Elang Terbang Di Dataran Luas 12

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 12


anaan pun telah berakhir, masa
pergerakan dimulai... tentu saja pergerakan secara total.
Malam yang cerah, tiada bintang, tiada rembulan, tiada
hujan, tiada angin.
Ruangan agak gelap karena cahaya lentera remangremang.
Lentera remang-remang karena Siau-hong memang
sengaja memutar sumbu api menjadi yang terkecil.
Dia selama ini merupakan orang yang suka terang dan
terbuka, tapi sekarang dia lebih suka berada seorang diri di
balik kegelapan.
Hal ini bukan dikarenakan dia mempunyai banyak
persoalan yang harus dipikirkan, juga bukan dikarenakan
saat ini dia sedang mulai melakukan pergerakan atas sebuah
perencanaan yang telah diputuskan.
Ada sementara manusia yang sangat terbuka dan tak
sudi hidup kesepian, ketika berada di suatu saat tiba-tiba
bisa berubah jadi suka akan kesepian dan kesendirian.
Begitulah perasaan Siau-hong saat ini, selama beberapa
hari belakangan dia selalu bersikap demikian.
Dia mempunyai banyak persoalan yang ingin
disampaikan kepada Yang-kong, dia pun mempunyai
banyak masalah yang ingin ditanyakan kepada Soso.
Tapi akhirnya dia tidak bertanya, tidak mengatakannya,
bahkan dia sama sekali tak mau duduk berduaan dengan
mereka. Mungkin saja dia sedang menghindar.
Sekalipun menghindar tak akan menyelesaikan persoalan
apa pun. Namun peduli siapa pun, dalam perjalanan
hidupnya pasti akan menghadapi saat untuk menghindar.
Menghindar berarti beristirahat.
Siapa pun tentu butuh istirahat, terutama di saat
perencanaan telah diputuskan, di saat suatu gerakan segera
akan dimulai. Di tengah kegelapan malam tak berbintang, tak ada
rembulan, tak ada hujan inilah mendadak di tengah
hembusan angin berkumandang suara napas, suara napas
yang sedang bergerak mendekat.
Yang pasti bukan dengus napas satu orang, Siau-hong
dapat memastikan paling tidak ada tiga orang, paling
banyak pun hanya empat orang.
Hanya suara dengusan napas, tiada suara langkah kaki.
Tapi hal ini paling tidak membuktikan akan dua hal. Peduli
Siau-hong berada dalam kondisi apa pun, telinganya masih
tetap tajam. Peduli yang datang tiga orang atau empat orang, mereka
pasti jago lihai yang memiliki ilmu silat hebat! Sebab
langkah kaki mereka jauh lebih ringan daripada dengusan
napasnya. Waktu itu Siau-hong sedang berada di sebuah rumah
penginapan. Sejak Pancapanah memutuskan untuk melaksanakan
rencananya, dia telah pindah ke rumah penginapan itu.
Sebuah rumah penginapan yang sepi dan terpencil,
dalam rumah penginapan itu pun dia memilih halaman
belakang yang sepi dan jauh dari keramaian orang.
Pemilik losmen maupun para pelayannya setiap saat
dapat muncul di halaman belakang itu.
Orang-orang yang berlalu-lalang di sekeliling dusun pun
terkadang bisa muncul dan tersesat di sana.
Hanya saja saat ini malam sudah larut, sebagian besar
orang sudah tertidur, orang yang belum tidur pasti
mempunyai alasan khusus sehingga belum tidur.
Bila bukan disebabkan alasan khusus, tak mungkin suara
langkah kaki seseorang jauh lebih ringan daripada suara
napas. Paling tidak hal ini membuktikan akan satu hal.
Beberapa orang yang datang saat itu pasti mempunyai
tujuan khusus sehingga mereka muncul di situ.
Berada dalam saat seperti ini, tempat seperti ini, tak
mungkin ada orang datang mencari Siau-hong untuk
minum arak, main catur, atau mengobrol.
Sekalipun ada orang datang untuk mengajaknya
mengobrol, tak mungkin mereka datang bertiga, bahkan
berempat. Lalu ada urusan apa mereka datang mencari Siau-hong"
Jawaban yang pasti hanya ada semacam... mereka
datang untuk membunuh Siau-hong, di tengah kegelapan
malam tak berbintang, tak ada rembulan, tak ada hujan,
hanya ada angin seperti ini merupakan saat yang tepat
untuk melakukan pembunuhan, apalagi Siau-hong berada
dalam bilik yang gelap dan terpencil.
Tentu saja Siau-hong pun berpikir ke situ.
Maka dengan satu gerakan cepat dia melompat bangun,
kemudian menggenggam pedang Mata iblis miliknya.
Namun dia belum bergerak, belum melancarkan
serangan. Suara napas makin lama semakin dekat, sekarang dia
pun dapat mendengar suara langkah kaki mereka, semacam
suara langkah kaki yang hanya bisa didengar oleh manusia
macam dia. Semacam suara langkah kaki dari orang yang pernah
berlatih tekun ilmu meringankan tubuh atau ilmu pedang.
Siau-hong pun dapat mendengar ada beberapa orang
yang bergerak menghampirinya.
Yang datang ada empat orang, tak salah, empat orang,
empat orang yang pernah berlatih tekun ilmu meringankan
tubuh dan ilmu pedang tingkat tinggi.
Peluh dingin mulai bercucuran membasahi telapak
tangannya. Karena dia tak yakin mampu menghadapi keempat
orang itu, bila mereka melancarkan serangan bersama,
sedikit pun dia tak yakin bisa menghindarkan diri dari
bencana besar ini.
Yang membuat dia tidak menyangka adalah ternyata
langkah kaki itu tidak berjalan menuju ke arah biliknya, tapi
berhenti lebih kurang dua puluh tombak dari ruang
tidurnya. Menanti terdengar lagi suara langkah kaki yang bergerak
mendekat, tinggal suara langkah satu orang.
Langkah kaki maupun dengus napas orang ini jauh lebih
berat daripada suara yang terdengar tadi, hal ini
membuktikan orang itu merasa amat tegang, bahkan jauh
lebih tegang daripada Siau-hong.
Kalau tujuan kedatangannya untuk membunuh Siauhong,
mengapa dia datang seorang diri"
Mengapa rekan-rekannya tidak ikut bersama dia, turun
tangan bersama"
Siau-hong bingung, tak habis mengerti.
Namun dia pun tak punya waktu untuk berpikir lebih
jauh karena langkah kaki orang itu telah sampai di muka
jendela kamarnya.
Angin berhembus dari dataran tinggi di seberang sana
melewati tanah pertanian yang subur dan gembur, daun
jendela bergetar karena hembusan, bukan hembusan angin
yang lewat, melainkan karena dengus napas orang itu.
Hal ini membuktikan ia berdiri begitu dekat dengan daun
jendela. Dengan cepat Siau-hong berhasil menyimpulkan satu
hal... tak diragukan, orang ini pastilah seorang
temperamental, gampang emosi, biarpun ilmu silatnya
cukup tangguh, melakukan pekerjaan semacam ini pun
bukan untuk pertama kalinya, namun dia tetap tak bisa
mengendalikan emosi, gampang dipengaruhi perasaan.
Menyimpan kekuatan menunggu kedatangan lawan,
dengan ketenangan mengatasi gerak.
Setelah berulang kali merasakan mati hidup, Siau-hong
sangat memahami apa arti perkataan itu.
Maka dari itu dia tetap menjaga ketenangannya, bahkan
wajib mempertahankan ketenangan.
Ketenangan, bukan kepala dingin.
Siau-hong tak dapat mempertahankan kepala dinginnya,
sebab sesungguhnya dia pun termasuk orang yang gampang
panas, gampang emosi, naik darah.
Saat ini debar jantungnya bertambah cepat, dengus napas
pun ikut memburu.
Mendadak dari luar jendela terdengar seseorang
memanggil namanya, "Siau-hong Hong Wi!"
Walaupun ia sedang tertawa dingin, namun suaranya
terdengar parau lantaran tegang, "Aku tahu, kau belum
tidur, bahkan tahu akan kedatanganku!"
Siau-hong tidak menjawab, ia masih mempertahankan
ketenangan hatinya.
"Aku datang untuk membunuhmu!" kembali orang itu
berkata, "Seharusnya kau pun tahu aku datang untuk
membunuhmu!"
Kemudian tanyanya kepada Siau-hong, "Kenapa kau
masih belum keluar?"
Siau-hong belum bergeming dia masih tetap
mempertahankan ketenangan hatinya.
Bukan hanya menjaga ketenangan, dia pun berusaha
berkepala dingin, kini dia sudah tahu orang ini jauh lebih
emosional ketimbang dirinya dulu.
Kertas jendela yang berwarna putih telah basah sebagian
bahkan bergetar sangat keras, karena dengus napas orang
itu bertambah cepat dan memburu.
Kau hendak membunuhku, tentu saja aku pun mau tak
mau harus membunuhmu.
Dalam keadaan seperti ini masih emosional, jelas suatu
peristiwa yang sangat tidak menarik.
"Blaam!", akhirnya daun jendela dijebol orang,
tampaklah sebuah wajah yang hijau membesi, amat
tampan, amat muda, muncul di depan mata.
"Aku bernama Oh Toa-leng!" ia memperkenalkan diri,
"Aku datang untuk membunuhmu!"
Menggunakan sepasang matanya yang tajam tapi
dipenuhi serat berwarna merah darah, ia pelototi wajah
Siau-hong, kemudian teriaknya lagi, "Mengapa kau masih
belum keluar?"
Siau-hong tertawa.
"Adalah kau yang ingin membunuhku, bukan aku yang
ingin membunuhmu, kenapa aku mesti keluar?" dia balik
bertanya kepada anak muda itu.
Oh Toa-leng tak mampu berkata-kata lagi.
Dia telah bersiap mencabut pedangnya, telah bersiap
menyerbu masuk ke dalam.
Pada saat itulah tiba-tiba ia saksikan cahaya pedang
berkelebat, selama ini belum pernah ia saksikan cahaya
pedang secepat ini, cahaya pedang yang begitu menyilaukan
mata. Terpaksa ia bergerak mundur, menghindar lalu
bersamaan dia mencabut pedang sambil melancarkan
serangan balasan.
Semua reaksi dan gerakan tubuhnya tidak terhitung
kelewat lambat, hanya sayang ia tetap terlambat satu
langkah. Terlihat cahaya pedang berkelebat, serangan yang
semula mengancam tenggorokan tiba-tiba berubah arah,
kini serangan itu langsung menusuk ke jantungnya.
inilah bagian tubuh yang paling mematikan, siapa
tertusuk, dia pasti akan mati seketika, tak mungkin bisa
ditolong lagi. Karena kau ingin membunuhku, mau tak mau aku pun
harus membunuh dirimu!
Sesaat sebelum jantung Oh Toa-leng berhenti berdetak,
akhirnya dia memahami satu hal.
Hidup sebagai seorang yang sederhana dan biasa,
sesungguhnya bukan satu kejadian yang menyedihkan
apalagi memalukan.
Dia tak seharusnya datang membunuh, karena
sesungguhnya dia bukanlah orang yang senang membunuh
orang lain. Karena dia kelewat emosi, kelewat tak mampu
mengendalikan diri.
Seorang yang sederhana dan biasa, tapi memaksakan diri
untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak seharusnya
dia lakukan, kejadian seperti inilah yang pantas disedihkan.
Angin masih berhembus.
Di balik kegelapan di kejauhan sana, masih ada tiga
orang berdiri tenang di situ.
Mereka datang bersama Oh Toa-leng namun kematian
Oh Toa-leng seolah sama sekali tak ada sangkut-pautnya
dengan mereka. Ketiga orang itu masih menatap Siau-hong, menatapnya
tanpa berkedip.
Tatkala Siau-hong membunuh Oh Toa-leng dengan
sebuah tusukan kilatnya, mereka mengawasi dan mengikuti
setiap gerakan itu dengan seksama, tak satu adegan pun
yang terabaikan.
Ooo)d*w(ooO BAB 38. SERANGAN PENUH
Setelah lewat lama sekali, kembali ada satu orang di
antara ketiga orang itu yang berjalan mendekat. Cara orang
ini berjalan tampak aneh sekali.
Tentu saja dia pun datang untuk membunuh Siau-hong.
Tapi caranya sewaktu berjalan seperti seorang murid
yang datang menghadap gurunya, bukan saja lembut, halus,
sopan, penuh aturan, bahkan tampak sedikit takut-takut.
Sekilas pandang Siau-hong sudah mengetahui kalau
orang ini pernah mendapat pendidikan ketat, bahkan sejak
kecil sudah hidup disiplin.
Tapi bila ditinjau dari sudut pandang lain, tak diragukan
dia pun merupakan seorang yang sangat menakutkan.
Biarpun langkah kakinya mantap, namun tubuhnya
dipenuhi dengan kewaspadaan tinggi, setiap saat selalu
memelihara sikap siap tempur, sedikit pun tidak memberi
peluang kepada musuhnya untuk melakukan serangan
bokongan. Walaupun sepasang lengannya dibiarkan mengendor,
tapi tangannya selalu berada di dekat gagang pedangnya.
Sepasang mata orang itu pun selalu menatap tangan
Siau-hong, tangan yang menggenggam pedang.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada banyak orang berpendapat, di saat dua jago lihai
siap bertarung, mengawasi terus tangan lawan merupakan
sebuah tindakan yang bodoh, tidak cerdas.
Karena banyak orang berpendapat, dari tangan lawannya
tak mungkin kau bisa menemukan atau menyaksikan apa
pun. Sebagian besar orang berpendapat, di saat menghadapi
pertarungan, seharusnya sorot mata lawanlah yang patut
diperhatikan, tapi ada pula sebagian orang berpendapat,
mimik muka lawanlah yang patut diperhatikan dengan
seksama. Padahal pandangan orang-orang itu kurang tepat, karena
mereka telah mengabaikan beberapa hal.
Untuk melakukan pembunuhan, orang butuh tangan.
Tangan memperlihatkan perasaan, kadang malah
membocorkan banyak rahasia.
Banyak orang mungkin bisa menyimpan baik-baik
gejolak perasaan serta rahasianya, bahkan dapat membuat
diri sendiri berubah menjadi buah keras yang susah
diteropong, agar orang lain tak dapat menemukan semua
rahasia yang tak ingin diketahui orang lain melalui
perubahan wajah serta tatapan matanya.
Tapi berbeda sekali dengan tangan.
Bila kau saksikan otot hijau di tangan seorang menonjol,
di saat urat nadinya menonjol nyata, segera akan kau
ketahui perasaannya saat itu pasti sedang amat tegang.
Bila kau saksikan tangan seseorang sedang gemetar,
maka segera akan kau ketahui, bukan saja merasa tegang,
orang itu pun merasa takut, ngeri, gusar bercampur emosi.
Semua itu tak mungkin bisa dikendalikan, tak mungkin
bisa dirahasiakan, karena semua itu merupakan sebuah
reaksi yang spontan, reaksi tubuh yang alami.
