Pendekar Cacad 4

Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 4


terperosok lebih dalam lagi, lepaskanlah golok
pembunuhmu, karena bila kau berpaling, di sanalah akan kau
jumpai tepian."
Beberapa patah kata itu diutarakan dengan suara nyaring
sehingga menggetarkan seluruh bukit dan mendengung tiada
hentinya. Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, segera bentaknya,
"Hari ini aku mengundangmu datang bukan untuk
mendengarkan kuliah Taysu, bila Taysu memiliki ilmu sakti
pelindung badan, gunakan saja dengan segera!"
Sementara itu fajar telah menyingsing di ufuk timur, cahaya
keemas-emasan pun mulai memancar ke empat penjuru.
Jit-kaucu mengenakan pakaian berwarna putih dengan
mantel yang terbuat dari bulu rase putih, begitu anggun,
cantik dan memukau.
Sebaliknya Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si duduk bersila di
tanah dengan sikap kereng dan serius, ia mengenakan kain
berwarna kuning dengan tasbih tergantung di leher, sepasang
tangannya dirapatkan menjepit sebatang Hud-tim.
202 Kini kedua tokoh sakti dari dunia persilatan ini berdiri dalam
jarak dekat tempat mata memancarkan sinar tajam saling
tatap, pertempuran sengit akan segera berlangsung.
Bong Thian-gak berada puluhan kaki dari arena, matanya
yang tajam mengawasi gerak-gerik kedua orang itu tanpa
berkedip. Mendadak Jit-kaucu melejit ke tengah udara, kemudian
secepat kilat menerjang ke arah Ku-lo Hwesio.
Terhadap terjangan Jit-kaucu itu, Ku-lo Hwesio bersikap
seakan-akan tidak melihat, dia tetap duduk bersila sambil
memegang kebutnya tanpa bergerak.
Ketika terjangan Jit-kaucu hampir mencapai tubuh Ku-lo
Sinceng, mendadak dia melesat dengan cepat, lalu melayang
turun, kemudian dengan suara dingin bentaknya, "Hwesio tua,
tenaga dalammu benar-benar amat sempurna, rupanya kau
telah menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang!"
Begitu selesai berkata, Jit-kaucu melejit kembali ke tengah
udara. Pertarungan sengit dengan kecepatan tinggi pun
segera berkobar.
Tatkala tubuh Jit-kaucu telah berada dekat Ku-lo Sinceng,
tangan kanannya diayun berulang-kali dan secara beruntun
melancarkan empat serangan berantai.
Ku-lo Hwesio segera melancarkan serangan balasan,
sepasang telapak tangannya yang menjepit kebut mendadak
menyambar ke samping, kebut tadi telah menari-nari dengan
cepat. "Wes", hembusan tajam menderu.
Untuk kedua kalinya terjangan Jit-kaucu mengalami
kegagalan dan tubuhnya segera mundur.
Bong Thian-gak menonton jalannya dua kali bentrokan
kekerasan dari Ku-lo Sinceng dan Jit-kaucu, hatinya
203 terperanjat, pikirnya, "Kalau aku yang dihadapkan dengan
serangan itu, mungkin serangan yang pertama Jit-kaucu pun
tak mampu kutahan."
Setelah gagal dengan serangannya, tiba-tiba Jit-kaucu
menghindar dengan wajah serius, selapis hawa dingin
mencekam wajahnya, dihiasi pula dengan hawa nafsu
membunuh yang mengerikan.
Sementara itu paras muka Ku-lo Hwesio juga berubah
serius. Mendadak Jit-kaucu mengangkat telapak tangan kirinya
pelan-pelan, kemudian telapak tangan yang putih dan halus
itu diluruskan ke depan, pada telapak tangannya lamat-lamat
tampak cahaya merah membara seperti bola api yang
berputar kencang.
Dengan kening berkerut, Bong Thian-gak membatin,
"Mungkin serangan inilah yang dinamakan ilmu Soh-li-jian-sinkang
yang hebat itu!"
Belum habis ingatan itu melintas, tubuh Jit-kaucu sudah
melejit lagi ke tengah udara dan melancarkan tubrukan ketiga
kalinya. Mungkin dalam serangan inilah akan ditentukan menangkalah
kedua belah pihak.
Pertarungan itu mungkin tidak akan berlangsung terlampau
lama, oleh sebab itu Bong Thian-gak mengalihkan sorot
matanya yang tegang mengawasi jalannya pertarungan tanpa
berkedip. Tampak Jit-kaucu pelan-pelan bergerak ke depan dan
lambat-laun mendekat ke arah Ku-lo Hwesio.
Tiba-tiba telapak tangan kiri Jit-kaucu yang putih
memancarkan cahaya merah yang amat menyilaukan mata,
ibarat matahari yang baru terbit, bola api berputar-putar.
204 Di saat itu pula telapak tangan Jit-kaucu segera
memanfaatkan kesempatan untuk menerobos masuk.
Kenyataan membuktikan bahwa ilmu pukulan Soh-li-jiansin-
kang Jit-kaucu telah berhasil memecah pertahanan Tatmo-
khi-kang yang disalurkan Ku-lo Hwesio untuk melindungi
tubuhnya. Dalam waktu yang amat singkat itulah telapak tangan
kedua belah pihak memainkan berbagai macam jurus
serangan yang aneh tapi amat sakti.
Suara jeritan keras bergema di udara dan mengakhiri
pertarungan itu.
Tubuh Jit-kaucu mencelat ke samping kanan kemudian
jatuh terbanting ke tanah, kemudian tak berkutik lagi.
Sebaliknya jubah kuning yang dipakai Ku-lo Hwesio juga
banyak terdapat lubang di sana-sini, namun dia masih tetap
berdiri dan diam di tempat semula.
Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi
gembira, akhirnya Jit-kaucu berhasil juga dikalahkan.
Sebenarnya ia ingin keluar dari tempat persembunyiannya
untuk memburu ke depan, tapi setelah menyaksikan Ku-lo
Hwesio masih tetap berdiri tak berkutik di tempat semula, ia
tertegun. Tak lama kemudian, Ku-lo Hwesio menghembus napas
panjang dengan sedih, lalu melangkah ke depan menuju ke
arah Jit-kaucu yang terkapar di tanah itu.
Kini Bong Thian-gak dapat melihat muka Ku-lo Hwesio
pucat-pias seperti mayat, tampaknya dia telah banyak
kehilangan hawa murninya.
Setelah mengawasi beberapa kejap tubuh Jit-kaucu yang
tak berkutik itu, Ku-lo Hwesio baru membalikkan badan dan
berlalu dari situ.
205 Bong Thian-gak ingin memanggil, namun setelah
termenung sebentar dia lantas berpikir, "Entah bagaimanakah
keadaan Jit-kaucu?"
Teringat akan Jit-kaucu, Bong Thian-gak segera teringat
pula keindahan tubuh si nona yang telanjang bulat itu.
Ku-lo Hwesio berlalu dengan sangat cepat, bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Pada saat itulah Bong Thian-gak muncul dari balik batu
karang dan berjalan mendekat.
Matahari pagi telah memancarkan sinarnya menembus
awan tebal dan menyoroti wajah Jit-kaucu.
Tampak Jit-kaucu memejamkan mata rapat-rapat,
wajahnya yang cantik kini pucat keabu-abuan, tiada luka di
atas tubuhnya, namun ujung bibirnya tampak noda darah,
pakaiannya juga penuh dengan noda darah.
Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas panjang,
pikirnya, "Gadis yang begini cantik akhirnya harus menemui
ajal dalam keadaan mengenaskan, tak lama kemudian dia
akan berubah menjadi sekerat tulang-belulang."
Berpikir sampai di sini, dia lantas merenung lebih jauh,
"bagaimana pun juga dia sudah mati, kasihan jenazahnya
dibiarkan telantar disinari terik matahari, ditimpa air hujan
atau mungkin akan menjadi santapan serigala kelaparan ....
Ai, bagaimana pun juga kematian akan mengakhiri segalagalanya,
biarlah kubuatkan sebuah liang untuk mengubur
jenazahnya!"
Bong Thian-gak segera mencabut pedangnya yang tajam
dan menggunakan pedang sebagai sekop untuk menggali
sebuah liang kubur di situ.
Setelah membuang waktu hampir setengah jam lamanya,
dia telah berhasil membuat sebuah liang.
206 Di kala Bong Thian-gak berpaling untuk mengubur jenazah
Jit-kaucu, mendadak dia tertegun.
Rupanya jenazah itu sudah lenyap entah kemana perginya.
Sementara Bong Thian-gak terkejut, tiba-tiba terdengar
seorang menegur dengan suara merdu, "Buat apa kau
menggali liang kubur?"
Mendengar teguran itu kembali ia berpaling, hampir saja
pemuda itu menjerit keras.
Ternyata Jit-kaucu sudah duduk di bawah pohon kurang
lebih belasan kaki di hadapannya.
Jadi dia belum mati"
Bong Thian-gak sungguh terperanjat, sekali lagi ia
mengawasi tubuh nona itu dengan seksama, ternyata ujung
bibirnya masih penuh noda darah, pakaiannya juga masih
berlepotan darah, hanya paras mukanya yang semula pucatpias,
kini sudah nampak lebih baikan.
Menyaksikan Bong Thian-gak lama sekali membungkam,
Jit-kaucu menghela napas sedih, kemudian katanya, "Apakah
kau membuat liang kubur itu untuk mengubur jenazahku?"
"Kau ... kau belum mati?" Bong Thian-gak berseru
tergagap. "Kalau sudah mati, bagaimana mungkin bisa bicara?" jawab
Jit-kaucu hambar.
Bong Thian-gak segera menggerakkan badannya seraya
berseru lantang, "Jika kau belum mati, maka aku harus
mencabut jiwamu."
"Mengapa engkau hendak mencabut nyawaku?" tegur Jitkaucu
tanpa berubah wajah.
207 Bong Thian-gak tertegun oleh pertanyaan itu, setelah
termenung sebentar, ia baru menjawab, "Kau adalah pentolan
yang menerbitkan berbagai keonaran dalam Bu-lim, sebelum
kau mati, dunia persilatan tak akan memperoleh kedamaian."
"Ku-lo Hwesio saja tak mampu mencabut nyawaku, apalagi
kau ... kau tak mungkin berhasil."
"Jadi kau hanya pura-pura mati?" tanya Bong Thian-gak
dengan perasaan bergetar keras.
"Aku jatuh tak sadarkan diri tapi tidak mati, ilmu silat
Hwesio tua itu memang sangat lihai, sangat sempurna, cuma
sayang dia ..."
"Dia kenapa?" seru Bong Thian-gak cepat.
"Dia tak bisa hidup lebih tujuh hari," kata Jit-kaucu.
"Mengapa tak dapat hidup lebih tujuh hari?"
"Tadi dia telah menggunakan pertarungan adu jiwa yang
bisa menyebabkan kedua belah pihak sama-sama terluka,
pada kesempatan itu jalan darah Jin-meh dan Tok-meh
Hwesio tua itu telah kulukai dengan pukulan Soh-li-jian-yangsin-
kang. Dia tidak segera tewas karena tenaga dalamnya
sempurna, tapi akhirnya tak akan lolos juga dari kematian."
Bong Thian-gak benar-benar terperanjat mendengar
ucapan itu, "Sungguh perkataanmu itu?"
"Apa yang kuucapkan tentu saja sungguh-sungguh."
Paras Bong Thian-gak berubah hebat, dia tak menyangka
jerih-payah Ku-lo Hwesio untuk melenyapkan Jit-kaucu dari
muka bumi menjadi punah tak berbekas, dia tak segan
mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan pertarungan
adu jiwa. Baginya, asal Jit-kaucu bisa dilenyapkan, sekali pun harus
mati dia tak sayang, namun ia bertindak kurang teliti, sebelum
memeriksa mati-hidup lawan, ia telah berlalu begitu saja dan
208 akibatnya usaha yang dilakukan selama ini menjadi sia-sia
belaka. Tadi selagi Jit-kaucu tak sadar, bila Ku-lo Hwesio
mengetahui gadis itu belum mati tentu akan menambahi
dengan sebuah pukulan mematikan, sudah pasti Jit-kaucu
takkan bisa hidup lebih lama.
Bong Thian-gak pun menyesal mengapa tak memeriksa
lebih dulu atau mungkin Jit-kaucu memang belum ditakdirkan
untuk mati"
Terdengar Jit-kaucu berkata, "Kau yang menjumpai aku
mati ternyata tak tega membiarkan jenazahku terbengkalai di
tanah terbuka, bahkan menggalikan liang lahat untuk
mengubur jenazahku, meski aku tak jadi mati, namun
kebajikan serta kemuliaan hatimu sungguh membuat aku
terharu dan tidak akan melupakan kebaikanmu itu untuk
selamanya."
Sementara itu pikiran Bong Thian-gak amat kalut, dalam
keadaan dan kondisi seperti ini sudah seharusnya ia
menampilkan diri dan menggunakan segenap kekuatan yang
ada untuk menyelesaikan tugas Ku-lo Sinceng yang belum
terselesaikan itu.
Begitu niat itu melintas, Bong Thian-gak segera mengambil
keputusan dalam hati, sesudah tertawa dingin, katanya, "Aku
tidak peduli bagaimana ilmu silatmu, aku bertekad bertarung
melawanmu."
"Aku pun mengambil keputusan untuk tidak mencelakai
jiwamu, sebagai ucapan terima kasihku atas kebaikanmu
membuat liang lahat bagiku tadi."
"Maaf kalau begitu!" sambil berkata dia segera maju
sembari melancarkan sebuah tusukan kilat.
Ilmu silat Bong Thian-gak sekarang telah mencapai tingkat
yang luar biasa, tusukan itu pun disertai tenaga yang amat
209 dahsyat, itulah ilmu pedang terbang Cwan-sim-kiam-hoat
(Ilmu pedang penembus hati).
Jit-kaucu masih duduk di bawah pohon tanpa bergerak,
menanti serangan itu datang, tiba-tiba saja dia menyentilkan
jari tangannya ke depan.
Bunyi bergemerincing yang memekakkan telinga
berkumandang memecah keheningan.
Sambil menarik kembali senjatanya, Bong Thian-gak


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur sejauh tiga-empat langkah, kemudian serunya dengan
terperanjat, "Hm, ilmu jari Kiam-goan-ci!"
"Betul, inilah Kiam-goan-ci, ilmu sakti perguruan Mi-tiongbun
di Tibet. Kiu-kaucu perkumpulan kami pernah
memberitahu kau punya ilmu sakti aliran Mi-tiong-bun,
nampaknya apa yang dia laporkan memang benar."
"Kau maksudkan si nona berbaju merah itu?"
"Ya, betul! Ni Kiu-yu!"
Bong Thian-gak memang sudah menduga gadis berbaju
merah yang muncul di pagoda Leng-im-po-tah itu tentu
merupakan anggota Put-gwa-cin-kau, ternyata apa yang
diduga memang betul, gadis muda itu adalah Kiu-kaucu.
Jit-kaucu berkata lagi, "Hingga sekarang aku belum berhasil
menduga riwayat hidupmu, tapi dari aliran ilmu silat yang kau
miliki, bukan saja memahami ilmu silat Mi-tiong-bun dan
menguasai seluruh aliran ilmu silat semua partai di kolong
langit, bila dugaanku tidak salah hanya dua orang di kolong
langit dewasa ini yang bisa mengajar seorang murid semacam
kau ini." "Siapakah kedua orang itu?" tanya Bong Thian-gak
keheranan. "Pertama adalah Cong-kaucu perkumpulan kami!"
