Pendekar Pemetik Harpa 7

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 7


Tayli, dalam suatu kesempatan yang kebetulan kami bertemu dan
berkenalan."
"Dia titip pesan apa padamu" Boleh beri tahu kepadaku?"
"Sudah tentu boleh. Katanya keluarganya punya hubungan
intim dengan keluarga In, maka dia pikir hendak mengundang
puterimu ke rumahnya untuk mengungsi."
In-hujin manggut-manggut, katanya: "Betul, keluarga Toan
dan keluarga In memang sudah berhubungan intim sejak
beberapa generasi. Tapi aku tidak setuju kalau anak San
ngungsi ke rumah keluarga Toan."
360 Karena dia tidak menjelaskan alasannya, meski Tan Cioksing
merasa heran, tapi dia sungkan bertanya. Kata ln-hujin
lebih lanjut. "Ketiga barang mustika ini, kupikir tetap harus kau simpan
saja untuk sementara." "Mengapa?"
"Berkat bantuan dan pertolonganmu sehingga untuk
sementara penyakitku bisa sembuh. Tapi bibit penyakitnya bila
tidak dilenyapkan, penyakit ini suatu ketika pasti akan kumat
dan soal waktu belaka hidupku ini. Entah kapan anak San baru
akan pulang, maka tidak berani aku menyimpan ketiga barang
mustika. Maka sukalah kau titip simpan barang peninggalan
ayahnya dan Ceng-bing-kiam ini, kelak bila ada kesempatan
kau bertemu dengan dia, boleh kau serahkan padanya."
"Pek-bo jangan banyak pikiran, aku yakin penyakitmu akan
lekas sembuh."
"Semoga seperti apa katamu, sebelum bertemu dengan
anak San, matipun aku tidak akan bisa meram. Kapan kau
akan berangkat, aku tidak ingin membikin repot kau lagi."
"Syukurlah bahwa Pek-bo bisa mempercayai diriku, aku
amat berterima kasih. Kuharap Pek-bo membuang segala
pikiran yang merisaukan hati, rawatlah penyakit ini dengan
sabar dan tekun. Setelah Pek-bo sembuh betul, baru aku
berangkat juga belum terlambat."
Sudah tentu In-hujin amat terharu, terima kasih dan
menyesal pula, katanya: "Kau memang pemuda yang bajik,
jujur dan tulus, hampir saja aku menuduh dan memfitnahmu
tanpa juntrungan."
"Tidak boleh menyalahkan Pek-bo, adalah pantas kalau aku
dicurigai. Aku membawa golok In Tayhiap, pandai main ilmu
goloknya lagi. Sebelum bertemu dengan Pek-bo, di tengah
jalan, akupun dicurigai orang sebagai pembunuh ln Tayhiap."
"Siapakah dia?" tanya ln-hujin.
361 "Seorang pemuda sebaya dengan aku, anehnya, diapun
pandai menggunakan ilmu golok keluarga In," lalu dia
ceritakan pengalaman dua hari yang lalu, dimana dia bertemu
dengan pemuda yang hendak ditolongnya oleh serbuan
pasukan kuda Watsu, akhirnya dirinya malah yang dilabrak.
Mendengar ceritanya In-hujin malah terbeliak senang,
namun sikapnya tetap biasa.
"Untuk ini aku ingin tanya kepada Hujin, adakah In Tayhiap
menerima seorang murid?"
Merah muka In-hujin, katanya kikuk: "Sudah sekian tahun
aku berpisah dengan dia, kejadian belakangan ini, aku tidak
tahu jelas."
"Baiklah kalau begitu. Sudilah kiranya Pek-bo memberitahu
siapa orang yang memfitnah diriku itu?"
"Adakah kau punya seorang teman she Liong?"
Tan Ciok-sing keplok tangan, baru sekarang dia sadar,
katanya: "O, kiranya Liong Seng-bu?"
"Betul, memang Liong Seng-bu. Bagaimana kau bisa kenal
dia?" Maka Tan Ciok-sing ceritakan bagaimana dia berkenalan
dengan Liong Seng-bu, belakangan bagaimana mereka
menempuh perjalanan dan akhirnya orang turun tangan keji
atas dirinya karena hendak merebut barang-barang pusaka
yang dibawanja.
Lama In-hujin melongo akhirnya geleng-geleng, sungguh
tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa sang keponakan
ternyata adakah pemuda yang culas dan tamak pula. Lalu
katanya: "Jadi manusia harus bajik terhadap sesamanya, tapi
kehidupan kaum persilatan memang penuh liku-liku. Maka
selanjutnya kau harus selalu ingat, jangan kau mengemban
keinginan hendak mencelakai orang, tapi embanlah
362 kewaspadaan untuk menjaga keculasan hati orang lain atas
dirimu?" "Ya, banyak terima kasih akan petuah Pek-bo." Ucap Tan
Ciok-sing, "sejauh ini aku masih belum tahu orang macam apa
sebenarnya Liong Seng-bu ini, dari sikap dan tutur katanya,
kelihatannya dia seorang sekolahan yang sudah mendalam
dalam pelajaran buku, namun tak terduga bahwa hatinya
ternyata seburuk itu, bahwa dia memfitnah diriku di hadapan
Pek-bo, tentunya Pek-bo mengenalnya dengan baik" Bolehkah
Pek-bo memberitahu siapakah dia sebenarnya?"
Tak urung merah pula wajah In-hujin, katanya samarsamar:
"Dia seorang famili jauh, sifatnya memang bangor,
biasanya aku tidak menyukainya. Mungkin dia mengincar
golok dan buku pelajaran ilmu golok keluarga In itu, maka dia
mencelakai kau."
"Pek-bo," ujar Tan Ciok-sing, "waktu kau masuk kemari
tadi, pernah kau perhatikan ke dua singa batu yang aneh
letaknya itu?"
Kata In-hujin: "Singa batu di sebelah kiri dibalik arahnya,
sementara singa batu sebelah kanan ditinggali sebuah cap
tangan, betul tidak?"
"Betul, dari cap tangan di atas singa batu itu, ilmu silat
orang itu memang teramat tinggi. Entah apakah dia musuh
besar keluarga In?" Maklum Tan Ciok-sing sedang
menguatirkan keselamatan In San yang belum pernah
dilihatnya, di samping merasa heran juga akan sikap In-hujin.
Kenapa setelah melihat keganjilan atas kedua singa batu itu,
In-hujin agaknya tidak prihatin akan keselamatan putrinya"
In-hujin berkata dengan senyum manis: "Aku tahu siapa orang
yang sengaja main-main dengan singa batu itu, kau tidak usah
kuatir, dia adalah seorang teman baik anak San. Pernah kau
dengar nama Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun?"
363 Tan Ciok-sing berjingkat, katanya: "O, kiranya Tam
Tayhiap" Aku pernah melihatnya."
"Dimana kau pernah melihatnya?"
"Di malam In Tayhiap kena musibah itulah. Terlalu banyak
persoalan yang kukatakan tadi, maka hal ini belum sempat
kututurkan. Menurut cerita In Tayhiap, lantaran menepati janji
undangan dengan Tam Pa-kun sejak tiga tahun yang lalu,
maka dia datang ke Kwi-lin. Sebelumnya mereka sudah
berjanji untuk bertemu di rumah It-cu-king-thian Lui Tin-gak.
Sayang Tam Pa-kun terlambat datang tiga hari, waktu aku
bertemu dengan dia, In Tayhiap sudah meninggal. Semula aku
masih menaruh curiga, apakah dia sekongkol dengan Lui Tinggak
dan Le Khong-thian untuk mencelakai In Tayhiap" Kalau
tidak bagaimana mungkin Le Khong-thian bisa tahu kemana
arah tujuan dan kepergian In Tayhiap" Mereka sudah
mengatur tipu daya dan jebakan untuk mencelakai jiwanya
secara keji."
In-hujin geleng-geleng, katanya: "Tam Pa-kun adalah
kenalan mati hidup In Hou, bagaimana martabatnya aku tahu
jelas, betapa juga dia tidak akan berbuat jahat mencelakai In
Hou. Tentang It-cu-king-thian Lui Tin-gak, memang sudah
lama aku mendengar kebesaran namanya sebagai pendekar,
tapi belum pernah bertemu. Tapi aku yakin dia pasti bukan
biang keladi yang mencelakai In Hou."
"Belakangan aku bertemu dengan Tam Pa-kun, aku juga
tahu bahwa curigaku tidak berdasar dan kenyataan memang
keliru. Waktu aku bertemu dengan dia, diapun sedang dikejar
dan dilukai oleh kawanan penjahat yang mencelakai jiwa ln
Tayhiap pula. Badannya terkena beberapa panah beracun,
kedua matanya juga buta. Dia memberitahu padaku, katanya
dia dijebak dan dicelakai musuh di tempat dimana seharusnya
dia berjanji pertemuan dengan In Tayhiap."
"Akhirnya bagaimana?" tanya In-hujin tegang.
364 "Ternyata It-cu-king-thian Lui Tin-gak ada di antara
kawanan penjahat itu, langkah mereka semakin dekat, tapi
seperti juga keadaan Pek-bo sekarang, Tam Tayhiap yakin Lui
Tin-gak tidak akan mencelakai dirinya, dia suruh aku lekas
melarikan diri, katanya bukan dia kuatir It-cu-king-thian akan
mencelakai jiwaku, tapi dia kuatir aku terluka oleh anak buah
musuh dalam keributan nanti, jelas dia tak mungkin
melindungi aku. Bekal kepandaianku pada tiga tahun yang lalu
memang berbeda jauh sekali, bukan saja tidak akan mampu
menolong Tam Tayhiap, mungkin bisa merupakan beban
dirinya untuk melindungi aku malah. Apa boleh buat, terpaksa
aku lari secara diam-diam. Bagaimana akhir kejadian
selanjutnya, aku tidak tahu."
"Aku cukup kenal ilmu pukulan besi yang diyakinkan Tam
Pa-kun. Dari tanda tangan yang ada di atas singa batu itu,
jelas adalah peninggalannya. Kejadian selanjutnya tidak kau
saksikan, tapi aku bisa membayangkannya. Aku yakin pasti Itcu-
king-thian berbalik muka kerja sama dengan dia menyikat
habis kawanan penjahat itu, malah luka-luka di tubuh Tam
Tayhiap pun berhasil dia sembuhkan."
Tan Ciok-sing berdiri termangu mendengar analisa In-hujin,
"Kau sedang pikir apa?" tanya In-hujin.
"Aku memikirkan dua persoalan. Pertama untuk apa Tam
Pa-kun meninggalkan telapak tangan di atas singa batu itu"
Sebagai seorang pendekar yang kenamaan, tentunya dia tidak
melakukan sesuatu tanpa sengaja?"
"Memang Tam Pa-kun seorang yang tidak suka berkelakar,
bahwa dia berbuat demikian pasti ada sebab dan alasannya,
tapi untuk apa sebenarnya, aku juga sukar menebak."
"Kedua siapa yang membocorkan rahasia pertemuan In
Tayhiap dengan Tam Pa-kun di Kwi-lin" Yang tahu rahasia ini
hanya tiga orang In Tayhiap, Tam Pa-kun dan Lu Tin-gak, kini
sudah jelas bukan Tam Pa-kun, jadi kalau bukan Lui Tin-gak
pula, lalu siapa?"
365 Pucat muka In-hujin, suaranya serak gemetar: "Aku berani
tanggung juga bukan Lui Tin-gak, tapi kita tidak usah main
teka teki sendiri, perkara ini suatu ketika pasti akan jelas
duduk persoalannya, aku yakin akan datang suatu hari aku
pasti dapat membekuk orang yang mencelakai dan
membocorkan rahasia itu," waktu mengatakan isi hatinya ini,
sanubarinya seperti ditusuk sembilu sakitnya.
Bahwasanya dia sudah tahu siapa orang yang
membocorkan rahasia itu, malah rahasia ini bocor lantaran
keteledoran dirinya pula sehingga dicuri dengar oleh orang ini.
Jadi kalau diusut secara kenyataan, secara tidak langsung
diapun termasuk orang yang membocorkan rahasia ini.
Melihat keganjilan air muka In-hujin, Tan Ciok-sing kira
orang terlalu banyak bicara, sehingga kehabisan tenaga,
katanya: "Pek? bo, kau beristirahat saja. Marilah kuhibur
dengan petikan sebuah lagu lagi."
Pandangan In-hujin tertuju keluar jendela, seperti sedang
memikirkan apa-apa, hakikatnya seperti memperhatikan apa
yang diucapkan Tan Ciok-sing. Keruan Tan Ciok-sing kaget,
dia kira penyakit orang kumat lagi, baru saja dia maju hendak
tanya, tiba-tiba In-hujin menoleh sambil menegakkan jari
telunjuknya di depan bibirnya, memberi syarat supaya dia
tidak bersuara. Lalu dia berbisik: "Ada orang datang, lekas kau
sembunyi, aku bisa menghadapinya."
Tan Ciok-sing tidak tahu siapa yang datang, memang dia
merasa rikuh berada di kamar perempuan, tapi waktu
mendesak begini membuatnya bingung, keluar tidak mungkin,
lalu dimana dia harus menyembunyikan diri.
Lekas In-hujin menuding almari pakaian, tanpa banyak pikir
Tan Ciok-sing menyelinap masuk kedalam almari, baru saja
dia merapatkan almari, betul juga didengarnya suara lapat-
Iapat datangnya langkah kaki yang semakin dekat, kini
menaiki undakan mendorong pintu besar terus masuk kedalam
rumah. Dari langkah kaki yang terdengar bisa di duga yang
366 datang ada tiga orang. Kaget dan malu hati Tan Ciok?sing,
pikirnya: "Dalam keadaan sakit tapi pendengaran In-hujin
masih setajam ini, dibandingkan dia ternyata aku masih kalah
jauh." Begitu memasuki rumah, ketiga orang itu bicara sambil
bisik-bisik terus maju memeriksa dan menggeledah tempattempat
yang mereka lalui. Dengan cermat Tan Ciok-sing
pasang kuping, tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang
sudah amat dikenalnya: "Entah Kim-to-thi-ciang itu sudah
pergi atau belum."
Tan Ciok-sing kaget, tapi lantas naik pitam, orang yang
bicara ternyata bukan lain adalah Liong Seng-bu. Demikian
pula In-hujin, dia ke tambahan jengkel dan benci. Diapun
sudah mendengar suara percakapan Liong Seng-bu diluar
pintu, maka dia membatin: "Agaknya Hou-ko di alam baka
memang memberi kesempatan padaku untuk menuntut balas,
entah bagaimana bocah keparat ini diantar kemari untuk
mengantar kematian. Hm, hm, memang aku hendak membuat
perhitungan kebetulan dia kemari."
Lalu terdengar seorang bersuara agak serak tua: "Hari itu
dia sengaja pamer kepandaian, dikira kita lari kena
gertakannya, kini kuyakin dia takkan mengira kita bakal
kemari lagi. Lalu untuk apa dia berjaga-jaga pula disini?"
Orang ketiga ikut menimbrung:
"Tam Pa-kun hanya bernama kosong, kalau ada
kesempatan ingin aku menjajal Kim-to-thi-ciangnya itu."
"Hari itu hanya ada aku bersama, Ciok-tuthau, sudah jamak
kalau kami gentar menghadapinya. Kini bila kalian bergabung
mengeroyok dia, jelas tak usah takut padanya."
Mendengar sampai disini, diam-diam In-hujin dan Tan Cioksing
tahu duduknya perkara. Kiranya untuk menakut-nakuti
kawanan penjahat ini masuk ke rumah keluarga In, maka
sengaja Tam Pa-kun meninggalkan bekas telapak tangan itu di
367 atas singa batu, itu berarti dia melindungi keselamatan In San
pula. Mendadak Tan Ciok-sing mengingat sesuatu, didalam


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

almari jari-jarinya menjentik beberapa kali.
