Pendekar Panji Sakti 9

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 9


ndadak sepasang tangannya diayunkan ke depan menghajar enam buah jalan darah penting ditubuh tiga orang gadis lebah.
Bersamaan waktu Sui Leng-kong telah menyelinap ke depan Thiat Tiong-tong, dalam berapa gebrakan ia berhasil pukul mundur Li Ji-ci yang berada di depan pemuda itu, kemudian tanyanya:
"Jalan darah.... jalan darah apa yang terluka ditubuhmu?"
"Jalan darah siang-bun...." sahut Thiat Tiong-tong.
Sementara mulutnya berbicara, tangannya sama sekali tidak berhenti bergerak, meski jurus serangannya tidak ganas namun gerakan tubuhnya lincah dan cepat.
Lagi-lagi dia memukul mundur Li Ji-ci hingga sejauh berapa langkah, kemudian tangan kanannya secepat kilat meluncur ke tubuh Thiat Tiong-tong dan berusaha membebaskan jalan darahnya.
Siapa tahu paras muka Thiat Tiong-tong tiba-tiba berubah hebat, ternyata ada dua desingan angin tajam membokong tiba dari belakang tubuh Sui Leng-kong.
"Leng-kong, cepat menyingkir!" teriak Thiat Tiong-tong tercekat.
Siapa tahu bagi Sui Leng-kong dia lebih rela tubuhnya terluka daripada mengurungkan niatnya untuk menotok bebas Thiat Tiong-tong, bukan saja dia tidak berkelit, bahkan dengan gerakan yang tidak berubah dia lanjutkan perbuatannya.
Jangan dilihat tubuhnya lemah gemulai, ternyata tabiatnya keras kepala dan sedikit kaku.
Dalam terperanjatnya tiba-tiba sepasang kaki Thiat Tiong-tong didorong lurus ke bawah, biarpun tenaga dalamnya telah punah namun pengalamannya dalam menghadapi musuh amat matang, arah yang ditujupun sama sekali tidak melenceng.
Karena gerakannya itu mau tidak mau tangan Sui Leng-kong pun ikut berputar ke bawah sementara badannya turut membungkuk ke depan.
Dua titik cahaya perak itu melesat lewat persis dari atas kepala gadis itu, tapi akibatnya tubuh Thiat Tiong-tong lagi-lagi diseret Li Ji-ci hingga terpisah agak jauh.
Dalam waktu singkat ke dua titik cahaya perak itu telah membelenggu seluruh gerakan tubuh Sui Leng-kong, gadis itu mencoba menerjang ke kiri maupun ke kanan, berusaha menghampiri Thiat Tiong-tong, namun begitu kesempatan baik lewat dengan begitu saja, diapun tidak ada peluang lagi untuk mendekati anak muda itu.
Dipihak lain Gi Cing-kiok telah terkepung juga ditengah kerubutan tujuh delapan macam senjata dari kawanan gadis lebah.
Ujung perahu itu tidak terlalu lebar, tampaknya kawanan gadis lebah itu kuatir senjata mereka saling membentur di antara senjata rekannya hingga tidak berani menggunakan senjata jarak panjangnya, maka serangan yang dilancarkan pun hanya sebatas serangan jarak pendek.
Waktu itu sepasang pedang, sepasang senjata cakar, sepasang poan-koan-pit dan sepasang senjata kaitan mengepung Gi Cing-kiok rapat rapat, ditengah berkelebatnya cahaya keperak-perakan, terselip suara dentingan nyaring bagai irama dari surga.
Dalam pada itu Gi Peng-bwee telah menghampiri Hoa Toa-koh, sambil menatap lawannya dia berkata dingin:
"Biarkan adik-adik kecil itu bertarung diujung perahu, lebih baik kita berdua bertarung didalam ruangan saja!"
Hoa Toa-koh berpaling menatap lawannya sekejap, kemudian sahutnya sambil tertawa ringan:
"Kenapa mesti didalam" Disini pun juga tidak apa-apa!"
"Ketika kita sedang bertarung, apakah ada orang lain yang akan membantu mu?"
"Hahahaha.... siapa lagi yang akan datang membantu!"
Gi Peng-bwee menyapu sekejap suasana di sekitar situ,
kecuali Yau Su-moay yang sudah terluka serta Li Ji-ci yang masih menarik tubuh Thiat Tiong-tong, benar saja tidak seorang gadis lebah pun yang nampak menganggur.
Dia tidak berbicara lagi, dengan mata menatap tajam gerak-gerik lawannya, selangkah demi selangkah dia menghampiri Hoa Toa-koh.
"Kau maupun aku adalah toaci mereka semua" ujar Hoa Toa-koh sambil tertawa, "sudah sepantasnya kita perlihatkan sikap sebagai seorang kakak paling tua, kalau gebuk-gebukan begitu saja apa tidak kuatir akan ditertawakan orang lain?"
"Apa yang kau hendaki" Katakan saja"
"Kalau begitu kemarilah!"
Dengan sekali jejak tubuh Hoa Toa-koh melambung ke tengah udara lalu meluncur ke arah tiang layar perahu. Di antara kibaran ujung baju, dia sudah mengambil posisi di sisi kiri.
Diam-diam Gi Peng-bwee mengernyitkan dahinya, namun tanpa mengucapkan sepatah katapun dia segera menyusul naik keatas dan mengambil posisi disisi kanan.
Dipandang dari bawah, kedua orang yang berdiri diatas tiang layar itu bagaikan dua bidadari yang siap terbang menuju ke atas awan.
Biarpun layar bergoyang kencang karena hembusan angin, ke dua orang itu saling berhadapan tanpa bergerak.
"Apa yang akan ditandingkan?" tanya Gi Peng-bwee kemudian.
Sambil menuding ujung tiang yang berapa meter menjulang tinggi ke angkasa, ujar Hoa Toa-koh:
"Kita harus saling berebut naik ke puncak tiang itu, siapa yang mencapai duluan, dialah yang menang"
"Kalau siapapun tidak berhasil mencapai ke situ?" tanya Gi Peng-bwee sambil tertawa hambar.
"Yang tetap hidup dialah yang menang!"
"Kapan akan dimulai?"
"Kita sama-sama bergerak menuju ke tengah tiang lalu saling bertepuk tangan, begitu suara tepukan bergema, saat itulah pertarungan di mulai!"
"Baik! Jika pukulan tersebut dapat membunuhmu, aku rasa pertandinganpun tidak perlu dilanjutkan"
"Hahahaha.... nona Gi, kau memang sangat pintar!"
Padahal pertarungan yang bakal berkobar merupakan pertarungan mati hidup, namun ke dua orang wanita cantik itu
membicarakannya dengan begitu santai, seolah-olah sedang bercanda saja.
Perlu diketahui, walaupun pertarungan semacam ini nampaknya serba baru dan sangat menarik, padahal merupakan pertarungan yang menentukan mati hidup. Kedua orang itu butuh mengerahkan seluruh kepandaian silat, kecerdasan serta kekuatan tersembunyi yang dimilikinya untuk saling beradu.
Bukan saja kesempatan untuk meraih kemenangan sama rata, siapa pun tidak dapat meraih posisi yang lebih menguntungkan.
Asal ada salah satu pihak lemah dalam hal tenaga dalam atau ilmu meringankan tubu, ilmu pukulan, ilmu pedang, senjata rahasia maupun kecerdasan, maka jangan harap dia bisa lolos dari per tarungan ini dalam keadaan hidup.
Perlahan-lahan kedua orang itu mulai menggeser tubuhnya bergerak menuju ke tengah tiang.
Meskipun senyuman masih menghiasi wajah mereka berdua, namun sorot matanya nampak begitu serius dan tegang.
Setiap mereka melangkah satu tindakan, selisih jarak makin mendekat, ketegangan pun nampak semakin bertambah tebal.
Ketika tubuh mereka berdua sudah berada pada jarak satu meter, dimana masing-masing pihak sudah dapat meraih tubuh lawan, tiba-tiba senyuman yang menghiasi wajah mereka hilang lenyap seketika.
Perlahan-lahan Gi Peng-bwee mendorong telapak tangannya ke muka, di antara jari jemarinya yang lembut dan halus, terselip tenaga pukulan yang maha dahsyat.
Menyaksikan datangnya ancaman itu, mendadak Hoa Toa-koh berseru sambil tertawa:
"Ooh sebuah tangan yang sangat indah!"
Mengiringi suara tertawanya, secepat kilat dia melepaskan pula sebuah pukulan.
Padahal kata "secepat kilat" rasanya masih belum cukup untuk melukiskan betapa cepatnya serangan yang dia lancarkan.
Ujung jari telunjuk, jari tengah dan jari kelingkingnya menepuk perlahan sendi jari kelingking Gi Peng-bwee, ketika terdengar suara "Bluuk!" tahu-tahu tubuhnya sudah melambung ke udara.
Waktu itu Gi Peng-bwee sudah menghimpun seluruh
kekuatannya tapi belum sampai dilontarkan keluar, perlu diketahui sendi jari kelingking merupakan bagian tangan yang
terlemah, menanti Gi Peng-bwee siap melontarkan kekuatannya, tubuh Hoa Toa-koh sudah melambung berapa meter ke udara, tampaknya dia segera akan mencapai puncak tiang.
Perempuan lebah ini memang banyak akal dan sangat pintar, tampaknya dia tahu kalau Gi Peng-bwee hendak menjatuhkan dia dengan mengandalkan kekuatan tenaga pukulannya, maka dia pun menghindari bentrokan tersebut dengan mengambil langkah lain yang sama sekali diluar dugaan.
Dari semua orang yang hadir di perahu itu, hanya Thiat Tiong-tong seorang yang dapat mendongakkan kepalanya mengikuti jalannya peristiwa itu.
Dia jadi amat terperanjat setelah menyaksikan kejadian itu, pikirnya:
"Sungguh lihay Hoa Toa-koh ini, dalam keadaan begini jika Gi Peng-bwee tidak ingin kalah maka hanya ada satu cara yang bisa dia lakukan...."
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, angin pukulan yang dilancarkan Gi Peng-bweee tiba-tiba berganti arah, "Blaaaam!"
kali ini dia menghajar tiang layar itu kuat-kuat.
Serangan itu dilancarkan dengan seluruh kekuatan yang dimiliki, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya serangan itu, tidak ampun tiang layar yang besarnya mencapai mulut mangkuk itu patah jadi dua.
Tenaga pukulan yang kuat membuat tiang layfer yang patah itu mencelat sejauh berapa meter kemudian setelah berpusing di udara, tiang itu langsung meluncur lurus ke bawah....
"Blummmm!" langsung menghujam diatas atap bangunan perahu..
Waktu itu Hoa Toa-koh masih berada ditengah udara dalam usahanya mencapai puncak tiang, begitu tiang patah dan jatuh ke bawah, bukan saja dia langsung kehilangan sasaran, diapun kehilangan tempat untuk berpijak.
Ketika kekuatan tubuhnya lenyap, mau tidak mau terpaksa dia melayang turun kembali ke bawah, pujinya didalam hati:
"Sungguh cerdas gadis ini!"
Thiat Tiong-tong sendiripun segera memuji didalam hati:
"Tidak kusangka dalam keadaan yang gawat dia masih dapat menemukan cara sehebat ini, untung otaknya encer dan segera menemukan cara untuk menanggulangi, coba terlambat sedikit saja niscaya dia akan kalah"
Tidak menunggu tubuh Hoa Toa-koh menyentuh tanah, sekali
lagi Gi Peng-bwee mendorong sepasang telapak tangannya ke depan, gulungan angin pukulan sedahsyat amukan gelombang samudra langsung menerjang tubuh perempuan lebah itu.
Saat itu Hoa Toa-koh belum sempat menyentuh tanah, termakan hembusan angin pukulan itu, tubuhnya bagaikan layang-layang yang putus benang langsung meluncur ke tengah sungai.
Begitu berhasil memukul mencelat musuhnya, Gi Peng-bwee sama sekali tidak memandang lagi ke arahnya, dengan gerakan cepat dia meluncur ke atas tiang layar yang menancap diatap bangunan itu.
"Celaka!" pekik Hoa Toa-koh dalam hati.
Sebuah tentangan segera dilancarkan keatas layar perahu, begitu layar itu tertendang robek, dia segera mengaitnya dengan ujung kaki.
Dengan meminjam kaitan ujung kakinya diatas layar sebagai titik berat, tubuhnya berputar bagai gangsingan, kemudian dengan meminjam tenaga pusaran itu secepat anak panah tubuhnya menubruk ke arah Gi Peng-bwee.
Belum sempat Gi Peng-bwee tiba ditempat tujuan, Hoa Toa-koh sudah menyusul tiba dari tengah udara.
Dalam kagetnya dia segera membalik tubuh sambil
melepaskan sebuah pukulan.
"Blaaaam!" empat tangan saling beradu, kedua orang wanita itu sudah saling menggempur di tengah udara.
Kali ini Hoa Toa-koh menyerang dengan meminjam tenaga pusingan, sedang Gi Peng-bwee harus menyerang sambil melompat ke atas, ketika pukulan saling beradu, jelas dialah yang berada dipihak rugi, tubuhnya langsung terpental oleh tenaga getaran Hoa Toa-koh.
Kini giliran Hoa toa-koh yang berlarian menuju puncak tiang tanpa memperdulikan lawannya lagi.
Siapa sangka baru saja tubuhnya bergetar, lima titik cahaya tajam tiba-tiba menyergap datang dari depan mata.
Rupanya dibalik sepasang ujung baju Gi Peng-bwee tersembunyi senjata rahasia yang cukup lihay, meski tubuhnya terpental ke samping namun tangannya sama sekali tidak menganggur, hujan senjata rahasia pun menyelimuti angkasa.
Hoa Toa-koh menghentikan gerakan tubuhnya sambil menyampok runtuh ke lima titik cahaya tajam itu, tapi segera muncul lagi lima titik cahaya yang disertai desingan angin tajam
mengancam tubuhnya.
Meskipun serangan dua tabung senjata rahasia yang dilancarkan Gi Peng-bwee dalam keadaan tergesa tidak seberapa akurat, namun tidak disangkal cukup membuat Hoa Toa-koh terhambat gerak majunya.
Sekalipun secara mudah Hoa Toa-koh mampu merontokkan senjata rahasia itu, namun ketika dia selesai merontokkan ancaman tersebut, Gi Peng-bwee sudah keburu menyusul tiba, sepa-sangan tangannya dengan disertai deruan angin pukulan segera meneternya habis-habisan.
Dalam waktu singkat kedua orang itu kembali bertarung belasan jurus banyaknya.
Jurus pukulan yang digunakan kedua orang ini sama-sama aneh, hebat dan gencarnya, sementara langkah kaki mereka pun tiada hentinya bergeser terus menuju ke arah patahan tiang layar yang menancap dipuncak bangunan.