Oleh sebab itu seorang jagoan sejati pasti akan
memperhatikan tangan lawan ketika sedang menghadapi
pertarungan mati hidup.
Tak diragukan, orang ini pun merupakan seorang jago
tangguh yang sudah banyak melakukan pertarungan dan
banyak pengalaman, bukan saja gerak-geriknya tepat, jalan
pikirannya pun sangat tepat.
Siau-hong balas menatapnya, namun tidak menatap
tangannya, karena Siau-hong tahu, orang semacam ini tak
mungkin melancarkan serangan terlebih dulu.
"Jadi kau pun datang untuk membunuhku?" tanya Siauhong
kemudian. "Benar."
"Kau kenal aku?"
"Tidak!"
"Ada dendam sakit hati denganku?"
"Tidak ada!"
"Mengapa kau ingin membunuh aku?"
Pertanyaan ini bukan sebuah pertanyaan yang bagus, ada
banyak orang membunuh orang lain tanpa membutuhkan
alasan apa pun.
Namun Siau-hong tetap mengajukan pertanyaan itu,
karena dia butuh waktu untuk mengendalikan gejolak
hatinya, dia pun butuh waktu untuk lebih banyak
memahami tentang orang ini.
Mungkin dikarenakan alasan yang sama, ternyata orang
itu segera memberikan jawabannya....
"Aku hendak membunuhmu karena kau adalah Siauhong
Siau-hong yang tak takut mati, kau boleh saja
merenggut nyawa orang lain, apa salahnya kalau orang lain
pun datang untuk merenggut nyawamu?"
Kemudian balik tanyanya, "Cukupkah alasanku ini?"
"Cukup, sudah lebih dari cukup."
Selesai mengucapkan perkataan itu, Siau-hong pun turun
tangan lebih dahulu.
Sebab dia tahu, orang ini tak bakal melancarkan
serangan lebih dahulu, rekannya telah memberi sebuah
pelajaran yang sangat baik baginya.
Dia pun ingin belajar dari Siau-hong, ingin menghimpun
tenaga mempersiapkan diri, dengan tenang mengatasi
gerak. Sayang lagi-lagi dia melakukan perhitungan yang salah,
gerak serangan Siau-hong betul-betul kelewat cepat, jauh
lebih cepat daripada apa yang dibayangkan.
Di mana cahaya pedang berkelebat, percikan darah
menyebar ke empat penjuru, pedang Mo-gan tahu-tahu
sudah menusuk tenggorokan orang itu.
Pedang adalah benda mati, manusialah yang hidup,
sebuah tusukan yang sama kadangkala mendatangkan hasil
yang berbeda. Bukan dada, melainkan tenggorokan.
Bagi seseorang yang mempelajari pedang, bila ingin
hidup lebih lama daripada orang lain, dia harus belajar
menghidupkan dulu pedang yang berada dalam
genggamannya. Tak diragukan Siau-hong telah mempelajari tahap itu.
Karena itu dia masih hidup, musuhnya yang roboh
terjungkal, roboh terkapar sebelum memperoleh
kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
Sebab dia telah mengetahui musuhnya bukan seorang
yang gampang dihadapi, belum pernah menduga dalam
satu serangan akan mengenai sasaran.
Kecepatan gerak dan ketepatan menganalisa yang
ditunjukkan kali ini sama sekali di luar dugaan siapa pun,
termasuk dirinya sendiri.
Ini membuktikan ilmu pedangnya kembali telah
memperoleh kemajuan pesat.
Dari balik kegelapan seolah ada orang menghela napas,
helaan napasnya seperti suara orang bertepuk tangan,
dipenuhi rasa kagum dan pujian.
"Kalian tentu datang untuk membunuhku, bukan?" ujar
Siau-hong sambil menatap kedua orang di balik kegelapan,
"Tak ada salahnya kalian turun tangan bersama-sama."
Satu orang tetap berdiri tak bergerak, sedang orang yang
lain mulai berjalan maju dengan langkah lambat.
Dia berjalan sangat lambat, jauh lebih lambat daripada
orang yang barusan tewas di ujung pedang Siau-hong.
Dia tidak langsung berjalan menuju ke hadapan
musuhnya. Siau-hong menatapnya, menatap setiap gerak-geriknya,
menatap sepasang matanya yang berkilat.
Sekonyong-konyong Siau-hong menyadari kalau dia
salah. Orang ini bukan datang untuk membunuhnya, orang
kedualah pembunuh yang sesungguhnya.
Kehadiran orang ini tak lebih hanya untuk memecah
perhatian Siau-hong.
Dia tak berpedang juga tiada hawa membunuh.
Bagaimana dengan orang kedua"
Dalam waktu yang amat singkat inilah ternyata orang itu
telah hilang tak berbekas.
Tak mungkin seorang yang terdiri dari darah dan daging
akan hilang begitu saja, namun siapa pun tak tahu ke mana
dia telah pergi.
Orang di hadapannya itu telah berjalan menuju ke bawah
sebatang pohon, berdiri di situ dengan santai. Ia tampilkan
sikap sebagai seorang penonton yang baik, penonton yang
mengamati reaksi Siau-hong, bahkan sepasang matanya
yang berkilat terselip senyuman acuh, sama sekali tidak
menguatirkan keselamatan rekannya.
Biarpun orang ini datang bersama ketiga orang lainnya,
namun dia seakan sama sekali tidak memikirkan mati hidup
orang-orang itu, kehadirannya tak lebih hanya ingin
menyaksikan dengan cara apa Siau-hong menghadapi
mereka. Tentu saja dia bukan sahabat Siau-hong, namun dia pun
tidak mirip musuh besar pemuda itu.
Sikapnya yang sangat aneh, aneh tapi penuh kehangatan,
seperti baju abu-abu yang dikenakannya.
Sikap Siau-hong pun sangat aneh.
Dia memperhatikan terus orang yang berdiri di bawah
pohon itu, terhadap musuh menakutkan yang tiba-tiba
hilang lenyap malah sama sekali tak acuh, perhatian sedikit
pun tidak. Dia malah tertawa kepada orang itu, manusia berbaju
abu-abu itu pun balas tertawa, sapanya dengan sopan,
"Baik-baikkah kau?"
"Aku tidak baik," jawab Siau-hong "Baru saja menikmati
tidurku, tanpa sebab musabab datang beberapa orang ingin
membunuhku, mana mungkin aku bisa baik?"
Manusia berbaju abu-abu itu menghela napas, bukan saja
menyatakan persetujuannya, bahkan menyatakan pula
simpatiknya. "Bila aku yang sedang berbaring tidur di ranjang, tibatiba
muncul tiga orang yang akan membunuhku, aku pun
akan merasa sial sekali."
"Hanya tiga orang yang ingin membunuhku?"
"Hanya tiga orang."
"Bagaimana dengan kau?" tanya Siau-hong, "Apakah
kau pun datang untuk membunuhku?"
Sekali lagi manusia berbaju abu-abu itu tertawa.
"Kau semestinya bisa melihat sendiri kalau aku bukan
datang untuk membunuh," katanya, "Antara kita tak pernah
terikat dendam atau sakit hati, mengapa aku harus
membunuhmu?"
"Mereka pun tak punya ikatan dendam atau sakit hati
denganku, mengapa datang untuk membunuhku?"
"Mereka hanya melaksanakan perintah."
"Perintah siapa?" tanya Siau-hong lagi, "Lu-sam?"
Manusia berbaju abu-abu itu menggunakan senyuman
untuk menjawab pertanyaan ini.
"Bagaimana pun juga, dua di antara mereka bertiga kini
sudah tewas di ujung pedangmu"
"Bagaimana dengan orang ketiga?"
"Tentu saja orang ketiga merupakan orang paling
menakutkan, jauh lebih menakutkan bila dibandingkan dua
orang digabung."
"O, ya?"
"Orang pertama yang kau bunuh itu bernama Oh Toaleng,
orang kedua bernama Tu Yong," manusia berbaju
abu-abu itu menerangkan, "Ilmu pedang yang mereka miliki
tidak lemah, pengalaman membunuh pun sangat luas dan
matang, tapi aku sama sekali tidak menyangka kau mampu
mencabut nyawa mereka hanya dalam satu gebrakan saja."
Sesudah menghela napas dan tersenyum, terusnya,
"Ternyata kehebatan ilmu pedangmu jauh di luar
perhitungan mereka."
Siau-hong ikut tersenyum.
"Mungkin juga dikarenakan ilmu pedang yang mereka
miliki ternyata jauh lebih cetek daripada apa yang mereka
perkirakan."
"Tapi orang ketiga jauh berbeda!"
"O, ya?"
"Orang ketiga inilah baru pembunuh sejati, tahu dan
mengerti bagaimana cara membunuh."
"O, ya?"
"Dua orang pertama tewas di ujung pedangmu, karena
mereka tak mengerti apa yang disebut, tahu kekuatan
sendiri tahu kekuatan lawan," kata orang berbaju abu-abu
itu lagi, "Bukan saja mereka kelewat memandang tinggi
kemampuan sendiri, bahkan kelewat rendah menilai
kemampuanmu."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Tapi orang ketiga
sangat menguasai tentang dirimu, baik latar belakang
keluarga, ilmu silat maupun pengalamanmu, ia paham
seperti memahami jari tangan sendiri, sebelum datang
untuk membunuhmu, dia telah melakukan penyelidikan
yang jelas dan teliti, bahkan telah menyaksikan semua
gerakan yang kau lakukan untuk membunuh orang tadi."
Siau-hong harus mengakui akan hal ini.
"Tapi bagaimana dengan kau sendiri?" tanya manusia
berbaju abu-abu itu lagi, "Berapa banyak yang kau ketahui
tentang orang ini?"
"Sedikit pun aku tidak tahu."
"Ai, itulah, dalam hal ini kau sudah berada di bawah
angin!" manusia berbaju abu-abu itu menghela napas. Siauhong
pun kembali harus mengakui.
"Sekarang kau berdiri di sebuah tempat lapang yang
sangat terbuka," kata manusia berbaju abu-abu itu lebih
jauh, "Dari empat penjuru, orang dapat melihat
kehadiranmu dengan sangat jelas."
Lalu tanyanya kepada Siau-hong, "Tahukah kau di mana
ia berada" Sudah kau lihat keberadaannya?"
"Aku tidak melihatnya," jawab Siau-hong, "Tapi
mungkin saja aku dapat menebaknya."
"O, ya?"
"Dia pasti sudah menyelinap ke belakang tubuhku," ujar
Siau-hong lebih jauh, "Pada saat aku memusatkan seluruh
perhatian di tubuhmu tadi, dia telah menyelinap ke samping
kemudian berputar ke belakang tubuhku."
Manusia berbaju abu-abu itu menatapnya, perasaan
kagum terpancar dari balik matanya.
"Dugaanmu tepat sekali," katanya.
"Sekarang besar kemungkinan dia telah berdiri di
belakangku, mungkin juga sudah berada begitu dekat
jaraknya dengan tubuhku, bahkan kemungkinan besar
dalam sekali gerakan tangan ia dapat membunuhku."
"Karena itu kau tak berani berpaling ke belakang."
"Betul, aku memang tak berani berpaling," Siau-hong
menghela napas, "Sebab kalau aku berpaling maka gerakan
tubuhku pasti akan muncul titik kelemahan, dan dia pun
mempunyai kesempatan untuk membunuhku."
"Kau tak ingin memberi kesempatan kepadanya?"
"Tentu saja tak ingin."
"Tapi sayangnya meski tidak berpaling pun dia tetap
mempunyai kesempatan untuk membunuhmu," ujar
manusia berbaju abu-abu itu, "Membunuh orang dari arah
belakang selalu jauh lebih gampang daripada
membunuhmu dari arah depan."


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarpun lebih gampang, tidak terhitung kelewat
gampang." "Kenapa?"
"Sebab aku belum mati, aku bukan orang mati," Siauhong
menerangkan, "Aku masih mempunyai telinga untuk
mendengar."
"Apakah mendengarkan desingan angin waktu dia
menyerang?"
"Benar!"
"Bila dia menyerang dengan sangat lambat, bukankah
serangan itu tidak disertai desingan angin?"
"Betapa pun lambatnya serangan yang dia lancarkan, aku
tetap dapat merasakannya," ujar Siau-hong hambar, "Sudah
belasan tahun aku berlatih pedang, belasan tahun berkelana
dalam dunia persilatan, kalau soal sekecil ini pun tak dapat
merasakannya, bagaimana mungkin aku bisa hidup hingga
sekarang?"
"Masuk akal," manusia berbaju abu-abu itu setuju,
"Sangat masuk akal!"
"Oleh sebab itu bila dia ingin turun tangan
membunuhku, lebih baik pertimbangkan dulu akibatnya."
"Akibat?" tanya manusia berbaju abu-abu itu lagi,
"Akibat apa?"
"Dia menginginkan nyawaku, aku pun menghendaki
nyawanya," suara Siau-hong terdengar dingin dan hambar,
"Sekalipun dia dapat membunuh aku di ujung pedangnya,
aku pun tak akan membiarkan dia pulang dalam keadaan
hidup." Manusia berbaju abu-abu itu menatapnya sampai lama
sekali, kemudian baru bertanya perlahan, "Kau benar-benar
yakin mempunyai kemampuan seperti ini?"
"Tentu saja yakin!" sahut Siau-hong, "Bukan saja aku
percaya bahwa aku memiliki kemampuan itu, bahkan dia
pun pasti percaya."
"Kenapa?"
"Kalau dia tidak menganggap aku memiliki kemampuan
itu, mengapa hingga sekarang belum juga turun tangan?"
"Mungkin dia masih menunggu, menunggu hingga
datangnya kesempatan yang lebih bagus sebelum turun
tangan." "Dia tak akan bisa menunggu."
"Kalau begitu sekarang kau tidak seharusnya mengajak
aku berbicara."
"Kenapa?"
"Ketika berbicara dengan siapa pun, daya konsentrasimu
pasti akan buyar, saat itu dia tentu akan memperoleh
kesempatan untuk turun tangan."
Siau-hong tersenyum, tiba-tiba tanyanya kepada manusia
berbaju abu-abu itu, "Tahukah kau apa yang telah terjadi di
sekitar sini tadi?"
"Tidak tahu!"
"Aku tahu," kata Siau-hong, "Di saat kau berjalan
menuju ke bawah pohon itu tadi, di atas pohon ada seekor
tupai yang menerobos masuk ke dalam liang, tupai itu
membuat enam lembar daun berguguran, sewaktu kita
mulai berbicara, di semak belukar sebelah kiri terdapat
seekor ular sawah sedang menelan seekor ayam hutan, lalu
seekor musang berlarian dari bawah bukit menuju ke arah
seberang jalan, disusul kemudian sepasang suami-istri yang
tidur di penginapan bagian belakang terbangun, sedang
kucing peliharaan Lopan penginapan ini mencuri ikan di
dapur." Dengan perasaan terkejut manusia berbaju abu-abu
memandang ke arah Siau-hong, serunya kaget, "Benarkah
apa yang kau katakan?"
