Pendekar Cacad 13

Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 13


yang megah serentak menyerbu puluhan Tosu berpedang
yang segera menuju ke arah pintu gerbang.
Bong Thian-gak mengerti, perkembangan saat ini telah
berubah gawat, kecuali dia masuk ke dalam kuil dan
menjumpai Sam-cing Koancu untuk menerangkan duduk
permasalahan yang sebenarnya, kalau tidak, pertumpahan
darah tentu akan berlangsung di situ.
Demi keselamatan Gi Jian-cau, Bong Thian-gak merasa tak
mampu lagi menghindarkan diri dari bentrokan dengan orangorang
Sam-cing-koan. "Tio-pangcu!" dengan suara dalam ia berseru, "kita serbu
ke dalam, tapi kumohon kau jangan melukai jiwa mereka."
821 Bong Thian-gak segera melompat ke muka dan
menyongsong kedatangan kawanan Tosu itu.
Puluhan orang Tosu berbaju kuning itu seperti daun kering
yang terhembus angin kencang, begitu termakan pukulan Tio
Tian-seng dan Bong Thian-gak, segera berjatuhan ke lantai
dan roboh tak sadarkan diri.
Sementara itu Tio Tian-seng telah melompat ke atas atap
rumah, lalu dengan kecepatan luar biasa meluncur ke arah
gedung halaman kedua.
Dalam pada itu suara genta telah berkumandang di seluruh
kuil, bayangan orang berkelebat, kembali muncul
serombongan Tosu yang bersenjata lengkap dari balik gedung.
Bong Thian-gak langsung meluncur masuk ke dalam
gedung utama, kemudian dengan suara keras teriaknya,
"Totiang sekalian, harap dengarkan baik-baik. Aku adalah
Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak, ketua Hiat-kiam-bun. Aku
datang untuk berjumpa dengan Koancu kalian, harap kalian
jangan menghalangi jalanku, bawalah aku menjumpai ketua
kalian secepatnya!"
Namun kawanan Tosu itu sama sekali tidak menggubris,
diiringi hentakan keras, serentak mereka menyerbu ke arah
Bong Thian-gak sambil mengayunkan senjata!
Dalam keadaan begini, terpaksa Bong Thian-gak harus
memutar lengan tunggalnya, dimana angin pukulannya
menyambar, kawanan losu itu satu demi satu segera roboh
bergulingan. Soal tenaga dalam, kemampuan Bong Thian-gak sudah
mencapai puncak kesempurnaan, berat-ringannya serangan
bisa dilancarkan sekehendak hati. Oleh sebab itu meski
kawanan Tosu itu terguling terkena serangan, mereka hanya
roboh dengan jalan darah tertotok, sama sekali tak
mempengaruhi keselamatan jiwa mereka.
822 Bong Thian-gak bergerak secepat hembusan angin, makin
bertarung makin mendesak ke depan, dalam waktu singkat ia
sudah memasuki halaman kelima.
Halaman kelima adalah lapangan tempat berkumpul dalam
kuil Sam-cing-koan.
Tatkala Bong Thian-gak menyerbu masuk ke dalam
lapangan itu, dengan cepat pemuda itu dibikin tertegun dan
berdiri termangu-mangu.
Ternyata empat penjuru sekeliling tanah lapang itu sudah
dipenuhi Tosu baju kuning dengan senjata terhunus, jumlah
mereka mencapai tiga ratusan orang.
Tio Tian-seng sedang terkepung, waktu itu ia sudah
menghunus sebilah pedang yang penuh berlepotan darah,
sedang di sekeliling arena terlihat ada tujuh kutungan lengan
berceceran, darah telah membuat tanah lapang itu menjadi
merah. Dari sorot mata ketujuh Tosu yang cacat lengannya,
tampaknya mereka memiliki kepandaian silat sangat tinggi,
namun sekarang mereka duduk bersila di atas tanah dengan
wajah diliputi perasaan sedih, gusar dan penuh penderitaan.
Bong Thian-gak segera menerjang ke sisi Tio Tian-seng,
kemudian setelah menghela napas sedih, katanya, "Tiopangcu,
seranganmu kelewat berat!"
"Aku tidak menyangka dalam kuil Sam-cing-koan terdapat
tujuh orang jago pedang yang amat lihai, hampir saja aku
menderita kalah oleh kepungan barisan pedang Jit-sing-kiamtin
mereka," sahut Tio Tian-seng dingin.
Baru saja selesai berkata, dari balik rombongan di sebelah
timur sana tiba-tiba berjalan keluar Sam-cing Tosu yang
membawa Hud-tim (kebutan).
Di sisi kiri dan kanannya mengikut empat Tosu kecil yang
masing-masing membawa dua bilah pedang pendek.
823 Tosu itu berjalan dengan sangat lambat, selangkah demi
selangkah berjalan ke tengah arena.
Malam sudah menjelang tiba, kegelapan mencekam seluruh
jagat, Bong Thian-gak baru bisa melihat jelas paras muka
Tosu itu setelah berhadapan.
Tosu ini berjenggot hitam sepanjang dada, rambutnya
digulung dengan tusuk konde, sementara sepasang matanya
memancarkan sinar tajam bagaikan bintang timur.
Terutama sikap si Tosu yang begitu anggun dan
berwibawa, membuat setiap orang yang bertemu dengannya
segera akan muncul perasaan kagum dan hormat.
Setelah Bong Thian-gak melihat Tosu tadi, segera dia
menjura seraya berkata, "Aku Bong Thian-gak, tampaknya
saudara adalah Sam-cing Koancu."
Sementara itu Tosu berbaju kuning itu sudah menghentikan
langkahnya, tatkala sinar matanya dialihkan dari wajah Bong
Thian-gak ke wajah Tio Tian-seng, tiba-tiba saja paras
mukanya berubah hebat.
Paras muka Tio Tian-seng sendiri pun agak berubah
melihat wajah tosu itu, segera katanya, "Sungguh tak
kusangka Pat-kiam-hui-hiang (delapan pedang salju
beterbangan) Tan Sam-cing yang telah lenyap dari dunia
persilatan sejak empat puluh tahun berselang, ternyata sudah
menetap dalam kuil Sam-cing-koan di kota Lok-yang ini."
Mendengar nama Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing, hati
Bong Thian-gak bergetar, diam-diam ia berpikir, "Tan Samcing"
Bukankah dia adalah jago pedang Bu-tong-pay yang
amat termasyhur namanya pada empat puluh tahun
berselang?"
Konon kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki orang ini
luar biasa sekali sehingga disebut sebagai orang kedua
824 tertangguh dalam Bu-tong-pay setelah Thia Sam-hong, Cosu
pendiri Bu-tong-pay.
Empat puluh tahun lalu dalam Bu-lim terdapat empat orang
paling termasyhur. Mereka adalah Ku-lo Sinceng, Oh Ciong-hu,
Tio Tian-seng dan Tan Sam-cing.
Tosu berbaju kuning itu segera mengebas Hud-timnya
beberapa kali, kemudian sambil tertawa ringan katanya,
"Sebenarnya aku sedang ragu dan curiga, jagoan darimanakah
yang mampu melukai ketujuh muridku, tidak kusangka orang
itu adalah Tio Tian-seng."
Tiba-tiba suaranya menjadi berat, sambungnya, "Suatu
serangan vang bagus, serangan yang bagus sekali, nyatanya
pedang Tio Tian-seng masih kejam, buas dan tak mengenal
ampun." "Tan Sam-cing," ujar Tio Tian-seng dingin, "seandainya kita
harus melangsungkan pertarungan, bisa jadi kita harus
bertarung selama tiga hari tiga malam sebelum bisa
ditentukan siapa lebih unggul di antara kita."
Paras muka Tan Sam-cing berubah amat serius, pelanpelan
ia berseru, "Kiam-tong, siapkan pertarungan!"
Serentak keempat Tosu yang berdiri di kiri kanan Tan Samcing
melolos pedang pendek, begitu pedang dilolos dari
sarungnya, delapan jalur sinar pedang yang tajam bagai
lapisan kabut segera menyelimuti angkasa.
Melihat itu, seru Bong Thian-gak, "Harap jangan
bertarung." Tan Sam-cing memandang Bong Thian-gak
sekejap, lalu tegurnya, "Siapa kau?"
"Aku bernama Bong Thian-gak, ketua Hiat-kiam-bun.
Berhubung Gi Jian-cau dan Keng-tim Suthay dari perguruan
kami pernah berpesan kepadaku, bahwa mereka meminjam
tempat dalam kuil kalian untuk membuat obat, maka aku
datang kemari untuk meninjau mereka."
825 Berubah hebat paras Tan Sam-cing, segera tegurnya,
"Dengan cara apakah kau bisa membuktikan kau adalah Jianciat-
suseng?" "Tan-koancu," dengan cepat Bong Thian-gak berseru,
"sebenarnya apa yang telah terjadi di sini" Apakah ada musuh
yang telah mencatut namaku untuk mengunjungi kuil ini?"
"Sebelum kita bicara lebih jauh, alangkah baiknya bila kau
bisa membuktikan dulu identitasmu. Bila kau tak mampu,
berarti kau adalah manusia jahanam yang menyaru sebagai
Jian-ciat-suseng."
"Apa yang Koancu inginkan?"
"Keng-tim Suthay pernah menjelaskan wajah dan identitas
Jian-ciat-suseng kepadaku, tapi yang paling penting adalah
terdapatnya benda kepercayaan Hiat-kiam-bun yakni Pek-hiatkiam."
Berubah paras muka Bong Thian-gak, ia segera bertanya,
"Apakah sudah ada orang datang kemari dengan membawa
pedang Pek-hiat-kiam?"
"Bukan cuma membawa Pek-hiat-kiam saja, bahkan ia
mempunyai raut muka dan ciri yang sama dengan dirimu."
"Sekarang orang itu berada dimana?"
"Sudah pergi menjumpai Keng-tim Suthay."
"Aduh celaka," seru Bong Thian-gak dengan gelisah.
"Tolong tanya Keng-tim Suthay berada dimana sekarang"
Bagaimana kalau sekarang juga Koancu mengajakku pergi
menjumpainya."
"Boleh saja, asal kau sudah membuktikan kaulah Jian-ciatsuseng
yang sesungguhnya,"
"Setelah bertemu Keng-tim Suthay nanti, siapa yang asli
dan yang 826 palsu akan segera diketahui."
Tan Sam-cing tertawa dingin.
"Aku telah mendapat pesan wanti-wanti dari Keng-tim
Suthay bahwa pembuatan obat oleh si tabib sakti
mempengaruhi keselamatan |iwa banyak orang. Kejadian ini
amat penting dan tak boleh terjadi kesalahan sekecil apa pun,
tentu saja aku tak berani mengambil resiko."
Bong Thian-gak menjadi gelisah sehingga mendepakdepakkan
kaki berulang-kali, serunya, "Kini musuh tangguh
telah memasuki tempat pembuatan obat, bila keadaan seperti
ini dibiarkan berlangsung lerus, mungkin suatu peristiwa yang
sama sekali di luar dugaan bakal terjadi. Tan-koancu, bila kau
menganggap masalah pembuatan obat oleh Gi Jian-cau adalah
masalah besar, kau harus bertindak secepatnya."
Tio Tian-seng turut menimbrung pula, "Pokoknya jika Gi
Jian-cau sampai mengalami suatu musibah, jangan harap kau
Tan Sam-cing bisa berdiam terus di tempat ini."
Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing tertawa dingin, katanya,
"Kau lelah melukai tujuh orang muridku, hari ini kau pun
jangan harap bisa meninggalkan kuil Sam-cing-koan dalam
keadaan aman dan selamat."
Di antara sekian orang, Bong Thian-gak yang merasa paling
gelisah, cepat dia berseru lagi dengan lantang, "Dendam
permusuhan Locianpwe berdua lebih baik disingkirkan lebih
dulu, hal terpenting yang harus segera kita atasi sekarang
adalah menghalangi usaha kaum laknat untuk mencelakai Gi
Jian-cau."
Tan Sam-cing memandang sekejap ke arah Bong Thiangak,
kemudian ujarnya, "Tempat dimana si tabib sakti Gi Jiancau
mengolah obat adalah gua yang amat rahasia letaknya,
orang biasa tak mungkin bisa masuk ke dalam secara mudah,
apalagi di luar gua pun dijaga oleh banyak jago lihai. Bila
827 Keng-tim Suthay merasakan hal yang tidak beres, dia pasti
akan mengirim tanda rahasia kepadaku."
"Pinto justru kuatir kalian berdualah yang sesungguhnya
hendak mencelakai si tabib sakti, bila kuajak kalian memasuki
gua rahasia itu, tak bisa kubayangkan bagaimana akibatnya."
"Kalau begitu kau tak akan mengajak kami bertemu Gi Jiancau?"
tegur Tio Tian-seng dengan suara dingin. Tan Sam-cing
tertawa dingin pula.
"Aku akan mengajak kalian berjumpa dulu dengan Kengtim
Suthay." "Hanya dia yang dapat membuktikan keaslian kalian."
"Harap Tan-koancu segera mengajak kami menjumpainya,"
seru Bong Thian-gak gelisah.
"Ayo ikut aku!" seru Tan Sam-cing kemudian sambil
mengebas Hud-tim yang berada di tangan kirinya.
Ia membalik badan, lalu berjalan menuju ke arah timur.
Keempat Tosu kecil yang mendampinginya, dengan delapan
bilah pedang masih terhunus segera mengikut di sekitar Tan
Sam-cing dengan kewaspadaan tinggi.
Setiap langkah kaki keempat Tosu kecil itu selalu berirama
dan menjaga jarak mereka dengan Tan Sam-cing, tidak terlalu
cepat juga tidak terlalu lambat, biarpun lima orang berjalan
bersama-sama, namun langkahnya bagaikan langkah satu
orang. Bong Thian-gak dan To Tian-seng mengikut di
belakangnya, melihat cara keempat Tosu kecil dan Tan Samcing
berjalan, mereka dibuat terkejut, segera pikirnya, "Dari
cara mereka berjalan, tampaknya kepandaian silat yang
dimiliki keempat Tosu kecil ini sudah mencapai puncak
kesempurnaan, terutama dari langkah mereka yang seirama
dengan Tan Sam-cing, sudah jelas keempat Tosu kecil ini akan
828 menjadi pembantu utama Tan Sam-cing bila melancarkan
serangan nanti."
Sam-cing-koan adalah kompleks kuil yang amat luas,
gedungnya dibangun searah dengan tanah perbukitan.
Ketujuh orang itu menembus tiga gedung lagi sebelum
akhirnya tiba pada gedung kesembilan.
Sepanjang perjalanan Bong Thian-gak tiada hentinya
mengawasi sekeliling tempat itu, tak ada bayangan manusia,
agaknya segenap Tosu dalam kuil itu telah dihimpun
seluruhnya ke tanah lapang di depan gedung kelima.
Gedung yang kesembilan ini berbeda corak dengan delapan


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gedung lainnya. Dari kejauhan gedung itu hanya dinding
melulu seputarnya tidak terdapat gedung tambahan ataupun
pintu keluar, mirip sebuah gedung manunggal yang berdiri
sendiri. Tan Sam-cing serta keempat Tosu kecil menuju ke gedung
itu, tak tahan Bong Thian-gak bertanya, "Tan-koancu, apakah
Keng-tim Suthay sekalian berada di dalam gedung itu?"
"Benar," Tan Sam-cing mengangguk, "mereka memang
berada dalam gedung ini."
Sembari berkata, ketujuh orang itu menelusuri undakundakan
batu dan naik ke atas.
Setibanya pada undak-undakan terakhir, Bong Thian-gak
berdua baru dapat melihat gedung itu ternyata kosong.
