdik dan keji."
Mereka lalu menghampiri Panglima Jayin lagi yang tengah mengatur anak buahnya untuk melanjutkan usaha pencarian mereka. Malam sudah hampir tiba dan keadaan sudah menjadi gelap, namun usaha pencarian itu masih belum ada hasilnya.
"Sukar mencari di malam gelap. Akan tetapi harus menyebar anak buah membawa obor dan mencari terus," kata Milana. "Kami berdua sendiri akan mencari mereka besok pagi. Mereka harus ditemukan, kalau tidak aku khawatir akan terjadi apa-apa atas diri Puteri Syanti Dewi."
Selagi mereka mengadakan perundingan, tiba-tiba datang penjaga berlarian melapor bahwa dari jauh mendatangi sepasukan berkuda yang besar jumlahnya. Tentu saja keadaan menjadi panik seketika. Pasukan itu sedang disebar melakukan usaha mencari Puteri Syanti Dewi, maka kini Panglima Jayin memerintahkan para pembantunya untuk cepat memanggil kembali mereka, siap menghadapi penyerbuan musuh. Terdengarlah terompet-terompet tanduk ditiup memanggil para perajurit.
Akan tetapi, ketika pasukan yang baru datang itu tiba, segera ternyata bahwa mereka itu sama sekali bukanlah pihak musuh, melainkan pasukan besar yang mengawal Raja Bhutan sendiri yang menjadi tidak sabar setelah mendengar bahwa puterinya itu telah dapat ditemukan dan dikawal pulang sudah tiba di perbatasan Bhutan. Pasukan raja itu terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dan juga Raja diiringkan oleh belasan orang pendeta hwesio yang bertugas di istana Bhutan. Adapun pasukan itu dipimpin sendiri oleh Panglima Sangita yang sudah tua.
Tentu saja Panglima Jayin tergopoh-gopoh menyambut rajanya, diikuti oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Ketika kedua orang pendekar ini diperkenalkan oleh Jayin sebagai puteri cucu Kaisar dan pendekar besar yang telah menyelamatkan Syanti Dewi, Raja Bhutan menjadi girang sekali dan berkenalan dengan kedua orang lihai itu. Akan tetapi ketika Jayin membuat laporan panjang lebar tentang bagaimana dia berhasil mengawal Sang Puteri sampai di situ, lalu terjadi keributan karena serbuan Tambolon dan pasukannya, kemudian betapa Sang Puteri lenyap bersama Ang Tek Hoat, Sri Baginda menjadi marah sekali. Mereka semua menyangka bahwa tentu pemuda aneh itulah yang sudah melarikan Sang Puteri.
"Kerahkan semua tenaga! Sebar di daerah ini dan cari mereka sampai dapat!" Sri Baginda mengeluarkan perintah dengan hati kecewa sekali karena tadinya dia sudah merasa girang akan dapat menyambut kembali puterinya yang hilang. Kemudian Sri Baginda mengajak Puteri Milana dan Gak Bun Beng untuk beristirahat dan dijamu di dalam kemahnya.
Akan tetapi dengan halus Milana dan Bun Beng menolak, dan menyatakan bahwa mereka sayang datang terlambat sehingga tidak sempat melindungi Sang Puteri dan bahwa mereka pun akan membantu untuk menemukan kembali Sang Puteri yang hilang. Sri Baginda merasa berterima kasih sekali dan dua orang itu pun lalu mengundurkan diri dan mulailah mencari-cari jejak Sang Puteri, dan juga jejak Suma Kian Bu seperti yang diceritakan oleh Jayin betapa pemuda itu pun malah sudah mendahului mereka tiba di tempat itu.