Kedua orang ini bukan saja kepandaian silatnya hampir sejajar, kecerdasan mereka pun hampir berimbang.
Kedua orang itu sama-sama tahu, meskipun tiang layar itu sudah patah namun asal mereka dapat melompat ke atas puncak patahan kayu itu maka dialah yang akan dianggap sebagai pemenang, oleh sebab itu siapa pun tidak ingin membiarkan lawannya mendekati tiang tersebut.
Thiat Tiong-tong sendiripun merasakan hatinya kebat kebit, walaupun pengalamannya dalam menghadapi pertarungan cukup banyak namun belum pernah dia jumpai pertarungan sesengit dan setegang ini.
Dalam waktu yang relatip singkat, sudah beberapa kali kedua orang itu memperoleh kesempatan untuk meraih kemenangan, tapi setiap kali selalu berhasil digagalkan pihak lawan.
Hoa Toa-koh melancarkan serangannya makin gencar, diiringi deruan angin pukulan yang menderu secara beruntun dia menggunakan jurus Pek nio tiau hong (ratusan burung menerpa angin), Huang hong si sim (lebah kalap mengerumuni putik bunga) dan Sam cun hui soh (tiga bunga terbang melayang).
Ke tiga jurus serangan itu dilancarkan secara berantai, terkadang seperti rangkaian tali, terkadang mirip serat sutera, semuanya merupakan jurus serangan yang lincah dan mematikan.
Tapi begitu ke tiga jurus itu lewat, mendadak gerak serangannya berubah jadi keras dan ganas, seperti aliran air
disungai kecil mendadak berubah jadi gulungan air bah yang muncul dari balik dam yang jebol.
Biarpun serangannya ganas dan dahsyat namun
sesungguhnya dia mengambil sikap bergerak mundur, setiap kali akan mundur dia bergerak maju duluan, asal Gi Peng-bwee berkelit ke samping, dia pun berusaha mendesak maju lagi mendekati tiang itu.
Siapa tahu Gi Peng-bwee justru menggunakan taktik serangan dibalas serangan, mendadak dia menerobos masuk lewat deruan angin pukulannya, kemudian dengan jari tangannya yang tajam bagai pedang, dia sodok perut bagian bawah perempuan itu.
Jurus serangan ini ganas lagi licik, hanya kaum wanita yang akan menggunakannya, sementara dalam kalangan dunia persilatan pun kecuali kaum kurcaci atau karena terdesak keadaannya, mereka tidak akan sudi mengeluarkan serangan semacam itu.
Hoa Toa-koh jarang sekali bertarung melawan kaum wanita, menghadapi serangan macam begini dia jadi terkesiap, dia tidak tahu apakah jurus berikut akan jauh lebih hebat daripada jurus sebelumnya.
Dalam keadaan seperti ini, dia tidak punya waktu untuk berpikir panjang, terlebih tidak ingin adu jiwa bersama lawannya, maka gerak serangannya ditekan lebih ke bawah dan menyambut datangnya ancaman itu.
Tiba-tiba dia merasa serangan lawan disertai tenaga dalam yang sangat tajam dan hebat, begitu tangannya menyentuh jari tangan musuh, seketika tubuhnya terhisap kuat.
Dengan perasaan makin terkesiap pikirnya:
"Dia ingin beradu tenaga dengan aku?"
Saat ini dia tidak punya pilihan lain, terpaksa sambil mengerahkan tenaganya dia lawan tekanan kuat dari lawan.
Perlu diketahui, pertarungan semacam ini sangat menguras tenaga, sekali terjadi pertarungan maka tidak akan berhenti sebelum ada yang tewas, oleh sebab itu jarang sekali orang persilatan mau melakukan pertarungan semacam ini kecuali benar-benar terjalin dendam kesumat yang sangat mendalam.
Melihat kejadian itu diam-diam Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, dia tahu Gi Peng bwee pastilah termasuk seorang gadis yang besar rasa ingin menangnya.
Diapun mengerti pertarungan semacam ini tidak mungkin bisa diketahui menang kalahnya dalam setengah sampai satu
jam, maka perhatiannya kembali dialihkan kearena pertarungan yang ada diujung perahu.
Tampak cahaya perak berkilauan ditempat itu, sekeliling perahu seolah terbungkus dalam lapisan cahaya yang tebal.
Gi Cing-kiok dengan satu melawan empat bergerak kian kemari di antara kilauan cahaya senjata yang beraneka ragam, sekalipun tubuhnya lincah namun lambat laun gerakannya semakin melamban, jelas dia sudah kepayahan.
Berbeda dengan ke empat gadis lebah yang mengepungnya, mereka bergerak amat santai, maka sambil tertawa tegurnya:
"Adik-adik, jangan sampai kehilangan nyawa sendiri, biarkan saja tulang kakinya seorang yang remuk...."
Yau Su-moay amat geram mendengar ejekan itu, sambil memegangi kakinya yang sakit dia berteriak:
"Perketat serangan kalian, cari modal balik ditambah bunganya, kalian tebas kedua kaki miliknya"
Gi Cing-kiok tertawa terkekeh.
"Adikku, apakah kalian tidak kuatir saudara-saudaraku pun datang membuat perhitungan?"
Mendadak dengan babatan tangan dan sodokan jari
tangannya dia lancarkan tujuh jurus serangan berantai.
Kini kawanan gadis lebah itu tidak sanggup tertawa lagi, mereka sadar perkataan itu bukan bualan belaka, sekalipun pertarungan berhasil mereka menangkan namun akibatnya bisa amat parah, perasaan kuatir pun mencekam hati semua orang.
Sui Leng-kong yang bertarung melawan dua orang pun sudah bertempur ratusan jurus lebih.
Kalau semula dia masih canggung menggunakan jurus serangan, lambat laun gerakannya bertambah mahir dan lancar, kini tubuhnya dapat bergerak cepat bagaikan sambaran petir, setiap jurus serangan yang dilancarkan pun cepat, ganas dan telengas.
Masih untung semua jurus serangan yang digunakan meski aneh dan sakti namun tidak termasuk ganas, biar hebat namun tidak telengas, kendatipun begitu kawanan gadis lebah itu keteter juga hingga berada di bawah angin.
Sebagaimana diketahui, Sui Leng-kong tumbuh dewasa didasar jurang yang gersang dan amat berbahaya, setiap saat dia selalu berkeinginan dapat keluar dari tempat itu, maka ilmu meringankan tubuhnya dilatih lebih khusus dan tekun hingga kehebatannya jauh diluar perkiraan siapa pun.
Oleh karena itu walaupun dalam pertarungan yang
berlangsung dia rugi karena kekurangan pengalaman, namun gerakan tubuhnya yang cepat dan lincah boleh dibilang membuat orang lain susah menangkapnya.
Itulah sebabnya sekalipun jurus serangannya agak lemah, namun posisinya justru lebih kuat dan diatas angin.
Thiat Tiong-tong yang menyaksikan hal ini hati kecilnya merasa terkejut bercampur gembira, tidak tahan dia menghela napas panjang.
Tiga ratus gebrakan kemudian dua orang gadis lebah itu mulai tidak kuat menahan diri, serentak teriaknya:
"Saudara-saudaraku, kemarilah satu orang, bantulah kami!"
Yo Pat-moay yang sedang bertarung melawan Gi Cing-kiok segera melompat ke udara dan berlarian mendekat.
Pertarungan antara Gi Peng-bwee melawan Hoa Toa-koh juga sudah mencapai puncaknya, butiran keringat mulai bercucuran membasahi tubuh mereka.
Kedua orang itu berdiri saling berhadapan, kelopak mata mereka makin lama berkembang makin lebar sementara tempat pijakannya berbunyi gemerutukan, masih untung ruang perahu itu cukup kokoh, kalau tidak, mungkin sedari tadi mereka berdua sudah terjerumus jatuh ke bawah.
Kini mereka berdua sama-sama punya pikiran untuk melepaskan diri, maka yang dipikirkan adalah bagaimana secepatnya merobohkan lawan, bagaimana secepatnya menggapai puncak tiang.
Thiat Tiong-tong masih mengawasi jalannya pertarungan diatap bangunan perahu itu tanpa berkedip, sekalipun mimik mukanya tidak menampilkan perubahan namun perasaan hatinya bergejolak.
Orang-orang itu sesungguhnya tidak punya ikatan
permusuhan ataupun dendam, tapi sekarang mereka bertarung mati-matian tidak lain karena dirinya.
Sekalipun bagaimana akhir dari pertarungan ini, siapa menang siapa kalah masih susah diramalkan, namun pihak mana pun yang menang atau kalah pasti akan membuatnya memikul beban yang sangat berat, dia sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka, tentu saja kecuali Sui Lengkong....
Kini Sui Leng-kong sudah terperosok dalam posisi dibawah angin, jurus serangan Yo Pat-moay yang ganas dan mantap,
kaitan terbang yang sebentar menyerang dari jauh sebentar menyerang dari jarak dekat semakin menguasahi keadaan.
Dan kemampuan yang luar biasa itu sudah memaksa Sui Leng-kong berulang kali terperosok ke dalam lingkaran arus empat macam senjata tajam lainnya.
Meskipun dia dapat menghindari setiap ancaman dengan mengandalkan kelincahan rubuh nya, namun jurus serangan yang kelewat lembek dan ringan justru merupakan titik kelemahan yang mematikan.
Perasaan hati Thiat Tiong-tong mulai bergelora, paras mukanya mulai berubah, kini sorot matanya tidak
memperhatikan orang lain lagi melainkan hanya berputar mengikuti gerakan badan Sui Leng-kong.
Setiap kali gadis itu terperosok dalam mara bahaya, paras mukanya segera berubah hebat, setiap kali Sui Leng-kong melepaskan kesempatan baik untuk meraih kemenangan, diapun menghela napas panjang.... perasaan cintanya yang tulus terhadap Sui Leng-kong, perlahan-lahan mulai tumbuh dan mengalir keluar, meski selama ini selalu terpendam dalam dasar hatinya.
Tapi sayang seluruh kekuatan tubuhnya sudah lenyap, walaupun melihat Sui Leng-kong berada dalam posisi berbahaya namun dia tidak mampu berbuat apa apa.
Padahal Sui Leng-kong pernah selamatkan jiwanya.
.... Dia, seandainya tidak ada Sui Leng-kong, mungkin sudah sejak dulu mati di dasar jurang yang gersang.
Dia menarik napas panjang lalu bergumam:
"Aku harus berusaha.... harus berusaha...."
Tapi dalam keadaan dan saat seperti ini, kecuali datang pasukan dari langit, apa lagi yang bisa dia lakukan"
Saat itu seluruh perhatian Li Ji-ci sedang tertuju pada tiga arena pertarungan yang sedang berlangsung.
Deruan angin serta desingan senjata bercampur aduk menciptakan satu irama yang aneh, ditambah lagi deburan ombak yang menggulung membuat keadaan semakin
mengerikan. Thiat Tiong-tong mulai menggerakkan kakinya, perlahan-lahan berjalan menuju ke buritan perahu.
Dia seolah terbayang akan sesuatu, cahaya tajam sempat melintas diwajahnya.
Tiba-tiba.... "Byuuuurr!" terdengar ada sesuatu benda
tercebur ke dalam air.
Dengan perasaan terkejut Li Ji-ci segera berpaling, tapi dia sudah tidak nampak bayangan tubuh Thiat Tiong-tong.
Dalam kagetnya buru-buru dia lari menuju ke buritan perahu, di antara pusaran air sungai tampak tubuh Thiat Tiong-tong terapung diatas permukaan air.
Dengan wajah berubah hebat Li Ji-ci segera berseru:
"Aduh celaka, dia terjun ke air"
Kawanan gadis yang sedang bertarung serentak tersentak kaget, teriak mereka bersama:
"Siapa?"
"Dia.... Thiat...."
Belum selesai dia bicara, suara pertarungan seketika terhenti, Gi Cing-kiok, Sui Leng-kong maupun kawanan gadis lebah itu berbondong-bondong sudah berlarian menuju buritan perahu.
Seperti apa yang diduga Thiat Tiong-tong, siapa pun tidak ada yang bertarung lagi.
.... Thiat Tiong-tong tahu, kini satu-satunya jalan untuk selamatkan Sui Leng-kong hanya berbuat begitu, maka dia terpaksa harus mengorbankan diri, menceburkan diri ke dalam air.
Arus sungai Huangho sangat deras, ombak pun cukup besar, sekalipun kawanan gadis lebah itu mengerti ilmu berenang namun tidak seorang pun berani turun ke dalam air, sementara Thiat Tiong-tong yang tercebur pun tidak nampak terapung kembali.
"Ka.... kalian...." dengan suara gemetar dan wajah berubah Sui Leng-kong berseru.
Kawanan gadis lebah itu hanya berpaling menengok wajahnya, tidak seorangpun melakukan sesuatu tindakan.
Mendadak Sui Leng-kong lari menuju ke tepi perahu, dia siap menceburkan diri ke dalam sungai, tapi perbuatannya itu segera dicegah Gi Cing-kiok.
Sambil memeluk erat pinggangnya perempuan itu berseru:
"Adikku, apakah kau bisa berenang?"
Sambil menggigit bibir dan pejamkan mata Sui Leng-kong menggeleng.
"Bocah goblok" seru Gi Cing-kiok sambil menghentakkan kakinya, "kalau tidak mengerti berenang, dengan cara apa kau hendak menolongnya?"
Tiba-tiba air mata jatuh berlinang membasahi wajah Sui Leng-
kong, katanya dengan suara gemetar:
"Aku.... aku tidak bisa membiarkan dia.... dia mati tanpa berusaha menolongnya...."
Gi Cing-kiok memeluk pinggang nona itu semakin kencang, sementara kepada kawanan gadis lebah itu umpatnya:
"Hei, apakah kalian orang mampus semua" Kenapa tidak ada yang terjun ke sungai untuk memberi pertolongan?"
Tiba-tiba terdengar seseorang menyahut dengan nada ketus:
"Kami tidak punya hubungan apa-apa dengannya, kenapa harus pertaruhkan nyawa untuk memberikan pertolongan?"
Gi Cing-kiok tidak tahu siapa yang mengucapkan perkataan itu, kembali makinya:
"Perempuan keji berhati buas, kau! Ternyata hatimu begitu tega, melihat orang kalap pun enggan menolong!"
Terdengar Li Ji-ci berkata pula setelah menghela napas:
"Bila diapun tidak mengerti ilmu dalam air, setelah tercebur ke sungai, besar kemungkinan jiwanya tidak akan selamat, sekalipun kami berusaha menolongnya, paling banter juga hanya menaikkan jenasahnya"
"Tidak, dia belum mati" teriak Sui Leng-kong dengan wajah basah oleh air mata, "diapun tidak bakal mati.... dia.... dia....
selamanya dia tidak akan mati...."
Tiba tiba terlihat Yo Pat-moay berjalan menuju ke tepi perahu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Pat-moay, apa yang hendak kau lakukan?" tegur Li Ji-ci dengan kening berkerut.
