Pendekar Sadis 14

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


h akan tetapi tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan majikan mereka itu meringkuk di atas pembaringan dalam keadaan ketakutan pula, agaknya tadi telah dilemparkan ke atas pembaringan karena orang itu meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang menjendol di bagian dahinya. Melihat dua orang tukang pukulnya masuk, majikan po-koan itu memperoleh kembali keberaniannya. Dia tadi terkejut bukan main karena pada saat dengan hati girang dia berhasil menangkap Kui Cin, merangkulnya dan mencengkeramnya seperti seekor kucing menerkam tikus, siap untuk mencabik-cabik pakaiannya, tiba-tiba muncul pemuda itu. Muncul seperti iblis karena tidak tahu dari mana masuknya. Melihat pemuda itu seorang siucai lemah, dia berusaha memukul, akan tetapi sekali tampar saja, dia seperti disambar geledek dan tubuhnya terlempar ke atas pembaringan, kepalanya terbentur dinding dan kepalanya menjadi pening. Dia terkejut, kesakitan dan ketakutan, akan tetapi begitu melihat dua orang penjaganya masuk, dia berseru, "Tangkap penjahat ini! Bunuh dia!"
Dua orang penjaga itu sudah mencabut golok masing-masing dan menubruk dari kanan kiri, mengirim bacokan dan tusukan yang dahsyat ke arah pemuda itu. Mereka adalah penjaga-penjaga pilihan yang pada pagi hari itu bertugas jaga di depan kamar majikan mereka, dan pemuda ini dapat memasuki kamar tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah membuat mereka penasaran dan marah, maka begitu menerima perintah, mereka hendak merobohkan pemuda itu dengan sekali serang. Akan tetapi, entah bagaimana mereka sendiripun tidak mengerti, tiba-tiba saja mereka merasa kedua kaki mereka lumpuh dan tak dapat dihindarkan lagi keduanya roboh terguling!
"Hemm, tukang-tukang pukul memilki tangan yang amat kejam!" Pemuda itu mencokel dengan kakinya dan sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan tukang pukul melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan, kemudian nampak sinar berkilat beberapa kali disusul teriakan-teriakan mengerikan dari dua tukang pukul itu. Darah bercucuran membasahi lantai. Kui Cin dan majikan rumah judi itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ketika melihat betapa dua orang tukang pukul itu mengaduh-aduh dan bergulingan di atas lantai, mandi darah mereka sendiri yang bercucuran dari kedua lengan mereka yang sudah buntung karena tangan mereka sudah terpisah dari lengan! Pemuda itu telah membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukul itu!
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi majikan rumah judi sambil tersenyum, dan anehnya, golok yang membuntungi empat buah tangan tadi sama sekali tidak bernoda darah! Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya gerakan golok itu, demikian cepatnya membuntungi pergelangan tangan! Dan terdengar ucapannya yang halus dan seperti orang bersajak.
"Memetik buah daripada kejatannya sendiri, itu sudah adil namanya! Engkau ini cukong mata keranjang, entah sudah berapa banyak gadis tak berdosa yang kauperkosa di tempat terkutuk ini?" Dan dengan langkah perlahan pemuda itu menghampiri majikan itu yang menjadi ketakutan dan berlutut menyembah-nyembah di atas pembaringan.
"Taihiap... ampunkan saya... ampunkan saya... engkau boleh mengambil berapapun banyak uangku, tapi jangan... jangan membunuhku..."
Dan seorang di antara dua tukang pukul yang tadi merintih-rintih itu tiba-tiba berseru dengan suara penuh ketakutan. "Pendekar... Pendekar Sadis...!"
Mendengar ini, majikan itu menjadi semakin ngeri ketakutan. "Celaka, mati aku..." tubuhnya menggigil, celananya mendadak menjadi basah. Memang orang yang ketakutan setengah mati dapat saja terkencing seketika. Dia sudah sering mendengar tentang nama yang baru saja muncul di dunia kang-ouw ini, sebagai nama seorang pendekar pembasmi kejahatan yang amat kejam. Dan tadi dia sudah melihat betapa orang ini membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukulnya begitu saja, dengan darah dingin!
"Ampun... ampunkan..." Dia meratap. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, hanya tersenyum.
"Betapa seringnya engkau sendiri mendengarkan ratapan minta ampun dari gadis-gadis yang kauperkosa, dan pernahkah engkau mengampunkan mereka" Engkau malah semakin bergairah dan semakin senang kalau mereka itu minta-minta ampun, menangis dan meronta-ronta, bukan" Nah, hukumanmu harus kauterima!" Golok itu menyambar, didahului tamparan tangan kiri yang mengenai pundak majikan rumah judi itu. Tubuh majikan itu terjengkang, golok itu menyambar dan majikan itu menjerit, tubuhnya berkelojotan di atas pembaringan, dari celananya di antara kedua pahanya bercucuran darah karena alat kelaminnya telah disambar golok dan buntung! Tentu saja kecil sekali harapan hidup lagi bagi orang ini.
"Kau keluarlah dari sini dan pulanglah." kata Thian Sin kepada gadis itu yang masih menggigil ketakutan dan karena dua orang tukang pukul dan majikannya itu kini menjerit-jerit, dengan tenang Thian Sin melemparkan golok ke atas tanah dan keluar dari dalam kamar, tidak mempedulikan lagi gadis cilik itu dan dengan sikap tenang-tenang saja dia melangkah menuju ke ruangan judi!
Sebelum tiba di ruangan itu, dia sudah disambut oleh lima orang tukang pukul yang mendengar jeritan-jeritan tadi. Melihat seorang pemuda asing keluar dari dalam kamar, lima orang itu menjadi curiga dan membentak, "Siapa engkau" Apa yang terjadi?" Dan seorang diantara mereka telah lari ke dalam kamar di mana dia melihat majikannya berkelojotan dan dua orang rekannya merintih-rintih. Dan gadis cilik itu sudah menyelinap pergi. Maka diapun berteriak-teriak dan lari kembali sambil mencabut senjata.
"Loya telah dibunuh orang dan dua orang teman kita dilukai!" teriaknya.
"Setiap perbuatan jahat akan berakibat dan akibatnya akan menimpa diri sendiri! Mereka telah menerima hukuman dari perbuatan mereka sendiri!" kata Thian Sin dengan suara lembut dan bibir masih tersenyum. "Apakah kalian berlima ini juga tukang-tukang pukul?"
"Bunuh penjahat ini!" teriak seorang di antara mereka dan lima orang tukang pukul itu sudah mencabut golok masing-masing dan serentak mereka menyerang Thian Sin. Pemuda ini tentu saja memandang rendah kepada segala tukang pukul kasar seperti itu. Dengan tenang-tenang saja dia mengelak ke kanan kiri sehingga golok-golok itu menyambar-nyambar merupakan sinar-sinar menyilaukan, akan tetapi di lain saat terdengar teriakan susul-menyusul dan lima orang tukang pukul itupun sudah roboh semua. Dan, sebelum mereka sempat bangun berdiri, Thian Sin sudah menyambar sebatang golok dan seperti tadi, dia menggerakkan goloknya membuntungi semua tangan mereka. Keadaan sungguh menyeramkan. Tangan-tangan yang buntung berserakan di tempat itu dan lantai banjir darah yang bercucuran dari lengan-lengan buntung itu. Lima orang tadi merintih-rintih dan kembali ada yang sadar bahwa mereka berhadapan dengan pendekar yang namanya baru-baru ini mereka dengar.
"Pendekar Sadis...!"
"Pendekar Sadis...!"
Akan tetapi Thian Sin tidak mempedulikan itu semua, membuang goloknya dan memasuki ruang judi. Gempar di situ. Semua perjudian berhenti dan para tamu mau penjudi ketakutan, ada yang bersembunyi di kolong meja, ada yang mepet tembok dengan tubuh gemetaran. Dan sebentar saja Thian Sin sudah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pegawai rumah perjudian itu. Thian Sin mengamuk, merampas pedang dan dengan pedang ini dia merobohkan mereka satu demi satu, dan sengaja menghukum mereka dengan membuntungi tangan, atau hidung, citau telinga. Pendeknya tidak ada seorangpun dari mereka yang tidak mengalami hukuman yang mengerikan. Dalam waktu singkat saja pertempuranpun berhenti dan yang ada hanya orang-orang yang merintih-rintih dan memegangi bagian tubuh mereka yang terluka atau buntung. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memandang ke sekeliling, lalu terdengar dia membentak halus.
"Mana yang bernama Kakek A Piang" Majulah ke sini!"
A Piang yang sejak tadi mepet di tembok dengan tubuh gemetar, kini melangkah maju dengan kedua kaki menggigil. Sejenak Thian Sin memandang kakek ini, alisnya berkerut. "Seorang ayah yang menjual anak sendiri untuk berjudi, sudah selayaknya kalau dibikin mampus. Akan tetapi, aku mengingat anakmu maka engkau hanya menerima hukuman agar menjadi peringatan bagimu selama hidup!" Pedangnya bergerak seperti kilat dan kakek itu menjerit lalu mendekap kepalanya sebelah kiri yang sudah tidak bertelinga lagi itu. Daun telinga kirinya terlepas dan darah mengucur deras. Thian Sin lalu melangkah ke meja judi, mengambil sekepal uang perak, memasukkannya ke dalam kantung uang yang terdapat di situ, menyerahkannya kepada A Piang dan berkata lagi, "Bawa uang ini untuk modal bekerja, dan ajak anakmu pindah keluar kota! Awas, kalau engkau masih berani berjudi, lain kali lehermu yang kubiking buntung!"
A Piang tidak dapat mengeluarkan suara karena seluruh tubuhnya menggigil, dengan tangan kanan menerima kantong uang dan tangan kiri mendekap telinga kirinya, dan dia hanya mengangguk-angguk lalu berjalan keluar.
"Semua orang boleh pergi!" kata pula Thian Sin dan para penjudi dengan penuh rasa takut lalu berlarian keluar. Thian Sin mengambil beberapa potong uang emas dan perak, menyimpannya dalam bungkusannya sendiri karena dia teringat bahwa bekalnya tinggal sedikit, kemudia dengan pedang rampasan itu dia menghancurkan semua alat judi yang berada di situ. Dia tidak mempedulikan betapa para tukang pukul tadi dengan tertatih-tatih berlarian keluar untuk memanggil pasukan penjaga keamanan. Ketika pasukan tiba di situ, Pendekar Sadis sudah tidak nampak lagi, sudah kembali ke dalam kamarnya di rumah penginapan dan mengaso. Thian Sin merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya. Sebenarnya dia tidak mau mempedulikan rumah-rumah perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia mengamuk d rumah judi itu.
Perbuatan Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning. Seperti terjadi di kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran, rumah-rumah perjudian dan tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh para penjahat.
BIARPUN rumah-rumah judi itu mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para hartawan ini membayar semacam "pajak" kepada para kepala penjahat yang berkuasa dengan mendapatkan semacam "perlindungan". Dan tentu saja para kepala penjahat dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah. Kalau para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibuyangkan bagaimana keadaan kehidupan rakyat jelata. Tidak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan hanya tunduk kepada yang lebih kuat. Hukum rimba berlakulah. Yang punya uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam di dalam perut.
Perbuatan Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat mengadakan pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota.
Kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan di antara mereka, yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar akan peristiwa yang terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk berunding.
"Kita serbu saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia dapat lolos!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh kecil dan agak bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini lihai sekali ilmu silatnya, terutama senjata rahasianya berupa jarum-jarum beracun.
"Nanti dulu, kita harus berhati-hati," kata Hui-to Ji Beng Tat. "Menurut berita yang kuterima dari barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Bahkan gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu kabarnya telah dibasmi olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal barulah kita mempergunakan kekerasan."
"Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik. Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah" Ang Bwe-nio tentu akan dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah," kata orang ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang.
"Tapi, Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir gagal," kata orang pertama Si Kecil Bongkok.
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Ang Bwe-nio tak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua orang pendekar Siauw-lim-pai itu, merekapun dengan mudah jatuh dalam rayuan Ang Bwe-nio. Kalau sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk menerima minuman yang dihidangkannya?" kata pula Si Tampan.
"Sebaiknya kitapun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat segera turun tangan," kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini. Pemilik rumah penginapan segera dihubungi dan diam-diam para tamu lain di rumah penginapan itu telah dipersilakan keluar dan tanpa diketahui oleh Thian Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu.
Thian Sin dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan diapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan, kalau perlu dia akan membasmi para penjahat yang berani untuk menuntut balas. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, besok dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari neneknya.
Sore itu, setelah mandi, dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat, pelayan itu berkata, "Taihiap, kami semua telah mendengar akan sepak terjang taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami bermaksud untuk menjamu taihiap malam ini."
"Ah, tidak perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang," jawab Thian Sin yang memang tidak suka menerima sanjungan. Dia tahu benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya daripada celaan. Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan dapat bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk dan lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah.
Akan tetapi baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam, tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan membongkok-bongkok amat menghormat, "Taihiap, kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah menerima kunjungan taihiap. Seorang pendekar besar seperti taihiap telah sudi bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame yang amat baik. Oleh karena itu, perkenalanlah kami menjamu taihiap dengan sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami kepada taihiap untuk melayani taihiap makan minum."
