Peristiwa Burung Kenari 6

Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Bagian 6


u asing bagi diriku."
Lebih lanjut Coh Liu-hiang tertawa pula, katanya: "Selamanya Yong-cuisan-
cheng memegang teguh peraturan rumah tangga secara tradisi yang
ditegakkan oleh nenek moyangnya, sudah tentu takkan sudi menyinggung
nama manusia bejat yang memalukan ini, tapi kematian Hong-nio cu waktu
itu betul-betul merupakan suatu peristiwa besar yang menggemparkan
seluruh Bulim, banyak orang tak segan-segan meluruk datang dari tempat
ribuan li jauhnya hanya untuk melihat mayatnya, tujuannya tak lain hanya
ingin pula mengiris sekerat kulit dagingnya."
"Kalau toh tiada orang-orang Bulim yang pernah melihat muka aslinya,"
demikian tanya Liu Bu-bi, "darimana bisa diketahui bila mayat itu benar
adalah mayat Hiong nio cu?"
"Karena orang yang membunuhnya bukan saja menggantung mayatnya
tinggi di puncak pohon, malah diatasnya digantung pula sebuah spanduk
besar dengan tulisan huruf-huruf merah yang besar maksudnya, bahwa
mayat orang ini adalah Hiong nio cu pemetik bunga "pemerkosa" yang cabul
itu, maka Sin-cui-kiong menggasaknya demi menuntut balas bagi para
korban yang konyol oleh kekejamannya."
"Sin cui-kiong?" teriak Liu Bu-bi tertahan, "Memangnya Hiong nio-cu
akhirnya menemui ajalnya ditangan Cui bo im ki?"
"Benar, lantaran yang membunuhnya adalah Sin cui kiong-cu, maka orangorang
aliran Kang-ouw baru yakin percaya benar bahwa mayat itu benarbenar
adalah Hong nio cu, karena pihak Sin cui kiong pasti tidak akan
keliru." Oh Thi hoa selalu mengawasi Soh Yong-yong, kini tiba-tiba berkata:
"Meski Hiong nio cu orangnya sudah ajal, kedok muka buatannya bukan
mustahil ada yang dia tinggalkan, kedok muka yang dipakai oleh laki-laki
perawakan sedang itu bukan mustahil adalah sisa dari hasil karyanya itu."
"Terang tidak mungkin." sela Li Ang siu tegas.
"Kedok muka itu toh tidak diukir merek atau nama pembuatnya, darimana
kau berani begitu yakin akan pendapatmu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Karena Hiong-nio cu ini hakekatnya bersuara banci dan beringkah laku
seperti perempuan, namun ia justru mengagulkan diri sebagai laki-laki
tertampan di seluruh jagat, dan semua kedok muka buatannya seluruhnya
bertipe gagah dan ganteng mirip laki-laki tak mungkin dia membuat kedok
muka sejelek itu."
"Em, Memang masuk akal." ujar Oh THi-hoa.
"Justru karena ciptaannya serba bagus mutunya, maka dia pandang buah
karyanya sebagai mestika tidak ternilai, kedok muka buatan Siau-hakthong
dan Jian-bin-jin-mo mungkin masih ketinggalan dan tersebar di
kalangan Kangouw menjadi milik orang lain, tapi kedok muka buatannya
selamanya tiada seorangpun yang melihatnya."
Kembali Coh Liu-hiang menimbrung: "Apalagi kalau toh dia sudah ajal
ditangan Sin-cui-kiong, umpama benar dia ada meninggalkan kedok muka
buatannya, pasti terjatuh di tangan Im-ki, tak mungkin tersebar diluaran."
Kembali Oh Thi-hoa melirik kepada Soh Yong-yong, katanya: "Kalau toh
Jian-bin-jin-mo dan Hiong nio-cu tak meninggalkan kedok muka buatannya
di kalangan ramai, dan kedok muka yang dipakai orang itu mungkin adalah
hasil karya dari Siau hak tong itu."
"Tidak mungkin." Soh Yong-yong menyangkal dengan tegas.
Sejak tadi Oh Thi-hoa sudah perhatikan perubahan mimik Soh Yong-yong
yang setiap kali nama Siau-hak-tong disinggung, maka sekarang diapun
tidak perlu banyak tanya pula, dia menunggu penjelasan orang.