Lekas In-hujin dekatkan telinganya di samping almari,
didengarnya suara Tan Ciok-sing selembut nyamuk,
mengatakan tentang "harpa antik"-nya yang terletak di atas
meja. Maklum Liong Seng-bu pernah melihat harpa antik milik
Tan Ciok-sing ini, dia kuatir orang mengenalinya, maka dia
memberi ingat kepada In-hujin. Pada hal langkah ketiga orang
diluar sudah berada di pekarangan dalam, tak mungkin
mereka banyak bicara lagi.
In-hujin juga tersentak sadar, pikirnya: "Harpa ini memang
cukup antik, mungkin dia kuatir Liong Seng-bu merusaknya
nanti bila bergebrak disini. Sebetulnya hal ini tidak perlu
dibuat kuatir," dia yakin semudah membalik telapak tangan
untuk membekuk Liong Seng-bu tapi karena Tan Ciok-sing
berkuatir, hati-hati sedikit memang juga baik, maka dengan
gerakan terburu-buru sekenanya dia menarik secarik kain
sutra merah terus dilampirkan di atas harpa antik itu.
Sementara ketiga orang itupun sudah dekat dan sedang
menuju ke kamar In San ini.
Rebah di pembaringan, napas In-hujin sengaja dibuat berat
dan tersengal. Kaget dan senang Liong-bu yang berada diluar pintu,
serunya: "Siapa didalam?"
In-hujin juga berpura-pura senang dan kaget, katanya
dengan napas memburu: "Apakah Seng-bu diluar" Dengan
siapa kau kemari?"
Liong Seng-bu amat kecewa, katanya dengan laku hormat:
"Betul, memang aku. Bibi, apakah penyakitmu sudah sembuh.
Kenapa tidak kau rawat penyakitmu di rumah..." ternyata dia
kira yang ada didalam kamar adalah In San.
368 Mendengar suara In-hujin, kedua orang diluar itu juga
merasa diluar dugaan, lekas mereka berdiri tegak diluar,
katanya: "Lapor Hujin, hamba Ciok Khong-goan dan Sa
Thong-hay atas perintah Te-tok datang kemari untuk
menjemput Siocia pulang ke kota raja. Tidak tahu bila Hujin
ada disini, harap dimaafkan," kedua orang ini adalah dua
perwira dari anak buah suaminya J^iong Bun-kong yang
berkepandaian paling tinggi.
Dalam hati In-hujin berpikir: "Jikalau aku tidak sakit, bukan
soal aku menghadapi mereka. Tapi buat apa aku
merendahkan derajat bergebrak dengan mereka?" Maka dia
berkata: "Bu-ji, kau masuklah, Ciok-tuthau dan Sa-jongiing
boleh tunggu diluar saja, jangan biarkan orang lain masuk
kemari." Kedua orang itu mengiakan sambil munduk-munduk.
Pelan-pelan Liong Seng-bu mendorong daun pintu,
dilihatnya In-hujin sedang rebah di atas ranjang, mukanya
pucat bagai kertas, napasnya yang menderu terdengar berat,
agaknya penyakitnya kumat dan bertambah berat. Maka
legalah hatinya, katanya: "Bibi, kenapa kau begini menyiksa
diri" Bukankah bibi sudah kukasih tahu, paman sudah
mempersiapkan segalanya untuk menjemput adik San pulang,
kenapa bibi harus kemari sendiri?"
Tan Ciok-sing yang sembunyi didalam almari menjadi
keheranan: "Bagaimana mungkin Liong Sengbu ternyata
adalah keponakan In-hujin" Memangnya siapa pula Te-tok
Tayjin itu?" dia yakin dalam hal ini pasti ada latar belakang
yang cukup ruwet, terpaksa dia menahan napas
mendengarkan lebih lanjut.
In-hujin menghela napas, katanya: "Aku tahu pamanmu
pasti mengutus orang membawanya pulang. Tapi dia adalah
putri kandungku, sudah tentu aku amat prihatin akan dirinya.
Situasi di Tay-tong amat genting lagi, terpaksa aku nekad
datang kemari. Tak nyana setiba disini, San-ji tidak
kuketemukan, penyakitku malah kumat lagi."
369 Liong Seng-bu amat kecewa, katanya: "Untung bahaya
sudah berselang disini, tak lama lagi adik San mungkin pulang,
bagaimana keadaan bibi sekarang, perlukah kupanggil tabib
untuk memeriksa?"
In-hujin pura-pura payah, duduk bersandar di pinggir
ranjang, tangannya menggapai ke arah Liong Seng-bu,
katanya terputus-putus: "Penyakitku ini mungkin, mungkin tak
bisa sembuh lagi. Kau, kemarilah kau, aku... aku hendak
bicara dengan kau."
Liong Seng-bu mengiyakan sambil menghampiri, tiba-tiba
matanya melirik ke arah toilet, dilihatnya sebuah harpa kuno
yang ditutupi selembar kain merah sutra, harpa kuno itu
sendiri tidak dia lihat tapi dari bentuknya dia bisa
memperkirakan barang apakah-di bawah kain merah sutra itu,
jelas bukan perabot yang biasa dibuat dandan anak gadis,
sekilas timbul rasa curiganya, tiba-tiba dia ulur tangan
menyingkap kain sutra merah itu, segera dia mengenali harpa
kuno milik Tan Ciok-sing itu.
Tahu gelagat jelek tapi Liong Seng-bu masih mampu
menenangkan hati, katanya: "Kiranya juga bibi suka main
harpa" Selama ini belum pernah aku tahu."
"Aku kesepian dalam menunggu sembuhnya penyakit ini,
kadang-kadang timbul rasa isengku maka kugunakan harpa ini
untuk menghibur hati."
Pandangan Liong Seng-bu menjelajah seluruh isi kamar,
dirasakan tiada mungkin orang sembunyi di kamar ini,
pikirnya: "Kalau Tan Ciok-sing tidak pernah kemari, bagaimana
mungkin harpa miliknya berada disini" Entah dia sudah pergi"
Lebih baik aku berhati-hati." Lalu dia mundur beberapa
langkah, katanya: "Ada sesuatu yang lupa kuberi tahu kepada
mereka, segera aku kembali."
Melihat sikap orang yang agak ganjil sudah tentu In-hujin
tidak membiarkan pergi, katanya: "Baiklah, lekas kau
370 kembali," menanti orang sudah putar tubuh dan berjalan
hampir mendekati pintu, mendadak dengan tenaga sikut
menahan ranjang, In-hujin mencelat bangun dan meluncur
terapung, seperti burung elang menyambar kelinci, sekali
tangan terulur dia cengkram tulang pundak Liong Seng-bu.
Karuan Liong Seng-bu menjerit kesakitan, teriaknya: "Bibi,
kau." "Jangan bersuara," desis In-hujin di pinggir telinganya,
"berani kau berteriak, segera kucabut nyawamu."
Sengaja In-hujin juga mengeluh sekali, lalu katanya:
"Papah aku berdiri, jangan takut, aku hanya kebentur sedikit,
tidak apa-apa," kata-katanya yang terakhir dia tujukan kepada
dua orang yang berjaga diluar.
Sesaat lagi In-hujin pasang kuping, didengarnya kedua
orang itu tidak putar balik, maka legalah hatinya. Segera dia
tekan urat nadi Liong Seng-bu, lalu menyeretnya mendekat ke
ranjang. "Bibi," kata Liong Seng-bu suaranya lirih lembut,
"keponakan tidak pernah berbuat salah terhadapmu..."
"Ada urusan yang ingin kutanya kepadamu, kau harus
menjawab terus terang."
"Masak keponakan berani menipu bibi?"
"Perkataanmu ini justru telah menipuku. Perjanjian In Hou
dengan Tam Pa-kun di Kwi-lin bukankah kau yang
membocorkan kepada pamanmu, lalu mengatur tipu daya
menjebak mereka serta mencelakai jiwa mereka pula?"
Liong Seng-bu berjingkat kaget, serunya: "Bibi, kau, apa
katamu" Hakikatnya aku tidak tahu menahu soal itu."
"Hari itu kau mencuri dengar pembicaraan kami, kau kira
aku tidak tahu" Tapi waktu itu aku masih belum ada
keputusan untuk meninggalkan keluarga Liong, tak pernah
kuduga pula bahwa kau akan berbuat sejahat ini, maka aku
diam saja tidak bertindak padamu. Aku paling benci bila ditipu
371 orang, jikalau kau mau berterus terang, mungkin aku bisa
mengampuni jiwamu."
Terbetik setitik harapan, kata Liong Seng-bu: "Harap bibi
maklum, bukan keponakan berani ngapusi kau, semua ini
adalah putusan dan perintah paman sendiri."
"Baik, teruskan," desak In-hujin menahan amarah, "kau,
kenapa kau mencelakai In Hou" Kenapa pula kau memfitnah
Tan Ciok-sing?"
"Bibi, bukan aku yang mencelakai In Tayhiap, paman yang
punya maksud jahat ini. Ai, yang benar paman juga
bermaksud baik terhadapmu. Sebagai Te-tok Hujin. kalau bibi
masih ada hubungan dengan In Hou..." Merah padam muka
In-hujin, dampratnya melotot: "Aku tidak pingin mendengar
obrolannya, lebih penting kau bicara secara jujur."
Tan Ciok-sing yang mendengarkan sampai disini di
tempatnya" sembunyinya berpikir: "Jadi In-hujin sudah nikah
lagi, jadi sekarang dia adalah nyonya besar. Coba saja dia
masih kemaruk kehidupan serba berkecukupan atau membela
dan membalas kematian In Hou."
"Keponakan sejak kecil memperoleh banyak kebaikan
paman, mana berani aku main sembunyi, apa yang kudengar
semuanya sudah kulaporkan padanya, tapi aku tidak mengira
bila paman bisa bertindak sejauh itu untuk mencelakai In
Tayhiap." "Tidak perlu kau membela diri, aku tidak sabar lagi
mendengar obrolanmu."
"Ya, baiklah kuperpendek saja. Setelah paman tahu akan
hal ini, segera dia mengutus orang memberitahu kepada Hekciok-
ceng Cengcu le Cun-hong."
"Ie Cun-hong yang bergelar si Raja Golok itu" Ada sangkut
paut apa dia dengan pamanmu?"
372 "Sudah lama dia ingin bekerja demi kepentingan kerajaan,
maka sering dia berhubungan dengan paman, tapi bibi sendiri
tidak pernah tahu. Paman menugaskan Ie Cun-hong mengatur
rencana untuk mencelakai jiwa In Tayhiap. Tapi Ie Cun-hong
di samping licik dan culas ternyata dia cukup licin pula, dalam
melaksanakan tugasnya sendiri tidak mengunjuk diri.
"Kebetulan waktu itu datang seorang tokoh yang
berkepandaian tinggi bernama Le Khong-thian, konon tokoh
liehay ini ada bermusuhan dengan In Tayhiap, maka Ie Cunhong
lalu mengatur muslihat serta mengundang seorang
temannya yang lain bernama Siang Po-san untuk membantu
Le Khong-thian, di samping itu masih ada pula orang-orang
Tok-liong-pang semuanya meluruk ke Kwi-Iin disana mereka
melaksanakan rencana jahat itu. Semua ini baru kudengar
laporan le Cun-hong kepada paman setelah peristiwa itu
berselang satu bulan. Bagaimana mereka turun tangan, secara
terperinci aku tidak bisa menjelaskan."
In-hujin teringat suatu hal, tanyanya: "It-cu-king-thian
tidak sekongkol dengan kalian?"
Liong Seng-bu melengak, pikirnya: "Eh kenapa perempuan
busuk ini menaruh curiga terhadap It-cu-king-thian malah,
atau sengaja hendak mengorek keteranganku" Berapa banyak
yang dia ketahui?"
"Ada atau tidak, kenapa tidak bicara?" In-hujin
mendesaknya pula.
Pada hal Tan Ciok-sing sedang pasang kuping
mendengarkan, tanpa terasa dia menghela napas enteng.
Betapa licik dan cerdik Liong Seng-bu mendengar suara
helaan napas ini, otaknya yang encer segera berputar,
pikirnya: "Bocah itu pasti sembunyi dalam kamar ini, meski
aku tidak tahu dimana dia sembunyi. Pasti dia pula yang
memberi tahu kejadian yang mengakibatkan kematian In Hou.
Betapa liehay dan sempurna rencana yang diatur paman
dengan Ie dan Le bertiga, tidak heran kalau bocah ini sampai
373 menaruh curiga terhadap It-cu-king-thian, pertanyaan
perempuan busuk ini menitik beratkan ke persoalan ini, pasti
bocah itulah yang ingin tahu. Baiklah, kutipu mereka pula
dengan melimpahkan kesalahan kepada orang," sengaja dia
ragu-ragu dan plegak pleguk, katanya: "Bibi, maksudmu...!"
"It-cu-king-thian Lui Tin-gak, katamu suka bergaul dengan
kaum persilatan, memangnya kau tidak pernah mendengar
nama besarnya?"
Liong Seng-bu pura-pura teringat, katanya: "Oh, ya,
teringat aku sekarang. It-cu-king-thian Lui Tin-gak memang
ikut merencanakan muslihat itu, malah dialah yang menjadi
biang keladinya."
"Siapa yang memberitahu kau akan hal ini?"
"Secara kebetulan kudengar pembicaraan paman dengan
utusan Ie-cengcu."
"Apa yang mereka bicarakan?"
"Paman berpesan pada orang itu bahwa It-cu-king-thian Lui
Tin-gak adalah orang kita sendiri. Supaya mereka tidak usah
takut dan jeri padanya, setiba di Kwi-lin boleh berunding
dengan dia. Kudengar orang itu berkata: "Kalau demikian, In
Hou janji bertemu dengan Tam Pa-kun di rumah Lui Tin-gak,
bukankah berarti mereka masuk jaring sendiri?"
"Apa betul kau mendengar mereka bicara demikian" Aku
tidak percaya bahwa It-cu-king-thian sehaluan dengan kalian."
'"Kalau bibi tidak percaya aku tak bisa berbuat apa-apa.
Tapi memang waktu itu aku dengar bicara demikian."
"Dan akhirnya bagaimana?" "Kebetulan aku lewat dan
mendengar pembicaraan ini, tak berani aku mencuri dengar
lama-lama diluar kamar, bagaimana akhir pembicaraan
mereka, aku tidak tahu."
374 "In Tayhiap sudah jadi korban, kalian masih belum puas,
kenapa bocah she Tan itu juga kalian kejar?"
"Karena hanya dia saja yang tahu akan kematian In
Tayhiap, golok dan buku pelajaran ilmu golok milik In Tayhiap
berada di tangannya. Aku ingin rebut kembali barang-barang
itu dan serahkan kepada adik San."
"Jadi kau ini agaknya berbudi dan baik hati terhadap kami
ibu dan anak?"
"Bibi, jangan salah paham bila keponakan bicara terus
terang. Tindakan paman kali ini memang agak kejam, tapi
kenyataan adalah demi kepentingan. Paman sekarang adalah
Kiu-bun-te-tok, tak lama lagi bakal naik pangkat, sebagai
isterinya kedudukanmu akan ikut naik setingkat pula. Bahwa
paman menyingkirkan In Hou, adalah mengharap kau bisa
hidup tenang dan tenteram didalam keluarga Liong kita
sampai hari tua."
Hampir meledak dada In-hujin, dampratnya dengan kertak
gigi: "Binatang, kalian paman dan keponakan memang hewan.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku telah salah melangkah, menyesal juga sudah terlambat,
meski jiwaku harus melayang, sakit hati ini harus kutuntut
pada dirimu," tiga jari tangan kanan menekan urat nadi,
sementara telapak tangan kiri pelan terangkat hendak
menepuk batok kepala orang. Keruan serasa terbang arwah
Liong Seng-bu, ingin dia minta tolong, tapi dia insaf bila
berteriak mungkin jiwanya mati lebih cepat. Pada saat kepepet
ini tiba-tiba timbul akalnya, serunya: "Bibi, tidak jadi soal aku
mati, kuatirnya adik San..."
