Pendekar Panji Sakti 4

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 4


bihannya dalam ilmu meringankan tubuh, dia justru mengajak pertarungan dengan keras melawan keras"
Sambil berpikir dia mundur tiga langkah ke belakang, dengan demikian tubuhnya telah mundur ke hadapan "mayat" dari Thiat Cing-kian.
Mendadak terdengar Thiat Cing-kian membentak nyaring, tubuhnya menubruk kedepan dan memeluk sepasang kaki Hek Seng-thian kuat kuat,.
"Dia.... dia hidup lagi!" jerit pemuda perlente itu kaget.
Hek Seng-thian jauh lebih terkesiap daripada siapa pun, tahu-tahu tubuhnya sudah diseret Thiat Cing-kian hingga terjatuh ke tanah, sepasang lutut kakinya tahu-tahu kesemutan, ternyata jalan darahnya sudah tertotok.
Berkilat sepasang mata pemuda perlente itu, tanpa banyak bicara tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan melarikan diri dari situ.
"Jangan lari" jerit Hek Seng-thian, "cepat bantu aku...."
"Murid kesayanganmu sudah kabur terbirit-birit, buat apa masih menjerit macam setan saja" jengek Thiat Cing-kian sambil tertawa dingin.
Seraya berkata, telapak tangannya diayunkan berulang kali, dua buah jalan darah penting dibawah ketiak kembali sudah ditotok olehnya.
"Kau.... bagaimana mungkin kau...."
"Hmm! Kau anggap aku sudah mampus?"
"Sudah kuperiksa denyutan nadimu...."
"Sebelum kau melancarkan pukulan, aku sudah menghimpun seluruh tenaga dalamku untuk melindungi dada, karena itu setelah termakan pukulanmu, akupun menutup semua pernapasanku pura-pura mati, aku yakin selesai menghantamku, kau pasti akan melakukan pemeriksaan, hehehehe.... Hek Seng-thian, selama ini kau banyak akal busuk dan licik, masa tidak terbayang olehmu betapa bermanfaatkan taktik pura-pura mati?"
"Baik, anggap saja aku Hek Seng-thian berhasil kau pecundangi hari ini, sekarang aku sudah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh, bunuhlah, tidak usah banyak cincong lagi!"
"Mau bunuh, bunuhlah" Hmmm, gampang amat!" jengek Thiat Cing-kian dingin.
Sorot matanya dialihkan ke wajah Sui Leng-kong yang masih termangu mangu, lalu ujarnya sambil tertawa:
"Nona, tidak ada salahnya kau yang memberi usul, lebih baik mau menghukum mati bangsat ini dengan cara apa, aku pasti akan menuruti permintaanmu"
"Ter.... terserah" jawab Sui Leng-kong sambil membelalakkan matanya.
"Daging manusia lezat lagi harum, nona pernah mencicipi?"
tanya Thiat Cing-kian kemudian.
"Aa.... aku be.... belum pernah menci.... cipi, aku.... aku pun tak.... tak doo.... doyan!"
"Kalau begitu biar aku nikmati sendiri daging tubuhnya, gara-gara pukulan bajingan ini tadi, tenaga dalamku menderita kerugian sangat besar, biarlah aku gunakan dagingnya untuk memulihkan kembali kekuatan tubuhku"
Seraya berkata, dia cabut keluar sebilah pisau belati dan mulai diasah dialas sepatunya.
Kulit wajah Hek Seng-thian mulai mengejang keras, mengejang lantaran ngeri bercampur seram, serunya gemetaran:
"Kalau ingin membunuhku, bunuh saja dengan sekali tusukan, buat apa kau mesti menyiksaku dengan cara begitu?"
Thiat Cing-kian sama sekali tidak ambil perduli, melirik sekejap pun tidak, dia masih meneruskan asah pisaunya.
"Nona!" dia berseru kemudian sambil menatap wajah Sui Leng-kong, "aku berterima kasih sekali kepadamu karena selama ini telah menjagakan harta karun ini disini"
"Har.... harta ka.... karunmu?" tanya Sui Lengkong dengan mata terbelalak semakin lebar, dia keheranan.
"Harta karun ini memang milik Perguruan Tay ki bun, kalau kulihat dari gaya ilmu silat yang nona gunakan pun seolah sangat mirip dengan kungfu aliran kami...."
"Aa... apa itu tay.... Perguruan Tay ki bun" A.... aku tii.... tidak tahu.... tii... tidak menger.... mengerti"
Thiat Cing-kian tersenyum, baru saja dia akan mengucapkan sesuatu lagi, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menyambung dengan nada dingin:
"Aku tahu!"
Tiba-tiba dari bawah kolong ranjang sudah muncul seorang pemuda berwajah hitam, beralis mata setajam pedang dan bersorot mata setajam cahaya bintang.
Begitu menyaksikan raut muka pemuda itu, entah mengapa, tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetar keras, seakan-akan baru saja berhadapan dengan setan gentayangan.
"Sii.... siapa kau?" tegurnya gemetar.
"Kau tidak kenal dengan aku" Hmm! Aku justru kenal siapakah dirimu!" dengan sorot mata setajam sembilu pemuda itu mengawasinya lekat-lekat.
Sui Leng-kong sendiri ikut dibuat kebingungan dan tidak habis mengerti, kendatipun begitu dia pun bisa meraba kalau di antara kedua orang ini pasti terjalin suatu hubungan khusus yang istimewa, oleh sebab itu dia sama sekali tidak ikut menimbrung.
Thiat Cing-kian memaksakan diri untuk tertawa, balik tanyanya:
"Darimana kau bisa mengenali diriku?" Begitu berjumpa dengan pemuda ini, perasaan ngeri bercampur takut seketika menyelimuti perasaan hatinya, membuat dia sama sekali tidak berani turun tangan.
"Coba amati wajahku, mirip siapakah aku ini?"
Thiat Cing-kian mengamatinya berapa saat, semakin dipandang hatinya semakin takut, makin diamati hatinya semakin bergidik.
"Coba pandang lebih seksama, coba dipikirkan lebih teliti!"
Dibawah cahaya mutiara yang redup tiba-tiba Thiat Cing-kian teringat akan seseorang, serunya gemetar:
"Kau.... kau...."
"Sudah teringat siapakah aku?"
"Apa hubunganmu dengan Thiat Hau toako?"
Thiat Tiong-tong melompat bangun, hardiknya:
"Kau masih punya muka, berani menyebut mendiang ayahku sebagai toako" Hmmm, gara-gara harta karun kau begitu tega mencelakai dia orang tua, membuat beliau kehilangan sebuah lengan dan cacad seumur hidup, kalau bukan gara-gara ulahmu, tidak mungkin dia orang tua tewas ditangan orang lain.... kau....
kau memang bedebah!"
"Kau.... kau keliru besar, aku...." paras muka Thiat Cing-kian berubah pucat pasi bagaikan mayat.
"Keliru?" jengek Thiat Tiong-tong gusar, "hmmm! Dengan mulutmu, Kau telah mengakui semuanya, sekarang masih berusaha mungkir" Masih ingin menyangkal?"
Mendadak sambil membusungkan dadanya Thiat Cing-kian berteriak lantang:
"Benar, memang aku yang membokongnya, akulah yang mencelakainya, sejak kecil hingga dewasa aku selalu, setiap saat hidup dibawah kendalinya, nyaris aku dibuat sesak napas hingga tidak mampu hidup layak, begitu muncul kesempatan, tentu saja aku harus memberontak, harus melakukan perlawanan, tapi aku sama sekali tidak membunuhnya, aku hanya...."
"Sekalipun kau tidak membunuhnya, tapi gara-gara ulahmu dia harus tewas ditangan orang...."
"Mau apa kau?"
"Aku hendak membunuhmu, membalaskan dendam sakit hati ayahku!"
"Setiap orang boleh saja membunuhku, tapi kau tidak boleh melakukannya!"
"Kenapa tidak boleh?"
"Jangan lupa, bagaimanapun juga aku adalah pamanmu, sebagai anggota Perguruan Tay ki bun, kau berani bersikap kurangajar terhadap angkatan tua?"
Thiat Tiong-tong tertegun, dia tahu peraturan perguruan yang harus paling berat hukumannya dalam Perguruan Tay ki bun adalah: mengkhianati perguruan serta berani melawan orang yang lebih tua.
Menyaksikan perubahan mimik wajah anak muda itu, sekulum senyuman licik kembali tersungging dibibir Thiat Cingkian.
Mendadak terlihat bayangan manusia berkelebat lewat, Sui Leng-kong sudah berdiri dihadapannya sambil berkata:
"Aku.... aku bisa membunuhmu"
"Tentu saja kau bisa membunuhku" jawab Thiat Cing-kian sambil tertawa dingin, "tapi sayang kau bukan tandinganku, jika kurang percaya, silahkan saja dicoba!"
Baru selesai dia berkata tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang menyeramkan berkumandang datang dari luar gua, menyusul kemudian seseorang mengejek:
"Kalau begitu biar aku yang mencoba lebih dulu!"
Begitu mendengar suara orang itu, paras muka Sui Leng-kong seketika berubah jadi pucat pias, tubuhnya gemetar keras.
Baik Thiat Cing-kian maupun Thiat Tiong-tong, mereka berdua sama-sama terperanjat dan tidak habis mengerti.
"Tingg.... tingg...." dari luar gua bergema suara dentingan nyaring, suara itu mula-mula berasal dari tempat yang jauh tapi sejenak kemudian sudah tiba di depan mata.
Paras muka Sui Leng-kong berubah makin memucat, pucat bagai selembar kertas.
Di antara kilauan cahaya mutiara, terlihat sesosok bayangan manusia telah melayang masuk ke dalam ruang gua.
Dia adalah seorang nyonya tua yang kurus kering, tangannya menggenggam dua batang tongkat bambu, setiap kali tongkat bambunya menutul permukaan tanah, tubuhnya melayang di udara persis seperti seorang nenek sihir.
"Ibu...." bisik Sui Leng-kong dengan nada gemetar.
"Hmm, kau masih ingat memiliki seorang ibu" Bagus, bagus!"
dengus Sui Ji-song dingin.
Dia melirik Thiat Tiong-tong sekejap kemudian sorot matanya segera dialihkan ke tubuh Thiat Jing-kian, sepatah demi sepatah kata tegurnya dengan nada berat:
"Thiat Cing-kian, kau masih ingat dengan diriku?"
Dengan cepat Thiat Cing-kian menggeleng. "Maaf, aku benar benar tidak bisa mengenali dirimu"
"Masa kau sudah melupakan seorang sahabat karibmu pada dua puluh tahun berselang?"
Dia benar-benar tidak teringat perempuan jelek mana yang pernah dijumpai pada dua puluh tahun berselang.
"Masa kau sudah melupakan kejadian pada dua puluh tahun berselang, malam itu hujan angin, bunga berguguran ditengah hutan bunga tho...."
"Kau.... kau.... kau adalah Sui Ji-song?"
"Ooh, rupanya kau masih teringat dengan diriku!" Sui Ji-song
mulai tertawa, tertawa lebar.
Masih mendingan kalau dia tidak tertawa, begitu tertawa lebar, wajahnya nampak jauh lebih jelek, jauh lebih mengerikan.
Thiat Tiong-tong saling bertukar pandangan dengan Sui Lengkong, mereka sama sekali tidak menyangka kalau Sui Ji-song ternyata kenal dengan Thiat Cing-kian, yang membuat Thiat Tiong-tong semakin keheranan adalah sorot mata Sui Ji-song waktu itu.
Sorot matanya penuh dengan pandangan sayu, seakan-akan dia sedang terkenang kembali kejadian dimasa lampau, peristiwa yang membuatnya sedih, menyesal, membenci hingga merasuk ke tulang sumsum.... percampuran dari berbagai macam perasaan yang kumpul jadi satu.
Dengan sorot mata yang serba kalut itulah dia mengawasi wajah Thiat Cing-kian yang tampak kaget, seram bercampur ngeri.
"Aku tahu, kau pasti masih teringat aku" katanya perlahan,
"tapi sekarang sudah tidak mengenali diriku lagi, bukan begitu?"
"Aku.... aku...."
"Dua puluh tahun berselang, kau pernah berlutut
dihadapanku, mengatakan aku adalah perempuan paling cantik, perempuan paling lembut yang pernah kau jumpai sepanjang hidupmu"
Perlahan-lahan dia pejamkan matanya, seakan-akan sedang terlarut dalam lamunannya yang indah dimasa silam.
Mendadak dia membuka matanya kembali dan mulai tertawa keras, tertawa seram:
"Hahahaha.... tapi sekarang aku telah berubah jadi perempuan paling jelek dikolong langit, tentu saja kau tidak bakal kenali diriku lagi!"
Sepasang tangannya yang menggenggam tongkat bambu kelihatan gemetar keras, sambil tertawa menyeramkan lanjutnya:
"Dua puluh tahun, bahkan dua puluh tahun pun belum genap, tapi perubahan yang terjadi di dunia begitu besar dan luar biasa, dua puluh tahun berselang nyawamu terjatuh ke tanganku, aku hanya bisa membenci diri sendiri kenapa mau percaya dengan bujukan serta rayuan gombalmu, bukan saja kuampuni jiwamu bahkan genap selama dua hari menemanimu ditengah hutan bunga tho. Dua puluh tahun kemudian, kau terjatuh lagi di tanganku, sekarang bujukan dan rayuan gombal apa lagi yang akan kau sampaikan!"
Thiat Cing-kian memutar biji matanya ke sekeliling tempat itu, belum lagi dia berbuat sesuatu, terdengar Hek Seng-thian telah berkata pula sambil tertawa seram:
"Hehehehe.... kukira siapa yang ada disini, ternyata enso Seng pun ada ditempat ini"
"Hek Seng-thian, tutup bacotmu!" umpat Sui Ji-song cepat.
"Enso Seng, setiap waktu setiap saat Seng toako masih rindu dan teringat kepadamu, lebih baik cepat bunuhlah dia kemudian bersama siaute pergi menjumpai toako!"
"Ji-song!" dengan cepat Thiat Cing-kian menjatuhkan diri berlutut, "akupun setiap saat setiap waktu selalu merindukan dirimu, sekali pun paras mukamu telah berubah, namun perasaan hatiku terhadapmu tidak pernah akan berubah"
"Enso seng, dia sedang membohongi dirimu" teriak Hek Seng-thian cepat, "dia...."
"Tutup mulut!" tiba-tiba Sui Ji-song membentak nyaring.