"Pergi menolongnya!" sahut Yo Pat-moay dengan wajah hijau membesi.
"Kau edan" Sekalipun kau mengerti ilmu dalam air, tapi arus di sungai Huangho berbeda jauh dengan arus di sungai Tiangkang, buat apa kau mesti menyerempet bahaya...."
Yo Pat-moay sama sekali tidak menengok sekejappun ke arahnya, dia segera menceburkan diri ke dalam sungai.
Sui Leng-kong merasakan lututnya jadi lemas, sambil berlutut dan air mata bercucuran keluhnya:
"Ooh Thian.... kumohon, lindungilah keselamatan jiwanya, dia.... dia adalah orang baik, jangan biarkan dia mati"
Gi Cing-kiok mengepal sepasang tinjunya kencang, sedemikian kencangnya hingga ruas jari tangannya nampak putih memucat.
Kembali Sui Leng-kong berbisik:
"Nona itupun seorang yang baik, nona, terlepas apakah kau berhasil menolongnya atau tidak, selama hidup aku akan berterima kasih kepadamu"
Waktu itu hanya Gi Peng-bwee dan Hoa Toa-koh belum menghentikan pertarungan mereka, empat buah telapak tangan masih saling menempel, siapa pun tidak ada yang berniat menarik kembali tangannya.
Sekalipun mereka berdua dapat mengikuti perubahan yang terjadi, namun siapa pun di antara mereka berdua tidak ada yang mau mengalah.
Sebab mereka berdua telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya, disamping melindungi diri, mereka pun berusaha mendesak lawannya, siapa pun yang menarik tenaga dalamnya duluan, maka dia pasti akan diterjang oleh kekuatan lawannya.
Dalam keadaan seperti itu, biarpun ada bendungan di sungai Huangho yang jebol pun mereka tidak akan melepaskan diri, tentu saja terkecuali jika kedua orang itu menarik kembali tangannya bersamaan waktu.
Sudah barang tentu mereka tidak ingin melakukan
pertaruhan itu, siapa pun tidak mau resiko menarik diri, maka sekalipun perasaan hati mereka dicekam kepanikan dan kegelisahan, namun empat tangan tetap menempel satu dengan lainnya.
Pada saat yang kritis itulah mendadak terdengar segulung desingan angin berkelebat lewat ditengah udara.
Dibalik desingan angin terlihat setitik bayangan hitam bergerak cepat, "Bluuuk!" bayangan hitam itu menghajar telak diatas tiang layar.
Seketika itu juga terjadi kobaran api diatas tiang tersebut, api setan dengan cepat merambat diseluruh tiang dan menimbulkan kebakaran.
Gi Peng-bwee maupun Hoa Toa-koh sama sama terkesiap, tapi dengan adanya kejadian ini, secara tiba-tiba ke empat buah tangan mereka pun saling terpisah....
Sebagaimana diketahui, sekalipun tangan mereka masih saling menempel, sesungguhnya perasaan hati kedua orang itu sudah dicekam kegelisahan dan rasa panik sehingga tanpa disadari tenaga dalam yang mereka kerahkan pun sudah semakin melemah.
Maka ketika terjadi kejutan yang diluar dugaan ini, tanpa sadar kekuatan tenaga dalam mereka pun semakin melemah,
begitu tekanan melemah, telapak tangan mereka pun berpisah.
Bagaimana pun juga pertarungan mati-matian yang
berlangsung bertujuan untuk memperebutkan tiang layar itu.
Dan sekarang, tiang itu sudah terbakar hebat.
Tanpa terasa ke dua orang perempuan itu berdiri tertegun, hembusan angin membuat kobaran api semakin membara, kini jilatan api yang membakar tiang itu makin membara.
Kontan saja kedua orang itu sama-sama melepaskan sebuah pukulan dan menghajar tiang yang terbakar itu hingga mencelat ke dalam sungai.
Sambil memandang ke arah Gi Peng-bwee, Hoa Toa-koh tertawa getir, ujarnya:
"Kita sudah melakukan pertarungan yang percuma hampir setengah harian lamanya, toh akhirnya tidak ada yang berhasil mencapai puncak tiang itu"
Gi Peng-bwee hanya menghela napas dan tidak berbicara.
Saat itulah dari tengah derasnya arus sungai Huangho, terlihat ada sebuah sampan bergerak mendekat sambil menembusi ombak.
Seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri diujung sampan itu, ketika semakin mendekat terdengar dia membentak nyaring:
"Cepat bebaskan Hay Tay-sau, kalau tidak, peluru api Bi lek Liat hwee tan ku akan segera memusnahkan perahu kalian"
Sekalipun harus menentang angin, teriakan itu kedengaran nyaring dan penuh tenaga.
Hoa Toa-koh segera berkerut kening, gumamnya:
"Ternyata Bi lek hwee pun ikut datang kemari"
Lelaki itu mengenakan pakaian ketat berwarna hitam, rambut dan jenggot putihnya berkibar terhembus angin, tangannya memegang sebuah gendawa emas sementara dipinggangnya tergantung sebuah kantung terbuat dari kulit macan.
Dalam pada itu Gi Peng-bwee sudah menghampiri Sui Lengkong sambil menghiburnya, sedang Hoa Toa-koh pun telah berkumpul dengan saudara saudaranya, ketika mendengar Thiat Tiong-tong menceburkan diri ke dalam sungai, diapun berkerut kening sambil menghela napas.
Kemudian dengan cepat dia mendekati Yau Su-moay, menanyainya beberapa patah kata dengan suara lirih, lalu sambil menuju ke ujung perahu teriaknya lantang:
"Apakah yang datang adalah Bi lek hwee locianpwee?"
"Kecuali lohu, masa ada yang lain?" sahut Bi lek hwee dengan
suara keras. "Apakah locianpwee datang untuk mengajak adik-adikku bermain?"
"Kentut!" teriak Bi lek hwee gusar, "cepat katakan, dimana Hay Tay-sau?"
"Hay Tay-sau" Tidak melihat dia datang kemari!"
"Pangbui!" kembali Bi lek hwee membentak gusar, "kalau tidak segera mengaku, jangan salahkan lohu akan membakar perahumu"
Tangan kirinya segera diangkat, tangan kanan menarik gendawa dan siap melepaskan peluru apinya.
Hoa Toa-koh segera tertawa terkekeh-kekeh.
"Loya, kalau ingin dibakar, bakar sajalah, kalau perahuku sampai terbakar, biar aku mengajak serta seluruh saudaraku untuk pindah ke rumahmu!"
Bi lek hwee tertegun, sejak terjun ke dalam dunia persilatan belum pernah dia bertemu dengan perempuan macam begini, tentu saja dia pun tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Setelah mengerlingnya sekejap, kembali Hoa Toa-koh berkata:
"Loya, bila tidak ada urusan lain, silahkan duduk diatas perahu, kami sudah sediakan arak dan sayur, selain itu juga ada...."


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah tertawa cekikikan, tiba-tiba dia merendahkan suaranya sambil menambahkan:
"Bila kau anggap adik adikku kurang cantik, disini pun terdapat murid wanita dari Kui bo...."
Bi lek hwee jengkel bercampur mendongkol, namun diapun tak dapat berbuat apa-apa.
Sementara itu sampan yang ditumpanginya telah bergerak semakin mendekat, tampaknya pendayung sampan itu sangat menguasahi medan, ilmu mendayungnya juga hebat, tidak lama kemudian dia sudah bersandar ditepi perahu besar itu.
Rupanya setelah meninggalkan perkampungan keluarga Li, Bi lek hwee yang bertemu dengan Hay Tay-sau ditengah jalan merasa saling mencocoki, maka merekapun melakukan perjalanan bersama, sebelum Hay Tay-sau berangkat duluan ke perahu itu, dia pernah berpesan kepada Bi lek hwee agar menunggunya di sampan.
Bi lek hwee dengan tabiatnya yang berangasan dan tidak sabaran merasa tidak tahan untuk menanti terlalu lama, sesudah menunggu sesaat akhirnya dia pun menyusul ke situ.
Melihat Bi lek hwee gusar setengah mati, Hoa Toa-koh tertawa semakin keras.
Perempuan inipun termasuk orang yang selamanya tidak pernah menampilkan perasaan hati diwajahnya, selama ini dia selalu sembunyikan perasaan hatinya dibalik senyuman, maka ketika semua orang melihat perempuan itu tertawa makin keras, siapa pun tidak bisa menduga kejadian apa yang bakal berlangsung di perahu itu. Terdengar dia berkata lagi sambil tertawa:
"Loya, kau akan naik kemari atau tidak?"
Bi lek hwee teramat gusar, dadanya naik turun menahan emosi, akhirnya sambil meraung gusar teriaknya:
"Kenapa, kau bukan seorang lelaki, kalau kau lelaki, hmmm...
hmmm.... hmmm... hmmm...."
"Maaf, akupun agak jengkel kenapa ibuku melahirkan aku sebagai seorang wanita, sayangnya, mau dibatalkan pun sudah terlambat"
"Kalau kau berani mencelakai Hay Tay-sau, lohu akan...."
"Aduuh mak, Hay Tay-sau adalah jago kenamaan, kungfunya jauh lebih tangguh daripada kami semua, mana mungkin kami bisa mencelakainya, lagipula...."
Setelah tertawa lembut, terusnya:
"Dia begitu gagah, begitu berjiwa laki laki, mau menyukainya pun masih tidak sempat, masa kami tega mencelakai jiwanya?"
"Dia jelas datang kemari, kenapa sekarang tidak nampak?"
"Aduuh, loyacu, perkataanmu lebih aneh lagi, dia toh seorang lelaki tinggi besar dan lagi bukan anak-anak, akupun bukan ibunya, masa aku tahu ke mana ia telah pergi" loya, aku rasa kau tak perlu mencarinya lagi, ayoh naik dan beristirahatlah sejenak, toh kau juga bukan bapaknya, kenapa mesti bersusah susah untuk mencarinya?"
Ucapannya yang selalu dibumbui kata aduh membuat Bi lek hwee berdiri tertegun, setelah dipikir sejenak, diapun mulai merasa bahwa perkataannya ada benarnya juga.
Maka setelah berpikir sejenak, dengan kening berkerut diapun manggut-manggut, gumamnya:
"Yaa benar, mungkin saja dia telah pergi ke tempat lain, kawanan nona ini tidak ada permusuhan apapun dengannya, buat apa mesti mencelakai dirinya?"
"Nah, begitu baru benar loya" seru Hoa Toa-koh, "ayohlah, naik dan beristirahatlah sejenak"
"Tidak usah, lohu akan segera pergi mencari Hay Tay-sau, dia...."
Mendadak sambil menuding dia membentak nyaring:
"Itu dia, bukankah itu adalah dia!"
Hoa Toa-koh terperanjat, mengikuti arah yang ditunjuk dia berpaling.
Benar saja, di depan pintu ruangan telah berdiri sesosok bayangan tubuh yang tinggi besar, dia tidak lain adalah Hay Tay-sau! Hay Tay-sau yang sudah ditotok tiga buah jalan darahnya oleh Hoa Toa-koh.
Dia berdiri dengan tangan kiri mencekak pinggang sementara ditangan kanannya menjinjing tubuh seseorang, sorot matanya memancarkan sinar kegusaran yang membara, begitu membara-nya hingga cukup untuk melumat nyali siapa pun.
Bi lek hwee tidak sanggup menahan diri lagi, sambil membentak nyaring dia melompat naik ke ujung perahu.
"Saudara Hay, kau tidak apa-apa bukan?" tegurnya begitu tiba diatas perahu besar.
Mendadak Hay Tay-sau mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, sahutnya:
"Ada apa dengan aku?"
"Kalau tidak ada urusan yaa sudahlah, saudaraku, ayoh kita pergi saja!"
"Sebentar" seru Hay Tay-sau sambil menghentikan gelak tertawanya, "aku harus membuat perhitungan lebih dulu"
Hoa Toa-koh segera tertawa ringan, ujarnya:
"Gampang sekali bila kau ingin membuat perhitungan, tapi kau harus beritahu dulu, siapa yang telah selamatkan dirimu?"
Biarpun senyuman masih menghiasi wajahnya namun
senyuman itu sudah kelewat dipaksakan.
Dengan tangan sendiri dia telah menotok jalan darah Hay Tay-sau bahkan menyembunyikan tubuhnya didalam sebuah ruang rahasia dibawah ruangan, perempuan ini benar-benar tidak habis mengerti, siapa yang sanggup selamatkan dirinya.
"Kalau ingin tahu, itu mah gampang sekali!" seru Hay Tay-sau sambil tertawa keras.
Mendadak dia menyingkir ke samping, memberi jalan lewat menuju ke pintu ruangan, katanya:
"Dia berada didalam ruangan"
Sekali lagi Hoa Toa-koh merasakan hatinya bergetar keras, paras mukanya semakin pucat, lewat berapa saat kemudian dia
baru menyahut sambil tertawa paksa:
"Baik, akan kulihat tokoh macam apa yang memiliki tiga kepala enam lengan"
Sambil berkata dia berjalan masuk menuju ke dalam ruangan.
"Tunggu sebentar" tiba-tiba Hay Tay-sau menghadang jalan perginya.
Hoa Toa-koh menghela napas panjang, sambil mendongakkan kepalanya memandang lelaki kekar itu, ujarnya lembut:
"Masa kau sudah melupakan hubungan kita dimasa lalu"
Benarkah kau hendak membuat perhitungan denganku hari ini?"
Paras muka Hay Tay-sau hijau membesi, ditatapnya perempuan itu dengan pandangan dingin.
Kembali Hoa Toa-koh menundukkan kepalanya, setelah menghela napas sedih ujarnya lebih lanjut:
"Hari ini, ada begitu banyak orang yang berniat membunuhku, sekalipun kau enggan membantuku, tidak seharusnya kau bantu mereka itu!"
Meskipun Hay Tay-sau masih tetap membungkam, namun wajahnya yang semula dingin kaku kini mulai mencair.
Setelah menghela napas sedih, kembali perempuan itu berkata:
"Bagaimana pun, dulu kita pernah punya hubungan khusus selama berapa waktu.... aaaai, sekalipun kau ingin membuat perhitungan, kenapa harus dilakukan pada hari ini?"
"Baik!" mendadak Hay Tay-sau membentak keras, "akan kita perhitungkan dikemudian hari...."
"Waktu dikemudian hari masih panjang" sela perempuan itu lagi, "asal hari ini aku tidak mati, dikemudian hari aku pasti akan memberi kesempatan kepadamu untuk melampiaskan semua rasa dendammu"
Hay Tay-sau segera mengangkat tubuh orang yang berada dalam cengkeramannya itu ke hadapan Hoa Toa-koh, ujarnya lantang:
"Bajingan ini telah menghianati aku, hari ini aku akan membawanya pergi"
"Kalau ingin kau bawa pergi, bawa sajalah!"