Betul juga Soh Yong-yong lantas menjelaskan: "Kedok muka buatan SiauKoleksi
Kang Zusi hak-tong, juga tak pernah tersebar di kalangan Kangouw."
"O, darimana kau bisa tahu?"
Dengan mata merah Soh Yong-yong tertunduk, katanya: "Karena seluruh
kedok muka buatannya diwariskan kepadaku, karena aku.. aku adalah
adiknya." Seketika Oh Thi-hoa melongo, mulutpun terkunci rapat. Memang sejak
lama dia pernah mendengar Coh Liu-hiang bilang bahwa Song Thiam ji, Li
Ang siu dan Soh Yong-yong bertiga adalah anak-anak sebatangkara yang
mempunyai riwayat hidup yang mengenaskan. Tapi tak pernah terpikir
olehnya bahwa Soh Yong yong ternyata adalah saudara sepupu dari Siau
sin tong "Bocah sakti" meski mulutnya terkancing, matanya justru menatap
kepada Coh Liu-hiang, seolah-olah mau bilang: "Tak heran orang sering
bilang Coh Liu-hiang pandai merubah bentuk dan banyak duplikatnya,
kiranya diapun mewarisi hasil karya Siau sin tong, kau ulat busuk ini kenapa
tidak sejak dulu menjelaskan kepada aku, memangnya masih ingin
mengelabui aku?"
Coh Liu-hiang menyingkir, katanya: "Kalau orang tidak mau unjuk muka
aslinya, itu adalah kebebasan orang, kitapun tak bisa menyelidiki asal
usulnya sampai keakar-akarnya, yang terang orang tidak bermaksud jahat
terhadap kita." tanpa memberi kesempatan orang lain bicara segera dia
menambahkan: "Tadi waktu aku mohon diri dan mengucapkan terima kasih
kepada Li locianpwe, mereka masih berada di sana, agaknya memang
sedang menunggu kedatanganku, waktu aku berlalu Ui locianpwe, lantas
menarikku ke samping, dia bilang kepadaku katanya teman itu seorang yang
harus dikasihani, dia mempunyai banyak kesulitan yang tak mungkin
dijelaskan kepada orang lain, diharap kita bisa memaafkan dia."
"Memaafkan dia apa" Kenapa Ui Loh-ce mendadak membicarakan hal ini
kepadamu?" tanya Li Ang siu.
"Ini... mungkin karena dia orang yang memberitahukan seluk-beluk Sin cui
kiong itu kepada Ui lo kiam khek, maka Ui lo kiam khek mengharap kita tak
menyelidiki soal ini lebih lanjut."
Oh Thi-hoa berkata: "Oleh karena itu kau tak ingin menyelidikinya lebih
lanjut benar tidak?"
"Aku percaya Ui lo kiam khek pasti tak menipu aku, tak mungkin
mencelakaiku, kalau toh aku sudah berjanji kepadanya, maka aku pun
takkan menjilat ludahku sendiri." tiba-tiba sikapnya jadi serius, katanya
dengan suara yang tertekan: "Setiap orang mempunyai hak untuk
merahasiakan urusan pribadinya, asal dia tak melukai dan merugikan orang
lain siapapun tiada hak untuk menyelidikinya."
"Benar orang yang suka menyelidiki rahasia orang lain, tentulah dia
seorang yang rendah dan hina dina." Oh Thi-hoa memberi suara.
Selama ini Mutiara hitam selalu melengos dari tatapan mata Coh Liuhiang,
tak berani beradu pandang. Biji matanya yang bundar jeli dan dingin
mantap itu diliputi kerawanan dan masgul, seolah-olah permukaan air danau
yang bening mengapa ditutupi selapis kabut pagi yang mulai menipis. Tibatiba
dia berdiri, katanya dengan menunduk: "Aku... sungguh aku amat
merasa sungkan terhadap kalian, tapi... kalau sekarang kalian sudah bisa
kumpul bersama, dosakupun terhitung ringan."
Li Ang siu membuka mata lebar-lebar, katanya: "Toaci kenapa kau
ngomong demikian?"
