Pendekar Panji Sakti 5

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 5


masa. Apa yang direncanakan Im Ceng, justru merupakan harapan terbesar dari Un Tay-tay.
Dia segera melaporkan kesemuanya itu kepada Suto Siau, dari pihak Suto Siau dia pun memperoleh sejumlah uang dalam nilai yang amat besar sebagai bekalnya ketika "melarikan diri"
bersama Im Ceng.
Sepanjang perjalanan perempuan itu meninggalkan kode rahasia nya agar Suto Siau dapat menguntitnya secara diam-diam, tentu saja mimpipun Im Ceng tidak menyangka kalau dia sedang mengajak musuh besarnya pulang ke rumah.
Kini daun jendela telah diturunkan, sinar lentera pun bertambah redup, dari atas wuwungan rumah diseberang sana muncul sesosok bayangan manusia, dia adalah Pek Seng-bu.
Dibalik kegelapan malam sekulum senyuman licik dan rasa bangga tersungging diujung bibirnya, gumamnya:
"Bangsat cilik, akan kulihat kali ini kau hendak kabur ke mana lagi?"
Belum habis ingatan tersebut melintas, dari belakang wuwungan rumah sana sudah nampak cahaya api berkobar dengan hebatnya.
Menyusul kemudian terdengar suara teriakan dan jeritan minta tolong diikuti suara langkah kaki yang sangat ramai.
Pek Seng-bu yang mendekam diatas wuwung-an rumah segera mendengar datangnya desingan angin lembut, diikuti munculnya Hek Seng-thian.
"Apakah dia ada disini?"
"Aku telah melihatnya dengan jelas, tidak mungkin salah"
"Apakah nampak sesuatu gerakan?"
"Tidak nyana anak murid Perguruan Tay ki bun pun bisa terpikat dengan seorang wanita siluman, saat ini mungkin mereka sedang.... hmmm... hnmmm"
"Eeei, coba lihat, apa itu?" tiba tiba Hek Seng-thian berseru keheranan.
Mengikuti arah yang dituding Pek Seng-bu segera
menyaksikan sebuah bekas telapak jari tangan yang lamat-lamat memantulkan cahaya hijau.
"Sejak tadi siaute memang sedang keheranan, tidak jelas apa yang sedang dilakukan perempuan itu, tapi menurut pendapat siaute, tampaknya asal usul perempuan itu tidak lurus, hanya sayang tidak berhasil kuselidiki siapakah dia sebenarnya"
"Perduli dia berasal dari mana dari siapakah dia, sekarang sudah saatnya untuk turun tangan!"
Api kebakaran di halaman belakang tampaknya semakin berkobar membesar, tapi suara kekalutan telah mereda, jelas seluruh anggota keluarga Li sudah mendapatkan pendidikan yang ketat.
Setelah termenung berapa saat akhirnya Hek Seng-thian mulai menggeser tubuhnya diatas atap rumah, tampaknya dia siap melontar kan sesuatu ke dalam kamar.
Mendadak Pek Seng-bu menghalangi perbuatan saudaranya:
"Sekarang situasi telah berkembang jadi begini, lebih baik kita langsung menerjang masuk ke dalam, bikin mereka kelabakan"
"Baik!"
Mereka berdua segera bersama-sama melompat turun dari atas genteng, karena sudah cukup lama bekerja sama, kedua orang itu seakan sudah ada kesepakatan yang tidak tertulis dalam setiap tindakan, begitu memberi tanda, mereka langsung menerjang masuk ke dalam kamar melalui jendela sebelah depan dan belakang.
Siapa tahu baru saja tubuh mereka berdua menyentuh tanah, tiba-tiba setitik cahaya bintang dengan kecepatan luar biasa dan sama sekali tidak menimbulkan suara telah mengancam bahu Hek Seng-thian.
Waktu itu Hek Seng-thian sedang pusatkan seluruh perhatiannya ke belakang kamar, dia tidak menyadari datangnya ancaman itu.
Melihat datangnya ancaman, buru-buru Pek Seng-bu melayangkan sebuah tendangan langsung diarahkan ke rambut rekannya.
"Hey, kau sudah edan?" umpat Hek Seng-thian gusar.
Buru-buru dia mengegos ke samping, karena harus
menghindari tendangan itu, secara bersamaan diapun sudah lolos dari ancaman cahaya tajam itu.
Terdengar desingan angin tajam bergema, tahu-tahu senjata rahasia itu sudah melintas lewat persis disisi telinganya.
Pek Seng-bu segera menuding ke arah mana berasalnya senjata rahasia itu, sambil memutar badan, dengan gerakan liong heng it ka (gerakan naga satu rumah) dia meluncur ke arah yang dituding dengan kecepatan tinggi.
Sekarangpun Hek Seng-thian sudah tahu apa yang terjadi, dia segera mengikuti di belakangnya, terlihat bayangan manusia kembali berkelebat disisi wuwungan rumah, lagi-lagi setitik cahaya bintang meluncur tiba.
Buru-buru kedua orang itu mengegos ke samping lalu bersama sama melompat naik ke atas wuwungan rumah, diam-diam mereka terkesiap dibuatnya, tidak jelas siapa yang berulang kali membokong mereka.
"Jangan-jangan ada orang yang melindungi mereka berdua?"
pikir Pek Seng-bu dihati, "atau ditempat lain masih terdapat anggota Perguruan Tay ki bun" Atau gerak gerik kami berdua sudah ketahuan Li Lok-yang?"
Sementara Hek Seng-thian pun sedang berpikir:
"Jangan-jangan orang yang ada dalam kamar sudah
mengetahui kehadiran kami berdua, maka sengaja berlagak pergi tidur, padahal diam-diam memutar arah dan melancarkan serangan bokong-an?"
Ke dua orang itu tidak ada yang berani berkutik, mereka tidak ingin mengganggu ketenangan orang lain, khususnya orang-orang dari keluarga Li, karena itu tanpa bersuara mereka merangkak maju ke depan.
Tampak sesosok bayangan manusia menggelinding diatas atap rumah dan bergeser menuju ke hadapan Hek Seng-thian.
Waktu itu Hek Seng-thian telah menghimpun hawa murninya dalam telapak tangan, sambil mendengus dia lancarkan bacokan.
Pek Seng-bu juga tidak tinggal diam, dia merangsek kedepan sambil menendang punggung orang itu.
Kedua orang ini menyerang dari depan dan belakang dengan
menggunakan tenaga sebesar delapan puluh persen, arah maupun sasaran yang ditujupun merupakan bagian tubuh yang mematikan, jelas ke dua orang ini memang berniat menghabisi nyawa orang itu.
Biarpun dikerubuti dari depan dan belakang, orang itu sama sekali tidak nampak panik, dengan menggeserkan tubuhnya tahu-tahu dia sudah menerobos lewat dibawah ancaman kedua orang itu.
"Sungguh cepat gerakan tubuh orang ini!" diam-diam Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu terkesiap.
Tanpa bicara mereka berdua membuntuti di belakangnya, lagi-lagi tiga jurus serangan dilancarkan.
Mendadak terdengar bayangan manusia itu tertawa ringan, tegurnya:
"Hey, apakah kalian berdua benar-benar ingin
membunuhku?"
Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu tertegun, cepat mereka tarik kembali serangannya sambil mundur setengah langkah.
Dibawah sinar rembulan, terlihat orang itu berbaring diatas atap rumah sambil mengganjal kepalanya dengan kedua belah tangan, senyuman lebar menghiasi wajahnya, ternyata dia tidak lain adalah Suto Siau, pemilik peternakan Lok jit sanceng.
Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu tertegun, lama kemudian Hek Seng-thian baru menegur:
"Suto Siau, kenapa kaupun bisa berada disini?"
"Begitu tahu kalian berdua sudah datang, tentu saja siaute segera menyusul kemari"
"Tajam benar pendengaran Suto-heng!"
Meskipun wajahnya tampil dengan senyuman paksa, dalam hati kecilnya dia merasa gelisah bagai minyak mendidih, pikirnya:
"Jangan-jangan rahasia kami mendapat harta karun diketahui juga oleh siluman setan ini?"
Perlu diketahui, sekalipun dia mendapat julukan seorang jago yang pintar, banyak akal dan licik, namun jika dibandingkan kemampuan Suto Siau, ia sadar kalau kemampuan dirinya masih ketinggalan jauh.
Sementara itu Suto Siau telah berkata lagi sambil tersenyum:
"Sekalipun persoalan yang kuketahui tidak terlalu banyak, sayang apa yang kalian berdua ketahui justru jauh lebih sedikit"
Tanpa sadar kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap, tiba-tiba Pek Seng-bu berkata sambil menarik muka:
"Apa yang kami ketahui memang amat minim, itulah sebabnya ada satu persoalan yang ingin ditanyakan kepada saudara Suto"
"Aaah, terhadap sesama saudara tidak perlu berlagak sungkan"
"Dalam kamar itu terdapat anak murid Perguruan Tay ki bun sementara kami berdua-pun sedang bersiap menghajarnya, kenapa saudara Suto malah menghalangi dengan melancarkan serangan bokongan" Untung nyawaku masih dilindungi Thian, kalau tidak, bukankah sudah tewas ditangan saudara Suto sedari tadi?"
Suto Siau segera menukas:
"Pokoknya siapapun yang akan mengusik bajingan she-Im itu hari ini, siaute dengan taruhan nyawa tetap akan menghalanginya"
"Apa maksud perkataanmu?" berubah paras muka Hek Seng-thian.
Pek Seng-bu pun menambahkan sambil tertawa dingin:
"Apakah saudara Suto telah bergabung dengan pihak Perguruan Tay ki bun?"
Kembali Suto Siau tersenyum.
"Tahukah kalian berdua, siapakah perempuan yang sedang menemani bocah she-Im itu didalam kamarnya?"
"Perduli amat siapakah dia, aku...."
"Perempuan itu adalah gundik kesayanganku" tukas Suto Siau lagi.
Kembali Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu berdiri tertegun.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Pek Seng-bu, "saudara Suto, kau harus memberi penjelasan"
Kini dia sudah berbaring disamping Suto Siau, menghimpin lawannya dari kiri dan kanan.
"Apakah kalian tidak melihat bekas jari tangan berwarna hijau itu?" kata Suto Siau, "Siaute bisa sampai disini karena membuntuti kode rahasia itu, sekarang kalian berdua sudah mengerti bukan?"
Diam-diam Hek Seng-thian berdua merasa lega, pikirnya:
"Ternyata dia mempunyai rencana lain, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia kami berdua"
Berpikir sampai disitu, sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Hek Seng-thian.
"Gerak-gerik saudara Suto sangat rahasia dan mencurigakan, darimana siaute berdua bisa mengetahui rencanamu?" katanya.
"Ceritanya panjang sekali, tempat ini tidak cocok untuk berbicara, bagaimana kalau kujelaskan setibanya di kamar kalian berdua?"
"Kamar kami ada di halaman nomor tiga belas"
"Kalau begitu ayoh kita berangkat"
Menanti bayangan tubuh ke tiga orang itu sudah lenyap dari pandangan, dari balik wuwungan rumah kembali muncul sesosok bayangan manusia.
"Apa yang telah terjadi?" gumamnya.
Dibawah cahaya rembulan tampak bayangan itu mengenakan baju hitam dengan wajah ditutupi kain kerudung hitam, ternyata dia tidak lain adalah Thiat Tiong-tong.
Sewaktu mendengar ada seorang murid Perguruan Tay ki bun muncul ditempat itu, dia sudah menduga delapan puluh persen orang itu adalah Im Ceng, hanya saja karena pemuda ini, jadi orang sangat berhati-hati dalam setiap tindakan maka sebelum menemui rekannya itu terlebih dulu dia awasi gerak gerik Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu.
Menanti dia saksikan kedua orang musuhnya siap
melancarkan serangan dan diapun siap menghalangi, tidak disangka seseorang yang lain telah bergerak duluan.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau orang yang menghalangi Hek Seng-thian berdua ternyata adalah Suto Siau, terlebih tidak mengira kalau perempuan cantik yang datang bersama Im Ceng ternyata adalah gundik kesayangan Suto Siau.
Dengan kecerdasan otaknya tidak sulit bagi-nya untuk menduga apa gerangan yang telah terjadi.
Tidak kuasa lagi peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya, pemuda itu berpikir:
"Jika sam-te benar-benar mengajak perempuan itu pulang ke rumah, jelas dia telah melakukan satu pelanggaran yang menakutkan"
Thiat Tiong-tong sendiripun cukup memahami tabiat dari Im Ceng, ketika pemuda itu telah mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu, maka jangan harap ada orang yang bisa menghalanginya.
Ketika bayangan manusia masih muncul dibalik jendela tadi, Thiat Tiong-tong pun dapat melihat dengan jelas gerak-gerik mereka berdua yang nampak begitu mesrah, kenyataan ini membuat pikirannya bertambah kuatir.
Dia sadar, bila berharap Im Ceng mau sadar dari
perbuatannya, dia harus berhasil mengumpulkan bukti yang cukup untuk mengungkap intrik yang sedang dilakukan perempuan itu serta membongkar identitas sebenarnya dari dirinya.
Dia pun sadar, perempuan itu pasti seorang musuh tangguh yang pernah dijumpai selama ini, perempuan cantik yang genit, licik lagi pintar, perempuan yang tidak gampang dihadapi.
Apalagi dibelakangnya terdapat kekuatan yang begitu besar menunjang segala perbuatannya, dia merasa tidak yakin bisa menangkan pertarungan adu akal semacam ini.
Untuk bisa menangkan semua pertempuran, dia harus berhasil menangkap titik kelemahannya, tapi apa yang menjadi titik kelemahannya"
.... Daya tarik barang permata merupakan godaan yang paling susah dilawan oleh perempuan manapun.
Tiba-tiba dia terbayang kembali dengan perkataan yang pernah diucapkan wanita itu, tidak kuasa lagi sekulum senyuman menghiasi bibirnya.
Cahaya lampu mulai menerangi seluruh sudut ruangan, saat pasaran bebas kembali di mulai.
Gedung utama keluarga Li nampak jauh lebih ramai ketimbang tiga hari sebelumnya, setiap sudut tempat hampir dipenuhi oleh gelak tertawa, suara pembicaraan, asap tembakau yang pedas serta bau parfum yang harum semerbak.
Transaksi, jual beli, adu akal, adu kepintaran pun berlangsung dalam suasana hiruk pikuk.
Ouyang hengte, Ouyang bersaudara yang merupakan keluarga kaya raya dari wilayah Kanglam hadir jauh lebih awal dari hari-hari biasa, mereka mengenakan pakaian yang indah sementara sepasang mata yang liar mengawasi kawanan gadis aneh dimeja sebelah tanpa berkedip.