Sebelum Bong Thian-gak mengajukan pertanyaan, Tan
Sam-cing telah menjelaskan lebih dahulu, "Di dalam gedung
terdapat gua besar yang tembus ruang bawah tanah, gua itu
terbagi menjadi sembilan buah lorong yang saling bersilangan
dalam perut bumi. Bila seseorang yang tidak mengenal jalan
masuk ke situ, mereka akan memasuki sebuah barisan yang
membingungkan dan jangan harap dapat keluar lagi dengan
selamat." 829 Tiba-tiba Tio Tian-seng berseru, "Tunggu dulu, jangan
masuk." "Ada apa?" tanya Tan Sam-cing seraya berpaling.
"Mengapa tak kulihat seorang pun dalam ruangan?"
Tan Sam-cing tertawa dingin.
"Sebelumnya kita telah melewati daerah terlarang,
bagaimana mungkin bisa bertemu orang?"
"Tan Sam-cing, kami akan menunggu di sini sampai kau
mengajak keng-tim Suthay keluar serta membuktikan
kebenaran identitas kami, sebelum kami memasuki gedung
rahasia dengan barisanmu itu."
"Tio-pangcu," kata Tan Sam-cing sambil tertawa dingin,
"bila kau takut masuk, lebih baik menunggu di luar saja atau
kau memang takut tak bisa keluar lagi dalam keadaan
selamat?" Tio Tian-seng segera tertawa.
"Aku berani membunuh ketujuh orang muridmu, berarti aku
tak takut menghadapi balas dendammu."
"Empat puluh tahun berselang, meskipun Tio Tian-seng
adalah seorang raja iblis pembunuh manusia yang ditakuti
orang, namun Tan Sam-cing masih berani menantangmu
bertarung secara blak-blakan."
"Tapi kenyataan tempo hari kau menghindari tantanganku
untuk berduel," jengek Tio Tian-seng sambil tertawa dingin.
"Sepuluh tahun sudah cukup merubah segalanya, siapa
tahu justru kaulah yang akan menghindari tantanganku pada
hari ini."
"Kalau begitu, tunggu saja nanti!"
Tan Sam-cing segera memimpin keempat Tosu kecil
melanjutkan perjalanan memasuki gedung.
830 Di ujung gedung terdapat dinding bukit yang rata bagaikan
cermin, tiba-tiba Tan Sam-cing menarik sebuah gelang besi
tempat obor yang terdapat di dinding.
Diiringi suara keras, dinding batu yang datar itu mendadak
bergeser ke samping dan terbukalah sebuah pintu rahasia.
Dengan langkah cepat Tan Sam-cing dan keempat Tosu
kecil melangkah masuk.
Menyusul kemudian terdengar lagi suara gemuruh yang
sangat keras, dinding batu yang bergeser tadi kini sudah
menutup kembali.
Siapa pun tak menyangka kalau di atas dinding batu yang
licin bagaikan cermin itu sesungguhnya terdapat sebuah pintu
rahasia. Menyaksikan hal itu, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, katanya, "Bila si tabib sakti memang mengolah obat
di tempat ini, maka tempat ini memang sebuah tempat yang
sangat aman."
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar lagi suara
gemuruh pintu terbuka lagi dan Tan Sam-cing melompat
keluar dari pintu rahasia dengan wajah tegang.
Tergetar perasaan Bong Thian-gak, cepat ia menyongsong
sambil menegur, "Tan-locianpwe, apa yang telah terjadi?"
"Celaka, telah terjadi peristiwa besar," seru Tan Sam-cing
dengan wajah kaget bercampur gugup. "Murid-murid kami
yang bertugas melakukan penjagaan di dalam sana telah mati
dibunuh orang."
Mendengar itu, Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng serentak
menyelinap masuk ke dalam pintu rahasia.
Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan, di sana terdapat
pula perabot rumah tangga, belasan orang Tosu berbaju
kuning tampak roboh bergelimpangan di atas tanah dalam
keadaan mengenaskan.
831 Di ujung dinding batu terdapat sembilan buah lorong gua,
saat itu keempat Tosu kecil tadi dengan pedang terhunus
berjaga di depan mulut gua, sikap mereka amat serius
seakan-akan sedang menghadapi musuh besar.
Bong Thian-gak dapat merasakan betapa gawatnya situasi
waktu itu, maka kepada Tan Sam-cing yang ikut masuk ke
dalam ruangan, ia bertanya, "Tan-koancu, si tabib sakti
berada dimana?"
"Tempat dimana Gi Jian-cau mengolah obat terletak dalam
sebuah ruang rahasia di tengah kesembilan lorong itu, Kengtim
Suthay bersama beberapa orang jago lihai Hiat-kiam-bun
bersama-sama menjaga di situ."
Dalam pada itu Tio Tian-seng telah memeriksa setiap
mayat yang tergeletak di tempat itu, wajahnya nampak serius,
ia berdiri termangu sambil memutar otak memikirkan kejadian
yang sedang dihadapinya.
"Tio-pangcu, apa yang menyebabkan kematian orangorang
itu?" tanya Bong Thian-gak kemudian dengan suara
nyaring. Sebelum Tio Tian-seng sempat menjawab, Tan Sam-cing
telah menjelaskan lebih dulu, "Mereka tewas oleh pukulan
tenaga dalam yang hebat dan sempurna, setiap serangan
tepat mengenai isi perut."
Tio Tian-seng seperti teringat akan sesuatu, ia segera
berseru tertahan, lalu membungkukkan badan dan merobek
pakaian bagian dada sesosok mayat.
Dengan cepat, ia menjerit kaget, "Ah, Hek-mo-ong!"
Dengan cepat Bong Thian-gak dan Tan Sam-cing memburu
ke sana, ternyata di atas dada Tosu itu terdapat sebuah cap
tengkorak berwarna hitam.
"Apakah lambang tengkorak hitam ini merupakan lambang
Hek-mo-ong?" tanya Bong Thian-gak keheranan.
832 Sewaktu Tan Sam-cing mendengar kata "Hek-mo-ong",
dengan cepat ia menghampiri sesosok mayat yang lain serta
merobek pakaian di bagian dada mereka.
Ternyata di dada mayat-mayat itu terdapat lambang
tengkorak hitam.
Paras muka Tio Tian-seng berubah menjadi tak sedap
dipandang, pelan-pelan ia berkata, "Tak salah lagi,
pembunuhnya adalah Hek-mo-ong, sebab setiap korban yang
dibunuh Hek-mo-ong, di dadanya selalu terdapat lambang
tengkorak hitam."
Setelah berhenti sejenak, kepada Tan Sam-cing ia
bertanya, "Hidung kerbau, menurut pendapatmu sudah
berapa lama mereka dibunuh?"
"Ai, kurang lebih satu jam berselang," kata Tan Sam-cing
sambil menghela napas sedih.
Tio Tian-seng menggeleng kepala berulang kali. "Tak
mungkin begitu lama."
"Lantas menurut pendapatmu mereka sudah tewas berapa
lama?" "Paling lama setengah jam berselang, paling cepat
seperempat jam yang lalu."
"Pembunuhnya mungkin masih belum meninggalkan
tempat ini"seru Bong Thian-gak kemudian.
"Benar," Tio Tian-seng mengangguk. "Jelas orang itu belum
meninggalkan gua ini, bisa jadi si pembunuh masih berada
dalam lorong gua atau mungkin juga sedang mencelakai jiwa
Keng-tim Suthay dan tabib sakti."
Bong Thian-gak segera berkelebat ke depan dan menyerbu
ke dalam lorong gua.
"Bong-laute, jangan masuk dulu!" cepat Tio Tian-seng
berteriak. 833 Bong Thian-gak berhenti seraya berpaling, "Tio-pangcu,
bila kita tak segera menghalangi pembunuh itu, akibatnya
sukar dibayangkan."
"Pembunuh itu mempunyai kepandaian silat luar biasa, lagi
pula bersembunyi di dalam gua. Jika Bong-laute masuk ke
dalam secara sembrono, niscaya keselamatan jiwamu akan
terancam."
"Betul!" kata Tan Sam-cing pula. "Harap Bong-sicu jangan
masuk dulu, dalam gua ini hanya terdapat sebuah pintu
masuk, bila pembunuh itu belum pergi dari sini, ia tidak
mungkin muncul di tempat ini."
Tio Tian-seng segera menengok sekejap ke arah Tan Samcing,
lalu serunya, "He, hidung kerbau, sekarang kau baru
percaya kalau dia adalah ketua Hiat-kiam-bun?"
Tan Sam-cing menghela napas panjang.
"Ai, si pendatang itu bukan hanya membawa tanda
kepercayaan ketua Hiat-kiam-bun yakni Pek-hiat-kiam, dia pun
cacat lengan kiri dan pincang kaki kanannya, usia hampir
sebaya, cara bagaimana Pinto bisa membedakan kepalsuan
dirinya?" "Apakah dia datang seorang diri?" tanya Tio Tian-seng lagi
dengan kening berkerut.
"Masih ada dua orang lagi, seorang gadis berusia dua puluh
tahun dan seorang kakek."
"Sudah kau lihat jelas paras kakek itu?"
Tan Sam-cing segera berseru tertahan, "Ah, sudah kulihat,
tapi sama sekali tiada gambaran dalam benakku."
"Dengan ketajaman mata Tan-koancu, masa kau begitu
cepat melupakan ciri wajahnya?"
"Sungguh aneh," Tan Sam-cing menggeleng kepala.
"Padahal bila seseorang pernah berjumpa denganku, maka
834 sepuluh tahun lagi pun aku masih dapat mengingatnya, tapi
sekarang aku sama sekali tak punya kesan apa pun tentang
dirinya." Pada saat itulah dengan wajah kereng dan serius, Tio Tianseng
bertanya lagi, "Hei, hidung kerbau, sungguhkah kau tak
bisa mengingat muka kakek itu?"
Tan Sam-cing menggeleng kepala berulang kali.
"Aneh, betul-betul sangat aneh, rasanya orang itu
menggerakkan tubuhnya tiada henti waktu itu ... sehingga
paras mukanya tak dapat terlihat dengan jelas."
"Kalau begitu bisa jadi kakek itu adalah Hek-mo-ong," ucap
Tio Tian-seng kemudian dengan wajah serius.
"Hek-mo-ong" Rasanya Pinto juga pernah mendengar
nama itu."
"Kapan kau mendengar nama itu" Mendengarnya dari
siapa?" "Sepuluh tahun lalu, Oh Ciong-hu pernah menyinggung
nama itu, dia pun menjelaskan kemisteriusan orang itu dan
perbuatannya yang sadis dan keji."
Tio Tian-seng menghela napas sedih.
"Ai, sayang sekali Oh Ciong-hu telah tewas, kalau tidak,
dialah yang paling jelas mengetahui asal-usul Hek-mo-ong.
Tan Sam-cing, apakah Oh Ciong-hu mengatakan kepadamu
siapakah Hek-mo-ong yang sebenarnya?"
"Sama sekali tidak."
Bong Thian-gak menimbrung dengan suara dalam,
"Seandainya
Hek-mo-ong dan sekalian pembunuh benar-benar masih
berada dalam gua ini, menunggu kedatangan mereka di
tempat ini rasanya bukan cara terbaik, entah Hek-mo-ong itu
835 seorang berkepala tiga berlengan enam atau bukan. Bila Tiopangcu
dan Koancu bersedia membantu, Boanpwe yakin
masih dapat menghadapi manusia laknat itu." Tio Tian-seng
segera mengangguk.
"Betul, dengan kekuatan kita bertiga, sekalipun ada dua
orang Hek-mo-ong yang tangguh pun jangan harap bisa unjuk
gigi, yang kukuatirkan sekarang adalah Tan-koancu."
Belum sempat ia mengutarakan kata-kata berikutnya, Tan
Sam-cing sudah mendengus dingin sembari menukas, "Hekmo-
ong telah membunuh belasan anggota kami, kau anggap
Pinto akan melepaskan begitu saja?"
"Tapi aku juga telah melukai ketujuh orang muridmu,"
sambung Tio Tian-seng.
Tan Sam-cing segera tertawa dingin, "Dendam sakit hati ini
pasti akan kutuntut balas, aku tahu Tio Tian-seng tentu
mengetahui hal ini dengan jelas."
"Yang kukuatirkan kau si hidung kerbau akan
memanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk
membalas dendam. Bila hal itu sampai terjadi, hari ini aku
benar-benar akan keok di tempat ini."
"Aku pasti akan membunuh Hek-mo-ong lebih dahulu
sebelum mencari balas kepadamu," seru Tan Sam-cing sambil
tertawa dingin.
Mendengar pembicaraan yang berlangsung antara kedua
orang itu, Bong Thian-gak terkesiap, segera pikirnya,
"Tampaknya Tosu tua ini seorang licik yang banyak akal
muslihatnya, jelas dia bukan dari golongan lurus."
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba Bong Thian-gak melompat
ke depan dan menerobos masuk ke dalam gua nomor lima
yang tepat berada di tengah.
"Bong-laute, tunggu dulu!" lekas Tio Tian-seng berseru
dengan gelisah.
836 Tanpa berpaling, Bong Thian-gak menyahut lantang,
"Harap Tio-pangcu berjaga-jaga di luar saja, jangan biarkan
pembunuh itu melarikan diri, masalah dalam lorong biar
kuhadapi seorang diri!"


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai berkata, Bong Thian-gak telah kabur ke dalam gua.
Suasana di dalam lorong gua gelap-gulita sehingga sukar
untuk melihat kelima jari tangan sendiri. Ketika Bong Thiangak
sudah masuk dan belum jauh, di hadapannya sudah
terbentur dinding batu, ternyata lorong itu berakhir sampai di
situ, sedangkan di sisi kiri kanannya masing-masing terdapat
lorong cabang yang entah berhubungan dengan mana,
sedangkan bagian tengah adalah dinding batu.
Waktu itu Bong Thian-gak sangat menguatirkan jiwa Kengtim
Buthay dan si tabib sakti, buru-buru dia berbelok menuju
ke arah lorong gua sebelah kanan.
Berjalan tak jauh pula, gua tadi terbagi lagi menjadi tiga
cabang, kali ini Bong Thian-gak dibuat termangu, tapi
kemudian dia memilih meneruskan perjalanannya dengan
menempuh gua sebelah tengah.
Kembali ia menempuh perjalanan, lorong pun terpecah lagi
menjadi empat cabang, ia memilih sebuah lorong di
antaranya. Lorong bawah tanah yang gelap dan menyeramkan
menimbulkan perasaan ngeri bagi siapa pun, gua itu entah
berapa dalamnya dan masih terdapat berapa banyak cabang
lagi" Setelah menempuh perjalanan sekian lama, Bong Thiangak
merasa dirinya tersesat. Setiap kali mencapai
persimpangan jalan, terpaksa ia mesti memilih satu di
antaranya untuk melanjutkan, tapi lelelah ditempuh dan
menyelusuri sekian waktu, dia merasa balik ke pinisi semula.
837 Hal itu segera menimbulkan perasaan menyesal di hati
kecilnya, ia teisesat. Kemanakah dia harus pergi mencari
Keng-tim Suthay serta si tulah sakti Gi Jian-cau"
Mendadak Bong Thian-gak seperti menangkap suara
langkah yang sangat lirih, suara itu datang menuju ke
arahnya. Bong Thian-gak pura-pura tidak merasakan hal itu, dia
masih melanjutkan langkahnya setindak demi setindak ke arah
depan. Siapa sangka suara langkah itu mengintilnya dan tiba-tiba
lenyap begitu saja.
Bong Thian-gak dibuat tertegun dan segera menghentikan
langkah lemhari berpaling.
la menangkap sesosok bayangan orang berbaju hitam yang
kecil ramping telah berdiri di belakang tubuhnya.
