Pendekar Satu Jurus 9

Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Bagian 9


a yang keji ini untuk membalaskan dendam Cian toako kita."
Dengan licin ia melimpahkan lagi semua tanggung jawab terjadinya peristiwa ini ke pundak
Cian Hui. Sudah tentu Cian Hui terperanjat, seketika itu suasana menjadi kalut, suara bentakan, suara
senjata yang dicabut, suara terbaliknya meja kursi dan pecahnya cawan mangkuk berdentingan...
Malah ada yang membentak: "Tutup pintu keluar, jangan beri kesempatan sasaran kita
meloloskan diri."
Berbareng dengan suara bentakan tadi, Jit giau tui hun segera ayun telapak tangannya ke
muka, tiga titik cahaya hitam secepat kilat langsung menyambar tubuh Pat kwa ciang Liu Hui.
Hampir bersamaan waktunya Kim-keh Siang It ti memutar tongkatnya dan menghantam kepala
Koay be sin to Kiong Cing-yang.
Begitulah sifat kelicikan mereka, yang berat diberikan kepada orang lain, yang ringan dihadapi
sendiri, pertarungan serupun segera berkobar.
Dengan demikian, tersisalah Liong heng pat ciang Tham Beng seorang yang khusus akan
menghadapi Sin Jiu Cian Hui.
Liong heng pat ciang sendiri tidak berani bertindak gegabah, mendadak ia mendorong puteri
kesayangannya ke tangan Tonghong Ceng seraya berseru: "Kuserahkan tanggung jawab atas
puteriku ini kepada keponakan sekalian."
Sebelum mendapat jawaban, segera ia bergerak lebih lanjut dengan memukul rontok tiga
batang anak panah yang tertuju kepadanya.
Selagi Tonghong Ceng melenggong, tahu-tahu nona cantik itu sudah berada di dalam
pelukannya. Tonghong Tiat berkerut kening, ujarnya: "Losam, baik-baik menjaga nona Tham, tampaknya
kita tak dapat berpeluk tangan belaka menghadapi pertarungan ini."
Liong heng pat ciang sempat menangkap ucapan itu, seketika semangatnya berkobar, kedua
tangan direntangkan sambil membentak: "Tham Beng ada disini, siapa yang ingin menantang
aku" Cian Hui! Wahai Cian Hui kau dimana?"
Bentakan itu amat nyaring ibarat guntur membelah bumi di siang hari bolong, seketika itu
ratusan orang yang berada dalam ruangan merasakan telinganya mendengung keras dan terasa
sakit, tapi tak seorangpun diantara mereka itu berani turun tangan secara gegabah.
Menghadapi situasi seperti ini, Sin jiu Cian Hui hanya bisa menghela napas belaka, rasa
bencinya terhadap Jit giau tui hun betul-betul merasuk tulang sumsum.
Rasa bencinya itu semakin menjadi ketika dilihatnya Na Hui hong tidak bertempur secara
sungguhan, walaupun sedang bertarung melawan Pat kwa ciang Liu Hui, namun jurus
serangannya amat kendur, dan tidak tampak menggunakan tenaga penuh, apalagi langkahnya
makin lama semakin bergeser ke arah jendela, Cian Hui semakin memahami niat jahat orang.
Sambil mengetak gigi Cian Hui menyumpah: "Na Hui-hong, setelah mengadu domba kau ingin
kabur?" Sambil mencabut kipasnya dan membanting keras-keras ke lantai, ia membentak: "Saudara
sekalian, pertarungan hari ini menyangkut mati hidup kita di wilayah Kanglam, barang siapa yang
merasa dirinya anggota Liok-lim daerah Kanglam tidak diperkenankan angkat kaki lebioh dulu dari
sini. Sobat-sobat sekalian cukup menjaga pintu dan jendela saja, dengan begitu sudah berarti
membantu aku orang she Cian. Dengarkan rekan yang berada di luar halaman! Bilamana ada
yang kabur dari ruangan ini, baik kawan maupun lawan, hujani anak panah tanpa ampun."
Kemudian sambil melepaskan jubah panjangnya, ia menerjang Liong heng pat ciang dengan
ganas, ia telah mengambil keputusan, menang atau kalah pokoknya Jit giau tui hun tetap akan
dilibatkan dalam pertarungan ini!"
Jit giau tui hun sendiri menjadi gugup setelah mendengar bentakan itu, sambil melepaskan
pukulan gencar ia berpikir: "Ah, tampaknya Cian Hui akan memaksa aku untuk tetap tinggal di
sini!" Karena berpikir, serangannya jadi kendur.
Pat kwa ciang Liu Hui segera manfaatkan kesempatan itu, sambil membentak ia menerjang ke
muka, secepat kilat melancarkan empat kali pukulan berantai.
Terkesiap Jit-giau tui hun, cepat dia mengegos dan mundur dua langkah, tapi terus menubruk
maju pula. Hanya beberapa kali gebrakan, Pat-Kwa-ciang sudah terdesak hingga hanya bisa menangkis
dan tak mampu melancarkan serangan balasan.
Tapi justeru dalam keadaan itulah, Jit-giau tui-hun lantas mengendurkan pula serangannya.
Meski keheranan Liu Hui tak berani manfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan serangan
balasan lagi. Demikianlah, ketika Jit-giau tui-hun merasa kemenangan pasti akan berada di tangannya, lalu
ia mengalihkan perhatiannya ke sana, di mana Liong heng-pat-ciang sedang bertarung sengit
melawan si Tangan Sakti Cian Hui
Jika Cian Hui berhasil menangkan pertarungan ini, dia akan segera binasakan Pat-kwa-ciang,
kalau sebaliknya, tentu saja dia harus pikir-pikir dulu untuk menyesuaikan keadaan.
Orang ini licik dan lihay, dia tak ingin menjadi musuh Liong-heng pat ciang yang disegani itu.
Berbeda dengan Kim-keh Siang It-ti di sebelah sana, meski kaki pincang, permainan tongkatnya
betul-betul luar biasa.
Dasar kungfu Koay-be-sin to tak terlalu tinggi, lagi sesudah lengan kanannya buntung dan
sekarang bertarung tanpa senjata, beberapa gebrakan ia sudah terdesak, ia merasa tongkat si
Ayam emas menyambar dari kiri kanan, depan dan belakang, mengurungnya dengan rapat.
Lewat beberapa jurus kemudian, jangankan menyerang, untuk menangkispun ia merasa
kewalahan. Dalam keadaan demikian. ia hanya berusaha bertahan dengan mengandalkan kelincahan
tubuhnya. Ia sadar bila tiada bantuan yang datang tepat waktunya, bencana maut pasti sukar
dihindari lagi. Ketika itu air mukanya sudah berubah merah napasnya tersengal, peluh membasahi
sekujur badannya dan gerak tangannya semakin lamban.
Meski jago yang hadir dalam ruangan itu banyak jumlahnya tapi orang yang betul betul
terlibatn dalam pertarungan ini hanya enam orang saja. Meja kursi sudah tersingkir ke samping,
bahkan ada yang terlempar keluar jendela. porak poranda keadaannya sementara kawanan jago
ada yang berdiri dengan senjata terhunus, ada pula yang menutup jendela dan pintu dengan meja
kursi setiap kali Sin-jiu Cian HUi atau Kim-keh siang It-ti ataupun Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong
kelihatan terdesak, banyak di antara mereka bersiap sedia untuk memberi bantuan.
Kesembilan orang laki-laki berbaju perlente tadi, kesembilan bersaudara ekor ayam beserta ke
sembilan laki-iaki berbaju hitam anak buah Cian Hui, masih berdiri berjajar di sudut ruangan.
Agaknya kedelapan belas orang itu tahu bahwa mereka telah menjadi barang taruhan dan
tidak bebas lagi, ternyata tak seorang pun di antara mereka berniat ikut turun tangan.
Seandainya kedelapan belas orang itu ikut turun tangan juga percuma, karena kehadiran
mereka tidak akan mempengaruhi situasi pertarungan, perhatian ratusan pasang mata kawanan
jago tentu saja tercurahkan pada pertarungan antara Liong-heug pat-ciang Tham Beng melawan si
Tangan sakti Cian Hui, sebab menang atau kalah di antara mereka selain mempengaruhi situasi
hari itu, mempengaruhi juga keadaan dunia persilatan pada umumnya.
Pada hakikatnya, sebelum terjadi pertarungan melawan Tham Beng tadi, si Tangan Sakti Cian
Hui sudah timbul rasa jeri kepada lawannya.
Sebagaimana diketahui Liong-heng-pat ciang termasyhur karena ilmu pukulan telapak
tangannya sejak terjun ke dunia persilatan di masa mudanya sampai sekarang ia sudah
mempunyai pengalaman selama tiga puluh tahun, bukan saja namanva harum, pengaruhnya luas,
biarpun sangat jarang turun tangan sendiri, namun belum pernah ia menderita kalah satu kali pun.
Sin jui Cian Hui juga bukan anak kemarin sore, namanya sudah lama termashur dalam dunia
persilatan, tapi kalau dibandingkan jago tua itu, maka dia masih terhitung seorang angkatan muda.
Namun tokoh kaum penyamun ini juga mempunyai pengalaman yang cukup luas, rasa
takutnya dapat ia sembunyikan sebaik-baiknya, kewaspadaan dipertingkat, sekarang dia cuma
mencari kesempatan dan tidak terlalu bernafsu merobohkan lawan.
Dengan alasan inilah, maka sejak pertarungan berkobar Cian Hui lantas memperketat
pertahanannya. Terlihatlah angin pukulan menyelimuti sesosok tubuh berwarna merah dengan
rapatnya sehingga setetes airpun sukar menembusnya.
Liong-hong-pat-ciang melayani musuh dengan kelincahan yang luar biasa entengnya, jangan
dilihat tubuhnya tinggi besar, kelincahannya malah lebih gesit dan pada seorang anak kecil.
Hanya saja tenaga pukulan jago tua itu ternyata tidak lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan
Cian Hui, perubahan serangannya juga tidak setajam dan secepat apa yang diduganya semula.
Kalau hendak dinilai secara tepat, maka serangan telapak tangan tokoh ini tak lebih cuma lebih
"lincah" belaka.
Kenyataan ini tentu saja di luar dugaan Cian Hui, demikian pula kawanan jago lainnya.
Meski indah gerakan tubuh kedua orang jago itu namun tak satu juruspun pernah terjadi
benturan secara kekerasan benturan yang mendebarkan hati dan dinantikan oleh setiap jago yang
hadir di situ. "Huh, Liong-heng-pat-ciang yang tersohor masa tak becus dan bernama kosong belaka"
Berpikir demikian keberanian Sin-jiu Cian Hui semakin tebal, mendadak kedua telapak
tangannya menyodok ke atas, telapak tangan kiri di depan dan telapak tangan kanan di belakang.
Kedua serangan mencapai tengah jalan cepat tangan kanan ditarik menerobos ke bawah lewat
telapak tangan kiri, dengan kuat dia sodok jalan darah Siang-ci hiat di bawah iga kanan Tham
Beng Dalam serangan ini bukan saja tenaga serangannya sangat kuat, bahkan ketepatan waktu,
ketepatan sasaran dan ketepatan perubahan betul-betul luar biasa, tak disangkal lagi Cian Hui
telah menggunakan jurus maut Hong-peng-ciang, ilmu pukulan andalannya.
Pada dasarnya ilmu pukulan Cian Hui adalah ilmu silat aliran Kanglam yang mengutamakan
kelincahan serta kegesitan, tapi lantaran tenaga dalamnya cukup sempurna, maka ilmu pukulan
yang mengutamakan kegesitan itu dapat dimainkan dengan kuat pula.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memutar tubuh dan bergeser ke samping, tampaknya ia
selain menghindari benturan secara kekerasan.
Melihat itu, Cian Hui membentak keras, menubruk maju, telapak tangan kiri membacok ke
depan, sementara telapak tangan kanan membacok secara melintang .. . . "Sret! Sret!" beruntun ia
lepaskan serangan dengan jurus Yok-sui-siang-peng (sepasang daun mengapung di atas air),
masing2 mengarah jalan darah Hun-sui dan Ciau-keng di tubuh Tham Beng.
Tham Beng memutar tubuh dan menyelinap ke samping kanan Cian Hui, jari tangannya
setajam pedang balas menutuk jalan darah Sang-hai hiat di dada lawan.
Meskipun serangan ini dilancarkan secara tepat dan indah, tapi tetap bukan serangan adu
muka secara terang-terangan.
Sin-jiu Cian Hui semakin geram, semangatnya berkobar, ia menyerang secara keras lawan
keras dengan gerakan Tay-sui-pay-jiu (ilmu pegang dan banting) yang dahsyat.
Sekali lagi Liong-heng pat-ciang menarik diri dan kembali dia menyurut mundur.
Setelah tiga jurus berlalu. para jago mulai bersorak-sorai
"Cian-loji, ayo perketat seranganmu?" seorang berteriak dengan suara keras.
Orang itu adalah seorang bandit yang selalu bekerja seorang diri di wilayah Cuan-tiong,
namanya Pa-san-hou (harimau bukit Pasan) Ui Tay-hu
Sejak permulaan tadi ia sudah merasa gatal tangan dan ingin turun tangan sendiri untuk
menghajar Liong-heng-pat-ciang yang "bernama kosong" itu.
Tonghong ngo hengte berdiri di sisi gelanggang, tegang dan siap siaga, mereka saling
pandang sekejap, rupanya mereka enggan menyaksikan pertarungan itu lagi se akan2 kecewa
oleh ketidak becusan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, juga se-akan2 yakin Liong heng-pat-ciang
pasti dapat menangkan pertarungan itu, maka tak perlu mereka perhatikan lagi.
"Kiong Cing-yang mungkin tak tahan lagi" Tonghong Kiam berbisik setelah memandang
sekejap sekitar arena, "biar kugantikan dia!"
Tapi Tonghong Tiat segera menggeleng kepala sambil berbisik. "Kita tak boleh bertindak
gegabah agar keadaan tidak semakin kalut. Coba lihat sudah jelas dalam beberapa gebrakan saja
paman Tham dapat membereskan Sin Jiu Cian Hui, tapi nyatanya dia tidak menggunakan kungfu
yang sebenarnya, dia takut bila Cian Hui dikalahkan, tentu lebih banyak orang yang akan maju.
Ya, bila sampai Cian Hui kalah, pertarungan massal pasti akan terjadi. waktu itu tentu lebih banyak
korban yang akan berjatuhan, paman Tham sendiri saja tak berani yakin dapat lolos dan sini,
apalagi kita?"
