Pendekar Kembar 7

Pendekar Kembar Karya Gan K L Bagian 7


duk dekat jendela dengan memegang sejilid
kitab dan asyik membaca, yang dibacanya adalah syair kuno gubahan pujangga ternama.
Waktu Yu Wi mengamatinya lebih cermat, pemuda berdandan bangsa Han ini ternyata Li Tiau
adanya. Yu Wi merasa kebetulan karena ada niatnya mencari Li Tiau, dengan penuh rasa dendam
segera ia menghimpun tenaga dan bermaksud menerjang ke dalam kamar, hajar dulu pemuda itu
dan perkara belakang, kalau perlu bunuh saja manusia rendah dan munafik ini.
Tapi sebelum ia bertindak, mendadak cahaya lampu di ruangan tengah dinyalakan dan
masuklah seorang pemuda Turki ke dalam kamar dengan membawa Cek tai (tatakan lilin)
sehingga wajahnya kelihatan jelas, rupanya rada-rada mirip Li Tiau, hanya kulit badannya, mata
dan hidungnya yang tidak sama, Li Tiau lebih mirip bangsa Han, sedangkan pemuda ini jelas
orang Turki asli.
Pemuda itu masuk kamar dan menyapa, "Toako belum tidur?" - Yang diucapkan adalah bahasa
Turki. Li Tiau menurunkan kitabnya, dengan bahasa Turki ia rnenjawab, "Masih dini, belum kantuk,
baca dulu. Ayah ibu sudah tidur?"
"Sudah," jawab pemuda Turki itu," Ada suatu urusan ingin kutanya Toako."
"O, urusan apa?" tanya Li Tiau.
Pemuda Turki itu berduduk di depan Li Tiau, lalu berkata, "Tentang bangsa Han yang she Yu
itu, apakah Toako membiarkan dia terkurung di penjara sana?"
"Ya, bila teringat kepada urusan ini hatiku menjadi berduka," ujar Li Tiau dengan menyesal.
pemuda Turki itu tampak kurang senang, katanya, "Kudengar, Toako yang menaruh Pek-jit-cui
di dalam arak dan membius pasangan muda-mudi Han itu dan menawannya hidup-hidup!"
Nadanya jelas menyalahkan Li Tiau, masa sekarang Li Tiau menyatakan berduka segala".
"Kau pikir, leluhur kita juga bangsa Han apakah aku dapat berbuat demikian?" kata Li Tiau.
"Kuyakin Toako pasti takkan berbuat demikian, makanya ingin kutanyai Toako," ujar pemuda
Turki itu. Yu Wi pikir tentu leluhur mereka bekerja bagi bangsa asing, lalu kawin dengan perempuan
setempat dan menurunkan mereka, namun mereka masih berdarah Han sehingga kedua saudara
ini yang satu mirip orang Han dan yang lain mirip orang Turki. Tapi entah siapa leluhur mereka
dan mengapa bekerja bagi bangsa asing"
Terdengar Li Tiau lagi berkata, "Perkenalanku dengan orang she Yu itu seketika menjadi akrab
sehingga seperti sahabat lama, sekarang dia dipenjarakan, meski akulah yang menaruh Pek-jit-cui
dalam araknya, tapi perencananya bukanlah diriku, Selama beberapa hari ini hatiku tidak pernah
tenang, Pada suatu hari aku harus berdaya membebaskan dia."
"Lalu bagaimana dengan nona bangsa Han itu" tanya si pemuda Turki.
"Aku tidak dapat menolongnya," jawab Li Tiau dengan menyesal, "Justeru lantaran dia, maka
aku dipaksa menaruh Pek-jit-cui dalam arak."
"Apakah Asnatuya yang penujui nona Han itu?" tanya pemuda Turki.
"Bila dia yang menaksir nona Han itu dan aku disuruh menaruh Pek-jit-cui, tidak nanti akan
kulakukan," kata Li Tiau, "Yang penujui nona Han itu justeru adalah junjungan kita."
"Apa" Asnatuci maksudmu?" pemuda Turki ini mencgas dengan terkejut.
"Ya, memang Asnatuci," jawab Li Tiau dengan menyesal, "Dahulu kita sama-sama kecil dan
bermain bersama, segala sesuatu boleh berbuat dengan bebas, Tapi sekarang dia adalah raja kita,
kalau junjungan kita sudah penujui nona itu, apakah aku dapat membangkang perintahnya agar
menaruh Pek-jit-cui dalam arak mereka?"
Keterangan mereka ini sungguh di luar dugaan Yu Wi, sama sekali tak pernah terpikir olehnya
bahwa Asnatuya adalah adiknya raja Turki. Diam-diam ia merasa heran, Raja Turki itu tidak
pernah melihat Ya-ji, mengapa dia bisa jatuh hati kepada nona itu" Jangan-jangan tipu muslihat
Asnatuya belaka yang memalsukan titah raja."
Dilihatnya pemuda Turki tadi menggeleng-geleng kepala dan menyatakan rasa tidak
percayanya, katanya, "Tidak, tidak mungkin! Selamanya Sri Baginda tidak pernah melihat nona
Han itu, pasti Asnatuya yang berdusta kepada kakaknya, dia kuatir Toako tidak mau tunduk
kepada tipu muslihatnya, maka nama junjungan kita ditonjolkan agar Toako mau tunduk kepada
perintahnya dan menaruh Pek-jit-cui dalam arak,"
"Hal inipun sudah kupikirkan," kata Li Tiau. "telah kutanya dengan jelas bahwa yang penujui
nona Han itu memang benar-benar Sri Baginda, sekarang juga nona Han itu sudah berada dalam
istana Sri Baginda."
"Jika betul demikian, tentu Toako tak dapat disalahkan," kata si pemuda Turki "Dan entah
dengan cara bagaimana Toako akan menolong pemuda she Yu itu?"
"Orang percaya penuh padaku dan memandang diriku sebagai sahabat karib, sebaliknya diamdiam
aku telah menjebaknya dan membikin pasangan mereka terpisah, sungguh kakak merasa
sangat tidak enak," kata Li Tiau, "Besok juga aku akan menghadap Sri Baginda dan memohon
diberi kunci penjara sana untuk membebaskan dia."
"Apabila Sri Baginda tidak berkenan, lalu bagaimana?" tanya si pemuda Turki.
"Bila Sri Baginda menolak permintaanku pasti akan kumohon dengan pengorbanan jiwaku,"
kata Li Tiau tegas.
"Bagus!" puji pemuda Turki itu. "Besok aku akan ikut bersama Toako untuk menghadap Sri
Baginda, Mengingat pergaulan kita dengan Sri Baginda semenjak kecil, kukira beliau pasti akan
meluluskan permohonan Toako,"
"Baiklah, boleh kau pergi tidur, jangan lupa bersujud dulu di depan pemujaan leluhur kita,"
kata Li Tiau. Pemuda Turki itu mengangguk dan meninggalkan kamar Li Tiau dengan membawa cektai tadi.
Ruangan tengah itu hanya terpisah oleh sebuah dinding dengan kamar Li Tiau, waktu Yu Wi
melongok ke sana, dilihatnya setiba di ruangan tengah, pemuda Turki itu lantas menaruh cektai di
atas meja sembahyang.
Di bawah cahaya lilin yang terang, kelihatan lukisan yang dipuja yang tergantung di dinding itu
adalah seorang panglima bangsa Han dengan wajah yang kereng dan berwibawa, busur besar
tersandang di punggung, tangan meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang, di atas
lukisan ada satu baris huruf besar yang tertulis: "Pemujaan Li Leng dari dinasti Han".
Di samping kanan kiri lukisan pemujaan terdapat dua baris sajak yang memuji kebesaran jiwa
Li Leng ketika diutus memerangi negeri Hun di gurun pasir, di sana karena menghadapi macammacam
kesukaran, pengikutnya kebanyakan meninggal, pada akhirnya terpaksa ia menyerah dan
mengabdi bagi bangsa asing.
Tujuannya semula menyerah kepada musuh adalah karena terpaksa dan untuk mencari
kesempatan memberontak dan pulang kembali ke negeri leluhur, Akan tetapi kaisar Han tidak
dapat memaklumi jiwanya itu, dia dihukum sebagai pengkhianat, ibu dan anak isterinya dihukum
mati selurhnya.
Dengan demikian terpaksa Li Leng tidak dapat lagi pulang ke negeri asalnya, terpaksa
mengabdi kepada negeri Hun dengan setengah hati, ia sangat dihormati oleh raja Hun dan
dipungut menjadi menantu, maka banyak keturunannya yang tersebar di tanah airnya yang kedua
ini. Suku bangsa Turki adalah salah satu kelompok suku bangsa Hun, kedudukan Li Tiau sangat
tinggi di kerajaan Turki ini, bukan cuma dia saja, setiap anggota keluarga Li, semuanya
dianugerahi sebagai bangsawan di segenap kelompok suku bangsa Hun.
Kedudukan mereka tetap teguh abadi di tengah-tengah kelompok suku bangsa Hun itu juga
ada sebabnya. Keluarga Li dimulai dari leluhur mereka yang termasyhur sebagai ahli panah, yaitu Li Kong,
ilmu memanah mereka turun temurun tetap tiada bandingannya, sedangkan suku bangsa gurun
pasir ini paling gemar belajar memanah. Rahasia ilmu memanah keluarga Li selamanya
dirahasiakan dan tidak dapat dipelajari orang luar, Maka tidaklah heran jika kepandaian khas
keluarga li ini sangat dihormati dan diberi kedudukan istimewa di tengah suku bangsa asing ini.
Begitulah, setelah pemuda Turki tadi bersembahyang di depan lukisan pemujaan, lalu dia
pulang ke kamarnya dan tidur.
Mestinya Yu Wi hendak membunuh Li Tiau, tapi setelah mengetahui jalan pikiran dan kesucian
Li Tiau, bahkan diketahuinya sebagai keturunan keluarga Li yang dihormati itu, seketika
maksudnya membunuh lantas lenyap seluruhnya.
Maka tanpa mengusiknya, diam-diam Yu Wi meninggalkan tempat kediaman Li Tiau itu, sudah
sekian jauhnya, sayup-sayup masih terdengar suara Li Tiau yang asyik membaca itu.
Dengan cepat ia mengitari kota itu, ditemuinya sebuah bangunan yang berbentuk istana, Ia
pikir tentu di sinilah raja Turki itu berdiam, ia tidak tahu apakah Bok-ya juga terkurung di sini.
Istana ini jauh lebih kecil dibandingkan Thian-ti-hu keluarga Kan, maka tidak terlalu sulit bagi
Yu Wi untuk mencarinya.
Setiba di bagian belakang, dilihatnya suatu tempat cahaya lampu masih terang benderang,
segera ia menunduk ke sana dan melongok ke dalam melalui jendela.
Pajangan di dalam rumah seluruhnya bergaya Han, berbaring telentang di tempat tidur yang
empuk dan indah seorang perempuan yang tampaknya sedang tidur nyenyak.
Girang sekali Yu Wi telah melihat jelas perempuan itu, kiranya dia ialah Ko Bok-ya.
Selagi ia hendak melayang masuk melalui jendela untuk membangunkan Bok-ya, mendadak
dari ruangan dalam sana ada suara orang berjalan dan muncul seorang Kongcu berdandan
sebagai bangsa Han, berjubah ringan dan berikat pinggang.
Segera Yu Wi mengenalnya sebagai pemuda Turki murid Aloyato yang dilihatnya di Siau-ngo
tay-san dahulu, ia menjadi heran, "Masa penyakitnya sudah sembuh" Mengapa dia berada di sini.
Jangan-jangan..."
Segera iapun paham duduknya perkara, jelas orang inilah kakak Asnatuya, yaitu Asnatuci, raja
Turki." Pantas dia penujui Bok-ya, dahulu waktuk bertemu di Siau-ngo-tay-san, berulang ulang ia
sudah memandang Bok-ya dengan terpesona, kini Ya-ji tertawan di sini, entah perbuatan apa yang
akan dilakukannya terhadap nona itu.
Terlihat dia duduk di tepi ranjang dan memandangi gaya tidur Ya-ji yang menggiurkan ini, dia
diam saja dan memandangnya sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia berkata, "Ehm. kau memang
sangat cantik!"
Ia menghela napas, lalu berkata pula, "Bilakah baru kau akan siuman?"
Tapi Bok-ya masih tertidur nyenyak dan tidak menjawab.
Maka dia berkata pula sendirian, "Sejak kecil aku mengidap penyakit yang aneh, bila kumat
rasanya tak tahan dan akan mati, penyakit ini sudah sekian lama mengganggu kini usiaku sudah
30 lebjh selama ini tidak perduli kuperhatikan perempuan manapun. Tak terduga ketika penyakitku
baru-baru ini kumat dan Suhu membawaku mencari tabib ke Siau-ngo-tay-san, di sana telah
kulihat dirimu.
"Belum pernah kulihat wanita secantik kau, maka ketika melihat dirimu, bagiku seperti melihat
bidadari belaka, penyakitku lantas berkurang, sepulangnya ke sini tetap tak dapat kulupakan
dirimu. "Sering kusebut-sebut kecantikanmu di depan saudaraku, dia bilang gadis cantik di dunia ini
teramat banyak, kenapa mesti selalu teringat padamu. Dia lantas mencari seorang gadis yang
wajahnya menyerupai dirimu untuk menghibur aku, akan tetapi meski gadis-gadis pilihan adikku
itu memang rada mirip dirimu, tapi tidak terdapat gayamu yang khas itu, sedikitpun aku tidak
tertarik oleh mereka sebaliknya semakin menimbulkan rasa rinduku kepadamu.
"Sudah beberapa bulan kukira tak dapat melihat dirimu lagi, tak tersangka saudaraku bisa
bertemu dengan kau. Tidak seharusnya dia memberi Pek-jit-cui dalam minumanmu sehingga
sampai saat ini kau belum lagi siuman. Tapi kalau kan tidak diberi minum Pek-jit-cui, cara
bagaimana pula dapat ku dampingi kau di sini dan memandangi dirimu sepanjang hari"!..."
Dari gumaman orang itu barulah diketahui oleh Yu Wi bahwa sejak minum Pek jit cui sampai
sekarang Ya-ji belum siuman, jika demikian tentunya nona tidak ternoda, maka legalah hatinya.
Asnatuci termenung-menung sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, "Bolehkah kupegang dirimu"
Sembari bicara tangannya lantas terpikir hendak meraba tubuh si nona, Tangannya kelihatan
gemetar, seperti tidak berani sembarangan nona Ya-ji yang dipandangnya seakan-akan bidadari ini
jumpai setengah jalan tangannya tidak berani menyentuh tubuh Bok-ya.
Pelahan Yu Wi mendorong daun jendela dan melompat ke dalam, meski dia sudah berada di
belakang Asnatuci, namun orang tetap tidak tahu. Tampaknya dia begitu kesemsem kepada Bokya
sehingga lupa daratan.
Diam-diam Yu Wi merasa geli dan juga mendongkol, dengan suara pelahan ia lantai menegur,"
Jangan mimpi lagi! Di mana Thian-liong-cu?"
Sebenarnya sejak kecil Asnatuci sudah belajar kungfu, tidak lemah ilmu silatnya, kalau hari
biasa tidak nanti ia tidak tahu ada orang mendekatinya tapi sekarang kedatangan Yu Wi ternyata
tidak dirasakannya, ketika mendadak mendengar suara orang, segera ia bertindak dengan
melompat ke depan.
