Pendekar Cacad 7

Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 7


dang unggas terbang) yang namanya telah menggetarkan
wilayah Kanglam."
Lelaki kurus bertahi lalat itu kembali tertawa tergelak,
"Tajam benar pandangan saudara, hahaha, tiga bulan terakhir
ini dunia persilatan telah dihebohkan oleh nama besarmu, hal
ini membuat kami Hui-eng-su-kiam merasa risau dan tak enak
sendiri, itu sebabnya malam ini aku ingin menantang kau
berduel!" "Berduel untuk mambuktikan siapa lebih unggul bukanlah
suatu peristiwa luar biasa, cuma sayang malam ini aku tidak
ada waktu, maka seandainya kalian Hui-eng-su-kiam ingin
mencoba kepandaian silatku, tak ada salahnya dicoba
sekarang!" kata Jian-ciat-suseng hambar.
Mendengar perkataan itu, si nona berkerut kening, lalu
bentaknya penuh gusar, "Manusia cacat, besar amat lagakmu,
orang lain boleh takut kepadamu, tapi kami Hui-eng-su-kiam
tak takut menghadapi dirimu." Jian-ciat-suseng tertawa.
"Di antara empat pedang unggas terbang, aku dengar
terdapat seorang yang bernama Hwe-im-eng (Burung api),
wataknya konon serupa dengan julukannya, mungkin nonalah
yang dimaksud?"
Di wilayah Kanglam, nama besar Hui-eng-su-kiam memang
sangat termasyhur, setiap jago dari berbagai perguruan yang
bertemu dengan mereka pasti akan menyebut Siauhiap atau
Lihiap untuk menghormati mereka.
411 Mimpi pun tak menyangka Jian-ciat-suseng tidak
memandang sebelah mata pun kepada mereka, betapa
gusarnya mereka menyaksikan kenyataan itu, terutama
Burung api Yu Hong-hong yang dasarnya memang sombong,
tinggi hati dan berangasan.
"Tutup mulut!" bentaknya nyaring. "Nama besar nonamu
bukan sembarangan orang boleh menyebut, apalagi manusia
cacat seperti kau."
Tiba-tiba Jian-ciat-suseng menarik muka dan menegur,
"Nona, watak berangasan dan jahatmu harus mulai diubah,
jika kau tak mampu mengubah diri, niscaya usiamu tak akan
panjang." Yu Hong-hong tertawa dingin.
"Hehehe, aku justru ingin tahu usia siapa yang tak panjang.
Manusia cacat, cepat lolos pedangmu, nona ingin memberi
pelajaran setimpal padamu."
Sementara berbicara, Yu Hong-hong telah melolos
sepasang pedang pendeknya dan siap melancarkan serangan.
Dengan suara hambar Jian-ciat-suseng berkata, "Begitu
pedangku ini terlolos dari sarungnya, kepala manusia tentu
akan menggelinding, aku tahu kalian Hui-eng-su-kiam cuma
manusia berdarah panas yang ingin mencari nama, perbuatan
kalian belum terhitung jahat."
Belum selesai dia berkata, sepasang kaki Yu Hong-hong
sudah menjejak perut kudanya dan secepat kilat menerjang ke
arah Jian-ciat-suseng.
Jian-ciat-suseng masih tetap duduk di atas pelana sekokoh
batu karang, bergerak sedikit pun tidak.
Yu Hong-hong benar-benar merasa gusar sekali, sepasang
pedangnya seperti dua naga yang muncul dari air, langsung
mengancam dua jalan darah mematikan di tubuh Jian-ciatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
412 suseng, sedemikian cepatnya serangan itu sehingga tak malu
disebut jagoan kelas satu.
Jian-ciat-suseng sama sekali tak berkutik, lengan
I^anannya yang kosong tiba-tiba dikebaskan ke muka dan
memelintir sepasang tangan Yu Hong-hong.
Yu Hong-hong membentak gusar, "Belum tentu kungfumu
sangat hebat!"
Rupanya jurus serangan Siang-liong-jut-cui (Sepasang naga
keluar dari air) yang dipergunakan Yu Hong-hong adalah
serangan tipuan, di tengah bentakan nyaring, sepasang
pergelangan tangannya merendah ke bawah, pedangnya
seperti naga sakti membentuk gerakan setengah lingkaran dan
menciptakan beribu titik bintang di angkasa, seperti tusukan
seperti pula bacokan dia menyerang Jian-ciat-suseng.
Kali ini Jian-ciat-suseng tidak bergerak sama sekali, ujung
lengan baju kanannya yang kosong pun tak berkutik,
sepasang pedang Yu Hong-hong secepat sambaran petir
langsung menerobos masuk.
Tiga orang lainnya yang menyaksikan jalanya pertarungan
dari sisi arena segera berpikir setelah menyaksikan kejadian
itu. "Seandainya Jian-ciat-suseng tidak jatuh dari kudanya,
kendatipun ilmu silatnya lebih hebat pun tak nanti dia bisa
lolos dari serangan Yu Hong-hong."
Belum habis mereka berpikir, tampak Jian-ciat-suseng
sudah menggerakkan tangan kirinya.
Diiringi jeritan kaget Yu Hong-hong, sepasang pedang
pendeknya tahu-tahu sudah berpindah tangan.
"Pletakk", diiringi suara nyaring, kedua pedang pendek
yang terbuat dari kayu itu sudah digetarkan patah menjadi
empat bagian oleh lengan kiri Jian-ciat-suseng dan terjatuh ke
atas tanah. 413 Demonstrasi tenaga dalam serta kepandaian silat semacam
ini tentu akan menjerakan hati orang yang melihat.
Namun dasar si Burung api burung Yu Hong-hong, dari
malu dia menjadi gusar, sambil membentak nyaring tubuhnya
melesat ke depan, lalu telapak tangannya dengan
mengerahkan segulung tenaga dahsyat langsung menghantam
ke dada Jian-ciat-suseng itu.
Berkerut kening Jian-ciat-suseng menghadapi ancaman ini,
tangan kirinya segera menyambar ke depan dan
mencengkeram lengan kanan Yu Hong-hong, begitu si nona
kehilangan tenaga, dia lantas mengangkat tubuh gadis itu ke
tengah udara. "Lepaskan aku, lepaskan aku!" teriak Yu Hong-hong
dengan gusar. Jian-ciat-suseng memutar lengan kirinya dan
mengayunkannya ke depan.
Tak ampun lagi tubuh Yu Hong-hong terlempar ke udara
dan persis terjatuh kembali ke atas pelana kudanya.
Sejak terjun ke dunia persilatan, belum pernah Yu Honghong
menderita kekalahan seperti hari ini, dia segera
menangis tersedu-sedu.
Tiga rekan lainnya dibikin terperanjat oleh kelihaian ilmu
silat Jian-ciat-suseng, untuk beberapa saat mereka hanya bisa
berdiri tertegun.
Mereka baru sadar mendengar isak tangis Yu Hong-hong
yang memilukan.
Tapi apa pula yang dapat mereka lakukan" Kepandaian silat
Jian-ciat-suseng terlampau lihai, sekali pun mereka bertiga
turun tangan bersama pun tak ada gunanya.
Isak tangis Yu Hong-hong sungguh mengenaskan, air
matanya bercucuran dengan amat derasnya.
414 Agaknya si sastrawan paling takut melihat perempuan
menangis, sambil menghela napas, pelan-pelan dia berkata,
"Yang paling penting dalam ilmu silat adalah tenang dan gesit,
tenang harus melebihi perawan, gesit harus melebihi kelinci,
bila saat menyerang perasaan sudah diliputi napsu,
ketenangan akan goyah dan kacau, kegesitan akan berubah
menjadi lembek. Bila menyerang seperti itu, bukan musuh
yang dihajar, salah-salah diri sendiri yang akan terluka."
Selesai mengucapkan perkataan itu, tanpa berpaling lagi
dia menjalankan kudanya pelan-pelan berlalu dari tempat itu.
Yu Hong-hong berhenti menangis. Dalam benaknya
terlintas perkataan terakhir Jian-ciat-suseng, kemudian dia
merenung dan memikirkannya berulang kali.
Tiba-tiba dengan sikap seperti mengerti seperti tidak, dia
bergumam lirih, "Hari ini aku menderita kalah, kekalahan yang
benar-benar memilukan hatiku, ai! Ilmu silatnya terlampau
tinggi, kepandaian silatnya benar-benar tinggi."
0oo0 Hong-tok-ciu-lau di barat daya kota terlarang merupakan
penginapan dan rumah makan terbesar dan termegah di
ibukota. Di balik pintu gerbang, Hong-tok-ciu-lau tampak berdiri
anggun dan berderet-deret mencapai ratusan ruangan.
Orang yang menginap di Hong-tok-ciu-lau pun meliputi
berbagai lapisan masyarakat.
Waktu itu di sebuah meja yang berada di sudut selatan
rumah makan termegah yang bagaikan keraton itu berduduk
tiga orang perlente dan seorang gadis cantik berbaju merah
menyala. Mereka sedang bersantap dan minum arak sambil
berbincang-bincang ke utara selatan.
415 Mendadak terdengar si gadis berkata dengan suara merdu,
"Tio-toako, tahukah kau siapa kedua orang tokoh silat yang
paling tersohor di kolong langit dewasa ini?"
Pemuda kurus bertahi lalat yang duduk di sisinya segera
menyahut sambil tertawa, "Yu-sumoay, masa kau tidak tahu"
Kedua orang itu adalah Si-hun-mo-li (Iblis perempuan
pembetot sukma) dan Jian-ciat-suseng."
"Tio-toako," kembali si gadis berbaju merah bertanya
manja. "Konon Jian-ciat-suseng sudah sampai di ibukota, ada
urusan apa orang itu mendatangi kota terlarang?"
"Konon Jian-ciat-suseng mengejar Si-hun-mo-li, karena iblis
perempuan ini berada di ibukota, padahal bukan hanya Jianciat-
suseng saja yang sudah sampai di Hopak, konon segenap
jago lihai secara berbondong-bondong sudah datang ke
wilayah Hopak sini."
"Ada urusan apa para jago Bu-lim berkumpul di ibukota?"
"Apalagi" Tentu saja karena Si-hun-mo-li dan Jian-ciatsuseng,"
sahut pemuda kurus itu tertawa.
"Ah, apa maksudmu?" seru gadis berbaju merah itu
terkejut. Tiba-tiba pemuda kurus itu berpaling dan
memandang sekejap ke arah meja di sudut kiri ruangan, lalu
katanya dengan lantang, "Hanya tiga bulan Jian-ciat-suseng
muncul di Bu-lim, berbagai jago lihai dari berbagai perguruan
besar telah keok di tangannya, orang bilang, pohon tinggi
mengundang datangnya angin, nama termasyhur
mengundang datangnya bencana, maka para jago persilatan
berbondong-bondong datang ke ibukota untuk membalas
dendam atau ingin merobohkannya sehingga sekali gebuk
memperoleh nama besar."
Sampai di sini pemuda kurus itu berdehem pelan, entah
sengaja atau tidak dia kembali mengalihkan sorot matanya ke
meja sebelah kiri.
416 Ternyata di tempat itu duduk pemuda berlengan buntung
dan berbaju hitam, dia berdandan seorang sastrawan, namun
sebilah pedang tersoreng di pinggangnya.
Mendadak gadis berbaju merah itu berkata lagi, "Tio-toako,
menurut pendapatmu dapatkah Jian-ciat-suseng mengalahkan
begitu banyak jago persilatan?"
Pemuda kurus tersenyum.
"Menurut penilaianku, ilmu silat Jian-ciat-suseng sudah
terhitung wahid di kolong langit, mana mungkin kawanan jago
yang mencari gara-gara padanya mampu menyambut sebuah
serangannya?"
Baru saja dia berkata, mendadak dari sisi meja sebelah
kanan terdengar suara orang berseru sambil tertawa dingin
tiada henti. "Hehehe, boleh saja Hui-eng-su-kiam tak mampu menerima
satu gebrakan Jian-ciat-suseng, namun orang lain tidaklah
demikian."
Ucapan itu seketika membuat paras pemuda perlente dan
gadis berbaju merah itu berubah hebat sehingga mereka
bersama-sama berpaling ke arah meja di samping mereka.
Di situ duduk seorang kakek dan seorang pemuda.
Yang tua berperawakan kurus dan hitam dengan baju
berwarna hitam, jenggot kambingnya panjang dan sepasang
matanya macam mata ikan, berkedip tajam, jelas tenaga
dalamnya telah sempurna.
Sedang yang muda berpakaian perlente dengan sebilah
pedang berwarna kuning emas tersoreng di pinggangnya,
tampan dan gagah, cuma sayang di antara kerutan dahinya
terbayang setitik hawa cabul.
Suara tertawa seram tadi tak lain berasal dari pemuda
berbaju perlente itu.
417 Serentak Hui-eng-su-kiam melompat bangun, hawa amarah
menyelimuti sekujur wajah mereka dalam waktu singkat,
pertarungan sengit bakal berlangsung di tengah ruangan itu.
Pada saat itulah mendadak dari tengah ruangan
berkumandang suara gelak tertawa yang amat nyaring,
kemudian dari sudut ruangan sebelah utara pelan-pelan
berjalan keluar sastrawan berbaju biru yang berusia tiga puluh
tahun. Orang ini memiliki wajah kereng dan lamat-lamat
memancarkan kewibawaan besar.
Ketika sastrawan buntung yang duduk di sudut kiri
menyaksikan kemunculan sastrawan yang mengenakan baju
biru itu, paras mukanya berubah hebat, hampir saja dia
berteriak. Dengan tergelak nyaring sastrawan berbaju biru itu
mengambil tempat duduk di depan kursi Hui-eng-su-kiam,
kemudian berkata, "Hui-eng-su-kiam, mari! Aku orang she
Thia ingin memperkenalkan kalian, Su-hiap yang duduk di
kursi utama itu tentunya Siaucengcu dari perkampungan Kimliong-
kiam-san-ceng yang berjuluk Kiu-liong-sin-kiam (Pedang
sakti sembilan naga) Mo Siau-pak."
"Sedangkan yang tua adalah Congkoan dari Kim-liongkiam-
san-ceng (perkampungan pedang naga emas) yang
berjuluk Hek-kut-siu (Kakek tulang hitam) Siangkoan-lotoa ...."
Begitu sastrawan berbaju biru itu menyebutkan nama-nama
itu, tak sedikit sorot mata yang dialihkan ke sana.
Setelah diperkenalkan, agaknya Hui-eng-su-kiam
terpengaruh oleh nama besar lawan, paras mereka pelanpelan
berubah agak lembut.


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim-liong-kiam-san-ceng merupakan keluarga persilatan
yang termasyhur di Bu-lim, nama besar mereka sudah merata
di wilayah utara sungai Kuning.
418 Bahkan boleh dibilang setiap orang tahu di wilayah itu
terdapat Kim-liong-kiam-san-ceng yang dikepalai Im-tiongliong
(Naga di balik mega) Mo Hui-thian.
Begitu lihainya ilmu pedang tokoh sakti ini sehingga orang
menyebutnya sebagai Bu-lim-te-it-kiam (Jago pedang nomor
wahid dunia persilatan).
Pemuda berbaju perlente itu yang bernama Mo Siau-pak
agaknya tak berani menunjukkan sikap angkuh ataupun tinggi
hati terhadap sastrawan berbaju biru itu, dengan cepat dia
melompat bangun dan berkata sambil tertawa terbahakbahak,
"Hahaha, kukira siapa, sungguh tak disangka Im-ciutay-
ji-hiap Thia Leng-juan adanya."
