Pendekar Riang 9

Pendekar Riang Karya Khu Lung Bagian 9


r, ular bergaris merah juga tak akan membiarkan dia mati dengan begitu saja, oleh
sebab itu kita harus menghantarnya pulang."
Walaupun cara ini kurang baik, tapi tak bisa dianggap sebagai suatu cara yang jelek.
Dengan kening berkerut Yan Jit lantas berkata.
"Persoalannya sekarang, siapa yang menghantarnya pulang kesana ?"
"Hmm . . . . . !" Kwik Tay-lok mendengus.
Walaupun dia tidak mengatakan apa-apa, namun ujung matanya sedang melihat Ong Tiong.
Tentu saja dia merasa Ong Tiong yang berkewajiban untuk menghantarnya pulang.
Asal orang ini masih memiliki sedikit liang-sim, dia tak akan membiarkan perempuan itu mati di
sana... Siapa tahu Ong Tiong tidak menunjukkan reaksi apa-apa, bahkan sepasang matanyapun tidak
berkedip, seakan-akan ia tidak mendengar apa-apa, atau sekalipun mendengar seolah-olah tidak
memahami apa artinya, dia mirip sekali dengan seseorang yang lemah ingatan..
Tentu saja Ong Tiong bukan seseorang yang lemah ingatan.
Dia tak lebih cuma berlagak seolah-olah bodoh.
Tak tahan Kwik Tay-lok segera berteriak keras:
"Baik, kalian tak mau menghantarnya pulang, biar aku saja yang menghantarnya !"
Dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, dia melompat bangun.
Dengan cepat Yan Jit memeluknya kencang-kencang.
Ong Tiong berpaling memandang sekejap ke arah mereka, sorot matanya memancarkan rasa
sedih dan kasihan.
Siapapun tak ada yang tahu, sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan...
Lewat lama kemudian, akhirnya dia mendepak-depakkan kakinya ke atas tanah seraya
berseru: "Baik, aku akan menghantarkanmu pulang!"
Dia membalikkan badan dan maju ke depan baru saja akan membopong tubuh Ang Nio cu....
Mendadak Lim Tay-peng melompat maju ke depan, sekuat tenaga dia menumbuknya
sehingga orang itu mundur tujuh-delapan depa dan jatuh di sudut dinding sana.
Pada saat itulah Lim Tay-peng telah membopong tubuh Ang Nio-cu dari atas tanah.
Mendadak paras muka Ong Tiong berubah hebat, teriaknya keras-keras:
"Hei, apa yang hendak kau lakukan ?"
Lim Tay-peng segera menukas perkataannya itu.
"Hanya aku seorang yang dapat mengantarnya pulang, Yan Jit harus merawat siau Kwik, kau
adalah duri dalam mata baginya, bila kau yang pergi maka mereka tak akan melepaskan dirimu."
Sambil berkata dia sudah melayang keluar dari situ.
Ong Tiong segera melompat bangun dan menerjang ke depan kecepatan luar biasa,
bentaknya keras-keras:
"Cepat lepaskan dia, cepat...."
Di tengah bentakan keras, mendadak terdengar Lim Tay-peng menjerit kaget.
Ang Nio-cu yang sudah kempas-kempis napasnya itu mendadak melompat bangun dari
bopongannya seperti seekor ular berbisa, kemudian melambung tiga kaki ke tengah udara,
berjumpalitan beberapa kali dan sekejap mata kemudian lenyap dibalik kegelapan sana.
Terdengar suara tertawa merdu seperti keleningan bergema dari kejauhan sana:
"Telur busuk she Ong, kau melihat orang yang mau mati tak sudi menolong, kau betul-betul
seorang manusia yang tak punya liangsim, kau betul-betul seorang makhluk yang tak punya
perasaan."
Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, orangnya sudah pergi jauh sekali. Yang tersisa
hanyalah suara tertawanya yang merdu dan lengking seperti suara kehilangan itu menggema dari
kejauhan sana. Itulah suara tertawa yang merdu seperti keleningan perenggut nyawa.
Lim Tay-peng sudah tergeletak di atas permukaan salju di atas dadanya telah bertambah
dengan setitik bekas merah yang berwarna ke hitam-hitaman....
Tak ada orang yang bergerak.
Tak ada orang yang berbicara.
Bahkan sekulum senyuman manisnya yang terakhirpun akhirnya terbuyar oleh hembusan
angin dingin. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Ong Tiong berjalan keluar dengan langkah pelan.
kemudian membopong tubuh Lim Tay-peng dan dibawa kembali.
Wajahnya jauh lebih dingin daripada hembusan angin, lebih gelap dari cahaya malam.
Air mata Kwik Tay-lok telah jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
Yan Jit sedang memandang ke arahnya, air mata pun telah membasahi seluruh wajahnya
dengan lembut dia berkata:
"Kau tak usah berkecil hati, soal inipun tak dapat menyalahkan dirimu!"
Seandainya dia tidak mengucapkan perkataan itu, keadaannya masih mendingan, begitu
ucapan tersebut diutarakan, Kwik Tay-lok tak dapat menahan rasa sedihnya lagi.
Mendadak seperti seorang anak kecil saja, dia menangis tersedu-sedu....
Entah berapa lama sudah lewat, pelan-pelan Ong Tiong baru mendongakkan kepalanya
seraya berkata:
"Dia belum mati !"
Kejut dan girang Yan Jit setelah mendengar perkataan itu, serunya tertahan:
"Apakah dia masih bisa tertolong ?"
Ong Tiong manggut-manggut.
"Apa yang harus dilakukan sehingga dia baru bisa tertolong ?" tanya Yan Jit lagi.
Begitu ucapan itu diutarakan, sekali paras mukanya berubah hebat.
Karena dia telah menduga apa yang bakal terjadi, sebab di dunia ini hanya ada satu cara yang
bisa menolong jiwa Lim Tay-peng.
Itulah suatu cara yang benar-benar menakutkan sekali.
Dia memandang ke arah Ong Tiong, sorot matanya pun tanpa terasa memancarkan rasa takut
yang luar biasa, sebab dia sudah tahu apa yang sedang dipikirkan Ong Tiong.
Tentu saja Ong Tiong juga tahu apa yang sedang dia pikirkan, paras mukanya justru kelihatan
sangat tenang sekali, katanya dengan suara hambar:
"Kau harus tahu apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan jiwanya..."
Cepat-cepat Yan Jit menggelengkan kepalanya berulang kali, serunya:
"Cara ini tak bisa kau lakukan."
"Tidak bisa !" teriak Yan Jit dengan suara lantang.
"Tidak bisa juga harus bisa, sebab kita sudah tidak memiliki pilihan yang lain."
Mendadak Yan Jit roboh ke bawah, roboh di atas kursi dan duduk lemas, seolah-olah dia
sudah tak sanggup lagi untuk mempertahankan diri.
Kwik Tay-lok sedang mengawasi mereka dengan mata melotot besar, noda air mata masih
membasahi wajahnya, tak tahan diapun bertanya:
"Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan ?"
Tiada orang yang menjawab, tiada orang yang buka suara.
Dengan gelisah Kwik Tay-lok berseru kembali:
"Mengapa kalian tak mau memberitahukan kepadaku ?"
Yan Jit menghela napas pelan, sahutnya:
"Sekalipun kau tahu juga sama sekali tak ada gunanya!"
"Kenapa tak ada gunanya" Kalau bukan aku yang mengajukan usul tersebut, Lim Tay-peng
tak akan berubah menjadi begitu rupa, aku lebih sedih dari pada siapapun, lebih gelisah dan ingin
menolong dirinya daripada siapa pun."
"Sekarang kau hanya bisa menolong seseorang." kata Ong Tiong dengan suara dingin.
"Siapa ?"
"Kau sendiri !"
"Luka yang kau derita tidak ringan, bila pikiran sampai melayang kemana-mana, mungkin
nyawamu sendiripun tak bisa dipertahankan." bujuk Yan Jit dengan lembut.
Kwik Tay-lok melototi sekejap ke arah arang-orang itu, mendadak katanya:
"Senjata rahasia yang terkena di tubuhku apakah juga beracun?"
"Benar !"
"Siapa yang telah menolongku ?"
"Ong lotoa !"
"Kalau toh Ong lotoa bisa memunahkan racun yang bersarang di tubuhku, mengapa dia tak
dapat memunahkan racun di tubuh Lim Tay peng ?"
Yan Jit tidak menjawab.
Kembali Kwik Tay-lok berkata:
"Racun yang mereka poleskan di ujung senjata rahasia mereka seharusnya berasal dari satu
aliran, bukankah begitu ?"
Yan Jit termenung lagi sampai lama sekali, kemudian baru menghela napas panjang.
"Kenapa kau harus menanyakan kesemuanya itu sampai sedemikian jelasnya?"
"Kenapa aku tak boleh bertanya sejelas-jelasnya ?" seru Kwik Tay-lok dengan suara keras,
"bila kalian tidak memberitahukan lagi kepadaku, aku akan.... aku akan..."
Sekuat tenaga dia memukul-mukul pinggiran pembaringan, saking mendongkolnya dia sampai
tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Sambil menggigit bibir, Yan Jit segera berseru:
"Baik aku akan memberitahukan kepadamu, racun yang bersarang di tubuhmu serta racun
yang bersarang di tubuh Lim Tay-peng, kedua-duanya adalah racun khusus dari si ular garis
merah, oleh sebab itu hanya obat penawar khusus darinya yang bisa menolong jiwamu."
"Tapi Ong lotoa...."
"Ketika Ong lotoa bersiap-siap hendak meninggalkan mereka, secara diam-diam dia telah
mencuri sedikit obat pemunah khusus dari ular garis merah dan menyembunyikannya, maksudnya
adalah sebagai persediaan untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan".
"Lantas dimana obat penawarnya ?"
"Telah dipakai sampai habis sewaktu menolongmu!" jawab Yan Jit sepatah demi sepatah.
"Sudah dipakai sampai habis ?" Kwik Tay lok berseru tertahan.
"Yaa, sedikitpun sudah tak ada sisanya lagi."
Sambil menggigit bibir, pelan-pelan katanya lagi.
"Sebetulnya obat penawar itu dipersiapkan untuk menolong dirinya sendiri, tapi sekarang telah
digunakan semua untuk menolongmu. Sebetulnya aku mengira dia masih meninggalkannya
sedikit, siapa tahu karena dia takut kau keracunan hebat dan takut kadar obat pemunahnya
kurang, maka...."
Berbicara sampai di situ, sepasang matanya menjadi merah dan ia tak sanggup melanjutkan
kembali, sebetulnya persoalan ini hanya dia seorang yang tahu, sebab waktu itu Lim Tay-peng
sedang berjaga ditempat luaran..
Kwik Tay-lok mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, peluh dingin membasahi sekujur
badannya, lewat lama sekali dia baru bergumam:
"Akulah yang telah mencelakai Lim Tay-peng, obat pemunah yang bisa menyelamatkan
diapun telah kupergunakan sampai habis, aku betul-betul hebat, betul-betul luar biasa...."
"Kejadian ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian yang sama sekali tak terduga oleh
siapapun, kau sama sekali tidak...."
"Betul, aku sama sekali tidak meminta kepada kalian untuk menolongku." seru Kwik Tay-lok
"kalian sendiri yang harus berbuat demikian untuk menolongku, tapi mengapa kalian tidak pikirkan,
dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin bisa membuat aku hidup dengan hati yang lega
dan tenteram....?"
"Kau harus hidup terus," ujar Ong Tiong dengan wajah membesi, "setelah aku menolongmu,
sekalipun kau ingin mati juga tak bisa."
"Tapi Lim Tay-peng...."
"Kau tak perlu menguatirkan dirinya,?" ujar Ong Tiong dengan suara dalam, "kalau toh aku bisa
menolongmu, tentu saja akupun mempunyai akal untuk menolong dirinya."
"Sekarang aku telah mengerti cara apakah yang hendak kau pergunakan itu." ujar Kwik Taylok
sambil menggigit bibirnya.
"Kau hendak meminta obat penawar kepada ular garis merah, bukankah begitu?"
Setelah menggertak bibir, kembali serunya:
"Tadi kau tak mau pergi, lantaran kau terlalu memahami watak Ang Nio-cu, tapi sekarang,
demi Lim Tay-peng, sekalipun harus mengorbankan jiwa untuk memperoleh obat penawar itu, mau
tak mau kau harus pergi juga."
Ong Tiong tertawa hambar.
"Kau anggap It-hui-ciong-thian eng-tiong ong adalah seorang manusia baik-baik ?"
"Aku tidak kenal siapa itu eng-tiong-ong, aku hanya kenal dengan Ong Tiong, akupun
memahami manusia macam apakah Ong Tiong itu."
"Ooooohhh....?"
Sepasang mata Kwik Tay-lok kembali berkaca-kaca, katanya:
"Manusia yang bernama Ong Tiong itu meski dingin dan kaku mukanya, padahal dia berhati
lebih lunak daripada tahu, lebih panas daripada kobaran api."
Ong Tiong termenung beberapa saat lamanya, kemudian diapun berkata:
"Kalau toh kau sangat memahami diriku, tentunya kau juga harus tahu, apabila aku sudah
ingin melakukan sesuatu, maka siapa saja tak akan sanggup untuk menghalangi niatku itu."
"Kau juga harus memahami diriku" kata Kwik Tay-lok pula, "bila aku ingin melakukan suatu
pekerjaan, tak seorangpun yang dapat menghalangi diriku !"
"Kau ingin melakukan apa ?"
"Pergi mencari si ular garis merah untuk meminta obat penawar darinya...."
"Kau mana boleh pergi ?" seru Yan Jit berubah.
"Kenapa aku tak boleh pergi" Pokoknya aku akan pergi, lagi pula hanya aku seorang yang
dapat pergi."
"Tapi lukamu...."
"Justru karena aku terluka, maka kalian lebih-lebih harus membiarkan aku pergi."
Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara, dia melanjutkan kembali:
"Sekarang kita sudah tinggal dua orang, bila dua orang harus menghadapi tiga orang, maka
jelas hal ini parah keadaannya, oleh sebab itu kalian tak boleh terluka lagi, kalau tidak kita semua
hanya akan menemukan jalan kematian belaka."
"Walaupun perkataanmu ada benarnya juga. tapi....."
Kwik Tay-lok segera menukas kata-katanya itu:
"Tapi kami pun tak dapat membiarkan Lim Tay-peng mati keracunan, oleh sebab itu hanya aku
seorang yang boleh pergi, bagaimanapun juga aku toh sudah terluka, dan tak mampu
menyumbang tenaga lagi, apa lagi..." Setelah tertawa:
"Paling tidak si ular garis merah sekalian juga masih terhitung manusia, bagaimanapun juga
mereka tak akan turun tangan keji terhadap seseorang yang sudah tidak memiliki kemampuan
untuk melawan bukan?"
Ong Tiong segera tertawa dingin.
"Kau anggap mereka tak dapat membunuhmu?" jengeknya.
"Aku rasa tidak"
"Kau yang lebih memahami mereka" Atau aku ?"
"Kalau begitu aku dapat memberitahukan kepadamu, mereka hanya tidak membunuh
semacam manusia"
"Manusia macam apa ?"