"Ayoh kita pergi!"
Habis berkata Hay Tay-sau bersama Bi lek hwee segera melompat turun ke sampannya, sewaktu melompat turun itulah dapat dilihat bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki perampok ulung ini memang sangat hebat.
Sekalipun dia memiliki perawakan tubuh tinggi besar dan berat, namun ketika melompat turun keatas sampan, perahu itu sama sekali bergeming.
Sambil gelengkan kepalanya berulang kali kata Bi lek hwee:
"Saudaraku, kelihatannya kau mirip sekali denganku, makan yang lembek pantang menghadapi yang keras, watak busukku juga tidak pernah berubah, begitu diajak bicara halus, hatiku pun langsung melumer"
"Tahukah kau siapakah perempuan itu?" tanya Hay Tay-sau sambil tertawa getir.
"Bukankah dia adalah pentolan dari kawanan lebah perempuan Heng kang li ong hong" Kemampuan perempuan ini memang sangat hebat, lohu sendiripun dibuat mati kutu oleh ulahnya"
"Hari ini dia memang pentolan dari kawanan lebah itu" ucap Hay Tay-sau sambil menghela napas, "tapi dulu.... aaaai!"
"Kenapa dulu?"
Dengan geram Hay Tay-sau membanting tubuh orang yang berada dalam cengkeramannya itu ke lantai sampan, kemudian dengan mata berkilat dan menggertak gigi katanya:
"Dulu dia adalah biniku!"
Bi lek hwee terperangah, dia berdiri melongo dengan mata terbelalak, bisiknya tergagap:
"Jadi dia.... dia...."
Hay Tay-sau mendongakkan kepalanya memandang awan yang bergerak di angkasa, lama kemudian dia baru berkata lagi:
"Sepanjang tahun aku selalu hidup mengembara, tapi dia....
aaaai! kalau istri tidak setia, anak tidak berbakti, buat apa aku menyinggung dirinya lagi?"
Mereka berdua sama-sama tundukkan kepalanya, perasaan hati terasa murung dan penuh kekesalan.
Pada saat itulah dari balik ruangan diatas sampan itu mendadak terdengar suara seseorang sedang merintih....
Dalam pada itu Hoa Toa-koh telah melangkah masuk ke ruang perahu sesudah menarik napas panjang, ada berapa orang gadis lebah yang melihat gelagat tidak beres, buru-buru mengintil di belakangnya.
Sui Leng-kong masih menangis terisak, Gi Peng-bwee dan Gi Cing-kiok menanti penuh kecemasan, Yo Pat-moay pun masih berusaha melakukan pencarian diatas permukaan air, berulang kali dia munculkan diri dari balik air untuk berganti napas.
Waktu itu Hoa Toa-koh sudah melangkah masuk ke dalam ruangan, sembilan buah lentera yang semula menerangi seluruh ruangan kini tinggal satu lentera yang menyala, suasana terasa redup dan remang-remang.
Perempuan itu mencoba memeriksa sekeliling tempat itu, namun dia tidak menemukan sesosok manusia pun.
"Jangan-jangan Hay Tay-sau membohongi aku?" gumamnya setelah tertegun sesaat.
Belum habis dia berpikir, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang berkata dengan nada yang dingin, kaku, sama sekali tanpa emosi:
"Aku berada disini!"
Dalam kagetnya Hoa Toa-koh segera membalikkan tubuh.
Dekat pintu ruangan, diatas bangku kayu berwarna merah duduk sesosok bayangan manusia, tubuhnya kelihatan kaku tanpa kehidupan hingga sepintas pandang mirip sekali dengan sesosok patung arca.
Sepasang tangan orang itu berada pada sandaran bangku, ujung bajunya yang lebar dibiarkan tergantung hingga lantai.
Walaupun wajannya sempurna, sepasang alis matanya tajam bagaikan pedang, kelopak matanya seperti kosong melompong, sama sekali tidak ada cahaya mata, juga tidak nampak bola mata yang berputar.
Raut muka orang itu luar biasa dingin dan tenangnya, seakan-akan perasaan orang ini terbentuk dari bongkahan salju abadi, rambut panjangnya yang terurai sebahu menambah kemisteriusan orang itu.
Dibelakangnya berdiri sesosok bayangan tubuh seorang wanita, wajahnya pucat pasi, tubuhnya ramping lembut, senyuman yang indah menghiasi bibirnya namun pandangan matanya penuh diliputi kedukaan....
Dia tidak lain adalah Leng Cing-peng, gadis yang ditangkap dari dalam air dan selama ini disekap dalam ruangan.
Untuk sesaat Hoa Toa-koh berdiri tertegun saking kagetnya, tapi dengan cepat dia berhasil mengendalikan diri, dengan sikap acuh tidak acuh ditatapnya wajah Leng Cing-peng sekejap, kemudian sapanya:
"Adikku, rupanya kau telah mendusin, apakah tubuhmu sudah terasa agak enakan?"
Leng Cing-peng tertegun, tampaknya dia tidak mengira kalau perempuan itu akan bersikap begitu lembut terhadapnya,
bibirnya kelihatan bergetar namun tidak sepatah kata pun yang diucapkan.
Sesudah menghela napas ringan, kembali Hoa Toa-koh berkata:
"Meskipun tidak seharusnya kau bersikap begitu terhadap cici, namun cici masih tetap menaruh perhatian kepadamu, aaai, kau mesti berganti pakaianmu, coba lihat tubuhmu basah kuyup, hawa dingin bisa merusak kesehatanmu"
Sambil berkata ia berjalan mendekat, sorot matanya sama sekali tidak memperhatikan orang berambut panjang itu, kembali ujarnya sambil tertawa ringan:
"Coba lihat, aku hanya memperhatikan dirimu sampai lupa kalau disini masih ada sahabatmu"
Setelah berpaling melemparkan sekulum senyuman,
lanjutnya: "Omong omong, siapa sih temanmu ini" Kau seharusnya perkenalkan dia kepada cici!"
"Dia.... dia...." Leng Cing-peng tergagap, "dia bukan temanku"
Bagaimanapun gadis ini masih muda, perasaan hatinya masih kelewat lembek, bukan saja perkataan dari Hoa Toa-koh membuat semua amarahnya jadi padam, bahkan dia masih menganggap perkataan perempuan itu sebagai ucapan yang tulus dan muncul dari sanubarinya yang paling dalam.
Hoa Toa-koh seperti terperangah, serunya tertahan:
"Aaah, jadi dia bukan sahabatmu" Kenapa bisa duduk didalam ruang perhuku?"
Leng Cing-peng menggeleng perlahan, bahkan mengerdipkan matanya berulang kali seakan melarangnya bicara lebih lanjut.
Namun Hoa Toa-koh berlagak seolah tidak melihat, ujarnya lebih jauh:
"Sobat, kau telah masuk ke rumahku tanpa diundang, boleh tahu apa tujuanmu" Apakah kau bersedia mengatakan sesuatu kepada aku sang pemilik rumah?"
Orang berambut panjang itu tetap duduk tidak bergerak, sepatah demi sepatah dia berkata:
"Aku adalah Ay Thian-hok"
Perkataannya amat singkat, seolah olah nama "Ay Thian-hok"
sudah mewakili segalanya.
Benar saja, sekujur tubuh Hoa Toa-koh bergetar keras.
Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, terdengar suara isak tangis bergema makin keras dari luar ruangan, terdengar Sui
Leng-kong berseru sambil menangis tersedu sedu:
"Benarkah tidak ditemukan?"
"Tidak ditemukan" terdengar Yo Pat-moay menyahut dengan napas tersengkal, "tapi.. semisal dia memang mati, seharusnya jenasahnya terapung diatas permukaan air!"
Kembali terdengar Sui Leng-kong menangis tersedu sedu:
"Thiat Tiong-tong.... wahai Thiat Tiong-tong.... kematianmu benar benar-mengenaskan..."
Paras muka Leng Cing-peng berubah hebat, tubuhnya ikut gemetar keras, setelah mundur berapa langkah dengan terhuyung....
"Blaaaam!" tubuhnya menumbuk diatas dinding dibelakang tubuhnya.
Hoa Toa-koh sendiripun agak terperanjat, baru dia mendongakkan kepalanya, terasa pandangan matanya jadi kabur, tahu-tahu dia sudah kehilangan jejak bayangan tubuh Ay Thian-hok.
Menyusul kemudian terlihat Leng Cing-peng ikut pula memburu keluar dari ruangan.
Hoa Toa-koh ikut melangkah ke depan pintu, namun baru berapa langkah dia sudah membatalkan niatnya, sesudah termenung sejenak dengan kening berkerut tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan berjalan cepat menuju sudut ruangan sebelah kiri.
Ke empat dinding ruang perahu itu dilapisi gorden dan tirai.
Dia langsung menyingkap tirai sambil merogoh sesuatu ke atas dinding, sebuah lubang selebar tiga inci segera muncul diatas dinding ruangan itu, dibalik lubang terlihat sebuah kristal yang bening.
Ketika melongok dari balik kristal bening itu, bukan saja pemandangan diluar ruangan terlihat amat jelas bahkan dapat terlihat lebih besar dan jelas.
Waktu itu Leng Cing-peng, Sui Leng-kong, Gi peng-bwee dan Gi Cing-kiok sudah berdiri dibelakang Ai Thian-hok, sedangkan Yo Pat-moay dengan tubuh basah kuyup berdiri di depan kawanan gadis lebah lainnya.
Mereka seperti sedang meributkan sesuatu, hanya sayang tidak terdengar apa yang sedang dibicarakan.
Dari kejauhan sana, dari balik jendela, tampak muncul lagi berapa titik bayangan sampan yang bergerak mendekat.
Melihat kesemuanya itu Hoa Toa-koh menghela napas
panjang, gumamnya:
"Orang bilang pengaruh Kiu cu-kui bo tidak boleh dipandang enteng, sekarang aku benar-benar mempercayainya"
Setelah menghentakkan kakinya dengan gemas, dia lari menuju ke ruang belakang lalu turun ke ruang bawah, dengan tergesa-gesa dia kabur menuju ke ruang rahasianya.
Tampak pintu kamarnya yang kokoh dan kuat, kini sudah hancur berantakan dihajar orang.
Sekali lagi dia merasakan hatinya bergetar keras, gumamnya sambil menggertak gigi:
"Ai Thian-hok, sungguh dahsyat tenaga pukulanmu!"
Ketika menengok ke dalam ruangan, dia saksikan hanya seprei nya yang awut-awutan tidak karuan sementar benda lainnya tetap utuh seperti sedia kala.
Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya, dengan cepat dia singkirkan selimut dan sepreinya, lalu mendorong papan ranjangnya ke samping, sebuah lubang rahasia pun muncul dibalik pembaringan.
Dibalik ruang rahasia itu terlihat ada tumpukan berapa buah karung goni, dari balik karung goni lamat-lamat terlihat cahaya mestika yang berkilauan.
Dengan cepat dia bungkus semua karung goni itu dengan kain sepreinya, senyuman yang semula nampak lembut dan cantik, kini berubah jadi senyuman licik dan penuh kekejian.
Untuk sesaat dia nampak agak sangsi, tapi akhirnya sambil menggigit bibir dia memencet lagi sebuah tombol rahasia dibalik ruangan tersebut.
"Byuuurrr!" air sungai yang berwarna kuning dengan cepat mengalir masuk ke dalam ruangan, dalam waktu singkat menenggelamkan ruang rahasia itu dan mulai menggenangi seluruh ruangan.
Melihat air sungai mulai menggenangi permukaan, kembali Hoa Toa-koh bergumam:
"Selamat tinggal saudara-saudaraku, selamat tinggal perahuku!"
Sambil membopong buntalan besar itu, dengan cepat dia berlari keluar meninggalkan ruangan.
Dalam pada itu kembali ada empat buah rakit kulit bergerak mendekat, dalam waktu singkat rakit rakit itu sudah merapat disisi perahu.
Pada rakit yang pertama tampak berdiri empat orang, salah
satu di antaranya adalah si bocah pincang.
Waktu itu rambutnya kelihatan sudah terbakar hangus sebagian, dia berdiri sambil menggertak gigi, wajahnya penuh diliputi perasaan gusar, dendam dan sakit hati.
Orang kedua adalah seorang wanita yang sebagian rambutnya terbakar hangus, wajahnya pucat, dia menggendong seorang bayi dan tiada hentinya terbatuk batuk.
Orang itu tidak lain adalah Leng Cing-soat yang belum sembuh dari lukanya.
Dibelakangnya berdiri dua orang gadis berbaju sutera, mereka nampak sibuk memeriksa tubuh Leng Cing-soat dan sepertinya sangat menguatir-kan keadaan luka gadis itu.
Pada rakit ke dua tampak sebuah kursi, diatas kursi duduk seorang nyonya tua berbaju hijau bersanggul tinggi, dia tidak lain adalah Kiu cu Kui bo yang sudah banyak tahun hidup mengasingkan diri.
Dibelakang nenek itupun berdiri dua orang gadis berbaju sutera, seorang membawa hudtim sedang yang lain membawa tempolong kemala, biarpun rakit terombang-ambing ditengah ombak, mereka tetap berdiri tegak sekokoh batu karang.
Tidak seorang manusiapun diatas perahu yang menyadari kalau tubuh perahu mereka mulai tenggelam, karena perhatian mereka sudah tersedot oleh kehadiran dua buah rakit itu.
Terdengar Gi Peng-bwee bergumam sambil menghembuskan napas panjang:
"Aaah, akhirnya suhu datang juga"
Belum selesai ia bicara, tampak Kiu cu kui bo sudah mengebaskan tangannya, tahu-tahu tubuh berikut bangkunya sudah melayang setinggi tiga meter lebih dan meluncur ke atas perahu besar.
Berubah hebat paras muka kawanan gadis lebah itu setelah menyaksikan kelihayan orang.
Leng Cing-peng ikut menjerit sedih setelah menyaksikan perempuan berambut panjang yang berdiri diatas rakit itu:
"Cici!"
Dia berlarian menuju ke buritan perahu, setelah sangsi sejenak, akhirnya dia melompat naik ke atas rakit.
Paras muka Leng Cing-soat pun sedikit berubah, bisiknya pedih:
"Adikku, kau.... kau...."
Walaupun dua bersaudara itu telah saling berjumpa, namun
hubungan mereka serasa bagaikan hidup di dua dunia yang berbeda.
Dua orang gadis itu hanya saling bertatap muka dengan air mata berlinang, siapa pun tidak ada yang tahu, apakah pertemuan ini sebuah kenyataan atau hanya dalam impian"
Biarpun ada berjuta-juta perkataan yang ingin disampaikan namun tidak sepatah kata pun yang mampu diucapkan keluar.
Kawanan gadis berbaju sutera itu sama-sama tertunduk sedih, mereka tidak tega untuk menyaksikan lebih jauh.
