Pendekar Sadis 10

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


tetapi tetap saja dia dan semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu."
"Hemm... di lembah Sungai Luai" Setahuku di sana biasanya aman, tidak terdapat perampok, dan andaikata ada juga, tentu para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an-piauwkiok," Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya. Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu.
"Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu," kata orang itu. "Gerombolan perampok itu agaknya merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggauta Pouw-an-piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah merekapun tidak lebih hanya sepuluh orang saja yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh."
"Engkau harus tolong Beng Sin-twako," kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong. Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu, oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya.
"Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an-piauwkiok dijual sekalipun, belum tentu akan dapat mengganti harga barang-barang itu yang jumlahnya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah, Kui-piauwsu menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kami mengingat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, maka kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini."
Cim Khai Sun mengangguk-angguk. "Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan."
Setelah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu.
Pada saat itu, Thian Sin berkata, "Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok laknat itu, membasmi mereka dan merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an-piauwkiok."
"Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman," kata Han Tiong. "Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok- perampok itu."
"Aku ikut!" kata Lian Hong.
"Akupun ikut!" kata Bun Hong.
Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum.
"Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu" Ayah kalian tentu akan marah kalau sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?"
"Tidak, paman," kata Han Tiong, suaranya tegas. "Bahkan sebaliknya, kalau ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat malapetaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah kepada kami. Biarkan kami pergi, paman."
"Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!" kata Thian Sin tegas.
Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri.
"Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian."
"Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja," jawab Han Tiong.
"Ayah, aku ikut!" kata pula Lian Hong.
"Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!" sambung Bun Hong.
"Aihh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?" Kui Lan mencela.
"Kalian ini seperti anak kecil saja. Kedua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?" Kui Lin juga mengomel.
"Ayah selama ini mengajarkan ilmu silat, dan sekarang terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?" Lian Hong membantah.
"Benar, kita hanya boleh ikut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya diberi kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka," kata Bun Hong.
"Setidaknya, kita tidak boleh enak-enak saja mambiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!" Lian Hong menambah pula.
Ciu Khai Sun menarik napas panjang. "Kalian ini sungguh seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu amat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an-piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil."
Melihat wajah Lian Hong cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin segera berkata, "Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya dan bertanggung jawab kalau ada apa-apa menimpa dirinya!" Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, dan merasa tidak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka diapun cepat berkata dengan suara tenang.
"Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka."
Mendengar ucapan dua orang pemuda Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali. "Kami akan berhati-hati, ayah!" kata Lian Hong.
"Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan kalau perlu membantu," sambung Bun Hong.
Akhirnya, keluarga itu merasa tidak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi dua orang anak mereka. Kalau mereka berkeras tidak membolehkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka" Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar!
"Baiklah, baiklah..." Akhirnya Ciu Khai Sun berkata dan dua orang anaknya itu girang sakali. Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan.
*** Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin mereka lebih suka duduk di luar mengelilingi api unggun besar daripada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biarpun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka den makan daging panggang dan roti yang halus.
"Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini."
"Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!"
Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara ketawa ringan, akan tetapi juga ucapan mereka bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu.
Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikep penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi.
"Hemm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?" tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam. "Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati."
"Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?" kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan.
"Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan," kata seorang anak buah.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu kalau diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa twako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?"
Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, "Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorangpun di antara kita yang terluka parah."
"Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!" kata pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok.
"Akan tetapi mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi" Takut apa sih?" seorang anak buah bertanya.
"Orang bodoh macam engkau ini tahu apa" Barang-barang itu harus diselamatkan dulu sampai ke Sin-yang tanpa ada yang tahu. Kalau sudah selamat, barulah keadaan benar-benar beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalken tempat persembunyian ini. Sebelum lewat tengah malam ini, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha!" Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu.
"Ah, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!" kata Si Muka Hitam raksasa. "Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!"
"Twako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!" kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya.
"Sute, kau bodoh! Justeru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian dan bekal mereka, dan tentang gadis itu... ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memanglah perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap."
Semua orang setuju dan tertawa-tawa, dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu. Empat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong!
Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan mereka berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan biarpun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu. Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang pria tinggi besar seperti raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok dan kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang nampak oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar!
"Agaknya merekalah orang-orangnya," kata Thian Sin lirih.
"Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain," kata Han Tiong.
Kini dua belas orang itu telah tiba di depan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi menatap dengan pandang mata penuh kekurangajaran kepada Lian Hong, kini berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan kalau kalian ingin selamat!" Si Tinggi Besar ini, walaupun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen.
Akan tetapi Ciu Bun Hong, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan sudah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, memandang agak ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkeliaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar.
Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat. "Mereka bukan perampok," bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya.
Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya, sudah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin.
"Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat."
Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguhpun pada sikap empat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut.
"Ha-ha-ha, kamipun tahu bahwa kalian hanyalah empat muda yang sederhana dan agaknya tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apapun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya kepada kami."
Han Tion mengerutkan alisnya. "Benda berharga" Apa yang kalian maksudkan" Kami tidak membawa apapun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan..."
Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa dan Si Tinggi Besar menudingkan telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, "Apakah yang lebih berharga daripada nona manis ini" Kami tidak butuh uang, kami sendiri sudah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku...!"
"Keparat bermulut busuk!" Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu, sepasang mata pemuda ini mengeluarkan sinar mencorong dan melibat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga. Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka diapun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin.
"Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak" Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini kepadaku, atau kami harus bunuh dulu kalian bertiga dan merampas gadis ini dengan paksa."
"Iblis yang layak mampus!" Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut, karena hatinya telah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong. Thian Sin menoleh dan melihat sinar mata kakaknya, kemarahannyapun lenyap, dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur.
"Sobat," kata Han Tiong dengan tenang, "terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu telah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an-piauwkiok di Su-couw. Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?"
Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lalu bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya dan belasan orang itu lalu mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi membuktikan bahwa empat orang muda itu adalah musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu.
"Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu" Wah, kalau begitu kalian tak boleh pergi lagi dari sini dan menjadi tawanan kami!" kata Si Tinggi Besar.
"Sobat, kalian telah melakukan sesuatu yang keliru besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an-piauwkiok selalu bersikap baik terhadap orang-orang kang-ouw" Kenapa kalian telah mengganggunya dan dengan demikian merusak perhubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim" Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami dan tentu kami akan membalas budi itu dan Pouw-an-piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian." Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini amat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tidak semestinya kakaknya bersikap demikian mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat seperti perampok-perampok ini yang bukan hanya telah merampas barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok, akan tetapi bahkan telah menghina Lian Hong. Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauw-kiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu. Betapapun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena kalau sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu.
"Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apakah kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, dengan kata-kata manis belaka" Kami telah mengambil dengan kepandaian, dan siapapun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dulu mengalahkan kami!" kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak.
"Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!" Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan. "Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!"
Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah sekali. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya. "Keparat, engkau bocah kemarin sore sungguh bermulut besar. Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana kalau dalam beberapa jurus engkau kalah?" tanyanya dengan nada mengejek.
Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Dia sudah tenang lagi sekarang, dan dia merasa betapa bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi diapun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu.
"Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu."
"Ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu, sedangkan gadis ini... hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!"
"Majulah dan jangan banyak bicara!" Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong.
Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring, "Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!"
Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Pula, dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, maka diapun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu.
HAN TIONG mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi diapun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka diapun hanya berkata, "Hati-hatilah Hong-moi."
Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi telah membuat dia tergila-gila itu. "Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga" Mari, mari... nona manis, ha-ha-ha!"
Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biarpun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya cepat sekali, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong. Sungguh gerakan yang cukup bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi, dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, dan membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping. Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan untuk mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap.
Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Liang Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya.
Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan biarpun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, namun kekalahan tenaga itu membuat ia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua! Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi dan diapun meloncat dan menyerang kepala rampok itu.
Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya, "Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!"
Akan tetapi, sungguh ia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka!
"Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya." kata Thian Sin yang sudah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok. "Bun Hong-te, hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!" katanya pula kepada Bun Hong.
Karena melihat betapa kepala perampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong lalu meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka.
Kepala perampok itu kini maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang lihai dan agaknya memang mereka berempat itu merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an-piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu. Maka diapun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang masing-masing kini telah memegang sebatang golok yang tajam. Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka diapun berteriak, "Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!"
Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan. "Plakkkkk! Dess...!" Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan sedemikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh" Sementara itu, belasan orang itu telah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya telah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini. Rata-rata belasan orang itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi, menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak. Hanya dua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini telah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka dengan gigih.
Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang telah meneriakinya agar dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan mampu merobohkan lawan dan menewaskannya. Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi, setelah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok.
Tangkapannya itu seperti sepasang jepitan baja yang amat kuat sehingga si kepala perampok berteriak kesakitan karena tiba-tiba saja lengannya terasa lemas dan lumpuh dan sambungan tulang sikunya seperti remuk. Namun dia masih menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram ke arah kepala Thian Sin. Pemuda ini membiarkan tangan lawan sampai dekat, kemudian tangan kanannya menyambut dan dua tangan itu saling cengkeram. Terdengar suara berkerotoka, dan akibatnya, tulang-tulang jari tangan kiri kepala perampok itu ketika dicengkeram jari-jari tangan kanan Thian Sin, menjadi patah-patah. Rasa nyeri seperti ujung pedang karatan menusuk jantung, membuat kepala perampok itu menjerit-jerit seperti babi disembelih! Terdengar bunyi "krek-krekk!" dan ketika Thian Sin mendorong tubuh kepala perampok itu terguling dan dia bergulingan dan berkelojotan karena rasa nyeri yang amat sangat terasa oleh kedua tangannya. Jari-jari tangan kirinya remuk-remuk dan sambungan tulang siku kanannya terlepas! Goloknya terlempar entah ke mana.
Sementara itu, biarpun dengan lebih lunak, Han Tiong juga sudah merobohkan enam orang perampok yang tidak mungkin dapat melawan lagi karena mereka itu roboh dengan kaki atau tangan yang patah tulangnya. Empat orang masih mengeroyoknya dan dua orang lagi masih bertanding melawan Bun Hong dan Lian Hong, akan tetapi keadaan dua orang inipun sudah terdesak hebat. Thian Sin yang baru saja merobohkan si kepala rampok, kini cepat bergerak membantu dan dengan dua kali tendangan saja dia sudah merobohkan dua orang lawan Bun Hong dan Lian Hong, sedangkan bersama Han Tiong dia merobohkan empat orang sisa perampok. Kini, dua belas orang perampok itu sudah rebah semua tak dapat bangkit kembali. Peristiwa ini terlalu cepat dan mengejutkan sehingga di samping rasa nyeri yang mereka derita, juga mereka itu masih belum pulih dari rasa kaget dan heran sehingga mereka memandang kepada empat orang muda itu dengan mata terbelalak, juga dengan sikap takut-takut! Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan empat orang pendekar muda, dan terutama dua orang pendekar yang sakti!
"Hemm, sudah kami katakan bahwa perbuatan kalian merampok barang kawalan Pouw-an-piauwkiok adalah perbuatan bodoh. Nah, sekarang di mana adanya barang-barang itu?" Han Tiong berkata kepada kepala perampok yang masih merintih-rintih kesakitan itu.
Akan tetapi kepala perampok itu hanya mendelik saja dan tidak menjawab. Agaknya dia sudah nekad dan hendak menebus kekalahan itu dengan tutup mulut dan tidak mau menyerahkan kembali barang-barang rampasan itu!
"Biar kupaksa dia, Tiong-ko!" Thian Sin melangkah maju menghampiri kepala perampok itu, akan tetapi kembali Han Tiong mencegahnya.
"Sin-te, orang nekad seperti dia percuma juga dipaksa bicara. Bukankan dia sudah cukup tersiksa dan tetap saja dia tidak mau bicara?"
Thian Sin maklum juga akan hal ini. Kalau tadi dia memilih si kepala rampok untuk disiksanya adalah karena hatinya masih panas mengingat betapa kepala rampok itu tadi menghina Lian Hong dengan kata-kata kotor. Maka diapun lalu menghampiri para anak buah perampok dan memilih di antara mereka seorang perampok yang mukanya pucat ketakutan, tubuhnya sudah menggigil ketika Thian Sin menghampirinya. Perampok ini tadi roboh oleh tendangan kaki Thian Sin yang membuat tulang kering kakinya patah dan membuat dia tidak mampu bangkit berdiri lagi.
"Nah, katakan di mana barang-barang rampokan itu kalau kau tidak ingin kakimu yang sebelah lagi juga kupatahkan tulangnya!" kata Thian Sin dengan suara dingin dan sinar matanya mencorong menyeramkan.
"Tapi... tapi..." orang itu berkata denga ketakutan dan menoleh kepada kepala rampok yang mendelik kepadanya itu.
Tahulah Thian Sin bahwa anak buah perampok itu takut kepada kepalanya, maka diapun tersenyum mengejek dan berkata, "Dengar baik-baik, perlu apa kau takuti dia yang sudah tak berdaya itu" Dia tidak dapat mengganggumu lagi, akan tetapi aku dapat! Dan ingat apa yang akan kulakukan padamu. Tidak hanya mematahkan dua batang tulang kakimu, juga dua tulang lenganmu, kemudian kupatahkan kedua tulang pundakmu, kubuntungi dua telingamu dan hidungmu. Lihat, sesudah itu apakah engkau masih dapat disiksa yang lebih hebat lagi." Dan Thian Sin meraba kaki kanan orang itu yang belum patah tulangnya, mengerahkan sin-kangnya sehingga tampak tangannya terasa dingin menembus celana kaki kanan itu. Orang itu menarik kakinya seperti disengat binatang berbisa dan mukanya menjadi lebih pucat lagi.
"Tidak... jangan..."
"Katakan di mana barang-barang itu! Jangan kira kalau tidak diberi tahu kami tak dapat mencari dan menemukannya!"
"Di dalam... gua... di dalam hutan ini..."
"Di mana letaknya itu?" bentak Thian Sin.
"Sin-ko, aku tahu di mana letak gua dalam hutan ini. Mari!" kata Bun Hong. Thian Sin mengangguk dan memandang kepada Han Tiong.
"Pergilah, Sin-te. Kau dan Bun Hing pergi mencari barang-barang itu dan aku akan menjaga dan mengurus mereka ini."
"Aku akan membantumu, Tiong-ko." kata Lian Hong. Thian Sin memandang kecewa karena dia ingin agar gadis itu tidak pernah berpisah lagi dari sampingnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah dan diapun mengajak Bun Hong mencari gua itu. Mereka memasuki hutan tak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah gua di mana terdapat dua orang penjaga. Dua orang perampok yang melihat munculnya dua orang pemuda itu, menjadi terkejut dan segera mereka mencabut golok.
Akan tetapi, hanya dengan dua kali gerakan saja, Thian Sin telah membuat mereka roboh dan pingsan. Melihat ini, Bun Hong kagum bukan main dan diam-diam dia merasa ngeri juga menyaksikan sepak terjang Thian Sin dan tahulah dia bahwa pemuda ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini juga seorang yang memiliki hati yang ganas terhadap penjahat, tanpa mengenal ampun, sungguh wataknya menjadi kebalikan dari watak Han Tiong yang selalu tenang, sabar dan penuh kebijaksanaan itu.