"Tak mungkin salah, peduli aku sedang melakukan apa
pun, jangan harap gerak-gerik yang terjadi pada radius dua
puluh tombak di sekelilingku dapat lolos dari
pendengaranku."
Manusia berbaju abu-abu itu menghela napas panjang.
"Untung kedatanganku bukan untuk membunuhmu,"
ujarnya sambil tertawa getir, "Kalau tidak, kemungkinan
besar saat ini aku pun sudah tewas di ujung pedangmu."
Siau-hong tidak menyangkal hal ini.
Lagi-lagi manusia berbaju abu-abu itu bertanya kepada
Siau-hong, "Kalau kau sudah tahu dia ingin membunuhmu,
sudah tahu pula dia berada di belakangmu, mengapa kau
tidak turun tangan lebih dulu menghabisi nyawanya?"
"Karena aku tak perlu terburu-buru, yang terburu-buru
justru dia," kembali Siau-hong tersenyum, "Dia datang
untuk membunuhku, bukan aku yang ingin membunuhnya,
tentu saja aku lebih dapat mengendalikan diri ketimbang
dirinya." Untuk kesekian kalinya manusia berbaju abu-abu itu
menghela napas panjang.
"Aku kagum kepadamu, betul-betul kagum kepadamu!
Bila kita bukan bersua dalam kondisi dan situasi seperti ini,
aku sungguh berharap dapat bersahabat dengan dirimu."
"Mengapa sekarang kita tak boleh bersahabat?"
"Karena aku datang bersama mereka, sedikit banyak kau
pasti menaruh perasaan was-was terhadapku."
"Kau salah besar!" Siau-hong menggeleng, "Kalau aku
tak bisa membaca maksud hatimu, buat apa mengajakmu
berbicara?"
"Jadi sekarang aku masih dapat bersahabat denganmu?"
"Mengapa tidak boleh?"
"Tapi kau sama sekali tak tahu siapakah diriku, bahkan
namaku pun tidak kau ketahui!"
"Bolehkah kau beritahukan kepadaku?"
"Tentu saja boleh."
Manusia berbaju abu-abu itu kembali tertawa, tertawa
sangat gembira, katanya, "Aku she Lim bernama Cenghiong,
semua temanku memanggil aku sebagai Masa."
"Masa!"
Nama itu tentu saja tak akan memancing perasaan
keheranan dan curiga Siau-hong, ada banyak sekali di
antara teman-teman Siau-hong yang mempunyai nama jauh
lebih aneh daripada nama itu.
"Aku she Hong, bernama Wi."
"Aku tahu!" kata Lim Ceng-hiong, "Sudah lama aku
mendengar namamu."
Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Siau-hong.
Di tangannya sama sekali tak ada pedang, dari ujung
rambut hingga ujung kaki sama sekali tidak terpancar hawa
membunuh barang sedikit pun.
Ia berjalan menghampiri Siau-hong tak lebih karena
ingin bersikap lebih akrab, hal semacam ini jelas merupakan
satu kejadian yang lumrah, karena Siau-hong telah
menganggapnya sebagai sahabat.
Siau-hong memang orang yang senang bersahabat. Dia
tak pernah bersikap waspada terhadap seorang sahabat,
tentu saja sekarang pun tidak.
Ketika hampir tiba di hadapan Siau-hong, tiba-tiba paras
orang itu berubah, jeritnya lirih, "Hati-hati, hati-hati
belakangmu."
Tak tahan Siau-hong berpaling... siapa pun itu orangnya,
berada dalam keadaan seperti ini, dia pasti tak tahan untuk
tidak berpaling.
Pada saat Siau-hong baru saja berpaling itulah, tiba-tiba
dari balik saku Lim Ceng-hiong menghunus sebilah pedang.
Sebilah pedang lemas yang terbuat dari baja asli, begitu
digetarkan di udara segera menusuk belakang tengkuk Siauhong
bagaikan pagutan seekor ular berbisa.
Tengkuk kiri sebelah belakang.
Waktu itu Siau-hong berpaling ke belakang dari arah
sebelah kanan, dalam keadaan seperti ini, tentu saja
tengkuk belakang sebelah kirinya berada dalam posisi
"pintu kosong".
"Pintu kosong" adalah istilah yang biasa digunakan umat
persilatan, maksudnya tempat itu seperti sebuah pintu
gerbang dalam keadaan terbuka lebar, tiada penjagaan,
tiada halangan, asal kau senang maka kau bisa masuk
sesuka hatimu. Di tengkuk belakang sebelah kiri tiap orang terdapat
sebuah nadi besar, merupakan nadi penting, jika nadi
penting itu sampai terpapas putus, kau akan mengalami
pendarahan hebat dan akhirnya tewas tak tertolong.
Bagi seorang pembunuh yang berpengalaman, dia tak
akan turun tangan bila kesempatan yang meyakinkan tidak
datang. Tak diragukan Lim Ceng-hiong telah memegang baikbaik
kesempatan emas ini, kesempatan yang dia ciptakan, ia
yakin kali ini serangan mautnya tak bakal meleset.
Dalam hal ini dia merasa sangat yakin, maka orang itu
sama sekali tidak mempersiapkan jalan mundur bagi diri
sendiri. Maka dia pun mati, mati di ujung pedang Siau-hong!
Bukankah Siau-hong berada dalam keadaan tidak siap"
Bukankah dia sedang berpaling dan tidak waspada, bahkan
sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk berkelit
maupun menangkis"
Lim Ceng-hiong telah memperhitungkan hal ini, dia pun
sudah mengincar hal itu secara baik-baik.
Ketika ia melepaskan tusukan mautnya tadi,
perasaannya seakan seorang pemancing ikan yang sudah
merasakan kailnya bergetar, tahu sang ikan sudah
menyambar kailnya.
Mimpi pun dia tak menyangka, pada detik yang terakhir
itulah tiba-tiba Siau-hong melancarkan pula sebuah
tusukan, menusuk masuk dari suatu posisi yang sama sekali
tak terduga sebelumnya.
Belum sempat pedangnya menggorok tengkuk belakang
Siau-hong, tusukan pedang Siau-hong telah menembus
jantungnya. Ketika pedang Siau-hong menembus jantungnya, pedang
miliknya hanya selisih satu inci dari belakang tengkuk Siauhong.
Hanya selisih satu inci, satu inci yang lebih dari cukup.
Terkadang selisih jarak antara mati hidup seseorang
hanya terpaut tak sampai satu inci, seringkali menang kalah
seseorang pun hanya selisih satu inci, oleh sebab itu buat
apa mempermasalahkan urusan yang lebih besar"
Mata pedang yang dingin melesat lewat dari sisi tengkuk
Siau-hong, waktu itu tangan Lim Ceng-hiong yang
menggenggam pedang sudah keburu kaku dan mati rasa.
Tiba-tiba terdengar suara helaan napas dan tepukan
tangan berkumandang dari belakang tubuh Siau-hong.
"Hebat," seseorang berseru sambil menghela napas,
"Betul-betul hebat, luar biasa."
Suara itu selisih jauh dari tempat Siau-hong berdiri,
karena itu Siau-hong membalikkan badan.
Sewaktu berpaling tadi, ia sama sekali tidak melihat di
belakang tubuhnya ada orang, waktu itu matanya hanya
melihat Lim Ceng-hiong dan pedang orang itu.
Sekarang dia telah melihatnya.
Seseorang berdiri di balik kegelapan di kejauhan sana,
terpaut sebuah jarak yang cukup jauh dan aman bagi
dirinya maupun Siau-hong.
Karena Sah Peng tak pernah membiarkan orang lain
menaruh prasangka buruk dan rasa curiga besar terhadap
dirinya. "Sebetulnya kusangka kau bakal mampus," katanya
sambil menghela napas, "Sungguh tak disangka, dialah
yang mati."
"Aku sendiri pun tidak menyangka."
"Sejak kapan kau baru tahu bahwa dialah orang ketiga
yang benar-benar akan membunuhmu?"
"Ketika ia berjalan mendekat," sahut Siau-hong.
"Waktu itu bahkan aku pun mengira kau sudah bersedia
untuk bersahabat dengannya, dari mana kau bisa tahu kalau
dia ingin membunuhmu?"
"Karena sewaktu berjalan, langkahnya kelewat hati-hati,
seolah takut sekali kakinya menginjak mati semut di lantai."
"Apa salahnya dengan jalan berhati-hati?"
"Hanya satu kesalahannya," jawab Siau-hong, "Bagi
orang persilatan macam kami, biar menginjak mati tujuh
ratus ekor semut pun tak bakal ambil peduli, kenapa dia
harus sangat berhati-hati, tentu saja terkecuali dia sedang
berjaga-jaga terhadapku."
"Masuk akal."
"Hanya orang yang berniat akan mencelakai orang lain,
dirinya baru waspada terhadap orang lain."
"O, ya?"
"Aku pernah mempunyai pengalaman semacam ini,"
ujar Siau-hong lebih lanjut, "Biasanya orang yang tertipu,
justru mereka yang berniat akan mencelakai orang lain."
"Kenapa?"
"Oleh karena mereka tidak mempunyai ingatan untuk
mencelakai orang, karena itu baru tak ada ingatan untuk
berjaga-jaga. Bila kau pernah mempunyai pengalaman
seperti ini, pasti akan memahami pula maksudku."
"Aku paham maksudmu, tapi tidak mempunyai
pengalaman seperti itu," kata Sah Peng, "Karena aku tak
pernah mau mempercayai siapa pun."
Dia menatap Siau-hong sekejap, lalu tersenyum.
"Mungkin karena kau pernah mengalami pengalaman
seperti ini, pernah mendapat pelajaran yang menyakitkan,
maka sekarang kau pun belum mati."
"Mungkin saja begitu," Siau-hong mengangguk,
"Membodohi aku satu kali, tapi kesalahan ada pada dirimu,
membodohi aku dua kali, kesalahan berada di pihakku. Jika
setelah mengalami satu kali pelajaran, kau masih tak tahu
waspada, maka manusia semacam ini memang pantas
mati." "Sebuah ungkapan yang bagus sekali."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tiba-tiba Siau-hong
bertanya, "Apakah kau pun datang untuk membunuhku?"
"Bukan."
"Kau anak buah Lu-sam?"
"Benar."
"Datang bersama mereka?"


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar," Sah Peng mengangguk, "Kami datang kemari
atas perintah Lu-sam, hanya perintah yang kami dapatkan
berbeda." "O, ya?"
"Kalau mereka bertiga mendapat perintah untuk
membunuhmu, maka aku hanya mendapat perintah untuk
datang melihatmu."
"Melihat apa?"
"Melihat bagaimana membunuh orang," kata Sah Peng,
"Peduli mereka yang membunuh dirimu atau kau yang
membunuh mereka, aku harus menyaksikan dengan jelas."
"Sekarang kau telah melihatnya dengan jelas?"
"Benar."
"Kalau begitu, sudah waktunya bagimu untuk pergi dari
sini?" "Benar, tapi sebelumnya aku ingin memohon sesuatu
kepadamu."
"Mohon apa?"
"Biarkan aku membawa kembali tubuh mereka," kata
Sah Peng, "Peduli mereka mati atau hidup, aku harus
membawanya pulang." Kepada Siau-hong tanyanya lagi,
"Apakah kau bersedia?" Siau-hong tertawa.
"Ketika masih hidup, mereka sama sekali tak berguna
bagiku, setelah mati apa pula gunanya bagiku?"
Kepada Sah Peng tanyanya kemudian, "Mengapa aku
harus menahan mayat mereka?"
"Jadi kau izinkan aku membawanya pulang?"
Siau-hong manggut-manggut.
"Hanya aku pun berharap kau bisa melakukan satu hal
untukku." "Apa?"
"Aku harap sekembalimu dari sini, beritahu Lu-sam,
suruh dia baik-baik menjaga diri, baik-baik menjaga kondisi
badan hingga sewaktu aku pergi menemuinya, dia masih
hidup sehat walafiat."
"Dia pasti tetap sehat," jawab Sah Peng, "Selama ini dia
memang sangat pandai menjaga diri."
"Bagus sekali," Siau-hong tersenyum, "Aku betul-betul
berharap dia masih tetap hidup ketika aku pergi
menjumpainya."
Sah Peng ikut tersenyum.
"Aku berani menjamin, untuk sementara waktu dia tak
bakal mati."
Tentu saja Lu-sam tak bakal mati.
Dia selalu percaya dirinya masih dapat hidup lebih
panjang daripada orang mana pun yang sebaya dengan
dirinya. Dia selalu percaya uang adalah segalanya, selalu
menganggap pekerjaan di dunia ini tak akan beres tanpa
uang, bahkan termasuk kesehatan serta keselamatan
jiwanya. Terlepas jalan pikirannya benar atau salah, paling tidak
hingga sekarang dia masih bisa hidup sehat sentosa.
Nomor tiga, tiga belas dan dua puluh tiga telah mati
semua, tampaknya kejadian ini sudah berada dalam
dugaannya. Kalau sudah tahu mereka bertiga pasti mati, mengapa
masih menyuruh mereka bertiga mengantar kematiannya"
Mengapa tidak membiarkan mereka turun tangan bersama"
Dalam persoalan ini, Sah Peng sendiri pun tak habis
mengerti. Sah Peng hanya tahu satu hal, semua tugas yang
diserahkan Lu-sam kepadanya harus dia laksanakan dengan
baik, betapa pun sulitnya persoalan itu, tugas tetap harus
diselesaikan. Lu-sam minta dia membawa pulang ketiga orang itu,
baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Sah Peng telah melaksanakannya.
Bila mereka telah tewas di ujung pedang Siau-hong, Lusam
mewajibkan dia untuk membawa pulang ketiga
jenazah itu dalam empat jam, agar ia dapat memeriksa
mayat-mayat itu.
Sudah jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang gampang
untuk dilaksanakan, tapi Sah Peng terbukti dapat
melakukannya. Mereka tewas di saat fajar menyingsing
menjelang tengah hari, Lu-sam telah memeriksa mayat
mereka bertiga.
Dalam keadaan dan situasi apa pun, jangan sampai
sepak-terjangmu diketahui dan dikuntit orang.
Tugas ini tentu saja jauh lebih sukar, Pancapanah serta
Siau-hong pasti tak akan melepaskan setiap kesempatan
untuk melacak tempat persembunyian Lu-sam, apalagi
kesempatan ini kemungkinan besar merupakan kesempatan
terakhir kalinya.
Bahkan tugas sesukar ini pun Sah Peng dapat
melaksanakannya. Dia percaya dan yakin, tak seorang pun
dapat melacak jejak Lu-sam dari sepak-terjangnya.
Bahkan dia berani menggunakan batok kepala sendiri
sebagai barang taruhan.
Mengapa dia begitu yakin"
Dengan cara apa dia laksanakan ketiga tugasnya itu"
Tentu saja Pancapanah tak akan melepaskan kesempatan
ini, sebelum Siau-hong menghabisi nyawa Masa,
Pancapanah telah mengumpulkan semua jago-jagonya yang
paling berpengalaman dan paling hebat ilmu meringankan
tubuhnya untuk berkumpul di sana dan menyebar mereka
di sepanjang jalan itu untuk melakukan pengawasan.
