Pendekar Sadis 7

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


uan menerima undangan itu.
Akan tetapi Han Tiong sambil tersenyum berkata dan menjura. "Banyak terima kasih atas segala kebaikan loheng (kakak). Akan tetapi kami tidak berani banyak mengganggu. Kami akan merasa lebih leluasa bermalam di kamar losmen ini daripada di rumah Siangkoan-loheng, oleh karena itu harap loheng tidak kecewa dan tidak menganggap kami kurang terima. Sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali untuk menerima banyak kebaikan darimu. Tidak, Siangkoan-loheng, kami akan bermalam di sini saja dan sekali lagi terima kasih."
Di bawah sinar lampu losmen itu, Siangkoan Wi Hong menatap wajah Thian Sin dengan mata bersinar-sinar. Dia melihat betapa Thian Sin melirik ke arah kakaknya dan menunduk, maka tahulah dia bahwa sang adik angkat itu amat tunduk kepada sang kakak angkat. Diapun tersenyum. Dari sinar matanya, dia maklum bahwa orang seperti Han Tiong yang memilki sinar mata seperti naga itu adalah orang yang berhati teguh dan sekali mengeluarkan kata-kata sudah pasti tidak akan mudah dibelokkan lagi. Maka diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan membujuk seorang pemuda seperti Han Tiong dan diapun menjura.
"Baiklah, kalau ji-wi tidak mau tinggal di rumahku, harap ji-wi berjanji untuk sekali-kali singgah di rumahku sebelum meninggalkan kota raja. Toko dan rumah ayah berada di sebelah kanan pasar, di seberang Jembatan Ayam Putih. Asal ji-wi menanyakan rumah she Siangkoan setiap orangpun di sana akan dapat menunjukkan di mana adanya rumah kami."
Han Tiong merasa bahwa dia keterlaluan kalau menolak undangan singgah ini, maka dia pun menjura dan berkata, "Baiklah, Siangkoan-loheng, kami berjanji akan singgah sebelum kami melanjutkan perjalanan ke selatan. Mudah-mudahan kami tidak terlalu mengganggu."
"Ha-ha-ha, Cia-lote terlalu sungkan. Nah, sampai jumpa!" Orang itu lalu pergi memanggul yang-kimnya, berjalan melenggang seenaknya, diikuti pandang mata dua orang pemuda Lembah Naga itu.
Mereka memasuki kamar dan masih berkesan tentang pertemuan dengan Siangkoan Wi Hong yang tidak disangka-sangkanya itu, "Orang itu sungguh aneh, dan mencurigakan sekali." kata Han Tiong.
"Aku girang dapat bertemu dengan dia dan kita sudah berjanji hendak singgah. Koko, kalau kita singgah di rumahnya, kesempatan itu akan kupergunakan untuk mengajaknya mencoba ilmu silat."
"Tidak, Sin-te. Jangan kaulakukan hal itu. Ketahuilah bahwa orang seperti dia itu tentu amat terkenal di tempat ini, apalagi kita tahu bahwa dia mempunyai kenalan banyak pembesar-pembesar istana. Kalau engkau sampai mengadu ilmu dengan dia, sudah tentu engkau akan berusaha untuk menang dan sekali engkau menang darinya, apa kaukira kita dapat lagi menyimpan rahasia kita" Tentu semua di kota raja akan tahu dan akan sukarlah menyimpan rahasia bahwa kita datang dari Lembah Naga, apalagi kalau sampai diketahui bahwa engkau she Ceng..."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Thian Sin penasaran. She-nya sama dengan she kaisar! Dan dia tidak takut ditangkap atau dibunuh seperti yang terjadi pada ayahnya. Dia akan melakukan perlawanan!
"Siapa bilang engkau takut adikku" Akan tetapi kita harus bersikap cerdik dan tidak sembarangan menuruti nafsu. Apa sih perlunya mencoba orang seperti dia itu" Ingat, kita pergi merantau ini untuk meluaskan pengetahuan, bukan untuk memancing terjadinya keributan, dan kukira engkau tidak akan suka untuk membikin pusing dan susah kepadaku, bukan?"
Ditanya demikian, Thian Sin memegang lengan kakaknya "Ah, tentu saja tidak, Tiong-ko. Apa kaukita aku sudah gila ingin menyusahkanmu" Maafkan aku, biarlah kucabut lagi keinginanku untuk mencoba Siangkoan Wi Hong kalau memang engkau tidak menyetujuinya. Aku hanya akan melakukan sesuatu dengan persetujuanmu, Tiong-ko dan kau tentu tahu akan hal ini."
Demikianlah, dengan hati lega melihat adiknya sudah "tenang" kembali itu, Han Tiong mengajak adiknya tidur. Akan tetapi baru saja mereka akan pulas, pintu kamar mereka diketuk orang! Sebagai ahli silat tingkat tinggi, sedikit suara itu sudah cukup membuat mereka sadar benar dan berloncatan turun dari tempat tidur. Dengan hati-hati Han Tiong membuka pintu kamar dan dua orang pria sambil tertawa-tawa dan tubuh sempoyongan memasuki kamar. Ketika melihat Han Tiong dan Thian Sin, dua orang itu saling pandang.
"Eh, kenapa begini" Mana dua orang nona manis itu" Heh-heh, sobat-sobat, lekas keluar, kalian menempati kamar kami, dan ke mana perempuan-perempuan manis itu kalian sembunyikan?"
"Hayo keluar!" kata orang ke dua dan mereka mengambil sikap mengancam hendak mengusir Han Tiong dan Thian Sin dengan kekerasan.
"Keparat mabuk!" Thian Sin membentak dan sudah hendak turun tangan, akan tetapi lengannya dipegang oleh Han Tiong.
"Mereka ini mabuk, perlu apa dilayani?" katanya kepada adiknya. Kemudian dia melangkah maju menghadapi dua orang itu. "Saudara-saudara salah masuk, ini adalah kamar kami, harap kalian suka keluar lagi." Berkata demikian, Han Tiong dengan halus mendorong mereka keluar.
"Apa" Kau hendak memukul?" bentak seorang di antara mereka dan orang itu sudah mengayun tangan memukul ke arah Han Tiong. Akan tetapi pemuda ini hanya mengelak sedikit dan dia terus mendorong mereka keluar dari kamar tanpa membalas. Setelah keduanya tak dapat bertahan dan terdorong keluar, dia lalu menutupkan lagi pintu kamarnya. Dua orang itu menggedor-gedor dari luar, akan tetapi Han Tiong diam saja dan dia melarang Thian Sin yang marah-marah hendak menghajar mereka itu.
Akhirnya dua orang mabuk itu pergi juga. "Tiong-ko, engkau terlalu sabar!" Thian Sin mencela. Orang-orang mabuk kurang ajar itu sepatutnya diberi hajaran biar kapok!
"Adikku yang baik, bukankah engkau tahu bahwa mereka itu mabuk dan tidak sadar" Kita yang tidak mabuk dan yang sadar sepatutnya kalau mengalah."
"Tapi mereka memukulmu tadi!"
"Memang, dan itulah kalau orang mabuk. Kalau aku yang tidak mabuk balas memukul, habis lalu apa bedanya antara dia yang mabuk dan aku yang tidak mabuk" Adikku, bukan berarti bahwa aku sabar, melainkan karena mana mungkin aku marah terhadap orang mabuk?"
Mereka tidur lagi dan malam itu tidak terjadi hal-hal menarik. Pada keesokan harinya, mereka berdua melanjutkan pesiar mereka untuk melihat-lihat kota raja yang amat ramai itu. Mereka pergi ke pasar dan Han Tiong bersama adiknya membeli beberapa macam buah-buahan yang belum pernah mereka makan atau bahkan lihat sebelumnya. Dengan kedua tangan membawa keranjang-keranjang terisi buah macam-macam, mereka berjalan kembali ke losmen.
Ketika mereka tiba di sebuah mulut gang yang sempit di dekat pasar, tiba-tiba saja seorang pemuda tinggi besar menabrak Han Tiong. Karena tidak menyangka-nyangka, biarpun dia dapat mengatur kakinya sehingga tidak sampai jatuh, namun dua buah keranjang terisi buah-buahan itu terbuka keranjangnya dan buah-buahan itu berceceran dan menggelinding di atas tanah!
"He, di mana matamu?" bentak pemuda tinggi besar itu dan dari belakangnya datang lima orang pemuda lain, juga bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar berlagak seperti jagoan-jagoan muda yang banyak terdapat di kota-kota besar. Mereka dengan angkuh lalu menginjak-injak buah-buahan yang berserakan di jalan itu.
"Heiii, itu buah-buah kami...!" Thian Sin membentak marah, akan tetapi Han Tiong mengedipkan matanya kepada adiknya, lalu dia menjura kepada Si Tinggi Besar yang menabraknya tadi.
"Harap kaumaafkan saya, sobat. Karena tempat ini sempit dan aku lengah, maka telah menabrakmu. Sudahlah, kesalahanku itu ditebus dengan hilangnya semua buah-buah yang kubeli."
Si Tinggi Besar itu sejenak memandangnya, kemudian tertawa-tawa, diikuti oleh lima orang temannya. Mereka mentertawakan Han Tiong, akan tetapi anehnya mereka tidak menghalang ketika Han Tiong mengajak adiknya pergi cepat-cepat dari tempat itu, diikuti suara ketawa mereka.
"Ah, Tiong-ko, sungguh penasaran sekali!" Demikian Thian Sin mengeluh ketika mereka tiba kembali di kamar losmen mereka. Pemuda ini masih merasa marah, mukanya merah dan kadang-kadang dia mengepal tinju tangannya.
"Apa maksudmu Sin-te?"
"Aku merasa malu bukan main harus lari terbirit-birit dari lima orang berandal tadi. Betapa ingin aku menghajar mereka sampai jatuh bangun. Kenapa kita harus bersikap sedemikian pengecut dan membiarkan mereka menghina kita, Tiong-ko" Apakah perbuatan kita itu tidak menimbulkan buah tertawaan dan sama sekali bukan selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar melainkan lebih patut menjadi sikap pengecut dan penakut?"
Han Tiong tersenyum tenang, memandang wajah adiknya dengan tajam lalu berkata, suaranya tenang dan tegas, "Adikku yang baik, engkaupun tahu bahwa justeru seorang pendekar adalah orang yang tidak mudah marah menurutkan perasaannya saja. Kalau kita menghadapi orang gila, apakah kita juga harus menjadi gila pula."
"Tapi mereka itu bukan gila, mereka itu orang-orang jahat!" Thian Sin membantah.