"Mana ... mana ... aku orang she Thia baru saja datang ke
ibukota dan dimana-mana kujumpai teman-teman lama,
nampaknya di sini akan terjadi sebuah pertemuan puncak para
jago." Mo Siau-pak tertawa dingin.
"Hm, apa sebabnya berbagai jago berdatangan ke kota
terlarang, aku rasa tak usah dibilang pun semua orang sudah
tahu dengan jelas."
Sembari berkata, dia mengangkat kepala dan menengok ke
arah sudut selatan.
Siapa tahu Jian-ciat-suseng yang duduk di tempat itu,
entah sedari kapan sudah pergi meninggalkan tempat itu.
Berubah hebat paras Mo Siau-pak, dengan cepat dia
melompat bangun, kemudian serunya, "Thia-heng, maaf aku
tak bisa menemani lebih lama."
Agak tergopoh-gopoh dia berlalu dari ruangan itu.
Ketika melihat Mo Siau-pak beranjak pergi, kakek berbaju
hitam itu tanpa berbicara sepatah kata pun turut menguntit di
belakangnya meninggalkan ruangan.
419 Hui-eng-su-kiam yang menyaksikan kejadian itu, dalam hati
segera mengerti apa sebabnya Mo Siau-pak pergi
meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa, dengan cepat
mereka berempat saling bertukar pandang sekejap, lalu
katanya kepada Thia Leng-juan, "Kami pun ingin segera
mohon diri."
Hui-eng-su-kiam buru-buru keluar ruangan dan menyusul di
belakang Mo Siau-pak.
Ketika Mo Siau-pak dan Siangkoan-lojin menyusul keluar
dari Hong-tok-ciu-lau, terlihat sesosok bayangan hijau dengan
ujung lengan baju kanan berkibar terhembus angin sedang
bergerak di depan.
Sambil tertawa dingin, Mo Siau-pak mempercepat
langkahnya dan mengejar dari belakang.
Siapa tahu kendati sudah menyusul sampai keluar kota,
namun Mo Siau-pak belum juga berhasil mengejar orang itu.
Sasaran yang sedang mereka kejar masih tetap berjalan
lambat, lebih kurang tiga puluh depa di depan sana.
Mo Siau-pak segera mendengus dingin, dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia mengejar
semakin kencang.
Pada saat itulah, pemuda di depan sana tahu-tahu lenyap
tanpa bekas di sebuah tikungan hutan kecil.
Dengan beberapa kali lompatan saja Mo Siau-pak telah
menyusul sampai di tikungan hutan, lalu sambil memutar
badan dia menghentikan gerakan.
Rupanya di balik hutan terbentang sebuah sungai,
jembatan kayu membentang di tengah sungai, di sana berdiri
tegak seorang sastrawan yang buntung tangannya.
420 Waktu itu dengan sorot matanya yang tajam bagaikan
sembilu, dia sedang mengawasi Mo Siau-pak yang berada di
bawah jembatan.
"Mo-siaucengcu, ada urusan apa kau menyusul diriku?"
Mo Siau-pak tertawa dingin, sahutnya, "Bukankah kau
adalah Jian-ciat-suseng?"
"Benar, lengan kananku buntung, kaki kiriku pincang, orang
persilatan menyebutku Jian-ciat-suseng dan aku pun senang
sekali dengan nama indah ini."
Sementara itu Siangkoan-lotoa telah menyusul tiba dan
segera berdiri di sisi kiri Mo Siau-pak.
Dengan wajah senyum tak senyum Mo Siau-pak berkata,
"Untuk merobohkan seratus jago lihai dunia persilatan, apakah
pedang kayu yang tersoreng di pinggangmu itu yang kau
gunakan?" "Masih ada di antara mereka yang tidak perlu kuhadapi
dengan pedang kayuku ini."
"Lantas pantaskah aku menghadapimu dengan pedang
kayu itu?"
"Seandainya ayahmu, Mo Hui-thian, hadir di sini, mungkin
dia masih pantas untuk kuhadapi dengan pedang kayu ini."
Ucapan ini sudah jelas artinya, yaitu Mo Siau-pak masih
belum cukup berharga baginya untuk dihadapi dengan pedang
kayu. Anehnya, ternyata Mo Siau-pak tidak menjadi gusar,
setelah tertawa dingin dia malah bertanya, "Jadi kau
menyuruh aku yang melolos pedang?"
"Bila Siaucengcu melolos pedang, bisa jadi nama besarmu
akan hancur di ujung jembatan ini, aku mengerti kau seorang
pintar, tentunya kau tahu bukan, seharusnya pedang itu harus
dicabut atau tidak?"
421 Mo Siau-pak tidak menjawab, bungkam dalam seribu
bahasa. Mendadak Siangkoan-lojin berseru lantang, "Majikan muda
harap mundur, biar Lohu yang mencoba beberapa jurus
serangannya."
Sembari berkata, Siangkoan-lojin maju ke ujung jembatan
dan melepaskan sebuah bacokan dahsyat ke dada lawan.
Jangan dilihat Siangkoan-lojin berperawakan kurus kecil,
ternyata angin pukulan yang dilancarkannya sangat dahsyat
dan mengerikan.
Berdiri di ujung jembatan, Jian-ciat-suseng tak bergerak
sedikit pun, dia menunggu sampai telapak tangan kanan
Siangkoan-lojin berada setengah kaki di depan dadanya, saat
itulah telapak tangan kirinya baru secepat kilat membabat urat
nadi tangan musuh.
"Bocah keparat, ternyata kau memiliki kepandaian juga!"
bentak Siangkoan-lojin.
Sembari berkata, sepasang lengannya yang hitam dan
kering-kerontang bagai sambaran petir meluncur ke muka dan
mengembangkan serangkaian serangan berantai.
Serangan yang dilancarkan itu selain cepat bagaikan
sambaran kilat, juga disertai tenaga yang amat dahsyat.
Pukulan demi pukulan dilancarkan bagaikan ombak
menggulung ke tepian dan memecah terkena batu karang,
benar-benar mengerikan.
Dalam waktu singkat Siangkoan-lojin sudah melepaskan
tiga belas pukulan telapak tangan dan delapan jotosan kilat.
Dalam menghadapi kedua puluh satu serangan itu, Jianciat-
suseng masih tetap berdiri tegak tak bergerak, dia hanya
membendung dan menangkis setiap ancaman yang datang
dengan lengan tunggalnya.
422 Kendati demikian, ternyata Siangkoan-lojin tak sanggup
maju barang selangkah pun.
Siangkoan-lojin mestinya tahu diri dan mengundurkan diri,
namun sebagai Congkoan Kim-liong-kiam-san-ceng yang
mempunyai kedudukan tinggi dan sudah lama termasyhur
dalam Bu-lim, sudah barang tentu tak mungkin baginya untuk
mundur begitu saja, apa lagi di hadapan majikan mudanya
sekarang. Mendadak terdengar Siangkoan-lojin membentak,
mendadak tubuhnya mundur tiga langkah, sementara kepalan
tangan kanannya pelan-pelan dihantamkan ke arah dada
musuh. Serangan ini tampaknya seperti tidak disertai tenaga,
namun dalam pandangan seorang ahli silat, akan segera
diketahui pukulan itu disertai tenaga yang sangat hebat.
Berubah hebat paras muka Jian-ciat-suseng, mendadak
telapak tangan kirinya diayunkan ke depan.
Dengusan tertahan segera menggema memecah
keheningan. Dengan sempoyongan Siangkoan-lotoa mundur tujuh
langkah, kemudian darah kental menyembur dari mulutnya.
Paras muka Mo Siau-pak berubah hebat, cepat dia
memburu ke depan untuk membimbing tubuh Siangkoan-lojin,
lalu tegurnya, "Siangkoan-lotoa, kau masih sanggup
bertahan?"
Kulit wajah Siangkoan-lotoa mengejang keras, menahan
derita yang sedang dialaminya, dia berkata, "Majikan muda,
harap kau jangan bertindak gegabah. Ilmu silat orang ini
benar-benar kelewat dahsyat."
Sementara itu Jian-ciat-suseng telah membalikkan badan
dan menuruni jembatan itu ke arah lain.
423 Sambil tertawa dingin Mo Siau-pak berseru, "Hm, aku akan
mencoba sampai dimanakah kelihaiannya."
Sembari berkata, lekas dia mengejar ke ujung jembatan
sana, sementara tangan kanannya meraba gagang pedang
yang tersoreng di pinggangnya.
Pada saat itulah mendadak Jian-ciat-suseng menghentikan
langkah, tanpa berpaling katanya, "Aku tinggal di rumah
penginapan Hong-tok-ciu-lau, kapan saja aku akan
menantikan kedatanganmu. Sekarang Siangkoan-lojin sudah
terluka, terutama pada sekitar urat nadi Liau-lok-keng-meh,
jika kau tidak segera mengurut jalan darahnya dengan
menggunakan tenaga dalam, seperempat jam lagi dia akan
muntah darah tiada hentinya, dalam keadaan seperti itu,
meski ada obat dewa pun jangan harap bisa menyelamatkan
jiwanya." Dingin perasaan Mo Siau-pak mendengar itu, meski tangan
kanannya sudah meraba gagang pedang, namun senjata itu
tak dicabut. Dia tertawa dingin, lalu ujarnya, "Baiklah! Aku Mo Siau-pak
pasti akan menyambangimu."
Dalam pada itu Jian-ciat-suseng sudah berada sejauh
tujuh-delapan depa dari tempat semula, dia tidak mungkin
berpaling atau memberikan reaksi, dengan langkah tetap terus
menelusuri sungai.
Dari kejauhan dia nampak begitu menyendiri dan kesepian.
Benar, sejak dia terjun kembali ke dunia persilatan, selama
tiga bulan terakhir ini dia telah mengunjungi gedung Bu-lim
Bengcu di kota Kay-hong. Dia pun telah berkunjung ke kuil
Nikoh Keng-tim-an.
Namun tak seorang ditemukan, pada dasarnya dia sudah
seorang diri, sekarang semakin merana dan menyendiri lagi.
424 Hari ini, sewaktu berada di Hong-tok-ciu-lau, dia telah
bertemu dengan seorang kenalan lama, pendekar sastrawan
dari kota Im-ciu Thia Leng-juan, sebenarnya dia ingin sekali
bercakap dengannya, namun satu ingatan lain membuatnya
harus mengurungkan niatnya itu.
Dia tahu dengan tenaga dalam maupun ilmu silatnya
sekarang, cukup baginya untuk menjagoi dunia persilatan,
namun meski dia berhasil meraih gelar tokoh nomor wahid di
kolong langit, apakah artinya semua itu"
Nama Jian-ciat-suseng sudah cukup menggetarkan sukma
setiap umat persilatan di kolong langit, dia tahu saat guntur
menggelegar dan hujan badai berhembus akan tiba, oleh
sebab itu dia harus secepatnya menyelesaikan masalahmasalah
yang mengganjal hatinya, kemudian secepatnya
mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan dan
mencicipi kehidupan yang penuh bahagia.
Seseorang yang sangat mencintainya kini hidup
sebatangkara di rumah gubuk di tengah bukit yang terpencil,
dia tak boleh meninggalkan dirinya terlalu lama.
Dalam perjalanannya ke ibukota kali ini, seandainya jejak
orang-orang Put-gwa-cin-kau belum juga ditemukan, terpaksa
dia harus pulang ke gunung secepatnya, sebab perjalanan di
Bu-lim telah membuatnya jemu, bosan dan muak.
Entah sejak kapan Jian-ciat-suseng telah berhenti di tepi
sungai, menundukkan kepala dan memandang arus air dengan
terpesona. Mendadak dia mengangkat kepala dan menegur dengan
suara sedingin salju, "Mengapa kalian berempat mengikutiku
terus?" Sewaktu bicara, mata Jian-ciat-suseng masih saja
memandang arus air sungai dengan termangu, berpaling pun
tidak. 425 Rupanya entah sedari kapan, di belakangnya telah muncul
tiga orang pemuda berbaju perlente dan seorang gadis
berbaju merah, mereka berempat bukan lain dari Hui-eng-sukiam.
Pemuda kurus bertahi lalat yang merupakan pimpinan Huieng-
su-kiam yakni Gin-ho-eng (Burung sungai perak) Tio Im
segera menuju ke depan dan menyahut dengan hormat," Huieng-
su-kiam membuntuti. saudara karena kami ada satu
persoalan yang hendak dibicarakan!"
Jian-ciat-suseng belum juga berpaling, hanya tanyanya
dengan suara hambar, "Masalah apa?"
"Kami empat bersaudara memohon padamu untuk
menerima kami sebagai anak buahmu."
Ketika mendengar perkataan itu, pelan-pelan Jian-ciatsuseng
membalik badan dan mengawasi wajah Hui-eng-sukiam
dengan sorot mata tajam bagaikan sembilu, dia
mengawasi orang-orang itu dari atas sampai ke bawah,
namun mulutnya tetap membungkam.
Dengan suara merdu Yu Hong-hong berkata, "Ilmu silat
Tayhiap sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, tentu saja
kemampuan kami berempat tak banyak membantu, namun
kami empat bersaudara amat mengagumi sepak terjang
Tayhiap dan ingin sekali membaktikan diri padamu, entah
sebagai pembawa barang atau pesuruh sekali pun, hal ini


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan merupakan suatu kebanggaan bagi kami. Itulah
sebabnya kami memohon kepada Tayhiap sudilah menerima
kami." Tiba-tiba Jian-ciat-suseng menghela napas panjang,
ujarnya pelan-pelan, "Ai, baiklah aku bersedia menerima
kalian." "Sungguhkah itu?" Yu Hong-hong tak kuasa menahan rasa
gembiranya, dia segera berteriak, "Kau ... kau tidak
membohongi kami?"
426 Sekali lagi Jian-ciat-suseng menghela napas panjang, "Ai,
aku tak membohongi kalian, yang kubutuhkan sekarang
adalah melakukan suatu usaha besar yang akan
menggemparkan dunia persilatan."
Dia berhenti sejenak dan mengangkat kepala memandang
sekejap ke arah Hui-eng-su-kiam, kemudian lanjutnya, "Aku
bukan menerima kalian sebagai pesuruhku, melainkan
mengundang kalian berempat untuk menggabungkan diri
dalam perkumpulanku, yakni perkumpulan Tiong-yang-hwe!"
Pelan-pelan Jian-ciat-suseng mengangguk, "Benar, hari ini
adalah bulan sembilan tanggal sembilan dari Tiong-yang,
perkumpulan kami ini merupakan perkumpulan yang didirikan
pada saat ini di kala kalian Hui-eng-su-kiam menggabungkan
diri, oleh sebab itu kunamakan perkumpulan ini sebagai Tiongyang-
hwe." Kemudian setelah termenung sejenak, dia menyambung
lebih lanjut, "Di balik semua itu, sebetulnya masih
mengandung satu makna lain, yakni aku pernah mati sekali
dan sekarang bangkit kembali ke alam semesta. Entah
bagaimana pendapat kalian tentang nama ini?"
Lo-sam dari Hui-eng-su-kiam yakni Siau-hiang-eng (Burung
harum) The Goan-ho segera bertepuk tangan sambil berseru
lantang, "Bagus, bagus! Nama Tiong-yang-hwe memang
bagus, tidak perlu memakai 'pang' cukup memakai 'hwe',
menunjukkan kesan halus dan berseni, sehingga tidak ada
hawa kekerasan sama sekali."
Dan perkumpulan Tiong-yang-hwe pun secara resmi
didirikan pada saat itu, dunia persilatan pun bertambah lagi
dengan satu organisasi baru.
Ketua Tiong-yang-hwe dijabat oleh Jian-ciat-suseng, kecuali
ketua, untuk sementara waktu tidak diangkat jabatan lain.