"Masa kungfunya lebih lihay daripada kita?" tanya Tonghong Kiam sesudah merenung
sebentar Tonghong Tiat mendengus, "Kungfu orang ini sukar diukur, setiap kali bertarung dia tak
pernah menggunakan segenap kepandaiannya jangankan kita, ayah sendiripun tak dapat menilai
berapa dalam kungfu nya yang sebenarnya"
Sementara mereka blcara, bahu kanan Koay-be sin to Kiong Cing-yang telah terhajar oleh
tongkat Siang lt-ti.
Sambil mengaduh kesakitan orang she Kiong itu memberikan perlawanan yang gigih
Tonghong Kiam mengerutkan dahi seraya berseru "Kita harus bertindak, bila terlambat Kiong
Cing-yang pasti akan mampus di ujung tongkat Siang lt-ti?"
"Ai, tampaknya kita bersaudara memang harus turun tangan," kata Tonghong Tiat sambil
menghela napas, " bagaimanapun kita tak boleh membiarkan Kiong Cing-yang mampus di tangan
orang" Semenjak tadi, Tonghong Kang dan Tonghong Ouw sudah habis kesabarannya, begitu
mendengar perkataan Toakonya, semangat mereka segera berkobar.
"Jika mau turun tangan, kita jangan membuang waktu lagi." seru Tonghong Kiam dengan
penuh semangat Air muka Tonghong Tiat berubah serius tak lama ia memberi komando, "Serbu!"
Diiringi suara dentingan nyaring, cahaya senjata gemerdep menyilaukan mata, hawa pedang
serasa menyayat badan, serentak Tonghong Tiat, Tonghong Kiam, Tonghong Kang dan Tonghong
Ouw melolos senjata masing-masing.
Tindakan ini segera di sambut dengan kehebohan di pihak lain, belasan laki-laki kekar yang
semula berdiri di atas meja dan kursi serentak melompat mundur bersiap siaga.
Dari sudut kiri melompat maju pula belasan laki-laki dengan senjata lengkap, disusul
munculnya belasan cahaya mengkilat di sudut kanan.
Pi-san hou Ui Tay-hu sendiri juga melolos kapak besar dari pinggang dengan mata melotot.
Liong-heng pat-ciang Tham Beng melihat gawatnya situasi segera ia berpekik nyaring dan
bertindak cepat, kedua telapak tangannya direntangkan dan melepaskan serangan maut.
Di Waktu itu Cian Hui sedang menyerang dengan liong ciong jiu (pukulan berantai), ketika
dilihatnya songsongan telapak tangan Tham Beng membawa angin serangan yang kuat, ia jadi
kaget: "Celaka!: teriaknya di dalam hati, sekarang ia baru menyadari akan kelihayan Tham Beng,
jelas selama ini jago tua itu hanya berpura-pura belaka, namun sudah terlambat, suatu benturan
keras tak bisa dihindarkan lagi.
"Plak!" Cian Hui merasa sekujur badan bergetar keras, ia tak mampu berdiri tegak lagi dan
terpental sejauh lima depa dari posisi semula.
Walaupun tubuhnya berhasil ditegakkan kembali, darah kental tak urung meleleh di bibirnya
dalam keadaan begini seandainya Tham Beng menambahi dengan suatu pukulan lagi niscaya dia
tak mampu menangkis.
Di pihak lam, Kim-keh Siang It-ti telah memutar tongkat dan siap membinasakan Koay-be sinto
Kio:ig Cing yang.
Cepat Tonghong-hengte menerjang maju untuk memberi bantuan, tapi kawanan jago yang lain
menyongsong kedatangan mereka suasana jadi gawat.
Di tengah ketegangan inilah tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang ramai berkumandang
dari luar disusul seorang berteriak nyaring "Congpiautau, kami telah siap semua di sini, apakah
engkau mengalami apa-apa?" Bagaimana apakah kami perlu masuk ke situ?"
Suara itu sangat keras, sepatah demi sepatah dapat terdengar dengan jelas ini membuat para
jago dalam ruangan jadi terperanjat.
Diam-diam Sin jiu Cian Hui mengeluh "Wah, ternyata dugaanku tidak meleset!" Tham Beng
memang sudah mempersiapkan diri, Tonghong-hengte juga berpikir "Tak tersangka paman Tham
bisa bertindak secermat ini, rupanya sudah mempersiapkan diri sebelum datang ke mari, kalau
begitu percumalah bantuan kami berempat."
"Siapakah yang datang?" demikian Liong-heng pat ciang sendiri juga sedang berpikir
keheranan, kedatanganku kemari sama sekali tidak diketahui orang2 dari cabang kantor di daerah
Kanglam, lagi logat orang itu terasa asing bagiku, siapakah dia?"
Dengan sendirinya rasa herannya tak sampai diperlihatkannya seketika itu semua orang sama
merandek, tidak ada yang berani turun tangan lagi secara gegabah, sementara itu suara derap
kuda di luar masih terdengar, entah berapa orang dan berapa banyak kuda yang datang!"
Yang pasti di antara derap kaki kuda yang ramai terdengar suara bentakan nyaring yang
bertenaga, jelas kawanan yang dikirim pihak "Hui-liong-piaukiok" ini rata-rata berkepandaian tinggi.
Setajam sembilu sinar mata Liong-heng-pat-ciang menyapu sekeliling tempat itu, ternyata tak
seorang di antara para jago itu berani beradu pandang dengan dia, mereka semua menundukkan
kepalanya rendah-rendah.
Kim-keh Siang it-ti dan Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong yang sebetulnya ingin menggagap ikan di
air keruh juga tak berani berkutik atau berbicara bahkan setelah mendengar suara bentakan tadi
mereka sama kuatir tak bisa mengundurkan diri dari situ dengan selamat.
Sin jiu Cian Hui sendiri masih berdiri tegak namun air mukanya hijau kelam noda darah masih
membekas di ujung bibirnya, dibawah cahaya lampu tertampaklah perkasanya tokoh yang
terdesak ini. Padahal barisan panah sudah siap di luar halaman, senjata juga sudah dilolos dari sarungnya
namun setelah mendengar derap kaki kuda yang ramai di luar itu, tak seorangpun berani berkutik
malah mereka yang berdiri dekat jendela diam-diam menggeser ke ruang tengah, tak seorangpun
di antara mereka berani melongok keluar.
"Tham-congpiautau!" suara di luar kembali berteriak, "Perlukah kami menyerbu ke dalam?"
Tiba-tiba Liong-heng-pat-ciang terkejut sekarang ia dapat mendengar kejanggalan suara teriakan
tersebut. Dia tahu dengan jelas, semua Piautau yang bekerja di perusahaan Hui-hong-piaukiok baik di
kantor pusat atau kantor cabang, tak seorangpun yang menyebut dia dengan "Tham-congpiautau"
itu berarti orang yang berada di luar itu harus disangsikan.
Sekalipun menemukan kejanggalan tokoh sakti dari dunia persilatan ini masih bersikap dingin
di mana sorot matanya memandangi kawanan itu sama menunduk dengan takut.
Satu ingatan cepat melintas dalam benaknya, hahaha ia tertawa dingin, lalu berseru, "Selama
hidup aku tak pernah membunuh musuhku sampai ke-akar2nya, biarlah hari ini kuampuni jiwa
kalian semua"
Lalu sambil berpaling, serunya lagi "Tonghong-siheng, Ciong-yang, kita mundur"
Tonghong ngo-hengte saling pandang sekejap diam-diam mereka mengagumi kebijaksanaan
Liong-heng-pat ciang ini, tanpa banyak bicara serentak mereka beranjak dari situ.
Ketika Liong-heng-pat-ciang melangkah keluar ruangan, para jago sama menyingkir ke
samping dan memberi jalan, mereka menunduk lesu, tak seorangpun berani angkat kepala
bertatap pandang dengan dia.
Menyaksikan semua itu. Sin-jiu Cian Hui menghela napas panjang, sepucat mayat wajahnya,


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berpaling ke belakangm ditatapnya sepasang "lian" di
atas dinding itu dengan termangu.
Lama sekali, matanya berkaca-kaca dan akhirnya titik air mata jatuh membasahi pipinya, air
mata itu berbaur dengan noda darah di bibir dan membasahi jenggotnya.
Sekokoh batu karang dan tegap langkah Liong heng-pat-ciang ketika melewati halaman luar,
tiba-tiba ia berseru "Tonghong-si-heng, lewat sini!"
Segesit burung walet dia melambung ke atas dinding pekarangan lalu melayang kekuar,
Tonghong-hengte tertegun, namun cepat juga mereka menyusul dari belakang.
Di antara gulungan debu yang beterbangan di udara, kuda berlarian ke sana kemari.
Hanya saja, semua pelana kuda itu kosong tak berpenunggang, di kejauhan tiga sosok
bayangan abu-abu sedang menggerakkan kuda-kuda itu sekilas pandang dapat diketahui mereka
adalah tiga bersaudara Mo dari Pak-to-jit-sat.
Mereka tidak ayal lagi masing-masing melompat ke atas kuda dan melarikan kudanya
sekencang-kencangnya meninggalkan tempat tersebut.
-o0o- ooo -oOo-
Begitulah, meskipun dalam pertemuan Toan-yang di perkampungan Long bong-san-ceng tidak
menghasilkan keputusan apa-apa, pertarungan yang mendebarkan hatipun tidak menghasilkan
keputusan siapa menang dan siapa kalah, tapi pertarungan itu telah menggetarkan dunia
persilatan dan juga sangat besar mempengaruhi dunia persilatan.
Sejak tokoh misterius berkedok di masa lampau meruntuhkan beberapa Piaukiok dengan
tokoh pimpinannya di utara dan selatan sungai besar, dunia persilatan yang tenang kembali
bergolak oleh terjadinya peristiwa itu, dan pergolakan itu ternyata mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan seorang pemuda yang lemah dan amat sederhana.
Demikian rendahnya mutu ilmu silat pemuda itu bahkan boleh dibilang sama sekali tak
berkepandaian silat. Akan tetapi tersiar di dunia Kangouw sebagai seorang tokoh maha sakti dan
berilmu tinggi yang sukar diukur.
Pemuda itu berasal dan keluarga yang biasa dengan kehidupan yang penuh penderitaan tapi
dalam dunia persilatan tersiar kabar bahwa dia adalah keturunan dan keluarga ternama, atau
murid dari seorang tokoh maha sakti yang hidup mengasingkan diri di luar samudera.
Pemuda yang berhati mulia, bijaksana dan jujur itu ternyata dikabarkan sebagai seorang
pemuda yang licin dan berotak tajam, sebab dengan usianya yang masih begitu muda ternyata ia
sanggup menjadi Kanglam-lok-lim-bengcu.
Pemuda yang menghebohkan itu bernama Hui Giok. Tapi orang persilatan tak pernah
menyebut namanya secara langsung, mereka menghormatinya dengan sebutan Hui Taysianseng,
tuan besar Hui.
Begitulah, Hui Giok yang masih muda belia dan sederhana dilukiskan sebagai tokoh yang
misterius oleh orang2 di dunia persilatan ini/
-oo0oo- -oo0ooKoleksi
Kang Zusi Seusai pertempuran di Long bong san-seng Tonghong-hengte segera pulang ke benteng Huilengpo.
Keesokan harinya setelah mereka tiba di rumah, muncul delapan belas orang laki-laki kekar
yang membawa harta kekayaan bernilai sepuluh laksa lebih dan mohon bertemu dengan Siaupocu
(tuan muda) dari Hui-in-po.
Rupanya setelah pertarungan sengit itu pihak Long-bong san-ceng, Kim keh pang dan Jit-giau
tui-hun masih belum melupakan taruhan mereka yang luar biasa itu.
Bagaimana dengan Liong-heng pat-ciang Tham Beng"
Sejak pertarungan berakhir, ia segera pulang ke Tionggoan, untuk sementara waktu ia tidak
melakukan gerakan apa pun.
Tapi semua orang tahu, tokoh persilatan yang luar biasa ini tak nanti akan melepaskan Sin jiu
Cian Hui dengan begitu saja, pertarungan sengit yang kedua kalinya cepat atau lambat pasti akan
berlangsung lagi, dan di dalam pertarungan tersebut baik mungkin akan berakhir seperti pertama
kalinya, sebelum menang atau kalah diketahui.
Selain daripada itu, dalam pertarungan tersebut nanti kecuali akan melibatkan orang-orang
Hui-liong-piaukiok dan Long-bong-san-ceng, kawanan jago dari kedua belah tepi sungai besarpun
akan terlibat karenanya setiap umat persilatan sama menunggu tibanya saat pertarungan itu
dengan hati berdebar.
Tentang keberhasilan Liong-heng pat-ciang mengundurkan diri dari perkampungan Long-bongsanceng
pun dalam dunia persilatan tersiar beberapa macam isyu, tapi apa gerangan yang
sebenarnya terjadi, sampai saat terakhir belum juga terungkap maka nama besar Liong-heng-patciang
semakin tersohor. makin disegani dan makin cemerlang.
Kejadian semacam itu cukup menggembirakan, cukup menggemparkan tapi perhatian orang
persilatan tidak terletak pada peristiwa itu.
Perhatian dan kegembiraan mereka terletak pada...
-0- -0 - -0- Bulan sembilan telah tiba namun hawa masih terasa panas.
Angin musim rontok mulai berhembus, langit cerah dan bersih dan gumpalan awan.
Jalan besar antara kota Ki-bun sampai bukit Hong-san yang pada hari2 biasa sangat jarang
dilalui orang, tiba-tiba saja berubah menjadi ramai banyak orang yang bermunculan di situ.
Yang lebih mengherankan lagi sebagian besar pejalan kaki itu adalah kawanan jago silat yang
bersenjata lengkap, tentu saja ada pula yang membawa kuda, tapi yang mengherankan ternyata
kawanan jago itu muncul secara berkelompok.
Jangan-jangan di puncak Hong-san telah terjadi suatu peristiwa besar yang menggetarkan
dunia" Tapi kalau dilihat dan sikap mereka yang berlari seenaknya hal ini tak mungkin terjadi.
Sepanjang perjalanan mereka bergurau dan saling menyapa, perjalanan dilakukan sangat lambat.
seakan-sekelompok manusia iseng yang bersama-sama mencari hiburan sehabis bersantap, yang
lebih aneh lagi ada sekelompok penjual makanan dan- pedagang kecil yang ikut bergabung jadi
sekelompok, ada yang jual makanan dan minuman, ada pula yang jualan baju sepatu dan alat
kebutuhan lainnya, dagangan mereka berjalan lancar ini menunjukkan bahwa kelompok yang
sangat aneh ini sudah lama bergabung, bahkan telah melakukan perjalanan yang cukup jauh
sebelum sampai situ.
Mereka berjalan amat lambai sebentar2 berhenti lalu berjalan lagi, ada kalanya muncul pula
sekelompok manusia dari belakang dan bertanya kepana rombongan yang berada di depan
dengan penuh ketegangan.