"MEREKA itu gila, adikku. Kalau mereka itu menggunakan kekerasan, lalu kita menghadapi mereka dengan kekerasan pula, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita?" Mereka gila dan kitapun akan menjadi gila pula. Mereka itu adalah orang-orang gila karena mereka mencari dan memancing keributan tanpa urusan dan sebab, mereka itu orang-orang sakit yaitu batin mereka yang sakit. Sebaliknya, kita yang waras ini, yang mampu menjauhkan diri menghindari keributan, mengapa kita harus melayani mereka" Bukankah itu akan menjadi sama gilanya, sama sakitnya, dan sama jahatnya?"
"Tapi, koko, sungguh penasaran sekali kalau kita, putera-putera dari Pendekar Lembah Naga, harus lari terbirit-birit menghadapi tikus-tikus pasar itu!"
Han Tiong tersenyum lebar dan merangkul pundak adiknya. "Aihh, Sin-te, apakah masih kurang gemblengan yang diberikan oleh Paman Lie Seng dan oleh ayah sendiri kepada kita" Kalau semua pendekar di dunia sudi melayani pengacau-pengacau kecil seperti mereka tadi tentu keributan akan terjadi setiap hari dan para pendekar tidak ada waktu lagi untuk menghadapi urusan-urusan besar. Mereka itu hanyalah orang-orang yang sengaja hendak memancing keributan karena itulah kesenangan mereka. Kalau kita melayani, berarti kita ini malah membantu kekacauan mereka. Sudahlah, anggap saja tadi itu sebagai latihan mental bagimu, adikku."
Akhirnya Thian Sin mau juga menerima semua alasan kakaknya dan diapun melihat kebenarannya. Memang sesungguhnyalah, dia sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayah angkat atau juga pamannya, telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sunggub tidak sepatutnya kalau kepandaian itu dipergunakan hanya untuk urusan yang sedemikian remehnya. Justeru kalau dia terkena pancingan pemuda-pemuda berandalan tadi, hal itu hanya menunjukkan bahwa dia bukanlah sebagai pendekar yang sudah "masak". Maka hatinyapun menjadi dingin dan tenang kembali.
"Adikku, kota raja ini ternyata bukan merupakan tempat yang menyenangkan, dan ternyata penuh dengan orang-orang jahat seperti pernah diceritakan oleh ayah. Betapa jauhnya perbedaan kehidupan di desa dan di kota. Di dusun begitu aman tenteram dan kejahatan manusia tidak begitu menyolok, sebaliknya di kota raja ini suasananya demikian panas, dan hampir tidak pernah aku melihat wajah-wajah yang membayangkan kedamalan hati. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita saja Sin-te. Tidak enak kalau terlalu lama berdiam di lempat seperti ini."
"Terserah kepadamu, Tiong-ko, akan tetapi jangan lupa bahwa kita telah berjanji untuk singgah di tempat kediaman Siangkoan Wi Hong."
Han Tiong mengangguk dan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia tidak begitu suka kepada pemuda pesolek yang berhati kejam itu, akan tetapi karena dia memang sudah menerima undangan, dan pula diapun tahu bahwa adiknya ini diam-diam amat kagum dan suka kepada orang she Siangkoan itu. "Baik, Sin-te. Kita singgah sebentar di rumahnya, kemudian melanjutkan perjalanan kita menuju ke Cin-ling-san."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi kedua orang pemuda itu telah meninggalkan losmen dan mereka lalu pergi mencari rumah tinggal Siangkoan Wi Hong. Ternyata tidak sukar untuk mencari rumah gedung besar di samping toko itu, karena memang nama Siangkoan Wi Hong telah terkenal di kota raja. Dan ternyata sepagi itu, Siangkoan Wi Hong telah duduk di serambi depan sambil memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah seperti biasanya. Hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik yang-kimnya itu. Agaknya alat ini tak pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya demikianlah. Yang-kim ini merupakan senjata yang amat diandalkan di samping merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat munculnya Han Tiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan wajah gembira.
"Ah, selamat pagi, selamat pagi! Gembira sekali hatiku mendapat kunjungan kalian! Silakan duduk... eh, mari kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil menikmati bunga-bunga indah." Dengan ramahnya Siangkoan Wi Hong lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman bunga di sebelah kiri gedungnya dan mengajak mereka duduk di pondok kecil terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam taman itu. Tanpa diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda berdatangan membawa minuman.
Siangkoan Wi Hong memesan agar dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar dipanggilkan tiga orang nona dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong berkata, "Katakan kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang dan dua orang kawannya cepat datang ke sini, sekarang juga!"
Dua orang pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah sebuah rumah pelacuran tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan-hartawan karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak mengira sama sekali bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk melayani mereka!
Han Tiong dan Thian Sin menjadi sungkan dan malu-malu ketika para pelayan datang membawa hidangan yang amat banyak dan bermacam-macam.
Sungguh luar biasa royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali bukan sarapan pagi, melainkan lebih mewah daripada makan siang atau makan malam! Dan kedua orang pemuda ini menjadi semakin tersipu malu ketika tak lama kemudian datang tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai minyak wangi yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walaupun harus mereka akui bahwa mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar, melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja yang jinak-jinak merpati! Diam-diam Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran mengapa ada tiga orang dara muda seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa sekali. Akan tetapi alisnya berkerut ketika Siangkoan Wi Hong memperkenalkan mereka sebagai "bunga" pilihan dari Rumah Bunga Seruni! Biarpun dia sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang telah dibacanya Han Tiong dan juga Thian Sin dapat menduga bahwa tiga orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi seperti juga halnya pelacur yang pernah menemani kongcu ini di rumah makan tempo hari. Maka, Han Tiong merasa kikuk den malu sekali dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan Thlan Sin juga nampak "alim", padahal di dalam hatinya dia merasa gembira sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim!
Melihat betapa kikuknya sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi Hong bersikap bijaksana dan dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya membiarkan mereka bermain yang-kim, suling dan bernyanyi saja, tidak lagi memperkenankan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya.
"Siangkoan-loheng, bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu" Apa yang terjadi ketika engkau dipanggil oleh Ji-cianbu dari rumah makan itu?" Thian Sin tak dapat menahan hatinya untuk memancing tuan rumah dengan pertanyaan ini. Kakaknya menganggap pemuda ini curang, kejam dan jahat, akan tetapi dia sendiri merasa tertarik dan menganggap pemuda ini amat gagah perkasa dan juga ramah menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana pandangan Siangkoan Wi Hong sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan itu mau mengakui semua perbuatannya.
Mendengar pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak lalu minum araknya. Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat menahan kegelian hatinya membayangkan kembali peristiwa yang lucu.
"Ha-ha-ha-ha, aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha, puas benar hatiku. Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi hajaran keras. Kalian tahu apa yang telah kulakukan" Aku telah memeras lima puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!"
Thian Sin saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak cahaya kemenangan, seolah-olah pandang matanya berkata, "Lihat, bukankah dia ini gagah dan jujur?"
"Aku memang sengaja memukul anaknya, dan tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang mengancam keselamatan nyawa mereka agar ayahnya datang dan memang benar dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar lima puluh tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!"
"Mengapa loheng menganggap mereka busuk?" Thian Sin mendesak, memandang kagum.
"Tidakkah busuk mereka" Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang sombong dan kasar dan sudah biasa dia bersikap sewenang-wenang kepada rakyat, memaksa wanita dan sebagainya. Dan ayahnya... hemm, coba bayangkan, sebagai berpangkat kapten seperti dia mampu membayarku lima puluh tail emas secara tunai! Kalau menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahunpun dia belum dapat menyimpan lima puluh tail emas! Ayahnya tukang korup besar, pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai yang sewenang-wenang, tidakkah pantas mereka itu dihajar?" Kembali Siangkoan Wi Hong tortawa dan Thian Sin mengerling ke arah kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya yang tampan.
"Akan tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris tiga orang itu terbunuh..." Han Tiong berkata mencela halus.
Siangkoan Wi Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar kata-kata ini, akan tetapi kemudian dia tersenyum. "Saudara Cia Han Tiong tidak mengerti agaknya tentang jiwa pendekar! Pula, andaikata tiga orang itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni kota raja?"
Han Tiong menunduk dan tidak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang memasuki pondok taman itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah orang itu memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata, "Maaf kalau saya mengganggu, kongcu. Akan tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu."
"Hemm... Kang-thouw-kwi" Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat) dan suruh dia menanti di sana. Aku akan datang segera!" kata Siangkoan Wi Hong.
Akan tetapi pada saat itu, Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar itu karena mereka berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di pasar! Thian Sin sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang lengannya dan menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian pergi keluar dari pondok.
Han Tiong kini memandang kepada tuan rumah dengan suara tenang namun tegas dia lalu berkata, "Saudara Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata dia adalah pembantumu. Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?"
Tentu saja mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli, kemudian Siangkoan Wi Hong menjawab, "Memang benar, dia adalah pembantuku dan gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah atas perintahku."
"Apa" Apa maksucimu dengan itu?" Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali.
"Tidak ada maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu adalah orang-orangku yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang pelajar yang bijaksana dan sabar sekali, bukan..."
Melihat tuan rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong menyambung, "Bukan dua orang pendekar seperti yang kausangka?"
Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Kiranya mereka gagal dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka maafkanlah. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin menonton adu pibu ataukah tidak?"
Han Tiong tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiripun diam-diam amat tertarik dan ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan tuan rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu. Maka diapun mengangguk dan menjawab, "Kalau kami tidak mengganggu, kami ingin melihat."
"Bagus! Mari silakan ikut bersamaku!" kata pemuda itu dengan sikap gembira karena betapapun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini. Han Tiong dan Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, memasuki gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas, sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruantgan tempat berlatih silat yang mewah sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan-lukisan binatang yang gagah seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu silat. Di sudut ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti batu-batu besar untuk diangkat, karung-karung pasir dan sebagainya.
Di sebelah kiri, dekat dinding, terdapat belasan bangku dan sebagai kakek bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat tiga orang pemuda itu memasuki ruangan. Han Tiong dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu uslanya lebih dari enam puluh tahun, rambutnya sudah putih sebagian, sinar matanya mengandung kecemasan dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han Tiong dan Thian Sin.
Dengan sikap tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan dua orang tamunya duduk di atas bangku. Han Tiong dan Thian Sin lalu duduk dan hati mereka tertarik sekali untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah betdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya kakek itu berkata, "Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?"
Yang ditanya mengangguk, tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk. "Silakan duduk, Lo-enghiong." Kakek itu nampak tidak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, diapun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiripun lalu duduk menghadapi kakek itu.
"Apakah Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi" Dan kepentingan apakah yang mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?"
Tiba-tiba sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranyapun penuh dengan nada marah ketika dia menjawab, "Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!"