Ke manakah perginya Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi" Seperti telah kita ketahui, dalam keadaan terluka parah, di tengah-tengah medan pertandingan yang kacau-balau, Syanti Dewi yang mengkhawatirkan keadaan Tek Hoat lalu diam-diam setengah menyeret tubuh pemuda ini menyembunyikan diri di dalam hutan. Dia maklum bahwa Tambolon hendak menangkapnya, maka tentu saja tidak sudi dia menjadi tawanan Tambolon lagi dan dia harus melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi, dia tidak tega meninggalkan pemuda yang mati-matian membelanya dan yang menderita luka hebat itu, maka betapa pun sukarnya, akhirnya dia berhasil juga membawa dan menyeret pemuda itu memasuki hutan lebat.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, untung sekali bagi Tek Hoat yang menderlta luka-luka dalam akibat pukulan beracun, dia bertemu dengan Si Dewa Bongkok dan diobati sehingga seketika dia sembuh sama sekali, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja. Dan yang terakhir puteri itu bersama Tek Hoat berada di dalam sebuah kuil rusak yang berada di tengah hutan lebat, di mana Syanti Dewi merawat Tek Hoat yang sudah sembuh hanya perlu beristirahat saja untuk memulihkan tenaganya. Tentu saja Tek Hoat tidak tahu betapa nyawa dia dan Syanti Dewi telah tertolong oleh Suma Kian Bu yang berhasil mengusir Tambolon dan Durganini, sedangkan Syanti Dewi juga tidak mau menceritakan tentang Kian Bu kepada pemuda itu.
Sebetulnya, Tek Hoat menderita pukulan yang amat hebat, pukulan lahir batin. Lahirnya, dia telah bertubi-tubi menerima pukulan-pukulan beracun dari lawan-lawan tangguh, akan tetapi dengan kemujijatan dan keampuhan tangan Dewa Bongkok, semua lukanya sudah sembuh dan racun yang menguasai tubuhnya pun sudah lenyap. Hanya pukulan batin yang dideritanya ketika dia mendengar cerita Syanti Dewi tentang Gak Bun Beng, membuat tubuhnya lemas, pikirannya bingung, kesadarannya tergoncang hebat dan hatinya merasa kecewa penuh penyesalan. Betapa dia tidak akan menyesal mengingat bahwa dia telah melakukan segala kekejaman itu untuk memburukkan nama musuh besarnya, Gak Bun Beng, dan kini dia mendengar bahwa Gak Bun Beng itu bukan musuhnya" Hampir saja dia berputus asa, apalagi kalau teringat betapa dia telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat di dalam hidupnya, dia merasa tidak patut untuk bersanding dengan Puteri Syanti Dewi, apalagi mencintanya.
Betapapun juga, sikap yang amat manis, perawatan yang dilakukan dengan kesungguhan hati oleh puteri itu, meluluhkan semua kekerasan hati Tek Hoat akan tetapi sekaligus juga mengobati luka di batinnya. Kalau saja gadis ini bukan puteri Raja Bhutan! Betapa akan bahagianya hidup menjadi suami puteri ini. Akan tetapi, dia seorang pemuda jahat, Si Jari Maut, orang yang rendah dan hina dan jahat, mana mungkin saling cinta dengan seorang dara seperti Syanti Dewi" Tidak! Hal itu berarti akan menyeret setangkai bunga yang indah bersih ke dalam lumpur! Dan belum tentu cerita tentang Gak Bun Beng itu benar. Sebelum dia mendengar sendiri dari ibunya....
Sudah beberapa hari mereka bersembunyi di dalam kuil tua itu. Dan tenaga Tek Hoat sudah mulai pulih kembali. Pada pagi hari itu, Syanti Dewi memasuki kuil membawa beberapa tangkai bunga hutan berwarna kuning. Melihat dara itu memasuki kuil, dilatarbelakangi sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui genteng-genteng kuil yang pecah, Tek Hoat terbelalak dan memandang seperti orang terkena sihir. Dara itu nampak segar, jelas bahwa puteri itu baru saja mencuci dan menggosok mukanya dengan air sumber di belakang kuil, kedua pipinya kemerahan dan masih agak basah, rambutnya masih agak awut-awutan dengan anak rambut halus berjuntai dan melintang di sekitar pelipis dan dahinya, sepasang matanya bening dan berkilauan, bibirnya keaihatan basah dan merah sekali, penuh dan tersenyum ditahan, nampak lesung pipit di ujung bibir kiri dan sedikit lekuk di dagunya menambah daya tarik. Seperti bidadari pagi yang turun melalui tangga sinar matahari!