"Bagaimana" Sudah ada kabarnya?" demikian mereka saling bertanya, "Kabar" Kabar apa
yang dimaksud" Kabar penting apakah yang menarik perhatian khusus dari kawanan jago
persilatan itu" Berita apakah yang membuat kawanan jago itu tak segan-segan jauh-jauh dari
Tionggoan datang kemari untuk bergabung dengan rombongan itu"
Kurang-lebih beberapa tombak di depan rombongan itu terdapat pula sekelompok jago
persilatan, hanya jumlah mereka tidak banyak, total jendral cuma enam orang, meski begitu sikap
mereka jauh lebih tegang dan serius daripada rombongan yang di belakang, dan lagi mereka
selalu menjaga selisih jarak tertentu dengan mereka.
Sama juga dengan rombongan yang berada di belakang, mereka selalu bertanya dengan lirih
"Sudah ada kabar?""
Di antara mereka segera ada yang memburu ke depan dan menengok beberapa kejap bila
mendapat pertanyaan itu, hanya mereka tak berani berjalan terlalu dekat karena dari depan
mereka seringkali menggelegar bentakan bentakan yang dingin dan menyeramkan: "Enyah jauhjauh
dari situ?"
Jika bentakan itu terdengar, mereka lalu cepat2 berlalu dan menggeleng kepala dengan lesu
gelengan itu berarti, "Belum ada kabamya!"
Kabar" Lagi-lagi kabar" sebenarnya kabar apa yang sedang mereka nantikan"
Di antara sekian orang, hanya seorang laki-laki yang paling menarik perhatian laki-laki itu
bertubuh kekar tegap, bercambang, berotot, memakai baju merah dan ikat kepala warna merah
pula. Ia berjalan sambil menuntun seekor kuda bagus berwarna merah juga meski lambat sekali
langkahnya, namun air mukanya tampak gelisah, bahkan seringkali menyumpahi "Sialan" sialan
benar! Bukan orang lain yang ditunjuk, justeru aku yang ditugaskan melakukan pekerjaan berat ini"
Pada hal dia sendirilah yang minta ditugaskan untuk pekerjaan berat ini.
Kalau jengkel kadang-kadang dia terus kabur ke bagian belakang sana untuk minum arak dan
makan enak. Dalam keadaan demikian, pasti banyak orang yang berebutan membayarkan rekeningnya,
tujuan mereka hanya ingin bertanya: "Pau-lotoa. bagaimana" Sudah ada kabar?"
Kalau pertanyaan itu sudah dilontarkan, dengan jengkel laki-laki baju merah itu akan
membanting mangkuk araknya di meja sambil mencaci maki "Kabar apa" Hm, kentut pun tak ada,
mungkin kita harus menunggu tiga-lima tahun, lihat saja . . sialan, sepatupun aku sudah ganti dua
pasang." "Ya, betul!" orang laki menanggapi sambil tertawa. "kalau sepatu Pau-lotoa berlubang,
memang sukar mencarikan gantinya"
Seorang pedagang kecil yang berada di sisinya dengan cepat berteriak "jangan kuatir, telah
kusiapkan beberapa pasang sepatu merah yang besar tanggung cocok ukurannya!"
Gelak tertawapun terdengar laki-laki baju merah memaki sambil tertawa "Sialan, pintar juga
caramu mencari duit!" - Dan ia pun berlalu dari situ, sekalipun sikapnya angkuh dan rada latah,
namun terhadap seorang berjubah panjang di antar keenam orang itu, sikapnya ternyata
menghormat. Sering pula dia melirik seorang laki-laki kurus kecil dengan rada takut-takut, jika
orang itu berpaling kearahnya sambil tertawa. maka cepat-cepat dia melengos ke arah lain.
Dalam dunia persilatan laki-laki baju merah itu mempunyai nama yang cukup tersohor dia
adalah orang kedua dari Kim keh-pang, orang menyebutnya sebagai Keh-koan (si jengger ayam)
Pau Siau thian.
Lelaki berjubah panjang ini adalah satu-satunya orang yang mengenakan jubah panjang dan
tindak tanduknya ramah-tamah, tapi orang lainpun bersikap menghormat kepadanya.
Orang ini bertubuh kurus, sedikit berjenggot usianya sekitar empat puluhan, sekilas pandang
dandanannya mirip Siucay yang tidak lulus, mirip juga seorang saudagar kaya, sekalipun
melakukan perjalanan di bawah terik matahari, ia tidak nampak lelah.
Kadang-kadang ia bersenandung juga beberapa lagu, mungkin lirik lagu itu ia karang
sepanjang perjalanan menuju Hong-sea. Kendati demikian ia jarang bercakap dengan orang di
sekitar, dibalik keramah-tamahannya terselip juga sikapnya yang angkuh, hal ini disebabkan
karena asal usulnya memang tidak boleh diremehkan.
Orang ini adalah pengurus rumah tangga Hui leng-po yang tersohor di Kanglam di Hui-leng-po
orang menyebutnya sebagai "Koan Ji," sedang orang lain menghormatinya, dengan sebutan
"Koan jiya " tidak kecuali laki-laki kurus kering di sisinya, Karena wajahnya selalu berseri dihiasi
senyuman. Lain halnya dengan laki-laki kurus kering itu, sikapnya terhadap orang lain selalu sinis, seolah
tak sudi bergaul dengan orang lain, sendirian menunggang keledai hitamnya, tapi tak berani juga
terlampau cepat ke depan, sebenarnya si laki laki baju merah atau si Jengger Ayam Pau Siauthian
hendak mencarikan kesulitan baginya siapa tahu orang cukup cerdik, ia dapat menghadapi
keadaan dengan cekatan, maka akibatnya Pau Siau-thian sendiri yang telan pil pahit malah.
Tampaknya ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi juga keledai hitam tunggangannya itupun
kurus dan kecil.
Jelek-jelek begitu dia mempunyai nama yang cukup termashur, dia adalah piauthau kenamaan
dari Hui-liong piaukiok, orang menyebutnya sebagai Hek-lu-tui-hong (keledai hitam pengejar
angin) Cia Pin. Pada hakikatnya tak ada orang yang memerintahkan dia mengikuti rombongan
enam orang itu, ia berbuat demikian karena sukarela, sebab dia tertarik dan menaruh perhatian
khusus terhadap berita itu.
Wajah yang cukup dikenal lainnya adalah seorang tokoh penting dan Long-bong-san-ceng dia
bernama Tiat-suipoa (suipoa baja) Yu Peng.
Orang itu diikuti oleh seorang pemuda tampan yang berusia enam-tujuh belas tahunan,
pemuda itu malas bekerja, Yu Peng menyebutnya sebagai "Mia-su". si kutu buku, pemuda
tersebut taklain adalah kacung si Sin jiu Cian Hui.
Masih ada seorang lagi bertubuh gemuk seperti babi, badannya selalu basah kuyup oleh
peluh, napasnya tersengal dan seringkali merogoh saku mengambil sekeping dendeng dan
dijejalkan ke dalam mulut. Orang ini kocak potongan badannya, selalu tertawa bila bertemu orang,
apapun yang ditanyakan kepadanya ia selalu menjawab tak tahu.
Sebaliknya jika dia yang bertanya, senyumnya akan membuat orang mau-tak-mau menjawab
dengan sejujurnya.
Karena gemuk dan tindak tanduknya yang dogol semua orang jadi keheranan kenapa Jit-giautui
hun Na Hui-hong yang cermat itu bisa mengutus orang tolol untuk melaksanakan tugas ini.
Ia menyebut dirinya sebagai "Ong Tek ko, sebaliknya orang lain menyebutnya sebagai Ong
gendut. Di mana orang-orang itu tiba, sekalipun dusun yang paling miskin juga secara tiba-tiba akan
menjadi ramai dan makmur, hanya saja gerak-gerik mereka sama sekali tidak leluasa sebab di
belakang itu mengikut rombongan lain ke mana pun keenam orang itu pergi, sebaliknya ke enam
orang yang di depan pun mengikuti rombongan lain yang berada di paling depan.
Kurang-lebih belasan tombak di depan rombongan keenam orang itu terdapat pula rombongan
lain, mereka tak lain-tak-bukan adalah Leng-kok siang-bok dan Hui Giok.
Sepanjang perjalanan Leng-kok-siang bok jalan amat lambat, di mana ada pemandangan alam
yang indah, mereka berhenti untuk menikmatinya waktu mereka meninggalkan lembah sana
memang bertujuan pesiar dan menikmati pemandangan alam.
Ada kalanya, kedua orang itupun berbisik membicarakan sesuatu, hanya orang lain tak tahu
yang mereka bicarakan.
Bagaimana, dengan Hui Giok" sebagian besar waktunya dihabiskan untuk merenung dan
merenung terus, kadangkala ia mengeluarkan sejilid kitab-kitab itu sudah dibacanya sejenak
senyuman di atas tersungging di ujung bibirnya, dan kitab itu disimpan kembali ke dalam saku.
Di pandang dari sikap mereka yang beqitu rileks, mereka seperti tidak sadar bahwa mereka
bertiga telah menjadi berita yang menggetarkan dunia persilatan, mereka seolah-olah tak tahu
bahwa di mana pun mereka tiba, dusun sepi akan berubah jadi ramai, puing yang berserakan akan
berubah jadi dusun.
Selama empat bulan terakhir, pikiran pemuda seakan-akan hanyut ke dunia lain, ia tak pernah
menaruh perhatian terhadap kejadian di sekelilingnya, tak mendengarkan pembicaraan disekitar.
ia hanya tahu belajar, belajar dan belajar, bahkan ia pun tak menyadari bahwa kemajuan yang
telah dicapainya dalam belajar itu benar-benar mengerikan.
Setiap kali beristirahat di rumah penginapan Leng-kok-siang bok tentu mengajarkan beberapa
macam kunci ilmu silat kepadanya, bila melanjutkan perjalanan pemuda itu disuruh membaca
kitab. Boleh dibilang mereka tak memberi peluang kepadanya, sebaliknya pemuda itupun tak
memikir bahwa dirinya membutuhkan waktu untuk beristirahat, sebab bila pikirannya mulai
melayang-layang, bayangan tubuh Tham Bun-ki segera akan mengisi kekosongan tersebut.
Ada kalanya, bila tengah malam tak bisa tidur, pemuda itu lantas memandang bintang yang
bertaburan di langit sambil bertanya pada diri sendiru, haruskah aku menang" Ataukah harus
kalah?" seandainya dia menang, Sin-jiu Cian Hui akan menggunakan segala kemampuannya
untuk mendapatkan sepasang biji mata Tham Bun-ki yang dipertaruhkan itu, kadangkala timbul
niatnya untuk mengorbankan diri, sebab kendatipun gadis itu telah melukai hatinya, akan tetapi ia
tak rela menyaksikan orang lain mencelakainya.
Walau begitu, ia tak dapat mengendalikan perasaan ingin tahunya yang sangat, sampai kini
meskipun baru pengetahuan dasar ilmu silat yang diajarkan Leng-kok-siang-bok kepadanya,
namun semua itu belum pernah dikenalnya dahulu.
Dengan gembira seperti anak kecil yang di beri baju baru dia menerima semuanya itu, makin
lama sikap dan air mukanya mengalami banyak perubahan. cuma perubahan itu belum begitu
kentara. Ia sendiripun agak terkejut atas perubahan dirinya, dia belum tahu bahwa hal yang paling luar
biasa di dunia ini adalah "pengetahuan"
Meskipun tidak berbentuk nyata, tapi pengetahuan bukan saja dapat mengubah jalan pikiran
seseorang, dapat pula mengubah sikap serta wajahnya.
Sampai detik itu, Leng-kok-siang-bok masih belum tercengang oleh kemampuan Hui Giok
yang dapat menyerap pelajaran yang diberikannya, kebanyakan orang memang amat cepat
menerima dasar-dasar pelajaran.
Terhadap rombongan "ekor" yang selama ini membuntuti mereka, mereka pun tidak terlalu
merasa muak atau sebal, sebaliknya mereka merasa gembira di samping rasa ingin tahu, bahkan
secara diam-diam mereka pun mengamati gerak-gerik orang-orang itu.
Kadangkala Leng Han-tiok sengaja bertanya kenapa tidak kita hindari saja kuntitan makhlukmakhluk
yang menjemukan itu".
Sambil tertawa dingin Leng Ko-bok akan menjawab "Mereka tidak menghindari kita, masa kita
harus menghindari mereka?"
Maka lambat laun Hui Giok mulai dapat mengenali watak yang sebenarnya dan kedua kakek
itu. Dia tahu, di balik wajah yang dingin kaku dari kakek itu sebetulnya tersembunyi perasaan yang
hangat. Begitulah, dengan langkah seenaknya akhirnya sampailah mereka di bukit Hong-san yang
tersohor keindahan alamnya Leng-kok-siang bok berdua akan mencari suatu tempat yang sepi
untuk mengajarkan serangkaian ilmu silat yang sulit Hui Giok.
-OO00O- 0000OSi
Jengger Ayam Pau Siau-thian berdiri di atas punggung kuda sambil meneropong ke depan,
ia merasa gembira dan bangga sebab di kejauhan terdengar ada orang berkeplok memuji "Tak
nyana Pau-lotoa mahir benar menunggang kuda!"
Hek-lu-tui-hong (si keledai hitam pengejar angin) Cia Pin menjengek dan menimpali "Ya.
memang hebat! Bandit kuda dari perbatasan tak lebih juga cuma begitu saja."
Diam2 Pau Siau-thian menyumpah di dalam hati, masa dirinya disamakan dengan kaum
bandit. Tiba2 dilihatnya Leng-kok-siang-hok dan Hui Giok sudah mulai mendaki gunung, maka ia
pun berteriak "mereka sudah naik gunung!"
Dengan gaya Yau-cu-hoan-sin (burung belibis berjungkir balik) ia melompat turun dan kudanya
jangan kira badannya tinggi besar dan kaku, ternyata ilmu meringankan tubuhnya tidak jelek.
Koan-jiya menghela napas panjang, setelah melirik sekejap ke arah rombongan di
belakangnya pelahan ia berkata, setelah begini, pegunungan yang indah ini pasti akan rusak."
Ia tak berani membayangkan bagaimana jadinya bila orang sebanyak itu sekaligus mendaki
bukit kenamaan itu, tentu akan merusak keindahan alam di sana.
Tiat-suipoa Yu Peng tersenyum. "Kalau begitu kita tak usah naik gunung bersama-sama".
katanya "asalkan ada dua-tiga orang yang ikut naik ke sana kan sudah cukup, sedang lainnya
menunggu di kaki bukit kau sama saja"
"Ya, betul! Memang harus begitu" teriak Koan jiya kegirangan, pendapat Yu-heng memang
tepat tapi siapakah yang ditugaskan ikut naik ke atas gunung?"
"Kalau aku sih lebih suka minum arak di bawah bukit, hidupku akan terasa lebih tenteram "
seru "si Jengger Ayam Pau Siau thian dengan cepat.


