Pendekar Sadis 22

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


sah banyak cerewet, bersiaplah untuk menyusul ayah dan ibu!" Setelah berkata demikian, Toan Kim Hong sudah mencabut sepasang pedang hitamnya dar menyerang dengan sengit.
"Trang-tranggg...!" Gagang bendera itu telah menangkis sepasang pedang.
"Aihhh, aku telah mendengar bahwa ayah ibumu dalam persembunyiannya menciptakan Hok-mo Sin-kun! Apakah ini yang namanya Hok-mo Siang-kiam?"
Akan tetapi Kim Hong sudah tidak mempedulikan lagi dan menyerang terus, menggunakan jurus-jurus terampuh dari ilmu pedangnya. Dan ternyata kakek itu, biarpun kelihatan sudah tua dan lemah, ternyata masih hebat! Gerakannya begitu ringan seperti kapas tertawa angin. Seolah-olah tubuhnya sudah terdorong oleh angin sambaran pedang lawan sehingga tanpa mengelak pedang itu tidak mengenai sasaran! Dan benderanya bergerak-gerak, berkibar-kibar, namun bukan sembarangan berkibar karena bendera tua itu berkelebat menggelapkan pandangan dan ujung gagangnya yang tumpul menjadi alat penotok yang ampuh, sedangkan mata anak panah yang menjadi gagang bendera itupun menyambar-nyambar seperti patuk seekor rajawali!
Biarpun Kim Hong bergerak cepat dan mengerahkan tenaga, namun Thian Sin dapat melihat bahwa memang kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya sehingga dengan mudah kakek itu dapat menghalau semua serangan Kim Hong tanpa banyak kesukaran, sebaliknya setiap serangan balasan kakek itu agaknya memang tepat sehingga membuat Kim Hong kewalahan dan sibuk menyetamatkan diri.
"Jit Goat Tosu, sungguh tak patut yang tua menghina yang muda, dan aku sudah menjanjikan bantuan kepada Kim Hong!" Berkata demikian, Thian Sin sudah meloncat ke depan sambil mengelebatkan Gin-hwa-kiam sehingga nampak sinar perak menyambar ganas.
"Tranggggg...!" Tangkisan anak panah yang menjadi gagang bendera terhadap Gin-hwa-kiam itu membuat Si Kakek terdorong ke belakang, akan tetapi juga Thian Sin terdorong mundur. Keduanya terkejut dan kakek itu sejenak memandang kepada pemuda itu.
"Toan Kim Hong! Siapakah pemuda yang membantumu ini?" Pertanyaan ini lebih menyerupai bentakan dan di dalamnya mengandung ancaman maut!
Kim Hong merasa malu kalau harus mengeroyok kakek itu bersama orang lain, maka iapun menyahut lantang, "Dia adalah Ceng Thian Sin, tunanganku!" Dengan mengaku pemuda itu sebagai tunangannya yang berarti jodohnya, maka berarti bahwa yang ikut mengeroyok kakek itu "bukan orang luar". Dan memang pendapatnya ini tepat sekali. Kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, pantas...! Dia tampan dan gagah, ilmunya hebat. Hayo anak-anak, hayo kita latihan dan lihatlah kehebatan ilmu dari nenek moyang perguruanmu!"
Setelah berkata demikian kakek itu menggerakkan anak panah bendera itu dan sekaligus gerakan ini menyerang Thian Sin dan Kim Hong secara bertubi-tubi. Dua orang muda itu kaget dan juga heran bagaimana senjata kecil seperti itu dapat bergerak sedemikian anehnya dan setiap gerakan merupakan serangan maut yang berbahaya sekali. Tentu keduanya sudah menggerakkan pedang untuk menangkis dan balas menyerang.
Kim Hong sudah mainkan Hok-mo Siang-kiam-sut dan sepasang pedangnya yang hitam itu berubah menjadi dua sinar hitam bergulung-gulung amat menyeramkan, diiringi angin dingin yang mengeluarkan suara bercuitan. Tubuhnya sendiri lenyap terbungkus dua gulungan sinar hitam ini dan kadang-kadang ada sinar hitam mencuat dari dua gulungan itu, menyambar ke arah tubuh kakek kecil kurus. Thian Sin juga memutar pedangnya dengan cepat, dan selain sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar perak mengimbangi dua gulungan sinar hitam itu, saling membantu, juga tangan kirinya diam-diam melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwe-hoa-san. Tangan kirinya itu mengepulkan uap putih ketika dia mempergunakan ilmu pukulan ampuh itu. Melihat kehebatan kedua orang muda ini, berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan kaget.
Akan tetapi kakek tua renta itu memang hebat sekali ilmu kepandaiannya. Dia telah memiliki kematangan yang sempurna, ilmu silatnya telah mendarah daging dan berkat latihan samadhi yang tak kunjung henti, dia telah menghimpun kekuatan dalam yang luar biasa sekali, tidak lumrah dimiliki manusia. Tubuhnya, jasmaninya memang nampak lemah, akan telapi, kekuatan sakti yang tersembunyi di tubuhnya bangkit semua dan telah terhimpun sin-kang yang mencapai puncaknya. Gerakan anak panah berikut bendera tua itu aneh sekali, akan tetapi ke manapun senjata ini bergerak, selalu tentu dapat menahan senjata lawan dan begitu terbentur, langsung saja anak panah itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah lihainya daripada serangan lawan. Biarpun dikeroyok dua, kakek itu sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan dia seolah-olah telah menguasai ilmu lawan. Padahal, ilmu yang dikeluarkan oleh dua orang muda itu adalah ilmu-ilmu yang belum dikenalnya, akan tetapi kematangannya dalam ilmu silat membuat dia dapat melihat intinya dan karenanya gerakan dua orang muda itu tidak mengejutkan hatinya, hanya membuatnya kagum bukan main.
"Bagus sekali ilmu pedang kalian, mari kita berlatih dengan tangan kosong!" Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan anak panah itu di pinggangnya dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Melihat ini, Thian Sin otomatis menyimpan pedangnya, dan melihat sikap pemuda ini, Kim Hong juga menyimpan sepasang pedang hitamnya! Diam-diam gadis ini merasa heran sendiri. Ia datang untuk membunuh kakek ini, akan tetapi kenapa sekarang ia menghadapi kakek itu seperti supeknya sendiri mengajaknya berlatih saja" Sebetulnya bukanlah demikian. Seperti juga yang dirasakan oleh Thian Sin, Kim Hong merasa malu di sudut hatinya bahwa menghadapi seorang kakek tua renta yang kelihatan amat lemah ini ia harus menggunakan pengeroyokan. Dan di samping itu, juga ia merasa kagum bukan main melihat kepandaian kakek ini. Oleh karena itu melihat kakek itu menyimpan senjata, mana mungkin ia ada muka untuk menyerang kakek yang bertangan kosong itu dengan pedang" Hal itu tentu akan memalukan sekali, dan karena inilah maka Thian Sin dan ia sendiri juga menyimpan senjata mereka.
Bagi Thian Sin, ada hal lain yang mendorongnya menyimpan senjata. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, pemuda ini lebih lihai bertangan kosong daripada mempergunakan senjata. Hal ini adalah karena dia telah mewarisi banyak ilmu kesaktian yang dipergunakan dengan tangan kosong, antara lain seperti Ilmu Pek-in-ciang dari pendekar Yap Kun Liong, lalu Thi-khi-i-beng dari ayah angkatnya, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, belum lagi ilmu silat tinggi seperti Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat, Pat-hong Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang. Malah ilmu-ilmu yang diwarisinya dari ayah kandungnya juga ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan kaki tangan belaka, seperti Ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun itu. Maka, ketika ditantang untuk bertanding dengan tangan kosong, dengan gembira Thian Sin menyimpan pedangnya yang diturut pula oleh Kim Hong.
Terjadilah pertandingan yahg hebat sekali, malah lebih menegangkan daripada ketika mereka mempergunakan senjata tadi. Kalau tadi mereka bertanding dalam jarak agak jauh, kini mereka berkelahi dalam jarak pendek, saling pukul, saling tendang, menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang mengagumkan. Kadang-kadang gerakan mereka nampak begitu otomatis seolah-olah tiga tubuh itu telah menjadi satu dan enam batang lengan, enam batang kaki itu digerakkan oleh satu otak saja. Dan Thian Sin menjadi semakin kagum. Ilmu-ilmu silat tinggi telah dikeluarkannya, akan tetapi dia dan Kim Hong tidak mampu mendesak kakek itu. Bahkan senjata rambut panjang Kim Hong tidak dapat mendesak lawan, malah beberapa kali hampir saja ujung rambut itu terkena cengkeraman kakek itu kalau saja Thian Sin tidak cepat membantunya. Kakek itu mentertawakan Kim Hong dan mengejeknya dengan kata-kata, "Senjata khas wanita, tapi curang!"
Karena merasa penasaran, setelah lewat hampir seratus jurus belum juga dia mampu mendesak kakek itu, ketika kakek itu menampar ke arah kepalanya, Thian Sin miringkan tubuh, akan tetapi memasang pundaknya sehingga kena ditampar.
"Plakk!"
"Uuhhhhh... apa ini..." Ahh, Thi-khi-i-beng...?" Kakek itu berseru dan bukan menarik tenaganya malah mengerahkan tenaga sehingga Thian Sin menjadi gelagapan seperti orang yang dimasukkan ke dalam air. Ilmu itu adalah ilmu menyedot tenaga sin-kang lawan, akan tetapi kakek itu membanjirinya dengan tenaga berlebihan sehingga dia tidak dapat menampungnya den otomatis Thian Sin mengembalikan tenaga yang membanjir itu dan menghentikan sedotannya! Kakek itu meloncat ke belakang.
"Orang muda, engkau dari Cin-ling-pai?" tanya kakek itu heran. Biarpun tidak pernah mengenal secara pribadi, agaknya kakek ini pernah mendengar ilmu mujijat dari Cin-ling-pai itu.
"Masih ada hubungan keluarga!" kata Thian Sin akan tetapi hatinya merasa kecewa karena ternyata Thi-khi-i-beng juga tidak ada gunanya terhadap kakek yang hebat ini. "Akan tetapi yang ini bukan dari Cin-ling-pai, terimalah!" Dan Thian Sin sudah berjungkir balik, kemudian, tiba-tiba dia menghantam dari bawah. Itulah Hok-te Sin-kun yang hebat sekali. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan kakek itu agaknya mengenal ilmu mujijat maka sambil berseru dia memapaki dengan pukulan tangannya.