"Hi-hikk...." Syanti Dewi menutupi mulutnya. "Tek Hoat, kau kenapa" Apakah kau masih dalam mimpi" Puteri itu menegur sambil tersenyum. "Kau memandang aku seperti selama hidup baru sekali ini kita saling bertemu."
Tek Hoat tersadar, menarik napas panjang akan tetapi tidak mampu melepaskan pandang matanya yang melekat pada wajah itu. "Kau.... kau cantik jelita luar biasa, Dewi...." katanya dengan sejujurnya.
Warna merah menjalar naik dari leher yang berkulit putih halus itu, terus menjalar ke pipi dan akhirnya seluruh muka puteri itu menjadi kemerahan.
"Ihh! Kau memang perayu!" celanya sambil jalan menghampiri. "Kau sekarang sudah kelihatan sehat, Tek Hoat. Mukamu sudah merah, tidak pucat lagi seperti kemarin."
Tek Hoat tersenyum dan turun dari atas jerami kering yang ditumpuknya di situ dan selama ini dijadikan tempat tidurnya, sedangkan tempat tidur Sang Puteri berada di sebelah dalam sehingga dia dapat menjaganya. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dalam gerakan silat sehingga terdengar suara angin menyambar-nyambar dahsyat. "Aku memang sudah sembuh, berkat perawatanmu yang amat teliti, Dewi. Ah, betapa besar budimu dan entah bagaimana aku akan dapat membalasnya. Kalau dalam kehidupan sekarang aku tidak akan mampu membalasmu, biarlah dalam kehidupanku yang lain kelak, aku akan menjilma menjadi anjing atau kuda untuk mengabdi kepadamu."
Syanti Dewi tertawa dan menutup mulutnya. "Wah, lagu lama itu! Apakah kau percaya bahwa di dalam kehidupanmu yang lain kelak engkau akan menjelma menjadi anjing atau kuda" Bagaimana kalau kau menjelma menjadi.... tikus misalnya" Bagaimana kau akan mengabdi kepadaku dalam bentuk tikus"
"Wah, ini.... repot kalau jadi tikus!" Tek Hoat menggaruk belakang telinganya karena bingung. "Binatang itu hanya pandai merusak!"
"Kalau begitu, lebih baik jangan janji apa-apa. Tek Hoat, kau tidak perlu berpikir yang bukan-bukan. Engkau sudah berkali-kali menolong dan menyelamatkan aku, bahkan dengan pengorbanan dirimu sampai hampir tewas. Engkau sekarang baru saja sembuh dari luka-luka yang kau derita justeru ketika engkau menolongku, dan sekarang engkau bicara tentang budi"
Tek Hoat menghela napas dan menatap wajah yang jelita itu dengan pandang mata mesra. "Dewi, betapapun juga aku hanyalah seorang...."
"Cucu dari Pendekar Super Sakti!"
"Hemm.... kalau betul cerita itu, dan itu pun hanya cucu tiri dan putera seorang penjahat pemerkosa! Sedangkan engkau.... seorang puteri raja, puteri bangsawan luhur dan agung...."
"Tek Hoat, apakah semua yang keluar dari mulutmu dalam kereta dahulu itu, yang keluar di waktu kau dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak mungkin kau buat-buat, apakah semua itu palsu belaka...."
"Aihh, tidak....!"
