Pendekar Kembar 4

Pendekar Kembar Karya Gan K L Bagian 4


tenaganya lemah, maklum sudah keropos, percuma
jurus serangan ilmu pedangnya yang bagus itu, sampai hampir memainkan 64 jurus ilmu
pedangnya, sedikit meleng ia sendiri yang kena digenjot pula oleh pukulan Hoa Put-li, tepat kena
punggung belakang seperti Pang Put-pay tadi.
Pukulan Hoa Put-li ini lebih keras daripada tadi, tentu saja Ong Jun-say yang kerempeng itu
tidak tahan, darah segar tersembur keluar.
Cepat Lim Sam-han melompat maju dan menutuk tiga kali di dada Ong Jun-say, segera darah
mampet dan tidak tumpah lagi.
Dalam keadaan demikian Ong Jun-say juga malu untuk tinggal di situ, cepat ia berlari pergi.
Ia tidik tahu tutukan Lim Sam-han itu meski dapat menghentikan tumpah darah untuk
sementara tapi malah menambah luka dalamnya, setiba di rumah nanti sedikitnya dia akan jatuh
sakit keras, salah dia sendiri, pakai minta lihat "contoh" si cantik segala sehingga mendatangkan
akibat fatal baginya.
Seperginya Ong Jun say, Lim Sam-han lantas kembali ke tempat duduknya, sama sekali tidak
tanya kejadian tadi, Padahal dia sendiri menyatakan agar pertandingan dibatasi sampai saling
sentuh saja dan tidak boleh saling melukai, sekarang Hoa Put-li jelas melanggar aturan, tapi toh
tidak ditegumya.
Setelah mengalahkan dua orang, Hoa Put-li kelihatan mentang-mentang, seolah-olah dia yang
paling lihay, berulang-ulang ia mendengus, "Huh, rupanya keturunan keluarga tokoh ternama juga
cuma begini saja, sungguh menggelikanl"
Ucapan Hoa Put-li ini menimbulkan amarah beberapa pendekar muda lain, serentak mereka
melompat maju dan berseru, "Cayhe ingin minta petunjuk!"
Hoa Put-li terkekeh-kekeh, katanya, "Bagus, boleh kalian maju semua, supaya menghemat
tenaga." Kelima pendekar muda yang melompat maju itu menjadi gusar, jelek-jeiek mereka adalah
keturunan tokoh ternama, mana mereka mau main kerubut, mereka menyatakan akan menandingi
Hoa Put-li satu lawan satu.
"Kalau tidak mau maju berbareng, boleh antri maju satu persatu," kata Hoa Put-li,
Entah dari golongan mana, kungfu Hoa Put-li ternyata sangat hebat, meski kelima anak muda
itu sudah mengeluarkan segenap kepandaian masing-masing, akhirnya terkalahkan semua oleh
jurus pukulan aneh Hoa Put-li.
Semua orang sama terkesiap, ssbab sampai sekarang belum kelihatan tanda lelah pada diri
Hoa put-li, mereka pikir kalau dirinya maju mungkin juga akan keok.
Hanya Lim Sam-han dan kedua susioknya saja yang tidak merasa heran akan ketangkasas Hoa
Put-li itu, mereka seakan-akan yakin Hoa Put-li pasti tak terkalahkan kalau menang juga lumrah,
Lebih-lebih kedua kakek itu, dengan sorot mata tajam mereka mengikuti setiap pertarungan itu,
bilamana Hoa Put-li sudah menang, mereka kelihatan puas dan senang, tiada tanda simpati
sedikitpun terhadap orang yang kalah.
Begitulah berturut-turut telah maju lagi tiga jago muda, tapi selalu dikalahkan oleh Hoa Put-li
dengan jurus pukulan aneh. Habis itu, sampai lama tiada lagi yang berani turun ke kalangan.
Hoa Put-li bergelak tertawa bangga, serunya, "Kalau cuma berkepandaian cakar ayam saja
juga berani ikut sayembara ini, kan lucu dan mentertawakan. Tampaknya kalian harus pulang saja
dengan mencawat ekor, jelas akulah yang keluar sebagai juara!"
Sekali ini orang yang lugu seperti Be Tay-sing juga dibikin gusar, ia mendelik dan memaki,
"Neneknya, latah benar dia!"
Mendadak ia berdiri, tubuhnya yang serupa raksasa itu melangkah ke tengah kalangan
perawakan Be Tay-sing hampir sekali lipat lebih besar daripada Hoa Put-li, mau-tak-mau ia
menjadi rada jeri.
"Siapa Anda?" tanya Hoa Put-1i.
"Kita harus berkelahi, untuk apa tanya nama segala" setelah kurobohkan kau baru
kuberitahu," jawab Be Tay-sing.
Berbareng sebelah telapak tangannya terus menabas miring, belum tiba tangannya angin
keras sudah menyambar lebih dulu. Terkesiap juga Hoa Put-li, ia sadar biarpun memiliki tenaga
dalam yang kuat juga sukar menahan serangan lawan yang dahsyat itu..
Karena kalah kuat, Hoa Put-li tidak berani menangkis, ia menggeser ke samping.
Mendadak terdengar si kakek gendut berkata dengan tertawa, "Aha, Pi-san-cing dari Lohtang
terkenal hebat, tampaknya memang betul dan luar biasa."
"Ucapan Susiok memang betul," tukas Lim Sam-han. "Kalau menangkis secara sembarangan
tentu bisa celaka."
Mendengar ucapan Lim Sam-han itu, Hoa Put-li lebih-lebih tidak berani menghadapi Be Taysing
secara keras lawan keras, segera ia menggunakan kegesitan untuk berputar kian kemari. Pisan-
cian atau pukulan membelah gunung dari Soatang terkenal kuat, mantap dan ganas, tapi
kurang dalam hal gesit dan cepat, Sekarang Hoa Put-li hanya main putar di sekitar Be Tay-sing
maka sia-sia belaka pukulan Be Tay-sing yang kuat itu bilamana tidak dapat mengenai sasarannya.
Begitulah, ketika mencapai tiga serangan terakhir, Be Tay-sing menjadi tidak sabar, tiga jurus
pukulan dilontarkan dengan cepat dan susul menyusul, ia ingin mendahului gerakan Hoa Put-li
sehingga salah satu pukulannya agar bisa mengenai lawan.
Tapi karena serangan cepat ini jadinya telah melanggar dasar Pi-san-ciang yang
mengutamakan mantap itu, kesempatan ini digunakan Hop Put-li dengan baik, diam-diam ia
mengerahkan tenaga murni, begitu Be Tay-sing selesai melancarkan serangan terakhir, mendadak
pukulan aneh andalannya dilancarkan, sekuatnya ia hantam dada Be Tay-sing.
Bilamana tiga jurus terakhir tadi Be Tay-sing tidak gopoh, tentu serangan lawan takkan
berhasil, Kini titik kelemahannya telah diincar musuh, sukar lagi baginya untuk menangkis pukulan
aneh Hoa Put-li ini, "blang", dengan telak dadanya terpukul.
Namun Be Tay-sing tetap berdiri tegak di tempatnya tanpa bergeming sedikitnya, bahkan
matanya tampak melotot gusar, Keruan Hoa Put-li terkejut, ia heran pukulan sepenuh tenaga
mengapa tak dapat merobohkan dia"
Be Tay-sing tidak balas menyerang lagi, ia melangkah kembali ke tempat duduknya, setiba di
samping Yu Wi, katanya sambil menyengir, "Aku kalah, saudaraku...."
Belum habis ucapnya, darah segar terus tersembur keluar seperti air mancur, Cepat Yu Wi
menutuk Hiat-to di bagian dadanya, ia tempelkan tangannya pula dan menyalurkan tenaga murni
sendiri sejenak barulah darah mampet, muka Be Tay-sing yang pucat berangsur-angsur juga pulih
kembali. Suasana menjadi sunyi senyap, Hoa Put-li berdiri melongo di tengah arena dan lupa membual
lagi untuk menantang, semua orang seolah-olah sama terkesima oleh kegagahan Be Tay-sing tadi.
Tidak lama kemudian, wajah Be Tay-sing yang tulus itu tersenyum cerah, ucapnya, "Sudah
baik, saudaraku, terima kasih..."
Yu Wi menepuk tangan Tay-sing, katanya, "Jangan bicara dulu, Be-heng, lihatlah, akan
kulampiaskan dongkolmu."
Setelah mendudukkan Be Tay-sing di kursinya, lalu Yu Wi maju ke tengah kalangan.
Melihat Yu Wi, seketika Hoa Put-li menjadi tegang, tanyanya, "Apakah Kan-kongcu juga ikut
sayembara dan mencari jodoh?"
"Bukan!" jawab Yu Wi tegas.
Semua orang sama melengak, kalau bukan ikut sayembara, lalu untuk apa kedatangannya"
Lim-siocia yang duduk di sebelah ayahnya dan sejak tadi hanya menunduk saja, kini tanpa
terasa mengangkat kepalanya, ketika melihat Yu Wi, serentak ia berseru, "He, Siau Wi!"
Yu Wi tidak berani berpaling, ia pun tidak berani membayangkan bagaimana air muka si nona
saat itu. Karena tertarik oleh kejadian di tengah kalangan sehingga tidak ada orang yang menghiraukan
seruan Lim-siocia itu, Tapi Lim Sam-han dapat mendengar dengan jelas, dengan suara tertahan ia
tanya puterinya itu, "Anak Kiok, ada apa?"
"Dia... dia...." terputus-putus suara Lim-siocia. nama lengkapnya ialah Lim Khing-kiok.
"Dia bukan bocah she Yu itu, kenapa kau gelisah?" omel Lim Sam-han.
Meski sangsi, namun pikiran Lim Khing-kiok rada lega, sebab kalau benar Yu Wi yang
menyatakan kedatangannya bukan untuk ikut sayembara dan mencari jodoh, hal ini tentu akan
membuatnya sangat berduka.
Dalam pada itu Hoa Put-li melenggong sampai kian lama barulah bersuara pula, "Jika
kedatanganmu ini bukan untuk ikut sayembara, Cayhe tidak mau bertanding denganmu."
"Kalau kau tidak mau bertanding, boleh kau hantam dadamu sendiri satu kali seperti kau pukul
Be Tay-sing tadi!" kata Yu Wi dengan kereng.
Hoa Put-li menjadi gusar, jawabnya, "Aku bukan orang gila, mengapa memukul dirinya
sendiri?" ?"Hm, bila tadi kau mampu memukul orang, orang kau pun harus menghantam dirimu sendiri,"
jengek Yu Wi. "Ayo, kalau tidak, akulah yang akan memukul kau!"
Saking gusar Hoa Put-li sampai tidak dapat bersuara lagi. Akan tetapi ia tidak berani melawan,
betapa pun ia gentar terhadap tokoh Thian-ti-hu ini, apalagi dia sudah bertempur melawan
sepuluh orang, mana dia sanggup bertempur lebih lama lagi.
Padahal lagak Hoa Put-li tadi seakan-akan dia saling jempol, sekarang dia ketakutan seperti
tikus ketemu kucing, diam-diam sebagian penonton sama merasa senang.
Lim Khing kiok merasa "Kan-kongcu" ini memang mirip benar dengan Yu Wi, ia jadi teringat
kepada kisah cinta masa lalu, kini timbul pula perasaan cintanya yang lembut itu, ia pandang Yu
Wi tanpa berkedip.
Seperti ada kontak perasaan, meski tidak menoleh, secara naluri Yu Wi merasakan si nona
sedang memandangnya, Namun ia tidak berani berpaling, kuatir kalau tidak dapat menahan
perasaan sendiri, segera ia membentak, "Ayo, lekas kau bunuh diri saja!"
Mendadak sesosok bayangan melayang ke tengah arena sambil berseru, "Kan-kongcu
janganlah terlalu mendesak orang!"
Hoa Put-Ii merasa lega atas kedatangan orang itu, katanya, "Hati-hali, Suheng!"
"Mundur kau, tidak nanti Kik Bu-ong takut kepada celurut dari Thian-ti-hu," seru pendatang
itu, perawakannya serupa Hoa Put-li, bahkan mukanya jauh lebih sadis.
Mendadak di tengah para tamu seorang berteriak, "Aha, latah benar! Masa Kan-kongcu dari
Thian-ti-hu dianggap sebagai celurut, apakah orang ini bukan mengigau atau lagi membual?"
Suara orang ini nyaring kecil, jelas suara orang perempuan yang menirukan suara lelaki,
Karena tertarik oleh suara ini, pandangan semua orang sama beralih ke sana,
Maka tejlihatlah seorang Kongcu cakap berpakaian perlente duduk di sebelah kanan sana,
sebelah tangan memegang cawan arak, tangan yang !ain lagi menyumpit sepotong Pek-cam-keh
(daging ayam rebus) dan sedang dijejalkan ke mulutnya yang mungil.
Tapi baru saja daging ayam itu tersentuh bibir, tidak jadi makan melainkan di taruh kembali ke
dalam mangkuk, lalu berkata sambil menghela napas, "Orang makan, apanya yang menarik,
kenapa semua memandang padaku, sungguh aneh"
Karena ucapan ini, cepat semua orang-orang berpaling lagi dengan rasa heran, sebab tidak
ada yang kenal anak muda itu. Tampaknya seorang perempuan menyamar sebagai lelaki, kenapa
juga datang ikut sayembara dan mencari jodoh"
Saat itu Hoa Put-li sudah mulai melangkah kembali ke tempat duduknya, tapi Yu Wi lantas
membentak, "Berhenti! Tidak perlu kau kembali ke sana, boleh maju sekalian bersama
Suhengmu!"
"Betul, betul!" seru Kongcu cakap tadi dengan tertawa. "Dia memang tidak perlu kembali,
suhengnya bernama Bu-ong (tidak pernah pergi), Sute bernama Put-li, kalau digabung menjadi
Bu-ong-put-li (tidak pernah tidak beruntung) Maka kalian harus maju bersama, kalau satu persatu
tanggung tidak beruntung."
Kik Bu-ong menjadi gusar, kontan ia mencaci maki, "Keparat! Siapa kau" Kalau berani, ayolah
maju sekalian!"
Dengan tertawa Kongcu cakap itu menanggapi pula, "Wah. mana boleh jadi! Bilamana aku pun
maju, maka namamu bakal berubah menjadi Kik Bu-hwe (Kik tidak pernah kembali)."
Karena olol-olok orang cukup kocak, timbul juga rasa humor Yu Wi, segera ia menimpali
"Betul, setelah ganti nama, gabungan nama mereka menjadi Bu-hwe-put-li, artinya kau menjadi
tidak pernah beruntung sama sekali?"
Kongcu cukup itu berkeplok dan berseru. "Haha, menarik, sungguh menarik!"
Mendengar lawakan mereka itu, Lim Khing kiok yang muram durja itupun menampilkan
senyuman geli, Apalagi orang lain, banyak yang bergelak tertawa.
Tentu saja Kik Bu-ong dan Hoa Put-li dari malu menjadi murka, serentak mereka menerjang
Yu Wi bersama. Yu Wi tidak berani ayal, sekali berputar, dapatlah hantaman kedua lawan dielakkan, Kedua
tangannya juga bekerja cepat, ia mainkan tiga jurus sakti andalan Kan Yok-koan dahulu.
Ketiga jurus sakti ini bernama Thian-lo-ciang, pukulan jaring langit, kekuatannya sekarang
sudah jauh lebih lihay daripada waktu ia gunakan ketiga jurus itu untuk melawan Thian-te-jinsam-
mo dahulu. Kini kekuatannya sudah tujuh bagian sempurna.