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di antara kita hanya Pau heng dan Cia-heng yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling
sempurna," Tiat-suipoa Yu Peng berseru sambil tersenyum "Kukira kalian berdualah yang pantas
menrima tugas ini?"
Cahaya kebanggaan sempat memancar dari balik mata Keh-koan Pau Siau-thian namun di
mulut dia pura2 menghela napas panjang seraya berkata dengan lagak seperti apa boleh buat,
"Walau begitu. terpaksa aku harus melanjutkan perjalanan lagi."
"Aku tidak ikut." tiba2 Cia Pin yang bertengger atas keledai hitamnya menukas dengan ketus
Tiat-suipoa tertegun mendengar perkataan itu, tapi dengan cepat ia berkata pula, "kalau begini,
biar aku saja yang membuntuti mereka !"
"Kalian tak usah pergi semua!" seru Cia Pin lagi "setelah mendaki Hong san, memangnya
mereka tak akan turun lagi?"
Pau Siau-thian sengaja menengadah dan terbahak2. "Hahaha... betul memang betul mereka
tentu akan turun lagi."
Tertawanya berhenti setengah jalan. kemudian tambahnya dengan dingin: "Tapi hehehe
apakah mereka suka kita ikuti dari belakang" Tidak mungkinkah secara diam2 mereka akan
kabur" Menirukan lagak si Jengger Ayam, Hek lu tui liong ikut menengadah dan terbahak "Hahaha
betul, mereka bisa kabur secara diam-diam"
Sesudah berhenti sebentar, lalu sambungnya dengan nada dingin: "Jika mereka tidak
menghendaki jejaknya kita ikuti, sejak mula sudah banyak kesempatan baik bagi mereka untuk
kabur siapakah yang mampu menyusul kecepatan gerak Leng-kok-siang-bok" Jika dulu mereka
tak kabur-kabur, mungkin kah sekarang mereka akan kabur?"
Dengan perawakannya yang kurus kecil, ketika menirukan gaya serta gerak gerik Pau Siau
thiau maka tampaklah gayanya yang kocak dan lucu, bukan saja semua orang dibuat bergelak
bahkan Koan-jiya yang alim pun ikut tertawa geli.
Tak terkirakan gusar Pau Siau-thian, matanya merah se-akan2 menyemburkan api.
Hek-lu-tui-hong tidak perduli kemarahan orang sambil menuntun keledai hitamnya pelahan ia
menghampiri sebuah pohon yang rindang dan duduk di situ lalu memesan sayur dan arak untuk
bersantap. "Koan-jiya" serunya kemudian sambil tertawa "mari kita bergembira dengan bebas."
Sambil membelai bulu suri keledainya, ia bergumam lagi sambil tertawa" "Nak, ada sementara
orang ternyata lebih goblok daripadamu tahukah kau manusia manakah itu" Coba lihatlah, hawa
begini panas, tapi mereka ngotot hendak naik gunung. Haha lihatlah kita, bukankah lebih nyaman
duduk di sini?"
Tampaknya keladai hitam itu dapat memahami perkataan manusia, ia meringkik pelahan
sambil anggukkan kepalanya, tentu saja mereka yang menyaksikan adegan ini tak dapat
mengendalikan rasa gelinya.
Hanya Keh koan Pau Siau-than seorang yang tidak tertawa, mukanya berubah jadi pucat
kehijauan, matanya yang merah hampir saja melotot keluar.
Untuk menyatakan bahwa ia tidak lebih bodoh daripada keledai, segera teriaknya dengan
nyaring. "Hm, siapa yang bilang aku mau naik ke atas" Sejak tadi aku memang ingin duduk di
sini!" Dengan langkah lebar dia menghampiri penjual makanan. setelah membeli daging dan arak ia
pun bersantap dengan lahapnya.
Sementara itu Tiat-suipou Yu Peng juga sedang berpikir. "Tampaknya apa yang dikatakan Cia
Pin memang betul juga."
Orang ini cukup cerdik, banyak akal dan pandai melihat gelagat, justeru karena kelebihan
tersebut jenazah Koay-sin Hoa Giok yang sudah tertanam berhasil ditemukan oleh dia.
Karena kelebihannya itulah maka Sin-jiu Cian Hui mengutusnya untuk mencari berita, bila
orang lain, mungkin sejak dulu ia sudah bentrok dengan Cia Pin yang sombong dari Hui-liong
piauwkiok. Begitulah, setelah berpikir dia sendiripun ikut duduk di bawah pohon untuk beristirahat.
Sementara Ong gendut dengan senyum manis selalu menghiasi wajahnya juga sudah duduk di
bawah pohon untuk makan minum.
Maka di kaki bukit Hong-san lantas berubah menjadi suatu dusun yang ramai, meski dusun
yang bersifat sementara.
Ketika malam hampir tiba, di sekitar tempat itu bermunculan lagi penjual lentera, penjual
makanan dan penjual arak, mereka berdatangan dari sekitar kota Ci-bun, kawanan jago silat itu
duduk berkelompok mengitari lampu lentera sambil berpesta pora, ketika angin malam berembus,
terasalah hawa yang sejuk.
Tapi sehari sudah lewat tanpa kabar, menyusul kemudian hari kedua dan hari ketiga Leng koksiang-
bok maupun Hui Giok belum juga muncul di kaki bukit.
oOo oOOo oOo Di atas Hong-san ada awan, ada pohon siong batu karang serta sumber mata air Lautan awan
di Hong-san begitu indah dan sedap dipandang.
Lautan pohong siong membentang luas, batu padas berwarna warni, entah berapa banyak
penyair dan pelukis yang terpesona oleh keindahan di puncak gunung tersebut.
Tidak banyak sumber mata air di Hong san, tapi setiap sumber mata air yang ada tentu
melukiskan suatu pemandangan yang menawan apalagi telaga Kiu-hong tham yang indah laksana
seekor naga, betul-betul membikin orang terpesona.
Hong-san adalah "gadis paling cantik" bagi penyair dan pelukis, dan kini "gadis cantik" itu
mempesonakan pula Leng kok siang bok dan Hui Giok.
Sang surya mulai terbenam, senja menjelang tiba pemandangan alam pegunungan Hong san
tampak lebih cantik dan menawan hati.
Hui Giok baru pertama kali ini mendaki gunung kenamaan mi, ia betul-betul kegirangan
gembira seperti menemukan dunia baru.
Sepanjang perjalanan mendaki gunung, pemuda itu selalu mengagumi akan betapa luasnya
jagat raya ini, betapa besarnya kekuasaan Thian serta betapa kecilnya diri sendiri.
Diam-diam ia menyesali dirinya yang tidak memiliki bakat sebagai penyair, sebagai seorang
seniman, sehingga perasaan yang terpendam di dalam hati tak dapat tertumpah keluar.
Leng-kok sian,g-bok yang berwajah kaku dan selalu bersikap dingin kini pun lebih sering
memperlihatkan perasaannya yang hangat.
Berdin di puncak Si-Sin-hong, dikelilingi lautan pohon siong yang menyelimuti lereng dan
tebing curam, Leng Han-tiok tersenyum, pelahan ujarnya, "Aneh, kenapa orang-orang yang
menjemukan itu tidak ikut naik ke sini?"
"Mungkin mereka mengira kita akan turun gunung lewat jalan yang sama, maka dengan
tenang mereka menunggu kita di bawah gunung," kata Leng Ko bok dengan tertawa, "padahal apa
salahnya kalau kita melintasi Tiat-boan to, melewati puncak Si-sin-hong dan turun melalui sebelah
belakang" Hehehe biar orang-orang yang menjemukan itu menunggu dengan gelisah."
Leng Han-tiok memandang sekeliling tempat itu, entah karena pengaruh keindahan alam di
sini mendadak manusia aneh yang berwajah dingin ini tertawa terbahak-bahak "Hahaha bagus.
bagus sekali.."
Cahaya senja telah lenyap, suasana hening malam sudah mulai kelam.
Apa yang telah diputuskan kedua bersaudara ini tak pernah berubah, maka sesuai dengan
rencana semula, mereka langsung mendaki puncak Sin li-liong untuk turun ke balik gunung sana.
Sepanjang perjalanan kesempatan itu mereka gunakan untuk mengajarkan ilmu meringankan
tubuh pada Hui Giok, jalan pegunungan ini terjal dan curam sehingga merupakan ujian berat bagi
anak muda itu. Hui Giok riang gembira dan sama sekali tidak merasakan segala kesulitan itu, bahkan ia
merasa gerakan tubuhnya sekarang beberapa kali lipat lebih lincah daripada hari-hari sebelumnya.
Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap, keduanya sama-sama menampilkan rasa
gembira dari sinar mata masing-masing.
Setibanya di puncak Si-si hong nanti kata Leng Han-tiok dengan dingin, "Kau harus siap sedia
belajar serangkaian ilmu pukulan Hm. Ku kira kepandaian ini belum tentu dapat kukuasai dengan
cepat." Setiap kali ia berbicara dengan Hui Giok, suaranya tentu dingin dari kaku, namun Hui Giok
sudah terbiasa dengan sikap seperti itu, bahkan menerimanya dengan senang hati.
Dengan riang gembira ia menerima pesan itu, tiba-tiba dilihatnya Si sin-hong sudah
mengadang di depan, dilihatnya pula bahwa ia semakin dekat dengan bintang yang berkedip di
angkasa, cahaya bintang se-olah-olah berada di atas kepalanya.
Cahaya bintang itu gemerdep tak hentinya. timbul kenangan khayalan di masa kanak-kanak,
"Dapatkah bintang di angkasa kutangkap?"
Mendadak suara Lang Han-tiok menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.
Di tengah kegelapan, terlihat Leng-kok-siang-bok berdiri dengan wajah terkejut.
"Loji" kata Leng Ko-bok sambil menatap tajam ke depan, "coba lihat sinar itu, apakah sinar
lampu?" "Ya, betul," jawab Leng Han-tiok sambil mengangguk jelas sinar lampu.
Bukan sembarangan urusan dapat membuat kedua bersaudara ini merasa kaget tapi dalam
keadaan dan waktu seperti ini, di puncak Si-sin-hong yang terjal ini bisa muncul cahaya lampu, hal
ini memang cukup membuat orang terperanjat.
Angin gunung berembus makin kencang, Hui Giok merasakan hawa dingin yang muncul dan
dasar kaki, mendadak Leng-kok-siang bok menerjang ke arah cahaya lampu itu.
Ketika Hui Giok tenangkan diri, dirinya ternyata berdiri di atas sepotong batu yang menonjol
keluar, rasanya "seperti berdiri di pusat bumi. Untuk mengejar gerak tubuh Leng-kok siang bok
yang cepat itu tentu saja ia tak mampu, terpaksa ia duduk bersila di atas batu itu, embusan angin
gunung mengibarkan bajunya, ia membenahinya dengan tak tenang.
Tiba2 ia rasakan batu gunung yang didudukinya itu ikut bergerak, sekalipun hanya suatu
goncangan yang pelahan, tapi dalam keadaan demikian cukup menggetarkan perasaannya.
Dengan gerakan yang sangat berhati hati ia melompat turun, mendadak ditemukan di dasar
batu gunung itupun ada setitik sinar.
Ia terkejut, ia berpaling, tapi bayangan Leng kok-siang-bok sudah tertelan dalam kegelapan
gunung. Hui Giok termenung sebentar, akhirnya ia berjongkok dan coba mendorong batu gunung itu.
Hah, ternyata batu gunung itu dapat bergeser pelahan ke samping.
Selarik sinar terpancar keluar dan bawah batu gunung dan terasa menyilaukan ia
memejamkan mata, waktu membuka kembali matanya, dengan tangan rada gemetar ia
mendorong lagi batu itu hingga muncul sebuah liang rahasia.
Bau apek dan agak busuk berembus keluar dari liang tersebut, cepat ia berpaling ia meraba
jantung sendiri berdetak keras.
Leng-kok siang-bok belum juga kelihatan jejaknya, bintang yang bertaburan di angkasa
seakan-akan jauh meninggalkannya, angin malam yang berembus lewat terasa bertambah dingin.
Ia tidak bersuara, entah karena keberaniannya yang cukup atau hanya ingin menjaga harga
diri, pemuda itu berdiri kaku di depan mulut liang itu sampai didengarnya suara rintihan dari dalam
liang tadi. Rintihan itu sangat lemah, penuh penderitaan berduka dan rada gemetar, seakan akan
sebatang jarum tajam dingin menusuk ulu hatinya. Hui Giok bergidik ia mengepal kencangkencang,
peluh dingin membasahi telapak tangannya.
Setelah rintihan pertama, menyusul terdengar pula rintihan kedua yang penuh menderita suara
itu tersiar sayup-sayup dan terputus-putus.
Rintihan tersebut membuat napas dan darahnya bagaikan air yang membeku di musim dingin.
Ngeri dan seram ditambah lagi terkejut suara rintihan tersebut terasa sudah dikenalnya.
Ya, suara itu sudah dikenalnya dengan baik tapi seketika itu ia tak ingat suara siapakah itu"
Seperti juga impian buruk dimasa kanak-kanak, terasa samar-samar, tapi juga begitu jelas.
Akhirnya ia menggigit bibir, mengaturkan mata terus melompat turun ke dalam liang rahasia
itu. Pemuda yang aneh ini memiliki suatu keberanian yang luar biasa yang muncul secara tibatiba,
ia berani menerima penderitaan yang tak sanggup dirasakan oleh orang lain, ia berani
menghadapi kengerian dan keseraman yang tak berani dihadapi orang lain, justeru karena
keberanian inilah ia telah banyak melakukan hal-hal yang tak berani dilakukan orang lain.
Ini tidak berarti ia tak kenal arti keseraman bahkan kedua kakinya ketika itu terasa lemas
karena ngerinya.
Rasa takut yang muncul tatkala menghadapi bahaya adalah reaksi yang normal yang
menunjukkan bahwa orang itu sehat dan berakal.
Hanya saja pada pemuda ini ada kelebihan sedikit, ia mampu mengubah rasa ngeri menjadi
keberanian dan keberanian adalah reaksi yang cerdik untuk menghadapi bahaya.
"Blang!" ia jatuh di atas batu yang keras dan dingin, cepat pemuda itu merangkak bangun dan
coba meraba sekitar itu.
Tatkala tangannya meraba, tiba2 ia merasa tangannya tidak meraba batu yang dingin lagi, tapi
meraba sebuah tangan yang kaku kurus dan dingin.
Suatu perasaan yang sukar dilukiskan segera timbul, ia melompat bangun dengan terperanjat.
Ia memeriksa sekitar tempat tadi, di tengah remang-remang kelihatan di situ tergeletak
sepotong kutungan tangan.