"Ah, membikin repot saja..." kata Thian Sin, akan tetapi hatinya sudah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba dia bertepuk tangan. Sebarisan pelayan terdiri dari lima orang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepul panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin. Dengan cekatan mereka membersihkan meja dalam kamar itu dan mengatur hidangan. Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu. Dari luar nampak seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut.
Tak disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya. Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali. Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum dan membuat sudut pipinya membentuk lekuk yang mungil. Dengan langkah lemah gemulai ia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya, majikan rumah penginapan itu memperkenalkan. "Taihiap, inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, termasuk keponakan saya, merasa kagum kepada taihiap yang sudah melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan itu. Silakan, taihiap, biar keponakan saya menemani taihiap." Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu menjura dan pergi.
Sejenak mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itupun tersenyum dan berkata, "Taihiap, silakan makan."
Thian Sin tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin. "Silakan minum arak dan makan hidangannya, taihiap..."
"Bagaimana aku enak makan kalau engkau berdiri saja di situ, nona" Pula, sungguh tidak senang makan sendirian saja. Mari, kautemani aku makan. Duduklah, nona."
"Ah, mana pantas" Aku mewakili paman sebagai tuan rumah..." kata Ang Bwe-nio dengan sikap manis dan kemalu-maluan, wajahnya yang cantik manis itu berubah merah, matanya mengerling tajam dan mulutnya mengulum senyum malu-malu.
Thian Sin semakin tertarik. Memang pemuda ini berwatak romantis walaupun tak dapat dibilang mata keranjang. Tidak semberangan wanita dapat menarik hatinya, walaupun dia selalu awas den suka memandang wajah yang cantik manis.
"Marilah, tidak apa-apa, nona. Bukankah di sini hanya ada kita berdua saja" Mari, kalau kau tidak mau temani aku makan minum, akupun tidak dapat menerima suguhan ini."
"Aih, mengapa taihiap begitu...?" Dengan gerakan manja wanita itu mendekat dan hendak mengambil cawan untuk diberikan kepada Thian Sin, akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan dengan lembut menariknya sehingga wanita itu terduduk di sampingnya, di atas sebuah bangku. Thian Sin lalu menuangkan secawan arak sampai penuh.
"Nah, mari kita sama-sama minum untuk perkenalan ini."
Dengan tertawa malu-malu Ang Bwe-nio lalu mengangkat juga cawan araknya dan merekapun minum arak bersama. Ang Bwe-nio lalu mengambilkan makanan dengan sumpit, dengan gerakan tangan cekatan dan manis sekali, menaruh potongan-potongan daging ke dalam mangkok di depan Thian Sin. Pemuda inipun tidak mau kalah, mengambil daging-daging kecil dimasukkan ke dalam mangkok depan wanita itu. Merekapun lalu makan minum, tanpa kata-kata, hanya kadang-kadang saling pandang dan Ang Bwe-nio tak pernah berhenti tersenyum malu-malu. Sedikit minyak yang terdapat pada daging mengenai bibirnya, membuat bibir itu nampak semakin segar kemerahan.
"Siapakah nama nona tadi" Kalau tidak salah dengan she Ang..."
"Namaku Ang Bwe-nio, taihiap. Dan nama taihiap siapakah" Aku hanya mendengar sebutan orang yang mengerikan, Pendekar Sadis..."
Thian Sin tersenyum. "Memang benarlah. Aku Pendekar Sadis, hanya sadis terhadap diri penjahat saja. Dan namaku sendiri... ah, aku sudah melupakan nama itu. Engkau sebut saja aku Pendekar Sadis."
"Eh, mana bisa begitu?" Wanita itu tertawa manja.
"Nona, aku merasa heran. Mengapa pamanmu menyuruh seorang gadis sepertimu menemani aku?"
"Aku... aku bukan gadis, aku... seorang janda..."
"Ahhh...!" Hati Thian Sin berdebar girang. Tadinya dia merasa curiga terhadap sikap pemilik rumah penginapan itu. Tidak sepatutnya seorang gadis disuruh melayani seorang pria, seolah-olah gadis itu bukan seorang terhormat saja. Akan tetapi kalau janda, dia mengerti juga! "Kiranya nyonya seorang janda... hemm, masih begini muda..."
"Usiaku sudah dua puluh lima tahun, taihiap. Sudah tua..."
"Siapa bilang usia sekian sudah tua" Engkau memang sungguh cantik manis!"
"Sudahlah, lelaki memang pandai merayu. Lebih baik taihiap makan, nih potongan daging pilihanku," wanita itu dengan sikap menarik sekali sudah menyumpit sepotong daging dan mengulurkan tangannya, membawa potongan daging di ujung sumpit itu ke dekat mulut Thian Sin! Tentu saja pemuda ini tertarik sekali dan sambil tertawa dia menerima suapan itu, menggigit daging dari ujung sumpit Ang Bwe-nio. Diapun membalas dan tak lama kemudian keduanya sudah saling menyuapkan daging ke mulut masing-masing. Sikap mereka menjadi semakin berani, dan ketika Ang Bwe-nio menahan tangan Thian Sin yang hendak melolohnya dengan daging lagi, mereka saling berpegang tangan dan jari-jari tangan mereka saling mencengkeram.
"Bwe-nio, engkau cantik sekali!" Thian Sin memuji sambil mengelus kulit lengan itu melalui bajunya yang tipis.
"Dan engkau sungguh gagah dan tampan, taihiap..." Bwe-nio balas memuji, pujian yang jujur karena memang sesungguhnya ia amat kagum kepada pemuda yang menyenangkan ini. Sayang bahwa ia "dalam tugas" sehingga ia tidak dapat mencurahkan seluruh kekagumannya itu kepada pemuda perkasa ini. Ia tidak berani mengkhianati mereka yang menyuruhnya menundukkan pemuda berbahaya ini.
Thian Sin sudah setengah mabuk, bukan mabuk arak karena dengan kekuatan dalamnya yang luar biasa, dia dapat menahan pengaruh arak yang bagaimana keraspun. Akan tetapi dia mabok akan kecantikan dan rayuan wanita itu. Betapapun lihainya, pemuda ini dapat dibilang masih hijau dalam pengalamannya dengan wanita, dan memang dia memiliki kelemahan terhadap wanita. Maka melihat sikap yang demikian memikat dan penuh daya tarik dari Ang Bwe-nio, pemuda ini jatuh dan merasa tertarik sekali. Apalagi melihat wanita itu demikian beraninya, dengan jelas memberi tanda-tanda bahwa wanita itu takkan menolak untuk bermain cinta dengannya. Pada saat itu, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi mutiara yang putih dan rapi, Ang Bwe-nio kembali menyumpit sepotong daging dan hendak menyuapkannya ke mulut Thian Sin. Akan tetapi, Thian Sin sekali ini menarik mukanya ke belakang.
"Eh, kenapa taihiap?"
"Bwe-nio, sekali ini aku hanya mau menerima suapanmu kalau engkau melakukannya dengan mulut, bukan dengan sumpit," kata Thian Sin berani sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.
Sebetulnya Ang Bwe-nio bukanlah seorang wanita yang asing dengan kemesraan-kemesraan dalam permainan cinta, akan tetapi ia demikian pandainya sehingga mendengar permintaan Thian Sin ini, ia dapat bersikap seperti seorang wanita baik-baik yang tak pernah mendengar permintaan seperti itu. Wajahnya menjadi kemerahan tersipu-sipu malu. Ia mengerling dan cemberut, berkata sambil bersikap malu-malu dan takut-takut, "Iiiihhh... taihiap... mana bisa begitu...?"
"Kenapa tidak bisa" Engkau mempunyai mulut, bukan" Mulut yang manis sekali malah..."
"Aihhh... aku... aku... ah, malu dan takut... aku tidak mengerti..."
"Bwe-nio, engkau bukan anak kecil lagi, engkau seorang janda, tentu tahu apa yang kumaksudkan. Kalau engkau tidak mau menyuapkan dengan mulut, akupun tidak akan mau menerima pemberianmu."
"Aihhh... taihiap..." Ang Bwe-nio mengeluh, akan tetapi kemudian iapun menggigit potongan daging itu dengan giginya yang putih, lalu mengajukan mukanya dengan bersuara "mmmmm" dan menutup kedua matanya. Melihat ini, Thian Sin terangsang hebat dan dirangkulnya wanita itu, diambilnya daging itu dari mulut Bwe-nio dengan mulutnya. Tentu saja dua mulut itu bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan hangat dan penuh nafsu. Dan di lain saat mereka telah saling peluk, saling rangkul dan saling cium. Ang Bwe-nio mengeluarkan suara rintihan-rintihan kecil dari dalam lehernya dan memejamkan kedua matanya, akan tetapi membalas belaian dan ciuman pemuda itu dengan penuh gairah.
Akan tetapi, semua itu sebenarnya hanya permainan belaka darinya, karena dengan cerdik sekali, selagi Thian Sin menciumi seluruh bagian tubuhnya, diam-diam wanita cantik ini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik kutangnya, dan selagi Thian Sin membenamkan mukanya di dadanya, wanita ini menaburkan bubuk putih ke dalam cawan arak pemuda itu!
"Kita pindah ke pembaringan..." Thian Sin berbisik di dekat telinga kiri wanita itu, suaranya tersendat-sendat penuh nafsu.
"Baik, taihiap, aku... aku mau... aku akan memberikan segala-galanya kepadamu, aku cinta padamu... ohhh... tapi nanti dulu... aku haus, mari kita minum dulu..."
Thian Sin tersenyum dan melepaskan rangkulannya. Dia melihat wanita itu mengisi cawannya yang tinggal setengahnya itu sampai penuh. "Minumlah, taihiap, setelah itu baru kita..." Pandang matanya penuh daya pikat.
"Katamu tadi engkau haus, engkau minumlah." Thian Sin hendak meminumkan arak di cawannya itu kepada Bwe-nio, akan tetapi wanita itu nampak ketakutan dan menolak.
"Tidak, aku sudah terlalu banyak minum arak, sudah pusing kepalaku, aku mau minum air teh saja..." Wanita itu lalu menuangkan air teh ke dalam mangkok. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu, Thian Sin memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh dan penuh wibawa, bibir pemuda itu berkemak-kemik dan kedua tangan pemuda itu diarahkan kepadanya.
Setelah menuangkan air teh, wanita itu mengangkat mangkok tehnya dan tersenyum menghadapi pemuda itu. "Taihiap.... kokoku yang tampan... marilah, mari kita minum dulu, setelah itu baru... ehmmm..." Ia tersenyum lebar dan sepasang mata yang indah jeli ini berkedip penuh arti. Senyumnya makin melebar ketika ia melihat pemuda itu minum arak dari cawan itu, ditenggaknya sampai habis, ia sendiripun hanya mencucuk sedikit air teh itu. Bwe-nio menahan ketawanya ketika melihat Thian Sin melepaskan cawan araknya, bangkit berdiri, terhuyung memegangi dahi lalu menghampiri pembaringan sambil berkata lirih, "Ke sinilah... sayang, ke sinilah..." Dan tergulinglah pemuda itu ke atas pembaringan, terlentang dalam keadaan tidur pulas atau pingsan!
Bwe-nio menghampiri pembaringan, memandang kepada wajah pemuda itu yang memejamkan mata, lalu ia menunduk dan mencium bibir pemuda itu. "Sayang... kau ganteng... terpaksa aku harus membunuhmu, kalau tidak, aku sendiri terbunuh..." Wanita itu lalu mengeluarkan sebatang pisau belati yang runcing tajam dari pinggangnya, kemudian mengayunkan pisau itu ke arah ulu hati pemuda yang sedang tidur terlentang itu.
"Wuuuuuttt... cesss...!" Sepasang mata yang indah itu terbelalak ketika melihat betapa pisau belatinya "menembus" tubuh pemuda itu dan mengenai kasur! Dan tubuh itu ternyata hanya seperti bayangan saja, tidak berdaging dan kini perlahan-lahan bayangan itupun lenyap.
"Sungguh tak kusangka, wajah secantik itu, tubuh seindah itu, dihuni oleh hati yang palsu."
Mendengar suara ini, Ang Bwe-nio terkejut setengah mati dan hampir ia menjerit ketika ia menengok. Ia melihat Thian Sin masih duduk di atas bangku dekat meja dan kini dengan tenangnya minum arak dari cawannya! Mimpikah ia" Jelas bahwa tadi pemuda itu mabuk dan rebah di atas pembaringan dalam keadaan terbius. Lalu siapa tadi yang rebah kemudian "menghilang?" Dan bagaimana pemuda itu masih duduk di situ dan sama sekali tidak terpengaruh obat biusnya yang amat manjur itu" Obat biusnya itu telah teruji, jangan hanya seorang saja, biar diminum oleh tiga empat orangpun tentu mereka akan terbius semua. Dan tadi ia sudah memasukkan semua isi bungkusan ke dalam cawan dan isi cawan itu sudah ditenggak habis oleh Thlan Sin!