"Orang yang sudah mati!"
Mendadak serentetan suara tertawa yang merdu bagaikan keleningan berkumandang datang
terbawa angin. Yan Jit menerjang ke muka, diapun menyaksikan sebuah layang-layang berwarna kuning
sedang melayang turun dengan amat pelannya ditengah kegelapan malam.
Layang-layang itu berbentuk segi empat diatasnya tertera pula lukisan yang me-liuk-liuk seperti
cacing. Sekarang Yan Jit sudah tahu, layang-layang tersebut bukan suatu layang-layang biasa,
melainkan sebuah tanda pembetot nyawa yang mematikan bagi siapapun yang melihatnya.
Tulisan apakah yang tertera di atas tanda pembetot nyawa itu" Siapapun tidak memahaminya.
Hanya manusia yang pernah mendatangi neraka saja yang dapat memahami tulisan tersebut.
Ong Tiong juga memahaminya.
Di atas layang-layang berwarna kuning itu penuh berisikan gambaran Hu yang berwarna
merah, merahnya seperti darah, seperti pula kobaran api dari neraka.
Ong Tiong mengawasinya lekat-lekat, dari balik sorot matanya yang dingin terpancar keluar
cahaya ngeri dan ketakutan yang luar biasa.
Yan Jit tidak memperhatikan layang-layang tersebut, dia hanya memperhatikan sepasang
mata Ong Tiong.... walaupun ia tidak mengerti makna dari gambaran Hu di atas layang-layang
tersebut, namun dia memahami apa arti dari sorot mata Ong Tiong tersebut.
Tak tahan lagi dia bertanya:
"Tulisan apakah yang tertera di atas layang-layang tersebut?"
Ong Tiong termenung sampai lama sekali tanpa menjawab, dia malah membuka jendela dan
memandang kegelapan malam yang mencekam.
Bintang makin redup, malampun sudah mendekati akhir.
Ditengah kegelapan malam, kembali tampak sebuah layang-layang dinaikkan ke tengah udara.
Ong Tiong menghela napas panjang, gumamnya:
"Fajar kembali sudah menyingsing!"
"Langit tentu akan menjadi, terang !" sambung Yan Jit.
"Akupun tentu akan pergi !" Ong Tiong menambahkan.
(BERSAMBUNG JILID 18)
Jilid 18 KENAPA " Tanya Yan Jit dengan paras muka berubah menjadi pucat pias seperti mayat.
"Sebab sebelum fajar menyingsing nanti, bila aku masih belum sampai di bawah Layanglayang
tersebut, maka Lim Tay-peng akan mati!"
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, wajahnya tampak murung dan sedih sekali.
Yan Jit juga tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya membungkam seribu bahasa.
Dia tahu, apabila Ong Tiong telah berkata demikian, maka yang diucapkan itu sudah pasti tak
bakal salah lagi.
Sebab bagaimanapun juga Ong Tiong jauh lebih memahami keadaan dari pada dirinya.
Langit sudah hampir terang tanah.
Datangnya fajar selalu membawa kecemerlangan, kegembiraan serta harapan bagi siapapun
juga. Tapi sekarang, yang diberikan untuk Ong Tiong sekalian hanyalah kematian.
Sebelum fajar menyingsing, bila Ong Tiong tidak berdiri di bawah layang-layang tersebut, Lim
Tay-peng akan mati !
Itulah arti dari pada tulisan yang tertera diatas, layang-layang tersebut....
Artinya, bagaimanapun juga Ong Tiong harus ke situ, dia harus mengorbankan jiwanya.
Dengan suara lantang Kwik Tay-lok berseru:


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku toh sedari dulu sudah bilang, hanya aku seorang yang dapat ke situ, siapa saja jangan
harap bisa menghalangi diriku !"
"Baik, kau boleh pergi" kata Ong Tiong dengan hambar, "tapi perduli kau akan pergi atau tidak,
aku tetap akan pergi juga."
"Kalau aku toh sudah pergi, kenapa kau musti pergi juga ?"
"Sebab yang mereka cari bukan kau, melainkan aku !"
"Sekalipun kau pergi kesana, belum tentu mereka akan berikan obat penawar itu kepadamu,
tentunya dalam hal ini kau lebih jelas daripada diriku bukan ?" seru Yan Jit.
"Yaa aku mengerti."
"Apa yang mereka lakukan tidak lebih hanya merupakan siasat untuk memancing
kedatanganmu, cuma satu perangkap yang menanti kau masuk jebakan, sudah pasti mereka telah
mempersiapkan diri di sana dan menunggu kau masuk perangkap."
"Soal ini aku jauh lebih mengerti daripada dirimu."
"Tapi kau masih bersikeras hendak pergi juga kesana ?"
"Apakah kau harus membiarkan aku menyaksikan kematian Lim Tay-peng...?"
Napas Lim Tay-peng sudah makin lemah, sepasang giginya saling menggertak keras,
wajahnya juga menunjukkan warna abu-abu, itulah suatu warna kematian.
Entah siapapun juga, setiap orang dapat melihat bahwa jaraknya dengan kematian sudah tidak
jauh lagi. Dengan sedih Yan Jit berkata:
"Kami tak dapat menyaksikan dia mati, tapi juga tak dapat membiarkan kau pergi mati !"
Ong Tiong segera tertawa-tawa ujarnya: "Dari mana kau bisa tahu kalau kepergianku kali ini
adalah menghantar kematian ?"
"Siapa tahu kalau dengan cepat aku telah kembali lagi sambil membawa obat penawar!"
Yan Jit, segera melompat sekejap ke arahnya, kemudian berkata:
"Sebetulnya kau lagi menipu kami" ataukah sedang membohongi dirimu sendiri ?"
Akhirnya Ong Tiong menghela napas panjang.
"Aku sendiripun tahu kalau harapanku untuk kembali dengan selamat tidak besar, tapi asal
masih ada setitik harapan, aku tetap akan mencobanya...."
"Seandainya setitik harapanpun tak ada?"
"Aku masih tetap akan mendatanginya juga."
Perkataan itu diucapkan dengan kata-kata yang tegas dan bersungguh-sungguh.
Tiba-tiba Yan-Jit bangkit berdiri, kemudian berseru dengan suara lantang:
"Baik, kalau kau ingin pergi, akupun akan menemani dirimu."
Pelan-pelan Ong Tiong mengangguk.
"Ai, kau boleh pergi, siapa saja yang bisa pergi boleh pergi ! Biarkan mereka yang tak bisa
pergi tetap tinggal di sini, menunggu orang lain datang untuk menjaganya."
Yan Jit tak mampu berbicara lagi.
"Hei, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan ?" tiba-tiba Kwik Tay-lok berseru tak tahan,
"kenapa tidak diucapkan saja secara berterus terang ?"
"Aku akan pergi seorang diri," kata Ong Tiong, "sedang kalian dengan membawa Lim Taypeng
menunggu aku di bawah bukit sana."
"Kemudian ?"
"Kemudian kalian usahakan sebuah kereta untuk menunggu di situ, entah mencuri atau
merampas, aku pasti akan berusaha untuk mendapatkan obat pemunah itu."
"Kemudian ?"
"Kemudian kalian duduk dalam kereta dan menunggu kedatanganku, sebelum matahari
terbenam nanti, bila aku belum datang juga mencari kalian, maka tinggalkanlah tempat ini."
"Setelah meninggalkan tempat ini, kami harus pergi kemana?" tanya Kwik Tay-lok pula.
Ong Tiong segera tertawa, meski suara tertawanya agak menyedihkan.
"Dunia ini sangat luas, masa kalian tak tahu kemana harus pergi ?"
Kwik Tay lok juga pelan-pelan mengangguk, katanya:
"Bagus, suatu ide yang sangat bagus, ide semacam ini tak nyana bisa juga kau dapatkan."
"Walaupun ide ini tidak terhitung suatu ide yang bagus, tapi inilah merupakan satu-satunya ide
yang baik."
"Bagus sekali, kau demi Lim Tay-peng pergi beradu jiwa, sedang kami harus sembunyikan
ekor macam anjing untuk melarikan diri, kau adalah seorang teman baik, tapi kami harus menjadi
binatang."
"Apakah kau masih mempunyai cara lain yang lebih baik lagi ?" serunya dengan lantang.
"Aku hanya punya satu akal."
"Katakan !"
"Jika ingin hidup, kita harus hidup bersama dengan riang gembira, kalau ingin mati maka kita
pun harus mati bersama dengan riang gembira...."
Kwik Tay-lok tetap adalah Kwik Tay-lok, dia bukan Ong Tiong, juga bukan Yan Jit.
Mungkin dia tidak memiliki ketenangan Ong Tiong, mungkin tidak memiliki kecerdasan Yan Jit.
Tapi orang ini justru selalu berpikir menurut perasaan, apa yang diucapkanpun selalu
berbobot. Ketika angin berhembus lewat, kabut yang kelabu baru saja muncul dari tanah pekuburan.
Api setan juga lenyap dibalik kabut.
Siapa bilang di dunia ini tiada setan, Siapa yang bilang "
Yang sedang melayang dibalik kabut sekarang, bukankah merupakan sukma gentayangan
yang tak diterima dalam neraka "
Siapapun tak dapat melihat jelas paras mukanya.
Karena paras mukanya berwarna kelabu, seakan-akan telah melebur menjadi satu dengan
kabut dingin yang tebal, hidungnya sudah melebur dengan kabut, mulutnya juga telah melebur
dengan kabut. Yang tersisa tinggal sepasang mata setannya yang berwarna merah seperti api.
Dibalik mata tiada sinar, juga tak bisa mana yang hitam mana yang putih, tapi penuh berisikan
sinar kebengisan seakan-akan sedang menyumpahi seluruh orang dan seluruh kejadian yang
berada di dunia ini....
Entah tempat manapun yang dipandang oleh sorot mata tersebut, di tempat itu segera akan
muncul suatu alamat yang tidak menguntungkan.
Ang Nio-cu segera mengerlingkan matanya yang jeli, kemudian berkata lagi:
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang?"
"Menurut kau ?" sukma gentayangan itu balik bertanya.
"Kenapa harus aku yang menjawab ?"
"Sebab kau toh lebih memahami tentang dirinya daripada kami !"
Dengan lemah gemulai Ang Nio-cu maju menghampirinya, kemudian mengerling sekejap ke
arahnya sembari berkata:
"Sekarang kau masih cemburu ?"
"Hmmm!" sukma gentayangan itu mendengus:
"Kau anggap aku benar-benar menaruh perhatian kepadanya."
Sorot mata dari sukma gentayangan itu memancarkan rasa benci yang jauh lebih dalam,
katanya: "Selama ada dia, belum pernah kau menemani aku barang seharipun juga...."
Sekarang, sorot mata itu sedang mengawasi daerah di sebelah barat, setiap kuburan setiap
tumpukan salju, tak ada yang tertinggal olehnya.
Kemudian sorot mata itu baru memperlihatkan sinar yang penuh dengan senyuman.
Siapa saja tak dapat menduga betapa keji dan menakutkannya senyuman semacam itu.
Pada saat itulah, dari balik kabut yang tebal kembali berkumandang suara tertawa yang merdu
seperti keleningan.
Bukan keliningan yang merdu, melainkan suara keleningan yang mengandung hawa pembetot
sukma. Bagaikan bayangan sukma saja Ang Niocu muncul dari balik kabut tebal, sambil tertawa
katanya: "Segala sesuatunya telah dipersiapkan?"
Sukma gentayangan itu pelan-pelan mengangguk.
"Kecuali orang itu tidak datang, kalau tidak jangan harap dia bisa pulang dalam keadaan hidup
!" "Apakah kau sudah lupa siapa yang suruh aku berbuat demikian?"
Sukma gentayangan itu tidak berbicara lagi.
Ang Nio-cu tertawa dingin, kembali katanya:
"Untuk berhasil merangkulnya agar berpihak kepada kita, kau suruh aku pergi menemaninya
tidur, sekarang kau malahan menyalahkan aku, sebenarnya kau punya liangsim tidak?"
"Tidak !"
Kembali Ang Nio-cu tertawa, katanya:
"Sungguh tak kusangka kaupun bisa mengucapkan sepatah kata yang jujur...."
"Dan kau ?"
"Selama berada di hadapanmu, aku selalu berbicara dengan sejujurnya...." sahut perempuan
itu. "Bila aku tidak menyuruhmu menemaninya tidur, apakah kau tak akan pergi?"
"Aku tetap akan pergi."
"Kenapa ?"
Ang Nio-cu tersenyum.
"Karena aku suka menemani orang lelaki tidur."
Sukma gentayangan itu segera menggertak giginya kencang-kencang, serunya lagi:
"Menemani tidur lelaki macam apa ?"
"Kecuali kau, lelaki macam apapun aku suka !"
Sorot mata sukma gentayangan yang penuh rasa benci itu telah berubah menjadi surut
penderitaan, tapi sinar matanya justru berubah menjadi terang.
Ang Nio-cu mengawasi matanya itu, lalu katanya:
"Sudah habiskah pertanyaanmu itu ?"
Mendadak sukma gentayangan itu menjambak rambutnya kemudian menempeleng wajahnya
keras-keras, teriaknya:
"Kau perempuan rendah !"
Ang Nio-cu tidak merasa terkejut atau takut, juga tidak merasa gusar, malah senyumannya
bertambah manis.
"Sebenarnya aku memang seorang perempuan rendah, tapi kau lebih rendah daripadaku."
Kembali sukma gentayangan itu menempeleng wajahnya keras-keras.
Ang Nio-cu masih saja tertawa, katanya:
"Bukan saja kau suka kalau melihat aku pergi menemani lelaki lain tidur, suka pula bertanya
kepadaku, tiap hari bertanya kepadaku, pertanyaan seperti ini entah sudah betapa kali kau
tanyakan kepadaku !"
Tidak membiarkan si sukma gentayangan itu membuka suara, kembali dia berkata lagi:
"Karena kau suka mendengarkan perkataan semacam ini, suka menyiksa aku, hanya dikala
aku sedang tersiksa, kau baru menjadi orang, kau baru merasa bahagia."
Sukma gentayangan itu mendesis lirih, sekuat tenaga menariknya keras-keras.
Ang Nio-cu segera tertawa cekikikan.
"Apakah kau ingin..."
Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara dingin:
"Sekarang bukan saatnya buat kalian untuk berpacaran !"
Suara itu lebih dingin daripada es.
Karena suara tersebut memang datangnya dari bawah lapisan salju yang amat tebal.
Ang Nio-cu segera tertawa, serunya:
"Rupanya kau telah menyusup ke dalam lapisan salju !"
Selembar wajah tiba-tiba muncul dari balik tumpukan salju yang tebal di atas permukaan
tanah. Itulah selembar wajah yang lebih menakutkan daripada wajah orang mati...
"Bagaimana keadaan di bawah ?" Ang Nio-cu bertanya.
"Nyaman sekali" sahut ular garis merah.
Kembali Ang Nio-cu tertawa.
"Di dunia ini memang sulit untuk mencari tempat kedua yang jauh lebih segar dari pada tempat
kau berada sekarang."
"Apakah kaupun ingin menerobos masuk kemari untuk menemani aku tidur....?"
