Pendekar Cacad 2

Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 2


sisi pembaringan, begitu melihat pemuda itu membuka mata, dia
lantas berkata, "Siangkong! Siangkong! Nona telah datang ...."
68 Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya ke arah
lain, sambil berseru tertahan buru-buru dia melompat bangun
dan duduk. Ternyata di kursi dekat dinding kamarnya telah duduk
kakak seperguruannya, Oh Cian-giok.
Bong Thian-gak melompat turun dari pembaringan dan
menuju ke arah Oh Cian-giok sambil katanya, "Nona Oh, sejak
kapan kau sampai di sini" Maaf jika aku bersikap kurang
sopan." Oh Cian-giok masih mengenakan pakaian putih tanda
berkabung, hanya wajahnya nampak amat murung, selapis
hawa dingin menghiasi raut wajahnya.
"Ko-siangkong," ujarnya, "maaf jika aku mengganggu
tidurmu, tapi berhubung dalam gedung telah terjadi suatu
peristiwa besar, terpaksa Toa-suheng mengutusku kemari
mengundang kedatangan Ko-siangkong."
"Apa yang terjadi?" seru Bong Thian-gak dengan
terperanjat. "Kongsun-tayhiap ditemukan tewas!"
Berita buruk ini segera membuat Bong Thian-gak amat
terkesiap, serunya tertahan, "Apa" Kau mengatakan Kongsun
Phu-ki telah tewas?"
Pelan-pelan Oh Cian-giok mengangguk, "Benar ia mati
terbunuh."
"Bagaimana tewasnya?"
"Ketika datang memanggilnya pagi tadi, ia ditemukan mati
kaku di atas pembaringan, anggota badannya telah kaku dan
mendingin, jelas sudah putus nyawa cukup lama, tapi sebab
kematiannya belum jelas. Kini Ku-lo Hwesio dan sebagian jago
sedang menantikan kedatangan Ko-siangkong di ruangan
bawah sana."
69 Bong Thian-gak tidak banyak bicara lagi, cepat ia
membetulkan pakaiannya, lalu mengikuti Oh Cian-giok menuju
ke kamar Kongsun Phu-ki.
Waktu itu para jago sudah berkumpul dalam ruang tamu
yang kecil, kebetulan Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui sedang
berjalan keluar ilari dalam kamar, para jago segera bertanya,
"Apa yang menyebabkan kematian Kongsun Phu-ki?"
Baik Ho Put-ciang maupun Yu Heng-sui tidak menjawab,
mereka hanya menggeleng kepala berulang kali.
Menyaksikan Bong Thian-gak muncul, Ho Put-ciang berkata
hambar, "Ko-cuangsu silakan masuk, Ku-lo Sinceng sedang
menanti kedatanganmu di dalam sana."
Bong Thian-gak mengiakan dan buru-buru ia masuk ke
dalam kamar. Di atas pembaringan kayu dalam ruangan, tergeletak kaku
seorang kakek kurus kering, dialah Kongsun Phu-ki, salah satu
di antara Ciong-lam-sam-lo.
Di sisi pembaringan duduk Ku-lo Hwesio, dia sedang
meneliti setiap bagian tubuh Kongsun Phu-ki.
Bong Thian-gak ikut mengamati jenazah itu, tampak paras
muka Kongsun Phu-ki pucat-pias, kulit wajahnya cekung ke
dalam sehingga boleh dibilang tinggal kulit pembungkus
tulang belaka. Keadaannya saat ini mirip seorang yang tewas setelah
puluhan tahun menderita penyakit parah.
Ku-lo Hwesio mendongakkan kepala dan memandang
sekejap ke arah Bong Thian-gak, mendadak ia bangkit dan
berkata, "Di atas tubuhnya tidak ditemukan luka apa pun, juga
tidak ditemukan gejala keracunan, kalau begitu ...."
Mendadak ia berhenti sejenak sambil beranjak keluar dari
kamar, kemudian baru melanjutkan sambil menghela napas,
70 "Itu berarti dia tewas akibat sari darah dan tulang sumsumnya
mengering."
Dugaan itu segera disambut para jago dengan wajah
berubah hebat, hampir bersamaan mereka berseru, "Sari
darah dan tulang sumsum mengering" Mengapa sari darah
dan tulang sumsum bisa mengering dalam semalaman saja?"
Dalam ruangan itu hanya Bong Thian-gak seorang yang
secara lamat-lamat bisa menduga apa gerangan yang terjadi,
tapi karena dilihatnya Oh Cian-giok hadir pula di situ, maka ia
merasa agak sungkan untuk bertanya lebih jauh kepada Ku-lo
Hwesio. Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan wajah amat
serius, "Ko-sicu, Lolap ingin bicara empat mata denganmu
sebentar, datanglah ke loteng sebelah timur bersama Hohiantit
dan Yu-hiantit "Baik, aku akan segera ke sana!" jawab Bong Thian-gak
dengan suara lantang.
Selesai berkata, dia mengikut di belakang Ku-lo Sinceng
keluar ruangan itu. Tak selang beberapa saat kemudian,
mereka sudah tiba di ruang tamu loteng sebelah timur.
Ternyata Ho Put-ciang dan Yu Hengsui telah berada pula di
sana. Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Ku-lo
Hwesio barulah berkata, "Kongsun-sicu tewas akibat sari
darah dan tulang sumsumnya mengering atau dengan kata
lain dia mati akibat air maninya telah kering."
"Jadi dia benar-benar tewas akibat air maninya telah
mengering?"
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Ya, Kongsun-sicu
memang lewas di tangan seorang perempuan."
"Ah, kematiannya benar-benar di luar dugaan."
71 "Ko-sicu, semalam kau yang menguntit di belakang
Kongsun-sicu, tentunya kau tahu bukan kemana dia telah
pergi?" Diam-diam Bong Thian-gak terkejut juga, dia tidak
menyangka perbuatannya menguntit di belakang Kongsun
Phu-ki tak lolos dari pengawasan Ku-lo Hwesio. Dengan cepat
lantas dia menjawab, "Kongsun-tayhiap telah berkunjung ke
rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau, tapi berhubung aku tidak
masuk ke dalam, maka tidak kuketahui apa yang
dilakukannya!"
Maka Bong Thian-gak menceritakan secara ringkas
bagaimana dia menguntit Kongsun Phu-ki semalam, hanya
soal mengintip seorang perempuan cantik dalam keadaan
telanjang saja yang sengaja dia rahasiakan.
Seusai mendengar penuturan itu, Yu Heng-sui berkata
sambil menghela napas, "Ah, sudah satu bulan lebih Kongsuntayhiap
berdiam di sini, tiap hari dia tentu keluar satu kali, aku
pun pernah menguntitnya secara diam-diam, dia memang
pergi ke sarang pelacuran untuk melepaskan napsunya."
"Lolap sendiri pun pernah mendengar Kongsun-sicu tak
mampu mengendalikan birahi, tapi dia cukup berjiwa jujur dan
lurus, selama ini belum pernah mengganggu anak gadis atau
istri orang. Namun kalau dibilang ia mengalami musibah akibat
peristiwa ini, rasanya juga tak mungkin."
Bong Thian-gak pun merasakan banyak hal yang
mencurigakan dalam kejadian itu, dia berkata, "Kalau dibilang
Kongsun Phu-ki mati akibat dia kehabisan air mani setelah
berbuat iseng dengan pelacur, mengapa justru tewas dalam
gedung Bu-lim Bengcu, apalagi dia seorang jago yang memiliki
tenaga dalam amat sempurna, tak mungkin dia berbuat iseng
hingga kelewat batas, sampai air maninya mengering dan
berakibat kematian."
72 "Kalau bukan suatu musibah, apa. mungkin suatu
pembunuhan?" kata Ho Put-ciang tiba-tiba.
"Menjelang tengah malam Lolap menyaksikan Kongsun-sicu
pulang seorang diri, menyusul kemudian Ko-sicu baru pulang
setengah jam kemudian, waktu itu Ko-sicu pernah menjenguk
pula ke kamar Kongsun-sicu."
Bong Thian-gak semakin terkejut mendengar ucapan itu, ia
tidak menyangka semua gerak-geriknya tak lepas dari
pengawasan Ku-lo Hwesio, maka jawabnya dengan lantang,
"Apa yang dikatakan Taysu memang tepat sekali, oleh karena
aku kuatir Kongsun-tayhiap belum sampai di rumah, sengaja
aku datang ke kamarnya untuk mengintip dan membuktikan
apakah dia telah kembali ke rumah atau belum!"
"Biasanya orang yang mati akibat kehabisan sumsum
tulangnya, dia akan mati seketika setelah selesai melakukan
senggama," Ku-lo Hwesio menerangkan. "Mustahil berjalan
pulang lebih dulu dari jauh sebelum akhirnya tewas di rumah.
Ah! Mungkin Kongsun-sicu tidur semalaman tak pernah
mendusin untuk selamanya!"
"Supek, lantas berada dalam keadaan apakah Kongsuntayhiap
menemui ajalnya?" tanya Yu Heng-sui kemudian.
"Dua ratus tahun berselang, di Bu-lim pernah beredar
sejilid kitab Tay-im-keng yang mencantumkan sejenis ilmu
yang disebut Soh-li-sut (kepandaian perempuan suci),
tegasnya kepandaian itu merupakan sejenis ilmu penghisap
hawa Yang dari tubuh lelaki untuk memupuk kekuatan Im
tubuh perempuan yang digauli. Ilmu sesat semacam itu
pernah muncul di Bu-lim sebelum ini, tapi bila dibicarakan,
gejalanya persis seperti gejala kematian Kongsun-sicu
sekarang, itulah sebabnya Lolap jadi teringat kitab aneh Tayim-
keng itu."
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak
sesudah mendengar penjelasan itu, katanya cepat, "Jadi
73 maksud Taysu, kematian Kongsun-sicu disebabkan oleh
perbuatan seorang perempuan yang mengerti ilmu Soh-li-sut,
dan telah menghisap hawa Yangnya hingga mengering?"
"Ya, sebab kematian Kongsun-sicu memang demikian
adanya." Bong Thian-gak menjerit kaget, "Ah, mungkinkah dalam
rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau terdapat perempuan
semacam ini?"
"Kalau dibilang dalam rumah pelacuran bisa muncul
perempuan seperti ini, sesungguhnya sesuatu yang mustahil
dan sukar untuk dipercaya, sekali pun ada, tak mungkin dia
mencelakai orang tanpa sebab, ah ... itulah sebabnya Lolap
sekali lagi ingin bertanya kepada Ko-sicu, kemarin malam
Kongsun-sicu telah pergi kemana?"
Bong Thian-gak tertegun. "Jadi Taysu tidak percaya dengan
perkataanku?" tanyanya.
"Sejak beberapa hari berselang, musuh telah menetapkan
hari kematian untuk Kongsun-sicu, mungkin hal ini disebabkan
pihak lawan tahu Kongsun-sicu gemar bermain perempuan,
maka ia sengaja menyiapkan seorang perempuan yang pandai
ilmu Soh-li-sut untuk merayunya di tengah jalan sehingga
rencana pembunuhan mereka tercapai, apabila dibilang di
dalam rumah pelacuran bisa terdapat perempuan macam
begini, sesungguhnya hal ini sukar untuk dipercaya."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, apa yang
kukatakan sebenarnya merupakan kenyataan, namun bila
Taysu sekalian tidak percaya, aku pun tidak bisa berbuat apaapa."
Padahal Bong Thian-gak pun terkejut bercampur keheranan
atas kematian Kongsun Phu-ki.
74 "Baiklah," kata Ku-lo Hwesio kemudian, "Untuk sementara
waktu Lolap tak usah membicarakan dulu kematian Kongsunsicu
semalam." Dilihat dari sikap Ku-lo Hwesio yang bernada memeriksa
dirinya, Bong Thian-gak segera sadar bahwa Hwesio tua yang
teliti ini pun sudah mulai menaruh curiga padanya, siapa tahu
Hwesio itu sudah lama menaruh curiga padanya, sehingga
sengaja mengajaknya turut menghadiri rapat rahasia itu.
Kemudian mengintai dan menyelidikinya secara diam-diam.
Terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Pembunuh gelap yang
dibunuh Ko-sicu itu merupakan salah satu dayang
kepercayaan Oh-bengcu Hujin. Kini Lolap ingin bertanya
kepada Sicu, mengapa dayang itu mencari Sicu sebagai
sasaran pembunuhan?"
Bong Thian-gak segera mengeluarkan kartu merah dari
dalam sakunya, kemudian berkata dengan lantang, "Silakan
Taysu memeriksa kartu ini terlebih dahulu!"
Ku-lo Hwesio menerima kartu itu dan diperiksa sebentar,
kemudian diberikan kepada Ho Put-ciang, setelah itu dia baru
berkata, "Seandainya Sicu adalah orang dari golongan kami,
setelah musuh memberikan kartu peringatan itu kepadamu,
Sicu pasti akan berusaha menawan mata-mata itu, kemudian
disiksa supaya mengaku, apa sebabnya kau malah membunuh
orang itu secara keji?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, tentang
kesalahan tanganku, aku membunuh pembunuh gelap itu, aku
merasa menyesal sekali."
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Ku-lo
Hwesio, dia menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat,
kemudian ujarnya dengan suara dalam, "Maaf jika Lolap
menaruh prasangka kepada Sicu, harap Sicu dapat
memberikan bantahan setelah tuduhanku ini kuucapkan."
"Katakan saja, Taysu."
75 "Seandainya Lolap menuduh Sicu adalah utusan lihai
musuh yang mendapat perintah untuk menyusup ke dalam
gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimanakah sanggahan
Sicu?" Bong Thian-gak untuk kesekian kalinya menghela napas
panjang, "Ah, asal kuutarakan asal-usulku, sudah pasti Taysu
tak akan menaruh curiga lagi kepadaku, bila seseorang yang
tidak diketahui asal-usulnya tiba-tiba muncul dalam gedung
Bu-lim Bengcu, bagaimana pun juga hal ini memang
mencurigakan orang lain!"
"Apa yang hendak Sicu tanyakan?"
"Apa yang ingin kuketahui adalah soal kematian Kongsun
Phu-ki, benarkah dia tewas akibat kehabisan sumsum Goanyang?"
Tiba-tiba paras muka Ku-lo Hwesio berubah, tapi sebentar
saja sudah lenyap, pelan-pelan dia berkata, "Ko-sicu telah
menyaksikan jenazah Kongsun-sicu dengan mata kepala
sendiri, bagaimana tanggapanmu tentang kematiannya?"
Bong Thian-gak tertegun, sahutnya pula, "Dilihat dari gejala
kematiannya, dia memang tewas akibat kehabisan sumsum
Goan-yang!"


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, apa lagi yang Sicu sangsikan?"
"Ah, aku harus membuktikan dulu sebab kematian Kongsun
Phu-ki sebelum menyelelidiki siapa pembunuhnya."
"Sicu, setelah sampai di sini, Lolap terpaksa mesti berterus
terang kepadamu!" kata Ku-lo Hwesio kemudian dengan suara
dalam. "Semua jago yang hadir di sini maupun pejabat Bengcu
merasa keberatan bila ada seorang yang tak jelas identitas
dan asal-usulnya turut serta dalam persoalan persekutuan
dunia persilatan ini."
Sambil tertawa getir Bong Thian-gak manggut-manggut,
"Aku akan segera meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu ini,
76 tapi jangan harap bisa mengetahui asal-usulku yang
sebenarnya!"
