Kisah Sepasang Rajawali 5

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


ambarkan cambuk ke atas, kembali tubuh itu lenyap dan tahu-tahu sudah menerjang dari belakang! Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti mengeluarkan ilmu silatnya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu
Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti mengeluarkan ilmu silatnya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu kesaktian paling cepat gerakannya di dunia ini!
Diam-diam Suma Han harus mengakui bahwa ilmu kepandaian dua orang kakek kembar itu hebat sekali, sin-kang mereka kuat dan tubuh mereka kebal, juga mereka merupakan ahli-ahli silat yang sudah berhasil mengumpulkan intisari segala gerakan ilmu silat, diringkas dan dimainkan dasarnya saja sehingga mereka berdua merupakan lawan yang amat ulet dan kuat. Namun, andaikata dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun yang membingungkan mereka, tentu saja dia dapat merobohkan mereka dengan tongkatnya, membunuh atau sedikitnya melukai mereka. Dia tidak menghendaki hal ini. Dia maklum bahwa jalan kekerasan hanya akan berakhir dengan kekerasan pula, dengan dendam dan kebencian yang tak kunjung henti. Maka dia bersikap sabar dan mengalah.
Ketika Suma Han mendengar bentakan, kedua orang isterinya dan kedua orang puteranya dia menengok dan terkejutlah hati Pendekar Super Sakti ini. Dua orang isterinya dan dua orang pemuda itu mengamuk seperti naga-naga marah. Dua orang wanita Korea telah roboh dan tak dapat bertanding lagi karena terluka parah, sedangkan di antara empat belas orang itu, sudah ada delapan orang yang roboh, entah tewas atau pingsan!
Celaka, dia sendiri tidak mau turun tangan keras, isteri-isteri dan anak-anaknya malah mengamuk seperti itu! "Heiii, tahan dan mundur kalian semua!" Teriaknya sambil mencelat ke arah kedua isteri dan anaknya. "Kian Bu, Kian Lee, hayo panggil burung-burung setan itu!" teriaknya pula melihat betapa dua ekor rajawali itupun mengamuk hebat, membuat para lawan menjadi panik dan sibuk mempertahankan diri dari paruh dan cakar yang kuat.
Kedua isterinya mengerutkan alis, namun mereka mengenal suami mereka dan tidak mau membantah. Mereka maklum bahwa suami mereka akan berduka sekali kalau sampai keluarganya menggunakan kekerasan. Juga Kian Lee dan Kian Bu meloncat mundur dan berusaha memanggil sepasang rajawali yang sedang marah dan mengamuk itu. Akan tetapi, pekerjaan itu tidaklah mudah karena sepasang rajawali itu agaknya telah datang kembali sifat liar mereka dan sekali mencium darah, mereka menjadi buas!
Akan tetapi, sama sekali tidak disangka-sangka oleh Suma Han. Dia sendiri mundur dan menyuruh anak isterinya untuk berhenti bertanding, akan tetapi sepasang kakek itu, dua orang wanita Korea, dan enam orang teman mereka yang masih belum roboh, sudah datang lagi menerjang dengan kemarahan meluap. Suma Han menghela napas panjang. Sedih dia melihat betapa begitu banyak orang ternyata amat membencinya sehingga mereka itu siap mempertaruhkan nyawa untuk membunuh dia!
"Siang Lo-mo dan cu-wi sekalian! Apakah kalian sudah bosan hidup" Lihat.... bukit itu longsor ke sini....!" tiba-tiba Suma Han berteriak, suaranya disertai khi-kang dan mengandung tenaga sakti mujijat yang bergema di seluruh tempat itu, tongkatnya menuding ke tengah pulau di mana tampak bagian yang menjulang tinggi seperti bukit es yang putih.
Sepasang kakek kembar dan para temannya menengok ke arah yang ditunjuk itu dan tiba-tiba mata mereka terbelalak dan muka mereka pucat sekali. Mereka melihat betapa bukit itu pecah-pecah, batu dan es yang besar-besar sedang bergulingan dari atas menuju ke tempat itu, disertai suara gemuruh dan tanah yang mereka injak bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi yang hebat.
"Celaka....! Lari....!" Pak-thian Lo-mo berteriak sambil menyambar tubuh dua orang pembantu yang terluka.
"Lari...., bawa teman-teman....!" teriak pula Lam-thian Lo-mo yang juga menjadi pucat wajahnya.
Tentu saja tidak perlu dikomando dua kali karena mereka yang belum roboh, menjadi pucat ketakutan menyaksikan malapetaka itu, bencana alam yang amat hebat dan yang tentu akan menggulung dan membasmi mereka semua kalau mereka terlambat lari dari tempat yang agaknya sudah dikutuk dan akan musnah itu. Mereka cepat menyambar teman yang terluka, lalu bersicepat lari ke arah perahu mereka, berloncatan ke dalam perahu dan sekuat tenaga mendayung perahu ke tengah laut. Angin segera mendorong layar dan perahu itu melaju cepat meninggalkan Pulau Es.
Suma Han menghela napas lega. Dua orang pemuda yang tadinya berlutut merangkul kedua kaki ibu masing-masing dengan muka pucat, kini menengadah melihat ibu mereka tersenyum, keduanya bangkit berdiri, menoleh ke arah bukit dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa di sana! Padahal tadi, mereka ikut menengok dan melihat betapa bukit itu pecah dan mengeluarkan suara bergemuruh, mengancam tempat itu dengan gumpalan batu dan es sebesar rumah!
"Untung mereka dapat dikelabuhi...." Suma Han berkata perlahan.
"Hemmm, kalau mereka tidak lari, tentu sebentar lagi mereka tak sempat berlari lagi!" kata Lulu.
"Mereka itu tidak seberapa kuat, mengapa harus dipergunakan hoat-sut (ilmu sihir)" kata Nirahai, tidak puas karena tadi sedang "enak-enaknya" membabati musuh. Sudah puluhan tahun puteri kaisar yang gagah perkasa ini tidak memperoleh kesempatan untuk mempergunakan ilmunya untuk bertempur, padahal dahulu puteri ini mempunyai kesukaan untuk bertanding ilmu silat. Maka peristiwa tadi sebetulnya amat menggembirakan hatinya, siapa yang tidak mengkal hatinya kalau sedang enak-enak membabat musuh lalu dihentikan"
"Aihhh.... jadi ayah tadi mempergunakan ilmu sihir" Kian Lee berkata, memandang ayahnya dengan kagum dan heran. "Akan tetapi.... aku melihat sendiri, bukit itu seperti pecah...."
"Karena kau ikut menengok, maka kau menjadi korban pula kekuasaan ilmu sihir ayahmu," kata Lulu. Dia dan Nirahai yang sudah tahu bagaimana caranya melawan ilmu sihir itu, tadi tidak menengok dan karenanya tidak terseret."Wah, hebat sekali, ayah! Harap ajarkan ilmu itu kepadaku!" Kian Bu bersorak.
Ayahnyadiam saja, hanya memandang sepasang rajawali yang masih terbang berputaran di angkasa. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua ekor burung rajawali itu terkejut, lalu menukik turun dan tak lama kemudian dia hinggap di atas tanah, di depan pendekar itu.
"Kian Lee, Kian Bu, lihat apa yang berada di paruh mereka itu!" bentak Suma Han.
Kian Lee dan Kian Bu menghampiri sepasang rajawali dan mengambil sesuatu dari paruh mereka. Kiranya burung rajawali kesayangan Kian Lee membawa sebatang jari tangan di paruhnya, sedangkan burung rajawali kesayangan Kian Bu membawa sebuah.... daun telinga manusia!
"Ihhh....! Jari tangan orang!" Kian Lee bergidik dan membuang jari tangan itu ke atas tanah.
"Haiiii! Ini daun telinga orang....!" Kian Bu juga membuang benda menjijikkan itu.
Suma Han menghela napas, menggunakan tongkatnya membuat lobang di dalam tanah, kemudian menjemput jari tangan dan daun telinga itu, kemudian sambil menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala dia berjalan ke tengah pulau.
"Ayah, ajarkan aku ilmu sihir itu....!" Kian Bu berseru dan hendak mengejar ayahnya. Akan tetapi tangannya dipegang ibunya.
"Ilmu itu tidak mungkin diajarkan ayahmu kepada siapapun juga," puteri kaisar itu berkata.
"Mengapa tidak mungkin, ibu"
"Ilmu yang kelihatan seperti ilmu sihir itu dimiliki oleh ayahmu tanpa dipelajarinya karena ayahmu memiliki kekuatan mujijat. Pula, dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang ini, tidak perlu lagi menginginkan kekuatan sihir karena kau akan mampu menghadapi lawan yang bagaimana kuatpun."
"Kian Lee, apa yang diucapkan oleh ibumu Nirahai itu benar sekali," Lulu juga berkata, ditujukan kepada puteranya sendiri. "Tingkat kepandaian kalian berdua sudah cukup tinggi, dan melihat gerakan kalian ketika menghadapi musuh tadi, kiranya tingkat kalian tidak berada di sebelah bawah kami berdua. Ketika dahulu aku masih menjadi ketua Pulau Neraka, dan ibumu Nirahai menjadi ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, tingkat kami berdua kiranya masih belum setinggi tingkat kalian sekarang ini."
Nirahai mengangguk-angguk dan menyambung ucapan madunya itu, "Memang benar, apalagi kalau diingat bahwa kalian berdua adalah pemuda-pemuda yang sedang kuat-kuatnya, sedangkan kami makin tua dan makin lemah. Maka jangan kalian berdua menginginkan ilmu kesaktian ayah kalian yang tidak mungkin dipelajari itu."
Tentu saja hati sepasang pemuda ini menjadi gembira dan girang mendengar pujian Nirahai itu. Kegirangan itu bertambah besar ketika pada malam harinya, setelah keluarga itu makan malam, Suma Han berkata dengan suaranya yang selalu tenang dan halus, "Lee-ji dan Bu-ji, sekarang telah tiba saatnya bagi kalian berdua untuk keluar dari pulau, merantau meluaskan pengetahuan kalian."
Kedua orang pemuda itu hampir bersorak saking girangnya mendengar ini, dan mereka berdua saling pandang dengan muka berseri dan mata bersinar-sinar. Demikian gembira mereka sampai tidak melihat betapa sebaliknya wajah ibu mereka menyuram.
"Akan tetapi ingat, kalian jangan mengira bahwa kalian boleh berbuat sesuka hati setelah bebas. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang dapat mengatur diri sendiri, bukan kebebasan liar (semau gue!) yang tentu akan menyeret kalian ke dalam perbuatan sesat. Memang, tingkat ilmu silat kalian sudah cukup tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan dicelakakan oleh musuh, namun kalian masih kurang sekali dalam pengalaman. Karena itu, dalam meluaskan pengalaman, kalian pergilah ke kota raja dan jumpai enci kalian, Milana. Dari enci kalian itu kalian akan mendapat banyak petunjuk. Dan ingat, kalian jangan sekali-kali menyebut nama Pulau Es untuk menyombongkan diri. Mengerti"
Kedua orang pemuda itu mengangguk dan menyembunyikan rasa girang mereka di dalam hati. "Ayah, bolehkah kami membawa sepasang rajawali"
Suma Han menahan senyumnya. Puteranya yang kedua ini selalu berwatak riang gembira dan biarpun usianya sudah hampir delapan belas tahun, masih kekanak-kanakan sehingga merantaupun ingin membawa rajawali kesayangannya!
"Rajawali jangan dibawa. Sekali ini kalian merantau, berarti akan memasuki tempat-tempat ramai, apalagi akan memasuki kota raja. Kalau kalian membawa sepasang rajawali, tentu akan menimbulkan ribut dan kekacauan. Ingat kalian harus menganggap bahwa kalian adalah seperti sepasang rajawali yang terbang bebas di angkasa, tidak menggantungkan nasib dan keselamatan kalian pada perlindungan siapapun juga. Seperti sepasang rajawali, kalian harus selalu waspada jangan lengah karena segala kemungkinan dapat saja terjadi, segala bahaya dapat saja datang dari segala penjuru".
Setelah banyak-banyak memberi nasihat kepada kedua orang puteranya sehingga semalam itu mereka hampir tidak tidur, pada keesokan harinya berangkatlah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meninggalkan Pulau Es. Mereka hanya membawa bekal beberapa potong emas dan sejumlah uang perak untuk biaya di jalan, akan tetapi mereka berdua tidak diberi bekal senjata. Perahu layar yang membawa mereka pergi meninggalkan Pulau Es, menuju ke arah yang telah ditunjuk dan digambarkan dalam peta oleh ayah mereka, diikuti pandangan mata kedua ibu mereka yang basah oleh air mata.
Setelah perahu itu lenyap dari pandangan mata, kedua orang wanita itu tidak dapat menahan tangis mereka. Betapa hati mereka tidak akan berkhawatir dan berduka ditinggalkan putera tercinta yang semenjak lahir berada di pulau itu bersama mereka" Suma Han mendiamkan saja kedua isterinya berduka, karena dia dapat menyelami perasaan mereka. Dia hanya berdiri dibantu tongkatnya, memandang jauh lepas ke arah lautan, mencoba untuk mempelajari dan mengerti akan hidup dari permukaan laut yang tak bertepi.
