Amanat Marga 10

Amanat Marga Karya Khu Lung Bagian 10


, kawanan binatang buas itu agak-nya juga
merasakan gelagat tidak enak, semula mereka lesu,
sekarang lantas meraung-raung di da lam
kurungan. Lamkiong Peng ikut minum arak dan men-dadak
menghela napas.
"Kenapa engkau menghela napas" " tanya Manthian.
"Toh setiba di Cu-sin-to, hidupmu juga tidak
lebih baik daripada mati, Jika da-pat mati
sekarang kan lebih menyenangkan malah''
Seketika Lamkiong Peng tidak dapat me-rasakan
makna yang terkandung dalam ucap-an orang tua
itu, katanya, "Jelek-jelek Wanpwe bukanlah
manusia yang tamak hidup dan takut mati,
soalnya Wanpwe mendadak teringat kepada
seorang, maka merasa menyesal. Bila-mana orang
itu ikut di atas kapal ini, tentu akal keji Tek-ih
Hajin takkan terlaksana. "
"Siapa yang kaumaksudkan" " tanya si juru
masak kudisan dengan mata terbeliak.
Pelahan Lamkiong Peng menjawab, "Bw" .... "
"Bwe Kim-soat maksudmu" " tukas si kudisan
mendadak dengan badan tergetar.
"Kaukenal dia"' tanya Lamkiong Peng dengan
heran Juru masak itu tidak menjawab, ucapnya
dengan gemetar, "Dalam keadaan dan di tem-pat
seperti ini, mengapa engkau teringat kepadanya" "
Kembali Lamkiong Peng menghela napas
gumamnya, "Teringat padanya, masa aku ter-ingat
padanya" "
Sekilas pandang dilihatnya tubuh si kudisan
gemetar dan berlinang air mata, tentu saja
Lamkiong Peng heran, tanyanya, "Kenapa kau . .. .
" "Dapat mendengar ucapanmu ini, mati pun aku .
. . . " Belum lanjut ucapan si juru masak, mendadak
makhluk aneh Jitko berteriak, "Aha, itu dia, ada
daratan . . . daratan .... "
Seketika si juru masak urung bicara lebih lanjut
dan tanya Jitko, "Mana ada daratan" "'
"Ya, memang ada daratan, " Man-thian ikut
bicara. "Meski manusia adalah makhluk yang
paling pintar, tapi daya cium tak dapat menandingi
binatang. Coba kaulihat, kawanan bi-natang
buas itu kelihatan lain, tentu dari angin laut dapat
mereka mencium bau daratan. "
Sementara itu Jitko telah merambat lagi ke
puncak tiang layar, sesudah memandang jauh
sejenak, la!u merosot turan lagi, diambil-nya
sebuah ember dan turun ke dek, semen-tara itu
badan kapal tinggal satu kaki saja di permukaan
air. Pada saat bahaya mendadak menemukan titik
terang seharusnya mereka bersyukur dan gembira,
tapi Hong Man-thian dan si juru masak kudisan
tidak kelihatan senang sedikit pun.
Lamkiong Peng menjadi sangsi, ia coba tanya,
"Tadi kaubilang setelah mendengar ucapanku, lalu
bagaimana"'
Juru masak itu termangu-mangu, sejenak
kemudian baru menjawab, ''Kubilang mati pun
engkau menggelikan dan kasihan "
Ia berdiri dan melangkah ke pinggir kapal,
katanya pula, "Dari nama kawanmu yang kausebut
tadi jelas semuanya pendekar temama di dunia
persilatan, bahkan Yap Man-jing, Ong So-so dan
Iain-lain juga anak perempuan yang cantik dan
lamah lembut, hanya Bwe Kim-soat saja, hm, dia
berhati kejam, namanya bu-suk, usianya juga jauh
lebih tua, tapi engkau justru teringat padanya,
bukankah menggelikan dan harus dikasihani. "
Air muka Lamkiong Peng berubah hebat,
mendadak ia menenggak arak dua cawan, pe-lahan
ia mendekati si kudisan dan berkata, "Apa pun
yang kaukatakan, namun kutahu dia
adalah perempuan yang paling lembut, paling
berbudi. Demi untuk menolong orang lain dan
membela orang lain, dia rela menderita sen-diri,
terhina dan tersiksa, dan mengorbankan nama
baik sendiri. Meski usianya lebih tua daripadaku,
namun aku rela mendampingi dia selamanya. "
Tubuh si kudisan tampak tergetar, tapi tidak
berpaling. Dengan kasih mesra Lamkiong Peng
memandangi kepala orang yang penuh borok itu,
ucapnya pelahan, "Dia sebenarnya seorang yang
suka kepada kebersihan, tapi demi diriku dia rela
membikin kotor sendiri. Dia seorang yang tinggi
hati, lantaran diriku dia tidak sayang
merendahkan diri. Dia begitu baik padaku, namun
selagi aku masih hidup dia tidak mau bi-cara terus
terang padaku melainkan rela men-derita
sendirian. Sekarang aku menghadapi jaian buntu,
apakah dia masih tetap . . .. "
Belum habis ucapannya berderailah air
matanya. Dahi si kudisan juga kelihatan berkerut-kerut,
air mata pun meleleh membasahi mu-kanya yang
dekil itu. Mendadak Lamkiong Peng meratap, "O, Kimsoat,
mengapa engkau sampai hati me-ngelabuiku
sejauh ini, memangnya engkau belum cukup
berkorban bagiku ... "
' "O, adik Peng .... " tiba-tiba si kudisan
membalik tubuh dan mendekap anak muda itu.
Dengan erat Lamkiong Peng merangkulnya, kini
tak dihiraukan !agi mukanya yang kotor dan
baunya yang busuk, sebab ia tahu semua itu tidak
lain hanya bualan belaka, samaran Bwe Kim-soat
yang cantik dan harum itu.
"Selamanya aku takkan berpisah lagi denganmu,
apa pun yang terjadi dan betapa-pun komentar
orang atas diriku, aku akan ber-kumpu!
denganmu, " ratap si kudisan alias Bwe Kim-soat.
"O, mengapa tidak sejak mula kaukata-kan
padaku, mengapa engkau lebih suka menderita
sendiri" " keluh Lamkiong Peng.
"Engkau tidak tahu, berapa kali ingin kubongkar
penyamaranku ini dan memberi-tahukan siapa
diriku, tapi aku .... "
Begitulah kedua orang saling mengutara-kan
rasa rindu dan sedih masing-masing tanpa
menghiraukan keadaan sekitarnya.
Hong Man-thian sendiri duduk termenung tanpa
menghiraukannya, betapa keras hatinya juga
terharu oleh cinta mumi kedua orang itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara "blang "
yang keras disertai guncangan badan kapal,
kiranya telah kandas, kelihatan jaraknya de-ngan
pantai yang berpasir kuning itu cuma beberapa
puluh tombak saja dan genangan air laut belum
lagi mencapai geladak.
Kegirangan pertemuan kembali setelah berpisah
sekian lama, kegembiraan karena hi-langnya salah
pah am, ditambah lagi kegirangan lolos dari maut,
sungguh sukar dilukiskan perasaan Lsmkiong Peng
dan Bwe Kim soat pada saat itu.
Mereka lantas berenang dan mendarat di pulau
karang yang tak diketahui namanya ser-ta tak
berpenghuni itu.
Melihat kemesraan kedua orang itu, hati Hong
Man thian juga ikut senang dan juga terharu.
Dengan sendirinya Bwe Kim soat sudah
membersihkan semua obat rias yang membuat
wajah dan tubuhnya kelihatan kotor dan berbau
itu, kembalilah wajah aslinya yang cantik, cuma
sekarang kelihatan agak kurus dan pucat, namun
semakin menambah kemolekannya.
Pulau karang ini ternyata cukup subur di bagian
pedalamannya, pepohonan menghijau permai,
langit cerah tanpa awan, suasana pe-nuh gairah
hidup, segala urusan duniawi yang kotor saakanakan
tak dikenal di sini.
Pulau ini banyak tumbuh pohon kelapa, Hong
Man-thian duduk mengelamun di bawah pohon
sambil minum arak.
Mendadak ombak mendampar dengan dah-syat,
kapal yang kandas itu terdampar ke pe-sisir.
Kawanan binatang buas di dalam kurung-an
menjadi garang lagi demi melihat daratan.
semuanya meraung-raung.
Jitko telah mengumpulkan berbagai buahbuahan
liar dan beberapa biji kelapa, akan t-tapi
setelah dibuka airnya sudah kering.
Meski makhluk aneh ini kelihatan bodoh, dia
ternyata tidak mau diam, selalu ada-ada saja yang
dikerjakan, ia sibuk mercari sesuatu di dalam
kapal, akhirnya ditemukan sebuah kampak,
dengan alat ini dia membuat lubang badan kapal
yang bocor itu terlebih besar, dengan begitu air
yang menggenang di dalam kapal dapat mengalir
keluar dengan cepat.
Lalu dia membongkar papan geladak kapal dan
mendapatkan bahan pelekat yang bia-sanya
tersedia di dalam kapal, dipaku dan di-tambalnya
lubang yang bocor itu hingga rapat.
Setelah sibuk setengah harian, akhirnya ia
tertawa. dan berkata, "Sebentar bila air naik
pasang, kapal ini akan menyurut kembali ke
tengah laut, dengan demikian kita pun akan
terbawa berlayar lagi daripada mati konyol di sini.
Terutama sepasang pengantin baru kita bolehlah
berbulan madu di tengah lautan. "
Lamkiong Peng dan Bwe Kiam soat saling
genggam tangan dan saling pandang dengan
terharu dan entah apa yang harus diucapkan.
Benar juga, menjelang magrib, air laut naik
pasang, lambat-laun kapal itu terapung pula di
permukaan laut, Jitko memegang ke-mudi dan
pasang layar, pelahan kapal itu melaju lagi ke
tengah laut. Perbekalan di dalam kapal sudah hampir ludes
rusak atau hanyut terbawa air laut, yang maiih
tersisa dan umpamanya sekadar dapat digunakan
juga takkan tahan lebih lama dari beberapa hari
saja. Terutama air minum-nya, tiada tersisa setetes
pun. Untunglah si makhlak aneh dapat menemukan
dua guci arak yang belum pecah.
Arak selain dapat melepas dahaga juga sekadar
dapat digunakan sebagai tangsal perut.
Dan begitulah tiga hari sudah lampau pula, pada
malam hari keempat, selagi mereka pu-tus asa
karena sudah kehabisan perbekalan, tampaknya
mereka hanya menanti ajal saja.
Tiba-tiba si makhluk aneh dapat mene-mukan
lagi seguci arak yang semula disangka sudah
pecah, ternyata pada dasarnya masih tersisa
setengah guci. Seperti menemukan barang mestika saja mereka
bergantian meneguk isi guci itu.
Tak terduga mendadak Hong Man-thian
berteriak, "Wah, celaka! "
Rupanya dia memiliki lwekang paling ting-gi,
maka dia paling cepat merasakan se-suatu yang
tidak beres pada arak itu.
Nyata arak itu beracun, agaknya memang sudah
diatur oleh Tek-ih Hujin, beberapa guci arak yang
tersedia itu telah ditaruh racun, telah
diperhitungkannya bilamana tidak tenggelam
dan kandas, tentu juga penumpangnya
akan kehabisan perbekalan dan segala apa dimakan
dan diminum, maka arak ini pun tidak
terkecuali akan dihabiskan oleh mereka dan tak
terhindarlah akan keracunan.
Di antara mereka berempat lwekang si makhluk
aneh paling cetek, dia yang menjadi korban lebih
dulu. Tahu-tahu matanya men-delik, lalu roboh
binasa. Tentu saja Lamkiong Peng kaget, waktu
barpaling, dilihatnya muka Hong Man-thian juga
hitam kelam, orang tua itu sudah kaku dengan
mata terpejam. "Hei, kenapa Hong-locianpwe. " seru Lamkiong
Peng kuatir. "Aku . . . . " belum sempat bicara apa pun, Hong
Man-thian tampak berkejang dan gigi gemertuk,
tanpa ayal Lamkiong Peng me-nutuk hiat-to
tidurnya supaya tidak merasakan siksaan yang
melampaui batas.
Orang tua itu sempat mengucapkan "terima
kasih', lalu roboh te-rkapar.
Waktu ia menoleh, sungguh kagetnya tak
terkatakan, tanpa pamit Bwe Kim-soat ternyata
juga sudah rebah seperti orang tidur nyenyak,
ujung mulutnya malah kelihatan mengulum
senyum.

Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah ... " ia tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya, ia rangkul tubuh Bwe Kim-soat
dengan erat, ia pun ingin selekasnya me-nyusulnya
ke alam baka. Malam tiba, kegelapan yang tidak ada ujungnya,
Lamkiong Peng merasa dunia ini sedemikian
seram, makin lama makin mence-kam, namun
rasanya racun dalam tubuhnya tidak cepat
bekerjanya. Betapa pun ia tidak tahu mengapa bisa terjadi
begini. Kiranya tempo hari ketika di hutan perkampungan
Lamkiong-san-ceng dia pemah mengisap
sedikit bubuk racun Tek-ih Hujin yang
membinasakan Bu-sim-siang-ok itu, waktu itu
kotak yang dilemparkan Tek-ih Hujin itu menyambar
lewat di sisinya dan tanpa terasa terendus
bau harum olehnya, cuma saat itu tidak
diperhatikan kejadian ini.
Racun yang tersiap olehnya itu tidak se-gera
bekerja, sebab racun buatan Tek-ih Hujin itu
merupakan racun maha dingin, sebalik-nya sejak
kecil Lamkiong Peng berlatih lwekang
yang mengutamakan hawa mumi maha
panas, maka setitik racun dingin itu dapat ditahannya.
Sekarang racun dalam arak yang diminum itu
justru racun maha panas, sebab itulah Bwe Kimsoat
tidak tahan, ia roboh dengan tubuh panas
membara. Bagi Lamkiong Peng, sekaligus terjadi
pertarungan dua macam racun da-lam tubuhnya,
tentu saja hal ini tidak dirasa-kan oleh Lamkiong
Peng sendiri. Akan tetapi apa pun juja akhirnya racun meluas
juga dan membuatnya menggigil, pi-kiran pun
mulai kabur, mata berkunang-ku-nang.
Pada waktu dia' hampir kehilangan ke-sadaran,
tiba-tiba dari kejauhan permukaan laut sana
berkumandang suara orang berteriak, "Hong Man
thian, apakah cngkau sudah pulang"! "
Suaranya kedengaran sangat jauh, namun bagi
telinga Lamkiong Peng dirasakan juga begitu jelas.
la hanya sempat berpikir, "Ah, barangkali sudah
sampai di Cu-sin-to! "
Habis itu ia lantas tidak ingat apa pun.
Pada saat itulah dalam kegelapan yang tak
berujung itu ada setitik sinar lampu bergoyanggoyang
mendekati mengikuti gelom-bang ombak,
menuju ke kapal maut ini....
Di ujung pulau sana mencuat tinggi tebing yang
curam, di atas tebing berdiri sebuah ru-mah yang
berdmding tinggi dan kelihatan se-ram. Sekeliling
rumah tiada terdapat daun jendela.di tengah
malam sunyi hanya kelihatan setitik cahaya lampu
yang berkelip serupa api setan menghias ruangan
yang luas. Di sekeliling ruang luas ini berderet seba-ris
meja, semuanya memakai taplak meja wama
hitam. dalam jarak dua-tiga kaki jauhnya tertaruh
sebuah tempurung dan di depan ada sebuah
Lengpai (papan dengan tulisan nama orang mati),
suasana kelihatan seram.
Di tengah ruangan besar yang seram ini tertaruh
sebuah dipan, ternyata yang rebah di atas dipan
adalah seorang perempuan cantik, mukanya pucat,
mata terpejam, agaknya dalam keadaan tidak
sadar. Dari cahaya lampu yang guram itu samarsamar
kelihatan dia adalah Bwe Kim-soat yang
mati keracunan itu.
Sumbu lampu yang semakin guram itu
bergoyang, ruangan sunyi senyap, sekonyongkonyang
Bwe Kim-soat yang rebah di atas di-pan
itu bergerak pelahan.
