Duel 2 Jago Pedang 5

Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Bagian 5


tersenyum ia pun berkata,
"Sebenarnya kau tidak perlu mengatakannya, aku sudah tahu siapa orang itu."
Sukong Ti-sing berkata sambil tersenyum, "Kau tahu" Kenapa tidak kau bisikkan padaku?"
Liok Siau-hong berujar, "Ke marilah."
Dia benar-benar membisikkan nama orang tersebut di telinga Sukong Ti-sing. Senyuman Sukong Ti-sing tiba-tiba lenyap, mata Liok Siau-hong pun bersinar-sinar karena dia tahu tebakannya tidak keliru.
Akhirnya, petunjuk pun dapat ditemukan. Dia sudah berhasil meraba-raba persoalan ini, tapi masih belum mendapatkan benang terakhir yang akan merangkai seluruh perkara ini.
Sukong Ti-sing menghela nafas dan bergumam, "Orang ini bilang aku adalah siluman monyet, tapi sebenarnya dialah ".."
Perkataannya terpotong secara tiba-tiba, In Cu mendadak muncul di atas wuwungan dan berkata,
"Pek-in-sengcu (Majikan Benteng Awan Putih) telah datang."
Di bawah sinar bulan terlihat sesosok bayangan berbaju putih, datang melayang seperti terapung di udara, seolah terbawa oleh hembusan angin. Ilmu ginkangnya amat tinggi, sama sekali tidak berada di bawah Sukong Ti-sing.
Sukong Ti-sing menghela nafas dan berkata, "Tak kusangka Yap Koh-seng juga memiliki ilmu ginkang yang demikian tinggi."
Mata Liok Siau-hong tampak menyorotkan sinar yang aneh. Setelah berdiam diri beberapa lama, akhirnya ia mengeluarkan suara dan berkata sambil tersenyum, "Jika ilmu ginkang-nya tidak tinggi, bagaimana mungkin dia bisa mengerahkan jurus Thian-gwa-hui-sian (Dewa Terbang Di Angkasa)?"
*** Bulan telah berada di titik tertingginya.
Di atas wuwungan istana itu telah penuh dengan manusia. Selain tiga belas orang tokoh misterius itu, juga ada 78 orang berpakaian seragam pengawal istana. Semua orang di istana kerajaan pun ingin melihat dua jago pedang yang paling ternama di jaman ini. Di bawah sinar bulan, raut wajah Yap Koh-seng benar-benar pucat tidak berwarna. Walaupun wajah Sebun Jui-soat pun terlihat amat pucat, tetapi masih menampilkan sedikit warna kehidupan.
Kedua orang ini sama-sama berpakaian putih seperti salju, tiada bernoda, wajah mereka pun sama-sama dingin tak berperasaan. Orangnya seakan telah berbaur menjadi satu dengan pedangnya, tajam, tanpa emosi.
Kedua orang itu saling berpandangan, mata mereka seperti menyorotkan sinar yang amat tajam.
Setiap orang yang berada di pinggir merasa, walaupun pedang mereka belum dihunus dari sarungnya, namun hawa pedang seakan telah menggidikkan hati semua orang.
Hawa pedang yang tajam dan keji ini sebenarnya berasal dari tubuh kedua orang itu. Yang menakutkan adalah manusianya, bukan pedang di tangannya.
Yap Koh-seng tiba-tiba berkata, "Sekian lama tak berjumpa, bagaimana kabarmu selama ini?"
Sebun Jui-soat menyahut, "Berkat karunia-Nya, selama ini aku hidup dengan nyaman dan tenteram."
Yap Koh-seng berkata lagi, "Kenangan masa lampau tak usah disebut-sebut lagi. Dalam pertarungan kali ini, kau dan aku akan mengerahkan segala kekuatan kita, bukan?"
Sebun Jui-soat menjawab, "Ya."
Yap Koh-seng berkata, "Bagus sekali."
Walaupun ucapannya bernada dingin, tapi baru mengucapkan sepatah dua patah kata saja, dia sudah seperti kehabisan tenaga.
Sebun Jui-soat seperti tidak menghiraukan hal itu. Dia mengangkat pedang di tangannya dan berkata, "Pedang ini adalah senjata yang amat tajam, panjangnya tiga kaki tujuh inci, beratnya tujuh kati lebih."
Koleksi Kang Zusi
Yap Koh-seng berujar, "Pedang yang bagus."
Sebun Jui-soat berkata, "Memang pedang yang bagus."
Yap Koh-seng pun mengangkat pedang di tangannya dan berkata, "Pedang ini dibuat dari inti besi dingin yang diambil dari lautan, sangat tajam, diumpamakan dapat memotong benang ataupun rambut, panjangnya tiga kaki tiga inci, bobotnya enam kati lebih."
Sebun Jui-soat berkata, "Pedang yang bagus."
Yap Koh-seng menyahut, "Memang ini sebilah pedang yang bagus."
Walaupun pedang kedua orang itu telah diangkat, tapi masih belum dikeluarkan dari sarungnya.
Gerakan menghunus pedang termasuk jurus yang penting, kedua orang ini jelas akan turut mengadu jurus ini.
Gui Cu-hun tiba-tiba berkata, "Kalian berdua adalah jago-jago ternama yang memiliki reputasi besar dan menjadi tumpuan harapan orang banyak, tentunya pedang kalian tidak dilumuri racun, apalagi diselipi senjata rahasia beracun."
Keempat penjuru terasa hening, hanya desah nafas yang terdengar, semua orang ingin mendengarkan lanjutan ucapannya itu.
Gui Cu-hun lalu berkata pula, "Pertempuran malam ini tentu akan tercantum di dalam sejarah dunia Kangouw dan akan dibicarakan orang selama berabad-abad. Kalian berdua tentu tidak keberatan untuk saling bertukar pedang dan memeriksa pedang lawan masing-masing?"
Yap Koh-seng segera berkata, "Silakan kau memberi petunjuk."
Sebun Jui-soat tidak membuka mulut. Setelah berdiam beberapa lama, akhirnya dia pun mengangguk juga.
Jika peristiwa ini terjadi sebulan yang lalu, dia tidak mungkin mau mengangguk. Dalam pertempuran yang menentukan antara hidup dan mati, bagaimana mungkin dia bersedia menyerahkan pedangnya ke tangan orang lain"
Tetapi sekarang dia telah berubah, dengan lambat dia berkata, "Pedangku hanya bisa kuberikan pada seseorang."
Gui Cu-hun berkata, "Bukankah itu Liok-tayhiap?"
Sebun Jui-soat berkata, "Ya."
Gui Cu-hun berujar, "Bagaimana dengan Yap-sengcu?"
Yap Koh-seng menyahut, "Urusan ini tidak perlu melibatkan lebih dari satu orang, Liok-tayhiap juga merupakan orang yang kupercayai sedalam-dalamnya."
Sukong Ti-sing tiba-tiba menghela nafas dan bergumam, "Orang ini tega mencuri roti seorang hwesio, tidak disangka kalau ada juga orang yang percaya kepadanya. Aneh, sungguh aneh."
Walaupun nada suaranya rendah, tapi di saat seperti ini semua orang tentu bisa mendengarnya dengan jelas.
Semua orang ingin tersenyum, tapi tiba-tiba Pok Ki juga membuka suara dengan keras, "Sifat keadilan dan kemanusiaan Liok-tayhiap memang tiada bandingnya. Jangankan pedang, seandainya diminta, kepalaku pun akan kuserahkan kepadanya."
Giam Jin-eng juga segera berkata, "Walaupun Giam Jin-eng hanya seorang Bu-beng-siau-cut, tapi aku pun amat mengagumi Liok-tayhiap, sama seperti Pok-pangcu."
Sebenarnya Giam Jin-eng tentu saja bukan seorang Bu-beng-siau-cut, Pok Ki malah memiliki reputasi yang cukup cemerlang, setiap ucapannya tentu akan dihargai orang. Kedua orang ini bicara tentang Liok Siau-hong dengan suara yang keras, sepertinya mereka khawatir kalau orang lain tidak memahami ucapan mereka.
Sukong Ti-sing tersenyum dipaksa dan berbisik pada Liok Siau-hong, "Semua orang di sini datang untuk menonton Yap Koh-seng dan Sebun Jui-soat."
Liok Siau-hong berujar, "Aku tahu."
Sukong Ti-sing berkata lagi, "Tapi sekarang semua orang sedang memandang padamu."
Liok Siau-hong tersenyum dan melangkah keluar. Pertama dia berjalan menghampiri Sebun Jui-soat, menerima pedangnya, lalu berputar lagi. Ketika ia menerima pedang Pek-in-sengcu, ia lalu menggenggam kedua pedang itu dan bergumam, "Kedua pedang ini benar-benar pedang yang bagus."
Koleksi Kang Zusi
Gui Cu-hun berkata, "Silakan Liok-tayhiap mempertukarkan kedua pedang itu untuk dilihat oleh masing-masing pihak."
Liok Siau-hong berkata, "Kau ingin agar pedang Sebun Jui-soat diberikan pada Yap Koh-seng dan pedang Yap Koh-seng diserahkan pada Sebun Jui-soat?"
Gui Cu-hun berkata, "Benar."
Liok Siau-hong berkata, "Itu tidak baik."
Gui Cu-hun berkata pula, "Mengapa tidak baik?"
Liok Siau-hong tiba-tiba berujar, "Dua batang pedang yang begini bagus, setelah berada di tanganku, kenapa harus kuserahkan lagi?"
Gui Cu-hun tertegun.
Semua orang pun tertegun.
Liok Siau-hong mengempit kedua pedang itu di ketiaknya, tangan pun bergerak, tahu-tahu kedua pedang itu sudah dihunus. Hawa pedang pun terpancar ke angkasa, sinarnya berkilau gemerlapan "
bulan purnama seakan kehilangan warnanya.
Di dalam hatinya setiap orang pun bertanya pada diri sendiri, "Seandainya kedua pedang ini jatuh ke tanganku, apakah aku pun akan mengembalikannya?"
Liok Siau-hong berkata, "Pedang pusaka hanya patut dimiliki oleh ksatria sejati, pepatah ini tentu pernah didengar setiap orang?"
Tidak seorang pun yang menjawab, tidak seorang pun yang tahu apa maksud ucapannya itu.
Liok Siau-hong berkata lagi, "Aku pernah mendengar pepatah itu, aku juga melihat kedua pedang ini tidak ada celanya." Pedang-pedang itu lalu disarungkan kembali. Tiba-tiba Liok Siau-hong menjejakkan kakinya ke tanah, sebatang pedang lalu dilemparkan ke arah Sebun Jui-soat, pedang lainnya pun dilemparkan pada Yap Koh-seng, lalu dia membalikkan badannya.
Semua orang merasa tertegun.
Sukong Ti-sing tak tahan untuk tidak bertanya: "Apa yang kau lakukan?"
Liok Siau-hong berkata dengan ringan, "Aku ingin mereka mengerti bahwa, bila lain kali ada urusan seperti ini, jangan pernah mencariku lagi. Masalahku sudah terlalu banyak, aku tidak ingin menangani urusan yang membosankan seperti ini lagi."
Sukong Ti-sing bertanya, "Apakah ini urusan yang membosankan?"
Liok Siau-hong berkata, "Dua orang yang tidak mempunyai permusuhan satu sama lain, tapi hendak menusuk kerongkongan dan tenggorokan lawannya, jika urusan ini tidak membosankan, lalu urusan apa lagi yang membosankan?"
Ia faham arti ucapan Liok Siau-hong itu, dia tentu berharap Sebun Jui-soat dan Yap Koh-seng dapat mengendalikan nafsu membunuh mereka, pertarungan ini hanya mengadu teknik, tentu saja " tidak perlu harus membunuh lawannya.
Semua orang pun tentu saja memahami ucapan itu. Gui Cu-hun mendengus dua kali, lalu berkata,
"Waktu pertarungan yang telah ditetapkan ternyata sudah lewat. Besok pagi akan diadakan sidang istana, jadi pertarungan ini sebaiknya dibatasi dalam waktu setengah jam saja. Untuk menentukan yang kalah dan menang, jika bertarung di antara yang ahli, ada kalanya pertarungan cukup berlangsung dalam sejurus dua jurus saja, jadi waktu yang ditentukan itu tentu sudah cukup."
Ia tidak mengungkit-ungkit urusan bertukar pedang itu lagi, duel yang menentukan akhirnya dimulai, setiap orang menahan nafasnya dengan perasaan tegang.
Tangan kiri Sebun Jui-soat menggenggam gagang pedang dengan erat, tangan kanannya terulur sejajar dengan lutut. Di wajahnya tiada perubahan perasaan apa pun. Orang ini memang seperti pedang yang terhunus dari sarungnya, tidak berperasaan, dingin dan tajam.
Raut muka Yap Koh-seng kelihatan makin tak sedap dipandang, dia menggenggam pedangnya di belakang punggung, gerakannya tampak berat dan lamban, beberapa kali terdengar dia terbatuk ringan.
Dibandingkan dengan Sebun Jui-soat, ia kelihatan lebih tua dan lemah, di mata sementara orang pun timbul perasaan simpatik. Pertarungan yang menentukan kalah dan menang ini, tanpa ditanya pun semua orang sudah bisa menduga bahwa Sebun Jui-soat akan unggul.
Dia memang orang yang tidak berperasaan!
Koleksi Kang Zusi
Pedangnya lebih tak berperasaan lagi!
Yap Koh-seng akhirnya membusungkan dadanya, menatap pedang di tangannya, lalu berkata dengan lambat, "Pedang pusaka ini memang senjata yang membawa hawa maut. Sejak muda aku sudah berlatih pedang, sampai sekarang sudah hampir 30 tahun lebih. Di dalam hatiku, sejak dulu aku sudah bertanya-tanya, di tangan siapakah aku akan menemui kebinasaanku."