Andaikata ada yang bertanya kepada kedua orang ibu itu mengapa mereka menangis dan mengapa mereka berduka karena berpisahan dengan putera mereka, tentu mereka akan menjawab langsung bahwa mereka berduka karena mereka mencinta putera mereka yang sekarang pergi meninggalkan mereka. Jelas bahwa mereka menangis bukan demi putera mereka, karena sepasang pemuda itu bergembira dan tidak perlu ditangisi. Akan tetapi mereka menangis karena mereka ditinggalkan! Mereka menangis demi dirinya sendiri, menangis karena iba diri yang ditinggalkan pergi orang-orang yang dicinta!
"Cinta" yang bersifat pengikatan diri kepada sesuatu yang dicinta, seperti kedua ibu ini, hanya akan membawa kedukaan. Pengikatan diri kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kemuliaan duniawi, kepada kesenangan, sebenarnya bukanlah cinta kasih sejati, melainkan nafsu mementingkan dan menyenangkan diri sendiri belaka. Segala sesuatu, baik benda hidup ataupun mati, yang dipunyai seseorang secara lahiriah, kalau sampai dimiliki pula secara batiniah, hanya akan menimbulkan kesengsaraan. Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini, sekali waktu tentu terjadi perpisahan. Kalau kita mengikatkan diri kepada sesuatu, berarti kita memiliki secara batiniah dan seolah-olah yang kita miliki itu telah berakar di dalam hati. Maka jika tiba saatnya kita harus berpisah dari sesuatu yang kita miliki secara batiniah itu, sama saja dengan dicabutnya sesuatu itu dari hati sehingga merobek dan menyakitkan hati!
Mengikatkan diri kepada apapun juga, kepada suami, isteri, anak, keluarga, harta dan apa saja berarti menghambakan diri dan ikatan-ikatan ini yang membuat orang menjadi takut dan khawatir. Takut kalau-kalau dipaksa berpisah, karena kehilangan, karena kematian dan lain-lain. Rasa takut akan perpisahan dengan yang telah mengikat dirinya, membuat orang menjaga dan melindungi mati-matian, dan untuk ini tidak segan-segan orang menggunakan kekerasan. Maka timbullah pertentangan, dan dari pertentangan ini lahirlah kesengsaraan hidup!
Kita tinggalkan dulu Pulau Es dan suami isteri yang termenung ditinggalkan putera-puteranya itu, dan kita biarkan sepasang pemuda itu mulai dengan perantauan mereka seperti sepasang rajawali, dan mari kita menengok kembali keadaan Syanti Dewi dan Ceng Ceng.
Seperti telah diceriterakan di bagian depan, dua orang dara jelita ini melarikan diri dan terpaksa meninggalkan kakek Lu Kiong yang tewas oleh pengeroyokan para tokoh pemberontak yang memusuhi Kerajaan Bhutan. Dengan berpakaian seperti dua orang petani sederhana, dua orang gadis itu terus melarikan diri. Mereka melumuri pipi yang halus putih itu dengan lumpur untuk menyembunyikan wajah cantik mereka setelah memperoleh kenyataan bahwa penyamaran itu dapat diketahui para penghadang sehingga hampir saja mereka tertangkap.
Sukarlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri karena daerah perbatasan itu termasuk daerah kekuasaan pasukan-pasukan Raja Muda Tambolon. Dusun-dusun di sekitar daerah itu telah berada di bawah kekuasaannya. Syanti Dewi yang pernah mendengar tentang ini, mengerti akan bahaya yang mengancam mereka, maka dia selalu menganjurkan kepada Ceng Ceng untuk berhati-hati.
Pada suatu senja, pelarian mereka membawa mereka ke sebuah dusun. Mereka menanti di luar dusun sambil bersembunyi, dan setelah cuaca menjadi gelap, barulah mereka berani memasuki dusun itu. Bau masakan dan bumbu terbawa uap masakan yang sedap membuat mereka tidak menahan diri. Telah beberapa hari lamanya mereka hanya makan daun-daun dan daging panggang tanpa bumbu. Kini perut mereka terasa lapar sekali ketika hidung mereka mencium bau yang amat gurih dan sedap itu, dan berindap-indap keduanya memasuki warung yang berada di pinggir dusun. Warung itu ternyata cukup besar dan ketika keduanya masuk, di situ terdapat tujuh orang tamu yang pakaiannya agak kotor dan tujuh orang ini semua membawa topi caping bundar lebar yang kini mereka taruh di atas meja.
Ketika Syanti Dewi dan Ceng Ceng memasuki warung dengan muka kotor berlumpur dan muka tunduk, mereka berhenti bicara, melirik sebentar akan tetapi melihat bahwa yang masuk hanyalah dua orang petani muda yang agaknya baru pulang dari sawah karena pakaian dan mukanya kotor, tujuh orang itu melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar dan jujur dan berani bicara keras begitu melihat keadaan aman.
Syanti Dewi memesan makanan dan makan bersama Ceng Ceng tanpa bicara, akan tetapi mereka berdua tertarik sekali oleh percakapan antara tujuh orang itu. "Kabarnya sang puteri lenyap...." kata-kata ini yang membuat mereka terkejut dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ahhhhh, kasihan sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan rombongan utusan kaisar"
"Entah, kabarnya banyak yang tewas. Akan tetapi pasukan penjemput dari kerajaan Ceng tiba dan musuh dapat dihalau pergi. Hanya celakanya, sang puteri tidak ada lagi...."
"Aihh, jangan-jangan dia tertawan musuh"
"Mungkin sekali...."
"Aduh kasihan!"
"Kalau saja kita dapat menolongnya...."
"Wah, orang-orang pedagang garam macam kita ini bagaimana bisa menolongnya" Untuk melalui kota Tai-cou saja kita tentu harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyuap penjaga, baru kita akan boleh masuk."
"Memang celaka, dan hanya di kota itu garam kita akan laku dengan harga tinggi."
Syanti Dewi dan Ceng Ceng saling pandang dan sinar mata mereka berseri. Mereka juga harus melalui kota Tai-cou dan setelah dapat melewati kota terakhir dari kekuasaan Raja Muda Tambolon itulah mereka dapat dikatakan telah lolos dari cengkeraman musuh. Dan mendengarkan percakapan antara pedagang garam itu, agaknya mereka itu tak dapat disangsikan lagi adalah orang-orang yang berpihak kepada Kerajaan Bhutan dan Kerajaan Ceng, orang-orang yang anti kepada Raja Muda Tambolon. Hal ini berarti orang-orang itu adalah sahabat!
Betapa kaget dan heran hati tujuh orang pedagang garam itu ketika mereka meninggalkan warung dan sedang berjalan sambil bercakap-cakap di lorong dusun yang gelap dan sunyi, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang "pemuda" yang tadi makan di warung telah berdiri di depan mereka.
"Para paman harap berhenti sebentar!" Ceng Ceng berkata.
Mendengar suara wanita, karena Ceng Ceng mempergunakan suara aselinya, tujuh orang itu tertegundan mencoba untuk melihat lebih jelas lagi di tempat gelap itu.
"Kami telah mendengar percakapan paman bertujuh dan percaya bahwa paman sekalian akan suka membantu kami untuk meliwati kota Tai-cou, kata pula Ceng Ceng.
"Apa....apa maksudmu....tuan.... eh, nona...." seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya bingung karena dia masih ragu-ragu. Melihat pakaiannya, dua orang itu adalah pria, akan tetapi suaranya seperti wanita!
"Paman, lihatlah baik-baik. Aku adalah seorang wanita, dan dia ini bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan yang kalian bicarakan tadi."
Tujuh orang itu terkejut bukan main. Cepat mereka memandang ke arah Syanti Dewi, membuka caping dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu!
"Maafkan kami.... hamba tidak mengetahui...."
Syanti Dewi cepat berkata, "Harap paman semua bangkit berdiri. Kalau sampai kelihatan orang tentu dicurigai."
Mendengar ini, mereka cepat bangkit berdiri. Mereka adalah pedagang-pedagang garam yang berhutang budi kepada Pemerintah Bhutan karena mereka diijinkan untuk mengangkut garam dari Bhutan yang mereka jual di daerah pedalaman. Dari Pemerintah Bhutan mereka tidak pernah mengalami gangguan, maka tentu saja mereka merasa terlindung dan di dalam hati mereka bersimpati kepada kerajaan ini dan sebaliknya mereka seringkali mengalami gangguan dari anak buah Raja Muda Tambolon maka tentu saja mereka membenci mereka.
"Paman, tolonglah kami agar dapat lewat kota Tai-cou. Kami hendak melarikan diri ke ibukota Kerajaan Ceng," kata Syanti Dewi.
"Tentu saja hamba senang sekali kalau dapat menolong paduka. Marilah paduka berdua ikut bersama hamba ke tempat peristirahatan rombongan pedagang garam di kuil tua."
Syanti Dewi dan Ceng Ceng mengikuti mereka dan ketika mereka tiba di dalam kuil tua yang kini diterangi dengan api-api penerangan lilin, tampak oleh mereka bahwa jumlah rombongan pedagang garam itu ada tujuh belas orang! Ketua mereka adalah si kumis tebal tadi, maka begitu mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan yang mereka dengar diboyong ke Tiong-goan dan di tengah jalan rombongan puteri itu diserbu gerombolan pemberontak, mereka segera berlutut menghaturkan selamat dan dengan senang hati mereka ingin membantu dan melindungi puteri ini melewati kota Tai-cou dengan selamat.
"Kota terakhir di bawah kekuasaan Raja Muda Tambolon ini terjaga kuat sekali," kata si kumis tebal. "Jalan satu-satunya bagi sang puteri agar dapat lolos dengan selamat hanya dengan menyamar menjadi seorang di antara kita, menyamar sebagai pedagang garam dan bersama rombongan kita memikul garam memasuki kota."
Semua orang menyatakan setuju dan dengan tergesa-gesa dibuatlah dua stel pakaian pedagang garam untuk dipakai Syanti Dewi dan Ceng Ceng, juga mereka diberi masing-masing sebuah caping lebar bundar itu beserta sebuah pikulan terisi dua keranjang garam. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu berangkat meninggalkan dusun tanpa membangkitkan kecurigaan penduduk yang tidak tahu bahwa rombongan tujuh belas orang itu kini telah menjadi sembilan belas!
Perjalanan dari dusun itu menuju ke Tai-cou memakan waktu sehari. Di sepanjang perjalanan, para pedagang garam itu tentu saja membebaskan dua orang dara itu dari memikul garam dan hanya apabila mereka melewati dusun-dusun saja kedua orang dara itu harus memikul garam.
Menjelang sore, tibalah rombongan ini di depan pintu gerbang kota Tai-cou. Semua orang menjadi tegang hatinya ketika mereka tiba di pintu gerbang itu dan terpaksa harus berhenti karena akan dilakukan pemeriksaan oleh para penjaga pintu gerbang yang dikepalai oleh seorang perwira komandan yang tinggi besar, galak dan brewok. Kebetulan sekali ketika rombongan pedagang garam yang berjumlah sembilan belas orang ini tiba, di pintu gerbang itu tiba pula rombongan pedagang garam dari lain daerah yang jumlahnya dua puluh orang lebih sehingga keadaan di situ menjadi ramai sekali.
"Haiiii!" Sang komandan yang melompat ke atas sebuah meja berteriak dengan tangan di pinggang, lagaknya keras dan angkuh sekali. "Kalian harus masuk seorang demi seorang! Setiap keranjang akan diperiksa, juga setiap orang akan diperiksa baik-baik karena dikhawatirkan ada penyelundup! Kalau kami menangkap seorang saja penyelundup, kalian semua akan dihukum berat!"
Si kumis tebal sudah menyelinap dan mendekati komandan itu, berbisik perlahan sambil menyerahkan sebuah kantung berisi uang. "Maafkan, tai-ciangkun, kami tergesa-gesa sekali. Lihat, ada rombongan pedagang garam lain, kalau kami kalah dulu, tentu akan jatuh harga garam. Ini sedikit tanda terima kasih untuk tai-ciangkun dan kalau kami sudah menjual habis garam kami, tentu akan ditambah lagi...."
Perwira komandan itu menyambar kantung uang dan berkata keren, "Hemm.... kalian akan kuperbolehkan lewat lebih dahulu, akan tetapi tetap harus diperiksa! Keadaan sekarang gawat!"
Si kumis tebal sudah mundur dan wajahnya pucat. Kalau sampai diperiksa dan ketahuan bahwa dua orang di antara mereka adalah wanita, tentu akan terjadi keributan, apalagi kalau sampai sang puteri dikenal! Pada saat itu, terjadi keributan di bagian rombongan pedagang garam yang dua puluh orang lebih itu. Seorang pedagang garam yang mukanya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar, berteriak-teriak dan mencak-mencak, "Hayaaa.... celaka.... siapa menaruh ular-ular ini di keranjangku...." Tentu pedagang garam dari barat, keparat....!"
Terjadilah gaduh dan ribut karena memang tiba-tiba muncul banyak sekali ular-ular besar kecil di tempat itu! Ceng Ceng yang bermata tajam tadi melihat betapa pedagang garam yang bermuka hitam bopeng itu telah mengeluarkan bungkusan kain kuning dari dalam keranjang dan agaknya ular-ular itu keluar dari bungkusan itulah! Dan selagi Ceng Ceng termenung, tiba-tiba dia melihat betapa kaki si bopeng menendang seekor ular kecil. Ular itu melayang ke atas dan.... mengenai dada komandan yang berdiri di atas meja. Tidak ada yang melihat gerakan ini kecuali Ceng Ceng. Si komandan berteriak-teriak dan mengebut-ngebutkan pakaiannya.
