Pendekar Cacad 3

Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 3


a mendatang. Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau telah turun
tangan keji terhadap Ku-lo Hwesio, rencana busuk mereka ini
boleh dibilang keji sekali.
Dunia persilatan dewasa ini terdapat dua pemimpin yang
paling berkuasa, mereka adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si
serta Oh Ciong-hu, Bengcu dunia persilatan.
Bila dua orang ini sampai terbunuh, secara otomatis dunia
persilatan akan kehilangan pemimpin mereka.
Sekarang Put-gwa-cin-kau telah mengutus orang untuk
menyamar sebagai Ku-lo Hwesio dan menyusup ke dalam
gedung Bu-lim Bengcu Dari tindakan mereka ini, tampaknya
orang-orang Put-gwa-cin-kau menyangka Ku-lo Hwesio telah
tewas. Justru karena peristiwa ini, asal umat persilatan
menggunakan siasat melawan siasat, kemudian menangkap
Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau yang menyaru sebagai Ku-lo
Hwesio, bisa jadi orang itu akan tertangkap basah.
Maka setelah melalui pemikiran yang mendalam, Bong
Thian-gak berkata dengan suara dalam, "Taysu, Wanpwe
hendak memberitahu satu hal kepadamu, Put-gwa-cin-kau
telah mengutus Sam-kaucu menyaru sebagai Sinceng dan kini
menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu."
136 Secara ringkas dia lantas menceritakan semua peristiwa
yang terjadi belakangan ini kepada Ku-lo Hwesio, hanya soal
asal-usulnya saja yang tetap dia rahasiakan.
Sehabis mendengar keterangan itu, Ku-lo Hwesio berkerut
kening, lalu menghela napas dengan sedih, katanya, "Hanya
untuk menjaga jangan sampai mengacau situasi dunia,
Pinceng muncul agak terlambat, terhadap mata-mata yang
menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tidak
melakukan suatu tindakan apa pun, ai, siapa tahu tindakanku
ini justru mengakibatkan kematian Kongsun-sicu, ai ...."
"Dari berita Ko-sicu tadi, berarti musuh yang menyusup ke
dalam Bu-lim Bengcu sekarang adalah Sam-kaucu (ketua
ketiga) serta Cap-go-kaucu yang telah diketahui, tapi siapa
pula Cap-go-kaucu itu?"
"Soal ini Wanpwe kurang begitu jelas," kata Bong Thiangak
sambil menggeleng kepala.
Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan serius, "Kosicu
adalah pemuda berbudi luhur, gagah dan perkasa, sudah
pasti bukan pesilat kasaran, bagaimana pun Pinceng memeras
otak, tidak pernah berhasil mengetahui asal-usul Sicu,
bersediakah Sicu menjelaskan asal-usulmu yang sebenarnya
agar umat persilatan pun tidak menaruh curiga kepadamu?"
Dengan wajah sedih Bong Thian-gak Thian-gak menghela
napas panjang, sahutnya, "Wanpwe tak dapat menerangkan
asal-usulku karena aku benar-benar mempunyai kesulitan
yang tak dapat diterangkan, sebenarnya Wanpwe ingin
menjauhi masalah ini dan mengasingkan diri dari dunia
persilatan, tetapi dendam berdarah atas kematian guruku
belum terbalas, sehingga sulit bagiku untuk mengundurkan
diri begitu saja."
"Siapakah musuh besar Ko-sicu?"
"Put-gwa-cin-kau, tapi belum kuketahui siapa yang
melakukan."
137 Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Ai, Ho Put-ciang
Sutit selalu murung karena tidak mengetahui asal-usul Kosicu,
dia telah minta kepada Pinceng menyelidiki persoalan ini,
tetapi bila Sicu mempunyai kesulitan, ya tak usah dibicarakan
lagi." "Oh, jadi Bengcu dan Taysu ...."
Agaknya Ku-lo Hwesio telah mengetahui apa yang hendak
dia tanyakan, dengan cepat dia menjawab, "Ho Put-ciang Sutit
telah tahu pihak lawan telah menyaru sebagai Pinceng."
Mendengar perkataan itu Bong Thian-gak menjadi gembira,
segera serunya, "Bagus sekali bila begitu, dengan demikian
kita pun tak usah menyampaikan kabar itu kepada Ho-tayhiap,
kalau tidak, entah berapa banyak tenaga dan waktu yang
harus kita butuhkan lagi?"
"Ko-sicu, Pinceng hendak minta bantuanmu, bersediakah
kau mengabulkannya?"
"Biar mati pun Wanpwe bersedia."
"Pinceng rasa Sicu tentu sudah mengerti, apa sebabnya aku
tak menampilkan diri untuk sementara waktu, cuma gedung
Bu-lim Bengcu saat ini berbahaya sekali, Pinceng kuatir Hohiantit
yang berada di situ sendirian tak mampu menghadapi
situasi yang semakin gawat, oleh karena itu Pinceng mohon
bantuan Sicu membantu mereka."
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak berkerut kening,
lalu ujarnya, "Wanpwe pernah bertempur melawan para
pendekar, Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau sekalian juga telah
mengenali wajah asliku, entah bantuan macam apakah yang
bisa Wanpwe berikan untuk Ho-tayhiap" Harap Taysu sudi
memberi petunjuk."
Ku-lo Hwesio termenung sebentar, kemudian ujarnya,
"Bantuan yang Pinceng harapkan dari Ko-sicu adalah
membantu Ho Put-ciang Hiantit membekuk Sam-kaucu."
138 "Mengapa Sinceng tidak langsung mengambil tindakan
saja?" Kembali Ku-lo Hwesio menghela napas, "Gerak-gerik Putgwa-
cin-kau dalam Bu-lim amat rahasia, hingga saat ini bahan
yang berhasil Pinceng kumpulkan tentang perkumpulan ini
masih sedikit, oleh sebab itu Lolap dan Ho-hiantit telah
memutuskan untuk sementara jangan menggebuk rumput
mengejutkan ular."
"Sam-kaucu yang menyusup ke dalam gedung Bu-lim
Bengcu saat ini telah melaksanakan siasat keji membunuh
para jago persilatan satu per satu, apabila orang semacam ini
dibiarkan mengendon terus di situ, kemungkinan besar akan
lebih banyak jago persilatan dalam gedung bengcu yang akan
menjadi korban."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Pinceng merasa serba
salah, ai, cepat atau lambat kita pasti akan bentrok juga
secara kekerasan dengan pihak Put-gwa-cin-kau, tapi yang
membikin Pinceng ngeri adalah tidak diketahuinya berapa
banyak mata-mata Put-gwa-cin-kau yang telah diselundupkan
ke berbagai perguruan dewasa ini, seandainya kita melakukan
suatu tindakan, mungkinkah pihak lawan akan segera
melancarkan pembantaian secara besar-besaran lewat matamata
mereka itu?"
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasakan pula
betapa gawatnya situasi yang mereka hadapi, tampaknya
kekuatan serta pengaruh Put-gwa-cin-kau telah menguasai
seluruh dunia persilatan dan mendesak umat persilatan, tak
heran sejak awal sampai akhir Ku-lo Hwesio selalu
menunjukkan sikap amat tegang dan serius.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak,
ujarnya kemudian dengan suara nyaring, "Taysu,
mengapa kita tidak mencoba membekuk salah seorang
anggota mereka, lalu disiksa agar mengungkapkan segala
persoalan yang ada?"
139 Ku-lo Hwesio menghela napas, "Pusat kekuatan dan
kekuasaan yang sebenarnya dari Put-gwa-cin-kau sebagian
besar terletak di tangan Kaucunya, hal ini tak akan
mengungkap banyak berita penting yang berguna untuk kita."
"Ah, betul! Mengapa Wanpwe tidak mencoba membekuk
Jit-kaucu saja?"
Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang kali, "Jit-kaucu
memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat,
lebih baik Ko-sicu tak usah mengusik dirinya."
"Jit-kaucu sangat telengas, membunuh tanpa berkedip, bila
perempuan itu tidak dibasmi, dunia persilatan tak akan bisa
tenang." "Ko-sicu, aku minta kau jangan bertindak secara gegabah,"
ucap Ku-lo Hwesio. "Bukan Pinceng sengaja mengagulkan
lawan dengan merendahkan kegagahan sendiri, tapi hingga
kini sudah ada puluhan jago lihai persilatan yang tewas oleh
pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang, delapan tahun lalu Pinceng
telah merasakan empat kali pukulannya dan harus berbaring
selama bertahun-tahun, hingga kini pun penyakit itu belum
sembuh seratus persen, oleh sebab itu Pinceng anjurkan
kepada Sicu, lebih baik jangan terlalu menuruti emosi sendiri."
Dengan perasaan apa boleh buat Bong Thian-gak menghela
napas panjang, "Ya sudahlah, kalau begitu Wanpwe akan
melaksanakan seperti apa yang Taysu perintahkan."
Ku-lo Hwesio berkata, "Ko-sicu, Pinceng telah berkeputusan
untuk turun tangan lebih dahulu terhadap Sam-kaucu, harus
diketahui, kita tak boleh mengorbankan lebih banyak jago
persilatan lagi di tangannya!"
Dengan berseri Bong Thian-gak bertepuk tangan
kegirangan, "Keputusan ini memang paling bagus, penyaruan
Sam-kaucu atas diri Sinceng boleh dibilang demikian miripnya
sehingga sukar dibedakan lagi mana yang asli dan mana yang
140 palsu, maka Sinceng pun dapat memanfaatkan peluang itu
untuk menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau."
Diam-diam Ku-lo Hwesio terkejut mendengar perkataan itu,
ujarnya kemudian sambil menghela napas, "Kecerdasan otak
Sicu sungguh mengagumkan, sebenarnya Pinceng telah
berkeputusan untuk melakukan tindakan ini, tapi berhubung
Ho-hiantit sekalian menolak, maka hingga malam baru bisa
dilakukan."
Tiba-tiba Bong Thian-gak merasa bahwa Ku-lo Hwesio
merupakan pemimpin pasukan penyergap dunia persilatan,
apabila dia sudah menyusup ke dalam barisan musuh, lalu
siapa yang akan memimpin pasukan" Apalagi menyusup ke
sarang harimau merupakan suatu tindakan yang berbahaya
sekali. Berpikir sampai di sini, dengan cemas Bong Thian-gak
berkata, "Taysu, aku rasa keputusan ini...."
Sebelum anak muda itu menyelesaikan perkataannya, Ku-lo
Hwesio telah menukas, "Ko-sicu tak usah ragu-ragu, Pinceng
sudah lama menyusun rencana dengan rapi untuk penyusupan
ke tubuh lawan, sedang mengenai tugas Pinceng selama ini
pun telah kuatur semuanya dengan rapi, yang paling penting
buat Ko-sicu adalah besok pukul lima sore harap kau datang di
pagoda Leng-im-po-tah yang terletak tiga li di tenggara kota
Kay-hong untuk bergabung dengan seorang pendekar lagi,
kemudian kita bersama-sama membasmi Sam-kaucu dari
muka bumi. Sekarang Pinceng masih ada urusan penting
lainnya untuk segera diselesaikan sehingga tak mungkin
memberi penjelasan lebih jauh."
"Baiklah, kita berpisah sampai di sini dulu, segala
sesuatunya besok harap Sicu bersedia menuruti perkataan
pendekar itu saja."
141 Selesai berkata Ku-lo Hwesio segera bangkit, tampaknya
persoalan sudah tak bisa ditunda-tunda lagi, dia mengebaskan
ujung bajunya dan melompat turun dari atas batu cadas.
"Wanpwe akan mengikuti petunjuk Locianpwe!" seru Bong
Thian-gak lantang, sementara Ku-lo Hwesio sudah pergi jauh.
Setelah menempuh perjalanan sehari penuh, Bong Thiangak
merasa lelah, maka malam itu dia menginap di dalam kota
Kay-hong, semalaman dilewatkan dengan tenang. Ketika
menjelang kentongan kelima, seperti apa yang dipesan Ku-lo
Hwesio, Bong Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya
menuju ke arah tenggara, setelah berjalan tiga-empat li, betul
juga ada sebuah pagoda yang tinggi menjulang ke angkasa, di
bawah sinar rembulan bangunan itu nampak megah dan
mentereng. Bong Thian-gak baru saja mendekati bukit kecil itu,
mendadak dari atas pagoda di samping kiri melayang turun
sesosok bayangan orang menyongsong kedatangannya,
kemudian menegur, "Apakah Ko-cuangsu?" '
"Betul, aku Ko Hong, siapakah saudara?"
Di bawah cahaya malam terlihat seorang pemuda
berdandan sastrawan, dia mengenakan pakaian berwarna
biru, memegang sebuah kipas di tangan kirinya dan bersikap
amat lembut, siapa menduga kalau pemuda sastrawan ini
sebenarnya merupakan seorang pendekar besar yang
menggetarkan sungai telaga"
Sastrawan berbaju biru itu memperhatikan Bong Thian-gak
beberapa kejap, lalu katanya, "Aku Thia Leng-juan, atas pesan
Ku-lo Sinceng khusus datang kemari untuk menanti
kedatangan Ko-cuangsu."
Begitu mendengar nama "Thia Leng-juan", timbul perasaan
hormat dalam hati Bong Thian-gak, buru-buru sahutnya
dengan hormat, "O, rupanya Im-ciu-tay-ji-hiap, sudah lama
142 kudengar nama besarmu, maaf bila kau menunggu terlampau
lama." Tay-ji-hiap (pendekar sastrawan) Thia Leng-juan dari kota
Im-ciu termasyhur belakangan ini, Bong Thian-gak sama sekali
tak menyangka dia seperti sastrawan lemah yang berusia tiga
puluh tahunan, namun merupakan seorang pendekar yang
disegani orang.
Thia Leng-juan menjura, kemudian katanya, "Ko-cuangsu
tak perlu sungkan, persoalan yang dipesankan Ku-lo Sinceng
tentunya telah Ko-heng pahami bukan?"
"Ya, aku siap menunggu perintah Thia-tayhiap."
"Ku-lo Sinceng berpesan agar kita bekerja sama dengan
Ho-tayhengcu untuk bersama-sama menaklukkan Sam-kaucu
Put-gwa-cin-kau, Ku-lo Sinceng juga berpesan agar gempuran
ini harus berhasil, tak boleh gagal, itulah sebabnya kita perlu
merundingkan suatu cara untuk menghadapi dirinya."
"Apakah Thia-tayhiap sudah mengatur persiapan?"
Im-ciu-tay-ji-hiap Thia Leng-juan mendongak memandang
cuaca, lalu katanya, "Menjelang tengah malam masih ada satu
jam, tak ada salahnya kita naik dahulu ke atas pagoda dan
berunding di sana, sambari berunding kita pun bisa
mengawasi gerak-gerik di sekeliling tempat itu dengan jelas."
"Ucapan Thia-tayhiap memang benar."
Seusai berkata, mereka berdua segera berjalan menuju ke
arah pagoda itu.
"Mari kita berada di sebelah kiri pagoda saja," ajak Thia


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leng-juan kemudian. Selesai berkata dia melompat naik ke
atas lebih dahulu.
Lompatannya mencapai empat depa tingginya, lalu tampak
Thia Leng-juan berjumpalitan sekali dan tangan kanan
menekan di atas atap rumah pagoda tingkat empat.
143 Dengan meminjam tenaga tekanan itulah tubuhnya
seenteng bulu melayang kembali tiga depa dan melayang
turun pada tingkat teratas.
Demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna
itu segera menimbulkan rasa kagum Bong Thian-gak, dengan
cepat dia ikut menyusul dari belakang, namun naik setingkat
demi setingkat.
Gerakan tubuh yang digunakan pemuda itu dilakukan
dengan kecepatan luar biasa, hanya dalam beberapa kejap
saja Bong Thian-gak pun sudah tiba pula di puncak pagoda
itu. Thia Leng-juan agak tertegun melihat kepandaiannya itu
sehingga tanpa terasa tegurnya, "Ko-heng, apakah ilmu
meringankan tubuh yang kau gunakan itu adalah Im-ti-peng
(Lari di awan)?"
Bong Thian-gak tersenyum, "Masih selisih jauh, belum
berhasil mencapai ilmu lari di awan, harap Thia-tayhiap jangan
menertawakan."
Walaupun dari Ku-lo Sinceng Thia Leng-juan sudah
mendengar ilmu silat Bong Thian-gak lihai sekali, tapi waktu
berjumpa dengan Bong Thian-gak untuk pertama kalinya tadi,
sedikit banyak timbul juga rasa tak percaya di dalam hatinya.
Tapi sekarang setelah menyaksikan dia mengeluarkan ilmu
meringankan tubuh yang bergitu hebat, baru ia terperanjat.
"Ternyata pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian
amat tangguh," dia berpikir. "Sudah jelas ilmu Im-ti-peng yang
digunakan barusan sudah mencapai tingkatan yang amat
sempurna, dari tingkatan ilmu meringankan tubuhnya itu
seandainya dia mau melompat, mungkin sekali lompat saja
dapat mencapai ketinggian empat depa!"
144 Berpikir sampai di situ, dia lantas berkata sambil tertawa
ringan, "Ko-heng bisa merahasiakan kelihaian, sungguh luar
biasa, tampaknya Ku-lo Sinceng memang tak salah memilih."
"Pujian Thia-tayhiap benar-benar membuat aku malu
sendiri." Thia Leng-juan tertawa. "Ko-heng, mari kita duduk di atas
wuwungan saja," ajaknya kemudian.
Mereka berdua pun duduk saling berhadapan.
"Thia-tayhiap," ujar Bong Thian-gak kemudian, "Sam-kaucu
adalah seorang licik bagai rase, seandainya dia mengetahui
titik kelemahan dalam rencana kita ini, mungkin dia tidak
datang bersama Ho-bengcu, apa yang harus kita lakukan?"
"Rencana untuk menyingkirkan Sam-kaucu merupakan
rencana yang ditetapkan Ku-lo Sinceng semalam, hanya Hobengcu,
Ko-heng dan aku saja yang mengetahui rencana ini,
jadi aku pikir tak mungkin rahasia ini bocor, Ho-bengcu sendiri
pun tak mungkin membocorkan rahasia itu, jadi menurut
pendapatku, yang perlu kita kuatirkan sekarang adalah
seandainya Sam-kaucu berhasil meloloskan diri dari kepungan
dan melarikan diri."
"Walaupun ilmu silat Sam-kaucu sangat lihai, namun Hobengcu
sendiri pun bukan orang sembarangan, apalagi
dibantu Thia-tayhiap, aku pikir sekali pun musuh adalah
makhluk berkepala tiga berlengan enam belum tentu sanggup
mempertahankan diri."
Thia Leng-juan manggut-manggut, ujarnya pula, "Ya,
semoga saja sesuatunya berjalan lancar, kalau tidak, entah
bagaimana akibatnya"
Cuma untuk menjaga segala hal yang tidak diinginkan, kita
perlu merundingkan sesuatu rencana yang matang untuk
menghadapi lawan."
145 "Ya, memang seharusnya begitu," Bong Thian-gak
mengangguk. Thia Leng-juan termenung beberapa saat, ujarnya kembali,
"Sebentar bila Ho-bengcu dan Sam-kaucu tiba di pagoda
Leng-im-po-tah nanti, Ho-bengcu akan membuka kartu Samkaucu
dan membongkar rahasia lawan, maka pertarungan
pasti segara berkobar, seandainya Ho-bengcu tidak sanggup
mempertahankan diri, saat itulah aku akan terjun ke dalam
arena untuk bersama-sama mengembut Sam-kaucu, sedang
Ko-heng bertanggung jawab menghadang musuh yang
mencoba melarikan diri, atau seandainya aku dan Ho-bengcu
tidak sanggup mempertahankan diri dari gempuran lawan,
harap Ko-heng segera tampil dan ikut terjun ke dalam
pengerubutan itu."
"Thia-tayhiap, aku ingin bertukar tugas dengan dirimu,
apakah kau bersedia?"
"Ya, begitu pun boleh juga."
"Bila Sam-kaucu sudah sampai di sini nanti, aku ingin
segera muncul dan bertarung dengannya jauh sebelum Hobengcu
bertarung lebih dahulu dengannya, karena Ho Putciang
adalah seorang Bengcu dunia persilatan, tidak baik jika
dia dibiarkan bertempur begitu saja."
Thia Leng-juan memanggut, "Perkataan Ko-heng memang
benar, cuma hal ini akan merepotkan dirimu!"
Bong Thian-gak tersenyum, "Aku ada dendam kesumat
sedalam lautan dengan Put-gwa-cin-kau, merupakan musuh
besarku pula, maka aku telah bertekad membasmi mereka
sampai ke akar-akarnya."
"Ko-heng, sekarang harap kau periksa dulu sekeliling
tempat ini, kemudian pilihlah tempat untuk menyembunyikan
diri, sampai saat ini waktu yang dijanjikan tinggal tiga
perempat jam saja."
146 "Menurut pendapatku, Thia-tayhiap lebih baik berjaga di
sini saja, perlu diketahui, seandainya Sam-kaucu melarikan
diri, kemungkinan besar dia akan memilih ruang kosong, maka
andaikata dia kabur menuju ke arah tiga bagian dari pagoda
lainnya, aku akan mencegatnya dari sebelah kanan pagoda,
kita perlu berebut waktu dengannya."
Thia Leng-juan memanggut, "Penjelasan Ko-heng memang
tepat, aku yakin Sam-kaucu tak akan bisa lolos dari
cengkeraman kita."
"Sekarang saatnya sudah hampir tiba, mumpung mereka
belum datang, aku harus bersembunyi dulu di sebelah kanan
pagoda daripada Sam-kaucu melihat jejak kita dari kejauhan."
Selesai berkata dia lantas melompat turun dan
menggelinding ke arah belakang, kemudian bergerak menuju
ke sebelah kanan pagoda dan duduk bersila di balik kegelapan
di depan pagoda itu.
Thia Leng-juan yang berada di atas secara lamat-lamat
dapat menyaksikan bayangan tubuh Bong Thian-gak.
Sementara itu suasana di sekeliling tempat itu amat sepi,
malam itu tiada rembulan, hanya bintang yang bertaburan di
angkasa, seluruh jagad hanya dikilapi oleh setitik sinar.
Walaupun waktu bergerak amat lambat, akhirnya tengah
malam menjelang juga.
Mendadak Bong Thian-gak mendengar ada suara orang
berjalan di atas tanah di kejauhan sana.
Dengan cepat dia membuka mata, tak lama kemudian dari
depan pintu pagoda muncul dua sosok bayangan orang.
Orang yang berada di sebelah depan mengenakan jubah
berwarna abu-abu dengan sebuah tasbih tergantung di depan
dada, tangan kanan menggenggam sebuah kebutan.
147 Tak bisa disangkal lagi, dia adalah Sam-kaucu Put-gwa-cinkau
yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio.
Di belakangnya mengikut seorang lelaki setengah umur
yang berbadan kekar, Bong Thian-gak dapat mengenali
sebagai Toa-suhengnya, si Busur raja lalim Ho Put-ciang.
Tampaknya Ho Put-ciang sudah menyusun suatu rencana
yang masak, maka begitu masuk ke dalam pintu, dia segera
memperlambat gerak tubuhnya untuk mencegat jalan pergi
Hwesio gadungan itu.
Ternyata Sam-kaucu cukup cekatan, setelah maju beberapa
langkah, mendadak dia berhenti sambari membalik tubuh, lalu
menegur, "Ho-hiantit, ada urusan apa kau mengajak Pinceng
kemari?" Sebelum Ho Put-ciang sempat menjawab, dengan cepat
Bong Thian-gak melompat ke arah mereka, sahutnya, "Hobengcu
sengaja mengajakmu kemari untuk bertemu
denganku."
Ketika selesai berkata, Bong Thian-gak sudah berada
beberapa kaki saja di hadapan Sam-kaucu.
Sam-kaucu yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio nampak
agak tertegun, kemudian serunya, "Oh, rupanya Ko-sicu,
Pinceng dan Ho-bengcu memang sedang mencarimu."
Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Samkaucu
kau tak usah berlagak sok alim lagi, Ku-lo Taysu dari
Siau-lim-si belum wafat, malam ini ada baiknya kalau kau
memperlihatkan wajah aslimu, daripada harus merasakan
siksaan hidup."
Beberapa patah perkataannya membuat paras muka Samkaucu
berubah hebat, tanpa terasa dia berpaling dan
memandang sekejap ke arah Ho Put-ciang, dengan cepat dia
merasa gelagat tak menguntungkan.
148 Walaupun begitu, dia masih bersikap tenang, katanya
dengan suara lembut, "Ko Hong apa kau katakan" Pinceng
sedikit pun tidak mengerti...."
"Sam-kaucu," saat itulah Ho Put-ciang buka suara. "Asal
kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan, kami pun
belum tentu akan membunuhmu, tentang penyaruanmu
sebagai Ku-lo Sinceng, sudah lama aku orang she Ho
mengetahuinya."
Sekarang Sam-kaucu sadar bahwa rahasianya sudah
terbongkar dan kini terperangkap dalam jebakan orang.
Tapi nampaknya dia sama sekali tidak memandang sebelah
mata terhadap dua jago lihai yang berada di hadapannya
sekarang, dengan tenang dia tertawa seram, "Hehehe, bagus
sekali!" "Aku tahu, cepat atau lambat akhirnya kita bakal bentrok
juga, Kaucu memang ditugaskan untuk memusnahkan
persekutuan dunia persilatan, untuk mewujudkan tugasku ini,
terpaksa harus menghabisi pemimpinnya lebih dahulu."
"Sam-kaucu, dengar baik-baik, siapa Cong-kaucu Put-gwacin-
kau?" bentak Ho Put-ciang dengan suara kereng.
Sam-kaucu tertawa seram, "Tanyakan sendiri kepada raja
akhirat, dia pasti akan memberitahukan semua itu kepadamu."
Ho Put-ciang kembali mengerut dahi, "Urusan sudah begini,
apakah kau masih tetap belum sadar" Malam ini kami sengaja
membuka kartu, karena kami telah bertekad akan
membinasakan kau, tak nanti kami izinkan kau melarikan diri,
bila kau bersedia bekerja sama, mungkin aku masih dapat
mempertimbangkan mengampuni jiwamu."
"Hm, hanya mengandalkan kekuatan kalian berdua?"
jengek Sam-kaucu sinis. "Aku rasa kemampuan kalian masih
belum cukup untuk mengendalikan gerak-gerik serta
kebebasanku."
149 Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
mana, mana, tak ada salahnya kita mencoba kemampuan
masing-masing."
Sementara itu sepasang mata Sam-kaucu yang tajam
memandang sekejap ke empat penjuru dengan cepat, dari
perubahan wajahnya jelas dia tidak berhasil menemukan
bayangan orang lain.
Sekali lagi Ho Put-ciang membentak dengan suara keras,
"Siapa Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau" Ayo cepat jawab."
"Bila kalian mengetahui namanya berarti kalian tak bisa
hidup melewati kentongan kelima, lebih baik tak usah
disebut," jawab Sam-kaucu hambar.
Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hehehe, aku justru tidak
percaya dengan segala takhayul, ayo katakan saja!"
Dengan sepasang matanya yang tajam, Sam-kaucu
memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya,
"Dasar ilmu silat yang kau miliki amat sempurna, sebenarnya
Kaucu pun bermaksud mengajakmu bergabung dengan
perkumpulan kami dan memangku kedudukan tinggi, sekarang
kau masih punya waktu untuk mempertimbangkan tawaranku
ini, jangan kau sia-siakan kesempatan baik ini."
Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
semalam aku sudah mengetahui hal ini dari mulut seorang
pelindung hukum Sam-kaucu, Jit-kaucu juga telah
menyinggung masalah itu kepadaku, tapi aku menampik
tawaran ini, karena aku ingin mengetahui siapa orang yang
berhak memerintah diriku."
Paras muka Sam-kaucu segera berubah menjadi dingin dan
kaku, katanya kemudian, "Tampaknya banyak rahasia
perkumpulan kami yang telah kau ketahui, bila kau tidak
bersedia bergabung dengan kami, berarti hanya ada jalan
kematian untukmu."
150 "Mengapa kau tidak menguatirkan keselamatanmu sendiri?"
"Tidak sampai setengah jam, wilayah seluas sepuluh li di
sekitar sini akan dipenuhi oleh anak murid perkumpulan kami,
mereka akan mengepung tempat ini secara berlapis-lapis,
coba bayangkan, bagaimana caranya kalian meloloskan diri?"
Ketika mendengar ucapan itu, Ho Put-ciang berkerut
kening, lalu tegurnya, "Apakah kau tidak berbohong?"
Sam-kaucu tertawa, "Tentu saja bukan gertak sambal."
"Ho-tayhiap, jangan kau percayai perkataannya itu," Bong
Thian-gak berseru lantang.
Sam-kaucu terbahak-bahak, "Hahaha, niat untuk berjagajaga
tak boleh tiada. Ketika aku dan Ho-heng datang kemari
tadi, jejak kita sudah dibuntuti anak buah kami secara diamdiam,
oleh karena itu kedatanganku ke tempat ini pun tak
pernah lolos dari pengamatan mereka. Di sinilah kelebihan
Put-gwa-cin-kau, juga kekurangan Put-gwa-cin-kau kami."
"Kelebihan dan kekurangan" Apa maksudmu?" tanya Bong
Thian-gak tertegun.
"Kelebihannya adalah dapat berkomunikasi terus secara


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utuh dan tiada putus-putusnya, setiap saat kami bisa
mengadakan kontak secara terus-menerus, dapat pula
berjaga-jaga agar tidak terperangkap ke dalam jebakan
musuh. Kekurangannya adalah tidak adanya perasaan saling
percaya mempercayai antara segenap anggota Put-gwa-cinkau,
sehingga mereka harus saling awas-mengawasi."
Bong Thian-gak tersenyum, "Put-gwa-cin-kau
menggunakan nama Put-gwa atau tiada aku, artinya setiap
orang yang bergabung dalam perkumpulan ini, dia harus
mempersembahan jiwa dan raganya untuk perkumpulan
sehingga mencapai keadaan 'Tanpa aku' (Put-gwa). Tapi
sekarang kau berani melancarkan kritik terhadap prinsip
perkumpulan, hal ini membuktikan kau merasa tak puas
151 dengan keadaan itu, kalau memang begitu mengapa kau tak
memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan jalan
sesat dan kembali ke jalan benar?"