Kawanana ratu lebah dari Heng-kang masih tetap bersikap acuh, sama sekali tidak memandang sekejappun ke arah mereka, semakin mereka tidak acuh kawanan kongcu itu semakin getol menarik perhatian.
Hong Pak-ban yang ada di meja nomor dua berkilatan sepasang matanya, bagaikan seekor anjing pemburu, dia awasi terus sekeliling pasar dengan seksama, tampaknya transaksi yang berlangsung kemarin telah mendatangkan laba cukup banyak baginya.
Phoa-an kemala Phoa Seng-hong dengan tenang berdiri di
belakang majikannya, sementara seorang wanita cantik yang duduk dibelakangnya berulang kali mencuri-curi untuk meraba telapak tangannya.
Im Ceng dan Un Tay-tay pun hadir di arena, merekapun sempat bertemu dengan Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Suto Siau yang berada disudut gedung, namun mereka berlagak seolah-olah tidak mengenalinya.
Melihat itu Im Ceng membatin: "Ooh, ternyata mereka sudah tidak teringat lagi siapa aku"
Mendadak terdengar gelak tertawa bergema memenuhi angkasa, seseorang berseru dengan nyaring:
"Aku datang lagi!"
Hay Tay-sau dengan bertelanjang dada dan membawa sebuah karung goni berjalan masuk ke dalam ruangan, transaksi yang sedang berlangsung pun berhenti seketika, dengan keheranan semua orang mengawasi tokoh aneh itu.
"Blaaam!" dia letakkan karung goninya keatas meja, lalu serunya sambil tertawa tergelak:
"Hari ini aku akan lebih repot, siapa yang menginginkan barangku, cepat ajukan penawaran"
Belum sempat orang lain berbicara, Hong Pak-ban sudah bangkit berdiri seraya berseru:
"Ada berapa banyak barang yang kau bawa" Lohu akan memborong semuanya"
Hay Tay-sau berlagak berpikir sejenak kemudian baru menjawab:
"Tetap tiga puluh macam, tapi harganya...."
Buru buru Hong Pak-ban goyangkan tangan-nya berulang kali, tukasnya sambil tertawa:
"Kalau mau dagang mesti adil, kalau kemarin berharga lima ratus tahil, hari inipun harus sama harganya"
"Harus sama?" Hay Tay-sau garuk garuk kepalanya.
"Tentu saja" dia mengeluarkan selembar uang kertas dan melanjutkan, "disini ada uang senilai lima belas ribu tahil, persis untuk memborong semua barangmu"
Buru-buru dia letakkan uang kertas itu diatas meja kemudian buru-buru mengambil karung goni itu dan dibawa balik, kelihatannya dia kuatir kalau Hay Tay-sau tiba-tiba menyesal dan membatalkan transaksi itu.
Tanpa berpaling lagi Hong Pak-ban berseru: "Transaksi sudah selesai, tidak usah banyak bicara lagi!"
Mendadak Hay Tay-sau mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak, serunya:
"Padahal barang yang ada dalam karung ku itu hanya laku dijual dua tahil perak, jika kau ngotot ingin membelinya dengan harga lima ratus tahil, yaa.. apa boleh buat"
Semua orang merasa terkejut bercampur geli, Hong Pak-ban yang terkenal sangat pelit, ternyata kali ini benar-benar dipedundangi orang.
Pucat pias selembar wajah Hong Pak-ban, buru-buru dia tuang isi karung itu diatas meja, benar saja, benda yang ada disitu hanya barang rongsok yang tidak ada nilainya.
Dalam terkejut bercampur gusarnya dia berteriak keras:
"Bangsat! Kau berani menipuku?"
"Siapa yang menipumu?" balik Hay Tay-sau dengan wajah berubah, "bukankah kau yang ngotot ingin memborongnya, kalau kau berani menyebut kata menipu lagi, segera akan kupenggal batok kepalamu"
"Bruuuk!" Hong Pak-ban jatuh terduduk diatas bangkunya, sementara Hay Tay-sau sama sekali tidak memandang kearahnya lagi, dia serahkan uang kertas itu ke tangan Li Lok-yang sambil ujarnya:
"Li toako, tolong bagikan uang ini kepada fakir miskin, aku akan pergi duluan!"
Diiringi gelak tertawa yang nyaring, dia beranjak pergi dari ruangan dengan langkah lebar.
Diam-diam semua orang bersorak memuji, khususnya Im Ceng, dia merasa amat kagum dengan orang itu.
Tiba-tiba Hong Pak-ban berpaling ke arah Phoa Seng-hong, hardiknya:
"Cepat kejar, cepat kejar dia!"
"Apanya yang dikejar?" Phoa Seng-hong balik bertanya dengan wajah gelap, tubuhnya sama sekali tidak bergerak.
Hong Pak-ban semakin murka, sambil melompat bangun dia tuding wajah lelaki itu dan umpatnya:
"Lohu telah mengeluarkan uang banyak untuk
mengundangmu, memangnya aku suruh kau makan tidur melulu?"
Sekilas senyuman licik melintas diatas wajah Phoa Seng-hong, jengeknya:
"Kau toh dengan rela hati membeli barang itu, kalau sampai tertipu salahkan diri sendiri, masa marah dengan orang lain?"
"Kurangajar, kau ingin memberontak.... kau...."
"Tutup mulut!" bentak Phoa Seng-hong sambil tertawa dingin,
"toaya mu sudah tidak mau bekerja lagi, ini uangmu, aku kembalikan semua, mulai sekarang mau dibunuh mau dirampok, tidak ada urusannya lagi dengan aku"
"Bagus, kau.... kau... aku.... aku...." paras muka Phoa Seng-hong berubah hebat.
"Apa kau, kau" Pergilah mampus!" seru Phoa Seng-hong sambil tertawa dingin, ia segera berlalu dari situ.
Air muka dua orang wanita cantik yang ada disisi Hong Pek-ban ikut berubah, tiba-tiba mereka berteriak sambil mengejar:
"Siau Phoa, Siau Phoa, mau kemana kau" Jangan pergi...."
Hong Pak-ban semakin naik pitam, ibarat minyak bertemu api, amarahnya benar-benar memuncak.
"Budak sialan, balik!" umpatnya.
Tapi mereka seolah tidak mendengar teriakan itu, dalam waktu singkat ke dua orang wanita itu sudah keluar dari ruang gedung.
Tidak tahan semua orang pun tertawa kegelian, ketika Hong Pek-ban melihat tiada wajah simpatik disekitar sana, dengan jengkel dia hentakkan kakinya dan ikut menerjang keluar dari ruangan.
Siapa tahu baru tiba di depan pintu, kebetulan seseorang sedang melangkah masuk kedalam, tidak ampun mereka pun saling bertumbukan.
Kontan Hong Pak-ban mencaci maki kalang kabut sambil mundur berapa langkah:
"Budak sialan, buta matanya!"
Orang yang kena ditumbuk itu adalah si kakek aneh, semua orang tahu segera ada pertunjukan menarik yang akan terjadi.
Terdengar kakek itupun mulai balas memaki:
"Kau sendiri yang budak sialan, kau sendiri yang buta matanya, macam anjing busuk!"
"Sialah, sudah menumbuk aku masih berani memaki, mau memberontak!" Hong Pak-ban makin sewot.
Belum selesai dia berkata, wajahnya sudah ditampar kakek aneh itu berapa kali.
"Bagus.... kau... kau berani memukulku!" Kakek itu tertawa dingin.
"Hmm, uangmu tidak bisa menangkan uang-ku,
kekuasaanmu pun tidak bisa menangkan kekuasaanku, ada apa"
Masih kurang" ingin ditampar lagi?"
Sambil memegangi pipinya Hong Pak-ban termangu sesaat, akhir nya dia baru teringat kalau dalam segala hal dia memang kalah dari orang itu, maka tanpa banyak bicara lagi dia melarikan diri terbirit birit.
Sekali lagi gelak tertawa bergema memenuhi angkasa.
Kakek aneh itu dengan punggung bungkuk kembali
melanjutkan langkahnya memasuki ruangan, yang membuat orang kecewa adalah ketidak hadiran si gadis cantik itu, sekarang yang mengintil di belakangnya hanya ke dua orang bocah ajaib.
Transaksi yang berlangsung dalam gedung pun seketika berkembang jadi lebih bergairah dan hidup sejak kehadiran kakek aneh itu.
Banyak orang ingin mencari keuntungan dari kakek aneh yang kaya raya itu, barang berharga yang langka dan luar biasa indahnya pun segera dikeluarkan dari tempat penyimpanan.
Meskipun kakek itu tua lagi bungkuk, namun banyak menjadi perhatian perempuan perempuan cantik, namun dia hanya bersandar diatas pembaringan empuk yang khusus dibawa sendiri sambil setengah memejamkan matanya.
Sekilas pandang orang mengira dia sedang beristirahat, padahal tidak seorang manusia pun yang lolos dari pengamatannya.
Menjelang malam tiba-tiba Gin-siepoa bangkit berdiri sambil membuka sebuah kotak kulit yang berada disisinya, dari dalam kotak itu dia mengeluarkan seuntai kalung, anting anting dan perhiasan kepala yang terbuat dari berlian.
Satu set perhiasan berlian itu selain terdiri dari berlian yang indah, juga dihiasi dengan untaian mutiara sebesar buah kelengkeng, begitu benda itu dikeluarkan, decak kagum seketika memenuhi seluruh ruangan.
Sepasang mata Un Tay-tay terbelalak lebar, cahaya kerakusan memancar keluar dari balik matanya yang indah, ini pertanda dia akan mengorbankan segala yang dimiliki demi mendapatkan barang perhiasan itu.
Lelang pun dimulai, harga dibuka dari sepuluh ribu tahil perak, ketika tawaran mencapai lima belas ribu tahil perak, yang tersisa hanya tinggal Un Tay-tay, Kim Ji-kongcu serta Ouyang Hengte.
Akhirnya Un Tay-tay dengan tawaran enam belas ribu tahil perak berhasil mengalahkan mereka semua, senyum kepuasan
dan rasa bangga pun segera tersungging di ujung bibirnya.
Belum selesai dia bergembira mendadak kakek itu mendeham sambil berseru:
"Dua puluh ribu tahil!"
Un Tay-tay tertegun, dia seperti tercengang, seperti juga gusar, segera teriaknya lagi:
"Dua puluh empat ribu tahil!"
Dia sudah meneriakkan seluruh harta kekayaan yang mampu dikeluarkan olehnya saat ini.
Sekulum senyuman aneh kembali tersungging diujung bibirnya, perlahan-lahan dia memperlihatkan ke limajari tangannya.
"Apakah anda menawar dengan harga lima puluh ribu tahil perak?" tanya siepoa perak sambil tersenyum.
Jawaban yang dibutuhkan merupakan kepastian.
"Bertransaksi ditempat ini, begitu harga disepakati maka kau mesti membayar secara kontan!" kembali siepoa perak menambahkan.
Dengan perlahan kakek aneh itu memberi kode kepada bocah yang ada disisinya, tidak lama bocah itu sudah mengeluarkan setumpuk uang kertas.
Gien siepoa memandang sekeliling ruangan sekejap, decak kagum, seruan kaget kembali bergema diseluruh tempat.
Un Tay-tay duduk termangu dibangkunya dengan wajah pucat pias, jelas dia merasa sedih, gusar bercampur kecewa.
Biasanya, jika dia sudah berminat dengan suatu benda maka dengan menghalalkan secara cara dia akan berusaha mendapatkannya, bahkan bila perlu menggadaikan nyawa pun akan dia lakukan.
Tentu saja dalam keadaan dan situasi seperti ini, mustahil baginya untuk melakukan cara-cara yang biasa dia gunakan.
Setelah transaksi disetujui, kotak perhiasan itupun dihantar kan ke hadapan si kakek aneh itu.
Suto Siau yang berada disudut ruangan segera berbisik sambil tertawa ringan:
"Kali ini Tay-tay ketanggor batunya!"
"Yaa, lima puluh ribu tahil perak hanya untuk membeli sekotak perhiasan, kecuali kakek aneh itu siapa lagi yang berani melakukan?" sambung Hek Seng-thian.
Dalam pada itu Im Ceng sudah bangkit dari tempat duduknya sambil berkata lembut: "Tay-tay, mari kita pergi!"
Un Tay-tay tidak menjawab, dia masih mengawasi kotak perhiasan yang berada disisi kakek aneh itu dengan termangu.
Im Ceng kembali menghela napas panjang, sembari
membungkukkan tubuhnya dia berbisik:
"Apakah perhiasan itu begitu penting artinya bagimu?"
"Aku tidak tahu" Un Tay-tay menggeleng, "Aku hanya tahu betapa sedih hatiku jika gagal mendapatkan benda yang ingin kudapatkan"
Im Ceng tertegun, tanpa sadar dia duduk kembali ke bangkunya.
Pada saat itulah dari luar pintu gedung terdengar suara ringkikan kuda yang ramai diikuti enam belas orang lelaki kekar melompat turun dari kuda kudanya dan masuk ke dalam gedung.
Begitu berada dalam ruangan, orang-orang itu segera menggetar kan pergelangan tangannya dan mengibarkan sebuah panji yang terbuat dari kain sutera.
Dari ke enam belas lembar panji itu, hampir semuanya bercorak sama, dasar hitam dengan sulaman tulisan berwarna merah darah: "Bi lek tong!
Kawanan lelaki pembawa panji itu memecahkan diri menjadi dua regu, masing-masing regu berdiri disisi undak-undakan hingga mencapai pintu gerbang.
Mereka semua berdiri tegak bagai sebatang tombak, paras mukanya serius dan sangat amat berat.
Kembali terjadi kehebohan dalam ruangan. "Bi leik-hwee telah datang!"
Diam-diam Suto Siau pun mengerutkan dahinya sambil berpikir:
"Mau apa dia datang kemari" Kenapa paras muka Hek Seng-thian langsung berubah" Jangan-jangan dia sudah melakukan satu perbuatan yang takut diketahui orang?"
Sementara dia masih berpikir terlihat seorang kakek berjenggot panjang, bertubuh tinggi kekar, berwajah merah bercahaya dan mengenakan pakaian indah melangkah masuk ke dalam ruangan dengan tindakan lebar.
Pakaian yang dikenakan sangat indah dan mewah, jenggot panjangnya pun terawat sangat rapi, sinar matanya berkilat penuh dengan kebanggaan.