"Basmi semua ular....!" teriaknya kepada para anak buahnya. "Hayo kalian segera maju, jangan memenuhi tempat ini!" Teriaknya kepada rombongan si kumis tebal.
Menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu, Ceng Ceng dan Syanti Dewi sudah memanggul pikulan masing-masing dan dengan desakan dari si kumis tebal mereka cepat memikul keranjang garam memasuki pintu gerbang.
"Haiii, diperiksa dulu.... eihhh, celaka....!" Komandan yang berteriak itu kembali terkejut karena ada seekor ular hijau melayang dan mengenai mukanya, hampir menggigit hidungnya!
Ceng Ceng dan Syanti Dewi dapat lolos dengan cepat, kemudian dilindungi oleh para temannya, kedua orang dara itu melepaskan pikulan dan tergesa-gesa berjalan memasuki kota Tai-cou. Karena dia tidak memikul garam, maka setelah keadaan gaduh di pintu gerbang itu mereda dan semua pedagang diperiksa, dalam rombongan itu tidak lagi terdapat dua orang wanita ini dan mereka tidak dipanggil karena tidak ada penjaga yang menyangka bahwa dua orang yang berjalan pergi tanpa membawa pikulan itu adalah anggauta rombongan pedagang garam. Apalagi karena semua penjaga tadi sibuk membunuhi ular-ular itu sehingga perhatian mereka terpecah.
Semalam suntuk itu kedua orang dara itu melarikan diri. Mereka maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat meninggalkan kota Tai-cou, keadaan mereka masih terancam bahaya besar, sungguhpun sampai saat itu tidak ada yang mencurigai mereka. Dengan mudah mereka telah lolos dari Tai-cou, keluar dari sebelah utara dan menempuh perjalanan di sepanjang malam yang gelap tanpa arah tujuan tertentu kecuali hanya satu keinginan, yaitu melarikan diri sejauh mungkin dari Tai-cou yang merupakan benteng terakhir dari kekuasaan Tambolon. Dan mereka hanya tahu bahwa mereka melarikan diri menuju ke timur. Dengan melihat letaknya bintang, mereka dapat mengarahkan kaki menuju ke timur.
Pada keesokan harinya, mereka beristirahat sebentar di sebuah hutan, makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal dari pemberian para pedagang garam, minum air jernih yang mereka dapatkan di hutan itu, kemudian berbaring di atas rumput melepaskan lelah.
"Aihhhhh.... bukan main nyamannya rebah begini...." Sang Puteri Syanti Dewi mengeluh nikmat. "Dan roti kering tadi, betapa lezatnya, air jernih itu juga menyegarkan sekali. Belum pernah selama hidupku aku dapat menlkmati makan-minum dan tiduran seperti ini!"
Mendengar Ini, Ceng Ceng tertawa bebas sampai kelihatan deretan gigi dan lidahnya. Karena di situ tidak ada orang lain, maka dia tertawa sebebasnya. Mendengar ini, Syanti Dewi memandang heran. "Eh, kau kenapa, adik Candra" Mengapa tertawa segembira itu"
"Aku geli mendengarkan ucapanmu tadi, enci Syanti, dan mungkin aku tertawa karena merasa lega dan gembira telah terbebas dari bahaya. Ucapanmu tadi membuat aku teringat akan dongeng tentang raja yang tidak suka makan dan tidak dapat tidur. Raja itu meninggalkan istana karena merasa jengkel, dan di tengah hutan dia melihat seorang petani mencangkul tanah lalu makan dengan lahapnya. Raja lalu membantu si petani, mencangkul tanah untuk mendapatkan semangkok nasi dan lauknya yang hanya terdiri dari ikan asin, dan minumnya yang hanya terdiri dari air jernih. Setelah dia selesai bekerja keras sampai tangannya lecet-lecet dan tubuhnya lelah bukan main, dia memperoleh makan minum itu dan menikmatinya seperti belum pernah dirasakannya selama hidupnya! Persis seperti keadaanmu ini! Engkau adalah seorang puteri raja yang tiap hari makan hidangan yang serba mahal, sekarang makan roti kering minum air jernih, tidurmu bukan di dalam kamar indah dan berlandaskan kasur tebal melainkan di hutan, di atas rumput, namun engkau merasa nikmat sekali! Hi-hik, bukankah lucu ini"
Syanti Dewi tertawa juga. "Kausamakan aku dengan raja dalam dongeng" Jangan begitu, ah! Dia sih pemalas, kalau aku kan tidak! Akan tetapi akupun heran sekali mengapa aku dapat menikmati ini semua. Pengalaman ini membuka mataku, adik Chandra, bahwa yang dikatakan enak atau tak enak, menyenangkan atau tak menyenangkan, sama sekali bukanlah bergantung kepada keadaan di luar, melainkan kepada hati sendiri! Kepada hati dan kepada tubuh, pendeknya bergantung kepada diri sendiri. Lezatnya makanan bukan berada di mangkok, baik buruknya sesuatu bukan ada di depan kita, melainkan di dalam diri kita sendiri. Pikiranku sekarang sedang lega karena lepas dari bencana, tubuh lelah dan perut lapar. Tentu saja segala makanan dan minuman terasa lezat sekali! Rumput ini jauh lebih nikmat ditiduri daripada segala macam kasur bulu karena sekarang tubuhku sedang lelah sekali. Jadi kalau begitu.... pernyataan bahwa ini enak itu tak enak, ini baik itu tak baik, bukan kenyataan sebenarnya, melainkan pendapat hati yang dipengaruhi oleh keadaan waktu itu."
"Hemm.... lalu bagaimana" Ceng Ceng mengerutkan alisnya yang berbentuk bagus, matanya memandang dengan sinar gembira karena dia mulai dapat menangkap yang dimaksudkan dalam ucapan kakak angkatnya itu.
"Kalau begitu.... tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini. Kita sendiri yang menentukan! Dan.... ah, aku jadi bingung sendiri menghadapi kenyataan yang jelas ini! Biasanya kita selalu dipermainkan oleh pikiran sendiri yang suka mengada-ada saja!"
Ceng Ceng sudah tak dapat menjawab karena dia hampir tidak dapat menahan kantuknya, hanya mengangguk lemah dan menutupi mulut dengan jari tangan menahan mulut yang ingin menguap saja. Tak lama kemudian, kedua orang dara itu sudah tertidur pulas di bawah pohon, berlandaskan rumput yang lunak. Tubuh yang lelah menuntut istirahat setelah perut yang lapar diisi kenyang.
Matahari telah naik tinggi ketika kedua orang dara itu terbangun dan mereka menjadi terkejut melihat bahwa hari telah siang. Mula-mula Syanti Dewi yang terbangun lebih dulu. Dia terbangun seperti orang kaget dan bangkit duduk, menggosok kedua matanya dan mengeluh lirih. "Uuhh, kiranya hanya mimpi...." bisiknya karena dia telah mimpi tertangkap dan dihadapkan kepada Raja Muda Tambolon! Ketika mendapat kenyataan bahwa matahari telah naik tinggi, dia menoleh kepada Ceng Ceng.
"Haiii, adik Candra! Bangun! Sudah siang....!" Dia mengguncang pundak adik angkatnya itu.
Ceng Ceng terbangun dan bangkit duduk, menahan kuapnya dengan punggung tangan kiri. "Wah, keenakan tidur, enci Syanti. Rasanya malas untuk bangun!"
"Hushh, jangan malas! Matahari telah naik tinggi dan kita enak-enak tidur di sini. Perjalanan masih amat jauh, mari kita lanjutkan, adikku."
Ceng Ceng sudah bangun berdiri dan kini teringatlah dia akan keadaan mereka. "Aihh, hampir aku lupa bahwa kita adalah pelarian yang dikejar musuh! Mari, enci Syanti Dewi!"
Ketika dua orang dara itu melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Ceng Ceng memegang lengan puteri dan berbisik sambil menuding ke kanan, "Lihat itu....!"
Syanti Dewi menengok, dan sang puteri menutupkan tangan ke depan mulut menahan jeritnya. Tak jauh dari situ tampak tubuh seorang laki-laki setengah tua rebah di atas tanah, sudah menjadi mayat dan mukanya yang terlentang itu memperlihatkan sepasang mata yang terbelalak lebar tanpa sinar. Di tenggorokan orang itu tampak luka berlubang dan darah masih menetes dari luka itu, tanda bahwa orang ini belum lama terbunuh.
"Dan di sana itu.... lihat, enci!" Kembali Ceng Ceng berbisik. Kakak angkatnya menengok dan makin terkejut karena di sebelah kiri, hanya terpisah belasan meter dari situ, juga tampak sebuah mayat yang lehernya berlubang! Mereka berdua saling pandang, kemudian Ceng Ceng menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya mencelat ke atas pohon besar dan dari tempat tinggi ini Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memeriksa. Namun tidak tampak bayangan seorangpun manusia dan dari tempat tinggi itu dia melihat bahwa bukan hanya ada dua orang mayat di situ, melainkan ada delapan orang! Delapan orang telah mengurung tempat dia dan kakak angkatnya tidur tadi dan kini delapan orang itu telah mati semua dengan leher berlubang, mungkin terkena senjata rahasia yang ampuh! Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, dia turun lagi dan menceritakan kepada kakak angkatnya apa yang telah dilihatnya dari tempat tinggi tadi.
"Ahhh, kalau begitu, tentu mereka itu musuh yang tadinya mengepung kita, dan ada sahabat yang telah menolong kita," kata sang puteri.
Ceng Ceng mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. Dia juga dapat menduga demikian, akan tetapi hatinya tidak senang kepada penolongnya yang bersikap rahasia itu! Kalau memang orang bersahabat, mengapa tidak menolong secara berterang" Pula, diapun belum dapat yakin benar bahwa delapan mayat itu adalah fihak musuh.
"Lebih baik kita cepat pergi dari sini, enci," katanya. Syanti Dewi mengangguk dan berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Sore hari mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, sebuah dusun yang cukup besar di kaki gunung. Karena letaknya yang terpencil ini, maka dusun itu agaknya menjadi pos peristirahatan mereka yang melakukan perjalanan di daerah itu, dan di situ terdapat pula sebuah rumah penginapan sederhana dan sebuah warung nasi. Karena merasa ngeri dengan pengalaman mereka tadi, dua orang gadis itu mengambil keputusan untuk bermalam di rumah penginapan.
Para pelayan rumah penginapan hanya sebentar memandang dengan heran karena dalam keadaan kacau seperti itu, daerah yang sering kali terjadi perang antara pasukan Raja Muda Tambolon melawan pasukan Ceng atau pasukan Bhutan, tak terlalu mengherankan melihat dua orang gadis yang berpakaian seperti petani biasa dan memakai caping lebar, melakukan perjalanan berdua saja. Banyak sudah wanita-wanita muda yang ketakutan akan perang melarikan diri ke timur karena sudah terkenal betapa pasukan anak buah Raja Muda Tambolon amat kejam terhadap tawanan wanita, apalagi yang masih muda dan cantik. Tentu wanita itu akan dijadikan perebutan dan akan dipermainkan oleh banyak orang sampai mati dalam keadaan menyedihkan dan mengerikan sekali.
"Ji-wi kouwnio hendak menginap" tanya seorang pelayan dengan sikap ramah.
Ceng Ceng merogoh saku dan mengeluarkan potongan perak. Dia memperlihatkan perak itu sambil berkata, "Kami membutuhkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur, harap pilihkan yang bersih."
Melihat potongan perak itu, sikap si pelayan bertambah hormat. Dia maklum bahwa yang membawa uang perak dalam perjalanan hanyalah orang-orang dari kalangan "atas" kalau bukan puteri-puteri hartawan tentulah wanita-wanita kang-ouw yang membekal banyak uang. Sambil mengangguk dan tersenyum lebar dia menjawab, "Harap ji-wi jangan khawatir. Mari, silahkan masuk!"
Tentu saja kamar yang bersih dalam rumah penginapan itu sebetulnya masih terlalu kotor bagi Syanti Dewi karena kamar yang katanya paling bersih itu masih jauh lebih kotor daripada kamar dapur di istananya!
Setelah mencuci muka dan makan malam, kedua orang dara itu duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka dan bercakap-cakap dengan suara perlahan setengah berbisik. "Aku khawatir bahwa peristiwa di hutan itu akan ada lanjutannya, enci Syanti. Yang jelas saja, delapan orang itu mati tentu ada yang membunuh, dan si pembunuh tentu tahu akan keadaan kita. Aku merasa seolah-olah kita di sinipun sedang diawasi orang."
Syanti Dewi mengangguk. "Akupun mempunyai perasaan demikian, Candra. Akan tetapi, kurasa orang yang membunuh mereka itu bukanlah musuh. Kalau musuh, tentu dia atau mereka sudah turun tangan ketika kita tertidur di hutan!"