Namun Yu Wi sudah berjaga-jaga, begitu tubuh orang bergerak, serentak ia mencengkeram
pundak orang, Kontan Asnatuci merasa sekujur badan lemas tak bertenaga, kedua tangan terjulur
dan tak dapat berkutik.
"Berikan Thian-liong-cu kepadaku, dan segera akan kulepaskan kau..." bentak Yu Wi dengan
suara tertahan.
"Siapa kau?" seru Asnatuci, suaranya sengaja dibikin keras.
"Aku adalah orang Han yang kau kurung di penjara gua sana!"
"He, kau... kau..." seru Asnatuci kaget, cara bagaimana kau lolos?".
Yu Wi mencengkeram lebih keras sehingga Asnatuci meringis kesakitan, tapi tidak berani
berteriak. "Jangan kau bicara dengan suara keras," ancam Yu Wi. "Nah, lekas katakan, di mana Thian
liong cu?"
"Di dalam, boleh kau ikut kumasuk ke sana untuk mengambilnya," jawab Asnatuci dengan
suara tertahan.
Selagi Yu Wi ikut melangkah ke ruangan dalam sana, tiba-tiba di belakang ada orang
mendengus, "Lepaskan dia!"
Cepat Yu Wi mengempit Asnatuci dan membalik tubuh, dilihatnya Aloyato telah mengancam
batok kepala Bok-ya dengan telapak tangannya sambil menyeringai.
Melihat paderi Thiau-tiok itu, Yu Wi menjadi murka, kalau bisa sungguh ia ingin melabraknya
untuk membalaskan sakit hati sang ayah, Akan tetapi Bok-ya terancam, terpaksa ia menahan
gusarnya dan berkata dengan menggreget, "Kau lepaskan dia dan segera kubebaskan dia!"
"Tidak, kau lepaskan dulu Asnatuci!" kata Aloyato dengan mencengkeram tubuh Ko Bok-ya
Yu Wi menggeleng, jawabnya, "Tidak, aku tidak percaya padamu, Lebih dulu kau lepaskan Yaji
di atas tempat tidur dan mundur keluar, segera pula kubebaskan majikanmu ini."
"Kau tidak percaya padaku, memangnya aku harus percaya padamu," jawab Aloyato dengan
ketus. "Kukira boleh kita tukar menukar pada saat yang sama."
"Baik, lemparkan dulu Ya-ji kemari!" kata Yu Wi.
Aloyato merasa sinkangnya maha tinggi dan tidak mungkin kena dipedayai lawan, tanpa pikir
ia terus melemparkan Bok-ya ke arah Yu Wi, Melihat permintaannya dipenuhi, segera Yu Wi juga
melemparkan Asnatuci ke sana.
Setelah menangkap tubuh Bok-ya, segera Yu Wi membawanya lari ke ruangan dalam sana.
Asnatuci tahu maksud tujuan anak muda itu, dengan tertawa ia berkata, "Tidak perlu kaum
masuk ke sana! Memangnya kau kira Thian-tiong-cu akan kusimpan di sembarang tempat?"
"Jadi sebelumnya kau sudah tahu paderi Thian-tiok ini berada di luar?" tanya Yu Wi dengan
gusar. "Omong kosong belaka!" jengek Aloyato. "Sebagai seorang raja, masa begitu gampang
Asnatuci dapat kau tawan?"
Yu Wi jadi menyesal, diam-diam ia mengomel dirinya sendiri yang terlalu gegabah, ia pikir cara
Asnatuci bicara dengan suara keras tadi seharusnya segera diketahui di luar pasti ada penjaga.
Kalau dirinya bekerja dengan cermat, tentu Ya-ji takkan ditangkap Aloyato dan di jadikan sandera.
"Kukira lebih baik kau taruh dia lagi di tempat tidur!" demikian Asnatuci lantas berkata.
Yu Wi tidak gubris ucapannya itu, diam-diam ia lagi mencari akal untuk meloloskan diri
bersama Bok-ya yang belum lagi sadar itu. Kemudian dia akan datang lagi ke sini untuk menuntut
balas pada Aloyato,
Tiba-tiba Asuatuci berkata pula, "Bila kau taruh dia di sini, tentu akan kusembuhkan penyakit
kakinya dengan Thian-liong-cu, kalau tidak, biarpun kau bawa pergi dia juga tidak ada gunanya,
sebaliknya sama dengan mencelakai dia selama hidup.
Karena ucapan ini, Yu Wi menjadi ragu lagi Pikirnya, "Jika dia benar-benar bermaksud
menyembuhkan kelumpuhan Ya-ji, bila kubawa lari Ya-ji, memang sama seperti kubikin cacat Ya-ji
selama hidup."
Melihat Yu Wi ragu-ragu, segera Asnatuci menyambung lagi, "Dengan kehormatanku selaku
seorang raja, aku memberi jaminan padamu, aku pasti tidak berdusta, Apabila kau benar-benar
mencintai dia, kau harus menaruh dia di sini agar dapat kusembuhkan kakinya, Kalau tidak berarti
kau terlalu egois, hanya memikirkan kepentingan dirimu sendiri."
Diam-diam Yu Wi bertanya kepada dirinya sendiri, apabila tidak gubris usul Asnatuci itu, dan
membawa lari Ya-ji, betulkah hal itu sama dengan memikirkan kepentingannya sendiri"
Dengan tertawa Asnatuci berkata lagi, "Kau kuatir kukangkangi dia, maka tanpa menghiraukan
penyakit kakinya hendak kau bawa lari dari sini, supaya selanjutnya kau dapat mendampingi dia
selamanya, coba, tujuanmu ini apakah bukan terlalu egois?"
Beberapa patah kata ini benar-benar mengetuk hati nurani Yu Wi.
Hendaklah maklum, sejak kecil Asnatuci balajar kesusasteraan Han atau Tionghoa, dia
terhitung seorang raja yang cerdik dan pandai, bijaksana, dia mahir membaca jalan pikiran orang
lain, sedikit perubahan air muka Yu Wi segera dapat dirabanya apa yang sedang dipikirkan anak
muda itu. Karena sudah terjirat oleh kata-kata Asnatuci, Yu Wi menjadi serba salah, ia tanya, "Apakah
benar kau dapat menyembuhkan penyakit kaki Ya-ji.?"
Melihat Yu Wi sudah masuk perangkap, dengan tertawa ia berkata, "Hanya satu biji Thian
liong-cu saja apa artinya bagiku" pasti akan kugunakan benda mestika itu untuk menyembuhkan
kakinya, bahkan kuberi jaminan padamu, aku pasi tidak akan mengganggu dia."
Pada saat itulah mendadak Ko Bok-ya bersuara, "Toako, jangan kau percaya ocehannya!"
Yu Wi sangat girang, dipandangnya Bok-ya dalam rangkulannya dan bertanya, "Bilakah kau
sadar, Ya-ji"
"Ketika dilemparkan Hwesio busuk itu aku lantas sadar," tutur Ya-ji dengan tertawa, "Cuma
seketika aku tak dapat bicara, maka tidak kuberitahukan kepada Toako, tentunya kau tidak marah
padaku, bukan?"
"Yu Wi menggeleng-geleng kepala, ia hanya tertawa sambil memandangi si nona. Padahal dia
tidak jelas apa yang dikatakan Bok-ya, hanya kalimat terakhir saja yang didengarnya dan dia
lantas menggeleng.
Maklumlah, setelah berpisah sekian hari, Yu Wi telah mengalami siksaan batin yang cukup
berat dan sangat merindukan Bok-ya, kini melihatnya sudah siuman, saking gembiranya sehingga
musuh di depan mata pun dilupakannya.
"Wah, cepat juga kau sadar kembali!" kata Aloyato mendadak.
"Masa dianggap cepat?" ucap Bok-ya. sambil memandang Yu Wi dengan tertawa.
Aloyato lantas berkata pula, "Biasanya seorang yang minum Pek-jit-cui, sesuai namanya,


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum seratus hari tidak dapat siuman kembali "
Maka tahulah Bok-ya bahwa dirinya sudah tidur entah berapa hari lamanya, teringat olehnya
mungkin tempo hari waktu minum bernama Li Tiau dan terbius bersama Toako, tapi Toako sadar
lebih cepat dan sekarang menyusul kemari untuk menolong dirinya.
Karena pikiran ini, ia pandang Yu Wi sambil tertawa terlebih manis dan lebih bahagia, katanya
"Kita memang bukan orang biasa, dengan sendirinya sadar terlebih cepat."
Melihat waktu bicara si nona selalu memandangi Vu Wi dengan tertawa, melirik ke arahnya
saja tidak sudi, diam-diam Asnatuci merasa iri, katanya segera, "Apa gunanya meski sudah sadar,
kelak kan juga tetap cacat?"
"Biarpun cacat juga lebih baik daripada tetap tinggal disini?" ucap Asnatuci dengan menyesal."
"Tinggal di sini dan harus berpisah dengan tuokoku, betapapun aku tidak mau," kata Ya-ji
dengan suara lembut.
"Kau tahu, di dunia ini hanya Thian-liong cu saja yang dapat menyembuhkan kakimu," kata
Asnatuci. Bok-ya tidak tertarik oleh ucapannya ini, katanya dengan tertawa, "Darimana kau tahu
penyakit kakiku tak dapat disembuhkan dengan obat lain?"
"Kan kalian sendiri yang bilang begitu kepada Li Tiau?" jawab Asnatuci, "Maka kuanjurkan
janganlah kalian kepala batu, cacat selama hidup adalah siksaan lahir batin yang tidak ringan."
Bok-ya tidak menghiraukan lagi, katanya pada Yu Wi, "Toako, marilah kita pergi!"
"Tapi... tapi kakimu..." ucap Yu Wi dengan cemas.
"Dia tidak mau memberi Thian-liong-cu, untuk apa kita memaksa?" ujar Bok-ya. "Kurela kakiku
tidak sembuh dan ingin berada di sampingmu untuk selamanya."
Yu Wi pikir yang penting sekarang harus mengatur suatu tempat yang aman bagi Bok-ya,
habis itu barulah dia datang ke sini lagi untuk minta Thian-liong-cu dan untuk menuntut batas
sakit hati ayah.
Maka ia tidak bicara lagi melainkan terus bertindak pergi.
Tapi Aloyato terus mengadang di ambang pintu, jengeknya, "Hm, masa begitu mudah kalian
akan pergi begini saja?"
"Habis apa kehendakmu?" tanya Yu Wi dengan mendelik.
"Tinggalkan anak dara ini di sini dan kau boleh pergi sendiri, tidak nanti kami merintangimu,"
kata Aloyato. "Wah, gurumu ini sungguh sukar dicari" seru Bok-ya tiba-tiba dengan tertawa.
"Memangnya diriku kenapa?" tanya Aloyato.
"Kau bilang sangat langka mencari guru semacam kau," jawab Bok-ya. "Sudah mengajar
kungfu kepada murid, menjadi penjaganya pula, sekarang juga mengganas bagi muridnya. Nah, di
dunia ini masakah ada guru yang serupa budak belian macam dirimu ini?"
"Kau berani memaki diriku"!" bentak Aloyato, sebelah tangannya terus menghantam.
Mendadak Yu Wi melihat pedang kayu besi milik sendiri tergantung di dinding, cepat ia
melompat ke sana, dalam pada itu pukulan kedua Aloyato sudah menyusul tiba pula.
Namun Yu Wi sudah sempat mengambil pedang itu, kedua kakinya juga tidak menganggur,
sekali pancal di dinding, tubuhnya terus meluncur ke jendela seperti panah terlepas dari busurnya,
Denqan sendirinya kedua kali pukulan Aloyato mengenai tempat kosong, ia menjadi malu den
murka, segera ia mengejar keluar.
Begitu berada di luar jendela, serentak senjata tajam menyambar dari berbagai penjuru,
Namun Yu Wi sudah siap siaga, ia tahu peristiwa itu sudah mengejutkan penjaga. Cepat ia putar
pedangnya untuk menangkis.
Gerakan pedang Yu Wi disamping menangkis juga menyerang sekaligus, padahal yang
mengerubutinya dari berbagai penjuru itu hanya pengawal biasa saja, begitu merasakan angin
tajam menyambar, mereka menjadi ketakutan dan menarik kembali senjata masing-masing.
Dan sebelum para pengawal itu mempunyai pikiran lain, tahu-tahu serangan Yu Wi sudah tiba
pula, dalam sekejap itu pergelangan tangan para pengawal itu telah kena tersabat satu kali.
Seketika terdengarlah suara "trang triiig" senjata penjaga sama terlepas dari pegangan.
Saat itulah Aloyato telah melompat keluar, melihat kejadian itu, ia memaki dengan gusar:
"Semuanya tidak becus! Enyah seluruhnya!"
Cepat para penjaga itu berlari mundur, di tengah kalangan tinggal Aloyato saja yang
berhadapan dengan Yu Wi, kini Yu Wi tidak ingin bertempur lagi, sambil memutar pedang kayu ia
terus berlari keluar istana dengan membawa Ko Bok-ya.
Setiba di luar istana, dilihatnya kepala manusia memenuhi lapangan di luar, sedikitnya ribuan
prajurit berkuda telah mengepung rapat sekeliling istana, untuk menerjang keluar begitu saja jelas
tidak mudah, pasukan berkuda itu datangnya sungguh sangat cepat, di tengah malam buta pihak
Turki dapat mengerahkan pasukan sejumlah itu secepat ini, jelas pasukan ini sudah sangat
terlatih, Pantas setiap peperangan di Tionggoan pasukan Turki selalu sukar dibendung.
Setiap prajurit berkuda itu membawa obor, keadaan di luar istana menjadi terang benderang
seperti siang hari.
Selagi Yu Wi bermaksud menerjang mati-matian, mendadak Aloyato menyusul tiba, dengan
tertawa ia berreriak, "Nah, ke mana lagi akan kau lari?"
Waktu Yu Wi berpaling, dilihatnya di belakang Aloyato mengikut pula belasan jagoan, ada
orang Turki, ada pula bangsa Han, usianya rata-rata sudah setengah baya, Mereka lantas
terpencar mengepung Yu Wi di tengah, semua mengawasi Yu Wi secara ketat dengan senjata
terhunus. Di tengah pengiringnya Asnatuci juga kelihatan keluar, Melihat Yu Wi tidak berhasil kabur, ia
lantas berkata," Kukira lebih baik kau tinggalkan saja Ya-ji di sini...."
Bok-ya mendelik, teriaknya, "Nama Ya-ji bukan panggilanmu!"
Asnatuci yakin Yu Wi pasti tidak dapat lolos, ia sengaja mengiming-iming si nona, ia keluarkan
Thian-liong-cu dan berkata, "Setelah pertemuan di Siau-ngo-tay-san tempo hari, sepulangnya
barulah jiwaku dapat di selamatkan. Maksudku menahan dirimu di sini juga tiada tujuan jahat,
maklumlah setiap saat aku sendiri dapat mati, yang kuharapkan hanya senantiasa dapat kulihat
dirimu sebelum ajalku tiba dan semua itu sudah puas bagiku."
Segera Thian-liong cu itu diselentikkan ke arah Ko Bok-ya. Si nona cepat menangkapnya.
Aloyato lantas berkata, "Sedemikian baik Tuci terhadapmu, masa tiada rasa terima kasihmu
sama sekali"
"Untuk apa aku harus berterima kasih?" kata Bok-ya dengan tertawa.
