Pendekar Pemetik Harpa 3

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 3


tersangkut paut" Maka urusan ini
harus dibikin beres sekarang juga."
122 "Tadi sudah kukatakan, aku tidak akan lapor," seru Tan
Ciok-sing. Tamu baik hati itu juga kira Tan Ciok-sing memang
membual, maka sikapnya kini berubah kurang simpatik,
katanya, "Mendengar kata-katamu tadi, seolah-olah kau
mencurigai semua tamu yang menginap di hotel ini, hayolah
bicara terus terang saja siapa yang kau curigai?"
"Tidak berani," kata Tan Ciok-sing, "maksudku mungkin
pencuri tadi tidak sempat membawa kabur barang-barangku
dan disimpan entah dimana dalam hotel ini. Bilamana tuantuan
melihatnya sudilah mengembalikan kepadaku, sungguh
tak terhingga terima kasihku."
Dasar Tan Ciok-sing adalah pemuda tanggung yang cetek
pengalaman dan belum pernah bergaul dalam masyarakat, dia
kira kata-katanya tadi sudah cukup sopan dan masuk di akal,
sehingga sang pencuri tahu diri dan tidak kehilangan muka,
secara diam-diam minta damai padanya. Tak kira ucapannya
ini justru menimbulkan reaksi masai.
Tamu-tamu yang lain ikut gusar dan gempar jadinya.
"Keparat, kau bilang begitu, kan berarti kami juga dicurigai,
memangnya kau hendak menggeledah kamar kami?" "--
"Bagus ya, kau bocah rudin ini, memangnya kau jadi gila
karena tak punya uang, tak berhasil memeras pemilik hotel,
lalu hendak mengancam kami?"
"Hayo gusur saja bocah rudin ini ke kantor polisi, jangan
biarkan dia main tipu disini," cuma kedua tamu tadi tidak ikut
memaki terhadap Tan Ciok-sing.
Tiba-tiba Tan Ciok-sing berpaling ke arah laki-laki tinggi
berhidung betet itu, katanya, "Harap tanya, cara bagaimana
jarimu itu sampai terluka?"
Berubah air muka si brewok, katanya, "Jariku terluka,
perduli amat dengan kau?"
123 "Tidak apa-apa, hanya tanya sambil lalu saja, kalau kau
tidak mau jelaskan, ya sudah. Buat apa marah-marah?"
Laki-laki brewok itu naik pitam, serunya, "Baiklah bicara
blak-blakan saja, apakah kau mencurigai aku yang mencuri
barangmu?"
"Siapa mencuri barangku dia tahu sendiri. Aku kan tidak
menyebut dirimu," demikian ujar Tan Ciok-sing.
Saking marah membesi muka si brewok, dampratnya,
"Jelas kau telah menuduhku, kurang ajar melihat kau tak
punya uang, kami kasihan dan menolongmu membayar
rekening hotel, sekarang kau malah menuduhku sebagai
maling." Hadirin sama memaki dan menyalahkan Tan Ciok-sing.
Pemilik hotel bersuara paling lantang. "Bocah kurcaci yang
membalas budi kebaikan dengan kejahatan begini, buat apa
banyak bacot sama dia, gusur ke kantor polisi saja."
Laki-laki pendek itu berpura-pura jadi penengah, lekas dia
menyabarkan kemarahan hadirin, katanya, "Belum tentu dia
ini penipu, mungkin karena sudah kehabisan ongkos lalu cari
akal, supaya ditraktir orang. Kita orang dewasa tidak perlu
membuat ribut dengan bocah rudin yang masih ingusan ini,
biar aku bujuk dan jelaskan padanya," lalu dia berpaling
katanya setelah batuk-batuk dua kali, "Jari temanku ini teriris
pisau waktu mengiris buah mangga, kenapa kau ingin tahu
sebab musababnya?"
Tak tahan lagi Tan Ciok-sing bicara lebih keras, "Tadi aku
gebrak dengan kedua penjahat itu, salah seorang kena kulukai
jarinya. Kalau temanmu teriris pisau waktu menguliti mangga,
terang bukan dia adanya, harap tidak berkecil hati," dia suruh
orang lain tidak berkecil hati, hakikatnya kata-katanya tadi
berarti menuding hwesio memakinya gundul.
Karuan hadirin dibuatnya marah lagi, pemilik hotel
berjingkrak lebih gusar, "Nah coba semakin temberang seperti
124 anjing gila, main gigit saja, orang yang memberinya makan
juga digigitnya malah, bicara soal keadilan apa lagi dengan
dia?" "Dia tidak tahu keadilan adalah urusannya, kita kan orang
dewasa, harus dapat memaafkan keteledorannya. Adik cilik,
aku tidur sekamar dengan temanku ini, kau mencurigai dia,
apakah kau juga mencurigai aku?"
Kata Tan Ciok-sing, "Seorang pencuri yang lain kena
kugenjot dadanya," waktu dia bicara, kebetulan laki-laki
pendek ini sedang batuk-batuk dan menahan dada.
Karuan laki-laki pendek berubah air mukanya, katanya,
"Aku kena pilek dan batuk, jadi kau mencurigai aku. Baiklah,
tuan-tuan sekalian harap menjadi saksi, biarlah bocah ini
menggeledah kamarku, apakah dia dapat menunjukkan
barangnya yang dicuri orang."
Tamu yang baik hati tadi berkata, "Betul, semula aku
simpatik terhadapnya, kini kurasakan juga dia memang
keterlaluan. Kalau bukti tidak dapat ditemukan, kita harus
menghajarnya sebagai peringatan.
Tapi tak perlu membikinnya banyak susah, soal dilaporkan
polisi, kukira boleh tidak usah."
Tan Ciok-sing tahu kalau orang berani suruh dirinya
menggeledah kamar, tentu golok dan uang emasnya sudah
disembunyikan di tempat lain, kata dia tertawa dingin, "Barang
yang telah hilang mana dapat ditemukan lagi, biarlah aku
terima nasib saja."
"Kau tidak berani memeriksa, berarti kau sendirilah
pencurinya," damprat pemilik hotel.
Laki-laki pendek itu mengunjuk sikap belas kasihan,
katanya, "Bocah ini saking rudin sepeser uangpun tidak punya,
memang harus dikasihani. Biarlah aku membantumu sekali
lagi, harpamu ini boleh kau serahkan padaku, kubayar sepuluh
125 tahil perak untuk sangu kau pulang ke rumah," hadirin sama
memuji kebaikan hatinya yang jarang ada di dunia ini.
"Mujur juga kau bocah rudin ini, hayo lekas ucapkan
banyak terima kasih," seru pemilik hotel.
"Meski aku mati kelaparan juga tidak akan menjual harpaku
ini," sahut Tan Ciok-sing tegas.
Tamu baik hati itu berkata, "Kau ini memang tidak tahu
kebaikan, memangnya kau suka gegares nasi orang dan
terima uang orang lain secara percuma?"
"Kenapa dia harus kasihan padaku, harpa warisan
keluargaku ini sekali-kali tidak boleh terjatuh ke tangan orangorang
jahat," sahut Tan Ciok-sing.
Tamu-tamu lain yang menonton keramaian jadi ikut naik
pitam dan menaruh simpatik akan kebaikan laki-laki pendek,
seorang tamu berkata, "Anjing saja masih bisa membedakan
kebaikan. Hidup setua ini, belum pernah aku melihat bocah
goblok dan sebandel ini."
"Padahal tuan tamu ini tadi sudah membayar setahil perak
untuk ongkos kamar dan makannya, harpa bobrok ini paling
seharga belasan keping tembaga, tuan ini sudah punya hak
merampas harpanya itu sebagai tumbal," demikian seru
pemilik hotel. Tan Ciok-sing mundur selangkah sambil memeluk harpa,
katanya dingin, "Siapa berani merebut harpaku, biar aku adu
jiwa dengan dia."
"Kau bocah ini memangnya sudah gila, makan tidur gratis
masih bersikap kasar terhadap orang yang menolongmu,"
demikian damprat pemilik hotel, "agaknya kalau tidak dihajar
dia tidak akan kapok, hayo gusur ke kantor polisi biar dihajar
bokongnya," sembari bicara dia sudah menggulung lengan
baju serta bergaya hendak menubruk maju.
126 Tan Ciok-sing pun sudah marah betul, matanya mendelik
beringas, agaknya laki-laki pendek itu jadi jeri, bujuknya,
"Sudahlah, akupun bukan mengincar harpanya itu, anggaplah
aku lagi sial, setahil perak anggap saja memberi sedekah pada
pengemis."
Bahwasanya pemilik hotel juga takut kalau berurusan
dengan polisi, segera dia membentak, "Betapa besar jiwa tuan
tamu ini, memandang mukanya, aku tidak akan menarik
panjang peristiwa ini. Sekarang enyah kau bocah gila ini."
"Pergi ya pergi," seru Tan Ciok-cing, lalu dia menuding ke
dua tamu itu, katanya, "Tinggalkan alamat dan nama kalian."
"Untuk apa?" tanya laki-laki pendek.
"Kalian sudah membayar satu tahil untuk ongkos nginap
dan makanku, kelak pasti akan kuganti dua kali lipat."
"Laki-laki pendek bergelak tawa, katanya, "Siapa minta
balasanmu" Sudah kukatakan kuanggap..."
Mendelik bundar bola mata Tan Ciok-sing, serunya,
"Anggap apa?" serasa hampir meledak dadanya, kalau laki-laki
ini berani mencemoohnya lagi, dia sudah siap adu jiwa tanpa
hiraukan apa akibat yang bakal menimpanya, paling tidak lakilaki
ini harus dihajar.
Jeri juga laki-laki pendek itu, katanya, "Ah, tidak apa-apa,
kau harus tahu aku sudah membantu tanpa ingin menuntut
balasan. Lekas kau pergi saja."
"Bocah ini memang sinting," hadirin sama memaki, "kalau
bikin geger lagi, tuan tamu ini mengampuni kau, biar kami
nanti yang menghajarmu."
Tan Ciok-sing tidak gentar menghadapi dua lawan ini, tapi
dia tidak ingin berkelahi dengan tamu-tamu lain yang tidak
pandai main silat, terpaksa dia beranjak keluar sambil
menggerundel, harpa dipeluknya kencang-kencang. Setiba di
ambang pintu keluar dia berpaling, "Hm, menanam budi tidak
127 mengharap balasannya, kuingat kebaikan kalian hari ini." Di
belakang terdengar gemuruh gelak tawa dan cemoohan orang
banyak. Tahu dirinya takkan bisa berpijak lagi di kota kecil ini,
terpaksa Tan Ciok-sing menunggu kedua tamu itu keluar di
ujung jalan raya, pikirnya, "Harta dan uang tidak jadi soal, tapi
golok pusaka In Tayhiap sekali-kali tidak boleh terjatuh ke
tangan mereka."
Tak tahunya setelah tunggu punya tunggu, belum juga
kelihatan kedua tamu itu keluar, tanpa terasa hari sudah
mendekati tengah hari, perut Tan Ciok-sing sudah kelaparan.
Akhirnya dia sadar juga, batinnya, "Pasti mereka sudah pergi
menempuh jurusan lain."
Akhirnya dia nekad kembali ke hotel, ternyata kuda
tunggangan kedua tamu itu memang sudah tidak ada. Pemilik
hotel berlari keluar mengusirnya. Saking jengkel Tan Ciok-sing
segera meninggalkan kota kecil ini, entah berapa jauh dia
menempuh perjalanan, rasa lapar perutnya sungguh tak
tertahan lagi. Untung tak berapa lama lagi dia tiba di sebuah kota kecil
yang berdekatan. Kota kecil yang ini agaknya lebih ramai
dibandingkan kota kecil yang semalam dia menginap.
Kebetulan Tan Ciok-sing lewat di depan sebuah warung
makan, mencium harumnya masakan sedap perutnya betulbetul
memberontak, tanpa pikir segera dia melangkah masuk.
Lima meja dalam warung itu sudah terisi tamu, satu di
antaranya di sebelah atas duduk seoraug berpakaian perwira,
seorang majikan kaya ditemani beberapa orang sekolahan dan
terpandang dari penduduk setempat. Mereka tengah ngobrol
panjang lebar sambil makan minum seperti dalam rumah
sendiri, tak perduli kehadiran orang lain.
Waktu Tan Ciok-sing yang berpakaian rombeng memasuki
warung, seorang tamu segera mengerutkan kening, katanya,
128 "Kau pengemis ini memangnya tidak tahu aturan minta-minta"
Hayo tunggu sedekah diluar."
Merah muka Tan Ciok-sing, katanya, "Aku bukan
pengemis."
"Bukan pengemis" Memangnya kau tamu yang hendak
makan minum disini?" kata seorang tamu lain. Kata-katanya
ini mendapat sambutan gelak tawa tamu-tamu yang ada.
Menahan gusar dan lapar Tan Ciok-sing berkata, "Aku tak
punya uang untuk makan minum tapi aku bukan pengemis,
aku hanya menjual bakat."
Laki-laki perut gendut mirip majikan itu mungkin sudah
setengah sinting karena kebanyakan minum arak, diapun
berolok dengan tertawa, "Maaf, maaf, kiranya kau ini seorang
seniman. Kau bisa main apa?"
"Aku bisa memetik harpa," sahut Tan Ciok-sing.
Perwira itu menimbrung, "O, kau bocah ini juga bisa main
harpa" Coba mainkan."
Tan Ciok-sing segera membuka kotak panjangnya, katanya,
"Tolong berikan aku sebuah meja kecil."
Melihat harpa yang dikeluarkan sudah luntur dan bobrok
hadirin sama geli dan tertawa terpingkal-pingkal. Majikan
gendut itu berkata, "Entah dari mana dia memperoleh harpa
bobrok ini."
Tan Ciok-sing menahan sabar, katanya, "Meski bobrok
harpa ini masih bisa untuk memainkan beberapa lagu, bila
tuan-tuan berkenan sukalah memberi persen ala kadarnya,"
entah karena saking kelaparan, atau karena mangkel, waktu
menyetem senar harpanya, jari-jari tangannya kelihatan
gemetar. 129 Pemilik warung ternyata seorang yang baik hati, katanya,
"Engkoh cilik, mirunilah dulu kuah kaldu ini untuk
menghangatkan perut."
Setelah minum kuah kaldu, rasa lapar sedikit demi sedikit
berkurang, setelah selesai menyetem, mulailah dia memetik
harpanya sambil bernyanyi membawakan syair pujangga So
Tong-poh. Laki-laki sekolahan itu adalah seorang tuan tanah yang
pernah belajar beberapa huruf, si perwira berpaling padanya
dan bertanya, "Li-ang, lagu apa yang dinyanyikan bocah ini?"
Laki-laki itu bersikap mencemooh, katanya, "Aku hanya
paham syairnya, siapa tahu lagu sedekah (lagu pengamis) apa
yang dinyanyikan?"
Perwira itu geleng-geleng kepala, katanya, "Tapi lagu
sedekah yang dinyanyikan kaum pengemis masih lebih enak
didengar."
Laki-laki gendut itu juga berseru, "Wah, jelek sekali,
kupingku sakit rasanya."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karuan hampir meledak perut Tan Ciok-sing mendengar
ejekan-ejekan itu. Pikirnya, "Percuma aku bernyanyi di
hadapan manusia-manusia kasar tak kenal huruf ini. Bikin
kotor harpaku saja. Hm, lebih baik aku mati kelaparan dari
pada disini terhina begini rupa."
Baru saja dia hendak menyimpan harpa dalam kotaknya,
tiba-tiba didengarnya seorang berkata, "Kurasa petikan
harpanya justeru patut didengarkan."