Sementara itu si bocah pincang sambil membentak nyaring ikut melompat naik ke atas perahu, begitu tiba disamping Gi Cing-kiok, bisiknya sambil menarik ujung baju gadis itu:
"Mana orangnya?"
Gi Cing-kiok menghela napas sedih.
"Thiat kongcu telah menceburkan diri ke dalam sungai, bahkan jenasahnya pun tidak.... tidak..."
Bicara sampai disini dia melirik sekejap ke arah Sui Lengkong, kemudian dengan sedih menutup mulutnya kembali.
Bocah pincang itu merasakan hatinya bergetar, setelah termangu sejenak kembali tanyanya:
"Mana pula bajingan laknat itu?"
Gi Cing-kiok menggeleng.
"Saat itu pikiranku sedang kalut, tidak terlalu kuperhatikan"
"Kemungkinan besar telah dibawa pergi oleh Hay Tay-sau"
sela Gi Peng-bwee.
Sekali lagi bocah pincang itu tertegun, sambil menghentakkan kakinya dengan jengkel, omelnya:
"Apa-apaan kalian ini" Masa disuruh menyelesaikan persoalan ini saja tidak becus?"
"Hmm, seandainya kau yang melaksanakan tugas ini, mungkin keadaannya akan jauh lebih parah" seru Gi Cing-kiok gusar.
"Kalau bukan kalian bikin ulah, mana mungkin akan terjadi peristiwa semacam ini?" sambung Gi Peng-bwee pula dengan nada dingin.
Bocah pincang itu hanya bisa berdiri terbelalak dengan mulut melongo, dia tidak berani banyak bicara lagi.
Sementara itu Kiu cu Kui bo telah duduk dihadapan kawanan gadis lebah itu, dia duduk dengan wajah dingin bagaikan baja, agaknya nenek itu enggan berbicara dengan mereka dan sedang menunggu kemunculan pemimpinnya.
Tiba-tiba terlihat Li Ji-ci berlarian keluar dari ruangan sambil berteriak keras:
"Toaci.... dia telah melarikan diri, perahu ini.... perahu ini...."
"Kenapa dengan perahu ini?" tanya kawanan gadis lebah itu dengan wajah berubah.
Saking kalut dan paniknya Li Ji-ci tidak ambil perduli lagi apakah disitu hadir orang lain atau tidak.
Dengan napas tersengkal sengkal lanjutnya:
"Bukan saja toaci telah membawa kabur seluruh simpanan dan deposito kekayaan kita semua, bahkan membuka lubang penutup didasar perahu, sebentar lagi air akan menenggelamkan perahu ini"
Paras muka kawanan gadis lebah itu berubah makin hebat.
Sementara itu para jago anak buah Kiu cu Kui bo telah memeriksa pula keadaan perahu itu, sambil bertepuk tangan si bocah pincang itu segera berseru:
"Bagus, bagus sekali, perahu ini segera akan tenggelam"
Dengan wajah dingin menyeramkan Kiu cu Kui bo berkata:
"Kalau bukan sedang marah sekali, aku tidak akan kelewatan memojokkan orang, apalagi memaksa orang jadi anjing yang kecebur ke sungai, tapi...."
Dengan sorot mata setajam sembilu terusnya:
"Tapi kalian semua telah mencari gara-gara dengan perguruan kami, bila hari ini ingin kabur dari sini, paling tidak harus tinggalkan dulu sedikit tanda mata di tubuh masing masing"
"Tinggalkan apa?" tanya Yo Pat-moay.
"Karena pentolan kalian Hoa Toa-koh telah melarikan diri, sedang kalianpun hitung-hitung termasuk juga korban perbuatannya, aku tidak ingin kelewat menyusahkan kalian semua, masing-masing tinggalkan saja sebelah telinga kalian"
Berubah hebat paras muka kawanan lebah itu. Sambil tertawa seram Yau Su-moay berteriak:
"Kentut busuk! Nonamu akan pergi duluan" Waktu itu dia berada di buritan perahu, saat itu dia sudah bersiap siap terjun ke air untuk melarikan diri.
Siapa tahu baru saja tubuhnya hendak bergerak, tahu-tahu Ai Thian-hok yang tidak bermata itu sudah melayang melintas diatas kepalanya.... orang ini seolah memiliki banyak mata diseluruh tubuhnya, gerak-gerik setiap orang yang hadir disana seolah tidak dapat lolos dari pandangan matanya.
Kawanan lebah itu hanya mendengar deruan angin
berhembus, tahu-tahu Ai Thian-hok sudah terbang melintas dari atas kepalanya, di antara kebasan ujung bajunya tahu tahu dia sudah menyambar ujung baju Yau Su-moay.
Waktu itu tubuh Yau Su-moay sudah hampir menyentuh permukaan air, tahu-tahu dia sudah kena ditangkap dan diseret balik keatas perahu.
Kembali bocah pincang itu berteriak sambil bertepuk tangan:
"Hebat, hebat, nah bila ada di antara kalian yang mampu lolos dari cengkeraman toako ku, aku akan takluk kepadanya"
Tampak Ai Thian-hok menutulkan ujung kakinya diburitan perahu, kemudian setelah membanting tubuh Yau Su-moay diatas lantai, dia melayang balik ke depan Kiu cu Kui bo dengan melintasi kepala kawanan lebah itu.
Gerakan tubuhnya lincah, gesit dan cepat, ketika diimbangi dengan ujung bajunya yang berkibar ketika meluncur, gerak-geriknya tidak berbeda dengan seekor kelelawar raksasa.
Waktu itu paras muka Yau Su-moay telah berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, saking kagetnya nyaris dia jatuh semaput.
"Siapa lagi di antara kalian yang memaksa aku untuk turun tangan sendiri?" terdengar Kiu cu Kui bo kembali menegur dengan nada dingin.
Sambil berkata dia meraup tangannya ke muka dan menjawil perlahan wajah Yau Su-moay.
Terdengar Yau Su-moay menjerit kesakitan, telinga kirinya tahu-tahu sudah berada dalam genggaman Kiu cu Kui bo.
Kembali paras muka kawanan lebah itu berubah hebat, serentak mereka emosi dan berniat untuk beradu nyawa dengan nenek itu, di antara kilatan cahaya perak terdengar suara bentrokan senjata yang nyaring bergema di udara.
"Tunggu sebentar!" mendadak Yo Pat-moay membentak nyaring.
"Pat-moay.... kita.... kita...." sekujur tubuh Li Ji-ci gemetar keras.
"Kita tidak akan mampu melawan mereka" tukas Yo Pat-moay dengan wajah hijau membesi.
"Sekalipun tidak mampu kita tetap harus...."
"Kalau melawanpun tidak mampu, apa lagi yang mau dilawan?" kembali Yo Pat-moay menghardik dengan suara nyaring, "hidup lebih mendingan daripada mati konyol, tapi....
tapi.... tahukah kalian, kenapa aku harus mempertahankan hidupku?"
Kelihatannya perkataan itu telah menggetarkan perasaan hati kawanan lebah itu, serentak mereka tutup mulutnya rapat-rapat.
Setelah mendongakkan kepalanya dan menghela napas, ujar Yo Pat-moay lebih jauh:
"Kita harus tetap hidup karena kita akan balas dendam!"
Setelah memandang sekejap wajah kawanan gadis lebah itu, terusnya:
"Bagaimana pun juga kita harus temukan Hoa Toa-koh bukan" Dia tidak seharusnya tinggalkan kita semua dalam keadaan seperti ini!"
Sekarang dia langsung menyebut nama Hoa Toa-koh, hal ini menunjukkan kalau gadis ini sudah tidak mengakuinya sebagai toaci mereka lagi!
Kawanan gadis lebah itu tetap membungkam, namun mereka telah menundukkan kepalanya.
Mendadak Yo Pat-moay berpaling dan menatap wajah Kiu cu Kui bo tajam tajam, sepatah demi sepatah kata ucapnya:
"Akupun bersumpah akan mencari balas kepadamu!"
"Aku tahu!" jawab Kiu cu Kui bo perlahan.
"Kalau aku jadi kau, pasti akan membunuhku hari ini sebab kalau tidak, sekalipun hari ini kau hanya memotong sebelah telingaku, kemungkinan besar dikemudian hari aku akan memotong ke dua buah telingamu sekaligus!"
Secara lamat-lamat sekulum senyuman muncul menghiasi wajah Kiu cu Kui bo yang hijau dingin, sahutnya seraya mengangguk:
"Aku tahu, dan pasti akan kutunggu"
"Baik!"
Dia menengok sekejap sekeliling tempat itu, kini air sungai telah menggenangi permukaan geladak, tampaknya tidak lama kemudian perahu itu akan tenggelam.
Dengan satu gerakan cepat Yo Pat-moay mengiris sebuah telinga sendiri dan dilemparkan ke hadapan Kiu cu Kui bo, serunya:
"Seorang hanya sepotong telinga, kita tidak perlu berhutang kepadanya!"
Agaknya emosi kawanan gadis lebah itu dibangkitkan kembali oleh teriakan tersebut, diiringi teriakan keras kawanan gadis itu telah mengiris telinga masing-masing dan dilemparkan ke hadapan Kiu cu Kui bo.
"Dendam telah terikat, hutang telah terbayar, sekarang kita
pergi!" teriak Yo Pat-moay lagi.
Tanpa banyak bicara serentak kawanan gadis lebah itu terjun ke dalam sungai.
"Gadis-gadis hebat!" puji Kiu cu Kui-bo kemudian sambil meng hela napas panjang.
Melihat perahu sudah hampir tenggelam, kembali Kiu cu Kui bo berseru: "Mari kita pun pergi!"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh berikut bangkunya kembali meluncur ke atas rakit.
Tidak selang berapa saat kemudian semua orang sudah melompat turun ke atas rakit, kini perahu telah tenggelam, kawanan gadis lebah pun sudah tidak nampak lagi batang hidungnya.
Berada diatas rakit, Leng Cing-peng serahkan anak kunci kepada Leng Cing-soat, sekalipun mereka tidak tahu kalau Thiat Tiong-tong telah menyerahkan sejumlah harta karun untuk mereka namun kejadian tersebut cukup membuat mereka sedih bercampur terharu.
Dengan air mata berlinang Leng Cing-peng berpaling dan mengawasi Sui Leng-kong tanpa bicara.
Sui Leng-kong sendiripun berdiri dengan mata penuh air mata, kini dia seolah tidak bisa melihat apa pun.
Tiba-tiba si bocah pincang itu berjalan menuju ke hadapan ke tiga orang itu, sambil menjura dalam dalam katanya dengan tergagap:
"Cici bertiga.... siaute.... siaute...."
Walaupun perkataan itu tidak lengkap, namun Sui Leng-kong, Leng Cing-soat maupun Leng Cing-peng tahu apa maksud perkataan itu... andaikata bukan gara-gara ulahnya, tidak mungkin Thiat Tiong-tong akan mati tenggelam di sungai Huangho.
Lama sekali bocah pincang itu berdiri termangu, akhirnya kepada Ai Thian-hok yang berada di rakit lain, berteriak keras-keras:
"Toako, bolehkah aku memohon sesuatu kepadamu?"
"Permainan busuk apa lagi yang akan kau lakukan?" tegur Ai Thian-hok dengan suara dalam.
Kelihatannya dia sangat menyayangi saudara seperguruannya ini, sekalipun perkataan itu diucapkan tanpa senyuman, namun tanpa disadari sikapnya sudah menunjukkan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.
Dengan suara keras kembali bocah pincang itu berteriak:
"Aku mohon toako mau menemani aku mencari Sim Sin-pek, aku ingin mencincang tubuhnya menjadi dua puluh empat potong, kemudian sepotong demi sepotong diberikan kepada anjing"
"Kenapa harus aku yang menemani?"
Bocah pincang itu menghela napas panjang, sahutnya:
"Aku.... aku kuatir tidak bisa menangkan dia, lagipula aku kuatir akan membuat gara-gara lagi, selama toako mendampingiku, akupun tidak usah kuatir lagi"
Sekulum senyuman ramah segera tersungging diwajah Ai Thian-hok, tegurnya:
"Jadi sekarang kau sudah mengerti arti takut?"
Dengan wajah merah jengah bocah pincang itu menundukkan kepalanya, ujarnya terbata-bata:
"Bukan.... bukannya aku takut, tapi... tapi...."
Setelah tertawa ringan dia menghentikan perkataannya.
"Kalau takut katakan takut, itu mah urusan biasa, kenapa mesti malu!" kata Ai Thian-hok serius.
"Tapi toako, kenapa kau tidak pernah takut?"
"Siapa bilang aku tidak pernah takut, kalau aku tidak takut mungkin sejak dulu sudah mati, hanya saja ada sementara persoalan biarpun kau takut toh tetap harus dilakukan"
"Ada sementara persoalan, biarpun kau tidak takutpun tidak boleh dilakukan, bukan begitu?"
Sekali lagi Ai Thian-hok tertawa lebar.
"Betul sekali, orang harus bisa memilah mana yang boleh dan mana yang tidak, hanya pendekar yang bisa memilah dalam tindakan, dia baru dihormati orang lain"
Tiba-tiba terdengar Kiu cu Kui bo menghela napas panjang, ujarnya:
"Aaaai, walaupun Thian-hok adalah muridku, namun ada banyak ajaran yang justru dia lebih paham ketimbang aku"
"Tecu tidak berani dibandingkan dengan suhu" cepat Ai Thian-hok menundukkan kepalanya.
Kiu cu Kui bo menggeleng, kembali ujarnya sambil menghela napas:
"Pada dasarnya watakmu memang begitu, bukan berarti aku tidak mengetahui ajaran tersebut, tapi harus diakui, selama ini tindakanku kelewat emosional, napsu membunuhku kelewat berat, selama ini aku bertindak hanya menuruti suara hati sendiri, karena itu sering aku tidak bisa memilah mana yang baik
dan mana yang buruk"
Ai Thian-hok hanya tundukkan kepalanya tidak bicara, namun wajahnya kelihatan sangat terharu.
Kembali Kiu cu Kui bo berkata kepada bocah pincang itu:
"Lo-kiu, kau memang seharusnya banyak belajar dari toako mu"
"Tecu memang paling suka dengan toako" kata bocah pincang itu dengan kepala tertunduk.
Tanpa terasa sekulum senyuman menghiasi bibir Kiu cu Kui bo, gumamnya sambil menggeleng:
"Dasar bocah, aku berharap dia akan mengalami beberapa kali kerugian lagi, agar rasa takutnya makin tumbuh"
Gadis yang berdiri disamping Kiu cu Kui bo segera menimbrung sambil tertawa:
"Asal suhu mengurangi rasa sayang kepadanya, otomatis dia akan belajar makin sopan"
"Kau tidak boleh banyak bicara!" bentak Kiu cu Kui bo cepat, tapi tidak urung dia tertawa geli juga.