"Desss...!" Tubuh kakek itu terlempar dan nyaris terbanting, sedangkan Thian Sin terpaksa harus berjungkir balik beberapa kali karena pertemuan tenaga itu membuat seluruh tubuhnya tergetar.
Wajah kakek itu berubah dan matanya terbelalak. "Ilmu setan...!" Dia menggerutu, dan ketika Kim Hong dan Thian Sin maju lagi, dia berkata dengan nyaring, "Tahan!"
"Toan Kim Hong, engkau tidak menghormati bendera pusaka, maka habislah riwayat bendera pusaka perguruan kami, akan tetapi ilmu silatmu juga sudah tidak aseli lagi. Den biarpun salahnya ayahmu sendiri, namun memang aku yang membuat hidup ayahmu menderita. Aku menyesal sekali dan sudah menebus dengan pertapaan, akan tetapi agaknya belum impas kalau belum mati badan tua tak berguna ini. Nah, saksikanlah. Supekmu menebus dosa dan membawa bendera pusaka bersama dan lunaslah sudah!" Tiba-tiba kakek itu mencabut anak panah yang menjadi gagang bendera itu dan sekali menggerakkan anak panah itu, senjata ini amblas memasuki dadanya berikut benderanya dan ujung anak panah itu tembus di punggungnya. Dia terhuyung lalu roboh miring, tak bergerak lagi. Thian Sin dan Kim Hong merasa terkejut sekali sehingga mereka terkesima dan berdiri bengong memandang kepada tubuh kakek yang sudah tewas itu. Setelah kakek itu tewas barulah terasa menyesal dalam hati mereka. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main, dan kakek ini tadi jelas tidak menghadapi mereka sebagai musuh melainkan sebagai lawan berlatih belaka. Baru sekarang keduanya mengerti bahwa kalau kakek itu menghendaki, tadi kakek itu tentu sudah dapat merobohkan dan menewaskan mereka. Kakek itu telah mengalah! Dan kini kakek itu telah membunuh diri!
Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Gouw Gwat Leng amat mencinta sutenya, yaitu Toan Su Ong. Mereka berdua telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari guru mereka. Sayang sekali bahwa Toan Su Ong kemudian dinyatakan sebagai pemberontak karena terlalu berani menentang kebijaksanaan kaisar. Sebetulnya, kalau kaisar menghendaki, dengan pengerahan bala tentara, apa sukarnya menangkap dan membunuh seorang manusia saja, betapapun lihainya dia itu" Gouw Gwat Long melihat hal ini dan diapun menghadap kaisar dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengejar sutenya dan menghalangi sutenya agar tidak memberontak. Dan memang dia melakukan pengejaran. Toan Su Ong tidak berani melawan suhengnya yang menjadi ahli waris bendera pusaka guru mereka, maka diapun terus pergi menyembunyikan diri sampai matinya di Pulau Teratai Merah, terbunuh dalam pertikaian oleh isterinya sendiri. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Gouw Gwat Leng, yaitu agar sutenya tidak sampai dikeroyok oleh bala tentara dan tidak sampai terbinasa oleh kaisar. Akan tetapi, diapun merasa menyesal dan berdosa karena biarpun dia telah menyelamatkan nyawa sutenya, sebaliknya diapun membuat sutenya hidup merana dan menderita, selalu bersembunyi. Penyesalan inilah, ditambah kedukaan bahwa sejak muda ia terpaksa harus berpisah dari sutenya yang tercinta, yang membuat Gouw Gwat Leng menjadi semakin berduka ketika mendengar akan tewasnya sutenya itu. Dia lalu pergi ke Kun-lun-pai, minta kepada para tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baiknya untuk menerimanya menjadi tosu dan memberi pelajaran Agama To kepadanya. Diapun menurunkan beberapa ilmu silat tinggi kepada para pimpinan Kun-lun-pai sehingga dia dianggap sebagai saudara tua dan diperbolehkan untuk bertapa di dalam gua-gua di Kun-lun-san.
Ketika puteri sutenya itu menghadapinya sebagai musuh, sampailah Gouw Gwat Leng yang sudah menjadi Jit Goat Tosu itu pada puncak penyesalannya. Puteri sutenya itu sebetulnya merupakan ahli waris tunggal dari ilmu-ilmu perguruan yang berikut bendera pusaka itu. Akan tetapi gadis itu malah menghina bendera pusaka dan menghadapinya sebagai seorang musuh besar yang menyengsarakan kehidupan ayah gadis itu. Maka, untuk menebus penyesalannya, kakek yang sudah tua sekali itu akhirnya menyimpan bendera pusaka ke dalam tubuhnya dan membunuh diri di depan Kim Hong tanpa penyesalan karena diapun sudah puas melihat puteri sutenya itu menjadi seorang gadis yang demikian lihai, berjodoh dengan seorang pemuda yang lihai pula, bahkan seorang pemuda Cin-ling-pai pula.
Ketika mendengar gerakan di belakang mereka, Thian Sin dan Kim Hong baru sadar dan memutar tubuh. Mereka melihat bahwa di situ telah berdiri dua orang tosu tua yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu dan seorang tosu lain yang juga tinggi kurus akan tetapi wajahnya muram tidak segembira wajah Kui Yang Tosu. Mereka dapat menduga bahwa tentu tosu inilah yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan memang benar, tosu itu adalah Kui Im Tosu! Di belakang ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai ini berdiri para sute mereka, lalu para murid mereka dari tingkat tertinggi sampai tingkat terbawah. Semua penghuni asrama Kun-lun-pai telah keluar dan menghadapi dua orang muda itu agaknya.
"Siancai, siancai, siancai... Saudara tua Jit Goat Tosu telah tewas dalam keadaan yang menyedihkan sekali..." kata Kui Im Tosu sambil memandang ke arah tubuh kurus yang rebah miring itu dengan nada suara penuh kedukaan dan wajahnya semakin muram.
"Puluhan tahun lamanya beliau tidak pernah mengganggu siapa atau apapun, tidak akan mau membunuh seekor semut, akan tetapi sekarang tewas oleh kekerasan. Di mana Pendekar Sadis tiba di situ tentu ada bekas tangannya yang kejam," kata Kui Yang Tosu, kini senyumnya lenyap dari wajahnya yang biasanya gembira itu.
"Aku yang datang untuk membunuhnya, dia hanya datang menemani dan membantuku!" kata Kim Hong dengan lantang.
"Jit Goat Tosu membunuh diri, kalau tidak mana kalian akan mampu membunuhnya?" kata Kui Yang Tosu. "Akan tetapi bagaimanapun juga, kalian yang telah mendesaknya, sehingga dia membunuh diri."
"Locianpwe, sudah kukatakan bahwa kedatanganku ke sini bukan untuk berurusan dengan Kun-lun-pai, melainkan urusan pribadi dengan Jit Goat Tosu yang masih terhitung supekku. Kami membuat perhitungan lama antara dia dan ayahku, dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai. Maka kuminta agar Kun-lun-pai jangan mencampuri urusan pribadi orang lain!"
"Siancai... tidak begitu mudah, nona," kata Kui Yang Tosu yang agaknya lebih pandai bicara daripada suhengnya yang pendiam. "Kami sudah mendengar dan melihat semua. Engkau sebagai murid keponakan telah berani melawan supek, berarti engkau telah mengkhianati bendera pusaka perguruan. Ini termasuk perbuatan jahat sekali. Dan kalian berdua telah menyebabkan kematian seorang saudara angkat kami. Tak mungkin kami mendiamkcan saja kejahatan dilakukan orang di wilayah Kun-lun-pai."
"Habis, kalian mau apa?" tanya Kim Hong, nadanya tidak menghormat lagi dan mengandung tantangan. Kumat lagi sikapnya sebagai Lam-sin yang memandang rendah siapapun juga di dunia ini.
"Siancai!" kata Kui Im Tosu. "Kami terpaksa harus menangkapmu untuk dimintakan pengadilan kepada rapat pertemuan para tokoh kang-ouw!"
"Singgg!" Kim Hong sudah mencabut pedang hitamnya. "Bagus! Seekor semutpun kalau diinjak pasti balas menggigit, seekor ayampun kalau akan ditangkap pasti melarikan diri dan seekor harimaupun kalau akan dibunuh pasti melawan. Apalagi manusia! Aku Toan Kim Hong tdak berniat memusuhi Kun-lun-pai, akan tetapi kalau ada yang mendesakku, menangkap atau membunuhku, silakan maju. Jangan disangka aku takut terhadap Kun-lun-pai!"
"Tangkap mereka!" kata Kui Yang Tosu kepada anak buahnya. Dia tahu bahwa dua orang muda itu lihai sekali, maka dia sendiripun bersama sang ketua sudah siap untuk bantu mengeroyok dan menangkap, walaupun sebagai orang yang berkedudukan tinggi dan tidak tergesa-gesa turun tangan. Dan dia maklum bahwa para murid Kun-lun-pai akan mentaati perintahnya, yaitu menangkap mereka, bukan membunuh.
Melihat para tosu dan para murid Kun-lun-pai sudah bergerak, Thian Sin memegang lengan gadis itu. "Jangan lukai atau bunuh orang. Simpan pedangmu!"
Dalam kemarahannya, Kim Hong masih dapat diingatkan dan cepat iapun menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berdiri saling membelakangi dengan Thian Sin, memandang kepada anak murid Kun-lun-pai yang telah mengepung mereka itu.
Ketika para murid Kun-lun-pai itu bergerak maju, keduanya segera mengamuk. Dengan gerakan mereka yang cepat, Kim Hong dan Thian Sin menggerakkan kaki tangan dan merobohkan tanpa membuat mereka terluka parah. Akan tetapi, segera murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi sudah menyerbu, membuat mereka berdua berloncatan ke sana-sini sebelum akhirnya membalas dengan tenaga yang lebih kuat. Para anak buah Kun-lun-pai itu, dari murid-murid kepala sampai murid-murid yang tingkatnya paling rendah, menjadi sibuk sekali seperti sekumpulan semut mengeroyok dua ekor jengkerik yang besar dan setiap gerakan jengkerik-jengkerik itu membuat semut-semut yang mengeroyok terlempar ke sana-sini.
"Mundur!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah dua bayangan orang. Kiranya Kui Yang Tosu dan Kui Im Tosu sendiri yang telah maju menghadapi dua orang muda itu. Thian Sin terkejut sekali. Dua orang ketua Kun-lun-pai telah maju sendiri! Permusuhan dengan Kun-lun-pai tak dapat dihindarkan lagi! Dan untuk melarikan diri tidaklah mudah karena dengan rapi para murid Kun-lun-pai telah mengurung tempat itu dengan ketatnya.