Telapak tangan In-hujin tinggal satu dim di atas kepalanya,
mendengar kata-katanya segera dia berhenti, tanyanya: "Anak
San sudah tidak berada di Tay-tong, memangnya kalian bisa
berbuat apa atas dirinya?"
"Terus terang, paman mengutus beberapa kelompok orang
kemari. Dua hari yang lalu adik San menyamar laki-laki keluar
375 dari Tay-tong, orang kita sudah mengikuti jejaknya, untuk
membuktikan laporan ini, maka bersama Ciok dan San kedua
anak buah paman aku kemari memeriksa. Bibi, kau boleh
membunuhku, kau sendiripun tak akan bisa lolos. Adik San
ketangkap orang kita, paman pasti akan membunuhnya juga
untuk menuntut balas sakit hatiku. Bibi, kau masih bisa
berpikir secara sehat, kau harus memikirkan untung ruginya.
Kalau bibi tidak ingin pulang ke damping paman, boleh kau lari
ke tempat yang jauh, meski paman marah takkan bisa berbuat
apa-apa." In-hujin menjadi ragu dan merandek setelah mendengar
bujukan Liong Seng-bu.
Urat nadi Liong Seng-bu sebetulnya tertekan oleh tiga jari
In-hujin, tiba-tiba dirasakan olehnya jari-jari itu rada gemetar,
tenaga tekanan juga rada mengendor, ini menandakan bahwa
hatinya terguncang. Pada detik menentukan mati hidup ini,
tiba-tiba timbul setitik harapan, sudah tentu Liong Seng-bu
tidak sia-siakan kesempatan ini! Segera dia merendahkan
pundak sambil meronta sekuatnya sehinga terlepas dari
cengkraman In-hujin, malah dua jarinya balas menutuk.
Memang In-hujin sedikit teledor sehingga berbalik kena
kecundang. Dulu, dia pernah mengajar Kungfu kepada Liong
Seng-bu, dikiranya kepandaian Liong Seng-bu yang terbatas
ini, pasti takkan lolos dari tangannya. Diluar tahunya bahwa
sejak tiga tahun yang lalu Liong Seng-bu pernah merebut
beberapa lembar tulisan pelajaran Bu-bing-kiam-hoat karya
Thio Tan-hong dari tangan Tan Ciok-sing. Walau yang
diperolehnya tidak lengkap, tapi berdasar kecerdikannya
sendiri selama tiga tahun ini dia pelajari dengan tekun, di kota
raja dia sering ajak adu kepandaian dengan jago-jago silat
pamannya, maka kepandaiannya sekarang sudah jauh lebih
tinggi. Tapi dihadapan In-hujin dia berpura-pura rendah.
Perasaan In-hujin sedang tergoncang, tak terpikir olehnya
bahwa sang tawanan bakal berontak, karena tidak siaga tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
376 tahu jalan darah di dadanya kena ditonjok sekali, seketika dia
rasakan badannya kesemutan.
"Kunyuk kurang ajar," hardik In-hujin, sekaligus telapak
tangannya terbalik, telapak tangannya mengiris keluar dengan
sisa tenaganya, maka terdengar suara "Brak" yang cukup
keras, Liong Seng-bu kena digetar sungsang sumbel oleh
tenaga pukulan ini, badannya menumbuk daun pintu. "Biang"
tahu-tahu daun pintu ditendang terpentang dari luar. Baru
saja Liong Seng-bu hendak berteriak minta tolong, kedua
perwira yang datang bersamanya itu sudah menerjang masuk.
Ternyata kedua orang ini hanya mengiakan saja atas
perintah In-hujin, sengaja dengan langkah berat berjalan pergi
lalu ngeluyur balik dengan langkah ringan, serta mendekam
diluar pintu mencuri dengar pembicaraan didalam kamar,
mereka maklum jiwa Liong Seng-bu berada digenggaman Inhujin,
maka tak berani mereka bertindak gegabah, baru
sekarang tanpa pikirkan akibatnya mereka menerjang masuk.
Meski dalam keadaan sakit, betapapun kepandaian dan
lwekang In-hujin masih lebih tinggi dibanding Liong Seng-bu,
cukup dia memutar tiga kali hawa murni dalam tubuh, hiat-to
yang tertutuk sudah lancar kembali. Namun karena ini dia
cukup memeras tenaga, meski hiat-to yang tertutuk sudah
bebas, tapi badan bagian bawah masih dalam keadaan
lumpuh. Sambil memapah Liong Seng-bu, Ciok Khong-goan berkata:
"Kongcu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa," seru Liong Seng-bu sengit, "lekas kalian
bekuk perempuan busuk itu."
"Kurang ajar, siapa suruh kalian masuk, lekas enyah dari
sini," bentak In-hujin.
Tawar suara Sa Thong-hay: "Hujin sedang sakit, jangan
mengumbar amarah. Harap Hujin ikut kami berangkat ke kota
raja saja."
377 "Siapa Hujin kalian itu?" damprat In-hujin, "pulanglah
kalian dan beritahu kepada Liong Bun-kong, aku tidak akan
kembali pula ke rumah keluarga Liong."
Sa Thong-hay menyeringai, katanya: "Kalau kau tidak sudi
jadi Liong-hujin, maka jangan kau salahkan kalau kami
bertindak kepadamu," sembari bicara kakinya melangkah maju
mendekat di pinggir ranjang In-hujin.
Tiba-tiba Liong Seng bu teringat, teriaknya: "Awas, dalam
kamar ini ada sembunyi seorang lagi."
Belum habis dia bicara Tan Ciok-sing tendang almari terus
melompat keluar. Sa Thong-hay sedang mengulur tangan
hendak mencengkeram In-hujin, tiba tiba dia rasakan angin
kencang menyerang dari belakang, ternyata Tan Ciok-sing
menyerang dengan sejurus tusukan pedang.
Memang tidak malu Sa Thong-hay memiliki kepandaian
tinggi, dalam keadaan genting ini dia masih sempat membalik
tangan menangkap ke belakang, ternyata dengan balas
menyerang dia lawan serangan musuh, dengan tangan kosong
dia hendak merebut pedang pusaka Tan Ciok-sing. Jurus Kimna-
jiu ini mencengkeram ke urat nadi di pergelangan tangan
Tan Ciok-sing, untung Bu-bing-kiam-hoat yang diyakinkan Tan
Ciok-sing memang khusus untuk menghadapi serangan secara
mendadak serta dapat bergerak mengikuti perubahan yang
dihadapinya, segera langkah menggeser berganti posisi, ujung
pedangnya melingkar menggaris sebuah bundaran kecil
memapas pergelangan tangan lawan yaug terjulur tadi.
Cengkeraman luput Sa Thong-hay sekaligus turunkan telapak
tangan kiri terus membelah ke sikut Tan Ciok-sing. Dengan
jurus jun-hun-ka-jan, cahaya pedangnya berderai melebar
dengan getaran yang menyilaukan, sehingga Sa Thong-hay
kena didesaknya mundur dua langkah.
Betapapun didalam kamar menghambat gerak-gerik, sukar
untuk mengembangkan kepandaian sejati, sebagai jago Taylik-
ing-jiau-kang, dengan tangan kosong tak mungkin Sa
378 Thong-hay kuat melawan pedang pusaka Tan Ciok-sing. Lekas
Ciok Khong-goan menubruk maju sambil mencabut golok.
Golok Tan Ciok-sing bergerak enteng dan lincah, jurus hianniau-
hoat-sa yang kelihatan sepele ini tiba-tiba dilancarkan
menyerang Sa Thong-hay, tapi sasaran yang diincarnya
justeru Ciok Khong-goan yang menyerang tiba. Di tengah deru
pukulan telapak tangan dan samberan kilat pedang, tampak
Tan Ciok-sing bergerak setangkas kera, badan bergerak
mengikuti laju pedang, secara mendadak pedangnya menusuk
ke dada Ciok Khong-goan dari arah dan posisi yang tak terpikir
oleh lawan. Ciok Khong-goan juga termasuk jago dalam
memainkan golok cepat, tapi ilmu pedang Tan Ciok-sing jelas
lebih rumit dan liehay sukar dijajaki, bahwa kagetnya secara
reflek dia tarik goloknya menangkis "Trang" tahu-tahu ujung
kepala goloknya terpapas kutung oleh Ceng-bing-kiam.
Sebagai ahli silat Sa dan Ciok cukup tahu bergebrak didalam
kamar bahayanya berlipat ganda bagi pihak mereka, apalagi
lawan memakai senjata pusaka, umpama mereka tidak sampai
kalah, akhirnya mungkin bisa gugur bersama. Adalah logis bila
dua jagoan yang sedang bertempur memikirkan juga jalan
mundur keselamatan dirinya sesuai situasi yang ada. Maka
tanpa berjanji kedua orang ini berlari keluar dari kamar tidur
In San, teriaknya: "Bangsat cilik, kalau berani hayo keluar."
Lega hati Tan Ciok-sing, katanya: "Pek-bo, kau?"
"Aku tidak apa-apa. Lekas libat mereka supaya tidak
melarikan diri," In-hujin yakin dalam jangka setengah jam dia
sudah cukup waktu untuk melancarkan seluruh jalan
darahnya, bila kedua kaki sudah leluasa bergerak, maka dia
bisa membantu Tan Ciok-sing melabrak musuh-musuh itu.
Terdengar Liong Seng-bu menjengek diluar: "Perempuan
busuk, anakmu sudah sebesar itu, ternyata masih juga kau
tidak malu main pat-gulipat disini, sungguh tidak tahu malu."
379 Saking gusar In-hujin sampai memuntah sekumur darah,
bentaknya: "Bunuhlah anjing keparat itu. Sungguh aku
menyesal kenapa tadi tidak kucabut jiwanya."
"Memangnya, kalau mampu hayo keluar dan bunuh kami
bertiga," ejek Sa Thong-hay, "kalau kau tidak keluar, biar
kukubur kalian sepasang laki-laki perempuan anjing ini hiduphidup."
"Wut" dengan kepalannya tiba-tiba dia menggempur
ke dinding. Yang diyakinkan adalah Tay-Iik-ing-jiau-kang,
betapa dahsyat tenaga pukulannya, seketika dinding jebol dan
runtuh berhamburan, dua batu bata mencelat kesana hampir
saja menjatuhi harpa yang berada di atas toilet.
Tan Ciok-sing gusar, harpa itu segera dia buntal dan
digendong, katanya: "Pek-bo, aturlah pernapasan dan
kerahkan hawa murni tak usah pecah perhatian atas diriku.
Kedua cakar alap-alap ini aku mampu menghadapi mereka,"
tiba-tiba dia gerakkan tangannya, dengan jurus Me-can-pathong
seluruh tubuh terbungkus dalam libatan cahaya pedang
terus menerjang keluar pintu. Liong Seng-bu berjingkat kaget
serta putar badan menyingkir ke tempat jauh.
"Biar bocah keparat ini tahu keliehayanku," bentak Sa
Thong-hay, kini dia sudah memegang sebatang kipas lempit
yang terbuat dari besi baja. Dengan jurus Bek-hong-koan-jit
pedang Tan Ciok-sing menusuk lambung musuh. Dengan
kipas lempitnya Sa Thong-hay menangkis serta menuntunnya
keluar, secara pas-pasan dia geser tenaga serangan pedang
Tan Ciok-sing ke samping sehingga pedang Tan Ciok-sing
tersampuk minggir.
Inilah tenaga lunak untuk mengalahkan kekerasan yang
meminjam tenaga untuk memunahkan tenaga. Umumnya
orang yang meyakinkan Tay-lik-ing-jiau-kang jarang yang
memiliki landasan latihan lwekang. Tan Ciok-sing tidak
menduga bahwa lawan yang satu ini ternyata mahir lwekang,
hampir saja dia kena kecundang, untung Bu-bing-kiam-hoat
yang diyakinkan itu khusus memang untuk melayani segala
380 perubahan mengikuti situasi yang ada, maka meneruskan laju
pedangnya tiba-tiba pedang panjang tadi melingkar sekali
memunahkan daya lengket dari kipas lawan begitu berubah
permainan pedangnya dari jurus Pek-hong-koan-jit dia rubah
menjadi Kiau-hu-bun-Io (pencari kayu tanya jalan), pedang
menyapu bagian bawah Sa Thong-hay. Kipas Sa Thong-hay
ditarik melempit terus ditekan turun, "Trang" pedang dan
kipas beradu menimbulkan percikan lelatu api. Dalam jurus
bentrokan ini walau Sa Thong-hay tidak mampu mengeser
pedang lawan, namun tenaganya sudah terpunahkan sebagian
besar, sehingga Tan Ciok-sing tidak mampu menusuk lobang
kipas besi orang.
Melihat kawan tidak kuasa mengalahkan lawan cilik ini,
sudah tentu Ciok Khong-goan tidak tinggal diam, sambil
menghardik sekali di bawah permainan goloknya dia selingi
pukulan tangan Tan Ciok-sing dirangsaknya dengan sengit.
Menghadapi dua musuh dari dua jurusan sedikitpun Tan Cioksing
tidak merasa jeri pedang ditarikan turun naik dengan
gerak kecepatan luar biasa memainkan jurus-jurus pedang
ciptaan gurunya lagi, dengan leluasa dia masih mampu
menghadapi keroyokan kedua orang ini. Malah dirabu oleh
gerakan pedang cepat Tan Ciok-sing, Sa Thong-hay tidak
mampu lagi mengembangkan gwakangnya, sementara Ciok
Khong-goan paling juga hanya mampu bertahan saja.
Kepandaian Ciok Khong-goan memang tidak setingkat Sa
Thong-hay yang mampu meyakinkan lwekang dan gwakang,
betapapun dia sudah termasuk jago liehay, sudah menjadi
incaran Tan Ciok-sing hendak memukul roboh dulu pada
sasaran yang lemah ini, sejauh itu usahanya tetap gagal.
Permainan golok dicampur pukulan Ciok Khong-goan memang
cocok untuk menghadapi gerak pedang kilat Tan Ciok-sing,
tapi untuk balas menyerang jelas tidak mungkin, kalau untuk
bertahan dalam jangka tertentu dia masih mampu membela
diri. 381 Liong Seng-bu sudah lari puluhan langkah, waktu dia
berpaling dilihatnya Sa dan Ciok berdua tidak kelihatan lebih
asor, maka dia tenangkan hati pelan-pelan dia putar balik
mendekati arena pertempuran.
Tan Ciok-sing mencegat di pintu, bentaknya: "Liong Sengbu,
berani kau selangkah memasuki pintu ini, biar kubunuh
kau lebih dulu."
Tapi didalam In-hujin berkata dingin: "Biarkan saja dia
masuk, tak usah kau menghalanginya, silahkan saja masuk
kemari," Sudah tentu Liong Seng-bu tahu betapa liehaynya In-hujin,
meski dalam keadaan sakit, tadi kena tutukan jarinya lagi,
namun dia masih jeri untuk mendampinginya.
"Liong-kongcu," seru Sa Thong-hay. "Lekas kau lari minta
bantuan, balai kota kan tidak jauh dari sini."
Liong Seng-bu tersentak sadar oleh peringatan ini, pikirnya:
"Ya kenapa tidak aku kerahkan tentara kemari" Kurasa militer
di Tay-tong kan pengagum paman."
In-hujin lebih terkejut mendengar percakapan ini, dalam
jangka setengah jam dengan taraf lwekang In-hujin sekarang
sebetulnya dia sudah mampu melancarkan hawa murninya,
tapi karena pikiran gundah hati risau, hawa murni sukar
dihimpun, sehingga rasa linu dan pati kedua kakinya
bertambah parah.