Siangkoan Wi Hong agaknya memang sudah maklum, maka jawaban itu tidak mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia berkata. "Tentang Lee Si" Ada apakah dengan dia, Lo-enghiong" Sudah lama saya tidak berjumpa dengan dia. Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghlong?"
"Siangkoan-kongcu, harap kongcu tidak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan jawab kongcu atas diri cucu saya itu."
"Pertanggungan jawab yang bagaimanakah yang kaumaksudkan, Lo-enghiong?"
Kakek itu semakin tidak sabar nampaknya. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya terdengar lantang. "Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun dan kongcu telah mencemarkan dia! Pertangungan jawab apalagi kalau bukan minta agar kongcu mengawininya?"
Han Tiong dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tak mereka sangka bahwa kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat sejahat itu, mencemarkan gadis orang!
Akan tetapi Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja. "Hemm, aku tidak pernah mencemarkan siapapun..."
"Kongcu hendak menyangkal" Cucuku telah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai sebagai jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!" Kakek itu membentak marah.
"Siapa menyangkal?" Dia lalu menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya. "Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal sebagai dara manis bernama Lee Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak manapun, telah memadu kasih. Eh, kini tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab! Pertanggungan jawah apa" Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah! Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia..."
"Siangkoan-kongcu! Aku adalah sebagai tua, tidak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tak berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kaurusak, sekarang kami datang untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah hal ini sudah wajar" Apakah engkau hendak menolak?" Kakek itu bangkit berdiri.
Melihat sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan alisnya dan senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she Siangkoan adalah sebagai laki-laki yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan manapun yang akan dapat memaksaku kawin dengan dia!"
"Siangkoan-kongcu! Berani engkau menghina sebagai tua seperti aku dan hendak menodai nama keluargaku?" Kakek itu membentak.
"Hemm, apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk kepadamu?"
"Siangkoan Wi Hong! Jangan mengira bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kubormati. Sungguh tidak tahu diri kalau aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai putera sebagai locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingge dia terjatuh dan kaucemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab! Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan Tiang locianpwe, akan tetapi untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk mempertaruhkannya dengan nyawa sekalipun! Kalau engkau mau bertanggung jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar, akan tetap kalau engkau menolak, biarlah kutebus dengan nyawaku!"
Siangkoan Wi Hong tersenyum mengejek. "Maksudmu, engkau hendak menantangku mengadakan pibu?"
"Hanya ada dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau sebagai di antara kita akan mencuci noda itu dengan darah."
"Bagus sekali, memang akupun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!" Setelah berkata demikian, sekali bergerak, tubuh muda itu telah melayang ke tengah ruangan itu dan dia menggapai dengan sikap menantang sekali, "Mari, Kang-thouw-kwi!"
Kakek itu memandang dengan muka merah dan mata mendelik, kemudian dengan langkah lebar diapun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata, "Kang-thouw-kwi, kita bertanding sebagai sahabat ataukah sebagai musuh" Mengingat akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat."
"Tidak! Aku tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai sebagai laki-laki pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan menodai cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!"
Siangkoan Wi Hong mejebikan bibirnya. "Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin mati, majulah!"
Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya mantap dan kuat sekali ketika tubuhnya menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala lawan. Gerakannya itu seperti gerakan seekor harimau buas yang menggunakan kedua kaki depan untuk mencengkeram dan dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan tulang-tulang yang amat kuat! Namun, Siangkoan Wi Hong sudah dapat mengelak dengan gerakan lincah.
Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut tukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah oleh rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunja pernah menjadi tawanan Pek-san-kui, kemudian menjadi tawanan yang diperlakukan manis seperti tamu-tamu agung. Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat di wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, mendengar betapa pemuda itu telah mencemarkan gadis cucu kakek itu, Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walaupun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu.
Sedangkan Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai scorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong.
"Heiiiiittttt...!" Untuk ke sekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya di waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong dan semua serangannya itu adalah serangan maut yang amat dahsyat dan berbahaya. Namun, pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan gin-kang yang lebih sempurna, dia selalu dapat mengelak dan menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya. Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan kekebalan tubuhnya sehingga biarpun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka.
"Hemm, engkau masih dapat bertahan juga?" kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus den melibat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya. Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan. Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat den beberapa kali dia terhuyung terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kokebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja.
Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tidak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang den tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagaikan seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk! Melihat kni, Siangkoan Wi Hong tersenyum den pemuda ini lalu berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali. Dua orang pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya, tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan terluka parah! Akan tetapi pemuda itu bukannya siap menyingkir atau menangkis, sebaliknya malah memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Mereka dapat menduga pemuda itupun memiliki sin-kang yang amat kuat den dengan tenaga sin-kang yang memenuhi perut, memang dapat juga dia menerima serudukan itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka. Akan tetapi kalau tenaga sin-kangnya itu tidak jauh lebih kuat daripada tenaga dorongan kepala lawan, banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam perutnya.
Kang-thouw-kwi yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan diapun melihat posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia mengerahkan seluruh tenaga karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam serangan terakhir ini. Larinya makin kencang dan setelah jarak antara dia dan lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lalu meloncat dan meluncur ke depan, kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu.
Akan tetapi, begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong sudah bergerak dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan tiba-tiba menjadi lumpuh tergantung lemas! Bukan main kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seolah-olah memasuki sebuah perapian yang panas sekali. Maklum dia akan kelihaian pemuda ini, maka diapun cepat mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahah karena dia tidak dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apalagi setelah kedua lengannya lumpuh tertotok itu. Akan tetapi, betapapun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya seperti direbus dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil, dia maklum bahwa sekali dia kehilangan kesadaran, dia akan tewas!
Han Tiong dan Thian Sin yang melihat peristiwa ini, diam-diam terkejut bukan main dan mereka itu kagum akan kelihaian Siangkoan Wi Hong. Tahulah mereka bahwa kini nyawa kakek itu berada delam bahaya, aplagi melihat betapa pemuda itu dengan berdiri dan bertolak pinggang masih mengerahkan sin-kang untuk membunuh kakek itu, sedangkan tubuh kakek itu mulai menggigil, kedua lengannya lumpuh seperti seekor cecak yang kepalanya terjepit pintu, hanya kedua kaki saja yang meronta sedikit. Thian Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi, akan tetapi dengan sikap tenang dia lalu bangkit dari bangkunya, menghampiri ke tengah ruangan itu. Siangkoan Wi Hong memandang kepadanya, agaknya merasa heran dan tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda pelajar yang lemah namun pemberani itu.
"Kakek bodoh, kalau kepandaianmu hanya sebegini, bagaimana kau berani bermain gila di depan putera Pak-san-kui?" kata Thian Sin lirih sambir menggunakan tangan kirinya menepuk pinggul kakek itu yang menonjol.
"Plak-plak-plak!" Tiga kali dia menepuk dan akibatnya sungguh hebat. Mula-mula wajah Siangkoan Wi Hong berubah pucat, kemudian pada tepukan ke tiga, pemuda itu meloncat ke belakang sambil melepaskan kepala kakek itu dari jepitan perutnya dan dia kini berdiri sambil menarik napas panjang untuk melindungi perutnya yang tadi tergetar hebat, matanya menatap wajah Thian Sin. Dia tadi merasa betapa ada tenaga yang amat dingin menyerbu ke perutnya melalui kepala kakek itu, yang membuat seluruh isi perutnya terasa dingin sampai menusuk jantung. Maka dia terkejut sekali dan terpaksa melepaskan korbannya. Kakek itu begitu terlepas lalu terguling dan sekali Thian Sin menyambar pundaknya dan menariknya bangun, ternyata dia telah terbebas dari totokan!
Melihat keadaan yang gawat ini, Han Tiong cepat menghampiri adiknya dan dia sudah menjura dengan sikap hormat sekali kepada Siangkoan Wi Hong. "Ah, Saudara Siangkoan, adikku telah berlaku lancang, harap kau sudi memaafkan kami dan suka menghabiskan urusan dengan orang tua ini sampai di sini saja."
Siangkoan Wi Hong masih terkejut sekali dan dia sudah melupakan kakek itu, kini seluruh perhatiannya tercurah kepada dua orang tamunya yang benar-benar mengejutkan hatinya ini. Mendengar ucapan Han Tiong, dia hanya berkata, "Bukan aku yang mencari perkara, melainkan dia."
Han Tiong lalu menghadapi kakek itu dan berkata, "Loenghiong, berlaku nekat bukanlah sikap yang bijaksana dan gagah. Membuang nyawa dengan sia-sia bukan merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit dalam keluargamu."
Kakek itu kini sudah terbuka matanya, tahu bahwa dua orang muda itu telah menyelamatkan nyawanya dan bahwa mereka itu lihai bukan main. Tepukan-tepukan pada pinggulnya tadi mendatangkan hawa dingin luar biasa yang meluncur melalui tubuhnya dan sampai di kepalanya, membuat perut yang menjepit kepalanya terpaksa melepaskannya. Dia tahu berhadapan dengan orang-orang pandai, maka diapun menarik napas panjang dan menjura kepada Thian Sin dan Han Tiong.
"Aku tua bangka yang tiada berguna memang seharusnya lebih keras mendidik cucu, salah kami sendiri dan terima kasih atas pertolongan ji-wi taihiap." Maka diapun pergi dari tempat itu tanpa berpamit lagi kepada Siangkoan Wi Hong yang memandang tak peduli karena kini dia terus memandang kepada dua orang muda itu. Setelah kakek itu pergi, barulah dia berkata sambil memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti.
"Hemm, kiranya dugaan dan kecurigaanku ternyata benar! Kalian adalah dua orang pandai yang menyembunyikan kepandaian dan berpura-pura lemah dan bodoh." Dia menatap tajam kepado Han Tiong, lalu berkata. "Dan bukankah Saudara Cia Han Tiong ini benar-benar putera Pendekar Lembah Naga yang pernah menjadi tamu ayah heberapa tahun yang lalu?"
Han Tiong tahu bahwa kini tidak mungkin lagi baginya untuk menyembunyikan diri. Dengan tenang diapun berkata, "Dugaanmu memang benar, sobat. Aku sekeluarga pernah menerima penghormatan dari Pak-san-kui, ayahmu."
"Dan aku adalah Ceng Thian Sin!" Thian Sin menyambung cepat.
"She Ceng...?" Siangkow Wi Hong terkejut memandang pemuda tampan yang pandai pula bersajak dan bernyanyi itu.
"Benar!"
"Kalau begitu... mendiang Ceng Han Houw..."
"Dia adalah ayahku!"