DahuIu Kan Yok-koan mengguncangkan dunia Kangouw dengan tiga jurus sakti andalannya
ini, kini kekuatan Yu Wi sudah mencapai tujuan bagian, tentu saja Kik Bu-ong dan Hoa Put-li
bukan tandingannya.
Begitu jurus serangan Yu Wi mulai dilancarkan seketika Kik Bu-ong berdua kelabakan, waktu
jurus kedua To-thian-ki long dimainkan Yu Wi, kedua orang itu sudah terkurung di tengah angin
pukulannya dan sukar lolos lagi.
Begitu dahsyat kekuatan jurus ketiga "Hay-long-pay-kong", siapa pun yang melihatnya sama
terkesima, Di tengah bayangan tangan Yu Wi membentak, "Kena!" Hanya sekejap itu saja tubuh
Kik Bu-ong dan Hoa Put-li sudah kena belasan kali pukulan.
Hiat-to yang melumpuhkan tertutuk, kontan kedua orang itu roboh terkulai, sedikit pun tidak
bergerak, seperti orang mati.
Serentak terdengar suara sorak sorai bergemuruh, semua orang seolah-olah sudah lupa bahwa
kedatangan mereka juga akan ikut bertanding, tapi semuanya ikut bergembira bagi kemenangan
Yu Wi itu, lebih-lebih si Kongcu cakap tadi, suaranya terdengar paling nyaring dan jelas.
Dengan muka kelam kedua paman guru Lim Sam-han sama meninggalkan tempat duduknya
dan mendekati Kik Bu-ong dan Hoa Put-li, mereka berjongkok di samping kedua orang yang tak
bisa berkutik itu, pelahan mereka menepuk Hiat-to yang tertutuk itu.
Sesudah Hiat-to lumpuh dilancarkan cepat Kik Bu-ong dan Hoa Put-li merangkak bangun
"Suhu, ampuni murid yang tak becus ini!"
Kiranya Kik Bu-ong adalah murid si gendut dan Hoa Put-li murid si kakek bermuka burung dan
terus menerus udut itu.
Kungfu kedua kakek ini sangat tinggi, mereka bernama Thio Put-siau dan Kho Pek-ho, pada
waktu Lim Sam-han baru tamat belajar, nama kedua susioknya sudah termashur di dunia
Kangouw, orang memberi julukan kepada mereka sebagai Ho-hap-ji-koay atau siluman dua sejoli.
Sudah lanjut usia barulah Ho-hap-ji-koay mengambil murid, mereka pun malas mengajar,
maka sia-sia saja Kik Bu-ong dan Hoa Put-li mempunyai guru yang berilmu silat kelas wahid, tidak
ada setengah kepandaian sang guru yang diturunkan kepada mereka, maka tidaklah heran jika
mereka dikalahkan Yu Wi dengan mudah.
Thio Put-siau dan Kho Pek-ho tidak menyalahkan dirinya sendiri yang tidak becus mengajar
murid, sebaliknya masing-masing lantas dipersen satu kali gamparan sambil membentak, "Lekas
enyah!" Tentu saja Kik Bu-ong dan Hoa Put-li merasa malu, tapi juga tidak berani pergi, terpaksa
mereka sembunyi di balik pintu angin di belakang sempat duduk Lim Sam-han.
Ngeri juga Yu Wi ketika melihat kedua paman guru Lim Sam-han mendelik padanya, diamdiam
ia siap siaga. Thio Put-siau yang berpotongan "cukong" dan selalu tertawa ini sekarang
benar-benar tidak tertawa lagi sesuai namanya (Put-siau artinya tidak tertawa), dalam hati dia
sedang berpikir cara bagaimana akan membalas dendam muridnya agar tidak menurunkan derajat
sendiri. Kho Pek-ho, kakek yang terus menerus udut itu juga sudah lupa menggigit ujung pipa
tembakaunya yang mengkilat itu, begitu gemas dia seakan-akan Yu Wi hendak dihajarnya sepuaspuasnya.
Tampaknya kedua kakek ini segera akan bertindak terhadap Yu Wi.
Mendadak Lim Sam-han berkata, "Kedua Su siok, hari ini adalah upacara sayembara untuk
mencari jodoh, siapa yang menang adalah calon menantu Sutit dan juga terhitung cucu murid
Susiok berdua, maka kumohon janganlah kedua Susiok mencelakai dia."
Memandangi wajah Yu Wi yang tampan, diam-diam Thio Put-siau dan Kho Pek-ho berpikir
bilamana mereka mempunyai cucu menantu secakap ini juga pantas berbangga, Segera berubah
lagi air muka kedua orang, Thio Put-siau tertawa pula dan Kho Pek-ho juga udut lagi.
Kini mereka sudah lupa kejadian memalukan dari kedua muridnya tadi, seolah-olah
menganggap orang yang mengalahkan anak murid mereka toh nanti juga akan menjadi anggota
keluarga sendiri, jadi tidak perlu dipersoalkan lagi.
Semula Lim Sam-han memang sangsi kalau-kalau Yu Wi yang menyamar sebagai Kan-kongcu,
tapi kini setelah menyaksikan Yu Wi memainkan kungfu andalan Kan Yok-koan, ia percaya penuh
anak muda itu pasti Kan Ciau-bu adanya dan tidak mungkin Yu Wi.
Memang sudah lama Lim Sam-han mengincar harta pusaka Thian-ti-hu, terutama kitab pusaka
pelajaran kungfunya, Tahun yang lalu Sam-mo diperintahkan menyerbu Thian-ti-hu, tujuannya
hanya untuk menguji kesiap siagaan lawan saja. Akibatnya Hek-po mengalami kekalahan besar,
lalu tidak berani sembarangan bertindak lagi.
Sekarang Kan-toakongcu datang sendiri untuk ikut sayembara dan mencari jodoh, hal ini cocok
dengan maksud tujuan Lim Sam-han, ia pikir suka atau tidak suka, perjodohan antara kedua
keluarga ini harus, dijadikan.
Begitulah diam-diam ia main Suipoa sendiri, ia mengira setelah anak perempuannya menjadi
isteri Kan-toakongcu, mustahil Thian-ti-hu kelak takkan jatuh di tangan sendiri.
Maka dengan tersenyum simpul ia lantas berdiri dan berseru kepada para hadirin, "Silahkan,
siapa lagi yang akan turun untuk bertanding dengan Kan-kongcu!"
Meski banyak di antara hadirin itu keturunan keluarga jago silat ternama, tapi kalau
dibandingkan Thian-ti-hu jelas selisih sangat jauh. Apalagi kelihayan Yu Wi tadi sudah disaksikan
mereka, mana ada lagi yang berani turun kalangan.
Lim Sam-han tertawa senang, berulang ia berseru pula, "Bila tidak ada, segera akan ku
umumkan Kan-kongcu keluar sebagai juara!"
Mendadak si Kongcu cakap tadi berkeplok tertawa, katanya, "Ayolah, umumkan saja Kankongcu
sebagai juara, memang tidak ada orang yang berani menandingi dia lagi...."
"Baik!" seru Lim Sam-han dengan tertawa, "Nah, setelah berlangsung pertandingan antara
para peserta, akhirnya Kan-kongcu keluar sebagai juara! Lekas bawa kemari Pi-tok-cu dan
emasnya!" Dalam sekejap saja lima lelaki kekar berseragam hitam berlari maju dengan membawa
barang2 yang disebut itu dan ditaruh di depan Lim Sam-han.
"Setiap orang tahu betapa kaya rayanya Thian ti-hu, sedikit tanda mata yang tidak berarti ini
harap Kan-kongcu sudi menerimanya," kata Lim Sam-han dengan tertawa.
"Untuk apa kuterima barang-barang itu?" jawab Yu Wi dengan wajah kelam.
Air muka Lim Sam-han rada berubah, ucap-nya, "Sudah ku umumkan kepada khalayak ramai,
barang siapa yang ikut sayembara ini dan keluar sebagai juara, maka dia akan kujodohkan dengan
puteriku dan kuajari semacam ilmu sakti serta mendapat tambahan sedikit hadiah ini, sekarang
Kan-kongcu keluar sebagai juara, dengan sendirinya semua ini adalah hak Kan-kongcu untuk


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerimanya sebagai mas kawin."
"Cayhe bukan Kan-kongcu, kedatanganku ini pun bukan untuk ikut sayembara, maka tidak
dapat kuterima," jawab Yu Wi dengan dingin.
"Kau bukan Kan-kongcu?" Lim Sam-han menegas dengan melenggong, "Habis siapa kau?"
Mendadak Yu Wi tertawa ngakak, tertawa pedih, ucapnya, "Lim Sam-han, dua tahun tidak
bertemu, masa kau sudah pangling padaku?"
"Hah, kau Yu Wi?" seru Lim Sam-han terkejut.
"BetuI, ternyata kau masih ingat," jengek Yu Wi.
Air muka Lim Sam-han pucat menghijau, teriaknya, "Bagus, bagus! Tak tersangka kau
adanya!" Tiba-tiba si Kongcu cakap tadi menimbrung, "He, kedatanganmu bukan untuk ikut sayembara,
habis untuk apa?"
Yu Wi melirik sekejap ke arah sana dan berteriak, "Kedatangan orang she Yu sekarang adalah
untuk menuntut balas kematian ayah!"
"Siau... Siau Wi.... Kau tidak . . . . tidak mau lagi menikahiku"...." mendadak Lim Khing-kiok
berseru dengan suara pilu, suara yang menyerupai ratapan ini menggetar hati Yu Wi, tanpa terasa
ia berpaling ke sana.
Maka terlihatlah wajah yang cantik dan memelas itu dengan air mata yang bercucuran.
Remuk rendam hati Yu Wi, seperti disayat-sayat perasaannya, hampir saja dia berlari ke arah
si nona, namun dendam kesumat yang amat kuat telah mencegahnya.
Melihat keadaan itu, Lim Sam-han membentak anak perempuannya, "Lekas masuk ke
belakang, jangan bikin malu orang tua di sini!"
Liro Khing-kiok adalah puteri tunggal kesayangan Lim Sam-han, sejak kecil ditinggal mati sang
ibu. Ayah kereng merangkap menjadi ibu yang kasih, selamanya belum pernah membentak anak
perempuan kesayangan itu, apalagi di depan umum.
Tidak kepalang sedih Lim Khing-kiok, dia tidak ada keberanian untuk tinggal lagi di situ, kalau
tidak, sungguh ia ingin menjatuhkan diri di dalam pelukan Yu Wi dan menangis sepuasnya, Akan
tetapi dapatkah hal ini dilakukannya sekarang" jelas sang kekasih sudah berubah pikiran, sudah
ingkar janji...
Dengan hati yang hancur luluh Lim Khing-kiok berlari pulang ke kamarnya.
Setelah mendamprat anak perempuannya, hati Lim Sam-han jadi menyesal, dengan suara
pedih ia berseru, "Orang she Yu, kematian ayahmu menyangkut urusan yang sangat rumit, meski
akupun tidak terhindar dari kesalahan, mestinya tidak perlu dibenci dan didendam olehmu hingga
sedemikian. Lagi pula, sudah belasan tahun kau tinggal di tempatku ini, apakah kau tidak ingin
balas budi?"
"Lim Sam-han," seru Yu Wi dengan menahan perasaannya, "tidak perlu kau mengoceh, pada
waktu ayahku akan meninggal 12 tahun yang lalu, sebelum mengembuskan napas yang terakhir,
beliau telah menyebut namamu, Tatkala mana aku masih kecil meski penuh rasa dendam, tapi
tidak berdaya sama sekali, Terpaksa kuganti nama dan mondok di rumah musuh. Hm, tentunya
kau pun tidak menyangka bahwa putera Ciang-kiam-hui bisa berdiam selama sepuluh tahun di
tengah bentengmu ini!"
Mendadak Kho Pek ho menarik pipa tembakaunya, lalu bertanya dengan heran, "Ciang-kiamhui
masih mempunyai keturunan?"
Thio Put-siau juga menarik muka, lenyap tertawa yang selalu menghias wajahnya, katanya,
"Ternyata benar pameo yang mengatakan babat rumput tidak sampai akarnya, datang angin
musim semi segera tumbuh kembali!"
Dengan mata merah berapi Yu Wi menuding kedua kakek yang berjuluk Ho-hap-ji-koay itu dan
bertanya, "Jadi kalian pun ambil bagian men... mencelakai ayahku?"
"Kenapa tidak?" jawab Thio Put siau, tertawanya kembali berkembang, "kalau tidak ada Hohap
ji-koay, siapa di dunia Kangouw yang mampu menandingi setan tua itu?"
Dengan menggreget Yu Wi berkata pula, "Bagus! Tak tersangka hari ini dapat kutemukan lagi
dua pengganas yang ikut membunuh ayahku, Barang siapa, asal mengambil bagian dalam
pembunuhan ayahku, aku Yu Wi bersumpah akan membunuhnya satu persatu!"
Ia menatap Ho-hap ji-koay dengan sorot mata yang penuh dendam dan benci, pelahan tenaga
dalamnya terhimpun pada kedua tangannya, ia siap melabrak musuh mati-matian.
Sebenarnya Lim Sam-han bermaksud membujuk agar anak muda itu melupakan permusuhan
dan berdamai saja, kini melihat sikapnya sedemikian dendam dan benci terhadap musuh yang
mencelakai ayahnya, tanpa terasa ia pun merasa ngeri Pikirnya, "Kalau sekarang tidak tumpas dia,
jangan-jangan kelak akan mendatangkan bencana yang tiada habisnya."
Segera ia mengisiki kedua paman gurunya:
"Susiok, jangan sekali-kali melepaskan dia, harus bunuh dia agar tidak mendatangkan bahaya
di kemudian hari."
Mendadak si Kongcu cakap tadi menyeletuk, "He, Lim-pocu, kan sudah kau akui dia sebagai
calon menantumu, bila kau bunuh dia, apakah anak perempuan nanti takkan menjadi janda?"
Dengan benci Lim Sam-han memandang sekejap Kongcu cakap itu, teriaknya, "Upacara
sayembara ini belum lagi selesai, nanti setelah orang she Lim menyelesaikan urusan pribadi ini,
tentu para hadirin dipersilakan melanjutkan pertandingan. Siapa saja yang keluar sebagai juara,
orang she Lim past tidak ingkar janji, akan kujodohkan puteriku di tambah hadiah-hadiah yang
telah ku sediakan."
Di antara hadirin itu memang sudah ada sebagian akan mohon diri, ketika mendadak timbul
persoalan baru, mereka lantas duduk menonton di situ. Kini setelah mendapat keterangan Lim
Sam-han ini, orang-orang yang tadinya sudah putus asa lantas timbul lagi harapan akan
mempersunting si cantik, belum lagi hadiah-hadiah yang menarik itu.
Tapi si Kongcu cakap lantas berkata pula dengan tertawa terkikik-kikik, "Hihihi, orang bilang
"satu kuda tidak memakai dua pelana, seorang perempuan tidak menikahi dua suami", Tadi Pocu
sendiri sudah mengumumkan bahwa orang she Yu itu keluar sebagai juara dan sudah kau terima
sebagai calon menantu, kenapa sekarang kau hendak memilih lagi calon lain, apakah Pocu
mempunyai dua anak perempuan?"
Lim Sam-han menjadi murka., bentaknya, "Siapa kau" Apa maksud tujuan kedatanganmu?"
"Aku pun datang untuk mencari jodoh!" seru Kongcu cakap itu dengan tertawa, "Cuma sayang,
konon Pocu hanya mempunyai seorang puteri kesayangan kalau..."