Buru-buru Li Lok-yang maju menyambut seraya menyapa:
"Selamat datang hengtay, tidak nyana kau pun mau ikut meramaikan suasana di tempat ini"
Sambil mengulapkan tangannya dan tertawa tergelak tukas Bi lek-hwee:
"Di antara saudara sendiri tidak perlu banyak berbasa-basi"
Kemudian sambil menyapu sekejap ke seluruh ruangan, tambahnya:
"Kedatangan siaute kali ini adalah untuk mencari Hek Seng-thian, ada berapa hal perlu kubicarakan dengannya"
Waktu itu Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Suto Siau telah bangkit dari tempat duduknya.
Sambil tertawa paksa dan menjura seru Hek Seng-thian cepat:
"Siaute berada disini, entah urusan apa kau mencariku?"
"Aku tahu kalau kau berada disitu" seru Bi lek-hwee dengan suara lantang, "aku mau bertanya, kemana kau sudah membawa murid pertamaku" Hmm, delapan puluh persen pasti diajak melakukan hal-hal yang tidak baik!"
Dia benar-benar tidak pandang sebelah mata terhadap orang lain, teguran itu dilontarkan di hadapan umum.
Sekali lagi paras muka Hek Seng-thian berubah, sambil berlagak pilon sahutnya:
"Siapa" Maksudmu keponakan Lui" Sejak berpisah berapa bulan berselang, siaute belum pernah bersua lagi dengannya"
"Kau sungguh tidak melihatnya?"
"Aah, masa hengtay tidak percaya dengan perkataan siaute?"
"Sialan, sudah mampus ke mana bocah itu! Hek lote, jangan marah, jangan marah, anggap saja aku telah salah menuduhmu tadi"
Tabiat orang tua ini benar benar milik geledek, datangnya cepat, pergipun sangat cepat.
Thiat Tiong-tong yang duduk sambil setengah memejamkan matanya segera merasa tergerak hatinya:
"Aah, ternyata Hek Seng-thian telah berbohong dengan sengaja mengelabuhi mereka, ini peluang bagus untukku!"
Sebuah rencana segera melintas dalam benaknya, sikapnya pun semakin santai.
Dengan santainya dia bangkit berdiri lalu beranjak keluar dari ruangan, sementara dua orang bocah lelaki itu mengikuti di belakangnya sambil membawa kotak perhiasan itu.
Tiba di belakang halaman yang sepi dan agak redup cahayanya, Thiat Tiong-tong segera memperlambat langkahnya, sesosok bayangan manusia tampak melintas lewat, ternyata dia adalah Gin siepoa.
"Merepotkan kau!" seru Thiat Tiong-tong sambil tersenyum.
Siepoa perak mengeluarkan selembar uang kertas lima puluh ribuan dan diserahkan kepada pemudaku, lalu bisiknya:
"Sebetulnya apa tujuan kau orang tua melakukan hal ini?"
Thiat Tiong-tong memicingkan matanya sembari tertawa terkekeh.
"Lohu hanya ingin menggoda nona itu, Cuma, jangan sekali-kali kau ceritakan kejadian ini kepada orang lain"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan penuh pengertian siepoa perak manggut-manggut, sahutnya sambil tertawa:
"Tanpa bersusah payah aku telah menerima bayaran tiga ribu tahil perak dari kau orang tua, tentu saja aku akan menjaga rahasia ini baik baik"
Selesai menjura kembali dia ngeloyor pergi dari situ.
Thiat Tiong-tong tersenyum penuh kebanggaan, ternyata perhiasan itu memang merupakan barang mestika miliknya.
Dia tahu manusia macam Gien siepoa yang pandai berdagang merupakan orang yang bisa diajak kerja sama, maka dia menyuapnya dan memainkan sandiwara tadi agar Un Tay-tay masuk perangkap.
Pada saat itulah mendadak dari balik semak terdengar seseorang menyindir sambil tertawa dingin:
"Orang bilang tua tua keladi makin tua makin menjadi, ternyata ungkapan ini memang sangat tepat"
"Siapa disitu?"
Meskipun agak terperanjat, dia tidak ingin membongkar penyaruan sendiri, maka sengaja berlagak terengah-engah dia menghampiri semak tanaman disisi jalan dengan langkah lebar.
Dibawah cahaya rembulan terlihat ada sepasang laki perempuan sedang berpelukan dengan mesrahnya, perempuan itu ternyata tidak lain adalah gundik Hong Pek-ban. Saat ini dia nampak berbaring dengan napas tersengkal dan pakaian awut-awutan tidak rapi.
Ketika menyaksikan kemunculan Thiat Tiong-tong, wajahnya bukan saja tidak tampil rasa malu, malahan sambil tertawa cabul memperketat rangkulannya pada tengkuk lelaki itu.
Sementara sang lelaki berwajah putih pucat, dia tidak lain adalah Phoa Seng-hong.
Sambil memegang dada sendiri seperti orang kaget, serunya sambil tertawa:
"Hey orang tua, bila kau berhasil menggaet perempuan genit
tadi, tidak ada salahnya untuk menikmati surga dunia ditempat ini"
"Betul, disini amat menarik" sambung perempuan itu pula, sambil cekikikan, "Kami bisa melihat orang lain, tapi orang lain tidak bisa melihat kami, cobalah sendiri, kau pasti akan merasa senang!"
Dalam hati Thiat Tiong-tong menyumpahi, tapi diluaran katanya:
"Apa kau bilang" Lohu tidak paham"
"Hahahaha.... cayhe pun orang satu aliran denganmu, masa kau ingin berbohong di depanku" Menurut pengalamanku yang berpuluh tahun, perempuan itu memang seekor ikan bagus bahkan segera akan terkait oleh umpanmu, Cuma.... si bocah berpipi licin itu nampaknya merupakan jagoan yang berilmu tinggi, orang macam begitu tidak gampang dihadapi, bila rencanamu sampai ketahuan.... hmmm hmmm.... rasanya sulit untuk menghadapinya!"
Thiat Tiong-tong pun berlagak seolah tebakan Phoa Seng-hong itu benar, dia membungkam diri dalam seribu bahasa.
Kembali Phoa Seng-hong berkata sambil tertawa:
"Tapi jika disampingmu terhadap seorang pengawal semacam aku, dapat dipastikan bajingan muda itu tidak akan berani berkutik!"
Diam diam Thiat Tiong-tong tertawa dingin, pikirnya:
"Tidak nyana bajingan ini sedang mengincar aku"
Tapi diluaran sengaja ujarnya: "Jadi kau ingin menjadi pengawal pribadiku?"
"Aku sudah kehilangan pekerjaan, tentu saja harus mencari pekerjaan baru"
Kembali Thiat Tiong-tong berpikir:
"Hmm, kau ingin memperalat aku" Memangnya aku tidak bisa memperalat dirimu?"
Berpikir begitu segera serunya:
"Kau anggap memang gampang untuk bekerja denganku?"
"Masa kau tidak menginginkan hal yang sama sama
menguntung kan?" Phoa Seng-hong balik bertanya.
"Kalau ingin menjadi pengawalku, kau mesti taati semua perintahku"
"Tentu saja"
"Kalau begitu sekarang juga bangkit berdiri dan ikuti aku"
Tanpa berpikir panjang Phoa Seng-hong bangkit berdiri, tapi
perempuan itu segera menarik pakaiannya sambil berseru:
"Setelah tertarik dengan orang lain, masa kau akan tinggalkan aku?"
"Lepaskan!" hardik Phoa Seng-hong dengan wajah sedingin es.
"Kalau tidak kulepas mau apa kau?"
Perempuan itu masih berlagak manja dengan memeluk kaki Phoa Seng-hong erat-erat.
Siapa tahu secara tiba-tiba Phoa Seng-hong melayangkan sebuah tendangan, langsung menginjak jalan darah Ciang tay hiat di depan dada perempuan itu.
Jalan darah Ciang tay hiat berhubungan langsung dengan denyut jantung, merupakan salah satu jalan darah kematian, mana mungkin perempuan itu mampu menahan diri" Tiba-tiba tubuhnya mengejang, tanpa menimbulkan sedikit suarapun tubuhnya sudah roboh terkapar.
"Sungguh kejam hati orang ini!" pikir Thiat Tiong-tong dengan perasaan terkesiap.
Paras muka Phoa Seng-hong sama sekali tidak berubah, ujarnya lagi sambil tertawa:
"Coba kau lihat cara kerjaku sebagai seorang pengawal, agar dia tidak membocorkan rahasia-mu, aku tidak segan untuk membungkam mulut perempuan itu untuk selamanya, bagiku tugas lebih penting ketimbang cinta!"
Sementara itu ke dua orang bocah ajaib itu sudah berdiri dengan wajah pucat pias, Thiat Tiong-tong sendiripun berlagak ketakutan, sengaja bisiknya dengan suara gemetar:
"Kau.... kau berani membunuh orang disini"
Bagaimana kalau sampai ketahuan Li Lok-yang?"
Phoa Seng-hong tertawa dingin. "Aku bertindak demi majikanku, bagaimana akhir dari persoalan ini, semuanya tergantung bagaimana sikap Tuan"
"Lho.... kenapa kau limpahkan semua kesalahan dan tanggung jawab ini kepada lohu?"
"Jika kau tidak bersedia bertanggung jawab, terpaksa aku akan menguarkan semua rahasiamu tadi kepada khalayak ramai"
Dia tahu orang tua tersebut sudah berada dalam kendalinya, karena itu sikapnya nampak amat bangga.
Thiat Tiong-tong sengaja berkerut kening, setelah termenung sejenak serunya:
"Kalau begitu.... kalau begitu...."
Tiba-tiba wajahnya cerah kembali, sambungnya:
"Mumpung semua orang masih berkumpul dalam gedung, cepat kau kirim mayat ini ke dalam kamar orang lain!"
"Usul yang bagus!" puji Phoa Seng-hong sambil tertawa,
"Bagaimana pun jahe memang makin tua makin pedas!"
"Orang yang ada dimeja tiga belas sangat memuakkan, diapun pernah menyalahi lohu, kirim saja mayat ini ke dalam kamar mereka!"
"Bagus sekali, bagus sekali, Hek Seng-thian memang sangat menyebalkan!"
Sambil membopong mayat perempuan itu katanya lagi:
"Aku segera akan balik"
"Kalau begitu akan lohu tunggu dalam tendaku"
"Baik!"
Dengan sekali lompatan dia sudah melesat ke atas wuwungan rumah dan lenyap dari pandangan mata.
Sinar bangga memancar keluar dari balik mata Thiat Tiong-tong, ketika dia berjalan lewat di depan ruangan yang ditempati Hong Pak-ban, tiba-tiba terlihat ada dua sosok bayangan manusia sedang bersembunyi dibalik kegelapan.
Satu ingatan segera melintas lewat, ternyata kedua orang itu adalah si nenek berbaju rombeng serta pemuda pincang itu.
Semenjak menelan jinsom berusia ribuan tahun, ketajaman matanya sudah melebihi orang lain, meski berada dalam kegelapan namun dia dapat melihat lawan dengan sangat jelas.
Dengan cekatan dia segera bersembunyi dibalik sudut dinding, sementara dua orang bocah itu saling bertukar pandangan sekejap dan segera berlalu melewati jalanan lain.
Mereka memang sudah mendapat pendidikan ketat dan tidak pernah mencampuri urusan rahasia majikannya, mereka pun tidak mau membocorkan rahasia majikannya sekalipun dia adalah seorang perampok.
Ketika mendengar suara langkah manusia, kedua orang itu segera berpaling, tapi mereka kembali berlega hati setelah mengetahui yang muncul hanya dua orang bocah.
Selang berapa saat kemudian pemuda pincang itu baru berbisik:
"Suhu, si tua Hong sudah kembali, kenapa bangsat itu belum juga munculkan diri" Tecu sudah sedikit tidak sabaran"
"Kenapa mesti gelisah" sahut si nenek sambil tertawa dingin,
"aku yakin dia masih belum kabur dari sini, anggap saja memang rejeki dia bisa hidup berapa hari lebih lama"
Thiat Tiong-tong bertambah curiga, batinnya:
"Ternyata dua orang nenek dan cucunya ini adalah guru dan murid, berarti mereka memang sengaja menyamar, tapi apa tujuannya" Sayang pengetahuanmu tentang jago persilatan amat cetek hingga tidak bisa mengenali asal usul mereka"
Sementara dia masih berpikir, pemuda pincang itu sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil berkata:
"Biar tecu tengok ke depan sana, apakah bangsat itu masih ada didalam gedung?"
Pemuda itu bukan sama memiliki gerakan tubuh yang aneh bahkan kecepatan tubuhnya luar biasa, sama sekali tidak menunjukkan gejala seperti orang cacad.
Nenek berpakaian rombeng itu sama sekali tidak menghalangi, tampaknya dia merasa sangat yakin dengan kemampuan silat yang dimiliki pemuda itu.
Thiat Tiong-tong semakin tercengang.
Dia bisa menduga kalau sasaran yang sedang dicari kedua orang itu adalah Phoa Seng-hong, hanya tidak diketahui perselisihan apa yang terjalin di antara mereka bertiga.
Disekeliling halaman gedung kedua ini merupakan tanah be rumpun, cahaya lentera yang menerangi bangunan itupun tak mencapai tempat tersebut sehingga suasana diseputar sana terlihat sangat remang-remang.
Mendadak terdengar suara gelak tertawa kembali bergema memecahkan keheningan.
Terlihat ada tujuh delapan orang gadis muncul dari balik kegelapan sambil bersendang gurau.
Gerak gerik mereka sangat ringan dan cekatan, ternyata mereka adalah rombongan ratu lebah.
Setelah berada ditempat yang sepi, merekapun tidak berlagak alim lagi.
Terdengar seorang gadis bertubuh kecil ramping berkata sambil menghela napas:
"Orang tua aneh itu jelas kaya raya, sayang orangnya kelewat tua, kalau tidak...."
Seorang gadis tinggi semampai segera menanggapi sambil tertawa:
"Yau su-moay bukan saja suka duit, juga senang orang tampan, lain bagiku, asal dia berduit, biar tua juga tidak masalah"
"Siapa suruh kau macam pengumpul barang rongsok" Aku
rasa terhadap si bintang pembawa bencana pun kau punya selera...."
"Waah, kalau orang itu mah aku tidak berani mengusiknya"
sahut gadis lain sambil menjulurkan lidahnya.
"Kenapa tidak berani mengusiknya" Asal ada kesempatan, aku tetap akan menggaetnya, akan kulihat seberapa banyak harta kekayaannya"
Mendadak terdengar suara gelak tertawa disusul seseorang berseru:
"Hahahaha.... tampaknya aku memang ketimpa rejeki, siapa yang mau menggaet aku, silahkan kemari"
Gelak tertawa itu nyaring dan lantang, jelas suara dari si bintang pembawa bencana Hay Tay-sau.
Dengan tangan sebelah membawa buli-buli arak, pakaian bagian dadanya dibiarkan terbuka, dia berjalan mendekat dengan langkah lebar.