Setelah Sah Peng mengangkut mayat-mayat itu, setiap
tempat yang disinggahi, setiap perbuatan yang dia lakukan,
mereka telah memeriksa dan menyelidikinya dengan sangat
jelas, bahkan tempat-tempat kecil yang tampaknya tak ada
hubungan dengan persoalan ini pun sama sekali tidak
dilepas. Dalam hal ini mereka telah membuat laporan terperinci
dan teliti. Sah Peng menggunakan sebuah kereta besar yang
disewanya dari pasar untuk mengangkut ketiga jenazah Oh
Toa-leng sekalian.
Sejak malam sebelumnya dia telah menyewa kereta itu
dan membayarnya dengan harga lima kali lipat daripada
harga biasa, bahkan minta sang kusir untuk menunggu di
sekitar tempat itu.
Lo-ong sang kusir kereta sudah dua-tiga puluh tahunan
bekerja di bidang ini, dengan mereka sama sekali tak ada
hubungan maupun sangkut-paut apa pun.
Ditinjau dari hal ini, bisa disimpulkan bahwa dia telah
membuat persiapan jauh sebelumnya, dia pun sudah
menduga kalau ketiga orang itu besar kemungkinan tak
akan balik dalam keadaan hidup.
Toko penjual peti mati terbesar di kota itu bernama "Liuciu
Thio-ki". Ooo)d*w(ooO BAB 39. GERAK LANGKAH KEDUA
Begitu fajar menyingsing, Sah Peng telah membawa
ketiga jenazah itu ke toko peti mati Thio-ki, dengan biaya
dua kali lipat lebih mahal, dia membeli tiga buah peti mati
milik orang lain yang terbuat dari kayu berkwalitas tinggi.
Setelah itu dia pun langsung mengawasi sendiri para
pegawai Thio-ki memasukkan ketiga sosok jenazah itu ke
dalam peti mati, walaupun telah menggunakan rempahrempah
harum anti pembusukan, dia melarang siapa pun
untuk menyentuh mayat mereka, bahkan pakaian yang
dikenakan pun sama sekali tidak diganti.
Kemudian dia pun membawa sendiri ketiga buah peti
mati itu menuju ke kompleks pemakaman terbesar di kaki
bukit luar kota, dengan mengajak seorang Suhu Hong-sui
terkenal, ia memilih sebidang tanah kubur.
Tanah yang dipilih berada di kaki bukit, sedang petugas
yang menggali kubur pun orang-orang yang
berpengalaman, tak sampai satu jam kemudian, semua peti
mati sudah masuk ke tanah.
Dalam satu jam batu nisan telah selesai dibuat, bahkan
tertera dengan jelas nama Oh Toa-leng, Tu Yong, serta Lim
Ceng-hiong. Setelah itu Sah Peng mengawasi sendiri pemasangan
batu nisan, bahkan membakar uang kertas sebelum
akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.
Ia berdiri cukup lama di depan kubur sebelum pergi,
meneguk tiga cawan arak dan kelihatannya meneteskan air
mata. Ketika meninggalkan kompleks tanah pekuburan itu,
tengah hari pun belum menjelang.
Semua yang dia lakukan sangat wajar, semuanya
merupakan pekerjaan yang dilakukan demi seorang sahabat
yang telah meninggal, sedikit hal yang mencurigakan pun
tidak ada. Tapi tengah hari baru lewat, Lu-sam telah menyaksikan
ketiga sosok mayat Oh Toa-leng.
Ooo)d*w(ooO Dengan sikap yang sangat tenang Pancapanah
mendengarkan laporan anak mudanya, setelah termenung
cukup lama ia baru mengangkat wajah dan bertanya kepada
Siau-hong yang duduk di hadapannya, "Kalau memang Lusam
mengutus tiga orang untuk membunuhmu, mengapa ia
tidak membiarkan mereka turun tangan bersama?"
"Sebetulnya aku sendiri pun tidak paham," jawab Siauhong,
"Tapi sekarang aku sudah memahami niatnya."
"Coba kau jelaskan."
"Pertama, jagoan lihai anak buah Lu-sam amat banyak
jumlahnya, ketiga orang itu bukan kekuatan utama untuk
melakukan penyerangan, mati-hidup mereka sama sekali
tak dipedulikan Lu-sam."
"Betul."
"Kedua, sekalipun mereka bertiga turun tangan bersama,
belum tentu mereka dapat membunuhku, apalagi
kemungkinan aku pun mempunyai teman yang membantu."
"Betul," Pancapanah mengangguk, "Dalam hal ini aku
yakin Lu-sam pun pasti dapat melihat dengan jelas, selama
ini dia enggan melancarkan serangan total kepada kita
lantaran dia tak pernah bisa menilai kekuatan kita
sebenarnya, apalagi sama sekali tak mampu menemukan
aku." Pancapanah memang bagaikan segulung angin, jejaknya
jauh lebih sukar dilacak ketimbang Lu-sam.
"Walaupun sasaran utama Lu-sam adalah aku, bukan
kau," ujar Pancapanah lebih jauh, "Tapi sekarang dia pasti
menduga kau adalah penyerang utama yang kuandalkan,
oleh sebab itu dia harus menyelidiki dulu kemampuan ilmu
silat yang kau miliki."
"Betul, tujuannya mengutus ketiga orang itu pasti
bermaksud hendak menyelidiki kemampuan ilmu silatku."
Kemudian ia menambahkan, "Aliran ilmu pedang yang
dimiliki ketiga orang itu berbeda, cara mereka membunuh
pun berbeda."
"Dia sengaja mengutus mereka, tujuannya tak lain
adalah ingin melihat dengan cara apa kau menghabisi
nyawa mereka, dari caramu bertindak akan ketahuan aliran
ilmu pedang yang kau miliki."
"Karena dia memang ingin sekali membunuhku dengan
tangan sendiri," kata Siau-hong sambil tertawa getir, "Agar
tercapai tujuannya ini, mengorbankan tiga nyawa tentu
bukan masalah besar baginya."
"Bila dia benar-benar bertujuan begitu, berarti dalam
setengah hari dia sudah harus dapat melihat jenazah mereka
bertiga." "Kenapa?"
"Sebab dia harus memeriksa mulut luka yang mematikan
itu, dari sana baru bisa memahami caramu turun tangan,"
Pancapanah menerangkan, "Apabila selisih waktunya
kelewat lama, mulut luka itu tentu akan menyusut hingga
berubah bentuk."
"Aku pun telah berpikir begitu," kata Siau-hong "Ketika
tempo hari Pek-hun-shiacu Yap Koh-seng mematas kutung
setangkai bunga, dari bekas sayatan pada tangkai bunga itu
Sebun Jui-soat dapat meraba tinggi-rendahnya ilmu pedang
yang dia miliki."
"Cerita semacam ini bukan dongeng, bukan cerita
menjelang tidur, seorang jago yang benar-benar sempurna
ilmu pedangnya, dia pasti dapat melakukan hal semacam
ini." "Aku percaya, tapi aku tak percaya ilmu pedang yang
dimiliki Lu-sam telah mencapai tingkat kesempurnaan
seperti ini."
"Bukankah kau sendiri pun pernah berkata, jagoan yang
menjadi anak buahnya banyak tak terhingga, sekalipun dia
sendiri belum mampu, di sampingnya pasti ada jagoan yang
sanggup berbuat begitu."
Siau-hong termenung sejenak, kemudian katanya,
"Sekarang aku jadi semakin tak mengerti."
"Apa yang tidak kau mengerti?"
"Kalau memang Lu-sam terburu-buru ingin melihat
mulut luka yang mematikan di tubuh ketiga sosok mayat
itu, mengapa salah satu anak buahnya justru terburu-buru
ingin mengubur jenazah mereka?"
Sebuah persoalan yang penting sebuah pertanyaan yang
sulit untuk dijelaskan.
Namun Pancapanah seolah sudah mengetahui
jawabannya. Tiba-tiba ia berpaling ke arah orang yang barusan
memberi laporan itu, kemudian bertanya, "Ketiga sosok
mayat itu dikubur di mana?"
"Di kaki bukit di luar kota."
"Siapa yang memilihkan bidang tanah kubur itu?"
"Seorang Suhu Hongsui, dia she Liu bernama Liu Samgan."
"Di hari biasa apa kesenangan orang ini?"
"Suka berjudi, dia selalu menganggap dirinya bukan saja
getol berjudi bahkan bisa menghitung secara tepat, tapi
sayangnya dari sepuluh kali main judi, sembilan kali di
antaranya kalah total."
"Apakah dia selalu butuh banyak uang?"


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar."
Pancapanah segera tertawa dingin, mendadak ujarnya
kepada Siau-hong seraya berpaling, "Beranikah kau
bertaruh denganku?"
"Bertaruh apa?"
"Aku berani bertaruh, saat ini manusia yang bernama
Liu Sam-gan itu pasti sudah mati."
Pancapanah belum pernah bertemu dengan Liu Samgan,
bahkan baru pertama kali ini mendengar namanya
disebut orang. Tapi ia berani bertaruh, bukan saja saat ini orang itu
sudah mati, bahkan ia berani bertaruh orang ini tewas pada
satu jam berselang.
Dia mengajak Siau-hong bertaruh apa saja, bahkan
caranya bertaruh pun sangat ngawur.
Namun Siau-hong menolak untuk bertaruh.
Biarpun Siau-hong tak tahu dengan cara apa dia bisa
mengetahui Liu Sam-gan telah tewas, tapi ia tahu, belum
pernah Pancapanah melakukan pekerjaan yang tidak
diyakininya. Siau-hong percaya, bila Pancapanah berani bertaruh
dengan orang lain, dia pasti tak bakal kalah.
Ternyata tak salah, Pancapanah memang tidak kalah.
Liu Sam-gan betul-betul sudah mati, mati di atas
pembaringan sendiri.
Tidak sampai setengah jam, orang yang diutus untuk
melakukan penyelidikan telah kembali, membuktikan
kebenaran peristiwa itu.
"Liu Sam-gan tewas ditusuk tenggorokannya dengan
sebatang sumpit, orang yang membunuhnya bertindak
bersih tanpa meninggalkan jejak atau bekas apa pun, malah
orang yang berada di seputar sana sama sekali tak
mendengar suara gaduh."
Pancapanah sedikit pun tidak merasa heran, semua
kejadian sudah berada dalam dugaannya.
Yang keheranan justru Siau-hong.
Tak tahan dia pun bertanya kepada Pancapanah, "Dari
mana kau bisa tahu kalau dia pasti sudah mati?"
Pancapanah tidak menjawab, dia hanya tertawa hambar.
"Masih ada satu hal lagi yang ingin kupertaruhkan
denganmu, mau bertaruh apa saja tak masalah," katanya.
"Kali ini persoalan apa yang ingin kau pertaruhkan?"
"Aku berani bertaruh ketiga buah peti mati Oh Toa-leng
dan kawan-kawan saat ini sudah tidak berada di dalam
liang kuburnya."
Sambil berpaling ke arah Siau-hong, tambahnya,
"Percayakah kau?"
Siau-hong tidak percaya.
Orang mati sudah dimasukkan ke dalam peti mati, peti
mati pun sudah masuk ke liang kubur, bagaimana mungkin
secara tiba-tiba bisa menghilang"
Atas dasar apa Pancapanah berani menantangnya
bertaruh" Hampir saja Siau-hong tak kuasa menahan diri
dan menerima tantangannya itu.
Masih untung ia dapat menguasai diri.
Sebab kalau dia benar-benar bertaruh maka dia segera
akan menderita kekalahan, berapa pun yang dia
pertaruhkan bakal habis.
Ternyata peti mati Oh Toa-leng bertiga benar-benar
sudah tidak berada di dalam liang kubur mereka.
Liang kubur itu dalam keadaan kosong.
Tiga buah peti mati yang terbuat dari kayu berkwalitas
tinggi tentu saja lenyap dari tempat itu.
Lalu ke mana perginya ketiga buah peti mati itu"
Banyak kejadian aneh di dunia ini yang tampaknya rumit
dan membingungkan, padahal jawabannya terkadang justru
sangat sederhana.
Begitu pula dalam kejadian ini.
Ternyata peti mati itu sudah diangkut orang melalui
lorong bawah tanah.
Di bawah tanah kubur di kaki bukit itu rupanya sudah
disiapkan lorong bawah tanah yang amat panjang.
Terdengar Pancapanah bertanya lagi kepada Siau-hong,
"Sekarang tentunya kau sudah paham bukan, mengapa aku
berani memastikan Liu Sam-gan telah mati?"
Siau-hong membungkam, sama sekali tak bersuara.
Sekalipun dia sudah mengerti pun tak bakal buka suara.
Karena dia menyadari sesuatu, selama berada di hadapan
Pancapanah lebih baik dia tutup mulut rapat-rapat.
Karena itu terpaksa Pancapanah memberi penjelasan
sendiri. "Orang yang bertugas mengubur ketiga peti mati itu
bernama Sah Peng, biarpun dia tak ternama dalam dunia
persilatan, namun orang itu justru salah satu pembantu
yang paling diandalkan Lu-sam."
Siau-hong telah mengetahui hal ini.
"Sejak awal dia telah menyiapkan tanah pekuburan itu,
di bawahnya telah digali lorong bawah tanah yang sangat
panjang," kembali Pancapanah menjelaskan, "Untuk
menghindari agar kita tidak dicuriga, maka dicarinya Liu
Sam-gan sebagai tameng."
Ia berhenti sejenak, kemudian tambahnya, "Saat ini Liu
Sam-gan sedang butuh uang, maka Sah Peng pun
membelinya dengan sejumlah uang, tentu saja setelah
urusan beres, dia pun dibunuh untuk menutup mulut."
Menggunakan sebatang sumpit untuk membunuh
seseorang tanpa menimbulkan suara gaduh, tak diragukan
cara Sah Peng turun tangan jauh lebih tepat sasaran, jauh
lebih keji daripada cara Masa melancarkan serangan.
"Akan tetapi kecerdasan otaknya jauh lebih menakutkan
daripada caranya melakukan pembunuhan," ujar
Pancapanah lagi, "Karena dia mampu menemukan cara
seperti ini."
Cara ini tak disangkal merupakan satu-satunya cara
untuk meloloskan diri dari pelacakan dan pengejaran anak
buah Pancapanah. Dan hanya dengan cara ini pula, ketiga
sosok mayat itu dapat diantar ke tempat tinggal Lu-sam
dalam waktu yang paling singkat.
Akhirnya Siau-hong buka suara, ujarnya, "Bagaimana
pun juga, ketiga buah peti mati yang berisikan tiga sosok
mayat itu tak mungkin terbang sendiri, mau dikirim ke
mana pun ketiga buah peti mati itu pasti ada orang yang
menggotongnya."
"Betul."
