Peristiwa Burung Kenari 5

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Bagian 5


erempat dengan mudahnya?"
Jari-jari Liu Bu-bi yang putih halus dan runcing itu sedang meremas ujung
bajunya, katanya: "Kedua kejadian itu, apakah kaupun sudah dapat
memecahkannya?"
Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya: "Meskipun kedua kejadian ini sulit
diterangkan, namun kalian sendiri yang meninggalkan gejala-gejala yang
kurang sempurna dan teliti, kalau bukan lantaran kedua peristiwa itu,
mungkin selamanya aku tidak akan menebak tepat asal-usulmu yang
sebenarnya."
Jari-jari Liu Bu-bi yang putih menjadi semakin putih dan pucat karena
tenaga meremas ujung bajunya terlalu keras, malah kedua lengannya itu
tampak gemetar semakin keras, katanya: "Kau... sekarang kau sudah tahu
siapa sebenarnya aku ini?"
"Ingin aku bertanya dulu kepadamu, seseorang bila dia belum pernah
berada didalam lembah kediaman Ciok-koan-im itu, apakah dia bisa pergi
datang seenaknya?"
Liu Bu-bi menggigit bibir, sahutnya kemudian: "Tidak bisa."
"Seseorang bila dia tidak tahu racun macam apa yang ditaruh dalam arak
Ciok-koan-im itu, mungkinkah dia bisa menawarkan kadar racunnya?"
"Tidak mungkin."
"Jikalau bukan orang kepercayaan Ciok-koan-im yang terdekat, terang tak
mungkin bisa tahu jalan rahasia keluar masuk dari lembah sesat itu, maka
diapun takkan tahu dosis racun yang tercampur didalam arak itu, benar
tidak?" Mendadak Liu Bu-bi tertawa terloroh-loroh. Agaknya dia sudah tidak bisa
kendalikan emosinya sendiri, seperti orang linglung dia terloroh-loroh
terus tak berhenti.
Akhirnya Oh Thi-hoa bertanya: "Dia... memangnya siapakah dia
sebenarnya?"
Coh Liu-hiang menghirup hawa segar, katanya sepatah demi sepatah:
"Masakah kau belum paham bahwa dia adalah murid kesayangan Ciok-koanim?"
Liu Bu-bi ternyata adalah murid didik Ciok-koan-im. Sudah tentu
penjelasan ini membikin Oh Thi-hoa terperanjat.
Sebaliknya, rona muka Li Giok-ham berubah hebat, bentaknya beringas:
"Jikalau dia benar muridnya Ciok-koan-im, kenapa sesama saudara
seperguruannya dia bunuh seluruhnya?"
Coh Liu-hiang tertawa dingin, ejeknya: "Kalau Ciok-koan-im sudah
berangan-angan hendak menjadi ratu dinegri Kui-je, kalau dia membawa
para muridnya yang sekian banyak jumlahnya, bukankah terlalu berabe dan
membebani pundaknya?"
"Kau... kau kira Ciok-koan-im yang menghendaki dia membunuh semua
saudara seperguruannya itu?"
"Ya, begitulah kejadiannya." Sahut Coh Liu-hiang.
"Lantaran orang-orang itu tidak pernah menyangka dia bakal turun tangan
secara keji, maka mereka tiada satupun yang siaga, kalau tidak dengan
tenaganya seorang, masakah dia dalam waktu sesingkat itu bisa membunuh
sedemikan banyak orang?"
"Kalau demikian, jadi kau beranggapan lantaran dia murid didik
kepercayaan Ciok-koan-im, maka dia bermaksud membunuhmu?"
"Kecuali itu, agaknya sulit mencari alasan lain untuk menjelaskan persoalan
ini." "Lalu bagaimana dengan aku?" tanya Li Giok-ham.
"Mungkin kaupun tertipu oleh dia, kau diperalat tanpa kau sadari.
Kemungkinan dia adalah utusan Ciok-koan-im yang dipendam di Kanglam,
maka dia sudi menikah dengan kau dengan embel-embel nyonya muda dari
Yong-cui-san-cheng sebagai tameng, paling baik untuk menyembunyikan
diri." Tanya Li Giok-ham: "Kalau benar dia komplotan Ciok-koan-im yang setia,
kenapa pula dia mau menolong Oh Thi-hoa dan lain-lain dari keracunan arak
itu?" "Karena waktu itu aku sudah membunuh Ciok-koan-im, melihat gelagat
jelek dan tidak menguntungkan dirinya, maka terpaksa dia menolongnya,
maksudnya dia supaya kelak dia bisa mengatur jalan mundur, yang terang
kalau Oh Thi-hoa dan lain-lain mampus toh tiada manfaatnya bagi dirinya."
Li Giok-ham mendadak tertawa gelak-gelak! Nada tawanya mengandung
penasaran dan gusar, seolah banyak penasaran yang tidak lampias. "Coh
Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau memang terlalu pintar, namun sayang kau
keblinger oleh kepintaranmu sendiri."
"Memangnya uraianku barusan salah?"
"Sudah tentu apa yang kau uraikan tidak salah, apa yang diketahui oleh
Coh Liu-hiang yang serba pintar masakah bisa salah" Sekarang apapun
yang kau katakan yang terang sudah tiada hubungannya sama sekali."
Sorot matanya seolah-olah hendak menyemburkan api, suaranya mirip
gerungan gusar: "Karena sekarang kau jelas akan mati kalau tidak segera
aku bunuh kalian."
"Apa kau sudah gila?" seru Oh Thi-hoa kaget.
"Benar, memang aku sudah gila tapi bila kau menjadi aku, kau akan lebih
gila lagi." jari-jarinya gemetar sembarang waktu tombol kotak Bau hi li hoa
ting itu kemungkinan tersentuh, kalau orang lain masakah berani adu mulut
dan menyindirnya dengan pedas.
Tapi Oh Thi-hoa justru tidak peduli, teriaknya: "Sampai detik ini kau
masih ingin melindungi dia?"
"Sudah tentu." sahut Li Giok-ham kalap.
"Sampai detik ini, kau masih belum percaya bila binimu ini adalah murid
kepercayaan Ciok-koan-im?"
Sebetulnya Liu Bu-bi sudah tunduk kepala, tiba-tiba dia angkat kepala dan
berseru beringas: "Benar, memang aku adalah murid Ciok-koan-im tapi
sejak mula aku tidak pernah mengelabui dan merahasiakan diriku
kepadanya!"
Oh Thi-hoa melongo, katanya menatap Li Giok-ham: "Jadi kau sudah tahu
bila dia adalah murid Ciok-koan-im yang dipendam di Kang-lam sebagai
mata-mata, namun kau tetap mempersunting dia sebagai istrimu, kecuali
dia memangnya perempuan dalam dunia ini sudah mampus seluruhnya?"
Dengan kencang Liu Bu-bi pegang tangan Li Giok-ham, dia tidak
membiarkan orang bicara lagi. Namun tangannya sudah gemetar, katanya:
"Segala caci maki yang paling kotor dan keji sudah kalian lontarkan kepada
kami, bolehkah beri kesempatan untuk aku bicara, secara terbuka."
"Cayhe sedang pasang kuping." ujar Coh Liu-hiang tersenyum.
"Diantara murid-murid yang dididik Ciok-koan-im, hanya aku dan Ki Buyong
yang dipungutnya sejak kecil, jadi kami tumbuh dewasa disampingnya,
kami berdua sama-sama anak yatim piatu, malah siapa-siapa nama ayah
bunda kamipun tak tahu, semula beliau ada memberi nama kepadaku,
setelah aku berada di sini, baru aku merubah she Liu dan bernama Bu-bi."
"Jadi nama Ki Bu-yong juga dirubah setelah roman mukanya itu dirusak?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Benar, semula dia bernama Bu-su "tiada maksud" dan aku bernama Bu-gi
"tak terkenang"."
Coh Liu-hiang menghela napas gumannya: "Bu-su, Bu-gi, Bu-hoa... ai!"
"Walau dia ingin supaya kami Bu-su, Bu-gi, betapapun kami ini manusia
yang berdarah daging, setiap orang setelah menanjak dewasa pasti dia
akan terkenang ayah bundanya. Sudah tentu kamipun tidak ketinggalan apa
boleh buat beliau setuju merahasiakan dan tak mau mencari tahu siapa
ayah bunda kami sesungguhnya, setiap kali kami menyinggung hal ini, dia
lantas marah dan uring-uringan."
"Bagaimana tindakannya terhadap para murid didiknya, aku sedikit pernah
menyaksikannya." ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi dia terlalu baik terhadap aku dan Ki Bu-yong, cuma watak Ki Bu-yong
lebih pendiam dan suka menyendiri, berhati keras lagi. Sudah tentu
sifatnya yang lugu itu tidak bisa mengambil hati gurunya, aku sebaliknya
lebih..." Dengan tertawa dingin, Oh Thi-hoa menukas: "Kau lebih pintar menepuk
pantatnya minta aleman, hal ini tak perlu kau jelaskan karena aku sudah
tahu." Bahwasanya Liu Bu-bi tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut:
"Dalam pandangan orang lain, Ciok-koan-im seolah-olah benar-benar dibuat
dari ukiran-ukiran batu, namun justru ia seorang manusia, orang yang
punya darah dan daging, maka iapun memiliki sifat sifat lemah dari manusia
umumnya." "O?" Coh Liu-hiang bersuara heran.
"Adakalanya, diapun merasa hambar, risau dan rawan, kesepian dan
tersiksa dalam keadaan seperti itu, maka diapun meminjam arak untuk
melampiaskan kedukaan hatinya, malah sering minum sampai mabuk dan tak
sadarkan diri."
Oh Thi-hoa tertawa geli, ujarnya: "Tak nyana Ciok-koan-im ternyata
punya hobby yang sama dengan aku."
"Lantaran hubunganku lebih dekat sama dia, maka sering dia minta aku
menemani dia minum arak, pada suatu hari diapun mabuk-mabuk lagi, dalam
mabuknya itu dia membuka sebuah rahasia kepada diriku."
"Rahasia apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Hari itu semalam suntuk kami minum arak, menjelang pagi saking mabuk
kepalanya sudah lemas, matanyapun menjublek, tiba-tiba dia memberitahu
kepadaku, ayah bunda Ki Bu-yong adalah dia yang membunuhnya."
Terkesima Coh Liu-hiang dibuatnya, katanya: "Apakah karena dia hendak
menerima Ki Bu-yong sebagai muridnya, maka dia bunuh kedua orang
tuanya?" "Ya, memang begitulah." sahut Liu Bu-bi karena amat terpengaruh oleh
perasaannya, suaranya sampai serak, setelah merenung sekian lamanya lalu
dia meneruskan: "Mendengar ucapannya, sudah tentu kejutku bukan main,
takut lagi, waktu itu terpikir olehku, kalau ayah bunda Ki Bu-yong dibunuh
oleh dia, apakah ayah bundakupun dibunuhnya juga?"
Sampai di sini Oh Thi-hoa ikut tegang dan ketarik, tanyanya: "Kenapa
tidak kau tanya dia, waktu dia masih mabuk?"
"Sudah tentu kutanyakan, namun dia bilang, riwayat hidupku berlainan
dengan Ki Bu-yong, aku adalah bayi buangan, dia sendiripun tidak tahu
siapa ayah bundaku, waktu kutanya dia lagi, mendadak dia merangkulku dan
menangis gerung-gerung, dikatakan dia seorang diri sebatang kara, tiada
sanak tiada kadang, maka sejak kecil dia pandang aku sebagai anak
kandungnya sendiri."
"Karena tangisnya itu maka kau lantas percaya begitu saja?" timbrung Oh
Thi-hoa pula. Liu Bu-bi kucek-kucek matanya, katanya: "Meski aku tak percaya namun
sulit aku mencari bukti, sudah tentu akupun tidak berani membocorkan
rahasia ini kepada Ki Bu-yong karena bila hal ini kuberitahu kepada dia,
berarti aku mencelakai jiwanya."
"Benar, ujar Coh Liu-hiang, jikalau Ciok-koan-im tahu Ki Bu-yong sudah
tahu akan rahasia ini, dia pasti tak akan membiarkan muridnya itu hidup
lebih lama."
"Sejak malam itu, lahirnya aku tetap seperti dulu, namun batinku sudah
jauh berubah tak mungkin aku bergaul intim dengan dia seperti dulu."
sampai disini Liu Bu-bi menghela napas, lalu melanjutkan: "Perubahan Ki Buyong
justru lebih besar dan menyolok dari aku, begitu usianya menanjak
dewasa semakin lama sikapnya semakin dingin dan menjauhi Ciok-koan-im.
Seumpama sekuntum kembang yang tumbuh ditengah udara, kelihatannya
selalu dingin, begitu agung, sedih dan menawan hati, begitu cantik lagi.
Meski aku ini seorang perempuan sampai akupun merasakan dia teramat
cantik, begitu rupawan sampai sanubariku tak berani menyentuhnya, sudah
tentu tidak berani aku membuka tabir rahasia itu."
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya: "Sayang sekali kita tidak bisa
menikmati roman mukanya yang cantik itu."
"Memang kasihan, takdir memang sudah tentukan nasib seseorang... aku
sungguh tidak pernah menduga bahwa Ciok-koan-im merusak wajahnya nan
ayu itu!" "Kau juga tahu bila Ciok-koan-im lah yang merusak wajahnya?" tanya Oh
Thi-hoa. "Aku tahu." sahutnya kertak gigi: "Setelah tahu akan kejadian ini maka
aku insaf akupun tak bisa lama-lama berada disamping Ciok-koan-im,
meskipun berulang kali dia sudah berpesan wanti-wanti kepadaku, katanya
dia takkan menggunakan kekerasan terhadapku, tapi dalam pandanganku, ia
sudah berubah seperti ular beracun, cukup selintas pandang saja, aku
sudah tidak tahan lagi."
Bercahaya sorot mata Coh Liu-hiang, katanya: "Memangnya kau melarikan
diri?" "Aku bukan lari, kalau aku ingin lari, maka jiwaku takkan hidup sampai
sekarang."
"Jadi kau...."
"Aku cuma bilang, aku sekarang sudah dewasa, sudah tiba waktunya keluar
melihat dunia dan cari pengalaman, sejak melihat dunia dan tumbuh dewasa
ditengah gurun pasir yang serba gersang dan tersembunyi dalam lembah
sesat itu, bagaimana keadaan dunia luar sedikitpun tidak tahu, maka aku
mohon beliau suka memberi kesempatan aku keluar."
"Apa yang dia katakan?" tanya Coh Liu-hiang.
"Dia tidak berkata apa-apa, dia cuma tanya aku, kapan aku akan pergi?"
"Bagaimana jawabmu?"
"Waktu itu aku sudah tidak sabar lagi, seharipun rasanya sudah tidak
betah lagi tinggal disana, maka segera aku jawab: lebih baik besok pagi."
"Apa dia terus menerima dan memberi ijin kepadamu begitu saja?"
"Mendengar permohonanku, lama dia termenung, mendadak berkata: Baik,
malam ini aku adakan perjamuan untuk memperingati keberangkatanmu.