Waktu Tan Ciok-sing angkat kepala, pembicara adalah
pemuda yang berpakaian pelajar, sejak tadi dia duduk di meja
pojokan sana seorang diri. Setelah memuji permainan Tan
Ciok-sing dia merogoh kantong keluarkan sekeping perak kirakira
senilai dua tahil, suruh pelayan warung diberikan kepada
Tan Ciok-sing. 130 Demi gengsi terpaksa tuan tanah majikan kaya dan perwira
itu juga merogoh kantong persen beberapa keping uang
tembaga. Tan Ciok-sing hendak menampik pemberian mereka, tapi
kuatir mereka kehilangan muka dan membuat geger lagi
disini. Di kala dia bimbang pemuda pelajar itu sudah berseru
padanya, "Kebetulan bertemu disini, silahkan kemari duduk
disini sambil minum beberapa cangkir."
Tan Ciok-sing tinggalkan uang perak itu di atas meja lalu
menghampiri dan menyatakan terima kasih kepada pemuda
pelajar itu. Karuan tuan tanah, majikan kaya dan perwira itu
sama mendongkol karena Tan Ciok-sing tidak berterima kasih
pada mereka. "Engkoh cilik," kata pelajar itu, "siapa yang mengajar kau
main harpa?"
"Bocah rudin macamku ini mana mampu mengundang guru
segala, sejak kecil aku belajar ala kadarnya dari kakek." .
"O, kakekmu pasti seorang kenamaan?" tanya si pelajar.
"Kecuali bisa main harpa kerja kakek menangkap ikan,
sejak lahir aku hidup di gunung, entah dia ternama atau
tidak?" "Engkoh cilik, kau punya bakat tapi tidak terkembang, tak
heran kalau kau suka uring-uringan. Mumpung panas
makanlah paha ayam ini, minum lagi secangkir. Kalau kau sudi
aku ingin bersahabat denganmu."
Setelah minum dua cawan Tan Ciok-sing berdiri, katanya.
"Terima kasih, kau sudi menghargaiku, biar kupetikkan satu
lagu. Bicara soal bersahabat, sungguh aku tidak berani
menerimanya."
Kali ini Tan Ciok-sing membawakan syair Sim Pin, pujangga
pada dynasti Tong. Pelajar itu mendengarkan sambil manggut
dan memuji berulang kali.
131 Akhirnya dia melongo saking asyik dan terbuai oleh alunan
harpa yang merdu dan syahdu.
Belum lagi Tan Ciok-sing habis membawakan lagunya ini,
datang pula seorang tamu. Melihat Tan Ciok-sing sedang petik
harpa sambil nyanyi sesaat dia merasa heran, lalu dia
menyapa majikan gendut itu. "Lau-ang, kiranya kau gemar
juga mendengar irama harpa?"
"Bukan aku yang suka dengar, Lo-ho, kebetulan kau
datang, kemarilah ikut minum," lalu dia perkenalkan kepada
tuan tanah dan perwira serta yang lain. Lo-ho adalah
penduduk Hek-ciok-tin yang tidak punya gawe (pekerjaan),
kerjanya suka luntang-lantung dan menyebar berita. "Lo-ho
ada berita apa tidak?"
Setelah duduk Lo-ho berkata lirih. "Semalam terjadi
kejadian aneh di Hek-ciok-tin, seorang pemuda tanggung
berpakaian rombeng menginap di Hun-lay, tapi tak punya
uang membayar rekening, untung ada tamu yang suka
menolongnya, tak kira tengah malam dia membuat keributan,
katanya barangnya kecurian. Pemuda itu juga membawa
harpa bobrok."
Hek-ciok-tin adalah kota kecil dimana semalam Tan Cioksing
menginap, jaraknya kira-kira tiga puluhan li dari kota ini,
peristiwa semalam yang menimpa Tan Ciok-sing, ternyata
diketahui oleh Lo-ho ini, sehari ini entah sudah berapa kali dia
bercerita kepada orang.
Tuan tanah itu berpaling kearah Tan Ciok-sing, katanya,
"Kok bisa terjadi begitu, kukira bocah itu sengaja hendak
memeras hotel Hun-lay itu."
"Pendapat Li-ang memang tepat, bukan saja bocah rudin
itu hendak memeras Hun-lay, diapun memeras tamu yang
membantu bayar rekeningnya," lalu dia bercerita panjang
lebar akan kejadian yang didengarnya, sudah tentu dalam
132 ceritanya ditambahi bumbu dan kecap sehingga ceritanya
kedengaran lebih menarik.
Akhirnya Lo-ho menambahkan, "Sayang kedua tamu baik
hati itu melepasnya pergi. Kalau waktu itu aku hadir, mungkin
sudah kugusur dia ke kantor polisi. Tapi aku sudah mencari
tahu bahwa penipu itu berusia belasan tahun, pakaian
rombeng, membawa harpa dan jual lagak dimana-mana.
Haha, kukira orangnya sekarang jauh di langit dekat di depan
mata." Tuan tanah itu berkata, "Orang orang Hek-ciok-tin tiada
yang tertipu, mungkin tidak sedikit pelajar-pelajar bodoh di
dunia ini yang akan digoroknya."
"Sayang Lo-ho tidak melihat tampangnya, kalau ada
saksinya, pasti kuringkus dia," demikian kata si perwira.
Pada saat itulah terdengar derap lari kuda yang
mendatangi, dua penunggang kuda itu seketika menarik
kendali waktu mendengar suara harpa dari warung makan. Loho
segera bertepuk tangan girang seraya berseru. "Nah itu dia
saksinya telah tiba," kiranya penunggang kuda itu adalah dua
tamu yang pernah membantu Tan Ciok-sing.
Laki-laki pendek itu segera membentak. "Bagus, ternyata
kau bocah rudin ini mau menipu orang lagi disini, tuan-tuan,
semalam bocah keparat ini hendak memeras pemilik hotel
Hun-lay di Hek-ciok-tin, kamipun kena tertipu setahil perak
olehnya." "Peristiwa itu sudah kita ketahui," kata Lo-ho, suaranya
lantang, "untung yang berwenang di kota ini kebetulan ada
disini, biarlah urusan ini kuselesaikan disini."
Perwira itu menggebrak meja, serunya sambil berdiri.
"Betul, disini ada undang-undang raja, aku yang berwenang
menegakkan keadilan di daerah ini, siapapun kularang berbuat
curang di daerah kekuasaanku, kawanan opas, tangkap dia,"
agaknya dia lupa bahwa kini dia seorang diri sedang jajan di
133 warung ini, hakikatnya tidak membawa anak buah, apa lagi di
warung makan, setelah membentak baru dia sadar telah
kelepasan omong.
Pelajar itu mengerutkan kening, bujuknya. "Kulihat adik
cilik ini pasti bukan penipu, kuharap persoalannya dibikin
terang lebih dulu."
"Saksi sudah di depan mata, apa pula yang harus
ditanyakan"' seru si perwira. "Liong-siucay, kau belum jadi
penggede, pulanglah belajar lagi beberapa tahun, soal dinasku
tak perlu kau ikut campur, Hm, bocah keparat ini berani
mendelik padaku, biar kuringkus kau."
Sungguh tak tertahan lagi emosi Tan Ciok-sing, mendadak
dia raih pecahan perak di atas meja terus dilempar ke arah
dua tamu diluar sana sambil membentak, "Semalam kau
mentraktir setahil perak, kini dibayar sekali lipat. Kau mencuri
golokku, lekas kembalikan padaku," lalu dia berpaling serta
meraih beberapa keping uang tembaga itu terus ditimpuk ke
meja si perwira. "Uang kalian yang bau ini, akupun tidak sudi,"
Kepandaian laki-laki hidung betet tidak lebih asor dari Tan
Ciok-sing, sekali gerakan dengan enteng dia tangkap pecahan
uang perak yang ditimpukkan Tan Ciok-sing, jengeknya
dingin, "Kau membayar hutang memang sudah seharusnya
tapi jangan kau menuduh aku yang mencuri golokmu." Celaka
adalah laki-laki pendek yang berkepandaian rendah, mukanya
terluka dan berdarah oleh timpukan uang pecahan Tan Cioksing.
Laki-laki usil mulut yang dipanggil Lo-ho berteriak. "Celaka
dua belas, pencuri cilik yang galak ini berani melukai orang
lagi," mendadak dia merasa ada gejala yang kurang beres,
waktu berpaling seketika dia terkesima.
Ternyata kepingan uang tembaga yang ditimpukan Cioksing
ke meja sini semuanya melesak amblas setengah berjajar
di atas meja, si perwira tampak pucat dan ketakutan. Malah
134 tuan tanah dan majikan kaya yang bernyali kecil sudah
sembunyi di kolong meja.
Tan Ciok-sing panggul harpanya terus menerjang keluar ke
arah dua tamu itu, bentaknya, "Kalian inilah penipu,
kembalikan tidak golokku?"
Laki-laki brewok itu sudah siap menghajar Tan Ciok-sing,
tapi sekilas pandangannya melirik ke arah Liong-siucay yang
sedang menatapnya tajam seperti tertawa tidak tertawa.
Mencelos hati si brewok, bergegas dia lompat ke punggung
kudanya, teriaknya. "Bocah ini sudah jadi gila, hayolah pergi
saja." Dua kali laki-laki pendek itu kecundang oleh Tan Ciok-sing,
nyalinya sudah pecah, tanpa diperingati dia sudah bedal
kudanya lebih dulu.
Ginkang Tan Ciok-sing sekarang paling cepat, sudah tentu
dia tidak kuasa mengejar kecepatan lari kuda, waktu dia tiba
diluar kota, kedua musuh itupun sudah tidak kelihatan
bayangannya. Setelah terlampias rasa dongkolnya lega juga
perasaan Tan Ciok-sing, untuk menempuh perjalanan dia tidak
berani lewat jalan raya, terpaksa dia lari ke atas gunung.
Semakin jauh dia meninggalkan kota kecil itu, haripun sudah
semakin gelap, tanpa terasa senja menjelang.
Kuah kaldu semangkok dan paha ayam yang diganyangnya
tadi kini sudah tidak berbekas dalam perutnya, perutnya mulai
berontak lagi. Saking lelah akhirnya dia mendeprok di bawah
pohon lalu merebahkan diri beristirahat.
Angin malam berhembus agak kencang, Tan Ciok-sing yang
memang kelaparan jadi bergidik kedinginan. Untung dia
membawa ketikan batu, segera dia mengumpulkan dahan dan
daun kering lalu membuat api unggun. Mendadak
pandangannya terbeliak seperti menemukan sesuatu,
dilihatnya di depan sana penuh tumbuh pohon-pohon ubi liar,
135 segera dia mengeduk tanah membongkar ubi terus
dibakarnya. Setelah makan beberapa kerat ubi, sungguh tak kepalang
rasa senang hati Tan Ciok-sing, tenaga pulih semangatpun
bangkit. Lalu bagaimana selanjutnya dia harus menempuh
kehidupan ini" Masuk kota takut ditangkap opas, hidup di atas
pegunungan hanya makan ubi liar melulu, semakin dipikir hati
Tan Ciok-sing semakin risau, akhirnya dia turunkan kotak
buntalannya lalu memetik harpa di bawah pohon. Tanpa sadar
lagu yang dibawakan adalah Khong-ling-san yang pernah
dibawakannya waktu berpisah terakhir kali dengan jenazah
kakeknya. "Petikan harpa yang bagus," tiba-tiba terdengar seseorang
memuji. Tan Ciok-sing berjingkrak kaget, entah kapan tahutahu
dihadapannya sudah berdiri empat orang, semuanya
mengelilingi pohon dimana dia duduk di bawahnya.
Dua orang di depan adalah kakek yang berparas aneh,
padahal tampang kedua kakek ini mirip satu dengan yang lain,
seperti pinang dibelah dua, cuma kulit badannya saja yang
berbeda. Seorang berpakaian serba putih, yang lain
berpakaian hitam. Kakek baju putih kulitnya putih bersih
seperti salju, kakek baju hitam berkulit hitam legam, jadi
pakaian dan kulit badan mereka serasi, hitam putih kelihatan
menyolok sekali. Rambut kedua kakek ini sudah sama
beruban, bola matanya gelap kebiruan, sekali pandang orang
akan tahu kalau mereka bukan Oh-jin dari daerah barat pasti
orang asing. Kedua kakek ini sama memegang sebuah tongkat
coklat yang mengkilap, entah terbuat dari apa.
Yang membuat Tan Ciok-sing lebih heran adalah dua lakilaki
yang berdiri di belakang sana, mereka bukan lain adalah
dua pencuri yang menista dirinya sebagai penipu.
136 Laki-laki brewok itu berkata beberapa patah kata yang tak
dimengerti kepada kedua kakek hitam putih, Tan Ciok-sing
tidak tahu apa yang dipercakapkan, tapi mereka bicara sambil
menuding harpa miliknya, jelas mereka mengincar dan hendak
merebut harpa warisan keluarganya.
Laki-laki pendek itu berkata dengan tertawa, "Sungguh
amat kebetulan, tak kira kau bocah ini sedang sembunyi
disini." Gusar Tan Ciok-sing dibuatnya, bentaknya, "Memang aku
hendak cari kalian guna membuat perhitungan, uang sudah
kukembalikan, kenapa kalian tidak kembalikan golokku?"
"Kau masih berani minta kembali golok pusaka?" ejek lakilaki
pendek, "besar juga nyalimu, ketahuilah, kami juga ingin
merebut harpamu itu. Tapi kami tidak akan merebut secara
percuma..."
Memangnya Ciok-sing sudah dongkpl sejak kemarin, mana
dia sabar mendengar obrolan orang, segera dia menerjang
maju sambil memaki, "Kurang ajar, kalian kawanan rampok
ini. Sudah mencuri golokku mau merebut harpaku pula."
Lekas kakek tua putih mengulap tangan, katanya, "Jangan
berkelahi, kami bukan perampok."
Terasa serumpun tenaga lunak yang kuat tiba-tiba
menahan dirinya seperti ada sebuah telapak tangan tidak
kelihatan yang mendorong dadanya, walau lunak tenaganya
tapi sukar ditahan dan dilawan, tanpa kuasa dia terdorong
mundur beberapa langkah.
Habis bicara kakek tua putih itu lantas berpaling setelah
mendengus dia memaki kedua laki-laki itu, "Kalian membantu
aku berdagang, bukankah sudah pernah kuberitahu kepada
kalian" Kita boleh menarik keuntungan dalam perdagangan,
tapi kularang main rebut barang milik orang lain" Bukankah
kalian mempermainkan dan menyakiti bocah ini?" bahasa
137 pembicaraannya menggunakan bahasa Han yang fasih dan
jelas, logatnya jauh lebih baik dibandingkan laki-laki brewok
itu.

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lekas laki-laki brewok bantu temannya membela diri,
katanya, "Kami bukan merampas, tapi kami membeli dengan uang."
"Pembual," damprat Tan Ciok-sing, "kalian pura-pura jadi
orang baik mentraktir aku segala, siapa bilang aku menjual
barangku kepada kalian?"
Mimik laki-laki pendek tampak menjilat kepada kedua orang
tua hitam putih, katanya, "Aku tahu kalian orang tua segala
barang antik apapun sudah punya, tapi sejauh ini belum
pernah memiliki harpa kuno, oleh karena itu aku ingin
memperdayanya untuk
kupersembahkan pada kalian sebagai kado ulang tahun.
Silahkan kalian orang tua perhatikan, bukankah harpa itu
sangat baik."
Perlahan kakek hitam berkata, "Bagus memang bagus, tapi
tak boleh merebut secara paksa. Tentang golok pusaka ini..."
