Peristiwa Burung Kenari 4

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Bagian 4


di taman kembang ini amat subur dan lebat, sekelilingnya sunyi
sepi tidak kelihatan bayangan seorangpun. yang terdengar hanya desiran
angin kencang dari samberan pedang didalam kamar. begitu cepat dan
ramai suara terdengar adanya suara benturan keras. Dari sini dapatlah
dibayangkan betapa hebat, rapat dan lincah kombinasi permainan ke enam
orang, kiranya memang sudah mencapai puncaknya.
Tak tertahan Oh Thi-hoa berpaling ke dalam lewat jendela, tampak
samberan sinar pedang yang menjadi tabir kemilau itu semakin lama
semakin rapat dan ketat, tak tampak sedikitpun lubang kelemahannya.
Sungguh dia tidak habis mengerti, bagaimana Coh Liu-hiang bisa membobol
kepungan tabir cahaya kemilau ini, lolos dari kepungan barisan pedang,
kakinya jadi sulit bergerak melihat keadaan kawannya yang terkepung
begitu mengenaskan. Dalam hati dia berusaha memberi penjelasan kepada
diri sendiri: "Perkampungan ini begini luas, untuk menemukan tiga orang,
sungguh umpama mencari jarum di lautan, yang terang aku tak mungkin
bisa menemukan mereka, lebih baik aku tetap tinggal di sini menemani dia,
jikalau memang dia tak kuat melawan, mungkin aku bisa memberi
bantuanku."
Angin pagi menghembus sepoi-sepoi membawa harum kembang, dedaunan
pohon bergoyang gontai melambai lambai. Tata tertib dalam perkampungan
besar milik keluarga besar persilatan ini agaknya amat keras, di sini
terjadi peristiwa besar seperti ini, pasti takkan ada seorangpun yang
berani datang melihat keramaian.
Dikejauhansana tampak asap mengepul melalui celah-celah daun pohon,
lapat-lapat terendus oleh Oh Thi-hoa bau masakan bubur yang sedap untuk
makan pagi, terang di sebelahsana adalah dapur yang sedang menyiapkan
hidangan pagi dan kebetulan sudah beres.
Perduli terjadi peristiwa besar apapun, orang-orang penghuni Yong-cuisan-
cheng, tiada yang berani merubah tata-tertib yang sudah merupakan
kerja mereka sehari-hari. tiada seorangpun yang berani meninggalkan
tugas yang harus dia kerjakan.
Oh Thi-hoa geleng-geleng kepala sambil menghirup napas panjang, terasa
bau masakan bubur semakin sedap dan merangsang seleranya, baru
sekarang ia menyadari bahwa perutnya sudah kelaparan. Kebetulan dalam
hatinya timbul suatu pikiran: "Peduli dalam keadaan yang bagaimanapun
seseorang harus tangsel perut." bukan saja orang-orang penghuni Yongcui-
san-ceng harus makan, maka Soh Yong-yong dan lain-lain pun harus
makan pula. Li Giok-ham suami istri menawan mereka sebagai sandera untuk menekan
dan mengancam Coh Liu-hiang, pasti mereka tidak akan dibiarkan
kelaparan, paling tidak setiap pagi pasti diberi makan.
Asap dapur itu membumbung tinggi di sebelah belakang paya-paya
kembang seruni di sebelah timursana . Oh Thi hoa segera kembangkan
Ginkangnya melesat ke arahsana .
Di belakang paya-paya kembang ternyata adalah pagar tembok yang
mengelilingi taman bunga ini, dibalik dinding sanapun terdapat beberapa
petak pekarangan, di sana banyak dijemur pakaian yang baru saja dicuci,
disamping kanan kiri terdapat dua baris bangunan petak-petak rumah,
terang disanalah tempat tinggal para kaum hamba dari Yong-cui-san-ceng,
tatkala itu kebetulan ada beberapa orang sedang duduk di bawah emperan
rumah, mengasah golok menggosok tombak dan membersihkan alat senjata
lainnya. Beberapa laki-laki yang bertelanjang dada sedang bergaya latihan kunthau
ditengah pekarangan, mulut mereka sama mengomel, dikatakan pakaian
yang terjemur disini terlalu banyak sehingga mengganggu gerak latihan
mereka. Maju lebih jauh, kembali adalah sederetan rumah-rumah atapnya
meruncing tinggi, di pucuk dipasangi selubung asap yang tinggi, tiga
diantaranya sedang mengeluarkan asap tebal, terang disinilah letak dapur
dari keluarga Li yang besar berayatnya ini.
Semula Oh Thi-hoa masih rada tegang, tapi akhirnya dia mengetahui
meski banyak orang yang berada dibilangan belakang ini, namun sikap dan
tindak tanduk mereka kelihatan malas-malasan dan terlalu iseng.
Maklumlah karena tempat ini adalah dunia mereka, mereka tidak perlu
kuatir orang-orang atas datang kemari mengadakan inspeksi, merekapun
tidak usah kuatir adanya rampok atau pencuri. Rampok-rampok yang paling
goblok di dunia ini, juga tidak bakal mengincar harta milik orang-orang ini,
umpama kata benar ada orang yang berani meluruk ke Yong-cui-san-cheng
mencari gara-gara, bukan orang-orang kalangan rendah ini yang dijadikan
sasaran, oleh karena itu setiap mereka dapat melegakan hati, maka Oh
Thi-hoa sendiri berlega hati.
Sebentar dia berhenti dan biji matanya berputar, mendadak diapun
tanggalkan pakaiannya, dengan bertelanjang dada diapun menerobos keluar
dari gerombolan kembang, terus mencari tempat yang tidak tersorot
cahaya matahari dan duduk disana, menggeliat pinggang mengencangkan
kaki tangan, dengan napas yang tersengal-sengal, seolah-olah dia amat
keletihan sehabis latihan kunthau, luar dalam dan orang-orang
disekitarnya ternyata tiada seorangpun yang memperdulikan dirinya.
Tampak dibawah pohon rindang didepan rumah dapur sana, juga duduk
berkelompok beberapa orang, malah ada laki-laki ada perempuan, yang lakilaki
sedang berusaha menggoda yang perempuan dan diajak bicara,
sebaliknya orang-orang perempuan itu anggap sepi dan tidak rewes ocehan
mereka. Burung gagak di seluruh dunia sama-sama hitam, demikian pula kaum
hamba di seluruh dunia ini sama pula, meski tata-tertib Yong-cui-sancheng
cukup keras, tapi asal mereka jauh dari pandangan sang majikan,
nyali mereka akan menjadi besar, jikalau harus menjaga supaya para budak
ini mencari iseng dengan para genduk-genduk itu, tentunya jauh lebih sulit
daripada melarang anjing makan tulang.
Diam-diam Oh Thi-hoa tertawa geli, tampak meski paras genduk-genduk
itu memang tidak begitu ayu, namun perawakan mereka sih cukup
menggiurkan, dua diantaranya malah lebih menonjol, badannya segar
montok dan semampai.
Apalagi setelah cahaya matahari meningkah badan mereka, pakaian sutera
ketat yang membungkus badan mereka yang berisi itu kelihatannya seperti
tembus cahaya dan nampak jelas lekak-lekuk potongan badan mereka.
sampai kulit perutnya yang halus merah itu pun seperti kelihatan, keruan
para kacung yang biasanya bekerja terlalu berat itu kini sama melotot tak
berkedip seperti serigala kelaparan menghadapi mangsanya, air liur
berulang kali ditelannya sampai tenggorokannya turun naik.
Tak lama kemudian, mendadak terdengar suara kerontangan bunyi wajan
yang dipukul bertalu-talu seperti lazimnya penjual martabak memukul
wajan menjajakan dagangannya dari dalam dapur.
Semua laki-laki yang duduk dibawah pohon serempak berdiri, seorang anak
muda berseri tawa dan berkata: "Kenapa nasi yang mereka masak semakin
lama semakin cepat matang, obrolanku belum lagi selesai."
Seorang genduk genit segera menimbrung dengan tertawa: "Kalau nasi
hari ini sudah kau gares habis, memangnya besok kau tidak kebagian lagi?"
Bersinar biji mata anak muda itu, katanya berbisik: "Besok kau mau
tidak..." Tatkala itu orang lain berbondong-bondong menuju ke pintu dapur, derap
langkah mereka yang ramai menelan suara bisik-bisik percakapan mereka.
Tampak seorang laki kekar membusungkan dada dengan perut buntak
berdiri diambang pintu, kalau badannya tidak berlepotan minyak dan
mukanya kotor oleh asap dan hangus lagaknya mirip benar dengan buaya
darat, dengan bertolak pinggang, matanya melotot dan menggembor:
"Setiap orang ada bagiannya, rebutan apa" Satu-satu berbaris."
Seorang laki-laki bermuka panjang seperti kepala kuda berseru lancang:
"Kami orang orang dari kandang kuda setiap hari belum terang tanah sudah
harus bangun merawat binatang, setiap hari bangun paling pagi, maka perut
kamipun lapar paling dahulu, Tio-lo toa, sukalah kau memberi bantuan
kepada kami dulu."
Melirikpun tidak kepadanya, seperti anggap tak mendengar Tio-lotoa
membalik badan dan keluar pula menenteng tenong tiga susun, katanya:
"Nona-nona dari bagian atas sudah datang belum?"
Saking dongkol laki muka kuda itu merah padam mukanya, serunya: "Jelas
kau sudah tahu bila Siao cheng cu sudah pulang, nona-nona dari bagian atas
ikut makan dari dapur kecil disana, kenapa harus menyiapkan jatah mereka
disini?" Tio lotoa tetap tidak perdulikan dia, malah berkata kepada genduk denok
itu: "Nona-nona bagian atas tidak datang, nah menjadi bagian mu malah."
Dengan langkah gemulai genduk ini menghampiri, dia singkap tutup tenong
dan melongok isinya, lalu melorok kepada Tio lotoa, katanya: "Sayurnya
rada mending, tapi hanya ada pangsit beberapa butir saja, delapan orang
mana bisa cukup?"
"Kalian genduk-genduk ini memang seharian sibuk lagi makan melulu."
comel Tio lotoa tertawa, "memangnya tidak takut perutmu gendut terlalu
banyak makan" Nanti tak laku kawin lho!"
Genduk centil itu membanting kaki, katanya: "Bagus ya! Kau berani olokolok
aku, biar nanti ku adukan kepada Cui-hong cici, supaya malam nanti dia
menghukum kau menyunggi poci semalam suntuk."
Lekas Tio lotoa menyingkir, bujukannya: "Sudah, sudah! Nenek moyang
kecil, terhitung aku takut kepadamu, biar kutambah satu susun
bagaimana?"
Baru genduk centil itu tertawa pula katanya: "Satu susun bolehlah!" lalu
dengan menjinjing tenong berisi makanan itu dia tinggal pergi dengan
lenggang kangkung, sebelum pergi dia melerok genit sekali kepada Tio
lotoa, sudah tentu anak muda itupun tak ketinggalan diberi pelerokan
genit. Beberapa gadis lainnya beramai ramai maju membawa tenong masingmasing
dan berlalu, ada yang pantatnya yang berlepotan minyak itu.
Kembali laki muka kuda memprotes: "Apa belum tiba giliran kami?"
Hakikatnya Tio lotoa anggap tidak dengar, dengan malas-malas dia
menjinjing keluar sesusun tenong pula, seorang perempuan tua yang
bermuka burikan segera tampil kemuka, katanya tertawa nyengir: "Bagian
nona-nona sudah selesai, aku memang tahu bila giliran kami." diapun
singkap tutup tenong melongok isinya, katanya tertawa: "Orang-orang
dibilik kami mengerjakan kerjaan yang kasar, masakah boleh dibanding
nona-nona yang halusan itu, lauk-pauk dan nasi sekian ini masakah cukup
dimakan" Mohon tambahan nasinya saja."
Kontan Tio lotoa menarik muka, katanya: "Hanya sekian saja jatah nasi
kalian, mau tak mau terserah, kalau seluruh penghuni kampung ini makan
menurut takaranmu, bukankah keluarga Li bakal bangkrut?"
Perempuan tua tidak marah, katanya pula unjuk tawa dibuat-buat: "Ya, ya,
ya, memang kita makan terlalu banyak, tapi kami ini bukan orang tak punya
pikiran, kami berani sudah menyiapkan beberapa banyak kain, untuk
membuat jaket bagi para toako dari dapur."
Tio lotoa mendengus hidung, air mukanya kelihatan rada sabar, cukup
mengulapkan tangan dua mangkok besar berisi nasi penuh terus dijejalkan
kepelukan perempuan tua itu.
Dari kejauhan Oh Thi-hoa menonton semua kejadian ini, hatinya geli dan
dongkol pula, pikirnya: "Seorang koki disinipun begini pongah dan sewenang
wenang, jikalau dia menjabat pangkat, rakyat jelata pasti ditindasnya
setengah mati."
Cepat sekali pembagian jatah-jatah makanan itu sudah selesai, paling
akhir baru tiba giliran bagian orang-orang kandang kuda, laki-laki muka
kuda itu menahan sabar, setelah menerima bagiannya diapun singkap dan
memeriksa isi tenongnya. "Bagian istal kuda adalima orang dewasa empat
anak kecil, memangnya hanya diberi sepanci bubur cewer dan beberapa
keping bakpau saja?"
"Benar, hanya sekian saja bagian kalian!" sahut Tio lotoa.
Saking marah laki-laki muka kuda itu sampai hijau kulit mukanya,
dampratnya: "Orang she Tio, kau... terlalu menghina orang!"
"Apa yang kau inginkan?" ejek orang she Tio. "Tidak ingin menerima jatah
ini?" Keruan laki-laki muka kuda mencak-mencak semakin murka, dampratnya:
"Lebih baik tuan bersama tidak makan hidanganmu, biar hari ini aku adu
jiwa sama kau." tenong makanan itu segera dia ayun terus dibanting ke
arah kepala Tio lotoa.
Tak kira Tio lotoa agaknya pernah latihan silat, sedikit membalik badan
berbareng sebelah tangannya menggenjot, disusul sebelah kakinya
menendang, bentaknya bengis: "Berani kau membuat gara-gara kepada
pihak dapur kami, memangnya kau sudah bosan hidup?"
Digenjot mukanya dan ditendang terjungkal lekas laki-laki muka kuda
merangkak maju menerjang maju pula dengan kalap, tapi dari dalam dapur
serempak memburu keluar tujuh delapan laki-laki berseragam koki semua,
terang sebentar laki-laki muka kuda ini bakal dihajar habis-habisan.