Diam-diam bocah pincang itu membuat muka setan kepada gadis tersebut, kemudian katanya lagi:
"Toako, sebetulnya kau bersedia tidak menemani aku?"
"Soal ini...." Ai Thian-hok kelihatan agak ragu.
"Thian-hok, pergilah temani dia!" perintah Kiu cu Kui bo kemudian.
Buru-buru Ai Thian-hok mengiyakan.
Terdengar gadis itu kembali berkata sambil tertawa:
"Coba lihat, suhu masih begitu memanjakan lo-kiu, tidak heran kalau dia masih ingin mencari gara-gara biar rambutnya nyaris habis terbakar"
"Bagus, rupanya kau iri, heei.... dasar perempuan julas!"
"Aaaai, dasar bocah, dia benar-benar tidak tahu aturan"
gumam Kiu cu Kui bo sambil menggeleng.
Sekalipun dimulut dia menghela napas namun senyuman ramah justru menghiasi bibirnya.
Leng Cing-soat serta Leng Cing-peng hanya bisa mengawasi mereka dengan melongo, saking tertegunnya mereka seolah sampai lupa menangis.
Melihat canda gurau antara guru dan murid, tanpa terasa mereka berpikir dalam hati:
"Kusangka Kui bo itu kejam dan buas, apalagi terhadap anak muridnya, tidak disangka ternyata hubungan batin mereka amat
akrab" Tanpa sadar mereka pun jadi terbayang dengan keluarga mereka sendiri, titik air mata kembali berlinang membasahi pipinya.
Bocah pincang itu membalikkan tubuh menengok ke arah dua orang perempuan itu, sambil membusungkan dada teriaknya lantang:
"Nona berdua, kalian tidak usah menangis, aku pasti akan membalaskan dendam bagi kalian!"
"Aku.... aku...." Leng Cing-soat tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, dia menangis sejadi-jadinya.
"Kau kenapa" Kau ingin ikut serta?" seru bocah pincang itu cepat, "jangan, jangan berbuat begitu, kau sudah terluka, harus merawat pula anakmu, kau tidak boleh ikut"
"Aku...." serentak Leng Cing-peng dan Sui Leng-kong ikut berseru.
"Tidak bisa, tidak bisa" kembali bocah pincang itu berteriak keras, "kalian adalah nona dewasa, mana boleh melakukan perjalanan bersama kaum lelaki" Bisa tidak leluasa"
Leng Cing-peng maupun Sui Leng-kong segera menundukkan kepalanya, sekalipun mereka adalah gadis gadis berperasaan, namun bila permintaannya ditampik orang, mereka tidak pernah melakukan perlawanan atau protes.
Gadis berbaju sutera itu kontan mengumpat:
"Dasar tidak tahu malu, masih bocah saja sudah mengaku seperti orang dewasa...."
"Kau.... kau...." teriak bocah pincang itu jengkel.
Dalam pada itu selisih jarak antara rakit itu dengan pantai tinggal berapa meter saja, tiba-tiba bocah pincang itu melompat ke arah rakit yang satu, kemudian sambil berlutut serunya:
"Suhu, bagaimana kalau tecu mohon diri lebih dulu?"
Belum sempat Kiu cu Kui bo menjawab, dia sudah melompat bangun sambil menowel pipi gadis berbaju sutera itu sambil berseru:
"Hei budak cilik!"
"Setan cilik" umpat gadis itu sambil tertawa
dan mengumpat, "kau.... toako, coba lihat perbuatannya, kalau kau tidak segera mengurusinya, mungkin dia tambah edan"
Tapi bocah pincang itu sudah melompat ke daratan dan kabur dari situ.
Dari kejauhan terdengar dia berteriak sambil tertawa:
"Toako, kau tidak usah menggubris budak itu, dialah si budak edan, Gi Siau-hong, aku beritahu, selama hidup kau tidak bakal laku kawin"
Si nona yang bernama Gi Siau-hong itu mencak-mencak semakin gusar, teriaknya:
"Suhu, coba lihat ulahnya, Siau-hoa dia...."
Kiu cu Kui bo segera menarik tangan nona itu sambil menukas:
"Coba lihat kalian semua, seharian ribut melulu, seakan tidak ada urusan di dunia ini yang bisa membuat kalian sedih"
Kemudian sambil berpaling katanya lagi:
"Thian-hok, cepatlah pergi, kau awasi baik-baik tingkah laku Siau-hoa!"
Ai Thian-hok mengiakan dan segera melompat ke udara, dalam berapa kali lompatan dia sudah lenyap dari pandangan mata.
Melihat itu Kiu cu Kui bo gelengkan kepalanya sambil menghela napas, ujarnya:
"Aku lihat belakangan ini tabiat Thian-hok makin lama makin pendiam, tapi kungfunya semakin tangguh ketimbang aku"
Di pihak lain Sui Leng-kong, Gi Cing-kiok, Gi Peng-bwee serta dua bersaudara Leng diam-diam berdoa, mereka berharap kedua orang itu bisa secepatnya menemukan Sim Sin-pek dan membalaskan dendam bagi orang yang telah meninggal.
BAB 12 Antara Budi dan Dendam
Waktu itu Sim Sin-pek sudah dibanting keras keras ke atas geladak perahu oleh Hay Tay-sau.
Secara lamat-lamat Hay Tay-sau menyaksikan ada tubuh seseorang yang basah kuyup berbaring melingkar ditengah ruang perahu, tampaknya tubuh orang itu baru saja diangkat dari dalam air, kesadarannya belum pulih.
Hay Tay-sau sama sekali tidak mengenalinya, bahkan Bi lek hwee yang menyelamatkan orang itupun tidak mengenali siapakah gerangan orang tersebut.
.... Seandainya Bi lek hwee tahu, mungkin dia tidak bakalan menyelamatkan jiwanya.
Berbeda dengan Sim Sin-pek, dia kenali siapakah orang itu bahkan sangat mengenalinya.
Saat itu tubuh Sim Sin-pek sudah dibanting keras keras oleh Hay Tay-sau, kini dia berbaring dilantai sambil merintih kesakitan.
Baru saja Hay Tay-sau hendak bertanya siapa orang yang berada dalam ruang perahu, tiba-tiba terdengar Bi lek hwee membentak keras:
"Kenapa bisa kau!"
Hay Tay-sau segera berpaling, tampak Bi lek hwee sedang menuding ke arah Sim Sin-pek dengan kening berkerut.
"Bukankah kau adalah Sim Sin-pek" Kenapa bisa jadi begini?"
tegurnya. "Jadi kau kenali dia?" tanya Hay Tay-sau cepat.
Bi lek hwee manggut-manggut.
"Tentu saja kenal, dia adalah murid Hek Seng-thian, bagaimana ceritanya" Kenapa dia sampai mengusikmu?"
Kontan Hay Tay-sau mencaci maki, umpatnya:
"Orang ini pengecut dan berhati busuk, di saat bahaya dia tega menghianati teman sendiri, jelas dia bukan manusia baik-baik, manusia semacam ini hanya akan meninggalkan bencana bagi umat persilatan"
"Kalau begitu antara kalian berdua tidak ada ikatan dendam atau sakit hati?" tegas Bi lek hwee setelah tertegun sejenak.
"Hmm! Manusia semacam itu belum pantas punya ikatan dendam denganku" teriak Hay Tay-sau gusar.
"Hahahaha.... betul, betul sekali, jelek-jelek begini paling tidak hanya seorang lelaki sejati yang pantas mengikat tali permusuhan dengan Thian-sat-seng!"
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia menghela napas sambil berkata:
"Tapi sayangnya orang ini mempunyai sedikit hubungan dengan lohu"
"Hubungan apa?" kontan Hay Tay-sau mendelik.
"Kalau bukan dia yang datang ke Bi lek tong dan memberi laporan, lohu tidak bakal tahu kalau muridku yang tidak becus itu telah diajak pergi Hek Thian-seng!"
"Ooh, selain itu?"
"Dia tidak menerangkan kejadian sebenarnya secara terperinci, katanya dia sendiripun sedang berusaha melarikan diri, karena kasihan, lohu malah sempat memberi uang kepadanya"
"Apa" Hanya karena obrolannya yang tidak jelas, kau rela duitmu dibohongi" Inikah yang kau sebut ada sedikit hubungan?"
Bi lek Hwee sedikit tertegun, tapi segera sahutnya sambil tertawa:
"Hahaha.... bagaimana pun juga lohu tidak tega menyaksikan dia mampus karena dibunuh.."
"Baiklah! Hukuman mati boleh diabaikan, tapi hukuman hidup tidak bisa dihindari!"
Mendadak dia lancarkan sebuah tendangan keras membuat tubuh Sim Si-pek terpental keluar dari perahu, serunya sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha.... mau hidup, mau mampus, terserah bagaimana nasib mu nanti"
Ketika Bi lek Hwee menyusul ke tepi perahu, dia sudah tidak menjumpai bayangan tubuh Sim Si-pek lagi, maka sambil membalikkan tubuh katanya agak geram:
"Inikah yang kau maksud mengampuni jiwanya?"
"Tentu saja" sahut Hay Tay-sau sambil tergelak, "toh tercebur ke sungai bukan berarti pasti mampus, bukankah kau pun telah selamatkan seseorang dari dalam air?"
Beberapa saat Bi lek Hwee termangu, akhirnya sambil menepuk bahu Hay Tay-sau teriaknya lantang:
"Ternyata kau lebih cengli ketimbang aku, ayoh kita periksa bagaimana keadaan orang yang ada dalam ruang perahu"
Thiat Tiong-tong yang berada dalam ruang perahu sudah mulai mendusin dari pingsannya.
Secara lamat-lamat dia mendengar semua pembicaran yang berlangsung di luar ruang perahu, hatinya jadi terperanjat ketika mendengar murid Hek Seng-thian berada diluar saat itu.
Tapi hatinya kembali jadi lega setelah mendengar suara tubuh seseorang yang tercebur ke dalam air.
Belum sempat ingatan lain melintas dalam benaknya, Hay Tay-sau dan Bi lek Hwee sudah melangkah masuk ke dalam ruangan.
Tentu saja dia mengenali ke dua orang itu, sebaliknya kedua orang itu sama sekali tidak mengenalinya.
Ketika melihat pemuda itu sudah tersadar kembali, sambil tertawa Bi lek Hwee segera berkata:
"Aaah, rupanya bukan saja tidak mati malahan sudah tersadar kembali!"
"Hahahaha.... aku lihat selama hidupmu sudah kelewat banyak melukai orang, mungkin menolong orang lain baru pertama kali ini, bukan begitu" Kalau tidak, tidak mungkin kau menunjukkan perasaan begitu gembira"
Bi lek Hwee ikut tertawa tergelak.
"Hahahaha.... tebakanmu tepat sekali, lohu sih pernah berbuat baik, cuma soal menolong orang lain.... hehehehe....
mungkin baru kali ini kulakukan"
Sambil membungkukkan tubuh dan menepuk punggung Thiat Tiong-tong, katanya lagi lembut:
"Anak muda, apakah sudah kau muntahkan semua air yang masuk ke dalam perutmu?"
"Terima kasih lotiang atas pertolonganmu" ujar Thiat Tiong-tong sambil tertawa getir, "budi kebaikanmu ini...."
Dia sendiripun tidak menyangka kalau selembar jiwanya ternyata telah diselamatkan musuh besarnya, tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan hatinya waktu itu.
Terdengar Bi lek Hwee kembali berkata dengan lembut:
"Setelah minum begitu banyak air sungai, perasaan tubuhmu saat ini tentu tidak karuan, tidak usah banyak bicara dulu, beristirahatlah baik-baik!"
Thiat Tiong-tong tidak membantah, dia benar-benar pejamkan matanya, bukan saja tidak bicara bahkan dadanya bergelombang
tidak stabil, hal ini menunjukkan kalau pikiran dan perasaan hatinya amat kacau.
Selama ini Hay Tay-sau hanya menyaksikan dari samping tanpa bicara, sementara Bi lek Hwee sibuk mengambil cawan, menuang air dan mencampurkan bubuk obat ke dalam air itu.
Sesaat kemudian dia baru membangunkan Thiat Tiong-tong sambil melolohnya obat tersebut, katanya lembut:
"Makanya anak muda, lain kali mesti hati-hati kalau bertindak, bagaimana ceritanya sampai kau tercebur ke sungai?"
Thiat Tiong-tong menghela napas panjang, dia tutup mulutnya rapat-rapat tanpa menjawab.
Sebenarnya diapun ingin menolak untuk minum obat, tapi pikiran lain segera melintas, bagaimana pun jiwanya sudah diselamatkan orang ini, jadi tidak ada alasan baginya untuk menampik obat tersebut.
Mengawasi perubahan wajah pemuda itu, dengan kening berkerut Bi lek Hwee segera menegur:
"Kalau kulihat kau selalu menghela napas panjang lebar, keningpun selalu berkerut seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hatimu, sebetulnya persoalan apa sih yang sedang membebani dirimu?"
Thiat Tiong-tong hanya menghela napas sambil menggeleng.
Sambil menepuk bahu pemuda itu kembali Bi lek Hwee berkata sambil tertawa:
"Anak muda, kau masih muda dan gagah, sekalipun ada persoalan janganlah kelewat dimasukkan ke dalam hati, kenapa"
Patah hati" Jangan putus asa, jangan kuatir, orang setua lohu saja masih mampu mencari tiga bini empat gundik, apalagi pemuda tampan macam kau! Kalau ada nona yang tidak mau denganmu berarti dia buta matanya, lohu janji pasti akan kucarikan nona yang kecantikannya sepuluh kali lipat lebih hebat dari dia"
"Kakek, kau keliru" sambil tertawa getir Thiat Tiong-tong menggeleng, "cayhe...."
"Haah, tebakanku salah?" tukas Bi lek Hwee dengan kening berkerut, "baik, biar lohu tebak sekali lagi, bila bukan urusan patah hati, jangan jangan.... kau ada kesulitan soal ekonomi?"
Sambil menepuk bahu pemuda itu katanya lagi sambil tertawa:
"Jangan kuatir, jangan kuatir, kalau hanya persoalan ini, kau lebih tidak perlu kuatir lagi, anak muda suka foya-foya itu
lumrah, apa artinya kehabisan duit?"
Sambil menuding ke arah Hay Tay-sau tambahnya lagi:
"Coba kau perhatikan tampangnya, dia itu duit kontan, berapa pun yang kau inginkan, asal bicara dengannya maka uang segera akan datang"
"Hahahaha.... hebat betul kau ini" teriak Hay Tay-sau sambil tertawa, "rupanya kau memang sangat dermawan"
"Hmm, kalau kau tidak mau beri juga tidak apa-apa, lohu juga punya" potong Bi lek Hwee gusar.
"Lotiang...." Thiat Tiong-tong menghela napas panjang seraya menggeleng.
