Kisah Sepasang Rajawali 31

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 31


yin dan pasukannya menjadi bingung melihat dua orang itu bertanding, akan tetapi atas isyarat Puteri Syanti Dewi, mereka mundur lagi dan tidak berani mencampuri. Berkali-kali Syanti Dewi minta kepada Tek Hoat untuk menyudahi serangannya, namun pemuda yang sudah nekat ini seperti tidak mendengar suaranya.
Melihat ini, diam-diam Puteri Milana melolos sabuknya dan pada saat untuk ke sekian kalinya Tek Hoat mengadu tenaga dengan Bun Beng dan pendekar ini menggunakan tenaga saktinya untuk membuat kedua tangan pemuda itu melekat pada tangannya, tiba-tiba Milana menggerakkan sabuknya dan sabuk itu seperti hidup membelit-belit dan mengikat tubuh dan kedua tangannya sehingga Tek Hoat tidak mampu bergerak lagi.
"Lepaskan aku dan kita bertempur sampai mati! Atau bunuh saja aku!" Tek Hoat meronta-ronta. "Gak Bun Beng manusia busuk! Engkau yang telah membuat ibuku menderita selama hidupnya! Terkutuk engkau....!"
Syanti Dewi menubruk dan memegang kedua lengan Tek Hoat. "Tek Hoat, ingat. Siapa aku" Aku minta kau diam dan mendengarkan penjelasan. Ke manakah perginya sifatmu yang baik itu" Apakah kau ingin membuat aku berduka, Tek Hoat"
Pemuda itu memandang wajah Sang Puteri, mukanya menjadi pucat, dua titik air mata meloncat turun dan dia menunduk. "Dewi...." Dia memejamkan matanya dan menggigit bibirnya.
Mereka kini duduk di dalam kuil, sedangkan Jayin dan pasukannya menanti di luar. Dengan sabar dan tenang Gak Bun Beng bercerita kepada Tek Hoat yang telah dilepas ikatannya dan lengannya dipegang oleh Syanti Dewi. Pegangan puteri ini sebetulnya malah lebih kuat daripada ikatan sabuk Puteri Milana, karena Tek Hoat menjadi jinak dan tidak mengamuk lagi. Dia menunduk dan mendengarkan penuturan Gak Bun Beng dengan hati tidak karuan rasanya.
Setelah Gak Bun Beng menceritakan bahwa dia bukanlah musuhnya seperti yang diduga oleh Ang Siok Bi, ibunya, Milana juga lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi dan betapa ibunya kini pun sudah insyaf akan kekeliruannya yang amat besar dan mendatangkan akibat yang hebat itu.
"Akan tetapi.... masa ibuku begitu bodoh sehingga mudah saja ditipu oleh penjahat yang bernama Wan Keng In itu...." Tek Hoat membantah dengan ragu-ragu.
"Tek Hoat, kaulihat aku!" Puteri Milana tiba-tiba berkata. "Kau sedikit banyak sudah mengenal aku, bukan" Apakah aku seorang yang mudah ditipu" Dan aku masih terhitung saudara tiri dari Wan Keng In, juga aku adalah masih sumoi dari Gak-suheng. Akan tetapi toh aku juga tertipu seperti ibumu sehingga aku sendiri, bersama ibumu dan wanita lain yang juga menjadi korban Wan Keng In, kami mengeroyok Gak-suheng sehingga Gak-suheng terjerumus ke dalam jurang dan disangka mati oleh ibumu. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali, tak pernah bertemu dengan kami sehingga belum juga tahu akan kekeliruan sangka itu. Sampai engkau muncul dan melakukan tindakan yang menjadi akibat fitnah itu."
"Tek Hoat, sudah kukatakan kepadamu bahwa Paman Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berhati mulia, tidak mungkin melakukan kekejaman seperti itu. Kau telah salah sangka dan ibumu pun demikian...." kata Syanti Dewi.
Tiba-tiba Tek Hoat menutupi mukanya, lalu menjambak-jambak rambutnya. "Dan aku.... aku telah.... menodai namanya...., persis seperti yang dilakukan oleh ayahku yang jahanam itu!" Dia bangkit dan melotot. "Aku tidak layak hidup! Dewi, aku tidak layak hidup, apalagi berdekatan denganmu."
"Tek Hoat....!" Melihat pemuda itu seperti orang beringas, Syanti Dewi menubruknya. "Tek Hoat, jangan.... jangan nekat.... kau.... adalah sebaik-baiknya orang bagiku...."
"Tidak, Dewi. Aku orang jahat...." Dia masih meronta.
Bun Beng bangkit dan memegang kedua pundak pemuda itu, mengguncangnya dan berkata dengan nada keras, "Tek Hoat, beginikah sikap seorang jantan" Begini pengecutkah engkau sehingga kau menjadi putus harapan" Semua orang di dunia ini pasti pernah melakukan penyelewengan. Siapakah di antara kita yang tidak pernah keliru dalam tindakan dalam hidup kita" Yang penting adalah menyadari kesalahan itu, karena hanya kesadaran saja yang akan mendatangkan perubahan. Bersikaplah gagah, tenagamu yang muda masih dibutuhkan oleh manusia dan dunia, dan terutama sekali, kau lihat, Puteri Syanti Dewi amat membutuhkanmu."
Tek Hoat terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng, kemudian menoleh ke arah Syanti Dewi, dan lemaslah seluruh tubuhnya. Dia mengangguk-angguk, menarik napas panjang. "Baiklah.... baiklah...., aku menyerah dan menurut.... akan tetapi aku harus mendengar sendiri keterangan itu dari ibuku...."
Bagaikan seekor harimau yang telah berubah menjadi seekor domba jinak, Tek Hoat menurut saja diajak keluar menemui Jayin dan pasukannya, dan dia tidak pernah membantah ketika diajak oleh Syanti Dewi untuk menemui ayahnya yang menanti dengan cemas di dalam perkemahannya di hutan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan ini tiba di perkemahan Raja Bhutan. Mendengar bahwa puterinya telah ditemukan dalam keadaan selamat, Raja Bhutan menjadi girang dan tergopoh-gopoh dia keluar dari tendanya menyambut sendiri.
Syanti Dewi menjerit dan lari menghampiri ayahnya. Mereka berpelukan dan Syanti Dewi tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, sedangkan Sri Baginda juga mengusap air matanya dan mengelus-elus kepala puterinya, mendekapnya ketat seolah-olah takut kehilangan puterinya lagi.
Setelah mendengar penuturan Panglima Jayin bahwa tiga orang dari timur itu, ialah Puteri Milana, Gak Bun Beng, dan Ang Tek Hoat telah banyak berjasa dalam menyelamatkan Puteri Syanti Dewi, Sri Baginda Kerajaan Bhutan berterima kasih sekali. Dengan wajah berseri dia menghaturkan terima kasih dan mengundang mereka bertiga untuk berkunjung dan menjadi tamu kehormatan di Kerajaan Bhutan. Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Raja Bhutan yang amat berterima kasih itu, Gak Bun Beng dan Puteri Milana merasa sungkan untuk menolak, sedangkan Tek Hoat yang hanya tunduk kepada pandang mata Puteri Syanti Dewi juga tidak banyak cakap lagi.
Pada keesokan harinya, berangkatlah rombongan Raja Bhutan ini, hendak kembali ke kota raja, diiringkan oleh tiga orang tamu itu. Gak Bun Beng dan Puteri Milana saling bemufakat untuk singgah beberapa hari di kota raja Bhutan dan kemudian melanjutkan usaha mereka mencari Kian Bu yang lenyap jejaknya itu, kemudian setelah dapat bertemu dengan adik itu, bersama-sama akan pergi menghadap ke Pulau Es.
Akan tetapi, jauh di luar dugaan mereka dan dugaan Raja Bhutan sendiri, perjalanan yang diliputi kegembiraan karena Sang Puteri telah bertemu dengan ayahnya itu ternyata menghadapi ancaman yang hebat! Rombongan yang megah ini sedang bergerak perlahan dan tidak tergesa-gesa melalui sebuah daerah terbuka, dan Raja Bhutan yang berkuda di sebelah puterinya itu, tiba-tiba terkejut melihat datangnya seorang perajurit yang berlari-larian dari depan dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di tengah jalan menghadang rombongan itu!