"Thian-liong-cu biasanya tersimpan rapi di dalam istana dan merupakan pusaka negara Turki,
sekarang Tuci sengaja mengeluarkannya dan dihadiahkan padamu, masa maksud baiknya ini tidak
berharga untuk mendapatkan terima kasih"-" kata Aloyato:
"Thian-liong-cu kan bukan miliknya," dengan sendirinya aku tidak perlu berterima kasih
padanya," ujar Bok-ya.
"Tuci adalah raja suatu negara, dengan sendirinya "Thian-liong-cu ini termasuk harta
bendanya, mengapa kau bilang bukan miliknya?"
"Kau tidak percaya, boleh kau tanya padanya," kata Bok-ya dengan tertawa.
"Kalau Thian-liong-cu bukan milikku, habis milik siapa?" tanya Asnutuci.
"Milik Toakoku," kata Bok-ya.
"Omong kosong!" bentak Aloyato
"Siapa yang omong kosong"!" jawab Bok-ya dengan tertawa.
"Toakoku telah membelinya dari Asnatuya dengan 12 biji mata harimau tutur yang tak ternilai
harganya, siapa yang berani menyangkalnya?"
"Masa betul terjadi begitu?" tanya Asnatuci dengan terkejut.
" Kiranya Asnatuya bermaksud mendapatkan ke-12 biji mutiara mata harimau tutul, hal ini
tidak dikatakannya kepada sang kakak, sedangkan Li Tiau hanya melaporkan kepada Asnatuci
tentang maksud kedatangan Yu Wi ini adalah ingin mencari Thian-liong-cu untuk menyembuhkan
kelumpuhan Ko Bok-ya dan tidak pernah memberitahukan tentang terjadinya jual-beli antara
Asnatuya dengan Yu Wi itu.
"Kalau kalian tidak percaya, kenapa tidak di tanyakan kepada Asnatuya," seru Buk-ya.
Segera Asnatuci memberi perintah agar Asnatuya dipanggil menghadap.
Saat itu Asnatuya sedang tidur, ia digiring menghadap sang raja, tentu saja ia kebat-kebit,
segera ia bertanya, "Ada apa kakak Baginda memanggil diriku?"
Dengan muka masam Asnatuci menegur, "Lekas keluarkan ke-12 biji mata harimau tutul itu!"
Asnatuya cuma tahu di luar istana sedang sibuk menangkap penyatron, ia tidak tahu yang
dikepung itu ialah Yu Wi, maka ia berlagak bingung dan menjawab, "mata harimau tutul apa?"
Dengan tertawa terkikik Ko Bok-ya lantas menyeletuk, "Toakoku sudah datang hendak
mengambil Thian-liong-cu padamu!"
Baru sekarang Asnatuya menoleh, melihat Yu Wi, seketika air mukanya berubah pucat.
"Lekas kembalikan ke-12 biji mutiara itu kepada mereka!" jengek Asnatuci dengan kereng.
Terpaksa Asnatuya mengeluarkan ke-12 biji "Pak-gan" dari sakunya, cara menyimpannya
sungguh sangat rapi, kuatir hilang di tempat penyimpanan mutiara itu selalu dibawanya dalam
baju. Belasan tokoh persilatan yang mengepung Yu Wi itu kebanyakan adalah manusia tamak, kalau
melihat harta benda matanya lantas hijau," Kini melihat mutiara mestika sebanyak itu, serentak
perhatian mereka sama tercurahkan ke arah Asnatuya sehingga lupa tugas kewajiban.
Asnatuya juga merasa berat untuk mengembalikan mutiara, mestika yang sukar dicari itu,
Maklumlah, manusia mana yang tidak suka kepada kuda mestika yang berharga itu. Kalau
sekarang dia disuruh melepaskan mutiara yang berharga lima juta tahil emas itu, sungguh lebih
sakit dirasakannya daripada kulit dagingnya diiris, Dengan gusar Asnatuci lantas membentak, "Kau
berani membangkang perintahku?"
Pada umumnya disiplin pasukan Turki sangat keras, meski adik raja juga tidak boleh
membangkang perintah. Bila Asnaiuci gusar, bisa jadi adik sendiri juga akan dihukum mati. Di
antara perbandingan jiwa dan harta, betapapun Asnatuya memilih yang tersebut duluan, terpaksa
ia melemparkan ke-12 biji mutiara mestika itu kepada Yu Wi , Tapi sekali hantam Yu Wi membikin
ke 12 biji mutiara itu mencelat dan berhamburan ke mana-mana.
Teriaknya dengan sungguh-sungguh, "Sekali seorang Kuncu sudah berjanji, melebihi
kecepatan kuda berlari! Asnatuya, apakah kau sudah lupa kepada pribahasa ini?"
Ke 12 biji mutiara mestika itu berhamburan di tanah, cahayanya yang gemilapan menimbulkan
daya tarik yang sangat besar.
Belasan jagoan tadi tidak lahan oleh daya tarik benda mestika yang sukar dicari ini, segera
mereka berebut menjemput mutiara yang berserakan itu.
Asnatuya kuatir mutiara itu akan habis direbut orang, iapun tidak mau ketinggalan serentak
iapun memburu maju dan ikut berebut.
Seketika keadaan menjadi kacau balau, suasana menjadi heboh, setiap orang berebut mutiara,
kelakuan mereka yang tamak kelihatan sangat lucu.
Asnatuci sampai gemetar saking gusarnya melihat perbuatan yang memalukan dari anak
buahnya itu, mendadak ia membentak, "Panah!" serentak pasukan berkuda tadi melepaskan
panah. Pada kesempatan itulah segera Yu Wi menggendong Ko Bok-ya dan dibawa lari, ia pedang
kayunya dengan kencang untuk menghalau perintangnya.
Terpaksa Aloyato harus melindungi Asnatuci dan mundur ke dalam istana, ia tidak sempat lagi
mengejar Yu Wi.
Dengan sendirinya para prajurit Turki bukan tandingan Yu Wi, sekali ia membentak dan putar
pedangnya, kontan mayat terkapar dan darah muncrat.
Belum pernah prajurit Turki melihat orang seperkasa ini, mereka sama menyingkir dengan
ketakutan sehingga lupa memanah.
Belasan tokoh persilatan yang berhasil merebut mutiara mestika itu menyadari perbuatan
mereka pasti tidak nanti diampuni, untuk tinggal lagi di negeri ini jelas tidak mungkin, Maka
beramai-ramai mereka lantas menerjang keluar kepungan dan melarikan diri.
Hanya Asnatuya saja yang tidak tinggi ilmu silatnya, beberapa anak panah hinggap di
tubuhnya, ia menggeletak di tanah sambil merintih, sebiji mutiara yang berhasil direbutnya juga
telah dirampas oleh salah seorang tokoh persilatan tadi.
Sementara itu Yu Wi telah menerjang ke luar dari kepungan musuh, dengan Ginkangnya yang
tinggi ia terus kabur secepatnya.
Ia berlari-lari sekian lamanya, mendadak terdengar seorang penunggang kuda mengejar dari
belakang. Karena menggendong Bok ya, dengan sendirinya kecepatan larinya berkurang terdengar
si pengejar makin mendekat.
Yu Wi merasa heran, siapakah orang ini, mengapa cuma sendirian dan mengejar terus
menerus. Meski tenaganya belum pulih seluruhnya akibat terlalu banyak tenaga yang terkuras
digunakan membetot pintu terali di penjara gua itu, namun hanya seorang pengejar saja ia pikir
tidak perlu ditakuti. Segera ia membalik tubuh dan menunggu kedatangan orang.
Kira-kira belasan tombak di depannya, pengejar itu lantas berhenti dan melompat turun dari
kudanya sambil berseru: "Yu-heng, aku Li, Tiau!"
"Mau apa kau?" tanya Yu Wi kurang senang.
Dilihatnya Li Tiau berpakaian ringkas, hanya menyandang sekantung anak panah dan sebuah
busur. Dia melangkah maju dan berkata pula, "Atas perintah Sri Baginda, mohon Ko-siocia
ditinggalkan di sini!"
"Jangan kau mendekat kemari, kalau tidak aku tidak sungkan lagi padamu," ancam Yu Wi
dengan gusar. "Aku bersalah padamu, kau memang tidak perlu sungkan padaku," kata Li Tiau.
Habis berkata, ia mencabut sebatang anak-panah terus membidik ke arah Yu Wi,
Karena tahu kelihayan ilmu memanah orang, terkesiap juga Yu Wi. Dengan cermat ia
memperhatikan sambaran panah itu, dilihatnya panah itu meluncur dengan sangat perlahan,
meski mengincar ke arah dada Yu Wi namun dengan mudah dapat di hindarinya.
"Dia sengaja memanah dengan lambat," jawab Bok-ya dengan tertawa.
"Siapa bilang sengaja?" seru Li Tiau."
"Yu Wi, jika Ko-siocia tidak kutinggalkan di sini, panah berikutnya tentu takkan meleset lagi."
"Kau benar-benar menghendaki kutinggalkan Ya-ji?" tanya Yu Wi dengan menyesal.
"Betul, mau tak mau Ko-siocia harus kau tinggalkan," jawab Li Tiau tegas.
Segera ia melolos sebatang panah dan membidik pula, sambaran panah ini sangat pesat,
Cepat Yu Wi menyambutnya dengan pedang, Tapi segera terdengar suara "ser-ser-ser" beruntun
tiga kali, Tiga anak panah dalam bentuk satu garis menyambar tiba sekaligus, kecepatannya sukar
dibandingi senjata rahasia manapun.
Yu Wi merasa tidak mampu menyampuk rontok ketiga panah itu, dengan gusar ia balas
membidik Li Tiau dengan anak panah pertama yang ditangkapnya tadi. Segera pula ia berusaha
menyampuk ketiga anak panah itu, tapi hanya dua panah yang rontok, punah ketiga mengenai
bahu kiri. Tentu saja ia kesakitan, tapi waktu menunduk, ternyata bahu kiri yang terkena panah in tidak
terluka Tentu saja ia sangat heran.
Dalam pada itu didengarnya Li Tiau lelah menjerit kesakitan panah yang disambitkan Yi Wi itu
dengan tepat mengenai dadanya. Cuma lantaran disambitkan dengan tangan, panah itu tidak
dalam menancap di dada Li Tiau, hanya dua senti saja dalamnya dan tidak parah.
Melihat orang sama sekali tidak berusaha menghindar, seakan-akan sengaja menyodorkan
dadanya untuk dipanah, Yu Wi menjadi heran, serunya, "Kenapa kau tidak mengelak?"
Li Tiau tertawa, katanya, "Dengan demikian barulah aku ada alasan untuk bertanggung-jawab
terhadap Sri Baginda."
Tergetar hati Yu Wi, ia coba menjemput anak panah yang disampuknya rontok tadi, dilihatnya
ujung panah telah dipatahkan anak panah itu hanya batangnya saja, pantas tidak dapat
melukainya. Maka pahamlah Yu Wi akan duduknya persoalan. Rupanya panah pertama memang sengaja
dibidikkan dengan lambat oleh Li Tiau agar mudah ditangkap olehnya, lalu dirinya dipancing
supaya marah dan balas menyerangnya.
Padahal Li Tiau tidak bermaksud melukainya dengan panah, sebaliknya dirinya malah
melukainya, hati Yu Wi merasa tidak enak, cepat ia memburu maju dan berkata, "Li-heng, biar
kubantu mencabut panah itu"
Tapi Li Tiau lantas menyurut mundur, katanya sambil menggeleng, "Jangan, jangan dicabut,
sekali dicabut akan hilanglah bukti pertanggungan jawabku terhadap Sri Baginda."
"Li-heng, kau terluka olehku, sungguh hatiku tidak tenteram," ujar Yu Wi dengan menyesal.
"Tidak apa-apa, hanya luka ringan saja," ka ta Li Tiau dengan tertawa.
"Bila panah itu, mengenai tempat yang berbahaya, sungguh aku merasa berdosa besar," kata
Yu Wi pula. "Akulah yang berdosa padamu, tidak ada kesalahanmu kepadaku," kata Li Tiau dengan
sungguh-sungguh. "Yu-heng, lekaslah kalian pergi, selekasnya Aloyato akan menyusul kemari
dengan pasukannya!"
"Kau takkan dicurigai setelah pulang ke sana?" tanya Yu Wi.
"Aku sudah terluka, mereka pasti takkan curiga," kata Li Tiau dengan tertawa.
"Selama hidup ini takkan kulupakan budi kebaikan Li-heng," kata Yu Wi sambil memberi
hormat "Semoga kelak dapat berjumpa pula."
"Kau pandang diriku sebagai sahabat karib, sebaliknya aku sudah menjebak kalian dengan Pek
jit-cui, apakah kejadian ini dapat kau maafkan?"
"Sebelum ini sudah kumaafkan kau," jawab Yu Wi dengan tertawa, Habis berkata ia terus
berlari pergi secepat terbang.
Tertinggal Li Tiau yang diliputi tanda tanya: "Mengapa sebelum ini dia sudah memaafkan
didiku?" Ia tidak tahu apabila bukan lantaran lukisan pemujaan leluhur di rumahnya itu serta
percakapannya terhadap saudaranya malam itu, mungkin jiwanya sudah lama melayang di tangan
Yu Wi. - 00X00- - 00X00 -
Kuatir A'oyato akan menyusulnya, Yu Wi menyadari bukan tandingan paderi Thian-tiok itu
karena dirinya harus menggendong Ya-ji, jalan yang paling baik sekarang harus mencari suatu
tempat sembunyi yang aman bagi Bok-ya.
Karena itulah ia berlari secepat-cepatnya, tanpa terasa yang tertuju adalah lereng gunung Kimsan.
Kim-san atau gunung emas yang dimaksud adalah gunung Altai yang kita kenal sekarang,
lereng pegunungan ini terbentang sangat luas, kalau sembunyi di lereng gunung ini tentu tidak
mudah diketemukan.
Yu Wi terus berlari ke atas gunung, ia mendapatkan sebuah gua, begitu berada dalam gua, ia
terus menurunkan Bok-ya, ia sendiripun lemas dan terengah- engah.
"Kau sangat lelah, Toako?" tanya Bok-ya dengan penuh kasih sayang.
Yu Wi hanya mengangguk sambil berbaring, tenaga untuk bicara saja rasanya tidak ada lagi.
Pelahan Bok-ya membelai dahi anak muda itu dan berkata, "Kita takkan berpisah lagi untuk
selamanya, begitu bukan, Toako?"
Yu Wi tidak menjawabnya.
WaktU Bok-ya menunduk, kiranya dalam waktu sesingkat itu Yu Wi sudah terpulas. Bok-ya
menghela napas pelahan, ia mendekap di atas tubuh Yu Wi, sejenak kemudian iapun tertidur.
Esok paginya, cuaca cerah.
Yu Wi terjaga bangun oleh suara kicauan burung, kelelahan semalam terasa sudah lenyap
seluruhnya setelah tidur nyenyak semalam, ia mengulet, lalu bangun berduduk.


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia pandang sekelilingiiya, Ya-ji tidak kelihaian berada di situ, disangkanya si nona berada di
luar gua, ia coba berseru memanggilnya, "Ya-ji, Ya-ji. Apa yang sedang kau lakukan?"
Sampai sekian lama tidak ada suara jawaban, Keruan Yu Wi terkejut, ia pikir kaki si nona
belum dapat bergerak dengan leluasa, untuk berjalan paling-paling hanya beberapa tindak saja
dan tidak dapat mencapai jauh, kalau tidak berada di luar gua, lalu ke mana perginya"
Masih disangkanya si nona sengaja menggodanya dan tidak mau menjawab panggilannya,
meski kuatir tapi tidak cemas, pelahan ia melangkah keluar gua, tapi di luar benar-benar tidak
tertampak bayangan Ya-ji.