Mutiara hitam tertawa sahutnya: "Karena aku harus segera pulang, maka
kurasa perlu aku bicara dulu dimuka, aku..." belum habis dia bicara, Song
Thiam ji dan Li Ang siu sudah menarik kedua tangannya.
Kata Song Thiam ji gelisah: "Kita toh sudah mengikat persaudaraan,
masakah boleh kau tinggalkan kami pergi seorang diri?"
"Gurun pasir memang bukan tempat yang baik, tapi... disanalah rumahku...
mungkin," tiba-tiba dia teringat bahwa dirinya tak punya rumah lagi,
sampai disini suaranya tersendat pilu hampir menangis.
Li Ang siu ikut gugup, katanya: "Rumah kita adalah rumahmu juga, kau...
kau..." "Benar." timbrung Soh Yong yong, "Kita semua kumpul bersama, laksana
saudara sepupu sendiri."
Song Thiam ji berkata keras: "Kalau kau ingin pergi, biar aku ikut kau."
begitu tegas, tulus dan besar tekadnya.
Bayangan kabut di depan mata Mutiara hitam menjadi berkaca-kaca dari
butiran air mata. sedapat mungkin dia menahan tetesan airmatanya, namun
tak tertahan dia mengerling ke arah Coh Liu-hiang, seperti hendak
berkata: "Mereka tidak mau aku pergi, bagaimana dengan maksudmu?"
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Walau kita tidak angkat menjadi
saudara, namun terhitung sebagai sahabat karib, sekarang teman kita
mengalami kesulitan, masa boleh kau tinggalkan temanmu pergi begitu
saja?" Ternyata ucapannya amat manjur. Mutiara hitam menghela napas penuh
dikasihani "Kau..." suaranya tersendat dalam kerongkongan.
"Kuharap kau bisa menemani Thiam-ji dan Ang-siu pergi ke Bo-dhi-am,
mereka masih anak-anak yang hijau tak punya pengalaman Kangouw,
sebagai saudara yang lebih tua, kau wajib melindungi dan mengawasi
mereka." Mutiara hitam tertunduk diam, akhirnya pelan-pelan dia duduk kembali
ditempatnya. Song Thiam ji seketika bersorak girang, serunya: "Kami pasti mendengar
petunjuknya, pasti tidak nakal."
Oh Thi-hoa terloroh-loroh serunya: "Kalau demikian, memangnya kau ini
bocah nakal yang suka membuat gara-gara?"
Kontan Song Thiam ji melotot dan merengut kepadanya, namun senyumnya
masih menghias ujung mulutnya.
Berkata Coh Liu-hiang: "Tapi kalian tak tahu dimana letak dari Bo-dhi-am
itu, maka harap Li Kongcu suka membawa mereka kesana."
"Dan kau?" tanya Li Ang siu.
"Aku berangkat bersama Siau Oh, masuk dari jalan lain ke dalam Sin cui
kiong, Yong-ji akan menunjukkan jalannya, hari ini tanggal sembilan, kalau
nasib kita baik, pada malam terang bulan, kita sudah bisa bersua di dalam
Sin cui kiong."
Li Ang siu seperti menyadari sesuatu, katanya: "Kita sama-sama kaum
hawa, maka paling tidak bisa masuk ke dalam Sin cui kiong, pasti takkan
mengalami mara-bahaya, tetapi kau...?"
"Tak usah kuatir." seru Oh Thi-hoa tertawa lebar. "Kalau Cui bo-im ki itu
toh seorang cewek, tanggung diapun takkan membunuh ulat busuk."
Coh Liu-hiang sengaja tarik muka, katanya: "Benar, paling dia hanya suka
membunuh laki-laki macam tampangmu ini."
Oh Thi-hoa juga menarik muka, katanya: "Bukan aku takut dibunuh
olehnya, celaka malah bila dia minta kawin kepadaku, sungguh berabe."