"Kalau mempunyai anak lelaki, tentu senang kali kau," tiba-tiba Thio Put-siau memotong
ucapan orang, "Cuma sayang Sutitku ini tidak mempunyai anak lelaki, maka percumalah
kedatanganmu ini jika kau ingin mencari laki!"
Seketika wajah Kongcu itu merah jengah, Sejak tadi kebanyakan orang memang sudah dapat
melihat dia ini samaran anak perempuan. Maka tertawalah semua orang....
Mendadak terdengar suara bentakan keras, sekuat tenaga Yu Wi menghantam Ho-hap-ji-koay.
Para hadirin rata-rata gemar ilmu silat, dengan sendirinya perhatian mereka lantas terpusat ke
tengah kalangan pertempuran.
Tentu saja hal ini kebetulan bagi Kongcu cakap itu, tadinya dia sangat malu, sekarang legalah
hatinya, ia pun prihatin terhadap keselamatan Yu Wi, segera ia pun mengikuti pertarungan mereka
dengan cermat. Biasanya Ho-hap-ji-koay memang selalu bertempur bersama menghadapi musuh, kini lawan
mereka hanya seorang anak muda, mereka merasa tidak enak untuk mengerubutnya, Maka ketika
Kho Pek-ho menutuk telapak tangan Yu Wi yang sedang menghantam itu, cepat Thio Put - siau
menyingkir ke samping.
Melihat tutukan huncwe atau pipa cangklong orang yang lihay itu, cepat Yu Wi menarik
kembali pukulannya, Tapi Kho Pek-ho lantas menyerang pula, dia bertekad akan membinasakan
anak muda ini, maka berturut-turut ia menutuk lagi tiga kali.
Cepat Yu Wi memainkan jurus pertama dari ke-30 jurus ajaib ajaran si kakek kelimis Ji Pekliong
itu, jurus pertama ini bernama "Biau-jiu- kong-kong" atau tangan ajaib kosong melompong,
dengan gerakan seperti sungguh-sungguh dan juga seperti pura-pura, ia menghantam ke depan.
Dengan jurus ajaib ini dia yakin cukup mampu merampas senjata lawan. Tapi Kho Pek-ho
ternyata bukan jago sembarangan, pipa cangklongnya segera berputar sehingga sukar diduga ke
mana arahnya. Cukup dua gebrakan saja Yu Wi menyadari sukar baginya untuk mengalahkan lawan dengan
bertangan kosong, segera ia melolos pedang kayu besi pemberian sang guru.
Kho Pek-ho yakin Yu Wi pasti bukan tandingannya. maka ia tidak terlalu mendesak, ia angkat
pipa tembakaunya dan udut lagi, lagaknya sangat meremehkan lawan.
Dengan pedang kayu segera Yu Wi menusuk, serangan ini meliputi perubahan gerakan yang
sukar diraba. Kho Pek-ho tahu bahaya, belum sempat ia menyemburkan asap tembakau yang
diisapnya, lebih dulu ia angkat pipa cangklongnya untuk menangkis.
Begitu pipa cangklong menempel pedang lawan, seketika ia merasa pedang kayu lawan
menimbulkan getaran yang keras, sebagai seorang ahli silat, dia tahu getaran itu bukan gemetar
karena kalah kuat, tapi pasti ada sesuatu yang aneh.
Cepat ia tarik kembali pipa cangklongnya, biar pun cukup cepat dia bertindak, tidak urung pipa
cangklongnya terbawa juga oleh pedang kayu Yu Wi sehingga ikut berputar.
Kho Pek ho membentak keras-keras, terdengar suara menggerit nyaring memecah udara,
betapapun pipa cangklongnya dapat dibetot keluar dari daya lengket pedang kayu Yu Wi. Tapi
lantaran terlalu bernafsu dan terlalu kuat mengeluarkan tenaga, asap tembakau yang belum
sempat dikepulkan itu jadi mengganggu jalan pernapasannya, kontan dia terbatuk-batuk sehingga
keluar air mata.
Diam-diam Yu Wi merasa sayang tenaga dalamnya belum sempurna, kalau tidak, cukup tiga
kali memutar pipa cangklong lawan, tentu pipa itu akan terlepas dari cekalan dan
mengalahkannya.
Sedikit lengah hampir saja Kho Pek-ho terjungkal mukanya menjadi merah, dari malu menjadi
murka, cepat ia keluarkan kungfu andalannya dengan ganas ia serang setiap Hiat-to maut di tubuh
Yu Wi. Namun dengan mantap Yu Wi memainkan ilmu pedang ajaran Ji Pek-liong, ia patahkan setiap
serangan musuh, pertahanannya sangat rapat, terkadang ia pun balas menyerang, Namun Kho
Pek-ho sudah mengeluarkan segenap kemahirannya, serangan Yu Wi sama sekali tidak membawa
hasil. Melihat kelihayan ilmu pedang Yu Wi, rasa jeri Lim Sam-han terhadap anak muda itu
bertambah besar, ia pikir kalau anak muda itu diberi kesempatan berlatih lagi tiga atau lima tahun,
jangankan dirinya, sekalipun kedua susioknya juga bukan tandingannya.
Mau-tak-mau ia harus bertindak, segera ia meninggalkan tempat duduknya dan menuju ke
tengah kalangan, ia memberi isyarat mata kepada Thio Put-siau.
Thio Put-siau tahu apa artinya, ia mengangguk, dengan cermat ia mengawasi gerakan Yu Wi.
Lama-lama Yu Wi mulai terdesak di bawah angin, Dia kalah ulet, belum cukup sempurna
latihannya, makin lama titik kelemahannya makin banyak.
Kho Pek-ho memainkan pipa cangklongnya seperti pentung, yang paling lihay adalah jurus
serangannya yang disebut "Ho-tok" atau patukan bangau, Kini mendadak ia memainkan serangan
lihay ini, baru saja Yu Wi menyambut tiga kali, segera keadaannya berbahaya, Sembari menyerang
berulang-ulang Kho Pek-ho tertawa mengejek.
Yu Wi menangkis lagi sekuatnya hingga lima jurus, ia benar-benar kewalahan dan tidak
sanggup menangkis lagi, ia pikir tiga musuh tangguh yang dihadapinya ini, satu saja tidak mampu
melawannya, cara bagaimana pula akan dapat menuntut balas"
Tiba-tiba Thio Put-siau berkata, "Sute, jurus seranganmu Ho-tok ini boleh dikatakan tiada
tandingannya di dunia ini!"
Tujuan kata-kata Thio Put-siau itu adalah untuk menambah semangat Kho Pek-ho dan
melemahkan daya tempur musuh.
Tak tahunya, ucapannya itu tidak melemahkan daya pertahanan Yu Wi, sebaliknya malah
mengingatkan dia pada jurus "Bu-tek-kiam" atau jurus tiada tandingannya ajaran Ji Pek-liong itu.
Mendadak Yu Wi berteriak lantang, "lnilah pedang tanpa tandingan nomor satu di dunia!"
Di tengah suaranya yang keras lantang itu, jurus Bu-tek-kiam bergemuruh memecah udara,
deru angin tajam menyambar Kho pek-ho seperti sambaran petir.
Seketika jurus "Ho-tok" Kho Pek-ho tenggelam di tengah jurus serangan Bu-tek-kiam yang
dahsyat itu, seperti bintang suram di siang hari, Terdengarlah suara jeritan ngeri, dalam keadaan
sama sekali tidak tahu bagaimana lawan dapat menyerangnya sedahsyat ini, tahu-tahu pundak
Kho Pek-ho telah dipukul oleh pedang kayu Yu Wi.
Betapa kuat sabatan pedang itu, seketika tulang pundak Kho Pek-ho remuk, pipa cangklong
jatuh ke tanah.
Thio Put-siau terkejut, cepat ia melolos sebuah Kim-suipoa (suipoa emas) yang terselip pada
ikat pinggangnya, segera ia menyerang Yu Wi, berbareng Kho Pek-ho ditariknya mundur ke
belakang. Melihat senjata lawan berbentuk Suipoa, Yu Wi tahu senjata ini tentu mempunyai jurus
serangan yang aneh, pedangnya tidak boleh sampai terkunci oleh Suipoa lawan. Maka cepat ia
tarik pedangnya, menyusul dimainkannya ilmu pedang yang lain.
Ilmu pedang ini dipelajarinya dari kitab catatan Ji Pek liong sendiri yaitu intisari kungfu andalan
Kan Yok-koan, dengan sendirinya sangat lihay, Yu Wi yakin dengan ilmu pedang baru ini tentu
lawan akan dapat diserang hingga kelabakan.
Tapi ia tidak berpikir bahwa ilmu pedang ini belum pernah dilatihnya, hanya dibacanya dari
kitab saja, jadi cuma teori saja yang dipahaminya, prakteknya sama sekali belum pernah
digunakan. Teori memang tidak boleh dipersamakan dengan praktek, maka ketika ia menyerang menurut
teori, prakteknya ternyata kurang tepat.
Betapa tajam pandangan Thio Put-siau, setitik kelemahan lawan segera dapat diketahuinya,
"trang", Suipoa emasnya bergerak, tepat menghantam ujung pedang.
Ketika Yu Wi merasa pedangnya seperti terbentur dinding baja yang kuat dan sukar
mengeluarkan tenaga lagi, cepat ia bermaksud menarik kembali pedangnya, Tak terduga ujung
pedang sudah telanjur dikunci oleh Suipoa lawan dan sukar ditarik kembali.
Dalam keadaan demikian banyak peluang pada tubuhnya, selagi ia hendak menyelamatkan diri
dengan jurus ajaib, tahu-tahu Lim Sam-han yang licik itu sudah menubruk maju.
Tadi sesudah menyaksikan Yu Wi mengalahkan Kho Pek-ho, semua orang sama mempunyai
rasa kagum terhadap keperkasaannya, mereka menganggap Yu Wi masih muda belia, tapi sudah
begini lihay, Kemudian Thio Put-siau menggantikan Sutenya yang sudah keok, semua orang
merasa penasaran, mereka menganggap Thio Put-siau tidak sportif, sudah lebih tua, main giliran
menempur seorang anak muda, sungguh memalukan.
Kini terlihat Yu Wi terancam bahaya dan Lim Sam-han menyergap dari belakang, semua orang
menjadi gusar dan sama membentak serta mencaci maki.
Betapapun Yu Wi memang kurang pengalaman tempur, ketika mendengar para penonton
sama mencaci-maki, ia belum lagi mengetahui tindakan Lim Sam-han yang keji, ketika
diketahuinya orang menyergapnya, tahu-tahu pukulan Lim Sam-han sudah telak mengenai
punggungnya. Untung Yu Wi meyakinkan ilmu sakti Thian-ih-sin-kang sehingga urat jantung tidak sampai
tergetar putus oleh serangan Lim Sam-han itu dan binasa seketika, walaupun begitu, tidak urung
darah segar tersembur juga seperti air mancur dan menyemprot ke arah Thio Put-siau.
Kakek gendut ini suka akan kebersihan, cepat ia melompat mundur dan dengan sendirinya
Suipoa juga ikut melepaskan pedang kayu Yu Wi yang terkunci tadi. Segera lengan Yu Wi terjulur
lemas ke bawah dan tidak mampu mengangkat pedang lagi.
Hantamannya yang dahsyat itu ternyata tidak membinasakan Yu Wi, keruan Lim sam-han
bertambah ngeri terhadap keperkasaan anak muda itu. Cepat ia susulkan pukulan dahsyat lagi,
dengan kejam ia hendak membunuh Yu Wi.
Seketika suara protes dan mengejek timbul di sana-sini, mendadak, terdengar si Kongcu cakap
juga berseru, "Berhenti!"
Secepat anak panah terlepas dari busurnya, Kongcu cakap itu melayang ke samping Yu Wi,
berbareng telapak tangannya terus menghantam dada Lim Sam-han.
Serangan ini memaksa musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu jika tidak mau mati konyol,
terpaksa Lim Lam-han melompat mundur, dan karena itulah pukulannya juga tidak mengenai Yu
Wi. Tanpa pikir lagi si Kongcu cakap terus memondong Yu Wi. Dalam keadaan lunglai Yu Wi
membiarkan orang memondongnya.
Pada saat itulah Suipoa emas Thio Put-siau telah mengepruk belakang kepala si Kongcu cakap,
Lim Sam-han juga tidak tinggal diam, tidak nanti ia membiarkan orang membawa lari Yu Wi,
sekuatnya ia menghantam pula.
Diserang dari muka dan belakang, apalagi dia memondong Yu Wi, dengan sendirinya si Kongcu
tak dapat menangkis,
Melihat keadaan gawat itu, semua orang ikut berkeringat dingin baginya.
Dapatkah Kongcu cakap itu menyelamatkan Yu Wi"
Siapa dia sebenarnya" Apakah betul perempuan menyamar lelaki" Ke mana Yu Wi akan dibawa
pergi" - Bacalah jilid ke-5 -
Jilid ke-5 Semua orang menyangka si Kongcu cakap pasti sukar menghindari serangan dari muka dan
belakang itu. Tak terduga, mendadak tubuhnya berputar dan sekali melejit, tahu-tahu sudah menghilang
bayangannya. Suipoa Thio Put-siau mengenai tempat kosong, bahkan hampir saja menghantam
tangan Lim Sam-han yang juga sedang memukul.
"Lari ke mana"!" bentak Thio Put-siau dengan air muka pucat.
"Siapa yang lari?" mendadak terdengar suara si Kongcu cakap mengejek di belakang.
Kejut sekali Thio Put-siau, cepat ia membalik tubuh, benarlah dilihatnya Kongcu cakap itu
berdiri di samping tempat duduk Lim Sam-han dengan memondong Yu Wi dan lagi
memandangnya dengan tertawa.
Berkeringat dingin Thio Put-siau menyaksikan ginkang luar biasa itu dapat menghilang di luar
tahunya, keruan tidak kepalang kagetnya, tanyanya dengan saudara keder, "Kau . . . kau murid
siapa?" Si Kongcu cakap tidak menggubrisnya, mendadak tangannya terjulur, Pi-tok-cu di atas meja
dicomotnya, ucapnya dengan tertawa, "lnikan hadiah tanda tunangan, biarlah kuwakilkan Yukongcu
menerimanya."
Dengan muka masam Lim Sam-han berkata, "Anak perempuanku tidak nanti dapat diperisteri
oleh bocah she Yu ini."
"Mana bisa tidak boleh?" ujar si Kongcu cakap. "Seorang gadis suci tidak nanti menikahi dua
suami, janganlah Lim-pocu membikin susah anak gadis sendiri menjadi janda hidup."
Karena kata-kata orang itu, diam-diam Lim Sam-han menjadi kuatir juga kalau anak
perempuannya menjadi nekat dan timbul pikiran untuk membunuh diri, jika terjadi demikian, cara
bagaimana dirinya akan bertanggung-jawab terhadap mendiang ibunya"
"Sesungguhnya kau murid siapa?" terdengar Thio Put-siau membentak pula.
Kongcu cakap itu menggeleng, jawabnya, "Ai, kau ini memang suka bertanya, Andaikan
kukatakan juga tiada gunanya, memangnya kau berani mencari perkara kepada beliau
(perempuan)?"
"Beliau?" tukas Thio Put-siau. "Siapa beliau" Ap.... apakah..."


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak si Kongcu cakap melayang keluar ruangan tamu, dengan cepat sebelah tangan Thio
Put-siau mencengkeram, tapi sukar memegangnya meski orang melayang lewat di sebelahnya,
kecepatannya sungguh sukar dilukiskan.