"Asal kau punya kesabaran untuk menungguku di bawah, cepat atau lambat aku pasti akan
menembus ke bawah."
"Cuma sayang dia tak punya napsu terhadap dirimu" dengus si sukma gentayangan sambil
tertawa dingin.
Si ular garis merah memandang sekejap keadaan cuaca, tiba-tiba dia berkata:
"Waktu sudah tidak pagi, lebih baik kau pergi mampus saja."
"Menurut pendapatmu, mungkinkah dia akan datang ?"
"Pasti akan datang" sahut Ang Nio cu dengan cepat.
"Kenapa ?"
"Sebab kecuali terhadap kita, terhadap sahabatnya selalu baik dan bersedia berkorban"
Sukma gentayangan itu mendongakkan kepalanya dan memandang pula keadaan cuaca.
Fajar sudah mulai menyingsing.
Sukma gentayangan atau setan penasaran kebanyakan akan pulang ke rumahnya jika fajar
telah menyingsing.
"Aku akan pergi mati !" kata sukma gentayangan itu kemudian.
"Kalau begitu cepatlah pergi mati !" kata Ang Nio-cu.
Pelan-pelan sukma gentayangan itu berjalan ke samping sebuah kuburan, mengeluarkan
sebuah botol porselen dan meletakkannya ke atas kuburan tersebut.
Kemudian diapun secara tiba-tiba lenyap didalam kuburan tadi.
Ang Nio cu menghembuskan napas panjang, lalu bergumam:
"Seandainya dia tak akan muncul untuk selamanya, betapa indahnya waktu itu."
"Bagaimana indahnya ?" tanya si ular garis merah.
Sambil menundukkan kepala, Ang Nio-cu memandang sekejap ke arahnya, sepasang matanya
yang jeli dan bening itu menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata dengan lembut.
"Kalau tinggal kita berdua, bukankah keadaan tersebut lebih baik lagi...?"
"Kalau ingin begitu, paling tidak kita harus menunggu sampai semua perempuan yang ada di
dunia ini sudah pada mampus semua." kata si ular garis merah dingin.
Ang Nio-cu segera menerjang ke muka dan meludah di atas wajahnya, dengan gemas dia
berteriak: "Sebetulnya kau ini manusia atau bukan?"
"Bukan !" jawab si ular bergaris merah sambil tertawa seram.
Belum habis dia berkata, wajahnya itu sudah lenyap kembali dibalik lapisan salju.
Ang Nio-cu menjadi tertegun untuk beberapa saat lamanya, mendadak saja dia seperti
mempunyai banyak pikiran.
Lewat lama kemudian, tubuhnya baru berkelebat ke depan..
Dengan cepat bayangan tubuhnya lenyap pula dibalik kabut yang teramat tebal itu.
Layang-layang itu sudah diturunkan.
Langit hanya berwarna putih kelabu, kecuali itu tiada sesuatu yang tampak.
Ong Tiong sedang berjalan dengan sangat lamban, wajahnya masih tetap dingin tanpa emosi.
Sekalipun dalam hatinya merasa takut, perasaan tersebut tak akan dia perlihatkan di atas
wajahnya. Entah siapa saja yang pernah merasakan penderitaan dan siksaan, dia seharusnya dapat
menyembunyikan perasaan tersebut didalam hatinya.
Pelbagai perasaan harus disembunyikan didalam hati.
Tapi perasaan ibaratnya arak.
Semakin dalam kau simpan, semakin lama kau simpan, justru akan semakin tebal dan keras.
Sekarang dia cuma seorang diri.
Teman-temannya tiada seorangpun yang datang.
Apakah mereka telah menghianatinya, ataukah dia telah berhasil menundukkan perasaan
mereka " Siapa saja tidak tahu.
Siapapun tak dapat membaca kesemuanya itu dari perubahan mimik wajahnya.
Tapi semua orang tahu, di dunia ini tiada perjamuan yang tak bubar, bagaimanapun akrabnya
suatu persahabatan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan berpisah juga.
Kehidupan manusia memang serba tak menentu, kadangkala berkumpul kadang kala
berpisah, tapi berkumpul juga baik, mengapa harus terlampau serius.
Langit masih remang-remang, tapi untung saja masih ada setitik cahaya terang.
Walaupun langkahnya sangat lamban, tapi akhirnya sampai juga ditempat tujuan.
Manusia hidup memang demikian, banyak urusan memang selalu begitu, kenapa pula harus
terlampau tergesa-gesa "
Angin masih terasa sangat dingin, dingin bagaikan sebilah pisau, pisau yang menyayat
wajahnya. Pelan-pelan dia berjalan menembusi tanah pekuburan, diam-diam menghitung jumlah batu
nisan yang berserakan di situ.
Batu nisan itu ada yang tumbang ada yang sudah lapuk dimakan cuaca, bahkan tulisannya
pun sukar dibaca.
Siapakah yang beristirahat didalam kuburan itu" Tiada orang yang memperhatikan lagi.
Dikala mereka masih hidup, bukankah merekapun mempunyai kebanggaan, kenis-taan,
gembira dan sedih "
Tapi sekarang, mereka tidak memiliki apa-apa.
Kalau toh sudah tahu begini, mengapa pula kau selalu memikirkan kebanggaan maupun
kenistaan dirimu didalam hati "
Ong Tiong menghela napas panjang, mendadak ia berhenti berjalan.
Sebab dia telah mendengar suara tertawa dari Ang Nio-cu.
Ang Nio-cu sedang tertawa cekikikan dengan suaranya yang merdu bagaikan keleningan.
"Aku sudah tahu bahwa kau pasti datang, ternyata kau benar-benar telah datang."
"Yaa, aku telah datang."
Dia telah melihatnya, perempuan itu telah berdiri di bawah sebatang pohon yang gundul di
atas permukaan salju, pakaiannya masih berwarna merah darah, seakan-akan masih tetap seperti
ketika mereka bersua untuk pertama kalinya dulu.
Tapi waktu yang sudah lewat tak pernah akan kembali lagi, kegembiraan dan kesedihan yang
sudah lewat pun akan segera terlupakan.
Sekalipun sekarang belum terlupakan, cepat atau lambat akhirnya pasti akan terlupakan juga.
Ang Nio-cu sedang berdiri di sana sambil mengawasi dirinya, dibalik sinar matanya itu entah
terpancar rasa-marah atau murung" Cinta atau benci"
Dia mau cinta juga boleh, benci juga boleh, sebab kesemuanya itu tak menjadi soal.


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya Ang Nio-cu tertawa.
"Betulkah kau datang untuk mengambil obat penawar bagi Lim Tay-peng ?" tanyanya.
"Benar !"
"Kalau demi aku, kau tak akan sudi kemari?" kata Ang Nio-cu sambil menggigit bibir.
"Yaa, tak sudi."
Ang-Nio-cu tertawa amat sedih.
"Mengapa sikapmu terhadap teman selalu lebih baik daripada sikap kepadaku ?"
"Sebab kau bukan temanku."
"Aku bukan temanmu" Apakah kau sudah lupa ketika kami sedang berkumpul dulu, betapa
besarnya perhatianku kepadamu?"
"Aku sudah melupakannya."
Ang Nio-cu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Bagaimanapun kerasnya ucapanmu itu, aku tahu dalam hati kecilmu, kau tak pernah akan
melupakannya."
Sinar matanya bagaikan kabut, dengan sedih lanjutnya:
"Masih ingatkah kau, suatu ketika sewaktu kita sedang berbaring di puncak bukit Hoa-san,
menggunakan awan putih sebagai selimut, menggunakan bumi sebagai ranjang, di dunia ini,
seolah-olah tinggal kita berdua saja."
Suaranya makin lama makin rendah, semakin lembut, kemudian lanjutnya lebih jauh:
"Suatu ketika, kita berbaring ditengah gurun pasir yang tiada tepian, waktu itu kita menghitung
jumlah bintang yang ada diangkasa sampai sekujur tubuh kita berdua terbenam di tengah pasir....
semua kejadian itu masih ingatkah kau ?"
Ong Tiong tidak berbicara.
Kejadian semacam itu memang tak akan dilupakan oleh siapapun juga.
Benarkah dia dapat melupakannya "
Berhadapan muka dengan orang pertama yang dicintainya, benarkah perasaan hatinya bisa
dingin dan tenang "
Ang Nio-cu menatapnya lekat-lekat, dari balik matanya nampak air mata berkaca kaca,
lanjutnya: "Semua kejadian seperti itu tak akan kulupakan untuk selamanya, oleh karena itu aku baru
membencimu, membenci diriku karena kau pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun kepadaku,
membenci dirimu sehingga menginginkan kematianmu, tapi.."
Dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Asal kau bersedia untuk balik kembali seperti sedia kala, asal kau bersedia mengucapkan
sepatah kata saja, sekarang juga aku bersedia pergi mengikuti dirimu, entah ke ujung langit
sekalipun, aku akan selalu mengikuti dirimu."
"Ke manapun aku tak akan pergi !" tiba-tiba Ong Tiong berteriak sekeras-kerasnya.
Suaranya sangat keras, seakan-akan hendak menyadarkan kembali dirinya dari impian.
Sambil menggigit bibir Ang Nio cu berkata:
"Kalau tempat manapun tak akan kau datangi, mengapa pula kau datang kemari ?"
"Aku datang untuk mengambil obat penawar !" sahut Ong Tiong dingin dan ketus.
"Selain itu, tiada alasan lainnya ?"
"Tidak ada !"
"Kau tak ingin datang untuk menengokku."
"Tidak !"
Mendadak paras muka Ang Nio-cu berubah menjadi hijau membesi, hijau seperti kalajengking.
Sorot matanya yang lemah lembut dan penuh kemesraan seketika lenyap tak berbekas, dia
mendepak-depakkan kakinya berulang kali seraya berseru keras:
"Baik, obat penawar itu berada di belakang sana, pergilah untuk mengambilnya sendiri."
Ong Tiong berpaling, dia menyaksikan botol porselen di atas tanah kuburan itu.
"Kali ini kami bersedia memberikan obat penawar itu kepadamu karena kami masih
menganggap dirimu sebagai teman. Setelah mendapatkannya, lebih baik cepat-cepat kau
tinggalkan tempat ini."
Paras muka Ong Tiong masih kaku tanpa emosi.
Apapun yang dikatakan perempuan itu, tak sepatah katapun yang dipercayai olehnya.
Dia tahu, tak mungkin obat penawar tersebut akan diserahkan kepadanya dengan begitu
gampang. Tapi dia toh maju pula ke depan.
Bagaimanapun juga, apapun yang bakal terjadi, dia harus mendapatkan obat penawar
tersebut. Seandainya obat penawar itu berada didalam air keras, dia akan terjun ke dalam air keras,
seandainya obat penawar itu berada di tengah kobaran api, dia akan terjun ke dalam kobaran api.
Lapisan salju terasa dingin tapi lembut.
Ong Tiong hanya cukup maju enam-tujuh langkah saja dengan cepat akan berhasil meraih
obat penawar itu.
Dia sudah mengulurkan tangannya.
Botol itu sangat dingin, dingin seperti tangannya mayat.
Dia telah mengambil botol tersebut, tangannya jauh lebih dingin daripada botol porselen
tersebut. Sebab pada saat itulah dia sudah merasakan hawa kematian yang sangat tebal menyelimuti
sekeliling tempat itu.
Mendadak dari dalam kuburan itu muncul sepasang tangan yang segera menotok jalan darah
Huan-tiam-hiat di atas lututnya.
Sementara itu sepasang tangan yang lainpun pada saat yang bersamaan muncul dari bawah
lapisan salju dan secepat kilat melepaskan dua titik bintang yang langsung menyerang kakinya.
Dia segera terjatuh dan berlutut di atas tanah, berlutut di depan kuburan itu..
Kemudian dia baru menyaksikan, di bawah kuburan itu muncul sebuah liang gua.
Ternyata kuburan itu hanya sebuah kuburan palsu, didalamnya kosong melompong.
Suara tertawa Ang Nio-cu yang merdu merayu kembali berkumandang datang, katanya sambil
tersenyum manis.
"Sekarang, kau benar-benar tak usah pergi ke mana-mana lagi...."
Ong Tiong berlutut di depan kuburan, wajahnya masih tanpa emosi, tapi muka itu pucat pasi
dan nampak menakutkan sekali.
Dia sangat memahami orang-orang itu, sangat memahami cara kerja dan kekejian orang ini.
Dia sedang menunggu, menunggu mereka lakukan tindakan yang lebih keji lagi.
Akhirnya dari dalam kuburan itu berkumandang suara keras:
"Kau kalah !"
Dia tahu, itulah suara Cui-mia-hu. Dimana pun juga, suara pembicaraan dari Cui-mia-hu selalu
dingin seakan-akan ucapan yang keluar dari dalam kuburan.
"Yaa aku kalah !"
Terpaksa dia harus mengakui kenyataan.
"Kali ini kau tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meraih kembali modalmu !" kembali Cuimia-
hu berkata. "Yaa memang aku tak punya."
"Tahukah kau, apa yang telah kau kalahkan dalam pertaruhkan?"
"Aku hanya mempunyai selembar nyawa yang kalah dipertaruhkan."
"Kau masih memiliki yang lain."
"Apa pula yang kau inginkan ?"
"Kau seharusnya tahu, apa yang bakal di minta sebuah tangan yang dijulurkan dari peti mati ?"
"Minta uang ?"
"Betul, minta uang !"
"Bila kau minta uang, maka kau telah salah sasaran."
"Aku tak pernah salah mencari orang."
"Yang membutuhkan uang seharusnya aku, dalam harta kekayaan yang kita miliki aku berhak
satu bagian, tapi tidak seharusnya kalau kau telan empat bagian yang lainnya sekaligus"
Ong Tiong tidak berbicara, tiba-tiba saja mimik wajahnya berubah menjadi aneh sekali.
"Penghasilan yang kita peroleh beberapa tahun itu lumayan sekali" kata Cui-mia-hu.
"Yaa, memang lumayan."
"Apakah cuma kita berlima yang tahu, berapa besar penghasilan kita semua...?"
"Benar !"
"Apakah hanya kita berlima juga yang tahu sebenarnya berapa banyak penghasilan yang kita
simpan dan disembunyikan dimana?"
"Benar !"
"Adakah orang ke enam yang mengetahuinya."
"Tidak ada !"
"Entah siapapun orangnya, bila uang tersebut berhasil diambilnya, sudah cukup baginya untuk
menikmati penghidupan yang cukup dan berlebihan ?"
"Sekalipun seorang yang pemborospun masih lebih dari cukup."
"Tapi ketika kau telah pergi kami baru tahu, rupanya hanya kau seorang yang dapat menikmati
uang tersebut!"
"Kau mengira aku telah melarikan uang tersebut ?" seru Ong Tiong.
"Harta tersebut sudah ludas hingga sepeser uangpun tak ada yang tersisa, kau mengira siapa
yang telah membawanya lari?"
Ong Tiong menghembuskan napas panjang, katanya:
"Sekarang aku baru tahu, karena apakah kalian datang kemari."
Cui-mia-hu juga tertawa dingin.
"Semenjak dulu aku sudah tahu karena apakah kau pergi, harta kekayaan itu sudah cukup
membuat siapa saja mengkhianati temannya."