"Ah, jadi engkau inilah puteranya yang dikabarkan terlepas dari pembasmian dan berhasil menghilang itu" Sungguh tak kusangka akan dapat bertemu dengan dua orang seperti kalian!" Siangkoan Wi Hong nampak gembira bukan main, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
Diam-diam Han Tiong terkejut mendengar pengakuan Thian Sin. Adiknya itu sungguh lancang sekali memperkenalkan diri. Mereka masih berada di kota raja dan memperkenalkan diri sebagai putera Ceng Han Houw yang dimusuhi pemerintah itu sungguh amat berbahaya. Maka dia cegat menjura ke arah Siangkoan Wi Hong.
"Saudara Siangkoan, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu kepada kami. Nah, perkenankan kami untuk melanjutkan perjalanan."
Akan tetapi, pemuda hartawan itu cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan cepat, "Nanti dulu, tahan dulu, sahabat-sahabatku yang baik! Setelah mengetahui siapa kalian, dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak mungkin aku membiarkan kalian pergi begitu saja tanpa lebih dulu berkenalan dengan ilmu silat kalian. Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja! Kalian harus lebih dulu menandingi aku dalam pibu, baru kulepaskan kalian pergi!"
"Akan tetapi, kami bukanlah musuh-musuhmu!" Han Tiong membantah dan menolak.
Siangkoan Wi Hong tertawa gembira. "Ha-ha-ha! Sahabat atau musuh bagiku sama saja, asal orangnya lihai. Tidak seperti kakek kerbau tadi yang menjemukan! Bagiku punya teman lihai atau musuh lihai, itulah yang amat menyenangkan. Sekarang, putera Pendekar Lembah Naga dan putera Pangeran Ceng Han Houw, kedua-duanya merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya pernah menggemparkan dunia, telah berada di sini berhadapan dengan aku, maka bagaimanapun juga kalian harus menandingi aku dalam adu ilmu silat!" Setelah berkata demikian sebelum dua orang pemuda itu menjawab, Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan tiga kali dan bermunculan enam orang dari pintu belakang. Mereka ini bukan lain adalah pemuda tinggi besar dan lima orang temannya yang pernah mengganggu dua orang pemuda itu di pasar. Si tinggi besar itu memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga dengan senyum mengejek dan mereka semua menanti perintah dari tuan muda mereka.
"Kia Tong, sekarang engkau dan kawan-kawanmu boleh mencoba mereka ini. Hati-hati, mereka berdua bukanlah orang-orang lemah seperti yang kalian kira," kata Siangkoan Wi Hong dengan senyum gembira.
"Tapi, kongcug perlukah kami berenam yang maju" Biarkan saya sendiri menghajar dua cacing buku ini!" kata Si Tinggi Besar yang dipanggil Kia Tong itu.
Sepasang mata Siangkoan Wi Hong biasanya lembut dan ramah itu tiba-tiba mendelik dan suaranya terdengar ketus, "Tolol! Kalian maju berenampun jangan harap akan menang!" Terkejutlah Kia Tong dan dia tidak berani membantah pula, lalu memberi isyarat kepada lima orang temannya untuk maju kersama.
Sementara itu, Thian Sin sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Tiong-ko, sekali ini kita tidak bisa membiarkan tikus-tikus ini berlagak. Biarkan aku menghajar mereka!"
Han Tiong juga maklum bahwa sekarang tidak mungkin lagi mereka menyingkirkan diri dan menghindarkan perkelahian, maka dia mengangguk, akan tetapi berkata dengan suara penuh peringatan, "Ingat, jangan kau membunuh orang, Sin-te!"
Giranglah hati Thian Sin memperoleh perkenan kakaknya ini. Dia lalu melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu. Dengan anggukan kepalanya, Siangkoan Wi Hong lalu memberi isyarat kepada enam orang itu yang segera maju mengepung Thian Sin. Si Tinggi Besar masih bersikap sombong, karena betapapun juga, dia masih memandang rendah kepada pemuda yang kelihatan lemah dan yang pernah melarikan diri tunggang-langgang ketika dia mengganggunya di pasar itu.
Melihat betapa enam orang itu hanya mengepungnya, Thian Sin membentak, "Tikus-tikus busuk, majulah kalau kalian memang berani!"
Si Tinggi Besar menjadi marah. "Serbu...!" dia memberi aba-aba dan lima orang pembantunya serentak maju menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Mereka berlima ini merupakan pembantu-pembantu Siangkoan Wi Hong, maka tentu saja kepandaian mereka sudah cukup tangguh, lebih tinggi dibandingkan dengan para tukang pukul biasa saja. Maka kini serangan merekapun merupakan serangan gaya silat yang cukup kuat dan cepat, bukan sekedar mengandalkan tenaga kasar belaka.
Thian Sin teringat akan pesan kakaknya, maka dia menahan kemarahannya dan tidak ingin menurunkan tangan maut. Akan tetapi teringat betapa dia dan kakaknya dihina di pasar, betapa buah-buah yang dibelinya jatuh berhamburan di atas tanah, betapa dia dan kakaknya ditertawakan dan diejek, maka kini dia menggerakkan tangan menangkis setiap pukulan sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang! Terdengar bunyi "krek!" setiap kali dia menangkis dan lima kali dia menangkis pukulan lima orang itu. Akibatnya, lima orang itu terpelanting roboh den ketika mereka merangkak bangun, mereka mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang tadi tertangkis karena lengan mereka itu ternyata telah patah tulangnya dan tentu saja mereka tidak dapat menyerang lagi.
Rasa nyeri membuat mereka meringis dan melangkah mundur sambil memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Juga Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main. Dia memang sudah dapat menduga akan kelihaian Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda yang halus itu ternyata demikian tangkas, kuat dan ganas, bertangan besi, sekali tangkis mematahkan lengan lima orang penyerangnya! Tahulah dia bahwa orang-orangnya itu sama sekali bukan merupakan tandingan pemuda ini akan tetapi untuk mencegahnya dia sudah terlambat, karena kini Si Tinggi Besar sudah menyambar sebatang golok besar dari rak senjata dan dengan marah dia sudah menerjang dengan goloknya ke arah Thian Sin. Kalau dia mau, tentu saja Siangkoan Wi Hong dapat dan masih ada kesempatan untuk mencegah pembantunya ini, akan tetapi dia memang ingin melihat bagaimana Thian Sin akan menghadapi serangan golok dari pembantunya yang cukup lihai ini.
Thian Sin tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia menanti sampai bacokan golok itu menyambar dekat dengan kepalanya, lalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis golok besar itu dengan jari-jari tangannya dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Krokkk!" Golok itu patah menjadi dua potong dan secepat kilat tangan Thian Sin bergerak dua kali disusul gerakan kaki dua kali dan... tubuh Si Tinggi Besar itu terlempar, terjengkang dan terbanting ke belakang, goloknya terlepas jauh. Dia tidak dapat merangkak bangkit seperti teman-temannya tadi karena kalau teman-temannya itu hanya menderita tulang sebelah lengan yang patah, dia sendiri menderita patah tulang kedua lengan dan kedua kakinya! Terpaksa teman-temannya, dengan sebelah tangan saja, membantunya dan menggotongnya keluar dari tempat itu!
Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kagum akan tetapi juga terkejut. Pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu benar-benar hebat dan bertangan maut, pikirnya. Teringat dia akan cerita tentang mendiang pangeran yang pernah menjagoi di dunia kang-ouw itu dan diam-diam diapun bersikap waspada karena maklum bahwa pemuda itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi dengan wajah penuh senyum ramah dia melangkah maju menghadapi Thian Sin sambil menjura, "Ah, kiranya ilmu kepandaian Saudara Ceng amat hebat dan tinggi! Sungguh aku seperti katak dalam tempurung, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata!"
Akan tetapi Han Tiong sudah menjura kepadanya, "Saudara Siangkoan harap suka maafkan adikku, dan perkenankanlah kami pergi dari sini dan tidak merusak suasana persahabatan antara kita."
Siangkoan Wi Hong menoleh kepada Han Tiong. Dia memang seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia sudah mendengar akan hubungan antara Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dengan mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu merupakan kakak angkat dari Cia Sin Liong, dan juga ada hubungan darah antara isteri pangeran itu dengan Pendekar Lembah Naga, yaitu saudara misan, keduanya adalah cucu-cucu dari pendiri Cin-ling-pai. Maka diam-diam diapun melakukan pilihan. Menurut riwayat sang pangeran, maka keturunan ini lebih condong untuk menjadi segolongan dengan dia, sedangkan pemuda she Cia itu tentu saja merupakan ahli waris Cin-ling-pai dan tetap menjadi musuh golongannya. Maka, sedapat mungkin dia harus menjadikan Ceng Thian Sin ini sebagai sebagai sahabat, sedangkan Cia Tiong harus dimusuhinya!
"Ah, Saudara Cia Han Tiong. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak peduli apakah kalian menjadi kawan atau lawan, bagiku sama saja asalkan kawan atau lawan itu lihai, semua menyenangkan hatiku. Keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw sudah jelas amat hebat kepandaiannya dan membuat hatiku kagum sekali, tidak tahu sampai di mana kelihaian keturunan dari ketua Cin-ling-pai. Apakah lebih hebat daripada kepandaian keturunan Pangeran Ceng" Kiranya begitulah, dan aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Mari, majulah!" Jelas bahwa kini pemuda hartawan itu menujukan tantangan kepada Cia Han Tiong.
Akan tetapi pancingan dan tantangannya itu tidak mengenai sasaran. Han Tiong menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku datang ini bukan untuk berkelahi, melainkan memenuhi undanganmu, sebagai kenalan."
"Hemm, apakah engkau takut, Saudara Cia?"
"Terserah penilaianmu," jawab Han Tiong tenang.
Akan tetapi, Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi merah. "Siapa bilang kami takut padamu?" bentaknya. "Tiong-ko, biarlah aku melawan si sombong ini!"
Thian Sin tidak memberi kesempatan kepada kakaknya untuk menjawab dan dia langsung maju menghadapi Siangkoan Wi Hong sambil membentak, "Tidak perlu kakakku turun tangan, akupun sudah cukup untuk menandingimu!"
Biarpun hatinya menyesal mengapa pemuda keturunan ketua Cin-ling-pai itu tidak melayaninya dan kini bahkan putera pangeran itu yang maju, akan tetapi Siangkoan Wi Hong tidak menolak. Betapapun juga dia harus menunjukkan kelihaiannya dan karena selama ini dia belum pernah kalah oleh siapapun juga, timbul semacam kesombongan di dalam hatinya dan kepercayaan diri yang berlebihan sehingga dia memandang ringan semua orang.
"Baik sekali, biariah kita main-main sebentar, Saudara Ceng!" Baru saja kata-katanya terhenti, tangannya sudah melakukan serangan. Dengan tangan terkepal, tangan itu menyambar dari pinggang kanannya, dengan kepalan terputar amat kuatnya menyambar ke arah pusar Thian Sin! Pemuda ini tahu akan bahayanya pukulan seperti itu. Kepalan terputar itu laju seperti peluru baja saja dan dapat minimbulkan luka-luka hebat di dalam rongga perut, maka dia pun cepat menggerakkan lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dada lawan.