Tiba-tiba Jian-ciat-suseng mengunjuk sikap serius, katanya
dengan suara dalam, "Setiap perkumpulan yang didirikan pasti
427 mempunyai peraturan perkumpulan, cita-cita, maksud tujuan,
serta tata-cara, namun sekarang karena belum ada waktu
untuk menyelesaikan hal ini, maka yang kita pegang sebagai
prinsip sekarang adalah kepercayaan, mulai hari ini Hui-engsu-
kiam sudah merupakan bagian dari Tiong-yang-hwe, aku
harap kalian suka memegang prinsip hidup kita, yaitu setia,
berbakti, bajik, cinta kasih, dapat dipercaya, setia-kawan,
kerukunan dan kedamaian. Asalkan kalian melaksanakan
kedelapan prinsip ini, sudah pasti perbuatan kalian benar."
"Orang yang bergabung dengan perkumpulan kita,
bilamana melakukan pelanggaran, sudah tentu akan
memperoleh hukuman yang sangat berat."
"Tugas utama perkumpulan sekarang adalah
mengembangkan pengaruh organisasi serta menerima
anggota baru, tapi perkumpulan kita tidak memandang perlu
mencari anggota sebanyak-banyaknya, yang penting adalah
mereka yang berhati murni dan benar-benar berkemampuan
tinggi, jadi setiap orang yang bergabung harus memiliki ilmu
silat dan watak yang baik, sebelum dilakukan penyelidikan
yang seksama, siapa pun tak akan diterima menjadi anggota."
Dengat sikap hormat dan serius, Hui-eng-su-kiam
mendengar wejangan Jian-ciat-suseng, tak seorang pun yang
bersuara. Ketika pemuda itu telah menyelesaikan kata-katanya, Yu
Hong-hong baru menghela napas panjang, katanya lirih, "Kami
berempat merasa bangga bisa menjadi anggota Tiong-yanghwe,
namun ada satu hal yang membuat kami malu untuk
menjadi bagian Tiong-yang-hwe."
Dengan sorot mata tajam Jian-ciat-suseng memandang
sekejap ke arah gadis itu, tukasnya, "Apakah kalian merasa
ilmu silat yang kalian miliki terlalu cetek?"
428 "Benar!" Yu Hong-hong manggut-manggut. "Ilmu silat Huieng-
su-kiam terlalu cetek, sesungguhnya kami masih belum
pantas untuk bergabung dengan Tiong-yang-hwe."
Jian-ciat-suseng tersenyum.
"Ilmu silat yang kalian miliki sekarang sudah boleh dibilang
mencukupi, untuk menjadi seorang jago persilatan yang
berilmu tinggi, maka harus memiliki tiga syarat utama, yakni
guru yang pandai, waktu yang cukup, serta kecerdasan yang
melebihi orang lain. Bilamana ketiga syarat itu kurang satu,
maka sekali pun dia merupakan jago yang berilmu tinggi,
mustahil dapat mencapai tingkatan sempurna."
"Sekarang akan kukatakan asal-usulku kepada kalian agar
kalian tahu kisah perjalananku menempuh pelajaran ilmu silat,
cuma orang persilatan belum mengetahui jelas tentang asalusulku
ini, aku harap setelah kalian tahu nanti, janganlah
disebar-luaskan kepada orang lain. Perlu kalian catat, dalam
menghadapi persoalan, semakin kita dapat merahasiakan
sesuatu, sesungguhnya hal ini semakin baik."
"Petunjuk Hwecu memang sangat tepat, kami pasti akan
menuruti petunjuk Hwecu," kata Gin-ho-eng Tio Im dengan
suara lantang. Perlahan Jian-ciat-suseng berkata, "Guruku yang pertama
adalah almarhum Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu,
Bengcu persekutuan dunia persilatan."
Mendengar nama itu, dengan terkejut Yu Hong-hong
segera bertanya, "Kalau begitu kau adalah si Toan-jong-hongliu
Yu ...." Sambil menggeleng kepala, Jian-ciat-suseng menghela
napas panjang, sahutnya, "Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui
adalah Ji-suhengku, aku adalah murid terakhir Bu-lim Bengcu,
mungkin kalian tak mengenal namaku, sebab sebelum aku
terjun dan berkelana di Bu-lim, aku sudah diusir dari
perguruan oleh guruku. Di bawah bimbingan Oh Ciong-hu
429 bengcu almarhum, aku sudah memperoleh pendidikan ilmu
silat selama dua belas tahun, aku mulai belajar ilmu silat sejak
berusia tujuh tahun."
"Setelah dikeluarkan dari perguruan, aku telah berjumpa
dengan seorang tokoh berilmu tinggi dimana aku memperoleh
pelajaran berbagai ilmu silat dari aliran yang ada di dunia ini
selama tujuh tahun, siapakah tokoh ini untuk sementara
waktu namanya aku rahasiakan lebih dulu, tapi dia adalah
guruku yang kedua."
"Guruku yang ketiga adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay,
dia hanya sempat memberi pelajaran silat semalam kepadaku,
namun kepandaian silat yang diwariskannya kepadaku justru
merupakan rahasia ilmu silat kaum lurus, itulah sebabnya
dalam waktu singkat aku telah berhasil menguasai ilmu
berbagai aliran."
Mendengar sampai di sini, Hui-eng-su-kiam merasa
terperanjat, Oh Ciong-hu dan Ku-lo Hwesio merupakan dua
tokoh yang maha sakti dalam Bu-lim, tak disangka dua tokoh
sakti itu ternyata guru Hwecu mereka, tak heran ilmu silat
ketua mereka lihai sekali.
Tapi siapakah nama yang sebenarnya dari ketua mereka"
Dari balik mata Hui-eng-su-kiam segera terlintas sinar mata
penuh tanda tanya.
Pelan-pelan Jian-ciat-suseng melanjutkan kembali, "Sekali
pun aku telah berjumpa dengan tiga orang guru pandai dan
mempelajari hampir seluruh ilmu silat yang ada di dunia ini,
namun berhubung waktu yang kurang, aku belum dapat
meresapi seluruh intisari kepandaian itu."
"Akibatnya tiga tahun berselang aku telah dibunuh orang."
"Tapi Thian memang maha pengasih, nampaknya ajalku
belum tiba sehingga nyawaku dikembalikan lagi ke alam
semesta ini. Tiga tahun lamanya kuselami dan kupelajari
430 semua kepandaian silat yang pernah kupelajari, akhinya jerihpayahku
tidak sia-sia, aku berhasil menemukan kunci ilmu silat
sesungguhnya."
"Sejak mulai belajar silat hingga mencapai keberhasilan
seperti saat ini, aku membutuhkan waktu dua puluh tiga tahun
lamanya, coba bayangkan sendiri baru berapa tahun kalian
berlatih ilmu silat" Itulah sebabnya seperti apa yang
kukatakan tadi, untuk menjadi seorang jago silat yang berilmu
tinggi, tak mungkin bisa dibina dan dipupuk dalam waktu
singkat." Tiba -tiba Yu Hong-hong bertanya, "Bolehkah aku bertanya,
bukankah nama Hwecu adalah Ko Hong?"
Jian-ciat-suseng tersenyum.
"Nama Ko Hong adalah nama samaran yang telah
kugunakan tiga tahun lalu, nama itu bukan namaku yang
sesungguhnya."
Mendengar hal ini, Hui-eng-su-kiam bersama-sama menjerit
kaget. "O, rupanya kau adalah pendekar misterius Ko Hong yang
amat termasyhur namanya tiga tahun lalu, kami benar-benar
merasa gembira, sungguh tak disangka kami telah bertemu
pemimpin tulen yang ampuh dan benar-benar
berkemampuan."
Jian-ciat-suseng menghela napas panjang, katanya
kemudian, '"Dikarenakan berbagai alasan, tiga tahun
berselang bukan saja aku telah berganti nama menjadi Ko
Hong, bahkan telah mengubah pula wajah asliku, maka semua
orang tak mengetahui asal-usul dan nama asliku."
"Sesungguhnya nama asliku adalah Bong Thian-gak. Di
kemudian hari kalian boleh memanggil namaku ini secara
langsung."
431 Rupanya Jian-ciat-suseng ini bukan lain adalah Bong Thiangak.
Rupanya setelah meninggalkan Song Leng-hui, Bong Thiangak
langsung berangkat dari kota Lok-yang menuju ke gedung
Bu-lim Hengcu di kota Kay-hong.
Siapa tahu gedung Bu-lim Bengcu telah berubah menjadi
gedung kosong yang tak berpenghuni.
Dia pun berangkat ke kuil Keng-tim-an untuk mencari
Keng-tim Suthay, siapa tahu kuil pun dalam keadaan kosong
tak berpenghuni.
Hanya dalam tiga tahun, situasi dunia persilatan telah
mengalami perubahan besar.
Padahal cita-cita serta tujuan yang utama kemunculan
Bong Thian-gak kali ini adalah melenyapkan Put-gwa-cin-kau
dari muka bumi.
Siapa tahu gerak-gerik maupun jejak Put-gwa-cin-kau
seakan-akan punah begitu saja dari muka bumi.
Dalam putus asanya dan tiada cara lain yang bisa
diperbuat, akhirnya Bong Thian-gak mulai menantang semua
jago lihai dari berbagai partai dan perguruan untuk
merobohkan mereka satu per satu.
Hanya dalam tiga bulan saja ia telah berhasil merobohkan
ratusan jago persilatan, nama besar Jian-ciat-suseng pun
semakin membekas dalam hati para jago persilatan.
Sesungguhnya dia berbuat demikian karena terpaksa, tak
bisa disangkal lagi dia ingin memancing kemunculan rekanrekan
lamanya yang telah menyembunyikan diri agar tampil
kembali ke dalam Bu-lim.
Di samping itu, tentu saja dia ingin memancing munculnya
orang-orang Put-gwa-cin-kau.
432 Pada saat bersamaan dengan munculnya kembali Bong
Thian-gak, dalam Bu-lim dihebohkan oleh munculnya seorang
iblis perempuan yang amat lihai, Si-hun-mo-li (Iblis wanita
perenggut nyawa).
Berdasar penuturan orang, Bong Thian-gak menduga
perempuan itu adalah Jit-kaucu Thay-kun.
Oleh sebab itu di kala Bong Thian-gak mendengar kabar
bahwa Si-hun-mo-li telah muncul di ibukota, maka dia pun
segera berangkat ke kota terlarang dengan tujuan hendak
membuktikan apakah Si-hun-mo-li itu benar Thay-kun atau
bukan. Dalam hati Bong Thian-gak, Thay-kun telah menempati
posisi yang amat penting, walau antara mereka belum pernah
mengucapkan kata cinta, namun dalam hati kecil kedua orang
itu sesungguhnya sudah bersemi setitik bunga cinta.
Cuma sayang bibit cinta itu sudah hancur dan musnah
sejak tiga tahun berselang.
Dengan kesetia-kawanan, demi peri-kemanusiaan, Bong
Thian-gak merasa wajib untuk menyelidiki mati-hidup Thaykun.
Apalagi mati hidup Thay-kun menempati pula posisi yang
maha penting dalam Bu-lim.
Bong Thian-gak berkata lagi, "Sejak kini kedudukan kalian
berempat dalam Tiong-yang-hwe menempati posisi yang amat
penting, tentu saja apabila ilmu silat yang kalian miliki tidak
lihai dan melebihi orang lain, sulit untuk menanggung tugas
berat ini."
"Oleh sebab itu aku mengambil keputusan hendak
mewariskan semacam ilmu pedang maha sakti yang bisa
dikuasai dalam waktu singkat untuk kalian berempat."
Tak terlukiskan rasa kaget dan gembiranya Hui-eng-sukiam
mendengar janji itu, pertama-tama Yu Hong-hong yang
433 menjatuhkan diri berlutut lebih dulu, katanya, "Budi kebaikan
yang Hwecu berikan tak pernah kami berempat lupakan."
Dengan suara dalam Bong Thian-gak berkata lagi,
"Seseorang yang berlatih ilmu silat bukanlah bertujuan untuk
mencari nama atau merobohkan orang lain, baik-buruknya
kepandaian silat pun tergantung mental dan watak seseorang,
jika orang itu berangasan atau buas dan kejam, maka
mustahil ilmu silatnya dapat mencapai kesempurnaan, dalam
hal ini kalian belum dapat memahami secara keseluruhan,
namun di kemudian hari bila ilmu silat yang kalian miliki sudah
memperoleh kemajuan pesat, sudah pasti akan kalian sadari
ucapan ini bukan omong kosong belaka."
"Ilmu pedang yang hendak kuwariskan kepada kalian


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang sebenarnya hanya terdiri dari satu jurus saja, namun
di balik satu jurus itu sebenarnya mengandung tiga gerakan
yang berbeda."
"Dari ketiga gerakan itu, hanya terdapat satu gerakan yang
merupakan jurus serangan, sedang dua gerakan yang lain
merupakan jurus pertahanan."
"Ilmu pedang satu jurus dengan tiga gerakan ini walaupun
cuma satu gerakan yang merupakan gerak serangan, tapi
serangan itu sangat ganas, dahsyat dan luar biasa, begitu
serangan dilepaskan, korban pasti roboh, oleh sebab itu aku
ingin berpesan kepada kalian, andaikata keadaan tidak
terpaksa, jangan sekali-kali kalian gunakan gerak serangan itu
secara sembarangan."
Serentak Hui-eng-su-kiam berkata, "Kami akan menuruti
perintah Hwecu, bila melanggar, kami bersedia menerima
hukuman." Bong Thian-gak mendongakkan kepala dan memandang
sekejap sekeliling tempat ini, lalu berkata pula, "Sekarang mari
kita mundur ke balik hutan sebelah sana dan mulai berlatih
ilmu pedang."
434 Selesai berkata, Bong Thian-gak segera mengajak Hui-engsu-
kiam berjalan menuju ke dalam sebuah hutan kecil di
sebelah kanan jalan.
Bong Thian-gak memungut sebatang ranting kering,
kemudian pelan-pelan berkata, "Jurus pedang dinamakan Coatin-
toh (Peta barisan ular), dari namanya tentu kalian sudah
memahami, cara menggunakan jurus serangan ini adalah
sambil bertahan melancarkan serangan."
"Gerakan pertama disebut Coa-tin-in-sian (Barisan ular
mulai tampak), menghadapi jurus serangan macam apa pun,
kaki kiri mundur selangkah sambil memutar badan setengah
lingkaran, pedang bergerak dari ketiak kiri melintang ke
depan." "Gerakan kedua disebut Siu-heng-gi-wi (Cabut badan
bergeser tempat), merupakan gerak lanjutan, kaki kanan
bergeser selangkah ke kanan, tanpa mengubah posisi pedang,
badan berganti posisi, pedang kanan pun berubah ancaman,
dengan mata pedang menusuk permukaan tanah."
"Sedangkan gerakan ketiga disebut Coa-si-ci-toh (Lidah ular
menjulur keluar), menjatuhkan badan ke arah lawan, namun
pedang yang menusuk ke arah bawah tiba-tiba meletik dan
menusuk ke arah belakang."
"Jurus Coa-tin-toh ini boleh dipergunakan secara beruntun,
boleh juga digunakan tersendiri, tapi daya pengaruh yang
dipancarkan tentu saja jauh lebih besar bila kita
menggunakannya secara beruntun."
"Satu jurus dengan tiga gerakan ini kelihatannya seperti
sederhana sekali, namun untuk memahami intisarinya kalian
harus berlatih puluhan kali, dengan begitu kalian bisa maju
setapak lebih ke depan dan melatihnya hingga mencapai
kesempurnaan, pengaruhnya akan jauh lebih besar lagi."