"Jadi bukan?" Tanya Bi lek Hwee melongo, lama setelah termenung ia baru berteriak:
"Aaah, ditinjau dari potongan tubuhmu yang lemah lembut seperti pelajar, kau pasti sudah dibuat jengkel orang lain, jangan takut, jangan takut, katakan saja siapa orang itu, biar lohu hajar dia!"
"Lotiang keliru besar, cayhe cuma terpeleset lantaran kelewat mabuk"
"Hahahaha.... bagus, bagus sekali, terpeleset lantaran mabuk"
Hay loheng, sudah kau dengar" Ternyata anak muda ini tidak beda jauh dengan kita, sama-sama setan arak"
"Kalau begitu kita mesti ajak dia minum sampai sepuasnya"
seru Hay Tay-sau sambil tertawa pula.
Buru-buru Thiat Tiong-tong meronta untuk bangun, kembali teriaknya:
"Lotiang, terus terang aku mengakui, sebetulnya aku adalah seorang manusia rendah yang tidak tahu malu, secara diam-diam aku telah mencintai ibu guruku sendiri, itulah sebabnya aku jadi mabuk berat"
Kemudian sambil sengaja menundukkan kepalanya rendah dia melanjutkan:
"Sebenarnya aku tidak pingin menceritakan persoalan ini, tapi lantaran sikap lotiang yang membuatku terharu, maka dengan tebalkan muka terpaksa aku harus mengakuinya"
Untuk sesaat Bi lek Hwee berkerut kening, tapi sebentar kemudian dia sudah menyahut sambil tertawa:
"Tidak perlu kuatir, tidak perlu kuatir, bisa dimaklumi kalau anak muda gampang melakukan kekhilafan, apalagi kaupun berani mengakui kesalahanmu, orang yang berani mengaku salah, dialah yang pantas disebut seorang lelaki sejati"
Thiat Tiong-tong tertegun.
"Soal ini.... soal ini..."
Sikap Bi lek Hwee semakin baik kepadanya, dia merasa semakin sedih, diam-diam pikirnya:
"Lebih baik aku sengaja mengakui sebagai orang yang amat jahat agar dia benci dan marah kepadaku, dalam gusarnya bisa jadi dia akan memakiku atau bahkan menendangku ke dalam sungai, kalau sampai begitu, keadaan malah lebih mendingan"
Siapa tahu apa pun yang dia katakan selalu dijawab Bi lek Hwee dengan jawaban "tidak usah takut, tidak usah takut", dia seolah sama sekali tidak menganggap perbuatannya sebagai hal yang amat buruk.
Sikap semacam ini tentu saja membuat Thiat Tiong-tong makin tertegun hingga tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Hay Tay-sau hanya mengawasi semua tingkah laku Bi lek Hwee dengan senyuman dikulum.
"Hey tua bangka, apa yang kau tertawakan?" tegur Bi lek Hwee segera sambil mendongakkan kepalanya.
"Hahahaha.... Aku sedang mentertawakan dirimu, padahal dihari biasa kau selalu berangasan dan tinggi emosinya, kemana larinya keberangasanmu itu?"
Mendadak terdengar Thiat Tiong-tong berteriak gusar:
"Aku sudah mengakui semua perbuatanku yang rendah dan tidak tahu malu, tapi kau selalu menyuruhku tidak usah takut, Hmmm! Hal ini membuktikan kalau kaupun bukan manusia baik-baik!"
Anak muda ini betul betul kehabisan akal sehingga mau tidak mau terpaksa harus berlagak gusar, asal Bi lek Hwee sampai bangkit emosinya, mulai memakinya atau malah menghajarnya, maka dia akan menggunakan kesempatan itu untuk kabur dari sana.
Siapa tahu bukannya marah sebaliknya Bi lek Hwee malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha,.... anak baik, pada hakekatnya watakmu tidak jauh berbeda dengan watakku!"
Kemudian setelah menepuk bahu anak muda itu, ujarnya lagi sambil tertawa:
"Setelah mendengar perkataanmu itu, bukan saja lohu tidak akan marah, malah aku berpendapat apa benar kau telah melakukan perbuatan seperti itu, seandainya benar, aku yakin
kau pasti punya alasan untuk dimaafkan"
Kontan Thiat Tiong-tong merasakan darah panas ditubuhnya bergelora keras, dengan sedih ia menundukkan kepalanya.
"Lotiang, kenapa kau begitu.... begitu baik kepadaku...."
keluhnya. Perasaan hati yang gejolak keras membuat suaranya sedikit agak sesenggukan.
Perlu diketahui, walaupun Bi lek Hwee telah selamatkan nyawanya namun dia sama sekali tidak merasa perlu berterima kasih, sebab dia tahu Bi lek Hwee bukan berniat menyelamatkan jiwanya.
Hingga Bi lek Hwee menunjukkan sikap yang begitu menaruh perhatian, dia baru betul-betul merasa terharu.
Tapi yang membuat dia benar benar merasa terharu adalah begitu percayanya Bi lek Hwee terhadap dirinya, sekalipun dia sudah mengakui telah melakukan perbuatan jahat, namun Bi lek Hwee tetap percaya kepadanya, malah berkata bahwa pasti ada alasan untuk memberi maaf kepadanya.
Sekalipun perasaan hatinya lebih keras dari baja pun tidak urung dia merasa terharu juga dibuatnya.
.... Perlu diketahui, sikap dan perhatian yang diberikan seseorang secara wajar, rasa percaya serta pengertian yang diberikan seseorang tanpa paksaan, sejak dulu memang paling gampang meluluhkan perasaan seorang lelaki sejati.
Bi lek Hwee sendiripun ikut tertegun berapa saat, akhirnya sambil mengelus jenggot sendiri yang memutih, dia berkata sambil tertawa:
"Kejadian ini memang agak aneh, lohu sendiripun tidak mengerti kenapa bisa bersikap macam begitu kepadamu"
Thiat Tiong-tong benar-benar merasakan hatinya terharu, sambil pejamkan mata dia berpikir:
"Walaupun Perkampungan keluarga Seng, Benteng Han hong po maupun Bi lek tong mempunyai dendam kesumat denganku, tapi sulit bagiku untuk melupakan budi kebaikan Seng Cun-hau yang telah menolongku, akupun tidak bisa melupakan cinta kasih dua bersaudara Leng yang begitu baik dan cinta kepada kami bersaudara....
Dan sekarang, apa mau dikata lagi lagi aku harus berhutang budi pertolongan dari Bi lek Hwee...."
Untuk sesaat Thiat Tiong-tong terjebak dalam pemikiran yang kalut, sekarang dia telah disodorkan pada pilihan yang sulit,
antara budi dan dendam, mana yang harus dia pilih"
"Ooh Thian...." keluhnya didalam hati, "apa yang harus Thiat Tiong-tong lakukan sekarang"
Mendadak terdengar Hay Tay-sau berseru sambil tertawa tergelak:
"Hahahaha.... bukan cuma kau yang heran, aku sendiripun merasa keheranan.
"Hey, apa yang sedang kau katakan?" tegur Bi lek Hwee,
"masa bicarapun tidak ada ujung pangkalnya, bikin aku jadi bingung"
"Bukankah kau tidak tahu apa sebabnya sikapmu begitu baik kepadanya" Aku tahu jawabannya"
"Hahahahaha.... bagus, bagus sekali, jika jawabanmu benar, lohu pasti akan mentraktirmu.... Paling tidak aku akan mengundangmu minum tiga ratus cawan arak"
"Ini disebabkan kau si tua bangka tidak pernah punya anak, baru saja mendapat seorang murid dengan susah payah, eeeh..
malah kabur dibohongi orang!"
Kemudian sambil menepuk bahu Thiat Tiong-tong, lanjutnya:
"Sementara selembar nyawa pemuda ini berhasil kau selamatkan dengan tanganmu sendiri, orang bilang: bila seseorang telah diselamatkan jiwanya, hubungan batin itu pasti melebihi hubungan orang tua. Biarpun kau tidak tahu bagaimana jalan pikiran orang, tapi kau si tua bangka secara diam-diam telah menganggap dia sebagai anak yang kau ciptaan"
"Anak yang aku ciptakan?" Bi lek Hwee berkerut kening,
"ucapanmu benar-benar tidak enak didengar, dapatkah kau gunakan perkataan yang lebih halus?"
Sekalipun begitu, tak urung dia tertawa juga dengan nyaring, tertawa gembira!
"Hahahaha.... betul, perkataanku memang kasar dan tidak enak didengar, tapi bukankah sangat tepat" Kalau seorang kakek yang sudah enam puluh tahunan tiba-tiba bisa punya anak, tentu saja dia akan merasa gembira sekali"
Meskipun Bi lek Hwee ingin mengumpat, namun gelak tertawa gembiranya membuat dia tidak sanggup berbicara lagi.
Thiat Tiong-tong sendiripun dibuat menangis tidak bisa tertawa pun tidak dapat, dia hanya bisa membungkam dalam seribu bahasa.
Kembali Hay Tay-sau berkata sambil tertawa: "Kalau memang begitu, aku rasa lebih baik kau benar-benar menerimanya
sebagai anak angkatmu saja, agar aku pun bisa ikut menikmati arak kegembiraan"
"Aaah kau si tua bangka, kecuali minum arak apa lagi yang bisa kau pikirkan?"
"Biarpun dimulut kau masih memakiku, padahal dalam hati kecilmu merasa sangat berterima kasih bukan?"
"Hahahaha.... betul, betul sekali, lohu memang sangat berterima kasih kepadamu"
Thiat Tiong-tong yang mendengarkan pembicaraan tersebut hanya bisa berkeluh didalam hati.
Tiba-tiba Hay Tay-sau menepuk bahunya keras keras, kemudian serunya sambil tertawa tergelak:
"Kalau dia benar benar menganggapmu sebagai ayah, maka aku si tua bangka lah yang bakal dirugikan, kulihat dia masih muda, berbakat bagus dan merupakan bahan yang baik untuk dilatih ilmu silat, hey tua bangka, kenapa kau tidak mengangkatnya jadi muridmu saja?"
"Maaf, aku tidak bisa mengangkatnya menjadi guruku" tiba-tiba Thiat Tiong-tong berseru.
Bi lek Hwee segera menarik kembali senyumannya, dengan wajah berubah serunya: "Kenapa?"
Paras muka Hay Tay-sau ikut berubah, teriaknya pula:
"Masa kau tidak tahu kalau nama besar Bi lek tong sudah amat termashur dalam dunia persilatan?"
"Tentu saja aku tahu"
"Kalau sudah tahu kenapa menolak" Jangan-jangan...."
"Yaa, jangan-jangan kau merasa malu dengan nama Bi lek tong ku itu?" tukas Bi lek Hwee dengan wajah agak gusar.
"Aku sama sekali tidak punya pikiran begitu" sahut Thiat Tiong-tong sambil tertawa getir, "hanya saja.... hanya saja...."
"Hanya saja kenapa" Lohu pingin tahu penjelasanmu"
Satu ingatan melintas dalam benak anak muda itu, tiba-tiba dia terawa nyaring:
"Hahahaha.... cayhe merasa cocok sekali dengan kalian berdua, sebetulnya aku pingin menjadi sobat minum arak, jika sekarang aku mesti menjadi muridnya, berarti tingkatanku akan satu tingkat lebih rendah, bukan saja gerak gerikku terbatas, bagaimana mungkin aku bisa menantang kalian berdua untuk minum sampai mabuk"
Hay Tay-sau tertegun sesaat kemudian diapun tertawa tergelak.
"Betul, betul sekali!"


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yaa, masuk diakal, sangat masuk diakal" teriak Bi lek Hwee pula dengan wajah berseri, "seandainya lohu jadi kau, akupun tidak bakalan sudi menurunkan derajat sendiri dari seorang teman menjadi murid orang lain"
"Kalau begitu biar kau gagal mendapat seorang murid tapi justru mendapat seorang teman minum, bagus, bagus sekali...."
seru Hay Tay-sau lagi.
Sementara gelak tertawa masih bergema, perahu telah merapat ditepian daratan.
Daratan itu bukan dermaga juga bukan kota, melainkan sebuah tempat yang sepi dan terpencil.
Dengan kening berkerut Bi lek Hwee segera berteriak kepada si tukang perahu itu:
"Lohu sedang buru-buru ingin minum arak, kenapa kau malah menepi disini?"
Tampaknya si tukang perahu itupun seorang anggota kangouw kawakan, mendengar pertanyaan itu dia segera tertawa, sahutnya:
"Arus sungai di depan sana amat deras, penumpang disampan ku juga kelewat banyak, kalau sampai sampan ini terbalik di depan situ, bukankah kalian akan gagal minum arak" Jadi lebih baik menepi disini saja, sekalipun lebih lambat tapi paling tidak masih ada kesempatan untuk menikmati arak"
"Aaai, pandai amat kau bersilat lidah, tahu kalau mulutmu tajam, lotoa tidak perlu menyewa perahu mu dengan ongkos lipat ganda"
"Hahahaha.... Siapa yang tidak kenal dengan aku si tukang perahu kilat Thio Sam dari sungai Huangho" Kalau kalian tidak menyewa perahuku, siapa lagi yang mampu membawa kalian melalui arus deras itu!"
Bi lek Hwee melotot besar, sampai lama sekali dia mengawasi tukang perahu itu, tiba-tiba kembali dia tertawa keras.
"Bagus, bagus sekali, anak muda, kau memang hebat, sekalipun sedikit agak jumawa tapi lohu tidak bakal marah"
"Kalau aku tidak punya kemampuan, masa berani sombong di depanmu" sahut si tukang perahu Thio Sam cepat.
"Kalau tidak mampu masih berani sombong, lotoa pasti sudah menendangmu sampai tercebur ke sungai" seru Bi lek Hwee sambil melompat naik ke daratan.
"Thio Sam" seru Hay Tay-sau pula sambil tertawa, "sekalipun
kau sedikit jumawa namun aku merasa cocok denganmu, cepatlah pergi membawa sedikit uang perak ini untuk minum arak, kalau dikemudian hari menjumpai kesulitan, datanglah mencari aku"
Meskipun dia mengatakan "sedikit uang perak", namun yang dilemparkan justru sekeping uang emas yang cukup besar.
"Traaang!" uang emas itu jatuh diatas geladak perahu, namun si tukang perahu Thio Sam sama sekali tidak meliriknya, malahan kepada Thiat Tiong-tong katanya sambil tertawa:
"Mereka senang kepadaku, akupun senang kepadamu, bila dikemudian hari kau ada urusan di seputar sungai Huangho, datanglah mencari aku si tukang perahu Thio Sam"
Untuk sesaat Thiat Tiong-tong tidak tahu harus bicara apa, dengan perasaan berterima kasih dia segera menjura sambil melompat naik ke daratan.
Diiringi suara bentakan, si tukang perahu Thio Sam telah mendayung sampannya menjauh dari situ.