Aku sendiri tidak duga begitu lekas dan gampang dia mau melulusi
permintaanku, keruan bukan kepalang senang hatiku."
"Ku kira terlalu pagi kau merasa senang." ujar Coh Liu-hiang.
"Malam itu juga dia betul-betul menyiapkan sebuah perjamuan untuk
mengantar kepergianku, aku betapapun diasuh dan dibesarkan dia, teringat
besok juga akan berpisah, hatiku merasa berat dan sedih juga, teringat
orang begitu gampang memberi ijin dirinya untuk pergi, tak urung hati
amat haru dan terima kasih sekali. Maka malam itu aku temani dia minum
arak sebanyak-banyaknya."
Mendengar sampai di sini, lapat-lapat Oh Thi-hoa sudah meraba tujuan
jahat dari kata-katanya itu, mau tidak mau dia ikut tegang juga bagi
keselamatannya, tak tahan dia bertanya pula: "Bagaimana keesokan
harinya?" Muka Liu Bu-bi tidak menunjukkan perasaan hatinya, katanya tawar: "Hari
kedua, dia mengantar aku sampai di mulut lembah, dia lepas aku pergi."
Oh Thi-hoa melongo, katanya: "Begitu saja dia mau melepas kau pergi?"
Kembali Liu Bu-bi menepekur rada lama, meski rona mukanya tidak
menunjukkan mimik hatinya, namun kulit mukanya begitu pucat seperti
mayat hidup, sorot matanya justru memancarkan kebencian yang
berlimpah-limpah katanya dengan tegas: "Begitulah dia melepaskan aku
pergi, karena sebelumnya dia sudah perhitungkan aku pasti akan kembali
lagi." "Kembali, harus kembali lagi?" tanya Oh Thi-hoa.
"Belum lima ratus li aku menempuh perjalanan, segera terasa perutku
sakit sekali seperti disayat sayat, seolah-olah banyak ular-ular kecil
menggerogoti perutku."
Seketika merinding sekujur badan Oh Thi-hoa, katanya: "Arak... arak itu
beracun?" Liu Bu-bi kertak gigi, sahutnya mendesis: "Benar. dalam arak ada racun,
maka dia sudah perhitungkan, aku pasti akan merangkak balik, minta
pengampunan dan obat pemunahnya, kalau tidak aku akan mampus ditengah
gurun pasir, tanpa ada orang yang mengubur mayatku."
Oh Thi-hoa seketika naik pitam, serunya: "Kalau dia sudah melulusi
permintaanmu dan mengantar kau pergi, kenapa dia mencampur racun
dalam arak itu?"
"Karena dia ingin supaya aku tahu akan kelihaiannya, supaya selama
hayatku tidak berani membangkang dan durhaka kepadanya, supaya aku
berlutut dan menyembah mohon ampun kepadanya... karena dia amat suka
melihat orang menyembah dan meratap diujung kakinya."
Oh Thi-hoa menarik napas panjang, gumamnya: "Untung manusia sekeji itu
kini sudah mampus."
Berkata Liu Bu-bi lebih lanjut: "Meski rencananya rapi, perbuatannya keji


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi dia lupa akan satu hal."
"Lupa apanya?", tanya Oh Thi-hoa.
"Dia lupa diwaktu dia mabuk, banyak rahasia yang pernah dia beritahu
kepadaku."
"Dia memberitahu cara memunahkan racunnya kepadamu?" "Aku ini
muridnya sudah tentu aku ikut mempelajari, cara menggunakan racun dan
cara memunahkannya, kalau tidak mungkin kau pun takkan hidup sampai
sekarang."
Oh Thi-hoa menyengir sambil mengelus hidungnya tanpa bicara lagi.
Maka berkatalah Coh Liu-hiang: "Tapi racun yang dia gunakan terhadap
kau pastilah kadar racun yang belum pernah dia turunkan kepadamu,
hakikatnya kau sendiri tak tahu racun apa yang dia taruh dalam arak yang
kau minum, cara bagaimana kau bisa memunahkannya?"
"Aku mengerti akan hal ini, tapi pernah ia memberitahu kepadaku daun
gania bukan saja dapat membuat seseorang terperosok ke dunia nista, ada
kalanyapun dia ada manfaatnya untuk mencegah rasa sakit, karena dia bisa
bikin manusia matirasa, dan tenggelam dalam kenikmatan hakikatnya orang
yang sudah menggunakan obat ini, akan lupa dirinya, maka sejak mula,
diam-diam aku sudah mencuri sekotak ganja itu, yang kubuat menjadi
bubuk putih yang halus jadi sudah lama aku selalu siaga bila diriku diracun
olehnya." "Tapi bila seseorang setiap hari selalu tenggelam dalam pati rasa dan lupa
daratan betapa kehidupannya tidak seperti mati?"
"Sudah tentu aku tahu menggunakan obat ganja untuk mencegah sakit,
sama seseorang yang sudah ketagihan, candu, dan tak mungkin bisa
memutus kebiasaannya itu. Tapi waktu itu sungguh aku tidak kuat lagi,
menahan derita apalagi meski mati, aku bersumpah tidak sudi kembali,
mohon ampun kepadanya apalagi menjadi budaknya seumur hidup."
"Maka kau lantas diperbudak oleh obat-obat ganja itu?" kata Coh Liuhiang.
Liu Bu-bi tunduk diam, malu rasanya bila orang lain melihat mukanya.
Karena derita membuat kulit dagingnya kejang berkerut kemerut.
Tampak Soh Yon-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji bercucuran air mata,
demikian juga muka Mutiara hitam menampilkan rasa pedih dan duka.
Memang sesama perempuan kadang kala sukar menjadi sahabat karib, tapi
betapa pun perempuan merasa iba dan simpatik terhadap sesama jenisnya,
karena mereka berpendapat asal dia perempuan, maka dia patut dikasihani.
Soh Yong-yong menghela napas, katanya: "Selama beberapa tahun ini
hidupmu tentu menderita."
"Kalau demikian," kata Oh Thi-hoa, "Malam itu waktu didalam penginapan
kau menjerit dan merintih menahan kesakitan, lantaran kadar racun dalam
tubuhmu kumat, jadi bukan pura-pura belaka?"
"Dulu setiap kali penyakitku ini kumat, cukup asal aku menelan sedikit
bubuk obat ganja, rasa sakitku segera lenyap. Tapi belakangan ini, meski
aku menelan dua lipat obat bubuk itu lebih banyak, rasa sakitnya tidak
hilang dan obat itu sudah tak manjur lagi."
"Ya, bukan lantaran obat bubuk ganja itu sudah kehilangan khasiatnya,
adalah karena ragamu sudah mulai kebal dan tak mempan terhadap obat
bubuk itu lagi, seumpama seseorang yang sudah kumat arak, semakin lama
arak yang kau minum semakin banyak."
"Sedikitpun tidak salah." tukas Oh Thi-hoa. "Dulu cukup dua cangkir saja
arak tertuang ke dalam perutku, badan terasa enteng seperti hendak
terbang, segala kerisauan hati terlupakan semua, tapi sekarang umpama
menghabiskan tiga sampai lima kati arak yang paling keraspun, rasanya
seperti belum minum."
Tak tahan Coh Liu-hiang tertawa-tawa, dia tahu bagi seorang penggemar
arak, bila ada kesempatan pasti suka mengagulkan diri akan takaran
minumnya yang luar biasa, terdengar Oh Thi-hoa berkata pula: "Kalau
malam itu benar kau memang sedang kumat penyakitmu, lalu siapakah yang
membokong kami dengan Bau hi li hoa ting?"
Liu Bu-bi berdiam lagi, lalu sahutnya tawar: "Aku juga!"
Oh Thi-hoa melongo, katanya: "Jelas kudengar suaramu yang sedang
sedang sekarat didalam kamar, mana mungkin kau bisa keluar membokong
kami" Kau... tentunya kau tidak menggunakan ilmu sesat bukan?"
"Obat ganja itu sudah tidak begitu manjur seperti dulu untuk mencegah
sakit, tapi masa kerjanyapun tidak terlalu lama, begitu mendengar suara
kalian sudah keluar dari pekarangan, segera kusuruh seorang pelayanku
pura-pura merintih seperti aku, setiap orang bila merintih kesakitan
suaranya tentu berubah, umpama kalian merasakan perbedaan suaraku itu,
toh tidak akan curiga."
"Lalu kau buang alat Bau hi li hoa ting didalam hutan, maksudmu supaya
tidak konangan oleh kami?" tanya Oh Thi-hoa.
Liu Bu-bi mengangguk sambil mengiakan.
"Bahwasanya kalianpun tidak pergi mencari Cianpwe tujuh jari itu, karena
dalam dunia ini hakikatnya tak pernah ada seorang seperti yang kau
sebutkan itu?"
Liu Bu-bi tertawa, katanya: "Bukan saja tiada orang seperti itu, sampaipun
paman Hiong yang kusebut itupun embel-embel saja."
"Kalian sengaja bilang hendak mencari orang, karena kalian sudah merogoh
kantong mengeluarkan dua puluh laksa tahil perak untuk membeli seorang
pembunuh, diwaktu dia melakukan pembunuhan, kalian kebetulan tiada
ditempat, kalau tidak kalianpun tidak perlu mencari dia."
"Ya, memang begitulah kejadiannya."
"Siapa tahu pembunuh itu justru teringkus oleh Coh Liu-hiang, kuatir dia
membocorkan rahasia, maka kalian lantas membunuhnya."
"Sedikitpun tidak salah."
Mengawasi Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa tertawa getir, katanya: "Baru
sekarang aku benar-benar sadar dan kagum pada kau, segala ramalanmu
ternyata cocok seluruhnya."
Muka Liu Bu-bi seketika menampilkan rasa heran, tanyanya: "Kejadian itu,
apakah sebelumnya sudah kau ketahui?"
"Tapi sulit aku mengerti kenapa kau hendak membunuh aku?" ujar Coh Liuhiang.
"Kalau kau bukan membalas dendam bagi kematian Ciok-koan-im,
memangnya karena apa?"
Kembali Liu Bu-bi berdiam diri cukup lama, sahutnya kemudian: "Aku demi
diriku sendiri."
"Kau sendiri?" seru Coh Liu-hiang melengak.
"Apakah kau sendiri ada permusuhan dengan aku?"
"Aku tidak punya dendam tiada permusuhan dengan kau, tapi bila kau
tidak mati, maka akulah yang mampus."
"Kenapa?" semakin tak mengerti Coh Liu-hiang dibuatnya.
"Beberapa tahun belakangan ini, penyakitku semakin sering kumat, malah
jaraknya semakin dekat, maka obat ganja yang kuperlukanpun semakin
banyak, sekotak yang kubawa keluar itu sudah habis, jadi aku harus
membeli di kalangan Kang-ouw. betapa sulit mendapatkan bahan-bahan
yang kuperlukan ini, aku insaf kalau keadaan berlarut semakin lama, meski
aku tidak mati lantaran racun Ciok-koan-im, akhirnya aku akan mampus
karena terlalu banyak makan obat ganja serta keracunan pula."
"Ya, memang begitulah akhirnya." kata Coh Liu-hiang.
"Aku sendiri menderita dan tersiksa sih tidak menjadi soal, tapi... tapi aku
tidak tega menyeret dia ikut tersiksa, karena penyakitku ini, untuk
mencari obat ganja, entah berapa banyak uang yang sudah dia keluarkan,
betapa dia ikut menderita."
Muka Li Giok-ham pucat lesi, katanya kertak gigi: "Tak usah kau bicarakan
hal itu lagi."
"Urusan sudah terlanjur sedemikian jauh." demikian kata Liu Bu-bi: "Aku
harus membeber semua kejadian ini..."
"Memang harus dan pantas kau beber seluruhnya" timbrung Oh Thi-hoa.
"Menurut apa yang ku tahu, selama hidup Ciok-koan-im dia hanya takut
terhadap seseorang, dia pernah bilang, orang ini boleh dikata adalah musuh
bebuyutannya yang selalu merupakan lawan mematikan dari segala
kemampuannya, seluruh kepandaiannya takkan mempan dan tak berguna
sepeserpun untuk menghadapi orang yang satu ini!"
"Oh!" Oh Thi-hoa bersuara dalam tenggorokan: "Apa benar dalam dunia ini
ada tokoh macam itu" Siapa dia?"
Liu Bu-bi tidak menjawab pertanyaan, katanya lebih lanjut: "Maka aku
lantas berpikir, kemungkinan orang ini bisa memunahkan racun Ciok-koanim
yang mengeram dalam badanku."
"Ya, diwaktu kau tahu dirimu sudah keracunan, seharusnya kau langsung
pergi mencari dia." kata Oh Thi-hoa.
"Mesti sudah lama keinginanku mencari dia tapi selama itu aku tidak
berani." "Apa yang kau takuti?"
"Karena bukan saja dia merupakan tokoh kosen yang berkepandaian silat
paling tinggi diseluruh jagat ini, diapun orang yang amat menakutkan,
wataknya sukar diraba, senang marah tidak menentu, bukan saja tidak mau
membedakan benar salah, diapun tidak peduli jahat dan bajik, asal dia
senang, apapun dapat dia lakukan, membunuh jiwa seseorang dalam
pandangannya seperti memites seekor semut belaka!."
"Orang sebrutal ini, aku toh ingin menempurnya." kata Oh Thi-hoa.
Liu Bu-bi melerok kepadanya, sorot matanya menunjukkan penghinaan,
seperti berkata: "Mengandalkan kepandaianmu Oh Thi-hoa saja, meski
selaksa jumlahnya juga jangan harap kuat melawannya." tapi dia tidak
utarakan isi hatinya, katanya kemudian dengan menghela napas: "Walau aku
takut menemui dia, namun keadaan semakin mendesak aku untuk pergi
kesana." Tak tahan Oh Thi-hoa menyela lagi: "Sebetulnya kau sudah berhasil
menemui dia belum?"
"Sudah!"
"Apa dia mampu mengobati penyakitmu?"
"Sudah tentu dia bisa, cuma dia mengajukan syarat."
"Syarat apa?"
"Syaratnya sepele saja, dia minta sesuatu benda dari aku."
Oh Thi-hoa mulai tegang, lapat-lapat dia sudah meraba syarat apa yang
diminta oleh orang aneh itu. Tapi tak tahan dia bertanya juga: "Barang apa
yang dia minta?"
"Yang diminta adalah batok kepala Coh Liu-hiang."
Sudah tentu semua orang sama tertegun mendengar penjelasan ini. Lama
juga suasana dalam bui di bawah tanah itu sunyi senyap. Akhirnya Oh Thihoa
pula yang membuka suara sambil mengawasi Coh Liu-hiang: "Apakah
otakmu merupakan barang mestika yang tak ternilai hargnya, kenapa
begitu banyak orang yang menginginkan batok kepalamu?"