Sebun Jui-soat hanya mendengarkan.
Yap Koh-seng menarik nafas dengan berat, lalu menambahkan pula, "Karena itu, dalam pertarungan hari ini, pedangku dan pedangmu tidak boleh bersikap lunak. Siapa pun yang belajar pedang harus siap mati di bawah pedang, kenapa hal itu harus disesali?"
Sebun Jui-soat berkata, "Ya."
Beberapa orang penonton di dalam hatinya bersorak. Mereka memang datang untuk menonton pertarungan hidup dan mati di antara dua jago pedang ternama ini. Jika tidak berlangsung dengan sengit, lalu apa bagusnya menyaksikan pertarungan seperti ini"
Yap Koh-seng menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Silakan."
Sebun Jui-soat tiba-tiba berkata, "Tunggu sebentar."
Yap Koh-seng berkata, "Kita harus menunggu sampai kapan?"
Sebun Jui-soat menyahut, "Sampai luka itu tidak berdarah lagi."
Yap Koh-seng berkata, "Siapa yang terluka, siapa yang berdarah?"
Sebun Jui-soat menjawab, "Kau."
Yap Koh-seng terdiam. Ia menunduk dan menatap dadanya, tiba-tiba tubuhnya bergetar dengan keras dan mundur dengan limbung.
Semua orang merubunginya, baru kemudian mereka melihat bahwa bajunya yang seputih salju itu telah ternoda " noda darah yang merah menyala.
Dia benar-benar terluka, malah lukanya masih berdarah, tetapi orang yang angkuh dan keras kepala ini hanya mengertakkan giginya dan tidak mau mundur setengah langkah pun walaupun dia tahu kalau dia akan mati.
Sebun Jui-soat mendengus dan berkata, "Walaupun pedangku adalah senjata pembunuh, tapi tidak pernah membunuh orang yang sengaja menyerahkan dirinya untuk mati."
Yap Koh-seng berkata dengan parau, "Aku sengaja menyerahkan diriku untuk mati?"
Sebun Jui-soat berkata, "Jika kau tidak bermaksud menyerahkan dirimu untuk mati, maka tunggulah sebulan lagi, aku pun akan menunggumu selama sebulan."
Tiba-tiba dia membalikkan badan, lalu melayang pergi dan menghilang ke bawah wuwungan istana.
Yap Koh-seng ingin menghentikannya dan berteriak dengan keras, "Kau".."
Baru saja berkata begitu, tahu-tahu mulutnya menyemburkan darah segar. Sekarang, jangankan hendak mengejar Sebun Jui-soat, untuk menyusul seorang bocah pun dia tak akan sanggup.
Pertarungan ini tertunda begitu saja, perubahan pun terjadi demikian mendadak. Keadaan ini mirip seperti panggung sandiwara yang telah membunyikan genderang dan gembreng, penonton pun sudah penuh, tahu-tahu si lelakon yang baru muncul mendadak pergi begitu saja, tentu saja semua merasa kecewa, termasuk para penabuh genderang dan pemukul gembreng.
Sukong Ti-sing tiba-tiba tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak.
Lau-sit Hwesio mendelik padanya dan bertanya, "Kenapa kau tersenyum?"
Sukong Ti-sing menyahut sambil tersenyum, "Aku tersenyum karena teringat pada orang-orang yang telah menghabiskan laksaan tael perak hanya untuk membeli sabuk sutera itu."
Tapi senyumannya itu terlalu cepat. Saat itulah Liok Siau-hong melompat dan berseru dengan keras, "Hentikan!"
Senyuman Sukong Ti-sing memang terlalu cepat. Tindakan Liok Siau-hong pun terlalu lambat.
Tong Thian-ciong telah melompat ke belakang tubuh Yap Koh-seng, mengayunkan kedua tangannya berulang kali, segumpal pasir yang bagaikan awan gelap pun berhamburan.
Serangan ini membuat Yap Koh-seng yang belum berdiri tegak merasa terperanjat. Mendadak ia melejit tinggi ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, gerak-geriknya lincah dan gesit, sama sekali tidak seperti orang yang sedang terluka parah.
Sayangnya dia tetap terlambat selangkah.
Koleksi Kang Zusi
Pasir beracun keluarga Tong, bila dihamburkan, amat sedikit orang yang mampu menghindarinya.
Sekali dihamburkan, apalagi dalam jarak dekat, mustahil untuk bisa mengelakkannya.
Hanya terdengar suara pekikan yang menyayat hati, tubuh Yap Koh-seng tiba-tiba roboh, di bajunya yang putih seperti salju terlihat banyak bintik-bintik gelap seperti awan hitam.
Itulah Toh-hun-sah (Pasir Pengejar Nyawa) dari keluarga Tong, kekejiannya jauh lebih menakutkan daripada ular berbisa.
Sebagian besar orang di dunia Kangouw tahu, asal sebutir saja dari pasir beracun itu mengenai wajah, maka bagian wajah yang terkena harus diiris. Jika sebutir saja mengenai tangan, maka tangan itu harus dipotong. Tubuh Yap Koh-seng sudah terkena pasir beracun itu, jumlahnya tidak terkira. Tiba-tiba dia bergulingan ke bawah kaki Tong Thian-ciong, lalu mendesis keras, "Obat penawarnya, cepat berikan obat penawarnya."
Tong Thian-ciong mengkertakkan giginya dan berkata, "Toako dan Jiko-ku terluka di bawah pedangmu, walau tidak mati tapi sudah menjadi orang cacat. Permusuhan antara kau dan keluarga Tong lebih dalam daripada samudera, kau juga menginginkan obat penawarku?"
Yap Koh-seng berkata, "Itu". itu adalah urusan Yap Koh-seng, sama sekali tidak ada hubungannya denganku."
Tong Thian-ciong mendengus dan berkata, "Bukankah kau Yap Koh-seng?"
Yap Koh-seng berusaha keras menggelengkan kepalanya, tiba-tiba dia mengulurkan tangan, mengusap mukanya sendiri, tahu-tahu ia menarik sehelai kulit yang ternyata merupakan topeng kulit manusia yang amat bagus buatannya.
Wajahnya tirus dan jelek, sepasang matanya terbenam dalam-dalam di kelopaknya, dia adalah orang misterius yang bekerja sebagai pelindung Toh Tong-han. Liok Siau-hong sudah dua kali melihat orang ini. Yang pertama di rumah pemandian, dan yang kedua adalah di rumah makan. Liok Siau-hong tahu bahwa dia merupakan pengawal pribadi Toh Tong-han, tapi sama sekali tak terduga olehnya kalau orang ini sekarang menjadi samarannya Yap Koh-seng.
Walaupun sinar bulan tampak jernih, tapi tentu saja tetap tidak begitu terang. Liok Siau-hong tahu bahwa Pek-in-sengcu menderita luka yang parah, karena hal itu terlihat jelas di wajahnya. Tapi dia memang tidak akrab dengan wajah Pek-in-sengcu bila sedang tersenyum.
Yap Koh-seng berasal dari daerah selatan Huang-ho. Di dunia Kangouw hanya beberapa orang yang pernah bertemu dengannya. Kalau tidak demikian, tentu orang misterius ini tidak begitu mudah menyamar sebagai dirinya, walaupun menggunakan topeng yang amat bagus buatannya, apalagi di hadapan begini banyak orang yang bermata tajam.
Mata Tong Thian-ciong sudah memerah, dengan tertegun dia memandang orang itu dan menghardik dengan keras, "Siapa kau" Di mana Yap Koh-seng?"
Orang itu membuka mulutnya hendak bicara, tapi lidahnya terasa kaku dan kejang, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Pasir beracun keluarga Tong benar-benar mampu mengejar nyawa dan merenggut kehidupan dalam waktu yang amat singkat.
Tong Thian-ciong tiba-tiba mengeluarkan sebuah botol kayu dari bajunya, membungkukkan badan, dan menuangkan obat penawar ke dalam mulut orang itu. Untuk mengetahui keberadaan Yap Koh-seng, tentu saja nyawa orang ini harus diselamatkan. Selain dia, tidak ada lagi orang yang tahu di mana Yap Koh-seng berada. Siapa pun tak menduga kalau Pek-in-sengcu yang tiada tandingan itu akan digantikan oleh orang lain dalam pertarungan ini.
Sukong Ti-sing berkata sambil tersenyum getir, "Sebenarnya apa yang terjadi" Aku merasa seperti orang bodoh."
Liok Siau-hong berkata, "Yang bodoh kan kamu, bukan aku."
Sukong Ti-sing bertanya, "Kau tahu mengapa Yap Koh-seng melakukan hal ini" Kau tahu di mana dia berada?"
Mata Liok Siau-hong tampak bersinar-sinar. Tiba-tiba dia melompat bangkit, lalu menatap Gui Cu-hun dan berkata, "Kau tahu Thaykam tua yang bermarga Ong?"
Gui Cu-hun bertanya, "Maksudmu Ong-congkoan?"
Liok Siau-hong berujar, "Bisakah dia mencuri sabuk sutera itu?"
Koleksi Kang Zusi
Gui Cu-hun menjawab, "Sebelum putera mahkota naik tahta sebagai kaisar, Ong-congkoan selalu mengiringinya belajar di Lam-siu-hong. Setelah Tay-heng-hongte wafat, dia pun menjadi orang kesayangan Kaisar yang sekarang."
Liok Siau-hong mengulangi pertanyaannya tadi, "Aku hanya bertanya, kecuali kalian, bisakah dia mencuri gulungan sabuk sutera itu?"
Gui Cu-hun berkata, "Bisa."
Mata Liok Siau-hong bersinar semakin terang, tiba-tiba dia bertanya lagi, "Apakah sekarang Kaisar sudah tidur?"
Gui Cu-hun berkata, "Setiap hari Kaisar bekerja keras mulai dari pagi hari hingga malam, karena itu beliau selalu cepat tidurnya."
Liok Siau-hong pun berujar, "Di mana beliau tidur?"
Gui Cu-hun menjawab, "Walau sudah lama naik tahta, Kaisar masih melakukan kebiasaan lamanya seperti waktu masih menjadi putera mahkota, yaitu membaca buku, karena itu beliau sering beristirahat di Lam-siu-hong."
Liok Siau-hong berkata, "Di mana letak Lam-siu-hong" Cepat bawa aku ke sana."
In Cu segera menukas, "Kau ingin kami membawamu menghadap Kaisar" Apa kau sudah gila?"
Liok Siau-hong menyahut, "Aku tidak gila. Tapi jika kalian tak mau membawaku ke sana, kalianlah yang akan segera menjadi gila."
In Cu mengerutkan keningnya, "Orang ini benar-benar gila. Bukan hanya bicara tak keruan, tapi dia juga menginginkan kepala kami pindah dari tempatnya."
Liok Siau-hong menghela nafas dan berkata, "Aku tidak mau kepala kalian pindah dari tempatnya, tapi aku ingin kepala kalian tetap berada di sarangnya."
Gui Cu-hun merenung dalam-dalam, tiba-tiba ia berkata, "Aku mempercayaimu untuk sekali ini saja."
In Cu berseru, "Kau benar-benar hendak membawanya ke sana?"
Gui Cu-hun mengangguk dan berkata, "Kalian juga ikut denganku."
Tiba-tiba terdengar suara jeritan yang menyayat hati, tahu-tahu sebuah batok kepala manusia menggelinding di atas wuwungan istana itu. Kemudian sesosok tubuh tanpa kepala pun tampak bergelinding. Dilihat dari pakaiannya, jelas dia adalah salah seorang pengawal istana.
Gui Cu-hun berpaling dengan terkejut. Ternyata 12 orang tokoh misterius itu telah membekuk enam orang pengawal istana, sementara seorang laki-laki berbaju ungu tampak memegang sebatang golok yang berlumuran darah. Tiga belas orang misterius yang tadinya seakan tidak kenal satu sama lain, sekarang telah bergabung.
In Cu berteriak, "Kalian berani membunuh orang di sini" Kalian tahu kalau hukumannya adalah penggal kepala?"
Orang berbaju ungu itu menjawab, "Aku tidak perduli, yang dipenggal kan bukan kepalaku."
In Cu menegakkan tubuhnya dan bersiap hendak menghunus pedangnya. Orang berbaju ungu itu segera berkata dengan dingin, "Kalau kau berani bergerak, maka akan kami binasakan beberapa orang lagi."
In Cu benar-benar tidak berani bergerak. Tapi tiba-tiba dari mulutnya mulai berhamburan caci-maki yang kotor. Segala macam makian yang kasar pun dikeluarkan. Siapa pun tak menduga, orang yang berkedudukan tinggi seperti dirinya pun bisa memaki seperti itu. Laki-laki berbaju ungu menjadi naik pitam dan berseru, "Hentikan makianmu itu!"
In Cu mendengus dan berkata, "Aku tak boleh bergerak, masa mencaci-maki orang pun tidak boleh?"
Orang berbaju ungu berkata, "Siapa yang kau maki?"
In Cu menyahut, "Masa kau tidak tahu siapa yang kumaki" Kalau begitu biar aku mencaci-maki sekali lagi."
Ia pun memaki semakin kasar dan kotor. Mata orang berbaju ungu itu menjadi merah. Dia pun mengangkat goloknya, tapi tiba-tiba, "sret!", tahu-tahu sebilah pedang telah menembus dadanya.
Darah segar pun muncrat. Terdengar seseorang berkata, "Dia suka mencaci-maki orang, kebetulan aku suka membunuh......"