Kelihatan dia membuka mata, sorot mata nya
menampilkan rasa kaget dan ngeri, ia me-nyapu
pandang sekelilingnya, lalu merangkak bangun.
Sesungguhnya dia sudah mati atau hidup" Setan
atau manusia"
Dengan langkah terhuyung ia berjalan ke pojok
sana, merambat tepi meja dan menegak-kan
tubuh, lalu dipandangnya Lengpai yang berjajar di
atas meja itu. Ia melengak selolah membacanya, sebab ia kenal
nama-nama yang tertulis pada beberapa
Lengpai itu adalah tokoh-tokoh dunia persilatan
masa lampau. Ia heran,tempat apakah ini" Mengapa Lengpai
para tokoh ini terkumpul di sini"
Padahal tokoh-tokoh itu berlainun perguruan,
bahkan berlainan jaman, mengapa bisa terdapat
dan dipuja di sini. Ia coba memandang lagi
lebih lanjut, mendadak air mukanya berubah, ia
menjerit tertahan dan jatuh terduduk, air mata
pun bercucuran, ratapnya. "O, masa engkau . . .
engkau sudah meninggal" "
Kiranya lengpai terakhir yang dibacanya itu
tertulis, "Lamkiong Peng . . . . "
Nama ini serupa belati tajam yang me-nikam
hulu hatinya, seketika tubuhnya serasa dingin.
Tiba-tiba terdengar suara "kriuut ", pintu
ruangan besar itu terbuka sedikit, sesosok tubuh
tinggi kurus dengan jenggot panjang putih daa
berbaju belacu menyelinap ke dalam serupa badan
halus saja. Meski sinar matanya mencorong terang, tapi
tajam dingin tanpa perasaan. Mukanya juga dingin
kaku serupa mayat yang baru merangkak keluar
dari liang kubur.
Ia pandang Bwe Kim-soat sekejap, lalu menegur
kaku, "Engkau sudah mendusin" "
"Mendusin" .... Memangnya aku tidak mati" "
tergetar hatinya dan tangis pun tak ter-tahan lagi.
Jika dia tidak mati, lantas bagai-mana dengan
Lamkiong Peng, apakah anak muda itu sudah
mati" Si kakek baju belacu hanya memandangi dia
menangis tanpa mencegahnya.
"Di mana dia . . . di mana jenazahnya" Aku . . .
aku ingin mati bersama dia, " jerit Kim-soat sambil
nienubruk maju.
Seperti tidak bergerak, tahu-tahu kakek itu
menggeser ke samping, sahutnya ketus, "Apakah
tangismu sudah cukup" "
"Lamkiong Peng, di . . . di mana dia . . . , " ratap
Kim-soat. "Jika belum cukup menangis boleh kau
menangis sepuasnya, " kata si kakek. "Kalau sudah
cukup menangis, segera kubawamu ke atas kapal,
urusan lain tidak perlu kautanya. "
Mendadak Kim-soat berbangkit, ia mengusap air
mata, tanpa bicara ia terus melangkah keluar.
"He, kaumau ke mana" " tanya si kakek.
"Engkau tidak mau menjawab, biar kucari dia
sendiri, peduli apa denganmu" " jengek Kim-soat,
berbareng ia melangkah lagi.
Hm, berani kaukeluar selangkah laja dari pulau
ini, spgera kopotong kakimu, " jengek si kakek, dia
tidak kelihatan bergerak, tahu-tahu sudah
mengadang di depan Bwe Kimsoat.
Padahal ginkang Kim-soat terkonal tiada
tandingannya di dunia persilatan, maka dapat
dibayangkan betapa hebat ginkang si kakek baju
belacu ini. "Jika tidak lekas naik kapal dan me-ninggalkan
tempat ini. jangan menyesal bila kuperlakukan
dirimu dengan kasar, " kata si kakek pula.
Kim-soat melengak, tapi biji matanya lantas
berputar, mer dadak ia tersenyum manis, katanya,
"Ai, kakek setua ini masakah meng-goda anak
perempuan, apa tidak malu" "
Kakek itu melenggong, belum lagi ia bersuara
mendadak Kim-soat melayang lewat di
sisinya dan menerjang keluar pintu yang setengah
terbuka itu. Sementara itu fajar sudah hampir menying-sing,
di tengah keremangan pagi itu kelihatan sebuah
sungai mengalir di bawah tebing sana. pepohonan
lebat di kanan-kiri sungai.
Selagi ia hendak melompat turun dari tebing,
sekonyong-konyong orang membentak dari
belakang. "Sungguh perempuan licin . . . . "
Terdengar suara ungin menderu, tahu-tahu si
kakek berbaju belacu sudah mengadang di
depannya dengan sikap dingin.
"Dia sudah mati, mengapa tidak kauperlihatkan
jenazahnya kepadaku . . . . " ucap Kim- soat
dengnn terputus dan air mata pun bercucuran.
Namun kakek itu sama sekali tidak ter-haru,
mendadak ia bertepuk tangan, dari bawah tebing
segera melompat ke atas seorang lelaki kekar
bertelanjang badan, hanya pada pinggangnya
tertutup sepotong kulit macan tutul, sekujur badan
pun berbulu kuning se-hingga tampak mengkilat,
mulut lebar dan bersiung, sekilas pandang akan
disangka orang hutan, terdengar ia berkata,
"Cukong ada perintah apa" "
"Sudahkah semua barang muatan dibong-kar" "
tanya si kakek.
Orang itu menjawab dengan hormat, "Belum! "
"Lekas selesaikan tugasmu! " si kakek mem-beri
tanda, secepat kilat mendadak ia menutuk Nuimoa-
hiat di pinggang Bwe Kim-soat.
Karena tidak tersangka, Kim-soat menjerit dan
roboh terkulai.
Si kakek lantas membawanya kembali ke
ruangan seram itu dan ditaruh di atas dipan,
jengeknya, "Begitu selesai barang muatan dibongkar
segera kunaikkan dirimu ke atas ka-pal,
sudah kuselamatkan jiwamu dengan obat mujarab,
masakan engkau belum puas" "
Pelahan ia menutup pinta ruangan dan
ditinggalkan pergi
Dengan penuh rasa curiga diam- diam Kim-soat
mengerahkan tenuga dalam, tadi waktu tutukan si
kakek menyentuh pinggang, sedikit banyak ia
sempat mengelak sehinga tutukan kakek itu tidak
tepat teluruhnya, maka setelah berusaha sebentar,
dapatlah ia melancarkan hiat-to yang tertutuk itu.
Segera ia melompat bangun dan berlari ke depan
pintu, ia coba membukanya, ternyata pintu
tembaga itu digembok dari Juar. Dinding sekeliling
juga terbuat dari tembaga, kecuali pintu ini tiada
jalan tembus lain.
Seketika ia merasa seperti tersekap kembali di
dalam peti mati itu, kecuali ukuran ruang-an ini
jauh lebih luas daripada peti mati, rasa seramnya
sungguh tiada ubahnya berada di dalam peti mati.
Sesudah berusaha dan tetap tiada jalan keluar,
akhirnya ia putus asa, kembali ia ber-linang air
mata, dicarinya lagi meja pemujaan tadi, abu
jenazah di dalam kaleng masih ter-letak di situ,
tiba-tiba terpikir olehnya, jika barang muatan
kapal belum dibongkar, kenapa jenazahnya sudah
terbakar menjadi abu"
"Dia belum mati, dia pasti tidak mati!' demikian
timbul harapan baru.
Tiba-tiba terdengar suara pintu berbunyi
pelahan, cepat ia menyusup ke kolong meja
sembahyang, tabir meja yang panjang itu da-pat
mengalingi tubuhnya.
Menyusul terdengar suara orang melang- kah ke
dalam, terdengar suara si kakek ber-baju belacu
bersuara heran, "He, di mana orangnya" Huh,
memangnya dia tumbuh sa-yap dan dapat terbang
pergi, apakah dia da-pat menghilang" "
Suaranya lantang, jelas dia Hong Mao-thian
adanya. "Selama ratusan tahun Cu-sin-to ini tidak
pemah didatangi oleh orang perempuan, jika
kaubawa perempuan ini ke sini, engkau juga yang
harus membawanya pergi, " jengek si ka-kek baju
belacu. "Tapi dia sudah menghilang, bukan mus-tahil
engkau yang melepaskan dia pergi, " ujar Manthian.
"Huh, dia justru bersembunyi di kolong meja di
depanmu, begitu kita masuk kulihat tabir meja
masih bergoyang, memangnya dia dapat
mengelabuhi aku" " jengek si kakek.
Belum lenyap suaranya mendadak tabir meja
tersingkap dan Bwe Kim-soat melompat keluar,
segera ia memegang bahu Hong Man-thian dan
bersuara, "Dia tidak mati bukan" Di mana dia
sekarang" "
Air muka Hong Man-thian tampak dingin dan
tidak bergerak, kini ia pun ludah berganti baju
btlacu. Mendadak si kakek tadi berseru, "Betul, dia
memang belum mati, tapi selama hidup-mu jangan
harap akan melihatnya lagi. "
Sedih dan juga murka Bwe Kim-Soat. se-rentak
ia menubruk maja dan hendak me nyerang si


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek. Tapi Hong Man-thian lantas mengadang di
depannya dan berteriak, "Ikut padaku!'
"Ke mana"! " seru Kim-soat dan si kakek baju
belacu tadi. "Kubawa menemui dia, " jawab Man-thian.
Kim-soat melenggong sejenak, serunya girang,
"Apa . . . apa berul" "
"Tidak! " tukas si kakek baju belacu. Serentak
Hong Man-thian berpaling ke arah rekannya itu
dengan sorot mata tajam.
Tapi kakek itu tidak menghiraukannya. katanya
pelahan, "Hilang perasaan, hilang nafsu, hilang
nama, hilang kcuntungan. Ke-empat pantangan
besar yang turun tumurun di Cu-sin-to ini
masakah sudah kaulupakan"'
"Tidak, tidak pemah kulupakan, " jawab Manthian.
"Jika begitu, mengapa kau . . . . " "Sudah sejak
40 tahun yang lalu orang she Hong tidak pemah
memikirkan urusan nama, kcuntungan dan
mengenai orang perem-puan lagi, tapi dalam hal
perasaan betapa-pun takdapat kuhapus. Biarlah
kubawa dia, menemuinya, segala akibatnya
kutanggung sen-diri dan takkan membikin susah
padamu. " Kedua orang saling melotot dengan dingin,
sampai sekian lama, akhirnya si kakek baju belacu
berkata, "Jika kaumau cari susah sen-diri,
terpaksa masa bodoh . . . . " lalu ia ber-paling dan
berkata kepada Kim-soat, "Cuma setelah kaulihat
dia, mungkin kaupun akan menderita. "
Habis berkata ia lantas mendahului me-langkah
pergi. Bwe Kim-soat dan Hong Man-thian ikut di
belakangnya, setelah menuruni tebing dan
membelok ke kiri, hanya belasan tombak jauh-nya
msndadak mereka berhenti.
"Sudah sampai, " kata Man-thian.
Kim-soat berseru kegirangan dan memburu
maju, tertampak di depansebuah gua yang ge-lap
terdapat pagar jeruji tembaga dengan kaki
telanjang dan berbaju belacu Lamkiong Peng
tampak duduk bersila di balik pagar beruji itu,
kepalanya terbebat kain putih dan ber-lepotan
darah. Hati Kim-soat serasa disayat-sayat, ratap-nya,
"Oo . . . apa dosamu, mengapa mereka
mengurungmu di sini" "
Kulit daging pada wajah Lamkiong Peng tatnpak
berkerut-kerut menahan derita, namun mata tetap
terpejam. "Siapa pun, begitu datang ke pulau ini harus
bertapa selama seratus hari baru boleh keluar dari
sini, "kata Man-thian.
Kim-soat memegang ruji pagar tembaga itu dan
berseru, "Mengapa engkau tidak . . .tidak
membuka mata, lihatlah . . . aku . . . aku yang
datang! " Namun kedua mata Lamkiong Peng tetap
terpejam tanpa bersuara.
Kim-soat menggoyangkan pagar tembaga
sehingga menimbulkan suara nyaring, air mata
pnn berderai, ratapnya pedih, "Oo , . . mengapa
cngkau tidak . . . tidak menggubris diri-ku" . . . . "
"Sekarang sudah kaulihat dia, jelas dia tidak
menghiraukan dirimu lagi. maka bolehlah kaupergi
saja, " kata si baju belacu.
Mendadak Kim-soat membalik tubuh, bertanya,
"Baik aku akan pergi. Cuma iugin ku-tanya
padamu, cngkau menawarkan racunku dan
menolong jiwaku, untuk ini apakah dia rela
bersumpah takkan menghiraukan diriku lagi
seterusnya" "
"Hm, cerdik juga kau, " jawab si kakek dengan
dingin. Dengan tersenyum pedih Kim-soat meman-dang
Lamkiong Peng lagi dan berkata, "Peng cilik,
engkau salah, masa engkau tidak tahu aku rela
mati bersamamu, mati dalam pangkuanmu
daripada diselamatkan oleh tangan yang kotor ini"
" Muka Lamkiong Peng tampak berkerut lagi.
Tapi si kakek baju belacu lantas berucap,
"Setelah meninggalkan pulau ini, mau mati atau
ingin hidup adalah urusanmu, yang pasti sekarang
juga harus lekas kautinggalkan pulau
itu. Sembari bicara segera ia pun menutuk hiat-to
kelumpuhan Bwe Kim-soat.
Tak terduga mendadak Hong Man-thian
menangkis tutukannya dengan tongkat dan
membentak, "Nanti dulu! "
"Hong heng, apakah engkau sudah lupa.... "
"Lupa apa" " jengek Hong Man-thian.
"Masa sudah kaulupakan larangan keras di
pulau ini" " kata si kakek. "Hanya dengan
kekuatan kalian berdua saja ingin kaulawan
peraturan Cu-sin-to yang kau kenal, apakah
engkau bukan lagi mimpi" Jika sampai para
Tianglo di istana mengetahui tindakanmu, tat-kala
mana kalian pasti akan serba susah, minta mati
tak bisa, ingin hidup pun takkan diluluskan. "
Air muka Hong Man-thian tampak pucat,
tongkat ditarik kembali.
"Peng cilik, " seru Kim-soat pula, "bukan-kah
engkau mau mati bersamaku" Lebih baik kita mati
bersama daripada hidup tersiksa di sini. Bukalah
matamu, pandanglah diriku ....
Siapa tahu Lamkiong Peng tetap memejamkan
mata saja. "Orang hidup paling-paling cuma mati saja,
memangnya sumpahmu begitu penting" "
Namun Lamkiong Peng tetap diam saja.
"Hm kausendiri ingin mati.. tapi orang lain
justru tidak mau, " jengek si kakek baju belacu.
Kim-soat termenung sejenak, mendadak ia
mengusap air mata dan berucap, "Baiklah, kupergi
saja. "Ikut padaku, " kata si kakek baju belacu,
keduanya lantas menuju ke tepi laut.
Remuk rendam hati Bwe Kim-soat. ia tidak
menoleh lagi, air matanya tetap berlinang tapi tidak
lagi menitik. Lamkiong Peng mendengar langkah si dia yang
semakin menjauh dengan bibir terkancing rapat,
akhirnya ia pun meratap pelahan, "O, Kim-soat,
aku . . . aku bersalah padamu . . . . "
Hong Man-thian juga berdiri termangu se-perti
patung, ucapnya kemudian, "Semoga dia dapat
memahami kesusahan kita ..... "
"Kutahu dia pasti akan benci padaku se-iama
hidup, " kata Lamkiong Peng dengan menitikkan
air mata. "Tapi aku tidak menyalahkan dia,
sungguh aku . . . aku ingin dia mengetahui untuk
apakah aku bertindak demikian. "
Apakah benar Bwe Kim-soat takkan tahu" Saat
itu dia sudah mulai terombang-ambing lagi di
tengah lautan, mati atau hidup sukar diramal,
mungkin dia akan menanggung ke-hancuran
hatinya itu telama hidup.
Akan tetapi untuk apakah kedua lelaki sejati
serupa Lamkiong Peng dan Hong Man-thian itu
harus bertindak demikian"
_____________________________**********__________
__________________
Gua itu gelap lagi lembab, sekeliling pe-nuh
tumbuh lumut hijau, bila musim panas penuh
nyamuk dan semut.