Sementara Tan Ciok-sing yang menghadapi kedua
musuhnya di pekarangan lama kelamaan merasa payah,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semangat tempur masih gigih tapi tenaga semakin terkuras.
Suatu ketika pedangnya menusuk ke leher Ciok Khong-goan,
lawan menegakkan golok menangkis "Trang" pedangnya kena
disampuk pergi, golok lawan ternyata tidak kurang suatu apa,
sebat sekali pedang Tan Ciok-sing sudah melintir balik,
maksudnya hendak menusuk hiat-to lawan dari arah yang tak
382 terduga, hasilnya serambut lebih lambat sehingga tusukannya
gagal. Padahal Ciok Khong-goan sudah dibuat silau oleh cahaya
pedang, untuk berkelit jelas tidak mungkin. Tak nyana ujung
pedang lawan tahu-tahu menyelonong ke samping, hanya
terpaut serambut itu hiat-tonya tidak sampai tertusuk. Begitu
tenang perasaan dan pikiran Ciok Khong-goan seketika
berteriak girang: "Bocah ini sudah kepayahan."
Kipas Sa Thong-hay mengetuk dan mengebas terbuka,
beruntun dia bebaskan tiga jurus serangan rangkaian pedang
Tan Ciok-sing. Tiga serangan pedang berantai ini masih cukup
kencang gerakannya, tapi dibanding tadi jelas sudah jauh
lebih lambat dan lemah. Karuan Sa Thong-hay ikut senang,
serunya: "Betul, tak perlu kita adu jiwa dengan bocah ingusan
ini, hayo kuras saja tenaganya, libat terus jangan sampai
melarikan diri."
Yang benar dengan bekal ginkang dan kemahiran ilmu
pedangnya yang liehay, walau saat itu dia sudah hampir
kehabisan tenaga, untuk melarikan dia masih cukup
berlebihan. Tapi di kamar masih ada In-hujin yang tidak
mampu berjalan, bagaimana mungkin dia melarikan diri tanpa
memikirkan tentang keselamatan orang. Oleh karena itu
sekuatnya dia mengempos semangat untuk bertahan matimatian.
Jeri menghadapi permainan pedangnya yang liehay
sukar diraba, Sa dan Ciok berdua juga tidak berani terlalu
mendesak. Tanpa merasa pertempuran ini sudah berselang
hampir setengah jam, badan Tan Ciok-sing basah kuyup
keringatnya gemerobyos, gerakan pedangnya boleh dikata
tanpa dilandasi kekuatan tenaga dalam lagi. Kiranya untuk
membantu penyembuhan penyakit In-hujin, dia harus
menyalurkan Iwekangnya, tidak sedikit hawa murninya yang
terkuras, dalam kondisi yang semakin lemah ini, akibatnya
pihak musuh semakin mengganas dan pihak sendiri semakin
payah kehabisan tenaga.
383 Di saat-saat tegang ini, tiba-tiba terdengar derap lari kuda
yang kencang dari kejauhan. Derap kaki kuda yang kacau
balau dan gaduh suaranya, bagi yang berpengalaman sekali
dengar akan lantas tahu bahwa kuda yang dicongklang
mendatangi sedikitnya ada belasan.
Ciok Khong-goan tertawa tergelak-gelak, serunya: "Nah itu
pasukan pemerintah sudah tiba, coba bocah keparat kau ini
mau lari kemana?" Padahal keadaan Tan Ciok-sing sudah
ibarat pelita yang sudah kekeringan minyak, umpama pasukan
pemerintah tidak datang, jelas diapun takkan bisa meloloskan
diri lagi. Belum lagi gelak tawa Ciok Khong-goan lenyap, di atap
rumah tiba-tiba didengarnya kesiuran angin lambaian pakaian
manusia. Mereka bertempur di pekarangan, Sa dan Ciok
menghadap ke kamar dimana In-hujin berada, mendadak
dilihatnya sesosok bayangan orang seperti elang menukik
turun dari arah taman belakang sana terus meluncur lenyap
kedalam kamar. Bayangan itu lenyap di antara paya-paya di
sebelah sana dimana merupakan samping kamar yang
terdapat sebuah jendela, mungkin orang itu sudah menerobos
masuk kedalam. Sa dan Ciok tidak tahu siapa pendatang ini,
tapi Liong Seng-bu sudah mengundang bala bantuan, mungkin
orang itu adalah jago kosen yang diundang Liong Seng-bu,
meski hati merasa kaget, namun hati mereka tidak gugup. Tan
Ciok-sing yang membelakangi kamar sudah tentu tidak melihat
berkelebatnya bayangan hitam. Tapi kupingnya cukup tajam,
diapun mendengar lambaian baju seseorang yang melayang
pesat di atap rumah. Seperti juga kedua lawannya, Tan Cioksing
menduga orang yang menerjang masuk ke kamar Inhujin
adalah bala bantuan yang diundang Liong Seng-bu untuk
membekuk In-hujin. Karuan hatinya gugup, permainannya pun
kacau balau. Mendadak didengarnya sebuah suara yang seperti sudah
amat dikenalnya tersiar dari kamar: "Te-moay, tak usah
384 gugup, mari kubawa kau keluar." Disusul suara In-hujin
setengah berteriak dengan nada kaget dan senang: "Tamtoako
kaukah. Tam-toako, aku, aku malu berhadapan dengan
kau." Mendengar panggilan "Tam-toako" kedua pihak yang lagi
berhantam di pekarangan sama-sama melengak. Terutama Sa
dan Ciok lantas berjingkat kaget, sebaliknya Tan Ciok-sing
kegirangan setengah mati. Orang yang setimpal dipanggil
Tam-toako oleh In-hujin, kecuali Kim-to-thi-ciang Tam Pa-kun
memangnya siapa lagi"
Sebetulnya kipas lempit Sa Thong-hay sudah bergerak
menutuk Ih-khi-hiat di bawah ketiak Tan Ciok-sing di kala
yang diserang ini lagi tertegun, namun karena sedikit
melengak ini, tutukannya jadi menceng, meski menyentuh
tubuh Tan Ciok-sing, namun yang kena sisi hiat-to yang tidak
berbahaya. Kontan Tan Ciok-sing merasa ketiaknya sakit dan
linu, namun gerak-geriknya tidak menjadi terhalang
karenanya. Mendadak pedangnya malah berputar balik
menyampuk kipas lawan itu terus menggaris miring kesana,
baju Ciok Khong-goan kena ditabasnya sobek secuil. Karena
kaget Ciok Khong-goan lekas melompat mundur dengan
gerakan gugup. Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak meleset, orang yang
baru datang dan masuk ke kamar tidur In San memang bukan
lain adalah Tam Pa-kun. Didengarnya Tam Pa-kun berkata
dengan suara lirih: "Manusia mana yang tidak pernah berbuat
salah, tahu salah bisa merubah dan mengoreksi diri, betapa
bajik hatinya itu. Te-moay, urusan yang sudah lalu jangan kau
singgung lagi, marilah lekas ikut aku ke markas Kim-to Cecu,
sebentar lagi pasukan pemerintah sudah akan kemari."
In-hujin tertawa kecut, katanya: "Jangan kata aku tidak
mampu bergerak, umpama mampu bergerak aku juga tiada
muka berhadapan dengan teman-teman Hou-ko."
385 Baru sekarang Tam Pa-kun kaget, tanyanya: "Jadi Te-moay
sudah terluka?"
"Lekaslah kau bantu pemuda itu, tak usah kau hiraukan
diriku," kata In-hujin.
Dengan cermat Tam Pa-kun mengawasi dan memeriksa,
didapatinya kaki orang yang lumpuh, katanya: "Ah, tidak jadi
soal," jari tengahnya terulur terus menutuk ke Hoan-tiau-hiat
di lutut In-hujin, seketika In-hujin merasa Siau-yang-king-meh
di bagian kakinya bergetar, maka hawa murni yang sejak tadi
sudah terhimpun di pusar seketika mengalir kencang ke
bagian bawah tubuhnya, tanpa merasa segera dia bergerak
turun dan berdiri. Maklum Tam Pa-kun adalah ahli silat, sekali
pandang lantas dia tahu bahwa In-hujin tertutuk hiat-tonya,
meski sudah berusaha menghimpun hawa murni dan hiat-to
sudah terbuka, namun hawa murni itu nyasar ke arah yang
berbeda, sehingga kedua kakinya menjadi lumpuh sementara.
Bahwa In-hujin sudah memiliki kepandaian silat yang bertaraf
tinggi masih mengalami kesalahan ini, dapatlah dibayangkan
pasti karena pikirannya sedang kacau.
Tam Pa-kun keluarkan golok emasnya yang masih
bersarung, gagang golok dia angsurkan kepada In-hujin,
katanya: "Jangan kau banyak pikiran, urusan tidak boleh
ditunda lagi, lekas pergi bersamaku." Ilmu silat In-hujin belum
pulih, tapi kedua kakinya sudah bisa jalan. Diluar terdeagar
ringkik kuda dan teriakan orang banyak, ternyata pasukan
kuda pemerintah telah datang dan mengepung rumah
keluarga In. Terdengar suara Liong Seng-bu sedang berteriak: "Jangan
terburu-buru masuk ke rumah, kita tunggu saja diluar, bila
bangsat itu lari keluar, kita bidik dia dengan panah."
Pemimpin barisan kuda, bertanya: "Kalau dia tidak lari
keluar bagaimana?"
386 Liong Seng-bu tertawa tergelak-gelak, katanya: "Apa
susahnya, kita bakar rumahnya." Lalu dia berteriak lantang:
"Sa-jongling, Ciok-tuthau, kalian sudah bekuk bangsat kecil itu
belum" Kalau belum boleh kalian keluar saja."
Tan Ciok-sing tahu Tam Pa-kun sebentar akan keluar,
sudah tentu dia tidak memberi peluang kepada kedua
lawannya untuk mengundurkan diri. Segera dia mengempos
semangat dan labrak kedua lawannya dengan sengit, "Sret,
sret" beruntun dia lancarkan dua jurus serangan pedang, ke
kiri dia tusuk perut Sa Thong-hay, ke kanan dia menusuk mata
Ciok Khong-goan.
Karuan Sa Thong-hay naik pitam, serunya: "Baiklah, kita
bekuk dulu bocah keparat ini baru nanti menempur Tam Pakun."
Belum habis dia bicara, tampak Tam Pa-kun dengan
memegang ujung golok emasnya sudah berjalan keluar
menyeret In-hujin.
Kata In-hujin: "Tam-toako, jangan kau hiraukan aku, lekas
kau bantu pemuda itu," dalam waktu yang mendesak begini
tidak sempat dia menjelaskan siapa sebenarnya Tan Ciok-sing,
terpaksa dia desak Tam Pa-kun membantu Tan Ciok-sing
untuk sama-sama meloloskan diri.
Sebagai jago kelas wahid sekilas pandang Tam Pa-kun
lantas tahu, diam-diam hatinya heran, pikirnya: "Ilmu pedang
pemuda ini amat bagus dan menakjubkan, jauh berbeda
dengan ilmu pedang pada umumnya, sayang tenaganya sudah
lemah, kalau tidak sejak tadi dia sudah mampu mengalahkan
kedua musuhnya. Aneh, ada angkatan muda seliehay ini
muncul di kalangan Kangouw, kenapa sejauh ini aku tidak
tahu?" Maklumlah pertemuan Tan Ciok-sing dan Tam Pa-kun pada
malam hari di Cit-sing-giam tempo dulu, Tam Pa-kun sudah
terluka cukup parah oleh panah beracun, racun sudah
387 menjalar sehingga kedua matanya hampir buta. Waktu itu Tan
Ciok-sing memang bicara dengan dia, tapi wajah orang dia
belum pernah melihat. Hakikatnya dia juga tidak pernah
menduga, setelah berselang tiga tahun, bocah cilik yang dulu
berkepandaian cakar ayam kini memiliki ilmu pedang taraf
tinggi seliehay ini. Kuatir Kungfu In-hujin belum pulih, maka
Tam Pa-kun tidak berani meninggalkan In-hujin, katanya:
"Apa susahnya menghadapi kedua bangsat busuk ini," habis
kata-katanya sebelah tangannya segera menghantam dengan
Bik-khong-ciang, jaraknya masih tujuh langkah, namun
damparaan angin pukulannya bikin golok Ciok Khong-goan
tertolak minggir, kontan dia rasakan dada seperti diterjang
batu raksasa, sebelum sempat berteriak, begitu mulut
terpentang darah segar sudah menyembur sebanyakbanyaknya,
tubuhnya mencelat sempoyongan, untung dia
masih kuat menguasai tubuh hingga tidak sampai terjungkal
roboh. Sa Thong-hay memiliki lwekang lebih tinggi toh limbung
juga dibuatnya, lekas dia membentang kipas besi terus
mengiris ke pergelangan tangan Tam Pa-kun yang memegang
ujung golok. Kipas lempitnya pinggirnya tajam bagai pisau,
bergerak dalam jarak dekat dapat digunakan sebagai golok
bergigi. Dia kira Tam Pa-kun hanya mampu bergebrak dengan
sebelah tangan kiri saja, maka dia berani menyerang titik
kelemahan orang.
Tak nyana gerak-gerik Tam Pa-kun cepat luar biasa, begitu
tumit menggeser sambil berputar, tangan kanan tetap
memegang ujung golok, sementara ke lima jari tangan kiri
terangkap telapak tangan melintang terus membabat laksana
golok, kebetulan sasarannya mengincar tetap ke arah kipas Sa
Thong-hay. Tenaga dikerahkan di ujung jari terus disodokan
sekerasnya. Betapa pun liehay lwekang Sa Thong-hay yang
bisa lunak dapat keras itu, ternyata tak mampu memunahkan
terjangan kekuatan tangannya ini.
388 "Plak" telapak tangan Tam Pa-kun yang terdiri darah
daging itu ternyata tembus melobangi kipas lempit Ciok
Khong-goan yang terbuat dari baja murni, hebat memang
tenaganya yang masih tersisa cukup besar ini masih
merenggut lengan orang, jari-jarinya yang berkuku tajam
melukai lengannya sampai kulit dagingnya cecel dowel, darah
bercucuran. Sudah tentu Sa Thong-hay tak kuasa menghadapi
terjangan pukulan tangan dahsyat ini, tubuhnya seperti bola
yang ditendang mencelat terbang melayang melampaui pintu
luar. Untung ilmu silatnya cukup tinggi, di tengah udara dia
masih berusaha kendalikan tubuh sekali gerak dengan gaya
burung dara jumpalitan, dengan ringan kedua kakinya hinggap
di tanah, namun lekas dia menungging sambil berkaok-kaok
kesakitan. Melihat bola daging manusia mendadak terlempar keluar,
belum lagi tentara pemerintah diluar melihat jelas siapa orang
yang terlempar keluar, beberapa tentara yang beradat
berangasan segera pentang busur terus membidik. Pintu besar
sudah terpentang lebar, dari dalam tampak berlari sipat
kuping seorang lagi, dia memutar golok bajanya meruntuhkan
panah-panah yang dibidikan ke arah Sa Thong-hay,
bentaknya: "Kalian sudah picak semua" Sembarang membidik
orang." Liong Seng-bu terperanjat, lekas dia membentak: "Lekas
berhenti, itulah Sa Tayjin dan Ciok Tayjin." Yang ikut
menerjang keluar di belakang Sa Thong-hay ternyata Ciok
Khong-goan adanya. Dadanya sesak setelah muntah darah
diterjang angin pukulan jarak jauh Tam Pa-kun, karuan pecah
nyalinya terus lari sipat kuping. Tapi Sa Thong-hay yang
dilempar keluar larinya lebih cepat lagi.