"Dukkk!" Tangkisan Thian Sin itu bertemu dengan lengan Siangkoan Wi Hong, membuat mereka berdua tergetar, dan pemuda hartawan itu juga menggunakan lengan kirinya untuk menangkis hantaman tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang amat kuat dan yang akan mampu mematahkan tulang-tulang dadanya itu.
"Dukk!" Kembali kedua lengan mereka bertemu dan keduanya tergetar hebat. Hal ini mengejutkan Siangkoan Wi Hong karena dari pertemuan lengan dua kali ini saja maklumlah dia bahwa Thian Sin memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Maka, mengingat betapa pemuda ini tadi merobohkan semua pembantunya, dan melihat kenyataan akan kuatnya tenaga sin-kangnya, Siangkoan Wi Hong tidak berani memandang rendah lagi.
Senyumnya menghilang dari wajahnya yang tampan dan mulailah dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kedua tangannya mengeluarkan hawa pukulan dahsyat ketika dia menghujankan serangan kepada Thian Sin.
Namun Thian Sin sudah siap menghadapinya. Pemuda Lembah Naga inipun sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini merupakan seorang lawan yang tangguh, maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan juga membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Terjadilah serang menyerang, saling pukul elak dan tangkis bertubi-tubi. Berkali-kali kedua lengan mereka saling bertemu, makin lama makin kuat sehingga pertemuan itu seperti menggetarkan seluruh ruangan dan kadang-kadang kelau pertemuan antara kedua lengan itu amat kuatnya, tubuh mereka tidak hanya tergetar, bahkan terdorong mundur. Pertandingan itu makin lama makin seru dan agaknya mereka itu seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga. Setelah lewat lima puluh jurus dan belum dapat mendesak lawannya sama sekali, Siangkoan Wi Hong baru benar-benar terkejut karena tahulah dia bahwa kepandaian Thian Sin ternyata tidak kalah olehnya! Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyerang lawan dari atas, dengan kedua lengan bergerak-gerak, kedua tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar-nyambar dari atas.
"Brettt-brettt...!" Thian Sin meloncat ke belakang dengan kaget. Serangan lawan yang amat cepat dan aneh itu biarpun telah dielakkan dan ditangkisnya, tetap saja masih mengenai pundaknya dan membuat bajunya terobek di bagian kedua pundaknya! Dia terkejut sekali sungguhpun kulit dagingnya dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang dan tidak terluka. Memang gerakan lawan itu amat aneh dan tidak mudah menghadapi seorang lawan yang menyerang dari atas seperti itu. Ilmu silatnya dilatih untuk menghadapi lawan sebagai manusia, yaitu yang bergerak di sekeliling dirinya, bukan menghadapi manusia burung yang datang dari atas.
Setelah berhasil merobek baju di kedua pundak lawan, timbul kembali kesombongan Siangkoan Wi Hong dan diapun tertawa dengan gembira. Hal ini membuat wajah Thian Sin menjadi merah dan dia sudah menjadi marah sekali.
"Wuuutt... wuuuttt...!" Angin menyambar-nyambar hebat ketika dia menggunakan pukulan dan tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat. Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main karena hawa pukulan itu saja sudah terasa olehnya dan dia cepat berloncatan mundur.
"Sin-te, jangan...!" Han Tiong memperingatkan dan Thian Sin sadar bahwa kalau dia mendesak lawan dengan pukulan-pukulan sakti itu, memang kalau sampai lawan terkena mungkin saja dia akan melakukan pembunuhan. Maka diapun cepat mengubah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Dengan ilmu silat yang tangguh di bagian pertahanan ini, dia mampu membendung serangan-serangan lawan yang menggunakan ilmu silat seperti burung garuda beterbangan itu, mampu mengelak, menangkis dan juga membalas serangan. Betapapun juga, tetap saja dia berada di fihak yang diserang dan didesak, kira-kira dalam perbandingan satu kali menyerang tiga kali diserang! Hal ini membuat Thian Sin merasa penasaran sekali. Memang hebat sekali ilmu silat lawannya itu. Memang ilmu yang dimainkan Siangkoan Wi Hong itu adalah ilmu silat keluarganya yang amat diandalkan dan hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan tangguh. Ilmu silat itu diberi nama Go-bi Sin-eng-jiauw (Cakar Garuda Go-bi) yang bersumber pada ilmu silat Go-bi-pai. Akan tetapi oleh Pak-san-kui dasar ilmu silat Go-bi-pai itu telah diubah dan ditambah sedemikian rupa, dicampur dengan ilmu Eng-jiauw-kang yang berasal dari daerah Korea sehingga terciptalah ilmu Go-bi Sin-eng-jiauw yang amat ampuh itu. Selain gerakan dalam ilmu silat ini aneh, tubuh berloncatan seperti garuda yang beterbangan menyambar-nyambar lawan, juga jari-jari tangan yang membentuk cakar itu seolah-olah berubah menjadi cakar baja yang amat kuat, dapat dipakai untuk menahan senjata tajam dan memiliki kekebalan seperti ilmu Thian-te Sin-ciang!
Sudah seratus jurus mereka bertanding dan Thian Sin masih terus terdesak, bahkan beberapa kali tubuhnya kena cakaran yang untung tidak sampai terluka, hanya bajunya saja yang robek karena kulit tubuhnya telah terlindung oleh sin-kangnya. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong tertawa-tawa dan membuat Thian Sin makin penasaran. Ketika dia melihat tangan kiri lawan yang berbentuk cakar itu menyerang ke arah mukanya, dia cepat menangkis, akan tetapi cakaran tangan kanan lawan ke arah dadanya sama sekali tidak ditangkis atau dielakannya.
"Plak!" Cakar tangan kanan Siangkoan Wi Hong mengenai dada Thian Sin.
"Ahhhhh...!" Siangkoan Wi Hong berteriak kaget, matanya terbelalak ketika dia merasa betapa tangan kanannya itu melekat pada dada lawan dan tenaga sin-kangnya membanjir keluar melalui telapak tangannya yang tersedot oleh dada lawan. Dalam kagetnya, pemuda ini mengerahkan sin-kang untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin hebat dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kangnya tersedot keluar.
"Thi-khi-i-beng..." teriaknya kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia telah mendengar dari ayahnya akan ilmu yang istimewa ini. Akan tetapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu, tangan kiri Thian Sin sudah menyambar dan menampar punggungnya.
"Bukkk!" Tubuh Siangkoan Wi Hong terpelanting dan dia roboh, lalu muntahkan darah segar. Hantaman dengan tenaga Thian-te Sin-ciang pada punggungnya itu biarpun tidak melukai punggung yang terlindung kekebalan, namun telah mengguncangkan isi dadanya dan membuat dia terluka di sebelah dalam, tidak terlalu parah namun cukup membuat dia muntah darah dan tidak mungkin melanjutkan pertandingan.
Melihat ini, Han Tiong cepat meloncat menghampiri dan dengan ilmu It-sin-ci, yaitu dengan satu jari telunjuk tangan kanannya, dia menotok tiga tempat, di sepanjang tulang punggung Siangkoan Wi Hong untuk menyembuhkan orang itu, sambil menariknya bangun, lalu dia menjura dengan hormat.
"Harap Saudara Siangkoan sudi memaafkan kami berdua," katanya, kemudian dia memberi isyarat kepada adiknya dan mereka berdua meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari dalam rumah dan bergegas meninggalkan kota raja yang oleh Han Tiong dianggap sebagai tempat berbahaya itu. Siangkoan Wi Hong masih terlalu kaget dan merasa terpukul kehormatannya karena dia telah dikalahkan, maka diapun hanya menarik napas panjang berulang-ulang. Dia tahu dari totokan-totokan tadi bahwa kepandaian Cia Han Tiong kiranya bahkan lebih lihai daripada kepandaian Thian Sin yang telah mengalahkannya. Timbul rasa penasaran dan dia ingin memperdalam ilmunya kepada ayahnya dan diapun merasa kecewa, mengapa tadi dia tidak mempergunakan yang-kim untuk melawan pemuda Lembah Naga itu. Dia telah menderita rugi sebagai akibat memandang rendah lawan. Akan tetapi menyesalpun tiada guna. Dua orang pemuda itu telah pergi dan dalam keadaan terluka itu tak mungkin dia akan dapat melawan lagi. Dengan hati penuh rasa penasaran dan menyesal, hari itu juga Siangkoan Wi Hong meninggalkan kota raja dan kembali ke Tai-goan, tempat tinggal Pak-san-kui Siangkoan Tiang, ayahnya yang hidup sebagai datuk kaya raya.
*** Han Tiong dan Thian Sin yang baru saja meninggalkan kota raja, kini merasa amat gembira dan takjub menikmati pemandangan alam yang amat indah di Pegunungan Cin-ling-san. Setelah berhari-hari tinggal di kota raja yang demikian sesak dengan manusia yang demikian bising dan di mana mereka menemukan masalah-masalah yang tidak enak sekali, kini tempat yang berhawa sejuk dan segar, bersih dan hening itu nampak teramat indah dan menyenangkan!
Memang sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa ulah manusia, yaitu diri sendiri, telah membuat dunia ini menjadi suatu tempat tinggal yang kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan bersih seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, segera berubah menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia. Banyak memang terdapat mahluk hidup di dunia ini, namun, betapapun nyaring suara mahluk-mahluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka saling bicara. Suara manusia pada umumnya sudah penuh dengan nafsu, penuh dengan keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh dengan kemarahan, kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh manusia, mendengarkan suara, manusia dalam pasar itu, lalu membandingkannya dengan suara burung-burung dan binatang-binatang di dalam hutan, akan nampak perbedaan yang teramat besar.
Kita tidak pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah tempat. Yang tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan menganggap bahwa keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau dia sudah tinggal di gunung, diapun masih akan menderita karena merasa kesepian dan ingin kembali ke kota! Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam, dan kalaupun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya! Kita baru dapat menikmati keindahan alam apabila kita tidak membanding-bandingkan, apabila pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apabila di dalam pikiran tidak terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan tidak kusenangi. Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita sendiri, keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat pada jiwa yang bebas, bebas dari ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si aku.