Serupa orang mati saja Lamkiong Peng duduk di
dalam gua, semula dia masih kelihatan menahan
penderitaan itu, tapi kemudian pe-rasaannya
serupa sudah beku dan tidak me-mikirkan lagi apa
yang menimpa dirinya.
Musim semi berubah musim panas, baju belacu
yang dipakainya sudah robek, kotor lagi berbau,
sampai akhirnya hancur menjadi gombal juga tak
terpikir olehnya. Makanan yang setiap hari
diantarkan oleh "orang hu-tan " itu juga sukar
ditelan, namun Lamkiong Peng dapat makan
minum tanpa mengeluh.
Banyak terjadi perubahan pada sifiknya tanpa
disadarinya, hanya diketahuinya janggut-nya mulai
tumbuh lebat dan membuatnya kelihatan banyak
lebih tua. Sejak hari itu dia tidak melihut Hong Man-thian
lagi, juga si kakek berbaju belacu. Hari berganti
hari dan entah berselang berapa lama, suatu hari
ketika ia sedang duduk sema-di, selagi segala apa
terasa kosong, sekonyong-konyong terdengar suara
"srek ", pagar tembaga itu terbuka, si kakek
berbaju belacu berdiri di depan gua dan berkata
bepadanya, "Se-lamat, kini Anda resmi menjadi
anggota peng-huni Cu-sin-to ini. "
Meski di mulut ia mengucapkan selamat, namun
sikapnya tiada rasa gembira sedikit pun.
Dengan kaku Lamkiong Peng berdiri, sedikit pun
dia tidak memandang orang tua itu.
' "Mulai hari ini Anda boleh berganti tempat
kediaman baru, " kata pala si kakek.
Tanpa bicara Lamkiong Peng ikut dia menyusuri
sungai dan menuju ke suatu tempat yang rimbun,
jalan tembus ini kelihatan resik, waktu tembus
kebalik hutan sana, tertampak sebuah tanah
lapang yang luas mengitari empat deret rumah
papan, setiap deret terdiri dan dua-tiga puluh
rumah, di depan setiap rumah sama duduk
seorang tua berambut ubanan dan berbaju belacu,
semuanya duduk lurus kaku.
Kawanan kakek itu beraneka ragamnya, ada
yang tinggi, ada yang pendek, ada gemuk, ada
kurus, yang sama adalah air muka mereka,
semuanya dingin kaku tanpa memperlihatkaa
sesuatu perasaan, ada yang memandang ke langit
dengan termangu-mangu, ada yang se-dang
membaca dengan tenang, puluhan orang duduk
bersama di situ, namun tidak terdengar suara
sedikit pun. Waktu Lamkiong Peng lewat di samping mereka,
yang asyik membaca tetap membaca, yang
melamun tetap melamun, tiada seorang pun yang
melirik sekejap ke arah Lamkiong Peng.
Kakek itu membawa Lamkiong Peng ke sebuah
rumah papan yang terletak di ujung sana,
tertampak di atas pintu tertulis dua hu-ruf besar
"Ci Cui " yang berarti air mandek.
Sambil menunjuk tulisan itu, si kakek ber-kata,
"Inilah rempat tinggalmu yang baru, dan ini pula
namamu. Tiba waktunya akan kubawa cngkau ke
dalam istana, tapi sebelum waktunya engkau
dilarang meninggalkan tempat ini barang
selangkah pun. "
Lamkiong Peng hanya mendengus pelahan saja
sebagai jawaban.
"Apakah cngkau tak ingin tanya apa-apa
terhadipku" " tanya si kakek.
"Tidak ada, " sahut Lamkiong Peng ketus.
Si kakek memandangnya sekejap, lalu tinggal
pergi menuju ke hutan yang rimbun itu. Semua
orang yang berada di sini sama inemakai baju
belacu yang berwama kekuning-an, namun baju
belacu kakek yang menghantarnya ini diwenter
menjadi wama lembayung. Kiranya dia termasuk
salah seorang pengurus di pulau ini, sebab itulah
wama bajunya ber-beda dengan kakek lain.
Pengurus pulau ini hanya tujuh orang, Hong
Man-thian dan kakek itu terhitung ang-gota
pengurus. Setiap anggota pengurus diberi seorang
murid sebagai pesuruh, si aneh yang bemama
Jitko dan "orang hutan " berbulu emas itu
terhitung murid merangkap pesuruh dari ketujuh
anggota pengurus.
Hal hal ini baru diketahui Lamkiong Peng di
kemudian hari. Sekarang ia lantas membuka pintu
rumah, dilihatnya rumah ini hampir tidak ada
isinya kecuali sebuah dipan, sebuah meja dan
sebuah bangku. Di atas meja tertaruh sepotong
baju belacu, sepasang sumpit dan se-buah
mangkuk kayu dan sejilid buku, di bawah meja
ada sepasang sepatu rami. Panjang dipan itu cuma
lima kaki saja, tanpa kasur tiada se-limut, yang
ada cuma sehelai tikar saja.
la menoleh dan memandang para kakek yang
duduk diam itu, pikirnya, "Apakah tem-pat ini
tanah suci yang menurut cerita dalam dunia
persilatan sebagai Cu-sin-ci-tian (istana para
dewa)" Beginikah kehidupan Cu-$in-tian" Pantas
semakin mendekat dengan tempat ting-galnya ini
Hong Man-thian tambah sedih. Soal-nya di sini
tiada orang lain yang mernpunyai perasaan sebagai
manusia kecuali dia- saja seorang. "


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kurungan selama seratus hari di gua yang
terisolasi itu telah membuat Lamkiong Peng lebih
tawakal, lebih sabar.
la pindahkan bangku ke depan pintu, diambilnya
buku di atas meja itu, ia pun me-niru
kawanan kakek itu, mulai membaca kitab. Tapi
begitu dia membuka halaman kulit buku itu,
seketika jantungnya berdebar keras. Ter-nyata
kitab itu berjudul ' Tamo-cap-pek-sik ".
Hendaknya dimaklumi, Tamo-cap-pek-sik atau
delapan belas jurus ciptaan Budha Darma adalah.
ilmu silat khas Siau-lim-si, di dunia persilatan
sekarang hampir jarang sekali orang yang
menguasai kungfu ini. Bilamana ada kitab pusaka
semacam ini muncul di dunia persilatan tentu
akan menimbulkan gelombang perebutan yang
ramai dan menimbulkan korban jiwa dan raga.
Tapi sekarang kitab pusaka yang diimpi impikan
orang persilatan, di pulau ini ternyata di pandang
sebagai buku rombengan saja dan ditaruh secara
sembarangan. Seketika perhatian Lamkiong Peng tak terlepas
lagi dari isi kitab itu, dia asyik menyelami ilmu silat
yang tercamum di situ, sampai lohor, "orang hutan
" itu datang dengan membawa dua ember, para
kakek lantas mengluarkan mangkuk kaya dan
sumpit, masing-masing mengisi semangkuk
rangsum yang diantarkan itu, lalu sibuk bersantap
tanpa bicara apa pun, malahan di antara
merekajuga tidak ada yang tegur-sapa.
Tiga hari kemudian "orang hutan "' itu datang
lagi dan menukar kitab di atas meja dengan kitab
lain. Selagi Lamkiong Peng menyesal, tak terduga
ketika kitab baru itu dibuka, isinya adalah kungfu
yang sudah lama menghilang dari dunia persilatan,
yaitu "Bu-eng-sin-kun ", ilmu pukulan sakti tanpa
wujud. Begitulah selang 50 60 hari kemudian, berturutturut
kitab di atas meja Lamkiong Peng telah
berganti 20-an kali, setiap kitab selalu berisi ilmu
silat yang jarang diketemu-kan lagi di dunia
persilatan sekarang. Tentu saja Lamkiong Peng
sangat senang, sedapatnya ia mengingat semua isi
kitab itu. Supaya diketahui bahwa kawanan kakek ini
sebelum datang di Cu-sin-to rata-rata sudah
pemah berbuat sesuatu yang menggempar-kan.
semuanya adalah tokoh Bu-lim temama yang
disegani, begitu datang ke Cu-sin-to, ka-rena tidak
dapat lagi meninggalkan pulau ini, maka kitab
pusaka bagi mereka dipandang se-bagai barang tak
berguna lagi, maka sebagian cuma membacanya
secara iseng, malahan ada yang sama sekali tidak
tertarik. Hari berganti hari, entah berselang berapa lama
pula, sejauh itu belum pemah Lamkiong Peng
mendengar percakapan kawanan kakek itu,
terkadang ia mengira mereka adalah orang bisutuli
semua atau mayat hidup.
Suatu hari mendadak turun hujan, tapi
kawanan kakek ini seperti tidak merasakan guyuran
air hujan, tiada satu pun yang me-nyingkir
ke dalam rumah.
Ketika musim rontok hampir berlalu dan musim
dingin hampir tiba, mereka tetap me-makai baju
belacu tanpa mengenal rasa dingin. Namun
Lamkiong Peng sendiri merasa meng-gigil.
Terpaksa ia mengerahkan lwekang untuk menahan
serangan hawa dingin.
Lewat beberapa hari kemudian barulah dia
merasa biasa. Baru sekarang diketahuinya kungfu
sendiri sudah banyak lebih maju, rupa-nya ilmu
silat sakti yang dibacanya dari ber-bagai kitab itu
serupa makanan kasar di pulau ini telah dicema
seluruhnya olehnya.
Maka tidurnya tambah sedikit, makannya juga
semakin sedikit, namun semangatnya justru
tambah berkobar.
Suatu pagi hari. tiba-tiba diketahui kakek
penghuni rumah di depan sudan tidak ada lagi.
Siapa pun tidak tahu kemana perginya kakek itu
dan tidak ada yang menanyakannya. Mati-hidup
bagi para kakek itu serupa halnya ma-kan dan
tidur saja, teperti uruian biasa, biarpun ada orang
kehilangan kepala di depan mereka juga takkan
diperhatikan oleh mereka. Dengan cepat seratus
hari telah lalu pula, pada waktu pagi, mendadak si
kakek berbaju belacu muncul pula di depan pintu
Lamkiong Peng dan berkata padanya, "Mari ikut
padaku! " Tanpa tanya Lamkiong Peng berbangkit
dan ikut berangkat. Waktu melalui lapangan luas
itu, tiba-tiba diketahui beberapa kakek di
antaranya sama menoleh dan memandangnya
sekejap dengan sorot mata merasa kagum, hal ini
tidak pemah terjadi selama Lamkiong Peng berada
di pulau ini. Tentu saja anak muda itu merasa heran,
pikirnya, ' Kiranya orang-orang ini sebenarnya juga
punya perasaan, cuma mereka pandai menyembunyikan
perasaan masing-masing sehingga
biasanya tidak kentara. Tapi apa yang mereka
kagumi atas diriku" Apakah karena tempat yang
akan kutuju ini" "
Diam-diam Lamkiong Peng menduga mung-kin
tempat .yang akan dituju adalah Cu-sin-ci-tian
atau istananya para dewa, tempat yang penuh
misterius itu, tanpa terasa hatinya men-jadi
tegang. Mendadak terdengar suara menggeletar, suara
bunyi cambuk berkumandang dari ke-lebatan
pepohonan sana, waktu Lamkiong Peng
memandang ke sana, kelihatan di dalam po-hon
sana terjulur tali putih, pada tali putih yang kecil
itu menggelantung tubuh Hong Man-thian yang
besar. Tertampak pula si manusia kera itu se-dang
mengayun cambuk dan menyabat tubuh Hong
Man-thian berulang-ulang sambil menghitung,
"Dua puluh delapan . . . dua puluh sembilan .... " "
Mendadak tali putjs dan Hong Man-thian jatuh
terbanting ke tanah. Si manusia kera tidak banyak
urusan, segera ia pasang tali lagi dan Hong Manthian
lantas melompat ke atas, dengan tangan
memegang tali, tubuhnya lantas menggelantung
pula di udara. Kembali cambuk si manusia kera bekerja lagi
menghajar tubuh Hong Man-thian sambil
mengulang pula dari semula, "Satu .... dua . . . tiga
. . . . " Tali itu tidak besar, sedang cambuk pan-jang
lagi kasar, biarpun Hong Man-thian memiliki
lwekang yang kuat, untuk menggelantung begitu
saia sudah sulit, apalagi mesti me-nahan didera
oleh cambuk. Lamkiong Peng mengikuti sejenak kejadian itu
dengan menahan napas, dilihatnya Hong Manthian
berwajah kaku dan bertahan dengan diam,
serupa anak bandel yang sedang dihajar orang
tuanya. Segera Lamkiong Peng melangkah ke de-pan
karena tidak tega memandang lagi.
"Itulah hukuman bagi pelanggar hukum di sini, "
kata si kakek baju belacu. "Setiap hari 36 kali
cambukan, harus dihajar berturut-turut selama
360 hari, bila tali putus harus diulang kembali.
Maka mereka yang berani coba melanggar
peraturan di sini perlu bertanya dulu kepada
dirinya sendiri apakah mampu menahan hajaran
dan punya keberanian atau tidak" "
Lamkiong Peng diam saja dan terus melangkah
ke depan, akhirnya sampai di ujung hutan, di
depan mengadang tebing gunung. tapi tidak
kelihatan bayangan rumah.
Si kakek mendekati tebing, ia raba dinding
tebing, pada suatu bagian yang belenduk pe-lahan
ia menepuk tiga kali, mendadak terjadi keajaiban
pada dinding batu itu, bagian yang belenduk itu
berputar, lalu merenggang dan kelihatan sebuah
jalan tembus. Tanpa sangsi Lamkiong Peng terus melangkah ke
dalam sana bersama si kakek, "brak ", segera
dindng tebing itu merapat kembali.
Terendus bau amis busuk dalam lorong rahasia
ini, sebuah lentera tergantung di din-ding lorong
dan memancarkan cahaya yang guram, pada ujung
lorong terdapat sebuah pin-tu tembaga.
Waktu Lamkiong Peng menoleh, tahu-tahu si
kakek baju belacu sudah menghilang,
Segala sesuatu di sini scakan-akan di luar dalil
umum. Tanpa pikir Lamkiong Peng melangkah lagi
ke depan, terdengar dari ke-dalaman saja
berkumandang suara melengking tajam, "Kamu
sudah datang" "
Belum lenyap suara itu, pintu tembaga di ujung
lorong itu lantas terbuka.
Segala apa tidak terpikir lagi oleh Lamkiong
Peng, dengan bersitegang leher ia masuk ke situ.
Dilihatnya di balik pintu ada lagi sebuah lorong,
tapi dikedua tepi lorong ini terbuka berbagai gua
sehingga serupa sarang tawon, lubang ini berbaris
panjang ke sana dan ter-dapat di atas bawah
dinding lorong sehingga berapa jumlahnya sukar
dihitung. Di antara lubang atau gua batu itu terkadang
ada orangnya, ada yang kosong, ada yang diterangi
lentera, ada yang gelap dan seram.
"Jalan terus ke depan, jangan berpaling! "
terdengar suara melengking tajam tadi berseru
pula. Lamkiong Peng terus menuju ke depan dengan
langkah lebar tanpa memandang lagi ke kanankiri,
diam-diam ia. gegetun, "Apakah begini Cu-sintian
yang termasyhur itu" "
Belum lagi lenyap pikirannya, terdengar lagi
suara tadi, "Di sini! Naik kemari! "
Jelas suara itu berkumandang dari tempat
ketinggian. Waktu Lamkiong Peng mendongak, ter-tampak
pada dinding di ujung lorong sana juga ada sebuah
dekukan yang berwujud gua, ting-ginya dua-tiga
tombak dan permukaan tanah.
Segera Lamkiong Peng melompat ke atas,semula
ia ragu apakah dapat mencapai mulut gua itu, ia
bormaksud mencari suatu tempat hinggapan, siapa
tahu dengan enteng sekali dapatlah ia mencapai
tempat setinggi itu dan menyusup ke dalam gua.