Tentu saja Ang Bwe-nio tidak tahu bahwa Ceng Thian Sin pernah mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya dan bahwa pemuda itu tadi tentu saja telah dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu membawa sebatang pisau di pinggangnya. Ketika Thian Sin memeluknya dan menciuminya, pemuda yang berilmu tinggi ini sudah dapat merasakan adanya ganjalan pada perutnya, ganjalan yang terdapat di pinggang Bwe-nio dan dia sudah dapat meraba-raba, yaitu ketika dia membelai dan meraba-raba tubuh wanha itu. Maka tahulah dia bahwa wanita itu membawa pisau itu, biarpun kelihatannya dia dimabuk bafsu berahi, namun dia selalu waspada dan dapat melihat ketika Bwe-nio menaruh obat bubuk ke dalam cawan araknya. Maka, ketika Bwe-nio menuangkan air teh ke dalam mangkok, kesempatan itu dipergunakan untuk mengerahkan kekuatan sihirnya. Bwe-nio terkena sihir dan wanita ini melihat Thian Sin mabuk dan terhuyung ke pembaringan, padahal sebenarnya pemuda itu masih duduk di dekat meja.
"Bagus sekali! Jadi engkau merayuku dan pura-pura mencinta dengan hati mengandung kepalsuan, ya" Hendak membunuhku?" Thian Sin bangkit berdiri, pandang mata dan suaranya dingin seperti menusuk jantung terasa oleh Ang Bwe-nio. Wanita itu menjadi ketakutan, ia melepaskan pisaunya dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.
"Taihiap... ampunkan aku..."
Thian Sin menyambar pisau yang amat tajam itu dan tersenyum. "Mengampunkanmu" Hemm... engkau ini wanita cantik yang berhati palsu dan jahat. Hampir saja aku mati olehmu dan engkau masih mengharapkan ampunan dariku" Tidak, wanita macam engkau sudah sepatutnya mampus!"
Dua kali pisau menyambar dan nampak sinar berkelebat di dekat leher Bwenio. Wanita itu menahan jeritnya ketika mendengar suara berkerincingan dan ternyata dua anting-antingnya telah putus oleh sambaran sinar itu. Wajahnya menjadi semakin pucat. Tahulah ia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya dan melawanpun tidak akan ada artinya sama sekali.
"Ampun, taihiap..." Suaranya bercampur isak dan tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam.
"Mudah saja mengampunimu, akan tetapi katakan, siapa yang menyuruhmu" Apakah pemilik rumah penginapan ini" Butarkah dia itu pamanmu?"
"Bukan... bukan dia, dia hanya terpaksa, seperti aku... diapun bukan pamanku. Aku diperintah oleh lima orang yang menguasai dunia hitam di daerah ini, yang dikepalai Hui-to Ji Beng Tat..."
"Dapatkah engkau memanggil mereka berlima itu ke sini" Aku ingin sekali tahu mengapa mereka menggunakan engkau untuk merayu dan merobohkan aku, bahkan membunuhku."
"Dapat... dapat taihiap...!" Bwe-nio berkata dan timbul harapan di dalam hatinya. Memang tadinyapun ia sudah ingin menjerit untuk memanggil mereka. Ia tahu bahwa mereka berlima itu sudah siap berkumpul di rumah penginapan itu, untuk berjaga-jaga kalau ia gagal. Dan sekarang benar saja, ia telah gagal. Akan tetapi, ia tadi tidak berani menjerit karena kalau ia melakukan hal itu, sebelum mereka berlima datang, tentu ia akan dibunuh lebih dulu oleh Pendekar Sadis ini. Teringat akan semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pendekar ini sudah merasa ngeri bukan main. Kini, mendengar betapa pendekar itu ingin bertemu dengan lima orang kepala itu, hatinya girang dan timbul harapannya. Mungkin saja ia dapat menyelamatkan diri kalau lima orang itu sudah muncul menghadapi pendekar ini.
"Panggil mereka baik-baik, seolah-olah engkau telah berhasil dengan usahamu. Awas, kalau engkau bertindak curang, aku akan membunuhmu sekarang juga," kata Thian Sin dan pemuda ini telah merebahkan diri di atas pembaringan, pura-pura terbius.
Kalau saja ia tidak merasa yakin benar akan kelihaian pemuda itu, ingin rasanya Ang Bwe-nio lari dari pintu yang hanya tertutup saja daun pintunya tidak terkunci itu. Akan tetapi, ia tahu bahwa kalau ia melakukannya hal ini, tentu sebelum tiba di pintu ia akan roboh dan tewas secara mengerikan. Ia hanya mengangguk dan menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras, kemudian ia bertepuk tangan tiga kali berturut-turut.
Thian Sin mendengar langkah-langkah kaki dari luar menghampiri pintu itu, dan tak lama kemudian daun pintu kamarpun terbuka. Lima orang memasuki kamar itu, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka brewok. Melihat betapa di pinggang orang brewok ini terdapat sebuah kantong berisi pisau-pisau kecil, Thian Sin yang melihat dari balik bulu matanya itu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dijuluki Hui-to (Golok Terbang).
"Bagus, Bwe-nio, agaknya engkau sudah berhasil. Kenapa tidak kaubereskan sekali?" kata Si Golok Terbang ketika melihat pemuda itu rebah tak bergerak di atas pembaringan.
Akan tetapi Ang Bwe-nio dengan muka pucat menggeleng-geleng kepala. "Tidak... tidak berhasil... dia... dia..."
Pada saat itu, Thian Sin meloncat dari atas pembaringan dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah berada di pintu. Tentu saja lima orang itu terkejut bukan maing cepat mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pendekar itu tertawa dan menutupkan pintu, lalu menguncinya, dengan tenang sekali.
"Bagus, kalian berlima audah datang di sini. Nah, kita bisa bicara dengan baik." Thian Sin menghampiri dengan sikap tenang, tidak peduli lima orang itu bersiap-siap menyerangnya, lalu dia duduk di atas bangku dekat meja, mengisi cawan dengan arak dari guci dan meminumnya.
"Nah, kita sekarang bisa bicara. Ang Bwe-nio ini telah berusaha untuk merayuku dan membunuhku, akan tetapi ia telah gagal. Dan menurut pengakuannya, kalian berlimalah yang memerintahnya melakukan percobaan itu. Nah, apa yang kalian bilang sekarang?"
"Pendekar Sadis, ia boleh jadi gagal, akan tetapi kami berlima tidak akan gagal," kata Hui-to Ji Beng Tat dengan geram.
"Begitukah" Dengan golok terbangmu itu" Engkau tentu Hui-to Ji Beng Tat. Kenapa kalian hendak membunuhku?"
"Karena engkau telah mengacau wilayah kami!"
"Hemm, tahukah kalian siapa aku?"
"Pendekar Sadis!"
"Ya, pembasmi para penjahat dan sekarang kalian telah datang untuk menyerahkan nyawa. Bagus sekali, aku tidak perlu susah-susah mencari kalian lagi."
"Keparat sombong!" teriak kepala penjahat yang bertubuh kecil bongkok dan tiba-tiba saja di sudah menggerakkan tangannya, menyerang dengan jarum-jarum beracun yang disambitkan dari jarak dekat. Thian Sin tahu bahwa sinar hitam itu adalah jarum-jarum kecil yang mungkin sekali beracun, akan tetapi dia memang telah bersikap waspada sejak tadi. Dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dia melindungi tubuhnya dan tangannya menyambar ke depan muka untuk melindungi mukanya dari sambaran jarum-jarum itu. Semua jarum runtuh ke atas lantai, terkena tangan dan juga yang mengenai tubuhnya. Melihat ini, Si Kecil Bongkok terkejut setengah mati, akan tetapi kini pendekar itu telah bangkit dan melangkah menghampirinya. Si Kecil Bongkok yang tadi telah mencabut pedangnya, menyambutnya dengan tusukan kilat. Namun, Thian Sin tidak mengelak, bahkan tangan kirinya menyambar ke depan menangkap pedang itu. Pedang itu ditangkap begitu saja! Melihat ini, tentu saja Si Kecil Bongkok menjadi girang dan berusaha menarik pedangnya untuk melukai tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi, pedangnya seperti terjepit baja, sama sekali tidak dapat digerakkan. Kemudian, sekali Thian Sin mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, terdengar suara "krek" dan pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Si Kecil Bongkok terbelalak ketakutan.
Pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat dan tiga orang kawannya yang lain tidak tinggal diam saja, mereka sudah menerjang maju dan menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Tempat itu sempit, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menjadi gugup. Kedua tangannya bergerak memutar dan senjata empat orang itupun beterbangan terlepas dari pegangan masing-masing. Mereka itu adalah kepala-kepala penjahat yang tingkat kepandaiannya masih jauh sekali dibandingkan dengan Thian Sin, maka tentu saja ditangkis dengan kedua lengan yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka itu tidak mampu mempertahankan senjata masing-masing. Thian Sin lalu mencabut pisau tajam yang dirampasnya dari Ang Bwe-nio tadi, pisau yang dimaksudkan untuk membunuhnya. Sebelum lima orang itu dapat menyerangnya lagi, tubuhnya bergerak ke depan, pisau itu berubah menjadi sinar berkilat menyambar leher Si Kecil Bongkok. Si Kecil Bongkok ini berusaha mengelak, namun kurang cepat dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang roboh dan kepalanya tertinggal di tangan kiri Thian Sin! Kiranya pemuda ini tadi sudah membabat leher lawan dan menjambak rambutnya sehingga begitu leher itu terbabat putus tubuhnya terjengkang dan kepalanya tertinggal di tangannya, dijambak rambutnya! Sungguh mengerikan sekali melihat tubuh tanpa kepala itu, dengan leher berlubang dan menyemburkan darah, sedangkan kepala Si Kecil Bongkok itu dengan mata melotot tergantung pada rambutnya yang riap-riapan dan dicengkeram tangan kiri Thian Sin!
Ang Bwe-nio menjerit dan terbelalak dengan muka pucat, lalu dengan lemas ia menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan. Sementara itu, empat orang kepala penjahat menjadi amat marah sekali di samping rasa ngeri. Dengan nekad mereka sudah menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi, dengan amat tenang Thian Sin melayani mereka, tangan kiri mencengkeram kepala Si Kecil Bongkok tadi, tangan kanan menggunakan pisau kecil untuk menangkis. Sekali menangkis, pisaunya sudah melesat dari bawah dan menerobos di antara pertahanan lawan dan kembali pisau itu menyambar leher. Orang ke dua berusaha menangkis, namun tangkisannya tembus dan leher itupun terbabat oleh pisau kecil dan tubuhnya terjengkang, kepalanya terlempar, akan tetapi sebelum jatuh ke atas tanah, sudah disambar oleh tangan kiri yang memegang kepala pertama tadi.
"Bwe-nio, kaupeganglah dulu kepala-kepala ini!" Thian Sin berseru dan melemparkan dua buah kepala itu ke atas pembaringan di mana Bwe-nio sedang duduk ketakutan.
"Ayaaaaauuuwww...!" Bwe-nio menjerit dan dengan muka pucat dan mata terbelalak, seluruh tubuhnya menggigil ketika ia memandang kepada dua buah kepala yang matanya melotot lebar memandangnya itu. Tilam tempat tidur itu sudah berlepotan darah yang keluar dari kepala itu.
Tiga orang yang lain masih mati-matian melawan Thian Sin. Namun, satu demi satu, dua orang lagi kehilangan kepala mereka melayang ke atas pembaringan, membuat Ang Bwe-nio hampir pingsan melihatnya. Tinggal Hui-to Ji Beng Tat yang masih nekad melakukan perlawanan menggunakan golok besarnya. Diapun sudah ketakutan dan terdesak oleh pisau kecil yang seperti beterbangan haus darah dan mencari kepala itu. Tiba-tiba Hui-to Ji Beng Tat mengeluarkan teriakan keras dan tubuhnya sudah mencelat ke arah pintu. Tangan kirinya bergerak dan sinar terang berturut-turut menyambar ke arah Thian Sin. Itulah golok terbang atau hui-to yang membuat namanya terkenal di daerah itu.
Akan tetapi, senjata-senjata terbang itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Dengan menangkis dengan tangan kirinya, semua golok itu runtuh dan pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat telah mempergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sudah berhasil membuka daun pintu, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Thian Sin, "Pengecut, hendak lari ke mana kau?" Dan pemuda ini sudah melemparkan pisau rampasannya yang meluncur cepat sekali.
"Creppp...!" Pisau itu menancap sampai dalam sekali, sampai ke gagangnya, di tengkuk Hui-to Ji Beng Tat. Kepala penjahat ini terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya roboh, Thian Sin sudah meloncat di belakangnya, menangkap gagang pisau kecil, menggerakkannya sedemikian rupa sehingga ketika tubuh itu roboh, kepalanya tertinggal di tangannya karena lehernya sudah putus!
Ang Bwe-nio sudah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi ketika kepala yang ke lima itu menggelinding di atas pembaringan. Seperti mayat hidup ia hanya dapat memandang kqada Thian Sin yang kini melangkah menghampirinya sambil tersenyum. Pisau di tangan pemuda itu sama sekali tidak terkena darah, demikian pula pakaiannya, sedikitpun tidak terkena darah. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda ini.
"Nah, sekarang tiba giliranmu, Bwe-nio!" kata Thian Sin menghampiri dan tubuh wanita itu menggigil, mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi saking takutnya.
"Wajahmu cantik akan tetapi hatimu jahat. Ingin aku melihat jantungmu, apakah berbulu atau tidak!" Berkata demikian, Thian Sin membuat gerakan seperti hendak menusuk.
Ang Bwe-nio menjerit. "Ampun... jangan... bunuh aku..."