Tiba-tiba Yu Heng-sui tertawa dingin, "Ko-heng, jika kau
tidak mengungkap asal-usulmu, mungkin kau tak akan dapat
mengundurkan diri dari gedung Bengcu ini dengan selamat."
Mendengar itu, Bong Thian-gak berkerut kening, lalu
ujarnya lagi dengan suara dalam, "Kalian tak mau mengurusi
masalah yang sesungguhnya, buat apa mendesak diriku
mengungkap asal-usulku?"
"Semua ini mengikuti keinginan para jago," sahut Yu Hengsui
tertawa. "Kini mereka telah menanti dirimu di bawah
loteng sana."
Bong Thian-gak menghela napas panjang mendengar
ucapan itu, "Ai, bila kalian tak mau percaya kepadaku, suatu
ketika kalian akan menyesal."
Setelah menghela napas lagi, dia berpaling ke arah Ho Putciang,
lalu ujarnya lebih jauh, "Kalau kalian tak percaya
kepadaku sejak awal, mengapa kalian izinkan diriku
mencampuri urusan ini" Sekarang kalian pun tidak
memperkenankan aku pergi dari sini, sebenarnya apa yang
hendak kalian lakukan?"
"Ko-cuangsu, mengapa kau tidak mengungkap asal-usulmu
secara jujur?"
Bong Thian-gak menggeleng, "Maaf, aku tidak bisa
menjawab."
"Jika kau enggan menjawab, para jago akan
menghalangimu pergi dari sini."
Kembali Bong Thian-gak tertawa, "Bila hal ini terjadi,
terpaksa aku suruh mereka saksikan kelihaian ilmu silatku!"
Selesai berkata, pemuda itu segera beranjak turun dari
loteng itu. 77 Yu Heng-sui tertawa dingin, dia segera melompat bangun
sambil bersiap-siap melancarkan serangan.
Tiba-tiba Ho Put-ciang berkata dengan suara dalam, "Jisute,
jangan bertindak gegabah!"
Yang dikuatirkan oleh Bong Thian-gak selama ini adalah
bilamana dia mesti bertarung melawan Toa-suhengnya,
betapa lega hatinya setelah Toa-suhengnya mencegah Jisuhengnya
turun tangan. Selangkah demi selangkah dia turun dari anak tangga,
setelah tiba di depan pintu gerbang, tampak kawanan jago itu
benar-benar telah berdiri mengelilingi halaman gedung,
puluhan pasang mata yang tajam bersama-sama ditujukan ke
tubuhnya. Bong Thian-gak bersikap acuh tak acuh, seakan-akan sama
sekali tidak melihat kehadiran mereka, dengan dada
dibusungkan dia langsung berjalan menuju ke tengah
halaman. Sementara itu Ku-lo Hwesio bersama Ho Put-ciang dan Yu
Heng-sui telah turun dari loteng pula, mereka bertiga berdiri di
depan pintu gerbang dengan wajah serius.
Ketika Bong Thian-gak sudah hampir keluar pintu halaman,
tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring, "Berhenti!"
Bayangan orang berkelebat, seorang lelaki kekar
bercambang hitam pekat seperti pantat kuali, dengan
perawakan tinggi besar dan berjubah biru telah menghadang
di depan Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak segera mengenali orang ini sebagai salah
seorang dari Tiam-jong-siang-kiat yang dijuluki Wan-pit-kim-to
(golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam.
"Ang-tayhiap, apakah engkau hendak memberi sesuatu
petunjuk kepadaku?" tegurnya.
78 Golok emas berlengan monyet Ang Thong-lam tertawa
terbahak-bahak, "Aku orang she Ang ingin mohon petunjuk
dari saudara!"
"Silakan turun tangan, Ang-tayhiap."
Sikap santai dan tenang Bong Thian-gak ini membuat si
Golok emas berlengan monyet tertegun dan berdiri termangumangu
di tempat. Setelah tertawa dingin, kembali Bong Thian-gak berkata,
"Ang-tayhiap, mengapa tidak melancarkan serangan?"
Tiba-tiba saja Ang Thong-lam menganggap Bong Thian-gak
berniat mempermainkan dirinya, dia jadi naik darah dan
segera membentak nyaring, "Bagus sekali, akan kulihat
seberapa hebat kepandaian silatmu hingga begitu sinis
padaku." Begitu selesai berkata, dia lantas mengayun tinjunya
menghantam wajah Bong Thian-gak, serangannya dahsyat,
tenaga pukulannya mematikan.
Bong Thian-gak tertawa dingin, kaki kanannya maju ke
Tiong-kiong, lalu telapak tangan kanan diayun ke muka
membabat urat nadi pergelangan tangan musuh.
Sekali orang menyerang, segera akan diketahui berisi atau
tidak, seketika itu juga paras muka para jago di sekeliling
halaman itu berubah hebat.
Ang Thong-lam merupakan adik seperguruan ketua Tiamjong-
pay sekarang, kesempurnaan ilmu silatnya termasuk juga
kemampuan seorang ketua partai, ia segera menyadari
pukulan tangan kanannya akan meleset.
Sambil membentak keras bagaikan harimau ganas keluar
dari sarang, secepat kilat tangan kirinya menghantam
pinggang musuh.
79 Serangan ini merupakan ilmu pukulan Kiong-ciang-kun
(Pukulan busur panah) yang amat termasyhur dari Tiam-jongpay,
serangannya dilepaskan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, hebat luar biasa.
Semua jago yang menyaksikan jalannya pertandingan itu
dari samping, segera dapat merasakan pukulan Ang Thonglam
itu sangat hebat dan membuat orang sukar
menghindarkan diri.
Sikap Bong Thian-gak cukup tenang, tampak dia
berjongkok, kemudian membentak nyaring, "Lihat serangan!"
Suara benturan keras menggelegar di udara, badan Ang
Thong-lam berguncang keras, kemudian dengan
sempoyongan mundur sejauh liga-empat langkah, lengan
kirinya terkulai lemas, sementara wajahnya basah oleh
keringat. Dalam bentrokan itu, para jago dapat mengikuti kejadian
itu dengan jelas, rupanya di saat yang paling kritis, Bong
Thian-gak telah mengubah babatan tangan kanannya yang
mengancam urat nadi pada lengan kanan Ang Thong-lam itu
menjadi serangan menyikut, di antara posisi setengah
berjongkok itulah dia berhasil menyikut persendian hilang
lengan sebelah kiri musuh.
Dalam bentrokan barusan, kedua belah pihak memang
belum menggunakan kepandaian yang sebenarnya, tapi
menang kalah di antara mereka sudah ditentukan.
Seorang jago lihai yang termasyhur namanya di Bu-lim
ternyata menderita kalah total di tangan seorang pemuda tak
dikenal, kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun.
Hasil pertempuran yang mengejutkan ini kontan saja
membuat paras muka para jago berubah hebat.
80 Kepada Ku-lo Hwesio kata Ho Put-ciang, "Ku-lo Supek,
sodokan sikutnya benar-benar dilakukan dengan amat jitu dan
hebat, ilmu silat orang ini tidak boleh dipandang enteng."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Betul, sodokan sikut itu
dilancarkan di antara sela-sela peralihan jurus pertama ke
jurus kedua, dari sini dapat diketahui ilmu silat orang ini
benar-benar hebat sekali."
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah menjura kepada
semua jago setelah berhasil mengalahkan Ang Thong-lam,
katanya dengan lantang, "Ang-tayhiap, terima kasih atas
kesediaannya mengalah!"
Setelah berkata, dia lantas beranjak pergi.
"Tunggu sebentar saudara! Lohu ingin mohon petunjuk
pula," tiba-tiba seseorang berkata dengan suara parau.
Tampak seorang kakek berbaju hitam menggembol
pedang, pelan-pelan berjalan keluar dan menghadang di
depan Bong Thian-gak.
Setelah melihat jelas paras muka kakek itu, dengan kening
berkerut Bong Thian-gak berkata, "Yu-koancu, harap kau sudi
memberi jalan untukku!"
Ternyata kakek baju hitam berperawakan jangkung dan
berwajah kurus ini adalah Koancu kuil Hian-thian-koan di bukit
Khong-tong, Yu Ciang-hong adanya.
Dengan sebilah pedang Ci-thian-kiam, dia berhasil
menguasai tiga belas macam ilmu pedang Khong-tong-pay
hingga mencapai puncak kesempurnaan, menurut berita di
Bu-lim, konon Yu Ciang-hong telah berhasil pula menguasai
Yu-kiam-sut atau ilmu pedang terbang.
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong tersenyum.
81 "Ko-cuangsu, Lohu mohon petunjuk beberapa jurus
seranganmu untuk menambah pengetahuanku, apa tidak
boleh?" Bong Thian-gak sadar, andai dia tidak memperlihatkan
kelihaian ilmu silatnya pada hari ini, mustahil dia bisa pergi
meninggalkan tempat itu dengan mudah.
Setelah berpikir sebentar, katanya dengan suara nyaring,
"Kalau memang begitu, terpaksa aku mengiringi
keinginanmu."
"Selama hidup Lohu menekuni ilmu pedang, boleh dibilang
pedang tak pernah terlepas dari tanganku, entah senjata
apakah yang hendak saudara pergunakan" Silakan saja segera
dilolos." "Aku lebih meyakini ilmu telapak tangan, silakan Yu-koancu
melancarkan serangan!"
Yu Ciang-hong agak tertegun, kemudian ujarnya, "Kalau
begitu terpaksa Lohu bertindak lancang."
Begitu selesai berkata, Yu Ciang-hong segera mundur
setengah langkah, dengan cepat tangan kanannya
menyambar ke belakang untuk melolos pedangnya.
"Sret", cahaya tajam segera berkilauan memenuhi angkasa.
Begitu Ci-thian-kiam dilolos, tanpa banyak bicara lagi ia
melepas sebuah tusukan kilat ke arah dada Bong Thian-gak .
Yu Ciang-hong adalah jago pedang kenamaan di Bu-lim,
cukup dilihat dari caranya mencabut pedang bisa diketahui
sampai dimana taraf kesempurnaan orang ini.
Sudah lama para jago persilatan tahu bahwa Yu Cianghong
termasyhur karena ilmu pedangnya yang lihai,
kendatipun demikian jarang ada orang menyaksikan dia
memainkan ilmu pedangnya di depan umum, oleh sebab itu
semua orang lantas memusatkan segenap perhatiannya
menyaksikan jalannya pertarungan itu.
82 Agaknya Bong Thian-gak pun sadar ilmu pedang lawan lihai
sekali, dia tak berani memandang enteng, dengan sorot mata
berkilau tajam dia mengawasi gerak pedang lawan, sementara
telapak tangan kirinya dengan setengah ditekuk mengebas
pergi serangan pedang lawan.
Paras muka Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong berubah
hebat menyaksikan datangnya ayunan telapak tangan kiri
Bong Thian-gak, mendadak dia tekuk pinggang sambil
menarik senjatanya.
Setelah itu pedang Ci-thian-kiam sekali lagi digetarkan ke
muka, dari kiri menusuk ke kanan, lalu dari kanan menyapu ke
tengah, dalam waktu yang singkat dia telah melepaskan tiga serangan
berantai. Tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa,
dengan gerakan pedang yang aneh, seperti menotok juga
menggunting, dia menghajar musuh.
Ku-lo Hwesio yang menonton jalannya pertarungan itu dari
sisi arena segera saja menghela napas panjang, katanya,
"Kebasan tangannya itu merupakan ilmu Hud-meh-ceng-hiat
(Menyapu nadi menggetarkan jalan darah) yang hebat sekali,
ilmu silat orang itu benar-benar mencapai tingkatan yang luar
biasa!" Baik Ho Put-ciang maupun Yu Heng-sui dapat menyaksikan
pula kebasan tangan Bong Thian-gak tadi, dengan wajah
serius bercampur tegang mereka mengikuti jalannya
pertarungan itu dengan seksama.
Sementara itu Bong Thian-gak telah terdesak mundur
sejauh tiga langkah oleh gencetan tiga serangan berantai
lawan, tapi secara mudah sekali dia berhasil meloloskan diri
dari ancaman itu.
83 Yu Ciang-hong memang tak malu disebut jago pedang yang
termasyhur, ia tak memberi kesempatan pada musuh untuk
melepaskan serangan balasan, kaki kirinya segera maju
selangkah, lalu pedangnya ditebaskan ke samping, sebuah
tusukan kuat disodokkan ke muka.
Kini Bong Thian-gak tidak menghindar lagi, mencorong
sinar tajam dari balik matanya, setelah membentak nyaring,
pergelangan tangan kanannya diayunkan ke muka membabat
punggung pedang, seketika itu juga muncul segulung angin
pukulan yang mendesak pedang lawan miring ke samping.
Sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, tiba-tiba saja
ia mencengkeram pergelangan tangan kanan musuh yang
menggenggam pedang.
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong amat terkejut, cepat dia
mundur tiga langkah, tiba-tiba saja gerakan pedangnya
berubah. Terdengar angin menderu, cahaya kilat berkilauan di


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angkasa, segulung angin puyuh yang maha dahsyat
menggulung tiba.
Bong Thian-gak mendengus dingin, ujung bajunya berkibar
terhembus angin, dengan cepat dia menerjang ke tengah
gulungan angin pedang Yu Ciang-hong yang gencar, dengan
tangan kiri menangkis pedang, tangan kanan menyerang
musuh, sepasang telapak tangannya berubah silih berganti,
bagaikan dua naga bermain di air, kelihaiannya benar-benar
luar biasa. Kawanan jago persilatan itu rata-rata adalah pemimpin
suatu perguruan besar, ilmu silat mereka tentu saja lihai
sekali, tatkala mereka menyaksikan jalannya pertarungan itu,
serentak keningnya berkerut.
Rupanya mereka tidak bisa membedakan lagi mana
gerakan tubuh Bong Thian-gak dan mana jurus pedang Yu
Ciang-hong. 84 Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah saling
bertarung puluhan gebrak.
Tiba-tiba terdengar dengusan tertahan memecah
keheningan. Di tengah lapisan bayangan pedang yang
menyelimuti udara, mendadak Bong Thian-gak melejit ke
tengah udara dan melayang turun, kemudian dia membalik
tubuh dan dalam beberapa kali lompatan saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap di balik halaman gedung sana.
Perubahan yang berlangsung tiba-tiba ini amat
mencengangkan semua orang, membuat semua jago yang
hadir di arena tak seorang pun sempat melakukan
penghadangan, mereka hanya berdiri tegak di tempat dengan
wajah termangu.
Akhirnya suara helaan napas panjang menyadarkan para
jago dari lamunan, sewaktu mereka mengangkat kepala,
tampak Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong berdiri lemas
dengan pedang Ci-thian-kiam terkulai ke bawah.
"Kalah total ... kalah total ... tiga puluhan tahun Lohu
berlatih dengan tekun, siapa tahu hari ini mesti menderita
kekalahan di tangan jago muda yang sama sekali tak dikenal,"
gumamnya lirih.
"Koancu, bukankah kau berhasil melukai lengan kirinya?"
seru Yu Heng-sui dengan nyaring. "Siapa yang menderita
kekalahan?"
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong mendongakkan kepala
dan dengan sedih sahutnya, "Betul, Lohu memang berhasil
melukai lengan kirinya, namun telapak tangannya justru
berhasil menghantam dadaku lebih dulu, coba kalau pukulan
itu disertai dengan tenaga dalam, Lohu sudah tewas sejak
tadi, bagaimana mungkin masih dapat melukai lengannya
dengan pedang?"