Si brewok kuatir kakek hitam kembalikan golok pusaka itu
kepada Tan Ciok-sing, lekas dia bertanya, "Golok pusaka ini
bagaimana?"
"Sulit aku memberikan putusan atas golok pusaka ini," ucap
kakek hitam, "biar kutanyakan dulu biar jelas."
Diam-diam si brewok membatin. "Kaum persilatan,
memangnya siapa yang tidak menyukai golok pusaka?" dia
kira kakek, hitam sudah menaruh perhatian, tidak lagi
mengukuhi aturan biasanya bila dia berdagang. Maka lekas dia
berkata, "Loya-cu, merebut barang orang sudah tentu tidak
baik, tapi, tapi..."
"Tapi apa?" kakek hitam menatapnya tajam.
138 Kata si brewok, "Kuingat kalau tidak salah Lo-ya-cu pernah
bilang, hitam makan hitam kan boleh juga. Entah salahkah
aku mengingat akan hal ini?"
"Maksudmu golok pusaka milik bocah ini juga hasil curian?"
tanya kakek hitam, "darimana kau tahu?"
Mendapat bantuan dan kisikan temannya, laki-laki pendek
segera menimbrung, "Bagaimana asal-usul bocah ini
meski.belum kami ketahui. Tapi uang sepeserpun dia tidak
punya untuk membeli pakaian bekas, lalu dari mana dia bisa
memiliki kedua benda pusaka?"
Kakek hitam manggut, katanya, "Ucapanmu ini memang
beralasan, asal-usul bocah ini memang agak mencurigakan."
Tan Ciok-sing berseru gusar, "Bagaimana asal-usulku
perduli amat dengan kalian. Tapi ke dua anak buahmu itu
jelas pembual."
"O, membual bagaimana?" tanya kakek putih.
"Mereka mengatakan aku rudin memang tidak salah, tapi
semalam aku masih menggembol puluhan butir kacang emas.
Waktu mereka mencuri golok pusakak*U ini, kacang emas
itupun berhasil mereka gondol pula."
Laki-laki pendek itu tertawa lebar, katanya, "Omonganmu
ini memangnya bisa menipu orang?"
Belum habis dia bicara tiba-tiba cahaya kuning emas
berkelebat menyilaukan mata waktu kakek hitam membuka
telapak tangannya di depan matanya, puluhan butir kacang
emas ternyata sudah berada dalam genggamannya. Padahal
laki-laki pendek ini menyimpan kacang-kacang emas ini
didalam kantong baju lapisan dalam, tapi hanya dengan satu
gerakan enteng dan cepat, semuanya sudah dirogohnya
keluar, baju bagian luar tidak terbuka. Jangan kata laki-laki
pendek ini kaget dan ketakutan, Tan Ciok-sing pun takjub
dibuatnya. 139 Gemetar sekujur badan laki-laki pendek, katanya, "Aku
hanya ingin mendapatkan kado yang kalian sukai, sekedar
sebagai penghormatan pada kalian orang tua, tujuannya jelas
bukan untuk kepentingan pribadi. Soalnya bocah ini tidak mau
menjual pada kami, terpaksa kugunakan akal ini, bila dia tidak
ada sepeser uangpun, mungkin dia mau menjualnya
kepadaku."
"Plak, plok", beruntun terdengar suara keras dua kali, lakilaki
brewok dan laki-laki pendek sama dipersen satu kali
tamparan. Setelah menggampar mulut kedua anak buahnya,
kakek hitam berkata dingin, "Tutup bacot kalian yang kotor,
muka kami kalian bikin malu."
Melihat kakek hitam menghajar anak buahnya, dalam hati
Tan Ciok-sing berpikir, "Tandang kedua orang asing ini
memang angker dan menakutkan, tapi hati mereka ternyata
baik. Mungkin mereka sudi kembalikan golok pusakaku itu."
Tak kira pelan-pelan kekek hitam melolos golok serta
menjentiknya dua kali, tiba-tiba dia berkata, "Aku tidak akan
membela anak buah sendiri, tapi kaupun harus bicara jujur.
Cara bagaimana kau memperoleh golok pusaka ini?"
Sudah tentu tak mungkin Tan Ciok-sing ceritakan peristiwa
yang menimpa In Hou kepada orang asing yang tidak
dikenalnya ini" Tapi diapun tidak bisa berbohong, terpaksa dia
menjawab, "Pendek kata golok ini milikku, cara bagaimana
aku memilikinya, orang lain tidak perlu urus."
"Urusan lain aku boleh tidak perlu turut campur," kata
kakek hitam, "tapi bicara soal asal-usul golok pusaka ini
betapapun aku harus mencampurinya. Lekas katakan secara
jujur, golok pusaka milik In Hou ini, cara bagaimana bisa
terjatuh ke tanganmu?"
Tan Ciok-sing terperanjat, pikirnya heran, "Mungkinkah
mereka sahabat In Tayhiap" Hm, hati manusia susah diduga,
siapa tahu kedua kakek ini pura-pura jadi orang baik,
140 tujuannya hendak mengorek keteranganku tentang In
Tayhiap?" "Apakah kau murid In Tayhiap?" tanya kakek hitam.
"Hakikatnya aku tidak kenal dan tidak tahu siapa itu In
Tayhiap." sahut Tan Ciok-sing masa bodoh.
Tiba-tiba kakek hitam memutar golok mengangsurkan
gagang golok ke arah Tan Ciok-sing, katanya, "Terimalah."
Sekilas Tan Ciok-sing melenggong, tak pernah terbayang
olehnya bahwa kakek hitam ini akan kembalikan golok pusaka
ini begini mudah. Baru saja dia hendak minta kembali sarung
goloknya sekalian, kakek hitam sudah serahkan tongkat coklat
mengkilap di tangannya kepada kakek putih, bentaknya,
"Golok pusaka sudah kembali di tanganmu, hayolah bacokan
ke arahku."
Kembali Tan Ciok-sing tertegun, katanya kemudian, "Bicara
baik-baik kenapa aku harus membacok kau?" maklum golok
pusaka ini tajam luar biasa, mengiris emas dan besi seperti
merajang sayur, rambut yang ditiup di tajam goloknya pun
putus seketika, sudah tentu Tan Ciok-sing tidak berani
memakainya membacok kakek hitam yang bertangan kosong.
Kakek hitam tertawa dingin, katanya, "Jangan kau kira
dengan bersenjata golok pusaka, kau mampu melukai seujung
rambutku. Biar kubicara terus terang, kusuruh kau membacok
dengan golok itu karena aku punya semacam peraturan, bila
orang bertindak kasar terhadapku, baru aku punya alasan
untuk merebut golok lawan. Kini sudah kujelaskan padamu,
mau atau tidak kau menyerangku, aku tetap ingin memiliki
harpa kunomu ini."
Sembari bicara kakek hitam ulur telapak tangannya yang
segede kipas hendak merampas harpa kuno itu. Kuatir orang
merusak harpanya, sudah tentu gusar hati Tan Ciok-sing.
Pikirnya, "Kiranya hanya mulutnya saja yang manis, jelas
141 diapun pentolan rampok," tanpa pikir segera dia ayun golok
terus membacok.
Kakek hitam tertawa tergelak-gelak, katanya, "Kau tertipu,
setelah kau bergebrak, maka aku boleh turun tangan
mengambil barangmu tanpa malu-malu lagi."
Bacokan Tan Ciok-sing bertujuan menggertak saja, tak
nyana kakek hitam membalik tangan, jarinya menjentik dan
tepat menyelentik punggung golok, seketika telapak tangan
Tan Ciok-sing terasa pedas linu, pergelangan tangannya
tergetar keras, hampir saja dia tidak kuat pegang goloknya
lagi. Di tengah gelak tawa kakek hitam, kembali tangannya
yang besar itu meraih ke arah harpa.
Bentak Tan Ciok-sing gusar, "Kau mau merampas harpa ini,
kecuali kau bunuh aku lebih dulu," amarahnya memuncak,
bola matanya sampai mencorong merah, langkahnya sebat
menubruk maju, golok pusaka diobat abitkan membacok ke
tangan kakek hitam yang sedang menjamah harpanya itu.
Tan Ciok-sing tahu bahwa kepandaian silat kakek hitam
berapa lipat lebih tinggi dari kemampuannya, maka dia turun
tangan tak kenal ampun. Jurus bacokannya itu sudah
menggunakan ajaran ilmu golok yang tercantum dalam buku,
cahaya golok laksana bianglala, keras dan ganas sekali.
Kakek hitam terloroh-loroh, katanya, "Bocah bagus,
memangnya kau hendak adu jiwa," aneh bin ajaib, lengannya
itu seperti bisa ditelikung seenaknya, tahu-tahu bacokan golok
Tan Ciok-sing mengenai tempat kosong dan "Bluk" pundak
kirinya malah yang kena digenjot lawan. Genjotan cukup
keras, tapi Tan Ciok-sing sedikitpun tidak merasa sakit.
Sesaat ini Tan Ciok-sing melengak dibuatnya. Maklum
pukulan kakek hitam mengenai telak pundak kirinya, ini betulbetul
diluar dugaannya. Semula dia kira dirinya pasti terpukul
jungkel balik, tapi kenyataan tidak apa-apa, malah rasa pedas
dan linu di tangannya seketika lenyap.
142 "Masakah hanya latihan tiga bulan lwekang, hasilnya sudah
begini luar biasa?" demikian batin Tan Ciok-sing.
Cepat sekali kakek hitam sudah menubruk maju lagi sambil
pentang kedua tangannya, gayanya hendak merebut golok
yang dipegangnya. Tak sempat lagi Tan Ciok-sing pikirkan
keanehan diri sendiri yang sudah memiliki lwekang secara
menakjubkan atau mungkinkah lawan yang menaruh belas
kasihan, lekas goloknya bergerak dengan jurus Heng-in-toanhoan
(mega melintang memutus puncak) membendung
sergapan lawan Lalu disusul jurus Sam-yang-kay-thay, Guahou-
ting-san, Liong-yau-sim-gan, beruntun tiga jurus dari
pembela diri balas menyerang. Sudah tentu ketiga jurus ini
juga merupakan ajaran ilmu golok keluarga In.
Kakek hitam melayang ke kiri lompat ke kanan seperti
bermain petak dengan dia, sekaligus Tan Ciok-sing
memberondong dengan belasan jurus, tapi jangan kata
melukai lawan, menyentuh ujung jarinya saja tidak mampu.
Terdengar kakek hitam berseru tertawa, "Adu jiwa tiada
gunanya untukmu, menyerah saja dan serahkan golok dan
harpa itu, aku tidak akan membunuhmu."
Tapi Tan Cok-sing sudah bertekad, "orang hidup harpa ada,
harpa hilang orangnya gugur", sambil kertak gigi tanpa
berhenti golok di tangannya terus menghujani serangan
gencar ke tubuh lawan. Seluruh ajaran ilmu golok yang dia
pelajari dari buku peninggalan In Hou telah di praktekkan
seluruhnya. Sekejap saja belasan jurus telah lewat, Tan Ciok-sing tetap
tidak mampu menyentuh baju lawan, apa lagi melukainya.
Mendadak kakek hitam tertawa pula, katanya, "Jurus Thihu-
san yang kau lancarkan ini kurang betul, jurus ini
sebetulnya guna bertahan sepenuhnya, jurus selanjutnya baru
untuk balas menyerang mengincar bagian bawah lawan, kau
justru bertahan sambil menyerang, ini tidak betul. Coba kau
buktikan sendiri bukankah jurus Terbalik Menunggang Keledai
143 ini menunjukkan lobang kosong" Jikalau telapak tanganku
menepuk Hong-hu-hiat di tubuhmu, lalu cara bagaimana kau
akan membela diri?" di kala dia membongkar jurus gerakan
Tan Ciok-sing selanjutnya, memang Tan Ciok-sing baru saja
melancarkan jurus "Terbalik Menunggang Keledai".
Tan Ciok-sing kaget sekali, dia pun heran bagaimana kakek
hitam ini begitu apal dan mahir sekali akan permainan ilmu
golok ajaran In Hou ini" Tapi dia pikir Hong-hu-hiat terletak di
belakang punggung, lawan bertempur berhadapan, bagaimana
mungkin dia bisa menyerang punggungku yang memang
kosong" Ilmu golok keluarga In memang mengutamakan
mantap keras dan enteng lincah, kedua unsur ini
dikombinasikan dalam jurus-jurus ilmu golok yang liehay itu,
latihan Tan Ciok-sing jelas belum matang dan mencapai taraf
yang dapat bergerak sesuai keinginan hati, dalam gerakan
yang cepat ini, mana mungkin dia mampu merubah gerakan
secara mendadak" Apalagi dia yakin lawan tak mungkin dapat
mencapai Hong-hu-hiat di belakang punggungnya, maka jurus
'Terbalik Menunggang Keledai" tetap dia kembangkan sesuai
petunjuk yang dia pelajari dari buku, "sret" goloknya
menyilang dari atas ke bawah terus membabat ke dua kaki
kakek hitam. Mendadak dia kehilangan bayangan kakek hitam, ternyata
selicin belut kakek hitam telah menyelinap pergi dari bawah
selangkangan. Gerakan aneh dan tangkas kakek hitam ini
memang aneh dan lucu, gerakannya cepat lagi, hakikatnya tak
pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing bahwa lawan bakal
menyelinap ke belakang.
Sebetulnya gerakan aneh kakek hitam yang aneh ini, bukan
saja berada diluar dugaan Tan Ciok-sing, umpama lawan
seorang gembong persilatan yang memiliki kepandaian
puluhan lipat lebih liehay dari Tan Ciok-sing juga pasti dibuat
keheranan dan tidak menduga sebelumnya. Maklum sebagai
tokob persilatan yang kenamaan dan punya kedudukan tinggi,
144 memangnya siapa yang sudi menyelinap ke bawah
selangkangan lawan, oleh karena itu tiada ajaran gerakan
aneh semacam itu dalam kalangan persilatan di Tionggoan ini.
Ternyata kakek hitam iui adalah orang Thian-tok (India).
Gerakannya itu merupakan kembangan dari ilmu Yogya. Adat
dan kebudayaan bangsa Tionghoa berbeda dengan orang
India, bagi mereka menyelinap dari bawah selangkangan
lawan bukanlah merupakan suatu penghinaan atau sesuatu
yang memalukan. Apa lagi taraf kepandaian Tan Ciok-sing
belum mencapai tingkatan yang sempurna, gerakan jurus
permainannya belum terkendali oleh daya pikirannya, bahwa
bayangan kakek hitam mendadak lenyap dari pandangannya,
maka gerakan bacokan goloknya tetap terayun ke depan
"Trang" goloknya membacok batu di atas tanah.
Dalam kejap itu pula, Tan Ciok-sing merasakan Hong-huhiat
di belakang punggungnya tiba-tiba kesemutan, telapak
tangan kakek hitam menepuk punggungnya terus


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendorongnya pergi.
Hong-hu-hiat adalah salah satu hiat-to dari tiga puluh enam
hiat-to penting di tubuh manusia, jikalau hiat-to yang satu ini
kena ditutuk dengan Jong-jiu-hiat lawan, kalau tidak mati
seketika juga pasti luka parah. Tapi Tan Ciok-sing hanya
merasa kesemutan saja, setelah dia terdorong maju beberapa
langkah, begitu berdiri tegak lagi rasa kesemutan itupun telah
lenyap tak berbekas. Hiat-tonyapun tidak tertutuk, gerak
geriknya tetap leluasa, malah mampu mengayun goloknya
pula. Kembali kakek hitam tertawa tergelak-gelak, katanya, "Tadi
sudah kuperingatkan, tapi kau tidak percaya, sekarang kau
mau tunduk tidak?"
