Kisah Sepasang Rajawali 6

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai! Dia seorang anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis! Mengingat itu semua, Gak Bun Beng tidak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup di antara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya. Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat inipun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak.
Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam. Bun Beng tidak memperdulikan dirinya sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu. Ketika dia mendengar seorang di antara dua orang gadis itu menyebut nama "enci Syanti", dia menjadi heran sekali. Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat. Setelah dia dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya. Dengan kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya meluncur ke atas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat mendarat di atas pasir. Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah perahunya mendarat. Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat. Hanya satu hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka.
Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.
"Ahhhhh....!" Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya. Bun Beng memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu!
Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah di dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, di atas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk. Kenyataan pertama bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.
"Di.... di mana aku" Siapakah paman...."
Biarpun ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.
"Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu." Kata Bun Beng dengan suara halus menghibur.
Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya, "Bagaimana dengan Ceng-moi" Di mana Ceng-moi...."
"Engkau maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu" Bun Beng bertanya.
"Benar.... kami berdua di perahu itu.... bagaimana dengan Ceng-moi" Di mana dia...." Ceng-moi....!" Syanti Dewi menjerit dan memanggil nama adik angkatnya, penuh kekhawatiran.
Bun Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas. "Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Adapun nona kedua itu.... aku melihat sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat...."
Makin terbelalak sepasang mata itu, dan muka Syanti Dewi menjadi pucat sekali. "Paman....! Kau.... maksudkan.... dia.... Ceng-moi...."
Bun Beng mengangguk. "Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam."
"Ceng-moi....!" Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya. Bun Beng memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.
"Ceng-moi.... aihhh.... Candra adikku, bagaimana aku dapat hidup tanpa kau" Bagaimana aku berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau...." Adik Candra.... tega benar engkau meninggalkan aku.... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana...."
Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada teguran, "Nona, tak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!"
Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap, "Paman.... apa.... apa maksudnya...." Aku kejam...., terhadap siapa...."
"Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu"
"Paman!" Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran. "Apa maksudmu dengan kata-kata itu" Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng"
Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkaupun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia yang kausandari" Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu sendiri"
Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar olehnya seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya memandang orang itu tanpa dapat berkata-kata, dan otomatis tangisnya pun berhenti!
Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar kamar, "Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkan semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil."
Teguran atas tangisnya tadi masih menghunjam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya, maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar keluar pintu. Hanya tampak sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap. Syanti Dewi duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas kuncirnya. Dia termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena ditinggalkan. Karena DIA yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik, karena DIA kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja! Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu, belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang mati"
Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata, "Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!" Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak.
Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!
"Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara," katanya.
Bun Beng melangkah masuk dan kembali mereka duduk di atas lantai, saling berhadapan. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu biasa! Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati. Wajah itu tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara, seluruh tubuhnya membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih pula. Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar sebagai rakyat jelata! Di lain fihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis itu, juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.
"Nona siapakah" Bun Beng bertanya singkat.
"Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman"
"Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti."
Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu. "Memang Lu Sian Cu adalah nama baruku, paman. Nama yang kupakai dalam perjalanan bersama adikku itu. Nama aseliku adalah Syanti Dewi...." Dara itu berhenti untuk melihat reaksi pada wajah laki-laki itu. Namanya adalah nama puteri Kerajaan Bhutan, tentu laki-laki itu akan menjadi terkejut mendengarnya. Akan tetapi, tidak ada reaksi apa-apa pada wajah laki-laki itu, dan memang Bun Beng tidak pernah mendengar nama ini, bahkan dia selama belasan tahun tidak mau mencampuri urusan dunia, tidak pula memperhatikan segala peristiwa yang terjadi mengenai pemerintah dan kerajaan manapun juga!
"Engkau dari suku bangsa apakah, nona"
Kini tahulah Syanti Dewi bahwa laki-laki ini memang tidak mengenal namanya sama sekali! Hal ini mengherankan hatinya, karena daerah ini belum jauh dari Bhutan. Memang namanya yang tidak dikenal orang, ataukah laki-laki ini yang bodoh"
"Aku berbangsa Bhutan....!"
"Ah.... dan engkau bersama adikmu datang dari Bhutan berdua saja" Hendak ke manakah dan mengapa kalian hanya pergi berdua" Kuharap kau suka menceritakan semua kepadaku agar aku menjadi jelas ke mana aku selanjutnya harus mengantarmu."
Bukan main girang dan lega rasa hati Syanti Dewi. Benar-benar dia telah ditemukan oleh Thian dengan orang ini yang demikian baik hati! Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada Bun Beng, yang dibalas oleh laki-laki itu dengan semestinya.
"Paman, aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, dan lebih banyak terima kasih lagi bahwa paman akan sudi melanjutkan pertolongan paman itu untuk mengantar aku sampai ke tempat tujuan. Akan tetapi, hal itu berarti bahwa aku akan membuat paman repot sekali!"
"Ah, tidak ada kerepotan apa-apa, nona. Dan akupun bukan menolong. Sudah sewajarnyalah kalau aku menolong seorang gadis muda yang kini hanya melakukan perjalanan seorang diri saja."
"Tapi perjalananku amat jauh, paman."
"Hemm, sejauh manakah"
"Sampai ke kota raja Kerajaan Ceng."
"Hehhh...." Bun Beng menjadi kaget, juga sama sekali tidak menyangkanya bahwa gadis ini berniat pergi ke kota raja! Akan tetapi dia menduga bahwa tentu ada urusan yang luar biasa pentingnya, maka segera dia berkata, "Memang jauh sekali ke sana, akan tetapi kalau memang perlu, aku bersedia mengantarmu ke sana, nona."
Kebaikan yang dianggapnya berlebihan ini membuat Syanti Dewi meragu. "Akan tetapi, paman.... kabarnya perjalanan ke sana menghabiskan waktu berbulan, bagaimana paman dapat meninggalkan keluarga paman...."
Bun Beng tersenyum dan Syanti Dewi makin kagum. Laki-laki ini tampan dan gagah, juga giginya yang tampak sekilat itu terawat baik, tidak seperti gigi sebagian besar tukang perahu atau orang-orang dusun yang dijumpainya.
"Jangan khawatir, nona. Aku hidup seorang diri di dunia ini, tiada handai taulan, tiada sanak keluarga, tiada rumah tangga. Akan tetapi, karena perjalanan itu jauh sekali, maka aku tadi mengatakan bahwa kalau perlu, baru aku bersedia mengantarmu. Maka harus dilihat keperluannya dulu. Kalau saja engkau mau menceritakan semua riwayatmu kepadaku, mengapa engkau hendak ke kota raja, dan bagaimana engkau dan adikmu itu sampai terbawa perahu hanyut. Kalau kuanggap memang sepatutnya engkau ke kota raja, tentu akan kuantar."
Kembali sang puteri menatap wajah Bun Beng sampai beberapa lama, seolah-olah hendak menyelidiki keadaan hati orang itu, kemudian berkata, "Paman Gak, terus terang saja kukatakan bahwa riwayatku merupakan rahasia besar yang menyangkut negara, bahkan menyangkut juga mati hidupku. Sekali aku keliru menceritakannya kepada orang yang tidak dapat dipercaya, celakalah aku."
"Aku tidak perlu membujuk agar engkau mempercayaiku, nona. Hanya, untuk mengantarmu ke tempat yang demikian jauhnya, aku harus memperoleh kepastian dulu akan alasannya."
"Aku sudah percaya kepadamu, paman Gak. Kalau engkau bukan orang yang dapat dipercaya, agaknya aku telah mati atau mungkin bernasib lebih buruk lagi. Baiklah, aku akan menceritakan semua keadaanku. Pertama-tama, aku adalah Puteri Syanti Dewi, puteri dari Raja Bhutan." Puteri itu berhenti, hendak melihat reaksi wajah orang itu. Namun, tidak ada reaksi apa-apa, seolah-olah orang she Gak itu menganggap seorang puteri raja sama saja dengan seorang gadis dusun anak petani atau nelayan! Hal ini sedikit banyak mendatangkan kekecewaan di dalam hati Syanti Dewi, dan dia cepat melanjutkan, "Dan aku adalah calon mantu Kaisar Ceng!"
Akan tetapi, Bun Beng tidak kelihatan kaget, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang tajam, seolah-olah hendak menjenguk isi hati dara itu. Syanti Dewi menghela napas. Dia kecele kalau ingin melihat wajah orang itu berubah kaget. Agaknya urusan yang menyangkut nama segala raja di raja tidak menggetarkan sedikitpun juga di hati orang itu.