"Asal satu jurus dengan tiga gerakan ini sudah kalian
kuasai, sekali pun menghadapi seorang jago pedang yang
435 berilmu sangat tinggi, tidak susah untuk menusuk hulu
hatinya." "Nah, sekarang aku akan pulang dulu ke Hong-tok-ciu-lau,
aku berdiam di kamar nomor tiga puluh enam, selesai berlatih
nanti kembalilah ke sana."
Begitu selesai berkata, Bong Thian-gak membalikkan badan
keluar dari hutan kecil itu dan kembali ke penginapan Hongtok-
ciu-lau. 0oo0 Bulan sembilan di wilayah utara, udara terasa sangat dingin
merasuk tulang.
Rembulan tertutup awan, bintang menyembunyikan diri,
malam itu sangat gelap-gulita.
Dalam kamar nomor tujuh puluh sembilan Hong-tok-ciulau,
nampak cahaya lentera masih bersinar terang, kendati
tengah malam sudah lewat.
Kamar itu ditempati dua orang berbaju putih, wajah kedua
orang itu aneh sekali, yakni berwarna hitam dan putih yang
bercampur aduk, jelek dan aneh bukan kepalang.
Perawakan tubuh mereka kurus kering dan jangkung,
matanya melotot besar dan menyinarkan sinar kebuasan.
Waktu itu kedua orang itu sedang duduk di ruang tamu,
agaknya mereka sedang menantikan seseorang.
Mendadak orang di sebelah kiri berkata, "Kentongan ketiga
sudah lewat, aneh, mengapa mereka belum juga datang?"
Orang yang di sebelah kanan menyahut dengan suara yang
menyeramkan pula, "Menurut keterangan si perantara, tengah
malam nanti dia pasti datang."
Baru selesai dia berkata, cahaya lentera berguncang keras,
lalu terendus bau harum yang menyegarkan.
436 Serentak kedua orang aneh itu mendongakkan kepala.
Kedua orang itu terperanjat dengan mata terbelalak lebar.
Rupanya di ruang tamu itu sudah berdiri seorang gadis
cantik rupawan, sepasang biji matanya yang sangat jeli dan
membetot sukma sedang mengawasi kedua orang berbaju
putih yang jelek dan aneh itu tanpa berkedip.
Tiba-tiba sekulum senyum manis menghiasi wajahnya yang
cantik hingga terlihat sepasang lesung pipinya yang indah.
Pada dasarnya dia memang berwajah cantik bak bidadari
dari kahyangan, ditambah pula dengan senyuman yang
menawan, boleh dibilang siapa pun pasti akan terpikat
olehnya. Terutama senyumannya itu, begitu indah dan cantik
membuat sukma orang serasa mau terbang rasanya.
Kedua orang aneh berbaju putih itu seakan-akan tak berani
mempercayai apa yang terpampang di depan matanya,
mereka berpaling bersama, kemudian salah seorang di
antaranya segera menegur pelan, "Kau ... kau ... kau ...
adalah Si-hun-mo-li?"
Sesungguhnya pertanyaan orang aneh itu berlebihan,
sebab Si-hun-mo-li tidak akan sembarangan menampakkan
diri, dia memerlukan perantara untuk mencari langganannya.
Si-hun-mo-li baru akan muncul bagai sukma gentayangan
apabila si perantara sudah mengaturkan segalanya.
Kedua orang aneh berbaju putih ini merupakan bajingan
cabul yang termasyhur di kolong langit, mereka memang
gemar main perempuan, tapi setelah berjumpa dengan Sihun-
mo-li hari ini, mereka berdua ketakutan, ngeri dan jeri
menghadapi kecantikannya itu.
Menurut kabar yang tersiar di Bu-lim, barang siapa bermain
cinta dengan Si-hun-mo-li, maka sukmanya akan lenyap.
437 Berita yang tersiar itu menggidikkan siapa pun yang
mendengar. Tapi sungguhkah itu" Atau cuma isapan jempol belaka"
Oleh karena mereka berdua belum membuktikan sendiri,
maka kedua orang ini pun belum tahu.
Si-hun-mo-li tidak menjawab pertanyaannya, sekulum
senyuman kembali menghiasi wajahnya yang cantik.
Senyuman untuk kedua kalinya ini membuat kedua orang
aneh berbaju putih itu tak dapat menggeser matanya.
Sebab pada saat itulah Si-hun-mo-li telah melepas mantel
luarnya sehingga nampak pakaian dalamnya yang tipis dan
berwarna kuning menerawangkan tubuh bagian dalamnya
yang putih mulus dan membetot sukma itu ....
Ya, gadis itu memang memiliki tubuh yang indah,
memukau hati, merangsang napsu birahi dan membuat hati
orang berdebar keras.
Orang aneh yang bersuara seperti jeritan setan itu berseru
lantang, "Loji, apakah kau sanggup bersabar" Perempuan ini
benar-benar menggairahkan, sekali pun seperti apa yang
dikabarkan orang. Semalam bercinta sukma melayang, kita
patut mencobanya, cuma apakah dia bersedia melayani kita
secara bergilir?"
Orang berbaju putih lainnya segera menyahut, "Lotoa, aku
sudah tak mampu menahan diri, selama hidup belum pernah
kujumpai wanita yang begitu cantik dan menawan hati seperti
dia." Si-hun-mo-li tersenyum lagi, senyuman untuk ketiga
kalinya. Menyusul kemudian pakaian tipis pun pelan-pelan terlepas
dari atas badannya.
438 Tampaknya kedua orang berbaju putih itu sudah tak
mampu menahan diri lagi, secepat kilat mereka bertindak,
"Blam", pintu ruangan sudah ditutup rapat-rapat.
Di bawah cahaya lentera, terlihatlah tubuh pfempuan yang
bugil dan indah terpapar di depan mata.
Mata kedua orang berbaju putih itu melotot memancarkan
napsu birahi, tiada hentinya mengawasi tubuh bugil Si-hunmo-
li. Biar besok harus mati, malam ini mereka merasa wajib
mencari kepuasan.
0oo0 Keesokan harinya, di kamar nomor tujuh puluh sembilan
Hok-tok-ciu-loo telah ditemukan dua sosok mayat.
Mereka tewas dalam keadaan telanjang bulat, tertutup oleh
kain dan baju yang kotor.
Yang lebih menggemparkan masyarakat adalah kedua
orang itu bukan lain adalah Hek-liong-kang-siang-cho
(sepasang manusia jelek dari Hek-liong-kang) yang
termasyhur namanya di Bu-lim.
Kepandaian silat serta kecabulan kedua orang jelek dari
Hek-liong-kang ini sudah cukup membuat orang persilatan
pusing dan bergidik, tapi nyatanya mereka berdua ditemukan
tewas dalam keadaan menyedihkan.
Bahkan tewas di tangan Si-hun-mo-li yang cantik tapi
berhati keji. Selama tiga bulan ini, belum pernah ada seorang lelaki pun
di Bu-lim yang lolos dalam keadaan hidup setelah bermain
cinta semalam suntuk dengan Si-hun-mo-li.
Tentu saja tiada orang tahu macam apakah Si-hun-mo-li itu
hingga memukau hati orang.
439 Di kolong langit ini sesungguhnya hanya seorang saja yang
pernah melihatnya, baik wajah maupun tubuh bagian
rahasianya sekali pun.
Tapi siapakah dia"
Orang itu tak lain adalah Jian-ciat-suseng Bong Thian-gak.
Dalam benak Bong Thian-gak, dia hanya berpendapat
bahwa Si-hun-mo-li adalah Thay-kun.
Sebab di kolong langit dewasa ini, tidak mungkin ada
perempuan kedua yang memiliki perawakan badan begitu
memukau perasaan laki-laki dan memiliki kekuatan yang
begitu besar sehingga lelaki mana pun bersedia
mengorbankan jiwanya.
Bong Thian-gak yang berada dalam kamar nomor tiga
enam Hong-tok-ciu-lau sedang duduk di ruang tamunya
dengan wajah serius, sedang di empat kursi lainnya duduklah
Hui-eng-su-kiam.
Lima orang dari Tiong-yang-hwe hanya duduk termenung
saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba terdengar Bong Thian-gak menghela napas
panjang, lalu berkata, "Benar, aku ingin bertemu dengan Sihun-
mo-li, sebab tujuanku kemari adalah ingin bertemu
dengannya."
"Tentu saja kami tak berani memaksa Hwecu membatalkan
niat itu," kata Yu Hong-hong dengan sedih. "Cuma ... bila
Hwecu ingin bertemu dengannya, jangan berangkat seorang
diri." Bong Thian-gak tersenyum.
"Tak usah kuatir," katanya, "Si-hun-mo-li tak bakal
melahapku."
Sewaktu mendengar ucapan ini, merah padam wajah Yu
Hong-hong karena jengah, bibirnya yang sudah bergetar
440 hendak bicara segera diurungkan, sementara kepala pelanpelan
ditundukkan rendah-rendah.
Tio Im berkata, "Kepandaian silat maupun ketenangan
Hwecu memang melebihi siapa pun, cuma aku tidak tahu
dengan cara apakah Hwecu ingin bertemu Si-hun-mo-li"
Konon dia tidak muncul setiap saat."
Bong Thian-gak menyahut, "Ai, sesungguhnya persoalan
inilah yang membuatku kesulitan, tentu aku harus mencari
dulu si perantara."
Siau-hiang-eng The Goan-ho yang selama ini cuma
membungkam tiba-tiba menimbrung, "Menurut pendapatku
baik si perantara maupun Si-hun-mo-li, bisa jadi semuanya
berdiam pula dalam rumah penginapan ini"
"Samte, tersiar di Hong-tok-ciu-lau ini terdapat seratus
delapan buah kamar, dengan cara apa kita bisa memeriksa
semua kamar?" seru Boan-thian-eng (Burung pembalik jagad)
Bu Siau-hong. "Sekali pun tidak bisa juga harus diperiksa, kita tak boleh
berpeluk tangan membiarkan Si-hun-mo-li mencelakai laki-laki
lain lagi, siapa tahu suatu ketika dia akan mencari kita
semua?" "Tio Im," tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya. "Apakah kau
sudah berhasil memperoleh daftar tamu yang menginap di
tempat ini?"
"Lapor Hwecu," jawab Gin-ho-eng Tio Im dengan hormat,
"daftar nama para tamu sudah kuperoleh, tapi sebagian besar
orang yang punya nama, mencantumkan nama palsu mereka
di buku, misalkan saja Mo Siau-pak dari Kim-liong-kiam-sanceng
serta Siangkoan-lojin, mereka tinggal di sini, namun di
daftar tidak ditemukan namanya."
"Nama asli mereka tentu saja tak akan tercantum dalam
daftar itu," Bong Thian-gak tertawa.
441 Mendengar itu, semua orang lantas tertawa saling
berpandangan penuh pengertian.
Tiba-tiba Yu Hong-hong berseru dengan manja, "Bonghwecu
...." Karena sorot mata nona itu berkedip dan mengawasi


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya tanpa henti, tanpa tetasa Bong Thian-gak bertanya,
"Hong-hong, kau ada urusan apa?"
"Ada satu masalah ingin kutanyakan kepada Hwecu, tapi
apakah Hwecu mengizinkan?"
"Katakan saja terus terang, kita kan sudah orang sendiri."
"Apakah Hwecu kenal dengan ... dengannya?" tanya Yu
Hong-hong agak tergagap.
Tergetar perasaan Bong Thian-gak mendengar pertanyaan
itu, sahutnya, "Aku hanya menduga saja, tidak terlalu pasti,
itulah sebabnya aku harus melihat dengan mata kepala sendiri
sebelum memastikan."
Tanya jawab kedua orang ini mengejutkan Gin-ho-eng Tio
Im bertiga, serentak mereka berpikir, "Yang dimaksud Sumoay
sebagai dia, sudah pasti Si-hun-mo-li."
Sementara mereka masih berpikir, Yu Hong-hong telah
berkata lagi dengan merdu, "Hwecu teliti dan cermat,
kecerdikanmu melebihi siapa pun, aku percaya apa yang kau
duga tak akan meleset, bisa jadi Si-hun-mo-li benar adalah
orang yang diduga oleh Hwecu."
"Hong-hong, apa yang hendak kau ucapkan" Tak usah
ragu-ragu, katakan saja semuanya!"
Setitik air mata tampak menggenang di kelopak mata Yu
Hong-hong, katanya, "Aku kuatir setelah Hwecu bertemu
dengannya, dia akan mencelakai jiwa Hwecu."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Andaikan Sihun-
mo-li benar-benar orang yang kuduga, dia tak akan
442 mencelakai jiwaku, bahkan siapa tahu dia enggan bertemu
denganku."
"Ai, sebenarnya aku boleh saja mengatakan siapa dia, tapi
meski sudah kusebut namanya pun belum tentu kalian kenal,
lebih baik tak usah dikatakan saja."
Kembali Yu Hong-hong bertanya, "Seandainya Si-hun-mo-li
betul-betul adalah orang yang telah diduga Hwecu, maka
apakah tindakan yang akan Hwecu lakukan?"
Bong Thian-gak mengangkat kepala dan termenung
beberapa saat, lalu gumamnya, "Semoga saja bukan dia."
"Berita yang tersiar di Bu-lim, dia dilukiskan sebagai setan
iblis, perempuan siluman, gadis cabul, tapi aku meragukan
kebenarannya. Itulah sebabnya aku harus bertemu
dengannya, aku perlu membicarakan persoalan ini dengannya,
sebab di saat kami berpisah dulu, dia adalah seorang gadis
pemurung dan mudah putus asa, besar kemungkinan dia
sudah tak bebas lagi."
Seandainya Si-hun-mo-li adalah Thay-kun, Bong Thian-gak
tahu gadis itu patut dikasihani, sebab dia tahu Cong-kaucu tak
menanti akan melepaskan dirinya begitu saja.
Bila Thay-kun masih hidup, sekali pun tubuhnya adalah
tubuh kasar miliknya, namun roh dan jiwanya sudah pasti
bukan miliknya.
Tentu saja segala sesuatunya itu baru dapat menjadi jelas
bila Bong Thian-gak telah bersua dengannya.
Untuk beberapa saat lamanya Hui-eng-su-kiam berdiri
kaget, tertegun dan kebingungan mendengar perkataan Bong
Thian-gak itu, mereka tidak tahu hubungan apakah yang
pernah terjalin antara Hwecunya ini dengan Si-hun-mo-li.
Menyaksikan kesedihan dan kemurungan yang menghiasi
wajah Bong Thian-gak, Yu Hong-hong menghela napas
panjang, katanya, "Harap Hwecu sudi memaafkan
443 kelancanganku menanyakan masalah itu hingga mengungkap
kembali kenangan pahit Hwecu di masa lampau."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Hong-hong, aku tak menyalahkan dirimu, aku hanya
berharap agar kalian berempat mempercayai diriku, Bong
Thian-gak tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan untuk
berbakti kepada Tiong-yang-hwe."
"Kami empat bersaudara sejak tiga tahun lalu membentuk
Huieng-su-kiam, selama ini kami selalu bersama, ada kesulitan
dipikul berbareng, hari ini kami telah menyerahkan diri untuk
berbakti kepada Tiong-yang-hwe, berarti mati-hidup kami
telah diserahkan pada Hwecu, sejak kini bila Hwecu ada
perintah, maka baik mendaki bukit golok maupun terjun dalam
minyak mendidih, kami empat bersaudara tak akan
menampik."