Mendengar ucapan itu, paras muka Sam-kaucu berubah
hebat. "Tutup mulut!" bentaknya keras. "Kini kedudukanku adalah
Sam-kaucu dalam Put-gwa-cin-kau, kedudukanku amat tinggi
dan menguasai segenap jago persilatan, kekuasaanku hanya
di bawah satu orang tapi di alas laksaan orang, aku pun
memegang hak hidup banyak orang, siapa hilang aku tidak
puas?" "Bila demikian, terpaksa kami harus turun tangan."
Selesai berkata, Bong Thian-gak segera turun tangan,
sepasang telapak tangannya secepat kilat meluncur ke depan
melepas pukulan dahsyat.
Dimana serangan ini dilepaskan, segulung angin tajam
yang menggiriskan dengan membawa deru angin yang
mengerikan, bagaikan amukan gelombang dahsyat segera
meluncur dan menyapu ke tubuh lawan.
Serangan Bong Thian-gak dilancarkan secepat sambaran
petir, bahkan sebelumnya tidak pernah memperlihatkan suatu
gejala apa pun, bagaimana pun lihai dan liciknya Sam-kaucu,
tidak urung dibikin kelabakan juga oleh datangnya ancaman
itu. Menanti Sam-kaucu menyadari datangnya bahaya, angin
pukulan yang kuat bagaikan baja itu secepat petir sudah
menekan tiba. Menghadapi situasi seperti ini, terpaksa dia harus
menyambut datangnya ancaman itu dengan keras lawan
keras. 152 Diiringi suara bentakan nyaring, Sam-kaucu segera
merangkap sepasang telapak tangannya di depan dada,
kemudian bersama-sama dilontarkan ke depan.
Suara ledakan keras yang memekakkan telinga
berkumandang memecah keheningan.
Tubuh Sam-kaucu mencelat ke tengah udara melewati
kepala Bong Thian-gak dan seperti seekor burung bangau
langsung kabur ke atas pagoda.
Tampak Bong Thian-gak seperti sudah menduga pihak
lawan akan memanfaatkan datangnya angin pukulan itu untuk
melejit ke tengah udara dan melarikan diri.
Entah sedari kapan, tahu-tahu dalam genggaman Bong
Thian-gak telah bertambah dengan sebilah pedang yang
memancarkan cahaya tajam berkilauan.
Tampak cahaya pelangi hawa pedang secepat petir
mengejar ke atas, lalu diiringi suara dentingan nyaring
terciptalah beribu bayangan pedang yang segera menyebar ke
empat penjuru. Terkurung oleh cahaya pedang itu, tubuh Sam-kaucu yang
sedang melejit ke udara itu segera berputar balik dan
melayang turun ke bawah.
Cahaya pelangi segera sirap dan Bong Thian-gak dengan
pedang terhunus sudah menghadang di depan Sam-kaucu.
Paras muka Sam-kaucu kini diliputi perasaan kaget
bercampur tercengang, sepasang matanya tanpa berkedip
mengawasi wajah Bong Thian-gak, mungkin keampuhan dan
kelihaian ilmu silat Bong Thian-gak sama sekali di luar
dugaannya. Selama hidup belum pernah dia menjumpai suasana
tegang, seram dan terancam keselamatan jiwanya seperti apa
yang dialaminya hari ini.
153 Semenjak gempuran kekerasan itu disambut dengan keras
lawan keras, dia sadar tenaga dalam musuh masih tiga bagian
lebih tangguh daripada kemampuan sendiri, terutama
serangan pedangnya yang amat lihai itu, kalau tadi dia tidak
berkelit dengan cepat, niscaya dia sudah keok sejak tadi.
Bukan itu saja, di situ masih hadir Ho Put-ciang yang sudah
diketahui ketangguhan ilmu silatnya.
Bagaimana caranya meloloskan diri dari situasi yang
berbahaya ini"
Berbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya.
Tentu saja Bong Thian-gak tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk berpikir, kembali dia bergerak melancarkan
serangan dahsyat.
Pelan-pelan pedangnya digetarkan, lalu ditujukan ke arah
jalan darah Sim-kan-hiat di tubuh Sam-kaucu.
Sepintas serangan pedang itu nampaknya amat sederhana
dan seakan-akan tidak disertai tenaga, padahal di balik semua
itu tersimpan suatu perubahan jurus yang amat jahat,
perubahan yang tak terhingga banyaknya.
Sam-kaucu bukan manusia sembarangan, tentu saja dia
tahu ancaman itu amat serius, maka setelah menyaksikan
gerakan itu, dia segera berdiri kaku sambil bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Melihat musuh tidak terpancing oleh jurus pedangnya,
maka dia lantas mengubah gerakan dan melepaskan tusukan
secepat kilat. Hawa tajam memancar ke depan, bayangan orang
berkelebat, yahu-tahu Sam-kaucu itu sudah meloloskan diri
dari ancaman lawan.
Bong Thian-gak memang memiliki ilmu silat yang
mengerikan, begitu jurus serangan dilancarkan, semua
154 dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, di
antara perputaran pergelangan tangannya, hawa pedang
menderu-deru, ia melancarkan serangkaian serangan ke atas
maupun ke bawah.
Sam-kaucu yang kena didahului lawan jangankan
melancarkan serangan balasan, untuk menghindarkan diri dari
babatan pedang musuh pun sulit bukan kepalang.
Tampak dia merangkap telapak tangan di depan dada, lalu
menggenggam tasbih di lehernya, berkelit ke kiri menghindar
ke kanan, secara beruntun dia sudah meloloskan diri dari
ketiga belas jurus serangan pedang Bong Thian-gak.
Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah bergebrak
belasan jurus, hal ini membuat Ho Put-ciang dan pendekar
sastrawan Thia Leng-juan yang bersembunyi di balik pagoda
merasa terperanjat.
Mereka berdua merasa kelihaian ilmu pedang Bong Thiangak
pada hakikatnya sudah mencapai tingkatan yang luar
biasa, sebaliknya Sam-kaucu pun merupakan musuh tangguh
yang tak boleh dianggap remeh.
Sementara kedua orang masih bertarung dengan serunya,
dari sisi pinggangnya Ho Put-ciang telah melolos busur besi
baja andalannya, bersiap menghadapi segala kemungkinan
yang tak diinginkan.
Tatkala dia menyaksikan ketujuh belas jurus serangan
pedang Bong Thian-gak semuanya mengenai sasaran kosong,
tanpa terasa ia berteriak nyaring, "Ko-siauhiap, apakah kau
memerlukan bantuan?"
Ho Put-ciang kuatir Bong Thian-gak tak senang bila dibantu
orang, maka hingga kini dia belum turun tangan.
Mendengar seruan itu, Bong Thian-gak segera menyahut
dengan suara lantang, "Ho-bengcu, silakan turun tangan, kita
155 harus berlomba dengan waktu menyelesaikan pertarungan ini
secepat mungkin."
Menggunakan kesempatan di saat Bong Thian-gak bicara
hingga pikirannya bercabang, Sam-kaucu tertawa seram,
tasbihnya diayunkan ke depan.
Seratus delapan biji tasbih bagai peluru besi segera
berhamburan di angkasa dan bersama-sama menyambar ke
tubuh Bong Thian-gak.
Serangan senjata rahasia yang amat dahsyat itu benarbenar
luar biasa, betapa pun lihai ilmu silat seseorang, sulit
rasanya untuk menghindarkan diri dari sergapan seratus delapan biji
tasbih yang dilepaskan dari jarak dekat.
Tak terlukiskan rasa kaget Ho Put-ciang melihat keadaan
itu, segera teriaknya, "Ko-siauhiap ...."
Selanjutnya dia membungkam, namun panah baja tanpa
bulu yang sudah disiapkan di busurnya serentak dibidikkan ke
depan. Busur Pa-ong-cian Ho Put-ciang termasyhur di kolong langit
sebagai salah satu kepandaian yang tangguh di dunia ini,
begitu panah dibidikkan, sulit bagi orang menangkap
bayangannya, kecepatannya pun sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Begitu melepaskan serangan biji tasbih tadi, Sam-kaucu
mengegos ke sebelah kanan dengan gerakan cepat, tapi
kelitannya itu belum berhasil juga meloloskan diri dari
ancaman Pa-ong-cian Ho Put-ciang.
Dengusan tertahan segera berkumandang memecah
keheningan, panah baja tanpa bulu yang kuat itu menyambar
pinggang sebelah kiri Sam-kaucu hingga tembus pinggang
bagian depan, darah segar segera menyembur membasahi
seluruh jubahnya.
156 Kendati bidikan panah itu tidak mengenai bagian tubuh
yang mematikan, namun cukup membuat Sam-kaucu terluka
parah. Di saat Sam-kaucu mendengus tertahan itulah bahu kiri
Bong Thian-gak juga kena terhajar oleh dua biji tasbih
sehingga tembus ke dalam, darah muncrat, pedang di tangan
kanannya juga kena terhajar liga biji tasbih hingga terlepas
dan mencelat jauh.
Menyaksikan Bong Thian-gak terancam bahaya maut, buruburu
Ho Put-ciang berseru, "Ko-siauhiap, bagaimana keadaan
lukamu?" "Ho-bengcu, aku tidak apa-apa, cepat halangi musuh
melarikan diri," bentak Bong Thian-gak cepat.
Ternyata pada saat itulah Sam-kaucu sudah melejit ke
tengah udara, lantas kabur menuju ke arah sebelah kiri
pagoda. Pada saat itulah Thia Leng-juan yang bersembunyi di
sebelah kiri pagoda segera berpekik nyaring, secepat kilat dia
menerjang turun ke bawah dan menyongsong kedatangan
Sam-kaucu. Mimpi pun Sam-kaucu tidak menyangka seorang musuh
tangguh bersembunyi di atas pagoda, padahal tadi ia sudah
memperhatikan ke.idaan sekeliling tempat itu, maka di saat
keselamatan jiwanya terancam, terpaksa dia harus
melancarkan serangan sekuat tenaga.
Tampak Sam-kaucu meletik di tengah udara, kemudian
sepasang telapak tangannya didorong ke depan melepaskan
pula dua pukulan maha dahsyat.
Empat gulung angin pukulan maha dahsyat diiringi suara
ledakan yang memekakkan telinga saling bentur.
157 Untuk kedua kalinya Sam-kaucu mendengus tertahan,
tubuhnya bagai layang-layang putus benang meluncur ke
bawah dengan kecepatan tinggi.
Sebaliknya Thia Leng-juan sendiri pun merasa hawa darah
di dalam dada bergolak keras akibat benturan yang maha
dahsyat itu, tanpa terasa dia berjumpalitan beberapa kali di
tengah udara. Ketika tubuh Sam-kaucu terjun ke bawah tadi, ternyata
sepasang kakinya masih sempat mencapai tanah dengan
mantap. Wajahnya menyeringai seram sekali, darah menodai
ujung bibirnya, sepasang matanya merah membara, dengan
penuh gusar dia melotot ke arah Ho Put-ciang dan Bong
Thian-gak yang mulai mengurungnya dari sisi kiri dan kanan.
Sementara itu Thia Leng-juan juga telah melayang turun,
dia mengambil posisi di belakang Sam-kaucu.
Agaknya Sam-kaucu menyadari jiwanya terancam mara
bahaya, bagaimana pun tangguhnya dia, jangan harap bisa
lolos dari gencetan dan kerubutan tiga orang jago lihai
sekaligus. Tiba-tiba ia mendongakkan kepala, lalu memperdengarkan
suara gelak tertawa keras yang memekakkan telinga, suara
tawanya itu amat tak sedap didengar, bagai lolongan srigala di
tengah malam buta.
Dengan suatu gerakan yang amat cepat Sam-kaucu melejit
ke tengah udara, lalu secara ganas menerjang ke arah Bong
Thian-gak. Rupanya dia berpendapat Bong Thian-gak sudah terhajar
oleh tasbihnya, berarti dia adalah kunci terlemah di antara
ketiga orang itu, maka sekali pun dia harus binasa hari ini,
paling tidak dia pun harus membunuh salah seorang lawan
untuk mendapatkan kembali modalnya.
158 Itulah sebabnya terjangannya terhadap Bong Thian-gak
boleh dibilang dilakukan dengan ganas dan luar biasa.
Tampaknya Ho Put-ciang sudah menduga sejak tadi bahwa
Sam-kaucu bakal menerjang ke arah Bong Thian-gak, oleh
sebab itu baru saja pihak lawan menggerakkan tubuh, kembali
Ho Put-ciang menggetarkan busur bajanya dan melakukan
babatan melintang ke depan.
Walau Sam-kaucu menyerang seperti banteng terluka,
melihat datangnya busur baja yang begitu kuat dan dahsyat,
sepasang telapak tangannya segera dibalikkan, lalu
mencengkeram busur baja itu.
"Pletaak", iga kiri Sam-kaucu kena terhajar oleh sapuan
dahsyat busur baja Ho Put-ciang hingga patah sepotong.


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu Sam-kaucu melancarkan serangan balasan
yang mematikan, telapak tangan kanannya bagaikan seekor
ular sakti langsung membacok ke dada sebelah kiri Ho Putciang.
Segulung tenaga pukulan tak berwujud menggetarkan
tangan Ho Put-ciang sehingga busur besinya terlepas dan
badannya terlempar.
Begitu berhasil mendesak mundur Ho Put-ciang, dengan
langkah lebar Sam-kaucu segera menerjang ke arah Bong
Thian-gak, sepasang lelapak tangannya disilangkan ke depan
dan memancarkan berlapis-lapis angin puyuh disertai
kekuatan dahsyat menerjang ke arah depan.
Bong Thian-gak terkesiap menyaksikan jurus serangan
mengadu |iwa yang digunakan Sam-kaucu, tapi Bong Thiangak
yang pada dasarnya keras kepala tak sudi menyerah
begitu saja. Dia tahu musuh sudah nekat dan ancamannya tak boleh
disambut dengan kekerasan, namun dia bukannya berkelit,
sebaliknya malah memutar sepasang telapak tangannya
159 membentuk satu jalur sinar herbentuk busur, lalu
menyongsong datangnya ancaman itu.
Benturan keras lawan ini tampaknya merupakan saat paling
sial bagi Sam-kaucu.
Keunggulan Bong Thian-gak justru terletak pada permainan
telapak tangannya, apalagi serangan itu dilepaskan dengan
tenaga pukulan maha dahsyat, pada hakikatnya bagaikan
amukan gelombang dahsyat di tengah samudra yang sedang
dilanda angin puyuh.
Dalam bentrokan keras yang pertama ini kedua belah pihak
sama-sama tetap berdiri tegak tanpa berkutik.
Tatkala benturan keras terjadi untuk kedua kalinya, kedua
belah pihak sama-sama mundur tiga langkah.
Ketika untuk ketiga kalinya mereka akan beradu kekuatan.
Mendadak Sam-kaucu menyilangkan tangan kiri dan
kanannya membentuk gerakan salib, lalu pelan-pelan didorong
ke depan. Sebaliknya Bong Thian-gak membentak keras, tangan
kanannya setengah mengepal seperti bacokan seperti juga
pukulan langsung diayun ke depan.
Dengusan tertahan bergema, dengan tubuh sempoyongan
Bong Thian-gak mundur lima langkah, mukanya pucat,
tubuhnya langsung jatuh terduduk di atas tanah.
Sebaliknya Sam-kaucu masih tetap berdiri tegak, sepasang
telapak tangannya yang membuat gerakan salib masih belum
sempat ditarik, sementara sepasang matanya melotot bulat
seperti mata kerbau.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan
kejadian ini bersama-sama membentak keras, lalu serentak
menubruk ke muka, bekerja sama menyerang Sam-kaucu.