Senja itu memang indah bukan main! Han Tiong dan Thian Sin yang kebetulan datang dari arah timur, dapat menikmati keindahan senja itu sepenuhnya. Kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan keindahan pada saat itu, keindahan senja tidak dapat digambarkan, hanya dapat dirasakan. Seakan-akan terbuka pintu sorga dalam dongeng-dongeng nun jauh di langit barat. Langit yang pada kakinya seperti terjadi kebakaran, memerah jingga di lereng belakang bukit. Makin tinggi makin muda warna merah itu sampai menjadi warna setengah merah setengah kuning, dilatarbelakangi warna kebiruan, biru yang mengandung kehijauan, maka terjadilah percampuran warna antara merah, kuhing dan biru, warna-warna pokok, yang membentuk segala macam warna yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata. Dan di antara langit yang dicoreng-moreng bermacam warna itu, di antara awan-awan yang menghitam kelabu dan yang membentuk bermacam corak dan bentuk yang melampaui segala yang dapat dikhayalkan otak, nampak sinar-sinar kuning emas dari matahari senja yang sudah mulai bersembunyi di balik puncak Gunung Cin-ling-san.
Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba. Sebatang pohon yang-liu yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil dan merupakan sesuatu yang hitam menentang keindahan warna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang melengkung indah dan halus, seolah-olah menunduk dan menghormati suasana yang hening, sedikitpun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-nari lemah gemulai tertiup angin berdesir.
Beberapa burung merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan, seolah-olah merupakan seekor mahluk besar yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu tidak mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh antara yang hening dan yang bising, yang diam dan bergerak. Keadaan tadi yang diam dan hening seperti keadaan mati mengandung gerah dan bunyi yang menjadi pertanda hidup itu, sehingga di dalam kematian itu terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itupun terkandung kematian, keduanya tak terpisahkan lagi.
Dua orang kakak beradik itu juga merupakan bagian daripada keheningan maha luas itu dan mereka seperti dua titik tenggelam ke dalam suatu keluasan yang membuat mereka tidak ada artinya lagi, yang berarti hanyalah keluasan itu sendiri, keheningan itu sendiri di mana mereka tergulung. Sampai beberapa lamanya, mereka berdua terpesona, melangkah tanpa terasa, namun dengan batin yang sadar akan semua itu, dan kebahagiaan yang mujijat memenuhi rongga dada.
"Ah, tak terasa hari telah mulai gelap. Mari kita mempercepat langkah, itu puncak Cin-ling-san sudah nampak dari sini, Sin-te." kata Han Tiong dan ucapan ini seperti menyeret mereka kembali ke dalam alam dunia fana.
"MARI, Tiong-ko," jawab Thian Sin singkat, hatinya masih penuh pesona.
Baru saja tiba di luar pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai, mereka telah disambut oleh para murid Cin-ling-pai yang melakukan penjagaan. Karena kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda dewasa dan ketika dia mengunjungi Cin-ling-pai dia masih kecil, pula karena waktu itu malam telah tiba dan tempat itu hanya diterangi oleh beberapa buah teng yang tergantung di pintu gerbang, maka tidak ada murid Cin-ling-pai yang mengenalnya.
"Berhenti!" bentak murid Cin-ling-pai dan beberapa orang murid telah mengepung dua orang pemuda itu, "Siapakah kalian dan ada perlu apa malam-malam begini datang ke sini?"
Melihat sikap mereka yang gagah itu, Han Tiong tersenyum. "Agaknya saudara-saudara tidak lagi mengenalku. Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih delapan tahun yang lalu, aku pernah datang bersama ayah dan ibu untuk berkunjung kepada ketua Cin-ling-pai."
"Eh, siapakah engkau...?" tanya pemimpin para penjaga itu sambil mencoba untuk mengenal wajah yang nampak tenang dan jujur itu.
"Kami datang dari Lembah Naga!" kata Thian Sin yang sudah tidak sabar lagi. Kini semua murid Cin-ling-pai terkejut dan makin mendekat untuk melihat wajah mereka. Mereka masih belum dapat mengenal Han Tiong bahkan sama sekali tidak mengenal wajah Thian Sin yang tampan itu.
"Lembah Naga...?" tanya mereka gagap.
"Ketua Cin-ling-pai Cia Bun Houw adalah kakek kami." kata Han Tiong.
"Ohhh...! Jadi kongcu ini adalah putera Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong...?"
Han Tiong mengangguk dan para murid Cin-ling-pai itu dengan gembira lalu mengiringkan Han Tiong dan Thian Sin masuk, sedangkan beberapa orang anak murid Cin-ling-pai sudah lebih dulu berlari-lari ke dalam untuk memberi kabar gembira itu kepada ketua mereka.
Tak lama kemudian, nampak Kakek Cia Bun Houw dan Nenek Yap In Hong keluar menyambut. Cia Bun Houw telah menjadi seorang kakek yang usianya enam puluh tahun, sedangkan Nenek Yap In Hong sudah berusia lima puluh delapan tahun. Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu masih nampak sehat dan segar, sedangkan isterinyapun memiliki tubuh yang langsing dan biarpun rambutnya sudah banyak yang putih, namun garis-garis mukanya masih jelas membayangkan bekas-bekas kecantikan dan kegagahan.
Biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah jumpa dengan kakek dan neneknya itu, dan biarpun mereka sudah menjadi tua, namun Han Tiong masih mengenal mereka dan cepat diapun maju menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang tua itu. Thian Sin juga mengikuti perbuatan kakaknya, karena betapapun juga, kakek yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai ini adalah paman dari ibunya.
Cia Bun Houw dan Yap In Hong ketika tadi mendengar laporan bahwa ada tamu dua orang pemuda yang mengaku datang dari Lembah Naga dan mengaku bahwa ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, bergegas keluar dengan gembira. Mereka sudah menduga bahwa tentu Cia Han Tiong yang datang, hanya mereka agak merasa heran mengapa ada dua orang pemuda. Setahu mereka, Han Tiong tidak mempunyai adik.
Yap In Hong tersenyum memandang kepada Han Tiong. Cucu ini telah menjadi seorang pemuda yang bersikap gagah dan wajahnya membayangkan kejujuran dan ketenangan, sedangkan sinar matanya tajam penuh wibawa. "Aih, engkau tentu Han Tiong! Sudah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang" Bagaimana dengan ayah-bundamu" Mereka baik-baik sajakah?"
"Terima kasih, ayah dan ibu dalam keadaan baik-baik dan mereka menitipkan salam hormat kepada kakek dan nenek berdua," jawab Han Tiong dengan sikap hormat.
"Han Tiong, siapakah pemuda ini?" tanya Cia Bun Houw dan dia bersama isterinya memandang kepada wajah yang tampan, sinar mata yang tajam penuh membayangkan kecerdikan dan sikap yang lemah lembut dari pemuda yang berlutut di dekat Han Tiong itu.
"Dia ini adalah adik angkat saya, akan tetapi sesungguhnya diapun masih keluarga sendiri, karena dia adalah putera tunggal mendiang Bibi Lie Ciauw Si. Namanya adalah Ceng Thian Sin."
"Ahhh...!" Yap In Hong menahan seruannya.
Cia Bun Houw juga terkejut dan terbayanglah olehnya akan segala yang dialami oleh keponakannya, Lie Ciauw Si itu. "Dia she Ceng, jadi dia adalah keturunan dari Ceng Han Houw?" Kemudian disambungnya dengan suara lirih, "Dan Lie Ciauw Si telah meninggal dunia?"
Thian Sin memberi hormat. "Benar sekali, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si adalah mendiang ayab-bunda saya."
Cia Bun Houw merasa terharu dan dia cepat membangkitkan pemuda ini sedangkan Yap In Hong juga memegang pundak Han Tiong menyuruhnya bangun. "Mari, mari kita bicara di dalam..." kata kakek dan nenek itu dengan ramah dan merekapun lalu memasuki rumah induk Cin-ling-pai yang cukup besar itu.
Setelah mandi dan makan malam, baru kedua orang pemuda Lembah Naga itu dipersilakan memasuki ruang duduk di mana telah menanti kakek dan nenek mereka. Tadinya Han Tiong mengira bahwa tentu dia akan bertemu dengan Cia Kong Liang, pamannya yang sebaya dengan dia hanya tiga tahun lebih tua, akan tetapi ketika dia tidak melihat adanya pemuda yang telah dikenalnya itu di ruangan duduk, dia yang sudah disuruh duduk bersama Thian Sin, segera bertanya, "Kong-kong, di manakan adanya Paman Cia Kong Liang" Kenapa sejak tadi saya tidak melihatnya?"
"Ah, pamanmu" Dia baru kemarin berangkat pergi ke Bwee-hoa-san untuk menengok bibinya, yaitu Enci Cia Giok Keng yang kabarnya sakit," jawab Cia Bun Houw. Mendengar disebutnya nama Cia Giok Keng ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan sambil memandang kepada kakaknya dia berkata, suaranya lirih dan mengandung getaran haru.
"Bukankah... beliau itu... nenekku, ibu mendiang ibuku" Ah, Tiong-ko, betapa ingin hatiku untuk berjumpa dengan nenekku itu... sudah begitu sering kumendengar tentang beliau dari ibu..."
Dia berhenti bicara karena teringat bahwa dia berada di depan ketua Cin-ling-pai dan isterinya, dan betapa kekanak-kanakan sikapnya tadi.
Akan tetapi Cia Bun Houw mengelus jenggotnya, diam-diam merasa terharu juga teringat akan riwayat kehidupan pemuda yang amat tampan ini. "Sungguh baik sekali kalau engkau mempunyai keinginan itu di hatimu, Thian Sin. Memang sudah sepatutnyalah kalau engkau pergi mengunjungi nenekmu. Beliau sudah tua dan kunjunganmu sebagai wakil mendiang ibumu tentu akan menggirangkan hatinya."
Kedatangan dua orang pemuda itu sungguh merupakan suatu hal yang amat membahagiakan hati Cia Bun Houw dan isterinya sehingga hampir semalam suntuk mereka berempat bercakap-cakap dalam ruangan itu, di mana kakek dan nenek itu minta kepada Thian Sin untuk menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa keluarga Ceng Han Houw yang menyedihkan itu. Cia Bun Houw dan isterinya hanya dapat saling pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang ketika mendengar betapa Pangeran Ceng Han Houw tewas dalam pengeroyokan dan betapa isterinya Lie Ciauw Si, dengan gagah perkasa membela suaminya sampai darah terakhir.
"Ibumu adalah seorang isteri yang hebat!" demikian komentar kakek dan nenek itu kepada Thian Sin setelah mereka mendengar penuturannya. Mereka sama sekali tidak memberi komentar apa-apa mengenai diri Pangeran Ceng Han Houw. Dan Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia amat cerdik dan diapun sudah tahu apa yang terkandung dalam hati kakek dan nenek itu setelah mendengar ceritanya. Dia tahu bahwa dalam pandangan mereka, dalam pandangan semua keluarga Cin-ling-pai, ayahnya hanyalah seorang laki-laki yang berambisi besar dan tidak segan-segan untuk memberontak, sehingga kematian ayahnya adalah kematian seorang pemberontak yang sudah wajar menerima hukuman, sebaliknya kematian ibunya adalah kematian seorang wanita perkasa yang setia dan mencinta suaminya!