"Mau bunuh boleh bunuh, selama hayat masih di kandung
badan, takkan kubiarkan kau merebut barangku."
145 "Bocah yang bandel," ujar kakek hitam tertawa, "baiklah,
masih ada delapan belas jurus ilmu golokmu yang belum kau
lancarkan, sekarang boleh kau habiskan setelah habis kau
kembangkan ilmu golokmu baru kubunuh kau, supaya kau
mati meram."
Sudah tentu Tan Ciok-sing sudah tidak pikirkan mati
hidupnya sendiri, golok terayun dia menyerbu lagi, tanpa
disadarinya sekaligus dia telah kembangkan ilmu golok
keluarga In sampai habis.
Kakek hitam mendadak jungkir balik, kepala di bawah kaki
di atas, dengan jurus kecapung tegak terbalik, ujung kakinya
menjungkir ke atas, "Tang" golok di tangan Tan Ciok-sing
kena di tendangnya terbang ke udara. Kembali lawan
mengembangkan semacam jurus permainan aneh yang tak
pernah terpikir oleh Tan Ciok-sing.
Sigap sekali tahu-tahu kakek hitam telah melompat berdiri
pula, gerakannya teramat tangkas sebelum Tan Ciok-sing
sempat berbuat apa-apa dia sudah mendahului melejit kesana
menangkap golok pusaka yang melayang turun.
Begitu menangkap golok kontan dia putar balik gagangnya
pula serta disesapkan ke tangan Tan Ciok-sing, katanya
tertawa, "Selanjutnya kau harus lebih hati-hati, jangan sampai
golok pusaka ini hilang lagi."
Sekian lama Tan Ciok-sing terlongong. Kakek hitam tadi
bilang setelah dirinya habis melancarkan delapan jurus ilmu
goloknya lantas akan membunuhnya. Tak nyana kini bukan
saja lawan tidak membunuh dirinya, malah golok pusaka ini
dikembalikan padanya.
Kini tatapan mata kakek hitam setajam sembilu, katanya
dingin, "Katamu kau bukan murid In Hou, lalu siapa yang
mengajarkan ilmu golok ini?"
Tan Ciok-sing naik pitam pula, serunya, "Kalian ini kawanan
rampok, kenapa aku harus jelaskan kepada kalian?"
146 Kakek hitam tertawa, katanya, "Golok pusaka sudah
kukembalikan, harpa itupun tidak akan kurebut. Kenapa masih
dianggap rampok juga." Ternyata tadi dia hanya menggertak
Tan Ciok-sing, berpura-pura hendak merebut harpanya,
tujuannya hanya memaksa Tan Ciok-sing mengembangkan
ilmu golok keluarga In.
Bimbang hati Tan Ciok-sing, pikirnya, "Mungkin mereka
mengincar Kiam-boh karya Thio Tan-hong, tujuannya adalah
rahasia yang kuketahui dari In Hou semasa masih hidup,"
maka dia balas bertanya, "Kalau kau bukan rampok, siapa
kau?" Berkerut kening kakek hitam, katanya, "Masa kau tidak
pernah dengar nama Hek-pek-moko?"
"Apa itu Hek-pek-moko, aku tidak pernah dengar," ujar Tan
Ciok-sing. Kakek putih yang sejak tadi menonton di pinggiran kini
geleng-geleng kepala, katanya, 'Tak usah ditanyai lagi, ilmu
golok bocah ini kukira bukan diajarkan langsung oleh In Hou,
kalau tidak masakah masih begitu kaku?"
"Betul," demikian batin kakek hitam, "kalau dia murid In
Hou, kenapa tidak kenal Hek-pek-moko" Sejak tadi begitu
melihat tampang kami berdua, seharusnya dia sudah kenal.
Tapi cara bagaimana golok pusaka In Hou ini bisa berada di
tangannya" Dari mana dan cara bagaimana dia bisa
mempelajari ilmu golok keluarga In" Walau permainannya
masih kaku, tapi jelas itulah ilmu golok keluarga In."
Di kala dia kebingungan dan tidak tahu cara bagaimana
harus menghadapi bocah bandel ini, mendadak didengarnya
dua kali suitan yang gugup dan melengking tajam, kejap lain
tampak laki-laki brewok anak buah mereka itu mengeluh
tertahan lalu sempoyongan sambil memeluk dada, "Bluk"
akhirnya tersungkur jatuh. Laki-laki pendek itu masih berdiri di
tempatnya tanpa bergerak, tapi darah tampak menetes dari
147 lehernya. Ternyata tanpa mengeluarkan suara, tahu?-tahu
jiwanya sudah melayang terbokong musuh, sesaat lagi baru
tubuhnya roboh berdentam seperti kayu.
Lekas sekali dari dalam hutan tampak bermunculan
bayangan beberapa orang, oborpun menyala terang
benderang. Tiga orang yang berdiri terdepan dengan langkah
gontai, pelan-pelan mendekati Hek-pek-moko.
Satu di antara ketiga orang ini sudah dikenal oleh Tan Cioksing,
yaitu laki-laki yang memeluk gitar, dia bukan lain adalah
gembong iblis she Siang yang ikut mencelakai In Hou didalam
Cit-sing-giam tempo hari.
Padahal hari itu dia tidak berada disana, tapi "kenal" yang
dia maksud lantaran pernah dengar keterangan kakeknya
tentang tampang gembong iblis ini dan Le Khong-thian, serta
senjata apa yang dia gunakan. Le Khong-thian bersenjata Tokkang-
tong-jin, sedang gembong iblis she Siang . bersenjata
gitar besi, senjata yang jarang terlihat dan digunakan oleh
kaum persilatan. Maka Tan Ciok-sing tahu bahwa laki-laki ini
pasti adalah gembong iblis yang pernah mencelakai In Hou
itu. Baru pikirannya bekerja, maka didengarnya kakek hitam
berkata dingin, "Siang Po-san, berani kau membunuh kedua
anak buahku, memangnya kau pamer di hadapanku?"
"Ternyata gembong iblis ini bernama Siang po-san,"
demikian pikir Tan Ciok-sing. "Dia salah satu musuh In
Tayhiap, akan kucatat namanya."
"Tidak berani," ujar Siang Po-san, "mengurangi dua musuh
kan lebih leluasa untuk berbicara."
Kini jarak ketiga orang ini tinggal belasan langkah saja dari
Hek-pek-moko, kelihatannya merekapun segan terhadap Hekpek-
moko, tiga orang berdiri dalam formasi segi tiga,
semuanya menatap tajam penuh perhatian, Hek-pek-moko
tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak.
148 Dua orang yang lain itu terdiri kakek bertubuh kurus kering,
seorang lagi adalah Hwesio berkepala besar dan bertelinga
besar pula. Kalau kakek kurus menggantung golok di
pinggangnya, sementara si Hwesio bersenjata tongkat besi.
Anak buah mereka ada belasan orang, semuanya kini
sudah keluar dari hutan, Hek-pek-moko berdua sudah
terkepung. Tan Ciok-sing berdiri di bawah sana, letaknya di
sebelah kiri bawah Hek-pek-moko, jaraknya tiga puluhan
langkah, golok masih tergenggam di tangan, pikirnya,
"Gembong iblis she Siang ini mungkin sudah ^hu bahwa In
Tayhiap meninggal di rumahku, kalau dia mengincar diriku,
biar aku adu jiwa."
Didengarnya kakek hitam berkata, "Ie-cengcu, kawan
undanganmu ini ternyata punya asal-usul juga ya, yang
gundul ini adalah Thi-ciang Siansu bukan?"
Hwesio itu bersuara dengan pongah, "Betul, berkat kawankawan
Kangouw yang sudi memandang diriku serta memberi
gelar itu padaku. Hehe, aku tahu kalian adalah Hek-pek-moko,
walau kita belum pernah berhadapan, kukira masing-masing
sudah pernah dengar nama masing-masing."
Hwesio yang satu ini sebetulnya murid Siau-lim-pay,
gelarannya Cau-hong, dua puluh tahun yang lalu karena
melanggar disiplin perguruan, dia diusir dari Siau-lim-si oleh
ketuanya Thong-sian Siang-jin. Tapi kepandaian ajaran Siaulim-
si yang pernah dia pelajari memang amat liehay, terutama
enam puluh empat jurus Hong-mo-cang-hoat merupakan
bekal kepandaiannya yang hebat, konon seluruh penghuni
biara Siau-lim tiada yang menjadi tandingannya. Oleh karena
itu dia dijuluki Thi-ciang Siansu, gelarannya yang semula
sudah dilupakan orang malah.
"Kan masih ada Le Khong-thian?" ujar kakek hitam,
"Kabarnya dua tahun yang lalu dia sudah kembali ke
Tionggoan, selalu keluntang keluntung dengan kau orang she
149 Siang ini. Ie-cengcu, kau mengundang orang she Siang,
kenapa tidak memanggil orang she Le itu?"
Ie-cengcu tertawa tergelak-gelak, katanya, "Hek-pek-moko,
apa kalian tidak terlalu mengagulkan diri" Le Khong-thian
sedang ada urusan, tapi menurut hematku, kami yang hadir
ini sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan urusan disini."
Dalam hati Tan Ciok-sing membatin, "Ie-cengcu ini
mungkin yang dijuluki raja golok cepat le Cun-hong itu, kalau
benar dia adanya, kakek hitam putih ini mungkin bisa celaka."
Perlu diketahui, dulu Tan Ciok-sing pernah dengar percakapan
Lui Tin-gak dengan kakeknya membicarakan le Cun-hong ini,
waktu itu It-cu-king-thian tentu tiada bandingan di kolong
langit ini, namun dia boleh terhitung tokoh ternama dalam
permainan golok, hanya ilmu golok In Hou yang mungkin bisa
menandinginya. Meski sebelum ini tidak kenal dan sekarang tidak menaruh
rasa simpati terhadap kakek hitam putih, namun dalam hati
Tan Ciok-sing, diam-diam mengharap kedua kakek ini nanti
yang menang. Maklum pendatang baru ini termasuk musuh
pembunuh In Hou sudah tentu bencinya terhadap orang-orang
ini setengah mati, mau tidak mau dia kuatir juga akan
keselamatan kakek hitam putih.
Kakek putih ternyata berwatak lebih berangasan dari
kakaknya, segera dia gcdrukkan tongkatnya ke tanah, serunya
lantang, "le Cun-hong, bicara blak-blakan saja, apa maksud
tujuan kalian mencari kami?"
Laki-laki kurus itu memang si cepat raja golok le Cun-hong,
dengan kalem dia berkata, "Kalian tak usah kuatir dan jangan
marah, memang kedatanganku ada tujuan, untuk ini mohon
kalian suka memaafkan."
Bentak kakek putih, "Ada omongan apa lekas katakan."
Berubah air muka Le Cun-hong disemprot kasar, "bukan
aku tidak bisa memaki orang, tapi kita akan berusaha secara
150 hormat, kalau terpaksa apa boleh buat baru menggunakan
kekerasan. Hek-pek-mo-ko, selama puluhan tahun ini, harta
benda yang telah kalian kumpulkan di Tiongkok ini tentu tidak
sedikit jumlahnya, kalau seluruhnya diboyong keluar tentu
berabe. Oleh karena itu mohon kau suka beritahu dimana
kalian menyimpan harta benda itu, kami tidak akan
mengangkangi seluruhnya, cukup separoh saja. Sisanya yang
separoh menjadi tanggungan kami untuk mengirimnya ke
perbatasan."
Kakek putih menyeringai dingin, katanya, "Enak juga kalian
membuat perhitungan, sayang sekali sekarang kami sudah
rudin, jangan kata harta segala, uang sangupun kita tidak
punya lagi, terpaksa biar kami merogoh kantong kalian saja."
Hwesio gede itu juga menggedrukkan tongkatnya ke tanah,
katanya dingin, "Genta yang tidak dipalu tidak akan bunyi,
lampu tidak disulut tidak akan nyala. Kalau demikian terpaksa
Pinceng harus menggunakan tongkatku ini untuk
menyempurnakan kalian."
"Eh, mau berkelahi juga boleh, memangnya aku takut
kepadamu?" tantang kakek putih.
Kakek hitam justru mengulap tangan, katanya, "Tunggu
sebentar, aku tak percaya bahwa kalian ke mari hanya
mengejar harta dan uang. Adakah maksud tujuan lain,
silahkan katakan saja."
"Hek-moko," kata le Cun-hong, "otakmu memang lebih
encer dari adikmu. Memang seorang teman minta aku tanya
pada kalian, kalian kan teman baik Thio Tan-hong, tentunya
tahu dimana sekarang tempat tinggalnya, temanku itu akan
mencarinya."
Mendengar kakek hitam putih ini adalah teman baik Thio
Tan-hong, bukan kepalang kaget hati Tan Ciok-sing, batinnya,
151 "Omongan orang she Ie entah dapat dipercaya tidak?"
soalnya dia tidak percaya bahwa Thio Tan-hong yang
diagungkan seluruh lapisan persilatan itu ternyata punya dua
teman bangsa asing. Memang Tan Ciok-sing tidak tahu asalusul
mereka, tapi dari tingkah laku mereka jelas memang
kurang genah. Menurut apa yang dikatakan Ie Cun-hong
barusan, agaknya mereka banyak mengeduk harta benda
secara tidak halal di Tiongkok.
Sudah tentu Tan Ciok-sing tidak tahu, meski kedua kakek
bertampang seram dan aneh ini berwatak aneh pula, apa lagi
mereka memang banyak mengeduk keuntungan di Tiongkok.
Tapi mereka memang betul teman baik Thio Tan-hong, malah
setelah mereka berkenalan dengan Thio Tan-hong, sepak
terjang merekapun banyak berubah, lebih banyak berbuat
kebajikan dari pada kejahatan.
Kedua kakek ini adalah saudara kembar cuma yang tua
hitam bernama Hek-moko, sang adik putih bernama Pekmoko,
kalau digabung bernama Hek-pek-moko, semula
mereka adalah pedagang perhiasan dan barang-barang antik
dari India. Usaha dagang mereka memang cukup besar, namun cara
yang mereka praktekkan memang kurang legal. Main
selundup, sogok dan bila perlu main paksa, merekapun pernah
jadi maling yang suka mengeduk harta benda didalam
kuburan raja-raja. Namun mereka ada membuat sebuah
peraturan, yaitu mereka hanya mencuri benda milik orang
telah mati, kepada manusia-manusia hidup hanya menipu
pantang merebut. Belakangan mereka kenal Thio Tan-hong,
karena suatu ketika secara kebetulan Thio Tan-hong
menemukan istana di bawah tanah milik kedua kakak beradik
ini, didalam istana bawah tanah inilah kedua orang asing ini
menyimpan harta bendanya.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau mereka sendiri akhirnya pantang menjadi maling atau
pencuri, tapi mereka tetap menjadi tukang tadah, bila perlu
152 meluruk kemana sajapun boleh, asal ada barang dan usaha
jalan, tidak perduli dari mana asal-usul barang itu. Oleh
karena itu anak buahnya campur aduk terdiri dari beberapa
lapisan, itulah sekedar gambaran sepak terjang Hek-pek-moko
yang lalu, lain dulu lain sekarang, kini Hek-pek moko tidak lagi
sekaya dulu, meski belum sampai rudin, tapi simpanan mereka
memang sudah tidak banyak lagi, jumlahnya bisa dihitung
dengan jari. Soalnya setelah mereka ditundukkan oleh Thio
Tan-hong, secara suka rela mereka serahkan seluruh harta
simpanannya kepada Thio Tan-hong, oleh Thio Tan-hong
harta terpendam itu diserahkan kepada Kim-to Cecu Ciu Kian
ayah dan anak yang bercokol diluar Gan-bun-koan untuk
melawan serbuan pasukan Watsu. Ciu Kian sebetulnya adalah
komandan tentara yang berkuasa di perbatasan, karena
difitnah oleh kawanan dorna, akhirnya dia tinggalkan jabatan
dan kedudukan terus menduduki gunung menjadi penyamun,
meski jadi brandal, namun loyalitasnya terhadap kerajaan Bing
tak pernah luntur, dalam mendirikan pangkalannya diluar
perbatasan itu, dia tetap berusaha menahan serbuan pasukan
Watsu dibantu laskar rakyat yang patriotik. Tiga puluh tahun
yang lalu, Ciu Kian terhitung raja golok yang kenamaan juga,
kini dia sudah meninggal, maka anaknya Ciu San-bing
mewarisi jabatan ayahnya, hubungannya dengan In Hou amat
intim. Di pangkalan Ciu San-bing inilah Hek-pek-moko pernah
beberapa kali bertemu dengan In Hou, masing-masing pernah
tukar pikiran tentang ilmu silat, oleh karena itu kedua kakak
hitam putih ini amat apal akan ilmu golok keluarga In.