Rupanya dalam gebrakan penentuan yang berlangsung
dengan amat cepat tadi, kecuali Ku-lo Hwesio, Ho Put-ciang,
85 Ui-hok Totiang dan beberapa orang yang sempat melihat
jelas, sisanya masih belum tahu bagaimana kedua belah pihak
menentukan menang kalahnya, mereka cuma menyaksikan
Bong Thian-gak melarikan diri dengan membawa luka.
Dalam pada itu Ku-lo Hwesio telah memejamkan mata
rapat-rapat seakan sedang mengambil suatu keputusan yang
amat penting, tiba-tiba dia membuka mata, lalu berkata
dengan suara dalam, "Kelihaian ilmu silat orang ini benarbenar
jauh di luar dugaan, terutama aliran ilmu silatnya, susah
buat kita untuk menduganya, andaikata dia adalah musuh, hal
ini benar-benar amat merisaukan buat kita."
Paras muka Ho Put-ciang berubah menjadi serius sekali,
setelah .termenung sejenak, tiba-tiba bisiknya kepada Ku-lo
Hwesio, "Ilmu pukulan orang ini sangat aneh dan sulit diduga,
akan tetapi tidak kehilangan sifat jujur dan terbukanya,
bahkan gaya serangannya pun mirip sekali dengan...."
Ketika berbicara sampai di situ mendadak dia tutup mulut,
kemudian setelah menggeleng kepala dia melanjutkan, "Akan
tetapi di balik sikapnya yang gagah dan perkasa membawa
juga serangan keji yang licik dan tak kenal ampun, sungguh
membuat orang tidak mengerti!"
Ku-lo Hwesio menatap wajah Ho Put-ciang lekat-lekat,
kemudian tanyanya pelan, "Menurut Ho-hiantit, ilmu silat
orang itu mirip aliran mana?"
"Mirip sekali dengan ilmu pukulan guruku, tapi bila diamati
lagi dengan seksama seperti tak mirip, ya, ilmu silat di dunia
memang bersumber satu, mungkin otakku kelewat tumpul
hingga telah salah melihat!"
Mendengar itu, Ku-lo Hwesio membungkam, sepasang
matanya dipejamkan rapat-rapat seperti sedang bersemedi.
Mendadak terdengar Ku-lo Hwesio berkata dengan suara
yang dalam dan berat, "Ho-hiantit, cepat kirim orang untuk
mengejar dan membunuh Ko Hong!"
86 Ho Put-ciang tertegun oleh seruan itu, "Mengapa Ku-lo
Supek mengambil keputusan begini?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Ku-lo Hwesio,
serunya kemudian, "Lolap sudah teringat sekarang,
kemungkinan besar orang itu adalah anak murid Mo-kiam-sinkun
Tio Tian-seng."
Begitu ucapan itu diutarakan, paras muka para jago segera
berubah hebat. Gara-gara dugaan itu, Bong Thian-gak bakal menjumpai
banyak kesulitan dalam pengembaraannya di Bu-lim di
kemudian hari. Dalam pada itu Bong Thian-gak telah mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya melewati atap rumah dan kabur dari
gedung Bu-lim Bengcu.
Ia langsung menuju ke tempat terpencil yang jauh dari
keramaian, tiga li kemudian pemuda itu baru berhenti berlari,
sementara lukanya mulai terasa sakit.
Ternyata darah segar telah membasahi lengan kirinya,
sakitnya bukan kepalang.
Sambil menggigit bibir dia lantas merobek secarik kain dan
membalut luka itu, kemudian setelah menghembuskan napas
kesal, gumamnya seorang diri, "Ilmu pedang Khong-tongkiam-
hoat milik Yu Ciang-hong memang benar-benar lihai, bila
tujuh tahun belakangan ini aku tidak belajar ilmu sakti yang
kutemukan tanpa sengaja, bisa jadi aku tewas di ujung
pedang orang itu!"
Pelan-pelan dia berjongkok dan duduk bersila di bawah
rimbunnya pohon.
Memandang awan di angkasa, tanpa terasa gumamnya
lagi, "Masa depan suram, dunia amat luas, besok aku akan
kemana dan berbuat apa" Ai, sungguh tak kusangka setelah
aku memasuki gedung Bu-lim Bengcu dan bisa menginap di
87 sana, sehari kemudian aku dipaksa berkelana lagi tanpa
tujuan." "Oh, Suhu! Apakah arwah kau orang tua yang tidak
berkenan aku memasuki pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu
lagi" Oh Suhu! Seandainya arwahmu di alam baka tahu, kau
harus mengerti bahwa tujuh tahun berselang aku tidak
melakukan kesalahan apa-apa, kubunuh Siau Cu-beng
dikarenakan aku hendak membersihkan perguruan kau orang
tua dari manusia-manusia laknat!"
Keluh-kesah Bong Thian-gak ini makin lama semakin
memilukan, dia merasa nasib sendiri benar-benar amat buruk,
sepanjang hidup harus
berkelana tanpa tujuan, dimana-mana mendapat kesulitan,
seakan-akan perjalanan hidup penuh dengan duri.
Teringat akan nasibnya yang buruk, tanpa terasa ia teringat
pula pada ibu gurunya, Pek Yan-ling, yang menggemaskan,
tak tahu malu dan menjengkelkan itu.
Andai bukan gara-gara perbuatan cabul Pek Yan-ling,
mungkin dia tak akan mengalami nasib yang begini tragis
seperti saat ini.
Sambil menundukkan kepala dan membelai kaki kirinya
yang pincang, api kebencian membara lagi dalam benaknya,
saking tak kuasa menahan diri, dia segera mencaci-maki
kalang-kabut, "Perempuan jalang, tujuh tahun berselang kau
telah membacok otot kaki kiriku hingga membuatku pincang,
semalam kau lagi-lagi mengirim orang untuk membunuhku.
Ah, aku Bong Thian-gak bersumpah tak akan melepaskan
dirimu begitu saja."
Pikir punya pikir sambil bersandar di pohon dan dibuai
angin yang berhembus silir-semilir, tanpa terasa akhirnya
Bong Thian-gak jatuh tertidur.
88 Ketika mendusin dari tidurnya, matahari sudah tenggelam
di langit barat, cuaca mulai remang-remang.
Sambil melemaskan otot-ototnya yang kaku, Bong Thiangak
melompat bangun, tiba-tiba berhembus segulung angin
yang membawa bau harum daging semerbak.
Seketika pemuda itu merasa perutnya lapar sekali sehingga
sukar ditahan, sambil menelan air liur dia mulai celingukan ke
sana-kemari mencari sumber datangnya bau harum itu.
Akhirnya dari balik sebuah hutan kecil tak jauh dari situ, dia
saksikan ada selapis cahaya api yang sedang berkobar, di
sampingnya duduk berjongkok seseorang berdandan
pengemis, tampak di atas jilatan api sedang terpanggang
sesuatu, dari situlah bau daging tadi terendus.
Waktu itu Bong Thian-gak lapar sekali, dia lantas berpikir,
"Untuk membeli makanan di kota, aku mesti berjalan dua-tiga
li, mengapa tidak kubeli separoh ayam dari pengemis itu untuk
menangsal perut?"
Berpikir sampai di situ, dia lantas berjalan menuju hutan
kecil itu. Benar juga, ternyata benda yang sedang dipanggang
adalah seekor ayam yang sangat gemuk, waktu itu si
pengemis sedang mencongkel bara api di bawah panggangan
dengan sebatang ranting, dia seperti belum tahu kehadiran
Bong Thian-gak.
"Permisi sobat!" Bong Thian-gak segera menegur.
Pengemis itu tidak berpaling, juga tidak mengangkat kepala,
sambil meneruskan pekerjaannya dia berkata, "Hihihi, silakan
duduk, silakan duduk sobat aku tahu perutmu lapar."
Mendengar perkataan itu, dengan perasaan rikuh Bong
Thian-gak berkata, "Aku ingin membeli separoh ayam
panggangmu itu, berapa pun harganya pasti kubayar."
89 Tiba-tiba pengemis itu mendengus dingin, "Hm, harta
kekayaan seperti awan di angkasa, uang seperti kotoran
manusia, kalau berbicara soal uang, lebih baik tidak kujual
saja!" Bong Thian-gak tertegun, "Kita tak pernah mengenal satu
sama lain, bagaimana boleh kuminta ...."
Belum selesai dia berkata, pengemis itu sudah menukas
dengan suara dingin, "Kalau begitu lebih baik pergi saja
dengan menahan lapar!"
Bau harum yang semerbak membuat Bong Thian-gak harus
menelan air liur berulang-kali, sebagai orang jujur, dia kasihan
kalau harus meminta makanan yang mungkin didapat dari
dermaan orang, berpikir sampai di situ ada baiknya bilamana
diberi sedikit uang sebagai imbalan separoh ayam itu,
bagaimana pun juga ia tetap merasa rikuh untuk minta
makanan dari seorang pengemis.
Karena ragu-ragu, untuk sesaat dia hanya berdiri di tempat.
Mendadak terdengar pengemis itu berseru dengan gembira,
"Sudah matang, sudah matang!"
Ia segera membuang ranting itu dan mencengkeram
panggang ayam yang masih panas itu dengan tangannya.
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu segera
berteriak, "Hati-hati, jangan sampai menyengat tangan!"
Belum habis dia berkata, pengemis itu sudah menyobek
paha ayam dan dimakan dengan lahapnya.
Saat itulah Bong Thian-gak melihat dengan jelas paras
muka pengemis itu, tanpa terasa keningnya berkerut kencang.
Ternyata usia pengemis itu sangat muda, kurang lebih dua
puluh tiga-empat tahun,wajahnya amat tampan, telinga besar
dan mata jeli, bukan saja hidungnya mancung, kulit tubuhnya
juga putih, halus dan bersih.
90 Coba kalau dia tidak mengenakan jubah panjang yang
penuh tambalan, siapa yang percaya kalau orang ini adalah
pengemis" Orang tentu akan menganggapnya sebagai
seorang Kongcu yang romantis!
Pengetahuan Bong Thian-gak cukup luas, sekarang dia
sudah menduga, besar kemungkinan pengemis muda ini
adalah anggota Kay-pang yang termasyhur di Bu-lim selama
seratus tahun belakangan ini.
Kay-pang atau perkumpulan pengemis merupakan
perkumpulan terbesar di Bu-lim, selain anggotanya sangat
banyak, jumlah mereka pun tersebar rata di setiap pelosok
dunia. Mereka tidak pernah menggabungkan diri dengan
persekutuan dunia persilatan, selamanya bekerja sendiri tanpa
terikat oleh perguruan lain, selain jarang mengadakan
hubungan dengan berbagai perguruan silat, perkumpulan ini
pun merupakan satu-satunya perkumpulan yang berdiri antara
aliran lurus dan sesat.
Belasan tahun berselang, ketika guru Bong Thian-gak
masih menjadi Bengcu persekutuan dunia persilatan, pihak
Kun-lun-pay sebagai anggota persekutuan pernah bentrok
dengan orang-orang Kay-pang.
Gara-gara peristiwa itu hampir saja pihak Kay-pang
melakukan pertarungan terbuka dengan pihak persekutuan
dunia persilatan.
Akhirnya Bu-lim Bengcu harus berkunjung ke markas besar
Kay-pang untuk minta maaf kepada ketua perkumpulan itu
sebelum urusan bisa didamaikan.
Ditinjau dari kejadian itu, dapat disimpulkan bahwa
pengaruh Kay-pang dalam Bu-lim waktu itu sama sekali tidak
berada di bawah kemampuan sembilan partai besar daratan
Tionggoan. 91 Sementara itu si pengemis muda menyaksikan Bong Thiangak
hanya berdiri termangu, mendadak dia menyambar
sepotong paha ayam dan dilempar ke depan Bong Thian-gak,


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serunya, "Nih, sambutlah!"
Paha ayam itu meluncur dengan kecepatan tinggi, Bong
Thian-gak dengan gugup segera menerimanya.
Kini dia sudah menduga pengemis itu kemungkinan besar
adalah anggota Kay-pang, maka sikapnya pun tidak sungkansungkan
lagi. Dia lantas berjongkok dan melalap paha ayam itu dengan
lahapnya malah lebih lahap daripada pengemis muda itu,
dalam waktu singkat paha ayam tadi sudah disikat hingga
tinggal tulangnya.
Dengan mata melotot dan tertawa cekikikan, pengemis
muda rtu berkata "Ujung langit seperti tetangga, empat
samudra adalah saudara sendiri silakan makan, silakan
makan!" Bong Thian-gak tertawa bodoh, tanpa sungkan lagi dia
pentang kelima jarinya dan merobek sepotong daging ayam
gemuk itu, langsung dikirim ke dalam mulutnya.
Hanya dalam waktu singkat seekor ayam gemuk seberat
tiga-empat kati itu sudah tinggal tulang.
Setelah kenyang, Bong Thian-gak baru bertanya dengan
suara lantang, "Bolehkah aku tahu siapa namamu?"
Pengemis muda itu melototkan matanya, kemudian
sahutnya, "Dilihat dari tampangmu, sama sekali tidak
menunjukkan sikap seorang pelajar, tapi heran, tingkahlakumu
justru penuh dengan segala tetek-bengek, siapa
namamu sendiri?"
Bong Thian-gak menaruh kesan baik terhadap pengemis
muda itu, setelah tertawa nyaring dia menyahut, "Aku she Ko
bernama Hong."
92 "Nama palsu, shenya juga palsu!"
Bong Thian-gak jadi tertegun, "Maksudmu?"
"Tiada manusia yang bernama demikian di Bu-lim."
Diam-diam Bong Thian-gak terperanjat, pikirnya kemudian,
"Pengemis muda ini sudah pasti seorang yang punya
kedudukan tinggi dalam Kay-pang, kalau dilihat dari
kemampuannya merobek daging ayam tadi, pasti tenaga
dalamnya telah sempurna!"
Berpikir demikian, sambil tersenyum Bong Thian-gak
berkata, "Kalau begitu kau pun seorang dari dunia persilatan?"
"Jika kau sudah tahu aku anggota Kay-pang, buat apa kau
mesti banyak bertanya?"
"Tapi kau belum memberitahukan namamu kepadaku?"
"Aku she To bernama Siau-hou!"
"Oh, rupanya To-heng, terima kasih banyak atas hidangan
daging ayammu pada malam ini!"
"Ayam gemuk itu dapat kucuri dari dalam gedung Bu-lim
Bengcu, jadi berterima kasihlah kepada mereka!"
Bong Thian-gak tertegun mendengar itu, segera serunya,
"Jadi kau pun telah berkunjung ke gedung Bu-lim Bengcu?"
"Aku pun telah menyaksikan pertarunganmu melawan Yu
Ciang-hong. Hm, orang-orang dari sembilan partai memang
benar-benar tak tahu malu, sudah kalah masih
menghadiahkan tusukan kepada orang!"
Bong Thian-gak terkejut mendengar ucapan terakhir itu, To
Siau-hou ini selain sudah menyusup ke dalam gedung Bu-lim
Bengcu tanpa diketahui siapa pun, bahkan setiap gerakan
serangan yang digunakan sewaktu bertarung melawan Hianthian-
koancu pun dapat diketahuinya, dari sini dapat
disimpulkan kepandaian silatnya benar-benar sangat lihai.
93 To Siau-hou memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak,
kemudian tanyanya, "Bukan memujimu, ilmu silatmu memang
sangat tinggi, orangnya juga jujur dan terbuka, kami orangorang
Kay-pang paling suka dengan orang macam dirimu,
apakah kau ingin masuk menjadi anggota?"