"Ji-wi locianpwe," kata Thian Sin dengan suara merendah. "Kami dua orang muda sama sekali tidak berniat untuk bentrok dan bermusuhan dengan Kun-lun-pai, mengapa ji-wi tidak membiarkan kami pergi dengan aman?"
"Hemm, kalian telah membunuh Jit Goat Tosu dan mengatakan tidak berniat memusuhi kami" Kalau benar kalian berniat baik, menyerahlah agar kami bawa ke depan pertimbangan dan pengadilan para tokoh kang-ouw," kata Kui Yang Tosu.
"Kami bukan penjahat!" bentak Kim Hong. "Kalau terpaksa kami melawan Kun-lun-pai, adalah karena kami didesak!"
"Hemm, kalian telah melakukan pembunuhan, masih berani berkata bukan penjahat?" Kui Im Tosu berseru, dan Kui Yang Tosu sudah menerjang maju disambut oleh Kim Hong. Kui Im Tosu juga maju, disambut oleh Thian Sin.
Kui Yang Tosu terkejut bukan main ketika tangannya bertemu dengan Kim Hong dan dia merasa betapa seluruh lengannya menjadi tergetar hampir lumpuh. Tak disangkanya bahwa murid keponakan dari mendiang Jit Goat Tosu memiliki tenaga sin-kang yang demikian dahsyatnya. Sebaliknya, dari pertemuan tenaga itupun Kim Hong maklum bahwa ia menghadapi lawan yang berat, maka ia tidak banyak cakap lagi, lalu cepat menyerang dengan kedua pukulan dan kedua kakinya dibantu oleh rambutnya. Kui Yang Tosu bergerak dengan mantap dan tenang, akan tetapi dia terkejut melihat sambaran kuncir rambut yang amat cepat dan kuat itu yang nyaris menotok jalan darah di lehernya. Cepat tangan kirinya bergerak dan terdengar suara berkerotokan nyaring ketika tasbehnya menyambar ke depan menyambut rambut itu. Kui Yang Tosu balas menyerang, namun semua serangannya dapat dielakkan dengan baik oleh Kim Hong dan mereka bertanding dengan amat seru, dan ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, hal yang amat mengejutkan wakil ketua Kun-lun-pai itu.
Sementara itu pertandingan antara Thian Sin dan ketua Kun-lun-pai juga terjadi dengan amat seru dan hebatnya. Angin pukulan menyambar-nyambar ganas dan Thian Sin mendapat kenyataan betapa lihainya ketua Kun-lun-pai ini. Dia merasa repot sekali karena tosu yang bersilat dengan amat tenang itu seolah-olah dilindungi oleh hawa murni yang sukar diterobos, amat kuat sehingga semua serangannya, kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis lawan, selalu membentur tenaga yang membuat serangannya menyeleweng. Akhirnya, secara terpaksa sekali Thian Sin yang tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai itu mengeluarkan ilmu simpanannya. Tiba-tiba dia berjungkir balik dan dengan tenaga dari tanah dia menerjang ke atas dan mempergunakan Ilmu Hok-te Sin-kun.
"Hiaaaaattt...!" Dia memekik dengan nyaring sekali seketika bersamaan dengan pekik itu, tubuhnya sudah mencelat dari atas tanah dengan serangan yang amat dahsyat.
"Bresss...!" Ketua Kun-lun-pai menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi kakek ini terlempar sampai empat meter dan biarpun jatuh berdiri, akan tetapi wajah kakek ini pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa dia terkejut bukan main menghadapi serangan yang amat luar biasa itu.
"Kim Hong, lari...!" teriak Thian Sin.
Kim Hong maklum bahwa amat sukarlah melawan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu tanpa merobohkan mereka dengan serangan maut yang amat tidak dikehendakinya, maka tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar halus merah menyambar ke arah tubuh jalan darah di tubuh lawan bagian depan.
"Siancai...!" Kui Yang Tosu berseru kaget dan cepat mengebut dengan kedua lengan bajunya sehingga sinar merah itu runtuh. Sebatang jarum merah menancap di lengan bajunya. Mempergunakan kesempatan ini, Kim Hong meloncat jauh dan bersama Thian Sin melarikan diri. Para murid Kun-lun-pai hendak mengejar, akan tetapi Kui Im Tosu berseru dengan tenang, "Jangan kejar!"
Kui Yang Tosu memperlihatkan jarum merah itu kepada suhengnya. "Suheng mengenal ini?"
Kui Im Tosu memeriksa jarum itu. "Hemmm, bukankah jarum seperti ini, juga permainan rambut itu, menjadi ilmu yang terkenal dari datuk sesat bagian selatan yang berjuluk Lam-sin?"
Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. "Benar, suheng. Jelaslah bahwa Nona Toan puteri mendiang Pangeran Toan Su Ong itu tentu ada hubungannya dengan Lam-sin. Akan tetapi, menurut berita tingkat kepandaian Lam-sin seperti tingkat para datuk lain, jadi tidak banyak berbeda dengan tingkat kita. Dan gadis itu lihai bukan main, agaknya tidak mudah bagi pinto untuk mengalahkannya, agaknya kami setingkat. Kalau ia murid Lam-sin, apakah ia telah mencapai tingkat seperti gurunya?"
Kui Im Tosu menggeleng kepala. "Pinto rasa tidak begitu, sute. Menurut perasaan pinto, ia sendirilah Lam-sin itu!"
"Ehh...?" Kui Yang Tosu memandang kepada suhengnya dengan heran, "Akan tetapi, bukankah menurut berita Lam-sin adalah seorang nenek yang lihai sekali?"
"Seorang nenek yang jarang sekali bertindak sendiri, bukan" Hanya perkumpulannya saja yang bernama Bu-tek Kai-pang yang mewakilinya dan bukankah berita terakhir mengatakan bahwa setelah Pendekar Sadis muncul maka nenek itupun menghliang, dan Bu-tek Kai-pang juga dibubarkan" Kemudian, ke manapun Pendekar Sadis pergi, gadis yang lihai itu ikut, ikut pula menyerbu See-thian-ong, Pak-san-kui dan bahkan Tung-hai-sian" Pinto berpendapat bahwa gadis itulah yang dahulu menjadi Lam-sin, mungkin menggunakan alat penyamaran sebagai seorang nenek."
Sutenya mengangguk-angguk. Kini dia dapat melihat kemungkinan itu dan biasanya, biarpun suhengnya tidak pernah keluar, namun suhengnya memiliki kecerdasan yang luar biasa. "Kita harus mengumpulkan para tokoh pendekar dan membicarakan urusan ini. Tak mungkin sepak terjang Pendekar Sadis dibiarkan saja," katanya.
Kui Im Tosu mengangguk-angguk. "Dia sudah berani mengacau ke sini, dan pula sedikit banyak Cin-ling-pai bertanggung jawab, karena bukankah Pangeran Ceng Han Hduw itu masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai" Menurut kabar yang kita peroleh, dia adalah anak pungut Pendekar Lembah Naga. Nah, kita harus minta pertanggungan jawab para pendekar itu."
Demikianlah, orang-orang Kun-lun-pai lalu mengurus jenazah Jit Goat Tosu kemudian mereka mengirim undangan kepada para tokoh pendekar dan wakil partai-partai persilatan besar untuk membicarakan tentang Pendekar Sadis yang biarpun termasuk pendekar yang menentang orang-orang jahat, namun sepak terjangnya liar dan kekejamannya tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar. Di samping itu, juga Kun-lun-pai perlu memberitahukan tentang pembunuhan yang terjadi di Kun-lun-pai dan minta pertanggungan jawab para pendekar yang masih ada hubungannya dengan Pendekar Sadis. Maka, tidak lupa dia mengundang Cin-ling-pai, juga mengirim utusan untuk mengundang Pendekar Lembah Naga!
Telah lama sekali kita tidak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar Lembah Naga itu. Seperti telah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan Lembah Naga. Diapun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong. Akhirnya, dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga telah menjadi muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah Naga. Adapun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat yang amat disayangnya itu.
Akan tetapi, berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia saja. Sejak adik angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya, di Pegunungan Himalaya.
Setelah merantau hampir setahun lamanya dan tidak berhasil menemukan adik angkatnya, akhirnya dengan hati berat karena kecewa dan berduka Han Tiong pulang ke Lembah Naga, disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya menghibur, "Han Tiong, sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan anak kecil lagi. Kalau dia mau mengambil jalannya sendiri, bagaimana kita dapat menghalanginya" Biarkanlah saja, kelak kalau dia teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga."
"Ucapan ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau terlalu kauperlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi semakin manja kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja," sambung ibunya.
"Justeru karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku merasa khawatir sekali. Dia masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir secara mendalam dan memandang jauh," kata Han Tiong menarik napas panjang.
"Habis, setelah engkau tidak berhasil mencarinya, apa yang dapat kaulakukan, Han Tiong?" tanya ayahnya.
"Kalau saja aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu, ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan kitalah maka ada yang mengamati dan menasihatinya."
Ibunya tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya. "Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan, perkabungan Lian Hong juga sudah hampir habis dan begitu ia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian."
"Kata-kata ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama lagi," sambung ayahnya.
Mendengar betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang. Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum ketika gadis itu tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu.
"Hong-ji, engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Ia anak yang baik sekali, manis budi dan kami sayang sekali kepadanya," kata ibunya.
"Hemm, yang lebih dari itu, ia amat mencintaimu Han Tions," sambung ayahnya.
"Kau tidak percaya?" kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. Dia tidak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari ia mengharapkan kedatanganmu. Kau tahu, setiap malam jam dua balas tengah malam ia pasti bersembahyang di pekarangan, bersembahyang untukmu, Han Tiong! Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan selamat."
Keharuan mencekam hati Han Tiong dan diapun menunduk. Keharuan disertai kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam" Dan dia selama ini mempunyai keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin! Kini baru terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja dan dia lupa bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja!
"Menurut perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong bebas dari perkabungan dan kita dapat melangsungkan pernikahan kalian," kata pula ibunya.
"Kuharap saja Sin-te sudah pulang pada waktu itu, ibu."
"Hemm, kenapa begitu?" tanya ayahnya.