"Hemm, engkau begitu sayang nyawamu" Akan tetapi kalau kubiarkan kau hidup, tentu engkau akan menggunakan kecantikanmu untuk merayu dan mencelakakan laki-laki saja. Kalau begitu, biar kubiarkan kau hidup, akan tetapi kecantikanmu harus lenyap!" Tiba-tiba nampak sinar berkelebat, darah mengucur dan Ang Bwe-nio menjerit-jerit sambil mendekap hidungnya. Batang hidung yang kecil mancung itu telah buntung dan lenyap, hanya lubang mengerikan saja yang nampak di tempat hidungnya berdiri. Sambil mendekap mukanya yang berdarah, wanita itu berlari keluar dari kamar itu, tidak peduli lagi apakah ia akan dibunuh kalau lari keluar. Sambil tersenyum, Thian Sin membawa lima buah kepala itu pada rambut mereka, dan diapun keluar dari dalam kamar yang sudah banjir darah yang keluar dari leher lima batang tubuh tanpa kepala itu.
Pemilik rumah penginapan dan para pembantunya berada di ruangan depan rumah penginapan itu, dan mereka terbelalak melihat Ang Bwe-nio berlari-lari keluar menutupi muka dengan kedua tangan dan darah bercucuran diantara sela-sela jari tangannya. Dan mereka itu terkejut ketika melihat pemuda tampan itu keluar pula dan membawa lima buah kepala! Pemilik rumah penginapan menjerit dan berusaha melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba sebuah kepala melayang terbang mengejarnya.
"Dukkkk!" Kepala yang terbang melayang itu menghantam kepala pemilik rumah penginapan yang roboh dan pingsan karena kepalanya menjadi benjol dibantam kepala lain itu. Thian Sin tertawa dan melemparkan kepala yang lain di atas meja penerima tamu, kemudian diapun pergi dari situ tanpa mempedulikan apa-apa lagi.
Peristiwa ini amat menggemparkan dan nama Pendekar Sadis makin terkenal.
Semua orang bergidik menyaksikan kekejaman yang luar biasa ini dan terutama sekali para penjahat menjadi kecil nyalinya. Nama Pendekar Sadis menjadi semacam momok yang menakutkan bagi dunia hitam, dan di samping mereka itu berjaga-jaga agar jangan sampai bertemu dengan pendekar itu, juga banyak penjahat yang mengadakan perundingan bagaimana untuk menghadapinya dan membalas semua kekejaman yang telah dilakukan oleh pendekar itu terhadap para penjahat.
*** Ada perbedaan besar antara mendiang Raja Sabutai dan Raja Agahai yang kini mengepalai beberapa bangsa Nomad itu. Raja Sabutai dahulu dicintai rakyatnya karena raja yang gagah perkasa itu juga mencinta rakyatnya, menggembleng rakyatnya, menjadi rakyat yang gagah dan raja itu selalu berusaha untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya bahkan bercita-cita membawa rakyatnya ke dalam kebesaran dengan menundukkan raja-raja bangsa lain, bahkan pernah hampir saja berhasil mengalahkan Kerajaan Tiongkok di selatan. Dan biarpun kekuasaannya muntlak dan seluruh rakyatnya cinta dan taat kepadanya, Raja Sabutai tidak pernah bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan tidak pernah mengejar kesenangan diri sendiri dan mengorbankan rakyatnya.
Tidak demikian dengan Raja Agahai. Raja ini adalah seorang yang lemah, malas dan juga hanya mengejar kesenangan diri sendiri saja, menjadi hamba nafsu, senang bermewah-mewah dan senang mengumpulkan harta kekayaan dan membiarkan diri terseret ke dalam pemuasan nafsu berahi dengan memaksa gadis-gadis bangsanya menjadi selirnya yang selalu bertambah itu. Tentu saja dia tidak mendapat hati dalam batin rakyatnya. Diam-diam, rakyatnya membencinya, akan tetapi rakyatnya tidak berani berbuat apa-apa, karena Raja Agahai mengandalkan pasukannya. Raja ini memanjakan pasukannya dan biarpun dia tidak mempedulikan rakyatnya, namun dia bersikap royal terhadap pasukannya. Oleh karena ini, dia ditaati oleh pasukannya yang juga mencontoh perbuatannya dan menindas rakyat dengan tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian, terdiapat perpisahan antara rakyat dan tentara. Tidak seperti di jaman Raja Sabutai dahulu, di mana tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika itu, tentaranya kuat karena dukungan rakyat, sedangkan rakyatnya merasa aman tenteram karena merasa memiliki pelindung, yaitu pasukan kerajaan. Kini, rakyat memandang pasukan seperti orang memandang penjahat, dengan rasa takut-takut karena biasanya, setiap berdekatan atau berkenalan dengan tentara, berarti mereka akan menemui kesulitan dan kekerasan, atau setidaknya mereka tentu akan terganggu dan menderita kerugian.
Raja Agahai memerintah rakyatnya dengan tangan besi melalui pasukan-pasukannya. Pasukan-pasukannya itu kini seperti tentara bayaran saja, yang menjadi tentara karena menghenraki kehidupan yang layak dan kekuasaan yang melebihi rakyat biasa, bukan sekali-kali menjadi tentara karena panggilan tugas membela negara dan bangsa. Keadaan seperti itu tentu saja membuat kerajaan kecil ini menjadi lemah dan kekuasaannya terhadap suku-suku bangwa lain tidak lagi seperti dahulu ketika masih dipimpin Raja Sabutai. Kini, suku-suku bangsa lain mulai bangkit, apalagi karena suku bangsa Mancu pedalaman mulai membentuk diri menjadi bangsa yang kuat sehingga kekuasaan suku bangsa yang dipimpin oleh Raja Agahai mulai terdesak. Akhirnya, Raja Agahai terpaksa mencari tempat menetap di dekat perbatasan selatan, tidak dapat lagi berpindah-pindah seperti dahulu.
Puteri Khamila, bekas permaisuri Raja Sabutai, sering kali mengingatkan adik misan suaminya ini, akan tetapi Raja Agahai malah menjadi marah. Karena permaisuri mendiang Raja Sabytai ini merupakan satu-satunya orang yang berani mencelanya, menegur dan menentangnya, apalagi ketika pada suatu hari Puteri Khamila menentang secara terang-terangan ketika Raja Agahai dengan kekerasan memaksa seorang pelayan wanita sang puteri untuk menjadi selirnya, maka Raja Agahai lalu menyuruh tangkap Putri Khamila. Puteri yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu dipenjarakan!
Para komandan tua dan pembesar yang mengingat akan kebaikan sang puteri tua ini, merasa tidak setuju, akan tetapi tak seorangpun berani menentang keputusan Raja Agahai. Juga rakyat yang mencinta sang puteri ini hanya dapat membelanya. Hanya baiknya, para pejabat yang mengurus penjara, masih ingat akan kebaikan permaisuri Raja Sabutai ini, maka sang puteri inipun diperlakukan dengan baik sehingga tidak terlalu menderita sengsara. Pada waktu itu, Puteri Khamila telah dipenjarakan selama dua tahun! Puteri yang sudah tua ini siang malam hanya berdoa untuk mengharap kedatangan puteranya, yaitu Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw, yang tidak pernah didengar beritanya selama belasan tahun itu. Tak seorangpun yang berani mengabarkan kepadanya bahwa pangeran yang ditunggu-tunggunya itu, putera tunggalnya yang amat dicintanya, telah tewas oleh pengeroyokan pasukan kerajaan di selatan, yang dibantu pula antara lain oleh pasukan yang dikirim roleh Raja Agahai.
Juga politik Raja Agahai terhadap Kerajaan Beng di selatan sekarang menjadi amat lunak. Mengharapkan bantuan pasukan Beng-tiauw untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Mancu dan suku-suku bangsa lainnya, ia rela untuk menyatakan takluk kepada Kerajaan Beng dan mengirim upeti setiap tahun, karena sebagai imbalannya, dia juga menerima barang-barang indah dari selatan, yaitu kerajaan itu.
Dalam keadaw seperti itulah ketika Ceng Thian Sin tiba di kerajaan kecil itu! Pada waktu itu, karena hubungan baik antara kerajaan itu dan Kerajaan Beng, maka banyak juga orang-orang Han dari selatan berdatangan ke situ untuk berdagang. Mereka ini membawa barang-barang dari selatan, kain-kain sutera dan sebagainya, menjualnya atau lebih tepat menukarnya dengan barang-barang berharga dari utara, seperti kulit-kulit binatang, rempah-rempah, akar-akar obat yang berharga, dan sebagainya lagi. Perdagangan ini amat ramai dan kerajaan kecil itu hampir setiap hari didatangi banyak pedagang yang datang menyeberang Tembok Besar. Hal ini amat menguntungkan Thian Sin karena dia dapat dengan mudah memasuki pintu gerbang kerajaan kecil itu tanpa dicurigai sedikitpun.
Marah sekali hati Thian Sin ketika dia mendengar berita bahwa neneknya telah dipenjara! Di waktu kecil, ayahnya mengajarkan bahasa suku bangsa itu kepadanya, dan kini tibalah waktunya dia memanfaatkan pengertian ini. Dengan kepandaiannya berbahasa daerah, dia dapat menghubungi banyak orang dan mendengar bahwa neneknya ditahan dalam sebuah rumah penjara. Bukan dicampurkan dengan orang-orang penjara lainnya, melainkan mendiami sebuah rumah, akan tetapi rumah itu dijaga siang malam dingan ketat. Sang puteri selalu tinggal di dalam rumah itu, tidak pernah diperbolehkan keluar sehingga melewatkan penghidupan yang amat kesepian, hanya dilayani oleh dua orang pelayan yang sudah tua pula.
Thian Sin maklum bahwa tidak mungkin dia melawan Raja Agahai secara berterang. Dia hanya seorang diri saja dan raja itu dilindungi oleh ribuan orang tentera. Pula, kalau dia menyelundup dan melawan Raja Agahai dengan berterang, andaikata dia berhasil membunuhnya juga, tentu akibatnya amat tidak baik bagi neneknya. Maka diapun segera mempergunakan akal. Dia melihat betapa semua pejabat dan pegawal pemerintah kini mudah sekali makan sogokan. Sebelum memasuki kerajaan itu, dia sudah mempersiapkan diri dan membawa bekal untuk keperluan itu. Make diapun lalu mempergunakan perak untuk menyogok para penjaga rumah penjara Sang Puteri Khamila.
Pada waktu itu, orang-orang Hen yang berdatangan di negeri itu dipandang dengan hormat, tentu saja karena Raja Agahai telah menyatakan tunduk kepada Kerajaan Beng. Oleh karena itu, permintaan Thian Sin kepada para penjaga dengan memberi sogokan, agar dia boleh menghadap sang puteri tua, tidak mendatangkgn kecurigaan melainkan keheranan.
"Sobat, mau apakah engkau hendak menghadap sang puteri?" tanya komandan jaga.
"Aku membawa beberapa macam barang dagangan, sutera-sutera dan permata yang tentu akan disukai oleh seorang puteri."
"Ah, akan tetapi sang puteri tidak akan datang membelinya! Beliau berada dalam penahanan, tidak mempunyai uang untuk membeli barang mahal," bantah si penjaga dengan heran.
"Tidak bisa belipun tidak mengapalah. Ketika masih kecil, aku pernah melihat sang puteri yang cantik dan agung, dan kini aku ingin sekali bertemu kembali dan menghadap beliau, sekedar untuk menawarkan dagangan sambil melihat sekali wajah beliau."
"Ah, orang muda. Beliau sekarang sudah tua dan lemah. Akan tetapi, asal jangan terlalu lama dan jangan sampai ketahuan orang luar, baiklah, kau boleh menghadap. Biar kulaporkan dulu apakah beliau bersedia menerimamu." Kepala jaga itu lalu masuk dan melaporkan. Puteri Khamila merasa heran sekali mendengar bahwa ada seorang Han, seorang pedagang muda yang mohon menghadap untuk menawarkan barang dagangan. Ia tidak mempunyai uang, dan pula, untuk apa ia membeli barang-barang indah" Akan tetapi, Puteri Khamila bukan seorang bodoh. Kalau ada orang Han yang ingin berjumpa dengannya, tentu membawa sesuatu yang penting. Maka, iapun memperkenankan orang muda itu datang menghadap.
Ketika Thian memasuki ruangan rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Rumah itu sunyi sekali dan ketika dia dipersilakan masuk ke dalam ruangan belakang, dia melihat seorang nenek tua berambut putih duduk di atas sebuah kursi. Mudah saja mengenal neneknya. Biarpun baru satu kali dia melihat neneknya, yaitu ketika dia masih kecil dan diajak ayahnya mengunjungi nenek ini, namun dia tidak dapat melupakan wajah yang cantik dan agung itu. Nenek itu sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulit mukanya keriputan, akan tetapi kulit itu masih halus dan sikapnya kelika duduk di kursi itu seperti sikap seorang ratu duduk di atas singgasana saja. Begitu agung, yang berada di situ hanya dua oran pelayan yang duduk bersimpuh di kanan kiri kursi.
Ketika dengan perlahan Thian Sin melangkah masuk dan sepasang mata yang membayangkan kedukaan itu menatap wajahnya, kedua tangan nenek itu mencengkeram lengan kursi dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar akan tetapi diliputi keraguan.
"Siapakah engkau...?" Suara itu agak gemetar dan penuh harap dan puteri itu berbahasa Han yang cukup baik, "dan apa maksudmu datang menemui aku?"