Kontan saja sekawanan ratu tawon itu heboh, ada yang menjerit kaget, ada yang menutupi wajahnya, ada pula yang tertawa ter pingkal-pingkal.
Seorang gadis berwajah bulat segera menuding kearah nona yang sedang menutupi wajahnya sambil berseru:
"Dia, dia orangnya, dia yang mau menggaetmu"
"Kau ini...." seru si nona itu malu, "kalau berani bicara lagi...."
Dengan wajah bersemu merah karena malu dia berusaha mengejar rekannya, tapi dengan satu kali sambaran Hay Tay-sau telah menangkap tangannya dan memeluknya erat erat.
"Ooh, rupanya kau si budak cilik yang mau denganku?" seru Hay Tay-sau sambil tertawa tergelak, "mari, coba kulihat wajahmu"
Sambil berkata dia memegang dagu gadis itu, dipandangnya berapa kejap kemudian menggesekkan jenggotnya yang kaku bagai duri diatas wajahnya.
"Hahahaha... kau takut tidak?" serunya sambil tertawa.
Dengan napas tersengal gadis itu berteriak minta ampun, sementara tangan yang lain justru merangkul Hay Tay-sau erat-erat.
Siapa tahu secara tiba-tiba Hay Tay-sau mendorong tangan nya seraya berseru:
"Kalau baru budak cilik macam kau, masih belum pantas untuk manggaetku!"
Ditengah gelak tertawa yang keras dia segera beranjak pergi.
Gadis itu segera terdorong hingga jatuh terduduk ditanah, untuk sesaat dia nampak tertegun, malu bercampur gusar, akhirnya sumpah serapahpun bergema memenuhi udara:
"Laki-laki sialan, laki-laki bau.... dasar laki dungu!"
Kembali gelak tertawa bergema disekeliling tempat itu.
Tiba-tiba terdengar ada suara seseorang yang sedang berseru:
"Nona-nona sekalian, urusan apa yang membuat kalian gembira" Apakah boleh siauseng ikut meramaikan suasana?"
Ternyata Ouyang bersaudara telah menyusul kesana.
Seketika itu juga kawanan ratu tawon itu menghentikan gelak tertawanya, semua orang mengernyitkan alis dan sambil tundukkan kepala, tutup mulut rapat-rapat mereka beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Sambil menggoyang kipasnya Ouyang hengte mengintil di belakang mereka.
Hay Tay-sau yang berdiri dikejauhan sambil minum arak segera berseru sambil tertawa keras:
"Anak-anak, balik saja, jangan sampai mengganggu sarang lebah, kalau sampai disengat bisa berabe akibatnya"
Seorang pemuda di antaranya membalikkan tubuh,
tampaknya hendak mengumpat tapi dia segera ditarik lengannya oleh rekan yang lain.
Hay Tay-sau tertawa tergelak, mendadak hardiknya:
"Siapa disitu" Mau apa bersembunyi di sana?"
Thiat Tiong-tong terperanjat, tapi dia segera lega setelah melihat arah yang dituju Hay Tay-sau adalah tempat persembunyian nenek berbaju rombeng.
Pada saat itulah dari balik halaman kedua berkumandang suara jeritan ngeri yang amat nyaring.
Ditengah jeritan, terlihat Hong Pak-ban dengan tubuh bermandikan darah dan pakaian tidak rapi berlarian keluar dengan langkah limbung.
"Li Lok-yang, Li Lok-yang, ada dimanakau?"
Hay Tay-sau melompat ke hadapannya, mencengkeram bahunya dan menegur:
"Hey, kau sudah edan?"
Dengan sekali ayunan, dia tampar wajah orang itu keras-keras.
Setelah kena tamparan, agaknya kesadaran Hong Pak-ban pulih kembali, dia termangu sejenak kemudian baru gumamnya:
"Aku telah membunuh orang! Aku telah membunuh dia"
"Siapa yang kau bunuh?"
"Gin-sian.... perempuan hina itu, dia kabur dengan lelaki lain bahkan akan membunuhku, maka aku telah membunuhnya lebih dulu"
"Goblok!" umpat Hay Tay-sau dengan gusar, "gara-gara perempuan hina kau sampai membunuh" Memangnya berharga?"
Hong Pak-ban kembali termangu, akhirnya dia menangis tersedu-sedu.
Sementara itu Li Kiam-pak, tuan muda perkampungan keluarga Li dengan membawa empat orang centengnya telah menyusul tiba, dari kejauhan sana masih terdengar suara langkah kaki yang ramai.
Thiat Tiong-tong tahu, kesemuanya ini hanya lagu pembukaan sebelum kekalutan lain yang lebih parah, kelihatannya keluarga pedagang kaya ini segera akan menghadapi satu huru-hara yang belum pernah dialaminya setelah hidup damai sekian tahun.
Maka dia pun melompat masuk ke dalam halaman kedua secara diam-diam, betul saja, dia saksikan mayat perempuan cabul itu sudah tergeletak diatas lantai, disampingnya masih terlihat ada sebuah peti.
Tampaknya perempuan jalang itu sudah tergila-gila dengan Phoa Seng-hong sehingga diputuskan untuk kabur sambil mencuri barang perhiasan, tidak tahunya niat itu ketahuan Hong Pak-ban sehingga terjadilah kasus pembunuhan itu.
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, dengan cepatnya dia menyelinap lewat dan kembali ke tendanya.
Sebelum melangkah masuk, dia sudah mendengar Phoa Seng-hong yang berada dalam ruang tenda sedang berkata sambil tertawa:
"Nona, selanjutnya kita akan menjadi satu keluarga, masa kau usir aku dari sini?"
Menyusul kemudian terdengar suara dayangnya Si-jin menghardik:
"Enyah kau dari sini! Jika berani bersikap kurang ajar lagi kepada nona kami, jangan salahkan kalau kau kehilangan nyawa"
Dengan langkah lebar Thiat Tiong-tong berjalan masuk ke dalam tenda, dia saksikan Sui Leng-kong duduk disudut tenda sementara dayangnya Si-jin menghadang dihadapannya.
Begitu melihat kehadirannya, dayang itu segera berseru:
"Aah, untung majikanku sudah kembali"
"Coba tanyakan sendiri kepadanya, benarkah dia yang suruh aku datang kemari?" kata Phoa Seng-hong sambil berpaling dan tertawa.
"Apa tugasmu telah selesai?" tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah serius.
"Sudah kulakukan dengan sempurna, siapa pun tidak akan menaruh curiga kepadaku"
"Satu gelombang belum mereda sudah muncul gelombang yang lain, mungkin saja kau dapat lolos dari persoalan ini, tapi jangan harap bisa lolos dari kasus yang lain!"
"Apa maksudmu?" berubah paras muka Phoa Seng-hong.
"Hong Pak-ban telah mewakilimu melakukan pembunuhan, jelas hutang piutang ini tidak akan lari dari pundakmu, kemudian.... Hay Tay-sau juga tidak bakal melepaskan dirimu"
Phoa Seng-hong segera tertawa.
"Hong Pak-ban yang melakukan pembunuhan tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, manusia she-Hay itu pun merupakan musuh bebuyutanku selama banyak tahun, belum tentu dia bisa berbuat banyak kepadaku"
"Sayang situasinya saat ini sudah jauh berbeda, lagipula kau masih dihadang musuh tangguh lain yang jauh lebih lihay, orang yang berniat menghabisi nyawamu"
"Siapa?"
"Si nenek berpakaian rombeng serta pemuda pincang"
Phoa Seng-hong agak tertegun, setelah berpikir sejenak katanya:
"Mereka.... rasanya mereka tidak punya dendam sakit hati apa apa denganku...."
Tapi belum selesai bicara, paras mukanya telah berubah hebat, lanjutnya:
"Aah dia, jangan-jangan dia...."
"Sudah kau ingat asal-usulnya?" dengus Thiat Tiong-tong dingin.
Phoa Seng-hong mundur berapa langkah dengan
sempoyongan kemudian duduk lemas diatas bangku, gumamnya:
"Apa.... apa yang dia katakan?"
"Dia bilang akan mencabut nyawamu!" Phoa Seng-hong mulai membesut wajahnya, membesut butiran keringat yang membasahi seluruh wajahnya.
"Di depan lohu saja kau mengibul dan bicara sombong sehingga lohu percaya kalau kau memang seorang enghiong
hohan yang kosen dan ampuh kepandaian silatnya, siapa tahu....
hehehe.... baru ketemu seorang nenek dan bocah cilik, kau sudah ketakutan setengah mati, Huuh! Kalau enghiong semacam ini mah.... kamsia saja, lohu tidak pingin menggunakannya"
Tampaknya Phoa Seng-hong hendak mengumbar api
kemarahannya, tapi baru saja bangkit berdiri dia sudah terduduk kembali.
"Benar, aku memang takut kepadanya" "Braaak!" sambil menggebrak meja, lanjutnya dengan nyaring:
"Tapi kecuali dia, bila ada orang yang berani bersikap kurangajar kepada diriku, Hmm! Aku tetap mampu untuk memenggal batok kepalanya!"
Thiat Tiong-tong tertawa dingin.
"Siapa dia" Kenapa kau begitu takut kepadanya?" dia bertanya.
"Dia.... namanya.... Aai, biar kuberitahu pun percuma, toh kau tidak bakal kenal"
Bibirnya telah ikut berubah jadi pucat tanpa warna darah, dia seolah tidak berani menyebut nama tersebut karena kuatir bila namanya disinggung maka bencana besar segera akan tiba.
"Kau tidak berani mengatakan?"
"Sekalipun tidak berani kusebut, memangnya kau mau apa?"
"Lebih baik perkecil suaramu, jangan sampai teriakanmu kedengaran olehnya!"
Phoa Seng-hong tertegun, hawa amarahnya lenyap seketika, dengan lesu dia tundukkan kepalanya.
"Tapi duduk melulu disini pun bukan cara penyelesaian yang tepat" kata Thiat Tiong-tong lagi.
"Apakah kau kuatir terseret oleh masalahku ini" Sekarang kau sudah menjadi majikanku, tentu saja kalau aku menghadapi persoalan, kaupun harus ikut menghadapinya"
"Mana boleh begitu" sengaja Thiat Tiong-tong berseru dengan wajah berubah, "lebih baik kau cepat pergi dari sini!"
"Pergi" Jika Dia sudah tahu kalau peristiwa tersebut merupakan perbuatanku, memangnya aku masih bisa kabur"
Tahukah kau siapa dia" Tahukah kau betapa lihaynya dia" Bila dia sudah muncul disini, bukan hanya aku seorang yang bakal sial, mungkin keluarga Li pun ikut tertimpa kemalangan!"
Nada ucapannya sama sekali tanpa luapan emosi, hal ini menunjukkan betapa takut dan ngerinya orang itu.
Thiat Tiong-tong berlagak seolah-olah ikut gugup dan
ketakutan. Phoa Seng-hong melirik Sui Leng-kong sekejap, lalu sambil tertawa dingin katanya:
"Terpaksa aku hanya bersembunyi disini, kau tidak bakal mampu mengusirku lagi, sebab bila aku harus mati, kaupun harus ikut mendampingi kematianku"
Thiat Tiong-tong sengaja termangu beberapa saat lamanya, dia seakan sudah tidak sanggup bicara lagi.
Sui Leng-kong tahu, rekannya itu cerdas dan punya kemampuan melebihi siapa pun, dibalik tindakannya itu dia pasti punya tujuan tertentu, maka diapun ikut membungkam.
Lewat berapa saat lamanya Thiat Tiong-tong baru menghela napas panjang sambil bertanya:
"Kecuali cara ini, memangnya tidak ada cara yang lain lagi?"
Sambil tertawa dingin Phoa Seng-hong menggeleng.
"Aah, lohu punya satu siasat...." seru Thiat Tiong-tong kemudian.
"Siasat apa?"
"Di antara sekian banyak kawanan tokoh persilatan yang hadir disini kecuali kau dan orang she-Hay itu, apakah masih terdapat tokoh lain yang agak menonjol namanya?"
"Suto Siau, Bi lek Hwee, lalu Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, semuanya merupakan tokoh-tokoh kenamaan yang punya nama dan pengaruh besar dalam dunia persilatan"
"Hanya berapa orang itu saja" Hehehe,.... asal lohu menyampaikan berapa patah kata kepada mereka, sudah pasti orang orang itu akan membantumu dengan sepenuh tenaga"
"Sungguh?" Phoa Seng-hong merasa semangatnya bangkit kembali, "asal berapa orang itu mau membantu, situasi pasti akan berubah drastis, tapi mana mungkin mereka mau membantuku?"
"Tentu saja lohu punya siasat bagus, asal kau menurut, semuanya pasti beres!"
"Bila kali ini kau benar-benar bisa membantuku dengan siasat jitumu, dikemudian hari bila kau tertimpa persoalan macam apa pun, aku pasti akan membantumu dengan sepenuh tenaga"
Thiat Tiong-tong menuju ke samping meja tulisnya, menulis dua pucuk surat lalu disegel rapat-rapat, pesannya:
"Mula-mula kau harus berusaha agar bisa berbicara empat mata dengan Bi lek Hwee, serahkan surat ini kepadanya, asal dia sudah membaca isi surat ini kujamin orang itu akan
membantumu dengan sepenuh tenaga, kau mesti paksa dia untuk angkat sumpah lebih dulu kemudian baru mengeluarkan surat yang kedua"
Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak Phoa Seng-hong menerima surat itu.
Kembali Thiat Tiong-tong menulis dua pucuk surat, kemudian katanya lagi:
"Serahkan kedua pucuk surat ini kepada Suto Siau, caranya persis seperti cara pertama tadi"
Kemudian dia pun menulis lagi dua pucuk surat dan minta Phoa Seng-hong menyerahkan kepada Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu.
Dalam keadaan terdesak dan terancam jiwanya, Phoa Seng-hong tidak bisa berbuat lain kecuali mencoba cara yang ditawarkan itu.
Dengan wajah serius kembali Thiat Tiong-tong berpesan:
"Jangan sekali kali salah menyerahkan surat sebab kalau tidak kau bakal tertimpa bencana besar, kaupun jangan sekali kali menyinggung tentang lohu, kalau tidak, mereka tidak bakalan mau membantumu"
Dengan wajah termangu Phoa Seng-hong mengawasi
lawannya, dia merasa kakek aneh itu makin lama semakin penuh misteri, akhirnya dia menyingkap tirai, menengok sekejap keadaan diluar kemudian baru melesat pergi dari situ.
Menanti bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan, Thiat Tiong-tong baru bergumam sambil tertawa dingin:
"Manusia cabul yang licik dan buas, Suto Siau, Pek Seng-bu, kali ini kalian akan dibuat pusing olehnya!"