"Ayah, kalau tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat kepadanya, mungkin dia terancam bahaya dan malapetaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?"
Ayah ibunya saling pandang, dan ayahnya berkata, "Ah, anak itu hanya membikin pusing saja. Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang Thian Sin.
Biarpun harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu. Hatinya terhibur, apalagi di situ terdapat Lian Hong yang dicintanya dan setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab. Gadis itu memang manis budi, bukan hanya manis wajahnya, dan dari gerak-geriknya, ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang gadis itu amat mencintanya! Ah, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian Sin juga berada di situ!
Kurang lebih dua bulan kemudian, seorang di antara pemuda dusun itu pulang dan membawa kabar tentang munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis! Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang membunuh tokoh-tokoh pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya!
"Belum tentu dia, Tiong-ji," kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya.
"Siapa lagi, ibu, kalau bukan Sin-te" Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh sakit hatinya."
Ayah bundanya, juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi dan memberi waktu enam bulan. Setelah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu.
"Sudahlah, tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta adiknya dan watak seperti itu amat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan dia. Andaikata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia berhasil menemui Thian Sin lebih dulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira."
Akan tetapi, baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan minta pertanggungan jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai. Tentu saja Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya lalu berangkat karena isterinya berkeras mau ikut karena merasa khawatir akan keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya.
Sementara itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sian-jin dan mengacau Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah ketika dia mendengar betapa Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan membinasakan Pak-san-kui dan murid-muridnya! Tentu saja Han Tiong merasa terkejut bukan main. Bagaimana adik angkatnya dapat menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk" Juga cara-cara kejam yang dipergunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali dan dia makin mempercepat perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya. Ketika dia mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia makin terkejut dan cepat pergi menyusul adiknya ke barat.
Demikian tekun sekali ini Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu daripada ketika dia mencari sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang.
Maka, tidak mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang amat indah di mana terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Mereka berdua tinggal di situ, seperti sepasang pengantin baru yang setiap saat bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni puncak sambil bergandengan tangan.
Setelah menuruni puncak, barulah menjadi persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi. "Eh, ke manakah kita menuju sekarang...?" tanya Kim Hong.
Thian Sin merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka berjalan terus perlahan-lahan. "Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa depan kita."
Kim Hong juga tertawa. "Akupun sudah mempunyai rencana yang baik sekali."
"Bagus!" kata Thian Sin. "Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?"
"Tapi," kata Kim Hong. "Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak belakang?"
"Ah, mana bisa" Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita saling mencinta, bukan?" kata Thian Sin.
"Benar, Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkay tentu akan menyetujui rencanaku."
"Dan kalau memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik."
Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu memandang pemuda itu dengan alis berkerut. "Nah, nah hal ini perlu dibereskan sekarang juga. Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku."
"RENCANAKU baik sekali. Kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa tidak enak sekali dan kita perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah Naga..."
"Apa" Ke tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?" Kim Hong bertanya dan nampak terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu.
"Mengapa tidak" Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman..."
"Tidak! Aku tidak akan ke sana!" Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih menjadi Lam-sin, ia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu. "Dan di sana bertemu dengan gadis yang kaucinta itu, Ciu Lian Hong?"
"Ah, mengapa engkau berkata demikian" Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang telah menjadi isterinya. Percayalah, Kim Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu mereka untuk dapat berjodoh..."
"Apa" Maksudmu menjadi suami isteri?"
"Habis, apa lagi" Bukankah kita sudah menjadi suami isteri" Tinggal pengesahannya saja, tinggal upacara pernikahannya saja."
"Tidak! Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita menikah, kalau tidak ya tidak."
"Apa... apa maksudmu?"
"Lupakah engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu melainkan untuk memenuhi sumpahku kepada ibuku" Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu adalah urusan sama kita. Sedangkan pernikahan, secara umum, berarti hanya pengakuan saling mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu" Asal kita saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan, dirayakan atau tidak" Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga."
Thian Sin merasa penasaran. "Habis, kalau menurut rencanamu, di mana kita harus mengasingkan diri?"
"Ada suatu tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!"
"Hemmm, tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?"
"Ya, apa salahnya" Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Di sana aman, kita takkan terganggu..."
"Dan begitu amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?"
"Thian Sin! Kalau engkau tidak maupun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah bundaku, keparat!"
"Eh, engkau memaki?"
"Ya, aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?"
"Engkau makin kurang ajar, Kim Hong!"
"Eh, kurang ajar" Kaukira aku takut padamu" Kaukira aku ini apamu, harus taat kepadamu, ya?" Setelah berkata demikian, Kim Hong meloncat ke depan menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Plak!" Tangkisan yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri dan iapun menjadi semakin marah. Dengan mata berlinang iapun lalu menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong hati yang marah. Thian Sin terpaksa melayani karena diapun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka itu saling mencumbu rayu, dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing dengan hati penuh kemesraan!
Tingkat kepandaian kedua orang muda ini memang seimbang, dan andaikata mereka berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, kiranya Thian Sin hanya akan menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apalagi kini mereka saling serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu seru sekali dan agaknya keduanya tidak mau saling mengalah. Debu mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka telah terasa nyeri dan matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, walaupun mereka tidak mempunyai niat untuk saling bunuh. Keunggulan Thian Sin dalam tenaga sin-kang diimbangi oleh keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu oleh rambutnya yang amat lihai. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu.
Lebih dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah karena tidak mau saling mengalah, menganggap bahwa masing-masing sudah saling membenci. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring, "Perempuan kejam, jangan ganggu adikku!"
Orang ini bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat melakukan pengejaran dan di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihai bukan main. Dia melihat betapa adiknya itu nampak sibuk dan terdesak menghadapi totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya. Karena gerakan wanita itu amat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, hanya mengira bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam rambut itu!
Kim Hong terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka ia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya, dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang itu. Han Tiong terkejut, tidak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian cepatnya, maka diapun menangkis dengan lengan kanannya.
"Dukkk!" Akibatnya, tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itupun terpental. Han Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah bukan main. Juga Kim Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang pernah dilihatnya ketika ia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita itu lihai sekali, sudah maju menyerang lagi.
"Dukkk!" Serangannya ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan.
"Tiong-ko, tahan, jangan serang, ia adalah teman sendiri!"
Han Tiong kaget, lalu menjura ke arah wanita itu. "Harap maafkan saya."
Kemudian dua orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling pandang dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul.
"Sin-te...!"
"Tiong-ko...!"
Sampai lama mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua orang pemuda ini menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyum tapi mata mereka basah, dan saling berpegangan tangan. Baru terasa oleh mereka betapa di antara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar.
"Sin"te, mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?" Han Tiong menegur dengan suara mengandung penyesalan.
Thian Sin menunduk, merasa bersalah. Berhadapan dengan kakaknya ini, lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa betapa dia harus mentaati kakaknya ini.
"Maafkan Tiong-ko, aku... aku harus melaksanakan urusan pribadiku... yang berhubungan dengan mendiang ayah..."
"Hemm, membalas dendam, ya" Melepas dendam hati sepuasnya dan menghukum musuh-musuh secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?"
"Tiong-ko, bukan keinginanku berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang telah menyebabkan kematian ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?" Kim Hong mendengarkan dengan penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti anak kecil yang minta dikasihani!
"Sin-te, aku tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati mengingat akan kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, kalau engkau melakukan penentangan itu dengan hati penuh kebencian lalu melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara mereka" Kebenaran yang dibela dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, melainkan menjadi kejahatan pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannyapun tak dapat dinamakan baik. Kalau caranya kotor, maka tujuannyapun tentu tidak bersih. Tak mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat."
Hening sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri.
"Kalau begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?"
"Apa salahnya mengampuni orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya kalau memang dia itu ingin kembali ke jalan benar dan sudah insyaf akan penyelewengannya" Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di dunia ini. Siapakah orangnya yang tidak pernah melakukan penyelewengan yang dinamakan kesalahan atau dosa" Penyelewengan dalam hidup sama dengan sakit, walaupun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan maupun batinnya. Kalau ada orang yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita" Bukankah sepatutnya kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya, membantunya sembuh dari penyakitnya" Ingatlah, orang yang sakit itu sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat tidak selamanya demikian, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang rendah kepada orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng."
Kim Hong ikut mendengarkan dan hatinya tersentuh. Iapun merasa bahwa ia pernah menyeleweng, bahkan lebih dari penyelewengan biasa. Ia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan, bahkan membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi seluruh dunia selatan. Pernah membiarkan anak buahnya melakukan kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apapun juga. Akan tetapi semenjak ia bertemu dengan Thian Sin, semenjak ia menanggalkan penyamarannya sebagai Lam-sin, ia seolah-olah hidup di dunia lain. Iapun ingin menjadi orang sehat, bahkan lebih dari itu, ia ingin menjadi pendekar! Maka semua kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu terasa benar oleh sanubarinya. Ia sendiripun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang pangeran dan ibunya seorang pendekar wanita!
"Ah, Tiong-ko, betapa aku merindukan semua kata-kata dan nasihatmu selama ini..." Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh. "Akan tetapi, apa hendak dikata, semua itu telah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Semua telah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?"
"Yang sudah-sudah memang tak dapat diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga telah menyerbu Kun-lun-pai. Benarkah berita yang kudengar itu" Bahwa engkau telah membunuh seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?"
Thian Sin melirik ke arah Kim Hong, melihat dara itu diam mendengarkan diapun mengangguk.
"Ahh, Sin-te... Sin-te...! Engkau ini pendekar bagaimana" Apakah engkau tidak tahu bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw" Yang menyerbu Kun-lun-pai, pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai, Sin-te" Kau tahu, sekarang Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tidak mau, ayah kita tentu akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau, sebagai adikku yang tercinta, juga mau mempertanggungjawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!"
"Maksudmu bagaimana, Tiong-ko?"
"Mari kau ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para pendekar itu, untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu."
"Ah, tidak mungkin, Tiong-ko. Aku tidak mungkin menghadap mereka!" Thian Sin menolak dengan suara terkejut sekali. Menghadap pimpinan Kun-lun-pai sama saja dengan mencari mati!
"Engkau harus, Sin-te! Dan aku akan menanggungmu, aku akan membelamu, kalau perlu aku akan membelamu dengan nyawaku. Akan tetapi, mati atau hidup, kita harus tetap bersikap sebagai seorang pendekar yang berani bertanggungjawab atas semua perbuatannya!"