"Dengan kau, aku tidak bermusuhan tiada dendam, sebetulnya aku tidak
tega dan sudi melakukan perbuatan sekeji ini untuk membunuh kau, tapi
orang itu bilang, racun yang mengeram dalam tubuhku sudah berakar,
paling lama bisa bertahan tiga bulan lagi, dalam tiga bulan ini jikalau aku
tidak berhasil menyerahkan kepalamu kepadanya, dianjurkan supaya aku
lekas mempersiapkan diri untuk ajal."
Tanpa sadar Coh Liu-hiang kucek-kucek hidung, katanya: "Sekarang sudah
berapa lama?"
"Sudah dua bulan."
"Apakah omongan orang itu dapat dipercaya?"
"Jikalau kau tahu siapa dia, kau tak curiga akan ucapannya."
"Aku sih tak menduga, ternyata kau toh perempuan yang takut mati juga."
demikian olok Oh Thi-hoa.
Bercucuran air mata Liu Bu-bi, katanya sesenggukan: "Aku tidak takut
mati, aku hanya... hanya..."
"Hanya apa?" desak Oh Thi-hoa.
Dengan suara serak Li Giok-ham menyela pula: "Hanya karena aku, dia
tidak tega pergi meninggalkan aku seorang diri, tentunya kau sudah paham
bukan?" "Aku sudah ngerti." ujar Coh Liu-hiang.
"Tentunya kau pun sudah tahu, bahwasanya dia bukan mata-mata dari
siapapun. bahwa dia bukan mata-mata Ciok-koan-im seperti yang kau duga
dia hendak merenggut nyawamu lantaran dia harus mempertahankan
hidup." "Manusia hidup kalau bukan demi pribadi sendiri dia akan kualat, untuk ini
aku tidak menyalahkan dia. Apa yang dia lakukan dan perjuangkan memang
pantas dan jamak."
Agaknya Li Giok-ham tidak menduga Coh Liu-hiang bakal mengeluarkan
kata-kata ini, katanya kemudian setelah terlongong: "Kalau demikian
sukalah kau memberi kesempatan kepadanya untuk melaksanakan
keinginannya."
"Tadi sudah kukatakan, manusia hidup bukan demi diri sendiri dia akan
kualat, meski aku ingin membantu dia, tapi paling tidak aku harus pikirkan
dulu kepentinganku juga." dengan tajam ia awasi Li Giok-ham, maka lalu
menambahkan dengan tertawa: "Jikalau kau diminta memenggal kepalamu
sendiri untuk membantu orang lain, kau mau tidak?"
Muka Li Giok-ham yang pucat seketika merah padam, serunya kasar: "Tapi
bantuan ini tidak bisa tidak harus kau lakukan."
"O" Apa ya?"
"Jikalau kau tidak mau mampus, biar kelima temanmu ini menebus
kematianmu, tentunya kau tidak tega melihat kelima temanmu ini mampus
gara-gara kau bukan?"
"Jikalau kau bunuh mereka, kalian suami istri..."
"Yang terang kami suami istri sudah tidak ingin hidup lagi."
"Agaknya kau ini memang romantis dan kukuh, demi Bini sendiri tak segansegan
kau melakukan perbuatan terkutuk apapun... tapi kenapa tak
langsung saja kau gunakan Bau hi li hoa ting di tanganmu itu untuk
membunuh aku?"
Li Giok-ham kertak gigi, serunya sumbang: "Aku tidak yakin berhasil
membunuh kau, sekarang merupakan pertaruhanku yang terakhir kali, aku
tidak mau main-main dengan taruhanku ini."
"Sedikitnya ucapanmu ini terhitung jujur."
"Sampai di sini saja ucapanku, tak berguna kau mengulur waktu biar aku
memberi kesempatan terakhir kepadamu untuk berpikir, setelah aku
menghitung lima, kalau kau tidak mampus biar mereka yang gugur!"
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, gumamnya: "Lima hitungan" Kenapa
tidak tiga hitungan saja" Bukankah lebih pendek lebih tegang dan menusuk
perasaan?"
Dengan muka membesi Li Giok-ham mulai hitungannya: "Satu..." karena
tegang dan dihayati emosi suaranya kedengaran serak, dua kali mulutnya
bergerak baru hitungan "Satu" terucap karena dia tahu jikalau Coh Liuhiang
tidak mau mati, meski Oh Thi-hoa, Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song
Thiam-ji dan Mutiara hitam mampus, mereka suami istripun takkan bisa
hidup lebih lama lagi.
Sikap dan mimik Coh Liu-hiang tetap tenang, seperti tidak rela atau mau
jiwanya harus dikorbankan begitu saja.
"Dua!" dengan suara serak Li Giok-ham menambah satu hitungan lagi.
Ternyata Coh Liu-hiang tetap berdiri adem ayem sambil menggendong
kedua tangannya, mulutnya menyungging senyuman malah.
Sungguh Li Giok-ham tak sudi melihat senyumnya, terpaksa dia melotot
kepada Soh Yong-yong dan lain-lain, sudah tentu diapun tahu tiada
seorangpun dari mereka yang mau bilang: "Coh Liu-hiang, lekas kau mampus
saja! Biar kami yang bertahan hidup, kami adalah orang-orang yang
terdesak oleh kau, jikalau kau sudi mati demi kami, seluruh orang dalam
dunia ini akan memuja dan menyanjung dirimu."
Tapi Li Giok-hampun tidak mengharap mereka bilang demikian, dia
menganggap mereka bilang: "Coh Liu-hiang sekali-kali kau tidak boleh mati!
Biarlah kami yang mati! Kami orang-orang awam yang tiada berguna hidup
dalam dunia fana ini, matipun tidak menjadi soal."
Lebih besar mereka harapannya bilang: "Dapat mati demi kau, kami akan
mati dengan meram dan terhibur di alam baka, semoga kau tidak
melupakan kami, setiap musim semi pada tanggal kematian kami, sulutlah
dupa di depan pusara kami, kami sudah puas dan tentram."
Karena Li Giok-ham tahu bila mereka mengucapkan kata-kata ini, maka
terciptalah suatu suasana kepedihan, kegagahan dan ketukan jiwa yang
memilukan. Diapun tahu Coh Liu-hiang sesuai dengan julukannya sebagai
Maling Romantis, pasti hatinya akan terketuk oleh bujukan kata-kata ini
dan berkobar serta mendidih darahnya, sehingga tak bisa mengendalikan
emosi sendiri. Dikala itu umpama dia tak mau mati, maka dia suami istri


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti akan mampus.
Tapi kenyataan Soh Yong-yong dan lain-lain tetap bungkam, mereka
berdiri tetap tak bergerak ditempat masing-masing, menunggu dengan
tenang, bukan saja tidak tegang, sedih juga tidak.
Keruan kejut heran dan putus asa Li Giok-ham dibuatnya, kenyataan
orang-orang ini tidak terpengaruh oleh suasana, memangnya mereka bukan
manusia yang berdarah daging dan tidak punya perasaan dan emosi"
Dengan tegang Li Giok-ham menambah hitungannya: "Tiga."
Mendadak Coh Liu-hiang tersenyum dan berkata: "Baru sekarang aku
paham akan dua hal!"
"Dua hal apa?" tercetus pertanyaan dari mulut Li Giok-ham.
"Baru sekarang aku paham bahwa anak didik keturunan Yong-cui sancheng
memangnya tidak bisa melakukan kejahatan, karena bukan saja kau
tak tahu cara bagaimana kau harus melakukan kejahatan itu, sampaipun
cara bagaimana kau harus menggertak dan menakuti orangpun tidak tahu."
sambil tersenyum dia meneruskan "Jikalau kau ingin orang takut akan
rencanamu, maka kau sendiri jangan takut, jikalau kau sendiri sudah
ketakutan lebih dulu, orang lain mana bisa kau bikin takut?"
Oh Thi-hoa bergelak, serunya: "Tidak salah, begitu pula bagi seorang yang
suka humor, sekali-kali dirinya tidak boleh tertawa diwaktu mengucapkan
kata yang lucu dan menggelikan, jikalau kau sendiri sudah terpingkelKoleksi
Kang Zusi pingkel, meski ceritamu amat lucu dan menarik, orang lain tidak akan
tertawa melihat kelakuanmu sendiri."
Li Giok-ham gusar, dampratnya: "Kau kira..."
Li Giok-ham gusar, "Kalian sangka..."
Coh Liu-hiang tidak beri kesempatan dia bicara tukasnya: "Anak didik dari
keluarga elite seperti kalian ini masih mempunyai suatu ciri yang paling
fatal." "Ciri apa?" hampir saja Li Giok-ham tak bisa tahan diri, hendak bertanya.
Tapi akhirnya dia urungkan malah menggembor keras: "Empat!"
Hakekatnya Coh Liu-hiang tidak hiraukan pada hitungannya, katanya lebih
jauh: "Ciri kalian yang terbesar adalah tidak punya pengalaman Kangouw
sama sekali, soalnya kalian sendiri tidak perlu berkecimpung dan berusaha
di kalangan Kangouw berjuang dan bersusah payah untuk mencari hidup,
kalian dilahirkan sudah hidup dalam kemewahan, merasa derajat sendiri
jauh lebih tinggi dari orang lain, oleh karena itu sedikit banyak kalian sama
berpandangan cupat dan sempit, anggap segalanya serba bisa, serba tahu
dan serba punya, oleh karena itu tidaklah heran bila kalian sering lalai,
ceroboh dan gampang keblinger."
Mendadak dia tuding Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham, katanya lebih
lanjut: "Umpama kata, alat Bau hi li hoa ting ini sekarang merupakan
tameng kehidupanmu, kalian suami istri kini hanya mengandal akan alat itu,
apakah pegasnya tetap bekerja normal" Tidak kau lihat apakah kotak itu
memang benar ada isinya?"
Sikap Li Giok-ham seperti kena lecut cambuk, katanya dengan serak: "Bau
hi li hoa ting selamanya belum pernah gagal..."
"Tiada sesuatu yang abadi dan tak pernah salah didalam dunia ini,
sampaipun matahari ada kalanya digigit anjing langit "gerhana", kenapa
pula Bau hi li hoa ting ini tak mungkin gagal" Bukan mustahil alat dan
pegasnya sudah karatan" Mungkin pula ada ulat-ulat kecil yang tiba-tiba
menyusup ke dalam, sehingga lobang jarumnya tersumbat?"
Hidung Li Giok-han pun sudah mulai basah oleh keringat, tangan yang
memegangi alat senjata rahasiapun mulai gemetar.
Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut dengan tawar: "Apalagi, umpama alat ini
tak pernah gagal, sekarangpun tak berguna lagi, karena bahwasanya alat ini
kosong, kemaren malam waktu kami menghadapi Thian-lo-te-hong suami
istri paku-paku didalamnya sudah kita sambitkan seluruhnya."
Tiba-tiba Li Giok-ham terbahak-bahak, katanya: "Kau kira aku ini anak
umur tiga tahun, masakah gampang kau gertak dengan omongan kentutmu
ini" Biar kuberitahu terus terang, ocehanmu hakekatnya tiada sepatah
kata pun yang kupercaya." Meski nadanya begitu dan tandas, sebenarnya
hatinya sudah goyah, karena orang yang benar-benar punya keyakinan
tidak akan tertawa begitu rupa, tawa semacam itu tak lebih hanya untuk
menutupi kekalutan pikiran dan kekuatiran hatinya.
"Jikalau kau tidak percaya," Coh Liu-hiang tetap kalem "kenapa tak kau
periksa sendiri?"
"Tidak perlu aku memeriksanya, tak perlu!" seru Li Giok-ham dengan
geram. Mulut mengatakan tidak perlu, namun tak tertahan biji matanya
sudah melirik ke arah kotak yang dipegangnya, tangan yang lain tanpa
sadarpun terangkat mengelus bagian permukaannya. Bahwasanya apakah
kotak ini berisi atau kosong hakekatnya dia tidak akan bisa melihat dan
merasakan, tak mungkin teraba oleh tangannya pula, maklumlah karena
ketegangan urat syarafnya saja yang tak bisa mengendalikan perasaan diri
sendiri lagi. Tepat disaat biji matanya melirik itulah, meski hanya sekilas, laksana anak
panah tiba-tiba badan Coh Liu-hiang melenting menubruk maju.
Sudah tentu kejut dan murka Li Giok-ham bukan kepalang, namun
berkelitpun sudah tak sempat lagi. Meski gerak reaksinya cukup cepat,
namun tiada sesuatu gerakan apapun yang bisa menandingi kecepatan gerak
Coh Liu-hiang. Dikala dia sadar dirinya kena tipu Coh Liu-hiang sudah
angkat kedua tangannya tinggi ke atas kepala, ditengah pergumulan seru
itu, entah jari-jari siapa yang menyentuh tombol alat senjata rahasia Bau
hi li hoa ting itu. "Bung" sinar perak laksana kilat sama ramai, dua puluh
tujuh batang Li-hoa ting seluruhnya amblas tak kelihatan.
Seluruh tenaga dan semangat Li Giok-ham seakan-akan ikut melesat
keluar, ikut menyertai seluruh paku-paku Li hoa-ting yang merupakan
sandaran hidupnya, sekujur badannya seakan akan menjadi hampa dan
melompong tak bersukma lagi, "Tang" kontan alat senjata rahasia itupun
tak kuat dipegangnya lagi, jatuh berkelontangan di atas lantai.
Peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang teramat singkat, suara dikala
Li hoa-ting itu melesat keluar lalu menancap diatas batu, disusul suara
kelontangan dari alat senjata rahasia yang jatuh itu, boleh dikata hampir
berlangsung dalam waktu yang bersamaan, kejap lain suasana menjadi
hening lelap, seperti tiada kehidupan lagi dalam alam semesta ini.
Tampak tangan kiri Coh Liu-hiang menyanggah tangan kanan Li Giok-ham,
sementara sikut tangan kanannya menyelinap diantara ketiak kiri Li Giokham.
Li Giok-ham sendiri seperti orang yang sudah kehilangan sukma,
bukan saja matanya tidak mengawasi Coh Liu-hiang atau mengawasi orangorang
di sekitarnya, dengan mendelong dia mengawasi kedua puluh tujuh
paku-paku yang amblas masuk ke dalam batu di atas langit-langit.
Sebetulnya Liu Bu-bi sudah melangkah hendak menerjang Coh Liu-hiang,
tapi baru selangkah tiba-tiba dia tertegun dan menjublek di tempatnya.
Diapun tak mengawasi Coh Liu-hiang, hanya mengawasi Li Giok-ham seperti
orang linglung, sepasang matanya yang indah jeli itu penuh diliputi rasa
pilu, rawan dan duka, penuh diliputi derita, juga terkandung rasa cinta yang
tak terhingga. Dia tidak mengucurkan air mata, namun sorot matanya jauh
lebih memilukan dari pada mengucurkan airmata.
Begitu sergapan Coh Liu-hiang berhasil, sudah tentu Oh Thi-hoa, Soh
Yong-yong, dan lain-lain berjingkrak kegirangan, namun tiada satupun
diantara mereka yang bergerak dan bersuara, tertawa atau bicarapun
tidak. Seolah-olah mereka sama haru akan nasib dan liku-liku percintaan kedua
suami istri yang mengalami berbagai rintangan dan gemblengan, rasanya
segan dan tak tega lagi melukai hati mereka, karena meski perbuatan
mereka selama ini amat tercela dan menyakiti hati mereka, betapapun
pengalaman hidup mereka jauh lebih harus dikasihani.
