Pendekar Pemetik Harpa 17

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 17


i dua wisu yang
menerjang maju telah ditutuknya terjungkal. Kepandaian Toh
So-so agak lemah, tapi ilmu pedangnya ternyata amat lincah
dan enteng, begitu dia menerjang ke tengah orang banyak,
seperti kupu-kupu menari di antara rumpun kembang, meliuk
ke kiri menusuk ke kanan, berputar ke kanan membabat ke
belakang, dalam beberapa gerakan saja, beberapa wisu telah
roboh berkelejetan direnggut pedangnya.
973 Tenaga Han Cin sudah pulih beberapa bagian diapun
mainkan cambuk lemasnya, khusus dia menyerampang kaki
musuh, sehingga wisu yang berada di sekitarnya sama
berlompatan mundur takut dililit kedua kakinya.
"Bagus," seru Lenghou Yong. "kiranya kau perempuan
siluman ini. Hm, kau bisa lolos dari barisan pedang Huwan
bersaudara, coba dapatkah kau lolos dari genggamanku?"
mendadak dia melompat kedua jari terangkap menjulur
setajam anak-anak panah, "Cras" cambuk lemas Han Cin kena
digunting oleh jarinya.
Dia bergerak sebat, tapi Ti Nio tidak lambat. Bentaknya:
"Siapa berani mengusik dia," telapak tangannya memukul
terbalik, sehingga pukulan kedua yang dilancarkan Lenghou
Yong menyerang Han Cin harus dibatalkan untuk melawan
pukulan terbalik ini.
Meski putus ujung cambuknya, sebat sekali Han Cin
menarik cambuk, tapi tiba-tiba cambuk lemasnya itu telah
molor ke depan pula setangkas ular sakti terus membelit
kedua kaki orang. Walau Lenghou Yong memperoleh sedikit
keuntungan, betapapun dia tidak mampu merampas cambuk
Han Cin, terpaksa dia melompat jauh keluar kalangan.
Tapi kawanan wisu datang semakin banyak, mereka telah
membentuk barisan manusia mengepung lebih ketat, walau Ti
Nio beramai melabrak musuh dengan sengit, dalam waktu
singkat jelas mereka takkan bisa menjebol kepungan.
Tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring, tampak beberapa
sinar api bercahaya benderang membumbung tinggi ke
angkasa, kawanan wisu tampak berlarian sambil berkaokkaok:
"Lekas, lekas bantu sini, cegat musuh yang meluruk
kemari," segera dari arah tenggara dan barat laut suaranya
mendapat sahutan yang sama, semua minta bantuan tenaga
untuk membendung serbuan musuh. Ternyata rombongan
pertama murid-murid Kaypang telah menyerbu masuk. Meski
jumlahnya tidak banyak, tapi kepandaian mereka cukup
974 pilihan, di tengah kegelapan, kawanan wisu tiada yang tahu
berapa banyak musuh, satu sama lain sukar dibedakan, yang
jelas disana sini ada musuh muncul, karuan mereka bingung
dan gugup. Di tengah pertempuran sengit itu, tiba-tiba seorang
menyelinap ke samping Kek Lam-wi, saking bernafsu
menggasak musuh, kepala Kek Lam-wi serasa pening,
pandanganpun telah kabur, tanpa memperhatikan, secara
reflek serulingnya menutuk ke hiat-to orang ini Untung orang
itu berlaku sebat, sambil menyingkir dia berseru: "Kek-heng,
inilah aku." Baru kini Kek Lam-wi melihat jelas, yang datang
adalah Liong-bun-kiam-khek Coh Ceng-hun.
Lekas Kek Lam-wi bertanya: "Adakah kau melihat Ngo-ko
dan Liok-ko?" orang nomor 5 dan 6 dalam Pat-sian adalah To
It-kiau dan Thong Jian-hong, mereka kumpul bersama Ti Nio,
Kek Lam-wi dan lain-lain di rumah keluarga Coh.
"Memang aku hendak beritahu kepadamu, mereka telah
menyerbu ke penginapan duta-duta Watsu, mungkin disana
mereka akan melakukan pertempuran sengit, lekas kalian
kesana bantu mereka."
Saat mana belasan murid Kaypang telah menyerbu tiba
bergabung dengan Ti Nio. Walau jumlahnya tidak sebanding
dengan kawanan wisu tetapi dalam pertempuran di tempat
gelap begini jelas pihak mereka tidak gampang dirugikan.
Ui-yap Tojin mati di tangan orang-orang Watsu, Kek Lamwi
sudah bertekad hendak menuntut balas kematian
Samkonya itu, maka dia berkata: "Baik, tolong dan bantu Tisusiok,
bersama Pat-moay aku akan menyusul ke penginapan
orang-orang Watsu membantu Ngoko dan Liokko," letak
penginapan sebelumnya sudah mereka selidiki. "Selama ini
Tan Ciok-sing dan In San tidak kelihatan, jikalau mereka
berada di taman ini pasti mereka tahu kejadian pertempuran
disini. Sejauh ini mereka tidak kelihatan muncul, bukan
975 mustahil sekarang mereka berada di penginapan orang-orang
Watsu?" demikian batin Kek Lam-wi
000OOO000 Dugaannya memang tidak keliru, Tan Ciok-sing dan In San
memang sudah menyelundup kesana. In San tahu apal
keadaan disini maka dia yang menunjuk jalan, tengah mereka
merunduk maju sambil sembunyi di bayang-bayang pohon,
dari samping tiba-tiba menerobos keluar seorang busu Watsu,
kontan dia membentak dengan bahasa Watsu. Tan Ciok-sing
tidak mengerti apa maksud perkataan orang, terpaksa dia
bergerak sebat menutuk hiat-tonya.
Kiranya kedua pihak sebelumnya sudah mengatur cara
kontak yang sempurna, kata-kata busu merupakan sandi
rahasia yang harus dijawab dengan kata rahasia dari bahasa
Han pula. Karena Tan dan In berdua mengenakan seragam
wisu maka dia menyapa dengan bahasa sandi yang telah
ditentukan. Tutukan Tan Ciok-sing amat telak sehingga busu itu
terkulai lemas, tapi sebelum dia kehilangan kesadaran
ternyata masih mampu bersuara minta tolong. Ternyata
kungfu busu ini memang tidak lemah, biasanya orang tertutuk
hiat-tonya pasti semaput, tapi Ciok-sing tadi menutuk dengan
setengah tenaga maka orang masih mampu bersuara sebelum
terkulai jatuh.
Lekas In San tarik Ciok-sing sembunyi di semak kembang,
karena teriakan minta tolong tadi seorang busu Watsu telah
memburu datang dan sempat melihat mereka, bentak busu
itu: "Siapa, kenapa main sembunyi?" bahasa Hannya ternyata
cukup fasih, suaranya juga seperti sudah dikenal.
Kepandaian busu ini agaknya lebih tinggi dari busu yang
tertutuk hiat-tonya, begitu habis bicara orangnyapun sudah
memburu tiba, kedua tangan terulur ke depan, tangan kiri
976 menangkap Tan Ciok-sing, tangan kanan mencengkram In
San, dia pikir hendak menelikung mereka berdua.
Tanpa berjanji serempak Tan Ciok-sing dan In San
lancarkan gerakan pedang terbalik, kontan busu itu berseru
kaget dan heran menghadapi keliehayan ilmu pedang mereka.
Jari yang mencengkeram diubah menjadi jentikan, "Creng"
pedang In San kena dijentiknya membal. Tapi jarinya yang
menjentik pedang Tan Ciok-sing hampir saja terpapas protol.
Untung dalam keadaan gawat itu dia sempat menarik tangan.
Sebat sekali busu itupun telah mencabut golok sabit yang
disandangnya, secepat kilat dia menyerbu dengan bacokan
kilat kedua arah. Kini Tan dan In berdua sudah membalik
tubuh berhadapan, maka dia melihat jelas penyerangnya ini.
Busu ini bukan lain adalah salah satu pengawal Siau-ongya
dari Watsu yang siang tadi ikut tamasya di tembok besar.
Busu ini bernama Poyang Gun-ngo salah seorang dari lima
busu Watsu yang memperoleh pangkat Padulo, padulo adalah
suatu anugrah dari sang junjungan berpangkat tinggi sebagai
busu pemberani yang tiada bandingan.
Secepat kilat sepasang pedang Tan Ciok-sing dan In San
sama menusuk pula dari kanan, lekas Poyang Gun-ngo angkat
goloknya menangkis, di tengah percikan kembang api,
mukanya tampak kaget, ternyata telapak tangannya tergetar
kesakitan. Setelah Tin-ih-tiang-khong, jurus susulannya adalah Singhay-
hu-ja dan Ceng-thian-jan-gwat, ketiga jurus ini
dilancarkan sekaligus dalam sekali tarikan napas, merupakan
tiga jurus rangkaian ilmu pedang gabungan mereka yang
paling liehay khusus untuk menyerang, Poyang Gun-ngo
mampu menangkis jurus kedua, namun golok sabitnya sudah
gumpil 'sebagian, begitu menangkis jurus ketiga, sepasang
goloknya sudah tak mampu dipegangnya lagi, semuanya
tergetar jatuh di tanah. Selama hidup dan malang melintang
kapan dia pernah kalah separah dan serunyam ini. Saking
977 kagetnya lekas dia jumpalitan mundur setombak lebih, hatinya
hambar pikiran kosong, dia keheranan.
Tiga jurus memukul mundur musuh, sebat sekali Tan dan
In menyelinap kedalam rumpun kembang. Setelah Poyang
Gun-ngo dapat menenangkan diri bayangan merekapun sudah
tidak kelihatan.
"Karena keributan ini, mungkin sukar kita turun tangan,"
demikian kata In San. "Tapi, kita tetap harus mencobanya.
Aku tahu satu jalan rahasia, mari kau ikut aku."
Tah Ciok-sing mengintil saja di belakang In San berputar
kayun di antara semak kembang dan batu-batuan, setelah
melewati dua gua, mereka memasuki sebuah paya-paya
kembang pada saat itulah tiba-tiba seorang membentak:
"Maling bernyali besar, lari kemana?"
In San kira jejak mereka sudah konangan, tapi di kala
mereka merandek, didengarnya derap langkah orang berlari
ke arah sana bukan ke tempat persembunyian mereka. In San
tetap berkuatir, katanya: "Mungkin Toan-toako dan Han-cici
juga telah datang?"
Mereka sembunyi di bawah paya-paya kembang sambil
mencuri lihat keluar, lekas sekali merekapun memperoleh
jawaban. Yang dikejar dan diluruk kawanan busu Watsu
ternyata adalah To It-kiau dan Thong Jian-hong, orang ke lima
dan ke enam dari Pat-sian.
Dua busu Watsu tampak memakai senjata yang aneh
bentuknya, seorang menggunakan senjata yang berbentuk
pedang bukan pedang, seperti tombak bukan tombak, kalau
dikata pedang karena memiliki dua mata pedang, dikata
tombak karena panjangnya tidak menyerupai tombak
umumnya yang panjang.
Seorang busu lagi memegang dua macam gaman, tangan
kiri pegang golok tangan kanan menyekal pentung pendek.
Umumnya orang memakai pentung panjang dan golok
978 pendek, tapi gaman orang ini justru terbalik, pentung pendek
golok panjang. Busu yang bergaman pedang aneh itu berseru: "Kalian
mundur, jangan nanti manusia liar dari selatan ini memandang
rendah kita busu dari Watsu."
Busu yang bersenjata pentung dan golok ikut berolok-olok,
katanya: "Kalian pasti apa yang disebut si gendut dan si kurus
dari Pat-sian yang berkecimpung di Tionggoan-" Hehe, aku
sudah pernah mencoba kepandaian si Hwesio dan si Tosu,
semula merekapun seperti kalian, tepuk dada mengagulkan
diri, tapi akhirnya yang satu masuk berdiri rebah keluar, yang
satu meski tidak mati, tapi juga sudah menjadi timpang."
Begitu berhadapan dengan kawanan busu ini, To dan
Thong sama memuncak , amarahnya mendengar olok-olok
mereka pula, semakin berkobar murka mereka, bentaknya:
"Bagus, kiranya kalian yang membunuh Ui-yap Samko kita."
Waktu itu Ui-yap dan Sia-cin menghadapi keroyokan
banyak busu dari Watsu, tapi kematian Ui-yap dan Sia-cin
yang terluka parah sampai cacad kakinya lantaran perbuatan
kedua busu ini. Tulang kaki Sia-cin remuk tertutuk oleh
pentung dan tergores luka yang dalam oleh pentung dan
golok busu ini. Hal ini pernah diceritakan Sia-cin kepada para
saudaranya waktu mereka berkumpul di rumah keluarga Coh.
Belakangan Sia-cin Hwesio juga sudah mencari tahu, busu
yang bersenjata pedang aneh ini bernama Ho Lan-kian,
senjatanya itu bernama Siang-bun-kiam, sementara busu yang
bersenjata rangkap pentung dan golok bernama Sat Thiancau.
Kedua orang ini bersama Poyang Gun-ngo dan seorang
busu lagi yang bernama Ma Toa-ha disanjung sebagai Maha
Padulo di kalangan busu Watsu. Kepandaian mereka setaraf
dengan jago-jago kosen kelas wahid di Tionggoan.
Ho Lan-kian tertawa tergelak-gelak katanya: "Aku sudah
tahu kalian mau menuntut balas kematian Ui-yap Tojin,
979 hayolah maju, kita boleh satu lawan satu, supaya kalian mati
dengan meram."
"Baik," bentak Thong Jian-hong, "kaulah lawanku,"
senjatanya Sam-kiat-kun segera digentak mengepruk ke arah
Ho Lan-kian. Di sebelah sanaTo It-kiau juga sudah melabrak
Sat Thian-cau. Sam-kiat-kun yang digunakan Thong Jian-hong memang
merupakan kepandaian tersendiri, senjatanya ini dapat
digunakan mengunci dan merampas senjata lawan, maka dia
menantang Ho Lan-kian yang bergaman Siang-bun-kiam, dia
harap senjatanya yang khusus ini dapat memetik keuntungan
dari kelemahan lawan.
Diluar tahunya bahwa Siang-bun-kiam Ho Lan-kian ini
ternyata berbeda dengan senjata umumnya, gaya
permainannya juga berlainan dengan ilmu pedang di
Tionggoan khususnya. Begitu pedang dan pentung tiga ruas
itu saling bentrok, terbitlah suara berdering nyaring, dalam
sekejap mereka sudah bergebrak sebanyak tiga puluh jurus.
Di tengah pertarungan sengit itu, tiba-tiba Ho Lan-kian
menyelinap maju, pedang yang bermata dua itu tiba-tiba
menusuk dan menjojoh, menusuk penting sekaligus menutuk
hiat-to mematikan pula. Sebatang pedang ternyata
permainannya diselingi tipu-tipu boan-koan-pit yang khusus
untuk mengincar hiat-to lawan. Pedang umumnya hanya
memiliki satu ujung jelas tak mungkin melancarkan serangan
seaneh itu. In San yang menyaksikan di tempat gelap, diam-diam
berkeringat dingin, teriaknya: "Celaka Thong Jian-hong
mungkin celaka."
"Tang" belum habis teriakannya, senjata beradu bayangan
tergerak mundur, Thong Jian-hong tersurut tiga langkah,
980 sementara Ho Lan-kian melompat jumpalitan setombak lebih,
agaknya Thong Jian-hong lebih unggul seurat.
Lega hati Tan Ciok-sing, katanya: "Bila mereka menepati


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

janji, satu lawan satu, kita tak usah kuatir bagi keselamatan
Thong-liokhiap."
Di sebelah sana To It-kiau kontra Sat Thian-cau berhantam
keras. To It-kiau bersenjata Liu-sing-tui, merupakan gaman
yang berat demikian pula golok dan pentung Sat Thian-cau,
setiap kali beradu pasti menimbulkan percikan kembang api.