"Rombongan utusan kaisar telah menjemputku di Bhutan, Gak-siok-siok (paman Gak) dan dalam rombongan yang dikawal oleh lima ratus orang pasukan Bhutan itu aku ditemani oleh Ceng-moi."
"Adikmu yang bernama Candra itu"
"Dia hanya adik angkat, nama aselinya adalah Lu Ceng, dan nama barunya Candra Dewi, jadi keadaannya berbalik dengan diriku. Dia seorang gadis Han yang memiliki ilmu silat yang lihai sekali."
Bun Beng mengangguk-angguk, hatinya senang juga mendengar seorang puteri raja mau mengangkat saudara dengan seorang gadis biasa, hal yang membuktikan bahwa puteri yang ditolongnya ini adalah seorang wanita yang berbudi baik!
SyantiDewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak berangkat dari istana Bhutan sampai mereka diserbu pasukan musuh yang amat besar jumlahnya. Diceritakannya betapa dia bersama Ceng Ceng, dikawal oleh kakek gadis itu, terpaksa menyamar dan melarikan diri karena gelagatnya tidak baik, betapa kakek itu tewas dalam membelanya dan kemudian dia bersama adik angkatnya itu melarikan diri berdua, mengalami segala kesengsaraan sampai akhirnya terbawa perahu yang hanyut, dan dia tertolong oleh paman Gak itu.
"Demikianlah, paman. Sungguh tidak saya sangka bahwa kalau demikian buruk nasib Ceng-moi. Kasihan sekali dia.... demi keselamatanku, dia dan kakeknya sampai mengorbankan nyawa."
"Hemm, kita belum yakin benar bahwa nona Ceng itu akan tewas. Akan tetapi, tukang perahu yang membawa kalian itu, sungguh menarik dia. Benarkah dia itu memiliki kepandaian yang hebat"
"Dia lihai sekali. Hal ini baru kami ketahui setelah adik Ceng marah-marah dan menyerangnya. Ternyata dia memiliki kepandaian yang lebih daripada kepandaian Ceng-moi yang sudah amat lihai itu. Dan baru saya dapat menduga bahwa para pencegat dalam dua buah perahu itu tentulah jerih terhadap dia, entah mengapa, bahkan ada yang membisikkan nama julukan Si Jari Maut."
Bun Beng mengangguk-angguk. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan urusan sebesar ini! Yang ditolongnya adalah puteri Raja Bhutan, calon mantu kaisar! Dan ternyata di derah barat terjadi pemberontakan yang besar pula. Dia tidak ingin terseret ke dalam urusan apapun juga, akan tetapi setelah secara kebetulan dia menolong puteri ini, tak mungkin pula dia membiarkannya saja pergi seorang diri yang tentu merupakan hal yang amat berbahaya sekali.
"Ketika engkau masih bersama nona Ceng, ke manakah tujuan kalian melarikan diri"
"Kami hanya mentaati pesan kakek dari Ceng-moi, yaitu disuruh melarikan diri ke kota raja Kerajaan Ceng dan menemui seorang puteri kaisar di sana."
"Puteri kaisar" Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.
"Ya, namanya Puteri Milana...."
Bun Beng menelan seruan kagetnya, akan tetapi dia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah. Perubahan pada wajah ini tampak pula oleh Syanti Dewi yang cepat bertanya, "Ada apakah, paman"
"Tidak ada apa-apa," jawab Bun Beng yang segera bangkit berdiri dan termenung sejenak. Kemudian dia berkata, "Sebelum kita berangkat ke kota raja yang jauh itu, mari kita mencoba untuk mencari adikmu itu. Siapa tahu dia dapat menyelamatkan diri...."
Keduanya lalu menyusuri Sungai Nu-kiang, akan tetapi sampai puluhan li jauhnya, mereka tidak melihat ada tanda-tanda bahwa Ceng Ceng mendarat, akan tetapi juga tidak ada melihat mayat gadis itu. Akhirnya, terpaksa Bun Beng mengajak dara itu menghentikan usaha mereka mencari Ceng Ceng dan mulailah dia mengantarkan dara itu ke kota raja, sebuah perjalanan yang amat jauh sekali dan akan memakan waktu berbulan!
*** "Kau tidak boleh melakukan hal seperti itu, Bu-te! Engkau bisa disangka hendak berbuat kurang patut!"
Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar, "Ahhh, Lee-ko. Perduli apa dengan persangkaan kosong" Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin melalukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu"
Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila. Seminggu yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang, "Haiii, nona Liem....! Engkau hendak ke manakah"
Tentu saja empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggauta keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah, "Siapa kau" Aku tidak mengenalmu!"
"Eh, eh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku" Aku Suma...."
"Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!" nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk bercakap-cakap.
Suma Kian Bu pura-pura kaget. "Aihh.... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang.... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku.... Suma Kian Bu...."
"Tukang joli, hayo jalan terus!" Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli.
Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya. "Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!" Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya.
Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak "belajar kenal" dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.
"Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng," kata Kian Bu. "Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut kata pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali."
"Huh, mata keranjang kau!" Kian Lee berkata. "Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!"
Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar. Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaltu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk beaya makan dan penginapan.
Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu, terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang ramai, apalagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum pernah mereka lihat. Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu berahi atau keinginan yang tidak patut!
Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat "berkenalan" dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan "siasatnya" yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.
Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng, dia meninggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar pembaringan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap! Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguhpun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!
"Hendak ke mana, lopek" tanyanya kepada penggotong joli terdekat. Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat, "Ke kelenteng."
Kian Bu lalu menghampiri joil dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil tangannya menyingkap tirai. "Haiii, kiranya nona Thio.... hahhh...." Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!
Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.
"Lee-ko, engkau terlalu....!" Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.
"Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat, Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biarpun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!"
"Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah besar!"
"Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu kaulakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya."
"Kalau begitu, andaikata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh.... eh, belajar kenal dengannya"
"Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kaulakukan itu!"
Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah tertawa lagi. "Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik " Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung, "yaitukalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis."
"Kau memang mata keranjang dan nakal!" Kakaknya mengomel.
"Eh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik" Mereka itu begitu cantik, begitu manis, suaranya begitu halus merdu, lirikan dan senyuman semanis madu, gerak-geriknya menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik."
"Biarpun suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu."
"Hore! Jadi kaupun suka, koko" Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Eh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko" Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu."
Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga, "Sama sekali tidak seperti engkau, aku suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan."
"Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!"
"Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita."
Demikianlah, kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apalagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka. Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya daripada keperluannya sendiri. Sebaliknya Kian Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguhpun pada lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.
Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik! Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara kalau tidak penting, biarpun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aselinya yang menghargai orang lain.
Betapapun juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung sungguhpun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu. Apalagi sikap adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang dara!
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu. Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya. Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu.
Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerakgeriknya begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya.
Sejenak dara itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian dara dengan ayah bundanya itu memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar. Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta lalu ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Dengan kusirnya semua terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat.
Kian Bu yang melihat dara tadi menunduk saja, sedikitpun tidak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal dia mengharapkan kerlingan dan senyum, merasa kecewa dan tidak puas. Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu termenung-menung.
Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata, "Lee-ko, bagaimana"
Kian Lee mengangkat muka memandang, melihat sinar mata adiknya yang jelas menggodanya, mukanya menjadi makin merah, "Bagaimana apanya" Dia balik bertanya, setengah membentak.
Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan. "Dia tadi, hebat bukan"
Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih, "Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan kita" Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!"
"Ah, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikitpun tidak, tersenyum sedikitpun tidak, bicara sepatah katapun tidak!"
"Itu tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!"
"Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan" Eh, secara sopan maksudku"
Kian Lee memandang adiknya dengan mata melotot. "Mau apa kau" Jangan main gila kau, Bu-te!"
"Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau kau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia" Hanya berkenalan, apa sih buruknya" Kalau tidak berkenalan, bagaimana bisa mengerti cocok atau tidak"
"Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal."
"Siapa bilang mengganggu" Aih, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan kau selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu."
"Hemm, apa lagi ini maksudnya" Jangan kau kurang ajar kepadaku!"
"Koko merasa suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya" Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu"
"Kian Bu, engkau masih kanak-kanak akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara dengan orang lain seperti itu, tentu engkau akan mudah menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan" Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!"