Tiba-tiba Song Thiam-ji mendekap mukanya, pecahlah tangisnya
sesenggukkan. Memang selamanya jarang orang bisa meraba kapan nonanona
muda yang dimabuk asmara bisa mengucurkan air mata, karena
sembarang waktu kemungkinan saja menghadapi setiap persoalan, gadisKoleksi
Kang Zusi gadis itu bakal menangis, mungkin saja lantaran cinta mereka mengalirkan
airmata. Mereka bisa menangis karena sesuatau benda yang indah, namun
mungkin pula bersedih karena melihat suatu tragedi yang tragis.
Mereka bisa menangis lantaran duka, namun bisa pula mengalirkan airmata
karena kegirangan. Malah kemungkinan pula mereka bisa menangis bukan
lantaran suatu persoalan.
Tapi air mata Sing Thiam ji sungguh airmata kejujuran, airmata murni,
seolah-olah dia sudah lupa bahwa kedua suami istri ini adalah musuh yang
dia benci dan ingin dibunuhnya, malah merekapun ingin membunuhnya.
Namun dia menangis begitu pilu, sehingga orang tak tahan dan sama
menyangka dia lebih rela memenggal batok kepala Coh Liu-hiang, untuk
menolong kedua suami istri ini.
Biji mata Li Ang-siu, Soh Yong-yong dan Mutiara hitam, lambat laun ikut
berkaca-kaca dan basah pula oleh airmata.
Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya: "Perempuan, oh perempuan...
sungguh birahi."
Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Wah, karena tangisan kalian ini,
akupun merasa seakan-akan aku inilah yang memang patut mati."
Tiba-tiba Li Ang-siu bertanya: "Kau... bagaimana keputusanmu akan
mereka?" Coh Liu-hiang termenung, katanya kemudian: "Sudah tujuh kali mereka
berusaha membunuh aku."
"Tapi selanjutnya mereka takkan bisa mencelakai kau lagi," ujar Li Angsiu.
Berkata Soh Yong-yong lembut: "Tadi kudengar mereka bilang, mereka
hanya mencari suatu tempat yang sepi, hidup tentram ditempat
pengasingan untuk beberapa bulan terakhir ini, kau... bolehlah kau beri
kesempatan kepada mereka."
"Benar, boleh kau lepaskan mereka saja." Mutiara hitam ikut menimbrung.
"Bagaimana maksudmu sendiri?" tanya Coh Liu-hiang kepada Oh Thi-hoa.
"Tidak boleh dilepas..." belum ucapan Oh Thi-hoa selesai, Song Thiam ji
sudah berjingkrak, serunya sambil banting kaki: "Kenapa tidak boleh
dilepas?" "Kenapa kau ini begitu kejam?" Li Ang siu menimbrung.
Oh Thi-hoa menarik napas, katanya: "Jikalau sekarang kita biarkan
mereka pergi, berarti membunuh mereka pula secara tidak langsung.
soalnya Liu Bu-bi takkan hidup lama lagi, bila dia meninggal, apakah Li Giokham
masih bisa hidup?"
Soh Yong-yong berempat sama tertegun, "Kau..." Li Ang-siu gugup.
"Memangnya kau hendak menolong mereka malah?"
"Jikalau mereka berhasil membunuh Coh Liu-hiang, sudah tentu adalah
musuh besarku. Namun mereka tidak berhasil membunuh Coh Liu-hiang,
sebaliknya pernah menolong jiwa kami, oleh karena itu bukan saja mereka
adalah teman baikku mereka pula sebagai tuan penolongku." sampai di sini
Oh Thi-hoa membusungkan dada, katanya keras: "Memangnya Oh Thi-hoa
harus mandah saja mengawasi tuan penolongku mati karena keracunan?"
Song Thiam ji tiba-tiba memeluknya, serunya tertawa dengan
mengembeng airmata: "Kau memang orang baik." kulit mukanya tinggal satu
dim di hadapan Oh Thi-hoa.
Oh Thi-hoa seperti merintih, katanya: "Jikalau kau memeluk lebih
kencang dan tidak segera lepaskan, aku akan menjadi orang jahat."
Tersipu-sipu Song Thiam-ji lepaskan pelukannya, mukanya sudah merah
malu, namun butiran airmata di pipinya belum lagi kering, seolah-olah buah
apel yang masak basah oleh air embun.
Dengan tertawa besar Oh Thi-hoa menghampiri terali besi katanya: "Asal
kau berterus terang siapa sebenarnya orang yang dapat menolongmu, kita
akan bantu kau meminta obat pemunahnya kepada dia, jikalau dia tidak
mau beri, hehe... jangan pandang si Kupu-kupu kembang lagi kepadaku kalau
tidak kuhajar dia sampai gepeng kepalanya."
Li Giok-ham tetap mendelong mengawasi paku-paku di atas langit-langit.
Demikian pula Liu Bu-bi mengawasi muka Li Giok-ham tanpa berkedip.
Seolah-olah kedua suami istri ini tidak mendengar percakapan mereka.
"Cobalah kau sebutkan." pinta Soh Yong-yong lembut, "asal kau mau
katakan, mereka pasti akan berdaya mendapat obat pemunah itu."
Dari celah-celah terali besi Li Ang-siu ulur tangan menarik lengan Liu Bubi,
katanya: "Betapapun sulitnya urusan ini, Coh Liu-hiang pasti dapat
berdaya untuk memperolehnya."
Akhirnya bercucuran airmata Liu Bu-bi, katanya pilu: "Sungguh kalian
terlalu baik, kebaikan kalian terhadapku, selama hidupku ini mungkin
takkan bisa kubalas."
"Cobalah kau sebutkan, terhitung kau sudah membalas kebaikan kita."
ujar Li Ang-siu.
Tiba-tiba Liu Bu-bi menarik tangannya, katanya gemetar: "Tak bisa
kukatakan."
"Kenapa tidak bisa?" Li Ang-siu menegas.
Kata Liu Bu-bi dengan airmata bercucuran: "Karena bila kukatakan, bukan
saja tak berguna, malah kalian bisa celaka karenanya, sekarang aku...
sungguh tidak tega aku membuat celaka."
"Kau kuatir kita terbunuh oleh orang yang memiliki obat pemunahnya itu?"
tanya Li Ang-siu.
Liu Bu-bi mengiakan sambil manggut kepala.
"Kalau begitu kau terlalu memandang rendah mereka berdua?" Li Ang-siu
tertawa. "Sampai detik ini memangnya kau belum percaya bila mereka memiliki
kepandaian mujijat yang tiada taranya?" Song Thiam-ji menimbrung
dengan banting kaki.
Liu Bu-bi tertawa sedih, ujarnya: "Jikalau ada orang bisa merebut obat
pemunah itu dari tangan pemiliknya ini akupun tidak perlu susah payah
berusaha hendak memenggal kepala Coh Liu-hiang, coba kau pikir, bila aku
bisa mengundang Say Ih hang, Siau Giok kiam serta Thian lo te bong suami
istri tokoh tokoh sakti lainnya untuk membunuh Coh Liu-hiang, sudah tentu
akupun bisa minta mereka untuk berusaha meminta obat pemunah bagiku,
kenapa aku tidak berbuat demikian?"
"Masakah mengandal para Bulim Cianpwe itu, masih tidak akan mampu
memperoleh obat pemunahnya dari tangan orang itu?"
"Umpama mereka meluruk bersama akhirnya akan gugur bersama pula
secara sia-sia."
Baru sekarang Oh Thi-hoa amat kaget dibuatnya, katanya tersirap
darahnya: "Katamu orang itu bisa membunuh Say It-hang, Siau Giok-kiam
dan Thia lo-te-bong serta para Bulim Cianpwe lainnya secara mudah?"
"Tidak salah."
Lama Oh Thi-hoa terlongong, katanya seperti menggumam: "Apa benar
ada tokoh sesakti itu dalam dunia ini" Sungguh aku tak habis percaya."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang ikut menghela napas, ujarnya: "Tanpa dia jelaskan,
sekarang aku sudah bisa menduga siapa tokoh yang dia maksudkan."
"Siapa"
"Cui-bok-im-ki"
Begitu menduga Cui-bok-im-ki ini, kulit muka Oh Thi-hoa seketika seperti
dilabur selapis kapur yang tipis dan memutih jelas serta menyolok,
sampaipun sinar matanya pun menjadi pudar. Yang lainnyapun ikut
terbelalak kaget dan seperti mendengar sesuatu nama iblis yang amat
mengerikan. Seolah-olah ke empat huruf nama ini mengandung suatu daya
iblis yang bisa menyedot sukma dan alam pikiran orang, asal mendengar
nama ini orang seolah-olah mendengar suatu berita buruk atau mendapat
firasat jelek. Hanya Mutiara hitam yang lama menetap di gurun pasir saja, yang seolaholah
tidak terpengaruh akan nama ini, Maka segera dia bertanya: "Nama
Cui-bok-im seperti pernah kudengar, namun teringat lagi siapakah tokoh
itu?" "Cui-bok-im-ki adalah Sin-cui-nio-nio." tutur Oh Thi-hoa. "Dialah majikan
dari penghuni Sin cui kiong."
Baru sekarang roman muka Mutiara hitam sedikit berubah.
Mengawasi Liu Bu-bi, Coh Liu-hiang bertanya: "Tidak meleset bukan
tebakanku?"
Lama berdiam diri baru Liu Bu-bi menghirup napas segar, katanya dengan
manggut manggut: "Ya, benar memang beliau adanya."
Berkata Hek-tin-cu: "Meski jarang aku masuk ke Tionggoan, namun pernah
juga kudengar bahwa Cui-bok-im-ki adalah orang teraneh nomor satu di
Bulim, kabarnya tabiatnya sedikit mirip Ciok-koan-im selama hidupnya


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat membenci kaum laki-laki, perduli laki-laki siapapun asal melirik sekali
kepadanya, maka jiwanya pasti tak akan diampuni."
Oh Thi-hoa mengelus hidung, katanya tertawa getir: "Kau salah dalam hal
ini, sedikit pun tabiatnya tidak sama dengan Ciok-koan-im, bukan saja Ciokkoan-
im tak membenci laki-laki, malah boleh dikata amat senang bergaul
dengan laki-laki, terutama laki-laki yang cakap ganteng dan dirinya hanya
seleranya terhadap laki-laki terlalu besar, oleh karena itu dia selalu ingin
mencicipi yang segar, yang baru."
Liu Bu-bi menghela napas ujarnya: "Tapi Cui-bok-im-ki memang benarbenar
membenci laki-laki, menurut apa yang ku tahu dalam dunia ini tiada
seorang laki-lakipun yang pernah berdekatan apalagi bersentuhan sama
dia, maka dalam Sin-cui-kiong takkan ada bayangan seorang laki-lakipun."
"Tapi akupun tahu jelas." timbrung Mutiara hitam, "bahwa tabiatnya
memang sering berubah, senang dan gusar tidak menentu walau amat
membenci laki-laki, namun jiwanya tidak begitu jahat, juga tidak seperti
Ciok-koan-im, selalu berusaha mencelakai jiwa orang lain."
"Benar," sela Coh Liu-hiang, asal orang lain tidak mengganggu dia maka
diapun tak akan mengusik orang lain."
"Lalu kenapa dia ingi membunuh kau" Memangnya kau pernah menggangu
dia?" tanya Mutiara hitam.
"Ya, memang aku pernah membuatnya gusar" sahut Coh Liu-hiang gegetun.
"Bahwasanya ada permusuhan apa diantara kalian" tanya Liu Bu-bi.
"Akupun tidak tahu, juga tak berani tanya kepada kalian."
Jilid 37 "Tiga empat bulan yang lalu," demikian tutur Coh Liu-hiang, "didalam Sincui-
kiong mendadak kemalingan, mereka kehilangan sebotol Thian-it-cui,
maka orang-orang Sin-cui-kiong lantas curiga akulah yang mencurinya."
"Maka benar kau yang mencuri?" tanya Liu Bu-bi.
"Sudah tentu bukan aku."
"Aku percaya pasti bukan perbuatanmu." timbrung Oh Thi-hoa. "Jikalau
Thian it-sin-ciu mungkin dia mau mencurinya untuk diminum secara diamdiam,
memangnya buat apa dia mencuri Thian it sin ciu?"
Song Thiam ji tiba-tiba cekikikan geli, katanya: "Jikalau Thian-it-sin-ciu,
aku pasti tahu siapa yang telah mencurinya. Cui berarti air, ciu adalah
arak, cu sama dengan cuka, disini dimaksud "cemburu".
Li Ang-siu kontan mendelik, katanya berbisik sambil gigit bibir: "Setan
cilik, kau sendiri yang main cemburu!" Sudah sekian tahun lamanya mereka
hidup berdampingan dengan Coh Liu-hiang, setiap hari menghabiskan waktu
di tengah lautan, maka jiwa dan pikiran mereka lapang dan terbuka,
sembarang waktu tak lupa untuk tertawa. Tapi kali ini Coh Liu-hiang benarbenar
tidak bisa tertawa.
Katanya dengan mengerut kening: "Macam apakah Thian-it-sin-ciu itu,
melihatpun aku belum pernah, namun orang-orang Sin-cui-kiong justru
mencari kesulitan, mereka mengancam kepadaku supaya dalam satu bulan
aku harus sudah berhasil membongkar atau menangkap siapa sebetulnya
pencuri itu, kalau aku gagal mereka akan membuat perhitungan dengan
aku." "Apa kau berhasil menemukan siapa orang yang mencuri itu?" tanya Liu
Bu-bi. "Ketemu sih sudah, malah urusannya sudah kubongkar, namun kejadian
yang berlangsung saat itu sungguh terlalu banyak dan menyibukkan diriku,
sehingga terlupakan olehku, batas waktu yang ditentukan oleh pihak Sincui-
kiong, maka sampai sekarang aku belum sempat memberi
pertanggungan jawab kepada mereka."
Oh Thi-hoa geleng-geleng kepala, katanya: "Seorang laki-laki yang
terdidik dan terpercaya mana boleh lupa diri akan janji pertemuan dengan
seorang perempuan" Tak heran bila orang akan mencari perkara kepadamu,
aku sih takkan menyalahkan mereka."
Li Ang-siu muring, katanya merenggut: "Bahwasanya tak perlu mengingat
janji dengan mereka, itu waktu hakekatnya dia sedikitpun tidak punya
pegangan, apalagi urusan itu tiada sangkut pautnya dengan dirinya, namun
begitu dia berhadapan dengan gadis montok yang kerlingan matanya
sehangat air laut, kepalanya lantas pusing tujuh keliling, secara ceroboh
dia terima dan berjanji terhadap orang, sekarang Sin-cui-kiong..."