Tiba-tiba Ong Tiong tertawa.
Kembali Cui-mia-hu, berkata:
"Kau menganggap kami menggelikan. Mengira kami adalah telur busuk yang bodoh?"
"Aku baru seorang telur busuk yang bodoh, seandainya aku memiliki sejumlah uang seperti
yang kalian maksudkan, tak akan kulewati penghidupan semacam ini, kecuali kalau dia itu seorang
tolol." "Penghidupan macam apakah yang kau maksudkan?"
"Penghidupan yang miskin !"
Tiba-tiba Ang Nio-cu melayang ke depan dan tertawa merdu seperti bunyi keliningan:
"Berapa besar kemiskinanmu itu ?"
"Miskin sekali !"
Ang Nio-cu segera mengedipkan matanya berulang kali, katanya:
"Konon ada seseorang yang dalam semalaman saja telah kalah beberapa puluh laksa tahil
perak dalam rumah makan Gui-goan-koan di kata Sian-sia, siapakah orang itu ?"
"Aku !"
"Konon, ada seseorang membeli arak sebanyak beberapa ratus tahil perak selama satu bulan
di toko Yan-biau-gwan di bawah gunung sana. Siapa pula orang itu ?"
"Aku !"
"Ada pula satu keluarga yang belakangan ini baru saja mengganti semua perabot rumahnya,
bukankah kursi yang ada di ruang kecil di halaman belakangpun, terbuat dari kayu jati, yang
harganya paling tidak tujuh tahil perak sebuahnya. Siapa pula orang itu ?"
"Aku !"
Ang Nio-cu segera tertawa, katanya sambil tersenyum:
"Bila seseorang dapat melakukan penghidupan semacam ini, dapatkah orang itu dianggap
miskin ?" "Tidak dapat !"
"Kami sudah mencari kabar, meski tempat ini bernama Hok-kui-san-ceng, namun sejak
generasi yang pertama kecuali namanya saja, tidak dijumpai segala sesuatu yang berbau kaya
atau mewah."
"Betul !"
"Selama beberapa tahun ini, kau juga tak pernah keluar rumah untuk berdagang ?"
"Bila seseorang bisa hidup bahagia di dalam rumah, mengapa harus keluar rumah untuk
bersusah payah ?"
"Memangnya uang bisa terbang datang dari atas langit?"
"Tapi bisa digali dari dalam tanah !"
Sekali lagi Ang-Nio-cu tertawa.
"Tak kusangka begitu cepat kau telah mengakuinya !"
"Tidak mengaku pun tak bisa !"
"Yaa, memang tak bisa !"
"Kalau toh tidak bisa, mengapa aku tidak mengakuinya saja ?"
Setelah tertawa, tertawa yang sangat dipaksakan, dia berkata lebih lanjut:
"Bila kalian hendak menyelidiki asal-usul seseorang sejelasnya, tulang belakang dari kakek
moyang tiga generasi pun akan digali keluar. Bila kau menginginkan seseorang berbicara
sejujurnya, bahkan si bisu pun mau tak mau harus buka suara, hal ini aku mengetahui jauh lebih
jelas lagi daripada orang lain."
"Oleh sebab itu kau tidak seharusnya pergi." sambung Cui-mia-hu dengan dingin.
"Aaai.... sayang, ada banyak orang yang seringkali dapat melakukan perbuatan yang tidak
seharusnya dia lakukan", gumam Ong Tiong sambil menghela napas.
"Baik, sekarang kita berangkat."
"Berangkat " Ke mana?"
"Pergi mengambil kembali tiga bagian yang menjadi hak kami".
"Baik, kalian boleh pergi mengambilnya!"
"Mengambilnya di mana?"
"Kalau kau tidak berbicara, dari mana kami bisa tahu uang tersebut disembunyikan di mana ?"
"Kenapa aku harus berbicara " Aku tidak berbicara apa-apa."
"Kau masih belum mau mengaku?" bentak Cui-mia-hu dengan suara keras bagaikan geledek.
"Sekalipun uang itu aku yang mengambil, tapi mengaku mengambil uang adalah satu urusan,
menyanggupi untuk mengambil uang adalah urusan lain."
"Kau menginginkan uang" Atau menginginkan nyawa?" ancam Cui-mia-hu sambil tertawa
dingin... "Bila masih hidup, tentu saja menginginkan nyawa, bila sudah tak bisa hidup terus terpaksa
minta uang."
"Kau menginginkan yang bagaimana baru bersedia meluluskan permintaan kami ?"
"Jikalau kalian bersedia mengembalikan nyawaku, akupun bersedia pula mengembalikan uang
kalian." Cui-mia-hu termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba dia berkata keras:
"Baik, kembalikan nyawamu."
"Selembar nyawa dengan sebagian uang."
"Kau mempunyai beberapa lembar nyawa?"
"Aku mempunyai selembar, Kwik Tay-lok selembar, Lim Tay-peng selembar, Yan Jit selembar,
total jendral empat lembar nyawa dengan empat bagian harta."
"Selembar nyawa dengan empat bagian harta !"
"Tidak bisa."
"Tidak bisa juga harus bisa, kau ini hidup sedang uang itu mati, kalau toh kami bisa
menemukan dirimu, memang tak bisa menemukan uang itu...?"
Ong Tiong juga termenung sampai lama sekali pelan-pelan dia baru menjawab:
"Baiklah, kembali dulu nyawanya"
"Nyawa siapa ?"
"Kau mengharapkan siapa yang akan mengembalikan uang kepadamu ?"
Ang Nio-cu kembali tertawa, sambil cekikikan katanya:
"Sudah sejak lama aku tahu kalau dia masih terhitung seseorang yang pintar, akhirnya dia
tahu juga nyawa siapa pun masih berharga nyawa sendiri."
"Bebaskan dulu racun yang mengeram dalam tubuhku, kemudian bebaskan jalan darah di
tubuhku kemudian aku akan mengajak kalian pergi mengambil uang."
"Racun boleh kupunahkan, tapi jalan darah tak bisa kubebaskan" ucap Cui-mia-hu.
"Bila jalan darahku tidak dibebaskan, setiap saat kalian masih bisa merenggut nyawaku."
"Aku toh sudah bersedia untuk mengampuni selembar nyawamu."
"Kecuali nyawa?"
"Asal masih punya nyawa, seharusnya kau sudah merasa puas sekali."
Ang Nio-cu tertawa dan menambahkan pula:
"Betul daripada mati kan lebih baik hidup kau masih bisa memikirkan nyawa bukan ?"
Ong Tiong kembali termenung beberapa saat lamanya kemudian dia pun menghela napas
panjang. "Aaaai... tampaknya aku sudah tiada jalan lain lagi."
"Semenjak kau membawa kabur harta kekayaan tersebut, sesungguhnya kau telah melangkah
ke sebuah jalan buntu" sambung Cui-mia-hu dengan nada menyeramkan.
"Bila jalan darah Huan tiau hiat di tubuh seseorang tertotok, mau ke manapun dia pasti tak bisa
berjalan sendiri," ucap Ong Tiong.
Ang Nio-cu segera tertawa genit.
"Kau tak bisa jalan, biar aku saja yang menggendongmu. Jangan lupa dulu kau sering kali
menunggangi tubuhku."
"Kau mengikuti aku saja!" tukas Cui mia hu dengan dingin.
"Lantas siapa yang akan membopongnya?"
"Aku!" tiba-tiba dari atas lapisan salju muncul seseorang bagaikan seekor alas...
Ong Tiong pun berada di atas punggung si ular bergaris merah.
Tubuh si ular bergaris merah lembut, empuk, basah dan dingin.
Kabut telah buyar.
Tapi udara masih mendung dan berawan tebal, tiada sinar cahaya matahari, tiada sinar
keemas-emasan. Tiba-tiba si ular bergaris merah berkata:
"Jalan ini menuju ke rumahmu"
"Aku hanya berharap jalan ini bukan menuju ke rumah nenek moyangku!" sambung Ong
Tiong. "Kau sembunyikan uang itu di dalam rumahmu ?"
"Seandainya berganti kau, uang itu akan kau sembunyikan dimana ?"
"Tentu saja di suatu tempat yang setiap saat bisa kucomot. Uang itu bagaikan perempuan,
lebih baik disimpan pada tempat yang setiap saat bisa diraba."
"Tak kusangka kau pun mengerti soal perempuan." ujar Ong Tiong sambil tertawa.
"Justru karena aku mengerti, maka aku baru menghendaki."
"Kau hanya menginginkan uang ?"
"Uang lebih baik daripada perempuan, uang tak dapat menipu dirimu, di dunia ini tiada benda
lain yang lebih jujur daripada uang"


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oleh karena itu, uang bisa disimpan dalam ruang tamu, tapi perempuan tak dapat."
"Uang itu berada di ruang tamu ?" seru si ular bergaris merah.
"Dalam sebuah rumah, masih ada tempat mana lagi yang jauh lebih luas dan menyolok
daripada ruang tamu ?"
Si ular bergaris merah segera manggut- manggut.
"Benar, semakin menyolok tempat itu, semakin tak akan diperhatikan oleh orang lain."
Cui-mia-hu selamanya enggan berjalan di depan siapa saja..
Di dunia ini ternyata terdapat juga manusia seperti itu, sebab sudah tak terhitung jumlahnya
ketika dia menyergap dan membunuh orang dari arah belakang pula.
Oleh karena itu, selamanya dia enggan berjalan di belakang orang lain....
Dengan ketat dia mengikuti di belakang Ang Nio-cu, seakan-akan selembar bayangan tubuh si
perempuan itu. Bahkan Ang Nio-cu masih sempat merasakan pula dengusan napasnya yang dingin, dengusan
napas yang membawa hawa mayat.
Paras mukanya waktu itu sudah berubah menjadi amat tak sedap dipandang.....
Cui-mia-hu tak dapat menyaksikan paras mukanya, dia hanya dapat melihat tengkuknya.
Dia sedang memperhatikan tengkuknva dengan wajah penuh kenikmatan, sebab di atas kulit
tengkuknya yang putih halus itu, bulu kuduknya pada berdiri semua karena terkena dengusan
napasnya. Ang Nio-cu sebaliknya sedang memperhatikan Ong Tiong yang berada di hadapannya tiba-tiba
ia berkata: "Kau mengira dia benar-benar akan membawa kita untuk pergi mengambil uang tersebut?"
"Dia sudah tiada pilihan lain" jawab Cui-mia-hu.
"Aku selalu merasakan gelagat kurang benar !"
"Bagian mana yang tidak benar ?"
"Dia bukan seorang manusia yang gampang dihadapi, diapun tidak semestinya begini takut
mati." Cui-mia-hu segera tertawa dingin, katanya:
"Perduli dia itu manusia macam apa, sekarang sudah tidak menjadi soal lagi."
"Kenapa ?"
"Sebab sekarang dia sudah merupakan seseorang yang telah mati."
"Orang mati ?"
"Kau mengira aku sungguh-sungguh akan mengampuni selembar jiwanya....."
Ang Nio-cu tersenyum.
"Tentu saja aku tahu kalau kau tak akan berbuat demikian, tapi sekarang dia toh belum mati!"
"Walaupun belum mati seluruhnya, tapi sudah mati separuh bagian."
"Dia masih mempunyai teman."
"Seorang adalah teman yang sudah hampir mati, sedang dua orang lainnya tak ubahnya
seperti menanti saat kematiannya saja. Kami bertiga, entah siapa saja sudah cukup untuk
menghadapi mereka, apa pula yang kau kuatirkan?"
Tiba-tiba Ang Nio cu tertawa, katanya:
"Aku bukan merasa kuatir, tapi cuma merasa agak sayang."
"Apanya yang sayang!"
Ang Nio-cu tertawa cekikikan.
"Sayang aku belum sempat tidur bersama ketiga orang bocah itu."
Mendadak Cui-mia-hu menggigit tengkuknya.
Seakan-akan seekor anjing gila yang tiba-tiba berhasil menggigit seekor anjing betina.
Langit masih gelap, oleh sebab itu suasana di ruang tamu pun masih amat gelap.
Daun jendela terbuka lebar, dari luar lamat-lamat masih kelihatan ada dua sosok bayangan
manusia. "Siapa yang berada di dalam?" si ular bergaris merah segera menegur.
"Sungguh tak kusangka matamu makin lama semakin melamur" kata Ong Tiong hambar.
Sesungguhnya mata si ular bergaris merah memang tidak begitu bagus.
Andaikata seseorang hidupnya sepanjang tahun hanya bergelimpangan diantara obat-obatan
beracun, ketajaman matanya pasti akan berkurang.
Tapi sekalipun seseorang yang ketajaman matanya lebih cetekpun, asal memandang
beberapa kejap saja sudah pasti dapat melihat bahwa kedua sosok bayangan itu tak lebih cuma
dua buah orang-orangan dari rumput kering.
Dua buah orang-orangan yang baju belaco.
Tiba-tiba Ong Tiong tertawa, katanya:
"Bila kau masih belum melihat jelas, tak ada halangannya kuberitahukan kepadamu, bila aku
sudah mati, mereka adalah orang yang akan menjadi anak baktiku, jika kau mati, mungkin kaupun
terpaksa harus mempergunakan mereka menjadi anak baktimu."
"Anak bakti semacam ini paling tidak jauh lebih baik daripada sama sekali tak ada."
"Oleh karena itu kau lebih suka tak punya anak tak punya cucu ?"
"Lebih baik lagi kalau temanpun tak punya."
Mendadak Ang Nio-cu memburu ke depan, lalu serunya:
"Kemana perginya teman-temanmu ?"
Yang ditanyanya adalah Ong Thong, sebab diantara beberapa orang itu hanya Ong Tiong
yang mempunyai teman.
"Mereka menunggu aku di bawah bukit" jawab Ong Tiong.
"Mengapa harus menunggu di bawah bukit?"
"Seandainya kau menjadi mereka, dalam keadaan seperti ini kalian akan menantiku dimana ?"
"Dia tak nanti akan menunggumu !" sela si ular garis merah.
Ang Nio-cu segera mengerdipkan matanya berulang kali, katanya:
"Selama ini aku selalu merasa kaulah orang yang paling kupahami, tahukah kau apa sebabnya
?" "Hmm!"
"Karena cuma perempuan yang bisa memahami perempuan, teori ini diketahui oleh siapapun."
"Dia adalah perempuan?" tanya Ong Tiong.
"Memangnya kau mengira dia itu lelaki?"
"Tampaknya sih seperti lelaki."
"Sekalipun dia memang berwujud lelaki, tapi setelah merendam diri selama puluhan tahun di
dalam obat beracun, sudah sedari dulu ia telah berubah menjadi perempuan"
Paras muka si ular bergaris merah berubah menjadi kaku, seakan-akan seekor ular yang kena
dicekal bagian mematikannya.
Ang Nio-cu tertawa cekikikan kembali ujarnya:
"Kesemuanya ini sebenarnya adalah rahasianya yang terbesar, sebenarnya tidak seharusnya
kuucapkan, untung saja kaupun bukan orang luar, oleh karena itu...."
Sengaja dia merendahkan suaranya, kemudian berbisik:
"Aku dapat memberitahukan lagi suatu rahasia besar kepadamu."