Koleksi Kang Zusi
Ucapan itu tidak lagi terdengar dengan jelas oleh laki-laki berbaju ungu. Dalam sekejap mata, setelah dia mati, Ting Go pun menarik kembali pedangnya. In Cu, Gui Cu-hun dan Liok Siau-hong yang berada di depannya segera memburu maju. Seketika terdengar bunyi gemertak tulang yang berantakan. Bunyi gemertak tulang yang susul-menyusul. Sinar bulan yang menerangi jalan tampak jernih seperti air, tapi sinar bulan yang menerangi wuwungan istana terlihat dingin dan mengenaskan. Darah pun membanjir di atas genteng istana yang berwarna keemasan itu, mengalir cepat jatuh ke bawah. Ketigabelas orang misterius itu sekarang telah bergelimpangan semua, tidak ada lagi orang yang perduli tentang asal-usul mereka.
Sekarang yang menjadi perhatian setiap orang adalah urusan yang lebih misterius dan lebih serius.
Mengapa Liok Siau-hong mendesak Gui Cu-hun untuk membawanya ke Lam-siu-hong" Lalu mengapa Gui Cu-hun yang berpengalaman itu bersedia membawanya ke sana" Pertarungan antara Yap Koh-seng dan Sebun Jui-soat ini walaupun mengguncangkan seluruh dunia, tapi tetap saja hanya merupakan urusan dunia Kangouw, lalu mengapa harus melibatkan kaisar" Rahasia apa yang tersembunyi di balik semua ini"
Sukong Ti-sing memandang Sebun Jui-soat yang sedang menatap bintang di langit, lalu menoleh pada Lau-sit Hwesio, tak tahan lagi ia pun bertanya, "Apakah kau tahu apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Lau-sit Hwesio menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Seharusnya kau tidak menanyakan urusan ini pada Hwesio."
Sukong Ti-sing bertanya lagi, "Lalu pada siapa aku harus bertanya?"
Lau-sit Hwesio menjawab, "Yap Koh-seng!"
*** Tanggal 15 bulan sembilan, larut malam. Bulan tampak bundar seperti cermin. Kaisar muda tiba-tiba terbangun dari mimpinya. Sinar bulan dari luar jendela menyorot masuk ke dalam kamar itu dan menembus kain kelambu yang berwarna hijau. Dalam sinar bulan, kelambu hijau itu tampak seperti kabut, di dalam kabut seolah terlihat sesosok bayangan manusia.
Kaisar muda ini tidak pernah memerintahkan seorang pun datang ke sini untuk melayaninya malam ini. Jadi siapa yang tengah malam begini berani datang mendekati tempat tidur kaisar"
Kaisar pun melompat turun dari tempat tidur, sikapnya bukan saja tetap tenang, tapi juga bersemangat. "Siapa?"
"Hamba Ong An, datang membawakan teh untuk Yang Mulia."
Sejak masih menjadi putera mahkota, Kaisar selalu menganggap Ong An sebagai orang yang paling dipercayainya. Karena itu, walaupun sebenarnya dia tidak pernah memesan teh, dia merasa tak tega untuk menegur orang tua yang setia ini. Maka dia hanya melambaikan tangannya dan berkata,
"Kalau begitu, sekarang kau boleh mundur."
Ong An menjawab, "Ya."
Setiap kali Kaisar mengeluarkan perintah, tidak seorang pun yang berani menentang. Kalau Kaisar memerintahkan seseorang untuk pergi, walaupun kedua kaki orang itu sudah patah pun dia tetap harus pergi dengan merangkak.
Tapi anehnya, Ong An ternyata tidak mengundurkan diri. Dia malah tak bergerak sama sekali, seakan-akan tidak pernah diperintahkan untuk pergi dari tempat itu.
Kaisar mengerutkan alisnya dan berkata, "Kau tidak keluar?"
Ong An pun berkata, "Ada sesuatu yang harus hamba laporkan."
Kaisar berkata pula, "Katakanlah."
Ong An berujar, "Hamba ingin meminta paduka menemui seseorang."
Larut malam begini dia berani mengusik kaisar dan memaksanya untuk menemui seseorang, seakan-akan dia telah melupakan kedudukannya sendiri. Dia lupa kalau tindakannya ini bisa dianggap sebagai pengkhianatan dan bisa diberi hukuman berat hingga ke anak cucunya.
Sejak umur tujuh tahun dia sudah dikebiri, usia sembilan tahun mulai bekerja di istana, gerak-geriknya selalu sopan dan tahu aturan. Sekarang usianya hampir 60 tahun, kenapa tiba-tiba bersikap seperti ini" Walaupun wajah Kaisar mulai berubah, tapi ia berusaha menahan perasaannya. Setelah berdiam diri beberapa lama, akhirnya ia pun bertanya: Koleksi Kang Zusi
"Di mana orangnya?"
"Di sini," Ong An pun melambaikan tangannya, dari luar kamar tiba-tiba terlihat masuk dua buah lentera.
Di bawah cahaya lentera itu muncullah seseorang.
Seorang pemuda yang amat tampan dan tubuhnya mengenakan sebuah jubah berwarna kuning.
Walaupun cahaya lentera lebih terang daripada sinar bulan, pemuda itu seolah-olah terlihat berdiri dalam kabut.
Kaisar tidak bisa melihat dengan jelas, maka ia pun menyingkap kain kelambu dan berjalan keluar.
Tiba-tiba raut mukanya berubah, berubah demikian menakutkan.
Pemuda itu berdiri di hadapannya, sosoknya amat mirip dengan dirinya. Penampilannya serupa, tubuhnya pun mengenakan pakaian Pat-po-luo-sui-kun.
Pat-po-luo-sui-kun adalah pakaian dinas kaisar.
Siapakah pemuda ini" Kenapa dia memiliki raut muka dan bentuk tubuh yang mirip dengan dirinya" Bagaimana mungkin hal ini terjadi" Ong An memandang kedua orang itu, di wajahnya pun muncul sebuah senyuman licik.
Kaisar menggeleng-gelengkan kepalanya. Walaupun tangannya sudah terasa dingin seperti es, dia tetap berusaha mengendalikan dirinya.
Samar-samar ia merasa, di dalam senyuman Ong An itu tersimpan sebuah rahasia yang menakutkan.
Ong An menepuk pundak pemuda itu dan berkata, "Ini adalah kerabat dekat Tay-heng-hongte sendiri, putera Lam-ong-ya (Raja Muda di Selatan), jadi dia juga merupakan adik sepupu paduka sendiri."
Kaisar menatap pemuda itu, dengan wajah yang tenang dia pun berkata, "Kau sudah lama datang ke kotaraja?"
Siau-ongya itu menundukkan kepalanya dan menjawab, "Belum lama."
Kaisar berkata pula, "Seorang bangsawan meninggalkan tempat tugasnya tanpa mendapat ijin, kau tahu apa hukumannya?"
Siau-ongya menundukkan kepalanya semakin rendah.
Kaisar berkata lagi, "Keluarga istana melanggar aturan, kejahatannya sama dengan orang biasa.
Walaupun aku hendak mengampunimu, tapi".."
Siau-ongya tiba-tiba mengangkat kepalanya dan berkata, "Tapi agaknya tetap sukar terhindar dari hukuman penggal."
Kaisar pun berucap, "Bagus."
Siau-ongya berkata lagi, "Kau tahu hukum, tapi mengapa tetap melanggar hukum?"
Kaisar menjadi marah, "Kau"..."
Siau-ongya tiba-tiba memotong ucapannya itu dan berkata, "Sudah tahu tapi tetap melanggar hukum, maka kejahatannya pun semakin besar. Walaupun bermaksud untuk menyelamatkan nyawamu, tapi aturan nenek moyang kita tetap?""
Kaisar berkata dengan marah, "Memangnya kau siapa" Berani-beraninya bersikap lancang begini?"
Siau-ongya berujar, "Aku mendapat mandat dari langit, diberi amanat oleh Tay-heng-hongte, bertugas sebagai Putera Langit untuk memakmurkan rakyat."
Kedua telapak tangan Kaisar sudah terkepal erat-erat, seluruh tubuhnya telah dingin seperti es.
Sekarang akhirnya dia faham betapa mengerikannya persekongkolan ini, tapi dia tetap tak berani untuk percaya.
Siau-ongya berkata, "Ong-congkoan."
Ong An segera membungkukkan badannya dan berkata, "Hamba, Yang Mulia."
Siau-ongya berkata pula, "Setelah menghukum dirinya, segera kirimkan mayatnya secepat mungkin ke Lam-ong-hu (istana raja muda di selatan)."
Ong An menyahut, "Ya."
Siau-ongya melirik penuh arti pada kaisar, lalu ia tiba-tiba menghela nafas dan bergumam, "Aku benar-benar tidak mengerti, sudah memiliki kedudukan yang tinggi di selatan, lalu mengapa harus pergi ke kotaraja" Apa maunya?"
Koleksi Kang Zusi
Kaisar mendengus.
Akhirnya dia benar-benar memahami rencana busuk orang-orang ini. Mereka hendak menggunakan pemuda ini untuk menyaru sebagai dirinya, lalu dia sendiri akan dibunuh dan mayatnya dikirimkan ke Lam-ong-hu sebagai pengganti Siau-ongya. Setelah itu, seandainya ada orang yang melihat kejanggalan ini, tentu tidak ada lagi yang bisa membuktikan.
Ong An berkata, "Keluarga kaisar melanggar aturan, kejahatannya sama dengan orang biasa.
Karena kau juga tahu hal ini, lalu apa lagi yang bisa kau katakan?"
Kaisar pun berujar, "Hanya satu."
Ong An berkata, "Katakanlah, aku akan mendengarkan."
Kaisar kembali berkata, "Bagaimana kalian bisa merencanakan hal ini?"
Ong An berkedip-kedip beberapa kali, akhirnya dia tertawa dan berkata: "Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya, tapi aku tak bisa menahannya."
Kaisar berujar, "Katakanlah."
Ong An berkata, "Terus terang, waktu Lo-ongya datang ke kotaraja, kami pun menyadari bahwa kau dan Siau-ongya benar-benar mirip, maka kami lalu merencanakan hal ini."
Kaisar berkata lagi, "Dia sudah membelimu?"
Ong An berujar, "Aku bukan hanya suka berjudi, aku pun suka makan enak."
Bicara sampai di situ, sorot matanya pun " tanpa kenal malu, tampak mulai berkilauan. Sengaja dia menghela nafas, lalu menambahkan, "Karena itu pengeluaranku tidak sedikit, maka aku pun harus mencari sumber penghasilan tambahan."
Kaisar pun berkata, "Nyalimu tidak kecil."
Ong An berkata, "Nyaliku sebenarnya tidak begitu besar. Urusan yang tidak aku yakini 9 bagian bakal berhasil, tidak akan pernah kukerjakan."
Kaisar berkata pula, "Jadi kau merasa yakin 9 bagian dalam urusan ini?"
Ong An berkata, "Mulanya kami juga mengkhawatirkan Gui Cu-hun dan teman-temannya, tapi sekarang kami sudah mendapatkan cara untuk membuat mereka pergi."
Kaisar berucap, "Oh?"
Ong An berkata lagi, "Seperti orang yang gila catur, jika mendengar dua orang juara catur akan bertanding, apakah dia mau berdiam diri begitu saja?"
Jawabannya tentu saja tidak.
Ong An berkata, "Orang yang belajar pedang pun sama. Jika tahu dua orang jago pedang yang paling ternama akan bertanding, mereka tentu juga tidak mau ketinggalan."
Kaisar tiba-tiba bertanya, "Apakah maksudmu pertarungan antara Sebun Jui-soat dan Yap Koh-seng?"
Ong An tampak terperanjat dan berkata, "Kau juga tahu" Kau juga kenal kedua orang itu?"
Kaisar berkata dengan perlahan, "Kedua orang ini mempunyai reputasi yang hebat, tak heran kalau Gui Cu-hun pun sampai tertarik."
Ong An dengan enteng berkata, "Tidak salah ucapanmu itu."
Kaisar berkata pula, "Untunglah masih ada orang yang tidak tertarik untuk pergi ke sana."
Baru saja beberapa patah kata itu diucapkan, tiba-tiba terdengar suara "sret!", tahu-tahu keempat dinding ruangan itu seperti membelah dan empat orang pun melesat masuk.
Tinggi keempat orang ini tidak sampai dua kaki, sosok tubuh, perawakan dan pakaiannya benar-benar mirip satu sama lain.
Mereka berwajah jelek, bermata kecil, berhidung besar, berbibir sumbing, tampangnya pun menggelikan.


Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi pedang di tangan mereka sama sekali tidak menggelikan.
Pedang mereka yang panjang itu memancarkan sinar berwarna biru, hawanya dingin menggidikkan.
Tiga orang di antaranya menggunakan sepasang pedang, sementara yang seorang lagi hanya menggenggam sebilah pedang. Tujuh pedang menari-nari dan meliuk-liuk di udara, seperti tetesan air hujan yang menyebar ke segala penjuru, sinarnya terang menyilaukan sehingga orang yang memandang pun akan sukar membuka matanya.
Koleksi Kang Zusi
Mereka bukan lain adalah empat bersaudara keluarga Hi dari Hui-hi-po (Benteng Ikan Terbang), Jit-seng-tong Im-bun-san.
Keempat orang ini adalah saudara kembar. Walaupun masing-masing tidak memiliki kepandaian yang terlalu tinggi, tapi apabila mereka bergabung dan bekerja-sama, menggunakan ilmu pedang andalan keluarga mereka, Hui-hi-chit-seng-kiam (Ilmu Pedang Ikan Terbang Tujuh Bintang) dan membentuk Jit-seng-kiam-tin (Barisan Pedang Tujuh Bintang), maka walaupun kekuatan mereka belum terhitung jagoan kelas satu, tapi tidak banyak orang yang akan sanggup mengalahkan mereka.
Mereka bukan saja orang-orang yang aneh, tindak-tanduknya pun sering kali membingungkan orang lain, tak terduga kalau mereka sekarang bekerja di istana kerajaan dan malah menjadi pengawal pribadi kaisar sendiri.
Sinar pedang mereka membuat wajah kaisar tampak berkilauan.