"Untuk menggotong tiga buah peti mati yang begitu
berat, mau menuju ke mana pun, sedikit banyak mereka
pasti akan meninggalkan jejak."
" "Menurut akal sehat seharusnya memang demikian."
"Mengapa kita tidak melakukan pengejaran berdasarkan
jejak yang ditinggalkan?"
"Bila kau ingin melakukan pengejaran, kami segera akan
berangkat," kata Pancapanah, "Hanya saja aku tetap ingin
menantangmu untuk bertaruh satu kali."
"Bertaruh apa?"
"Aku berani bertaruh mereka pasti tak akan berhasil
melacak jejak ketiga peti mati itu."
Kali ini Siau-hong masih tetap menolak untuk bertaruh.
Kalau kuburan itu terletak di sebelah selatan kompleks
tanah pekuburan, maka jalan keluar dari lorong rahasia itu
berada di sisi utara bukit.
Di seputar mulut gua tentu saja tertinggal banyak jejak.
Karena di sekitar tempat itu baik berupa tanah berumput
atau tanah lumpur, untuk mengangkut tiga buah peti mati
yang berat pasti akan meninggalkan banyak jejak di atas
permukaan tanah.
Terlepas mereka mau digotong oleh manusia maupun
diangkut dengan kereta.
Akan tetapi bila kali ini Siau-hong menerima tantangan
Pancapanah untuk bertaruh, maka Siau-hong tetap bakal
kalah. Sebab tak jauh dari pintu lorong itu terdapat sebuah
sungai kecil, meskipun arus airnya tidak begitu deras,
namun tidak sulit untuk mengangkut ketiga buah peti mati
itu dengan menggunakan rakit yang terbuat dari kulit
kambing. Mau air sungai, air telaga ataupun air laut, di atas air tak
mungkin akan meninggalkan jejak apa pun.
Seseorang yang sedang dikejar, asal dia terjun ke dalam
air maka biar dilacak anjing pemburu yang paling hebat,
memperoleh pendidikan paling disiplin pun, jangan harap
jejaknya akan terendus lagi.
Langit nan biru, pegunungan nan hijau, aliran sungai
dengan arus yang perlahan, ada sederet daun kering mulai
berguguran dari sebatang pohon besar.
Di bawah pohon berkerumun manusia, manusia dalam
jumlah banyak... hanya ada manusia, tak ada peti mati.
Ketika Siau-hong dan Pancapanah baru berjalan keluar
dari lorong bawah tanah, seseorang segera datang
menghampiri mereka.
Seseorang yang amat tahu aturan, caranya berjalan amat
beraturan, pakaiannya beraturan, lagak maupun caranya
berbicara sangat beraturan, pekerjaan dan perbuatan apa
pun yang dilakukan, tak pernah meninggalkan kesan
berlebihan. Dahulu Siau-hong pernah bertemu dengan manusia
semacam ini, tapi dia sama sekali tak menyangka akan
bertemu lagi dengan manusia semacam ini di tempat seperti
ini pula. Congkoan atau pegawai suatu keluarga persilatan
kenamaan, Ciangkwe sebuah rumah makan yang tersohor
dan bersejarah, seringkali merupakan orang-orang semacam
ini. Karena biasanya mereka berasal dari seorang kacung
kecil, sejak masih kecil sudah mendapat pendidikan yang
luar biasa disiplin dan ketatnya, harus berjuang dan
bersusah payah merangkak sebelum akhirnya berhasil
mencapai posisi semacam ini sekarang.
Maka dari itu mereka tak akan melakukan perbuatan
yang melampaui aturan, tak akan membuat siapa pun
merasa muak dan benci.
Manusia semacam ini mengapa bisa muncul di tempat
seperti ini"
Kini orang itu telah berjalan mendekat, sambil tersenyum
memberi hormat kepada Siau-hong dan Pancapanah.
"Hamba Lu Kiong," katanya, "Lu dari huruf mulut yang
ditumpuk dan Kiong yang berarti menghormati."
Meskipun senyuman dan sikapnya sangat menghormat,
namun memberi kesan sedikit tengik.
"Sam-ya secara khusus mengutus hamba untuk menanti
kedatangan kalian berdua."
"Sam-ya?" tanya Siau-hong, "Lu-sam maksudmu?"
"Benar."
"Kau tahu siapakah kami?"
"Hamba tahu."
"Mau apa dia perintahkan kau menunggu kami di sini?"
kembali Siau-hong bertanya, "Apakah ingin mengajak kami
pergi menemuinya?"
"Terus terang, biarpun hamba sudah bertahun-tahun
mengikuti Sam-ya, namun hamba belum pernah tahu
dengan jelas di mana Sam-ya berada."
Ia berbicara dengan tulus dan jujur, sekalipun seorang
wanita yang besar rasa curiganya pun pasti akan
beranggapan bahwa dia bukan sedang bicara bohong.
Yang lebih aneh lagi, perempuan yang banyak curiga
terkadang justru merupakan orang pertama yang
mempercayai persoalan yang tidak dipercayai orang lain,
mempercayai masalah yang tak bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Siau-hong maupun Pancapanah tidak mengidap penyakit
banyak curiga. Mereka bukan kaum wanita.
Tapi mereka percaya semua perkataan yang diucapkan
Lu Kiong bukan kata-kata bohong sebab orang yang
berbohong di hadapan mereka segera akan ketahuan.
Karena itu kembali Siau-hong bertanya, "Ada urusan apa
Lu-sam minta kau datang mencari kami?"
"Sudah cukup lama Sam-ya beradu kemampuan dengan
kalian berdua, telah lama beliau tak pernah saling bersua
dengan kalian," kata Lu Kiong, "Oleh sebab itu, dia sengaja
mengutus hamba untuk menunggu kedatangan kalian
berdua di sini dan secara khusus mengundang kalian untuk
bersantap."
"Dia mengundang kami bersantap?"
"Benar, hanya sebuah undangan makan biasa, sebagai
pertanda rasa hormat kami."
Mengapa Lu-sam mengundang makan Pancapanah dan
Siau-hong"
Mungkinkah langkah yang diambil pun merupakan
sebuah perangkap"
Apakah di dalam hidangan telah mereka campuri dengan
racun jahat tanpa wujud, tanpa bentuk, tanpa bau"
Siau-hong memandang ke arah Pancapanah,
Pancapanah pun memandang ke arah Siau-hong.
"Pergi ke sana?"
"Aku akan pergi, aku pasti akan ke sana," jawab
Pancapanah. "Kenapa?"
"Karena sudah lama aku tak pernah diundang orang
makan." Lu Kiong tidak berbohong, Lu-sam memang
mengundang Siau-hong dan Pancapanah untuk bersantap.
Tapi ditinjau dari sudut pandang lain, undangan
makanan ini justru sangat istimewa.
Pancapanah adalah seseorang yang sangat istimewa, dia
suka menyendiri, suka berkelana.
Selama ini dia sudah terbiasa hidup seorang diri di
tengah gurun yang sepi, kejam dan tak berperasaan, dengan
jagat raya sebagai selimut, tanah dataran sebagai ranjang,
asal bisa digunakan untuk menangsal perut, dia akan
melahap semuanya.
Karena dia harus melanjutkan hidup.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi yang paling dia sukai bukanlah daging, rangsum
kering atau kue dan sebangsanya.
Dia paling suka dengan bawang, sejenis bawang yang
punya rasa khas, bawang sebagai teman nasi, khususnya
nasi putih yang baru keluar dari kuali.
Bagi seseorang yang sepanjang tahun hidup
bergelandangan di tengah gurun, nasi putih merupakan
hidangan paling istimewa yang dirindukan.
Hidangan yang disiapkan Lu Kiong atas perintah Lusam
tak lain adalah nasi putih dan bawang.
Siau-hong pun seorang pengembara.
Seorang pengembara yang tak punya akar seperti daun
yang berguguran terhembus angin, seperti enceng gondok
yang terapung di atas permukaan air.
Tapi setiap kali tersadar dari mabuk di tengah malam
buta, di saat ia tak bisa memejamkan mata, yang paling
dipikirkan saat itu adalah rumahnya, ibunya.
Dia pun pernah punya rumah. Rumahnya sederhana dan
miskin, nyaris sulit baginya untuk hidup menikmati daging.
Tapi cinta kasih seorang ibu terhadap putra tunggalnya
selalu tak pernah akan berubah walau dikarenakan alasan
apa pun. Ibunya seperti ibu-ibu yang lain, selalu berharap
putranya dapat tumbuh tinggi besar, sehat, dan kuat.
Oleh sebab itu asal ada kesempatan, ibunya selalu akan
membuatkan hidangan kecil yang lezat dan bergizi untuk
dirinya. Orak-arik telur, daging cacah masak Pek-cay, osengoseng
kecap pedas, telur asin daging kukus.
Semua hidangan itu hanya hidangan kecil yang amat
sederhana di wilayah Kang-lam, tapi merupakan hidangan
yang paling disukai Siau-hong semasa kecil dulu.
Ternyata Lu-sam memerintahkan Lu Kiong untuk
menyiapkan hidangan itu.
Selain daripada itu, tentu saja Lu-sam pun menyiapkan
arak untuk mereka berdua.
Walaupun setiap peminum arak mempunyai kegemaran
dan minuman favorit yang berbeda, tapi arak yang benarbenar
jempolan pasti akan disukai setiap orang.
Arak yang disiapkan Lu-sam untuk mereka berdua
benar-benar semacam arak yang berkwalitas tinggi, asal kau
seorang peminum, pasti akan suka arak wangi ini.
Pancapanah meneguk dulu satu cawan, kemudian baru
bertanya kepada Lu Kiong yang melayani di sisinya,
"Apakah kau merasa keheranan?"
"Heran soal apa?"
"Heran, karena aku tak kuatir arak ini sudah dicampuri
racun jahat?"
"Hamba tidak merasa heran," jawab Lu Kiong, "Sebab
jika Sam-ya mencampurkan racun dalam arak hanya untuk
membokong panah sakti panca bunga, bukankah
perbuatannya itu sama artinya dengan memandang diri
sendiri kelewat rendah?"
"Tepat sekali," kembali Pancapanah meneguk secawan
arak, "Kau memang tak malu mengikuti Lu-sam selama
banyak tahun, hanya saja kau masih tetap salah
mengartikan satu hal."
"Soal apa?"
"Kau sangka Lu-sam benar-benar ingin mengundang
kami untuk bersantap?"
"Memangnya bukan?"
"Tentu saja bukan!" tegas Pancapanah, "Dia
mengundang kami bersantap tak lain agar kami memahami
satu hal, yakni dia sangat mengetahui segala sesuatu
tentang kami, bahkan hidangan dan kesukaan kami pun dia
ketahui dengan sejelas-jelasnya."
Setelah menghela napas, tambahnya, "Orang lain
mengatakan Po Eng adalah seorang jagoan hebat, padahal
Lu-sam pun sama saja."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" mendadak Siau-hong
bertanya. "Aku?" sekali lagi Pancapanah menghela napas, "Bila
kau bertanya manusia macam apakah diriku, maka kau
telah salah bertanya."
"Kenapa?"
"Karena aku sendiri pun tak pernah bisa memahami
tentang diriku sendiri."
Pancapanah tidak membiarkan Siau-hong bertanya lebih
lanjut, balik tanyanya, "Bagaimana dengan kau sendiri"
Tahukah kau manusia macam apakah dirimu sendiri?"
Siau-hong tidak menjawab, Pancapanah telah
mewakilinya menjawab, "Kau adalah manusia aneh,
seorang yang sangat aneh."
"O, ya?"
"Kau adalah orang Kangouw, seorang pengembara,
sering kali harus mengadu nyawa dan bercucuran darah
hanya gara-gara urusan orang lain."
Siau-hong mengakui akan hal itu.
"Kau suka minum arak, suka perempuan, supel,
emosional," ujar Pancapanah lebih lanjut, "Tapi barusan
aku tiga kali menantangmu bertaruh, tak sekalipun kau
terima tantanganku itu."
"Aku tak suka bertaruh."
"Justru karena kau tak suka bertaruh, maka aku baru
heran," sela Pancapanah, "Padahal tak seorang pun di
antara manusia macam kau yang tidak suka bertaruh."
"Sebenarnya aku pun senang bertaruh, hanya saja aku
bertaruh dengan semacam manusia."
"Sahabatmu?"
"Salah! Aku hanya minum arak bersama temanku."
"Lalu dengan manusia macam apa kau bertaruh?"
"Musuhku!"
"Apa yang sering kalian pertaruhkan?"
"Bertaruh nyawa." Pancapanah tertawa lebar.
"Aku memahami maksudmu, tapi belum paham benar
manusia macam apa dirimu itu," katanya.
"Memangnya aku masih memiliki sesuatu yang aneh?"
tanya Siau-hong.
"Tentu saja ada," jawab Pancapanah, "Ada banyak lelaki
yang selalu memandang penting kaum wanita daripada
teman, tapi kau berbeda."
"O, ya?"
"Sikapmu terhadap sahabatmu memang selalu hebat, tapi
sikapmu terhadap perempuanmu sangat jelek, peduli
perempuan itu kau sukai atau tidak, semuanya sama saja."
"O, ya?"
"Semisal Yang-kong. Dia seharusnya terhitung
sahabatmu." Siau-hong mengakui.
"Tapi selama dua hari ini, kau selalu berusaha
menghindari pertemuan dengannya," kata Pancapanah,
"Hal ini dikarenakan dia adalah seorang wanita, bahkan
sedikit banyak kau agak menyukainya."
Siau-hong tidak menyangkal.
"Ada lagi Soso," ujar Pancapanah lebih jauh, "Terlepas
perempuan macam apakah dia, yang pasti dia telah
melahirkan anak untukmu, terlepas dia datang karena apa,
sekarang dia toh sudah datang."
Dia pun bertanya kepada Siau-hong, "Tapi bagaimana
sikapmu terhadapnya" Kau bertemu dia seakan bertemu
setan hidup saja, asal kau lihat dia datang menghampirimu,
kau pun langsung melarikan diri."
Siau-hong terbungkam, tidak menjawab.
Tapi ia tidak menutup mulutnya rapat-rapat, karena dia
meneguk araknya cawan demi cawan, orang yang menutup
mulut rapat-rapat tentu saja tak bisa minum arak.
"Masih ada Che Siau-yan," untuk kesekian kalinya
Pancapanah berkata, "Bagaimana pun juga, aku rasa
sikapnya terhadapmu cukup baik, tapi bagaimana sikapmu
terhadapnya?"
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Ketika ia pergi, kau
sama sekali tidak menegur atau bertanya apa-apa
kepadanya, kau seolah sama sekali tak menaruh perhatian,
tak peduli ke mana dia mau pergi, tak peduli matihidupnya."
Tiba-tiba Siau-hong meletakkan cawan araknya,
kemudian sambil menatap tajam wajah Pancapanah,
katanya, "Sekalipun aku perhatikan mereka, lalu apa
gunanya" Apa yang bisa kukatakan kepada mereka" Dapat
melakukan apa untuk mereka?"