Sinar matanya perlahan-lahan dialihkan dari wajah Thiat Tiong-tong ke wajah Thiat Cing-kian dan Hek Seng-thian, kemudian setelah tertawa dingin dengusnya:
"Dasar lelaki, pintarnya hanya merayu dengan kata-kata manis, aku Sui Ji-song sudah muak mendengarnya"
Sambil menuding Hek Seng-thian dengan tongkat bambunya, dia melanjutkan:
"Yang paling busuk, paling memuakkan di antara sekian yang ada, kaulah manusia paling busuk, bedebah paling laknat. Sejak awal kau sudah tahu kalau Seng Cun-hau tidak mampu punya anak maka kau sengaja membohongi aku, gagal berbohong kaupun mengasah pisau di hadapan Seng Toa-nio, menghasut dan mengadu domba kami, hmmm, semua hutangmu masih tercatat jelas dalam ingatanku, hari ini aku tidak bakalan mengampuni jiwamu!"
Begitu selesai bicara, tongkat bambunya ditekan dan langsung menghujam diatas dada Hek Seng-thian.
Seketika itu juga Hek Seng-thian menjerit ngeri lalu tergelepar ditanah dan tewas seketika.
Kemudian dengan tongkatnya kembali dia tuding Thiat Tiong-tong, katanya pula:
"Kau! Kau menipu putriku hingga ibunya pun sudah tidak dimaui lagi, kaupun bajingan laknat, aku harus menjagal dirimu!"
"Ibu...." jerit Sui Leng-kong dengan nada gemetar.
Sui Ji-song tidak menggubris, kini dia sudah menuding Thiat Cing-kian dengan tongkatnya:
"Dan kau" teriaknya, "kau telah menipuku, mencelakai aku hingga harus menderita siksaan seperti yang kualami hari ini, biar kucincang tubuhmu pun belum bisa melampiaskan semua rasa dendamku"
"Kau tidak boleh membunuhku, putri ku juga tidak akan setuju kau membunuh aku!"
"Siapa putrimu?"
"Dia!" teriak Thiat Cing-kian sambil menuding ke arah Sui Leng-kong.
Diiringi jeritan kaget Sui Leng-kong mundur berapa langkah ke belakang, kini punggungnya sudah menempel diatas dinding gua.
Thiat Tiong-tong sendiripun dibuat gelagapan, sebab semua perubahan yang terjadi amat mendadak, sama sekali diluar dugaan, setiap perubahan yang berlangsung seakan diluar akal sehat siapa pun.
Terdengar Thiat Cing-kian berkata lebih jauh:
"Seng Cun-hau tidak bisa punya anak, tentu saja anak itu anakku, bagaimanapun kita pernah jadi suami istri selama dua malam, tegakah kau membunuhku ?"
Kini Thiat Tiong-tong baru mengerti apa yang telah terjadi, pikirnya:
"Tidak heran kalau Seng Toa-nio berniat membunuhnya telah mengetahui kalau dia hamil, tidak aneh jika diapun bersikap begitu kejam dan tidak berperasaan terhadap putrinya sendiri!"
Oleh karena dia sangat membenci Thiat Cing-kian, terhadap apa yang telah diperbuatpun merasa sangat menyesal, maka semua dosa, kesalahan dan rasa dendamnya dilampiaskan semua pada keturunannya itu.
Ketika mengalihkan kembali pandangan matanya, tampak Sui Ji-song sedang pejamkan matanya sambil berkata:
"Sesungguhnya akupun tidak tega untuk membunuhmu, aaai!
Cepat kemarilah, bantulah aku menuju ke pembaringan sana, aku merasa lelah sekali"
Buru-buru Thiat Cing-kian menghampiri, berpura-pura tersenyum lembut dan memayang tubuh Sui Ji-song sambil berbisik:
"Ji-song, kita segera akan melewatkan sisa hidup dalam kegembiraan dan kesenangan, kita punya harta yang
berlimpah...."
Belum habis ucapan tersebut diucapkan, tiba-tiba tubuhnya mengejang keras dan roboh terjungkal ke tanah.
Dihiasi senyuman menyeringai yang menggidikkan hati Sui Ji-song tertawa keras:
"Hahahahaha.... harta karun" Dasar lelaki bau yang tamak tidak tahu malu!"
Kemudian dengan tongkat bambunya dia mencukil tumpukan barang berharga itu dan dihirukkan keatas mayat Thiat Cingkian, katanya lagi:
"Hari ini, kusuruh kau mampus dibawah tumpukan harta karun!"
Dengan tubuh gemetar keras Sui Leng-kong mulai menangis tersedu sedu, bagaimanapun jahatnya Thiat Cing-kian, dia tetap ayah kandungnya. Tidak heran kalau gadis tersebut tidak bisa menguasahi rasa sedihnya.
"Ibu, kau...." tiba-tiba mulutnya terkatup dan roboh tidak sadarkan diri disisi mayat Thiat Cing-kian.
Suara tertawa seram serta suara isak tangis seketika sirna dan lenyap, suasana dicekam kembali dalam keheningan.
Cahaya mutiara masih membiaskan sinarnya yang redup dan menyinari wajah Sui Ji-song yang jelek, tubuh yang kurus kering, rambut yang awut awutan serta kakinya yang cacad.
Kini sorot matanya telah berubah jadi merah padam sementara paras mukanya hijau membesi, dia seolah-olah sudah kehilangan seluruh tenaga hidupnya dan berubah menjadi sesosok kerangka kosong yang jelek.
Thiat Tiong-tong hanya mengawasi jalannya peristiwa itu dari samping.... dia sendiripun tidak tahu harus merasa benci atau iba.... terhadap mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah pun dia tidak tahu harus merasa benci atau iba.
Seluruh pertikaian, semua dendam kesumat telah berakhir dengan datangnya kematian, kemarukan serta ketamakan mereka terhadap harta karun pun ikut lenyap bersama datangnya maut.
Kini sorot mata Sui Ji-song sudah dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong, kembali senyuman menyeramkan menghiasi ujung bibirnya.
"Bocah keparat" teriaknya, "kau telah membohongi putriku, kalau bukan secara diam-diam aku menguntit sampai disini, bukankah dia akan mati kelaparan di sini!"
"Asal hujin bersikap sedikit lebih baik kepadanya, tidak melimpahkan semua dosa dan kesalahan yang dilakukan generasi sebelumnya kepada dia, dengan sendirinya dia akan menurut dan berbakti kepadamu"
"Kentut, kau tidak lebih hanya ingin menganaya aku si orang cacad, hari ini akan kusuruh kau rasakan kelihayan dari si manusia cacad!"
Ditengah umpatan dan caci makinya dia sudah menutulkan tongkat bambunya dan melambung ke udara.
Betapa terkesiapnya Thiat Tiong-tong menghadapi terkaman itu, apalagi menyaksikan rambutnya yang awut tidak karuan, matanya yang merah berapi persis seperti setan buas yang sedang mementang-kan cakar mautnya.
Buru buru dia mengigos ke samping, tapi dua batang tongkat bambu itu secepat sambaran kilat telah mengancam dadanya.
Pemuda itu sadar kalau kepandaian silatnya masih bukan tandingan lawan, apalagi kondisi kesehatan badannya belum pulih sama sekali, tentu saja dia tidak berani menyambut dengan kekerasan, cepat dia mengegos lagi ke samping dan berusaha menghindarkan diri.
"Hmm, kau anggap bisa melarikan diri?"
Kembali tongkat bambunya melancarkan serangan berantai, jangan dilihat kakinya cacad, kecepatan geraknya ternyata sama sekali tidak berkurang.
Dalam waktu singkat puluhan gebrakan sudah berlalu, Thiat Tiong-tong semakin tidak kuasa menahan diri, tiba-tiba lututnya jadi lemas, ternyata dia sudah tersandung mayat Siau Lui-sin hingga tidak ampun tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.
Cepat dia berguling ke samping sambil menyambar sebuah pacul yang tertinggal disitu.
Ketika Sui Ji-song mundur ke belakang, Thiat Tiong-tong telah berhasil menyambar sebilah pedang berwarna hijau kemala, cepat dia bersalto dan melompat bangun.
Dia sadar, Sui Ji-song sudah tidak mungkin diajak berbicara secara baik-baik maka timbul niatnya untuk beradu nyawa.
Berpikir sampai disitu pedang mestikanya segera dibacokkan ke depan, bukan tubuh Sui Ji-song yang diarah melainkan tongkat bambu andalannya, inilah taktik "Mau memanah orangnya, robohkan dulu kuda tunggangannya".
"Traaang!" pedang dan tongkat bambu segera saling membentur.
Ternyata tongkat bambu itu sama sekali tidak patah, bergetarpun tidak, rupanya perempuan itu telah menyalurkan seluruh kekuatan tubuhnya ke dalam tongkat, sehingga senjata mestika pun sulit untuk mematahkannya.
Sebaliknya Thiat Tiong-tong merasakan pergelangan tangannya kesemutan, didalam kagetnya cepat dia melancarkan sebuah bacokan lagi.
"Bagus!" bentak Sui Ji-song, kali ini dia menyerang lagi dengan tongkat bambu yang sebelah.
Untuk kesekian kalinya Thiat Tiong-tong merasakan pergelangan tangannya bergetar keras, saking kerasnya pedang yang berada dalam genggamannya ikut mencelat ke udara.
Saat ini dia sama sekali tidak punya peluang untuk berpikir panjang, baru saja pedangnya mencelat dari genggaman, tongkat bambu dalam genggaman Sui Ji-song sudah menyambar lagi dengan kecepatan tinggi.
Thiat Tiong-tong segera membuang tubuhnya ke belakang kemudian menggelinding ke samping, dia menyelinap ke sisi kolam air.
Kembali Sui Ji-song melambung ke udara sambil meluncur ke tepi kolam air, bentaknya:
"Serahkan nyawamu!"
Tangan kirinya menekan ke bawah, tongkat bambunya langsung menyodok dada anak muda itu.
"Kraaak!" tiba-tiba tongkat bambu yang menutup disisi kolam air itu patah jadi dua, begitu kehilangan keseimbangan tubuh, tidak ampun....
"Byuuur!" tubuhnya tercebur ke dalam kolam.
Ternyata ketika terjadi bentrokan antara pedang dan bambu tadi, kedua batang bambunya sudah gumpil berapa bagian terhajar pedang mestika Thiat Tiong-tong, oleh sebab itu begitu ditekan Sui Ji-song dengan penuh tenaga, tongkat bambu itupun patah jadi dua.
Semenjak Thiat Tiong-tong menelan jinsom berusia seribu tahun, kendatipun luka yang dideritanya belum sembuh seratus persen, namun tenaga dalamnya tanpa sadar telah bertambah maju pesat.
Dalam hal ini sebetulnya Thiat Tiong-tong sendiripun tidak tahu, itulah sebabnya dia tidak punya keyakinan, sebaliknya Sui Ji-song kelewat memandang enteng lawannya, karena kelewat gegabah maka perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini kontan
membuatnya gelagapan.
Ditengah percikan bunga air yang menyebar ke mana mana Thiat Tiong-tong menghembuskan napas panjang sambil menyelinap ke arah lain, kini dia sudah menyingkir ke tepi dinding gua sambil mengatur pernapasan, dia bersiap siap menghadapi serangan berikut.
Siapa tahu meski sudah ditunggu sekian waktupun tiada gerakan apapun di kolam air itu, Sui Ji-song masih tertelungkup diatas permukaan air tanpa bergerak, seakan dia sudah menjadi sesosok bangkai.
Mula-mula Thiat Tiong-tong agak tertegun, tapi kemudian sadar apa yang telah terjadi, batinnya:
"Aaah benar, air itu beracun, Sui Ji-song pasti sudah meneguk air dalam kolam itu hingga keracunan dan tewas!"
Dalam waktu singkat tubuh Sui Ji-song yang kurus kering itu mulai mengejang lalu menyusut jadi kecil, empat anggota tubuhnya jadi melengkung dan kaku, rambutnya terapung diatas permukaan hingga keadaannya tampak sangat menakutkan.
Hampir saja Thiat Tiong-tong muntah saking mualnya setelah menyaksikan peristiwa ini.
Akhirnya dia tidak kuasa menahan diri lagi, dengan cepat pemuda itu lari keluar dari gua dan mulai muntah disudut batu, dia memuntahkan seluruh isi perutnya sehingga hanya tersisa air masam dalam lambungnya.
Pada saat itulah dari balik gua terdengar suara isak tangis Sui Leng-kong yang amat menyedihkan hati.
Berapa saat lamanya Thiat Tiong-tong berdiri mematung, dia tidak tahu bagaimana harus menghibur gadis itu.
Kini dia hanya berharap tidak pernah ada harta karun di dunia ini, maka semua peristiwa yang tragis, memedihkan hati dan menyiksa batin tidak pernah akan terjadi.
Sekalipun harta kekayaan itu indah dan menawan, seringkali yang ikut hadir bersama dengan harta adalah ketamakan, pelit, intrik, pembunuhan, kekejaman, perebutan kekuasaan, fitnah serta kematian.
Bagaimana pun juga mata umat manusia selalu akan dibuat silau oleh harta kekayaan, mereka hanya bisa melihat sisi terang dari harta karun tapi tidak pernah bisa melihat sisi gelap dari kesemuanya itu.
Untuk berapa saat Thiat Tiong-tong hanya berdiri termangu, dia tidak bermaksud menghibur Sui Leng-kong yang menangis
sedih, sebab dia tahu hanya cucuran air mata yang bisa melampiaskan semua rasa sedih yang mencekam perasaan seorang gadis.
Dia mulai duduk diatas peti baju, mengambil berapa kitab serta lipatan kain dari dalam peti musibah. Beberapa jilid kitab itu terbuat dari kain sutera yang halus sementara lipatan kain itu ternyata adalah sebuah bendera yang dibuat dari cucuran darah segar, tapi lantaran sudah kelewat lama, warna darah itu telah berubah sehingga nampak buram tidak bercahaya, tapi justru memancarkan daya tarik yang menggidikkan hati.
Ketika menyentuh gulungan kitab serta bendera berdarah itu, tanpa terasa tubuh Thiat Tiong-tong gemetar keras, air mata pun tanpa terasa ikut jatuh bercucuran.
Bukan saja didalam gua itu tersimpan harta kekayaan dan kematian, ternyata tersimpan pula sebuah rahasia besar.
Rahasia itu menyangkut leluhur Thiat Tiong-tong, yang penuh mengandung dendam kesumat, lelehan darah dan air mata, kegembiraan dimasa hidup dan penderitaan menjelang ajal.