Kaisar tiba-tiba berkata, "Serang!"
Tujuh bilah pedang memancarkan cahaya kemilau ke segala penjuru, hawa pedang pun segera mengurung Siau-ongya dan Ong An.
Raut wajah Ong An berubah warna beberapa kali. Tiba-tiba Siau-ongya melambaikan tangannya sambil berseru, "Gempur!"
Bersamaan dengan suara seruan itu, sebuah sinar pedang mendadak datang melesat, kecepatannya tidak kalah dengan kecepatan kilat yang mengguncangkan awan dan menggetarkan langit, laksana bianglala yang tiba-tiba muncul di siang hari bolong.
Seluruh hawa pedang tadi seperti terkurung, tiba-tiba terdengar suara "tring! tring! tring! tring!"
sebanyak empat kali. Terlihat empat kilauan sinar pedang, tahu-tahu seluruh hawa pedang di angkasa tadi tiba-tiba menghilang.
Begitu pula dengan sinar pedang tadi, yang tersisa hanyalah sebilah pedang.
Sebilah pedang antik yang indah dan berukuran panjang.
Pedang ini tentu saja bukan pedang empat bersaudara Hi dari Hui-hi-po tadi.
Pedang keempat bersaudara itu semuanya telah patah, sementara mereka berempat pun sudah bergelimpangan di lantai. Pedang ini berada di dalam genggaman seorang laki-laki berpakaian putih seperti salju, berwajah pucat, bermata dingin seperti es dan bersikap angkuh, tak kalah angkuhnya dengan pedang itu sendiri.
Sang Kaisar berdiri dengan tenang di hadapannya.
Tapi orang ini seperti tidak memandang sebelah mata pun padanya.
Sorot mata Kaisar tampak berubah beberapa kali, akhirnya ia berkata dengan perlahan, "Yap Koh-seng?"
Laki-laki berbaju putih itu menjawab, "Tak kusangka kalau seorang kaisar pun mengenali orang gunung seperti diriku."
Kaisar berkata pula, "Thian-gwa-hui-sian (Dewa Terbang Keluar Langit), dengan sebilah pedang menghancurkan barisan Tujuh Bintang, benar-benar ilmu pedang yang bagus."
Pek-in-sengcu menyahut, "Memang ilmu pedang yang bagus."
Kaisar berkata, "Mengapa jago pedang sepertimu pun menjadi seorang penyamun?"
Yap Koh-seng menjawab, "Menang adalah raja, kalah adalah penyamun."
Kaisar bergumam, "Kalah adalah penyamun."
Yap Koh-seng mendengus, lalu berkata pula, "Silakan!"
Kaisar pun bertanya, "Silakan apanya?"
Yap Koh-seng berkata pula, "Ketenangan dan pengalaman yang diperlihatkan paduka, tentu hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ilmu kungfu luar biasa. Jika Yang Mulia terjun ke dunia Kangouw, tentu termasuk dalam kelompok sepuluh jago paling top."
Kaisar tersenyum dan berkata, "Pandangan mata yang tajam."
Yap Koh-seng berujar, "Sekarang kaisar bukan lagi kaisar, penrampok pun bukan lagi perampok.
Di antara kaisar dan perampok, yang berkuasa adalah pemenangnya."
Kaisar berucap, "Ucapan yang bagus, yang berkuasa adalah pemenangnya."
Yap Koh-seng berkata pula, "Pedangku sudah berada di tangan."
Koleksi Kang Zusi
Kaisar berujar, "Sayangnya, walaupun tanganmu sudah menggenggam pedang, tapi di hatimu tidak tersimpan pedang."
Yap Koh-seng bergumam, "Di hatiku tidak tersimpan pedang?"
Kaisar berkata pula, "Pedang adalah kebenaran, pedang melambangkan keadilan. Di hati orang yang jahat, mana mungkin tersimpan pedang?"
Wajah Yap Koh-seng pun berubah warna. Dia lalu mendengus dan berkata, "Saat ini sudah cukup kalau di tanganku telah tergenggam pedang."
Kaisar berujar, "Oh?"
Yap Koh-seng berkata lagi, "Pedang di tangan bisa melukai orang, tapi pedang di hati hanya bisa melukai diri sendiri."
Kaisar tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak.
Yap Koh-seng berkata dengan dingin, "Keluarkan pedangmu."
Kaisar menyahut, "Aku tidak membawa pedang."
Yap Koh-seng pun mendengus: "Kau tidak berani menerima tantanganku?"
Kaisar tersenyum dan berkata, "Aku berlatih ilmu pedang Putera Langit, tujuannya adalah mengamankan dunia dan menenteramkan rakyat. Jika kunci semua masalah sudah berada di tangan, semua pertempuran tentu akan dimenangkan."
Ia menatap Yap Koh-seng, lalu menambahkan dengan lambat: "Mati konyol bukanlah perbuatan yang akan dilakukan oleh seorang Putera Langit."
Wajah Yap Koh-seng yang pucat tampak semakin pucat, tangannya menggenggam pedang lebih kencang, lalu ia berkata, "Kau lebih suka tanganmu terikat menunggu kematian?"
Kaisar berkata, "Aku menerima mandat dari langit, kau berani bersikap kasar?"
Tiba-tiba terdengar suara Liok Siau-hong yang menghela nafas, "Kau seharusnya tidak datang, aku pun seharusnya tidak datang. Tapi sayangnya, kita berdua telah datang."
Yap Koh-seng berujar, "Ya, sayang."
Liok Siau-hong berkata pula, "Benar-benar sayang."
Yap Koh-seng menghela nafas sekali lagi, tiba-tiba pedang di tangannya mulai menari-nari laksana pelangi.
It-kiam-tang-lay, thian-gwa-hui-sian (pedang sakti dari timur, dewa terbang di angkasa).
Sinar pedang seperti pelangi itu pun melesat ke arah Liok Siau-hong.
Liok Siau-hong mengelak ke samping. Cahaya pedang pun meluncur keluar jendela, orang dan pedangnya berbaur menjadi satu dalam kecepatan yang menakjubkan. Bukan hanya terasa menarik, tapi juga membangkitkan kegembiraan di hati. Kuda cepat, kapal cepat, kereta cepat dan ginkang yang cepat, semua itu akan menimbulkan kegairahan di hati manusia.
Tapi jika kau menjadi seorang buronan, kau tidak akan memahami kegembiraan dan perasaan bergairah itu. Yap Koh-seng adalah orang yang amat menyukai kecepatan, baik itu di tengah lautan, di Pek-in-sia (Kota Awan Putih), di malam hari yang cerah dan terang-benderang, dia suka mengerahkan ginkangnya dalam hembusan angin malam, melesat kencang di bawah sinar bulan.
Pada saat seperti itu, ia selalu merasa suasana hatinya nyaman dan tenteram. Kali ini, bersama hembusan angin malam, dia telah mengerahkan kecepatan tertingginya, tapi suasana hatinya malah terasa amat kacau.
Dia sudah menjadi seorang buronan, banyak urusan yang harus dia fikirkan -- dalam rencana ini, sebenarnya di mana letak kesalahan dan lubang kelemahannya" Bagaimana Liok Siau-hong bisa menyingkap rahasia ini" Bagaimana bisa" Tidak seorang pun yang bisa memberikan jawaban padanya, tidak seorang pun yang tahu angin yang meniup wajahnya ini berasal dari mana.
Sinar bulan dingin menggidikkan hati. Di depan sana, seolah-olah berada dalam kabut di bawah bayang-bayang dinding istana, berdiri tegak seseorang tanpa bergerak, bajunya putih seperti salju.
Yap Koh-seng tidak melihat orang ini dengan jelas. Dia seakan tampak lebih putih dari kabut, lebih putih daripada sinar rembulan.
Tapi ia tahu siapa orang ini.
Karena tiba-tiba ia merasakan semacam hawa pedang tak berwujud yang amat kuat seakan sedang menindih dirinya.
Koleksi Kang Zusi
Biji matanya tiba-tiba berkontraksi, ototnya tiba-tiba menegang.
Selain Sebun Jui-soat, siapa lagi orang yang mampu memberikan tekanan semacam ini pada dirinya"
Ketika ia melihat wajah Sebun Jui-soat dengan jelas, langkahnya pun tiba-tiba berhenti.
Di tangan Sebun Jui-soat sudah tergenggam pedang, pedangnya masih di dalam sarung, tentu saja bukan pedang itu yang memancarkan hawa pedang tersebut.
Orangnyalah yang lebih tajam, lebih cepat dan lebih tak berperasaan daripada pedangnya.
Saat sorot mata kedua orang ini bentrok, seperti dua bilah pedang tajam yang saling beradu, hawa pembunuhan yang terbias pun terasa sangat menggidikkan hati.
Mereka berdua tidak bergerak, tapi hawa yang muncul dari balik ketenangan itu jauh lebih kuat, jauh lebih menakutkan daripada suatu gerakan.
Sebun Jui-soat tiba-tiba berkata, "Kau belajar pedang?"
Yap Koh-seng menyahut, "Aku adalah pedang."
Sebun Jui-soat berkata pula, "Kau tahu belajar pedang itu harus berlandaskan apa?"
Yap Koh-seng berujar, "Katakanlah."
Sebun Jui-soat berkata, "Berlandaskan pada kejujuran."
Yap Koh-seng berucap, "Kejujuran?"
Sebun Jui-soat berkata lagi, "Hanya orang jujur yang bisa mencapai puncak ilmu pedang. Orang yang tidak jujur bahkan tidak berhak membicarakan ilmu pedang."
Biji mata Yap Koh-seng tiba-tiba berkontraksi.
Sebun Jui-soat menatapnya, lalu berkata, "Kau tidak jujur."
Yap Koh-seng terdiam beberapa lama, tiba-tiba dia pun bertanya, "Kau belajar ilmu pedang?"
Sebun Jui-soat menyahut, "Ilmu pengetahuan tidak berhingga, ilmu pedang tiada batasnya."
Yap Koh-seng berkata, "Kau pernah belajar ilmu pedang, tentu kau tahu bahwa orang yang belajar pedang kejujurannya cukup berada di pedangnya, dan tidak perlu ada pada orangnya."
Sebun Jui-soat tidak berkata apa-apa lagi, percakapan itu pun berhenti.
Ujung jalan adalah kaki langit, ujung percakapan adalah pedang.
Pedang di tangan sudah terhunus.
Saat itulah sinar pedang tampak gemerlapan, tapi bukan pedang mereka.
Yap Koh-seng berpaling, ternyata keempat penjuru sudah terkepung rapat. Dinding manusia ada di mana-mana, ribuan pedang tampak memantulkan sinar kemilau yang dingin, pada saat yang bersamaan juga terlihat seperti jaring pedang.
Bukan hanya jaring pedang, tapi juga hutan golok dan gunung tombak.
Di bawah sinar bulan yang terang dan dingin menggidikkan hati, keangkeran Istana Terlarang benar-benar tak bisa dibayangkan siapa pun.
Gui Cu-hun selalu bersikap tenang, tapi sekarang di ujung hidungnya sudah timbul butiran-butiran keringat yang besar. Tangannya menggenggam pedang panjang, di belakangnya berbaris pengawal bersenjata, sepasang matanya tak pernah lepas dari Yap Koh-seng, terdengar dia berkata, "Pek-in-sengcu?"
Yap Koh-seng mengangguk.
Gui Cu-hun berkata pula, "It-kiam-tang-lay, thian-gwa-hui-sian. Orang yang dianggap bagaikan dewa, mengapa turun ke tempat ramai dan melakukan perbuatan yang konyol?"
Yap Koh-seng berujar, "Kau tidak mengerti?"
Gui Cu-hun menyahut, "Aku memang tidak mengerti."
Yap Koh-seng berkata, "Urusan semacam ini tak akan pernah bisa kau mengerti."
Gui Cu-hun berucap, "Aku memang tidak mengerti, tapi".."
Tay-boh-sin-eng (Elang Sakti dari Gurun Pasir) To Hong, yang berada di belakang Gui Cu-hun, tiba-tiba memotong, "Tetapi kami mengerti bahwa kejahatan yang kau lakukan ini hanya pantas diganjar dengan hukuman berat."
Walaupun pada mulanya dia terkenal dengan Eng-jiau-kang (Ilmu Cakar Rajawali), tapi setelah berusia setengah baya dia tiba-tiba mulai berlatih ilmu pedang.
Koleksi Kang Zusi
Pedangnya panjang dan sempit, persis seperti pedang yang biasa digunakan murid-murid Hay-lam-pai, tapi yang dipelajarinya adalah Kun-lun-kiam-hoat yang beraliran lurus.
Yap Koh-seng melirik pedangnya itu, lalu mendengus dan berkata, "Kau tahu aturan apa yang telah kau langgar?"
To Hong tidak memahami ucapannya itu.
Yap Koh-seng berkata pula, "Tidak sanggup belajar golok, berlatih pedang pun tidak berhasil, tetapi berani bersikap lancang padaku, kau sudah melakukan pelanggaran besar."
Wajah To Hong pun berubah semakin kelam, pedang di tangannya bergerak tiada hentinya, siap untuk melakukan serangan kapan saja.
Perubahan di wajahnya tentu saja bisa dilihat orang lain. Tapi, walaupun Yap Koh-seng merupakan seorang jagoan tanpa tandingan, dia tak gentar untuk menghadapinya.
Tapi sebelum To Hong maju, mendadak ada orang yang mencegahnya.
Sebun Jui-soat tiba-tiba berkata, "Tunggu sebentar."
To Hong bertanya, "Tunggu apa lagi?"
Sebun Jui-soat berkata, "Dengarkan dulu perkataanku."
Saat ini, bila Sebun Jui-soat hendak bicara, tentu saja semua orang harus mendengarkan.
Gui Cu-hun memberi tanda dengan anggukan, To Hong pun terdiam.