Sat Thian-cau mengembangkan kemahiran permainan
pentung dan golok, pentung selalu mengetuk, menyontek dan
menjojoh, sementara goloknya membacok membelah dan
mengiris, rangsakan kedua senjata sederas hujan badai, setiap
serangan teramat ganas dan mematikan. Tapi bandulan
meteor To It-kiau ternyata berdesing nyaring berputar tidak
kalah hebatnya, udara seperti diaduk oleh kekuatan deru
bandulannya, setapakpun dia tidak mau mengalah. Kedua
pihak setanding sama kuat, sebelum tiga ratusan gebrak
mungkin takkan ada yang kalah atau menang.
Sebelum bergebrak tadi Ho dan Sat sudah menyatakan
pertempuran ini satu lawan satu, tapi busu Watsu yang
berdatangan menonton pertempuran ini semakin banyak,
mereka mengelilingi gelanggang jadi seperti mengepung
musuh, pada hal Poyang Gun-ngo juga datang menyaksikan di
pinggir arena. Beberapa kejap setelah menyaksikan adu kekuatan kedua
kawannya tiba-tiba Poyang Gun-ngo geleng-geleng kepala.
Tan Ciok-sing memperhatikan sambil memasang kuping, jelas
dia mendengar Poyang Gun-ngo berkata kepada seorang busu
di dekatnya: "Kedua orang ini bukan mata-mata yang tadi
kupergoki. Uutuk apa sebanyak ini orang menonton saja,
suruh sebagian yang lain pergi mencari jejak mata-mata yang
tadi." 981 "Bagaimana?" Maksudnya tanya In San apakah perlu
membantu To dan Thong.
In San berpikir sejenak, katanya: "Untuk menolong mereka,
kukira lebih baik kita meringkus" pentolan mereka lebih dulu."
Waktu Tan Ciok-sing menelaah usul In San tiba-tiba
dilihatnya seorang wisu dari keluarga Liong lari mendatangi.
Seorang busu Watsu segera membentak dengan sandi
rahasia. Wisu keluarga Liong itu segera menjawab dengan
sandi rahasia dari bahasa Han, sembari menjawab dia
mengulap sebelah tangan dengan tanda tersendiri pula, tanpa
berhenti dia terus berlari ke depan, busu Watsu itupun tidak
merintangi. Sandi rahasia itu berarti "Saudara sebangsa, hidup
berdampingan", sandi rahasia ini sebelumnya sudah diikrarkan
kedua pihak. Utusan orang-orang keluarga Liong yang diutus
ke penginapan tamu-tamu Watsu ini sebelumnya harus
mempelajari sandi rahasia itu dan bahasa Watsu.
Setelah berhadapan dengan Poyang Gun-ngo wisu itu
berkata: "Liong-kongcu suruh aku menyampaikan kepada
Tayjin, mata-mata itu adalah dua muda mudi, yang laki
bernama Tan Ciok-sing yang perempuan bernama In San,
keduanya Tayjin pernah melihatnya."
Poyang Gun-ngo heran, tanyanya: "Kapan aku pernah
melihat mereka?"
"Tan Ciok-sing adalah pemuda yang siang tadi memberi
seekor burung kepada Siau-ongya kalian waktu berada di
Sian-khim-sia, In San adalah temannya, tapi dia perempuan
yang menyamar laki-laki berdandan seperti pelajar, kini
mereka berseragam wisu kita."
"Iya, tak heran aku seperti pernah melihat mereka," ujar
Poyang Gun-ngo keplok tangan, "sungguh memalukan,
kenapa aku jadi keblinger."
Kini Tan Ciok-sing sudah paham maksud perkataan In San,
bila dirinya ragu-ragu sejenak lagi, Poyang Gun-ngo pasti akan
982 segera bertindak dengan anak buahnya, maka dia berkata:
"Betul, mari kita ringkus Duta mereka. Memang akal bagus,
adik San tunjukkan jalan."
Memang untuk membebaskan tekanan berat yang
mengancam To dan Thong berdua mereka perlu memecah
perhatian mereka sehingga To dan Thong menjadi longgar
dan caranya adalah membekuk pemimpin mereka yang jadi
Duta serta memeras dan dijadikan sandera. Meski harapan
kecil, tapi justru dicoba mengadu untung.
Maka In San menarik Tan Ciok-sing menyusup ke deretan
barak buah anggur yang panjang, dari luar barak anggur ini
seperti dirambati dedaunan dan dahan serta akar pohon yang
lebat sehingga rapat tidak tembus hawa, pada hal di dalamnya
tersembunyi lorong panjang yang jarang diketahui orang.
Keluar dari lorong rahasia ini, mereka sudah berada di
pekarangan dalam dibilangan penginapan yang khusus
dibangun untuk para pembesar asing. Pada hal bangunan
gedung disini hanya menduduki sebidang tanah dari
keseluruhan taman yang luas", tapi jumlahnya juga ada dua
tiga puluhan rumah. Di rumah mana duta Watsu itu
menginap" Bila harus memeriksa satu persatu, kapan baru
tugas mereka selesai.
Di waktu mereka berdiri kebingungan, tiba-tiba muncul
seorang busu Watsu entah dari balik gunungan atau dari
semak kembang, dengan suara berat dia membentak:
"Hujiludo."
Tergerak hati ln San, segera dia menjawab: "Tongsulakao,"
waktu dia perhatikan di sekitar sini hanya ada seorang busu
ini. Melihat mereka menjawab tepat seperti sandi yang telah
dijanjikan, busu Watsu itu segera memapak maju dengan seri
tawa ramah mengajak mereka bicara. Katanya: "Agaknya
983 kalian hendak minta bertemu dengan Siau-ongya kita bukan?"
dengan logat kaku busu itu bicara berbahasa Han.
In San kegirangan, pikirnya: "Jadi Siau-ongya kiranya ada
disini. Sungguh kebetulan kita jadi tidak usah mencarinya
ubek-ubekan," maka dia menjawab: "Betul kita diutus Liongkongcu
kemari untuk lapor sesuatu kepada Siau-ongya. Entah
Siau-ongya kalian sudah tidur belum?"
Busu itu menjawab: "Semula sudah tidur, begitu terjadi
keributan diluar, mana Siau-ongya bisa tidur lagi" Tadi dia
malah keluar ingin melihat keramaian, setelah kubujuk susah
payah baru dia mau masuk kembali. Nah lihatlah, bukankah
dia sedang mondar mandir dalam kamarnya?"
Tan dan In memandang ke arah tangannya menuding,
tampak dibalik bayangan pepohonan yang tinggi di depan
sana, menjulang tinggi atap sebuah gedung berloteng warna
merah, jendelanya kebetulan menghadap kemari, di layar
jendela yang terbuat dari kain sutra merah bening tampak
bayangan seorang, dari bentuk bayangannya cukup dikenali
bahwa dia memang Siau-ongya adanya.
"Kalian tunggu sebentar, biar kulaporkan kepada Siauongya,"
ujar busu Watsu.
"Tidak usah kau susah-susah," cegah In San, "kami akan
menghadap sendiri," mendadak dia rangkap kedua jarinya
menutuk hiat-to busu itu.
Tan Ciok-sing berkata: "Nanti setelah berhadapan dengan
Siau-ongya, jangan kau buru-buru turun tangan."
Dengan perlahan Tan Ciok-sing mengetuk jendela, Siauongya
segera membentak: "Siapa?"
"Aku," sahut Tan Ciok-sing, "orang yang memberi burung
kepadamu siang tadi."
Siau-ongya masih kenal suaranya, kejut dan girang cepat
dia memburu maju membuka jendela. Melihat Ciok-sing
984 berdua berpakaian seragam wisu dia melengak heran. Tapi
segera dia menduga: "Mungkin karena memandang mukaku,
maka Liong Bun-kong terima mereka sebagai wisu."
Tan Ciok-sing berkata: "Temanku juga datang Siau-ongya
mau menerimanya?"
"Temanmu adalah temanku, boleh silhikan masuk
bersama," kata Siau-ongya tertawa ramah.
Semula In San bermaksud membekuk Siau-ongya ini lebih
dulu, tapi karena Tan Ciok-sing telah mencegahnya, terpaksa
dia bersabar. Setelah menempati kursinya masing-masing, Siau-ongya
berkata dengan senang: "Tan-toako memang dapat dipercaya,
kukira beberapa hari lagi baru kau akan kemari."
"Siau-ongya," ucap Tan Ciok-sing, "aku ingin bicara
sejujurnya dengan kau, bukan sengaja kedatanganku ini
hendak menyambangi kau."
In San menambahkan dengan suara dingin: "Seragam wisu
yang kami pakai inipun rampasan."
Siau-ongya kaget, katanya: "Jadi, jadi kalian ini siapa?"
"Kami adalah pembunuh yang hendak ditangkap Liong Bunkong,"
sahut Tan Ciok-sing.
Lama Siau-ongya terlongong, katanya kemudian: "Kalian
bermusuhan dengan Liong Bun-kong?"
"Betul, bukan saja dia musuh kami diapun musuh bersama
bangsa Han kita."
"Lho, kenapa?"
"Karena sebagai pembesar kerajaan, dia justru menjual
negara dan bangsa demi mencapai kesenangan hidup,
kemaruk harta gila pangkat. Tanah perdikan dari bumi
Tionghoa nan besar ini dijual kepada bangsa Watsu kalian."
985 Berubah air muka Siau-ongya, katanya: "Tan-toako, aku
menganggapmu sebagai kawan, aku hanya ingin tanya
kepadamu, kini apa kau ingin menghindari pengejaran orangorang
keluarga Liong di tempatku ini?"
"Kau keliru lagi bukan maksud kami kemari menghindari
pengejaran mereka," sampai disini . mendadak Tan Ciok-sing
angkat sebelah tangannya membelah ujung meja seperti golok
membelah sayur saja ujung meja itu terpapas jatuh. Melihat
kekuatan telapak tangannya yang hebat ini, saking kaget Siauongya
sampai kesima dengan mulut melompong, tapi dia tidak
berani berteriak.
"Siau-ongya, kau tidak usah takut," sela In San. "Tantoakoku
ini juga masih menganggapmu sebagai kawan, tapi
bila kau berteriak, maka jangan kau sesalkan kalau kami
bertindak keji kepadamu."
Siau-ongya tenangkan diri, katanya: "Tan-toako, apa betul
kau menganggapku sebagai kawan?"
"Kalau aku tidak menganggap kau sebagai teman, buat apa
aku membuang waktu untuk berbicara dengan kau. Tapi
apakah selanjutnya kita tetap sebagai kawan, terserah kepada
kau." "Apa kehendak kalian atas diriku?" tanya Siau-ongya.
"Siau-ongya, ingin kutanya kepada kau, pasukan besar
Watsu kalian menyerbu ke tanah air kita, menduduki bumi
kita, membantai rakyat kita coba katakan betulkah itu?"
"Urusan negara aku tidak tahui Tapi, sudah tentu aku tidak
mengharap adanya peperangan."
"Itu sih tergantung bagaimana sifat peperangan itu. Kalian
memukul kita, maka kita dipaksa untuk melawan. Kalau
peperangan sudah terjadi, yang gugur bukan rakyat kita saja,
bangsa Watsu kalian juga akan kehilangan pahlawanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
986 pahlawannya. Jadi kedua pihak sama-sama mengalami derita
siksa peperangan itu."
Siau-ongya berpikir sebentar, katanya: "Uraianmu memang
benar. Terus terang, aku pribadi juga tidak senang melihat
pasukan besar Watsu kita dikerahkan untuk memerangi
bangsa kalian.?"
"Syukurlah bahwa kau tahu akan hal ini. Oleh karena itu
kuharap kau sudi melakukan satu hal."
"Hal apa?"
"Secara diam-diam Liong Bun-kong meneken perjanjian
rahasia dengan ayahmu, perjanjian yang hakikatnya
merupakan permohonan damai dan takluk dari Dynasti Bing
terhadap Watsu kalian. Kami ingin minta bantuanmu untuk
mendapatkan, copy dari perjanjian damai itu."
In San menambahkan: "Terus terang, kalau copy
perdamaian itu kau serahkan kepada kami, untuk kalian ayah
dan anak juga ada manfaatnya."
Siau-ongya tertawa getir, katanya: "Maaf kalau otakku
terlalu dogol, aku tidak mengerti, kenapa dikata ada
manfaatnya bagi kami?"
"Baiklah kuterangkan," ujar Tan Ciok-sing, "semula kami
anggap ayahmu sebagai musuh, kalian ayah beranak harus
ditangkap. Malam ini yang menyerbu kemari bukan hanya
kami berdua, masih banyak lagi pahlawan-pahlawan bangsa
kita yang sedang melabrak wisu keluarga Liong, jangan kira
busu Watsu kalian" mampu menahan serbuan kita, tapi bila
kau mau membantu menyerahkan copy perjanjian damai itu
kepada aku, aku akan memohonkan keringanan untuk kalian
ayah dan anak, supaya pahlawan bangsa kita tidak
mempersulit ayahmu."
"Tapi kau suruh aku bertindak bagaimana" Jelas ayahku
takkan mau menyerahkan surat perjanjian damai itu."
987 "Diminta tidak boleh, kau bisa berusaha mencurinya. Aku
senang menganggapmu sebagai kawan dan mempercayai kau,
biar aku menunggu kau disini."
Siau-ongya ini masih terlalu muda, baru enam. belas tahun,
selama hidupnya kapan dia pernah kebentur urusan pelik dan
menyulitkan ini. Untuk mencuri surat perjanjian damai itu
bukan persoalan bagi dia, tapi dia ragu-ragu, apakah
tindakannya ini bisa dibenarkan. Tapi dia berpendapat uraian
Tan Ciok-sing memang benar, namun mencuri surat rahasia
itu, merupakan perbuatan yang mengkhianati ayah kandung,
dalam sesingkat ini, dia harus menentukan pilihan antara
kebenaran dan perbuatan salah, sudah tentu serba susah dan
sukar ambil putusan.
Di kala dia bimbang itulah, pintu kamarnya diketuk orang,
orang diluar bersuara nyerocos dengan bahasa Watsu. In San
hanya mengerti dua patah kata "buka pintu". Padahal kamar
Siau-ongya ada di atas loteng, sebelum ini tak terdengar
derap langkah orang menaiki tangga, tahu-tahu orang itu
sudah berada diluar dan mengetuk pintu, yang datang jelas
bukan orang sembarangan.
Berubah hebat air muka Siau-ongya, lekas dia berbisik di
pinggir telinga Tan Ciok-sing: "Hwe-hud (Budha hidup)


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang, lekas kalian sembunyi."
Dari cerita Kim-to Cecu In San pernah mendengar cerita
tentang orang kosen di Watsu, di antaranya seorang maha
guru silat yang berjuluk Milo Hoatsu, diagungkan sebagai
Budha hidup. Budha hidup yang dimaksud oleh Siau-ongya
pastilah orang itu. Maksud In San hendak membekuk Siauongya
sebagai sandera untuk menghadapinya, tapi karena Tan
Ciok-sing sudah bicara di muka, terpaksa dia menuruti
kemauannya, bertindak menurut perubahan situasi. Lekas
mereka sembunyi di balik pintu angin.
Siau-ongya membuka pintu serta mempersilahkan Hwe-hud
ini dengan laku hormat. Katanya: "Malam-malam Koksu
988 datang kemari, entah ada petunjuk apa?" ternyata benar si
Budha hidup Milo Taysu yang diangkat sebagai Koksu (guru
negara) pula. Milo Taysu celingukan, katanya perlahan: "Siau-ongya,
kabarnya siang tadi kau berkenalan dengan dua teman baru di
tembok besar, apa betul?"