Di samping kutungan tangan terdapat sebuah kotak kayu hitam yang buruk bentuknya, tiga
atau lima kutungan telapak tangan yang sama terserak disisi kotak kayu itu.
Semua kutungan tangan tadi sudah kisut, kering dan mengecil, itu berarti sudah terpotong
cukup lama, terutama kuku-kuku pada kutungan tangan itu kelihatan berwarna pucat kelabu.
Hui Giok merasa mual dan ingin muntah, cepat anak muda itu berlari ke depan sana sambil
mendekap mulutnya, tapi akhirnya tertumpah juga air kecut dan perutnya.
Ia coba menengadah, dilihatnya didepan sana adalah sebuah lorong sempit, sebuah obor yang
hampir habis terbakar tertancap di dinding karang bawah obor ada sebilah kutungan pedang,
gagang pedang berada di sebelah kiri, ujung pedang terlempar di sebelah kanan ada potongan
secomot rambut, maju lagi ke sana terdapat secarik kain seperti ujung jubah yang terpapas oleh
senjata. Di ujung lorong sebelah kiri tampaknya terdapat sebuah gua cahaya terang terpancar keluar
dan situ, di tengah cahaya lamat2 ada sesosok bayangan hitam yang panjang tercetak di atas batu
yang kelabu, Anehnya, meski Hui Giok sudah mengeluarkan suara muntah tadi, suasana dalam
gua tetap hening,se-akan2 semua penghuninya sudah mampus.
Hui Giok menyeka ujung bibirnya dengan tangan, tiba-tiba suara peletikan api memecahkan
keheningan, api obor padam dan lorong itu menjadi gelap gulita, angin dingin yang berembus
kencang membekukan punggung.
Tanpa terasa ia menyurut mundar beberapa langkah.
Tapi suara rintihan yang penuh penderitaan dan cukup dikenalnya tadi seakan-akan
mendengung lagi di tepi telinganya.
Sambil membusungkan dada ia maju selangkah demi selangkah, pikimya "Bagaimana pun
kedatanganku ini tidak bermaksud jahat, masa orang lain akan memperlakukan diriku dengan
jahat." Orang yang berhati mulia selalu mempunyai jalan pikiran yang mulia pula terhadap orang lain
dan seringkali jalan pikiran yang mulia akan mengurangi rasa gugup yang mencekam
perasaannya. Berpikir demikian, ia terus maju ke depan cahaya lampu di depan terasa makin dekat, jantung
pun makin berdebar.
Namun bayangan hitam di balik sinar tetap tak bergerak, tampaknya bayangan manusia itu
duduk menghadap ke arah sinar api.
"Mungkinkah bayangan manusia itu yang mengeluarkan suara rintihan" jangan jangan dia
sudan mati."
Mendadak ia menerjang ke sana, sesosok bayangan punggung berwarna putih segera terlintas
dalam pandangannya itulah baju yang putih mulus dan rambut yang hitam.
Kakinya terasa lemas, ia tak mampu maju lagi barang selangkah pun Tiba-tiba orang itu
berpaling, itulah seraut wajah yang penuh derita. penuh kedukaan dan sudah dikenal olehnya,
seketika ia tergetar.
Pada detik itu beratus macam pikiran terlintas dalam benak Hui Giok dan mengalami
perubahan yang kalut, akhirnya perasaan tersebut membeku dan berubah menjadi rasa kaget,
heran dan girang.
Perasaan yang bercampur aduk, sebab raut wajah yang muncul di depannya ini sedemikian
pucat. Sedemikian berduka dan lagi dikenalnva dengan baik raut wajah tersebut seakan-akan sebuah
cambuk yang tak berwujud yang mencambuk lubuk hatinya yang dalam
"Ken . . kenapa bisa kau?" jeritnya gemetar.
Mimpi pun ia tak menyangka orang yang duduk bersila di dalam gua rahasia di puncak Hongsan
yang sepi ini bukan lain adalah Leng-goat-siancu Ay Cing.
Leng-goat-siancu Ay Cing berpaling, dilihatnya sesosok bayangan berdiri di balik kegelapan
sana, waktu itu ia belum sempat melihat jelas wajah Hui Giok, tapi jeritan kaget pemuda itu telah
menggetarkan daya ingatannya, tanpa terasa ia pun berseru kaget: "Ken . kenapa bisa kau!"
Hui Giok menerjang maju, tapi mendadak langkahnya berhenti pula.
Gua itu adalah sebuah gua yang amat dalam batu karang yang mencuat ke sana kemari
memantulkan sinar berwarna warni ketika tertimpa oleh sinar lentera yang redup.
Di bawah batu yang berwarna-warni dan menonjol keluar itu duduk bersila dua orang, yang di
sebelah kiri berwajah pucat tapi bersih berkening lebar dan basah oleh butir keringat, rambut yang
hitam dikundai jadi satu, tapi tak rapi, baju yang semula bersih sekarang sudah dekil dan
mengenaskan cuma sinar matanya masih setajam sembilu, tatapannya yang tajam sedang
mengawasi orang yang duduk di di depannya, kedua telapak tangannya terungkap di depan dada,
di tengah kedua telapak tangannya terjepit sebatang ujung pedang.
Ujung pedang itu mengkilat selisihnya cuma satu inci di depan dadanya, batu karang yang
didudukinya sudah mencekung ke dalam karena tindihan badannya yang berat.
Dia duduk tak bergerak melirik sekejap pun, tidak ke arah Hui Giok meski kemunculan pemuda
itu sangat tiba-tiba. Di bawah sinar lampu yang redup, mereka bagaikan dua arca yang terbuat dari
batu. Orang itu juga sudah dikenal oleh Hui Giok, dia tak lain adalah seorang tokoh persilatan yang
namanya pernah menggetarkan dunia Kangouw.
Dialah Cian jiu suseng, sastrawan bertangan seribu yang disegani setiap insan persilatan.
Di sebelah sana duduk pula seorang lelaki, dia juga bermuka pucat, baik rambutnya yang
digulung dan bajunya yang putih dan sudah menjadi dekil, sinar matanya yang tajam juga menatap
musuh tanpa berkedip, ia juga merangkap kedua tangannya di depan dada, di antara telapak
tangannya menjepit sebilah ujung pedang, ujung pedang itu pun hampir menyentuh dadanya.
Orang ini juga sangat dikenal oleh Hui Giok sebab dia adalah seorang tokoh persilatan yang
namanya menggetarkan dunia Kangouw. ia pun bukan lain daripada Cian-jiu-suseng, si sastrawan
bertangan seribu yang disegani.
Aneh bin ajaib! Ada Jian-jiu suseng kembar"
Mereka berdua duduk berhadapan kedua ujung pedang berdempetan satu dengan yang lain
dalam keadaan begini, bila salah seorang mengendurkan tekanan telapak tangannya niscaya akan


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binasa dengan dada berlubang.
Jelas kedua orang itu sedang bertarung mati-matian dengan saling mengerahkan segenap
tenaga dalam masing-masing, rupanya kedua pihak saling ngotot dan bertahan siapapun tak mau
mengendurkan tekanan tenaganya.
Sejak dulu pertarungan mengadu jiwa yang sering terjadi belum pernah ada pertarungan
sengit yang sedemikian tegang seperti apa yang dilakukan kedua orang ini.
Kecuali mereka berdua bersamaan waktunya menghapus tenaga dan berbareng melompat
mundur kalau tidak, jika salah seorang diantaranya mengundurkan diri atau mengendurkan sedikit
tenaganya niscaya pedang yang berada digenggaman musuh akan menghujam hulu hatinya dan
merenggut nyawanya.
Ditinjau dan potongan tubuhnya, raut wajahnya, kedua orang itu ibaratnva pinang dibelah dua,
meski jumlah manusia tak terhitung banyaknya di dunia ini, namun kecuali saudara kembar, tak
mungkin kiranya ada dua orang yang memiliki wajah maupun potongan badan yang sama.
Tapi sungguh aneh, jika mereka saudara kembar, mengapa kedua orang ini bisa terlibat dalam
permusuhan begini"
Hui Giok terkesima hampir tak percaya pada apa yang terlihat, mimpi pun ia tak menyangka
akan menyaksikan adegan yang mendebarkan hati ini, terasa tubuhnya seakan-akan ikan yang
beku di antara timbunan salju, kaku dan tak sanggup bergerak.
Cahaya lampu menyinari pedang yang berwarna hijau, gemerdep sinar itu seolah-olah tatapan
mata sekelompok manusia yang menghina kerlipan mata yang mengejek ditambah pula pantulan
cahaya yang berwarna warni dari batu gua, hampir saja ia mengira dirinya sedang bermimpi buruk.
Akhirnya ia menggeser sorot matanya ke arah Ay Cing.
Mendadak ia menjerit, pakaian Ay Cing yang putih itu penuh berlepotan darah, di antara
gumpalan darah tertancap berpuluh jarum yang bersinar.
Hui Giok merasa berkunang-kunang matanya, kakinya terasa lemas dan "bluk", akhirnya jatuh
terduduk di tanah
Ia tak habis mengerti, musibah mengerikan apakah yang telah terjadi di dalam gua ini" ia tak
mengerti, dendam kesumat apakah yang melihat kan ketiga orang ini sehingga kecuali pilihan
antara hidup dan mati, seakan-akan di dunia ini tiada jalan lain yang mampu menyelesaikan
urusan mereka. Tiba-tiba ia teringat pada kejadian dulu, pada malam ketika ia baru kabur dari Hui-liongpiaukiok.
Malam tersebut adalah malam yang paling mendebarkan baginya bila terbayang kembali.
Tiba-tiba ia teringat pula pada waktu mereka membicarakan asal-usul Leng goat-siancu, lalu
terlihat perubahan air muka Kim-tong giok-li.
Semua itu bukan saja tak dapat menjelaskan keadaan sekarang sebaliknya malah menambah
keseraman kengerian serta kemisteriusan masalah ini.
Dengan bingung ia duduk di lantai.
Dengan pandangan yang sedih dan hampa Leng goat siancu memandang beberapa kejap ke
arahnya Dadanya yang montok bergelombang naik-turun, berpuluh batang jarum menantap disekitar
situ dan bergetar mengikuti guncangan itu.
Kemudiau ia berpaling, memandang kedua "arca" yang sedang mengadu jiwa itu. kini di dunia
ini tiada seorang atau kekuatan apa pun dapat mengalihkan kembali perhatiannya, memencarkan
rasa kuatirnya, sebab dia dan salah satu di antara mereka itu mempunyai hubungan yang sangat
eray, mempunyai hubungan yang terukir dan tak mungkin terhapus selamanya yakni hubungan
cinta, dendam, budi dan benci.
Kilasan cahaya yang terpantul menyinari wajah kedua orang itu, sebentar tampak berubah
sepucat kertas sebentar berubah semerah darah, sebentar lagi merubah jadi hijau kelabu, cahaya
keputus-asaan..
Suasana terasa hening, sepi dan menyesakkan napas, hanya angin yang berembus pelahan,
seperti ada seperti juga tak ada.
Mendadak, pedang panjang itu bergeser ke sebelah kiri, makin lama semakin menempel di
atas pakaian orang di sebelah kiri, pelahan tampak otot hijau di atas keningnya menonjol keluar
nyatanya berubah jadi merah berapi.
Leng-goat-siancu terbelalak terlihat rasa kuatir kejut dan cemas, tubuhnya gemetar.
Dia begitu menguatirkan keselamatannya perhatian yang mendalam ini sampai Hui Giok yang
berada di belakangnya juga dapat merasakannya.
Pemuda itu terheran-heran, ia berpikir kenapa ia tidak membantunya" Cukup tangannya
bergerak dan orang di sebelah kanan akan segera terancam bencana."
Ia mengerti siapapun di antara kedua orang itu tak akan mampu membendung tenaga
serangan yang datang dari pihak ketiga, sekalipun tinju seorang anak kecil sudah cukup membikin
amblas nyawa mereka.
Dia ragu juga heran, ia tak tahan dan perlahan berdiri, dia ingin memberikan suatu pukulan
ringan pada orang yang berada di sebelah kanan itu.
Cukup pukulan yang enteng akan dapat membebaskan orang di sebelah kiri itu dari ancaman
bahaya. Walaupun ia mempunyai budi dan dendam dengan kedua orang itu tapi ia tak dapat
membedakan siapakah di antara mereka yang pernah menutuk jalan darah bisu tulinya, ia
bertindak hanya demi Leng-goat-siancu, sebab ia merasa utang budi dan merasa amat berterima
kasih kepadanya.
Pada saat itu pelahan pedang itu bergeser maju lagi ke arah kanan, makin lama semakin
menempel baju orang di sebelah kanan itu.
Air muka orang di sebelah kiri mulai kelihatan tenang, sebaliknya air muka orang di sebelah
kanan semakin tegang oleh rasa kuatir dan ngeri.
Diam-diam Hiu Giok mengembus napas lega ia berpaling ke arah Leng-goat-siancu tapi apa
yang dilihatnya adalah perempuan itu masih juga berduduk dengan gemetar dan wajah penuh
rasa kuatir. Rasa kuatirnya yang sangat dan perhatiannya yang besar ternyata juga tertuju kepada orang
di sebelah kanan.
Hal ini membuat Hui Giok terkesima, dengan kebingungan ia duduk pula di tanah Apa yang
dibayangkannya, begitu rumit persoalan antara ke tiga orang itu sungguh sukar untuk dimengerti.
Cahaya lampu masih gemerdep, pertarungan mengadu jiwa ini seakan-akan berlanjut tanpa
batas, suasana yang mencekam menyesakkan napas seperti bukit yang menindih tubuh membuat
Hui Giok tak dapat berbuat apa-apa.
Leng-goat siancu Ay Cmg masih juga berduduk seakan-akan sudah lupa akan kehadiran anak
muda itu. Sinar matanya masih berkisar antara kedua orang itu, tatapan yang hampa, sedih dan kuatir
"Hui Giok! Kau berada di mana?" tiba-tiba terdengar suara orang memanggil berkumandang dari
kejauhan. Suara itu meski sayup-sayup dan berasal dari tempat jauh, tapi berkumandang tiada putusnya
ke dalam lorong seperti terbawa embusan ingin.
Sekali mendengar suara itu siapapun akan tahu orang yang bersuara itu bertenaga besar, tak
perlu disangsikan lagi pasti seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi.
"Siapakah dia?" Ay Cmg berpaling seraya membentak
Hui Giok menundukkan kepalanya, ia tak berani beradu pandang lagi dengan dia, jawabnya,
"Mereka adalah orang yang mendaki Hong-san bersamaku"
Air muka Leng-goat-siancu berubah pucat "Apakah mereka juga menemukan gua ini?"
tanyanya kuatir.
"Mungkin..."sahut Hui Giok tergagap setelah merenung sejenak.
Ay Cing berbangkit dengan kaku, jarum yang penuh menancap ditubuhnya itu pun bergetar.