160 Siapa tahu baru saja tubuh mereka menerjang ke depan
dan belum lagi melancarkan serangan, tubuh Sam-kaucu yang
masih berdiri tegak tak berkutik itu tahu-tahu roboh terjungkal
ke tanah dalam posisi kaku.
Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan baru sempat
melihat noda darah yang membasahi wajah, kulit dan lengan
Sam-kaucu, darah kental seakan memancar keluar dari beriburibu
pori kulit badannya.
Kenyataan ini kontan membuat kedua orang itu tertegun,
siapa pun tidak menyangka Sam-kaucu menemui ajal di
tangan Bong Thian-gak dalam bentrokan yang terakhir tadi.
Kepandaian silat apakah yang telah dipergunakan Bong
Thian-gak dalam melancarkan serangannya itu" Mengapa dia
bisa menghajar tubuh Sam-kaucu hingga darah segar
memancar dari pori-pori badannya"
Walaupun pertempuran sengit telah berhenti, tapi
keseraman pertarungan itu menggidikkan hati, kenekatan dan
keberanian Sam-kaucu bertarung sampai titik darah
penghabisan membuat hati mereka menciut.
Akhirnya suara helaan napas panjang berkumandang
memecah keheningan, pelan-pelan Ho Put-ciang berjalan ke
hadapan Bong Thian-gak, kemudian sambil menjura dalamdalam
ia berkata, "Hari ini seandainya tiada bantuan Kosiauhiap
yang berilmu tinggi, mungkin tak akan mudah bagi
kami untuk membereskan nyawa Sam-kaucu, aku orang she
Ho benar-benar sangat berterima kasih atas bantuan ini.
Entah bagaimana dengan keadaan luka Ko-siauhiap?"
Walaupun paras muka Bong Thian-gak pada saat ini pucatpias
seperti mayat, tapi dengan cepat dia melompat bangun,
kemudian balas memberi hormat.
"Ho-bengcu, harap kau jangan berkata begitu," serunya.
"Ai ... sungguh tak pernah kusangka Sam-kaucu Put-gwa-cinkau
ternyata begini perkasa, seandainya hari ini tiada bantuan
161 Ho-bengcu dan Thia-tayhiap, tak mungkin bagiku bisa
menandingi keampuhannya."
Ucapan itu segera membuat paras muka semua orang
berubah serius, kemurungan dan kesedihan pun menyelimuti
wajah mereka. Keperkasaan Sam-kaucu telah mereka saksikan dengan
mata kepala sendiri, kalau Sam-kaucu saja begini tangguh,
dapat dibayangkan bagaimana tangguhnya Kaucu-kaucu lain,
hal ini merupakan ancaman serius bagi keamanan serta
keselamatan dunia persilatan.
Thia Leng-juan tertawa getir, kemudian katanya, "Akhirnya
rencana kita pada hari ini berhasil dilaksanakan dengan
sukses, apakah Ho-bengcu menghendaki kepunahan jenazah
Sam-kaucu?"
"Ya, tolong Thia-heng suka mengerjakannya."
Dari dalam saku Thia Leng-juan mengeluarkan sebuah
botol kecil porselen putih, lalu membuka tutupnya dan
menaburkan sedikit bubuk hijau di atas mayat itu.
Baik Ho Put-ciang maupun Bong Thian-gak keduanya tahu
di Bu-lim terdapat semacam obat yang dinamakan Siau-kuthua-
si-san (Bubuk pelenyap tulang pelumat jenazah), maka
mereka tak memberikan reaksi apa-apa.
Setelah Thia Leng-juan menaburkan bubuk obat itu ke atas
jenazah itu, tak lama kemudian jenazah Sam-kaucu yang kaku
mulai melumat dan menyusut.
Mayat telah melumat menjadi segumpal darah, yang tersisa
hnggal kuku, rambut dan pakaian.
Kedahsyatan daya kerja obat itu benar-benar mengerikan.
Setelah melumerkan jenazah Sam-kaucu, Thia Leng-juan
segera membakar pakaian dan benda lainnya hingga tak
berbekas. 162 Thia Leng-juan menghela napas panjang, katanya,
"Sekarang Samkaucu sudah dimusnahkan, tapi kita belum
berhasil mengumpulkan sedikit pun bahan tentang Put-gwacin-
kau, apakah kita akan tetap melanjutkan rencana
menyelundupkan Ku-lo Locianpwe menggantikan kedudukan
Sam-kaucu?"
"Soal ini perlu kita pertimbangkan lagi masak-masak,"
jawab Ho Put-ciang dengan suara dalam, "Kini Ku-lo
Locianpwe sudah berada dalam gedung Bu-lim Bengcu, apa
salahnya kita berunding di sana?"
"Aku tidak setuju bila harus mengirim Ku-lo Locianpwe
memasuki Put-gwa-cin-kau, sebab tindakan semacam ini
terlampau berbahaya," tiba-tiba Bong Thian-gak berseru
dengan suara lantang.
"Mengapa Ko-heng tidak setuju?"
"Seandainya Ku-lo Locianpwe harus menyaru sebagai Samkaucu
dan menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau, maka
cepat atau lambat jejaknya tentu akan ketahuan, bisa jadi
jiwanya akan terancam malah, cuma kita boleh saja
membiarkan Sinceng berada dalam gedung untuk sementara
waktu, agar ia berhubungan terus dengan mata-mata musuh
yang menyelundup dalam gedung Bengcu, dengan demikian
kita bisa melanjutkan usaha menyingkirkan semua mata-mata
yang berada dalam gedung itu."
"Asal semua mata-mata dalam gedung Bu-lim Bengcu
berhasil dimusnahkan, kita pun boleh secara terang-terangan
menantang Put-gwa-cin-kau untuk menyelesaikan persoalan
secara kekerasan."
Ho Put-ciang manggut-manggut, "Pendapat Ko-siauhiap
memang bagus, kita memang harus bertindak lebih dulu,
cuma Ku-lo Locianpwe mengatakan, kita hanya sedikit tahu
hal yang ada sangkut-pautnya dengan Put-gwa-cin-kau,
seandainya Put-gwa-cin-kau segera menarik kekuatannya,
163 maka umat persilatan di daratan Tionggoan pun akan
kehilangan titik terang."
Bong Thian-gak tersenyum, "Rencana Put-gwa-cin-kau
menguasai dunia persilatan dan menteror umat persilatan
akan dipersiapkan dalam satu dua hari, tak mungkin mereka
menarik seluruh pasukannya hanya karena kematian Samkaucu
mereka yang diselundupkan ke dalam gedung Bengcu
sebagai mata-mata, menurut perhitunganku, justru karena
peristiwa ini Put-gwa-cin-kau akan mempercepat rencana
melakukan serangan secara terang-terangan."
"Apa yang diucapkan Ko-heng memang masuk akal," kata
Thia Leng-juan, "tapi menurut pendapatku, persoalan paling
penting yang harus kita lakukan sekarang adalah
membersihkan dulu gedung Bengcu dari unsur-unsur lawan
serta mata-mata yang sengaja diselundupkan ke pihak kita,
mari kita bergerak dulu ke persoalan itu."
Mendadak Ho Put-ciang seperti teringat akan sesuatu, dia
berseru tertahan, "Sebelum tewas Sam-kaucu telah berkata
bahwa anggota Put-gwa-cin-kau selalu menguntit di
belakangnya untuk memperoleh berita, entah ucapannya itu
benar atau tidak?"
"Tadi aku bersembunyi di atas pagoda, dari ketinggian aku
bisa memperhatikan semua gerakan di seputar tempat ini
dengan jelas, tadi aku tidak menjumpai adanya bayangan
orang di sekeliling tempat ini."
"Aku rasa apa yang dikatakan Sam-kaucu tadi tak lebih
hanya bermaksud mengulur waktu saja sambil mencari akal
untuk meloloskan diri, Ho-bengcu, buat apa kau terus
memikirkan persoalan itu?" kata Bong Thian-gak pula sambil
tertawa. "Orang-orang yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau
merupakan kawanan orang yang tangguh, tiada lubang yang
tak bisa mereka terobos, lagi pula gerak-gerik mereka amat
164 rahasia, membuat hati orang bergidik, sebelum aku dan dia
datang kemari, telah kuperhatikan di sekeliling tempat itu
tiada orang yang menguntit, ya, mungkin saja dia hanya
menggertak saja."
Siapa tahu baru saja dia selesai berkata, mendadak
terdengar Bong Thian-gak berkata dengan ilmu
menyampaikan suara dengan nada gelisah sekali, "Aduh
celaka! Ternyata benar-benar ada musuh yang menguntit
sampai di sini, kini di sisi kiri tingkat keempat pagoda itu
terdapat seorang musuh yang menyembunyikan diri, sekarang
lebih baik kita jangan bersuara dulu, secepatnya
mengundurkan diri dari sini, kemudian balik lagi dengan posisi
segi tiga dan kepung orang itu rapat-rapat, jangan biarkan
musuh meloloskan diri."
Ucapan ini kontan saja membuat Thia Leng-juan dan Ho
Put-ciang terperanjat, kedua orang ini pun tidak berani
celingukan memeriksa keadaan.
Sementara mereka berpikir, Bong Thian-gak berkata lagi
dengan suara nyaring, "Ho-bengcu, sekarang sudah siang, kita
harus segera kembali ke gedung Bu-lim Bengcu!"
"Mari kita berangkat!" seru Thia Leng-juan dan Ho Putciang
bersama-sama. Mereka bertiga segera mengerahkan ilmu meringankan
tubuh dan keluar dari pintu pagoda dengan cepat, setelah itu
menjauh dengan kecepatan tinggi.
Setelah cukup jauh, Thia Leng-juan baru berani bertanya
dengan nada cemas, "Ko-heng, benarkah ada jejak musuh?"
"Ya, pihak lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang
amat sempurna, entah sejak kapan ia sudah mendekam di
atas pagoda itu, jika tanpa sengaja aku tidak mendongakkan
kepala dan menangkap dua titik cahaya putih, tak mungkin
kutemukan jejak musuh itu."
165 Ho Put-ciang terperanjat, serunya dengan gelisah, "Wah,
kalau begitu kita kan tak bisa melaksanakan langkah
berikutnya?"
"Itulah sebabnya bagaimana pun juga kita tak boleh
membiarkan orang itu lolos! Sekarang kita harus pergi
menjauh setengah li lagi, kemudian serentak berpencar dan
balik ke Leng-im-po-tah, usahakan agar mengepung orang itu
rapat-rapat."
Sementara itu mereka bertiga sudah berlari sejauh
setengah li, mendadak Bong Thian-gak putar badan dan balik
ke arah semula dari sudut barat daya.
Ho Put-ciang berputar melalui timur laut dan Thia Lengjuan
menelusuri jalanan semula.
Ginkang ketiga orang itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan, maka setengah li perjalanan balik yang
mereka tempuh dicapai dalam waktu singkat.
Dipimpin oleh Thia Leng-juan, dengan cepatnya mereka
sudah balik ke depan pagoda Leng-im-po-tah.
Sedangkan Bong Thian-gak, Ho Put-ciang datang hanya
selisih sedikit sekali, mereka menerobos masuk melalui arah
barat daya serta timur laut.
Di bawah cahaya rembulan, betul juga, di tengah lapangan
tampak berdiri sesosok bayangan tubuh yang langsing dan
ramping. Ketika dilihatnya Bong Thian-gak bertiga muncul kembali di
situ tanpa menimbulkan sedikit suara pun, wajahnya kelihatan
tertegun, peristiwa ini sama sekali di luar dugaannya.
Dengan wajah termangu-mangu, dia mengawasi ketiga
orang itu berjalan mendekat ke arahnya.
Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan harus
mengagumi dan memuji ketajaman mata Bong Thian-gak,
166 sesungguhnya mereka masih setengah percaya mendengar


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkataan Bong Thian-gak tadi, namun kenyataannya musuh
memang muncul di tempat itu, inilah yang membuat hati
mereka terkejut bercampur tercengang.
Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan yang ramping
itu tak lain adalah seorang gadis berbaju merah, rambutnya
yang disisir kepang dua terurai di belakang bahu, wajahnya
bersih, cantik dan usianya antara lima-enam belas tahun,
mukanya masih kekanak-kanakan.
Menyaksikan kemunculan Ho Put-ciang bertiga, dia
gerakkan sepasang matanya yang bulat dan jeli
memperhatikan mereka sekejap, sambil tersenyum ujarnya,
"Selamat berjumpa Hiapsu bertiga!"
"Selamat berjumpa nona," sahut Bong Thian-gak sambil
tertawa dingin. "Entah karena persoalan apakah kau
bersembunyi di tempat kegelapan sebelah kiri pagoda pada
tingkat keempat?"
Mendengar pertanyaan itu, nona berbaju merah tertawa,
sahutnya, "Engkoh ini betul-betul memiliki ketajaman mata
yang mengagumkan, ketika kau sedang melancarkan
serangan ketiga untuk membinasakan orang, aku naik ke atas
pagoda melalui belakang bangunan."
"Nona seorang yang pintar, hari ini kau sampai di sini dan
menyaksikan terbunuhnya Sam-kaucu di tangan kami, kau
anggota Put-gwa-cin-kau atau bukan, yang jelas kami tak
akan membiarkan kau pergi begitu saja dari tempat ini."
Gadis berbaju merah mengedipkan matanya yang bulat
besar, lalu serunya, "Dengan cara apakah kalian hendak
menghadapi diriku?"
Sementara itu paras muka Ho Put-ciang telah berubah
serius, pelan-pelan dia berkata, "Pertama, kami ingin
mengetahui lebih dahulu siapakah nona dan berasal
darimana?"
167 "Aku she Ni bernama Kiu-yu, rumahku ada di selatan
propinsi Kamsiok, tak punya ayah dan ibu lagi, hanya ada
seorang nenek yang hidup bersamaku."
Selain lincah dan genit, gadis ini pun tanpa ragu
mengutarakan nama serta asal-usulnya.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan hal ini
segera mengerut dahinya rapat-rapat.
Hanya Bong Thian-gak seorang yang mengawasi terus
gerak-gerik si nona berbaju merah lekat-lekat, sementara
mulutnya membungkam.
Sekali lagi Ho Put-ciang bertanya, "Siapakah nama
nenekmu?" "Hei, banyak amat yang kalian tanyakan," omel gadis
berbaju merah. "Nenekku she Kang, setelah kawin dengan
kakek, dia bernama Ni-hong!"
"Siapa yang mewariskan ilmu silat kepada nona?"
"Wah, wah, wah ... kalian betul-betul cerewet, tahu begini,
aku tak akan kemari menonton keramaian."
"Nona Ni, dengarkan baik-baik," kata Ho Put-ciang dengan
wajah serius. "Hari ini kau telah terlibat dalam peristiwa ini
dan mendatangkan bencana bagi diri sendiri, seandainya kau
tidak bersedia menjawab dengan sejujurnya, lebih baik salah
membunuh satu orang daripada membiarkan kau pergi begitu
saja." "Bukankah kalian jago-jago persilatan yang berjiwa ksatria"
Masa kalian akan menganiyaya seorang bocah perempuan
seperti aku?"
Pertanyaan yang tajam dan mengena ini kontan saja
membuat paras muka Ho Put-ciang tersipu-sipu karena malu,
sesaat lamanya dia tak mampu menjawab.
168 Thia Leng-juan menyela, "Sekarang ucapan kami sudah
diutarakan cukup jelas, paling baik nona Ni bersedia
menjawab dengan sejujurnya."