Tiba-tiba Song Thiam-ji cekikikan lagi, katanya: "Sin-cui-kiong tak perlu
dibuat heran dan takut, jikalau mereka berani kemari, yang terang pihak
kita sudah ada Ciangbun cin Sin cui kiong untuk menghadapinya."
Sebetulnya Li Ang siu dan Song Thiam ji cukup tahu saat-saat seperti ini
bukan waktunya untuk berkelakar, soalnya mereka merasa air mata yang
bercucuran di sini sudah terlalu banyak, maka mereka hendak menciptakan
suasana lain yang riang dan penuh gairah hidup. Karena mereka
berpendapat didalam orang-orang menghadapi suatu kesulitan dan marabahaya,
airmata hakekatnya tidak akan bisa menyelesaikan atau
mengakhiri persoalan. Hanya gelak tawa saja satu-satunya senjata
terampuh untuk menghadapi kesulitan dan mara-bahaya atau kedukaan.
Akan tetapi lambat laun merekapun insaf, bukan saja tawa riang mereka
tidak berhasil menyapu suasana yang rawan dan perasaan duka orang,
malah terasa kelakar ini merupakan suatu pukulan batin yang menambah
pilu dihati. Memang melihat tawa riang mereka yang begitu lebar, sikap Liu Bu-bi
sebaliknya semakin tawar dan pilu, karena dia selalu merasakan
kebahagiaan orang lain, hanya dirinya saja yang diliputi kehidupan yang
sengsara. Lambat laun Thiam-ji dan Li Ang-siu tak kuasa meneruskan
tawanya. Baru sekarang Liu Bu-bi sadar bahwa mereka masih terkurung didalam sel,
maka pelan-pelan tangan kanannya terangkat menekan sebuah tombol di
atas dinding, terali besi itu segera membuka, kedua sisi melesat ke dalam
dinding. Pelan-pelan dia lalu berpaling kearah Coh Liu-hiang serta menjura
hormat: "Berkat luhur budi Maling Romantis yang tak membunuh kami
suami istri, hari kami sudah senang dan berterima kasih, sungguh tidak
bisa dan tidak ingin minta bantuan Maling Romantis untuk menolong jiwa
kami pula, selanjutnya semoga...."
Coh Liu-hiang segera menukas: "Kau tidak usah anggap aku menyerempet
bahaya untuk menolong kau, yang terang aku memang harus pergi ke Sincui-
kiong." Liu Bu-bi geleng-geleng kepala, ujarnya: "Tempat seperti itu lebih baik
kau tidak kesana."
"Mana mungkin aku tidak akan kesana, jikalau aku tidak pergi, kesulitan
yang akan kuhadapi kelak semakin berlipat ganda, bahwa Sin-cui-nio-nio
bisa memerasmu untuk membunuh aku, maka diapun bisa suruh orang lain
mencelakai aku, memangnya selama hidup aku harus selalu berjaga-jaga
dari sergapan kaki tangannya?"
"Benar." Oh Thi-hoa menimbrung dan mengutarakan pendapatnya, "kalau
dia sudah ingkar janji, maka perlu dia kesana memberi penjelasan, kukira
Cui-bok-im-ki bukan seorang yang tak kenal aturan."
"Jadi kau kira dia seorang yang kenal aturan?" tanya Liu Bu-bi.
"Jikalau benar dia tidak kenal aturan, kita juga punya cara tidak kenal
aturan untuk menghadapi dia, umpama kata Sin-cui-kiong adalah gunung
golok, lautan api, sarang naga atau gua harimau, aku orang she Oh juga
akan menerjangnya kesana."
Tiba-tiba Soh Yong-yong menyela bicara: "Yang terang tiada gunung golok
lautan api di Sin cui kiong, bukan pula sarang naga gua harimau, malah
tempat itu merupakan tempat tamasya dengan panorama terindah di dunia,
laksana taman firdaus tempat semayam dewa-dewi."
"Benar, hanya kau saja yang pernah masuk ke Sin cui kiong, bagaimana
menurut perasaanmu apa benar tempat itu amat menakutkan?"
"Dalam pandanganku, sedikitpun tempat itu tidak menakutkan, malah
menyenangkan."
"O" Lalu?" Coh Liu-hiang menegas.
"Pernahkah mendengar taman firdaus didalam dongeng kuno" Sin cui kiong
mirip benar dengan taman firdaus, tempat itu boleh dikata merupakan
sorga dunianya manusia, setiba aku di sana sungguh hampir aku tak mau
percaya bila aku berada didalam Sin-cui-kiong yang sudah terkenal di
seluruh jagat, karena di sana tiada kekerasan, tiada kejahatan, tiada
kehidupan yang kasar dan saling membunuh." Seperti sedang mengenang
gambaran yang pernah dialaminya, Soh Yong-yong melanjutkan: "Waktu itu
kebetulan permulaan musim panas, aku naik sebuah sampan menyusuri
sungai mengikuti arus air, entah berapa lama sudah berselang lamakelamaan
kutemui kelopak-kelopak kembang mawar yang mengalir
mengikuti arus air."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang bertanya: "Apakah ada juga bunga rampai?"
"Memang diantara sekian banyak kelopak kelopak kembang itu ada bunga
rampai yang wangi, hembusan angin sepoi-sepoi membawa bau harum yang
memabukkan, duduk di atas sampan, bukan saja seperti berada dialam
lukisan, malah seperti berada didalam dongeng."
Begitu indah kisah ceritanya, sampai Oh Thi-hoa melongo mendengarkan.
Tutur Soh Yong-yong lebih lanjut: "Seperti mabuk, seperti linglung pula
saking kesima, entah berapa lama sampanku terhanyut, lama kelamaan
melalui sebuah celah-celah lamping gunung, kedua sisi sungai tumbuh
rumput-rumput yang tebal dan lebat, keadaan gelap gulita, kelima jariku
sendiri tak kelihatan. Dengan dayung aku menyingkirkan rumput-rumput
yang mengandung air, beberapa kejap kemudian pandangan tiba-tiba
terbuka lebar, tiba-tiba selayang mata memandang ratusan jenis bungabunga
terbentang di depan mata, bagai permadani, itulah sebuah lembah
yang indah dan sejuk, di sebelah kanan tampak sebuah air terjun
menumpahkan airnya dari puncak batu, suasana tentram damai, sungguh
mengetuk sanubari, diantara gerombolan pepohonan yang lebat ditaburi
kembang-kembang itu, tampak gardu gubuk dan panggung-panggung, dan
yang mengherankan ratusan macam jenis burung-burung besar kecil sama
bersarang ditempat itu, melihat manusia mereka tidak takut, malah
beberapa ekor diantaranya ada yang terbang hinggap di atas kedua
pundakku seolah-olah hendak bicara dengan aku."
Keindahan alam yang dilukiskan laksana gambar lukisan, seperti syair
dengan uraian suara nan merdu lembut, sungguh mengasyikkan.
"Li Ang-siu menghela napas pelan-pelan, katanya: "Kalau tahu Siu-cuikiong
merupakan dunia indah tempat bersemayam dewata, pasti aku minta
ikut kau kesana."
Tiba-tiba Liu Bu-bi bertanya: "Tapi cara bagaimana nona bisa tahu bila
sungai kecil itu adalah jalan untuk menembus ke dalam gunung?"
"Aku punya seorang bibi, beliau adalah murid Sin-cui-kiong, pernah aku
diberitahu bila hendak mencari beliau cara bagaimana aku harus masuk
kesana, sudah tentu rahasia ini beliau larang aku memberi tahu kepada
orang lain."
Berkedip-kedip mata Song Thiam-ji, tanyanya: "Apakah bibimu tinggal di
gubuk ditengah tengah keliling kembang indah itu?"
"Belakangan baru aku tahu gardu dan gubuk-gubuk diantara semak-semak
kembang itu ternyata adalah tempat tinggal murid-murid Sin cui kiong,
karena hoby masing-masing berlainan, maka bentuk bangunan tempat
tinggal merekapun berlainan."
"Tempat seperti apa tempat tinggal bibimu?" tanya Li Ang-siu.
"Beliau tinggal didalam dua bilik gubuk yang mungil, bagian depannya
dipagari bambu, didalam pekarangan ada ditanam seruni, belum saatnya
berkembang tapi begitu aku tiba di sana, aku toh cukup dibuat terpesona."
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya seperti mengigau: "Agaknya Cui-bokim-
ki masih jauh lebih baik daripada Ciok-koan-im menghadapi muridmuridnya."
"Sayang sekali setiba disana, aku dilarang keluar dan kelayapan." demikian
tutur Soh Yong-yong lebih lanjut. "Terpaksa aku mengeram diri dalam
rumah bibi, karena dia memberi peringatan kepadaku jikalau sembarangan
kelayapan keluar, seketika aku bakal ketimpa bencana yang mengancam
jiwa." "Bencana apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Beliau tidak jelaskan bencana apa yang terang aku disekam dalam
rumahnya sehingga tiada seorangpun yang melihat kehadiranku di sana,
maka nona Kianglam Yan itupun tidak sempat kulihat di sana."
"Kalau begitu kaupun tidak bertemu dengan Cui-bok-im-ki?" tanya Coh
Liu-hiang. "Tidak."
"Kau pun tidak tahu di sebelah mana tempat tinggalnya?"
"Tidak tahu" sahut Soh Yong-yong menghela napas. "Sungguh aku ingin
bisa bertemu dengan tokoh Bulim yang terkenal ini, namun bibi berpesan
wanti-wanti kepadaku, betapapun dia melarang aku pergi menemuinya,
namun aku berani pastikan bahwa diapun tinggal di dalam lembah permai
itu, mungkin tinggal ditengah hutan buah Tho di seberang rumahnya, atau
mungkin pula menetap didalam biara kecil yang terletak di lereng bukit
itu." "Biara" Memangnya di dalam Sin cui kiong juga ada Nikoh?"
"Katanya Cui-bok-im-ki adalah seorang ibadat yang fanatik dengan
ajarannya, maka dia mengijinkan Biau-ceng Bu Hoa untuk berkhotbah
didalam lembah itu."
Coh Liu-hiang menepekur, katanya kemudian: "Kalau demikian, memang dia
kemungkinan tinggal didalam biara itu!"
"Tapi menurut apa yang kutahu," demikian Soh Yong-yong melanjutkan
ceritanya, "Bu Hoa sendiripun belum pernah melihatnya, setelah masuk ke
dalam lembah, setiap hari Bu Hoa hanya duduk di atas batu panggung yang
besar di depan air terjun itu berkotbah selama dua jam, diapun tahu
setiap hari Cui-bok-im-ki pasti mendengarkan khotbahnya, namun selama
itu tidak tahu dimana sebenarnya dia orang berada."
"Sungguh seorang tokoh yang misterius." ujar Coh Liu-hiang, "jauh lebih
misterius dari apa yang pernah kubayangkan."
"Tapi keadaan Sin-cui-kiong sebaliknya tidak semisterius yang
kubayangkan, semula kukira tempat itu tentu amat seram dan menakutkan,
siapa tahu tempat itu justru begitu indah dan permai dari kebanyakan
tempat lainnya."
Tiba-tiba Liu Bu-bi menyeletuk: "Jangan kalian lupa diri, aku sendiripun
pernah pergi ke Sin-cui-kiong."
"Sudah tentu kau pernah pergi kesana." ujar Oh Thi-hoa.
"Menurut apa yang kutahu, Sin-cui-kiong bukan tempat seindah yang
dilukiskan oleh nona Soh."
"Oh?" Oh Thi-hoa heran, "Memangnya ada perbedaan apa didalam Sin-cuikiong
yang pernah kau alami?"
"Jauh sekali bedanya," sahut Liu Bu-bi, lalu dia menyambung dengan suara
lebih tegas: "Sin-cui-kiong yang dilihat nona Soh adalah alam tamasya
laksana peraduan dewata, sebaliknya Sin cui kiong yang kulihat sebaliknya
mirip neraka."
Seluruh hadirin menjublek dan melongo ditempat masing-masing.
Berkata Liu Bu-bi lebih lanjut: "Aku tidak mendapat petunjuk bibi untuk
melalui jalan yang ditunjuk, maka perlu menghabiskan banyak waktu, aku
berhasil mencari-tahu kepada seorang yang mengetahui seluk beluknya,
ternyata bagi orang yang hendak berkunjung ke Sin cui kiong harus melalui
Bo-dhi-am."
Berkerut alis Oh Thi-hoa, katanya: "Kalau Bo dhi-am itu punya hubungan
yang begitu erat dengan Sin cui-kiong, tentunya merupakan suatu tempat
yang terkenal, kenapa selama ini belum pernah kudengar nama biara ini?"
"Soalnya Bo-dhi-am yang ini tidak lebih hanya sebuah biara kecil yang
sudah bobrok." demikian tutur Liu Bu-bi. "Penghuni biara kecil bobrok ini
hanya seorang Nikoh yang sepintas lalu usia Nikoh ini kira-kira sudah
mencapai tujuh delapan puluh tahun, agaknya malah seorang bisu dan tuli.
Akan tetapi bagi siapapun yang hendak pergi ke Sin cui-kiong maka dia
harus membeberkan tujuan dan keinginannya hendak menuju ke Sin cuikiong
kepada Nikoh bisu tuli ini."
"Kalau toh Nikoh itu bisu tuli, masakah dia bisa mendengar ucapan orang?"
tanya Oh Thi-hoa.
"Jikalau dia tidak mengijinkan kau masuk ke Sin cui kiong, maka dia lantas
bisu dan tuli betapapun kau meratap dan mohon kepadanya, dia anggap
tidak mendengar, tapi bila dia mau membawamu masuk, setiap patah katakatamu
dia bisa mendengarnya dengan jelas."
"Baik juga caranya ini," ujar Oh Thi-hoa tertawa geli.
"Setelah aku kemukakan alasanku kenapa ingin masuk ke Sin cui kiong
kepadanya, lama lama dia berdiam diri mendadak dia menuang secangkir
teh suruh aku meminumnya."


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kau meminumnya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Bagaimana mungkin aku tidak meminumnya?" Liu Bu-bi tertawa, "Sudah
tentu akupun tahu bahwa air teh ini tentu tidak enak rasanya, setelah
kuminum kontan aku jatuh pingsan, waktu aku siuman kembali, tahu-tahu
sudah terkurung didalam sebuah keranjang menjalin, keranjang menjalin
yang basah kuyup seperti keranjang yang sudah lama terendam didalam
air, sudah tentu sekujur badankupun basah kuyup."
Sejak tadi Li Giok-ham berdiri mematung seperti kehilangan semangat
dan daya pikirnya, baru sekarang dia menghirup napas panjang dengan
penuh perasaan kasihan dan kasih sayang mengawasi istrinya.
"Untung keranjang itu terbuat dari menjalin" demikian tutur Liu Bu-bi
lebih lanjut, "tutupnyapun tidak terkunci maka aku dapat merayap keluar
dari keranjang baru kudapati diriku berada didalam sebuah lorong di
bawah tanah, keadaan gelap-gulita, yang terdengar hanya suara
gemerciknya air yang mengalir tapi aku sendiri sukar membedakan dari
mana kumandang suara itu datangnya."