"Betul, seorang pelajar bangsa Han memberi aku seekor
burung yang berbulu indah dan sukar ditangkap kepadaku.
Pelajar ini bersama temannya, aku pernah berjanji pada
mereka untuk memperkenalkan kepada Liong Bun-kong
supaya mendapat pekerjaan. Kenapa Koksu mempersoalkan
urusan kecil ini?"
"Kukira bukan urusan kecil," ucap Milo Taysu dingin,
"menurut apa yang kuketahui, kedua orang itu adalah
pembunuh yang hendak mencelakai ayahmu. Kau harus bicara
terus terang, bukankah mereka sembunyi di kamarmu ini?"
"Koksu, dari mana kau mendapat kabar ini" Aku justeru
tidak percaya mereka mau membunuh ayah," bantah Siauongya.
"Kau masih muda, jangan gampang ditipu orang. Katakan
dimana mereka sekarang, kalau tidak biar kugeledah kamarmu
ini." Ternyata Poyang Gun-ngo telah memperoleh laporan wisu
keluarga Liong itu, dia lantas menduga Tan Ciok-sing dan In
San sekarang pasti sudah sembunyi di tempat kediaman Siauongya.
Tapi Poyang Gun-ngo hanyalah seorang bawahan,
jelas dia tidak berani menggeledah kamar Siau-ongya, oleh
karena itu dia mengundang Milo Hoatsu sang Koksu untuk
bertindak. Milo Hoatsu cukup cerdik dan banyak pengalaman, dari
mimik muka Siau-ongya dia tahu bahwa dugaannya tidak
meleset, maka dia berkata: "Siau-ongya, biasanya kau cerdik
pandai, kenapa kali ini begini ceroboh. Kau tidak membantu
989 kita membekuk pembunuh tidak jadi soal, tapi kenapa kau
justeru melindungi pembunuh ayah kandungmu malah" Lekas
serahkan mereka. Soal ini boleh kututupi dan kau tidak akan
kerembet, akan kukatakan di tempat lain aku meringkus
mereka. Kalau tidak bila ayahmu tahu perbuatanmu ini,
mungkin kau takkan terhindar dari hukuman dinas."
Kalut pikiran Siau-ongya, katanya sesaat kemudian: "Koksu,
aku tidak tahu apa benar mereka itu pembunuh, tapi satu hal
aku mohon kepada kau?"
"Permohonan apa?"
"Bila kau berhasil menangkap mereka, kumohon sukalah
kau pandang mukaku, jangan kau bunuh mereka."
"Baik, asal mereka mau menyerah, akan kuampuni jiwa
mereka. Lekas kau suruh mereka keluar."
"Tan-toako," teriak Siau-ongya, "jangan kau salahkan aku
tak mampu melindungi kau, kepandaian Koksu maha tinggi,
jika melawannya, kau akan mengorbankan jiwa sia-sia.
Kumohon kau, kau..."
Sebelum dia mengatakan "menyerah", "Biang" pintu angin
tiba-tiba tertendang ambruk. Tan Ciok-sing bergandengan
keluar bersama In San.
"Pahlawan bangsa Han kepala boleh dipenggal pantang
dihina," seru Tan Ciok-sing, "kau boleh minggir ke samping,
ingin aku berkenalan betapa tinggi kepandaian Koksu kalian."
Belum habis dia bicara Milo Hoatsu sudah menghampiri
dengan langkah lebar, katanya gelak: "Kukira siapa yang
punya tiga kepala enam tangan, berani coba membunuh
orang disini, tak nyana adalah dua bocah yang masih bau
pupuk bawang. Baiklah, kalian ingin mencoba kepandaian
Hud-ya, nah cobalah rasakan," sikapnya yang jumawa begitu
tengik, seolah-olah dia yakin akan kepandaiaft sendiri, sekali
990 gebrak pasti dapat meringkus kedua bocah ini, hakikatnya dia
tidak pandang sebelah mata kepada lawan mudanya.
"Lihat pedang," di tengah bentakan Tan Ciok-sing, dua
batang pedang bersama senjata In San tahu-tahu melingkar
ke kanan kiri membentuk satu lingkaran. Milo Hoatsu sedang
melangkah maju, mendadak terasa cahaya kemilau dingin
menyilaukan mata. Tahu-tahu dirinya sudah -terkurung dan
terlibat dalam lingkaran sepasang pedang lawan.
Milo Hoatsu adalah maha guru silat yang ahli, demi
menjaga gengsi dan kedudukan, semula dia hendak bertindak
belakangan, supaya kelemahan pihak lawan dapat dijajaki
sebelum dia balas bertindak. Diluar tahu perbawa gabungan
sepasang pedang ini ternyata bukan olah-olah liehaynya,
sekilas pandang tiada lobang kelemahan yang dapat
digunakan untuk balas menyerang.
Mau tidak mau Milo Hoatsu terkejut dibuatnya, "tak heran
kedua bocah ini begini takabur, ternyata memang memiliki
sedikit kepandaian," namun betapapun dia seorang guru silat,
sebagai cikal bakal suatu aliran silat yang kenamaan di jaman
ini, meski serangan sepasang pedang Ciok-sing dan In San
diluar dugaannya, meski dirinya di pihak yang dicecar
sedikitpun dia tidak menjadi gugup. Sambil menggerung
lengan bajunya segera mengebas, kebasan lengan baju
menimbulkan gejolak angin kencang dimana sinar pedang
berkelebat simpang dan siur, terdengarlah suara "Cret" ujung
lengan bajunya ternyata tertabas jatuh secuil, tapi pedang
Ciok-sing dan In San juga tergetar menyelonong ke samping,
tak mampu menusuk tubuh lawan.
Kekuatan gabungan sepasang pedang ternyata hanya
mampu memapas sebagian lengan baju lawan, hal ini belum
pernah terjadi selama ini, karuan Ciok-sing dan In San terkejut
juga. Diluar tahu mereka, Milo Hoatsu sendiripun tidak kurang
kagetnya. Biasanya dia terlalu mengagul diri sebagai jago
991 tiada bandingan di kolong langit ini, taraf lwekangnya sudah
mencapai memetik daun dapat menimpuk luka lawan,
mengayun kain sutra sekeras toya. Tak nyana setelah dia
membebaskan Thi-siu-kang, lengan bajunya masih terkupas
oleh pedang Ciok-sing berdua. "Dari mana membrojolnya
kedua bocah ini, usia semuda ini, kepandaiannya ternyata
sudah setinggi ini," demikian batinnya dengan perasaan kaget,
maka dia tidak berani pandang ringan lagi.
Tengah pertempuran di loteng berlangsung dengan
sengitnya, diluar tiba-tiba terdengar suara genta ditabuh
bertalu-talu. Begitu mendengar suara genta, seketika berubah
air muka Milo Hoatsu.
Suara genta itu merupakan tanda rahasia bahwa musuh
telah menyerbu ke daerah terlarang. Kuatir Ongya mengalami
bahaya, dinilai untung ruginya, sudah tentu dia harus lekas
kembali melindungi sang junjungan. Maka begitu mendengar
suara genta tanpa ayal lagi segera dia berlalu.
Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu apa tujuan suara
genta itu, tapi dia yakin pihak lawan pasti mengalami peristiwa
genting supaya Milo Hoatsu lekas kembali bantu mengatasi.
Maka dia berpikir: "Orang ini adalah jago nomor satu dari
Watsu, bila dapat menahannya satu menit disini juga pasti
menguntungkan pihak kita," maka dia mainkan pedangnya
secepat kitiran menggebu dengan serangan liehay, bentaknya:
"Mau lari" Memangnya gampang?"
Mendadak Milo Hoatsu memutar tubuh, dimana kedua
lengannya menggentak ke atas, Kasa merah yang mengubat
di tubuhnya mendadak terbang mumbul laksana segumpal
mega terus menungkrup ke arah kepala Ciok-sing. Sepasang
pedang Ciok-sing terapung bersama Kasa lawan ditusuknya
tembus berlobang. Tapi In San tertungkrup juga, untung kasa
itu sudah bolong, seperti bola yang sudah gembes, tenaga
dalam yang dikerahkan Milo Hoatsu pada kasanya itu sudah
sirna. Maka ln San menyingkirkan Kasa yang menutup
992 kepalanya, hanya dada terasa sedikit sesak, karena sedikit
rintangan ini, Milo Hoatsu sudah lari turun ke loteng dan
berlari keluar pekarangan.
Tan Ciok-sing dan In San ikut lompat turun serta mengudak
kencang. Pada saat itulah tiba-tiba seorang berteriak: "Tantoako,
apa kau disini bersama nona In?" lenyap suaranya
orangnyapun tiba, tampak dua bayangan orang melompati
tembok hinggap didalam pekarangan.
Kaget dan senang hati Ciok-sing-, pendatang muncul
mendadak ini bukan lain adalah Kek Lam-wi dan Toh So-so.
Tak sempat mereka banyak bicara, Kek Lam-wi bertanya:
"Duta Watsu sudah ditemukan belum?"
"Belum, yang tinggal disini adalah putranya," sahut Cioksing.
"Kepala gundul itu sudah lari," ujar In San, "tiada orang
dapat merintangi kita, Toako, robahlah putusanmu semula,
mari kita kembali membekuk Siau-ongya."
Sampai disini pembicaraan mereka, mendadak suara
mendesing disertai cahaya benderang membumbung tinggi ke
angkasa. Disusul kumandang sebuah suitan panjang dan
melengking tinggi seperti pekik naga di angkasa raya.
Kek Lam-wi berjingkrak girang, serunya: "Itulah Wi-cui-hikiau,
mereka telah menemukan Duta rahasia itu," ternyata
panah berapi itu merupakan tanda peringatan, Kek Lam-wi
juga mengenali suara suitan mereka.
"Kalau yang dituju sudah ketemu, tidak usah kita
mempersulit Siau-ongya. Lekas susul kesana," kata Tan Cioksing.
Berempat cepat mereka kembangkan ginkang berlari ke
arah luncuran panah berapi. Tiada kesempatan untuk
berbincang lagi antara Kek Lam-wi dengan Tan Ciok-sing, tapi
dia hanya memberitahu satu hal: "Toan-toako dan Sia-cin
993 Liok-ko sembunyi di Bu-ling-goan, Sia-cin Liok-ko terluka
parah, nanti bila kau sempat membebaskan diri, tolong kau
bantu Toan-toako keluar menyelamatkan diri. Tapi sekarang
lebih penting membantu Wi-cui-hi-kiau berdua." Sebelum
mereka mencapai tempat peluncuran panah berapi, dari
kejauhan sudah mendengar benturan senjata yang ramai.
Tan Ciok-sing lantas sadar, tanyanya: "Kalian melihat To
dan Thong-toako berdua."
"Belum, mereka kenapa?" tanya Kek Lam-wi kaget.
Tapi Tan Ciok-sing tidak perlu menjawab, karena dia telah
melihat To It-kiau dan Thong Jian-hong, diapun sudah tahu
jawabannya. Tatkala itu mereka sudah melampaui tempat
persembunyian Tan Ciok-sing dan In San tadi, keadaan di
bawah gunungan itu sudah jelas terlihat.
To It-kiau dan Thong Jian-hong memang sedang dalam
keadaan gawat. Seperti diketahui sebelum berhantam tadi Ho
Lan-kian dan Sat Thian-cau bilang akan menempur mereka
satu lawan satu. Ho dan Sat termasuk empat jagoan top di
Watsu, kepandaian mereka kebetulan setaraf dengan To dan
Thong berdua, sehingga pertempuran berjalan sengit dan
seimbang. Kini para busu Watsu yang semula menonton di
pinggir arena, begitu mendengar tanda bahaya, mereka tidak
hiraukan soal janji semula lagi. Jumlah mereka ada belasan
orang termasuk Poyang Gun-ngo. Tapi demi menjaga gengsi
Poyang Gun-ngo tidak mau ikut mengeroyok. Begitu
mendengar tanda bahaya, dia bawa beberapa anak buahnya
terus lari balik hendak melindungi junjungannya. Tapi yang
masih tinggal ada delapan busu, mereka mengambil posisi
yang baik mengepung To dan Thong di tengah lingkaran.
Begitu melihat keadaan yang tidak seimbang ini, Kek Lamwi
amat gusar, teriaknya: "Tan-heng, silahkan maju lebih
dulu, lekas kau bantu Wi-cui-hi-kiau, aku hendak menuntut
balas kematian Ui-yap Samko." Ho Lan-kian sedang
berhadapan dengan To It-kiau sementara Thong Jian-hong
994 melabrak Sat Thian-cau, begitu melihat senjata tunggal kedua
busu ini, dia lantas tahu bahwa kedua busu ini adalah
pembunuh Ui-yap Tojin yang diceritakan oleh Sia-cin Hwesio.
Kala Kek Lam-wi menubruk tiba secepat terbang, kebetulan
dia kesamplok dengan Poyang Gun-ngo yang hendak
mengundurkan diri melindungi sang junjungan. Poyang Gunngo
membentak: "Kau inilah bocah she Kek yang pandai
meniup seruling di antara Pat-sian bukan" Mumpung ada
kesempatan, biar aku antar kau pergi menyusul saudaramu Uiyap
Tojin." "Trang" pedang dan seruling beradu, meminjam tenaga
pantulan keras ini seruling Kek Lam-wi yang menceng itu
sekaligus ditekuk turun menutuk Jian-kin-hiat di pundak
Poyang Gun-ngo. Tapi sebelum serulingnya menyentuh tubuh
Poyang Gun-ngo, maka terdengar suara "Cret" lebih dulu,
ternyata ujung pedang Poyang Gun-ngo telah menusuk
berlobang bajunya.
Tersirap hati Kek Lam-wi, pujinya dalam hati: "Cepat betul
gerakan pedang orang ini," walau terkejut sedikitpun
gerakannya tidak kacau, seruling batu pualam di tangannya
sebat sekali ditarik mundur, sementara langkahnya limbung
seperti orang mabuk, berbareng serulingnya ditarikan pula,
kelihatannya permainannya kacau dan tidak menuruti teori
ilmu silat. Tapi dalam sekejap itu, tujuh hiat-to besar di tubuh
Poyang Gun-ngo telah diincarnya. Mau tidak mau Poyang Gunngo
mencelos juga hatinya, pikirnya: "Ilmu tutuk bocah ini
ternyata aneh dan liehay, memang tidak malu sebagai salah
satu tokoh dari Pat-sian," tapi kecepatan gerak pedangnya
juga tidak asor. Dimana pedang panjang menggaris melintang
di tengah udara, kelihatannya seperti sejurus, tapi di
dalamnya mengandung tujuh perubahan, sejurus tujuh
gerakan, kebetulan tepat mematahkan tujuh tutukan hiat-to
seruling Kek Lam-wi.
"Bagaimana?" tanya In San.
995 "Tolong dulu To dan Thong," kata Tan Ciok-sing.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poyang Gun-ngo sudah kecundang oleh kekuatan
gabungan sepasang pedang mereka, melihat mereka datang
dia tidak berani disini terlalu lama, setelah menggertak dengan
satu serangan, dia menghindari serangan seruling Kek Lam-wi,
mendadak dia menubruk ke arah Toh So-so. Ceng-kong-kiam
Toh So-so tak kuasa menahan terjangan lawan, sehingga
Poyang Gun-ngo berhasil menjebol keluar terus angkat
langkah seribu, tapi dia sempat berteriak: "Musuh kedatangan
bala bantuan, lekas kalian bunuh mereka, jangan biarkan
makanan empuk di depan mulut terlepas pula."
Sebetulnya tanpa diperingatkan oleh Poyang Gun-ngo, Ho
Lan-kian dan Sat Thian-cau seperti berlomba saja sudah
merangsak kedua lawannya dengan serangan ganas
mematikan. Tan Ciok-sing dan Kek Lam-wi juga seperti
berlomba menubruk tiba, sayang mereka terlambat selangkah.