Sui Leng-kong ikut menghela napas panjang, katanya:
"Aa.... aku benar-benar bodoh, se... sebetulnya apa.... yang kau.... kau lakukan" A... aku tidak mengerti!"
Dengan pandangan halus dan lembut Thiat Tiong-tong mengawasi gadis itu sekejap, lalu sahutnya:
"Aku sedang menyiapkan siasat berantai, akan kubuat orang-orang itu tidak seorangpun bisa lolos dari cengkeramanku"
"Ber.... bersediakah... me... menerangkan.... kepada... ku?"
"Akan kubuat Suto Siau dan Pek Seng-bu sekalian saling gontok gontokan sendiri, lalu akan kugunakan nenek misterius itu untuk memburu Phoa Seng-hong, padahal mereka sudah kujebak untuk angkat sumpah sehingga mau tidak mau harus melindungi Phoa Seng-hong, akibatnya nenek misterius itupun
tidak bakal melepaskan mereka semua, ditambah dengan munculnya mayat dikamar Hong Pak-ban, sudah pasti Li Lokyang serta Hay Tay-sau tidak akan berpangku tangan belaka, pada akhirnya situasi akan bertambah kalut"
Sui Leng-kong hanya mengawasi pemuda itu dengan
termangu, waktu itu Thiat Tiong-tong telah melepaskan jubah luarnya hingga kelihatan pakaian ringkasnya yang berwarna hitam, dia pun mengeluarkan sebuah kain kerudung hitam dan dikenakan diwajahnya.
Dalam mengerjakan tugas apapun dia memang selalu melakukan dengan cepat, seolah-olah membawa sebuah irama yang aneh, ringan, cepat dan mengalir lancar.
Dari bawah pembaringan kembali dia mengeluarkan sebilah pedang, Sui Leng-kong segera berjalan menghampiri dan membantunya mengikatkan pedang tersebut dipunggung.
"Aku akan pergi sebentar" bisik pemuda itu kemudian.
Sui Leng-kong manggut-manggut, tanyanya sambil menghela napas sedih:
"Kau.... kau akan ke mana" Aku.... aku boleh tahu?"
"Aku hanya akan keluar sejenak"
"Apa.... apakah aku bi.... bisa membantumu..."
"Selama ada aku disini, tidak akan kubiarkan kau pergi menyerempet bahaya" kata Thiat Tiong-tong sambil tertawa lembut, kemudian sambil menyingkap tirai pintu dia beranjak pergi.
"Kau.... kau mesti berhati-hati" terdengar Sui Leng-kong berpesan.
Seketika itu juga muncul suatu perasaan aneh didalam hatinya, dia tidak tahu apakah perasaan itu merupakan luapan cinta ataukah hanya gejolak emosi, namun tubuhnya terasa jauh lebih ringan dari hari hari biasa.
Tapi hanya sejenak kemudian perasaan tegang kembali menye-limuti perasaan hatinya, sebab walaupun segala sesuatu telah direncanakan secara rapi tapi dia tahu yang paling sulit adalah bagaimana caranya agar Im Ceng mengetahui rahasia dari wanita yang berada disisinya.
Baru saja tiba diluar pintu, dari kejauhan sudah terlihat sesosok bayangan tubuh yang ramping bergerak mendekat, gerak-geriknya lemah gemulai seperti ranting pohon liu bahkan disertai gelombang ayunan yang menggetarkan hati.
"Aah, ternyata dia muncul juga!" pikir Thiat Tiong-tong dengan
perasaan girang.
Berpikir sampai disitu, cepat-cepat dia menyelinap balik ke dalam tendanya.
"Kenapa kau balik lagi?" tanya Sui Leng-kong keheranan.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buru-buru Thiat Tiong-tong menggoyangkan tangannya sambil berbisik:
"Kalian cepat menyingkir dulu ke belakang!"
Dengan gerakan cepat dia melepaskan kain kerudung hitamnya, berbaring diatas pembaringan, menindih pedangnya dibawah bantal dan menutupi tubuh sendiri dengan selimut.
Sui Leng-kong bersama Si-jin dan kedua orang bocah itupun sudah menyingkir, seakan-akan asal ada perintah dari Thiat Tiong-tong maka tanpa syarat mereka akan mentaatinya, bahkan bertanya pun tidak.
Baru saja semuanya selesai, terasa desingan angin berhembus lewat, diiringi bau harum yang semerbak, dalam tenda telah muncul sesosok bayangan manusia.
Orang itu memperhatikan sekejap sekeliling tenda, lalu serunya perlahan:
"Ada orang disini?"
Suaranya merdu, genit dan menawan hati.
"Tempat ini bukan kuburan, masa tidak ada orangnya?"
"Loya-cu, pandai amat berbicara" orang itu tertawa ringan.
"Siapa bilang aku sudah tua?"
"Apa jeleknya tua" Anak muda suka berangasan dan gampang emosi, sebaliknya orang yang agak tua lebih mengerti sayang pada orang lain"
Sembari berbicara, Un Tay-tay sudah melangkah masuk ke dalam tenda.
Sambil tertawa dingin Un Tay-tay melangkah maju ke depan, lalu sambil bertolak pinggang serunya kepada Sui Leng-kong:
"Usiaku jauh lebih tua darimu, semestinya kau banyak belajar dariku"
Belum lagi perkataan itu selesai diucapkan, Thiat Tiong-tong sudah menarik tangannya sambil melayangkan sebuah tamparan.
"Bagus, kau berani memukul aku!" teriak Un Tay-tay sambil mencak-mencak kegusaran.
Dengan wajah hijau membesi kembali Thiat Tiong-tong melayangkan dua kali tamparan.
Dia menaruh rasa kasihan terhadap Im Ceng, sementara
terhadap perempuan ini justru menaruh rasa benci dan dendam, tidak heran kalau tamparannya dilakukan sangat keras.
Bekas sepuluh jari tangan yang merah membengkak pun seketika muncul diatas wajah Un Tay-tay.
Kebuasan dan sifat liarnya yang nyaris ditonjolkan seketika hilang lenyap tidak berbekas, dengan air mata bercucuran dan nada gemetar bisiknya:
"Kumohon, jangan ditampar lagi, aku.... aku rela tunduk dibawah perintahnya!"
"Kau.... kau tidak usah tunduk...." seru Sui Leng-kong cepat, air mata nyaris meleleh juga diwajahnya.
Dalam waktu singkat suasana jadi hening dan tidak kedengaran sedikit suarapun.
Tiba-tiba terdengar suara genta dibunyikan bertalu-talu, menyusul kemudian terlihat seorang pelayan keluarga Ting berlarian masuk dengan langkah tergopoh.
Dengan sedikit sangsi dia memandang sekejap sekeliling tenda, kemudian dengan kepala tertunduk ujarnya:
"Atas perintah majikan, dipersilahkan semua tamu berkumpul di ruang depan, ada urusan penting yang akan dirundingkan"
"Sudah tahu!" sahut Thiat Tiong-tong sambil mengidapkan tangannya.
Pelayan itu mengiakan sambil mundur, namun tidak tahan dia melirik lagi berapa kejap untuk memperhatikan pemandangan aneh didalam tenda itu.
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas, ujarnya kemudian dengan suara dalam:
"Si-jin, temani nona beristirahat dulu, aku akan mengajak dia ke ruang depan"
"Kau.... kau tidak boleh aku.... ikut?" tanya Sui Leng-kong.
"Lebih baik kau jangan ikut dulu"
Dalam pada itu sepasang pipi Un Tay-tay masih merah membengkak, namun sekulum senyum kepuasan menghiasi wajahnya.
BAB 7 Terjadi Perubahan
Langit yang sangat cerah dengan sinar matahari berwarna kuning emas.
Tapi suasana dalam gedung utama keluarga Li yang bermandikan cahaya matahari justru dicekam dalam ketegangan yang berat dan meenyesakkan napas, bahkan setiap orang merasa napasnya jadi berat.
Semua meja sudah terisi penuh manusia, semua orang duduk dengan perasaan kebat kebit, wajah serius. Beratus pasang mata sama sama tertuju ke wajah Li Lok-yang.
Waktu itu Li Lok-yang sambil bergendong tangan, berkerut kening, berjalan mondar mandir di antara kerumunan orang banyak, beberapa kali dia menengok keluar pintu gedung sambil bertanya:
"Apakah semuanya telah hadir?"
Setiap orang duduk dengan pikiran yang kalut, bahkan Phoa Seng-hong pun duduk saling berhadapan dengan Hay Tay-sau, siapa pun yang mendonggakkan kepalanya, dia akan segera terbentur dengan sorot mata lawan yang penuh dengan kebencian.
Tiba-tiba terlihat seorang pemuda berbaju pulih yang berwajah sedih, berpakaian lusuh dan memegang sebilah pedang melangkah masuk dengan sempoyongan, dia memandang sekeliling ruangan sekejap kemudian duduk kembali kebangkunya, penampilan orang ini pada hakekatnya seperti dua orang yang berbeda bila dibandingkan berapa hari berselang.
"Ada apa dengan bajingan itu?" pikir Suto Siau dengan kening berkerut, dia semakin keheranan ketika tidak melihat Un Tay-tay berada bersamanya.
"Blaaam!" tiba-tiba Im Ceng meletakkan pedangnya diatas meja keras keras, lalu teriaknya:
"Hey tuan rumah, apa punya arak" Aku ingin minum sampai mabuk"
"Harap hengtay tunggu sebentar" jawab Li Kiam-pek sambil mendekat.
Tiba-tiba dia saksikan paras muka pemuda itu berubah hebat,
dari balik matanya seakan memancar keluar sinar berapi api.
Li Kiam-pek agak tertegun, tapi dengan cepat dia sadar kalau kemarahan pemuda berbaju putih itu bukan tertuju kepadanya, tapi diarahkan ke belakang tubuhnya.
Ketika berpaling, dia pun saksikan kakek aneh itu muncul bersama perempuan cantik pasangan pemuda berbaju putih itu.
Suto Siau terlebih kaget lagi, tanpa terasa dia melompat bangun sambil melotot besar.
Un Tay-tay sama sekali tidak melirik kearahnya, diapun tidak memandang ke arah Im Ceng, malah sambil menggandeng tangan kakek aneh itu berjalan menuju ke tempat duduknya.
Jarang ada yang tahu hubungan sesungguhnya dari berapa orang itu, kebanyakan orang hanya merasa agak kaget bercampur keheranan setelah melihat sikap Suto Siau dan Im Ceng yang lepas kendali.
Pelayan keluarga Li yang berdiri dipintu gerbang sudah mulai mencocokkan para tamu yang telah hadir dalam ruangan dengan daftar tamunya, kemudian sambil memberi hormat dia melaporkan:
"Semua tamu telah hadir!"
Li Lok-yang seketika menghentikan langkah kakinya, kemudian dengan suara berat katanya:
"Aku merasa tidak enak karena sepagi ini sudah mengganggu ketenangan anda semua"
Para tamu tahu pasti ada kelanjutan dari perkataannya itu, maka semua orang hanya pasang telinga tanpa menimbrung.
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Anda sekalian jauh-jauh datang kemari, sebagai tuan rumah sudah seharusnya aku melayani kalian dengan sebaik-baiknya, tapi sekarang, mau tidak mau terpaksa aku harus
mempersilahkan anda semua untuk segera pulang ke rumah masing-masing"
Salah satu di antara Ouyang hengte segera bangkit berdiri, teriaknya:
"Waktu selama sepuluh hari belum lewat, kenapa tuan rumah sudah mengusir tamunya?"
Kawanan pemuda pemogoran ini memang khusus datang untuk mencari peluang mendekati sekelompok ratu tawon, tentu saja mereka jadi gelisah setelah tahu kalau pertemuan segera akan dibubarkan.
Sekali lagi Li Lok-yang menghela napas panjang.
"Betul, pertemuan selama sepuluh hari memang belum lewat, tapi dalam berapa hari mendatang pasti akan terjadi gelombang badai ditempat ini, cayhe betul-betul tidak tega membiarkan kalian semua terlibas dalam pusaran dan pergolakan ini"
"Waah, apalagi kalau bakal ada pergolakan ditempat ini"
teriak salah satu anggota Ouyang hengte dengan suara keras,
"kami bersaudara tidak sepantasnya kabur dari sini, melarikan diri di saat ancaman tiba bukan watak dari kami bersaudara"
Perkataan itu diucapkan dengan lantang dan penuh dengan semangat kesatriaan, tidak tahan dia melirik sekejap ke arah kawanan perempuan yang duduk disudut lain.
Tapi dengan suara berat Li Lok-yang segera berkata:
"Kalian masih muda, mana tahu berbahayanya dunia persilatan, bila sekali sampai terlibat dalam lingkaran setan ini, selama hidup jangan harap bisa lolos kembali"
Sesudah menghela napas, lanjutnya:
"Apalagi musuhku ini sangat lihay, sulit mencari orang yang mampu menandingi kemampuan mereka, sebentar lagi banjir darah mungkin akan melanda tempat ini, jika kalian tidak segera pergi, bila sampai orang orang itu tiba disini, aku mungkin tidak berkesempatan lagi untuk melindungi keselamatan kalian. Terus terang, orang itu buas dan kejam, belum pernah dia biarkan lawannya hidup, begitu pertarungan berkobar, siapa hidup siapa mati susah diramalkan, jadi aku harap kalian segera pergi dari sini"
Dari sikapnya yang amat serius, ucapannya yang penuh diliputi rasa takut dan ngeri, semua orang tahu kalau persoalan yang bakal terjadi amat berat, berubah paras muka setiap orang, sedang kawanan pemuda dari keluarga Ouyang pun sama-sama bergidik, serentak mereka duduk kembali dan tidak berani banyak bicara.
Kembali Li Lok-yang menjura seraya berkata:
"Saudara sekalian, kereta kuda telah disiapkan dan setiap saat anda semua dapat berangkat meninggalkan tempat ini, karena keadaan mendesak dan cayhe sendiripun tidak bisa berbuat lain, mohon kalian sudi memaafkan"
Semua orang tahu kalau setiap ucapan Li Lok-yang lebih berat dari bukit karang, apa yang dia ucapkan tidak pernah merupakan omong kosong tanpa dasar, oleh sebab itu tak seorangpun yang buka suara untuk bertanya lagi.
Para pedagang sejati, para keluarga kecil, para orang kaya
yang takut urusan tergopoh-gopoh bangkit berdiri meninggalkan tempat dan segera berbenah untuk angkat kaki dari situ.
Ada di antara mereka yang berpamitan dengan Li lok-yang, ada pula yang tidak sempat berpamitan lagi, dalam waktu singkat ruang gedung utama sudah berubah jadi sepi kembali.