Lorong bawah tanah yang gelap gulita sudah barang tentu
tak memungkinkan baginya untuk melihat raut wajah lawan
secara jelas, tapi sorot mata lawan justru seperti dua titik
cahaya bintang yang sedang mengawasi dirinya tanpa
berkedip. "Siapa kau?" Bong Thian-gak menegur.
Orang berbaju hitam itu tidak menjawab, tapi Bong Thiangak
dapat merasakan segulung angin pukulan berhawa dingin
menyergap dirinya secara diam-diam.
Bong Thian-gak segera membentak, telapak tangan kirinya
diayun ke muka sekuat tenaga, sementara tubuhnya
mengikuti gerak serangan itu bergeser ke samping.
Terasa ada senjata rahasia yang terbang melalui sisi
tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara pun, senjata
rahasia itu akhirnya menerjang dinding gua hingga permukaan
dinding berguguran ke tanah.
838 Dengan terkejut Bong Thian-gak lantas berpikir, "Sungguh
berbahaya! Serangan senjata lawan sama sekali tidak
menimbulkan sedikit suara pun. Coba kalau aku tidak
menggeser ke samping, bukankah senjata rahasia itu akan
bersarang di tubuhku secara telak?"
Ketika ia mencoba mendongakkan kepala, orang berbaju
hitam itu nampaknya sudah berubah posisi.
Sekali lagi Bong Thian-gak membentak, "Siapa kau" Bila tak
mau bersuara, jangan salahkan bila aku berbuat kurangajar
kepadamu!"
Orang berbaju hitam itu masih juga belum bersuara, Bong
Thian-gak mengerahkan tenaga dalam secara diam-diam,
kemudian dengan cepat melepaskan sebuah pukulan yang
amat dahsyat ke depan.
Serangan itu dilepaskan dengan hebat, tatkala angin
serangan menderu, sesungguhnya kekuatan serangan sendiri
telah mencapai setengah tombak ke hadapan musuh, pada
hakikatnya sama sekali tidak memberi kesempatan kepada
lawan untuk menghindar.
Namun orang itu memang terhitung jago silat berilmu
tinggi, di saat angin serangan mulai menderu bagai amukan
angin puyuh, tahu-tahu orang itu telah bergeser.
Bong Thian-gak baru tahu, bisa jadi orang ini adalah salah
satu di antara ketiga pembunuh yang dimaksud Tan Sam-cing
tadi, karenanya dia menggerakkan tubuh dan mendesak maju
secara garang. Lengan tunggalnya kembali diayun, telapak tangan yang
tajam bagaikan babatan mata golok langsung diayunkan
menghantam dada musuh.
Kecepatan serangan Bong Thian-gak sudah merajai
persilatan dan jarang sekali ada musuh yang mampu lolos.
Kenyataan biarpun kecepatan serangan Bong Thian-gak
839 sangat mengagumkan, ancaman itu cuma mengenai tempat
kosong. Orang itu segera berkelebat, kali ini tangannya yang halus
mulus seakan-akan menggenggam benda yang secara
langsung dihujamkan ke arah dadanya.
Bong Thian-gak amat terperanjat, serangan musuh sangat
aneh dan hebat, rasanya mustahil untuk membendung
ancaman itu. Bong Thian-gak berseru tertahan, dadanya seperti dicap
hingga roboh terjengkang ke belakang.
Tapi bersamaan pula Bong Thian-gak mengayunkan kaki
kanan melepaskan sebuah tendangan kilat ke depan, jeritan
kaget segera berkumandang, tubuh orang berbaju hitam yang
kecil mungil itu seketika tertendang oleh Bong Thian-gak
hingga mencelat ke belakang sana.
Begitu tubuhnya menumbuk dinding batu, segera roboh ke
tanah. Dengan gerakan yang sangat cepat Bong Thian-gak melejit
dan menerjang ke arah orang itu.
Telapak tangan tunggalnya diputar dan mencengkeram
urat nadi lengan kiri lawan.
Dalam anggapan Bong Thian-gak, orang itu terkena
tendangannya hingga roboh terjengkang, berarti serangan
yang dilancarkan olehnya malah pasti berhasil membekuk
musuh. Siapa tahu pada saat itulah, kakinya yang kecil mendadak
diayun ke muka dan menghantam tubuh Bong Thian-gak
hingga jatuh terejerembab ke sisi kanan.
Orang itu menghunus pisau belati yang bersinar tajam,
kemudian sambil melejit dari atas tanah menyergap Bong
Thian-gak. 840 Seketika timbul hawa membunuh Bong Thian-gak,
sebenarnya semua serangan yang dilancarkan cukup hati-hati,
sebab diketahuinya lawan adalah seorang wanita, dia enggan
melancarkan serangan ganas untuk menyakiti musuhnya itu.
Tapi setelah mengetahui betapa sukarnya menaklukkan
lawan, mau tak mau dia mesti mempersiapkan serangan yang
jauh lebih ganas dan buas, sebab ia tahu, bila tidak, hal itu tak
mungkin akan berhasil.
Sambil mendengus dingin Bong Thian-gak mengayun
telapak tangannya dan secara beruntun melancarkan tiga
serangan berantai.
Semua ancaman dilancarkan tanpa menimbulkan sedikit
suara pun, tapi justru serangan itu merupakan ancaman yang
dahsyat, dan mengerikan.
Perempuan berbaju hitam menjerit kesakitan, tubuhnya
mundur sempoyongan kemudian membalikkan badan dan
melarikan diri ke arah lorong gua.
"Kau anggap masih bisa melolos diri?" jengek Bong Thiangak
dengan suara dingin.
Dengan cepat ia melompat ke depan dan melakukan
pengejaran secara ketat.
Tapi hanya selisih satu langkah saja, perempuan berbaju
hitam itu sudah menyelinap ke balik sebuah cabang lorong
gua yang gelap dan menyembunyikan diri di balik kegelapan
sana. Tak terlukiskan rasa dongkol Bong Thian-gak menghadapi
itu, sambil menggebrak tanah, dia mengumpat tiada hentinya,
"Pelacur busuk, akan kulihat kau bisa kabur sampai dimana?"
Lorong demi lorong segera diperiksa dan digeledahnya
secara seksama dan teliti.
841 Namun bukan saja ia tak berhasil mengejar gadis berbaju
hitam itu, ia pun gagal menemukan lorong menuju keluar,
pemuda itu tersesat dalam lorong rahasia yang
membingungkan itu.
Sudah hampir satu jam ia menelusuri lorong bawah tanah,
rasanya kaki sudah linu dan kaku, akhirnya setelah menghela
napas panjang ia duduk di atas tanah.
Sekarang baru timbul perasaan gugup bercampur ngeri
dalam hati pemuda itu.
Pikirnya, "Sekarang aku terkurung di sini, bila tiada orang
yang menolong, bukankah aku bakal mati kelaparan dalam
lorong sialan ini."
Tiba-tiba ia menangkap suara rintihan lirih berkumandang
dari depan, rintihan itu segera memutus lamunannya.
Serta-merta anak muda itu memeriksa dan memandang
sekeliling tempat itu.
Akhirnya ia lihat seseorang sedang duduk bersandar di
dinding gua, Bong Thian-gak segera menyilangkan telapak
tangannya untuk melindungi dada, lalu selangkah demi
selangkah menghampiri.
Dugaannya memang tidak meleset, dia adalah seorang
perempuan berbaju hitam.
Tiba-tiba perempuan berbaju hitam itu memuntahkan
darah segar, lalu dengan suara lirih ia berkata, "Jika kau
berani mendekat lagi, segera akan kulontarkan peluru api
Leng-hwe-tan."
Baru saja kata-kata itu selesai diutarakan, Bong Thian-gak
sudah mendesak ke muka, kelima jari tangannya bagaikan
cakar elang tahu-tahu sudah mencengkeram urat nadinya.
"Sayang sekali tindakanmu terlampau lambat," ia
menjengek sambil tertawa dingin, "lagi pula kau pun tidak
842 memiliki kekuatan lagi untuk menggerakkan jari-jari
tanganmu."
Memang benar perempuan berbaju hitam itu tidak memiliki
kekuatan lagi untuk menggerakkan jari-jari tangannya.
Urat nadi adalah alat penggerak peredaran darah, apabila
urat nudi dicengkeram, maka segenap kekuatan akan lenyap,
apalagi gadis itu memang pada dasarnya telah kehilangan
kekuatan untuk melakukan perlawanan.
"Siapa kau?" akhirnya perempuan itu menegur dengan
suara gemetar. Bong Thian-gak tertawa dingin.
"Aku justru ingin bertanya kepadamu, siapa kau?"
"Aku adalah Sam-buncu Hiat-kiam-bun," suara perempuan
itu masih gemetar.
"Hm, siapa yang mau percaya begitu saja?" jengek Bong
Thian-gak sambiI tertawa dingin.
"Kumohon padamu, bersediakah kau melepas
cengkeramanmu?"
"Boleh saja, asal kau bersedia juga menjawab
pertanyaanku secara terus terang."
"Apa yang hendak kau tanyakan" Cepatlah kau ajukan!"
"Sesungguhnya berapa banyak anggota komplotanmu yang
sudah menyelundup ke dalam lorong bawah tanah ini?"
"Komplotan" Komplotan apa?"
Bong Thian-gak kembali tertawa dingin.
"Komplotan Hek-mo-ong, komplotan yang berniat datang
kemari untuk membunuh si tabib sakti Gi Jian-cau."
"Ah!" perempuan itu berseru tertahan, lalu buru-buru
bertanya, "Siapa kau" Cepat katakan!"
843 "Aku adalah ketua Hiat-kiam-bun, Jian-ciat-suseng Bong
Thian-gak."
Baru selesai ia berkata, tiba-tiba Bong Thian-gak
merasakan datangnya segulung angin pukulan yang maha
dahsyat menyergap tiba dari arah belakang tanpa
menimbulkan suara.
Serta-merta Bong Thian-gak melepaskan cengkeraman
pada urat nadi tangan kanan perempuan itu, kemudian
dengan cekatan berkelit ke samping untuk menghindarkan
diri. Suatu benturan keras segera berkumandang, menyusul
jeritan ngeri yang menyayat hati.
Ternyata angin pukulan yang amat keras dan dahsyat itu
persis menghajar tubuh perempuan berbaju hitam itu.
Di saat tubuhnya berkelit ke samping tadi, Bong Thian-gak
telah mengayunkan pula telapak tangannya dengan kecepatan
luar biasa. Kembali menggema suara ledakan keras yang memekakkan
telinga, seseorang dengan tertawa licik yang dingin dan
menggidikkan segera berkelebat dan lenyap di balik kegelapan
sana. Bong Thian-gak sama sekali tak menyangka serangannya
yang cepat ternyata gagal melukai musuh, dia siap menerjang
kembali, namun musuh telah kabur menyelamatkan diri.
Untuk beberapa saat lamanya Bong Thian-gak tertegun dan
berdiri termangu-mangu, kemudian ia membalikkan badan
memeriksa keadaan perempuan berbaju hitam itu. Siapa tahu
perempuan tadi sudah tergeletak lemas di atas tanah,
tergeletak dalam keadaan tak bernyawa.
Baru sekarang Bong Thian-gak mengerti, rupanya tujuan
serangan orang tadi adalah menghilangkan saksi hidup.
844

Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memandang mayat yang tergeletak di hadapannya ini Bong
Thian-gak menghela napas sedih, gumamnya tanpa terasa,
"Bila arwahmu bisa tahu, sudah tentu kau tahu siapakah orang
yang telah membunuhmu, dia adalah rekanmu sendiri."
Bong Thian-gak masih menganggap perempuan berbaju
hitam itu adalah rekan Hek-mo-ong, ia masih ragu dia adalah
Sam-hubuncu Hiat-kiam-bun.
Lorong bawah tanah itu kembali dicekam suasana seram,
ngeri serta menggidikkan.
Bong Thian-gak mengerti di dalam lorong bawah tanah itu
masih tersembunyi beberapa orang musuh yang setiap saat
bisa melancarkan sergapan ke arahnya, oleh sebab itu ia
meningkatkan kewaspadaan nambil pelan-pelan bergerak
maju. Mendadak Bong Thian-gak menangkap lagi suara langkah
yang bergerak mendekat dari sembilan penjuru yang berbeda.
Saat itu Bong Thian-gak sedang berdiri di tengah sembilan
buah persimpangan.
Dengan wajah serius dan memusatkan perhatian, matanya
yang dingin dan tajam mengawasi ke sekeliling tempat itu.
Terasa olehnya dari balik sembilan lorong gelap dan
mengerikan Itu masing-masing berdiri seorang, delapan belas
buah sorot mata yang tajam seperti api setan mengawasi
wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Dengan terkejut Bong Thian-gak berpikir, "Bukankah
menurut keterangan Tan Sam-cing dalam lorong bawah tanah
ini hanya terdapat liga orang musuh saja" Mengapa sekarang
ada begitu banyak?"
Ia pun mendehem beberapa kali, kemudian menegur, "Aku
adalah ketua Hiat-kiam-bun Bong Thian-gak, apakah sobat
bersembilan adalah anggota perguruan di bawah pimpinan
Tan-koancu dari kuil Sam-cing-koan?"
845 Dalam hati pemuda itu kembali berpikir, "Jangan-jangan
orang-orang ini dikirim Tan Sam-cing untuk mencari diriku
atau mungkin juga sedang mencari si pembunuh keji Hek-moong."
Baru selesai Bong Thian-gak berbicara, tiba-tiba ia
merasakan datangnya sembilan gulungan angin pukulan
dahsyat yang dilontarkan secara bersama-sama, deru angin
tajam yang memekakkan telinga segera menyapu datang
dengan dahsyatnya.
Bong Thian-gak dapat menangkap keanehan di balik deru
angin pukulan itu, ia tak berani berdiri di tengah arena
menyongsong datangnya ancaman, maka sambil bergeser ke
samping, pemuda itu langsung menerjang ke salah seorang di
depannya. Tindakan yang diambilnya sekarang sungguh cerdas,
andaikata ia masih berdiri di tengah persimpangan jalan
menghadapi datangnya ancaman, betapa pun sempurnanya
tenaga dalam yang dimilikinya akan sulit baginya
membendung tenaga gabungan sembilan orang.
Dalam sekejap mata lorong itu sudah dipenuhi oleh suara
deru angin pukulan yang kencang, dahsyat dan mengerikan.
Desingan angin berpusing serta pantulan tenaga pukulan yang
menimbulkan suara benturan yang sangat memekakkan
telinga. Bong Thian-gak menggerakkan lengan tunggalnya dan
bertarung sebanyak tiga-empat jurus dengan orang yang
berada di lorong itu.
Begitu bentrokan terjadi, Bong Thian-gak segera dapat
merasakan betapa lihainya ilmu silat yang dimiliki lawan,
semua serangan berantai yang dilepaskannya secara beruntun
berhasil dihindari lawan secara mudah.
846 Orang yang berada di dalam lorong rahasia itu cukup licik
dan cerdik, sambil menahan datangnya ancaman, dengan
cepat ia mundur.
"Siapa kau?" dengan suara lantang Bong Thian-gak segera
membentak. "Bila kau tak mengemukakan identitasmu, jangan
salahkan bila aku melancarkan serangan keji."
Bong Thian-gak menghimpun tenaga dalamnya enam
bagian, namun musuh tetap tak bersuara, malah membalikkan
badan dan kabur.
Habis sudah kesabaran Bong Thian-gak, dengan
menghimpun tenaga yang dahsyat ia melepaskan dua bacokan
kilat ke depan.
Angin pukulan meluncur ke depan, terdengar dengusan
tertahan dan orang yang melarikan diri itu jatuh terjengkang
ke atas tanab, tak bangun kembali untuk selamanya.