Sungguh kejut dan girang hati Ciok-sing yang masih berada
di pekarangan, lekas dia memberi hormat kepada Tam Pa-kun,
Tam Pa-kun tak sempat banyak bicara, dia hanya berpesan:
"Adik cilik, tolong kau bantu membuka jalan lekas kita terjang
389 keluar kepungan." Pedang yang dibawa Tan Ciok-sing adalah
pedang mustika dengan bekal kepandaian ilmu pedangnya,
pasti takkan terluka oleh serbuan hujan panah. Lalu dia


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menoleh dan berkata pula: "Te-moay, apakah sekuatnya kau
masih mampu mengembangkan ginkang?" In-hujin manggutmanggut.
Lwekangnya memang belum pulih, namun ginkang
tidak memerlukan banyak tenaga, sekuatnya dia masih
mampu mengembangkan kepandaiannya ini.
Tam Pa-kun mengangguk, katanya: "Baiklah, mari ikut aku
naik ke rumah," golok bersarung itu dia anggap sebagai
tongkat untuk menggandeng In-hujin, mereka berdua
berbareng menjejak bumi terus mengapung tinggi ke atas
rumah, mendapat daya tuntunan dan tarikan melalui golok
yang dipegangnya, dengan enteng In-hujin dapat hinggap di
atas rumah. Dalam pada itu dengan memutar kencang pedang laksana
baling-baling Tan Ciok-sing menerjang keluar secepat angin
Iesus. Baru saja Sa Thong-hay berdiri tegak belum lagi
kakinya beranjak tahu-tahu Tan Ciok-sing sudah menerjang
keluar di belakangnya.
Sudah tentu pasukan pemerintah itu tak berani
sembarangan membidik lagi. Lekas Ciok Khong?goan gerakan
golok menghadang, kini tenaga kedua pihak sudah sama-sama
lemah, kalau diukur malah kekuatan Tan Ciok-sing sekarang
lebih unggul. Begitu pedang dan golok beradu, ujung golok
tebal Ciok Khong-goan kembali terpapas kutung sebagian lagi.
Sementara rasa kaget dan jeri Sa Thong-hay belum lenyap
maka dia timpukan kipas lempitnya yang sudah rusak bagai
besi rombeng ini ke arah Tan Ciok-sing. Dengan gaya Burung
Hong Mengangguk, Tan Ciok-sing menghindar, berbareng
dengan sejurus gerakan pedang dia balik menyerang lengan
lawan, tapi tahu-tahu ujung pedang sudah mengancam dada.
Sa Thong-hay harus kerahkan setaker kemampuannya
mengebut dengan lengan bajunya. "Bret" lengan bajunya
390 terpapas robek, tapi pedang Tan Ciok-sing kena disampuk
miring ke pinggir. Tan Ciok-sing tidak ingin terlibat dalam
pertempuran sengit pula, setelah berhasil membebaskan diri
dari libatan kedua musuh ini, dia menerjang ke barisan
pasukan pemerintah yang mengepung disekeliling
pekarangan. Di kala perhatian pasukan pemerintah tertuju ke
arah Tan Ciok-sing itulah, Tam Pa-kun telah berlompatan
bagai burung terbang menubruk turun. Seorang perwira paling
depan menjadi sasaran empuk baginya, sekali tempeleng dia
pukul jatuh perwira itu terus merebut kuda tunggangannya,
serta menyambut In-hujin yang ikut lompat turun di
belakangnya, lekas dia telah berhasil merebut seekor kuda
untuk tunggangan In-hujin.
Ada seorang tentara tidak tahu keliehayan Tam Pa-kun,
dengan kencang dia berusaha mengudak. Tam Pa-kun
membentak: "Biar kau tahu keliehayan golok emasku," dimana
sinar emas berkelebat, batok kepala tentara yang mengudak
datang ini seketika mencelat tinggi ke udara, darah
menyemprot dari lehernya yang sudah protol kepalanya. Tam
Pa-kun kembalikan golok kedalam sarungnya, bentaknya
sambil tertawa dingin: "Siapa lagi yang tidak takut mati, hayo
maju," tentara yang terpenggal terhitung salah seorang
pemberani dan gagah perkasa di medan laga, di kalangan
tentara pemerintah dia cukup terpandang dan disanjung pula
oleh temannya. Kini hanya sekali ayun golok musuh telah
membunuhnya, karuan ciut nyali tentara yang lain, siapa lagi
yang berani mengejar" Tam Pa-kun di belakang dan
melindungi In-hujin melarikan diri.
Liong Seng-bu gusar, teriaknya: "Takut apa lepaskan
panah." Tam Pa-kun menyeringai dingin, sekali raih dia pegang satu
batang panah, dengan gerakan menyambit dia timpuk balik
panah ini dengan kekuatan jentikan jari, ini ternyata jauh lebih
kuat daya luncurnya dari bidikan panah berbusur, jarak
391 padahal sudah mencapai seratus langkah, namun panah ini
masih melesat kencang ke arah Liong Seng-bu.
Kejut Liong Seng-bu bukan kepalang, untung di
sampingnya berdiri seorang perwira mengayun cambuk
menyampuk panah, panah melenceng ke samping tapi daya
lemparnya yang kencang membuat panah ini menyerempet
dahi Liong Seng-bu dan menancap di pundak seorang perwira
lain yang berdiri di belakangnya. Liong Seng-bu gemorobyos
oleh keringat dingin, mulutnya tidak berani bercuit lagi.
"Tam-toako, pemuda itu..." seru In-hujin gugup.
Tam Pa-kun tersentak sadar, segera dia tarik suara
berteriak: "Adik cilik, setelah lolos kepungan, datanglah ke
markas Kim-to Cecu untuk bertemu," dia kira Sa dan Ciok
berdua sudah terluka, di antara perwira-perwira pemerintah
itu tiada jago kosen lainnya, pasukan berkuda itu takkan dapat
menahannya maka dia tidak ingin In-hujin ikut menempuh
bahaya, lebih penting dia melindungi keluar dari mara bahaya.
In-hujin pernah menyaksikan kepandaian Tan Ciok-sing,
diapun percaya pemuda ini pasti dapat meloloskan diri. Tan
Ciok-sing pernah bilang bahwa tujuannya ke Tay-tong adalah
mencari putrinya kalau tidak ketemu akan mampir ke markas
Kim-to Cecu, sayang dia lupa bahwa Tan Ciok-sing tidak tahu
dimana letak markas Kim-to Cecu itu. Tadi Tam Pa-kun
menggunakan ilmu mengirim suara gelombang panjang
dilandasi lwekang yang tangguh, bicara pada kata terakhir
bayangan mereka berduapun sudah tidak kelihatan.
Pedang Tan Ciok-sing diputar secepat kitiran, jelas dia
sudah hampir menjebol kepungan mendadak dirasakan angin
tajam mengancam gitoknya, sebatang ruyung lemas tahu-tahu
sudah melingkar datang, sebagai seorang persilatan sekali
pandang lantas Tan Ciok-sing tahu penyerang ini merupakan
ahli silat juga.
Secara reflek dia membalik tangan dengan jurus Hing-huntoan-
hong pedang pusakanya menepis miring. Gerakannya
392 sudah cukup cepat, tapi penyerang inipun tidak kalah cepat, di
tengah deru angin kencang ruyung lemas itu tiba-tiba sudah
menggulung balik pula, gerakannya merupakan tipu
permainan ruyung liehay yang dinamakan Wi-hong-sau-liu.
Ukuran ruyungnya ini lebih panjang dari ruyung umumnya,
bila Tan Ciok-sing tidak merubah permainan pedangnya,
umpama ruyung itu terpapas sebagian, tapi dia sendiri pasti
juga kena terbelit. Oleh karena itu dia dipaksa untuk
mengerahkan tenaga mendemonstrasikan kelemasan
pinggangnya, dengan gaya Yan-cu-can-hun tiba-tiba dia
melejit mumbul setombak tingginya.
Penyerang dengan senjata ruyung ini ternyata bukan lain
adalah perwira yang tadi berdiri di samping Liong Seng-bu
serta menyampuk miring panah yang ditimpukkan Tam Pakun.
Orang ini bernama Toh Liok-ki, salah seorang murid didik
dari aliran Utti-pian-hoat. Taraf Kungfunya meski tidak
sebanding Sa Thong-hay, tapi menghadapi Tan Ciok-sing yang
sudah kehabisan tenaga ini, dia masih mampu bertahan sama
kuat alias setanding.
Baru saja beberapa gebrak Tan Ciok-sing menghadapi
ruyung Toh Liok-ki, Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan sudah
memburu tiba pula. Sa Thong-hay membentak: "Anak bagus,
Tam Pa-kun takkan membantumu lagi, coba saja apa kau
mampu lolos dari genggamanku?"
"Wut" begitutiba kontan dia menggenjot ke punggung Tan
Ciok-sing. Walau Sa Thong-hay sudah terluka, tapi di antara
sekian banyak pasukan yang ada kepandaiannya masih
terhitung paling top. Menghadapi musuh di depan dan
belakang, Tan Ciok-sing tahu diri, bila dirinya sampai dilibat
oleh Sa Thong-hay, untuk lolos pasti sukar, tiba-tiba otaknya
yang cerdik mendapat akal, pada detik-detik berbahaya ini, dia
tidak hiraukan pukulan Sa Thong-hay yang membokong dari
belakang, tiba-tiba dia menubruk sekuatnya ke arah Toh Liokki
malah. 393 "Bocah keparat, ingin mampus kau," hardik Toh Liok-ki
kaget, ruyung disendai terus disapu ke pinggang lawan. Pada
detik-detik yang menentukan ini kembali Tan Ciok-sing
bertindak nekad dan untung-untungan, mendadak dia mendak
tubuh sambil berputar terus menjengkang tubuh sambil miring
seperti petani bercocok tanam di tengah ladang, ruyung lemas
itu menyamber lewat di atas punggungnya, secara kebetulan
dia berhasil menghindar dari sapuan ruyung musuh.
Pandangan Toh Liok-ki mendadak jadi silau, saking kaget,
secara reflek dia berusaha melindungi badan tanpa
menghiraukan keadaan sekelilingnya. Dalam seribu
kesibukannya mendadak dia menggunakan gerakan Ular
Sanca Membalik Tubuh, tubuh bersama ruyung lemas itu
berputar laksana gangsingan terus menyapu pula ke arah
bayangan yang menubruk maju. Maka terdengar suara "Plak",
orang itu membentak: "Lo-toh, inilah aku."--Ternyata Tan
Ciok-sing sudah membresot lewat dari sampingnya. Orang
yang hampir dimakan ruyungnya itu kiranya Sa Thong-hay.
Cara menyelamatkan diri yang ditempuh Tan Ciok-sing
memang amat berbahaya, waktu yang digunakan juga tepat.
Sa Thong-hay menolak ruyung kawan sendiri yang
menyapu mukanya, meski lwekangnya tinggi, tak urung dia
tertolak berputar dua lingkaran, hampir saja dia saling
tumbukan dengan Toh Liok-ki. Toh Liok-ki sendiri juga
terhuyung-huyung hampir jatuh, karuan mukanya merah
padam, lekas dia tarik ruyung lemasnya.
Begitu lolos dari kepungan kedua musuh dari depan dan
belakang, Tan Ciok-sing lantas kembangkan kelincahan gerak
tubuhnya, laksana burung walet yang menyusup kedalam
hutan, laksana burung camar bermain di antara gelombang
samudra, tubuh bergerak mengikuti gerakan pedang, pesat
sekali tubuhnya berkelebat dan maju terus di antara tentaratentara
pemerintah. Beberapa tentara yang berada dekat
dirinya pasti diberi persen goresan luka pedang atau kena
394 ditempeleng pipinya, ada pula yang ditusuk buta matanya dan
ditendangnya jungkir balik sampai patah tangan atau kaki,
jerit kesakitan terdengar saling bersahutan. Jalan raya tidak
seperti tanah lapang, meski jumlah tentara pemerintah
banyak, mereka toh tidak bisa berjubel mengepung seorang
musuh. Melihat beberapa temannya terluka sebagian besar
yang lain tanpa komando telah menyingkir menyelamatkan
diri. Tan Ciok-sing pura-pura hendak memburu ke arah Liong
Seng-bu, bentaknya: "Bangsat she Liong, meski jiwaku harus
berkorban, hari ini aku harus membunuhmu."
Saking ketakutan Liong Seng-bu menjerit minta tolong.
Lekas Ciok Khong-goan memburu tiba, dengan jurus pekhong-
koan-jit Tan Ciok-sing menusuk lurus dengan pedang, di
tengah jalan pedangnya mendadak berubah sasaran menusuk
pula dari posisi yang tidak terduga, berbareng mulutnya
menghardik: "Lepaskan golok."
Memangnya Ciok Khong-goan bukan tandingan Tan Cioksing,
hatinya sudah jeri dalam keadaan gugup lagi, mana dia
kuasa menghadapi ilmu pedang Tan Ciok-sing yang hebat ini.
Terpaksa dia memang harus melepaskan senjata demi
menyelamatkan diri pula, sementara kaki menyurut mundur
sambil berteriak gemetar: "Sa-toako, lekas ke mari."
Sekali ketuk Tan Ciok-sing pukul golok lawan yang
mencelat terbang itu, lalu tertawa tergelak?gelak, serunya:
"Bangsat kecil she Liong, biar kau hidup beberapa hari lagi.
Maaf, tuan mudamu tidak mengiringi lebih lanjut."
Sebelum Sa Thong-hay memburu datang, di tengah gelak
tawa kemenangannya, Tan Ciok-sing sudah lompat naik ke
atas rumah penduduk.
Tiga jago kosen di antara perwira-perwira tinggi itu, hanya
Sa Thong-hay yang memiliki ginkang paling tinggi. Seorang
diri jelas dia tidak berani mengejar, karena dia yakin umpama
395 dirinya mampu menyandak juga tidak bakal memperoleh
keuntungan, salah-salah awak sendiri bisa celaka, maka dia
hanya bisa perintahkan anak buahnya melepas panah.
Dasar masih berjiwa anak-anak, Tan Ciok-sing juga tidak
mau mengalah, genteng rumah penduduk dibuat senjata
rahasia, karuan pasukan pemerintah menjadi kacau balau
dijatuhi bom-bom genteng yang berat dan keras itu. Kejap lain
dia sudah lari pergi mengembangkan ginkang dan tidak
kelihatan lagi.
"Entah Tam Tayhiap bersama In-hujin sudah keluar kota
belum" Biar aku kembali mengambil kuda tungganganku itu,"
demikian batin Tan Ciok-sing. Dilihatnya pasukan kuda
pemerintah tengah mengudak ke arah sini, sengaja dia berlari
putar kayun di tengah jalan raya dalam kota untuk
mengaburkan jejaknya, lalu secara diam-diam dia pulang ke
rumah kakek bersama cucunya penjual teh itu.
Kakek pemilik warung teh belum tidur, dian kecil tampak
dipegang di tangannya, jendela setengah terbuka, kepalanya
longok-longok keluar sambil pasang kuping. Mendadak
didengarnya seseorang mengetuk bawah jendelanya tiga kali,
karuan kagetnya seperti disengat kalajengking, tanyanya
gemetar: "Siapa?"
Cepat Tan Ciok-sing menjawab". "Tamu yang semalam
datang itu."
Pemilik kedai masih kenal suara Tan Ciok-sing, lekas dia
membuka pintu. Di bawah penerangan dian yang remangremang,
dilihatnya sekujur tubuh Tan Ciok-sing berlumuran
darah, karuan kagetnya bukan main: "Siangkong, kau
terluka?" tanyanya gemetar.
"Aku tidak terluka, inilah darah tentara yang menyemprot
tubuhku, pasukan pemerintah itu mau mencelakai jiwa Inhujin,
terpaksa aku labrak mereka. Aku bukan perampok,
396 paman tidak usah takut. Akupun tidak ingin kau kena perkara,
aku datang mengambil kudaku."