Setelah menunggu sekian lamanya, Oh Thi-hoa belum melihat ada orang
yang datang atau mengantar jatah bagi makanan Soh Yong-yong berempat,
hatinya sedang gundah, pikirnya: "Apakah mereka tak terkurung didalam
perkampungan ini?" Sia-sia saja dia menunggu sekian lamanya, maka timbul
niatnya hendak mencari ke lain tempat, namun melihat laki-laki muka kuda
itu dianiaya sedemikian rupa, sungguh dongkol dan gemes pula hatinya
terhadap para koki yang sewenang-wenang itu.
Dia tahu sekarang bukan saatnya dia mencampuri urusan orang lain, dasar
berangasan dia tak tahan juga menerjang maju. Tio lotoa sedang acungkan
kepalannya sebesar mangkok itu menghujani tubuh si muka kuda, tiba-tiba
dilihatnya seseorang menerjang maju, sekali tampar seorang koki
pembantunya dibikin jungkir balik tak bisa bangun. Pembantunya yang lain
segera merubung maju mengeroyok, malah ada diantaranya mengacungkan
pisau, sudah tentu Oh Thi-hoa tidak pandang mereka sebelah mata. Tanpa
mengeluarkan kepandaian sejatinya, namun begitu dia gerak kaki
tangannya, empat diantara tujuh koki yang hendak mengeroyok dirinya dia
pukul roboh dan ditendang terjungkal. Keruan pucat muka Tio lotoa,
serunya: "Kau... kau bocah ini juga dari bagian istal?"
"Benar" jengek Oh Thi-hoa. "Kau kira orang-orang dari istal boleh
dihina?" Dengan murka Tio lotoa segera merebut pisau terus membacok
kepadanya, tak nyana sekali depak Oh Thi-hoa bikin pisaunya mencelat
terbang, sekali tendang lagi dia bikin Tio lotoa terpental jauh dan
menumpuk teman-temannya.
Lekas laki-laki muka kuda memburu maju terus duduk di atas
punggungnya, sekaligus ia tampar dan genjot puluhan kali, Tio lotoa yang
tadi sewenang-wenang dan gagah-gagahan kini kaok-kaok minta tolong.
Baru saja Oh Thi-hoa menggasak sisa koko yang lain, sekonyong-konyong
didengarnya seseorang menghardik nyaring: "Kalian berani berontak"
Harap berhenti!"
Banyak orang yang menghentikan pekerjaan mereka sama menonton di
pinggiran, begitu mendengar suara ini, segera beramai-ramai mengeluyur
pergi, laki-laki muka kudapun agaknya amat ketakutan, kepalannya yang
teracung tinggi berhenti ditengah udara.
Sebetulnya suara hardikan ini amat merdu halus dan tak menakutkan,
kedengarannya malah menyegarkan semangat, bukan saja suaranya merdu,
orangnyapun cantik.
Tampak gadis remaja ini beralis lentik bermata seperti burung hong, raut
mukanya mungil seperti kuaci, meski mukanya bersungut marah, tapi
kelihatannya begitu menggiurkan. Dandanan dan pakaiannya tiada bedanya
dengan budak-budak perempuan lainnya, paling paling dia lebih cantik dan
mungkin budak yang biasa melayani majikan di sini.
Sungguh Oh Thi-hoa tak mengerti, kenapa orang-orang di sini semua
begini takut kepadanya. Tak tahan dia melirik dua kali mengamat-amati
gadis ini, nona inipun sedang melotot mengawasi dirinya, katanya bengis:
"Apa yang terjadi, kenapa kalian berkelahi di sini?"
Oh Thi-hoa melakukan kebiasaannya mengelus hidung dengan tertawa
sahutnya: "Kami sih tidak ingin berkelahi, soalnya Tio lotoa terlalu
menghina orang istal kami, tak memberi sogokan padanya, dia sengaja
mempersulit jatah kami, tak memberi nasi."
"Nona Ping," sela Tio lotoa tersipu-sipu. "Sekali-kali jangan kau percaya
obrolan dia!"
Nona Ping menarik muka, ejeknya dingin: "Mau dengar tidak pengaduannya


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah urusanku, tidak perlu kau cerewet, memangnya aku sudah tahu
kalian, koki-koki masak belakangan terlalu bertingkah dan sewenangwenang."
Tio lotoa merengut kecut seketika dia mengkeret mundur tanpa berani
banyak cincong lagi.
Dari atas ke bawah dengan cermat nonaPing mengamati Oh Thi-hoa,
katanya tawar: "Kepandaianmu boleh juga, kenapa selamanya aku belum
pernah melihat kau?"
"Setiap hari aku yang kecil selalu sibuk didalam istal sudah tentu nona
takkan pernah melihat aku."
"Tak nyana pengawal dari istal ada juga jagoan yang gagah dan pandai
kunthau seperti kau, agaknya kedudukanmu terlalu rendah tak sesuai
kecakapanmu." mendadak dia berpaling melotot kepada laki-laki muka kuda,
bentaknya bengis: "Apa benar dia orang dari istal kalian?"
Tertunduk dalam kepala laki-laki muka kuda, diam-diam dia mencuri lirik
kepada Oh Thi-hoa. Walau roman muka Oh Thi-hoa masih unjuk senyum
lebar, namun diam-diam dia sudah siaga untuk bergebrak dengan sengit.
Soalnya dia sudah tahu meski nonaPing ini kelihatannya lemah lembut,
namun sorot matanya tajam bercahaya terang seorang tokoh silat luar
dalam yang cukup lihai tingkat kepandaiannya, sukar dilayani.
Tak nyana laki-laki muka kuda ternyata manggut-manggut sahutnya sambil
unjuk tawa dibuat-buat: "Benar, dia adalah adik misan Siaujin, beberapa
hari yang lalu baru datang dari desa membantu pekerjaanku."
Sorot mata nonaPing kembali tertuju ke muka Oh Thi-hoa, sikapnya mulai
sabar dan hilang rasa marahnya, katanya: "Kau boleh kemari membantu
kerja, tapi ku larang berkelahi di sini, tahu tidak?"
Oh Thi-hoa lega hati, sahutnya: "Baik, pesan nona tentu kupatuhi."
Seperti tertawa tidak tertawa nonaPing mengawasi dirinya, katanya
kagum: "Melihat gerak gerikmu tadi, kau bekerja di istal memang harus
dibuat sayang, dua hari lagi datanglah menemui aku, akan ku usahakan laju
pekerjaan yang sesuai dengan dirimu."
Laki-laki muka kuda segera mendorong Oh Thi-hoa katanya: "Nona Ping
bisa bicara langsung kepada Siau-cheng cu dan Hujin, kelak bila nonaPing
sudi membimbing kau, terhitung kau mendapat rejeki nomplok."
"Terima kasih nonaPing ," segera Oh Thi-hoa unjuk rasa kegirangan. "Dua
hari lagi aku pasti menghadap nona Ping." melihat pinggangnya nonaPing
yang ramping dan meliuk seperti gitar serta kakinya yang tinggi semampai,
serta kedua jari-jari tangannya yang halus dan runcing-runcing itu, dalam
hari memang dia sudah ingin berhadapan dengan nona cilik ini.
Baru sekarang Tio lotoa berkesempatan unjuk muka berseri katanya:
"Jarang sekali nonaPing sudi datang kemari, entah ada petunjuk apa?"
Seketika nonaPing menarik muka pula, katanya: "Pekerjaan di istal
memang kasar, tapi asal dia termasuk lingkungan dalam perkampungan ini,
ransum yang harus kau jatahkan harus sama dan rata, selanjutnya bila kau
berani korupsi, awas mangkok nasimu sendiri."
"Siau... Siaujin tidak berani." Tio lotoa tersipu.
"Baik, kemarin ada kusuruh kau membuat beberapa nyamikan, sudah kau
siapkan belum?" tanya nonaPing lebih lanjut.
Tio lotoa terbelalak kaget, keringat dingin seketika membasahi jidatnya.
Nona Ping mendelik, katanya dingin: "Apa yang terjadi, memangnya jatah
kami beberapa saudarapun kau lalap sekalian?"
Kecut muka Tio lotoa katanya meringis: "Siaujin punya nyali sebesar
gunungpun takkan berani, bubur lidah ayam udang goreng, pangsit bakar
dan lain-lain sesuai pesan nona sebetulnya sudah kubuat, cuma... cuma..."
"Cuma apa?" desak nonaPing .
Tergerak hati Oh Thi-hoa, mendadak dia tertawa dan menimbrung: "Hal
ini tak bisa salahkan dia, dia kira kalau toh Siau-cheng-cu sudah pulang,
nona pasti akan makan dari rangsum dapur kecil didalam, makan nyamikan
yang sudah dia siapkan dia berikan kepada orang lain."
Seperti menahan geli nonaPing mengawasi Oh Thi-hoa pula, katanya: "Tak
kira kau orang ini ternyata berhati mulia, kau bicara membela dia malah."
Mendadak Oh Thi-hoa menyadari bahwa tampangnya tentu amat jelek,
dan lagi punya daya tarik yang luar biasa, kalau tidak nonaPing ini sekalikali
tidak akan mengawasinya dengan sorot mata begini. Karena menurut
perasaannya dipandang oleh seorang nona jelita dengan sorot mata
begituan, sungguh merupakan suatu hal yang harus dibuat girang, tanpa
sadar Oh Thi-hoa merasa dirinya terbang ke awang-awang.
Untunglah dia bukan laki-laki desa yang baru saja keluar kandang, dia
masih belum lupa akan tugasnya kemari, biji matanya berputar, kembali dia
berkata tertawa: "Apakah koki yang membuat nyamikan, dari dapur kecil
didalamsana , tidak lebih pintar dan enak dari koki dari dapur besar ini?"
Kata nona Ping: "Kepandaian masak koki dapur kecil di sana tentu lebih
baik dari dapur besar di sini, tapi kokinya adalah orang setempat, masakan
yang bisa dibuatnya hanyalah masakan setempat pula, mana dia bisa bikin
bubur lidah ayam dan lain-lain masakan dari Kwitang yang luar biasa itu?"
"O, masakan-masakan setempat tidak lebih enak daripada bubur ayam
lidah dan udang goreng lain-lain itu?" tanya Oh Thi-hoa pula.
Laki-laki muka kuda jadi tak sabaran melihat petingkah Oh Thi-hoa, dia
duga nona Ping pasti takkan sabar dan marah, tak nyana nona Ping
sedikitpun tidak bosan tetap sabar, sahutnya tertawa lirih: "Menurut
selera kami sudah tentu masakan daerah sini lebih enak tapi ada beberapa
tamu undangan majikan justru senang masakan Kwitang, terutama setiap
pagi hari hidangan yang kami suguhkan tidak boleh sembarangan,
khabarnya orang-orang Kwitang memang demikian, nasi boleh tidak
uruskan, namun nyamikan pagi dan malam sekali-kali tidak boleh
sembarangan. Oh Thi-hoa menghela napas, katanya: "Ya, orang yang usianya sudah
lanjut, memang sulit dilayani."
"Kau kira mereka kakek-kakek tua?"
Jantung Oh Thi-hoa sudah mulai berdebar, tapi dia masih bersikap
tenang, katanya: "Bukan kakek tua, memangnya nona-nona besar?"
Nona Ping tertawa, sahutnya: "Benar, beberapa nona itu, memang lebih
sulit dilayani dari kakek-kakek tua."
Bagaimana juga Oh Thi-hoa bukan seorang yang bisa menahan perasaan
hatinya, meski dia ingin berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa, tapi
tak urung alisnya tegak, dan mata bersinar, mulut menyungging senyuman
lagi, hatinya melonjak kegirangan.
Untung nonaPing sudah berpaling, matanya melotot kepada Tio lota,
katanya: "Oleh karena itu bila hari ini kau tidak keluarkan nyamikan sesuai
apa yang kupesan, berarti kau mencari gara-gara kepadaku, aku sendiri
malu untuk mempertanggung-jawabkan kepada majikanku."
Keringat gemerobyos di kepala Tio lotoa, sahutnya meringis ketakutan,
sambil banting kaki: "Ini..."
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa pula, selanya: "Sebetulnya kau tidak perlu
gugup, jikalau kau masuk dapur dan mau cari, aku berani tanggung masih
ada sisa nyamikan yang kau simpan."
"O?" Tio lotoa bersuara kaget dan heran.
"Seorang koki besar kalau membuat beberapa nyamikan yang mencocoki
selera mulutnya, bila dia tidak mencuri sedikit untuk dinikmati sendiri,
maka hidangan buatannya itu tentu tidak enak."
"Kenapa?" tanya nonaPing .
"Karena orang yang suka makan, baru pandai masak hidangan yang enakenak."
Memang dalam dapur masih ada beberapa macam nyamikan yang
disembunyikan. Nona Ping segera melirik kepada Oh Thi-hoa, katanya: "Tak nyana kau
memang cerdik dan pintar."
"Siaujin sedikitpun tidak pintar." sahut Oh Thi-hoa. "Bukan saja aku
sendiri suka makan, malah akupun pernah jadi tukang masak, kalau tukang
masak tidak main korupsi akan masakannya, boleh dikata sesukar anjing
dilarang makan tulang." sembari bicara dia maju menjinjing tenong itu, lalu
menambahkan: "Bobot tenong ini tidak ringan, biar Siaujin saja yang
membawakan."
Bersinar biji mata nonaPing , katanya tertawa: "Kalau kau selalu begini
sregep, kelak tentu kau mendapat banyak manfaat."
Setelah orang beranjak, sekilas Oh Thi-hoa memandang kepada laki-laki
muka kuda itu dengan sorot mata terima kasih, laki-laki muka kuda itu
manggut-manggut, katanya berbisik: "Harus hati-hati, disana kau tidak
boleh petingkah lagi, jikalau disana kau perbuat kesalahan, akupun bisa
ikut memperoleh getahnya, tahu tidak?"
Setelah keluar dari perkampungan belakang mereka menyusuri jalan likuliku
yang diapit tanaman kembang warna-warni, tak lama kemudian mereka
sudah akan tiba di bilangan dalam kembali mereka menyusuri serambi
panjang, jendela disini semuanya terukir indah dan mengkilap, suasana
sunyi senyap, udara pagi dipenuhi bau kembang yang harum, sinar matahari
menyinari kertas jendela yang putih, lantai di sepanjang serambi ini begitu
kemilau lebih bersinar dari permukaan kaca.
Mata Oh Thi-hoa melulu mengawasi nonaPing yang jalan di depannya,
dalam pandangannya gerak-gerik pinggang yang ramping dan pinggul yang
menonjol padat itu jauh lebih menarik daripada pemandangan alam di
sekitarnya. Apalagi hembusan angin lalu membawa harum kembang,
nonaPing sering berpaling ke belakang unjuk senyuman mekar pula
kepadanya, keruan hati Oh Thi-hoa senang bukan main.