Bong Thian-gak menerkam ke depan lalu mencengkeram
urat nadi lawan, tapi denyut nadi orang sudah berhenti,
jiwanya telah kembali ke akhirat.
Seruan kaget bergema, agaknya dalam kegelapan itu Bong
Thian-gak relah menemukan orang itu tak lain adalah seorang
Tosu tua. Siapakah mereka" Mungkinkah anak murid Tan Sam-cing"
Tapi mengapa mereka masih melancarkan serangan meski
sudah kusebutkan namaku"
Dengan terkesiap Bong Thian-gak berpikir, "Jika kesembilan
orang yang menyerang tadi adalah kawanan Tosu Sam-cingkoan,
berarti usahaku untuk lolos dari gua ini akan menjumpai
kesulitan besar."
Saat itu pikiran dan perasaan Bong Thian-gak sangat kalut,
ia tak habis mengerti orang yang berada dalam lorong rahasia
itu sebenarnya kawan atau lawan.
847 la menduga bisa jadi kesembilan Tosu yang menyerang
dirinya tadi adalah jago-jago lihai Sam-cing-koan yang
ditugaskan untuk melindungi si tabib sakti Gi Jian-cau
mengolah obat. Mungkin saja mereka telah salah mengira dirinya sebagai
komplotan pembunuh Hek-mo-ong.
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak pun merasa tekateki
yang semula menyelimuti perasaan kini telah memperoleh
jawaban yang benar, rasa menyesal karena membinasakan
seorang sahabat pun segera timbul dalam hati kecilnya.
Tanpa terasa ia membungkukkan badan dan memberi
hormat kepada jenazah itu, kemudian berdoa di hadapannya
bagi ketenteraman arwah Tosu tadi.
Suasana di lorong bawah tanah kembali tercekam dalam
kediaman, begitu sepinya hingga mirip kuburan.
Bong Thian-gak bersila di atas tanah dengan perasaan
tenang, ia mencoba mengatur napas dan sekali lagi terdengar
bergemanya suara langkah kaki dari balik lorong.
Suara langkah kaki itu seakan-akan bergema dari jauh,
suaranya sangat lirih dan lembut, jika ia tidak sedang
bersemedi tak nanti bisa menangkap suara itu.
Hong Thian-gak terkejut, tentu ada jago lihai yang
mempunyai Ilmu tinggi sedang bergerak mendekat, malah
bisa jadi orang itu adalah Hek mo-ong yang misterius.
Teringat pembunuh itu, Bong Thian-gak segera
memusatkan segenap kemampuan bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Bong Thian-gak tahu orang itu sudah memasuki lorong
bawah tanah dimana ia berada sekarang dan selangkah demi
selangkah sedang berjalan mendekat.
848 Mendadak orang itu menghentikan langkah, rupanya dia
pun sudah merasakan kehadiran seseorang di tempat itu. Ia
tahu Bong Thian-gak adalah seorang jago lihai berilmu tinggi,
semestinya ia sudah menangkap suara dengus napas dari
jauh, kenyataan ia baru mendengar setelah jarak sudah dekat.
Kedua belah pihak segera menghimpun tenaga dalam
masing-masing sambil menunggu kesempatan melancarkan
serangan kilat.
Tampaknya kedua orang itu sama-sama menunggu sampai
pihak lawan melancarkan serangan lebih dulu, tapi kedua
orang itu sama-sama enggan menyerang lebih dulu.
Semakin lama kedua belah pihak semakin tak berani
melancarkan serangan lebih dulu.
Pertarungan jago-jago yang berilmu tinggi seringkah
menang-kalah hanya ditentukan oleh selisih yang kecil sekali,
apalagi bila kedua belah pihak sudah tahu musuh menghadapi
serangan dengan ketenangan, maka barang siapa berani
melancarkan serangan lebih dulu, enam puluh persen dia
berada dalam posisi kalah.
Itulah sebabnya terpaksa kedua belah pihak saling
menunggu. Pada saat itulah mendadak Bong Thian-gak merasakan
tibanya rombongan lain yang berjalan mendekat dari belakang
tubuh orang itu.
Agaknya orang itu pun sudah merasakan hal itu.
Dengan demikian posisi menjadi sangat tidak
menguntungkan bagi orang itu.
Bong Thian-gak yang melihat keadaan itu berpikir dalam
hatinya, "Kemungkinan besar orang yang sedang bergerak
mendekat itu adalah delapan orang Tosu yang menyergapku
tadi, jika orang di depanku sekarang adalah Hek-mo-ong,
849 maka dia tentu akan membalikkan badan menyerang kawanan
Tosu yang mendekat itu."
Suasana dalam arena makin bertambah tegang, kini
kawanan Tosu yang menghampiri tempat itu sudah semakin
mendekat. Mendadak pertarungan berkobar dengan cepat.
Ternyata orang itu membalikkan badan sambil melompat ke
depan. Bong Thian-gak membentak, tubuhnya melayang
menyergap orang misterius itu.
Terjangan Bong Thian-gak pada hakikatnya dilakukan
dengan tepat dan garang.
Tapi kawanan musuh yang menerjang dari belakang tubuh
orang misterius itu tiba lebih cepat.
Di tengah kegelapan terdengar suara bentrokan demi
bentrokan berkumandang tiada hentinya.
Lalu sesosok demi sesosok orang mencelat ke belakang
sambil mendengus dan mengeluh kesakitan, satu demi satu
roboh terkapar.
Telapak tangan kanan Bong Thian-gak secepat sambaran
kilat langsung menyodok ke dada orang misterius itu.
Orang misterius itu tak berani menyongsong datangnya
ancaman Bung Thian-gak dengan kekerasan, dia bergeser
mundur tapi di belakang tubuhnya sudah dinding batu,
padahal babatan maut Bong Thian-gak telah meluncur datang.
Jalan mundur sudah tetutup, terpaksa orang misterius itu
harus menggerakkan sepasang lengannya membendung
datangnya ancaman tadi.
Siapa sangka gerak serangan yang dilancarkan Bong Thiangak
aneh sekali, gerak serangannya tiba-tiba menyelinap ke
850 samping dan berubah menjadi sodokan kepalan yang
langsung meninju jalan darah Mu hay-hiat di lambung musuh.
Biarpun Bong Thian-gak dapat merubah serangannya
dengan tepat, namun reaksi orang misterius itu pun cukup
cepat, kaki kanannya segera diangkat ke atas.
Sodokan tinju yang dilancarkan Bong Thian-gak
menghantam lutut lawan.
Akibatnya orang misterius itu roboh ke sisi kanan.
Bong Thian-gak membentak, sekali lagi telapak tangan
kirinya melancarkan sebuah bacokan.
Serangan yang dilancarkan BongThian-gak kali ini
menggunakan tenaga dalam delapan bagian. Selain cepat,
serangan itu pun ganas, kecuali pihak lawan menyambut
ancaman itu dengan kekerasan, tiada cara lain yang bisa
dipakai untuk meloloskan diri dari ancaman itu. Telapak
tangan kembali saling beradu.
Bong Thian-gak segera merasa hawa darah dalam dada
bergolak, ia mundur dan hampir saja roboh terjengkang.
Sejak terjun ke dalam persilatan, baru pertama kali ini Bong
Thian-gak menjumpai lawan yang memiliki tenaga dalam lebih
tangguh dari kemampuannya. Dari bentrokan itu ia merasa isi
perutnya menderita sedikit luka.
Tampaknya orang misterius itu pun dibuat tergetar keras
dadanya hingga darah bergolak, lama sekali ia berdiri
mengatur pernapasan, kemudian dengan suara berat berkata.
"Hai, seandainya berganti orang lain, mungkin aku sudah mati
di ujung tangan Bong-laute sejak tadi."
"Ah, kau adalah Tio-pangcu?" seru Bong Thian-gak kaget.
"Ya, memang aku."
851 Bong Thian-gak segera melompat bangun sambil berseru,
"Harap Tio-pangcu sudi memaafkan, Boanpwe tidak tahu kau
orang tua yang sedang kuhadapi."
"Siapa pun dalam lorong bawah tanah yang gelap ini, tak
akan terhindar dari kesalah-pahaman, karena kita tidak bisa
membedakan kawan dan lawan bukan?"
"Tio-pangcu, tahukah kau siapa saja yang telah kau
bunuh?" tanya Bong Thian-gak sambil menghela napas.
"Para anggota kuil Sam-cing-koan."
Jawaban itu kembali membuat Bong Thian-gak tertegun.
"Kalau Tio-pangcu sudah mengetahui identitas mereka,
mengapa menghabisi nyawa mereka."
"Mereka sudah berulang kali menyergap diriku, sekarang
sudah berubah jadi musuhku. Apakah kita mesti berpeluk
tangan menunggu datangnya kematian?"
"Sudah berapa lama Tio-pangcu datang kemari?"
"Sesaat setelah kau masuk, aku pun segera menerobos
masuk ke lorong lain,"
"Apakah Tio-pangcu telah berjumpa dengan kawanan
pembunuh Hek-mo-ong?"
"Aku sudah menjumpai banyak penyergap," sahut Tio
Tiang-seng dengan suara dalam, "tapi semuanya adalah kaum
Tosu, sekarang aku mulai curiga."
"Apakah yang Tio-pangcu curigai?"
"Aku curiga Tan Sam-cing telah berbohong."
"Apa yang dia bohongkan?"
"Sudah kau jumpai Hek-mo-ong dalam lorong gua ini?"
852 "Aku cuma bertemu seorang perempuan berbaju hitam,
agaknya dialah salah seorang wanita pembunuh seperti yang


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilukiskan oleh Tan-koancu."
"Coba kau terangkan duduk persoalannya kepadaku."
Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan
pengalamannya sejak berjumpa perempuan berbaju hitam itu.
Seusai mendengar penuturan itu, Tio Tian-seng menghela
napas, katanya, "Bisa jadi orang yang ditemui Bong-laute
adalah Sam-hubuncu perguruanmu."
"Apa maksudmu?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.
Tio Tian-seng termenung sambil berpikir, kemudian
sahutnya, "Seandainya dalam lorong ini benar-benar terdapat
Hek-mo-ong dan komplotannya sebagai pembunuh, maka
Sam-hubuncu perguruanmu pasti mengetahui, tatkala ia
mendengar kau menyinggung Hek-mo-ong, sikapnya justru
menunjukkan asing dan tidak tahu-menahu."
"Tio-pangcu tidak yakin Hek-mo-ong ada dalam lorong ini?"
tanya Hong Thian-gak lagi dengan terkejut.
"Soal ini aku sendiri tidak berani memastikan, tapi aku
merasa Tan sam-cing mempunyai niat jahat."
"Jadi menurut Tio-pangcu, kawanan penyerang ini adalah
pembunuh yang dikirim Tan Sam-cing untuk menghabisi
nyawa kita?"
"Jika Tan Sam-cing tak bermaksud berbuat demikian,
seharusnya dia sudah masuk lorong gua serta mengajak kita
keluar dari sini!"
"Tapi apa salahnya jika dia tetap berjaga-jaga di luar"
Bukankah maksudnya hendak menghalangi Hek-mo-ong
sekalian meloloskan diri dari sini?"
853 "Bukankah Tio-pangcu telah membuktikan bahwa para
korban yang tewas di luar gedung itu akibat pukulan
tengkorak Hek-mo-ong."
"Sekarang kita berada dalam keadaan berbahaya, aku
curiga Tan Sam-cing sekomplotan dengan Hek-mo-ong."
Bong Thian-gak semakin terperanjat, serunya kemudian,
"Bila apa yang kau katakan memang benar, bukankah
keadaan Gi Jian-cau serta Keng-tim Suthay terancam bahaya?"
"Kemungkinan besar Gi Jian-cau belum mampus. Sekalipun
Hek-mo-ong berhasil menemukannya, belum tentu terbunuh
di tangannya, namun selain si tabib sakti seorang, sudah tentu
musuh tak segan turun tangan keji terhadap mereka."
Semakin mendengar Bong Thian-gak semakin terperanjat,
dia bertanya, "Sekarang apa yang mesti kita lakukan?"
"Tentu saja harus mencari akal agar bisa mengundurkan
diri dari tempat ini."
"Aku telah menelusuri lorong bawah tanah, namun sampai
sekarang masih belum juga berhasil menemukan pintu
keluarnya."
"Sewaktu aku masuk tadi, sepanjang jalan telah kutinggali
tanda rahasia. Ayo, Bong-laute, ikuti diriku!"
Bong Thian-gak merasa kagum atas kecerdasan Tio Tianseng,
katanya, "Untung aku bertemu Tio-pangcu, kalau tidak,
bisa jadi selama hidup aku tak akan berhasil meninggalkan
tempat ini."
"Bisa jadi kita akan menghadapi sergapan yang
membahayakan jiwa kita, dalam menempuh perjalanan nanti
paling baik jangan sampai menimbulkan sedikit suara pun."
"Baik," sahut Bong Thian-gak sambil mengangguk.
Kembali Tio Tian-seng berpesan, "Seandainya kita
mendapat sergapan musuh tangguh, jangan sekali-kali kau
854 meninggalkan aku terlampau jauh, apabila sampai kehilangan
kontak, aku mesti membuang banyak waktu mencari jejakmu,
bila sampai kita berpisah misalnya, paling baik jika kau
menanti kedatanganku di tempat semula."
Sambil bicara, Tio Tian-seng sudah melangkah, sementara
Bong Thian-gak mengikut di belakangnya.
Mendadak Tio Tian-seng menghentikan langkahnya.
Bong Thian-gak pun menghentikan langkah, didengarnya
suara peringatan Tio Tian-seng yang dikirim dengan
mempergunakan ilmu menyampaikan suara, "Kini musuh
tangguh telah menampakkan diri, bisa jadi orang itu adalah
Hek-mo-ong, hati-hatilah!"
Bong Thian-gak mengangkat kepala serta mengalihkan
pandangan ke arah lorong yang gelap gulita, tampak olehnya
seseorang berdiri angker di situ.
Sinar mata tajam mencorong dari balik matanya, agaknya
tenaga dalam orang itu sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. "Mungkin orang itu adalah Hek-mo-ong?" tanya Bong
Thian-gak kemudian dengan ilmu menyampaikan suara.
"Rasa-rasanya mirip Hek-mo-ong," jawab Tio Tian-seng
agak tegang. "Sayang kita bertemu di lorong bawah tanah,
mustahil buat aku menggunakan pedang. Wah ... celaka! Aku
bisa dipaksanya berada di bawah angin."
Mendengar suara berat yang terpancar keluar dari mulut
Tio Tian-seng, kata Bong Thian-gak, "Mengapa kita tidak
bekerja sama?"
"Kepandaian silat Hek-mo-ong yang paling hebat adalah
pukulan tengkorak penggempur hati. Di kolong langit dewasa
ini masih belum ada seorang pun yang sanggup menghindari
serangan jarak dekatnya, oleh sebab itu bila bertempur
melawannya, bagaimana pun juga jangan memberi
855 kesempatan kepadanya untuk mendekati kita, karena begitu
ilmu pukulan tengkorak penggempur hati dilontarkan, tiada
orang yang bisa membendungnya, sebab itu kuanjurkan
kepadamu janganlah bertarung kelewat emosi melawannya."
"Sekarang bisa jadi dia belum mengetahui kehadiranmu di
belakangku, maka aku ingin mempraktekkan taktik
perlawanan yang amat jitu. Di saat kulancarkan pukulan,
bergeserlah kau ke sisi kiri, lalu dengan menempatkan diri ke
posisi belakang, lepaskanlah sebuah serangan yang paling
dahsyat ke arahnya ...."
Belum habis ucapan Tio Tian-seng, bayangan iblis di
hadapannya sudah bergerak mendekat.
Orang itu baru saja bergerak, namun tahu-tahu sudah
berada di hadapannya.