"Didalam Sin-cui-kiong pasti terdapat suatu sumber air, paling tidak hal
ini tidak perlu diragukan" demikian Coh Liu-hiang utarakan pendapatnya.
Oh Thi-hoa melototkan mata, ujarnya: "Kalau Sin-cui-kiong tiada air
memangnya ada arak saja?"
"Karena tiada apa-apa yang kulihat terpaksa aku berlalu menggeremet dan
meraba-raba bukan saja tidak tahu berapa panjang lorong di bawah tanah
ini, akupun tidak tahu, kemana lorong ini akan menembus."
"Tapi paling tidak kau bisa berkepastian, didalam lorong bawah tanah ini
terang takkan ada orang yang akan membokongmu, karena paling tidak Cuibok-
im-ki bukan orang yang suka atau sudi mencelakai jiwa orang secara
menggelap." demikian ujar Oh Thi-hoa.
Sebetulnya dia bermaksud baik mengutarakan pendapatnya ini, tak nyana
justru menusuk-nusuk kelemahan Liu Bu-bi, raut mukanya yang pucat
seketika merah, katanya menunduk: "Waktu itu meski mata dan telingaku
tak berguna lagi, namun hidungku masih amat berguna, karena didalam
lorong itu aku mengendus berbagai bau yang aneka ragamnya."
"Ba... bau apa?" tanya Li Ang-siu merinding.
"Semula ku endus bau lembab, disusul bau sesuatu yang hangus seperti
ada sesuatu yang terbakar sampai kering, belakangan ada pula bau
anyirnya darah, bau besi karatan, bau tanah, bau kayu dan banyak lagi..."
terunjuk rasa seram dan ketakutan pada muka dan sorot matanya,
suaranya jadi gemetar: "Meski tiada seorangpun yang akan membokongku
tiada jebakan atau perangkap apapun, tapi hanya bau-bau yang beraneka
ragamnya itu, sungguh sudah membuatku hampir gila."
Tak tahan bertanya Oh Thi-hoa: "Bau-bau itu kan tidak bisa melukai
kesehatanmu, memangnya kenapa menakutkan?"
"Sebetulnya memang tidak pernah terpikir olehku dalam hal apa bau-bau
itu kok menakutkan, tapi pada saat itu baru benar-benar kusadari tiada
suatu peristiwa apapun yang benar-benar lebih menakutkan dari bau-bau
itu," suaranya sudah menjadi serak, katanya lebih lanjut: "Waktu aku
mengendus bau hangus terbakar, wujudnya belum terasakan seolah-olah
tengah berjalan di atas sebuah bangku, seperti sedang dipanggang di atas
bara." Song Thiam ji mengkerutkan pundak, diam-diam dia menggeser ke dekat
Li Ang-siu. "Waktu aku mengendus bau darah dan besi karatan, terasa seolah-olah
diriku diantara tumpukan mayat-mayat, seperti ada mayat-mayat hidup
yang sembunyi dan mengintip diriku ditempat-tempat gelap sekelilingku,
sampaipun menggeremet majupun aku sudah tak berani lagi, karena aku
kuatir begitu kakiku melangkah bakal menginjak mayat, malah bukan
mustahil mayat dari seorang teman baikku sendiri."
Badan Li Ang-siu jadi gemetar dan berdiri bulu kuduknya, diam-diam
diapun menggeser mendekati Soh Yong-yong dan sembunyi di belakangnya.
"Setelah aku mengendus bau kayu dan tanah maka aku sendiri seolah-olah
sudah menjadi sesosok mayat yang sudah terpaku didalam peti mati dan
terpendam didalam bumi." sampai di sini dia menghela napas, "Semula aku
hanya mengira karena melihat sesuatu yang seram, atau kuping mendengar
sesuatu suara yang mengerikan baru hari menjadi ciut. Dan saat itu baru
aku betul-betul insaf bau yang terendus oleh hidung merupakan suatu yang
menakutkan."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Memang mungkin kejadian itu
sendiri jauh lebih nyata dari pada apa yang terlihat oleh mata dan
terdengar oleh kuping, sebaliknya bau yang terendus oleh hidung yang
merupakan sesuatu yang tak bisa kau raba dan tak mungkin kau lihat,
terpaksa kau hanya bisa mengkhayal dan main tebak-tebak, semakin dipikir
semakin seram, ngeri dan menakutkan. oleh karena itu pernah aku bilang,
sesuatu yang paling ditakuti oleh manusia umumnya, bukan terhadap
sesuatu benda tertentu, namun tak lain adalah suatu yang kau khayalkan,
sesuatu yang kau bayangkan sendiri mengenai sesuatu itu didalam
benakmu." "Oleh karena itu, didalam lorong bawah tanah itu, meski aku tidak bisa
melihat apa-apa tak mendengar apa-apa, tapi toh aku sudah tersiksa dan
menderita sampai kehabisan tenaga, sampaipun tenaga untuk berjalanpun
tiada lagi." demikian tutur Liu Bu-bi.
Song Thiam-ji sekarang sudah mendekam ke dalam pelukan Li Ang-siu,
namun mulutnya masih berani bertanya: "Akhirnya... bagaimana?"
Anak-anak perempuan kebanyakan memang mempunyai ciri-ciri yang sama,
semakin mendengar cerita yang seram menakutkan, semakin getol mereka
ingin mendengar kelanjutannya.
"Pada saat itulah, didalam lorong gelap itu tiba kumandang sebuah suara
orang, kedengarannya suara itu begitu merdu, lembut dan menarik
perhatian, tapi pada waktu itu aku hanya merasakan suara itu begitu
dingin, kosong, bukan suara manusia."
"Dia... dia... apa yang dia katakan?" tanya Song Thiam-ji gelagapan.
"Dia bilang dia sudah memeriksa penyakitku, diapun sudah tahu racun apa
yang bersarang didalam badanku, tapi bila aku ingin dia berusaha menolong
jiwaku, dia minta... minta..."
"Minta batok kepalaku sebagai tumbal, sebagai persyaratannya, benar
tidak?" Coh Liu-hiang menyambung.
Tertunduk kepala Liu Bu-bi katanya: "Meski aku sudah meratap dan
menyembah-nyembah kepadanya, kutanya adakah imbalan lain yang
kutempuh, tapi dia tidak hiraukan diriku lagi, suaraku sudah serak, namun
dia tetap seperti tidak mendengar."
"Kalau demikian kaupun tidak bertemu dengan Cui-bok-im-ki?" kata Coh
Liu-hiang. "Bukan saja aku tidak pernah melihat beliau, malah satu diantara muridmuridnyapun
tiada yang kujumpai."
"Cara bagaimana pula kau bisa pulang?" tanya Oh Thi-hoa.
"Entah berapa lama aku bertangisan, tiba-tiba hidungku mengendus
sesuatu bau aneh, bau yang wangi, seolah-olah hembusan angin sepoi-sepoi
musim semi yang masuk dari jendela. seolah-olah bau harum didalam
pelukan ibunda yang sedang menyusui bayinya, begitu mengendus bau ini,
tanpa terasa aku lantas tertidur pulas."
"Waktu kau siuman pula, kau sudah kembali didalam Bu-dhi-am itu?" tanya
Oh Thi-hoa. "Ya, benar." sahut Liu Bu-bi. "Waktu aku siuman pakaianku
sudah kering. Nikoh tua itu sedang duduk di hadapanku, tangannya masih
memegangi cangkir teh yang barusan kuminum itu, seperti tiada pernah
terjadi sesuatu, waktu kutanya dia dan kuminta kepadanya, sepatah
katapun seperti tak mendengar lagi."
Kaki tangan Song Thiam-ji menjadi dingin, suaranya gemetar: "Kau...
seolah-olah kau seperti sedang bermimpi?"
"Benar, sampaipun aku sendiri sukar membedakan, sebetulnya aku sedang
bermimpu" Atau mengalami suatu kejadian yang benar-benar kenyataan?"
Li Ang-siu ikut menarik napas lega, katanya getir: "Mendengar ceritamu,
aku ingin benar bisa masuk kedalam Sin-cui-kiong."
Mengawasi Soh Yong-yong, berkata Song Thiam-ji: "Sin-cui-kiong... Sincui-
kiong. Sebetulnya tempat macam apakah itu?" pertanyaan seperti ini
dia tujukan kepada Soh Yong-yong, namun diapun tak menginginkan
jawabannya, karena dia tahu Soh Yong-yong pasti takkan dapat
menjawabnya. Kembali semua berdiam diri, hati masing-masing dirundung berbagai
pertanyaan. Apa benar Sin cui kiong merupakan alam dewata, seperti yang
dituturkan Soh-yong-yong" atau merupakan tempat seperti neraka yang
penuh diliputi misteri dan menakutkan seperti yang dituturkan Liu Bu-bi"
Kembali Oh Thi-hoa melakukan kebiasaannya mengelus hidung, gumamnya:
"Mungkin kalian pergi kedua tempat yang berlainan."
"Dalam kolong langit ini hanya ada satu Sin cui kiong, tak mungkin ada
tempat kedua." jawab Liu Bu-bi tegas.
"Tempat yang kudatangi itu, terang adalah Sin cui kiong, pasti takkan
salah" Soh Yong-yong amat yakin akan pengalamannya. Nada mereka samasama
tegas dan tandas.
"Kalau orang lain yang bercerita mungkin bisa keliru, dan aku mungkin tak
mau percaya, tapi kalian nona-nona sama yakin, kemungkinan memang..." Oh
Thi-hoa tidak ragu-ragu lagi, setelah merandek dia mengawasi Liu Bu-bi,
katanya: "Setelah kau tiba ditempat itu, seorangpun kau tidak melihatnya,
dengan keyakinan apa kau berani memastikan diri bila kau sudah berada di
Sin cui kiong?"
Li Ang siu lekas menyambung: "Benar! Dari mana kau tahu bila Nikoh tua
dalam Bo dhi-am itu pasti akan mengantarmu pergi ke Sin cui kiong?"
Bersinar biji mata Soh Yong-yong diapun berebut bicara: "Siapa yang
beritahu kepadamu, harus lewat Bo dhi-am itu" Bukan mustahil hal ini
merupakan perangkap yang sudah direncanakan lebih dulu oleh orang itu?"
"Perangkap?"
"Benar! Perangkap!" Soh Yong-yong menegaskan, "bukan mustahil orang itu
sama dia... ada permusuhan dengan Coh Liu-hiang, maka sengaja dia
memasang perangkap untuk menipu kau, sudah tentu Nikoh tua dalam Bo
dhi-am itupun komplotannya."
"Sedikitpun tidak salah." seru Oh Thi-hoa tepuk tangan, "dia menipumu
karena ingin kau membunuh Coh Liu-hiang, hakekatnya mereka tidak
pernah membawamu pergi ke Sin ciu kiong."
"Setelah kau minum air teh itu," timbrung Li Ang siu, "kau sudah pingsan,
mereka boleh sembarang membawamu ke suatu tempat yang terang kau
toh tidak tahu."
Liu Bu-bi menepekur sesaat lamanya, katanya: "Memang bukan beralasan
apa yang kalian uraikan."
"Sudah tentu masuk diakal" ujar Li Ang siu, lorong bawah biara itu, suara
yang kau dengar bukan mustahil pula adalah perkataan Nikoh tua itu pula."
Liu Bu-bi menghela napas, ujarnya: "Tapi kalau toh hal ini menyangkut mati
hidupku, masakah aku mau percaya begitu saja akan petunjuk orang lain"
Sudah tentu aku amat percaya kepada orang yang memberi kisikan padaku
mengenai jalan yang harus kutempuh."
Oh Thi-hoa terkekeh-kekeh, katanya: "Orang yang terlalu percaya kepada
orang lain sering dia celaka sendiri, tentunya kau jauh lebih paham akan
pengertian ini dari orang lain."
Merah muka Liu Bu-bi, katanya tertunduk: "Tapi orang ini.... orang ini pasti
takkan berbohong."
"O" Lama juga belum pernah kudengar ada orang yang tidak pernah
membual, aku jadi ingin tahu siapa sebenarnya orang ini?"
"Beliau adalah Li Ui Loh-ce Ui lokiam khek yang dijuluki Lun-cu kiam oleh
kaum Bulim, kukira kalian pasti pernah mendengar legenda mengenai sepak
terjang beliau orang tua?"
Seketika terkancing mulut Oh Thi-hoa, karena diapun tahu bila dalam
kolong langit ini ada orang yang tidak pernah membual maka orang itu pasti
Kuncu kiam Ti Loh-ce adanya.
Tak tahan bersuara pula Li Ang-siu: "Memang tidak salah, Ci lo kiam khek
ini memang tidak malu dijuluki Kuncu "sosiawan" yang benar jujur, selama
hidupnya belum pernah dia membual atau menipu orang lain. Lebih harus
dipuji dan dikagumi, bukan saja terhadap teman dia bersikap jujur, meski
terhadap musuhnya selamanya dia bicara apa adanya, selamanya tidak
pernah berbohong."
Song Thiam-ji bertepuk, serunya tertawa: "Nona Li kita hendak mengeduk
pengetahuan dalam perutnya untuk jual lagak di hadapan kita, memangnya
apa yang dia uraikan tak salah, boleh kita mendengarkan dengan hati
lapang!" Liu Bu-bi menjadi heran dan membatin: "Nona Li ini masih muda belia,
diwaktu Kun cukiam melintang di Kangouw, mungkin dia belum lahir, namun
dari nadanya ini seolah-olah dia amat jelas mengenai seluk-beluk kehidupan
Kun-cu-kiam masa lalu."
Memang diluar tahunya, bukan saja Li Ang-siu banyak mengetahui riwayat
hidup dan sepak terjang Kun-cu-kiam masa lalu, malah tokoh-tokoh kosen
yang kenamaan di Bulim pun tak sedikit yang dia ketahui.
Oh Thi-hoa justru bertanya: "Katamu terhadap musuhpun Ui lo-kiam khek
tak mau berbohong, aku jadi tak mengerti."
Berkata Li Ang-siu: "Bila kau bergebrak dengan musuh, kalau lawan
bertanya: "Kepandaian apa yang menjadi keahlianmu" Berapa jurus pula
yang paling lihai. Waktu turun tangan kau hendak menggunakan tipu yang
mana" Kau mau beritahu kepadanya tidak?"
Oh Thi-hoa tertawa geli katanya: "Ha, ha, lucu sekali, bila bergebrak
dengan musuh yang diutamakan adalah permainan isi, kosong yang tidak
menentu, sehingga musuh dibuat keripuhan dan tak mampu membalas,
jikalau pihak sendiri mengutarakan serangan jurus apa yang hendak kau
lancarkan, terhitung berkelahi apa dengan lawan?"
"Jadi bila lawanmu bertanya demikian kau tidak mau menjawab?" Li Angsiu
menegas. "Kalau orang itu musuh besarku, sudah tentu aku tidak mau beritahu, tapi
yang terang musuhkupun takkan mengajukan pertanyaan ini kepadaku,
karena dia toh tahu aku bukan orang gila, umpama benar aku menjawab,
tentu bukan sejujurnya."