210 "Kau maksudkan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau?" seru Bong
Thian-gak tertegun.
"Hari ini aku ingin kau bicara blak-blakan, benarkah kau
utusan khusus yang dikirim Cong-kaucu untuk mengawasi
diriku?" Semakin mendengar, Bong Thian-gak semakin bingung,
tapi dari perkataan Jit-kaucu ini pula dia tahu bahwa antara
sesama anggota Put-gwa-cin-kau sebenarnya saling tidak
percaya dan curiga.
Kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau terbentuk karena
usaha Cong-kaucu yang mempengaruhi orang dengan
kekerasan. Sekarang Bong Thian-gak dihadapkan pada suatu masalah
penting yang harus diputuskan dengan cepat, tanpa terasa dia
berkerut kening sambil termenung.
Dengan sorot mata tajam Jit-kaucu mengawasi wajah Bong
Thian-gak lekat-lekat, gumamnya, "Selama puluhan tahun
terakhir ini, Suhu amat baik terhadapku, mengapa aku harus
mencurigai dia?"
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak mengangkat
kepala dan memandang sekejap ke arah Jit-kaucu, kemudian
katanya, "Tadi Ku-lo sanseng telah berkata kepadamu, dari
dulu hingga sekarang terdapat pentolan persilatan yang ingin
menjadi raja dunia persilatan, coba berapa banyak orang yang
tewas dengan nama rusak dan tubuh binasa" Bilamana kau
pintar, sudah seharusnya berpaling ke jalan benar, mumpung
sekarang masih belum terlambat."
"Kau menginginkan aku berbuat apa?" tanya Jit-kaucu
dengan suara hambar.
"Melepas jalan sesat kembali ke jalan yang benar."
Jit-kaucu tersenyum.
211 "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi?" serunya.
"Aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau!" jawab Bong Thiangak.
"Oh, kalau begitu kau adalah muridnya?"
"Murid siapa?"
"Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"
Mendengar itu kontan paras muka Bong Thian-gak berubah
hebat, tanyanya, "Kau pun kenal nama itu?"
"Tiada nama jago lihai di dunia ini yang tidak kukenal."
Diam-diam Bong Thian-gak terkejut, dengan cepat dia
berpikir, "Sebelum menemui ajal. Suhu kedua telah berkata,
ada seorang lain pernah memperoleh pelajaran ilmu silat
darinya, mungkinkah orang itu adalah Jit-kaucu?"
Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera bertanya,
"Kau pernah berjumpa dengannya?"
"Kau ini bagaimana" Mengapa tidak menjawab dulu
pertanyaan orang?"
"Ya, betul! Dia adalah guruku," jawab Bong Thian-gak
kemudian dengan suara tegas.
Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, tanyanya, "Sudah
matikah dia?"
"Ya, baru beberapa bulan berselang."
Jit-kaucu menghela napas, "Ai, pernahkah dia menceritakan
sesuatu tentang diriku?"
"Sebenarnya ada hubungan apakah antara kau dengan dia
orang tua?"
"Guru yang memberi pelajaran ilmu silat selama empat
puluh sembilan hari kepadaku."
212 Dengan terkejut Bong Thian-gak berkata, "Jit-kaucu, kau
adalah orang pertama yang memperoleh warisan ilmu silat
dari dia orang tua?"
"Benar, peristiwa itu berlangsung dua puluh tahun
berselang, aku hanya empat puluh sembilan hari berada
bersamanya."
"Dua puluh tahun berselang" Lantas pada umur berapa kau
bertemu dengan dia orang tua?"
"Waktu berumur lima tahun."
Bong Thian-gak menggeleng kepala berulang-kali.
"Sejak usia lima tahun sudah berlatih silat, bahkan
memperoleh pelajaran silat selama empat puluh sembilan
hari." "Waktu itu aku masih belum memahami ilmu silat, tapi dia
orang tua membacakan teori ilmu silat dan suruh aku
menghafal di luar kepala, maka aku pun ingat terus sampai
sekarang."
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Ai, sebelum
meninggal, Suhu Ban Li-biau telah berkata kepadaku, 'Selama
hidup Lohu hanya melakukan kejahatan, kemaruk akan nama,
harta dan kedudukan, selalu berusaha mencapai harapan
dengan menggunakan cara apa pun, tapi akibatnya tujuh
puluh tahun hidupku di dunia ini sia-sia belaka ... Ai budi
dendam dalam Bu-lim selamanya merupakan perputaran dari
hukum karma, siksaan hidup yang Lohu alami selama tiga
puluh tahun ini betul-betul merupakan suatu hukuman yang
paling adil....'."
"Hanya mengucapkan kata-kata itu saja?" tanya Jit-kaucu.
"Dia masih berkata bahwa ia pernah mewariskan ilmu silat
kepada seorang lain, dia suruh aku baik-baik mempergunakan
ilmu itu."
213 "Ai, dia orang tua memang kelewat mengenaskan nasibnya,
kelewat kesepian," ujar Jit-kaucu menghela napas.
"Tahukah kau mengapa dia orang tua menjadi cacat seperti
itu?" "Tidak!"
Dengan suara dalam Bong Thian-gak berkata, "Kau dan aku
boleh dibilang berasal dari perguruan yang sama, kata-kata
terakhir dari Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sudah jelas
menerangkan bagaimana akibatnya bila seseorang melakukan
kejahatan, sekarang bagaimana perasaanmu?"
Paras muka Jit-kaucu berubah. "Kau jangan menasehati
aku," katanya.
"Aku harus memberi peringatan padamu agar jangan
bercerita kepada siapa pun bahwa kau pernah belajar ilmu
silat dari Ban Li-biau, sebab bila rahasia ini sampai bocor,
maka keselamatan jiwamu akan terancam."
"Aku tidak takut menghadapi kematian, asal kematianku itu
berharga, setiap saat aku bersedia mengorbankan diri demi
keadilan dan kebenaran."
"Ya, kini kau dan aku sudah menjadi Suheng-moay," ucap
Jit-kaucu sedih. "Tapi kita pun berhadapan sebagai musuh,
bagaimana aku harus menyelesaikan persoalan ini?"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, wajahnya
menampilkan perasaan sedih dan murung yang tak
berlukiskan. Bong Thian-gak sendiri pun merasa betapa cepatnya
perubahan Itu berlangsung, sebetulnya hari ini dia bertekad
akan mengadu jiwa dengannya, tapi kenyataan membuktikan
bahwa mereka adalah sesama saudara seperguruan,
bagaimana mungkin dia bisa turun tangan"
214 Mendadak Bong Thian-gak menarik kembali pedangnya dan
berkata dengan wajah serius, "Tentang usulku agar kau
kembali ke jalan yang benar harap dipikirkan masak-masak,
tindak-tandukmu di kemudian hari yang akan menentukan
segalanya."
Usai berkata dia membalikkan badan dan siap berlalu dari
situ. Mendadak Jit-kaucu berseru, "Tunggu dulu!"
Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan, lalu
bertanya, "Masih ada urusan apa lagi?"
Dengan wajah dingin Jit-kaucu berkata, "Apabila Ku-lo
Hwesio masih ingin mempertahankan jiwanya atas luka yang
dideritanya, suruh dia mengutungi sepasang kakinya sebatas
lutut dalam tiga jam, biarkan darah mengalir keluar hingga
berubah menjadi merah segar, kemudian baru hentikan aliran
darah itu, bila melewati waktu yang ditentukan, maka dia akan
berubah menjadi cacat!"
Bong Thian-gak tertegun.
"Mungkin dia mempunyai cara pengobatan yang lebih
baik," katanya kemudian.
"Hanya cara ini saja yang bisa mempertahankan ilmu
silatnya hingga tidak punah, percaya atau tidak terserah
kepadamu."
"Siapa tahu dia tidak menderita begitu parah seperti apa
yang kau ucapkan?"
"Ku-lo Sinceng memang telah berhasil menemukan ilmu
silat yang bisa menandingi Soh-li-jian-yang-sin-kang, namun
dia telah salah memperhitungkan kesempurnaan tenaga
dalamku." 215 Sampai di situ dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku
bernama Thay-kun, di Bu-lim hanya kau seorang yang
mengetahui namaku itu."
"Thay-kun" Kau berasal dari marga apa?" tanya Bong
Thian-gak dengan kening berkerut.
"Belum kuketahui apa margaku."
Walaupun Bong Thian-gak agak tercengang oleh jawaban
itu, namun dia juga tidak banyak bertanya, katanya kemudian,
"Sampai jumpa lain waktu!"
Dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari tempat itu.
Jit-kaucu Thay-kun memandangnya hingga bayangan
punggung pemuda itu lenyap dari pandangan, kemudian
sambil menghela napas gumamnya, "Mengapa aku
memberitahu banyak hal kepadanya ... mengapa aku harus
memberitahu namaku kepadanya ...."
Dia pun bangkit dan mengayunkan langkah meninggalkan
tebing Kui-thau-nia itu.
Bong Thian-gak mengerahkan Ginkang menuju gedung Bulim
Bengcu. Sepanjang jalan, banyak persoalan yang dipikirkan olehnya.
Dia sama sekali tidak menyangka Jit-kaucu adalah ahli
waris lain Jian-bin-hu-li Ban Li-biau.
Di usia lima tahun, ternyata selama empat puluh sembilan
hari dia digembleng ilmu silat oleh Ban Li-biau, peristiwa itu
membuat orang sukar percaya.
Dari keberhasilan Jit-kaucu Thay-kun menguasai ilmu silat,
mau tak mau orang harus percaya juga.
Dia adalah salah seorang ahli waris Ban Li-biau, bagaimana
pun juga dia harus memberi kesempatan baginya untuk
menempuh hidup baru.
216 Ai, perubahan yang terjadi atas segala persoalan ini
memang berlangsung sangat mendadak, perlukah masalah itu
diberitahukan kepada Ku-lo Sinceng"
Teringat akan Ku-lo Hwesio, Bong Thian-gak segera
mempercepat langkahnya, setengah jam kemudian dia telah
tiba di depan pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu.
Pengawal pintu yang menyaksikan kedatangan Bong Thiangak,
segera menyongsong seraya berkata dengan penuh rasa
hormat, "Ko-siauhiap, Bengcu telah berpesan, bila Siauhiap
telah kembali dipersilakan segera menuju loteng sebelah
timur." Bong Thian-gak sudah menduga akan duduk masalahnya,
dia segera menerobos ke dalam gedung dan menuju ke loteng
sebelah timur. Begitu masuk ke loteng, ia saksikan di ruang tamu sudah
menunggu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan, Toan-jong-hong-liu
Yu Heng-sui, Oh Cian-giok, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay,
Wan-pit-kim-to Ang
Thong-lam, Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong serta Goanko
Taysu. Sedang di atas kasur duduk bersila Ku-lo Hwesio, saat itu
dia sedang memejamkan mata dengan wajah memucat,
mukanya sama sekali tidak nampak warna darah.
Begitu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menyaksikan Bong
Thian-gak kembali, buru-buru dia menyongsong seraya
berseru, "Ko-siauhiap, Ku-lo Supek ada pesan yang hendak
disampaikan kepadamu."
Sorot mata Bong Thian-gak yang tajam dengan cepat
menyapu semua wajah orang dengan serius, murung dan
sedih, ia segera mengetahui apa gerangan yang telah terjadi.
217 Buru-buru dia maju, menjatuhkan diri dan berlutut, ujarnya
kepada Ku-lo Sinceng, "Wanpwe menjumpai Sinceng, entah
Sinceng ada pesan apa yang hendak disampaikan?"
Waktu itu Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata rapatrapat,
namun bibirnya masih dapat bergerak mengeluarkan
suara yang amat lirih, terdengar dia berbisik, "Ko-siauhiap,
Pinceng sudah tak dapat hidup lebih lama lagi... Jit-kaucu juga
telah mati...."
Sebenarnya Bong Thian-gak hendak memberitahu
kepadanya bahwa Jit-kaucu belum mati, namun kuatir Ku-lo
Hwesio terlalu kaget, maka dia hanya berkerut kening dan
untuk sementara waktu tidak berkata apa-apa.


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar Ku-lo Hwesio berkata lebih jauh, "Selanjutnya
musuh-musuh tangguh dari Put-gwa-cin-kau ... harus ... harus
kalian dan Ho-hiantit menghadapinya! Pinceng sengaja
menunggumu karena aku hendak mewariskan ilmu Tat-mokhi-
kang kepadamu ... sayang bila ilmu sakti ini sampai hilang
dari dunia ini ... Tat-mo-khi-kang sudah ratusan tahun lenyap
dari dunia persilatan, Pinceng pun harus mengorbankan waktu
delapan tahun untuk mencapai tingkat tiga."
"Dari tingkat empat sampai tingkat sepuluh ... kitab itu
sudah hilang sejak tiga puluh tahun lalu, kitab itu dicuri orang
dari tempat penyimpanan oleh orang tak dikenal... orang itu
mungkin adalah ...."
"Toa-supek, siapakah orang itu?" Goan-ko Taysu berseru
keras. Ku-lo Hwesio tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya
berkata lebih lanjut, "Meskipun ia berhasil mencuri kitab Tatmo-
khi-kang dari tingkat keempat hingga sepuluh, tapi tak
pernah berhasil mempelajari ilmu sakti itu, sebab dasar utama
ilmu Tat-mo-khi-kang justru terletak pada tingkat pertama dan
kedua, bila dasarnya tak ada, maka sulit untuk mencapai
tingkat keempat yang jauh lebih dalam isinya ...."
218 "Bila seseorang bisa melatih ilmu Tat-mo-khi-kang hingga
tingkat ketujuh, maka sudah cukup menjagoi kolong langit
dan sukar untuk dicari tandingannya."
"Bila dugaan Pinceng tak salah dan bila orang yang mencuri
kitab pusaka Tat-mo-khi-kang dari tingkat keempat sampai
kesepuluh itu benar-benar dia, maka Ko-siauhiap sudah pasti
telah memperoleh ilmu warisan darinya."
Ketika Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan mendengar sampai
di situ, mereka tahu siapa orang yang dimaksud Ku-lo Hwesio,
sudah pasti orang yang mencuri kitab pusaka Tat-mo-khi-kang
dari tingkat empat sampai sepuluh itu adalah Jian-bin-hu-li
Ban Li-biau. Bong Thian-gak sendiri ketika mendengar ucapan itu,
segera teringat suatu peristiwa di saat Ban Li-biau hendak
mewariskan ilmu silat kepadanya.
Maka dengan cepat Bong Thian-gak menjawab, "Apa yang
diduga Sinceng memang benar, orang yang mencuri kitab itu
memang dia orang tua."
Ku-lo Hwesio memejamkan mata rapat-rapat, dia lantas
bertanya, "Mengapa kau merasa yakin?"
"Suatu waktu tatkala dia orang tua sedang memberi
pelajaran ilmu silat kepadaku, beliau telah mewariskan ketujuh
kupasan ilmu itu dengan catatan aku hanya boleh menghafal
tidak boleh melatihnya dengan akibat bisa mendatangkan bibit
bencana. Pada saat itu meski aku merasa heran, besar
kemungkinan ilmu itu adalah Tat-mo-khi-kang."
Paras muka Ku-lo Hwesio segera nampak berseri, tanyanya
dengan cepat, "Ko-siauhiap, apakah kau masih hapal semua
ilmu itu?"