Bong Thian-gak tersenyum, "Sekarang aku tak punya
beban tak punya ikatan, hidup bebas tanpa terikat oleh suatu
apa pun, buat apa To-heng mesti memberi belenggu padaku?"
To Siau-hou ikut menghela napas panjang, "Cara untuk
menjadi anggota perkumpulan kami selamanya sangat ketat,
justru lantaran aku merasa amat berkesan kepada Ko-heng
sejak pertemuan pertama, seakan-akan kita seperti sudah
berteman lama saja, maka ... sudahlah! Ko-heng, di kemudian
hari bila kau bersedia menjadi anggota perkumpulan kami,
katakan saja kepadaku."
"To-heng memiliki watak yang gagah, terbuka, berjiwa
besar dan hangat terhadap setiap orang, Siaute benar-benar
telah mendapat seorang sahabat sehati."
Tiba-tiba To Siau-hou bangkit, kemudian katanya, "Kini aku
sedang mendapat tugas rahasia dari Pangcu kami untuk
menyelidiki beberapa persoalan di kota Kay-hong, tugas yang
amat berat itu mesti kulakukan secepatnya, hingga tak ada
waktu buat kita untuk banyak bicara, kalau begitu kita bersua
lagi di lain waktu saja!"
Selesai berkata dia lantas menjura dalam-dalam kepada
Bong Thian-gak, setelah itu membalik badan dan beranjak pergi
dari situ. "Baik-baiklah menjaga dirimu To-heng, sampai jumpa lain
waktu," seru Bong Thian-gak lantang.
Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba To Siau-hou
berhenti dan membalik tubuh, katanya, "Ko-heng, kini Ku-lo
94 Hwesio dari Siau-lim-pay telah menurunkan perintah untuk
mencari dan membunuh dirimu, kau harus lebih waspada
untuk menjaga diri!"
Mendengar itu Bong Thian-gak menghela napas panjang,
"Terima kasih banyak atas peringatan To-heng, aku bisa
menghadapinya dengan hati-hati."
To Siau-hou tidak banyak bicara lagi, dia membalik badan
dan melompat pergi, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya
telah lenyap dari pandangan mata.
Memandang bayangan punggung To Siau-hou yang
menjauh, tiba-tiba Bong Thian-gak seperti kehilangan sesuatu,
sobat barunya ini seakan-akan meninggalkan kesan yang amat
mendalam dalam hatinya.
Pesan sebelum kepergian To Siau-hou tadi membuat Bong
Thian-gak makin bertambah kesal, perintah yang diturunkan
Ku-lo Hwesio itu kemungkinan besar bisa mengakibatkan dia
saling bentrok dengan sesama saudara seperguruannya.
"Ai, apakah sebaiknya aku mengundurkan diri dan
mengasingkan diri di tengah gunung yang terpencil?"
Bintang-bintang bertaburan di angkasa dan berkelip tiada
henti, persis seperti perasaan Bong Thian-gak yang tak
menentu sekarang, dia tidak tahu harusnya dia tetap tinggal di
Kay-hong ataukah melanjutkan penyelidikannya atas
pembunuh yang membinasakan gurunya itu"
Dia tahu, meski dunia persilatan kehilangan dia, namun dia
bertekad tetap melakukan penyelidikan terhadap kematian
gurunya. Agar mereka jangan sampai salah sasaran, dia
memang sepantasnya mengundurkan diri dari keramaian
dunia. Angin dingin berhembus mengibarkan ujung baju Bong
Thian-gak, dengan pikiran kusut pelan-pelan dia berjalan
meninggalkan tempat itu.
95 Malam terasa aneh dan penuh misteri.
Mendadak terdengar suara keliningan yang nyaring,
membuat suasana malam menjadi bertambah misterius.
Mendengar suara itu, Bong Thian-gak segera berpaling, di
tengah kegelapan malam segera terlihat olehnya bayangan
sebuah tandu yang muncul dari balik kegelapan.
Rupanya suara keliningan itu berasal dari tandu itu.
Dengan kening berkerut Bong Thian-gak segera menyelinap
ke balik semak belukar dan menyembunyikan diri, tampak
olehnya tandu itu makin lama makin mendekat.
Itulah sebuah tandu kecil yang digotong dua orang, yang
lebih mengherankan lagi, pemikul tandunya adalah dua orang
gadis yang masih berusia muda, di sisi kanan tandu tampak
pula seorang gadis mengiringi.
Tirai tandu ditutup rapat, sehingga tidak diketahui siapakah
yang duduk dalam tandu itu.
Sekilas pandang kedua gadis muda itu nampak lemahgemulai
dan halus sekali, meski sedang memikul tandu,
langkah mereka tetap cepat dan ringan, jelas orang-orang itu
mempunyai kepandaian silat sangat tinggi.
Dengan cepat tandu misterius itu lewat di hadapan Bong
Thian-gak dan bergerak menuju ke arah barat daya.
Memandang bayangan tandu yang menjauh, pelan-pelan
Bong Thian-gak berjalan keluar dari balik semak belukar,
kemudian dengan perasaan tidak mengerti ia menggeleng
kepala berulang kali, pikirnya, "Pada umumnya pemikul tandu
adalah laki-laki kekar, mana ada gadis muda yang
menggotong tandu" Hendak kemanakah mereka?"
Perasaan ingin tahu yang meluap membuat anak muda itu
segera mengerahkan tenaga dan mengejar ke arah bayangan
tandu itu lenyap.
96 Kurang lebih empat li sudah lewat, tapi anehnya bayangan
tandu itu tidak nampak juga, malah suara keliningan yang
amat nyaring itu pun sudah tak terdengar lagi.
Dengan tertegun Bong Thian-gak segera berpikir, "Masa
secepat itu pemikul tandu itu berjalan" Mengapa bayangan
mereka bisa lenyap" Ah, mungkinkah aku telah salah arah!"
Berpikir demikian, Bong Thian-gak segera membalik badan
dan mencari kembali ke tempat semula.
Sekali pun dia sudah kembali ke semak belukar dimana dia
menyembunyikan diri tadi, tandu itu belum juga ditemukan.
"Benar-benar aku sudah bertemu setan," gumam Bong
Thian-gak dalam hati, untuk sesaat dia berdiri termangu di
situ. Mendadak di tengah heningnya suasana, lagi-lagi muncul
seorang pejalan malam, ilmu meringankan tubuh orang itu
hebat sekali, berjalan di tengah kegelapan seakan-akan
segulung hembusan angin saja.
Dengan cekatan kembali Bong Thian-gak menyembunyikan
diri di balik semak belukar.
Tak selang lama kemudian, pejalan malam itu sudah
berhenti di hadapannya, sepasang matanya yang tajam tiada
hentinya celingukan ke sana kemari melakukan pemeriksaan.
Melihat itu Bong Thian-gak berpikir, "Mungkin dari kejauhan
orang ini melihat di sini ada bayangan orang!"
Ternyata dugaannya benar, terdengar orang itu bergumam,
"Mungkin bayangan pohon cemara!"
Dia lantas mengembangkan Ginkangnya dan lewat di
hadapan liong Thian-gak, orang itu bergerak menuju ke arah
barat daya. 97 Dengan sepasang mata Bong Thian-gak yang tajam, dia
dapat melihat pakaian yang dikenakan orang itu adalah
pakaian seragam pengawal gedung Bu-lim Bengcu.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Bong Thian-gak.
Dengan cepat ia mengembangkan Ginkang pula dan
melakukan pengejaran.
Ginkang Bong Thian-gak telah mencapai puncak
kesempurnaan, dengan selisih jarak puluhan depa, bagaikan
sukma gentayangan saja dia menguntit dari belakang.
Setengah jam kemudian mendadak ia menyaksikan orang
itu menyelinap ke balik hutan lebat di sisi jalan.
Bong Thian-gak segera melanjutkan penguntitannya
melalui arah lain.
Hutan itu gelap gulita tak ada setitik sinar pun, tentu saja
sulit bagi pemuda itu untuk mengawasi orang itu dengan lebih
seksama. Untung Bong Thian-gak memiliki ketajaman pendengaran,
dari suara langkah kaki si pejalan malam menginjak dedaunan,
ia bisa menduga orang itu berada di depannya dan sedang
menerobos ke arah selatan hutan itu.
Setelah berjalan masuk ke dalam, tiba-tiba dari depan sana
muncul setitik cahaya, ternyata di situ berdiri sebuah kuil.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira dalam hutan lebat
ini bisa tersembunyi sebuah kuil, dengan perasaan ingin tahu
ia segera bersembunyi dalam hutan itu sambil menanti
perkembangan selanjutnya yang akan terjadi.
Tampaknya kuil itu tidak berpenghuni, di dalam ruang
gelap gulita tak nampak setitik cahaya lentera pun, lagi pula
sebagian tembok pekarangannya sudah roboh, rumahnya juga
kuno dan bobrok, suasana amat menyeramkan.
98 Dengan memperingankan langkah kakinya, orang itu
langsung bergerak menuju ke dalam kuil bobrok itu.
Mendadak dari ruang tengah kuil berkumandang suara
teguran seorang perempuan, "Apakah kau adalah utusan yang
dikirim Sam-kaucu (ketua ketiga)?"
Ketika mendengar teguran itu, orang itu nampak
terperanjat, lalu buru-buru menjawab, "Be ... benar, hamba
adalah Huhoat (pelindung) di bawah pimpinan Sam-kaucu,
apakah Jit-kaucu (ketua ketujuh) sudah datang?"
Sekali lagi dari dalam ruang kuil berkumandang suara
dengusan dingin perempuan itu, "Hm, Jit-kaucu telah datang
sedari tadi, mengapa kau tidak segera berlutut menerima
perintah?"
Lelaki berbaju hitam itu benar-benar bertekuk lutut
mendengar perkataan itu, wajahnya nampak gugup dan
tegang. Sementara itu Bong Thian-gak yang bersembunyi dalam
hutan pun diam-diam merasa terperanjat, "Sam-kaucu, Jitkaucu,
sebenarnya perkumpulan macam apakah itu" Kalau
lelaki berbaju hitam itu salah satu di antara pengawal gedung
Bu-lim Bengcu, penemuanku pada malam ini boleh dibilang
penting sekali."
Dalam pada itu, dari dalam ruang kuil berkumandang lagi
suara pembicaraan perempuan lain, perempuan itu sedang
bertanya dengan suara hambar, "Kau adalah Huhoat nomor
berapa di bawah Sam-kaucu?"
Suara perempuan ini merdu bagaikan burung nuri yang
sedang berkicau, tapi di balik suara yang merdu itu terselip
kewibawaan yang menggidikkan.
Dengan suara gemetar, lelaki berbaju hitam itu segera


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawab, "Hamba adalah pelindung nomor dua puluh
sembilan Lo Gi."
99 "Lo Gi?" kembali suara perempuan itu bertanya. "Tahukah
kau di antara Kaucu dalam perguruan kita, Kaucu nomor
berapakah yang mempunyai peraturan paling ketat?"
"Jit-kaucu!"
Perempuan dengan suara berwibawa itu kembali berkata,
"Aku telah menunggu hampir setengah jam lamanya di tempat
ini, persoalan apakah yang membuat kedatanganmu terlambat
tiga perempat jam?"
"Secara tiba-tiba di gedung Bu-lim Bengcu diadakan
pemeriksaan pasukan, oleh sebab itu hamba datang
terlambat, harap Jit-kaucu sudi memaafkan dosa hamba ini."
Kepala Bong Thian-gak serasa mendengung keras sesudah
mendengar tanya jawab itu, apa yang didengarnya ini
ternyata benar, orang adalah mata-mata musuh yang sengaja
diselundupkan ke dalam gedung Bu-lim Bengcu.
Ini berarti perguruan rahasia itulah yang sesungguhnya
musuh umum seluruh umat persilatan.
Sementara itu dari dalam ruang kuil kembali terdengar Jitkaucu
berkata, "Perintah apakah yang diberikan Sam-kaucu
untuk disampaikan kepadaku" Cepat katakan."
"Sam-kaucu hanya menyerahkan tiga hal, pertama, ia
minta pada Jit-kaucu untuk menyelidiki seorang yang bernama
Ko Hong." "Manusia macam apakah Ko Hong itu" Mengapa harus
Kaucu yang melakukan penyelidikan ini?" tegur Jit-kaucu dari
dalam ruangan dengan suara sedingin es.
"Sam-kaucu yang mengharapkan demikian, menurut Samkaucu,
Ko Hong mempunyai ciri khas, dia berwajah kuning
macam orang penyakitan, kaki kirinya pincang, ilmu silatnya
amat lihai dan usianya antara dua puluh tujuh-delapan
tahunan." 100 "Sam-kaucu menitahkan kepada Jit-kaucu untuk menyelidiki
asal-usulnya dan berusaha menariknya agar bergabung
dengan perkumpulan kita, apabila usaha ini mustahil,
mumpung belum menimbulkan ancaman, dia mesti cepat
disingkirkan dari muka bumi."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu menjadi
amat terkesiap, dia tidak menyangka perkumpulan ini pun
akan turun tangan keji terhadapnya.
Jit-kaucu yang berada dalam ruangan kuil nampaknya
sedang termenung, selang beberapa saat kemudian ia baru
bertanya, "Masih ada persoalan apa lagi, cepat katakan."
"Kedua, menurut Sam-kaucu, beberapa hari mendatang
mungkin Yu Heng-sui hendak menuju ke kantor cabang kita
untuk melakukan penyelidikan, bila perlu Jit-kaucu boleh
mengambil keputusan sendiri untuk menentukan mati
hidupnya."
Berita ini lagi-lagi membuat Bong Thian-gak terperanjat,
cepat pikirnya, "Entah dimanakah letak kantor cabang
mereka" Bila aku tidak berusaha keras memberitahu kabar ini
kepada Ji-suheng, bisa jadi keselamatan Ji-suheng akan
terancam mara bahaya!"
Sementara itu lelaki berbaju hitam berkata lagi, "Soal
ketiga, kata Sam-kaucu, Cap-go-kaucu (ketua kelima belas)
pernah mengirim pembunuh ke gedung Bu-lim Bengcu untuk
melenyapkan jiwa Ko Hong, tapi usaha pembunuhan itu
menemui kegagalan, malah rahasia Sin-li-tui (pasukan gadis
suci) perkumpulan kita ikut bocor, kemungkinan hal itu akan
mempengaruhi rencana kita secara keseluruhan, Sam-kaucu
minta Jit-kaucu menyampaikan berita ini kepada Cong-kaucu
untuk menetapkan langkah selanjutnya dari Cap-go-kaucu."
"Hanya tiga soal inikah yang dipesankan Sam-kaucu?"
tanya Jit-kaucu hambar.
"Benar!"
101 Pelan-pelan Jit-kaucu berkata lagi, "Peraturan perkumpulan
kita amat ketat, tak mengizinkan anggota partai melakukan
kesalahan?"
Lelaki berbaju hitam itu nampak tertegun, kemudian
sahutnya, "Bagi yang melakukan kesalahan berat hukumannya
mati, sedangkan yang ringan disekap untuk menyesali
dosanya." "Lo Gi, kemari kau," tiba-tiba Jit-kaucu berkata dengan
suara pelan. Tampaknya lelaki berbaju hitam itu belum tahu bencana
besar sudah berada di ambang mata, dengan menurut sekali
dia berjalan m.isuk ke dalam ruangan.