Li Ang-siu cekikikan, katanya: "Akupun tahu kau pasti takkan bicara
sejujurnya, umpama kau berterus terang, lawanpun takkan mau percaya,
atau tidak berani percaya. Akan tetapi setiap bergebrak dengan musuh,
perduli pertanyaan apapun yang diajukan lawan, setiap patah pertanyaan
pasti dia jawab dengan jelas, dan lagi apa yang pernah dia katakan pasti
tak pernah ditarik dan dikoreksi. Kalau dia bilang jurus terakhir hendak
menggunakan tipu burung terbang kembali ke hutan untuk meraih ikat
kepala lawan, maka dia pasti tak akan menggunakan gadis rupawan
menyusup benang untuk menusuk dada lawannya."
Oh Thi-hoa melengak katanya: "Bertempur cara demikian, bukankah dia
selalu kena dirugikan oleh musuh?"
"Memangnya lantaran sifatnya ini, entah sudah berapa kali Ui lo-kiamkhek
mengalami kerugian selama hidupnya, maka setelah orang banyak
tahu akan wataknya ini, sebelum mengajaknya bergebrak pasti bertanya
lebih dulu."
"Meski Lwekang Ui locianpwe amat tinggi, umpama orang tahu jurus apa
yang hendak dia lancarkan juga belum tentu kuasa menandinginya, tapi bila
kebentur lawan yang membekal kepandaian setanding dirinya, bukankah dia
bakal terjungkal ditangan musuh?"
"Memang begitulah kejadiannya, dalam beberapa kali pertempuran, jelas
Ui-locianpwe seharusnya menang, akhirnya malah kena dikalahkan, dan
lantaran dia memang seorang Kuncu sejati, maka meski lawan berhasil
mengalahkan dia, orang toh tidak tega melukainya."
Liu Bu-bi segera menyambung: "Apalagi, dengan kejujuran Ui Locianpwe
menghadapi setiap kawan dan lawan, maka pergaulannya amat luas,
temannya tersebar dimana mana, para tokoh-tokoh Kangouw dari tingkatan
yang lebih tua, boleh dikata sama adalah sahabat dekatnya maka umpama
dia orang adalah musuh besarnya, orangpun tak akan berani melukainya."
sampai di sini dia menarik napas dalam, "silahkan kalian pikir, ucapan yang
dikatakan oleh orang macam dia, apakah tidak boleh dipercaya?"
"Kalau demikian tempat yang kau tuju itu pasti tidak akan salah lagi
adalah Sin cui kiong." ujar Oh Thi-hoa menghela napas.
"Hal ini tak perlu diragukan lagi."
Sesaat lamanya Soh Yong-yong menepekur katanya: "Sayang sekali dimana
sekarang Ui locianpwe berada, kalau tidak ingin aku mohon beberapa
petunjuk kepada beliau."


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selama ini Coh Liu-hiang mendengarkan dengan cermat, kini tiba-tiba
tertawa, ujarnya "Petunjuk apa yang ingin kau minta" Silahkan kau
utarakan saja, bukan mustahil Ui-locianpwe bisa mendengarkan
pertanyaanmu,"
Melotot biji mata Soh Yong-yong katanya: "Apa beliau berada disekitar
sini?" Kembali Coh Liu-hiang mandah tertawa-tawa, namun tidak menjawab.
Terdengar dua kali batuk-batuk lirih dari batu undakan yang menembus ke
bawah tanah ini. Maka muncullan tiga bayangan orang dengan langkah
pelan-pelan. Ketiga orang sama-sama mengenakan jubah serba hitam, sama-sama
memanggul pedang di punggungnya, segera Oh Thi-hoa mengenali mereka,
adalah orang-orang yang tadi bergebrak melawan Coh Liu-hiang. Cuma
sekarang mereka sama menanggalkan kedok mukanya, sikap ketiga orang
sama angker berwibawa, namun bentuk dan perawakan ke tiganya berbeda
satu sama lain. Yang ditengah dan terdepan adalah seorang kakek tua yang
bermuka seperti baskom perak dengan biji mata terang dan beralis tebal.
Walau sekarang sudah jadi hartawan dan ketiban rejeki besar pastilah
masa mudanya dulu adalah seorang laki-laki ganteng yang romantis.
Ditengah alisnya yang rada berkerut kelihatan rada marah, sikapnya
kelihatan keras dan tegas, terang sekali orang ini bukan lain adalah, Ciokkiam
Sian Ciok yang terkenal di seluruh jagat itu.
Laki-laki yang di sebelahnya kira-kira satu kepala lebih tinggi dengan
perawakan kekar, mukanya putih bersih, meski sikapnya kelihatan serius,
namun sorot matanya kelihatan welas asih. Kini kedua alisnya rada
berkerut, seolah-olah dirundung persoalan berat.
Dan seorang yang lain berperawakan sedang tidak tinggi juga tidak
rendah, raut mukanya biasa saja, sikapnya kalem dan sabar, malah tak
menunjukkan sesuatu mimik pada mukanya. Diantara ketiga orang ini, hanya
dia seorang yang tidak membawa sikap pambek seorang gagah yang penuh
wibawa, tapi hanya dia saja yang berperasaan dingin kaku.
Li Giok-ham suami istri begitu melihat kedatangan ketiga orang ini, segera
berlutut tak berani bergerak, orang-orang itu melirikpun tidak kepada
mereka berdua, langsung berhadapan dengan Coh Liu-hiang serta menjura
bersama. Berkata Giok-kiam Sian Ciok setelah menghela napas: "Barusan
Losiu dikelabui oleh anak yang masih ingusan ini, hampir saja melakukan
suatu kesalahan besar yang terampuh, sungguh malu sebenarnya untuk
berhadapan dengan Maling Romantis."
Tersipu-sipu Coh Liu-hiang balas menjura, katanya: "Berat kata-kata
Cianpwe, Cayhe mana berani menerima pujian setinggi ini."
Laki-laki tinggi besar menghela napas pula juga ujarnya: "Selama hidup
Losiu percaya belum pernah melakukan suatu perbuatan durhaka dan
tercela, tapi sekali ini... ai, peristiwa kali ini sungguh bikin Losiu malu bukan
main, semoga Maling Romantis suka memaafkan dosa kesalahan ini."
"Tidak berani... tidak berani..." hanya itu saja yang bisa terucapkan oleh
Coh Liu-hiang. Siau Ciok membanting kaki, ujarnya: "Persoalan kami pendek saja, Losiu
beramai sebetulnya malu untuk berhadapan dengan orang luar pula, tapi
kalau urusan tinggal terbengkalai begini dan kami tinggal pergi begitu saja
sikap kami lebih tak bisa dipuji lagi, terpaksa kami bertiga memberanikan
diri kemari mohon Maling Romantis suka memberi keputusan dan jatuhkan
hukuman yang setimpal."
Sebetulnya Oh Thi-hoa masih merasa sengit dan dongkol terhadap
mereka, namun melihat mereka sekarang sudah tidak jaga gengsi dan
ketenaran nama selama puluhan tahun, mohon ampun dan minta dihukum
terhadap angkatan muda yang masih muda belia, mau tak mau dalam hati
dia amat kagum dan tunduk lahir batin, akan jiwa besar mereka. Betul ya
betul, salah ya salah, tahu salah mengaku salah. sikap dan pambek seorang
angkatan tua dari Bulim seperti ini memang patut dipuji dan dibuat teladan
bagi generasi kita yang akan datang.
Sikap Coh Liu-hiang kelihatan amat risi, kikuk dan gelisah, tersipu-sipu dia
merendah diri lalu berkata: "Apakah keadaan Li-locianpwe sudah rada
baik?" Sian Ciok menghela napas, ujarnya: "Syukur atas karunia dan belas
kasihan Thian, Koan hu-heng karena malapetaka mendapat rejeki besar,
tapi karena penyakitnya yang sudah terlalu lama, kondisi badannya sudah
teramat lemah, tadi ditekan oleh amarah yang berlimpah limpah lagi, meski
penyakit lama sudah berlalu, penyakit baru kembali bangkit, walau kami
beramai sudah berusaha menolong dengan saluran hawa murni, namun
dalam waktu dekat terang kesehatannya takkan bisa pulih dengan lekas."
"Bagaimana pula dengan Thi-san totiang?"
"Watak Toheng ini memang teramat keras, seperti lombok, semakin tua
semakin pedas, sedikitpun tak terpikir olehnya bahwa sekarang dia sudah
lanjut usia, mana dia kuat menahan luka-luka sedemikian berat, tapi meski
masih sekuatnya bertahan, namun keadaannya sekarang malah jauh lebih
payah dari saudara Koan-hu, untungnya Ling Hwi situa bangka itu adalah
seorang tabib kenamaan, kini sedang merawatnya dengan tekun."
Mendengar sampai di sini airmata Li Giok-ham sudah bercucuran pula, Liu
Bu-bi sampai sesenggukkan tak bersuara, berbareng kedua suami istri
manggut-manggut membentur kepala di atas lantai, katanya gemetar:
"Wanpwe patut mati, memang Wanpwe berdua yang harus mampus!"
Untung kalau mereka tidak buka suara, kata-kata mereka malah
menimbulkan kemarahan Siau Ciok, dampratnya: "Kalian masih berani
tinggal di sini" Terhadap kamipun kalian berani main tipu, memangnya tidak
takut menghadapi hukuman keluarga dari leluhur kalian?"
Li Giok-ham meratap: "Wanpwe tahu dosa kesalahan ini takkan menolong
jiwa Wanpwe, memang setimpal untuk menerima hukuman leluhur, cuma
Wanpwe mohon sekalian Cianpwe mengampuni jiwanya, dia, dia...
sebenarnya tiada sangkut-paut dengan persoalan ini."
"Kalau dia tiada sangkut-pautnya, memangnya siapa yang ada sangkutpautnya?"
damprat Siau Ciok. "Kebesaran nama Yong cui san-cheng sudah
kalian runtuhkan, memangnya harus mempertahankan hidupnya untuk bikin
malu di hadapan orang banyak?"
Liu Bu-bi menjerit tangis dengan sedihnya, serunya: "Memang peristiwa ini
adalah gara-gara diriku, malah tiada sangkut-pautnya dengan dia, harap
para Cianpwe suka mengampuni jiwanya."
Mendengar tangis dan ratapan mereka yang begitu sedih dan memilukan,
Soh Yong-yong dan lain-lain ikut berduka dan haru, sungguh mereka
kehabisan akal cara bagaimana untuk memohon ampun bagi suami istri yang
setia dan senasib ini.
Tak nyana laki-laki tinggi kekar itu menghela napas pula, timbrungnya:
"Kalian tidak perlu bersedih, kami ada mendapat pesan dari saudara Koanhu
seharusnya memberi hukuman setimpal sesuai undang-undang keluarga
besar kalian, tapi diatas tadi kami sudah dengar pengakuan kalian, kamipun
merasa pengalaman hidup kalian memang harus dikasihani, bukannya
kesalahan berat ini tidak boleh diampuni, kami sudah berkeputusan untuk
mintakan ampun dan keringanan kepada saudara Koan-hu."
Siau Ciok membanting kaki berulang kali, katanya menyengir getir: "Tadi
sudah kukatakan, akan lebih keras dan banyak mengajar adat mereka,
kenapa sekarang kau malah bicara demikian blak-blakan terhadap
mereka?" Laki-laki tinggi besar itu menjawab: "Agaknya mereka benar-benar sudah
bertobat, buat apa pula kau harus bikin mereka gelisah dan kepepet putus
asa?" Tak terasa Soh Yong-yong saling adu pandang dengan tersenyum kepada
Li Ang-siu, karena mendengar pembicaraan di sini, mereka sudah dapat
menerka bahwa laki-laki tinggi besar ini, terang adalah Kun-cu kiam.
Tapi jangan kata Soh Yong-yong dan lain-lain, sampaipun Coh Liu-hiang
sendiripun tak tahu asal-usul laki-laki sedang yang bersikap dingin kaku
dan bermuka biasa ini. Sepintas lalu usianya agak lebih muda dari Siao Ciok
dan Ui Loh-ce, tapi tadi waktu Coh Liu-hiang terkepung didalam barisan,
sudah terasa olehnya Lwekang orang ini amat tinggi, ilmu pedangnyapun
amat lihai dan ganas, terang tingkatannya tak di bawah Siau Ciok, Thi-san,
Ling-Hwi-kek, Ui Loa-ce dan Swe It-hang para Cianpwe yang sama ahli
dalam ilmu pedang.
Apalagi kalau toh dia teman karib Li Koan-hu, sudah tentu adalah seorang
Cianpwe yang sudah lama angkat nama, namun Coh Liu-hiang justru tidak
habis mengerti, diantara tokoh-tokoh kosen para Cianpwe yang dikenal ada
seseorang yang mirip seperti orang ini.
Baru saja Coh Liu-hiang hendak tanya nama dan asal-usulnya, tak kira
orang sudah membalikkan badan, menggendong kedua tangan, menengadah
dengan mendelong, entah apa yang sedang dia pikirkan. Ternyata Siau Ciok
atau Ui Loh-ce juga tidak memperkenalkan dia orang kepada Coh Liu-hiang,
seolah-olah dia adalah seorang tokoh yang misterius dan mau tidak mau
timbul rasa ketarik Coh Liu-hiang terhadap orang yang satu ini.
Kini Kun-cu kiam sudah mengawasi Soh Yong-yong, bertanya dengan penuh
keheranan: "Nona ini..."
Tersipu-sipu Soh Yong-yong memberi hormat, sahutnya: "Wanpwe Soh
Yong-yong, ada beberapa persoalan memang aku ingin mohon petunjuk
Cianpwe." Ui Loh-ce tersenyum, katanya: "Silahkan nona berkata!"
Setelah termenung sebentar, Soh Yong-yong bertanya: "Apa Cianpwe
sudah yakin benar bahwa Bo dhi-am itu merupakan tempat keluar masuk ke
Sin cui kiong?"
"Ya, tidak akan salah." sahut Ui Loh-ce, dia berpikir sebentar lalu
meneruskan: "Waktu Bu-bi bertanya kepadaku, sebetulnya Losiu tidak
tahu apa maksudnya hendak pergi ke Sin cui kiong, kukira lantaran jiwa
mudanya yang ingin tahu dan ketarik sesuatu yang serba misterius maka
tanpa sengaja dia bertanya sambil lalu saja."
"Apakah Cianpwe tahu asal-usul Suthay tua dalam Bo dhi-am itu?"
"Suthay tua itu sebetulnya adalah seorang tokoh kosen yang aneh juga,
sayang sekali tiada orang yang tahu asal-usulnya, belum ada orang yang
pernah mendengar dia bicara sepatah kata."
"Dia benar-benar cacad, atau hanya pura-pura bisu tuli?"
"Seseorang bila dia bisa pura-pura bisu tuli selama puluhan tahun, pasti
dia mempunyai pengalaman hidup yang mengenaskan, buat apa pula Losiu
harus mencari tahu apakah dia itu pura-pura bisu tuli?"
