Kisah Si Bangau Putih 2

Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


"Bunuh saja dia! Mungkin dia sengaja menyembunyikan!" kata Thian Kong Cin-jin sambil menggerakkan tongkatnya.
Akan tetapi Thian Kek Seng-jin menahannya. "Jangan bunuh lebih baik siksa dia dan paksa dia mengaku!"
Dengan urutan pada punggungnya, Sin Hong sadar kembali akan tetapi begitu sadar, rambutnya dijambak dan tubuhnya diseret oleh Thian Kek Seng-jin yang bermuka merah menyeramkan dan matanya mencorong seperti mata kucing! "Hayo katakan, di mana disimpannya pusaka Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir" Dia dan isterinya adalah orang-orang sakti, tidak mungkin mereka tidak meninggalkan pusaka!"
"Aku tidak tahu, tidak ada pusaka apa pun di sini," jawab Sin Hong, tetap tenang dan pasrah.
"Kubunuh engkau kalau tidak mau memberi tahu di mana pusaka itu!" kata Thian Kek Seng-jin penuh ancaman.
Sin Hong menatap muka yang merah dan kurus kering itu tanpa merasa takut, dan dia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu."
"Tukkk!" Gagang tongkat naga hitam itu menotok lambung dan Sin Hong terkejut lalu meronta-ronta dan menggeliat kesakitan karena yang ditotok adalah jalan darah yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sekali.
"Hayo katakan, kalau tidak, akan kutambah lagi!" bentak Thian Kek Seng-jin, matanya bersinar-sinar gembira melihat korbannya menggeliat kesakitan. Akan tetapi terjadi keanehan pada tubuh Sin Hong. Seperti juga tadi, ketika berkali-kali mengalami pukulan, rasa nyeri hanya sebentar saja dan ada hawa hangat di dalam tubuhnya yang berkumpul di tempat yang sakit lalu rasa nyeri itu lenyap seketika. Itu adalah hawa sakti di tubuhnya yang bekerja dengan otomatis, berkumpul di bagian tubuh yang rusak karena serangan dari luar dan memulihkannya kembali.
"Aku tidak tahu," katanya lagi.
"Desss!" Tongkat itu kembali bergerak dan menyerampang kedua kaki Sin Hong, membuat tubuhnya kembali terpelanting dan bergulingan. Thian Kong Cin-jin menambahinya dengan tendangan sehingga tubuhnya terus menggelinding dan membentur dinding. Dia pun rebah tak bergerak lagi, kembali pingsan!
"Jangan bunuh dulu!" Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru melihat betapa dua orang pendeta itu hendak melanjutkan siksaan mereka dan agaknya hendak membunuh pemuda itu karena kecewa.
"Huh, Mo-li, laki-laki macam ini saja membuatmu tergila-gila" Apanya sih yang menarik" Di setiap dusun engkau akan dapat menemukan pemuda macam ini ratusan orang banyaknya!" kata Thian Kek Seng-jin, pendeta Pek-lian-kauw yang kurus kering dan bermuka merah itu, dengan nada cemburu. Memang pendeta ini pernah diajak tidur bersama oleh Sin-kiam Mo-li, akan tetapi wanita itu tidak suka padanya dan tidak pernah lagi mengulang perbuatannya, padahal kakek ini kagum dan suka sekali kepada Sin-kiam Mo-li. Melihat betapa wanita itu kini melindungi seorang pemuda yang biasa saja, timbul pula rasa cemburu di hatinya!
"Benar, dia harus dibunuh. Kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja," kata pula Thian Kong Cin-jin tokoh Pat-kwa-kauw.
"Hemmm, kalian ini selalu berpikiran kotor dan menuduhku yang tidak-tidak. Pula, andaikata aku memilih dia untuk melayaniku, apa sangkutannya dengan kalian" Dia memang tidak tampan, tidak pandai ilmu silat, akan tetapi ketabahannya membuat aku kagum. Kalian lupa bahwa dia masih dapat kita pergunakan. Ingat saja mayat-mayat yang berserakan di luar itu, apakah kalian akan membiarkan saja mayat sute-sute kalian dan anak buah kalian membusuk di sana" Dia ini dapat kita pergunakan tenaganya untuk menggali lubang dan mengubur mayat-mayat itu."
"Ah, benar juga!" kata Thian Kek Seng-jin, malu kepada diri sendiri yang tadi hanya mencela karena cemburu.
"Dan engkau tidak perlu khawatir dia akan mendatangkan gangguan kelak, Thian Kong Cin-jin. Pertama, dia seorang pemuda lemah yang tidak pandai ilmu silat, bahkan kalau dia sekarang mulai belajar sekalipun, sampai kita mati tua dia masih belum apa-apa. Kedua, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, dia tentu akan kubunuh."
Thian Kong Cin-jin mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa kalau Sin-kiam Mo-li sudah bosan dengan seorang pemuda, maka pemuda itu akan dibunuhnya dan biasanya, dalam waktu beberapa hari saja Sin-kiam Mo-li sudah akan merasa bosan. Apalagi pemuda ini seorang laki-laki lemah. Mana dia dapat tahan melayani Sin-kiam Mo-li si iblis betina yang haus laki-laki itu"
"Nah, mulai sekarang, harap kalian jangan pedulikan pemuda ini. Dia punyaku, budakku, jangan diganggu dan akulah yang kelak akan membunuhnya." Berkata demikian, Sin-kiam Mo-li menghampiri Sin Hong yang masih pingsan lalu mengurut-urut beberapa bagian tubuhnya sehingga dia sadar kembali. Begitu sadar, Sin Hong bangkit duduk dan sedikit pun dia tidak mengeluh karena memang sama sekali tidak ada yang dirasakan nyeri. Hal ini membuat Sin-kiam Mo-li semakin kagum saja.
"Engkau tidak menderita sesuatu" Apanya yang nyeri"
Sin Hong sendiri merasa heran. Dia telah dihujani pukulan, tendangan dan siksaan, akan tetapi sedikit pun tidak ada bekas-bekasnya lagi. "Tidak apa-apa " katanya sambil menggeleng kepala. Bukan main, pikir Sin-kiam Moli, anak ini memiliki daya tahan yang luar biasa hebatnya! Mungkin akan dapat mendatangkan kesenangan besar baginya!
"Siapa namamu tadi"
"Tan Sin Hong."
Namanya juga sederhana, shenya she Tan dan terdapat banyak sekali orang she Tan, nama keluarganya amat besar.
"Sin Hong, engkau ini nekat mempertahankan pusaka Istana Gurun Pasir, atau memang benar di sini tidak ada pusaka" tanyanya dengan ramah dan kini, timbul dari kekagumannya, wajah perpuda itu kelihatan menarik sekali dan menimbulkan gairahnya. Dengan gerakan lembut dan mesra diusapnya darah yang masih nampak di ujung bibir Sin Hong, dengan jari tangannya. Tentu saja hal ini membuat Sin Hong merasa risi bukan main, akan tetapi didiamkannya saja.
"Aku tidak mempertahankan pusaka apa pun, dan memang setahuku di sini tidak ada apa-apa."
"Tidak ada kitab-kitab pelajaran ilmu silat"
"Aku tidak tahu, yang kutahu hanya bahwa beberapa bulan yang lalu, mereka bertiga telah membakari banyak kitab-kitab...."
"Keparat jahanam!" seru Thian Kong Cin-jin dengan kecewa sekali.
"Sayang, sungguh sayang!" teriak pula Thian Kek Seng-jin, amat marah kepada tiga orang tua renta itu yang dianggapnya hanya membuat dia kecele.
"Kenapa kitab-kitab pusaka dibakar" tanya Sin-kiam Mo-li kepada pemuda itu, juga merasa amat kecewa.
Sin Hong hanya menggeleng kepala, "Aku tidak tahu," Dia tidak berbohong karena memang dia tidak tahu mengapa suami isteri tua renta yang menjadi gurunya itu membakari banyak kitab-kitab yang diketahuinya adalah kitab pelajaran silat.
"Pantas saja kita tidak menemukan apa-apa. Kiranya tua bangka-tua bangka laknat itu telah memusnahkan pusaka mereka!" kata pula Sin-kiam Mo-li. "Sin Hong, hayo engkau membantu kami mengubur mayat-mayat itu!"
Ia memegang tangan Sin Hong dan ditariknya pemuda itu keluar dari dalam istana kuno yang dianggap menyeramkan dan mengecewakan itu. Sin Hong tidak membantah dan dia mengunakan cangkul yang biasa dipakai bekerja di ladang, lalu mencangkul, membuat lubang-lubang untuk mengubur mayat-mayat itu. Dia diperintah membuat lubang biasa untuk tiga orang, yaitu untuk mayat Sai-cu Sin-touw, Ok Cin Cu, dan Coa Ong Seng-jin, kemudian sebuah lubang besar untuk sebelas orang anak buah mereka yang tewas. Karena dia tidak berani mempergunakan tenaga sin-kang dan hanya menggunakan tenaga biasa, menggunakan sebuah cangkul, maka tentu suja Sin Hong harus bekerja sehari lamanya dan barulah empat belas buah muyat itu selesai dikubur.
Kemudian, dia mengangkati tiga buah mayat gurunya ke dalam istana. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li membentak. "Apa yang akan kau lakukan itu" Biarkan saja mereka membusuk di sini, kita berangkat pergi sekarang juga dan engkau harus ikut dengan kami!"
"Terserah aku menurut saja, akan tetapi bagaimanapun juga aku harus lebih dulu membakar tiga orang mayat ini, sebelum itu, biar di bunuh sekalipun, aku tidak mau ikut!" Diam-diam Sin Hong berjudi dengan nyawanya, akan tetapi hal ini dilakukannya dengan sengaja. Dia seorang pemuda yang cerdik sekali dan dia tahu bahwa nyawanya diselamatkan oleh wanita tua cantik ini hanya karena wanita ini tertarik kepadanya oleh keberanian dan kenekatannya! Maka kini untuk memenuhi pesan guru-gurunya, dia pun memperlihatkan sikap nekat dengan harapan agar wanita itu memenuhi permintaannya. Dan perhitungannya yang tidak ngawur ini memang tepat! Kembali Sin-kiam Mo-li memandang tajam penuh kagum. Seorang pemuda biasa, mungkin hanya pemuda petani yang bekerja sebagai tukang kebun dan pelayan di istana kuno ini, namun memiliki keberanian dan nyali yang agaknya hanya patut dimiliki oleh para penghuni istana Gurun Pasir! Juga ia merasa tertarik sekali mendengar bahwa pelayan ini hendak membakar jenazah tiga orang sakti itu. Pantasnya keluarga mereka yang melakukan hal ini, bukan seorang pelayan biasa.
"Kenapa engkau berkeras hendak membakar mayat mereka" tanyanya.
"Karena ketika masih hidup, mereka pernah mengatakan bahwa mereka kalau sudah mati suka dibakar mayat mereka."
"Akan tetapi untuk membakar mayat mereka, kenapa harus mayat mereka kau usung ke dalam istana" tanya Thian Kong Cinjin yang juga merasa tertarik.
"Karena aku ingin membakar mereka di dalam istana agar istana itu pun ikut terbakar habis."
Jawaban ini membuat tiga orang itu melongo dan Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Celaka, jangan-jangan pemuda yang dikaguminya ini miring otaknya!
"Kenapa hendak dibakar istana ini" tanyanya, memandang tajam. Akan tetapi wajah pemuda itu biasa saja.
"Mereka sudah meninggal dunia dan aku akan pergi dari sini. Kalau tidak ada yang tinggal lagi di sini dan tidak ada yang mengurusnya, tempat ini hanya akan menjadi buruk sekali dan akhirnya akan ambruk pula. Maka sebaiknya dibakar saja. Dengan demikian, dapat membuktikan kebenaran pengakuanku bahwa tidak ada pusaka apa pun tersimpan di sini. Bukankah begitu" Ucapan ini cerdik sekali dan tiga orang itu pun mengangguk-angguk.
"Benar sekali!" kata Thian Kek Seng-jin. "Biar dibakarnya habis, biar rata dengan tanah, biar terbasmi lenyap seperti halnya Istana Pulau Es. Ha-ha-ha, dunia kang-ouw akan tahu bahwa Istana Gurun Pasir terbasmi lenyap dari permukaan bumi oleh kita bertiga. Ha-ha-ha!"
Thian Kong Cinjin juga tertawa, senang bahwa setidaknya mereka dapat melampiaskan kedongkolan hati karena teman-teman banyak yang mati dan mereka tidak menemukan pusaka, dengan cara melihat istana itu terbakar habis. Sementara itu, tanpa mempedulikan apakah tiga orang itu setuju atau tidak, Sin Hong telah mengangkuti mayat ini ke dalam, meletakkan mereka di atas tiga dipan yang dipersiapkannya, kemudian dia pergi ke bagian belakang untuk mengambil beberapa guci minyak. Semua gerakannya ini diperhatikan oleh Sin-kiam Mo-li, sedangkan dua orang pendeta sudah tidak peduli lagi, masih meneoba mencari ke sana sini barangkali menemukan sesuatu yang berharga untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Biarpun tubuhnya terasa lelah karena mencangkul tiada hentinya sampai sore, namun Sin Hong merasakan lagi keanehan betapa kelelahan itu sebentar saja lenyap dan kesegaran tubuhnya pulih kembali, seperti ketika tadi dia menderita luka-luka. Maka dengan tenang dia menuangkan minyak ke sudut-sudut ruangan istana itu, juga menuangkan minyak kepada dipan-dipan di mana tiga sosok mayat itu rebah. Setelah itu, dia pun menyalakan api dimulai dari serambi depan yang sudah dibasahi pula dengan minyak. Dia menghabiskan semua persediaan minyak di gudang dan sebentar saja api pun berkobar besar sekali, membakar istana itu dan segala isinya.
Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Seng-jin berdiri jauh di pekarangan depan memandang ke arah api yang berkobar semakin tinggi, sedangkan Sin Hong berdiri pula di situ seperti patung memandang ke arah api dan diam-diam hatinya menangis. Tak disangkanya bahwa dalam sehari dia kehilangan tiga orang gurunya yang amat dicintanya! Guru-gurunya dibantai orang, dibunuh dan istana diserbu tanpa dia dapat membela sedikit pun. Kalau dia tadi membela dan melawan, dia tahu bahwa akan terjadi bentrokan hebat dalam tubuhnya dan mungkin sekali dia akan tewas. Dia tidak takut menghadapi bahaya kematian itu, akan tetapi dia merasa ngeri untuk melanggar janji dan sumpahnya terhadap tiga orang gurunya.
Setelah istana itu terbakar, barulah teringat oleh Sin-kiam Mo-li bahwa mereka sebenarnya masih membutuhkan istana itu, setidaknya untuk satu malam. Hari telah mulai gelap dan mereka membakar satu-satunya tempat untuk melewatkan malam dengan enak!