Tio Tian-seng segera membentak, telapak tangannya
diayunkan bersama, dua gulungan angin pukulan yang sangat
dahsyat serta-merta menggulung ke muka dengan
dahsyatnya. Bersamaan waktunya, Tio Tian-seng segera bergeser ke sisi
kiri. Sementara itu Bong Thian-gak seperti sukma gentayangan
telah meluncur ke muka serta menggantikan kedudukan Tio
Tian-seng, segulung angin pukulan yang sangat dahsyat
segera dilontarkan ke depan.
Sungguh tak nyana kepandaian silat iblis itu sangat luar
biasa, tatkala kedua gulung angin pukulan dahsyat Tio Tianseng
membentur tubuhnya, dia segera mengebaskan tangan
kirinya serta memunahkan ancaman itu.
Bersamaan waktunya, secepat sambaran kilat dia
mendesak maju. Tapi serangan kilat yang dilepaskan Bong Thian-gak benarbenar
di luar dugaannya.
856 Dalam gugup dan cemasnya, orang itu segera melepaskan
sebuah serangan lagi dari jarak dekat.
Tio Tian-seng dapat menyaksikan jalannya pertarungan
dengan jelas, ia segera membentak, pedang yang digembol di
punggungnya segera dilolos, lalu ia lepaskan sebuah tusukan
kilat ke muka. "Trang", bentrokan keras bergema disusul munculnya
percikan bunga api.
Iblis itu mendengus tertahan, badannya terhajar oleh Bong
Thian-gak hingga mencelat ke belakang.
"Hendak kabur kemana kau?" jengek Bong Thian-gak
sambil tertawa dingin.
Dia mengejar ke depan dan persis menghadang di depan
iblis itu. Lengan tunggal Bong Thian-gak segera melancarkan
serangkaian serangan.
Angin pukulan yang dahsyat dan kencang, bagaikan
sayatan pedang mendesak iblis itu mundur ke arah dinding
gua. Pada saat itulah Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng dari
kiri kanan pelan-pelan mendesak maju.
Pedang dalam genggaman Tio Tian-seng nampak
memancarkan cahaya di balik kegelapan, setitik cahaya
bagaikan sinar kunang-kunang dalam pandangan Bong Thiangak
berubah bagai cahaya yang terang benderang.
Sekarang mereka sudah dapat melihat dengan jelas iblis
itu, ternyata seorang berkerudung berbaju hitam, tangan
kanannya nampak menggunakan sarung tangan, berbentuk
tengkorak manusia berwarna putih.
Tio Tian-seng menghentikan langkah di hadapan orang itu,
kemudian sambil tertawa dingin ia bertanya, "Kau adalah anak
buah Hek-mo-ong?"
857 Iblis itu tidak menjawab, hanya matanya memancarkan
bayangan aneh mengawasi Bong Thian-gak di sisi kiri dengan
tak berkedip. "Hek-mo-ong sudah datang belum?" bentak Tio Tian-seng
lagi. Kali ini iblis itu menjawab, namun suaranya amat
menggidikkan, "Suatu saat kalian pasti akan mampus di
tangan Hek-mo-ong."
Selesai berkata, tiba-tiba tubuhnya roboh terjengkang.
Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tertegun menghadapi
situasi demikian, untuk sesaat mereka tak tahu apa yang akan
dilakukan. Mendadak Tio Tian-seng menggerakkan pedang melepas
sebuah tusukan ke depan.
Iblis itu sama sekali tak menghindar, pedang langsung
menembus dadanya.
"Ah, dia telah mampus!" seru Bong Thian-gak tertegun.
Setelah pedangnya menembus dada orang itu, Tio Tianseng
turut mendesak maju, dengan cepat tangannya
menyingkap kain kerudung yang menutupi wajahnya.
Noda darah masih meleleh dari bibirnya.
Tio Tian-seng adalah seorang jago silat kawakan,
menyaksikan hal ini segera ia menghela napas, katanya,
"Serangan Bong-laute benar-benar tajam dan dahsyat, isi
perutnya telah kau pukul hancur."
"Ai, nyatanya orang itu masih sanggup bertahan sekian
lama setelah menerima pukulanku sebelum mampus.
Kehebatan ilmu silatnya benar-benar sangat mengerikan!"
"Mungkin orang ini adalah pembantu utama Hek-mo-ong,"
kata Tio Tian-seng lagi sambil menghela napas. "Ai,
858 seandainya bukan serangan mendadak Bong-laute yang
dilancarkan di luar dugaannya, bukan pekerjaan mudah
membinasakan dirinya."
"Ai, tadinya aku merasa Tio-pangcu terlalu mengada-ada
setelah kau melukiskan betapa hebat dan menakutkannya
Hek-mo-ong, tapi setelah kulihat betapa hebatnya kepandaian
silat yang dimiliki anak buahnya, baru kubayangkan Hek-moong
seorang musuh yang sangat menakutkan."
"Bong-laute, bukanlah aku kelewat menilai tinggi
kemampuan musuh, kemampuan Hek-mo-ong memang
menakutkan, aku pernah bertemu satu kali dengannya dan
hampir saja jiwaku melayang."
"Apakah Tio-pangcu kenal orang ini?" tanya Bong Thiangak
sambil menunjuk ke arah korban.
Tio Tian-seng menggeleng kepala.
"Raut wajahnya asing bagiku."
"Ai, akhirnya anak buah Hek-mo-ong muncul dalam lorong
bawah tanah ini, nampaknya apa yang diucapkan Tan Samcing
bukan ucapan kosong belaka."
"Menurut Tan Sam-cing, orang yang berada dalam lorong
bawah tanah ini adalah seorang kakek, seorang perempuan,
serta seorang cacat lengan dan berkaki pincang, sedang
korban yang kita jumpai sekarang adalah lelaki setengah umur
yang berusia empat puluh tahunan."
"Jadi menurut Tio-pangcu, korban bukan termasuk di
antara ketiga orang yang dimaksud Tan Sam-cing?"
Tio Tian-seng segera menggeleng, "Ya, sama sekali tidak
sesuai." "Siapa tahu si kakek yang dimaksud Tan Sam-cing adalah
orang ini?" ujar Bong Thian-gak.
859 "Kecuali kita bertemu perempuan serta orang yang
menyaru sebagai Bong-laute itu, kalau tidak, aku tidak akan
percaya perkataan Tan Sam-cing."
"Seandainya kedua orang itu menyembunyikan diri di sudut
lorong bawah tanah, bagaimana mungkin kita bisa
menemukan jejaknya?"
"Kita kan tak bakal meninggalkan Sam-cing-koan ini dalam
waktu singkat" Sebentar kau boleh bersama-sama Tan Samcing
melakukan penggeledahan di sini, sedang tugas menjaga
di luar biar kugantikan untuk semenjtara."
"Baik, kita memang harus menemukan si tabib sakti dan
Keng-tim Suthay sebelum pergi meninggalkan tempat ini!"
Tiba-tiba Tio Tian-seng menghela napas, kemudian
tanyanya, "Bong-laute, apakah kau sudah mengetahui asalusul
Tan Sam-cing?"
"Konon dia adalah anak buah murid Bu-tong-pay."
"Bong-laute, menurut pendapatmu apakah nama besar Patkiam-
hui-hiang cukup tersohor di dunia persilatan pada empat
puluh tahun berselang?"
"Padri sakti dari Siau-lim-pay, guruku Oh Ciong-hu, Mokiam-
sin-kun serta Pat-kiam-hui-hiang adalah tokoh silat yang
paling termasyhur di Kangouw waktu itu. Mereka disebut
empat tokoh persilatan, terutama kehebatan mereka di antara
golongan lurus maupun sesat."
"Yang disebut pedang lurus tentulah Pat-kiam-hui-hiang
Tan Sam-cing, sedang si pedang sesat adalah aku Mo-kiamsin-
kun, bukan?"
"Waktu itu pedang Tio-pangcu memang penuh dengan
hawa membunuh, sehingga orang menyebutnya si pedang
sesat. Tapi menurut perasaan Boanpwe, sesungguhnya


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang Tio-pangcu sama sekali tidak sesat."
860 Tio Tian-seng menghela napas panjang, "Ai, dengan dasar
apakah orang membedakan antara sesat dan lurus, rasanya
sulit untuk ditelusuri dan aku pun enggan mempersoalkan.
Yang ingin kuketahui sekarang adalah tersohornya Pat-kiamhui-
hiang Tan Sam-cing waktu itu, apa sebabnya ia lenyap
secara tiba-tiba" Tahukah si tabib sakti serta Keng-tim Suthay
bahwa Sam-cing Koancu yang sekarang sebenarnya adalah
Pat-kiam-hui-hiang yang amat termasyhur namanya?"
"Apa maksud Tio-pangcu mencurigai hal itu?"
"Bong-laute, sekarang bila kubilang Tan Sam-cing adalah
Hek-mo-ong yang misterius itu, apakah Bong-laute anggap hal
ini mungkin?"
Bong Thian-gak segera menggeleng.
"Tan Sam-cing cukup termasyhur sebagai orang budiman,
ia tak pernah mempunyai nama jelek."
"Sebaliknya bila kukatakan bahwa akulah Hek-mo-ong?"
Hati Bong Thian-gak segera bergetar keras, sahutnya
kemudian, "Jika hal ini terjadi beberapa hari berselang, jika
ada orang bertanya siapakah Hek-mo-ong, maka tentu akan
menduga Tio-pangcu."
Tio Tian-seng tersenyum.
"Kalau bukan begitu, lantas siapakah menurut Bong-laute
yang pantas dicurigai sebagai Hek-mo-ong?"
Baru selesai perkataan itu, dari sudut lorong gua terdengar
seorang menanggapi dengan suara lantang, "Menurut
perasaan Pinto, Hek-mo-ong adalah Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng."
Bergemanya suara itu membuat hati Bong Thian-gak
maupun Tio Tian-seng bergetar. Yang membuat mereka
terkejut adalah kehadiran lawan sampai di dekat mereka,
namun sama sekali tidak mereka rasakan.
861 Sambil tertawa dingin Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng
segera menegur, "He, hidung kerbau, sudah lamakah kau
datang kemari?"
Dari balik lorong gua yang gelap gulita pelan-pelan muncul
seseorang, walaupun kedua belah pihak belum pernah melihat
raut wajah masing-masing dengan jelas, namun Bong Thiangak
serta Tio Tian-seng tahu bahwa si pendatang adalah Samcing
Koancu Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing.
Tiba-tiba Tan Sam-cing menghentikan langkah, lalu
menyahut dengan suara hambar, "Sejak Bong-sicu
membinasakan orang aneh tadi, Pinto telah hadir di sini."
"Kedatanganmu memang tepat sekali," seru Tio Tian-seng
tertawa dingin.
Tan Sam-cing tertawa dingin.
"Tentu saja kedatanganku memang sangat tepat. Coba
kalau aku tidak datang, sudah pasti Pinto dicurigai sebagai
Hek-mo-ong."
"Biarpun kau sudah datang, bukan berarti bisa lepas dari
kecurigaanku," jengek Tio Tian-seng.
Tan Sam-cing mendengus, "Hm! Menubruk angin
menangkap bayangan, memfitnah orang tanpa fakta yang
nyata, mengadu domba di antara sesama manusia, semuanya
memang watak kebiasaanmu."
"Boleh saja bila kau ingin lepas dari kecurigaan," kata Tio
Tian-seng dingin, "kecuali si tabib sakti sekalian ditemukan
dalam keadaan sehat dan selamat, kalau tidak, jangan harap
kau bisa terlepas dari kecurigaan kami."
Tan Sam-cing naik pitam, segera bentaknya penuh amarah,
"Tio Tian-seng, kau memojokkan orang dengan kata-kata
tuduhanmu itu. Bila kau lanjutkan, Pinto tak bisa menahan diri
lebih jauh!"
862 Bong Thian-gak merasakan panasnya situasi, bila keadaan
ini dibiarkan berlangsung terus, kemungkinan akan berkobar
pertempuran berdarah yang mengerikan.
Maka dia maju beberapa langkah, setelah menjura pada
Tan Sam-cing, ujarnya dengan suara lantang, "Tan-koancu,
harap kau jangan marah dulu. Dewasa ini masih ada musuh
tangguh bersembunyi dalam lorong bawah tanah. Apabila di
antara kita terjadi keributan sendiri, hal itu tentu akan
menggirangkan lawan."
"Bong-sicu tak usah kuatir, ketiga orang pembunuh yang
menyusup masuk ke dalam lorong bawah tanah ini sudah mati
terbunuh."
"Jadi Tan-koancu telah berjumpa dengan pembunuhpembunuh
itu?" "Pinto telah membunuh seorang, lalu menemukan sesosok
mayat di lorong gua, ditambah mayat yang berada di hadapan
kita sekarang, bukankah berarti ketiga pembunuh itu telah
tertumpas?"
"Bagaimanakah bentuk wajah pembunuh yang berhasil
Tan-koancu habisi nyawanya?"
"Orang yang menyaru sebagai Bong-sicu."
Seraya berkata, Tan Sam-cing melepaskan sebilah pedang
berikut sarungnya dari bahu, kemudian melanjutkan, "Pekhiat-
kiam berada di sini, harap Bong-sicu menerimanya."
"Ehm, terima kasih banyak atas bantuan Tan-koancu
menemukan kembali Pek-hiat-kiam ini."
Seraya berkata, ia maju ke depan.
Tiba-tiba Tan Sam-cing mengayun tangan kanannya,
pedang yang berada di dalam sarung itu tahu-tahu berkelebat
ke muka dan mengancam jalan darah Sim-kan-hiat di tubuh
anak muda itu. 863 Tindakan itu bukan saja membuat Bong Thian-gak tak
sempat menghindar, Tio Tian-seng juga sama sekali tak
menyangka. Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, tanpa terasa ia
berpekik dalam hati, "Aduh celaka!"
Siapa tahu Tan Sam-cing hanya menutul jalan darahnya,
sama sekali tidak disertai tenaga dalam. Terdengar ia berseru
sambil tertawa dingin, "Bong-sicu memang orang yang berjiwa
terbuka dan berbudi luhur, kebijakanmu membuat Pinto
kagum, maaf atas kelancangan Pinto barusan."
Rupanya Tan Sam-cing hendak menggunakan cara itu
untuk mencoba mengerti apakah Bong Thian-gak menaruh
curiga kepadanya atau tidak.
Sesudah termangu-mangu beberapa saat, Bong Thian-gak
baru menerima pedang itu, lalu diperiksanya dengan seksama.
Benar juga, pedang itu memang benda kepercayaan Hiatkiam-
bun, Pek-hiat-kiam, maka sekali lagi dia memberi hormat
kepada Tan Sam-cing seraya berkata, "Seandainya Tankoancu
adalah musuh, dengan seranganmu tadi niscaya habis
sudah jiwaku."
"Seandainya Bong-sicu selalu waspada dan berjaga-jaga
terhadap serangan orang, niscaya kau akan berhasil
menghindarkan diri dari tusukan tadi," ucap Tan Sam-cing.
Bong Thian-gak menggeleng kepala.
"Jurus serangan yang dipergunakan Tan-koancu tadi jauh
berbeda dengan jurus kebanyakan orang. Aku tahu, biarpun
sudah waspada dan berjaga-jaga, rasanya sulit juga
menghindarkan diri."
Tan Sam-cing tersenyum.
"Bong-sicu memiliki kepandaian silat yang amat hebat, tapi
tidak sombong, kebesaran jiwamu serta kerendahan hatimu
benar-benar mengagumkan sekali."
864 Tiba-tiba Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng tertawa dingin,
katanya, "Hei, hidung kerbau, kau mengatakan telah
membunuh orang, dimana mayatnya sekarang?"
"Dalam lorong bawah tanah sana."
"Dan masih ada orang lagi?"