"Jiwa lapang Cianpwe sungguh harus dikagumi dan kita angkatan muda
tiada satupun yang bisa memadai, sungguh Wanpwe amat menyesal
mengajukan pertanyaan ini." kata Soh Yong-yong yang lalu mundur ke
tempatnya pula berdiri diam menurunkan kedua tangannya.
Tak lama kemudian Ui Loh-ce malah yang bertanya: "Yang ingin nona Soh
tanyakan kukira hanya sekian saja bukan?"
Lama Soh Yong-yong menepekur, katanya hormat: "Memang masih ada
persoalan lain, Wanpwe ingin petunjuk Cianpwe."
"Kalau demikian, kenapa nona tidak bertanya?"
"Wanpwe kuatir, ada beberapa hal mungkin Cianpwe tidak berani
membeberkannya dimuka umum, tapi jikalau Wanpwe mengajukan
pertanyaan ini, Cianpwe tidak bisa berbohong dengan alasan lain pula, maka
Wanpwe betul-betul tidak berani bertanya."
Mendengar sampai disini, diam-diam Oh Thi-hoa tertawa geli dalam hati,
batinnya: "Tak heran ulat busuk suruh nona Soh pergi ke Sin cui kiong,
menyirapi berita, agaknya dia memang pandai untuk mengajukan
pertanyaan dimulut dia bilang tidak berani bertanya, sebetulnya secara
gamblang dia sudah membeber pertanyaan ini, malah orang ditekan mau
tidak mau harus mengatakan."
Benar juga Ui Loh-ce segera tertawa, katanya: "Apakah nona ingin tanya
Losiu cara bagaimana bisa tahu akan hal ini?"
Soh Yong-yong hanya tersenyum saja tanpa bersuara.
"Sebetulnya Losiu sendiripun mendengar dari penuturan orang lain."
sengaja atau tak sengaja matanya sedikit melirik kepada laki-laki
perawakan sedang di sebelahnya, katanya lebih lanjut: "Losiu pun percaya
apa yang dituturkan orang itu pasti takkan salah karena selama hidupnya
belum pernah dia menyimpan persoalan hidupnya kepada Losiu, malah
sepatah katapun belum pernah dia membual di hadapanku."
Bersinar mata Soh Yong-yong, tiba-tiba tertawa, katanya: "Tentunya
orang ini adalah teman karib Cianpwe dalam menikmati hidup senggang"
sengaja dia keraskan suara waktu mengatakan teman karib menikmati
hidup senang. Ui Loh-ce tertawa, ujarnya: "Ah, nona bergurau saja, selama hidup Losiu
tidak kepincut paras cantik, mana punya teman hidup segala?"
"Kalau demikian, jadi orang yang memberi tahu akan hal ini kepada
Cianpwe adalah orang laki-laki?"
"Em!" Ui Loh-ce bersuara dalam mulut.
Soh Yong-yong segera mendesak lebih lanjut: "Menurut apa yang Wanpwe
tahu, dikolong langit ini tiada seorang laki-lakipun yang mengetahui selukbeluk
rahasia Sin-cui-kiong cara bagaimana pula teman Cianpwe itu bisa
mengetahui hal-hal ini?"
Ui Loh-ce berpikir sebentar, katanya: "Persoalan yang menyangkut Losiu
sendiri, tiada yang perlu Losiu sembunyikan bila kau tanya tapi persoalan
ini menyangkut rahasia orang lain, maaf Losiu tidak bisa banyak bicara."
waktu bicara kembali matanya melirik kepada laki-laki di sebelahnya, tibatiba
dia angkat tangan bersoja, katanya: "Sampai di sini saja Losiu bicara,
aku mohon diri lebih dulu."
Laki-laki perawakan sedang ini sudah membalik badan, tersipu-sipu dia
menjura kepada Coh Liu-hiang terus melangkah keluar lebih dulu, agaknya
kedua orang sudah tidak suka tinggal lebih lama lagi ditempat ini.
Siau Ciok mengerut kening, katanya keras: "Loh-heng, urusan disini kau
tidak bisa mengurusnya?"
Diatas undakan batu Ui loh-ce tertawa, sahutnya: "Urusan intern keluarga
mereka, kita orang luar hendak menguruspun tak berkuasa lagi, saudara
Koan-hu meski sedang naik pitam namun dalam tiga lima hari ini pasti
amarahnya sudah mereda." sampai pada kata-katanya terakhir dia orang
sudah pergi jauh. Siau Ciok membanting kaki pula, segera diapun berlari
keluar, tiba-tiba dia berpaling pula berkata kepada Li Giok-ham: "Dalam
dua tiga hari ini lebih baik jangan kau temui bapakmu, supaya amarahnya
tidak kumat sehingga dia Cap-hwe cip-mo, semakin jauh kau menyingkir
lebih baik, setelah penyakitnya sembuh boleh kau kembali, waktu itu dia
sudah punya tenaga, supaya hajarannya lebih keras diatas badanmu."
Masakan Siong ho lau memang amat terkenal, apalagi perut semua orang
memang sudah kelaparan sekian lamanya, sudah tentu Oh Thi-hoa tak
ketinggalan minum arak sepuas-puasnya, sampaipun Soh Yong-yong ketarik
minum beberapa cangkir. Diantara mereka hanya Mutiara hitam saja yang
seolah-olah dirundung pikiran pepat, sudah tentu Li Giok-ham dan Liu Bu-bi
suami istri tiada selera menelan nasi meski hidangan cukup lezat,
memangnya mereka sebetulnya merasa malu diri ikut berada disini, makan
bersama pula. Tapi Li Ang siu justru berkata: "Mana boleh kalian pergi ketempat lain"
Kita tiada yang tahu dimana letak Bo dhi-am itu, sukalah kau bawa kami
kesana, memangnya kau tak sudi membantu kami?"
Song Thiam-ji ikut bantu bersuara sambil menarik lengan Liu Bu-bi,
katanya: "Coh Liu-hiang memangnya sudah berkeputusan hendak
berkunjung ke Sin cui kiong, asal dia bisa masuk ke Sin cui kiong, pasti
obat pemunahnya dapat dibawa pulang, kau tidak usah kuatir."
Orang lain sama tahu persoalan tidak segampang seperti yang dikatakan,
namun tiada satupun diantara mereka yang pesimis menghadapi kesulitan
yang bakal mereka hadapi, ketemu betapapun besar bencana yang dihadapi
Coh Liu-hiang pasti bisa mengatasi dan menerjangnya kesana. Mereka
berpendapat seumpama kepandaian Cui bok im ki memang setinggi langit
tidak lebih diapun seorang manusia yang berdarah daging, memangnya
orang kuasa menelan Coh Liu-hiang bulat-bulat"
Yang benar-benar kuatir menghadapi persoalan ini justru Coh Liu-hiang
sendiri. Karena hanya dia sendiri yang pernah berhadapan dengan
kepandaian silat Ciok-koan-im, Cui-bok-im-ki justru tokoh yang paling
ditakuti oleh Ciok-koan-im selama hidupnya, sebetulnya sampai dimana
taraf kepandaian silat Im-ki, sungguh membayangkanpun dia tak berani
memikirkan, apalagi Sin cui kiong tempat bersemayamnya itu merupakan
suatu alam firdaus yang penuh diliputi misteri.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata: "Ling Hwi-khek, Siau Ciok, Thi-san
Totiang, Ui Loh-ce berempat memang sudah lama aku pernah dengar


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keterangan mereka, tapi siapa gerangan laki-laki yang bertindak tanduk
seperti orang banci itu?"
"Maksudmu lelaki perawakan sedang tak pernah tertawa, tak mau buka
suara itu?"
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia?"
"Melihat orang ini, akupun merasa aneh, sebetulnya ingin aku bertanya
asal-usulnya, tak kira tiba-tiba sudah tinggal pergi."
Soh Yong-yong tersenyum ujarnya: "Begitu cepat mereka berlalu, mungkin
memang dia takut kita menanyakan asal usulnya."
"Tapi..." Li Ang siu merandek, "Li kongcu masakah kaupun tak tahu siapa
orang itu?"
Li Giok-ham geleng-geleng kepala, ujarnya: "Cianpwe yang satu ini adalah
pembantu yang diajak oleh Ui-locianpwe. Ui-locianpwe hanya bilang ilmu
pedangnya amat tinggi, jarang ada orang yang bisa menandingi pada jaman
ini, sekali kali takkan menggagalkan urusan, namun dia tak mau menyebut
nama dan asal-usulnya."
Li Ang-siu mengerut kening, katanya: "Memangnya kenapa harus serba
rahasia?" "Waktu itu merekapun merasa heran, namun tak berani banyak bertanya,
kukira setelah kedatangan Siau-cianpwe dan lain-lain tentu bisa mengenali
dirinya." "Benar." Li Ang siu mendukung. "Pergaulan Siau Tayhiap memang luas,
angkatan tua dari tokoh-tokoh Bulim tiada yang tak dikenal dengan baik
olehnya." "Tapi bukan saja Siau locianpwe tak mengenal dia, malah dia orang
selamanya belum pernah dilihatnya, tokoh-tokoh kosen ahli pedang dalam
bulim yang dikenalnya pasti tiada seorang yang mirip dengan bentuk muka
dan perawakannya." demikian tutur Li Giok-ham.
Tiba-tiba Soh Yong-yong tertawa pula, ujarnya: "Memangnya sejak mula
aku sudah menduga dalam dunia ini pasti takkan ada seorangpun yang bisa
mengenal dia."
"Kenapa?" tanya Li Ang siu.
"Cahaya didalam ruang bawah tanah itu amat guram tak heran bila kalian
tidak bisa melihatnya dengan jela." ujar Soh Yong-yong.
"Memangnya dia mengenakan kedok muka?" teriak Li Ang siu.
Soh Yong-yong tersenyum sambil mengawasi Coh Liu-hiang, katanya:
"Bukan saja ilmu tata rias orang ini amat lihai, kedok muka yang dipakainya
itupun buatan seorang ahli, oleh karena itu baru bisa mengelabui kau dan
mata sekalian orang."
Coh Liu-hiang mandah tertawa tanpa bersuara.
Berkata Oh Thi-hoa: "Coba kalian lihat lucu benar mimik tawanya itu,
seolah-olah segala persoalan tak bisa kelabui dirinya, hakekatnya
kepandaian terlihai dari orang yang satu ini adalah tertawa-tawa, begitu
aneh tawanya itu sehingga orang sukar meraba sebetulnya berapa banyak
persoalan yang dia ketahui."
Li Ang siu berseri tawa katanya: "Memang kau tak malu sebagai teman
karibnya."
"Raut muka orang itu kaku dingin dan tak berperasaan, tanpa menunjukkan
sesuatu mimik lagi, memangnya aku sudah curiga kulit mukanya rada ganjil,
namun aku justru tak berhasil membongkar gejala-gejala yang ganjil itu."
demikian Oh Thi-hoa uring-uringan.
"Maklumlah karena kedok muka yang dia pakai ini jauh berlainan, dengan
kedok muka yang sering terlihat, dalam kalangan Kangouw umumnya
memang itu hasil karya dari seorang yang benar-benar ahli, boleh dianggap
sebagai benda-benda sejenisnya." demikian Soh Yong-yong memberikan
uraiannya. Berkata pula Oh Thi-hoa: "Tak banyak orang-orang yang benar-benar ahli
dalam kalangan Kangouw yang bisa membuat kedok muka sebaik itu. Selama
lima puluh tahun mendatang, yang benar-benar ahli didalam pembuatan
kedok muka ini tak lebih dari sepuluh orang, namun toh hanya ada tiga
orang yang boleh dibilang sebagai ahli diantara ahli."
"Tahukah kau siapa-siapa saja ketiga orang yang ahli itu?" tanya Soh
Yong-yong. "Orang pertama bernama Siau-bak-tong soalnya sejak berumur tujuh
tahun dia sudah angkat nama, namun belum genap dua puluh dia sudah
tutup usia, para ahli yang pandai membuat kedok muka boleh dikata tiada
satupun orang baik-baik, hanya dia saja yang terhitung tak terlalu bejat."
sampai disini kata-katanya tiba-tiba tertegun, karena tiba-tiba dilihatnya
mimik muka Soh Yong-yong menunjukan rasa duka dan pilu, biji matanyapun
merah dan berkaca-kaca hendak menangis.
Berputar biji mata Li Ang siu, segera dia menimbrung: "Orang kedua
bernama Jian-bin-jin-mo, beberapa tahun yang lalu orang yang satu ini
sudah menemui ajalnya ditumpas oleh Thi Tiong-siang Thi Tayhiap dari
Thi-hiat-toa-ki-bun. malah seorang musuhnya yang dinamai Ban biau kiong
yang dia bangun selama bertahun-tahun dengan berbagai jerih payah itu
pun dia bakar sampai musnah dan rata dengan tanah. sudah tentu semua
kedok muka buatannya pun terbakar seluruhnya, tak ada satupun yang
ketinggalan."
"Masih ada satu lagi, siapa dia?" tanya Liu Bu-bi.
Li Ang siu menggigit bibir, katanya: "Begitu teringat nama orang ini aku
lantas muak, lebih baik tak usah kusebut saja."
"Memangnya dia lebih jahat dan keji dari Jian-bin-jin-mo?" tanya Liu Bubi.
"Jian-bin-jin-mo paling-paling dianggap berhati kejam bertangan gapah,
kejam dan telengas keluar batas, tapi orang ini bukan saja berjiwa rendah
hina-dina, tidak tahu malu, perbuatan yang menjijikkanpun bisa dia
lakukan, boleh dikata dia tidak mirip manusia lagi."
Liu Bu-bi termenung sebentar, katanya dengan kesima: "Apakah yang kau
maksud adalah manusia siluman banci yang bernama Hiong-nio-nio itu?"
"Betul dia." ujar Li Ang siu penuh kebencian. "Perduli golongan hitam atau
aliran putih dalam kalangan Kangouw tiada yang tidak ingin mencacah
badannya, sejak jaman dahulu kala, mungkin tiada orang yang mempunyai
musuh sedemikian banyaknya seperti dia, maka sepanjang tahun selalu dia
sembunyi berpindah pindah. mengandal kedok muka buatannya sendiri
itulah dia berusaha menghindarkan diri dari kejaran para musuhmusuhnya."
"Apakah mungkin dia orang yang datang bersama Ui-locianpwe itu?" Liu
Bu-bi menegas. Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Selama hidupnya Ui locianpwe
mengutamakan suci murni, berjiwa jujur dan lurus, mana bisa bersahabat
dengan manusia rendah begituan, apalagi, meski Hio-nio-cu licik dan licin
pandai merubah bentuk, ilmu Gingkang dan pedangnya tidak lemah pula,
tapi sepuluh tahun yang lalu dia sudah tamat riwayatnya karena
kejahatannya di luar batas."
Jilid 38 "Sejak kecil aku hidup ditengah pasir." demikian kata Liu Bu-bi, "Sejarah
perkembangan kaum Bulim di Tionggoan tak kuketahui, kalau tidak mau
dibilang terlal
Pendekar Laknat 12 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Dendam Iblis Seribu Wajah 20
^