Sebelum menjawab pertanyaan Ie Cun-hong tentang jejak
Thio Tan-hong, Hek-moko menengadah sesaat tanpa
bersuara, akhirnya dia tertawa geli tiga kali, baru berkata,
"Mengandalkan kalian beberapa gelintir kurcaci ini,
memangnya pantas kalian mencari Thio Tan-hong?"
Gusar Ie Cun-hong, dampratnya, "Cara hormat sudah kita
tempuh. Ternyata kau tidak tahu diri, baiklah, ingin aku
153 belajar kenal sampai dimana kepandaian kalian Hek-pekmoko?"
"Ie-cengcu," timbmng Thi-cang Siausu, "biarlah Pinceng
dulu yang belajar kenal kepandaian hitam putih ini. Liok-giokcang
yang dipergunakan kakak beradik ini konon juga
termasuk benda pusaka, ingin aku bertaruh dengan mereka,
coba Liok-giok-cang mereka yang liehay atau tongkat bajaku
yang hebat, kalau tongkat mereka dapat mengalahkan
tongkatku, selanjutnya namaku akan terhapus dari percaturan
Kangouw. Sebaliknya kalau aku yang menang, terpaksa tanpa
sungkan tongkat pusaka mereka itu akan kurebut."
Kalau si Hwesio dan Ic Cmi-hong berebut hendak berkelahi
dengan Hek-pek-moko, sementara Siang Po-san diam-diam
mengawasi Tan Ciok-sing tanpa berkedip.
Seorang anak buah Ie Cun-hong berkata, "Ganyang dulu
bocah ini?"
Siang Po-san geleng-geleng kepala, katanya, "Bocah ini
kalau tidak salah cucu Ki Harpa, jangan kau mengusiknya."
"Siapakah Ki Harpa itu?" tanya anak buah itu.
"Ki Harpa adalah Dewa Harpa yang terkenal sebagai
pemetik harpa nomor satu di dunia ini, bagaimana asalusulnya
aku juga tidak jelas. Tapi aku tahu In Hou pernah
merawat luka-lukanya di rumah mereka, In Hou masih hidup
atau sudah mati, ingin aku mengompres keterangan dari
mulut bocah ini."
"Baiklah, biar kita ringkus dia hidup-hidup saja," kata anak
buah itu. Musuh utama mereka sekarang jelas adalah Hekpek-
moko, sudah tentu Tan Ciok-sing yang masih tanggung ini
tidak menjadi perhatian mereka, maka anak buah itu menarik
seorang temannya lagi menghampiri ke arah Tan Ciok-sing.
Mendengar In Hou terluka, sudah tentu Hek-pek-moko
kaget, air mukapun berubah.
154 Si Hwesio tertawa gelak, serunya. "Belum lagi turun
tangan, memangnya kalian sudah jeri?"
Hek-moko tiba-tiba menyeringai dingin, berbareng dia enjot
kedua kaki, tubuhnya terapung ke atas, gerakan tubuhnya
sungguh cepat luar biasa, si Hwesio kira orang melabrak
dirinya, lekas dia lintangkan tongkat hendak menangkis,
bentaknya, "Kenapa tidak kau gunakan senjata tunggalmu."
Belum habis dia bicara, bayangan orang didepan mata tahutahu
sudah lenyap. Ternyata bersuara di timur Hek-moko
menggempur kebarat, di tengah udara dia memutar badan
meluncur turun di hadapan Siang Po-san, bentaknya. "Biar aku
belajar kenal senjata rahasiamu lebih dulu,"
Sekali menekan gitar besinya, tiga batang Toh-kut-ting
segera melesat keluar. Hek-moko keburu memukul turun
dengan telapak tangan, "Tang" gitar lawan dihantamnya telak.
Perih telapak tangan Siang Po-san, tanpa kuasa dia terhuyung
ke samping, tapi gitar besinya sekalian menyapu ke bawah
Hek-moko. Gerak perubahan permainannya ini memang cukup
liehay, tangkas tapi ganas. Tapi sebat sekali Hek-moko
ternyata sudah melayang balik ke tempat asalnya. Terdengar
sebuah dengusan keras, sebatang Toh-kut-ting tahu-tahu
sudah menyambar tiba di depan mata Siang Po-san, cepat
Siang Po-san angkat jari tangannya menjepit, paku itu kena
ditangkapnya dengan mudah, katanya dingin, "Kau memakai
senjata rahasiaku, mana bisa melukai aku" Hayolah kita
bertanding menurut kepandaian senjata masing-masing. Wah
celaka..."
Belum habis dia bicara, terdengar dua jeritan keras yang
mengerikan, ternyata tangan kiri Hek-moko menyambut
senjata rahasia lawan, ketiganya lalu dia sambitkan dari arah
dan posisi yang berbeda, dua batang paku di antaranya
seperti punya mata layaknya, tahu-tahu balik melesat ke
belakang dan mengincar ke arah dua anak buah le Cun-hong
155 yang meluruk kearah Tan Ciok-sing, dengan telak ulu hati
mereka tersambit, maka jiwanya seketika melayang.
Begitu Hek-moko pamer kepandaian, si Hwesio yang
bermulut besar melongo kaget dan jeri, pikirnya, "Usianya
sudah lebih enam puluh tahun, tapi gerak-geriknya masih
demikian gesit dan lincah. Musuh setangguh ini, jelas sukar
dilayani."
Siang Po-san sendiripun bukan kepalang kagetnya,
pikirnya, "Gerakan untuk menangkap senjata yang dilakukan
tadi, kira-kira masih bisa juga kulakukan, tapi untuk menimpuk
sejauh ratusan langkah, telak mengenai ulu hati lagi, malah
sasaran berada di sebelah belakang, jelas kepandaian setinggi
ini belum bisa kutandingi."
Hek-moko terloroh-loroh, katanya, "Siang Po-san, kau
melukai dua anak buahku, kini kubalas pula dengan caramu
sendiri, adil bukan."
"Tapi anak buahmu bukan aku yang membunuh?" damprat
le Cun-hong gusar.
"Kalian kan sekomplotan, kalau tidak terima boleh maju
menuntut balas bagi mereka," demikian tantang Hek-moko.
"He, bagaimana taruhan kita?" karena terlanjur bicara tadi,
meski hati sudah agak jeri, tapi demi gengsi terpaksa dia
menebalkan muka menyinggung usulnya sendiri.
"Kenapa tergesa-gesa?" seru Hek-moko, "setelah aku jajal
golok cepat si raja golok Ie-cengcu, tentu akan kuhadapi juga
dirimu. Kaupun tak usah kuatir akan diriku, meski golok Iecengcu
dijuluki golok tercepat tiada bandingannya di kolong
langit, aku yakin dia takkan bisa membacokku mampus,"
karena diolok-olok sudah tentu berang le Cun-hong dibuatnya.
Pek-moko yang berangasan menjadi gatal, mendengar si
Hwesio menantang berulang kali, akhirnya dia tidak tahan,
sambil mengetuk tongkat ke tanah dia membentak, "Kepala
156 gundul, kau memang tidak tahu diri, kau ini barang apa,
berani menantang engkohku, hm, kalau kau sudah bosan
hidup, hayolah bertanding satu lawan satu dengan aku. Tidak
usah pakai hadiah segala, jiwa kita saja dipertaruhkan."
Hek-moko tertawa, bujuknya, "Dik, usia kita sudah setua
ini, janganlah suka pemberang. Pertunjukan harus babak demi
babak, kalau sekaligus dua babak, penontonnya bisa jadi
kebingungan."
Pek-moko tahu maksud tujuan engkohnya, maka dia
berkata, "Baiklah, Koko, kumengalah padamu, biar kepala
gundul ini hidup beberapa kejap lagi."
"Baik akan kutunggu supaya nanti aku bisa mendoakan
arwahmu diterima di sisi Thian," yang benar dia sudah mulai
jeri, jikalau Ie Cun-hong terjun pada babak pertama kan juga
menguntungkan dirinya, sekaligus dia bisa saksikan permainan
musuh, jikalau dia sendiri nanti terjun ke arena melawan Hekmoko
sedikit banyak sudah bisa menyelami permainannya dan
menentukan akal untuk mengalahkannya.
Padahal Ie Cun-hong amat membanggakan ilmu goloknya
yang tiada tandingan, namun setelah menyaksikan demontrasi
kepandaian Hek-moko tadi, rasa jeri sudah menghantui
sanubarinya juga, tapi dia berpikir, "Masa dia bisa melebihi
gerakan golok cepatku, kalau dia bergerak seperti menghadapi
Siang Po-san tadi, sebelum dia tiba di depanku, badannya
tentu sudah kupersen beberapa kali tusukan, kenapa takut
padanya?" dia kira perhitungannya tidak akan meleset,
seketika timbul nyalinya, katanya, "Hek-moko, kau menuding
aku dan menantang, baiklah kulayani, bagaimana kalau kau
kalah?" "Apa kehendakmu?" Hek-moko balas tanya.
"Seperti apa yang kukatakan tadi, cukup separah harta
milikmu," ujar Ie Cun-hong.
"Kalau kau yang kalah?" tanya Hek-moko.
157 "Selanjutnya kututup pintu menggantung golok," sahut Ie
Cun-hong. Hek-moko tertawa tergelak-gelak, katanya, "Baiklah,
silahkan kau sebutkan cara bertanding, aku menurut
kemauanmu saja."
"Jangan jumawa, keluarkan senjatamu."
"Apa yang membuatmu terburu nafsu begini?" ujar Hekmoko,
tiba-tiba dia menghampiri Tan Ciok-sing, katanya,
"Pinjam golokmu itu."
Tan Ciok-sing mengharap dia menang, dia juga tahu kalau
orang mau merampas golok dari tangannya segampang
membalik telapak tangan, maka dengan sikap jantan dia
angsurkan golok milik In Hou itu kepada Hek-moko.
Ie Cun-hong tidak habis mengerti, pikirnya, "Pentungnya
itu termasuk pusaka, kenapa dia meminjam golok kepada
bocah itu malah?"
Maklumlah permainan kombinasi kedua tongkat Hek-pekmoko
bukan saja menjagoi India, di Tiongkok pernah juga
menyapu banyak orang gagah, selama ini belum pernah
ketemu tandingan. Meski Ie Cun-hong baru pertama kali ini
berhadapan dengan mereka, tapi dia juga tahu keliehayan
gabungan ilmu pentung kedua kakek hitam putih ini. Bahwa
Hek-moko tidak menggunakan senjata andalannya, malah
pinjam golok bocah ini, maklum kalau le Cun-hong tidak habis
mengerti. Pelan-pelan Hek-moko jalan kembali lalu berdiri di depan Ie
Cun-hong, pelan-pelan pula dia mencabut golok, tampak sinar
golok laksana air bening memancarkan cahaya kemilau. Golok
In Hou ini entah pernah menghirup darah berapa banyak
orang, namun tetap memancarkan cahaya terang, tak
ubahnya golok yang baru saja digembleng.
158 Tersirap darah Ie Cun-hong, batinnya, "Betul, memang
golok bagus."
"Ie-cengcu," kata Hek-moko dingin, "kau dijuluki golok
cepat tiada bandingan, baru saja aku belajar beberapa jurus
ilmu golok dari bocah itu, ingin aku mohon belajar pula
beberapa jurus dari kau."
Sudah tentu le Cun-hong amat gusar, gelar "raja golok"
yang dimilikinya sudah diakui khalayak ramai, kini Hek-moko
menantang dia adu golok, jelas telah memandang rendah
dirinya, apalagi Hek-moko bilang baru saja belajar beberapa
jurus kepada bocah ingusan lantas mau menghadapi dirinya.
Namun Ie Cun-hong yakin akan dirinya, pikirnya, "Meski dia
mengandalkan ketajaman golok pusaka itu, permainan
goloknya jelas bukan tandinganku," saking gusar dia malah
tertawa tergelak-gelak, "Hek-moko, kau sendiri yang cari
mampus, jangan nanti salahkan aku," di tengah gelak
tawanya, cahaya terang tiba-tiba berputar di empat penjuru,
bayangan tubuhnya seperti dibungkus gugusan cahaya
kemilau, Ie Cun-hong sudah mulai melancarkan kecepatan
goloknya. Padahal golok hanya sebatang, orangnya pun cuma
satu, tapi karena kecepatan gerak tubuh dan permainan
goloknya, seakan-akan ada belasan orang yang sekaligus
memainkan jurus golok menyerang ke arah Hek-moko.
Perbawa serangan golok ini begitu dahsyat, kelihatannya
Hek-moko bakal tercacah hancur tubuhnya. Tan Ciok-sing
merinding dibuatnya, jantungnya berdetak kencaug, pikirnya,
"Memang tidak malu Ie Cun-hong bergelar raja golok,
memang tidak bernama kosong. Kakek hitam ini agaknya
terlalu memandang rendah padanya."
Di saat benaknya membatin ini, dilihatnya Hek-moko sudah
tarikan golok di tangannya dengan gerakan santai dan
seenaknya, boleh dikata dia menghadapi rangsakan golok
lawan secara wajar dan kalem, jauh berbeda dengan
rangsakan Ie Cun-hong yang keras dan deras, tapi secara pasTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
159 pasan dimana tajam goloknya menyabet dan menyontek,
dengan tepat seperti kebetulan pula serangan hebat Ic Cunhong
kena dipatahkan atau disampuk pergi, bayangan sinar
golok yang bertaburan memenuhi angkasa seketika kuncup
tak berbekas. Kebat kebit jantung Tan Ciok-sing melihat pertandingan
yang menegangkan ini, pikirnya, "Bagus sekali, ternyata jurus
Yan-loh-ping-sa (belibis hinggap di pasir datar) harus begitu
cara memainkannya, agaknya aku hanya memperoleh gayanya
belum menyelami inti sarinya,"
Ternyata yang dilancarkan Hek-moko barusan memang


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu golok keluarga In kedua pihak saling serang dan
bertahan, dalam sekejap saja puluhan jurus telah berlalu.
Gerakan golok Ie Cun-hong memang sedikit lebih cepat
dibandingkan Hek-moko, tapi keadaan tetap seimbang.
Tan Ciok-sing jadi bingung, pikirnya, "Beberapa jurus ini
kelihatannya tidak mirip ajaran ilmu golok yang tercantum
dalam buku peninggalan In Tayhiap, tapi lebih mantap tenang
juga lincah dan enteng, mungkinkah ini kembangan atau
variasi dari permainan ilmu golok keluarga In yang sejati?"