Mula-mula Panglima Jayin yang menghampiri dan marah-marah menegur perajurit Bhutan yang membawa tombak itu, akan tetapi begitu mendengar pelaporan perajurit yang ternyata merupakan seorang kurir atau utusan dari komandan pasukan penjaga kota raja, Panglima Jayin terkejut sekali dan membawa kurir itu menghadap Sri Baginda sendiri.
"Mohon paduka mengampunkan hamba yang datang mengganggu tanpa dipanggil," utusan itu berlutut dan menjawab pertanyaan Sri Baginda. "Hamba diutus oleh komandan untuk mengabarkan bahwa kota raja kini sedang dikurung oleh pasukan-pasukan besar dari para kepala suku liar dan dipimpin sendiri oleh Tambolon. Jumlah pasukan mereka besar sekali dan kota raja telah dikurung sehingga rombongan paduka hendaknya tidak melanjutkan perjalanan ke sana karena pintu masuk telah dikurung semua oleh pihak musuh."
"Hemm, Si Tambolon keparat!" Sri Baginda berseru marah. "Apa kehendaknya sekali ini"
"Maaf, Sri Baginda. Dengan terang-terangan Tambolon menyatakan bahwa dia menuntut agar Sang Puteri diserahkan kepadanya."
"Ayah.... kedatanganku ternyata hanya mendatangkan malapetaka saja....!" Syanti Dewi berseru kaget.
"Hemm, jangan kau berkata demikian, anakku. Jayin, hentikan rombongan dan kumpulkan semua panglima dan perwira, juga undang tiga orang tamu agung kita untuk diajak berunding."
Rombongan berhenti dan perkemahan didirikan di tempat itu. Kemudian Raja Bhutan mengadakan perundingan dengan para panglimanya, juga dihadiri oleh Puteri Syanti Dewi, Puteri Milana, Gak Bun Beng dan Tek Hoat.
Dengan wajah serius Sri Baginda membicarakan ancaman bahaya yang mengepung Bhutan itu, kemudian berkata kepada tiga orang tamunya, "Untuk menyelamatkan kerajaan, kami sangat mengharapkan bantuan Anda bertiga."
"Bibi Milana, Paman Gak Bun Beng, saya harap Bibi dan Paman dapat membantu Ayah," Syanti Dewi juga berkata dengan suara khawatir melihat ayahnya begitu gelisah.
Puteri Milana adalah seorang yang ahli dalam hal perang, maka dengan tenang dia lalu bertanya kepada Panglima Jayin, "Menurut pelaporan, berapakah kira-kira jumlah para pengepung dan bagaimana keadaan kekuatan para penjaga di kota raja"
"Menurut pelaporan, para pengepungan berjumlah banyak sekali dan sudah menduduki empat penjuru menutup pintu-pintu gerbang yang menghubungkan kota raja dengan daerah luar," jawab Panglima Jayin. "Sayang bahwa Panglima Sangita juga berada di sini mengawal Sri Baginda sehingga para pasukan di kota raja kehilangan panglima tertinggi. Oleh karena itu, biarlah saya akan berusaha menyelundup ke kota raja agar dapat memimpin pasukan di sebelah dalam."
"Usul itu tepat," kata Panglima Sangita yang tua. "Biarpun pasukan yang sekarang mengawal Sri Baginda tidak besar, namun ini merupakan pasukan pengawal istimewa. Dengan menggempur mereka dari luar dan dalam, biarpun jumlah pasukan kita kalah besar, akan tetapi tentu akan dapat mengacaukan mereka."
"Kalau menurut pendapat saya, yang terpenting adalah menjamin keselamatan keluarga Sri Baginda dan pertahanan kota raja." Puteri Milana berkata dengan tenang. "Kehadiran Sri Baginda di kota raja amat diperlukan, karena hal itu tentu akan menambah semangat para pasukan. Maka, jika usul saya dapat diterima, kita harus mengusahakan agar Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi dapat diselundupkan masuk ke dalam kota raja sehingga dapat memperbesar semangat pasukan."
"Akan tetapi, hal itu tentu akan terlalu berbahaya bagi keselamatan Sri Baginda!" Panglima Sangita membantah dengan nada khawatir.
"Tidak lebih berbahaya daripada berada di luar kota dan hanya dikawal oleh pasukan sebanyak ini," Gak Bun Beng berkata. "Baiknya pihak musuh belum tahu bahwa Sri Baginda dan Sang Puteri berada di luar kota raja, kalau tahu, saya kira mereka sekarang pun sudah mengerahkan barisan untuk mengepung dan menyerbu. Tanpa adanya benteng yang melindungi, menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih besar sungguh berbahaya sekali. Saya setuju sekali dengan usul Puteri Milana untuk menyelundupkan Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi memasuki kota raja."
Panglima Jayin dan Panglima Sangita hanya saling pandang dengan ragu-ragu, karena mereka tahu betapa berbahaya menerobos kepungan musuh mengantar Sri Baginda memasuki kota raja yang terkepung itu. Akan tetapi Sri Baginda yang kelihatan termenung itu segera dipeluk oleh puterinya dan berkata, "Ayahanda harus menaruh kepercayaan yang sepenuhnya kepada Bibi Puteri Milana dan Paman Gak Bun Beng. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang saya percaya dapat melakukan apapun juga."
Sri Baginda menghela napas panjang. "Baiklah, kami hanya mengandalkan bantuan Anda bertiga untuk membantu kami." Dia tidak melewatkan Tek Hoat karena dia pun sudah mendengar bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa pula. "Bagaimana sebaiknya diatur hal ini, Puteri Milana"
Puteri Milana mengerutkan alisnya dan memejamkan mata, membayangkan keadaan kota raja Bhutan yang terkepung musuh yang dipimpin oleh Tambolon, raja liar itu. Dia belum tahu bagaimana letak dan keadaan kota raja Bhutan, maka sukarlah dia membayangkan cara bertahan yang paling baik. Akhirnya dia berkata, "Kita menanti sampai malam ini, dan saya sendiri bersama Gak-suheng dan Panglima Jayin akan menyelundupkan paduka dan Puteri Syanti Dewi ke dalam kota raja. Adapun pasukan pengawal dipimpin oleh Panglima Sangita dan Tek Hoat diam-diam melakukan pengawalan sambil bersembunyi. Syukur kalau penyelundupan ke dalam kota raja itu tidak ketahuan musuh. Andaikata sampai ketahuan, pasukan pengawal harus cepat menyerbu dan membikin kacau untuk memecah perhatian musuh sehingga memudahkan kita masuk ke kota raja."
"Akan tetapi setiap pintu gerbang sudah dikepung musuh, bagaimana kita dapat masuk" Sri Baginda menyatakan kekhawatirannya.
"Paduka akan saya pondong, dan biarlah Puteri Syanti Dewi dipondong oleh Sumoi dan kami bawa paduka berdua meloncat tembok benteng."
"Wah, begitu tingginya...." Sri Baginda terkejut.
"Ayah, percayalah kepada Paman Gak dan Bibi Milana. Mereka memiliki kepandaian seperti dewa," kata Syanti Dewi gembira, sedikit pun tidak merasa takut. "Dan dengan adanya pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, kita boleh berbesar hati, Ayah. Kita pasti dapat memasuki kota raja dengan selamat."
Tek Hoat tadinya ingin mengajukan keberatan karena dia tidak ingin mencampuri urusan Kerajaan Bhutan, apalagi setelah dia kini melihat kenyataan bahwa sungguh tidak mungkin baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya terhadap seorang puteri seperti Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan yang tercinta dan berkedudukan amat tinggi. Kalau menurut keinginan hatinya, dia ingin mencari ibunya, ingin kembali kepada ibunya dan mendengar sendiri dari ibunya tentang riwayat ibunya yang sebenarnya. Akan tetapi, mendengar ucapan Syanti Dewi dan terutama sekali ketika mereka bertemu pandang, Tek Hoat tidak mungkin dapat menolak dan dia hanya berkata, "Hamba akan membela dengan taruhan nyawa hamba."