"Wah, celaka! Kita malam ini harus bermalam di mana" katanya kepada dua orang temannya.
"Ha-ha-ha, perlu apa bermalam" Kita langsung saja meninggalkan neraka ini!" kata Thian Kong Cinjin.
"Benar, aku pun merasa tidak suka tinggal lebih lama di tempat ini," sambung Thian Kek Seng-jin. Kedua orang kakek pendeta sesat ini sebenarnya jerih kalau-kalau pembunuhan atas diri tiga orang tua itu dan pembakaran istana itu akan mendatangkan akibat yang hebat, kalau-kalau kebakaran itu kelihatan orang dan ada kerabat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang datang.
"Ih, mana mungkin melakukan perjalanan melintas gurun pasir di waktu malam" Sungguh berbahaya sekali. Biarlah malam ini kita bermalam di sini, setidaknya di kebun sana itu banyak terdapat pohon-pohon. Mari kita mencari tempat istirahat di sana," kata Sin-kiam Mo-li dan dua orang kawannya setuju karena mereka pun mengerti betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir yang luas di waktu malam gelap.
Sin-kiam Mo-li menarik tangan Sin Hong diajak ke kebun di mana memang terdapat banyak pohon buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan lain yang berguna. Sin-kiam Mo-li memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, dan ia pun tidak lagi mempedulikan dua orang temannya yang mengambil tempat istirahat di bawah sebatang pohon lain lagi. Rumput-rumput hijau menjadi hamparan tikar hijau yang lembut dan lunak. Sin-kiam Mo-li memandang Sin Hong yang masih berdiri menghadap ke arah istana yang masih terbakar itu.
"Sin Hong, kumpulkan kayu bakar dan daun kering. Nanti kita membuat api unggun di sini."
Sin Hong tidak menjawab akan tetapi juga tidak membantah, lalu mengumpulkan kayu bakar. Dia tahu bahwa akan percuma saja kalau dia melarikan diri sekarang, karena ketika melirik, wanita itu mengikuti setiap gerakannya dengan pandang mata, juga dua orang pendeta di sana itu memandang kepadanya. Setelah bahan api unggun terkumpul, dia pun berdiri lagi termenung memandang ke arah istana yang terbakar, diam-diam mengharapkan agar tiga jenazah gurunya itu akan terbakar sempurna sehingga semuanya akan menjadi abu. Dia tidak merasa menyesal bahwa guru-gurunya telah meninggal dunia. Semua orang akhirnya akan mati juga dan kematian tiga orang gurunya adalah kematian orangorang yang gagah perkasa" Pernah dia mendengar mereka bertiga itu berbincang-bincang tentang kematian dan ketiganya mempunyai harapan agar dapat mati sebagai pendekar! Dan ternyata harapan mereka itu terpenuhi! Mereka mati dengan gagah perkasa, dikeroyok belasan orang tokoh sesat yang lihai, dan sebelum mati mereka berhasil menewaskan empat belas orang lawan! Tak perlu disesalkan kematian mereka. Yang penting sekarang harus mencari jalan untuk melarikan diri karena selama dia belum dapat meloloskan diri dari pengawasan tiga orang ini, nyawanya tetap saja terancam maut yang mengerikan.
"Sin Hong, kenapa engkau melamun" Apakah engkau menyesal akan kematian tiga orang tua bangka itu" tiba-tiba Sin-kiam Mo-li bertanya.
Sin Hong menggeleng kepala dan menjawab lirih namun suaranya tegas, "Tidak!"
Sin-kiam Mo-li duduk di atas rumputhijau. I a telah menurunkan tiga batang pedang itu dari pinggangnya. Pedangnya sendiri, Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam dan menaruhnya di atas rumput tak jauh darijangkauannya. Ia melonggarkan ikat pinggangnya, bahkan melepas sepatunya untuk mengusir kelelahan akibat perkelahian mati-matian tadi.
"Sin Hong, engkau duduklah di sini," katanya sambil memandang penuh gairah kepada pemuda itu. Sin Hong duduk dengan mengangkat kedua lututnya dan itu tanpa menoleh. Sin-kiam Mo-li memandang kagum sekali. Pemuda ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi agaknya memiliki tubuh yang amat kuat daya tahannya. Pemuda itu tadi telah ditamparnya, ditendang dan dipukul oleh dua orang pendeta itu, dan biarpun pukulan-pukulan itu dilakukan tanpa pengerahan sin-kangtetap saja sudah tentu akan membuat pemuda itu menderita nyeri. Dan semua itu masih ditambah lagi dengan ancaman-ancaman yang menakutkan, dan hebatnya lagi dia harus mencangkul dan mengubur jenazah empat belas orang tadi. Mencangkul sehari penuh. Dan kini pemuda itu kelihatannya sama sekali tidak kelelahan!
Sin Hong sedang melamun, mencari akal bagaimana akan dapat meloloskan diri dari tiga orang ini tanpa menggunakan kekerasan, ketika tiba-tiba ada sebuah tangan yang kecil dengan jari-jari mungil menyentuh pundaknya dan rambutnya, membelai dan mengusap rambutnya. Ketika dia menoleh, hidupnya mencium keharuman pupur dan minyak, dan ternyata wajah wanita cantik kejam seperti iblis itu telah berada dekat sekali dengan mukanya. Sin-kiam Mo-li telah duduk dekat sekali dengannya dan kini merangkul lehernya.
Sin Hong adalah seorang pemuda yang sudah dewasa, sudah dua puluh satu tahun usianya. Walaupun selama hidupnya dia belum pernah berhubungan dengan wanita, bahkan bergaul dekat pun belum pernah, namun tentu saja dia mengerti apa maksud wanita ini mendekatinya dan bersikap demikian mesra. Seketika wajahnya menjadi merah dan jantungnya berdegup kencang penuh ketegangan. Dia melihat betapa dua orang kakek iblis itu duduk tak jauh dari situ, dapat dengan mudah melihat apa yang dilakukan wanita ini, akan tetapi agaknya wanita ini tidak merasa sungkan atau malu lagi. Dia merasa ngeri. Manusia-manusia macam apakah yang telah menawannya ini"
"Sin Hong, berapakah usiamu sekarang" Sin-kiam Mo-li berbisik dekat telinga pemuda itu, bahkan bibir itu lalu mengecup leher di bawah telinga. Meremang bulu tengkuk Sin Hong ketika merasa betapa bibir basah yang mengeluarkan napas panas itu menyentuh lehernya. Akan tetapi dia menguatkan perasaannya dan menjawab dengan sikap dan suara biasa saja.
"Dua puluh satu tahun."
"Aih, kalau begitu engkau sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Sin Hong, pernahkah engkau mempunyai seorang pacar" Kini kedua tangan wanita itu tanpa malu-malu membelai dan jari-jari tangan itu merayap-rayap ke seluruh bagian tubuh Sin Hong. Pemuda ini merasa ngeri bukan main ngeri dan jijik. Belaian-belaian itu lebih menyiksa baginya daripada tamparan dan tendangan tadi, dan ingin sekali dia menyerang wanita iblis yang tidak tahu malu ini. Akan tetapi, janjinya terhadap tiga orang gurunya merupakan belenggu yang amat kuat dan dia pun mengerahkan kekuatan batinnya.
"Belum pernah." jawabnya pula, sikapnya acuh saja sehingga wanita itu menjadi semakin bergairah. Seorang pemuda yang sudah berusia dua puluh satu, sudah dewasa dan sedang segar-segarnya, belum pernah berdekatan dengan wanita, seorang perjaka tulen!
"Bagus sekali!" Sin-kiam Mo-li berseru girang. "Kalau begitu malam ini akan kujadikan seorang laki-laki sejati yang lengkap. Engkau layani aku dan senangkan hatiku, dan aku mungkin akan menyelamatkanmu, bahkan akan mengambilmu sebagai murid dan kekasih. Hemmm, engkau mau, bukan" Sin-kiam Mo-li merangkul dan kini bagaikan seorang kelaparan melahap sepotong roti, wanita itu menghujankan ciuman pada muka Sin Hong di pipinya, bibirnya, matanya, hidungnya sampai pemuda itu gelagapan dan seluruh tubuhnya menggigil saking ngerinya! Sin Hong merasa seperti dijilati seekor harimau yang hendak mengganyangnya.
Melihat betapa pemuda itu diam saja, tidak menanggapi tidak membalas ciumannya, akan tetapi juga tidak melawan, makin berkobar nafsu berahi dalam diri Sin-kiam Mo-li. Dirangkulnya Sin Hong dan ditariknya pemuda itu rebah di atas rumput yang lunak, jari-jari tangannya mulai membuka kancing dan menanggalkan pakaian pemuda ini.
Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Sin Hong. Dia merasa muak, jijik dan juga ketakutan, dan bagaimanapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang normal. Jantungnya berdebar dan api gairah mulai merayap dan hendak membakar dirinya. Namun, karena batinnya memang kosong dan bersih daripada bayangan nafsu, maka nafsu yang muncul karena keadaan badan yang sehat itu pun tidak membuatnya mabuk. Bahkan kini ada hawa hangat yang aneh, yang memang berkumpul di dalam pusarnya, mengalir ke seluruh tubuhnya dan hawa yang hangat ini membuyarkan gairah yang mulai timbul. Dia pun mendiamkan saja segala yang diperbuat oleh Sin-kiam Moli atas dirinya.
"Sin Hong, layanilah aku, senangkan hatiku. Sin Hong, ohhhhh!" Wanita itu merayu, merintih, mengajak dan melakukan segala usaha untuk membangkitkan gairah Sin Hong. Namun sia-sia belaka. Pemuda itu tetap biasa saja, sedikit pun tidak dilanda nafsu berahi. Biarpun wanita tak bermalu itu mengeluarkan semua kepandaiannya dalam merayu pria, biarpun kedua tangan bahkan seluruh tubuhnya sibuk untuk merangsang, tetap saja Sin Hong tenang dan tidak terpengaruh. Diam-diam dia merasa bersyukur sekali karena hawa yang hangat itu melindunginya.
"Keparat!" Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan makian ketika mendapat kenyataan betapa sikap Sin Hong biasa saja, sedikit pun tidak tersentuh gairah. "Apakah engkau tidak mau melayaniku" Apakah engkau malu-malu karena engkau masih perjaka" Saking mendongkolnya karena nafsu berahi sudah sampai ke ubun-ubunnya akan tetapi pemuda itu sedikit pun belum tersentuh, Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu lagi marah-marah di depan dua orang kakek yang menjadi rekannya.
"Ha-ha-ha, Mo-li, dia seperti mayat saja" Ha-ha-ha, mungkin dia yang tolol ataukah engkau yang sudah terlalu tua!" kata Thian Kong Cinjin. Kakek ini biasanya pendiam, halus dan berwibawa, akan tetapi sekali ini dia mendongkol melihat sikap rekannya itu. Mereka benar berhasil membasmi Istana Gurun Pasir, akan tetapi juga kehilangan banyak anak, buah dan sutenya', Ok Cin Cu, juga tewas, dan wanita iblis itu hanya bersenang-senang saja melampiaskan nafsu berahinya, tanpa malu-malu di depannya lagi! Maka, rasa dongkol itu membuat dia kini mampu mentertawakan Sin-kiam Mo-li. Sin-kiam Mo-li memandang ke arah kakek itu dengan mata melotot. Ia marah sekali, akan tetapi ia pun maklum bahwa wakil ketua Pat-kwa-pai itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, dan ia pun tidak ingin mencari keributan. Dengan kasar ia pun mencengkeram tubuh Sin Hong dan dibawanya lari berloncatan ke tempat lain, menjauhi dua orang kakek itu dan bersembunyi di balik semak-semak bunga di kebun itu. Ia tidak peduli mendengar suara ketawa dua orang kakek itu dan melempar tubuh Sin Hong ke atas rumput.
"Kalau sekarang engkau tetap tidak mau melayaniku, akan kupaksa kau sampai mampus!" desisnya dan kembali ia membelai-belai dan merayu, bahkan kini Sin-kiam Mo-li mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya untuk menguasai Sin Hong. Di bawah sinar api unggun kecil yang dibuatnya, Sin Hong terbelalak melihat bahwa kini Sin-kiam Mo-li nampak masih muda dan amat cantik! Kembali darah mudanya tersirap dan mulai bangkit kembali gairah nafsu berahi di dalam dirinya secara wajar dan normal. Sin-kiam Mo-li dapat mengetahui hal ini maka girangnya bukan main. Ia menciumi dan mengecupi seluruh tubuh Sin Hong dengan mulutnya, seperti seekor ayam mematuki beras, berusaha sedapat mungkin untuk mengobarkan gairah yang mulai nampak bangkit dalam diri pemuda itu. Namun, Sin Hong mengerahkan batinnya, memusatkan perhatiannya kepada bayangan tiga orang gurunya dan sungguh aneh. Hawa di pusarnya menjadi semakin panas dan kini bergerak mengalir keluar, berputaran melindungi seluruh tubuhnya dan perlahan-lahan gairah yang menguasainya tadi menjadi lemah dan semakin padam. Betapapun Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaga ilmu sihirnya, tetap saja kekuatan sihir itu membuyar ketika menguasai Sin Hong. Pemuda ini mengerti bahwa kekuatan yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu telah bekerja dan menyelamatkannya dan dia pun merasa girang sekali. Tenaga dari Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun telah memperlihatkan kehebatannya, padahal dia belum mengerahkan sin-kang nya, hanya mengerahkan kekuatan batin untuk menolak pengaruh aneh tadi. Kini, wajah yang nampak muda dan cantik sekali itu berubah menjadi seperti semula, wajah seorang wanita cantik yang mulai nampak tua.
Melihat betapa api gairah yang tadi mulai bernyala di tubuh pemuda itu mendadak menjadi padam kembali, bukan main marahnya Sin-kiam Mo-li. Ia marah dan juga heran, dan merasa terhina! Selama ini, jarang ada pemuda yang ditawannya mampu menolak hasratnya, baik secara suka rela atau pun dipengaruhi sihirnya. Akan tetapi pemuda ini, pemuda lemah yang tidak pandai silat, dapat menghadapi sihirnya dengan terang saja dan sama sekali tidak terpengaruh! Ia sungguh merasa terhina, bukan saja ia merasa ditolak seorang laki-laki, akan tetapi juga sihirnya seperti tidak manjur. Karena kecewa dan marah, sedangkan nafsu berahi telah membakar dirinya dan naik ke ubun-ubunnya, Sin-kiam Mo-li menjadi seperti gila. Ia mulai menampari Sin Hong, mencakar, menggigit, di samping terus merayu sampai akhirnya tubuh Sin Hong penuh dengan luka cakaran dan tamparan, dan akhirnya pemuda ini tidak kuat lagi dan roboh pingsan di atas rumput! Sedangkan Sin-kiam Mo-li terengah-engah, kelelahan dan ia pun akhirnya tertidur dalam keadaan kehabisan tenaga dan hampir pingsan dibakar nafsu yang dikobarkannya sendiri.