"Rahasia apa?"
"Coba tebak, setelah si kelabang besar mati, siapakah yang merasa paling sedih?"
"Aku tahu dia adalah sahabat yang paling akrab dengan si kelabang besar itu."
"Kau keliru besar" seru Ang Nio-cu sambil tertawa, "mereka bukan cuma berteman saja,
mereka sudah...."
Si ular bergaris merah melototkan matanya bulat-bulat sambil mengawasi perempuan itu tak
berkedip, sepasang matanya yang dingin telah berubah menjadi kehijau-hijauan, tiba-tiba saja ia
mengarah wajahnya dan meniup satu kali.
Dia tak lebih cuma meniup pelan, tapi Ang Nio-cu harus berkelit dengan tergopoh-gopoh
bagaikan sedang menghindari senjata rahasia paling beracun di dunia ini, belum sempat
ucapannya di selesaikan, tubuhnya sudah melompat dan berjumpalitan di udara lalu menyusup ke
balik rumah. Cui-mia-hu yang berada di belakangnya sudah turut lenyap tak berbekas.
Tiba-tiba Ong Tiong berseru.
"Apa yang dia katakan, tak sepatah katapun yang kupercayai."
"Kau memang sesungguhnya tidak bodoh" jawab si ular bergaris merah cepat.
"Tapi kali ini aku telah mempercayainya".
"Kenapa ?"
"Sebab bila apa yang dia katakan bukan ucapan yang sesungguhnya, mengapa pula kau
hendak merenggut nyawanya?" kata Ong Tiong sambil tertawa lebar.
"Apakah kau juga menghendaki agar kurenggut pula jiwamu ?" kata si ular bergaris merah
dingin. "Selembar nyawaku ini sudah tidak she Ong lagi, siapa yang menghendaki toh tiada bedanya,
tapi kau ?"
"Kenapa dengan aku ?"
"Bila kau mati, siapa yang akan paling sedih ?"
"Tiada orang yang akan sedih."
"Adakah orang yang merasa gembira?"
"Ada."
"Kau juga tahu kalau dia ( perempuan ) membencimu ?"
"Hmmm !" si ular mendengus.
"Mengapa, dia selalu tidak merenggut nyawamu"
"Sebab dia tahu, aku lebih berguna selagi masih hidup daripada setelah mati."
"Selanjutnya ?"
"Yaa, selanjutnya dikala hendak membagi uang tersebut ?"
Mendadak paras muka si ular bergaris merah itu berubah menjadi kaku seperti mayat.
Ong Tiong segera berkata lebih lanjut:
"Si kelabang besar telah mati, apakah mereka pun merasa amat sedih sekali ?"
"Hmm !" kembali si ular bergaris merah mendengus.
"Mengapa, mereka tidak merasa sedih ?"
"Karena lebih enak uang itu dibagi tiga orang dari pada dibagi untuk empat orang."
"Seandainya uang itu hanya dibagi untuk dua orang ?"
Si ular bergaris merah segera berpaling dan menatapnya lekat-lekat, kemudian sepatah demi
sepatah katanya:
"Sebenarnya kau ingin berbicara apa ?"
"Apa yang ingin kukatakan, tentunya kau sudah memahaminya sedari tadi...."
Sepasang mata si ular bergaris merah yang hijau menyeramkan itu mendadak berubah
menjadi keabu-abuan, wajahnya dingin kaku tanpa emosi.
Ong Tiong berkata lebih jauh:
"Jika sebiji bakpao dimakan dua orang, tentu lebih enak daripada dimakan bertiga, teori
semacam ini dipahami oleh siapapun. Persoalannya sekarang adalah kedua orang itu dapatkah
merasakan bakpao tersebut?"
"Menurut pendapatmu?"
"Aku cukup mengetahui sampai dimanakah kehebatan ilmu silatmu, tentu saja kau tak akan
takut terhadap Ang Nio-cu?"
"Hmmm ....."
"Tapi apakah hubungannya dengan Cui lotoa" Dan apa pula hubunganmu dengan Cui lotoa"
Dapatkah kau menandingi dirinya?"
Si ular bergaris merah tertawa dingin.
Bila seseorang hanya tertawa dingin belaka dalam suatu keadaan, itu berarti dia sudah tak
mampu berbicara lagi, ini menandakan kalau perasaan hatinya sudah mulai tidak tenang.
Bagi seseorang yang sama sekali yakin terhadap setiap persoalan yang sedang dihadapinya,
dia akan jarang sekali memperdengarkan suara tertawa dingin semacam itu.
Maka Ong Tiong segera berkata lebih lanjut:
"Oleh karena itu, jika kaupun ingin merasakan bakpao itu, lebih baik cepatlah mencari akal
lain." Si ular bergaris merah memikir sejenak, akhirnya tak tahan diapun bertanya:
"Apa caranya ?"
"Mencari orang yang lain untuk membantu kau merampas kembali bakpao tersebut."
"Siapa yang harus kucari ?" sekali lagi si ular bergaris merah itu tertawa dingin.
"Pertama orang itu jangan terlalu serakah"
"Adakah manusia semacam itu dalam dunia?"
"Aku adalah seseorang yang tidak terlalu serakah"
"Dulu mungkin aku manusia macam begitu, tapi sekarang aku sudah mengerti, lebih baik
bakpao itu dimakan berdua daripada sama sekali tidak merasakannya"
"Kedua ?" si ular bergaris merah itu kembali menatap tajam-tajam.
"Kedua, Orang itu harus tidak melebihi dirimu."
"Kenapa, harus tidak melebihi diriku ?"
"Sebab bila dia tidak melebihi dirimu, dia tak akan berani bermain gila di hadapanmu."
"Kau tidak melebihi diriku ?"
Ong Tiong tertawa.
"Seandainya aku lebih tangguh daripada dirimu, mengapa aku harus minta kau gendong
sekarang ?" Dari balik mata si ular bergaris merah yang berwarna kelabu, mendadak terpancar
setitik sinar terang.
"Kau benar-benar akan berdiri dipihakku?" dia bertanya.
"Mau tak mau aku harus berdiri dipihakmu."
"Kenapa !"
"Sebab dipihak mereka sana sudah terlampau sesak."
Sorot mata si ular bergaris merah kembali memancarkan sinar tajam, katanya kemudian:
"Apa saja yang bisa kau lakukan buatku?"
"Aku masih punya tangan."
"Tanganmu itu bisa melakukan apa?"
"Paling tidak masih bisa menahan seseorang yang lain."
Si ular bergaris merah tidak tertawa dingin lagi.
Sebab lambat laun dia mulai merasa mantap dan rencana itupun semakin diyakininya.
"Sekarang tinggal satu persoalan saja yang harus diselesaikan," kata Ong Tiong lagi.
"Katakanlah !"
"Sanggupkah kau menghadapi Cui lotoa?"
"Menurut pandanganmu?"
"Bila sungguh sampai bertarung, aku tak tahu. Tapi jika dilakukan secara mendadak di luar
dugaan, maka..."
Mendadak dia menutup mulutnya rapat-rapat.
Si ular bergaris merah juga menutup mulutnya rapat-rapat, setelah itu pelan-pelan dia baru
masuk ke dalam rumah.
Cui-mia-hu serta Ang Nio cu sudah menunggu didalam ruangan.
Suasana didalam ruangan itu terang benderang.
Di bawah sorotan cahaya lampu, paras muka Cui-mia-hu kelihatan pucat seperti selembar
kertas putih. Selembar kertas putih yang kering dan berkeriput.
Ada sementara orang yang tampaknya sepanjang masa tak dapat terkena sinar, jelas dia
adalah manusia semacam itu.
Si ular bergaris merah telah meletakkan Ong Tiong di atas bangku, kemudian ujarnya:
"Sudah kalian periksa ?"
"Setiap bagian dan setiap sudut tempat ini sudah kami periksa." sahut Cui-mia-hu.
"Bahkan kakus pun sudah kami periksa," sambung Ang Nio-cu sambil tersenyum, "heran,
ternyata tempat itu tidak berbau busuk."
Dia mengerling sekejap ke arah Ong Tiong kemudian katanya lagi.
"Oleh sebab itu aku tahu teman-temanmu itu sudah pasti adalah orang yang suka dengan
kebersihan."
"Apa pula yang kau ketahui ?" dengus Ong Tiong ketus.
Ang Nio-cu tertawa.
"Aku masih tau kalau orang itu sudah pasti bukan kau."
"Ke mana perginya teman-temannya itu?" tanya si ular bergaris merah tiba-tiba.
"Sudah pergi semua !" sahut Cui-mia-hu.
Sekali lagi Ang Nio-cu mengerling sekejap ke arah Ong Tiong, kemudian sambil tertawa genit
katanya: "Tampaknya teman-teman yang kau dapatkan belakangan ini bukanlah teman-teman yang
baik." "Di dunia ini memang tiada teman yang benar-benar bersedia menemani sampai mati" kata
Ong Tiong hambar.
Ang Nio-cu tersenyum.
"Suami istri macam begini saja sudah tak ada, apalagi cuma sahabat...."
Kali ini biji matanya mengerling ke arah si ular bergaris merah.
Tapi si ular bergaris merah seakan-akan tidak mendengar perkataan itu, diapun tidak
memandang ke arahnya, cuma ujarnya:
"Apakah didalam rumah ini sudah tiada orang lain?"
"Cuma ada dua buah orang-orangan !" sahut Cui-mia-hu.
"Orang-orangan bukan termasuk orang !" kata Ong Tiong.
Mendadak Cui-mia-hu tertawa seram.
"Heeehhh... heeehhh... heeehhh.... jangan lupa, ada kalanya orang-oranganpun dapat
membunuh orang."
Paras muka Ong Tiong yang baru saja membaik tiba-tiba sedikit agak berubah.
Cui-mia-hu mengawasi terus raut wajahnya pada saat paras mukanya agak berubah itulah,
Cui-mia-hu telah turun tangan.
Jarang sekali ada yang tahu benda apakah yang dipergunakan Cui-mia-hu untuk membunuh
orang. Karena sewaktu membunuh orang dia selalu membunuh sungguhan, sekali turun tangan,
pihak lawan tak pernah diberi kesempatan untuk hidup lebih jauh.
Kalau tidak ada keyakinan tersebut, dia tak akan turun tangan.
Hanya orang yang tak pernah menyaksikan dia membunuh orang saja yang tahu senjata
apakah yang digunakan untuk membunuh orang.
Hanya empat orang yang pernah menyaksikan dia membunuh orang. Ong Tiong juga pernah
menyaksikan. Senjata yang dipergunakan olehnya untuk membunuh orang adalah dua batang duri.
Dua batang duri yang bertali serat baja, selain dapat merenggut nyawamu, dapat pula
membelenggu senjatamu dan mencekik tengkukmu kemudian sekaligus menusuk ke dalam
jantungmu. Itulah sepasang duri pembetot sukmanya yang tiada taranya di kolong langit.
Dalam dunia persilatan terdapat banyak orang yang menjadi tenar karena mengandalkan


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata tunggalnya.
(Bersambung ke Jilid 19)
Jilid 19 KARENA bila kau mempergunakan senjata khusus yang aneh, seringkali kali akan berhasil
meraih banyak keuntungan dari musuhmu. Suatu keberuntungan yang seringkali di luar dugaan.
Oleh sebab itu, bila kau dapat menciptakan semacam senjata khusus yang bisa membuat
orang lain di luar dugaan, kau pasti dapat mencari nama yang tenar dalam dunia persilatan....
menggunakan darah orang lain untuk mencetak namamu.
Walaupun di kemudian hari kaupun bisa jadi mati pula di ujung senjata khusus lain yang sama
sekali di luar dugaanmu.
Tubuh orang-orangan itu kelihatan terlalu gemuk. Jauh lebih gemuk daripada sewaktu dipakai
untuk menaikkan layang-layang.
Dalam, soal ini mungkin orang lain tak dapat melihatnya, tapi Cui-mia-hu sudah pasti dapat
melihatnya, sebab orang- orangan itu adalah hasil karyanya.
Walaupun dia memiliki selembar wajah yang bodoh, namun memiliki sepasang tangan yang
cekatan... orang yang benar-benar pintar, tak akan selalu menunjukkan kepintaran-nya di atas
wajah. Orang-orangan itu tidak makan daging, juga tidak minum arak, mengapa dalam semalaman
saja bisa berubah menjadi begitu gemuk"
Mungkinkah ada orang yang bersembunyi dibalik orang-orangan itu serta bersiap sedia
melancarkan sergapan".... Mungkinkah hal ini merupakan pukulan terakhir yang telah
dipersiapkan oleh Ong Tiong dan Yan Jit sekalian "
Paras muka Ong Tiong berubah hebat.
Karena pada saat itulah sepasang duri pencabut nyawa dari Cui-mia-hu telah menusuk ulu hati
orang-orangan itu dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Senjata itu menusuk sangat dalam, dalam sekali.
Di dunia ini memang jarang terdapat seorang teman yang benar-benar mau sehidup semati
denganmu. Bahkan suami isteri saja amat jarang, apa lagi cuma teman.
Tapi teman semacam ini, bukannya sama sekali tak ada.
Paling tidak Kwik Tay-lok sekalian adalah teman-teman semacam itu.
Mereka tahu nyawa Ong Tiong sudah berada di ujung tanduk, siapakah yang merasa tega
untuk membiarkan dia pergi menempuh mara bahaya seorang diri "
Mana mungkin mereka akan pergi "
Orang-orangan itu memang gemuk, biasanya orang yang gemuk tentu mempunyai darah yang
banyak. Sepasang duri pencabut nyawa dari Cui-mia-hu telah menembusi ulu hatinya. Tapi tak ada
darah yang keluar, setetespun tak ada.
Kali ini paras muka yang berubah bukan muka Ong Tiong, melainkan Cui-mia-hu.
Pada saat paras muka Cui-mia-hu berubah itulah, mencorong sinar tajam dari mata si ular
bergaris merah.
Dan pada saat yang bersamaan pula, Ong Tiong menarik tangan Ang Nio-cu.
Sengatan lebah beracun.
Sengatan dari Cui-mia-hu lebih beracun.
Jika lebah sudah menyengat orang, maka dia akan mati dan tak beracun lagi.
Tapi sekarang sengatan dari Cui-mia-hu telah menancap di atas jantung orang-orangan itu.
Kesempatan sebaik ini tentu saja tak akan disia-siakan oleh si ular bergaris merah.
Tiba-tiba dia mengarah wajah Cui-mia-hu, kemudian meniupnya dengan sekuat tenaga.
Cahaya yang menyorot masuk lewat jendela dapat menerangi hawa hijau yang terhembus
keluar dari tiupannya itu.
Cui-mia-hu seakan akan sedang tertegun, tapi pada saat hembusan itu menyambar datang
inilah, ujung baju Cui-mia-hu mendadak berubah menjadi tali penyeret yang segera menyeret
tengkuk Si ular bergaris merah kencang-kencang.
Diapun menahan napasnya dengan sepenuh tenaga.
Si Ular bergaris merah segera menjerit ngeri dengan suaranya yang memilukan hati.
Dengusan napasnya makin tajam, dan makin pendek.