Bong Thian-gak menjawab, "Ai, waktu itu dia orang tua
berkata, hanya menghapal dan jangan dilatih, karena bisa
mengakibatkan bencana, oleh sebab itu Wanpwe merasa ilmu
219 itu tak ada gunanya, maka aku tidak mengingatnya secara
baik, bahkan dua-tiga bagian yang tei akhir berhubung ada
huruf dan kata yang asing, seperti bukan huruf Han, pada
hakikatnya sulit buatku untuk mengingatnya."
Mendengar itu Ku-lo Hwesio menghela napas panjang,
"Sayang, sayang sekali, kalau begitu ilmu Tat-mo-khi-kang tak
pernah akan menjadi utuh ... perkataan Ko-siauhiap memang
benar, kitab pusaka Tat-mo-khi-kang memang ditulis sendiri
oleh Tat-mo Cosu pendiri kuil Siau-lim-si kami, ketika itu
semua tulisan dicatat dalam huruf negeri Thian-tiok sehingga
sulit bagi orang yang tidak memahami. Selama ratusan tahun
belakangan ini, banyak sudah tokoh Siau-lim-si yang
mendalami ilmu itu, namun selama ini hanya seorang saja
yang berhasil hingga mendalami tingkat ketujuh, sebab kecuali
tingkat satu sampai tingkat tujuh yang ada terjemahannya
dalam bahasa Han, dari tingkat delapan sampai sepuluh
memang ditulis dalam huruf Sansekerta!"
"Kecuali tiga bagian yang terakhir tidak mampu Wanpwe
hafalkan secara baik, empat bagian yang pertama mungkin
masih bisa diingat dengan baik."
Dengan gembira Ku-lo Hwesio berkata, "Bagus sekali kalau
begitu, berarti dunia persilatan bisa ditolong."
Cepat Bong Thian-gak berkata, "Walau Locianpwe sudah
terkena pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang, belum tentu luka
itu menyebabkan kematian, sebab Wanpwe mempunyai cara
untuk menyelamatkan Locianpwe, sekarang paling baik kalau
kita mengobati dulu luka yang diderita Locianpwe."
"Ko-siauhiap, dengarkan baik-baik," Ku-lo Hwesio berkata
dengan cemas. "Kematian Pinceng tiada sesuatu yang perlu
disayangkan, persoalan yang paling Pinceng kuatirkan adalah
hilangnya Tat-mo-khi-kang ini dari dunia persilatan, sebab
hanya ilmu Tat-mo-khi-kang yang merupakan dasar ilmu silat,
asal Tat-mo-khi-kang ini bisa diwariskan kepada seseorang,
220 maka ilmu sesat macam apa pun jangan harap bisa
menandinginya."
"Oleh sebab itu sekarang aku harus memanfaatkan
kesempatan yang amat pendek ini untuk mewariskan ketiga
bagian Tat-mo-khi-kang itu kepadamu, asal kau mampu
menguasai ilmu itu, berarti dunia persilatan akan menemukan
bintang penolong."
Bong Thian-gak tahu Ku-lo Hwesio tidak percaya bila dia
mampu menyembuhkan luka itu, dalam keadaan demikian dia
tak berani lagi mengungkapkan bahwa Jit-kaucu sebetulnya
belum mati. Kini ia dihadapkan pada persoalan yang sukar untuk
diputuskan. Terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Pinceng pun mempunyai
cara untuk mengobati luka ini, tapi tidak terlalu yakin, maka
Pinceng lebih suka mengorbankan nyawaku daripada
membuang waktu dengan percuma. Ko-siauhiap, kau orang
pintar, kau harus mempunyai pilihan yang tepat. Sekarang
cepat kau kumpulkan semua perhatian dan pikiranmu untuk
mendengar pelajaranku ini .... Semua orang yang berada di
loteng harap mengundurkan diri dari sini dan jaga keamanan
di sekitar pagoda ini, jangan biarkan orang memasuki tempat
ini." Begitu Ku-lo Hwesio selesai berkata, Ho Put-ciang sekalian
segera beranjak dan mengundurkan diri dari situ.
Bong Thian-gak segera berteriak, "Ho-bengcu, jangan pergi
dulu, aku masih ada persoalan yang hendak disampaikan."
Dengan paras muka serius, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang
berpaling, kemudian sahutnya, "Ko-siauhiap, bila kau tidak
memiliki keyakinan seratus persen, lebih baik menurut saja
perkataan Sinceng."
221 "Sinceng adalah tokoh persilatan yang berilmu tinggi,
apakah kita harus membiarkan dia mati begitu saja?"
"Sinceng setia kawan dan rela mengorbankan jiwa, lebih
baik Ko-siauhiap pusatkan segenap perhatianmu ...."
Belum selesai berkata, dia sudah membalikkan badan dan
mengundurkan diri dari situ.
Bong Thian-gak berpaling ke arah Ku-lo Hwesio, dilihatnya
pendeta itu sedang memejamkan mata, kulit mukanya yang
kurus kering nampak kekuning-kuningan, tak tahan lagi ia
berbisik, "Locianpwe!"
Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.
Ternyata pada saat itu Bong Thian-gak teringat cara
penyembuhan yang diajarkan Jit-kaucu Thay-kun kepadanya,
untuk menyembuhkan luka Ku-lo Hwesio memang belum
tentu bisa. Berada dalam keadaan seperti ini, dia tak berani banyak
bicara, ditambah Ku-lo Sinceng telah memusatkan
perhatiannya mewariskan Ilmu rahasia itu.
"Tingkat pertama Tat-mo-khi-kang berbunyi: Dasar
pernapasan melupakan akar kepandaian, kendorkan badan,
atur pernapasan, aliran darah harus dasar...."
Dalam kejutnya, cepat Bong Thian-gak duduk bersila di
atas tanah dan mulai memejamkan mata mengikuti pelajaran
itu dan dihapalkan dalam hati.
Sepatah demi sepatah Ku-lo Hwesio membaca rahasia Tatmo-
khi-kang dengan sabar dan jelas.
Sementara Bong Thian-gak juga menghimpun segenap
pikiran dan perhatiannya mendengarkan dan mengingat
sambil memahami.
Dalam waktu singkat kedua orang itu seakan-akan lupa
akan segala persoalan, mereka memusatkan pikiran dan
222 pendengaran dalam mempelajari kepandaian sakti Tat-mo-khikang,
biar di samping mereka ada suara ledakan keras pun
belum tentu mereka mendengar.
Waktu berlalu dengan cepat....
Tengah hari telah lewat ... matahari pun mulai tenggelam,
Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak yang berada di atas loteng
masih melanjutkan pelajaran Tat-mo-khi-kang, Bong Thiangak
mengulangi ketiga tingkat ilmu itu, kemudian kedua pihak
saling membahas dan memecahkan.
Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang dan para jago
yang ada di luar pendopo tak berani lengah, tak pernah
mengendorkan tugas mengawasi dan melindungi daerah
sekitar situ, sekeliling pendopo dijaga sedemikian ketatnya
ibarat sebuah benteng yang terbuat dari baja.
Kini senja telah lewat, namun Ku-lo Hwesio dan Bong
Thian-gak yang berada di atas loteng masih belum nampak
sesuatu gerakan.
Pada saat itulah dari depan halaman gedung Bu-lim Bengcu
tiba-tiba berkumandang suara tambur bertalu-talu,
menunjukkan keadaan dalam bahaya.
Mendengar tanda bahaya itu, paras muka Ho Put-ciang dan
sekalian jago segera berubah hebat.
Dengan cepat Ho Put-ciang menurunkan perintah, "Ada
musuh tangguh menyerang gedung Bu-lim Bengcu, harap
semua orang tetap berjaga di sini, Yu-heng! Oh-sumoay,
kalian berdua menengok keadaan di luar, segera utus orang
untuk memberi laporan!"
Toan-cong-hong-liu Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok
menerima perinlah dan segera berangkat menuju ke halaman
depan. Kemudian Ho Put-ciang berkata kepada Thia Leng-juan,
"Thiaheng, harap naik ke loteng dan bertahan di anak tangga,
223 Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam berjaga di pintu gerbang,
sedangkan Ui-hok Totiang, Yu-koancu dan aku bertiga
masing-masing bertahan pada tiga lorong tembus halaman
samping." Ho Put-ciang tak malu disebut pemimpin dunia persilatan,
selain reaksinya cepat, perintahnya tegas. Begitu menerima
perintah, kawanan jago segera membubarkan diri untuk
melakukan tugasnya masing-masing.
Dalam tempo singkat suasana berubah menjadi tegang,
seram dan mengerikan.
Dari depan gedung sana lamat-lamat terdengar suara
benturan senjata, teriakan, jerit kesakitan serta gelak tawa
melengking seperti jeritan setan dan lolong serigala.
Begitu mendengar suara gelak tertawa yang mengerikan
itu, paras muka Ho Put-ciang berubah hebat, ternyata dari
gelombang suara tertawa lawan yang melengking, Ho Putciang
tahu musuh memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
Mendadak dari luar halaman sana terdengar suara langkah
kaki berlari mendekat, ternyata orang itu adalah Oh Cian-giok.
Ho Put-ciang menyongsong kedatangannya sambil
bertanya, "Sumoay, musuh tangguh darimanakah yang telah
menyantroni kita?"
Paras muka Oh Cian-giok pucat-pias seperti mayat,
sahutnya dengan cemas, "Tenaga dalam pihak lawan sangat
tangguh, dalam sekejap ia telah melukai dua puluh orang
pengawal gedung ... Ji-suheng telah terjun ke gelanggang,
tapi agaknya dia tak sanggup bertahan."
"Hanya seorang?"
"Ya, hanya seorang! Musuh berperawakan tinggi besar
kurus seperti mayat hidup."
224 "Yang datang pasti tak bermaksud baik, yang bermaksud
baik tak akan datang, musuh berani menyerang gedung Bulim
Bengcu sudah pasti kepandaian silatnya amat lihai, dengan
kemampuannya sudah pasi i para pengawal gedung tak
mampu bertahan, daripada korban berjatuhan lebih banyak,
cepat turunkan perintah agar semua mundur ke dalam, suruh
Yu-sute segera mundur kemari!"
Baru saja Oh Cian-giok mendapat perintah dan berlalu,
mendadak berkumandang gelak tawa yang tajam
menyeramkan dan memekakkan telinga.
Sesosok bayangan orang secepat sambaran kilat sudah
meluncur datang dari arah depan sana.
Dengan terkejut Pa-ong-kiong Ho Put-ciang membentak
keras, "Siapa yang datang" Harap melaporkan nama!"
Di tengah bentakannya, dua gulung tenaga pukulan yang
maha dahsyat sudah dilontarkan ke depan.
Ilmu silat orang itu betul-betul sangat lihai, tubuhnya yang
sedang meluncur datang itu sudah berjumpalitan dan
meloloskan diri dari sambaran kedua gulung serangan maut
itu, kemudian tubuhnya melayang turun.
Tidak begitu saja, mendadak lengannya yang panjang
diayun melepaskan segulung pukulan hawa dingin dari
kejauhan, berbareng badannya meluncur ke arah sebelah kiri.
Ho Put-ciang adalah seorang Bu-lim Bengcu,
pengetahuannya tentu saja sangat luas, begitu menyaksikan
datangnya pukulan hawa dingin musuh, dia segera tahu
serangan itu beracun.
Dalam keadaan begini, dia tak berani menyambut
datangnya serangan itu dengan kekerasan, cepat badannya
mundur. Posisi dimana Ho Put-ciang mundur persis menyambut
datangnya serangan musuh dari sebelah kiri.
225

Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agaknya orang itu tidak menyangka gerakan tubuhnya
yang begitu cepat bisa dihadang oleh lawan. Dalam keadaan
tertegun, dia segera menghentikan gerak badannya dan tak
melakukan serangan lagi.
Dengan demikian Ho Put-ciang dapat melihat jelas paras
muka pendatang itu dengan jelas.
Musuh mempunyai sepasang mata cekung ke dalam, kedua
bola matanya berwarna hijau, rambutnya panjang terurai
sebahu, tidak laki tidak perempuan, perawakannya tinggi
ceking hingga pada hakikatnya tinggal kulit pembungkus
tulang, ibarat bambu menancap di atas tanah saja.
Yang paling istimewa adalah sepasang tangannya yang
begitu panjang hingga terkulai melebihi lutut, dilihat dari
kejauhan bentuknya menyerupai dua kaki cadangan.
Makhluk aneh itu melototi wajah Ho Put-ciang dengan bola
matanya yang hijau mengerikan, kemudian sambil tertawa
seram, ia berkata, "Kaukah Bengcu baru dari gedung Bu-lim
Bengcu ini?"
Paras muka Ho Put-ciang amat serius, jawabnya cepat,
"Benar, akulah Ho Put-ciang, tolong tanya siapa nama anda?"
"Hehehe ...." orang aneh itu tertawa seram. "Aku adalah
Liok-kaucu (ketua nomor enam) Put-gwa-cin-kau!"
Mendadak dari delapan penjuru gedung Bengcu
berkumandang suara tambur yang dibunyikan bertalu-talu.
Paras muka Ho Put-ciang segera berubah hebat, tegurnya
tanpa terasa, "Berapa orang yang dikirim Put-gwa-cin-kau
kemari hari ini?"
"Untuk melenyapkan gedung Bu-lim Bengcu dari muka
bumi, buat apa mesti mengutus banyak orang?" jawab Liokkaucu
dengan suara menyeramkan, "Liok-kaucu dan Kiu-kaucu
(ketua nomor sembilan) dari Put-gwa-cin-kau pun sudah lebih
dari cukup!"
226 "Hanya kalian berdua?" tegur Ho Put-ciang pula dengan
kening berkerut kencang.
Rupanya dari empat penjuru gedung Bu-lim Bengcu sudah
terdengar suara pertempuran yang berlangsung amat seru,
agaknya di seputar gedung sudah kedatangan musuh dalam
jumlah banyak. Liok-kaucu tertawa, "Masih ada lagi tiga orang pengawal
tanpa tanding yang biasanya mengawal di samping Congkaucu."
"Kalau begitu dari perkumpulan kalian telah datang lima
orang jago bukan?"
"Benar."
"Hm, hanya mengandalkan kekuatan lima orang
perkumpulan kalian pun sudah ingin menumpas gedung Bulim
Bengcu, apakah kalian tidak merasa perbuatan itu benarbenar
kelewatan."
Liok-kaucu tertawa dingin, "Hehehe, apabila tidak percaya,
mengapa tidak dilihat sendiri?"
Mendadak pada saat itulah dari depan sana berlarian
mendekat Oh Cian-giok, dengan napas tersengal-sengal dia
berkata, "Lapor Toa-suheng, Ji-suheng telah dilukai olehnya.
Dari arah timur, barat, utara dan selatan telah muncul musuh
tangguh melancarkan serbuan, pengawal gedung kita banyak
yang terluka dan tewas."
Paras muka Ho Put-ciang berubah amat serius, katanya
kemudian dengan suara dalam, "Cepat turunkan perintah agar
semua pengawal mengundurkan diri, tak usah menghalangi
serbuan musuh!"
Tindakan yang dilakukan oleh Ho Put-ciang ini memang
sangat lumrah, pada saat itu segenap kekuatan inti gedung
Bu-lim Bengcu dipusatkan di sekitar loteng itu untuk
melindungi keselamatan Bong Thian-gak, mereka boleh
227 dibilang tak mampu bergeser dari posisi masing-masing, itulah
sebabnya satu-satunya jalan yang bisa mereka tempuh adalah
membiarkan musuh menyerang sampai ke halaman itu,
kemudian para jago berusaha membendung serbuan lawan.