Orang-orang yang dicari ubek-ubekan oleh Coh Liu-hiang selama beberapa
bulan tak berhasil ditemukan, tak nyana hari ini tanpa banyak
mengeluarkan tenaga dirinya bakal menemukan mereka, selanjutnya,
dengan membawa Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji dan Mutiara
hitam, berlima bisa cepat memberi bantuan kepada Coh Liu-hiang, dengan
kekuatan mereka berenam, masakah tidak mampu bikin Yong-cui-san-ceng
ini langit ambruk dan bumi terbalik. "Tatkala itu, masakah ulat busuk tidak
akan kagum dan memuji aku?" demikian batin Oh Thi-hoa serasa
jantungnya seperti ingin terbang ke awang-awang saking kesenangan.
Kini sorot matanya beralih kepada pinggul nona Ping yang bulat berisi dan
ketat terbungkus oleh celananya itu, tidak urung diam-diam dia tertawa
geli dan melelet lidah, Pikirnya: "Tatkala itu aku pasti akan mencubit pelan
di atas pinggulnya yang bulat ini, gadis romantis ini masakah takkan
menubruk ke dalam pelukanku?" bukankah hatinya seperti dikilik-kilik,
tangannyapun menjadi gatal, sampai dimana mereka berada dan melewati
mana saja, bahwasanya tak pernah dia perhatikan.
Mendadak noaPing berhenti dan berkata: "Sudah sampai, buat apa kau
masih jalan kedepan?"
Baru sekarang Oh Thi-hoa tersentak sadar dari lamunannya yang muluk
muluk, sahutnya unjuk tawa berseri: "Apakah di sini saja?"
"Em! Tuh didalam rumah." kata nonaPing .
Tampak kerai bambu bergelantung ke bawah rumah inipun sunyi sepi, dari
dalam terendus bau wangi yang menyegarkan badan, entah bau kembang,
bau dupa atau bau manusia"
Nona Ping tertawa cekikikan, katanya: "Apa sih yang kau lamunkan,
serahkan tenong itu kepadaku!"
Sebelah tangannya menerima tenong dari tangan Oh Thi-hoa seraya
mendekatkan mulut berbisik di pinggir kupingnya: "Malam nanti datanglah
cari aku, tahu tidak?"
Meski hati Oh Thi-hoa bersorak girang, namun tak urung diapun merasa
sayang, karena terpaksa dia harus menyia-nyiakan kebaikan dan tawaran si
nona centil ini. Sebetulnya dia hendak main basa basi dulu baru akan turun
tangan, siapa tahu...
Siapa tahu nonaPing yang genit ini tahu-tahu turun tangan lebih dulu.
Tangan kirinya tiba-tiba melorot turun dari pundak Oh Thi-hoa beruntung
dengan gerakan yang cekatan dan mahir sekali menutuk empat Hiat-to
dibagian tangan dan ketiak kiri Oh Thi-hoa, sementara tangan kanannya
masih memegangi tenong itu tanpa bergerak sedikitpun. Dikala Oh Thi-hoa
lepaskan tenong di tangannya tahu-tahu pergelangan tangannyapun
terpegang kencang oleh jari-jari runcing halus itu.
Terdengar nonaPing berkata halus merayu: "Pemuda yang romantis meski
kau cukup baik dan simpatik terhadapku, terpaksa aku harus
mengecewakan harapanmu." lalu sekali tampar dia bikin Oh Thi-hoa
terjungkal roboh tengkurap, lalu duduk di atas pantat Oh Thi-hoa, keruan
merasa meledak perut Oh Thi-hoa saking gusar. Sekarang bukan saja dia
tidak akan bisa tertawa, malah ingin menangispun air mata tak bisa
diperasnya keluar.
Nona Ping lantas menepuk tangan dan berseru lantang: "Anak-anak hayo
kemari!" Dari dalam rumah segera berlari keluar beberapa anak laki-laki.
Berkata nonaPing : "Gotong bajingan ini ke dalam, ikat dengan urat
kerbau, salah satu segera pergi memberi laporan kepada Siau-hujin,
katakan orang yang suruh aku perhatikan sekarang sudah ketemu dan
teringkus. Kacung kecil berbaju hijau itu mengiakan dan segera berlalu.
Lalu nona Ping berkata kepada kacung cilik yang satunya lagi: "Beritahu
kepada Thian-koan-keh, suruh dia pergi ke istal di belakang, hajar Ong
sam si muka kuda lima puluh rangketan, lalu gusur pula ke empat Uikoankeh
untuk dihukum dengan tuduhan sekongkol dengan musuh."
Terasa getir mulut Oh Thi-hoa, serunya: "Kau... memangnya kau sudah
tahu siapa aku sebenarnya?"
Nona Ping tersenyum manis, ujarnya: "Masakah Oh Thi-hoa Oh Tayhiap
yang kenamaan tidak kenal?"
"Tapi kau..."
"Siau-hujin sudah memperhitungkan kau pasti akan meluruk ke belakang
mencari ke empat nona-nona itu, maka dia suruh aku meronda dan
memperhatikan orang seperti kau, kupikir saat ini tiba waktunya makan
pagi, kemungkinan kau akan mencari sumber penyelidikan dari "makan pagi"
ini, karena kecuali ini, hakekatnya kau tak punya kesempatan untuk
mendapatkan cerita mengenai teman-temanmu itu." tertawa cekikikan lalu
dia menyambung: "Kalau tidak demikian, masakah aku mau begitu saja
lantas percaya kepadamu" Kemungkinan memang semua laki-laki dalam
dunia ini mempunyai penyakit dan cacat yang sama, selalu mereka mengira
dengan beberapa patah bujuk rayu, gadis yang masih hijau dengan mudah
bisa dipeletnya. Di luar tahunya justru perempuan jika mau menipu lakilaki,
jauh lebih gampang dari laki-laki menipu perempuan."
Oh Thi-hoa menghirup napas panjang, mulutnya menggumam: "Seharusnya
aku sudah tahu akan pengertian ini sejak tadi, memangnya kenapa aku
begitu saja mau percaya akan obrolanmu?"
xxx Jari-jari Coh Liu-hiang tetap memegangi ujung pedang, sementara gagang
pedang dibuat menyerang musuh. Umumnya ujung pedang yang runcing dan
tajam sukar dibuat pegangan, bukan saja sukar digenggam kencang,
tenagapun sukar dikerahkan, apalagi menyerang dengan gagang pedang
sudah tentu jauh tak begitu ganas dan membawa efek yang fatal bagi
musuhnya daripada menyerang dengan ujung pedang yang tajam. Dalam
kolong langit ini belum pernah ada tokoh pedang yang memutar balik cara
pegangannya untuk melawan musuh, kecuali dia sengaja memandang rendah
musuhnya, hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata musuhnya.
Akan tetapi musuh-musuh yang dihadapi Coh Liu-hiang adalah tokoh-tokoh
ahli pedang yang membekal kepandaian tiada taranya, musuh-musuh yang
amat menakutkan, dan lagi belum sampai seperminuman teh, barisan ini
digerakkan, berulang kali Coh Liu-hiang sudah menghadapi mara bahaya,
pernah dua kali pedang-pedang musuh sudah menyerempet lewat di
tenggorokannya dan di sisi tulang dadanya, namun dia tetap bersikap
tenang serta menggunakan pedang dengan gaya yang sama sejak mula.
Apakah tujuannya" Siapapun tiada yang tahu, kenapa dia gunakan gagang
pedang buat menyerang musuh. Memang orang lain tahu bahwa Coh Liuhiang
tidak akan pernah melakukan perbuatan yang tak berarti, tapi tiada
seorangpun yang pernah mau memikirkan kemana juntrungan tujuannya,
merekapun tiada yang mau bertanya. Maklumlah dalam keadaan dan saatsaat
yang gawat ini, tiada yang mau menggunakan otak untuk memecahkan
teka-teki ini, maka merekapun tiada yang sempat bertanya. Yang jelas
sekarang adalah saatnya menggunakan pedang.
Gerakan cahaya pedang laksana bianglala seperti kilat menyambar,
perubahangaya permainan pedangpun beraneka warnanya, berubah-ubah
tak putus-putus sambung menyambung, begitu cepat sehingga tak memberi
kesempatan kepada musuh untuk memeras otak mencari akal untuk
mengatasi. Maka gerakan perlawanan mau tidak mau harus dilakukan


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secara reflek dan otomatis.
Mereka kerahkan tenaga, himpun semangat dan pusatkan pikiran dan
perhatian semua terpusatkan pada gerakan pedang di tangannya, hati dan
permainan pedang mereka sudah senyawa dalam batang pedang yang
bentuknya berlainan itu, kini sudah berubah menjadi tunggal, semangat
napas, jiwa dan tenaga ke enam orang seolah-olah sudah dilebur menjadi
satu. Sehingga gerakan jala cahaya pedang semakin rapat, semakin ketat,
lambat laun menyempit dan mengecil. Coh Liu-hiang umpama ikan yang
sudah terjaring didalam jala kembali di sini dia terjaring ke dalam
lingkaran cahaya pedang.
Lain dengan kejadian-kejadian yang terdahulu hari ini terang ia takkan
bisa lolos dan tiada jalan untuk dia keluar.
Dari kejauhan gerakan sinar pedang dengan landasan hawa pedangnya
bergulung gulung meninggi turun naik seperti gugusan sebuah bukit yang
berubah laksana pandangan khayal didalam mimpi, deru hawa pedang yang
keras itu membuat udara seolah-olah bergolak seperti hujan badai sedang
menerpa datang. Lama kelamaan udara pagi nan cerah ini menjadi dingin
dan dingin seperti es.
Selama mengikuti pertempuran dahsyat ini rona muka Liu Bu-bi berubah
beberapa kali, baru sekarang mukanya menampilkan senyuman mekar
senang, karena sekarang dia sudah yakin bahwa Coh Liu-hiang sudah
takkan mungkin bisa lolos lagi dari barisan pedang yang mandraguna ini.
Memang perbawa barisan pedang ini laksana benteng baja yang takkan
gugur dan jebol diterjang gugur gunung.
Begitu dahsyat dan hebat benar barisan pedang ini, sampai si orang tua
linglung yang tinggal menunggu ajal itupun menunjukkan rasa haru dan
bergolak perasaannya, hawa pedang yang menyesakkan napas, agaknya
malah membangkitkan gairah jiwa hidupnya yang sedang sekarat. Jari-jari
tangannya yang biasanya gemetar dan kurus kering itu, tak henti-hentinya
bergerak, terbuka tergenggam lagi begitulah berulang kali, saking
terbakar seolah-olah ingin dia melompat bangun dan menggenggam gagang
pedangnya, menerjunkan diri didalam adu kekuatan nan sengit ini. Agaknya
dia sudah tak tahan lagi duduk menonton tak bergerak.
Takkala itu gulungan sinar pedang sudah semakin sempit, pakaian bagian
atas Coh Liu-hiang sudah hancur tersambar tebasan deru angin pedang
yang tajam, boleh dikata dia sudah mati kutu dan tak kuat mengerahkan
tenaga melawan.
Pada saat itulah, kacung cilik berbaju hijau tiba-tiba menyelinap masuk
dari luar menyusuri pinggir tembok, munduk munduk ke dalam mendekati
ke belakang Liu Bu-bi, lalu berbisik-bisik entah apa yang dia laporkan
kepada nyonya muda ini.
Sekarang Liu Bu-bi tahu, bahwa Oh Thi-hoa di belakang sanapun sudah
teringkus. Maka seri tawanya semakin mekar, didalam arus hawa pedang
laksana pelangi meluncur tidak putus-putus itu, senyum tawanya
kelihatannya begitu sadis dan culas, namun selintas pandang mukanya
begitu molek dan agung.
Sekonyong-konyong hawa pedang yang seliweran saling gubat itu
mendadak bersatu-padu, tabir cahaya pedang yang memenuhi udara itu kini
mendadak berubah menjadi enam utas pelangi yang menyala, bersilang dari
kiri kanan atas bawah serempak mengunci ke tengah pada badan Coh Liuhiang.
Perbawa gabungan hawa pedang semula mendesak Coh Liu-hiang
sehingga dirinya dipojokan ke suatu yang mematikan. Maka tusukan pedang
kembali dilontarkan, sekarang Coh Liu-hiang sudah benar-benar kehabisan
tenaga dan putus asa, entah dengan cara apa dan bagaimanapun dia
berkelit, dadanya takkan luput dari tembusan ujung pedang.
Memangnya dikolong langit ini sudah pasti takkan ada orang yang mampu
meluputkan diri dari tusukan enam ujung pedang sekaligus dari enam
penjuru. Sekonyong-konyong "kelontang" bunyi sesuatu benda keras yang terjatuh
ke lantai. Disusul hawa pedang dan samberan pelangi kemilau itu secara ajaib
mendadak sirna tak berbekas. Li Giok-ham dan kelima orang seragam
hitam itu seolah-olah membeku kaku ditengah arus dingin yang
mengembang keempat penjuru. Demikian juga senyuman manis yang
menghias muka Liu Bu-bi secara mendadak ikut membeku kaku.
Tiba-tiba dilihatnya bayangan Coh Liu-hiang berkelebat miring, tahu-tahu
pedangnya menyusup di bawah ketiak Li Giok-ham, telapak tangan kiri
menekan dada Li Giok-ham, sementara jari-jari tangan kanannya meremas
pergelangan tangannya. Pedang Coh Liu-hiang sendiri entah hilang kemana,
sebaliknya dengan pedang ditangan Li Giok-ham, dia menekan dan menahan
pedang panjang ditangan laki-laki kurus tinggi berbaju hitam itu.
Lebih enak lagi ternyata laki-laki kurus kate yang seragam hitam itu kini
kedua tangannya sudah mencekal masing-masing sebatang pedang, entah
apa yang terjadi, pedang yang dicekal ujung runcingnya oleh Coh Liu-hiang
tadi, kini berada ditangan kiri laki-laki kurus kate ini.
Setiap gerak permainan perubahan barisan pedang ini sudah
diperhitungkan begitu seksama, setiap jurus serangannya sudah
direncanakan sesuai dengan ajarannya yang merupakan tumpuan otak
seorang jenius dalam bidang ini, kerja-sama enam batang pedang
seumpama ditembus air hujanpun tidak bisa, demikian rapatnya setitik
lobangpun tiada! Maka pedang kurang sebatang pun tak boleh, karena
barisan pedang seketika akan menunjukkan lobang, atau mungkin tak bisa
digerakkan lagi, tapi jikalau kebanyakan sebatang pedang, barisan inipun
tak mungkin bergerak, seperti orang mengumbar ular dibubuhi kaki naga,
sia-sia dan tak sesuai dengan kebutuhan.