Cui-mia-hu telah melompat naik ke atas rumah, tangannya memegang wuwungan rumah dan
bergelantungan sambil mengawasi lawannya.
Sepasang mata si ular bergaris marah seakan-akan sudah menjadi buta, apapun tidak terlihat
olehnya, bagaikan seekor anjing buta yang menerkam ke depan dengan sempoyongan.
Dia menerjang maju selangkah, dua langkah, tiga langkah.....
Wajahnya segera berubah menjadi hijau kebiru-biruan.
Dia baru maju dua langkah, tubuhnya sudah roboh terjengkang ke atas tanah.
Barang siapa terkena racun dari Si ular bergaris merah, tak akan bisa maju sampai tujuh
langkah. Bahkan si ular bergaris merah sendiripun tidak terkecuali.
Ong Tiong telah melepaskan tangan Ang Nio-cu.
Wajah masih sama sekali tidak menunjukkan perubahan, tapi kelopak matanya sudah mulai
bergerak. Lambat laun dia sudah memahami apa gerangan yang telah terjadi, peristiwa semacam ini
sedikitpun tidak menarik.
Tapi Ang Nio-cu seakan-akan merasa kejadian ini menarik sekali, dia sudah tertawa terpingkalpingkal
tiada hentinya.
Suara tertawanya masih kedengaran merdu seperti bunyi keleningan.
Sejak pertama kali berjumpa dengannya dulu, Ong Tiong sudah terpikat oleh suara tertawanya
itu. Hingga dia sudah bertemu beberapa ratus kali dengannya, ia masih menganggap suara
tertawanya begitu menarik. begitu merdu, seakan-akan di dunia ini tiada keduanya lagi.
Tapi sekarang, dia mulai merasa muak, mulai merasa seakan-akan hendak tumpah.
Bagaimanapun juga si ular bergaris merah adalah temannya yang sudah hidup bersama
selama banyak tahun.
Barang siapa dapat tertawa terpingkal-pingkal disamping jenasah rekannya, maka kejadian
tersebut pasti akan memuakkan orang lain.
Ang Nio-cu memutar sepasang matanya yang jeli, kemudian ujarnya dengan lembut:
"Apakah kau sedang keheranan, mengapa aku harus tertawa terpingkal-pingkal ?"
"Sedikitpun tidak heran !"
"Kenapa ?"
"Sebab kau sama sekali bukan manusia."
Itulah kesimpulan dari Ong Tiong.
Cui mia-hu masih mengawasi mayat si ular bergaris merah dengan terpesona, seakan-akan
dia takut kalau itu belum mati secara sungguhan....
Padahal si ular bergaris merah benar-benar sudah mati secara seratus persen.
Padahal selama dia masih hidup, apa yang tak lebih hanyalah mempersembahkan
kehidupannya untuk obat-obatan racun.
Dia tidak mempunyai teman lain, bahkan boleh dibilang dia tidak mempunyai apa-apa.
Obat beracun adalah seluruh hidupnya.
Lewat lama kemudian, Cui-mia-hu baru pelan-pelan membalikkan badannya seraya berkata:
"Inilah seorang yang jujur dan setia!"
"Kau maksudkan dia jujur dan setia ?" tanya Ang Nio-cu.
Cui-mia-hu mengangguk.
"Paling tidak terhadap perbuatan yang hendak dilakukannya dia amat setia, obat beracunnya
memang tak pernah meleset walau hanya satu kali saja."
Sekali lagi Ang Nio-cu tertawa terkekeh-kekeh.
"Oleh sebab itu kau harus lebih-lebih berterima kasih kepadaku, seandainya tiada aku, yang
mati sekarang adalah kau."
"Aku memang sama sekali tidak menyangka kalau diapun bakal menghianati diriku."
Ang Nio-cu tertawa.
"Seandainya kau tak pernah menyangka, mengapa bisa mempersiapkan cara yang begitu baik
untuk menghadapinya?"
"Karena akupun seseorang yang jujur."
"Kau jujur terhadap siapa?"
"Terhadap diriku sendiri."
Ang Nio-cu segera menghela napas panjang:
"Mengapa kau tak pernah mengatakan kalau akupun sangat jujur ?" keluhnya.
"Karena kau terhadap dirimu sendiri saja tidak jujur, apalagi terhadap orang lain" kata Cui-miahu
dengan ketus, "kau sering kali menghianati diri sendiri, kau sendiri menjual dirimu sendiri."
"Tapi aku belum pernah menghianati dirimu, akupun tak pernah membohongi kau."
"Karena kau tahu tiada orang yang bisa membohongi diriku" suara Cui-mia-hu masih tetap
sedingin es. Tiba-tiba dia berpaling ke arah Ong Tiong, kemudian melanjutkan:
"Oleh karena itu aku selama berada di hadapanku pun seseorang yang amat jujur."
Ong Tiong tidak menunjukkan reaksi apa-apa..
"Kau bilang teman-temanmu sudah pergi semua, ternyata mereka memang tidak berada di
sini" ujar Cui-mia-hu.
Ong Tiong masih belum menunjukkan reaksi apa-apa.
"Sekarang aku hanya ingin tahu, kau lebih setia kepada uang ataukah terhadap diriku?" kata
Cui-mia-hu lebih jauh.
"Itu mah tergantung keadaan."
"Tergantung bagaimana ?"
"Biasa aku selalu setia kepada uang, tapi sekarang terhadap dirimu...." kata Ong Tiong
hambar. "Bagus sekali, bawa kemari."
"Apanya yang bawa kemari ?"
"Apa yang kau miliki ?"
Ong Tiong ragu-ragu sejenak, akhirnya dia bulatkan tekad, katanya:
"Di bawah meja sana terdapat beberapa lembar ubin batu yang bisa di geser, di bawah lapisan
batu itu terdapat sebuah gudang di bawah tanah...
"Kau mengira aku tak dapat melihatnya?" seru Cui-mia-hu sambil tertawa dingin.
"Kalau kau sudah melihatnya, mengapa tidak pergi mengambilnya " Barang itu berada di situ."
"Biar aku yang mengambilnya." seru Ang Nio-cu cepat.
"Tidak, biar aku saja!" seru Cui-mia-hu.
Badannya berkelebat lewat dan mendahului Ang Nio-cu.
Inilah untuk pertama kalinya dia berjalan di depan orang lain... merupakan terakhir kalinya.
Serentetan cahaya perak pelan-pelan meluncur keluar dari balik ujung baju Ang Niocu dan
tepat menghajar jalan darah Giok-seng hiat di atas benaknya.
Serangan mematikan ini bukan saja tidak cepat, bahkan sangat lamban, tapi dia justru tak
sanggup menghindarkan diri.
Dia segera roboh terkapar ke atas tanah.
Tidak melawan, juga tidak merasakan penderitaan apa-apa.
Bahkan tiada suara apapun yang terpancar keluar, seorang yang hidup tiba-tiba saja berubah
menjadi sesosok mayat.
Siapapun tak akan menyangka kalau dia akan mati dengan begitu gampangnya.
Tentu saja dia sendiripun lebih-lebih tak menyangka, orang yang membunuh dirinya ternyata
tak lain adalah Ang Nio cu.
Suara tertawa merdu bagaikan suara keleningan kembali berkumandang memecahkan
keheningan. Ang Nio cu tertawa, ujarnya:
"Kali ini tentunya kau mengerti bukan, mengapa aku tertawa tergelak-gelak ?"
"Tidak mengerti."
"Tahukah kau apa yang kugunakan untuk membinasakan dirimu ?"
Ong Tiong tidak menjawab.
Ang Nio-cu segera tertawa, kembali ujarnya:
"Tentunya kau tahu, darimanakah kupelajari ilmu melepaskan duri pencabut nyawa itu?"
Sesudah tertawa cekikikan, kembali sambungnya:
"Barusan, dia telah mempergunakan racunnya si ular bergaris merah untuk membunuh si ular
bergaris merah, maka sekarang akupun menggunakan duri pencabut nyawa untuk menusuk dia
sampai mati, menghadapi kejadian yang begini menariknya ini, masa aku tak boleh tertawa
senang?" "Aku hanya merasa heran, mengapa dia mengajarkan kepandaiannya itu kepadamu?"
"Karena dia sama sekali tidak mewariskannya semua rahasia kepandaiannya kepadaku, dia
tahu selamanya aku tak akan bisa mempergunakannya secara baik."
"Kau memang tak bisa melebihi kecepatannya."
"Yaa, selisihnya memang jauh sekali, oleh sebab itu walaupun aku mempelajarinya tapi tetap
tak ada gunanya, hakekatnya tak mungkin bisa dipergunakan untuk menghadapi orang lain. Duri
pengejar nyawa masih tetap merupakan senjata khasnya."
"Kalau toh tak berguna, mengapa kau mempelajarinya ?"
"Bukannya sama sekali tak ada gunanya, cuma ada semacam kegunaan yang sebenarnya
amat fatal, yakni apabila kugunakan untuk menghadapi seseorang."
"Siapa ?"
"Dia sendiri !"
"Kau tak bisa menggunakannya untuk menghadapi orang lain, tapi bisa dipakai untuk
menghadapi dirinya?" tanya Ong Tiong dengan wajah keheranan.
Ang Nio cu tertawa.
"Di dunia ini memang banyak terdapat kejadian yang begitu anehnya...."
"Aku tidak mengerti !"
Ang Nio-cu segera tertawa terkekeh-kekeh.
"Hal-hal yang tidak kau pahami masih banyak sekali !"
"O, ya ?"
"Aku sengaja membiarkan kau berada bersama si ular bergaris merah, tujuannya tak lain
adalah untuk kesempatan kepada kalian untuk berbincang-bincang."
"Mula-mula kuucapkan dulu kata-kata yang dia paling tak senang diketahui orang lain
kemudian baru menyingkir pergi, dalam keadaan yang gusarnya setengah mati itu, sudah pasti
kau tak akan melepaskan kesempatan tersebut dengan begitu saja."
"Kau telah menduga kalau aku bakal menggunakan akal untuk menggerakkan hatinya dan
menyuruh dia menghianati diri kalian ?"
"Bukan berarti kau yang menggerakkan hatinya, adalah dia sendiri yang mempunyai maksud
begitu, Cuma saja selama ini belum ada kesempatan baik untuk melakukannya."
"Ooooh.... jadi kau sengaja memberi kesempatan kepadanya, kemudian baru memberi
tahukan kepada Cui lotoa untuk bersiap-siap?"
"Aku juga tahu kalau Cui lotoa telah menemukan cara yang baik untuk menghadapi dirinya,
asal dia berani turun tangan, maka sudah pasti dia akan mampus!"
"Tepat sekali perhitunganmu itu."
"Dalam hal ini, aku rasanya tak usah terlampau membanggakan diri" kata Ang Nio cu sambil
tersenyum. Ong Tiong menghela napas panjang.
"Aaai, akhirnya aku memahami juga persoalan ini, masih ada yang lain ?"
Ang Nio-cu mengerdipkan matanya berulang kali, lalu katanya:
"Tahukah kau rahasia paling besar apakah yang dimiliki Cui lotoa....?"
"Telinganya tidak begitu tajam, hakekatnya tak jauh berbeda dengan orang tuli."
"Tapi nada ucapanku sewaktu bercakap-cakap dengan tidak terlalu besar, dia toh bisa
mendengarnya dengan jelas ?"
"Itulah dikarenakan dia memperhatikan gerakan bibirmu, dengan melihat gerakan bibir
tersebut, dia dapat mengetahui apa yang sedang kau ucapkan."
"Aaaai... hal ini benar-benar merupakan suatu rahasia yang sangat besar," kata Ong Tiong
sambil menghela napas.
"Kecuali aku seorang, tiada orang lain yang mengetahui rahasianya tersebut. Oleh karena
telinganya tidak tajam, maka dia selamanya enggan berjalan di depan orang lain, dia kuatir orang
lain akan menyergapnya dari belakang."
Setelah tertawa, kembali ujarnya:
"Hal ini bukan disebabkan karena dia lebih berhati-hati daripada orang lain, tapi disebabkan
lantaran ia tak bisa mendengar suara desingan senjata rahasia, seandainya ada orang yang
menyergapnya dari belakang, maka ia sama sekali tak mampu untuk menghindarkan diri."
"Andaikata desingan angin serangan itu sangat tajam, tentu saja dia masih dapat
mendengarnya, tapi bila ada orang yang menyerangnya secara pelan-pelan, maka dia sudah pasti
akan mampus."
Ang Nio-cu segera tertawa.
"Yaa, sedikitpun tak salah," katanya, "itulah sebabnya serangan yang kugunakan adalah dari
pengejar nyawa ajarannya yang tak pernah bisa kupelajari secara sempurna itu, dan kepandaian
itu justru merupakan suatu kepandaian yang tiada keduanya di dunia ini."
"Apakah kaupun sudah memperhitungkan, begitu ia mendengar benda itu berada dimana,
maka dia tak akan tahan untuk memburu ke sana dan menengoknya lebih dulu ?"
"Yaa, seandainya berada di depan orang lain, mungkin dia masih dapat menahan diri atau
mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, tapi bila sedang berada bersamaku, dia selalu akan
lebih teledor daripada biasanya..."
"Kenapa ?"
"Sebab dia selalu mengira bahwa aku sedang menggantungkan diri kepadanya, dia selalu
menganggap bila dia sampai mati, maka akupun tak bisa hidup lagi."
Ong Tiong menghela napas.
"Diapun menganggap tak ada orang yang bisa membohongi dirinya....."
"Yaa, memang tiada orang yang bisa membohonginya, yang ada hanya dirinya membohongi
diri sendiri."
"Kau bilang dia pernah membohongi diri sendiri ?"
Ang Nio cu tertawa genit:
"Berapa orang lelakikah di dunia ini yang tidak gampang membanggakan diri sendiri "
Seandainya lelaki tidak terlalu gampang menjadi mabuk diri, perempuan manakah yang bisa
menyusupkan diri dalam lingkungannya ?"
Ong Tiong termenung, sampai beberapa saat lamanya, kemudian ujarnya dengan hambar:
"Kau selalu memperhitungkan dengan tepat, juga melihatnya secara tepat."
"Tapi aku telah salah menilai dirimu."
"O ya ?"


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengira kau tak akan pernah bicara bohong" kata Ang Nio cu sambil tertawa, "tak
disangka kau telah berbohong, bahkan pada hakekatnya bisa membohongi orang sampai mati
tanpa mengganti nyawa !"
"Kapan aku pernah berbohong ?"
"Kau bilang barang itu berada di bawah kolong meja, bukankah kau sedang berbohong?"
"Yaa, benar !"
Ang Nio cu tertawa, kembali ujarnya:
"Tapi cuma aku seorang yang tahu kalau kau sedang berbohong, sebab di dunia ini hanya aku
seorang yang tahu dengan persis sesungguhnya benda tersebut disimpan dimana."
"Yaa, kau memang seharusnya tahu !"
Ang Nio cu mengerling sekejap ke arahnya dengan genit, lalu katanya lagi:
"Berbicara terus terang saja, tadi sebetulnya sudah kau duga atau tidak kalau barang itu
sesungguhnya akulah yang mengambil pergi ?"
"Aku tidak menyangka !"