"Tidak, Tiong-ko, aku tidak mau..."
Han Tiong maju selangkah. "Sin-te mungkin ilmu kepandaianmu sudah jauh melampaui tingkatku, akan tetapi adalah menjadi kewajibanku sebagai pendekar, terutama sekali sebagai kakakmu yang mencintamu, untuk menyadarkanmu dan kalau perlu aku akan memaksamu untuk pergi bersamaku menghadap ke Kun-lun-pai."
Thian Sin memandang kakaknya dengan muka berubah dan mata terbelalak.
"Maksud... maksudmu...?"
"Kalau engkau tidak mau ikut dengan suka rela, aku akan menggunakan kekerasan, menawanmu dan membawamu menghadap dalam pertemuan para pendekar itu, atau... biarlah aku tewas dalam tanganmu demi membawamu ke jalan yang benar, adikku!"
"Tidak, Tiong-ko... engkau tidak mungkin..."
Akan tetapi Han Tiong sudah menerjang maju untuk menotok jalan darah di kedua pundak adiknya dan karena dia tahu benar akan kelihaian adiknya itu, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu andalannya, yaitu It-sin-ci, ilmu menotok yang mempergunakan satu jari. Ilmu ini hebat bukan main dan jarang ada lawan yang mampu menghindarkan diri dari serangan It-sin-ci. Akan tetapi pada waktu itu, tingkat kepandaian Thian Sin sudah amat tinggi, tidak kalah lihainya dibandingkan dengan kakak angkatnya, maka dengan tidak begitu sukar dia berhasil menangkis totokan-totokan itu sambil meloncat ke belakang.
"Tidak, Tiong-ko, jangan...!"
Akan tetapi Han Tiong terus mendesak dan Thian Sin yang tidak mau melawan kakaknya hanya mengelak, menangkis sambil mundur terus. Melihat ini tiba-tiba Kim Hong meloncat ke depan dan ia menangkis totokan berikutnya sambil membentak, "Tahan dulu!"
"Dukk!" Kembali Han Tiong mengadu tenaga dengan Kim Hong dan sekali ini, Kim Hong yang menangkis dan kembali keduanya merasa tergetar oleh kekuaten lawan.
"Nona, urusan kami adalah urusan kakak dan adik, tidak perlu dicampuri oleh orang luar!"
"Cia Han Tiong taihiap, aku bukanlah orang luar! Bahkan dalam urusan Kun-lun-pai, akulah yang menyerbu ke sana, dan akulah yang memusuhi pertapa itu. Thian Sin hanya kumintai bantuan saja, jadi akulah pula yang bertanggung jawab, bukan dia!"
Mendengar ucapan ini, tentu saja Han Tiong menjadi terkejut dan memandang kepada adik angkatnya dengan penuh perhatian dan alis berkerut ketika dia bertanya, "Sin-te, apa artinya ini" Siapakah nona ini?"
"Ia... ia adalah tunanganku, Tiong-ko..."
"Ahh...!" Seketika wajah Han Tiong berseri gembira dan dia cepat menoleh dan memandang kepada Kim Hong penuh perhatian. Makin giranglah hatinya ketika dia mendapat kenyataan betapa nona itu memang sungguh amat cantik setelah kini dia memandang dengan jelas, cantik jelita tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong!
"Begitukah" Kionghi, Sin-te, kiong-hi...! Ah, aku girang sekali... dan suara nona... seperti... pernah aku mendengarnya!"
Kim Hong tersenyum dan nampak semakin manis. "Memang sebelumnya pernah kita saling bertemu, taihiap." Thian Sin hendak memberi isyarat agar kekasihnya jangan memperkenalkan dirinya, akan tetapi Kim Hong yang masih mendongkol karena pertengkarannya dengan Thian Sin tadi, melanjutkan, "Mungkin taihiap teringat kalau kukatakan bahwa tunangan taihiap, Nona Ciu Lian Hong, pernah menjadi muridku..."
Han Tiong terkejut dan terbelalak heran memandang wajah nona itu. Kini dia teringat! Memang, suara nona ini sama benar dengan suara nenek datuk kaum sesat di selatan itu, yaitu Nenek Lam-sin yang lihai! Tentu saja dia tidak percaya dan berkata, "Tapi... tapi... Hong-moi ditolong dan menjadi murid Nenek Lam-sin..."
"Semenjak bertemu dengan adikmu, taihiap, nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi dipermukaan bumi ini, yang ada hanyalah aku, Toan Kim Hong."
Han Tiong masih belum yakin benar dan dia menoleh kepada adiknya, diguncang-guncangnya. "Apa artinya ini, Sin-te" Apa artinya ini?"
Thian Sin memegang tangan kakaknya, "Tiong-ko, jangan kauserang aku lagi, sampai matipun aku tidak mungkin mau melawan. Marilah kita bicara baik-baik dan dengarkan ceritaku. Yang menjadi Nenek Lam-sin itu adalah nona ini, Toan Kim Hong dan dia telah menjadi kekasihku, tunanganku, isteriku..." Pemuda itu menarik tangan kakaknya diajak duduk di atas padang rumput tak jauh dari tempat itu, diikuti oleh Kim Hong yang tersenyum melihat betapa Han Tiong kini menurut saja ditarik adiknya, tidak lagi marah-marah seperti tadi.
Dengan panjang lebar Thian Sin lalu menceritakan segala pengalamannya, tidak ada yang dirahasiakan kepada kakak angkatnya itu. Betapa dia pernah gagal membalas kepada See-thian-ong dan betapa dia telah mempelajari ilmu-ilmu peninggalkan ayah kandungnya di Himalaya. Diceritakannya ketika dia membalas dendam kepada semua musuh-musuh orang tuanya, dan juga musuh-musuh yang telah membuat keluarga Ciu terbinasa. Betapa dia bertemu dengan Lam-sin yang kemudian menjadi Kim Hong dan menjadi isterinya dan dibantu oleh wanita itu dia berhasil membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui berikut semua muridnya.
"Memang dalam dendam dan sakit hatiku, aku berlaku kejam terhadap mereka, Tiong-ko. Juga para penjahat yang bertemu denganku, kubasmi secara kejam. Aku sakit hati sekali kepada mereka, sakit hati sejak orang tuaku terbunuh, sampai ketika keluarga Ciu terbasmi. Diam-diam aku sudah bersumpah untuk memhasmi semua penjahat di dunia ini!"
Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang menahan napas ketika adiknya menceritakan cara adiknya itu menyiksa dan membunuh para penjahat dan musuh besar itu. Lalu dia berkata, "Akan tetapi, engkau telah membunuh Pangeran Toan Ong yang terkenal budiman..."
"Itu merupakan kesalahanku mudah terbujuk fitnah seorang wanita jahat," katanya dan diapun terang-terangan menceritakan tentang pertemuannya dengan Kim Lan dan betapa dia dibohongi Kim Lan sehingga membunuh Toan Ong. Kemudian betapa setelah tahu akan rahasia Kim Lan dia lalu merusak muka wanita itu. Kakak angkatnya bergidik mendengar semua penuturan yang diceritakan dengan terang-terangan itu.
"Nona Toan, engkau tadi mengatakan bahwa urusan di Kun-lun-pai adalah urusanmu. Sesungguhnya, bagaimanakah hal itu terjadi dan mengapa sampai bentrok dengan Kun-lun-pai?"
"Begini, taihiap..."
"Nanti dulu, nona. Kalau engkau bakal menjadi isteri adikku, mengapa engkau menyebutku taihiap segala" Membuat hatiku menjadi tidak enak saja."
"Baiklah... Tiong-ko," kata Kim Hong sambil tersenyum, meniru panggilan Thian Sin terhadap Han Tiong.
Han Tiong tersenyum gembira. "Nah, begitu lebih baik bukan, Sin-te" Kelak kalau kalian sudah punya anak, boleh sebut toa-pek (uwak) padaku!" Mereka bertiga tertawa lagi dengan gembira akan tetapi tak lama kemudian Kim Hong lalu menceritakan tentang riwayatnya, tentang kematian ayahnya, seorang pangeran yang dianggap buronan oleh kaisar dan dikejar-kejar sampai akhirnya hidup sengsara dan mati sebagai buronan. Diceritakannya mengapa ia mendendam kepada supeknya, yaitu Gouw Gwat Leng yang kemudian menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di Kun-lun-pai, betapa ia dibantu oleh Thian Sin lalu mendatangi Kun-lun-pai, dengan baik-baik minta menghadap ketua Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai sama sekali. Kemudian tentang pertemuannya dengan supeknya yang amat lihai sehingga terpaksa mereka berduapun akan kalah kalau saja supeknya itu tidak mengalah, bahkan akhirnya supek mereka itu membunuh diri untuk menebus penyesalannya tentang kesengsaraan hidup sutenya, yaitu Pangeran Toan Su Ong.
"Urusan antara keluargaku dan supek Gouw Gwat Leng adalah urusan pribadi dan kami sama sekali tidak menyangkutkan Kun-lun-pai. Akan tetapi sungguh para tosu Kun-lun-pai itu tidak tahu diri. Supek mati karena membunuh diri, karena dia merasa menyesal dan baru setelah dia membunuh diri aku melihat kenyataan bahwa sebenarnya supek amat mencinta mendiang ayahku. Kematian supek sungguh sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, akan tetapi para tosu itu dengan membabi buta mengeroyok kami, bahkan kini melaporkan kami kepada tokoh-tokoh kang-ouw!" Kim Hong mengepal tinjunya. Gadis ini dengan terus terang menceritakan semua riwayatnya.
Mendengar cerita nona itu, Han Tiong menarik napas panjang. Dia merasa kagum sekali kepada kakek yang bernama Couw Gwat Leng atau Jit Coat Tosu itu. "Beliau seorang bijaksana, sayang kalian tidak tahu akan hal itu sebelumnya sehingga terpaksa nyawa seorang yang demikian bijaksana dikorbankan dengan sia-sia. Tahukah kalian mengapa beliau membunuh diri" Bukan hanya karena penyesalan, melainkan untuk mencegah engkau berdua, karena kalau sampai beliau mati di tanganmu, hal itu akan membuat engkau seorang murid durhaka dan selamanya engkau akan menyesali perbuatanmu itu. Di atas dunia ini, segala perkara tidak akan dapat diatasi dengan kekerasan. Ilmu sliat hanya patut dipergunakan mencegah terjadinya kejahatan melindungi diri sendiri dan juga orang-orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ilmu silat dipergunakan untuk melampiaskan dendam, maka itu menjadi ilmu terkutuk, menjadi ilmu hitam."