Ketika Sin Hong siuman, malam sudah larut, antara tengah malam dan fajar. Dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang-tulangnya melalui kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian, juga ada rasa perih karena luka-lukanya. Ketika membuka mata dan melihat bahwa dia rebah terlentang di atas rumput, dan tak jauh dari situ rebah pula tubuh Sin-kiam Mo-li yang mendengkur lirih, tahulah dia bahwa wanita itu telah tidur nyenyak karena kelelahan. Inilah kesempatan baik baginya, pikir Sin Hong. Dua orang kakek itu pun tidak nampak, agaknya tidur di bagian lain dari kebun itu dan malam itu cukup gelap, tidak ada bintang nampak di langit yang tertutup awan hitam.
Dengan hati-hati sekali Sin Hong mengambil pakaiannya yang tadi direnggut lepas semua dari tubuhnya oleh Sin-kiam Mo-li, dan melihat dua batang pedang yang berada di dekat Sin-kiam Mo-li, ingin dia mengambilnya. Akan tetapi, seperti orang yang selalu siap siaga, lengan kanan Sin-kiam Mo-li berada di atas pedang itu sehingga Sin Hong tidak berani melanjutkan niatnya. Apalagi, dia tidak membutuhkan pedang. Tiga orang gurunya telah menggemblengnya sedemikian rupa sehingga dia tidak membutuhkan senjata pelindung diri lagi. Pula, dari para gurunya dia mendengar berhwa pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam merupakan dua batang pedang yang amat jahat, mengandung racun yang amat ampuh dan telah minum darah dan mencabut nyawa entah berapa ribu orang! Dia tidak ingin memiliki dua batang pedang itu dan kalau tadi timbul niatnya mengambil, hanya karena dia teringat bahwa Ban-tok-kiam milik subonya (ibu gurunya) sedangkan Cui-beng-kiam milik Tiong Khi Hwesio, seorang di antara dua gurunya yang laki-laki. Tanpa mengenakan pakaiannya lebih dahulu, hanya membawanya saja, Sin Hong lalu meninggalkan Sin-kiam Mo-li dan keluar dari kebun itu. Dia tahu bahwa dia harus dapat cepat pergi karena kalau sampai diketahui tiga orang iblis itu, tanpa dia dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, kalau hanya berlari biasa saja, tentu akan segera dapat disusul, apalagi melalui daerah gurun pasir yang kering, tanpa adanya hutan atau bahkan tumbuh-tumbuhan untuk menyembunyikan diri.
Akan tetapi, dia mengenal benar daerah di sekitar gurun pasir itu dan dia tahu di mana letaknya bukit terdekat, bukit yang penuh hutan, yaitu di sebelah barat, dari situ tidak nampak karena tertutup oleh bukit-bukit gurun pasir. Orang lain yang tidak mengenal daerah itu dengan baik, seperti tiga orang jahat itu, sudah mengambil jalan ke selatan, jalan yang paling aman karena jalan ke selatan itu menuju ke daerah tanah keras. Padahal, menuju ke bukit di barat itu lebih dekat dibandingkan jarak menuju ke selatan.
Perhitungan Sin Hong ternyata tepat. Ketika Sin-kiam Mo-li terbangun dan tidak melihat pemuda itu, tentu saja ia marah sekali. Kemarahannya semakin memuncak ketika dua orang tosu itu mentertawakannya, dan ia pun mengajak mereka untuk melakukan pengejaran. "Akan kusiksa dia, kurobek kulitnya dan kucabut jantungnya!" Wanita iblis itu mengancam dengan muka merah sekali. Pemuda itu tidak saja telah menolak untuk melayaninya, bahkan ilmu sihirnya pun tidak mempan dan kini tahu-tahu telah melakikan diri. Dan seperti diperhitungkan oleh Sin Hong, tiga orang lihai itu melakukan pengejaran secepatnya menuju ke selatan.
Tentu saja mereka tidak berhasil menyusul Sin Hong yang telah tiba di bukit sebelah barat dengan aman. Dia memasuki hutan yang memenuhi bukit itu, hutan lebat yang jarang didatangi manusia karena selain hutan ini amat liar, juga letaknya begitu jauh dari kota dan dusun. Ketika Sin Hong berkeliaran di dalam hutan yang memenuhi seluruh perbukitan di daerah itu, dia melihat banyak binatang hutan dan pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan maka dia pun mengambil keputusan untuk bersembunyi terus di dalam tempat ini sampai pertapaannya selama setahun itu lewat.
Di tempat ini, dia tidak akan mengalami gangguan manusia dan dia dapat melaksanakan tapanya dengan aman. Dia pun memilih sebuah gua untuk dijadikan tempat tinggal, dan beberapa bulan kemudian, dalam perantauannya menjelajahi perbukitan itu, dia hanya menemukan beberapa orang pertapa saja tinggal di tempat-tempat tersembunyi. Ada yang tinggal di dalam gua, ada yang membuat pondok sederhana. Mereka adalah orang-orang yang mengasingkan diri, menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat ramai. Ada yang bertapa untuk melarikan diri dan pertapaan itu hanya merupakan suatu pelarian dari keadaan hidup yang serba tidak menyenangkan, ada pula yang bertapa dengan pamrih memperoleh sesuatu dari hasil pertapaannya, yang pada hakekatnya juga merupakan pelarian dari suatu keadaan yang tidak disukainya untuk mendapatkan suatu keadaan yang diharapkan dan dibayangkan akan mendatangkan kesenangan bagi dirinya.
Sin Hong tinggal dengan aman didalam gua yang terpencil untuk menyelamatkan dirinya. Sungguh berat Ilmu Pek-ho Sin-kun yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu, karena selama setahun, dia sama sekali tidak boleh mengerahkan sin-kangdan karena itu tentu saja dia terancam bahaya. Untung baginya bahwa ketika dia menjadi tawanan Sin-kiam Mo-li, dia berhasil meloloskan diri. Kalau tidak, dia tentu akan menjadi korban kekejaman tiga orang iblis itu. Keadaannya serba salah. Melawan, terpaksa dia mengerahkan sin-kangdan dia akan tewas pula, seperti yang dipesankan oleh tiga orang gurunya. Tidak melawan, akhirnya dia akan mereka bunuh!
Demikianlah, selama setahun Sin Hong bersembunyi di dalam hutan itu, dan memenuhi pesan tiga orang gurunya, setiap hari dia bersamadhi, melatih diri untuk menguasai hawa sakti yang bergelora di dalam tubuhnya sampai akhirnya dia berhasil menguasai dan mengendalikan hawa sakti itu, dapat mempergunakan sesuai dengan kehendaknya, bahkan kemudian ketika dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun setiap gerakannya dapat mengatur tenaga sakti sesuai dengan takarannya. Kini, bahaya dari hawa sakti itu bagi dirinya sendiri lenyap dan dia pun kini menjadi seorang yang amat lihai. Pada hari terakhir dia berada di dalam hutan itu, dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun dan kalau saja tiga orang gurunya dapat menyaksikannya, tentu mereka akan merasa bangga bukan main. Pemuda itu bersilat dengan tangan kosong, gerakannya nampak perlahan saja, namun pohon-pohon di sekelilingnya seperti dilanda angin taufan, dan di lain saat, gerakan-gerakannya sama sekali tidak menggerakkan daun-daun pohon, namun ketika jari tangannya yang terbuka menyentuh batang pohon, batang pohon itu seperti dibabat dengan pedang tajam dan tumbang! Sin Hong sendiri terkejut melihat hasil ini, juga girang namun berjanji pada diri sendiri untuk berhati-hati mempergunakan Pek-ho Sin-kun karena ternyata merupakan gabungan ilmu-ilmu yang amat ampuh dan akibatnya dapat mengerikan bagi lawannya.
Akhirnya dia meninggalkan perbukitan itu dengan pakaian compang-camping karena selama setahun dia tidak dapat berganti pakaian kecuali kadang-kadang kalau pakaiannya dicuci, dia mengenakan cawat dari kulit batang pohon.
*** Biarpun pakaiannya compang-camping, namun Sin Hong nampak gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncirtebal dan dikalungkan di lehernya. Bajunya sudah penuh tambalan dan terbuka di bagian dada atas, memperlihatkan dadanya yang bidang dan kulit dadanya yang kemerahan karena ditimpa sinar matahari yang terik. Wajah pemuda berusia dua puluh dua tahun ini tidak tampan akan tetapi juga tidak buruk, namun sinar matanya lembut dan mulutnya selalu tersenyum ramah dan dua hal inilah yang mendatangkan daya tarik dan kesejukan pada wajahnya. Bentuk tubuhnya sedang saja, namun di balik kulit itu terdapat kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, namun yang membuat tubuhnya kokoh seperti batu karang. Dengan mempergunakan ilmunya berlari cepat, pemuda ini melakukan perjalanan ke selatan, melewati gurun pasir. Gurun itu sepi sekali dan ini menguntungkan Sin Hong yang dapat melakukan perjalanan secepatnya. Kalau di situ lalu lintasnya ramai, tentu keadaannya akan menarik perhatian orang, bukan saja pakaiannya yang compang-camping seperti jembel, akan tetapi juga larinya yang cepat bagaikan terbang itu. Tujuan perjalanannya sudah jelas. Pertama, dia akan pergi ke Ban-goan, kota kelahirannya untuk menyelidiki tentang kematian ayahnya setelah lebih dulu dia menyelidiki ke Tuo-lun di mana ayahnya tewas dalam sebuah hutan di luar kota Tuo-lun seperti yang didengarnya dari Tiong Thi Hwesio. Kemudian, setelah urusannya selesai, dia akan berkunjung ke kota Pao-teng, mencari suhengnya, yaitu Kao Cin Liong, putera tunggal suami isteri Kab Kok Cu dan Wan Ceng yang menjadi gurunya, untuk mengabarkan tentang tewasnya dua orang tua itu dan terbasminya Istana Gurun Pasir.
Karena dia mempergunakan ilmu berlari cepat, maka dalam beberapa hari saja dia pun sudah tiba di Tuo-lun. Dia melakukan penyelidikan dan bertanya-tanya kepada para piauwsu yang berada di kota ini. Akan tetapi, semua orang yang ditanya tidak ada yang dapat memberi keterangan lebih jelas daripada apa yang telah didengarnya dari Tiong Khi Hwesio, yaitu bahwa mendiang ayahnya bersama sepuluh orang anak buahnya kedapatan tewas semua di dalam hutan di selatan kota Tuo-lun itu. Dia pun segera mencari hutan itu dan pada suatu pagi, dia menemukan gundukan tanah kuburan yang cukup tinggi di dalam hutan. Sin Hong berdiri di depan tanah kuburan itu dan membaca tulisan yang diukir dengan kasar pada sebuah batu yang besar dan yang ditaruh di depan kuburan. Terbaca nama ayahnya sebagai piauwsu, karena bunyinya hanya "Kuburan Tan Piauwsu bersama sepuluh orang temannya". Dia merasa terharu. Tentu gurunya, Tiong Khi Hwesio itu yang telah mengubur ayahnya, dikubur menjadi satu di tempat ini. Dia pun lalu berlutut memberi hormat kepada makam ayahnya.
Sin Hong meninggalkan hutan itu dan melanjutkan perjalanan. Dia tidak berhasil mendapatkan keterangan yang berharga di Tuo-lun. Harapannya kini tinggal penyelidikan ke kota kelahirannya di Ban-goan. Dia akan menyelidiki dan mencari Tang-piauwsu yang dulu menjadi wakil dan pembantu utama ayahnya. Mudah-mudahan saja Tang-piauwsu berhasil lolos dari kejaran para perampok berkedok itu, pikirnya, karena kalau Tang-piauwsu juga tewas, sukarlah baginya untuk menyelidiki siapa gerangan para perampok itu dan siapa pula yang membunuh ayah ibunya.
Pada suatu hari, tibalah dia di Tembok Besar, tempat penyeberangan dari para pedagang dan pengawal kalau hendak ke luar Tembok Besar. Matahari telah naik tinggi dan Sin Hong berhenti sebentar sambil menghapus keringatnya dengan ujung baju yang sudah compang-camping itu. Keadaan di situ sunyi sekali. Hanya beberapa hari saja dalam sebulan jalan itu ramai dilalui rombongan pedagang. Kini, para pedagang hanya berani melakukan perjalanan membawa barang-barang mereka secara rombongan, dikawal oleh para piauwsu yang kuat karena akhir-akhir ini timbul banyak perampok di daerah perbatasan itu.
Sin Hong mengamati ke arah selatan dari tempat yang agak tinggi itu sambil mengenang perjalanannya bersama ibunya menyusul ayahnya di Tuo-lun, dikawal oleh Tang-piauwsu. Teringatlah dia akan pendapat nenek Wan Ceng, subonya setelah mendengar akan semua peristiwa yang menimpa dirinya. Nenek yang cerdik itu menyatakan kecurigaannya kepada Tang-piauwsu! Dia tidak begitu ingat lagi bagaimana sikap Tang-piauwsu terhadap keluarganya dan dia pun tidak begitu yakin akan kebenaran persangkaan subonya itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, dia akan menyelidiki dengan cermat dan hati-hati agar jangan sampai menuduh orang yang tidak bersalah.
Selagi dia termenung, tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya belasan orang dari balik tembok dan batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang bertampang menyeramkan, dengan sikap kasar dan tangan mereka memegang golok telanjang memandang kepadanya dengan alis berkerut dan penuh ancaman ketika mereka berloncatan menghampirinya. Diam-diam Sin Hong merasa girang. Mereka ini, dilihat sikapnya, tentulah sebangsa perampok dan agaknya dia menemukan jejak pertama untuk bahan penyelidikannya. Maka dia pun menanti dengan tenang dan memperhatikan laki-laki yang berada paling depan. Tentu dia kepalanya, pikirnya. Laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan berkumis lebat sekali, sekepal sebelah, dengan jenggot pendek tebal. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya yang sebagian bawah tertutup jenggot dan kumis itu berkulit hitam, matanya melotot lebar dan garang.
"Keparat!" Tiba-tiba kepala perampok itu menyumpah-nyumpah setelah dia berhadapan dengan Sin Hong, matanya yang lebar melotot memandang pemuda itu dari atas ke bawah, melihat pakaiannya yang compang-camping. "Kukira belut gemuk yang lunak dagingnya, kiranya hanya seekor cacing!"
Para anggauta perampok tertawa mendengar makian kepala perampok itu. Mereka tadi melihat munculnya seorang laki-laki dari jauh dan mereka bersembunyi, lalu keluar untuk menyergap calon korban itu. Sudah sebulan mereka tidak memperoleh mangsa dan dalam keadaan haus mereka sudah bergembira melihat munculnya seorang calon mangsa. Siapa kita, orang itu hanyalah seorang jembel muda yang sama sekali tidak dapat diharapkan memiliki sesuatu yang berharga.