"Perjalanan kita masih amat jauh dan biarpun kita sudah meliwati kota Tai-cou, namun kita akan melewati daerah yang sama sekali tidak kita kenal dan menurut kong-kong.... eh, mendiang kong-kong...." Sampai di sini, Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan ucapannya karena lehernya terasa seperti dicekik ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan jenazahnya pun tidak sampai terkubur!
Syanti Dewi mengerti akan keharuan hati adiknya, maka dia merangkul sambil berkata, "Ahhh, kong-kongmu telah berkorban nyawa demi keselamatanku, adikku! Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kong-kongmu itu ...."
Ceng Ceng cepat menekan hatinya dan dia berkata agak keras, "Jangan berkata begitu, enci!"
Sejenak mereka termenung, kemudian terdengar lagi Syanti Dewi berkata, "Engkau adalah seorang dara perkasa, dan di dalam tubuhmu mengalir darah keturunan petualang kang-ouw yang berani dan perkasa! Agaknya, bagimu keadaan kita ini tidaklah terasa berat, Candra. Akan tetapi aku....! Sejak kecil aku hidup mewah dan senang, sekarang, aku harus menderita kesengsaraan seperti ini, maka tak mengherankan kalau aku sampai bersikap cengeng, adikku. Bagaimana aku tidak akan berduka" Bukan hanya kong-kongmu tewas, juga menurut cerita para pedagang garam, sebagian besar para anggota rombongan yang mengawalku tewas dalam perang. Dan semua ini gara-gara aku seorang! Bahkan sekarang, engkau adikku yang tercinta, engkaupun harus menderita karena mengawalku!"
Ceng Ceng tertawa. "Siapa bilang aku menderita, enci" Aku sama sekali tidak menderita!"
"Apa" Tak usah berpura-pura. Pakaian kitapun hanya yang menempel di tubuh kita! Tak pernah dapat berganti pakaian, padahal sudah berapa lama" Seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan aku berani bertaruh bahwa tentu ada kutu di pakaian kita."
Tiba-tiba Ceng Ceng menggaruk-garuk dada kirinya dan kelihatan dia merasa ngeri. Aih, jangan bicara tentang kutu, enci! Marilah kita pikirkan dengan tenang dan sejujurnya. Benar bahwa engkau adalah seorang puteri yang tidak pernah menderita kesengsaraan hidup. Akan tetapi apa bedanya dengan aku" Akupun hanya seorang gadis dusun yang belum pernah melakukan perantauan. Keadaan kita sama saja, enci. Akan tetapi betapa pun juga, kita tidak boleh putus asa, tidak boleh merasa gelisah. Kegelisahan hanya akan membuat kita tidak tenang dan mengurangi kewaspadaan kita. Biarlah kita saling melindungi dan aku bersumpah bahwa aku takkan meninggalkanmu, aku pasti akan dapat memenuhi pesan mendiang kong-kong, yaitu mengantarkan enci sampai ke kota raja dan di sana kita bisa minta bantuan Puteri Milana seperti yang dipesankan kong-kong."
Melihat sikap Ceng Ceng yang penuh semangat itu, bangkit pula semangat Puteri Syanti Dewi. Dia mengepal tinju dan berkata, "Ah, kiranya tidak percuma pula aku dahulu tekun mempelajari ilmu silat, apalagi memperoleh petunjuk-petunjukmu, adik Candra. Saat ini, aku bukan puteri kerajaan, melainkan seorang dara kang-ouw yang berpetualang dan siap menghadapi bahaya apapun juga! Kalau ada bahaya mengancam, hemmm.... haiittt....!" Puteri itu membuat gerakan silat dengan kaki tangannya, seolah-olah dia mengamuk dan merobohkan para pengeroyoknya. Sikapnya lincah dan lucu sehingga Ceng Ceng tertawa dan merangkul kakak angkatnya itu.
"Bagus! Begitulah seharusnya, enci. Kita seperti sepasang burung yang terbang lepas di udara. Bebas dan kita boleh berbuat apa saja menurut kehendak kita sendiri. Bukankah itu menyenangkan sekali" Coba, kalau kita masih berada di istana, lalu enci ingin makan roti kering dan air, ingin menginap di kamar yang begini bersahaja, tentu akan dilarang oleh sri baginda!"
Kedua orang dara itu bercakap-cakap sambil bersenda-gurau dan mereka sudah lupa lagi akan peristiwa siang tadi di hutan. Tak lama kemudian dua orang dara itu telah tidur nyenyak saling berpelukan di atas sebuah pembaringan dan membiarkan pembaringan ke dua kosong. Dengan berdekatan di waktu tidur, mereka lebih besar hati dan aman!
Kurang lebih lewat tengah malam kedua orang gadis itu terbangun karena kaget mendengar suara gaduh di atas kamar mereka. Mula-mula Ceng Ceng yang terbangun lebih dulu dan otomatis dia meloncat turun dari pembaringan. Pada saat itu Syanti Dewi juga terbangun dan puteri ini berbisik, "Suara apa itu...."
Ceng Ceng sudah menyambar bungkusan perhiasan dan topi mereka yang tadi mereka taruh di atas meja, menyimpan bungkusan di dalam saku bajunya yang lebar, menyerahkan topi caping yang sebuah kepada puteri itu sambil berbisik, "Sstttt, ada orang bertempur di atas genting...."
Keduanya sudah siap dan mencurahkan perhatiannya ke atas. Makin jelas kini suara orang bertanding di atas dan menurut dugaan Ceng Ceng yang lebih tajam pendengarannya, sedikitnya ada lima orang bertanding di atas genteng kamarnya. Dan mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi karena biarpun mereka bergerak cepat, namun tidak ada kaki yang memecahkan genteng yang diinjak. Yang terdengar hanya suara angin menyambar-nyambar, angin senjata tajam dan kadang-kadang terdengar suara nyaring beradunya senjata tajam.
Tiba-tiba di antara suara beradunya senjata dan berdesingnya angin gerakan senjata tajam, terdengar suara seorang laki-laki berpantun, suaranya nyaring dan seperti tidak ada artinya, namun bagi sepasang gadis itu pantun yang dinyanyikan memiliki arti penting. Yang mengherankan hati Ceng Ceng dan mendebarkan adalah suara itu, seperti suara yang telah dikenalnya!
"Sepasang merpati terkurung tiada jalan terbang lari,dihadang depan belakang
maut mengintai dari utaradi sepanjang lembah sungai!"
"Enci Syanti, mari kita cepat lari....!"
Puteri itu meragu. "Mengapa lari" Di luar.... bukankah lebih berbahaya" Kita berjaga di sini dan kalau ada bahaya baru kita membela diri."
"Sssttt.... kauturutlah aku, enci. Cepat!" Ceng Ceng sudah menggandeng tangan puteri itu, menariknya keluar dari kamar terus berlari melalui belakang rumah penginapan. Pintu belakang rumah penginapan itu masih tertutup. Ceng Ceng membuka palang pintu, kemudian mereka berdua meloncat ke dalam gelap, melalui pintu belakang dan terus lari tanpa menoleh lagi.
"Kita lari ke mana, Candra" puteri itu bertanya, heran mengapa adik angkatnya ini tahpa ragu-ragu melarikan diri ke arah tertentu.
"Enci, ingat kata-kata terakhir di setiap baris pantun tadi. Lima kata-kata itu adalah terkurung-lari-belakang-utara-sungai! Nah, yang berpantun itu adalah seorang sahabat atau penolong yang menganjurkan kita lari karena kita telah terkurung dan kita dianjurkan lari melalui pintu belakang, menuju ke utara dan kalau aku tidak salah menduga, kita akan tiba di sebuah sungai."
Syanti Dewi terkejut dan juga kagum akan kecerdikan adik angkatnya, akan tetapi juga ingin sekali tahu siapa orang yang berpantun dan yang menolong mereka itu.
"Dia siapa, adik Candra" tanyanya sambil terus berlari di samping adiknya.
"Entahlah, akan tetapi suaranya seperti.... heiii!" Tiba-tiba Ceng Ceng menghentikan larinya karena dia kini teringat akan suara itu. "Tentu saja dia orangnya!"
"Apa katamu" Syanti Dewi berusaha menyelidiki muka Ceng Ceng di dalam gelap itu. "Dia siapa"
"Penolong kita itu, yang berpantun tadi.... suaranya seperti si muka bopeng yang membikin ribut dengan ular-ular di Tai-cou itu dan.... dan.... wah, tidak mungkin salah, tentu dia orang pandai yang menolong kita."
Tiba-tiba Ceng Ceng menarik tangan Syanti Dewi dan dia sendiri sudah melepas topi capingnya, menggunakan benda itu untuk menghantam ke kanan, ke arah bayangan yang berkelebat dan tadi dilihat bayangan itu hendak menangkap Syanti Dewi.
"Prakkkk!"
Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan caping di tangannya itu hancur berantakan. Dara ini kaget bukan main. Dia menyerang bayangan itu dengan caping biasa, akan tetapi dia sudah mengerahkan sin-kangnya sehingga bagi lawan yang ilmunya tidak amat tinggi, serangannya itu sudah cukup hebat dan dapat merobohkan orang. Akan tetapi, bayangan itu menangkis dengan lengannya, akibatnya tidak hanya capingnya yang hancur, juga dia sampai terhuyung saking kuatnya tenaga orang yang menangkisnya itu! Dia teringat akan pesan kong-kongnya bahwa di pedalaman banyak sekali terdapat orang pandai maka tanpa menanti orang tadi bergerak, dia sudah menerjang ke depan, menggunakan sepasang pisau belati yang disimpan di sebelah dalam bajunya.
"Hyaaatttt....!" Dara perkasa ini mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya menerjang cepat dan sepasang pisaunya menyambar dari kanan kiri, yang kanan mengarah lambung, yang kiri mengarah leher. Serangan yang dahsyat dan lihai sekali, apalagi dilakukan dalam cuaca yang gelap!
"Plak-plak.... wuuuutttt....!"
Kembali Ceng Ceng tercengang dan kaget. Orang itu telah dapat menangkis serangan dalam gelap, menangkis lengan kanan kiri bahkan telapak tangan orang itu menyambar hendak mencengkeram ubun-ubun kepalanya. Untung dia dapat mengelak cepat, kalau tidak, sekali kepalanya kena dicengkeram oleh tangan yang dia tahu amat kuat itu, akan celakalah dia! Kini, bayangan itu menerjangnya dengan kecepatan yang mengerikan.
Namun Ceng Ceng tidak menjadi gentar, dia menggerakkan kedua tangannya yang memegang pisau, melindungi tubuhnya dan sekaligus dia menggerakkan kepalanya sehingga kuncir rambutnya menyambar seperti seekor ular hidup ke arah mata orang itu!
"Sing, sing.... plakk!" Ceng Ceng mengeluarkan teriakan kaget karena selain sepasang pisaunya dapat dielakkan orang, juga kuncirnya hampir saja dapat ditangkap kalau saja dia tidak dapat melepaskan tendangan yang amat kuat dan membuat lawan itu terpaksa menarik kembali tangannya yang akan menangkap kuncir. Akan tetapi tiba-tiba tubuh orang itu mencelat ke depan dan sebelum Ceng Ceng dapat mencegahnya, bayangan itu sudah menangkap Syanti Dewi! Puteri ini memekik dan berusaha memukul, akan tetapi tingkat kepandaian puteri ini masih jauh sekali di bawah tingkat lawannya yang amat lihai, maka sekali orang itu menggerakkan tangan, tubuh itu telah menjadi lemas tertotok dan dia telah dipondong!
"Jahanam, lepaskan dia!" Ceng Ceng sudah menerjang maju dengan lompatan dahsyat. Hatinya marah bukan main dan sedikitpun dia tidak takut menghadapi lawan yang tangguh itu, yang dia khawatirkan adalah Puteri Syanti Dewi, maka begitu menerjang maju dia telah menggunakan sepasang pisaunya untuk menyerang dan berusaha merampas tubuh Syanti Dewi yang telah dipondong orang itu. Akan tetapi, ternyata lawan gelap itu lihai bukan main, gerakannya ringan sekali sehingga dia dapat mengelak dengan melompat ke kanan kiri. Selain lawan memang lihai, juga Ceng Ceng merasa kurang leluasa gerakannya karena dia takut kalau-kalau senjatanya mengenai tubuh enci angkatnya. Kemudian dengan beberapa lompatan jauh, orang itu melarikan diri meninggalkan Ceng Ceng.
"Iblis, hendak lari ke mana kau" Ceng Ceng tentu saja mengejar secepatnya. Namun dia kalah cepat dan hal ini terutama sekali disebabkan karena Ceng Ceng belum hafal akan keadaan di situ sehingga tentu saja dalam berlari cepat dia harus berhati-hati agar jangan sampai terjatuh dan ketinggalan makin jauh lagi. Dia sudah mulai gelisah sekali karena orang yang melarikan Syanti Dewi itu makin jauh meninggalkannya ketika tiba-tiba orang itu berteriak dan roboh terguling! Tubuh Syanti Dewi yang masih lemas tertotok, juga ikut terguling, akan tetapi ada tangan menyambarnya dan tubuh itu seketika terbebas dari totokan. Syanti Dewi mengeluh dan cepat menjauhkan diri sambil terhuyung-huyung dan berpegang kepada sebatang pohon. Ketika Ceng Ceng tiba di tempat itu, orang yang melarikan Syanti Dewi tadi telah lari, dikejar bayangan lain yang agaknya tadi merobohkan penculik itu dan membebaskan totokan Syanti Dewi. Dalam sekejap mata saja dua bayangan yang berkejaran itu telah lenyap dari situ.