Ucapan Tio Im ini diutarakan dengan tegas dan penuh
kegagahan. Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Aku sangat bangga dapat memperoleh bantuan kalian
berempat, semoga saja Tiong-yang-hwe bisa termasyhur di
Bu-lim." Setelah berhenti sejenak, dia menyambung lagi, "Sekarang
aku mempunyai suatu tugas yang hendak kuserahkan pada
kalian berempat, sebelum matahari terbenam hari ini, kita
berlima memisahkan diri ke lima arah melakukan pemeriksaan
seksama terhadap setiap umat persilatan yang tinggal dalam
Hong-tok-ciu-lau ini, tapi ingat! Apabila keadaan tidak
memaksa, jangan sampai bentrok secara kekerasan."
"Baik," sahut Hui-eng-su-kiam serentak.
Begitu perintah diturunkan, Hui-eng-su-kiam dan Bong
Thian-gak berlima segera berpencar ke lima penjuru untuk
mulai bertugas.
444 Bong Thian-gak menuju ke arah tengah, dia berjalan lebih
dulu menuju ke kamar nomor tujuh, dia tahu ruangan ini
ditempati oleh Thia Leng-juan.
Kamar itu yang termegah di Hong-tok-ciu-lau, satu di
antara dua belas kamar istimewa, empat penjuru dikelilingi
dinding rendah, pada arah timur dan barat dinding terdapat
dua buah kebun bunga kecil, ada gunung-gunungan, gardu
dan air mengalir.
Bong Thian-gak berdiri di luar dinding di halaman belakang
di sebelah utara.
Rumah itu tertutup rapat, tampaknya Thia Leng-juan
sedang keluar kamar.
Bong Thian-gak berdiri termenung beberapa saat,
mendadak dia melompati dinding rendah itu dan langsung
menuju ke kamar bagian belakang.
Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara
teguran dengan suara dingin seperti es, "Thia-tayhiap sedang
keluar, memasuki kamar tanpa permisi, apakah kau tak kuatir
disebut orang kurang adat?"
Suara teguran itu cukup dikenalnya, pelan-pelan Bong
Thian-gak membalik badan.
Terlihat majikan muda Kim-liong-kiam-san-ceng Mo Siaupak
sedang berdiri di belakang tubuhnya.
"Mo-siaucengcu mencari aku?" tegur Bong Thian-gak
hambar. Mo Siau-pak tertawa dingin.
"Kau telah melukai Siangkoan-lotoa, karena itu Mo Siau-pak
tak akan melepas dirimu begitu saja."
Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memperhatikan
sekejap sekeliling tempat itu, kemudian ujarnya dengan suara
445 hambar, "Di sini tiada orang, bila ingin bertarung, cabutlah
pedangmu dan lancarkan seranganmu!"
"Pedangku tak pernah disarungkan tanpa hasil, kau tidak
melolos pedangmu?"
"Sudah kukatakan, kalau ayahmu Mo Hui-thian mungkin
masih pantas bagiku untuk mempergunakan pedang, bila kau
menganggap tindakanku ini suatu penghinaan, lebih baik kau
jangan turun tangan."
Berubah hebat paras muka Kiu-liong-sin-kiam Mo Siau-pak,
bentaknya, "Baik, kalau kau enggan menggunakan senjata,
terpaksa aku akan mengalah tiga jurus, sekarang lancarkan
dulu seranganmu."
"Hanya cukup dengan satu gebrakan saja kau akan keok,
percaya tidak dengan perkataanku" Makanya aku selalu
memberi kesempatan kepada orang lain untuk melancarkan
serangan lebih dulu."
Mo Siau-pak benar-benar dibikin gusar oleh ucapan itu,
sambil tertawa dingin secepat kilat tubuhnya menerjang ke
muka. Tatkala tubuhnya berada berhadapan dengan Bong Thiangak,
pedang naga sembilannya dilolos dengan tangan kanan.
Cahaya pedang menyambar bagaikan bianglala lewat di sisi
tubuh Bong Thian-gak.
"Cring", dentingan nyaring berkumandang memecah
keheningan. Akibat bentrokan itu, Mo Siau-pak mencelat.
Sedangkan pedang sembilan naganya rontok ke atas tanah,
meski hawa pedang masih memancar, sayang sudah
kehilangan kemampuan untuk melukai orang.
Jian-ciat-suseng benar-benar hanya menggunakan satu
jurus serangan saja dan Mo Siau-pak telah menderita
kekalahan total.
446 Bukan hanya menderita kekalahan saja, Mo Siau-pak
bahkan tak sempat mengetahui jurus serangan apakah yang
telah dipergunakan lawan untuk merontokan pedang dalam
genggamannya itu.
Dia hanya merasa pergelangan tangannya sakit sekali,
tahu-tahu pedangnya sudah rontok ke atas tanah.
Mo Siau-pak benar-benar tidak percaya dia menderita
kekalahan dalam satu gebrakan saja, tapi kenyataan sudah di
depan mata, Jian-ciat-suseng memang tidak bergeser
selangkah pun. "Bret", pakaian bagian lengan kanan Jian-ciat-suseng
rontok secara tiba-tiba ke atas tanah dan robek menjadi dua.
Pada saat itulah terdengar Bong Thian-gak berkata,
"Kelihaian ilmu pedangmu sungguh di luar dugaanku,
andaikata lenganku ini masih utuh, niscaya lenganku ini sudah
pasti kau kutungi."
Perkataan Bong Thian-gak ini sama sekali tidak membuat
paras muka Mo Siau-pak berubah, sebab dia tahu serangan
pedangnya bukan menyerang melalui sisi sebelah kanan,
ujung lengan baju kanan lawan tersayat putus oleh karena dia
berhasil merontokkan pedangnya lebih dulu, saat tubuhnya
berputar, ujung lengan baju kanan yang berkibar tak
terkendali dan tersayat putus oleh mata pedangnya.
Beberapa patah kata Jian-ciat-suseng barusan, tidak lebih
hanya sebagai hiburan bagi seorang yang baru menderita
kekalahan. Mendadak terdengar suara tawa bergema, dengan
perasaan kaget Bong Thian-gak dan Mo Siau-pak berpaling.
Dari balik halaman rumah pelan-pelan berjalan keluar
seorang sastrawan berbaju biru, dia bukan lain adalah
pendekar sastrawan Im-ciu Thia Leng-juan.
447 Sambil tersenyum Thia Leng-juan berjalan menghampiri
mereka, lalu membungkukkan badan mengambil pedang
sembilan naga yang tergeletak di tanah, katanya, "Hari ini
mata orang she Thia baru terbuka, serangan pedang Mosiaucengcu
benar-benar dahsyat, sedangkan pukulan Cuangcu
ini pun hebat. Kalian berdua sama-sama tangguh dan hebat,
setali tiga uang, siapa pun tak ada yang kalah."
Sembari berkata dia membawa pedang sembilan naga itu
dan diangsurkan ke depan Mo Siau-pak.
Tiba-tiba Mo Siau-pak menghela napas panjang, lalu
berbisik, "Ai, aku telah kalah, cuma yang membikin hatiku tak
puas adalah mengapa saudara membiarkan aku kalah dalam
satu gebrakan, tiada jago lihai yang mampu mengalahkan aku
dalam satu gebrakan, kecuali ... kecuali ayahku sendiri."
Setelah menyerahkan pedang, Thia Leng-juan membalik
badan dan mengalihkan pembicaraan ke soal lain, kepada
Bong Thian-gak dia bertanya, "Mungkinkah saudara datang
untuk mencari aku orang she Thia!"
Tergerak hati Bong Thian-gak ketika dilihatnya Thia Lengjuan
tidak mengenali dirinya, pikirnya, "Ya, benar! Dulu aku
telah menyaru wajah dan sekarang muncul dengan wajah asli,
tak heran Thia Leng-juan tak mengenali diriku lagi!"
Kemudian sambil tersenyum dia menyahut, "Benar, aku
memang ingin menyambangi pendekar sastrawan dari Im-ciu!"
Thia Leng-juan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
kepandaian silat yang kau miliki sangat hebat, tak usah
bertarung pun aku orang she Thia mengakui aku bukan
tandinganmu."
Rupanya Thia Leng-juan mengira Bong Thian-gak
mencarinya untuk menantang duel.
Perbuatan Thia Leng-juan sebelum bertarung sudah
mengaku kalah pun merupakan perbuatan yang mustahil
448 dilakukan orang lain, mungkin di kolong langit ini tiada
manusia yang bisa berbuat seperti ini.
"Ai," Bong Thian-gak menghela napas. "Jian-ciat-suseng
bukan seorang yang gemar mencari gara-gara tanpa alasan,
harap Thia-tayhiap jangan salah sangka."
"Kalau begitu, ada urusan apa kau mencariku" Aku orang
she Thia siap mendengar penjelasanmu," kata Thia Leng-juan
sambil tertawa.
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata, "Seingatku, tiga tahun
lalu Thia Leng-juan pernah berada di gedung Bu-lim Bengcu di
kota Kay-hong."
Sampai di situ, dia lantas membungkam dan tidak
melanjutkan kembali kata-katanya.
Sementara paras muka Thia Leng-juan berubah hebat, tapi
hanya sebentar saja sekulum senyuman sudah kembali
menghiasi wajahnya, dia berkata pula, "Ya, aku pun merasa
seakan-akan pernah bersua denganmu di suatu tempat."
Hati Bong Thian-gak bergetar, sebenarnya ia ingin
mengungkap asal-usul sendiri, tapi entah mengapa tiba-tiba
saja dia merasa di balik sorot mata Thia Leng-juan seakanakan
terpancar serentetan sinar membunuh yang mengerikan.
Maka dengan kening berkerut, sahutnya hambar, "Tengah
hari kemarin, kita pernah bersua di tempat makan."
"Bukan hanya kemarin."
"Kalau begitu, dapatkah Thia-tayhiap menerangkan
dimanakah kita bersua lagi?" Bong Thian-gak balik bertanya.
Thia Leng-juan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, justru
aku orang she Thia tak bisa mengingatnya kembali."
"Padahal kita baru bersua pertama kali di kota terlarang


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini." 449 "Hahaha, aku orang she Thia memang tidak pandai
melayani tamu, silakan saudara dan Mo-siaucengcu masuk
untuk minum teh!"
Sembari berkata, Thia Leng-juan segera berjalan lebih dulu
menuju ke ruang tamu.
Tapi secara tiba-tiba Mo Siau-pak merangkap tangan
menjura seraya berkata, "Mo Siau-pak masih ada urusan lain
yang mesti diselesaikan, karena itu ingin mohon diri."
Begitu selesai berkata, dia lantas membalik badan dan
melompat keluar tembok pekarangan.
Thia Leng-juan tidak bermaksud menahan tamu, dia
meneruskan perjalanannya menuju ke halaman depan diikuti
Bong Thian-gak di belakangnya.
Tak selang lama mereka berdua sudah tiba di depan
undak-undakan pintu kamar.
Sembari membuka pintu, Thia Leng-juan berkata, "Tahukah
kau, semalam di rumah penginapan ini sudah terjadi peristiwa
besar?" "Soal direnggutnya dua sukma sepasang manusia jelek dari
Hek-liong-kang oleh Si-hun-mo-li?" sahut Bong Thian-gak
hambar. Thia Leng-juan tertawa ringan, kemudian mendorong pintu
dan mendonggakkan kepala.
Tiba-tiba saja suara tawa Thia Leng-juan terhenti.
Bong Thian-gak mendonggakkan kepala, tapi apa yang
kemudian terlihatnya membuat dia terperanjat.
Rupanya sembilan pedang darah yang berwarna menyala
telah mengancam tenggorokan Thia Leng-juan.
Pedang darah itu muncul dari balik kamar dan sama sekali
tidak menimbulkan sedikit suara pun.
450 Oleh karena peristiwa ini terjadi sangat mendadak dan
sama sekali di luar dugaan, lagi pula teknik yang digunakan si
penyergap untuk melancarkan serangan terlampau lihai, oleh
karena itu pada hakikatnya tidak sempat lagi bagi Thia Lengjuan
untuk menghindar, dia segera kena ditawan.
Orang yang memegang pedang Hiat-kiam adalah
perempuan berkerudung kain merah.
Rambutnya yang hitam memanjang terurai ke belakang
bahu, kecuali matanya yang jeli, sepasang tangan yang putih
halus, hampir anggota tubuh lainnya terbungkus di balik kain
berwarna merah itu.
"Kau adalah anggota perguruan pedang darah?" Thia Lengjuan
menegur dengan tenang.
Hiat-kiam-bun atau Perguruan pedang darah merupakan
suatu organisasi paling rahasia yang muncul di Bu-lim
semenjak lenyapnya Put-gwa-cin-kau dari peredaran dunia.
Kay-pang dan Hiat-kiam-bun merupakan dua perkumpulan
yang paling termasyhur di Bu-lim saat ini.
Hiat-kiam-bun termasyhur di Bu-lim karena
penyergapannya dan teknik membunuh orang yang tidak
meninggalkan bekas, membuat orang tak menduga
sebelumnya. Siapakah ketua mereka" Ternyata tak seorang pun tahu.
Anggota mereka selalu membawa pedang berwarna merah
darah dan mengenakan pakaian berwarna merah, sehingga
nampak begitu menyeramkan dan menggidikkan.
Terdengar perempuan berkerudung merah memerintah
dengan suara sedingin es, "Cepat masuk ke dalam atau
pedang ini akan segera menembus tenggorokanmu!"
451 Oleh karena ancaman itu, Thia Leng-juan tak bisa berkutik,
terpaksa dia harus menurut perintah dan masuk ke dalam
kamar. Pelan-pelan perempuan itu ikut mundur ke dalam, namun
ujung pedang merahnya tetap menempel di tenggorokan Thia
Leng-juan. Bong Thian-gak ikut melangkah masuk, mendadak
terdengar perempuan berkerudung merah memerintah,
"Tutup pintu dan jangan punya pikiran lain atau tenggorokan
orang ini akan segera berlubang."
Perkataan itu jelas merupakan peringatan, terpaksa Bong
Thian-gak harus turut perintah dan menutup pintu, kemudian
berdiri di samping sambil menanti perubahan situasi.
Dia merasa anggota Hiat-kiam-bun selain memiliki
kepandaian silat lumayan, orangnya pun amat cekatan, tenang
dan pandai melihat gelagat.
Dengan suara masih tenang, Thia Leng-juan bertanya,
"Apakah Hiat-kiam-bun hendak merenggut nyawaku?"
"Bila Buncu kami menghendaki nyawamu, kau sudah tak
dapat bicara sedari tadi," sahut perempuan itu dingin.
Thia Leng-juan tersenyum.
"Kalau begitu, mengapa pedang nona masih menempel
terus di tenggorokanku?"
"Buncu menginginkan kau mengucapkan beberapa patah
kata, bila menolak, nyawamu akan segera kurenggut!"
"Mana Buncu kalian?"
"Buncu kami bukan sembarangan orang dapat
menjumpainya." Thia Leng-juan tertawa ringan.
"Sekarang nona menempelkan pedang di tenggorokanku,
apakah bermaksud hendak memaksaku berbicara?"
452 Baru selesai dia berkata, mendadak dia meringankan
kepalanya ke samping dengan maksud hendak menghindari
tudingan ujung pedang lawan.
Siapa tahu baru saja ia menggerakkan kepala, tahu-tahu
terasa tenggorokan sakit sekali.
"Jika kau berani bergerak lagi secara sembarangan,
pedangku tidak akan kenal ampun."
Rupanya pedang pendek yang berada di tangan perempuan
berkerudung merah itu sudah menggores luka kulit
tenggorokannya,
darah segar segera memancar keluar.
Agak berubah paras muka Bong Thian-gak menyaksikan
kejadian itu, dia merasa perempuan ini memiliki kecerdasan
luar biasa. Kenyataan sukar bagi Thia Leng-juan untuk melepaskan diri
dari ancaman bahaya begitu saja.