Seperti dapat meraba jalan pikirannya, tiba-tiba Hek-moko
menggunakan jurus Hing-hun-toan-hong membendung
serangan Ie Cun-hong, katanya pelan-pelan, "Ilmu silat harus
dihargai pada mutu ciptaannya, asal dapat menyelami inti
sarinya, perduli ilmu golok tingkat tinggi sekalipun, pasti dapat
dimainkan dengan perubahan sesuka hati. Malah tanpa pernah
mempelajarinya pun dapat juga memainkannya secara mahir,
itu tergantung bakat dan kecerdasan otak. Hehe, Ie Cengcu,
coba katakan betul tidak?"
Perlu diketahui bahwa taraf kepandaian dan bekal Kungfu
Hek-moko sebetulnya masih lebih unggul di atasnya In Hou.
Permainan ilmu golok keluarga In memang dia tidak semahir
dan lengkap seperti apa yang dimainkan Tan Ciok-sing tadi,
tapi karena diapun sudah apal dan pernah menyelaminya,
160 mengandal bekal kepandaiannya lagi sehingga dengan mudah
dia menciptakan sendiri gerakan baru, umpama In Hou
sekarang masih hidup serta melihat permainannya ini, diapun
pasti kaget dan kagum, serta merasa bahwa kepandaian ilmu
golok yang pernah diyakinkannya juga hanya begitu saja.
Kata-kata petunjuk itu sebetulnya dia tujukan kepada Tan
Ciok-sing, tapi bagi pendengaran Ie Cun hong, dia
menganggap Hek-moko sedang mengejek dan memberi
peringatan pada dirinya.
"Hek-moko," damprat Ie Cun-hong gusar, "jangan
temberang, ilmu golok orang she Ie, memangnya perlu kau
yang mengajarkan?"
Hek-moko tergelak-gelak, katanya: "Mana berani" Siapa
tidak tahu Ie Cengcu dijuluki si cepat raja golok yang tiada
bandingannya" Itu hanya kesimpulanku yang bodoh belaka,
mumpung ada kesempatan sukalah kau memberi kesempatan
untuk tukar pikiran. Tapi menurut hematku, ilmu golok meski
mampu bergerak dan menyerang dengan kecepatan tinggi
masih belum boleh dihitung sebagai ilmu golok tingkat tinggi
yang sudah mencapai puncaknya."
"Jadi ilmu golokmu sudah mencapai puncak tertinggi?"
jengek le Cun-hong.
"Aku tidak mengatakan demikian," ujar Hek-moko tertawa,
"kan sudah kukatakan, kepandaian cakar kucingku ini, baru
saja belajar dari engkoh cilik itu, untuk mencapai puncak
tertinggi entah masih berapa laksa tingkat bedanya, sudah
tentu lebih-lebih bukan tandingan kau si raja golok ini
umpama tamu yang berkunjung ke rumah makan dan kau
adalah kokinya. Meski aku tidak pandai memasak, tapi
masakan hasil karyamu dapat juga kucicipi dan kunilai apakah
enak dan lezat" Coba katakan betul tidak?"
Sudah tentu le Cun-hong semakin berang, bentaknya: "Kau
ini mau bertanding golok atau ingin ngobrol?" dalam beberapa
161 patah kata ini, beruntun goloknya sudah menyerang tiga puluh
enam jurus. Padahal dengan gaya santai Hek-moko hanya balas
menyerang tujuh jurus, tiga puluh enam jurus rangsakan
lawan tahu-tahu telah dipunahkan seluruhnya, katanya
tertawa: "Sudah tentu bertanding golok tapi aku ingin pula
ngobrol. Tadi waktu kau memutuskan cara bertanding kan
tidak melarang aku buka suara. Nah, lihatlah yang jelas,
kukira ilmu golok tingkat tinggi tak berguna kalau hanya
mengutamakan kecepatan, poros inti permainan golok adalah
mengutamakan diri sendiri, dari pada menanti lawan
menyerang, ada lebih baik aku melayani kehendak lawan.
Yang muda lebih unggul dari yang tua, lambat lebih unggul
dari gugup. Lawan membacok sepuluh jurus, aku cukup balas
satu jurus, jikalau kau anggap analisaku ini salah. Nah mari
kita mulai bertanding lagi."
Majikan, tamu, tua dan muda merupakan unsur-unsur
penting dalam ilmu golok dalam sandi kata rahasia, bergerak
lebih dulu menundukkan musuh, berarti pihak yang diserang
malah balas menyerang, yang bergerak belakangan malah
dapat mengalahkan musuh itu berarti sang majikan melayani
tamunya, menyontek dengan ujung golok dinamakan muda,
mengetuk dengan gagang golok dinamakan tua, menyanggah
dan menindih dinamakan lambat, kalau ujung golok memapak
maju lebih dulu dinamakan gugup. Sembari bicara Hek-moko
membuat contoh dengan gerakan goloknya, supaya Tan Cioksing
dapat menyaksikan dengan jelas. Tan Ciok-sing belajar
dan berhasil tanpa bimbingan guru, untuk beberapa bulan
pelajaran ini hasilnya ternyata cukup lumayan, tapi hasil yang
dia pelajari baru merupakan kulitnya saja. Baru sekarang dia
memperoleh petunjuk dan bimbingan dari guru ternama,
banyak persoalan yang selama ini tidak terpecahkan kini
semuanya sudah jelas baginya.
162 Waktu Hek-moko mengatakan "bertanding", tangan kirinya
menggertak dengan suatu gerak tipuan, menuding timur
menggempur barat, dengan jurus Hian-niau-hoat-sa (burung
sakti menggaris pasir), tajam goloknya menerobos keluar dari
bawah sikutnya. Jurus ini bergerak tepat pada waktunya dan
menakjubkan lagi, hampir saja golok cepat le Cun-bong
menyentuh dadanya, seolah-olah dia sudah dapat meraba
serangan Ie Cun-hong, golok pusakanya sudah menyongsong
dan mencegat di depannya. Karena itu gerakan ilmu golok Ie
Cun-hong sebetulnya lebih cepat, sekarang kini menjadi
terbalik seakan sedetik lebih terlambat dari lawan.
"Trang" terdengar benturan keras, kembang api berpijar, Ie
Cun-hong melompat minggir tiga langkah, waktu dia
menunduk, punggung goloknya ternyata gompal sedikit. Tadi
Ie Cun-hong melontarkan jurus Me-can-pat-hong (bertempur
malam di delapan penjuru) yang merupakan gerakan
menyimpan golok, tujuannya untuk melindungi sekujur badan,
diam-diam dia berteriak, "syukur, untung golokku ini
berpunggung tebal."
Ternyata dalam detik-detik yang kritis tadi, membalik
punggung golok untuk membentur golok pusaka Hek-moko.
Memang dia sudah mahir merubah gerakan sesuai jalannya
pertempuran, gerak perubahannya teramat cepat pula, taraf
kepandaian ilmu goloknya memang sudah hebat luar biasa.
Diam-diam Hek-moko berpikir: "Ie Cun-hong bergelar raja
golok, walau terlalu mengagulkan diri, tapi dia memang tidak
bernama kosong," maka segera dia berkata: "Tadi Ie-cengcu
mengembangkan unsur sebagai tamu berubah majikan,
sebaliknya aku dari majikan menyambut tamu, dalam
segebrak saja lantas terjadi perubahan posisi dan gaya, dari
sini terbuktilah teori yang pernah kuterangkan tadi memang
masuk di akal bukan?" dia menggunakan praktek bertempur
sebagai contoh yang nyata, tujuannya memberi penjelasan
permainan ilmu golok itu kepada Tan Ciok-sing, sudah tentu
163 Tan Ciok-sing maklum akan maksud tujuan orang, sungguh
hatinya amat haru dan terima kasih pula. Sebaliknya Ie Cunhong
kira Hek-moko seperti sedang mendidik atau menghina
dirinya, karuan marahnya bukan main.
Melihat keadaan Ie Cun-hong yang tidak menguntungkan,
tiba-tiba Thi-ciang Siansu maju selangkah, tongkat besi
segede mangkok di tangannya terangkat menuding Pek-moko,
bentaknya: "Waktu sudah berlarut, Locu tak sabar menunggu,
hayolah kita mulai bertanding." Demi mempertahankan
gengsi, sudah tentu dia malu mengerubut Hek-moko dengan
Ie Cun-hong, maka terpaksa dia gunakan akalnya sendiri, dia
tahu kalau kepandaian Pek-moko ketinggalan dibanding
engkohnya, umpama dirinya tak mampu mengalahkan lawan,
tentunya juga tak akan mudah dikalahkan. Maka begitu
gebrak di mulai dia terus merangsak dengan serangan gencar
dan keras, kalau Pek-moko diserangnya hanya mampu
bertahan dan mundur terus, tentu Hek-moko menguatirkan
keselamatan, adiknya, itu berarti perhatiannya mulai
terpencar. "Hayo maju, memangnya aku takut," seru Pek-moko,
dengan menjinjing kedua tongkat, dia maju menghadapi
tantangan si Hwesio, katanya: "Koko, bukan aku tidak tunduk
pada pesanmu, soalnya kepala gundul ini terlalu menghina."
Hek-moko tertawa, katanya: "Bahwasanya permainan
sandiwaraku ini juga sudah berakhir pada babak ini, boleh kau
sambut tantangannya."
Disini dia belum habis bicara, tongkat besi Thi-ciang Siansu
yang gede itu sudah menderu dengan serangan menyapu ke
pinggang Pek-moko. Begitu kencang deru angin sapuan
tongkatnya ini sampai batu pasir ikut tersapu terbang. Maka di
tengah berdencingnya benturan keras benda-benda logam,
kuping setiap hadirin seperti pekak jadinya.
Tongkat besi Thi-ciang Siansu sebesar mulut mangkok,
jauh' lebih besar dari Liok-giok-cang yang digunakan PekTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
164 moko. Tapi begitu kedua tongkat masing-masing saling
bentur, ternyata sedikitpun Thi-ciang Siansu tidak berhasil
memungut keuntungan apapun, malah pergelangan sendiri
terasa kaku dan linu.
Akan tetapi menghadapi benturan kekerasan ini Pek-moko
sendiri tak urung juga tergentak sempoyongan. Kalau dinilai
lvvekang kedua pihak, ternyata mereka kira-kira seimbang.
Thi-ciang Siansu sudah bertekad akan menyerang secara
gencar dan mengadu kecepatan, sebelum Pek-moko berdiri
tegak tongkatnya sudah disurung ke depan pula, ujung
tongkat menjojoh Hiat-hay-hiat di bawah pusar Pek-moko
dengan jurus Ular Berbisa Mencari Lubang.
Pek-moko menggoncang tongkat di tangan kiri menyontek
ke samping, sementara tongkat di tangan kanan digunakan
sebagai Poan-koan-pit untuk balas menutuk Jian-kin-hiat di
pundak musuh. Kekuatan Thi-ciang Siansu sedikit lebih
unggul, walau tongkat besinya kena disontek ke samping,
namun tenaga pantulannya masih belum lenyap, "trang"
tongkat kanan Pek-moko kena dibenturnya juga ke samping,
sebat sekali dia barengi dengan gerak susulan yang
dinamakan Heng-sau-jian-kun (menyapu habis ribuan
pasukan), kembali beruntun tiga gerakan dia menyerang tiga
jalan darah bagian bawah Pek-moko. Pek-moko menggunakan
gerakan naga melingkar melangkah kaki, kembali dia berkelit.
Berhasil merebut posisi dan mendahului dengan serangan
gencar, Thi-ciang Siansu seperti mendapat angka, maka dia
lancarkan rangsakan gencar, setiap jurus merupakan serangan
ganas dan mematikan.
Lwekang Thi-ciang Siansu memang teramat tangguh,
kekuatan jari dan lengan tangannya memang hebat luar biasa,
tongkat segede mulut mangkok ternyata dapat diputarnya
seringan dahan'bambu, mengeluarkan deru kencang lagi,
sekitar gelanggang bayangan tongkat melulu, perbawanya
sungguh laksana gugur gunung seperti kilat dan geledek
165 saling menyamber, bagi kaum persilatan kelas rendah, jangan
kata kena dikemplang tongkatnya, tersampuk angin
tongkatnya saja, isi perut mungkin bisa rontok dan terluka
parah. Pek-moko diam-diam berpikir: "Hong-mo-cang-hoat (ilmu
pentung iblis gila) ajaran murni Siau-lim-si ini ternyata
memang hebat sekali. Aku harus dapat berperan baik didalam
permainan sandiwara ini, jangan sampai dikalahkan olehnya,"
maka dia layani serbuan musuh dengan mantap dan tenang,
bayangan tongkat selulup timbul memenuhi udara, tak
ubahnya dua ekor naga yang lagi berkutet sengit di tengah
udara. Dalam waktu mendesak ini jelas dia memang tak
berkesempatan balas menyerang, tapi untuk mengalahkan dia,
ternyata Thi-ciang Siansu harus menguras tenaga dan
memeras keringat.
Pada saat itulah, di sebelah sana tampak Hek-moko
mengayun goloknya berkelebat di tengah udara, tahu-tahu Ie
Cun-hong merasa kepalanya menjadi silir dan dingin, sebelah
rambut kepalanya ternyata sudah terkupas rontok
berhamburan. Pek-moko tertawa tergelak-gelak, serunya: "Koko, dia kan
tidak ingin jadi Hwesio, kenapa kau mencukur gundul
kepalanya."
Hek-moko juga terloroh-loroh, katanya: "Apa yang
diagulkan si golok cepat tiada bandingan ternyata juga
demikian saja. Terima kasih," mendadak dia menghardik: "lecengcu,
apa pula yang hendak kau katakan sekarang?"
Tadi Ie Cun-hong sudah bilang kalau dirinya kalah,
selanjutnya tidak akan muncul dalam kalangan Kangouw, itu
berarti dia tidak boleh cari perkara pula pada Hek-pek-moko.
Tapi dia berjuluk Raja Golok, dalam adu golok pula dia
dikalahkan Hek-moko, betapa dia rela dan sudi menelan
kekalahan ini begini saja" Apalagi dia mempunyai rencana dan
tujuan tertentu, semula dia kira pihaknya pasti unggul dan
166 menang, mana mungkin dia mau menyerah karena kalah
sejurus dalam pertandingan ini"
Demi gengsi dan rasa tamak yang menghantui hatinya jauh
mengungguli rasa takut dan malunya. Karena malu Ie Cunhong
malah naik pitam, bentaknya: "Hari ini ada kau tiada
aku, ada aku tiada kau, kekalahan setengah jurus atau satu
jurus bukan jadi soal, memang hal ini dapat di buat ukuran
untuk menentukan kalah menang?" habis bicara goloknya
dikerjakan terus menyerbu lagi.
Umpama orang sering menggunakan cara bertanding untuk
menentukan siapa liehay siapa asor, yaitu cukup saling tutul
saja, atau bertempur sampai titik darah penghabisan, kalau
sebelumnya sudah dijanjikan tidak akan berakhir sebelum
salah satu pihak ada yang gugur, meski kalah sejurus, orang
masih boleh meneruskan pertempuran. Tapi le Cun-hong
memang sudah memilih cara pertandingan ini, meski
penjelasannya belum pasti, maksudnya adalah cukup saling


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tutul saja, baru sekarang dia menggunakan cara kedua untuk
melabrak Hek-moko, tindakan dan perbuatannya ini memang
tidak pantas dan tidak boleh dipuji.
"Memangnya tidak malu kau sebagai orang kenamaan,
menjilat ludah sendiri, memangnya kau tidak takut
ditertawakan orang-orang gagah di kalangan Kangouw?"