Di dalam gua bau amis busuk tambah ke-ras, di
pojok sana terpasang kerai bambu, di belakang
sebuah meja batu besar di depan kerai bambu
menongol sebuah kepala berambut ubanan, mata
cekung dan hidung besar, sorot mata tajam, dahi
lebar, dengan dingin sedang menatap Lamkiong
Peng. Tanpa terasa Lamkiong Peng agak ngeri, ia
memberi hormat dan berucap, "Cayhe Lamkiong
Peng .... "
Mendadak kakek ubanan itu membentak, "Cicui,
namamu Ci-cui, ingat tidak" Begitu masuk
Pulau ini engkau lantas sama sekali me -lepaskan
diri dari dunia ramai, harus kaulupakan segala
masa lampau, tahu" "
Suaranya tajam dan cepat, seperti membawa
semacam daya pengaruh yang misterius.
Lamkiong Peng diam saja, ia pandang kakek
ubanan itu dengan tenang.
"Sungguh beruntung engkau dapat tinggal di Cicui-
sit (ruangan air mandek), " kata si kakek
dengan tertawa cerah. "Mungkin engkau tidak tahu
bahwa Ci-cui-sit itu dahulu dihuni oleh Sin-tiautaihiap
Nyo Ko . . . . "
"Urusan dunia ramai sudah tidak kupikir-kan
lagi, " jawab Lamkiong Peng dingin.
"Haha, bagus, bagus! " si kakek bergelak
tertawa. Sejak datang di pulau ini untuk pertama kalinya
Lamkiong Peng msndengar orang tertawa, tentu
saja ia melenggong. Terdengar si kakek berkata
pula, ' Berdasarkan ucapanmu ini pantas untuk
diberi minum satu cawan. "
Mendadak ia tepuk tangan satnbil berseru,
"Ambilkan arak! "
Bahwa disini juga tersedia arak, Lamkiong Peng
tambah heran. Tertampak kerai bambu tersingkap, sesosok
tubuh tinngi kurus terbalut kain putih dengan
wajah tidak mirip manusia juga tidak serupa
binatang muncul dengan membawa sebuah
nampan kayu, kelihatan rambutnya yang
semerawut, matanya siwer, mulutnya lebar dan
hampir tak berbibir, setelah menaruh nampan


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan poci arak dan cawan, lalu mengundur-kan
diri lagi. Seketika timbu! rasa ngeri Lamkiong Peng ketika
dilihatnya telapak tangan makhluk itu hanya
mempunyai dua jari, daun telinganya lancip kecil
dan penuh berbulu
Akhir-akhir ini sudah banyak makhluk aneh
setengah manusia dan setengah binatang yang
dilihatnya, tidak urung ia mengkirik me-lihat
makhluk seram ini.
Melihat perubahan air mukanya, si kakek
terbahak, "Silakan minum! "
Begitu tangan si kakek mendorong, segera
secawan arak melayang ke arah Lamkiong Peng
dengan anteng serupa dipegang orang.
Tanpa pikir Lamkiong Peng menangkap cawan
itu dan ditenggak, rasa arak agak pedas, tapi
sedap. "Tentu cngkau tidak pemah melihat makhluk
hidup semacam tadi, ketahuilah sesung-guhnya
dia bukan manusia melainkan seekor binatang, "
ucap si kakek dengan tertawa.
"Hah, jadi Jitko itu dan . . . . " kembali Lamkiong
Peng mengkirik.
"Ya, semuanya binatang, " ujar si kakek dengan
tertawa. "Selama hidupku mencurahkan tenaga
dalam penelitian ilmu pertabiban, hasil jerih
payahku selama berpuluh tahun ada-lah dapat
kuciptakan belasan ckor binatang menjadi serupa
manusia . . . . "
"Hah . . . . "
Mendadak lenyap tertawa si kakek, air mukanya
berubah menjadi merah dan pena-saran, katanya,
"Kautahu, sebabnya manusia hidup sengsara dan
menjadi cacat, selain ka-rena pengaruh lingkungan
juga banyak karena pembawaan yang jahat. Untuk
merombak ting-kah polah manusia harus diawali
dari bentuk-nya. Selama berpuluh tahun aku
berusaha memperdalam ilmu pertabiban, lebih
dulu aku telah merombak wujud diriku sendiri,
lalu ku-praktekkan berbagai operasi yang selama
ini belurn pemah dilakukan oleh tabib mana pun .
. . . " Ngeri Lamkiong Peng membayangkan beberapa
makhluk aneh yang telah dilihatnya itu.
"Apa yang kulakukan ini tidak dapat kujelaskan
begitu saja, kelak dari apa yang kau-lihat dan
kaudengar tentu. akan paham lebih banyak, " kata
pula si kakek. "Para penghuni pulau ini meski
semuanya adalah bekas tokoh dunia persilatan,
tapi mereka yang dapat ma-suk ke ruangan ini
tidaklah banyak. Selama berpuluh tahun ini segala
biaya kepulauan ini berkat bantuan dari keluarga
Lamkiong kalian, makanya kuberi prioritas
kepadamu untuk menghuni ruangan ini. "
"Setelah Cayhe masak ke sini, segala urus-anku
memang tidak pemah terpikir lagi oleh-ku, hanya
satu hal ini masih mengganjal hati-ku, yaitu
kuharap dapat berjumpa satu kali saja dengan
pamanku itu. "
"Jika segala urusan lampau sudah kau lupakan,
kenapa kauingin menemui pamanmu" " jengek si
kakek. Lamkiong Peng melengak, dilihatnya si kakek
menarik muka dan berkata dengan serius, ' "Perlu
kautahu untuk apa kuharap setiap peng-huni Cusin-
to ini melupakan segala cita-rasa dan sama
sekali putus dari perasaan kasih, nafsu, nama dan
kcuntungan, setiap orang yang kuajak berdiam di
pulau ini seluruhnya juga merupakan tokoh inti
dunia persilatan yang sudah berpengalaman. "
"Cayhe memang tidak tahu seluk beluk ini, "
javvab Lamkiong Peng.
"Soalnya aku ingin membangun sesuatu yang
selama ini belum pemah dilakukan siapa pun,
kudatangkan orang pandai untuk menjadi
penghuni pulau ini, dari mereka kuharapkan akan
dapat mengembangkan bakat mereka.su-paya
menciptakan sesuatu yang serba baru tan-pa
gangguan. Bilamana usahaku ini berhasil, maka
suksesku ini takkan dibandingi oleh to-koh sejarah
mana pun. Tapi lucu juga, orang dunia persilatan
justru memandang Cu-sin-to ini sebagai tempat
pengasingan yang misterius dan ditakuti. "
"Usaha apa yang Cianpwe lakukan"' tanya
Lamklong Peng. Mencorong sinar mata si kakek, "Tentu pemah
juga terjadi atas dirimu, setiap orang pada waktu
masa anak-anak tentu mempunyai banyak
khayalan, setelah hesar khayalan ini akan menjadi
kenangan indah. Waktu kecilmu tentu juga pemah
kaupikirkan betapa senang-nya bila dapat
menghilang, dapat menggembleng besi menjadi
emas dan berbagai hal yang mustahil" "
' Ya, memang begitulah khayalan anak kecil, "
kata Lamkiong Peng dengan tersenyum.
"Padahal hal-hal sepeiti menghilang atau
menggembleng besi menjadi emas ' adalah
khayalan yang jamak, tapi masih ada urusan lain
yang jauh lebih menakjubkan yang jarang
dibayangkan orang, misalnya ada orang ber-khayal
tanpa sekolah, asalkan kitab dibakar menjadi abu
dan abu diminum bersama air, lalu dia akan pintar
secara mendadak. Ada yang berkhayal lampu
tanpa minyak akan terang benderang, ada yang
berfantasi kereta atau kuda dapat terbang dan
menjelajahi ja-gat raya ini. Ada yang berkhayal
setelah mi-num satu biji obat segera akan merasa
kenyang dan tidak perlu makan sepanjang tahun .
. . . " la berhenti sejenak, lalu menyambung dengan
tertawa, "'Ada cerita lucu di jaman dahulu, konon
ada orang berkhayal bilamana bulu alis seorang
tumbuh di jari tangan. maka jari akan dapat
digunakan menyikat gigi. Jika lubang hidung
tumbuh meughadap ke atas, tentu ingus seorang
takkan meleleh. Bilamana mata tumbuh di muka
dari belakang. untuk melihat tentu tidak perlu lagi
berpaling. Le-lucon inilah yang menjadi
khayalanku, tapi se-karang khayalan ini sudah
berubah menjadi kenyataan. Umpama sekarang
jika kauminta alismu dipindah ke jari atau
hidungmu di-putar ke atas. segera dapat
kulaksanakannya bagimu, tidak percaya bolehlah
kaucoba. "
"Tapi kukira biarkan saja ingus tetap me-leleh ke
bawah, untuk berpaling juga tidak terlalu
merepotkan, " ujar Lamkiong Peng.
Si kakek terbahak, "Haha, bukan saja
khayalanku ini sudah terlaksana sekarang, bah -
kan hal-hal yang mustahil dan tidak pemah terjadi
sekarang juga akan terlaksana. "
"Apa betul" " kaget juga Lamkiong Peng.
"Tentu saja betul, " ucap si kakek. "Setelah
kucuci bersih otak orang-orang itu dari pikir-an
kolot mereka, selanjutnya akan kusuruh mereka
menekuni pekerjaan baru ini . ... "
la menuding berbagai gua di kedua din-ding
lorong dan menyambung pula, "Di dalam gua gua
itulah tempat bekerja mereka. Coba
kaubayangkan, bilamana hal-hal yang dahulu
cuma khayalan belaka sekarang dapat terlaksa-na,
bukankah sukses ini akan membuat sejarah baru
bagi hidup manusia yang akan datang. "
Lamkiong Peng memandang orang tua ini
dengan termangu, tidak diketahuinya
sesungguhnya kakek ini seorang gila atau manusia
super" Dilihatnya si kakek mendadak menarik muka
lagi dan berkata, "Apa yang kubicarakan hari ini
sudah terlampau banyak dan ba-nyak pula
menggnnggu pekerjaan yang lebih penting. Setelah
engkau masuk ruangan ini, segala tindak-tanduk
dan tutur katamu sudah bebas dari pembatasan.
Tapi setiap tahun engkau hanya boleh keluar dan
melihat cahaya matahari satu kali. Sekarang boleh
kauperiksa sekeliling tempat ini, silakan pilih satu
ruang-an sebagai tempat tinggalmu, besok akan
ku-panggil dirimu lagi. "
Dengan ragu dan kejut Lamkiong Peng melompat
turun dari gua itu, dipandangnya lubang gua di
kedua sisi dinding lorong, ter-bayang pekerjaan
yang sedang berlangsung di situ, meski hati penuh
diliputi rasa ingin tahu, tapi ia tidak berani
menghadap mereka, sebab tak berani
dibayangkannya bagaimana jadinya dunia ini
apabila berbagai khayalan itu men-jadi kenyataan.
Tiba tiba terpikir pula olehnya, "Pantas Hong
Man-thian mengumpulkan barang aneh sebanyak
itu, pantas juga pihak kun mo to berusaha
merebut usaha Hong Man thian yang akan
mengangkut harta benda keluargaku sini, tentunya
disebabkan pihak kun mo to juga tahu apa yang
sedang terjadi di sini dan kuatir khayalan ini akan
menjadi kenyataan, tatkala mana orang Kun mo to
tentu akan di jadika budak oleh pihak Cu-sin-tian.
Tengah berpikir, tanpa terasa ia sudah berada di
depan gua pertama, dilihatnya ruangan gua ini
agak longgar, di bawah remang cahaya lampu
berduduk dua orang kakek, di atas meja penuh
tertumpuk kertas tulis dan kepingan kayu.
Melihat Lamkiong Peng, kedua kakek itu rada
tercengang, Lamkiong Peng tidak berani bertanya
nama asli mereka, hanya sekadarnya ia tanya
pekerjaan yang sedang dilakukan mereka.
Salah seorang kakek itu lantas menjelaskan
bahvva mereka sedang mempelajari semacam cara
baru membangun rumah, yaitu dimulai dari atap
rumah dan menurun ke bawah, akhir-nya baru
mem-bikin pondasi rumah. Menurut
keterangannya, cara mereka itu serupa cara dua
macam serangga yang paling pintar membangun
sarangnya, yaitu tawon dan labah-labah.
Lamkiong Peng mengucapkan terima kasih dan
pindah ke ruangan yang lain. Tertampak di situ
juga penuh tertumpuk bahan riset dua
penghuninya, yaitu berbentuk macam-macam
kaleng yang berukuran tidak sama serta lapisan
tepung terigu yang sudah diaduk.
Menurut penjelasan kedua kakek itu, me-reka
sudah hampir berhasil menciptakan se-jenis air
obat misterius, dengan air obat itu sebagai tinta,
lalu dituliskan isi kitab pe-ngetahuan apa pun di
atas lapisan adukan tepung, kemudian berpuasa
sepuluh hari, habis itu panganan tepung dimakan,
maka segala ilmu pengetahuan dari isi kitab dapat
dikuasai sepenuhnya oleh orang yang makan
adukan tepung itu.
Lamkiong Pong mengucapkan terima kasih atas
penjelasan itu walaupun dengan perasaan
bimbang, di ruangan gua lainnya dilihatnya cahaya
lampu terang benderang serupa siang hari,
sekeliling ruangan tergantung botol kristal yang tak
terhitung jumlahnya, dalam botol ber-isi macammacam
wama air obat. Sekilas pan-dang mata bisa
silau oleh wama-wami botol kristal yang indah itu.
Tapi kakek penghuni gua ini tampak kurus
kering tinggal kulit membungkus tulang,
jenggotnya yang sudah putih seluruhnya memanjang
hingga menyentuh lantai. Kiranya ka-kek
ini menekuni ilmu menghilang selama lebih 60
tahun, begitu melihat Lamkiong Peng segera ia
mengajaknya bicara tentang ilmu yang sedang
ditekuninya itu, dalilnya sungguh ajaib dan sukar
dilakukan. Lamkiong Peng mendengarkan dengan cer-mat,
tapi sukar memahanii intisarinya. Hanya
diketahuinya si kakek berusaha membuat tubuh
manusia berubah tembus cahaya seluruhnya
serupa benda kristal, dengan begitu manusia
menjadi serupa benda tak berwujud dan tak-kan
terlihat lagi. Keluar dari gua ini, pikiran Lamkiong Peng
tambah bingung. Selanjutnya ditemui lagi pandai
besi yang sedang menggembleng benda logam
supaya berubah menjadi emas. Lalu filosof yang
duduk tepekur dalam ke-gelapan dan berbagai
kakek yang aneh yang tidak pemah dilihat dan
didengarnya. Tentu saja pikiran Lamkiong Peng tambah ruwet,
sungguh sukar dipastikan apakah kawan-an kakek
ini memang betul manusia super atau orang
sinting, juga tak diketahuinya apakah riset mereka
itu akhirnya akan menjadi ke-nyataan atau tidak.
Yang jelas rasa ingin tahu Lamkiong Peng
bertambah besar, dari lubang gua tingkat ba-wah
sekarang dia memeriksa gua bagian atas. la
melompat ke atas, di suatu lubang gua itu
kelihatan gelap gulita seperti tiada jejak se-orang
pun. Selagi dia hendak tinggal pergi, tiba-tiba


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kegelapan bergema suara orang "Siapa itu" "
Lamkiong Peng coba memandang ke sana,
setelah diperhatikan, tertampak di pojok gua yang
gelap itu duduk sesosok bayangan, di de-pannya
berserakan botol dan kaleng serta benda lain.
"Entah apa pula yang sedang dipelajari
orang..sinting ini" " demikian pikirnya. Segera ia
mengatakan maksud kedatangannya.
Suara serak tua itu berkata, "Aku sedang
mempelajari mengubah hawa udara menjadi
makanan, kautahu hawa udara itu apa" Hawa
udara adalah . . . . "
Mendadak terhenti ucapannya ketika pe-' lahan
ia mendongak, serunya dengan suara gemetar,
"Hei, Peng-ji .... Kiranya kau . . . . " Hati Lamkiong
Peng tergetar hebat, ia tne-rasa ucapan terakhir itu
sudah sedemikian di-kenalnya, ia coba mengamati
lebih jelas, di lihatnya bayangan dalam kegelapan
ini be -rambut semrawut, sorot mata tajam, lamatlamat
dapat dikenalnya siapa orang tua ini.