Thian Sin merasa terharu sekali dan dia berkata dengan halus, "Apakah saya dapat bicara dengan bebas dan leluasa dengan paduka?"
Puteri Khamila memandang ke arah daun pintu yang sudah ditutupkan kembali itu, lalu mmgangguk. "Jangan khawatir, dua orang pelayan ini adalah orang-orang setia dan para penjaga itu betapapun juga tidak berani melakukan pengintaian. Bicaralah!"
Thian Sin melangkah maju, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata dengan hati terharu, "Nenek yang baik, saya adalah Ceng Thian Sin, putera dari Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai."
"Oohhh... ah, sudah kuduga... ah, wajahmu begitu sama dengan dia...! Ah, cucuku, ke sinilah... ke sinilah..."
Thian Sin maju mendekat dan nenek itu lalu merangkul dan mendekap kepalanya sejenak. Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya, mendorong halus kepala pemuda itu dari rangkulannya, memandang wajah itu sampai lama lalu berkata, "Ah, betapa bahayanya... bagaimana engkau dapat menyelundup ke sini, cucuku" Ah, ketika engkau ke sini dahulu, engkau masih kecil... tapi wajahmu mirip benar dengan ayahmu. Engkau tahu, selama ini aku... aku..."
"Saya sudah tahu segalanya, nek."
"Dan mana ayahmu" Ibumu" Kenapa selama ini mereka tiada berita?"
Thian Sin mengepal tinjunya. Neneknya belum tahu akan malapetaka yang menimpa ayah bundanya itu, dan hatinya makin sakit terhadap Raja Agahai. "Maaf, nek, saya membawa berita buruk sekali. Ayah dan ibuku... mereka sudah tewas..."
"Ahhh...?" Nenek itu bangkit berdiri dan menutupi mulut dengan kedua tangannya agar menjeritnya tidak keluar, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali, lalu ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau saja Thian Sin tidak cepat meloncat dan merangkul neneknya. Nenek itu menangis sambil menyandarkan mukanya di dada cucunya, menangis terisak-isak sampai baju pemuda itu menjadi basah oleh air mata. Thian Sin diam saja, tidak mengeluarkan kata-kata, karena dia maklum bahwa menghibur neneknya di saat itu tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan dia membiarkan neneknya menangis sepuasnya. Dan memang, Puteri Khamila mengeluarkan semua perasaan dukanya yang ditahan-tahan di waktu itu. Harapannya hanya satu, yaitu kedatangan puteranya untuk membebaskannya dan membikin beres kerajaan yang dikotori oleh Agahai itu. Akan tetapi siapa tahu, putera dan mantunya telah tewas, maka hancurlah semua harapannya.
Akhirnya nenek itu dapat mengeluarkan suara keluh-kesah dalam tangisnya, "Oguthai... anakku, betapa tega engkau meninggalkan ibumu... lalu siapakah yang akan datang untuk membuat perhitungan kepada Agahai, siapa yang akan membebaskan rakyat kita dari si lalim itu..."
"Jangan khawatir, nek. Saya mewakili ayah ibu datang ke sini justeru untuk keperluan itulah. Sayalah yang akan menghancurkan Agahai berikut kaki tanganya, karena kematian ayah ibu juga sebagian adalah perbuatan Agahai dan kaki tangannya."
Seketika nenek itu menjadi marah dan lupa akan kedukaannya. "Ahh, keparat! Si bedebah yang tak mengenal budi! Dia sudah diangkat menjadi raja, kini bertindak kejam! Ceritakanlah, bagaimana terjadinya sampai ayah bundamu tewas?"
Nenek itu duduk kembali, tangisnya sudah berhenti dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Thian Sin bercerita tentang kematian ayah bundanya yang dikeroyok oleh banyak pasukan, yaitu pasukan Beng dibantu oleh orang-orang Agahai dan orang-orang dari beberapa tokoh datuk kaum sesat.
"Saya telah mempelajari limu sebanyak-banyaknya, nek. Dan sekarang tibalah waktunya bagi saya untuk membasmi musuh-musuh yang telah menewaskan ayah ibu, dan pertama-tama saya akan membasmi Agahai!"
"Akan tetapi, engkau hanya seorang diri dan kedudukannya amat kuat, dia memanjakan pasukan sehingga pasukannya amat taat kepadanya. Tak mungkin engkau menentang secara berterang begitu saja..."
"Karena itulah saya menjumpai nenek, untuk mohon petunjuk."
"Bagus, itu namanya bekerja dengan teliti dan tidak sembrono. Nah, dengarlah baik-baik, cucuku. Biarpun kekuasaanku telah habis sama sekali, akan tetapi sesungguhnya sebagian besar dari pejabat tua masih setia kepadaku, den hanya karena takut kepada Agahai sajalah mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ada seorang panglima tua yang dahulu amat setia kepada kakekmu, dan sekarang dia hanya diberi jabatan sebagai menteri urusan hiburan. Dia itu amat bijaksana dan cerdik. Kau pergilah kepadanya den bekerja sama dengan dia, tentu dia mempunyai jalan yang baik. Tunggu, kubuatkan surat untuknya."
Nenek itu lalu menuliskan huruf-huruf di atas saputangan putih dan memberikan surat itu kepada Thian Sin. Setelah diberi tahu tentang nama dan tempat tinggal menteri hiburan itu, dan setelah diberi nasihat-nasihat oleh neneknya, juga diberi sebuah kalung peninggalan Raja Sabutai yang dikalungkan di leher Thian Sin, pemuda itu lalu keluar meninggalkan rumah tahanan itu dengan hati lapang dan penuh harapan. Tadinya dia sendiri memang bingung den tidak tahu bagaimana dia akan dapat membalas dendam kepada Raja Agahai, akan tetapi kini terbukalah jalan ydng luas baginya.
Dengan mudah dia dapat mengunjungi Abigan, yaitu menteri urusan hiburan, seorang tua yang dahulu pernah menjadi panglima yang setia dari Raja Sabutai. Hanya karena bekas panglima ini terkenal dan dikagumi para tentara sajalah maka Agahai masih memakainya dan diberi kedudukan yang tidak penting, yaitu menteri urusan hiburan. Dia mengurus apabila kerajaan mengadakan pesta-pesta, menyambut tamu-tamu den sebagainya.
Ketika menerima kunjungan Thian Sin, tadinya Abigan mengira bahwa Thian Sin seorang pemuda biasa dari selatan yang datang bertamu ke kerajaan kecil ini, akan tetapi begitu Thian Sin menyerahkan surat dari Nenek Khamila, menteri itu terkejut. Apalagi membaca surat perkenalan itu yang menyatakan bahwa pemuda ini adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, dia terkejut, terharu dan juga girang. Segera diajaknya Thian Sin ke sebelah dalam, pemuda ini diberi kamar dan kedatangannya dirahasiakan. Dengan cepat Abigan mengadakan kontak dengan kawan-kawan yang sehaluan, yaitu yang menentang Raja Agahai dengan diam-diam. Mereka berdatangan ke rumah menteri hiburan ini dan diperkenalkan dengan Thian Sin. Mereka lalu mengadakan rapat rahasia dan mengatur rencana untuk "memasukkan" Thian Sin ke dalam istana, bahkan diberi akal agar pemuda itu mendapat kepercayaan dari Raja Agahai.
Thian Sin memperoleh banyak keterangan tentang Raja Agahai dalam rapat itu. Dia mendengar bahwa raja itu sebenarnya hanya seorang yang lemah, dan yang menguasai raja itu adalah seorang Koksu yang bernama Torgan, seorang Mancu yang amat cerdik dan juga pandai ilmu silat dan ilmu gulat. Torgan inilah yang mengatur segala-galanya dalam pemerintahan. Torgan ini pula yang membikin mabuk Raja Agahai dengan segala macam kesenangan, terutama wanita-wanita. Selir paksaan dari Raja Agahai amat banyak, tak terhitung lagi banyaknya. Akan tetapi, dari sekian banyaknya selir, baru seorang saja yang berhasil mempunyai keturunan, seorang anak laki-laki yang baru terlahir sebulan yang lalu. Dan di antara para selirnya, yang paling dikasihi adalah seorang selir berbangsa Biaw, justeru bukan selir yang melahirkan anak. Semua ini dipelajari Thian Sin.
"Kebetulan sekali, minggu ini pesta besar-besaran oleh keluarga raja untuk merayakan usia sebulan dari pangeran tunggal itu," kata Menteri Abigan. "Ini merupakan kesempatan baik untuk memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Sri Baginda. Akan tetapi, sebagai apa" Sebagai seorang pedagang muda" Kurang tepat dan tentu akan menimbulkan kecurigaan Koksu Torgan yang bermata tajam dan amat cerdik itu. Andaikata sebagai anak keluargaku dari Mancu dan menyamar sebagai pemuda Mancu, bahasa Ceng-kongcu tentu akan ketahuan, karena kaku. Ah, kita harus berhati-hati, terutama sekali terhadap Torgan yang cerdik. Jangan sampai sebelum tujuan tercapai, kita gagal di tengah jalan."
"Aku ada akal!" kata Thian Sin. "Bukankah di istana, akan diadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran" Nah, bagaimana kalau taijin memperkenalkan aku sebagai seorang pemain sulap?"
"Tukang sulap" Apakah kongcu dapat bermain sulap" Hati-hati, Torgan seorang yang pandai sekali, tidak mudah ditipu."
"Harap cu-wi lihat, kalau kedua tanganku berubah menjadi ular seperti ini, apakah dia belum percaya bahwa aku seorang tukang sulap?" Tiba-tiba Thian Sin menggerakkan kedua lengannya dan... semua orang yang hadir dalam rapat itu berseru kaget karena kedua lengan pemuda itu benar-benar telah berubah menjadi ular yang menggerakkan lidah keluar masuk dan menggeliat-geliat mengerikan.
"Bagus! Sulap yang mengagumkan!" kata Abigan dengan kagum.
Thian Sin tertawa, menurunkan kedua lengannya lagi dan lenyaplah ular-ular itu. Ini hanya sulap biasa saja. Aku masih mampu mainkan suling dan menyanyikan sajak-sajak dan tentang permainan sulap lain, masih banyak macamnya. Misalnya ketrampilan tangan seperti ini!" Thian Sin memegang kedua sumpitnya dan dengan sumpit itu dia melemparkan mangkok yang penuh sayuran ke atas. Mangkok itu melayang ke atas disusul oleh mangkok ke dua yang juga penuh sayur. Dan dia menerima dengan dua batang sumpit itu. Dua batang sumpit itu tepat menerima dua buah mangkok sayur, menyangga di bawahnya dan dengan gerakan pergelangan tangannya, dia membuat dua mangkok itu berputar-putar di atas sumpit tanpa sedikitpun ada kuah sayur yang tumpah. Dan beberapa kali dia melemparkan dua buah mangkok itu ke atas dan diterima oleh ujung sumpit. Tentu saja semua yang melihat kepandaian ini bertepuk tangan memuji. Mereka sudah sering melihat pemain sulap memperlihatkan ketrampilan seperti ini, akan tetapi tidak dengan mangkok yang berisi sayur dengan kuahnya.
Thian Sia menghentikan demonstrasinya. "Selain sulap, juga aku dapat menghibur raja dengan permainan suling dan bernyanyi." katanya sambil tersenyum.
Melihat kepandaian putera Pangeran atau cucu dari mendiang Raja Sabutai ini, Menteri Abigan menjadi girang, kagum dan juga terharu, usaha pangeran ini pasti berhasil, pikirnya. Demikian pula para rekannya yang menaruh kepercayaan besar kepada pangeran keturunan Raja Sabutai yang dikenal sebagai Ceng-kongcu ini.
Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengambil keputusan bahwa langkah-langkah mereka diatur seperti berikut. Pertama, tentu saja memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Raja Agahai sebagai penghibur dalam pesta dengan permainan sulap, suling dan nyanyi sajak. Ke dua, mereka semua akan diam-diam mengerahkan pengikut-pengikut masing-masing untuk bersiap-siap turun tangan apabila pemuda itu berhasil membunuh Raja Agahai, yaitu dengan mengepung istana dan melucuti atau membasmi semua pasukan pengawal. Ke tiga, mereka akan menyelidiki siapa para perwira dan anak buahnya yang dahulu ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw.
*** Keluarga Raja Agahai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran pertama yang sudah sebulan usianya. Berbeda sekali keadaan pesta yang diadakan raja ini dengan Raja Sabutai dahulu. Kalau Raja Sabutai berpesta, sebagai seorang raja dan juga seorang tokoh besar dunia kang-ouw di dunia utara sebagian besar undangannya adalah tokoh-tokoh kang-ouw pula. Akan tetapi, Raja Agahai hanya mengundang kepala-kepala suku bangsa dan juga wakil-wakil dari pasukan penjaga tapal batas di Tembok Besar yaitu pasukan Beng-tiauw. Ada pula orang-orang Han yang biasa hilir mudik ke kerajaan ini, membawa dagangan-dagangan, dan menjadi langganan keluarga raja, menjadi tamu pula. Selain para undangan, juga para pembantu Raja Agahai yang tinggi kedudukannya, hadir bersama isteri masing-masing. Di antara mereka tentu saja terdapat penasihat raja, yaitu Koksu Torgan. Bahkan Koksu Torgan inilah yang mengatur penjagaan dengan ketat. Kedua matanya yang lebar dan liar itu, di bawah sepasang alis tebal tiada hentinya memandang ke kanan kiri, menyelidiki para tamu dengan penuh kecurigaan sehingga siapapun juga yang bertemu pandang dengan koksu ini akan merasa kikuk dan tidak nyaman hatinya.