Ruangan itu gelap gulita tak nampak setitik cahaya pun,
semenjak lelaki berbaju hitam itu masuk ke dalam, suasana
sekeliling tempat itu hei ubah menjadi hening, sepi dan tak
terdengar sedikit suara pun ....
Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Bong Thiangak
mencoba memeriksa sekeliling ruang itu, namun belum
juga ditemukan suatu gerakan pun, lama-kelamaan timbul
juga rasa curiga dalam hatinya, dia segera berpikir, "Aneh!
Paling tidak dalam ruangan itu terdapat dua orang atau lebih,
ditambah orang berbaju hitam yang masuk ke dalam,
mengapa dalam waktu singkat suasana berubah menjadi
hening dan tak terdengar sedikit pun suara?"
Bong Thian-gak menunggu lagi hingga setengah jam
lamanya, akan tetapi suasana dalam ruangan tetap hening.
"Jangan-jangan mereka sudah kabur melalui ruang
belakang?" Ingatan itu dengan cepat melintas dalam
benaknya. Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera menyumpah
dalam hati, "Siluman rase, benar-benar licik kau!"
102 Dia segera melompat keluar dari dalam hutan dan berlari
ke arah gedung utama dengan kecepatan tinggi.
Mendadak Bong Thian-gak menyaksikan lelaki berbaju
hitam itu masih berlutut di depan pintu kuil itu.
"Jangan-jangan mereka belum pergi?" diam-diam Bong
Thian-gak hrrpikir.
Tapi untuk menyelidiki asal-usul perkumpulan lawan dan
untuk membalas dendam bagi kematian gurunya, bagaimana
pun juga dia harus menawan musuh dalam keadaan hidup.
Tanpa rasa jeri barang sedikit pun, selangkah demi
selangkah Bonng Thian-gak berjalan menuju ruang kuil.
Siapa tahu kendati dia sudah berdiri di belakang lelaki
berbaju hitam itu, suasana dalam ruangan kuil masih tetap
hening tak terdengar suara apa pun, lelaki berbaju hitam yang
sedang berlutut itu pun tak berpaling.
Bong Thian-gak tertawa dingin, dengan satu lompatan
lebar dia menerjang masuk ke dalam ruangan tengah, lalu
tangan kirinya secepat kilat mencengkeram urat nadi
pergelangan tangan kanan lelaki itu.
Siapa tahu tangannya yang berhasil mencengkeram nadi
lawan hanya menyentuh tubuh yang telah dingin dan kaku,
tubuh lelaki itu tahu-tahu roboh terjengkang ke tanah.
Di bawah cahaya bintang yang menyinari sekitar situ, Bong
Thian-gak menemukan wajah yang amat tak sedap dipandang
dari lelaki berbaju hitam itu, saking kagetnya ia sampai
melepas cengkeramannya dan mundur.
Ternyata lelaki itu sudah tewas, wajahnya pucat-pias,
seluruh daging wajahnya telah lenyap sehingga wujudnya
sekarang tinggal kulit membungkus tulang.
"Ah, keadaan seperti ini agaknya seperti amat kukenal!"
pikir pemuda itu kemudian.
103 Tapi dengan cepat Bong Thian-gak teringat mayat Kongsun
Phu-ki, mayat mereka berdua pada hakikatnya mirip sekali.
Menurut penilaian Ku-lo Hwesio, sebab kematian Kongsun
Phu-ki adalah kehabisan sumsum akibat hubungan senggama
yang kelewat batas, tapi lelaki berbaju hitam ini tak
melakukan hubungan senggama, mengapa dia pun tewas
akibat kehabisan sumsum"
"Ilmu silat apakah itu" Ya, ilmu silat apakah itu" Mengapa
dia bisa menghisap sari tubuh lelaki kekar yang nampak
bertubuh segar menjadi sesosok mayat yang bertubuh kulit
membungkus tulang hanya dalam sekejap mata?"
Betul-betul suatu peristiwa yang amat mengerikan.
Sebetulnya perempuan macam apakah Jit-kaucu itu"
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kematian Kongsun Phuki
pun. disebabkan perbuatan Jit-kaucu ini.
Dengan cepat Bong Thian-gak masuk ke ruang tengah,
menembus dua halaman dan di belakang kuil dia menemukan
sebuah hutan yang amat lebat.
Tanpa pikir panjang lagi, dia segera memasuki hutan lebat
itu. Dari balik hutan yang sangat lebat dan seakan-akan tak
bertepian itu, mendadak terdengar suara bentakan nyaring.
Bagaikan seorang yang tersesat di padang gurun pasir dan
secara tiba-tiba menemukan sumber mata air saja, Bong
Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya menyusul ke
depan. Di tengah semak belukar yang lebat, akhirnya ia temukan
sebuah landu kecil diparkir di sana, dua gadis muda berbaju
hijau memikul tandu itu, sedang gadis berbaju hijau lainnya
berdiri di muka tandu dengan senjata terhunus.
104 Di depan gadis berbaju hijau yang bersenjata terhunus itu
berdiri seorang pemuda berbaju compang-camping yang
berwajah tampan.
Dengan cepat Bong Thian-gak dapat mengenali pemuda itu
sebagai To Siau-hou, anggota Kay-pang yang baru saja
dikenalnya semalam.
Sementara itu To Siau-hou juga sudah mengenali Bong
Thian-gak, paras mukanya segera berubah hebat.
Rupanya To Siau-hou salah mengira Bong Thian-gak
berasal sealiran dengan gadis-gadis itu, sambil tertawa dingin
ia menyindir, "Sungguh tak kusangka kau adalah pelindung
bunga. Hahaha, bila begitu aku telah salah memilih teman."
"To-heng, jangan salah paham," buru-buru Bong Thian-gak
berkata. "Aku sama sekali tak punya hubungan apa-apa
dengan mereka."
"Kalau memang demikian, harap Ko-heng berpeluk tangan
saja di sisi arena!"
Sementar itu si gadis bersenjata pedang telah menuding ke
arah To Siau-hou sambil membentak, "Hei, kau si pengemis,
mengapa berdiri menghadang di tengah jalan" Memangnya
telah bosan hidup?"
To Siau-hou tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, tidak sulit
bila tandu nona ingin lewat tempat ini, cuma aku harus
memeriksa dulu orang macam apakah yang sedang duduk di
dalam tandu itu."
Bong Thian-gak menyaksikan semua itu, dengan cepat ia
dapat menduga orang yang berada dalam tandu itu pasti
adalah Jit-kaucu yang keji dan tak berperi-kemanusiaan itu.
Ketika nona baju hijau selesai mendengarkan ucapan itu,
alisnya segera bekernyit, hawa membunuh menyelimuti
wajahnya, dia segera membentak, "Rupanya kau ingin
mampus!" 105 Mendadak dia menekuk pinggang, lalu secepat sambaran
petir menerjang ke muka dan melepas bacokan kilat.
To Siau-hou menggoyang bahu berkelit tiga kali ke
samping, kemudian melangkah maju menghampiri tandu kecil
itu Gadis berbaju hitam itu membentak nyaring, jurus
pedangnya segera berubah, beruntun dia melancarkan tiga
buah serangan berantai, cahaya tajam yang berkilau bagaikan
beribu bintang dengan cepat menyapu ke depan dan
mengurung sekujur badan To Siau-hou.
Terdesak oleh tiga serangan berantai itu, To Siau-hou
mundur dua langkah, bayangan orang berkelebat, lagi-lagi
gadis berbaju hitam itu sudah melintangkan pedangnya
menghadang di depan tandu.
Rupanya To Siau-hou dibikin gusar pula oleh perbuatan
musuh, keningnya berkerut dan matanya memancarkan
cahaya berkilauan, pelan-pelan tangan kanannya mencabut
sebatang tongkat bambu dari balik bahunya.
Dengan tangan kiri menggenggam tongkat bambu, tangan
kanan pelan-pelan bergerak ke muka, sebilah pedang tajam
tahu-tahu sudah dilolos pula dari sarungnya.
Pada saat itulah dari dalam tandu berkumandang suara
merdu dan lembut menegur hambar, "Aku duga kau pastilah
Giok-bin-giam-lo (Raja akhirat berwajah kemala) To Siau-hou,
salah satu di antara Cho-yu-siang-siau (Sepasang muda kiri
kanan) yang mendampingi Liong-thau Pangcu dari Kay-pang!"
Cho-yu-siang-siau dari Kay-pang jarang melakukan
perjalanan di Bu-lim, oleh sebab itu nama mereka jarang
diketahui orang, agak terperanjat juga hati To Siau-hou
setelah nama dan julukannya berhasil disebut orang secara
tepat. 106 Sambil melintangkan pedang di depan dada, ia segera
membentak dengan suara dalam, "Siapakah kau?"
"Jit-kaucu!"
"Bagus sekali, Jit-kaucu. Sebelum Bu-siang-long-hou-ciang
dari perkumpulan kami menemui ajal, ia pernah menyinggung
nama besar Jit-kaucu, sekarang aku ingin bertanya kepadamu,
apakah saudara kami ini tewas di tanganmu?"
"Dia tewas di tangan Ji-kaucu (ketua kedua)!" jawab Jitkaucu
dengan suara dingin.
"Siapakah Ji-kaucu itu?" bentak To Siau-hou dengan kening
berkerut. "Pertanyaanmu itu terlalu lampau bersifat kekanakkanakan,
Jikaucu adalah Ji-kaucu, kau tak usah banyak
bertanya lagi."
Bong Thian-gak berkerut kening mendengar ucapan itu,
belum pernah ia jumpai suatu perkumpulan dengan sejumlah
pimpinan begini aneh, ditinjau dari pembicaraan malam ini,
lalu dianalisa kembali, dapat disimpulkan bahwa pimpinan
tertinggi organisasi rahasia ini mungkin disebut "Kaucu!".
Sedang orang yang paling berkuasa di antara deretan
Kaucu-kaucu itu tentulah Cong-kaucu (Kaucu nomor satu),


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi berapa banyak Kaucu yang terdapat dalam perkumpulan
itu" Dari pembicaraan malam ini, agaknya angka terbesar yang
pernah disebut adalah kelima belas, yakni Cap-go-kaucu.
Sementara itu Giok-bin-giam-lo To Siau-hou tertawa dingin,
lalu ujarnya, "Jika aku berhasil membekuk kau malam ini, aku
tak kuatir anak murid perguruanmu itu tak akan
menampakkan batang hidungnya."
"Begitu yakin akan kemampuanmu?"
107 "Mengapa tidak dibuktikan saja!" seru To Siau-hou sambil
tertawa nyaring.
Mendadak terdengar Jit-kaucu berseru, "Turunkan tandu,
kalian bertiga boleh segera mengundurkan diri!"
Begitu perintah diturunkan, kedua gadis berbaju hitam
segera menurunkan tandu, lalu bersama gadis berpedang
mengundurkan diri dengan cepat ke sisi kiri, kanan dan
belakang tandu.
Giok-bin-giam-lo To Siau-hou segera merentangkan pedang
di depan dada, kemudian tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
kalau begitu aku ingin mencoba sampai dimanakah taraf
kepandaian silat yang kau miliki!"
Mendadak terdengar Bong Thian-gak membentak dengan
suara dalam, "Tunggu dulu!"
Dengan langkah lebar dia berjalan mendekat, lalu sambil
menjura kepada To Siau-hou, katanya, "To-heng, harap kau
bersedia memberi kesempatan bagiku mengajukan beberapa
pertanyaan dulu kepadanya sebelum pertarungan dilakukan!"
Giok-bin-giam-lo To Siau-hou memandang sekejap ke arah
Bong Ihian-gak, kemudian katanya, "Silakan Ko-heng!"
Dengan suara lantang Bong Thian-gak berseru, "Jit-kaucu,
dengar baik-baik! Aku punya beberapa persoalan yang tak
kupahami dan ingin minta petunjuk darimu, aku harap kau
sudi memberi petunjuk!"
"Soal apa" Katakan saja!" ucap Jit-kaucu dari dalam tandu
dengan suara hambar.
"Aku ingin bertanya, Bu-lim Bengcu Thi-ciang-kan-kun-hoan
Oh Ciong-hu tewas dalam keadaan bagaimana?"
"Ada hubungan apa antara kau dan Oh Ciong-hu?" Jitkaucu
balik bertanya.
"Kami adalah sahabat!"
108 Jit-kaucu termenung beberapa saat lamanya, setelah itu
baru berkata lagi, "Sebab kematian Oh Ciong-hu hanya
diketahui satu orang saja dan orang itu bukan diriku sehingga
aku pun tak bisa memberikan keterangan apa-apa kepadamu."
"Apakah orang itu adalah Cong-kaucu perkumpulan kalian?"
"Benar!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak,
kembali dia bertanya, "Apa nama perkumpulan kalian?"
Jit-kaucu yang berada di dalam tandu tertawa riang, "Sejak
saat ini nama perkumpulan kami akan berkumandang di
seluruh penjuru dunia dan membekas dalam hati setiap orang,
kuberitahukan kepadamu pun tak ada salahnya, perkumpulan
kami bernama Put-gwa-cin-kau!"
"Put-gwa?" seru Bong Thian-gak terperanjat.
"Put-gwa (tiada aku) merupakan persembahan kita
terhadap partai, demi kepentingan partai, kami tak akan
mempersoalkan hati sendiri, tubuh dan hati kami semua
adalah milik partai."
"Benarkah Cong-kaucu kalian adalah Mo-kiam-sin-kun Tio
Tian-seng!"
"Benar atau tidak, maaf aku tak bisa memberitahukan
kepadamu."
Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Baiklah, terima kasih banyak atas jawabanmu!" katanya
kemudian. Selesai berkata, dia lantas mengundurkan diri ke samping
To Siau-hou sambil berbisik, "To-heng, orang ini memiliki ilmu
pukulan yang amat sakti dan jahat sekali, kau harus berhatihati."
"Andai aku mati, tolong Ko-heng sudi mengirim jenazahku
kembali ke markas Kay-pang!"
109 Dalam pada itu Jit-kaucu hanya duduk diam di dalam
tandu, tirai tandu masih tertutup rapat sehingga secara lamatlamat
cuma nampak bayangan orang saja.
Dengan pedang terhunus To Siau-hou berjalan ke muka
dan baru berhenti di depan tandu, kemudian tegurnya, "Jitkaucu,
dengan cara inikah kau hendak menerima
seranganku?"
"Hm, tak usah banyak bicara, lancarkan saja seranganmu!"
seru Jit-kaucu dingin.
Dengan kening berkerut To Siau-hou segera mengayun
pedang menyambar tirai tandu.
"Kau ingin mampus rupanya!" bentakan nyaring
berkumandang. Bagaikan sukma gentayangan tiba-tiba muncul sebuah
lengan putih mulus dari balik tandu, kemudian jari tangannya
yang ramping menyentil ke muka.
Pedang To Siau-hou terpental oleh suatu kekuatan maha
dahsyat. "Aduh, celaka!" pekik To Siau-hou.
Dia ingin membuang pedangnya sambil mundur, siapa tahu
telapak tangan membalik ke atas. Sekilas cahaya merah
segera memancar keluar, segulung tenaga pukulan yang maha
dahsyat bagaikan gelombang ombak di tengah samudra
langsung menghajar tubuh To Siau-hou.