Sekali ini dia baru benar-benar kuatir, mukanya menjadi pucat, teriaknya keras-keras, "Ya-ji...
Ya-ji!" Suaranya bergema di lereng pegunungan itu sampai sekian lamanya, tapi tetap tiada suara
jawaban si nona, saking gelisahnya Yu Wi terus berlari kian kemari sambil berteriak-teriak, "Ya-ji!
Ya-ji!... Di mana kau"...."
Sampai sekian lamanya ia berlari tetap tidak menemukan Bok-ya, akhirnya ia berlari kembali
ke tempat semula, ia menerjang ke dalam dengan harapan si nona sudah kembali, Akan tetapi di
dalam gua tetap kosong melompong tiada terdapat apapun.
Ko Bok-ya menghilang tanpa bekas apapun seperti ditelan hantu malam.
Yu Wi masih ingat benar ketika semalam dirinya tertidur, nona itu masih terus menqerocos dan
menyatakan takkan berpisah lagi selamanya, Mengapa sekarang bayangannya saja tidak kelihatan,
jelas bukan Bok-ya sengaja meninggalkannya.
Kalau si nona tidak sengaja meninggalkan dia, lalu ke mana perginya" Jangan-jangan....
Segera Yu Wi ingat akan Aloyato, hanya paderi Thian-tiok itu saja yang mungkin telah
menculik Bok-ya, hanya dia pula yang bisa menggondol nona itu dari sampingnya tanpa
meninggalkan sesuatu tanda yang mencurigakan.
Setelah mantap berpikir demikian, Yu Wi menengadah dan berseru, "Wahai Aloyato! aku
bersumpah takkan berdamai dengan kau!"
Ia terus berlari turun gunung dan menuju ke arah datangnya semalam, Kini dalam hatinya
hanya berpikir pasti Aloyato yang telah menculik Bok-ya, tapi tak terpikir pula bila benar perbuatan
Aloyato, mengapa paderi Thiau-tiok itu tidak membekuknya sekalian sewaktu dia tertidur nyenyak"
Sampai di kota kemarin, dilihatnya tidak ada orang berlalu di jalan raya, hanya sedikit prajurit
Turki yang meronda kian kemari. ia coba memasuki beberapa rumah penduduk, semuanya kosong
tanpa penghuni.
Ia coba mendatangi istana itu, juga tidak ada orang, ia coba menangkap seorang penjaga dan
ditanyai dengan bahasa Turki: "Kemana perginya orang di sini?"
Penjaga itu meringis kesakitan karena dicengkeram dengan keras oleh Yu Wi, jawabnya
dengan gemetar, "Orang si... siapa?"
"Dengan sendirinya penghuni istana ini?" bentak Yu Wi dengan gusar.
"Semuanya pergi... pergi ke pa.. padang rumput!"
"Untuk apa pergi ke padang rumput?"
Dengan menahan rasa sakit penjaga itu berkata, "lep... lepaskan dulu diriku agar... agar aku
dapat bicara..."
Karena menguatirkan keselamatan Ko Bok-ya, perangai Yu Wi berubah menjadi aseran, tapi
dilepaskan juga cengkeramannya dan membentak pula, "Lekas katakan, untuk apa mereka pergi
ke padang rumput?".
Penjaga itu ketakutan, terpaksa ia bercerita.
"Raja kami pergi ke padang rumput raya untuk menyambut kedatangan raja Iwu."
Baru sekarang Yu Wi tahu. seluruh orang yang tinggal dikota ini sama ikut Asnatuci ke padang
rumput untuk menyambut kedatangan seorang raja dari negeri lain, Dan entah Ya-ji
disembunyikan di mana" . Segera ia bertanya pula, "Apakah kulihat seorang nona bangsa Han?"
Penjaga itu menggeleng dan menyalakan tidak tahu.
Yu Wi pikir sukar lagi mengorek keterangan dari penjaga ini, jalan satu-satunya adalah ikut
pergi ke padang rumput raya untuk mencari Aloyato. Segera ia tutuk Hiat-to penjaga itu agar tak
dapat bersuara untuk waktu sementara, lalu berlari menuju ke padang rumput.
Padang rumput raya adalah daerah peternakan paling besar di sekitar Kim san, juga pangkalan
sebagian besar pasukan Turki, betapa luasnya padang rumput ini, seyojana mata tak tertampak
tapal batasnya.
Setiba di padang rumput yang luas itu, dilihatnya perkemahan tersebar di mana-mana,
penjaga berkuda berlari kian kemari, Melihat Yu Wi berdandan sebagai orang Turki, disangkanya
rakyat gembala sekitar padang rumput sehingga tidak ada yang menegurnya.
Kemah, yang memenuhi padang rumput itu beribu-ribu jumlahnya, jika ingin mencari tenda
Asnatuci di tengah perkemahan sebanyak itu jelas tidak dapat diketemukan dalam waktu singkat.
Apalagi Yu Wi tidak berani bertanya kepada perajurit Turki, kuatir dicurigai.
Selagi bingung, tiba-tiba terdengar suara terompet tanduk bertiup sahut menyahut di sana
sini, dalam sekejap suara "tut-tut" berkumandang memecah angkasa padang rumput raya.
Segera terdengar pula gemuruh gerakan pasukan yang beramai-ramai menuju ke pusat
padang rumput, Sampai sekian lamanya suara gemuruh itu baru mereda. Pasukan-pasukan yang
tadinya terpencar di berbagai tempat ini kini telah berkumpul di suatu tempat. Hanya tersisa
beberapa kelompok kecil prajurit Turki yang menjaga perumahan kosong yang ditinggalkan.
Yu Wi pikir tempat berkumpulnya pasukan itu tentu tempat kediaman Asnatuci, segera iapun
berlari menuju ke pusat padang rumput itu.
Setelah dekat, tertampak beratus ribu perajurit Turki berbaris di sekeliling sana dengan rajin
dan teratur, orang sebanyak itu tiada terdengar suara gaduh sedikitpun, hanya terkadang
terdengar suara ringkik kuda di sana sini.
Betapa ketat disiplin dan terlatihnya pasukan perang ini, sungguh sangat mengejutkan dan
juga mengagumkan. Diam-diam Yu Wi heran mengapa berpuluh laksa perajurit Turki itu berbaris
diam saja tanpa bersuara.
Tak terduga, mendadak terdengar suara sorak sorai yang gegap gempita, belasan laksa
prajurit seperti suara seorang yang serentak berteriak, "Hidup Sri Baginda! Hidup...."
Suara teriakan itu menggema di angkasa hingga lama, kedengarannya sangat khidmat dan
berwibawa. Diam-diam Yu Wi membatin, "Mungkin saat inilah Asnatucj baru muncul di depan
pasukannya!"
Sejenak kemudian suara sorak-sorai ini baru mereda, suasana di padang rumput raya itu
kembali tenang.
Sesudah dekat, Yu Wi melihat prajurit yang berbaris itu semuanya berdiri tanpa bergerak,
semuanya tegak seperti patung.
Dengan sendirinya dia tidak dapat melihat keadaan di sebelah dalam sana, segera ia melompat
ke atas, dengan ginkang yang tinggi ia melayang lewat ke sana dengan topi perang para perajurit
Turki sebagai batu loncatan.
Meski kaget para prajurit yang kepalang merasa terinjak, namun semuanya tetap tidak
bergerak dan tiada mengeluarkan suara sedikitpun seperti halnya tidak melihat Yu Wi melayang
lewat di atas kepala mereka.
Kira-kira beberapa puluh tombak jauhnya Yu Wi turun ke tanah dan menghunus pedang kayu,
dilihatnya lapangan yang dikelilingi pasukan Turki itu ada ratusan tombak persegi, di kejauhan
kelihatan Asnatuci berdiri di bawah pengayoman payung besar, di belakangnya berdiri
serombongan orang, di antaranya terdapat pula Aloyato.
Di sebelah kanan sana juga ada sebuah payung raksasa, di bawah payung terdapat seorang
tua berpakaian aneh, di belakangnya juga mengiringi serombongan pengikut dengan pakaian aneh
serupa. Orang tua itu bermuka lebar dan bertelinga besar, dengan langkah pelahan sedang
menuju ke arah asnatuci.
Dalam jarak kira-kira 30 tombak, Asnatuci tampak berdiri dengan angkuh, tanpa bergerak dan
tidak menyapa, mirip seorang tuan yang sedang menerima kunjungan anak-buahnya.
Yu Wi pikir orang tua berpakaian aneh itu pasti raja Iwu, pantas beratus ribu perajurit tidak
ada yang bersuara, kiranya di sini sedang berlangsung upacara penyambutan resmi.
Hendaklah dimaklumi bahwa menurut adat kebiasaan suku bangsa asing, semakin besar
pasukan yang dipamerkan, semakin hormat pula berlangsungnya upacara penyambutan itu.
berbeda dengan kerajaan Tionggoan yang menyambut secara ramah-ramah dengan adat yang
halus. Tatkala mana kekuatan pasukan Turki tergolong paling kuat, hampir semua negeri suku
bangsa kecil di daerah barat sama takluk kepada bangsa Turki sehingga Asnatuci boleh dikatakan
pemimpin nomor satu bagi semua suku bangsa di daerah barat.
Melihat upacara yang khidmat itu, Yu Wi berdiri saja di samping dan tak berani mengganggu
maksudnya hendak menunggu selesainya upacara itu untuk kemudian baru mencari Aloyato dan
melabraknya. Meski sangat khidmat upacara penyambutannya, namun berlangsung dengan sangat
sederhana. Si kakek berpakaian aneh itu mendekati Asnatuci dan bercakap sejenak, lalu upacara
penyambutan itupun dianggap selesai.
Tengah kedua raja itu bercengkerama, seorang Turki yang tinggi besar berlari ke tengah
lapangan, lalu berteriak lantang, "Hidup persekutuan Turki dan Iwu!"
Keras sekali suara teriakannya hingga menjelma jauh, serentak beratus ribu perajurit juga
menyambut dengan teriakan yang sama, "Hidup persekutuan Turki dan Iwu!"
Suara beratus ribu orang berkumandang berpuluh li jauhnya, seketika seluruh pelosok padang
rumput raya itu sama mengetahui bahwa di antara kerajaan Turki dan Iwu telah bersekutu!
Melihat suasana yang luar biasa itu, diam-diam Yu Wi gegetun, ia pikir kerajaan Turki sekarang
telah bertambah lagi suatu negeri sekutu, hal ini berarti suatu kerugian besar bagi Tionggoan,
entah bagaimana nanti paman Ko akan menghadapi serbuan Turki yang bertambah kuat ini.
Belum lenyap suara teriakan yang gegap gempita itu, mendadak seorang penunggang kuda
berlari kemari, setiba di depan Yu Wi, penunggang kuda itu melompat turun dan menegurnya,
"Yu-heng, untuk apa kau datang ke sini?"
Setelah mengamatinya, kiranya orang ini adalah Li Tiau, Dengan serius Yu Wi menjawab, "Liheng,
hari ini betapapun kau tidak boleh merintangi tindakanku,"
Secara di bawah sadar Li Tiau meraba luka di dadanya, jawabnya dengan menghela napas
"Biarpun ingin kurintangi kau juga tidak mampu!"
"Lukamu tidak beralangam bukan?" tanya Yu Wi dengan menyesal.
"Asalkan tidak kugunakan untuk menarik busur, sebulan lagi kukira dapat sembuh," kata Li
Tiau. Yu Wi pikir keadaan sangat menguntungkan Li Tiau belum dapat memanah, sungguh suatu
kesempatan baik baginya untuk beraksi. sebentar bila melabrak Aloyato, andaikan Li Tiau
membantunya dengan panah tentu dirinya akan kalah, Akan tetapi sekarang Li Tiau tidak dapat
menggunakan busurnya, umpama dia tidak ikut membantu, tentu juga takkan menimbulkan curiga
Asnatuci. Dalam pada itu suara teriakan tadi sudah reda, kuatir Asnatuci akan memperhatikan ke arah
sini, cepat, Yu Wi berkata, "Lekas kau pergi saja, aku akan mencari Aloyato untuk mengadu jiwa!"
"Yu-heng," mohon Li Tiau, "janganlah kau berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan Sri
Baginda." Yu Wi tahu jiwa setia orang, dengan gegetun ia berkata, "Kupasti takkan bertindak sesuatu
yang merugikan Asnatuci, jangan kuatir!"
Jilid 09 Setelah mendapat janji Yu Wi, Li Tiau merasa lega, katanya, "Baiklah, hendaklah Yu-heng
berhati-hati."
Habis berkata ia lantas melarikan kudanya kesebelah Asnatuci sana. Selang sejenak barulah Yu
Wi menuju kedepan Asnatuci dengan langkah lebar.
Melihat Yu Wi, terkejut Asnatuci, tegurnya, "Kau berani datang kesini?"
"Kenapa tidak berani," jawab Yu Wi dengan gagah perkasa.
Aloyato segera bersikap membela disamping Asnatuci, dampratnya, "Keparat! Hari ini kau
hanya bisa datang dan tak dapat pergi lagi."
Waktu pertama kali melihat Yu wi, air muka raja Iwu kelihatan terkejut, setelah mengetahui
kedatangn anak muda itu tidak bermaksud baik, segera ia menyingkir kesamping untuk mengikuti
perkembangannya.
Dengan suara keras Yu Wi lantas berteriak, "Bisa datang dan tak dapat pergi apa" Aloyato!
Pendek kata, jika Ya-ji tidak segera kau serahkan, aku bersumpah takkan ada perdamaian
denganmu."
"Bukankah Ya-ji telah kau bawa lari?" tanya Asnatuci dengan heran.
"Betul, tapi telah digondol lari lagi oleh Hwesio bangsat ini," teriak Yu Wi dengan sedih.
Asnatuci menjadi girang, ia tanya Aloyato, "Bukankah demikian?"
"Tidak, tidak pernah terjadi," jawab Aloyato sambil menggeleng, "Bocah ini sengaja
memfitnah."
Tampaknya Asnatuci sangat kecewa, katanya terhadap Yu Wi, "Suhuku tidak mungkin
membohongi kau."
"Aloyato," seru Yu Wi pula, 'apakah kau berani bersumpah tidak menculik Ya-ji pada waktu aku
tertidur."
"Huh, menjaga seorang wanita saja tidak mampu, masakah punya muka untuk tanya padaku,"
ejek Aloyato. Tiba-tiba Li Tiau menyeletuk, "Alo-taysu, orang beragama tidak boleh berdusta."
Aloyato melirik Li Tiau sekejap, dengusnya, "Tidak nanti kudustai Tuci,"
"Wah, jika betul Ya-ji lenyap, kita harus lekas mencarinya, barang siapa menemukannya akan
diberi hadiah besar!" seru Asnatuci dengan penuh perhatian terhadap hilangnya Bok-ya.
Melihat sikap lawan, Yu Wi pikir mungkin sekali Ya-ji tidak diculik oleh Aloyato. Tapi kalau
bukan dia, lantas siapa"
Li Tiau lantas tanya Yu Wi, "Dimana hilang Ko-siocia?"
"Di Kim-san!" jawab Yu Wi dengan menyesal.
Asnatuci lantas memberi pesan dengan suara bisik-bisik kepada seorang panglima Turki yang
berdiri dibelakangnya. Setelah menerima perintah, segera panglima itu memimpin suatu regu
pasukan menuju Kim-san untuk mencari Ko Bok-ya.