"Engkau tidak apa-apa, enci"
Syanti Dewi menggeleng kepalanya.
Ceng Ceng merasa gembira, cepat dia memegang lengan puteri itu dan diajaknya terus lari ke utara, seperti yang dipesankan dalam pantun oleh penolong mereka yang aneh. Siapakah penolong itu" Apakah yang menolong Syanti Dewi dari tangan penculik itupun sama orangnya dengan yang berpantun di atas kamar penginapan sambil bertanding, dan sama pula dengan si muka bopeng yang melepas ular di pintu gerbang Tai-cou" Ceng Ceng merasa heran dan bingung. Kalau benar orangnya hanya satu, tentu orang itu lihai bukan main. Dia tahu betapa orang-orang yang bertanding di atas kamar penginapan itu memiliki gin-kang yang amat tinggi, dan kalau penolongnya hanya seorang, berarti dia itu dikeroyok! Tadipun dia mendapat kenyataan yang tak mungkin dibantah bahwa penculik Syanti Dewi adalah orang lihai yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada dia. Namun penolong itu dalam segebrakan saja mampu merampas Syanti Dewi!
Selain itu, juga hatinya khawatir sekali. Mudah saja diduga bahwa fihak musuh sudah mengenal penyamaran mereka, sudah tahu bahwa yang menyamar sebagai gadis-gadis petani itu, yang seorang adalah Syanti Dewi. Bahkan di dalam gelap, penculik tadi sudah dapat menentukan mana yang harus diculiknya! Kalau begini, berbahayalah!
"Mari cepat, enci!" Dia berkata dan mereka berlari secepatnya. Namun, betapapun mereka hendak bersicepat, tetap saja mereka menabrak pohon! Apalagi ketika mereka tiba di sebuah hutan yang penuh pohon. Mereka tidak dapat berlari lagi dengan baik, hanya meraba-raba dan menyelinap di antara pohon-pohon, kadang-kadang hampir terguling karena kaki mereka terjerat akar pohon atau semak-semak.
Dengan napas terengah-engah Syanti Dewi mengeluh, "Aduuhhh.... kita berhenti dulu.... ah, lelah sekali...."
"Jangan, enci. Banyak musuh yang lihai.... mereka sudah mengenal engkau!"
Ucapan Ceng Ceng ini membuat sang puteri terkejut sekali. "Be.... benarkah mereka telah mengenalku" Celaka.... hayo.... hayo lari cepat...." Kini Syanti Dewi yang lari lebih dulu, lari dengan nekat karena takut! Dia merasa ngeri kalau sampai tertawan dan dibawa kepada Raja Muda Tambolon.... ah, tidak berani dia membayangkan nasib seperti itu, maka dia lari secepatnya.
"Enci.... hati-hati.... !" Kini Ceng Ceng yang merasa khawatir melihat puteri itu lari cepat dengan nekat tanpa melihat-lihat ke depan.
"Oughhhh....!" Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit, tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang!
"Enci Syanti....!" Ceng Ceng menjerit dan cepat menjatuhkan diri menelungkup, kemudian merangkak mendekati jurang yang hanya kelihatan menghitam di dalam gelap. Dapat dibayangkan, betapa gelisah hatinya. Sang puteri terjerumus ke dalam jurang yang gelap!
"Enci Syanti....!" Dia berteriak ke bawah, ke arah sumur menghitam yang menganga di depannya. Sampai lama tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Akan tetapi selagi dia hendak memanggil lagi, terdengar suara lemah dari bawah, "Adik Candra....!"
Jantung Ceng Ceng berdebar girang, akan tetapi bulu tengkuknya meremang juga. Terjerumus ke dalam jurang segelap itu, benar-benarkah sang puteri masih hidup dan selamat" Jangan-jangan yang memanggil tadi adalah.... arwahnya! Ceng Ceng menggunakan tangan kiri mengusap tengkuknya yang meremang lalu menjulurkan tubuh atasnya ke dalam sambil berteriak lagi, "Enci Syanti.... di mana engkau...."
"Aku di sini....aku selamat, Candra. Untung ada pohon di sini yang menahan tubuhku. Tidak jauh, aku dapat melihatmu dari sini, mungkin kau tidak dapat melihat karena di bawah gelap. Lekas kau cari tali tidak perlu panjang kurasa sepuluh kaki cukuplah.... aku dapat memanjat ke atas melalui tali...."
Girang sekali rasa hati Ceng Ceng. Kini dia dapat menangkap suara puteri itu dan memang tidak jauh di bawah. Sepuluh kaki" "Enci, hanya sepuluh kaki, mengapa kau tidak meloncat saja"
"Ah, tidak mungkin. Pohon ini kecil, kalau dipakai landasan meloncat mungkin tidak kuat. Pula, begini gelap, bagaimana aku dapat meloncat dengan tepat ke atas" Lekas cari tali...."
Ceng Ceng bingung lagi. Ke mana harus mencari tali di dalam gelap seperti itu, apalagi di dalam hutan" Akhirnya dia mendapat akal baik. Tanpa ragu-ragu lagi ditanggalkannya semua pakaiannya setelah dia mengeluarkan perhiasan dan uang perak dan emas ke atas tanah. Ditanggalkannya bajunya, celananya, baju dalam dan celana dalam. Seluruh pakaiannya ditanggalkan sehingga dia menjadi telanjang bulat sama sekali! Kemudian, sambil meraba-raba, dia sambung-sambungkan semua pakaian itu setelah digulungnya sehingga merupakan gulungan kain yang bersambung-sambung, yang kemudian, dengan tubuh telanjang bulat, dia bertiarap di tepi jurang, menggulung-gulungkan kain itu sambil berteriak, "Enci Syanti.... ini talinya....!"
"Ke sini, Candra sebelah sini....!" Terdengar jawaban dari bawah dan Ceng Ceng mengulur tali ke arah suara itu.
Tak lama kemudian tali menegang, telah dapat terpegang oleh Syanti Dewi.
"Eh, dari mana kau memperoleh tali kain ini...."
"Naiklah, enci. Ujung sini sudah kupegang erat. Hati-hati...."
Ceng Ceng mengerahkan tenaganya menahan ketika Syanti Dewi mulai memanjat naik. Tak lama kemudian, puteri itu sudah meloncat ke atas tanah. Dia menubruk Ceng Ceng dan keduanya saling berpelukan dan menangis! Menangis karena girang dan bersyukur bahwa Syanti Dewi selamat dari bahaya maut yang mengerikan itu.
"Heiii....! Kau.... kau.... telanjang bulat....!" Tiba-tiba Syanti Dewi berseru kaget dan heran sambil meraba-raba tubuh Ceng Ceng. Ceng Ceng menggeliat kegelian dan memegang tangan Syanti Dewi.
"Itulah tali yang memancingmu keluar jurang, enci!"
Syanti Dewi tertawa, dan keduanya tertawa-tawa gembira ketika Ceng Ceng mulai memakai lagi pakaiannya yang tadi telah dipergunakan untuk menyelamatkan nyawa enci angkatnya. Kini dia merasa tubuhnya panas dingin kalau membayangkan betapa akan jadinya kalau hal itu terjadi di siang hari dan kebetulan ada orang melihat dia bertelanjang bulat seperti seorang bayi tadi!
"Mari kita mencari tempat untuk beristirahat, enci. Malam terlalu gelap. Melanjutkan perjalanan berbahaya sekali, apa lagi kita sudah memasuki hutan di pegunungan. Masih untung Thian melindungimu ketika kau terjerumus tadi. Kalau tidak ada pohon itu, apa jadinya"
"Ahh, paling-paling mati, adikku! Dan agaknya hal itu leblh baik daripada jatuh ke tangan Tambolon."
"Jangan putus asa, enci. Aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku "
Mereka melanjutkan perjalanan, kini dengan hati-hati sekali dan setelah mereka mendapatkan sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan, yaitu di bawah pohon yang diapit-apit oleh batu gunung yang besar, keduanya berhenti dan duduk beristirahat di atas rumput, bersandar kepada batu gunung. Mereka berusaha untuk melepaskan lelah dan beristirahat secukupnya.
"Tidurlah, enci Syanti, biarlah aku menjaga di sini."
"Hemm, dinginnya bukan main. Mana bisa tidur" Bagaimana kalau kita membuat api unggun"
"Ah, berbahaya, enci. Api unggun akan menarik perhatian orang, dan pula dapat kelihatan dari tempat jauh."
Tubuh mereka memang dapat beristirahat, akan tetapi hati mereka selalu tegang dan siap siaga menghadapi segala bahaya yang mungkin datang menimpa. Malam itu gelap bukan main, agaknya bintang-bintang di langit dihalangi awan hitam. Dalam keadaan segelap itu, di dalam hutan yang asing, apalagi setelah mengalami hal-hal yang mengerikan, kedua orang dara itu tentu saja merasa khawatir dan gelisah. Mereka duduk berhimpit bersandarkan batu, mata mencoba menembus kegelapan malam dan memandang ke kanan kiri, telinga mereka dicurahkan untuk mendengar apa yang tak dapat dilihat mata. Mereka selalu merasa seolah-olah diikuti oleh sesuatu, entah manusia, binatang atau setan! Bahkan ketika sedang duduk di tempat itu, mereka merasa ada mata yang memandang mereka, ada sesuatu yang memperhatikan mereka! Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka. Syanti Dewi adalah seorang puteri yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan seorang diri seperti itu, apalagi malam-malam berkeliaran di dalam hutan gelap! Adapun Ceng Ceng, biar dia seorang dara perkasa yang sejak kecilnya digembleng oleh kakeknya, namun perjalanan seperti inipun baru pertama kali dia alami bersama Syanti Dewi itu.
Mereka makin berhimpitan dan makin siap dengan jantung berdebar tegang sekali ketika di dalam kegelapan malam pekat itu mereka seperti mendengar suara-suara yang aneh. Beberapa kali mereka mendengar suara gerengan dari tempat agak jauh, suara lolong anjing, dan lapat-lapat seperti ada orang bernyanyi! Mula-mula suara aneh itu seperti lewat terbawa angin lalu, akan tetapi kadang-kadang terdengar dekat sekali, bahkan mereka seperti mendengar suara langkah kaki orang di sekeliling mereka!
Tentu saja semalam suntuk mereka tidak mampu tidur sama sekali. Dengan tinju terkepal kedua orang dara itu duduk bersandar batu, seluruh urat syarat mereka menegang karena mereka menduga bahwa sewaktu-waktu tentu akan muncul musuh mereka. Mata dan telinga mereka siap dengan penuh perhatian meneliti keadaan di depan, kanan dan kiri karena mereka tidak mengkhawatirkan musuh akan datang menyerang mereka dari belakang yang terlindung oleh batu gunung yang besar dan tinggi. Akan tetapi, tidak ada sesuatu terjadi! Bahkan menjelang pagi, suara itu lenyap sama sekali.
Setelah sinar matahari pagi mulai mengusir embun dan kegelapan, keduanya bangkit berdiri. "Hayo kita tinggalkan tempat yang menyeramkan ini, enci Syanti," kata Ceng Ceng, lega bahwa malam itu dapat mereka lewatkan dengan selamat.
"Suara apakah semalam, Candra" Menyeramkan sekali!"
"Entahlah, mungkin kita salah memilih tempat. Mungkin di sini sebuah perkampungan siluman yang tentu saja tidak tampak."
Syanti Dewi bergidik, memegang tangan adik angkatnya dan bergegas mereka melanjutkan perjalanan menuju ke utara meninggalkan tempat menyeramkan itu. Tubuh mereka terasa letih dan mengantuk, akan tetapi hati lega karena mereka dapat meninggalkan tempat itu.
"Haiii.... banyak bangkai anjing di sini....!" Tiba-tiba Ceng Ceng berseru heran ketika mereka keluar dari tempat itu dan melihat belasan ekor anjing serigala telah menggeletak malang melintang dalam keadaan mati, ada yang lehernya hampir putus, ada yang kepalanya pecah. Darah yang masih belum kering betul menunjukkan bahwa gerombolan srigala ini dibunuh orang semalam!
"Kalau begitu lolong anjing semalam bukanlah suara siluman, melainkan suara mereka ini!" bisik Syanti Dewi sambil menengok ke kanan kiri.
Juga Ceng Ceng menoleh ke kanan kiri, depan belakang sambil memandang penuh selidik. "Heran sekali, siapa yang membunuh mereka semalam" Aku mendengar suara orang, seperti orang bernyanyi...."
"Aku juga!" kata Syanti Dewi. Semalam ketika mendengar suara-suara itu, keduanya diam saja karena merasa ngeri.
"Dan ada suara langkah-langkah kaki orang...."
"Benar, akupun mendengarnya."
"Hemmm, kalau begitu, kita masih terus dibayangi orang, enci."