"Perempuan pembunuh itu terbunuh di lorong bawah
tanah, entah ia tewas oleh Bong-sicu atau mati terbunuh di
tanganmu?"
"Apakah mayat perempuan yang Tan-koancu temukan
adalah perempuan berbaju hitam?"
Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak mendengar suara
bisikan Tio Tian-seng yang disampaikan dengan ilmu
menyampaikan suara, "Bong-laute, jangan kau katakan bahwa
perempuan itu adalah Sam-hubuncu dari Hiat-kiam-bun. Aku
lihat perkataan Tan Sam-cing saling bertentangan, lagi pula
gerak-geriknya amat mencurigakan, kita tidak bisa
mempercayainya begitu saja."
Dalam pada itu Tan Sam-cing mengangguk seraya
menjawab, "Benar, dia adalah perempuan berbaju hitam."
Dengan suara dingin, Tio Tian-seng segera menimbrung,
"Mayat yang terkapar dalam lorong bawah tanah ini rasanya
bukan hanya tiga, hidung kerbau, sudah kau lihat hal ini?"
"Sudah," sahut Tan Sam-cing dengan suara dalam. "Aku
justru Ingin bertanya siapa yang telah membunuh kawanan
Tosu itu?"
"Aku memang ingin bertanya kepadamu, atas perintah
siapa kawanan hidung kerbau itu berniat membunuhku?"
bantah Tio Tian-seng dingin.
"Jika begitu mereka mati di tangan Tio-pangcu?"
865 "Tan-koancu," tukas Bong Thian-gak, "semua Tosu itu
bukan mati terbunuh di tangan Tio-pangcu."
"Apakah Bong-sicu telah membunuh seorang di
antaranya?" ucap Tan Sam-cing hambar.
Dengan perasaan bergetar keras, Bong Thian-gak
membenarkan. "Betul, Boanpwe memang membunuh satu orang."
"Luka pada mayat-mayat itu telah kuperiksa dengan
seksama, luka yang menyebabkan kematian kesebelas mayat
dilakukan oleh orang yang nama, berarti mereka terbunuh di
tangan Tio-pangcu."
Tio Tian-seng tertawa dingin.
"Eh, hidung kerbau, apakah kau sedang mencari alasan
untuk mengajakku berduel?"
"Hm! Tanpa sebab-musabab anak murid kuil kami telah
menjadi kurban, tentu saja Pinto tak akan membiarkan si
pembunuh berlalu dari sini dengan bebas merdeka!" jawab
Tan Sam-cing sambil mendengus.
"Aku sudah bersiap menahan seranganmu, ayolah silakan
turun tangan."
"Akhirnya kita berdua akan melangsungkan juga duel matihidup
di lorong bawah tanah ini."
Sambil berkata, pelan-pelan Tan Sam-cing melolos sebilah
pedang pendek yang bersinar tajam dari belakang bahunya.
Begitu ia melolos pedang pendek, cahaya putih yang
berkilau segera memancar menerangi lorong bawah tanah itu.
Melihat Tosu itu sudah melolos pedang, Bong Thian-gak
segera melompat ke muka dan berdiri di antara kedua orang
itu, cegahnya, 866 "Tunggu dulu! Bila Locianpwe berdua hendak bertarung,
alangkah baiknya bila pertarungan dilangsungkan setelah
berhasil menemukan si tabib sakti."
"Tio-pangcu memaksa Pinto berkelahi sekarang juga," kata
Tan Sam-cing. "Hm, aku tidak bodoh mengajak kau berkelahi di sini," sela
Tio Tian-seng sambil tertawa dingin.
"Kalau begitu, biar Pinto simpan kembali pedangku ini,"
kata Tan Sam-cing.
Sembari berkata, dia memasukkan kembali pedang
pendeknya ke dalam sarung.
"Tan-koancu!" seru Bong Thian-gak kemudian, "sekarang
bawalah kami bertemu Gi Jian-cau."
"Harap kalian berdua mengikuti aku."
Dia membalikkan badan dan beranjak pergi lebih dulu.
Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng mengikut di
belakangnya. Biarpun lorong bawah tanah itu sangat gelap hingga sukar
dilalui, tetapi Tan Sam-cing dapat bergerak secepat terbang,
malah sewaktu berbelok pun tak pernah ragu atau pun
berhenti, agaknya dia memang menguasai keadaan tempat
itu. Sesudah melalui enam persimpangan jalan dan menelusuri
tujuh lorong, mendadak Tan Sam-cing menghentikan langkah,
lalu melakukan pemeriksaan di sebuah dinding batu, kemudian
ia menuju ke hadapan Bong Thian-gak dan bisiknya dengan
suara lirih, "Ada orang telah memasuki ruang gua rahasia ini,
bisa jadi musuh masih bercokol di dalam ruang itu."
"Dimanakah letak ruang gua itu?" tanya Bong Thian-gak
dengan terkejut.
867 Tan Sam-cing tidak menjawab pertanyaan itu, malah dia
berkata, "Harap kalian berdua berjaga di kedua ujung lorong
gua ini, Pinto akan segera membuka pintu rahasia menuju ke
ruangan dalam."
"Hai, hidung kerbau!" seru Tio Tian-seng dingin. "Kau tidak
usah bermain setan di hadapanku, sudah kuduga sejak tadi
kau akan bersikap begini."
Tan Sam-cing tak menggubris, kembali dia berkata,
"Seandainya ruang rahasia itu sampai kemasukan orang,
keselamatan jiwa si tabib sakti dan Keng-tim Suthay benarbenar
berbahaya sekali. Kalian berdua tiarap selekasnya
mengikuti perkataanku tadi dan berjaga-jaga di kedua ujung
lorong, kita tak boleh membuang waktu lagi."
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah berjalan ke depan,
Tio Tian-seng juga sudah mengundurkan diri dari situ.
Pada saat itulah tiba-tiba Tan Sam-cing melolos pedangnya
dari belakang bahu, sekilas cahaya tajam menyoroti dinding.
Dengan pedang terhunus Tan Sam-cing berjalan beberapa
langkah dengan menelusuri dinding batu sebelah kanan, tibatiba
ia lepaskan sebuah tusukan ke atas dinding itu.
Suara gemuruh bergema di angkasa.
Dinding batu di sisi kiri Tan Sam-cing mendadak bergeser
ke samping, sekilas cahaya lentera memancar masuk ke dalam
lorong itu lewat celah-celah pintu.
Sementara itu Tan Sam-cing telah mencabut pedang
pendeknya dari dinding batu, dengan cepat tubuhnya
berkelebat dan menerobos masuk melalui celah pintu yang
terbuka.

Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tio Tian-seng serta Bong Thian-gak segera menyerbu
bersama, kemudian menyelinap masuk pula melalui celah
pintu yang terbuka.
868 Setelah memasuki pintu rahasia itu, barulah diketahui
bahwa tempat itu pun merupakan sebuah lorong bawah tanah
pula. Hanya bedanya, lorong ini terang-benderang bermandikan
cahaya, hampir setiap jarak tiga kaki terdapat sebuah lentera.
Lorong itu lurus ke depan, waktu itu Tan Sam-cing sudah
berada di depan sana.
Tio Tian-seng dan Bong Thian-gak di kiri kanan segera
melakukan pengejaran dengan menelusuri kedua sisi dinding
gua. Pada ujung lorong itu terdapat sebuah tikungan menuju
sebelah kiri, bayangan tubuh Tan Sam-cing lenyap di balik
tikungan itu. Menyusul Bong Thian-gak serta Tio Tian-seng tiba juga di
ujung tikungan sana, serentak mereka mendongakkan kepala.
Pada ujung dinding sebelah kiri terdapat sebuah pintu, di
balik pintu terbentang sebuah ruangan yang luas.
Dalam ruangan ini pun tak nampak bayangan Tan Samcing.
Namun di atas permukaan tanah tampak mayat
bergelimpangan di sana-sini, ceceran darah menodai lantai,
senjata berserakan, keadaan benar-benar mengerikan dan
memilukan. Di antara korban yang tewas dan berserakan ini, selain
terdapat kaum Tosu, terdapat pula gadis-gadis muda.
Keadaan yang menyebabkan kematian hampir sama, ada
yang kehilangan kepala, pinggangnya terpapas kutung, empat
anggota badan berserakan, ada pula yang tewas tanpa
meninggalkan bekas luka apa pun.
Sekilas Bong Thian-gak mengetahui bahwa para korban
adalah anggota Hiat-kiam-bun yang ditugaskan melindungi si
869 tabib sakti mengolah obat, sedang kawanan Tosu itu dari kuil
Sam-cing-koan. Di ruang belakang masih terdapat ruangan lain, dengan
cepat Bong Thian-gak melakukan pemeriksaan ke situ.
Dalam pada itu dari balik ruangan sebelah kiri tampak Tan
Sam-cing muncul, setelah menghela napas sedih, ia berkata,
"Sicu tak perlu masuk ke dalam lagi, tak seorang hidup pun
yang terdapat di ruang dalam."
"Bagaimana dengan si tabib sakti?" tanya Bong Thian-gak
kejut bercampur gelisah.
Tan Sam-cing menghela napas panjang.
"Ai, Hiolo pengolah obat masih terdapat di situ, namun
orangnya sudah lenyap entah kemana."
"Bagaimana dengan Keng-tim Suthay?"
"Ia sudah tewas terkena musibah!"
Mendengar Keng-tim Suthay terkena musibah, Bong Thiangak
langsung berteriak, "Dimanakah jenazahnya sekarang?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Tio Tian-seng berteriak
dari belakang, "Tan Sam-cing, lebih baik kita langsungkan duel
mati-hidup di tempat ini saja!"
Bong Thian-gak tidak habis mengerti, mengapa Tio Tianseng
menantang Tan Sam-cing berduel dalam keadaan dan
situasi seperti ini. Tan Sam-cing tertawa tergelak dengan
suara menyeramkan, "Tio Tian-seng, cepat atau lambat kita
memang harus melaksanakan duel mati-hidup untuk
menentukan nasib kita berdua."
Dalam pada itu Bong Thian-gak merasa pedih dan
kehilangan semangat sesudah mengetahui Keng-tim Suthay
tewas terbunuh. Dalam keadaan demikian dia tak
bersemangat lagi memperhatikan perselisihan di antara
mereka berdua. 870 Badannya segera berkelebat dan masuk ke ruang belakang
dengan cepat. Di ruang belakang terdapat dua bilik, sebuah di sebelah kiri
dan yang lain di sebelah kanan.
Mula-mula Bong Thian-gak memasuki bilik sebelah kiri, di
situ terdapat dua buah pembaringan, kelambu dan seprei
masih teratur rapi, pakaian dan perabotan lainnya masih utuh,
hanya tak nampak seorang pun.
Di bagian depan terdapat sederet pembaringan dan
perabotan lain, di sini juga tak nampak seorang pun.
Buru-buru Bong Thian-gak menuju ke ruang lain, tempat
itu hanya ada sebuah tungku raksasa berkaki tiga, sebuah
pengolah obat terdapat di atas tungku, sementara beberapa
buah bantal duduk berserakan di sekelilingnya.
Di sisi tungku, dua orang bocah cilik duduk terbungkuk,
mereka tak berkutik sama sekali, jelas sudah tewas.
Selain jenazah kedua bocah itu, di dekat tungku bagian
belakang, duduk bersila seorang tokoh setengah umur di atas
kasur duduk. Tangan kirinya masih memegang Hud-tim, sedangkan
tangan kanannya diletakkan di depan dada, wajahnya pucatpias
dan matanya terpejam rapat.
Sesudah melihat dengan jelas raut wajah tokoh setengah
umur itu, Bong Thian-gak segera berteriak, "Keng-tim
Suthay!" Ia menubruk ke depan, air matanya bercucuran dengan
deras. Mimik tokoh setengah umur itu nampak tawar, sudah
barang tentu tak dapat bersuara lagi.
"Suthay, oh Suthay ... sungguh tak nyana perpisahan kita
di Ho-pak tempo hari akan menjadi perpisahan untuk
871 selamanya. Oh Suthay, siapakah orang yang telah
mencelakaimu, siapakah orangnya?"
Sambil menangis Bong Thian-gak menggoncang-goncang
jenazah Keng tim Suthay.
Tiba-tiba jenazah itu miring dan roboh ke kiri, sementara
sepatu yang dikenakan pada kaki kanannya terlepas dan jatuh
ke atas tanah. Bong Thian-gak bermata jeli, dengan cepat ia menangkap
bahwa di balik telapak kaki kanan Keng-tim Suthay tertera
jelas sederet tulisan.
Dengan perasaan bergetar, Bong Thian-gak segera
mendongakkan kepala.
Ternyata tulisan itu berbunyi:
"Sebutir pil pengembali sukma kusembunyikan di balik Hudtim,
bunuh si tabib sakti."
Bong Thian-gak berdiri termangu-mangu mengawasi kedua
baris tulisan itu, terutama sekali kata-kata terakhir, "Bunuh si
tabib sakti".
Tulisan itu membuat pikirannya bimbang dan tak habis
mengerti. "Mengapa ia mesti membunuh si tabib sakti" Mengapa?"
Sesudah termangu-mangu sekian lama, akhirnya Bong
Thian-gak mengenakan kembali sepatu itu Keng-tim Suthay,
kemudian dengan cepat melepas pula sepatu kirinya.
Ternyata pada kaki kiri pun tertera pula kedua baris tulisan
itu. Pada saat inilah dari luar ruangan terdengar suara
bentrokan senjata yang bergema amat keras.
872 Bong Thian-gak segera mengambil Hud-tim Keng-tim
Suthay dan menyembunyikannya di balik pakaian, lalu dengan
cepat memburu ke ruang depan.
Di ruang muka, suasana benar-benar tegang dan
mengerikan. Hawa pedang menyelimuti ruangan, cahaya perak
berkilauan seperti sambaran petir.
Bayangan tubuh Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing telah
terkurung rapat di balik cahaya pedang itu.
Kedua orang jago yang sangat lihai itu, masing-masing
sedang mengembangkan ilmu pedang yang dimilikinya serta
melangsungkan pertarungan mati-hidup yang amat sengit.
Pedang pendek di tangan Tan Sam-cing berputar
memercikkan bayangan pedang tajam, membacok, menyapu
dan membabat penuh dengan kedahsyatan.
Mendadak bentakan keras bergema, Tio Tian-seng
melepaskan sebuah tusukan balasan dari arah samping.
Tusukan itu dilepaskan dengan sepasang tangan
menggenggam pedang bersama-sama. Jurus serangannya
aneh, namun amat tangguh, merupakan jurus serangan lain
daripada yang lain.
Tampaknya Tan Sam-cing cukup mengetahui kelihaian
serangan itu. Sambil membentak, cahaya pedang yang semula
membentuk lingkaran bulat kini lenyap, sebagai gantinya
muncul sekilas sinar bening yang pelan-pelan mendorong ke
depan. Bunyi gemerincing nyaring memenuhi angkasa.
Sepasang pedang Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing telah
saling bentur. Kali ini pedang pendek Tan Sam-cing yang tajam ternyata
tidak mampu mengurungi pedang Tio Tian-seng.
873 Setelah kedua belah pihak saling mengadu senjata
sebanyak tiga kali, kedua belah pihak tidak segera menarik
kembali senjatanya, namun mereka saling mengerahkan
tenaga mengisap pedang lawan.
Akibatnya kedua bilah pedang itu saling menempel bagai
besi sembrani. Pantangan terbesar jago persilatan yang saling bertarung
adalah adu tenaga dalam.
Dengan saling menempelkan pedang, hakikatnya Tan Samcing
maupun Tio Tian-seng sudah melangkah menuju ke suatu
pertarungan tenaga dalam mengadu jiwa.