To It-kiau sudah terluka dua tempat di tubuhnya,
mendadak dia menggerung murka: "Biar aku adu jiwa dengan
kau," bandulan meteornya tiba-tiba mengepruk ke batok
kepala Sat Thian-cau. Sat Thian-cau angkat pentung
pendeknya menangkis, tapi pentungnya terlilit rantai
bandulan, sehingga bandulan itu berputar lebih kencang dan
"Prak" telak bandulan meteor berduri itu mengenai batok
kepalanya, namun Sat Thian-cau sempat menimpuk golok
panjang di tangan kirinya dan telak pula menghujam ke dada
To It-kiau, pertempuran sengit adu jiwa ini berakhir dengan
gugur bersama. Seperti disayat hati Thong Jian-hong, betapa sedih hatinya
melihat saudaranya gugur, bagai orang gila mendadak dia
putar tiga ruas tongkatnya sehingga mengeluarkan suara
gemeretak, sekali sendai dan tarik dia berhasil menjepit Siangbun-
kiam Ho Lan-kian. Agaknya dia sudah nekat untuk gugur
bersama musuh, seperti saudaranya.
996 Namun cepat sekali Kek Lam-wi dan Toh So-so sudah
menyerbu kedalam arena. Memang mereka datang terlambat
selangkah, tapi masih untung juga kedatangan mereka, meski
tidak dapat menolong jiwa To It-kiau, kebetulan dapat
membantu Thong Jian-hong. Dua busu sedang mengayun
golok dan menusukan tombak menyerang dari kanan kiri
belakang Thong Jian-hong, namun. angin kencang telah
mengancam jiwa mereka lebih dulu, seruling Kek Lam-wi
sudah menutuk lebih dulu hiat-to besar di punggung busu
yang bersenjata golok. "Mampuslah kau," hardik Kek Lam-wi.
Memang busu ini kontan roboh binasa. Ternyata pedang
Toh So-so juga tidak kalah cepatnya, dengan jurus Giok-li-tosoh,
pedangnya menggaris luka panjang dari pundak ke
punggung busu yang bergaman tombak panjang.
Dalam pada itu Sam-kiat-kun dan Siang-bun-kiam samasama
jatuh, Thong Jian-hong lantas menghardik beringas:
"Nah, biar kaupun rasakan keliehayan kepalan besiku," tangan
terayun kepalanpun mengenjot, sekali jotosan ini ternyata
batok kepala Ho Lan-kian pecah jadinya.
Setelah memungut senjatanya dengan sebelah tangan yang
lain Thong Jian-hong memeluk jenazah To It-kiau, mendadak
dia terkial-kial menggila, teriaknya: "Ui-yap Samko, tenanglah
arwahmu di alam baka. Bersama Ngoko aku telah menuntut
balas kematianmu," karena memeluk jenazah sekujur
badannya berlepotan darah, seperti banteng ketaton segera
dia menyerbu keluar.
Dalam pada itu busu di lingkaran luar telah bubar dilabrak
oleh Tan Ciok-sing bersama In San. Yang masih ada hanya
beberapa busu yang berkepandaian agak tinggi. Tapi melihat
keadaan Thong Jian-hong yang beringas menakutkan, busu
yang berkepandaian agak tinggi inipun menjadi ciut nyalinya,
belum lagi senjata Thong Jian-hong menyapu tiba serempak
mereka sudah kocar kacir.
997 Menekan kepedihan hatinya Kek Lam-wi menyusul kesana
mendampingi Thong Jian-hong, katanya lirih: "Masih ada
tugas lebih penting yang harus lekas kita selesaikan, Liok-ko,
tenangkanlah pikiranmu."
Thong Jian-hong lantas sadar, katanya: "Betul, Toako
melepas panah berapi. Bila kita bisa membantunya
menangkap Duta Watsu, setimpal juga kematian Ngoko."
Di bawah petunjuk In San, beramai mereka menyerbu ke
arah penginapan orang-orang Watsu.
Tampak di tengah tanah berumput di antara bangunan
gedung berloteng, bayangan orang bergerak-gerak sedang
saling labrak dan hantam dengan sengitnya.
Di atas loteng ada orang memegang obor, ternyata Duta
Watsu itu sedang menonton dari atas loteng. Tapi loteng
tinggi beberapa tombak, di sampingnya dijaga ketat oleh
beberapa busu bersenjata lengkap, maka dia tidak takut jiwa
sendiri terancam.
Waktu Tan Ciok-sing tiba, kebetulan didengarnya di atas
loteng orang bersorak dan memuji: "Bagus, biar manusiamanusia
liar dari selatan ini tahu betapa liehay Koksu Watsu
kita. Haha. Jago terkuat dari Pat-sian yang katanya menggetar
Tionggoan ternyata juga hanya begini saja." Seorang busu di
sebelahnya segera menimbrung: "Tionggoan Pat-sian hanya
bernama kosong, mana dia mampu melawan Koksu kita yang
tiada tandingan di seluruh jagat," pembicara ini bukan lain
adalah Ma Toa-ha, salah satu dari empat jago kosen dari
Watsu. Ternyata di arena Wi-cui-hi-kiau tengah bergebrak dengan
Milo Hoatsu. Hi-hu si nelayan Lim Ih-su memakai gaman yang
cukup unik, tangan kanan memegang joran, tangan kiri
memegang jala. Sementara Kiau-cu si tukang kayu Loh Im-hu
bersenjata kampak besar. Sedang Milo Hoatsu bersenjata
sepasang roda besar kecil yang dinamakan Jit-gw.at-siangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
998 Iun. Setiap kali joran si nelayan membentur roda di tangan
Milo Hoatsu maka berdering nyaring suara memekak telinga.
Tapi aneh juga, joran yang kelihatan dari bambu hijau itu
ternyata cukup ulet dan dapat memantul seperti karet,
betapapun kuat roda lawan menggempur, ternyata joran tak
mampu dipatahkan.
Belum lenyap gelak tawa Duta Watsu, mendadak Loh Imhu
menghardik bagai guntur, kampak besarnya seperti hendak
membelah gunung tiba-tiba membacok. Milo Hoatsu juga
tersurut mundur selangkah.
Menggunakan saat Loh Im-hu terhuyung dan belum berdiri
tegak, dua busu mendadak menyergap maju dari belakang.
Seluruh perhatian Loh Im-hu seperti ditujukan kepada Milo
Hoatsu yang tangguh ini, bahwasanya dia seperti tidak tahu
dan tidak hiraukan kedua lawan yang membokong dari
belakang. Mendadak terdengar pekik nyaring, di saat kritis itulah, si
nelayan Lim Ih-su ternyata telah bertindak menolong Loh Imhu
menggebah kedua busu yang membokong secara licik.
Tanpa menoleh, joran panjang di tangannya tiba-tiba disendai
ke belakang, seperti kepalanya tumbuh mata di belakang,
pancing di pucuk joran kebetulan menggantol tulang pundak
seorang busu, seperti memancing seekor ikan raksasa saja
busu ini diangkatnya ke atas, sekali sendai pula busu itu
dilemparnya beberapa tombak jauhnya. Menyusul dia
menggentak pula secepat angin lesus tubuhnya berputar, jala
di tangan kiri tiba-tiba ditebarkan, busu keduapun kena dijala
olehnya. Sebat sekali Milo Hoatsu berkelit terus berkelebat,
menghindari bacokan kampak Loh Im-hu, tapi sepasang
rodanya tiba-tiba mengepruk ke arah Lim Ih-su. Lim Ih-su
sudah berhasil menjala busu itu, dia pikir Milo Hoatsu takkan
berani melukai orang sendiri, tak nyana sedikitpun dia tidak
hiraukan mati hidup si busu, mumpung dapat dapat
999 kesempatan dia malah merangsak semakin hebat. Padahal jala
Lim Ih-su merupakan senjata yang liehay pula, namun karena
berhasil menjaring tubuh seorang yang beratnya ada
seratusan kati lebih sudah tentu gerak geriknya jadi lamban
dan terganggu, tujuan hendak mengancam musuh berbalik
awak sendiri yang memikul beban. Apa boleh buat terpaksa
Lim Ih-su membuka jaring melempar busu itu keluar kalangan.
Kini dia lebih leluasa menghadapi rangsakan sepasang roda
Milo Hoatsu. Milo Hoatsu membentak: "Hadapilah kawanan pengemis
itu, kedua orang ini kalian tidak perlu ikut urus."
Tanpa dipesan lagi, melihat betapa liehay permainan Lim
Ih-su, para busu yang lain sudah pecah nyalinya, melihat pula
betapa ganas dan kejamnya Milo Hoatsu, jiwa orang sendiri
juga tidak segan dikorbankan di bawah senjata sendiri, mana
ada yang berani mengantar jiwa"
Wi-cui-hi-kiau bergabung pula, dalam beberapa jurus saja,
mereka telah mulai pegang kuasa dengan serangan mantap.
Tapi kepandaian Milo Hoatsu memang tangguh, meski Wi-cuihi-
kiau berinisiatif menyerang, dia masih tetap kuat bertahan
dan melawan dengan gagah, sedikitpun tidak kelihatan
terdesak. Karena terlibat dalam adu kekuatan dengan sengit
melawan Milo Hoatsu, sudah tentu Wi-cui-hi-kiau tidak sempat
lagi membantu teman yang lain.
Kecuali Wi-cui-hi-kiau yang sedang melabrak Milo Hoatsu,
di lapangan berumput itu masih ada belasan pengemis,
mereka adalah kelompok kedua dari murid-murid Kaypang
yang menyusul tiba. Mereka melihat panah berapi yang
dilepas Wi-cui-hi-kiau maka beramai datang membantu.
Kungfu murid Kaypang ini cukup tinggi, namun di bawah
tekanan musuh sebanyak itu, mereka jadi kerepotan juga. Ada
beberapa di antaranya malah sudah terdesak payah.
Melihat situasi, Tan Ciok-sing berpikir: "Wi-cui-hi-kiau,
memang tidak malu sebagai pimpinan Pat-sian,
1000 kepandaiannya susah diukur. Tapi untuk mengalahkan Milo
Hoatsu paling tidak harus tiga ratusan jurus kemudian. Aku
harus wakili mereka, supaya mereka sempat membekuk Duta
Watsu di atas loteng."
Setelah tetap pendiriannya, Tan Ciok-sing segera
menampakkan diri, teriaknya lantang: "Hwesio gede, kalah
menang belum ada kesudahan, kenapa kau lari. Kalau berani
ayo lawan aku menentukan siapa jantan," sembari bicara
meluncur bagai anak panah, beberapa lompatan jarak jauh,
sebelum gema suaranya lenyap, bersama In San dia sudah
terjun kedalam arena pertempuran.
"Bagus sekali, kalian berempat boleh maju bersama,
memangnya aku takut?" tantang Milo Hoatsu. Sepasang roda
terangkat tinggi dengan jurus Sau-tang-Iiok-hap kedua
rodanya dimainkan sedemikian rupa sekujur badan seperti
terbungkus dalam cahaya kemilau.
Tan Ciok-sing gunakan jurus Tay-mo-hu-yan pedang
panjangnya menusuk langsung kedalam lingkaran sinar.
Berbareng In San juga gunakan jurus Tiang-ho-Ioh-jit. Cengbing-
kiam menusuk turun dari tengah udara. Serangan tepat
pada waktunya sasaran telak dan kerja samapun serasi dan
ketat tiada kelemahan. Gerak pedang mereka teramat aneh
dan cepat sehingga Wi-cui-hi-kiau tiada sempat berseru
mencegah tahu-tahu kedua anak muda ini sudah mendahului
melawan gempuran musuh tangguh.
Maka terdengar suara gemerantang seluruh hadirin pekak
telinganya, cahaya perak yang membulat itu tiba-tiba pecah
berderai, hawa pedangpun menyambar ke berbagai penjuru,
tiga bayangan orang mencelat terpencar, siapapun tiada yang
memungut keuntungan, lekas sekali kedua pihak telah saling
gempur lagi. Sebelum ini Wi-cui-hi-kiau belum pernah menyaksikan
kepandaian Tan Ciok-sing,-di kala dia bersama In San
mendahului menyambut gempuran sepasang roda Milo
1001 Hoatsu, Wi-cui-hi-kiau sama menjerit kuatir, mereka kira
kedua muda mudi ini bakal celaka oleh kehebatan ilmu musuh,
bila tidak mati pasti luka parah. Tak nyana akhir dari adu
kekuatan sungguh diluar dugaan mereka, belum lagi lenyap
rasa kuatir mereka, tahu-tahu Tan Ciok-sing berdua telah
bergabung pula menggempur Milo Hoatsu.
"Gelombang sungai belakang memang mendorong yang di
depan, patah tumbuh hilang berganti. Munculnya sepasang
pahlawan gagah dunia persilatan memang harus dibuat
senang, tapi kenapa kami tidak pernah dengar sebelum ini,"
diam-diam Wi-cui-hi-kiau amat girang dan lega. Sebagai ahli
silat meski baru menyaksikan satu jurus, tapi mereka tahu
gabungan ilmu pedang Tan Ciok-sing dan In San merupakan
lawan mematikan bagi sepasang roda lawan bila kedua muda
mudi ini dibiarkan melawan Milo Hoatsu memang setanding
dan itu lebih baik dari pada dirinya berdua yang turun tangan.
Setelah hati lega segera mereka keluar lapangan.
Sudah tentu Duta Watsu yang menyaksikan di atas loteng
amat kaget, katanya: "Dari mana datangnya dua bocah ini,
ternyata mampu menandingi Koksu kita yang nomor satu di
seluruh jagat. Ma Toa-ha turunlah kau bantu mereka."
Tak nyana peristiwa selanjutnya justru membuat nyalinya
pecah. Tampak Lim Ih-su mendadak melompat tinggi
setombak lebih, pancing di ujung jorannya tepat menggantol
batu di atas dinding, seperti orang bermain ayunan, tubuhnya
tiba-tiba melambung naik, dimana telapak kakinya menjejak
dinding jorannya terayun pula, sehingga tubuhnya mumbul ke
atas, begitulah secara bergantian kaki menjejak dan joran
menggantol sehingga tubuhnya terus terayun mumbul ke atas.
Berlainan pula cara yang ditempuh si tukang kayu Loh Im-hu,
sepasang kampak raksasanya bergantian membelah dinding
tembok yang keras terbuat dari batu gunung menjadi bolong
setiap kali kena kampak. Begitu kampak dicabut kaki terus
memancal naik secara bergantian kanan kiri, pada hal dinding
1002 yang menjulang lurus itu licin sekali tapi dari setiap lobang
yang dibacok kampaknya itu kakinya seperti naik tangga saja
terus berlari ke atas secepat terbang.
Busu yang ada di bawah berkaok-kaok, belasan orang
segera memasang gendewa membidikkan panah. Lim Ih-su
menebarkan jalanya untuk menangkis hujan panah, tidak
sedikit panah yang terjaring di jalanya ditimpuk balik untuk
melukai pemakainya.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat sekali, mereka sudah hampir mencapai loteng.
Karuan Duta Watsu: kaget dan pucat ketakutan, mana berani
dia menonton lagi" Tersipu-sipu dia putar tubuh sembunyi
kedalam kamar. Ma Toa-ha memburu maju seraya membentak: "Turun."
Golok pembelah gunung dii tangannya berpunggung tebal,
beratnya ada tiga> puluh enam kati, dia incar batok kepala
Loh Im-hu yang sudah hampir mencapai ketinggian foteng
terus membelahnya.