Mendengar betapa neneknya, Cia Giok Keng, yang hidup bersama suaminya, yaitu pendekar Yap Kun Liong di puncak Bwee-hoa-san kini telah berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun itu, Thian Sin merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan neneknya yang sudah tua itu. Maka kemudian diambil keputusan bahwa dua orang pemuda itu pada besok pagi-pagi akan berangkat ke Bwee-hoa-san menyusul Cia Kong Liang yang telah menuju ke pegunungan itu pada hari kemarin.
Sebaiknya kita mengikuti perjalanan Cia Kong Liang. Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ketua Cin-ling-pai itu hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Kong Liang. Adapun Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga, adalah putera dari ketua Cin-ling-pai itu dari seorang wanita yang lain (baca cerita Pendekar Lembah Naga). Sebagai putera tunggal, tentu saja Cia Kong Liang sejak kecil digembleng oleh ayah bundanya yang berilmu tinggi dengan bermacam ilmu silat. Dari ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu khas Cin-ling-pai seperti Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat dan sebagainya, dan dari ayah bundanya itu dia menerima ilmu Thian-te Sin-ciang yang hebat, karena merupakan penggabungan dari Thian-te Sin-ciang kedua orang tuanya, bahkan ibunya juga mengajarkan penggunaan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun). Akan tetapi, sesuai dengan watak seorang pendekar, pemuda ini tidak menggunakan pasir beracun, melainkan kepandaian itu dapat dilakukan dengan segala macam pasir atau tanah. Pendeknya, segala macam tanah kalau sudah berada di tangan pemuda ini dan dipergunakannya sebagai senjata rahasia, merupakan serangan yang amat berbahaya bagi lawan.
Cia Kong Liang bertubuh tegap dan gagah sekali. Pakaiannya tidak mewah akan tetapi juga tidak terlalu sederhana dan selalu rapi. Sinar matanya yang tajam pada wajahnya yang tampan gagah itu mengandung keangkuhan, seolah-olah memandang rendah kepada orang lain, memandang orang lain dari tempat ketinggian! Memang sesungguhnyalah bahwa pemuda Cin-ling-pai ini memiliki watak yang agak tinggi hati. Dia tidak sombong, melainkan agak memandang rendah kepada orang lain. Dia berwatak pendekar, dan merasa dirinya seorang pendekar perkasa, putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal dan disegani, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ketinggian hati menyentuh batin pemuda yang perkasa dan masih belum masak ini, sungguhpun usianya sudah dua puluh dua tahun.
Kong Liang melakukan perjalanan seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanannya. Dia mewakili ayah bundanya untuk dua urusan. Pertama adalah manengok suami isteri pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kakek dan nenek yang menjadi kakak dari ayah dan ibunya itu, dan kedua kalinya dia harus mewakili ayah bundanya, bahkan mewakili Cin-ling-pai untuk hadir dalam pesta ulang tahun dari datuk persilatan di pantai timur, yaitu Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) yang juga mengirim undangan kepada ketua Cin-ling-pai.
Masih banyak waktu, pikirnya, karena hari ulang tahun itu masih satu bulan lebih lagi. Karena perjalanan yang dilakukan seenaknya itu, maka dua hari kemudian barulah Kong Liang tiba di Bwee-hoa-san. Hati pemuda ini lega melihat betapa paman dan bibi tuanya itu dalam keadaan selamat, walaupun memang benar bibi tuanya nampak lesu dan tidak bersemangat.
Yap Kun Liong yang dahulu terkenal sekali sebagai seorang pendekar yang berilmu tinggi (baca cerita Petualang Asmara), kini telah menjadi seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh enam tahun. Rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi agak kurus itu masih dapat berdiri tegak dan gerak-geriknya masih sigap dan ringan. Demikian pula, Cia Giok Keng, puteri pendiri Cin-ling-pai itupun masih kelihatan sigap, akan tetapi pada saat itu wajahnya agak pucat dan nampak tidak bersemangat, lesu seperti orang yang tidak sehat.
Yap Kun Liong dan isterinya merasa gembira sekali melihat kedatangan keponakan mereka itu dan setelah Kong Liang menceritakan tentang keadaan orang tua mereka yang berada dalam keadaan selamat dan sehat, Yap Kun Liong lalu berkata, sikapnya tenang akan tetapi alisnya berkerut, "Kong Liang, tentu saja kami merasa gembira melihat engkau datang berkunjung dan menjenguk kami dua orang tua yang kesepian ini. Akan tetapi, di samping kegembiraan kami, juga hati kami merasa risau karena sebelum urusan kami selesai, engkau datang. Kami harap saja engkau tidak akan terlibat dalam urusan kami ini."
Pemuda itu memandang wajah paman dan bibinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Memang sejak tadi dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang merisaukan hati mereka terutama sekali hati bibinya.
"Paman, urusan apakah yang merisaukan hati paman dan bibi berdua?" Dia merasa heran bagaimana ada urusan yang dapat merisaukan hati paman dan bibinya yang gagah perkasa ini, apaiagi dalam usia setinggi itu dan berada di tempat yang demikian sunyi. Agaknya tak mungkin lagi mereka itu menemui urusan-urusan yang menimbulkan kesukaran.
Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Karena bibimu sedang kurang sehat, ditambah dengan munculnya urusan ini, sungguh menimbulkan ketidaktenteraman juga."
"Kong Liang, setua ini kami masih diancam oleh orang-orang jahat, dan aku telah siap menghadapi mereka dengan kekerasan, akan tetapi pamanmu ini telah menjadi lemah, dia tidak setuju sehingga timbul pertentangan di antara kami." Tiba-tiba Cia Giok Keng berkata sambil melirik ke arah suaminya. Kong Liang sudah mendengar bahwa bibinya ini memiliki watak yang keras di waktu mudanya, dan agaknya, biarpun sekarang sudah tua, namun kekerasan dalam menghadapi musuh itu masih nampak, berbeda dengan pamannya yang agaknya sudah menjadi orang yang tidak bersemangat untuk menghadapi kekerasan.
"Paman dan bibi, apakah yang telah terjadi" Musuh siapakah yang berani mengancam ji-wi (anda berdua)?"
Yap Kun Liong memandang isterinya, kemudian menoleh kepada keponakannya dan berkata, "Kong Liang, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi oleh karena engkau sudah dewasa dan kebetulan engkau berada di sini, biarlah engkau ketahui semuanya. Nah, dua hari yang lalu kami menerima surat ini, kaubacalah sendiri."
Cia Kong Liang menerima gulungan surat itu dan membukanya dengan sikap tenang, sikap yang mengagumkan paman dan bibinya yang mengamati semua gerak-geriknya. Lalu dibacanya surat itu, dengan alisnya yang tebal itu berkerut, sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia membaca surat itu, wajahnya sema sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa akan tetapi pandang matanya berkilat mengejutkan ketika dia menatap wajah paman dan bibinya berganti-ganti. Kemudian, untuk meyakinkan hatinya, dia membaca sekali lagi.
Pada hari ke tiga setelah surat ini dibaca sebelum matahari terbit, Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng akan mati berikut semua mahluk bernyawa yang berada pada kalian, sebagai pembayar hutang!
Tertanda, KETURUNAN PADANG BANGKAI.
"Paman dan bibi, apa artinya surat ini" Siapa pengirimnya dan mengapa dia mengirimkan surat seperti ini?" Akhirnya Kong Liang bertanya, suaranya tetap tenang akan tetapi pada pandang matanya terkandung kemarahan terhadap si penulis surat.
Yap Kun Liong menghela napas. "Siancai (damai)... sungguh tak kusangka bahwa setua ini kami masih saja dicari musuh dan dimusuhi orang. Kami sendiri tidak tahu siapa penulis surat ini, akan tetapi melihat yang menandainya, kiranya mudah diduga bahwa mereka ini tentulah keturunan atau segolongan dengan Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) dan isterinya, Coa-tok Sian-li (Bidadari Racun Ular), suami isteri yang dulu pernah menjadi majikan dari Padang Bangkai di dekat Lembah Naga. Kurang lebih empat puluh tahun yang lalu (baca Cerita Dewi Maut), dalam suatu pertandingan ketika kami membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak, yaitu pasukan liar Sabutai, kami telah menewaskan mereka, aku merobohkan Ang-bin Ciu-kwi dan bibimu itu menewaskan isterinya, yaitu Coa-tok Sian-li. Kami sama sekali tidak mengira bahwa urusan empai puluh tahun yang lalu itu akan berekor sampai sekarang. Ah, usia setua ini, sudah mendekati akhir usia, masih saja dimusuhi orang." Kembali kakek itu menarik napas panjang.
"Aku tidak takut!" tiba-tiba Nenek Cia Giok Keng berkata. "Biarpun sudah tua begini, aku tidak akan undur selangkahpun menghadapi musuh!"
"Aihh... sudahlah, engkau sedang tidak sehat, mengapa harus menuruti perasaan marah" Kemarahan amatlah tidak baik bagi orang-orang tua seperti kita," Suaminya menghibur.
"Paman dan bibi harap jangan khawatir. Serahkan saja hal ini kepada saya. Tiga hari berarti besok pagi kalau surat ini sudah dua hari paman terima. Kalau musuh datang, blarlah saya yang akan menghadapi mereka!" kata Kong Liang dengan sikap gagah.
"Engkau tidak perlu ikut campur, anakku."
"Tapi, paman. Bukankah mereka itu mengaku keturunan dari Padang Bangkai" Dan kalau sekarang yang menghadapi adalah saya, sebagai keturunan paman pula, bukankah hal itu sudah adil dan selayaknya" Dahulu, penghuni Padang Bangkai lawan paman dan bibi, sekarang keturunan mereka biarlah saya yang menghadapinya."
Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Kong Liang, menurut kata hati bibimu, kita harus melawan dan bibimu memang benar, biarpun kami berdua sudah tua, namun karena kami selama ini hidup dalam sehat maka kiranya kami masih dapat melidungi diri sendiri. Akan tetapi, sampai sekarang aku masih merasa menyesal kalau kuingat betapa dahulu aku menanam banyak sekali benih-benih permusuhan sehingga sampai di hari tua masih saja dimusuhi orang."
"Tapi itu sudah kewajiban paman dan bibi sebagai pendekar-pendekar! Kita harus selalu menentang kejahatan!"
Yap Kun Liong menggeleng kepalanya. "Sejak ribuan tahun kita dibuai oleh khayal seorang pendekar, anakku. Akan tetapi, bagaimana, hasilnya" Sudah banyak sekali orang-orang yang kita anggap jahat itu kita basmi, kita bunuh, akan tetapi kejahatan tetap saja merajalela sampai sekarang! Kita bisa membunuh orangnya dengan kekerasan, akan tetapi kejahatan tidak mungkin dapat terbasmi oleh kekerasan."