Kini barisan ini ketambahan sebatang pedang, sudah tentu gerakan tiga
batang pedang yang lain menjadi terhalang dan macet karena kehadiran
pedang yang satu ini. Kalau toh permainan pedang mereka sudah
terbendung maka jurus-jurus selanjutnya sudah tentu tak bisa diteruskan,
karena dalam waktu sesingkat itu, tahu-tahu jari-jari tangan Coh Liu-hiang
sudah mengancam Hiat-to mematikan didada Li Giok-ham. Demi
keselamatan jiwa Li Giok-ham pula terpaksa mereka harus menghentikan
permainan. Tanpa disadari telapak tangan Liu Bu-bi sudah berkeringat dingin. Entah
berapa lama kemudian, mendadak Coh Liu-hiang unjuk tawa kepada laki-laki
kurus kate baju hitam itu, katanya: "Dua puluh tahun yang lalu Cayhe sudah
lama kagum dan mendengar betapa hebat kepandaian Jut-jiu-siang-hoat
Yam yan-sin-kiam Ling-locianpwe yang tiada taranya di seluruh dunia.
Sungguh tak nyana hari ini aku bisa kumpul bersama di sini dengan Linglocianpwe
malah bertanding pedang lagi, sungguh menggembirakan dan
merupakan rejeki besar selama hidupku."
Laki-laki kate kurus baju hitam mendengus hidung, ujarnya: "Apakah sejak
tadi kau memang sudah mengetahui akan diriku?"
Coh Liu-hiang tertawa katanya: "Tadi waktu Cayhe melihat kedatangan
Cianpwe berlima hanya mengenal satu orang saja, tapi terang bukan Linglocianpwe."
"Siapa yang sudah kau kenali lebih dulu?" tanya laki-laki kurus baju hitam.
Sorot mata Coh Liu-hiang beralih kepada laki-laki baju hitam yang
menenteng pedang kayu itu katanya: "Tadi Cayhe hanya mengenal Cianpwe
ini pasti Giok-kiam Sim Ciok Siau locianpwe. Keluarga Sian dengan Giok
kiamnya, merupakan pedang tunggal yang tiada keduanya di Bulim. Siau
Tayhiappun sebagai ahli pedang yang kenamaan di Kangouw, jikalau Tayhiap
tidak suka muka aslinya dikenal orang, tentulah kuatir orang dapat melihat
asal-usul dirinya, pula dari senjata pedangnya yang khas, oleh karena itu
terpaksa harus membikin pedang dari kayu sebagai ganti senjatanya untuk
mengelabui pandangan orang lain.
Giok-kiam Siau Ciok termenung sesaat lamanya, akhirnya dia menyingkap
kerudung mukanya, katanya: "Benar, aku memang Siau Ciok, kalau kau
sudah tahu asal-usulku, tentu kau sudah tahu bagaimana hubunganku
dengan Li Koan-hu, soal lain aku tidak perbanyak bicara lagi." tampak orang
ini bermuka persegi dengan dagu lebar berkulit putih bersih, matanya
berkilat seperti bintang, walau rambut dan jenggotnya sudah ubanan,
ujung mata dan dahinya sudah dihiasi kerut-kerut kemerut, namun lapatlapat
masih menggambarkan kegagahan dan kecakapannya dimasa dulu,
cuma setelah menanjak pertengahan umur, kini dia sudah menjadi kaya dan
hidup tentram. Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Oleh karena Cayhe memang sudah tahu
betapa intim hubungan para Cianpwe dengan Li-lochengcu, maka Cayhepun
sudah menduga, satu diantara kalian berlima tentu adalah Siang-kiam butik-
tin koan-tang Ling Hwi-kek Ling-locianpwe yang punya hubungan dekat
sebagai adik ipar Li-locianpwe, cuma dalam waktu dekat belum bisa
bedakan siapakah sebenarnya diantara kalian.
Ling Hwi-kek bertanya: "Sejak kapan kau dapat mengenali Lohu?"
"Beberapa jurus setelah Cianpwe melancarkan serangan, Cayhe lantas
mengetahui yang mana Cianpwe adanya." sahut Coh Liu-hiang.
"Ilmu pedang yang kugunakan bukan ajaran dari perguruanku sendiri,
darimana kau bisa tahu akan diriku?" tanya Ling Hwi-kek pula.
"Memang ilmu pedang yang Cianpwe gunakan bukan ajaran perguruan
sendiri, namun tetap masih dimengerti, soalnya selama bertahun-tahun
Cianpwe sudah biasa menggunakan Siang kiam "sepasang pedang" hari ini,
dipaksa oleh keadaan untuk main dengan pedang tunggal, sedikit banyak
gerak-geriknya tentu kurang leluasa."
Sampai di sini dia berhenti sebentar dengan tertawa lalu meneruskan:
"Perduli siapapun, kebiasaan yang sudah berakar dan mendarah daging
kepada seseorang selama puluhan tahun, didalam waktu singkat tak
mungkin bisa menghapus atau memperbaiki kebiasaan ini demikian pula
tangan kiri Cianpwe meski tergenggam kencang dan ikut bergerak
mengikuti ajaran pedang tunggal, namun bila menghadapi saat gawat dan
tegang, maka jari-jari tangan itu akan mengepal kencang seolah-olah
sedang menggenggam sebatang pedang yang tidak kelihatan wujudnya.
Ling Hwi-kek mendengarkan dengan tekun sesaat kemudian dia bertanya:
"Sejak permulaan kau sengaja mencekal pedang di ujungnya apakah kau
memang sudah siap hendak mengangsurkan gagang pedangmu ini ke dalam
tanganku?"
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Benar, Cayhe tahu kalau gagang
pedang ini diangsurkan ke tangan Ling Cianpwe, maka tanpa sadar Cianpwe
pasti akan menerimanya. Soalnya seluruh perhatian Cianpwe sudah
ditumplek pada gerakan pedang tunggal ditangan kiri, maka terhadap
kejadian lain, tentu kurang menaruh perhatian atau boleh dikatakan
sedikit lena. Oleh karena itu didalam keadaan itu mau tak mau Cianpwe
sudah terkendali diri oleh kebiasaan itu sendiri."
Hal ini gampang dimengerti, umpamanya seseorang yang sudah biasa isap
rokok jikalau dia sudah bertekad dan berjanji untuk tidak isap rokok lagi
namun bila dia kebentur saat-saat yang tegang urat syarafnya, jikalau
segala daya pikirannya dia tumplek pada satu persoalan, kebetulan
dihadapannya tersedia rokok maka tanpa dia sadari tangannya akan gatal
dan mengambil rokok itu, itulah karena dia sudah dihayati oleh gerakan
reflek di luar kesadarannya.
Pada saat itu sudah tentu Coh Liu-hiang sendiri belum tahu akan gerakan
reflek diluar kesadaran itu, namun dia cukup tahu bahwa kebiasaan
menjadi wajar dan akalnya memang benar dan berhasil dengan baik sekali.
Ling Hwi-kek menarik napas panjang, ujarnya: "Bicara terus terang
setelah aku menyambuti pedang ini, aku sendiri masih bingung dan tidak
tahu cara bagaimana pedang tahu-tahu sudah tercekal di tanganku."
"Tapi tentunya Cianpwe cukup tahu, bahwa barisan pedang ini tidak boleh
kurang satu pedang, namun juga tidak boleh ketambahan sebatang pedang,
kalau tidak gerakan barisan pedang ini bakal kacau dan terhalang serta
mati kutu."
Agaknya hati Ling Hwi-kek amat mendelu dan masgul, diam-diam saja tak
bersuara. Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut: "Kalau gerakan keseluruhan dari
barisan pedang ini terhalang, dengan sendirinyagaya dan bendungan
barisan pedang ini berubah posisinya. tapi mengandal Lwekang dan
kepandaian para Cianpwe sekalian, sudah tentu dengan cepat kesalahan dan
kekurangan ini sudah bisa diatasi."
Laki-laki tua bertubuh tinggi kekar itu menimbrung: "Oleh karena itu kau
lantas bertindak menggunakan kesempatan yang amat baik dan singkat ini,
kau menyergap dan mengancam Li-siheng, supaya senjata kami tak berani
bekerja lebih lanjut untuk menyerang kau."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Tindakan Cayhe memang amat
terpaksa, bahwasanya sedikitpun Cayhe tiada hasrat hendak mencelakai Li
heng." Jilid 35 Liu Bu-bi menerjang, teriaknya: "Kalau begitu kenapa tidak segera kau
lepaskan dia?"
"Kalau Cayhe lepaskan dia, apakah kalian juga mau membebaskan diriku?"
Liu Bu-bi kertak gigi, serunya: "Asal kau tidak melukai dia, aku boleh
berjanji kepada mu..."
Sejak tadi Li Giok-ham tunduk lemas dan sayu, sekarang tiba-tiba dia
membentak bengis: "Sekali-kali kau tidak boleh berjanji apapun
kepadanya, mengapa kau lupa?"
Liu Bu-bi membanting kaki, serunya: "Sedikitpun aku tidak lupa, tapi
kau..." masakah aku harus berpeluk tangan membiarkan orang menyakiti
kau?" "Aku mati tidak menjadi soal, meski dia benar menggorok leherku, kaupun
jangan melepaskan dia pergi."
Ternyata air mata Liu Bu-bi bercucuran, katanya dengan pilu: "Aku tahu
demi aku, kau tidak segan-segan..." belum habis kata-katanya mendadak Li
Giok-ham menggerung kalap seperti benteng ketaton, dengan kepalanya
dia menubruk dada Coh Liu-hiang sementara kakinya melayang menendang
kemaluannya. Perubahan yang tak pernah terduga bukan saja Ling Hwe-kek kaget dan
berubah mukanya, karena semua hadirin maklum asal tenaga dalam Coh Liuhiang
dikerahkan, maka urat besar yang menembus ke jantung Li Giok-ham
bakal tergeser pecah dan hancur, jiwanya pun binasa.
Maka terdengarlah "Blang" Li Giok-ham terhuyung mundur ke belakang,
pedang di tangannya mencelat terbang, namun badannya tidak sampai
tersungkur jatuh. Malah Coh Liu-hiang tertendang terguling-guling.
Kiranya disaat yang amat gawat itu Coh Liu-hiang tidak kerahkan tenaga
dalamnya, disaat-saat jiwa sendiri hampir saja terenggut elmaut, ternyata
dia masih tidak tega melukai atau menamatkan jiwa orang lain.
Li Giok-ham gentayangan mundur, Coh Liu-hiang roboh terguling, selarik
sinar pedang melesat terbang... pada saat itu pula mendadak bayangan Liu
Bu-bi melesat maju. Badannya meluncur laksana bintang mengejar
rembulan, sigap sekali ditengah udara dia menyambut pedang Li Giok-ham
yang mencelat terbang itu, lalu dari atas menukik turun bersama pedang
itu terus menusuk ke arah Coh Liu-hiang yang masih terguling di lantai.
Coh Liu-hiang tidak tega melukai orang, celaka adalah dia sendiri
terlentang luka tidak ringan, mukanya sudah pucat pias, namun keringat
sebesar kacang berketes-ketes membasahi seluruh kepalanya. Dengan
mendelong dia awasi tusukan pedang Liu Bu-bi yang bakal memantek
badannya di atas lantai dengan dada tembus sampai ke punggung.
"Trang" sekonyong-konyong terdengar benturan keras sehingga keluar api
muncrat menyilaukan mata, begitu kerasnya suara benturan senjata keras
ini seperti pekikan naga sehingga kuping terasa pekak.
Ternyatalima batang pedang ditangan Li Hwi-kek dan lain-lain serempak
terayun ke depan memetakan jaringan sinar mengkilap yang ketat, tahutahu
tusukan pedang Liu Bu-bi tertahan dan tersanggah ditengah udara.
Begitu keras benturan ini sampai badan Liu Bu-bi tertolak mumbul ke
tengah udara dan bersalto ke belakang meloncat dengan enteng tancap
kaki tak bersuara, tangan yang memegang pedang sudah linu kemeng tak
bisa bergerak, namun pedang masih digenggamnya dengan kencang,
suaranya gemetar dan ngeri: "Cianpwe... Cianpwe, kenapa kalian
menolongnya?"
Suara Siau Ciok bengis dan kereng: "Dia tidak tega melukai jiwa suamimu,
sehingga terima tertendang roboh, mana boleh dalam keadaan seperti itu
kau hendak membunuh dia, anak didik keluarga Li di Mao kau mana boleh
melaksanakan perbuatan serendah dan tak tahu budi seperti ini?"
Liu Bu-bi tertunduk lemas, agaknya diapun terbungkam tak bisa berdebat
lagi. Li Giok-ham mendadak berlutut, ratapnya: "Dia menaruh belas kasihan


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadaku, sudah tentu Wanpwe cukup tahu budi luhurnya ini Wanpwe tidak
akan berani melupakannya apapun caranya Wanpwe pasti akan membalas
budi kebaikan ini tanpa pamrih."
"Seenak udelmu kau bicara, kau kira sebagai orang persilatan harus
mengutamakan budi pekerti, tegas dalam budi kebaikan dan dendam
kesumat." "Budi luhurnya terhadap Wanpwe terang akan kubalas ganda, tapi hari ini
apapun yang terjadi sekali-kali Wanpwe tak akan membiarkan dia lolos dari
sini." "Apa-apaan ucapanmu ini?" bentak Siau Ciok mendelik.
Semakin dalam kepala Li Giok-ham tertunduk sahutnya: "Karena
betapapun tebal dan mendalam budi luhurnya terhadap Wanpwe, takkan
setebal dan sedalam budi luhur orang tua yang mendidik dan membesarkan
diriku, jikalau hari ini Wanpwe membiarkan ia pergi karena dia menanam
budi terhadap diriku, mungkin ayah bakal menyesal seumur hidup, bukan
mustahil aku bakal dikutuknya. Bakti terhadap orang tua memang sukar
dilakukan dan memerlukan pengorbanan, namun betapapun Wanpwe harus
mengutamakan bakti lebih dulu tentunya para Cianpwe tidak akan membuat
Wanpwe tidak berbakti terhadap orang tua bukan?"
Lama Siau Ciok termenung, pelan-pelan sorot matanya tertuju pada Li
Koan-hu. Tampak rona muka si orang tua yang sudah loyo ini, dari pucat
pasi kini berobah merah padam, daging di ujung bibirnya tampak gemetar
keras, sepasang mata yang sudah hampa mendelong itu, kini menyorotkan
kegusaran yang tak terlampias, seolah-olah mirip sepasang obor yang sakti,
membakar dan menghidupkan kembali jiwa lapuknya yang tinggal menunggu
ajal itu. Siau Ciok akhirnya menarik napas, katanya sambil menarik sorot matanya:
"Bagaimana menurut pendapat kalian?"