Nona berbaju merah menghela napas sedih, "Ai, sudahlah,
anggap saja memang lagi apes, ilmu silat ini kuperoleh dari
nenekku, nah, sudah cukup bukan?"
Sementara itu hawa membunuh telah menyelimuti seluruh
wajah Bong Thian-gak, sambil tertawa dingin serunya, "Nona
Ni, kau adalah anggota Put-gwa-cin-kau, sudahlah lebih baik
tak usah berpura-pura lagi!"
Melihat Bong Thian-gak menuduh dengan nada serius dan
bersungguh-sungguh, mau tak mau Ho Put-ciang bertanya,
"Ko-siauhiap, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"
"Perempuan ini masih muda belia, tapi memiliki keberanian
luar biasa, tak mungkin orang biasa memiliki kelebihan seperti
apa yang dia miliki itu!"
Si nona berbaju merah mendengus dingin, "Hm, kalian
bukan setan iblis atau siluman yang berwajah menakutkan"
Mengapa aku harus takut kepada kalian?"
"Nona bisa tak kuatir terhadap kami, tentu saja karena
punya kemampuan yang bisa dijadikan pegangan, tapi bila
kau ingin melarikan diri dari sini dengan mudah, aku pikir hal
itu akan jauh lebih sukar daripada memanjat ke langit, kalau
tak percaya silakan dicoba."
Nona berbaju merah tertawa, "Kau menghendaki aku
mengaku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau" Baiklah, kalau
begitu kuakui!"
"Tentu saja kau anggota Put-gwa-cin-kau, bahkan
kedudukanmu di dalam perkumpulan itu pasti amat penting
...." "Darimana kau bisa tahu?"
169 "Semacam perasaan halus!"
Mendadak nona berbaju merah tertawa cekikikan, "Kau
telah salah melihat, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau,
tetapi aku tahu sedikit mengenai Put-gwa-cin-kau itu."
"Apa yang nona Ni ketahui?" buru-buru Ho Put-ciang
bertanya. "Aku tahu kalian telah membunuh Sam-kaucu Put-gwa-cinkau
dan orang-orang dari Put-gwa-cin-kau tak melepas kalian
begitu saja."
Dengan perasaan dongkol bercampur geli, Ho Put-ciang
berkata, "Soal ini tak usah kau katakan, kami pun sudah
mengetahui dengan amat jelas!"
"Kalau kalian telah tahu Put-gwa-cin-kau hendak
melancarkan balas dendam, mengapa kalian tidak segera
kabur menyelamatkan diri?"
Mendadak Bong Thian-gak menukas sambil membentak
nyaring, "Tak usah banyak bicara lagi, sekarang hanya ada
dua jalan yang bisa kau pilih, pertama ikut bersama kami
kembali ke gedung Bengcu atau ingin mampus dibunuh?"
"Membunuh aku" Hm!" nona berbaju merah mendengus
dingin. "Tak akan semudah apa yang kau bayangkan, bila tak
percaya silakan dicoba sekarang!"
"Baik, kalau begitu sambutlah seranganku!" seru Bong
Thian-gak sambil tertawa dingin.
Bong Thian-gak bergerak secara aneh dan menerjang ke
sisi kanan gadis berbaju merah dengan kecepatan luar biasa,
kemudian telapak tangan kirinya secara aneh diayun ke depan
langsung menghantam ke wajah gadis berbaju merah itu.
Menyaksikan datangnya ancaman yang begitu dahsyat,
nona berbaju merah tak berani ayal, cepat kaki kirinya
berputar ke dalam, sementara telapak tangan kanan menyapu
170 keluar langsung membacok urat nadi pergelangan tangan kiri
Bong Thian-gak.
Agaknya Bong Thian-gak tahu gadis itu memiliki
kepandaian silat yang sangat lihai, maka begitu turun tangan
jurus-jurus serangan yang dipergunakan diselipi suatu
ancaman yang berbahaya.
Sementara itu telapak tangan kirinya disodokkan,
membentuk gerakan setengah busur di udara, tangan kirinya
seperti ular sakti menerobos melalui lubang kosong di antara
tangkisan tangan kanan gadis berbaju merah dan secepat kilat
menotok jalan darah Khi-hay-hiat.
Serangan ini selain ganas dan sakti, juga aneh bukan
kepalang. Paras muka gadis berbaju merah berubah hebat, kakinya
segera memainkan langkah tujuh bintang, dalam waktu
singkat dia sudah mundur sejauh beberapa kaki.
Begitu nona berbaju merah mundur, dia sama sekali tak
memberi peluang bagi Bong Thian-gak untuk menguasai
keadaan lagi, telapak tangannya diayunkan ke depan,
kesepuluh jari tangannya dibentangkan dan langsung
menyentil ke depan, secara tepat dia menerjang ke muka dan
mengancam sepuluh jalan darah penting di tubuh Bong Thiangak.
Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat.
Bong Thian-gak menjerit kaget, tubuhnya segera berkelit
ke samping secara aneh, kemudian mundur sejauh tujuhdelapan
kaki. "Apakah nona anak murid Mi-tiong-bun?" serunya dengan
wajah terperanjat.
Nona berbaju merah tersenyum, "Tadi sewaktu kau
melepaskan pukulan untuk membinasakan Sam-kaucu, aku
171 lihat di balik pukulanmu itu kau sembunyikan juga ilmu sakti
dari Mi-tiong-bun yang disebut Tat-lay Lhama Sin-kang, kalau
begitu kau pun anak murid Mi-tiong-bun dari Tibet?"
Bong Thian-gak benar-benar terkejut, segera tanyanya
dengan suara dalam, "Sebenarnya nona murid siapa" Cepat
utarakan atau aku akan turun tangan keji kepadamu."
"Sekali pun kau berhasil mencuri belajar ilmu Tat-lay Lhama
Sin-kang dari Mi-tiong-bun, bukan berarti kau pasti dapat
membunuhku, buat apa kau mendesak orang terus-menerus?"
Setelah menyaksikan dua gebrakan yang barusan
berlangsung dan mendengarkan tanya-jawab kedua orang itu,
paras muka Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan berubah hebat.
Perlu diketahui, ilmu silat Mi-tiong-bun dari Tibet selamanya
hanya diwariskan kepada kaum Lhama, selama ratusan tahun
ini mereka tak pernah menurunkan kepandaian itu kepada
orang lain. Tapi kenyataan hari ini ada dua orang preman yang dapat
mempergunakan ilmu sakti Mi-tiong-bun, tidak heran mereka
jadi terperanjat bercampur keheranan.
Bong Thian-gak sendiri semenjak mengetahui gadis berbaju
merah memiliki kepandaian silat ajaran Mi-tiong-bun, paras
mukanya segera berubah menjadi serius dan berat.
Dalam waktu singkat sepasang tangannya sudah
disilangkan di depan pusar, kemudian sambil memejamkan
mata rapat-rapat dia berdiri diam.
Sebenarnya gadis berbaju merah itu pun bersikap acuh tak
acuh, namun setelah menyaksikan cara Bong Thian-gak itu,
rasa tegangnya segera menyelimuti wajahnya, cepat telapak
tangannya satu di depan yang lain di belakang disilangkan di
depan dada, sementara kakinya pun Iurus bergeser ke arah
samping kiri, sementara sorot matanya yang tajam tiada
hentinya mengawasi wajah Bong Thian-gak.
172 Dari sikap Bong Thian-gak yang berdiri tegak bagai batu
karang, Hu Put-ciang dan Thia Leng-juan segera tahu
serangan yang hendak dilancarkan pemuda itu pasti semacam
kepandaian sakti yang maha dahsyat.
Ketika memandang pula ke arah gadis berbaju merah itu,
dia pun teIah menghimpun seluruh kekuatan dan tenaganya
untuk bersiap sedia, tampaknya dia tahu jurus serangan yang
hendak dilepaskan Bong Thian-gak itu merupakan jurus
serangan yang menakutkan.
Bong Thian-gak memejamkan mata, tetapi ia terus
mengikuti pergeseran badan si gadis berbaju merah itu,
tampaknya dia sudah mengincar korbannya secara jitu dan
telak. Suasana tempat itu diliputi keheningan, hawa membunuh
yang mengerikan membuat suasana terasa menegangkan.
Sepasang kaki nona berbaju merah sudah saling silang,
bagaikan siput yang berjalan saja, pelan-pelan dia bergeser
menuju ke arah sebelah kiri, wajahnya telah basah oleh
butiran keringat sebesar kacang kedelai.
Tampaknya gerakan semacam itu cukup memeras tenaga
maupun pikiran kedua belah pihak.
Mendadak terdengar gadis berbaju merah menghela napas
sedih, kemudian ujarnya, "Sudahlah, kita tak usah bertarung
lebih jauh, aku mengaku kalah saja!"
Sembari berkata dia segera menarik kembali sepasang
telapak tangannya.
Akan tetapi Bong Thian-gak masih tetap memejamkan
mata rapat-rapat. Seluruh pikiran, perasaan dan hawa
murninya telah terhimpun menjadi satu, dia tak menjawab
atau pun bergerak.
Menyaksikan keadaan itu, paras nona berbaju merah itu
berubah hebat, tampaknya dia terkejut bercampur takut,
173 segera serunya lagi, "Untuk bertanding, biasanya orang hanya
membatasi sampai saling menutul saja, apakah kau baru puas
setelah membinasakan diriku?"
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang mendengar
perkataan itu mengerut dahinya rapat-rapat, mereka berdua
saling pandang sekejap, kemudian bibir bergerak seperti
hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu
diurungkan. Keadaan Bong Thian-gak waktu itu tak jauh berbeda
dengan seorang pendeta yang sedang bersemedi dan lupa
segala-galanya, dia seperti tidak mendengar perkataan gadis
berbaju merah itu.
Melihat hal itu, nona berbaju merah terkejut bercampur
gugup, mendadak saking gelisahnya, dia langsung menangis
tersedu-sedu, serunya dengan suara iba, "Kau jangan
membunuh aku, kau jangan membunuh diriku ... cepat kau
tarik kembali seranganmu itu ...."
Perubahan ini membuat Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan
bingung setengah mati, "Benarkah Bong Thian-gak hendak
membunuhnya" Sekali pun nona ini adalah anggota Put-gwacin-
kau, tidak seharusnya dia membinasakan dirinya?"
Isak tangis nona berbaju merah makin memilukan,
bagaimana pun juga suara tangisan gadis cilik memang
gampang membangkitkan perasaan iba orang lain.


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa pun yang menyaksikan kejadian ini, lambat-laun
hatinya akan menjadi lembek juga.
Akhirnya Ho Put-ciang menghela napas panjang, serunya,
"Ko-siauhiap, tariklah kembali ilmumu itu!"
Ketika mendengar suara Ho Put-ciang itulah Bong Thiangak
membuka kembali sepasang matanya.
Tapi di saat yang sangat singkat itulah mendadak nona
berbaju merah melejit ke tengah udara, kemudian dengan
174 gerakan yang amat cepat bagaikan sambaran kilat dia
berkelebat melalui atas kepala Thia Leng-juan dan melarikan
diri dari situ.
Bong Thian-gak membentak, sepasang telapak tangannya
dari kiri kanan segera diayun ke tengah udara melepaskan
pukulan dahsyat.
Terasa segulung angin lembut berhembus, tahu-tahu gadis
berbaju merah sudah berada sejauh tujuh-delapan tombak,
kemudian dengan sekali lompatan, bayangan tubuhnya sudah
lenyap di balik kegelapan sana.
Bong Thian-gak menjadi gusar, segera ia menyumpah,
"Aku sudah tahu dia bakal kabur, ternyata akhirnya termakan
juga oleh siasat busuknya!"
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekali lagi saling pandang
sekejap, mereka saling membungkam, sementara paras
mukanya dilapisi rasa malu dan menyesal.
Setelah menghela napas panjang, kata Ho Put-ciang,
"Semuanya gara-gara aku, coba kalau aku tidak iba, tak
mungkin dia dapat lolos dari sini, aku benar-benar telah
berbuat salah, aku telah membuat Ko-siauhiap kecewa."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, setelah
ditatapnya wajah Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekejap,
katanya kemudian, "Ho-hengcu tak usah terlalu menyalahkan
diri sendiri, ya, sesungguhnya rengekannya memang amat
memelas hati, sekali pun orang yang berhati baja pun pasti
akan iba mendengarnya, ai ... tiap anggota Put-gwa-cin-kau
rata-rata licik bagaikan rase, nampaknya dunia persilatan
benar-benar sudah terancam oleh mara bahaya besar."
"Ko-heng, apa kau yakin perempuan tadi anggota Put-gwacin-
kau?" tanya Thia Leng-juan dengan wajah serius.
Bong Thian-gak menggeleng, "Aku tak berani memastikan,
tapi sembilan puluh persen dia adalah orang penting dalam
175 Put-gwa-cin-kau, bila dugaanku tidak keliru, gadis berbaju
merah yang masih muda belia tadi adalah Kiu-kaucu."
Thia Leng-juan menghela napas, "Ai, kalau begitu percuma
saja kita membunuh Sam-kaucu, mata-mata dalam Bu-lim
Bengcu-hu juga tak bisa dibasmi secara tuntas!"
Bong Thian-gak turut menghela napas, "Ai, semua ini garagara
diriku yang kurang tegas, coba kalau aku tega
melancarkan serangan ganas, tak mungkin dia kabur dari sini.
Yang penting sekarang kita harus segera kembali dulu ke
gedung Bu-lim Bengcu dan menceritakan segala peristiwa ini
kepada Ku-lo Locianpwe, kemudian kita baru berunding
menyusun rencana berikutnya."
Maka ketiga orang itu pun segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh kembali ke gedung Bu-lim Bengcu.
Waktu itu sudah mendekati tengah malam, Ho Put-ciang,
Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak langsung menuju ke
loteng di sebelah timur.
Baru saja mereka bertiga tiba di bawah loteng, cahaya
lampu sudah muncul dalam ruangan, tampak Ku-lo Sinceng
telah menunggu di depan mulut tangga dengan wajah serius.
Ho Put-ciang bertiga pun membungkam, mereka buru-buru
naik ke atas loteng.
Tampaknya Ku-lo Sinceng sudah tidak sabar menunggu
lebih jauh, ia menegur, "Bagaimana dengan tugas kalian?"
Hu Put-ciang menghela napas panjang, "Ai, gara-gara
Wanpwe bersikap teledor, usaha kita selama ini sia-sia
belaka." Dengan cepat keempat orang itu sudah duduk dalam ruang
tamu, secara ringkas dan jelas Ho Put-ciang menceritakan
semua peristiwa yang telah berlangsung kepada Ku-lo
Sinceng. 176 Selesai mendengar cerita itu, Ku-lo Sinceng memejamkan
mata sambil termenung sejenak, kemudian pelan-pelan
berkata, "Ho-hiantit sekalian berhasil membunuh Sam-kaucu,
berarti usaha kalian sukses besar, mengapa dibilang usaha
kalian sia-sia belaka" Gadis berbaju merah memang di luar
dugaan siapa pun, tidak tahu bagaimana harus menghadapi,
apalagi kalian telah mengerahkan segenap kemampuan."
Bong Thian-gak menghela napas, segera katanya pula,
"Semakin Locianpwe tidak menegur, Wanpwe justru merasa
semakin menyesal!"