Li Ang siu dan Song Thiam ji sudah terloroh-loroh, saking geli mereka
terpingkal pingkal dengan memegangi perut. Kata Song Thiam ji setelah
tawanya mereda: "Kalau benar dia ingin kawin dengan kau, maka Sin cui
kiong harus diganti dengan Sin cui kiong."
xxx Itulah sebuah kota kecil yang terletak di pegunungan, maju lebih jauh
lantas sudah memasuki alas pegunungan yang ratusan li panjangnya. Waktu
Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Soh Yong-yong tiba dikota kecil ini, hari
sudah magrib menjelang petang.
Perduli sampai dimana saja, urusan terbesar yang dipentingkan Oh Thihoa
adalah mencari arak, dia boleh tidak usah makan nasi, tidak tidur asal
ada arak yang dapat dia habiskan sehari semalam.
Maklumlah kota pegunungan dengan penduduk yang jarang-jarang orang
berlalu lalang di jalan raya. Tatkala itu tiba-tiba dari depan sana
berbondong-bondong mendatangi beberapa orang, begitu melihat dandanan
mereka Coh Liu-hiang lantas tahu mereka adalah kaum persilatan,
sebaliknya begitu melihat rona muka orang-orang itu, Oh Thi-hoa lantas
tahu bahwa mereka itu pasti kawanan setan arak, karena orang-orang yang
suka minum arak biji matanya pasti berobah seperti biji mata ikan yang
sudah mati. Demikian pula suara orang yang sering minum arak pasti
teramat besar dan kasar, bila mereka menyangka sudah merendahkan
suara untuk bicara, orang lain justru sudah pekak kupingnya saking ribut.
Baru saja Oh Thi-hoa hendak mencari tahu kepada mereka: "Dimana sih
yang ada menjual arak?" maka pembicaraan mereka sudah didengarnya
dengan jelas. Kata seorang: "Dua tua bangka yang memasuki Thay pek-lau tadi apa kau
tahu siapa mereka?"
Siapa tanya orang di sebelahnya: "Memangnya bapak mertuamu?"
Orang yang bicara dulu tertawa dingin, jengeknya: "Kalau benar dia bapak
mertuaku sejak tadi aku sudah unjukan diri..." ketahuilah, dia orang bukan
lain adalah Kun-cu kiam Ui Loh ce yang pernah memberantas habis delapan
belas pentolan Bak kong cay itu, tentunya kau pernah mendengar nama
besarnya?"
Benar juga orang itu agaknya tertegun dan jeri, selanjutnya tak berani
bercuit. Orang ketiga justru tertawa katanya: "Khabarnya setiap kali bergebrak
dengan lawan, tua bangka ini memberitahu lebih dulu jurus tipu apa yang
hendak dia lancarkan apa benar kabar yang pernah kudengar itu?"
Jawab orang terdahulu: "Umpama kata jurus apa yang hendak dia
lancarkan, tetap kau takkan kuat melawannya, di sini banyak tempat untuk
minum arak, buat apa harus cari kesulitan dengan mereka?"
Sembari bicara mereka berbondong-bondong lewat disamping Coh Liuhiang,
malah diantaranya ada yang melirik dan melotot kepada Soh Yong
yong, seolah-olah ingin mencicipi wedang tahu makan kacang goreng. Tapi
teringat Kun-cu-kiam berada ditempat yang tak jauh dari sini betapapun
dia tak berani mengumbar kebiasaannya.
Setelah mereka pergi jauh, Oh Thi-hoa baru tertawa: "Tak nyana Ui Lohce
juga berada di sini, memangnya orang hidup dimanapun bisa berjumpa,
entah bagaimana takaran minumnya" Biar kutemui mereka untuk adu
minum." Coh Liu-hiang berpikir, katanya: "Mungkin mereka tidak ingin bertemu
dengan kita."
"Kenapa?" tanya Oh Thi-hoa, tiba-tiba biji matanya berputar, katanya
seperti menyadari sesuatu: "Orang itu bilang mereka berdua, yang satu
tentu laki-laki yang berkedok itu, bukan mustahil mereka memang hendak
ke Sin-cui kiong juga, kalau tidak masakah jauh jauh mereka datang
ketempat ini?"
Coh Liu-hiang seperti sedang berpikir, maka dia tidak segera menjawab.