Setelah termenung beberapa saat lamanya, kembali dia berkata:
"Aku sama sekali tidak menyangka, akupun tidak tahu apa-apa, aku hanya mengetahui satu
hal." "Soal apa ?"
"Menjadi orang tidak seharusnya terlampau gegabah, barang siapa menganggap tiada orang
yang bisa membohongi dirinya, maka hal itu sama artinya dengan dirinya membohongi diri
sendiri." Senyuman manis dari Ang Nio-cu seperti agak berubah, tak tahan dia lantas berseru:
"Apa maksudmu ?"
"Maksudnya, jika kau dapat mempersiapkan sebuah jerat untuk menjerat orang lain, maka
orang lainpun dapat mempersiapkan sebuah jerat untuk menjerat dirimu sendiri."
Inipun merupakan suatu kesimpulan.
Biasanya kesimpulan jarang sekali keliru. Yang keliru biasanya bukan suatu kesimpulan.
Hari sudah terang benderang.
Perempuan tampak selalu lebih tua, lebih berkisut di tengah hari yang terang benderang.
Dalam keadaan begini, Ang Nio-cu tak dapat tertawa lagi.
Jika seorang perempuan yang biasa tertawa mendadak tidak tertawa, seringkali diapun
tampak lebih tua dan berkeriput.
Oleh sebab itu, paras muka Ang Nio-cu pada saat itu hampir boleh dibilang sudah mendekati
taraf "si nenek berbaju merah".
Di bawah kolong meja tiada harta karun, satu peser uangpun tidak ada.
Tapi di situ ada orangnya, dua orang manusia.
Sekalipun Ong Tiong tak dapat bergerak, namun kedua orang itu dapat bergerak.
Yang seorang bisa bergerak cepat, yang seorang lagi agak lamban.
Yang cepat adalah Yan Jit, yang lamban adalah Kwik Tay-lok. Manusia semacam Kwik Tay-lok
tak nanti akan pergi jika temannya sedang menghadapi mara bahaya, sekalipun kau mengusirnya
dengan cambukan, atau memalangkan golok di atas tengkuknya, dia juga tak akan angkat kaki..
Hingga sekarang, Ang Nio-cu baru menyadari bahwa dirinya benar-benar sudah masuk
perangkap. Tapi bagaimana mungkin ia bisa terjatuh dalam perangkap. "
Dia sama sekali tidak tahu, bahkan perangkap macam apakah itu, dia sendiripun tidak sempat
melihatnya. Di dalam ruangan rumah, selalu ada salah satu sudut yang remang-remang, di sudut
semacam ini biasanya selalu tersedia kursi.
Pelan-pelan Ang Nio cu berjalan ke sana dan pelan-pelan duduk di atas kursi.
Tiada orang yang menghalangi kepergiannya, sebab hal ini tak ada perlunya.
Lewat beberapa saat kemudian, tiba-tiba Ang Nio-cu berkata:
"Ong Tiong, aku tahu kau selalu merupakan seseorang yang amat adil dan bijaksana."
"Dia memang selalu begitu !" sela Kwik-Tay-lok.
Bila Kwik Tay-lok hadir dalam suatu pertemuan, maka kesempatan berbicara bagi Ong Tiong
tak pernah banyak.
"Oleh karena itu, terhadap diriku pun dia harus bertindak amat bijaksana."
"Bagaimana baru dianggap bijaksana ?"
"Barusan, aku telah membeberkan semua perangkap yang kupersiapkan, sekarang kau harus
membeberkannya pula !"
Sasaran pembicaraannya masih tetap Ong Tiong, kecuali Ong Tiong, dia tak pernah
memandang ke arah orang lain.
Sepasang mata Yan Jit sedang melotot, Kwik Tay-lok pun terpaksa harus membungkam dalam
seribu bahasa. Lewat lama sekali, Ong Tiong baru berkata:
"Tadi, kau berbicara mulai dari mana ?"
"Dari aku memberi kesempatan kepadamu untuk berbincang-bincang dengan si ular bergaris
merah." "Tahukah kau mengapa aku mengajaknya memperbin-cangkan persoalan semacam itu?"
"Aku tidak tahu !"
"Tapi paling tidak seharusnya kau tahu akan satu hal, barang itu toh bukan aku yang
mengambil."
"Aku tahu !"
"Oleh karena itu aku harus mencari tahu, siapakah diantara kalian bertiga yang telah
mengambil barang-barang tersebut ?" kata Ong Tiong.
"Oooh.... jadi kau mengucapkan beberapa patah kata itu kepada si ular bergaris merah
tujuannya tak lain adalah untuk menyelidiki dirinya...?"
"Benar, andaikata dia yang mengambil barang-barang itu, maka dia tak akan berbuat
demikian" "Dari mana kau bisa tahu kalau orang itu bukan si kelabang besar ?"
"Seandainya dia yang mengambil, tak nanti si kelabang besar itu akan menyerempet bahaya...
orang yang memiliki harta sebesar beberapa ribu laksa tahil perak, biasanya takut mati sekali,
bahkan atap rumah yang terjatuhpun kuatir kalau bakal menimpa atas kepala sendiri"
Ang Nio-cu tertawa paksa, lalu berkata:
"Kenapa tidak kau katakan saja dengan kata yang lebih sederhana" Harta lebih berharga dari
emas " Aku pasti mengerti jika kau bilang begitu."
"Orang yang mengetahui tempat penyimpanan harta karun itu hanya lima orang, bila tiga
orang lainnya tak tahu, itu berarti tinggal kau dan Cui lotoa."
"Tapi, kau toh belum bisa memastikan di antara aku dan Cui lotoa, sebenarnya siapakah yang
sebenarnya telah melarikan harta kekayaan tersebut ?"
"Waktu itu aku masih belum berani memastikan, tapi aku sudah mempunyai pegangan, cepat
atau lambat orang itu sudah pasti akan dapat kutemukan."
"Kau benar-benar memiliki keyakinan tersebut ?"
"Yaa, pertama, aku tahu si ular bergaris merah bukan tandingan dari Cui lotoa, andaikata dia
berani melakukan suatu tindakan, maka orang itu akan mampus."
"Ternyata penglihatanmu memang tepat sekali !"
"Kedua, aku tahu diantara kau dan Cui-lotoa, sudah pasti ada satu orang diantaranya yang
bakal mati."
"Kenapa ?"
"Sebab entah siapa pun yang telah mengambil barang-barang tersebut, sudah pasti dia tak
akan membiarkan orang yang lain tetap hidup segar bugar."
"Kenapa ?"
"Karena seandainya diantara kami berlima masih ada seorang saja yang masih hidup, maka
pasti dia tak akan bisa menikmati harta kekayaan yang besar jumlahnya itu dengan tenang,
sekarang dari lima orang berarti tinggal satu orang, inilah suatu kesempatan yang sangat baik
sekali baginya."
Ang Nio-cu menghela papas panjang, gumamnya:
"Yaa, kesempatan semacam itu memang terlampau baik."
"Dia sudah menunggu sangat lama, dengan susah payah baru dijumpainya kesempatan
seperti ini, tentu saja dia tak akan melepaskannya begitu saja."
"Seandainya berganti dengan kau, sama juga kesempatan baik itupun tak akan kau lepaskan."
"Yaa, apalagi dulu dia telah melimpahkan semua tanggung jawab tersebut di atas tubuhku,
sekarang setelah menemukan diriku kembali, cepat atau lambat rahasianya itu tentu akan
terbongkar juga, sekalipun dia tak ingin membunuh orang lain, orang lain juga pasti akan
membunuhnya."
"Sebenarnya aku memang tak ingin menyaksikan mereka berhasil menemukan dirimu, tapi...."
Dia tertawa, suara tertawanya kedengaran amat memedihkan hati, kemudian melanjutkan:
"Tapi dalam hati kecilku, akupun berharap sekali bahwa mereka bisa menemukan kau, agar
akupun bisa melihat selama beberapa tahun ini, kau telah berubah menjadi seperti apa" Baikkah
penghidupanmu selama ini?"
Akhirnya Kwik Tay-lok tidak tahan juga, mendadak ia menimbrung:
"Penghidupannya selama ini sangat bagus, sekalipun agak miskin, namun penghidupannya
masih tetap riang gembira."
Pelan-pelan Ang Nio-cu mengangguk, gumamnya:
"Kalian semua memang sahabat karibnya, kalian memang sahabat-sahabat yang lebih sejati
kalau dibandingkan dengan sahabat-sahabatnya dulu."
Setelah termenung sampai lama sekali, dia baru melanjutkan:
"Kalau hitung pulang pergi, tampaknya sejak tadi kau sudah menghitung bahwa pada akhirnya
pasti tinggal satu orang saja, juga telah menghitung dengan tepat kalau dia sudah pasti orang
yang telah mengambil harta kekayaan tersebut."
"Tentu saja, sebab perhitungan semacam ini pada hakekatnya sama sederhananya dengan
hitungan satu tambah satu sama dengan dua."
"Apakah kau sudah memperhitungkan sampai di situ ketika akan datang memenuhi janji?"
"Kalau tidak begitu, mana mungkin kami melepaskannya pergi dengan perasaan lega?" sela
Kwik Tay-lok. Ang Nio-cu menghela napas panjang.
"Aaaai.... seharusnya akupun bisa berpikir sampai ke situ! Seharusnya aku bisa melihat kalau
kalian bukanlah semacam teman yang diam-diam ngeloyor pergi ketika melihat sahabatnya
terancam bahaya."
"Mereka memang bukan!" Ong Tiong mengangguk.
"Tapi ada beberapa hal yang tidak kupahami."
"Kau boleh bertanya!"
"Kau masuk perangkap dan tertawan, apakah tindakan inipun merupakan suatu kesengajaan?"
"Aku cuma tahu kalau di tempat itu tak mungkin akan muncul sebuah kuburan secara tibatiba."
"Jadi kau sengaja membiarkan dirimu tertawan" Apakah kau tidak kuatir bila kami bunuh
dirimu pada saat itu juga?"
"Takutnya sih tetap rada takut."
"Tapi, mengapa kau tetap melakukannya?"
"Sebab telah kuduga, kalian tak nanti akan membunuhku dengan begitu saja, kalian sudah
pasti mempunyai tujuan lain."
"Sudah dapat kau tebak apakah tujuannya?"
"Sekalipun belum begitu pasti, tapi aku tahu asal kalian punya tujuan maka aku tak akan
dibunuh pada detik itu juga."
"Karena itu pula kau menyuruh mereka menantimu di sini ?"
"Benar !"
"Kau mempunyai keyakinan untuk memancing kami datang kemari ?"
"Hanya ada sedikit, tidak terlampau banyak."
"Tapi kau tetap melakukannya juga ?"
"Bila seseorang hanya mau melakukan pekerjaan yang meyakinkan saja, maka tak sepotong
pekerjaanpun yang berhasil dia lakukan."
"Sebab di dunia ini memang tiada pekerjaan yang meyakinkan."
"Kau menyuruh mereka menyembunyikan diri di sini, apakah tidak kuatir kalau belum apa-apa
jejak mereka sudah kami ketahui?"
"Kesempatan semacam itu tipis sekali."
"Kenapa ?"
"Hal ini harus dibagikan dalam beberapa macam keadaan."
"Katakan!"
"Keadaan yang pertama adalah tiga orang berada bersama ditempat ini...."
"Ehmm . . . . . . !"
"Waktu itu dari tiga orang tersebut, paling tidak ada dua orang diantaranya yang mengira harta
karun itu kusembunyikan dikolong meja, tentu saja mereka tak akan membiarkan orang lain turun
tangan mendahuluinya. Sekalipun ada orang hendak menengoknya, sudah pasti ada orang yang
lainnya mencegah perbuatannya itu. Maka dalam keadaan seperti ini, mereka sudah pasti akan
sangat aman."
"Bagaimana pula keadaan ke dua ?"
"Waktu itu sudah tinggal dua orang, misalnya saja kau dan Cui lotoa."
"Tak usah dimisalkan lagi, kenyataan memang tinggal kami berdua."
"Waktu itu, sudah pasti kau tak akan membiarkan Cui lotoa hidup terus. Sekalipun dia ingin
pergi memeriksanya, kau pasti akan turun tangan lebih dahulu, maka dalam keadaan beginipun
mereka juga aman dan tidak terancam."
"Kemungkinan ketiga sudah tentu ketika tinggal aku seorang bukan ?"
"Benar !"
"Jalan darahmu yang tertotok itu masih tertotok bukan?"
"Betul !"
"Seandainya kutemukan kalau mereka bersembunyi di situ, bukankah akupun masih sanggup
untuk menyumbat mati mereka didalam sana ?"
"Tapi kau toh sudah tahu kalau harta karun itu tidak disembunyikan di situ, mana mungkin
tempat tersebut akan kau periksa " Pada hakekatnya kau menaruh perhatian saja tidak, maka
dalam keadaan begini, merekapun sangat aman."
"Benarkah segala sesuatunya telah kau perhitungkan dengan begitu cermat dan tepat?"
"Tidak !"
Setelah tertawa, lanjutnya:
"Manusia punya kemauan Thian punya kuasa, siapa pun tak akan dapat memperhitungkan
segala sesuatunya tanpa meleset barang sedikitpun jua...."
"Tapi kau toh tetap menyerempet bahaya itu ?"
"Ya, sebab itulah satu-satunya jalan yang kumiliki, satu-satunya serangan terakhir yang bisa
kulakukan."
Ang Nio-cu menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir:
"Nyali kalian benar-benar terlampau besar"
"Nyali kami tidak terlalu besar, rencana kami juga tidak seteliti dan secermat kalian, bahkan
tenaga yang kami milikipun sangat lemah."
"Kalau dibandingkan dengan kalian, dalam pertarungan ini seharusnya kami berada dipihak
yang kalah."
"Tapi dalam kenyataannya kalian menang".
"Hal ini disebabkan karena kami memiliki semacam benda yang tidak kalian miliki."
"Kalian punya apa ?"
"Hubungan persahabatan yang sejati !"
"Walaupun wujudnya tak bisa dilihat, tak bisa diraba, tapi kekuatan besar yang dimilikinya tak
akan pernah kalian bayangkan selamanya...."
Ang Nio-cu sedang mendengarkan.
Dia tak bisa tidak harus mendengarkan, sebab ucapan semacam itu belum pernah dia dengar
sebelumnya. "Kami beradu jiwa, berani menyerempet bahaya, karena kami tahu bahwa diri sendiri bukanlah
berdiri seorang diri."
Sorot matanya dialihkan ke wajah Yan Jit dan Kwik Tay-lok, kemudian melanjutkan:
"Bila seseorang walau berada dalam keadaan seperti apapun, bila dia tahu kalau
disampingnya berdiri sahabat yang sejati, yang bersedia hidup bersama, mati bersama dengan
dirinya, maka dengan segera dia akan berubah menjadi lebih berani dan lebih percaya pada diri
sendiri." Ang Nio-cu menundukkan kepalanya, dia seakan-akan berubah menjadi jauh lebih tua.
"Sebenarnya akupun menginginkan kepergian mereka" kata Ong Tiong kembali, "tapi mereka
cuma mengucapkan sepatah kata, maka akupun mengurungkan niatku itu !"