"Akan tetapi engkau tidak boleh nekat, Tek Hoat," Milana berkata mendengar ucapan pemuda itu. "Engkau sudah pernah memimpin pasukan ketika terjadi keributan di utara, maka aku percaya bahwa engkau tentu akan dapat membantu Panglima Sangita mengatur pasukan pengawal itu menjadi barisan terpendam dan hanya bergerak kalau perlu saja. Menyerbu mati-matian padahal jumlah musuh jauh lebih banyak hanya merupakan perbuatan nekat yang konyol."
Tek Hoat tidak menjawab, akan tetapi mengangguk.
Maka bersiaplah mereka dan setelah malam tiba, berangkatlah lima orang itu berindap-indap melalui tempat-tempat gelap menuju ke kota raja yang masih agak jauh letaknya dari tempat itu. Sangita dan Tek Hoat memimpin pasukan yang disebar dan melakukan pengawalan rahasia dari kanan kiri dan belakang dan Tek Hoat sendiri mendahului perjalanan untuk mengadakan penyelidikan tentang keadaan penjagaan musuh yang mengepung kota raja.
Setelah Milana dan Gak Bun Beng yang mengawal raja dan puteri, ditemani Panglima Jayin tiba dekat dengan tembok kota raja, Tek Hoat menyambut mereka dengan laporan bahwa menurut penyelidikannya, tidak mungkin melakukan penyelundupan dekat pintu gerbang yang sudah dikurung ketat dan di setiap tempat dekat pintu gerbang musuh sudah memasang barisan yang terdiri dari regu anak panah danbahkan regu alat-alat peledak yang tentu akan membahayakan keselamatan raja dan puterinya.
"Akan tetapi di sepanjang tembok benteng di selatan, melalui sungai yang curam, pengepungan tidaklah begitu ketat karena daerah itu amat terjal dan sukar sehingga selain melelahkan bagi musuh juga agaknya mereka anggap tidak penting. Saya kira hanya melalui tembok selatan itulah penyelundupan dapat dilakukan dengan lebih aman."
Puteri Milana mengangguk-angguk. "Tek Hoat, bagus sekali laporanmu ini. Kau cepat mengerahkan barisan pendam di sekitar tembok selatan dan kaulihat saja. Kalau kau melihat kami dalam kesukaran, baru kau boleh menggerakkan pasukan untuk mengacau musuh dan membagi perhatian serta kekuatan mereka. Kalau tidak perlu, jangan sekali-kali bergerak."
"Baik," kata Tek Hoat dan dia memandang ke arah Puteri Syanti Dewi yang seperti juga Sri Baginda dan yang lain telah menyamar sebagai orang-orang biasa. Sejenak, di bawah sinar bintang-bintang di angkasa yang samar-samar, mereka saling pandang, kemudian Syanti Dewi lalu digendong oleh Milana dan Raja digendong oleh Gak Bun Beng.
Tembok benteng itu bertingkat-tingkat, dan di tingkat paling atas terdapat penjaga-penjaga yang selalu siap dengan anak panah mereka. Sedangkan tembok di bagian selatan ini terlindung oleh sebatang sungai yang amat curam, dan karena sukarnya tempat ini, maka pasukan anak buah Tambolon yang mengurung kota raja hanya menjaga di tepi-tepi sungai sambil bersembunyi. Oleh karena itu, maka dengan mudah Gak Bun Beng dan Milana yang menggendong raja dan puterinya menyusup dan menuruni sungai yang curam itu mendekati tembok, diikuti oleh Panglima Jayin yang berkepandaian tinggi itu. Akhirnya mereka tiba juga di dekat tembok dan dengan bingung Panglima Jayin memandang ke atas. Tembok benteng itu demikian tingginya, bagaimana mungkin membawa Raja dan puteri naik ke atasnya tanpa diketahui oleh pihak musuh" Dia sendiri tidak akan sanggup untuk meloncat ke bagian tembok yang paling rendah saja, apalagi sampai ke tingkat paling tinggi.
Sunyi sekali tampaknya di sekeliling tempat itu, akan tetapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana maklum bahwa di belakang mereka, di sungai curam yang kelihatan gelap dan sunyi itu, tentu terdapat pihak musuh yang siap menyerbu dan menyerang mereka dengan anak panah kalau sampai kehadiran mereka diketahui.
"Sumoi, biar aku membawa Sri Baginda naik lebih dulu dan kau melindungi aku dari belakang. Kalau dilakukan secara berbareng, tentu tidak dapat kita melakukan perlindungan dengan sempurna."
"Memang aku pun berpikir begitu, Suheng. Nah, aku sudah siap. Syanti Dewi, kau bersembunyi dulu di sini bersama Panglima Jayin sementara kami menyelamatkan ayahmu ke dalam benteng."
Panglima Jayin lalu mengajak Syanti Dewi untuk bersembunyi di dalam rumpun alang-alang agak menjauh dari tempat itu. Dari tempat persembunyian ini mereka mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan.
"Sudah siap, Sumoi"
"Sudah, Suheng," kata Milana sambil mencabut keluar pedangnya.
Tak lama kemudian Gak Bun Beng yang menggendong Raja Bhutan meloncat ke atas tembok pertama, disusul oleh Milana yang memegang pedang. Bayangan mereka nampak seperti dua ekor burung terbang dan dengan penuh kagum Jayin dan Syanti Dewi melihat betapa mereka telah berhasil hinggap dan berdiri di atas tembok pertama. Dengan sigap seperti dua ekor kucing saja, dua orang sakti itu kembali bergerak meloncat ke atas ke tembok tingkat dua.
Tiba-tiba kelihatan sinar api dari atas tembok tingkat empat dan terdengar ribut-ribut para penjaga yang telah melihat bayangan mereka dan tentu saja para penjaga itu mengira bahwa mereka adalah pihak musuh yang hendak menyelundup masuk. Terdengar tanda bahaya dipukul dan di atas benteng muncul kepala banyak orang yang menjenguk ke bawah.
Keributan ini agaknya terlihat oleh pihak musuh. Segera tampak kesibukan di luar tembok dan anak-anak panah mulai meluncur secara gencar dari luar tembok, ditujukan kepada dua bayangan itu karena pihak pengepung maklum bahwa ada orang yang akan menyelundup ke dalam benteng.
"Hati-hati, Suheng. Aku menjaga serangan dari belakang!" Milana berseru dan pedangnya sudah diputar cepat dan semua anak panah yang menyerang dari pihak musuh dapat ditangkisnya dengan mudah. Sedangkan Bun Beng sendiri juga sudah cepat menggerakkan kedua lengan bajunya untuk menangkis anak panah yang sudah datang pula dari atas dan depan, yaitu dari pihak penjaga Bhutan! Mereka diserang dari depan dan belakang!
"Sumoi, cepat meloncat ke tingkat tiga!" Bun Beng berseru dan dengan pengerahan tenaga gin-kangnya, dia sudah melayang ke atas diikuti oleh Milana yang memutar pedangnya.
"Trang-tranggg....!"
Bun Beng berhasil tiba di atas tembok tingkat tiga dengan Raja Bhutan di gendongannya. Milana tetap menjaga di belakangnya dan karena kini datangnya anak panah dari bawah amat lebat, puteri ini sibuk juga mclindungi Raja yang berada di punggung Bun Beng.
"Haiii.... para penjaga! Yang datang adalah raja kalian!" Bun Beng berteriak ke atas akan tetapi karena di tingkat paling atas itu para penjaga gempar dan bising, maka teriakan Bun Bung ini tidak terdengar nyata dan dari atas kini datang pula serangan anak panah dan batu!
Dengan tangkas Bun Beng menangkisi semua senjata itu, dan Raja Bhutan sendiri menyumpah-nyumpah. "Betapa tololnya mereka!" dia memaki.
"Mereka tidak tahu bahwa paduka yang datang, Sri Baginda. Biarlah saya merayap ke atas, harap paduka berpegang kuat-kuat."
"Naiklah, Suheng. Aku akan melindungimu dari belakang." Milana berkata. "Cepat, karena serangan dari bawah makin gencar dan aku melihat mereka itu sudah keluar dari tempat persembunyian mereka."