"Kalau begitu, apakah cinta kasih itu mengenal tingkat, mengenal kedudukan, mengenal kaya miskin"
"Aku cinta padamu! Hal ini tidak dapat kusangkal lagi, Dewi. Aku cinta padamu dan aku rela mati untukmu, akan tetapi kau...."
Syanti Dewi menarik napas panjang dan membalikkan tubuhnya. "Sudahlah, aku tidak senang kalau kau bersikap seperti ini. Kau mandilah sana, aku akan mencari buah di sebelah kanan kuil...." Dan puteri itu lalu berlari kecil meninggalkan Tek Hoat yang termenung sejenak, kemudian pemuda ini pun keluar dari kuil melalui pintu belakang, menuju ke sumber air di belakang kuil. Setelah membersihkan diri dia kembali ke dalam kuil.
"Dewi.... pujaan hatiku...." Tiba-tiba dia terbelalak kaget. Ketika dia memasuki kuil, dia melihat bayangan wanita dan mengira dia Syanti Dewi, akan tetapi ketika dia menegur dengan mesra dan wanita itu membalik, ternyata wanita itu sama sekali bukan Syanti Dewi, melainkan Puteri Milana!
Sang Puteri perkasa ini memandangnya dengan marah! Memang marahlah hati Puteri Milana. Dia baru saja mendengar dari Bun Beng bahwa adiknya, Suma Kian Bu, jatuh cinta kepada Syanti Dewi. Sebagai seorang kakak perempuan, tentu saja dia mengharapkan agar adiknya bahagia dan benar-benar kelak dapat mempersunting Syanti Dewi yang dianggapnya memang sudah cukup patut menjadi isteri adiknya itu. Akan tetapi di hutan ini dia mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan oleh Tek Hoat. Dia sudah tahu pemuda macam apa adanya Tek Hoat, yang pernah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan yang telah merusak nama Gak Bun Beng dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menggunakan nama Si Jari Maut alias Gak Bun Beng. Kini, dia menemukan mereka dan begitu pemuda itu masuk, dia mendengar Tek Hoat mengeluarkan kata-kata seperti itu yang tentu ditujukan kepada Syanti Dewi yang sedang keluar memetik buah-buahan. Tentu saja Milana menjadi marah bukan main, marah dan cemburu demi adiknya!
"Keparat, engkau memang manusia busuk!" Puteri Milana memaki dan memandang tajam.
Tek Hoat adalah seorang yang berhati keras pula. Dia sudah merasa bahwa dia memang bukan orang baik-baik, akan tetapi dia tidak mau merendah karena kenyataan itu, dan dia tidak mau orang lain menekan-nekan soal itu yang amat menyakitkan hatinya.
"Sang Puteri, kalau sudah tahu aku seorang manusia busuk, kenapa paduka datang ke sini" Aku tidak mengundangmu."
"Jahanam, kau keturunan Wan Keng In, malah lebih jahat daripada ayahmu! Manusia macam kau memang tidak patut dikasihani lagi!"
"Kalau paduka berpendapat begitu, dan mau membunuhku, silakan, aku pun tidak takut terhadap siapa pun, dan tidak takut untuk mati!" Tek Hoat menjawab sambil melangkah keluar dari dalam kuil yang sempit. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi, maka dia harus mencari tempat yang lebih luas.
Ucapan Tek Hoat itu diterima oleh Milana yang sedang marah mengingat betapa pemuda ini menculik puteri yang dicinta adiknya, sebagai suatu tantangan, maka dengan cepat dia meloncat keluar pula dan langsung menerjang Tek Hoat dengan pukulan yang amat dahsyat.
"Plak.... desss....!" Keduanya terhuyung ke belakang. Milana terkejut. Tangkisan pemuda itu benar-benar amat hebat, dan tingkat tenaga pemuda itu tidak di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Hal ini membuat dia makin penasaran dan wanita perkasa ini sudah menerjang dengan hebat sekali, gerakannya cepat laksana burung walet dan dahsyat seperti seekor naga betina mengamuk.