"Bagus....!" Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya. "Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan dengan dara itu" Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan hormat!" Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya.
Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih, "Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!"
"Alaaaaa.... kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu" Serahkan padaku, beres. Dan akupun bukan hendak memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan"
"Akan tetapi, kalau kau melukai seorangpun...."
"Koko, kau anggap aku ini orang macam apa" Aku bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa melukai orang" Percayalah kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!"
Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik inipun sudah memasuki kamar mereka dan tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu. Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti. Setelah matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir. Mereka membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh. Biarpun rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.
Rombongan memasuki sebuah hutan. "Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup besar!" berkata kepala piauwsu yang bermuka merah. Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri.
Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.
"Tolong....! Penculik.... tolong Bi Hwa....!" Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak. Para piauwsu sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.
"Tangkap penjahat....!" Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya mengejar. Akan tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.
"Lepaskan aku....! Lepaskan....!" Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.
"Tenanglah sayang, diamlah manis.... aku takkan mengganggumu....!"
Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat!
Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak, "Penculik, lepaskan dia!"
Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah, "Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!"
Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee. Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat! Kian Lee yang diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut, menanti ucapan terima kasih dan sudah siap untuk mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu. Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu, tiba-tiba terisak dan lari.... menghampiriKian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
"Aihhh, kau.... kau telah membunuhnya....! Kau telah membunuhnya....!" Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian dia mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini tewas. "Aduh kasihan sekali engkau...." bisik Bi Hwa.
Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah "mati". Dan membuka matanya memandang dengan melongo.
"Syukur, kau belum mati.... ah, aku girang sekali.... di manakah yang terluka " Bi Hwa bertanya.
Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee. "Kau.... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu "
"Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!" Bi Hwa membantah.
"Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang menolongmu.... lekas kauhampiri dia...." Kian Bu makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.
Pada saat itu, terdengar bentakan. "Penculik busuk, hendak lari ke mana kau" Dan muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing. Melihat ini, Kian Lee meloncat dan berkata, "Bu-te, pergi.... !"
Terbirit-birit Kian Bu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, terengah-engah mereka berhenti di dalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan di mana mereka tadi main sandiwara itu.
Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu! Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang "menolongnya" melainkan menaruh iba kepada Kian Bu "si penculik"! Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.
"Kau....!" Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.
"Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!"
"Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menjatuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang yang baik budi"
Suma Kian Bu melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh daripada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengecewakan hati kakaknya.
"Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko. Meskinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu."
"Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu untuk mempermainkan kepercayan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula."
"Aihh, koko, jangan, begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku."
"Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kaulakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua."
"Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadamu."
"Hemmmm...." Kian Lee hanya menggumam mengkal.
Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota. Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka bertemu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanyapun besar-besar sehingga sudah diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.
"Nah, besar kemungkinan di dalamnya ada gadisnya, koko," bisik Kian Bu.
Kakaknya cemberut. "Apakah di dalam kepalamu itu isinya hanya bayangan gadis-gadis cantik" bentaknya.
"Alaaaaaa...., koko. Kalau kau begini terus, sampai kapan kau hendak membalas budi"
"Wah, kau memang cerewet dan selalu ingat kalau mengutangkan sesuatu!" cela kakaknya.
"Dan kau terlalu sabar kalau disuruh membayar hutang!" Adiknya menggoda sehingga Kian Lee kewalahan.
"Kau lihat sendiri, dua buah kereta itu tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya ada gadisnya atau tidak"
"Ha-ha, apa sih sukarnya untuk mengetahui hal itu" Tangan Kian Bu bergerak dan tampak oleh Kian Lee sinar-sinar hitam kecil menyambar ke depan. Adiknya telah menggunakan tanah liat untuk menyambit ke arah kuda yang menarik kereta. Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda yang terkena timpukan tanah liat tepat di bawah telinganya itu meringkik dan meronta berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja kusirnya cepat membentak dan menarik kendali. Rombongan terhenti dan semua piauwsu bertanya sehingga ributlah keadaan di situ.
Dua buah kereta itu tersingkap dari dalam. Ada kepala-kepala orang menjenguk dan bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada ribut-ribut di luar, bahkan orang-orang yang menumpang dalam kereta yang kudanya meringkik itu menjadi agak panik karena keretanya bergoyang-goyang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk mengintai dan betapa girangnya ketika melihat bahwa di kereta kedua, kereta yang besar dan mewah, terdapat tiga orang penumpang yaitu seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah tanda hartawan, usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan seorang gadis cantik manis yang berusia paling banyak sembilan belas tahun! Seorang gadis cantik dan bajunya merah, manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini dan diam-diam dia memuji kecerdikan adiknya. Bocah itu ada saja akalnya! Akan tetapi sekali ini "tugasnya" lebih berat daripada yang dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada dua losin orang, dan di antara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap mereka lebih gagah daripada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh buat, kalau dia belum "membayar hutang", adiknya tentu akan rewel terus. Dia akan menjaga agar adiknya angan bertindak lebih jauh dari sekadar belajar kenal dengan gadis itu!
"Baiklah, aku akan membayar hutangku. Kau tunggu di luar hutan ini di sebelah kiri sana," katanya tanpa banyak cakap lagi. Kian Bu memegang tangan kakaknya.
"Terima kasih, koko!"
Kian Lee merenggut tangannya. "Pergilah!"
Kian Bu tertawa dan meloncat pergi dengan girang sekali. Mau tidak mau, melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil berlari sambil berjingkrakan itu, Kian Lee menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil, akan tetapi begitu besar hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik!
Dia cepat berlari mengejar rombongan yang sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak mau menimbulkan keributan seperti yang biasa dilakukan adiknya, maka dia sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan. "Harap cu-wi berhenti dulu!"
Melihat ada seorang pemuda berkelebat cepat sekali kemudian berdiri menghadang di tengah jalan, dua kereta dihentiikan dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga kereta, pemimpinnya seorang piauwsu tua berjenggot putih, bersama belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.
"Kau siapakah dan mau apa menahan rombongan kami" bentak si jenggot putih.
Akan tetapi Kian Lee tidak mau melayaninya, melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua. Dia segera dikurung, akan tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil berkata, "Aku mau bicara dengan mereka! Yang berada di dalam kereta!"
Melihat pemuda tampan ini berpakaian pantas dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar, maka para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan besi, dan kereta itu disingkap dari dalam, muncul wajah tiga orang itu. Kian Lee yang melihat jelas bahwa di dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik berbaju merah, segera berkata, "Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!" berkata demikian tubuhnya meloncat cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang melihat dia sudah melesat pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang berteriak teriak. "Tolong.... toloooonggg....!"
Beberapa orang piauwsu memasang anak panah pada busurnya.
"Hati-hati, jangan salah sasaran. Arahkan kepada kakinya!"
Belasan batang anak panah melesat mengejar Kian Lee, akan tetapi dengan meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudahnya menghindarkan kakinya dari sambaran anak panah dan mempercepat larinya. Biarpun para piauwsu melakukan pengejaran secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee sudah lenyap dari depan mereka.
"Lepaskan aku....! Tolonggg....!"
"Diamlah, aku hanya menculikmu!" Kian Lee menahan kata-katanya karena hampir saja dia bilang "Sebentar lagi kau akan tertolong!"
Karena cepatnya dia berlari, tak lama kemudian dia sudah keluar dari hutan itu dan tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar menghadang. "Heii, perampok! Penculik! Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau tidak ingin kupukul mampus!"
Keduanya segera bertanding menurut rencana dan Kian Lee yang terdesak segera melepaskan gadis itu, menerima beberapa kali pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan cepatnya. Dari jauh dia menyelinap dan mengintai ke arah dua orang itu. Dia kagum melihat betapa gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu sambil menangis.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada kongcu yang telah menyelamatkan nyawa saya...." katanya dengan suara merdu.
Kian Bu tersenyum. "Ahhh, tidak mengapa, nona. Urusan kecil saja itu. Tidak perlu berterima kasih. Saya sudah merasa girang kalau nona sudi menjadi sabahat saya."
Gadis itu bangkit berdiri karena tangannya ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu, sikapnya amat memikat. "Tentu saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apapun yang kongcu kehendaki dariku, tentu akan kulakukan untuk membalas budi...."