Jika tidak demikian, mereka akan terkena siasat
memancing harimau turun gunung yang sengaja dilakukan
pihak lawan. Liok-kaucu tertawa seram, "Hehehe, bocah perempuan
jangan pergi dulu!"
Di tengah bentakannya, lengan kiri diayun ke muka
melancarkan sebuah pukulan dahsyat, langsung menghantam
tubuh Oh Cian-giok yang berada di depannya.
Ho Put-ciang sama sekali tidak menyangka pihak lawan
bakal melancarkan serangan ke arah Oh Cian-giok, buru-buru
teriaknya, "Sumoay, jangan kau sambut serangan itu!"
Sayang terlambat, diiringi jeritan tertahan, tubuh Oh Ciangiok
sudah tertumbuk oleh angin pukulan itu hingga mencelat
dan roboh terkapar di atas tanah.
Ho Put-ciang gusar, dengan suara menggeledek ia
membentak nyaring, "Tua bangka sialan, kau berani berbuat
kejahatan?"
Dengan garang dia menubruk ke depan, kelima jari tangan
kanannya diputar melepas lima gulung desiran angin tajam
yang secara langsung menghajar bagian mematikan tubuh
lawan. Serangan Ho Put-ciang yang dilancarkan dalam keadaan
gusar ini menggunakan ilmu silat perguruannya yang paling
hebat, yakni ilmu Thi-ciang-sin-ci (Telapak tangan baja jari
sakti). Lima gulung desiran angin tajam dengan kecepatan tinggi
langsung meluncur ke depan dan menghajar lawan.
228 Liok-kaucu bukan orang bodoh, agaknya dia tahu juga
kelihaian jurus ini, sambil tertawa seram, telapak tangannya
secara beruntun melancarkan beberapa serangan berantai,
sementara kaki juga berputar secepat sambaran petir,
menjauh dari serangan lawan.
Melihat serangan dahsyatnya tidak mengenai sasaran, Ho
Put-ciang siap menerjang ke depan, tiba-tiba terdengar Ui-hok
Totiang dari Bu-tong-pay berkata, "Ho-bengcu, cepat ke
depan dan periksa luka adik seperguruanmu itu, biar Pinto
yang menghadapi lawan!"
Sementara itu Ui-hok Totiang dengan pedang terhunus
sudah memburu ke depan, pedangnya diputar menciptakan
beribu titik cahaya bintang, kemudian bersama-sama
menggulung ke tubuh Liok-kaucu.
Ui-hok Totiang adalah jago pedang kenamaan dari Bu-tongpay,
ilmu pedangnya sudah tentu lihai sekali, begitu turun
tangan dia segera mengembangkan ilmu pedang Thay-khekkiam-
hoat yang lihai.
Hawa dingin yang lembut menyusul gelombang pedang
yang datang menggulung, langsung mengurung sekujur tubuh
lawan secara ketat.
Ho Put-ciang tahu akan kesempurnaan tenaga dalam Uihok
Totiang, kendati bukan tandingan musuh, untuk
sementara tak sampai kalah, maka buru-buru dia menghampiri
Oh Cian-giok. Tampak paras muka si nona pucat-pias oleh penderitaan
yang hebat, dia sedang meronta dari tanah dan duduk.
Ho Put-ciang segera membimbingnya sembari menegur,
"Sumoay, parahkah lukamu?"
Oh Cian-giok menggerakkan bibir seperti hendak
mengucapkan sesuatu, tapi kemudian dia memuntahkan darah
segar dan tak sadarkan diri.
229 Ho Put-ciang benar-benar sakit hati menyaksikan kejadian
itu, sambil membopong tubuh Oh Ciang Giok, dengan cepat
dia melayang masuk ke dalam loteng sebelah timur.
Pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan yang
bertugas di loteng segera menegur dengan cemas,
"Bagaimana keadaan Oh-sumoay?"
"Thia-tayhiap, lindungi keselamatan Sumoayku ini, keadaan
di luar amat gawat, mungkin pihak musuh akan melancarkan
sergapan kilat."
Belum habis dia berkata, Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay
yang bertugas di depan pintu gerbang berteriak, "Sicu, harap
berhenti!"
Segera Ho Put-ciang membaringkan tubuh Oh Cian-giok ke
atas tanah, lalu mengangkat kepala.
Entah sejak kapan di depan pintu telah muncul orang
berbaju hitam berkerudung yang menggembol sepasang
pedang di punggung, orang itu sedang berjalan menuju pintu
gerbang dengan langkah lebar.
Goan-ko Taysu cepat bertindak, dia melejit ke depan dan
menghadang di depan pintu gerbang.
Orang berkerudung berbaju hitam itu membungkam dalam
seribu bahasa, begitu melangkah ke depan, mendadak ia
mendesak sambil melancarkan terkaman, sepasang telapak
tangan diayunkan kian kemari, secara beruntun dia telah
melepaskan tiga serangan berantai ke arah Goan-ko Taysu.
Ketiga serangan itu hampir semuanya merupakan jurus
serangan yang lihai, setiap gerakan dilancarkan dari sudut
yang tak terduga, meluncur datang secara beruntun dalam
waktu singkat, seluruh angkasa bagaikan diselimuti oleh hawa
serangan yang tajam.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang melihat situasi itu
amat terperanjat, mereka tahu Goan-ko Taysu bakal celaka.
230 Betul juga, Goan-ko Taysu tak mampu menghindarkan diri
dari ketiga serangan itu, bahu kirinya kena pukulan hingga
mundur dengan sempoyongan dan terjatuh menindih palang
pintu sebelah kiri.
Dengan gusar Ho Put-ciang membentak, "Siapa kau?"
Secepat kilat tubuhnya menerjang ke depan, telapak
tangan kirinya menciptakan beribu bayangan telapak tangan
yang menyelimuti angkasa, segulung demi segulung
diayunkan ke depan tiada hentinya.
Serangan yang dilancarkan ini ibarat hembusan angin
lembut di musim semi, meluncur dan menyapu tiada hentinya,
dalam satu gebrakan saja seolah-olah terdiri dari seribu
pukulan. Selapis hawa pukulan yang dahsyat ibarat amukan ombak
di tengah badai, menggulung ke depan mengikuti gerak
serangan tadi. Mencorong sinar tajam yang menggidikkan dari balik mata
orang berkerudung berbaju hitam itu, bentaknya dengan
suara rendah, "Ah, Te-jian-thian-ciu-jian-jiu (Seribu telapak
tangan mengguncang bumi mengaduk langit)."
Tubuhnya tidak mundur, malah maju dan langsung
menyongsong datangnya serangan itu, tiba-tiba sepasang
lengannya bergetar secara aneh.
Beberapa benturan nyaring berkumandang.
Akibat benturan itu, orang berkerudung berbaju hitam
maupun Ho Put-ciang sama-sama tergetar mundur tiga
langkah. Paras muka Ho Put-ciang diliputi rasa kaget dan
tercengang, dia tak menyangka pihak musuh dapat menyebut
nama pukulan sakti yang digunakannya itu dalam waktu
cepat, bahkan berhasil pula mematahkan serangan Te-jianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
231 thian-ciu-jian-jiu yang sudah puluhan tahun lamanya merajai
dunia persilatan.
Sesungguhnya siapakah orang ini"
Ho Put-ciang membelalakkan mata mengawasi lawan tanpa
berkedip, apa mau dikata, muka lawan ditutupi cadar hitam
yang tebal menutupi seluruh wajah aslinya.
Mendadak orang berkerudung menggerakkan telapak
tangannya ke belakang bahu, dua bilah pedang pendek yang
memancarkan cahaya tajam langsung digenggam di telapak
tangan kiri dan kanan.
Kemudian tubuhnya menerjang ke muka, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun sepasang pedangnya
menusuk dada Ho Put-ciang.
Ho Put-ciang tahu tenaga dalam lawan sangat lihai, gerak
serangannya mungkin menggunakan jurus yang amat
sederhana dan biasa, namun hakikatnya cukup mematikan
siapa pun yang berani menghadapinya.
Menyaksikan datangnya tusukan pedang yang menyambar
amat cepat itu, serta-merta ia mundur dua langkah.
Siapa tahu jurus serangan orang itu hanya jurus tipuan
belaka, di saat Ho Put-ciang mundur, sepasang bahunya
bergerak dan menerobos masuk melalui sisi kiri-kanan Ho Putciang,
langsung menerjang ke arah mulut tangga.
Pada waktu itu Thia Leng-juan telah bersiap siaga
menghadapi segala kemungkinan, sambil menghentak kipas di
tangan menciptakan berlapis-lapis bayangan serangan yang
mengancam berpuluh titik darah penting di separoh bagian
tubuh orang berkerudung itu.
Dengan cekatan orang itu membalik badan menghindari
serangan kipas Thia Leng-juan, bersamaan pula sepasang
pedang di tangannya diputar secepat kilat, gerakan pedang
bergetar bagaikan cahaya bintang membelah angkasa.
232 Jurus pedang dipakai menghindar, juga untuk melancarkan
serangan ini betul-betul luar biasa hebatnya.
Thia Leng-juan merasa terkecoh oleh gerakan lawan, "Crit",
tak ampun lengan kirinya tersambar oleh sabetan pedang
lawan hingga terluka memanjang ke bawah, darah segar
segera muncrat membasahi seluruh lengannya.
Rasa kaget Ho Put-ciang kali ini benar-benar luar biasa, dia
tak mengira pihak musuh memiliki ilmu silat yang begitu lihai,
sadarlah jagoan ini bahwa keadaan yang dihadapi hari ini
sangat gawat. Berada dalam situasi seperti ini, dia tidak peduli kedudukan
lagi, sekali melompat tahu-tahu tubuhnya sudah melayang
turun di samping Thia Leng-juan, maksudnya mereka akan
menggunakan kekuatan dua orang untuk bersama-sama
menghadapi serangan musuh.
Orang berkerudung itu tertawa dingin, jengeknya, "Apabila
kalian berdua tahu diri, cepatlah melarikan diri! Kalau tidak,
hm ... hm ... sudah pasti kalian akan terkubur di sini!"
"Siapa kau" Mengapa tidak kau tunjukkan paras aslimu?"
tegur Ho Put-ciang.
"Hm, aku adalah komandan nomor dua pasukan pengawal


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa tanding Put-gwa-cin-kau!"
Ho Put-ciang tahu tak mampu memaksa lawan
mengutarakan nama aslinya, maka dia bertanya lagi, "Apakah
kau adalah pimpinan penyerbuan ke gedung Bu-lim Bengcu
malam ini?"
"Benar, akulah orangnya!"
"Apa maksudmu menyerbu gedung Bu-lim Bengcu malam
ini?" Orang berkerudung itu tertawa riang.
"Untuk membalas dendam kematian Sam-kaucu!"
sahutnya. 233 "Akulah orangnya yang telah membunuh Sam-kaucu, bila
ada persoalan boleh disampaikan kepadaku," seru Ho Putciang
dengan suara berat dan dalam.
Orang berkerudung tertawa dingin.
"Hehehe, hanya mengandalkan kemampuan Ho-bengcu
seorang juga ingin membunuh Sam-kaucu kami" Hm ... hm ...
pembunuhnya terdiri dari empat orang, yang menjadi otak
pembunuhan ini adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay,
pembunuhnya adalah Ho-bengcu, Thia Leng-juan serta
seorang yang bernama Ko Hong!"
Terkejut juga Ho Put-ciang mendengar perkataan itu,
katanya dengan kening berkerut, "Benar, kami bertiga
pembunuhnya, mau apa kau sekarang?"
"Siapa berhutang nyawa, dia harus membayar dengan
nyawa, kalian bertiga harus mengembalikan nyawa Samkaucu!"
"Sekarang kalian harus mengundurkan diri dari gedung
Bengcu lebih dulu, besok kami bertiga pasti akan menanti
kedatanganmu."
Kembali orang berkerudung tertawa dingin, "Hehehe, masih
ada satu hal lagi, aku hendak berjumpa dengan Ku-lo
Hwesio!" Baru selesai dia berkata, dari atas loteng berkumandang
suara sahutan seseorang dengan suara nyaring, "Belum lama
Ku-lo Sinceng telah kembali ke alam baka, sayang
kedatanganmu terlambat!"
Ucapan itu kontan membuat ketiga orang yang berada di
situ menjadi amat terperanjat, Ho Put-ciang dan Thia Lengjuan
serentak berpaling ke belakang.
Ternyata orang yang barusan berbicara adalah Bong Thiangak,
saat ini dia sedang berdiri di mulut anak tangga dengan
wajah murung, sedih dan pedih.
234 Thia Leng-juan berseru, "Ko-heng, apakah Ku-lo Supek dia
orang tua ...."
"Ai ... dia orang tua telah menghembuskan napasnya yang
penghabisan," jawab Bong Thian-gak sambil menghela napas
sedih. Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sudah tahu Kulo
Hwesio bakal tewas akibat luka parah yang dideritanya,
namun tidak menduga kepergiannya begitu cepat, maka
mendengar jawaban itu mereka malah tertegun sampai tak
tahu apa yang mesti dilakukan.
Dengan sinar mata tajam dan menggidikkan, orang
berkerudung mengawasi Bong Thian-gak dari ujung kepala
sampai ujung kakinya, Kemudian menegur dengan dingin,
"Kaukah yang bernama Ko Hong?"
"Ya, akulah orangnya!" jawab Bong Thian-gak hambar.
Sejak tiba di situ, sikap maupun gerak-gerik orang
berkerudung itu amat angkuh, jumawa dan tidak pernah
memandang sebelah mata terhadap orang lain, tapi jawaban
Bong Thian-gak sekarang justru terasa pula amat menghina
dan memandang rendah lawan.
Kontan dia tertawa terkekeh-kekeh seram, kemudian
menegur lagi, "Aku dengar Sam-kaucu tewas di tanganmu,
benarkah itu?"
"Semua iblis dan siluman yang bergabung dalam Put-gwacin-
kau bakal mampus di telapak tanganku!"
Ucapan itu segera disambut orang berkerudung dengan
gelak tawa, "Sudahkah kau mendengar suara jeritan ngeri dan
lolong kesakitan yang berkumandang dari luar sana" Hahaha,
tahukah kau malam ini gedung Bu-lim Bengcu akan berubah
menjadi gedung mati!"
Sementara itu suara bentrokan nyaring, jeritan ngeri dan
rintih kesakitan masih berkumandang tidak hentinya dari luar
235 sana, jelas halaman depan gedung sudah berubah menjadi
ajang pertarungan yang amat sengit.
Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam,
"Ho-bengcu, Thia-tayhiap, cepat keluar membantu rekanrekan
lain, serahkan orang itu kepadaku!"
Ho Put-ciang sudah mendengar jeritan ngeri dan rintih
kesakitan yang berkumandang dari kawanan jago di luar
ruangan, namun dia kuatir musuh yang dihadapinya ini
berilmu silat kelewat tinggi hingga Thia Leng-juan tak mampu
menghadapinya, itulah sebabnya dia tak berani gegabah.
Kini mendengar ucapan itu, segera ujarnya kepada Thia
Leng-juan, "Thia-heng, kau tetap tinggal di sini membantu Kosiauhiap,
aku akan keluar membantu mereka!"