Ku-lo Sinceng menggeleng kepala berulang kali, "Perkataan
Ko-siauhiap kelewat serius, mengenai kemunculan gadis
berbaju merah itu membuat Pinceng menemukan suatu
petunjuk yang berharga sekali, mungkin petunjuk itu jauh
lebih penting artinya daripada melenyapkan kaum mata-mata
di gedung Bengcu ini."
"Kalian harus tahu, mata-mata yang diselundupkan ke
dalam gedung Bengcu ini adalah orang pintar, tapi orang yang
paling penting seperti Sam-kaucu yang menyaru sebagai
Pinceng kini telah berhasil dilenyapkan, aku pikir sisanya
sudah tidak mempunyai arti yang amat penting, sebab sisa
mata-mata yang berada dalam gedung ini cepat atau lambat
akan menampakkan wujudnya masing-masing dan berusaha
kabur dari sini."
Dengan serius Thia Leng-juan bertanya, "Ku-lo Supek, kau
telah berhasil menemukan petunjuk penting?"
Ternyata pendekar sastrawan dari Im-ciu ini adalah murid
Sute Ku-lo Hwesio yang merupakan orang preman, oleh
karena itu dia memanggil Supek kepada Ku-lo Hwesio.
Pendeta agung itu termenung sejenak, lalu berkata, "Asal
kita dapat membuktikan gadis berbaju merah itu adalah
anggota Put-gwa-cin-kau, ini membuktikan Cong-kaucu Putgwa-
cin-kau mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
177 perguruan Mi-tiong-bun di Tibet."
Bicara sampai di situ, Ku-lo Sinceng mengalihkan sorot
matanya yang tajam ke wajah Bong Thian-gak, kemudian
lanjutnya lebih jauh, "Ko-siauhiap, apakah kau dapat
menerangkan dari siapa mempelajari ilmu sakti perguruan Mitiong-
bun itu?" Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Dia adalah
seorang kakek penyendiri yang keempat anggota tubuhnya
cacat, Wanpwe tidak tahu nama serta asal-usul orang tua itu,
dia memiliki ilmu silat sangat hebat, hampir semua ilmu
berbagai perguruan dapat diyakinkan olehnya."
"Dia orang tua sudah meninggal dunia, Wanpwe berkumpul
selama tujuh tahun lamanya dengan orang itu, dia meninggal
pada tiga bulan berselang."
"Tokoh sakti itu sudah cacat keempat anggota badannya,
tapi Ko-siauhiap yang cuma menerima pelajaran teori darinya
pun sudah berhasil memiliki kepandaian silat begini sempurna,
sudah jelas ilmu silat orang itu hebat sekali," kata Ho Putciang.
Bong Thian-gak tersenyum.
"Sebelum aku bertemu dengannya, aku sudah pernah
berguru selama belasan tahun, oleh karena itu meskipun
hanya mendapat teori saja dari Suhuku yang kedua ini, sedikit
banyak rahasia ilmu silatnya berhasil juga kupahami."
"Ko-siauhiap, tampaknya kemujuran orang memang tak
dapat diminta, secara beruntun kau dapat memperoleh didikan
dari dua orang guru kenamaan, hal itu patut diberi ucapan
selamat." Pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat kepala, lalu
memandang sekejap ke arah Ku-lo Sinceng, katanya, "Semua
perkataan yang Wanpwe ucapan adalah kata-kata jujur dan
178 sama sekali tidak bohong. Tentang ilmu silat aliran Mi-tiongbun,
setahuku kepandaian mereka tak pernah diwariskan
kepada orang luar, Wanpwe tahu jelas akan hal ini. Si kakek
yang menyendiri itu pun bukan anak murid Mi-tiong-bun,
namun ilmu silat yang diketahuinya sangat luas, bahkan ilmu
sakti Siau-lim-pay juga diketahuinya dengan jelas."
"Wanpwe dan dia orang tua hidup bersama dalam gua di
sebuah lembah, tujuh tahun lamanya hidup berdampingan,
meski sudah kuusahakan dengan segala cara untuk mencari
tahu asal-usul orang tua itu, namun usahaku itu tak pernah
berhasil."
"Kalau begitu dendam Sicu terhadap Put-gwa-cin-kau
merupakan masalah gurumu yang pertama?" tiba-tiba Ku-lo
Sinceng bertanya.
Bong Thian-gak mengangguk, "Tepat dugaan Locianpwe."
Ku-lo Sinceng menghela napas dalam-dalam.
"Ai ... apakah Sicu bersedia melukiskan bagaimanakah raut
wajah orang sakti itu?" pintanya.
"Sewaktu aku bertemu dengan Suhuku yang kedua ini, dia
sudah berdiam cukup lama di dalam gua itu, badannya sudah
tersiksa hingga tinggal kulit pembungkus tulang, sehingga
pada hakikatnya sukar untuk dilukiskan bagaimanakah raut
wajahnya."
"Dia tak pernah menjelaskan cara bagaimana keempat
anggota badannya itu menjadi cacat kepadamu?" tanya Ku-lo
Sinceng dengan kening berkerut kencang.
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Sesaat sebelum meninggal, dia orang tua hanya
mengucapkan beberapa patah kata saja, 'Selama hidup Lohu
sudah banyak melakukan kejahatan, terpengaruh oleh napsu
sendiri sehingga menggunakan cara yang keji dan licik untuk
memperoleh nama, pahala dan kekayaan, tapi akhirnya tujuh
179 puluh tahun hidupku hanya terkurung percuma ... ai dendam
kesumat dalam Bu-lim memang tak pernah berakhir, hukum
karma selalu berlaku atas dosa-dosaku ini, Lohu harus merasa
tersiksa selama tiga puluh tahun, hukuman memang tak akan
pernah terhindar dariku ....'."
Sampai di situ, Bong Thian-gak berhenti sejenak, lalu
sambungnya lebih jauh, "Di saat dia menghembuskan napas
yang penghabisan itulah dia orang tua berkata lagi padaku,
'Kau ... kau adalah orang kedua yang pernah mendapat
warisan ilmu silat dariku, semoga kau dapat baik-baik
mempergunakannya ....'."
Thia Leng-juan menyela bertanya, "Siapakah orang
pertama?" Bong Thian-gak tertawa getir. "Bila aku mengetahui hal ini,
berarti aku akan mengetahui asal-usul Suhuku yang kedua,"
jawabnya. Pelan-pelan Thia Leng-juan menggelengkan kepala
berulang-kali, giimamnya, "Tak kusangka di dunia ini terdapat
banyak orang dan kejadian aneh."
"Di saat guruku yang kedua meninggal dunia, dia berusia
tujuh puluh tahun, dari kata-katanya menjelang ajal, peristiwa
tragis itu terjadi saat dia berusia tiga puluh tahun, keempat
anggota badannya menjadi cacat dan harus hidup menyepi di
gua kematian dalam lembah terpencil. Ku-lo Locianpwe,
dapatkah kau merenungkan jago persilatan manakah yang
mirip dengan pengalaman guruku yang kedua ini."
Di saat Bong Thian-gak selesai menuturkan pesan terakhir
gurunya tadi, Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata
termenung. Tak lama kemudian, dia baru membuka matanya dan
menjawab dengan suara dalam, "Jago persilatan yang paling
termasyhur pada waktu itu adalah Bu-lim Bengcu Thi-ciangkan-
kun-hoan Oh Ciong-hu, lalu Pak-hiap (pendeta dari utara)
180 Thian-kay Lojin, Say-pit-ceng Ih Hoan, Mo-kiam-sin-kun To
Tian-seng serta perempuan paling cantik di wilayah Kanglam
Ho Lan-hiang...."
Sampai di sini, kembali Ku-lo Hwesio memejamkan mata
rapat-rapat, kemudian baru melanjutkan, "Dari kelima orang
ini, hampir boleh dibilang mereka tidak pernah melakukan
kejahatan besar, dari usia mereka, Say-pit-ceng Ih Hoan dan
Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng yang agak mendekati, lagi pula
asal-usul mereka memang sangat misterius."
Mendengar ini, Bong Thian-gak segera mengerut dahi,
katanya kemudian, "Mungkinkah Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng"
Tapi waktu Tio Tian-seng terjun ke dunia persilatan
baru berusia dua puluh enam tahun, ditambah tiga puluh
tujuh tahun berarti usianya sekitar enam puluh lima tahun!"
"Kalau dibilang Say-pit-ceng Ih Hoan," sela Ku-lo Hwesio,
"pada tiga puluh tujuh tahun lalu dia telah berusia empat
puluh tahun, berarti dia berusia tujuh puluh tahun lebih."
"Selain kelima orang ini, apakah masih ada orang yang
pantas dicurigai?"
"Masih ada empat orang buas lagi, mereka adalah To-cikim-
kong (Malaikat raksasa berjari tunggal) Lui Ko Hoatsu,
Jian-bin-hu-li (Rase berwajah seribu) Ban Li-biau, Thian-sanhim-
ong (Raja beruang dari Thian-san ) Ho Lak serta Hiat-binmo
(Setan muka darah) Si Jit-ciang ...."
"Tapi dari keempat orang itu, ada tiga orang di antaranya
telah dibunuh oleh Suhu," timbrung Ho Put-ciang cepat.
"Siapakah di antara mereka yang tidak berhasil dibunuh
Oh-bengcu almarhum?" cepat Bong Thian-gak bertanya.
"Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"
"Kejahatan apa saja yang pernah dilakukan olehnya?"
181 Ku-lo Hwesio menghela napas sedih, katanya pelan, "Tiga
puluh tujuh berselang, Ban Li-biau merupakan tokoh penjahat
ulung dunia persilatan, selain memperkosa, membunuh,
mencuri dan merampok dia pun sering melakukan perbuatan
jahat lainnya, hingga menimbulkan amarah segenap umat
persilatan waktu itu, semua orang bergabung untuk bersamasama
menghabisi orang ini "Bagaimana akhirnya?"
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sama sekali tiada
kabar beritanya."
"Mengapa?"
"Ban Li-biau berjuluk Jian-bin-hu-li, membuktikan
kecerdikan dan kelicikannya, selain itu dia pun pandai
menyaru dan berganti muka, jarang ada orang di Bu-lim yang


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah melihat wajah aslinya, mana mungkin orang dapat
membekuknya untuk dijatuhi hukuman" Untung tiga puluh
tahun lalu Jian-bin-hu-li sudah lenyap."
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Ai ... sungguh
tidak kusangka Suhuku yang kedua adalah Jian-bin-hu-li Ban
Li-biau!" "Apakah Ko-siauhiap yakin akan dia?" tanya Ho Put-ciang.
"Dari ucapan dia orang tua menjelang ajal serta rasa
tobatnya dari kejahatan yang pernah dilakukan, hal ini
membuktikan dia adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau ...."
Ku-lo Hwesio turut menghela napas, "Betul, guru kedua Kosiauhiap
mungkin sekali adalah Ban Li-biau, sebab kecuali dia,
tiada orang kedua di dunia ini yang bisa dicurigai!"
"Sebenarnya Pinceng menduga Jian-bin-hu-li adalah Congkaucu
Put-gwa-cin-kau, kalau dipikirkan sekarang,
kemungkinan besar Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah orang
lain." 182 Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, paras muka Kulo
Sinceng kembali berubah serius dan kereng, jelas benak Kulo
Hwesio sekarang sedang dipenuhi persoalan lain.
Karena kecurigaan atas Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sebagai
pentolan Put-gwa-cin-kau gugur, dia berusaha memeras otak
dan menduga lagi siapa gerangan orang yang cocok untuk
dicurigai sebagai pentolan Put-gwa-cin-kau itu.
Bong Thian-gak memahami perasaan Ku-lo Sinceng
sekarang, maka dengan perasaan berat semua orang pun
bungkam. Selang beberapa saat kemudian, barulah terdengar Ku-lo
Hwesio berkata dengan lembut, "Fajar sudah menjelang tiba,
kalian bertiga pergilah beristirahat dulu!"
Ho Put-ciang bertanya, "Ku-lo Supek, tolong tanya perlukah
kita mengumumkan kepada para jago tentang peristiwa Samkaucu
itu?" "Lebih baik kita merahasiakan dulu persoalan ini, tunggu
sampai tiba kesempatan yang lebih cocok sebelum
diumumkan."
"Tapi ...." Ho Put-ciang menunjukkan keraguannya.
"Kehadiran Ko-siauhiap dalam gedung Bu-lim Bengcu ini...."
"Oya ... hampir saja Pinceng lupa, antara Ko-sicu dengan
para pendekar telah terjadi perselisihan ... padahal kehadiran
para pendekar ke gedung Bu-lim Bengcu pun hanya untuk
berbela-sungkawa atas kematian Oh-bengcu, sedang jenazah
Oh-bengcu pun telah diputuskan untuk disimpan dalam
gedung es, Pinceng rasa para jago persilatan boleh
membubarkan diri kembali ke rumah masing-masing, lebih
baik besok siang kita umumkan segala sesuatunya pada
mereka, di samping mengumumkan peristiwa Sam-kaucu,
juga menjelaskan kepada para jago yang hendak menangkap
Ko-siauhiap."
183 "Ku-lo Supek, tolong tanya apa tindakan kita selanjutnya
untuk menghadapi Put-gwa-cin-kau?" tanya Thia Leng-juan
pula. Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Kini bencana telah
meluas di seluruh dunia persilatan, terpaksa bertemu satu
membunuh satu, kita berusaha terus menumpas mereka
sampai ludes."
"Kalau memang demikian, bukankah Jit-kaucu kini berada
dalam kota Kay-hong, mengapa kita tidak ke situ untuk
membekuknya?"
Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata, "Mengenai Jitkaucu,
hampir Lolap lupa meninggalkan pesan, perempuan ini
telah berhasil memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, boleh
dibilang kepandaiannya sudah tiada tandingan lagi di dunia ini,
bila kalian bertemu dengannya, lebih baik menyingkir, jangan
coba menghadapi dengan kekerasan."
Mendengar itu, Thia Leng-juan tertegun. "Supek,
memangnya kita harus duduk diam menunggu kematian dan
membiarkan Jit-kaucu datang mencari kita?" serunya.
Mencorong tajam mata Ku-lo Hwesio.
"Sudah delapan tahun lamanya Pinceng duduk menutup diri
dalam ruangan, Lolap sudah bertekad menaklukkannya."
"Locianpwe, caramu menaklukkannya berarti kerugian
besar bagi umat persilatan?" tiba-tiba Bong Thian-gak
menimbrung dari samping.
Diam-diam Ku-lo Hwesio terperanjat mendengar perkataan
itu, pikirnya kemudian, "Masa dia dapat menebak suara hati
Lolap?" Pada saat itulah Thia Leng-juan bertanya lagi, "Supek,
apakah kau hendak menghadapi Jit-kaucu seorang diri?"
184 "Menurut apa yang Lolap ketahui, di dunia dewasa ini tiada
orang kedua yang bisa lolos dari pukulan Soh-li-jian-yang-sinkang
itu tanpa menemui ajal."
"Supek, kalau engkau harus bertarung melawan Jit-kaucu
dan seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ...." Thia
Leng-juan tak mampu melanjutkan kata-katanya, dia bungkam
dengan sedih. Ku-lo Hwesio tertawa getir, "Setelah melakukan
penyelidikan selama delapan tahun, Pinceng percaya musuh
pun takkan memperoleh keuntungan apa-apa."
Mendadak Thia Leng-juan bertanya lagi, "Apakah Supek
telah menulis surat tantangan untuk berduel dengan Jitkaucu"
Harap Supek jangan merahasiakan persoalan ini
kepada kami...."