Setelah mereka memasuki gua, benar saja, di dalam gua yang besar itu terdapat dua gerobag barang-barang itu, dan mereka berdua bahkan berhasil menemukan beberapa ekor kuda tak jauh dari gua. Thian Sin dan Bun Hong lalu bekerja cepat. Mereka menangkap beberapa ekor kuda itu, lalu memasang mereka di depan kereta dan melemparkan tubuh dua orang perampok yang pingsan itu ke atas kereta, kemudian membawa dua buah kereta itu ke tempat di mana terjadi pertempuran tadi. Ketika mereka tiba di situ, mereka melihat betapa Han Tiong dibantu oleh Lian Hong sibuk merawat para perampok itu! Dengan ilmunya yang tinggi, Han Tiong telah mengobati mereka dengan totokan-totokan dan bahkan menyambung tulang-tulang yang patah, dan membalut kaki dan tangan yang patah tulangnya. Melihat ini, Thian Sin meloncat turun dari kereta dan menghampiri kakaknya dengan alis berkerut.
"Tiong-ko, mengapa kaulakukan itu" Bahkan minta kepada Hong-moi untuk membantumu" Sungguh tidak pantas manusia-manusia binatang ini ditolong, apalagi oleh tangan Hong-moi, Sepatutnya mereka ini dibasmi dan dibunuh saja!"
Han Tiong tersenyum dan bangkit berdiri. "Sin-te, jangan begitu. Bagaimanapun juga, mereka ini adalah manusia-manusia dan yang jahat hanyalah perbuatan mereka yang mereka lakukan karena kegelapan batin mereka. Merekapun dapat menderita seperti kita, mana mungkin aku dapat membiarkan saja mereka merintih dan mengeluh?"
Thian Sin makin tidak puas dengan jawaban itu. "Habis, mereka ini mau diapakan" Kalau kita yang kalah tadi, kiranya mereka tidak akan mau peduli kepada kita, bahkan mungkin mereka akan membunuh kita, dan Hong-moi... ah, mereka akan melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi!"
Han Tiong menarik napas panjang. "Mungkin saja mereka lakukan itu, akan tetapi kita bukan mereka dan kita tidak akan melakukan hal-hal yang seperti mereka. Inilah yang membedakan antara orang-orang sadar dan orang tidak sadar, Sin-te, antara orang yang dikuasai nafsu kejahatan dan orang yang tidak membiarkan diri diseret nafsu."
"Lalu mereka ini mau diapakan?" desak Thian Sin.
"Kita bawa ke kota, kita serahkan kepada yang berwajib. Bukankah demikian semestinya" Biarlah yang berwajib yang akan menghukum mereka, bukan kita yang akan menghukum mereka."
Perdebatan antara dua orang muda itu diperhatikan oleh semua perampok, dan terutama sekali amat diperhatian oleh Lian Hong. Juga Bun Hong dapat melihat perbedaan besar antara dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat itu.
Semua perampok digiring ke kota Su-couw. Yang hanya luka dan patah tulang tangannya, diharuskan berjalan kaki, akan tetapi yang tidak dapat berjalan karena tulang kakinya patah, dinaikkan ke atas gerobag yang ditarik oleh kuda-kuda itu dan empat orang muda itu mengawalnya dari depan dan belakang. Di sepanjang perjalanan, para penghuni dusun menyambut rombongan aneh ini dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa empat orang muda itu telah menangkap segerombolan perampok dan merampas kembali barang-barang yang dirampok.
Di kota Su-couw, mereka menyerahkan para penjahat kepada pembesar setempat dan mereka disambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan oleh Kui Beng Sin yang mengerahkan semua anak buah Pouw-an-piauwkiok. Empat orang muda itu, terutama Han Tiong den Thian Sin, disambut dengan sorak-sorai, dengan puji-pujian dan Kui Beng Sin seperti melupakan luka-luka di tubuhnya saking gembiranya melihat barang kawalan itu dapat dirampas kembali. Apalagi ketika dia melihat dan mendapat keterangan bahwa yang menolongnya adalah putera Cia Sin Liong dan Ceng Han Houw, kegembiraannya membuat dia menitikkan air matanya dan dia merangkul Han Tiong dengan girang sekali.
"Ah, kiranya putera Sin Liong jugalah yang menyelamatkan aku dan keluargaku!" katanya dengan bangga sekali. Ciu Khai Sun yang mendengar akan hasil dua orang pemuda bersama dua orang putera-puterinya itu segera menyusul ke Su-couw bersama isteri-isterinya dan pertemuan di antara mereka di rumah Kui Beng Sin sungguh merupakan pertemuan yang amat menggembirakan.
Malam itu juga, Kui Beng Sin mengadakan pesta keluarga untuk menyambut usaha yang amat berhasil dari empat orang muda itu, dan dalam kesempatan ini, Kui Beng Sin juga mengundang Phoa-taikin, yaitu pembesar di Su-couw yang mempunyai barang-barang berharga yang telah dirampok dan berhasil dirampas kembali itu. Undangan terhadap Phoa-taijin ini juga dimaksudkan untuk memberi selamat kepada pembesar itu yang memperoleh kembali barang-barangnya kembali, juga untuk menyerahkan kembali barang-barangnya karena belum sampai terkirim ke Sin-yang.
Ruangan lebar yang biasanya dipakai untuk tempat berlatih silat itu, di bagian belakang rumah Kui Beng Sing telah dihias dengan meriah dan tempat itu nampak bersih dan rapi. Beberapa meja ditempatkan di ruangan itu, mengelilingi sebuah meja besar yang merupakan meja pusat, di mana Kui Beng Sin akan menjamu tamu-tamunya yang terdiri dari keluarga Ciu dari Lok-yang, lalu dua orang pemuda pendekar yang telah berjasa itu, kemudian Phoa-taijin yang kedatangannya masih sedang ditunggu.
Para anak buah Pouw-an-piauwkiok juga ikut berpesta, dan mereka itu duduk melingkari meja-meja yang lain, dengan sikap gembira, akan tetapi juga hormat karena di tengah-tengah ruangan itu terdapat keluarga majikan atau ketua mereka sedang menjamu tamu-tamu agung itu.
Akhirnya, tamu yang ditunggu-tunggu, Phoa-taijin, datang juga, diiringkan oleh dua orang pengawalnya. Phoa-taijin adalah seorang pembesar yang terkenal di kota Su-couw, sebagai seorang pembesar yang kaya raya dan juga terkenal suka memberi sumbangan kepada semua golongan. Dia dikenal sebagai seorang pembesar kaya raya yang dermawan! Orang tidak mau lagi peduli dari mana pembesar itu memperoleh kekayaannya yang besar. Bagi orang-orang itu, apalagi yang menerima sumbangan langsung, tidak mau tahu lagi dari mana kekayaan si penyumbang didapatkan. Dari manapun datangnya harta yang disumbangkan, seorang penyumbang akan dipuji-puji sebagai seorang dermawan yang baik hati! Padahal, kalau orang mau menaruh perhatian dan menyelidiki, tentu dia akan merasa heran bukan main bagaimana seorang yang menjadi pembesar dapat mengumpulkan kekayaan yang demikian melimpah, padahal kalau melihat dari hasilnya sebagai pejabat, biar dia bekerja sampai seratus tahun sekalipun, hasil dari gajinya belum dapat menyamai jumlah seperseratus jumlah kekayaannya yang terkumpul bukan dari hasil kerjanya itu.