Dia mulai membuka lembaran pertama kitab itu yang tertulis:
"Di masa lalu, sam-koay (tiga manusia aneh), Su-sat (empat iblis), Jit-mo (tujuh setan) Kiu-ok (sembilan orang jahat) cappwee koan (delapan belas perampok) mendatangkan bencana bagi umat persilatan, bukan saja sepak terjangnya jahat dan kejam, banyak orang persilatan hanya berani marah tidak berani bertindak.
Sampai suatu saat Im dan Thiat dua orang cianpwee terjun ke dalam dunia kangouw, setelah melewati berbagai pertarungan di bukit Hong-san, telaga Tong-teng, gunung Tiam-cong, telaga Tay-ouw, bukit Ci lian san, gunung Kunlun dan Tiong-tiau, akhirnya dengan andalkan dua bilah pedang sakti berhasil membasmi Sam-koay, Su-sat, Jit-mo, Kiu-ok serta Cappwee koan, dengan lumuran darah merekalah dibuat sebuah panji sakti.
"Sejak itu semua umat persilatan takluk dan menaruh hormat kepada kami, dimana panji sakti tiba, semua orang menyambut dengan penuh hormat.
"Akhirnya Im dan Thiat dua orang cousu mendirikan Perguruan Tay ki bun, dengan kebenaran dan keadilan membangun perguruan, dengan kebenaran dan keadilan menegakkan peraturan, dengan kebenaran dan keadilan menaklukkan orang.
"Kami berharap seluruh anggota perguruan untuk jangan melupakan ke delapan hal yang kami canangkan yakni: kesetiaan, bakti, kebajikan, cinta kasih, kepercayaan, kesetia-kawanan,
kerukunan dan kedamaian. Taati peraturan perguruan, membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan serta kebenaran"
Disisi bagian bawah tertulis:
"Ketua angkatan ke dua Perguruan Tay ki bun, Thiat Hau"
Memegang surat wasiat peninggalan mendiang ayahnya, tidak kuasa air mata jatuh berlinang membasahi pipi Thiat Tiong-tong, dia segera membuka halaman ke dua, disitu tulisannya bertambah kalut.
"Aku Thiat Hau, seorang kakek cacad, beruntung memiliki seorang putra yang kini masih bayi, setiap kali teringat bahwa aku tidak berkesempatan lagi untuk bertemu dengan putraku, hatiku teramat pedih.
"Nasibku memang kurang beruntung, sebuah lenganku dikutungi oleh adik sendiri, sepasang kaki dibikin cacad oleh musuh besar, dalam keadaan kritis dan terluka parah aku bertekad untuk menemukan kembali harta karun milik perguruan.
"Tumpukan harta ini disembunyikan leluhur Perguruan Tay ki bun sewaktu menyingkir dari musibah, walaupun sudah terkubur banyak waktu, untung saja aku berhasil menemukan tempat persembunyiannya setelah meneliti sebuah peta rahasia yang tidak utuh.
"Tapi yang membuat aku terharu adalah keberhasilanku menemukan kembali panji berdarah yang dibuat leluhur sewaktu mendirikan perguruan, panji ini tidak ternilai harganya, barang siapa mendapatkannya, dialah yang berhak menduduki posisi seorang ketua.
"Aku sadar dalam kehidupan kali ini tidak mungkin bisa bertemu dunia bebas lagi, aku berharap siapa pun yang menemukan harta ini, bila bukan anggota Perguruan Tay ki bun, tolong gunakanlah untuk kesejahteraan orang banyak.
"Seandainya harta ini diperoleh anggota Perguruan Tay ki bun, dia berkewajiban untuk melanjutkan perjuangan kita menuntut balas, jangan sekali kali kau lupakan wejangan leluhur.
"Ketahuilah perahu bisa menyeberangkan orang, bisa pula menenggelamkan orang, harta karun ibarat air, bila kau pergunakan secara benar dia akan mendatangkan berkah, bila kau salah dalam penggunaan akan berakibat bencana, jangan lupa dengan wejangan ini.
"Kehidupanku didalam gua amat berat dan penuh derita, untuk mengisi waktu yang luang aku telah menulis semua catatan serta rahasia ilmu silatku didalam kain yang kugunakan sebagai
pengganti kertas, semoga siapa pun yang beruntung mendapatkan mustika ini, gunakanlah ilmu ini demi kebajikan.
"Menjelang masa akhir hidupku, aku telah bertemu dengan Sui Leng-kong, dia adalah seorang gadis yatim yang bernasib memedihkan, selama ini dia menjadi satu-satunya penghiburku, maka akupun berharap siapapun yang mendapatkan harta ini bersedia pula merawat dirinya.
"Ilmu silat yang kutulis antara lain terdiri dari kouwkoat tenaga dalam, ilmu samadi, ilmu pukulan Tayki hong im-ciang, dua belas jurus ilmu darah besi serta ilmu meringankan tubuh dan ilmu pedang"
Membaca sampai disini Thiat Tiong-tong segera mendongakkan kepalanya, dengan air mata bercucuran pekiknya:
"Ayah.... ooh ayah.... ananda yang tidak berbakti ternyata tidak punya jodoh untuk bersua muka denganmu"
Belum selesai dia bergumam, tiba-tiba terdengar helaan napas panjang bergema dari belakang tubuhnya, Sui Leng-kong dengan air mata bercucuran berkata:
"Apa... apakah dia... dia orang tua aa.... adalah aa... ayahmu?"
Dengan sedih Thiat Tiong-tong mengangguk.
Sui Leng-kong tertegun sesaat, kemudian tanyanya lagi:
"Di.... di mana i.... ibumu?"
Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas.
"Sewaktu masih bayi, ibuku juga telah pergi"
Dengan lemah lembut Sui Leng-kong membelai rambutnya, dia memandang dengan sorot mata lembut, penuh rasa kasihan dan simpatik, perhatian dan penghiburan.
Gadis berhati mulia ini hanya memikirkan kemalangan yang menimpa orang lain, dia seakan sudah melupakan kemalangan sendiri, sejujur-nya, bukankah nasib yang menimpanya jauh lebih menge-naskan.
Kedua orang itu saling berhadapan dengan air mata berlinang, perasaan hati mereka penuh diliputi kegetiran dan kepedihan.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Sui Leng-kong bangkit berdiri, menggapai ke arah Thiat Tiong-tong dan bergerak keluar.
Sambil menggenggam kitab serta panji berdarah itu, Thiat Tiong-tong ikut di belakangnya.
Gadis itu mengajak Thiat Tiong-tong berjalan menelusuri rawa-rawa dan kubangan, seperminum teh kemudian dia berhenti di depan sebuah gundukan tanah.
Disisi gundukan tanah itu penuh ditanami bebungahan berwarna kuning, tiba ditempat itu Sui Leng-kong segera menundukkan kepalanya, air mata kembali berlinang membasahi wajahnya.
"Apakah.... apakah disini tempat kubur dia... dia orang tua?"
Sui Leng-kong berdiri kaku ditengah hembusan angin dan manggut-manggut.
Thiat Tiong-tong segera jatuhkan diri berlutut di depan kuburan dan menangis tersedu sedu.
Sui Leng-kong ikut berlutut, dalam hati berdoa: "Aku telah mengajak keturunan kau orang tua datang kemari, semoga arwahmu dialam baka bisa beristirahat tenang"
Kemudian setelah membesut air mata, katanya lagi dengan sedih:
"Ayahku pernah berbuat salah kepada kau orang tua, tapi diapun sudah mati, kumohon kau orang tua sudi memaafkan segala dosanya"
Hujan, tiba-tiba turun dengan derasnya, seakan-akan air hujan ingin mencuci bersih semua dosa dan kesalahan yang telah lampau.
Lama, lama kemudian akhirnya hujan pun berhenti.
Perlahan-lahan Thiat Tiong-tong bangkit berdiri kemudian menarik tangan Sui Leng-kong, dia sudah putuskan akan menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk melindungi gadis yang patut dikasihani ini.
Tiba-tiba Sui Leng-kong mengangkat kepalanya.
"Kau.... kau tidak membenciku?" tanyanya.
"Tanpa kau, aku sudah mati sejak tadi, tanpa kau, ayahku mati tanpa liang kubur, untuk berterima kasih pun masih belum mampu, mana mungkin aku membencimu?"
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Bukan saja tidak membencimu, bahkan aku... akupun tidak akan membenci ayah ibumu...."
Baru bicara sampai disitu, Sui Leng-kong sudah menubruk ke dalam rangkulannya dan menangis tersedu.
Biarpun dunia amat luas, namun dia merasa hanya bisa bersandar pada pemuda itu satu orang, hanya selama berada dalam pelukan, kehidupannya yang lemah baru akan peroleh ketenangan.
Tapi dia harus meninggalkan dia, meninggalkan dia, meninggalkan dia....
Kenapa" Dia tidak boleh mengatakannya, dia tidak tega mengatakannya....
Thiat Tiong-tong telah menarik tangannya dan berkata dengan lembut:
"Jangan menangis, pergilah bersamaku, kau telah mengubur jenasah ayahku, sekarang akupun akan mengubur jenasah ayah ibumu"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan pandangan bingung Sui Leng-kong mengikutinya balik ke dalam gua rahasia, panji darah dan kitab silat yang tersebar ditanah pun telah dipungut kembali, tapi mereka telah meninggalkan air mata dan kesedihan.
Tiba dalam gua, mereka menjumpai sebuah jubah panjang berwarna putih tergeletak diatas ranjang, diatas jubah itu tertera berapa huruf besar dari darah segar:
"Aku pun bisa berlagak mampus"
Jenasah Hek Seng-thian sudah tidak nampak ditempat itu.
Lama sekali Thiat Tiong-tong tertegun, akhirnya sambil menghela napas panjang ujarnya:
"Orang ini benar-benar sangat lihay, setelah ditipu orang lain, sekarang gantian dia yang menipu orang"
Tiba-tiba terdengar Sui Leng-kong menjerit kaget kemudian menangis lagi dengan sedihnya, ternyata batok kepala Thiat Cingkian dan Sui Ji-song telah dipenggal orang.
Harta karun yang semula memenuhi ruangan pun sudah berkurang banyak. Tampaknya barang apapun yang bisa dibawa telah dibawa pergi Hek Seng-thian dengan menggunakan kain baju, hanya saja bagian yang terbawa olehnya belum lebih dari sepersepuluh.
Thiat Tiong-tong memperhatikan sekejap tulisan darah yang tertera diatas jubah, lalu memeriksa pula mayat Sui Ji-song dan Thiat Cing-kian, saat itu darah yang mengalir dari tubuh mereka telah mengering.
Setelah menghela napas ujarnya kemudian:
"Dia sudah pergi hampir satu jam lamanya, saat ini pasti sudah berada jauh sekali, tidak mungkin bisa terkejar...."
"Tapi... aa.... ayahku...." Sui Leng-kong menangis sedih.
"Sekalipun dia sudah pergi jauh, namun suatu saat aku pasti akan menangkapnya dan membalaskan dendam sakit hatimu, kau percaya denganku bukan?"
Sui Leng-kong manggut-manggut, suara tangisannya juga ikut mereda.
Habis mengubur semua jenasah yang ada, Thiat Tiong-tong mengambil keputusan dia akan menjaga kuburan ayahnya selama seratus hari.
Tentu saja Sui Leng-kong menemaninya, kini dia sudah tidak perlu menghindari siapa pun, maka selesai membersihkan tubuh dia pun bertukar pakaian.
Tiga hari kemudian luka yang diderita Thiat Tiong-tong sudah sembuh kembali.
Diapun menjumpai kasiat dari jinsom berusia seribu tahun sangat luar biasa.
Selama hampir seratus hari mereka tetap tinggal di depan kuburan, menggunakan kesempatan itu mereka mulai merancang rencana bagaimana caranya mengirim keluar harta karun yang amat banyak itu, begitu juga memikirkan sistim pengamanan ketika diangkut.
Selesai masa berkabungnya, diapun berpamit di depan kuburan ayahnya dan mengambil keputusan untuk segera terjun kembali ke dunia ramai.
Tentu saja Sui Leng-kong sangat gembira, sebab
penderitaannya selama belasan tahun kini telah berakhir.
BAB 6 Huru-hara di Lokyang
Kota Lokyang adalah sebuah kota besar yang makmur dan ramai, boleh dibilang kota paling makmur di kolong langit saat itu.
Belakangan tersiar sebuah kabar aneh dalam kehidupan masyarakat kota Lokyang, konon di kota itu telah kedatangan seorang manusia aneh yang memiliki kekayaan tidak terkalahkan.
Dikota Lokyang waktu itu sudah terdapat banyak sekali orang yang kaya raya, banyak saudagar kaya yang datang dari tempat jauh, kongcu dari keluarga kenamaan banyak sekali berkumpul dikota ini.
Tapi semua orang kaya yang ada disana ternyata tidak seorangpun dapat mengungguli kekayaan yang dimiliki manusia aneh itu, tidak heran kalau ia jadi pusat perhatian orang dan menjadi tokoh dalam cerita yang beredar.
Keluarga Li di utara kota bukan saja merupakan seorang kaya raya yang termashur di kota Lokyang, bahkan diapun merupakan seorang pengusaha permata yang terhitung paling besar di seantero jagad, tidak ada orang yang tidak kenal dengan Liok-yang.
Keluarga Li Lok-yang turun-temurun memang berdagang intan permata, bukan saja sudah sejak lama kaya raya bahkan kepandaian silat yang dimiliki keluarga Li pun terhitung sangat hebat.
Bagi saudagar yang mengusahakan intan permata, tidak mengerti ilmu silat sama halnya engan seekor domba yang hidup ditengah gerombolan harimau, keluarga Li sangat memahami akan hal ini karenanya kepandaian silat mereka pun dilatih dengan tekun.
Peristiwa aneh dan manusia aneh yang menggemparkan seluruh kota waktu itu berasal dari cerita para pembantu yang bekerja di keluarga itu.
Sudah sebelas generasi keluarga Li dari Lokyang berdagang barang permata, setelah melalui pelbagai kejadian dan peristiwa, anak buah mereka sudah terlatih hidup penuh kewaspadaan dan
hati hati. Mereka tidak memiliki toko yang mewah, megah dan indah, yang mereka miliki adalah sebuah bangunan raksasa yang kuno tapi kokoh dengan penjagaan yang sangat ketat.
Dalam satu tahun pasti ada sepuluh hari para saudagar barang permata berkumpul disitu, biasanya mereka melakukan transaksi besar besaran dalam gedung kokoh itu.