Gak Bun Beng tidak berani meloncat ke tingkat paling atas, karena selain tingkat itu tinggi, juga di situ sudah siap para penjaga yang tentu akan menyerang dengan membuta dan hal ini amat berbahaya. Maka dia lalu menggunakan sin-kangnya, dan mulailah pendekar ini memanjat tembok itu seperti seekor cecak! Puteri Milana dengan pedang di tangan tetap melindunginya dan menangkisi semua senjata yang meluncur dari bawah, sedangkan para penjaga di atas menjadi bingung dan tidak dapat melihat Bun Beng yang merayap mepet di tembok. Dari atas mereka itu hanya menyerang Puteri Milana sehingga Sang Puteri harus memperlihatkan kehebatan permainan pedangnya yang menangkisi hujan anak panah yang datang dari bawah dan atas.
Ketika tiba di tingkat paling atas benteng itu, Gak Bun Beng menghadapi ujung-ujung tombak dan pedang yang sudah nampak dari bawah! Karena suara hiruk-pikuk para penjaga di atas dan teriakan-teriakan para musuh di bawah, maka seruan Raja Bhutan sendiri tidak terdengar oleh para penjaga.
Pada saat itu terdengarlah bentakan-bentakan nyaring dari bawah. Puteri Milana terkejut ketika melihat ada bayangan orang yang meloncat ke atas tembok tingkat pertama dengan gerakan yang ringan dan gesit seskali, terus orang itu berloncatan ke tingkat dua dan agaknya hendak mengejar Gak Bun Beng. Karena dia dihujani anak panah dari atas dan bawah, dia tidak dapat mencegah orang itu yang kini dengan loncatan-loncatan cepat telah mengejar Bun Beng yang masih merayap sambil menggendong Raja Bhutan! Akhirnya Puteri Milana dapat juga memukul runtuh semua anak panah dan cepat dia pun meloncat ke arah bayangan itu. Namun terlambat, karena bayangan orang kurus itu telah melayang ke arah Gak Bun Beng yang masih merayap seperti cecak sambil berseru, "Bunuh Raja Bhutan!"
Bun Beng terkejut, maklum bahwa ada lawan menyerangnya sambil meloncat ke udara, serangan yang ditujukan kepada tubuh Sang Raja di atas punggungnya. Maka dia pun cepat menoleh dan pada saat itu dia mendengar teriakan Milana, "Suheng, lemparkan beliau ke sini!"
Bun Beng maklum akan bahaya serangan orang yang agaknya cukup lihai itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memegang kedua lengan Raja Bhutan yang merangkul lehernya, melepaskan rangkulan dan melemparkan tubuh Raja ke arah Milana. Raja itu tentu saja terkejut sekali dan mengeluarkan keluhan panjang, karena kalau tubuhnya sampai terjatuh ke bawah sana, tentu akan hancur lebur. Akan tetapi, sepasang lengan yang kecil kuat, dengan tangan yang halus, menerima tubuhnya dengan mudah dan tahu-tahu dia sudah berdiri di atas tembok tingkat tiga, dipegangi oleh Puteri Milana. Tubuh Raja menggigil. "Harap paduka tenang...." Milana berkata dan pedangnya menyampok beberapa batang anak panah.
Sementara itu, orang kurus yang menyerang tadi telah disambut oleh dorongan tangan Bun Beng.
"Desss....!" Begitu tangan mereka bertemu, orang itu terpental dan terdengar dia mengeluarkan lengking kematian yang mengerikan ketika tubuhnya terlempar ke
bawah yang gelap dan amat dalam itu. Bun Beng terpaksa melanjutkan usahanya merayap ke atas. Dia dipapaki tombak dan pedang namun dengan mudah dia menangkis semua senjata itu sehingga runtuh dan dia cepat berseru, "Kami adalah orang-orang sendiri! Kami menghantar Sri Baginda naik ke benteng, harap bantu beliau naik!"
Mendengar ini, barulah terkejut para penjaga. Tadinya mereka juga terheran-heran melihat ada orang berani naik ke benteng seperti itu dan melihat betapa yang berusaha naik itu diserang oleh anak panah musuh juga.
Gak Bun Beng lalu meloncat turun lagi untuk menjemput Sri Baginda dan kini dari atas benteng dihujankan senjata ke arah musuh yang menyerang dari bawah. Hujan anak panah ini membuat serangan dari bawah mereda dan dengan mudah Bun Beng membawa Sri Baginda ke atas tembok yang disambut dengan sorak girang oleh para penjaga.
Milana sudah meloncat turun, disusul oleh Bun Beng yang sudah berhasil menyelamatkan Raja Bhutan. Kini Syanti Dewi dipondong oleh Milana, dan dilindungi oleh Gak Bun Beng yang membantu Jayin naik pula ke tembok benteng. Berkat perlindungan Bun Beng, semua anak panah dari bawah dapat diruntuhkan dan akhirnya mereka semua berhasil tiba di atas benteng dengan selamat. Sorak sorai gemuruh menyambut kedatangan Raja, puteri dan Panglima Jayin di atas benteng dan bangkitlah semangat semua perajurit Bhutan, apalagi setelah menyaksikan kelihaian Puteri Milana dan Gak Bun Beng.
Malam itu juga Sri Baginda lalu mengajak dua orang tamu agungnya itu berunding, dan pimpinan bala tentara diserahkan kepada Puteri Milana yang memang ahli dalam soal perang. Panglima Jayin menjadi pembantunya dan Milana lalu mengatur bagaimana penjagaan harus dilakukan menghadapi pengepungan pihak musuh. Dia juga minta kepada Panglima Jayin agar melepas mata-mata dan penyelidik untuk mengetahui keadaan musuh, di bagian mana adanya pengepungan yang paling kuat dan di mana pula yang paling lemah, berapa banyak adanya kekuatan musuh dibandingkan dengan kekuatan sendiri.
Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan yang beragama Buddha, maka banyak pendeta Buddha yang bertugas di istana. Mereka ini oleh Milana dimanfaatkan untuk menghibur para penduduk kota raja, dan juga semua laki-laki yang berada di kota raja diharuskan ikut pula menjadi tentara suka rela, sedangkan yang wanita diharuskan mengatur agar ransum yang terdapat di kota raja dapat dihemat pemakaiannya. Pendeknya, segala persiapan untuk menghadapi musuh yang telah mengurung benteng kota raja dipersiapkan dengan teliti oleh Puteri Milana dan diatur malam hari itu juga.
Ternyata berita bahwa Raja Bhutan dan puterinya secara luar biasa malam tadi dapat menyelundup ke dalam kota raja, terdengar pula oleh Tambolon yang kehilangan seorang pembantu cakap yang semalam tewas ketika berusaha menghalangi Bun Beng dan raja liar ini menjadi marah bukan main. Dia sendiri lalu memimpin pasukan-pasukannya, mendekati pintu gerbang utama dan berteriak-teriak menantang perang kalau Raja Bhutan tidak mau menyerahkan puterinya. Tentu saja Sang Puteri itu hanya untuk menjadi alasan saja, sedangkan tentu saja Tambolon sebetulnya ingin menguasai Bhutan!
Dari atas menara benteng, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, juga Panglima Jayin dan para panglima lain, memandang ke bawah. Mereka melihat bahwa Tambolon masih disertai dua orang pembantunya yang setia, yaitu Si Petani Maut Liauw Ki, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, di samping ada pula di situ Hek-tiauw Lo-mo. Dan biarpun tidak nampak, Milana dan Gak Bun Bung dapat menduga bahwa tentu guru dari Tambolon, Nenek Durganini yang akhir-akhir ini selalu muncul membantu muridnya, ada pula di antara barisan musuh itu.
Karena pihak musuh menantang untuk mengadakan perang terbuka di luar tembok kota raja, tentu saja pihak Kerajaan Bhutan tidak dapat menolak, maka Gak Bun Beng sendiri bersama Panglima Jayin dan beberapa orang panglima memimpin pasukan keluar dari pintu gerbang untuk menyambut musuh. Puteri Milana yang memimpin pertahanan itu tetap berada di menara benteng untuk melihat keadaan dan mengatur kendali gerakan barisan Bhutan dari tempat tinggi itu.