Dalam gusarnya Thio Put-siau terus menyambitkan Suipoa emasnya.
Berat Suipoa itu ada beberapa puluh kati, disambitkan pula dengan kuat, tapi baru saja Suipoa
itu menyambar kira-kira sejengkal di belakang Kongcu itu, mendadak dia melejit ke atas, kedua
kakinya tepat menginjak di atas Suipoa, berbareng itu kaki terus memancal ke belakang.
Kontan Suipoa emas itu melayang balik ke belakang dengan terlebih cepat, bahkan
menyambar ke batok kepala Thio Put-siau sendiri.
Thio Put-siau tidak berani menangkap Suipoa itu, cepat ia pegang cangklong Kho Pek-ho dan
digunakan mencungkit Suipoa itu, cangklong itu menerobos jeruji Suipoa, seperti poros kitiran,
Suipoa itu berputar cukup lama di atas cangklong dan akhirnya berhenti.
Keringat dingin membasahi dahi Thio Put-siau, dengan muka pucat ia berseru, "Apa... apa
dia?" "Ya, pasti dia," tukas Kho Pek-ho sambil menahan rasa sakit pundaknya, "Kalau bukan dia,
tidak nanti keluar murid selihai ini."
-00O00- -~oo0oo-
Yu Wi berada dalam pondongan si Kongcu cakap, karena lukanya sangat parah, untuk
membuka mata saja berat rasanya, meski tidak menyemburkan darah lagi, tapi air darah masih
merembes keluar dari ujung mulutnya.
Setelah lari keluar Hek-po, Kongcu cakap itu masih terus berlari secepatnya tanpa berhenti.
Dalam keadaan sadar-tak-sadar Yu Wi mencium bau harum badan orang perempuan, dalam hati
ia membatin, "Kiranya Kongcu cakap ini memang samaran perempuan."
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh pula, Yu Wi sudah pingsan lagi, Ketika ia siuman
dan memandang sekelilingnya, suasana ternyata sudah berubah sama sekali.
Inilah sebuah kamar yang sangat mewah, selimut bantal bersulam, kelambu tipis melambai
lemas ke bawah, warnanya sangat serasi, berada di tengah kelambu, berbaring di atas kasur yang
empuk dan selimut yang harum, rasanya, seperti berada di surga.
Yu Wi mengucek-ucek matanya dan coba mengatur pernapasan, ia merasa tidak ada luka apa
pun, seperti tidak pernah mendapatkan pukulan dahsyat Lim Sam-han itu, yang dirasakan hanya
kurang tenaga saja.
Ia membuka kelambu yang tipis itu, lalu turun dari tempat tidur, pelahan ia berjalan sekeliling,
rasanya biasa, tiada sesuatu yang mengganggu maka ia yakin lukanya sudah sembuh sama sekali.
Ia coba mengenangkan kejadian waktu itu, sesudah si Kongcu cakap menyelamatkan dia dan
membawanya kabur dari Hek-po, jangan-jangan orang telah memberi minum obat mujarab dan
telah menyembuhkan lukanya"
Mendadak terdengar suara pintu dibuka pelahan, seorang gadis jelita melangkah masuk.
Sungguh luar biasa cantik gadis ini, kulit badannya seputih salju, dipandang dari jauh laksana
sekuntum bunga lily yang mulus dan lembut, sekali pandang saja Yu Wi lantas mengenalnya
sebagai si Kongcu cakap itu.
"Ah, kau sudah dapat berjalan!" seru nona itu dengan riang.
Yu Wi menjura dalam-dalam, dengan rasa terima kasih yang tak terhingga ia berucap, "Siocia
telah menyelamatkan jiwaku dan menyembuhkan pula lukaku yang parah, budi kebaikan ini
sungguh sukar kubalas selama hidup ini."
Nona jelita itu mengelak ke samping dan balas memberi hormat, jawabnya, "Ah, janganlah
bicara sehebat itu. Membantu orang yang kepepet adalah kejadian yang jamak. Tentang obat
mujarab yang kau minum juga bukan punyaku, tapi kuperoleh dari paman Su, yaitu si tabib sakti
Su Put-ku di Ngo-tay-san kecil."
"Hah, maksudmu obat mujarab ini, pemberian si "Si-put-kiu?"" Yu Wi menegas dengan terkejut
Nadanya tidak percaya bahwa Su Put-ku mau memberi satu biji obat mujarab untuk menolong
jiwa orang lain.
Maklumlah, watak Su Put-ku yang berjuluk "Koay-jiu-ih-un" atau si tabib sakti bertangan ajaib
itu memang sangat aneh, eksentrik ilmu pengobatannya memang maha sakti, ibaratnya mampu
menghidupkan orang yang sudah mati. Akan tetapi ilmu pengobatannya yang maha sakti itu tidak
sudi digunakan menolong tokoh Bu lim manapun juga, pernah terjadi berpuluh kali ada tokoh
persilatan kelas tinggi terluka, jauh-jauh mereka diantar ke Siau-ngo-tay san.
Siapa tahu si tabib sakti justeru "Kian-si-put-kiu" atau menyaksikan orang mati juga tidak mau
menolong, Biarpun orang terluka itu memohon dengan sangat dan akhirnya mati di depan
rumahnya, tetap dia tidak perduli, memandang sekejap saja tidak mau.
Sering juga di antara sanak keluarga pasien yang datang minta pertolongan itu bermaksud
menggunakan kekerasan untuk memaksa Su Put-ku memberi pertolongan, tapi gagal juga maksud
mereka, sebab ilmu silat Su Put-ku sendiri juga sangat tinggi dan sukar mengalahkan dia.
Apa yang terjadi itu tersiar di dunia persilatan para ksatria Kangouw sama merasa penasaran
dan mencela sikap Su Put-ku yang tidak berprikemanusiaan itu, maka orang lantas memberi
poyokan yang sama lafalnya dengan nama aslinya, yaitu Su-put-kiu, artinya biarpun melihat orang
mati juga tidak mau menolong.
Dan setelah nama "Su-put-kiu" tersiar, selanjutnya orang persilatan tidak ada lagi yang berani
mengantar orang luka ke Siau-ngo-tay-san untuk minta pertolongannya.
Ketika masih tinggal di Hek-po nama "Su-put-kiu" sudah didengar oleh Yu Wi, siapa tahu
sekarang justeru obat mujarab si "Su-put-kiu" yang telah menyembuhkan lukanya, bukankah
maha ajaib"
Begitulah, maka si nona telah mengangguk dan berkata, "Ya, siapa lagi kalau bukan paman Su
si Su-put-kiu. Ketika kuminta obat padanya, seketika paman Su memberikannya padaku, Orang
lain bilang paman Su biarpun melihat orang mati di hadapannya juga tidak mau memberi
pertolongan kukira poyokan ini tidak benar seluruhnya."
"Lantas di sini ini tempat apakah?" tanya Yu Wi.
"Rumahku di kota Pakkhia (Peking)," jawab si nona dengan tertawa.
Kembali Yu Wi memberi hormat, ucapnya dengan sangat berterima kasih, "Jauh-jauh Siocia
telah mintakan obat ke Ngo-tay-san, jangankan budi pertolongan jiwa, melulu perjalanan yang
jauh dan susah payah ini sudah membuatku takkan lupa selama hidup."
Nona itu menggeleng-geleng, katanya, "Sudahlah, jangan menjura melulu, aku menjadi ikut
repot. Juga jangan panggil Siocia lagi padaku, aku tidak suka orang menyebut diriku Siocia, Ayah
memberikan nama Ko Bok-ya padaku, tapi sayang, biarpun namaku Bok-ya (jangan liar), sejak
kecil aku justeru sangat Ya (liar), selanjutnya bolehlah kau panggil aku Ya-ji saja (istilah ji adalah
sebutan pada anak kecil atau orang yang lebih muda)."
"Dan namaku..."
"Ku tahu" namaku Yu Wi, wajahmu serupa dengan Kan-kongcu, kelak harus kulihat juga Kantoakongcu
dari Thian-ti-hu itu, ingin ku tahu di manakah letak kemiripan kalian?" kata Ko Bok-ya
dengan tertawa.
"Kami memang serupa seperti saudara kembar," tutur Yu Wi dengan menyesal. "Bilamana
Kah-kongcu berdiri sejajar denganku, tentu sukar bagimu untuk membedakannya."
"Masa begitu mirip?" Ko Bok-ya menegas dengan kurang percaya.
"Jika kami tidak mirip, tentu dua tahun yang lalu jiwaku sudah melayang, tentu aku sudah
terbunuh oleh Hek-po-ji-mo di hutan sana dan tak tertolong...." ucap Yu Wi seperti terkenang
pada kejadian masa lampau.
Ko Bok-ya merasa heran, tanyanya, "Kungfumu sedemikian tinggi, masa hampir dibunuh
orang?" "Kungfuku tinggi?" Yu Wi tertawa getir, "Sedangkan beberapa musuh pembunuh ayahku saja
tak dapat kutandingi, bilamana tidak ditolong olehmu, mungkin jiwaku sudah amblas, masakah
kau-bilang kungfuku tinggi."
Ko Bok-ya menggeleng, ucapnya, "Sesungguhnya kau memang memiliki kungfu yang sukar di
jajaki, cuma sayang latihanmu belum cukup, hanya soal waktu saja, kelak jangankan Ho-hap-jikoay
dan Lim Sam-han, biarpun Bu-lim-jit-can-so yang termasyhur di dunia persilatan juga sukar
mengalahkan kau."
"Masa mungkin terjadi begitu"...." kata Yu Wi dengan ragu.
"Tentu saja mungkin," tukas Ko Bok-ya. "Tempo hari, apabila kau tetap menggunakan satu
jurus ilmu pedangmu yang kau gunakan mengalahkan Kho Pek-ho itu, kuyakin Ho-hap-ji koay dan
Lim Sam-han pasti sudah binasa di bawah pedangmu."
"Oo!" Yu Wi merasa tergugah. Tapi lantas terpikir olehnya pesan sang guru agar jurus
serangan itu jangan sembarangan digunakan, ia sendiripun ragu apakah kelak harus digunakannya
bilamana menghadapi musuh"
Melihat anak muda itu diam saja, Ko Bok-ya lantas bertanya, "Siapakah gerangan Suhumu?"
"Salah satu di antara Jit-can-so!"
"Hah" Kakek cacat yang mana?" tanya Ko Hok-ya terkejut.
"Ji Pek-liong," jawab Yu Wi tak acuh.
"Ah, kiranya dia!" seru Ro Bok-ya.
"Memangnya kenapa?" tanya Yu Wi dengan tertawa.
"Ti... tidak apa-apa, hanya ku tahu gurumu itu."
"Darimana kau tahu guruku" tanya Yu Wi dengan sangsi.
"Hal ini...."
Belum lanjut ucapan Ko Bok-ya, mendadak di kejauhan ada orang membentak, "Tayciangkun
tiba!" Maka Ko Bok-ya tidak meneruskan ucapannya tadi, katanya dengan tertawa, "Wah, ayah
datang kemari!"
"Ayahmu seorang Ciangkun (panglima, jenderal)?" tanya Yu Wi.
Dengan angkuh Ko Bok-ya menjawab, "Ayahku bukan saja seorang panglima, bahkan
panglima besar angkatan perang!"
"Ahhh!" Yu Wi bersuara kaget.
Menurut tata-negara feodal jaman dahulu, kedudukan panglima besar angkatan perang boleh
dibilang teramat tinggi Di bawah Raja, untuk jabatan sipil, kedudukan yang paling tinggi adalah
Cay siang atau Perdana Menteri, dan untuk militer adalah Peng-ma-tayciangkun atau panglima
besar angkatan perang.
Keluarga Thian-ti-hu turun temurun tiga angkatan selalu menjabat perdana menteri,
kekuasaannya memang tiada bandingannya, Tapi bicara tentang Peng-ma-tayciangkun, sekalipun
jamannya Kan Jun-ki masih hidup, pihak Thian-ti-hu juga tidak berani menekan pihak panglima
angkatan perang tersebut.
Sungguh Yu Wi tidak menyangka dirinya bisa berada di tempat kediaman seorang panglima
besar angkatan perang, Malahan nona jelita yang menyelamatkan jiwanya sendiri adalah puteri
sang Panglima. Begitulah Yu Wi lantas dibawa Ko Bok-ya menemui orang tuanya.
Terlihat sang Panglima Besar duduk di tengah ruangan dengan gagah berwibawa, di
sebelahnya berduduk pula ibu Ko Bok-ya dan di kanan-kiri mereka berdiri para pengawal yang
perkasa. Dengan lembut Ko Bok-ya menyembah kepada ayahnya, ucapnya, "Yah, terimalah sembah
hormat anak Ya."
"Ya-ji," suara sang Tayciangkun atau panglima Besar ternyata besar dan lantang, "khabarnya
kau bawa pulang seorang Bu-lim yang kau tolong dalam keadaan terluka parah, aku jadi kuatir
kalau terjadi keonaran lagi, maka sengaja kujenguk kau."
"Ayah, kalau Ya-ji tidak membuat onar, apakah ayah lantas tidak mau menjenguk anak?" kata
Bok-ya dengan manja.
"Siapa bilang begitu?" omel sang Tayciangkun dengan tersenyum penuh kasih sayang.
"Habis, mengapa ayah berdiam lebih sebulan di tempat mak tua dan tidak pulang kemari?"
kata Bok-ya dengan mulut menjengkit.
"Ya-ji," cepat ibu Bok-ya menyela, "sungguh tidak tahu aturan, masa kau mengomeli ayah?"
Bok-ya lantas mendekati nyonya setengah baya dan berwajah bundar laksana bulan purnama
itu, ucapnya dengan aleman, "Hati ibu terlalu baik dan tidak mau mengurus ayah, Memangnya
tempat kita ini kurang baik dibandingkan tempat mak tua (maksudnya isteri pertama ayahnya)
sana." Sang Tayciangkun tertawa, katanya, "Ya-ji nampaknya benar2 kau hendak mengurusi ayahmu,
ingatkah kau arti nama Bok-ya yang kuberikan padamu ini."
Dengan aleman Bok-ya berkata, "Ayah bilang watakku nakal dan liar, maka diberi nama Bok-ya
agar selamanya kuingat jangan berbuat liar di luaran.."
Tayciangkun mengangguk, ucapnya, "Mendingan kau masih ingat, tapi ayah juga mempunyai
maksud lain, yaitu supaya kau tahu aturan sebagaimana anak perempuan umumnya, jangan
serupa anak lelaki dan..."
"Dan anak Ya justeru serupa anak lelaki dan tidak tahu aturan dan ikut mengurusi kebebasan
ayah sehingga ayah pun tidak suka lagi kepada anak Ya..."
Jelas sang Tayciangkun sangat memanjakan anak perempuannya ini, dia menggeleng sambil
berucap, "Ai, coba, belum lagi memarahi kau, tapi kau keburu marah dulu kepada ayah, jangan
marah! Soalnya banyak pekerjaan sehingga ayah tidak sempat pulang kemaril!"
"Kenapa tidak ayah katakan sejak tadi sehingga anak Ya sembarangan omong tanpa alasan!"
ucap Bok-ya dengan tertawa.
"Ai, anak ini sungguh..." sang Tay-ciangkun berpaling kepada isterinya dan menghela napas
gegetun. Wanita setengah baya itu tersenyum, ucapnya, "Koanjin (sebutan hormat kepada sang suami)
terlalu memanjakan dia sejak kecil, terlambatlah jika sekarang baru hendak kau didik dia."