"Ha-ha-ha, cacing juga cacing kurus pula, kulitnya pun tidak ada harganya satu sen!" kata seorang di antara mereka.
"Toako, kita bunuh dan cincang saja daging dan tulangnya biar menjadi santapan anjing-anjing hutan!" kata seorang perampok lainnya. Dengan sikap buas dan beringas, belasan orang itu sudah maju mengepung Sin Hong dan mereka pun merasa heran mengapa pemuda itu tidak berlutut dan menangis minta ampun. Sebaliknya, pemuda itu malah tersenyum menghadapi kepala perampok itu dan kini Sin Hong berkata lembut,
"Kalian ini memang seperti anjing-anjing hutan kelaparan, akan tetapi kebetulan sekali kalian datang, karena aku ingin minta keterangan dari kalian. Kuharap kalian suka memberi tahu kepadaku apakah kalian tahu tentang gerombolan perampok yang suka memakai kedok. Nah, katakanlah dan aku yang berterima kasih tidak akan mengganggu kalian selanjutnya!"
Para perampok itu saling pandang dan ada di antara mereka yang tertawa bergelak, merasa lucu karena sikap pemuda itu seolah-olah mengancam mereka! Akan tetapi kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Matanya semakin lebar melotot ketika dia membentak, "Cacing tanah busuk! Berani engkau membuka mulut besar" Engkau tidak tahu berhadapan dengan siapa, keparat! Aku adalah Hek-san-coa (Ular Gunung Hitam) dan bersama kawan-kawanku, kami terkenal di seluruh Tembok Besar!"
Sin Hong tersenyum mengejek. "Kebetulan sekali! Engkau adalah ular hitam, dan aku adalah Pek-ho (Bangau Putih) yang kelaparan, boleh si bangau makan si ular untuk membersihkan daerah ini!"
Tentu saja ucapan pemuda itu mendatangkan kemarahan besar kepada belasan orang itu. Pemuda jembel begini berani menentang mereka, bahkan menghina kepala perampok! Padahal mereka adalah gerombolan yang ditakuti semua orang dan amat terkenal bagi para pedagang dan pengawal yang suka lewat di situ.
"Toako, biarkan aku menyembelih tikus ini!" bentak mereka yang bertubuh tinggi kurus dengan mata sipit dan muka kuning pucat. Tanpa menanti jawaban pemimpinnya, si tinggi kurus ini sudah menggerakkan goloknya, membacok ke arah Sin Hong dengan cepat dan kuat sekali, agaknya dia hendak membuktikan ancamannya, sekali tebas menyembelih leher pemuda yang berani menghina mereka itu.
Namun, tentu saja serangan ini terlampau lamban dan terlampau lemah bagi seorang pemuda gemblengan seperti Sin Hong, tiada ubahnya permainan kanak-kanak saja. Dia menundukkan kepala, membiarkan golok lewat di atas kepalanya dan begitu dia menggerakkan tangan, jari tangannya sudah menotok ke bawah siku lengan dan begitu golok terlepas, dia sudah menyambar golok itu dia luncurkan ke bawah, akan tetapi sengaja dia balikkan sehingga punggung golok yang tidak tajam menghantam lutut si tinggi kurus.
"Takkk....! Aduuuhhhhh....!" Si tinggi kurus terjungkal dan meloncat lagi, berloncatan dengan kaki kanan, sedangkan kedua tangannya memegang lutut kirinya yang terasa nyeri bukan main. Saking nyerinya, dia roboh lagi, memijit-mijit tulang kering di bawah lututnya.
Tulang kering dipukul golok, biar hanya punggung golok, akan tetapi besi yang berat itu tentu saja cukup membuat tulang keringnya retak dan nyerinya sampai menusuk ke tulang sumsum! Sin Hong melempar golok itu ke atas tanah sampai ke gagangnya!
Terkejutlah semua perampok, terkejut dan marah. Tak mereka sangka bahwa pemuda jembel itu pandai ilmu silat, bahkan sedemikian lihainya sehingga dalam segebrakan saja telah membuat si tinggi kurus itu roboh tak berdaya. Satu gebrakan saja! Hampir mereka tidak percaya dan menganggap bahwa hal itu hanya suatu kebetulan saja. Akan tetapi, kemarahan melihat seorang temannya terluka membuat mereka marah dan ganas seperti ikan-ikan hiu mencium darah.
"Jembel busuk, mampuslah!" teriak seorang yang gemuk pendek dengan perut gendut dan orang ini yang berdiri di belakang Sin Hong, sudah membacokkan goloknya dari atas ke bawah, mengarah kepala pemuda itu. Kalau terkena sasaran itu tentu kepala itu terbelah dua dan isi kepala akan berhamburan. Namun, tanpa menoleh, hanya dengan mengandalkan pendengarannya yang tajam, Sin Hong miringkan tubuhnya. Golok yang menjadi sinar terang itu menyambar lewat dan tangannya bergerak ketika tubuhnya diputar membalik tanpa mengubah kedudukan kedua kaki dan di lain saat, golok itu sudah pindah tangan karena pemegangnya merasa lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang telah terjadi, golok itu, dengan terbalik, menyambar kakinya.
"Takkk....! Auuuuuwww.... aduhhh.... aduhhhh....!" Dan dia pun berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari, kaki kanannya diangkat dan kaki kiri berloncatan seperti halnya orang pertama, kemudian dia pun jatuh terjungkal, memijiti lutut kanannya yang terpukul punggung golok.
Kini para perampok itu mengeroyok Sin Hong dengan serangan golok mereka! Sin Hong kembali sudah melempar golok rampasannya setelah tadi mengetuk lutut lawan. Golok meluncur dan menancap di batu sampai ke gagangnya, kemudian dengan kedua tangan kosong dia menghadapi pengeroyokan para perampok itu. Hebat sekali sepak terjang Sin Hong. Tubuhnya sudah sedemikian peka sehingga seolah-olah di mana-mana tubuhnya memiliki mata dan mampu mengelakkan setiap serangan. Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun tidak dipergunakannya karena dia tidak ingin memperlihatkan ilmu itu kalau tidak penting sekali. Akan tetapi ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi sudah mendarah daging dengan tubuhnya maka setiap kali dia mengelak sambil menyerang, sudah pasti yang menyerangnya berbalik roboh sambil mengaduh-aduh. Ada yang tulang kakinya retak, tulang pundaknya patah, atau lengannya terkilir. Satu demi satu mereka roboh. Tak seorang pun tewas, akan tetapi tidak seorang pun mampu bangkit atau ikut mengeroyok lagi. Sin Hong hanya berdiri di tempat tadi, tidak melangkah jauh, hanya mengubah kedudukan kuda-kuda kaki sesuai dengan serangan lawan. Dia menanti lawan menyerang dan menghadapi serangan sekaligus merobohkannya.
Melihat dalam sekejap mata saja lebih dari setengah jumlah orangnya roboh, kepala perampok itu marah bukan main. "Bocah setan, akulah lawanmu!" Melihat kepala perampok sendiri yang maju, enam orang sisa anak buah perampok yang belum roboh segera mundur, memberi kesempatan kepada pemimpin mereka. Kepala perampok itu memegang sebatang golok yang besar dan tebal, nampak amat berat, tanda bahwa dia memiliki tenaga besar. Dengan mata melotot dia menghadapi Sin Hong. Kini dia tidak memandang rendah setelah melihat betapa pemuda itu dengan mudah mampu merobohkan tujuh orang anak buahnya, dan dia ingin tahu siapa adanya pemuda jembel yang lihai ini karena belum pernah dia mendengar, apalagi melihat, tentang pemuda ini.
"Bocah setan, siapakah engkau sesungguhnya" bentaknya.
Sin Hong tersenyum. Tidak ada gunanya berkenalan dengan segala macam perampok seperti ini, pikirnya. "Engkau Ular Gunung Hitam, dan aku si Bangau Putih. Nah, katakan saja tentang perampok yang berkedok itu, dan aku akan pergi dengan aman.
"Bangsat sombong! Jangan mengira engkau akan dapat terlepas dari hukuman golok keramatku!" Dan kepala perampok itu pun sudah memutar goloknya. Golok yang besar dan berat itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang berdesing-desing mengerikan. Akan tetapi Sin Hong tetap tenang, hanya menanti kepala perampok itu melakukan serangan. Kepala perampok itu tidak segera menyerang karena sesungguhnya dia pun mulai merasa jerih melihat kelihaian pemuda itu, maka kini dia pun berseru kepada enam orang anak buahnya yang belum roboh. "Kepung, keroyok dan kita bunuh dia! Cincang badannya!"
Melihat betapa kini pemimpin mereka sendiri yang maju, enam orang itu pun berbesar hati dan mereka segera menyerang dari semua jurusan, menghujankan serangan golok mereka ke arah tubuh Sin Hong. Kepala perampok itu pun ikut pula menyerang!
Kembali Sin Hong dikeroyok, sekali ini lebih hebat daripada yang tadi. Namun, Sin Hong tetap tenang dan bersikap menanti. Setiap kali serangan datang, dia mengelak sambil terus merobohkan penyerangnya, dengan tangan, kaki atau punggung golok. Akibatnya sama saja. Yang terkena tamparan tangannya, tentu akan patah tulang pundak atau tulang iga, yang tertendang patah tulang kaki. Dalam waktu hanya beberapa menit saja, enam orang sisa anak buah itu pun sudah roboh semua. Kepala perampok yang licik itu tadi hanya menyerang dengan hati-hati untuk mengeroyok saja sehingga dia belum sampai dirobohkan. Kini, melihat betapa semua anak buahnya roboh, tanpa banyak cakap lagi dia pun membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri! Melihat ini, Sin Hong memungut sebatang golok yang tercecer, kemudian menyambitkan golok itu.
"Ceppp....!" Kepala perampok itu mengeluh dan roboh dengan punggung ditembusi golok. Tidak seperti anak buahnya, dia pun tewas. Sin Hong sengaja membunuhnya, karena dia berpendapat bahwa kalau kepala perampok itu tidak dibunuh, akan percuma saja menasihati anak buahnya untuk bertaubat. Kepala perampok itu tentu akan memaksa anak buahnya untuk merampok lagi dan dengan adanya kepala perampok yang ganas dan jahat, maka anaknya pun akan menjadi lebih berani.
Tiga belas anak buah perampok itu masih rebah atau duduk sambil mengaduh-aduh kesakitan, dan wajah mereka semua berubah pucat ketika mereka melihat betapa pemimpin mereka tewas dan kini pemuda yang amat perkasa itu menghampiri mereka.
"Nah, sekarang kalian katakan padaku, siapa gerombolan perampok berkedok yang pada beberapa tahun yang lalu merajalela di sini, bahkan telah membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan, dan menyerang pula Tang-piauwsu. Hayo ceritakan yang benar, kalau tidak, terpaksa akan kubunuh kalian semua seperti yang kulakukan kepada pemimpinmu ini!"
Para perampok itu saling pandang dengan bingung dan ketakutan, akan tetapi seorang di antara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, dan menderita patah tulang pundaknya, segera bangkit dan berkata kepada Sin Hong. "Harap Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan kami orang-orang kasar yang tidak mengenal orang pandai dan berani kurang ajar. Kiranya di antara kami hanya saya seorang yang tahu akan perampok-perampok berkedok yang delapan tahun yang lalu merampok dan membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan karena pada waktu itu, saya kebetulan melihatnya dari jauh."
Bukan main girang rasa hati Sin Hong mendengar ini dan dia pun cepat menghampiri orang itu. "Bagus sekali! Ceritakan bagaimana terjadinya dan siapa mereka itu, siapa pula pemimpin mereka!"
Orang itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Sungguh menyesal sekali saya sendiri tidak mengenal mereka, Taihiap. Saya melihat rombongan Tanpiauwsu dihadang dan diserang oleh dua puluh orang lebih orang yang mengenakan kedok, merampas barang yang dikawalnya dan membunuh Tan-piauwsu dan kawan-kawannya. Kemudian mereka melarikan diri menunggang kuda. Hanya ada satu hal penting yang dapat saya ceritakan, yaitu sebelum penghadangan itu terjadi, saya melihat rombongan perampok itu tadinya mengenakan pakaian seperti rombongan piauwsu. Mereka berhenti di dalam hutan, mengganti pakaian dan mengenakan kedok. Maka, saya menduga bahwa gerombolan itu agaknya hanya perampok palsu saja, Taihiap, penyamaran dari rombongan piauwsu."
Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya tepat dugaan mendiang subonya, pikirnya. Jangan-jangan Tang-piauwsu yang merencanakan itu, untuk merampas barang pengawalan yang berharga. Akan tetapi mengapa Tang-piauwsu sendiri kemudian dihadang perampok berkedok" Apakah itu juga hanya siasatnya saja, untuk membunuh dia dan ibunya" Benarkah seperti yang diduga oleh subonya yang cerdik itu"
"Engkau masih ada penjelasan lain lagi" tanyanya. Perampok itu menggeleng kepalanya. Akan tetapi, keterangan itu cukup penting bagi Sin Hong dan cukup banyak pula. Dia harus menyelidiki ke Ban-goan. Sin Hong teringat bahwa dia tidak mempunyai bekal, juga bahwa pakaiannya haruslah diganti, maka dia lalu berkata kepada mereka.
"Kalian sudah biasa merampok orang, sekarang aku membutuhkan uang. Berikan uang yang ada pada kalian kepadaku!"
Perampok yang memberi keterangan tadi lalu berkata, "Kami tidak mempunyai banyak uang, Taihiap. Sedikit harta yang kami terima dari ketua kami, biasanya cepat habis untuk foya-foya. Akan tetapi saya yakin pemimpin kami itu mempunyai barang berharga." Dia lalu menghampiri mayat kepala perampok, dan tak lama kemudian menghampiri Sin Hong sambil membawa sebuah pundi-pundi kecil terisi uang emas dan perak!
Akan tetapi Sin Hong tidak membutuhkan uang sebanyak itu. Sebagian dia bagi-bagikan kepada para anggauta perampok sambil berkata, "Kali ini aku masih memaafkan kalian dan hanya membunuh pemimpin kalian. Akan tetapi lain kali kalau aku melihat kalian masih merampok, terpaksa aku akan membasmi kalian. Kuharap kalian suka menyadari bahwa pekerjaan merampok itu terkutuk, dan sekali waktu kalian pasti akan menerima hukuman, baik dari pasukan keamanan, dari para pendekar atau setidaknya, sudah pasti akan datang hukuman dari Tuhan! Bertaubatlah dan ubahlah jalan hidup kalian. Kalau kalian mau bekerja, tentu kalian akan dapat mencari makan. Nah, selamat tinggal!"