Dengan gemas Aloyato lantas berkata, "Bocah keparat, kau berani memaki diriku sebagai
Hwesio bangsat didepan umum, lekas kau potong lidahmu sendiri sebelum kutindak."
"Kau memang Hwesio bangsat, mengapa tidak boleh kumaki?" jawab Yu Wi.
Aloyato berjingkrak murka, dampratnya, "Kurang ajar! Ayo, tidak perlu bersilat lidah, kalau
berani, cobalah beberapa gebrakan denganku!"
"Kedatanganku justeru hendak mencari kau untuk mengadu jiwa," jawab Yu Wi dengan
mendelik. Asnatuci yakin Yu Wi pasti bukan tandingan gurunya, maka dia sengaja berlagak murah hati,
katanya, "Yu Wi, jika kau mampu menandingi Suhu sama kuta, akan kuampuni kematianmu."
Dengan gusar Yu Wi menjawab, "Kau tidak lebih hanya orang tak beradab dari daerah
terpencil, dengan hak apa kau bisa menentukan kematianku?"
"Kau sembarangan menerobos kesini, menurut peraturan harus dihukum mati," jawab
Asnatuci. "Tapi aku bukan bangsa Turki kalian, aku tidak terikat oleh peraturan kalian," ujar Yu Wi
dengan tertawa.
Aloyato lantas menjauhi Asnatuci kira-kira belasan tombak sebelah sana, lalu berkata dengan
pandangan menghina kepada Yu Wi, "Ayolah, katamu ingin mengadu jiwa denganku, lekas mulai!"
Dengan tenang Yu Wi melangkah kesana.
"Yu Wi," seru Asnatuci dengan tertawa, "bertarunglah se-baik2nya dihadapan tamu agung, bila
pertarunganmu cukup gemilang dan menarik, meski kalah juga jiwamu dapat kuampuni."
Saking gusarnya Yu Wi berbalik tertawa, katanta, "Oo, jadi dengan pertarungan maut ini akan
kau gunakan untuk menghibur tamu agung kalian?"
Asnatuci hanya tersenyum saja tanpa menjawab, tapi lantas berkata terhadap raja Iwu,
"Konon banyak juga jago ilmu silat di negeri anda, jika dikehendaki, silakan para ahli silat kalian
ikut menyaksikannya."
Si kakek berpakaian aneh itu memberi tanda dan memanggil dua orang tua tinggi kurus
dibelakangnya, lalu berkata dengan tertawa, "Ah, dinegeri kami mana ada ahli silat segala. Biarlah
kedua orang ini saja kusuruh mereka mendampingi guru Yang Mulia!"
Kedua kakek tinggi kurus itu lantas maju kesana dan berdiri disamping Aloyato, dengan sorot
mata tajam mereka memandang Yu Wi.
Ketika sinar mata kebentrok dengan pandangannya, katanya terhadap Aloyato, "Tahukah kau,
sebab apa ingin kuadu jiwa dengan kau?"
"Tidak perlu banyak omong, ayolah turun tangan dulu!" damperat Aloyato.
Yu Wi tidak menghiraukannya, dengan suara lantang ia berseru, "mendiang ayahku, 'Ciangkiam-
hui' meninggal oleh pukulan Han-tok-ciang, maka sekarang puteranya hendak menuntut
balas bagi ayahnya!"
"Hah, kau anak Yu Bun-hu?" Aloyato terkejut.
Asnatuci juga terkejut, serunya, "Jika betul dia anak Yu Bun-hu, se-kali2 tidak boleh
dilepaskan!"
Yu Wi yakin Han-tok-ciang yang mengakibatkan kematian ayahnya itu pasti perbuatan Aloyato,
maka segenap duka nestapanya telah berubah menjadi kekuatan maha besar, tanpa bicara lagi
pedangnya lantas menabas.
Segera Aloyato menghadapi anak muda itu dengan Han-tok-ciang, sembari menyerang sambil
berkata, "Biarlah kau pun rasakan Han-tok-ciangku!"
Kini ilmu pedang Yu Wi sudah terlatih dengan baik, meski menghadapi Han-tok-ciang yang
maha lihai juga dapat menangkisnya dengan sama tangguhnya tanpa ada tanda-tanda akan kalah.
Tiba-tiba raja Iwu tanya Asnatuci, "Masa dia anak Ciang-kiam-hui Yu Bun-hu?"
"Dia she Yu, juga mengaku sendiri putera Yu Bun-hu, kukira tidak salah." jawab Asnatuci.
"Banyak juga jagoan negeri kami yang menjadi korban kekejian Yu Bun-hu, sebentar harap
diperbolehkan orangku membantu Alo-taysu," kata raja Iwu.
Asnacuti tertawa, jawabnya, "meski dia putera Yu Bunhu, tapi pasti bukan tandingan Suhuku."
"Tapi, apabila tak dapat menandingi dia?" masih kuatir juga raja Iwu.
Asnatuci pikir dahulu Yu Bun-hu juga pernah membunuh para pembunuh yang dikirimnya
untuk mengincar jiwa Ko Siu, sekarang anaknya tidak boleh dibiarkan lolos pulang dengan hidup.
Maka ia lantas menjawab, "Baiklah, boleh suruh kedua ahli kalian itu bertindak menurut keadaan."
Raja Iwu lantas mendekati kedua kakek tinggi kurus tadi dan memberi pesan agar setiap saat
menaruh perhatian istimewa terhadap gerak-gerik Yu Wi, bila Aloyato kelihatan kewalahan harus
segera memberi bantuan.
Setelah bertempur sekian lama, daya tekan Han-tok-ciang yang dilancarkan Aloyato bertambah
besar, Yu Wi merasa hawa dingin sekelilingnya semakin berat dan banyak mempengaruhi
permainan ilmu pedangnya. Karena itulah gerak pedangnya mulai lamban, daya serangannya
banyak berkurang.
Aloyato terkekeh-kekeh, katanya, "Sekarang biarpun ayahmu hidup kembali juga bukan
tandinganku, apalagi kau. . . ."
Teringat kepada kematian sang ayah yang mengenaskan, hati Yu Wi menjadi seperti dibakar,
ia pikir sekeliling musuh belaka, kalau tidak mengeluarkan segenap kemahiran kungfunya tentu
sukar membalas sakit hati, sebaliknya jiwa sendiripun sukar diselamatkan.
Angin pukulan Aloyato men-deru2, tenaganya bertambah kuat, setiap kali memukul selalu


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa daya tekanan yang lihai, pedang Yu Wi selalu tergetar menceng, ia pikir bila
pertarungan berlangsung lebih lama lagi dan anak muda itu tetap tak dapat dikalahkan, hal ini
akan berarti memalukan dirinya. Segera ia mengumpulkan segenap tenaga pada kedua tangannya
terus mendorong kedepan sekuatnya sambil membentak,
"Lepaskan pedangmu!"
Tapi Yu Wi juga membentak, "Belum tentu mampu!"
Mendadak permainan pedangnya berubah, ia keluarkan jurus "Bu-tek-kiam", Sekali jurus
serangan ini dikeluarkan, seketika pukulan Aloyato mengenai tempat kosong.
Selagi paderi Hindu itu merasa heran mengapa serangannya bisa meleset, se-konyong2
dirasakan sinar pedang bertaburan mengurung tiba dari atas.
Betapapun Aloyato sudah berpengalaman dan tahu kwalitas lawan, ia berteriak, "Celaka!"
Benarlah, baru lenyap suaranya, "prak", tahu-tahu tulang pundaknya sudah tertutuk remuk, ia
kehilangan tenaga murni dan tidak sanggup bertempur lagi, cepat ia melompat mundur untuk
menyelamatkan jiwa.
Yu Wi tidak memberi kelonggaran kepada lawan, segera ia menyusuli satu serangan lagi.
Tampaknya serangan susulan ini pasti dapat membinasakan Aloyato, pada saat itulah mendadak
ada orang memanggilnya dibelakang, "Yu Wi, jangan bertempur lagi!"
Suara ini terasa dingin seram, begitu mendengar Yu Wi lantas teringat kepada sorot mata
tajam kedua kakek tinggi kurus tadi, tanpa terasa ia menahan serangannya dan berpaling
kebelakang, secara dibawah sadar, seperti ada sesuatu tenaga gaib telah menyuruhnya
memandang sinar mata orang.
Kedua kakek tinggi kurus itu memang sedang menunggu berpalingnya Yu Wi, begitu sorot
mata kedua pihak kebentrok, kedua kakek itu lantas berkata pula dengan suara tertahan, "Yu Wi,
kepalamu terasa pening bukan?"
Benarlah, segera Yu Wi merasa kepalanya pening dan berat. Pada detik yang gawat itu,
seketika teringat olehnya sorot mata Sam-yap Siangjin yang buram dan seperti orang linglung di
istana Peng-ma-tayciangkun dahulu, serentak teringat juga olehnya Bok-ya pernah bilang tentang
ilmu "hipnotis", diam-diam ia mengeluh, "Wah, celaka! Kedua kakek ini mahir hipnotis!"
Cepat ia menggigit ujung lidah dan berusaha menghindari pandangan lawan, namun dalam
hati se-akan2 terbetot untuk memandangnya lagi. Ia tidak berani tinggal lebih lama lagi disitu,
cepat ia angkat langkah seribu dan berlari kedepan sekuatnya.
Di sekelilingnya adalah pasukan Turki, tapi dia putar pedang kayunya, dengan jurus "Bu-tekkiam"
yang tidak ada tandingannya itu ia membuka sebuah jalan berdarah untuk meloloskan diri.
Terdengar suara jeritan ngeri perajurit Turki bergema berulang-ulang, hanya sebentar saja Yu
Wi berhasil menerjang keluar kepungan.
Sesudah lolos keluar kepungan, Yu Wi merasa pening kepalanya belum lagi lenyap, dalam hati
masih tetap timbul hasrat untuk memandang sinar mata kedua kakek jangkung tadi.
Dalam pada itu suara pengejar dari belakang tidak pernah terputus, Yu Wi berlari sebisabisanya.
Tidak lama kemudian, waktu ia memandang kedepan, ternyata didepan juga penuh dengan
kepala manusia, pasukan Turki telah mengepung lagi dari sebelah sana.
Kini semangat tempur Yu Wi telah hilang, ia tahu bila terkepung lagi dirinya pasti akan roboh
pingsan. Ia heran mengapa didepan ada pasukan lagi, bukankah dirinya sudah menerjang keluar
kepungan tadi"
Ia tidak tahu bahwa beratus ribu perajurit Turki itu telah diberi komando agar mengepung lagi
dari kedua sayap kanan dan kiri, sekalipun Yu Wi dapat menerjang keluar lagi tetap akan dikepung
pula dari kedua sisi. Maklumlah, pasukan sebanyak itu dan sudah terlatih baik, adalah terlalu
mudah bila dikerahkan untuk menangkap satu orang saja.
Terpaksa Yu Wi berhenti, tampaknya sukar baginya untuk menerjang pula, ia harus mencari
jalan lain. Tiba-tiba dilihatnya disebelah kanan sana ada perkemahan. Cepat ia berlari kesana. Tujuannya
ingin mencari suatu tempat sembunyi yang baik.
Setiba disana, pasukan yang mengejarnya juga sudah dekat.
Yu Wi memandang kesana dan melongok kesini, sungguh celaka, tidak ditemukan sesuatu
tempat yang baik untuk bersembunyi. Disitu hanya ada belasan tenda besar. karena sudah
kepepet, tiada jalan lain, tanpa pikir terus menerobos masuk ketenda yang paling besar
disampingnya. Baru saja ia menyembunyikan diri, dari luar tenda itu berlari masuk beberapa anak perempuan
dan berseru, "Kongcu, Kongcu! Ada musuh lari ketempat kita sini!"
Mendadak dari pembaringan melompat bangun sesosok tubuh yang ramping, omelnya, "Musuh
apa" Tempat panas seperti neraka ini masa ada musuh segala?"
Beberapa anak perempuan itu sama menjawab, "Ya, ada musuh, pasukan yang mengejarnya
sudah mendekati perkemahan kita ini."
Bayangan tubuh yang ramping itu berseru kaget, "He, apa betul" Lekas ditahan diluar, siapa
pun tidak boleh masuk! Kuganti pakaian dulu!"
Buru-buru ia meraih sepotong baju dan menuju kebalik pintu angin, tanpa melihat apa yang
terdapat dibelakang pintu angin, terus saja tubuh yang mengiurkan itu mulai menanggalkan
bajunya sehingga tertinggal pakaian dalam saja.
Setelah membuka baju tidur yang tipis sehingga tersisa beha dan celana dalam, kalau menurut
istilah sekarang hanya pakaian begini saja yang dikenakannya, dia tidak segera memakai baju, tapi
berseru, "Siau Tho, ambilkan baju dan celana!"
Siau Tho adalah nama pelayannya, genduk itu berlari masuk dari luar tenda, lalu
mengambilkan seperangkat baju dan celana dan diangsurkan kebelakang pintu angin.
Bayangan tubuh yang ramping itu menerima pakaian itu dan ditaruh dibangku samping, lalu
menguap kantuk, kemudian membuka kutang sehingga kelihatan dadanya yang bmontok dan
putih mulus. Dak-dik-duk hati Yu Wi menyaksikan tontonan gratis tersebut, kebetulan tempat sembunyinya
itu adalah dipojok belakang pintu angin, tapi tidak diperhatikan oleh perempuan itu.
Saat itu si perempuan akan membuka lagi celana dalamnya, Yu Wi tidak tahan lagi, cepat ia
berseru tertahan, "He, jangan buka!"
Baru sekarang perempuan itu menoleh dan dilihatnya dibelakang bangku berjongkok seorang
lelaki, lantaran setengah badannya ter-aling2, sehingga waktu dia masuk kesitu secara terburuburu
tidak diperhatikannya.
Segera ia hendak menjerit, tapi demi melihat wajah Yu Wi, seketika ia urung bersuara,
melainkan berseru kaget dengan suara tertahan, "He, kau"!"
Mendadak teringat olehnya dirinya dalam keadaan telanjang, mana boleh bertemu dengan
orang. Keruan mukanya merah jengah dan baju tadi cepat diraihnya untuk menutupi tubuhnya.
Dalam benak Yu Wi masih terbayang sorot mata kedua kakek kurus yang aneh tadi, kini tanpa
terasa ia memandang mata jeli si nona dengan termangu.
Nona itu menjadi malu, cepat ia menutupi mukanya dan berseru, "Jangan memandang, jangan
Lihat!" Karena tidak lagi melihat sorot mata yang membetot sukma seperti sorot mata kedua kakek
tadi, pikiran Yu Wi seketika menjadi jernih kembali, segera ia tanya, "Tolong tanya, siapakah
nona?" Nona itu mengenakan bajunya, lalu menjawab dengan kurang senang, "Aku Hana, masakah
kau tidak lagi kenal padaku?"
"Kepalaku terasa pening," ucap Yu Wi sambil meraba dahinya, "Aku tidak tahu siapa kau."
"Ah, kau terkena Jui-bin-sut (ilmu Hipnotis)!" seru Hana kaget.
Pada saat itulah mendadak terdengar Siau Tho berkata diluar, "Kongcu panglima Turki
membawa pasukannya hendak menggeledah semua tenda yang berada disini."
"Mereka berani?" teriak Hana dengan gusar.
"Kata panglima, atas perintah Sri Baginda kita." kata Siau Tho pula.