Ada juga berapa orang jago silat serta sahabat karib Li Lokyang yang bicara soal setia kawan, mereka enggan pergi dari situ.
Namun setelah dibujuk rayu berulang kali oleh Li Lok-yang, maka mereka pun ikut berlalu dari situ.
Muka gedung utama pun jadi amat hening dan sepi, yang masih tersisa sekarang tinggal Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Im Ceng yang masih tetap duduk sambil pelototi Un Tay-tay serta Thiat liang hong.
"Saudara, kenapa kau masih belum pergi?" tegur Li Kiam pek sambil menghampiri Im Ceng.
"Aku tidak bakal pergi!"
"Kenapa" Bukankah ayahku telah menerangkan dengan sangat jelas?"
Sambil menuding ke arah Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian, Im Ceng berteriak:
"Kalau mereka tidak pergi, kenapa aku harus pergi?"
Biarpun sedang memberi jawaban, namun sorot matanya tidak pernah bergeser dari wajah Un Tay-tay.
Suto Siau saling bertukar pandangan sekejap dengan Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu.
Sambil tersenyum Pek Seng-bu segera berseru:
"Saudara, tidak nyana kau bersedia mati hidup bersama kami, kau memang tidak malu disebut seorang enghiong hohan, cayhe ucapkan terima kasih terlebih dulu!"
"Mati hidup memang bukan sebuah kejadian besar!" teriak Im Ceng.
"Sungguh?"
"Tentu saja sungguh" jawab Im Ceng gusar, "memangnya kau tahu siapakah aku?"
Thiat Tiong-tong mulai merasa tegang, dia kuatir Im Ceng benar-benar dipengaruhi emosi sehingga mengakui identitas yang sebenarnya, jika sampai terjadi hal seperti itu tentu saja sulit bagi Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian untuk berlagak pilon lagi.
Perlu diketahui, situasi pada saat ini amat sensitip, kedua belah pihak sama-sama mempunyai rencana, kedua belah pihak
pun menyangsikan sesuatu, hanya Im Ceng seorang yang belum tahu kalau jejaknya sebetulnya sudah ketahuan orang semenjak awal.
Untung saja Pek Seng-bu segera tersenyum sambil
menggelengkan kepalanya.
"Selama kalian tidak pergi, akupun tidak bakal meninggalkan tempat ini" teriak Im Ceng lagi dengan suara keras, "suatu saat nanti kalian bakal tahu siapakah aku!"
Dengan menggenggam kotak pedangnya, dia berlalu dari situ dengan langkah lebar.
Sekali lagi Pek Seng-bu saling bertukar pandangan dengan Suto Siau.
Kini Pek Seng-bu menjura ke arah Thiat Tiong-tong sambil berkata:
"Situasi saat ini sangat gawat, kenapa losianseng masih belum pergi?"
Thiat Tiong-tong mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak.
"Hahahaha.... lohu telah merebut kekasih pemuda itu, jika berjalan keluar dari sini, mungkin pemuda itu segera akan datang mencari lohu untuk diajak beradu nyawa"
Dalam pada itu Li Lok-yang telah perintahkan anak buahnya untuk melakukan persiapan di empat penjuru, terdengar suara bentakan lirih diikuti suara langkah kaki yang tegang berkumandang tiba.
Perkampungan yang diwaktu biasa nampak tanpa penjagaan, begitu terjadi perubahan segera berubah menjadi sebuah benteng yang kokoh dengan penjagaan yang sangat kuat. Para pelayan yang dihari biasa berlaku santun, dalam waktu singkat telah berubah menjadi penjaga yang kosen.
Diluar pintu gerbang suara kuda dan kereta bergema silih berganti, banyak orang mulai kabur meninggalkan
perkampungan itu.
Sambil bergendong tangan Thiat Tiong-tong berjalan menuju keluar pintu gerbang. Dia seolah"olah sedang memperhatikan situasi diluaran, padahal semua gerak gerik yang terjadi di belakang tubuhnya tidak satu pun yang lolos dari pengelihatannya.
Suto Siau menyangka dia tidak memperhatikan keadaan di belakangnya, dengan satu langkah pelan dia menghampiri Un Tay-tay, kemudian setelah melotot sekejap, tegurnya sambil
menggigit bibir.
"Kau sudah edan?"
Un Tay-tay tertawa terkekeh-kekeh, sengaja dengan suara keras sapanya:
"Suto tayhiap, ada urusan apa?"
Suto Siau terkesiap, benar saja, Thiat Tiong-tong segera berpaling.
Terpaksa sambil tertawa sahutnya:
"Ooh,.... tidak apa apa, tidak apa apa!"
Ketika berjalan balik, hatinya merasa gemas sekali, saking jengkelnya ingin sekali dia menghajar mampus Un Tay-tay dengan sekali pukulan.
Un Tay-tay segera menarik ujung baju Thiat Tiong-tong sambil berseru:
"Lebih baik kita pulang saja, daripada kelewat lama disini aku malah dipermainkan orang lain"
"Betul" Li Kiam-pek segera menimpali, "lebih baik losianseng pulang saja!"
"Sementara waktu lohu akan kembali ke halaman belakang"
kata Thiat Tiong-tong dengan wajah serius, "tapi bukan berarti aku akan pergi meninggalkan tempat ini, kalian tidak bakalan bisa mengusir aku dari sini"
Sementara Li Kiam-pek masih termangu, Thiat Tiong-tong sudah beranjak pergi.
Memandang bayangan punggung mereka hingga lenyap dari pandangan, Phoa Seng-hong menggelengkan kepalanya sambil menghela napas:
"Aaai, orang itu memang aneh sekali, bukannya melarikan diri malah tetap tinggal disini menunggu kematian"
"Masih untung tidak banyak manusia pengecut yang takut mati macam dirimu di dunia ini" sindir Hay Tay-sau sambil tertawa dingin.
"Apa kau bilang?" teriak Phoa Seng-hong sambil menggebrak meja, dia gusar sekali.
"Mau apa kau?" balas Hay Tay-sau tidak kalah kerasnya.
Li Lok-yang segera menarik wajahnya.
"Harap kalian berdua segera duduk kembali" tegurnya dengan suara keras, "saat ini kita sedang berada disatu perahu, jika tidak bekerja sama secara erat, mungkin perahu ini bakal terbalik dan tenggelam!"
"Hahahaha.... saudara Li tidak perlu khawatir" kala Hay Tay-
sau sambil tertawa tergelak, "kami hanya bergurau saja"
"Braaak!" dia kembali ke bangkunya dan tidak menengok lagi ke arah Phoa Seng-hong.
Semang pelayan berbaju hitam tiba-tiba berlari masuk dengan wajah gugup bercampur ketakutan, napasnya tersengkal-sengkal, telinga kanannya berlumuran darah, ternyata daun telinganya telah dikutungi orang.
"Ada apa?" tegur Li Lok-yang dengan wajah berubah.
Sambil memegangi telinganya yang berdarah dan mengatur napasnya yang tersengkal, sahut pelayan itu:
"Hamba mengikuti perintah dengan numpang kereta keluar dari sini, tapi belum sampai diujung jalan telah muncul orang yang menghadang kereta tersebut serta melakukan pemeriksaan"
"Aah, ternyata dugaanku tidak salah" seru Pek Seng bu sambil menghela napas, "rupanya mereka telah melakukan penjagaan yang ketat diseputar wilayah ini, mereka tidak mungkin membiarkan kita menyelinap keluar dan melarikan diri"
"Bagaimana kemudian?" tanya Li Lok-yang lebij jauh.
Sambil menahan rasa sakit sahut pelayan itu: "Tampuknya mereka sangat hapal dengan identitas semua orang yang berada di sini, mereka yang tidak tersangkut dibiarkan jalan lewat, melihat keadaan tersebut hamba tidak berani meneruskan perjalanan, sebenarnya hamba ingin kembali untuk melaporkan kejadian ini kepada loya, siapa tahu satu di antara mereka, yang semula seperti orang yang bisu lagi tuli, mendadak maju ke depan menangkap hamba, tanpa banyak bicara dia segera mengurungi daun telingaku"
"Orang yang bisu lagi tuli?" Phoa Seng-hong menjerit kaget,
"tidak disangka dia pun ikut datang kemari!"
Paras muka Hek Seng-thian ikut berubah hebat, katanya:
"Aku dengar ke sembilan orang murid Kiu cu kui bo (setan wanita berputra sembilan) adalah orang-orang yang cacad, apa mungkin si manusia bisu tuli itu adalah salah satu di antaranya?"
"Di antara deretan murid Kiu cu kui bo, orang ini terhitung paling keji, buas dan telengas" sahut Phoa Seng-hong sambil menghela napas, "bahkan dialah yang pernah membuat siaute sangat menderita, kedatangannya kali ini...."
Mendadak dia bersin beberapa kali dan tidak bicara lagi.
Hek Seng-thian menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Kiu cu Kui bo sudah banyak tahun tidak pernah muncul dalam dunia persilatan, bagaimana mungkin kau bisa berseteru dengannya" Apakah kau tidak merasa bahwa tindakanmu seperti sekali tonjok menghantam diatas sarang lebah?"
"Soal ini.... aaai, tidak akan selesai diceritakan dengan satu dua patah kata"
Hay Tay-sau mendengus dingin, gumamnya sambil
menggeleng: "Susah diceritakan dalam sepatah dua patah kata" Jika urusannya tidak menyangkut masalah wanita, aku manusia she-Hay berani mengutungi batok kepala sendiri"
Semua orang mengira Phoa Seng-hong pasti akan ribut lagi dengan orang itu, siapa sangka dia hanya tertunduk lesu tanpa mengucapkan sepatah katapnun, tanpa terasa semua orang saling bertukar pandangan, mereka tahu apa yang dikatakan Hay Tay sau pasti benar.
Mendadak terjadi kegaduhan diluar pintu gerbang, kawanan manusia yang semula antri memuat barang untuk kabur dari situ, kini berbondong bondong menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.
"Apa yang terjadi?" seru Li Lok-yang sambil melompat keluar.
Tampak seorang lelaki botak dengan seluruh tubuh dipenuhi kudis, dengan mengenakan baju kasar terbuat dari goni yang aneh sekali bentuknya sambil menuntun seekor keledai kecil perlahan-lahan berjalan mendekat.
Gerak gerik orang itu sangat bodoh macam orang
kebingungan, persis seperti orang idiot, bahkan keledai yang dituntun pun berjalan dengan lesu tanpa semangat.
Di punggung keledai yang lemas itu justru mengangkut sebuah karung goni yang besar lagi berat, membuat keledai kecil yang kurus lemah macam sudah berapa bulan tidak pernah mendapat ransum ini nyaris tidak dapat bernapas.
Walaupun manusia dengan keledainya nampak sangat buruk dan tidak sedap dipandang, namun dalam situasi dan saat seperti ini justru mendatangkan perasaan seram yang aneh dan penuh diliputi misteri.
Sambil menghadang di depan pintu gerbang hardik Li Lok yang:
"Sobat, siapa kau" Mau apa datang kemari?"
Manusia idiot itu tertawa lebar, sahutnya:
"Hartawan Li, kau berwajah toapan banyak hokki, umurmu
pasti panjang sekali, hamba hanya datang kemari untuk minta sedekahmu"
Sesaat Li Lok-yang berkerut keningnya, kemudian sambil mendongakkan kepala tertawa keras sahutnya:
"Sobat, kau sudah jauh-jauh datang kemari, tentu saja aku tidak boleh membuat kau kecewa, ambillah!"
Ditengah bentakan dia mengayunkan tangannya melemparkan sekeping perak ke arah orang itu, sambitan itu sangat kuat dan cepat, desingan angin tajam menusuk pendengaran.
"Hahahaha.... terima kasih loya" seru si idiot sambil tertawa terkekeh.
Sewaktu kepingan perak itu tiba dihadapannya, tiba-tiba dia membalik telapak tangannya, mendadak tenaga sambitan yang menyertai kepingan perak itu lenyap tidak berbekas, dengan tenang dan lembut tahu-tahu benda tersebut sudah mendarat diatas tangannya.
Berubah hebat paras muka Li Lok-yang. "Hebat sekali kungfu mu sobat, cayhe masih ingin menjajal lagi"
"Waah... waaah.... tauke sudah memberi persen, sekarang mau diminta kembali?" seru si idiot sambil tertawa, "baik, baiklah... biar aku kembalikan dengan benda lain"
Mendadak dia hajar pantat keledai itu, diiringi ringkikan kesakitan, keledai itu dengan kepala tertunduk langsung menerjang ke tubuh Li Lok-yang, saking kesakitannya terjangan binatang itu sangat cepat dan hebat.
Sambil mengebaskan ujung bajunya Li Lok-yang mengegos ke samping, menanti dia berpaling lagi, ternyata si manusia idiot itu sudah lenyap entah lari ke mana.
Keledai itu langsung menerjang masuk ke ruang tengah, dua orang pelayan buru-buru lari mendekat sambil mencoba menghentikan larinya binatang itu, meski kedua orang itu bertubuh kekar, ternyata mereka tidak mampu menahan tubrukan keledai itu, kontan tubuh mereka roboh terguling ke tanah.
Li Kiam-pek segera menghampiri keledai itu sambil bentaknya:
"Jangan kalian sakiti binatang itu, cepat buka bungkusan dipunggungnya, periksa apa isinya?"
Sementara itu semua orang sudah maju mengerubung, ternyata isi karung goni yang terikat kencang diatas pelana keledai itu adalah tiga sosok mayat dalam keadaan bugil.
Kulit tubuh ketiga sosok mayat itu telah berubah warna,
mimik mukanya nampak mmnyeringai seram, kulit dan ototnya mengejang keras, tampaknya sebelum kematian mereka telah mengalami siksaan dan penderitaan yang luar biasa, tapi anehnya tidak dijumpai sebuah luka pun ditubuh mereka.
Ketika terendus bau busuk yang memualkan menyeruak keluar dari karung goni itu, buru-buru semua orang mundur berapa langkah.
"Mayat siapakah itu?" tanya Li Lok-yang kemudian.
Semua orang hanya saling berpandangan kemudian
menggeleng. Lama sekali Li Lok-yang termenung, akhirnya dengan suara keras serunya:
"Bagaimanapun juga, kita harus kirim ke tiga buah mayat itu ke halaman belakang, sediakan tiga buah peti mati dan kubur mereka dengan layak"
Ayah beranak ini selama hidup tidak pernah menyiksa hewan, merekapun tidak pernah memandang enteng orang yang sudah mati, boleh dibilang jiwa ksatria dan kebajikannya sangat mengagumkan.