"Nanti dulu, Taihiap!" teriak orang tua yang tadi memberi keterangan. "Kami ingin bertaubat dan mengubah jalan hidup kami, akan tetapi kami angin mengenal siapakah Taihiap"
Sin Hong tersenyum. "Sebut saja aku si Bangau Putih." Dan begitu dia berkelebat, bayangannya lenyap di antara pohon-pohon dan meninggalkan orang-orang itu yang menjadi bengong saking heran dan kagum mereka. Mulai peristiwa ini seterusnya, dunia kang-ouw mulai mengenal nama Pek Ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih) karena memang Sin Hong jarang memperkenalkan nama sendiri dan sepak terjangnya seperti seekor burung bangau putih menyambar dan melayang-layang.
Memang dia suka mengenakan pakaian putih. Setelah dia mempunyai uang dan berkesempatan membeli pakaian, dia membeli pakaian yang sederhana, berwarna putih dengan garis pinggir warna kuning atau biru. Dengan pakaian putih ini, makin terkenallah julukan Si Bangau Putih.
*** Kota Ban-goan tidaklah besar, akan tetapi karena kota ini merupakan kota yang menjadi awal penyeberangan ke luar Tembok Besar, maka kota ini dikunjungi banyak pedagang yang ingin membawa barang dagangannya menyeberang lewat Tembok Besar. Perusahaan piauwkiok (ekspedisi) yang mengawal barang dagangan juga semakin subur dan sibuk. Banyak terdapat perusahaan ekspedisi atau pengawal di kota ini, dan satu di antaranya, yang terkenal dan dipercaya orang, adalah perusahaan piauwkiok yang dahulu dipimpin oleh Tan-piauwsu.
Tidak sukar bagi Sin Hong untuk menemukan orang yang dicarinya, yaitu Tang-piauwsu, karena Tang-piauwsu ternyata masih melanjutkan pekerjaan ayahnya, melanjutkan perusahaan ekspedisi yang dahulu dipegang ayahnya, dan Sin Hong masih belum lupa akan rumah bekas tempat tinggal orang tuanya itu. Tidak banyak perubahan pada rumah itu yang bagian depannya merupakan kantor, juga papan nama Peng An Piauwkiok (Kantor Ekspedisi Selamat) masih tergantung di depan kantor. Bahkan rumah itu kini nampak butut dan seolah-olah tidak terpelihara lagi. Dua orang kuli tua duduk di depan kantor, di atas bangku reyot dan melihat mereka berdua mengobrol sambil menghisap rokok dapat diketahui bahwa perusahaan itu sepi saja.
Sin Hong masih ingat kepada dua orang kuli tua ini Walaupun dia tidak tahu lagi siapa nama mereka. Tulang-tulang menonjol di balik kulit yang menjadi keras karena kerja berat itu menambah bayangan kemiskinan diderita dua orang ini.
Melihat seorang pemuda menghampiri kantor itu, dua orang kuli ini cepat bangkit memberi hormat dan kegembiraan membayang di wajah mereka, kegembiraan penuh harap untuk mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan hasil bagi mereka.
"Selamat pagi, Tuan Muda. Apakah Tuan Muda hendak mengirim barang yang perlu pengawalan" tanya seorang di antara mereka penuh harapan.
Begitu mudah membaca kegembiraan penuh harapan membayang di wajah mereka sehingga Sin Hong merasa terharu. Melihat rumah ini, bertemu dengan dua wajah tua yang tidak asing ini, mendatangkan kenangan lama dan mengingatkan dia akan ayah ibunya yang sudah tiada. Pohon cemara itu masih tumbuh di samping rumah dan dia masih mengenal cabang-cabangnya yang kini semakin besar dan tinggi, juga batu besar di bawahnya, di mana dahulu dia seringkali bermain di atasnya. Hatinya terharu, namun wajahnya tidak membayangkan perasaan hatinya dan dia masih tersenyum ramah ketika menjawab,
"Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua), aku ingin bertemu dengan Tang-piauwsu.
Apakah dia berada di sini" Dahulu, delapan tahun yang lalu, Tang-piauwsu merupakan pembantu utama ayahnya dan pengawal ini dahulu adalah seorang bujangan berusia tiga puluh tahun lebih, tidak berkeluarga dan tinggalnya mondok pula di rumah ayahnya. Tentu kini sudah berusia empat puluh tahun, dan dia ingin sekali tahu apakah pengawal itu masih tinggal di situ ataukah pindah ke rumah lain dan hanya berkantor di situ. Atau diam-diam dia gelisah, jangan-jangan Tang-piauwsu sudah tidak ada, tewas pula ketika mengawal dia dan ibunya dan kemudian dikeroyok oleh para perampok berkedok. Akan tetapi, jawaban orang itu melegakan hatinya.
"Tang-piauwsu" Tentu sa ja dia berada di sini, Kongcu. Kongcu hendak bicara tentang pesanan pengawalan" Biar saya panggilkan dia, tentu sedang berada di bagian dalam rumahnya. Akhir-akhir ini kesehatannya seringkali terganggu." Dua orang itu lalu masuk ke dalam setelah mempersilakan Sin Hong duduk menanti di bangku yang terdapat di dalam kantor itu. Sin Hong duduk dan mengamati keadaan kantor itu.
Seingatnya, kantor ini dahulu lebih bersih dan lebih banyak mejanya, dan sedikitnya ada lima orang piauwsu yang duduk di situ melayani tamu. Juga ada sedikitnya lima orang kuli yang menerima barang-barang dan menyimpannya dalam gudang sebelum dikirimkan. Akan tetapi sekarang kantor itu kosong sama sekali tidak ada orangnya, dan meja yang terdapat di situ hanya dua, kini kosong.
Suara sepatu dari dalam membuat dia mengangkat muka memandang. Muncullah Tang-piauwsu. Dia masih ingat benar wajah itu, hanya kini nampak jauh lebih tua daripada delapan tahun yang lalu. Tubuh yang tinggi besar dari Tang Lun, demikian nama piauwsu itu, kini agak membungkuk, kumis dan jenggotnya tidak terpelihara dan biarpun usianya baru empat puluh tahun lebih sedikit rambutnya sudah banyak bercampur uban, mukanya memperlihatkan garis-garis pengalaman pahit yang dalam, dan yang lebih mengherankan hati Sin Hong adalah buntungnya telinga kiri piauwsu itu! Daun telinga kirinya tidak ada. Sin Hong cepat bangkit berdiri dan Tang-piauwsu yang mengira mendapat langganan baru, segera memberi hormat.
"Selamat pagi, Kongcu. Kongcu mencari saya" Sayalah Tang-piauwsu, dan kalau Kongcu membutuhkan pengawal....an."
"Paman Tang, lupakah Paman kepadaku" kata Sin Hong, suaranya agak menggetar karena keharuan. Orang ini pernah membela dia dan ibunya dari serangan gerombolan perampok berkedok. Melihat wajah orang ini, seketika lenyaplah keraguannya dan dia hampir yakin bahwa dugaan mendiang subonya itu keliru.
Orang tinggi besar dan telinga kirinya buntung itu memandang kepada Sin Hong penuh perhatian dan keraguan. Betapapun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu mengenal pemuda itu.
"Maaf.... maafkan saya yang sudah tua dan lemah ingatan, akan tetapi siapakah Kongcu...." katanya agak bingung.
Sin Hong tersenyum ramah sambil maju melangkah mendekati Tang Lun, kemudian berkata lembut, "Paman Tang Lun, aku adalah Sin Hong, Tan Sin Hong, sudah lupakah engkau"
Sepasang mata itu terbelalak dan wajah itu menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah, matanya memandang penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia menubruk Sin Hong dan menangis! Orang tua itu, yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang gagah perkasa, kini merangkul Sin Hong sambil menangis terisak-isak seperti anak kecil, Sin Hong membiarkan saja karena maklum bahwa agaknya baru sekarang orang ini memperoleh kesempatan melepaskan semua penanggungan batinnya melalui tangis, bukan hanya pelepas derita batin, akan tetapi juga mungkin karena keharuan, kekagetan dan kegembiraan melihat Sin Hong masih hidup. Akhirnya dia dapat juga bicara. Sambil memegang kedua pundak Sin Hong, dia mendorong halus dan mengamati wajah pemuda itu dengan air mata masih bercucuran. Bukan air mata buaya, pikir Sin Hong dan dia masih tetap percaya akan kejujuran orang tua ini.
"Sin Hong! Tan Sin Hongya Tuhan Yang Maha Kuasa! Siapa dapat percaya" Siapa dapat mengenalmu" Sudah bertahun-tahun aku menangisi kalian semua, ayahmu, ibumu, engkau sendiri. Siapa kira kini engkau muncul dalam keadaan selamat, masih hidup dan sudah dewasa" Ya Tuhan, apa saja yang telah terjadi denganmu, Nak" Bagaimana mungkin engkau masih dapat keluar dengan selamat dan di mana ibumu"
"Nanti dulu, Paman. Aku tentu akan menceritakan semua pengalamanku selama ini, akan tetapi lebih dulu aku ingin mendapatkan keterangan darimu tentang segala yang telah terjadi, segala urusan mengenai keadaan ayah pada delapan tahun yang lalu."
Orang itu mengangguk-angguk. "Baik, baik akan tetapi mari kita duduk, Sin Hong." Mereka duduk berhadapan dan Tang Lun menatap wajah pemuda itu dan berkata, "Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu dan menceritakan segala hal yang kuketahui dengan sebenarnya, terlebih dahulu aku ingin mengetahui satu hal. Jawablah, Sin Hong, katakanlah bagaimana keadaan ibumu. Melihat betapa sepasang mata itu memandang dengan penuh selidik, penuh harap dan penuh kecemasan, Sin Hong merasa tidak tega untuk membuat orang tua itu berada dalam keadaan bimbang dan gelisah.
"Paman Tang Lun, ibuku telah meninggal dunia, diserang badai di gurun pasir...."
"Ahhhhh....!" Tang Lun menutupi mukanya dengan kedua tangannya, kembali dia menangis! Sampai lama baru dia dapat bicara. "Aku yang berdosa, aku.... aku yang menyuruh engkau dan ibumu melarikan diri ke gurun pasir sehingga ibumu mendapatkan kematiannya di sana dan engkau.... ah, hanya berkat perlindungan Tuhan saja engkau masih dapat hidup sampai sekarang.... aih, Sin Hong, betapa aku selama ini membayangkan kengerian kalian di gurun pasir.... dan semua.... itu karena aku yang menyuruhmu...."
Sin Hong mengerutkan alisnya. Hemm, mengapa orang ini berkata demikian" Apa benar juga dugaan mendiang subonya" Dia merasa tegang, akan tetapi dapat menekan perasaannya. Dia harus menyelidiki semua ini dengan bebas. Setelah orang tua itu tenang kembali, mulailah dia bertanya.
"Paman. Tang Lun, sekarang aku minta dengan hormat agar engkau suka menjawab dan menceritakan seluruhnya secara jujur kepadaku. Aku berhak untuk mengetahui segala yang telah terjadi pada orang tuaku, bukan" Nah, pertama, ceritakanlah tentang kepergian ayah ke Tuo-lun, barang apa yang dikawalnya dan siapa menyuruhnya. Ceritakanlah dengan jelas dari awal, mulanya, Paman."
Peristiwa yang terjadi delapan tahun yang lalu itu selalu terbayang di dalam benak Tang Lun, maka tanpa banyak mengingat lagi dia pun bercerita, dengan lancar. Pada suatu hari, demikian dia bercerita, datanglah . seorang hartawan ke kantor ekspedisi Peng An Piauwkiok itu. Hartawan itu datang bersama empat orang pelayannya, dia seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah sekali dan keretanya pun indah. Dia mengaku sebagai seorang hartawan dari kota raja yang datang ke Ban-goan dengan maksud mengirimkan sebuah peti besar berisi emas permata yang harganya tidak kurang dari seratus kati emas. Hartawan itu mengaku she Lay dan selanjutnya disebut Lay-wangwe (hartawan Lay) yang katanya membuka toko rempah-rempah yang amat besar di kota raja. Karena peti itu berisi barang berharga, maka Tan-piauwsu menuntut biaya pengawalan yang besar, yaitu sepuluh kali emas atau sepersepuluh harga barang yang akan dikawalnya. Lay-wangwe sambil tertawa menyetujui dan mengatakan bahwa dia bahkan akan menambah jumlah itu dengan hadiah lain kalau barangnya itu tiba di tempat tujuan dengan selamat.
"Demikianlah Sin Hong. Karena barang itu amat berharga, ayahmu tidak tega menyerahkan pengawalannya kepada anak buah. Ayahmu berangkat mengawal sendiri bersama sepuluh orang anak buahnya yang terpilih dan urusan di sini diserahkan kepadaku." Tang-piauwsu melanjutkan keterangannya.
Sebulan kemudian setelah Tan-piauwsu mengawal kiriman berharga itu, datang utusan Tan-piauwsu yang mengabarkan bahwa dia telah tiba dengan selamat di kota Tuo-lun dan minta agar isteri dan puteranya menyusul ke Tuo-lun karena di kota itu sedang ada keramaian dan perayaan besar.
"Karena aku khawatir akan keselamatan ibumu dan engkau, maka aku sendiri yang mengawal kalian, akan tetapi ternyata diperjalanan kita diserang gerombolan berkedok itu dan selanjutnya engkau dan ibumu kusuruh menyelamatkan diri dari kejaran gerombolan dengan menunggang onta memasuki gurun pasir. Ah, peristiwa itu menghantui aku setiap malam selama ini, karena aku merasa seolah-olah aku menyuruh kalian berdua memasuki jurang kematian!"
"Nanti dulu, Paman. Siapakah orang yang mengirim berita dari ayah itu" Yang menyampaikan pesan ayah dari Tuo-lun"
"Aku sudah mencari orang itu namun tidak berhasil. Ketika dia datang melapor itu, aku sudah merasa heran mengapa Tan-toako tidak mengutus seorang di antara para anak buahnya, melainkan seorang yang asing dan tidak kukenal. Orang itu mengatakan bahwa dia adalah anggauta rombongan piauwsu yang mengawal barang dari Tuo-lun ke selatan, dan Tan-toako yang sudah mengenalnya, menitipkan pesan itu untuk kita."
"Dan engkau masih ingat orangnya" Wajahnya" Namanya"
Tang Lun menarih napas panjang dan menggeleng kepala. "Itulah kesalahan dan kecerobohanku. Karena tidak menduga buruk, aku lupa lagi akan namanya, dan wajahnya juga wajah orang biasa sehingga aku sudah tidak ingat lagi. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa dia adalah seorang anggauta gerombolan orang berkedok itu yang sengaja memancing kita melakukan perjalanan jauh itu."