"Kena... kenapa kau?" tanya Hui Giok dengan air muka berubah cepat ia pun berdiri.
Tapi sebelum ia memayangnya, perempuan itu telah duduk kembali dengan lemas sambil
berbisik "Beritahukan kepada mereka agar tangan masuk ke sini!"
Hui Giok menunduk memandangi wajah yang pucat itu memandang noda darah yang
membasahi tubuhnya, jarum yang berkilat itu. Setiap orang yang berperasaan tak akan menolak
permohonan perempuan yang sedang berduka dan harus dikasihani ini, apalagi dia adalah Hui
Giok yang berhati mulia, berutang budi dan amat berterima kasih kepadanya"
Tanpa ragu ia putar badan terus lari keluar, bahkan sama sekali tidak bertanya: "Mengapa?"
Maklumlah. untuknya, apa pun pasti akan dilakukannya.
Suara langkah yang enteng kian lama kian menjauh.
Leng-goat-siaocu memutar badannya dan titik air mata jatuh membasahi ujung jarum yang
berkilat itu. "Mengapa" Mengapa kalian harus begini..." keluhnya penuh kedukaan.
Padahal ia mengetahui dengan jelas kenapa ke kedua orang itu berbuat demikian. Tak lain tak
bukan adalah karena dia.
Karena budi dan benci yang terjalin dengan tetesan air mata dan darah, karena takdir yang tak
bisa dilawan, karena watak pembawaan manusia.
jilid ke~ 14 Keluhan yang penuh kepiluan itu bahkan tidak berhasil menggerakkan sinar mata kedua orang
di hadapannya, jarak antara mati dan hidup bagi mereka ibaratnya jarak ujung pedang di depan
dada mereka. Akhinya, dengan putus asa Ay Cmg menghela napas, ia menunduk dan memandang ujung
jarum yang memenuhi tubuhnya.
Jarum tersebut dia yang menusuknya satu per satu ke tubuh sendiri, tapi sayang, tindakan
yang mengerikan itu tetap gagal mencegah pertarungan mengadu jiwa antara kedua orang itu,
sedang penderitaan badaniah juga sama sekali tak dapat mengalihkan penderitaan batinnya.
Ia termenung putus asa, tiba2 tersembul senyuman pada wajahnya.
Sebab dia tahu, bagaimanapun jua, hari ini nasibnya yang penuh penderitaan dan kepedihan
serta pertikaiannya dengan kedua orang ini, baik soal cinta, dendam, budi dan apapun akan
mengalami penyelesaian yang abadi.
Dalam pada itu Hui Giok sedang berlari ke luar, lorong rahasia yang dirasakan amat panjang
dan tiada habisnya ketika datang tadi, sekarang rasanya berubah menjadi jauh lebih pendek.
Dalam sekejap ia sudah mencapai ujung lorong, ia lihat cahaya yang memancar masuk ke
lorong rahasia.
Sambil mengembuskan napas lega ia berpikir.
Lorong rahasia ini sangat gelap gulita, pantas Leng-si-hengte belum juga menemukan jalan
masuk lorong ini.
Berpikir demikian, kembali ia membatin "Mungkin sinar lampu yang mereka lihat tadi terpancar
keluar dari celah2 gua di mana Leng goal siancu berada, tentu saja mereka tak menemukan
tempatnya, sebab di situ tidak ada pintu masuknya.
Berpikir demikian ia lantas melompat ke atas, telapak tangannya bertahan pada pinggiran gua
dan melejit ke atas.
Kungfunya sekarang telah peroleh kemajuan yang pesat, tatkala badannya mengapung ke
atas tiba2 sebuah telapak tangan yang dingin mencengkeram urat nadi pergelangan tangannya,
suatu kekuatannya yang amat besar menariknya ke atas"
"Jangan tegang, aku.." orang itu berbisik sesudah kaki menginjak permukaan tanah di bawah
sinar bintang tertampaklah Leng-kok-siang bok yang bermuka dingin sedang memandangnya
dengan penuh perasaan kuatir.
"Ke mana kau telah pergi" Apakah menemukan sesuatu?" segera Leng Han-tiok menegur.
"Meskipun dingin suaranya tapi penuh rasa kuatir dan perhatian besar, Hui Giok merasakan
betapa hangatnya sikap mereka berdua, perasaannya seperti halnya bertemu dengan sanak
keluarga sendiri.
Secara ringkas ia ceritakan kejadian aneh yang ditemuinya barusan kemudian dengan nada
bersungguh-sungguh ia memohon kepada mereka agar jangan ikut masuk ke dalam gua rahasia,
selamanya ia tak pernah menipu selamanya tak pernah berbohong untuk mencapai apa yang
diinginkan. Secara jujur dan berterus terang ia memohon, cara demikian biasanya dapat membuat orang
sungkan untuk menolak permintaannya.
Leng-kok-Siang-bok tercengang sehabis mendengar penuturan tersebut
Bahkan bagi Leng kok-siang-bok yang angkuh dan dingin, nama besar Cian jiu-suseng serta
Leng goat-siancu cukup cemerlang.
Dengan rasa terkejut mereka saling pandang sekejap, tiba-tiba Leng Han-tiok tertawa, " Siapa
yang percaya" Siapa yang akan percaya!" gumannya
"Percaya apa?" tanya Hui Giok bingung, "apa yang kukatakan adalah kejadian yang
sebenarnya!"
"Siapa tahu bahwa seorang pemuda yang mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan
Liong-heng pat-ciang, Leng-goat siancu dan Kim-tong-giok-li, sebetulnya cuma seorang yang tak
mahir ilmu silat," tukas Leng Han-tiok sambil tertawa, "dan siapa pula yang menyangka kalau
pemuda yang sama sekali tak berilmu silat itu dalam waktu setahun telah mempunyai nama besar
yang menggetarkan dunia persilatan?"
"Ya, mungkin kejadian tersebut merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi di dunia
persilatan, "Leng Ko bok menambahkan sambil tersenyum.
Sejak kedua orang ini berkumpul dengan Hui Giok, senyuman yang menghiasi wajah mereka
sudah bukan kejadian yang aneh. Kadang2 kemulian dan kebajikan serupa embusan angin di
musim semi yang hangat dan dapat melumerkan salju yang dingin.
Hui Giok melenggong "Kukira kalian sedang keheranan dan tidak percaya pada apa yang
kukatakan " gumamnya.
Leng Han tiok tersenyum "Jian-jiu-suseng yang termasyhur dalam dunia persilatan ternyata
ada dua" sekujur badan Leng-goat-siancu tertancap jarum, walaupun semuanya merupakan
kejadian yang cukup bikin orang ter-heran2, tapi semua kejadian itu bila dibandingkan dengan
kejadian yang menimpa dirimu, semua itu tidak terhitung apa2, hanya kau sendiri saja tidak
mengetahuinya!"
"Bila kau hendak turun ke bawah lagi, cepatlah lakukan!" ujar Leng Ko-bok, "Kami akan
menantimu di sini"
Hui Giok termangu sejenak, seakan2 sedang meresapi makna ucapan mereka, seakan-akan
merasa aneh mengapa kata-kata mereka dapat berubah selembut itu.
Kemudian ia tertawa dengan rasa terima kasih lalu ia melompat turun lagi ke dalam liang
rahasia. Memandang bayangan pemuda yang lenyap di dalam liang, Leng Ko-bok menghela napas
panjang dan berkata: "Ai, bocah ini.. selamanya ia lebih memperhatikan urusan orang lain
daripada urusan sendiri".
Leng Han-tiok tersenyum, tiba-tiba ia berkata dengan kening berkerut "Sungguh tak nyana
Jian-jiu-suseng itu ada dua orang, pantas orang persilatan sama bilang tindak tanduk Jian jiususeng
kadang baik dan sering juga jahat, jejaknya sukar diikuti, hari ini berbuat kebaikan di
wilayah Kanglam, besok paginya sudah berbuat kejahatan di wilayah Hopak, maklum, pemegang
perannya ternyata ada dua orang kembar.
Leng Ko-bok menghela napas panjang, "Sebetulnya dalam dunia persilatan terdapat banyak
tokoh-tokoh semacam dongeng, banyak cerita yang luar biasa, tapi di balik manusia dan cerita
tersebut seringkali tersimpan sesuatu yang tak akan di ketahui orang dan merupakan rahasia
sepanjang jaman, seperti halnya. . . seperti halnya..."
"Seperti halnya dengan kita berdua bukan?" sambung Leng Han-tiok.
Dua orang bersaudara itu saling pandang dengan tersenyum, betapapun kencangnya angin
malam yang berembus di puncak Hong-san tak nanti akan membuyarkan senyuman pada wajah
kedua orang itu.
Sinar bintang semakin redup, karena kabut tebal telah menyelimuti lereng pegunungan itu.
Di dalam lorong rahasia menggemalah suara Leng-goat-siancu yang memilukan dan menyayat
hati "Sudahlah, hentikan pertarungan mengapa kau harus berbuat demikian. Dendam kesumat
pada empat puluh tahun yang lalu apakah tak dapat diselesaikan sampai di sini saja" Apalagi
dia... dia sudah sudah menyadari kesalahannya?"
Tanpa sadar Hui Giok meringankan langkah kakinya,
Terdengar ia berkata lagi, "la telah menerima penderitaan serta penghinaan yang tak dapat
diterima oleh siapapun, semua ini bukankah lantaran kau" Apakah semua itu masih belum cukup
untuk menebus kesalahannya pada masa kecil" Tidak seharusnya kau desak dia sehingga buntu,
kau... kau ... masakah kau tega membinasakan saudara kandungmu sendiri."
Betapa sedih dan memilukan ucapan tersebut, membuat siapapun akan iba bila
mendengarnya. Hui Giok merasakan kepedihan yang luar biasa muncul dari hati sanubarinya langkah kakinya
semakin ringan.
Kata-kata memilukan itu terputus, lalu disambung lagi lebih jauh, "Tiong jim, kau sudah
menerima banyak penderitaan serta percobaan, apakah kau tak dapat bersabar sedikit lagi"
Bagaimanapun juga, engkaulah yang salah" Engkau yang salah lebih dulu kepadanya, bukankah
demikian?"
Kata-kata yang diselingi isak tangis kembali menggema, "Aku tahu semuanya ini lantaran
diriku, bila tiada aku, sebetulnya kalian dapat dapat lebih sabar, tapi, kalian harus tahu aku juga
manusia, dapatkah kusaksikan semua kejadian ini?" Aku bersedia mati di hadapan kalian detik ini
juga, tapi... tapi aku tak tega menyaksikan salah seorang di antara kalian mati ditangan kalian
sendiri, darah..."
Perkataannya terhenti, dalam lorong yang seram hanya bergema kata "darah", kata tersebut
mendengung tiada hentinya.
Bagaimanapun jua darah adalah cairan yang kental" katanya lagi dengan terisak kumohon
kepadamu... lepaslah tangan kalian, mau bukan?"
Hui Giok hampir saja tak berani bernapas keras-keras, selangkah demi selangkah ia maju ke
muka dan akhirnya tiba di ujung sana.
Sinar lampu masih redup, ia memandang ke depan, suatu pemandangan yang mengerikan.
Siapa tahu, pada waktu sorot matanya bergeser air muka orang di sebelah kiri yang kaku
seperti arca tiba-tiba mengalami perubahan, menyusul perubahan yang hampir sukar terlihat itu,
kedua telapak tangannya yang dirangkap satu sama lain itu mendadak mengendur dan terbuka.
Air muka Leng-goat-siancu berubah hebat "Tiong-jim . " teriaknya.
Belum habis teriakan tersebut, terkilas senyuman pada wajah orang di sebelah kanan, telapak
tangannya yang dirangkap menjadi satu tiba-tiba juga direntangkan keluar.
Ujung pedang yang tajam seketika menancap di dada . , . hampir bersamaan waktunya
menancap di dada mereka.
Darah kental berwarna merah bermuncratan, darah panas masing-masing muncrat ke tubuh
lawan, darah mereka saling berbaur, tubuh mereka saling menempel, mereka tak dapat
menyaksikan lagi kesedihan atau kegembiraan Ay Cing, hanya jeritan kaget melengking
perempuan itu akan menggema untuk selamanya di telinga mereka, mengiringi mereka menuju ke
alam yang baka.
Detak jantung orang yang di sebelah kiri telah berhenti, dia adalah sang kakak ia sedetik lebih
cepat meninggalkan dunia yang fana ini daripada lawannya, ia sedetik lebih cepat mengakhiri
hidupnya.

Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang di sebelah kanan mulai mengatupkan kelopak matanya, tapi tenggorokannya masih
sempat meninggalkan serentetan suara: "Baa. . bagaimana pun jua, dia, dia tetap menyayangi
aku." Suara itu makin lama makin lirih, dan akhirnya lenyap bersama jiwanya, pertarungan telah
berhenti, jiwa pun lenyap.
Cinta, dendam, budi, benci, akhirnya ikut hanyut bersama buyarnya kehidupan mereka!
Semua pertikaian yang sukar diselesaikan semua dendam kesumat yang terukir dalam hati,
semua penderitaan maupun kegembiraan akhirnya dengan paruh harus tunduk di hadapan
kematian. Hanya darah kental mereka berdua masih menetes dan menggumpal menjadi satu, hingga
sukar untuk dibedakan lagi.
Kehidupan kedua bersaudara yang penuh keanehan dan cemerlang, tapi juga penuh derita itu
hampir dimulai pada saat yang sama, dan sekarang juga berakhir hampir pada waktu yang sama.
Leng-goat-siancu bukan dewi lagi, pada saat itu, baik jiwa maupun raganya seakan-akan
berubah jadi beku, jerit lengking yang memekak telinga masih mendengung dalam lorong rahasia,
masih mendengung di telinga Hui Giok.
Ia berdiri dengan kaku, hingga Ay Cing menjerit untuk kedua kalinya sambil menubruk tubuh
kedua orang itu.
Hui Giok merasa suasana sedemikian hening seakan-akan dunia telah kiamat, isak tangis
yang semula masih terdengar, lambat laun pun lenyap satu ingatan tiba2 berkelebat dalam
benaknya. "Leng-goat siancu sangat sedih mengapa tidak menangis?"
Bagaimanapun dia memang anak yang pandai, ia tahu hanya ada dua jawaban atas
pertanyaan ini. Kecuali rasa sedih yang kelewat batas membuatnya jadi kaku dan tak sadar atau
dia tidak perlu sedih lagi karena ia telah mengambil keputusan nekat akan bunuh diri.
Tak terkirakan rasa kuatirnya setelah berpikir demikian, cepat ia memburu maju dan berseru
dengan gemetar "Ay, kau... kau... pelahan Leng-goat siancu berpaling, meski wajahnya yang
pucat masih penuh air rnata, tapi kerlingan matanya yang tajam menunjukkan keteguhan hatinya.