Dengusan tertahan bergema, To Siau-hou berikut
pedangnya terpental oleh tenaga pukulan yang maha dahsyat
itu. Sekali pun sepasang kakinya dapat mencapai tanah lebih
dahulu hingga tubuhnya tidak terbanting, tak urung tubuhnya
110 berguncang keras, lutut gemetar dan hampir saja tak sanggup
menahan diri. Dengan cepat Bong Thian-gak memburu ke muka, serunya
dengan cemas, "To-heng, parahkah lukamu?"
Sementara itu peluh dingin telah bercucuran membasahi
wajah To Siau-hou, kulit mukanya mengejang menahan
penderitaan yang luar biasa, katanya dengan suara gemetar,
"Ilmu silat perempuan ini teramat hebat, harap Ko-heng
jangan menghadapinya dengan kekerasan."
Kedua gadis muda itu sudah menggotong kembali tandunya
dan siap berlalu dari situ.
Dengan cepat Bong Thian-gak melompat ke depan sambil
membentak nyaring, "Tunggu sebentar!"
Sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan melepas
dua gulung angin pukulan dahsyat ke tubuh kedua gadis muda
itu. "Turunkan tandu dan cepat mundur!" seruan nyaring Jitkaucu
berkumandang dari balik tandu.
Tapi sayang, keadaan terlambat, kedua gulung angin
pukulan Bong Thian-gak secepat sambaran petir telah
menyapu ke depan.
Dua jeritan kaget segera berkumandang memecah
keheningan. Kedua gadis pemikul tandu terhantam oleh kedua gulung
angin pukulan itu hingga badannya terpental dan roboh
terjengkang ke atas tanah.
Tandu kecil itu pun terjatuh ke tanah.
Begitu berhasil menyapu kedua gadis itu, dengan serangan
bagaikan naga sakti bermain di udara, Bong Thian-gak segera
menerjang tandu itu.
111 Mendadak sebuah pergelangan tangan menerobos keluar
dari balik tandu, dengan cepat Bong Thian-gak mengayun
telapak tangan kanannya melepaskan sebuah bacokan dengan
kecepatan tinggi.
Tetapi telapak tangan lawan bergerak sangat lincah, sedikit
menggeser tahu-tahu sudah terhindar dari bacokan, kemudian
dengan lima jari dibentangkan bagaikan kaitan, dia balik
mematuk pergelangan tangan kanan Bong Thian-gak.
Begitulah, kedua jago lihai masing-masing melepas
serangan dengan menggunakan tangan sebelah, kedua belah
pihak bergerak dengan kecepatan luar biasa serta kelincahan
yang mengagumkan. Pertarungan berlangsung bertambah
sengit. Perlu diketahui, arah ancaman serangan kedua orang itu
selalu berkisar antara jalan darah Huo-ko-hiat dan Meh-bunhiat,
padahal kedua jalan darah itu merupakan Hiat-to
mematikan di tubuh manusia, sekali salah perhitungan maka
akibatnya akan mengenaskan.
Bong Thian-gak membentak keras, tiba-tiba dia mengayun
kaki kanannya menendang urat nadi pergelangan tangan
lawan, kemudian tangan kanan menyambar ke bawah
mencengkeram tirai yang menutup tandu itu.
Agaknya Jit-kaucu yang berada dalam tandu pun sudah
dibikin berkobar amarahnya, tangannya bagaikan ular lincah
yang keluar dari gua bergerak kian kemari dengan teramat
cepat, secara lincah dan cekatan dia selalu berhasil
meloloskan diri dari serangan gencar Bong Thian-gak.
Mendadak Jit-kaucu menarik telapak tangannya ke dalam,
tapi secara tiba-tiba dikeluarkan kembali, selisih waktunya
hanya beberapa detik saja.
Ketika telapak tangannya keluar dari balik tirai, sekilas
cahaya merah segera memancar keempat penjuru.
112 Bong Thian-gak segera tahu perempuan itu hendak
mengeluarkan ilmu pukulan maha saktinya, dia membentak
keras, segenap tenaga dalamnya dihimpun pada tangan kiri,
lalu diayun ke muka mengikuti gerakan tubuhnya yang
menyelinap keluar.
Dalam waktu singkat dua gulung tenaga pukulan telah
saling bentur, ledakan nyaring menggelegar, pusaran angin
disertai desingan angin tajam menderu-deru di angkasa.
Bong Thian-gak melayang turun, berbareng tangan
kanannya telah bertambah dengan sebuah kain cadar hitam,
akhirnya wajah asli Jit-kaucu kelihatan juga di depan mata.
Setelah tirai tandu terlepas, tampaklah di dalam tandu
duduk seorang gadis cantik berbaju biru, sepasang matanya
jeli memancarkan sinar tajam membetot sukma, saat itu sorot
matanya sedang memandang wajah Bong Thian-gak tanpa
berkedip. Sebaliknya Bong Thian-gak yang dapat melihat wajah
cantik dalam tandu itu segera merasa tubuhnya gemetar keras
tanpa terasa, cadar itu sudah terlepas ke atas tanah.
Ternyata raut wajah si nona cantik ini amat dikenal
olehnya, sekali pun memejamkan mata Bong Thian-gak pun
bisa melukiskan setiap bagian tubuhnya secara nyata dan
jelas. "Ah, rupanya dia!" pekik anak muda itu dalam hati.
Dia menggeleng kepala berulang kali sambil memejamkan
mata, kemudian sekali lagi menatap wajah gadis itu lekatlekat.
"Ya, betul! Memang dia, dialah si gadis telanjang bulat di
rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau."
Sementara itu perempuan cantik dalam tandu itu seolah
teringat pula akan sesuatu persoalan setelah menyaksikan
sikap Bong Thian-gak yang melongo itu, dia pun berseru
113 tertahan, lalu mukanya berubah merah padam, tubuhnya
gemetar keras karena emosi.
Suasana hening menyelimuti tempat itu, sepasang mudamudi
itu dengan membawa rahasia masing-masing hanya
termenung sambil membungkam.
Dalam keadaan demikian, bukan cuma To Siau-hou saja,
bahkan ketiga gadis berbaju hijau pun tidak habis mengerti
apa sebabnya kedua orang itu tertegun dan termangu-mangu
seperti orang kehilangan sukma setelah saling bertatap muka.
Mendadak terdengar Jit-kaucu yang berada dalam tandu
berkata, "Sialan, bocah keparat yang tidak tahu malu!"
Ucapan itu membuat Bong Thian-gak merasa malu sekali
sehingga menundukkan kepala, namun dia tak mengucapkan
sepatah kata pun.
Mendadak terdengar Jit-kaucu membentak keras, "Ing
Soat, kalau tidak pergi mau tunggu apa lagi?"
Kedua gadis pemikul tandu dan gadis baju hijau yang
membawa pedang buru-buru mengangkat tandu kecil itu dan
tanpa mengucapkan sepatah kata pun berlalu dari situ.
Suara keliningan nyaring berkumandang makin menjauh.
Menanti suara keliningan itu menjauh, Bong Thian-gak
seolah baru mendusin dari lamunannya, ia berseru tertahan
sambil berpaling.
Dijumpainya Giok-bin-giam-lo To Siau-hou telah
menempelkan pedang di atas pinggang kiri sendiri.
"To-heng, apa maksudmu?" tegur Bong Thian-gak.
Dengus napas To Siau-hou agak tersengal, katanya,
"Siapakah perempuan itu?"
"Siapa lagi, tentu saja Jit-kaucu!" sahut Bong Thian-gak
dengan wajah tertegun.
114 To Siau-hou tertawa dingin, "Ko-heng, kau tak usah
berlagak pilon, sewaktu mata kalian saling bertemu, paras
muka kalian berdua segera berubah tak menentu, sudah jelas
kalian adalah kenalan lama, mengapa Ko-heng mengatakan
tidak tahu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, betul,
sebelumnya aku memang pernah sekali berjumpa dengannya,
tapi aku tidak tahu siapakah dia. Ucapan Siaute adalah
sejujurnya bila aku bohong biar Thian mengutuk aku!"
Mendadak To Siau-hou menarik kembali pedangnya,
kemudian dia muntah darah sebanyak dua kali, setelah
mundur sempoyongan, tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.
Menanti Bong Thian-gak membalik tubuhnya, To Siau-hou
sudah tergeletak dengan wajah pucat-pias seperti mayat,
tanpa terasa teriaknya dengan terkejut, "To-heng,
mengapakah kau?"
"Ko-heng, maafkanlah aku, aku telah salah sangka
kepadamu," bisik To Siau-hou dengan lemah. "Aku.mungkin
sudah tak bisa ditolong lagi! Ilmu pukulannya sangat jahat dan
lihai ... sekarang tubuhku mulai terasa berkerut kencang,


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekujur tubuhku kedinginan setengah mati."
Bong Thian-gak pernah menyaksikan bagaimana cara Jitkaucu
membunuh orang, ia menjadi terperanjat sekali, segera
pikirnya, "Entah apa nama pukulan ilmu saktinya itu" Aku tak
bisa ilmu pengobatan. Ai, apa yang mesti kulakukan
sekarang?"
Makin dipikir hatinya semakin gelisah sehingga tanpa terasa
dia menghentakkan kaki ke tanah, serunya kemudian, "Toheng,
apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Agaknya To Siau-hou sudah tahu tiada harapan baginya
untuk hidup, sikapnya malah tampak jauh lebih tenang,
katanya, "Ko-heng, setelah aku mati, tolong antarkan
jenazahku ke markas besar Kay-pang di Sucwan, kemudian
115 ceritakanlah nasib yang kualami ini kepada guruku, ketua Kaypang...."
"To-heng, cepat kau pikirkan sebentar apakah di sekitar sini
ada tabib pandai!" seru Bong Thian-gak gelisah.
Sambil tertawa getir To Siau-hou menggeleng kepala
berulang kali, "Tidak ada! Sebelum menemui ajal Bu-sianglong-
hou-ciang pernah berkata bahwa Jit-kaucu telah berhasil
memiliki sejenis ilmu pukulan maha sakti yang tiada tandingan
di dunia ini, barang siapa terkena pukulannya itu, hanya
kematian yang akan dialaminya, tiada obat yang hisa
menyembuhkannya!"
"Ai, aku memang kelewat tinggi hati dan gegabah, sekali
pun tahu kelihaian ilmu pukulan lawan, aku tetap nekat
menghadapinya, aku memang patut mampus!"
Cepat Bong Thian-gak menggeleng, katanya, "Tiada
pukulan yang tak bisa disembuhkan di dunia ini, asal diketahui
namanya, aku bisa mengusahakan penyembuhan bagimu.
Cuma aku kuatir waktu tidak mengizinkan lagi."
"Aku pun mengerti sedikit ilmu pertabiban, menurut
keadaan luka yang kuderita sekarang, mungkin tak akan bisa
bertahan sampai tengah malam nanti."
Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata, "To-heng, mari
kubimbing kau pergi ke tempat sepi, kemudian aku akan
mencari Jit-kaucu, aku akan bertanya kepadanya ilmu pukulan
apa yang telah dia pergunakan untuk melukai dirimu."
"Terima kasih Ko-heng!" To Siau-hou tertawa sedih. "Ilmu
silat Jit-kaucu sudah kau ketahui sendiri, bila Ko-heng
mengalami hal-hal yang tak diinginkan gara-gara urusanku,
bagaimana mungkin arwahku di alam baka bisa tenteram?"
Mencorong sinar tajam di balik mata Bong Thian-gak,
serunya, "Kecuali berbuat demikian, tiada cara lain yang bisa
dipakai untuk menyelamatkan nyawa To-heng."
116 Meski hanya beberapa patah kata yang singkat, namun
terpancar sifat ksatria dan kegagahan Bong Thian-gak.
"Ko-heng, budi kebaikanmu sungguh sangat mengharukan,
sampai mati pun Siaute tak akan melupakanmu."
Bong Thian-gak tak bicara lagi, dia segera memayang To
Siau-hou dan membawanya ke balik semak yang agak
tersembunyi, lalu katanya, "Harap To-heng menunggu di sini,
Siaute akan segera mengejar Jit-kaucu, paling lambat satu
setengah jam aku akan balik ke sini."
"Tidak usah! Lebih baik menemani aku saja di sini!"
"To-heng!" seru Bong Thian-gak dengan suara dalam.
"Meski kau menganggap kematian bagaikan pulang ke rumah,
tapi pernahkah kau bayangkan kematianmu merupakan
hilangnya seorang Enghiong bagi dunia Kangouw" Pihak
manusia laknat akan kehilangan musuh tangguh?"
Air mata meleleh membasahi wajah To Siau-hou, serunya
pelan, "Ko-heng, bila kepergianmu mengundang bencana
bagimu sendiri, dunia persilatan lebih-lebih akan kehilangan
seorang pendekar berjiwa ksatria, apa lagi dengan kematian
kita berdua maka tak ada yang tahu siapakah pembunuh kita
itu." "Tak usah kuatir, To-heng" ucap Bong Thian-gak sambil
menahan rasa pedih dalam hati. "Aku tak bakal mati di tangan
Jit-kaucu, nah, aku pergi dulu."
Tidak menanti jawaban To Siau-hou lagi, dia segera
melompat bangun dan berlalu dari situ dengan mengerahkan
Ginkangnya. Sejak dapat melihat jelas raut muka Jit-kaucu, Bong Thiangak
yakin dia adalah gadis yang pernah dijumpainya di Kangsan-
bi-jin-lau, maka dia segera mengerahkan Ginkangnya
menuju ke Kay-hong.
117 Tak lama kemudian Bong Thian-gak telah masuk ke kota
Kay-hong, buru-buru dia menuju ke tempat hiburan dan
berhenti di luar rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau.
Setelah ragu sejenak, dia membalik badan menuju ke
halaman belakang, dari situ dia masuk dengan melompati
pagar, ketika tiba di luar loteng, ia saksikan cahaya lentera
menerangi seluruh ruangan, sesosok bayangan bertubuh
indah sedang duduk di dekat jendela.
Bong Thian-gak memeriksa sekeliling tempat itu, ia jumpai
cahaya lampu pun menerangi hampir setiap jendela, suara
pembicaraan tiada hentinya berkumandang, tapi di halaman
kecil yang terpencil itu justru suasananya amat hening, tak
seorang pun ditemukan di situ.
Tanpa ragu lagi dia melompat naik ke atas pagar loteng,
agaknya perempuan cantik di balik jendela telah mengetahui
kedatangannya, dia menggoyang sedikit kepalanya untuk
berpaling, sementara tubuhnya masih tetap duduk di kursi.
Setelah berdehem pelan, Bong Thian-gak segera menyapa,
"Jit-kaucu di dalam?"
Perempuan cantik di balik jendela tidak bergerak, tapi
terdengar ia menegur dengan suara sedingin es, "Kau adalah
berandal hidung htingor, besar betul nyalimu!"
"Jit-kaucu, aku bukan berandal cabul...."
Tidak menanti Bong Thian-gak menyelesaikan katakatanya,
kembali perempuan itu mengumpat, "Kalau kau
bukan berandal cabul hidung bangor, mengapa di tengah
malam buta mengintip kamar tidur kaum wanita?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, pada
peristiwa kemarin dulu, biar kujelaskan nanti secara pelanpelan,
malam ini aku ..."
"Ada urusan apa?"
118 "Aku ingin bertanya kepada Jit-kaucu, dengan ilmu pukulan
apakah kau melukai Giok-bin-giam-lo?"
"Dia belum mampus?" tanya perempuan itu hambar.
"Belum, tapi sudah tak jauh dari ambang pintu kematian."
"Kalau sudah mampus lebih baik lagi, buat apa kau
menanyakan ilmu pukulan yang kupakai untuk
membunuhnya?"