Ling Hwi-kek berempat kelihatannya serba susah, tiada satupun yang
segera menjawab pertanyaan ini, dengan melirik satu persatu Li Giok-ham
pandang mereka, katanya pula: "Wanpwe cukup tahu, dengan gengsi
kedudukan dan ketenaran para Cianpwe, sekali-kali tidak akan turun tangan
disaat lawan sudah terkalahkan, apalagi membunuhnya. Tapi mengingat
hubungan intim para Cianpwe dimasa lalu dengan ayah, tentunya takkan
berpeluk tangan dan tega membiarkan beliau memeras diri dalam keadaan
yang tersiksa itu." Kini kepalanya terangkat, katanya lebih lanjut: "Sejak
tujuh tahun yang lalu waktu beliau meyakinkan hawa pedang, tak beruntung
Cay-hwe-ji-po, selama tujuh tahun ini keadaan lebih sengsara dan tersiksa
daripada orang mati, memangnya para Ciapwe begitu tega..."
"Jangan kau banyak cerewet lagi!" sentak Siau Ciok bengis: "Aku hanya
ingin tanya kepadamu, umpama kata sekarang kita membunuh Coh Liuhiang,
memangnya manfaat apa yang diperoleh ayahmu?"
"Wanpwe sendiri tidak tahu kenapa ayah begitu getol ingin membunuh
jiwa orang ini, aku hanya tahu bahwa perintah dan kehendak orang tua tak
boleh dibangkang, jikalau para Cianpwe belum lupa akan..."
"Tidak perlu kau peringatkan aku." tukas Siau Ciok keras. "Memangnya
dulu Li Koan-hu teramat baik terhadapku, umpama aku bisa melakukan
perbuatan terkutuk kepada manusia siapa saja dikolong langit ini sekalikali
aku takkan berani berbuat salah terhadapnya!" mulut bicara pelanKoleksi
Kang Zusi pelan dia menarik pedangnya, katanya: "Putusanku sudah tegas, entah
bagaimana pendapat kalian?"
Laki-laki bertubuh tinggi kekar menghela napas sahutnya: "Kalau Siao-lo
berpendapat demikian, Losiu takkan banyak bicara lagi!"
Ling Hwi-kek berkata: "Dengan Hoan-hu-heng bukan saja kenalan baik,
malah masih terhitung famili dekat, maka kedudukan dan keadaanku
sendiri sebetulnya jauh lebih menyulitkan daripada kalian, maka... maka...
mendadak dia membalikkan badan katanya: "Hari ini perduli kalian mau
bunuh Coh Liu-hiang atau membebaskannya pergi, terpaksa aku anggap
tidak melihat tak mendengar, lebih baik kalian boleh anggap aku tak hadir
di sini." Kini empat pedang sudah ditarik mundur. Laki-laki baju hitam yang
bertubuh biasa itu agaknya lama sekali peras otaknya, baru sekarang dia
bersuara dengan nada berat: "Pendirianku sama dengan Ling-heng."
agaknya orang ini tidak suka bicara cukup beberapa patah katanya saja,
dia lantas putar badan menyingkir ke pinggir.
Maka sekarang yang ketinggalan hanyalah laki-laki tinggi besar yang kekar
itu, pedangnya masih teracung lurus ke depan, meski pedang tergenggam
erat, namun ujung pedangnya kelihatan bergoyang-goyang dan gemetar.
Berkata Siau Ciok mengerut alis: "Aku tahu hubunganmu dengan Li Koanhu
paling mendalam, kenapa kau tidak buka suara?"
Laki-laki tinggi besar serba hitam ini menghela napas, katanya: "Bukan
saja hubungan Koan-hu-heng dengan aku amat mendalam malah dia pernah
menolong jiwaku, jikalau lantaran diriku sendiri, aku disuruh membunuh
Coh Liu-hiang dengan pedangku ini tak menjadi soal, namun sayang..."
"Apa yang kau sayangkan?" tanya Siau Ciok tidak sabar.
"Tentunya Ciok-lo sudah tahu setiap patah dan tindak tandukku, bakal
mempengaruhi ribuan anak murid Bu tong-pay kami, mana bisa, mana aku
bisa..." suaranya gemetar terang bahwa hatinya amat mendelu dan
perasaan hati sedang berada dalam tekanan keadaan.
Namun Siau Ciok segera membentak dengan bengis: "O, jadi kau sedang
merisaukan kedudukan Toa-hu-hoatmu di Butong-san, tapi jikalau Li KoanKoleksi
Kang Zusi hu tidak menolong jiwamu, apa kau masih bisa hidup sampai sekarang?"
"Kenapa tidak kau copot saja kedudukan Toa-hu-hoatmu itu demi
membalas kebaikannya?"
Ternyata laki-laki tinggi besar dan kekar ini adalah Thi-san Totiang,
pelindung pertama dari Bu-tong-san yang sekarang. Diam-diam mencelos
hati Coh Liu-hiang, terdengar Siau Ciok sedang berkata pula: "Biar
kuberitahu kepadamu, setelah hari ini aku membalas budi kebaikan Li
Koan-hu selanjutnya akupun malu untuk mengurus dan mengasuh serta
memimpin murid didik dari perguruan Giok-kiam kami, selanjutnya aku akan
mengundurkan diri mengasingkan diri di atas gunung, jikalau kau suka
menjadi temanku, dengan senang hati aku sambut uluran tanganmu."
Dada Thi-san Totiang turun naik napasnya memburu keras, keringat
bertetesan membasahi bahunya.
Mendadak Coh Liu-hiang menimbrung dengan tertawa: "Kukira Totiang
tidak perlu sangsi dan serba salah, lebih baik kau tiru tekad para Tayhiap
ini, gunakan diriku sebagai pembalasan kebaikan orang! Apa yang
dinamakan "kesetiaan dan keadilan Kang-ouw" sebetulnya banyak ragam
artinya, hari ini kau membunuh aku, bukan saja orang lain tidak akan
menistamu sebagai seorang yang tak punya rasa cinta kasih dan tidak
setia, malah orang akan mengatakan kau tegas memberikan budi kebaikan
dan dendam sakit hati, bagi seorang laki-laki sejati yang membalas budi
kebaikan orang lain. Sebaliknya jikalau hari ini kau bebaskan aku, kelak kau
akan malu jadi manusia."
Thi-san Totiang membanting kaki, mendadak dia angkat telapak tangan
kirinya, terus diayun balik menebas ke pundak kirinya sendiri. "Krak"
terdengar tulang patah dan remuk oleh pukulan tangannya sendiri.
Siau Ciok berteriak kaget, serunya: "Kenapa kau berbuat demikian?"
Thi-san Totiang terhuyung mundur, katanya serak dengan tertawa getir:
"Kalian sudah melihat, Coh Liu-hiang, kaupun melihat bukan aku tidak sudi
merintangi mereka membunuh orang, kenyataan sekarang aku sudah tak
mampu menghalangi mereka lagi."
Bukan saja mula Liu Bu-bi sudah pucat pias tak berdarah, agaknya diapun
terkesima saking kaget dan takut.
Kata Thi-san Totiang dengan serak: "Kenapa tidak segera kau bunuh dia"
Apa pula yang kau tunggu?"
Tersipu-sipu Liu Bu-bi berlutut di lantai bersama Li Giok-ham keduanya
menyembah tiga kali, serunya: "Terima kasih Cianpwe, budi luhur para
Cianpwe selama hidup Tecu takkan melupakan."
Coh Liu-hiang menghela napas pelan-pelan katanya dengan tertawa getir.
"Ada orang seperti Thi-san Totiang yang begitu simpatik terhadapku maka
terbukti sudah bahwa "jalan kebenaran dan keadilan Kangouw" hakekatnya
bukan omong kosong belaka, terhitung kematianku tidak sia-sia, aku mati
tidak penasaran, cuma sampai sekarang aku tetap tak mengerti, kenapa
kalian ingin benar membunuhku, akupun tahu sekarang kalian terang takkan
mau memberi tahu kepadaku, agaknya matipun aku akan jadi setan
gentayangan."
Maka ujung pedang Liu Bu-bi akhirnya terhujam kedada Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang secara langsung merasakan ujung pedang Liu Bu-bi yang
dingin itu sudah menembus ke dalam kulit dagingnya, anehnya dalam
keadaan seperti itu, Coh Liu-hiang ternyata malah terlalu terang,
sedikitpun tidak merasa takut, sampai sakitpun sudah tak terasakan lagi
olehnya, yang terasa hanyalah ujung pedang yang tajam mengkilat itu
sedingin es. Entah mengapa pada detik-detik sebelum ajalnya ini, pikirannya mendadak
melayang ke tempat nan jauh disana , di suatu tempat di pucuk utara yang
bertanah salju. Terbayang olehnya diwaktu dirinya masih kecil, waktu dia
bersuka ria bergulingan dengan Oh Thi-hoa dibukit salju, secara diamdiam
Oh Thi-hoa menyusupkan segenggam salju yang dingin itu ke dalam
lobang baju di lehernya. Gumpalan salju itu terus melorot turun sampai di
dadanya, perasaan diwaktu kecil dulu itu mirip benar dengan keadaan
sekarang. Bila orang mengacungkan gumpalan salju hendak menyusupkan kedalam
bajunya, kau akan merasa takut, namun setelah salju yang dingin itu
menyentuh dan mengalir di kulit badanmu, kau malah akan merasa suatu
siksaan yang menyenangkan, seolah-olah pula kau merasakan terbebaskan
dari segala belenggu dan kesulitan, karena sesuatu yang membuatmu
merasa takut sudah berlalu.
Lantaran yang betul-betul ditakuti oleh orang, bukan benda itu sendiri,
tapi hanyalah bayangan khayalnya saja terhadap kejadian itu, umumnya
manusia takut menghadapi kematian, lantaran tiada manusia yang benarbenar
memahami arti dari kematian itu, maka timbul berbagai bayangan
atau khayal yang menakutkan terhadap kematian sendiri.
Dan kematian itu kini sudah berada di hadapan Coh Liu-hiang. Didalam
masa hidupnya yang beraneka ragam, penuh humor dan serba romantis itu,
dia sendiri tidak tahu berapa kali dirinya pernah menghadapi detik-detik
tegang yang bakal merenggut jiwanya, tapi selama itu dia tak pernah
kehilangan keyakinan dan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.
Hanya kali ini saja, dia benar-benar sudah tak berdaya sama sekali, ia
insyaf dalam keadaan seperti ini ditempat ini pula, sekali-kali takkan
terjadi sesuatu keajaiban, pasti takkan ada orang yang bakal menolong
dirinya lagi. Secara langsung terasa olehnya, belum pernah dirinya begitu dekat
dengan ajal, begitu dekat seolah-olah dia sudah dapat merasakan serta
melihat keganjilan dari bayangan kematian itu, sehingga terasa pula
olehnya bahwa "MATI" ternyata juga hanya begini saja, tiada sesuatu
yang perlu dibuat takut, maka timbul ingatannya, bahwa bukan saja orangorang
yang takut mati amat kasihan, sesungguhnya amat menggelikan.
Maka setitik harapannya pada saat itu, hanyalah, semoga Oh Thi-hoa
sudah membawa Soh Yong-yong dan lain-lain melarikan diri, jikalau
sekarang dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kenyataannyapun sudah teringkus dan
tergenggam jiwanya ditangan mereka, maka perasaan hatinya sebelum ajal
ini takkan begitu tenang dan tentram.
Sekilas ini, banyak sekali persoalan yang terbayang dalam benaknya, dia
sendiri tidak tahu cara bagaimana didalam waktu yang singkat ini dia bisa
teringat banyak persoalan itu. Dia merasa ujung pedang yang dingin itu
masih berhenti di dadanya. Agaknya ujung pedang sedang berhenti mogok.
Tak tertahan segera dia angkat kepala memandang ke arah Liu Bu-bi.
Dilihatnya mata Liu Bu-bipun sedang menatap dirinya, roman mukanya yang
cantik pucat itu seakan-akan menampilkan rasa pilu dan sedih, sayang dan
kasihan. Terdengar Li Giok-ham batuk-batuk kecil, katanya: "Coh-heng, terus
terang kami merasa amat bersalah terhadap kau, semoga kau suka
memaafkan tindakan ini."
Hampir saja Coh Liu-hiang tak tahan hendak tertawa, masakah seorang
pembunuh mohon ampun dan minta maaf kepada korbannya, terasa oleh
Coh Liu-hiang ucapannya ini teramat lucu dan ganjil kedengarannya.
Liu Bu-bi segera menambahkan dengan suara rawan: "Kami sendiri tiada
niat membunuh kau, sungguh merupakan tindakan terpaksa." setelah
menghela napas, dia pejamkan matanya.
Coh Liu-hiang tahu begitu matanya terpejam, maka ujung pedang segera
akan menusuk ulu hatinya dan tamatlah jiwanya.
Tak tahunya pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara gaduh, seperti
meja dan cangkir poci dan lain-lain di atas sama jatuh pecah berantakan,
selanjutnya didengarnya pula seseorang membentak dengan suara yang
dipaksakan: "Ta.... tahan!"
Dalam detik-detik yang menentukan jiwanya ini, sungguh mimpipun Coh
Liu-hiang tidak akan pernah membayangkan ada orang bakal menolong
jiwanya. Memang mimpipun tak pernah terpikir olehnya, siapakah
sebenarnya yang menolong dirinya.
xxx Itulah sebuah rumah mungil yang dipajang dengan indahnya, kainparis
menutupi jendela, kain gordyn melambai tertiup angin, bau wangi memenuhi
ruangan menyegarkan napas seolah-olah di situ adalah sebuah kamar
seorang perawan. Tapi didalam pandangan Oh Thi-hoa tempat ini tak
ubahnya sebagai penjara yang paling mewah belaka.
Nona Ping mondar-mandir dan tak mau berhenti didalam rumah,
pinggangnya yang ramping seperti menggeliat dengan indahnya, dadanya
yang padat montok seolah-olah hendak meledak menjebol kain sutra yang
membungkusnya, sampaipun sulaman kembang dibagian dalamnyapun
kelihatan samar-samar, adanya seorang gadis ayu dengan dandanan
merangsang mondar-mandir di hadapanmu, sungguh merupakan rejeki
besar bagi seorang laki-laki yang memperoleh tontonan gratis.
Tapi sekarang sedikitpun Oh Thi-hoa tidak merasa sedan beruntung dan
terpesona, kalau semula dia ingin mencubit pinggul orang yang bulat itu,
sekarang ingin rasanya dia memberi persen bogem mentah diujung
hidungnya yang mancung itu. Gemas sekali hatinya. Lalu sekali pukul lagi
bikin rontok seluruh giginya supaya kelak dia tidak berani membual dan
ngapusi orang lagi, sayang sekali hatinya hanya bisa marah tanpa dapat
berbuat apa-apa, karena kaki tangannya terikat sedemikian kencang.