Para hartawan, para pedagang kenamaan biasanya akan membawa istri dan gundik mereka untuk berbelanja barang perhiasan disitu, busu, piausu pun banyak berkeliaran disana.
Tentu saja di antara mereka terdapat juga pentolan perampok, para pencoleng dan kaum lioklim yang biasa bekerja gelap, namun begitu hadir di sini, merekapun akan bertransaksi mengikuti aturan, tidak seorangpun berani main kekerasan apalagi berusaha merampok.
Pintu gerbang keluarga Li selalu terbuka, asal kau datang untuk berjual beli barang permata, tidak perduli apa pun status sosial mu, tidak perduli ada berapa banyak uang yang kau miliki, semuanya boleh berkunjung ke situ.
Dalam sepuluh hari yang istimewa ini, semua orang boleh datang ke sana, bahkan biarpun kau hanya ingin membeli sebutir mutiara atau ingin membeli bunga mutiara yang berharga tiga tahil, semuanya berhak menikmati pelayanan istimewa sebagai seorang bangsawan.
Anggota keluarga Li serta para pembantu yang telah melalui pendidikan ketat akan menyambut dan melayani semua orang secara santun dan halus.
Motto mereka adalah: "Sekali melangkah masuk ke pintu gerbang, kau adalah tamu kehormatan keluarga Li"
Ditempat ini tidak ada orang yang akan menanyai
identitasmu, juga tidak akan diselidiki sumber uang dan harta yang kau miliki, asalkan saja tingkah lakumu selama ada disana normal dan tidak aneh-aneh.
Tapi jika kau mencoba melakukan tindakan yang melanggar hukum, yang ringan paling hanya diusir keluar dari gedung itu, sementara yang berat akan ditahan dan diinterogasi.
Tentu saja selama ini berapa kali keluarga Li harus menghadapi percobaan perampokan dan pembegalan, seperti yang dilakukan gembong iblis berilmu tinggi Gi pak siang sat atau Tok jiu Kun lun, tapi semua percobaan itu berhasil dipatahkan oleh orang-orang keluarga Li.
Tahun ini, pasar bebas kembali diselenggarakan dalam gedung keluarga Li, bahkan tahun ini diselenggarakan lebih besar dan meriah.
Sejak hari Tiong-yang, kereta dan lautan manusia mulai membanjiri utara kota Lok-yang.
Pemilik toko permata angkatan ke sebelas Li Lok-yang berwajah bersih dengan perawakan tubuh tinggi, sekalipun rambutnya sudah memutih namun sinar matanya masih terang bagai cahaya bintang.
Dia mengenakan jubah berwarna gelap, dengan penampilan yang anggun penuh wibawa bersama putra pertamanya Li Kiam-pek berdiri di undak-undakan pintu kedua untuk menyambut kedatangan para tetamunya.
Seorang nyonya cantik berpenampilan anggun ditemani seorang pemuda tampan berbaju putih merupakan sepasang tamu pertama yang datang berkunjung hari ini.
Menyusul kemudian pensiunan panglima perang, perampok kenamaan yang telah cuci tangan, pemuda perlente, kakek kaya raya dengan membawa bini dan istri mudanya berduyun-duyun memasuki ruangan.
Hari pertama berlalu dengan begitu saja, hari kedua baru merupakan puncak keramaian.
Tengah hari itu ketika Li Lok-yang sedang mencuri waktu untk beristirahat sejenak, tiba-tiba di depan pintu gerbang berhenti dua buah kereta megah yang ditarik delapan ekor kuda jempolan.
Kusir kereta adalah dua orang bocah tampan berbaju mewah yang baru berusia delapan, sembilan tahun, tapi keahliannya dalam mengendalikan kereta jauh lebih hebat ketimbang orang yang berpengalaman sekalipun.
Asal orang yang sedikit punya pengetahuan, mereka segera akan mengenali kalau ke dua orang bocah tampan ini tidak lain adalah Ban kim sintong (bocah sakti selaksa emas) hasil didikan rumah pelacuran kenamaan di kota Lokyang, rumah pelesiran Hun kiok hoa.
Bunga seruni putih Ko Chang-yan adalah seorang pelacur kenamaan dikotaraja, tapi setelah berusia lanjut dia alih profesi menjadi seorang pelatih sekawanan bocah tampan dan dayang cantik yang berkemampuan tinggi, orang-orang itu khusus dijual kepada orang kaya sebagai budak, tapi karena semua bocah dan dayang itu berotak cerdas, berkemampuan hebat dan memiliki
berbagai macam ilmu, maka kalau bukan orang yang benar-benar kaya, jangan harap bisa mempekerjakan mereka, sebab harga mereka sangat tinggi, untuk membeli satu orang dibutuhkan uang sebesar sepuluh laksa tahil perak, satu jumlah yang mungkin senilai dengan seluruh harta kekayaan seorang pedagang kaya.
Kini sorot mata semua orang sudah tertuju pada dua orang bocah yang ada dikereta kuda itu, setiap orang ingin tahu saudagar kaya raya mana yang ada dibalik kereta, siapakah orang yang memiliki kekayaan sebesar ini"
Pintu kereta pertama dibuka orang dan muncullah seorang gadis cantik berbaju mewah, gadis ini selain berwajah ayu, senyuman manis selalu menghiasi bibirnya.
Semua orang merasa pandangan matanya silau, serentak mereka mengawasi gadis itu dengan termangu.
Siapa tahu begitu turun dari kereta, gadis cantik itu segera membungkukkan tubuh seraya berkata:
"Nona, silahkan turun dari kereta"
Dari balik kereta kembali muncul sebuah tangan yang halus, tangan itu memegang bahu gadis pertama dengan lembut.
Menyusul kemudian dari balik kereta muncul sepasang kaki yang bulat kecil dengan mengenakan sepatu kecil yang indah, sebutir mutiara menghiasi ujung sepatu itu, mutiara sebesar kelengkeng yang bergetar ketika terhembus angin.
Sekalipun belum nampak orangnya, namun cukup melihat sepasang tangannya, sepasang kakinya serta sepasang mutiaranya yang bergetar, orang sudah merasa pandangan matanya silau, terkesima dan berdiri bodoh.
"Siapakah dia" Sebenarnya siapakah dia?" diam-diam semua orang mulai menebak.
Tahu-tahu diluar kereta sudah berdiri seorang gadis yang cantik bak bidadari dari kahyangan, rambutnya hitam mengkilap, kerlingan matanya bening bagai air, dia mengenakan pakaian model keraton yang halus tapi indah, bahannya seperti sutera seperti juga hasil tenunan.
Meskipun gadis yang pertama tadi cantik, tapi dia termasuk gadis yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat, sebaliknya gadis berbaju keraton itu memiliki kecantikan yang sama sekali tidak membawa hawa napsu, bagaikan bidadari yang turun dari kahyangan.
Sambil berpegangan pada bahu gadis pertama, perlahan-lahan
gadis itu berjalan menuju ke depan kereta ke dua.
Sorot mata semua orang pun serentak dialihkan ke atas kereta nomor dua.
Begitu pintu kereta kedua terbuka, sorot mata semua orang segera tertuju ke situ, ternyata yang muncul adalah seorang kakek berambut putih yang tubuhnya sudah bungkuk dan wajahnya penuh keriput.
Jalan kehidupan orang ini sudah terlewatkan separuh masa, langkah kakinya pun gontai, dengan satu tangan dia menutupi matanya seakan tidak tahan dengan cahaya matahari, tangan yang lain berpegangan diatas bahu gadis cantik berbaju keraton itu.
Menyaksikan adegan ini semua orang merasa kecewa bercampur tidak terima, masa sekuntum bunga seharum itu harus ditancapkan diatas seonggok tahi kerbau"
Dibawah pandangan mata banyak orang, mereka bertiga berjalan menuju ke pintu gerbang.
Buru-buru Li Lok-yang menyambut kedatangan mereka, sambil tersenyum dan menjura sapanya:
"Tamu agung datang dari jauh, boleh tahu siapa nama anda?"
Kakek itu mendengus dingin, dengan suara bagai seorang banci sahutnya:
"Aku datang kemari untuk berdagang, bukan menjawab interogasimu!"
Li Lok-yang tertegun, kemudian buru-buru sahutnya sambil tertawa paksa:
"Silahkan masuk! Silahkan masuk!"
"Tentu saja harus masuk" jawab kakek perlente itu sambil melotot, "kalau tidak masuk memangnya harus tidur di depan pintu rumahmu, hmmm... hmmmm.... benar benar kurangajar!"
Sekali lagi Li Lok-yang tertegun, saking jengkelnya nyaris dia tidak sanggup berkata-kata.
Selama hidup sudah cukup banyak manusia yang
dijumpainya, tapi belum pernah dia jumpai kakek seaneh ini.
Kakek aneh itu langsung memasuki ruang utama, dengan sorot matanya dia memandang sekeliling tempat itu sekejap lalu serunya sambil tertawa terkekeh:
"Hahahaha.... palsu! Palsu! Dari lukisan yang tergantung dalam ruangan ini, paling tidak ada dua lukisan yang merupakan barang tiruan"
Li Kiam-pek yang masih muda, berdarah panas, kontan naik
darah dan siap mengumbar amarahnya, tapi deheman ayahnya membatalkan niat tersebut.
Dalam pada itu ke dua orang bocah ganteng itu sudah ikut masuk ke dalam gedung sambil menjinjing dua buah peti yang berbentuk indah, peti itu terbuat dari besi dengan taburan intan permata disekitarnya.
Belum lagi isi peti, dari bentuk ke dua peti itupun sudah ketahuan kalau nilainya luar biasa, tentu saja Li Lok-yang tahu nilai barang, tidak tahan untuk berdecak keheranan.
Begitu masuk ke dalam gedung, kakek perlente itu segera berteriak:
"Dimana tempat menginapku?"
Biarpun gedung keluarga Li tidak nampak mentereng, namun memiliki banyak halaman dengan ruang kamar yang indah.
Untuk menyambut kedatangan para tetamunya, Li Lok-yang telah perintahkan orang untuk membersihkan seluruh halaman rumah, dia tahu watak kakek perlente ini sangat aneh maka sengaja mengajaknya menuju ke halaman rumah yang paling lebar.
Siapa tahu begitu memasuki kamar, gadis cantik bak bidadari itu segera menutupi hidungnya sambil berkerut kening. Kakek perlente itu lebih marah lagi, sambil menuding ke ujung hidung Li Lok-yang umpatnya:
"Ruangan macam beginipun kau anggap tempat tinggal manusia" Kandang babi milik lohu jauh lebih indah ketimbang halaman rumahmu ini"
Li Kiam-pek tidak kuasa menahan diri lagi, sambil menarik wajahnya dia menegur:
"Kalau menganggap kurang berkenan, kenapa tidak membawa rumah sendiri?"
Dia sengaja tidak memandang wajah ayahnya dan langsung mengucapkan perkataan itu.
"Hmm, kau sangka bisa menyusahkan aku?" jengek kakek perlente itu sambil tertawa dingin.
Dalam duajam kakek berbaju perlente itu sudah perintahkan orang untuk mendirikan tiga buah tenda, tenda yang sangat megah dan indah bak istana raja Mongol ditengah gurun.
Perabot dan perlengkapan yang tersedia dalam tandu itu lebih hebat lagi, hampir semua benda adalah barang pilihan yang indah, mahal dan tidak ternilai harganya.
Dia menyediakan dapur sendiri dan menampik kiriman
makanan yang disediakan gedung keluarga Li, kokinya adalah seorang koki kenamaan dari Hangciu, konon dia khusus diundang dari dalam istana kaisar.
Kakek yang aneh, istri yang cantik bak bidadari, kekayaan yang tidak terhingga, perjalanan yang spektakuler, ketika semua hal digabung menjadi satu, tidak heran kalau segera menimbulkan gelombang kehebohan dalam masyarakat.
Setiap orang mencoba untuk menebak namun tidak
seorangpun bisa menduga asal usul kakek aneh ini, bahkan termasuk Li Lok-yang sendiripun diam-diam merasa tercengang sekalipun rasa herannya tidak sampai ditampilkan keluar.
Para bangsawan yang datang dari kotaraja menduga kalau kakek itu mungkin saja seorang pembesar dipinggir perbatasan yang telah pensiun atau seorang keluarga kaya raya dari wilayah Kanglam.
Sebaliknya para orang kaya dari wilayah Kanglam mengira kakek itu termasuk salah satu keluarga bangsawan di kotaraja atau salah satu keluarga Kaisar yang sedang berpesiar.
Malah ada sementara orang yang menduga kalau kakek itu adalah seorang perompak laut yang sudah cuci tangan dan memiliki kepandaian silat yang sangat hebat.
Tapi siapa pun tidak ada yang bisa menebak asal-usul sebenarnya dari rombongan itu.
Menjelang senja, koki kenamaan dari kakek aneh itu mengeluarkan sebuah daftar menu yang menggemparkan masyarakat: setiap hari mereka nembutuhkan seratus ekor ikan segar, delapan puluh ekor burung kakaktua dan yang lebih penting lagi setiap hari mereka butuh delapan ekor kuda jempolan yang masih hidup.
Sebab kegemaran kakek itu adalah otak ikan, hati burung kakaktua serta hati kuda yang dimasak setengah matang.
Selewat senja, kakek itu duduk di depan tenda sambil menikmati pelbagai macam arak wangi, arak yang begitu harum baunya hingga bisa terendus dari jarak duajalanan dari tempat itu.
Gadis cantik bak bidadari itu duduk disisi sang kakek dengan mengenakan kain cadar diwajahnya, selama ini tidak pernah terdengar dia berbicara, namun setiap kerdipkan matanya sudah jauh melebihi ribuan patah kata.
Ketika malam hari mulai tiba, perdagangan bebas dalam gedung keluarga Li pun dimulai, semua orang dengan membawa
pelbagai barang permata mulai dengan perdagangan mereka.
Tapi transaksi yang terjadi pada hari kedua sangat minim, hanya seorang pensiunan jenderal membeli empat pasang kuda antik serta seuntai kalung mutiara.
Selain itu juga pasangan tamu pertama.... perempuan cantik berbaju sutera serta pemuda berbaju putih itu membeli berapa macam perhiasan dan sebilah pedang bertaburkan permata.
Hingga pasaran bebas ditutup, kakek aneh itu tidak pernah menampakkan diri, ini membuat banyak pemuda tampan yang tidak tahan untuk mencuri pandang ke halaman belakang.
Namun gadis cantik bercadar itu hanya mengernyitkan dahinya kemudian segera masuk ke dalam tendanya.