"Siapa dia gerangan"
"Tidak perduli siapa, aku tidak takut!" Ceng Ceng menjadi penasaran dan sudah mencabut sepasang pisau belatinya. Dengan mengangkat dadanya yang mulai membusung itu dia berteriak, "Heiii, orang yang membayangi kami, hayo keluar kalau memang engkau seorang gagah! Kalau ada niat busuk, mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Akan tetapi dara itu seperti menantang angin karena yang menjawabnya hanya bunyi angin berdesir mempermainkan ujung-ujung ranting pohon. Setelah yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dua orang dara itu melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, kembali mereka tertegun ketika melihat bangkai dua ekor harimau yang besar juga. Seperti juga gerombolan srigala tadi, dua ekor harimau itu belum lama dibunuh orang. Ketika Ceng Ceng memeriksa, diam-diam dia terkejut dan kagum bukan main melihat bahwa dua ekor raja hutan itu mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Dapat dibayangkan betapa kuatnya orang itu, yang membunuh dua ekor harimau itu hanya dengan jari tangan saja! Melihat kenyataan ini, hatinya agak jerih juga dan dia tidak lagi mengulangi tantangannya di dekat bangkai gerombolan srigala tadi, melainkan cepat mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan ke utara.
Pada tengah hari, tibalah mereka di tepi sebuah sungai! Girang hati mereka karena ternyata, nasehat penolong yang berpantun itu ternyata cocok! Mereka tidak.mengenal daerah itu dan tidak tahu sungai apakah itu, akan tetapi mereka tahu bahwa mereka sudah berada di daerah yang aman. Mereka harus menyeberangi sungai itu dan melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, tempat ini sunyi sekali. Sungai itu mengalir tenang melalui hutan-hutan dan pegunungan.
Sungai itu adalah Sungai Nu-kiang (Salween) yang bermata air di Gunung Thangla, mengalir ke selatan memasuki Negara Birma. Tanpa sepengetahuan mereka, dua dara itu telah tiba di kaki Pegunungan Hengtoan-san. Tentu saja lembah Sungai Nu-kiang di pegunungan ini amat sunyi sehingga sukarlah bagi mereka untuk mencari perahu agar dapat menyeberang. Tempat itu jauh sekali dari perkampungan nelayan.
Akan tetapi, setelah mereka menyusuri sungai sampai jauh, dari jauh nampak sebuah perahu kecil di pinggir sungai, sebuah perahu kosong! "Di sana ada perahu, adik Candra!" Syanti Dewi berkata girang sambil menuding ke depan. Ceng Ceng juga sudah melihatnya dan gadis ini memegang tangan kakak angkatnya sambil berkata, "Enci Syanti, karena kita, terutama engkau, adalah orang-orang pelarian yang dikejar-kejar musuh, maka kurasa sebaiknya mulai saat ini engkau jangan menggunakan nama Syanti Dewi sebelum kita selamat di kota raja Kerajaan Ceng."
Syanti Dewi mengangguk-angguk. "Engkau benar, adikku. Lalu nama apakah yang sebaiknya kupergunakan"
"Bagaimana kalau namamu menjadi Sian Cu" She-nya boleh memakai sheku, yaitu she Lu."
"Lu Sian Cu" Nama yang bagus sekali!" Syanti Dewi atau Sian Cu berkata girang.
"Dengan nama ini, kalau sekali waktu aku lupa dan menyebutmu enci Syanti, biar disangka menyebutmu Sian-ci (kakak Sian). Dan seperti engkau tahu, namaku adalah Lu Ceng. Kita berdua mengaku sebagai gadis dari daerah perbatasan yang lari mengungsi ke timur."
"Baiklah, adik.... Ceng. Ah, hampir aku menyebutmu Candra yang bagiku terdengar lebih manis."
"Nah, mari kita dekati perahu itu. Heran sekali, ke mana tukang perahunya" Mereka melangkah lagi mendekati perahu dan setelah tiba di dekat tempat di mana perahu itu tertambat di tepi sungai, tampak seorang laki-laki sedang tidur di atas tanah, berbantal batu yang dilandasi kedua tangannya. Laki-laki itu tidur nyenyak, terdengar suara dengkurnya yang keras.
Ceng Ceng dan Syanti Dewi atau lebih baik disebut nama barunya yaitu Sian Cu, mendekati tukang perahu yang sedang tidur nyenyak itu dan memandang penuh perhatian. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang, cukup tegap dan tampak kuat karena agaknya biasa bekerja berat, pakaiannya bersih akan tetapi telah terhias beberapa tambalan di dekat lutut dan siku, pakaian sederhana seorang petani atau nelayan, semodel dengan yang dipakai dua orang gadis itu. Sukar ditaksir usia orang itu. Melihat bentuk mukanya, dia kelihatan masih muda sekali, akan tetapi kumis dan jenggotnya yang hitam gemuk dan liar tak terpelihara membuat muka itu kelihatan lebih tua. Model seorang nelayan yang bodoh yang sederhana dan biasa hidup keras dan sukar!
Ceng Ceng menggunakan ujung bajunya yang lebar untuk mengusap keringat dari dahi ke lehernya. Rambutnya agak awut-awutan dan karena dia tidak memakai caping lagi, benda itu telah hancur ketika dipakai melawan musuh yang lihai di malam hari yang lalu itu, mukanya yang putih halus dan cerah itu agak coklat kemerahan oleh sinar matahari.
"Hei, tukang perahu....!" Ceng Ceng berseru memanggil laki-laki yang sedang tidur nyenyak itu.
Si tukang perahu tetap tidur mendengkur, sedikitpun tidak bergerak, juga dengkurnya tidak berubah, tanda bahwa teriakan Ceng Ceng itu sama sekali tidak mengganggu tidurnya.
"Paman tukang perahu....!" Ceng Ceng berteriak lebih nyaring lagi.
Kini suara mendekur itu berubah agak perlahan, dan kumis liar di bawah hidung itu bergerak-gerak lucu, akan tetapi kumis itu diam lagi dan dengkurnya kini menjadi bertambah keras! Ceng Ceng yang berwatak keras itu mulai jengkel hatinya.
"Heii, tukang perahu yang malas! Bangunlah....!" Dia berteriak nyaring dan mengomel, "Wah celaka, bertemu seorang pemalas seperti kerbau!"
Tukang perahu itu menggerakkan kedua kakinya, menarik kedua tangan dari bawah kepala, mulutnya komat-kamit akan tetapi kedua matanya masih terpejam dan terdengar dia bicara dengan suara ngelindur. "....aduhh.... siluman rase.... ahhh.... siluman ular...." Dan dia lalu membalikkan tubuh, membelakangi dua orang dara itu, tidur mendengkur lagi lebih keras.
Ceng Ceng membanting kaki kanannya, mukanya merah dan matanya terbelalak marah. "Kurang ajar! Babi pemalas! Tidak bangun malah memaki-maki orang!"
"Sabarlah, Ceng-moi. Dia tidak memaki, dia sedang tidur dan tentu mimpi."
"Biarpun mimpi, jelas dia memaki kita. Dia menyebut siluman rase, siluman ular, bukankah itu memaki namanya" Di dongeng manapun juga, siluman rase dan siluman ular selalu menjadi seorang wanita!"
"Tapi jelas dia tidak sengaja, dia sedang tidur."
"Kalau sengaja, tentu sudah kupatahkan semua giginya!" Ceng Ceng berkata lagi, mendongkol sekali. Kakinya mencongkel tanah pasir di depannya dan beterbanganlah pasir dan tanah mengenai kepala dan leher tukang perahu itu. Tukang perahu itu terdengar mengeluh, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah terlentang lagi seperti tadi, kedua tangan ditaruh di bawah kepalanya dan dia sudah tidur lagi mendengkur, hanya bedanya, kalau tadi mulutnya tertutup, kini bibirnya terbuka sehingga tampak di bawah kumis liar itu deretan giginya yang putih dan kuat, seolah-olah tukang perahu itu menantang dan memperlihatkan giginya untuk dipatahkan oleh Ceng Ceng! Ceng Ceng yang sedang marah itu makin gemas.
"Tukang perahu yang malas seperti kerbau dan babi!" teriaknya lagi. "Hayo bangun, atau.... kulemparkan kau ke dalam sungai!"
Tukang perahu itu tetap tidur.
"Enci, mari kita pakai saja perahu itu!"
"Eh, jangan Ceng-moi. Tak baik mencuri barang orang lain," kata Sian Cu.
"Kalau begitu, biar kulempar mukanya dengan batu supaya si pemalas itu bangun!"
"Sttt, jangan begitu, Ceng-moi. Kasihan dia, lihat tidurnya begitu nyenyak, siapa tahu semalam dia tidak tidur! Orang yang terlalu lelah, orang yang terlalu sedih, tentu dapat tidur seperti pingsan saja. Pula, kita berdua tidak pandai mengemudikan perahu, tanpa dia, bagaimana kita bisa menyeberang" Siapa tahu, dia bisa mengantarkan kita sampai ke kota yang berdekatan. Tentu dia lebih mengenal daerah ini."
Ceng Ceng menahan kemarahannya dan kembali dia berteriak, "Tukang perahu malas dan tolol! Lekas bangun, kita hendak menyewa perahumu!"
Kini tukang perahu itu menghentikan suara dengkurnya dan sepasang matanya bergerak-gerak lalu kelopak matanya terbuka. Dua orang dara itu kaget melihat sepasang mata yang bersinar tajam sekali, akan tetapi tukang perahu itu mengejapkan matanya beberapa kali seperti belum sadar benar.
"Paman, bangunlah. Kami hendak menyewa perahumu itu!" kata Sian Cu sambil menuding ke arah perahu. Suaranya lunak dan halus dan memang puteri ini memiliki watak yang jauh lebih halus daripada Ceng Ceng yang keras hati dan jujur.
Tukang perahu itu mengeluh dan bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan ketika dia menurunkan kedua tangan memandang dua orang gadis itu, tiba-tiba dia melompat berdiri, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil dan dia menudingkan telunjuknya kepada Ceng Ceng dan Sian Cu sambil berteriak ketakutan. "Siluman.... eh, siluman.... jangan ganggu aku....!"
"Monyet tua....!" Ceng Ceng sudah bergerak hendak memukul, akan tetapi lengannya dipegang oleh Sian Cu yang tersenyum melihat kemarahan Ceng Ceng. Dengan sabar dia menghadapi tukang perahu yang masih ketakutan itu.
"Paman, tenanglah. Kami bukan siluman, melainkan dua orang gadis yang ingin menyewa perahumu."
Tukang perahu itu mengangkat kedua tangan di depan dada dan mulutnya masih komat-kamit, terdengar suaranya. "Aduhhh.... selamat.... selamat.... selamat...., Tuhan masih melindungi aku....! Maafkan, ji-wi kouwnio (kedua nona), tadinya aku mengira bahwa ji-wi adalah siluman-siluman yang semalam kudengar suaranya yang amat mengerikan! Hiiiihhh....!" Tukang perahu itu menggerakkan kedua pundaknya dan otomatis Ceng Ceng dan Sian Cu juga bergidik, teringat akan pengalamannya semalam.
"Engkau mendengar apakah, paman" Sian Cu bertanya.
"Semalam.... hihhh, aku tak dapat tidur sama sekali. Tadinya aku mengira bahwa aku akan mati dicekiknya, suara aneh-aneh terdengar dari hutan itu, seolah-olah semua penghuninya, siluman dan iblis, sedang berpesta pora. Huh, untung aku masih hidup, aku ingin tidur sampai kenyang. Harap nona berdua jangan menggangguku." Tukang perahu itu kembali merebahkan diri, siap untuk melanjutkan tidurnya.
"Eh-eh.... jangan tidur lagi, engkau!" Ceng Ceng membentak. "Kami ingin menyewa perahumu!"
Tukang perahu itu bangkit, akan tetapi tidak berdiri, hanya duduk sambil memandang kepada Ceng Ceng. "Nona, melihat pakaianmu, engkau tentu seorang gadis dusun biasa, akan tetapi sikapmu seperti seorang puteri pembesar tinggi saja!"
"Cerewet kau! Siapa aku, tak perlu kau pedulikan! Kami ingin menyewa perahumu, berapapun akan kami bayar!" Dia mengeluarkan dua potong uang perak dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada si tukang perahu, dengan keyakinan bahwa sinar perak yang berkilauan itu tentu akan melenyapkan kantuk tukang perahu itu.
Akan tetapi, betapa menjengkelkan sikap tukang perahu itu yang memandang tak acuh lalu berkata, "Aku tidak menyewakan perahuku." Dan dia sudah hendak merebahkan dirinya lagi.
"Paman, tolonglah kami. Kami ingin menyeberang, tolong seberangkan kami dan kami akan membayar secukupnya kepadamu."
Tukang perahu itu memandang Sian Cu, lalu melirik kepada Ceng Ceng yang masih mendelik marah. "Aku tidak menyewakan perahuku, juga aku tidak butuh uang."
"Kau manusia sombong....!" Ceng Ceng berteriak, akan tetapi Sian Cu sudah memegang tangan dara itu dan berkatalah dia dengan suara halus kepada si tukang perahu, "Paman tukang perahu, kalau begitu, kami tidak menyewa perahumu, hanya minta tolong kepadamu. Aku percaya bahwa paman tentu akan suka menolong dua orang gadis yang tidak berdaya. Kami melarikan diri mengungsi dari daerah perang dan kami ingin melanjutkan perjalanan menyeberang sungai."