Bahwa orang tidak pukul rontok giginya sendiri sudah merupakan suatu
keberuntungan. Terasa lenggang nonaPing semakin lama semakin genit, gemulai dan
mempesonakan sampai pandangan matanya mendelik dan kepala pusing, tak
tahan dia menjerit: "Apakah pantatmu tumbuh bisul" Kenapa tidak kau
duduk saja?"
Ternyata nonaPing betul-betul menghampiri ke depannya dan duduk.
Oh Thi-hoa tidak duga orang mau begitu dengar katanya, sesaat dia
melongo katanya pula lebih keras: "Akukan bukan bapakmu, kenapa kau
begitu penurut?"
Bukan saja tidak marah, nonaPing malah tertawa lebar, ujarnya: "Apakah
kau berpendapat jiwamu bakal segera mampus, maka kau lekas naik pitam,
sebetulnya kau tidak perlu marah-marah karena aku jelas takkan
membunuh kau."
Berputar biji mata Oh Thi-hoa, katanya: "Kalau kau tidak membunuhku,
kenapa tidak lekas kau bebaskan aku?"
"Asal Coh Liu-hiang itu sudah mampus, segera aku membebaskan kalian."
Berkerut alis Oh Thi-hoa. Dengan tersenyum nonaPing segera
menambahkan: "Bukan saja melepas kau, ke empat nona-nona itupun akan
kami bebaskan seluruhnya, oleh karena itu lekaslah kau berdoa kepada
Thian supaya Coh Liu-hiang lekas mati, semakin cepat dia mati semakin
cepat kalian dibebaskan."
"Kalau demikian mungkin selama hidupku aku bakal terbelenggu seperti ini
dan kau akan meladeniku pula."
"O?" nonaPing bersuara heran.
Oh Thi-hoa melotot, teriaknya: "Ketahuilah selamanya Coh Liu-hiang
takkan mudah terbunuh, sekarang segera kau bebaskan aku, terhitung kau
cerdik, kalau tidak bila dia sudah kemari, he he..."


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aduh!" nonaPing terpingkel-pingkel. "Begitu menakutkan! Kalau kau
menakut-nakuti aku, jantungku serasa hendak melonjak keluar."
Oh Thi-hoa menyeringai, jengeknya: "Sekarang tentu kau tidak perlu
takut, namun bila dia sudah berada disini..."
Sekonyong-konyong di luar terdengar ada seseorang memanggil lirih:
"Nona Ping."
"Masuk..." sahut nonaPing , "kau sudah memberi laporan kepada Siauhujin"
Apa yang dipesan oleh Hujin?"
Yang masuk ternyata kacung cilik baju hitam itu, sahutnya menjura:
"Siau-hujin hanya tertawa -tawa saja, sepatahpun tidak memberi pesan
apa-apa. Nona Ping melerok kepada Oh Thi-hoa, tanyanya pula: "Apa kaupun ada
melihat Coh Liu-hiang itu?"
Kacung cilik itu menyeringai tawa, sahutnya: "Sudah tentu melihat dia,
memang laki-laki ganteng yang gagah, sedikitnya jauh lebih cakap dari yang
ini, jauh lebih pintar pula."
Oh Thi-hoa mendengus, jengeknya: "Kau bocah ini tahu kentut."
Nona Ping tertawa cekikikan, katanya: "Justru karena bocah cilik tidak
tahu urusan, maka apa yang dia ucapkan pasti jujur."
Kacung cilik itu tiba-tiba berkata pula: "Sering aku mendengar cerita
orang katanya betapa lihai dan hebat Coh Liu-hiang yang digelari Maling
Romantis itu, tapi menurut apa yang sudah kulihat tadi, kecuali
perawakannya gagah bermuka ganteng saja, yang lain-lain sih biasa saja,
belum lama setelah aku masuk ke ruang dalam, dengan jelas kulihat sendiri
dia ditendang terjungkal oleh Siau cengcu, rebah di tanah, bergerakpun
tidak bisa."
Oh Thi-hoa gusar serunya: "Mungkin kau melihat setan disiang hari
bolong." Kacung cilik berbaju hijau ternyata tertawa peringisan katanya: "Jika kau
anggap aku sedang membual, lebih baik jangan kau percaya."
Oh Thi-hoa melongo sesaat lamanya, akhirnya tak tahan ia berseru:
"Walau aku tidak percaya, tapi tidak menjadi soal mendengar obrolanmu,
yang terang dalam keadaan begini aku memang amat iseng."
"Kalau kau sedang iseng, sebaliknya aku sedang repot." kata kacung cilik
itu tertawa. Aku tidak punya waktu untuk bercerita kepada kau, mulutnya
bicara, badannya sudah berputar keluar.
Keruan Oh Thi-hoa jengkel dan gemes, tenggorokkannya terasa getir,
namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tak kira, tak lama kemudian kacung cilik itu berlari balik cuma
menongolkan kepalanya saja diambang pintu, katanya mengawasi dirinya:
"Kalau kau ingin tahu bagaimana keadaan temanmu sekarang aku sih punya
cara yang baik."
"Cara apa?" tanya Oh Thi-hoa tak tahan lagi.
"Jikalau kau suka memberi hadiah kepadaku, begitu hatiku senang, bukan
mustahil segera ku ajak kau ngobrol."
"Hadiah apa yang kau inginkan dari aku?"
Berputar biji mata kacung cilik ini, katanya: "Yang lain aku tidak mau, aku
hanya suka kotak perak didalam kantongmu itu."
Oh Thi-hoa tertawa dingin katanya: "Liu Bu-bi ternyata tidak melupakan
benda ini, kenapa tidak dia sendiri yang mengambilnya kemari?"
"Memangnya nyonya muda perlu turun tangan sendiri" Umpama aku saja
sekarang jangan kata aku hanya ingin minta sesuatu barangmu saja,
seandainya harus menelanjangi seluruh pakaianmu, kaupun hanya bisa
melotot saja kepadaku."
Ternyata biji mata Oh Thi-hoa betul-betul melotot besar seperti bundar
telur, dampratnya gusar: "Kau... kau berani?"
"Kenapa aku tidak berani, cuma aku ini seorang kacung dari keluarga Li ini,
selamanya harus pegang tata tertib, sekali-kali aku tak sudi sembarangan
ambil barang milik orang lain tanpa ijin, kecuali secara sukarela orang itu
memberi kepadaku."
Nona Ping tertawa lebar katanya: "Kau jangan kuatir, Oh Thi-hoa biasanya
terbuka tangan dia bukan orang kikir, sekali-kali dia tidak akan merasa
berat memberikan barang yang kau inginkan, apalagi hanya mulutnya saja
yang terkancing, sebetulnya hatinya sudah gugup setengah mati, jikalau
kau tidak segera memberitahu keadaan Coh Liu-hiang yang sebenarnya,
bukan mustahil dia bisa mampus karena kau bikin marah."
Walau amarah Oh Thi-hoa sudah berkobar tapi memang dia amat ingin
besar tahu keadaan Coh Liu-hiang meski apa yang dia dengar dari
penuturan mulut bocah kecil ini tidak seratus persen boleh dipercaya,
namun masih mending dari pada tak tahu sama sekali, terpaksa dalam hati
dia menghela napas, mulutnya segera terpentang lebar, serunya lantang:
"Benar, Oh Toaya biasanya amat royal, apa yang diinginkan orang kalau dia
punya dengan suka hati dia memberikan, nah boleh kau ambil sendiri."
"Kacung cilik itu sudah memburu maju sambil merogoh keluar kotak perak
Bau-hi-li-hoa-ting itu, katanya tertawa gembira: "Kau sendiri yang
memberi kepadaku dengan sukarela, aku tak memaksa kau lho, benar
tidak?" "Ya, terhitung aku situa bangka ini, kesandung oleh anak kecil, anggap saja
hari ini aku terlalu sial." gumam Oh Thi-hoa uring-uringan.
"Apakah kau merasa sial" Kalau dibandingkan dengan temanmu yang satu
itu, kau malah terhitung beruntung."
"Dia... bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Oh Thi-hoa gelisah.
"Setelah ditendang roboh oleh Siau-chengcu, nyonya muda segera
menubruk maju sambil menusukkan pedangnya, ternyata Coh Liu-hiang si
Maling Romantis yang kenamaan itu, berkelitpun sudah tidak mampu lagi."
Walau Oh Thi-hoa tidak percaya obrolan seorang bocah, namun
mendengar cerita ini tak urung dia menjerit kaget, kacung cilik itu malah
cekikikan geli, katanya dengan kalem: "Tapi kelima Cianpwe justru
berpendapat nyonya muda tidak pantas membunuhnya, serempak mereka
turun tangan menghalangi dan menangkis pedang nona muda..."
Sampai disini tak terasa Oh Thi-hoa menarik napas, katanya lagi:
"Agaknya kelima orang itu memang tidak malu sebagai tokoh-tokoh kosen
ahli pedang yang sudah kenamaan."
"Apa sekarang sudah mau percaya bahwa apa yang kukatakan tidak
membual lagi?" tanya kacung cilik itu.
"Belum lagi Oh Thi-hoa buka suara lagi, nonaPing sudah mendahului:
"Sudah tentu dia percaya karena seseorang bila mendengar kabar gembira
tentu lebih mudah untuk mempercayainya."
"Kalau demikian," ujar si kacung cilik, "kalau cerita kulanjutkan mungkin
sepatah katapun tak mau dipercayainya."
"O, Coba kau teruskan ceritamu!" desak nonaPing ikut merasa heran.
"Karena kalau ceritaku kulanjutkan, maka tiada sepatah katapun yang
merupakan kabar gembira."
"Apakah... apakah kelima Cianpwe itu akhirnya merubah haluan?" tanya Oh
Thi-hoa gemetar.
"Walau kelima orang-orang tua itu ada sedikit belajar keimanan,
betapapun mereka belum pikun, untuk masih bisa membedakan untung rugi
dan berat ringan sesuatu persoalan. Setelah Siau cengcu ketengahkan
pengertian yang mendalam perihal kesetiaan dan persahabatan, akhirnya
kelima orang itu satu persatu mengundurkan diri."
Meski Oh Thi-hoa tidak percaya ucapannya, mau tak mau dia harus
percaya juga akhirnya, tanyanya pula tak sabaran: "Belakangan
bagaimana?"
"Belakangan aku mengundurkan diri." sahut kacung cilik itu.
Karuan Oh Thi-hoa berjingkrak gusar. teriaknya: "Kau tinggal pergi"
Kenapa kau pergi darisana ?"
"Karena aku takut melihat orang mati, kulihat ujung pedang nyonya muda
sudah menusuk ke dalam dadanya, maka secara diam-diam aku lantas
mengeluyur keluar, tapi cepat atau lambat suatu ketika kau pasti akan
percaya, hakekatnya aku tak perlu membual untuk menggertak atau
menakuti aku."
Terasa oleh Oh Thi-hoa seluruh badannya menjadi kejang, keringat
gemerobyos membasahi seluruh badan.
Berkata pula kacung cilik itu dengan tertawa: "Namun setelah aku pergi,
bukan mustahil mendadak bisa muncul seseorang yang menolong jiwanya,
sudah lama aku dengar katanya teman Coh Liu-hiang tersebar di seluruh
kolong langit, apa benar?"
"Sudah tentu ada orang yang akan menolongnya." seru Oh Thi-hoa penuh
keyakinan. Pasti ada orang yang datang menolongnya, sudah tentu..."
beruntun berulang kali dia ucapkan kata-katanya ini, karena dia kuatir dia
sendiripun tidak percaya maka sengaja dia ulangi dua tiga kali untuk
memperteguh keyakinannya. Celaka adalah setelah tujuh delapan kali dia
ulangi kata-katanya, hatinya masih belum mau percaya juga.
"Coba kau pikir" kata kacung cilik itu pula :" Siapa yang akan menolong
dia?" "Siapa saja bisa saja menolong dia, karena terlalu banyak untuk disebut
satu persatu yang terang orang mau menolongnya." kata Oh Thi-hoa sengit.
"O! coba kau sebut saja dua tiga orang diantaranya."
"Umpamanya, umpamanya, Setitik Merah dari Tionggoan, Bau li tok hing
Cay locianpwe, Thian-hong Taysu, haha, tentunya kau kenal nama-nama
beberapa orang ini?" meski sedapat mungkin dia menghibur diri dengan
mulut nyerocos. tapi dia sendiri tahu bahwa orang-orang yang dia sebut
namanya tadi takkan mungkin meluruk kemari dan lagi umpama benar
mereka menyusul datang, belum tentu mereka mampu menolong jiwa Coh
Liu-hiang. Biji mata kacung cilik itu kembali berputar katanya: "Benar, agaknya tadi
aku seperti melihat berkelebatnya bayangan seorang Hwesio tua, kalau
tidak salah memang Thian-hong Taysu."
"Apa benar kau melihatnya?" seru Oh Thi-hoa kegirangan.
"Em! Tapi setelah kutegasi, baru aku tahu ternyata dia bukan seorang
Hweshio, tapi adalah seorang laki-laki botak."
Sudah tentu serasa orang yang kebakaran jenggot gusar dan gelisah, Oh
Thi-hoa gusar lagi karena permainan bocah cilik ini.
Kacung cilik malah cekikikan katanya: "Kau jangan marah, bukan sengaja
aku hendak membuat kau marah, soalnya kau sendiri suka mengapusi dirimu
sendiri, terpaksa akupun ikut bantu kau menipumu juga.
"Kau kira bualanmu pantas dibuat girang ya?" damprat Oh Thi-hoa
meronta-ronta, "Ketahuilah jikalau kalian benar sudah membunuh Coh Liuhiang
didalam waktu setengah bulan seluruh Yong cui-san-cheng ini bakal
dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah, belum habis dia bicara, dari
dalam rumah mendadak kumandang suara desingan yang nyaring, seolaholah
barang besi apa yang dipukul dengan gencar.
Setelah didengarkan dengan seksama, suara gaduh ini seperti kumandang
dari dalam bumi.
Kacung cilik itu segera mengawasi nonaPing dengan tertawa, katanya:
"Apakah macan betina itu sedang main gila lagi?"
Nona Ping menghela napas, katanya: "Dia sedang memanggil orang, bila aku
tidak segera turun ke bawah, maka dia akan memukul terus takkan
berhenti, sampai orang lain budek dan dongkol setengah mati."
"Kenapa tidak beri hajaran kepadanya supaya orang lain tahu akan tata
tertib di sini, pasti dia akan tunduk dan menyerah mentah-mentah,"
kacung itu mengusulkan.
"Sejak mula aku sudah hendak unjuk gigi kepada mereka, namun nyonya
muda justru bersikap ramah-tamah terhadap mereka, untung orang she
Coh itu sekarang sudah tamat terhitung akupun boleh terbebas dari
kesulitan."
Bila mata Oh Thi-hoa kembali melotot besar, serunya: "Apakah yang kau
bicarakan adalah nona Soh dan lain-lain?"