Dua orang itu mendengarkan sambil bertunduk. Berhadapan dengan kakaknya, Thian Sin merasa kehilangan semua semangat perlawanannya, membuat dia seperti mati kutu. Hal ini adalah karena perasaan cinta kasih dan hormat yang amat besar, membuat dia tidak mungkin dapat menentang atau membantah. Bukan karena takut, melainkan karena cinta dan juga apapun yang keluar dari mulut kakaknya itu terasa olehnya amat tepat dan tidak mungkin dapat dibantah kebenarannya lagi.
Keadaan menjadi serius lagi setelah Han Tiong bicara dengan sungguh-sungguh. Menghadapi keadaan ini, di mana dia merasa dirinya tenggelam tak berdaya dan bahkan Kim Hong yang agaknya berwatak pemberontak itupun terdiam, Thian Sin merasa tidak enak sekali dan diapun mencoba untuk memecahkan suasana itu dengan berkelakar. "Aduh, Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!"
Han Tiong tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius, "Sin-te, mana mungkin kita mengabaikan soal-soal batiniah" Hidup ini bukan hanya lahirlah belaka, bukan" Lahir dan batin, haruslah serasi, maju bersama, karena kalau tidak demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te."
"Semua ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu" Dan bagaimana dengan keadaan Lian Hong?" Kini ringan saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tidak ada rasa berat sedikitpun di hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu, dan hal inipun terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega. Dia tahu bahwa adiknya telah memperoleh seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai.
"Ayah dan ibu baik-baik saja, sungguhpun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, kini sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. Kau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi" Di sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolongnya ketika terjadi keributan itu." Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja.
Tentu saja Thian Sin sudah tahu akan hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata, "Syukurlah kalau ia sudah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?"
Han Tiong menggeleng kepala dan memandang kepada adiknya. "Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang..."
"Eh, kenapa begitu?" Thian Sin bertanya kaget.
Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, lalu berkata, "Tadinya aku selalu meragu, adikku... mana mungkin aku hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu" Tapi sekarang, ah, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal yang lebih penting yang perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan."
"Hal penting apakah, Tiong-ko?" jawab kedua orang itu hampir berbareng dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian.
"Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggungjawabkan perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!"
"Tiong-ko...!" Thian Sin memandang dengan mata terbelalak.
"Tiong-ko, sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!" Kim Hong membantah. "Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!"
Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas. "Adik Kim Hong, biarpun aku tahu bahwa ilmu silatmu amat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis, sehingga Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Pula, jelas bahwa Sin-te ikut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, setelah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain" Maka, kuminta, marilah pergi ke Kun-lun-pai, biar aku yang antar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana."
Thian Sin menggeleng kepalanya lalu memegang lengan kakaknya. "Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami mengalah dan tidak membunuh seorangpun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?"
Han Tiong membalas pegangan adiknya. "Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian telah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tidak ada sangkut-pautnya sama sekali" Biarpun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga" Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau terjadi ketidakadilan nanti, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!"
Thian Sin menjadi ragu-ragu dan menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu kemudian menggeleng kepala. "Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!"
Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggungjawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apalagi harus ayah angkatnya ikut-ikut bertanggung jawab.
"Tiong-ko, ah, Tiong-ko, mengapa begitu" Mengapa engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?" Dia mengeluh sambil memandang kepada kakaknya dengan sinar mata sedih.
Han Tiong mengerutkan alisnya. "Adikku, ke manakah kegagahanmu" Lupakan engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa matipun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran" Aku bukan membantu mereka yang hendak menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggungjawabkan pula perbuatan calon isterimu."
Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, apapun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tidak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi ketika dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, diapun maklum bahwa kalau dia menuruti kata-kata kakaknya, Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja.
"Tiong-ko, makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!" akhirnya Thian Sin berkata.
Han Tiong bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak. "Sin-te! Masih begitu lemahkah engkau" Sudah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu untuk dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!"
Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggeleng kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang amat disayangnya dan yang telah lama sekali baru saja dijumpainya kembali itu. "Tidak, Tiong-ko. Aku tidak akan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkah diri kepada mereka."
"Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut" Engkau takut menghadapi hukuman" Takut mati?"
Thian Sin menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tidak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah."
"Akan tetapi, engkau akan diadili!"
"Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah dapat dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya."
"Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai."
"Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku."
"Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?"
Thian Sin tersenyum. "Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan dapat mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau takkan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ah, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?" Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis!
Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu kini seakan-akan mencair semua kekerasannya dan menjadi lembek dan lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali.
"Kaupun tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku," katanya dengan suara serak penuh keharuan. "Akan tetapi engkaupun tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Kalau engkau berkeras tidak mau ikut aku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, dan akulah yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka.
Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa pertemuannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu. Kakaknya yang selama ini merindukannya, mencintanya, bahkan tidak mau menikah sebelum bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam. Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Iapun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara. Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih.
"Engkau benar, Thian Sin. Kakakmu itulah yang terlalu lemah, mau mengalah saja terhadap orang lain. Pihak manapun juga, kalau mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina."
Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran, dia tidak segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali..."
"Khawatir apa, Thian Sin?"
"Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi" Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali."
Kim Hong mengerutkan alisnya. "Lalu, apa yang akan dilakukannya?"
"Kita harus membayanginya, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat daripada kematian. Mari, kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya."
Kim Hong lalu mengangguk dan keduanya lalu bangkit dan lari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san.
Para tokoh kang-ouw sudah mulai berdatangan ke Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar dan memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apalagi dalam undangan itu Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan bahwa pertemuan antara para tokoh pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Sadis yang namanya sudah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu.
Sehari sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai telah hadir belasan orang tokoh pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, ditemani oleh sutenya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan menemani para tamu-tamu yang awal datang itu di ruangan tamu yang luas itu. Di antara belasan orang tamu yang telah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) dan Hwa Siong Hwesio, tokoh hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di kota raja. Selain empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar merupakan pendekar yang dihormati dan disegani orang, antara lain Lo Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai. Thian Heng Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun lebih, ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain ingin mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu dengan para pendekar. Juga hadir pula Liang Sim Cianjin, seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pertapa ini pakaiannya seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi. Kehadiran ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau setingkat dengan mereka berdua. Keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas itu meriah namun pembicaraan terjadi dengan serius.
Kui Yang Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu datang sehingga mengakibatkan kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak menyembunyikan sesuatu, menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu. Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal.
"Kami hendak menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu kepandaian mereka memang tinggi sekali dan kamipun tidak berniat untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan."
Suasana menjadi sunyi ketika semua orang mendengar penuturan itu dan diam-diam mereka semua merasa terkejut dan kagum bukan main. Pada jaman itu, kiranya sukar dicari orang yang akan mampu membebaskan diri dari kepungan orang-orang Kun-lun-pai! Dari kenyataan itu saja sudah dapat diukur betapa lihainya Pendekar Sadis dan kawannya, wanita muda itu.
"Sungguh aku belum mengerti benar, Toyu," terdengar Lo Pa San berkata. Pendekar ini orangnya jujur, ramah dan adil, juga amat sederhana sehingga bicara dengan pimpinan Kun-lun-pai sekalipun dia hanya menyebut toyu yang berarti sahabat saja, "Menurut penuturanmu tadi, Pendekar Sadis hanya menemani atau membantu nona bernama Toan Kim Hong datang mencari supeknya sendiri. Apa yang terjadi antaara mereka itu, sampai yang berakibat kematian Jit Goat Tosu yang membunuh diri, kiraku merupakan urusan pribadi dalam kekeluargaan mereka. Kiranya sama sekali bukan menjadi hak kita untuk mencampuri."
Beberapa orang gagah yang berada di situ mengangguk membenarkan. Mereka itu rata-rata adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak mau sembrono dan tidak mau berpihak siapapun juga, kecuali pibak kebenaran dan keadilan.
"Siancai... apa yang dikatakan Lo-enghiong memang tidak keliru. Kamipun bukanlah golongan yang suka usil dan suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Jit Goat Tosu bukanlah orang lain lagi, melainkan saudara tua kami. Dan seperti telah pinto ceritakan tadi, nona itu tadi adalah seorang murid durhaka yang tidak menghormati bendera pusaka perguruan sendiri, tidak tahu pula bahwa Jit Goat Tosu telah mengalah karena kalau dia menghendaki, dua orang muda itu takkan mungkin mampu mengalahkannya. Tapi mereka mendesak terus sehingga dia mengalah dan membunuh diri. Peristiwa kejam ini terjadi di Kun-lun-pai. Sedangkan andaikata hal itu menimpa diri orang lain di luar Kun-lun-pai sekalipun, sebagai pendekar-pendekar kita haruslah turun tangan mengadilinya. Apalagi hal itu terjadi menimpa saudara tua kami, terjadi di Kun-lun-pai sendiri, dan yang terutama sekali, dilakukan oleh Pendekar Sadis yang sudah mencemarkan sebutan pendekar itu. Maka, pinto kira sudah selayaknya kalau hal ini dibahas secara teliti di dalam rapat besok di antara para pendekar."
Karena alasan yang dikemukakan oleh Kui Yang Tosu itu memang pantas, semua orang mengangguk dan memang kebanyakan di antara mereka merasa tidak senang mendengar sepak terjang Pendekar Sadis yang terlalu kejam dalam menangani musuh-musuhnya, biarpun yang diberantasnya itu termasuk tokoh-tokoh sesat. Terutama sekali pembunuhan Pendekar Sadis terhadap Toan Ong sungguh membuat mereka merasa penasaran sekali.
Keadaan menjadi berisik ketika mereka membicarakan semua perbuatan Pendekar Sadis yang amat kejam ketika membunuh musuh-musuhnya dan bagaimanapun juga, mereka semua merasa kagum dan jerih mendengar betapa Pendekar Sadis telah berhasil membunuh See-thian-ong, Pak-san-kui, dan melenyapkan Lam-sin. Bahkan berita tentang Pendekar Sadis menyerbu Tung-hai-sian sudah ramai mereka bicarakan.
"Cin-ling-pai harus bertanggung jawab. Bukankah Pendekar Sadis itu sanaknya" Tung-hai-sian terluput dari perbuatannya karena berbesan dengan Cin-ling-pai." kata seseorang.
"Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatnya, maka dialah yang paling besar tanggung jawabnya," kata yang lain.