Ko Bok-ya lantas mendekati sang ayah, ucapnya dengan tersenyum simpul, "Ayah, orang yang
kutolong itu sedang menunggu untuk memberi hormat padamu."
"Ai, kau ini memang tidak tahu aturan, masa orang disuruh berdiri saja di sana, dia baru
sembuh, mana boleh berdiri lama?" kata Tayciangkun dengan tertawa, nadanya menyalahkan Ko
Bok-ya. "Sakit apa, dia sudah sehat" ujar Bok-ya, dengan lemah gemulai ia lantas mendekati Yu Wi.
Karena Yu Wi sedang berdiri dengan termangu menyaksikan cengkerama antara Bok-ya
dengan ayah bundanya, dalam hatinya merasa berduka, teringat olehnya ayah bunda sendiri yang
telah tiada, dirinya hidup sebatang kara, tanpa terasa air matanya berlinang-linang.
Tiba-tiba terdengar Bok-ya lagi menegurnya: "kau berduka apa?"
Cepat Yu Wi mengusap air matanya dan menjawab dengan gelagapan, "O, ti... tidak apaapa..."
Padahal dengan jelas Ko Bok-ya melihat Yu Wi lagi menangis, tapi ia pun tidak enak untuk
bertanya lagi lebih lanjut. Sudah tentu ia tidak tahu apa yang menyebabkan Yu Wi menjadi
berduka, Maka dengan tertawa ia berkata, "Sifat ayah sangat ramah, jangan takut bila menemui
beliau." Yu Wi lantas ikut maju ke sana, wajah sang Tayciangkun dapat dilihatnya dengan jelas,
memang betul ramah tamah dan simpatik, tapi terpancar semacam hawa yang penuh wibawa dan
membuat orang akan merasa tidak tenteram bila berhadapan dengan dia.
Namun Yu Wi juga bukan orang biasa, dengan tenang ia menjura, "Wanpwe Yu Wi memberi
hormat kepada Tayciangkun dan Hujin."
Terkesiap sang Tayciangkun. "Kau she Yu?" tanyanya. . .
Dengan hormat Yu Wi menjawab, "Betul, mendiang ayahku Yu Pun-hu. Apakah nama Yang
Mulia ialah Siu?"
"Ayahmu yang memberitahukan padamu?" tanya pula sang Tayciangkun yang bernama Ko Siu
ini dengan simpatik.
Yu Wi mengangguk, jawabnya, "Betul, waktu masih kecil sering Wanpwe mendengar ayah
menyebut nama Tayciangkun dan selama ini belum pernah lupa."
"Bilakah ayahmu meninggal dunia?" tanya Ko Siu dengan menyesal.
"12 tahun yang lalu, ayah dibunuh orang!" tutur Yu Wi dengan sedih.
"Dibunuh orang?" Ko Siu menegas dengan terkejut Segera wajahnya penuh rasa duka cita,
sampai agak lama barulah ia berkata pula sambil menggeleng, "Belasan tahun ayahmu ikut
berjuang padaku, hubungan kami sangat baik seperti saudara sekandung, lima belas tahun yang
lalu mendadak ia mohon diri padaku, Kuingat, waktu itu kau baru berumur empat, aku tidak tahu
apa sebabnya ayahmu sengaja meninggalkan aku. Kalau kupikir sekarang, jangan-jangan karena
dia mengetahui ada orang hendak membikin susah padanya, dia tidak ingin aku ikut tersangkut,
maka sengaja mengundurkan diri dari sini."
"Waktu itu apakah ayah mempunyai musuh?" tanya Yu Wi.
"Bicara tentang musuh ayahmu, sungguh sukar dihitung jumlahnya...." tutur Ko Siu sambil
menghela napas.
"Dan di antara musuh-musuhnya itu tentu ada beberapa orang yang lihay, bukan?" tukas Ko
Bok-ya. Ko Siu berpaling kepada sang isteri dan bertanya, "Apakah Hujin masih ingat ketika kutanyai
sahabat-baikku Yu Bun-hu dahulu?"
Nyonya setengah baya itu menghela napas pelahan, jawabnya, "Mana dapat kulupakan si
"Ciang-kiam-hui" itu" Masih kuingat waktu Koanjin membawanya ke rumah untuk pertama kalinya
dahulu dia selalu menguatirkan keamanan Koanjin dan tidak berani meninggalkan Koanjin, Tapi
Koanjin bilang sudah didampingi olehku dan menyuruh dia tidak perlu kuatir, Dia tidak percaya
kemampuanku dapat melindungi Koanjin, maka ingin menguji kekuatanku, terpaksa kupenuhi
kehendaknya dan bertanding dengan dia sampai seratus jurus tanpa kalah, dengan begitu barulah
ia merasa lega dan mau meninggalkan Koanjin."
Yu Wi tidak menyangka bahwa wanita setengah baya ini sanggup bertanding sama kuatnya
dengan mendiang ayahnya, padahal nyonya ini kelihatan lemah lembut dan welas-asih, sedikitpun
tiada tanda belajar ilmu silat, mana bisa menguasai kungfu setinggi itu" Karena pikiran ini, tanpa
terasa air mukanya memperlihatkan rasa tidak percaya, Ko Bdk-ya memang gadis cerdik, sekilas
pandang saja ia dapat meraba jalan pikiran Yu Wi, dengan tertawa ia lantas berkata, "Hm silat ibu
berasal dari Go-bi-pay, waktu mudanya beliau juga sudah menggetarkan Kangouw dan dikenal
sebagai "Giok-ciang-siancu" (si dewi bertangan kemala), baik jago dari Pek-to (kalangan putih)
maupun dari Hek-to (golongan hitam) kebanyakan sama jeri padanya,"
Sang ibu yang berjuluk Giok-ciang-siancu lantas mengomel, "Hus, jangan membual bagiku,
kau tahu ayah Yu-kongcu sengaja mengalah padaku, kalau tidak, mungkin 50 jurus saja tak dapat
kutandingi dia."
" Justeru lantaran membela karir dari keamananku itulah, maka Yu-hianteku itu telah banyak
bermusuhan dengan tokoh Kangouw," tutur Ko Siu. "Jika dihitung, mungkin enam atau tujuh di
antara sepuluh orang pernah bermusuhan dengan dia."
"Sebab apa orang Bu-lim merecoki Ciangkun?" tanya Yu Wi.
"Mwski aku dan ayahmu tidak pernah mengangkat saudara, tapi hubungan kami
sesungguhnya melebihi saudara sekandung," tutur Ko Siu pula sambil mengenang sahabatlamanya
itu. "Dia lebih muda tujuh tahun daripadaku, maka bolehlah kau panggil Pekhu (paman)
padaku. Terlalu asing rasanya bila kau sebut Ciangkun padaku."
"Baik, Pekhu," Cepat Yu Wi memanggil dengan hormat.
Ko Bok-ya berkeplok tertawa, serunya, "Bagus sekali! sekarang aku mempunyai seorang adik!"
"Ya-ji," kata Giok-ciang-siancu, "Yu-hiantit lebih tua satu tahun daripadamu, harus kau panggil
dia Toako."
"Baiklah," seru Ko Bok-ya dengan tertawa, Lalu ia memberi hormat kepada Yu Wi sambil
berkata, "Toako, terimalah hormatku ini."


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, ma... mana kuberani..."Yu Wi men jadi kelabakan.
Ko Bok-ya berkata pula seperti kurang senang, "Apakah Toako tidak sudi mempunyai adik
perempuan seperti diriku ini?"
"O, tidak, bukan begitu!" seru Yu Wi cepat, "Mana bisa Toako tidak sudi mengakui kau sebagai
adik perempuan...."
"Jika begitu, jangan lagi kau bicara padaku seperti orang luar," tukas Ko Bok-ya dengan
tertawa. "Ya, kalau antara kita adalah anggota sekeluarga, Hiantit juga tidak perlu sungkan lagi,
silahkan duduk untuk bicara," ujar Ko Siu.
Sesudah Yu Wi mengambil tempat duduk, lalu Ko Siu menyambung, "Selama belasan tahun ini
negara aman dan rakyat sejahtera, tahukah Hiantit semua ini atas jasa siapa?"
"Dengan sendirinya jasa kedua tiang kerajaan sekarang, keluarga Kan dari Thian -ti-hu dan
Pekhu adanya," jawab Yu Wi.
"Bicara rakyat dapat hidup sejahtera, aman sentosa, tidak ada gangguan keamanan,
semuanya itu adalah jasa keluarga Kan tiga angkatan turun temurun," tutur Ko Siu. "Dan tahukah
Hiantit akan sejarah keluarga Kan?"
Yu Wi mengangguk, jawabnya, "Tiga angkatan berturut-turut keluarga Kan menjabat perdana
menteri, angkatan pertama Kan Yok-koan, angkatan kedua Kan Yan-cin dan angkatan ketiga Kan
Jun-ki, keturunannya sekarang ialah Kan Ciau-bu dan belum menikah, Titji cukup jelas mengenai
mereka." "Oo," Ko Siau bersuara heran, tak diduganya anak muda itu dapat mengetahui sejelas ini, tapi
ia pun tidak bertanya lebih jauh, tuturnya pula, "Sebelum menjabat Perdana Menteri Kan Yok-koan
sudah terkenal serba pandai, baik ilmu sastra maupun ilmu militer, dan sesudah menjadi perdana
menteri, sering dia melakukan inspeksi ke segenap pelosok negeri dan bergaul luas dengan orang
dunia persilatan. Hendaklah diketahui, timbulnya kekacauan atau gangguan keamanan seringkali
berasal dari orang persilatan, jadi tenang atau kacau nya dunia persilatan sangat besar
pengaruhnya dengan keamanan negara, Kan Yok-koan cukup maklum akan hal ini, maka dia
mengambil kebijaksanaan untuk menyerap orang persilatan sebanyak-banyaknya ke dalam
pemerintahan."
"Selama hidup Kan Yok-koan terus berkecimpung di dunia Kangouw, kaum Lok-lim yang
tadinya banyak mengganggu rakyat itu seterusnya lantas bersih, Dunia Kangouw yang semula
sering terjadi pertengkaran dan bunuh membunuh juga dapat ditenangkan Menyusul dengan
amannya negara, hidup rakyat pun sejahtera."
"Kemudian Kan Yan-cian dan Kan Jun-ki juga dapat melanjutkan rencana kerja orang tua,
selama berpuluh tahun negara makmur dan rakyat subur, semua ini adalah jasa keluarga Kan tiga
angkatan turun temurun."
"Dan bagaimana dengan jasa ayah?" tanya Ko Bok-ya.
Dengan gagah perkasa Ko Siu menjawab, "Jasa keluarga Kan terletak pada keamanan dan
kemakmuran dalam negeri, mengenai ketahanan negara dan kekuatan menghadapi musuh dari
luar, memang adalah jasa ayahmu ini."
Diam-diam Yu Wi berpikir, pantas keluarga panglima Besar Ko ini sangat dihormati tidak di
bawah keluarga Kan, ternyata di dalam hal ini memang ada alasannya. Kalau tidak ada Peng-ma
tayciangkun, biarpun keluarga Kan mempunyai kemahiran mengamankan negeri dan
menyejahterakan rakyat, tapi kalau tidak dapat menahan serangan musuh dari luar, akibatnya
negara akan terjajah dan rakyat sengsara. jadi kalau dibicarakan, kedua keluarga ini memang
sama-sama merupakan tiang penyanggah negara yang tidak boleh berkurang salah satu di
antaranya. Ko Siu berhenti sejenak, kemudian berkata pula, "Tapi berhasilnya kutegakkan pahala besar
ini, semuanya juga berkat tenaga bantuan Yu-hian- teku itu."
Ia berhenti sejenak, kelihatan ia bersedih, lalu berkata pula, "Sayang, pada saat namaku lagi
membubung tinggi, mendadak Yu-hiante meninggalkan diriku. sekarang dia sudah almarhum pula,
sungguh hatiku sangat berduka dan. merasa Thian kurang adil."
Karena terharu, Yu Wi juga mengucurkan air mata, Ko Bok-ya juga tidak dapat tertawa lagi
dan ikut sedih. Giok-ciang-siancu sendiri sudah sejak tadi mengalirkan air mata.
"Di antara musuh ayah, apakah Pekhu masih ingat siapa-siapa saja?" tanya Yu Wi dengan
tersendat. "Setiap orang yang mengalami perjuanganku adalah musuh mendiang ayahmu," jawab Ko Siu
dengan tegas. "Kau tahu, karena bangsa asing tidak mampu menjajah negeri kita, dengan segala
tipu daya mereka berusaha membeli kaum pengkhianat dari kalangan persilatan, tentu pula di
dunia Kangouw tidak kurang sampah persilatan yang mau bekerja bagi bangsa asing, mereka
mengadakan intrik keji untuk membunuh diriku, Tidak sedikit juga tokoh persilatan yang rela
bersekongkol dengan pihak musuh, nama mereka telah kucatat satu persatu dalam satu daftar,
akan kuberikan daftar ini padamu supaya kau tahu seluruhnya."
Yu Wi sangat berterima kasih, ucapnya, "Dengan memegang daftar nama itu, tidak sulit bagiku
untuk menemukan musuh itu satu persatu..."
"Ayahmu berbakti kepada negara dengan setia, selama itu bersatu-hati denganku, siapa saja
yang berusaha mencelakai diriku selalu dikalahkan oleh ayahmu sehingga aku tidak terganggu
seujung rambut pun. Akhirnya musuh ayahmu makin lama makin banyak, mungkin dia kuatir aku
terembet, maka dia mengusulkan pengangkatan beberapa jago Bu-lim lain untuk menjadi
pengawalku, lalu dia mohon diri dan tinggal pergi. Sekarang dia ternyata sudah meninggal
terbunuh, kuyakin yang berbuat pasti musuh yang timbul akibat dia membela diriku dahulu."
Segera ia memberi perintah kepada pengawal yang berdiri di belakangnya, sebentar saja
pengawal itu sudah kembali dengan membawa satu buku tipis. Setelah Yu Wi menerima buku
tersebut, terlihat sampul buku tertulis: "Daftar Nama Pembunuh."
Ia coba membalik halaman buku, ternyata daftar nama itu sangat lengkap dengan datadatanya,
baik hari, bulan, tahun dan usaha membunuh Ko Siu pada waktu itu, semuanya tercatat
dengan jelas."
Yu Wi menyimpan buku itu di dalam baju, diam-diam ia bersumpah akan mencari setiap
pembunuh yang tercatat dalam daftar Ko Siu itu, akan diselidikinya apakah tiap-tiap orang itu ikut
berkomplot membunuh ayahnya atau tidak.
"Hiantit (keponakan yang baik)," kata Ko Siu dengan kasih sayang, "cara bagaimanakah kau
terluka dan dapat dibawa pulang oleh Ya-ji?"
Yu Wi menceritakan pengalamannya secara terperinci, bicara sampai pada waktu dia terluka,
lalu Ko Bok-ya menyambung, "Ya-ji membawa pulang Toako, sepanjang jalan Toako dalam
keadaan tak sadar, buru-buru kucari ibu agar memeriksanya, Setelah ibu memeriksanya, kata ibu
luka Toako sangat parah, jika tidak diberi minum obat mujarab mungkin sukar untuk
menyembuhkannya, paling lama setengah bulan lagi Toako akan kering dan meninggal."