Kalau saja yang menerima kata-kata ini bukan seorang pemuda tanggung yang masih hijau seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap arti di balik kata-kata memikat ini. Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian Bu hanya tersenyum girang dan berkata, "Terima kasih, aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, apalagi menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian Bu, dan nona siapakah"
"Namaku...." Gadis itu kelihatan malu-malu dan mengerling tajam disertai senyum simpul. "Aku.... Cia Hong Ciauw...."
"Namamu manis sekali, seperti orangnya," kata Kian Bu.
Ucapan yang keluar dari mulut Kian Bu ini hanyalah ucapan jujur saja dan bukan merupakan sanjungan atau bujuk rayu, melainkan diucapkan karena memang sesungguhnya dia menganggap nama itu manis dan orangnyapun manis! Akan tetapi, wajah gadis itu menjadi merah sekali, lebih merah dari bajunya, tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya mengerling, dan dari lehernya keluar suara seperti seekor kucing dibelai.
"Ihiiikk.... kongcu bisa saja memuji orang membikin aku malu saja...." Dan tiba-tiba gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.
"Lhoh....! Ehhh....! Bagaimana ini...." Wah, jangan....!" Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya menjadi kaku dan meremang semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung tubuhnya.
Dan pada saat itulah muncul kakek dari dalam kereta bersama para piauwsu.
"Hong Ciauw....!" Kakek itu membentak marah.
Gadis itu lalu melepaskan rangkulannya, terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat melempar senyum dan kerling manis ke arah Kian Bu, lalu berkata, "Dia ini adalah in-kong (tuan penolong) Suma Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku sudah mati di tangan penculik kejam...."
Kian Bu yang melihat kakek itu melotot marah, tahu bahwa keadaannya tidak menguntungkan. Ayah itu tentu marah melihat anaknya merangkul seorang pemuda!
"Eh, maaf.... aku.... eh, aku hanya menolong puterimu tanpa pamrih sesuatu...."
"Puteri siapa" Dia adalah bini mudaku!" bentak kakek itu.
Sepasang mata Kian Bu makin lama makin lebar sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih lebar lagi, mulutnya juga terbuka sampai lama. Untung di tempat itu tidak banyak lalat! Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan kedua kakinya dan lari lintang pukang seperti dikejar hantu! Tentu saja para piauwsu yang melihat ini menjadi terheran-heran, apalagi mendapat cerita nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah menolongnya dari tangan penculik yang amat lihai tadi. Benar-benar seorang pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan berilmu amat tinggi karena dengan beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu melesat dan lenyap.
Kian Bu berlari terus dengan cepat, merasa seolah-olah gadis manis itu mengejarnya, hendak merangkulnya, hendak menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan kedua pundak dan tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat seolah-olah setan gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.
"Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian Bu bahwa memang ada orang di belakangnya, bukan setan bukan siluman, melainkan kakaknya sendiri. Maka dia berhenti dan terengah-engah memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa dengan gelinya. Baru sekarang dia melihat kakaknya tertawa demikian enak sampai memegang perutnya.
"Ha-ha-ha-ha....! Dia bini mudanya.... ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha....!" Kian Lee yang tidak biasa tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan kegelian hatinya.
"Koko, kau....kejam!" Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti.
Dengan mulut masih tersenyum lebar menahan geli hatinya, Kian Lee berkata,
"Nah, kau rasakan sekarang, Bu-te. Tidak benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya akan menghasilkan ketidakbaikan pula" Karena pertolonganmu tadi hanya sandiwara dan pura-pura saja, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan cemburu seorang suami yang melihat bini mudanya bermain gila dengan orang lain."
"Huh! Sialan perempuan itu....!" Kian Bu membanting kaki dengan gemas. "Aku tidak akan melakukan hal itu lagi! Tidak lagi!"
"Sudahlah, Bu-te, sekali waktu ada gunanya juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita. Nah, marilah sekarang kita cepat mengejar mereka dan membayangi dari jauh."
"Hehh...." Kian Bu memandang kakaknya dengan mata lebar. "Perlu apa membayangi" Aku tidak butuh berkenalan dengan perempuan itu!"
"Sekarang bukan urusan berkenalan dengan wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku melarikan diri dan mengintai, aku melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku segera membayangi mereka. Aku sempat menangkap percakapan mereka yang menyatakan bahwa mereka akan turun tangan terhadap rombongan itu malam ini di kuil tua."
"Eh, siapa mereka itu"
"Aku tidak tahu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun tangan mengganggu, para piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus membayangi dan kalau perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong pura-pura, bukan main sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak yang terancam bahaya."
"Baik, koko. Akan tetapi kuharap ada penculik sungguhan yang melarikan perempuan itu dan jangan harap aku akan menolong dia. Agaknya orang seperti dia itu memang selalu mengharapkan dibawa pergi penculik!" Kian Bu mengomel.
"Hushh, jangan sentimen, Bu-te! Dia patut dimaafkan karena memang sukarlah mencari seorang penolong pemuda istimewa seperti engkau."
"Wah, kau tiada habisnya mengejek, koko!" Suma Kian Bu mengomel dengan suara merengek. "Awas, kalau lain kali engkau yang kecelik, aku akan mentertawakanmu juga!"
Dua orang kakak beradik itu menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi karena rombongan itu dibalapkan semenjak mengalami gangguan kakak beradik itu, maka setelah hampir malam baru mereka dapat menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar hutan. Kuil ini adalah kuil Budha yang sudah amat tua, sebagian besar bangunan itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat perhentian oleh para pendeta Budha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan penyebaran Agama Budha sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan rusak itu tentu saja tidak dipergunakan lagi oleh para pendeta dan hanya dipergunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu untuk sekedar beristirahat atau kadang-kadang juga bermalam. Agaknya rombongan yang dilindungi oleh dua losin piauwsu itu memang sudah merencanakan untuk bermalam di tempat itu dan merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang mengawal. Akan tetapi, peristiwa penculikan nyonya muda di siang hari tadi, dilakukan oleh seorang pemuda dan entah bagaimana nasib nyonya muda itu kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda lain, membuat para piauwsu bersikap waspada, hati-hati dan juga agak cemas. Baru ada seorang perampok saja yang turun tangan, penjahat itu sudah berhasil menculik wanita di hadapan hidung mereka tanpa mereka dapat menangkapnya!
Setelah hartawan itu dan dua orang isterinya turun dari kereta menempati ruangan kuil yang sudah dibersihkan dan dihangatkan dengan api unggun, duduk di dekat api di atas tikar, para piauwsu yang berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa siang tadi. Juga di antara hartawan dan kedua orang isterinya terjadi percakapan mengenai peristiwa itu. Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.
"Baru sejenak saja dari sampingku, engkau sudah main gila dengan laki-laki lain," kata si hartawan kepada bini mudanya.
"Sudah berapa puluh kali kau mengatakan hal itu!" jawab si bini muda dengan berani. "Sampai bosan aku mendengarnya! Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara sih mudah! Aku yang terancam bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam sekali itu, setelah ditolong orang, tentu saja aku amat senang dan berterima kasih. Dia masih amat muda, sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan terima kasihku dengan merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar"
"Kalau aku tidak keburu muncul, entah macam apa lagi terima kasihmu itu, kau perempuan rendah....!"
"Sudahlah, sudahlah....!" Isteri pertama mencela. "Di tengah perjalanan, di tempat berbahaya dan di mana bahaya sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa ribut-ribut mengenai urusan yang telah lewat" Terdengar para piauwsupun hanya akan menimbulkan rasa malu."
Setelah tiga orang itu dengan bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi ribut mulut, para piauwsu yang berjaga-jaga membicarakan peristiwa siang tadi sambil berbisik-bislk. Di antara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu sendiri, juga ikut bercakap-cakap.
"Nasib kita masih baik sehingga ada saja muncul seorang penolong sehingga penculikan itu dapat digagalkan," kata seorang di antara mereka.
"Penculik itu mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Keroyokan anak panah itu dapat dielakkannya semua tanpa menoleh, padahal dia sedang memondong orang dan sedang berlari. Sayang.dia keburu lari sehingga kita tidak sempat mencoba sampai di mana kepandaian ilmu silatnya. Kelihatannya masih muda sekali."
"Akan tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong itupun lebih hebat," bantah yang lain. "Buktinya dapat menolong dan mengusir si penculik. Penolong itupun masih amat muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas bahwa gin-kangnya amat luar biasa, seperti terbang saja."