Ada berapa orang pemuda yang tidak kuasa menahan diri, mereka mulai mengumpat dengan nada kasar:
"Sekuntum bunga cantik ditancapkan diatas seonggok tahi kerbau, kakek bangkotan berumur delapan puluh tahun pun mengawini gadis cantik, betul-betul tidak tahu diri"
Ketika umpatan itu terdengar dari dalam tenda, tiba-tiba gadis cantik itu tertawa terpingkal-pingkal sambil berbisik:
"Kau.... penyamaranmu benar-benar sangat mirip!"
Kakek perlente itu segera meluruskan punggungnya yang bongkok, dalam waktu singkat dia seolah sudah lebih muda puluhan tahun.
"Kalau penyaruanku tidak mirip, orang lain tidak akan memaki, semakin kasar makian mereka, aku merasa semakin gembira"
Ternyata ke dua orang itu bukan lain adalah Thiat Tiong-tong serta Sui Leng-kong yang tengah menyaru.
Semua dugaan yang beredar dalam masyarakat pun keliru besar.
Setelah tertawa sesaat, dengan kening berkerut Sui Leng-kong berkata lagi:
"Tapi aku.... aku merasa a.... agak kuatir, cepat.... cepat atau lambat me... mereka pasti akan datang"
"Tentu saja mereka akan datang, kalau mereka tidak muncul, buat apa aku datang kemari?"
"See... setelah pulang.... Hek Seng-thian pas.... pasti akan berusaha men... mencari kita, ulahmu i.... ini.... apa tidak akan ter.... tertebak olehnya?"
"Mereka mempunyai banyak mata-mata yang tersebar dimana-mana, kemana pun kita pergi, apalagi dengan membawa
harta karun sebanyak ini, cepat atau lambat jejak kita akan dikejar dan posisi kitapun akan semakin berbahaya, tapi dengan berulah seperti ini, mereka malah tidak berani bertingkah macam-macam, karena mereka tidak tahu pasti siapa kita berdua, jadi kau tidak perlu kuatir...."
"Tapi Hek Seng-thian pernah.... pernah bertemu aku"
"Wajahmu saat itu jauh berbeda dengan penampilanmu sekarang, biarpun Hek Seng-thian bertemu denganmu pun belum tentu dia bisa mengenali"
Sambil tersenyum Sui Leng-kong tundukkan kepalanya, sepasang pipinya berseru merah, meski tidak berkata-kata namun perasaan hatinya terasa sangat manis dan hangat.
Kembali Thiat Tiong-tong berkata sambil tertawa:
"Sayang kebanyakan pemuda yang muncul disini hanya kawanan playboy yang gemar main perempuan, kalau tidak aku pasti akan mencari-kan jodoh untukmu!"
Tiba-tiba senyuman manis yang menghiasi wajah Sui Lengkong hilang lenyap tidak berbekas.
Kini wajahnya berubah jadi pucat tidak berwarna darah, sorot matanya pun nampak sendu dan diliputi perasaan sedih.
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak memperhatikan perubahan dari gadis itu, dia sedang mengawasi pedang mestika yang tergantung diatas dinding sambil berkata:
"Menurut perhitunganku, besok pagi mereka pasti akan muncul disini!"
Pagi hari ke tiga, sinar matahari bersinar cerah menerangi seluruh jagad.
Dari ujungjalan utara kota tiba-tiba muncul dua ekor kuda yang dilarikan kencang.
Kedua orang itu tidak lain adalah Hek Seng-thian, cong piautau dari perusahaan ekspedisi Thian bu piaukiok serta wakil cong piautaunya pendekar bertangan tiga Pek Seng-bu.
Diiringi suara ringkikan kuda yang panjang, mereka menghentikan kudanya persis di depan pintu gerbang gedung keluarga Li.
Sambil melompat turun dari kudanya, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu langsung melangkah masuk ke dalam gedung seraya berseru:
"Dimana Li toako?"
Waktu itu Li Lok-yang sedang menarik napas di depan undak-undakan pintu gerbangnya.
Ke tiga orang itupun segera terlibat dalam pembicaraan serius....
"Betul" terdengar Hek Seng-thian berkata, "Kedatangan kami berdua memang ingin mencari berita tentang seseorang"
"Siapa?"
"Konon dalam gedung Li toako telah kedatangan seorang manusia aneh yang memiliki kekayaan luar biasa, bahkan barang berharga yang dimilikinya merupakan barang-barang langka?"
"Cepat amat berita ini tersiar ke telinga Hek congpiautau, baru berlangsung satu hari ternyata semua kejadian telah kau ketahui"
"Tujuan kedatangan kami kali ini memang ingin menyelidiki asal-usul orang tersebut, disamping itu juga ingin tahu ada siapa saja pengunjung yang kelihatan agak mencolok dalam dua hari ini?"
"Bukan saja cayhe tidak mengetahui latar belakang kakek itu, bahkan siapa namanya pun tidak jelas"
"Tapi Li toako...."
Sambil menarik muka tukas Li Lok-yang:
"Sekalipun aku berhasil mengetahui latar belakangnya pun tidak mungkin akan kuberitahukan kepada kalian berdua, sebab hal ini termasuk tradisi keluarga Li yang harus ditaati turun-temurun, aku rasa kalian berdua pun mengetahui dengan jelas bukan?"
Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian setelah termenung sejenak ujar Pek Seng-bu:
"Kalau memang begitu bisakah Li toako memberitahukan kepada kami barang berharga apa saja yang dibawa kakek aneh itu?"
"Tentang hal ini.... asal kalian berdua mau tinggal selama berapa hari, dengan sendirinya akan melihat sendiri semua yang bisa dilihat, bila kalian pun tidak dapat melihatnya, cayhe sendiri pun pasti tidak bisa melihatnya juga"
Dengan senyuman dikulum kembali tambahnya:
"Kalian tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh, silahkan mencuci muka lebih dulu kemudian meneguk secawan arak untuk memulihkan kembali kondisi tubuh"
Pek Seng-bu yang selama ini membungkam terus tiba-tiba menimbrung dengan suara dalam:
"Kami dua bersaudara bukannya tidak paham dengan kebiasaan serta tradisi yang berlaku dalam keluarga Li toako,
tapi...." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Persoalan ini menyangkut masalah yang amat besar dengan keberlangsungan hidup Thian bu piaukiok, Seng kee ceng, Benteng Han hong po, Bi lek tong serta peternakan Lok jit, bila kami gagal menemukan jejak sepasang muda mudi itu.... aaai!
Tidak bisa dibayangkan bagaimana akibatnya. Oleh sebab itu aku mohon kepada Li toako, mengingat hubungan kita yang sudah cukup lama, bersedia membantu kami berdua"
Meskipun perkataan itu disampaikan dengan halus dan lembut, namun paras mukanya kelihatan jelas amat serius dan berat.
"Muda-mudi dua orang?" agak berubah paras muka Li Lokyang, "apakah mereka adalah anak murid Thiat hiat tay ki bun?"
"Betul, mereka adalah murid Perguruan Tay ki bun!"
"Orang-orang Perguruan Tay ki bun gemar berkeliaran secara bebas bahkan lebih suka bergerak ditengah gurun atau padang rumput atau tanah perbukitan yang sepi, atas dasar apa kalian bisa menduga kalau mereka akan datang kemari?"
"Aaai! Panjang sekali ceritanya, singkatnya kami berhasil mendapat tahu kalau anak murid Perguruan Tay ki bun berhasil menemukan sejumlah harta karun yang tidak ternilai harganya, mereka pasti akan berusaha menjual sebagian dari harta itu untuk ongkos bergerilya, oleh sebab itu kami simpulkan mereka pasti akan muncul disini untuk menjual hasil penemuannya itu"
"Ooh, jadi kalian berdua menaruh curiga kalau kakek aneh serta istri cantiknya adalah penyamaran dari muda-mudi murid Perguruan Tay ki bun?"
"Betul!"
"Anak murid Perguruan Tay ki bun pun pasti tahu kalau mereka sedang berada dalam target pencarian kawanan jago lihay dari lima keluarga besar, dalam keadaan seperti ini untuk menyembunyikan diri saja sudah cukup kerepotan, mana mungkin mereka mau tampilkan diri dalam satu pertemuan terbuka yang begini mencolok, apalagi melakukan tingkah laku yang aneh dan ekstrim, melakukan perbuatan yang justru memancing perhatian orang banyak?"
Hek Seng-thian menghela napas panjang.
"Meskipun perkataanmu ada benarnya juga, tapi anggota Perguruan Tay ki bun seringkah melakukan tindakan yang jauh diluar dugaan orang, bila kita sedikit lengah, pasti akan termakan
oleh siasat busuk mereka"
Sementara pembicaraan berlangsung, mereka bertiga sudah mengambil tempat duduk di ruang tengah.
Li Lok-yang termenung berapa saat, kemudian baru ujarnya:
"Menurut tradisi yang berlaku turun-temurun, siaute betul betul tidak bisa membantu kalian berdua, tapi diluar masalah ini, bila kalian berdua membutuhkan sesuatu pasti akan siaute penuhi"
"Kalau begitu siaute butuh bantuanmu"
"Bantuan apa?"
"Siaute hanya ingin meminjam dua stel pakaian pembantu dari keluarga Li toako untuk kami kenakan"
"Baik!"
Setengah jam kemudian Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sudah muncul dengan pakaian pegawai gedung keluarga Li, mereka ikut mem-baurkan diri dalam kerumunan orang banyak.
Sementara itu dari balik tenda mewah terdengar suara permainan khiem yang merdu merayu.
Meskipun waktu itu mereka berdua punya maksud tertentu, tidak urung terbuai juga oleh lantunan irama musik yang merdu merayu itu.
Dayang cantik berbaju perlente itu duduk di depan dupa hio sambil memetik senar khiem, sementara dua orang bocah ganteng itu duduk dikedua sisinya sambil memainkan seruling serta alat musik lainnya.
Thiat Tiong-tong dengan senyum dikulum seolah sedang menikmati lantunan lagu merdu itu, padahal secara diam-diam dia mengawasi terus gerak-gerik disekelilingnya, dari balik matanya yang setengah terpejam terkadang memancar keluar sinar mata yang tajam.
Hanya Sui Leng-kong yang bersandar diatas pembaringan bagaikan seekor kucing yang sedang tiduran.
Pada saat itulah tiba-tiba dayang cantik itu mengakhiri permainan khiem nya.
Sambil menghelanapas kata Sui Leng-kong:
"Si-ji, permainanmu.... sungguh indah!"
Mendadak Thiat Tiong-tong melompat bangun sambil berseru:
"Mainkan terus alat musik itu!"
Dengan sebuah gerakan cepat dia menyelinap keluar dari balik tirai.
"Su.... sudah datang?" bisik Sui Leng-kong dengan wajah
berubah. "Yaa, sudah datang!"
"Bagaimana sekarang?"
"Kalian semua jangan bergerak, Si-ji, lanjutkan permainan khiem mu!" kemudian setelah membetulkan letak baju dan rambutnya sekali lagi dia menyingkap tirai dan berjalan keluar.
Waktu itu Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu masih tetap berpatroli diseputar tenda, tiba-tiba mereka saksikan ada seorang kakek bungkuk yang berwajah aneh muncul dari balik tenda sambil menggapai ke arah mereka berdua.
Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap, bisik Hek Seng-thian:
"Sasaran kita telah muncul!"
Sambil mengangguk kedua orang itu segera berjalan mendekat.
"Apakah kalian berdua adalah pembantu gedung ini?" tegur kakek aneh itu dingin.
"Benar!" jawab Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sambil menjura, "kau orang tua ada perintah apa hamba memang khusus ditugaskan disini untuk melayani kebutuhan kau orang tua"
Dalam hati Thiat Tiong-tong tertawa dingin, tapi dia tampil dengan wajah tenang, katanya lagi sambil menggapai:
"Masuklah!"
Selesai berkata dia masuk kembali ke balik tenda.
Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian bersama-sama masuk ke dalam tenda. Diam-diam mereka telah menghimpun tenaga dalamnya pada kedua lengan dan siap melancarkan serangan setiap saat.
Begitu masuk ke balik tenda, terenduslah bau harum yang lembut menyelimuti seluruh ruangan, ketika mereka melirik sekejap ke sekeliling tempat itu tampaklah dua orang bocah ganteng itu sedang mendampingi seorang dayang cantik bermain khiem, terhadap kemunculan mereka berdua, mereka sama sekali tidak memandang atau melirik, sementara seorang gadis cantik sambil menggoyang kipasnya sedang berbaring sambil menikmati alunan musik.
Sambil duduk bersandar diatas bangkunya kakek aneh itu menegur dengan nada ketus:
"Kalau memang kalian berdua adalah pembantu keluarga Li, kenapa berani sembarangan mencuri barang milik lohu?"
"Peraturan keluarga Li sangat ketat dan keras, tidak mungkin kami berani mencuri barang milik tamu. Kau orang tua tentu salah paham"
Orang ini memang pintar lagi licik, sekalipun sebagai seorang cong piautau harus menyamar jadi seorang pembantu, ternyata gerak-gerik maupun cara berbicaranya sangat mirip, sama sekali tidak nampak mencurigakan.
"Hmm, akan kulihat kau bisa menyaru sampai berapa lama?"
pikir Thiat Tiong-tong sambil tertawa.
Sambil menarik wajahnya kembali dia membentak:
"Barang bukti di depan mata, kalian masih berani menyangkal?"
Sementara itu Pek Seng-bu sedang merasa keheranan, dia tidak berhasil menjumpai pertanda yang menunjukkan kalau kakek itu berasal dari Perguruan Tay ki bun, tanpa terasa pikirnya:
"Jangan-jangan dia memang kehilangan barang dan sekarang melimpahkan kesalahannya pada kami berdua?"
"Hamba berdua baru saja tiba disini" kata Hek Seng-thian dengan kepala tertunduk, "hamba benar-benar...."
"Braaak!" Thiat Tiong-tong menggebrak meja sambil berteriak gusar:
"Masih ingin membantah?"
Sambil menuding si dayang cantik yang sedang memetik senar khiem katanya lagi:
"Aku harus mengeluarkan biaya sebesar lima belas ribu tahil perak untuk membeli dia dari rumah pelesiran Hun kiok hoa, sementara kau sama sekali tidak keluar biaya barang setengik pun, nyatanya berani amat ikut menikmati alunan musik yang dia mainkan. Apakah ini bukan mencuri namanya"
Sudah ada barang bukti masih berani membantah, ayoh cepat akui kesalahan kamu berdua!"
Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu tertegun dibuatnya, untuk sesaat mereka tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Thiat Tiong-tong semakin mencak-mencak kegusaran, sambil melompat bangun dari tempat duduknya kembali dia menghardik:
"Kalian berdua sudah mencuri barang milikku, sekarang tidak mau mengembalikannya kepadaku?"
"Bagaimana caranya mengembalikan irama musik itu?" tanya Pek Seng-bu cepat.
"Kau harus memainkan juga sebuah lagu untuk aku dengar"
"Tapi hamba tidak pandai bermain khiem"
Thiat Tiong-tong semakin gusar, umpatnya sambil
menggebrak meja:
"Tidak bisa, tidak bisa, memangnya kalau sudah bilang tidak bisa lantas urusan beres" Lohu akan laporkan kejadian ini kepada majikan-mu, lohu akan... akan...."
Tiba-tiba dia terduduk kembali di bangku dengan napas tersengkal sengkal bahkan berulang kali terbatuk batuk, bocah ganteng itu segera menyuguhkan air teh sambil membujuk:
"Loya, kau jangan marah...."
Setelah menyuguhkan air teh, dia segera menguruti punggungnya.
Pek Seng-bu dan Hek Seng-thian saling bertukar pandangan tanpa bersuara, agaknya mereka tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Sui Leng-kong yang menyaksikan tampang kedua orang itu diam-diam merasa geli, tapi diapun kuatir wajahnya ketahuan Hek Seng-thian, maka setelah mendeham bisiknya: "Sudahlah...."


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan menutupi wajahnya dengan kipas, diam-diam dia memberi kode mata pada pemuda itu.
"Enyah,.... kalian cepat enyah dari sini" maki Thiat Tiong-tong lagi, "jika kalian berdua berani mencuri dengar lagi, jangan salahkan kalau lohu akan potong kaki anjing kau berdua!"
Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu tidak berani bicara lagi, buru-buru mereka mengundurkan diri dari situ.
Sepeninggal kedua orang itu, Sui Leng-kong tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa terpingkal-pingkal sampai membungkukkan tubuhnya.
Dalam pada itu Pek Seng-bu yang sudah berada diluar halaman sedang menghela napas panjang, sambil tertawa getir dan gelengkan kepalanya berulang kali dia bergumam:
"Benar-benar seorang kakek pelit yang aneh, tidak heran kalau dia cepat kaya raya"
Paras muka Hek Seng-thian pun nampak suram dan serius, katanya:
"Walaupun aku tidak berhasil mengenali siapakah dia, tapi aku merasa bahwa dibalik semuanya ini terdapat sesuatu yang aneh"
"Apakah perempuan itu adalah gadis yang toako jumpai dalam gua?" tanya Pek Seng-bu dengan kening berkerut.
Dengan cepat Hek Seng-thian menggeleng.
"Gadis yang kujumpai didalam gua amat aneh dan jelek, sementara gadis itu cantik bak bidadari dari kahyangan, tapi....
aku tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres.... ada yang tidak beres"
"Apanya yang tidak beres" Mungkin kau merasa aneh karena yang tua jelek, bongkok lagi memuakkan sementara yang perempuan muda, cantik dan menawan, karena itu toako merasa hubungan ini agak kurang beres"
"Bukan begitu saja, aku tetap merasa ada yang tidak beres, hanya saja tidak bisa kujelaskan dimana letak ketidak-beresan itu"
Pek Seng-bu segera menepuk bahu saudaranya sambil berkata:
"Sudahlah, lebih baik toako memeriksa ke timur sementara siaute periksa ke arah barat, coba kita lakukan penyelidikan lagi, siapa tahu akan ditemukan sesuatu petunjuk yang berharga"
Tidak menunggu jawaban dari Hek Seng-thian, dia sudah membalikkan tubuh dan beranjak pergi.
Sementara Hek Seng-thian masih berpikir dengan kening berkerut, tiba-tiba dia mendengar gelak tertawa berkumandang dari halaman depan, tanpa terasa dia berjalan menghampiri.
Halaman itu bukan didiami keluarga kaya raya, tapi lantai disapu amat bersih.
Saat itu sepasang suami istri setengah umur sedang berdiri diatas undak-undakan dengan senyuman dikulum, disisi lain terlihat sepasang suami istri yang lebih muda usianya dengan didampingi seorang dayang sedang mengawasi seorang bocah berusia tiga, empat belas tahunan menari ditengah halaman.
Cara bocah itu menari sangat aneh tapi gerakannya lucu.
Melihat itu Hek Seng-thian tersenyum sendiri, dia segera melihat kalau bocah itu ternyata pincang kakinya.
Sementara dia masih memandang dengan perasaan iba, tiba-tiba daun jendela dari deretan rumah disisi kiri dibuka orang.
Seorang nenek berbaju kuno berambut putih berdiri di depan jendela sambil bercekak pinggang, teriaknya penuh amarah:
"Apa yang kalian tertawakan" Si gagap bisa menyanyi, si pincang bisa menari, apanya yang lucu?"
Melihat kemunculan nenek itu semua orang segera bubaran, tampak si nenek kembali berseru sampai menggapai:
"Po-ji, kemarilah, kalau mereka berani menertawakan dirimu
lagi, biar nenek beradu jiwa dengan mereka"
Hek Seng-thian tidak ingin membuat keonaran, buru-buru dia mengundurkan diri dari situ, pikirnya dengan perasaan geli:
"Lagi lagi seorang nenek yang aneh, rasanya dia lebih pantas jadi pasangan kakek jelek itu"
Membayangkan kembali cara bocah itu menari, hatinya makin geli, tanpa terasa gumam-nya:
"Si pincang bisa menari, si gagap pandai menyanyi...."
Berpikir sampai disitu, satu ingatan segera melintas lewat, serunya kegirangan:
"Aaah benar, gadis dalam gua adalah seorang gagap, sementara gadis cantik itupun tidak berani banyak bicara, meskipun hanya mengucapkan "sudahlah" rasanya dibutuhkan banyak waktu dan tenaga, hahahaha.... penyaruan mereka meski hebat, jangan harap bisa mengelabuhi aku si rase tua"
Berpikir sampai disitu dia segera berlarian menuju ke depan tenda kakek aneh itu, ditengah jalan dia menarik tangan seorang pembantu dan pesannya:
"Cepat temukan Pek Seng-bu, suruh dia secepatnya datang ke tenda si kakek aneh!"
Pelayan itu buru-buru mengangguk, belum sempat menjawab Hek Seng-thian sudah pergi jauh.
Ditempat sepi dia melepaskan jubah luarnya, dengan pakaian ringkas ditubuhnya ia menyusup masuk lagi ke dalam halaman belakang dan bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Tirai di depan pintu tenda sudah diturunkan, irama musik pun telah berhenti, kini yang terendus adalah bau masakan dan arak yang harum semerbak, entah hidangan apa sajayang disiapkan.
Sambil menelan air liur umpat Hek Seng-thian didalam hati:
"Bangsat ini pandai amat menikmati hidup!"
Dengan satu gerakan cepat dia menyelinap ke sisi tenda dan menghampiri jendela.
Dari balik tenda terdengar suara tertawa seorang gadis diikuti dentingan mangkut dan cawan, lalu terdengar seseorang berseru:
"Hey, be.... berikan kepadaku...."
Hek Seng-thian merasa hatinya bergetar keras, tanpa ragu lagi dia mendorong daun jendela dan menyelinap masuk ke dalam, serunya sambil tertawa latah:
"Bagus, bagus sekali, ternyata kalian berada disini!"
Thiat Tiong-tong sama sekali tidak bergerak, hardiknya:
"Siapa kau" Cepat pergi dari sini!"
Hek Seng-thian tertawa dingin.
"Siapakah aku" Masa kau tidak kenal?"
Thiat Tiong-tong sengaja memandangnya berapa kejap, lalu sambil tertawa dingin ujarnya kembali:
"Bagus sekali, rupanya pembantu yang tadi, kenapa" Setelah gagal mencuri, apa sekarang mau merampok?"
"Di depan orang beneran tidak usah bicara bohong, dalam mata yang jeli tidak akan kemasukan pasir, biarpun kalian berdua mau berubah seperti apapun jangan harap bisa mengelabuhi ketajaman mata toaya mu"
Sui Leng-kong mulai merasa tegang, tapi Thiat Tiong-tong tetap berlagak gusar.
Kembali umpatnya sambil menggebrak meja:
"Kau itu manusia macam apa, berani amat bersikap kurang ajar kepada lohu, hmmm! Cepat enyah dari sini, cepat menggelinding dari sini...."
Dia sambar sebuah cawan dan dilemparkan ke depan.
Dengan sedikit miringkan tubuh Hek Seng-thian sudah lolos dari sambitan itu, ujarnya sambil tertawa licik:
"Kalian sembunyikan kemana harta karun curian itu" Cepat mengaku terus terang, kalau tidak, jangan salahkan kalau toaya tidak akan mengampuni jiwamu"
"Barang curian apa?" bentak Thiat Tiong-tong gusar,
"kelihatannya kau sudah edan?"
"Sudah, jangan berlagak pilon lagi, cepat serahkan nyawamu!"
seru Hek Seng-thian sambil tertawa seram, sepasang tangannya diangkat sejajar dada kemudian dengan langkah yang berat selangkah demi selangkah dia menghampiri lawan.
Thiat Tiong-tong pura-pura menunjukkan wajah kaget dan gugup sementara secara diam-diam dia telah menghimpun tenaga dalamnya, dalam keadaan seperti ini meski dia tidak ingin membongkar identitas sendiri, namun asal Hek Seng-thian turun tangan, dia akan melancarkan serangan lebih dulu.
Selisih jarak kedua orang itu makin lama semakin mendekat, sekarang selisih jarak mereka tinggal satu setengah langkah.
Mendadak tirai pintu kembali terbuka, menyusul seseorang membentak keras:
"Tunggu sebentar!"
Sesosok bayangan manusia menyelinap masuk dengan kecepatan tinggi, kemudian sambil mencengkeram pergelangan
tangan Hek Seng-thian serunya:
"Toako. Jangan turun tangan!"
Thiat Tiong-tong tidak menyangka kalau dalam keadaan kritis si pendekar bertangan tiga Pek Seng-bu akan menghalangi saudaranya untuk turun tangan.
Hek Seng-thian sendiripun nampak tertegun, bentaknya:
"Lepas tangan!"
"Toako, kau salah orang!" kata Pek Seng-bu cepat.
"Aku yakin mataku tidak buta, tak mungkin aku salah orang, gadis itu gagap waktu bicara, jelas dia adalah gadis dalam gua itu"
"Orang gagap toh bukan cuma satu orang, apalagi didunia ini masih terdapat orang gagap lain, toako, apakah kau tidak merasa gegabah dengan menilai seseorang dari hal ini?"
Kemudian setengah berbisik ujarnya lagi:
"Untung siaute datang tepat waktu, kalau tidak, bagaimana caramu untuk memberikan pertanggungan jawab kepada Li Lokyang?"
"Lalu atas dasar apa kau mengatakan aku salah bicara?" tegur Hek Seng-thian gusar.
Pek Seng-bu menarik Hek Seng-thian mundur berapa langkah, lalu bisiknya:
"Siaute berhasil menemukan jejak anak murid Perguruan Tay ki bun di halaman sebelah tengah sana!"
"Sungguh?" seru Hek Seng-thian terkesiap, "Kau tidak salah melihat?"
"Bangsat itu adalah salah satu orang yang lolos dari perangkap ditengah hutan tempo hari, siaute melihat dengan mata kepala sendiri, jadi tak mungkin keliru, harap toako berlega hati"
Paras muka Hek Seng-thian segera berubah hebat, setelah termangu sesaat buru-buru dia menjura seraya berkata:
"Lo sianseng, maafkan kecerobohan cayhe, harap lo sianseng jangan masukkan kejadian ini didalam hati"
"Tidak dimasukkan ke dalam hati?" umpat Thiat Tiong-tong dengan gusar, "hmrnrn, hmmm, lohu pasti akan masukkan kejadian ini didalam hati, selamanya tidak akan kulupakan, cepat enyah dari hadapanku!"
Sambil tertawa getir kembali Pek Seng-bu berbisik:
"Cepat pergi, lebih baik kita jangan bikin sewotnya makhluk tua ini"
Dia menarik tangan Hek Seng-thian dan buru buru
mengundurkan diri dari situ.
Memandang hingga bayangan tubuh mereka lenyap dari depan mata Sui Leng-kong baru menghembuskan napas lega, keluhnya:
"Sungguh berbahaya! Un.... untung...."
Tiba-tiba dia menyaksikan sinar ketegangan yang memancar dari balik mata Thiat Tiong-tong, sepasang tangannya yang mengepal tampak gemetar keras, tidak tahan serunya lagi dengan perasaaan terkejut:
"Ke.... kenapa kau?"
"Sudah kau dengar apa yang mereka bicarakan tadi?" tanya Thiat Tiong-tong dengan suara dalam.
"Yaa. Suu.... sudah ku... kudengar!"
"Pek Seng-bu adalah seorang jagoan yang sangat teliti, tak mungkin dia salah melihat, tapi yang membuat aku tidak habis mengerti adalah siapa yang telah dia jumpai?"
Pek Seng-bu yang menarik tangan Hek Seng-thian hingga keluar dari halaman, saat itulah Hek Seng-thian tidak bisa menahan diri lagi dan bertanya:
"Jite, persoalan ini menyangkut satu masalah yang luar biasa, kau tidak salah melihat?" Pek Seng-bu tersenyum.
"Bukan saja siaute melihat dengan jelas sekali bahkan telah ku selidiki kalau bajingan inipun ditemani seorang gadis, kemarin malam dia malah sempat membeli sejumlah barang perhiasan, caranya membeli sangat royal, tapi sepanjang hari sebagian besar waktunya digunakan untuk berbaring dalam kamar, dia jarang menampakkan diri, juga tidak suka bergaul dengan orang lain"
Hek Seng-thian segera merasakan semangatnya berkobar kembali, tidak tahan serunya:
"Kalau begitu pasti dialah orangnya!"
"Kapan cara kerja siaute ngawur dan tidak pakai aturan?"
"Ayoh berangkat!" sambil melepaskan cekalan, Hek Seng-thian berlalu lebih dulu dari situ.
Sekali lagi Pek Seng-bu menarik tangannya.
"Toako, biasanya kau bertindak sangat hati hati dan penuh kewaspadaan, kenapa hari ini berubah jadi berangasan dan tidak sabaran?"
Hek Seng-thian menghela napas panjang.