Waktu itu Hay Tay-sau sedang berdebat dengan Bi lek Hwee soal arah yang akan ditempuh untuk mencari kedai arak, tapi tempat diseputar sana amat sepi dan terpencil, jangan lagi kedai arak, bayangan manusia pun tidak kelihatan.
"Tahu begini...." keluh Hay Tay-sau dengan kening berkerut.
Belum selesai dia bicara, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai berkumandang datang.
Seorang pemuda tampan dengan menunggang seekor kuda jempolan terlihat bergerak lebih duluan dipaling depan diikuti rekan-rekan lainnya di belakang.
Ketika tiba ditepi sungai, lamat-lamat terdengar seseorang bergumam keheranan:
"Aneh sekali, kenapa perahu besar itu bisa lenyap secara tiba-tiba?"
"Losam" kedengaran seorang yang lain berkata, "kau tidak perlu gelisah, jangan-jangan masih berada di depan sana"
Ternyata rombongan manusia berkuda itu tidak lain adalah rombongan dari Ouyang bersaudara.
Dengan kening berkerut Hay Tay-sau segera menegur:
"Hey anak muda, mau ke mana kalian?" Begitu menjumpai Hay Tay-sau, paras muka Ouyang hengte pun berubah hebat, buru-buru mereka menjura lalu bukannya turun dari kuda, rombongan itu malah mempercepat lari kudanya untuk kabur lewat sisi mereka.
"Siapa sih rombongan anak muda itu" Begitu tidak tahu diri!"
umpat Bi lek Hwee gusar.
Hay Tay-sau menghela napas panjang.
"Aaaai.... ! Siapa lagi kalau bukan Ouyang hengte yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, hidup gembira dikota tidak mau malahan mencari penyakit dengan mengusik sarang lebah, untung perahu mereka sudah tenggelam, kalau tidak....
entah maksiat apa lagi yang bakal mereka perbuat, aaai....
memandang diatas wajah orang tuanya, lebih baik kita tidak usah mencampuri urusan mereka"
"Dasar kawanan lelaki hidung bangor" umpat Bi lek Hwee,
"mentang mentang dari keluarga kaya, lantas mau berhura-hura semau sendiri, huuuh, kalau aku jadi lotoa, ogah mencampuri urusan tetek bengek macam begitu"
Hay Tay-sau kembali menghela napas panjang.
"Aaai, sebenarnya keluarga Ouyang adalah sebuah keluarga persilatan kenamaan, dalam perkampungan merekapun penuh dengan orang cantik, aku betul-betul tidak habis mengerti, kenapa mereka justru lebih suka mengusik sarang lebah liar di tempat ini?"
"Hahahaha.... Hay lote seperti tidak mengerti saja, orang selalu bilang bunga di kebun tetangga selalu lebih indah daripada bunga dikebun sendiri, karena sudah terbiasa dengan kawanan gadis lemah lembut, tentu saja mereka akan menganggap kurang terangsang, jadi tidak heran kalau pingin berganti selera dengan memburu bunga liar"
"Waah, tidak kusangka pengalamanmu sungguh hebat"
"Berapa banyak lelaki sih di dunia persilatan yang jarang bermain perempuan macam dirimu?"
Sambil tertawa tergelak dia segera berlalu dari situ.
Tanpa erasa mereka bertiga berjalan menuju ke arah mana rombongan kuda tadi berasal.
Walaupun mereka beralasan ingin secepatnya menemukan kedai untuk minum arak, padahal mereka berjalan amat santai, semuanya berjalan dengan langkah lebar dan sama sekali tidak menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Thiat Tiong-tong sendiripun merasa inilah kesempatan baginya untuk melarikan diri, namun dia merasa tidak tega untuk berbuat begitu hingga selama inipun hanya mengintil saja.
Entah berapa saat sudah lewat, mendadak terdengar suara desingan angin tajam bergema membelah angkasa.
Tiga batang anak panah dengan membawa keliningan emas melesat diudara menyambar ke depan Hay Tay-sau.
Melihat anak panah itu Hay Tay-sau kontan saja mengumpat:
"Dasar begal tidak tahu diri, berani amat mengincar yaya mu!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, terlihat dua sosok bayangan manusia bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Sambil tertawa Hay Tay-sau berkata:
"Kalian berdua tidak usah panik, biar aku mencari kesenangan dulu dari orang itu"
Ke dua orang itu membawa golok besar dengan wajah ditutup kain hitam, pakaian yang dikenakan mewah dan indah.
Diam-diam Thiat Tiong-tong berpikir keheranan:
"Orang bilang kawanan begal disepanjang pesisir Huangho miskin dan hidup susah, kenapa dua orang lelaki ini justru mengenakan pakaian yang begitu indah dan mewah?"
Baru berpikir sampai disitu, kedua orang lelaki berpakaian indah tadi sudah melintangkan goloknya sambil menghadang jalan pergi mereka bertiga.
Lelaki yang berada disebelah kiri segera berseru:
"Bila kalian bertiga sedang melakukan perjalanan, silahkan mengambil jalan berputar!"
Hay Tay-sau segera maju menyongsong, dengan lagak gugup bercampur ketakutan serunya:
"Lohan-ya, kami tidak membawa uang.... kami tidak membawa uang"
"Siapa yang mau membegal uang kalian?" sahut lelaki itu sambil tertawa, "ayoh cepat pergi!"
"Kalau tidak mau duit, lantas mau apa datang kemari?" Tanya Hay Tay-sau keheranan.
"Memangnya kau sudah tuli" Kami hanya minta kalian mengambil jalan berputar, asal tidak melalui jalanan ini maka tidak ada urusan lagi"
"Waah, kelihatannya dia tidak jadi senang" bisik Bi lek Hwee kepada Thiat Tiong-tong. Anak muda itu tertawa lebar. Sementara itu Hay Tay-sau sambil garuk garuk kepala telah berkata lagi:
"Terus terang.... sebetulnya aku membawa banyak uang"
"Mau punya uang banyak atau tidak bukan urusan kami, cepat pergi bersama uangmu itu"
"Aku bukan saja punya uang bahkan banyak sekali
jumlahnya, bila hohan berdua ingin, ambil saja dan gunakan
semaumu" Iming-iming ini kontan saja membuat lelaki berbaju perlente itu tertegun, tanpa sadar dia awasi lawannya dengan mata mendelik, pikirnya:
"Jangan-jangan orang ini sudah edan?"
Lelaki yang berada disamping kanannya tidak tahan untuk gelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Manusia macam begini memang langka dan jarang dijumpai, orang tidak berniat merampok, dia malah sodorkan duitnya...."
Belum selesai dia bergumam, Hay Tay-sau sudah merogoh sakunya dan mengeluarkan segempok kertas, ternyata semuanya uang kertas dalam nominal besar.
Sambil diperlihatkan kepada dua orang lelaki itu, terdengar Hay Tay-sau berkata lagi:
"Jika kalian berdua mau, ambil saja uang ini, cayhe tidak bakal berani melawan"
Lelaki yang ada disebelah kanan menarik napas panjang, katanya kemudian:
"Sun loji, kalau toh orang ini paksa kita untuk membegal, rasanya kurang enak untuk menampik keinginannya"
"Tapi...." Sun loji yang berdiri disisi kiri agak sangsi, "tapi loya telah berpesan...."
"Aaah, toh dia sendiri yang menghantar diri, kalau tidak diambil rasanya kurang sopan, asal kita tidak membegal rasanya loya juga tidak bakalan marah kepada kita berdua!"
Sembari berkata dia segera menyambar tumpukan uang kertas itu.
Mendadak Hay Tay-sau membentak keras, sambil menyimpan kembali duitnya dia berteriak:
"Bajingan cilik, ternyata kalian memang begal, ingin merampok duit toaya mu" Dasar bajingan bermata buta"
Kembali lelaki berbaju perlente itu tertegun, kemudin bentaknya penuh amarah:
"Semula kukira kau hanya orang sinting yang tidak waras otaknya, ternyata memang sengaja hendak mencari gara-gara"
"Hahahaha.... Benar, aku memang berniat menghancurkan mangkuk dan kuali kalian!"
Diiringi gelak tertawa keras, Hay Tay-sau mementangkan ke lima jari tangannya lebar-lebar, diiringi desingan angin tajam dia langsung mencengkeram dada lelaki itu.
Tidak terlukiskan rasa gusar dan kaget lelaki perlente itu,
buru-buru dia melancarkan pukulan disertai tendangan.
Menghadapi jago kampungan semacam ini, tentu saja Hay Tay-sau tidak pandang sebelah mata pun, bentaknya:
"Roboh kau!"
Begitu tangannya memotong, lelaki itu segera roboh terjungkal diiringi jerit kesakitan.
Sun Loji yang menyaksikan betapa hebatnya kepandaian silat yang dimiliki Hay Tay-sau tentu saja semakin tidak berani berkutik, diam-diam dia membalikkan tubuh kemudian kabur terbirit-birit.
Sesudah lari berapa jauh dia baru berani mengumpat:
"Bangsat, tunggu saja pembalasan dari kami!"
Siapa tahu baru selesai dia bicara, tahu-tahu tengkuknya sudah dicengkeram Hay Tay-sau sambil mengumpat:
"Bajingan cilik, kau berani mengumpat orang!"
Dengan cepat dia mengambil segenggam Lumpur kemudian di jejalkan ke dalam mulutnya.
Sun loji tidak mampu berkutik, Lumpur itu membuatnya ingin muntah tapi sayang tidak ada yang bisa ditumpahkan keluar.
"Aaah, permainanmu macam kampungan!" olok Bi lek Hwee sambil gelengkan kepalanya.
"Memangnya kau anggap aku beneran sedang
mempermainkan mereka?"
"Kalau bukan lagi mempermainkan orang, buat apa mesti iming-imingi mereka dengan uangmu?"
"Keliru, keliru besar" ujar Hay Tay-saU serius, "mereka sengaja memaksa kita untuk berputar lewat jalan lain, tahukah kau karena apa" Masa tidak bisa kau tebak?"
Bi lek Hwee termenung sambil berpikir berapa saat, seakan baru sadar apa yang terjadi, serunya sambil bertepuk tangan:
"Aaah betul, sudah pasti konco-konconya sedang melakukan kejahatan di depan sana, maka mereka tidak ingin ada orang luar yang mengganggu pekerjaan itu" Hay Tay-sau tersenyum.
"Kedua orang ini enggan merampok duitku karena atasannya sudah memberi perintah agar mereka tidak membegal yang kecil hingga menggagalkan sasaran yang lebih besar"
"Betul, betul, hahahaha.... kalau sampai gara-gara urusan kecil, masalah besar jadi berantakan, itu namanya begal bloon!"
"Kawanan begal ini bukan saja tidak goblok bahkan mempunyai peraturan yang ketat, jelas kelompok mereka merupakan sebuah organisasi yang ketat, pentolannya pun tentu
orang kenamaan"
"Waah, tidak kusangka kau yang nampaknya goblok ternyata memiliki otak yang jernih, kalau memang begitu, kenapa kita tidak langsung ke situ untuk menengok keadan yang sesungguhnya?"
Hay Tay-sau segera melepaskan ikat pinggang Sun Loji dan dipakai untuk mengikat tubuh ke dua orang itu kuat-kuat, katanya kemudian sambil tertawa:
"Mengingat kalian masih sempat bersikap hormat, kuampuni jiwa kalian kali ini"
Tampaknya Bi lek Hwee sudah tidak sabar untuk menanti, dia sudah menarik tangan Thiat Tiong-tong unuk bergerak duluan.
Waktu itu langit sudah mulai remang-remang, senja kembali menjelang tiba.
Ditengah angin yang berhembus kencang, tiba-liba hujan mulai turun semakin deras, ditengah hujan angin inilah mereka bertiga melanjutkan perjalanannya.
"Aaah benar!" mendadak Thiat Tiong-tong berseru.
"Apanya yang benar?" tidak tahan Hay Tay-sau bertanya.
"Ouyang hengte berpakaian perlente dan menunggang kuda jempolan, rombongan semacam ini paling mencolok mata bila melewati daerah pinggiran yang miskin, jika aku pingin membegal, merekalah yang pertama kali kucegat!"
Hay Tay-sau melongo sejenak, kemudian teriaknya:
"Aah betul juga omonganmu...."
Bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya dia segera melesat maju ke depan.
"Hey anak muda, kau sanggup menyusul lohu?" Tanya Bi lek Hwee seraya berpaling.
Dalam hati Thiat Tiong-tong tertawa geli, dia tahu orang tua inipun ingin cepat melihat keramaian, maka sahutnya:
"Ilmu meringankan tubuhku tidak bagus, mana mungkin bisa menyusulmu?"
Belum selesai dia bicara, Bi lek Hwee sudah cengkeram bahunya dan menyeret anak muda itu untuk bergerak cepat ke depan.
Kelihatannya Hay Tay-sau sangat menguatirkan keselamatan Ouyang bersaudara, dia bergerak cepat bagaikan terbang, betul saja, tidak lama kemudian sudah terlihat cahaya golok bayangan pedang segera berkelebatan ditengah hujan angin.
Dia tahu keturunan keluarga kenamaan ini hanya kerjanya
main perempuan, minum arak dan berfoya-foya, dapat dipastikan ilmu silat mereka sangat cetek.
Sekalipun pedang yang digembol adalah pedang kenamaan, namun ilmu pedangnya pasti tidak seberapa hebat, dengan kemampuan semacam itu tentu saja mereka tidak akan mampu menghadapi kawanan jago dari kalangan Liok-lim yang setiap hari kerjanya memang bergelimpangan diujung senjata.
Saking cemas dan gelisahnya, belum lagi tubuhnya tiba ditempat tujuan, dia sudah membentak nyaring:
"Thian sat seng berada disini, siapa yang masih berani bertarung dihadapanku!"
Ditengah jeritan kaget dan teriakan tertahan, suara beradunya senjata seketika terhenti.
Dengan sepasang tangan melindungi dada, Hay Tay-sau meluncur di tengah udara dan menerobos masuk ke tengah kerumunan orang banyak.
Seperti apa yang diduga Thiat Tiong-tong, ternyata orang yang sedang dikepung oleh puluhan lelaki berkerudung dengan senjata lengkap itu tidak lain adalah Ouyang bersaudara.
Kini kuda kuda jempolan mereka sudah dituntun orang lain, pakaian perlente mereka pun sudah kotor oleh keringat dan Lumpur, sekalipun dalam genggaman masih memegang pedang yang tajam dan indah, namun mereka semua sudah terengah-engah macam orang kehabisan napas, wajah mereka pucat pias dan keadaannya sangat mengenaskan.
Sebaliknya puluhan lelaki berkerudung yang mengepung mereka justru kelihatan gesit dan cekatan, dari gerak gerik yang masih begitu bersemangat dapat diketahui bahwa siapa m
Dendam Iblis Seribu Wajah 3 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Cacad 6
^