Hebat memang Loh Im-hu, kakinya kebetulan menginjak
lobang yang terkampak terakhir pada hal tubuhnya terapung,
namun di atas dinding yang licin itu dia masih mampu
mengembangkan Thi-pan-kio (jembatan besi), pinggang
tertekuk ke belakang, sementara kaki menginjak kencang di
lobang dinding, sehingga seluruh tubuhnya terjengkang ke
belakang mirip sebuah jembatan gantung. Golok Ma Toa-ha
menyamber lewat serambut di depan mukanya, tapi tidak
sampai melukainya.
Dengan menggerung keras, mendadak Loh Im-hu menarik
tubuh ke atas, berbareng kaki menjejak naik, tubuhnya
terapung tinggi, bentaknya: "Biar kau tahu apakah Tionggoan
Pat-sian betul-betul bernama kosong," itulah olok-olok yang
diucapkan Ma Toaha tadi. Di tengah bentakannya itulah
kampaknya sudah beradu dengan golok besar berpunggung
tebal Ma Toa-ha. Senjata mereka sama-sama berbobot berat,
1003 di tengah gemerarrtangnya suara tampak golok tebal Ma Toaha
mencelat tinggi ke udara.
Pada saat itulah, Lim Ih-su juga telah melompat naik ke
atas loteng, dimana jorannya mulur modot, seperti lidah ular
beracun yang keluar masuk, secepat kilat dia tutuk dua busu
yang menerjang datang, kekuatan gerakan jorannya ternyata
masih mampu membuat pancing di ujung jorannya menukik
turun menggantol luka di paha Ma Toa-ha. Pada saat itu Ma
Toa-ha memang sedang terhuyung karena tergentak oleh
kekuatan Loh Im-hu, sudah tentu tak mampu dia menahan diri
pula setelah pahanya terluka pula, bersama dua busu yang
tertutuk hiat-tonya mereka saling terjang terus terjungkal
jatuh ke bawah loteng.
Memang tidak malu Ma Toa-ha sebagai jagoan kosen,
meski pahanya terluka di tengah udara dia masih mampu
mengendalikan tubuh dengan jumpalitan bergaya burung dara
serta meluncur turun dengan enteng dan berdiri tegak. Celaka
adalah kedua busu yang tertutuk hiat-tonya jatuh dari tempat
ketinggian itu tanpa ampun tubuh mereka hancur dengan
kepala pecah. Begitu Wi-cui-hi-kiau menyerbu ke atas loteng, dilihatnya
Duta Watsu sedang lari kedalam kamarnya. Loh Im-hu
menghardik: "Lari kemana," dimana kampaknya terayun
seorang busu dibelahnya terus menerjang masuk, tujuannya
hendak meringkus Duta Watsu.
Tiba-tiba cahaya emas gemerdep di depan mata, seorang
padri asing tiba-tiba membentak: "Jangan bertingkah disini,"
senjata yang digunakan padri asing ini adalah Hu-mo-kan
gada penakluk iblis yang terbuat dari emas murni, bobotnya
lebih berat dari golok tebal yang dipakai Ma Toa-ha, maka
terdengarlah suara "Trang", loteng sampai bergetar seperti
keterjang gempa. Kampak membelah gunung Loh Im-hu
membacok gada penakluk iblis, kampak sempal sedikit, tapi
gada tidak kurang suatu apa, tapi tenaga Loh Im-hu lebih
1004 besar, padri asing itu tertolak mundur tiga langkah, telapak
tangannyapun kesakitan. Tapi padri asing ternyata keras
kepala, sebat sekali dia sudah menerjang pula, dia libat
lawannya dengan serangan gencar.
Di sebelah sana Lim Ih-su juga menghadapi dua lawan
tangguh, seorang Hwesio bersenjata tongkat sebesar mulut
mangkok, seorang lagi berpakaian pelajar memegang kipas
besi. Senjata kedua orang ini keras dan lunak, kerja samanya
ternyata amat baik. Terutama kipas besi si pelajar, entah
menutuk, menusuk atau menyampuk dengan kebasan lagi,
ternyata dia mampu menggunakan ilmu meminjam tenaga
menggempur musuh, taraf kepandaiannya tidak lebih asor dari
jago kelas wahid di Tionggoan. Lim Ih-su sebagai tertua dan
terliehay dari Pat-sian ternyata juga hanya mampu
menandingi mereka saja.
Ternyata ketiga orang ini adalah murid-murid didik Milo
Hoatsu yang paling dibanggakan. Hwesio yang bersenjata
gada penakluk iblis terbuat dari emas itu bergelar Toa-kiat,
Hwesio yang bersenjata tongkat bergelar Toa-siu, kepandaian
mereka kira-kira setanding dengan Poyang Gun-ngo, orang
nomor satu yang menduduki jago kosen di seluruh Watsu.
Sementara pelajar yang bersenjata kipas itu adalah putra
seorang pembesar tinggi di Watsu, namanya Tiangsun Co,
hobinya mempelajari sastra dan bahasa Han, maka sudah
menjadi kebiasaannya sehari-hari dia berpakaian seperti orang
Han. Dulu sering orang ini mengembara di Tionggoan, kecuali
pernah mendapat petunjuk dari Milo Hoatsu, dia pernah
mendapat pelajaran silat dari seorang Han yang tak dikenal
pula, maka ilmu silatnya jauh melampaui para saudara
seperguruan, Poyang Gun-ngopun bukan tandingannya.
Melihat Duta Watsu lari ke kamarnya, Loh Im-hu menjadi
gugup, mendadak dia menghardik, bersama kampaknya dia
menubruk seperti harimau menerkam mangsanya, kampak
1005 menindih gada mendadak sebelah kakinya melayang sehingga
Toa-kiat kena ditendangnya jungkir balik, luka akibat
tendangan sih sebetulnya tidak berat, tapi karena gadanya
sendiri amat berat, dia tidak rela melepas senjatanya pula,
karuan dia tertindih senjata sendiri, bila dia merangkak
bangun sementara Loh lm-hu sudah menerjang masuk ke
kamar tidur Duta Watsu.
Toa-siu dan Toa-kiat masuk perguruan bersama dan
mencukur gundul kepalanya pada saat yang sama pula,
hubungan kedua orang ini paling akrab di antara sesama
seperguruan yang lain. Melihat Toa-kiat ditendang roboh oleh
Loh Im-hu, karuan Toa-siu amat kaget. Jago yang sedang
bertanding mana boleh terpencar perhatiannya" Begitu
melihat lobang kelemahan, Lim Ih-su tidak sia-siakan
kesempatan ini, joran terayun dengan gaya 'membawa' dia
kerahkan ilmu Si-nio-poat-jian-kun, dimana jorannya menutul
ujung tongkat lawan, terdengar suara menderu kencang,
ternyata karena dilengket dan di'bawa' itulah tongkat panjang
sebesar mulut mangkok itu mencelat terbang dan terlepas dari
cekalannya. "Biang" lalu terdengar jeritan ramai menyayat
hati, tongkat besi seberat empat puluh delapan kati itu
ternyata menerjang putus lankan loteng, beberapa busu yang
berdiri di sekitarnya keterjang sungsang sumbel berjatuhan ke
bawah. Cepat sekali setelah memukul mundur Toa-siu, Lim Ih-su
sudah membalik badan untuk menghadapi Tiangsun Co yang
berkepandaian paling tinggi, jala di tangan kiri tiba-tiba
berkembang terus menungkrup ke arah Tiangsun Co, tadi
Tiangsun Co pernah saksikan keliehayan permainan jala
orang, apalagi dalam keadaan kepepet seorang diri pula,
mana berani dia menyambut serangan ini. Kepandaiannya
ternyata memang patut dipuji, gerak geriknya selicin ikan
berenang dalam air, kipas mengebas, di saat-saat yang paling
genting tiba-tiba dia sudah lolos keluar, malah masih sempat
1006 pula dia menyampuk pergi joran Lim Ih-su yang menerjang
hiat-to besar di punggungnya.
Di saat Loh Im-hu memburu masuk kedalam kamar,
dilihatnya Duta Watsu sedang menyelinap kedalam sebuah
pintu rahasia. Ternyata dalam kamar tidur ini terdapat kamar
rahasia, bila tombol ditekan pintu kamar rahasia akan terbuka.
"Jangan lari," bentak Loh Im-hu seraya menubruk kesana,
terdengar suara gemeratak sementara Duta Watsu sudah
berada didalam kamar rahasia, selapis papan besi tiba-tiba
sudah melorot turun.
Waktu sudah amat mendesak, Loh Im-hu sudah tidak
hiraukan lagi apakah dalam kamar masih ada busu lain yang
siap membokong dirinya, mendadak dia menubruk ke depan
sambil menjatuhkan diri dengan gerakan Burung Terbang
Terjun ke Hutan, tubuhnya meluncur di lantai terus
membresot kedalam kamar.
Sayang waktunya sudah agak terlambat, baru setengah
tubuhnya menyelonong masuk, lapisan besi itu sudah
menindih turun jaraknya tinggal lima dim dari batok
kepalanya, Loh Im-hu sudah pertaruhkan nyawanya, dengan
menggerung keras, tiba-tiba dia membalik tubuh kampak
mendadak dia sudah angkat untuk menyanggah, pelan-pelan
papan besi itu ternyata dapat diangkatnya naik sedikit-sedikit.
Tapi pada saat itu pula mendadak dia merasa paha kanannya
kesakitan, ternyata seorang busu menusuk pahanya dengan
tombak. Loh Im-hu menggerung gusar, teriaknya: "Toako,
lekas," sambil menahan sakit, papan besi tetap ditahannya
sekuat tenaga. Untung sebelum habis dia berteriak, sang toako, tertua dari
Pat-sian Lim Ih-su telah memburu datang. Busu tadi sedang
angkat tombaknya hendak menusuk lambung Loh Im hu, tapi
tahu-tahu tubuhnya menjadi enteng dan terbang ke atas
menumbuk langit-langit, ternyata Lim Ih-su telah
menjaringnya terus dilempar ke atas, dimana jorannya bekerja
1007 pula seorang busu telah dipancingnya serta dibuang keluar
saling tumbuk dengan busu ketiga yang menerjang masuk.
Lekas Lim Ih-su membungkuk tubuh, mumpung papan besi
belum menindih semakin ke bawah, dia julurkan jorannya
kedalam. Tapi pada saat itulah Toa-kiat dan Toa-siu sudah
memburu masuk ke kamar pula bersama Tiangsun Co.
Toa-kiat memburu masuk lebih dulu, begitu melihat Wi-cuihi-
kiau sama tengkurap dan rebah di lantai, sementara
kampak Loh Im-hu sedang menahan papan besi, sedang joran
Lim Ih-su menjulur ke kamar rahasia, jelas senjata mereka
takkan kuasa buat melawan lagi. Saking senang Toa-kiat
angkat gadanya seraya membentak: "Bagus, biar tuan
besarmu antar kalian pulang ke dunia barat," tapi di kala gada
sudah terangkat tinggi di atas kepala itulah, mendadak
didengarnya jerit kesakitan sang Ongya.
Maklum sang Ongya atau Duta Watsu ini biasanya hidup
berfoya-foya, kapan pernah menyaksikan pertempuran sengit
yang menyeramkan ini, meski sudah sembunyi kedalam kamar
rahasia, namun saking ketakutan kedua lutut menjadi lemas
dan dia meloso di lantai. Waktu Lim Ih-su menjulurkan joran
kedalam, kebetulan dapat menggantol tumit kakinya, karena
tumit kaki kepancing, karuan dia menjerit-jerit dan terseret
keluar. Loh Im-hu segera menghardik: "Bila kampak kulepaskan,
Ongya kalian akan gepeng bersamaku. Memangnya kita tidak
pikirkan keselamatan lagi kalau berani hayo maju."
Demi mempertahankan jiwa sang Ongya, sudah tentu Toakiat
tidak berani turunkan gadanya. Sementara itu Lim Ih-su
sudah menyeret sang Ongya keluar serta menjaringnya
didalam jalanya. Pelan-pelan Loh Im-hu menggeser tubuhnya
keluar, setelah mengambil ancang-ancang segera dia lepas
tangan sambil menggelinding ke samping. "Blum" dengan
suara berdentam menggetar seluruh loteng papan besi itu
anjlok menyentuh lantai. Dengan kampak sebagai penyanggah
1008 tubuh pelan Loh Im-hu merangkak berdiri, mukanya pucat
pias. Baru sekarang Lim Ih-su sempat perhatikan wajah
adiknya, tanyanya dengan gemetar: "Jite, kenapa kau?"
Loh Im-hu unjuk senyum getir, sekuat tenaganya dia telan
darah yang hampir menyembur keluar, pada hal isi dadanya
sakit sekali seperti diremas-remas, tahulah dia bahwa luka
dalamnya teramat parah, lebih parah dari luka tusukan
tombak di pahanya. Tapi kuatir membikin sang Toako kuatir,
sekuatnya dia menahan diri, katanya: "Terluka sedikit, yakin
takkan mati di tempat ini. Syukur usaha kita berhasil
membekuk Ongya Watsu. Toako, lekas kau gusur tawanan ini
dan bergabung dengan para saudara, jangan kau hiraukan
diriku." Lekas Lim Ih-su jejalkan sebutir Siau-hoan-tan pemberian
Hongtiang Siau-lim ke mulut adiknya, setelah mendengus
gusar dia berkata: "Bila kau mengalami sesuatu, biar
tawananku ini sebagai penebus jiwamu."
Tiangsun Co dan lain-lain hanya memandang gelo melihat
Lim Ih-su memasukkan sang junjungan kedalam jaring terus
dikempit di ketiak melangkah lebar turun dari loteng. Loh Imsu
yang pucat dengan kampak sebagai tongkat mengikuti di
belakang langkahnya sempoyongan, seakan-akan sembarang
waktu dia bisa tersungkur jatuh. Tapi mereka tiada yang
berani bertindak secara gegabah, malah dalam hati mereka
berdoa supaya sang junjungan diselamatkan dan dilindungi.
Kalau pertempuran di atas loteng telah usai, sementara Tan
Ciok-sing dan In San yang mengembangkan ilmu gabungan
pedang masih cukup tangguh menghadapi sepasang roda Milo
Hoatsu. Tapi murid Kaypang yang dikeroyok menjadi
kepayahan, tidak sedikit yang telah gugur di medan laga.
Sambil menjinjing sang Ongya didalam jaring Lim Ih-su
beranjak keluar rumah, serunya lantang:. "Kalian masih ingin
jiwa Ongya kalian tidak?"
1009 Sudah tentu bukan kepalang kaget kawanan busu dari
Watsu, sebelum diberi aba-aba oleh sang Ongya serta merta
mereka sudah menyurut mundur menghentikan pertempuran.
Tak nyana sang Ongya mendadak membentak: "Jangan
berhenti, kepung lebih ketat."
Lim Ih-su gusar, dampratnya: "Memangnya kau tidak ingin
hidup?" Ongya Watsu tertawa dingin: "Betul, cukup angkat sebelah
tanganmu kau dapat membunuhku, tapi setelah kau bunuh
aku, orang-orang kalianpun takkan selamat. Maka kulihat lebih
baik kita mengadakan pertukaran secara adil. Pertama, jangan
kau menghina aku."
Lim Ih-su membuka jaringnya, sebelah tangan menekan
punggung, katanya: "Baik, kami akan bertindak menurut
aturan lebih dulu."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka sang Ongya memerintahkan supaya anak buahnya
menghentikan pertempuran.
"Katakan," bentak Loh Im-hu, "pertukaran adil cara
bagaimana?"
"Dengan jiwaku seorang untuk menukar jiwa kalian
sebanyak ini, apa tidak adil?"
"Bagaimana caranya menukar?"
"Kan gampang, setelah kalian melepasku, akan
kupersilahkan kalian pergi."
"Memangnya ada urusan semudah itu?"
"Lalu bagaimana pendapatmu?"