Ketika semua orang balik kembali ke ruang tengah, Phoa Seng-hong yang selama ini hanya duduk terpekur tiba-tiba wajahnya berubah hebat, sambil mengangkat kepalanya dia menjerit kaget:
"Celaka!"
"Apa yang terjadi?" tanya Hek Seng-thian dan Suto Siau hampir bersamaan waktunya.
Dengan sorot mata penuh ketakutan Phoa Seng-hong menuding keluar jendela, serunya dengan nada gemetar:
"Cepat! Cepat bakar ke tiga sosok mayat itu hingga menjadi abu, harus dibakar sampai habis"
"Kenapa?" tanya Li Lok-yang keheranan.
"Kita semua sudah tertipu" teriak Phoa Seng-hong sambil menghentakkan kakinya berulang kali, "lelaki idiot itu tidak lain adalah Un sat kui cu (setan penyebar penyakit menular) dari Kiu cu Kui bo!"
"Apa" Setan penyebar penyakit menular?" seluruh tubuh Li Lok-yang bergoncang keras, "Konon kedatangan orang itu selalu membawa penyakit menukar yang akan berakibat menjalarnya penyakit endemi diseluruh wilayah kota...."
Phoa Seng-hong menghela napas panjang.
"Sepuluh tahun berselang, perkumpulan cap pwee Lohan pang
di kota Bu han yang begitu kosen dan besar pengaruhnya runtuh karena seluruh anggotanya mati tertular penyakit aneh, bisa dibayangkan betapa lihay dan menakutkan orang itu"
"Menjalarnya penyakit epidemi biasanya disebabkan oleh bencana alam" sela Li Kiam-pek tidak tahan, "kekuatan apa yang dimiliki setan penyebar penyakit menular itu untuk menularkan penyakit jahat disebuah wilayah?"
Selama ini Bi lek hwee hanya membungkam mulut, lama-kelamaan dia tidak sabar juga, segera teriaknya pula:
"Apa pula yang terjadi dengan ke tiga sosok mayat itu" Kenapa kau minta membakarnya sampai ludas?"
"Setan penyebar penyakit menular pandai menggunakan pelbagai macam obat beracun, sewaktu menyebarkan penyakit menular, selain menggunakan air untuk media penularan, terkadang dia pun menyebar racun lewat makanan dan mayat manusia"
"Lohu makin mendengar semakin keheranan"
"Ke tiga sosok mayat itu jelas merupakan orang-orang yang tewas karena terjangkit penyakit sangat menular, bila seseorang bersentuhan dengan tubuh jenasah itu maka dia akan segera tertular pula jenis penyakit yang sama, seorang menulari sepuluh orang, sepuluh orang menulari seratus manusia, tidak sampai berapa hari kemudian semua manusia yang berada diwilayah ini dapat terjangkit punyakit menular itu!"
Belum selesai dia berbicara, paras muka semua jago telah berubah hebat.
Li yok yang yang segera maju selangkah menghadang di depan pintu gerbang, serunya lantang:
"Cepat bakar jenasah jenasah itu sampai menjadi abu, kemudian pendam abu mereka didalam tanah, gali yang agak dalam!"
"Bukan cuma ke tiga sosok mayat itu yang harus dibakar sampai habis, selain itu semua orang yang barusan pernah bersentuhan dengan mayat itupun harus segera diusir dari sini"
sambung Phoa Seng hong.
"Mengusir dari sini?" mendadak Li Lok-yang membalikkan tubuh sambil menghardik, "apakah kau minta aku mengusir anak buahku agar mereka mati dibantai orang diluar sana?"
"Kalau tidak mengusir mereka dari sini, maka kita semua hanya akan menunggu mati karena tertular penyakit jahat itu, Kiu cu Kui bo pun tidak perlu susah susah turun tangan sendiri!"
Li Lok-yang tertegun, sampai lama sekali dia tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun sementara peluh sebesar kacang kedele jatuh bercucuran.
Sorot mata semua orang sudah tertuju ke arahnya, tahu akan gawat dan seriusnya masalah, semua orang menantikan jawabannya.
Perlu diketahui, waktu itu ilmu pengobatan belum semaju jaman sekarang, sebagian besar jago persilatan sama sekali tidak mengetahui teori penyebaran sebuah wabah penyakit, oleh karena itu semua orang menganggap kejadian ini sebagai suatu peristiwa yang mengerikan dan penuh diliputi misteri.
Bila pada jaman itu ada orang terserang penyakit kolera atau penyakit pes, dapat dipastikan nyawa mereka pasti akan melayang tanpa ada kesempatan tertolong lagi.
Dengan menggunakan mayat dari orang yang mati karena terserang wabah penyakit menular itulah si setan penyebar penyakit menyebarkan bakteri jahat ke tubuh orang lain, pengetahuannya yang lebih maju daripada orang lain menghantarkan dirinya menjadi salah satu tokoh kenamaan dalam dunia persilatan.
Lama sekali Li Lok-yang termenung, tiba-tiba dengan kening berkerut serunya:
"Apa pun yang bakal terjadi, aku tidak bisa mengusir anak buahku untuk menghantar kematian diluar sana"
Air muka semua orang berubah makin hebat.
Sambll tertawa dingin, Suto Siau segera berseru.
"Kalau begitu saudara Li memang berharap kita semua ikut mati lantaran tertular penyakit jahat itu?"
"Mati hidup ada ditangan takdir, sekalipun harus mati, kita tidak boleh meninggalkan nama busuk sebagai orang yang tidak bijak dan tidak setia kawan, jelek-jelek kita harus mati sebagai seorang lelaki ksatria"
"Dan pada mati dengan nama harum, mending hidup dengan nama busuk" sela Suto Siau ketus, "bila saudara Li pingin mati, silahkan saja mati sendirian, cayhe sekalian mah tidak ingin menyumbangkan nyawa dengan percuma, saudara Hek, saudara Pek, saudara Phoa, betulkan perkataan siaute?"
"Tepat sekali" jawab Hek Seng-thian, Pek Seng-bu dan Phoa Seng-hong dengan wajah hijau membesi.
"Kalau begitu kau mau apa?" teriak Li Lok-yang keras.
Suto Siau tertawa seram.
"Jika kau tidak segera menurunkan perintah, terpaksa cayhe sekalian akan merampas kekuasaanmu!"
Sambil berbicara dia memberi kode, lalu bersama Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu mengepung Li Lok-yang di tengah arena.
"Merampas kekuasaanku?" Li Lok-yang berteriak keras,
"memang nya kalian ingin membunuh ku?"
"Jika keadaan memaksa, terpaksa cayhe sekalian harus berbuat begitu"
Mereka berempat mulai menggeser kakinya perlahan-lahan mendekati Li Lok-yang.
"Criiiing!" terdengar dentingan nyaring bergema memecahkan keheningan, Li Kiam-pek telah meloloskan pedangnya.
Tiba tiba Hay Tay-sau menggebrak meja keras keras, teriaknya:
"Barang siapa berani mengusik Li Lok-yang ayah beranak, aku akan menghajarnya hingga terbelah dua"
Phoa Seng-hong membalikkan tubuhnya, tiba-tiba dia melancarkan sebuah serangan menghantam dada Hay Tay-sau.
"Bocah keparat" umpat Hay Tay-sau sambil tertawa seram,
"sudah cukup lama aku ingin menjagal dirimu"
Ditengah gelak tertawa dia melancarkan lima buah pukulan, tenaga serangannya keras lagi kuat bahkan disertai tenaga yang bisa menjebol batu karang.
Phoa Seng-hong dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya berkelit ke samping, dalam waktu singkat diapun telah melancarkan lima jurus serangan balasan.
Meskipun Phoa Seng-hong mempunyai julukan yang tidak sedap didengar, ternyata ilmu silat maupun gerakan tubuhnya sangat tangguh, langkah kakinya aneh tapi hebat, jauh diluar dugaan siapa pun.
Dipihak lain Li Kiam-pek telah terlibat pertarungan melawan Pek Seng-bu, terdengar angin pedang mendesir, cahaya senjata menggulung, bagaikan diamuk angin puyuh dan hujan lebat, seluruh angkasa diselimuti oleh cahaya tajam yang menggidikkan hati.
Sesudah bertarung berapa gebrakan, Pek Seng-bu merasa makin terkesiap, sekalipun dia tidak pernah memandang rendah kemampuan silat dari putra keluarga Li ini, namun mimpi pun dia tidak menyangka kalau kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki pemuda itu sudah mencapai tingkatan yang begitu mengerikan.


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Lok-yang masih berdiri dengan sepasang lengan lurus ke bawah, mimik mukanya tetap tenang tanpa terdorong gejolak emosi, namun hawa murninya telah dihimpun menyelimuti seluruh tubuhnya.
Beberapa kali Hek Seng-thian dan Suto Siau ingin melancarkan gempuran, namun setelah menyaksikan ketenangan sikap yang di perlihatkan Li Lok-yang, untuk sesaat mereka jadi ragu dan tidak berani sembarangan turun tangan.
Pada saat itulah kembali terdengar suara langkah kaki berkumandang datang dari kejauhan, sebelas orang lelaki berbaju hitam dengan wajah berat dan serius, seakan akan sedang memikul beban ribuan kati melangkah naik ke atas undak undakan rumah.
"Mau apa kalian datang kemari?" dengan kening berkerut Li Lok-yang segera menegur.
Lelaki yang berada dipaling depan menjawab dengan kepala tertunduk:
"Hamba sekalian telah membakar ketiga jenasah itu dan menguburnya, tapi karena kurang berhati hati, hamba semua telah bersentuhan dengan ketiga sosok mayat itu"
Lelaki ke dua segera menimpali:
"Kami minta kalian segera menghentikan pertarungan, dengarkan dulu sepatah dua patah kata hamba"
Baru selesai dia bicara, pertarungan seketika terhenti.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tegur Li Lok-yang dengan nada berat, "ayo cepat mundur dari sini!"
Lelaki yang berada dipaling depan menundukkan kepalanya makin rendah, katanya:
"Loya, kau tidak usah bertarung lagi melawan mereka hanya gara-gara keselamatan hamba sekalian, sudah banyak tahun hamba semua bekerja untuk loya, hamba semua tidak ingin menyusahkan dirimu lagi"
"Apa yang hendak kalian lakukan?" bentak Li Lok-yang dengan wajah berubah hebat.
"Kini hamba semua telah menjadi sumber pembawa bencana, kami semua tidak berani hidup terus di dunia ini, apalagi sebagai pembawa bencana yang akan mencelakai orang banyak" bisik lelaki itu sedih.
Li Lok-yang semakin terharu, emosinya makin gejolak, teriaknya lantang:
"Kalian segera mundur dari sini, apapun akibatnya, aku akan
pertaruhkan nyawaku untuk melindungi kalian semua"
"Budi yang loya dan kongcu berikan kepada hamba semua berat bagai bukit karang, hamba semua...."
Tiba-tiba perkataan lelaki itu berubah jadi sesenggukan, butiran air mata jatuh berlinang.
Lelaki yang ke tiga segera berkata pula:
"Sekarang posisi hamba sekalian sudah terjepit, kami tidak bisa mengikuti loya dan kongcu lagi, kami tidak bisa berbakti lagi...."
"Betul, betul sekali" timbrung Phoa Seng-hong cepat, "jika kalian masih setia kepada Li toako, tidak seharusnya mendatangkan kesulitan baginya, lebih baik cepatlah pergi meninggalkan tempat ini!"
"Tidak perlu kau banyak ngebacot!" bentak Li kiam pek gusar.
Tiba-tiba lelaki ke empat mengangkat lengannya tinggi-tinggi, kemudian serunya:
"Loya dan kongcu berada diatas, terimalah penghormatan terakhir dari hamba mu!"
Ditengah seruan nyaring, ke sebelas orang lelaki itu serentak menjatuhkan diri berlutut.
"Mau apa kalian?" teriak Li Lok-yang pedih, "tanpa perintahku, siapapun di antara kalian tidak boleh mati, mengerti?"
"Maafkan kami loya, kali ini terhamba hamba semua akan melawan perintahmu" ujar lelaki pertama sambil terisak,
"sekalipun hamba akan mati dan jadi setan, kami tetap akan berusaha melindungi loya"
"Kalian segera bangkit berdiri" hardik Li Lok-yang sambil menghentakkan kakinya.
Tiba-tiba terlihat raut wajah lelaki itu mengeong keras, percikan darah segar menyembur keluar dari dada dan lambungnya, sambil mundur dengan gontai dia tertawa seram:
"Saudara semua, aku berangkat duluan!"
Ke sepuluh orang lelaki sisanya ikut tertawa sedih sambil berseru:
"Loya, hamba berangkat duluan"
Masing masing orang segera menghantam ke dada sendiri dengan telapak" tangan, semburan darah segar pun menggenangi permukaan lantai.
Rupanya sejak awal mereka telah sembunyikan pisau belati tajam dibalik ujung bajunya, ketika pisau itu menghujam ke dada
hingga tinggal gagangnya, biar Li Lok-yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali orang sekarat pun tidak mungkin bisa selamat kan nyawa mereka lagi.
Li Kiam-pek tidak kuasa menahan rasa sedihnya, dia peluk mayat anak buahnya sambil menangis tersedu sedu.
Li Lok-yang sendiripun berdiri kaku bagai mayat hidup, hanya butiran air mata yang meleleh keluar membasahi pipinya.
Suto Siau, Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu hanya berdiri mematung, sikap ksatria yang diperlihatkan kawanan lelaki itu membuat mereka terperana, sampai lama sekali, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Kini suasana amat hening, kecuali angin yang berhembus lewat tak kedengaran suara yang lain.
Di tengah halaman luar terlihat gerombolan manusia masih saling berdesakan disitu, ada yang merupakan pedagang permata yang belum sempat pergi, ada pula anak buah keluarga Li.
Tapi sebagian besar orang orang itu berdiri dengan mata berkaca, bahkan ada pula yang wajahnya telah basah oleh air mata.
Thiat Tiong-tong berdiri jauh disudut ruangan, kendatipun air mata tidak sampai meleleh keluar namun pancaran sinar matanya penuh mengandung penderitaan yang dalam.
Sebuah pertikaian yang sebenarnya amat sederhana telah dia ciptakan menjadi satu masalah yang pelik, masalah yang membuat banyak nyawa tidak berdosa harus melayang dengan percuma.
Sekalipun dia berbuat begitu demi kesetiaannya terhadap perguruan, namun berbicara soal liangsim, dia merasa amat menyesal dan bersedih hati.
Sekarang dia baru sadar, bunuh membunuh yang terjadi dalam dunia persilatan ternyata merupakan satu peristiwa yang kejam dan penuh penderitaan.