Ia memandang beberapa kejap ke arah Hui Giok, lalu menjawab, "Anak Giok, kembali kita
berjumpa lagi"
Kata-kata yang seharusnya diucapkan semenjak tadi ternyata baru sekarang dikatakan, tentu
saja arti katanya sudah jauh berbeda.
Diam-diam Hui Giok menghela napas, Ai selama beberapa hari belakangan ini, kau. Kau
sebenarnya dia ingin bertanya, "Baik kah kau?"
Tapi dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba ia merasa pertanyaan semacam itu sebenarnya tak
perlu diajukan.
Maka iapun menghela napas pula dan berkata, "Beberapa bulan berselang aku telah bertemu
dengan..."
"Aku tahu," tukas Ay Cing sambil mengangguk "akulah yang suruh mereka ke sana, anak Giok
. kau tahu aku menyukai dirimu, sebab jarang sekali orang berhati mulia yang kujumpai di dunia
ini." Hui Giok berusaha menekan rasa sedihnya, tapi himpunan kepedihan di dalam dada terasa
bagaikan batu besar yang menindihnya sehingga tak mampu berbicara.
Di antara kilatan cahaya yang terpantul dan batuf tiba-tiba Leng-goat-siancu tersenyum,
senyuman dalam kepedihan ini tampak jauh lebih mengharukan dari pada isak tangis.
Dengan senyuman semacam itu dia amati Hui Giok beberapa kejap, kemudian ucapnya
dengan lembut, "Aku benar-benar gembira karena dapat berjumpa lagi denganmu, kau... kau
banyak berubah dan lebih besar daripada dulu, sekarang kau... tampak sebagai seorang laki-laki
dewasa daripada seorang bocah. Ai dapat menyaksikan kau tumbuh dewasa, sungguh hal yang
sangat baik."
Ia memandang kegelapan di kejauhan, itulah sinar mata yang penuh kepedihan penuh
kedukaan dan kehampaan.
Hui Giok menunduk, katanya dengan tergagap.
"Lain waktu, kau dapat lebih sering bertemu denganku..." Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba
ia berbisik lagi, "Bo.. bolehkah kucabutkan jarum yang menancap di tubuhmu itu?"
Pandangan Ay Cing masih terarah ke tempat jauh seakan akan tidak mendengar
perkataannya. Seakan-akan tenggelam dalam kenangan masa silam yang penuh dengan suka dan duka,
lama dan lama sekali, akhirnya ia menghela napas.
"Sekarang, kau telah dewasa, entah masihkah kau menurut pada perkataanku seperti dulu?"
"Apa yang kuperintahkan kepadaku, pasti... pasti akan ku lakukan nya," sahut Hui Giok cepat.
Kembali senyuman tersembul di wajah Ay Cing. "Benarkah itu" Baiklah, kalau begitu,
sekarang lekaslah kau berlututlah dan bersumpah akan memenuhi tiga permintaanku, bagaimana
pun dan apa pun yang terjadi kau harus melaksanakan menurut permintaanku dan tak akan kau
pungkiri."
Seandainya orang lain yang mengucapkan kata-kata ini tentu ia akan mempertimbangkan lebih
dulu, sebab ia kuatir orang akan menyuruhnya melakukan sesuatu yang tak diinginkannya.
Tapi Ay Cing, seperti memiliki suatu kekuatan gaib, tanpa berpikir Hui Giok lantas berlutut
seraya berseru dengan lantang, "Aku Hui Giok, apabila , . apabila . . " ia tak pandai bersumpah,
maka tidak tahu apa yang harus diucapkannya.
Terpaksa Ay Cmg membantunya, "Apabila tak mengikuti apa yang dikatakan Ay Cing, biarlah
aku disambar geledek dan mati secara mengerikan!"
"Ya, begitulah, aku Hui Gtok, apabila tidak mengikuti apa yang dikatakan Ay Cing, biar
disambar geledek dan mati secara mengerikan!" demikian Hui Giok menirukan.
Kemudian sambil melompat bangun, tanyanya "Apa permintaanmu?"
Dengan sedih Ay Cmg menghela napas, "Pertama, mulai sekarang sampai akhir hidupmu,
selamanya tak boleh melukai hati perempuan mana pun jua, baik kau mencintainya atau tidak asal
ia baik kepadamu maka kaupun harus baik-baik melindunginya, peduli alasan apa pun, tak boleh
membiarkan dia dicelakai atau dirugikan orang lain, Bersediakah kau?"
"Aku memang tak mengizinkan orang lain mencelakai atau merugikan seorang perempuan
yang baik kepadaku," seru Hui Giok segera.
Sinar kepedihan terpancar keluar dan balik mata Ay Cing, pelahan katanya lagi "Sepintas lalu,
pekerjaan ini tampaknya gampang dilaksanakan padahal Ai, sulit.. sulit sekali, sebab di dunia ini
selalu akan muncul pelbagai alasan yang aneh2 yang akan membuat kau mau-tak-mau harus
melakukan perbuatan jahat terhadap orang yang kau cintai itu!"
"Tidak, selamanya aku tak kan berbuat demikian," seru Hui Giok sambil membusungkan dada,
Dengan perasaan lega Ay Cing mengangguk, "Anak baik, ingat baik-baik perkataanmu hari ini.
Kedua, aku minta kau bersedia menemani aku selama tiga hari di sini, walaupun penderitaan apa
pun yang akan kau alami, kau tak boleh meninggalkan aku. Ai, tiga hari ini tentu merupakan tiga
hari yang paling sengsara, karena kegelapan, lelah, dahaga dan lapar, semua ini merupakan
musuh besar bagi umat manusia sejak dulu kala, semuanya akan segera berdatangan. Dapatkah
kau menahan semua penderitaan itu" Bersediakah kau?"
"Aku bersedia," Hui Giok mengangguk penderitaan seperti apa pun jua, aku sanggup
menerimanya."
Tiba-tiba ia teringat pada Leng-bok-siang-bok yang menanti di luar, timbul perasaan menyesal
dalam hatinya. sementara itu, Leng-goat siancu telah berkata lagi setelah menghela napas, "Anak baik, aku
tahu kau dapat menahan semua penderitaan itu demi aku tapi akupun berjanji kepadamu, semua
penderitaan yang bakal kau alami itu akan memperoleh balas jasa yang berpuluh kali lebih besar
daripada apa yang kau korbankan!"
"Aku tidak menginginkan balas jasa!" teriak Hui Giok keras-keras, "aku... , aku.."
Ay Cing tertawa pedih, sorot matanya memancarkan rasa lega dan kagum, ia bergumam, "Bila
aku dapat menyumbangkan sisa kemampuanku kepada anak ini agar dia menjadi manusia baik
dan membuat pahala bagi umat manusia dalam dunia persilatan, sekalipun harus mati aku akan
mati dengan senyum dikulum."
Sayang katanya itu samar2, sukar bagi Hui Giok untuk menangkap dengan jelas "Apa yang
kau katakan?" tanyanya.
"Sebelum, ku utarakan permintaanku yang ke tiga, hendak kukisahkan dulu sebuah cerita
kepadamu. Tapi selamanya kau tak boleh menceritakannya kembali kepada orang lain, aku hanya
hanya wajib menceritakannya kisah ini kepada seorang saja, Ah Thian memang maha adil dan
mengizinkan aku bertemu kembali dengan kau dalam keadaan seperti ini."
Pelahan ia bangkit berdiri, memperkecil cahaya api lentera sehingga membuat wajahnya yang
pucat semakin suram.
"Bila api kukecilkan, dia akan tahan lebih lama," katanya lirih, "kehidupan bukankah tak beda
jauh seperti ini?" Ambisi dan masa kejayaan yang terlampau besar, selamanya tidak tahan lama,
kecuali...."
Tiba2 ia melirik sekejap ke arah Hui Giok dan menambahkan "Kecuali dia memiliki hati yang
mulia." Ia mengambil sepotong sapu tangan dan menyeka noda darah yang mengotori wajah kedua
tokoh silat tadi, kemudian ia mempererat rangkulan mereka yang memang sudah erat itu.
Setelah semua itu selesai, ia baru duduk Kembali di hadapan Hui Giok serta mulai dengan
kisahnya. "Dulu, ada seorang perempuan yang sederhana entah suatu keuntungan atau kemalangan, ia
telah melahirkan sepasang anak kembar, sepasang anak kembar yang luar biasa. Tampaknya
kehidupan perempuan yang sederhana itu hanya untuk mengabdikan diri demi kehidupan kedua
putranya itu sebab setelah melahirkan anak kembar itu ia pun mengembuskan napas yang
terakhir. "Waktu berlalu dengan cepatnya, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, akhirnya kedua
bocah kembar itupun meningkat besar, baik wajah maupun potongan badan mereka, bahkan
suara serta gerak-geriknya ternyata mirip sekali satu sama lain, seringkali ayah mereka sendiri pun
tak dapat membedakan mana yang kakak dan mana yang adik.
"Tapi sayang, Thian justru telah menciptakan dua hati, dua perasaan yang berbeda pada
kedua bocah kembar itu. Kalau sang kakak pintar, angkuh dan keras kepala, maka sang adik
lemah, pendiam tapi baik hati, baik di rumah maupun di sekolahan semua kebanggaan dan pujian
adalah kepunyaan sang kakak. Bahkan sampai ayah mereka sendiripun kurang begitu suka pada
sang adik yang patut dikasihani ini, sebab menurut anggapan ayahnya, bila tak ada si adik ini
mungkin istrinya tak akan sampai mati setelah melahirkan."
Suaranya begitu lembut dan sedap di dengar tapi ceritanya adalah kisah yang menyedihkan
hati. Hui Giok duduk bersila di tanah ia terkesima .. mendengarkan cerita itu.
Sesudah menarik napas panjang Ay Cing melanjutkan kisahnya: "Dibesarkan dalam suasana
begini, tentu saja membentuk watak si adik menjadi pemurung, terhadap segala urusan ia
menerimanya dengan begitu saja, tapi dalam hati dia selalu mengingatkan dirinya sendiri,
membalas dendam... membalas dendam ...suatu ketika harus membalas dendam."
Bercerita sampai di sini, suaranya yang merdu tiba2 terdengar agak gemetar.
Hui Giok terkesiap, ia merasa kata2 "membalas dendam" yang diutarakan dari mulutnya itu
mengandung nada benci dan mengerikan membikin hati orang berdebar. se-akan2 pembalasan
dendam itu bukan ditujukan kepada sang kakak yang angkuh, melainkan terhadap dia.
Suara yang gemetar pelahan pulih kembali dalam ketenangan lanjutnya lebih jauh, "Suatu hari,
sang kakak memecahkan jamban antik kesayangan ayahnya. ternyata tanggung jawab itu oleh
sang kakak dialihkan kepada adiknya, si ayah yang pilih kasih mempercayai keterangan si kakak
itu. Tentu saja si adik jadi sasaran caci-maki ayahnya karena penasaran, malamnya ia minggat
meninggalkan rumah, tapi sang ayah dan kakaknya tidak jadi bingung atau gelisah, karena mereka
tahu si adik yang lemah tentu akan pulang sendiri.
"Betul juga, pada hari ketiga si adik benar2 kembali, bahkan wajahnya menunjukkan sinar
kegembiraan yang aneh, terhadap segala caci maki yang dilontarkan kepadanya ia tak ambil
pusing. Si kakak yang cerdik segera berusaha mendesak adiknya dan bertanya mengapa dia
bergembira. "Mula-mula si adik tak mau menjawab, tapi akhirnya ia bertutur juga, katanya waktu ia
meninggalkan rumah, di suatu tempat telah bertemu dengan dewa, dewa itu menyuruhnya agar
tiga hari kemudian berkunjung lagi ke sana karena dia akan diterima menjadi murid dan diajari ilmu
dewa yang maha sakti.
"Mendengar cerita itu, si kakak jadi iri hati, sampai-sampai malamnya tak dapat tidur nyenyak.
Setelah pikir punya pikir, ia menemukan suatu rencana yang amat keji.
"Hari ketiga, si kakak pun pura-pura hendak mengantar adiknya bahkan mendesak pula
kepada adiknya untuk memberitahu di manakah dewa itu berdiam. Dengan sikap yang aneh
segera si adik menjelaskan letak tempat itu secara jelas, si kakak diam-diam merasa geli dan
mengira adiknya terperangkap karena ia telah menyusun rencana untuk membinasakan adiknya,
kemudian dengan menyaru sebagai adiknya ia akan berkunjung ke tempat sang dewa, wajah
mereka berdua sama, sekalipun dewa juga belum tentu tahu akan penyaruannya.
"Mimpipun ia tak menyangka kalau adiknya sebetulnya tidak bertemu dengan dewa segala, dia
hanya bertanya kepada pemburu-pemburu di bukit tentang tempat yang sering muncul binatang
buas, tempat tersebut tak berani dikunjungi oleh pemburu sendiri, ia tahu kakaknya tentu akan
berebut ke sana. Cuma ia tak menyangka kalau kakaknya berniat membinasakan dia."
Hui Giok berkeringat dingin, mimpi pun ia tak mengira antara manusia dengan manusia bisa
menggunakan cara sekeji ini untuk saling mencelakai, apalagi mereka berdua adalah saudara
kembar. Leng-goat siancu sendiripun tanpa terasa berpaling ke arah kedua mayat yang saling
berpelukan itu, sekali lagi ia menghela napas sedih.
Kedua orang itu sama-sama tidak memberitahu kepada ayahnya, diam-diam mereka naik
gunung bersama, sang kakak diam-diam merasa senang, si adik pun merasa gembira. Ketika tiba
di sebuah tebing yang curam, si kakak berkata, setelah berpisah hari ini, entah kapan kita akan
bertemu lagi" - Si adik pun berkata, "Ya, setelah berpisah hari ini, entah sampai kapan kita bisa
bertemu lagi"
Diam-diam ia merasa heran, kenapa kakak nya tidak berebut pergi ke tempat yang
diceritakannya" Siapa tahu, belum habis ingatan tersebut terlintas dalam benaknya, sang kakak
dengan segenap tenaganya telah mendorong si adik ke dalam jurang di sampingnya."
Hui Giok tak dapat menahan rasa kagetnya, ia menjerit.
Ay Cmg menghela napas panjang, sambungnya "Si kakak yang berada di atas tebing jadi
ketakutan juga setelah mendengar jeritan ngeri si adik yang terjatuh ke jurang, cepat dia berlari
menuju ke tempat yang dimaksudkan adiknya.