"Apa yang mereka katakan?" tak tahan Ang Nio-cu segera bertanya.
"Mereka hanya memberitahukan kepadaku: bila kami ingin hidup, kami harus hidup bersama
dengan riang gembira, bila ingin mati, maka kami harus mati bersama dengan riang gembira,
entah mati entah hidup, sesungguhnya bukan sesuatu yang luar biasa !"
Ucapan semacam itupun belum pernah di dengar oleh Ang Nio-cu.
Hampir saja dia tak mau mempercayainya. Tapi sekarang mau tak mau dia harus
mempercayainya juga.
Dia telah menjumpai tiga orang yang berada di hadapannya....
Seorang manusia yang penuh luka di tubuhnya, sampai untuk berdiripun sudah payah.
Seorang manusia yang kurus kecil dan lemah yang kelaparan juga keletihan.
Sekalipun Ong Tiong sendiripun sama saja.
Kalau dibilang cuma mengandalkan ketiga orang itu saja, maka si ular bergaris merah, Cuimia-
hu dan Ang Nio-cu bisa dibikin mati, peristiwa tersebut pada hakekatnya tak bisa di terima
dengan akal sehat.
Tapi kejadian yang tak bisa diterima dengan akal sehat itu justru telah berubah menjadi suatu
kenyataan sekarang.
Apa yang sebenarnya mereka andalkan "
Ang Nio-cu mendadak dia merasakan darah di dalam dadanya mendidih, hampir saja air
matanya jatuh bercucuran.
Entah sudah berapa lama dia tak pernah melelehkan air mata, hampir saja lupa bagaimanakah
rasanya melelehkan air mata.
Yan Jit mengawasi terus wajahnya tanpa berkedip, lambat laun sorot matanya menunjukkan
perasaan simpatik, tiba-tiba dia bertanya:
"Apakah kau belum pernah punya teman?"
Ang Nio-cu menggeleng.
"Sudah pasti bukan karena sahabat tidak menghendaki dirimu, adalah kau sendiri yang tidak
menghendaki teman." Yan Jit menambahkan.
"Tapi aku...."
"Jika kau menginginkan orang lain bersungguh hati kepadamu, hanya ada satu hal yang bisa


Pendekar Riang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau gantikan kepadanya."
"Meng.... menggantikannya dengan apa?"
"Dengan ketulusan hati serta kesungguhan hatimu sendiri."
Kwik Tay lok tidak tahan segera menimbrung pula:
"Diantara kalian bertiga, asal ada sedikit saja ketulusan serta kesungguhan hati, maka hari ini
kalian masih bisa hidup senang dengan riang gembira."
Sesat tak akan menangkan kelurusan.
Keadilan pasti dapat merontokkan kekerasan.
Kekuatan yang terjalin karena persahabatan dan kesetiaan, sudah pasti dapat menangkan
pula kekuatan buas yang terhimpun karena persekongkolan dan kedengkian.
Keadilan dan persahabatan sudah pasti akan selalu tertanam didalam hati manusia, tinggal
manusia itu sendiri, dapatkah dia menggali serta memanfaatkannya.
Kesemuanya itu bukan suatu perlambang atau suatu ibarat, semuanya bukan.
Jika kalian sudah mendengarkan kisah dari Kwik Tay-lok dan Ong Tiong, segera akan kalian
ketahui bahwa kata-kata bukan suatu ibarat atau perlambang saja. Sekalipun kalian tidak
mendengarkan juga tak menjadi soal.
Sebab di dunia yang luas ini setiap saat di setiap tempat akan dijumpai manusia-manusia
seperti Kwik Tay-lok dan Ong Tiong.
Asal kau bersedia untuk mencarinya dengan hati yang tulus serta kemauan yang jujur, maka
sudah pasti kau akan temukan juga teman semacam mereka itu.
Musim semi telah tiba, fajarpun belum lama menyingsing.
Lim Tay-peng berbaring di bawah jendela, jendela itu terbuka lebar, ketika ada angin
berhembus lewat maka lama-lama terendus bau harum semerbak yang dibawa datang dari
kejauhan sana. Di tengah memegang sejilid buku, tapi matanya sedang mengamati daun-daun hijau yang
mulai bersemi kembali di atas dahan pohon.
Sudah cukup lama dia berbaring di situ.
Luka yang dia derita tidak separah Kwik Tay-lok, racun yang mengeram di tubuhnya juga tidak
sedalam Kwik Tay-lok.
Tapi Kwik Tay-lok sudah dapat membeli arak di kota, sedang dia masih harus berbaring di atas
ranjang. Karena obat penawar datangnya terlalu lambat...
Racun sudah menyerang sampai di dalam isi perutnya, merusak kondisi badannya.
"Yaa, memang begitulah penghidupan manusia, adakalanya beruntung ada kalanya pula tidak
beruntung. Tapi dia tidak menggerutu.
Dia telah memahami apa arti dari keberuntungan serta ketidak beruntungan tersebut.
Walaupun dia sedang sakit namun justru karena itu dia dapat merasakan pula suasana yang
santai dan sepi dari sakitnya itu.
Apalagi masih ada perawatan dan perhatian dari teman-temannya.....
Ia menghela napas dan memejamkan mata.
Pintu pelan-pelan dibuka orang, seseorang muncul dengan langkah yang amat pelan.
Dia adalah seorang perempuan yang berpakaian sederhana, tidak berbedak atau bergincu dan
kelihatan bersih sekali.
Di tangannya ia membawa sebuah baki, di atas baki tampak semangkuk bubur serta dua
macam sayur. Tampaknya Lim Tay-peng sudah tertidur, la pelan-pelan masuk ke dalam, meletakkan baki itu
dengan berhati-hati di meja, seperti kuatir kalau membangunkan Lim Tay-peng, kemudian pelanpelan
pula mengundurkan diri dari situ.
Tapi setelah berpikir sebentar, dia masuk kembali dan mengangkat baki itu kembali, karena dia
takut bubur yang dingin tak baik untuk orang yang sedang sakit.
Siapakah perempuan itu"
Cara kerjanya sungguh amat teliti dan sangat berhati-hati.
Lapisan salju mencair, sinar matahari yang menyoroti seantero jagad terasa makin hangat dan
kering... Di tengah halaman depan tampak tiga lembar kursi rotan dan seperangkat alat bermain catur.
Ong Tiong dan Yan Jit sedang bermain.
Kwik Tay-lok duduk disampingnya sambil menonton, sebentar-sebentar ia nampak beranjak
sambil berjalan bolak-balik tanpa tujuan, sebentar pula melongok keluar dinding pagar dan
mengawasi pegunungan nun jauh di depan sana.
Pokoknya dia tak pernah bisa duduk tenang.
Bila menginginkan dia duduk tenang di situ, sambil bermain catur, kecuali kalau kakinya
dipenggal sampai kutung, bila suruh dia duduk dengan tenang menyaksikan orang lain bermain
catur, maka hakekatnya seperti menggorok lehernya.
Sekarang biji catur Ong Tiong yang berwarna putih itu menyumbat mati jalan keluar biji catur
hitam, Yan Jit sambil menimang-nimang biji caturnya sedang merasa pusing kepala, dia tak tahu
bagaimana harus bertindak untuk menolong permainannya.
Ketika dilihatnya Kwik Tay-lok hanya berjalan hilir mudik tiada hentinya, dengan mata melotot
Yan Jit segera menegur:
"Hei, dapatkah kau duduk sebentar dengan tenang ?"
"Tidak dapat !"
"Kau ribut melulu di tempat ini, bikin pikiran orang merasa kacau saja, bagaimana mungkin aku
bisa bermain catur dengan tenang ?" keluh Yan Jit dengan gemas.
"Sepotong katapun tidak kuucapkan, kapan sih aku bikin ribut ?"
"Memangnya caramu sekarang bukan lagi bikin ribut ?"
"Sekalipun cara ini bikin ribut, mengapa Ong lotoa tidak menegur diriku ?"
"Karena aku yang hampir menangkan permainan catur ini." ucap Ong Tiong hambar.
"Sekarang permainan belum selesai, siapa menang siapa kalah masih belum pasti." seru Yan
Jit. "Sudah pasti!" Kwik Tay-lok menimbrung.
Kontan saja Yan Jit melotot.
"Aaaah, kau ini tahu apa ?"
Kwik Tay-lok tertawa.
"Sekalipun aku tidak mengerti soal bermain catur, tapi aku cukup mengerti orang yang kalah
bermain selalu mempunyai penyakit yang kelewat banyak."
"Penyakit siapa yang banyak ?"
"Kau ! Maka orang yang bakal kalah bermain catur nanti juga kau...."
"Tepat sekali !" sahut Ong Tong sambil tertawa.
Senyuman yang baru saja menghiasi ujung bibirnya itu mendadak berubah menjadi kaku.
Seorang perempuan sedang berjalan menelusuri sebuah jalan kecil yang berlapiskan batu, di
tangannya membawa sebuah baki yang berisikan tiga mangkuk teh panas.
Ong Tiong segera melengos ke arah lain dan tak sudi memperhatikan dirinya.
Mangkuk teh pertama disodorkan perempuan berbaju hijau itu kepadanya, dengan lembut dia
berkata: "Inilah air teh Hiang-pian yang paling kau sukai baru saja dibikin...."
Ong Tiong berlagak tidak mendengar.
"Bila kau ingin minum air teh Liong-cing akan kugantikan sepoci untukmu" ucap perempuan
berbaju hijau itu lagi.
Ong Tiong masih juga tidak menggubris.
Maka perempuan berbaju hijau itupun meletakkan cawan teh tadi di hadapannya kemudian
bertanya lagi: "Tengah hari nanti kau ingin makan apa ?"
Tiba-tiba Ong Tong bangkit berdiri lalu berjalan menjauhi dirinya....
Memperhatikan bayangan punggungnya yang menjauh, perempuan berbaju hijau itu
termangu-mangu, dia seperti merasa amat murung dan sedih sekali.
Kwik Tay-lok tidak tega, dia lantas berseru:
"Bikin pangsit paling enak, cuma terlalu repot !"
Saat itulah si perempuan berbaju hijau itu baru berpaling dan ketawa paksa.
"Aaah..... tidak repot, tidak repot, sedikitpun tidak repot."
Setelah meletakkan mangkuk air teh, pelan-pelan dia membalikkan badan dan pelan-pelan
beranjak pergi, baru dua langkah dia sudah tak tahan untuk berpaling dan memperhatikan lagi diri
Ong Tiong. Ong Tiong tetap berdiri di tempat kejauhan, seakan-akan dia tidak merasakan kehadiran
perempuan itu. Perempuan berbaju hijau itu menundukkan kepalanya dan pergi, meski dia merasa amat
sedih, namun sama sekali tidak menunjukkan wajah menggerutu.
Bagaimanapun sikap Ong Tiong terhadap dirinya, dia tetap halus, lembut dan pasrah.
Apa pula yang sebenarnya sedang dia rencanakan.
Kwik Tay-lok memperhatikan bayangan punggungnya sampai lenyap dibalik rumah, kemudian
ia baru menghela napas panjang seraya bergumam:
"Cepat benar perubahan dari orang ini!"
"Ehmm !" Yan Jit mendesis.
"Orang lain bilang, alam dunia bisa dirubah, watak manusia sukar dirubah, aku lihat ucapan
tersebut kurang begitu cocok. Bukankah orang itu sama sekali telah terjadi perubahan besar ?"
"Karena dia adalah seorang perempuan!"
"Perempuan juga orang, bukankah perkataan tersebut seringkali kau katakan ?"
Yan Jit menghela napas panjang.
"Bagaimana juga, perempuan selamanya berbeda dengan kaum lelaki...." katanya.
"Oooooh.....?"
"Demi seorang lelaki yang disukainya, seorang perempuan bisa merubah sama sekali dirinya.
Sedangkan lelaki bila mencintai seorang perempuan, sekalipun bisa terjadi perubahan, perubahan
tersebut paling-paling hanya terjadi diluarannya saja."
Kwik Tay-lok berpikir sebenar, lalu ujarnya:
"Ucapan itu kedengarannya sedikit masuk diakal."
"Tentu saja masuk akal.... apa yang kukatakan memang selalu masuk di akal."
Kwik Tay-lok segera tertawa.
Yan Jit segera melotot besar, serunya:
"Apakah yang kau tertawakan " Kau tidak mengaku ?"
"Aku mengaku, apapun yang kau katakan, aku tak pernah mengatakan tidak setuju."
Inilah yang dinamakan benda yang satu lebih tinggi daripada benda yang lain, tahu hanya
pantas mendampingi sayur.
Kwik Tay-lok, lelaki yang tidak takut langit tidak takut bumi, tapi begitu melihat Yan Jit, dia
benar-benar kehabisan akal.
Saat itulah Ong Tiong telah berjalan balik dan duduk. Mukanya masih hijau membesi.
Kwik Tay-lok segera berseru:
"Orang lain toh bermaksud baik untuk memberi air teh untukmu, dapatkah kau bersikap lebih
baik sedikit kepadanya ?"
"Tidak dapat !"
"Apakah kau benar-benar marah setiap kali bertemu dengannya ?"
"Hmm!"
"Kenapa ?"
"Hmm !"
"Sekalipun dulu Ang Nio-cu tidak baik, tapi sekarang dia sudah bukan merupakan Ang Nio-cu
lagi, apakah tidak kau lihat bahwa dia sama sekali telah berubah ?"
"Benar!" sambung Yan Jit, "sekarang orang yang bertemu dengannya, siapa pula yang bisa
menduga dia adalah Ang Nio-cu yang suka menolong orang dalam kesusahan ?"
Yaa, memang tak akan ada yang menyangka.
Dia begitu berhati-hati, begitu cermat, lembut dan penuh kasih sayang, siapa yang akan
menyangka kalau perempuan baju hijau yang begitu sederhana tersebut tak lain adalah Ang Niocu
" "Bila ada yang bisa menduganya, aku rela merangkak satu lingkaran di atas tanah." seru Kwik
Tay-lok. "Aku juga bersedia merangkak !" Yan Jit menambahkan.
Ong Tiong masih menarik muka dan berwajah kecut, ujarnya dingin:
"Bila kalian ingin merangkak di tanah, urusan tersebut adalah urusan pribadimu sendiri, aku
tak mau tahu."
"Tapi kau..." seru Yan Jit.
"Hai, kau sudah mengaku kalah belum dalam permainan catur ini ?" tukas Ong Tiong.
"Tentu saja tidak mengaku !"
"Baik, kalau begitu tak usah banyak berbicara lagi, hayo cepat lanjutkan."
Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya:
"Kulihat orang ini berpenyakit lebih besar daripada Yan Jit, kalau dia tidak kalah dalam
permainan catur itu, urusan baru dibilang aneh sekali."
Ternyata dalam permainan tersebut memang Ong Tiong yang menderita kekalahan.
Sebenarnya dia sudah menutup buntu semua jalan lewat biji catur Yan Jit, tapi entah
mengapa, ternyata dia telah dikalahkan secara tragis.
Menyaksikan catur di hadapannya, Ong Tiong tertegun untuk beberapa saat lamanya, tiba-tiba
dia bers Kisah Sepasang Rajawali 7 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 9
^