Tiba-tiba bersinar mata Oh Thi-hoa katanya: "Rekaanmu pasti tidak
meleset, orang itu pasti ada hubungan erat dengan Sin cui kiong, kalau
tidak seorang laki-laki segede itu, mana mungkin mengetahui seluk-beluk
Sin cui kiong begitu jelas?"
Soh Yong yong mandah diam saja mendengarkan, memangnya hanya
perempuan pintar seperti dia saja baru bisa mengerti disaat laki-laki
bicara dia harus menutup rapat mulutnya sendiri.
Setelah lama menimbang-nimbang, berkata Coh Liu-hiang dengan tertawa:
"Kalau toh mereka mempunyai kesulitan yang tidak ingin diketahui orang,
kitapun tidak usah membuatnya runyam, tapi kawanan Kangouw tadi
kelihatannya bukan orang baik-baik, kita harus perhatikan mereka."
"Aku setuju akan pendapatmu"
"Memangnya aku kan tidak akan menentang karena dengan mengikuti jejak
mereka, bukan saja kau bisa mencampuri urusan mereka, sekaligus
menikmati arak, kedua hal ini adalah kesukaanmu."
Oh Thi-hoa gelak-gelak, katanya: "Ulat busuk memangnya tidak kecewa
menjadi teman Oh Thi-hoa yang paling karib."
Memang banyak arak ditempat tujuan kawanan persilatan itu, tapi di sini
tiada sesuatu persoalan yang bisa diurusnya, karena kelihatannya orangorang
ini cukup tahu diri, malah tiada satupun yang mengigau karena
terlalu banyak menghabiskan arak.
Setelah puas minum, mereka lantas cari hotel dan masuk kamar tutup
pintu merebahkan diri diatas ranjang dan tidur, tak lama kemudian
terdengar gerosan mereka seperti babi yang sudah pulas.
Coh Liu-hiang merasa di luar dugaan, asal ada arak dan belum lagi mabuk
Oh Thi-hoa tidak perlu perdulikan urusan tetek bengek, sudah tentu
mereka tidak ingin masuk gunung disaat hari menjelang malam, terpaksa
mereka pun menginap didalam hotel itu.
Oh Thi-hoa masih punya cirinya yang lain, yaitu tidak mau kembali ke
kamarnya untuk tidur. Setelah kentongan ketiga Coh Liu-hiang sudah
menguap ngantuk, katanya: "Besok kita harus pergi ke Sin cui kiong,
memangnya kau tidak ingin tidur memulihkan tenaga supaya urusan tidak
terbengkalai?"
Oh Thi-hoa cengar-cengir, katanya: "Kalau kebanyakan tidur kepalaku
malah pusing lebih baik, pada saat itulah terdengar suara "tak" diluar


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jendela. Seseorang merendahkan suara berat berkata: "Coh Liu-hiang
keluar!" Belum kata-kata ini habis diucapkan bayangan Oh Thi-hoa sudah
berkelebat keluar jendela, selamanya dia tidak tahu takut akan bokongan
orang, terpaksa Coh Liu-hiang ikut menerjang keluar. Tampak sesosok
bayangan hitam berkelebat di atas wuwungan rumah di depan sana,
agaknya malah masih sempat melambaikan tangan kepada Coh Liu-hiang,
sekejap saja, tahu-tahu bayangannya sudah melesat tujuh delapan tombak
jauhnya. Berapa tinggi Ginkang orang ini, sungguh membuat Coh Liu-hiang
kaget. Oh Thi-hoa bersuara rendah: "Tak nyana kita tak memberi kesulitan
kepadanya, dia malah mencari kesulitan kita."
Coh Liu-hiang tahu dia yang dimaksud oleh Oh Thi-hoa adalah tokoh kosen
ahli pedang yang berkedok itu, tapi Coh Liu-hiang justru rada curiga,
katanya: "Kukira orang ini jelas bukan si dia itu."
"Kenapa bukan dia?"
"Dia sedang sibuk menyembunyikan asal usulnya sendiri, masakah
kemudian mencari kita?"
"Memangnya siapa kalau bukan dia" Jangan kau lupa, tokoh kosen ini
berapa banyaknya dalam jagat ini?"
"Kau pun jangan lupa daerah ini sudah termasuk lingkaran terlarang bagi
Sin cui kiong."