Berada dalam keadaan begini, kedua belah pihak samasama
tak berani mencabut pedang, bila satu pihak mencabut
pedang, maka pedang lawan akan menusuk dan langsung
menghujam ke tubuh lawan secara mematikan.
Oleh sebab itu kedua belah pihak terpaksa harus
mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan ke batang
pedang untuk mempertahankan senjata.
Pertarungan semacam ini sukar menentukan menang-kalah
secara cepat, seringkali di saat menang kalah ditentukan,
kedua belah pihak sudah sama-sama terluka, kehabisan
tenaga dalam dan akhirnya tewas bersama.
Pada saat itulah suara benturan nyaring berkumandang.
Bong Thian-gak sudah mencabut Pek-hiat-kiam dan
secepat kilat menusuk ke tengah-tengah antara kedua pedang
yang masih saling menempel itu.
Tio Tian-seng serta Tan Sam-cing segera terpisah dan
masing-masing mundur tiga langkah.
Pedang Tio Tian-seng kembali putus sebagian, sebaliknya
pedang Tan Sam-cing masih tetap utuh. Bong Thian-gak
dengan masih memegang Pek-hiat-kiam yang memancarkan
874 sinar merah memberi hormat kepada Tan Sam-cing serta Tio
Tian-seng, lalu ujarnya dengan lantang, "Locianpwe berdua,
buat apa kalian saling bertarung mati-matian?"
Paras muka Tio Tian-seng kelihatan amat kereng dan
serius, tiba-tiba ia berkata dengan suara pelan, "Bong-laute,
tidakkah kau merasa bahwa Tan Sam-cing sangat
mencurigakan?"
"Apanya yang mencurigakan?" tergerak hati Bong Thiangak.
"Sudahkah Bong-laute periksa, telah berapa lama para
korban itu menemui ajalnya?"
"Ah! Betul, tampaknya mereka sudah tewas paling tidak
satu hari sebelumnya."
"Betul! Orang-orang itu sudah mati semalam sebelumnya,
tapi menurut Tan Sam-cing waktu musuh menyusup masuk
kemari, baru tiga jam berselang."
Sambil tertawa dingin, Tan Sam-cing segera berkata,
"Sejak kapan mereka menemui ajal" Apa hubungan serta
sangkut-pautnya dengan diriku?"
"Tentu saja besar sekali hubungannya," jawab Tio Tianseng
dingin. "Andaikata Sam-cing Koancu hanya seorang jago
lihai biasa saja, hal ini lain ceritanya. Tapi kau adalah Patkiam-
hui-hiang yang amat termasyhur, apakah tidak
mengetahui sama sekali terdapat banyak musuh tangguh yang
sudah memasuki kuilmu" Apa ini tidak lucu namanya?"
"Tio-pangcu," kata Bong Thian-gak dengan kening
berkerut. "Sekalipun begitu, aku rasa masih belum cukup
alasan untuk menuduh Tan-koancu sebagai komplotan
kawanan pembunuh itu."
"Bong-sicu, sudahkah kau saksikan apa yang menyebabkan
kematian orang-orang itu?" tanya Tio Tian-seng tawar.
875 "Soal itu belum Boanpwe lihat."
"Mereka tewas akibat saling bunuh sendiri. Bila tak
percaya, silakan Bong-laute periksa dengan seksama semua
korban itu, kau akan jumpai luka di tubuh para korban sesuai
dengan kesimpulanku tadi."
Bong Thian-gak berseru tertahan, dengan cepat ia
berpaling dan ujarnya kepada Tan Sam-cing, "Tan-koancu,
bagaimanakah penjelasanmu terhadap keterangan yang
disampaikan Tio-pangcu?"
"Memang tak salah, orang-orang itu tewas karena saling
bunuh, tapi kematian Keng-tim Suthay serta kedua bocah itu
adalah disebabkan tertotok jalan darahnya oleh seseorang.
Keadaan inilah yang membuat orang bingung serta tak habis
pikir." Setelah mendengar kata-katanya itu, mendadak Bong
Thian-gak teringat akan sesuatu, ia segera bertanya, "Cianpwe
berdua, tahukah kalian dalam Bu-lim terdapat semacam obat
pembingung sukma?"
"Bong-laute, maksudmu para korban telah dicekoki
semacam obat pembingung sukma terlebih dahulu sehingga
kejernihan otak mereka terganggu, akibatnya mereka mati
karena saling bunuh di antara rekan sendiri?"
"Boanpwe hanya ingin tahu, benarkah dalam Bu-lim
terdapat obat sejenis itu."
"Tentu saja ada."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, Tio-pangcu,
jika aku menduga pembunuhnya adalah si tabib sakti Gi Jiancau,
bagaimana menurut pendapatmu?"


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku pun menduga begitu," sahut Tio Tian-seng dengan
suara dalam. "Ada seorang jago lihai yang telah menyerbu
masuk kemari, pertama-tama ia membunuh Keng-tim Suthay
serta kedua bocah itu, kemudian mencuri obat pembingung
876 sukma milik Gi Jian-cau serta mencekokkan obat tadi kepada
kawanan jago lainnya, akibatnya terjadilah peristiwa saling
bunuh yang mengerikan ini, entah bagaimana pula menurut
pendapatmu atas dugaanku ini?"
"Tentu saja masuk akal juga," Tan Sam-cing menanggapi.
"Dan menurut dugaanku, bisa jadi si pembunuh adalah
orang-orang Sam-cing-koan."
"Betul, bisa jadi si pembunuh sudah mengenal keadaan
dalam kuil Sam-cing-koan," katanya membenarkan.
Paras muka Tio Tian-seng berubah kereng dan serius,
kembali ia berkata, "Tan-koancu, bila kau gagal menemukan
sang pembunuh, maka kau sendiri sulit untuk meloloskan diri
dari kecurigaan kami."
Tan Sam-cing tertawa dingin, "Rupanya Tio-pangcu
menuduh Pinto sebagai Hek-mo-ong?"
"Kecuali kau dapat menunjukkan siapakah Hek-mo-ong
yang sesungguhnya," sahut Tio Tian-seng sambil tertawa
dingin pula. "Tio-pangcu, berulang kali kau menuduhku sebagai Hekmo-
ong, sesungguhnya apa yang terkandung di balik tuduhan
jahatmu itu?"
"Berdasarkan berbagai kecurigaan dan bukti yang kudapat,
Tan-koancu memang patut dicurigai sebagai gembong iblis
terkutuk itu."
"Seandainya aku adalah Hek-mo-ong, maka kalian berdua
anggap masih bisa hidup sampai sekarang?"
"Hari ini, seandainya aku memasuki kuil Sam-cing-koan
seorang diri, besar kemungkinan sudah mengalami musibah
dan terbunuh mati," kata Tio Tian-seng dingin, "tapi
sayangnya kehadiranku sekarang justru ditemani oleh seorang
jago lihai lain yakni sastrawan cacat, biarpun Hek-mo-ong
877 berkepala tiga enam lengan, belum tentu ia mampu
menghadapi diriku serta sastrawan cacat bersama-sama.
Inilah yang menyebabkan kami bisa hidup sampai sekarang
dalam keadaan selamat."
"Hek-mo-ong bisa membunuh orang tanpa menunjukkan
wujud serta bayangan tubuhnya," kata Tan Sam-cing dingin.
"Seandainya Pinto adalah Hek-mo-ong, maka kalian berdua
tak akan bisa lolos dari kuil Sam-cing-koan ini."
Sementara itu Bong Thian-gak sedang memikirkan kedua
baris kata yang ditinggalkan Keng-tim Suthay menjelang
ajalnya. Berdasarkan kedua kalimat itu, bisa jadi Keng-tim
Suthay telah menduga sebelumnya akan terjadi suatu
peristiwa di situ.
Itulah sebabnya dia menyembunyikan sebutir pil
pengembali sukma dalam Hud-timnya sebelum dia ajal, Kengtim
Suthay berpesan pula agar Gi Jian-cau dibunuh,
mungkinkah si tabib sakti adalah jelmaan Hek-mo-ong"
Tapi ada persoalan lain yang membingungkannya,
andaikata Gi Jian-cau benar-benar adalah otak di belakang
layar yang menyetir Put-gwa-cin-kau dan juga adalah Hek-moong,
lantas mengapa pula dia mesti mengolah obat
pengembali sukma"
Bong Thian-gak tidak berani mengutarakan peristiwa itu
kepada siapa pun, dia tak ingin orang lain mengetahui pesan
terakhir Keng-tim Suthay.
Menurut pendapatnya, tuduhan Tio Tian-seng kepada Tan
Sam-cing sebagai Hek-mo-ong memang terdapat pula
beberapa bagian yang mencurigakan.
Maka sekarang untuk menyingkap teka-teki siapakah
sebenarnya Hek-mo-ong, rasanya hanya bisa terungkap
setelah Hek-mo-ong muncul.
878 Apa yang dikatakan Tan Sam-cing memang benar, Hek-moong
tak akan melepaskan dia serta Tio Tan-seng begitu saja,
oleh karena itu mereka berdua tak perlu berdiam lebih lama
lagi di sini. Bong Thian-gak menghela napas, kemudian katanya, "Tiopangcu,
sekarang jejak Gi Jian-cau masih misterius, kita tak
usah berdiam lebih lama lagi dalam kuil ini."
"Justru yang kukuatirkan adalah Gi Jian-cau masih bercokol
dalam Sam-cing-koan."
"Seandainya dia masih berada dalam kuil Sam-cing-koan,
sudah pasti Tan-koancu dapat mengatasinya."
Sementara itu Tan Sam-cing masih berdiri termenung,
seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, kemudian ia
menghela napas panjang dan beial, pelan-pelan katanya, "Hai
tua bangka, sejak hari ini Pinto akan terjun kembali ke dunia
Kangouw." Tatkala mengucapkan kata-katanya itu, mukanya
memperlihatkan tanda sedih dan menderita yang tak
terkirakan. Kata-katanya diucapkan sangat lambat seakan
membutuhkan dorongan kekuatan.
Sekulum senyuman segera menghiasi wajah Tio Tian-seng.
Tan Sam-cing memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng,
lalu melanjutkan, "Namun di saat Pinto mengetahui siapakah
Hek-mo-ong yang sebenarnya, maka seorang di antara kita
berdua akan mampus dan pulang ke neraka."
Tio Tian-seng tersenyum.
"Sejak dulu, pedang lurus dan pedang sesat memang tak
bisa hidup berdampingan, ibarat api dan air."
"Kalau kau sudah mengetahui akan hal itu, mengapa mesti
menggunakan berbagai akal muslihat untuk memaksaku terjun
879 kembali ke dunia persilatan?" seru Tan Sam-cing dengan
penuh kepedihan.
"Sebab untuk membunuh Hek-mo-ong, kecuali pedang
lurus dan pedang sesat bersatu, rasanya tiada yang mampu
membendungnya."
"Kalau begitu tujuanmu adalah memaksaku terjun kembali
ke dunia persilatan?"
"Selain itu masih ada satu hal lagi, yakni untuk
membuktikan benarkah kau bukan Hek-mo-ong."
"Sejak puluhan tahun berselang, Pinto sudah menduga
asal-usul Hek-mo-ong, di antara empat orang yang kucurigai,
kau Tio Tian-seng termasuk salah seorang di antaranya."
"Bagus, bagus sekali!" kata Tio Tian-seng sambil tertawa.
"Tan Sam-cing juga termasuk satu di antara empat orang
yang kucurigai."
Bong Thian-gak hanya mengetahui sedikit hal yang
menyangkut kedua orang Bu-lim Cianpwe ini, karenanya sikap
permusuhan dan bersahabat yang ditunjukkan kedua orang ini
membuatnya melongo kebingungan dan tak habis mengerti.
Setelah menghela napas panjang, kembali Tan Sam-cing
berkata, "Apakah kalian berdua hendak meninggalkan kuil
Sam-cing-koan?"
"Aku memang menunggu Tan-koancu bertindak sebagai
petunjuk jalan," sahut Tio Tian-seng.
Di bawah petunjuk Tan Sam-cing, Bong Thian-gak dan Tio
Tian-seng keluar dari gua bawah tanah dan meninggalkan kuil
Sam-cing-koan. Di saat keduanya memasuki kuil Sam-cing-koan, waktu
mendekati senja, tatkala meninggalkan tempat itu, waktu
sudah tengah malam. Mereka berada dalam gua bawah tanah
selama tiga jam lebih.
880 Pengalaman yang dialaminya selama tiga jam lebih yang
singkat itu penuh diliputi perasaan tegang, seram, sedih,
mengenaskan serta berbagai macam perasaan lainnya.
Kematian Keng-tim Suthay membuat Bong Thian-gak sedih,
murung dan kesal atas masa depan Hiat-kiam-bun.
Hiat-kiam-bun dari tangan Keng-tim Suthay telah
diserahkan ke Bong Thian-gak. Walaupun hanya dalam tujuh
hari yang singkat, namun sejak pertarungan berdarah di kuil
Hong-kong-si, tampaknya anak murid Hiat-kiam-bun telah
menderita kerugian cukup parah, hampir separoh anggota
tewas dan terluka parah, terutama kematian Keng-tim Suthay
dan Ang Teng-sui sekalian jago-jago tangguh saat ini, Hiatkiam-
hun sedang berada di ambang kehancuran.
"Ai!" helaan napas berat dan pedih akhirnya keluar dari
mulut Hong Thian-gak.
Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng menengok sekejap ke
arahnya, lalu menegur, "Bong-laute, mengapa kau menghela
napas panjang?"
"Tidak apa-apa," sahut Bong Thian-gak sambil menggeleng.
"Entah Tio pangcu hendak pergi kemana?"
"Aku hendak pergi mengejar si tabib sakti."
"Darimana kita bisa mengetahui jejaknya?"
"Bila jejaknya sudah ketahuan, urusan akan bisa
diselesaikan dengan mudah. Bong-laute, kau hendak
kemana?" Bong Thian-gak termenung beberapa saat lalu sahutnya
pula, "Boanpwe bermaksud berpisah dengan Locianpwe untuk
sementara waktu."
"Mau kemana" Apakah pergi ke Ho-pak?"
"Benar, aku ingin menuju Ho-pak dan memberitahu
kematian Keng tim Suthay kepada putrinya."
881 "Bong-laute, aku hendak memberitahukan satu hal
kepadamu, dalam pertarungan di kuil Hong-kong-si tempo
hari, terdapat banyak sekali jago lihai yang terluka parah,
keselamatan jiwanya terancam dan mereka sedang menunggu
kehadiran si tabib sakti Gi Jian-cau untuk mengobati lukanya.
Apakah Bong-laute bersedia meninggalkan dulu urusan
pribadimu untuk mendampingi diriku mencari si tabib sakti?"
"Ah, siapa saja yang terluka dalam pertarungan itu?" tanya
Bong Thian gak berseru tertahan.
"Mereka yang lolos dari kematian adalah Hong-kong
Hwesio, Mo Mui Thian, Han Siau-liong, To Siau-hou, tiga puluh
empat jago kami kecuali itu Khi, yang lain terkena racun jahat
yang dilepaskan Ji-kaucu sekarang keselamatan jiwa mereka
terancam."
"Ah, jika mereka gagal mendapatkan pengobatan dari si
tabib sakti, bukankah jiwa mereka akan hilang?" seru Bong
Thian-gak sangat terkejut.
"Ya, tentu saja sulit bagi mereka meloloskan diri dari
musibah itu."
"Lantas bagaimana cara kita menemukan si tabib sakti?"
tanya Bong Thian-gak sesudah temenung sebentar.
"Lebih baik kita menunggu kabar Tan Sam-cing di kota Lokyang."
"Apakah Tan Sam-cing mengetahui jejak si tabib sakti itu?"
"Si tabib sakti lenyap dalam kuil Sam-cing-koan, tentu saja
Tan Sam-cing seorang yang bisa mengejar dan mendapatkan
jejaknya."