"Sebab persoalan ini besar sekali pengaruhnya terhadap kita berdua, aku tidak boleh membiarkan mereka turun tangan
terlebih dulu, apalagi membiarkan Leng It-hong dan Suto Siau sekalian tiba duluan disini, jika mereka sampai tahu kalau kita dua bersaudara mendapat rejeki nomplok, dapat dipastikan merekapun menuntut bagian, terlebih.... dalam kematian Siau Lui-sin, aku ikut memikul tanggung jawab yang besar, bila sampai bajingan Li bek hwee (api geledek) mengetahui kejadian yang sesungguhnya, keadaan akan lebih berabe lagi...."
"Sekalipun begitu, toako anggap Li Lok-yang akan berpeluk tangan saja bila kau turun tangan dalam saat begini" Dengan kekuatan kita berdua, memangnya sanggup menghadapi kerubutan anak buah keluarga Li?" kata Pek Seng-bu sambil menghela napas.
Hek Seng-thian melengak, kemudian setelah termangu berapa saat diapun menghela napas panjang.
"Terus terang, saat ini pikiran toako sangat kalut, tidak sanggup berkosentrasi, akupun bingung dan tak tahu apa yang mesti dilakukan, lebih baik kau sajayang sementara memegang kendali"
Pek Seng-bu melirik sekeliling tempat itu sekejap kemudian membisikkan sesuatu ke sisi telinga saudaranya, dengan senyuman dikulum Hek Seng-thian manggut berulang kali.
"Bagus, kita lakukan dengan cara itu!" tiba-tiba berpekik sembari bertepuk tangan.
Malam itu di saat lampu-lampu mulai menerangi ruangan, transaksi jual beli dalam gedung keluarga Li mulai dibuka.
Sekeliling dinding gedung utama bermandikan cahaya lentera, setiap jarak sepuluh langkah tergantung sebuah lentera yang terbuat dari tembaga dengan bahan bakar yang cukup, rangkaian lentera yang berjajar jajar membuat suasana disitu bagaikan di siang hari saja.
Selain itu, diatas setiap meja tersedia juga dua buah lilin ukuran raksasa yang ditutup dengan sebuah penutup terbuat dari bahan halus, penutup lilin diganti dengan yang baru sehari satu kali sehingga penampilannya selalu bersih tanpa bekas asap.
Sebab dalam jual beli barang berharga dibutuhkan penerangan cahaya yang jelas, dengan begitu orang baru bisa membedakan mana barang asli dan mana barang palsu.
Disekeliling setiap meja disediakan delapan buah bangku, diatas meja pun tertera sebuah papan nama terbuat dari kayu
dengan kode yang berbeda.
Kode angka itu menandakan nomor urut, juga melambangkan tamu yang duduk di meja tersebut bertempat tinggal di halaman rumah nomor berapa.... tamu yang berdiam di halaman rumah pertama akan menempati meja nomor satu, sementara tamu yang tinggal di halaman ke sepuluh akan menempati meja nomor sepuluh.
Oleh karena setiap orang yang datang kesitu kebanyakan merahasiakan nama serta identitas aslinya, maka cara itulah yang dipakai untuk membedakan satu dengan lainnya.
Tentu saja ada sementara orang kenamaan yang tidak mungkin bisa merahasiakan nama serta identitas sebenarnya, seperti juga kertas yang tak pernah bisa membungkus api.
Sejak awal Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu sudah duduk dimeja nomor tiga belas yang letakkan sedikit disudut gedung utama, namun sorot mata mereka yang tajam mengawasi dengan seksama, setiap orang, setiap tamu yang berlalu lalang disitu.
Sampai ruang gedung utama dipenuhi empat puluh persen pengunjung, di antara kerumunan orang baru muncul tokoh tokoh kenamaan.
Seorang kakek kurus kering berwajah masam dengan membawa dua orang wanita muda berwajah cantik tapi bermata liar menempatkan diri di belakang meja nomor dua.
Di belakang mereka berdua mengikuti dengan ketat seorang lelaki setengah umur yang menyoren sebilah pedang, wajahnya pucat dan gerak geriknya jumawa, sekalipun tampan namun tampak dingin, jahat dan amat licik.
"Coba kau lihat siapa yang telah datang?" bisik Hek Seng-thian dengan kening berkerut.
"Aaah, Giok Phoa-an (Phoa An kumala) Phoa Seng-hong!"
sahut Pek Seng-bu tercengang, "bagaimana mungkin dia bisa menjadi pengawalnya Hong Pak-ban dari San-say" Benar-benar satu kejadian aneh"
"Apanya yang aneh?" Hek Seng-thian tertawa, "dapat dipastikan orang ini sudah tertarik dengan salah satu bini Hong Pak ban, hahaha....
kelihatannya Hong Pak-ban tak akan terlepas dari statusnya sebagai si penyandang topi hijau"
Sementara pembicaraan sedang berlangsung, ditengah ruangan kembali muncul tiga rombongan tetamu, rombongan pertama adalah Hong liu ong sun (cucu raja romantis) Kim Ji
kongcu dari Kotaraja yang datang dengan membawa keempat orang gundiknya, mereka berjalan masuk sambil bergurau dan berbincang dengan ramainya.
Rombongan ke dua adalah berapa orang kongcu keturunan saudagar kaya dari wilayah Kanglam, Ouyang hengte, mereka berjalan masuk kedalam ruangan sambil menggoyangkan kipasnya, sementara sorot matanya yang jalang tiada hentinya menyapu wajah setiap perempuan muda yang hadir dalam ruangan.
Rombongan ke tiga terdiri dari sekelompok wanita, usia mereka rata-rata dua puluh tahunan, gerak geriknya lembut, wajahnya cantik, sikapnya santun dan penuh terpelajar seakan rombongan wanita dari keluarga berpendidikan.
Hampir semua orang mengalihkan pandangan matanya ke wajah rombongan wanita itu, namun jarang ada yang tahu asal usul mereka, hanya Hek Seng-thian yang tersenyum sambil berbisik:
Mite, tahukah kau siapa mereka?"
"Aaah, toako kelewat memandang rendah pengetahuan siaute, masa aku tidak kenal dengan perompak wanita yang malang melintang di utara dan selatan sungai besar, It oh Li ong hong (segerombolan ratu tawon)?"
"Hehehehe.... dengan kemunculan rombongan iblis wanita ini, entah ada berapa banyak lelaki hidung bangor yang bakal jadi korban bagai laron yang menubruk cahaya api!"
Pek Seng-bu memandang sekejap ke seluruh ruangan, benar saja, dia segera jumpai sorot mata Ouyang hengte sedang dialihkan ke wajah rombongan itu, tidak tahan serunya sambil tertawa dingin:
"Hmmm, kalau mencari kematian buat diri sendiri, jangan salhkan orang lain!"
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak keras dari luar pintu:
"Dimana letak tempat dudukku?"
Seorang lelaki hitam pekat dengan kepala yang besar dan tinggi badan mencapai dua meter lebih menerjang masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar, dalam tangannya membawa sebuah karung goni.
Begitu tiba ditengah ruangan, matanya yang besar bagai gundu menyapu sekejap wajah Giok Phoa-an Phoa Seng-hong, kemudian sambil mendelik ke arah lelaki itu umpatnya:
"Bagus sekali, ternyata si tulang lunak yang suka makan nasi
murahan juga telah datang kemari!"
Phoa Seng-hong mendongakkan kepalanya memandang langit-langit, dia berlagak seolah tidak mendengar.
Melihat itu Pek Seng-bu kembali berkata sambil tertawa:
"Sungguh tidak disangka Thian sat seng (Bintang pembawa bencana) Hay Tay sau juga telah datang, coba kalau bukan bertemu disini, dia bersama Giok Phoa-an pasti akan membuat pertunjukan yang menarik!"
"Coba kau lihat karung goni yang dibawanya" sahut Hek Seng-thian sambil tertawa pula, "kelihatannya tidak sedikit yang berhasil dia dapatkan dalam setahun ini, orang ini selalu bekerja sendirian, bahkan aku sendiripun tidak jelas darimana ia dapatkan barang-barang itu, kelihatannya dia memang serba bisa dan serba tahu, luar biasa!"
Dalam pada itu Hay Tay-sau sudah diantar orang menuju ke meja nomor tujuh, tapi dia tidak menempatinya, malah dengan lantang berteriak:
"Li toako, bagaimana dengan hari ini?"
Waktu itu Li Lok-yang bersama putranya sedang jalan berkeliling dalam ruang gedung, mereka sedang
menyelenggarakan transaksi dengan para penjual disitu, ada yang mereka beli barang dagangannya ada pula yang tidak.
Tapi setiap transaksi yang kejadian, pihak keluarga Li segera akan memberi uang muka sebesar setengah harga.
Ketika mendengar teriakan itu, sambil tertawa Li Lok-yang menyahut:
"Sekarang waktu masih terlalu awal, pasaran belum dibuka semuanya!"
Si bintang pembawa bencana Hay Tay-sau tertawa terbahak bahak, serunya lantang:
"Hahahaha.... bagus, kalau begitu biar aku yang membukakan pasar untuk Li toako hari ini"
Dengan tangan kirinya menggenggam mulut karung, tangan kanan memegang dasar karung, dia tuang seluruh isi karung goninya ke atas meja.
Dalam waktu singkat sinar gemerlapan memancar keluar dari tumpukan barang mestika itu.
Kembali Hay Tay-sau berseru sambil tertawa keras:
"Aku memang tidak sabaran, paling pantang duduk kelewat lama, disini terdapat tiga puluh macam barang mainan, tidak banyak pun tidak sedikit, setiap macam benda berharga lima
ratus tahil perak, kalau ingin membelinya silahkan segera membeli!"
Baru selesai dia berkata, sekawanan wanita yang suka membeli barang murahan segera menyerbu ke depan dan saling berebut untuk memilih.
"Semuanya berhenti!" kembali Hay Tay-sau menghardik.
Suaranya yang keras bagai geledek seketika membuat rombongan wanita itu menghentikan langkahnya dengan kaget.
"Kalian tidak bisa memilih dengan cara begini" seru Hay Tay-sau sambil tertawa keras, "kalau yang bagus sudah dipilih duluan, siapa yang mau membeli sisanya" Pokoknya siapa yang sudah menyentuh benda itu, dia harus membeli barang tersebut!"
Kemudian sambil menggebrak meja serunya lagi:
"Setorkan uangnya dulu kemudian baru mengambil, siapa yang berani sembarangan, akan kupotong lengannya!"
Semua orang saling bertukar pandangan dan beringsut mundur dari situ, siapa pun tidak tahu dengan pasti berapa nilai barang yang bakal dirabanya, tentu saja tidak seorangpun mau beradu untung.
Li Lok-yang yang menyaksikan hal itu segera tersenyum, dari seorang lelaki setengah umur yang nampaknya merupakan kasirnya, dia mengambil selembar uang kertas kemudian ujarnya sambil tersenyum:
"Biar aku mengambil duluan!"
"Li toako, aku percaya denganmu, uang kertas itu boleh disimpan dulu!"
"Peraturan tak boleh dilanggar, silahkan terima uang ini!" dia letakkan uang itu dimeja lalu masukkan tangannya ke dalam kantung dan mengambil sebiji batu kemala yang berwarna putih mulus.
Di antara sorak-sorai orang banyak, Li Lok-yang berkata lagi sambil tersenyum:
"Waaah. Batu Han-giok senilai tiga ribu tahil perak hanya kubeli dengan harga lima ratus tahil, luar biasa, luar biasa!"
Li Lok-yang memang sangat ahli dalam menilai harta barang berharga, ucapannya sangat dihargai orang dan menjadi panutan orang banyak, tidak heran kalau begitu dia menyelesaikan perkataannya, sudah ada serombongan orang yang berebut maju, tapi orang kedua hanya memperoleh sebuah mainan gantungan yang nilainya hanya dua ratus tahil.
Maka orang pun beramai-ramai mundur kembali ke belakang,
tinggal seorang sastrawan setengah umur berwajah bersih dan mengenakan baju biru yang tetap melangkah maju ke depan.
"Gin siepoa (siepoa perak) selalu cermat dalam perhitungan, apakah kaupun ingin ikut beradu untung?" seru Hay Tay-sau sambil tertawa.
Sastrawan setengah umur ini adalah Gien siepoa, seorang pedagang barang permata yang amat tersohor namanya, mendengar itu dia tertawa.
"Aku percaya dengan perkataan anda, tidak mungkin kau akan bikin orang lain menderita kerugian"
Barang pertama yang diambilnya hanya bernilai tiga-empat ratus tahil, tapi dia sama sekali tak gugup, kembali diambilnya sebuah benda lagi.... kali ini dia mendapat sebuah patung singa terbuat dari batu zamrud yang nilainya mencapai ribuan tahil perak.
"Ternyata perhitungan siepoa dari Gin-siepoa memang sangat hebat" puji Hay Tay-sau sambil tertawa, "apa mau mengambil lagi?"
"Aaah, sudah untung empat ribu tahil, rasanya sudah lebih dari cukup, aku selalu tahu diri!" sahut Gin-siepoa sambil tertawa.
Seorang lelaki setengah umur berunding cukup lama dengan bininya, setelah pikir punya pikir akhirnya dia mengeluarkan setumpuk kecil uang kertas dan maju mendengar dengan peluh membasahi jidatnya.
Dengan tangan gemetar dia mengambil sebuah benda dari dalam karung, tapi yang diperoleh hanya sebuah batu han-giok bernilai dua ratus tahil, tiba-tiba paras mukanya berubah jadi pucat pias, peluh sebesar kacang kedele bercucuran membasahi wajahnya.
Sementara bininya segera lari mendekat sambil berseru dengan nada gemetar:
"Baa.... bagaimana sekarang?"
Hay Tay-sau yang mengikuti kejadian itu segera membentak nyaring:
"Ambil sebuah lagi!"
"Tapi.... aku sudah tidak punya...." lelaki setengah umur itu tertunduk lesu.
"Goblok, kalau aku suruh kau mengambil lagi, tentu saja tidak perlu setor uang"
Sepasang suami istri itu seakan tidak percaya dengan
pendengaran sendiri, tapi setelah didesak berulang kali akhirnya mereka mendapatkan sebuah benda yang nilainya mencapai ribuan tahil, tidak heran kalau kedua orang itu mengucapkan terima kasihnya berulang kali.
Pek Seng-bu segera berbisik sambil tertawa:
"Ternyata si bintang pembawa bencana memang tidak malu disebut seorang perampok budiman!"