"Harap para saudara bersabar karena pinto juga telah mengundang mereka. Pinto kira, besok mereka akan dapat hadir semua dan kita minta saja pendapat dan pertimbangan mereka. Jiwa pendekar menuntut keadilan dan harus menghukum siapapun yang salah, biar keluarga sendiri tidak semestinya kalau dilindungi sehingga kejahatannya semakin merajalela," kata Kui Yang Tosu, sedangkan Kui Im Tosu hanya mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya. Ketua Kun-lun-pai ini memang tidak suka banyak bicara.
Tiba-tiba terdengar suara lantang, "Harap cu-wi jangan khawatir. Mengenai semua perbuatan Pendekar Sadis, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya!"
Semua orang menoleh dan mereka melihat masuknya seorang pemuda yang berpakaian sederhana akan tetapi amat gagah perkasa sikapnya. Karena Han Tiong memang tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang mengenal pemuda ini dan semua orang bangkit berdiri, memandang dengan heran akan tetapi juga membalas penghormatan pemuda yang sudah menjura ke arah mereka dengan sikap hormat itu.
"Para pimpinan Kun-lun-pai dan para locianpwe yang berada di sini. Kedatangan saya ini untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis. Cin-ling-pai dan Lembah Naga tidak ada urusannya dengan dia dan tidak seharusnya bertanggung jawab, melainkan saya seoranglah."
Kui Yang Tosu sudah melangkah maju dan memandang kepada pemuda gagah itu dengan pandang mata penuh selidik. "Siapakah sicu yang muda ini?" tanyanya.
Han Tiong memandang kepada tosu itu dan menduga bahwa tentu dia berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai. "Apakah totiang ketua Kun-lun-pai?"
"Pinto adalah Kui Yang Tosu, wakil ketua Kun-lun-pai. Siapakah engkau, orang muda?"
"Saya adalah kakak dari Pendekar Sadis, nama saya Cia Han Tiong," jawab Han Tiong sederhana.
"Cia..." Adakah hubunganmu dengan Cia Sin Liong Taihiap, Pendekar Lembah Naga?"
"Dia adalah ayah saya."
Kui Yang Tosu, juga semua orang gagah yang berada di situ terkejut sekali. Kiranya pemuda sederhana yang bersikap gagah perkasa ini adalah putera Pendekar Lembah Naga! Mengertilah sekarang Kui Yang Tosu mengapa pemuda ini memperkenalkan diri sebagai kakak dari Pendekar Sadis, dan dia mengerutkan alisnya.
"Hemm, selamat datang, Cia taihiap. Mari silakan duduk."
"Terima kasih, totiang. Kedatangan saya bukan untuk menghadiri rapat para pendekar, melainkan, seperti saya katakan tadi, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis, adik saya. Hanya saya seoranglah yang menjadi penanggung jawabnya, bukan Cin-ling-pai maupun Lembah Naga."


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Makin dalam kerut di antara alis Kui Yang Tosu. "Orang muda, apa yang kaumaksudkan dengan pertanggungan jawab itu?"
"Apapun yang totiang kehendaki! Kalau adik saya dianggap bersalah dan hendak dihukum, nah, hukumlah saya! Saya yang mewakilinya menerima hukuman, kalau memang sudah sepatutnya dia dihukum. Akan tetapi saya merasa yakin bahwa para locianpwe yang gagah perkasa tentu akan memiliki kebijaksanaan dan pertimbangan seadil-adilnya. Saya sudah mendengar akan semua yang dilakukan adik saya, mendengar dengan jelas. Saya datang bukan untuk membelanya, bukan melindunginya, melainkan untuk menebus semua kesalahannya, kalau memang ada perbuatannya yang dianggap bersalah."
"Pendekar Sadis bertindak amat kejam, perbuatan itu mencemarkan nama para pendekar! Dia memang menentang penjahat, namun tindakannya luar biasa kejamnya!" kata Kui Im Tosu yang sejak tadi diam saja. "Cia-taihiap, apakah hal itu tidak kau anggap bersalah?"
"Maaf, totiang. Salah atau tidak itu tergantung yang menilainya. Akan tetapi saya tahu benar mengapa adik saya itu bertindak kejam terhadap musuh-musuhnya yang dibasminya. Dia menderita dendam sakit yang amat mendalam, dan karena dia lemah, maka dia memberi kesempatan kepada nafsunya untuk membalas dendam, untuk menyiksa dan memuaskan sakit hatinya."
"Ha-ha, bagaimana jawabanmu terhadap perbuatannya membunuh Toan Ong?" kata seorang di antara Shan-tung Sam-lo-eng.
Han Tiong memandang kepada pembicara lalu menjawab, "Hal itupun telah saya bicarakan dengan adik saya. Dia melakukan hal itu karena fitnahan orang lain sehingga dia menganggap Toan Ong seorang manusia jahat, maka dibunuhnya. Setelah dia menyadari kekeliruannya, diapun sudah menghukum orang yang melakukan fitnah. Pembunuhan itu hanya merupakan hasil fitnah, bukan berarti adik saya sengaja membunuh orang baik-baik."
"Hemm, kalau menurut pendapatmu, Pendekar Sadis itu patut dibebaskan dan tidak dianggap bersalah" Begitukah?" Hui-to-sian Lo Pa San ikut bertanya, suaranya lantang.
"Sama sekali bukan demikian maksud saya, locianpwe. Sudah saya katakan bahwa saya bukan membela atau melindunginya, melainkan mewakilinya menerima hukuman kalau memang dianggap bersalah."
"Omitohud...! Cia-taihiap yang begini muda sudah memiliki kasih sayang yang luar biasa sekali terhadap adiknya, adik angkatnya lagi. Begitu mendalam, sungguh mengagumkan!" Hwa Siong Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itu berkata.
"Akan tetapi, mana mungkin menghukum orang lain sedangkan yang berdosa boleh bebas" Apa gunanya itu" Si jahat harus dihukum biar lenyap dari dunia ini atau biar bertobat sehingga tidak terulang lagi kejahatannya!" kata Thian Heng Losu ketua Bu-tong-pai. "Cia-taihiap, andaikata kami menghukummu sebagai orang yang mewakili Pendekar Sadis, apa artinya itu" Dia akan tetap saja menyebar kekejaman di dunia ini!"
"Tidak, locianpwe. Kalau dia mendengar bahwa saya dihukum karena perbuatannya tentu dia akan insyaf dan sadar, dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatannya yang para locianpwe anggap tidak selayaknya."
"Bagaimana kalau kita memutuskan bahwa Pendekar Sadis harus dilenyapkan, harus dijatuhi hukuman mati?" Lo Pa San yang juga kagum kepada pemuda ini bertanya, memancing.
"Saya sudah bertekad untuk mewakili adik saya menjalani hukuman apa saja kalau perlu saya tidak akan menolak untuk dihukum mati, kalau memang itu dapat menebus kesalahannya dan cu-wi locianpwe tidak mengganggu dia, Cin-ling-pai atau Lembah Naga!"
Bukan main hebatnya jawaban tegas ini, membuat semua tokoh itu sejenak terbisu dan memandang kepada Han Tiong dengan heran. Biasanya kalau seseorang mencinta adiknya, tentu adik itu dibelanya dan dilindunginya, kalau perlu membantu adiknya menentang semua orang yang hendak mengganggu adiknya, bukan mewakilinya menerima hukuman seperti yang akan dilakukan oleh putera Pendekar Lembah Naga ini.
"Tiong-ko, engkau tidak boleh mewakili hukumanku!"
Teriakan ini mengejutkan semua orang dan tahu-tahu mereka melihat seorang pemuda gagah berdiri di ambang pintu ruangan itu, di belakangnya berdiri pula seorang gadis cantik yang bersikap angker.
Han Tiong terkejut melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong, akan tetapi juga wajahnya segera berseri gembira karena dia mengira bahwa tentu Thian Sin dan Kim Hong sudah sadar dan datang untuk menyerahkan diri mempertangungjawabkan perbuatan mereka. Maka diapun berseru dengan girang sekali, "Ah, Sin-te dan Adik Hong, bagus sekali kalian datang. Jangan khawatir, para locianpwe ini adalah orang-orang bijaksana!"
"Tidak, Tiong-ko! Aku tetap tidak merasa bersalah dan terserah mereka itu mau apa! Akan tetapi, hendaknya para pendekar yang mengaku perkasa dan yang hadir di sini semua mendengar baik-baik bahwa semua perbuatan Pendekar Sadis dan Toan Kim Hong adalah tanggung jawab kami berdua sendiri. Kakakku Cia Han Tiong sama sekali tidak tahu apa-apa dan karenanya tidak boleh hukuman untuk kami dijatuhkan kepadanya atau kepada Cin-ling-pai atau Lembah Naga. Kami berdua sendirilah yang bertanggung jawab. Akan tetapi kami tidak merasa bersalah, dan siapa yang hendak menghukum kami, boleh saja maju dan coba-coba!" Pendekar Sadis berdiri dengan gagah perkasa dan sikapnya menantang sekali. Juga Kim Hong berdiri sambil tersenyum mengejek kepada semua orang yang berada di ruangan tamu yang luas itu. Karena Kun-lun-pai sedang menyambut tamu-tamu agung, maka pintu gerbang dibuka dan tidak diadakan penjagaan seperti biasa sehingga mereka berdua, seperti juga Han Tiong tadi, dapat masuk ke tempat itu dengan mudah.
Melihat lagak Pendekar Sadis yang menantang dan merasa tidak bersalah itu, para tamu menjadi marah. Pendekar budiman dari Po-hai, yaitu Lo Pa San, mengerutkan alisnya. Pendekar Sadis itu dianggapnya tidak tahu aturan dan berani bersikap demikian memandang rendah kepada orang-orang kang-ouw yang tingkatnya tinggi dan sudah tua pula.
"Pendekar Sadis, ternyata engkau selain kejam juga sombong sekali!" teriaknya sambil mencabut keluar sebatang golok tipis dari ikat pinggangnya dan diapun sudah melompat ke depan. "Sudah lama aku mendengar nama Pendekar Sadis yang menodai nama baik para pendekar dengan perbuatannya yang sangat kejam. Engkau tidak mau mengaku salah dan menantang siapa yang hendak menangkapmu" Nah, aku, Hui-to-sian Lo Pa San yang hendak menangkapmu!"
Thian Sin tersenyum mengejek. "Menangkap dengan senjata terhunus" Locianpwe, engkau ini memaki orang kejam, akan tetapi engkau sendiri, begitu berhadapan denganku mencabut golok, sikap seperti ini lalu apa namanya" Apakah ini yang disebut manis budi dan lunak tidak kejam?"