Pemilik warung tidak segelisah tadi, katanya: "Tak perlu
kau jelaskan lagi, aku percaya kau orang baik. Bicaralah jujur,
bila kau terluka, boleh sembunyi di rumahku, aku tidak takut
kena perkara."
"Terima kasih akan kebaikan paman, aku betul-betul tidak
terluka. Tolonglah kau bawa keluar kudaku itu."
"Baiklah," sahut si kakek, dia menoleh ke arah dipan,
dimana cucunya sudah tidur nyenyak, sebelum keluar dia
mengemuli cucunya lalu membawa Tan Ciok-sing ke belakang.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak itu tampak tersenyum dalam mimpinya, kue pemberian
Tan Ciok-sing tampak masih dipegang di tangannya.
Sambil jalan kakek itu berkata lirih: "Bukan lantaran siang
tadi kau memberi rangsum pada kami maka kukatakan kau
orang baik. Aku tahu kau adalah sahabat Tam Tayhiap, betul
tidak?" "Aku belum setimpal menjadi sahabat baik Tam Tayhiap,
tapi aku pernah mengenalnya saja. Apa kau juga tahu Tam
Tayhiap?" "Dia adalah sahabat baik In Tayhiap, beberapa tahun lalu
sering minum-minum di kedaiku. Tadi aku mencuri lihat dari
celah-celah pintu, kulihat dia berlari pergi menunggang kuda
bersama In-hujin. Persoalan keluarga In sedikit banyak juga
pernah kudengar, cuma aku tidak tahu kapan In-hujin pulang.
Pulangnya kali ini pasti secara diam-diam diluar tahu suaminya
yang sekarang, tak heran pasukan pemerintah itu hendak
menangkap dia. Siangkong, apa sekarang kau hendak
menyusul mereka?"
"Betul, tahukah kau jalan mana yang mereka tempuh?"
tanya Tan Ciok-sing.
397 "Mereka lari lewat jalan raya di seberang gang yang sana
itu, agaknya mereka hendak keluar kota dari pintu utara.
Menurut apa yang kuketahui, penjagaan di pintu utara paling
lemah," "Terima kasih akan petunjukmu paman."
Baru saja dia hendak pamitan, kakek itu tiba-tiba berkata
bisik-bisik: "Apa kau hendak mencari Kim-to Cecu?"
Tan Ciok-sing kegirangan, katanya: "Benar. Paman, apa
kau tahu dimana letak markas Kim-to Cecu?"
Lirih suara kakek pemilik kedai: "Terus terang, walau aku
bukan anak buah Kim-to Cecu, tapi beberapa Thaubak dari
markasnya sering juga datang kemari minum-minum, berkat
kepercayaan mereka terhadapku, aku dipandang orang
sendiri, ada kalanya mereka bercerita tentang keadaan markas
mereka. Berita apa saja yang pernah kudengar dalam kota
Tay-tong pasti juga kuberitahu mereka. Menurut cerita
mereka, tiga bulan yang lalu, markas besar mereka berada di
Sip-jit-hong di atas Tio?yang-san. Sembarang waktu mereka
sering berpindah tempat, cuma markas pusatnya saja yang
didirikan pada suatu tempat yang cukup strategis, yakin
sampai saat sekarang ini masih belum pindah ke lain tempat.
Tapi tempat itu aku sendiri juga belum pernah kesana, cara
bagaimana untuk kesana, aku tidak bisa menjelaskan. Tapi
setiba di Tio-yang-san, boleh kau sebut nama Tam Tayhiap
dan mencari tahu dari mulut para pemburu setempat, mereka
pasti mau menunjukkan jalan padamu."
Setelah mengucapkan terima kasih serta meninggalkan
beberapa butir kacang emas, Tan Ciok-sing segera pamitan
terus cemplak kudanya keluar dari pintu belakang. Hari sudah
menjelang tengah malam, pasukan pemerintah juga sudah
ditarik mundur. Tan Ciok-sing keprak kudanya berlari
sekencang angin menuju ke pintu utara. Sepanjang jalan
beberapa kali dia bersua dengan barisan ronda, dengan
mudah dia robohkan mereka semua.
398 Tiba di pintu utara dilihatnya pintu gerbangnya terpentang
lebar, ada beberapa tentara tua sedang sibuk membetulkan
daun pintu, melihat Tan Ciok-sing mencongklang kudanya
secepat mungkin, beramai-ramai tentara itu lari serabutan
menyembunyikan diri. Maklum pintu utara ini kebetulan
menghadapi agresi pasukan Watsu, beberapa hari yang lalu
pasukan besar Watsu sudah berada di bawah tembok,
pasukan penjaga kota sudah lari menyelamatkan diri, kini
yang masih ditinggal hanya beberapa orang yang sudah
berusia lanjut. Tadi Tam Pa-kun bersama In-hujin memang lari
lewat pintu utara, kunci pintu gerbang ini di tabas rusak oleh
golok emas Tam Pa-kun, belum lagi rasa takut tentara-tentara
itu lenyap, kini dilihatnya Tan Ciok-sing menerjang tiba pula,
mana mereka berani merintangi"
Setelah jauh meninggalkan kota baru Tan Ciok-sing
mendengar suara trompet didalam kota, dia duga Liong Sengbu
tahu dirinya lari dari pintu utara lalu mengerahkan pasukan
mengejar ke arahnya ini. Dengan kertak gigi Tan Ciok-sing
berpikir: "Kelak meski kau tidak mencariku, aku pasti mencari
perkara padamu, sekarang tiada tempo aku melayanimu."
Kudanya ini adalah kuda rampasan dari pasukan Watsu,
meski tidak sehebat kuda putih itu, tapi dibanding kuda yang
ditunggangi pasukan pemerintah di Tay-tong jelas lebih
bagus. Entah berapa jauh sudah Tan Ciok-sing membedal
kudanya, menjelang fajar pasukan yang mengejar di belakang
sudah tidak kelihatan lagi. Pikirnya: "Untung bertemu dengan
kakek pemilik kedai, baru aku tahu cara bagaimana untuk
menemui Kim-to Cecu. Padahal kudaku ini lari secepat ini,
kenapa masih belum menyandak Tam Tayhiap dar In-hujin"
Memangnya mereka menempuh jalan lain?"
Tan Ciok-sing terus menempuh perjalanan, mendekati lohor
baru dia bersua dengan orang yang menempuh perjalanan,
dia seorang laki-laki tua yang mengendalikan sebuah gerobak.
Pada laki-laki tua ini Tan Ciok-sing tanya jalan, ternyata TioTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
399 yang-san tiga ratus li di sebelah utara Tay-tong, perjalanan
ditempuh lewat jalan pegunungan. Kudanya ini memang lebih
bagus dari kuda biasa, tapi sebelum hari petang takkan
sampai-di tujuan.
"Engkoh kecil," tanya laki-laki tua itu keheranan, "gunung
itu belukar dan tiada penduduk yang tinggal disana, untuk apa
kau kesana?"
"Tujuanku mencari famili di Tay-tong, kebetulan familiku itu
sudah pergi jauh kearah Sin-kang berdagang kuda, letak
pasaran kuda konon di sebelah utara Tio-yang-san, bukankah
aku harus lewat dari bawah gunung itu?"
Setelah jelas akan jalan mana yang harus di tempuhnya,
Tan Ciok-sing terus melanjutkan perjalanan, dalam hati dia
merasa heran, kusir gerobak ini sudah tiga hari menempuh
perjalanan di atas pegunungan ini, kenapa dia tidak pernah
melihat Tam Tayhiap dan In-hujin" Kiranya Tan Ciok- sing
masih terlalu hijau, kurang pengalaman, dalam tanya jawab
dengan kusir gerobak tadi, banyak dia menunjukkan hal-hal
yang mencurigakan, sudah tentu kusir gerobak itu mencurigai
asal-usulnya, maka dia tidak bicara sejujurnya.
Sepanjang jalan banyak juga persoalan yang dipikirkan Tan
Ciok-sing namun tiada satupun yang dapat dia simpulkan
jawabannya. Di kala pikiran masih terombang ambing itulah,
tanpa terasa dia tiba di tiga persimpangan jalan. Ke arah
mana jalan yang harus dipilih. Di saat Tan Ciok-sing ragu-ragu
untuk menentukan pilihannya, tiba-tiba didengarnya derap lari
kuda yang dilarikan kencang, seekor kuda putih tampak lari
mendatangi dari jalanan kecil yang lain sana. Pesat sekali lari
kuda ini, hanya sekejap tahu-tahu sudah tiba di depan.
Penunggang kuda putih ini ternyata adalah pemuda itu,
keduanya kesamptok secara tidak terduga, sesaat kedua sama
melenggong. Kontan pemuda itu mencabut golok sambil mendelik gusar
ke arah Tan Ciok-sing, rasanya sekali bacok dia ingin
400 memotong tubuh Tan Ciok-sing menjadi dua, namun dia juga
tahu bahwa dirinya bukan tandingan lawan, maka dia hanya
memaki: "Bangsat cilik, akan datang suatu hari akan kubuat
kau memperoleh ganjaran setimpal," tanpa menghentikan
kudanya dia mencongklangnya dari sampingnya. Melihat Tan
Ciok-sing, kuda putih itu seperti melihat kenalan baiknya,
sambil lari dia meringkik panjang sambil berjingkrak.
Tergerak hati Tan Ciok-sing, lekas dia berteriak: "Bukankah
kau sudah pulang ke rumah dan tahu apa yang telah terjadi,
baru saja kau keluar dari Tay-tong bukan" Tunggu sebentar,
jangan lari, ada omongan yang ingin kubicarakan dengan
kau." "Kalau dugaanku tidak meleset, dia pasti pernah pulang
ke rumah," demikian pikir Tan Ciok-sing. Betul juga dilihatnya
pemuda itu menarik tali kekang dan memutar balik kuda
tunggangannya. Tapi muka si pemuda masih kelihatan murka, agaknya lebih
benci dan marah dari sikapnya tadi. Begitu kudanya dibedal
datang dia terus menerjang tanpa buka suara, mendadak
goloknya terayun membacok ke arah Tan Ciok-sing, Karena
tidak menduga hampir saja muka Tan Ciok-sing kesercmpet
bacokan. Sejak mula pemuda ini sudah anggap Tan Ciok-sing
sebagai pembunuh ayahnya, mending kalau Tan Ciok-sing tak
bersuara memanggilnya, hawa marahnya seketika berkobar
karena kira peristiwa yang terjadi di rumahnya semalam di
Tay-tong adalah gara-garanya lagi. Diapun berpikir: "Kudaku
larinya lebih cepat, kalau tidak kuat melawan, lari juga bukan
soal," karena diburu nafsu goloknya membacok gencar
sekaligus dia menyerang beberapa jurus untuk melampiaskan
dendam. Betapa liehay dan cepat gerakan ilmu golok keluarga
In, karena didesak terpaksa Tan Ciok-sing keluarkan juga
goloknya untuk membela diri, "Ting" sekali ketuk dia bikin
golok orang menceng ke samping. Untung Tan Ciok-sing
401 hanya mengetuk dengan punggung golok, kalau tidak pasti
golok si pemuda tertabas kutung.
Kuda berputar silih berganti saling terjang, kedua orang
bertempur di atas kuda karena kuda sendiri kalah gagah dan
garang, dia harus main bertahan atau membela diri saja,
sudah tentu keadaannya semakin payah.
Hanya beberapa gebrak kuda tunggangan Tan Ciok-sing
mendadak terpeleset, kaki depannya tertekuk sambil
meringkik kesakitan terus roboh di tanah. Maklum sehari ini
dia sudah lari amat jauh dengan kecepatan tinggi, tenaganya
sudah habis dan terlalu lelah, sekarang harus bertempur lagi,
karuan tidak tahan lagi. Sebelum kudanya roboh Tan Ciok-sing
sudah melompat jauh kesana, tapi karena terlalu besar
menggunakan tenaga, hampir saja diapun terpeleset jatuh.
Pemuda itu kegirangan, bentaknya: "Bangsat cilik, rasakan
golokku." Diluar dugaannya, kuda putih ini ternyata juga amat cerdik,
Tan Ciok-sing pernah menyelamatkan jiwanya, bergaul dan
menunggangnya untuk beberapa lamanya, agaknya dia tahu
pemuda yang ada di punggungnya hendak membunuh tuan
penolong jiwanya, sudah tentu dia tidak mau dikendalikan
lagi, mendadak dia menghentikan langkah, pemuda itu hampir
saja terjorok jatuh dari punggungnya. Karuan si pemuda
terperanjat, makinya: "Binatang, tidak tunduk padaku
kubunuh kau."
Dalam pada itu Tan Ciok-sing sudah berdiri tegak terus
lompat maju, teriaknya: "Aku tidak tahu kau pernah apa
dengan In Tayhiap, tapi di Tay-tong aku sudah bertemu
dengan In-hujin maukah kau tahu berita dan jejaknya
sekarang?"
Pemuda itu melongo, makinya: "Kau mencelakai jiwa
ayahku, membawa pasukan membakar rumahku lagi, aku
takkan sejajar denganmu dalam bumi ini, apa pula yang harus
dibicarakan?"
402 Dugaan Tan Ciok-sing kini tidak meleset lagi, pemuda ini
adalah samaran putri In Hou yaitu (n San adanya. Sungguh
kejut dan senang pula hati Tan Ciok-sing, namun dalam waktu
singkat ini dia jadi gelagapan, bagaimana dia harus bertindak
supaya tidak menambah curiga orang terhadap dirinya.
Karena kuda putih tidak mau tunduk pada perintahnya lagi,
terpaksa In San melompat turun, dampratnya: "Bangsat cilik,
ayahku sudah kau bunuh, nah sekarang bunuh sekalian aku
ini, akil akan adu jiwa dengan kau," keduanya kini bertanding
di tanah berumput, untuk menghindar dan meluputkan diri
dari serangan golok orang kini bukan menjadi persoalan bagi
Tan Ciok-sing. Dengan gerakan Hong-biau-loh-yap secara
tangkas dia berkelit dari tiga serangan berantai In San,
katanya: "Nona In, kenapa tidak kau pikir, secara cermat,
kalau benar aku membunuh ayahmu, kini kau ingin adu jiwa
denganku, kan kebetulan malah bagiku untuk membabat
rumput sampai keakar-akarnya, kenapa aku harus mengalah
padamu." "Betul, kepandaiannya jauh lebih tinggi, memegang golok
dan pedang mustika, jikalau dia ingin membunuhku, sejak
mula jiwaku sudah melayang," demikian batin In San, namun
rasa curiganya tetap belum hilang, jengeknya: "Siapa tahu
tipu daya apa yang sedang kau rencanakan atas diriku?"
"Terserah kau mau percaya tidak. Dua hari yang lalu aku
pun sudah bertemu dengan ibumu. Apapun yang terjadi dia
adalah ibu kandungmu, memangnya kau tidak ingin tahu
keadaannya sekarang?"
"Justru aku tidak percaya kalau dia mau pulang ke rumah?"
debat In San. Tan Ciok-sing menghela napas, katanya: "Meski ibumu
salah langkah, namun sejak lama dia sudah bertobat, sudah
insaf akan kesalahan. Sejak kau diajak pulang oleh ayahmu
dari rumah kakek luarmu, malamnya setelah dia pulang tidak
menemukan kau, pernah dia jatuh sakit sampai parah,
403 belakangan memang dia menikah lagi, namun dia ditipu
keluarganya, toh sejauh itu dia masih tetap merindukan kau.