"Kalau aku dapat mati di tanganmu, kan lebih baik dari
pada menggantung golok tutup pintu, siapa bilang aku
menjilat ludahku sendiri" Hehe, sebaliknya bila kau terbunuh
olehku, berarti aku sudah menyumbat mulutmu, yang hadir
disini semua orangku pula, memang siapa yang tahu akan
pertandingan golok antara kau dan aku ini?"
Sekaligus Hek-moko patahkan dua puluh empat jurus
serangan golok kilat lawan. Bentaknya: "Kau ingin
membunuhku, kukira juga tidak gampang, bertanding satu
lawan satu, jelas kau bukan tandinganku, suruhlah kambratkambratmu
terjun ke gelanggang."
167 Siang Po-san tertawa tergelak-gelak, katanya: "Hek-moko,
memangnya aku hendak membalas permainan licikmu tadi.
Kini kau begini temberang, jangan salahkan kalau aku
mengeroyokmu bersama Ie-cengcu."
Hek-moko tertawa dingin, katanya: "Kalian suka main
keroyok untuk mengalahkan musuh, memangnya aku gentar"
Hayolah maju, tak usah banyak bacot."
Tan Ciok-sing tahu sampai dimana keliehayan Siang Posan,
pikirnya: "In Tayhiappun bukan tandingan gombong iblis
ini waktu bergabung dengan Le Khong-thian. Kepandaian raja
golok I-Cun-hong kira-kira tidak di bawah Le Khong-thian,
dengan kekuatan kedua orang ini, kakek hitam mana mampu
menghadapi mereka?" karena menguatirkan keselamatan Hekmoko,
tanpa sadar mulutnya memaki: "Tidak tahu malu."
Siang Po-san sudah bergaya hendak menubruk kearah Hekmoko,
mendengar suaranya, mendadak dia tekan gitar
besinya, tiga batang Toh-kut-ting tahu-tahu melesat keluar
dari dalam perut gitar, sasarannya adalah Tan Ciok-sing yang
berdiri kira-kira seratus langkah disana. Kepandaian senjata
rahasia Siang Po-san ini termasuk kelas wahid di kalangan
Kangouw, dia yakin ketiga paku penembus tulang yang
disambitkan ini, hanya akan menutuk hiat-to tanpa melukai
seujung rambut.
"Tidak tahu malu," hardik Hek-moko, golok pusaka di
tangannya tiba-tiba meluncur bagai selarik cahaya bianglala.
Golok benda berat daya timpukannya kuat dan kencang, maka
ketiga paku itu kena disusul, di tengah jalan tahu-tahu kena
dipukul jatuh. Malah daya luncuran golok pusaka masih cukup
kencang, kebetulan melayang turun di depan Tan Ciok-sing,
ujung golok menancap amblas kedalam tanah, gagang
goloknya masih bergoyang dan bergetar kencang.
Teriak Hek-moko: "Nah kukembalikan golokmu, lekas kau
pergi," dia tahu selanjutnya akan terjadi pertempuran sengit,
musuh akan main keroyok dengan jumlah yang banyak, dia
168 kuatir anak buah le Cun-hong akan membekuk pemuda
tanggung ini. Lekas Tan Ciok-sing cabut golok terus dimasukkan kedalam
serangka, perasaannya ternyata hambar, walau dia belum
tahu asal-usul kedua kakek bangsa asing ini, namun kini Tan
Ciok-sing sudah mulai yakin bahwa mereka memang teman
baik Thio Tan-hong. Pikirnya: "Kakek hitam ini beruntun dua
kali menyelamatkan jiwaku, seharusnya aku beritahu kabar
kematian In Tayhiap kepada mereka," tapi Hek-pek-moko kini
sedang bertempur sengit menggasak musuh, tak mungkin dia
bisa memberitahu mereka, maka dia jadi bimbang. "Tinggal
pergi, atau tidak?" Tan Ciok-sing jadi ragu-ragu dan sukar
ambil putusan. Melihat Hek-moko melempar golok pusaka, senang hati
Siang Po-san, dia tidak sia-siakan kesempatan baik ini, dengan
jurus Thi-li-keng-te (bajak besi menggaruk tanah), gitarnya
segera menyapu ketiga jurusan di badan Hek-moko, kekuatan
serangan satu jurus tiga gerakan ini ternyata hebat luar biasa,
deru anginnya ternyata menimbulkan gelombang angin lesus
yang membawa taburan daun dan debu.
Dengan bekal kepandaian Hek-moko sebetulnya dia mampu
menghadapi gitar besi lawan dengan pukulan telapak tangan,
tapi dia perlu menjaga serangan golok cepat le Cun-hong.
Kalau dia melawan dan menghadapi lawan secara kekerasan,
umpama berhasil menggempur mundur gitar Siang Po-san,
tentu dia sendiri terluka oleh golok le Cun-hong. Kejadian
berlangsung cepat sekali, golok le Cun-hong memang sudah
membacok tiba. Hebat memang kepandaian Hek-moko, dalam detik-detik
yang kritis ini, tiba-tiba dia jejakkan kaki, tubuhnya
melambung ke atas, berbareng lengan bajunya yang
gondrong mengebut membelit ke arah golok, "sret" lalu
disusul "tang" lelatu apipun meletik.
169 Ternyata Hek-moko gunakan ilmu tingkat tinggi yang
peranti menggunakan tenaga pinjam tenaga, dengan lengan
baju dia melilit golok terus ditariknya ke samping, gerak golok
Ie Cun-bong laksana kilat, karena tarikan ini tak kuasa dia
kendalikan gerakan sendiri, maka goloknya kebetulan
membentur gitar besi Siang Po-san. Tapi lengan baju Hekmoko
juga terkupas sebagian oleh golok lawan. Gebrak
sejurus ini sungguh teramat berbahaya dan menegangkan,
kalau sedikit lena atau salah perhitungan, yang tertabas
mungkin bukan lagi lengan baju tapi sebelah lengannya
malah. Lwekang Ie Cun-hong dan Siang Po-san setingkat,
punggung golok yang tebal membentur gitar besi, golok
terpental balik, sedang gitar tergetar turun ke bawah terus
terseret di atas tanah meninggalkan goresan yang cukup
dalam di atas tanah berlumpur. Kedua orang sekilas sama
tertegun, cepat sekali mereka membentak gusar: "Hek-moko,
lari kemana kau?"
Diam-diam Hek-moko bersyukur bahwa dirinya selamat,
katanya tertawa tergelak-gelak: "Siang Po-san, gitar besimu
itu ternyata amat berguna juga untuk meluku sawah. Tak
perlu kau terburu nafsu, kau ingin laripun takkan kubiarkan."
Jurus yang digunakan Siang Po?san tadi adalah Bajak Besi
Meluku Tanah, karena digempur oleh gerakan aneh Hek-moko
tadi, sehingga gitarnya itu betul-betul menjadi bajak yang
peranti untuk meluku sawah oleh kaum petani, karuan
gusarnya bukan kepalang.
Sigap sekali laksana seekor burung raksasa selincah kera
melompat Hek-moko sudah melompat jauh memburu ke arah
adiknya, kakak beradik mempunyai daya pikir yang serupa,
maka Pek-moko segera lemparkan sebelah tongkatnya.
Begitu menangkap tongkatnya sendiri Hek-moko lantas
membentak: "Biar kalian berkenalan dengan gabungan
permainan tongkat kami berdua."
170 Tadi seorang diri Pek-moko jelas tak kuasa menandingi
tekanan tongkat baja Thi-ciang Siansu. Begitu Hek-moko
melompat tiba tongkatnya bergetar keras, ujung tongkatnya
telah menyontek ke tengah tongkat baja Thi-ciang Siansu
yang segede mulut mangkok. Dalam sekejap itu, cahaya
tongkat coklat yang mgngkilap terang itu mendadak
mencorong, dua batang tongkat laksana dua ekor naga yang
keluar dari lautan, tongkat baja lawan seperti dililit dan
dikurung di tengah. "Trang" sekeras guntur menggelegar,
hampir saja Thi-ciang Siansu tak kuasa memegang tongkatnya
lagi, lebih celaka lagi tongkatnya itu membalik hampir saja
melukai jidat sendiri. Akibat benturan yang hebat ini membuat
dada Thi-ciang Siansu sesak, darah bergolak dan seisi perut
seperti dipelintir, tak tertahan lagi sekumur darah menyembur
dari mulutnya. Untung Ie Cun-hong dan Siang Po-san lekas
menubruk tiba, sehingga tekanan yang menimpa dirinya
menjadi enteng.
Bukan kepalang kaget Ie Cun-hong dan Siang Po-san,
maklum Thi-ciang Siansu adalah murid didik Siau-lim-pay,
Iwekangnya yang tangguh tiada bandingan diantara mereka
umpama dia bukan tandingan Hek-pek-moko, paling tidak
juga mampu melawan sepuluh jurus, tak nyana dalam
segebrak saja melawan gabungan ilmu tongkat lawan dia
sudah kecundang dan luka cukup parah. Betapa hebat
kekuatan gabungan permainan tongkat lawan, sungguh tak
pernah mereka bayangkan.
Cepat sekali Hek-moko sudah membalik badan, sepasang
tongkat mereka kembali menyapu balik memapak kedatangan
Ie Cun-hong, lekas Ie Cun-hong merubah gaya permainannya,
gerak-geriknya tambah lincah dan berkisar kian kemari selicin
ular merambat. Terdengar dencing benturan senjata, seperti
perpaduan musik yang ramai, tampak Ie Cun?hong mencelat
keluar dari lingkungan cahaya tongkat lawan sejauh satu
tombak. Untung dia tidak terluka. Bukan lantaran Iwekangnya
lebih tinggi dibanding Thi-ciang Siansu, adalah karena gerakan
171 goloknya dilancarkan teramat cepat, sekali sentuh lantas
mundur, sekali berkelebat lantas lewat. Meskipun goloknya
membentur sepasang tongkat lawan sebanyak belasan kali,
namun daya tolak dari benturan itu sendiri terang tidak
sebesar atau sekuat daya mcmbal tongkat baja yang gede dan
berat itu. Ternyata Siang Po-san berotak lebih cerdik, lekas dia
berseru: "Usahakan kedua kakak beradik ini terpisah,"
mumpung dia lihat Hek-moko menyerbu kesana, dengan
gerakan lincah dan tangkas dia mendadak menyelinap maju
menggempur Pek-moko.
Pek-moko menyambut dengan jurus Pek-hong-koan-jit,
tongkat dimainkan sebagai pedang untuk memapak serangan
lawan dengan tusukan. Gitar besi Siang Po-san menyapu
miring, serta disendai balik ke samping, lima jalur senarnya
tahu-tahu menggesek ke urat nadi Pek-moko. Gitar besi ini
memang merupakan senjata tunggal jang jarang ada di
kalangan bulim, daya gunanya amat banyak, betapa luas
pengalaman dan pengetahuan Pek-moko, namun belum
pernah dia menghadapi serangan senjata seaneh ini.
"Creng, creng" dalam detik-detik yang menentukan itu, dua
senar gitar besi ternyata tersendai putus oleh tongkat lawan,
senar putus biasanya menjuntai ke bawah, tapi begitu Siang
Po-san mengayun gitarnya, dua senar yang putus ini ternyata
berdiri lurus kaku menusuk ke arah dua mata Pek-moko.
Lwekangnya memang bukan tandingan Pek-moko, tapi dia
pandai memanfaatkan tenaga dalamnya, didalam permainan
licik dan keji jelas dia masih lebih unggul dari Pek-moko.
Karena tak menduga dan sudah kepepet, terpaksa Pekmoko
kembangkan ilmu Yoga yang jarang terlihat di
Tionggoan, dengan kepala di bawah kaki di atas dia jungkir
balik kesana. Oleh karena gangguan Siang Po-san, berarti
usaha memisah mereka kakak beradik jadi berhasil, kedua
saudara kembar ini terpisah beberapa langkah jauhnya. ThiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
172 ciang Siansu memang tidak malu sebagai bekas murid Siau-
Iim-pay, dalam waktu sekejap ini, dia sudah rampung
mengendalikan pernapasan dan menekan darah sehingga
berjalan normal, kini dia sudah mampu terjun ke arena lagi.
Kerja sama dengan le Cun-hong, mereka berhasil menekan
permainan tongkat Hek-moko.
Bahwa Siang Po-san menusuk sepasang mata lawan
dengan kedua senar gitarnya yang putus, ini pun gerak
serangan yang aneh pula, tak kira reaksi dan perubahan yang
diperlihatkan Pek-moko lebih aneh lagi di kala dia jumpalitan
jungkir balik itu, tahu-tahu tongkatnya mengemplang balik
"Trang" gitar lawan kena dipukulnya. Lwekang mereka
memang berimbang, Siang Po-san tergentak mundur tiga
langkah ke samping sementara Pek-moko bersalto tiga kali di
tengah udara baru meluncur turun dan hinggap dengan
enteng, tapi pundaknya terasa pegal dan linu, ternyata
bajunya tertusuk bolong, untung tidak mengenai hiat-to
penting. Kejadian berlangsung teramat cepat. Hek-moko
mendadak menghardik, dia berkelit dari serangan golok cepat
Ie Cun-hong, kakak beradik berbareng sama melompat ke
atas, maka pentung mereka kembali bergabung dari atas terus
menggempur ke bawah, cahaya coklat kembali mencorong
benderang. Benturan senjata keras yang menggetar itu memekakkan
telinga semua hadirin, tongkat baja Thi-ciang Siansu
memercikkan lelatu api sementara punggung golok tebal Ie
Cun-hong kembali gompal di dua tempat, sementara gitar besi
Siang Po-san dekuk pada ujung tengahnya, alat rahasia yang
dipasang di perut gitarnya tergetar rusak, maka senjata
rahasia yang tersimpan di dalamnya takkan bisa digunakan
lagi. Meski jumlah mereka bertiga, dengan tingkat kepandaian
yang sebanding lagi, tapi menghadapi gabungan permainan
tongkat lawan, ternyata mereka hanya mampu membela diri
melulu, jangan harap dapat balas menyerang.
173 Saking marah bola mata Ie Cun-hong sampai merah
menyala, teriaknya gusar: "Pasang barisan golok,"
memangnya anak buah yang dia bawa sudah berdiri pada
posisi masing-masing, mendapat aba-aba, segera arena
kurungan mereka diperkecil, maka Hek-pek-moko berdua
terkepung di tengah gelanggang.
Keadaan seketika berubah hebat, yang tampak hanya
cahaya golok yang menari-nari, laksana ribuan baris sinar kilat
saling samber simpang siur, mirip sekali sebagai jala sinar
yang besar. Karena dibendung dan terkurung didalam cahaya
golok, jelas cahaya coklat yang dipantulkan tongkat Hek-pekmoko
menjadi guram, tapi gerakan mereka tetap lincah dan
ganas laksana naga hidup yang bergulat di tengah samudra.
Ternyata Ie Cun-hong digelari raja golok bukan lantaran
permainan ilmu goloknya saja yang hebat, tapi To-bong-tin
(barisan jala golok) ciptaannya ini ternyata lebih Iiehay lagi.