"Tapi di sana ia tidak menemukan dewa melainkan bertemu dengan seekor harimau kumbang
yang amat buas, padahal usianya waktu itu baru dua belas tahun, tapi sudah memiliki keberanian
yang luar biasa, dengan tenang dihadapinya bahaya itu. Tapi, apa yang bisa dilakukan seorang
anak berusia dua belas" Mana seorang bocah cilik dapat melawan harimau ganas" Tampaknya
dia segera akan mati oleh cakar harimau yang tajam"
Hui Giok merasa napasnya semakin lama semakin berat, sementara itu Ay Cing telah
meneruskan ceritanya "Untunglah di saat yang kritis, suara auman harimau telah mengejutkan
seorang tokoh persilatan yang bermukim di situ, si kakak pun berhasil diselamatkan dari ujung
kuku harimau ganas itu. Tampaknya tokoh persilatan itu amat menyukai ketenangan serta
kecerdikan bocah itu ketika ia bertanya maukah dia menjadi muridnya" Si kakak yang cerdik serta
merta berlutut dan mengangkat guru padanya.
"Begitulah, karena bencana ia mendapat rejeki tak sampai sepuluh tahun, seluruh kepandaian
tokoh persilatan itu telah dimilikinya, hanya saja setiap kali bila malam tiba, ketika ia memandang
kegelapan di luar jendela telinganya seakan-akan mendengar suara jeritan ngeri adiknya waktu
jatuh ke dalam jurang. Dan setiap kali perasaan itu terkekang ia tentu bergidik dan merasa
menyesali. Gua rahasia yang tak berangin itu tiba2 terasa lebih dingin dan menggidikkan badan.
Leng goat siancu Ay Cing meneruskan lagi ceritanya: "Sepuluh tahun kemudian, akhirnya
tokoh persilatan itu wafat, ayah kedua bocah itu pun sudah mengembuskan napasnya yang
penghabisan semenjak kehilangan kedua puteranya.
Sang kakak yang berhasil mempelajari ilmu silat lihay tentu saja tak mau berdiam terus di atas
gunung yang sepi, ia pun turun gunung dan berkelana, tak sampai tiga tahun, ia berhasil
memperoleh nama besar yang menggetarkan dunia.
"Suatu hari, ketika sedang melakukan perjalanan di jalan raya Kamliang ia berhasil
menyelamatkan seorang perempuan muda dari serangan segerombol perampok, karena amat
berterima kasih atas pertolongannya itu dan kagum atas ilmu silatnya. ditambah lagi karena
menyesal atas dosa pada masa kecilnva, ia banyak melakukan kebajikan, semua ini telah menarik
perhatian perempuan itu maka akhirnya dengan senang hati perempuan itu dipersunting menjadi
istrinya. "Kehidupan mereka selanjutnya adalah kehidupan yang indah dan bahagia, Mereka selalu
belajar membaca dan belajar silat bersama bahkan ia telah menurunkan segenap ilmu silat yang
tercantum dalam kitab pusaka Hay-tinan-pi-kip milik gurunya kepada isterinya, sedang perempuan
itu mengajarkan ilmu sastra, menggubah syair dan bernyanyi kepada suaminya..."
Tiba-tiba Hui Giok merasa di balik cerita itu terselip nada yang penuh kehangatan, matanya
memancarkan sinar terang, seakan-akan sedang meresapi kenangan bahagia masa lalu.
Satu ingatan cepat terlintas dalam benak Hui Giok ia tahu siapakah yang menjadi peran utama
dalam kisah tersebut, tanpa terasa ia berpaling dan memandang sekejap ke arah kedua mayat
yang saling berpelukan itu.
Tiba-tiba ia temukan sorot mata Ay Cing waktu itu juga sedang menatap ke sana.
Ay Cing memandang beberapa kejap ke depan, kemudian dengan cepatnya berpaling kembali.
"Suami istri itu merupakan pasangan suami istri paling bahagia dalam dunia persilatan,"
lanjutnya, "hingga pada suatu hari..."
Diam2 Hui Giok merasakan firasat yang tidak enak.
Ay Cing menghela napas, sambungnya, "Pada malam itu turun hujan lebat, mendengar suara
air hujan di luar jendela, entah mengapa tiba-tiba dalam hatiku timbul firasat jelek.
Mendadak ia merasa telah telanjur bicara, maka, sambil tertawa sedih lanjutnya "Waktu itu aku
sudah tujuh tahun kawin dengan Jian-jiu-suseng Siau Tiong jim, tapi perasaan tak enak semacam
itu baru timbul untuk pertama kalinya, aku berada di sisinya, aku merasa bagaikan hidup di masa
kanak-kanak lagi.
"Tengah malam. ketika seorang temannya yang jauh berdiam di wilayah Se-pak mengutus
orang memberi kabar bahwa ia telah menemukan peristiwa luar biasa dan berharap dia segera
berangkat ke sana sebenarnya aku ingin ikut pergi, tapi dia berkata kepadaku agar tetap tinggal di
rumah, tak sampai satu bulan dia akan kembali lagi, sebab pertikaian apapun yang terjadi dalam
dunia persilatan, asal Jian jiu-suseng datang, semua urusan akan beres dengan sendirinya Tapi
hatiku tidak tenteram dan tetap ingin ikut pergi, ia mentertawakan aku mirip kanak2"
Ia tarik napas panjang, kemudian melanjutkan. "Tidak sampai satu bulan, ia benar-benar
sudah pulang, meskipun tampak lebih kurus tapi semangatnya tetap segar, betapa senangku Tapi
entah mengapa, sejak kedatangannya, aku merasakan suasana yang aneh seakan akan selalu


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelimuti di sekelilingku."
Nada ucapannya makin lama semakin berat, tiap patah kata seolah-olah harus menggunakan
tenaga yang amat besar.
Hui Giok merasakan juga suatu suasana yang sangat aneh di balik nada perkataannya,
membuatnya bergidik.
"Suasana semacam itupun berlalu dengan cepat," terdengar Ay Cing bercerita pula, "setahun
telah lewat tanpa terasa aku merasa dalam segala hal telah terjadi perubahan, tapi tak dapat
kuutarakan alasannya, dalam setahun aku semakin jarang bercakap dengannya, acara membaca
buku dan berlatih silat juga terhenti semua, sebab kata-katanya ia menderita sedikit luka dalam
tapi aku tidak melihat luka itu.
"Musim hujan tiba lagi, malam itupun hujan turun dengan derasnya, waktu itu aku sudah
tertidur. tapi ketika terbangun di tengah rnalam, ku jumpai dia duduk di tepi pembaringan sambil
memandang keluar jendela dengan terkesima, aku tidak mengganggunya, hanya pelahan
kualihkan pandanganku ke arah mana ia memandang!"
Nada suaranya dari berat tiba-tiba berubah jadi kaget, gemetar bercampur sedih.
"Apa yang kulihat , apa yang kulihat waktu itu, selamanya tak akan kulupakan lagi, katanya
gemetar, "aku. . . .aku telah melihat sepasang mata Jian-jiu Cuseng Siau Tiong jin yang lain
berada di luar jendela, ia sedang memandang diriku dengan terkesima, jantungku hampir
melompat keluar dan rongga dada, tak tahan lagi aku menjerit kaget."
Hui Giok mengkirik, hampir saja ia tak tega untuk mendengarkan cerita itu lebih jauh.
Keringat dingin membasahi seluruh badannya ketika diam-diam ia menengadah dilihatnya air
muka Ay Cmg telah kaku, sedikit pun tak berperasaan.
Seperti lagi menceritakan suatu kisah lain, ia lanjutkan kata-katanya, meski dengan suara agak
gemetar "Setelah aku menjerit kaget, bayangan manusia diluar jendela itu segera kabur dari situ,
aku jadi tak tahan dan ikut melompat turun dan pembaringan, aku ingin mengejarnya, tapi orang
yang duduk di sampingku tiba-tiba menutuk jalan darahku, membuat aku tak mampu berkutik"
Tiba-tiba minyak lentera mengering, api padam dan suasana dalam gua pun diliputi kegelapan.
Rasa seram semakin menyelimuti seluruh ruangan gua, seakan-akan banyak siluman iblis
yang sedang menari di sana, dan setiap bayangan siluman iblis itu seolah-olah berwajah Jian Jiu
suseng. Tanpa terasa Hui Giok melingkarkan tubuhnya, ngeri rasanya mendengarkan cerita yang
seram di tempat kegelapan seperti ini, apalagi si pemegang peran cerita yang itu sekarang duduk
di hadapannya dengan air mata bercucuran.
"Sampai waktu itu aku belum lagi mengetahui masa silam mereka berdua." lanjut perempuan
itu dengan sedih, "akupun tak tahu... orang yang duduk di tepi . .. . di tepi pembaringan yang
telah... telah hidup bersamaku selama setahun itu sebe. . . sebenarnya bukan Jian-jiu-suseng Siau
Tiong-jim melainkan... melainkan adiknya Siau Pek-hian."
Hui Giok menghela napas panjang. Di tengah kegelapan akhirnya terdengar juga suara tangis
yang memilukan.
Entah berapa lama perempuan itu menangis, akhirnya ia melanjutkan kisahnya dengan suara
gemetar "Waktu itu aku berbaring di pembaringan dengan badan kaku, kudengar Siau Pek-hian
menceritakan semua kisah itu. Ternyata setelah jatuh ke dalam jurang, ia tidak mati, setelah
mengalami banyak kesulitan, akhirnya ia berhasil mempelajari serangkaian ilmu silat yang lihai
dan ia kembali ke dunia ramai untuk membalas dendam. Tapi... tapi aku..."
Dengan pedihnya ia mengeluh "Aku tidak berbuat dosa apa2, aku pun tidak berbuat kesalahan
kepadanya, tapi aku harus menanggung penderitaan dan penghinaan yang tak terkirakan beratnya
ini. Kudengar ia memberitahukan kepadaku sambil menyeringai "Dengan tulus ikhlas ia
menyerahkan kau kepadaku, karena ia merasa telah bersalah padaku. Dan hari ini, dia cuma
datang untuk menengok dirimu sekejap, Kini kau adalah isteri Siau Pek-hian, bukan saja sudah
setahun kau ikut aku, selamanya kau pun akan ikut aku."
Ia menghela napas putus asa, suara keluhan ibaratnya jarum yang bengkok menusuk urat
syaraf, Hui Giok, membuat sekujur tubuh pemuda itu gemetar keras, sampai gigi pun
gemerutukan. Dalam kegelapan yang penuh diliputi kepedihan kisah tersebut kembali dilanjutkan
"Bayangkanlah, aku... aku telah menemani tidur bersama seorang sebagai suami isteri selama
setahun, aku... aku selalu menganggapnya sebagai suamiku."
"Betapa sakit hatiku setelah kudengar pengakuannya, rasa sakit hati yang menimbulkan
dendam... dendam kepada mereka berdua, diam2 aku bersumpah. akan kupelajari ilmu silat yang
lebih tinggi dan lebih hebat untuk membinasakan kedua orang bersaudara itu."
"Membaranya dendam kesumat itulah mempertahankan hidupku ini, karena kobaran api
bencilah yang menghindarkan diriku dan perbuatan nekat bunuh diri di hadapan mereka.
"Sejak peristiwa itu Siau Pek-hian tidak pernah membuka jalan darahku, tiga tempat Hiat-to
penting yang menghubungi aliran darah dalam tubuhku ditutuknya sehingga meski aku bisa
bergerak namun tak mampu melepaskan diri dari cengkeramannya.
"Begitulah, dalam keadaan seperti ini aku... aku hidup lagi selama satu tahun, dalam setahun
ini aku... aku harus menahan segala penderitaan segala hinaan dan siksaan, penderitaan yang tak
bisa dibayangkan oleh siapapun."
Siau Pek-hian tiada hentinya menghina dan mempermainkan diriku, kadang kadang iapun
melakukan perbuatan-perbuatan keji dalam dunia persilatan sehingga membuat nama Jian jiu
suseng dianggap sebagai makhluk setengah baik setengah keji oleh umat persilatan.
"Dalam setahun itu kembali kutemukan rahasia-rahasianya di masa lalu ternyata sudah sangat
lama sekali ia menguntit jejak kami, hingga tiba kesempatan baik baginya, yakni sewaktu Siau
Tiong-jim pergi karena ada urusan, lalu dengan siasatnya yang keji itu ia mengangkang diriku.
"Ketika Siau Tiong jim pulang ke rumah dan menyaksikan keadaan tersebut, ia tak tega
melukai hatiku, maka diam-diam iapun menyingkir ia amat menyesal terhadap adiknya, maka aku
pun dikorbankan, aku... aku telah dijadikan korban untuk kebusukan mereka berdua, aku.... aku
jadi lebih benci kepada mereka."
Diam-diam Hui Giok menghela napas panjang sekarang ia baru paham, ternyata di balik
permohonan pertamanya itu terselip sebab musabab yang begitu ruwet dan penuh penderitaan.
Ketika menggerakkan tubuhnya, barulah dirasakan bajunya telah basah oleh air keringat
pelahan ia meraba pula pipinya, nyata sejak tadi ia pun meneteskan air mata simpatik.
Sekarang, bahkan ia merasa berterima kasih atas suasana gelap yang menyelimuti
sekelilingnya sebab ia tak tega untuk menyaksikan lagi raut wajah perempuan yang kenyang
penderitaan ini.
Dt tengah keheningan yang mencekam, akhirnya terdengar Ay Cing meneruskan lagi
ceritanya. Kemudian pengawasan Siau Pek-hian terhadap diriku semakin mengendor, akupun berusaha
dengan segala daya upaya untuk membebaskan jalan darahku yang tertutuk, kucuri kitab pusaka
Hay-thian pi-kip dan kukabur dari cengkeramannya.
"Aku tak berani kabur ke pegunungan yang sunyi atau hutan yang lebat, sebab aku takut ia
berhasil menemukan jejakku. terpaksa aku menyaru sebagai lelaki dan bersembunyi di antara
manusia2 lain, karena itu juga aku telah bertemu dengan kau.
"Kulit muka kitab pusaka Hay-thian-pi lok kurobek, kemudian kubuat pula dua jilid kitab tiruan
yang kusimpan dalam rangsel siang dan malam dengan sekuatnya kulatih terus ilmu silatku.
Tapi akhirnya aku berhasil ditemukannya kembali, malam itu setelah kubunuh Mo Se dari Pak
to jit-sat, aku tertangkap, ia mengejek diriku dengan segala kata2 kotor, dia mengira... mengira...
ai, kukira dia akan membinasakan diriku waktu itu, siapa tahu setelah mencemoohkan diriku dan
mencaci maki aku- kemudian ia berlutut dan memohon padaku, memohon agar aku tidak
meninggalkan dia lagi."
"Dia... dia seperti orang gila, sebentar membelenggu tubuhku erat-erat, sebentar
membebaskan pula diriku, siang dan malam ia menjaga di sisiku tanpa hentinya, sepuluh hari
sepuluh malam ia bertahan terus tanpa memejamkan m
Harpa Iblis Jari Sakti 25 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Harpa Iblis Jari Sakti 19
^