Sampai semua orang sudah pada bubaran, dia masih berdiri kaku disitu, mengawasi sesosok demi sesosok mayat yang berlumuran darah digotong pergi melalui hadapannya.
Sekonyong-konyong terdengar suara genta yang dibunyikan bertalu-talu berkumandang dari kejauhan, suara itu tinggi meleng-king dan tajam sekali.
Menyusul kemudian terdengar suara seorang bocah
bersenandung dari tempat kejauhan dengan suara yang nyaring:
"Bila lonceng kematian berdentang, ayam anjing tersapu
punah, Li Lok-yang wahai Li Lok-yang.... apakah hatimu bimbang?"
"Aku akan beradu nyawa dengan kalian!" bentak Li Kiam-pek nyaring.
Sambil memutar pedangnya dia siap menerjang keluar, tapi belum sampai kakinya melangkah keluar dari pintu, dia sudah ditarik kembali oleh seseorang.
Memandang dari tempat kejauhan, kembali Thiat Tiong-tong melihat Phoa Seng-hong berjalan keluar ke undak-undakan diluar pintu gerbang, lalu sambil bergendong tangan dia memandang ke arahnya sambil tersenyum dan memberi hormat.
Sekali lagi pemuda ini merasakan hatinya amat pedih, cepat dia membalikkan tubuh dan berjalan kembali ke halaman belakang.
Waktu itu Im Ceng sedang berdiri dibawah pohon waru tepat di depan halaman rumahnya, dia sedang mengawasi tirai yang berada ditengah halaman, Thiat Tiong-tong dapat menangkap sorot matanya yang pedih bercampur gusar, mendadak setelah meninju batang pohon keras keras, pemuda itu membalikkan tubuh dan kabur dari situ.
Thiat Tiong-tong termenung lama sekali, dia baru tersadar ketika mendengar suara senandung bergema dari balik tirai:
"Sunyi sepi loteng barat seorang diri,
rembulan bersinar bagai sabit,
Pohon tinggi halaman nan sepi,
Kugunting tidak putus, kuatur tetap kalut,
Inikah kesenduan dari sebuah perpisahan"
Inilah perasaan yang menyiksa di hati?"
Itulah bait syair yang dipelajari Sui Leng-kong sejak berapa hari berselang, bait lagu yang sedang disenandungkan dengan nada yang begitu pedih dan menggetarkan hati, mendatangkan suatu perasaan berpisah yang amat sedih dan pedih.
Thiat Tiong-tong merasa hatinya tercekat, seakan-akan timbul sebuah firasat jelek dari dalam hatinya.
Dengan langkah lebar dia menerjang masuk ke dalam tenda, segera terlihat olehnya Un Tay-tay sedang bersandar di bangku utama sementara Sui Leng-kong dan Cian-jin berdiri jauh di sudut ruangan.
Dibawah kaki mereka berdua terlihat dua buah buntalan kecil, pakaian yang mereka kenakan pun amat sederhana, malah tusuk konde mutiara yang semula dikenakan disanggul Sui Leng-
kong, kini sudah tidak nampak.
"Mau apa kalian?" tegur Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah.
"Nona mau pergi, maka akupun akan menemani nona pergi dari sini" jawab Cian-jin dengan kepala tertunduk.
Thiat Tiong-tong menyerbu masuk ke dalam, serunya lagi dengan nada gemetar:
"Kau benar-benar akan pergi?"
Sui Leng-kong manggut-manggut.
"Inilah surat yang ditinggalkan nona" sambung Cian-jin sambil menyodorkan secarik kertas.
Thiat Tiong-tong segera merampas kertas itu dnn membaca isinya:
"Aku sudah tidak kesepian lagi, aku ingin pergi, aku tidak mau menjadi adikmu tapi aku hanya bisa menjadi adikmu, bukankah lebih baik pergi dari sini?"
"Kenapa kau tidak mau menjadi adikku" Kenapa kau harus pergi?" teriak Thiat Tiong-tong dengan suara keras.
Perlahan-lahan Sui Leng-kong mendongakkan kepalanya, butir air mata meleleh dari kelopak matanya.
Meski dia tidak bicara namun dari tetesan air matanya Thiat Tiong-tong dapat membaca suara hatinya, dapat melihat rasa cinta yang mendalam dari gadis tersebut.
Perasaan hatinya mendadak bergetar keras, dia mundur berapa langkah dan terduduk diatas bangku.
Benar, dia tidak ingin menjadi adiknya karena yang dia butuhkan adalah semacam rasa cinta yang jauh lebih mendalam.
Tapi, dia tidak sanggup memberikan apa yang diharapkan semen-tara nona itupun tidak bisa menerima apa yang bisa dia berikan.
Maka gadis itupun memutuskan untuk pergi, pergi
meninggalkan tempat itu.
Perlahan-lahan dia menggerakkan langkahnya, ketika lewat disamping Un Tay-tay, bisiknya lirih.
"Kau.... kau harus baik baik menjaga.... menjaganya!"
Perkataan itu diucapkan dengan lelehan air mata, ungkapan perasaan yang amat memedihkan.
"Adikku, kau tidak usah kuatir" jawab Un Tay-tay sambil tertawa ringan, "enso pasti akan menjaganya baik-baik"
Dengan kepala tertunduk Sui Leng-kong berjalan keluar dari tenda.
Terdengar dia berkata lagi dengan nada sesenggukan:
"Semua.... semuanya ini memang... memang milik....
milikmu.... kau.... kau...."
Ketika perkataan terakhir diucapkan, suara itu sudah berada ditempat yang amat jauh.
Bagaikan seorang panglima perang yang baru kalah dimedan laga, seluruh badan Thiat Tiong-tong terasa lemas tidak bertenaga, perasaan kosong dan hampa yang dia rasakan sulit diungkap dengan kata-kata dan tidak mungkin bisa dirasakan siapa pun.
Lama, lama kemudian tiba-tiba Un Tay-tay menegur sambil tertawa:
"Orangnya sudah pergi jauh, Thiat Tiong-tong, apa lagi yang kau sedihkan?"
Kata "Thiat Tiong-tong' bagaikan guntur yang membelah bumi disiang hari bolong.
Thiat Tiong-tong merasakan telinganya mendengung keras, dengan kaget dia melompat bangun, sambil melompat ke depan perempuan itu hardiknya:
"Darimana kau bisa mengetahui namaku?"
"Thiat Tiong-tong!" dengan tenang Un Tay-tay mengupas jeruk sambil menikmatinya dengan santai, "keberhasilanmu melawan si jago pedang berhati ungu dan kehebatanmu kabur dari kepungan berlapis telah membuat namamu tersohor dalam dunia persilatan, masa kau belum tahu?"
Dengan satu gerakan cepat Thiat Tiong-tong menggerakkan telapak tangannya mencengkeram sepasang bahu wanita itu, kembali hardiknya:
"Mau bicara tidak?"
Ketika cengkeramannya diperketat, sepasang bahu Un Tay-tay seolah hendak remuk saja, jeruk yang berada dalam genggamannya ikut terjatuh ke lantai.
Tapi dia masih tertawa santai, katanya lembut: "Lepaskan dulu tanganmu, aku akan bicara"
"Kau berani menantangku?" Thiat Tiong-tong semakin gusar,
"aku bukan orang yang sudi ditantang apalagi diancam, jika kau tidak segera menjawab, akan kujagal dirimu hidup-hidup"
Un Tay-tay tertegun, dia merasakan sepasang bahunya sakit bagaikan diiris-iris, dia memang malah terbiasa mengancam orang bila menghadapi setiap persoalan, tidak disangka hari ini dia justru bertemu dengan lelaki kaku yang tidak sudi diancam.
Senyuman diwajahnya hilang lenyap seketika, jawabnya dengan suara gemetar:
"Adikmu yang mengatakan"
"Apa yang dia katakan?" teriak Thiat Tiong-tong gusar.
"Ketika kau sedang pergi tadi, dia selalu bergumam memanggil namamu, begitu mendengar suara gumamannya, aku segera menebak kalau kau adalah penyaruan dari Thiat Tiong-tong"
Diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, perlahan dia mengendorkan cengkeramannya.
Sambil tertawa genit kembali Un Tay-tay melanjutkan:
"Lagipula.... seharusnya sejak awal aku sudah bisa menduga kalau kau tidak mungkin seorang kakek peyot, seluruh kulit, daging dan ototmu masih kencang dan keras, sama sekali belum mengendor...."
Perempuan ini benar benar seorang perayu lelaki yang ulung dan berpengalaman, dalam keadaan seperti ini dia mampu menyandarkan tubuhnya dalam pelukan Thiat Tiong-tong sambil berbisik:
"Sebenarnya macam apa sih kenyataanmu, coba biar kuperiksa...."
Belum selesai dia berkata, Thiat Tiong-tong telah mengayunkan kembali tangannya menghadiahkan sebuah tamparan.
"Mau apa kau?" jerit Un Tay-tay kaget.
Kembali Thiat Tiong-tong mengayunkan tangannya sekali lagi, bentaknya:
"Thiat Tiong-tong hanya ada ketika tidak ada orang, mengerti?"
Mendadak Un Tay-tay tertawa cekikikan.
"Orang ganteng, kau memang bodoh. Mulai sekarang aku akan mengikuti dirimu terus, masa aku tega mencelakaimu?"
katanya. Thiat Tiong-tong mendengus dingin.
Tiba tiba dari luar tenda terdengar seseorang berseru:
"Lo sianseng, apakah kau ada di dalam" Cayhe Li Kiam-pek ingin minta petunjukmu"
Thiat Tiong-tong segera mendorong tubuh Un Tay-tay sambil berseru:
"Silahkan masuk"
Li Kiam-pek menyingkap tirai sambil melangkah masuk ke dalam, ujarnya lagi sambil menjura:
"Semua tamu telah pergi meninggalkan tempat ini, cayhe mendapat perintah dari ayah untuk menghantar lo sianseng berangkat meninggalkan tempat ini"
"Ooh, jadi kau sedang mengusir tamu?" tegur Thiat Tiong-tong ketus.
"Bukan, bukan sedang mengusir tamu, melainkan hanya niat baik dari ayahku saja" kata Li Kiam-pek sambil menghela napas panjang, "Sebentar lagi pertempuran bakal berkobar, bila lo -
sianseng tidak...."
"Hmmm! Maksud baik apa" tukas Thiat Tiong-lung gusar,
"Pentang matamu lebar-lebar, memangnya kau anggap lohu adalah manusia yang bisa datang ketika diundang dan pergi waktu diusir?"
"Lo sianseng, ucapanmu kelewat serius!" dengan kening berkerut Li Kiam-pek tertawa dingin.
Un Tay-tay segera menarik ujung baju Thiat Tiang-tong sambil berbisik:
"Kenapa sih kau tidak mau pergi" tempat ini...
"Kau tidak usah ikut campur" tukas Thiat Tiong-tong sambil menyingkirkan tangannya, "lohu justru sengaja mau tetap tinggal disini, mau apa kalian?"
"Yaa sudah, mau pergi atau tidak, urusanmu sendiri"
Tiba-tiba dari kejauhan berkumandang lagi bunyi genta yang dibunyikan bertalu-talu.
Menyusul suara genta tadi, teriakan si bocah lelaki itu bergema kembali:
"Lonceng ke dua telah berbunyi, jalan tertutup ransum terputus, setengah langkah keluar dari pintu, ditanggung nyawa akan melayang!"
Berubah hebat paras muka Li Kiam-pek setelah mendengar ucapan tersebut, katanya:
"Sekarang mau pergi pun jangan harap kau bisa pergi lagi"
"Bagaimana baiknya sekarang?" seru Un Tay-tay dengan wajah pucat, "kami adalah tamu kalian, sudah sepantasnya bila keluarga Li berusaha melindungi keselamatan kami"
Li Kiam-pek menghela napas panjang sambil berlalu dari situ.
Tampak ke dua orang bocah lelaki itu berlari masuk dari luaran sambil berteriak gugup:
"Mereka telah pergi semua!"
"Siapa yang telah pergi?" tanya Un Tay-tay.
"Kusir kereta dan koki sudah pada kabur, enci Cian-jin juga
telah pergi, loya, kenapa kau belum pergi?"
Bocah lelaki yang lain segera menambahkan dengan nada kuatir:
"Coba kau lihat halaman rumah yang lain, kini hampir semuanya kosong tidak berpenghuni, hawa kematian serasa menyelimuti setiap tempat, sungguh membuat hati ngeri dan takut"
Sambil menghentakkan kakinya dengan jengkel Un Tay-tay ikut berkata:
"Padahal kau adalah orang pintar, kenapa mesti melakukan tindakan yang amat bodoh" Asal kabur dari sini, bukankah tidak ada urusan lagi, bahkan sambil bergendong tangan bisa menyaksikan musuhmu satu per satu mampus dalam
perkampungan ini, sampai waktunya bukan cuma dendammu bisa terbalas, orang yang kau inginkan pun dapat diperoleh, bukankah hal tersebut sangat menyenangkan?"
Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya:
"Siapa sangka kau justru bersikeras ingin tetap tinggal disini, memangnya kau senang menemani musuh-musuh besarmu itu untuk mati bersama?"
"Hmm! Jika disini hanya tersisa musuh-musuh besarku, sejak awal aku sudah pergi meninggalkan tempat ini, jangan lagi tetap tinggal disini, biar kau tarik lenganku pun jangan harap aku mau berada disini" kata Thiat Tiong-tong dingin.
"Memangnya kau tinggal disini demi Li Lok-yang, Hay Tay-sau sekalian?" seru Un Tay-tay keheranan, "waah, ini aneh sekali namanya, masa kau mempunyai hubungan yang akrab dengan mereka?"
"Sekalipun tidak mempunyai hubungan yang akrab, tapi mereka adalah jago-jago berhati lurus dan bersih, terhadap kawanan manusia jahat berhati busuk, aku bisa saja menggunakan cara yang paling keji untuk menghadapi mereka, tapi terhadap para ksatria berhati lurus, aku hanya mempunyai sebuah cara saja"
"Apa caramu?"
"Menghadapi mereka dengan kejujuran dan kesetiaan!"
Un Tay-tay tertegun berapa saat lamanya, lama kemudian dia baru menghela napas sambil bergumam:
"Goblok, benar-benar goblok!"
Meskipun mulutnya bergumam terus, namun tidak sepatah kata pun berani diucapkan.
Ke dua orang bocah lelaki itu hanya tertegun sambil mengawasi perempuan itu dengan mata terbelalak besar.
Setelah tercekam dalam suasana yang amat hening berapa saat lamanya, tiba-tiba terdengar lagi tiga kali jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang di udara, disusul kemudian suara hentakan m
Jodoh Si Mata Keranjang 5 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Jodoh Rajawali 8
^