Can Si Hok, si kepala pengawal yang berjenggot putih, menarik napas panjang dan berkata, "Kawan-kawan, malam ini harap kalian waspada dan lebih baik kalau tidak seorangpun di antara kita tertidur. Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan ketat, perondaan di sekitar kuil dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan terjadi lagi hal yang tidak kita inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si penculik maupun si penolong, merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini belum pernah pula mendengar di dunia kango-uw muncul dua jago muda yang sedemikian lihainya. Baiknya, kalau yang seorang jahat, yang seorang baik dan suka menolong. Mudah-mudahan tugas kita sekali ini tidak akan gagal."
Penjagaan diperketat dan Can Si Hok sendiri melakukan perondaan. Kelihatannya aman dan tidak terjadi sesuatu di tempat yang amat sunyi itu. Benarkah demikian" Sesungguhnya tidaklah demikian karena tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal yang tentu akan menggegerkan para piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya.
Tiga sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya, bergerak di antara pohon-pohon mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka mengintai dari balik pohon besar ke arah empat orang penjaga yang menjaga di pojok kuil.
"Kita bunuh saja mereka berempat itu, lalu menyerbu ke dalam," berbisik seorang di antara mereka.
"Biarlah pinto yang menyelinap ke dalam mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut di luar, memancing perhatian semua piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya tidak perlu dikhawatirkan."
"Baik, akan tetapi bagaimana dengan hartawan itu" tanya tosu yang ada tahi lalat besar di dagu kanannya, "Dan kedua orang wanita itu"
"Bereskan saja mereka, hartawan itu adalah seorang yang pelit!" kata tosu kedua.
"Ah, wanita muda itu sayang kalau dibunuh. Dia manis," kata si tahi lalat.
"Hushhhh.... jangan ribut-ribut, kita bergerak sekarang dan.... heiii.... hujankah...."
Memang ada air menyiram mereka dari atas pohon besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa hujan turun tak tersangka-sangka, akan tetapi hidung ketiga orang tosu itu kembang kempis. Mereka meraba-raba air hujan yang menimpa kepala dan mendekatkan jari ke depan hidung.
"Mengapa baunya begini"
"Seperti air kencing!"
Dan "hujan" pun berhenti yang berarti memang tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang mengencingi mereka dari atas pohon itu.
"Keparat!" Mereka memaki dan secepat kilat tubuh mereka sudah mencelat ke atas, ke dalam pohon. Mereka berlompatan dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorangpun di pohon itu! Terpaksa mereka turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.
"Apa yang terjadi"
"Tentu hanya seekor monyet, siapa lagi"
"Akan tetapi, biarpun monyet, bagaimana bisa bergerak secepat itu seperti pandai menghilang saja"
"Kita harus bekerja cepat," kata tosu bertahi lalat. "Sudah dikabarkan orang bahwa kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat. Yang dapat menggoda kita seperti tadi tentu hanya setan saja!"
Ketiganya menjadi tegang. Mereka percaya bahwa setanlah yang menggoda mereka, karena kalau manusia atau binatang, tak mungkin dapat lari dari mereka sedemikian cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin dapat dipermainkan dan kalau yang berada di atas pohon tadi manusia atau binatang sudah pasti mereka akan dapat menangkapnya.
"Mari kita bergerak," kata tosu pertama. "Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau menyelinap dari kanan, dan kau sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian menyergap keempat orang itu, pinto akan masuk melalui pintu samping yang kelihatan dari sini itu dan selanjutnya kalian harus memancing mereka semua keluar agar leluasa pinto bergerak ke dalam."
"Baik, suheng," kata kedua orang tosu itu yang segera berpencar ke kiri dan ke kanan.
"Heiii.... aduhhh!" Tak lama kemudian terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan menahan teriakan makiannya.
Mereka berkumpul, kini di tempat tosu itu jatuh.
"Mengapa kau, sam-sute"
"Tersandung batu! Sialan!"
"Engkau" Dapat tersandung batu" Sungguh aneh."


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Entahlah, batu itu seperti ada tangannya memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu jahanam itu" Dia meraba-raba dan tidak menemukan batu itu. "Aneh sekali, batu itu besar sekali ketika aku menyandungnya, mengapa sekarang menghilang"
"Ah, sungguh heran, sekali mengapa mendadak engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh sendiri, sam-sute. Apakah cerita tentang setan membuat kau penakut" cela tosu tertua.
"Biarlah empat orang itu kubereskan sendiri, nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah memancing mereka keluar," kata orang kedua yang segera meloncat ke depan dengan sigap. Dua orang temannya melihat dia meloncat ke atas, akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka karena tidak melihat temannya itu turun lagi, seolah-olah menghilang begitu saja!
Tosu tertua dan sam-sutenya yang tadi tersandung batu ajaib itu terbelalak memandang. "Eh, ke mana dia" tanya sutenya. "Mana ji-suheng"
Tosu tertua juga bingung karena sutenya itu benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas. "Ji-sute....!" bisiknya memanggil.
Tiba-tiba terdengar jawaban agak jauh di belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban panggilan itu melainkan suara "ceekkk.... ceekkk...." seperti orang yang lehernya dicekik! Cepat mereka berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari itu sedang "menggantung" diri di sebuah dahan, tubuhnya berkelojotan, lehernya mengeluarkan suara tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga celananya merosot turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu sudah "biasa" tidak memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang bulat di tubuh bagian bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali!
Kedua orang tosu itu cepat meloncat dan melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa turun saudara mereka yang sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan mukanya itu! Mereka sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher bekas terjirat itu, yang kedua membenarkan celana dan mengikatkan lagi sabuknya pada pinggang.
Setelah siuman, tosu ketiga bertanya, "Ji-suheng, mengapa kau begitu pendek pikiranmu" Mengapa kau hendak membunuh diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti saat seperti ini" Aihh, ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu akan melayang ke neraka siksaan!"
"Bunuh diri hidungmu itu!" Si tahi lalat memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya dan menggoyang-goyangkan kepalanya. "Iblis yang melakukan ini!"
"Ji-sute, coba ceritakan, apakah yang terjadi" Tanya tosu tertua setelah dia tadi meloncat ke atas pohon menyelidiki akan tetapi juga tidak menemukan orang di situ.
Tosu bertahi lalat menghela napas lalu bergidik. "Kalian melihat sendiri aku meloncat. Tahu-tahu rambutku ditangkap orang dari atas dan sebelum aku sempat berteriak, jalan darah di leher ditotok membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu.... digantung di dahan itu."
"Tidak mungkin!" Tosu pertama membantah.
"Mungkin saja!" Tosu ketiga mencela.
"Buktinya dia sudah tergantung di sana, kecuali kalau dia menggantung diri sendiri. Ji-suheng, berterusteranglah, apa kau benar-benar tidak mencoba membunuh diri" Jangan putus asa, biarlah wanita di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!"
"Sam-sute, sekali lagi kau bicara tentang bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!" Si tahi lalat berkata marah dan mendongkol.
"Ji-sute, pinto sukar untuk percaya. Biarpun andaikata benar ada orang menangkap rambutmu dari atas dan menotok jalan darahmu di leher sehingga kau tidak dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan masih bebas. Dengan itu kau dapat...."
"Kalau diceritakan memang aneh, suheng, maka tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang dapat melakukan itu. Aku sudah melawan tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah menampar lambungnya, bahkan aku yakin benar tangan kananku sudah menotok jalan darahnya di pinggang. Akan tetapi aku seolah-olah menampar dan menotok tubuh.... mayat saja. Begitu dingin dan sama sekali tidak ada hasilnya, hihhh....!" Dia bergidik dan kedua orang saudaranya ikut merasa ngeri.
"Aihh.... benar-benarkah ada setan di sini...."
Tosu pertama berkata sambil menoleh ke kanan kiri sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal.
Tiba-tiba si tahi lalat berkata, "Bukan, suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan karena aku mendengar dia tertawa, disusul suara yang terdengar jelas akan tetapi agak jauh."
"Suara bagaimana"
"Suara seorang laki-laki berkata: Koko, dia telanjang, ha-ha, begitulah, sekarang aku teringat benar tentu ada dua orang di pohon itu yang mempermainkan aku."
Tosu pertama mengelus jenggotnya. "Hemmm.... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu."
Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang karena dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi.
Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki, adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan.
Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee yang sudah turun ke bawah bersama adiknya, berkata, "Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapapun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan."
Kian Bu menggangguk. "Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya."
"Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu."
"Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran, koko"
"Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran di antara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapapun, dan kita tidak dapat mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau metihat ketidakadilan, baru kita harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah."
"Wah, sukar, Lee-ko!"
"Apanya yang sukar"
"Tentang keadilan itu, atau lebih tepat ketidakadilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak" Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!"
"Hemm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidakadilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan."
"Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!"
Dua orang kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi. Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenit pun, kedua orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.
*** Siapakah adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu" Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak diganggunya" Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu.
Ternyata bahwa seperti juga di setiap pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang membenci Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan pemerintahannya, bahkan berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat dengan usaha memperbaiki nasib rakyat kecil. Betapapun juga, tetap saja ada di antara mereka yang penasaran dan menghendaki agar pemerintah penjajah itu lenyap dari tanah air mereka. Golongan ini yang tidak berani berterang melakukan penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu menyusup ke mana-mana dan di antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat negara yang berupa pasukan pemerintah!
Apalagi pada waktu itu, kesempatan baik tiba bagi mereka yang diam-diam membenci Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua dan seperti biasanya yang terjadi dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja sudah tua maka timbullah perang dingin di antara para pangeran yang bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang amat diinginkan itu.
Biarpun putera mahkota yang ditunjuk untuk kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu Pangeran Yung Ceng, namun banyaklah pangeran-pangeran yang lebih tua usianya, putera-putera selir, merasa iri hati dan selain ada yang menginginkan kedudukan kaisar juga banyak yang memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu kaisar kelak.
Di antara mereka yang berambisi merampas kedudukan terdapat seorang pangeran tua, pangeran yang paling tua di antara para pangeran. Pangeran tua ini bernama Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah lima puluh tahun lebih karena dia dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri Kaisar Kang Hsi. Diam-diam Liong Bin Ong mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw yang membenci pemerintah, bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa liar di luar tembok besar, terutama bangsa Mongol yang masih menaruh dendam kekalahannya terhadap Mancu. Diantara golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini terdapat perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.
Tiga orang tosu yang pada malam itu dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah angauta-anggauta Pek-lian-kauw yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan penyelidikan karena Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai menaruh curiga terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada Jenderal Kao Liang yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas utara. Di dalam kabar yang diterima ini, pesuruh dari pemerintah pusat menyamar dan selain mengirim berita, juga membawakan biaya dalam bentuk emas dan perak. Tiga orang tosu itu bertugas untuk mengawasi dan kalau dapat merampas semua itu.
Adapun hartawan yang sedang melakukan perjalanan itu memang datang dari kota raja bersama kedua orang isterinya dan dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat, akan tetapi dia hanyalah seorang hartawan yang hendak pulang ke kampung halamannya saja di utara. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh para pemberontak sebagai utusan dari kota raja!
Demikianlah, dengan hati merasa lega juga bahwa semalam tidak terjadi gangguan terhadap mereka, para piauwsu mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan perjalanan. Dusun yang dituju oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak di balik gunung di depan kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih.
Akan tetapi, belum lama mereka bergerak meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta pertama yang duduknya agak tinggi melihat debu mengepul di depan. "Ada orang dari depan....!" serunya dan semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua kereta itu untuk melindungi.
"Berhenti dan berjaga-jaga!" Piauwsu berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta itu lalu berhenti, semua piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang namun siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang sudah bertahun-tahun melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup penuh kekerasan dan pertempuran.
Tak lama kemudian, muncullah tiga orang tosu itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang tinggi besar yang menunggang kuda. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda saja dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh dengan berkuda, dan sikap mereka jelas membayangkan kekerasan, kekejaman dan juga ketangkasan ahli-ahli silat. Yang lebih mengesankan bagi para piauwsu adalah tiga orang tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari cepat di depan rombongan berkuda. Para piauwsu yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi sepuluh orang berkuda yang tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tiga orang tosu itulah yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh karena itu, pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah maju menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.
"Kami dari Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Terbang) di Sen-yang menghaturkan salam persahabatan kepada sam-wi totiang dan cu-wi sekalian. Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal memenuhi jalan sehingga merepotkan cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat, silahkan mengambil jalan dulu!" Kata-kata penuh hormat dan merendah ini memang biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika menghadapi gerombolan yang tidak dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka, makin sedikit lawan makin banyak kawan makin baik.
Tiga orang tosu itu tidak segera menjawab, melainkan mata mereka mencari-cari penuh selidik, memandangi semua anggauta piauwsu, bahkan dua orang kusir keretapun tidak luput dari pandang mata mereka yang penuh selidik sehingga para piauwsu menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga orang tosu itu mengandung wibawa dan agaknya mereka marah. Tentu saja tidak ada orang yang tahu bahwa tiga orang kakek pendeta ini mencari apakah selain para piauwsu, tidak ada orang yang menyelundup di dalam rombongan itu. Mereka masih terpengaruh oleh peristiwa gangguan "setan" semalam! Akan tetapi ketika melihat bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat mewakili suhengnya menjawab, "Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang kalian."
Berubah wajah para piauwsu dan tangan mereka sudah meraba gagang pedang masing-masing. Melihat gerakan ini tiga orang tosu itu tertawa dan tosu tertua sekarang berkata, "Kami tldak ada permusuhan dengan Hui-houw Piauw-kiok!"
Mendengar ini pimpinan piauwsu kelihatan girang karena sekarang sudah tampak olehnya gambar teratai di baju tiga orang tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya keder karena sudah terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak melakukan perampokan, maka para piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menghadang perjalanan mereka.
"Kamipun tahu bahwa para locianpwe dari Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan tidak akan menggang&u perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang kami, tidak tahu ada keperluan apakah" Pasti kami akan membantu dengan suka hati sedapat kami."
"Kami akan menggeledah kereta yang kalian kawal!" kata si tahi lalat yang agaknya sudah tidak sabar lagi.
Berubahlah wajah pimpinan piauwsu. Sambil menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapapun juga, dia adalah wakil ketua piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela mempertaruhkan nyawanya demi nama baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau orang yang dikawalnya.
"Harap sam-wi totiang suka memandang persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami," katanya tenang.
"Kami tidak mengganggu, hanya memeriksa dan tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau kami mendapatkan apa yang kami cari," kata tosu tertua.
"Apakah yang sam-wi cari" tanya piauwsu.
"Bukan urusanmu!" jawab si tahi lalat. "Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu apa melayani segala piauwsu cerewet"
Pimpinan piauwsu melangkah maju menghadang di depan kereta, mengangkat mukanya dan memandang dengan sinar mata berapi penuh kegagahan. "Sam-wi totiang perlahan dulu! Sam-wi tentu maklum bahwa seorang piauwsu yang sedang bertugas mengawal menganggap kawalannya lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Oleh karena itu, betapapun menyesalnya, kami terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi melakukan penggeledahan terhadap barang dan orang-orang kawalan kami."
Si tahi lalat membelalakkan matanya lebar-lebar. "Apa" Kau hendak menentang kami" Kami bukan perampok, akan tetapi sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil tindakan lain!"
"Kami juga tidak menuduh sam-wi perampok, akan tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu disinggung, apa boleh buat, kami akan melupakan kebodohan kami dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi dua kereta ini."
"Wah, piauwsu sombong, keparat kau!" Si tahi lalat sudah bergerak, akan tetapi lengannya dipegang oleh suhengnya.
"Piauwsu, kalau dua orang suteku bergerak, apalagi dibantu oleh kawan-kawan kita di belakang ini, dalam waktu singkat saja kalian semua yang berjumlah dua losin ini tentu akan menjadi mayat di tempat ini. Kami bukan hendak merampok tanpa alasan dan bukan hendak menyerang orang tanpa sebab dan sekarang kami hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa tersinggung kehormatanmu sebagai piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto kalah, kami akan pergi dan kami tidak akan mengganggu kalian lebih jauh lagi. Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus membolehkan kami melakukan penggeledahan."