Bong Thian-gak menghela napas panjang,
"Andaikata Tan Sam-cing tidak menyampaikan kabar itu
kepada kita?"
882 "Kecuali Tan Sam-cing adalah Hek-mo-ong atau dia enggan
terjun kembali ke dunia persilatan. Kalau tidak, dalam tiga hari
mendatang sudah pasti kita akan memperoleh kabar dari Tan
Sam-cing."
"Tio-pangcu," kata Bong Thian-gak menghela napas
panjang, "aku dapat merasakan bahwa di antara kau dan Tan
Sam-cing, rasanya terjalin suatu hubungan budi dan dendam
yang rumit."
Mendadak Tio Tian-seng menghentikan langkah, jawabnya,
"Benar di antara kami berdua memang terjalin hubungan budi
dan dendam yang tak bisa disampaikan kepada siapa pun."
Tio Tian-seng berhenti, Bong Thian-gak pun ikut
menghentikan langkah, kemudian memandang sekeliling
tempat itu. Malam itu kabut sangat tebal, sejauh mata
memandang hanya warna putih menyelimuti padang rumput
itu. Suasana begitu hening, sepi, tiada angin yang berhembus,
tiada suara, rumput pun seakan-akan turut tak bergoyang.
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Tio Tianseng,
dia mengawasi hutan di hadapannya tanpa berkedip.
Tergetar hati Bong Thian-gak melihat hal ini, segera
tegurnya, "Tio-pangcu, apa yang kau temukan?"
"Bau musuh."
"Musuh?" semangat Bong Thian-gak berkobar kembali.
"Dimana mereka?"
"Tunggu dulu! Jika mataku belum kabur, aku yakin musuh
yang kita hadapi sekarang adalah tokoh persilatan yang
menakutkan."
"Kau maksudkan Hek-mo-ong?" tanya Bong Thian-gak
terkejut. Tio Tian-seng manggut-manggut.
"Ya, sebaiknya kita duduk bersila di sini menunggu
datangnya fajar."
883 Seusai berkata, Tio Tian-seng segera duduk bersila di atas
tanah. "Benarkah kita akan menunggu sampai datangnya fajar?"
Bong Thian-gak bertanya lagi dengan kening berkerut.
"Tengah malam sudah tiba, rumah penginapan di kota
sudah tutup pintu, jangan harap kita bisa mendapatkan rumah
penginapan dalam keadaan begini. Apa salahnya kita
menginap semalam di udara terbuka?"
Mendengar jawaban itu, Bong Thian-gak segera berpikir,
"Aneh, mengapa Tio Tian-seng begitu takut terhadap Hek-moong"
Hanya angin yang menghembus rumput saja sudah
membuatnya tegang dan salah mengira sebagai kehadiran
Hek-mo-ong."
Walaupun dalam hati dia merasa geli, namun ia pun duduk
bersila di samping Tio Tian-seng.
Padahal satu jam kemudian fajar telah menyingsing
sehingga mereka tak perlu mencari tempat penginapan.
Sementara itu suara di sekeliling sana terasa begitu hening
dan sepi hingga tampak mengerikan, dua orang tokoh sakti
duduk bersila di atau tanah sambil mengatur napas. Dalam
keadaan begini, jangankan kehadiran manusia, daun rontok
pun dapat mereka dengar dengan jelas.
Namun kedua orang itu tidak mendengar sedikit suara pun,


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tio Tian seng mulai berpikir, "Ah, mungkin aku salah melihat
tadi." Mendadak telinganya menangkap suara dengingan nyamuk
di sisi tubuhnya.
Cepat Tio Tian-seng membuka mata.
Bong Thian-gak yang berada di sampingnya sudah
menepuk wajah sendiri, jelas ia sudah menepuk mati seekor
nyamuk. 884 Pada saat itu pula Tio Tian-seng merasa pipi kanannya
digigit pula seekor nyamuk.
la segera membunuh nyamuk itu.
Perbuatan yang dilakukan kedua orang itu bersamaan
waktunya dan kebetulan sekali, tapi justru itu menimbulkan
kecurigaan Mo-kiamsin-kuh Tio Tian-seng yang banyak akal
dan matang pengalaman ini.
Perasaannya kontan bergetar keras, dengan cepat ia berkat
"Bong-laute, tidak kau rasakan datangnya kedua ekor nyamuk
tadi rada aneh."
"Di tengah padang rumput memang banyak lalat dan
nyamuk, apa yang aneh?"
"Malam ini kabut sangat tebal, udara pun lembab, darimana
bisa muncul nyamuk" Dan pula cuma dua ekor saja."
Belum habis berkata, terdengar lagi suara dengingan
nyamuk, kali ini muncul tiga ekor.
Tio Tian-seng segera mengebas ujung bajunya melepas
pukulan ke depan.
Agaknya leher Bong Thian-gak telah tergigit oleh seekor
nyamuk dia mengayun tangan dan membunuh seekor lagi.
Mendadak Tio Tian-seng berdiri, lalu serunya dengan sua
dalam, "Bong-laute, mari kita cepat pergi."
"Tio-pangcu hendak kemana?" tanya Bong Thian-gak
tertegun. "Kita sudah terkena serangan gelap musuh," kata Tio Tiansen
dengan paras muka berubah hebat.
"Tio-pangcu, kau maksudkan beberapa ekor nyamuk tadi?"
tany sang pemuda keheranan.
"Benar, nyamuk itu adalah nyamuk beracun yang dilepas
musuh untuk menyerang kita."
885 Bong Thian-gak tersenyum.
"Bukankah Tio-pangcu telah tergigit oleh nyamuk itu"
Apakah kau merasakan sesuatu gejala aneh dalam tubuhmu?"
"Tubuhku tidak merasakan sesuatu gejala aneh, namun aku
tahu nyamuk itu bukan nyamuk biasa yang banyak terdapat di
padan rumput. Bong-laute, lebih baik turuti kata-kataku, mari
kita tinggalkan tempat ini secepatnya."
Bong Thian-gak tertawa ringan sambil berdiri, sahutnya,
"Kau hendak kemana" Harap Tio-pangcu membuka jalan!"
Tio Tian-seng mengerahkan ilmu meringankan tubuh
meluncur ke arah kota Lok-yang, Bong Thian-gak mengikut di
belakangnya dengan ketat.
Sesudah menempuh perjalanan sejauh tiga li lebih, tiba-tiba
Bong Thian-gak menjerit kaget.
Tio Tian-seng segera menghentikan langkah seraya
berpaling, tegurnya, "Kenapa kau, Bong-laute?"
"Boanpwe mulai merasa gatal dan panas sekali di sekitar
tempat yang tergigit nyamuk tadi."
Berubah hebat paras Tio Tian-seng, serunya gelisah,
"Benarkah perkataanmu itu?"
"Bukankah kau sendiri juga tergigit nyamuk" Apakah kau
tidak merasakan gejala itu."
"Oh, belum."
"Mungkin kita bukan terkena serangan musuh."
"Lebih baik kita duduk bersemedi, kita coba mendesak
keluar racun yang mengeram dalam tubuh dengan mengandal
tenaga dalam."
Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan memandang
sekejap sekeliling tempat itu, dia merasa jaraknya dengan
886 kota Lok-yang sudah tidak jauh lagi, bahkan di depan situ
sudah tampak rumah penduduk.
Maka dia pun menjawab, "Rasa gatal dan panas tidak
kurasakan, lebih baik kita berangkat ke kota Lok-yang!"
"Nyamuk itu tak salah lagi adalah nyamuk beracun.
Mumpung racunnya belum mulai bekerja, lebih baik kita coba
mendesaknya keluar dengan tenaga dalam, siapa tahu masih
belum terlambat."
Siapa tahu baru selesai dia mengucapkan perkataan itu,
mendadak dari belakang tubuh mereka terdengar seorang
menyambung, "Sayang sudah terlambat, kalian sudah tergigit
nyamuk beracun. Nyamuk itu merupakan nyamuk penghancur
darah yang berasal dari wilayah Biau. Seandainya di tempat ini
ada sinar lentera, maka kalian pasti sudah melihat kulit kalian
pucat sekali."
Mendengar perkataan itu, Tio Tian-seng dan Bong Thiangak
negera membalikkan badan.
Di belakang mereka, di bawah sebatang pohon di tepi
jalan, tampak seseorang berdiri di situ.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak segera membentak,
"Siapa Kau " Pelan-pelan orang itu berjalan ke depan, lalu sahutnya,
"Wanita Biau dari bukit Bong-san, Biau-kosiu!"
Begitu selesai berkata, ia sudah tiba di hadapan Bong
Thian-gak berdua.
Di bawah cahaya rembulan, tampak gadis suku Biau ini
berwajah cantik, mengenakan pakaian pendek dan sempit,
lengannya telanjang, kulit tubuhnya halus dan putih, potongan
887 badannya tinggi semampai, mendatangkan rangsangan bagi
siapa pun yang memandangnya.
Wajah bulat telur dengan mata jeli, hidung mancung dan
bibir kecil mungil, wajah yang cantik menawan hati.
Bong Thian-gak dan Tio Tian-seng tertegun melihat
kemunculan gadis muda itu, dalam hati mereka merasa
keheranan. Sesudah tertegun beberapa saat, Bong Thian-gak menegur,
"Kau yang melepaskan nyamuk-nyamuk beracun itu untuk
melukai kami?"
Gadis Biau yang cantik jelita itu mengedipkan matanya
yang jeli, kemudian setelah memandang sekejap ke arah Bong
Thian-gak, ia menggeleng, "Bukan."
"Kalau begitu kau tahu siapa yang telah turun tangan
mencelakai kami?"
"Tentu saja tahu."
"Siapakah dia" Cepat katakan."
"Mengapa aku mesti memberitahukan kepadamu?"
Tio Tian-seng menghela napas sedih, kemudian
menimbrung, "Nona mengetahui begitu jelas tentang sifat dan
kemampuan nyamuk penghancur darah, berarti nona pun
dapat menyembuhkan racun akibat gigitan nyamuk itu
bukan?" * Biau-kosiu atau gadis Biau yang cantik jelita itu
memandang sekejap ke arah Tio Tian-seng, kemudian
menyahut, "Sebagai suku Biau, jangankan aku, bocah tiga
tahun pun dapat menyembuhkan, cuma sayang nyamuk
penghancur darah yang menggigit kalian merupakan nyamuk
penghancur darah peliharaan orang lain, jadi sifat racunnya
tidak mudah disembuhkan begitu saja."
888 "Bila nona dapat menolong kami menyembuhkan gigitan
nyamuk ini, budi kebaikanmu tak akan kulupakan selamanya,"
ucap Tio Tian-seng dengan sedih.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak menyangka Tio Tian-seng
akan memohon pertolongan gadis itu.
"Boleh saja kutolong kalian, cuma aku tak bakal menolong
kalian berdua begitu saja," ucap si nona suku Biau dengan
suara merdu. "Nona mempunyai syarat" Apa syaratnya?"
"Bila aku beri obat penawar racun pada kalian, besar
kemungkinan ada orang hendak turun tangan jahat kepadaku.
Oleh sebab itu aku minta kalian berdua melindungi
keselamatan jiwaku."
"Syarat ini sangat gampang, kami menyanggupi
permintaanmu itu," sahut Tio Tian-seng cepat.
"Orang persilatan paling mengutamakan pegang janji,
kalian jangan menyesal di kemudian hari."
Dengan suara lantang Bong Thian-gak segera berseru,
"Sekalipun nona tidak menghadiahkan obat kepada kami,
seandainya jiwa nona terancam oleh manusia laknat, kami
juga bersedia membantumu."
Gadis suku Biau itu menggeleng kepala berulang-kali.
"Yang kumaksudkan melindungi keselamatan jiwaku adalah
kalian berdua mesti selalu mendampingiku, mengawal aku
kemana pun aku pergi dan mengikuti perintahku."
"Ah, kalau soal ini sulit kukabulkan," ucap Bong Thian-gak.
"Kalau tidak setuju, ya sudah, selamat tinggal!" kata gadis
suku Biau itu ketus.
889 Seusai berkata, ia membalikkan badan dan segera beranjak
pergi. Dengan suara dalam Tio Tian-seng berseru, "Nona,
harap tunggu sebentar!"
"Kalian setuju?" tanya si gadis sambil berpaling.
Tio Tian-seng tertawa rawan, ia tidak menjawab
pertanyaan itu, sebaliknya bertanya, "Apakah nona membawa
obat penawar racun itu?"
"Apakah kalian berniat merampas dengan kekerasan?"
"Tidak berani, aku hanya ingin bertanya dimanakah nona
berdiam?" "Buat apa kau tanyakan hal ini?"
"Jika suatu ketika kami berubah pendirian, kami bisa
langsung pergi mencari nona!"
"Dengan mengetahui tempat tinggalku, bukankah kalian
pun mempunyai peluang untuk mencuri."
"Nona begitu cermat, hati-hati dan cerdik. Sekalipun kami
berniat mencuri, mana mungkin akan berhasil?"
Gadis Biau itu tertawa dingin.
"Aku berdiam di rumah penginapan Ban-heng di kota Lokyang.
Selewat dua belas jam jika kalian belum juga
mendapatkan obat penawar racun itu, maka racun yang
mengeram dalam tubuh kalian tak akan terobati lagi."
Habis berkata, gadis Biau itu menggoyang pinggul dan
berkelebat pergi, bayangannya lenyap di balik kegelapan sana.
Memandang bayangan tubuhnya, Tio Tian-seng menghela
napas panjang, kemudian ujarnya, "Bong-laute, apakah kita
mesti menunggu datangnya malaikat maut mencabut nyawa
kita?" "Kecuali memenuhi syarat yang diajukan olehnya, terpaksa
memang kita hanya bisa menunggu datangnya ajal."
890 Tio Tian-seng tertawa pedih.
"Sekarang kita cuma ada dua jalan saja yaitu
menggertaknya agar mau menyerahkan obat penawar racun
atau pura-pura menyanggupi permintaannya."
"Aku takut berbuat begitu, kita akan kehilangan pamor
sebagai umat persilatan."
Sekali lagi Tio Tian-seng tertawa sedih, "Dalam persilatan
banyak terjadi peristiwa yang merugikan pihak lain seperti ini.
Bila kita berhasil merenggut nyawanya pun, aku rasa hal ini
bukan suatu dosa besar, mengingat tindakannya berpeluk
tangan melihat jiwa orang terancam sudah melanggar
peraturan dunia persilatan."
"Tio-pangcu," kata Bong Thian-gak kemudian sesudah
menghela napas sedih, "sudah kau saksikan bahwa
perempuan ini sangat cerdik, teliti dan seksama, caranya
bicaranya pun sangat diplomatis dan tajam, aku lihat dia
bukan perempuan biasa."
"Aku memang dapat merasakan, gadis ini berbeda sekali
dengan kebanyakan gadis lain, tapi kita kan tak bisa berpeluk
tangan menanti tibanya ajal bukan?"
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas, setelah
mengangkat kepala dan memandang cuaca, dia berkata,
"Sekurangnya kentongan kelima telah tiba, lebih baik kita
berdiam dulu di rumah penginapan Banheng sambil menunggu
perkembangan situasi!"
Tio Tian-seng menyetujui usul Bong Thian-gak, maka
dengan langkah pelan berangkatlah mereka ke kota Lok-yang.
Sambil berjalan Bong Thian-gak bertanya, "Tio-pangcu,
apakah kau sudah merasakan sesuatu perubahan di dalam
tubuhmu?" "Ya, pipiku mulai terasa panas."
891 "Ai, aku pun mulai merasa kaku pada sekeliling mulut luka
itu." "Berarti k
Istana Pulau Es 11 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Hikmah Pedang Hijau 13
^