Beberapa orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Dalam puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka. Panglima Jayin dengan marah, setelah mendapat perkenan Gak Bun Beng, maju sendiri. Dia menangkan beberapa orang panglima musuh, akan tetapi ketika berhadapan dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja pundaknya sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan tewas pula!
Bun Beng menjadi penasaran dan marah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng mempermainkan mereka. Bahkan ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun Beng mengamuk hebat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak hebat. Ketua Pulau Neraka itu terkejut bukan main. Apalagi ketika beberapa kali dia mengadu tenaga, dia memperoleh kenyataan betapa pendekar ini memiliki tenaga Hui-yang Sin-kang, Swat-im Sin-kang dan juga tenaga mujijat Inti Bumi!
"Kau siapakah" bentaknya berulang-ulang. Sudah banyak dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang yang memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemikian sempurnanya, seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!
"Hemm, Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari Tambolon si pemberontak!" Gak Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan yang dipukulkan oleh Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara "krakkk!" dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan meloncat mundur. "Namaku adalah Gak Bun Beng."
Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini. "Apamukah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es"
"Beliau boleh dibilang adalah guruku!" Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak tangannya membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung.
Pada saat itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba saatnya memberi perintah menyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk binatang. Terdengarlah perintah penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang terluka pundaknya, menyerbulah bala tentara Bhutan dan terjadilah perang campuh yang hebat.
Gak Bun Beng kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari kedua pihak yang berani mendekati dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan dari tangan mereka sedemikian hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas.
Hek-tiauw Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang Gak Bun Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan itu ditangkisnya begitu saja dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul tombak itu sehingga patah menjadi empat potong!
"Keparat!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah dan dia mencabut senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat tebal dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng dapat menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok.
"Mampuslah!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo berseru, tangan kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu membebaskan diri dari jala tipis itu.
"Ha-ha-ha, baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!" Ketua Pulau Neraka itu tertawa, goloknya bergerak menyambar.
"Haiiit....!" Gak Bun Beng mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw Lo-mo tidak kuat mempertahankan tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan. Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan lengking panjang, terdengar suara keras dan.... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat keluar dari dalam jala.
Hek-tiauw Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki tingkat yang amat tinggi dalam pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mujijat ini sehingga dapat dibikin putus.
Dengan marah Gak Bun Beng meloncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan yang didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang.
"Trakkk....!" Golok gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu, tangan kiri Hek-tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah kesalahan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau dia mempergunakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji ini. Akan tetapi dia berhadapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti yang selain telah memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga memiliki pengalaman yang luas, maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan telapak tangan sambil mengerahkan Swat-im Sin-kang.
Ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk menghadapi pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena hawa beracun membeku begitu bertemu dengan Tenaga Inti Salju ini.
"Desss....!" Hek-tiauw Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Pada saat itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua orang pembantunya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan Bhutan harus mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun Beng terkejut dan cepat dia pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk mundur, meninggalkan pasukan musuh yang mengejar sambil bersorak-sorak. Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera ditutup rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu dihujankan keluar sehingga pihak musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali.
Bun Beng segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah karena ternyata bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan induk berperang di luar, di empat penjuru benteng pihak musuh berusaha menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat penjagaan sehingga usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak panah dan batu-batu. Ketika dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau tertawan musuh. Biarpun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah terkurung dan tidak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng di timur terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang mau mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaln Bhutan tidak pernah berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu mereka.
"Besok harus ada penentuan," Puteri Milana berkata ketika mereka berunding. "Kalau dibiarkan musuh mengepung lebih lama, tentu mereka akan dapat memperkuat keadaan, mendatangkan bala bantuan dan hal itu akan berbahaya sekali. Yang penting, Tambolon harus dapat ditewaskan. Dialah yang menjadi biang keladi. Kalau tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan pengaruh besar di antara suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar."
"Akan tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak, Gak Bun Beng berkata.
"Karena itu, besok kita harus mengerahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan perhatian musuh."
"Bagaimana dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat" Bun Beng mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoinya itu.
Milana tersenyum. "Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan pagi-pagi sekali, selagi mereka kacau-balau, kita menyerbu. Mudah-mudahan saja sergapan selagi mereka kacau itu akan mampu menghancurkan jumlah mereka yang lebih besar."
Malam itu sunyi. Pihak musuh memang beberapa kali mencoba untuk menerobos melalui berbagai jurusan, namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha mereka gagal dan banyak di antara mereka yang menjadi korban anak panah dan batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka berusaha melepas anak panah berapi ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelumnya.
Malam itu, para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di tempat masing-masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak Bun Beng keluar dari kamar dan dua orang sakti ini lalu mementang gendewa. Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali sinar kemerahan meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang mereka berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka, untuk turun tangan.
Sesudah itu mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar keributan di bawah sana, di luar tempok kota raja dan mulailah nampak api besar bernyala-nyala dan asap di dalam sinar api merah membubung ke angkasa. Makin lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan pengawal istimewa yang dipimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak!
Puterl Milana tersenyum memandang keluar. "Pemuda itu memang hebat," bisiknya lirih akan tetapi cukup terdengar oleh Bun Beng.
"Tidak mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu...." kata pula Bun Beng dan mereka bersiap-siap bersama para penglima untuk menyerbu ke luar bersama pasukan mereka begitu saatnya tiba.
*** Kita tinggalkan dahulu kota raja Bhutan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang terdiri dari suku-suku bangsa Nomad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga terkumpul menjadi barisan yang amat besar jumlahnya dan yang mengancam keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.
Setelah terbukanya topeng yang menutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa dan sekaligus membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadanya yang telah berkorban untuknya, yang dipercaya dan disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang memperkosanya, yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyaplah segala arti kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga merupakan penolong yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya. Ceng Ceng menjadi seorang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka hidup!
Keinginannya hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya, di mana dia dibesarkan dan untuk.... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota raja Bhutan, bekas tempat tinggal kakeknya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li, gadis cilik yang nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Sungguh merupakan kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat menjadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat kejam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.
Karena ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu berjalan lancar dan tidak ada yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau melalui daerah berbahaya, Suma Han menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan melewati jurang-jurang dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau mendapatkan dirinya dapat pula "terbang" tanpa duduk di atas punggung rajawalinya.
Perjalanan itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang rumput yang sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena daerah ini sebetulnya sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat dengan perbatasan di timur. Dan pada sore harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mereka di sebuah perkampungan suku bangsa Nomad yang mengembala ternak. Mereka ini adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di dekat padang-padang rumput di mana mereka dapat membiarkan ternak kambing mereka makan sekenyangnya.
Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa yang tidak liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh mereka sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka.
Ternyata malam itu suku bangsa peternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang menang perang. Tentu saja Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku bangsa ini bersama puluhan anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut menggabungkan diri untuk memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan kemenangan para pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.
Sukarnya, di antara suku bangsa ini, hanya ada beberapa orang saja yang dapat berbahasa Han, itu pun tidak lengkap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka. Dengan bahasa tangan yang serba tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap bahwa suku bangsa itu sedang merayakan pesta "menang perang", akan tetapi tidak jelas perang dengan siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau mencampuri urusan mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum sekenyangnya.
Hwee Li yang bengal itu tidak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat kegembiraan suku bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya untuk menonton keramaian. Bermacam-macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain. Akan tetapi yang paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang agaknya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang suling mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya seperti seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat pintu pagar yang mengitari perkampungan itu.
Tentu saja Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main dengan segala macam ular, dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang jinak sampai yang paling buas dan beracun. Yang membuat dia terheran dan geli hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang bersorban itu. Suara suling itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah menarik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling seolah-olah ular itu mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling.
Karena amat tertarik, tanpa disadarinya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran penonton yang berjongkok agak jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hwee Li, akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis itu mendekat. Mereka itu kelihatan khawatir, akan tetapi Hwee Li menoleh kepada mereka, tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tidak mengkhawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil mengawasi gerak-gerik ular itu.