Seusai berkata, Ho Put-ciang segera melompat ke udara
dan menerobos keluar melalui pintu gerbang utama.
Di dalam ruang gedung bertingkat itu sekarang tinggal Thia
Leng-juan, Bong Thian-gak dan orang berkerudung berbaju
hitam. Sementara itu Bong Thian-gak sudah melangkah turun dari
anak tangga, kemudian tegurnya dengan suara dingin, "Ada
urusan apa kau hendak berjumpa dengan Ku-lo Sinceng?"
Dengan sepasang pedang terhunus, orang berkerudung
berdiri tegak di tempat, dia menjawab, "Aku hendak
memeriksanya, apakah dia benar-benar Ku-lo Sinceng ataukah
bukan!" "Dia adalah Ku-lo Sinceng yang keasliannya terjamin,
sedikit pun tak bakal salah!"
"Kau mengatakan Ku-lo Hwesio telah mati, sekarang
dimanakah jenazahnya?"
236 "Jenazah Sinceng tidak boleh dipertontonkan di hadapan
kaum kurcaci dan sampah masyarakat seperti kau." Orang
berkerudung tertawa seram.
"Hehehe, aku tak percaya kau mampu menghalangi jalan
pergiku." Bicara sampai di situ pedang pendek di tangan kirinya
segera diayun menciptakan beribu bayangan pedang,
sementara pedang di tangan kanannya secepat kilat menusuk
ke dada Bong Thian-gak.
Dua jurus serangan pedang yang amat dahsyat digunakan
secara bersamaan, kedahsyatannya benar-benar tak boleh
dianggap enteng.
Bong Thian-gak menyaksikan jurus pedang itu dengan
berkerut kening, kemudian serunya sambil tertawa dingin,
"Mundur!"
Dia bukannya mundur, namun malah maju, tangan kanan
diayunkan ke depan menyongsong datangnya tusukan pedang
kanan orang berkerudung, sementara tangan kiri secepat kilat
mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri lawan.
Sekali pun serangannya dilancarkan belakangan, tetapi sampai
sasaran lebih dahulu, berbareng badannya turut menerobos
maju. Tatkala Thia Leng-juan menyaksikan orang berkerudung itu
melancarkan serangan tadi, sesungguhnya dia pun hendak
turun tangan mengerubut, akan tetapi setelah menyaksikan
jurus serangan yang digunakan Bong Thian-gak ternyata jauh
lebih tangguh dari lawan, dia malah tertegun.
Tampaknya orang berkerudung cukup tahu kelihaian
serangan itu, cepat dia menarik kembali sepasang pedangnya
sambil mundur. Dengan sinar mata mencorong, rasa kaget dan tercengang,
ia segera bertanya, "Ilmu silat apakah ini?"
237 Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hehehe, inilah ilmu Tatmo-
boan-sian-jiu dari Siau-lim-pay. Hari ini jangan harap kau
bisa meloloskan diri dari maut."
Seusai berkata, tubuh Bong Thian-gak bagaikan anak
panah yang terlepas dari busurnya langsung menerjang ke
depan, sepasang telapak tangannya diayun berulang kali
melepaskan tiga serangan berantai.
Ketiga serangan itu seluruhnya gerakan yang aneh dan
sakti, seperti pukulan telapak tangan dan juga bagai ilmu
mencengkeram Kim-na-jiu yang amat dahsyat.
Orang berkerudung membentak dingin, sepasang
pedangnya meluncur ke depan dengan pancaran sinar tajam
yang membias kemana-mana, dengan pedang mengunci
telapak tangan, secara beruntun dia melancarkan tiga bacokan
berantai dan maha dahsyat.
Gerak serangan yang digunakan kedua orang itu samasama
dilakukan dengan kecepatan luar biasa, sekali pun
tenaga dalam Thia Leng-juan amat sempurna, masih susah
untuk melihat perubahan jurus yang digunakan mereka.
Kedua orang itu telah beralih dua kali dari posisi semula.
Mendadak terdengar orang berkerudung mendengus
tertahan, sambil menarik kembali pedang, ia mundur empat
langkah, sepasang matanya memancarkan rasa kaget dan
tercengang. Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan Oh
Cian-giok yang sedang berbaring tak berkutik di sisi kiri anak
tangga, dalam kagetnya dia segera menyelinap ke depan sana
sambil bertanya, "Thia-tayhiap, mengapa dengan nona Oh?"
Setelah ditegur, Thia Leng-juan baru teringat pada Oh
Cian-giok yang terluka parah, segera sahutnya, "Nona telah
dihantam musuh hingga terluka parah!"
238 Oh Cian-giok adalah adik seperguruan Bong Thian-gak,
sejak kecil mereka dibesarkan bersama dalam gedung Bengcu,
hubungan batin kedua insan ini pun boleh dibilang cukup
mendalam. Maka sewaktu Bong Thian-gak menyaksikan gadis itu
tergeletak tak berkutik di atas tanah dengan wajah pucat dan
noda darah membasahi bibir, dia menjadi sangat gelisah.
"Siapa yang telah melukainya?" ia menegur.
Dalam pada itu tangan kanan Bong Thian-gak sudah
memegang nadi pergelangan tangan Oh Cian-giok, sembari
memeriksa denyut nadinya, dengan sorot mata penuh amarah
dia pelototi wajah orang berkerudung tanpa berkedip, hawa
membunuh menyelimuti wajahnya.
Tiba-tiba orang berkerudung berpekik nyaring, dengan
sepasang pedangnya diluruskan ke depan, secepat sambaran
petir ia menerjang ke arah Bong Thian-gak.
Perubahan yang amat mendadak dan di luar dugaan ini
sungguh membuat Thia Leng-juan tertegun dan dalam posisi
tak memungkinkan hakikatnya mustahil baginya memberikan
bantuan. Dalam terperanjatnya, jagoan ini segera berteriak, "Koheng!
Terdengar Bong Thian-gak mendengus tertahan, bahu
kirinya yang tak sempat menghindar kena tertusuk pedang
lawan, darah segera memancar keluar bagaikan semburan
mata air. Tapi di saat bersamaan tangan kanan Bong Thian-gak
diayunkan pula ke depan melancarkan sebuah pukulan
dahsyat. Kembali terdengar dengus tertahan menggema.
239 Pedang pendek orang itu terlepas, sementara tubuhnya
terpental ke belakang dan darah segar muntah dari mulutnya.
Kemudian dengan sepasang bahu yang gemetar keras dan
tubuhnya yang sempoyongan, mendadak ia membalikkan
badan dan kabur dari ruangan itu.
Sebenarnya Thia Leng-juan ingin mengejar, namun
berhubung dia sangat menguatirkan luka yang diderita Bong
Thian-gak, maka dengan cepat dihampirinya anak muda itu
sembari menegur, "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?"
Darah kental mengucur dari bahu kiri Bong Thian-gak dan
membasahi lantai, sudah jelas luka yang dideritanya itu cukup
parah. Dengan cepat Bong Thian-gak menggunakan jarinya
menotok beberapa jalan darah penting di tubuh sendiri,
setelah menghentikan darah yang mengalir, sahutnya sambil
tertawa rawan, "Thia-heng, aku tidak apa-apa, dia berilmu
tinggi dan sangat hebat, bila sampai keluar dari sini, sudah
pasti tiada orang yang mampu menahannya, tolong kau jaga
baik-baik nona Oh, aku hendak keluar menghadapi musuh."
Jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang susulmenyusul
di luar sana, jelas orang berkerudung sedang
melakukan pembantaian secara besar-besaran di sana.
Thia Leng-juan yang menyaksikan luka Bong Thian-gak
amat parah menjadi gelisah, serunya lagi, "Ko-heng, luka
pedang itu sangat parah, harap kau balut dahulu luka itu, biar
aku saja yang menyambut serangan mereka."
Sementara itu Bong Thian-gak sudah bangkit, mendengar
ucapan itu dia segera menggeleng, kemudian katanya dengan
suara nyaring, "Kini darah sudah berhenti mengalir, luka ini
pun tak akan merenggut nyawaku."
240 Tidak sampai selesai perkataan itu diutarakan, tubuhnya
sudah melompat keluar dari ruangan, ketika memandang ke
depan .... Di tengah lapangan sedang berlangsung beberapa
kelompok pertarungan, sementara di atas tanah tergeletak
mayat-mayat para pengawal gedung Bu-lim Bengcu, darah
yang menganak sungai, mayat membukit, membuat
pemandangan di situ tampak sangat mengerikan.
Sementara itu di luar lapangan sedang berlangsung
pertarungan yang amat seru.
Ho Put-ciang sedang bertarung melawan seorang gadis
berbaju merah, dia adalah Kiu-kaucu Ni Kiu-yu.
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay
sedang bertarung melawan seorang lelaki berbaju perlente.
Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay dan Ang Thong-lam dari
Tiam-jong-pay bersama-sama menghadapi lelaki berbaju
perlente lainnya.
Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay bertarung seorang diri


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan orang aneh berambut panjang, dialah Liok-kaucu
Put-gwa-cin-kau.
Sementara di luar arena pertarungan, di sekeliling lapangan
berdiri berlapis-lapis para pengawal gedung bersenjata
lengkap, namun waktu itu orang berkerudung berbaju hitam
sudah menerjang masuk ke dalam kelompok pengawal
gedung, pedang pendeknya yang tinggal sebelah membabat
kian kemari tanpa tandingan, jeritan ngeri dan lolong
kesakitan bergema silih berganti, darah segar pun bercucuran
menganak sungai.
Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi
gusar sekali, sambil berpekik nyaring ia melejit ke udara
seperti burung alap-alap dan melayang turun di depan orang
berkerudung. 241 Melihat munculnya pemuda sakti ini, orang berkerudung
menjadi ketakutan, cepat dia berteriak dengan keras, "Liokkaucu,
Kiu-kaucu ... semuanya mundur!"
Begitu perintah diturunkan, dia segera melejit lebih dulu
dan melarikan diri dengan terbirit-birit dari tempat itu.
"Mau kabur kemana kau?" bentak Bong Thian-gak dengan
suara menggeledek.
Tubuhnya segera melejit ke udara dan melakukan
pengejaran. Siapa tahu pada saat itulah berkumandang suara dengusan
tertahan, tertampak Ui Hiok Totiang dari Bu-tong-pay yang
sedang bertarung melawan Liok-kaucu kena dihajar oleh
musuh sehingga mencelat ke udara dan langsung menumbuk
tubuh Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak berjumpalitan, tangan kanannya dengan
cepat menyambar ke muka mencengkeram tubuh Ui-hok
Totiang, kemudian melayang turun ke permukaan tanah
dengan tenang. Tampak paras muka Ui-hok Totiang pucat seperti mayat,
kulit wajahnya mengejang penuh penderitaan, teriaknya
dengan suara parau, "Terima kasih banyak, Ko-siauhiap ...."
Belum habis dia berkata, orangnya sudah roboh tak
sadarkan diri di atas tanah.
Mendadak terdengar Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berseru
dengan suara lantang, "Biarkan musuh mengundurkan diri,
jangan dikejar!"
Dengan cepat Bong Thian-gak meletakkan Ui-hok Totiang
ke tanah, baru saja dia akan melakukan pengejaran, ketika
mendongakkan kepala, ternyata kawanan musuh yang sedang
bertarung sengit sudah membubarkan diri, pertarungan telah
berhenti, di bawah sinar kegelapan nampak para musuh
sedang melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
242 Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah
lenyap. Kemudian dia saksikan Ho Put-ciang sedang berjalan
mendekat dengan langkah sempoyongan, lalu ujarnya kepada
Bong Thian-gak, "Ai ... korban yang berjatuhan kelewat
banyak ... korban yang berjatuhan kelewat banyak...."
Hanya ucapan itu saja yang mampu diucapkan, sementara
air matanya berderai dengan deras.
Ya, siapa bilang Enghiong tidak bisa mengucurkan air
mata" Hanya saat bersedih saja ....
Ketika jumlah korban dihitung ... ternyata tujuh puluh
enam pengawal mendapat celaka, dua puluh lima orang
menderita luka termasuk Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Oh
Cian-giok dan lainnya, semuanya mencapai seratus tujuh
orang. Lima musuh ternyata dalam waktu satu jam berhasil
menciptakan korban seratus tujuh orang, prestasi itu benarbenar
merupakan suatu peristiwa yang memilukan.
Paras muka Bong Thian-gak pucat-pias seperti mayat, dia
mengangkat kepala dan memandang sekejap tumpukan mayat
yang berserakan dimana-mana, mendadak mencorong sinar
tajam dan buas penuh dendam dari balik matanya, ia berdiri
tegak di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Yu Ciang-hong, Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam
bersama-sama berjalan mendekat pula dengan kepala
tertunduk sedih.
Untuk beberapa saat suasana di situ diliputi kesedihan yang
tebal. Helaan napas sedih bergema memecah keheningan, Thia
Leng-juan berjalan keluar dari balik ruang loteng dengan
langkah perlahan, katanya, "Hari ini seandainya Ko-heng tidak
berada di sini dan memukul mundur lawan, korban yang
243 berjatuhan dalam gedung Bengcu sudah pasti akan lebih
banyak." Benar, lima orang musuh dari Put-gwa-cin-kau yang
muncul itu, terutama orang berkerudung berbaju hitam benarbenar
berkepandaian silat amat tinggi, pada hakikatnya tiada
orang yang mampu memberikan perlawanan.
Andaikata bukan Bong Thian-gak yang memukul mundur,
akibat yang timbul sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Selang beberapa saat kemudian, pelan-pelan Pa-ong-kiong
Ho Put-ciang berhasil menenangkan kembali gejolak perasaan
sedih yang mencekam hatinya, melihat darah bercucuran
dengan derasnya dari bahu kiri Bong Thian-gak, buru-buru dia
menegur, "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?"
"Gara-gara mengurusi nona Oh, Ko-heng telah kena ditusuk
musuh," seru Thia Leng-juan dari samping. "Namun pihak
lawan pun terkena pukulan Ko-heng, nampaknya tidak ringan
luka dalam yang dideritanya, dia kabur sambil muntah darah."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, walaupun
orang itu terkena pukulanku hingga muntah darah, namun
luka pada sisi perutnya tidak seberapa parah, ai ... kawanan
siluman dari Put-gwa-cin-kau memang tangguh dan rata-rata
berilmu tinggi, kenyataan ini di luar dugaan siapa pun."
Sementara itu Ho Put-ciang telah berseru kepada para
pengawal dengan suara nyaring, "Kalian harap segera
membereskan jenazah rekan-rekan lain, usahakan menolong
dan menyelamatkan jiwa mereka yang terluka terlebih dulu."
Selewatnya pertempuran itu, kekuatan gedung Bu-lim
Bengcu benar-benar menderita kerugian besar.
Setelah memperoleh pengobatan dan perawatan yang
tekun, Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Ui-hok Totiang dari
Bu-tong-pay berhasil diselamatkan jiwanya.
244 Hanya Oh Cian-giok yang menderita luka agak parah,
sehingga meski sudah memperoleh pengobatan, ternyata
belum sadar. Dalam pada itu para jago sudah berkumpul di bawah
loteng. Dengan seksama Bong Thian-gak memeriksa denyut nadi
Oh Cian-giok, kemudian ia bertanya lirih, "Dia terluka di
tangan siapa?"
"Cian-giok dan Ui-hok Totiang sama-sama terluka di bawah
pukulan Liok-kaucu," jawab Ho Put-ciang cepat.