Sebun Jui-soat berkata, "Jika aku bergabung dengan Yap Koh-seng, siapakah di dunia ini yang sanggup mengatasinya?"
Tidak ada. Jawaban ini tentu saja diketahui semua orang.
Gui Cu-hun menarik nafas dengan berat, butiran-butiran keringat di ujung hidungnya pun semakin deras mengucur.
Sebun Jui-soat menatapnya dan berkata, "Kau faham maksud ucapanku?"
Gui Cu-hun menggelengkan kepalanya.
Walaupun sebenarnya dia mengerti maksud ucapan Sebun Jui-soat, tapi dia lebih suka pura-pura tidak mengerti, karena dia membutuhkan waktu untuk memikirkan situasi ini.
Sebun Jui-soat berkata, "Sejak belajar pedang pada usia tujuh tahun, sampai sekarang aku belum pernah bertemu tandingan."
Yap Koh-seng tiba-tiba menghela nafas, lalu ia berkata, "Kesepian dan kesunyian yang dialami oleh orang yang belajar pedang sampai di tingkat tertinggi, mana mungkin orang-orang ini mengetahuinya" Mengapa kau bicara pada mereka?"
Sebun Jui-soat menatapnya, di matanya terlihat sorot yang amat aneh. Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya ia berkata dengan lambat, "Malam ini adalah malam bulan purnama."
Yap Koh-seng berujar, "Hmm."
Sebun Jui-soat berkata pula, "Kau adalah Yap Koh-seng."
Yap Koh-seng kembali berucap, "Hmm."
Sebun Jui-soat melanjutkan, "Kau memegang pedang, aku juga."
Yap Koh-seng hanya menggumam, "Hmm."
Sebun Jui-soat kembali berkata, "Karena itu, akhirnya aku bertemu tandinganku."
Tiba-tiba Gui Cu-hun memotong, "Jadi kau tidak akan membiarkan dia menjalani hukuman mati?"
To Hong berseru, "Kau tidak perduli pada hukum?"
Sebun Jui-soat berkata, "Saat ini aku hanya meminta Yap Koh-seng untuk segera bertarung denganku. Mengenai hidup atau mati, hina atau terhormat, aku tidak perduli."
Gui Cu-hun berkata, "Tampaknya di matamu pertarungan ini bukan saja lebih penting daripada hukum, tapi bahkan lebih penting daripada nyawamu sendiri."
Sorot mata Sebun Jui-soat menatap ke kejauhan, lalu dia berkata dengan lambat, "Hidup merasakan senang, mati merasakan takut, bisa mendapatkan tandingan seperti Pek-in-sengcu, mati pun tidak akan menyesal."
Bagi dirinya, lawan yang setanding jauh lebih sulit ditemukan daripada sahabat setia.
Melihat wajahnya yang penuh dengan perasaan sepi itu, sorot mata Gui Cu-hun juga tampak berubah amat aneh. Tak tahan lagi ia pun menghela nafas dan berkata: "Hidup dan mati bukan masalah penting, aku memahami maksud ucapanmu, tapi".."
Koleksi Kang Zusi
Sebun Jui-soat berkata pula, "Apakah kau ingin agar aku membantunya lolos dulu, baru kemudian kami bertarung di tempat lain?"
Kedua tangan Gui Cu-hun terkepal erat-erat, di ujung hidungnya mengucur keringat dingin.
Sebun Jui-soat melanjutkan, "Pertarungan ini tetap harus terjadi, kau sebaiknya segera mengambil keputusan."
Gui Cu-hun tak mampu mengambil keputusan.
Ia adalah orang yang berpengalaman dan selalu berhati-hati, tapi saat ini ia benar-benar tak berani mengambil resiko.
Tiba-tiba terlihat seseorang melangkah keluar dari balik barisan golok dan pedang. Melihat orang ini, semua orang pun menghela nafas lega.
Jika di dunia ini ada orang yang sanggup mengambil keputusan dalam urusan ini, orang itu tentu saja Liok Siau-hong.
Walaupun bulan yang bersinar terang mulai menghilang di barat, tapi kabut belum mulai terangkat.
Liok Siau-hong mengalihkan pandangannya dari sang rembulan, lalu matanya menatap Sebun Jui-soat.
Tapi Sebun Jui-soat tidak memandangnya.
Liok Siau-hong tiba-tiba berkata, "Pertarungan ini benar-benar harus terjadi?"
Sebun Jui-soat berkata, "Mmm."
Liok Siau-hong berkata lagi, "Kemudian apa?"
Sebun Jui-soat menyahut, "Tidak ada lagi."
Liok Siau-hong berkata pula, "Maksudmu, setelah pertarungan ini berlangsung, tidak perduli kau menang atau kalah, maka urusan akan berakhir sampai di situ?"
Sebun Jui-soat menjawab, "Ya."
Liok Siau-hong tiba-tiba tersenyum, lalu dia berpaling dan menepuk pundak Gui Cu-hun serta berkata, "Kau sudah mengambil keputusan untuk urusan ini?"
Gui Cu-hun menyahut, "Aku".."
Liok Siau-hong berkata pula, "Jika aku adalah kau, aku tentu saja akan mempersilakan mereka untuk segera memulai pertarungan."
Gui Cu-hun berujar, "Coba jelaskan."
Liok Siau-hong berkata, "Karena pertempuran ini, tak perduli siapa pun yang menang atau kalah, akan menguntungkan semua pihak dan tidak merugikan kalian sama sekali. Lalu apa lagi yang harus ditunggu?"
Gui Cu-hun mempertimbangkan dengan serius.
Liok Siau-hong berkata pula, "Keuntungan yang kusebutkan itu adalah keuntungan yang akan diperoleh oleh pihak ketiga dalam sebuah pertarungan."
Gui Cu-hun merenung, matanya melirik ke arah Yap Koh-seng, lalu beralih pada Sebun Jui-soat, dan terakhir pada Liok Siau-hong. Akhirnya ia menghela nafas panjang dan berkata, "Walaupun malam ini adalah malam bulan purnama, tapi tempat ini bukanlah puncak Istana Terlarang."
Liok Siau-hong berucap, "Maksudmu, kita harus kembali ke istana?"
Gui Cu-hun tersenyum dan berkata, "Karena pertarungan ini harus terjadi, mengapa kita membiarkan orang yang telah datang dari tempat ribuan li melakukan perjalanan yang sia-sia?"
Liok Siau-hong pun tersenyum dan berujar, "Siau-siang-kiam-khek benar-benar orang yang bijaksana."
Gui Cu-hun juga menepuk pundaknya, lalu tersenyum dan berkata, "Dan Liok Siau-hong benar-benar Liok Siau-hong."
Walaupun bulan yang bersinar terang mulai tenggelam di barat, tapi bentuknya malah tampak semakin bundar.
Bulan purnama seakan menggantung di atas wuwungan istana. Di atas wuwungan itu telah berkumpul banyak orang, tapi tidak terdengar suara sedikit pun.
Sukong Ti-sing, Lau-sit Hwesio, semuanya menutup mulutnya, karena mereka sama-sama bisa merasakan semacam tekanan yang mengancam.
Tiba-tiba, seperti seekor naga yang sedang meraung, sinar pedang tampak menjulang ke angkasa.
Koleksi Kang Zusi
Pedang Yap Koh-seng sudah dihunus.
Di bawah sinar bulan, pedang itu seakan tampak pucat.
Bulan yang pucat, pedang yang pucat, wajah yang pucat.
Yap Koh-seng hanya menatap pedang di tangannya dan berkata, "Silakan."
Ia tidak memandang wajah Sebun Jui-soat, tidak memandang pedang di tangan Sebun Jui-soat, juga tidak menatap mata Sebun Jui-soat.
Ini adalah pertaruhan antara hidup dan mati.
Pertarungan di antara dua jagoan juga sama seperti pertempuran di antara dua pasukan tentara.
Siapa yang mengetahui keadaan musuhnya, selamanya akan memenangkan pertempuran.
Karena itu gerak-gerik lawan harus selalu diamati dengan cermat, sedikit pun tidak boleh lengah.
Karena setiap kemungkinan akan mentukan siapa yang menang dan kalah.
Yap Koh-seng telah mengalami ratusan kali pertarungan. Sebagai orang yang tidak pernah kalah, tentu saja dia memahami prinsip ini.
Karena itu dia pun tidak boleh melakukan kesalahan, dia tak boleh melanggar prinsip ini.
Sorot mata Sebun Jui-soat tajam bagaikan pedang, seolah-olah tidak hanya bisa melihat tangannya, wajahnya, namun juga menembus hatinya.
Yap Koh-seng kembali berkata, "Silakan."
Sebun Jui-soat tiba-tiba berujar, "Sekarang belum bisa."
Yap Koh-seng bertanya, "Mengapa belum bisa?"
Sebun Jui-soat menyahut, "Kita harus menunggu sebentar."
Yap Koh-seng bertanya lagi, "Mengapa?"
Sebun Jui-soat pun menyahut, "Karena hatimu tidak tenang."
Yap Koh-seng terdiam.
Sebun Jui-soat melanjutkan, "Jika hati dalam keadaan kalut, ilmu pedangnya pun tentu akan kalut, orangnya tentu akan menghadapi kematian."
Yap Koh-seng mendengus dan berkata, "Menurutmu, sebelum bertanding pun aku sudah kalah?"
Sebun Jui-soat berujar, "Jika sekarang kau kalah, sebabnya bukan karena kalah bertanding."
Yap Koh-seng berucap, "Karena itu kau tidak mau memulai pertarungan ini?"
Sebun Jui-soat tidak menyangkal.
Yap Koh-seng berkata pula, "Karena kau tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan?"
Sebun Jui-soat pun mengangguk.
Yap Koh-seng berkata, "Tapi pertarungan ini harus terjadi."
Sebun Jui-soat berujar, "Aku akan menunggu."
Yap Koh-seng bertanya, "Kau mau menungguku?"
Sebun Jui-soat mengangguk dan berkata, "Aku yakin aku tidak akan menunggu terlalu lama."
Yap Koh-seng tiba-tiba menatapnya, di matanya sekilas terlihat perasaan terima kasih, yang kemudian segera buyar oleh sinar pedang di tangannya.
Berterima kasih pada musuhmu adalah sebuah kesalahan yang fatal.
Yap Koh-seng berkata, "Aku tidak boleh membiarkanmu lama menungguku. Sementara kau menunggu, bisakah aku berbincang-bincang dengan seseorang?"
Sebun Jui-soat bertanya, "Apakah berbincang-bincang akan membuat fikiranmu lebih tenang?"
Yap Koh-seng menjawab, "Bila aku bisa berbicara dengan orang ini, barulah fikiranku akan menjadi tenang."
Sebun Ji-soat bertanya pula, "Siapa orang itu?"
Pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu diucapkan. Tentu saja yang akan diajak bicara oleh Yap Koh-seng adalah Liok Siau-hong, karena hanya si burung hong kecil yang bisa menjawab dan menguraikan seluruh pertanyaan yang ada di hatinya.
Liok Siau-hong sudah duduk, duduk di atas wuwungan Istana Terlarang, duduk di atas genteng licin yang bisa membuat orang tergelincir bila kurang berhati-hati itu.
Bulan yang terang bersinar di belakangnya, bersinar di atas kepalanya, cahaya terangnya yang membias di kepalanya seakan sinar yang berasal dari surga.
Yap Koh-seng menatapnya, menatapnya sekian lama, lalu tiba-tiba dia berkata, "Kau bukan dewa."
Koleksi Kang Zusi
Liok Siau-hong menyahut, "Memang bukan."
Yap Koh-seng berkata pula, "Karena itu aku tidak bisa mengerti, bagaimana kau bisa mengetahui rahasia sebanyak itu?"
Liok Siau-hong tersenyum dan berkata, "Kau benar-benar mengira kalau selamanya kau bisa menyembunyikan rahasia ini dari orang banyak?"
Yap Koh-seng berujar, "Mungkin tidak seperti itu, tapi rencana kami?""
Liok Siau-hong berkata, "Rencana kalian itu benar-benar bagus, juga amat teliti. Hanya saja, walaupun rencana itu demikian cermat, tetap saja ada titik kelemahannya."
Yap Koh-seng bertanya, "Di mana titik kelemahannya" Bagaimana kau bisa melihatnya?"
Liok Siau-hong bimbang sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Aku sendiri tidak tahu pasti.
Hanya saja aku merasa, ada beberapa orang yang seharusnya tidak mati, tapi ternyata malah mati secara misterius."
Yap Koh-seng bertanya pula, "Maksudmu Thio Eng-hong, Kongsun-toanio dan Auyang Cing?"
Liok Siau-hong berujar, "Juga si Tuan Besar Cucu Kura-kura."
Yap Koh-seng berkata, "Mengapa kami harus membunuh mereka?"
Liok Siau-hong menjawab, "Sekarang aku sudah mengetahui jawabannya."
Yap Koh-seng berucap, "Katakanlah."
Liok Siau-hong berkata pula, "Rencana busuk kalian ini sudah lama berlangsung secara rahasia.
Ong-congkoan melakukan hubungan dan kontak dengan fihak Lam-ong-hu, mereka bertemu di rumah bordil Auyang."
Yap Koh-seng berkata, "Karena mereka yakin, orang tentu tidak akan menduga kalau seorang Thaykam dan Lhama akan sering datang ke rumah bordil."
Liok Siau-hong berujar, "Tapi kalian tetap tidak merasa lega, karena kalian tahu Sun-loya dan Auyang Cing bukanlah orang biasa. Kalian curiga kalau mereka sudah mengetahui rahasia ini, karena itu " tentu saja kalian harus melenyapkan mereka dari muka bumi ini."
Yap Koh-seng berkata, "Sebenarnya, aku memang harus membunuh mereka."
Liok Siau-hong berujar, "Memang."