Berpikir sampai di sini, diam-diam timbul keinginan Bong
Thian-gak untuk membantu Thia Leng-juan terlepas dari
cengkeraman lawan.
Terdengar perempuan berkerudung merah berkata, "Thiatayhiap
pentang matamu lebar-lebar, orang-orang Hiat-kiambun
berani datang mencarimu, berarti kami memiliki
kemampuan menghadapimu, oleh sebab itu baik-baiklah
menjawab pertanyaanku, kemungkinan besar kau masih dapat
mempertahankan selembar nyawamu."
Dengan senyum manis masih menghiasi wajahnya, Thia
Leng-juan berkata, "Nona, kau ada urusan apa" Katakan saja
terus terang."
Mendadak terdengar Bong Thian-gak berkata, "Nona,
pedangmu belum dapat dipakai membunuh orang."
453 "Mengapa belum dapat dipakai membunuh orang?"
tanyanya dengan tertegunnya.
Paras Bong Thian-gak sama sekali tidak mengunjuk
perubahan, hanya katanya dengan suara hambar, "Pedang
nona kalau memang bisa dipakai untuk membunuh orang, apa
salahnya coba ditusukkan ke depan?"
Sembari berkata pemuda itu berjalan mendekat ke
arahnya. "Berhenti!" bentak perempuan itu dengan suara
menggelegar. "Bila kau berani maju selangkah lagi, dia ...."
Belum habis dia berkata, Bong Thian-gak sudah mendesak
ke arahnya dengan kecepatan bagaikan sukma gentayangan.
Perempuan itu terperanjat, belum pernah dia saksikan
kepandaian silat semacam ini, cepat dia menggerakkan tangan
kirinya melepaskan sebuah pukulan yang amat dahsyat ke
arah jalan darah Ciang-tay-hiat di dada Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak segera menggerakkan lengan kirinya,
tangan yang kuat seperti jepitan baja itu mencengkeram
pergelangan tangan gadis itu dengan kencang, sementara
lengan kosongnya melancarkan bacokan.
"Cring", dentingan nyaring bergema memecah keheningan.
Dengan terperanjat gadis berkerudung merah itu mundur
tiga-empat langkah, sementara matanya mengawasi pedang
pendeknya yang kutung sebagian dengan wajah tertegun dan
melongo. Rupanya pedang pendek yang berada di tangan kanannya
itu sudah digetarkan oleh pukulan Bong Thian-gak hingga
patah menjadi dua bagian.
Demonstrasi tenaga dalam ini kontan membuat setiap
orang yang hadir di situ menjadi terperanjat dan pecah
nyalinya. 454 "Siapa kau?" dengan terkesiap dan kaget gadis itu
menegur. Thia Leng-juan tertawa, mewakili Bong Thian-gak
sahutnya, "Dia adalah Jian-ciat-suseng."
Sambil bicara, secepat kilat Thia Leng-juan berkelit ke
samping. Kepandaian silat Thia Leng-juan memang sudah lama
termasyhur di Bu-lim, kalau tidak bergerak, tubuhnya tetap
kaku seperti batu karang, namun jika sudah bergerak,
kecepatannya melebihi sambaran petir.
Dalam terkejut dan terkesiapnya, cepat perempuan itu
memutar pedang kutung di tangan kanannya menciptakan
serentetan cahaya pelangi berwarna cerah, kemudian
langsung membacok ke bahu kanan Thia Leng-juan.
Di tengah gelak tertawa yang memekakkan telinga, Thia
Leng-juan mengeluarkan ilmu simpanan Siau-lim-pay yang
disebut Poh-liong-jin (Ilmu menangkap naga).
Dengan gerakan yang luar biasa, dia mencengkeram urat
nadi pergelangan tangan kanan gadis itu, sementara kaki
kanan pada saat bersamaan menendang alat kelamin gadis
itu. Satu serangan terdiri tiga gerakan berbeda, serangan Thia
Leng-juan ini selain cepat, sempurna juga keji dan tidak
berperi-kemanusian.
Terutama yang membikin orang terperanjat adalah
tendangan Thia Leng-juan yang secara langsung mengarah
bagian rahasia gadis itu, pada hakikatnya tindakan keji ini tak
mungkin bisa dilakukan oleh seorang pendekar besar sejati,
sebab serangan itu selain terkutuk, rendah, sadis, juga
amoral. 455 Lawan adalah seorang wanita, bila pria, maka perbuatan
Thia Ieng-juan mengarah alat kelamin lawan masih belum
terhitung amoral.
Berubah wajah Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu,
serunya dengan suara dalam, "Thia-tayhiap, jangan bertindak
keji." Dari jurus serangan yang digunakan Thia Leng-juan, Bong
Thian-gak mengerti orang berniat menghabisi nyawa
musuhnya. Sayang seruan Bong Thian-gak ini agak terlambat,
walaupun gadis itu dapat menghindari cengkeraman dan
pukulan ke arah dadanya, namun gagal menghindari
tendangan ke arah kelaminnya.
"Aduh!" jeritan kesakitan yang menyayat hati
berkumandang. Gadis berkerudung merah berikut pedangnya tahu-tahu
sudah mencelat hingga menumbuk dinding, kemudian pelanpelan
terduduk di tanah.
Bong Thian-gak dapat menyaksikan dengan jelas semburan
darah segar memancar dari tubuh bagian bawahnya.
Dia belum mati, sepasang matanya yang sayu mengawasi
Bong Thian-gak tanpa berkedip, dilihat dari mimik wajahnya,
gadis itu seperti hendak mengutarakan sesuatu kepada anak
muda itu. Bong Thian-gak berjalan ke depan, namun Thia Leng-juan
telah mendahului, dengan menggenggam kutungan pedang di
tangan kanan dia tusuk dada gadis itu hingga tembus.
Dengusan tertahan kembali bergema, dengan sorot mata
penuh kebencian, gadis itu menatap wajah Thia Leng-juan
lekat-lekat, lalu serunya tertahan, "Kau ... kau sungguh amat
keji." 456 Dengan dua serangan yang mematikan bersarang di
tubuhnya, gadis berkerudung merah itu tak mampu bertahan
lagi, kepalanya segera terkulai lemas dan putus nyawa.
Bong Thian-gak segera maju ke muka dan pelan-pelan
melepas kain kerudung yang menutupi wajah gadis berbaju
merah itu. Dia berwajah bersih dan cantik, tapi sekarang tewas
dengan wajah penuh perasaan dendam dan benci.
Menyaksikan semua ini, Bong Thian-gak menghela napas
sedih, ujarnya, "Thia-tayhiap, mengapa kau harus
membunuhnya?"
Thia Leng-juan tertawa dingin.
"Hehehe, orang-orang Hiat-kiam-bun termasyhur karena
kebuasan dan kekejamannya, mereka senang menyergap dan
membunuh orang, salahkah jika kulenyapkan seorang
pembunuh dari muka bumi" Hahah..selama tiga bulan lebih
malang melintang dalam Bu-lim, orang yang terbunuh di
tangan Jian-ciat-suseng pun mencapai ratusan orang lebih!"
Ketika mendengar perkataan itu, pelan-pelan Bong Thiangak
membalikkan badan, tiba-tiba saja ia menyaksikan selapis
perasaan licik dan sinis menghiasi wajah Thia Leng-juan,
tergerak hatinya, diam-diam dia berpikir, "Thia Leng-juan
telah berubah, dia sudah tidak mirip Thia Leng-juan tiga tahun
lalu." Menyaksikan kenyataan ini, Bong Thian-gak semakin tak
berani mengungkap keadaan yang sebenarnya.
Mendadak dia membalikkan badan dan beranjak pergi.
"Eeh, saudara! Harap tunggu sebentar," tiba-tiba Thia
Leng-juan berteriak.
"Masih ada urusan apa?" tanya Bong Thian-gak sembari


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpaling. Thia Leng-juan tertawa terbahak-bahak.
457 "Hahaha, saudara memang seorang aneh, bukankah kau
sengaja kemari untuk mencariku orang she Thia?" Bong
Thian-gak manggut-manggut.
"Benar, tapi sekarang aku sudah tidak memerlukan hal ini
lagi." "Apakah saudara marah lantaran menyaksikan aku
membunuh seorang anggota Hiat-kiam-bun?"
"Tendanganmu itu terus terang sangat memuakkan."
Sekali lagi Thia Leng-juan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, aku tidak memiliki kepandaian silat selihai
saudara, oleh sebab itu dalam melancarkan serangan mau tak
mau harus kupakai nerangan keji yang mematikan, padahal
orang-orang Hiat-kiam-bun ...."
Dia tidak berkata lebih lanjut, sedangkan Bong Thian-gak
tahu dia hendak berkata, "Terhadap orang-orang Hiat-kiambun,
kita tak perlu membicarakan peraturan dunia persilatan
lagi." Bong Thian-gak menengok sekejap ke arahnya, lalu
berkata, "Aku lihat gadis ini berwajah bersih dan menarik,
tampaknya bukan jenis penjahat berhati keji."
"Paras muka Si-hun-mo-li cantik jelita seperti bidadari,
orangnya pun mulus dan cerah, tapi kenyataannya dia justru
perempuan berhati ular yang membunuh orang tanpa
berkedip."
"Kau pernah bersua Si-hun-mo-li?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak.
Thia Leng-juan tertawa.
"Kalau pernah bertemu, aku tak akan hidup sampai
sekarang."
458 Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Ai, aku rada
tidak percaya."
"Tidak percaya apa?"
Bong Thian-gak tidak berkata lebih lanjut.
Tapi Thia Leng-juan telah salah mengartikan maksud Bong
Thian-gak sebagai, "Aku tidak percaya, setelah bertemu Sihun-
mo-li, aku akan mati."
Maka gelak tertawanya semakin bertambah keras, ucapnya,
"Hahaha, kalau kau tidak percaya, mengapa tidak
mencobanya sendiri?"
Mendadak tergerak hati Bong Thian-gak mendengar
perkataan itu, segera tanyanya, "Bagaimana caraku
menjumpainya?"
"Aku bukan si perantara, tentu saja aku tak dapat
mengajakmu bertemu dengannya," kata Thia Leng-juan
sambil tertawa. "Tapi aku pernah mendengar orang bilang,
asal di hatimu berkeinginan bertemu Si-hun-mo-li, maka
perempuan itu akan datang sendiri menjumpaimu."
"Ah, masa di kolong langit terdapat kejadian seaneh ini?"
seru Bong Thian-gak dengan kening berkerut.
"Banyak kejadian aneh akan kau jumpai di dunia ini, sebab
tidak percaya pun kau pasti akan menjadi percaya akhirnya."
"Baik! Aku memang ingin bertemu dengannya, bahkan
maksud] kedatanganku kemari memang ingin bertemu
dengannya."
"Wah, itu lebih baik lagi, siapa tahu tengah malam nanti Sihu:
mo-li akan berkunjung ke dalam kamarmu."
"Tengah malam nanti dia benar-benar akan datang?"
kembali sepasang mata Bong Thian-gak berkilat.
Thia Leng-juan tertawa.
459 "Asal kau ingin bertemu dengannya, perasaan halusnya
pasti a merasakan hal itu."
"Kalau begitu aku mohon diri."
Sembari berkata Bong Thian-gak menjura, kemudian
membalik badan dan berlalu dari situ.
Tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasakan suatu firasat
aneh terhadap Thia Leng-juan, dia dapat melihat sorot mata
Thia Leng-juan berkedip tiada hentinya sepanjang
pembicaraan, ini menunjukkan dalam hati mempunyai suatu
maksud dan tujuan tertentu.
Sebenarnya Bong Thian-gak masih berniat mencari tahu
kabar tentang Pa-ong-kiong Ho Put-ciang sekalian kakak
seperguruannya, tapi sekarang niat itu harus diurungkan
untuk sementara waktu.
Karena dia tahu dunia persilatan adalah suatu dunia yang
penuh dengan mara bahaya, tiga tahun terakhir ini bisa jadi
Thia Leng-juan telah berubah, berubah menjadi seorang
laknat licik, kejam dan banyak akal muslihatnya.
Sambil berjalan Bong Thian-gak memutar otak.
Mendadak dari depan sana terdengar seseorang bersuara,
"Lapor, Bong-hwecu!"
Dia lihat Yu Hong-hong sedang berlarian mendekat dengan
wajah gugup dan kebingungan.
"Hong-hong, apa yang telah terjadi?" Bong Thian-gak
segera menegur dengan wajah keheranan.
"Bu Siau-hong dan The Goan-ho telah ditangkap orangorang
Kay-pang."
"Hah" Apa yang telah terjadi hingga mereka tertangkap?"
tanya Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar.
460 "Sewaktu melakukan pemeriksaan atas kamar nomor
sembilan puluh sembilan, The Goan-ho menemukan di dalam
kamar itu berdiam banyak orang, dia pun menghubungi Bu
Siau-hong untuk melakukan penyelidikan, siapa tahu orang
yang berdiam dalam kamar itu adalah anggota Kay-pang,
sewaktu mereka menyaksikan munculnya Bu Siau-hong dan
The Goan-ho di sana, dianggapnya ada musuh sedang
memata-matai mereka, maka ditangkaplah kedua orang itu."
"Terjadi pertarungan?" tanya Bong Thian-gak dengan
kening berkerut.
"Secara beruntun Bu Siau-hong dan The Goan-ho telah
melukai lujuh orang Kay-pang, tapi akhirnya mereka
dikalahkan oleh seorang Jago muda."
Mendengar sampai di sini, Bong Thian-gak menghela
napas. "Ai, Kay-pang merupakan perkumpulan yang sedang jayajayanya
dalam Bu-lim dewasa ini, dengan tindakan Bu Siauhong
dan The Goan-ho yang telah melukai ketujuh anggota
mereka, niscaya akan besar sekali kesulitan yang bakal
dijumpai."
"Hwecu, sesungguhnya kami tak seharusnya mencari garagara
untukmu, apa lagi dalam situasi seperti ini, tapi orangorang
Kay-pang tidak tahu aturan."
Diam-diam Yu Hong-hong merasa amat girang, namun ia
tidak memperlihatkan rasa girangnya itu, katanya setelah
menghela napas panjang, "Hwecu adalah seorang ketua
perkumpulan, mana boleh kita jumpai mereka begitu saja?"
"Kemunculan Tiong-yang-hwe dalam Bu-lim, cepat atau
lambat tentu akan berakibat bentroknya kita dengan orangorang
Kay-pang, tak usah banyak bicara lagi, sekarang juga
kita harus pergi menemui orang-orang Kay-pang, kalau tidak,
niscaya Bu Siau Bong dan The Goan-ho akan menderita."
461 Yu Hong-hong tidak bicara lagi, lekas saja mereka pun
berangkat menuju ke kamar nomor sembilan puluh sembilan.
Kamar nomor sembilan puluh sembilan adalah kamar
terbesar di Hong-tok-ciu-lau, dalam halaman tersendiri itu
terdapat tujuh buah bilik dan sekelilingnya terdapat pagar
pekarangan yang tingginya mencapai beberapa kaki.
Ketika Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong tiba di depan
pintu, terdengarlah suara yang amat mereka kenal sedang
berseru dengan suara lantang, "Kalian orang-orang dari Kaypang
benar-benar kelewatan menghina orang, aku she Tio
sudah minta maaf kepada kalian, mengapa kalian masih juga
belum melepas orang?"
Bong Thian-gak tahu itu suara Gin-ho-eng Tio Im, maka dia
mempercepat langkahnya menuju ke sudut dinding.
Pada saat itulah Yu Hong-hong berseru, "Ketua Tiong-yanghwe
telah tiba, harap orang-orang Kay-pang muncul untuk
menyambut."