Orang India bersorban itu menggunakan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li sedangkan tangan kanannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling yang ditiupnya. Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa gembiranya bertemu "kawan lama", yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu, sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bahkan kini Hwee Li menggerak-gerakkan kedua lengannya yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan amat lemasnya seperti dua ekor ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti kepala ular dan lengannya seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat lemasnya.
Para penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan ada yang memuji karena memang indah sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li, seolah-olah gadis cilik itu seorang penari ular yang amat pandai. Akan tetapi seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan bercampur kekhawatiran ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang India dan menghampiri Hwee Li sambil menari-nari, matanya mencorong dan mulutnya mendesis-desis, lehernya mekar makin lebar.
Orang bersorban itu terbelalak, matanya melotot saking heran dan penasaran melihat betapa ularnya, ular yang dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat kepada sulingnya itu sekarang mendadak saja meninggalkan dia dan suara sulingnya tidak lagi mempengaruhinya. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia menahan napas terlalu lama.
Benar saja, ular itu terkejut dan menengok, lalu bergerak kembali ke tukang suling.
"Trak-trak.... cek-cek-cek....!" Tiba-tiba Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular cobra kembali menengok kepadanya. Terjadilah "adu kekuatan" antara suara suling dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan nampaknya jinak bukan main!
Orang bersorban itu bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang "pawang ular" yang hebat, maka dia menghentikan tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan menjura ke arah Hwee Li sebagai penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang ular, agaknya minta agar Hwee Li mengembalikan ular itu kepadanya. Para penonton juga menjadi kagum, ada yang bertepuk tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua oreng membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan menduga-duga siapa adanya pawang ular cilik yang hebat ini.
Akan tetapi Hwee Li memandang kepada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan menghina, apalagi ketika melihat banyak di antara penonton memberi mata uang dan barang-barang hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular cobra itu melingkar di lengan dan lehernya, kemudian dia berkata, "Kau orang yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa ular ini dengan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang. Huh, tak tahu malu!"
Setelah berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra itu. Tentu saja orang bersorban menjadi marah. Dia sudah pernah merantau ke timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga berbahasa Han.
"Nona, tunggu....! Kaukembalikan ularku!" katanya marah.
Hwee Li berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya. "Apa" Siapa bilang ini ularmu" Dia tentu ular yang bebas dan kau tangkap lalu kau paksa mencarikan uang untukmu!"
"Kembalikan!" Orang India itu membentak.
"Tidak!" Hwee Li juga membentak dan kini dia lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu terkejut dan menghilang di dalam semak-semak yang tebal.
"Kurang ajar!" Orang bersorban itu marah sekali, lalu dia mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang coklat panjang menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li! Gadis cilik ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya, kemudian dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu. Dia adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya membuat tangan orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular terlepas dan ular kecil itu membalik dan menggigit ibu jari tangannya.
Orang India itu menjerit, membuang ularnya dan dia berjingkrak-jingkrak sambil memegangi ibu jari tangannya yang tergigit ular beracun itu. Adapun Hwee Li dengan tenang saja mengobati luka di lengannya. Dia sudah kebal terhadap gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka adalah pusat segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikitpun juga. Akan tetapi, orang India itu ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengobatinya.
Para penonton menjadi ikut sibuk karena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena tidak mengerti bahasanya, maka para penonton yang tadi melihat orang India itu lebih dulu menyerang, tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apalagi melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat mereka terheran-heran, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa orang India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil menangis"
Tiba-tiba di antara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat cantik jelita, sukar dikatakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li, karena keduanya memiliki kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih dewasa daripada Hwee Li. Gadis ini dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India itu, mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah pisau kecil merobek ibu jari itu, mengeluarkan darahnya dan membubuhkan obat ke ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan robekan baju orang India itu sendiri. Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka beracun itu seketika menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam sampai tubuhnya hampir terlipat menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak bicara telah mengobatinya itu.
Kini, nona itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan main seperti seorang guru memarahi muridnya! "Kau sungguh bocah yang kejam dan perlu dihajar!" Nona itu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li. "Masih sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah besar kelak tentu akan menjadi iblis betina!"
Hwee Li tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali, akan tetapi juga membayangkan kebengalannya. "Phuih, sombongnya! Baru bisa menyembuhkan gigitan ular begitu saja lagaknya sombong seolah-olah telah menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona penjual obat yang biasa berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya"
Nona muda itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si Dewa Obat, tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mengambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang penting-penting di antaranya obat penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah dia mampu mengobati orang India itu.
Seperti kita ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini berhadapan dengan Hwee Li yang bengal, diejek sebagap penjual obat di pasar, Siang In menjadi marah sekali. Biarpun dia belum sempat digembleng oleh See-thian Hoat-su, namun dia pernah belajar ilmu silat bersama kakaknya, maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.
Akan tetapi, biarpun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih lihai. Dengan gesit dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian di antara dua orang gadis cilik yang sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang menganggap perkelahian sebagai tontonan yang mengasyikan, apalagi kalau dilakukan oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya.
Setelah saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan sudah beberapa kali dia menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan mulailah Siang In yang galak itu memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba di tempat perkelahian itu. Semua orang makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik dan gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang sedang berkelahi mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan mereka.
"Berhenti, jangan berkelahi!" Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. "Hwee Li, mundur kau!"
"Subo, dia kurang ajar!" Hwee Li berkata. "Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di pasar, dia sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku."
"Bocah setan!" Siang In yang beberapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah sekali. "Muridnya setan gurunya tentu iblis!" Dia kini malah memaki Ceng Ceng untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena dia tadi ditampari dan belum sempat membalas sudah dipisahkan.
"Hemm, apakah kau tukang obat yang pandai" Ceng Ceng menghampiri sambil mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar maki-makian gadis cantik itu.
Pertanyaan yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu menjawab, "Aku tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih daripada kalian guru dan murid iblis pengganggu orang!" Dan Siang In langsung lalu menerjang dan memukul Ceng Ceng.
Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda kedukaan hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.
"Bocah lancang dan sombong! Coba kauobati ini kalau bisa!" Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya.
"Plakkk....! Oughhh....!" Siang In terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biarpun tubuh Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.
"Eh, Siang In, kau kenapa...." Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan para penonton menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia mengerutkan alisnya, lalu bangkit menghadapi Ceng Ceng.
"Hemmm.... agaknya aku pernah bertemu dengan engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh kejam kau menjatuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan obat penawarnya, jangan sampai aku orang tua menjadi hilang sabar kepadamu," kata kakek itu yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.
"Subo, dia ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib palsu yang beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!" Hwee Li mengejek.
Ceng Ceng memandang kakek itu. "Muridmu yang lancang, mencampuri urusan muridku dan lebih dulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang biarlah dia atau engkau mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita pergi!"
Akan tetapi baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu berseru, "Tahan dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!"
Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, siap menghadapi kakek itu yang disangkanya akan menyerang mereka. Akan tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya, melemparkan jubah itu ke arah mereka dan.... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi "hidup" dan telah menyerang mereka kalang-kabut, menghantam mereka dengan lengan jubah seolah-olah digerakkan oleh setan!
"Hiiiiiihhh...., tolongggg, Subo....!" Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini dengan perasaan tegang dan seram. Akan tetapi Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat percaya tahyul dan kini melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi ketakutan.
Ceng Ceng sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang memang sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa kali dia bergidik dan merasa ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi "hidup"! Biarpun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat, tentu saja dia kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah itu tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung lengan jubah itu mendatangkan rasa panas.
"Hiiiihhhh.... tolongg.... takuttt.... Locianpwe.... tolong, Locianpweee....!" Hwee Li menjerit-jerit dikejar oleh jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa panas dan pedas.
Tiba-tiba muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap tenang. "Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh merupakan watak kekanak-kanakan saja!" Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan.... jubah itu seperti ketakutan, seperti seorang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang seperti hidupp itu kini "memasuki" lagi tubuh dan kedua lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali.
Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton. Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.
Sampai lama kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, hampir tak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu"
Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab, "Saya memang datang dari Pulau Es."