Begitu ucapan itu diutarakan, Bong Thian-gak dan Ho Putciang
amat terperanjat, mereka membelalakkan mata lebarlebar
dan menanti jawaban Ku-lo Hwesio.
Agak emosi Ku-lo Hwesio menjawab, "Lolap tidak menulis
surat tantangan terhadap Jit-kaucu, tetapi telah menetapkan
hari kematian untuk Pinceng."
"Apakah maksud perkataanmu itu?" tanya Bong Thian-gak
dengan terkejut.
Dari dalam sakunya Ku-lo Hwesio mengeluarkan sepucuk
surat dan diletakkan di bawah sinar lentera, kemudian
ujarnya, "Surat ini baru kuterima setengah jam sebelum kalian
pulang kemari."
Sementara itu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong
Thian-gak bersama-sama mengalihkan sorot matanya ke atas
surat itu. Di atas kertas tadi tercantum beberapa kalimat yang
berbunyi: 185 Kepada yang terhormat Ku-lo Taysu dari Siau-lim-si.
Kematian Sam-kaucu merupakan tanggung-jawabku,
apabila Cong-kaucu menegur, akulah yang mendapat
hukuman. Oleh sebab itu kumohon kepada Taysu agar berbelas
kasihan dengan mengakhiri hidupmu dalam tiga hari
mendatang atau pada malam hari keempat aku akan datang
merenggut nyawamu, Tertanda: Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau
Selesai membaca surat itu, Ho Put-ciang bertiga menjadi
gusar dan terkejut.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak berkata, "Sungguh
amat besar nada bicara orang ini!"
Thia Leng-juan termangu beberapa saat, kemudian
tanyanya, "Dengan cara bagaimana surat ini disampaikan
kemari?" "Waktu itu Pinceng sedang duduk bersemedi di atas loteng,
kudengar ada dua orang pejalan malam sedang melintas,
menyusul dari balik jendela melayang masuk sepucuk surat.
Waktu itu Pinceng agak ragu sejenak, ternyata si pengantar
surat itu telah pergi, Ginkangnya tak malu disebut sebagai
jagoan wahid di kolong langit."
Bong Thian-gak berkerut kening.
"Ketika si nona berbaju merah Ni Kiu-yu melarikan diri,
jaraknya dengan waktu kita pulang cuma setengah jam,
bagaimana mungkin ia bisa melapor lebih dulu berita kematian
Sam-kaucu ini kepada Jit-kaucu?" gumamnya.
Begitu nama Ni Kiu-yu disinggung, Ho Put-ciang dan Thia
Leng-juan turut merasakan suatu keanehan.
186 "Tatkala kalian sedang menuturkan pertarungan melawan
Sam-kaucu tadi, Lolap sudah merasa curiga," kata Ku-lo
Hwesio, "Mungkin Jit-kaucu juga turut menyaksikan
terbunuhnya Sam-kaucu dari atas pagoda Leng-im-po-tah,
namun dia tidak muncul, di saat kalian sedang berusaha
menangkap gadis berbaju merah itu, dia berangkat ke gedung
Bengcu." Thia Leng-juan manggut-manggut.
"Ya benar, kemungkinan memang begitu, namun sewaktu
kami kembali ke pagoda Leng-im-po-tah untuk menangkap
gadis berbaju merah itu, sama sekali tidak kujumpai ada orang
melarikan diri dari situ," serunya kemudian.
"Atau kemungkinan juga Jit-kaucu sudah tahu kita hendak
turun tangan membunuh Sam-kaucu," kata Ku-lo Hwesio.
"Bukankah persoalan ini hanya diketahui kita berempat"
Siapa yang membocorkan rahasia ini?" tanya Bong Thian-gak.
"Tentu saja tak ada orang yang membocorkan rahasia itu.
Mungkin jejak Lolap sudah diketahui oleh Jit-kaucu dan dia
pun telah dapat membedakan mana yang asli dan mana yang
gadungan!"
Bong Thian-gak menghela napas.
"Ai... benar. Dari tulisan Jit-kaucu, tampaknya dia sudah
tahu kita berencana membunuh Sam-kaucu ...."
Ku-lo Hwesio berkata lebih lanjut, "Kehadiran gadis berbaju
merah di pagoda Leng-im-po-tah pun sudah pasti bukan suatu
peristiwa yang kebetulan, mungkin sekali sedang
melaksanakan perintah Jit-kaucu untuk memberi bantuan,
sayang kedatangannya terlambat satu langkah dan Sam-kaucu
telah tewas dipukul Ko-siauhiap."
Ho Put-ciang menghela napas panjang. "Ai, kalau begitu
tindakan kita melepas gadis berbaju merah dari Leng-im-potah
merupakan suatu tindakan yang keliru besar," keluhnya.
187 "Yang sudah lewat biarlah lewat, kita tak usah
menyinggungnya! Sedangkan mengenai tantangan Jit-kaucu,
Pinceng bermaksud untuk menghadapinya seorang diri, itulah
sebabnya aku tidak berniat memberitahukan kepada kalian."
Bong Thian-gak merasa darah panas dalam dada bergolak
keras, serunya kemudian, "Locianpwe, soal tantangan Jitkaucu,
biar Wanpwe saja yang mewakili."
Ku-lo Hwesio tersenyum.
"Ko-siauhiap gagah dan mempunyai ilmu tinggi, dengan
masa depan panjang, selain Jit-kaucu jangan lupa, masih ada
Cong-kaucu yang merupakan musuh kita paling tangguh."
"Supek, Tecu mohon agar akulah yang pergi memenuhi
janji itu," pinta Thia Leng-juan.
Kembali Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali.
"Thia-hiantit, ilmu silat yang kau miliki sekarang sudah
mencapai tingkatan luar biasa dan jauh mengungguli gurumu,
tapi ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Jit-kaucu
bukanlah ilmu silat biasa!"
"Ku-lo Supek, bagaimana rencanamu menyambut
tantangan Jit-kaucu itu?" Ho Put-ciang bertanya.
Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali.
"Pinceng jelas belum mengambil keputusan, tapi sudah
pasti dalam empat hari ini...."
Berbicara sampai di sini, dia berhenti sejenak, kemudian
lanjutnya, "Soal pertarungan Lolap melawan Jit-kaucu, harap
kalian tak usah risau, terus terang Lolap sudah mempunyai
rencana cukup matang."
"Jika Ku-lo Supek menghadapi musuh sendirian, bisa jadi
musuh akan menggunakan cara kita membunuh Sam-kaucu
...." 188 Mendengar perkataan Ho Put-ciang itu, paras muka Ku-lo
Hwesio berubah hebat, selanya, "Pinceng pun telah
mempertimbangkan hal ini, harap Ho-hiantit tak usah kuatir."
"Tapi aku benar-benar tidak tenang ...."
Kentongan kelima sudah berbunyi, dari luar jendela sana
tampak cahaya api sudah memancar menembus kegelapan,
malam yang panjang pun telah berakhir.
Pelan-pelan Ku-lo Hwesio bangkit, berjalan ke sisi jendela
dan menarik napas panjang, kemudian pelan-pelan ujarnya,
"Sejak Oh Ciong-hu menjabat sebagai Bu-lim Bengcu, dunia
persilatan telah melewatkan masa yang tenang dan aman,
namun setiap kejadian di dunia ini seakan-akan mempunyai
masa berlaku, sebab Thian telah mengatur semua kejadian ini
untuk kita. Sekali pun Lolap mungkin akan mati dalam
pertarungan ini, namun setelah terjadinya perubahan di Bulim,
sudah pasti akan muncul seorang penolong yang akan
menenteramkan kekacauan dan melenyapkan semua
kejahatan dari muka bumi...."
Sampai di sini, dia membalikkan badan dan duduk kembali
di atas kasurnya, setelah itu katanya lebih jauh, "Ko-siauhiap,
Ho-hiantit, Thia-hiantit, kalian bertiga merupakan tonggak
dunia persilatan di masa mendatang, jaya atau kacaunya
dunia persilatan di kemudian hari, keadilan dan kebenaran di
dunia ini tergantung pada perjuangan kalian, oleh sebab itu
keselamatan kalian jauh lebih penting daripada orang lain, aku
minta kalian jangan bertindak hanya karena dorongan emosi."
"Kalian harus tahu, seorang Tay-enghiong, Tay-ho-kiat
banyak membutuhkan persyaratan, bukan terbentuk
mengandal keberanian saja, contoh yang jelas, di masa Samkok
dulu, Lu Poh paling berani, tapi dia berani tanpa disertai
rencana yang matang sehingga tak lebih hanya seorang
panglima kasar. Sebagai seorang Enghiong sejati dibutuhkan
penyesuaian diri dengan keadaan, bisa maju bisa pula
189 mundur, bisa keras bisa juga lunak, segalanya harus diatur
dengan perencanaan jangka panjang yang sempurna."
Nasehat Ku-lo Hwesio ini kontan membuat beban pikiran
Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak semakin
berat, lamat-lamat mereka merasakan suatu firasat jelek yang
sudah menjelang datang di hadapan mereka.
"Nah, sekarang kalian boleh pergi beristirahat!" Ku-lo
Hwesio mengakhiri kata-katanya.
Maka Ho Put-ciang bertiga pun memberi hormat kepada


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ku-lo Hwesio dan mengundurkan diri, mereka menuju ke
loteng sebelah barat.
Setelah masuk ke dalam ruang tamu, Pa-ong-kiong Ho Putciang
yang pertama-tama berkata, "Ku-lo Supek telah
memutuskan untuk menghadapi Jit-kaucu seorang diri, dari
nada suaranya, dia orang tua telah bertekad untuk
mengorbankan diri demi terwujudnya cita-cita yang luhur,
sekarang bagaimana baiknya?"
"Yang kita kuatirkan Jit-kaucu merencanakan suatu
pengeroyokan, atau menggunakan siasat busuk untuk
mencelakainya," kata Thia Leng-juan mengemukakan pula
rasa kuatirnya.
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata, "Yang perlu kita
ketahui sekarang adalah kapan dan dimanakah Ku-lo
Locianpwe menerima tantangan dari Jit-kaucu?"
"Bagaimana cara kita mengetahuinya?" keluh Ho Put-ciang
sedih. "Mulai sekarang, secara bergilir kita harus mengawasi
gerak-gerik Ku-lo Locianpwe, bila ia menunjukkan suatu
tindakan, kita harus segera mengetahuinya."
"Benar," kata Thia Leng-juan. "Dengan demikian bisa
dicegah pihak lawan melakukan pengerubutan."
190 Tapi Ho Put-ciang menggeleng kepala, ujarnya,
"Mendengar nasehat terakhir Ku-lo Supek tadi, lamat-lamat
aku punya firasat dia lelah menyadari bahwa pertempuran ini
lebih banyak bahayanya bagi dia daripada keberuntungan ...."
Bong Thian-gak menghela napas, "Jauh pada delapan
tahun berselang, Ku-lo Locianpwe pernah menerima serangan
Jit-kaucu, mungkin selama delapan tahun ini dia orang tua
telah menyelidiki dan mendalami ilmu untuk melawan Soh-lijian-
yang-sin-kang, kalau dia orang tua sampai menderita
kekalahan di tangan Jit-kaucu, siapa lagi di Bu-lim dewasa ini
yang mampu menandingi perempuan ini?"
"Bagaimana pun juga Jit-kaucu harus dilenyapkan, cepat
atau lambat Ku-lo Locianpwe juga akan berhadapan
dengannya, hanya soal waktu saja, mungkin pertarungan ini
berlangsung jauh lebih awal."
"Thia-heng, Ko-siauhiap, harap kalian beristirahat dulu, biar
aku yang mengawasi gerak-gerik Ku-lo Supek dari sini," ujar
Ho Put-ciang kemudian.
"Ho-bengcu, bila kau ada urusan silakan saja, aku belum
berminat tidur," sahut Bong Thian-gak.
Meskipun pertarungan sengit yang berlangsung semalam
amat memeras tenaga dan semua orang merasa lelah sekali,
tapi setiap orang sedang dicekam perasaan tegang dan berat,
maka Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak beristirahat.
Tengah hari itu Ho Put-ciang mengumpulkan semua jago
dunia persilatan beserta Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui dan
Oh Cian-giok, untuk mengumumkan penyaruan Sam-kaucu
sebagai Ku-lo Sinceng serta perubahan situasi dunia persilatan
akhir-akhir ini.
Sebagai kesimpulan terakhir, para jago yang diwakili
sembilan partai besar mengutus Goan-ko Taysu dari Siau-limpay,
Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay, Wan-pit-kim-to (Golok
emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay
191 dan Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay
untuk berdiam dalam gedung Bu-lim Bengcu guna membantu
Ho Put-ciang membangun kembali pamor Bu-lim Bengcu atau
persekutuan dunia persilatan.
Sedangkan yang lain kembali ke partai masing-masing
untuk melaporkan keadaan kepada ketua masing-masing, di
samping secara diam-diam membersihkan mata-mata Putgwa-
cin-kau yang menyusup dan meningkatkan kewaspadaan
untuk menghadapi setiap bentrokan yang mungkin meletus
dengan pihak Put-gwa-cin-kau.
Sejak itu sembilan partai dunia persilatan dalam sehari saja
telah berubah menjadi kelompok kekuatan yang maha dahsyat
dan sanggup menghadapi segala perubahan yang mungkin
terjadi. Mengenai tantangan Jit-kaucu kepada Ku-lo Sinceng,
kecuali Bong Thian-gak, Thia Leng-juan dan Ho Put-ciang,
yang lain tidak diberitahu.
Waktu berlalu dengan cepat, tiga hari sudah lewat, suasana
dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tenang, namun ratusan
manusia yang berada dalam gedung itu tak sedikit pun merasa
tenang. Terutama Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thiangak,
selama beberapa hari ini paras muka mereka kelihatan
kusut dan sayu.
Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si juga tak pernah meninggalkan
loteng sebelah timur barang selangkah pun selama tiga hari
ini. Bong Thian-gak bertiga berada di bangunan sebelah barat,
dapat menyaksikan keadaan Ku-lo Hwesio dengan jelas, ia
masih tetap duduk bersila di atas kasur duduknya dengan
tenang. 192 Matahari senja telah condong ke barat, kabut malam pun
lambat-laun menyelimuti angkasa. Kini Ho Put-ciang, Thia
Leng-juan dan Bong Thian-gak telah berkumpul di atas loteng
sebelah barat. Sambil menghela napas panjang, Ho Put-ciang berkata,
"Malam ini Ku-lo Supek tidak memasang lentera, jelas hendak
melakukan tindakan pada malam ini."
"Ya, batas waktu yang diberikan Jit-kaucu bagi Ku-lo Supek
untuk bunuh diri akan berakhir tengah malam nanti," sambung
Thia Leng-juan.
Mendadak Bong Thian-gak menyela, "Mulai sekarang, kita
bertiga harus memisahkan diri mengawasi tempat itu dari
tempat terpisah."
Maka mereka bertiga pun segera keluar. Mereka berdandan
sebagai pengawal gedung dan berpencar melakukan
pengawasan. Bong Thian-gak berada di balik kegelapan di sudut gedung
sebelah barat laut.
Malam ini rembulan memancarkan sinar terang, membuat
suasana liilak terlalu gelap, pemandangan pada radius seratus
kaki masih dapat terlihat dengan jelas.
Angin malam berhembus membawa udara dingin, malam
pun semakin kelam.