"Bila kau serahkan surat perjanjian damai yang kau tanda
tangani bersama Liong Bun-kong, serta antar kami keluar
kota, kau akan kami bebaskan."
1010 "Pintar juga kau tawar menawar, selain menebus orang
mau minta barangnya pula, padahal kalian tidak
mengeluarkan apa-apa, apa boleh tukar menukar begini
dianggap adil?"
Lim Ih-su mendengus: "Ya, tapi kau masih berada di
tanganku."
"Kawan-kawan kalian juga masih terkepung disini, sebelum
aku mengangguk, memangnya kalian mampu lari dari sini."
"Toako," seru Loh Im-hu gusar, "ini tidak mau itu tidak
boleh, buat apa harus saling tukar segala, serahkan saja
padaku biar kujagal dia disini, semoga arwah Samte tentram
di alam baka. Kan belum tentu kita tidak mampu meloloskan
diri." Ongya Watsu mengeraskan kepala, katanya: "Baiklah,
kalian lebih senang mempertaruhkan jiwa sebanyak orang ini,
kenapa aku sendiri harus takut mati" Kalau berani boleh kau
membunuhku," pada hal mulutnya main gertak, hatinya takut
setengah mati. Lim Ih-su berpikir diam-diam, "Menuntut balas memang
penting, tapi membongkar intrik Liong Bun-kong yang menjual
negara dan bangsa lebih penting lagi, paling tidak kita harus
peras Duta Watsu ini untuk menyerahkan surat perjanjian
damai itu, untuk apa aku mencabut nyawa orang ini?" namun
dia sendiri tidak mau mengalah, jadi keadaan menjadi tegang.
Di kala keadaan membeku itulah, tiba-tiba tampak seorang
pemuda berusia enam belasan berlari seperti memburu setan,
dari kejauhan sudah berteriak: "Tan-toako, apakah
omonganmu tadi masih boleh dipercaya?" pemuda ini bukan
lain adalah Siau-ongya Watsu.
"Surat perjanjian itu, apakah sudah kau bawa kemari"'
tanya Tan Ciok-sing.
"Betul, harap kalian lekas bebaskan ayahku."
1011 "Tadi aku hanya bilang untuk memohonkan keringanan
saja, apakah diterima, boleh kau sendiri tanya kepada Lim
Tayhiap ini," sahut Tan Ciok-sing.
"Baiklah, tolong kau mohonkan keringanannya," ujar Siauongya.
"O, jadi sebelum ini kau sudah bicara tentang tukar
menukar dengan Siau-ongya ini?" tanya Lim Ih-su.
"Mohon maaf bila Wanpwe ambil keputusan sendiri,
memang aku pernah janji kepada Siau-ongya, bila dia mau
menyerahkan surat perjanjian damai, aku akan mohon
keringanan kepada kalian, supaya kalian tidak menyakiti dan
mempersulit ayahnya. Waktu itu aku juga belum tahu bahwa
kita akan berhasil membekuk ayahnya."
"Betul, inilah surat yang kami inginkan," seru Thong Jianhong,
"tapi setelah ada surat ini, kita tetap membutuhkan
sandera." Siau-ongya berkata: "Asal kalian mau membebaskan
ayahku, aku suka menjadi sandera."
Ongya Watsu membentak: "Anakku, mana boleh kau
berbuat sebodoh ini?"
Lim Ih-su masih berpikir sekian lamanya tanyanya: "Tansiauhiap,
kau bersahabat dengan Siau-ongya ini bukan?"
Tan Ciok-sing manggut-manggut, katanya: "Betul, aku
pernah berjanji kepadanya, bila dia mau menyerahkan surat
perdamaian itu, aku tetap akan menganggapnya sebagai
kawan." "Tan-siauhiap, hari ini sungguh besar artinya bantuanmu,
kalau tidak kau bantu aku, sekarang mungkin aku takkan
berhasil membekuk Ongya. Seorang laki-laki harus dapat
dipercaya, akupun takkan membikin kau kehilangan
kepercayaan di depan musuh. Kalau Siau-ongya adalah
temanmu, akupun takkan bisa menggunakannya sebagai
1012 sandera. Baiklah, aku terima caramu untuk menukar surat
perdamaian itu."
Senang Siau-ongya bukan main, langsung dia mendekati
ayahnya, katanya: "Ayah, aku sudah berjanji kepadanya,
mereka melepas kau, maka jangan kau mempersulit mereka."
Ongya Watsu berkata: "Baik, asal mereka tidak meringkus
kau, akupun boleh menyerahkan surat perdamaian itu kepada
mereka." Baru saja Siau-ongya mau menyerahkan surat perdamaian,
mendadak Ongya membentak: "Tunggu dulu. Setelah mereka
membebaskan aku, baru kau serahkan surat itu."
Siau-ongya berkata: "Kalian pasti percaya kepadaku. Yang
jelas aku toh takkan bisa lari."
Bahwa tukar menukar sudah disetujui, soal tetek bengek
sudah tidak terpikir pula oleh Lim Ih-su, katanya: "Baik, aku
percaya kepadamu," lalu dia bebaskan Duta Watsu. Tan Cioksing
dan Thong Jian-hong berdiri mengapit Siau-ongya. Di
bawah pengawalan Tiangsun Co, Duta Watsu beranjak masuk
ke rumah setengah berlari, sebelumnya dia perintahkan anak
buahnya mundur dan tidak boleh mengepung, langsung dia
naik ke loteng, dari loteng baru dia berkata: "Baik, anakku,
sekarang boleh kau serahkan surat damai itu."
Siau-ongya serahkan surat perdamaian itu kepada Lim Ihsu,
katanya: "Inilah konsep perdamaian itu dari tulisan tangan
Liong Bun-kong sendiri, silahkan baca dan periksa."
Dulu Liong Bun-kong adalah pembesar sipil yang suka
mengagulkan gaya tulisannya yang bagus, tidak sedikit
kenalannya dari kaum pedagang yang minta tulisannya
sebagai nama toko atau perusahaan. Lim Ih-su kenal baik
tulisannya, setelah membaca surat perdamaian itu dengan
kertak gigi dia berkata: "Terhitung surat perdamaian apa,
lebih tepat kalau disebut surat permohonan menyerah. Tulisan
Liong Bun-kong tidak salah. "Baiklah Siau-ongya, terima kasih
1013 akan kesediaanmu mengorbankan dirimu, boleh kau kembali
saja?" Tak kira baru saja Siau-ongya mendekati para busu Watsu,
tiba-tiba Duta Watsu yang berada di atas loteng berteriak
keras: "Jangan biarkan mereka membalik surat perdamaian
itu, kepung mereka dan ringkus semuanya."
Saking kaget pucat muka Siau-ongya, serunya: "Ayah,
mereka bicara dapat dipercaya, jangan kita mengingkari janji."
"Binatang," hardik Duta Watsu, "kau tahu apa" Aku tidak
menghajarmu sudah terhitung untung, masih berani kau
mengoceh tidak karuan."
Sebesar itu kapan Siau-ongya pernah dimaki sekasar itu di
hadapan umum, apalagi lebih menyakitkan hati lagi dirinya
dimaki "binatang", sungguh, sedih dan malu serta marah pula,
teriaknya: "Ayah, kau sudi mengingkari janji tapi aku akan
tetap berpegang pada pendirianku. Baiklah, aku yang jadi
sandera mereka," tapi dirinya sudah berada dalam rombongan
para busu mana dapat dia berbuat sesuka hati lagi. Baru saja
dia hendak putar balik, Milo Hoatsu sudah memburu tiba serta
menutuk hiat-tonya, katanya:
"Toa-kiat, Toa-siu, antarkan Siau-ongya ke atas loteng.
Lekas turun pula."
Maka pertempuran seru terulang kembali. Sudah tentu
pertarungan kedua ini jauh lebih hebat, lebih keras dan
menegangkan, namun situasi justeru lebih tidak
menguntungkan bagi pihak kaum pendekar. Maklum si tukang
kayu Loh Im-hu sudah terluka parah, berarti mereka
kehilangan bantuan yang berharga. Sebaliknya pihak musuh
ketambah Tiangsun Co yang berkepandaian tinggi, dibantu
pula dengan Toa-kiat dan Toa-siu, setelah membawa Siauongya
ke atas loteng, lekas sekali mereka sudah lari turun dan
terjun ke arena.
1014 Mengetruk sepasang rodanya Milo Hoatsu tertawa
temberang, katanya: "Wi-cui-hi-kiau tadi pertempuran kita
belum ada kesudahan, kalau berani hayo lawan aku lagi
sampai ditetapkan siapajantan atau betina," justeru dia tahu
bahwa Loh Im-hu sudah terluka, maka tanpa tedeng alingaling
dia menantang mereka.
Karuan Loh lm-hu naik pitam, serunya: "Jadi, hayo maju
memangnya aku gentar padamu," dengan langkah
sempoyongan dia memutar sepasang kampaknya menyambut
tantangan musuh. Begitu berkelit dari samberan joran Lim Ihsu,
Milo Hoatsu mendorong sepasang rodanya ke arah Loh Im
hu, "Trang" secara telak dia membentur sepasang kampak Loh
Im-hu. "Huuah" kontan Loh Im-hu memuntahkan darah segar
sebanyak-banyaknya, namun sambil kertak gigi, setapakpun
dia tidak mau mundur.
Lim Ih-su membentak: "Melawan orang yang sudah terluka,
memangnya kau terhitung orang gagah macam apa" Jite,
dengarkan nasehatku, jangan kau ketipu oleh olok-oloknya,
kau mundur biar aku hadapi dia."
"Bagus," jengek Milo Hoatsu tergelak-gelak, "kalau kau ini
Enghiong dan pahlawan gagah, mari layani aku satu lawan
satu." Tan dan In lekas memburu maju, sepasang pedang kembali
menggempur sepasang roda, maka terdengarlah rentetan
dering yang berkepanjangan seperti bunyi harpa yang dipetik
senarnya, dalam sekejap itu senjata mereka beradu puluhan
kali. Diam-diam Milo Hoatsu mencelos: "Ilmu pedang kedua
bocah ini koh liehay benar?" yang benar bukan ilmu pedang
Tan dan In lebih liehay dari dulu, tapi lantaran Milo Hoatsu
sudah berhantam melawan Lim Ih-su sekian lamanya,
tenaganya jelas sudah banyak terkuras, sebaliknya kekuatan
Tan Ciok-sing dan In San masih lebih segar, maklum kalau
mereka dapat menindas lawan dan mendesaknya di bawah
angin. 1015 Tampak oleh Tan Ciok-sing, Loh Im-hu betul-betul sudah
teramat parah luka dalamnya, demikian pula wajah Lim lh-su
sudah pucat dengan napas menderu pula, kekuatan mereka
boleh dikata sudah hampir terkuras habis. Bila kedua orang ini
mengalami kecelakaan, maka akibatnya susah dibayangkan.
Diam-diam dia berpikir: "lantaran aku tidak mau membekuk
Siau-ongya sebagai sandera sehingga urusan berkepanjangan
seperti sekarang." Tapi menyesal juga sudah terlambat, yang
penting harus diusahakan membawa surat perdamaian itu
keluar dari sini. Maka dia berkata: "Semua gara-gara
kesalahanku sehingga orang banyak mengalami kesulitan ini.
Lim Tayhiap, tugas penting harus segera kau bereskan.
Silahkan kau berangkat lebih dulu. Meski harus mengorbankan
jiwa juga aku harus lindungi kau dan Loh Tayhiap keluar dari
sini." Dia yakin kepandaian Lim Ih-so amat tinggi, bila Milo
Hoatsu tidak merintanginya, begitu dia lari ke gedung keluarga
Liong di sebelah sana, pasti dapat dilakukannya. Tapi Lim lhsu
tahu maksud hatinya, kataya: "Ongya keparat itu ingkar
janji, sebetulnya sudah dalam dugaanku. Tapi biar musuh
ingkar janji tapi kita harus berpegang pada kesetiaan dan
kebenaran, tidak usah kau merasa sedih, aku tidak
menyalahkan kau. Maksud baikmu kuterima setulus hati, tapi
aku tidak akan lari."
Tiangsun Co berkata: "Memangnya kau mampu lari, hayo
lawan aku sampai ada ketentuan siapa menang dan kalah."-
waktu bergebrak di atas loteng tadi, dia kena sedikit dirugikan
oleh Lim Ih-su, kini melihat Lim Ih-su sudah dalam keadaan
payah dia ingin memungut keuntungan, pikirnya: "Kalau tidak
sekarang aku menuntut balas tunggu kapan lagi," maka kipas
dikerjakan begitu bergebrak dia lantas melancarkan serangan
mematikan. Sekali menggentak "Wut" joran panjang Lim Ih-su
mendadak mengencang lurus, tiba-tiba dia tusukkan ujung
1016 jorannya seperti tombak, bentaknya: "Hayo maju, memangnya
aku takut melawanmu" Kalian ada beberapa orang boleh maju
semuanya," sebatang joran dari bambu hijau, tapi di
tangannya ternyata jauh lebih liehay dari pentung atau
tombak, karena jorannya itu dapat memantul lemas tapi juga
mengeras sekuat baja, di kala menusuk mengeluarkan deru
kencang. Mau tidak mau Tiangsun Co kaget dibuatnya:
"Memang tidak malu keparat ini sebagai pimpinan Pat-sian,
setelah mengalami pertempuran sengit selama ini,
Iwekangnya ternyata masih setangguh ini."
Ma Toa-ha merasa malu karena In San berhasil menerjang
masuk dari kedudukannya, melihat Tan dan In melabrak Milo
Hoatsu sedemikian serunya, dia tidak berani mengusiknya,
terpaksa dia putar haluan membantu orang lain, bentaknya:
"Dua lawan dua baru terhitung adil. Tiangsun Pwecu, mari
kubantu kau menghadapi Wi-cui-hi-kiau."
Padahal Loh Im-hu sudah terluka parah, bukan saja dia
tidak mampu membantu Lim Ih-su, malah saudara tuanya ini
yang selalu harus memecah perhatian melindunginya. Untung
tadi sempat Lim Ih-su salurkan hawa murninya ke tubuh sang
adik, tenaganya pulih sedikit, kalau tidak jelas dia tidak akan
mungkin menjinjing kedua kampak besarnya yang berat.
Milo Hoatsu sempat melirik ke sekitar gelanggang melihat
pihak sendiri dalam posisi unggul, hanya di sebelah sana Kek
Lam-wi dan Toh So-so bersama belasan pengemis melabrak
anak buahnya dengan sengit, meski, terkepung tapi semangat
juang para pengemis yang sudah terluka itu tetap tinggi, bila
seorang sudah kalap, puluhan orangpun takkan kuasj
melawannya, demikianlah keadaan para pengemis itu, mereka
sudah nekat seperti banteng ketaton, meski busu Watsu masih
kuat dan ganas tak urung pecah juga nyali mereka, terpaksa
mereka hanya mengepung diluar lingkaran dengan barisan
tembok manusia yang ketat.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1017 Milo Hoatsu mengerutkan kening, bentaknya: "Kalian
minggir, biar aku sapu habis kawanan pengemis yang jorok
ini." Belum habis dia bicara, mendadak seorang bersuara serak
tua balas membentak: "Anjing kurap mana yang
menggonggong merebut najis" Hmm, huh, nah disini masih
ada seorang pengemis tua yang dapat membikin kalian pusing
tujuh keliling," lenyap suaranya, orangnyapun tiba, tampak
seorang pengemis tua menggendong buli-buli besar warna
merah muncul mendahului yang lain.
Di belakang pengemis tua muncul pula serombongan
pengemis lain. Ternyata pengemis tua bukan lain adalah
Kaypang Pangcu Liok Kun-lun. Dia pimpin rombongan ketiga
murid-murid Kaypang datang membantu. Sebagian kecil
ditinggalkan di taman luar membantu Ti Nio, Han Cin, Coh
Ceng-hun dan lain-lain masih melabrak wisu keluarga Liong,
yang meluruk kesini kira-kira ada dua puluhan pengemis.