Raja Agahai sendiri dengan senyum bahagia duduk bersanding dengan para isterinya yang rata-rata masih muda-muda dan cantik-cantik, aken tetapi isterinya atau selirnya, yang berbangsa Biauw itu, yang memang amat cantik dan yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun, duduk paling dekat di sebelah kiri Sang Raja. Kecantikan seliri ini memang menyolok sekali, bukan hanya wajahnya yang cantik jelita den manis, akan tetapi bentuk tubuhnya amat menggairahkan, ditambah lagi sikapnya yang memang menarik, bukan dibuat-buat, melainkan karena memang sudah pembawaannya wanita ini memiliki sikap yang menarik dan merangsang. Selir yang beruntung mendapatkan keturunan itu, duduk di sebelah kanan Sang Raja, tentu saja karena melahirkan seorang putera, sekakigus kedudukannya naik dan ia dipandang sebagai isteri yang paling berjasa. Anak kecil berusia satu bulan itu ditidurkan di sebuah pembaringan kecil, dijaga dua orang inang pengasuh. Dan tak jauh dari situ, di atas meja besar, dikumpulkanlah semua barang hadiah atau sumbangan dari para tamu, sumbangan yang lebih ditujukan kepada Raja Agahai daripada kepada anak kecil berusia sebulan itu.
Setelah semua tamu datang berkumpul, Menteri Abigan yang sejak pagi sekali sudah sibuk mengatur pesta itu yang menjadi bagiannya atau tugasnya, menghadap Raja Agahai dan berkata. "Sri baginda, tukang sulap yang akan menghibur pesta ini telah siap menanti."
"Ha-ha-ha, bagus sekali, suruh dia datang menghadapku lebih dulu sekarang. Aku ingin melihat dan bertemu dengannya."
Menteri Abigan memberi isyarat kepada pembantu-pembanttinya, dan tak lama kemudian, Thian Sin diiringkan beberapa orang petugas menuju ke panggung di mana keluarga raja itu duduk berkumpul.
"Ah, dia masih muda dan tampan sekali, Abigan!" kata raja itu ketika melihat seorang pemuda bangsa Han memberi hormat di depannya dengan sikap yang selain hormat, juga amat ramah, dengan senyum yang menarik.
"Banyak terima kasih atas pujian Sri baginda yang mulia, dan semogalah menjadi berkah bagi hamba!" kata Thian Sin dengan suara yang diatur bersajak, dan juga dia mengucapkannya dengan suara seperti orang berdeklamasi! Mendengar Thian Sin mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa daerah, dengan suara merdu seperti bernyanyi pula, raja dan para selir menjadi tertarik. Raja Agahai tertawa gembira.
"Bagus! Bagus sekali, engkau pandai berbahasa daerah, tentu saja kabarnya engkau pandai bersajak, menyanyi dan bermain sulap, tentu saja pandai segala bahasa. Eh, orang muda yang pandai, coba katakan, menurut pendapatmu, nama apakah yang patut kami berikan kepada putera kami ini?"
Thian Sin sudah memperoleh keterangan segala-galanya mengenai keadaan keluarga itu, bahkan pilihan nama untuk putera raja itu, yang belum diumumkan, telah bocor dan dapat diketahui olehnya melalui para pembantu Menteri Abigan. Dia mendengar bahwa Raja Agahai hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya. Sungguh merupakan suatu kesombongan karena nama ini adalah nama raja terbesar dalam sejarah bangsa Mongol, karena Temuyin ini adalah nama kecil dari Raja Jenghis Khan!
Mendengar ini, Thian Sin mengambil sikap sungguh-sungguh. "Nama untuk putera paduka, ditentukan oleh para dewata, seorang manusia biasa seperti hamba, mana berani lancang menerkanya?" katanya kemudian dengan nada suara indah. Kemudian, pemuda ini mengerahkan tenaga sakti ilmu sihirnya, memandang kepada raja dan melanjutkan. "Akan tetapi, Sri Baginda yang mulia. Hamba melihat cahaya di sekitar tubuh putera paduka, ah, benar... cahaya cemerlang menyilaukan mata, dan cahaya seperti itu hanya dimiliki oleh raja besar pertama dari bangsa Mongol yang gagah perkasa tiga abad yang lalu..."
RAJA Agahai tadi memandang sepasang mata yang mencorong dari pemuda itu, lalu dia ikut menoleh ke arah pembaringan puteranya dan... dia terbelalak melihat betapa benar saja ada cahaya terang meliputi seluruh tubuh puteranya itu! Cahaya yang mencorong menyilaukan mata! Kemudian, mendengar ucapan bahwa cahaya seperti itu hanya dimiliki raja besar pertama dari bangsa Mongol pada tiga abad yang lalu, hatinya girang bukan main. Karena raja pertama yang dimaksudkan itu, siapa lagi kalau bukan Raja Besar Jenghis Khan yang di waktu kecilnya bernama Temuyin" Dan memang dia hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya, disamakan dengan nama raja besar itu!
"Bagus... bagus... memang engkau seorang yang amat pandai. Eh, siapakah namamu, orang muda yang cerdas dan pandai?"
"Nama hamba adalah Hauw Lam, Sri Baginda." jawab Thian Sin tanpa memberi she atau nama keturunan pada nama itu. Akan tetapi Raja Agahai tidak memperhatikan, atau mengira bahwa pemuda ini she Hauw bernama Lam. Dia tidak berpikir lebih panjang bahwa nama itu berarti Anak Laki-laki Berbakti.
"Baik, kami girang sekali engkau mau menghibur pesta ini, Hauw Lam. Nanti setelah tiba waktunya, engkau boleh menghibur para tamu dengan permainanmu."
Pada saat itu, tiba-tiba saja muncul Koksu Torgan. Dengan sinar matanya yang tajam dia memandang kepada pemuda tampan yang bercakap-cakap dengan rajanya itu, dan melihat rajanya tertawa-tawa gembira, kemudian melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, koksu ini mengerutkan alisnya yang bercampur uban dan cepat menghampiri.
Melihat datangnya Sang Koksu, Raja Agahai tertawa. "Ah, Koksu, kebetulan engkau datang. Lihat, pemuda tukang sulap ini sungguh seorang yang hebat dan menyenangkan sekali. Dia akan menghibur para tamu, memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan sulap dan permainan suling dan sajak."
Hanya koksu inilah satu-satunya orang yang tidak bersikap sangat hormat kepada raja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap orang lain karena dia yakin benar akan pengaruh dan kekuasaannya. Dengan alis berkerut dia memandang wajah pemuda itu tanpa menjawab ucapan raja.
"Siapakah yang memperkenalkan pemuda ini kepada Paduka?" Dia balik bertanya akan tetapi masih terus mengamati Thian Sin.
"Menteri Abigan yang membawanya," kata Raja.
"Hamba yang melihat kebagusan permainannya dan hamba yang memperkenalkannya kepada Sri Baginda, Koksu," kata menteri tua itu dengan hormat.
Koksu itu mengeluarkon suara dari hidung, seperti orang mendengus. "Hemm, kami tidak mengenal pemuda ini dan karenanya tidak percaya kepadanya. Akan tetapi kami mengenalmu, Menteri Abigan. Tentu engkau sudah mengerti bahwa segala yang dilakukan pemuda ini menjadi tanggung jawabmu, tanggung jawab seluruh keluargamu kalau sampai dia melakukan yang tidak baik!" Setelah berkata demikian, koksu ini sekali lagi menatap tajam wajah Thian Sin, kemudian menjura kepada raja dan meninggalkan panggung itu. Diam-diam Thian Sin mencatat dalam hatinya bahwa orang itu amat berbahaya dan perlu segera disingkirkan. Akan tetapi ada suatu hal lain yang mendebarkan hatinya, yaitu selir bangsa Biauw itu. Selir muda dan cantik ini, selama dia tadi menghadap kaisar, memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas mengandung kekaguman dan kemesraan! Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu penuh daya pikat dan begitu penuh janji. Tahulah Thian Sin bahwa selir muda dari raja tua itu menaruh hati kepadanya. Inipun merupakan jalan yang amat baik, pikirnya sambil diam-diam tersenyum puas.
Sikap koksu tadi agaknya mengurangi kegembiraan Sang Raja yang memberi isyarat kepada Menteri Abigan untuk mengajak Thian Sin mundur dari situ. Setelah mereka mundur dari situ, melalui seorang pembicara, raja lalu mengumumkan nama dari puteranya, yaitu Pangeran Temuyin! Tentu saja pengumuman ini disambut dengan tepuk tangan, ada yang memuji pilihan yang tepat itu, ada pula yang diam-diam mencela bahwa tidak pantaslah seorang raja kecil seperti Agahai ini menamakan puteranya Temuyin, nama pendiri Dinasti Goan yang telah tumbang itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani mencela.
Setelah pengumuman itu, pestapun dimulailah. Thian Sin sendiri juga dijamu oleh Menteri Abigan dan pemuda ini makan minum sepuasnya. Di tengah-tengah perjamuan itu, para tamu saling bicara sendiri dan keadaan menjadi bising, apalagi ditambah dengan adanya suara musik yang dimainkan orang untuk memeriahkan suasana pesta. Berbeda dengan kalau mendiang Raja Sabutai mengadakan pesta di mana selalu diadakan pertunjukkan silat, kini yang dipertunjukkan adalah tari-tarian dari para penari-penari muda yang cantik dan genit, suasana menjadi meriah sekali ketika di antara para tamu yang sudah terlalu banyak minum arak itu ada yang ikut pula menari bersama para penari genit itu. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan suasana menjadi amat gembira. Setelah beberepa tarian dimainkan, akhirnya Menteri Abigan sebagai pengatur acara hiburan, mengumumkan dengan suara lantang.
"Hadirin yang terhormat, kini Sri Baginda Raja yang kita cintai berkenan menghibur cu-wi (anda sekalian) dengan menampilkan seorang muda yang ahli bermain sulap, meniup suling dan membuat sajak. Inilah dia, pemuda yang cerdas den menarik, Hauw Lam!"
Terdengar tepuk sorak ketika Thian Sin muncul ke atas panggung, dan ternyata yang bertepuk sorak itu adalah keluarga raja yang dipelopori oleh selir suku bangsa Biauw itu! Thian Sin menjura ke arah tempat duduk raja dan keluarganya sambil tersenyum manis. Wajahnya yang tampan itu agak merah, karena selain dia tadi minum arak agak banyak juga diapun sebetulnya merasa canggung harus berhadapan dengan demikian banyaknya orang sebagai seorang pemain panggung. Dia merasa seolah-olah dia telah menjadi seorang badut!
"Cu-wi yang terhormat," kata Thian Sin dengan lagak menarik, suaranya seperti orang bernyanyi. "Hari ini adalah hari keramat dan kepada keluarga Sri Baginda yang amat berbahagia kami mengucapkan selamat! Saya sebagai seorang pengembara, hanya dapat menyumbangkan seekor burung dara!" Setelah mengeluarkan kata-kata bersajak ini, dengan suara yang menarik sekali, tiba-tiba Thian Sin berseru. "Lihatlah, seekor burung dara terbang ke angkasa!" Dan tiba-tiba saja, seperti keluar dari lengan bajunya, di tangan kanannya yang diangkat tinggi-tinggi itu terdapat seekor burung dara putih menggeleparkan sayapnya dan ketika dilepaskan, burung itu terbang ke udara sampai tinggi dan lenyap.
"Aku tidak melihat burung dara!" Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dan Thian Sin cepat menengok. "Jangan mengeluarkan permainan menipu! Tidak ada kulihat burung dara!" Kiranya yang bicara itu adalah Koksu Torgan yang memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu. Tahulan Thian Sin bahwa orang ini adalah lawan yang cukup berbahaya, yang tidak terpengaruh oleh daya sihirnya tadi. Akan tetapi, Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia menjura dengan hormat kepada orang tua itu dan tersenyum ramah.
"Ah, maafkan saya, Koksu. Paduka adalah Koksu Torgan yang bijaksana, mengatakan tidak tahu burung dara berada di mana!" Lalu Thian Sin menghadapi semua tamu dan bertanya dengan suara ramah dan lagak yang lucu. "Mohon tanya kepada cu-wi yang mulia, apakah tadi ada seekor burung dara?"
"Ada...! Ada...!" Terdengar jawaban di sana-sini yang disusul oleh yang lain, bahkan para selir raja sendiripun berteriak mengatakan ada.
Thian Sin menghadapi Koksu Torgan sambil membentang lengan dan mengangkat bahu seolah-olah tidak berdaya melawan pendapat banyak orang. "Maaf, Koksu, kalau tadi Koksu belum melihat burung-burung dara, sekarang hamba persembahkan untuk Anda!" Tiba-tiba Thian Sin membuat gerakan dengan tangannya dan berteriak nyaring, "Inilah seekor burung bangau botak untuk Koksu!" Dan sungguh mengherankan, di tangannya telah terdapat seekor burung bangau besar yang kepalanya botak, dan pemuda itu mengulurkan tangannya, menyerahkan burung jelek itu kepada Sang Koksu. Tentu saja sekali ini Thian Sin mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencoba "kekuatan" koksu itu dan ternyata koksu itu terpengaruh. Matanya terbelalak melihat burung bangau yang hendak mematuknya itu, maka dia undur tiga langkah.