"Anak menjadi cemas, teringat olehku paman Su di Siau-ngo-tay-san, cepat ku pergi ke sana
siang dan malam, untunglah paman Su telah menghadiahkan satu biji Kiu-coan-hoan-hun-tan
yang mujarab, setelah diminum Toako, air mukanya lantas merah, tadi sesudah siuman Toako
lantas dapat berjalan seperti biasa."
"Thian Maha Pengasih sehingga Yu-hiante tidak sampai kehilangan keturunan," ucap Ko Siu
sambil menghela napas lega.
Giok-ciang-siancu juga berkata, "Hari itu, kulihat Ya-ji pulang dengan membawa Kiu-coanhoan-
hun-tan, maka yakinlah aku Yu-hiantit dapat tertolong, kupesan Ya-ji merawatnya dengan
baik, berbareng itu juga kukirim kabar kepada Koanjin."
Setelah tahu cara bagaimana dirinya tertolong, tanpa terasa Yu Wi memandang ke arah Ko
Bok ya dengan penuh rasa terima kasih yang tak terkatakan, sungguh ia tidak tahu cara
bagaimana halus membalasnya kelak.
Ko Bok-ya merasa kikuk oleh pandangan Yu Wi yang melekat itu, tanpa terasa mukanya
bersemu merah, rasa malu anak gadis yang masih suci bersih.
Ko Siu dan isterinya dapat melihat sikap anak gadisnya itu, mereka pikir tidaklah mudah
hendak membuat Ya-ji bermuka merah, bila teringat sebab musababnya, mereka pun mengulum
senyum tanpa komentar..
Melihat Ko Siu dan isterinya tersenyum penuh arti, terkesiap hati Yu Wi, ia tidak berani lagi
memandang Bok ya, cepat ia membetulkan tempat duduknya, lalu bertanya, "Apakah Pekhu kenal
Hek-po-pocu Lim Sam-han?"
"Tidak kenal," jawab Ko Siu sambil menggeleng, "Di dalam daftar nama pembunuh juga tidak
terdapat nama orang ini. Entah sebab apa iapun mengambil bagian ikut andil mencelakai Yuhiante."
"Meski di dalam daftar tidak terdapat namanya, tapi dia ikut andil membikin celaka ayahku,
sebelum menghembuskan napas terakhir ayah telah menyebut namanya, kukira tidak keliru lagi,"
kata Yu Wi sambil menghela napas.
Dengan kereng Ko Siu berkata, "Sakit hati harus dibalas, tapi hendaknya Hiantit juga selalu
ingat, jangan salah membunuh orang baik, kalau tidak, di alam baka tentu ayahmu pun takkan
merasa tenteram."
"Tit-ji akan ingat baik-baik petuah Pekhu ini dan takkan membunuh orang yang tak "berdosa,"
janji Yu Wi dengan khidmat.
"Bagus, inilah pernyataan seorang lelaki sejati!" puji Ko Siu dengan tertawa.
"Selanjutnya boleh Hiantit tetirah dulu di sini, jangan memikirkan soal sakit hati ayahmu, nanti
kalau kesehatanmu sudah pulih kembali barulah kita rundingkan lagi," ujar Giok-ciang siancu.
"Kiu-coan-hoan-hun-tan adalah obat mujarab yang tiada bandingannya, kini kesehatan Tit-ji
sudah pulih seluruhnya, sekarang juga ingin kumohon diri, mohon Pekhu dan Pekbo (bibi) sudi
memberi maaf," kata Yu Wi.
"Apa katamu?" seru Ko Bok-ya terkejut "Sekarang juga Toako akan pergi?"
"Ya, tapi aku pasti akan sering-sering datang kemari untuk menjenguk paman dan bibi," jawab
Yu Wi sambil menunduk.
Mendadak Ko Bok-ya berlari masuk ke dalam.
Ko Siu menggeleng, katanya, "Sifat anak ini sungguh aneh."
Giok-ciang-siancu diam saja tanpa memberi komentar.
Setelah memandang Yu Wi sekejap, lalu Ko Siu berkata pula, "Badanmu sudah sehat
seluruhnya, sudah tentu masih banyak tugas yang harus kau laksanakan, maka akupun tidak ingin
menahanmu lagi, hendaklah ingat, saja sering-sering kemari dan memberi kabar pengalamanmu
selama mencari musuhmu nanti."
Yu Wi merasa sedih karena mendadak Ko Bok-ya berlari pergi, Diam-diam ia berdoa semoga
dapat melihatnya sekali lagi, maka dia tetap berduduk di tempatnya dan menjawab, "Ya,
kepergian Titji ini adalah untuk menggembleng apa yang telah kupelajari ini agar dapat menuntut
balas bagi ayah, berbareng itu sepanjang jalan akan kuselidiki musuh sesuai apa yang tercatat di
dalam buku daf tar pembunuh ini."
Ko Siu mengeluarkan pula sebuah medali emas dan diserahkan kepada Yu Wi, pesannya,
"Medali ini mewakili diriku, ke mana pun kau pergi, bila ingin mendapat sesuatu bantuan dari
pejabat setempat, boleh kau perlihatkan medali ini dan tentu akan mendapat bantuan
sepenuhnya."
Yu Wi melihat medali itu bertuliskan satu huruf "Leng" atau perintah, pada sisi lain tertulis
tanda panglima Besar Angkatan Perang. ia simpan baik-baik medali itu. Dalam pada itu Ko Bok-ya
masih belum nampak muncul kembali, ia menjadi gelisah, juga tidak enak untuk berduduk pula,
terpaksa ia berbangkit dan memberi hormat, katanya, "Tit-ji mohon diri sekarang juga,"
Ko Siu berdiri hendak mengantarnya, tapi Yu Wi menolak, lalu sendirian berjalan keluar
dengan langkah lebar.
Setiba di undak-undakan batu di depan istana, tanpa terasa langkahnya diperlambat ia
bermaksud menoleh untuk melihat apakah Ko Bok-ya menyusul keluar atau tidak. Tapi mengingat
sang paman dan bibi mungkin juga berada di belakang, rasanya tidak enak untuk berpaling.
Selagi ragu, mendadak didengarnya Ko Bok-va berseru, "Tunggu sebentar Toako!"
Yu Wi sangat girang, cepat ia berhenti dan menoleh.
Dilihatnya Ko Bok-ya sedang berlari menyusul kemari, dengan rasa berat ia berkata, "Apakah
Toako benar-benar akan berangkat begini saja?"
Sedapatnya Yu Wi menahan gejolak perasaannya ia mengangguk pelahan,
Bok ya lantas mengangsurkan sesuatu benda dan berkata, "Barang ini boleh kau bawa saja."
?"Untuk apa?" tanya Yu wi setelah menerima barang itu dan dilihatnya adalah satu biji
mutiara, yaitu Pi-tok-cu.
"lni kan mutiara tanda pertunangan Toako, masakah sudah lupa?" ujar Bok-ya sambil
tersenyum getir.
Yu Wi lantas mengembalikan mutiara itu ke tangan Bok ya, katanya dengan serius, "Dia adalah
puteri musuh, tidak nanti menikah denganku."
"Masa Toako tidak menghendaki lagi barang ini?" tanya Ko Bok-ya dengan tertawa.
"Boleh kau kembalikan ke Hek-po sana," kata Yu Wi.
"Masa Toako dapat melupakan Lim Khing-kiok?" tanya Bok-ya dengan ragu.
Menyinggung Lim Khing-kiok, Yu Wi lantas terkenang kepada masa lalu ketika masih kanakkanak
dahulu, hubungannya dengan Lim Khing-kiok sungguh sangat mesra dan sukar dilupakan
Betapa-pun Yu Wi tidak biasa berbohong, maka ia menjadi sukar menjawab pertanyaan Bok-ya
tadi. Melihat sikap Yu Wi itu, Pok-ya menghela napas, katanya, "Lebih baik Toako simpan saja Pitoa-
cu ini." "Sebab apa?" tanya Yu Wi.
"Kapan-kapan kalau Toako sudah dapat melupakan Lim Khing-kiok barulah kau serahkan
kembali mutiara ini kepadaku dan akan kuwakilkan mengembalikannya ke Hek-po, tapi kalau
Toako tetap tak dapat melupakan nona Lim, hendaknya mutiara ini tetap kau simpan," kata Bokya.
"Jika tidak kuterima?" ujar Yu Wi.
"Jika tidak kau terima berarti selamanya kau akan melupakan Lim Khing-kiok," kata Bok-va
dengan tegas. Yu Wi pikir tidaklah pantas menipu orang dan dirinya sendiri, betapapun dirinya memang tak
dapat melupakan Lim Khing-kiok, terpaksa ia terima mutiara itu untuk menunjukkan perasaannya.
Ketika dia menerima mutiara itu, dilihatnya air muka Ko Bok-ya berubah pedih. sedapatnya Yu
Wi menahan perasaannya dan berkata, "Ya-ji, selamat tinggal!"
"Jangan kau panggil lagi Ya-ji padaku!" seru Bok-ya mendadak dengan gusar.
Yu Wi diam saja, segera ia membalik tubuh hendak melangkah pergi. pada saat itulah tiba-tiba
dari luar beramai-ramai masuk satu rombongan orang.
"Apakah Sam-yap Siangjin ingin menemui ayah?" terdengar Bok-ya menegur.
Yang berjalan paling depan adalah seorang lelaki setengah baya berjubah kaum Tosu, alis
tebal dan mata besar, pedang tersandang di punggung, kelihatan gagah perkasa dan jelas
kelihatan seorang pertapa yang beribadat.
Di belakang Tosu ini mengikut tujuh orang lelaki kekar berdandan sebagai Wisu (pengawal),
semuanya kelihatan tangkas.
Yu Wi melihat sorot mata Tocu yang disebut Sam-yap Siangjin itu buram seperti orang
linglung, ia menjadi heran mengapa orang yang hebat ini bisa bermata sayu begini"
Terdengar Sam-yap Siangjin menjawab dengan suara kaku, "Ada urusan penting ingin ku
hadap Tayciangkun."
Sembari bicara, tanpa berhenti ia membawa ke tujuh Wisu tadi lewat ke sana, karena
terhalang jalannya, terpaksa Yu Wu merandek dan menyisih ke samping.
Sam-yap Siangjin ini adalah jago pengawal bayaran yang khusus diundang oleh Ko Siu,
kedudukannya sangat tinggi, setiap saat boleh masuk keluar istana dengan bebas untuk
menghadap Tay ciangkun.
Tapi Ko Bok-ya lantas menghadang di depan Sam-yap Siangjin, ucapnya dengan tertawa,
"Untuk menghadap ayah, kan tidak perlu Siangjin membawa Wisu?"
Sam-yap Siangjin seperti tidak mendengar teguran itu, ia masih terus berjalan ke depan, Bokya
menjadi tidak enak untuk merintanginya, terpaksa ia mengegos ke samping. Mendadak
dilihatnya ke tujuh Wisu itu sama sekali tidak dikenalnya, cepat ia membentak, "Kalian berhenti
semua!" Seketika berubah air muka ke tujuh Wisu itu, tapi mereka tetap tidak berhenti.
Dengan sendirinya Ko Bok-ya menjadi curiga ia melompat ke depan ke tujuh Wisu itu sambil
merentangkan kedua tangannya, hanya Sam yap Siangjin saja yang dibiarkan lewat.
Sam-yap Siangjin seperti tidak tahu apa yang terjadi di belakangnya, ia masih terus melangkah
ke depan. "Sam-yap Siangjin!" teriak salah seorang yang paling tua di antara ke tujuh Wisu itu, "Suruh
bocah ini menyingkir!"
Baru sekarang Sam-yap Siangjin berpaling, seperti orang bingung ia berkata, "Biarkan mereka
masuk kemari."
Tapi Ko Bok-ya cukup cerdik, ia menegas, "Apakah kalian ini pengawal Tayciangkun?"
Ke tujuh Wisu itu sama mengangguk, maka Bok-ya lantas tanya pula, "Dan tahukah kalian
siapa diriku?"
Ke tujuh orang itu melengak, yang paling tua tadi cepat menjawab dengan agak gelagapan
"Tentunya Siocia!"
"Ha, sudah tentu Siocia, mengapa kalian tidak berani memastikannya?" jengek Ko Bok-ya.
Melihat si nona sudah curiga, ke tujuh orang itu menjadi kuatir, seorang lagi yang bermata
agak menegak lantas meraung, "Menyingkir!"
Ia mengira lawan hanya seorang anak perempuan dan mudah ditundukkan, segera sebelah
tangannya mendorong ke depan.
Tapi mendadak tangan Ko Bok-ya balas memotong ke pergelangan tangan orang secepat kilat.
Seorang lagi yang berperawakan sama dengan lelaki yang menyerang itu agaknya lebih cerdik,
begitu melihat gerak serangan Ko Bok-ya itu, segera ia menyadari ketemu lawan keras, Cepat ia
pun menabok dengan telapak tangannya sambil berseru.. "Silakan menyingkir Siocia!"
Serangannya sangat cepat, terpaksa Bok ya menyerang sambil menangkis, walaupun begitu
tabasan tangannya tetap mengenai pergelangan tangan Wisu bermuka bengis tadi dengan tepat,
sedangkan telapak tangan yang lain sempat menangkis serangan musuh yang lain.
Wisu bermuka bengis itu mati kutu seketika, sama sekali tak bisa berkutik karena tertabas,
bahkan terus terpegang oleh si nona.
Orang yang menyerang itu pun tidak menyangka seorang anak dara memiliki tenaga dalam
sekuat ini, dia tergetar terpental dan hampir saja jatuh tersungkur.
Perubahan kejadian ini timbul mendadak, kelima Wisu yang lain tidak sempat menghiraukan
kedua kawannya yang kecundang itu, berbareng mereka berlari ke arah Ko Siu sana.
Saat itu Yu Wi belum lagi keluar pintu, segera ia tahu gelagat jelek, ia yakin ketujuh Wisu itu
pasti pembunuh gelap, selagi ia hendak menerjang ke sana untuk membantu, mendadak dari
belakang ruangan tamu berlari keluar tiga orang jago pengawal dan bergabung dengan Wisu yang
sudah berjaga di belakang Ko Siu tadi, seluruhnya ada tujuh orang, mereka mengelilingi Ko Siu
dan isterinya di tengah.
Nyonya Ko, Giok-ciang-siancu, yang semula kelihatan lemah lembut itu kini telah berubah
menjadi gagah perkasa, dia berdiri sejajar dengan Ko Siu dan mengawasi gerak-gerik musuh.
Dalam pada itu Bok-ya sudah menutuk roboh Wisu yang bermuka buas tadi, seorang lagi
sempat dikebut oleh lengan bajunya dan mengenai "Nui-moa-hiatnya serta roboh terjungkal.
Hanya sekali dua kali bergerak saja Ko Bok-ya sudah merobohkan dua penyatron itu, lalu
kelima penyatron lainnya juga lantas mulai bergebrak dengan para pengawal Ko Siu.


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bok-ya berpaling memandang Yu Wi sekejap, dilihatnya anak muda itu masih berdiri
melenggong, segera ia mengomel, "Untuk apa kau berdiri di situ?"
"Cepat kau pergi ke sana dan melindungi Pek-hu," seru Yu Wi dengan gugup. berbareng ia
terus berlari maju.
Bok-ya tahu kelima penyatron tadi pasti bukan lawan para pengawal ayahnya, maka ia tidak
tergesa-gesa, ketika lewat di samping Sam-yap Siang-jin, dilihatnya orang hanya menyaksikan saja
pertarungan orang banyak itu tanpa bergerak, dengan gemas ia lantas menghardik, "Apakah kau
orang mampus?"