Pada saat itu, dari luar muncullah seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun, orangnya bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat kekuningan akan tetapi sepasang matanya berkilat dan dia nampak cerdik dan gagah. Sebatang pedang tergantung dipunggungnya dan pakaiannya juga pakaian seorang piauwsu. Melihat orang ini, Sin Hong segera mengenalnya. Dia adalah Ciu-piauwsu, nama lengkapnya Ciu Hok Kwi, seorang di antara piauwsu-piauwsu pembantu ayahnya. Sebaliknya, Ciu Hok Kwi tidak mengenal pemuda yang sedang bercakap-cakap dengan Tang-piauwsu itu. Disangkanya seorang tamu biasa yang hendak mengirim barang, maka dia pun acuh saja.
"Paman Ciu!" Sin Hong menegurnya. Orang itu terkejut, memandang Sin Hong penuh perhatian dan pandang matanya mengandung keheranan karena dia tidak mengenal pemuda yang menyebutnya paman itu.
"Ciu-te, apakah engkau lupa kepadanya" Dia adalah Tan Sin Hong," kata Tang-piauwsu.
Sepasang mata yang bersinar itu terbelalak dan kini dia pun teringat. Kalau tadi dia seperti juga Tang-piauwsu, tidak ingat kepada Sin Hong adalah karena mereka sudah mengira bahwa Sin Hong telah tewas.
"Sin Hong....!" Ciu-piauwsu berseru dan cepat menghampiri, lalu memegang lengan pemuda itu. "Syukurlah, engkau masih selamat, masih hidup! Sungguh merupakan keajaiban! Dan bagaimana dengan ibumu"
"Ibu telah meninggal dunia diserang badai di gurun pasir."
"Ahhh....! Kasihan....!"
"Ciu-te, kebetulan engkau datang. Sin Hong sudah pulang dan dia minta keterangan tentang semua peristiwa yang terjadi, dan tadi aku sudah menceritakan tentang sebab keberangkatan ayahnya, kemudan tentang perjalanan dia dan ibunya yang kukawal. Kalau aku lupa dalam keteranganku, engkau dapat menambahkan."
Ciu Hok Kwi mengangguk dan duduk berhadapan dengan mereka. "Semua itu agaknya sudah direncanakan orang yang memusuhi keluargamu, Sin Hong," kata Ciu-piauwsu dengan suara penuh keyakinan.
"Aku pun sudah mengatakan demikian," sambung Tang-piauwsu.
"Nanti dulu, Paman berdua. Aku ingin mendengar cerita Paman Tang Lun tentang pengalamannya ketika aku dan ibu berpisah darimu, Paman. Ceritakanlah selengkapnya, karena mungkin keterangan Paman ini penting bagiku."
Tang Lun lalu melanjutkan ceritanya. Ketika dia mengawal nyonya Tan Hok dan Sin Hong, mereka dihadang perampok berkedok dan dia melakukan perlawanan mati-matian bersama dua belas orang anak buahnya. Namun, pihak perampok ternyata selain lebih banyak jumlahnya, juga lihai sekali sehingga satu demi satu anak buahnya roboh binasa.
"Melihat keadaan yang tidak menguntungkan dan berbahaya bagi kalian berdua, aku mengajak kalian melarikan diri dan karena para perampok berkedok itu melakukan pengejaran, aku mendapatkan binatang onta dan menyuruh kalian melarikan diri ke dalam gurun pasir, sedangkan aku lalu menanti para pengejar untuk melakukan perlawanan mati-matian dan membiarkan kalian menyelamatkan diri." Sampai di sini Tang-piauwsu diam dan meraba-raba telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi.
Tang Lun melakukan perlawanan mati-matian, dikeroyok banyak orang berkedok dan biarpun dia mengamuk dengan golok besarnya, akhirnya dia roboh pingsan karena luka-lukanya dan daun telinga kirinya putus.
"Ketika aku siuman, mereka sudah tidak ada. Ternyata mereka membiarkan aku hidup dan hanya membuntungi daun telinga kiriku! Ah, inilah yang membuatku menyesal bukan main, Sin Hong. Aku sudah menyuruh engkau dan ibumu lari ke gurun pasir karena khawatir kalau kita semua akan dibunuh. Ternyata mereka tidak membunuh aku, dan kalian....kalian sudah kusuruh memasuki gurun pasir dan ternyata ibumu tewas di gurun pasir!" Kedua mata kakek tua itu menjadi basah. Tentu ia menderita tekanan batin hebat sehingga dalam usia empat puluh tahun lebih dia sudah kelihatan seperti seorang kakek-kakek!
"Paman Tang, harap lanjutkan ceritamu. Setelah engkau siuman, lalu bagaimana" tanya Sin Hong, sejak tadi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah orang tua itu, memandang penuh selidik.
"Dalam keadaan luka-luka aku berusaha mencari kalian di gurun pasir, namun kehilangan jejak karena jejak onta itu dihapus oleh pasir yang tertiup angin. Karena aku menderita luka-luka, aku pun pulang ke Ban-goan dan setelah luka-lukaku sembuh, bersama Ciu-te ini aku pergi melakukan penyelidikan ke Tuo-lun. Ternyata ayahmu tidak pernah sampai ke Tuo-lun dan ketika kami menyelidiki, kami mendengar dari para piauwsu di sana bahwa ayahmu bersama sepuluh orang anak buahnya...." Tang Lun tidak dapat melanjutkan ceritanya, khawatir kalau Sin Hong akan terkejut mendengar nasib ayahnya.
"Paman Tang, aku sudah tahu bahwa ayah dan anak buahnya telah meninggal dunia, tewas dalam sebuah hutan di luar kota Tuo-lun."
"Aihhh.... engkau. sudah tahu pula" kata Tang Lun, agak lega hatinya karena dia tidak usah menceritakan lagi peristiwa yang menyedihkan itu. "Kami bersembahyang di depan makam ayahmu dan anak buahnya yang di jadikan satu dan menurut para piauwsu, jenazah mereka dikubur oleh seorang hwesio tua dibantu mereka. Kami tidak berani lancang memindahkan kuburan ayahmu ke sini, karena tidak ada lagi keluargamu di sini...."
"Selanjutnyabagaimana,Paman" desak Sin Hong.
"Lay-wangwe menuntut barang-barangnya yang berharga seratus kati emas itu! Tentu saja kami di sini tidak mampu mengembalikan harta sedemikian banyaknya. Hartawan itu lalu menyita semua barang. Semua barang yang berada di rumah orang tuamu dilelang dan dijual, akan tetapi tetap saja tidak mampu melunasi atau mengganti harga barang kiriman itu. Akhirnya tinggal rumah dan kantor ini, yang harus dijual pula. Untung ada Ciu-te ini yang mengusahakan pinjaman uang sebanyak dua ribu tail perak untuk membeli sendiri rumah dan kantor ini dan uangnya diserahkan kepada Lay-wangwe. Nah, kini Peng An Piauwkiok tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan rumah kantor ini pun menjadi hak milik seorang paman dari Ciu-te dengan perjanjian bahwa kalau dalam waktu sepuluh tahun tidak berhasil mengembalikan uang itu bersama bunganya yang layak, terpaksa akan diambil alih. Akan tetapi, sejak terjadi peristiwa itu, perusahaan kita tidak laku lagi. Orang mulai tidak percaya, apalagi ayahmu tidak ada sehingga kami benar-benar bangkrut. Dua tahun lagi paling lama, rumah dan kantor ini harus diserahkan kepada yang berhak." Tang Lun mengakhiri ceritanya dengan suara sedih. Akan tetapi Sin Hong tidak tertarik tentang rumah itu.
"Paman Tang dan Paman Ciu, kalian tadi mengatakan bahwa semua peristiwa itu pasti direncanakan orang-orang yang memusuhi ayah. Mengapa kalian dapat menduga demikian dan siapakah orang-orang yang memusuhi ayah"
"Sin Hong, peristiwa yang menewaskan ayahmu, juga dua puluh orang anggauta pengawal kita, bahkan telah membuat Peng An Piauwkiok bangkrut, tentu saja tidak kami diamkan. Malapetaka itu masih ditambah lagi dengan lenyapnya engkau dan ibumu. Kami, yaitu terutama sekali aku dan Ciu-te ini, berbulan-bulan lamanya melakukan penyelidikan untuk mengungkap rahasia itu. Kami telah menghubungi banyak piauwsu, bahkan kami memasuki daerah hitam untuk mencari keterangan dari para gerombolan perampok tentang gerombolan berkedok itu. Akan tetapi, semua usaha kami gagal. Tidak seorang pun tahu tentang gerombolan itu, bahkan tidak ada yang pernah mendengar ada gerombolan berkedok di daerah ini. Kami mengambil kesimpulan bahwa tentu gerombolan itu bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar sebagai perampok, oleh karena itu mereka memakai kedok agar muka mereka tidak dikenal."
Sin Hong dalam hatinya menyetujui. Memang perampok berkedok itu bukan perampok, pikirnya, melainkan para piauwsu yang menyamar perampok!
"Lalu siapakah menurut dugaan Paman yang mengatur semua itu"
"Setelah kami berdua menyelidiki, kami mengambil kesimpulan bahwa besar sekali kemungkinan yang mengatur semua ini adalah Kwee-piauwsu pemilik Ban-goan Piauwkiok!" kata Tang Lun dengan nada suara penuh keyakinan.
Sin Hong mengerutkan alisnya. Dia sudah berusia empat belas tahun ketika meninggalkan Ban-goan dan sebagai putera kepala piauwkiok, tentu saja dia tahu siapa Kwee-piauwsu itu. Ban-goan Piauwkiok merupakan saingan Peng An Piauwkiok dan dia pernah mendengar pula bahwa keluarga Kwee yang memimpin Ban-goan Piauwkiok memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi, selama itu dia hanya mendengar persaingan dalam perusahaan itu, maka tentu saja dia terkejut dan meragu mendengar bahwa keluarga Kwee yang mengatur semua rencana busuk untuk menghancurkan keluarganya dan membikin bangkrut Peng An Piauwkiok.
"Hemmm, dengan alasan apa maka Jiwi (Kalian) mempunyai dugaan seperti itu" tanyanya mendesak.
Ciu Hok Kwi membantu rekannya. "Kami berdua sudah melakukan penyelidikan secara mendalam dan kiranya tidak ada golongan lain yang dapat dicurigai kecuali keluarga Kwee dari Ban-goan Piauwkiok. Memang tidak dapat disangkal bahwa sebagai seorang piauwsu, mendiang ayahmu mempunyai banyak musuh diantara para perampok. Akan tetapi, tidak ada perampok yang mempergunakan cara seperti itu, berkedok pula. Biarpun kami belum memperoleh bukti meyakinkan, akan tetapi hanya keluarga Kwee saja yang mempunyai alasan kuat untuk melakukan semua itu. Pertama, anak buahnya menyamar sebagai perampok dan berkedok karena kalau tidak, tentu ayahmu, juga Tang-toako dan para anak buah piauwkiok kita akan mengenal mereka. Kedua, mereka tentu sudah mendengar bahwa kami memperoleh biaya besar, maka mereka merasa iri dan mereka melakukan penghadangan. Dengan demikian, mereka memperoleh banyak keuntungan, pertama mendapatkan harta besar itu dan kedua, menghancurkan kita sebagai saingannya yang terbesar di kota ini. Kemudian ketiga, hal ini pun hasil penyelidikan kami, dahulu, sebelum mendiang ibumu menjadi isteri mendiang ayahmu, pernah mendiang ibumu dipinang oleh Kwee Tay Seng, yaitu Kwee-piauwsu. Pinangan itu ditolak. Hal ini pun memperkuat alasan mengapa dia menghancurkan keluarga ayahmu."
Mendengar semua itu, Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya cocok keterangan itu dengan apa yang didengarnya dari anggauta perampok bahwa gerombolan berkedok itu tadinya merupakan rombongan piauwsu yang menyamar! Benarkah Kwee-piauwsu yang mengatur semua ini" Dia tidak sembrono. Harus diselidikinya lebih dulu sampai terdapat bukti. Tanpa bukti, tidak mungkin dia menuduh keluarga Kwee begitu saja.
"Akan tetapi, andaikata benar dia, setelah berhasil membunuh ayah dan merampas harta kiriman, mengapa pula dia menyerang engkau, Paman Tang" Dan mengganggu ibu dan aku."
"Mungkin untuk membasmi keluarga ayahmu, agar jangan menimbulkan balas dendam di kemudian hari, atau.... ah, entahlah. Betapapun aku yakin bahwa dialah yang melakukan semua ini."
"Akan tetapi, setelah engkau dikeroyok dan dikalahkan, kenapa engkau tidak dibunuhnya"
"Tadinya aku pun merasa heran, akan tetapi kemudian aku mengerti mengapa dia membiarkan aku hidup. Tentu agar aku dapat mengurus piauwkiok ini, memenuhi pertanggungjawabannya sehingga di mata masyarakat, piauwkiok ini menjadi bangkrut, dan mungkin agar aku menjadi saksi hidup bahwa yang menyerang adalah perampok-perampok berkedok, bukan anak buah piauwkiok itu. Ah, dia telah menyiksaku dengan membiarkan aku hidup, merasa berdosa dan menanggung malu karena piauwkiok menjadi begini...."
Sin Hong mengerutkan alisnya. Semua dugaan memang menuding ke arah Kwee-piauwsu dan biarpun belum ada bukti, namun hati siapapun memang condong untuk menuduh keluarga Kwee.
"Oya, Paman Tang. Lay-wangwe itu membuka toko rempah-rempah yang besar di kota raja" Tahukah engkau di jalan mana dia tinggal di kota raja dan bagaimana macam wajahnya"
"Ah, dia sama sekali tidak dapat kita curigai, Sin. Hong," kata Ciu-piauwsu. "Dia telah menderita rugi yang amat banyak. Harta kekayaannya yang berharga seratus kati emas itu, setelah dia menyita semua harta milik keluargamu, belum juga ada sepersepuluh bagian! Jadi, dalam urusan ini dia yang menderita rugi harta paling banyak dan kami tidak pernah mencurigai dia."
"Aku pun tidak mencurigai siapa-siapa selama belum ada bukti," kata Sin Hong, "Akan tetapi aku harus mengetahui dengan jelas semua orang untuk bahan penyelidikanku. Paman Tang di mana alamatnya dan bagaimana macamnya orang itu"
"Aku hanya dua kali bertemu dengan dia, Sin Hong. Pertama kali ketika dia datang membawa peti bersama beberapa orang pembantunya dengan naik kereta. Kemudian ketika dia datang untuk penggantian hartanya yang dirampok, kemudian dia menyerahkan pengurusan penggantian itu kepada pengawalnya. Menurut keterangan pegawainya, Lay-wangwe memiliki toko rempah-rempah besar di Jalan Singa Batu, dan rumahnya seperti istana. Adapun wajah dan bentuk badannya tidak sukar untuk dikenal, tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali, kepalanya bundar dan matanya lebar, memakai gigi emas, hidungnya besar dan mulutnya selalu tersenyum-senyum menyeringai, apalagi kalau berhadapan dengan wanita seperti yang kulihat ketika dia berkunjung dan melihat wanita lewat di depan pintu. Dia termasuk laki-laki yang memiliki ciri mata keranjang. Usianya ketika itu tiga puluh tahunan, jadi sekarang, sudah hampir empat puluh tahun."