Bong Thian-gak mengerut dahi, lalu menjawab dengan
suara dalam, "Mengapa kau memandang enteng nyawa
manusia" Ketahuilah, Thian menciptakan manusia dengan
harapan banyak berbuat kebajikan, kegemaran Jit-kaucu
membunuh orang benar-benar telah melanggar perintah
Thian." Tiba-tiba perempuan cantik itu tertawa dingin, suaranya
amat menyeramkan penuh dengan nada membunuh,
membuat orang yang mendengar berdiri bulu kuduknya.
Mendadak suara tawa itu sirap, lalu terdengar perempuan
cantik itu bertanya lagi dengan hambar, "Kau berani masuk
kemari?" Terkesiap hati Bong Thian-gak, segera sahutnya, "Mengapa
tidak?" Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berjalan
menuju ke pintu dan mendorongnya.
Pintu itu tidak terkunci dan segera terbuka ketika didorong,
Bong Thian-gak yang berilmu tinggi dan bernyali besar segera
melangkah masuk dengan dada dibusungkan.
Waktu itu Jit-kaucu sedang duduk membelakangi pintu,
sekali pun tahu Bong Thian-gak masuk, namun sama sekali ia
tidak berpaling, hanya tangan kirinya yang putih bersih
menuding ke sebuah kursi bulat di sampingnya, katanya,
"Duduklah!"
119 Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memandang
sekejap kursi bulat itu, setelah tidak melihat sesuatu gejala
aneh, dia pun menurut dan berduduk.
Kini separoh wajah nona yang cantik sudah kelihatan
dengan jelas. Di bawah cahaya lentera, terlihat jelas perempuan itu
memang berwajah cantik jelita, kecantikannya ibarat bidadari
yang baru turun dari kahyangan.
Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas, pikirnya,
"Dengan wajah yang begitu cantik, mengapa justru dilahirkan
dengan hati yang busuk, jelek dan jahat" Ai, benar-benar
patut disayangkan!"
Mendadak terdengar Jit-kaucu menegur, "Hei, apa yang
sedang kau pikirkan?"
Suaranya merdu bagai kicau burung nuri, sungguh
mempesona hati siapa pun.
Entah sedari kapan Jit-kaucu telah membalikkan badan, kini
jarak kedua orang itu dekat sekali, ketika angin berhembus,
terendus bau harum semerbak yang membuat hati menjadi
mabuk. Bong Thian-gak menarik napas, kemudian berkata dengan
suara nyaring, "Aku sedang berpikir, mengapa Kaucu
berwajah begitu cantik."
"Dan kau pun sedang berpikir, mengapa hatiku begitu
kejam tak kenal perasaan begitu, bukan?" sela Jit-kaucu
sambil tersenyum.
Bong Thian-gak tertegun, kemudian ujarnya, "Benar-benar
amat lihai! Darimana kau tahu akan jalan pikiranku?"
Tiba-tiba paras muka Jit-kaucu berubah hebat, serunya
lagi, "Nyalimu sungguh besar, mungkin di kolong langit
120 dewasa ini belum ada orang kedua yang berani duduk
sedemikian dekat denganku."
"Bila Jit-kaucu hendak turun tangan keji kepadaku, tadi kau
sudah turun tangan!"
Jit-kaucu segera bangkit, lalu pelan-pelan berjalan menuju
ke depan pintu, dia mendongakkan kepala memandang
kegelapan malam, sambil membetulkan rambutnya yang
panjang terurai ia berjalan kembali.
Langkah kakinya yang lemah gemulai itu sangat menawan
dan mendatangkan daya pikat, pada hakikatnya kecantikan
maupun gerak-gerik perempuan itu dapat membuat orang
lupa daratan. Pelan-pelan dia berjalan ke hadapan Bong Thian-gak,
kemudian secara tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke
jalan darah Pek-kwe-hiat di ubun-ubun Bong Thian-gak.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Jit-kaucu menyingkirkan
kembali telapak tangannya, lalu berkata, "Ko Hong,
sebelumnya kau sudah tahu bila aku tidak berniat
membunuhmu, maka kau bersikap begini tenang dan
bernyali!"
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Ketika di hutan depan kuil, bukankah kau telah mendengar
banyak rahasia perkumpulan kami?"
Mendengar itu, Bong Thian-gak menjadi terkejut, pikirnya,
"Kalau begitu dia sudah tahu aku sudah menyadap
pembicaraannya dari dalam hutan! Jadi kematian Lo Gi,
pelindung Sam-kaucu adalah gara-gara perbuatanku ."
Sementara itu Jit-kaucu telah berkata lagi sambil
tersenyum, "Kalau kau sudah mendengar sebagian besar
rahasia kami, maka sekarang hanya ada dua jalan yang bisa
kau pilih, pertama adalah jalan kematian, sedang kedua
adalah masuk menjadi anggota Put-gwa-cin-kau. Asal kau
121 bersedia, aku dapat memberi kedudukan sebagai seorang
Kaucu." "Kau mengundang aku masuk menjadi anggota Put-gwacin-
kau, apakah kau tidak kuatir aku akan menyusahkan
dirimu?" "Apa maksudmu?"
"Kau belum tentu tahu riwayat hidupku dan lagi setelah
menjadi anggota perkumpulan, belum tentu aku setia pada
perkumpulan dengan tulus hati, apalagi menyuruh aku
mencapai Put-gwa (tanpa aku)?"
Jit-kaucu manggut-manggut, "Benar, kalau begitu kau
hanya ingin menempuh jalan kematian?"
Kembali Bong Thian-gak tersenyum, "Dari dulu hingga kini
tiada seorang pun yang bisa lolos dari kematian, apa yang
kutakuti" Cuma ...."
"Cuma kenapa?"
"Aku tak akan mati muda," sahut Bong Thian-gak dengan
sinar mata mencorong tajam.
Mendadak Jit-kaucu menatap wajah Bong Thian-gak lekatlekat.
Bong Thian-gak tertegun, lalu berpikir, "Mungkinkah dia
akan turun tangan keji kepadaku?"
Maka secara diam-diam dia lantas menghimpun tenaga
dalamnya untuk bersiap.
Lewat setengah jam kemudian, terdengar Jit-kaucu berkata
lagi dengan suara hambar, "Hampir saja aku kena kau kelabui,
rupanya wajahmu telah kau ubah dengan obat penyamar,
kalau begitu Ko Hong pun bukan namamu yang sebenarnya!"
Bong Thian-gak merasa perempuan ini lihai sekali, "Padahal
obat penyaruan yang kugunakan merupakan obat paling baik
122 di dunia, malah penyaruanku amat sempurna, buktinya Ku-lo
Hwesio dan Toa-suheng serta para jago tiada yang tahu, tak
nyana dia berhasil mengetahui sekali pandang saja."
Jit-kaucu berkata, "Sebenarnya kau telah melakukan
perbuatan apa yang malu diketahui orang hingga tak berani
memperlihatkan raut wajah aslimu?"
"Bukankah Jit-kaucu pun demikian?"
Jit-kaucu tertegun, lalu serunya, "Tapi aku tidak menyaru!"
"Walaupun kau tak menyaru, tapi gerak-gerikmu sangat
rahasia, tanpa nama, tanpa asal-usul, bukankah kau pun
sudah melakukan suatu perbuatan yang takut diketahui
orang?" "Siapa bilang aku tak punya nama?" teriak Jit-kaucu gusar.
"Kalau begitu siapa namamu?"


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak berhak mengetahui namaku."
Mendadak Bong Thian-gak menunjukkan wajah serius,
katanya, "Apa nama ilmu pukulanmu?"
"Buat apa kau menanyakan soal ini?"
"Aku hendak mengobati luka To Siau-hou."
Mendengar itu, Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Kau
anggap setelah mengetahui ilmu pukulanku, maka nyawa To
Siau-hou bisa diselamatkan" Hehehe, kalau begitu kuberitahu
kepadamu!"
"Apa namanya?" kembali Bong Thian-gak bertanya dengan
cemas. "Itulah pukulan Jian-yang-ciang (Pukulan cacat) salah satu
jurus dari ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang!"
"Soh-li-jian-yang-sin-kang," seru Bong Thian-gak terkejut.
123 Dengan wajah berubah hebat dia melompat bangun,
kemudian bagaikan burung walet menembusi jendela, dia
lantas berlalu.
Bong Thian-gak tidak menunjukkan pertanda hendak
berlalu, ditambah pula gerakan tubuhnya kelewat cepat,
dalam waktu singkat bayangan tubuhnya tahu-tahu sudah
lenyap. Jit-kaucu yang menyaksikan kejadian itu tertegun dan
duduk melongo, seperti merasa kehilangan sesuatu dia duduk
dengan wajah bingung.
Sementara itu Bong Thian-gak dengan suatu gerakan yang
amat cepat telah meninggalkan loteng itu, dia segera
mengembangkan ilmu meringankan tubuhnya keluar kota Kayhong
langsung menuju ke pinggir kota.
Malam sudah semakin kelam, tengah malam pun sudah
menjelang tiba, di tengah keheningan yang mencekam terasa
suatu kemisteriusan yang menyeramkan.
Dengan hati risau dan gelisah Bong Thian-gak menuju
tempat persembunyian To Siau-hou, siapa tahu suasana di
sekeliling tempat itu sangat hening dan tak nampak bayangan
orang pun. Dengan kening berkerut dan sorot mata tajam, Bong Thiangak
memandang sekejap sekeliling tempat itu.
Angin malam berhembus menggoyang rumput dan
dedaunan, kecuali bunyi jangkrik dan binatang kecil, suasana
di situ amat hening hingga terasa menakutkan, ternyata tak
nampak bayangan To Siau-hou.
Bong Thian-gak menjadi amat gelisah, segera teriaknya,
"To-heng! Dimana kau?"
Ia berteriak berulang kali, tapi malam tetap hening, tiada
jawaban. 124 Bong Thian-gak tahu To Siau-hou sudah menderita luka
sangat parah, mustahil dia bisa meninggalkan tempat itu,
maka dia mulai berjalan mengelilingi tempat itu melakukan
pencarian dengan seksama.
Aneh! Sudah beberapa kali dia melakukan pencarian, tapi
tetap tak nampak bayangan To Siau-hou"
"Jangan-jangan dia sudah ditolong orang?"
"Tapi siapakah yang menolongnya?"
Bong Thian-gak memeras otak memikirkan ini.
Pencarian pun kembali dilakukan ke sekeliling tempat itu.
Akhirnya di atas sebuah batu cadas di pinggir jalan, Bong
Thian-gak menemukan sesosok bayangan sedang duduk
bersila di sana.
Dengan dua kali lompat saja Bong Thian-gak sudah
mencapai depan batu cadas itu.
Ternyata adalah Hwesio tua berbaju abu-abu, sepasang
kakinya tertekuk membentuk sikap bersila, di atas lututnya
terletak sebuah Hud-tim, sedang di atas dadanya tergantung
seuntai tasbih.
Waktu itu si Hwesio duduk sambil memejamkan mata
rapat-rapat, tubuhnya sama sekali tidak bergerak.
Sesudah melihat jelas raut wajah Hwesio tua itu, Bong
Thian-gak mefnbatin, "Ah, Ku-lo Sinceng."
Ternyata Hwesio tua yang duduk di atas batu cadas itu
adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay.
Dia menjadi teringat peringatan To Siau-hou, "Ku-lo Hwesio
telah menurunkan perintah untuk membunuhmu".
Dengan terkesiap dan tanpa mengucap sepatah kata pun,
Bong Thian-gak segera membalikkan badan dan berlalu dari
situ. 125 "Omitohud! Harap Sicu tunggu sebentar," suara sapaan
lembut berkumandang.
Bong Thian-gak membalikkan badan dengan kecepatan
bagaikan kilat.
Tampak mencorong sinar lembut dari balik mata Hwesio
tua itu, meski lembut tapi tajam sekali hingga menggetarkan
perasaan orang.
"Sinceng ada petunjuk apa?" tanya Bong Thian-gak dengan
suara nyaring. Hwesio tua itu tetap duduk di atas batu cadas tanpa
bergerak, tapi wajahnya agak bergetar, ujarnya, "Sicu, usiamu
masih muda, tapi tenaga dalammu sudah sampai puncak
kesempurnaan, tolong tanya, Siauhiap berasal dari perguruan
mana?" Bong Thian-gak tertegun, kemudian jawabnya, "Taysu,
maaf bila Wanpwe mempunyai kesulitan yang tak dapat
diutarakan."
Hwesio tua itu termenung sebentar, lalu sambil mengelus
jenggot putihnya dia bertanya lagi, "Sicu, apakah kau sedang
mencari To-siauhiap dari Kay-pang?"
Bong Thian-gak mengangguk, "Tolong tanya apa Taysu
melihat jejaknya?"
"To-siauhiap telah menderita luka yang cukup parah,
nyawanya dalam keadaan gawat, Lolap telah memerintahkan
dua orang muridku untuk mengirimnya ke suatu tempat yang
tenang guna memperoleh perawatan dan pengobatan yang
diperlukan."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasa agak
lega, buru-buru dia bertanya lagi, "Tolong tanya, apakah luka
yang diderita To-siauhiap makin parah?"
126 "Ketika Lolap menemukannya, dia sudah pingsan,
nyawanya berada di ujung tanduk. Sicu, dapatkah kau
terangkan To-siauhiap terluka oleh pukulan apa?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Dia terkena
pukulan Jit-kaucu, ai! Mungkin luka itu sukar untuk
disembuhkan!"
Mendengar perkataan itu, paras si Hwesio berubah hebat.
"Kalau begitu, To-siauhiap telah terkena pukulan Jian-yangciang
dari Soh-li-jian-yang-sin-kang?"
Dengan terkesiap Bong Thian-gak segera berpikir,
"Sungguh lihai sekali Hwesio ini, ternyata dia pun mengetahui
tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, mungkinkah dia sudah
bertemu dengan Jit-kaucu?"
Berpikir demikian, sahutnya kemudian sambil menghela
napas, "Benar, To-siauhiap memang terkena pukulan Jianyang-
ciang dari Jit-kaucu!"
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba mencorong tajam mata
Hwesio tua itu, ia menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat,
kemudian bertanya pula, "Sicu, darimana kau bisa mengetahui
ilmu pukulan Jian-yang-ciang?"
"Wanpwe mengetahui hal ini dari mulut Jit-kaucu sendiri."
Rasa kaget dan tercengang segera menghias wajah Hwesio
tua itu, segera tegurnya dengan suara dalam, "Sicu,
sebenarnya siapa kau?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Taysu, tidak
usah menaruh curiga terhadap Wanpwe, aku bukan anggota
Put-gwa-cin-kau!"
Hwesio tua itu semakin terperanjat, kembali dia berkata,
"Sicu, agaknya kau telah mengetahui banyak rahasia, dari
sembilan partai persilatan dewasa ini, kecuali Lolap seorang,
127 boleh dibilang tidak banyak orang yang mengetahui Put-gwacin-
kau?" Sampai di situ Ku-lo Hwesio berhenti sejenak, seolah
termenung beberapa saat, dia pun melanjutkan, "Sicu, kau
enggan menyebut nama perguruanmu, tapi bersedia
menyebutkan namamu bukan?"
Bong Thian-gak tertegun, lalu sahutnya, "Aku bernama Ko
Hong, buat apa Sinceng mesti menaruh prasangka jelek
kepadaku?"