Mengerling biji mata nonaPing , tiba-tiba dia tertawa dengan berkata;
"Bukan kau ingin menjenguk mereka" Baik, sekarang juga kubawa kau
kepada mereka, kulihat kau dengan macan betina itu memang pasangan
yang setimpal."
Lalu dia menghampiri sebuah pigura yang dari lukisan cat kuno serta
menurunkannya, maka tampaklah di belakangnya sebuah dinding merekah
ke bawah dengan pintu yang cukup untuk turun seseorang ke bawah, undakundakan
batu. Kejap lain mereka sudah tiba di sebuah sel atau kamar
tahanan di bawah tanah yang beruji besi.
Begitu Oh Thi-hoa tiba di ruangan bawah, sorot matanya seketika melihat
tiga ekor kura-kura.
Ketiga ekor kura-kura besar itu merupakan lukisan dari tinta bak hitam
yang melekat pada dinding tembok putih yang berhadapan dengan pintu
masuk, yang paling besar ternyata digambar besar dari sebuah meja
bundar. Lucu sekali bahwa kepala kura-kura itu ternyata berjenggot dan
berkaca-mata, dan yang lain digambar rada kecilan, pada kedua sisi
masing-masing ada dilukis tiga baris huruf-huruf pengenal yang berbunyi:
"Gambar Li Giok-ham dan gambar Liu Bu-bi. Dibawahnya tertanda Li Ang
siu dari Tionggoan dan Song Thiam-ji dari King-nam.
Tak jauh dari gambar ketiga kura-kura ini, tertulis pula sepasang syair
tampilan, masing-masing berbunyi: "Anaknya Linglung, babaknya pikun."
"Mantunya gendeng, sekeluarga serba gila."
Kalau Oh Thi-hoa saat itu tidak sedang masgul dan gundah pikiran,
mungkin ia sudah tertawa terpingkal-pingkal. Maka setelah maju lebih
lanjut, maka dia melihat empat orang. Empat orang gadis muda yang
rupawan laksana bidadari.
Yang terlihat oleh Oh Thi-hoa lebih dulu adalah gadis yang berambut
kepalanya dikuncir dua, kulit mukanya bersemu abu-abu dengan bulat
seperti kuaci, dikombinasi dengan sepasang mata yang jeli, lincah dan
membundar besar. Tatkala itu gadis ini sedang memukulkan sebuah baskom
tembaga pada terali besi tak henti-hentinya sehingga mengeluarkan suara
kelontangan yang gaduh.
Gadis yang di sebelahnya berpakaian celana panjang warna merah menyala
seperti api yang sedang membara, namun kulit badannya sedemikian halus,
dua orang yang lain sedang duduk berhadapan dipojokkansana main catur.
Kalau di sebelah sini sedang ribut dengan suara baskom tembaga yang
diadu terali besi, serasa bumi hampir ambruk, di sebelahsana keadaan
justru tenang-tenang tanpa mengeluarkan suara.
Gadis yang di sebelah kiri lemah lembut pendiam, rambutnya yang diikal
dengan alis lentik dan bulu mata yang panjang lebat, kerlingan mata yang
jernih, selintas pandang bak bidadari yang turun dari kahyangan, sudah
lama tidak dikotori oleh kehidupan duniawi.
Sebaliknya gadis yang duduk di sebelah kanan laksana kembang Tho yang
mekar di musim semi, namun sedingin tonggak salju di musim dingin pula,
roman mukanya yang pucat dengan sepasang biji mata bening setenang
gelombang lautan teduh yang mengalun pelan-pelan.
Oh Thi-hoa menghirup napas panjang berulang kali, mulutnya lantas
menggumam: "Akhirnya aku berhasil bertemu dengan mereka, namun
sayang sekarang segalanya sudah terlambat."
Gadis berkuncir begitu melihat kedatangan nonaPing seketika tertawa
besar, serunya: "Perempuan bodoh, memangnya kedua kakimu sudah
buntung" Baru sekarang kau kemari, tidak mendengar panggilanku?"
Nona Ping tersenyum saja, sahutnya: "Aku bukan perempuan bodoh,
logatmu sukar ku tangkap."
"Apa kau tidak mengerti" Kau tidak mengerti kenapa aku menamakan kau
perempuan goblok?" seru gadis itu tertawa besar.
Mimik wajah gadis ini serba aneh dan kaya akan perbuatan yang berlainan,
baru saja mukanya masih berseri tawa, tahu-tahu sudah menarik muka dan
merengut jelek, serunya: "Kutanya kau, apakah keluarga majikanmu sudah
mampus seluruhnya" Sampai ini waktu belum lagi dia membereskan
persoalan kita?" logat perkataannya mengandung aksen orang selatan, lama
kelamaan nonaPing baru paham apa yang dikatakan, tapi belum lagi dia
memberi tanggapan, gadis baju merah itu sudah melotot kepada Oh Thihoa,
teriaknya: "Oh.. Oh.. bukankah kau she Oh?"
"Benar." sahut Oh Thi-hoa tertawa getir, "Aku memang Oh Thi-hoa, tak
nyana kau masih ingat kepadaku."
Baru saja dia menyebut namanya sendiri, gadis lemah lembut itu segera
tinggalkan biji-biji caturnya memburu ke depan terali besi, dengan melotot
mereka awasi dirinya.
Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya: "Aku pun tahu kau bernama Soh
Yong-yong, kau ini Li Ang-siu dan kau Song Thiam-ji dulu waktu aku melihat
kalian, kalian masih kanak-kanak tak nyana sekarang sudah tumbuh besar.


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Ang-siu tertawa lebar sahutnya: "Setiap orang tentunya bisa tumbuh
dewasa benar tidak?"
"Sejak lama aku ingin menjenguk kalian, sayang waktu sekarang ini kurang
tepat, tempat ini terlalu buruk."
Nona Ping menurunkan dirinya di depan terali besi, katanya tertawa:
"Kalian sesama sahabat lama bertemu, silahkan ngobrol sepuas hati." mulut
bicara sementara ujung kakinya menutul ke atas lantai, papan batu di
bawah Oh Thi-hoa tiba-tiba menjeplak terbalik turun dan naik lagi, kontan
badan Oh Thi-hoa terjeblos terus terguling-guling didalam terali besi.
Lekas Li Ang siu dan Soh Thiam-ji memburu maju memapaknya duduk,
kejap lain tali urat kerbau yang membelenggu seluruh badannya sudah
diputuskan seperti burung berkicau kedua orang ini lantas menghujani
pertanyaan: "Bagaimana kau bisa datang kemari?"
"Aku sendiripun ingin tanya kalian, kenapa bisa berada di sini?" balas
bertanya Oh Thi-hoa.
Song Thiam-ji segera berebut bicara. "Kami tamasya ke gurun pasir naik
kuda dan..." dengan logat orang selatan dia nyerocos tidak henti hentinya,
tiba-tiba berhenti lalu menambahkan: "Apa yang kukatakan mungkin kau
tidak mengerti, biar dia saja yang cerita."
Li Ang-siu segera angkat bicara: "Cerita panjang kuperpendek saja, yang
jelas kita sudah bertamasya ke gurun pasir, tak lama kita segera pulang
mencari Coh Liu-hiang, namun ditengah jalan kami kesampok dengan Li
Giok-ham, Liu Bu-Bi suami istri!"
"Kalian kenal kedua suami istri itu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Siapa kenal mereka! Kebetulan hari itu kami mampir ke Kwi-gi-lau
sekaligus mencari Siau-ceng-san untuk cari kabar, kebetulan merekapun
berada disana ."
Diam-diam Oh Thi-hoa membatin: "Kemungkinan mereka bukan kebetulan
berada disana , yang terang mereka sengaja sedang menunggu kedatangan
mereka." "Semula kami merasa kedua suami istri ini memang sopan santun dan
cerdik lagi, katanya mereka keturunan dari keluarga besar persilatan lagi,
sehingga sedikitpun kami tak pernah curiga dan siaga akan muslihatnya."
Sampai di sini dia berhenti mengawasi Oh Thi-hoa lekat-lekat, tanyanya:
"Jikalau kau tahu martabat mereka, apa kaupun bisa curiga dan siaga akan
perangkap mereka?"
"Tidak, soalnya kita tidak secerdik dan seteliti Coh Liu-hiang."
"Dan karena itulah, dia ajak kami seperjalanan maka kamipun terima
permintaannya. Tak nyana secara diam-diam mereka sudah memberi obat
bius didalam air teh yang kami minum, waktu kami siuman, tahu-tahu sudah
diantar ke tempat ini, sungguh aku tidak habis berpikir sebagai putra
keturunan dari keluarga besar persilatan yang kenamaan, ternyata sudi
melakukan perbuatan yang hina dan serendah ini."
"Kalau aku, akupun takkan menduga."
"Lebih aneh lagi," demikian tutur Li Ang-siu lebih lanjut, "Sampai detik
ini, kami masih belum tahu tujuan dan maksud mereka, karena kami
terkurung disini tidak pernah kami melihat cecongornya lagi." jarinya
menuding Song Thiam-ji lalu meneruskan: "Meskipun setan cilik ini setiap
hari pentang bacot memaki kalang kabut, setiap hari membikin ribut,
namun apapun yang dia maki, penghuni perkampungan di sini seolah-olah
sudah mampus seluruhnya, tiada satupun yang mau muncul kecuali saatsaat
tertentu, saking dongkol maka kami menggambar tiga ekor kura-kura
di atas dinding, tak nyana mereka betul-betul menjadi kura-kura yang
selalu menyembunyikan kepalanya tak mau muncul menemui kami."
menghela napas. "Coba pikir, apakah maksud mereka sebenarnya?"
Oh Thi-hoa merasa getir ternggorokannya, dia kebingungan tak tahu apa
yang harus dia bicarakan.
Mendadak Soh Yong-yong angkat bicara: "Bukankah kau sudah bertemu
dengan Coh Liu-hiang?" dengan tajam dia menatap mukanya, terasa Oh
Thi-hoa kerlingan mata orang yang lembut dan hangat, mendadak begitu
terang cemerlang, sehingga orang yang dipandangnya takkan bisa
berbohong lagi dihadapannya.
Terpaksa Oh Thi-hoa mengangguk sahutnya: "Ya, aku memang sudah
bertemu sama dia."
"Lalu dimanakah dia sekarang?"
Oh Thi-hoa menundukkan kepala melengos dari tatapan sorot mata orang,
sahutnya tersendat: "Aku... aku kurang jelas."
Soh Yong-yong maju ke depannya, katanya tandas: "Kau pasti tahu,
kuharap kau jangan kelabui kami, apapun yang terjadi atas dirinya, kuharap
kau suka memberi tahu kepada kami, karena kami punya hak untuk
mengetahui." semula tutur katanya begitu lebut dan merdu mengasyikkan,
namun lama kelamaan nadanya sudah mengandung kekuatiran, melengking
dan gelisah, seolah-olah dia sudah mendapat firasat jelek.
Akan tetapi betapa Oh Thi-hoa akan tega menceritakan kabar buruk yang
menimpa diri Coh Liu-hiang kepada mereka. Sayang sekali Oh Thi-hoa
bukan seorang yang pandai menyembunyikan perasaan hati dan bisa
menekan emosi, meski sepatah katapun dia tidak berbincang, namun rona
muka Soh Yong-yong lambat-laun semakin pucat, kaki tangan dan
bibirnyapun gemetar.
Agaknya seperti kehilangan keseimbangan badan, badannya tak kuat
berdiri lagi, mendadak dia meloso jatuh, dengan menjerit bersama Song
Thiam-ji dan Li Ang-siu berebut maju memapahnya. Tepat pada saat itu
pula, terdengar gerungan lirih tertahan, mendadak Mutiara hitam sudah
memburu datang dan sedang mencekik leher Oh Thi-hoa, kulit mukanya
pucat tak berdarah, dengusnya sambil melotot: "Sebetulnya apa yang
terjadi dan apa pula yang dia alami" Tidak kau katakan biar aku bunuh kau
lebih dulu."
Tersipu-sipu Soh Yong-yong meronta bangun, serunya gemetar: "Lepaskan
dia, lepaskan dia... sekali-kali dia tidak punya maksud jahat." "Tapi kenapa
dia tidak mau bicara?" sentak Mutiara hitam. "Apa sih yang ingin dia
sembunyikan untuk mengelabui kita?"
Air mata bercucuran membasahi pipi Soh Yong-yong, katanya pilu: "Aku
tahu kenapa dia tidak mau membuka mulut, karena dia kuatir kita sedih."
habis kata-katanya tangisnya pun pecah sesenggukan. Li Ang-sui, Song
Thiam-ji dan Mutiara hitam sama berdiri memjublek, ketiganya sama
mendelong awasi muka Oh Thi-hoa.
Melihat rona muka dan sorot mata mereka, sungguh serasa ditusuk jarum
ulu hati Oh Thi-hoa, sampai detik ini, baru dia benar-benar merasakan dan
memahami betapa kecut perasaan seorang sedih hati."
Sekonyong-konyong bayangan seseorang seperti terbang menerjang ruang
penjara di bawah tanah ini. Orang ini ternyata bukan lain adalah Li Giokham.
Begitu melihat orang ini, biji mata Li Ang-siu dan Song Thiam-ji seketika
menyala seperti hendak menyemburkan api. Teriak Li Ang-siu dengan
lantang: "Kau keparat busuk ini, berani kau kemari menemui kami?"
Song Thiam-ji menjerit-jerit dengan suara gemetar: "Kau apakan Coh Liuhiang
sekarang?"
Mutiara hitam membentak bengis: "Lebih lekas kau bunuh aku, kalau tidak
cepat atau lambat aku pasti akan membunuhmu."
"Bangsat kurcaci." Oh Thi-hoa tidak mau ketinggalan memaki juga, "Berani
kau berduel menentukan hidup mati dengan aku?"
Empat orang serempak pentang mulut memaki dengan suara keras dan
ribut, namun Li Giok-ham ternyata seperti tunduk mendengar. Tampak
rona mukanya pucat, lebih sedih dan harus dikasihani, lebih menakutkan,
biji matanya digenangi warna darah, seluruh badan gemetar.
Setelah melihat tegas badannya, Oh Thi-hoa berempat malah melongo dan
terheran-heran, disaat mereka bertanya-tanya tak habis mengerti,
mendadak Liu Bu-bi ikut memburu datang. Bukan saja tindak tanduknya
kelihatan amat duka, juga kelihatan gugup dan ketakutan. Langsung dia
memburu ke depan Li Giok-ham, dengan kencang dia peluk badan orang,
serunya setengah meratap gemetar: "Akulah yang membuat gara-gara ini,
akulah yang membuat kau celaka."