"Terima kasih, Paman. Keterangan itu sudah cukup bagiku," kata Sin Hong.
"Sin Hong, kupikir apa yang dikatakan Ciu-te tadi benar. Engkau hanya akan membuang waktu sia-sia belaka kalau menyelidiki keadaan Lay-wangwe, bahkan kalau engkau muncul dan dia tahu bahwa engkau putera Tan-toako, tentu dia akan marah-marah karena diingatkan akan kerugiannya. Mungkin dia akan menuntut penggantian darimu karena engkau adalah putera Tan-toako. Sebaiknya kalau engkau menyelidiki Kwee-piauwsu. Dia amat mencurigakan dalam hubungan ini karena ada satu hal yang perlu kauketahui. Akan tetapi biarlah nanti saja kuceritakan kepadamu."
Sin Hong merasa heran sekali karena dia melihat betapa pandang mata Tang-piauwsu mengerling ke arah Ciu-piauwsu, seolah-olah hendak memberi tanda bahwa dia tidak ingin apa yang hendak diceritakan kepada Sin Hong itu terdengar oleh orang lain. Agaknya Ciu-piauwsu tidak tersinggung atau tidak memperhatikan ucapan Tang-piauwsu itu. Malam itu, setelah makan malam dan berganti pakaian, Sin Hong beristirahat di dalam kamarnya. Di dalam kamar itu, kamarnya sendiri di waktu dia belum meninggalkan tempat ini, akan tetapi kamar yang sudah kosong dan hanya terdapat sebuah dipan sederhana, dia merebahkan diri sambil termenung. Langit-langit kamar itu masih sama seperti dulu, dicat biru namun catnya sudah luntur dan terdapat noda-noda bekas air hujan yang bocor. Dia merasa terharu karena kamar ini sama sekali tidak asing, bahkan dia merasa akrab rebah di situ. Karena lelah, juga karena batinnya lelah pula setelah banyak berpikir, dia pun tertidur dan malam pun mulai makin menghitam dan makin sepi.
*** Manusia hidup tak mungkin terbebas dari persoalan karena hidup berarti komunikasi antara manusia, berarti pergaulan di masyarakat ramai dan dalam setiap persoalan sudah pasti kadang-kadang terjadi pergesekan-pergesekan atau pertentangan pendapat yang menimbulkan persoalan. Juga dalam kehidupan manusia menghadapi pula peristiwa-peristiwa yang menempatkan dirinya berhadapan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dengan hal-hal yang mengancam, dengan kehilangan-kehilangan dan sebagainya, yang tentu saja menimbulkan masalah atau persoalan yang kita namakan problem. Hidup ini seolah-olah menjadi ladang di mana problem tumbuh seperti jamur di musim hujan, tiada hentinya, sejak kecil sampai tua dan mati, sejak pagi bangun tidur sampai menjelang pulas di malam hari! Benarkah hidup harus begini" Tidak dapatkah kita terbebas dari problem, dari persoalan"
Selama kita masih hidup, tidak mungkin kita terhindar dari persoalan karena persoalan merupakan peristiwa yang terjadi setiap saat, dalam pekerjaan, dalam hukuman antara keluarga, antara sahabat, bahkan dalam permainan selalu timbul problem. Namun, kalau kita mau mengkaji dengan seutuhnya, atau lebih tepat lagi, kalau kita mau membuka mata dengan waspada, mengamati segala peristiwa yang terjadi tanpa penilaian, tanpa prasangka, tanpa gambaran bahwa aku diuntungkan atau dirugikan, kalau kita menghadapi segala peristiwa yang terjadi sebagai suatu fakta, suatu kenyataan yang sedang terjadi dan tidak dapat diubah oleh apa pun juga, maka akan nampaklah oleh kita bahwa sesungguhnya problem itu tidak ada. Problem dalam hal ini diartikan sebagai masalah yang menyusahkan, menyulitkan atau merugikan diri kita. Peristiwa yang terjadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan problem dan problem itu baru ada kalau memang kita problemkan, kita adakan! Yang kita anggap sebagai problem biasanya adalah sesuatu yang menimbulkan rasa khawatir atau takut, sesuatu yang kita anggap amat merugikan, sesuatu yang mengancam, dan sesuatu yang melenyapkan sumber kesenangan kita. Segala macam peristiwa, baik yang kita anggap menyenangkan atau menyusahkan, adalah suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu proses yang terjadi karena suatu sebab, dan karena merupakan fakta yang wajar dan di situ tidak ada susah atau senang, untung atau rugi. Baru setelah kita menilai, berdasarkan untung rugi bagi diri sendiri, maka fakta itu kita nilai sebagai baik atau buruk, menguntungkan atau merugikan, dan yang merugikan, yang buruk, kita jadikan sebagai suatu problem. Contohnya demikan. Hujan datang. Ini wajar. Ini kenyataan, fakta yang sedang terjadi dan tak dapat diubah oleh siapapun. Ini suatu proses dari sebab-sebab tertentu. Tidak ada untung atau rugi dalam hujan, tidak ada baik maupun buruk. Akan tetapi, kita menghadapinya dengan si aku menilai-nilai. Si penjemur terigu merasa dirugikan dan menyumpah-nyumpah, atau menangis karena terigunya rusak dan dia menderita rugi banyak, sebaliknya si petani yang memang membutuhkan air hujan bagi tanahnya, memuja dan memuji Tuhan, berterima kasih dan tertawo-tawa karena peristiwa itu menguntungkan dirinya! Jelaslah bahwa hujan itu tetap hujan, suatu peristiwa yang wajar, namun menjadi problem atau tidak tergantung kepada kita sendiri yang menilainya. Jelas bahwa problem itu tidak ada kalau tidak kita adakan sendiri!
Demikian pula dengan peristiwa apa pun juga di dunia ini. Jatuh sakit, itu pun suatu kenyataan yang wajar, suatu proses yang bersebab. Kalau kita menerimanya dengan pengamatan yang waspada, menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup, tanpa menilai, maka batin kita tidak menjadi keruh oleh suka duka, dan kita dapat bertindak berdasarkan kebijaksanaan untuk menanggunglangi sakit yang datang itu. Sampai kepada kematian seseorang. Kita hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, suatu proses bersebab, dan kita tidak akan diseret oleh duka melainkan dapat bertindak dengan bijaksana. Kalau sudah begini, akan nampaklah oleh kita bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah pasti bersebab, dan segala sesuatu yang terjadi adalah suatu kewajaran, dan di dalam setiap peristiwa itu terdapat suatu pelajaran, suatu hikmah yang amat berharga! Tinggal kita mau membuka mata dengan waspada atau membutakan mata dengan tangis dan rintihan.
Sin Hong adalah seorang yang sejak kecilnya mengalami banyak hal-hal yang amat hebat dan dipandang sepintas lalu, tentu saja semua peristiwa itu amat merugikan dirinya. Ayahnya dibunuh orang, ibunya juga tewas secara menyedihkan, kemudian tiga orang gurunya sekaligus, terbunuh orang pula. Semua itu terjadi tanpa dia dapat menolong. Akan tetapi, gemblengan tiga orang sakti membuat dia menjadi seorang pemuda yang kuat lahir batin, tidak mudah terseret si aku yang selalu ingin menang sendiri. Hal ini menjauhkan perasaan dendam dari batinnya dan kalau dia menyelidiki tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, hal itu dilakukan tanpa perasaan dendam dan benci, melainkan sebagai pemenuhan tugas seorang pendekar yang harus menentang kejahatan. Orang-orang yang menghancurkan keluarga ayahnya amatlah jahat, dan dia ingin tahu apa yang menyebabkan mereka melakukan semua kejahatannya.
Malam itu sunyi sekali dan biarpun Sin Hong tidur pulas karena lahir batin, sedikit suara yang tidak wajar cukup untuk membuatnya terbangun dengan kaget. Dia mendengar gerakan tidak wajar di atas genteng rumah itu dan mendengar pula suara orang merintih. Hal ini sudah cukup membuat dia sadar sepenuhnya dan di lain saat tubuhnya sudah meloncat keluar dari dalam kamar, keluar dan langsung dia meloncat naik ke atas genteng. Malam itu gelap, hanya diterangi cahaya ribuan bintang, namun cukup terang baginya untuk melihat berkelebatnya bayangan orang yang berlari di atas wuwungan.
"Heiii, berhenti dulu!" Sin Hong meloncat dan mengejar. Bayangan hitam itu tiba-tiba membalik dan ternyata dia mengenakan kedok hitam, dan begitu Sin Hong tiba dekat, dia sudah menyambutnya dengan serangan totokan pada ulu hati Sin Hong. Gerakannya demikian cepat dan mengandung hawa pukulan dahsyat yang mengejutkan Sin Hong. Pemuda ini cepat menangkis sambil memutar telapak tangan untuk menangkap lengan orang.
"Plakkk.... brettt!" Bayangan itu tertangkap lengannya, akan tetapi lengan itu dibetot dan lengan bajunya saja yang robek dan tertinggal di tangan Sin Hong. Orang berkedok itu meloncat dari atas wuwungan, melayang masuk ke dalam malam gelap diantara pohon dan rumah tetangga dan lenyap. Sin Hong tidak mengejar karena dia belum tahu siapa orang itu dan apa maksudnya malam-malam datang ke rumahnya. Karena tidak tahu, maka tadi pun dia tidak turun tangan secara keras, hanya berusaha menangkap saja namun gagal dan hal itu saja sudah membuktikan bahwa bayangan hitam itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena khawatir mendengar suara rintihan tadi, Sin Hong cepat meloncat turun kembali ke dalam rumah, langsung menuju ke kamar Tang-piauwsu karena di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua.
Daun pintu kamar itu terbuka lebar dan suara rintihan lemah masih terdengar dari sebelah dalam kamar. Cepat Sin Hong meloncat masuk. Kamar itu remangremang, diterangi sebatang lilin di atas meja di sudut. Sin Hong melihat sesosok tubuh menggeletak di atas lantai, berlumuran darah dan orang itu bukan lain adalah Tang-piauwsu!
"Paman....!" Seru Sin Hong sambil menghampiri dan berlutut, cepat memeriksa keadaan orang itu. Luka di dadanya amat parah dan tahulah dia bahwa tidak ada harapan lagi bagi Tang Lun.
"Paman, siapa yang melakukan ini"
Dengan napas terengah Tang Lun menjawab, "....tidak.... tahu.... amat cepat.... berkedok.... Sin Hong...."
Sin Hong cepat menotok beberapa jalan darah di dada dan pundak. Totokan ini menolong mengurangi rasa nyeri, sesak, dan Tang Lun melanjutkan kata-katanya, agak lancar. "Sin Hong dahulusebelum dilamar ayahmu ibumu pernah saling mencinta dengan Kwee Tay Seng...."
"Paman, siapa yang melakukan ini terhadap Paman" Siapa yang menyerang tadi" Seorang berkedok, akan tetapi siapa kiranya dia, Paman"
"Entahlah". luar biasa lihainya...." Tang Lun tidak kuat lagi, lehernya terkulai dan nyawanya melayang.
Sin Hong mengepal tinju. Tang Lun tidak mengenal pembunuh itu! Dia merasa yakin bahwa tentu pembunuh itu ada hubungannya dengan mereka yang membasmi keluarganya. Dia merasa menyesal sekali mengapa tadi tidak dikejarnya orang berkedok itu dan menawannya. Akan tetapi, dia sama sekali tidak membayangkan bahwa orang berkedok ini telah membunuh Tang Lun. Dan Tang Lun hanya memberi tahu bahwa ibunya pernah saling cinta dengan Kwee Tay Seng, atau Kwee-piauwsu, orang yang dicurigai oleh Tang Lun dan Ciu Hok Kwi sebagai pembasmi keluarganya. Agaknya itulah yang hendak diceritakan kepadanya namun ditahannya, sore tadi di depan Ciu-piauwsu. Hemmm, apakah karena cintanya terhadap ibunya gagal oleh karena ibunya menikah dengan ayahnya lalu orang she Kwee itu menjadi marah dan menaruh dendam kepada ayahnya" Jadi ibunya mencinta laki-laki itu, akan tetapi kakeknya dahulu menolak pinangan keluarga Kwee!
Pada keesokan harinya, ketika mendengar akan peristiwa itu, Ciu Hok Kwi datang dan dia pun berlutut dan menangisi jenazah Tang Lun. Kemudian ketika jenazah itu dimasukkan peti oleh para piauwsu lainnya yang datang berlayat, bersama para tetangga, setelah diperiksa oleh pembesar yang berwenang untuk itu, Ciu Hok Kwi bersembahyang dengan suara cukup nyaring,
"Tang-toako! Kita yakin bahwa yang melakukan ini tentulah pembunuh Tan-toako pula, yaitu anjing she Kwee. Tenangkanlah rohmu, Toako, karena sekarang juga aku, Ciu Hok Kwi, akan menuntut balas kepada anjing she Kwee itu!" Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar Ciu Hok Kwi lalu pergi meninggalkan rumah itu. Semua orang memandang dengan gelisah, dan Sin Hong lalu melangkah keluar pula dari rumah itu, diam-diam membayangi Ciu Hok Kwi yang pergi dengan muka merah dan sikap marah. Dia ingin sekali melihat apa yang hendak dilakukan oleh piauwsu itu. Dan seperti yang sudah diduga dan dikhawatirkannya, Ciu Hok Kwi langsung saja menuju ke rumah Kwee Tay Seng, pemimpin Ban-goan Piauwkiok. Beberapa orang piauwsu segera keluar dari kantor perusahaan itu menyambut kedatangan Ciu Hok Kwi dengan sikap heran.
"Aku ingin berjumpa dan bicara dengan Kwee Tay Seng!" demikian Ciu Hok Kwi berkata lantang, dengan sikap marah. Selagi para piauwsu memperlihatkan sikap kurang senang, tiba-tiba dari dalam muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Dari belakang batang pohon tak jauh dari situ, Sin Hong menonton dan kehadirannya tidak menarik perhatian karena di tempat itu sudah berkumpul beberapa orang yang tertarik melihat ribut-ribut itu. Sin Hong masih dapat mengenal Kwee-piauwsu. Masih nampak gagah dan tampan, bertubuh tinggi besar dan berdada bidang. Seorang laki-laki yang jantan dan gagah, dan kini dia memandang dengan penilaian lain karena teringat bahwa laki-laki ini pernah saling mencinta dengan ibunya di waktu masih muda. Seorang pria yang ganteng, dan tidak heran kalau ibunya pernah saling mencinta dengannya.