Tahun itu kau baru berusia tujuh tahun bukan" Banyak
kejadian yang belum kau ketahui, hakikatnya ibumu adalah
seorang yang bajik, karena tertipu sehingga dia berbuat
kesalahan diluar kesadarannya. Ayahmu sendiri sudah
memaafkan kesalahannya, masa kau tidak bisa memaafkan
malah?" Karuan In San terlongong mendengar ocehan Tan Ciok-sing
ini. Bahwa Tan Ciok-sing bisa bercerita sejelas ini akan
perpisahan dirinya dengan sang ibu di masa kecilnya itu,
jikalau bukan ibunya yang bercerita padanya, memangnya dari
siapa dia bisa tahu liku-liku rumah tangganya"
"Tiga tahun yang lalu," ucap Tan Ciok-sing lebih lanjut,
"ibumu suruh Liong Seng-bu membawa tusuk kundai sebagai
tanda kepercayaannya datang mencarimu. Katanya kau
membantingnya patah, apa benar?"
In San melengak, tanpa sadar tangannya meraba sanggul
dan mencabut sepasang tusuk kundai, katanya: "Siapa bilang


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku membantingnya patah, nah bukankah tusuk kundai ini
masih baik?"
"Liong Seng-bu yang laporan hal ini kepada ibumu. Kalau
demikian dia sengaja mau menipu ibumu," ujar Tan Ciok-sing.
Kata In San sedikit sengit: "Memang aku agak membenci
ibuku, tapi aku lebih membenci orang-orang dari keluarga
Liong, kau kira aku tidak tahu, segalanya aku sudah tahu
dengan jelas, ayah juga pernah bicara dengan aku, ibu ditipu
oleh orang-orang keluarga Liong."
"Syukurlah kalau kau sudah tahu," kata Tan Ciok-sing lega.
"Keparat itu minta aku pulang ikut dia," demikian tutur In
San, "coba kau pikir patutkah aku meluluskan perintahnya"
Tusuk kundai memang sudah kuterima, tapi segera aku gebah
404 dia lari. Untung dia melarikan diri secepat setan, kalau tidak
kedua kakinya pasti sudah kupukul remuk."
"Yang membawa pasukan membakar rumahmu semalam
juga bocah she Liong itu."
In San melengak, seperti heran dan diluar dugaan,
katanya: "O, kiranya kau juga berani memaki dia."
"Bukan saja aku ingin mendampratnya, aku malah ingin
membunuhnya," demikian ucap Tan Ciok-sing sengit,
"semalam kalau jumlah mereka tidak banyak, aku pasti sudah
membunuhnya."
"Kenapa kau begitu membencinya?" tanya In San.
"Cukup parah dan payah aku ditipu dan hampir saja celaka
oleh muslihatnya. Lebih celaka lagi dia memfitnah aku,
katanya akulah pembunuh ayahmu."
"Dari mana kau tahu kalau dia memfitnah kau?" tanya In
San. "Ibumu memberitahu padaku. Semula seperti kau begitu
melihat aku dia lantas melabrakku, katanya hendak menuntut
balas atas kematian suaminya. Dengan susah payah dan
berbagai cara akhirnya aku dapat meyakinkan ibumu sehingga
dia percaya padaku, lalu aku tuturkan duduk persoalan yang
sebenarnya."
Tiba-tiba In San berkata: "Kukira kau ini alap-alap kerajaan.
Bukankah ayahmu punya kedudukan dalam kalangan
Bhayangkari?"
Tan Ciok-sing tertegun, tanyanya: "Siapa bilang" Ayahku
sudah meninggal sejak aku berumur setahun, beliau adalah
guru harpa yang kelana di Kangouw, jangan kata tidak pernah
menjabat pangkat, melihat para pejabatpun dia sudah pusing
tujuh keliling. Aku hanya hidup bersama kakek, sejak kecil
beliaulah yang mengasuhku sampai dewasa. Kami bertempat
405 tinggal di bawah Cit-sing-giam di daerah Kwi-lin, membajak
sawah menjala ikan adalah kehidupan kami sehari-hari. Tiga
tahun yang lalu beliaupun telah meninggal, ia, kematiannya..."
Ingin Tan Ciok-sing menceritakan sebab musabab kematian
kakeknya kepada In San, maklum kematian kakeknya punya
sangkut paut yang erat dengan kematian ln Hou. Ayah In San.
Tapi karena In San masih ragu terhadap dirinya kalau
menceritakan kenyataan ini padanya belum tentu orang mau
percaya, dan lagi ada urusan lain yang lebih penting harus
segera dia bicarakan, terpaksa hal ini biar ditunda dulu.
Katanya: "Perihal kakekku kelak akan kututufkan lagi. Yang
memfitnah diriku pada kau ku yakin pasti bocah she Liong
itu?" In San mengangguk, katanya: "Betul, memang dia yang
katakan." "Apa katanya?"
"Setelah kugebah lari dulu, kira-kira setahun kemudian dia
datang lagi, katanya dia tahu jejak-dan berita ayah, dia minta
supaya aku bersabar mendengar penjelasannya."
"Sudah lama ayah tidak kunjung pulang, karena selama ini
tidak pernah mendapat kabar dari ayah, memangnya aku
sudah kebingungan dan merindukannya. Walau membencinya
terpaksa aku menahan hati mendengarkan apa yang hendak
dituturkan padaku."
"Dia bilang pihak kerajaan sudah tahu bahwa ayahku ada
berhubungan dengan Kim-to Cecu, kini ayah menjadi buronan
dan hendak ditangkap. Akhir-akhir ini pihak kerajaan
mendapat kabar, ayahmu akan ke Kwi-lin menyambangi Selam
Tayhiap yang bergelar It cu-king-thian Lui Tin-gak maka
jaring jebakan sudah diatur disana, sekaligus akan menjaring
dan menangkap beberapa orang, di samping membeli atau
menyogok Lui Tin-gak, jago-jago istana juga dikerahkan
kesana." 406 Dalam hati Tan Ciok-sing membatin: "Kiranya It-cu-kingthian
Lui Tin-gak memang sudah dirangkul pihak kerajaan."
"Dia bilang di antara jago-jago kosen yang dikerahkan dari
pasukan Bhayangkari itu, satu di antaranya adalah ayahmu
dan kau sendiri juga ikut."
Dongkol dan geli juga hati Tan Ciok-sing, katanya: "Setan
keparat. Ayahku sudah lama meninggal, bagaimana bisa jadi
anggota Bhayangkari segala" Tiga tahun yang lalu aku
hanyalah anak desa yang hanya memiliki kepandaian cakar
ayam, memangnya kosen apa segala?" sampai disini tiba-tiba
hatinya tergerak pula, pikirnya: "Kalau keparat itu bisa
memfitnah aku, bukan mustahil dia juga memfitnah orang
lain, dia bilang It-eu-king-thian sudah dipelet kerajaan, kenapa
aku harus mempercayai obrolannya" Memang malam itu
kakek keluar dari rumah keluarga Lui dengan luka parah, tapi
bukan mustahil dalam kejadian ini masih ada latar belakang
lainnya?" "Dia bilang jago-jago yang diutus kesana sudah tentu tak
boleh berpakaian seragam, semua harus menyamar jadi apa
saja, selama perjalanan ayah ke Kwi-lin, jejaknya selalu
dikuntit dengan ketat. Ayahmu pandai main harpa, maka dia
membawa kau sebagai guru harpa yang kelana di Kangouw,
sehingga ayahku tidak menaruh curiga," sampai disini serta
merta dia melirik harpa yang digendong di punggung Tan
Ciok?sing. Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Memang aku bisa
memetik harpa, tapi aku diajari kakek bukan ayah. Kakekku
memang seorang ahli harpa yang sudah punya nama, sebelum
aku dilahirkan beliau memang sudah sering kelana di
Kangouw. Kalau tidak percaya, boleh kau tanya temanmu,
umpamanya Toan-siau-ongya dari Tayli."
In San melenggong, serunya: "Kau kenal Toan Kiam-ping.
Dia tahu perihal kakekmu?"
407 "Betul. Dia ada titip pesan padaku supaya disampaikan
kepadamu. Tapi panjang ceritanya."
"Kalau panjang ceritanya, boleh kelak kau ceritakan.
Sekarang biar aku selesaikan ceritaku," kata In San lebih
lanjut, "sebetulnya tidak segampang itu aku mau percaya
obrolan bocah itu, tapi dia mengeluarkan sebuah benda, mau
tidak mau aku sedikit percaya padanya."
"Barang apa?" tanya Tan Ciok-sing.
In San keluarkan sebuah kotak persegi, katanya: "Inilah
barang mainan yang diberikan ayah oleh Hek-pek-moko di
dalamnya ada dipasang alat rahasia, bagi yang tidak tahu cara
membukanya, jari tangannya bisa terluka oleh pisau-pisau
kecil yang terpasang di dalamnya."
Dalam hati Tan Ciok-sing tertawa geli, namun dia diam
saja, katanya: "Kenapa pula dengan kotak kecil ini?"
"Bocah itu bilang, Bhayangkari adalah pasukan pribadi
Baginda Raja, dia boleh bergerak leluasa tanpa kendali oleh
pihak militer. Meski tahu bahwa pihak kerajaan hendak
menangkap ayah, tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Maka
secara diam-diam dia menyusul ke Kwi-lin, dia harap disana
bisa bertemu dengan ayah dan memberi tahu berita buruk ini
padanya." "Tak nyana waktu dia bertemu dengan ayah, beliau sudah
terluka parah, napasnya sudah kempas kempis."
"Maka ayahmu serahkan kotak ini sebagai tanda
kepercayaan dan suruh dia pulang memberi kabar
kepadamu?" demikian tukas Tan Ciok-sing.
In San mengangguk, katanya: "Bocah itu bilang, ayah
memberitahu padanya, dia salah minum arak beracun
pemberian It-cu-kin-thian, sehingga alap-alap kerajaan punya
kesempatan membokong dirinya. Dia juga membeber nama
para musuhnya, kecuali It-cu-king-thian, jago kosen
408 Bhayangkari yang melukai dia sampai parah bernama Tan
Khim-ang, tapi Tan Khim-ang juga sudah dia pukul mampus
pada saat itu. Peristiwa itu terjadi setelah dia meninggalkan rumah
keluarga Lui, anak Tan Khim-ang mengira dia sudah mati,
golok pusaka dan buku pelajaran ilmu golok itu dirampasnya
terus melarikan diri, tanpa menghiraukan jenazah ayah
kandungnya lagi. Anak bangsat itu juga hendak membawa
kotak ini " maaf, aku menggunakan istilah yang dipakai
bocah she Liong waktu dia bercerita tentang ayah " tapi dia
tidak tahu cara membukanya, jarinya tergores luka oleh pisau
kecil di dalamnya, saking kaget dan kesakitan dia buang kotak
ini." "Ayah suruh bocah keparat itu membawa pulang kotak ini
sebagai bukti, berpesan pula supaya aku berusaha menuntut
balas sakit hatinya. Bocah itu juga memberitahu padaku,
katanya dia sudah mencari tahu hingga jelas, orang yang
membawa lari golok dan buku pelajaran ilmu golok serta ikut
mencelakai ayah itu adalah putra Tan Khim-ang, namanya Tan
Ciok-sing."
Tan Ciok-sing menyeringai dingin, katanya: "Untuk mencari
tahu memang dia cukup banyak membuang tenaga dan
pikiran, tapi persoalan justeru dia putar balik. Tan Khim-ang
adalah kakekku, bukan ayahku. Coba serahkan kotak itu
padaku." "Untuk apa?" In San melengak, tapi dia sodorkan juga
kotak itu. "Coba kau saksikan aku membukanya," dengan mudah dia
tekan sini tarik sana sehingga kotak itu terbuka tanpa
menimbulkan reaksi apa-apa.
"Bagaimana kau juga bisa membuka kotak rahasia ini?"
tanya In San heran.
409 "Didalam kotak ini semula ada disimpan beberapa lembar
kertas tulisan tangan Thio Tan-hong yang memuat ajaran ilmu
pedang karyanya, ayahmu serahkan kotak ini kepadaku,
sayang aku punya mata tidak bisa membedakan manusia baik
dan jahat, akhirnya kotak ini direbut oleh keparat she Liong
itu." -lalu dia bercerita panjang lebar tentang pengalamannya
itu. Bertambah rasa kepercayaan In San kepadanya, pikirnya:
"Kalau bukan ayah yang mengajarkan cara membuka kotak
ini, bagaimana dia mampu membuka kotak ini?"
Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut: "Waktu itu setelah
berhasil merebut kotak ini, salah satu jari bocah she Liong itu
tergores luka cukup parah. Tapi dia toh memperoleh beberapa
lembar Kiam-boh itu, cukup setimpal juga luka yang
dideritanya itu."
"Menurut ceritamu ini, cara bagaimana pula ayah sampai
dicelakai" Coba kau ceritakan padaku."-Setelah persoalan
menjadi jelas, tak tertahan In San menangis sesenggukan,
katanya terisak: "Ternyata kaulah tuan penolong ayahku,
meski ayah sudah mengalami nasibnya yang jelek, aku tetap
akan berterima kasih kepadamu."
"Bahwa kau sudi mempercayai aku, itu sudah cukup. Nah
inilah golok dan buku pelajaran ilmu golok ayahmu yang titip
padaku untuk diserahkan kembali padamu."
Mengingat kematian kakek Tan Ciok-sing lantaran
menolong ayahnya, hati In San ikut menyesal dan haru,
sesaat lamanya dia menjublek menerima barang-barang
peninggalan ayahnya, tak tahu apa yang harus dia katakan
kepada Tan Ciok-sing.
"Dan pedang mustika inipun harus kuserahkan kepadamu,"
kata Tan Ciok-sing.
In San melongo, katanya: "Pedang mustika ini kan bukan
milik ayah."
410 "Memang bukan milik ayahmu, tapi boleh dianggap sebagai
barang keluargamu."
In San melengak pula, tanyanya: "Bagaimana bisa begitu?"
"Bukankah kau punya seorang bibi yang menjadi isteri Thio
Tan-hong Thio Tayhiap?"
"Ya, kenapa?" tapi akhirnya In San mengerti, "o, jadi
pedang mustika ini adalah senjata yang dipakai bibi semasa
hidupnya itu?"
"Betul, waktu aku memberi kabar ke Ciok-lin kepada Thio
Tayhiap, berkat kemurahan hatinya beliau sudi mengangkat
aku sebagai murid. Menjelang ajalnya, dia suruh aku
menyerahkan Ccng-bing-kiam ini kepadamu."
"Menurut apa yang kutahu, Thio Tayhiap masih punya
sebilah Pek-hong-po-kiam, pedang mustika itu..."
Mimik Tan Ciok-sing agak lucu, katanya malu-malu:
"Pedang itu diwariskan aku oleh Suhu."
In San belum pernah melihat kedua bilah pedang mustika
ini. Tapi asal-usulnya sudah sering dia dengar dari cerita
ayahnya, dia tahu bahwa kedua pedang ini merupakan
sepasang pedang jantan dan betina, pedang yang membawa
kisah rumit dan berliku-liku sehingga perjodohan Thio Tayhiap
dengan bibinya bisa terangkap.
Karuan jengah muka In San, katanya dalam hati: "Thio
Tayhiap membagi pedang jantan dan betina ini kepadaku dan
dia, mungkin, mungkin..." kemana maksud dan tujuan Thio
Tan-hong sudah tentu sudah dimaklumi oleh In San, namun
dia tidak tahu apakah Tan Ciok-sing tahu tujuan yang
tersembunyi ini. Sudah tentu dia malu untuk tanya soal ini,
namun demikian sanubarinya yang bersih dan tulus itu kini
mulai ruwet dan risau.
"Hari sudah hampir petang, marilah kita melanjutkan
perjalanan," demikian ajak Tan Ciok-sing.
411 "Ya, kita harus cepat bertemu dengan Kim-to Cecu, kalau
malam nanti ada rembulan, menempuh jalan di tengah malam
juga tidak jadi coal. Cuma kudamu ini, apakah masih mampu


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan?" sampai disini dia menjadi kikuk sendiri, katanya
menambahkan: "Maaf ya hari itu aku merebut kudamu ini."