Suara yang halus dan sopan dari Sian Cu membuat tukang perahu itu kelihatan sungkan juga. Dengan ogah-ogahan dia bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan menguap beberapa kali, lalu memandang ke arah seberang sungai. "Kalian hendak menyeberang" Mau ke mana menyeberang"
"Kami hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi terhalang sungai ini, maka kami hendak menyeberang," kata pula Sian Cu mendahului Ceng Ceng yang kelihatannya sudah tidak sabar menyaksikan sikap si tukang perahu.
"Menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan" Aihh, apakah kalian mencari mati"
"Apa katamu" Ceng Ceng sudah membentak lagi.
"Hemm, kau galak sekali, nona. Aku bilang bahwa kalian menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan mengungsi, berarti kalian mencari mati. Di seberang sana hanya terdapat hutan-hutan yang liar dan tak terbatas luasnya, gurun-gurun pasir yang tak bertepi, dan pegunungan yang sukar sekali dilalui manusia selain penuh dengan binatang-binatang buas dan siluman-siluman jahat! Dan kalian hendak menyeberang ke sana" Eh-eh....!" Dia lalu memandang tajam kepada dua orang gadis itu, pandang mata penuh selidik. "Benar-benarkah.... eh.... kalian ini manusia, bukan siluman-siluman"
"Mulut busuk!" Ceng Ceng membentak marah, tidak membiarkan Sian Cu mencegahnya lagi karena dia sudah marah bukan main. "Kalau kami berdua siluman, maka engkau adalah siluman babi Ti Pat Kai!"
Tukang perahu itu melongo, kemudian tertawa. "Ha-ha-ha, kau pandai juga membadut, nona! Masa yang begini dikatakan Ti Pat Kai!" Ti Pat Kai adalah tokoh dalam cerita See-yu-ki, seorang siluman babi yang terkenal, pelahap, dan mata keranjang!
"Paman, harap jangan main-main. Kami berdua sudah melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan, bahkan semalam kami, tidak tidur sebentarpun. Kami ingin melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, kami berniat pergi ke Kota Raja Kerajaan Ceng"
"Wahhhh...." Mimpikah aku" Ataukah benar-benar kalian dua orang gadis dusun ini hendak pergi ke kota raja" Tahukah kalian berapa jauhnya kota raja itu" Kalian harus melalui sedikitnya enam propinsi dan ratusan kota! Mengapa kalian dua orang gadis dusun di perbatasan hendak pergi ke tempat sejauh itu"


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami berdua hanya ingin menyeberang, dan engkau begini cerewet! Tukang perahu macam apa sih engkau ini" Ceng Ceng sudah membentak lagi. Akan tetapi Sian Cu segera berkata, tidak memberi kesempatan kepada si tukang perahu untuk menanggapi kegalakan Ceng Ceng, "Kami mempunyai seorang bibi di sana. Paman, kalau benar di seberang merupakan daerah yang amat berbahaya dan sukar dilalui maka kami harap kau suka menolong kami dan memberi tahu jalan mana yang harus kami tempuh agar kami dapat sampai ke kota raja dengan selamat."
Tukang perahu itu menggaruk-garuk belakang telinganya. "Terus terang saja, aku sendiri belum pernah pergi ke kota raja. Akan tetapi menurut keterangan yang kuperoleh, jalan satu-satunya ke kota raja hanya menggunakan jalan air, menurutkan aliran Sungai Besar Yang-ce-kiang sampai ke kota besar Wu-han, kemudian melalui jalan darat ke utara sampai Sungai Huang-ho dan mengambil jalan air lagi menurutkan aliran Sungai Huang-ho ke timur sampai ke kota besar Cin-an, baru menggunakan jalan darat ke utara menuju ke kota raja. Akan tetapi letaknya amat jauh dan kiranya akan menggunakan waktu berbulan!"
Ceng Ceng sudah mengerutkan alisnya. Turun semangatnya mendengar keterangan yang membentangkan kesukaran perjalan itu, akan tetapi Sian Cu berkata, "Terima kasih, paman. Kau baik sekali dan kami akan menggunakan petunjuk itu untuk melanjutkan perjalanan. Lalu bagaimana kita dapat mencapai Sungai Yang-ce-kiang"
"Dari tempat ini dapat berperahu mengikuti aliran sungai sampai ke dusun Kiu-teng, dari sana terdapat jalan menuju ke Sungai Lan-cang (Mekong), menyeberangi Sungai Lan-cang dan melalui jalan darat ke timur akan mencapai Sungai Yang-ce-kiang."
"Ah, terima kasih. Kuharap paman sudi membawa kami ke dusun Kiu-teng."
"Hemmm...."
"Kami akan membayar sewanya, berapa saja yang kau minta, paman."
"Sikapmu halus dan baik sekali, nona. Siapakah namamu"
"Namaku Lu Sian Cu, paman," jawab Sian Cu sambil menunduk agar tidak tampak perubahan air mukanya.
"Baiklah, Sian Cu. Aku suka mengantarkan engkau ke Kiu-teng yang jaraknya cukup jauh dari sini, memakan waktu hampir sehari semalam. Akan tetapi dia itu siapa namanya" Dia menuding kepada Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng sudah marah memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia didahului oleh Sian Cu.
"Dia adalah adikku, namanya Lu Ceng."
"Aku hanya mau menyeberangkanmu ke Kiu-teng, nona Sian Cu, bahkan tanpa membayar apapun. Akan tetapi dia itu, hemm.... Lu Ceng terlalu galak dan sikapnya tidak menyenangkan, maka...."
"Cerewet! Kalau kau tidak mau akupun tidak membutuhkan bantuanmu, manusia sombong! Kalau aku melemparmu ke dalam sungai dan membawa perahumu, kau mau bisa apa"
"Ceng-moi, jangan begitu....!" Sian Cu membujuk adik angkatnya, kemudian berkata kepada si tukang perahu. "Paman, kau maafkan adikku yang masih kekanak-kanakan. Kalau aku pergi, diapun harus ada di sampingku. Harap kau suka memaafkan dan membawa kami berdua ke Kiu-teng."
Tukang perahu itu bersungut-sungut. "Baiklah, akan tetapi hanya dengan satu janji."
"Janji apa" Sian Cu bertanya dan Ceng Ceng sudah siap, kalau si tukang perahu minta janji yang kurang ajar, tentu akan dihantamnya dan dilemparkannya ke sungai!
"Bagimu engkau tidak usah melakukan sesuatu, tidak usah membayar sesuatu. Akan tetapi nona Ceng ini, dia harus menurut perintahku, dia harus membantuku kalau aku perlu bantuannya mendayung perahu atau mengatur layar, dan diapun harus menanak nasi, air, atau memanggang ikan untukku setiap kali kukehendaki."
"Setan.... kau kira aku siapa...."
"Adik Ceng, mengapa ribut-ribut" Bukankah permintaannya itu sudah semestinya" Dia mau menolong kita, apakah sebaliknya kita tidak mau menolong dia hanya dengan pekerjaan ringan seperti itu"
Dengan menggigit bibir saking gemasnya, Ceng Ceng berkata singkat. "Baiklah!"
Tukang perahu itu tertawa. "Nah, silahkan naik ke perahu. Perahu ini kecil dan tentu saja kurang enak, jangan nanti kalian menyalahkan aku." Sambil berkata demikian, tukang perahu mengambil buntalannya dan menaruhnya di kepala perahu agar ruangan tengah yang terlindung anyaman bambu itu dapat dipakai oleh kedua orang gadis itu.
Mereka memasuki perahu dan meluncurlah perahu itu ke tengah sungai didayung oleh si tukang perahu yang mulai dengan gayanya yang terang-terangan hendak menghukum Ceng Ceng yang dianggapnya galak itu. "Eh, nona Ceng, kau masaklah air, itu cereknya, itu batu api, teh di sana.... dan beras ada di ujung sana, masak nasi untuk kita bertiga. Aku akan memancing ikan untuk lauknya."
Ceng Ceng mendelik, akan tetapi jawilan jari tangan Syanti Dewi membuat dia tidak membantah dan dengan bersungut-sungut dia mengerjakan perintah tukang perahu itu. Awas saja kau, pikirnya geram. Nanti kalau kami tidak membutuhkan lagi perahumu, akan kutampar mukamu dan kucabuti kumis dan jenggotmu. Biarlah sekarang dia mengalah. Melakukan pekerjaan yang diperintahkan seorang tukang perahu miskin yang kurang ajar. Sialan!
Akan tetapi tukang perahu itu pandai sekali mengail. Sebentar saja dia telah mendapatkan dua ekor ikan yang sebesar betis. Dia melontarkan ikan-ikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, "Bersihkan ikan-ikan itu, beri bumbu. Garam dan lain-lain bumbu ada di poci sebelah kiri itu, dekat kakimu, lalu panggang di atas arang membara. Awas, jangan sampai api menyala, nanti hangus dan tidak enak!"
Lagakmu, Ceng Ceng memaki di dalam hatinya. Kaukira aku tidak tahu caranya masak dan memanggang ikan" Akan tetapi karena dia dan encinya membutuhkan perahu itu, bukan hanya perahu itu akan tetapi tukang perahunya karena mereka berdua tidak tahu bagaimana caranya mengemudikan perahu, dia menahan kemarahannya dan melakukan pekerjaan tanpa banyak mengeluarkan suara.
Ceng Ceng adalah seorang dara yang sejak kecil digembleng ilmu silat oleh kakeknya. Wataknya keras, pemberani dan di samping ini, juga harus diakui bahwa dia terlalu dimanja oleh kong-kongnya. Selama dia tinggal bersama kong-kongnya yang merupakan seorang guru terhormat, dia diperlakukan dengan hormat oleh semua orang. Terutama sekali setelah dia menjadi adik angkat Puteri Syanti Dewi, derajatnya naik dan dia makin dihormat. Tidak pernah ada orang berani memandang rendah kepadanya, karena kedudukannya dan juga karena orang maklum akan kelihaiannya. Akan tetapi sekarang, dia bukan saja dipandang rendah, bahkan diperintah oleh si tukang perahu seperti seorang pelayan saja layaknya!
Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan mengkal rasa hatinya sehingga ketika mereka bertiga makan, hanya si tukang perahu dan Sian Cu yang dapat menikmatinya sedangkan Ceng Ceng tidak dapat menikmati makanan itu karena hatinya mendongkol sekali. Sikap tukang perahu itu benar-benar menggemaskan hatinya. Setiap gerak-geriknya seolah-olah mengejeknya, setiap kata-katanya seolah-olah menyindirnya! Mulut yang cengar-cengir itu, dengan kumis yang bergerak-gerak, seperti selalu mentertawakan padanya! Bedebah benar!
Akan tetapi, melihat sikap Sian Cu yang selalu bersabar, Ceng Ceng dapat menahan kemarahannya dan ditambah oleh kelelahan tubuhnya karena malam tadi sama sekali tidak tidur, malam hari itu dia dapat tidur nyenyak bersama Sian Cu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, suara tukang perahu itu sudah berteriak-teriak membangunkan mereka.
"Nona Ceng, bangun! Sudah siang!" teriaknya. Suaranya nyaring dan bukan hanya Ceng Ceng yang bangun, juga Sian Cu.
"Siapa bilang sudah siang" Ceng Ceng bersungut-sungut ketika melihat bahwa hari masih pagi sekali, sungguhpun malam memang telah lewat dan sinar matahari mulai mengusir kegelapan.
"Hanya seorang pemalas saja yang mengatakan bahwa sekarang belum siang!" kata tukang perahu. "Aku jelas bukan pemalas karena biasanya pada waktu seperti ini aku sudah bangun tidur dan memasak air dan bubur untuk sarapan pagi."
Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi Sian Cu berbisik, "Kemarin kau memaki dia malas." Teringat akan itu, Ceng Ceng diam saja dan mengerjakan apa yang diperintahkan tukang perahu itu.
Tiba-tiba tukang perahu berkata, "Harap kalian tenang, ada kesukaran di depan!"
Dengan kaget Ceng Ceng dan Sian Cu melihat bahwa di sebelah depan tampak dua buah perahu hitam yang ditumpangi masing-masing oleh lima orang, di antara mereka tampak dua orang tosu tua yang bersikap keren!
"Siapa mereka" Mau apa" Ceng Ceng bertanya lirih.
"Stttt.... harap kalian diam dan serahkan saja kepadaku menghadapi mereka." Tukang perahu menjawab dan ketenangan sikapnya membuat dua orang dara itu menjadi heran. Andaikata mereka itu adalah bajak-bajak sungai yang banyak mereka dengar, sungguhpun hal itu menyangsikan karena di antara mereka terdapat dua orang tosu maka sikap tukang perahu itu terlampau tenang! Sepantasnya, tukang perahu itu tentu akan menjadi panik dan ketakutan tidak bersikap seolah-olah penuh keyakinan dia akan dapat mengatasi keadaan.
Ceng Ceng memberi tanda dengan kedipan mata kepada Sian Cu, dan puteri ini yang mengerti bahwa dialah yang mungkin menjadi incaran musuh, segera menyembunyikan diri ke dalam perahu. Sedangkan dia melirik penuh perhatian dan kewaspadaan. Hatinya berdebar tegang melihat betapa dua buah perahu itu dipalangkan di tengah sungai, agaknya sengaja menghadang perahu yang ditungganginya.
"Haii, tukang perahu!" Terdengar suara bentakan dari dua buah perahu itu. "Hendak ke mana"
"Kami hendak ke Kiu-teng!" Terdengar jawaban tukang perahu yang ramah dan tetap gembira.