"Kiranya Ciu Piauwsu yang datang berkunjung," kata Kwee-piauwsu dengan sikap ramah dan pandang matanya tajam penuh selidik. "Silakan masuk dan mari kita bicara di dalam."
"Tidak perlu masuk, di sini pun cukup." Ciu Piauwsu berkata dengan suara membentak marah. "Kwee Tay Seng, aku datang untuk menuntut balas atas kematian saudara-saudaraku Tan Hok dan Tang Lun! Majulah dan mari kita membuat perhitungan dengan senjata!" Tangan kanannya bergerak dan Ciu piauwsu telah menghunus pedang yang bergantung di punggungnya.
Sin Hong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak setuju melihat sikap Ciu Hok Kwi walaupun orang itu menyatakan hendak membalas dendam atas kematian ayahnya dan Tang-piauwsu. Ciu Hok Kwi dianggapnya terlalu kasar dan sembrono, padahal sama sekali belum ada bukti nyata bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh Kwee Piauwsu. Dia pun hanya menonton saja, akan tetapi diamdiam dia pun siap untuk melindungi keselamatan Ciu Hok Kwi kalau sampai terancam bahaya maut.
Akan tetapi Kwee Piauwsu kelihatan heran mendengar tantangan dan melihat sikap Ciu Hok Kwi. "Hemmm, Ciu Hok Kwi, sungguh sikapmu ini membuat kami merasa bingung dan tidak mengerti. Saudara Tan Hok telah tewas dalam tugasnya, beberapa tahun yang lalu, dan kini yang melanjutkan perusahaan Peng An Piauwkiok adalah saudara Tang Lun. Bagaimana engkau kini mengatakan hendak membalaskan kematian saudara Tang Lun" Dan mengapa pula kepadaku"
"Orang she Kwee, tidak perlu lagi berpura-pura! Orang lain boleh jadi tidak tahu, akan tetapi aku yakin bahwa yang membunuh Tang-toako malam tadi adalah engkau! Dan dahulu pun yang melakukan pencegatan, merampas barang kiriman dan membunuh Tan-toako adalah engkau pula dan anak buahmu. Nah, sekarang aku membuat perhitungan, hadapi pedangku kalau memang engkau laki-laki sejati! Jangan bertindak dalam rahasia, memakai kedok segala!"
Melihat sikap ini, para piauwsu anak buah Kwee Piauwsu menjadi marah dan beberapa orang sudah mencabut senjata hendak menyerangnya. Melihat ini, Kwee Piauwsu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur.
"Jangan kalian mencampuri urusan ini, biar aku sendiri yang menghadapi Ciu-piauwsu." kemudian dia melangkah maju menghadapi Ciu Hok Kwi dengan sikap tenang, akan tetapi mukanya menjadi merah karena marah.
"Ciu-piauwsu, semua tuduhanmu tadi merupakan fitnah yang amat keji! Aku sama sekali tidak tahu bahwa Tang-piauwsu semalam dibunuh orang, dan aku pun sama sekali tidak tahu-menahu tentang kematian Tan-piauwsu beberapa tahun yang lalu. Apa buktinya bahwa aku melakukan pembunuhan-pembunuhan itu" Jangan engkau melempar fitnah seenak perutmu sendiri tanpa bukti!"
"Buktinya" Engkau adalah saingan paling besar dari perusahaan kami, dan engkau pun saingan mendiang Tan-toako dalam merebut hati wanita. Engkau mendendam padanya dan karena itu sudah jelas engkau yang melakukan semua pembunuhan itu!"
"Keparat!" Kwee-piauwsu menjadi marah karena urusan pribadi tentang cintanya terhadap mendiang isteri Tan-piauwsu diungkit-ungkit oleh orang itu. "Aku tidak melakukan pembunuhan itu, akan tetapi jangan dikira aku takut menghadapi tantanganmu yang ngawur dan tak berdasar!" Berkata demikian, piauwsu yang tinggi besar itu melolos sabuknya dan sabuk itu ternyata sebuah sabuk rantai baja yang tebal dan panjangnya hampir satu setengah meter. Melihat lawannya sudah mengeluarkan senjatanya, Ciu Hok Kwi segera menerjang dengan pedangnya sambil membentak.
"Mampuslah!"
Akan tetapi, Kwee Tay Seng adalah seorang ahli silat Bu-tong-pai yang lihai sekali. Tangannya bergerak dan rantai baja itu membentuk sinar bergulung menangkis serangan pedang yang ditusukkan oleh lawan.
"Tranggg....!" Nampak bunga api berhamburan ketika pedang bertemu rantai dan keduanya melangkah ke belakang, merasakan betapa tangan mereka tergetar hebat oleh pertemuan kedua senjata itu, tanda bahwa masing-masing memiliki tenaga yang amat kuat.
Ciu Hok Kwi menerjang lagi dan mengirim serangan-serangan dahsyat dengan pedangnya, dan harus diakui bahwa permainan pedang orang she Ciu ini cukup lihai. Kwee-piauwsu tidak berani memandang rendah. Dia menangkis, dan membalas dengan serangan rantainya. Segera kedua orang itu terlibat dalam perkelahian yang seru dan mati-matian.
Dari belakang batang pohon, kini Sin Hong telah maju bercampur dengan orang-orang yang nonton, tak jauh dari tempat perkelahian. Tadinya dia siap untuk melindungi Ciu-piauwsu, akan tetapi segera dia mendapat kenyataan yang mengagum kan bahwa tingkat kepandaian Ciu-piauwsu tidak kalah dibandingkan dengan tingkat lawan. Karena itu, legalah hatinya dan dia pun mengikuti jalannya perkelahian itu, siap untuk mencegah apabila seorang di antara mereka terancam bahaya maut. Biarpun dia berdiri di bagian terdepan, dia tidak takut dikenal orang karena baru kemarin dia tiba di Ban-goan dan tidak ada orang mengenal dia.
Perkelahian itu berlangsung semakin seru dan makin banyak orang datang menonton. Para anggauta piauwsu anak buah Kwee-piauwsu membuat pagar untuk menghalangi para penonton mendekat dan di antara para penonton banyak yang membicarakan perkelahian itu dengan dugaan-dugaan mereka. Sin Hong tentu saja memasang telinga mendengarkan dan percakapan dua orang di sebelahnya menarik perhatiannya.
"Hebat sekali orang itu, dapat menandingi Kwee-piauwsu, siapakah dia itu"
"Apakah engkau tidak tahu" Dia adalah orang ke dua dari Peng An Piauwkiok setelah Tang-piauwsu."
"Akan tetapi mengapa dia datang dan menyerang Kwee-piauwsu"
"Biasa, orang dagang. Tentu karena persaingan."
Karena Sin Hong menoleh, maka dalam waktu beberapa detik lamanya perhatiannya terpecah dan dia tidak melihat betapa pada saat itu rantai di tangan Kwee-piauwsu mengenai lengan kanan Ciu-piauwsu. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Kwee-piauwsu sudah cepat menyusulkan sebuah tendangan yang mengenai lutut Ciu Hok Kwi dan membuatnya roboh terlentang! Akan tetapi Kwee Tay Seng tidak menyerang lagi, melainkan berdiri saja memandang kepada lawan yang sudah dikalahkannya.
Sin Hong sempat melihat betapa kekalahan Ciu Hok Kwi itu karena kesalahan sendiri. Agaknya orang ini terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga menerima sambaran rantai itu dengan lengannya, agaknya dengan niat untuk dapat membalas secepatnya. Akan tetapi ternyata pukulan rantai itu membuat pedangnya terlepas dan tendangan lawan tak dapat dielakkannya lagi. Akan tetapi Ciu Hok Kwi sudah memungut pedangnya, bangkit berdiri dan memandang kepada bekas lawannya dengan mata melotot.
"Hari ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain hari aku akan datang menebus kekalahan ini!" Setelah berkata demikian, tanpa pamit lalu dia lalu pergi dengan langkah agak terpincang.
"Hei, orang she Ciu!" Kwee Tay Seng berseru ke arah lawan yang sudah berjalan pergi itu. "Demi Tuhan aku tidak melakukan apa yang kau tuduhkan itu!"
Akan tetapi Ciu Hok Kwi tidak peduli dan terus saja melangkah pergi. Setelah perkelahian itu selesai, orang-orang bubaran, termasuk Sin Hong yang merasa lega juga melihat kesudahan perkelahian itu. Biarpun kalah, Ciu-piauwsu tidak terluka parah. Bahkan kekalahan itu perlu sebagai pelajaran kepada Ciu Hok Kwi untuk kelancangannya. Akan tetapi, setelah melihat sikap Kwee Tay Seng, dalam hatinya Sin Hong merasa semakin kurang yakin bahwa orang she Kwee itu yang merencanakan pembunuhan terhadap keluarganya. Orang itu memperlihatkan sikap yang demikian gagah. Orang seperti itu kalau menghadapi urusan, kiranya akan merasa malu mempergunakan cara-cara yang curang. Sikapnya terhadap Ciu Hok Kwi tadi saja sudah menunjukkan kegagahannya.
Setelah dia tiba di rumah kembali, Ciu-piauwsu telah berada di situ dan nampak murung. "Eh, Paman Cui, engkau pergi ke mana sajakah" Sin Hong bertanya, pura-pura tidak tahu akan peristiwa yang terjadi di depan perusahaan Ban-goan Piauwkiok tadi.
"Aku pergi menemui Kwee Tay Seng dari Ban-goan Piauwkiok dan membuat perhitungannya dengan dia. Akan tetapi, dia terlampau lihai dan aku kalah."
Diam-diam Sin Hong merasa kasihan juga kepada orang yang dengan jujur mengakui kekalahannya itu. Biarpun lancang dan kasar, namun bagaimanapun juga orang ini ingin menuntut balas atas kematian ayah ibunya, juga kematian Tang Lun. Sin Hong tidak banyak bertanya dan mereka lalu mengurus penguburan jenazah Tang-piauwsu.


Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah pemakaman selesai, Ciu-piauwsu mengajak Sin Hong berbincang-bincang tentang Peng An Piauwkiok. Bagaimana baiknya sekarang setelah Tang-piauwsu meninggal dunia dan apa yang akan dilakukan pemuda itu selanjutnya.
"Paman Ciu, rumah dan kantor ini sudah digadaikan dan tinggal kurang dari dua tahun lagi masanya akan habis. Aku tidak suka melanjutkan pekerjaan ayah, dan tidak sanggup untuk mengembalikan uang pinjaman. Karena itu, terserah kepadamu, akan kaulanjutkan perusahaan ekspedisi ini ataukah akan ditutup saja. Dan rumah ini boleh kauserahkan saja kepada yang berhak, yaitu si pemilik uang yang telah memberi pinjaman kepada mendiang Tang-piauwsu untuk mengganti kerugian."
"Aku akan melanjutkan Sin Hong Piauwkiok ini dengan susah payah dibangun oleh mendiang Tan-toako, masa harus ditutup begitu saja" Biarlah aku yang kelak membayar hutang itu. Akan tetapi, karena nama Peng An Piauwkiok sudah kurang dipercaya pedagang, nama piauwkiok ini akan kuganti dan akan kuperbaharui segala-galanya. Pemilik uang itu adalah seorang hartawan yang menjadi sahabat baikku, tentu aku akan dapat meminjam modal dan kelak aku akan menebus rumah dan kantor ini.
Akan kusaingi Ban-goan Piauwkiok!" katanya penasaran.
Sin Hong mengangguk. "Terserah kepadamu, Paman. Aku tidak akan mencampuri urusan Piauwkiok. Bahkan aku akan pergi sekarang juga."
"Ke mana Sin Hong"
"Ke mana saja, Paman. Aku ingin merantau," kata Sin Hong, tidak mau memberitahukan keinginannya untuk melanjutkan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu. Dia masih merasa bingung karena setelah melihat sikap Kwee-piauwsu, dia seperti kehilangan pegangan. Kalau bukan orang she Kwee itu yang merencanakan semua pembunuhan itu, lalu siapa lagi" Dan siapa pula orang berkedok yang membunuh Tang Lun" Orang berkedok itu lihai sekali, hal ini dapat diketahuinya ketika dia gagal menangkap lengannya, hanya mendapatkan potongan lengan baju. Akan diselidikinya sampai dia dapat membongkar rahasia itu, pikirnya. Dan dia tidak yakin akan keterlibatan Kwee-piauwsu, namun dia tetap akan menemui piauwsu itu dalam penyelidikannya.
Pada hari itu juga, Sin Hong berpamit dan meninggalkan Ciu Hok Kwi, membawa buntalan pakaian dan sisa bekal uang yang dirampasnya dari kepala perampok. Ciu Hok Kwi dengan wajah duka, mengantarnya sampai ke pintu gerbang kantor Piauwkiok yang sudah butut itu. Mereka pun berpisah.
*** Kota Sang-cia-kou terletak di sebelah selatan kota Ban-goan, juga Tembok Besar berdiri megah di luar kota ini yang merupakan perbatasan pula antara Propinsi Ho-pei dan Mongol. Dari kota inilah dahulu tentara Mancu banyak yang menerobos melewati Tembok Besar.
Di sebuah lereng bukit yang berdiri di luar kota Sang-cia-kou terdapat sebuah perkampungan dengan bangunan-bangunan besar seperti benteng. Dari tempat ini, kota Sang-cia-kou dapat dilihat dengan jelas dan seluruh penduduk Sang-cia-kou dan sekitarnya mengenal belaka bangunan besar itu, yang nampak seperti benteng di lereng bukit. Perkampungan itu adalah tempat perkumpulan Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) yang amat terkenal sebagai perkumpulan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki pula watak yang keras dan menjagoi di seluruh daerah itu. Bukan hanya karena ketuanya dan anak buahnya berwatak keras dan berkepandaian tinggi yang membuat orang-orang merasa jerih, melainkan karena perkumpulan itu pun dilindungi oleh pemerintah. Perkumpulan Tiat-liong-pang telah berjasa kepada pemerintah Mancu, ketika pasukan Mancu menyerbu ke selatan, banyak memperoleh bantuan dari perkumpulan ini. Oleh karena itu, setelah pemerintah Mancu yaitu Dinasti Ceng berkuasa, tentu saja perkumpulan ini dianggap berjasa dan dilindungi oleh pemerintah. Hal ini membuat Tiat-liong-pang menjadi sebagai perkumpulan yang kaya dan berpengaruh. Perkumpulan ini bergerak di bidang keamanan dan dengan dalih menjaga keamanan, perkumpulan ini minta sumbangan-sumbangan besar dari para hartawan dan pedagang yang selalu memenuhi tuntutan mereka demi keamanan!
Pada waktu itu, setelah dipegang secara turun-temurun, Tiat-liong-pang jatuh ke tang
Dendam Iblis Seribu Wajah 24 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Kembar 10
^