Piauwsu tua itu mengerutkan alis berpikir dan mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu. Memang resikonya besar sekali kalau dia membiarkan anak buahnya bertempur melawan rombongan Pek-lian-kauw itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak takut mati dalam membela dan melindungi kawalan mereka. Mati dalam tugas melindungi kawalan bagi seorang piauwsu adalah mati terhormat! Akan tetapi, perlu apa membuang nyawa kalau para tosu ini memang hanya ingin menggeledah" Pula, dia mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal pemberontakan, siapa tahu hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu, atau membawa sesuatu yang merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw" Kalau dia menang, dia percaya bahwa mereka itu tentu akan pergi karena dia sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw, biarpun kadang-kadang amat kejam, namun selalu memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau dia kalah, dua kereta hanya akan digeledah. Andaikata mereka menemukan sesuatu yang dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya amat kecil kalau dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia menolak.
"Baiklah, kalau aku kalah, sam-wi boleh menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap cu-wi suka melepaskan kami pergi," katanya sambil mencabut golok besarnya, senjata yang diandalkan selama puluhan tahun sebagai piauwsu. "Saya sudah siap!"
Sebelum tosu tertua maju, tosu ketiga sudah berkata, "Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang maju melayani. Sudah sebulan lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal rasanya!"
Si tahi lalat dan suhengnya mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga yang tubuhnya kecil kurus, mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit paru-paru itu melangkah maju dengan sigap. Dia adalah seorang pecandu madat, maka tubuhnya kurus kering dan mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai. Agaknya racun madat yang dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan menurut cerita orang, setiap kali habis menghisap madat, dia menjadi lebih ampuh dari biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai perkembangan yang lebih aneh dan lihai!
Tosu itu menghampiri piauwsu berjenggot putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di tangan si piauwsu, lalu berkata, "Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah"
Piauwsu itu tentu saja menjadi heran, mengangkat goloknya lalu berkata, "Apakah totiang tidak mengenal senjata ini" Sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak aku menjadi piauwsu."
Tosu kecil kurus itu mengangguk-angguk, "Aahh, pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu kurus"
Mendengar ucapan yang nadanya berkelakar dan mengejek ini, rombongan anak buah Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari kudanya, dan rombongan piauwsu juga tersenyum masam karena pihak mereka diejek oleh tosu kecil kurus yang kelihatan lemah namun amat sombong itu!
"Totiang, kurasa sekarang bukan waktunya untuk berkelakar. Kalau totiang mewaklli rombongan totiang maju menghadapiku harap totiang segera mengeluarkan senjata totiang, dan mari kita mulai," kata pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.
"Senjata.... heh-heh, twa-suheng dan ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau tidak melihat bahwa pinto telah membawa empat batang senjata yang masing-masing sepuluh kali lebih ampuh daripada alat pemotong babi di tanganmu itu"
Piaauwsu tua itu sudah cukup berpengalaman maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang bernada sombong itu. "Hemm, jadi totiang hendak melawan golokku dengan keempat buah tangan kaki kosong" Baiklah, totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku, maka kalau sampai totiang menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku."
"Majulah, kau terlalu cerewet!" kata tosu kecil kurus itu dan dia sendiri seenaknya saja, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya ini jelas memandang rendah kepada lawan.
Melihat sikap tosu itu, piauwsu itu juga tidak sungkan-sungkan lagi, cepat dia mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar dengan derasnya.
"Wuuuuttt.... sing-sing-sing-singgg....!" Hebat memang ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali dengan cepat dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar, membalik dan melanjutkan serangan pertama yang gagal dengan bacokan kedua. Demikianlah, golok itu menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda, dari kanan ke kiri dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.
"Wah-wehh.... wutt, luput....!" Tosu kurus kering itu mengelak ke sana-sini dengan cekatan sekali dan biarpun dia juga kaget menyaksikan serangan yang bertubi-tubi dan berbahaya itu, namun dia masih mampu terus-menerus mengelak sambil membadut dan berlagak.
Golok itu bergerak dengan cepat dan teratur, sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan gerak kaki ilmu silat Hoa-san-pai, kadang-kadang menusuk akan tetapi lebih banyak membacok dan membabat ke arah leher, dada, pinggang, lutut dan bahkan kadang-kadang membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan loncatan ke atas. Suara golok membacok angin mengeluarkan suara mendesing-desing menyeramkan dan sebentar kemudian, golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang indah dan yang mengejar ke manapun tosu itu bergerak.
Namun hebatnya, tosu itu selalu dapat mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia menyampok dengan kaki atau tangannya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja berani menyampok golok dengan kaki atau tangan, karena meleset sedikit saja sampokan itu, tentu mata golok akan menyanyat kulit merobek daging mematahkan tulang!
"Kau boleh juga, piauwsu!" kata si tosu dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya juga lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari di antara gulungan sinar golok. Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya berhenti beberapa detik oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat menguasai dirinya yang terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khi-kang tadi, tahu-tahu lengan kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak sinar golok berkelebat di depannya, memanjang dari atas ke bawah, disusul suara "bret-bret-brettt....!" dari kain terobek dan.... ketika tosu itu melempar golok ke tanah, tampak piauwsu itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek lebar dari atas ke bawah sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja dia terkejut dan malu sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu, dan dengan muka merah dia menjura dan memungut goloknya, "Saya mengaku kalah. Silahkan totiang bertiga melakukan penggeledahan!"
Terdengar suara berbisik di antara para piauwsu, akan tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak, "Saudara-saudara harap mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di dalam kereta!" Selagi piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu pertama dan ketiga menghampiri kereta depan, adalah si tahi lalat ini menghampiri kereta belakang di mana duduk si hartawan bersama kedua orang isterinya!
Sambil menyeringai ke arah wanita muda baju merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai itu berkata, "Kalian sudah mendengar betapa kepala piauwsu kalah dan kami berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!"
Hartawan itu dengan muka pucat ketakutan menjawab, "Harap totiang suka menggeledah kereta depan karena semua barang kami berada di kereta depan."
"Ha-ha, dua orang saudaraku sudah menggeledah ke sana, akan tetapi yang kami cari itu mungkin saja disembunyikan di dalam pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto terpaksa akan melakukan penggeledahan di pakaian kalian."
Tentu saja dua orang wanita itu menjadi merah mukanya dan isteri tua cepat berkata, "Totiang yang baik, kami orang-orang biasa hendak menyembunyikan apakah" Harap totiang suka memaafkan kami dan tidak menggeledah, biarlah saya akan bersembahyang di kelenteng memujikan panjang umur bagi totiang."
Si tahi lalat tersenyum menyeringai,
"Heh-heh, tidak kau sembahyangkanpun umurku sudah panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!"
Wanita setengah tua itu terkejut dan tidak berani membuka mulut lagi melihat lagak pendeta yang pecengas-pecengis seperti badut dan pandang matanya kurang ajar sekali ditujukan kepada madunya yang masih muda itu.
"Orang menggeledah orang lain harus didasari kecurigaan. Akupun tidak mau berlaku kurang ajar kepada kalian berdua, akan tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan hati pinto, karenanya pinto harus menggeledahnya!"
"Aihhh....!" Wanita muda itu menjerit lirih, tentu saja merasa ngeri membayangkan akan digeledah pakaiannya oleh tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya menyeringai penuh liur itu.
"Lihat, dia ketakutan! Tentu saja pinto menjadi lebih curiga lagi!" kata tosu bertahi lalat itu serius. "Harap kalian turun dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!"
Setelah didorongnya, suami isteri setengah tua itu tergopoh-gopoh turun dari kereta, meninggalkan wanita muda itu sendirian saja. Wanita itu duduk memojok dan tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu naik ke kereta sambil tersenyum menyeringai.
"Aku.... aku tidak membawa apa-apa....! Aku.... tidak punya apa-apa...."
"Ah, bohong! Segala kau bawa, kau mempunyai begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan jangan membantah kalau tidak ingin pinto bertindak kasar!" Dan sepuluh jari tangan itu seperti ular-ular hidup merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh wanita muda itu.
Suaminya dan madunya yang berada di luar kereta, hanya mendengar suara wanita itu merintih, merengek dan mendengus diseling kadang-kadang terkekeh genit dan suaranya mencela, "Eh.... ihh.... hi-hik, jangan begitu totiang....!" Suara ini bercampur dengan suara tosu itu yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh pula, kadang-kadang terdengar suaranya, "Hushh, jangan ribut.... kau diamlah saja ku.... ku... geledah...."
Sementara itu, dua tosu yang lain telah memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali peti-peti terisi pakaian dan beberapa potong perhiasan dan uang emas milik hartawan itu.