Memang Phoa-taijin seorang yang pandai sekali, bukan hanya pandai mengumpulkan kekayaan, akan tetapi juga pandai mengambil hati orang-orang sehingga dia memperoleh nama sebagai seorang pembesar yang baik dan berhati dermawan. Dia muncul di ruangan itu dengan wajah cerah, mulutnya tersenyum lebar dan pandang matanya berseri-seri. Dia disambut dengan sopan dan gembira oleh Kui Beng Sin dan isterinya. Juga Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bangkit berdiri memberi hormat karena biarpun dia tinggal di Lok-yang, namun sebagai seorang ketua piauwkiok yang terkenal, tokoh Siauw-lim itu tentu saja mengenal pembesar yang cukup terkenal di daerah Propinsi Ho-nan ini.
Phoa-taijin membalas penghormatan mereka sambil tertawa gembira dan diapun memandang kepada Ciu Khai Sun, lalu berkata, "Ah, Ciu-piauwsu juga telah hadir di sini! Kami mendengar bahwa barang-barang kami itu berhasil dirampas kembali berkat keluarga Ciu-piauwau di Lok-yang, benarkah itu?" Dia melirik ke arah Thian Sin dan Han Tiong, lalu disambungnya. "Kami mendengar dari Ji-ciangkun yang menerima dan menahan para perampok itu." Yang disebut Ji-ciangkun adalah pembesar penjaga keamanan yang telah menerima penyerahan para perampok oleh empat orang muda itu.
"Ah, sesungguhnya saya tidak berjasa, dan kedua anak sayapun hanya ikut saja, taijin," kata Ciu Khai Sun merendah. Kui Beng Sin tertawa.
"Taijin, yang berjasa adalah dua orang keponakan kami inilah!" Dia menunjuk kepada Thian Sin dan Han Tiong yang tadi telah memberi hormat dan kini telah duduk kembali. "Ketahuilah, taijin, mereka ini adalah keponakan-keponakan saya yang gagah perkasa. Ini adalah Cia Han Tiong, putera dari saudara tiri saya yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Dan seorang ini adalah muridnya, yaitu bernama Ceng Thian Sin. Taijin tentu tidak tahu siapa dia ini! Dia adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan itu!"
Baik Ciu Khai Sun maupun Han Tiong telah memberi isyarat kepada Beng Sin agar tidak memberitahukan hal itu, namun agaknya piauwsu gendut itu tidak sadar akan hal ini. Dia terlalu bersyukur, berterima kasih dan bergembira sehingga dia memperkenalkan dua orang muda yang dibanggakannya itu, lupa bahwa pembesar itu adalah "orang luar" dan bahwa nama Ceng Han Houw bukanlah sembarangan nama yang boleh diumumkan begitu saja, mengingat keadaannya ketika masih hidupnya. Pangeran itu adalah seorang yang bukan hanya menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi bahkan menggegerkan pemerintah dan kota raja, dan sebagai seorang pemberontak malah! Maka, amat tidaklah enak untuk memperkenalkan putera pangeran itu!
Akan tetapi, Kui Beng Sin telah menceritakan hal itu, semua telah terjadi dan Thian Sin hanya duduk dengan tenang. Juga pembesar itu tidak memperlihatkan sikap lain, kecuali membelalakkan kedua matanya memandang kepada dua orang muda itu dan berseru. "Ah, siapa kira dua orang muda remaja ini telah memiliki kepandaian yang demikian hebatnya."
Pesta itu berlangsung dengan gembira dan ketika Kui Beng Sin menyampaikan kembali barang-barang milik pembesar she Phoa itu, Phoa-taijin mengucapkan terima kasih dan biarpun barang-barang itu belum dikirim ke tempat tujuan, yaitu Sin-yang, namun pembesar itu merasa girang bahwa tidak ada sedikitpun di antara barang itu yang hilang. Phoa-taijin minta agar barang-barang itu besok dikembalikan ke gudangnya dan dia tidak lupa untuk memberi hadiah kepada Pouw-an-piauwkiok.
*** Beberapa hari kemudian, Han Tiong dan Thian Sin berpamit dari keluarga Ciu untuk pulang ke utara. Ciu Khai Sun telah mempersiapkan surat balasan untuk Cia Sin Liong dan menyerahkan surat itu kepada Han Tiong yang segera menyimpannya dalam bungkusan pakaiannya. Merekapun menerima pemberian kuda-kuda yang cukup baik dari keluarga Ciu dan mereka berdua diantar sampai ke tepi kota oleh Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong.
"Hong-te dan Hong-moi, terima kasih atas semua kebaikan kalian. Selamat tinggal, cukup kalian mengantar sampai di sini saja," kata Han Tiong setelah mereka tiba di batas kota.
"Hong-te, terima kasih dan selamat berpisah, Hong-moi... kuharap... kita akan dapat saling bertemu kembali dalam waktu dekat..." kata Thian Sin sambil memandang wajah dara itu dan suaranya terdengar mengandung nada bersedih oleh perpisahan yang amat memberatkan hatinya itu.
"Tiong-ko, Sin-ko, selamat jalan dan selamat berpisah," kata kakak beradik itu dan ketika dua orang pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda dan mulai menjalankan kuda mereka meninggalkan tempat itu, kakak beradik ini melambaikan tangannya sampai dua orang pemuda itu lenyap di sebuah tikungan. Melihat adiknya masih melambalkan tangan seperti orang yang merasa sukar sekali untuk melepaskan mereka pergi, Bun Hong berkata sambil tersenyum, "Tiong-ko tidak akan lama pergi, tentu akan sigera ada kabar dari keluarga Cia."
Lian Hong terkejut dan sadar bahwa dia masih melambaikan tangannya. Mukanya yang cantik itu berubah merah sekali dan dia lalu mencubit lengan kakaknya. "Ih, siapa yang mengharap-harap kedatangannya?"
Bun Hong hanya tertawa akan tetapi dia tahu bahwa adiknya ini telah jatuh cinta kepada Han Tiong dan dia merasa setuju dan gembira sekali karena diapun lebih suka kalau adiknya menjadi isteri Han Tiong daripada kalau adiknya memilih Thian Sin. Memang harus diakuinya bahwa dalam hal ketampanan wajah dan daya tariknya sebagai seorang pria, Thian Sin lebih tampan dan lebih menarik. Akan tetapi, dia melihat betapa Thian Sin berwatak ganas dan bahkan kejam terhadap musuh, sedangkan Han Tiong memiliki watak yang amat mengagumkan hatinya, watak seorang pendekar budiman tulen! Maka dia yang diberi tugas oleh ayah bundanya untuk mengamat-amati sikap Lian Hong terhadap dua orang pemuda itu, melaporkan apa adanya dan Ciu Khai Sun lalu memberi surat kepada Cia Sin Liong bahwa keluarga mereka menyetujui kalau Lian Hong dijodohkan dengan Cia Han Tiong.
Ketika mereka meninggalkan kota Lok-yang, di sepanjang jalan Thian Sin tiada hentinya membicarakan tentang kebaikan keluarga itu, terutama sekali kebaikan Lian Hong. Antara lain dia berkata, "Lian-moi sungguh seorang gadis yang amat hebat! Dia memiliki ilmu silat yang sudah cukup tinggi di antara gadis-gadis lainnya, dan diapun gagah berani. Ingat saja ketika kita menyerbu gerombolan di hutan itu!"
Han Tiong hanya tersenyum, akan tetapi diam-diam hatinya merasa agak gelisah. Harus diakuinya bahwa dia jatuh cinta kepada Lian Hong, dan dia melihat dengan jelas pula betapa adiknya inipun mencinta mati-matian kepada dara itu! Melihat betapa kakaknya diam saja, Thian Sin segera menoleh, memandangnya dan berkata, "Bagaimana pendapatmu, Tiong-ko?" Thian Si menatap tajam wajah kakaknya karena diam-diam diapun mempunyai dugaan bahwa kakaknya ini kelihatan tertarik dan amat kagum kepada dara itu.