Hana memandang Yu Wi, omelnya dengan suara tertahan, "Kenapa kau bikin marah kepada
Ayah Baginda" Wah, lantas bagaimana baiknya?"
Air muka Yu Wi berubah, dengan langkah lebar ia bertindak keluar kemah.
Cepat Hana memburu maju dan bertanya, "He, akan kemana kau?"
"Kemana pun boleh, yang jelas aku tidak boleh tinggal disini sehingga membikin susah
padamu." kata Yu Wi.
Meski tidak berat kau terpengaruh oleh Jui-bin-sut, tapi makin lama daya tempurmu makin
lemah, kalau tidak istirahat dengan baik, bila keluar tentu kau akan tertangkap," kata Hana.
Yu Wi juga merasakan tubuhnya sekarang sangat lemah, tidak kuat seperti waktu menerjang
kepungan untuk pertama kalinya tadi, kalau keluar memang besar kemungkinan akan tertawan.
Tapi wataknya memang keras dan tidak sudi menyerah, ia hanya menyengir saja dan berucap,
"Biarlah kalau mesti tertangkap biarkan tertangkap!"
Habis berkata ia terus hendak melangkah lagi.
Cepat Hana menghadang didepannya dan berkata, "Wah, bagaimana jadinya nanti bila Toakongcu
dari Thian-ti-hu yang terhormat sampai tertangkap oleh perajurit Turki?"
"Kau jangan keliru, aku tidak she Kan, tapi she Yu, bukan Toa-kongcu apa segala, jangan kau
salah wesel," ujar Yu Wi.
Hana mengira anak muda itu sengaja bergurau, dengan tertawa ia berkata pula, "Baiklah,
anggap saja kau she Yu, Sekarang ingin kubantu kau satu kali kau mau tidak?"
Watak Yu Wi memang suka yang lunak dan tidak doyan pada yang keras, karena orang
bersikap ramah, ia lantas menjawab, "Cara bagaimana akan kau bantu diriku?"
Hana tidak lantas menjawab, ia bertepuk tangan dan memanggil, "Siau Tho, kalian masuk
kemari!" Waktu tabir tenda tersingkap, masuklah tujuh anak perempuan berpakaian aneh, rambut
mereka sama digelung tinggi keatas dan memakai topi bundar, berpakaian ketat bedah lengan
kanan dan memakai mantel kulit.
Waktu bersembunyi dibelakang pintu angin tadi Yu Wi hanya mendengar suara mereka, kini
melihat dandanan mereka yang aneh ini, ia terkejut dan heran.
Para anak perempuan yang berpakaian aneh itu pun terkejut ketika diketahuinya dalam kemah
mendadak telah bertambah seorang lelaki.
Rupanya Siau Tho kenal tamu yang tak diundang ini, dengan tertawa ia menyapa, "Kongcu,
bilakah engkau datang ketempat Kongcu kami ini?"
Supaya dimaklumi, Kongcu dan Kongcu ada dua, yang satu artinya putera lelaki keluarga
terpandang, yang laian artinya Tuan Puteri.
Begitulah, Yu Wi menjadi tercengang karena Siau Tho fasih berbahasa Han. Selagi ia hendak
menjawab, mendadak Hana menyela, "Lekas kalian mendadani dia sebagai perajurit wanita kita."
Seketika ketujuh anak perempuan itu tertawa ngikik, Cepat seorang mengeluarkan
seperangkat pakaiannya sendiri, tanpa banyak omong ketujuh gadis itu bekerja keras, Yu Wi
segera didandani.
Demi mendengar dirinya akan dirias menjadi perempuan, cepat Yu Wi menggoyang tangan
dan berkata kepada Hana, "Wah, jangan, jangan! Mana boleh Ku. . . . ."
Tapi Hana lantas memotong dengan tertawa, "Ada pribahasa Tionggoan yang bilang: Seorang
lelaki harus bisa mulur dan bisa mengkeret. Kalau sekarang kau merendahkan diri sekedar menjadi
perajuritku, memangnya kenapa" Masa kau tidak mau?"
Diam-diam Yu Wi berpikir orang tidak kenal dirinya, tapi dengan maksud baik hendak
membantunya, masa dirinya harus jual mahal" Apa halangannya menyamar menjadi perajurit
wanita untuk mengelabui musuh, yang penting tenaga sendiri harus dipuluhkan dulu.
Begitulah dengan cepat ketujuh gadis itu telah dapat merias Yu Wi dalam waktu singkat.
Ketika Yu Wi menunduk, ia lihat keadaannya sekarang tiada ubahnya seperti ketujuh gadis itu,
baru sekarang ia tahu ketujuh gadis ini adalah perajurit Hana. Tapi bila melihat lengan kanan
sendiri yang tidak tertutup itu dan berbeda daripada lengan ketujuh gadis itu, betapapun hatinya
merasa kikuk. Untung juga setelah berlatih Thian-ih-sin-kang, kini kulit badannya telah bertambah putih,
lengan kanannya yang menonjol diluar pakaian itu bahkan lebih putih daripada lengan ketujuh
gadis asing itu sehingga sukar dibedakan apakah dia lelaki atau perempuan.
Disebelah sana Hana juga sudah selesai berdandan, iapun memakai baju panjang bedah
lengan kanan, bagian lengan kanan juga terbuka.
Teringat oleh Yu Wi dandanan aneh si kakek agung yang dilihatnya dipadang rumput raya
sana bersama rombongan orang yang berdandan aneh dibelakangnya itu, kini baru diketahui
bahwa memang demikianlah kebiasaan orang Iwu berpakaian, semuanya telanjang lengan kanan.
"Nah, sekarang kau adalah perajuritku, kau harus tunduk kepqada perintahku," kata Hana
dengan tertawa.
Melihat gerak-gerik Hana serupa Ko Bok-ya, Yu Wi jadi teringat kepada nona itu, entah dimana
dia sekarang" Entah hidup atau mati" Tanpa terasa ia menghela napas pelahan.
"He, ada apa kau menarik napas?" tanya Hana.
Yu Wi menggeleng dan tidak menjawab.
Dengan tertawa Hana berkata, "Jangan kuatir, keadaanmu sekarang sukar dikenali oleh
siapapun juga."
Tengah bicara, dari luar tenda berlari masuk seorang perajurit wanita lain dan memberi lapor,
"Kongcu, panglima Turki telah menggeledah sampai disini."
Hana pikir kalau tempat ini juga digeledah, sungguh dirinya terlalu tidak dihormati. Maka ia
lantas mendengus, "Hm, biarkan saja digeledah, kalau tidak menemukan apa-apa, usir saja
mereka!" Pada saat itulah mendadak seorang berseru diluar tenda, "Loko dari Turki mohon berjumpa
pada Kongcu!"
"Masuk!" jengek Hana.
Tabir pintu kemah terbuka dan masuklah seorang panglima perang berbaju kulit, tanpa
memberi hormat kepada Hana terus celingukan kian kemari, dilihatnya hanya dibalik pintu angin
saja adalah tempat sembunyi yang baik, segera ia melangkah kesana dan melongok kebelakang
pintu angin, tapi tidak ditemukan apa-apa, segera ia menyurut mundur dan bertanya, "Adakah
Kongcu melihat seorang lelaki masuk kesini?"
"Ada!" jawab Hana dengan muka masam.
"Ah, dimana dia"!" seru Loko dengan girang.
"Dimana lagi" Tentu saja disini!"
"Tapi tidak. . . .tidak ada kulihat?" ucap Loko dengan tergegap dan ragu.
"Siapa bilang tidak ada." jengek Hana. "Memangnya Ciangkun sendiri seorang perempuan?"
Baru sekarang Loko tahu lelaki yan dimaksudkan adalah dirinya, ia menjadi kikuk dan berkata,
"Ah, Kongcu salah. . . . ."
"Salah apa?" kata Hana dengan gusar. "Tempat kediamanku selamanya tidak boleh didatangi
lelaki liar, sekarang kau berani masuk kemari, maka kau harus lekas menggelinding keluar."
Anggap dirinya adalah seorang panglima negara yang lebih besar, Loko tidak pandang sebelah
mata terhadap Puteri kerajaan Iwu, tanpa bicara lagi segera ia hendak melangkah keluar.
Tapi mendadak kawanan perajurit wanita mengadang didepannya, Siau Tho lantas menegur
dengan tertawa, "Tuan Puteri kami menyuruh kau menggelinding keluar dan bukan menyuruh kau
melangkah keluar."
"Siapa berani menyuruhku menggelinding keluar." bentak Loko dengan gusar.
"Siapa lagi, tentu saja Tuan Puteri kami!" ucap Siau Tho, berbareng sebelah kakinya lantas
mendepak dan tepat mengenai dengkul Loko.
Depakan Siau Tho ini cepat lagi jitu, meski kekar dan kuat, tapi Loko hanya pandai ilmu perang
biasa dan tidak mahir ilmu silat, kontan dia jatuh terkapar, baru saja dia hendak bangun,
menyusul kaki Siau Tho menendang lagi pada dengkulnya yang lain.
Kedua dengkul ditendang, Loko tidak sanggup berdiri lagi, merangkak juga tidak dapat, sebab
dengkul akan kesakitan bila menyentuh tanah.
"Nah, tidak lekas menggelinding keluar" Apakah minta kudepak keluar?" ancam Siau Tho.
Setelah merasa lihainya tendangan Siau Tho, apabila kena didepak keluar benar-benar, tidak
mati juga akan terluka parah, karuan Loko ketakutan, tanpa pikir ia terus menggelinding keluar.
Melihat tingkah orang yang lucu dan konyol itu, para perajurit wanita sama bergelak tertawa.
Yu Wi bercampur ditengah perajurit wanita dan tidak dilihat oleh Loko, setelah kawanan
perajurit wanita itu puas tertawa, lalu ia memuji, "Siau Tho, kedua kali tendanganmu tadi sungguh
kuat!" "Ai, jangan mengumpak diriku," jawab Siau Tho dengan tertawa, "Didepan Kongcu kami,
kedua kali depakanku itu boleh dikatakan tidak ada artinya."
Yu Wi lantas memberi hormat kepada Hana dan berkata, "Atas pertolongan Kongcu, Yu Wi
merasa sangat berterima kasih."
Melihat Yu Wi berdandan sebagai perempuan, tapi memberi hormat dengan gaya lelaki,
tampaknya sangat lucu, maka tertawalah Hana, ucapnya, "Sudahlah, jangan terima kasih apa
segala! Yang jelas telah bikin susah kau harus menjadi perempuan."
Melihat keadaan Yu Wi itu, para perajurit wanita juga tertawa geli.
Dasar muka tipis, Yu Wi menjadi rikuh ditertawai anak perempuan sebanyak itu, cepat ia
berkata, "Sekarang Yu Wi ingin mohon diri saja. . . ."
Seketika Hana berhenti tertawa, ia menghela napas pelahan dan berkata, "Masa segera kau
akan pergi?"
"Eh, Kongcu belum boleh pergi," tiba-tiba Siau Tho menukas.
"Sebab apa?" tanya Yu Wi.
"Silakan Kongcu melihatnya sendiri keluar tenda," kata Siau Tho.
Yu Wi coba melongok keluar, dilihatnya disekitar perkemahan ini penuh dikelilingi pasukan
Turki yan bersenjata lengkap, komandan pasukan tampak hilir mudik, jelas ada penjagaan yang
sangat ketat. "He, kenapa bisa begini?" ujar Hana dengan terkejut.
"Menurut keterangan panglima Turki tadi, katanya musuh yang dicari berada disekitar sini."
tutur Siau Tho. "Bisa jadi mereka melihat Kongcu lari kesini, maka berkeras ingin menggeledah
perkemahan kita."
"Wah, lantas bagaimana baiknya," kata Hana kepada Yu Wi, "Kukira sekarang kau tidak bisa
pergi." Yu Wi menyadari tenaga sendiri sekarang memang belum sanggup untuk menerjang keluar
kepungan musuh, dengan sedih ia berkata, "Ya, apa boleh buat! Terpaksa menerjang matimatian!"
Cepat Hana menggeleng, katanya, "Jangan! Mana boleh begitu! Keadaanmu belum pulih
akibat pengaruh Jui-bin-sut, sedikitnya perlu istirahat beberapa hari baru dapat sehat kembali.
Selama beberapa hari ini lebih baik kau tinggal disini dan tetap menjadi perajuritku."
Yu Wi pikir menyelamatkan jiwa lebih penting, terutama bila mengingat masih banyak tugas
penting yang perlu diselesaikannya kelak, selain itu, bila tetap menyamar sebagai perajurit wanita
tentu akan lebih mudah untuk mencari jejak Ya-ji yang hilang itu.
Terpaksa ia menjawab, "Baiklah, cuma akan membikin repot Kongcu saja."
"Tidak, tidak repot. . . ." jawab Hana. Yang diharapkannya semoga Yu Wi mau tinggal disitu,
mana bisa merasa repot"
Begitulah Yu Wi, Siau Tho dan Hana lantas masuk lagi kedalam kemah. Baru saja mereka
berduduk, diluar ada perajurit melapor lagi, "Ongya (Yang Mulia, Sri Baginda) datang!. . . ."
Hana terkejut, "Wah, Hu-ong (ayah baginda) datang, bagaimana baiknya?"
"Ongya kenal Kongcu, perlu menyingkir dulu." kata Siau Tho.


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan baru saja Hana menyembunyikan Yu Wi dibelakang pintu angin, raja Iwu, Fuan Syah
sudah melangkah masuk tenda.
Cepat Hana memberi sembah, "Terimalah hormat puterimu Ayah Baginda!"
"Bangun!" seru Fuan Syah dengan tertawa. "Tidak perlu pakai adat konyol didepan ayahmu."
"Ai, Ayah ini, anak memberi hormat malah dimarahi," omel Hana dengan manja.
Fuan Syah mengelus jenggotnya, katanya dengan tertawa, "Biasanya tidak kau beri
penghormatan demikian kepada ayahmu, kelakuanmu sekarang ini sungguh lain daripada
biasanya."
Berdebar jantung Hana, tak terpikir olehnya lantaran urusan Yu Wi, tingkah laku sendiri
menjadi luar biasa.
Cepat Siau Tho menutupi keganjilan Tuan Puterinya itu, katanya, "Tadi Kongcu baru bicara
dengan hamba tentang tata adat orang Tionggoan, tiba2 Ongya tiba, tanpa terasa Kongcu lantas
memberi hormat seperti apa yang baru saja dipelajarinya tadi."
Fuan Syah memandang Siau Tho dan manggut-manggut, seperti memuji dustanya itu.
Cepat Hana membelokkan pokok pembicaraan, "Bilakah kita pulang, Ayah?"
"Baru saja datang, masa ingin segera pulang?" ujar Fuan Syah.
"Hawa disini terlalu panas, lebih baik pulang saja." Hana sengaja berlagak manja.
"Semula kau ribut dan ingin ikut kemari, sekarang ribut lagi ingin pulang. Tahu begini, tidak
nanti kubawa kau kesini," kata Fuan Syah sambil menggeleng kepala.
Hana tertawa, tanyanya, "Persekutuan Ayah dengan pihak Turki sudah selesai, kenapa tidak
lekas pulang saja?"
"Mau pulang juga tidak perlu terburu-buru," ujar Fuan Syah. "Ayah ingin mempertemukan kau
dengan Tuci."
Mendadak Hana bersungut, katanya sambil menggeleng, "Anak tidak suka melihat orang
asing." "Ayah telah membicarakan dirimu didepan Tuci," ujar Fuan Syah dengan sungguh-sungguh.