"Hemm, sia-sia saja kita bersusah payah. Para penyelidik itu benar bodoh seperti kerbau. Orang biasa dicurigai!" Tosu kurus kering mengomel.
"Mana ji-sute" Tosu tertua bertanya.
"Ke mana lagi si mata keranjang itu kalau tidak ke kereta kedua"
"Hemm.... mari kita lekas pergi, setelah salah duga, tidak baik terlalu lama menahan mereka. Para piauwsu itu tentu akan menyebarkan berita tidak baik tentang Pek-lian-kauw."
Keduanya meninggalkan kereta pertama dan menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua membuka pintu kereta, tosu pertama menyumpah. "Ji-sute, hayo cepat kita pergi!"
"Eh.... uhh.... baik, suheng!"
Akan tetapi agak lama juga barulah si tahi lalat itu keluar dari kereta, pakaiannya kedodoran, rambutnya awut-awutan dan napasnya agak terengah, dan ketika kedua orang hartawan dan isterinya naik kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang membereskan pakaiannya dan rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum kecil, mengerling ke arah suaminya yang cemberut. Pintu kereta ditutup dari dalam dan segera terjadi maki-makian dan keributan di dalam kereta antara si suami yang memaki-maki bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling suara isteri tua yang melerai mereka.
Akan tetapi, ketika dua tosu itu menghampiri kereta kedua, para pengikutnya yang kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa orang dari mereka ikut memeriksa kereta pertama, kemudian beberapa buah peti mereka bawa ke kuda mereka. Melihat ini piauwsu yang terdekat segera meloncat dan menegur, "Heii, mengapa kalian mengambil peti itu" Kembalikan!"
Jawabannya adalah sebuah bacokan kilat yang membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah keadaannya yang memang sejak tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang sejak tadi sudah hampir terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya saja. Kini, begitu seorang piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak menyerbu dan terjadilah pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan.
Melihat ini, biarpun hatinya menyesal, tiga orang tosu itu terpaksa turun tangan. "Jangan kepalang, kalau sudah begini, bunuh mereka semua agar tidak meninggalkan jejak kita!" kata si tosu tertua. Memang terpaksa dia harus membunuh seluruh piauwsu dan kusir serta penumpang kereta, karena kalau tidak, tentu mereka akan menyebar berita bahwa Pek-lian-kauw mengganggu dan merampok. Hal ini tentu akan menimbulkan kemarahan ketua mereka dan merekalah yang harus bertanggung jawab, mungkin mereka akan dibunuh sendiri oleh ketua mereka karena hal itu amat dilarang karena dapat memburukkan nama Pek-lian-kauw di mata rakyat yang mereka butuhkan dukungannya.
"Bunuh semua, jangan sampai ada yang lolos!" tiga orang tosu itu berteriak-teriak sambil mengamuk. Siapa saja yang berada di dekat tiga orang tosu yang bertangan kosong ini, pasti roboh.
Tiba-tiba tampak berkelebatnya dua sosok bayangan orang yang tahu-tahu di situ telah muncul Kian Lee dan Kian Bu. Mereka sudah sejak tadi membayangi dan mengintai dari jauh. Mereka melihat lagak para tosu dan karena wanita muda itu sama sekali tidak minta tolong, bahkan ada terdengar suara ketawanya di antara rintihan dan rengeknya, Kian Lee yang ditahan-tahan oleh adiknya itu sengaja tidak turun tangan dan mendiamkannya saja. Juga ketika terjadi adu kepandaian tadi, dia tidak berbuat apa-apa karena memang pertandingan itu sudah adil, satu lawan satu.
Akan tetapi melihat pertempuran pecah dan mendengar aba-aba dari mulut tosu itu, Kian Lee dan Kian Bu hampir berbareng melompat dan lari cepat sekali ke medan pertempuran. Sekali mereka bergerak, robohlah empat orang di antara sepuluh orang tinggi besar pengikut Pek-lian-kauw itu dan terdengar Kian Bu berteriak, "Cu-wi piauwsu, harap kalian hadapi enam orang hutan itu, biarkan kami menghadapi tiga orang pendeta palsu ini!"
Melihat munculnya dua orang muda yang segebrakan saja merobohkan empat orang tinggi besar itu, semua piauwsu terheran-heran dan tentu saja dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mengenal kedua orang itu yang bukan lain adalah si penculik nyonya muda dan penolongnya! Bagaimana mereka dapat datang bersama dan kini membantu mereka menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw" Akan tetapi, mereka tidak ada waktu untuk bertanya dan kini semua para piauwsu yang bersama pemimpinnya masih berjumlah delapan belas orang karena yang enam orang telah roboh, maju menyerbu dan mengeroyok enam orang sisa pasukan pengikut Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu. Biarpun pada umumnya tingkat kepandaian orang Pek-lian-kauw itu lebih tinggi sedikit, namun karena mereka harus menghadapi para piauwsu dengan perbandingan satu lawan tiga, mereka segera terdesak.
Sementara itu, Kian Lee dan Kian Bu sudah menghadapi tiga tosu yang memandang kepada mereka dengan mata terbelak dan dengan ragu-ragu. Kian Bu segera tersenyum dan bertanya, "Apa kabar, sam-wi totiang" Aihh, kenapa sam-wi bau air kencing"
Mendengar kata-kata ini, tiga orang tosu itu kontan berteriak marah sekali karena mereka tahu bahwa dua orang pemuda inilah yang mengganggu mereka semalam dan yang telah menyamar sebagai "setan". Biarpun semalam mereka mendapatkan bukti betapa lihainya dua orang itu, namun begitu melihat mereka berdua hanyalah pemuda-pemuda tanggung, tiga orang tosu itu menjadi besar hati. Sampai di mana sih tingkat kepandaian orang-orang muda seperti itu" Mereka tentu saja tidak merasa gentar sedikitpun dan sambil mengeluarkan suara teriakan seperti harimau buas, si tahi lalat sudah lebih dahulu menerjang maju dan mencengkeram dengan kedua tangan membentuk cakar ke arah kepala Kian Bu!
Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, akan tetapi setelah kedua tangan yang seperti cakar itu dekat dengan kepalanya secepatnya ia menangkis hingga sekaligus tangan kirinya menangkis dua tangan lawan yang menyeleweng ke samping, kemudian secepat kilat tangan kanannya bergerak selagi tubuh lawan masih berada di udara.
"Plak! Crettt! Aduuhh....!" Tosu bertahi lalat di dagunya itu berteriak kaget dan kesakitan, lalu mencelat mundur berjungkir balik sambil mendekap hidungnya yang keluar "kecap" terkena sentilan jari tangan Kian Bu. Biarpun tosu itu sudah mahir sekali menggunakan sin-kang membuat tubuhnya kebal, akan tetapi kekebalannya tidak dapat melindungi hidungnya yang agak terlalu besar dan buntek itu, maka sekali kena disentil jari tangan yang kuat itu, sekaligus darahnya muncrat ke luar.
Tosu kurus kering juga sudah menerjang Kian Lee. Karena tosu ini lebih berhati-hati, tidak sembrono seperti sutenya, dia menyerang dengan jurus pilihan dari Pek-lian-kauw, bahkan dia mengerahkan sin-kang yang mendorong hawa beracun menyambar ke luar dari telapak tangannya. Hampir semua tokoh Pek-lian-kauw yang sudah agak tinggi tingkatnya, semua mempelajari ilmu pukulan beracun ini, yang hanya dapat dipelajari oleh kaum Pek-lian-kauw. Ilmu pukulan ini ada yang memberi nama Pek-lian-tok-ciang (Tangan Beracun Pek-lian-kauw) dan memang amat dahsyat karena begitu tosu itu memukul dengan kedua tangan terbuka, tidak saja dapat melukai lawan di sebelah dalam tubuhnya dengan hawa pukulan sin-kang itu, akan tetapi hawa beracun itu masih dapat mencelakai lawan yang dapat menahan sin-kang. Berbahayanya dari pukulan ini adalah karena hawa beracun itu tidak mengeluarkan tanda apa-apa, berbeda dengan pukulan tangan beracun lain yang dapat dikenal, yaitu dari baunya atau dari uap yang keluar dari tangan sehingga lebih mudah dijaga.
Kian Lee agaknya tidak tahu akan pukulan beracun ini, maka dengan seenaknya dia menyambut dengan k
Istana Pulau Es 14 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Golok Halilintar 13
^