Yap Koh-seng berkata pula, "Karena kaitan mereka dengan urusan ini sangatlah besar artinya, aku tidak boleh menyerempet bahaya."
Liok Siau-hong pun berujar, "Karena itu aku pun kemudian sadar, di balik pertarungan besar kalian ini tentu tersimpan sebuah rahasia yang lebih besar lagi. Pertarungan kalian ini terselenggara bukan hanya karena pertaruhan antara Li Yan-pak dan Toh Tong-han semata."
Yap Koh-seng menghela nafas dan berkata, "Kami pun memang harus membunuh Thio Eng-hong."
Liok Siau-hong melanjutkan, "Karena dia terlalu tergesa-gesa dalam mencari Sebun Jui-soat. Dia berhasil menemukan sarang Ong-thaykam dan tanpa disengaja juga mengetahui keberadaanmu di sana, tentu saja dia harus dibunuh secepat mungkin."
Yap Koh-seng berkata, "Kau tentu sudah tahu, patung lilin ketiga yang diukirnya itu adalah aku."
Liok Siau-hong berujar, "Dan karena patung lilin ini pula, Thio si Boneka pun harus mati."
Yap Koh-seng berkata, "Aku membunuh Kongsun-toanio, tujuannya adalah untuk memfitnah dirinya."
Liok Siau-hong berucap, "Kau juga berharap agar aku mencuriga Lau-sit Hwesio."
Yap Koh-seng mendengus dan berkata, "Kau benar-benar mengira kalau dia itu Lau-sit (jujur)?"
Liok Siau-hong tiba-tiba tersenyum dan berujar, "Walaupun aku sering curiga pada orang yang salah, juga sering memilih jalan yang salah, tetapi terkadang aku pun bisa menemukan keberuntungan dalam kesalahan."
Yap Koh-seng bergumam, "Menemukan keberuntungan dalam kesalahan?"
Liok Siau-hong berkata pula, "Jika aku tidak curiga pada Lau-sit Hwesio, lalu tidak menanyai Auyang Cing dengan teliti, tentu aku tak akan tahu kalau Ong-thaykam dan Lhama dari Ong-lam-hu pun sering datang ke sana."
Pek-in-sengcu berujar, "Sejak itu, kau pun mulai curiga padaku?"
Koleksi Kang Zusi
Liok Siau-hong menghela nafas dan berkata, "Sebenarnya aku tidak mencurigaimu. Walaupun aku merasa kau tidak mungkin bisa dibokong orang, apalagi oleh jarum beracun keluarga Tong, tapi aku tidak pernah benar-benar mencurigaimu, karena?""
Ia menatap Yap Koh-seng dan menambahkan dengan lambat, "Karena aku selalu menganggapmu sebagai sahabatku."
Yap Koh-seng memalingkan mukanya, apakah dia tidak punya muka untuk berhadapan dengan Liok Siau-hong lagi"
Liok Siau-hong berkata pula, "Kau menggunakan pertaruhan Li Yan-pak dan Toh Tong-han sebagai kedok, memanfaatkan pertarungan besar ini sebagai panggung sandiwara. Pertama kau atur dulu orang yang akan menyamar sebagai dirimu di tempat Toh Tong-han sana. Bila kau muncul, seluruh tubuhmu selalu penuh dengan aroma bunga, seakan-akan kau hendak menutupi bau yang berasal dari lukamu. Tapi sebenarnya di tubuhmu sama sekali tidak ada bau itu."
Liok Siau-hong menghela nafas dan menambahkan, "Rencana ini benar-benar hebat, benar-benar luar biasa."
Yap Koh-seng masih memalingkan mukanya.


Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liok Siau-hong berkata pula, "Yang paling luar biasa adalah sabuk-sabuk sutera itu."
Yap Koh-seng bergumam, "Oh?"
Liok Siau-hong berkata, "Gui Cu-hun membatasi jumlah orang-orang dunia Kangouw yang mendapatkan sabuk sutera itu, maka kau pun menyuruh Ong-congkoan untuk mencuri sisa gulungan sutera yang bisa berubah warna itu, membuat beberapa sabuk sutera, lalu mengirim orang-orangmu ke tempat pertarungan. Karena jumlah orang yang datang ternyata terlalu banyak, maka Gui Cu-hun terpaksa memusatkan penjagaan di Thay-ho-tian dan kalian akan bisa menerobos masuk ke istana tanpa hambatan."
Yap Koh-seng menengadah dan memandang ke langit.
Liok Siau-hong berkata, "Sayangnya kau tetap salah perhitungan. Walaupun kau sudah menduga kalau Sebun Jui-soat tidak akan mau bertarung dengan orang yang telah terluka, tapi kau lupa kalau Tong Thian-ciong akan membalaskan dendam untuk Toako dan Jiko-nya."
Yap Koh-seng bertanya, "Tong Thian-ciong?"
Liok Siau-hong berujar, "Kalau Tong Thian-ciong tidak melukai orang yang menyamar sebagai dirimu itu, aku mungkin tidak akan pernah mencurigaimu."
Yap Koh-seng bergumam, "Oh?"
Liok Siau-hong berkata lagi, "Setelah mengetahui rahasiamu, aku pun segera teringat pada istana, juga pada Ong-thaykam. Saat itulah akhirnya aku memahami persengkongkolan kalian, persekongkolan busuk yang begitu menakutkan."
Tiba-tiba Liok Siau-hong bertanya, "Kau masih bisa tersenyum?"
Yap Koh-seng berujar, "Aku tidak boleh tersenyum?"
Liok Siau-hong menatapnya, akhirnya ia mengangguk dan berkata, "Asal masih bisa tersenyum, orang memang harus banyak tersenyum."
Tapi senyuman pun ada banyak jenisnya, ada senyuman bahagia, senyuman dipaksa, senyuman tanda tersanjung, senyuman pahit dan getir.
Yang manakah jenis senyuman Yap Koh-seng" Tidak perduli apa pun jenis senyumannya, asalkan dia masih bisa tersenyum saat ini, maka dia bukanlah orang biasa, dia adalah seorang enghiong.
Tiba-tiba ia menepuk pundak Liok Siau-hong dan berkata, "Aku pergi dulu."
Liok Siau-hong berkata pula, "Tidak ada lagi yang ingin kau ucapkan?"
Yap Koh-seng berfikir sejenak, lalu berkata, "Ada."
Liok Siau-hong berujar, "Katakanlah."
Yap Koh-seng berkata, "Tak perduli apa pun pandanganmu, kau selalu menjadi sahabatku."
Lalu ia melangkah pergi dan menghampiri Sebun Jui-soat. Tiba-tiba angin musim gugur terasa dingin seperti di akhir musim dingin?"
*** Saat ini sinar bulan terlihat remang-remang, remang-remang seperti sinar bintang.
Sinar bintang memang remang-remang seperti impian, impian seorang kekasih.
Koleksi Kang Zusi
Seorang kekasih tentu saja selalu menyenangkan. Terkadang ada orang yang lebih menyenangkan daripada kekasih, tapi tentu saja amat jarang.
Kebencian tentu saja bukan sekedar luapan perasaan yang kelewat batas. Dalam kebencian, terkadang juga tercakup pengertian dan perasaan hormat.
Sayangnya, musuh yang berharga tidaklah banyak, musuh yang patut dihormati malah lebih sedikit lagi.
Tapi dendam berbeda.
Kebencian adalah takdir, dendam adalah hasil suatu nasib. Kebencian menggerakkanmu, sedangkan dendam adalah kau sebagai penggeraknya.
Bisakah kau mengatakan bahwa Sebun Jui-soat membenci Yap Koh-seng" Bisakah kau mengatakan kalau Yap Koh-seng membenci Sebun Jui-soat" Di antara mereka tidak ada dendam, yang ada hanyalah kebencian, kebencian karena kelahiran mereka, kebencian karena kehidupan mereka.
Mungkin kebencian Yap Koh-seng adalah karena setelah Yap Koh-seng lahir, lalu mengapa lahir pula seorang Sebun Jui-soat"
Mungkin kebencian Sebun Jui-soat pun sama.
Antara cinta dan benci hanya ada sehelai benang yang amat tipis, lalu mengapa kita selalu memandang salah satunya secara berlebihan"
Sekarang telah tiba saatnya duel yang menentukan itu.
Bila duel yang menentukan ini sudah tiba waktunya, tidak seorang pun yang mampu mencegahnya lagi.
Walau detik ini mungkin singkat, tapi banyak orang yang sudah menunggunya, mereka sudah mengorbankan segala yang mereka miliki untuk menyaksikan duel ini.
Teringat pada orang-orang ini, tiba-tiba Yap Koh-seng merasa pahit dan getir.
Apakah pertarungan ini berharga untuk dilaksanakan" Apakah berharga juga untuk orang-orang yang menyaksikannya" Tidak ada yang bisa menjawabnya, tidak seorang pun yang bisa menilai.
Bahkan Liok Siau-hong pun tidak.
Tapi dia juga merasakan tekanan dan hawa pedang itu, ia merasakan tekanan yang mungkin jauh lebih besar daripada yang dirasakan oleh orang lain.
Karena Sebun Jui-soat adalah sahabatnya.
Sekali saja kau menganggap seseorang sebagai sahabatmu, maka selamanya dia adalah sahabatmu.
Karena itu Liok Siau-hong terus memperhatikan pedang Sebun Jui-soat dan Yap Koh-seng, mengawasi setiap gerak-gerik, tatapan mata, ekspresi wajah, bahkan denyutan otot mereka.
Ia mengkhawatirkan Sebun Jui-soat. Walaupun Sebun Jui-soat dulu dianggap sebagai seorang dewa, dewa pedang, tetapi sekarang dia bukan lagi dewa, dia adalah seorang manusia biasa.
Karena dia sudah mempunyai perasaan cinta, perasaan yang manusiawi.
Manusia selalu bersifat lemah, selalu punya kelemahan. Karena itu pula, manusia berbakat tetaplah seorang manusia.
Apakah Liok Siau-hong sudah mengetahui kelemahan Sebun Jui-soat" Liok Siau-hong merasa amat gelisah, apakah karena dia tahu kelemahan itu akan berakibat fatal"
Dia pun tahu bahwa, walaupun Yap Koh-seng mau melepaskan Sebun Jui-soat, Sebun Jui-soat belum tentu mau melepaskan dirinya sendiri.
Yang menang hidup, yang kalah mati.
Anehnya, dia pun mengkhawatirkan Yap Koh-seng.
Dia tidak pernah melihat perasaan cinta Yap Koh-seng pada manusia, dia pun tak pernah melihat luapan emosinya.
Kehidupan Yap Koh-seng adalah pedang, pedang adalah kehidupan Yap Koh-seng. Tapi kehidupan sendiri merupakan medan pertempuran, baik pertempuran besar maupun kecil. Tidak perduli pertempuran macam apa pun itu, biasanya hanya ada satu macam tujuan, yaitu kemenangan.
Kemenangan berarti kehormatan, kebanggaan, kebanggaan yang menaikkan derajat seseorang.
Tapi bagi Yap Koh-seng sendiri, kemenangan sudah hilang maknanya, karena kalau kalah dia pasti mati, menang juga pasti mati.
Koleksi Kang Zusi
Tidak perduli menang atau kalah, kebanggaan itu tidak dapat mengembalikan kehormatannya.
Semua orang pun tahu, malam ini ia tak dapat meninggalkan Istana Terlarang dalam keadaan hidup.
Karena itu, walaupun kedua orang ini mempunyai semua syarat untuk menang, tapi juga mempunyai alasan untuk kalah.
Sebenarnya siapakah yang akan memenangkan pertarungan ini" Siapa pula yang kalah" Saat ini sinar bulan semakin pucat, seluruh perhatian dunia seakan terpusat pada kedua pedang itu. Dua pedang dewata.
Tiba-tiba pedang itu mulai menusuk.
Tusukan pedang itu tidak begitu cepat, jarak di antara Sebun Jui-soat dan Yap Koh-seng pun masih terlalu jauh.
Belum lagi pedang mereka saling bersentuhan, gerakan pedang mulai menunjukkan perubahan yang tiada hentinya. Orangnya sendiri bergerak dengan amat lambat. Tetapi perubahan gerak pedangnya teramat cepat, karena sekali mereka memulai gerakannya, maka gerakan itu akan mengalir sesuai kehendak hati.
Orang biasa mungkin menganggap pertarungan ini tidak menegangkan, tidak seru, dan tidak luar biasa, tetapi Gui Cu-hun, Ting Go, In Cu dan To Hong berempat semuanya telah mengeluarkan keringat dingin dari sekujur tubuh mereka.
Keempat orang ini adalah jago-jago pedang kelas satu di jaman itu. Mereka melihat gerak perubahan pedang itu sudah melewati batas kemampuan manusia, sudah melewati tingkat yang bisa dicapai manusia.
Jika Yap Koh-seng bukan tandingan Sebun Jui-soat dan sebaliknya, tentu setiap gerakan dan serangan pedang itu sudah berhasil membunuh salah satunya.
Pedang dan orangnya berbaur menjadi satu, ini sudah menjadi ilmu pedang batin.
Liok Siau-hong pun tiba-tiba mengucurkan keringat dingin. Mendadak dia menyadari bahwa, walaupun gerak perubahan pedang Sebun Jui-soat terlihat lincah dan gesit, tapi di dalamnya ternyata lamban, tidak seringan dan selancar gerakan pedang Yap Koh-seng.
Pedang Yap Koh-seng bagaikan hembusan angin dari balik awan putih.
Pada pedang Sebun Jui-soat seakan ada benang yang menghubungkan dirinya dengan isterinya, keluarganya, perasaannya?"
Liok Siau-hong pun menyadari, dalam 20 gerak perubahan lagi, pedang Yap Koh-seng tentu akan berhasil menembus tenggorokan Sebun Jui-soat.