"Manusia busuk....!" Milana berteriak keras saking penasaran karena belasan jurus kemudian belum juga dia memperoleh kemenangan, maka dia lalu mengerahkan Swat-im Sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es dan dengan pengerahan tenaga mujijat ini dia menghantam.
Jurus yang dilakukan oleh Milana ini memang dahsyat sekali sehingga tidak dapat dielakkan lagi, maka terpaksa Tek Hot menangkisnya kembali dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang dilatihnya dari kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka.
"Bresss....!" Kembali keduanya terpental. Tek Hoat agak menggigil karena merasa betapa hawa dingin menyusup ke dadanya, namun dengan pengerahan sin-kang, dia berhasil mengusirnya, sedangkan Milana terhuyung-huyung saking hebatnya getaran yang menyambut pukulan dahsyatnya. Jelas bahwa dalam pertemuan tenaga hebat ini, keadaan Puteri Milana kalah unggul!
"Sumoi, minggirlah!" Tiba-tiba terdengar suara Gak Bun Beng. Pendekar ini tentu saja marah sekali melihat Tek Hoat bertanding dengan kekasihnya, dan pertandingan itu saja sudah meyakinkan hatinya bahwa tentu Tek Hoat telah menculik Syanti Dewi, kalau tidak tentu Milana tidak akan menyerangnya.
Sementara itu, ketika Tek Hoat melihat Gak Bun Beng, kebenciannya yang telah ditanamkan oleh ibunya sejak kecil, timbul kembali. Sejak kecil dia sudah yakin benar bahwa Gak Bun Beng inilah musuh besarnya, pembunuh ayahnya! Biarpun akhir-akhir ini dia mendengar hal yang sama sekali berbeda dari keterangan Syanti Dewi, namun dia masih belum dapat menerima sepenuhnya dan kini melihat Gak Bun Beng membela Milana menghadapinya, timbul kebenciannya dan wajahnya berubah beringas!
"Bagus, memang saat inilah yang kutunggu-tunggu!" Tek Hoat menggereng dan dia segera menerjang ke depan dengan kedua lengan didorongkan, telapak tangan terbuka dan dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan Inti Bumi yang amat dahsyat ke arah Bun Beng.
Bun Beng pernah mengenal hawa pukulan dari kedua tangan Tek Hoat, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan kedua tenaga Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang, tiga tenaga mujijat digabung menjadi satu, disalurkan kepada dua lengannya dan dia pun menangkis.
"Blarrr....!" Dua tenaga mujijat yang jauh lebih kuat daripada ketika Tek Hoat melawan Milana tadi bertemu dan akibatnya tubuh Tek Hoat terjengkang, sedangkan Bun Beng hanya melangkah mundur dua tindak. Dalam keadaan biasa pun tingkat Tek Hoat masih belum mampu menandingi tingkat Bun Beng, apalagi dalam keadaan baru saja sembuh dari luka-luka hebat.
Akan tetapi Tek Hoat yang merasa dadanya sesak itu sudah meloncat bangkit kembali dengan mata mendelik saking marahnya. Pada saat itu, terdengar seruan nyaring, "Paman Gak Bun Beng....!"
Bun Beng menoleh dan berseru girang, "Dewi....!" Syanti Dewi menjatuhkan buah-buah yang dibawanya, lalu berlari-larian sambil air matanya bercucuran akan tetapi mulutnya tersenyum lebar menghampiri Bun Beng yang saking girangnya melihat puteri itu selamat juga sudah menyambut dengan kedua lengan terbuka.