"Dasar tenaga dalam nona Oh amat cetek, pukulan musuh
telah melukai isi perutnya, bila ingin menyadarkan dia, kita
membutuhkan seorang jago bertenaga dalam sempurna,
dengan pengerahan tenaga melalui jalan darah Ciang-tay-hiat,
gumpalan darah yang menyumbat dalam tubuhnya baru akan
terbebaskan."
"Ciang-tay-hiat terletak hanya dua inci di bawah puting
susu orang, padahal Oh Cian-giok adalah seorang perawan,
tentu saja sulit bagi seorang pemuda untuk memberi
pertolongan."
Tentu saja Ho Put-ciang cukup mengetahui pantangan itu,
tapi dengan suara dalam dia berkata, "Demi menyelamatkan
jiwa Sumoayku, harap kalian tak usah mempersoalkan
pantangan lagi."
"Ho-bengcu, nona Oh adalah adik seperguruanmu, paling
baik bila Ho-bengcu sebagai Toasuhengnya yang turun tangan
memberikan pertolongan," usul Bong Thian-gak cepat.
Ucapan itu menyulitkan Ho Put-ciang. "Aku tidak pandai
ilmu pengobatan, bagaimana seandainya terjadi hal-hal yang
tak diinginkan?" serunya.
245 "Nona Oh sudah dijodohkan dengan Yu-sute, seandainya
luka yang diderita Yu-sute bisa cepat sembuh dan pulih, hal ini
lebih baik lagi," sambung Thia Leng-juan.
Mengetahui Oh Cian-giok sudah bertunangan dengan Yu
Heng-sui, Bong Thian-gak menjadi sedih, murung dan kosong
pikirannya. Di samping Suheng-moay sekalian, hanya Bong Thian-gak
yang berhubungan agak rapat dengan Oh Cian-giok. Sejak
kecil mereka sudah bermain dan bergurau bersama, di antara
kedua orang itu sesungguhnya sudah tertanam semacam
perasaan. Betul di antara mereka terjalin hubungan cinta, namun
semacam perasaan senang tertanam juga di dalam hati kecil
masing-masing. Seandainya Bong Thian-gak tidak diusir dari perguruan,
tentu saja antara Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak sudah
merupakan sepasang kekasih ideal.
Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng
kepala sambil berkata, "Yu-sute masih terluka, sekali pun bisa
disembuhkan namun paling tidak masih membutuhkan waktu
tiga-empat hari, apalagi tenaga dalamnya kurang sempurna,
aku pikir lebih baik kita memohon bantuan Ko-siauhiap saja
untuk mengobati Sumoay, cuma Ko-siauhiap menderita luka
pada bahu kirinya ... apakah kau mampu memberikan
pertolongan?"
Bong Thian-gak segera menggeleng kepala berulang-kali.
"Sampai besok aku baru bisa mengerahkan tenaga
dalamku, namun luka nona Oh amat parah dan harus diobati
sekarang juga, apabila tidak dilakukan pencegahan, bisa jadi
keadaan lukanya akan mengalami perubahan."
Ho Put-ciang berkata lagi, "Ai, walaupun antara kaum lelaki
dan wanita dibatasi norma kesusilaan, namun tabib dan
246 sebangsanya tidak terkena batasan itu, harap Ko-siauhiap sudi
memberi pertolongan!"
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas, "Ai,
keselamatan nona Oh berada di ujung tanduk dan memang
tak bisa ditunda-tunda lagi, baiklah harap Ho-bengcu suka
mengundang dua orang dayang untuk membantu!"
Tentu saja semua orang tahu maksud Bong Thian-gak
memanggil dua orang dayang itu.
Ho Put-ciang manggut-manggut sembari berkata,
"Sebelumnya atas nama Sumoayku, kuucapkan banyak terima
kasih atas bantuan Ko-siauhiap!"
Maka di bawah bimbingan beberapa orang dayang, Oh
Cian-giok diantar menuju sebuah ruangan dan dibaringkan di
atas ranjang, kemudian kecuali menahan Siau Kiok dan Siau
Hiang, dua orang dayang kepercayaan Oh Cian-giok, para
dayang lainnya segera diperintahkan meninggalkan tempat itu.
Kedua dayang ini merupakan dayang-dayang cilik yang
pernah melayani Oh Ciong-hu dahulu, tentu saja Bong Thiangak
kenal mereka berdua.
Dengan suara lirih Bong Thian-gak berkata kepada Siau
Kiok dan Siau Hiang, "Sekarang harap kalian melepaskan dulu
pakaian luar nona."
"Ko-siangkong, luka yang kau derita amat parah, apakah
tidak beristirahat terlebih dahulu?" seru Siau Kiok merdu.
Bong Thian-gak menggeleng, "Ah, hanya luka luar yang tak
seberapa tidak menjadi soal."
Siau Kiok mengedipkan mata setelah memandang sekejap
ke arah Bong Thian-gak, katanya, "Ko-siangkong, kau mirip
sekali dengan seseorang."
"Mirip siapa?"
"Su-suheng nona!"
247 Bong Thian-gak terkejut sekali, dia tak menyangka Siau
Kiok memiliki ketajaman mata luar biasa, untuk menutupi rasa
kagetnya itu, dia tertawa tergelak.
"Ah, jangan bergurau lagi, ayo kita segera turun tangan."
Tiba-tiba Siau Kiok menghela napas sedih, kembali katanya,
"Ai, sudahlah! Seandainya Bong Thian-gak masih hidup,
mungkin Yu Heng-sui akan bersedih."
Ucapan itu segera menggigilkan sekujur tubuh Bong Thiangak,
diam-diam dia berpikir, "Entah apa maksud Siau Kiok
berkata demikian" Mungkinkah Sumoay selalu teringat akan
diriku?" Terbayang bagaimana dia dan Sumoaynya hidup
berdampingan sejak kecil... segala sesuatunya terasa syahdu
dan nyaman ....
Bong Thian-gak masih ingat, suatu ketika ia bersama
Sumoaynya bermain jadi pengantin, mereka berdua bersamasama
tidur dalam gua yang dijadikan kamar pengantin mereka
.... "Siangkong, apa yang sedang kau pikirkan" Pakaian luar
nona sudah dilepas."
Seperti baru tersadar dari impian, Bong Thian-gak
berpaling. Tampaklah tubuh bugil Oh Cian-giok muncul di depan
mata, kulit yang halus dan putih itu membuat gairah setiap
pria .... Buru-buru Bong Thian-gak memejamkan mata rapat-rapat,
lalu berkata lagi, "Sekarang lepas pakaian dalamnya,
kemudian letakkan tangan kananku di atas jalan darah Ciangtay-
hiat di atas payudaranya."
"Ah, Siangkong benar-benar lelaki jujur," puji Siau Kiok.
248 Sementara itu Bong Thian-gak telah memejamkan mata
dan duduk bersila di sisi pembaringan, segenap perhatian
terpusat menjadi satu, sementara hawa murninya dihimpun.
Selang beberapa saat kemudian Bong Thian-gak bertanya,
"Sudah siap?"
"Sudah siap."
"Kalau begitu, lakukan seperti apa yang kukatakan tadi!"
Siau Hiang segera mengangkat telapak tangan kanan Bong
Thian-gak dan pelan-pelan diletakkan di atas puting susu
payudara sebelah kanan Oh Cian-giok.


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hati Bong Thian-gak tergetar begitu tangannya menyentuh
tubuh Oh Cian-giok.
Untung Bong Thian-gak memiliki tenaga dalam sempurna,
buru-buru dia memusatkan seluruh perhatiannya
mengerahkan tenaga dalam.
Tak selang lama kemudian, dari dasar telapak tangannya
muncul segumpal bola api yang bergetar, membakar seputar
payudara si nona.
Telapak tangannya menggosok dan memijit payudara
sebelah kanan si nona hampir seperempat jam lamanya, baru
kemudian beralih ke atas jalan darah Ciang-tay-hiat pada
payudara sebelah kiri.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar Oh
Cian-giok merintih.
Bong Thian-gak terkejut, buru-buru dia menarik tangannya
dan turun dari pembaringan, bisiknya cepat, "Sebentar dia
akan sadar, cepat kenakan pakaiannya, harap kalian jangan
memberitahu kepadanya bahwa aku telah menyembuhkan
lukanya." 249 Selesai berkata, masih dalam keadaan terperanjat, dengan
cepat Bong Thian-gak membuka pintu kamar dan berlalu dari
situ. Tak lama setelah Bong Thian-gak keluar ruangan, Oh Ciangiok
membuka mata sambil berkata dengan sedih, "Siau Kiok,
barusan apakah Ko-siangkong?"
Siau Kiok serta Siau Hiang sama-sama terperanjat, serentak
berseru tertahan, "Nona telah sadar kembali?"
Sambil tetap berbaring, Oh Cian-giok manggut-manggut.
"Ya, sebelum dia berlalu tadi, aku telah mendusin, Ai! Dia
benar-benar seorang Kuncu sejati."
"Nona, enci Kiok bilang dia mirip sekali dengan Bong Thiangak,"
tiba-tiba Siau Hiang berkata.
Perih hati Oh Cian-giok mendengar perkataan itu,
tanyanya, "Bong Thian-gak" Maksudmu Suheng Bong Thiangak?"
Siau Kiok mengerling sekejap ke arah Siau Hiang, kemudian
buru-buru katanya, "Budak hanya merasa dia agak mirip
dengan Bong-siangkong, aku pun hanya iseng bertanya saja!"
"Lantas bagaimana jawabnya?" tanya Oh Cian-giok gelisah.
"Dia tidak menjawab."
Mendadak Oh Cian-giok berseru tertahan, katanya, "Ya, ya,
teringat aku sekarang, waktu dia baru datang ke gedung ini
tempo hari, aku pun merasa seperti raut wajahnya kukenal,
seperti pernah kujumpai di suatu tempat, namun tak bisa
kuingat lagi. Ya, betul! Dia memang agak mirip dengan Susuheng
Bong Thian-gak."
Setitik sinar terang itu segera mengalutkan pikiran dan
perasaan Oh Cian-giok, untuk beberapa saat dia melamun
seorang diri. 250 Dalam pada itu Bong Thian-gak telah meninggalkan
ruangan kecil dan menuju ke ruang tengah. Di sana para jago
sudah menunggu untuk merundingkan suatu masalah besar.
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang yang pertama-tama berdiri lebih
dulu, segera tegurnya, "Apakah Oh-sumoay telah mendusin?"
Bong Thian-gak mengangguk.
"Ya, gumpalan darahnya telah hilang, sekarang
kesehatannya sudah tidak membahayakan lagi."
"Ko-siauhiap pasti sudah banyak kehilangan tenaga murni,
silakan segera beristirahat!"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Kesegaranku masih baik, bukankah begitu?"
Sambil berkata dia lantas menatap orang-orang dengan
sorot mata berkilauan, sedikit pun tidak menunjukkan
keletihan. Hanya paras mukanya saja yang memang berwarna kuning
pucat macam orang penyakitan.
Thia Leng-juan memuji, "Ko-heng, sungguh amat sempurna
tenaga dalammu, membuat orang kagum."
"Ai, tampaknya tenaga dalamku telah memperoleh
kemajuan pesat dalam sehari saja," ucap Bong Thian-gak
sedih. "Padahal semua ini pemberian Ku-lo Sinceng."
Bicara sampai di situ, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, "Sebelum menghembuskan napas penghabisan, Kulo
Sinceng telah membantuku menembus urat mati hidupku,
sehingga taraf tenaga dalamku mencapai suatu keadaan yang
luar biasa. Budi kebaikan yang ditanam Sinceng kepadaku
benar-benar tak terlupakan selamanya."
"Ai, sekarang aku masih ada satu persoalan penting yang
hendak kusampaikan kepada kalian."
251 "Persoalan apa" Harap Ko-siauhiap suka menerangkan
secara langsung," kata Ho Put-ciang.
"Jit-kaucu belum mati!"
Ucapan itu bagaikan guntur di siang hari bolong, seketika
saja menggetarkan hati setiap orang yang hadir dalam
ruangan itu. "Bukankah kematian Ku-lo Supek merupakan pengorbanan
yang sia-sia," teriak Thia Leng-juan dengan suara
menggeledek. "Sebenarnya luka Ku-lo Sinceng masih bisa disembuhkan,
tetapi untuk membantu ilmu silatku, dia telah mengorbankan
diri." "Ai, waktu itu luka yang diderita Sinceng amat parah, lagi
pula dia menganggap Jit-kaucu sudah tewas di bawah pukulan
Tat-mo-khi-kang, maka aku tak berani memberitahu yang
sebenarnya kepada dia."
"Tindakan yang diambil Ko-siauhiap memang benar, bagi
orang yang berlatih silat, jika mengetahui kegagalan yang
dideritanya, maka kekecewaan dan kesedihan yang dirasakan
saat itu mungkin jauh lebih parah daripada mati," kata Ho Putciang.
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Sudah tujuh-delapan tahun lamanya Sinceng melatih diri
untuk menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang, tujuannya tidak lain
adalah untuk mematahkan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang dari
Jit-kaucu."
"Ai, apa mau dikata, Soh-li-jian-yang-sin-kang terlalu
sempurna, sedangkan Tat-mo-khi-kang Sinceng baru
mencapai tingkat ketiga, itulah sebabnya Ku-lo Sinceng
mengalami kekalahan."
252 Maka secara ringkas Bong Thian-gak mengisahkan
pertarungan Ku-lo Sinceng melawan Jit-kaucu Thay-kun.
Selesai mendengar kisah itu, dengan wajah serius, Ho Putciang
berkata, "Dengan masih hidupnya Jit-kaucu, berarti
dunia persilatan tak akan memperoleh ketenangan untuk
selamanya!"
Bong Thian-gak termenung sambil berpikir sejenak,
kemudian katanya, "Bibit bencana yang sebenarnya bagi umat
persilatan sekarang sesungguhnya bukan Jit-kaucu!"
"Apa maksudmu?"
Maka Bong Thian-gak menceritakan bagaimana dia
menggali liang kubur, bagaimana bertarung dan berbincang
dengan. Mendengar kisah itu, Thia Leng-juan lantas bertanya, "Koheng,
menurut kau, Jit-kaucu adalah murid Jian-bin-hu-li Ban
Li-biau?" Bong Thian-gak mengangguk.
"Benar, pada usia lima tahun dia telah memperoleh warisan
ilmu silat guruku yang kedua."
"Lantas atas dasar apa Ko-heng mengatakan bibit bencana
bagi dunia persilatan bukan Jit-kaucu?"
Bong Thian-gak termenung beberapa saat lamanya,
kemudian haru berkata, "Dari pembicaraan Jit-kaucu, pentolan
atau dalang semua bencana di Bu-lim dewasa ini adalah orang
yang mengajarkan ilmu silat kepadanya saat ini, yakni
gurunya, Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau!"
"Ucapan Ko-siauhiap memang benar," Ho Put-ciang
manggut-manggut. "Tentang ilmu silat, kemungkinan besar
ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang Jit-kaucu sudah jauh melampaui
Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, tapi dari tindakan Jit-kaucu yang
memberi petunjuk kepada Ko-siauhiap agar mengobati
253 penyakit yang diderita Ku-lo Sinceng serta pertanyaan kepada
Ko-siauhiap apakah dia adalah utusan rahasia Cong-kaucu ...
hal itu membuktikan watak Jit-kaucu yang sebenarnya adalah
saleh dan baik, dia terpaksa membunuh orang atas petunjuk
serta desakan orang lain."