Mendadak tampak sesosok bayangan orang berjalan
melalui mangan sebelah utara, di bawah sinar rembulan,
tampak kepala orang Itu gundul, tak salah lagi inilah kepala
seorang pendeta.
Dengan gerakan enteng seperti burung walet, Bong Thiangak
segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya
dan melakukan penghadangan dari arah timur laut.
193 Bukan hanya Bong Thian-gak saja yang melakukan
penguntitan, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang berjaga di
tenggara dan barat daya pun serentak mengerahkan
Ginkangnya melakukan penguntitan.
Gerakan tubuh keempat orang itu cepat sekali, cekatan dan
hati-hati. Sekali pun penjagaan dalam gedung Bu-lim Bengcu
amat ketat, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang
mengetahui jejaknya.
Tak selang beberapa lama, mereka sudah keluar
pekarangan gedung Bengcu.
Pada saat itulah bayangan orang yang sedang berlari di
depan sana mempercepat gerakan tubuhnya menuju ke arah
tenggara. Setelah melakukan pengejaran sejauh satu li, akhirnya
Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bertemu
satu sama lain.
Di tengah pengejaran itu, mendadak Bong Thian-gak
berseru tertahan, katanya, "Aneh, seandainya orang di depan
sana adalah Ku-lo Locianpwe, mengapa dia berlari secara
terang-terangan dan sama sekali tidak berusaha
menyembunyikan diri?"
Rupanya Bong Thian-gak teringat tantangan Jit-kaucu atas
diri Ku-lo Hwesio dirahasiakan terhadap orang lain, berarti
gerak-geriknya pasti akan dilakukan dengan hati-hati sekali,
paling tidak dia akan mencari tempat tertutup atau sering
menengok ke belakang.
Tapi orang yang sedang berlari di depan sana tak pernah
berhenti, langsung menuju ke arah hutan tanpa sangsi atau
curiga. Baru saja Bong Thian-gak mengemukakan hal itu, Ho Putciang
dan Thia Leng-juan juga merasa orang di depan sedikit
pun tidak mirip Ku-lo Sinceng.
194 Akhirnya Ho Put-ciang berseru tertahan, "Aduh celaka, kita
sudah termakan siasat memancing harimau turun gunung."
"Lantas siapakah orang di depan sana?" tanya Bong Thiangak
kemudian. "Mungkin Goan-ko Taysu!"
"Mari kita menyusulnya!"
Selesai berkata, mereka segera mempercepat langkah,
seperti anak panah terlepas dari busur, tak lama telah berhasil
menyusul di belakang orang itu.
Sementara itu orang di depan sana merasa jejaknya sedang
diikuti, mendadak saja ia memperlambat gerak tubuhnya.
Bong Thian-gak, Ho Put-ciang, Thia Leng-juan bertiga
segera melampaui orang itu sambil berpaling.
Tampak orang itu berwajah bulat, berkulit putih dan
berwajah merah, mengenakan jubah abu-abu yang kedodoran
dan panjang. Siapa lagi orang ini kalau bukan Goan-ko Taysu"
Ketika Goan-ko Taysu menyaksikan Ho Put-ciang bertiga
telah menyusul, sekulum senyuman segera menghiasi
wajahnya, katanya, "Toa-supek Pinceng menyuruh aku
meninggalkan gedung Bengcu secara diam-diam pada tengah
malam ini menuju ke arah tenggara, katanya aku akan segera
bertemu dengan Ho-bengcu sekalian, ternyata kalian bertiga
datang tepat pada waktunya, entah ada urusan apa kalian
memanggil Pinceng datang kemari?"
Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak sekalian
merasa gelisah bercampur geli.
Ho Put-ciang tidak menjawab pertanyaan Goan-ko Taysu,
sebaliknya bertanya cemas, "Ko-siauhiap, bagaimana cara
menyusul Ku-lo Supek?"
195 Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Di saat kita
mengejar Goan-ko Taysu tadi, Ku-lo Locianpwe sudah pasti
telah berangkat untuk memenuhi janji, kemana kita harus
menemukannya sekarang?"
"Kita sekarang berempat, mari kita berpencar ke empat
penjuru mencarinya, ya ... apa boleh buat, lebih baik kita
mengadu untung ...." kata Thia Leng-juan kemudian.
Agaknya Goan-ko Taysu masih bingung dan tak habis
mengerti akan duduknya persoalan, segera tanyanya, "Hobengcu,
sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Sekarang waktu amat mendesak dan tidak mungkin
diceritakan, mari kita berpencar mencari Ku-lo Supek, begitu
menemukan jejaknya kita harus membantunya secara diamdiam."
"Baik," sambung Thia Leng-juan, "Kita pakai gedung Bu-lim
bengcu sebagai pusat, mari kita berpencar."
Selesai berkata dia membalik tubuh dan berlalu lebih dulu.
Ho Put-ciang segera melakukan pencarian ke arah utara.
Kini tinggal Bong Thian-gak dan Goan-ko Taysu yang masih
berdiri tak berkutik.
Melihat itu, Goan-ko Taysu segera bertanya, "Ko-sicu
hendak mencari ke arah mana?"
"Ke arah selatan!"
Selesai berkata, dia lantas berangkat menuju ke arah barat.
Sepeninggal semua orang, Bong Thian-gak mendongakkan
kepala memandang letak bintang, lalu menyapu pandang
sekeliling tempat itu, akhirnya dia bergumam, "Ku-lo Sinceng
memerintahkan Goan-ko menuju ke tenggara, menanti kita
merasa tertipu dan balik kembali ... kalau begitu tempat yang
dituju kalau bukan timur pasti selatan. Ke arah timur menuju
196 ke pantai pesisir, sedang ke arah selatan merupakan kuburan
dan dataran bukit... ah, betul! Sudah pasti tempat itu."
Selesai bergumam Bong Thian-gak segera mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna menuju ke
selatan. Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna, tak lama
kemudian dia telah menempuh perjalanan sejauh puluhan li
dan tiba di sebuah tanah berbukit-bukit.
Sejak kecil Bong Thian-gak hidup di kota Kay-hong, maka
dia pun tahu tempat ini bernama Kui-thau-nia (Tebing kepala
setan). Sejauh mata memandang, di sana-sini hanya berupa tanah
berbukit yang tinggi rendah tak menentu, berlapis-lapis
memanjang ke arah selatan, tiap tebing berketinggian hampir
tiga puluh kaki dengan bentuk seperti kepala manusia, oleh
sebab itulah tebing itu dinamakan Tebing kepala setan.
Bong Thian-gak ragu sejenak, akhirnya dia mengerahkan
Ginkang menuju tebing paling tinggi dari Kui-thau-nia, dari
tempat ketinggian itulah dia mencoba memeriksa keadaan di
sekitar sana. Sinar rembulan yang memancarkan sinar lembut membantu
penerangan sekitar sana, tapi suasana di sekeliling Kui-thaunia
amat sepi bagaikan kota mati saja.
"Mungkinkah aku salah menduga?" Bong Thian-gak
berpikir. Tapi ia segera berpikir lagi, "Tapi selain tempat ini, di
sebelah selatan tak terdapat tempat lain yang cocok untuk
melangsungkan pertarungan."
Sementara dia masih tertegun dan berdiri termangu,
mendadak dari arah bukit sebelah utara Bong Thian-gak
menyaksikan ada sesosok bayangan orang sedang meluncur
datang dengan kecepatan tinggi.
197 Waktu itu Bong Thian-gak sudah memilih tempat
persembunyian, matanya mengawasi pendatang itu tanpa
berkedip.

Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara pendatang itu semakin mendekati bukit Kuithau-
nia. Ternyata pendatang ini tak lain adalah Ku-lo Sinceng dari
kuil Siau-lim-si.
Ku-lo Hwesio mengenakan baju berwarna kuning, tasbihnya
tergantung di depan dada, tangannya memegang Hud-tim dan
berjalan naik ke atas bukit dengan langkah amat tenang.
Ku-lo Hwesio yang bermata tajam memandang sekejap ke
sekeliling tempat itu, kemudian berjalan ke tanah rumput dan
duduk bersila di sana.
Tempat persembunyian Bong Thian-gak berada di belakang
batu karang di sebelah kiri Ku-lo Hwesio, di depan batu cadas
itu kebetulan tumbuh dua batang pohon pinus yang rendah
sehingga menutupi batu karang tadi.
Bong Thian-gak menyangka Ku-lo Hwesio baru akan
muncul pada saat ini, ketika ia mencoba mendongakkan
kepala, tengah malam baru lewat seperempat jam, ia tak tahu
jam berapakah Jit-kaucu menantang Ku-lo Hwesio untuk
bertarung di sini"
Sementara itu Ku-lo Hwesio sudah duduk bersila di situ
sembari bersemedi, Bong Thian-gak juga tak berani bertindak
sembarangan, dia tahu saat Ku-lo Sinceng bersemedi,
telinganya yang tajam dapat menangkap suara napas yang
berada dua puluh kaki sekitar tempat itu.
Maka Bong Thian-gak segera menggunakan ilmu Kui-sihoat
(ilmu napas kura-kura) dengan menempelkan diri di batu
cadas itu. Waktu berlalu detik demi detik, menit demi menit ... tengah
malam lewat... jam satu tiba ....
198 Jam satu lewat, jam dua pun menjelang ... akhirnya malam
yang panjang akan berakhir.
Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Aneh, mengapa Jitkaucu
belum juga datang" Atau mungkin Ku-lo Hwesio akan
menunggu seharian di sini?"
Belum habis ingatan itu melintas, di keheningan yang
mencekam di Kui-thau-nia, mendadak berkumandang suara
teguran dingin bagai es, "Ku-lo Hwesio, sejak kapan kau
sampai di sini?"
Bong Thian-gak amat terkejut mendengar ucapan itu,
dengan cepat dia mencoba mencari dengan mengarahkan
ketajaman matanya.
Di tengah kegelapan malam yang paling gelap menjelang
tibanya fajar, Jit-kaucu menampakkan diri.
Sesosok bayangan tubuh yang putih melayang keluar dari
balik kabut yang tebal, seperti sosok bayangan setan tahutahu
sudah berdiri di hadapan Ku-lo Hwesio.
Sementara itu Ku-lo Hwesio masih tetap duduk di atas
tanah, sahutnya, "Menjelang tengah malam, Pinceng sudah
sampai." "Hwesio tua, begitu pagi kau sampai di sini, apakah kuatir
aku memasang jebakan di sini?"
"Pinceng tidak berani."
Kembali Jit-kaucu tertawa dingin, "Sam-kaucu telah
dikerubut di pagoda Leng-im-po-tah hingga menemui ajal, hari
ini mengapa kau tak mengundang orang-orangmu itu,
sehingga Kaucu tak usah repot-repot?"
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu terkejut,
segera pikirnya, "Mungkinkah dia tahu aku bersembunyi di
sini?" 199 Sementara dia masih berpikir, Ku-lo Hwesio telah
menyahut, "Bila ada orang yang menyembunyikan diri di sini,
rasanya juga tak bakal lolos dari pengintaian Li-sicu."
"Bagus," kata Jit-kaucu dingin. "Perjanjian kita pada
kentongan kelima merupakan perjanjian menentukan mati
hidup kita, sekarang kita boleh melangsungkan pertarungan."
"Tunggu dulu!" seru Ku-lo Hwesio tiba-tiba.
"Apakah kau hendak meninggalkan pesan terakhirmu?"
"Sebelum pertarungan dimulai, Pinceng ingin mengajukan
beberapa pertanyaan kepada Li-sicu.
"Persoalan apakah yang hendak kau pahami?"
"Pertama-tama, Pinceng ingin mengetahui lebih dulu
apakah Li-sicu adalah Li-siausicu yang pernah muncul di ruang
belakang kuil Siau-lim-si pada delapan tahun berselang?"
"Daya ingatmu sangat bagus!"
Si Hwesio sudah mengira, tapi mendengar pengakuan itu,
tak urung hatinya terperanjat juga.
Setelah berhenti sesaat, Ku-lo Hwesio kembali berkata,
"Delapan tahun berselang, Li-sicu telah menggunakan ilmu
Jian-yang-ciang untuk menghantam Pinceng, entah
perselisihan atau dendam kusumat apakah yang terjalin antara
Pinceng dengan Li-sicu?"
Jit-kaucu tertawa dingin, "Delapan tahun berselang, aku
sudah menerangkan kepadamu bahwa aku mendapat perintah
mencabut nyawamu, sama sekali tiada ikatan dendam atau
sakit hati pribadi!"
"Omitohud!" puji syukur Ku-lo Hwesio untuk keagungan
Sang Buddha. "Li-sicu memiliki ilmu silat yang amat dahsyat,
namun perbuatanmu justru mencelakai orang secara
sembarangan, apakah kau tak merasa bahwa tindakanmu ini
melanggar norma-norma hukum Thian?" ,
200 "Suhuku telah membuang waktu selama dua puluh tahun
untuk mendidikku siang malam, Hwesio tua, kau tak usah
bersilat lidah lagi."
"Siapakah Suhu Li-sicu" Dapatkah memberitahu
kepadaku?"
"Dia adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
"Apakah Cong-kaucu itu pria atau wanita?" kembali Ku-lo
Hwesio bertanya sambil menghela napas panjang.
"Perempuan! Sebenarnya persoalan itu tidak boleh
kuberitahukan kepadamu, tapi mengingat kau akan kembali ke
langit barat, tidak ada salahnya kuberitahukan kepadamu!"
Sekali lagi Ku-lo Hwesio menghela napas, "Bila begitu,
perkiraan Pinceng tak salah, kalau Li-sicu telah
mengatakannya, mengapa tak kau sebutkan juga nama
gurumu itu?"
"Sudah diberi hati minta ampela ... ai, padahal aku sendiri
pun tak tahu siapa namanya."
"Masih ada satu hal lagi yang hendak kutanyakan, yaitu
ilmu Soh-li jian-yang-sin-kang yang dilatih Li-sicu sudah
berhasil mencapai tingkat berapa?"
"Sudah mencapai tingkat kesembilan, Hwesio tua, buat apa
kau menanyakan persoalan ini?"
Dengan sedih Ku-lo Hwesio menghela napas panjang,
"Sebab dalam pertarungan ini, Pinceng sama sekali tidak
mempunyai keyakinan untuk menang, andai aku tewas di
tangan Li-sicu, mungkin di Bu-lim dewasa ini tidak ada orang
yang bisa menghadapimu lagi."
Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Kau adalah jago lihai
nomor satu dalam Bu-lim, bila aku dapat membunuhmu,
apakah di Bu-lim masih ada orang yang bisa mengungguli
diriku lagi?"
201 Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata, "Ilmu silat amat
luas dan dalam, sama sekali tiada batasannya. Sejak dulu pun
banyak orang berbakat yang berhasil mempelajari ilmu sakti
dan menganggap dirinya tanpa tanding di kolong langit, tapi
akhirnya mereka justru tewas di tangan orang lain. Li-sicu
adalah seorang cerdik, tentunya kau dapat memahami
perkataanku bukan?"
"Hm, kini kentongan kelima sudah lewat, kau tak usah
banyak bicara lagi!" tukas Jit-kaucu dingin.
"Omitohud, para Nabi pernah berkata, tiada manusia yang
tak pernah berbuat kesalahan, tapi siapa yang mau mengubah
kesalahannya, dialah manusia bijaksana, Li-sicu mumpung
belum Hati Budha Tangan Berbisa 12 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kekaisaran Rajawali Emas 4
^