"Paman....!" Syanti Dewi menubruk dan mereka berangkulan, Syanti Dewi terisak di atas dada Bun Beng dan pendekar ini mengusap-usap rambut kepala Sang Puteri. Rasa gembira yang spontan memang tak dapat dipikirkan lebih dulu sehingga Bun Beng dan Syanti Dewi lupa bahwa di situ terdapat dua orang lain yang memandang pertemuan mesra dan bahagia ini dengan hati.... mendongkol! Puteri Milana sudah maklum betapa Syanti Dewi pernah jatuh cinta kepada Gak Bun Beng, maka terasa agak panas juga perutnya melihat kekasihnya berpelukan itu, sedangkan Tek Hoat tentu saja merasa dadanya seperti dibakar, apalagi melihat bahwa yang dipeluk oleh puteri yang dicintanya itu adalah musuh besarnya! Kalau Milana diam saja melihat adegan itu karena dia pun maklum bahwa tidak ada apa-apa yang tidak wajar dalam pertemuan antara dua orang itu, sebaliknya Tek Hoat tak dapat menahan kemarahannya.
"Gak Bun Beng manusia pengecut! Hayo kau lawan aku!"
Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan melepaskan pelukannya, menoleh dan memandang Tek Hoat dengan mata terbelalak. "Tek Hoat, jangan gila kau....!"
Akan tetapi kata-kata Syanti Dewi ini seperti merupakan minyak yang menyiram api kemarahan di hati Tek Hoat, karena dianggapnya Syanti Dewi membela dan memihak kepada Gak Bun Beng. Maka begitu melihat Syanti Dewi sudah terlepas dari Bun Beng, serta merta dia menyerang dengan dahsyat dan ganas.
Tentu saja Bun Beng yang telah waspada itu cepat meloncat mundur, akan tetapi Tek Hoat terus mengejar dan menyerangnya dengan dahsyat seperti seekor kerbau gila mengamuk sehingga mau tidak mau Bun Beng terpaksa harus melayaninya dan mereka pun saling pukul dan saling tangkis!
"Paman Gak.... jangan bunuh dia.... jangan lukai dia.... dia telah menyelamatkan aku dari bahaya...." Syanti Dewi berteriak-teriak dan kelihatan gelisah sekali melihat pertempuran antara dua orang itu.
Milana memandang tajam kepada Syanti Dewi dan naluri kewanitaannya membuat dia melihat sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Kiranya Puteri Bhutan ini jatuh cinta kepada Tek Hoat, pikirnya. Kenyataan ini amat pahit baginya karena dia maklum bahwa adiknya tidak mempunyai harapan. Dan kabenciannya kepada Tek Hoat mereda ketika mendengar pengakuan Syanti Dewi bahwa pemuda itu tidak menculiknya, bahkan malah menolongnya.
Demikian pula Gak Bun Beng segera meloncat ke belakang. "Orang muda, tahan dulu!"
"Lebih baik mati!" Tek Hoat yang masih marah itu tidak peduli, melihat Gak Bun Beng meloncat mundur dia pun segera menerjang lagi dan mendesak dengan pukulan-pukulan maut. Terpaksa Bun Beng melayaninya dengan bingung.
Andaikata tidak ada seruan-seruan yang meminta kepadanya agar jangan melukai Tek Hoat, tentu Bun Beng dapat merobohkan lawannya dengan pukulan-pukulan sakti, akan tetapi kini Bun Beng tidak mau melakukan hal itu, hanya menjaga diri, menangkis atau mengelak tanpa membalas. Tentu saja dia mulai menjadi kewalahan karena pemuda itu telah menjadi nekat dan agaknya hendak mengadu nyawa. Memang Tek Hoat telah menjadi nekat. Tadinyapun dia sudah merasa tidak berharga berdekatan dengan puteri yang dicintanya, kini munculnya dua orang pendekar hebat itu membuat dia merasa makin tidak berharga lagi, ditambah panasnya hati menyaksikan wanita yang dicintanya berpelukan demikian bahagia dengan orang yang dibencinya.
Ketika pertandingan itu masih berlangsung dengan serunya, datang pasukan yang dipimpin oleh Jayin, yang mendengar bahwa Sang Puteri telah ditemukan. Ja
Seruling Samber Nyawa 4 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Dendam Iblis Seribu Wajah 21
^