Dua puluh gerak perubahan akan berlalu dalam sekejap mata.
Ujung jari Liok Siau-hong sudah terasa dingin bagaikan es.
Sekarang, siapa pun tak akan mampu merubah takdir Sebun Jui-soat. Liok Siau-hong tidak bisa, Sebun Jui-soat pun tidak.
Jarak kedua orang itu sudah amat dekat.
Tiba-tiba kedua pedang itu saling menusuk dengan seluruh tenaga dan kekuatannya.
Ini sudah menjadi akhir pertarungan, akhir yang akan menentukan siapa yang menang dan kalah.
Baru sekarang Sebun Jui-soat menyadari bahwa pedangnya selangkah lebih lamban, pedangnya baru menusuk ke arah dada Yap Koh-seng, tapi pedang Yap Koh-seng sudah hampir menembus tenggorokannya.
Tampaknya, Sebun Jui-soat tidak punya pilihan lain kecuali menerima nasibnya ini.
Tapi saat itulah mendadak ia menyadari bahwa arah ujung pedang Yap Koh-seng tiba-tiba menyimpang, mungkin hanya berselisih sejauh 2 inci, tapi tentu saja selisih itu sudah cukup untuk menentukan hidup dan mati.
Bagaimana kesalahan ini bisa terjadi" Apakah karena Yap Koh-seng tahu hidupnya tak jauh lagi dari kematian" Ujung pedang terasa dingin bagaikan es.
Ujung pedang yang dingin bagaikan es itu pun menusuk dada Yap Koh-seng. Ia bahkan bisa merasakan ujung pedang itu menyentuh jantungnya.
Lalu dia merasakan semacam rasa sakit yang aneh, seakan dia melihat kekasihnya tercinta mati di atas pembaringan, rasa sakit yang menusuk ke hati itu persis sama.
Itu bukan hanya rasa sakit, tapi juga rasa takut, takut yang luar biasa.
Koleksi Kang Zusi
Karena ia tahu, semua kegembiraan dan kesenangan dalam hidupnya telah berakhir dalam sekejap ini.
Sekarang hidupnya telah berakhir, berakhir di ujung pedang Sebun Jui-soat.
Tapi tentu saja dia tidak membenci Sebun Jui-soat, malah yang ada hanyalah perasaan terima kasih, yang selamanya tak akan dapat difahami orang.
Di saat terakhirnya itu " sekilas ia melihat gerakan pedang Sebun Jui-soat pun melambat, seakan siap untuk menarik kembali serangannya ini.
Yap Koh-seng melihat dan dapat merasakannya dengan jelas.
Ia tahu Sebun Jui-soat tentu saja tidak ingin membunuhnya, tapi tetap harus membunuhnya, karena Sebun Jui-soat tahu bahwa dia lebih suka mati di bawah pedangnya.
Karena harus mati, mengapa tidak mati saja di bawah pedang Sebun Jui-soat" Mati di bawah pedang Sebun Jui-soat, setidaknya merupakan kematian yang terhormat.
Sebun Jui-soat memahami perasaannya ini, karena itu dia pun membantunya.
Karena itu ia pun merasa berterima-kasih.
Saling pengertian dan simpati semacam ini hanya bisa timbul di antara seorang enghiong terhadap enghiong lainnya.
Dalam sekilas itu, sorot mata kedua orang itu pun bentrok, Yap Koh-seng berusaha membuka suaranya yang seperti berasal dari dunia lain.
"Terima kasih."
Sesungguhnya kalimat itu tidak keluar dari bibirnya, tapi bisa dibaca dari sorot matanya.
Dia tahu bahwa Sebun Jui-soat tentu akan mengerti.
Sinar bulan yang terang-benderang telah menghilang, cahaya bintang pun sudah lenyap, akhirnya jago pedang yang tiada duanya itu rebah di atas tanah untuk selama-lamanya.
Apakah reputasinya pun akan menghilang sesudah ini" Di ujung langit terlihat segumpal awan datang melayang, apakah dia akan membawa berita ini ke dunia luar" Ataukah dia datang untuk memberi penghormatan terakhir pada jago pedang tanpa tanding ini" Cuaca seakan bertambah dingin, semakin gelap. Wajah Yap Koh-seng terlihat dingin, samar-samar dan penuh kegaiban.
Di ujung pedang masih menempel noda darah.
Sebun Jui-soat meniup darah itu, matanya menatap ke segala penjuru. Setelah terdiam sekian lama, tiba-tiba perasaan sepi terasa mencekam hatinya.
Sebun Jui-soat meletakkan pedangnya di pinggir, lalu ia membopong jenazah Yap Koh-seng.
Pedang itu dingin, tapi mayat itu lebih dingin lagi.
Tapi yang paling dingin adalah hati Sebun Jui-soat.
Pertarungan yang menggoncangkan dunia itu telah berakhir, musuh yang lebih berharga daripada sahabat setia itu pun sudah mati di bawah pedangnya.
Urusan apa lagi di dunia ini yang mampu menghangatkan hatinya" Yang mampu membakar darahnya" Apakah dia telah memutuskan untuk menggantung pedangnya buat selamanya" Seperti tubuh Yap Koh-seng yang akan terbaring di dalam tanah untuk selamanya" Dia tidak mau orang lain mencampuri urusan itu.
Ting Go tiba-tiba menerobos maju, melintangkan pedangnya untuk menghadang jalannya, lalu menghardik dengan keras, "Kau tidak boleh membawa orang ini. Tak perduli dia masih hidup atau sudah mati, kau tetap tidak boleh membawanya."
Sebun Jui-soat sama sekali tidak memperdulikannya.
Ting Go berkata pula, "Orang ini adalah buronan pemerintah, siapa pun yang merawat mayatnya, akan menanggung akibatnya."
Sebun Jui-soat berkata, "Kau ingin aku meninggalkan jenazahnya?"
Ting Go mendengus dan berkata, "Apakah aku perlu memaksamu?"
Urat-urat di tubuh Sebun Jui-soat tampak menggelembung biru.
Ting Go berkata pula, "Bila Sebun Ji-soat dan Yap Koh-seng bergabung, mungkin tidak ada orang di dunia ini yang sanggup menghadapinya, tapi sayangnya Yap Koh-seng sekarang telah mampus, apakah kau seorang diri sanggup menghadapi tiga ribu orang tentara?"
Baru saja ia selesai bicara, tiba-tiba didengarnya seseorang mendengus.
Koleksi Kang Zusi
Orang itu pun berkata sambil tersenyum, "Walaupun Yap Koh-seng sudah mati, tapi Liok Siau-hong masih hidup."
Dan Liok Siau-hong pun muncul.
Ting Go tiba-tiba membalikkan badan dan berseru dengan keras, "Apa yang kau inginkan?"
Liok Siau-hong berkata dengan enteng, "Aku hanya ingin mengingatkanmu, Sebun Jui-soat dan Yap Koh-seng adalah sahabatku."
Ting Go berujar, "Kau ingin melindungi buronan pemerintah" Kau tahu apa hukumannya?"
Liok Siau-hong berkata, "Aku hanya tahu 1 hal."
Ting Go berucap, "Katakanlah."
Liok Siau-hong berkata, "Aku hanya tahu, bila suatu urusan tidak seharusnya dilakukan, maka aku tidak akan melakukannya. Tapi bila urusan itu harus dilakukan, biarpun kau tebas kepalaku, aku tetap akan melakukannya."
Wajah Ting Go tampak berubah.
To Hong dan In Cu segera melangkah maju, para pengawal pun menghunus senjata mereka.
Ketegangan semakin terasa.
Tiba-tiba seseorang melompat maju dan berteriak dengan keras, "Walau kalian berjumlah tiga ribu orang, tapi Liok Siau-hong adalah temanku. Aku tidak takut kepalaku dipenggal karena membela teman."
Orang ini adalah Pok Ki.
Bok-tojin pun segera melangkah ke depan dan berseru: "Walaupun pinto adalah seorang tosu yang tidak mau mencampuri urusan duniawi, tapi orang sepertiku juga harus membela seorang teman."
Ia berpaling, memandang Lau-sit Hwesio dan bertanya, "Bagaimana denganmu, Hwesio?"
Lau-sit Hwesio pun menyahut, "Kalau tosu tua pun mempunyai seorang sahabat, mengapa hwesio tidak?"
Ia melirik Sukong Ti-sing dan bertanya, "Dan kau bagaimana?"
Sukong Ti-sing menghela nafas dan berkata, "Para pengawal istana selain bertubuh besar, juga memiliki kepandaian yang tinggi, apalagi mereka pun pejabat-pejabat negara. Aku hanya maling kecil, maling paling takut pada pejabat, karena itu........"
Lau-sit Hwesio bertanya, "Karena itu bagaimana?"
Sukong Ti-sing tersenyum getir dan berkata, "Karena itu, sebenarnya aku tidak ingin mengakui Liok Siau-hong sebagai sahabatku. Sayangnya, mau tak mau aku harus mengakuinya."
Lau-sit Hwesio berujar, "Bagus sekali."
Sukong Ti-sing berucap, "Sama sekali tidak bagus."
Lau-sit Hwesio bertanya, "Mengapa tidak bagus?"
Sukong Ti-sing berkata pula, "Jika mereka tetap memaksa Sebun Jui-soat untuk meninggalkan mayat itu, Liok Siau-hong tentu akan membelanya?"
Lau-sit Hwesio berkata, "Ya."
Sukong Ti-sing berkata lagi, "Jika kita mendukung Liok Siau-hong, berarti kita pun tidak akan menurut?"
Lau-sit Hwesio menyahut, "Ya."
Sukong Ti-sing pun berujar, "Jadi kita tentu harus menghadapi mereka semua?"
Lau-sit Hwesio hanya mengiyakan.
Sukong Ti-sing berkata pula, "Aku sudah menghitung. Jika kita harus bentrok dengan mereka, setiap orang dari kita setidaknya harus menghadapi 317 orang musuh."
Ia menghela nafas, lalu menambahkan, "Dua kepalan saja sulit mengatasi empat kepalan. Sekarang sepasang kepalan harus menghadapi 600 kepalan, membayangkannya saja rasanya sudah mengerikan."
Lau-sit Hwesio tiba-tiba tersenyum dan berkata, "Jangan lupa kalau kau mempunyai tiga tangan."
Sukong Ti-sing juga tersenyum.
Mereka tersenyum dengan ringan, di atas Thay-ho-tian, di Kota Terlarang, menghadapi gunung pedang dan hutan golok yang berkilauan, mereka masih tetap bisa bersikap santai.
Koleksi Kang Zusi
Ting Go dan kawan-kawannya yang malah merasa gelisah, para pengawal itu sudah merasakan keadaan yang amat genting.
Bila pertempuran ini terjadi, siapa pun tidak berani membayangkan akibatnya.
Agaknya, mau tak mau pertempuran akan berlangsung juga.
Wajah Gui Cu-hun tampak tegang, kedua tangannya terkepal erat-erat. Dengan perlahan dia bekata,
"Kalian semua adalah jago-jago Kangouw yang sudah lama kuhormati, sebenarnya aku tidak berani bersikap kurang sopan, sayangnya aku memiliki tanggung jawab terhadap negara, karena itu........."
Tiba-tiba Liok Siau-hong memotong perkataannya, "Maksudmu, kau berharap kami semua memahamimu, tapi aku juga berharap kau mau memahami kami."
Gui Cu-hun berujar, "Katakanlah."
Liok Siau-hong berkata pula, "Di antara kami, ada yang suka uang, ada pula yang suka perempuan.
Ada yang berani mati, ada juga yang takut mati. Tapi bila tiba di saat yang kritis, kami selalu menghargai kesetiakawanan, kami memandangnya lebih berat dari segalanya."
Gui Cu-hun terdiam sekian lama, baru kemudian ia menghela nafas dan mengangguk, lalu berkata,
"Aku mengerti."
Liok Siau-hong berkata, "Kau seharusnya memang mengerti."
Gui Cu-hun berujar, "Tapi kau juga seharusnya mengerti."
Liok Siau-hong berucap, "Oh?"
Gui Cu-hun berkata, "Akibat dari pertempuran ini, kedua pihak tentu akan ada yang terluka atau binasa, hal yang mengerikan untuk dibayangkan. Lalu siapa yang harus bertanggung-jawab nantinya?"
Liok Siau-hong tidak membuka mulut, di dalam hatinya pun diam-diam terasa berat.
Gui Cu-hun menatap ke segala penjuru, lalu ia menghela nafas dan berkata, "Tak perduli siapa pun yang bertanggung-jawab, tampaknya pertempuran ini tak akan dapat dihindarkan, tak seorang pun yang bisa mencegahnya."
Liok Siau-hong merenung, lalu berkata dengan lambat, "Mungkin ada seseorang yang mampu mencegahnya."
Gui Cu-hun berkata, "Siapa?"
Liok Siau-hong berpaling dan menatap istana di kejauhan, di matanya terpancar sebuah ekspresi yang amat aneh.
Saat itulah dari dalam istana tiba-tiba terdengar seseorang berseru dengan keras, "Firman Kaisar tiba!"
Seorang Thaykam berbaju kuning yang memegang selembar kertas, tampak berlari keluar dengan tergesa-gesa.
Semua orang segera berlutut. Thaykam itu segera membacakan firman dari Kaisar, "Kaisar memerintahkan Liok Siau-hong untuk segera pergi ke Lam-siu-hong. Orang lainnya segera tinggalkan istana."
Perintah Kaisar tentu tak boleh dibantah. Yang disebut 'orang lainnya' tentu saja termasuk orang mati, karena itu pertempuran itu pun sudah berakhir sebelum dimulai.
Tanggal 16 bulan sembilan. Malam hari. Bulan purnama mulai naik. Malam ini bulan tentu akan berbentuk lebih bundar daripada tanggal 15.