"Dia sangat ingin bertemu denganmu dan ayah pun sudah menyanggupi. Betapa pun kau harus
ikut pergi!"
"Ya, sudahlah!" ucap Hana dengan ogah-ogahan.
Melihat anak perempuannya tidak senang, Fuan Syah tertawa dan berkata, "Jangan murung,
biar kuberitahukan sesuatu yang sangat kebetulan, kau tahu, tadi ayah melihat Kan-kongcu dari
Thian-ti-hu. . . ."
"Hah, betul dia Kan-kongcu". . . ." seru Hana dengan girang.
Mendadak air muka Fuan Syah berubah, tanyanya, "Dia" Dia siapa" Siapa dia?"
Setelah berucap barulah Hana menyadari salah omong, jawabnya dengan gelagapan, "Oo. . .
.ti. . . tidak. . . ."
"Tidak apa?" tanya pula Fuan Syah dengan air muka kurang senang.
Saking kelabakan, Hana menangis, katanya, "Ayah, benar-benar tidak ada. . . . ."
Hati Fuan Syah menjadi lunak melihat anak perempuannya menangis, ia menggeleng dan
berucap, "Masa hendak kau kelabui ayahmu" Sekali tebak saja ayah lantas tahu, tentu kau yang
menyembunyikan Yu Wi sehingga panglima Turki tadi tidak dapat menemukannya."
Mana Hana berani menyangkal lagi, ia hanya menangis pelahan dan tidak bersuara.
"Hendaklah kau tahu orang itu bukanlah Kan-kongcu, tapi putera Ciang-kiam-hui Yu Bun-hu,"
ucap Fuan Syah pula, "Kan-kongcu adalah sahabat kita, sedangkan orang she Yu ini adalah musuh
kita." Meski sambil menangis pelahan, namun Hana mengikuti setiap ucapan ayahnya, diam-diam ia
membatin, nyata dia memang bukan Kan-kongcu, tapi mengapa wajahnya serupa benar dengan
Kan-kongcu" Jangan-jangan mereka bersaudara"
Fuan Syah menyambung pula ucapannya, "Ayah Yu Wi itu selalu memusuhi kita, kalau tidak
ada dia, tentu sudah lama Ko Siu terbunuh, Kalau sejak dulu Ko Siu terbunuh, tentu negeri
Tionggoan sukar dipertahankan, sekarang Ko Siu belum lagi mati, fondasi kerajaan Tionggoan
tambah kuat sehingga sukar bagi kita untuk menyerbu kedaerah Tionggoan, semua ini adalah
gara-gara perbuatan mendiang ayahnya dahulu."
"Untuk apakah kita menyerbu Tionggoan?" kata Hana dengan air mata meleleh. "Kalau tidak
menyerbu kesana kan kitapun tidak perlu bermusuhan dengan ayah Yu Wi". . . ."
"Ini urusan besar kenegaraan, anak perempuan seperti kau tentu saja tidak paham," kata Fuan
Syah, "Tentang pemuda Yu Wi, Tuci bertekad harus menangkapnya, Nah, dimana dia" Lekas
katakan kepada ayah!"
"Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!. . . ." Hana menangis pula.
Karena terlalu sayang kepada anak perempuannya, Fuan Syah menjadi kewalahan, ia alihkan
sasarannya, bentaknya kepada Siau Tho dengan bengis, "Tentu kau tahu, Nah, lekas katakan!"
Karena takut kepada sang raja, dengan gemetar Siau Tho menjawab, "Di. . . .di. . . ."
"Kau berani sembarangan omong, Siau Tho!" bentak Hana mendadak.
Cepat Siau Tho ganti haluan dan berkata, "Di. . . dimana dia, hamba pun tidak tahu."
Fuan Syah menjadi gusar, damperatnya, "Jika kau berani berdusta dan akhirnya ketahuan,
tentu akan kuhukum berat padamu!"
Dengan menangis Hana berseru pula, "Ayah, mengapa engkau menakuti Siau Tho, masa
engkau tidak percaya kepada keterangan anak. . . . ."
"Hana," kata Fuan Syah, "Hendaknya kau turut kepada perkataan ayah, sayang!"
"Anak memang sudah menurut," jawab Hana, "Ayah menyuruh anak menemui Tuci, anak juga
menurut." Fuan Syah menggeleng kepala dan menyesali dirinya sendiri yang terlalu memanjakan anak
perempuan ini, sungguh tidak mudah kalau sekarang ingin memaksa dia bicara sebenarnya.
Terpaksa harus diselidiki dengan pelahan. Maka akhirnya ia barkata, "Baiklah, lekas berdandan,
sebentar ayah membawa kau menemui Tuci."
Habis berkata ia lantas meninggalkan tenda.
Setelah Fuan Syah pergi, dengan heran Siau Tho bertanya, "Jika dia (maksudnya Yu Wi)
musuh kita, mengapa Kongcu melindunginya dengan lawan perintah Ongya."
Hana hanya menggeleng dan menjawab, "Kau tidak tahu, jangan tanya."
Dengan sendirinya Siau Tho tetap tidak mengerti sebab apakah sang tuan Puteri membela Yu
Wi mati-matian. Sekali pun pemuda ini ialah Kan-kongcu, antara mereka pun cuma bertemu
beberapa kali saja, pantasnya tidak perlu membelanya secara begini. Nyata ia tidak tahu apa yang
dipikir Hana sama sekali berbeda daripada jalan pikirannya.
Apabila Hana membayangkan dirinya kepergok oleh Yu Wi yang sembunyi dibelakang pintu
angin, waktu itu dirinya dalam keadaan hampir telanjang bulat, maka mau-tak-mau timbul
semacam perasaan yang aneh.
Meski dia anak perempuan dari suku bangsa kecil yang tidak kukuh pada adat kolot daerah
Tionggoan, namun apapun juga tahu akan rasa malu. Ia merasa tubuh sendiri sudah dilihat
seluruhnya oleh Yu Wi, detik-detik yang sukar untuk dilukiskan itu mana dapat dilupakan olehnya.
Meski Fuan Syah dan Hana berbicara dalam bahasa Iwu, tapi lantaran bahasa Iwu hampir
sama dengan bahasa Turki, maka sedikit banyak Yu Wi dapat menangkap percakapan mereka
ditempat sembunyinya.
Ketika mendengar Fuan Syah menyatakan Kan Ciau-bu adalah sahabat mereka, diam-diam Yu
Wi sangat heran, ia pikir leluhur Kan Ciau-bu turun temurun tiga angkatan selalu menjabat
perdana menteri, mengapa Kan Ciau-bu sendiri bisa berhubungan dengan bangsa asing"
Begitulah didengarnya Hana lagi memanggilnya, "Yu-kongcu, sekarang bolehlah kau keluar!"
Yu Wi lantas keluar dari tempat sembunyinya, katanya dengan sangat berterima kasih, "Atas
pertolongan Kongcu, sungguh Yu Wi merasa. . . . ."
"Sudah, sudah! Jangan terima kasih lagi." seru Hana dengan tertawa, "Orang bilang orang
Tionggoan mengutamakan adat penghormatan, tampaknya memang betul bila melihat caramu
sebentar2 berterima kasih ini."
"KOngcu," kata Siau Tho tiba-tiba, "engkau perlu berdandan sekarang."
Hana lantas berduduk, Siau Tho mengeluarkan kotak rias, disisirnya rambut sang Tuan Puteri,
dilukis alisnya.
Karena tidak ada pekerjaan, Yu Wi hanya duduk diam disamping dan menyaksikan orang
bersolek. Selesai merias, Hana berdiri kehadapan Yu Wi dan bertanya, "Bagaimana, baik tidak?"
Setelah bersolek, wajah Hana memang bertambah sangat cantik, mau-tak-mau Yu Wi memuji,
"Bagus sekali!"
"Apa betul bagus?" tanya Hana dengan senang.
"Masa aku bohong." ujar Yu Wi dengan tertawa.
"Apakah secantik perempuan Tionggoan?" tanya Hana pula.
Karena orang bertanya dengan lugu, maka Yu Wi pun menjawab dengan sejujurnya, "Meski
cantik molek perempuan Tionggoan, tapi tidak ada kecantikan alamiah seperti dirimu."
"Kau suka?" tanya Hana.
Yu Wi jadi melengak sehingga sukar menjawab.
"Kau tidak suka?" Hana menegas.
Yu Wi menggeleng kepala.
"Jadi kau suka?" kata Hana pula dengan tertawa.
Tapi Yu Wi tidak lagi mengangguk.
Pada saat itulah terdengar suara Fuan Syah berseru diluar tenda, "Hana, siap belum?"
Hana menghela napas pelahan, pesannya kepada Yu Wi, "Biarlah Siau Tho menemani kau
disini, jangan sembarangan keluar, tunggu kupulang kemari."
Waktu mau keluar, dengan perasaan berat berulang-ulang Hana menoleh.
Yu Wi duduk iseng didalam tenda, ia keluarkan cabikan kulit pemberian Bu-bok-so dan
dibentangnya, tulisan pada kulit itu berbunyi: "Jurus ilmu pedang ini bernama Hong-sui-kiam (ilmu
pedang air bah), diberi nama ini mengingat dahsyatnya yang serupa air bah yang tak dapat
dibendung. . . . ."
Melihat Yu Wi lagi belajar, Siau Tho tidak berani mengganggunya. Tiba waktu makan siang
barulah Siau Tho memanggilnya dan melayani anak muda itu dahar. Selesai makan, Yu Wi
melanjutkan pelajaran Hong-sui-kiam itu.
Ketika matahari terbenam, jurus Hong-sui-kiam sudah dapat dipahami oleh Yu Wi, ia siap
untuk melatihnya esok dan yakin dalam waktu beberapa hari dapat menguasainya dengan baik.
SEperginya Hana, beberapa kali perajurit Turki menggeledah disekitar perkemahan itu, tapi
tidak berani merecoki kemah Hana, mungkin mereka sudah kapok karena kelihayan Siau Tho.
Waktu Siau Tho hendak meladeni Yu Wi makan malam, saat itulah Hana baru pulang. Begitu
masuk kedalam tenda, dengan marah ia lantas berduduk disamping sana dengan mulut
menjengkit dan tidak bicara.
Siau Tho mengundangnya makan juga tak digubris oleh Hana. Akhirnya Siau Tho saja yang
makan bersama Yu Wi.
Lampu sudah dipasang didalam tenda. Selesai makan, teringat oleh Yu Wi soal tidur nanti,
terpaksa ia mendekati Hana dan bertanya, "Apa yang menyebabkan Kongcu marah?"
Tiba-tiba Hana mencucurkan air mata, katanya, "Aku marah atau tidak toh takkan
mendapatkan perhatian orang. . . . ."
Hati Yu Wi jadi terharu, ucapnya dengan menyesal, "Apakah siang tadi Tuci menyakitkan
hatimu?" Hana mengusap air mata dan mengangguk.
"Dengan cara bagaimana dia menyakitkan hatimu?" tanya Yu Wi dengan gusar.
Seperti melapor kesusahannya kepada orang yang paling akrab, bertuturlah Hana, "Waktu
ayah membawaku ke istananya, dengan simpati dia melayani kami. Tapi waktu ayah
memperkenalkan diriku padanya, dia hanya melirik sekejap saja tanpa memandang secara lurus
padaku. Memangnya Hana tidak berharga untuk dipandang olehnya, sungguh terlalu!"
Tadinya Yu Wi mengira ada kejadian apa-apa, kini baru diketahuinya soalnya cuma
menyangkut lirik dan pandang saja, lalu menimbulkan rasa marah si nona. Ia pikir hati perempuan
memang aneh, hanya urusan sekecil ini perlu dirisaukan.
Maka ia lantas membujuknya, "Sudahlah, dia tidak mau memandangmu juga tidak apalah,
hendaklah Kongcu makan dulu , jangan sampai kelaparan dan jatuh sakit nanti."
Tiba-tiba Hana tertawa manis, katanya, "Sebenarnya akupun tidak suka dipandang olehnya,
yang kugemasi adalah sikapnya yang angkuh dan acuh-tak-acuh itu. Tapi sekarang aku tidak
marah lagi, sebeb kutahu kau suka padaku."
Mendengar ucapan terakhir ini, cepat Yu Wi berkata, "Lekaslah kau makan dulu."
Maka Siau tho lantas menyiapkan lagi santapan bagi sang Tuan Puteri.
Sembari makan Hana bertutur pula, "Siang tadi tidak kau katakan, tapi sekarang kutahu pasti
kau suka padaku, apakah kau tahu sebebnya?"
Yu Wi tahu watak gadis bangsa daerah barat ini tidak kikuk dan malu-malu seperti anak
perempuan Tionggoan, apa yang terpikir lantas diucapkan secara blak2an. Tapi Yu Wi tidak suka
bicara mengenai hal-hal demikian dengan si nona cepat ia menyimpang, "Harap Kongcu makan
yang kenyang!"
"Eh, jangan kau sengaja membelokkan pembicaraanku." kata Hana dengan tertawa manis,
"Kutahu kau memperhatikan diriku, kalau kau tidak suka padaku, tentunya takkan memperhatikan
diriku, bukan?"
"Wah, celaka!" keluh Yu Wi dalam hati. Ia pikir gadis asing terlalu mudah main cinta,
selanjutnya perlu lebih hati-hati, jangan sampai terperosok kedalam jaring cinta dan menusuk
perasaan Bok-ya.
Selesai Hana makan, Siau Tho membersihkan seperlunya, lalu Yu Wi berkata pula dengan
tergegap, "Kongcu, di. . . dimana tempat istirahatku?"
"Kami ada belasan tenda, semua penghuninya adalah perajurit wanita anak buah Kongcu,
dimana Kongcu ingin tidur, boleh sesukamu!" kata Siau Tho tiba-tiba dengan tertawa.
"Wah, mana boleh." ujar Hana, "Jika Yu-kongcu ingin tidur ditenda kalian, sedangkan mereka
tidak tahu keadaan Yu-kongcu, bukan mustahil akan terjadi apa-apa, kukira bolehlah Yu-kongcu
tidur disini saja."
"Wah, jang. . . .jangan!. . . ." cepat Yu Wi menggoyang-goyang tangan.
"Jangan bagaimana?" ujar Hana dengan tertawa, "memangnya kau takut kucaplok dirimu jika
tidur disini "Baiklah kusiapkan tempatnya jika Kongcu akan tidur disini." kata Siau Tho. Tanpa
menghiraukan Yu Wi mau atau tidak, segera ia bebenah seperlunya.
Yu Wi tidak dapat mencegahnya, ia hanya kelabakan sendiri. Pikirnya, "Biarlah melihat
keadaan nanti, betapapun tidak boleh kutidur satu tenda bersama dia."
Kebiasaan suku bangsa kecil di daerah barat umumnya tidur dilantai. Siau Tho membentang
sebuah permadani sebagai kasur bagi Yu Wi.
Waktu itu hari masih dini, tapi rakyat gembala di daerah padang rumput biasa tidur lebih dini.
Setelah memasak sepoci teh susu, Siau Tho lantas mohon diri kepada sang Tuan Puteri dan
kembali ketenda sendiri.
Yu Wi duduk termenung dalam perkemahan. Hana tertawa memandang anak muda itu,
tegurnya, "Tidak tidur?"
Yu Wi menggeleng.
"Kau tidak tidur, biar kutidur lebih dulu," kata Hana.
Dia tidak menghiraukan Yu Wi berada disebelahnya, ia melepaskan perhiasan dan
menanggalkan baju panjang.