Pada saat itulah mendadak terdengar jeritan ngeri susul menyusul, berbareng terdengar suara
"blak-bluk", suara orang roboh yang ramai.
Bok-ya terkejut dan cepat memburu ke sana, hanya sekejap saja entah cara bagaimana ke
tujuh jago pengawal ayahnya yang tidak rendah ilmu silatnya itu telah roboh seluruhnya dan tak
bisa berkutik. Hampir bersama Yu Wi dan Bok-ya melompat ke depan Ko Siu untuk melindunginya dan
menghadapi kelima penyatron yang lihay itu.
"Lekas Pekbo membawa Pekhu ke belakang, di sini ada Titji dan Ya-ji," seru Yu Wi.
Ko Bok-ya menuding kelima penyatron tadi dan mendamperat, "Siapa kalian, berani melukai
para pengawal ayahku?"
Kelima orang itu tampak beringas, melihat Ko Siu hendak melangkah pergi, segera mereka
membentak, "Jangan pergi, tinggalkan nyawamu!" - Berbareng mereka terus menubruk maju.
Tapi sekali kedua tangan Ko Bok-ya bekerja, dalam sekejap itu dia telah menyerang lima orang
sekaligus. Yu Wi tahu kungfu Bok-ya lebih tinggi daripada dirinya, maka cepat ia membalik ke sana untuk
bergabung dengan Giok-ciang-siancu dan hendak membawa Ko Siu ke ruangan belakang,
"Lekas kau bantu Ya-ji saja dan jangan urus kami!" seru Giok-ciang-siancu kuatir.
Nadanya jelas sangat menguatirkan kelihaian kelima penyatron itu.
Karena serangan Bok-ya tadi, kelima penyatron itu sama melompat mundur Mereka tahu
betapa lihainya serangan si nona dan tidak berani sembarangan melawannya.
Segera Bok-ya hendak menghantam pula, tapi mendadak telapak tangan terasa kaku, seperti
mati rasa, lalu terdengar si penyatron yang berusia paling tua tadi berucap dengan suara seram,
"Jika ingin mati dengan pelahan, hendaknya kau duduk di pinggir sana dan istirahat dulu."
Dalam sekejap itu Bok ya merasa telapak tangannya semakin kaku dan tak dapat bergerak
lagi, keruan ia terkejut, serunya, "Apakah kalian she Hoa?"
"Hehe, kami memang Hoa-bun-jit-tok (ketujuh racun dari perguruan Hoa)," jawab si penyatron
tua dengan terkekeh kekeh.
"Apakah ke tujuh pengawal kami terluka oleh senjata rahasia Ham-sah-sia-eng kalian?" tanya
Bok-ya pula dengan gemas.
"Kalau nona sudah tahu, silahkan merasakan juga kelihaian Ham-sah-sia-eng kami ini!" ujar si
penyatron tua. Ham-sah-sia-ehg atau pasir membidik bayangan adalah sejenis senjata rahasia yang sangat
lembut, asalkan kelihatan bayangan orang, pasir berbisa itu dapat dihamburkan bahkan sangat
jitu, hampir tidak pernah meleset.
Maka baru habis ucapan penyatron tua itu, mendadak dari depan dadanya menyambar keluar
cahaya mengkilat dengan kecepatan luar biasa dan sukar untuk dihindarkan.
Namun Ginkang Ko Bok-ya lain daripada orang lain, sebelumnya ia juga sudah berjaga-jaga,
maka pada saat yang tepat ia sempat meloncat ke atas.
"Akan tetapi baru saja tubuhnya mengapung setengah jalan, mendadak terasa tenaga tidak
mau menuruti kehendaknya, sedikit merandek itu saja kedua kakinya lantas termakan oleh senjata
rahasia yang sangat lembut dan berbisa itu.
Ham-sah-sia-eng terbuat dari pasir berbisa yang sangat halus, dalam sekejap itu beratus biji
pasir berbisa sama bersarang di bagian betis Ko Bok-ya yang putih bersih itu, seketika juga racun
lantas menjalar, tanpa ampun lagi Bok-ya terbanting jatuh ke bawah.
Keruan Yu Wi terkejut, cepat ia memburu maju, melolos pedang dan menabas, beberapa
gerakan itu hampir dilakukannya pada saat yang sama, sekaligus ia menusuk kelima penyatron itu.
"Awas senjata rahasia mereka!" seru Ko Bok-ya yang tergeletak di lantai itu, "Berusahalah
jangan sampai didekati mereka!"
Menghadapi musuh tangguh, sedikitpun Yu Wi tidak berani ayal, segera ia mengeluarkan jurus
tidak ada tandingannya, Bu-tek-kiam.
Karena diserang secara mendadak oleh Yu Wi tadi, kelima penyatron itu sudah rada kelabakan,
kini mendadak Yu Wi berganti jurus serangan pula, selagi mereka hendak menggunakan senjata
rahasia Ham-sah-sia-eng, tahu-tahu cahaya gelap mengurung tiba dari atas kepala.
Kejut kelima orang itu tidak kepalang, berbareng mereka menghamburkan pasir berbisa,
seketika entah berapa ribu atau laksa biji pasir halus berhamburan seperti hujan.
Akan tetapi, aneh juga, tiada satu pasir pun yang mengenai Yu Wi, selagi kelima penyatron itu
terkesiap bingung, tahu-tahu Hian-tiat bok-kiam (pedang kayu besi Yu Wi sudah menyambar tiba
hampir pada saat yang sama tulang pundak kelima orang itu terpukul remuk.
Hampir berbareng kelima orang itu menjerit ngeri, semuanya roboh terkapar sambil merintih
kesakitan. Cepat Yu Wi membalik tubuh dan membangunkan Ko Bok-ya, tanyanya dengan kuatir, "Bag...
bagaimana kau?"
"Jangau urus diriku, lekas kau cocok Jin-tiong-hiat Sam-yap Siangjin dengan jarum," seru Bokya.
Dalam pada itu Giok-ciang-siancu juga sudah memburu tiba, ucapnya dengan air, mata
berderai, "Ya-ji, kau... kau..."
Sekuatnya Bok-ya bertahan, ucapnya dengan tertawa, "Bu, di luar masih ada penyatron yang
lain, harap ibu memberikan sebatang jarum kepada Toako!"
Giok-ciang-siancu selalu membawa jarum, ia memberi sebatang kepada Yu Wi. Dengan jarum
itu Yu Wi menusuk Jin-tiong-hiat di atas bibir Sam-yap Siangjin. seketika pikiran Sam-yap Siangjin
menjadi sadar, dengan bingung ia bertanya, "He, apa yang terjadi barusan."
Bok-ya mendahului berteriak, "Lekas Siangjin memerintahkan barisan pengawal menjaga rapat
sekeliling istana, awas terhadap kawanan pembunuh gelap, Ingat, suruh mereka jangan
menghadapi musuh secara muka berhadapan muka."
Sesudah Sam-yap Siangjin berlari pergi, Ko Bok-ya berkata pula dengan menghela napas,
"Toako, hendaklah kaubawa diriku ke dekat kelima orang itu."
Yu Wi memondongnya, baru sekarang diketahui telapak tangan kiri nona itu sudah biru hitam
dan telah menjalar hingga siku, kakinya juga biru menakutkan.
Ketika melihat keadaan kelima penyatron yang tak bisa berkutik itu, Bok-ya menghela napas
terkejut, Waktu Yu Wi memandang ke sana, tertampak kulit di bagian leher mereka pun berwarna
biru tandas seperti warna biru di kaki Ko Bok-ya.
"He, kenapa bisa jadi begini?" tanyanya.
"Pasir berbisa mereka sebenarnya hendak menyerang dirimu," tutur Bok-ya dengan menyesal,
"tak terduga pasir itu telah melengket pada pedangmu, ketika pedangmu menghantam tulang
pundak mereka, pasir yang melengket di batang pedang ikuti meresap ke dalam kulit daging
mereka " Kelima penyatron itu sudah pingsan dan tak tahu lagi apa yang terjadi. Diam-diam Yu Wi
membayangkan betapa lihainya pasir berbisa itu, hanya sekejap saja hawa racun sudah merembes
sampai di bagian leher, kalau tertunda sebentar lagi tentu akan menjalar ke seluruh tubuh dan
jiwa tentu akan melayang.
Ia jadi teringat kepada Bok-ya yang juga terkena pasir berbisa itu, cepat ia mendekati
penyatron yang mengadu pukulan dengan Bok-ya tadi, ia membuka Hiat-tonya, setelah orang
sadar, ia pen-cet "Pek-wi-hiat" di bagian kuduknya, lalu bertanya dengan suara bengis, "Di mana
obat penawarnya?"
Penyatron itu ternyata kepala batu, sama sekali tidak mau mengaku.
Yu Wi menjadi tidak sabar, ia kuatir bila tertunda terlalu lama tentu akan membahayakan Ko
Bok-ya, maka ia menutuk lagi Hiat-to keampuhan orang itu, dari bajunya digeledah keluar tujuh
botol obat kecil, tapi tidak diketahui botol mana yang berisi obat penawar racun pasir Segera ia
menutuk pula Thian-tut-hiat orang itu.
Thian-tut-hiat adalah Hiat-to yang menghubung urat tangan dengan hulu hati, bila tertutuk,
sekujur badan rasanya seperti dirambati dan digigiti oleh beratus ribu semut, sakit dan gatalnya
luar biasa. Penyatron itu tahu siksaan apa yang akan dirasakannya, cepat ia berkata, "Botol ketiga adalah
obat yang dapat menghapuskan hawa berbisa di tubuhnya."
Hanya sekejap itu saja orang ini sudah kesakitan setengah mati hingga mukanya pucat
menginjak Sekali depak Yu Wi membuka Hiat-to orang yang ditutuknya tadi, ia mengambil obat
botol ketiga dan diminumkan kepada Ko Bok-ya.
Ko Siu dan isterinya juga kelabakan melihat puteri kesayangan keracunan akan tetapi mereka
pun tak berdaya.
Tidak lama kemudian, hawa beracun di tangan Ko Bok-ya sudah hilang seluruhnya, ia
menghela napas, katanya, "Lihai amat racun ini, hanya mengadu tangan saja dengan dia dan
racun lantas merembes masuk melalui kulit Kalau tidak kutahan dengan tenaga dalam, saat ini
jiwaku mungkin sudah amblas."
Yu Wi tidak menduga ke tujuh orang yang tampaknya tidak ada sesuatu yang istimewa ini
ternyata memiliki kemahiran menggunakan racun selihai ini dan sukar untuk dipercaya, Biasanya
seorang ahli racun tentu ada ciri-ciri khas, tapi ket juh orang ini tiada sedikitpun tanda begitu
sehingga Ko Bok-ya tidak berjaga-jaga dan terperangkap.
Karena hawa beracun sudah hilang dari tubuh si nona, Yu Wi berkata dengan tertawa,
"Bagaimana kalau kupapah kau bangun?"
"Jangan," jawab Bok-ya sambil menggeleng, ?"racun pada kakiku belum punah, aku belum
dapat berdiri."
Akan tetapi kakinya tertutup oleh kain baju sehingga tidak kelihatan.
"Mungkin sudah baikan, bolehkah kulihat?" pinta Yu Wi. pelahan Bok-ya menarik kain bajunya
sehingga kelihatan betisnya yang biru dan tambah menakutkan ia menghela napas pelahan dan
berkata, "Sia-sia saja kutahan dengan sepenuh tenaga, tapi hawa beracun masih terus menjalar
sedikit demi sedikit."
"lnilah Mo-lam (biru hantu) dari benua barat, pernah kusaksikan orang mati seketika oleh
karena racun ini, lekas kau minta obat penawarnya kepada penyatron itu, jangan terlambat lagi!"
seru Ko Siu mendadak dengan nada kuatir dan terkejut.
Yu Wi juga terkesiap, ia kuatir Ko Bok-ya tak tertolong lagi, cepat ia cengkeram penyatron itu
dan membentaknya, "Lekas serahkan obat penawarnya jika tidak ingin kusiksa kau!"
Orang itu menggeleng dan menjawab, "Aku sendiri tidak mampu menawarkan racun itu."
Giok-cian-siancu juga cemas, serunya, "Lekas keluarkan obat penawar, ketahuilah saudaramu
sendiri juga terkena racun biru ini!"
Tapi penyatron itu tetap menggeleng dan menjawab, "Biarpun saudaraku sendiri juga tak
dapat kutolong."
"Dusta!" bentak Yu Wi dengan gusar. Mendadak ia perkeras pegangannya sehingga tangan
orang itu tertelikung, saking kesakitan orang itu mencucurkan keringat dingin. Akan tetapi ia
bertahan sekuatnya tanpa merintih sedikitpun untuk memperkuat keterangannya bahwa racun
"biru hantu" itu memang tidak ada obat penawarnya.
"Tiada gunanya kau paksa dia, Toako." ucap Ko Bok-ya dengan suara lemah, "lebih baik kau
sadarkan saudaranya dan menanyai mereka saja,"
Yu Wi, pikir benar juga saran ini, bisa jadi orang ini pantang sesuatu dan tidak berani mengaku
terus terang, tapi saudaranya terkena racun, demi keselamatan sendiri mungkin dia mau bicara.
Segera ia mendekati kelima orang yang menggeletak tak berkutik itu, ia coba memeriksa,
seketika ia menjadi sedih, ucapnya dengan lemas, "Mereka... mereka sudah mati semuanya..."
Dilihatnya sekujur badan kelima orang itu sama berubah warna biru, begitu menyolok warna
birunya sehingga bersemu hijau, padahal mereka baru bicara sebentar, warna biru yang tadi baru
sampai di bagian leher kelima orang itu kini sudah menjalar ke seluruh tubuh, sungguh cepat luar
biasa penyebaran racun biru hantu itu.
"Jadi saudaraku benar-benar keracunan biru hantu?" seru si penyatron pertama tadi dengan
ketakutan. "Memangnya kami bohong padamu?" ujar Giok-cian-siancu dengan mencucurkan air mata
memikirkan keselamatan Bok-ya.
Ko Siu tahu betapa lihaynya racun biru itu, tampaknya puteri kesayangan yang jelita itu segera
juga akan mati, ia jadi kesima dan tak berdaya.
Penyatron bermuka buas tadi sangat memperhatikan keselamatan saudaranya, mendadak ia
meraung, "Jika benar saudaraku mati, keluarga Hoa pasti tidak akan menyudahi urusan ini dengan
kalian!" "Sebenarnya ada permusuhan apa antara kalian dengan kami?" ujar Yu Wi dengan gegetun,
"Untuk apa kami mesti membikin celaka saudaramu, kan salah mereka sendiri, sekarang malahan
Ya-ji juga..."
"Jika kau memang tidak bermaksud mencelakai jiwa saudaraku, hendaknya lekas kau
keluarkan darah berbisa mereka dan lolohi mereka dengan obat kuat, lekas, lekas! Mungkin tidak
keburu jika tertunda lagi."
Tergerak hati Yu Wi, cepat ia memondong Bok-ya ke pembaringan, ditanggalkannya sepatu
dan kaos kakinya, dilihatnya warna biru hantu itu sudah menjalar sampai di bagian lekukan lutut,
jelas Bok-ya sedang menahan menjalarnya racun dengan sekuatnya.
Lekas ia angkat kaki Bok-ya yang putih mulus itu, mendadak ia menggigit tengah telapak kaki
si nona, sebenarnya Bok-ya sudah merasa malu ketika sepatu dan kaos kakinya dilepaskan Yu Wi,
sekarang kakinya digigit pula oleh mulut anak muda itu, keruan ia tambah jengah, walaupun
begitu di dalam hati terasa sangat bahagia.