"Tapi paling tidak kau seharusnya memberikan sedikit
pernyataan atau perhatian" Pernyataan kalau kau kuatir dan
perhatian terhadap mereka."
"Dengan cara apa aku harus memberikan pernyataan
itu?" kembali Siau-hong memenuhi cawannya dengan arak,
"Kau minta aku berlutut, berlutut di hadapan mereka,
mohon mereka memaafkan aku atau menumbukkan
kepalaku ke tembok, menumbukkan kepalaku hingga
berdarah-darah?"
Pancapanah tak mampu berbicara lagi.
Kelihatannya Siau-hong sudah mulai mabuk.
"Sekalipun aku melakukan semua itu, lalu kelakuanku
itu bisa menandakan apa?"
Kepada Pancapanah tanyanya lebih jauh, "Apakah aku
harus berbuat begitu baru dapat dianggap sebagai suatu
pernyataan cintaku kepada mereka?"
Pancapanah tak sanggup menjawab.
Kembali Siau-hong bertanya, "Bila kau jadi aku, apakah
kau akan berbuat begitu?"
"Tidak!" akhirnya Pancapanah menghela napas panjang,
"Aku tak akan melakukan hal itu."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku pun akan seperti dirimu, apa pun tidak kulakukan,"
Pancapanah memenuhi juga cawannya dengan arak, "Bila
tiba saat terdesak, mungkin kita akan pergi mati demi
mereka, tapi dalam keadaan sekarang, kita memang tak
perlu melakukan apa pun."
Mimik wajahnya berubah berat dan serius, terusnya,
"Seorang lelaki, seorang yang benar-benar lelaki, terkadang
urusan apa pun akan dia lakukan, tapi terkadang terhadap
urusan apa pun dia tak akan melakukannya."
"Betul, memang begitulah."
Pancapanah kembali menghela napas panjang, dia
mengangkat cawannya dan meneguk habis isinya.
"Mungkin inilah kepedihan yang harus dialami oleh
manusia macam kita."
Lu kiong yang selama ini berdiri melayani mereka tibatiba
ikut menghela napas panjang.
"Padahal setiap orang tentu memiliki kepedihan,"
katanya, "Seperti contohnya manusia macam hamba,
walaupun kami harus menumpang hidup dan setiap saat
jiwa kami akan melayang, namun kami pun memiliki
kepedihan yang mengganjal hati."
"Kalau begitu tak ada salahnya kau katakan."
"Hamba tak dapat mengatakannya."
"Kenapa?"
"Karena manusia macam hamba, melakukan perbuatan
apa pun selalu tak bebas, biarpun dalam hati merasa sedih,
perasaan itu hanya boleh tersimpan dalam hati dan tak
boleh diungkap," kata Lu Kiong "Mungkin inilah kesedihan
terbesar bagi manusia macam kami."
Tiba-tiba parasnya memperlihatkan perubahan yang
sangat aneh, seolah-olah dia telah mengambil keputusan.
"Tapi biarpun orang semacam itu suatu ketika dapat
melakukan satu-dua macam perbuatan yang dia sendiri pun
tak habis mengerti, mengucapkan beberapa kata yang
mungkin dia sendiri kebingungan, meski setelah
mengatakannya jelas dia akan menyesal, namun dia tetap
akan mengutarakannya."
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Siau-hong.
"Barusan apakah kalian berdua menyinggung soal nona
Che?" "Benar."
"Nona Che Siau-yan yang kalian maksudkan apakah
dahulu lebih suka berdandan menjadi anak lelaki?"
"Benar."
"Bila dia yang kalian maksudkan, maka mulai sekarang
kalian tak perlu menguatirkan keselamatan jiwanya lagi."
"Kenapa?" tanya Siau-hong lagi.
"Karena saat ini dia hidup berkecukupan," kata Lu
Kiong sambil tertawa, tertawa yang sangat dipaksakan,
"Mungkin jauh lebih baik daripada apa yang kalian
bayangkan."
Siau-hong menatapnya, lewat lama baru bertanya,
"Tahukah kau di mana dia sekarang?"
"Hamba tahu."
"Bisa dikatakan?"
Kembali Lu Kiong termenung cukup lama, akhirnya dia
menghela napas panjang.
"Sebetulnya hamba tak ingin mengatakannya, tapi
sekarang rasanya aku harus mengatakannya."
Katanya lebih jauh, "Nona Che telah diterima Sam-ya
menjadi adik angkatnya, bahkan Sam-ya telah menjadi
walinya untuk mencarikan dia jodoh yang cocok."
Paras Siau-hong sama sekali tak berubah, bahkan reaksi
sedikit pun tak ada, dia hanya menghabiskan tiga cawan
arak, meneguk dengan sangat cepat.
"Mau tunangan?" sehabis meneguk tiga cawan arak,
Siau-hong baru bertanya, "Dia tunangan dengan siapa?"
"Hamba pun kurang jelas," sahut Lu Kiong, "Hamba
hanya tahu calon suaminya adalah seorang jago pedang
ilmu pedangnya sangat hebat, konon sudah menjadi jago
pedang nomor wahid di kolong langit."
"Triiiing!", cawan arak di tangan Siau-hong hancur
berkeping. "Tokko Ci?" tanyanya, "Apakah orang yang kau maksud
adalah Tokko Ci?"
"Rasanya memang dia."
Siau-hong tidak bertanya lagi, dia pun tidak buka suara
lagi. Mulutnya seolah-olah telah dibekap oleh sebuah
tangan yang tak berwujud, dijahit dengan jarum yang tak
terlihat, bukan saja tidak bicara lagi, arak pun tidak


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diminum lagi. Sementara Pancapanah tak tahan, segera berseru, "Jadi
sekarang Tokko Ci berada bersama Lu-sam?"
"Mereka memang sahabat karib, selama ini Sam-ya
selalu menaruh hormat kepadanya."
Kemudian setelah berpikir sejenak, ujarnya lagi, "Tokkosianseng
memang manusia aneh, sekembalinya kali ini dia
seperti berubah semakin aneh, setiap hari dari pagi hingga
malam dia selalu duduk kaku di situ, sepatah kata pun tak
pernah bicara, hingga melihat kemunculan nona Che,
keadaannya baru sedikit mendingan."
Pancapanah tertawa dingin, sambil berpaling ke arah
Siau-hong, katanya, "Sekarang aku baru paham."
"O, ya?"
Ooo)d*w(ooO BAB 40. RAHASIA RUMAH KAYU
"Lu-sam minta Oh Toa-leng bertiga menjajal ilmu
pedangmu, karena Tokko Ci ternyata berada di sini."
"Oh?"
"Kalau dibilang di kolong langit masih ada orang yang
dapat melihat ilmu pedangmu dari mulut luka mereka yang
mampus, tak diragukan lagi orang itu pastilah Tokko Ci."
"Oh?"
Tiba-tiba Pancapanah menghela napas panjang katanya,
"Kau tak boleh ke sana, sama sekali tak boleh ke sana."
"Tak boleh ke mana?" tanya Siau-hong bingung.
"Sebenarnya aku telah mengambil keputusan, asal ada
berita tentang Lu-sam, maka aku segera akan memimpin
anak buahku untuk melancarkan serangan, tapi sekarang
kau sudah tak boleh ikut."
"Kenapa?"
"Kau seharusnya tahu kenapa?"
"Aku tidak tahu."
"Ada Che Siau-yan dan Tokko Ci di sana, bukankah kau
hanya akan mengantar kematian."
Siau-hong termenung, lewat lama sekali, tiba-tiba ia
tertawa, tiba-tiba tanyanya kepada Pancapanah, "Orang
semacam kita ini, apakah setelah mati bakal masuk
neraka?" Pancapanah tak dapat menjawab, dia pun tak ingin
menjawab, tapi ujarnya juga, "Aku hanya tahu, kita pasti
mempunyai banyak teman yang berada dalam neraka, oleh
sebab itu bila mati nanti, aku lebih suka masuk ke dalam
neraka." Siau-hong tertawa terbahak-bahak.
"Begitu pula dengan aku," katanya, "Kalau neraka pun
telah siap kita datangi, tempat mana lagi yang tak boleh
dikunjungi?" Banyak orang suka tertawa.
Ada banyak orang disukai, orang yang disukai semuanya
akan tertawa, tertawa gembira.
Karena tertawa seperti bedak wangi yang mahal
harganya, bukan saja dapat membuat tampil cantik, juga
dapat membuat orang merasa gembira.
Tapi tertawa pun ada banyak macam.
Ada orang menggunakan nyanyian lantang sebagai
pengganti menangis, ada orang menggunakan tertawa kalap
sebagai pengganti nyanyian, ada orang yang suara
tertawanya bahkan jauh lebih pedih dan mengenaskan
daripada tangisan, ada pula yang suara tertawanya mungkin
lebih gusar dari auman amarah.
Menanti Siau-hong selesai tertawa, tiba-tiba Pancapanah
bertanya kepada Lu Kiong, "Apakah kau pun sering
tertawa?" "Aku jarang tertawa."
"Kenapa?"
"Karena sering kali aku tak bisa tertawa," sahut Lu
Kiong, "Terkadang aku ingin tertawa, tapi tak bisa tertawa,
tak berani tertawa."
Pancapanah menatapnya tajam, sampai lama kemudian
dia baru mengucapkan perkataan yang sangat aneh, "Kalau
begitu aku berharap sekarang juga kau tertawa, sekalipun
tak ingin tertawa pun kau harus tertawa."
"Kenapa?"
"Sebab kalau sekarang kau tidak tertawa, lain kali meski
kau benar-benar ingin tertawa pun mungkin sudah tak dapat
tertawa." Lu Kiong memang ingin sekali tertawa, namun otot dan
kulit wajahnya tiba-tiba jadi kaku.
"Kenapa?" kembali tanyanya.
"Pernahkah kau melihat orang mati tertawa?"
Pancapanah balik bertanya.
"Belum pernah."
"Tentu saja belum pernah," suara Pancapanah sedingin
es, "Karena hanya orang mati yang benar-benar tak bisa
tertawa." "Tapi sekarang rasanya aku belum mati."
"Betul, tentu saja sekarang kau belum mati," kata
Pancapanah, "Tapi pernahkah kau berpikir, berapa lama
aku akan membiarkan kau hidup?"
Paras Lu Kiong sama sekali tak berubah, karena
wajahnya sudah tak bisa berubah jadi lebih jelek dan tak
sedap dipandang.
Paras Siau-hong yang berubah, tak tahan tanyanya
kepada Pancapanah, "Kau ingin dia mati?"
"Sedap orang tentu akan mati," jawab Pancapanah
hambar, "Lebih lambat sedikit apa manfaatnya" Lebih cepat
sedikit apa pula salahnya?"
"Tapi aku tak habis mengerti mengapa kau ingin
membunuhnya?"
"Karena ada beberapa persoalan aku pun tak
mengerti...."
"Soal apa?"
"Ada banyak persoalan yang tidak kupahami," kata
Pancapanah, "Yang terutama adalah aku tak habis mengerti
kenapa Lu-sam mengutus manusia semacam dia untuk
menahan kita."
"Kau anggap dia bermaksud menahan kita?"
"Tentu saja, hanya manusia macam dia yang dapat
menahan kita."
"Kenapa?"
"Karena bukan saja dia tahu aturan dan sopan, bahkan
pandai sekali mengungkap suara hati seseorang. Hanya
manusia yang tulus dan jujur yang bisa menahan kita."
Kepada Siau-hong tanyanya, "Tapi apa sebabnya Lu-sam
menahan kita di sini" Apakah lantaran dia kuatir kita
melacaknya lebih jauh" Ataukah karena dia sudah
menyiapkan perangkap di sekitar tempat ini?"
Di sepanjang pesisir sungai berkumpul banyak orang,
ada yang sedang membuat api, ada yang sedang memasak
air, tapi paling banyak orang sedang memasak sayur, karena
setiap hidangan harus dimasak oleh seorang ahli, seorang
ahli dalam memasak jenis hidangan itu.
Pancapanah memandang sekejap sekitar sana, lalu
katanya, "Jago lihai yang membunuh orang tak berkedip
belum tentu bisa membuat api memasak air, juga belum
tentu bisa membuat hidangan lezat atau mengiris daging,
tapi orang yang bisa membuat api, memasak air, mengiris
daging belum tentu bukan jagoan lihai yang membunuh
orang tak berkedip."
Kepada Siau-hong tanyanya, "Benarkah perkataanku
ini?" Siau-hong tak bisa mengatakan salah.
Pancapanah memperhatikan seorang lelaki kekar
berkepala botak dan berbaju hijau yang sedang menjepit
arang panas. "Mungkin saja orang ini adalah seorang jago lihai dari
dunia persilatan. Bisa jadi jepitan arang yang berada dalam
genggamannya merupakan sebuah senjata yang lihai dan
maha dahsyat," katanya, "Sedangkan orang yang sedang
memanggangkan daging bercampur bawang itu bisa jadi di
waktu lain sering memanggang daging manusia."
Siau-hong tak bisa mengatakan kalau hal itu tidak
mungkin. "Bisa jadi setiap saat orang-orang ini akan melancarkan
serangan terhadap kita, bisa juga setiap saat akan
mencincang kita jadi irisan daging tipis atau
memanggangnya jadi daging panggang,"
Kepada Siau-hong tanya Pancapanah kemudian, "Betul
bukan perkataanku ini?"
Bagaimana mungkin Siau-hong bisa mengatakan salah"
Tiba-tiba Pancapanah tertawa.
"Hanya saja belum tentu mereka pasti akan melakukan
hal ini, mungkin tempat ini bukanlah sebuah perangkap,
mungkin ketiga buah peti mati itu sudah pergi jauh,
mungkin tidak kuatir terkejar oleh kita, karena itulah aku
baru merasa agak keheranan."
"Apa yang kau herankan?"
"Heran mengapa Lu-sam bisa mengutus seorang yang
begitu tahu aturan, begitu sopan, bahkan pandai bicara jujur
untuk melayani kebutuhan kita di tempat ini," sahut
Pancapanah, "Oleh karena itu, aku ingin bertanya
kepadanya."
"Kau sangka dia tahu?"
"Mungkin dia memang tak tahu, sekalipun tahu pun
belum tentu dia bersedia mengatakannya."
Siapa pun pasti yakin dan percaya, semua anak buah Lusam
pasti merupakan orang-orang yang bisa menyimpan
rahasia rapat-rapat.
Siau-hong sendiri pun percaya akan hal ini.
"Oleh sebab itu terpaksa aku harus membunuhnya,"
Pancapanah menghela napas panjang, "Peduli dia tahu atau
tidak, toh tak mungkin dia akan bicara terus terang, lalu
kenapa aku tak boleh membunuhnya?"
Dia berpaling menatap Lu Kiong, lalu tambahnya,
"Ketika Lu-sam memerintahkan kau kemari, dia pasti telah
terpikir begitu, bukan?"
Ternyata Lu Kiong mengakui.
"Sam-ya memang telah berpikir begitu."