"Tapi, kebenaran hanya dapat ditegakkan melalui kekerasan!"
"Demikianlah pendapat kaum pendekar pada umumnya. Akan tetapi begitukah sesungguhnya" Berhasilkah semua kekerasan yang dilakukan untuk membasmi kejahatan" Kurasa tidak mungkin! Kejahatan adalah kekerasan, maka membasminya dengan kekerasan berarti melakukan kejahatan dalam bentuk lain. Bayangkan saja. Kita menganggap seorang pembunuh itu jahat dan kita menentanghya lalu membunuhnya! Berarti kitapun menjadi pembunuh yang tiada bedanya dengan pembunuh yang kita bunuh!"
"Tapi, paman!" Kong Liang membantah. "Biarpun keduanya itu sama membunuhnya, akan tetapi alasannya sungguh berbeda! Penjahat membunuh karena hendak berbuat jahat demi keuntungan dirinya sendiri, akan tetapi seorang pendekar membunuh justeru untuk menolong orang lain terbebas daripada kejahatan selanjutnya!"
Yap Kun Liong tersenyum. "Memang demikianlah anggapan setiap orang pendekar dan kami berdua dulupun beranggapan demikian, bahkan bibimu masih sukar melihat kejahatan betapa tidak benarnya anggapan seperti itu. Apapun alasannya, melakukan kekerasan, melakukan pembunuhan, sudah pasti mengandung kebencian dan pembunuhan. Dan setiap kebencian itu sudah pasti mendatangkan pertentangan dan permusuhan yang tiada hentinya. Tidak mungkin memadamkan api dengan api lain. Tidak mungkin melenyapkan kekerasan dengan kekerasan pula."
"Saya masih tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar rakyat dapat hidup dengan tenang dan makmur?"
"Kejahatan memang dapat ditundukkan oleh kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dahulu berhasil menundukkan majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan kejahatan" Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, datang untuk menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lain! Kebencian lain. Perdemalan tidak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam bernyala di hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut balas dan damai macam itu hanya sementara saja."
Baru sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung sekali dan akhirnya dia bertanya. "Habis, kalau begitu, apakah semua orang jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang mereka" Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia ini, paman?"
Yap Kun Liong tersenyum. "Jangan tanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong Liang. Agaknya hanyalah penyadaran lewat batin, agaknya hanyalah cinta kasih saja yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, kalau menggunakan pedang, melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari permukaan bumi ini."
Kong Liang tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak setuju sama sekali. "Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi kalau mereka itu datang dan hendak membunuh paman dan bibi berdua?" Akhirnya dia bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Jangan engkau sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarkan aku seorang menghadapi mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan agar mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada gunanya ini."
"Hemm, kaum sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai" Bagaimana kalau mereka itu berkeras dan hendak membunuh kita" Apakah kita akan diam saja?" Cia Giok Keng bertanya penasaran.
"Tenanglah, biarkan aku menghadapi mereka. Kita lihat saja narti bagaimana perkembangannya. Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang baik."
Karena Yap Kun Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan damai, akhirnya isterinyapun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan gembira. Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan keponakannya itu. Memang sesungguhnyalah, dia merasa gembira sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang, bukan hanya gembira karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu merupakan seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia amat percaya akan kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri, sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi.
Malam itu Yap Kun Liong tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan datangnya musuh-musuh yang tentu amat tangguh itu. Fihak musuh tentu bukanlah orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Kalau mereka sudah berani datang secara itu, yaitu dengan mengirim dulu peringatan, tentu mereka itu sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri. Nenek ini tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, malam itu beberapa kali bangun dan keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekitar pondok sunyi itu, kemudian lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga.
Pada keetokan harinya, pagi-pagi sekali puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut. Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus kabut. Hawa cukup dingin dan suasana amatlah sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga masih jauh tenggelam di balik bukit di timur, akan tetapi cahayanya sudah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan puncak.
"Kukuruyuuuuukkk...!" Tiba-tiba keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan merdu. Keruyuk perlama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek suaranya, namun yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan penghuni pondok itu. Dan nun jauh di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam bersahut-sahutan, sebagai permulaan tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri untuk memberi tempat kepada matahari.
"Kukuru... kokkk!" Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah.
Cia Kong Liang membuka mata. Dia masih duduk bersamadhi. Dia dapat mendengar dengan jelas suara keruyuk yang putus di tengah-tengah tadi, mengerti bahwa hat itu tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya. Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali.
Tiba-tiba terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal. Akan tetapi, tiba-tiba gonggong itupun terhenti tiba-tiba dengan bunyi "kokk!" dan suasana menjadi sunyi bukan main. Sunyi yang menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang menyeramkan. Dengan hati-hati sekali Cia Kong Liang lalu turun dari atas pembaringan, menyambar pedang Hong-cu-kiam, memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada pinggangnya, kemudian memakai sepatunya dan dengan hati-hati sekali dia membuka daun jendela. Dia tidak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar dan berjingkat-jingkat menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di samping pondok. Cuaca masih remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda hitam berserakan di pelataran belakang. Ketika dia memandang dengan penuh perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing! Dia mengepal tinju. Musuh-musuh pamannya telah datang! Dan, sesuai dengan isi surat, telah mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan, mula-mula mereka membunuh ayam-ayam dalam kandang kemudian membunuh anjing yang agaknya dapat mencium kedatangan mereka tadi.
Kong Liang merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas sekali. Sungguh kurang ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada di situ, berdiri di tengah-tengah pekarangan itu dengan tegak.
"Yap Kun Liong telah berada di sini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!" terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.
"Bagus sekali, orang she Yap telah siap menerima kematian!" terdengar suara wanita yang nyaring dan berturut-turut, dari tiga penjuru nampak bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat orang! Orang pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih dari sembilan belas tahun, pakaiannya terbuat dari sutera yang halus namun potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat, rambutnya digelung dengan hiasan emas permata, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukur indah, dihias ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas. Seorang dara yang manis sekali dan diapun sama sekali tidak kelihatan seperti orang jahat karena selain manis diapun berwajah ramah penuh senyum, sungguhpun pada saat itu dia memandang kepada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian.
Adapun tiga orang lainnya adalah laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup menghadapi kesulitan den kekerasan. Yang termuda di antara mereka mempunyai tahi lalat besar di tepi hidungnya, seorang lagi berjenggot panjang sampai ke dada, sedangkan yang tertua kehilangan sebelah telinga kirinya. Tiga orang kakek inipun masing-masing mempunyai sebatang pedang tergantung di punggung mereka.
Kalau dara itu hanya tersenyum dan memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata, "Setelah Yap Kun Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu" Suruh dia keluar sekalian menerima kematian!"
Yap Kun Liong sudah memesan kepada isterinya agar jangan keluar, akan tetapi dia merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka.
"Cu-wi berempat telah datang," katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan beberapa ekor ayam itu, "dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan Padang Bangkai" Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar Lembah Naga?" Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari Lembah Naga.


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yap Kun Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li" Mereka itu adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang untuk membalas dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!" kata dara itu dengan suaranya yang nyaring.
"Dan kami bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh, kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk membalas dendam!" kata kakek yang telinga kirinya buntung.
Yap Kun Liong mengangguk-angguk. "Memang, tidak perlu kusangkal bahwa Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka itu bertentangan dengan kami dan tewas dalam pertempuran" Karena mereka berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dua orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak ada urusan pribadi dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Oleh karena itu, perlukah ada dendam sakit hati" Andaikata kami gugur ketika mengabdi kepada pemerintah, apakah keluarga kami juga akan mendendam dan sakit hati atas kematuan kami" Kami rasa tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah engkau hidup menanggung dendam yang tidak ada artinya itu" Bukankah sebaiknya kalau nona sadar dan bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat daripada perbuatan mereka sendiri dan bahkan dapat dijadikan contoh agar nona sendiri tidak sampai melakukan penyelewengan di dalam hidup?"
"Tua bangka she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!" bentak kakek bertelinga satu.
"Hemm, pengecut kau! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?" bentak kakek berjenggot panjang.
Yap Kun Liong tetap tenang, "Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak takut akan kematian lagi. Tanpa kalian bunuhpun kematian agaknya sudah dekat denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini."
So Cian Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan diapun meragu. Sesungguhnya dia hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka, majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu dapat menyelamatkan diri. Anak perempuan ini akhirnya menikah dengan seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor satu di wilayah barat.
Anak perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tewas oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Tentu saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan di dalam hatinya. Akan tetapi ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu. Dan kebetulan sekali ayahnya adalah anak buah See-thian-ong dan pada suatu hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan lalu dia diangkat menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang tinggi! Akan tetapi, biarpun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mencari pembunuh kakek den nenek angkatnya itu.
Kemudian, muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang terisi ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika terjadi keributan. Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati dan mendendam. Setelah mempelajari ilmu-ilmu itu mereka lalu terkenal dengan julukan See-ouw Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat). Akan tetapi pada suatu hari mereka bentrok dengan See-thian-ong dan mereka itu ketiganya ditundukkan dan menakluk! Di sinilah mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling dan oleh bujukan-bujukan See-ouw Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan membantu tiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang telah ditemukan tempat tinggalnya oleh tiga orang kakek itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang amat lihai itu.
"Nona So, kalau memang nona masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan daripada dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku dan aku tidak akan melakukan perlawanan."
Mendengar kata-kata ini dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu, hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun tangan membunuh seorang kakek yang begini agung sikapnya dan gagah perkasa. Dia sudah tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan.
Akan tetapi, kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Tua bangka pengecut!" teriaknya dan dia sudah menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun Liong. Tentu saja, sebagai seorang pendekar yang telah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang amat tinggi, secara otomatis tenaga sin-kang dari pusar telah menjalar ke arah dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama dari ilmu mujijat Thi-khi-i-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah dia dapat menangkis, mengelak atau juga menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya. Akan tetapi, kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka diapun cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja, tanpa disertai tenaga sin-kang yang melindungi tubuhnya.
"Bukkk!" Pukulan itu keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sin-kang, maka tubuh Yap Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan!
Sejak tadi, Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan main dan hanya karena hormatnya kepada kakek yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main. Pukulan itu bisa mematikan! Akan tetapi pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun Liong yang belum bangkit duduk. Dan pada saat itu nampak berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda telah menangkis pukulan dua orang kakek itu.
"Plak! Plak!" Dua orang kakek itu terkejut merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat meloncat ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik. Kiranya yang muncul de
Harpa Iblis Jari Sakti 35 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Harpa Iblis Jari Sakti 5
^