"Apabila dugaanku tidak salah, tiap kali Jit-kaucu
membunuh orang, hatinya merasa menyesal."
Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memandang
sekejap ke arah semua orang, kemudian katanya, "Kalau
dihitung, Jit-kaucu masih terhitung Sumoayku, aku
berkewajiban menyelamatkannya dari jurang kehancuran,
seandainya ia tak bisa dididik jadi baik, aku yakin masih
mampu menandinginya."
Bong Thian-gak berhenti sejenak, kemudian baru
sambungnya, "Padahal hampir setiap orang yang tergabung
dalam Put-gwa-cin-kau memiliki ilmu silat yang sangat lihai,
dari kepandaian silat kelima orang itu boleh dibilang mereka
adalah gembong-gembong iblis berilmu tinggi."
"Kemampuan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau untuk
menaklukkan serta mengendalikan kaum iblis di bawah
kekuasaannya, bisa diduga sampai dimanakah
kemampuannya" Ai ... apa yang diucapkan Ku-lo Sinceng
memang benar, musuh paling tangguh bagi kita
sesungguhnya adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau ... Ku-lo
Taysu adalah tokoh agung dari Siau-lim-pay, mungkin dia
telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kita."
Ho Put-ciang manggut-manggut membenarkan, "Ucapan
Ko-siauhiap memang benar, beberapa hari berselang Sinceng
memang telah memberi dua buah kantung kepadaku dan
berpesan agar yang satu untuk Ko-siauhiap dan satu untukku.
Dia orang tua berpesan kantung hanya boleh diserahkan
kepada Ko-siauhiap, bila dia sudah berpulang alam baka. Tadi
oleh karena ada serangan musuh tangguh, aku telah
melupakan hal ini."
254 Mendengar ucapan itu, segera terlintas rasa girang di
wajah Bong Thian-gak, serunya dengan cepat, "Ah, rupanya
dugaanku memang benar, Sinceng telah menyiapkan segala
sesuatunya."
Sementara itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang sudah merogoh
ke dalam sakunya dan mengeluarkan dua buah kantung yang
terbuat dari kain yang amat indah. Ho Put-ciang mengambil
satu di antaranya dan diserahkan kepada Bong Thian-gak,
sambil berkata, "Yang ini buat Ko-siauhiap!"
Bong Thian-gak menyambut kantung itu, lalu bertanya,
"Apakah Ho-bengcu telah memeriksa isi kantung itu?"
"Belum, Ku-lo Sinceng telah berpesan, apabila ia sudah
kembali ke alam baka, isi kantung itu baru boleh dibuka, maka
aku masih belum mengetahui apa isinya."
"Sekarang mungkin kau sudah boleh membukanya,
bukan?" Bong Thian-gak segera merogoh ke dalam kantung itu dan
mengeluarkan isinya, ternyata di situ terdapat tiga pucuk
sampul surat yang dilipat menjadi empat persegi, di antara
sampul tertera huruf satu, dua dan tiga secara berurutan.
Bong Thian-gak mengambil sampul surat pertama,
kemudian membaca tulisan di atasnya:
"Saat membuka sampul pertama, Sinceng sudah kembali ke
alam baka."
Pelan-pelan Bong Thian-gak merobek sampul itu, tampak di
atas kertas dalam sampul tertulis beberapa huruf yang
berbunyi: "Selamatkan Jit-kaucu!"
Di sisi sebelah kiri ditulis nama, tertera pula dua deret
kalimat yang ditulis dalam huruf kecil:
255 "Bila Jit-kaucu sudah tewas sebelum kematian Pinceng, isi
surat ini batal"
Membaca petunjuk itu, untuk beberapa saat Bong Thiangak
termenung dan mengerut dahi, dia seperti tidak
memahami apa arti petunjuk itu.
Waktu itu kendati para jago lain terdorong oleh rasa ingin
tahu ingin turut membaca apa isi surat Ku-lo Sinceng, namun
oleh karena bong Thian-gak bungkam seribu bahasa, maka
tak seorang pun yang berani bertanya.
Semua orang hanya mengawasi Bong Thian-gak dengan
wajah termangu-mangu.
Bong Thian-gak termenung sampai lama sekali, akhirnya
dia meletakkan surat itu ke atas meja sembari berkata,
"Silakan kalian baca isi surat itu, kemudian pikirkan apa
artinya?" Sementara itu para jago sudah dapat melihat jelas tulisan
itu, kontan semua orang mengerut dahi.
Thia Leng-juan pun tidak habis mengerti, katanya
kemudian, "Menyelamatkan Jit-kaucu" Tulisan itu
mengandung dua arti yang berbeda, satu di antaranya adalah
menyelamatkan roh atau jiwanya dan yang lain berarti
menjaga keselamatannya."
"Apa pula bedanya antara roh, jiwa dan keselamatan?"
tanya Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay keheranan.
"Menyelamatkan roh atau jiwanya, berati Jit-kaucu sudah
terlalu banyak membunuh orang, banyak melakukan
kejahatan sehingga kita diharuskan membawanya dari jalan
sesat kembali ke jalan yang benar serta tidak melakukan
kejahatan lagi."
"Kalau menolong keselamatannya berarti keselamatan jiwa
Jit-kaucu terancam bahaya dan kita harus menolongnya,
jangan sampai dia tewas terbunuh oleh orang lain."
256 "Penjelasan Thia-tayhiap tepat sekali!" seru Ang Thong-lam
pula, "Memang tulisan itu bisa punya dua maksud, tapi
dengan kedudukan Jit-kaucu sekarang, kecuali kita hendak
membunuhnya, masa ada orang lain yang hendak
membunuhnya pula?"
"Ku-lo Supek adalah seorang pintar dan pandai
menganalisa suatu keadaan, perintahnya memang
mengandung arti mendalam, sehingga aku sendiri pun tak


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat memastikan."
"Tulisan 'Selamatkan Jit-kaucu' memang mengandung arti
yang dalam, untuk sementara waktu sulit bagi kita
menduganya, aku rasa kita turuti saja perintahnya dan
menyelamatkan Jit-kaucu," sela Ho Put-ciang.
Sementara itu Bong Thian-gak sedang memejamkan mata
sambil memutar otak memikirkan sesuatu.
Setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya Bong
Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, perintah Ku-lo
Sinceng ini memang benar-benar sukar dipahami pikiran kita,
ya, mungkin cuma waktulah yang bisa membuktikan hal ini!"
"Kantung berisi surat yang ditinggalkan Ku-lo Supek
untukku belum sempat kubuka, siapa tahu surat itu
menyinggung tentang hal ini?" kata Ho Put-ciang tiba-tiba.
Selesai berkata dia segera mengambil kantung yang
ditujukan kepadanya itu.
Dalam kantung hanya tersimpan sepucuk surat saja, di atas
sampul surat tertulis:
"Surat wasiat Siau-lim Ku-lo."
Membaca tulisan itu, hati semua orang bergetar keras,
mereka berpikir, "Ternyata Ku-lo Hwesio telah mengetahui
tentang kematiannya, maka dia sengaja menulis surat
wasiatnya."
257 Pelan-pelan Ho Put-ciang mengeluarkan surat dari dalam
sampul dan membaca isinya yang berbunyi:
"Siancayl Kehidupan di jagad ini berlangsung karena
perputaran bumi, pertemuan antara unsur Im dan Yang serta
perputaran lima unsur Ngo-heng, maka terwujudlah kehidupan
yang ada di alam semesta ini dengan kehadiran manusia yang
berakal budi. Takdir menetapkan kehidupan Ku-lo harus berakhir pada
tahun Kau bulan Sin hari Cu dan saat Yu. Itulah sebabnya
kematian Pinceng merupakan kemauan takdir.
Ku-lo tahu pertempuran melawan Jit-kaucu akan lebih
banyak bahayanya daripada keberuntungan, andaikata
beruntung Pinceng bisa merenggut nyawa Jit-kaucu, maka
pasti ia akan mati pada hari ini, kemungkinan besar situasi
dunia persilatan akan berubah menjadi semakin tidak
menguntungkan bagi kita.
Sebaliknya jika Jit-kaucu tidak mati, sedang Ku-lo mati lebih
dulu, hal ini bisa berakibat munculnya suatu perubahan besar.
Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil menciptakan
seorang tokoh tangguh seperti Jit-kaucu dengan bekal ilmu
Soh-li-jian-yang-sin-kang, bila ilmu itu mencapai tingkat
kesepuluh, maka orang akan menjadi kebal dan tahan pukul
maupun dibacok. Saat itulah bisa jadi Jit-kaucu akan menjadi
seorang jagoan yang tak ada tandingannya di kolong langit.
Itulah sebabnya bila Pinceng meninggal, sudah pasti Congkaucu
Put-gwa-cin-kau akan berusaha keras
melenyapkan Jit-kaucu guna menghilangkan bibit bencana
di kemudian hari.
Demi perubahan situasi dalam Bu-lim, terutama bagi
keuntungan pihak kita, kalian harus berusaha sekuat tenaga
untuk melindungi keselamatan jiwa jit-kaucu.
258 Saat ini Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil
mempelajari berbagai macam ilmu sakti, hanya ilmu Soh-lijian-
yang-sin-kang serta Tat-mo-khi-kang saja yang mampu
membunuh biang keladi itu. Oleh sebab itu tugas pertama
kalian adalah menyelamatkan Jit-kaucu terlebih dahulu.
Ingati Ingati Dapatkah dunia persilatan kita
dipertahankan" Semuanya tergantung pada tindakan ini."
Setelah para jago membaca isi surat Ku-lo Hwesio, hampir
semuanya terkejut bercampur kagum. Sudah jelas terbukti
sekarang bahwa dalam pertarungan Ku-lo Hwesio melawan
Jit-kaucu, agaknya pendeta itu tidak bermaksud
membinasakan perempuan itu.
Dengan kening berkerut Ho Put-ciang berkata, "Ku-lo
Supek pandai ilmu rahasia langit, dari isi surat wasiatnya, bisa
diduga dia sudah tahu siapa gerangan Cong-kaucu Put-gwacin-
kau itu." "Ai, tak perlu ditebak lagi," ujar Bong Thian-gak sambil
menghela napas panjang. "Mungkin dia orang tua sudah
mengetahui dengan jelas segala sesuatu tentang Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau itu."
Mendadak Thia Leng-juan berkata, "Bukankah Ku-lo Supek
masih memberi dua pucuk surat lagi untuk Ko-siauhiap"
Bagaimana kalau Ko-siauhiap keluarkan surat itu dan sekalian
diperiksa isinya?"
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera membuka
sampul kedua dan sampul ketiga, namun di atas sampul itu
ternyata sudah dicantumkan saatnya untuk membuka.
Di atas sampul kedua ditulis dengan jelas saat untuk
membuka surat itu.
"Surat ini dibuka saat Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng
muncul." Sedangkan sampul ketiga bertuliskan:
259 "Di buka saat hendak menaklukkan Cong-kaucu Put-gwacin-
kau." Di samping lain sampul surat itu dicantumkan pula
peringatan agar jangan membuka surat itu apabila saatnya
belum sampai. Bong Thian-gak tentu saja tak berani melanggar peringatan
itu, maka pemuda itu menyimpan kembali kedua pucuk surat
itu. Mendadak Thia Leng-juan berseru tertahan, "Ah,
mungkinkah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah Mo-kiam-sinkun
Tio Tian-seng?"
"Dari surat wasiat Ku-lo Supek, tampaknya Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau agak mirip dengan Tio Tian-seng," sahut Ho
Put-ciang. "Aku rasa bukan Tio Tian-seng," seru Bong Thian-gak.
"Atas dasar apa Ko-heng mengatakan bukan dia?" tanya
Thia Leng-juan cepat.
"Seandainya orang itu adalah Tio Tian-seng, tak mungkin
Ku-lo Sinceng jual mahal pada kita. Ai ... siapakah Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau" Cepat atau lambat kita akan mengetahui
juga. Persoalan paling penting yang harus kita hadapi
sekarang adalah bagaimana caranya melaksanakan perintah
Sinceng serta menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong yang selama ini hanya
membungkam mendadak berkata, "Ah, agaknya Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau akan mulai melaksanakan rencananya
membunuh Jit-kaucu begitu mendengar berita kematian
Sinceng, bisa jadi saat ini Cong-kaucu sudah berada di kota
Kay-hong."
Bong Thian-gak manggut-manggut.
260 "Ya, benar! Tujuan yang sesungguhnya serbuan musuh ke
gedung bu-lim Bengcu hari ini adalah untuk mencari tahu
mati-hidup Ku-lo Sinceng, ya ... segala sesuatunya memang
berjalan seperti apa yang di tulis Sinceng dalam surat
wasiatnya, kalau begitu kita tak boleh ayal dalam usaha kita
menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."
"Tapi tindakan apakah yang harus kita ambil" Harap kalian
semua sudi mengajukan pendapat," seru Ho Put-ciang.
Dengan suara berat Thia Leng-juan berkata, "Ku-lo Supek
telah menyerahkan isi kantung itu kepada Ko-heng, jelas
tugas ini hanya Ko-heng seorang yang mampu memikulnya,
mana mungkin orang lain bisa mencampurinya."
Seperti menyadari sesuatu, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang
berkata, betul, tampaknya Ku-lo Supek sudah tahu Jit-kaucu
pun ahli waris Jian-bin hu-li Ban Li-biau seperti juga halnya
Ko-siauhiap."
"Ai, Ku-lo Sinceng benar-benar merupakan tokoh sakti yang
luar biasa," kata Bong Thian-gak. "Tampaknya ia sudah tahu
asal-usul semua lnknh di Bu-lim."
"Ai, kematiannya benar-benar merupakan suatu kerugian
besar bagi dunia persilatan."
"Dalam surat wasiatnya, Ku-lo Supek berpesan bahwa
kematian merupakan kemauan takdir, apakah seorang kaisar
bisa memperpanjang usianya bila saat ajalnya sudah tiba" Kosiauhiap,
aku rasa kau tak perlu bersedih karena
kematiannya!"
"Jika begitu aku harus segera mencari Jit-kaucu sekarang
juga." "Aku rasa persoalan ini pun tak perlu dikerjakan terlalu
tergesa-gesa, kini luka pada bahu kiri Ko-siauhiap masih
belum sembuh, lagi pula telah berjuang sehari semalam, tak
261 ada salahnya kau beristirahat dulu selama tiga-empat hari
sebelum melakukan sesuatu tindakan."
"Luka yang kuderita tidak jadi soal. Yang kukuatirkan
sekarang seandainya orang-orang Put-gwa-cin-kau melakukan
penyerbuan sekali lagi kemari."
Ho Put-ciang tertawa sedih.
"Walaupun pada pertempuran hari ini pihak gedung Bengcu
menderita kerugian besar, tapi asalkan yang datang bukan
Cong-kaucu atau Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau, gedung Bengcu
yakin masih bisa mempertahankan diri."
Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian
katanya pelan-pelan, "Ho-bengcu, ada satu hal perlu
kuingatkan kepadamu, ketahuilah bahwa dalam gedung Bu-lim
Bengcu sekarang bersembunyi seorang pentolan Put-gwa-cinkau,
kalau tak salah pentolan itu adalah Cap-go-kaucu! Aku
harap kau bertindak lebih waspada."