"Ilmu setan...!" gumamnya dan diapun terus menjauh.
"Sayang, bangau, begini buruk rupamu sehingga Sang Koksu tidak menghendakimu! Nah, terbanglah melayang, kembali ke sarang!" Dan bangau itupun terbang ke atas lalu lenyap! Semua orang bersorak dan bertepuk tangan memuji, sedangkan koksu itu memandang dengan penuh kecurigaan. Didekatnya Menteri Abigan dan koksu ini berbisik kepadanya.
"Menteri Abigan, dari mana engkau menemukan bocah setan ini?"
"Bocah setan mana..." Ah, dia bukan bocah setan, melainkan seorang pemuda yang pandai dan menarik sekali, Koksu."
"Bodoh! Dia itu amat berbahaya!" Koksu berkata lirih dan diam-diam Menteri Abigan merasa terkejut sekali. Koku ini sungguh amat cerdik dan berbahaya dan dia mengkhawatirkan keselanatan cucu Puteri Khamila itu.
Akan tetapi yang dikhawatirkan itu nampak tenang-tenang dan gembira saja. Memang hati Thian Sin merasa tenang karena kini dia telah menguji kekuatan batin Sang Koksu dan dia mengerti bahwa biarpun dia tidak akan mampu menguasai koksu itu sepenuhnya, namun koksu itu bukan ahli sihir dan juga tidak perlu mengkhawatirkan kekuatan batinnya. Betapapun juga, melihat Sang Koksu, berbisik-bisik dengan Menteri Abigan, kemudian koksu itu memanggil komandan jaga seolah-olah memberi perintah sesuatu, dan melihat betapa penjagaan semakin diperketat, tahulah dia bahwa koksu itu menaruh curiga kepadanya dan dia tidak boleh turun tangan pada saat itu, karena tentu akan menghadapi pengeroyokan ratusan orang pengawal.
Maka Thian Sin lalu memainkan mangkok-mangkok dengan sepasang sumpit seperti yang pernah dia perlihatkan kepada Menteri Abigan dan rekan-rekannya den permainan inipun mendapatkan sambutan tepuk tangan.
"Cu-wi, sekarang saya hendak memperlihatkan permainan yang menarik. Kalau tidak salah, saya tadi melihat ada kacang goreng di antara hidangan itu, bukan" Nah, sekareng, biarlah saya menjadi sasaaran dan cu-wi semua yang duduk di sebelah depan, boleh menyambitkan kacang itu kepada saya. Semua kacang itu akan saya sambut dengan kedua tangan!"
Terdengar seruan-seruan tidak percaya dari para tamu. Akan tetapi karena mereka tertarik, maka ada beberapa orang mulai menyambitkan beberapa buah kacang kepada pemuda itu. Dan benar saja. Pemuda itu menyambut kacang-kacang itu dengan kedua telapak tangan dikembangkan keluar. Anehnya, kacang-kacang itu beterbangan ke arah dua telapak tangan itu, ke bagian tubuh manapun mereka menyambit. Melihat ini, semua tamu menjadi tertarik dan beterbanganlah kacang-kacang yang banyak sekali seperti hujan ke arah tubuh Thian Sin. Dan sungguh mengherankan sekali, semua kacang itu beterbangan hanya menuju ke arah kedua telapak tangannya dan jatuh di depan kaki Thian Sin sehingga sebentar saja di situ telah bertumpuk banyak kacang goreng! Hal ini amat menggembirakan sehingga beberapa orang selir raja ikut pula menyambit! Terutama sekali selir bangsa Biauw itu yang menyambit dengan sikap yang menarik sekali dan dengan senyum simpul penuh daya pikat!
"Plakkk!" Tiba-tiba ada sambitan yang keras mengenai telapak tangan kiri Thian Sin dan pemuda itu melirik. Kiranya yang menyambitnya adalah koksu. Tahulah dia bahwa koksu ini memang memiliki kelebihan dariapda orang lain, akan tetapi dia tidak khawatir. Karena sambitan koksu itupun tersedot oleh kekuatan yang dikerahkannya pada dua telapak tangannya, maka diapun dapat mengukur tenaga koksu itu. Sebaliknya, diam-diam Sang Koksu terkejut bukan main. Dia adalah orang yang berpengalaman, baik dalam hal sastera maupun silat. Maka kini diapun menduga bahwa pemuda ini bukan pemuda sembarangan. Selain pandai sihir, pemuda inipun pandai ilmu silat tinggi! Makin curiga hatinya. Tidak mungkin kalau seorang pemuda dengan ilmu kepandaian seperti itu hanya menjual kepandaiannya dengan menjadi seorang tukang sulap penghibur tamu! Tentu ada niat tertentu sembunyi dalam pertunjukkannya ini! Dia tadi sudah mengerahkan pasukan pengawal untuk memperketat penjagaan, terutama sekali untuk menjaga keselamatan rajanya.
"Cukup...! Cukup...! Sayang sekali kalau makanan dibuang-buang begitu saja!" kata Thian Sin sambil tertawa dan... kacang-kacang yang masih melayang membalik ke arah para penyambitnya. Akan tetapi tenaga membalik ini tidak terlalu kuat sehingga tidak sampai melukai yang menyambit, melainkan membuat mereka tertawa-tawa karena kacang-kacang itu ada yang mengenai kepala, muka dan tubuh mereka.
"Sekarang saya hendak memainkan suling. Harap cu-wi jangan mentertawakan, permainan suling saya ini hanya permainan dusun, dan untuk selingan saya akan membacakan sajak!"
Semua orang menghentikan ketawa mereka dan keadaan menjadi sunyi, seolah-olah semua orang terpesona oleh daya pikat yang keluar dari pemuda ini. Semua orang termasuk keluarga raja, seolah-olah dengan sungguh-sungguh hendak mendengarkan permainan suling dan pembacaan sajak dari pemuda yang makin lama makin menarik hati mereka itu. Mereka tidak lagi melihat Thlan Sin sebagai orang Han, karena biarpun pemuda itu memakai pakaian Han, akan tetapi pemuda itu bicara bahasa daerah dengan lancar sekali dan sama sekali tidak kaku seperti orang-orang Han lainnya.
"Pertama-tama, perkenankan saya memainkan lagu "Sebatangkara"." Dan mulailah dia meniup sulingnya. Sejak kecil, Thian Sin memang suka bermain suling dan dia berbakat sekali. Bakat meniup suling ini menjadi makin sempurna dengan tenaga khi-kang yang dimilikinya sehingga ketika meniup, bukan sekedar tupan angin belaka, melainkan tiupan yang mengandung tenaga khi-kang yang kuat. Dia meniup lagu yang sedih dengan sulingnya, maka terdengarlah suara suling yang melengking tinggi rendah mengalun dan menggetarkan jantung para pendengarnya. Para pendengar itu seolah-olah dapat menangkap keluh-kesah, rintihan dan ratap tangis yang memilukan terkandung dalam lengkingan suara suling yang mengalun itu. Suasana menjadi sunyi, semua semua orang tenggelam ke dalam perasaan, hanyut dalam buaian suara suling, bahkan tak terasa lagi, beberapa orang selir raja menyentuh-nyentuh bawah mata mereka dengan saputangan. Dengan nada yang makin merendah seperti tangis yang kehabisan suara dan napas, akhirnya suling berhenti dan sebelum semua orang yang dihanyutkan perasaannya itu normal kembali, terdengarlah pemuda itu menyanyi, lagunya seperti yang dimainkan suling tadi, kata-katanya satu-satu dan jelas, dengan suara yang menggetar penuh perasaan pula.
"Bagai awan tunggal di angkasa
terbawa angin semilir lembut
tanpa tujuan tiada pangkalan
sebatangkara tanpa harapan
ayah bunda tewas bersama
dikeroyok anjing serigala
dendam membara membakar dada
haruskah diam seribu kata
biar diri banjir air mata"
atau menjadi kilat bercahaya
menggelepar gegap-gempita
membersihkan noda dan dosa
hutang dibayar budi dibalas?"
Semua orang menjadi terharu mendengar nyanyian ini, apalagi karena dinyanyikan penuh perasaan. Para selir raja memandang bengong dan tak terasa lagi ada yang menangis, menyembunyikan mata dan hidung di balik saputangan-saputangan sutera harum. Para tamu juga terpesona, sejenak terdiam. Mereka adalah orang-orang utara dan mereka tidak merasa heran tentang orang-orang yang mati dikeroyok anjing serigala. Akan tetapi kepedihan dan kedukaan hati seorang anak yang agaknya ditinggal mati ayah bundanya yang dikeroyok anjing serigala, baru sekarang ini terasa menusuk hati mereka. Menteri Abigan memandang dengan wajah pucat. Cucu Puteri Khamila itu terlalu berani! Nyanyiannya itu terlalu mendekati kenyataan, terlalu mengandung sindiran. Untung agaknya Raja Agahai tidak sadar dan dialah yang pertama-tama bertepuk tangan memuji yang segera dituruti oleh semua orang. Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan memuji kepandaian pemuda itu. Akan tetapi ada satu orang yang tidak bertepuk tangan, dan orang ini adalah Koksu Torgan! Tentu saja Thian Sin juga tidak lengah dan diam-diam dia mengikuti gerak-gerik koksu ini.
Dia melihat betapa di tengah-tengah tepuk sorak itu, Torgan menghampiri Raja Agahai dan bicara dengan asyik kepada raja itu yang mendengarkannya dengan alis berkerut den pandang mata penuh selidik ke arah Thian Sin. Pemuda ini mengerahkan kekuatan pendengarannya dan mendengar bisikan-bisikan koksu itu kepada rajanya.
"Harap Paduka hati-hati. Pemuda itu pandai sihir, pandai silat dan sastera. Jelas dia bukan orang biasa dan kedatangannya yang menyamar sebagai tukang sulap ini tentu mengandung maksud yang tidak baik. Hamba akan mengawasi dia!" Demikian antara lain dia mendengar bisikan koksu itu kepada rajanya.
Akan tetapi Thian Sin mengambil sikap tidak peduli dan dia sudah siap meniup lagi sulingnya, akan tetapi sekarang dia meniup dan mainkan lagu-lagu yang gembira sehingga wajah para tamu kembali cerah, terbawa oleh suara suling itu. Setelah menghentikan tiupan sulingnya, Thian Sin lalu menyanyikan lagu itu dengan kata-kata yang memang sudah dirangkai dan dihafalkan sebelumnya.
"Kuhaturkan nyanyian ini
sebagai doa dan puji
kepada Pangeran Temuyin
semoga berbahagia abadi
bagaikan cahaya bulan
bertahta di angkasa
bebas dari rintangan
awan yang lewat di bawahnya
akan tetapi... ya Tuhan..."
"Ada yang tidak beres...! Tiba-tiba pemuda itu menghentikan sajaknya dan mengeluarkan seruan ini dengan mata terbelalak memandang ke arah tempat ayunan di mana pangeran yang masih bayi itu diletakkan. Kemudian, pemuda ini lari menghampiri tempat itu, dan karena perbuatannya ini begitu tiba-tiba, bahkan Koksu Torgan sendiri tidak menduganya dan tahu-tahu pemuda itu telah tiba di dekat ayunan itu, menjenguk ke dalam.
"Heii... mundur, jangan mendekati Pangeran!" Koksu Torgan berteriak sambil meloncat menghampiri dan para pengawal juga sudah memburu ke tempat itu. Akan tetapi Thian Sin dengan gerakan begitu cepatnya, sehingga tidak nampak oleh siapapun telah menjaman pundak bayi itu dan pemuda ini berseru.
"Celaka... Pangeran telah diracuni orang...!" Tentu saja ucapannya ini mendatangkan kejutan luar biasa. Raja Agahai sendirl meloncat menghampiri, demikian pula semua isterinya atau selirnya, tidak ketinggalan selir suku bangsa Biauw yang cantik jelita itu.
Semua orang memandang kepada bayi itu dan terkejutlah mereka. Bayi itu pucat sekali dan matanya mendelik, napasnya senin-kemis terengah-engah! Ibunya menjerit-jerit dan suasana menjadi panik. Dalam keadaan berjubel dan panik itu, tiba-tiba selir bangsa Biauw itu merasa pinggulnya dibelai dan dicubit tangan nakal. Ia terkejut sekali dan cepat menoleh dan ia melihat wajah tampan itu tersenyum. Ternyata Thian Sin telah berada di belakangnya dan jelaslah bahwa pemuda ini yang tadi mencubit dan membelai bukit pinggulnya. Wajah selir ini menjadi merah sekali dan ia menahan senyumnya, matanya yang jeli itu mengerling penuh teguran. Thian Sin tersenyum dan kembali jari-jari tangannya mengelus punggung dan pinggul. Seliri itu, agaknya takut ketahuan orrang, lalu menjauhi Thian Sin dan mendesak mendekati ayunan.
"Jangan dikerumuni Sang Pangeran! Harap semua mundur, hamba dapat menyembuhkannya...!" Tiba-tiba Thian Sin berseru dan dengan sikap halus dia menyuruh semua orang mundur. Ketika Koksu Torgan agaknya tidak mau mundur, Thian Sin lalu menyentuh lengan dan pundak koksu itu sambil mendorong halus dan berkata, "Maaf, Koksu. harap mundur karena Sang Pangeran sakit keras dan hamba akan berusaha menyembuhkannya!"