"Ahh . . . Suhu! " teriak Lamkiong Peng sambil
menubruk maju dan menyembah di depan orang.
Kiranya kakek yang nelangsa ysng duduk dalam
kegelapan ini tak-lain-tak-bukan ialah guru
Lamkiong Peng yang termashur di dunia Kangouw,
tokoh nomor satu dunia persilatan yang tak
terkalahkan, yaitu Put-si-sin-liong Liong Po-si
adanya. Dalam keadaan dan di tempat seperti ini antara
guru dan murid dapat berjumpa di sini, sungguh
kejadian yang sukar dibayangkan. Tentu saja
mereka terkejut. heran dan merasa seperti dalam
mimpi. "Mengapa kaudatang ke sini, Peng-ji" " tanya
Liong Po-si, sungguh ia tidak mengerti anak muda
yang baru mulai berkecimpung di dunia Kangouw
ini bisa datang ke Cu-sin-to yang merupakan
tempat pengasingan tokoh tua ini.
Setelah menenangkan diri, Lamkiong Peng lantas
menceritakan pengalamannya, terutama
mengenai diri Bwe Kim-soat.
Liong Po-si menghela napas, ucapnya, ''Orang
bilang perempuan cantik kebanyak-an bemasib
malang. tampaknya kemalangan nasibnya memang
jauh melebihi perempuan lain. "
Kedua orang duduk berhadapan dengan diam,
terlihat orang tua itu jauh lebih tua dari-pada
waktu berpisah di Hoa-san dahulu, hati Lamkiong
Peng merasa pedih,,ia coba tanya, "Ketika murid
melihat ukiran tulisan di puncak Hoa-san dahulu,
kami menyangka Suhu telah mengasingkan diri ke
suatu tempat rahasia. Entah apa yang terjadi
sesungguhnya di pun-cak Hoa-San dahulu,
mengapa Suhu bisa sam-pai di sini. "
"Puncak Hoa-san . . . . " Liong Po si ber-gumam
dengan menunduk sedih, sampai sekian lama baru
ia menghela napas dan bertutur, "Empat puluh
tahun yang lalu untuk pertama kalinya kudengar
tempat Cu-sin-tian, terhadap-nya lantas timbul
macam-macam khayalanku. Sekarang aku benar
telah berada di tempat yang dimaksud, akan tetapi
aku menjadi sangat kecewa, namun . . . . ai,
semuanya sudah terlambat. "
Tiba-tiba Lamkiong Peng bertanya, "Suhu hawa
udara yang dimaksudkan apakah sama seperti
hawa udara umumnya yang tak ber-wujud itu"
Cara bagaimana Suhu akan mem-buatnya menjadi
barang santapan, jika hawa udara dapat berubah
menjadi makanan, kan di dunia ini takkan ada
orang kelaparan lagi" "
Liong Po-si tertawa, "Peng ji. kautahu orang di
pulau ini hampir seluruhnya adalah orang gila,
andaikan tidak- gila, setelah mengalami kurungan
ratusan hari, setelah dicuci otak dan hidup sebagai
orang dalam kuburan. akhirnya pun akan serupa
orang gila ....' "
Teringat kepada kawanan kakek berbaju belacu
yang duduk tepekur di depan rumah dan hidup
kesepian itu, tanpa terasa Lamkiong Peng
menghela napas.
"Orang yang paling gila di antara orang gila itu
ialah si Tocu yang berkepala besar itu, " tutur
Liong Posi. "Pulau ini berada di bawah
pimpinannya, setiba di sini dan melihat keadaan
mereka, aku jadi lebih suka tinggal dan merenung
sendirian, maka sengaja kuberi macam-macam
komentar yang aneh dan sukar dimengerti. "
"Komentar apa" " tanya Lamkiong Peng.
"Kubilang kepada Cu-sin tosu itu bahwa
sebabnya pepohonan dan tetumbuhan lain hidup
subur adalah karena mengisap unsur hawa udara,
apabila manusia dapat memisahkan se-macam
unsur misterius itu dari hawa udara dan dijadikan
makanan, tentu akan banyak menghemat tenaga
manusia dan jumlah barang, sedangkan di jagat
raya ini penuh hawa udara dan takkan habis
terpakai, jadinya tidak ba-kal lagi ada orang mati
kelaparan. "
la berhenti sejenak, lalu menyambung dengan
tertawa, "Setelah kuberi macam-macam omong
kosong itu, Cu-sin-tocu itu sangat ter-tarik dan
kagum pada teoriku, ia anggap. gagas-anku itu
sebagai rencana besar yang belum per-nah ada
dalam sejarah, sebab itulah aku di-perlakukan
secara istimewa dan diberi tempat tinggal ini
dengan segala fasilitas yang ada, makanya disini
tersedia juga araksebanyak ini. "
Meski dia bicara dengan tertawa, namun
suaranya penuh rasa hampa dan kesepian. Bahwa
jago nomor satu dunia persilatan yang termasyhur
ini sekarang juga perlu minum arak
sekadar pelipur lara, sungguh mengharukan.
"Peng-ji, " kata Liong Po-si pula, "meski setiap
hari aku minum arak untuk menghilang-kan rasa
hampa dan sepi ini, namun se-jauh ini tidak
pemah putus asa dan selalu mencari kesempatan
untuk bertindak. Bilamana nanti Tocu memanggil
lagi dirimu, boleh kau-minta agar dikirim ke sini
untuk membantuku mempelajari makanan
misterius yang sedang kulakukan ini. Beperapa
bulan lagi akan da-tang kesempatan baik, tatkala
mana harapan bagi kita untuk kabur dari sini akan
sangat besar. "
Terbangkit setnangat Lamkiong Peng mendengar
keterangan ini.
Kiranya di Cu-sin-to ini setiap tahun ada suatu
hari raya. waktu itu setiap orang diberi kebebasan
untuk bergembira ria, walaupun pada hakikatnya
kaum kakek itu tiada sesuatu yang dapat dibuat
gembira, namun sedikitnya ada kebebasan
bergerak. Esoknya Lamkiong Peng dipanggil menghadap
Cu-sin-tocu itu, agaknya dia akan memberi tugai
khusus kepada anak murid ke-luarga Lamkiong,
tapi demi mendengar per-mintaan Lamkiong Peng
yang ingin ikut mem-pelajari "rencana besar " itu,
segera , ia me-luluskan permintaannya.
Hidup dalam gua yang gelap sang waktu terasa
berlalu dengan sangat lambat, Tapi sekarang
Lamkiong Peng sudah berhasil belajar sabar.
Entah sudah lewat berapa lama lagi, bagi-n'ya
segalanya berlalu dengan tenang tanpa berubah
sesuatu apa pun. Hanya Cu-sin-tocu terkadang
memanggilnya menghadap dan selalu meaatapnya
dengan penuh perhatian serta ber-tanya
sekadarnya dengan hambar.
Dapat dirasakan oleh Lamkiong Peng sinar mata
Cu-sin-tocu yang aneh itu lambat-laun mulai
keruh dan kelihatan sedih, setiap kali bertemu lagi
rasa kusut dan sedih itu scakan-akan selalu
bertambah besar.
Diam-diam Lamkiong curiga apakah mung-kin
Cu-sin-tocu telah merasakan tanda bahaya yang
bakal menimpa pulau ini"
Selama ini Liong Po-si sangat jarang bicara.
Sedangkan Lamkiong Peng sendiri tekun
menyelami berbagai ilmu silat yang telah dibacanya
itu. la merasa ketajaman pandangan
sendiri tambah kuat, tubuhpun tambah cnteng,
sukar baginya untuk mengukur sampai di mana
kemajuan kungfu ssndiri.
Suatu hari selagi dia duduk tenang di da-lam
gua bersama sang guru, mendadak di luar sana
bergema suara tambur, tidak lama kemu-dian
seorang melompat masuk ke dalam gua, kiranya si
kakek berbaju belacu dahulu itu, ia pandang
sekejap keadaan gua itu, lalu berucap, "Sudah tiba
harinya! "
Meski air mukanya kelihatan kaku, tapi sorot
matanya mrmancarkan semacam cahaya misterius
scakan-akan banyak rahasia yang di-ketahuinya.
Tergetar hati Lamkiong Peng, tanyanya, "Tiba
hari apa" "
"Tiba hari kebebasan untuk berbuat apa pun
sesukamu, " ucap si kakek dengan dingin. Lalu ia
melompat pergi lagi.
Lamkiong Peng tercengang, Mungkinkah dia
tahu" "
"Apa pun yang diketahuinya, selanjutnya dia
takkan tahu apa-apa lagi, " jengek , Liong
Po-$i. ' "Maksud Suhu, akan kita lenyapkan dia, " tanya
Lamkiong Peng. "Betul, " pelahan Liong Po-si menepuk pundak
anak muda itu.. "Tunggu kesempatan dan
bertindak menurut keadaan jika tidak ada kapal
atau rakit berenang pun kita akan ting-galkan
tempat ini. "
Dari nada ucapan orang tua ini dapat di-rasakan
tekadnya yang bulat itu oleh Lamkiong Pang.
Berbareng mereka lantas keluar dari gua.
Pintu rahasia gua itu sudah terbuka, waktu
melangkah keluar, segera terasa angin sejuk
mengembus dan membangkitkan gairah hidup
Lamkiong P-ing yang sudah sekian lama ter-sirap.
Dilihatnya kawanan kakek itu tetap duduk di
depan rumah masing-masing dengan kaku dan
linglung, hanya jenggot mereka yang panjang
berkibar tertiup angin.
Setelah .menyusuri hutan,. sampailah di rumah
bambu itu, cuma keadaan gubuk yang semula jelek
itu sekarang sudah berbeda jauh.
Gubuk ini tetap tidak ada sesuatu pajangan
istimiwa, tapi di lapangan depan rum ah teruruk
banyak bunga segar dan makanan, di atas
gundukan api unggun sedang dipanggang beberapa
ckor kambing, kijang dan sebagainya, Bau sedap
daging panggang bercampur dengan bau harum
bunga terbawa angin sejuk sehingga membuat
tempat yang semula seperti kuburan ini mendadak
penuli diliputi gairah hidup.
Di sini berkumpul kawanan kakek yang belum
sempat masuk ke gua gunung sana, di antaranya
banyak yang berbaju lebih teratur dan resik,
mereka asyik menanti dimulainya pesta pora ini,
tapi di antara mereka sempat dilihat Lamkiong
Peng saling memandang de-ngan sorot mata yang
aneh scakan-akan tersem bunyi sesuatu rahasia.
Tergerak hati Lamkiong Peng, pikirnya,
"Mungkinkah kawanan kakek ini pun sedang
merancang sesuatu, bisa jadi akan memberon-tak
atau ingin kabur dari sini. "
Waktu ia menoleh, entah ke mana pergi-nya
Liong Po-si, orang tua itu sudah menghilang.
Selagi Lamkiong Peng merasa ragu dan
bermaksud mencari jejak sang guru, tiba-tiba
terdengar di samping sana, di bawah pohon ada
suara orang tertawa.
Cepat ia berpaling, dilihatnya Hong Man-thian
duduk bersandar di bawah pohon, bajunya sudah
compang-camping, mukanya kelihat-an kuyuh,
jelas telah banyak tersiksa selama beberapa hari
ini. Jenggotnya juga tak teratur namun sinar
matanya tetap bercahaya dan memandang dengan
tajam. Lamkiong Peng tidak dapat menahan perasaannya,
ia mendekati orang tua itu dan berkata
dengan terharu, "Cianpwe, lantaran kami
engkau yang mendapat susah. "
"Susah . " . . " senyuman Hong Man-thian
berubah menjadi ejekan, "Justru penderitaan
inilah yang merangsang kehidupan kami yang
hampa ini. Penderitaan ini yang membangkitkan
semangat perlawananku ini. "
Mendadak ia memegang pundak Lamkiong Peng
dan berkata dengan semangat, "Coba lihat,
kawanan kakek di sebelah sana itu, dapat-kah
kaulihat sesuatu kelainan pada diri mereka" "
Lamkiong Peng dapat merasakan kekuatan pada
ucapan orang tua ini, segera teringat olehnya sinar


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata kawanan kakek yang aneh itu, sekatika
berdetak jantungnya, "Ah, apa-kah kalian hendak .
. . . " "Betul, diam-diam sudah kuhasut mereka,
kubakar semangat dan rasa gusar mereka. Maka
hari ini juga di pulau ini akan terjadi peristiwa
besar. Kalau bukan kawanan orang gila di dalam
gua itu yang menuju ke neraka biarlah kami saja
yang mati. Umpama mati juga lebih baik daripada
hidup cara begini bagi mereka. "
Lamkiong Peng mengangguk sependapat,
katanya, ' "Ya, tapi mana kapalnya" di sini kan
tidak ada kapal" "
"Kapal" Untuk apa" " tanya Hong Man-thian.
Lamkiong Peng melengak, "Tidak ada kapal cara
bagaimana dapat pulang ke sana" "
"Pulang?" Siapa bilang mau pulang" " je-ngek
Hong Man-thian.
Kembali Lamkiong Peng melenggong.
Terdengar Hong Man-thian menghela na-pas dan
berkata pula, "Apakah pemah kau-bayangkan
bilamana kawanan kakek yang aneh ini pulang ke
daratan sana, lalu huru hara apa yang akan timbul
di dunia persilatan" "
Seketika Lamkiong Peng bungkam, sung-guh ia
tidak berani membayangkannya.
"Kutahu pikiranmu, " kata Hong Mar-thian pula
sambil berbangkit, tongkat besinya sudah hilang,
sekarang ia gunakan sebatang tongkat pendek.
"Marilah kita pergi minum arak dulu dan
menonton permainan menarik. "
Segera mereka keluar dari hulan itu, se-tiba di
depan hutan, Lamkiong Peng berdiri di bawah
keteduhan pohon dengan perasaan tidak tentram.
Tidak lama kemudian, mendadak suara tambur
bergema keras, lima orang kakek ber-baju belaca
tampak muncul, di belakang mereka mengikut lima
pelayan "manusia binatang " itu dengan
menggotong sebuah dipan batu, di atai dipan
duduk bersila Cu-sin-tocu yang ber-kening lebar
dan bersinar mata tajam itu.
Waktu itu tepat lohor, air muka Cu-sin-tocu
yang pucat itu kelihatan seperti tembus cahaya,
dia seperti takut kepada cahaya mata-hari, maka
menyuruh kawanan pelayan me-naruh dipannya di
bawah pohon yang rindang.
Baru saja dipan batu ditaruh, serentak meledak
suara tertawa orang.
Biasanya di pulau ini sangat jarang ada orang
tertawa, apalagi tertawa keras bebas begini.
Cu-sin-tocu menyapu pandang sekejap, lalu
membentak ke arah suara tertawa itu, "Siu Yan,
kautertawa apa." ".
Hong Man-thian melompat maju dan berseru,
"Hong adalah she keluargaku tarun te-murun.
Man-thian adalah nama pemberian ayah-bundaku,
seorang lelaki sejati berjalan takkan ganti nama,
duduk tidak perlu tukar she. Namaku ialah Hong
Man-thian, siapa yang bemama Siu Yan" "
Kiranya Siu Yan adalah nama Hong Man-thian
pemberian Cu-sin-tocu, serupa halnya Lamkiong
Peng juga diberinya bemama Ci Cui.
Kawanan kakek yang lain sudah sangat lama
tidak mendengar ucapan orang segagah berani ini,
meski hati mereka sudah beku, tidak urung agak
tergugah juga perasaan mereka sehingga
memperlihatkan sikap terangsang.
Setitik lelatu api yang jatuh ke sekam bisa juga
menimbulkan bara.
Air muka Cu-sin-tocu yang kelam tetap tidak
berubah. katanya pelahan, "Baiklah, apa
yang kautertawakan, Hong Man-thian" "
' "Aku tertawa geli, seb'ab kebanyakan orang
yang berada di pulau ini rata-rata adalah to-koh
yang pemah mengguncangkan dunia per-silatan,
tapi sekarang semuanya telah berubah serupa
mayat hidup dan harus tunduk kepada perintah
seorang gila, seorang makhluk cacat. jika kejadian
ini diceritakan tentu tiada seorang pun mau
percaya, bukankah aneh dan menggelikan" "
Sorot mata Cu-sin-tocu yang tajam menatap
wajah Hong Man-thian, mukanya tambah pu-cat,
tapi tidak segera menanggapi.