"Lalu mengapa masih tetap mengutusmu kemari,"
Pancapanah merasa sedikit tercengang, "Mengapa pula kau
bersedia kemari?"
"Karena Sam-ya minta aku datang, maka aku pun
datang," jawab Lu Kiong, "bila Sam-ya minta aku mati, aku
pun akan mati."
"Aku sangat kagum kepadanya," Pancapanah
mengangkat cawan dan meneguk habis isinya, "Terhadap
siapa saja yang bisa menyuruh orang lain mati demi
dirinya, aku selalu merasa kagum."
Lu Kiong tertawa lebar.
Sebetulnya di waktu biasa dia seringkali tak bisa tertawa,
tapi sekarang dalam situasi seperti ini, dia justru tertawa
tergelak. "Tapi dia telah menduga, aku tak bakal mati."
"Oh?" Pancapanah seperti makin keheranan, "Dia benarbenar
bisa memperhitungkan secara tepat kalau kau tak
bakal mati?"
"Benar!"
"Atas dasar apa dia begitu yakin?"
"Karena Sam-ya telah memperhitungkan, orang
semacam kalian berdua sebagai Enghiong, Hokiat, pasti tak
akan membunuh seorang budak macam diriku, dan lagi
kalian berdua membunuhku pun sama sekali tak ada
gunanya." "Memangnya dalam keadaan hidup kau berguna bagi
kami?" "Mungkin saja tak berguna," kata Lu Kiong, "Mungkin
juga masih ada sedikit kegunaan."
"Sedikit yang mana?"
Mendadak Lu Kiong menutup mulut rapat-rapat,
sepatah kata pun enggan berbicara lagi.
Dia hidup mungkin tak ada gunanya, mungkin juga
masih ada sedikit kegunaan.
Sekarang walaupun dia enggan mengatakannya,
mungkin di kemudian hari dia akan mengatakannya.
Tapi kalau sekarang dia mati, di kemudian hari bahkan
mungkin untuk selamanya, dia tak akan berbicara lagi.
Lagi-lagi Pancapanah mengangkat cawannya sambil
memuji, "Aku pun sangat kagum kepadamu, sebab kau
memang seorang yang pintar, aku selalu mengagumi orang
pintar, selamanya tak pernah mau membunuh orang
pintar." Setelah menghela napas, tambahnya, "Hanya saja secara
kebetulan aku pernah membunuh beberapa orang di
antaranya."
Tiba-tiba tanyanya kepada Siau-hong, "Menurut
dugaanmu, mungkinkah aku membunuhnya?"
Pada saat Pancapanah mengajukan pertanyaan itu,
nyaris hampir pada saat yang bersamaan ada seseorang
menggunakan pertanyaan yang sama, sedang bertanya
kepada seorang yang lain.
Waktu itu orang yang mengajukan pertanyaan itu sedang
berdiri di atas tebing sambil menghadap ke arah sungai,
berada di depan sebuah jendela kecil yang sangat rahasia
letaknya, dalam sebuah bangunan kecil yang rahasia, di
antara batu karang dan balik pepohonan lebat.
Jarak orang itu dengan Pancapanah selisih jauh, jauh
sekali. Pancapanah tak dapat melihat dia, tapi semua gerakgerik
Pancapanah seolah dapat dilihat orang itu dengan
jelas sekali, bahkan semua pembicaraan Pancapanah pun
seolah terdengar semua olehnya.
Orang itu adalah Lu-sam.
Di atas tebing di seberang sungai, di balik batu cadas, di
tengah pepohonan lebat, terdapat sebuah bangunan kecil
yang amat rahasia.
Sebuah bilik kayu yang kecil dan sukar ditemukan siapa
pun. Sekalipun ada orang yang menemukan tempat itu, belum
tentu mereka menaruh perhatian, karena dilihat dari
penampilannya, bangunan kecil itu sama sekali tidak
memiliki keistimewaan yang memancing perhatian orang.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekalipun ada pelancong atau pemburu yang tersesat dan
tanpa sengaja tiba di tempat itu pun, mereka tak akan
menemukan suatu keistimewaan dari rumah kayu kecil ini,
terlebih tak ada yang menyangka Hok-kui-sin-sian Lu-sam
berdiam di sana.
Tapi Lu-sam memang berada dalam rumah kayu itu.
Bukan hanya Lu-sam, Che Siau-yan pun ada di sana.
Rumah kayu itu dibangun menggunakan kayu pohon
Siong yang kuat dan kering, bukan saja tidak dicat,
bangunan itu pun hanya memiliki sebuah jendela yang
sangat kecil. Di dalam rumah kayu itu terdapat sebuah ranjang kayu,
sebuah meja kayu, tiga buah bangku kayu, sebuah almari
kayu dan di bagian belakang dilengkapi sebuah dapur kecil.
Bila kau sering melakukan perjalanan di daerah
pegunungan atau hutan, tentu sering melihat ada banyak
rumah kayu semacam ini tersebar di atas perbukitan.
Biasanya tempat tinggal para pencari kayu, pemburu,
pertapa serta orang pelarian berdiam di rumah semacam ini.
Namun bangunan rumah kayu ini sedikit berbeda.
Rumah kayu ini bukan tempat tinggal penebang kayu
maupun pemburu, juga bukan tempat tinggal siapa pun.
Rumah kayu ini merupakan liang rahasia milik Lu-sam,
bahkan boleh dibilang tempat rahasia terpenting di antara
tempat-tempat rahasia lainnya.
Dinding kayu maupun meja tak ada yang dicat. Che
Siau-yan duduk di sebuah bangku kayu dekat meja yang
tidak dicat, ia sedang mengawasi Lu-sam. Gadis itu merasa
amat keheranan.
Selama ini dia selalu menganggap dirinya adalah seorang
yang pintar, jarang sekali urusan di dunia ini yang tidak
dipahami olehnya.
Kenyataan dia memang pintar dan tahu segalanya.
Tapi kini dia tak habis mengerti, apa yang sebenarnya
sedang dilakukan Lu-sam"
Waktu itu Lu-sam sedang berdiri di depan satu-satunya
jendela bilik kecil itu, tangannya menggenggam sebuah
tabung bulat kecil.
Sebuah tabung bulat kecil yang panjangnya sekitar 60
senti, besar ruasnya lebih besar sedikit dari cawan arak, tapi
pada bagian ujungnya sedikit lebih ramping dari bagian
badan. Tabung bulat itu diambil Lu-sam dari dalam almari yang
terbuat dari kayu.
Sebenarnya isi almari kayu itu hanya beberapa stel
pakaian kasar, namun sewaktu jari tangan Lu-sam menekan
suatu dalam almari itu, tiba-tiba dari balik almari terpental
keluar selembar kayu, di bawah kayu tadi muncul sebuah
laci kecil, laci bercahaya keemas-emasan itu dilengkapi
tujuh buah gembok.
Dari dalam laci kecil yang terkunci itulah dia mengambil
keluar benda berbentuk tabung bulat itu.
Sambil berdiri di depan jendela, Lu-sam memicingkan
mata sebelah kirinya lalu menempelkan bagian tabung bulat
yang kecil itu di atas mata kanannya, sedang bagian tabung
yang lebih besar diarahkan keluar jendela.
Begitulah dia berdiri di sana dengan posisi tegak,
agaknya sedang mengamati sesuatu, bahkan berdiri cukup
lama. Lu-sam memang orang yang tidak gampang
memperlihatkan perubahan emosinya, jarang sekali ada
orang yang bisa melihat perubahan mimik wajahnya serta
menduga jalan pikirannya.
Tapi saat ini mimik mukanya menunjukkan banyak
perubahan, seakan-akan dari balik tabung kecil itu dia dapat
menyaksikan banyak kejadian yang menarik, seperti
seorang bocah kecil yang memakai teropong.
Lu-sam sudah bukan anak-anak lagi.
Tentu saja teropong kecil itu bukanlah teropong mainan
anak-anak. Che Siau-yan benar-benar tak dapat menduga apa yang
sedang disaksikan orang itu" Dia pun tak habis mengeti apa
yang sedang ia lakukan"
Tiba-tiba Lu-sam berpaling sambil tertawa, ia sodorkan
teropong kecil itu ke tangan si nona.
"Kemarilah, coba kau ikut melihat."
"Melihat apa?" tanya Siau-yan, "Melihat teropong kecil
itu?" Dengan cepat si nona menampik. "Tidak, aku tak mau
melihat." Dia benar-benar tak habis mengerti, apa bagusnya
melihat memakai teropong kecil itu.
Tapi Lu-sam bersikeras menariknya untuk melihat.
"Kau harus melihatnya," kata orang itu, "Kujamin kau
pasti akan melihat banyak kejadian yang menarik."
Siau-yan tidak percaya, tapi dia pun tidak lagi
menampik. Ketika ia meninggalkan Siau-hong dan memutuskan
untuk bergabung dengan Lu-sam, gadis itu telah
memutuskan untuk tidak bersikukuh dalam menghadapi
setiap masalah.
Dia telah memutuskan untuk menjadi seorang gadis yang
pintar dan penurut, sebab manusia semacam ini tak bakal
rugi. Sebuah teropong kecil yang terbuat dari bahan emas,
bukan saja bagus bentuknya, di kedua sisi tabung dipenuhi
dengan ukiran bunga terbuat dari emas murni, tak
diragukan benda itu pasti mahal harganya, apa mau
dibilang ia justru tak dapat menebak apa kegunaannya"
Lu-sam meminta Siau-yan untuk memegang teropong itu
dengan gaya seperti yang dia lakukan tadi, menggunakan
kedua belah tangannya memegang ujung atas dan ujung
bawah tabung itu, kemudian setelah mengarah keluar
jendela, mata kanannya ditempelkan di ujung teropong
sementara mata kiri dipejamkan.
"Aku tahu, kau adalah seorang bocah perempuan yang
teramat pintar," ujar Lu-sam sambil tersenyum, "Tapi aku
berani jamin, kau pasti tak akan menyangka apa yang bisa
kau lihat melalui teropong kecil ini."
Ternyata Siau-yan memang benar-benar tak menyangka.
Mimpi pun dia tak menyangka kalau melalui teropong
kecil itu, dia dapat melihat Siau-hong.
Siau-hong, Siau-hong yang tak takut mati.
Dia selalu menganggap diri sendiri adalah seorang
wanita yang tak berperasaan, jauh lebih tak berperasaan
daripada perempuan mana pun di dunia ini.
Karena dia memang teramat pintar, sejak banyak tahun
berselang dia sudah tahu kalau kelewat gampang jatuh cinta
merupakan suatu kejadian yang sangat menderita.
Dia selalu berusaha untuk melupakan Siau-hong.
Tapi mana ada perempuan di dunia ini yang bisa
melupakan lelaki pertama dalam hidupnya dalam waktu
singkat" Sejak ia menyaksikan sikap Siau-hong terhadap Yangkong
dan Soso, menyaksikan perasaannya terhadap mereka
berdua, ia telah mengambil keputusan, dia harus
meninggalkan lelaki ini secepatnya.
Lelaki yang nekat ini seakan seorang tak berperasaan,
tapi apa mau dikata, dia justru sangat berperasaan, dibilang
sangat berperasaan, dia justru sama sekali tak berperasaan.
Secara diam-diam dia pun mengundurkan diri dari bilik
kecil itu, mundur dari lingkaran mereka yang rumit, sebab
dia tahu, bila tetap tinggal di sana, dia akan berubah
semakin menderita, semakin risau, semakin pedih hatinya.
Selamanya dia enggan menyiksa diri sendiri.
Sejak saat itu dia sudah tak ingin lagi bertemu dengan
Siau-hong. Bertemu lebih baik tak berjumpa, sekalipun masih ada
bibit cinta, biarlah bibit cinta itu dipendam sebagai
kenangan di masa mendatang.
Tapi kini sewaktu dia menggunakan teropong kecil itu
untuk mengintip, ternyata Siau-hong yang tak berperasaan
tiba-tiba muncul lagi di depan mata.
Di bagian tengah teropong itu merupakan ruang kosong,
sementara di kedua belah ujungnya ditempeli lembaran
benda yang bening seperti kristal.
Ketika dia mengangkat teropong itu dengan
menempelkan bagian yang ramping di atas mata kanannya
dan mengarahkan ujung yang lebih kasar ke depan jendela.
Siau-hong si manusia nekat itu tahu-tahu sudah muncul di
hadapan matanya.
Lu-sam mengawasi terus wajahnya, tidak jelas apakah
dia ingin tahu bagaimana perasaan gadis itu terhadap Siauhong
dari perubahan wajah serta reaksinya.
Dia tahu, saat ini si nona pasti telah melihat Siau-hong
namun gadis itu tidak menunjukkan perubahan apa pun,
sedikit reaksi pun tak ada.
Tangannya masih tetap mantap seperti tadi, parasnya
pun sama sekali tidak mengalami perubahan.
Che Siau-yan tahun ini baru berusia enam belas tahun,
tapi dia telah melatih diri seolah sudah berusia lebih dari
tujuh belas tahun.
Kepada Lu-sam dia hanya bertanya, "Benda apakah ini?"
Yang dia tanyakan adalah teropong yang berada di
tangannya. "Aku sendiri pun tak tahu benda apakah itu," jawab Lusam,
"Yang kuketahui benda ini berasal dari negeri Inggris
yang jauh sekali dari sini, hingga kini belum ada nama
untuk benda itu, sebab sejak dulu belum pernah benda ini
beredar di daratan Tionggoan, hingga kini kecuali aku
seorang hanya kau yang pernah melihatnya."
"O, ya?"
"Tapi sekarang benda itu sudah mempunyai sebuah
nama," dengan bangga Lu-sam tersenyum, "Karena aku
telah memberi sebuah nama untuk benda itu."
"Apa namanya?"
"Sebetulnya aku akan memberi nama Jian-li-gan-cing
(Mata cermin seribu li)," ujar Lu-sam, "Tapi nama itu
kelewat udik, bahkan terdengarnya seperti benda mestika
dalam dongeng."
Kemudian terusnya, "Padahal ini bukan dongeng, benda
itu nyata dan betul-betul bermanfaat, kegunaannya yang
paling utama adalah bisa melihat tempat jauh seperti di
depan mata, oleh sebab itu kuputuskan akan memberi nama
Bong-wan-keng (cermin melihat jauh) untuk benda ini."
"Bong-wan-keng" Sebuah nama yang bagus," puji Siauyan.
"Benda ini memang barang bagus." Siau-yan sangat
setuju. "Oleh sebab itu benda dan nama pasti akan turuntemurun
hingga ribuan tahun."
Biarpun Siau-yan sedang berbicara, namun matanya tak
pernah bergeser dari teropong di tangannya, dia seakan tak
mau melewatkan setiap gerak-gerik Siau-hong.
Tiba-tiba Lu-sam berkata lagi, "Aku tahu, kau pernah
mempelajari semacam ilmu langka yang jarang sekali orang
mempelajarinya."
"Pelajaran apa?"
"Membaca bahasa bibir."