Dua puluhan orang ini jelas masih belum mencukupi untuk
melawan jumlah busu Watsu yang hampir seratus orang
namun barisan tempur yang masih segar dan bertenaga baru
ini ternyata dapat juga merubah situasi. Apalagi malam gelap,
busu Watsu juga tidak tahu berapa jumlah musuh yang
menyerbu datang pula, sedikit banyak mereka jadi kacau dan
dilabrak pontang panting.
Sambil memicingkan mata mengawasi Milo Hoatsu, Liok
Kun-lun berkata: "Agaknya kau inilah Koksu dari Watsu yang
mengagulkan diri nomor satu di jagat ini. Hmm, berani kau
bilang mau membantai para pengemis, biarlah pengemis tua
ini menyerahkan jiwa raganya lebih dulu, coba buktikan apa
kau punya kemampuan untuk membunuhku."
Milo Hoatsu angkat sepasang rodanya terus didorong ke
depan, sayup-sayup terdengar suara gemuruh seperti ada
hujan bayu yang mengamuk, betapa hebat dorongan ini
dapatlah dibayangkan. Ternyata Liok Kun-lun tidak pakai
1018 senjata, dengan sepasang tangannya dia lawan senjata
musuh. Di tengah bayangan telapak tangan menyamber dan roda
menggelinding, tampak Liok Kun-lun terhuyung sedang Milo
Hoatsu tergentak selangkah, Ji-gwat-siang lun yang tajam itu
ternyata terpental pergi oleh pukulan jarak jauh Liok Kun-lun.
Liok Kun-lun membentak: "Diberi tidak membalas tidak
hormat. Lihat pukulanku." Milo Hoatsu juga tidak lemah,
dalam sekejap itu langkahnya berkisar pindah langkah
mengubah posisi dia hindari serangan telak dari depan,
sementara sepasang rodanya terpencar ke kiri dan kanan
menyerang kedua ketiak Liok Kun-lun. Maksudnya supaya
lawan tidak sempat melancarkan Bik-khong-ciang lagi.
Tak tahunya Liok Kun-lun seperti sudah menduga akan
tindakannya ini, merebut maju selangkah, tangannya terbalik
mencengkeram tulang pundaknya. Jurus ini memaksa lawan
untuk menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu, terpaksa Milo
Hoatsu tarik kedua rodanya menjaga diri, sudah tentu Liok
Kun-lun pun sempat menghindar dari serangan roda rembulan
lawan. Milo Hoatsu biasanya terlalu agulkan diri tiada tandingan,
sungguh tak pernah dibayangkan bahwa sepasang rodanya
hari ini tidak mampu melawan sepasang tangan kosong Liok
Kun-lun, karuan hatinya mencelos: "Pengemis tua ini memang
tidak malu sebagai Pangcu Kaypang. Pang terbesar di seluruh
kolong langit, lwekangnya jelas lebih tinggi dari Wi-cui-hi-kiau.
Kenapa aku justru semakin payah begini?"
Bahwasanya Kungfu kedua orang ini sebetulnya
mempunyai keliehayan dan kelebihannya masing-masing,
latihan lwekang mereka juga kira-kira setanding. Kalau dalam
keadaan biasa, bila Milo Hoatsu bersenjata kedua rodanya dan
Liok Kun-lun melawan dengan tangan kosong, mestinya dia
lebih unggul seurat. Tapi tadi beruntun dia sudah bertempur
dengan Wi-cui-hi-kiau dan melawan gabungan ilmu pedang
1019 Tan dan In, tenaganya sudah terkuras banyak, adalah logis
kalau dia berada di bawah angin melawan jago tua dari
Kaypang ini. Walau Liok Kun-lun berada di atas angin tapi situasi
keseluruhannya tetap tidak menguntungkan bagi pihak
mereka. Sembilan di antara sepuluh murid Kaypang sudah
terluka, Lim Ih-su yang berkepandaian paling tinggi juga
sudah kempas kempis kehabisan tenaga. Meski dua puluhan
murid Kaypang datang membantu, tapi mereka menjadi sibuk
sendiri, bukan saja harus melabrak musuh, mereka juga sibuk
menolong teman yang terluka, paling situasi sementara masih
kuat dipertahankan tidak sampai kalah total.
Dalam hati Liok Kun-lun juga membatin: "Padri asing ini
mengagulkan diri tiada tandingan di kolong langit, tiada
tandingan hanyalah bualan belaka, tapi kepandaian silatnya
memang tidak lebih asor dari aku, untuk mengalahkan dia
sedikitnya aku harus melabraknya tiga ratusan jurus.
Bagaimana baiknya?" tiba-tiba timbul akalnya, mendadak
sengaja dia menggertak dengan serangan pura-pura,
sementara langkahnya menerobos beberapa tindak.
Memangnya Milo Hoatsu sudah merasa kepayahan
menghadapi rangsakan lawan, melihat lawan mundur tanpa
sebab, dia tidak tahu muslihat apa yang dilakukan lawan,
kuatir tertipu dia tidak berani mengejar. Tapi kedua roda
dipegang kencang sambil menatapnya lekat-lekat menunggu
reaksinya lebih lanjut.
Liok Kun-lun menanggalkan buli-buli besar di punggungnya,
katanya: "Tunggu sebentar biar pengemis tua habiskan
arakku, nanti kita lanjutkan lagi," lalu dia buka tutup buli-buli
serta membuka mulut menuang arak kedalam perutnya hanya
sekejap arak sebuli-buli telah ditenggaknya habis.
Milo Hoatsu sudah angkat sepasang rodanya siap
menyambut tabrakannya. "Nanti dulu," tiba-tiba Liok Kun-lun
berseru. 1020 "Kenapa kau tidak berani melanjutkan?"
"Bertempur sekian lamanya, kau belum lagi minum, apa
kau tidak dahaga?"
Milo Hoatsu melengak, bentaknya: "Tiada tempo aku
mendengar ocehanmu, kalau mau berkelahi hayo maju."
Liok Kun-lun tertawa katanya: "Diberi makan anjing malah
menggigit, tidak tahu kebaikan manusia. Ketahuilah, pengemis
tua ingin menyuguh arak kepadamu."
Milo Hoatsu gusar, bentaknya: "Siapa sudi minum arakmu,"
dia sudah siap turun tangan, tapi melihat sikap Liok Kun-lun
acuh tak acuh, dia jadi merandek tak berani turun tangan
lebih dulu. Liok Kun-lun nyekakak, katanya: "Mau atau tidak kau harus
meminumnya. Arak suguhan tidak mau biar kuberi arak
hukuman," akhir katanya mendadak dia pentang mulut
menyemburkan sekumur arak. Kontan Milo Hoatsu rasakan
kabut gelap seperti menutupi pandangan mata, kuatir
terbokong musuh lekas dia pejam mata seraya memutar
sepasang rodanya.
Hujan arak sama mengenai tubuhnya, meski tidak mampu
melukainya, namun tubuhnya merasa pedas kesakitan juga.
Kuatir matanya tersemprot buta, lekas dia putar badan
membelakangi lawan serta mundur tujuh langkah lebih jauh.
Liok Kun-lun tertawa tergelak-gelak, katanya: "Arak
suguhan tidak mau kau lebih suka arak hukuman, bagaimana
rasanya" Hehehe hahaha, kenyataan kau tidak berani
melawanku lagi, biar pengemis tua pergi saja."
Waktu Milo Hoatsu membuka mata menunduk, tampak
kasa merah yang dipakainya sudah berlobang kecil seperti
sarang tawon. Untung lwekangnya tangguh, bila orang lain
terkena semburan arak tadi tentu tubuhnya bolong-bolong,
1021 kalau tidak mati juga pasti luka parah. Melihat Kasanya
bolong-bolong, Milo Hoatsu merasa kaget dan jeri pula.
Sementara itu Tan Ciok-sing berdua telah menggempur
mundur Toa-kiat dan Toa-siu dengan gabungan ilmu pedang
mereka, Liok Kun-lun menerjang kedalam barisan kawanan
busu serta melabraknya kocar kacir, tidak sedikit kawanan
busu yang dilukainya, Poyang Gun-ngo sebagai kepala jagojago
kosen dari kawanan busu Watsu pun hanya mampu
melawan tiga jurus, mau tidak mau dia dipukul mundur
memberi jalan Setelah tenang hatinya Milo Hoatsu menghardik gusar:
"Pengemis tua, pakai muslihat kau berusaha meloloskan diri,
kalau berani kemarilah melawanku lagi." Liok Kun-lun tertawa
serunya: "Siapa menang dan kalah sudah ditentukan, buat apa aku
menghadapimu" Kalau berani kemarilah kau kejar aku."
Milo Hoatsu menerawang kekuatan sendiri dibanding
lawannya, dia yakin kekuatan pihak sendiri masih lebih
unggul, maka dia mengulap tangan memberi tanda serta
memberi perintah untuk mengejar.
Meski tiada busu yang berani membangkang, namun
semangat tempur mereka sudah luluh mana berani merintangi
musuh" Tujuh di antara sepuluh orang hanya berkaok, serta
berlari maju tanpa ada maksud menggasak musuh lagi,
mereka hanya mengejar dari kejauhan, jadi seperti mengantar
lawan pergi malah. Lekas sekali murid-murid Kaypang itu
sudah lari ke ujung pekarangan, mereka terpencar dalam
beberapa rombongan kecil menyelinap di antara semak pohon
atau rumpun kembang.
Dengan memejam mata In San juga bisa berlalu lalang
didalam pekarangan ini tanpa kesasar, dia" tuntun tangan Tan
Ciok-sing putar kayun menghindar orang banyak, belok kiri
1022 putar kanan, sebentar saja mereka sudah kembali ke Bu-linggoan.
Sekitar Bu-ling-goan ternyata sepi-sepi saja tiada bayangan
wisu seorangpun. Ternyata seluruh wisu keluarga Liong
dikerahkan untuk menghadapi musuh yang menyerbu datang.
Bu-ling-goan terletak di suatu pojokan, disini tiada jejak
musuh maka tiada wisu yang ditugaskan menjaga disini.
Setelah melewati air terjun di mulut gua, dengan ilmu
mengirim suara gelombang panjang, perlahan Tan Ciok-sing
berseru kedalam: "Aku adalah Tan Ciok-sing. Toan-toako,
bagaimana keadaanmu dengan Sia-cin Taysu?" kuatir orang
didalam salah paham, sebelum masuk dia bersuara lebih dulu.
Tak nyana ditunggu sekian saat tidak memperoleh jawaban
Toan Kiam-ping. Pada hal didalam gelap gulita entah ada atau
tidak penghuninya"
Tan Ciok-sing kaget, katanya lirih kepada In San: "Hatihatilah,
mari kita masuk bersama," keduanya melolos pedang
lalu menggeremet maju setapak demi setapak.
Tiba-tiba didengarnya seperti ada dengus pernapasan,
waktu Ciok-sing angkat pedangnya ke depan, kemilau cahaya
di ujung pedangnya seperti menerangi bayangan dua orang.
Keduanya duduk bersila seperti orang bersemedi: "Apakah
Toan-toako?" Tanya In San. Tetap tiada reaksi, kedua orang
itu sedikitpun tidak bergerak.
Kejut Tan Ciok-sing bukan main: "Mungkin mereka sudah
mati bersama," lekas dia keluarkan geretan api, serta maju
mendekat, setelah jelas barulah lega hati mereka.
Kedua orang ini memang bukan lain Toan Kiam-ping dan
Sia-cin Hwesio, mereka bersimpuh di tanah memejam mata,
telapak tangan mereka saling genggam mirip padri tua yang
samadi, begitu tenang dan asyiknya sampai kejadian di
sekelilingnya seperti tidak diketahui lagi. Uap putih tampak
mengepul di atas kepala Toan Kiam-ping, keringat sebesar
1023 kacang tampak bertetesan dari jidat Sia-cin Hwesio, dengus
napasnyapun berat.
Sebagai ahli silat sekali pandang Tan Ciok-sing lantas tahu
bahwa Toan Kiam-ping tengah membantu Sia-cin Hwesio
menyalurkan hawa murni dengan bantuan tenaga murninya
yang disalurkan ke tubuh orang. Bila darah mengental dalam
tubuh sudah mencair, luka Sia-cin Hwesio akan jauh lebih
ringan. Kini mengerahkan lwekang mereka sudah mencapai
taraf yang tergenting, sudah tentu mereka tidak bisa
menjawab seruan Tan Ciok-sing.
Di samping senang "Ciok-sing merasa kaget pula. Senang
karena kedua orang ini masih hidup. Kaget karena setelah
mengalami pertempuran sengit berulang kali, Toan Kiam-ping
masih mampu menolong Sia-cin Hwesio, keadaannya sendiri
jelas juga sudah letih dan lemah. Bila hawa murninya sampai
terkuras, meki dia berhasil menghidupkan Sia-cin Hwesio dia
sendiri pasti akan jatuh sakit berat. Lekas Ciok-sing tekan
telapak tangannya di punggung Sia-cin Hwesio, dengan ajaran
lwekang yang dipelajarinya dari ciptaan Thio Tan-hong, dia
salurkan segulung hawa hangat ke tubuh orang melalui Honghu-
hiat di punggung. Ajaran lwekang ciptaan Thio Tan-hong
memang hebat dan mujarab hanya sekejap tampak Sia-cin
Hwesio sudah membuka mata, mukanya yang pucat mulai
bersemu merah. Tan Ciok-sing berkata: "Jiwa Sia-cin Taysu tidak perlu
dikuatirkan lagi. Toan-toako, kau boleh istirahat," Toan Kiamping
tahu akan kemampuannya, maka diapun hentikan
usahanya. Tan Ciok-sing masih melanjutkan bantuannya mendorong
darah melancarkan pernapasan Sia-cin Hwesio. Sesaat lagi Sia
Cin Hwesio mengerang: "Sudah, sudah cukup. Tenagaku
sudah pulih sedikit. Biar kucoba, mungkin aku sudah bisa
berjalan sendiri."
1024 Tan Ciok-sing menekannya, katanya: "Jangan terburu
nafsu, nanti sebentar lagi kubantu kau menerjang keluar."
Sia-cin Hwesio bertanya: "Bagaimana keadaan diluar, kau
harus terus terang."
Toan Kiam-ping juga tanya: "Kalian melihat Han Cin tidak?"
"Nona Han aku belum melihatnya, tapi aku tahu dia
bersama Ti Tayhiap sudah menerjang kepungan lebih dulu,
bantuan dari luar juga telah datang, yakin mereka tidak akan
mengalami bahaya," lalu Ciok-sing tuturkan keadaan diluar
sepintas lalu. Sia-cin Hwesio menjadi gugup pula, katanya: "Kalau
demikian orang kita masih berada dalam kepungan musuh,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saatnya memerlukan teraga, lekas kalian keluar bantu
mereka." "Melihat orang gelisah dan tidak tenang, terpaksa Toan
Kiam-ping berkata: "Baiklah kugendong kau."
Sia-cin sudah merangkak dan memungut tongkatnya,
katanya: "Jangan urus aku, aku bisa jalan sendiri," setelah
berdiri dia coba gunakan tongkatnya apa mampu jalan sendiri.
Mendadak Tan Ciok-sing mendesis, katanya lirih: "Diam,
ada orang datang, kau sembunyi dulu," tak lama kemudian
betul juga ada suara orang melangkah ke arah gua.