Li Giok-ham tidak bersuara, matanya lurus mendelong, tangannya pelanpelan
mengelus rambur Liu Bu-bi, sorot matanya penuh diliputi kepedihan,
juga diliputi kasin sayang.
Mendadak Liu Bu-bi lepaskan pelukannya sambil putar badan, tengah
merogoh sebatang badik yang kemilau terus menghujam keulu hatinya
sendiri. Seperti orang gila yang kalap dengan kencang Li Giok-ham
menubruk maju serta berteriak serak: "Mana boleh kau berbuat nekad ini,
lepaskan tanganmu!"
Air mata sudah bercucuran dimuka Liu Bu-bi, serunya sesenggukan:
"Sudah lama aku memberikan beban yang berlarut-larut kepadamu, aku
mohon padamu, biarlah aku mati saja, setelah aku mati orang akan
memaafkan segala kesalahan kita."
Li Giok-ham membanting kaki, katanya: "Coba kau pikir, setelah kau mati
apakah aku masih bisa hidup?"
Bergetar sekujur badan Liu Bu-bi, klontang, badik di tangannya terjatuh
di atas lantai, maka mereka lantas berpelukan dan bertangisan dengan
keras. Sungguh Oh Thi-hoa berlima terpaku dan melongo di tempatnya melihat
pertunjukan aneh, ganjil dan memilukan ini. Tiada satupun yang tahu apa
sebab kedua suami istri ini sekarang berubah begitu mengenaskan, begitu
konyol" Memangnya mereka sedang bermain sandiwara pula"
Ditengah sengguk tangisnya, terdengar Liu Bu-bi berkata pula:
"Sebetulnya memang aku tega berpisah dengan kau, namun diriku, mana
aku tega membiarkan kau ikut sengsara dan tersiksa bersamaku?"
Berkata Li Giok-ham lembut: "Sejak kedatanganmu, setiap hari setiap
waktu aku hidup dalam kesenangan, mana boleh kau katakan aku menderita
malah?" "Kalau begitu, marilah tinggal pergi saja. Ke tempat nan jauh mencari
suatu tempat yang damai dan tentram, disana kita menetap, siapapun tak
perlu kita temui."
"Tapi kau..."
"Mungkin aku masih bertahan hidup beberapa bulan lagi, setelah beberapa
bulan ini."
Li Giok-ham menukas ucapannya, katanya lembut: "Apapun yang terjadi
aku tidak akan berpeluk tangan membiarkan kau mati, aku ingin kau hidup
abadi." "Tapi sekarang...."
"Sekarang kita belum putus harapan, paling tidaklima orang itu masih
berada ditangan kita."
Mendengar percakapan mereka semakin bingung dan pening kepala Oh
Thi-hoa. Kenapa Liu Bu-bi ingin bunuh diri" Kenapa mereka?"
Mendadak Li Giok-ham menghardik keras: "Berdiri di tempatmu, berani
selangkah kau maju, akan kutamatkan jiwa mereka." entah sejak kapan
kotak perak berisi Bau-hi-li-hoa-ting sudah berada di tangannya dan
tertuju ke arah Oh Thi-hoa, tangan yang lain dengan kencang menarik Liu
Bu-bi, seolah-olah kuatir kehilangan dirinya.
Dari undakan batu terdengar seseorang menghela napas, ujarnya: "Sampai
detik ini, kalian masih belum kapok dan menyudahi persoalan ini" Buat apa
pula kalian harus menyiksa diri?"
Ternyata suara ini keluar dari mulut Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang ternyata
belum mati. Siapakah yang menolong jiwanya"
Sudah tentu bukan kepalang senang Oh Thi-hoa dan Soh Yong-yong
berempat. Serempak mereka berteriak: "Coh Liu-hiang, kaukah ini?"
mereka tidak perlu jawaban, karena mereka benar-benar sudah melihat
Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang masih berdiri di undakan batu terbawah,
memang dia tidak maju lebih lanjut, karena dia cukup tahu betapa hebat
perbawa sambitan dari Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu.
Sekarang Oh Thi-hoa berlima sama berhimpitan didalam kamar tahanan
itu, mereka sama-sama terbidik oleh sambaran Bau hi li hoa ting itu.
Hakekatnya mereka tak sampai dan tak mungkin berkelit dari incaran Bau
hi li hoa ting ini.
Oh Thi-hoa berjingkrak sambil bersorak kegirangan: "Ulat busuk,
ternyata kau memang tidak mampus, aku tahu kau memang tak bisa mati,
memangnya siapa yang bisa membunuh mu?"
Meski senang tertawa namun Coh Liu-hiang menjawab dengan menghela
napas: "Tapi kalau kali ini tiada orang yang menolong aku, jiwa ku ini terang
sudah direnggut oleh mereka."
"Benar ada orang menolong kau" Siapa?"
"Kau takkan bisa menerkanya."
"Sudah terang kau tidak akan menerka karena aku sendiripun tidak
menyangka, bahwa orang yang menolong aku justru adalah Li Koan-hu Lilocianpwe."
Oh Thi-hoa melongo pula teriaknya: "Anaknya ingin mencabut jiwamu,
masakah bapaknya bakal menolong kau malah?"
"Hakekatnya dia tidak tahu seluk-beluk persoalan ini, sekali-kali tak
pernah terpikir olehnya hendak mencabut jiwaku, semua peristiwa ini tak
lain tak bukan adalah rencana dan kehendak Li-kongcu suami istri sendiri."
"Tapi, tokoh-tokoh macam Swe It-hang itu bukankah mereka benar-benar
datang karena undangan dan pesan Li Koan-hu sendiri?"
"Yang terang Li-kongcu ini memalsukan tulisan ayahnya dan memanggil
mereka di luar tahu bapaknya, kalau anaknya bicara mewakili ayahnya,
sudah tentu orang lain takkan curiga."
"Memangnya kenapa Li Koan-hu sendiri tidak menyangkal dan membongkar
muslihatnya ini?" tanya Oh Thi-hoa.
"Karena sejak tujuh tahun yang lalu, Li-locianpwe tersesat jalan didalam
latihan ilmunya sehingga darah macet dan badan cacat, sejak itu beliau tak
bisa bicara lagi."
Semakin keheranan Oh Thi-hoa mendengar cerita ini, katanya: "Kalau
badannya sudah cacat dan tak bisa bergerak, cara bagaimana bisa
menolong kau?"
Selama hidup Li locianpwe jujur ksatria dan mengutamakan keadilan dan
kebenaran secara gamblang dia mengawasi suatu peristiwa sesat di depan
mata, celaka orang justru meminjam atau memalsu namanya, betapa pedih,
marah sanubarinya melihat perbuatan putranya yang terkutuk ini, mungkin
kaupun takkan dapat membayangkan keadaannya pada waktu itu, namun dia
justru hanya bisa mengawasi dengan mendelong tanpa mampu mencegah
atau berbuat apa-apa, bergerakpun tidak bisa.
"Mungkinkah karena amarahnya itu, sehingga hawa murninya yang
tersumbat dalam latihannya dulu tiba-tiba jebol oleh arus kemarahan yang
di luar batas itu?"
"Ya, begitulah terjadinya."
"Tanpa kau jelaskan, aku sudah mengerti apa yang terjadi selanjutnya."
"O, Ya?"
"Waktu Liu Bu-bi acungkan pedang hendak membunuh kau, mendadak
dilihatnya Li-locianpwe tiba-tiba bisa bergerak dan bicara sudah tentu
kejutnya bukan main, seseorang bila tahu tipu muslihat dan perbuatan
jahatnya sudah konangan dan terbongkar rahasianya, siapapun akan
ketakutan."
"Tidak salah."
"Waktu dia nekad hendak membunuh kau, kelima Cianpwe itu tentunya tak
membiarkan maksudnya terlaksana, tatkala itu mungkin Li Giok-ham
sendiri sudah lemas ketakutan maka segera dia ngacir ke tempat ini."
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Rekaanmu memang sembilan puluh
persen benar, hebat benar otakmu memang sudah lebih cerdik. Tapi kalau
kau pun bisa menemukan tempat ini, kenapa tidak kau bawa tua bangka
yang tertipu itu kemari juga?"
"Urusanku sendiri, sudah tentu harus kubereskan sendiri pula."
"Kau mampu membereskan?"
"Aku sendiri tidak tahu apa benar dalam dunia ini ada urusan yang tak bisa
dibereskan, sedikitnya sampai detik ini aku belum pernah menghadapinya."
Sebetulnya soal ini boleh kelak dibicarakan pelan-pelan, tapi mereka
justru nyerocos tidak henti-hentinya, seolah-olah sudah lupa dimana
mereka bicara dan kapan mereka mengobrol. Seolah-olah tidak sadar
bahwa Li Giok-ham dan Liu Bu-bi sedang berdiri disana . Song Thiam-ji dan
Li Ang-siu dan lain-lain sedang mengawasi dengan pandangan heran.
Dan yang membuat Soh Yong-yong berempat amat duka dan mendelu,
bukan saja Coh Liu-hiang tidak ajak mereka bicara, sampaipun melirikpun
tidak ke arah mereka, selama ini cuma sibuk bicara dengan Oh Thi-hoa.
Diantara mereka berempat hanya Soh Yon-yong seorang saja yang dapat
meraba maksud hati Coh Liu-hiang, dia tahu mereka sedang memancing


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatian Li Giok-ham dengan percakapan ini. Asal perhatian Li Giok-ham
rada terpencar dan sedikit lena, maka Coh Liu-hiang akan berusaha dan
mendapat kesempatan untuk turun tangan merebut alat rahasia di
tangannya itu, betapa cepat Coh Liu-hiang turun tangan, Soh Yong-yong
cukup yakin dia pasti akan berhasil.
Apa boleh buat, ternyata tanpa berkedip pandangan Li Giok-ham masih
menatap Coh Liu-hiang, tangannya masih kencang memegangi Bau hi li hoa
ting itu. Apapun yang dikatakan Coh Liu-hiang seolah-olah tidak dia dengar,
namun sedikit tangan Coh Liu-hiang bergerak, maka Bau hi li hoa ting di
tangannya itu segera akan memberondong keluar.
Diam-diam Soh Yong-yong mengucurkan keringat dingin dan berdiri bulu
kuduknya, hatinya tegang dan seram, karena dia maklum untuk merebut
Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu, usaha Coh Liu-hiang akan berat,
laksana mencabut gigi dimulut harimau.
Mendadak Li Giok-ham menghardik bengis: "Sudah selesai percakapan
kalian?" "Apa kaupun ingin bicara?" tukah Oh Thi-hoa. "Bagus, biar aku tanya kau
dulu, bahwasanya Coh Liu-hiang ada permusuhan apa dengan kau" Kenapa
kau hendak mencelakai jiwanya?"
Jilid 36 Li Giok-ham menarik napas panjang, katanya: "Selamanya aku tak
bermusuhan tiada dendam kepadanya, bahwa aku harus membunuh dia,
karena terdesak keadaan dan.."
"Kau ini sedang bicara" Atau sedang kentut?"
Ternyata Li Giok-ham tidak marah, ujarnya menghela napas: "Banyak
persoalannya, aku percaya kau pasti takkan bisa mengerti."
"Banyak persoalan semula memang sukar kupikirkan penjelasannya, tapi
lambat laun sekarang aku sudah mendapatkan gambarannya yang terang."
"O" Coba kau terangkan !" kata Li Giok-ham.
"Yang membuatnya bingung dan masih tak mengerti adalah kalau toh
kalian sudah melepas aku kenapa pula ingin membunuh aku?"
"Belakangan baru aku mengerti" kata Coh Liu-hiang lebih lanjut dengan
tertawa. "Karena akhirnya aku sadar hakekatnya selama ini kau sendiri
tidak pernah menolong aku!"
"Kau... " Liu Bu-bi ragu-ragu, "Masakah kau sudah lupa didalam lembah
sesat tempat kediaman Ciok Koan im itu?"
Mendengar ucapan orang, Coh Liu-hiang lebih yakin, "Tidak salah."
tukasnya: "Hari itu memang kenyataan kau membunuh banyak orang, tapi
tujuanmu bukan untuk menolong aku, karena waktu itu akupun sudah
mengejar keluar, kau tidak bunuh mereka, aku tetap bisa lolos!"
Liu Bu-bi menjengek dingin: "Kalau kau tidak sudi terima budi pertolongan,
akupun tidak bisa memaksa kau."
"Walau kau tidak pernah menolong aku, aku tetap berterima kasih
kepadamu karena bila kau tidak turun tangan, Kui-je-ong ayah beranak, Oh
Thi-hoa dan KiPing -yan mungkin sudah benar benar mati oleh arak Ciok
Koan-im." "Ternyata kau belum melupakan peristiwa itu sungguh harus dipuji." olok
Liu Bu-bi. "Sungguh tentu aku tidak akan lupa, karena selama ini aku sedang heran,
setelah bertemu dengan Soh Yong-yong ditengah jalan, baru kalian
menyusup ke padang pasir, bagaimana mungkin begitu tiba di gurun pasir,
dengan mudah kau lantas dapat menemukan tempat kediaman Ciok-Koan-im
di lembah sesat itu" Bukan saja letak lembah sesat itu tersembunyi penuh
dipasangi jebakan dan alat-alat rahasia, jarang diinjak manusia luar lagi,
jalanan didalam lembahpun simpang siur gampang menyesatkan, namun
kalian berlenggang dengan mudah pergi datang seperti berjalan di tanah
datar bagai di dalam rumahnya sendiri, bukankah hal ini amat
mengherankan?"
Oh Thi-hoa angkat pundaknya, timbrungnya: "Benar, mendengar uraianmu
ini, akupun ikut heran juga."
"Dan lagi," kata Coh Liu-hiang lebih lanjut: "Kepandaian Ciok-koan-im
menggunakan racun amat pandai, arak beracun buatannya sudah tentu
orang tidak tahu, ramuan racun apa saja dan tak bisa memunahkannya,
maka setelah dia melihat Oh Thi-hoa rebutan arak beracun dan
menenggaknya habis dengan Ki Ping-yan, segera dia berlalu, karena dia
beranggapan dalam dunia ini tiada seorang tokoh siapapun yang mampu
menawarkan arak beracunnya itu, maka tanpa sangsi dia tinggal pergi."
Lalu dengan tajam dia menatap Liu Bu-bi, katanya kalem: "Tapi seenak kau
membubuhi obat kepada si pasien yang sudah kau ketahui penyakitnya saja
kau memunahkan kadar racun yang mengeram dalam tubuh teman temanku
itu, bukankah hal ini jauh lebih mengherankan?"
"Benar." kata Oh Thi-hoa angkat kedua tangan. "Kalau dia tidak tahu
kadar racun apa yang tercampur dalam arak Ciok-koan-im, cara bagaimana
dia bisa mengobati kami b
Pendekar Pemetik Harpa 16 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Kisah Sepasang Rajawali 26
^