To-bong-tin harus dilakukan sembilan orang sebagai satu
kelompok, delapan orang menduduki delapan unsur dan
sudut, sementara seorang lagi sebagai pimpinannya berada di
tengah atau di pusat kelompok barisan, dengan permainan
golok cepat serempak mereka maju mundur menggempur


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musuh, sembilan orang bersatu padu laksana tunggal, jelas
musuh takkan mungkin sekaligus membunuh sembilan orang,
kalau berusaha mematahkan serangan mereka satu persatu,
jelas dia sendiri yang bakal mampus terbacok. Anak buah Ie
Cun-hong yang -dididik dalam barisan jala golok ini seluruhnya
ada dua puluh tujuh orang semuanya kini dia bawa kemari,
tapi dua di antaranya tadi telah terbunuh oleh Hek-moko maka
barisan hanya bisa dibagi dua kelompok saja, sisanya yang
tujuh orang sebagai cadangan, tapi cukup dua kelompok
barisan golok ini sudah bikin Hek-moko pusing
menghadapinya. Kalau dinilai taraf kepandaian perorangan anak buah Ie
Cun-hong paling termasuk jago kelas dua dalam kalangan
174 Kangouw, (api dengan gabungan sembilan orang, mereka
cukup tangguh untuk menghadapi jago kosen mana saja,
apalagi gabungan delapan belas orang, meski tokoh silat kelas
tertinggi juga paling mampu membela diri saja, untuk
memecahkan barisan jelas teramat sukar juga.
Untung perbawa gabungan permainan tongkat Hek-pekmoko
juga hebat luar biasa, oleh karena itu Ie Cun-hong,
Siang Po-san dan Thi-ciang Siansu tetap tidak bisa berpeluk
tangan mundur dari tengah arena, merekapun harus kerja
sama dengan gerak perobahan barisan golok untuk
membendung rangsakan kedua tongkat lawan. Ini berarti Hekpek-
moko sekaligus harus menghadapi lima jago silat tinggi,
lama kelamaan, tenaga berkurang sehingga mereka terdesak
di bawah angin.
Setelah membentuk barisan golok belum juga berhasil
mengalahkan musuh, mau tidak mau Ie Cun-hong merasa
gugup juga, mendadak dia sadar, bentaknya; "Kalian memang
orang bodoh, kenapa berdiri diam saja disitu?"
Tujuh orang sebagai cadangan kira Ie-cengcu suruh
mereka ikut maju mengerubut, sekilas mereka melengak.
Maklum barisan golok harus dilakukan sembilan orang baru
bisa mengembangkan kekuatan barisan yang nyata. Kini kalau
mereka ikut terjun, barisan jelas tak mungkin terbentuk, itu
berarti mereka harus bertempur secara individu atau
perorangan. Padahal musuh begitu tangguh, mungkin belum
segebrak jiwa mereka sudah terenggut oleh tongkat Hek-pekmoko.
Berkerut kening Ie Cun-hong, bentaknya lagi: "Goblok,
hayo bekuk bocah keparat itu." Baru sekarang ketujuh anak
buahnya itu sadar bahwa sang Cengcu suruh mereka
membekuk bocah cilik ini, lega juga hati mereka, serempak
mereka mengiakan.
Ie Cun-hong memaki pula: "Bodoh, menangkap bocah cilik
memangnya perlu tenaga tujuh orang" Cukup dua orang
175 saja," maklum hatinya kebat kebit, di samping kuatir Tan Cioksing
melarikan diri, juga kuatir bila barisannya ini
kemungkinan mengalami sesuatu, tanpa adanya cadangan,
kemungkinan segalanya bisa berantakan. Dua orang anak
buahnya yang bernyali paling kecil seperti berlomba segera
memburu kesana. Nyali mereka sudah pecah menyaksikan
pertempuran yang dahsyat ini, sudah tentu mereka lebih suka
menangkap bocah kecil yang masih berbau pupuk bawang,
dari pada sebagai cadangan. Tak nyana kalau mereka ingin
menyingkir dari malapetaka, tapi elmaut justru merenggut
jiwa mereka lebih dulu.
Setelah menyaksikan permainan golok Tan Ciok-sing tadi,
Hek-moko tahu bahwa Tan Ciok-sing latihan tanpa guru,
sehingga dia belum memperoleh ajaran ilmu golok In Hou
yang murni, meski kepandaian anak buah Ie Cun-hong
terbatas, tapi dia kuatir bocah itu masih bukan tandingan
mereka. Di tengah gempuran yang sengit itu mendadak dia
menghardik keras laksana guntur, tongkat di tangan kanan
menyampuk serangan golok cepat Ie Cun-hong, berbareng
lengan kiri terulur, di tengah samberan bacokan golok yang
seliweran, dia jambret salah seorang musuh dari barisan golok
musuh secara kekerasan. Di tengah kumandang suara
hardikannya itu, Hek-moko angkat tinggi tawanannya terus
diayun berputar seperti atlit lempar peluru yang siap
melemparkan tawanannya, maka terdengarlah dua kali jeritan
yang mengerikan disusul suara gedebukan yang keras. Bola
manusia yang dilempar Hek-moko ini mencapai ratusan
langkah dan kebetulan menumbuk salah seorang anak buah Ie
Cun-hong yang lagi memburu ke arah Tan Ciok-sing. Orang
yang ditumbuk ini keterjang mencelat ke samping kebetulan
menumbuk temannya yang satu lagi, maka secara karambol
ketiga anak buah Ie Cun-hong ini menggelinding ke bawah
lereng sana, meski jiwa tidak melayang, paling tidak pasti
terluka parah. 176 Serangan berantai secara karambol ini meski membebaskan
bahaya yang mengancam Tan Ciok-sing, tapi Hek-moko
tergores luka lengan kirinya. Maklum barisan golok ini
merupakan pusaka bagi Ie Cun-hong, betapapun takkan
gampang dipecahkan begitu saja" Betapapun tangkas dan
liehay gerakan Hek-moko, tapi untuk menjambret musuh dari
barisan golok, terpaksa dia sendiri juga harus menerima
akibatnya, untung lukanya itu hanya tergores kulit dagingnya,
lukanya tidak parah.
Kurang satu orang berarti barisan golok telah terbuka
sebuah lobang. Dalam waktu segenting ini Pek-moko tidak
menyiakan kesempatan ini, begitu menycndal tongkat, dia
kepruk salah seorang lawan yang terdekat sehingga tulang
pergelangan tangannya terketuk hancur, sambil memegang
tangan, orang ini menjatuhkan diri terguling-guling sambil
menjerit-jerit seperti babi mau disembelih.
Lekas Thi-ciang Siansu memburu maju menyumbat lobang
ini, begitu dua tongkat saling ketuk, rangsakan Pek-moko kena
dibendung, sekali ayun kaki Ie Cun-hong tendang minggir
anak buahnya yang terluka, lalu menyuruh dua anak buah
cadangannya maju menggantikan kedudukan yang kosong.
Betapa hati tidak akan jeri dan nyali pecah melihat teman
sendiri menjadi korban secara mengenaskan. Ie Cun-hong
membentak: "Kalian tidak perlu takut, Hek-moko sudah
terluka, gasak saja takut apa?"
Hek-moko tertawa terkial-kial, gelak tawanya bergema di
atas pegunungan, katanya: "Ie Cun-hong, jangan kau
menghinaku karena sudah terluka" Hayo kau sendiri saja yang
maju," dua tongkat beriringan menggaris sebuah lingkaran,
maka terdengarlah dering beruntun yang memekak telinga,
delapan belas batang golok semuanya kena dibentur pergi
oleh kedua tongkat. Malah kekuatan tongkat Hek-moko belum
berakhir sampai disitu saja, ujung tongkatnya masih
menyodok ke muka Ie Cun-hong, padahal sinar tongkat
177 mencorong terang menyilaukan mata, terpaksa Ie Cun-hong
lekas melompat minggir.
Mendengar Hek-moko terluka, Tan Ciok-sing kaget, tapi dia
lantas berpikir: "Disini aku takkan mampu membantu mereka,
dari pada menjadi beban mereka, biarlah aku menyingkir
saja." Berhasil memukul mundur delapan belas jago golok lawan,
Hek-pek-moko dapat ganti napas sekedarnya, teriaknya:
"Tidak lekas kau pergi" Lebih jauh lebih baik. Kawanan tikus
ini takkan bisa mencelakai kami, kau tidak perlu kuatir."
Mendengar gelak tawa Hek-moko yang kumandang jelas
tenaga dalamnya masih tangguh, lega juga hatinya, segera dia
panggul harpanya terus berteriak: "Baik, kutunggu kalian di
bawah gunung."
"Bawah gunung masih dalam daerah kekuasaan mereka,
boleh kau lari sejauh mungkin, kalau mau mencari kau, kami
pasti dapat menemukan kau," demikian seru Hek-moko.
Tan Ciok-sing segera angkat langkah seribu, larinya sudah
setaker tenaganya, sayang dia terlambat, sisa tiga orang anak
buah Ie Cun-hong sudah memburu datang tanpa diperintah
majikannya, baru puluhan langkah Tan Ciok-sing lari sudah
tersusul musuh.
Thi-ciang Siansu tertawa, katanya: "Hek-moko, gembar
gembor belaka, memangnya siapa yang hendak kau gertak?"
Gelak tawa Hek-moko tadi memang bertujuan pamer
lwekang, pada hal gelak tawanya itupun dipaksakan, pertama
dia ingin supaya Tan Ciok-sing pergi dengan perasaan lega,
kedua untuk menciutkan nyali anak buah Ie Cun-hong. Tapi
bagi pendengaran seorang ahli silat yang sudah memiliki
kepandaian taraf tinggi, dari gelak tawanya tadi sudah
diketahui bahwa tenaganya sisa sedikit dan bakal terkuras
habis dalam waktu dekat.
178 Ie Cun-hong akhirnya menyadari juga akan gertak sambel
Hek-moko ini, teringat akan rasa takutnya tadi, merah jengah
mukanya, katanya: "Betul, kalian tidak perlu takut,
keadaannya sudah payah seperti binatang yang mengamuk
dalam kandang, coba buktikan nanti berapa lama mereka kuat
bertahan," langsung dia pimpin delapan belas anak buahnya
sehingga daya kekuatan barisan bertambah kokoh. Hek-pekmoko
memang hanya mampu membela diri, gerakan
gabungan yang tadi dilancarkan kini sudah terbendung dan
tiada kesempatan lagi jangan kata menjebol kepungan,
menyerbu ke tengah barisan melukai musuhpun tidak mampu.
Kalau disini Hek-pek-moko dalam keadaan kritis di tengah
kepungan barisan golok, sementara di sebelah sana Tan Cioksing
juga sedang bergelut dengan sengit. Musuh yang
menyandaknya lebih dulu berperawakan pendek, kontan Tan
Ciok-sing membacok balik ke belakang. Dari kejauhan Siang
Po-san berseru: "Awas goloknya itu pusaka."
"Aku tahu," sahut laki-laki pendek itu, golok cepat di
tangannya menepis tegak mengiris dengan gerakan Siat-jiatou,
karena gerak goloknya terlalu cepat menyerang musuh
sehingga lawan dipaksa untuk menyelamatkan diri lebih dulu,
maka Tan Ciok-sing terpaksa menarik balik golok untuk
melindungi badan, dari menyerang kini dia di pihak yang
membela diri. Sinar golok bayangan orang berkelebat lewat,
laki-laki pendek itu beruntun membacok tujuh kali, namun
tidak sampai membentur golok pusakanya, inipun sudah
membikin Tan Ciok-sing keripuhan. Cepat sekali dua musuh
yang memburu datangpun telah tiba.
Dinilai taraf kepandaian silat ketiga orang ini, belum
termasuk apa-apa di kalangan Kangouw, tapi menghadapi Tan
Ciok-sing tenaga mereka bertiga cukup berkelebihan.
Tan Ciok-sing mencak-mencak keripuhan dicecar mereka,
meski dia mengandal ketajaman goloknya, namun keadaannya
tetap terdesak di bawah angin, berkali-kali dia menghadapi
179 ancaman bahaya. Untung dia membekal golok pusaka, kalau
tidak bagaimana akibatnya sungguh tak berani dia
membayangkan. Kalau Tan Ciok-sing mengeluh dalam hati
mendadak didengarnya Hek-moko berteriak: "Dari pada tamu
berubah jadi majikan, adalah lebih baik majikan melayani sang
tamu. Yang muda melampaui yang tua, yang terlambat lebih
baik dari pada yang gugup."
Dasar otaknya encer, cepat sekali berkelebat pikiran Tan
Ciok-sing, apa yang diajarkan Hek-moko cepat sekali sudah
menyadarkan pikirannya. "Wut" tiba-tiba goloknya membacok,
gerakannya kini jelas lebih mantap dan sudah memperoleh
poros inti ilmu golok keluarga In, ujung golok memapak
serangan golok musuh yang datang dari arah depan,
sementara gagang goloknya mengetuk golok yang menyerang
tiba dari arah kiri, tajam goloknya miring terus menyayat ke
bawah, karuan seorang lawan yang berada di sebelah kanan
menjadi kaget dan jeri serta menarik tangan dan mundur
tersipu-sipu. Jurus Hun-mo-san-bu (menari tiga kali menggenggam
mega) ini adalah serangan golok yang tadi digunakan Hekmoko
untuk membabat rontok rambut Ie Cun-hong. Sudah
tentu jurus yang sama dilancarkan oleh Tan Ciok-sing,
perbawanya jauh ketinggalan dibanding Hek-moko, tapi
kepandaian ketiga lawannya itupun jauh lebih rendah
dibanding Ie Cun hong. Kini Tan Ciok-sing sudah berhasil
menyelami intisari ilmu golok keluarga In, maka permainannya
sekarang sudah jauh berbeda, walau belum bisa menang, tapi
untuk bertahan terang sudah cukup berkelebihan.
Tapi ilmu golok yang berhasil diselaminya sekarang baru
pertama kali ini dipraktekkan, apa benar permainannya, dia
sendiri juga tidak tahu. Untung Hek-moko segera berseru lagi:
"Dalam pandangan ada musuh, dalam hati tiada musuh.
Usaha tergantung pada diri pribadi, peduli musuh kuat atau
lemah,"-kata-kata ini
180 juga merupakan letak dari kemurnian ilmu golok tingkat
tinggi, apa yang dinamakan dalam pandangan ada musuh
ialah di kala kau . bergebrak kau harus menghadapi lawan
secara serius, dalam hati tiada musuh berarti peduli musuh
betapapun kuatnya, kalau kau sudah melabraknya dengan
sengit, maka kau harus anggap lawanmu itu musuh yang
enteng dan patut kau robohkan.
Pendek kata peduli lawanmu itu musuh tangguh atau lawan
lemah, kau sendiri harus dapat berkelahi dengan sungguhsungguh
dan menggunakan taraf kepandaianmu yang
memadai, berkelahi dengan singa harus setaker tenaga,
berkelahi dengan kelinci pun harus demikian.
Karena baru pertama kali Tan Ciok-sing menggunakan ilmu
golok yang berhasil dipelajari dan diselaminya sendiri, hatinya
masih belum yakin akan kemampuan sendiri, kini setelah
mendengar petunjuk Hek-moko, hati lapang pikiran jernih,
dapat menangkap maknanya yang paling dalam pula, maka
semangat tempurnya kontan berkobar. Sekaligus dia lancarkan
tiga jurus serangan berantai, dari bertahan kini dia balas
menyerang, serunya lantang: "Terima kasih akan
petunjukmu."
Melihat permainan golok si bocah mendadak tambah
gencar dan liehay, laki-laki pendek itu kaget dan gugup,
serunya: "Jaga posisi kalian masing-masing, hayo gunakan
bacokan serempak, cacah dia jadi pergedel," walau mereka
bertiga berusaha membentuk barisan golok, tapi karena
biasanya sudah kebiasaan dalam praktek barisan, kerja sama
dalam menyerang dan bertahan amat serasi, maka permainan
mereka cukup ampuh, juga kekuatannya tidak boleh


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipandang rendah. Di tengah pertem
Dendam Iblis Seribu Wajah 15 Bara Naga Karya Yin Yong Kisah Sepasang Rajawali 23
^