Dengan membusuhg dada Hong Man thian
berteriak pula, "Kedatangan kami ke sini
sebenarnya disebabkan sudah bosan kepada
kehidupan dunia ramai dan ingin hidup tenang,
tapi bukan datang untuk diperlakukan sadis
olehmu dan hidup serupa hewan. Ingin kutanya
padamu, berdasarkan apa engkau
memerintah para tokoh, terkemuka dunia
persilatan ini" "
Kawanan kakek yang lain te'ap tidak ber-suara,
namun sikap mereka jelas tambah terangsang,
begitu pula Lamkiong, Peng, hampir saja ia
bersorak memuji.
Gemerdep sinar mata Cu-sin-tocu, katanya
pelahan, "Bagus, kauberani bicara dan tertawa,
tentunya kauyakin akan mampu menghadapi-ku.
Nah, siapa pula yang sehaluan denganmu, boleh
silakan tampil sekalian. "
Lamkiong Peng berdiri di bawah pohon di
samping belakang Cu-sin-tocu sehingga tidak
dapat melihat sinar matanya, hanya dari sua-ranya
memang menimbulkan semacam daya pe-ngaruh
yang sukar dibantah. Dilihatnya kawanan kakek
yang berdiri di depan Sana sama berubah pucat,
tidak ada yang berani tampil ke muka, sebaliknya
kelihatan menyurut mun-dur dengan takut.
"Hm, jadi cuma kau-sendiri aja yang akan
melawanku" " jengek Cu-sin-tocu.
Air muka Hong Man-thian juga berubah,
mendadak ia membalik tubuh dan berseru, "Hm,
kalian takut apa" Memangnya kalian sudah lupa
kepada persetujuan yang telah kita rundingkan
selama ini" "
Kawanan kakek itu berdiri diam saja dengan
menunduk Air muka Hong Man-thian menjadi
pucat juga, pelahan ia berpaling kembali
menghadapi Cu-sin-tocu dengan ta ngan agak
gemetar. "Hm, jadi cuma kausendiri yang bemiat berebut
kedudukan Tocu denganku" Kukira gampang
urusannya ... " mendadak ia mem-beri tanda.
Serentak keiima kakek berbaju belacu wama
kuning melompat maju dan mengepung di
sekeliling Hong Man-thian.
"Bilamana kusuruh mereka menawan diri-mu
mati pun tentu kau penasaran, " kata Cu-sin-tocu.
"Selama ini engkau menjadi salah seorang anggota
pengurus di sini, ilmu silatmu tentu selalu terlatih
baik. Nah, asalkan dapat kaukalahkan diriku,
selanjutnya pulau ini akan menjadi kekuasaanmu.
" Tangan Hong Man-thian yang memegang tongkat
tampak rada gemetar, agaknya dia se-dang
mengerahkan tenaga dan siap menyerang bila ada
kesempatan. Cu-sin-tocu juga menatap lawannya dengan
melotot, keduanya sama tidak bergerak, namun air
muka kedua orang makin lama makin pri-hatin,
para penonton juga tambah tegang.
Lambat laun butiran keringat tampak menghiasi
kening Hong Man-thian, selagi dia hendak
melancarkan serangan, sekonyong-ko-nyong dari
dalam hutan sana ada orang mem -bentak, "Nanti
dulu! " Berbareng itu Lamkiong Peng melompat keluar,
rupanya teringat olehnya herbagai kebaikan Hong
Man thian, ia tidak dapat tinggal diam lagi dan
harus menyatakan sikapnya.
Selagi semua orang melengak, dengan lan-tang
Lamkiong Peng berseru, "Lamkiorg Peng juga
berdiri di pihak Hong-locianpwe! "
Dengan sikap gagah ia berdiri di depan Hong
Man-thian. Sorot mata Cu-sin-tocu memancarkan ca-haya
mengejek, katanya, "Hm. kaupun, bemiat ikut
berebut kedudukanku" "
"Salah, " kata Lamkiong Peng. "Soalnya
pendirianku sepaham dengan Hong-locianpwe,
bilamana aku tidak berani ikut bicara, rasanya
serupa duri di dalam kerongkongan. "
"Hah, bagus, " jengek Cu-sin-tocu. "Anak muda
serupa dirimu juga berani bicara begini.
Apakah kau tidak sayang lagi akan jiwamu" "
Kaupun takkan menyesal atas sikapmu ini" "
"Aku tahu apa yarg kulakukan, kenapa mesti
menyesal, " jawab Lamkiong Peng.
"Bagus! " mendadak terdengar teriakan orang di
kejauhan, sesosok bayangan melayang tiba secepat
terbang dan berhenti di samping Lamkiong Peng.
Siapa dia kalau bukan Put-si-sin-liong Liong Po-si.
"Hm, kaupun datang! " j?"ngek Cu-sin-tocu.
"Betul, tak kausangka bukan" " jawab Liong Posi.
"Hong-heng dan Peng-ji, silakan kalian mundur
dulu, biar kubelajar kenal dengan tokoh misterius
yang disegani ini, ingin kutahu kepandaian apa
yang dikuasainya. "
Habis bicara, ia ambil tongkat Hong Man-thian,
tanpa banyak omong lagi ia mengemplang kepala
Cu-sin-tocu. Tak terduga oleh Cu-sin-tocu orang berani
bergebrak begitu saja dengan dirinya, segera
lengan bajunya mengebut dengan keras, tanpa
kelihatan bergerak seraagan Liong Po-si itu dapat
dipatahkannya. Namun tongkat Liong Po-si terus berputar.
dalam sekejap saja ia menyerang enam-tujuh kali.
"Apa benar cngkau tidak, ingin hidup la-gi" "
bentak Cu-sin-tocu yang terbungkus di te-ngah
bayangan tongkat.
"Betul, coba unjukkan kepandaianmu, bentak
Liong Po-si sambi! tetap menyerang.
"Apakah rencanamu itu sudah kaulupa-kan" "
"Huh, rencana apa" Hanya untuk menipu anak
kecil saja, " seru Liong Po-si dengan tertawa.
Cu-sin-tocu menjadi gusar, mendadak se-belah
tangannya meraih, kontan ujung tongkat
terpegang, tangan yang lain terus menghantam
dada lawan. Semua orang menjerit kaget, "krek ", tong-kat
patah menjadi tiga bagian, bagian tengah yang
patah mencelat dan menancap di batang pohon.
Dengan tongkat patah Liong Po-si tetap
menyabat ke depan, namun dadanya tepat ke-na
dihantam oleh Cu sin-tocu sehingga jatuh
terjengkang. namun pundak Cu-sin-tocu juga
terluka o!eh tusukan tongkat patah Liong Po-si.
Para penonton sama terkesiap, Lamkiong Peng
memburu maju sambil berseru "Suhu .... "
Akan tetapi Liong Po-si lantas melompat bangun
dan membentak, "Minggir! "
Cepat ia memburu ke depan dipan batu, kedua
potong tongkat patah digunakan sebagai Boankoan-
pit, sekaligus ia menutuk beberapa hiat-to
maut di dada lawan.
Terkejut juga Cu-sin-tocu oleh serangan kalap
Liong Po-si, kedua tangannya bekerja cepat,
menangkis dan balas menyerang dengan sodokan
kuat, bentaknya, "Kembali! "
"Tidak! " Liong Po-si bertahan, tongkat patah
berputar dan kembali ia menutuk lagi dua-tiga
kali. Karena bersuara, segera darah segar ter-pancur
dari mulutnya. Rupanya hantaman Gu-sin-tocu
yang mengenai dadanya tadi mem-buatnya terluka
dalam. Kuatir juga Lamkiong Peng, dilihatnya sang guru
tetap tidak gentar dan masih menyerang dengan
kalap. Darah yang ditumpahkan Liong Po-si agaknya
merangsang lagi semangat kawanan kekek, segera
dua-tiga kelompok merubung maju, hanya para
kakek penghuni gua itu te-tap berdiri di samping
tanpa menghiraukan. "Awas, Suhu, " desis
Lamkiong Peng kepada gurunya. "Tocu ini
bertempur dengan duduk sejak tadi, jika dia berdiri
. . . . " "Sudah lama orang ini mengalami kelumpuhan
akibat latihan Iwekang, kedua kakinya
cacat, tidak dapat berdiri lagi, " ujar Hong
Man-thian. Mendadak terdengar lagi suara "plak-plok ",
kembali Liong Po-si tergetar jatuh oleh adu
pukulan, tubuh Cu-sin-tocu juga tergoyang.
Kiranya kedua orang sama-sama terkena
pukulan Iawan. "He, Suhu, bagaimana keadaanmu" " seru
Lamkiong Peng kuatir sambil memburu maju.


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boleh kaulihat mereka, " ujar Liong Po-si
dengan tersenyum pedih dan muka kelihatan
pucat. Waktu Lamkiong Peng berpaling ke sana, terlihat
kawanan kakek berbaju belacu lama terbangkit
semangat perlawanannya, serentak Cu-sin-tocu
terkepung di tengah.
Cu-sin-tocu duduk diam saja dengan muka
pucat. sejenak kemudian mendadak ia pun tumpah
darah. "Huh, kaupun terluka parah, " jengek Hong
Man-thian. "Apa yang akan kaukatakan lagi" "
''Ya, aku terluka parah, apa yang dapat
kukatakan lagi. terpaksa kuserahkan tempatku ini.
" ujar Cu-sin-tocu. "Bukan cuma kedudukan saja
yang kuserahkan, juga jiwaku kuserah-kan. Cuma
kuharap aku diberi kessmpatan untuk
membereskan segala sesuatu sebelum ajalku. "
Para kakek menjadi ragu, selagi Hong Man-thian
hendak bicara, tiba-tiba Liong Po-si ber-kata,
"Biarkan dia pergi."
Lalu Cu-sin-tocu berpaling ke arah ke-lima
kakek anggota pengurus yang berbaju belacu
wama kuning, tanyanya, "Dan bagaimana dengan
kalian" "
Para kakek anggota pengurus saling pandang
sekejap, tanpa bersuara mereka menying-kir jauh
ke sana. "Bagus, kalian juga meninggalkan diriku, " ucap
Cu-sin-tocu dengan tersenyum pedih.
Mendadak terdengar suara meraung, me-nyusul
ada orang menjerit.
Kiranya kelima manusia binatang itu se-rentak
menerjang tiba, seorang kakek yang lengah telah
dipegang mereka dan terbeset men-tah-mentah
menjadi dua sehingga darah daging bereeceran.
Kakek yang lain menjadi murka. serentak
mereka melancarkan serangan balasan, segera
terdengar dua kali jeritan ngeri, dua manusia kera
itu terlempar dan terbanting binasa.
"Berhenti! " cepat Cu-sin-tocu membentak.
Waktu kawanan kakek itu tersentak kaget, Cusin-
tocu lantas memberi tanda pada ketiga
manusia kera itu, bentaknya pula, "Bawa ku
pulang! " Cepat ketiga manusia kera mengangkat dipan
batu dan dibawa ke gua.
Cu-sin-tocu sempat menoleh dan berkata,
"Segera akan kuberi kabar pada waktu mata-hari
terbenam nanti! "
' "Memangnya kami kuatir tak ada kabar-mu" "
jengek Hong Man-thian.
Cu-sin- tocu mendengus, mendadak ia me-lirik
ke arah Lamkiong Peng seperti hendak bi-cara tapi
urung dan terus dibawa pergi.
Sementara itu air muka Liong Po-si tam-bah
pucat, napas pun mulai lemah.
Melihat keadaan sang guru yang gavvat itu,
Lamkiong Peng sangat sedih, mendadak ia
berbangkit dan berteriak kepada para kakek,
"Kalian dahulu adalah kaum ksatria pujaan,
kenapa sekarang sama berubah menjadi pengecut"
Bilamana tadi kalian ikut bertindak,
tentu guruku takkkan mengalami cedera seperti
ini. " Semua orang sama berdiri termangu, sorot mata
mereka tampak buram lagi.
"Wahai Suhu, jika merasa bukan tanding-an
lawan, untuk apa . . . , "
Belum lanjut keluhan Lamkioeg Peng, pelahan
Liong Po-si membuka mata, katanya deugan
tersenyum pedih, "Peng-ji, duduk saja, dengarkan
suatu ceritaku. "
Seketika semua orang sama diam dan ikut
mendengarkan apa yarng akan diceritakan orang
tua itu. Dengan pelahan Liong Po-si bertutur, 'Di suatu
hutan jaman purba suasana tenang dan damai.
Siapa tahu mendadak datang seckor bi-natang
buas, setiap hari pasti seekor binatang kecil akan
dimakannya, Tentu saja kawanan binatang lain
sama panik, tapi tidak ada yang mampu melawan
dan terpaksa mereka hidup terinjak-injak di bawah
keganasan binatang buas itu.
"Saking tak tahan, akhirnya kawanan binatang
itu berkumpul dan mencari akal cara bagaimana
merobohkan binatang buas itu. Na-mun semuanya
tak berdaya, hanya seckor ke-linci saja
menyatakan mempunyai akal yang mampu
membunuh binatang buas itu.
"Tentu saja kawanan binatang lain sama sangsi.
Tapi kelinci itu juga tidak omong, ia pulang ke
rumah, lalu melumuri diri sendiri dengan air racun
yang paling keras, kemudian ia datang ke tempat
binatang buas itu dan serahkan diri untuk
dimakan. "Akhirnya kelinci itu dimakan binatang buas itu,
tentu saja dia mati keracunan. Maka suasana
hutan itu pun kembali tentram dan damai. Namun
hati kawanan binatang lain sama sedih bagi
pengorbanan si kelinci. Coba katakan pengorbanan
kelinci itu berharga atau tidak" "
Habis bereerita. keadaan sunyi senyap, tiada
seorang pun bersuara, Lamkiong Peng pun
menunduk dan mencucurkan air mata terharu.
Put-si-sin-liong Liong Po-si tersenyum, lalu
menyambung ceritanya, "Tadi telah kuperiksa
sekeliling pulau ini, ternyata tidak ada harapan
bagi kita untuk kabur dan sini, maka tim-bul
niatku meniru pengorbanan si kelinci untuk
menyelamatkan orang banyak.
"Serangan Tocu tadi sebenarnya cuma tipu
pancingan saja, ia yakin aku pasti mampu
menghindar, tak tersangka aku justru tidak
mengelak dan tidak menghindar, tapi pada detik
menentukan yang cuma sekilas itu kulancarkan
serangan maut dan melukainya.
Meski aku pun terluka, namun pengorbanan ini
rasanya cukup berharga. "
"Liong-taihiap, sungguh aku . . . . " ter-sendat
ucapan Hong Man-thian sehingga tidak sanggup
melanjutkan, ia coba periksa keadaan luka Liong
Po-si, kawanan kakek yang lain juga memberikan
obat luka. Meski Liong Po-si menyadari lukanya
sukar disembuhkan, namun ia pun tidak menolak
pemberian obat ltu.
Sementara itu sang surya sudah bergeser ke
barat, senja sudah tiba.
Tertampak seorang manusia kera berlari datang
dengan membawa sehelai surat.
Cepat Hong Man-thian menerimanya, dengan
kening bekernyit ia membaca dengan suara
lantang, "Sudah kuputuskan akan mengundurkan
diri, bila di antara kalian ada yang ingin menjadi
Tocu, silakan ikut kemari bersama utusan ini
untuk berunding lebih lanjut tentang penggantiku.
" Selesai Hong Man-thian membacakan surat
ringkas ini, serentak kawanan kakek itu sama
gempar. Kelihatan kelima kakek berbaju belacu
juga sibuk membicarakan hal ini.