Mendadak Hong Pak-ban bangkit berdiri sambil berkata:
"Aku tidak usah meraba lagi, sisanya yang dua puluh empat macam barang kubeli semua!"
"Serahkan dulu uangnya!"
Hong Pek-ban mengeluarkan selembar uang kertas dan diserahkan kepada Phoa Seng-hong, katanya:
"Uang kertasku bernilai dua belas ribu lima ratus tahil, berarti uang kembalinya lima ratus tahil"
Perlahan-lahan Phoa Seng-hong menerima uang kertas itu dan berjalan ke tengah lapangan.
Suasana dalam ruangan pun mulai dicekam ketegangan yang luar biasa, sebab nyaris semua umat persilatan tahu kalau si Phoa-an kemala Phoa Seng-hong adalah musuh bebuyutan Hay Tay-sau.
Terdengar, si bintang pembawa bencana Hay Tay-sau tertawa seram, jengeknya:
"Hey manusia she-Phoa, cepat menggelinding pergi, aku sedang berdagang dengan majikanmu, aku tak sudi menerima duit yang dihantar seorang budak!"
Seketika itu juga Phoa Seng-hong menghentikan langkahnya, paras mukanya berubah jadi pucat pias.
Kembali Hay Tay-sau tertawa seram.
"Hahahaha.... kenapa" memangnya aku salah menyebutmu seorang budak?" ejeknya.
Phoa Seng-hong menarik kembali tangannya, kini jari tangannya sudah menyentuh gagang pedang.
Sepasang kepalan Hay Tay-sau pun sudah digenggam kencang, di antara ruas-ruas jari tangannya terlihat otot yang menonjol keluar.
Empat mata saling melotot dengan sinar kebencian dan kegusaran, tampaknya pertarungan tidak terelakkan.
Mendadak Li Lok-yang mendeham perlahan, dia menghampiri Phoa Seng-hong, mengambil uang kertas itu lalu ditukar dengan kantung milik Hay Tay-sau, ujarnya kemudian:
"Nah, transaksi sudah selesai bukan?"
Tanpa mengucapkan sepatah katapun Phoa Seng-hong menyerahkan kantung goni itu ke tangan Hong Pak-ban, dia tidak mengucapkan sepatah katapun namun dari balik matanya sudah memancar keluar sinar pembunuhan yang menggidikkan.
Hay Tay-sau tertawa dingin berulang kali, dia memilih berapa lembar uang kertas dan diserahkan kepada kasir keluarga Li, kemudian umpatnya lagi:
"Dasar budak bertulang lunak!"
Sambil berjalan dia mengumpat tiada hentinya, sewaktu tiba di depan Hong Pak-ban tiba-tiba dia berhenti, katanya sambil tertawa tergelak:
"Padahal semua barang barang itu tidak ada harganya, justru budakmu itu memiliki sebuah topi hijau yang tidak ternilai harganya untuk dijual kepadamu!"
"Topi hijau apa?" Hong Pak-ban tertegun, tiba-tiba dia teringat arti yang sebenarnya dari perkataan itu, kontan saja paras mukanya berubah jadi merah padam, dengan gusar dia menggebrak meja sambil mencaci maki.
Tapi Hay Tay-sau sudah pergi jauh, sambil mengulapkan tangannya ia mulai bersenandung:
"Lima telaga empat samudra aku kunjungi, emas perak dikolong langit kuambil, melihat ketidak adilan di dunia ini, ku babat kubacok biar habis"
Suara umpatan Hong Pak-ban makin lama semakin lirih, sedangkan Phoa Seng-hong hanya berdiri membungkam tidak berani banyak berkutik.
Suasana didalam ruangan pun dicekam dalam keheningan yang luar biasa, tapi sejenak kemudian suasana sudah pulih kembali seperti sedia kala, transaksi jual beli pun kembali berlangsung.
Hingga menjelang malam hari, banyak meja yang masih tetap dalam keadaan kosong.
Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu diam diam berpikir:
"Meja nomor empat tetap dalam keadaan kosong...."
Kedua orang itu segera saling bertukar pandangan sekejap, sementara dalam hati kecil merasa girang.
"Masih ingat apa langkah kita selanjutnya?"
"Mula-mula bikin keonaran dulu disini agar orang lain tidak sempat memperhatikan halaman belakang, lalu menyulut api di istal kuda agar pegawai keluarga Li repot memadamkan api,
setelah itu kita baru turun tangan"
Berbicara sampai disini kembali dia menghela napas panjang, tambahnya:
"Kelihatannya semua ini bisa dilakukan dengan mudah, tapi masalahnya sekarang bagaimana cara kita menciptakan keributan disini?"
"Kita memang kekurangan tenaga, sementara Phoa Seng-hong kurang bernyali, kalau tidak keributan pasti sudah terjadi sejak tadi"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, tiba-tiba terlihat seorang nenek berpakaian lusuh dengan menggandeng seorang pemuda pincang berusia tiga, empat belas tahunan berjalan masuk ke dalam ruangan.
Ditangan si nenek memegang sebuah kantung goni yang usang, walaupun pakaian yang dikenakan ada tambalannya, namun lagak serta gerak geriknya bagaikan seorang nyonya bangsawan.
Sorot mata semua orang pun segera dialihkan ke wajah mereka berdua.
Perlahan-lahan nenek itu berjalan menuju ke meja nomor sembilan, sepanjang perjalanan ia sama sekali tidak menengok kemana-mana, tapi ketika tiba ditengah ruangan, tiba-tiba karung goninya terlepas hingga mutiara miliknya tersebar ke mana mana.
Mutiara sebesar lengkeng tersebar memenuhi permukaan lantai dan menggelinding entah kemana, sekilas pandang pun tidak diketahui ada berapa banyak mutiara yang hilang.
"Mutiaraku.." nyonya tua itu menjerit lengking.
Dengan satu lompatan Li Kiam-pek segera tampil ke tengah ruangan, teriaknya sambil mengangkat tinggi tangannya:
"Tamu sekalian yang terhormat, tolong jangan bergerak dulu, biar aku bantu nyonya tua ini memunguti semua mutiaranya yang terjatuh"
Sebagaimana diketahui, mutiara-mutiara itu besarnya seperti buah kelengkeng, setiap butirnya bernilai sangat tinggi, bila sampai hilang satu saja maka siapa pun tidak akan sudi menanggung dosa.
Maka seluruh hadirinpun berdiri termangu ditempat, siapa pun tidak ingin sembarangan bergerak.
Hek Seng-thian saling bertukar pandangan sekejap dengan Pek Seng-bu, diam-diam mereka bangkit berdiri dan menyelinap
keluar gedung melalui pintu samping, setelah itu mereka berdua baru mendongakkan kepala sambil menghembuskan napas lega.
"Thian benar benar telah membantu kita" ujar Pek Seng-bu,


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Urusan tidak bisa ditunda lagi, ayoh kita segera berangkat"
"Betul, kita harus segera berangkat!"
Sambil berbicara mereka berdua menelusuri jalan samping yang sepi dan gelap, kemudian setibanya ditempat yang sepi, mereka berdua segera melejit ke atas wuwungan rumah.
"Kau lepaskan api, biar aku yang berjaga diri" bisik Pek Seng-bu kemudian.
Mereka berdua pun saling berpisah, satu kekiri dan yang lain ke kanan.
Dibalik gedung pada halaman ke empat, cahaya lentera masih menyinari seluruh ruangan, dari balik jendela terlihat ada dua sosok bayangan manusia berdiri berdekatan.
Mereka sedang berpelukan di depan jendela dengan mesrahnya, seakan siapa pun tidak ingin banyak bicara.
Lewat berapa saat kemudian bayangan lelaki itu baru bangkit berdiri dan membuka daun jendela, sinar rembulan yang memancarkan cahayanya segera menyinari raut mukanya yang tampan.
Dia memiliki alis mata yang panjang bagai sebilah pedang, sinar matanya sangat tajam, hidungnya mancung membuat wajah tampannya lebih mirip dengan kepolosan seorang pelajar.
Tapi bila dilihat dari kulit tubuhnya yang putih serta bibirnya yang sedang mencibir, diapun lebih mirip dengan kepolosan dan kekerasan hati seorang bocah cilik.
Saat itu dia sedang menengok cahaya rembulan diluar jendela, dadanya naik turun tidak beraturan, tampaknya sedang mendongkol.
Kemudian terlihat bayangan perempuan itu perlahan-lahan bangkit berdiri lalu memalingkan kepalanya....
Dibawah sinar rembulan, kecantikan wajah perempuan itu betul-betul gampang membuat perasaan lelaki tergoda.
Sorot matanya seakan mengandung daya pikat yang sukar ditampik setiap lelaki, dia mengerling sekejap ke arah pemuda tampan itu kemudian baru bertanya dengan lembut:
"Kau sedang marah?"
Pemuda tampan itu mendengus dingin, ia tidak menggubris maupun ambil perduli, tapi kemali perempuan cantik itu merangkul bahunya dengan tangannya yang lembut, sementara
bibirnya ditempelkan ke sisi telinganya dan membisikkan sesuatu.
"Tolonglah, jangan marah kepadaku, mau bukan?"
Pemuda tampan itu menghela napas panjang. "Aku bukannya marah tapi sedikit tidak habis mengerti, kenapa kau bersikeras ingin datang kemari?" tanyanya.
"Kenapa pula kau tidak ingin kemari?" perempuan cantik itu balik bertanya sambil menundukkan kepalanya.
Sambil menggigit bibir tiba-tiba pemuda tampan itu balas menggenggam bahunya.
"Katakan kepadaku" ujarnya, "bukankah kau mempunyai banyak masalah" Bukankah kau sedang menghadapi tekanan yang amat besar, tekanan yang jahat" Bukankah kau sedang minta aku menolongmu" Membantumu...."
"Kau keberatan?" tanya perempuan itu sedih.
"Siapa bilang aku keberatan" pemuda tampan itu menghela napas panjang, "jangan lagi kau pernah menyelamatkan jiwaku, sekalipun.... sekalipun kau suruh aku terjun ke dalam lautan api pun aku tetap rela melakukannnya, apalagi demi cinta kita berdua...."
"Oooh, Kau baik sekali kepadaku, aku tahu...." sambil mengerdipkan matanya yang basah oleh air mata, perempuan cantik itu menyandarkan diri dalam pelukannya.
Pemuda itu pejamkan matanya sambil berkata dengan sedih:
"Kalau aku tidak baik kepadamu, tidak mungkin aku bersedia membawamu keluar dan akan menghantarmu kembali...."
Mendadak ia mendorong tubuhnya dan berkata lagi dengan lantang:
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang anggota perguruan yang berdosa, membawamu pulang akan memikul banyak mara bahaya dan resiko, bahkan besar kemungkinan aku akan mendapat hukuman yang sangat berat dari perguruan"
Perempuan cantik itu mulai sesenggukan, dengan air mata bercucuran katanya:
"Aku memang seorang gadis yang malang, kalau aku tidak menggantungkan diri denganmu, lalu aku mesti hidup bergantung pada siapa?"
Lambat laun hawa amarah pemuda itu mulai mereda, hiburnya dengan suara lembut:
"Tentu saja aku akan melindungimu, bagaimanapun aku tetap
akan membawamu pulang, tapi kenapa kau ingin datang kemari"
Kenapa tidak langsung pulang ke rumah saja?"
"Barang berharga, tahukah kau setiap wanita pasti tidak kuasa menahan godaan intan permata dan perhiasan indah, selamanya mereka tidak akan mampu melawan godaan itu, sudah lama aku ingin datang kemari"
"Tapi.... tahukah kau ada berapa banyak orang dalam dunia persilatan yang merupakan musuh besarku?"
"Kenapa kau tidak menyamar, tidak mengubah wajahmu?"
Pemuda tampan itu segera berkerut kening, serunya gusar:
"Wajah dan tubuh kita adalah pemberian dari orang tua, setelah bersusah payah orang tua melahirkan kita, kenapa wajah kita mesti disembunyikan" Kenapa kita harus menyaru?"
"Siau-in, jangan marah" sekali lagi perempuan cantik itu menjatuhkan diri ke dalam pelukannya, "Kita segera pergi dari sini, setuju" Jangan kuatir, tidak bakal ada orang bisa mencelakai dirimu"
Perlahan lahan dia menggerakkan tangannya keatas daun jendela dan menutupnya, tapi sewaktu telapak tangan itu melintas diatas jendela, sebuah cap jari tangan telah membekas disana.
Kelihatannya jari tangan itu sudah dibubuhi bubuk sulfur sehingga dipandang dalam kegelapan memancarkan sinar yang gemerlapan, seperti sebuah telapak iblis yang meninggalkan tanda jejaknya ditepi neraka.
Tempat itu memang tepi dari sebuah neraka, sebab didalam kamar itu memang sedang berlangsung sebuah intrik, sebuah rencana keji dari neraka.
Perempuan cantik itu jauh lebih menakutkan, lebih berbahaya dan mengerikan daripada iblis benaran.
Dia tidak lain adalah Un Tay-tay, kekasih gelap dari Suto Siau, pemilik peternakan Lok jit san ceng.
Dengan mengandalkan kecantikan wajahnya, dengan kekejian serta kelicikan otaknya, dengan kelembutan serta kemesrahan dari rayuan mautnya, dia telah merangkai sebuah jebakan, sebuah perangkap yang sangat mengerikan, menanti sang pemuda Im Ceng masuk perangkap.
Dia telah mengarang sebuah cerita, mengatakan kalau dirinya adalah seorang perempuan yang patut dikasihani, seorang perempuan sebatang kara yang hidup dalam ketakutan, dia memohon kepada Im Ceng untuk membawanya kabur, kepada
pemuda itu mohonnya:
"Bawalah aku pergi, ajaklah aku melarikan diri, biarpun harus ke ujung dunia aku tetap akan mengikutimu, mendampingimu hingga mati, aku ingin meninggalkan dunia yang penuh kebusukan dan kekejian, aku hanya menginginkan kau seorang"
Im Ceng yang sensitip perasaannya, keras kepala, polos tapi penuh dengan kehangatan dengan mudah terjerumus ke dalam lingkar perangkapnya, dia bersumpah akan selalu
melindunginya, bahkan berjanji akan membawanya pulang ke rumah.
Dia akan mengajak perempuan itu kembali ke markas besar Perguruan Tay ki bun, agar perempuan tersebut memperoleh perlindungan secara sempurna, karena itu dia ingin mengajaknya berkelana dalam dunia persilatan selama tiga tahun sebelum membawanya pulang dan hidup mendampinginya sepanjang
Istana Pulau Es 19 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Hikmah Pedang Hijau 16
^