Ini pun sebuah nama baru yang sangat aneh, karena itu
Lu-sam segera memberi penjelasan, "Asal kau dapat
melihat gerak bibir seseorang waktu berbicara, kau akan
segera mengetahui apa yang sedang dia bicarakan."
"Kau sepertinya banyak tahu tentang urusanku."
Ketika mengucapkan perkataan itu, Che Siau-yan sama
sekali tidak memperlihatkan rasa tidak senangnya, malah
sambil tertawa lanjutnya, "Kau pasti tahu cukup banyak,
kalau tidak, bagaimana mungkin kau mau menampungku?"
Lu-sam pun tertawa.
"Tampaknya kita berdua sama-sama saling memahami.
Oleh karena itu aku percaya di kemudian hari kita pasti
dapat lebih akrab."
Kemudian ia bertanya lagi, "Sekarang siapa yang sedang
berbicara?"
"Pancapanah!"
"Apa yang sedang dia katakan?"
"Dia sedang keheranan," jawab Che Siau-yan, "Dia tak
habis mengerti mengapa kau utus manusia macam Lu
Kiong untuk melayani mereka."
Lu-sam tersenyum.
"Apa lagi yang dia bicarakan?"
"Dia bilang, orang-orang yang kau kirim untuk
memasakkan hidangan buat mereka, kemungkinan besar
setiap orangnya merupakan jago-jago berilmu tinggi," kata
Siau-yan, "Dia pun berkata, bisa jadi japitan api yang
digunakan petugas api merupakan sejenis senjata yang
sangat lihai."
Mendengar itu Lu-sam menghela napas.
"Orang bilang Po Eng adalah seorang jagoan tangguh,
menurut pendapatku, kehebatan Pancapanah sedikit pun
tidak berada di bawah kemampuan Po Eng."
Mendadak tanyanya lagi, "Coba terka, mungkinkah dia
akan membunuh Lu Kiong?"
Che Siau-yan tertawa.
"Sekarang dia pun sedang bertanya kepada Siauhong,
menanyakan pertanyaan yang sama."
"Apa jawaban Siau-hong?"
"Separah kata pun Siau-hong tidak menjawab."
"Kalau menurut kau?"
"Aku pun seperti Siau-hong, perbuatan yang dilakukan
manusia macam kau serta Pancapanah, selamanya tak
pernah bisa kami pahami."
Dengan sepasang jari tangannya yang panjang, bersih
dan terawat, Lu-sam membetulkan ikat pinggang berwarna
emasnya, lewat lama kemudian baru bertanya, "Jadi
menurutmu, aku adalah manusia sejenis Pancapanah?"
Che Siau-yan tidak menjawab pertanyaan itu, sementara
Lu-sam pun seakan tidak ingin dia menjawab pertanyaan
itu. Kembali lanjutnya, "Bila aku menjadi Pancapanah, aku
tak bakal membunuh manusia macam Lu Kiong."
"Kenapa?"


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pertama, karena manusia seperti Lu Kiong tidak
berharga baginya untuk turun tangan sendiri. Kedua,
karena di kemudian hari mungkin Lu Kiong bakal berguna
baginya." "Tadi Lu Kiong sendiri pun berkata begitu."
"Tapi di luar itu masih ada satu hal lagi yang jauh lebih
penting." "Soal apa?"
"Pancapanah enggan membunuh Lu Kiong karena dia
tak mau menyerempet resiko."
"Menyerempet resiko?" tanya Siau-yan, "Resiko apa?"
"Pancapanah tidak salah melihat, orang-orang yang
kuutus untuk memasak sayur, memanggang daging dan
membuat api, semuanya memang jago-jago berilmu tinggi."
"O, ya?"
"Orang yang menambah kayu bakar dan membuat api
itu punya julukan sebagai si Kepiting" Lu-sam
menerangkan, "Jepitan besi yang dia gunakan untuk
menambah kayu bakar itu memang merupakan senjata
andalannya, bukan saja dapat menjepit senjata lawan,
pelindung tangannya masih memiliki kegunaan lainnya."
"O, ya?"
"Begitu senjatamu terjepit, pelindung tangan di atas
jepitannya itu segera akan memantul ke depan, asal dia
sedikit membalikkan tangan, maka senjatanya akan segera
menembus jantungmu."
Kemudian katanya lebih lanjut, "Senjata jepitan itu
merupakan senjata andalannya, tidak banyak orang
persilatan yang pernah melihatnya, sebab tak sampai satu
tahun ia terjun ke dalam dunia persilatan, aku telah
menampungnya. Sungguh tak kusangka ternyata
Pancapanah pun dapat mengetahuinya."
"Apakah orang yang memanggang daging itu di hari
biasa benar-benar sering memanggang daging manusia?"
"Orang itu mempunyai julukan sebagai Cha-cu(Garpu),
siapa pun orangnya, asal bertemu dengannya, orang itu
seakan seperti kena tusukan garpu, selamanya jangan harap
bisa terlepas lagi."
"Kemudian dia akan menggunakan garpunya untuk
mengantar orang itu ke atas panggangan dan
memanggangnya?"
"Benar!" Lu-sam membenarkan, "jika kau terkena
garpunya, mungkin dia tidak benar-benar mengantarmu ke
atas api untuk memanggangnya, tapi perasaanmu waktu itu
pasti tak jauh berbeda, bahkan mungkin jauh lebih
menderita dan tersiksa daripada dipanggang di atas api."
"Siapa pula orang-orang yang lain?"
"Orang-orang itu pun hampir sama dengan mereka,
hampir semuanya merupakan jago-jago berhati keji,
telengas, dan membunuh orang tanpa berkedip."
"Mengapa mereka takluk dan tunduk kepadamu?"
"Karena mereka kelewat kejam, karena itu baru tunduk
padaku," sahut Lu-sam, "Sebab kecuali bergabung dengan
kelompokku, pada hakikatnya mereka sudah tak bisa pergi
ke tempat lain lagi, tak ada tempat berpijak bagi mereka
dalam dunia persilatan."
Che Siau-yan menghela napas.
"Terhadap orang yang suka membunuh, tentu saja orang
pun tak akan melepaskan mereka."
"Tepat sekali."
"Jadi Pancapanah tidak membunuh Lu Kiong, karena
dia menguatirkan orang-orang itu?" tanya Siau-yan.
"Hal ini teramat penting" kata Lu-sam, "Selama ini
Pancapanah adalah seorang yang sangat berhati-hati,
perbuatan yang tidak perlu tak mungkin akan dia lakukan,
urusan yang tidak yakin berhasil dia terlebih tak akan
melakukannya!"
"Lalu bagaimana dengan kau?" kembali Che Siau-yan
bertanya, "Selama ini kau selalu berniat melenyapkan
Pancapanah, mengapa tidak kau manfaatkan kesempatan
ini untuk turun tangan?"
"Karena kesempatan ini tidak bisa terhitung amat baik."
"Kenapa?"
"Kemungkinan besar Pancapanah telah mempersiapkan
jebakan di sekitar sini, dengan mengandalkan si Kepiting
dan si Garpu sekalian, belum tentu mereka sanggup
menghabisi nyawa Pancapanah."
Lu-sam menambahkan pula, "Karena tempat itu
sesungguhnya bukan jalan mati, jalan mundur berada di
empat penjuru, sekalipun ia tak mampu mengungguli
pertarungan, mundur dari situ masih lebih dari cukup."
"Kalau memang sudah tahu begitu, mengapa kau harus
memilih tempat semacam itu untuk mengundangnya?" Lusam
menghela napas panjang.
"Kau anggap Pancapanah itu manusia seperti apa?"
katanya, "Kalau bukan mengundangnya di tempat seperti
itu, mana mungkin dia mau datang?"
"Kalau begitu aku semakin tak mengerti," kata Che Siauyan
ikut menghela napas.
Yang tidak dia pahami adalah, "Kau sendiri sama sekali
tak bermaksud memanfaatkan kesempatan ini untuk turun
tangan membunuhnya, kau pun tahu dia sendiri juga tak
bakal turun tangan...."
"Betul."
"Lalu kenapa kau masih mengutus Lu Kiong dan orangorang
itu untuk menahan Pancapanah dan Siau-hong di
tempat itu?"
"Karena aku ingin mengawasi gerak-geriknya, selama ini
sepak terjang Pancapanah ibarat setan gentayangan, lagi
pula dia selalu bekerja seorang diri, manusia macam dia
boleh dibilang merupakan manusia paling misterius dalam
dunia persilatan selama seratus tahun terakhir."
Dalam hal ini siapa pun tak dapat menyangkal.
"Oleh karena itu terpaksa aku harus menciptakan
kesempatan semacam ini, kemudian menggunakan
teropong jarak jauh yang kuperoleh dari pedagang Persia
dengan menukarnya memakai kuda jempolan berkeringat
darah serta golok mestika milik Cho Cho dari akhir dinasti
Han yang pernah dipakai untuk membunuh Tong Cuo,
untuk mengawasi gerak-gerik serta caranya berbicara."
Che Siau-yan menghela napas panjang.
"Jadi kau membayar mahal untuk semua ini tak lain
tujuannya hanya ingin melihat dan memperhatikan gerakgeriknya?"
Ooo)d*w(ooO BAB 41. MULUT LUKA YANG MEMATIKAN
"Benar!" kata Lu-sam, "Tahu kekuatan sendiri, tahu
kekuatan lawan, setiap pertarungan baru bisa dimenangkan.
Dia adalah satu-satunya musuh yang sanggup
menghadapiku, jika manusia macam apakah dia pun tidak
kupahami, mana mungkin pertempuran ini bisa
kumenangkan?"
"Kau benar-benar menganggap dia sebagai musuh paling
tangguh yang pernah kau jumpai?"
"Betul."
"Bagaimana dengan Po Eng?"
"Po Eng?" Lu-sam tertawa, "Po Eng tak cukup
menguatirkan diriku."
"Kenapa?" tak tahan Che Siau-yan bertanya, "Semua
orang menganggap Po Eng sangat hebat, kenapa kau malah
memandang enteng orang ini?"
Lu-sam tidak langsung menjawab, ia termenung sambil
berpikir lama sekali, kemudian baru menjawab pertanyaan
itu. "Po Eng jauh berbeda dengan Pancapanah," kata Lusam,
"Meskipun Po Eng adalah seorang jagoan kosen, tapi
watak dasarnya tidak kejam, dia suka kedamaian, dia
terpaksa membunuh orang karena tak lebih untuk
mencegah agar tidak jatuh korban lebih banyak, dia
bertarung tak lebih karena ingin memusnahkan pertarungan
yang lebih besar, meskipun penampilannya kejam tak
berperasaan, sesungguhnya dia berhati lembek dan orang
baik." "Bagaimana dengan Pancapanah?"
"Pancapanah jauh berbeda," kata Lu-sam, "Sejak lahir
dia memang hidup sebagai seorang petarung, bahkan setiap
pertarungan harus menang. Dia tak segan membayar
mahal, tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan, baginya harus menang dan hanya boleh menang,
tak boleh kalah. Kalau tak bisa menang berarti mati, tak
tersedia pilihan lain."
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, lanjutnya,
"Padahal aku selalu menyukai manusia yang bernama Po
Eng, bahkan selalu menaruh hormat kepadanya. Jika dia
tidak mati, di kemudian hari mungkin kita akan menjadi
sahabat." "Kalau dia tidak mati?" tak tahan Che Siau-yan bertanya,
"Apakah kau menganggap dia sudah mati?"
Lu-sam mengangguk.
"Kau yang membunuhnya?" tanya Che Siau-yan lagi.
Lu-sam menggeleng.
"Bukan pekerjaan gampang untuk membunuh Po Eng,
bahkan aku sendiri pun tak sanggup."
Setelah menghela napas, terusnya, "Karena aku adalah
musuhnya, bukan sahabatnya."
"Berarti kau anggap hanya sahabatnya yang dapat
membunuh dia?"
"Betul, Pancapanah!" tegas Lu-sam, "Hanya Pancapanah
yang bisa membunuhnya, tak ada orang lain!"
"Mengapa kau berpendapat begitu?" tanya Siau-yan,
"Bukankah selama ini mereka adalah rekan seperjuangan,
sahabat karib, mengapa Pancapanah membunuhnya?"
Perlahan Lu-sam mengeluarkan tangannya, dalam
genggamannya terlihat sepotong emas murni yang
berkilauan. "Karena benda ini!"
"Emas murni?" seru Siau-yan, "jadi kau anggap
Pancapanah membunuh Po Eng lantaran emas murni?"
Sambil mengawasi emas murni yang berada dalam
tangannya, Lu-sam manggut-manggut.
"Sejak zaman dahulu kala, entah ada berapa banyak
manusia yang mati terbunuh gara-gara benda ini."
Kemudian sambil menatap Siau-yan dan manggutmanggut,
lanjutnya, "Apakah kau anggap alasan ini masih
tidak cukup?"
Tentu saja alasan ini lebih dari cukup, hanya saja Che
Siau-yan masih juga tidak mengerti.
Maka kembali Lu-sam menjelaskan, "Berkat kerja sama
dan perencanaan mereka berdua, emas murni itu berhasil
mereka rampok dariku, tapi mereka berdua mempunyai
tujuan yang berbeda."
"Di mana letak perbedaan itu?"
"Po Eng merampok emas milikku karena ingin
mencegah aku menggunakan emas itu untuk mewujudkan
cita-citaku," kata Lu-sam, "Oleh karena itu, dia hanya ingin
mengubur emas itu untuk selamanya. Selama masih hidup,
dia tak akan membiarkan siapa pun pergi menyentuhnya."
Setelah berhenti sejenak, kembali Lu-sam melanjutkan,
"Tapi Pancapanah ingin menggunakan emas murni itu
untuk menggempurku, memenangkan pertarungan
melawanku, dia anggap mengubur emas untuk selamanya
dan tidak memanfaatkannya merupakan satu tindakan yang
sangat goblok."
"Sayang ia tak berhasil membujuk Po Eng," akhirnya
Siau-yan mengerti, "Sementara perintah Po Eng pun tak
berani dia lawan."
"Betul, oleh karena itu terpaksa dia harus membunuh Po
Eng, bahkan membuat skenario yang sempurna agar orang
mengira akulah yang telah membunuh Po Eng!"
"Jika bukan kau yang membunuh Po Eng, mengapa kau
akui di depan khayalak ramai?"
"Kenapa aku harus menyangkal?" Lu-sam tertawa
dingin, "Bukan pekerjaan gampang untuk membunuh Po
Eng bukan setiap orang dapat membunuhnya, bila orang
lain mengira akulah yang membunuhnya, bukankah
kejadian ini merupakan suatu hal yang membanggakan"
Kenapa aku harus menyangkal?"
Tiba-tiba dari balik senyumannya terlintas keseriusan
yang luar biasa.
"Apalagi sudah terlalu banyak orang yang bukan mati di
tanganku, tapi tercatat atas namaku, jadi apa salahnya
Dendam Iblis Seribu Wajah 3 Pendekar Cacad Karya Gu Long Jodoh Si Mata Keranjang 12
^