"Maksudmu?" Han Tiong berbalik mengajukan pertanyaan karena sungguhpun dia sudah mengerti maksudnya, namun dia tidak dapat segera menjawab dan merasa gugup.
"Eh, kau sedang melamunkan apa sih, Tiong-ko sehingga tidak mengerti apa yang kutanyakan" Aku tadi bicara tentang Hong-moi dan aku menanyakan pendapatmu tentang Hong-moi."
"Apa" Hong-moi..." Ah, dia seorang gadis yang baik sekali, mengapa?"
"Tidak apa-apa, Tiong-ko, hanya aku membayangkan betapa akan bahagianya seorang pria kelak yang dapat menjadi suaminya."
Wajah Han Tiong menjadi merah karena ucapan itu dengan tepat menusuk hatinya. Tepat sekali seperti apa yang sering dia renungkan tentang diri Lian Hong. "Ah, engkau ini aneh-aneh saja, Sin-te. Setiap orang suami dari wanita manapun juga tentu akan berbahagia sekali kalau dia menikah dengan wanita yang dicintanya dan juga yang mencintanya."
Agaknya karena ada sesuatu yang menahan perasaan hati mereka di Lok-yang, maka biarpun mereka melakukan perjalanan dengan kuda, namun perjalanan itu amatlah lambatnya. Mereka itu seperti dua orang pemuda yang sedang pesiar saja, menjalankan kuda mereka seenaknya, atau bahkan nampak seolah-olah mereka tidak rela meninggalkan Lok-yang. Dan memang sejak tadi, bayangan Lian Hong seolah-olah melambaikan tangan dan seperti terdengar suara merdu dara itu memanggil mereka agar kembali ke Lok-yang, atau agar tidak meninggalkannya.
Seperti orang kehilangan sesuatu, dua orang pemuda itu tidak begitu bersemangat melakukan perjalanan dan hari mulai sore ketika mereka berhenti di sebuah dusun dan bermalam di sebuah rumah penginapan sederhana. Setelah makan sore yang sederhana pula di dusun itu, mereka beristirahat. Padahal, bukan tubuh mereka yang lelah, melainkan semangat mereka yang padam atau seperti tertinggal di dekat Lian Hong. Bahkan tak lama kemudian merekapun nampaknya sudah tidur dan tidak terdengar bercakap-cakap lagi di dalam kamar mereka.
Akan tetapi sesungguhnya mereka itu belum tidur walaupun keduanya sudah memejamkan mata seperti orang pulas. Thian Sin bangkit dengan hati-hati dan pemuda ini lalu mengulurkan tangannya ke arah bungkusan pakaian mereka yang diletakkan di atas meja. Dengan hati-hati pula dikeluarkan surat titipan dari Ciu Khai Sun kepada Han Tiong ketika mereka berangkat tadi, dan dengan jantung berdebar dibukanya sampul surat dan dikeluarkannya sehelai surat itu dan dibacanya di bawah sinar lilin yang tidak begitu terang itu.
Kedua tangan yang memegang surat itu gemetar dan wajah Thian Sin menjadi pucat ketika dia membaca isi surat. Diulanginya lagi dan tetap isi surat itu antara lain bahwa keluarga Ciu menyetujui diikatnya perjodohan antara Lian Hong dan Han Tiong! Thian Sin memejamkan kedua matanya dan merasa seolah-olah semua isi kamar terputar-putar. Dia berusaha menenangkan hatinya, akan tetapi makin lama hatinya menjadi semakin panas dan tidak enak. Dimasukkannya lagi surat itu ke dalam sampulnya dan disimpannya kembali ke dalam buntalan pakaian, kemudian dia melirik ke arah Han Tiong yang masih tidur nyenyak. Lalu dengan sikap aneh, dengan sepasang mata yang kadang-kadang bersinar-sinar kadang-kadang meredup, dia turun dari atas pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu.
Han Tiong tahu akan semua perbuatan Thian Sin itu. Di dalam hatinya, dia terkejut dan merasa tidak senang sekali menyaksikan kelancangan adiknya yang berani membuka surat dari Ciu Khai Sun untuk ayahnya. Akan tetapi karena merasa heran dengan kelakuan adiknya ini, juga karena dia tidak tega untuk membikin malu adiknya dengan menegurnya pada saat itu juga, maka Han Tiong pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidur nyenyak. Ketika dia melihat Thian Sin mengembalikan surat lalu keluar dari kamar, dia mengira bahwa Thian Sin agaknya tidak dapat tidur dan hanya ingin mencari hawa sejuk di luar. Dan diapun tidak akan menegurnya tentang surat itu, karena dianggapnya bahwa Thian Sin tentu hanya ingin tahu saja dan tidak bermaksud buruk, buktinya surat itu dikembalikannya tanpa diganggu. Maka tidurlah Han Tiong, tidak menyangka sama sekali apa yang telah terjadi di luar.
Thian Sin sama sekali bukan seperti yang disangkanya berjalan-jalan di luar! Pemuda itu setelah tiba di luar rumah penginapan, lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan gin-kangnya, lalu secepatnya kembali ke kota Lok-yang! Perjalanan yang dilakukannya ini jauh lebih cepat daripada ketika mereka berdua meninggalkan kota Lok-yang yang berkuda siang tadi karena Thian Sin menggunakan ilmu berlari cepat. Dia tidak mau menunggang kuda karena tidak ingin kakaknya mengetahui bahwa dia pergi ke Lok-yang. Dia harus pergi ke sana, harus menemui Lian Hong! Tekad inilah yang membuat dia lari secepat angin menuju ke kota itu.
Rumah keluarga Ciu sepi sekali malam itu. Agaknya semua orang telah tidur. Akan tetapi benarkah itu" Kiranya tidak semua penghuninya telah pulas. Lian Hong belum tidur dan dara ini masih duduk di atas pembaringannya. Sejak ia merebahkan diri tadi, hatinya terasa gelisah saja dan ia tidak dapat tidur. Bayangan dua orang pemuda ying siang tadi pergi, selalu terbayang olehnya.
Dia tidak tahu bahwa ada bayangan berkelebat dengan kecepatan luar biasa di atas genteng rumahnya. Bayangan itu adalah Thian Sin yang sudah mengenal benar di mana letak kamar Lian Hong dan ke situlah dia menuju. Setelah mengintai dari atas genteng dan melihat bayangan Lian Hong di dalam kesuraman cahaya lilin kecil itu masih duduk di atas pembaringan, Thian Sin menjadi girang sekali. Gadis itu belum tidur! Maka diapun lalu meloncat turun dengan hati-hati sekali dari atas genteng, menghampiri jendela kamar itu dan mengetuknya dengan lirih tiga kali.
Hening sejenak, lalu terdengar suara Lian Hong, "Siapa...?"
"Ssttt... aku, Hong-moi... aku Thian Sin..."
"Hehh..." Sin-ko..." Ada apa... mengapa...?"
"Hong-moi, keluarlah, kita bicara di luar. Aku ingin bicara denganmu, penting sekali!" Bisik pula Thian Sin.
Daun pintu kamar itupun dibuka dari dalam dan keluarlah Lian Hong. Dia terpesona memandang dara itu yang nampak lebih cantik daripada biasanya! Lian Hong telah mengenakan pakaian ringkas dan ditutupnya dengan mantel merah. Rambutnya agak kusut karena tadi sudah rebah untuk tidur. Sepasang matanya terbelalak penuh keheranan memandang wajah pemuda itu.
"Sin-ko, kau di sini..." Apa yang terjadi dan..."
"Ssttt... mari kita bicara di taman, Hong-moi. Jangan sampai mengagetkan keluargamu."