"Sekarang orang yang menjadi kekuatan inti gedung Bu-lim
Bengcu adalah Ko-siauhiap, Thia Leng-juan Laute, Angtayhiap,
Goan-ko Taysu, Ui-hok Totiang beserta kami Suhengte.
Semua rahasia yang kita ketahui tak mungkin bocor ke
telinga orang lain, bila rahasia itu sampai bocor, berarti Capgo-
kaucu Put-gwa-cin-kau berada di antara kita bersembilan
dalam gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimana pendapat
kalian?" kata Ho Put-ciang.
"Betul," ujar Thia Leng-juan cepat, "apa yang kita bicarakan
hari ini menyangkut keselamatan dunia persilatan, jelas siapa
pun dilarang membocorkan keluar."
Yu Ciang-hong, Ang Thong-lam dan Goan-ko Taysu
sekalian segera bersumpah pula untuk memegang rahasia itu
rapat-rapat. 262 Malam itu lewat tanpa kejadian, para jago pun kembali ke
kamar masing-masing untuk mengatur pernapasan dan
merawat luka. Keesokan harinya, luka yang diderita Ui-hok Totiang serta
Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui telah sembuh, sementara luka
yang diderita Oh Cian-giok sudah jauh membaik.
Bong Thian-gak dan Thia Leng-juan bersama-sama tidur di
loteng sebelah barat, pada hari ketiga luka tusukan pada bahu
kiri Bong Thian-gak pun telah sembuh.
Selama tiga hari itu dari pihak Bu-lim Bengcu telah
mengirim banyak mata-mata untuk menyelidiki keadaan serta
gerak-gerik orang-orang Put-gwa-cin-kau, anehnya puluhan li
di seputar kota Kay-hong ternyata tidak dijumpai satu pun
orang persilatan, tentu saja tidak diketahui pula gerak-gerik
orang-orang Put-gwa-cin-kau.
Keadaan itu tentu saja mendatangkan perasaan tak tenang
bagi para jago yang berkumpul dalam gedung Bu-lim Bengcu.
Setiap orang tahu, sebelum datangnya hujan badai
biasanya didahului oleh suasana sunyi senyap yang aneh.
Tengah hari itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bersama
pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan dan Bong
Thian-gak bertiga berkumpul di ruangan tengah bangunan
loteng sebelah barat.
"Ho-toako, menurut pendapatmu mungkinkah orang-orang
Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri secara diam-diam
dari kota Kay-hong?"
Pertanyaan itu ditujukan kepada Ho Put-ciang dengan
suara lantang. Ho Put-ciang menggeleng.
"Dalam tiga hari ini suasana memang terasa kurang beres.
Jika orang-orang Put-gwa-cin-kau masih berada di kota KayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
263 hong, mata-mata yang kita kirim paling tidak akan
menemukan jejak mereka."
"Aku pikir Jit-kaucu tak mungkin meninggalkan tempat ini
begitu cepat," seru Bong Thian-gak pula.
"Ko-heng, apa maksudmu?" tanya Thia Leng-juan cepat.
"Jit-kaucu mendapat tugas menghancurkan gedung Bu-lim
bengcu, sebelum tugas yang dibebankan ke atas pundaknya
diselesaikan, bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan kota
Kay-hong" Menurut dugaanku, Put-gwa-cin-kau masih akan
melakukan penyerangan secara besar-besaran terhadap
gedung Bu-lim Bengcu kita!"
"Bagaimana Ko-heng bisa berkata demikan" Kalau dibilang
Jit-kaucu mendapat perintah untuk menghancurkan gedung
Bu-lim Bengcu, apa sebabnya pada penyerbuan musuh tempo
hari kita tak menjumpai Jit-kaucu?"
"Sebab rencana penyerbuan gedung Bengcu yang terjadi
dua hari lalu bukan atas prakarsa Jit-kaucu."
"Kalau bukan diprakarsai dia, lantas siapa?"
"Orang berkerudung berbaju hitam itu!"
Tiba-tiba Thia Leng-juan berseru tertahan, sambil berpaling
ke arah Ho Put-ciang katanya, "Ho-toako, orang berkerudung
itu pernah memperkenalkan diri. Katanya dia adalah pentolan
nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau,
dengan kepandaian silatnya yang hebat serta sikapnya yang
angkuh, mestinya pasukan pengawal tanpa tanding
mempunyai kedudukan tinggi dalam Put-gwa-cin-kau."
"Bisa jadi pasukan pengawal tanpa tanding merupakan
pelindung Kaucu Put-gwa-cin-kau," pendapat Ho Put-ciang.
"Benar, pasukan pengawal tanpa tanding adalah para
pelindung Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
264 Thia Leng-juan segera termenung sambil berpikir sejenak,
lalu katanya, "Perkataan Ko-heng memang benar,
kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau akan melakukan serbuan
kedua terhadap gedung Bu-lim Bengcu kita ini."


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi anehnya mengapa hingga kini belum juga dilakukan?"
tanya Ho Put-ciang dengan kening berkerut.
"Sebuah pukulan dahsyat Ko-heng yang bersarang tepat di
tubuh orang berkerudung berbaju hitam itu menyebabkan
mereka tak berani menganggap enteng kekuatan kita," kata
Thia Leng-juan mengemukakan pendapatnya. "Selain itu,
nampaknya mereka masih menaruh curiga terhadap kematian
Ku-lo Supek."
Ho Put-ciang manggut-manggut.
"Benar, Jit-kaucu pun terhajar hingga terluka oleh Ku-lo
Supek dan dengan jumlah anggota Put-gwa-cin-kau yang
berada di kota Kay-hong +
-sekarang, mereka memang belum berani melakukan
penyerbuan lagi. Kemungkinan mereka belum berani berkutik
dalam beberapa hari mendatang, bisa jadi sedang minta bala
bantuan sambil menyiapkan serangan berikutnya."
"Ai, tapi yang pasti, orang yang memimpin penyerbuan
kedua ini pun pasti bukan Jit-kaucu!" kata Bong Thian-gak
sambil menghela napas panjang.
"Ko-heng, siapa menurut dugaanmu?"
"Kemungkinan besar Cong-kaucu yang akan memimpin
secara langsung penyerangan ini."
Paras muka Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berubah hebat
mendengar perkataan itu, katanya cepat, "Lantas bagaimana
cara kita menghadapi?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
265 "Ai, hari ini aku baru menemukan gelagat kurang baik, bila
kita hendak meminta bantuan orang sembilan partai besar,
aku rasa air yang berada di tempat jauh tak mungkin bisa
memadamkan api di depan mata!"
"Tapi kita bisa membendung air bah, kita hadapi serbuan
lawan dengan kekuatan, asal kita bertekad berjuang sampai
titik darah penghabisan, aku rasa kekuatan musuh masih
dapat kita imbangi."
"Aku pikir lebih baik kita mundur saja dari gedung ini sambil
melindungi kekuatan yang tersisa," ucap Bong Thian-gak
dengan wajah serius.
Belum habis perkataan Bong Thian-gak, mendadak dari
bawah anak tangga sana terdengar suara langkah kaki, disusul
kemudian munculnya Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui.
"Yu-sute, ada urusan penting apa?" Ho Put-ciang segera
berpaling dan menegur.
Dengan suara lantang Yu Heng-sui menyahut, "Seorang
mata-mata yang kita utus untuk mencari berita telah berjumpa
dengan seorang perempuan misterius di luar kota Kay-hong
sebelah barat. Perempuan itu telah menitipkan sepucuk surat
kepada mata-mata kita supaya diampaikan kepada Kosiauhiap."
Sembari berkata, dari dalam sakunya dia mengeluarkan
sepucuk iiiiat berwarna biru.
Bong Thian-gak segera menerima surat itu, di atas sampul
tertera beberapa huruf dengan gaya tulisan yang sangat
indah: "Ditujukan khusus untuk Ko Hong."
Bong Thian-gak berkerut kening, setelah berpikir sebentar,
lalu tanyanya, "Siapakah perempuan itu?" Terus saja ia
merobek sampul surat itu dan membacanya isinya.
266 "Tidak mudah untuk mempertahankan hidup ini, cepat
pergi dari sini untuk hidup seratus tahun lagi."
Di bawah surat tidak dicantumkan tanda tangan.
Selesai membaca, Bong Thian-gak segera menyerahkan
surat itu kepada Ho Put-ciang serta Thia Leng-juan sekalian.
"Siapa penulis surat ini?" Thia Leng-juan bertanya
kemudian. "Jit-kaucu," sahut Bong Thian-gak sambil menghela napas
panjang. Ho Put-ciang menghela napas pula.
"Kejadian ini semakin membuktikan dugaan kita tak salah,
Put-gwa-cin-kau memang sudah mempersiapkan diri
memusnahkan gedung kita."
"Ai, belum tentu begitu, kemungkinan juga sasaran mereka
hanya aku seorang."
"Bukankah dia sudah memberi peringatan kepada Ko-heng"
Tak mungkin dia turun tangan keji terhadap Ko-heng!" kata
Thia Leng-juan lagi.
"Jit-kaucu adalah seorang gadis yang berwatak aneh,
senang gusarnya tidak menentu, lagi pula semua gerakgeriknya
seakan-akan sudah berada di bawah cengkeraman
Cong-kaucu."
Ho Put-ciang bertanya kepada Yu Heng-sui, "Yu-sute,
siapakah mata-mata itu" Cepat kau panggil dia agar
menghadap kemari."
"Baik!" sahut Toan-jong-hong-Iiu Yu Heng-sui dari bawah
loteng. 267 Tak selang lama kemudian Yu Heng-sui telah muncul
kembali diikuti seorang lelaki berbaju hitam.
Begitu melihat raut wajah lelaki itu, Pa-ong-kiong Ho Putciang
segera mengetahui dia adalah komandan pasukan matamata
angkatan kedelapan yang bernama Tan Thiam-ka.
Sesudah memberi hormat kepada semua orang, Tan
Thiam-ka segera berdiri di samping dengan kedua tangan
diluruskan ke bawah.
"Komandan Tan, darimana kau dapatkan surat ini?" Ho Putciang
berkata dengan suara nyaring.
"Di sebelah barat kota Kay-hong, lebih kurang empat-lima li
di luar kota."
"Macam apakah bentuk wajah orang yang menyerahkan
surat itu kepadamu?" sela Thia Leng-juan.
"Dia adalah seorang gadis yang berusia enam-tujuh belas
tahunan, berwajah jelek tapi bersuara amat merdu dan manis.
Awalnya dia bertanya kepadaku apakah merupakan anggota
gedung Bengcu, setelah itu ujarnya lagi, katanya dia ada surat
yang hendak diserahkan kepada Ko Hong Siauhiap, maka
surat itu pun diserahkan kepada hamba sebelum pergi
meninggalkan tempat itu."
Mendengar penjelasan itu, paras muka Ho Put-ciang
sekalian segera berubah hebat, dalam hati mereka berpikir,
"Berwajah jelek" Kalau begitu orang itu bukan Jit-kaucu?"
Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekalian belum
pernah menyaksikan raut wajah Jit-kaucu, namun Bong Thiangak
pernah melukiskan paras mukanya yang cantik ibarat
bidadari yang baru turun dari kahyangan, lagi pula usianya
juga tidak cocok.
"Komandan Tan, apakah kau tidak salah melihat?" Ho Putciang
segera bertanya.
268 "Tecu tak bakal salah melihat."
Ho Put-ciang manggut-manggut.
'Baiklah kalau begitu, komandan Tan dan Yu-sute boleh
mengundurkan diri dari sini."
"Baik!" seru mereka berdua bersama-sama.
Seusai berkata, mereka membalikkan badan siap
meninggalkan Irmpat itu.
"Tunggu sebentar!" mendadak Bong Thian-gak berseru.
"Ada urusan apa Ko-siauhiap?" Ho Put-ciang segera
bertanya. "Ho-bengcu, aku ingin membawa komandan Tan
berkunjung ke tempat penyerahan surat itu."
"Apakah luka Ko-siauhiap telah sembuh?"
"Tak usah kuatir, Bengcu, lukaku sudah tak jadi masalah
lagi." "Apakah Ko-siauhiap kenal si pengantar surat itu?"
"Tidak!" Bong Thian-gak menggeleng. "Belum pernah
kujumpai wanita itu."
"Musuh kita amat licik dan mempunyai banyak tipu
muslihat, mungkinkah kepergian Ko-siauhiap akan terjebak
siasat licik mereka?"
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Aku kuatir Ko-siauhiap salah menduga akan si pengirim
surat itu."
"Andaikan musuh menantangmu secara terang-terangan
untuk berduel, mereka kuatir kita mempersiapkan diri lebih
dahulu, maka dia sengaja mengirim surat itu untuk
memancing rasa ingin tahumu hingga kau melakukan
269 penyelidikan seorang diri. Akhirnya kau termakan oleh tipu
muslihat mereka."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak tersenyum.
"Untuk mewujudkan tugas yang dibebankan Ku-lo Sinceng
kepadaku, sudah seharusnya aku mulai bertindak sekarang."
"Kalau begitu apakah Ko-siauhiap membutuhkan bantuan
orang kami?"
"Tidak usah," Bong Thian-gak menampik sambil
menggeleng. "Sekarang juga aku akan berangkat."
Ho Put-ciang lantas berpaling ke arah lelaki berbaju hitam
itu sambil berpesan, "Komandan Tan, dampingi Ko-siauhiap,
kau harus menuruti semua petunjuk dan perintah Ko-siauhiap
tanpa membantah."
"Baik!" sahut Tan Thiam-ka dengan hormat.
Setelah berkata, dia lalu berpaling ke arah Bong Thian-gak
sambil bertanya, "Ko-siauhiap, apakah akan berangkat
sekarang juga?"
Bong Thian-gak berkata kepada Ho Put-ciang sekalian,
"Setiap saat aku akan mengadakan kontak dengan kalian,
harap Bengcu tak usah kuatir, kami segera akan berangkat."
Selesai berkata Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka segera
pula berangkat meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu.
Setelah perjalanan selama setengah jam lebih, sampailah
Tan Thiam-ka dan Bong Thian-gak di depan sebuah hutan
buah-buahan. "Di sinikah kau bertemu dengan gadis berwajah jelek itu?"
Bong Thian-gak bertanya.
"Ya, waktu itu hamba sedang duduk beristirahat di bawah
pohon kelengkeng, mendadak muncul perempuan berwajah
jelek itu."
270 Bong Thian-gak mendongakkan kepala memandang
sekejap ke arah hutan buah-buahan itu.
Kebun buah-buahan itu luas sekali, mungkin mencapai
belasan hektar lebih. Empat penjuru dikelilingi pagar pendek
terbuat dari bambu, jelas tempat itu merupakan kebun buahbuahan
yang dijaga orang.
Bong Thian-gak bertanya, "Apakah sekeliling tempat ini
terdapat perkampungan atau dusun?"
"Dua li dari sini terdapat sebuah dusun kecil, hanya sekitar
dua puluh kepala keluarga."
"Apa hasil penyelidikanmu terhadap dusun itu?"
Tan Thiam-ka termenung sejenak, kemudian sahutnya, "Di
tempat itu tidak kutemukan sesuatu, pada pagi dan siang hari
kebanyakan rumah petani tutup, hanya ada beberapa anak
kecil bermain di luar pagar rumah, benar-benar suasana dusun
kaum petani."
Pada saat itulah mendadak dalam kebun buah-buahan itu
berkumandang suara bentakan serta caci-maki.
Dengan kening berkerut Bong Thian-
Bentrok Rimba Persilatan 2 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 18
^