Mendadak Hong Man-thian berteriak, "Bu-kan
tujuan kita untuk menjadi Tocu segala, tapi barang
siapa yang terpilih hendaknya ja-ngan lupa pada
pengorbanan Liong-taihiap ini, kalau tidak, harus
dia hadapi aku lebih dulu. " "Kausendiri perlu ke
sana . . . . "
"Jangan kaupikirkan urusan ini,' " sela Horg
Man-thian. "Yang penting harus kita usahakan
meninggalkan pulau ini. "
Sementara itu si manusia kera sudah mendahului
melangkah pergi dan diikuti serom-bongan
kakek. Cuaca mulai gelap belum lagi mereka tiba di
tempat tujuan, sekonyong konyong terdengar suara
gemuruh bergema dari gua rahasia, suaranya
menggelegar dan dalam sekejap suasana lantas
sunyi kembali. "Celaka! " teriak Liong Po-si, kawanan ka-kek
juga sama melengak.
Ada urusan apa" " tanya Lamkiong Peng.
Tapi Hong Man-thian terus berlari ke sana
bersama kawanan kakek.
"Peng-ji, coba kaupun melihat ke sana, apa yang
terjadi sesungguhnya, " kata Liong Po-si.
Lamkiong Peng mengiakan sambil berlari pergi
secepat terbang, ginkangnya sekarang sudah
berlipat lebih tinggi daripada dulu, hanya sekeJap
saja ia sudah sampai di depan tebing yang curam
itu, tertampak pintu gua rahasia itu tertutup rapat.
Hong Man-thian dan kawanan kekek berdiri di situ
dengan tertegun.
"Apa yang terjadi" " tanya Lamkiong Peng
dengan bingung.
"Wah, kenapa kulupakan langkah ini, " ucap
Hong Man-thian sambil mengentak kaki. "Sungguh
tak tersangka keparat ini sedemikian keji . . . . "
Melihat orang tua itu juga bisa gelisah,
Lamkiong Peng coba tanya pula apa yang terjadi"
Hong Man-thian menghela napas, tuturnya,
"Gua ini sebenarnya tempat yang biasa digunakan
untuk bersembunyi orang yang lari dari dataran
sana, lubang masuk keluar gua di-bangun serupa
makam kuno dengan batu pe-nutup yang bisa
anjlok sendiri. Sekarang Tocu itu sudah
melepaskan batu penutup sehingga jalan keluar
sudah tersumbat buntu, kawan yang berada di
dalam gua jelas akan terkubur hidup-hidup
bersama dia. Memang sudah ku -duga orang itu
pasti akan bertindak secara drastis, tak tersangka
dia dapat berlaku sekejam ini, kematian sendiri
harus disertai teman ku-bur sebanyak ini. "
Lamkiong Peng merasa ngeri, "Apakah ti-dak ada
jalan untuk menyelamatkan mereka" "
"Sekali batu penyumbat tudah dilepaskan,
biarpun malaikat dewata juga sukar masuk- '
keluar, bukan saja mereka akan tamat seluruhnya,
bahkan keadaan kita juga .... juga menguatirkan,
" tutur Hong Man-thian sambil
menggeleng. "Kenapa jadi begitu" " tanya Lamkiong Peng
cepat. "Kautahu, semua perbekalan yang tersedia di
pulau ini tersimpan di dalam gua, pulau ini tidak
menghasilkan tetumbuhan yang da-pat dimakan,
binatang juga sangat sedikit. Ai, selanjutnya
mungkin kita harus isi perut dengan akar rumput
atau kulit pohon. "
Perasaan semua orang jadi tertekan, semua
merasa sedih. "Jika pulau ini tidak dapat didiami lagi, lebih
baik kita berdaya pulang ke daratan se-lekasnya, "
ujar Lamkiong Peng.
"Omong sih gampang, tapi prakteknya ma-ha
sukar, " ujar Hong Man-thian.
"Lautan seluas ini, andaikan kita dapat
membuat perahu kecil atau rakit juga takkan
tahan damparan gelombang ombak yang dah-,yat. "
"Bukankah tempo hari Cianpwe juga mengarungi
samudra jauh dari daratan sana, masa. sekarang
... . " "Sekarang musimnya berbeda, " ujar Hong Manthian.
"Mestinya di pulau ini ada belasan
kapal yang terbuat dari kayu besi yang kuat
dan tahan damparan ombak, sebab itulah
biasanya kami gunakan kapal itu pada waktu
tertentu untuk pergi dan pulang dari sini ke
daratan sana. Kini kapal itu tersisa tiga buah saja,
tapi sisa ketiga kapal itu juga berada di dalam gua.
" Belum lagi mereka merasakan hasil kemenangan
segera mereka diliputi kesedihan lagi akan nasib
mereka selanjutnya.j
Selama beberapa hari Iuka Liong Po-si sudah
ada kemajuan. namun tetap parah. Tenaga
pukulan Tocu itu sungguh hebat, kalau
bukan Liong Po-si pasti sudah binasa.
Untung juga di tengah pulau ada sumber air
tawar yang dapat diminum mereka, namun hidup
mereka serupa orang yang terkurung di gurun
pasir. Bilamana Liang Po-si tidur, Lamkiong Peng
lantas berbicara dengan kawanan kakek itu,
mengenai llmu silat. Padanya sudah apal ber-bagai
macam kungfu sakti yang dibacanya dari kitabkitab
pusaka itu, sekarang ditambah lagi petunjuk
kawanan kakek yang berpeng-alaman luas, tentu
?aja kemajuannya sa-ngat mengejutkan.
Tapi bila teringat olehnya hidupnya akan
berakhir di pulau terpencil ini dalam waktu tidak


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama lagi, biarpun kungfunya maha sakti juga
tidak ada gunanya. Bila teringat demi-kian, segera
hatinya berduka juga.
Selang beberapa hari lagi, hawa bertambah
panas. Lamkiong Peng menjaga di samping Liong
Po-si dan mengipasnya dengan kipas daun antuk
mengusir nyamuk dan lalat.
"Bikin susah padamu saja, anak Peng, " ucap
Liong Po-si dengan pedih.
"Ah, yang susah kan Suhu, " kata anak mu-da
itu. "Suhu, sungguh murid tidak mengerti mengapa
dari. puncak Hoa-san engkau bisa da-tang ke sini"
" Liong Po-si menghela napas, "Kalau di-teritakan
sungguh sangat panjang. Hari itu, di puncak Hoasan
kulihat Yap Jiu-pek ter-nyata belum mati,
tentu saja aku kaget dan juga girang. Sepanjang
jalan dia telah mem-permainkan diriku dengan
berbagai cara, dan karena tidak mau menyerah
kalah, aku terus menerjang ke atas. Tapi sesudah
melihat ke-adaannya yang mengharukan, rasa
dongkolku lantas lenyap. "
Diam-diam Lamkiong Peng merasa sang guru
yang gagah perkasa itu ternyata juga ber-hati
Icmah terhadap orang perempuan. Segera teringat
olehnya akan diri Bwe Kim-soat .... Didengarnya
Liong Po-si menyambung lagi, "Sesaat itu aku
berdiri tertegun di depannya dan tidak tahu apa
yang harus kukatakan, waktu . . . . "
Belum lanjut ceritanya, mendadak di ke" jauhan
terdengar suara ribut dan jeritan di sana sini.
"Ada apa" " tanya Liong Po-si.
"Akan kuperiksa ke sana, " kata Lamkiong Peng
sambil menyelinap keluar dari gubuk itu.
Dilihatnya bayangan orang berkelebat di da lam
hutan sana kian. kemari dengan cepat, terdenger
pula suara Hong Man-thian lagi ber-kata. "Coba
periksa sekeliling, kujaga di sini! " Cepat Lamkiong
Peng memburu ke sana, setiba di tepi sebuah
lungai kecil, tertampak menggeletak empat sosok
mayat, wajah Hong Man-thian tampak kelam,
tongkat kayu yang dipegangnya berulang
mengentak tanah.
"Ken . . . kenapa mereka mati" Masa. . . . " "Coba
lihat, " ucap Hong Man-thian.
Waktu Lamkiong Peng mengamati, dilihat-nya
tubuh keempat mayat itu telah berubah menjadi
hitam serupa daging busuk, baunya bacin. Padahal
tidak terlihat tanda terluka, namun air muka
korban kelihatan berkerut serupa orang yang
menderita keracunan.
Jangan-jangan ada racun dalam air" " sela
Lamkiong Peng. Belum lagi Hong Man-thian menjawah, seorang
kakek berlari datang dengan membawa sebuah
mangkuk perak, waktu air sungai diceduk,
mangkuk perak segera berubah hitam wamanya.
"Hah, benar air beracun, " seru Lamkiong Peng
kaget. Seketika Hong Man-thian tak bisa bicara, jika
satu-satunya sumber air di pulau ini juga beracun.
maka nasib mereka selanjutnya sukar
dibayangkan. Selagi semua orang tak berdaya, mendadak
Lamkiong Peng berseru, "Tidak menjadi soal, air
sungai ini terus mengalir, umpama di hulu
sungai diracuni, suatu ketika air yang beracun
juga akan habis teralir, asal kita berjaga di bagian
hulu, tentu takkan sampai mati ke-hausan, "
"Hah, betul, lekas ke sana, " seru Hong Marithian.
Sementara itu beberapa kakek sudah memeriksa
ke sekeliling situ dan telah kembali dengan tangan
hampa, dua di antaranya lantas lari ke hulu sungai
untuk berjaga. "Untung sumber air ini terus mengalir, namun
urusan ini belum lagi selesai, sebelum orang yang
menaruh racun ditemukan, selama itu kita tetap
akan terganggu, " ujar Hong Man-thian.
Semua orang saling pandang dan tidak da pat
menerka siapa yang menaruh racun da-lam air.
Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana,
mendadak ia berteriak kaget, "He, lihat" "
Semua orang memandang ke arah yang ditanjuk,
ternyata asap tebal mengepul di tengah
hutan sana, di tengah asap terbawa lelatu api,
ketika tertiup angin, segera api berkobar ter-lebih
bahaya. "Wah, hutan terbakar, " seru Hong Man-thian
kuatir. Serentak mereka memburu ke sana, Hanya
sekejap saja mereka sudah sampai di depan hutan,
namun begitu sukar lagi mendekat karena api yang
menjilat dengan hebatnya.
Angin pun meniup dengan santar sehingga
makin menambah berkobarnya api, hanya se-kejap
saja hutan itu sudah berubah menjadi lautan api.
Padahal di dalam hutan ada te-tumbuhan yang
merupakan sumber hidup mereka, sekarang sudah
hangus semuanya.
Selagi mereka melenggong tak berdaya,
mendadak dari tengah hutan yang terbakar itu
melompat keluar dua sosok bayangan, kiranya
kedua kakek yang disuruh memeriksa sekeliling
sana, baju mereka sudah terjilat api, rambut dan
jenggot juga terbakar.
Segera mereka menjatuhkan diri dan
menggelinding di tanah untuk memadamkan api,
begitu melompat bangun lagi seorang lantai menuding
ke tengah hutan sambil berseru, "Dia... . "
tapi baru bersuara ia lantas roboh lagi.
"Siapa maksudmu" " Lamkiong Peng mendekatinya
dan bertanya. Dilihatnya kulit badannya sama melepuh
terbakar, nyata lukanya sangat parah, berkat
lweckangnya yang tinggi ia bertahan dan menerjang
keluar hutan, namun akhirnya tetap mati
karena lukanya.
Waktu Lamkiong Peng berpaling, dilihat-nya
kakek yang satu lagi juga sudah meng-geletak tak
berkutik. "Siapa . . . siapa maksudnya" " gumam Hong
Man-thian dengan beringas. Mendadak ia
menambahkan, "Lekas kembali ke sana, ja-ngan
sampai tempat tinggal di tana juga dt-bakar
musuh! " Belum habis ucapannya, serentak mereka lari
kembali ke tempat tadi.
Sesudah dekat dan melihat gubuk itu tidak
beralangan barulah hati mereka merasa tentram.
"Suhu . . . Suhu ... " dari jauh Lamkiong Peng
lantas berteriak, lamat-lamat ia merasa firarat
tidak enak. Benar juga, setiba di depan gabuk, waktu ia
melongok ke dalam, seketika air mukanya pucat, ia
sempoyongan dan jatuh terduduk sambil berteriak,
"Oo, Suhu . . . Suhu . . . . "
Ternyata Liong Po-si sudah tidak terlihat lagi di
situ entah menghilang ke mana.
Tentu saja Hong Man-thian dan Iain-lain juga
kaget, dalam pada itu suara pletak-pletok api yang
menyala terdengar semakin dahsyat.
"Liong-taihiap hilang, kita wajib mencari-nya,
hendaknya sebagian berjaga di sini dain sebagian
ikut padaku . . . . "
Belum lagi selesai ucapan Hong Man-thian tibatiba
seorang menjengek, "Hm, kau ini kutu apa" "
Lima orang kakek berjenggot panjang de-ngan
rambut semrawut muncul dari sana, se-rang lantas
bicara pula, "Suasana pulau ini mestinya aman
dan damai, tapi sejak kau-pulang dari daratan,
keadaan lantas kacau. Se-harusnya kau mati saja
untuk menebus dosamu tapi kau malah main
perintah di sini. "
"Huh. apakah kalian rela diperintah oleh orang
gila itu" " teriak Hong Man-thian.
"Tapi apa pula yang kaudapatkan se karangJelas
kalian pun akan mafi kelaparan dan kehausan
tanpa berdaya, " jengek kakek jenggot panjang itu
sembari mendekat.
"Lantas apa kehendakmu" " bentak Hong Manthian.
"Membunuhmu! " teriak si kakek terus
menghantam. "Hm, manusia tidak tahu diri, rela di-perbudak
orang, tahu begini rendah jiwa kalian, buat apa
kususah payah berjuang" " kata Man-thian sambil
putar tongkatnya, sekaligus ia ba-las menyerang
beberapa kali. Akan tetapi keempat kakek lain tidak tinggal
diam, serentak mereka pun menerjang maju.
Betapapun tangguh Hong Man-thian juga rada
kerepotan menghadapi kerubutan keempat kakek.
Salagi orang lain tiap-tiap hendak memberi
bantuan, mendadak ada orang berteriak pula,
"Berhenti, berhenti! "
Tiga orang kakek berambut putih mem-bawa tiga
sosok mayat berlari datang.
Kakek yang paling depan segera berteriak, '
"Baru saja ada tiga orang kawan disergap di
semak-semak sana. semuanya mati dengan tu-buh
biru, jelas juga mati keracunan.
Keadaan pulau ini penuh bahaya, dalam
keadaan demi-kian kita justru harus bersatu padu
untuk menghadapi kesukaran bergema, jika saling
membunuh, akibatnya cuma akan merugikan kita
sendiri. "
Uraian ini agaknya telah menggugah hati nurani
semua orang, seketika pertempuran berhenti.
"Betul, " seru Hong Man-thian. "Kita harus
mencari dulu biang keladi yang menyalakan api
dan meracuni air minum itu, selanjutnya bahkan
harus bersatu untuk berusaha mencari hidup
bersana, kuyakin akliirnya kita pasti da-pat
selamat. "
Sekarang tiada lagi yang membantah, semuanya
menurut pendapat Hong Man-thian
Itu, yang sebagian tinggal di sini untuk berjaga,
yang lain lantas terpencar untuk menyelidiki jejak
musuh dan juga mencari Liong Po-si.
Ombak mendampar menimbulkan suara
mendebur, angin mendesir scakan-akan me-nyayat
daun telinga, Lamkiong Peng berjalan menyusuri
pantai, tampak rumah hitam berdiri megah di
depan sana. rumah yang entah telah mengubur
banyak pahlawan dunia
Terpikir olehnya musuh yang tak kelihatan ini,
ia mencari tanpa arah tertentu, padahal sejauh
mata memandang pantai kelihatan rata tiada
seorang pun. Tiba-tiba terlihat olehnya sebuah sepatu
anysman rumput tertinggal di sela-sela batu Sana,
ujung sepatu menghadap ke timur dan kelihatan
ada tetesan darah.
Tergerak hati Lamkiong Peng, "Apakah inilah
barang tinggalan Suhu" "
Segera ia menoleh ke arah yang ditunjuk oleh
ujung sepatu. Tidak jauh, benar juga ditemukan sebelah
sepatu lagi, kini ujung sepatu mengarah miring ke
barat laut. Tanpa pikir Lamkiong Peng mengikuti pe-tunjuk
itu, dihhatnya tebing karang malang melintang di
tepi laut, dinding tebing terjal sekali, di bawahnya
adalah air laut yang men-debur debar.