Di halaman terlihat ada sembilan orang berbaju putih
penuh tambalan berdiri tegak, Tio Im sedang berdiri dikurung
oleh mereka. Ketika mendengar seruan Yu Hong-hong tadi, kesembilan
orang berbaju putih itu nampak tertegun, lalu bersama-sama
mengalihkan sorot matanya.
"Tiong-yang-hwe!"
Nama itu terasa sangat asing dalam Bu-lim, oleh sebab itu
setelah memandang ke arah Bong Thian-gak dan Yu Honghong,
tiba-tiba saja kepalanya mendongak dan terbahakbahak
dengan kerasnya.
Gelak tawa itu penuh dengan nada menghina, mengejek
dan memandang rendah.
462 Jelas keadaan Bong Thian-gak yang cacat dan buntung
tangannya membuat mereka memandang hina kepadanya.
Menyaksikan kesembilan orang itu tertawa terbahak-bahak,
tanpa terasa Yu Hong-hong mengerutkan dahi, kemudian
bentaknya nyaring, "Hei, sudah tuli semua kalian" Hwecu kami
telah datang, mengapa kalian tidak mengundang penerima
tamu untuk menyambut kedatangan beliau?"
Tiba-tiba Bong Thian-gak berbisik, "Hong-hong, jangan
gusar, mari kita saja yang menghampiri mereka."
Sembari berkata Bong Thian-gak berjalan mendekati
mereka. Tatkala Gin-ho-eng Tio Im menyaksikan Bong Thian-gak
berjalan mendekat, dia segera membalikkan badan hendak
memberi hormat kepadanya, tapi tiba-tiba saja salah satu
orang berbaju putih itu telah membentak keras, "Mundur!"
Sebuah pukulan dahsyat langsung ditujukan ke arah dada
Gin-ho-eng Tio Im.
Dengan cekatan Gin-ho-eng Tio Im berkelit ke samping
sambil membalikkan pergelangan tangannya ke kanan, belum
sempat pedang dilolos keluar, tiba-tiba Bong Thian-gak sudah
berteriak, "Tio Im, jangan bertindak gegabah!"
Kemudian sambil menjura kepada kesembilan orang
berbaju putih itu, katanya lagi, "Sembilan saudara pelindung
hukum Kay-pang, bila aku Bong Thian-gak melakukan
kesalahan sukalah memberi petunjuk."
Benar juga, kesembilan orang ini memang benar-benar
pelindung hukum Kay-pang, salah seorang di antaranya
berwajah putih dan gemuk pendek, agaknya merupakan
komandan kesembilan orang itu.
Dia memutar sepasang mata elangnya mengawasi Bong
Thian-gak beberapa kejap, kemudian tanyanya dengan suara
dingin, "Jadi kau adalah ketua Tiong-yang-hwe?"
463 "Benar memang aku!" jawab Bong Thian-gak tertawa.
"Apakah Hui-eng-su-kiam adalah anak buahmu?" kembali
kakek gemuk pendek itu bertanya.
"Tiong-yang-hwe belum lama didirikan, jumlah anggota
kami baru lima orang."
"Saudara sebagai ketua perkumpulan, mengapa
memerintahkan anak buahmu melakukan perbuatan terkutuk
dengan menyusup ke halaman rumah orang, kemudian
mengintip rahasia orang?"
Senyum manis masih tetap menghiasi wajah Bong Thiangak,
katanya, "Kami tidak tahu tempat ini sudah disewa
perkumpulan kalian, coba kalau tahu, tak nanti kami
menyusup kemari."
Beberapa patah kata Bong Thian-gak ini boleh dibilang
sudah cukup mengalah dan memberi muka kepada pihak Kaypang.
Sayang kakek gemuk itu tak tahu diri, sambil tertawa dingin
katanya lagi, "Setiap orang yang berani melanggar peraturan
Kay-pang, maka dia harus menerima pemeriksaan lebih
dahulu dan menjalani hukuman, walaupun kau adalah seorang
ketua, sayang kami tidak memberi muka padamu, kuanjurkan
lebih baik cepat tinggalkan tempat ini."
Mendadak Bong Thian-gak menarik muka dan menegur,
"Siapa yang ditugaskan untuk mewakili perkumpulan kalian di
kota ini"'
Kakek gemuk itu tertawa dingin.
"Seorang pelindung hukum Kay-pang mempunyai hak
untuk bicara, setiap satu perkataan kami berarti perintah,
kuharap kau segera angkat kaki."
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak,
dengan suara dalam tanyanya lagi, "Siapa yang ditugaskan
464 mengepalai tempat ini" Kalau kalian masih membungkam,
terpaksa aku menggunakan kekerasan."
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dia sengaja
mengerahkan tenaga dalam, setiap patah kata yang keluar
dari mulutnya seperti guntur menggelegar, mendengung
hingga jauh, membuat semua hadirin merasakan hawa darah
di dada bergelora dan terasa tak nyaman.
Sembilan orang berbaju putih itu terhitung pelindung
hukum yang tangguh, kepandaian silat mereka tidak lemah,
akan tetapi mendengar perkataan Bong Thian-gak dengan
suara auman singa itu, tak terlukis rasa terkejut di hatinya,
sadarlah mereka kalau kepandaian silat orang ini cukup lihai.
Sambil tertawa dingin kakek gemuk pendek itu berkata,
"Auman singa saudara tak akan mengejutkan Tongcu kami,
Giok-bin-giam-lo To Siau-hou pun sudah cukup lama
mendampingi Pangcu kami."
Begitu nama To Siau-hou disebut, Bong Thian-gak
tertegun, pikirnya, "Oh, rupanya dia, To Siau-hou tidak tewas
oleh pukulan Jit-kaucu Thay-kun, tentu saja kejadian ini
merupakan suatu keajaiban, kalau begitu ketua Kay-pang
benar-benar seorang yang maha sakti."
Sementara itu si kakek gemuk pendek yang menyaksikan
paras muka Bong Thian-gak berubah tak menentu,
disangkanya pemuda ini dibikin keder oleh nama besar To
Siau-hou, tanpa terasa serunya dengan perasaan bangga,
"Bagaimana" Bila saudara pernah mendengar nama besar To
Siau-hou, lebih baik cepat mencawat ekor dan enyah dari
tempat ini!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa dingin, serunya, "Tio Im,


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beri pelajaran kepada manusia takabur ini, tapi jangan sampai
merengut jiwanya, cukup melukainya saja."
465 Sejak tadi Gin-ho-eng Tio Im sudah dibikin mendongkol
oleh tingkah-laku pongah musuh, tapi tiada tempat untuk
melampiaskan rasa dongkolnya.
Begitu mendengar perintah, dia segera membalikkan
pergelangan tangan dan "Cring", ia melolos pedang dari
sarungnya. Di antara getaran pergelangan tangannya, tampak setitik
cahaya bintang menusuk ke perut kakek gemuk itu dengan
kecepatan luar biasa.
Agaknya kakek bertubuh gemuk pendek itu tidak
menyangka serangan pedang Tio Im dilancarkan sedemikian
cepatnya, dalam kaget dan ngerinya, cepat dia memutar
badan sambil bergeser ke sisi kiri.
Siapa tahu Gin-ho-eng Tio Im sudah bertekad melukai
musuhnya, maka dia sudah bersiap mengeluarkan ilmu Coatin-
toh yang diwariskan Bong Thian-gak kepadanya.
"Kena!" bentaknya dengan lantang.
Gin-ho-eng Tio Im membungkukkan tubuh, sementara
pedangnya yang berada di tangan kanan sudah bergerak dari
bawah secara aneh langsung menusuk secepat kilat.
Jeritan tertahan bergema, bahu kiri kakek gemuk pendek
itu benar-benar terkena tusukan, darah segar segera
memancar keluar dan membasahi pakaiannya yang berwarna
putih. Betapa terkejut dan gusarnya delapan orang berbaju putih
lainnya menyaksikan komandannya menderita kalah dalam
dua gebrakan saja, diiringi bentakan nyaring, serentak
kedelapan orang itu melabrak maju bersama.
Mendadak terdengar bentakan nyaring, "Kalian lekas
mundur!" 466 Kedelapan orang berbaju putih itu bersama-sama
menghentikan gerakan tubuh mereka yang sedang menerjang
ke muka, lalu berpaling ke samping.
Di atas undak-undakan pintu kamar telah berdiri seorang
pemuda berbaju putih yang berwajah tampan, bertubuh kekar
dan gagah perkasa, sebilah pedang bersarung bambu
tersoreng di pinggangnya.
Sekilas pandang saja Bong Thian-gak segera mengenali
pemuda di atas undak-undakan itu adalah Giok-bin-giam-lo To
Siau-hou, raut wajahnya tidak banyak mengalami perubahan,
tapi sikapnya jauh lebih tenang, serius dan kereng.
Dengan sorot mata tajam To Siau-hou mengawasi wajah
Bong Thian-gak lekat-lekat, bahkan mengamati dari atas
kepala sampai ke ujung kaki, setelah itu dia baru berkata
sambil tertawa dingin, "Sungguh tak kusangka Jian-ciatsuseng
telah menjadi ketua Tiong-yang-hwe."
Ketika kesembilan Huhoat Kay-pang mendengar nama Jianciat-
suseng, serentak paras muka mereka berubah hebat,
mimpi pun mereka tak pernah mengira ketua Tiong-yang-hwe
ini bukan lain adalah Jian-ciat-suseng yang amat termasyhur
dalam Bu-lim dewasa ini.
"Ah, syukur aku selamat!" seru kakek gemuk pendek itu.
Dia bersyukur cukup bernasib baik hingga bukan Jian-ciatsuseng
yang dihadapinya tadi, kalau tidak, niscaya selembar
jiwanya sudah melayang meninggalkan raganya.
Sambil tersenyum, Bong Thian-gak berkata, "Tiong-yanghwe
baru didirikan tiga hari berselang, tentu saja bila nama
dan kedudukan kami dibandingkan perkumpulan kalian,
keadaannya ibarat rembulan dengan kunang-kunang."
Paras muka To Siau-hou berubah serius sekali, ujarnya
kemudian, "Kalau Tiong-yang-hwe dipimpin Jian-ciat-suseng,
sudah pasti masa depannya akan semakin cerah."
467 "Terima kasih, terima kasih!" Bong Thian-gak tertawa.
Dengan kening berkerut, kembali To Siau-hou berkata,
"Dengan kehadiran saudara sendiri untuk minta kembali
orangmu, semestinya To Siau-hou harus segera
menyerahkannya kepadamu, namun aku tahu nama besar
Jian-ciat-suseng akhir-akhir ini ibarat matahari di tengah
angkasa, setiap umat persilatan yang berjumpa denganmu tak
urung pasti akan menantangmu berduel, oleh sebab itu
mumpung ada kesempatan, aku pun ingin minta petunjuk
darimu." "To-siauhiap masih muda dan berjiwa panas, masalah
bertanding ilmu silat memang suatu hal yang tak bisa
dihindari, cuma aku rasa pertarungan pada saat dan keadaan
seperti ini kelewat sembrono dan tidak cocok, maka aku ingin
memilih waktu lain saja untuk menantikan petunjuk darimu."
To Siau-hou termenung sebentar, tiba-tiba ucapnya kepada
kesembilan orang berbaju putih itu, "Kalian lepaskan Boan
Thian-eng serta Siau Hiang-eng!"
Buru-buru Bong Thian-gak menjura seraya katanya,
"Kesediaan To-tongcu memberi muka padaku, tak pernah
oraing she Bong lupakan."
"Tengah hari besok, kita bertemu di Hong-leng, pintu kota
sebelah utara," ucap To Siau-hou dingin.
"Baik, sampai waktunya aku pasti datang."
Baru selesai berkata, Boan Thian-eng, Bu Siau-hong serta
Siau-hiang-eng dan The Goan-ho sudah berjalan keluar dari
ruang tengah. Selain pakaian mereka yang terkena percikan
darah, segala sesuatunya tetap normal dan lengkap seperti
sedia kala. Dengan cepat mereka menemui Bong Thian-gak.
"Mari kita pergi," ucap Bong Thian-gak dengan suara
dalam. 468 Seusai berkata, dia melangkah keluar lebih dulu dari pintu
halaman dan langsung kembali ke kamar nomor tiga puluh
enam. Hui-eng-su-kiam tidak banyak komentar, mereka
membuntuti di belakangnya, lalu duduk di kamar mereka.
Sesudah duduk, Bong Thian-gak memandang mereka
sekejap, lalu pelan-pelan berkata, "Tampaknya kota terlarang
sudah menjadi pusat perkumpulan segenap jago lihai dari
berbagai aliran dan perguruan yang ada saat ini, menurut apa
yang kuketahui, dua perkumpulan raksasa dewasa ini, Hiatkiam-
bun dan Kay-pang telah menampakkan diri secara
terang-terangan."
"Padahal Tiong-yang-hwe kita baru saja didirikan,
anggotanya cuma kita berlima, dengan kekuatan ini, mustahil
kita bisa menandingi kekuatan lawan yang begitu besar,
karenanya kusarankan kepada kalian agar mengurangi segala
tindak-tanduk yang menyolok mata, kalau tidak, kita bisa
dikeroyok dan Tiong-yang-hwe bisa mati dalam rahim sebelum
dilahirkan."
Ucapan Bong Thian-gak barusan membuat Hui-eng-su-kiam
menundukkan kepala rendah-rendah, serentak mereka
berkata, "Kami berempat merasa bersalah kepada Hwecu atas
peristiwa yang terjadi, kami bersedia menerima hukuman dari
Hwecu." Bong Thian-gak tersenyum.
"Kalian tidak membuat gara-gara, tiada kesalahan yang
perlu dijatuhi hukuman. Apa yang barusan kuucapkan tidak
lebih hanya memperingatkan kalian saja agar tahu diri."
Terhadap sikap terbuka, bijaksana dan kebesaran jiwa
Bong Thian-gak, Hui-eng-su-kiam merasa amat kagum dan
menaruh hormat, mereka betul-betul tunduk atas keagungan
pemimpinnya ini.
469 Tiba-tiba Hwe-im-eng Yu Hong-hong berkata, "Lapor
Hwecu! Dari dalam kamar nomor seratus delapan, kutemukan
banyak perempuan asing berkumpul di situ, sebelum aku
melakukan penyelidikan, Jiko sudah terlibat dalam
pertarungan, oleh karena itu aku belum sempat menyelidiki
lebih jauh."
Tergerak hati Bong Thian-gak mendengar perkataan itu,
ujarnya kemudian, "Hong-hong, mari ikut aku menengok ke
situ, sedang Tio Im bertiga segera mencari berita ke kota!"
Dengan memisahkan diri dalam dua rombongan,
berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu.
Yu Hong-hong dan Bong Thian-gak dengan langkah pelan
berjalan menuju halaman besar paling belakang sana.
Kamar nomor seratus delapan merupakan kamar besar
terpojok dalam rumah penginapan itu, letaknya di sudut barat
dan sekeliling ruangan dilapisi dinding pendek.
Dinding perkarangan sebelah barat merupakan dinding
yang paling tinggi, makin ke belakang makin rendah.
Kamar itu termasuk terpencil dan tersepi dalam penginapan
itu. Dengan pelan Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong berjalan
menuju ke depan tembok pekarangan itu, sekeliling halaman
itu sunyi senyap tak terdengar sedikit suara pun.
"Aneh!" Yu Hong-hong berbisik. "Baru saja kutemukan
perempuan berlalu-lalang di sini, mengapa dalam waktu
singkat sudah sepi?"