Tan dan Toan amat kaget, yang datang sambil bicara
adalah Lenghou Yong, jago nomor satu dari pengawal
keluarga Liong. Seorang lagi berkata: "Meski sudah mati, aku
juga ingin menemukan mayatnya," orang ini adalah Liong
Seng-bu. Agaknya Liong Seng-bu tidak tahu kalau Tan Ciok-sing dan
In San sudah lari ke penginapan untuk tamu-tamu Watsu
disana, karena tidak menemukan In San, dia lantas menduga
mungkin In San terbawa arus deras didalam penjara air.
1025 Bu-ling-goan punya terowongan yang tembus ke penjara
air, maka dia minta Lenghou Yong mengikuti dia masuk ke
gua untuk memeriksa."
In San genggam pedang pusakanya sembunyi di tempat
gelap, matanya menatap ke depan dengan perasaan tegang
dan girang pula: "kebetulan keparat ini antar jiwanya!"
In San menahan napas, dilihatnya Liong Seng-bu sudah
dekat dari tempat persembunyiannya tak nyana tiba-tiba
Lenghou Yong menariknya.
Liong Seng-bu melengak, tanyanya: "Ada apa?"
"Kongcu," ujar Lenghou Yong tertawa, "dugaanmu
memang tidak keliru, ada orang sembunyi disini. Tapi entah
dia pujaanmu bukan," lalu dia menyalakan api serta
membentak: "Siapa sembunyi didalam, hayo lekas
menggelinding keluar."
Ternyata napas Sia-cin Hwesio agak berat setelah terluka
parah, Lenghou Yong ada meyakinkan lwekang tingkat tinggi,
maka pendengarannya lebih tajam dari Liong Seng-bu, begitu
menginjak mulut gua lantas dia tahu ada orang didalam.
Berdiri di samping Sia Cin Hwesio sambil menghunus
pedang Toan Kiam-ping membentak: "Lenghou Yong, kau ini
terhitung jago kosen yang ternama, mengancam orang yang
sudah terluka terhitung orang gagah macam apa, hayo keluar
lawan aku seorang diri."
Lenghou Yong melirik, katanya tertawa besar: "O, ternyata
Toan-siauongya. Hehe, kau juga terluka. Tapi mengingat
keberanianmu ini, akupun takkan melabrakmu, sekarang aku
berlaku sopan saja, silakan kau tuntun Hwesio itu ikut aku."
"Kentutmu busuk," maki Sia-cin Hwesio, "Meski bapakmu
terluka juga, aku akan adu jiwa dengan kau."
Mengkerut alis Lenghou Yong, katanya: "Kalian tidak mau
diperlakukan secara sopan, memangnya suka dijinjing keluar?"
1026 biasaaya dia amat pandang gengsi sendiri, betapapun dia
tidak mau merendahkan derajat melabrak dua orang yang
sudah terluka. Liong Seng-bu juga sudah tahu kalau Toan Kiam-ping
terluka, pikirnya: "Lenghou Yong jual mahal tahan gengsi
segala, memangnya aku peduli amat," maka dia berkata:
"Kalian sudah jadi tawananku, aku tidak peduli kau terluka
atau tidak, kalian tidak mau keluar biarlah aku seret saja."
"Kunyuk busuk, kalau berani mari masuk," maki Sia-cin
Hwesio. Liong Seng-bu gusar, dampratnya: "Keparat umpama kau
ini seekor harimau, cakarmu juga sudah protol, memangnya
aku takut padamu?"
Baru saja dia melangkah, mendadak Lenghou Yong
menghardik: "Awas Kongcu..."
Dalam sekejap itu Tan Ciok-sing dan In San sudah muncul
dan menubruk maju dengan sepasang pedang menuding ke
arah Liong Seng-bu.
Karuan kaget Liong Seng-bu serasa arwahnya copot dari
badan kasarnya, teriaknya, dengan suara kelu: "To... tolong...
" sungguh lucu, tujuannya kemari adalah ingin mencari In San
kini setelah orang yang dicarinya mendadak muncul disini, dia
justeru kaget dan ketakutan sampai tak mampu bersuara.
Tidak malu Lenghou Yong sebagai jago kosen yang
berpengalaman, meski menghadapi sergapan mendadak dia
tetap tidak gopoh, reaksinya ternyata juga cukup tangkas.
Baru saja Liong Seng-bu mengeluarkan perkataan "tolong",
mendadak terasa segulung tenaga lunak mendorong ke
arahnya, berbareng pandangannya menjadi gelap. Sebelum
dia tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu tubuhnya sudah
dijinjing Lenghou Yong ke samping.
1027 Lenghou Yong sodorkan obor di tangannya ke arah muka
In San, berbareng jarinya menjentik "Creng", ujung pedang
orang diselentik pergi. "Sret", cepat sekali pedang Tan Cioksing
sudah mengincar Jian-kin-hiat. Di tengah kegelapan
Lenghou Yong mendengarkan suara membedakan arah, sebat
sekali kakinya pindah posisi seraya melontarkan sebuah
pukulan, serangannya tetap ditujukan ke arah In San.
Siang-kiam-hap-pik sebetulnya amat besar perbawanya,
sayang mereka belum biasa bertempur berdampingan didalam
gelap, meski hanya terpaut serambut saja, kekuatan sepasang
pedang inipun dikorting banyak sekali, dengan cara suara di
timur menggempur di barat, beruntun tiga jurus Lenghou
Yong mencecar In San untuk membatasi serangan Tan Cioksing
terhadap dirinya.
Pertarungan adu jiwa, mau tidak mau dalam hati masingmasing
agak gugup juga. Mendadak Lenghou Yong tersentak
sadar, di samping masih ada seorang pembantu, maka dia
berteriak: "Kongcu, hayo lekas."
Rasa kaget Liong Seng-bu belum lenyap, dasar otaknya
encer mendengar seruan Lenghou Yong segera dia tahu
maksudnya. Jelas dia tidak bisa ikut menggempur Tan dan In,
dia juga tahu dalam waktu lama Lenghou Yong jelas bukan
tandingan Tan dan In, apalagi bergebrak di gua yang gelap,
sembarang waktu jiwa Lenghou Yong terancam, umpama dia
bisa lari keluar minta bantuan, mungkin tidak sempat lagi.
Lenghou Yong menyuruhnya lekas, yakin bukan menyuruhnya
lari, kalau disuruh lari tentu dia bilang lekas keluar.
"Ya, kenapa aku lupa ada dua orang yang sudah terluka
disini," Liong Seng-bu berpikir, "menghadapi dua orang yang
telah payah masa aku tidak mampu, hehehe, asal satu telah
kuringkus, dapat aku mengancam bocah keparat itu supaya
tunduk padaku. Setelah keluar dari gua ini, In San budak
busuk itupun akan tergenggam dalam telapak tanganku."
1028 Batu berserakan didalam gua, setelah berkeputusan Liong
Seng-bu lantas mendekam serta merunduk maju. Dia tahu
Sia-cin sudah terluka parah, maka dia bertujuan membokong
Sia-cin lebih dulu.
Tak tahunya meski terluka parah dan Kungfunya sudah
hampir lenyap, tapi Sia-cin cukup berpengalaman. Sejak tadi
dia sudah siap dan berjaga bila ada orang membokong
dirinya, sengaja dia pura-pura tidak tahu setelah Liong Sengbu
merandek ke dekatnya, barulah mendadak dia angkat
tongkatnya menggebuk seraya membentak: "Dari mana
datangnya anjing buduk hendak menggigit orang."
Mau membokong malah terbokong Liong Seng-bu sama
sekali tidak menduga, karena tidak siaga tongkat orang
mengenai tubuhnya dengan telak. Sayang Sia-cin terluka
parah, tenaganya lemah, meski gebukan tongkatnya itu sudah
kerahkan setaker tenaga, Liong Seng-bu memang kesakitan
luar biasa, tapi dia tidak terluka berat. Malah karena dia terlalu
bernafsu, begitu tongkatnya terayun dia sendiripun
terjerembab. Begitu meletik bangun Liong Seng-bu berjingkrak gusar,
makinya: "Bangsat gundul, kematian di depan mata masih
berani mengganas," pedang dihunus terus menusuk.
"Trang" Toan Kiam-ping ulur pedangnya menangkis.
Bentaknya: "Berani kau melukai Sia-cin Hwesio kurenggut dulu
nyawamu." Liong Seng-bu tahu dari benturan pedang barusan bahwa
tenaga Toan Kiam-ping juga bukan tandingannya, segera dia
tertawa jumawa, katanya: "Jiwamu sendiri belum tentu kau
bisa selamatkan masih berani bermulut besar?"
"Sret" sebelum dia bicara habis Toan Kiam-ping sudah
menusuknya dari arah yang tidak terduga, terdengar suara
robek lengan baju Liong Seng-bu kena ditabasnya kutung.
Diam-diam Toan Kiam-ping gegetun, sayang tenaganya lemah
1029 sehingga tusukan pedangnya ini kurang cepat dan terpaut
setengah dim pasti lengan lawan ditabasnya kutung.
Kepandaian silat Liong Seng-bu sekarang juga sudah
mencapai taraf tertentu, setelah rasa kagetnya hilang, segera
dia sadar: "Tenaganya lebih payah dari tadi, jelas keadaaanya
seperti dian yang sudah kehabisan minyak. Hm, kenapa aku
gentar terhadapnya?"
Setelah mundur Liong Seng-bu mendesak maju, jengeknya:
"Diberi tidak membalas tidak hormat, kau kira tuan mudamu
takut kepada kau sambut seranganku" "Sret, sret, sret"
beruntun tiga kali pedangnya menggempur, gaya pedangya
enteng dan lincah, ternyata kemahirannya sudah berbeda dari
dulu. Toan Kiam-ping harus kerahkan seluruh tenaga dan
kemahirannya baru berhasil punahkan tiga rangkai serangan
pedang, dalam hati dia terheran-heran. "Dari mana ilmu
pedang keparat ini mendadak begini liehay?"
Seperti diketahui tiga tahun yang lalu dari tangan Tan Cioksing,
pernah Liong Seng-bu merebut sejilid kitab ilmu pedang
ciptaan Thio Tan-hong, buku ilmu pedang itu sebetulnya
dititipkan kepada In Hou oleh Thio Tan-tong supaya
diserahkan kepada muridnya Toh Thian-tok di Thian-san.
Menjelang ajalnya In Hou serahkan buku itu kepada Tan Cioksing,
waktu itu Liong Seng-bu merangkul Tan Ciok-sing, suatu
kesempatan sebelum Ciok-sing sempat menyampaikan buku
itu telah direbutnya. Akhirnya buku itu memang berhasil
direbut kembali oleh Ciok-sing, namun Liong Seng-bu sudah
sempat mempelajarinya beberapa jurus.
Setelah layani permainan pedang beberapa jurus, terasa
oleh Toan Kiam-ping permainan ilmu pedang lawan tingkat
tinggi, tapi bolak-balik hanya beberapa jurus itu juga, sayang
tenaga sendiri sudah teramat lemah, sehingga tidak mampu
dia mematahkan permainan lawan, mau tidak mau dia
mengeluh dalam hati. "Keadaanku sekarang tak ubahnya
1030 seekor naga yang sudah payah dipermainkan seekor udang di
sungai yang dangkal. Harimau kesasar di kampung
digonggong anjing," di samping tenaga semakin lemah dia
harus perhatikan pula keselamatan Sia-cin Hwesio, karuan
pikirannya semakin kacau.
Saking senang Liong Seng-bu membentak: "Menyerah
saja." " " "Sret" pedangnya menusuk Hong-hu-hiat di
punggung Toan Kiam-ping.
Tak tahunya, ibarat cengcorang hendak menangkap
tonggeret, tidak tahu burung gereja berada di belakangnya.
Sebelum ujung pedangnya menyentuh kulit punggung Toan
Kiam-ping, tahu-tahu terasa punggung sendiri terasa dingin,
ternyata pedang In San sudah mengancam Hong-hu-hiat di
punggung sendiri. Ternyata Tan Ciok-sing menempuh bahaya
melancarkan serangan maut menandingi rangsakan Lenghou
Yong, sehingga In San sempat mundur untuk membekuk
Liong Seng-bu. Setelah meringkus musuh besarnya In San
tertawa ejek: "Bangsat kecil sekarang kau tahu keliehayan
kita?" Liong Seng-bu bergidik, katanya gemetar: "Adik San,
keluargaku menganggapmu sebaik itu, mohon kau mengingat
hubungan dahulu..."
Saking murka berdiri alis In San, dampratnya: "Mending
kau tidak menyinggung hubungan masa lalu, sekali kau angkat
pula urusan lama, kugorok putus lehermu."
"Ya, ya, tidak berani." Liong Seng-bu munduk-munduk,
"apa kehendakmu pasti kulakukan."
"Suruhlah Lenghou Yong menggelinding keluar," bentak In
San. Terpaksa Liong Seng-bu menurut perintah, serunya:
"Lenghou-siansing, sukalah kau pandang mukaku, keluarlah
lebih dulu."
1031 Pada hal Lenghou Yong sudah berada di atas angin, tapi
apa boleh buat terpaksa dia menghentikan pertempuran,
bentaknya: "Berani kau menganiaya Kongcu, jangan harap
kalian bisa keluar dari kebon ini."
"Coba buktikan saja nanti," jengek Tan Ciok-sing, In San
serahkan Liong Seng-bu kepada Tan Ciok-sing, lalu dia
membalik bantu Toan Kiam-ping memapah Sia-cin Hwesio.
Sia-cin Hwesio tertawa tergelak-gelak, katanya: "Jangan
takut, tak usah kuatir, aku takkan mati disini. Sungguh
menyenangkan, keparat ini hendak menawanku sebagai
sandera, kini sebaliknya dia jadi sandera kita." Dia tidak mau
dipapah, menggunakan tongkatnya dia ikuti In San keluar dari
gua. Tidak bisa berbuat apa-apa, terpaksa Lenghou Yong lari
memberi laporan kepada junjungannya.
Setelah berada diluar gua, terdengar suara pertempuran
masih berlangsung dengan gaduhnya agaknya pertempuran
berjalan semakin sengit.
In San tahu siapa yang paling diperhatikan Toan Kiam-ping,
maka dia berkata: "Toan-toako, mari kita cari dulu Han-cici."
Tapi dimana-mana ada pertempuran, entah dimana Ti Nio dan
Han Cin lagi berhantam"
Di tengah kegaduhan pertempuran yang memenuhi seluruh
pelosok taman besar ini, tiba-tiba terdengar bunyi seruling
yang merdu menusuk pendengaran, Tan Ciok-sing girang,
katanya: "'Kek Lam-wi ada disana, dia sedang mencari
Susioknya, nona Han berada bersama Susioknya kemungkinan
mereka ada disana juga. Mari kita serbu kesana."
Dugaannya memang tidak meleset, Kek Law-wi memang


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin kontak dengan sang Susiok melalui suara serulingnya.
Pada saat itu pula, beberapa jalur kembang api berwarna biru
benderang sama menjulang ke angkasa, kaget dan senang
hati Tan Ciok-sing, pikirnya: "Sekaligus kembang api berpijar
1032 di angkasa, pasti ada bantuan dari teman-teman yang baru
datang telah tiba," dari kejauhan Tan Ciok-sing belum melihat
jelas, tapi Kek Lam-wi sudah melihat Susioknya.
Di bawah penerangan kembang api yang menyala di
angkasa itu, Kek Lam-wi melihat Susioknya sedang berhantam
melawan Milo Hoatsu. Sementara Han Cin berada tak jauh di
samping Ti Nio.
Ternyata Milo Hoatsu pimpin sisa busu yang ada bergabung
dengan anak buah Liong Bun-kong, kekuatan mereka dibagi
rata untuk membendung musuh yang menyerbu datang, maka
terjadilah pertempuran terbuka yang lebih keras dan ramai.
Kalau pihak Pat-sian mendapat bantuan, pihak Liong Bunkong
juga kedatangan
Pendekar Gelandangan 10 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 11
^