Thian Sin mendahului gadis itu berjalan keluar dari situ, menuju ke taman yang letaknya di samping kanan rumah. Dengan ragu-ragu dan heran akan tetapi tanpa bertanya atau membantah lagi, Lian Hong mengikutinya. Ia tentu saja tidak menaruh curiga apa-apa terhadap pemuda yang telah dipercayakan sepenuh hatinya itu.
"Duduklah, Hong-moi, aku mau bicara," kata Thian Sin dan melihat sikap pemuda itu begitu sungguh-sungguh, Lian Hong menjadi makin terheran-heran, akan tetapi diapun lalu duduk di atas bangku batu, berhadapan dengan pemuda itu, dipisahkan oleh meja batu yang bundar.
"Sin-ko, ada apakah" Mengapa engkau berada di sini" Bukankah kalian telah berangkat tadi" Dan di mana Tiong-ko?"
"Hong-moi, aku minta dengan sangat agar engkau suka bersikap jujur dan berterus terang kepadaku, karena hal ini sama saja dengan urusan mati hidup bagiku."
"Eh... apa artinya ini, Sin-ko" Apa yang kaumaksudkan dengan ucapanmu itu" Aku sungguh tidak mengerti!"
"Artinya, Hong-moi, bahwa aku... aku cinta padamu."
Lian Hong memandang bayangan pemuda itu dengan mata terbelalak. Tempat itu hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit sehingga biarpun mereka duduk berhadapan, hanya terhalang sebuah meja batu, namun mereka hanya dapat melihat bayangan masing-masing. Lian Hong bukan terkejut mendengar pernyataan cinta dari penuda itu, karena memang sudah dapat menduganya, karena sinar mata, juga suara pemuda itu jelas membayangkan perasaan hatinya. Ia hanya terheran-heran mendengar betapa Thian Sin yang sudah meninggalkan kota Lok-yang itu, kini datang pada malam hari untuk menyatakan cintanya!
Melihat dara itu hanya diam saja dan agaknya memandang kepadanya dengan penuh keheranan, Thian Sin yang sudah dapat melampaui garis yang menggelisahkan hatinya, yaitu pengakuan cinta tadi, kini melanjutkan, suaranya lebih tenang. "Hong-moi, lebih baik aku bicara terus terang, dan kuharap engkau juga suka bersikap jujur, Hong-moi, sejak aku bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu.
Engkau tentu merasakan pula hal ini dan kalau aku tidak salah sangka, melihat sikapmu kepadaku, kalau belum boleh dikatakan mencinta. Hong-moi, benarkah ucapanku ini bahwa engkaupun mencintaku?"
Setelah didesak-desak, akhirnya Lian Hong yang sejak tadi belum dapat menghilangkan rasa terkejut dan herannya, kini menarik napas panjang. Ia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba datangnya, apalagi pertanyaan tentang cinta! "Sin-ko... bagaimana aku harus menjawabmu" Engkau adalah putera angkat dan juga murid Paman Cia Sin Liong, dan engkau bersama Tiong-ko sudah begitu baik kepada kami, bahkan kalian telah memperlihatkan kegagahan dengan merampas kembali barang-barang yang dirampok gerombolan itu. Tentu saja aku merasa kagum dan suka padamu..."
"Dan engkau bersedia untuk menjadi isteriku, Hong-moi?"
"Aihhh...!" Lian Hong setengah menjerit karena sungguh tidak mengira akan menerima pertanyaan semacam itu.
"Jawablah sejujurnya, kuminta kepadamu, berterus-teranglah..."
"Ah, Sin-ko, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan seperti itu" Soal perjodohan... ah, itu adalah urusan orang tuaku, soal jodoh adalah urusan mereka... mana mungkin aku dapat menjawab sendiri...?"
"Hong-moi, mari kita bicara secara terbuka saja, karena jawaban-jawananmu yang berterus-terang amat penting bagiku. Dengarlah. Aku sudah tahu bahwa ayahmu telah menitipkan surat kepada Tiong-ko. Nah, sekarang katakanlah terus terang, apakah engkau mencinta Tiong-ko" Jawablah Hong-moi, apakah engkau lebih mencinta Tiong-ko daripada aku" Karena aku mempunyai keyakinan bahwa engkau cinta kepadaku, maka berita tentang ikatan jodoh antara engkau dan Tiong-ko itu sungguh mengejutkan hatiku. Aku harus mengetahui isi hatimu, Hong-moi. Siapakah yang kaupilih antara kami" Siapakah yang lebih kaucinta?"
Lian Hong menundukkan mukanya. Ia tentu saja sudah diberi tahu oleh kakaknya, Bun Hong, tentang ikatan jodoh itu dan memang ia sudah ditanya oleh kakaknya tentang itu dan ia sudah mengambil keputusan dan berterus terang kepada kakaknya bahwa ia memilih Han Tiong. Berdasarkan pilihannya itulah ayahnya mengirim surat kepada Pendekar Lembah Naga.
"Sin-ko, bagaimana harus kukatakan" Aku suka kepada kalian berdua, kagum dan juga bangga. Kalian adalah dua orang pemuda yang hebat."
"Tapi... tapi... kalau engkau dihadapkan pada pilihan ini, siapakah yang lebih kauberatkan, Hong-moi..." Aku ataukah Tiong-ko" Jawablah, agar hatiku tidak merasa penasaran lagi, Hong-moi!" Thian Sin mendesak.
Lian Hong menarik napas panjang. Memang sesungguhnya ia merasa bingung dan amat sukar untuk mengakui hal itu di depan yang bersangkutan. Di depan kakaknya, ia dapat mengaku terus terang dengan rasa canggung sedikit saja, akan tetapi bagiamana mungkin ia dapat mengaku terus terang di depan orang yang bersangkutan" Apalagi karena ia tahu bahwa pengakuannya tentu akan menyakitkan perasaan hati Thian Sin karena ia memilih Han Tiong! Akan tetapi ia teringat bahwa Thian Sin, seperti juga Han Tiong, adalah seorang pemuda yang gagah perkasa lahir batin, maka tentu akah dapat menerima segala kenyataan, betapa pahit sekalipun. Dan terhadap seorang pendekar seperti Thian Sin, tidak baiklah kalau tidak berterang terang.
Maka dara ini lalu menarik napas panjang, mengambil keputusan tetap dan terdengarlah jawabannya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian.
"Sin-ko, baiklah, aku akan berterus terang karena engkau menghendakinya. Sesungguhnya, sejak engkau dan Tiong-ko berada di sini, melihat kegagahan kalian berdua, aku merasa amat tertarik dan terpikat. Terus terang saja, belum pernah aku mempunyai perasaan terhadap seorang pria seperti perasaanku terhadap kalian berdua. Dan kalau ditanya siapakah di antara kalian yang lebih kusukai, akan sukarlah aku untuk menjawabnya. Kalian memiliki daya tarik yang sama kuatnya bagiku dan andaikata aku disuruh memilih di antara kalian, aku akan menjadi bingung. Akan tetapi, terus terang saja, ada sesuatu yang membuat aku lebih condong kepada Tiong-ko. Yaitu... maafkan aku, Sin-ko, karena... karena aku menyaksikan keganasanmu terhadap para gerombolan itu. Engkau... engkau agak kejam, Sin-ko. Dan Tiong-ko begitu bijaksana..."
Hening sekali saat itu setelah Lian Hong menghentikan kata-katanya. Dara itu menundukkan mukanya. Biarpun ia tidak dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas di dalam cuaca yang suram itu, namun ia tetap tidak berani mengangkat mukanya. Sementara itu, Thian Sin mengepal tinju dan merasa penasaran. Kalau hanya itu yang membuat Lian Hong memilih Han Tiong daripada dia, sungguh membuatnya penasaran!