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar Siluman, kabarnya engkau disamping memiliki kepandaian silat yang tak terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat di antara kita."
"See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer" Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai" Suma Han berkata.
"Ha-ha-ha, justeru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main saja dengan mereka." Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluarkan sinar mencorong yang aneh. "Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang....!"
Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. "Sesukamulah, Hoat-su." Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, diantara mereka. Pendekar Super Sakti hanya bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking herannya, melihat tongkat butut itu melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah sebuah benda hidup.
"Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!" Terdengar suara See-thian Hoat-su. Dia bicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekuatan mujijat yang amat berwibawa.
Semua orang yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini telah berubah menjadi seekor harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya dan seperti hendak menyerang kakek berkaki buntung sebelah itu.
"Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga yang hendak menyerangmu!" Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang namun juga mengandung wibawa yang amat kuat.
Para penonton kini menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak menyerang Kakek See-thian Hoat-su!
See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi. Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan. Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadeng "pertandingan" itu sedemikian hebatnya sehingga ada kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau seekor naga yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi ketakutan dan mereka makin lama makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap siluman-siluman itu.
Setelah mengadu kekuatan sihir beberapa lamanya, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah menjadi seekor naga yang beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.
"Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!" katanya sambil menghentikan pengerahan tenaga mujijat.
Suma Han mengangkat tangannya dan "naga" itu terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi sebatang tongkat.
"See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak saja." Pendekar Super Sakti menegur.
"Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak suka bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiran dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak begitukah"
Suma Han tersenyum. "Engkau benar, Hoat-su. Harap engkau orang tua suka memaafkan kalau dua orang temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu." Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng dan Hwee Li, akan tetapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah duduk berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat! Memang demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya memiliki watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah setengah memaksa subonya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di antara mereka, bahkan mereka lalu bersahabat.
"Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini" Kakek See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapapun juga itu bertanya.
"Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu...."
"Heee, Siang In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu" tiba-tiba kakek itu memanggil muridnya. Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi berubah merah sekali. Akan tetapi dia meninggalkan Hwee Li dan mendekati gurunya, memandang kepada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.
"Tentu saja aku mengenal dia, Suhu," jawabnya.
"Bagus!" Suma Han berseru girang. "Di mana kau terakhir ini bertemu dengan dia, Nona"
"Nanti dulu," Siang In menjawab, "Sipakah Locianpwe yang aneh ini mengapa bertanya tentang dia"
"Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari pemuda itu."
Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat. "Maafkan saya...."
Pendekar Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid seorang sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.
"Aku hanya ingin tahu di mana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona" Dia mengulang pertanyaannya.
"Di dalam hutan.... ketika terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon terhadap rombongan pengawal Puteri Bhutan." Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan betapa dia telah dicium oleh pemuda itu!
Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya. "Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang perginya anakku yang suka bertualang itu, Nona"
"Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang telah berada di tapal batas Bhutan dan...." Siang In menoleh ke kanan kiri, melihat banyak orang anggauta suku bangsa penggembala itu menonton, dia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik, "Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan."
Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata kepada Pendekar Super Sakti, "Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...."
See-thian Hoat-su tertawa. "Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan, kami mempunyai urusan pribadi sendiri, maka maafkan kami yang harus pergi sekarang. Hayo, Siang In!" Dia memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li.
Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, "Kita harus berhati-hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati pimpinan suku bangsa ini dan mencari keterangan dari mereka."
Baru saja dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga mereka yang menonton menjadi kagum dan juga takut, kini bergerak minggir dan memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar dan lebih mewah daripada pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli bermain ular. Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja disambut dengan baik oleh Pendekar Super Sakti. Mereka lalu diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah, yaitu susu domba.
Melalui seorang penerjemah, Pendekar Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.
"Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda," kata kepala suku tertua sambil memandang Suma Han penuh perhatian. "Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Dia dibantu oleh seorang laki-laki setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang luar biasa."
Mendengar ini, Pendekar Super Sakti menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita Kerajaan Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri" Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian Bu.
"Baiklah, kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana," katanya dengan girang.
Kepala suku itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang laki-laki muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan. Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan dengan baik, maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan melalui pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.
Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan, ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi melengking tinggi dari atas, apalagi ketika mereka memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan berbulu hitam menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan itu dan pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.
"Jangan panah....!" Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah burung.
"Hek-tiauw, awas panah....!" Hwee Li yang sudah mengenal burungnya itu berseru keras.
Namun penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak panah itu dengan kakinya, kemudian dia menukik dan hendak menyerang ke arah kepala suku yang memanahnya tadi.
Akan tetapi, dengan sekali bergerak, Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki rajawali hitam yang menyambar turun itu.
"Plak! Desss....!" Rajawali terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang menunggang rajawali itu.
"Ayah....!" Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu. Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di situ, dia menjadi girang dan juga heran dan setelah menyuruh burung rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.
"Ayah....! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!" Hwee Li berseru dengan wajah bersungut-sungut. Sementara itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini menjatuhkan diri berlutut! Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia memandang dengan penuh perhatian kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama kedua orang ini berdiri saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.
"Aih, hek-tiauw, kau sudah sembuh...." katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai majikannya. Hal ini membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan makin ketakutan. Kiranya rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan dewa!
"Kau.... kau.... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!" Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel di dalam suaranya.
"Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kaurampas dan kuasai," kata Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. "Tahukah engkau tempat apa yang kaurampas dan kuasai itu" Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu, karena kepergiannya berarti hanya menyebar malapetaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka."
"Ha-ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. "Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya menggetarkan kolong langit." Setelah berkata demikian, Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.
"Wuuuutttt.... syuuuuttt....!" Angin yang dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.
"Hemmm....!" Suma Han mengeluarkan seruan dan tubuhnya sudah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang lagi, menubruk seperti seekor singa kelaparan dengan kedua tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.
"Ayaaaah.... jangan....!" Hwee Li berteriak.
"Ssssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!" Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang bertanding itu. Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu. Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.
Hwee Li tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu dikeroyok, lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan kuda masing-masing.
"Haaaihhh.... waaahhhh!" Hek-tiauw Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu memang hanya mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan gerakannya tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.
"Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!" terdengar seruan Pendekar Super Sakti dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut, membalik sambil menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo kini hanya mengelak dan menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!
"Pendekar Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo hadapi aku secara jantan!" teriaknya marah dan juga jerih.
"Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kaumaksudkan dengan cara jantan"
"Heiiit!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan sinar hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.
"Plakkk!" Jala itu kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan.... robek seperti terbakar. Itulah pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.
"Keparat!" Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, "Hadapi pukulanku ini!"
"Hemm....!" Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.
"Desss....!" Tubuh Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini.
Sejenak mereka berpandangan dari jarak lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk, membungkuk lalu membentak, "Pendekar Siluman, kausambutlah ini kalau memang kau jantan....!" Lalu tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, seperti seekor kerbau menyerang dengan tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti. Pendekar ini terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak menyingkir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang kecil.
"Cappp....!" Kepala Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kedua pundak Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini sudah menggerakkan dulu kedua tangannya menyambut hantaman itu!
"Plakkk!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.
"Locianpwe, jangan bunuh ayahku....!" Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru nyaring.
Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu meringkik ketakutan dan membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.
"Aduhhh....!" Tak tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian secepat kilat dia menyambar pinggang Hwee Li, meloncat ke atas punggung rajawali hitam yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.
"Hwee Li....!" Ceng Ceng berseru kaget.
"Ayah, lepaskan aku....! Aku mau ikut Subo....!" Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.
"Ohh...." Ceng Ceng mengeluh.
"Dia diajak pulang ayahnya, perlu apa disesalkan" Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan ayahnya. Agaknya hanya anaknya saja yang akan mampu merubahnya," kata Pendekar Super Sakti. Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang sudah menjadi layu.
Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
"Pendekar besar.... siapakah yang datang menunggang burung dewa tadi" Apakah dia itu dewa atau golongan iblis" tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han daripada yang lain.
Suma Han tersenyum. "Kalau dikatakan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok," jawabnya.
"Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!" Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat, mereka berlutut dan menyembah-nyembah.
"Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan," kata Suma Han.
Gembira karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon.


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin dan para panglima lainnya malam itu mengadakan perundingan. Bentrokan dengan pihak musuh secara terbuka, ternyata tidak menguntungkan mereka. Biarpun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat dikata menang karena jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!
Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata, "Kalau mengandalkan perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka tentu akan menderita kerugian. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar."
"Menyerang mereka dari luar" tanya Jayin bingung. "Apa yang paduka maksudkan"
"Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau. Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu merupakan bala bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai."
Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.
"Biar aku memimpin pasukan menyelundup dan menerobos keluar dari kepungan musuh," kata Bun Beng.
Milana mengangguk. "Memang penerobosan keluar ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita memilih bagian yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan."
Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengantar persiapan karena menurut rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau penerobosan keluar itu.
Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok, sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri. Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa, bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.
Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar tembok. Penjaga segera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan perang!
Peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan penerobosan itu. "Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu," katanya kepada Gak Bun Beng. "Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam.... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan sesuatu di luar rencana."
Semua orang berkumpul di atas benteng dan memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tak lama kemudian, sinar matahari pagi menerangi keadaan di bawah dan tak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh. Biarpun dari atas menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut bukan main.
"Dia Tek Hoat....!" serunya.
"Eh, benarkah" tanya Milana.
"Aku tidak lupa gerakan silatnya!"
"Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali."
"Dan terlalu berani. Lihat, mungkin semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kauperintahkan penjaga pintu gerbang untuk siap menolongku masuk...., aku harus menolongnya."
"Tapi...."
"Tidak ada tapi...."
"Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya." Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah itu berkata, "Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya."
"Kita tidak boleh kehilangan banyak anggauta pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku pergi!" Dengan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng. Terdengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah meluncur dari berbagai jurusan. Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat kalau mereka nanti sudah mundur sampai di pintu gerbang.
Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek Hoat memimpin pasukannya untuk membakar perkemahan Tambolon dan mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.
"Kita harus menanti isyarat dari Puteri Milana," kata panglima itu. "Sungguh tidak baik kalau bertindak sendiri tanpa menanti perintah atasan."
"Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat kedudukan dengan mendatangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung dan dari mana diharapkan bantuan" Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka, menyerbu di tengah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan pembakaran perkemahan mereka sebanyaknya dan kita menyergap di dalam kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya." Demikian Tek Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera menyatakan persetujuan dah kegembiraan mereka. Pasukan pengawal itu adalah pasukan pilihan yang gagah perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja dikepung musuh. Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah perkasa, menyetujui dan setelah lewat tengah malam, bergeraklah mereka menyerbu dan membakar perkemahan pihak musuh.
Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu amat tidak mereka sangka dan sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan banyak terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah, namun tentu saja pihak penyerbu lebih untung karena mereka sudah memperhitungkan segala-galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana kekuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.
Akan tetapi, Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini, sudah mengumpulkan pasukan besar dan mengurung hutan itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biarpun mereka telah merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang perajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh namun setelah pagi tiba mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah tua mengamuk dengan sepasang goloknya seperti seekor singa tua. Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, akan tetapi akhirnya dia pun roboh di bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah dari seorang perajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menyedihkan.
Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik, selain membunuh banyak sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek Hoat sendiri yang masih mengamuk. Tak terhitung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk hebat ketika Bun Beng muncul. Betapapun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat banyak, yang roboh sepuluh datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-lukanya, tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.
"Plak-plak-desss....!" Enam orang di antara para pengeroyok Tek Hoat terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir ketika Gak Bun Beng menyerbu.
Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya dengan pedang rampasannya.
"Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang....!" Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua orang pengeroyok lagi.
"Tidak!" Tek Hoat menjawab tegas. "Semua anak buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik darah terakhir membela mereka!" Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan itu seperti memperoleh tenaga baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang sekaligus merobohkan enam orang lawan!
"Tidak ada gunanya, musuh terlampau banyak...." Bun Beng membujuk.
"Kalau kau takut, kembalilah!" Tek Hoat berteriak marah.
Bun Bcng menarik napas panjang. Pemuda ini berhati keras sekali dan membujuknya tidak akan ada gunanya. Akan tetapi membiarkan dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak memalukan menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti, dan biarpun pernah melakukan penyelewengan, namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama ayahnya yang tersesat.
"Kalau begitu biarlah kita mati bersama!" Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat. Hatinya lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu sudah lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena luka-lukanya yang amat banyak itu. Diam-diam dia merasa terharu dan dapat menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa malu dan menyesal akan semua penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah dan nyawanya! Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat dan pada saat Tek Hoat lengah karena harus menghadapi serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng menggunakan totokan satu jari dengan pengerahan tenaga sin-kangnya yang amat kuat. Biarpun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, dalam keadaan lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini. Dia mengeluh, tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari tangannya. Bun Beng menyambar tubuhnya terus dipanggulnya, menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya tentu patah-patah, dan banyak pula musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat jerih para perajurit musuh.
"Tangkap dia! Kejar! Kurung....!" Tambolon berteriak sambil berlari cepat mengejar, dan kini dia sendiri ikut menyerang. Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng yang luar biasa kuatnya, membuat golok besar di tangan Tambolon menyeleweng. Raja liar ini terkejut dan jerih, akan tetapi dia masih memimpin orang-orangnya untuk mengepung dan selalu mengejar apabila Bun Beng meloncat makin mendekati pintu gerbang.
"Hujani anak panah!" Tambolon berteriak.
Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari mendekati pintu gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari, dikejar oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah anak panah dan batu dari atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng itu dengan pedang di tangan melindunginya. Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki pintu gerbang sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali, tentara Tambolon dipaksa mundur oleh hujan anak panah dari atas benteng.
Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri Baginda dia memuji-muji Tek Hoat. Serbuan pemuda itu dengan pasukannya secara nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benar-benar amat menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan siasatnya dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang pasukan, hanya ada sedikit perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat. Tempatnya diwakili oleh Panglima Jayin yang sudah berhasil membawa keluar pasukannya, kemudian memecahnya menjadi empat bagian dan mereka berpencar ke empat penjuru, bersembunyi di hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.
Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis melihat tubuh pemuda itu penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk mengijinkan dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat nyawanya. Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, dan karena dia sendiri pun kagum dan suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa, yang dengan semangat luar biasa membela Bhutan, bahkan dengan rela hampir mengorbankan nyawanya. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek Hoat ini dan memuji-muji.
Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah malam terganti pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak juga yang terluka oleh amukan api. Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu mendatangkan rasa panik di antara mereka sehingga menurunkan semangat juang mereka sungguhpun Tambolon sendiri sudah berusaha membangunkan semangat mereka dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala bantuan yang akan memakan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan besar dan menduduki kota raja Bhutan!
Dengan berdiri di atas panggung sehingga tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya, Tambolon mengajak gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, berkata dengan lantang, "Kita memang telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Akan tetapi tunggu sampai satu minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan khawatir, di dalam tembok benteng itu terdapat harta berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri Mancu dan para pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai ilmu gaib."
Durganini terkekeh, kedua tangannya bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang takjub dan ngeri ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak lama kemudian nenek itu "menelan" kembali semua api itu dan Tambolon berkata, "Lihat betapa guruku akan dapat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api mujijat dari mulutnya. Dan dapat pula menutup matahari menimbulkan kegelapan!"
Nenek itu lalu mengangkat kedua lengan ke atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang yang menonton dari bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap. Semua orang menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta ampun kepada nenek yang memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon berusaha membangkitkan kembali semangat para pembantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa liar itu.
*** Perawatan yang penuh ketekunan dan kemesraan dari Syanti Dewi membuat hati Tek Hoat menjadi terharu sekali. Berkat pengobatan dari Gak Bun Beng dan Puteri Milana yang pandai, dalam waktu tiga hari saja sembuhlah Tek Hoat.
"Dewi.... aku.... sungguh berhutang budi padamu...." Pagi hari itu Tek Hoat y
Bukit Pemakan Manusia 21 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Bukit Pemakan Manusia 3
^