Diam-diam ia mengukur dan menaksir, da-pat
dihitung tebing karang ini seperti bagian atas gua
yang sudah tertutup buntu itu.
la coba menyelidiki lagi sekitar situ, tebing itu
memang sangat rapat dan tiada jalan tembus.
Matahari sudah terbenam, sisa cahaya senja
menyinari permukaan laut dan memantulkan
pemandangan yang indah. Sudah tentu Lamkiong
Peng tidak ada minat untuk menikmati
pemandangan itu.
Dengan kesal ia duduk di atas batu karang tibatiba
terdengar suara bicara orang yang pelahan
sayup-sayup berkumandang dari bawah dinding
tebing sana, lamat-lamat dapat di-kenali sebagai
suara Cu-sin-tocu itu, dia seperti lagi berkata, "
Kenapa Liong Po-si bertelanjang laki, ke mana
pergi sepatunya. "
Sejenak kemudian dan balik dinding tebing sana
menongol kepala Cu-sin-tocu yang berdahi lebar
dengan rambut semrawut itu.
Lamkiong Peng tidak berani bergerak dan
mendekam di tempatnya, dilihatnya Cu-sin-tocu
digendong oleh seorang manusia kera, dengan
langkah cepat sebentar saja sudah me-nyusup
masuk ke sela sela karang sana.
Tanpa pikir Lamkiong Peng merunduk ke depan,
dergan ginkangnya sekarang tidak sulit baginya


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menguntit musuh. Ketika ia melayang turun
ke sana, ternyata di bawah ha-nya air laut belaka
dan tiada tempat untuk berpijak.
Ia heran, ke mana menghilangnya Cu-sin-tocu
dengan manusia kera tadi.
Waktu ia periksa lagi, di lihatnya ada tali rotan
yang melambai-lambai tertiup angin di dinding
tebing. Ia pikir mungkin tali ini digunakan untuk merambat
naik-turun. Segera ia pegang tali rotan itu dan me-lorot ke
bawah, benar juga, hanya satu-dua tombak
melorot, dilihatnya sebuah celah-celah batu, segera
ia menyelinap ke situ. Mulut celah batu itu hanya
dapat dimasuki dengan me -miringkan tubuh, lalu
merangkak ke depan.
Beberapa tombak ke dalam, tiba tiba lorong itu
melebar, di depan adalah sebuah gua dengan
beraneka macam tonjolan batu. Akan tetapi tiada
kelihatan bayangan seorang pun.
Ia coba maju lagi dan menurun ke bawah, tibatiba
dilihatnya di depan seperti ditutup oleh
dinding kayu Waktu ia tertegun, tiba-tiba terdengar suara
"krek ", dari samping sana melompat ke-luar dua
sosok bayangan, ternyata dua manusia kera, tan
pa bicara mereka terus menerjang Lamkiong Peng.
Anak muda itu membentak, kedua tangan
menghantam sekaligus, sebelum lawan men-dekat
sudah lebih dulu tergenjot hingga men-celat, ' bluk
", menumbuk dinding batu dan tumpah darah, lalu
roboh binasa. Setelah menarik napas, ia coba memandang
lebih cermat, baru sekarang dilihat jelas dinding
kayu itu ternyata dinding sebuah perahu yang
berdiri tegak, segera teringat olehnya akan cerita
Hong Man-thian tentang perahu buatan dari kayu
besi itu, tentu inilah perahu yang dimaksud.
Cepat ia memutar kesana, maju lagi adalah
sebuah kamar batu yang penuh tertimbun
perbekalan dan guci air. Di pojok sana ada sebuah
dipan batu dan seorang terbujur di situ, dadanya
kelihatan berjumbul naik-turun, agaknya sedang
tidur dengan nyenyak, waktu ditegasi, ternyata
Put-si-sin-liong Liong Po-si adanya.
Tentu saja Lamkiong Peng kegirangan, se-runya,
"Suhu . . . . "
Tapi baru dia bersuara. mendadak teorang
menjengek di belakang, "Hm, kaupun datang,
bagus sekali! "
Tergetar hati Lamkiong Peng, cepat ia berpaling,
ternyata Cu-sin-tocu dengan me-megang dua
tongkat bambu dan digendong manusia kera tadi
tahu-tahu sudah muncul di situ.
Lamkiong Peng tahu akibat terlalu lama
menghuni pulau terpencil ini, jalan pikiran orang
tua ini sudah rada kurang waras, apa-lagi
sekarang setelah kehilangan wibawa, tentu saja
sifat gilanya meledak dan ingin memusnakan
setiap orang yang dianggapnya me-musuhi dia.
"Semua perbuatan keji itu tentu dilakukan
olehmu bukan" " tanya Lamkiong Peng dengan
gusar. Cu-sin-tocu terbahak, "Kecuali diriku masa ada
orang lain. Pendek kata, yang tunduk pada ? ku
akan hidup, yang membangkang harus mati. Jika
mereka sudah mengkhianati aku, harus
kubinasakan mereka sama sekali. "
Suara tertawanya yang serupa orang gila, ketika
bicara juga beringas, ngeri juga Lamkiong Peng
melihat orang tua yang sudah ka-lap ini. Pelahan
ia mrnyurut mundur ke di-pan batu, tapi manusia
kera itu pun mendesak maju.
Mendadak Lamkiong Peng bergerak hendak
menyerang, seketika manusia kera itu berbalik
menyurut mundur.
"Kaupun berani bergebrak denganku" " bentak
Cu-sin-tocu. "Tidak cuma bergebrak gaja, bahkan ingin
kutumpas dirimu, " teriak Lamkiong Peng terus
melancarkan pukulan berantai.
Namun Cu-sin-tocu lantas putar tongkat-nya
sehingga serangan Lamkioag Peng ter-tahan.
Dengan penuh semangat Lamkiong Peng
melancarkan serangan lagi dengan berbagai jurus,
di antaranya terseling kungfu yang baru
diselaminya dari berbagai kitab pusaka yang baru
dibacanya dipulau ini.
"Haha, anak keluarga Lamkiong memang serba
pintar, " seru Cu-sin-tocu dengan tertawa. ' Meski
cuma beberapa jilid buku yang kuberi kaubaca,
namun hasil yang kautarik ternyata tidak
mengecewakan. "
Sambari bicara terus berputar dan mematahkan
setiap pukulan Lamkiong Peng.
Perawakan manusia kera itu memang tinggi
besar. Cu-sin-tocu mendekap di atas punggungnya
sehingga kedudukannya. lebih tinggi dan lebih
menguntungkan, lambat-laun serangan I.amkiong
Peng semakin berat.
Tiba-tiba timbul pikirannya, ia tidak lagi
menyerang Cu-sin-toca melainkan hanya mencecar
manusia kera itu.
Karenaa kedua tangan harus digunakan un-tuk
mendukung Cu-sin-tocu yang digendongnya di
punggung dengan sendirinya manusia kera itu
tidak sanggup menangkis, ia hanya meng-gerung
murka dan tidak dapat balas menyerang, setelah
berapa kali menghindar, tahu tahu dia sudah
menyurut mundur sampai di luar gua.
Segera serangan Lamkiong Peng tambah gencar,
suatu kali ia yakin pasti dapat meroboh-kan
musuh, siapa tahu bayangan tongkat men-dadak
menyambar tiba sehingga terpaksa ia melompat
mundur malah. "Sudah belasan jurus kauserang, sekarang
giliranku, " seru Gu-sin-tocu, sekarang dia
menyerang dengan cerdik sambi! melindungi
manusia kera yang digendongnya.
Karena lawan lebih tinggi, sukar bagi Lamkiong
Peng untuk balas menyerang, kembali ia terdesak
mundur hingga mepet dinding.
Mendadak tongkat menyambar tiba, cepat
Lamkiong Peng menggeser ke samping, "brak
",tongkat mengenai dinding dan batu kerikil
munerat. Untuk mundur lagi sudah tidak mungkin, tibatiba
Lamkiong Peng melihat mayat
mannsia kera yang mati tadi menggeletak disampingnya,
cepat ia meraihnya terus dilemparkan
ke arah musuh. Darah mayat manusia itu belum kering sehingga
berhamburan mengenai kepala dan muka manusia
kera yang menggendong Cu-sin-tocu.
Bau anyir darah merangsang kebuasannya,
mendakak ia meraung, bangkai kawannya ditangkap
terus dirobek, bahkan isi perut terus
dilahapnya. Dalam keadaan begitu Cu-sin-tocu jadi tidak
terpegang lagi dan terperosot ke bawah, cepat
sebelah tongktanya menahan di tanah, tongkat
yang lain menutuk manusia kera yang buas itu
hingga roboh. Berbareng itu iapun terkulai di
tanah. Tentu saja Lamkiong Peng tidak tinggal diam,
serentak ia menubruk maju. Terpaksa Cu-sin-tocu
menggunakan tongkat untuk me-nolak tanah
sehingga tubuhnya melayang ke sana, masuk ke
kamar batu. Lamkiong Peng berteriak kaget dan cepat
memburu, dilihatnya Cu-sin-tocu sudah hinggap di
atas dipan batu, "Hm, apakah kauminta
kumampuskan gurumu" "
Seketika Lamkiong Pang tidak bisa ber-kutik dan
tidak berani melangkah maju lagi.
"Sudah kututuk hiat-to tidurnya, cukup
tongkatku kutekan ke bawah dan jiwanya se-gera
melayang, tapi bila kaumau . . . . "
"Mau apa" " teriak Lamkiong Peng.
"Asal kaumau bekerja menurut perintahku,
tentu beres urusan ini. "
"Sungguh tak tersangka orang terhormat
semacam dirimu juga dapat bertindak serendah
ini, " damperat Lamkiong Peng.
"Haha, tidak perlu kaugunakan kata-kata kasar
untuk memancingku, " seru Cu-sin-tocu.
"Pokoknya, jika engkau tidak mau menurut, maka
jiwa gurumu berarti akan amblas di tanganmu. "
"Apa kehendakmu" " Janya Lamkiong Pens"
"Anak buah yang melayaniku sudah kau-bunuh
semua, " ucap Cu-sin-tocu. "Maka se-bagai
gantinya harus kaukerjakan semua tugas mereka.
Nah, kuberi waktu satu jam bagimu untuk
menggusur perahu ini ke mulut gua. lalu
mengusung semua perbekalan ini dan dimuat ke
atas perahu. Jika melampaui batas waktu atau
sengaja main gila padaku, hm, tentu kau-tahu
sendiri akibatnya. "
"Maksudmu hendak meninggalkan pulau ini" "
tanya Lamkiong Peng terkejut.
"Betul, pulau ini sudah terbakar ludes, hilanglah
segala rencanaku yang telah kuatur selama ini,
untuk apa pula kutinggal lagi di sini dan hidup
serupa orang hutan" " kata Cu-sin-tocu dengan
tertawa. "Meski orang-orang itu belum mati
seluruhnya, tapi biarkan mereka tinggal di sini dan
apa yang akan mereka alami pun sudah cukup
setimpal bagi mereka. "
Kejut dan gusar Lamking Peng, seketika ia tidak
sanggup bersuara.
"Tapi jangan kaukuatir, " kata Cu-sin-tocu pula.
"Kalian berdua guru dan murid bukan saja akan
kubawa serta, bisa jadi akan ku wariskan pula
ilmu pertabibanku yang telah kupelajari selama
berpuluh tahun ini. Coba kaubayangkan, bilamana
dapat kaukuasai ilmu mujijat, dapat kautentukan
mati-hidup orang dapat kaupindah dan sambung
anggota badan orang, bagaimana perasaanmu
nanti" "
Namun Lamkiong Peng tetap tidak ber gerak,
jawabnya, "Tidak perlu . . ..'"
"Lekas kerjakan! " bentak Cu-tin-tocu men
dadak sambil mengangkat tongkatnya.
Diam-diam Lamkiong Peng merasa me-nyesal,
sebenarnya dia rela menerima risiko apa pun, tapi
dia juga tidak ingin keselamatan sang guru
terancam, terpakia ia kerjakan apa yang diminta
orang. Ukuran perahu itu cukup besar, bahkan sangat
berat, dengan sepenuh tenaga barulah Lamkiong
Peng dapat mengangkut semua ba-rang ke mulut
gua, di luar gua adalah lautan, rupanya di sini
adalah sebuah kanal sempit yang menembus ke
laut. Setelah segala sesuatu sudah selesai dikerjakan,
tentu saja ia mandi keringat dan letih.
"Boleh juga, sekarang boleh kaududuk di mulut
gua sana, jangan sembarangan ber-tindak, " kata
Cu-sin-tocu. Tiada jalan lain terpaksa Lamkiong Peng
menurut. Setelah menunggu sejenak, tampak Cusin-
tocu memanggul Liong Po-si dan ber-lompatan
dengan kedua tongkatnya menuju ke atas perahu.
"Dorong perahu ini ke air, lalu kaupun melompat
ke atas perahu. " bentak Cu-sin-tocu.
Terpaksa Lamkiong Peng melakukan apa yang
diperintahkan. Jika dia tidak naik ke atas perahu,
jelas sang guru sudah ikut ter-bawa. Mau-tak-mau
ia pun melompat ke da-lam perahu. Waktu tongkat
Cu-sin-tocu me-nolak tepian kanal, segera perahu
itu me-luncur jauh ke sana.
Hanya beberapa kali tolakan saja perahu itu
sudah keluar gua dan berada di lautan le pas,
terlihat ombak mendampar-dampar, perahu
terombang-ambing dan berguncang dengan hebat.
Mau-tak-mau berubah juga air muka Cu-sintocu,
katanya, "Ambil penggayuh dan da-yung
sekuatnya, akan kupegang kemudi di bu-ritan. "
Melihat perubahan air muka orang, pe-lahan
Lamkiong Peng berucap. "Pulau yang telah
kaubenah selama berpuluh tahun dengan susah
payah, apakah tidak berat kautinggalkan begini
saja" "
"Tentu saja berat, " jengek Cu-sin-tocu.
"Jika begitu, lebih baik kembali saja ke sana. "
seru Lamkiong Peng.
"Tidak, berat atau tidak harus pergi. "
Lamkiong Peng menggelang kepala, bukan-nya
dia tidak ingin meninggalkan pulau ini, dia cuma
tidak tega pada kawan-kawan yang tertinggal di


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana. Terpaksa ia mendayung sekuatnya, pulau itu
kelihatan semakin kecil, sampai akhirnya hanya
tersisa setitik hitam saja di kejauhan, lalu lenyap
dari pandangan.
Ujung tongkat Cu-sin-tocu tetap mengancam di
dekat tenggorokan Liong Po-si yang masih belum
sadar itu, kelopak matanya kellihatan terpejam,
agaknya sudah tidur.
Pelahan Lamkiong Peng mengangkat da-yungnya
dan bermaksud menghantam kepala orang tua itu
Siapa tahu. baru saja dayung terangkat sedikit
segera Cu-sin-tocu membuka mata, ter-paksa ia
jatuhkan dayung ke air dan berteriak dengan
gusar, "Sesungguhnya hendak kauapa-kan kami" "
"Mestinya kauharus berterima kasih pada-ku, "
ujar Cu-sin-tocu. "Kubawa pergi dirimu, tujuanku
dalam waktu setahun akan kuwaris -kan segenap
ilmu pertabibanku kepadamu, dengan ilmu itu
harus kausembuhkan kelumpuh-an kakiku '
"Siapa yang sudi belajar ilmu pertabiban-mu
yang gila itu" " jawab Lamkiong Peng de-ngan
gusar. "Mau atau tidak mau be!ajar tetap harus
kauterima, sebab hal ini bukan permintaanku
melainkan perintah. Jika tidak kau terima, hm,
tentu kautahu sendiri akibatnya, sebab kedua kaki
guru mu juga akan serupa kakiku ini. " "Apa
maksadmu, jadi akan kau . . .. " "Betul sudah
kututuk dengan cara yang berat sehingga kaki
gurumu pun sudah cacat, jika hendak
kausembuhkan dia harus kaubelajar ilmu
pertabibanku dan lebih dulu harus memenyembuhkan
kakiku. " "Keparat! Biar k
Istana Pulau Es 15 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Hati Budha Tangan Berbisa 12
^