"Akan tetapi, Hong-moi. Aku bersikap ganas dan kejam terhadap penjahat! Dan memang demikian watak seorang pendekar sejati, bukan" Kalau kita sebagai pendekar-pendekar yang mempertahankan kebenaran dan keadilan tidak menghukum keras penjahat-penjahat itu, tentu di dunia ini semakin banyak kejahatan merajalela dan para penjahat tidak akan takut melakukan segala macam kejahatan yang paling keji karena tidak ada yang ditakutinya lagi!"
"Maaf, Sin-ko. Aku tidak dapat membantahmu, akan tetapi aku merasa lebih setuju dengan sikap Tiong-ko yang menundukkan kejahatan dengan kepandaian akan tetapi menundukkan hati para penjahat itu dengan kelembutan dan cinta kasih. Aku tidak dapat melupakan betapa Tiong-ko dengan perasaan penuh kasih mengobati para penjahat itu, dan kalau engkau melihat pandang mata para penjahat itu terhadap Tiong-ko... ah, aku tidak dapat melupakan itu dan saat itulah yang meyakinkan hatiku bahwa aku akan hidup tenang dan bahagia di samping Tiong-ko..."
"Akan tetapi, kalau penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tidak akan pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko terlalu lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan mencelakainya sendiri!"
Lian Hong merasa tidak setuju dalam hatinnya, akan tetapi ia tidak mampu membantah atau menjawab, maka iapun hanya mendengarkan saja semua kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya.
Pendapat Thian Sin itu mungkin sekali juga merupakan pendapat umum atau kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang benar. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan! Akan tetapi benarkah demikian" Benarkah itu kalau kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan kalau kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan" Sebaiknya kalau kita menyelidiki dulu persoalan ini sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!
Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang" Atau bahkan membunuh orang" Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan maupun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapapun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat ataupun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.
Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidak demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dan hukuman yang sifatnya membalas dendam! Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.
Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah dapat merupakan hukuman mendidik, dapat pula merupakan pelampiasan kebencian. Kalau si ayah itu marah, jengkel di waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh kebencian. Sebaliknya, kalau jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik, dan antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit. Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apapun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik.
"Kalau bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi" Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Mana mungkin mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan" Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat daripada penjahat-penjahat yang keji" Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji dan pembunuh-pembunuh itu?"
"Sin-ko, aku tidak mengerti, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?"
"Ah, tidak bisa! Para pendekar tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!"
Lian Hong tidak bicara lagi karena iapun tidak mengerti benar akan apa yang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Ia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan Thian Sin, sebaliknya ia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat.
Tiba-tiba Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya sehingga Lian Hong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, "Awas... ada banyak orang..." dan dia mengajak Lien Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak dan mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu, orang-orang itu adalah pasukan besar, karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak orang pula yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai! Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah ketika melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring. "Siapa membakar rumah" Eh, apa artinya semua pasukan ini?"
"Tangkap pemberontak! Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw! Basmi pemberontak dan pengkhianat...!"
Teriakan-teriakan itu terdengar dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan kini pasukan-pasukan itu telah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama dua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu!
Tentu saja keluarga itu segera bergerak membela diri dan mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau memprotes. Pasukan itu sudah menyerbu dengan membabi-buta, bahkan dibantu oleh beherapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah. Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka. Agaknya mereka memang telah menerima perintah untuk membunuh semua penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping dan merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok.
Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apalagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu.
"Keparat!" teriaknya dan iapun lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya. Akan tetapi di situ telah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya. Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya telah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu dan sekali terjang, dia sudah merobohkan empat orang perajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin telah dikepung oleh banyak perajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai. Dia mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena mengkhawatirkan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apalagi dia tadi mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw.
"Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!" bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang. "Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!"
Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, namun pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat. Dengan kemarahan meluap-luap, apalagi karena rumah itu telah terbakar semakin berkobar, Thian Sin lalu mencabut pedang Gin-hwa-kiam, pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya, dengan tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya. Hebat bukan main sepak terjangnya dan para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak berpakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada yang berpakaian pengemis, mengingatkan Thian Sin kepada para anggauta Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu. Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tidak menjadi gentar, dan dia terus mengamuk. Akan tetapi kini dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong! Maka, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka merekapun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak terdengar perkelahlan di tempat lain.
Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu dan dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong! Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.
"Tranggg... desss! Creppp!" Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam. Thian Sin cepat memeriksa dua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya telah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal inipun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu! Keluarga ini telah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semuanya itu karena dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw" Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!
"Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terimalah pembalasanku!"
Dan diapun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan manapun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu.
Entah herapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh. Makin lama makin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin dan dia seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan. Akhirnya, para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorangpun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi.
Thian Sin mengejar dan merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Kemudian dia menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah.
"Ngekk!" Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah.
Thian Sin menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu. "Cepat, ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!" Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itupun terobek sedikit dan berdarah.
"Baik... baik... kami hanya diperintah... mula-mula komandan kami menerima laporan dari... dari Su-couw..."
Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Mendengar disebutnya kota Su-couw, diapun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Hen Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin.
"Phoa-taijin...?" Dia membentak dengan sikap mengancam.
"Ya... ya benar...!"
"Mengapa" Hayo katakan mengapa dia melakukan ini?" bentaknya dan perwira itu menggeleng-geleng kepala karena memang dia tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan tentang adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Hui-eng-piauwkiok di Lok-yang, dan komandannya segera bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis.
"Tidak... tidak tahu..." perwira itu berkata dan kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin telah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus!
Malam itu juga, lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Sejak mengamuk tadi, dia tidak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah den kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu, kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam seperti mata iblis dalam dongeng! Dia tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan agar keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, mengapa pasukan itu bertindak demikian" Membakar dan menyerang sampai seluruh anggauta keluarga Ciu terbasmi habis"
Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan kini dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin! Maka diapun cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lalu menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan namun serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar.
"Apa" Anak pangeran pemberontak itu tidak dapat ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang" Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos" Ah, bagaimana kalian ini" Pasukan seratus orang ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tidak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu" Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!"
"Tapi, taijin. Keluarga Ciu telah dapat dibasmi, lolos seorang anak perempuan saja mengapa" Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali..." terdengar suara orang lain.
"Saya belum mengerti mengapa taijin memusuhi keluarga Ciu?" seorang lain dengan suara serak.
"Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang telah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang mnyamar perampok untuk merampok barang-barang yang kusuruh kawal Pouw-an-piauwkiok" Kalau mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?"
THIAN SIN mengerutkan alisnya. Biarpun hanya samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok dan merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an-piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga. Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw.
"Aku berada di sini!" Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu. "Braakkkkk!" daun jendela itu pecah dan diapun sudah meloncat ke dalam.
"Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!"
Akan tetapi empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan telah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu. Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi lunak seperti karet, lunak namun kuat sekali dan begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sin-kang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi-i-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sin-kang empat orang itu tersedot seketika. Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi-i-beng. Makin mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kang mereka tersedot dan pada saat itu, sinar pedang perak berkelebat dan robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika.
Phoa-taijin sudah melarikan diri melalui sebuah lorong, akan tetapi tiba-tiba bayangan Thian Sin menyambar dan pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas.
"Ampun... ampun... taihiap...!"
"Keparat jahanam! Engkau mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya" Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Kau mau apa sekarang!"
"Ampuun... aku... aku hanya melakukan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah... dan karena... ayahmu dahulu pernah memberontak maka... aku... aku..."
"Cacing busuk! Kalau begitu, kenapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu dibasmi" Engkau membalas karena kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an-piauwkiok itu, ya" Hayo katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara..."
Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan ketika pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin. Pemuda ini cukup waspada. Pandang mata pembesar itu membuatnya mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang dan tahulah dia bahwa ada dua tiga orang bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan.
"Hayo jawab!"
"Mereka... mereka itu... ah... para datuk kaum kang-ouw... telah bersekutu... eh, dengan mereka yang bergerak di utara... orang-orang bangsa Mancu..."
"Siapa para datuk itu" Hayo jawab, cepat!"
"See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui..."
"Hem, juga Tung-hai-sian?"
"Tidak... tidak... belum, sedang dihubungi... dia yang keras kepala..."
"Setan, mampuslah kau!" Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali, terdengar tulang terbacok beberapa kali disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan ketika Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi pendek karena kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali.
Sekarang Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu telah mengambil bala bantuan dan kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tidak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.
Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia 1upa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah. Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya.
Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat sekali. Biarpun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya.
"Inilah Ceng Thian Sin! Inilah putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!" Thian Sin mengamuk sambil berteriak-teriak.
"Sin-te...!"
Sesosok bayangan berkelebat dan sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang mendatangkan Han Tiong! Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang" Dia lalu keluar dan semakin heran karena tidak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada. Hatinya terasa tidak enak dan diapun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi dibaca oleh Thian Sin. Biarpun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir akan keadaan Thian Sin, dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.
Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke mana perginya adiknya itu" Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja. Tiba-tiba dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras. Dugaan ini semakin kuat ketika dia menanti-nanti dan belum juga adiknya pulang. Maka dia lalu mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia membawa buntalan-buntalan pakaian lalu menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu.
Tak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru tiba di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Dan ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia telah melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang kelihatan panik di luar rumah-rumah mereka dan bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Hui-eng-piauwkiok! Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu dan dia mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya ketika dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong segera menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kiri. Han Tiong menoleh dan melihat, bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang perajurit. Melihat bahwa pakaian para perajurit yang telah menjadi mayat berserakan di tempat itu, tahulah dia bahwa mereka ini adalah teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka diapun lalu meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu terpelanting. Mereka bangkit lagi dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan perajurit-perajurit yang bertugas menjaga di tempat itu dan Han Tiong sudah dikepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap. Para perajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul dan sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh membawa seorang yang telah ditotoknya.
Di tempat sunyi, Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya. "Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberitahukan apa yang telah terjadi."


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si perajurit tidak takut lagi dan diapun lalu menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan Phou-taijin, untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin, yang rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.
"Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?" Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan perajurit, kalau bukan adiknya"
"Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!"
"Di mana dia sekarang?"
"Tidak tahu... tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja."
"Dan di mana pula Nona Ciu" Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?"
"Tidak tahu... hanya kabarnya lolos..."
Han Tiong lalu menotok orang itu sampai pingsan dan diapun lalu copet melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itupun melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang perajurit untuk menceritakan keadaannya dan begitu mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw. Cepat diapun menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu. Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu, kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja. Kalau dia masih berada di situ ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu. Akan tetapi, semua telah terjadi. Keluarga Ciu telah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harap mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat. Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam. Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusla lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun dan menangkap pergelangan tangan kanan adiknya.
"Sin-te, ingatlah...!" Dia berkata lagi.
Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Cepat Han Tiong memondong tubuhnya, menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar pedang untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka. Berkat ketangkasannya, Han Tiong dapat cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia lalu menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar. Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luar maupun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka diapun lalu mendiamkannya saja, dan diapun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran.
Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong bersikap waspada maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru,
"Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tidak mengenalku" Kau lihat baik-baik, aku adalah Han Tiong!"
Tiba-tiba Thian Sin menghentikan serangannya, memandang kepada wajah Han Tiong, kemudian dia menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga berlutut dan merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya.
"Adikku... ah, Sin-te... tenangkanlah hatimu. Aku tahu... aku telah melihatnya... akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te."
"Tiong-ko... aduh, Tiong-ko... betapa aku tidak akan sedih" Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!"
"Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?"
Thian Sin menenangkan hatinya, lalu duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan diapun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita.
"Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku... aku malam tadi membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah..."
"Aku sudah tahu, adikku."
"Kau tahu" Dan kau diam saja..."
Han Tiong tersenyum duka. "Keinginan tahu seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te."
"Lupakanlah" Ah, Tiong-ko, engkau tidak tahu betapa jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!"
"Ah!" Han Tiong terkejut sekali den hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan adiknya ini" Itulah yang dicemaskannya.
"Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar dan kami bicara penjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena... karena aku... hemm, aku orang yang kejam dan jahat!"
"Sin-te, jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!"
"Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu telah menyerbu. Mereka berteriak-teriak katanya hendak menangkap aku, anak pemberontak, akan tetapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Aku tentu saja tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, akupun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh... betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat..." Dan pemuda itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya.
"Akupun telah melihat mereka, Sin-te. Dan... dan... Hong-moi, bagaimana dengen dia?" tanya Hen Tiong, suaranya agak gemetar.
"Tidak tahu, Tiong-ko... tidak tahu... lenyap begitu saja... aku tidak tahu ke mana ia pergi... ah, hal itu membuatku semakin sedih karena malapetaka yang menimpanya adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!"
"Jangan, Sin-te. Urusan yang terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya perajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak mencarinya" Tidak ada jejak darinya..."
"Kalau perlu, aku akan siksa semua perajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku di mana adanya Hong-moi!"
"Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Kalau ia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te."
"Habis apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya dan tidak kita ketahui bagaimana nasibnya" Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko" Dan... ia adalah calon isterimu sendiri!" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran.
Han Tiong menarik napas panjang. "Sin-te, haruskah aku memperlihatkan atau memamerkan rasa dukaku karena kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku karena hilangnya Hong-moi" Kita harus bersikap tenang dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu telah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu telah disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tiada lain jalan bagi kita selain melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tidak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te."
Akhirnya, biarpun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukan takut, melainkan segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini. Biarpun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang sudah jatuh cinta kepada dara itu, namun dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlampau sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarangpun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu amat sayang kepadanya itu. Maka, dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda inipun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga.
*** Dapat dibayangican betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun.
Melihat keadaan dua orang muda, Bhe Bi Cu sudah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu. "Apakah yang telah terjadi" Tiong-ji... ada apakah" Mengapa kalian menangis" Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?"
Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandang matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa.
"Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa" Menangis seperti anak-anak kecil. Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan" Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekalipun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!"
Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka dan tidak terisak-isak lagi sungguhpun kedua mata mereka masih basah.
Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, kemudian kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya bertemu dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu.
Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penurutan dua orang muda itu, apalagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu. Kemudian dua orang muda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang. Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya.
Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita.
"Sungguh tidak pernah kami kira bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah." Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. "Pada malam terakhir kami berada di Lok-yang secara tiba-tiba saja pasukon pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, namun fihak musuh terlalu banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong... mereka berempat itu... ah, mereka semua tewas...!"
"Ohhhhh...!" Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali.
"Hemm...!" Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seolah-olah hendak menolak penglihatan yang nampak oleh cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itupun menundukkan muka.
"Tapi mengapa" Mengapa?" Akhirnya Sin Liong berkata.
"Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang berdosa, keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk...!"
"Thian Sin!" Cia Sin Liong membentak dengan keren. Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya.
"Aku telah meneriakkan bahwa aku di situ, agar mereka jangan mengganggu keluarga Ciu, aku telah mengamuk, aku telah membunuh puluhan orang perajurit, akan tetapi tidak berdaya menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, lalu aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri perampokan barang-barangnya yang dikaw
Hikmah Pedang Hijau 8 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bara Naga 7
^