Wajah Lo Pa San menjadi merah dan tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang pandai bicara pula. Tentu saja dia merasa malu. Kalau tadi mencabut golok adalah karena dia sendiri sudah mendengar akan kelihaian Pendekar Sadis dan dia adalah seorang ahli bermain golok sehingga mendapat julukan Dewa Golok Terbang. Akan tetapi ejekan halus Thian Sin itu tentu saja membuat dia menjadi serba salah dan diapun segera menyimpan kembali goloknya.
"Orang muda, kaukira aku tidak berani menghadapimu dengan tangan kosong" Kalau tadi aku mengeluarkan golok, adalah karena aku mengira engkaupun akan memegang senjata."
Thian Sin tersenyum lebar, "Ingat, locianpwe, kalau sampai terjadi bentrok antara kita, penyerangnya adalah engkau, bukan aku. Bagaimana aku tiba-tiba saja mencabut senjata" Tidak, engkaulah pencari gara-gara kalau sampai kita berkelahi, bukan aku."
"Sombong! Lihat serangan!"
Lo Pa San adalah seorang pendekar yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi dan bukan sembarang pendekar. Jarang dia keluar dari rumah mencampuri perkara yang remeh-remeh. Akan tetapi ketika pantai Po-hai pernah dibikin tidak aman oleh merajalelanya bajak-bajak yang datang dari Korea dan Jepang, pendekar inilah yang dengan gagah beraninya menentang dan mengadakan pembersihan, memimpin para pendekar muda dan dia baru berhenti berjuang setelah para bajak laut ganas itu terbasmi semua dan sisanya melarikan diri ke lautan. Namanya menjadi terkenal sekali, terutama ilmu goloknya yang membuat dia memperoleh julukan yang menyeramkan itu, yaitu Dewa Golok Terbang. Tentu saja selain ilmu goloknya yang amat terkenal, pendekar ini juga memiliki ilmu silat tangan kosong yang tangguh dan memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat. Begitu menyerang, kedua tangannya yang jari-jarinya terbuka itu mengirim serangan cengkeraman bertubi-tubi seperti cakar garuda. Memang kakek berusia lima puluh tahun lebih itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang hebat, yaitu yang disebut Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti) yang telah mengalami banyak perubahan, dikombinasikan dengan ilmu gulat Mongol sehingga selain mencengkeram dengan kuat, juga jari-jari tangan itu dapat menangkap dan sekali lawan tertangkap dengan Ilmu Sin-tiauw-kun yang mengandung ilmu gulat Mongol itu, sukarlah lawan untuk melepaskan diri lagi. Agaknya Dewa Golok Terbang ini benar-benar hendak menangkap Thian Sin seperti yang dikatakannya tadi.
Akan tetapi Thian Sin menyambut serangan-serangannya dengan sikap tenang saja. Pemuda ini memang memiliki sebatang pedang, yaitu Gin-hwa-kiam pemberian neneknya, juga ikat pinggangnya merupakan senjata sabuk seperti yang pernah dipelajarinya dari neneknya. Akan tetapi, dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang amat hebat dan banyak macamnya, maka tanpa bantuan senjata sekalipun dia sudah merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Menghadapi serangan dengan ilmu Sin-tiauw-kun itu, Thian Sin lalu mainkan Thai-kek Sin-kun yang amat kokoh kuat daya tahannya, dan selama beberapa belas jurus lawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya dan semua cengkeraman lawan dapat ditangkis atau dielakkannya dengan mudah sekali.
Melihat ini, Hui-to-sian terkejut dan juga marah. Dia mengeluarkan gerengan keras dan kini serangannya ditambah lagi dengan tendangan-tendangan kakinya yang dilakukan secara beruntun dan berantai.
CEPAT sekali gerakan pendekar ini, kedua tangan mencengkeram bertubi-tubi dan kedua kaki menendang bergantian, dan setiap serangan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat! Diam-diam Thian Sin juga terkejut dan memuji. Pendekar ini benar-benar tangguh dan tidak boleh dipandang ringan. Kalau dia melanjutkan perlawanannya dengan Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terus terdesak dan tanpa mampu membalas. Gerakan lawannya aneh dan cepat sehingga dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan gerakan ilmu silatnya untuk bertahan dan untuk melindungi dirinya saja. Maka ketika lawannya menghujani tendangan, dia lalu menggunakan tangannya untuk menangkap kaki lawan. Melihat ini, Huito-sian menarik kembali kakinya dan melihat betapa lawan muda itu membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka, tangan kirinya secepat kilat mencengkeram dan tahu-tahu pundak Thian Sin kena dicengkeramnya.
"Plak!" Thian Sin menangkis sambil mengerahkan Thi-khi-i-beng, akan tetapi ternyata tusukan dengan kedua jari tangan kanan itu dilakukan dengan tenaga kasar biasa saja dan kakek itupun sudah meloncat ke belakang setelah tangan kirinya terlepas dari sedotan pundak. Wajahnya agak pucat dan dia memandang dengan mata bersinar-sinar.
"Celaka, ilmu pusaka Cin-ling-pai dipergunakan orang untuk menentang para pendekar!" katanya dan diapun sudah menyerang lagi dengan hebatnya. Mendengar ucapan lawan, Thian Sin tidak mau lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng, bahkan dia merasa malu untuk mempergunakan ilmu dari Cin-ling-pai. Sekali ini, dia langsung mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dari peninggalan ayah kandungnya, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus, namun merupakan ilmu silat yang mujijat itu.
"Haiiiiitt...!" Dia mulai membalas dengan menggunakan jurus dari ilmu silat ayahnya. Hui-to-sian terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja angin menyambar dahsyat dan dia melihat lawannya itu menyerangnya dari bawah. Untuk mengelak dari serangan sehebat itu tidaklah mungkin lagi, maka diapun menanti serangan, mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kedua tangannya ketika dua langan pemuda yang mendorong itu tiba-tiba dekat.
"Desss...!" Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, tubuh Hui-to-sian terlempar dan terdorong ke belakang sampai tujuh langkah dan hampir saja dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat membuka kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sin-kang pada kedua kakinya yang dipentang lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi tubuhnya terguncang hebat dan keringat dingin membasahi lehernya. Untung bahwa dia tidak terluka, akan tetapi maklumlah pendekar ini bahwa dia telah kalah! Semua pendekar yang berada di situ juga maklum akan hal ini, maka kini Liang Sim Cinjin segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan. "Siancai...! Kiranya nama besar Pendekar Sadis bukanlah nama kosong belaka. Biarlah aku yang tua mencoba kelihaiannya!" Sambil berkata demikian, kakek ini sudah menanggalkan capingnya, yaitu topi yang bentuknya bundar, terbuat daripada bambu akan tetapi sebetulnya di balik anyaman bambu itu tersembunyi baja-baja runcing yang membuat topi itu selain dapat dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan, juga dapat dipakai sebagai senjata yang amat berbahaya.
Akan tetapi sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, tiba-tiba Kim Hong melangkah maju dan gadis ini berkata, "Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang amat tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu surat itu" Nah, bagus sekali kalau begitu, tentu seorang sastrawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan. Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan pengeroyokan?"
Liong Sim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis, dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah kedatangan musuh, apalagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai nama para pendekar. Melihat betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak kalau diam saja, akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk mencoba kepandaian orang muda itu. Maka, melihat gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata, kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan bingung juga. Maklumlah, blarpun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia jugc seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk.
"Eh, nona... siapa yang mengeroyok! Biarpun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri untuk melawannya?" katanya membantah.
"Majunya memang seorang diri, akan tetapi kalau Thian Sin dilawan secara bergiliran, bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan" Mana dia kuat menghadapi lawan begini banyak yang maju satu demi satu" Tenaga manusia ade batasnya. Apa artinya locianpwe menang kalau menangnya itu karena dia sudah kelelahan melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?"
Liang Sim Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya diketahuinya dari berita saja. Melihat sikap dan wajah pemuda itu, dia sama sekali tidak mempunyai hati membenci, karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Maka, mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan dia merasa serba salah.
"Kalau begitu, biarlah dia mengaso dulu... aku tidak mau memperoleh kemenangan karena kelelahan lawan..."
Kim Hong tersenyum. "Tidak perlu sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe hendak melakukan kewajiban sebagai seorang tamu dan sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan" Dan locianpwe juga menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula kini locianpwe hendak melawannya, bukan?"
Tentu saja kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian tepat dan kuat, maka diapun mengangguk dan berkata, "Benar... benar sekali, nona." Dia tidak tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan kirinya.
"Nah, ketahuilah, locianpwe, yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Kun-lun-pai itu adalah akul Jit Goat Tosu adalah supekku, juga musuhku dan karena akulah maka dia membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, aku sudah siap, locianpwe, majulah dan mari kita main-main sebentar!"
Tentu saja Liang Sim Cinjin menjadi terkejut. Dia memang sudah tahu akan hal itu, akan tetapi sama sekali tidak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini, tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru maju saja sudah harus malu. Masa seorang tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja" Dia tidak tahu sama sekali bahwa yang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja, melainkan orang yang pernah menjadi Lam-sin dan yang telah menggegerkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan!
"Kecuali kalau locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar diganti oleh siapa saja yang lebih berani!"
Memang pandai sekali Kim Hong. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu agar tidak mundur kembali. Gadis ini tidak ingin melihat Thian Sin seorang diri saja menghadapi mereka semua itu, kalau sampai terjadi perkelahian satu lawan satu secara bergiliran. Bagaimanapun juga, ialah yang menyebabkan Thian Sin dihadapi oleh para pendekar untuk diadili!
"Nona muda, kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis agaknya. Kalau aku tidak mau melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap aku benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkaupun memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai."
"Locianpwe ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe dan semua orang di sini tidak menantang, kamipun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi, aku sudah siap!"
Bocah ini sungguh tekebur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya seolah-olah seorang yang memiliki kedudukan tinggi menghadapi lawan yang seimbang atau setidaknya lebih tinggi daripada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan!
"Nona muda, jagalah seranganku ini!" bentaknya halus dan diapun mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan kiri, menampar ke arah pundak. Pukulan yang kelihatannya sederhana dan sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong segera mengenal ilmu pukulan ampuh yang mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Maka cepat iapun mengelak
Jodoh Rajawali 2 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 2
^