Terlintas cahaya tajam dari balik mata Hwesio tua itu, tibatiba
dia berkata, "Siancay! Siancay! Lolap baru pertama kali ini
berjumpa dengan Sicu, sebelum malam ini kita tak pernah
berjumpa, mengapa Lolap mesti berprasangka buruk terhadap
Sicu" Tapi setiap ucapan Sicu justru merupakan rahasia yang
sedang diselidiki semua umat persilatan, apakah hal ini tak
membuat Lolap terperanjat?"
Ucapan itu membuat Bong Thian-gak tertegun, serunya
kemudian dengan wajah tercengang, "Sinceng, mengapa kau
mengatakan malam ini adalah perjumpaan kita yang pertama
kali?" Secara tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasa apa yang
diucapkan Ku-lo Hwesio malam ini terdapat banyak keanehan,
tindak-tanduk maupun gerak-geriknya berbeda dengan tempo
hari. Mungkinkah dia bukan Ku-lo Hwesio pendeta agung dari
Siau-lim-si"
"Omitohud! Sicu, apakah kau tahu siapakah Loceng?" tanya
Hwesio tua itu tiba-tiba.
Bong Thian-gak tertegun. "Wanpwe justru ingin
menanyakan nama Sinceng!" serunya cepat.
Bong Thian-gak tidak percaya kalau matanya telah salah
melihat orang, meski dia dan Ku-lo Hwesio hanya bersua
128 secara sepintas saja, jika berjumpa kembali pada waktu yang
sangat lama, bisa saja kekeliruan itu terjadi.
Tetapi dia baru saja berpisah dengan Ku-lo Hwesio pagi ini,
lagi pula raut wajah pendeta itu sekali pun dia diharuskan
melukis dengan mata terpejam pun, pemuda itu sanggup
melakukannya, bagaimana mungkin bisa keliru.
Hwesio tua ini sudah jelas adalah Ku-lo Hwesio dari Siaulim-
pay. Tatkala Hwesio tua itu menyaksikan paras muka Bong
Thian-gak berubah tak menentu, pelan-pelan dia berkata,
"Lolap adalah Ku-lo dari Siau-lim-si...."
"Benar! Kau memang Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si!" pekik
Bong Thian-gak dalam hati.
Sementara itu Hwesio tua itu telah melanjutkan kembali
katakatanya setelah berhenti sejenak, "Sejak delapan tahun
lalu, Pinceng selalu menutup diri di dalam kuil Siau-lim-si, baru
belakangan ini Pinceng menyelesaikan semediku dan buruburu
menuju ke Kay-hong, sampai di sini pun paling baru
beberapa jam lalu, mengapa Lolap tak boleh mengatakan
pertemuanku dengan Sicu pada malam ini adalah pertemuan
kita yang pertama kali?"
Benak Bong Thian-gak mendengung keras sesudah
mendengar ucapan itu, pikirnya, "Aneh, mengapa bisa muncul
dua orang Ku-lo Sinceng" Yang satu sudah tiba di gedung Bulim
Bengcu sejak tiga hari berselang, sedang yang lain baru
tiba di Kay-hong pada malam ini, padahal raut wajah mereka
berdua persis seperti pinang dibelah dua, lantas yang
manakah baru Ku-lo Sinceng yang asli?"
Benar-benar merupakan suatu peristiwa besar, munculnya
Ku-lo Sinceng ganda menandakan pula betapa berbahayanya
situasi dalam Bu-lim dewasa ini.
129 Diam-diam Bong Thian-gak membayangkan gerak-gerik
Hwesio tua itu serta membandingkan dengan gerak-gerik Kulo
Hwesio yang dijumpainya dalam gedung Bu-lim Bengcu.
Tiba-tiba Bong Thian-gak menjerit kaget, "Ah! Kalau begitu
dia adalah Kaucu ...."
Paras muka Bong Thian-gak pada saat itu benar-benar
berubah hebat sekali.
Sementara Hwesio tua itu pun seakan-akan telah
menyadari akan datangnya ancaman bahaya, dengan wajah
serius ujarnya, "Sicu telah menemukan masalah besar apa?"
"Celaka!" seru Bong Thian-gak dengan gelisah.
"Keselamatan jiwa para jago yang berada dalam gedung Bulim
Bengcu terancam oleh bahaya maut."
"Bagaimana penjelasan Sicu tentang perkataan ini?"
Dengan sinar mata berkilat Bong Thian-gak menatap wajah
Hwesio tua itu lekat-lekat, kemudian katanya, "Taysu, aku
ingin tahu bagaimana caramu membuktikan bahwa kau benarbenar
Ku-lo Sianceng dari Siau-lim-si?"
"Apakah di Bu-lim muncul seorang Ku-lo lagi?" tanya
Hwesio tua itu dengan paras muka berubah.
Bong Thian-gak segera manggut-manggut, "Benar, bahkan
kalian berdua mempunyai wajah dan bentuk badan yang
persis sama, bahkan perawakan tubuh kalian pun tidak
berbeda." Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Hwesio tua itu
memejamkan mata sambil termenung, tiba-tiba wajahnya
berubah kembali.
"Siancay! Siancay! Sungguh tak disangka peristiwa yang
terjadi pada delapan tahun berselang kini telah berkembang
menjadi suatu ancaman besar yang mengerikan."
130 Sampai di situ, dia memejamkan kembali matanya sambil
termenung seorang diri.
Kurang lebih setengah peminuman teh kemudian Hwesio
itu baru membuka mata, setelah menghela napas sedih,
katanya, "Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau sudah
melakukan pembunuhan terhadap jago-jago persilatan,
setelah melewati delapan tahun yang panjang, perkembangan
mereka sudah benar-benar mencapai titik yang paling
berbahaya untuk keselamatan dunia persilatan."
"Ai! Andaikata Pinceng dapat menyadari akibatnya
semenjak delapan tahun berselang, lalu mengambil tindakan
pengamanan, niscaya keadaan tak akan berkembang menjadi
begini. Oh Ciong-hu pun tak sampai terbunuh."
Bong Thian-gak berkerut kening mendengar perkataan itu.
Melalui berbagai dugaan dan analisanya, dia yakin Hwesio tua


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di hadapannya sekarang benar-benar adalah Ku-lo Hwesio dari
Siau-lim-si, tapi dia tak habis mengerti mengapa Ku-lo Hwesio
yang asli ini baru keluar dari masa semedinya hari ini"
Sebab kalau didengar dari pembicaraannya, pendeta itu
seperti sudah mengetahui gejala pergerakan Put-gwa-cin-kau,
mengapa dia tak berusaha menghalangi penyebaran pengaruh
Put-gwa-cin-kau"
Berpikir demikian, dengan penuh emosi Bong Thian-gak
berkata, "Seandainya sejak delapan tahun lalu Sinceng tahu
pergerakan Put-gwa-cin-kau, mengapa kau biarkan
berkembang lebih jauh?"
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang mendengar teguran
Bong Thian-gak itu, ucapnya, "Sicu jangan emosi, sebenarnya
hingga sekarang punn Pinceng belum mengetahui keadaan
yang sesungguhnya Put-gwa-cin-kau itu, delapan tahun
berselang aku pun tak lebih hanya berjumpa seorang anak
perempuan dari Put-gwa-cin-kau."
131 Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang,
Hwesio itu menyambung lebih jauh, "Bercerita tentang
kejadian delapan tahun berselang, suatu malam bulan
purnama, Pinceng sedang membaca doa di ruang belakang
kuil Siau-lim-si, tiba-tiba muncul seorang gadis muda di
hadapanku, gadis itu berusia empat belas tahunan, berparas
cantik, senyumnya menawan hati dan membuat orang
terkesima. Sejak hari itulah setiap malam selama empat puluh
sembilan hari berturut-turut gadis itu selalu muncul di bukit
bagian belakang untuk menyaksikan Pinceng berlatih, selama
itu dia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun, pada
malam kelima puluh itulah untuk pertama kalinya dia berbicara
dengan Pinceng."
Dengan perasaan tercengang Bong Thian-gak bertanya,
"Apa yang dia katakan kepada Sinceng?"
"Dia bilang, dia murid Put-gwa-cin-kau, berhubung
mendapat perintah Cong-kaucu untuk mencelakai Pinceng,
maka dia minta Pinceng berbuat bajik dengan menyerahkan
jiwaku kepadanya."
"Lantas bagaimana jawaban Taysu?"
"Mendengar perkataan bocah perempuan yang lucu dan
sama sekali tidak membawa hawa sesat itu Pinceng cuma
tersenyum, apalagi aku belum pernah mendengar di Bu-lim
terdapat Put-gwa-cin-kau, Pinceng anggap ucapan itu hanya
perkataan bocah kecil, itulah sebabnya Pinceng pun
menjawab, 'Bila kau menginginkan jiwa Pinceng, baiklah akan
Pinceng serahkan kepadamu!'."
"Maka bocah perempuan itu pun turun tangan terhadap
Taysu?" Kembali Ku-lo mengangguk, "Benar, bocah perempuan itu
segera berjalan mendekat dan memukul punggung Pinceng
sebanyak empat kali, kemudian ujarnya kepadaku bahwa dia
telah menggunakan ilmu pukulan untuk melukai delapan nadi
132 penting dalam tubuhku, biasanya orang lain akan tewas pada
hari ketujuh, tapi berhubung tenaga dalam Pinceng sempurna,
maka saat kematiannya dapat diundur."
"Selesai mengucapkan perkataan itu, bocah perempuan itu
segera pergi, sedangkan Pinceng pun tidak mengingat
kejadian itu lagi, sebab pukulan bocah perempuan itu di atas
punggungku amat pelan, bukan saja tak bertenaga dalam,
tenaga sedikit pun tak ada. Ai, siapa tahu ilmu silat yang ada
di kolong langit memang sukar diduga sebelumnya."
"Apakah Taysu menderita luka?" tanya Bong Thian-gak
keheranan bercampur kaget.
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sejak itulah
Pinceng merasakan peredaran darahku tidak lancar, terutama
bila sampai pada delapan nadi pentingku, segera akan terasa
sumbatan pada aliran darahku, lambat-laun sumbatan itu
terasa makin berat dan parah, saat itulah Pinceng baru
merasa terperanjat sekali."
Bicara sampai di situ, dia menghela napas panjang,
lanjutnya, "Semua jago yang ada di kolong langit, termasuk
juga anak murid partai kami, siapa yang menduga
pengumuman pengunduran diri Pinceng pada delapan tahun
berselang sesungguhnya untuk mengobati luka dalamku?"
Bong Thian-gak benar-benar terperanjat sekali. "Hanya
dengan empat tepukan ringan si bocah perempuan itu,
Pinceng harus berbaring delapan tahun di atas ranjang?"
serunya. "Dalam masa delapan tahun duduk bersila menghadap
dinding, Pinceng menyadari pukulan maut itu tak lain adalah
Soh-li-jian-yang-sin-kang, tentunya Ko-siauhiap bisa
membayangkan sampai dimanakah kelihaian pukulan sakti
itu." 133 "Masa gadis cilik itu memiliki kepandaian sakti yang begitu
jahat" Kalau begitu dia adalah Jit-kaucu!" seru Bong Thian-gak
terperanjat. "Dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang
merupakan salah satu di antara tiga ilmu pukulan sakti,
kepandaian semacam ini tidak setiap orang bisa mempelajari.
Konon untuk berlatih kepandaian itu, dia harus berlatih sejak
berusia tiga tahun, sampai latihan itu berhasil,
keperawanannya tak boleh hilang. Ketika kuperiksa keadaan
luka yang diderita To-sicu dari Kay-pang tadi, segera
kubuktikan bahwa dia terluka akibat pukulan Jian-yang-ciang,
menurut dugaan Pinceng, orang yang telah mencelakai Tosicu
itu kemungkinan besar adalah si bocah perempuan yang
pernah Pinceng jumpai pada delapan tahun berselang."
Mencoba memperkirakan usia Jit-kaucu, katanya, "Betul,
Jit-kaucu adalah si bocah perempuan itu."
"Setelah delapan tahun bersemedi untuk mengobati luka
yang kuderita, Pinceng telah memahami bagaimana cara
mengobati luka itu, Pinceng rasa nyawa To-sicu dari Kay-pang
itu tak akan terancam lagi, namun ilmu silatnya sulit pulih
kembali seperti sedia kala!"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, menurut
catatan dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang
merupakan pukulan yang tak terobati, sekali pun To Siau-hou
harus kehilangan ilmu silatnya, bisa selamat dari ancaman
kematian pun telah terhitung luar biasa, ai ... tampaknya di
antara orang-orang Put-gwa-cin-kau, Jit-kaucu merupakan
musuh paling tangguh bagi dunia persilatan."
"Bila dihitung bocah perempuan itu mulai berlatih ilmu Sohli-
jian-yang-sin-kang mulai berusia tiga tahun, hingga hari ini
mungkin sudah ada dua puluh tahun hasil latihannya, ia sudah
berlatih hingga mencapai tingkat kesembilan, bila dibiarkan
mendalami ilmu itu selama tiga tahun lagi, maka dia akan
134 menyelesaikan kepandaian itu, saat itu tubuhnya akan kebal
dan tiada orang yang bisa menandinginya lagi."
Ketika berbicara sampai di situ, sepintas rasa pedih
melintas pada wajah Ku-lo Sinceng.
Walaupun Bong Thian-gak tidak memahami seluk-beluk
ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, tapi dari sebuah kitab dia
pernah membaca catatan tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sinkang
dan ilmu itu memang merupakan ilmu paling sesat dan
paling dahsyat di kolong langit ini.
Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam,
"Tolong tanya Taysu, apakah di dunia saat ini sudah tiada
orang yang bisa melawan Soh-li-jian-yang-sin-kang lagi?"
Sambil menggeleng kepala Ku-lo Siceng menghela napas
panjang, "Hingga kini Lolap belum berjumpa lagi dengan Jitkaucu,
aku pun belum begitu jelas sampai tingkat berapakah
ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kangnya, andai benar telah mencapai
tingkat kesembilan, maka hal ini benar-benar gawat."
"Jauh hari sebelum Pinceng keluar dari pengasingan, telah
kuutus jago-jago dari kuil kami untuk menyelidiki situasi dalam
Bu-lim serta organisasi Put-gwa-cin-kau yang makin
berkembang. Menurut hasil penyelidikan, Kaucu pertama
sampai Kaucu kesembilan Put-gwa-cin-kau boleh dibilang
merupakan jago-jago berilmu tinggi, persoalan yang paling
rumit dewasa ini adalah asal-usul serta gerakan yang
dilakukan kesembilan orang Kaucu itu."
"Situasi dunia persilatan sekarang, musuh berada di tempat
gelap sedang kita di tempat terang, bila umat persilatan ingin
mengubah situasi, maka harus mengubah diri ke tempat
gelap, dengan cara gelap lawan gelap itulah usaha kita untuk
menyelamatkan dunia persilatan baru akan mendatangkan
hasil yang diinginkan."
"Apa yang dimaksud dengan siasat gelap melawan gelap?"
135 "Yang dimaksud siasat gelap lawan gelap adalah di luar
lingkaran sembilan partai persilatan daratan Tionggoan, kita
harus membentuk suatu organisasi penyerang yang tangguh
dan khusus untuk menjegal gerak-gerik musuh."
Sesudah mendengar ucapan Ku-lo Hwesio ini, Bong Thiangak
merasa Hwesio tua ini agaknya sudah mempunyai suatu
rencana yang matang untuk menghadapi pertarungan
melawan Put-gwa-cin-kau di mas
Kisah Para Pendekar Pulau Es 19 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 13
^