"Bersama siapa" Membawa apa" Kembali terdengar pertanyaan yang keren dan berwibawa itu, dan ternyata yang bertanya adalah seorang di antara dua orang tosu yang duduk di dalam perahu pertama.
Tukang perahu itu menoleh ke arah Ceng Ceng yang sedang memasak bubur, lalu berkata, "Bersama isteriku! Kami tidak membawa apa-apa, hendak mencari ikan dan menjualnya ke Kiu-teng!"
Hampir saja Ceng Ceng meloncat dan memaki-maki! Dia diaku sebagai isteri si tukang perahu jahanam itu! Akan tetapi ketika dia menoleh dan sudah siap untuk meloncat, dia melihat Sian Cu memberi isyarat kepadanya dengan jari tangan di depan mulut menyuruhnya diam, bahkan Sian Cu lalu menyelimuti dirinya dengan tikar yang berada di dalam perahu. Tentu kakak angkatnya itu hendak menolong si tukang perahu yang sudah menyatakan bahwa tukang perahu itu hanya bersama dengan isterinya!
Ketika Ceng Ceng menengok lagi, tentu saja wajahnya nampak oleh orang-orang di dalam kedua perahu itu, dan terdengarlah suara ketawa lalu seorang di antara mereka yang bermata lebar berseru sambil tertawa, "Haiiiii, isterimu cantik sekali, tukang perahu! Boleh aku menyewanya"
"Perahuku tidak disewakan!"
"Heh, tolol! Bukan perahumu, akan tetapi isterimu yang kusewa! Berapa sewanya semalam" Terdengar suara ketawa dari kedua perahu itu. Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan hati Ceng Ceng, akan tetapi melihat bahwa kakak angkatnya sudah bersembunyi, dia tidak tega mengganggu, diapun ingin sekali mendengar apa yang menjadi jawaban tukang perahu gila itu.
"Hemm, berapa kau berani bayar, kawan"
Benar gila! Ceng Ceng mengepal tinju dan sudah siap untuk menghajar mereka semua. Kedua telinganya mengeluarkan bunyi mengiang-ngiang saking marahnya.
"Ha-ha-ha! Nah, kau terima uang panjarnya dulu, dan kalau kau menolak, ini tambahnya!" Dari dalam sebuah di antara dua perahu itu melayang benda ke dalam perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan ternyata sekantung kecil uang tembaga dan sebatang toya baja yang dilontarkan ke depan kaki tukang perahu itu. Ceng Ceng melirik dengan sudut matanya. Jelas bahwa orang-orang kasar itu memberi uang dan disertai ancaman karena toya itu berarti ancaman kalau permintaan itu ditolak. Si tukang perahu mengambil kantung, membuka untuk melihat isinya yang hanya uang tembaga, juga dia memegang toya dan melihatlihat benda itu seperti hendak menimbang-nimbang. Kemudian dia berkata, "Wah, penawarannya masih jauh berkurang, sobat! Bagaimana kalau ditambah nyawamu" Dia lalu melontarkan kembali kantung uang dan toya.
Ceng Ceng terkejut. Betapa beraninya si tukang perahu! Dan dia melihat betapa semua orang di kedua perahu itu merubung dan melihat toya dan kantung uang, seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua benda itu. Terdengar teriakan lirih dari rombongan itu, "Si Jari Maut!"
Makin heran lagi hati Ceng Ceng ketika dia melihat dua orang tosu itu bangkit berdiri di perahu mereka dan seorang di antara keduanya menjura dengan membentuk tanda jari-jari tangan depan dada sambil berkata. "Harap sudi memaafkan kelakar anak buah kami dan persilakan lewat disertai salam persahabatan kami!"
Si tukang perahu hanya tersenyum, lalu menggunakan dayungnya untuk meluncurkan perahunya lewat di antara kedua perahu yang telah minggir itu, melempar senyum mengejek ke arah mereka, kemudian berkata ke dalam perahu, "Nona Sian Cu, keluarlah, tidak ada bahaya lagi sekarang."
Ceng Ceng membanting panci terisi bubur panas. Dia meloncat bangun dan menudingkan telunjuknya kepada si tukang perahu. "Keparat, mulutmu busuk sekali! Berani kau mengatakan aku sebagai isterimu" Phuah, tak tahu diri, tukang perahu jembel busuk!"
Si tukang perahu mengangkat hidungnya. "Hemm, gadis dusun yang galak! Andaikata benar kau adalah isteriku, maka engkaulah yang untung dan aku yang rugi benar!"
"Jahanam....!" Ceng Ceng tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang untuk menampar pipi orang itu. Biar kurontokkan giginya, pikirnya dengan marah.
"Wuuuttttt....!" Tamparan yang dilakukan dengan cepat sekali dan disertai tenaga sin-kang yang kuat itu hanya mengenai angin. Terkejutlah Ceng Ceng karena tidak disangkanya sama sekali bahwa tukang perahu itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, dapat mengelak dari tamparannya. Padahal tamparan itu dilakukan secara tidak terduga dan cepat sekali sehingga jaranglah ada yang dapat mengelakkan begitu mudah! Dia menjadi penasaran sekali dan menerjang lagi, kini tidak lagi menampar, melainkan memukul secara bertubi-tubi dengan kedua tangannya!
"Wuuut-wuuut-wuuut-wuuutt....!" Semua pukulannya adalah jurus-jurus pilihan dan disertai tenaga sin-kang yang amat kuat, namun semuanya dapat dielakkan secara mudah oleh si tukang perahu!
"Ceng-moi, jangan....!" Sian Cu berseru.
"Biar!" Ceng Ceng membantah marah. "Dia kurang ajar, harus kupukul manusia jahanam ini!"
"Eh-eh-eh, beginikah engkau membalas budi orang" Tukang perahu itu tersenyum sambil mengejek. "Ditolong balasnya memukul" Ini namanya diberi air susu dibalas dengan air tuba! Benar-benar gadis galak yang tidak mengenal budi!"
"Setan sungai kau!" Ceng Ceng kini menubruk maju, kakinya menendang dan tangannya menyusul dengan tusukan jari tangannya ke arah perut tukang perahu.
"Wuuutttt.... dukkk!" Tubuh Ceng Ceng terhuyung ketika orang itu terpaksa menangkis tusukan tangannya. Namun hal itu membuat Ceng Ceng makin marah dan dia menerjang lagi.
"Adik Ceng, jangan....!"
"Biarlah, enci. Dia kurang ajar sekali. Dia tentu manusia busuk!" Dia meloncat dan mengirim pukulan yang amat berbahaya karena dia telah menggunakan jurus pilihan dari ilmu silat kong-kongnya.
Pukulan itu bersiut datang ke arah lambung tukang perahu, akan tetapi tiba-tiba tubuh tukang perahu bergerak dan ternyata dia telah meloncati lewat bilik perahu ke bagian belakang perahu!
"Mau lari ke mana kau!" Ceng Ceng mengejar, juga meloncati bilik itu dan dari atas dia sudah mencengkeram dengan kedua tangannya. Namun si tukang perahu itu dengan tersenyum-senyum menyelinap ke bawah, menerobos melalui bilik perahu, dikejar dan memutari tiang layar sambil tertawa-tawa. Sementara itu, semua pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Ceng Ceng dengan kemarahan meluap-luap itu sama sekali tidak ada hasilnya!
"Ceng-moi.... tahan dulu....!" Sian Cu memegang tangan Ceng Ceng dan berusaha menahan gadis yang marah itu mengamuk.
"Enci, apakah kau tadi tidak mendengar omongan busuknya" Kalau aku tidak dapat memukul pecah mulutnya, aku tidak akan puas!" Dia menarik lengannya secara tiba-tiba sehingga pegangan Sian Cu terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.
"Heiiittt.... tendangan hebat!" Si tukang perahu mengelak sambil memuji dengan suara mengejek.
"Mampuslah....!" Ceng Ceng membalikkan tubuhnya ketika tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil membalik tubuhnya maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.
"Eiiiiihhhh.... hebat, wahhh luput! Sayang sekali....!" Kembali si tukang perahu mengejek dan berhasil mengelak. Dapat dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan dia sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biarpun kini dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya membuat dia tidak mengenal takut dan hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia berhasil merobohkan orang yang dibencinya itu.
"Adik Ceng.... ahhh, jangan! Lihat, perahu sudah miring.... kita bisa celaka....!"
Memang benar teriakan Sian Cu ini. Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti tikus dengan kucing ini membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.
"Ha-ha-ha, biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa. Kau jangan khawatir, tentu akan kutolong, tapi dia.... biar kembung perutnya terisi penuh air, ha-ha-ha!"
"Jahanam busuk....!" Ceng Ceng hampir menangis dan kini dia mengeluarkan sepasang belatinya. "Engkau harus mampus di tanganku!"
"Adik Ceng....!"
Ceng Ceng yang sudah "mata gelap" saking marahnya itu menyerang dengan dahsyat, tidak peduli akan perahu yang miring. Melihat datangnya dua sinar terang yang menyambarnya, tukang perahu secara tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua tangannya lemas karena secara lihai dan tak tersangka sama sekali, dari bawah menyambar jari-jari tangan tukang perahu itu memapaki gerakan tangannya dan pergelangan tangannya telah ditotok sehingga tangannya yang lumpuh tak mampu lagi memegang sepasang belatinya dan dengan gerakan kilat, sepasang senjatanya itu telah dibuang ke dalam sungai oleh si tukang perahu. Sambil tertawa tukang perahu itu meloncat lagi melewati bilik dan berada di ujung perahu yang lain sambil menyeringai lebar.
"Heh-heh, kau boleh terjun keluar mengejar pisau-pisau dapur itu!"
Kemarahan yang memuncak membuat Ceng Ceng tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin dia menangis dan menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak berdaya dan sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!
Tiba-tiba timbul akalnya untuk membalas dendam! Dia menubruk ke depan, disambarnya dayung, dua batang dayung dari perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, melainkan dayung yang dua buah itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ke tengah sungai! Disambarnya tali layar, direnggutnya sampai putus dan dibuangnya pula, lalu dirobeknya layar.
"Heiii.... jangan....! Wah-wah-wah, celaka.... kau benar-benar liar!" Tukang perahu berteriak-teriak, mengangkat kedua tangannya untuk mencegah dan kelihatan bingung sekali. Melihat ini, terobatlah hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum puas. Dia melihat buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu disambarnya pula.
"Jangan itu....!" Tukang perahu berteriak dan meloncat dengan kecepatan seperti burung terbang, melewati bilik dan tangannya diulur untuk merampas buntalan. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng sudah melemparkan buntalan itu sampai jauh ke tengah sungai.
"Byuurrr....!"
"Wah, celaka....!" Tukang perahu berteriak dan diapun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang. "Byuurr....!" Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.
Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.
"Ceng-moi.... celaka.... perahunya hanyut dan miring....!" Terdengar jerit Sian Cu. Ceng Ceng tersadar dan dia mendekati encinya. Segera diapun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!
"Bagaimana, Ceng-moi" Bagaimana kita harus menahan perahu" Mana dayungnya" Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.
"Dayungnya...." Ceng Ceng terkejut. Dayung, tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa, untuk menyelamatkan perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat pada tihang layar yang terbuat dari bambu itu.
"Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!"
Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu tenggelam. Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air. Perahu hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai. Di tempat ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan di situ. Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat didayung minggir.
"Minggir....! Perahu hanyut....!"
"Celaka...! Krakkkk....!"
"Braaakkkk! Krakkkk....!"
Teriakan-teriakan terdengar dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!
"Ceng-moi....!" Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.
"Enci Syanti!" Ceng Ceng juga menjerit dan dara itu biarpun belum pernah belajar berenang, namun dia telah mendengar bagaimana caranya berenang. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, akan tetapi karena gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.
Orang-orang di situ masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Adapun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-Iaki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air.
Tiba-tiba terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul dan perahu itu seperti bersayap, tahu-tahu telah "terbang" di atas permukaan air dan terus mendarat! Di atas perahu itu seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuhnya. Setelah perahu itu mendarat di atas pasir, setelah tadi "terbang" melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!
Tentu saja semua orang terheran-heran, apalagi setelah mereka berusaha mengejar, laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun di mana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi. Laki-laki itu seringkali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu jauh. Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya. Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itupun tidak cerewet sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.
"Siapa namanya" tanya seorang.
"Dia tentu seorang pendekar sakti yang menyamar!"
"Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu"
Orang yang mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya. "Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga akupun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!" Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.
Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca ceritaSEPASANG PEDANG IBLIS tentu tidak akan pernah melupakan nama ini! Pada waktu itu, di dalam ceritaSEPASANG PEDANG IBLIS , Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki kesaktian yang luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali, selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan sin-kang dari Pendekar Super Sakti! Di waktu dia masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, di antaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sin-kang Swat-im-sin-kang dan Hui-yang-sin-kang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lain yang kesemuanya bertingkat tinggi!
Hanya sayang pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya sehingga banyak mengalami kesengsaraan (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus....Pada akhir ceritaSEPASANG PEDANG IBLIS , pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es, berpamit dari Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun, tidak pernah terdengar namanya di dunia kang-ouw.
Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih
Bukit Pemakan Manusia 22 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Hikmah Pedang Hijau 4
^