"Tentu mereka mengawasi gerak-gerik kita dari balik
tembok pekarangan sana, kalau kita melakukan penyelidikan
dengan cara begini, mustahil kita dapat memperoleh berita
yang diperlukan, mari kita berjalan mengitari tembok
pekarangan saja."
470 Baru selesai dia berkata, tiba-tiba pintu halaman dibuka
orang. Dengan terbukanya pintu, dari balik halaman muncul
seorang gadis muda, langsung berjalan menghampiri Bong
Thian-gak dengan langkah cepat.
"Majikan kami mempersilakan saudara minum teh," ujarnya
sambil tersenyum.
Yu Hong-hong berkerut kening, lalu bertanya, "Siapakah
majikan kalian" Mungkin salah orang?"
"Tak bakal salah," sahut nona berbaju hijau itu sambil
tertawa merdu. "Biarpun jago persilatan banyak berkumpul di
kota terlarang ini, namun hanya seorang yang berlengan
tunggal." Waktu menjawab, nona itu tidak menyinggung sama sekali
nama majikannya.
Bong Thian-gak tersenyum.
"Harap nona menunjuk jalan!"
"Kita akan masuk?" Yu Hong-hong berbisik.
"Kita tak dapat menampik undangannya begitu saja?"
"Tapi undangan semacam ini tampaknya sedikit tak beres."
Bong Thian-gak memandang sekejap ke arah Yu Honghong,
lalu sahutnya lagi, "Setelah datang, mengapa harus
menolak?" Yu Hong-hong tersenyum penuh arti, sementara dalam hati
pikirnya, "Ilmu silat yang memiliki Hwecu sangat lihai, buat
apa aku menguatirkan keselamatannya" Kalau tidak memasuki
sarang harimau, bagaimana mungkin bisa memperoleh anak
macan" Kita memang berniat mencari tahu siapa gerangan
yang berdiam dalam halaman itu?"
471 Sementara itu si nona berbaju hijau yang berjalan di muka
sudah memasuki pintu halaman dengan langkah cepat.
Bong Thian-gak dan Yu Hong-hong segera ikut masuk ke
dalam, tiba-tiba saja pandangan mereka terasa silau.
Ternyata dalam ruangan itu dipasang tujuh batang lilin
besar, terangnya seperti berada di siang hari bolong, setiap
sudut dan orang yang berada dalam ruangan itu terlihat jelas.
Pada sisi dinding utara dan selatan masing-masing berderet
delapan belas orang perempuan berbaju dan berkain cadar
merah membawa pedang pendek berwarna merah darah pula.
Sementara itu dari arah belakang kembali terdengar suara
langkah manusia, menyusul sembilan orang perempuan
berkerudung merah dengan membawa pedang pendek
berjalan masuk ke dalam ruangan.
Pintu ditutup rapat, sedang kesembilan perempuan
berkerudung merah itu berdiri berjajar di depannya,
menghadang jalan pergi orang.
Dari keadaan yang terpampang di depan mata, Yu Honghong
segera tahu pihak lawan tidak berniat baik, namun
berhubung dilihatnya sikap Bong Thian-gak masih tetap
tenang seolah-olah seperti tidak pernah terjadi sesuatu,
terpaksa dia harus menenteramkan perasaannya sambil
menunggu perubahan selanjutnya.
Nona berbaju merah tadi menunjuk ke arah meja dan kursi
di ruang tengah, lalu katanya, "Harap kalian berdua duduk
lebih dulu, sebentar lagi majikan kami akan muncul."
Bong Thian-gak tersenyum, "Bila aku dapat bersua dengan
ketua Hiat-kiam-bun hari ini, tidak sia-sia perjalananku kali
ini." Seraya berkata, dia dan Yu Hong-hong lantas duduk di
kursi sudut tenggara.
472 Baru saja duduk, dari bilik sebelah berat terdengar suara
langkah kaki manusia berkumandang datang.
Orang pertama yang berjalan masuk lebih dulu adalah
seorang gadis berbaju merah berkerudung merah pula.
Perempuan itu tidak membawa pedang pendek, namun di
balik bahunya tersoreng sepasang pedang panjang,
rambutnya yang mulus terurai di bahu, tubuhnya ramping dan
menawan hati, kalau dilihat dari umurnya mungkin tak lebih
dari dua puluh empat tahun.
Mengikut di belakangnya bukan wanita, melainkan tiga
orang aneh berperawakan tinggi besar berjubah merah darah
dan berjalan kaku seperti mayat hidup.
Ketiga orang aneh berjubah merah itu tidak membawa
senjata, namun tampang serta perawakannya mengerikan dan
menggidikkan, mendatangkan daya pengaruh yang lebih
mengerikan ketimbang perempuan-perempuan berkerudung
merah lainnya. Perempuan berkerudung merah yang menyoreng pedang
berjalan menuju ke tempat duduk tuan rumah, kemudian
tanpa mengucapkan sepatah kata pun duduk di situ,
sementara ketiga orang aneh tadi berdiri berjajar di
belakangnya. Pikir Bong Thian-gak, "Perempuan inikah ketua Hiat-kiambun"


Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum habis berpikir, terdengar perempuan berkerudung
merah yang menyoreng pedang berseru dingin, "Gotong
kemari mayat itu!"
Bersama dengan suara mengiakan, dari halaman belakang
muncul empat orang gadis berkerudung merah, mereka
menggotong sebuah papan persegi panjang, di atasnya
berbaring sesosok mayat perempuan berbaju merah pula.
473 Di atas dada mayat tertancap sebilah kutungan pedang,
sementara di antara belahan pahanya, tepatnya di atas
kemaluanya tampak darah masih mengucur dengan derasnya.
"Oh, dia!" pekik Bong Thian-gak dalam hati.
Sang korban adalah nona berkerudung merah yang
dibunuh secara keji oleh Thia Leng-juan dalam kamar nomor
tujuh tadi, tapi mengapa secepat itu mayatnya sudah digotong
kemari" Bagaimana dengan Thia Leng-juan sendiri" Apakah dia
telah lertimpa suatu musibah"
Ingatan itu dengan cepat melintas dalam benak Bong
Thian-gak. Dalam pada itu keempat gadis berkerudung merah itu
sudah menggotong masuk mayat tadi dan diletakkan di
tengah ruangan, kemudian mengundurkan diri ke samping.
Pada saat itulah si nona berkerudung merah yang
menyoreng pedang mencorongkan sepasang matanya yang
dingin mengawasi wajah Bong Thian-gak lekat-lekat,
kemudian tegurnya dingin, "Hari ini, Hiat-kiam-bun telah
kehilangan seorang pembantu setia, atas kematian yang
mengenaskan itu segenap anggota Hiat-kiam-bun bertekad
hendak membalas dendam baginya, benar-benar tak disangka
arwah sang korban telah membantu usaha kita dan
pembunuhnya bisa datang dengan segera."
Berubah paras muka Bong Thian-gak mendengar perkataan
itu, cepat tegurnya, "Maksud Buncu, aku yang telah
membunuhnya?"
"Aku bukan ketua Hiat-kiam-bun, aku tak lebih hanya wakil
ketua kedua, sedang yang tewas adalah wakil ketua
kesembilan."
"Oh, kalau begitu siapakah Buncu Hiat-kiam-bun?"
474 "Sampai sekarang kedudukan ketua Hiat-kiam-bun masih
lowong, untuk sementara waktu semua persoalan perguruan
ditangani oleh Cong-hubuncu. Aku adalah wakil ketua kedua,
boleh dibilang pentolan nomor dua perguruan Hiat-kiam-bun,
biarpun kau menjadi ketua Tiong-yang-hwe, namun
kedudukanmu tak jauh dari kedudukanku sekarang."
"Mengapa kursi ketua Hiat-kiam-bun masih tetap lowong?"
tanya Bong Thian-gak.
"Selama berkecimpung dalam Bu-lim, Hiat-kiam-bun tidak
punya rahasia yang kuatir diketahui orang, apa sebabnya
kedudukan ketua Hiat-kiam-bun masih kosong" Adalah karena
pendiri Hiat-kiam-bun masih belum diketahui jejaknya sampai
sekarang, maka kedudukan itu tetap lowong sampai saat ini,
nah, semua keterangan sudah aku berikan, kau Jian-ciatsuseng
pun termasuk manusia yang tahu keadaan, siapa
membunuh orang dia harus membayar dengan nyawa,
bersiaplah untuk menerima kematian!"
Tiba-tiba Yu Hong-hong membentak gusar, "Enak amat
kalau bicara, kau anggap Tiong-yang-hwe bisa dipermainkan
semaumu?" Sebaliknya Bong Thian-gak bertanya sambil tersenyum, "Jihubuncu,
tolong tanya, apakah kau saksikan sendiri aku orang
she Bong yang membunuh Kau-hubuncu partai kalian?"
Agaknya pertanyaan ini mencengangkan Ji-hubuncu Hiatkiam-
bun, ia tertegun dengan berdiri melongo untuk beberapa
saat, kemudian baru berkata, "Biar pun tidak kuketahui,
namun Thia Leng-juan jelas tidak mempunyai kemampuan
untuk membunuhnya."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak berkerut kening
sambil pikirnya, "Jika kukatakan Kau-hubuncu tewas di tangan
Thia Leng-juan, dengan kemampuannya bagaimana mungkin
Thia Leng-juan dapat menandingi sedemikian banyak jagoTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
475 jago lihai Hiat-kiam-bun" Bila kuakui, maka mereka pun tak
akan melepaskan diriku."
Saat ini Bong Thian-gak benar-benar dibuat serba susah
dan tak mampu mengambil keputusan, tak heran dia
membungkam. Kembali Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun berkata, "Kau-hubuncu
sedang mendapat tugas menyelidiki suatu rahasia besar,
mungkin dia telah menemukan rahasia besar itu sehingga
musuh membunuh secara keji."
"Mula pertama musuh menggunakan tendangan yang
terkutuk Kou-im-tui untuk menendangnya, kemudian
menancapkan kutungan pedang di jantungnya hingga
menyebabkan kematian, cukup dilihat dari jurus serangan itu,
jelas sudah pembunuh adalah manusia laknat yang buas dan
biadab!" Tiba-tiba mencorong sinar aneh dari mata Bong Thian-gak,
tanyanya, "Bila aku mau membunuh Kau-hubuncu, perlukah
kugunakan jurus Kou-im-tui?"
"Kalau memang bukan perbuatanmu, siapa
pembunuhnya?"
Bong Thian-gak tertegun sejenak, lalu balik bertanya,
"Dimana kau temukan jenazahnya?"
"Di dalam kamar nomor tujuh, Thia Leng-juan yang
mengutus orang datang mengabarkan musibah ini."
"Menurut Thia Leng-juan, siapakah pembunuhnya?"
"Kau, Jian-ciat-suseng!"
Jawaban Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun ini amat dingin dan
hambar. "Apakah Ji-hubuncu percaya dengan perkataan Thia
Leng-juan?" dengan tenang Bong Thian-gak tersenyum.
"Aku memang rada tak percaya!"
476 Yu Hong-hong yang mendengar perkataan itu segera
menyahut, "Kalau tidak percaya, mengapa kau menuduh
Hwecu kami sebagai pembunuhnya?"
"Aku tidak mengatakan aku sama sekali tidak percaya,"
kata Jihubuncu dengan suara dingin.
"Terus terang saja kukatakan padamu, di saat Kau-hubuncu
partai kalian tewas secara mengenaskan, aku orang she Bong
memang hadir di arena, tapi bukan aku pembunuhnya,
percaya atau tidak, terserah kepadamu."
"Mengapa tidak kau katakan siapa pembunuhnya?"
Bong Thian-gak menghela napas sedih, sahutnya
kemudian, "Ai, aku hanya berharap kau percaya bahwa
pembunuhnya bukan aku."
"Bila tak kau katakan siapa pembunuhnya, berarti kau
pembunuh Kau-hubuncu kami," ujar Ji-hubuncu dengan suara
menyeramkan. "Karenanya kau harus meninggalkan selembar
nyawamu hari ini."
Kembali Bong Thian-gak tersenyum.
"Jika kalian ingin menahanku, maka hal ini harus kalian
lakukan dengan membayar sangat mahal."
Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun manggut-manggut, sahutnya,
"Ya, ucapanmu memang benar, itulah sebabnya sampai
sekarang aku masih belum menurunkan perintah untuk
menyerang,"
"Kau tidak memerintahkan penyerangan, karena kau ingin
tahu lebih dulu rahasia apakah yang berhasil diselidiki oleh
Kau-hubuncu, bukankah demikian?"
Bong Thian-gak tersenyum.
Ucapan itu mengejutkan Ji-hubuncu, namun ia
mengangguk juga. "Dugaanmu benar, aku memang ingin
mengetahui rahasia itu."
477 Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Sayang sekali aku sendiri pun tak mengetahui rahasia itu,
kecuali kau katakan dulu masalah apakah yang kau
perintahkan kepada Kau-hubuncu untuk diselidiki, dari sana
mungkin aku bisa menebaknya."
Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun termenung beberapa saat,
kemudian ujarnya, "Aku memerintahkan Kau-hubuncu kami
untuk menyelidiki jejak Buncu kami."
Kembali Bong Thian-gak berkerut kening.
"Dia sedang mencari jejak ketua Hiat-kiam-bun?"
Ji-hubuncu itu mengangguk.
"Benar, Hiat-kiam-bun tak boleh tiada ketua, semenjak tiga
tahun berselang setiap saat kami selalu mencari jejak ketua
kami itu, namun hingga kini masih merupakan tanda tanya
besar, oleh sebab itu aku bersikap sungkan kepadamu hari ini
tak lain adalah berharap agar kau mau bicara sejelas-jelasnya,
agar rahasia yang ditemukan Kau-hubuncu diketahui pula oleh
kami, dari situ mungkin kami bisa menemukan jejak Buncu
Hiat-kiam-bun."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera berpikir,
"Kalau begitu Thia Leng-juan mengetahui jejak ketua Hiatkiam-
bun, kalau tidak, mengapa Kau-hubuncu itu mencarinya
untuk berbicara?"
Mendadak pemuda itu bertanya, "Siapakah nama ketua
kalian" Bersediakah kalian ungkapkan, apakah kukenal
dengannya atau tidak."
"Sebelum jejak ketua kami diketahui, tak akan kami
sebutkan namanya," jawab Ji-hubuncu tegas.
Bong Thian Gak menghela napas panjang.
"Ai, tampaknya aku pun tak dapat membantu kalian."
478 Dengan suara berat dan dalam Ji-hubuncu Hiat-kiam-bun
berkata lagi, "Bicara soal ilmu silat Jian-ciat-suseng memang
sangat lihai, tapi jika segenap jago lihai Hiat-kiam-bun
mengepungmu, biar kau punya sayap pun jangan harap bisa
terbang meninggalkan ruangan ini, maka kunasehati,
berpikirlah tiga kali sebelum bertindak."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Aku merasa logat bicara nona sangat kukenal, seperti
pernah berjumpa di suatu tempat, bersediakah kau melepas
kain kerudungmu agar dapat kulihat raut wajah aslimu?"
Tergerak hati Ji-hubuncu, katanya pula, "Betul, nada
suaramu serta potongan badanmu seperti pernah kujumpai di
suatu tempat, namun tak dapat kuingat secara pasti."
"Benar, mungkin tiga tahun lalu nona pernah bersua
denganku," kata Bong Thian-gak dengan suara dalam. "Dan
mungkin juga aku pun pernah bersua denganmu, cuma
sekarang masing-masing merahasiakan paras muka yang dulu,
maka biarpun sekarang bersua kembali, kedua belah pihak
sama-sama tidak mengetahui siapakah lawan."
"Tak usah banyak bicara
Bentrok Para Pendekar 3 Bara Naga Karya Yin Yong Jodoh Rajawali 23
^