Setelah telapak kaki si nona digigitnya hingga pecah, sekuatnya Yu Wi lantas mengisapnya,
hanya sebentar saja ia sudah meludah belasan kumur darah berwarna biru, lambat-laun warna
biru di kaki Bok-ya juga menghilang dan kembali pada warna putih keabu-abuan.
Segera Yu Wi menghisap pula darah biru pada kakinya yang lain. Dalam pada itu Giok-ciangsiancu
juga sudah berlari ke kamarnya dan membawakan obat kuat dan air bersih. Waktu Yu Wi
berkumur mencuci mulut, Giok-ciang siancu juga sibuk memberi minum obat kuat kepada Ko Bokya.
Peng-ma-tayciangkun adalah pembesar yang diagungkan pada pemerintahan jaman ini, di
rumahnya tentu saja tersedia banyak sekali obat kuat pemberian raja, Dengan cepat Bok-ya telah
diberi minum beberapa jenis obat kuat yang mustajab.
Ko Siu sangat terharu, ia pegang pundak Yu Wi dan berkata, "Sedemikian kau berusaha
menolong puteriku, sungguh kami suami-isteri sangat berterima kasih padamu."
Mendadak terdengar si penyatron bermuka buas tadi berteriak, "He, bocah itu! Setelah kau
tolong si budak mengapa tidak kau tolong saudaraku?"
"Kan sudah kukatakan sejak tadi, mereka sudah mati semua!" jawab Yu Wi dengan menyesal.
"Apakah tubuh mereka bersemu hijau?" tanya penyatron yang lain.
"Ya, samar-samar di antara warna biru juga bersemu hijau," jawab Yu Wi.
"Oo! jika begitu memang benar mereka telah mati," teriak si muka buas. "Bocah keparat,
harus kau ganti nyawa mereka!"
Sembari bicara ia terus menangis sedih, Tampangnya kelihatan buas, tapi hatinya ternyata
lunak. Diam-diam Yu Wi menaruh hormat terhadap rasa persaudaraan mereka.
Sebaliknya si penyatron yang satu lagi meski berwajah bajik tapi sama sekali tidak
memperlihatkan rasa sedih, ia malah memaki, "Mati biar mati, kenapa mesti menangis" Sudah
delapan orang yang kita binasakan, masih ada untung bagi kita."
Ke tujuh pengawal Ko Siu tadi memang sudah mati terbunuh oleh musuh, maka Yu Wi menjadi
heran atas ucapan orang, ia coba tanya, Di pihak kami hanya mati tujuh orang, mana ada
delapan?" "Bukankah masih harus ditambah dia!" teriak penyatron itu sambil menuding Bok-ya.
"Omong kosong!" damperat Yu Wi, "Racunnya sudah punah, masa kau katakan dia sudah
mati?" "Hahahaha!" penyatron itu tertawa, "Racun biru hantu keluarga Hoa tidak ada obat
penawarnya, siapa yang kena harus mati, masa budak setan ini masih berharap akan hidup?"
Yu wi menjadi kuatir, ia tahu si muka buas berhati lebih baik dan dapat diajak berunding,
segera ia mendekatinya dan memapahnya bangun, tanyanya, "Apakah benar perkataan
saudaramu itu?"
Si muka buas mengangguk, jawabnya, "Betul, anak dara itu jangan harap akan hidup lagi."
Air muka Yu Wi berubah pucat, serunya, "Tadi bukankah kau bilang ada cara untuk
memunahkan racunnya?"
"Racun biru hantu itu tidak terdapat obat penawarnya di daerah Tionggoan sini," tutur si muka
buas. "Tapi teteslah darah berbisa dikeluarkan lalu diberi minum obat kuat, jiwanya dapat
dipertahankan setengah bulan, lewat waktu setengah bulan, bila racun bekerja lagi, maka tak
dapat ditolong lagi."
"Apakah kalian orang dari negeri Iwu (daerah Sinkiang sekarang)?" tanya Ko Siu,
Orang itu menunduk tanpa menjawab.
Yu Wi menyeletuk, "Darimana Pekhu tahu?"
"Racun biru hantu ini adalah barang berbisa keluaran khusus negeri Iwu," tutur Ko Siu.
"Pernah satu kali mereka memperalat orang Tionggoan untuk mencelakai diriku dengan racun ini,
tapi usaha mereka gagal, yang binasa adalah pengawal lain. Tak terduga sekarang mereka
memperalat pula Hoa-bun-jit-tok untuk mencelakai diriku dan tak terduga bahwa sekali ini anak
perempuanku yang menjadi korban."
Saking cemasnya Yu Wi menggoyang-goyangkan tubuh si muka buas dan berteriak, "Apa
benar-benar tidak ada obat penawarnya" Lekas katakan atau kubinasakan kau sekarang juga." "
"Mau bunuh atau apa saja boleh terserah padamu, yang pasti kami memang tidak mempunyai
obat penawarnya, sekalipun di negeri Iwu kami juga tidak terdapat obat penawarnya, percaya
atau tidak terserah padamu," kata orang itu dengan serius.
Yu Wi menjadi berduka dan mendekati Bok-ya bersama Ko Siu.
Melihat ayah-bunda dan Yu Wi sama sedih bagi keadaannya, Bok-ya lantas menghiburnya.
"Jangan kuatir, kalau jiwaku masih tahan 15 hari lagi, tentu racun dalam tubuhku dapat
dipunahkan."
"Apa betul?" seru Yu Wi dengan girang,
"Tentu saja betul, masa kubohong padamu," ujar Bok-ya dengan tersenyum. "Cuma untuk ini
harus bikin repot Toako..."
Tanpa Dikir Yu Wi berkata, "Jangankan cuma membikin repot, biarpun terjun ke dalam air
mendidih atau masuk lautan api juga akan kulakukan."
Ucapan yang terlalu mesra ini membikin malu pada Ko Bok-ya, dengan muka merah ia
menunduk Giok-ciang-siancu lantas berkata dengan tertawa, "Ya-ji, apakah racun dalam tubuhmu benarbenar
dapat dipunahkan?"
Pelahan Bok-ya mengangkat kepalanya dan menjawab, "Kan masih ada paman Su di Siau-ngo
tay-san. masa kita takut barang berbisa segala?"
"Ah, memang benar, kenapa tidak kuingat padanya!" seru Yu Wi sambil mengetuk dahi sendiri
Su Put-ku berjuluk tabib sakti dan dapat menghidupkan orang yang sudah mati. Meski ia pun


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diberi poyokan sebagai "Su-put-kiu", tapi kalau dia mau memberi obat mujarab kepada Bok-ya
untuk menyelamatkan jiwanya, tentunya jiwa si nona pasti juga akan ditolongnya.
Berpikir demikian, legalah hati Yu Wi, berseri-seri pula mukanya.
Tapi Ko Siu tidak tahu tokoh macam apakah Su Put-ku itu, namun ia pun ikut senang demi
melihat Yu Wi bergirang, segera ia berkata, "jarak Siau-ngo-tay-san dari sini kira-kira sepuluh hari
perjalanan, karena Ya-ji tidak dapat berjalan, terpaksa harus membikin susah Hiantit, baik waktu
maupun tenaga...."
"Ah," jangan paman bicara demikian," ujar Yu Wi, "kalau tidak ada adik Ya, saat ini jiwaku
mungkin sudah melayang, Apapun juga dan betapa sulitnya pasti akan ku kawal dia ke Siau-ngotay-
san dan minta Su Put-ku mengobati dia."
"Jika kau yang mengawal Ya-ji ke sana, aku tidak perlu kuatir apa pun," kata Giok-ciang-siancu.
"Waktu sangat berharga, boleh sekarang juga kalian berangkat saja."
Segera Yu Wi memondong Ko Bok-ya, Giok-ciang-siancu juga lantas memerintahkan
menyediakan kereta kuda.
Bok-ya memikirkan keselamatan sang ayah, dengan kuatir ia berkata, "Sesudah ku pergi,
selanjutnya ayah harus tambah waspada, jangan sampai kemasukan pembunuh gelap lagi."
"Selama 20 tahun ini sedikitnya sudah ratusan kali ayah hendak dibunuh, tapi setiap kali selalu
selamat, apalagi yang perlu ditakuti ayah?" ujar Ko Siu dengan sewajarnya, "Justeru kuharap kau
akan lekas sembuh agar ayah tidak kuatir senantiasa."
Bok-ya menggeleng, katanya, "Kini pihak lwu mempunyai jago kelas tinggi dari agama sesat
yang mahir ilmu membuat tidur (hypnosa), seperti Sam-yap Siangjin tadi yang juga kena dikerjai
musuh, keadaannya tampak linglung seperti kehilangan kesadaran sehingga para penyatron tadi
dibawa masuk kemari. Maka ayah harus tambah waspada, penjagaan hendaknya diperketat
jangan berhadapan muka dengan muka bila ketemu penyatron lagi agar tidak terpengaruh oleh
ilmu sihir mereka, juga para pengawal diperingatkan agar hati-hati terhadap ilmu sihir musuh,
Selain itu juga harus hati-hati terhadap keluarga Hoa...."
Ko Siu mengangguk, katanya dengan tertawa, "Ya, ku tahu, lekas berangkatlah kalian, jangan
menguatirkan ayah di sini, sedapatnya mengusahakan penyembuhanmu sendiri, ingatlah ayah
hanya mempunyai seorang anak perempuan saja."
Kereta sudah siap, Yu Wi dan Ko Bok-ya duduk bersanding di dalam kereta, saisnya adalah
pengendara pilihan di kotaraja, gagah perkasa dan baru berumur tiga puluhan, namun sudah
kenal semua jalan di seluruh negeri.
Setelah memberi pesan seperlunya, segera sais melarikan kuda kereta itu secepat terbang.
Sesudah kereta berangkat, Ko Siu berkata kepada sang isteri, "Para penyatron ini jelas telah
diperalat komplotan jahat, masih sisa dua orang, bilamana mereka mau insaf akan kesalahannya,
biarlah kita bebaskan mereka."
Giok-ciang-siancu mengangguk setuju, dia mendekati kedua orang tadi dan mendamperat
serta menasehati mereka, setelah kedua orang itu menyatakan penyesalan mereka, dibukalah
Hiat-to mereka yang tertutuk itu dan dilepaskan pergi.
oOo ^O^ oOo Sepanjang perjalanan, karena keadaan Bok-ya lemas tak bertenaga, maka setiap keperluannya
diladeni sendiri oleh Yu Wi. Tentu saja si nona sangat berterima kasih.
"Suatu hari mereka sudah keluar Ki-yong koan, salah satu gerbang tembok besar di
perbatasan Di luar benteng sana adalah jalan raya yang sepi dan jarang dilalui orang.
Sais melarikan keretanya terlebih cepat sehingga menimbulkan kepulan debu yang tebal
seperti kabut. Baru sejam perjalanan, seluruh kereta sudah berlapiskan debu kuning yang tebal,
muka dan kepala sais juga bermandikan debu sehingga sukar dikenali.
Di dalam kereta Ko Bok-ya sedang tidur nyenyak, Yu Wi lagi duduk dengan memejamkan
mata. Mendadak kereta berhenti, terdengar pengendara lagi berteriak, "Minggir! Lekas
minggir!...."
Sampai belasan kali sais itu berteriak, tapi kereta belum juga berangkat pula.
Bok-ya terjaga bangun, dengan mata sepat ia bertanya, "Ada apa, Toako?"
Yu Wi membetulkan selimut tipis di tubuh si nona, jawabnya dengan tertawa, "Tidur saja, akan
kulihat keluar!"
Bok-ya sangat terhibur mendapat pelayan sebaik ini dari anak muda itu, sorot matanya
memancarkan cahaya bahagia.
Yu Wi membuka pintu kereta, lalu bertanya kepada sais, "Terjadi apa"!"
"Ada serombongan orang liar dengan tubuh coreng-moreng mengadang di tengah jalan," tutur
si Kusir. Waktu Yu Wi memandang ke depan sana, benarlah dilihatnya segerombolan lelaki telanjang
dengan badan penuh corat-coret dan beraneka warna, semuanya cuma memakai kain penutup
bawah badan sebatas lutut, berpuluh orang berkerumun di tengah jalan sehingga berwujud suatu
lingkaran dan sedang berlompatan kian kemari.
Yu Wi hendak mencari keterangan dan menyuruh mereka menyingkir Ketika ia turun dari
keretanya dan mendekati rombongan orang itu. mendadak lompatan orang-orang itu bertambah
cepat malahan terdengar suara mereka yang mirip orang meratap dan memilukan.
Karena suara yang tidak enak di dengar itu, melihat pula warna-warni yang mengaburkan
pandangan itu, seketika Yu Wi merasa kepala rada puning, kelopak mata terasa berat, rasanya
mengantuk. keadaan ini membuatnya terkesiap, cepat ia mengerahkan tenaga dan membentak
sekerasnya, "Berhenti!"
Karena bentakan yang menggelegar ini, serentak kawanan orang bercoreng-moreng itu sama
berhenti berjingkrak.
Begitu mereka berhenti menari, pengaruh warna di tubuh mereka yang menyesatkan pikiran
itu pun hilang, seketika benak Yu Wi jadi jernih lagi, diam-diam ia mengerahkan Lwekang dan
memusatkan pikiran, ia mendekati mereka dengan langkah lebar dan bertanya, "Untuk apakah
kalian menghadang di tengah jalan raya?"
Orang-orang bertelanjang dan berwarna-warni itu berkaok-kaok sambil menuding ke sana
kemari entah apa yang dikatakan.
Yu Wi tahu mereka sedang bicara padanya, tapi sekata saja tidak dipahaminya, Terpaksa ia
memberi isyarat tangan, maksudnya supaya mereka menyingkir ke tepi jalan, berbareng ia pun
berteriak, "Minggir! Hendaknya kau minggir..."
Tapi orang-orang itu tetap tidak mau menyingkir mereka menggeleng dan tetap berteriakteriak.
Yu Wi menjadi gemas, sungguh kalau bisa dia ingin mengusir mereka satu persatu.
Tiba-tiba di tengah kerumunan orang banyak itu muncul seorang tua berbaju kelabu, melihat
dandanan orang tua ini seperti bangsa Han, dengan girang Yu Wi lantas menyapa, "Eh, Lotiang
(pak tua), tolong suruhlah mereka menyingkir!"
Air muka orang tua itu tampak sedih, jawabnya sambil menggeleng, "Tidak mungkin, tidak
nanti mereka mau menyingkir!"
"Sebab apa?" tanya Yu Wi.
"Ada seorang pemuda suku bangsa mereka mendadak jatuh di tengah jalan dan akan mati,"
tutur si kakek. "Menurut kebiasaan adat suku mereka, kawan-kawannya harus menyatakan
berduka cita selama tiga hari dengan mencoreng-moreng tubuh mereka, dengan demikian barulah
arwah pemuda itu akan naik ke surga, Kalau tidak, matinya akan masuk neraka dan selamanya tak
bisa menitis lagi."
"Mereka tergolong suku bangsa apa dan bicara dalam bahasa apa?" tanya Yu Wi.
"Mereka ini suku Dai, bicara bahasa Dai. mungkin tuan tidak paham," kata kakek itu.
Yu Wi menggeleng, lalu ia berpaling dan tanya si kusir, "Apakah kau tahu suku Dai?"
"Tahu," jawab si kusir, "Orang Dai gemar m
Istana Pulau Es 10 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Hikmah Pedang Hijau 1
^