Hawa udara di daerah barat sangat dingin bila malam hari, sebaliknya siang hari hawa
panasnya luar biasa. Baru saja baju dilepaskan, terus saja Hana menyusup masuk kedalam selimut
kulit yang sudah dibenahi Siau Tho tadi.
Tempat yang disediakan bagi Yu Wi terletak didepan Hana, Yu Wi tidak tidur, sebaliknya
memandang keluar tenda, ia pikir sebaiknya keluar saja dan duduk semalam suntuk diluar.
Hana sangat cerdik, sekali pandang lantas tahu maksud Yu Wi, katanya dengan tertawa, "Kau
ingin keluar, bukan?"
Yu Wi tidak bersuara, katanya dalam hati, "Nanti kalau dia sudah tidur nyenyak barulah
kukeluar, kalau kukeluar sekarang tentu akan menyinggung perasaannya."
Mendadak Hana berkata dengan menyesal, "Kau tidak suka tidur disini, tidak kusalahkan
dirimu. Tapi kalau kau hanya duduk semalaman diluar, bila kesehatanmu terganggu, siapa yang
akan merawat kau?"
"Silakan Kongcu tidur saja, sebentar lagi akupun akan tidur," jawab Yu Wi. Dalam hati ia sudah
mengambil keputusan akan keluar bila si nona sudah tidur. Kalau tidur bersama satu tenda
dengan dia, kecurigaan ini biarpun dicuci dilaut juga takkan bersih.
Hana tidak bicara lagi. Suasana dalam tenda menjadi sunyi senyap.
Yu Wi duduk membelakangi Hana, sampai sekian lama ia berduduk, disangkanya Hana sudah
pulas, ia coba menoleh dan meliriknya, ia pikir akan menguluyur keluar bila si nona sudah tidur.
Siapa tahu Hana justeru lagi memandangnya dengan mata terbelalak.
"He, ken. . . kenapa kau belum tidur?" tanya Yu Wi terkejut.
"Kau tidak tidur, akupun tidak dapat tidur," jawab Hana dengan perasaan hampa.
Mendadak ia berdiri, selimut tersingkap sehingga kelihatan tubuhnya yang putih seperti salju.
Cepat Yu Wi berpaling kearah lain. Teringat apa yang dilihatnya siang tadi, kembali jantungnya
berdetak keras.
Didengarnya Hana mendekatinya dan menyodorkan sepotong baju kulit, katanya, "Hawa
semakin dingin, lekas kau tidur saja!"
Yu Wi memang merasa dingin, ia terima baju kulit itu dan dipakainya sambil mengucapkan
terima kasih. "Tidak usah terima kasih," kata Hana sambil menghela napas, "Jika kau tidak tidur, biarlah
kutemani kau." Lalu ia duduk di sisi Yu Wi.
Melihat si nona hanya mengenakan baju tipis, cepat Yu Wi berkata, "Kongcu lekas tidur saja,
jangan sampai masuk angin."
"Tidak apa-apa, akan kutemani kau mengobrol." kata Hana.
Yu Wi lantas berdiri dan berkata, "Kongcu lekas tidur, kalau tidak, rasanya tidak enak kududuk
disini dan terpaksa keluar saja."
Terpaksa Han berdiri dan kembali berbaring kebawah selimutnya.
"Silakan Kongcu tidur baik-baik, kukeluar sebentar," kata Yu Wi.
Setiba diluar kemah, angin dingin meniup dari depan dan membuatnya menggigil. Dilihatnya
disekelilingnya lampu berkedip-kedip, nyata pasukan Turki belum lagi mundur, tapi memasang
tenda disekitar situ.
Kuatir mengejutkan musuh, Yu Wi tidak berani sembarangan bergerak, ia lantas duduk
disepan kemah. Tapi baru saja berduduk, segera terdengar Hana berkata didalam kemah, "Apakah kau enggan
tidur bersamaku didalam kemah?"
"Demi menghindarkan prasangka yang tidak-tidak, terpaksa kuberbuat begini, mohon Kongcu
sudi memaafkan." kata Yu Wi.
"Menghirdari prasangka apa" Apa halangannya kau tidur didalam kemah?" ujar Hana.
"Meski diantara kita tidak persoalan apa-apa, tapi omongan orang sangat menakutkan, bila
tersiar, tentu akan merugikan nama baik Kongcu." kata Yu Wi.
"Aku tidak peduli nama baik apa segala, orang mau omong apa boleh saja omong, aku tidak
takut." kata Hana, "Lekas kau tidur didalam saja, kalau tidak, sebentar aku bisa marah."


Pendekar Kembar Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah memutuskan akan duduk semalaman diluar sini, hendaknya Kongcu tidak banyak
bicara lagi." jawab Yu Wi tegas.
"Baik, kau menghina diriku, maka tidak sudi tidur sama kemah bersamaku," ucap Hana dengan
gusar. "Ya, kutahu orang Tionggoan kalian terikat oleh macam-macam adat istiadat yang aneh,
tapi kau tidak mau tidur didalam kemah, itu berarti kau menghina diriku."
Sembari bicara, terdengar nona itu menangis pelahan.
Pada saat itulah mendadak tabir tenda tersingkap, sesosok bayangan orang melayang masuk
kesitu. Hana mengira Yu Wi yang masuk, dengan girang ia menengadah. Tapi yang terlihatnya
bukanlah Yu Wi melainkan seorang pemuda berbaju putih.
"Ck-ck-ck!" demikian mulut pemuda baju putih itu berkecek-kecek, "Gadis secantik ini, siapa
yang berani menghina dirimu" Lekas katakan padaku, akan kuhajar adat padanya. Apakah anak
tolol yang duduk diluar itu?"
Dengan terkejut Hana berseru, "Siapa kau" Lekas enyah!"
Dia bangun berduduk dengan memakai baju tipis, lekas-lekas ia menarik selimut untuk
menutupi tubuh sendiri.
"Hah, percuma, tidak ada gunanya! Sudah kulihat dengan jelas!" seru pemuda baju putih
dengan tertawa.
Hana menjadi gusar bercampur malu, damperatnya. "Ayo enyah, kalau tidak, segera aku
berteriak!"
Yu Wi asyik duduk diluar dan tidak memperhatikan apa yang terjadi, tadi ia hanya merasa
pandangannya kabur, segera ia tahu kedatangan tokoh silat kelas tinggi. Kuatir terjadi apa-apa
atas diri Hana, cepat ia menyusul kedalam kemah dan menegur, "He, siapa anda" Silakan bicara
diluar!" "Kau sendiri siapa" Lelaki atau perempuan?" jawab pemuda baju putih.
"Lelaki atau perempuan ada sangkut-paut apa dengan dirimu?" kata Yu Wi, "Anda
sembarangan menerobos masuk kesini, yang empunya rumah sudah mengusir, masakah masih
ingin berdiam lebih lama lagi disitu?"
"Dengan sendirinya aku ingin tinggal disini, bukan saja cuma tinggal, malah akan kutemani
perempuan cantik ini." kata pemuda baju putih dengan tertawa, lalu ia berpaling dan berkata
kepada Hana, "Dia tidak mau menemani kau tidur dalam kemah, biarlah aku saja yang menemani
kau." Hana menjadi gusar, damperatnya, "siapa kenal kau" Lekas enyah!"
Tapi pemuda baju putih itu tetap cengar-cengir dan berkata, "Kenal atau tidak kau tidak
menjadi soal, asalkan aku cinta padamu, kusuka menemani kau didalam kemah, kan jauh lebih
baik dibandingkan seorang anak tolol yang tidak jelas jantan atau betinanya. Yang harus kau
enyahkan seharusnya dia."
Meski anak perempuan suku bangsa kecil yang tidak tahu macam-macam adat pembatasan
antara lelaki dan perempuan, tapi demi mendengar lelaki yang baru pertama kali dilihatnya ini
berani menyatakan "aku cinta padamu", mau-tak-mau Hana melengak dan merasa tingkah laku
orang ini keterlaluan.
Yu Wi juga merasakan kejanggalannya, ia pikir apakah orang ini sudah gila" Kalau bukan
orang gila mana bisa mengucapkan kata-kata sinting seperti itu"
Pemuda baju putih itu ternyata tidak sungkan-sungkan, ia mendekati kasuran dan
menanggalkan baju, ia benar-benar hendak menemani Hana tidur didalam tenda.
"He, he, tempat ini bukan untukmu?" seru Hana.
"Bukan untukku, habis untuk siapa?" pemuda itu berlagak bodoh.
"Untuk dia," kata Hana sambil menunjuk Yu Wi. "Lekas kau keluar!"
"Tapi dia tidak mau tidur bersamamu disini apa mau dikatakan lagi?" ujar pemuda baju putih
itu dengan tertawa sambil tetap membuka pakaian.
Melihat pakaian orang sudah terlepas hingga tinggal baju dalam saja, bahkan segera
menyusup kedalam selimut, dengan gusar Hana lantas berteriak, "Yu-kongcu, apakah benar-benar
tidak suka tidur didalam tenda?"
Yu Wi berdiri membelakangi Hana dan berkata kepada pemuda baju putih, "Darimana anda
tahu aku tidak mau tidur didalam tenda."
"Kuping orang she Ciang tidak tuli." ujar pemuda baju putih dengan tertawa, "Jelas kudengar
tadi ada seorang bocah tolol menyatakan ingin berduduk semalam suntuk diluar kemah,
memangnya aku bisa salah dengar?"
"Ya, kau salah dengar!" kata Yu Wi dengan tegas dan pasti.
Pemuda baju putih terbahak, baju luar dikenakannya pula, ucapnya dengan menyesal. "Sayang
aku tidak disuruh tidur disini, sebaliknya seorang tolol yang dipaksa tidur malah. Dasar tolol tetap
tolol, kalau tidak mau tidur disini, biarpun dipaksa juga tiada gunanya."
Dengan gusarnya Yu Wi mendamprat, "Anda menyebut tolol terus menerus, siapa yang kau
maksudkan?"
"Kalau kau bukan orang tolol, siapa lagi?" jawab pemuda baju putih.
Hana lantas menukas, "Yu-kongcu bukan orang tolol, tampaknya kau sendirilah seorang
dungu." "Hihihi," pemuda baju putih itu tertawa ngikik, "anak lelaki di dunia ini jarang ada yang dungu.
Namaku Ciang Ti, Ti artinya dungu, menjadi orang dungu kan tidak apa-apa bukan?"
"Anda bernama Ciang dungu, aku she Yu tapi tidak tolol, silakan anda mengaku dungu, tapi
aku bukan orang tolol," kata Yu Wi.
"Haha, masa kau tidak mengaku tolol." kata pemuda itu dengan tertawa. "Gadis secantik ini
disediakan didepanmu, tapi kau tidak suka. Kalau aku, tanpa diminta pun aku suka padanya. Coba,
apakah kau tidak tolol?"
Melihat cara bicara orang yang sinting tapi tidak bermaksud jahat, mesi berulang-ulang
menyebut dia tolol, namun Yu Wi tidak lagi marah, ia malah sengaja menggodanya, "Eh,
bagaimana kalau disini masih ada seorang gadis yang lebuh cantik, kau mau?"
"Masih ada lagi gadis yang lebih cantik" Mana" Dimana?" tanya pemuda berbaju putih yang
mengaku bernama Ciang Ti itu dengan antusias.
"Aku hanya bilang kalau, janganlah anda terburu nafsu," kata Yu Wi.
"Jika benar ada gadis yang lebih cantik, tentu aku akan lebih suka padanya." seru Ciang Ti.
"Dan kalau disini ada selusin gadis cantik, lalu bagaimana?"
"Jika benar ada, seluruhnya akan kusukai." kata Ciang Ti.
Diam-diam Yu Wi membatin orang ini benar-benar dungu alias dogol. Segera ia membujuknya,
"Lekaslah kau keluar, jangan lagi sembarangan mengoceh disini dan membikin marah si cantik.
Hendaklah tahu, dia adalah Tuan Puteri kerajaan Iwu dan bukan gadis biasa."
"Tuan Puteri dan gadis biasa apa bedanya" Jika kau suka padanya, peduli dia Tuan Puteri atau
gadis kampung."
Yu Wi merasa ucapan orang yang terakhir ini ternyata tidak dungu. Biarpun kelakuan orang ini
sok gila2an, tapi masih berdarah seorang lelaki sejati.
Tiba-tiba Hana berseru, "Ciang Ti, jika tidak lekas pergi, segera kupanggil orang mengusir
kau!" "Sebenarnya aku mau pergi, tapi sekarang tidak jadi pergi." kata Ciang Ti.
"Seb. . .sebab apa tidak jadi pergi?" tanya Hana dengan terkejut.
Ciang Ti tertawa, katanya, "Aku perlu tanya lagi kepada si tolol itu apakah dia benar-benar
cinta padamu, kalau tidak, aku tidak jadi pergi." Lalu ia berpaling dan tanya Yu Wi, "Eh, kau cinta
padanya atau tidak?"
Seketika Yu Wi tak dapat menjawab.
Maka Ciang Ti berkata pula. "Jika kau menyangkal takkan duduk semalam suntuk diluar
kemah, tentunya kau akan tidur didalam kemah. Dan kalau tidur didalam kemah, kan berarti kau
cinta padanya, begitu bukan?"
Diam-diam Yu Wi mendongkol oleh ocehan orang yang angin2an ini.
Melihat Yu Wi belum lagi menjawab, dengan malu Hana berkata, "Yu-kongcu, lekas. . . lekas
kau. . . .kau jawab pertanyaannya. . . ."
Sudah tentu dia sangat berharap Yu Wi akan menjawab, "Ya, benar, aku cinta padanya! Lekas
kau pergi saja!"
Tapi mana Yu Wi dapat menjawab demikian, dalam keadaan demikian sungguh serba salah
baginya. Kata-kta yang berlawanan dengan hati nuraninya tidak mungkin diucapkannya,
sebaliknya kalau menyatakan tidak cinta, dikuatirkan akan melukai perasaan Hana.
Dalam keadaan serba susah itu, mendadak dari luar tenda melayang masuk pula satu orang,
seorang pemuda berbaju hitam, usianya sebaya dengan Ciang Ti, antara 27-28 tahun.
Begitu masuk dan melihat Hana, seketika ia berkerut kening dan berkata, "Go-ko (kakak
kelima) pantas kucari setengah harian tidak ketemu, kiranya kau kembali terpelet oleh siluman
rase (poyokan bagi perempuan yang suka menggoda lelaki)."
"Kiranya Lak-te (adik keenam)," ujar Ciang Ti dengan tertawa. "Hendaklah kau pulang dan
katakan kepada Toako bahwa besok tentu aku akan berkumpul lagi dengan kelompok kita."
Semakin rapat kening pemuda baju hitam itu terkerut, ucapnya, "Perempuan bangsa asing ini
tidak sedikitpun menarik, mengapa Go-ko sampai terpikat" Toako bilang ada urusan penting perlu
dirundingkan bersama, hendaklah Go-ko lekas pulang."
Hana merasa tidak senang karena dirinya dianggap sebagai "siluman rase", kini dicela pula
sama sekali tidak menarik, keruan ia menjadi gusar, segera ia mendamperat, "Lekas keluar! Lekas
enyah!" Ciang Ti tidak berani ayal karena diberitahu sang Toako ada urusan penting yang perlu
dirundingkan ber
Kekaisaran Rajawali Emas 2 Kuda Putih Karya Okt Dendam Iblis Seribu Wajah 5
^