"Minggir kau, setan!" Koksu Torgan marah dan mengibaskan tangan Thian Sin dan mendorongnya. Thian Sin terhuyung ke belakang, lalu mengambil sikap seperti orang tak berdaya dan mengembangkan kedua lengan, menggeleng-geleng kepala.
Koksu Torgan dan Raja Agahai menjenguk ke dalam ayunan itu. Sang Raja melihat pembantunya memeriksa dengan teliti, dan bertanya, "Bagaimana keadaannya?"
"Ah, sungguh aneh sekali. Bukankah tadinya beliau segar bugar" Hamba sendiri tidak tahu mengapa beliau bisa begini..." kata Koksu itu bingung melihat keadaan Sang Pangeran. "Sebaiknya dipanggil tabib..."
"Tabib tua akan dapat menolongnya!" Tiba-tiba Menteri Abigan yang juga sudah berada di situ berkata.
"Tidak, sebaiknya tabib muda saja," kata Koksu. Di istana terdapat dua orang tabib dan tabib muda lebih akrab dengan koksu, sedangkan tabib tua dianggap bersikap tidak acuh, bahkan lebih banyak bersamadhi.
"Tapi tabib tua adalah ahli tentang racun!" kata Menteri Abigan.


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa bilang Sang Pangeran keracunan?" bentak Koksu Torgan.
Akan tetapi raja sudah terpengaruh oleh ucapan Menteri Abigan, maka teriaknya, "Pengawal, panggilkan tabib tua, cepat!"
Pengawal berlari-lari dan tak lama kemudian, di antara isak tangis ibu pangeran itu, sang tabib tua yang berpakaian seperti pendeta telah memeriksa bayi itu. Tentu saja tabib ini adalah sahabat baik Menteri Abigan, seorang tokoh tua yang juga tidak menyetujui cara-cara Raja Agahai memerintah dan sebelumnya memang tabib tua ini telah dihubungi Menteri Abigan untuk membantu. Setelah memeriksa beberapa lama tabib tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat Sang Raja merasa khawatir bukan main.
"Bagaimana dengan anakku?" Tiba-tiba Raja Agahai tidak sabar lagi, bertanya dengan nada suara membentak.
"Ampun, Sri Baginda. Sang Pangeran ini keracunan, akan tetapi bukan sembarang racun. Yang keracunan adalah jiwanya karena terkena gangguan ilmu hitam. Ada roh jahat yang mengganggu dan hamba tidak berdaya melawannya..."
"Omong kosong!" Tiba-tiba Koksu Torgan berseru. "Ini tabib muda sudah hamba panggil, biarlah dia memerika!"
Dalam keadaan panik tentu saja Sang Raja tidak menolak semua uluran tangan dan tabib mudapun mulai memeriksa denyut nadi dan detik jantung.
Tabib ini memang seorang yang pandai, walaupun tidak sepandai tabib tua yang berpengalaman. Dia memandang heran dan berkata, seperti kepada diri sendiri. "Ada hawa aneh menguasai tubuhnya... tapi beliau ini sebenarnya tidak sakit... hamba harus memeriksa lebih teliti lagi..."
"Hemm, pengaruh ilmu hitam adalah perbuatan setan. Mana ada tabib manusia biasa melawan setan mengerikan" Lihat baik-baik, ada bayangan setan menguasai Sang Pangeran, apakah kau tidak dapat melihatnya?" Ucapan ini terdengar jelas sekali oleh telinga tabib muda itu, walaupun tidak terdengar orang lain dan tabib muda itu terkejut, cepat memandang ke arah bayi dan... hampir saja dia menjerit ketika melihat adanya bayangan muka raksasa yang menakutkan di atas bayi itu. Dia meloncat mundur, matanya terbelalak, tubuhnya manggigil.
"Eh, kau kenapa?" Koksu Torgan membentak.
Tabib muda yang sudah dikuasai oleh kekuatan sihir yang diucapkan Thian Sin dengan pengiriman suara melalui khi-kang itu, menggigil dan berkata gagap, "Hamba... hamba tidak sanggup... melawan..."
Tentu saja sikap dan ucapan tabib muda ini mengejutkan semua orang dan tangis ibu pangeran itu makin keras. Juga Sang Raja kini menjadi pucat dan bingung. Pada saat yang memang sudah dinanti-nanti oleh Thian Sin ini, dia berkata, "Sri Baginda, kalau paduka menghendaki kesembuhan Pangeran, perkenankan hamba yang menyembuhkan beliau."
Raja Agahai baru teringat kepada tukang sulap ini dan dengan girang dan penuh harapan dia lalu menghampiri dan menarik lengan pemuda itu, disuruhnya berdiri, "Hauw Lam, kalau engkau bisa menyembuhkannya, kami sungguh berterima kasih kepadamu."
"Tapi... tapi hamba takut kepada Koksu..."
"Takut apa?" bentak Koksu Torgan marah. "Kalau memang engkau dapat menyembuhkan pangeran, hayo cepat lakukan jangan banyak cerewet!"
Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan berkata kepada Sang Raja, "Hamba mohon agar semua orang mundur dan membiarkan hamba sendiri dengan Sang Pangeran. Kalau dikerumuni orang, hamba khawatir hamba takkan berhasil menyembuhkan beliau."
Mendengar ini, tentu saja Raja Agahai lalu memerintahkan dengan suara lantang agar semua orang mundur, bahkan dia sendiripun lalu mundur kembali ke tempat duduknya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang tadinya berkerumun, kembali ke tempat duduk masing-masing. Suasana menjadi sunyi dan legang. Koksu Torgan sendiri terpaksa mundur, dan berdiri di pinggir dengan muka merah dan mata penuh perhatian ditujukan kepada Thian Sin untuk mengikuti setiap gerak-geriknya. Diam-diam dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersikap waspada dan panggung itupun dikurung pengawal. Sebenarnya bukan panggung yang dikepung, melainkan pemuda yang masih dicurigai oleh koksu itu.
Setelah semua orang mundur, Thian Sin lalu menghampiri ayunan itu. Tentu saja dia hanya berpura-pura saja memeriksa, karena bayi itu berada dalam keadaan demikian adalah karena perbuatannya. Tadi dia telah melakukan totokan halus pada pundak bayi. Caranya menotok jalan darah adalah cara yang dipelajarinya dari kitab ayahnya, maka amat sukar bagi orang lain untuk mengetahuinya, apalagi menyembuhkannya. Dan biarpun totokan halus itu tidak sampai membahayakan nyawa anak itu, namun cukup untuk membikin kacau jalan darahnya sehingga anak itu berada dalam keadaan pingsan, dan kalau tidak cepat mendapatkan pertolongan, dipulihkan lagi jalan darahnya, tentu saja dapat mengakibatkan kematiannya.
Thian Sin memondong bayi itu keluar dari ayunan, membawanya ke tengah-tengah panggung. Hal ini memang disengaja agar semua orang melihatnya dan agar mendatangkan kesan yang lebih mendalam. Akan tetapi, Koksu Torgan menjadi semakin curiga dan diam-diam dia mempersiapkan anak buahnya, kalau-kalau pemuda itu akan menculik atau melarikan Sang Pangeran.
Ketika memondong pangeran itu, diam-diam Thian Sin sudah memulihkan totokannya, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersandiwara kalau memang hendak menimbulkan kepercayaan raja. Maka sambil membebaskan anak itu, diam-diam diapun menekan urat gagunya sehingga biarpun anak itu sudah normal kembali, namun masih belum dapat menangis.
Thian Sin kini meletakkan anak yang terbungkus selimut itu ke atas lantai panggung! Semua orang melihat betapa anak itu tidak mendelik lagi dan kaki tangannya sudah mulai bergerak-gerak! Sang Ibu dan juga Sang Raja girang sekali, akan tetapi terdengar Thian Sin berkata, suaranya terdengar menyeramkan karena mengandung khi-kang.
"Sang Pangeran dipengaruhi roh jahat...! Dan aku akan menandingi setan jahat itu, aku akan mengusirnya! Kalau roh jahat itu sudah terusir, barulah Sang Pangeran akan dapat menangis dan berarti Sang Pangeran sembuh benar-benar!"
Suasana menjadi tegang kembali walaupun tadinya semua orang sudah merasa lega dan girang melihat Sang Pangeran sudah dapat bergerak-gerak dan tidak mendelik lagi. Kini semua orang memandang setiap gerak-gerik Thian Sin, seperti tersihir dan mereka meremang mendengar pemuda itu akan berkelahi melawan setan atau roh jahat!
Setelah mengeluarkan kata-kata yang menyeramkan tadi, Thian Sin lalu mengeluarkan suling dan meniup suling itu dengan suara melengking-lengking mengerikan. Semua orang terbelalak dan hanya Menteri Abigan saja yang dapat menduga bahwa pemuda itu bersandiwara, sungguhpun dia sendiri tidak mengerti apa yang telah menimpa diri Sang Pangeran. Juga Koksu Torgan tidak membiarkan dirinya terpengaruh dan dia tetap memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan.
Setelah merasa cukup untuk mencari kesan yang mendalam, terutama untuk membuat raja dan keluarganya tunduk kepadanya, suara sulingnya makin menurun dan akhirnya berhenti sama sekali. Dan tiba-tiba, seperti diserang oleh lawan yang tidak nampak, tubuh Thian Sin terjengkang! Dia meloncat sambil berseru nyaring. "Iblis jahat, siapa takut padamu?" Dan terjadilah "perkelahian" yang membuat semua orang memandang dengan terbelalak dan tengkuk mereka terasa dingin dan meremang. Pemuda itu benar-benar sedang "berkelahi" melawan sesuatu yang tidak kelihatan. Dan kadang-kadang terdengar suara seperti ledakan dan nampak asap mengepul ketika lengan pemuda itu bertemu dengan lengan atau benda lain. Kadang-kadang pemuda itu terhuyung, bahkan roboh, akan tetapi kading-kadang pemuda itu juga seperti mendesak lawan. Thian Sin bersilat sembarangan, akan tetapi kadang-kadang mengerahkan sin-kang untuk menciptakan suara ledakan beradunya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan uap seperti asap!
Akhirnya dia berhenti bergerak, terengah-engah. "Iblis jahanam, kembalilah kepada orang yang menyuruhmu!" katanya, seolah-olah bicara dengan lawannya yang melarikan diri. Dan diapun membungkuk, memondong bayi itu dan seketika bayi itu menangis! Tentu saja menangis karena Thian Sin membebaskan totokan urat gagunya dan sekalian mencubit pahanya!
Terdengar sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu kepada Sang Raja yang menyambut dengan mata basah! Bahkan ibu pangeran itu tersedu-sedu dan semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja.
"Sri Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang menyuruh roh jahat itu mengancam Sang Pangeran?"
"Katakan siapa!" Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju.
"Biarkan hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang ikut mendengarkan rahasia ini," bisik Thian Sin. Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu, diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka, bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja. Para selir raja masih kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu. Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan pemuda yang hebat itu.
Sementara itu Thian Sin berbisik-bisik, "Harap Paduka bersikap tenang dan jangan memperlihatkan kemarahan sebelum orangnya tertangkap. Paduka tentu akan terkejut sekali melihat adanya musuh dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda, yang melakukan perbuatan biadab itu adalah orang-orang kepercayaan Paduka sendiri, yaitu Koksu Torgan."
"Ahhh...!" Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. "Mana mungkin...?"
Thian Sin tersenyum. "Tentu saja Paduka tidak dapat percaya begitu saja. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah, karena Paduka dapat membuktikan sendiri. Dan Koksu Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan seorang isteri Paduka sendiri..."
"Hehhh...! Be... benarkah..." Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, sekarang juga engkau sudah kubunuh!" Raja itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
"Hamba tahu, Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu..."
Raja Agahai semakin marah. "Berani engkau menuduh demikian kepada selirku tercinta dan pembantuku yang paling setia?"
"Dapat dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya. Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka itu diam-diam menyerahkan benda kepada Koksu..."
"Benda apa" Benda apa, keparat!" Raja Agahai sudah marah sekali.
"Hamba tidak tahu benar, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong merah..."
Wajah raja itu pucat kembali. Burung hong merah" Peniti" Memang selirnya yang tercinta memiliki benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya, yang sebelah dalam, untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal sekali benda itu karena sering dia membukanya! Timbul keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak melihat sendiri" Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah nampak dari luar.
"Be... benarkah...?"
"Sri baginda, kenapa tidak memanggil koksu" Hamba yakin benda itu masih berada di dalam saku bajunya." Kemudian disambungnya berbisik, "Sri baginda harap tenang dan sabar. Kalau hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu."
Raja Agahai mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil, "Koksu...!"
Koksu Torgan sejak tadi mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu. Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga, apa gerangan yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya! Koksu Torgan terbelalak, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu, "Geledah dia!"
Akan tetapi, kalau dalam keadaan biasa dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani menjamahnya, kini dengan adanya perintah raja, tentu saja dia tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya. Menyaksikan pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para pengawal kebingungan. Di antara para tamu, hanya yang duduknya dekat panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh tidak melihatnya. Sementira itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi siap untuk turun tangan kalau-kalau koksu itu akan melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada
Jodoh Rajawali 1 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Seruling Samber Nyawa 3
^