"Kuda putih ini sebetulnya juga bukan milikku."
"Aku sudah tahu. Kepunyaan Kanglam Lihiap Ciong Bin-siu
bukan" Hari itu aku juga heran, kenapa kuda tunggangan
Ciong-lihiap berada di tanganmu, kuda ini juga mau tunduk
padamu?" "Akulah yang merebutnya kembali dari tangan kawanan
penjahat."
"Kudanya ini terjatuh ketangan kawanan penjahat" Hari itu,
aku kira, kukira...!"
Tan Ciok-sing tertawa, katanya: "Hari itu kau kira akulah
yang merebut kuda ini dari tangan Ciong-lihiap?"
In San merasa kurang enak, katanya: "Maka aku lebih
yakin lagi bahwa kau orang jahat. Tapi belakangan setelah ku
pikir-pikir aku jadi ragu-ragu sendiri." "Kenapa?" "Kuda ini
cerdik pandai, kalau kau merebut dari sang majikan, dia pasti
takkan mau kau tunggangi."
"Tapi dia juga tunduk pada perintahmu. Apa kau juga
bersahabat dengan Kanglam Sianghiap?"
"Sahabat sih bukan. Tiga tahun yang lalu bersama Toan
Kiam-ping mereka pernah berkunjung ke rumahku, aku
pernah mencobanya dulu. Ingatannya ternyata amat baik, dia
masih mengenalku."
"Beberapa hari yang lalu mereka sudah tiba di daerah sini,
kukira bisa bertemu di rumahmu. Siau-ongya juga bilang
mereka pasti ke Tay-tong dan pasti mampir ke rumahmu."
412 "Mungkin mereka memang pernah kemari tapi tiga hari
yang lalu aku sudah meninggalkan rumah. Oh, ya tadi kau
bilang Toan Kiam-ping titip pesan padamu, ada urusan
penting apa?"
"Dia ingin mengundang nona mengungsi ke Tayli saja."
"Banyak terima kasih akan kebaikannya, kesulitan sudah
kualami dan berhasil kuhindarkan. Selanjutnya aku sudah
berkeputusan untuk tinggal di markas Ciu-pepek, mungkin
takkan ke Tayli lagi."
"Siau-ongya amat merindukan kau, dia kuatir Kanglam
Sianghiap tidak berhasil menemukan kau, maka dia juga titip
pesan ini kepadaku."
"Keluarga Toan memang sejak beberapa generasi aeja
hubungan erat dengan keluarga In kami, Toan Kiam-ping
memang cukup baik tak pernah dia agulkan diri sebagai
seorang pangeran, selamanya aku pandang dia sebagai
engkohku sendiri."
Mendengar In San memuji Toan Kiam-ping, hati Tan Cioksing
rada senang, tapi juga merasa kecut. Diam-diam dia
mentertawakan diri sendiri, pikirnya: "Kedua keluarga mereka
memang cocok dan serasi, adalah setimpal kalau putri In
Tayhiap mendapat jodoh seorang pangeran. Sepantasnya aku
ikut senang bagi terangkapnya perjodohan ini."
Sudah tentu In San tidak tahu perasaan rumitnya ini
katanya: "Tan-toako, kudamu jelas takkan bisa lari lagi,
marilah cari tempat untuk istirahat."
"Memangnya hari sudah hampir gelap, biar dia menempuh
perjalanan sejauh mungkin, baru nanti kita cari tempat untuk
istirahat."
"Yang benar kuda ini kau rampas kembali dari tangan
penjahat, adalah jamak kalau kau saling tukar tunggangan
dengan aku."
413 "Ah, di antara kita kenapa harus saling membedakan..."
setelah tercetus ucapannya, mendadak dia merasakan katakatanya
kurang pantas, seketika merah mukanya. In San
sendiri juga tertolong mendengar kata-katanya ini, sudah
tentu mukanya lebih jengah.
Lekas Tan Ciok-sing menambahkan: "Kupikir tujuan kita
kan sama-sama mau ke markas Kim-to Cecu, lalu apa bedanya
siapa yang menunggang kuda putih ini?"
Dalam hati In San membatin: "Dia pasti tahu tujuan
gurunya suruh dia menyerahkan Ceng-bing-kiam ini kepadaku,
kalau dibicarakan dia menanam budi terhadap ayah... tapi aku
baru saja mengenalnya, memangnya demi membalas budinya
itu, aku lantas pasrah diriku kepada dia" hatinya menjadi
gundah dan rawan, tak tahu bagaimana harus mengambil
sikap. Lama-kelamaan tindak tanduknya menghadapi Tan
Ciok-sing jadi agak kikuk dan rikuh tidak sewajarnya tadi.
Semakin lama kuda tunggangan rampasan Tan Ciok-sing
semakin lambat jalannya, padahal mentari sudah terbenam di
kaki gunung. Kata Tan Ciok-sing: "Di depan ada sebidang
hutan marilah kita istirahat disana."
Sebesar ini belum pernah bergaul berduaan dengan laki-laki
yang belum dikenalnya betul, apa lagi harus bermalam di
hutan belukar macam ini" Walau dia tahu
Tan Ciok-sing adalah pemuda baik-baik, betapa pun dia
merasa malu dan rikuh. Setelah berpikir lalu dia berkata:
"Baiklah, kita boleh tidur bergiliran, kau boleh istirahat dulu,
aku yang jaga malam."
Tak keruan rasa hati Tan Ciok-sing mendengar ucapan ini,
pikirnya: '"Belum lagi tiba di hutan itu, kenapa kau sudah
bicara lebih dulu" Memangnya aku bakal menipumu" Hemm,
kau putri seorang pendekar besar, memangnya aku tidak
setimpal bersama kau, biarlah setelah sampai di markas Kimto
Cecu dan bertemu dengan Tam-toako, setelah urusan
414 kubereskan, aku akan segera berpisah dengan dia, kembali ke
Kwi-lin seorang diri. Supaya orang jangan menyangka aku
sebagai kodok buduk ini kepingin gegares daging bangau,"
sama-sama memikirkan persoalannya sendiri sehingga untuk
sesaat lamanya mereka tidak banyak bicara lagi. Kalau In San
seenaknya menjalankan kudanya pelan-pelan, Tan Ciok-sing
mengikutinya di belakang tanpa bersuara.
Baru saja mereka sampai di hutan itu, dari arah belakang
terdengar derap lari kuda yang gemuruh dan kencang.
Tan Ciok-sing berkata: "Agaknya pasukan pengejar telah
menyusul. Nona In kudamu dapat lari kencang, lekaslah kau
lari lebih dulu."
Berkerut alis In San katanya: "Kalau betul pasukan
pengejar, kenapa aku harus lari lebih dulu" Kau kira aku
gentar menghadapi para pengejar ini?"
"Bukan itu maksudku. Dari langkah kuda dapat kudengar
yang mengejar hanya lima orang, kukira aku mampu
menggasak mereka, kau tak usah ikut campur."
"Memang, kenapa aku lupa kepandaianmu jauh lebih tinggi
dari aku, gagah dan perkasa, tak perlu aku harus
membantumu," demikian sindir ln San jengkel.
Pada saat itulah pengejar itupun sudah mengudak datang,
orang yang terdepan mendadak berteriak keras: "Adik San,
adik San, kenapa kau bergaul dengan pemuda bergajul ini.
Tahukah kau siapa dia" Dia itulah bangsat cilik Tan Ciok-sing
yang sekongkol dengan It-cu-king-thian membunuh ayahmu
itu." Karena dongkol semula In San bermaksud tinggal lari
seorang diri ke tempat Kim-to Cecu biar Tan Ciok-sing
sendirian menghadapi musuh, namun begitu mendengar dan
melihat orang yang mendatangi ini, niatnya seketika menjadi
buyar. Rasa dongkolnya kepada Tan Ciok-sing menjadi beralih
415 kepada orang yang mencelakai ayah dan menyebabkan
keluarganya berantakan ini.
Ternyata orang yang membedalkuda paling depan ini
bukan lain adalah Liong Seng-bu. Di belakang Liong Seng-bu
masih ada empat orang berpakaian busu, bukan saja seragam
mereka serupa, raut muka mereka pun hampir mirip satu
dengan yang lain, seakan-akan mereka saudara kembar dan
sekandung. Jarak cukup jauh, salah seorang busu itu mendadak
membidik terus melepas panah. Melihat musuh besar
mendatangi, keruan membara mata Tan Ciok-sing, hakikatnya
dia tidak hiraukan panah yang mengincar datang itu, dari
punggung kuda dia melejit turun, bentaknya: "Liong Seng-bu,
kebetulan keparat kau ini datang." Pedang dilolos terus
memapak maju, panah itu mengenai kudanya sampai mati,
namun ujung pedangnya sudah mengancam muka Liong
Seng-bu. "Trang" seorang busu di samping Liong Seng-bu ternyata
amat cekatan, pada saat kritis itu dia angkat pedangnya
menyambut tusukan pedang Tan Ciok-sing sehingga senjata
beradu keras, dan tusukan ke muka Liong Seng-bu tertangkis.
Begitu pedang beradu, lelatu api berpijar, pedang yang
digunakan busu ini adalah pedang panjang berpunggung
tebal, namun toh gumpil sebagian besar, namun tidak sampai
patah. Namun demikian busu ini menjadi kaget dan heran
melihat permainan pedang Tan Ciok-sing yang hebat ini.
Bahwa busu ini mampu menangkis serangan pedang Tan
Ciok-sing yang liehay, ini betul-betul diluar dugaan Tan Cioksing.
Tapi dia yakin keempat musuh ini hanya kaum kroco
belaka, dalam tiga gebrakan dia yakin dirinya masih mampu
merobohkan mereka.
Gerakan pedang Tan Ciok-sing laksana angin lesus,
hakikatnya musuh tidak diberi kesempatan ganti napas. "Sret,
sret" beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan berantai.
416 Seorang busu telah melompat turun dari punggung kuda,
lekas dia menubruk maju, seorang busu yang terdepan dan
sudah bergebrak duluan dengan Tan Ciok-sing tadipun sudah
putar balik memutar pedangnya menjadi garis bundar terus
menyapu menyilang dari kiri ke kanan, jadi kebetulan serasi
dengan busu seorang lagi yang menyerang dari arah lain,
rasanya gerakan pedang mereka begitu rapat dan sempurna
tiada lobang sedikitpun, sehingga serangan pedang Tan Cioksing
yang liehay itu dapat dipunahkan dengan mudah.
Keruan bercekat hati Tan Ciok-sing pikirnya: "Walau ilmu
pedang mereka tidak terhitung tinggi, tetapi juga tidak begitu
hebat, entah kenapa begitu kedua orang bergabung
kekuatannya lantas berlipat ganda secara mendadak?" Maklum
sekarang Tan Ciok-sing sudah berhasil menyelami inti sari
pelajaran Bu-bing-kiam-hoat ciptaan Thio Tan-hong, umpama
berhadapan dengan ilmu pedang tingkat tinggi dan aliran
manapun dalam pandangannya tidak lebih juga hanya begitu
saja, kalau di bicarakan secara serius, ilmu pedang kedua
orang ini belum terhitung tingkat tinggi. Tapi anehnya justeru
kelihatan biasa, tapi sejurus ilmu pedang itu ternyata begitu
rapat dan sempurna di bawah permainan dua orang ini. Akan
tetapi, meski seorang diri menghadapi dua orang, Tan Cioksing
masih tetap unggul.
Di sebelah sana Liong Seng-bu berteriak: "Bocah ini liehay
sekali, Toako dan Jiko kalian mungkin belum mampu
membekuk bocah itu, kalian tidak perlu hiraukan aturan
Kangouw segala, lekaslah keroyok dia saja."
Busu ketiga berkata: "Site, majulah kau membantu Toako
dan Jiko," lalu dia berpaling dan berkata kepada Liong Sengbu:
"Kongcu tak usah kuatir, bila ketiga saudaraku ini
membentuk suatu barisan pedang, meski kepandaian bangsat
cilik ini setinggi langit juga pasti tidak akan bisa lolos. Biar aku
disini menemani Kongcu saja," dia kuatir bila ln San mendadak
mengamuk, Liong Seng-bu tak kuat melawannya.
417 Liong Seng-bu tahu maksud orang, matanya menatap In
San, sikapnya seperti temberang sambil mulut bersuara dalam
tenggorokan, lalu katanya: "Ya, begitu juga boleh."
In San sudah lompat turun pula dari punggung kuda,
dengan sepenuh perhatian dia menyaksikan ketiga busu itu
mengeroyok Tan Ciok-sing dengan sengit, hakikatnya dia tidak
peduli dan tidak hiraukan kehadiran Liong Seng-bu.
Busu ketiga masuk gelanggang, Tan Ciok-sing semakin
rasakan tekanan bertambah berat. Di tengah pertempuran
sengit itu mendadak dia gunakan jurus Sam-coan-hoat-un
Pek-hong-kiam terayun ke atas memetakan tiga kuntum
cahaya pedang, seperti ke kiri tapi juga mirip ke kanan, dalam
sesingkat itu, ketiga lawannya sama-sama merasa kabur dan
silau pandangannya, hawa pedang yang dingin menyampuk
muka, seakan-akan tajam pedang yang kemilau itu sekaligus
mengancam tenggorokan mereka bertiga. Tapi ketiga saudara
ini mempunyai tekad dan isi hati yang sama, serempak
mereka membentak, tiga pedang sekaligus terayun dalam
gerakan dan posisi sama, satu di depan yang lain di belakang
melibatkan diri dalam selarik lingkaran pedang.
Jurus yang dilancarkan Tan Ciok-sing adalah hasil
kesimpulannya sendiri yang diperoleh dari kembangan Bubing-
kiam-hoat yang paling ganas, cepat, keji, telak dan
berubah empat unsur berkombinasi sehingga gaya pedangnya
seperti mengambang tapi dilandasi tenaga dalam sehingga
perubahannya sukar diraba. Tapi gerak-gerik ketiga lawannya
selalu serempak dan bersatu padu, barisan pedang yang
mereka ciptakan betul-betul rapat dan kuat, maka sering
terdengar dencing benturan senjata disertai lelatu api. Bukan
saja Tan Ciok-sing tidak mampu menjebol pertahanan lawan,
malah dia terkepung di tengah lingkaran sinar pedang ketiga
lawannya, dalam benturan barusan telapak tangan terasa
sedikit pedas. 418 Kiranya empat busu yang dibawa Liong Seng-bu kali ini
adalah saudara kembar yang dilahirkan satu rahim, she
Huwan bernama Liong', Hou, Pau dan Kiau. Yang mengeroyok
Tan Ciok-sing adalah Lotoa Huwan Liong, Loji Huwan Hou dan
Losi Huwan Kiau, yang melindungi Liong Seng-bu adalah
Losam Huwan Pau. Ke empat busu ini sebetulnya adalah
pengawal pribadi paman Liong Seng-bu, Liong Bun-kong yang
menjabat Kiu-bun-te-tok di kota raja, kalau dinilai kepandaian
sejati mereka, bila satu lawan satu mereka bukan tandingan
Sa Thong-hay dan Ciok Khong-goan, namun keempat saudara
kembar ini meyakinkan suatu ilmu barisan pedang yang amat
liehay dan ketat, jago kosen kelas tinggi pun sukar meloloskan
diri dari kepungan barisan pedang mereka.
Barisan pedang mereka ini diciptakan oleh aliran Thianliong-
bun di Tibet, berbeda dengan aliran pedang yang ada di
daerah Tionggoan, kalau hanya seorang bertempur dengan
musuh permainan pedangnya kelihatan biasa dan sepele, tapi
dua orang bergabung kekuatannya bertambah satu lipat, tiga


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang bekerja sama, kekuatannya akan bertambah lipat ganda
pula, bila Golok Halilintar 2 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 3
^