Sukong Ti-sing entah sudah berapa kali berjalan mondar-mandir di sepanjang pagar istana. Ia ingin menghitung berapa jumlah tiang pagar istana, tapi tidak berhasil juga, karena benaknya pun sibuk memikirkan Liok Siau-hong yang belum keluar juga dari istana. Mengapa kaisar menahannya"
Menemani seekor harimau masih lebih aman daripada menemani kaisar. Bila berada di hadapan kaisar, orang tidak boleh sembarangan bicara, kalau tidak kepala pun bisa pindah dari sarangnya.
Tetapi bukan cuma Sukong Ti-sing yang merasa khawatir. Asalkan dia sahabat Liok Siau-hong, tentu akan merasa cemas. Dan sahabat Liok Siau-hong berjumlah banyak.
Gui Cu-hun sendiri pun amat gelisah. Sudah beberapa kali dia keluar masuk istana, tapi keadaan di dalam Lam-siu-hong tampaknya tenang-tenang saja. Tanpa titah Kaisar, tentu saja Gui Cu-hun tidak berani masuk ke dalam ruangan itu.
Setiap kali dia keluar dari istana, semua orang tentu mengharapkan munculnya berita darinya.
Koleksi Kang Zusi
Saat keenam kalinya dia keluar dari dalam istana, beberapa orang sudah merasa begitu gelisahnya hingga hampir gila. Tapi sikap Gui Cu-hun malah berbeda dari sebelumnya, matanya tampak bersinar-sinar.
Melihat sorot matanya, Sukong Ti-sing segera menyambutnya dan bertanya, "Ada kabar?"
Gui Cu-hun mengangguk.
Sukong Ti-sing berkata, "Bocah busuk itu sudah keluar?"
Gui Cu-hun menggelengkan kepalanya.
Sukong Ti-sing bertanya lagi, "Kau melihatnya?"
Gui Cu-hun kembali menggelengkan kepalanya.
Sukong Ti-sing hampir berteriak karena kesalnya, "Lalu terhitung berita apa ini?"
Gui Cu-hun berujar, "Walaupun aku tidak melihatnya, namun aku mendengar suaranya."
Sukong Ti-sing bertanya, "Suara apa?"
Gui Cu-hun menjawab, "Tentu saja suara tawanya."
Ia pun tersenyum dan menambahkan, "Di samping suara tawa, kau kira suara apa lagi yang bisa dia keluarkan?"
Sukong Ti-sing membelalakkan matanya dan berkata, "Bukankah suara tawanya amat keras?"
Gui Cu-hun berkata, "Kau adalah sahabatnya, tentunya kau yang lebih jelas."
Mata Sukong Ti-sing semakin melotot, dia berkata, "Di depan Kaisar pun dia berani tertawa seperti itu?"
Gui Cu-hun berujar, "Coba kau fikir, urusan apa di dunia ini yang tidak berani dia lakukan?"
Sukong Ti-sing menghela nafas dan berkata, "Tak ada."
Gui Cu-hun pun berkata, "Aku juga merasa tidak ada."
Sukong Ti-sing berkata lagi, "Tapi urusan apa di Lam-siu-hong sana yang bisa membuatnya begitu gembira?"
Gui Cu-hun merendahkan suaranya dan berkata, "Kudengar mereka sedang minum arak."
Sukong Ti-sing bertanya, "Siapa mereka itu?"
Gui Cu-hun menekan suaranya rendah-rendah dan menyahut, "Mereka adalah Kaisar dan Liok Siau-hong."
Sukong Ti-sing makin heran dan bertanya, "Dari mana kau tahu?"
Gui Cu-hun berkata, "Ketika aku berada di dalam, kebetulan lewat seorang Thaykam cilik yang hendak mengantarkan arak."
Sukong Ti-sing segera bertanya lagi, "Lalu kau meminta dia untuk memata-matai keadaan di sana?"
Gui Cu-hun menghela nafas dan berkata, "Setelah aku berjanji untuk membelikan sebuah gedung di luar kota untuknya, barulah dia mau memenuhi permintaanku."
Sukong Ti-sing kembali bertanya, "Apa yang dia dengar?"
Gui Cu-hun menjawab, "Dia mendengar sebuah kalimat."
Sukong Ti-sing tertegun, "Sebuah kalimat dibayar dengan sebuah gedung" Kalimat itu benar-benar terlalu mahal."
Gui Cu-hun berujar, "Sama sekali tidak mahal."
Sukong Ti-sing semakin heran dan bertanya, "Tidak mahal?"
Gui Cu-hun berkata, "Mungkin kalimat itu sama nilainya dengan selaksa gedung mewah."
Dia benar-benar bisa menahan dirinya. Sampai sekarang, dia tetap belum memberitahukan kalimat itu.
Sukong Ti-sing sudah mengucurkan keringat di sekujur tubuhnya karena merasa gelisah, tak tahan lagi dia pun bertanya, "Sebenarnya siapa yang mengucapkan kalimat itu" Apa yang dikatakannya?"
Gui Cu-hun akhirnya menjawab, "Kalimat itu merupakan janji Kaisar pada Liok Siau-hong tentang suatu urusan."
Sukong Ti-sing bertanya, "Urusan apa?"
Gui Cu-hun menyahut, "Apa pun permintaan Liok Siau-hong, beliau akan mengabulkannya."
Gui Cu-hun berkata pula, "Di dunia ini, urusan apa lagi yang tidak bisa diwujudkan jika Kaisar sudah mengabulkan?"
Sukong Ti-sing merasa lega, benar-benar lega.
Koleksi Kang Zusi
Walaupun yang bicara sejak tadi hanya dia sendiri, tentu saja yang lain pun ikut mendengarkan.
Maka semua orang pun sekarang merasa lega.
Di dunia ini, ucapan Kaisar mungkin sama mukjizatnya dengan seorang tukang sihir yang bisa mengubah besi menjadi emas, atau orang miskin menjadi kaya dan terhormat. Setelah terdiam sekian lama, akhirnya Sukong Ti-sing menghela nafas dan berkata, "Apa permintaannya?"
Gui Cu-hun berkata, "Tidak tahu, Thaykam cilik itu hanya mendengar kalimat tadi."
Sukong Ti-sing berujar, "Walaupun dia tidak mendengarnya, aku bisa menduga apa yang diminta bocah itu."
Gui Cu-hun berkata, "Oh!"
Sukong Ti-sing berkata, "Di dalam istana kerajaan tentu terdapat segala jenis arak yang enak."
Gui Cu-hun bertanya, "Kau menduga bahwa yang dia inginkan adalah arak?"
Sukong Ti-sing berujar, "Ternyata ada juga orang yang tidak menghendaki nyawanya sendiri."
Gui Cu-hun berkata, "Kalaupun ada biasanya amat jarang."
Sukong Ti-sing berkata, "Arak adalah kehidupan bocah itu, apalagi yang dia inginkan selain arak?"
Tiba-tiba Lau-sit Hwesio berkata, "Yang dia inginkan pasti akar nyawa."
Sukong Ti-sing bertanya, "Akar nyawa?"
Lau-sit Hwesio berujar, "Walaupun arak adalah kehidupannya, tapi yang benar-benar merupakan akar nyawanya adalah perempuan."
Bok-tojin bertanya, "Kau benar-benar menduga bahwa yang dia minta dari Kaisar adalah seorang perempuan cantik?"
Lau-sit Hwesio berkata, "Mungkin bukan seorang perempuan, tapi 365 orang perempuan cantik agar dia bisa berganti pasangan setiap harinya."
Bok-tojin berkata sambil tersenyum, "Itu adalah pendapat hwesio sendiri, hwesio memang sudah hampir sinting karena selalu memikirkan perempuan. Kita tidak bisa menilai Liok Siau-hong hanya berdasarkan pendapat seorang hwesio semacam kau."
Lau-sit Hwesio pun berkata, "Bagaimana pendapat tosu tua?"
Bok-tojin berkata, "Walaupun bocah itu suka minum arak dan main perempuan, tapi dia bukan orang bodoh apalagi pikun. Dia tahu, dengan harta, tidak akan kekurangan arak dan perempuan.
Apalagi dia sendiri sering kesulitan uang."
Lau-sit Hwesio menghela nafas dan berkata, "Tak heran kalau orang berkata, makin tua orangnya maka semakin tamak pula dia terhadap harta. Orang tua memang selalu gila harta."
Tiba-tiba Pok Ki pun mengajukan pendapatnya, "Seandainya aku menjadi dia, maka yang kuminta dari Kaisar adalah agar aku diangkat menjadi seorang panglima yang memimpin penyerangan ke barat. Pengaruhku akan menyebar ke segala penjuru, namaku akan dikenang selamanya."
Gui Cu-hun segera menyetujui pendapat itu.
Nama, harta, wanita cantik, kekuasaan dan pengaruh, itu semua adalah hal yang selalu diimpikan setiap orang.
Kecuali itu, apalagi yang mungkin diminta oleh Liok Siau-hong"
Sukong Ti-sing pun berkata, "Sudah lama kutahu, bocah ini memang berhati hitam, benar-benar hitam."
Lau-sit Hwesio berkata pula, "Tak perduli apa pun, yang dia inginkan pasti salah satu dari yang telah kita sebutkan tadi."
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata, "Bukan."


Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seseorang melangkah keluar dari dalam istana. Dadanya membusung, wajah tampak berkilauan penuh semangat, Liok Siau-hong akhirnya muncul juga. Semua orang segera menyambut dan berebut bertanya, "Apakah semua tebakan kami salah?"
Liok Siau-hong mengangguk.
Lau-sit Hwesio pun berkata, "Sebenarnya apa yang kau minta?"
Liok Siau-hong berujar, "Tidak bisa kukatakan, tidak bisa."
Ia lalu memisahkan diri, berjalan di depan rombongan itu. Bagaimana pun orang bertanya, dia tidak mau membuka mulutnya.
Tampaknya dia sudah bertekad untuk membuat orang-orang ini mati kesal.
Koleksi Kang Zusi
Tapi orang-orang ini tentu saja bukan orang yang mudah menyerah. Mereka segera membuntuti di belakangnya.
Lau-sit Hwesio menarik Sukong Ti-sing ke pinggir dan berkata, "Kau adalah batu sandungan bocah busuk itu. Di dunia ini, orang yang bisa membuatnya buka mulut tentu saja cuma dirimu."
Sukong Ti-sing memutar-mutar biji matanya, lalu berkata, "Baiklah, aku akan mencobanya."
Lalu ia berjalan dengan cepat untuk menyusul Liok Siau-hong dan berkata, "Kau benar-benar tidak mau mengatakannya?"
Liok Siau-hong menyahut, "Ya."
Sukong Ti-sing pun berujar, "Bagus."
Liok Siau-hong bertanya, "Apanya yang bagus?"
Sukong Ti-sing berkata pula, "Jika kau tidak mau mengatakannya, maka aku.... aku akan......."
Lalu dia mendekatkan mulutnya ke telinga Liok Siau-hong dan membisikkan sesuatu. Liok Siau-hong tiba-tiba menghentikan langkahnya, tertegun sekian lama di tempatnya, menghela nafas panjang, lalu balas berbisik di telinga Sukong Ti-sing. Sukong Ti-sing tampak terperanjat, raut mukanya seperti orang yang baru saja menelan dua butir telur ayam, dua butir telur bebek, dan empat buah bakpao gede.
Liok Siau-hong pun meneruskan langkahnya ke depan.
Sukong Ti-sing pun mulai melangkah lagi. Tapi baru selangkah, tiba-tiba dia pun mulai tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak hingga air matanya bercucuran.
Lau-sit Hwesio menarik bajunya dan berkata, "Apa yang dia katakan padamu?"
Sambil tersenyum dan sambil menggelengkan kepalanya, Sukong Ti-sing berkata, "Tidak boleh kukatakan, tidak boleh."
Lau-sit Hwesio pun berkata, "Jangan lupa siapa yang mengajarimu tadi. Apalagi, jika tidak kau katakan, maka aku akan........."
Ia pun mendekatkan mulutnya ke telinga Sukong Ti-sing dan membisikkan beberapa patah kata.
Sukong Ti-sing segera menghentikan langkahnya. Setelah tertegun sekian lama, dia pun balas berbisik di telinga Lau-sit Hwesio.
Lau-sit Hwesio pun tampak tertegun, lalu dia pun tersenyum dan tertawa terbahak-bahak seperti seorang hwesio yang baru saja mengawini tiga orang nikouw dewasa, dua orang nikouw cilik, dan empat orang nikouw yang tidak besar dan juga tidak kecil.
Lalu Bok-tojin pun memaksanya bicara, Gui Cu-hun meminta Bok-tojin untuk bicara. Ting Go, To Hong, In Cu, Pok Ki, akhirnya semua pun tahu.
Lalu setiap orang mulai tersenyum dan tertawa terbahak-bahak........
Malam tanggal 16 bulan sembilan. Sinar bulan tampak jernih seperti air. Di bawah sinar bulan, Liok Siau-hong melangkahkan kakinya di atas jembatan, dengan semangat yang tinggi dan tenaga penuh, seluruh tubuhnya tampak penuh dengan energi.
Dia tidak tersenyum, tapi orang-orang di belakangnya semua tersenyum, tertawa, tersenyum sambil tertawa, tertawa terbahak-bahak seperti segerombolan bocah kecil. Mereka tertawa sambil melangkah di atas jembatan, lalu masuk ke jalan raya yang diterangi oleh sinar bulan. Orang-orang di jalan, di jendela, di warung, semuanya menatap mereka dengan heran. Tak seorang pun yang tahu bahwa orang-orang ini adalah jago-jago paling tangguh di dunia persilatan dewasa ini, juga tidak ada yang tahu mengapa mereka tertawa begitu gembiranya. Tidak seorang pun yang tahu........
TAMAT Jodoh Si Mata Keranjang 5 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 2
^