Oh Thi-hoa tertawa tawa katanya: "Tapi orang itu terang adalah laki-laki,
terang bukan murid dari Sin cui kiong, memangnya kau tidak bisa
membedakan dia laki-laki atau perempuan?" karena bicara langkah kakinya
menjadi mengendor, sementara bayangan itu sudah melesat dengan cepat,
jaraknya semakin jauh.
"Lekas kejar!" seru Oh Thi-hoa.
"Kalau dia mencari kita, tentu akan menemui kami, buat apa tergesagesa?"
benar juga, langkah orang di depan itupun jadi mengendur, akhirnya
berhenti di pucuk wuwungan sebuah rumah kecil, kembali melambaikan
tangan ke arah mereka."
Coh Liu-hiang tiba-tiba berkata: "Lekas kau pulang melindungi Yong-ji,
jangan sampai terpancing oleh musuh."
Begitu getolnya Oh Thi-hoa ingin tahu siapa sebenarnya laki-laki yang
memancing mereka keluar dengan kepandaian Gingkang setinggi ini, untuk
apa pula mengundang mereka keluar, sungguh tak rela dia disuruh pulang.
Tapi Coh Liu-hiang segera kembangkan kebolehannya, beberapa kali
lompatan orang sudah melesat, jauh ke depan.
Apa boleh buat terpaksa Oh Thi-hoa hanya menghela napas terus putar
balik, mulutnya menggerundel: "Bila bersama ulat busuk, ada urusan baik
selalu tidak menjadi giliranku."
Malam berlarut suasana sepi tak kelihatan bayangan manusia mondar
mandir didalam kota pegunungan ini, lampu-lampu sudah sama dipadamkan,
hanya ada dua rumah saja yang masih menyalakan lampu diantara kamarkamar
hotel kecil itu, sebuah adalah kamar khusus buat para pegawai
hotel, kamar yang lain adalah tempat tinggal Coh Liu-hiang.
Sudah tentu Soh Yong yong menetap ke kamar sebelah Coh Liu-hiang, di
sebelah pekarangan terdapat tiga buah kamar lagi, semua ditempati
rombongan laki-laki kawanan orang-orang persilatan itu, sinar lampu sudah
padam kecuali gerosan tak terdengar suara lain.
Waktu Oh Thi-hoa kembali pula ke dalam kamar, sinar lampu tampak
menyorot dari ketiga kamar ini, bayangan orang pun berpeta pada jendela
kertas. Untuk apa orang-orang ini tengah malam buta rata pada bangun"
Dari kamar Soh Yong-yong tak terdengar suara apa-apa, sekilas Oh Thihoa
berpikir, akhirnya dia bersembunyi di atap rumah, secara diam-diam
mengawasi dan memperhatikan keadaan ketiga kamar itu. Dia tahu orangorang
itu bukan manusia baik-baik, tapi kalau tengah malam buta rata
mereka bergerak hendak beroperasi, memangnya sasaran mana yang patut
mereka incar didalam kota pegunungan kecil yang serba miskin ini" Tapi
mereka menginap di sini, terang mereka mempunyai tujuan.
Oh Thi-hoa membuka mata lebar, batinnya: "Perduli kerja apa yang
hendak mereka lakukan, hari ini kebentur di tanganku, terhitung mereka
yang bakal ketiban pulung."
Tak lama kemudian, kamar dipaling kiri, tiba-tiba padam lampunya, dua
sosok bayangan orang secara indap indap mengeloyor keluar, dengan
jarinya mengetuk dua kali di atas jendela di kamar tengah, serunya lirih:
"Kentongan ketiga."
Orang dalam kamar dengan tertawa segera berkata: "Kita sudah siap
sejak tadi, memang sedang menunggu kalian" ditengah pembicaraannya dua
orang memanggul dua buntalan besar berjalan keluar, katanya: "Bawalah
dulu buntalan ini, kami hendak kencing dulu."
Dua orang di luar itu tertawa, makinya: "Kalian memangnya orang desa,
belum lagi memikul harta, sekali minum lantas kencing-kencing."
Tengah mereka berkelakar dengan makiannya sambil menerima kedua
buntalan itu, tak kira dua orang yang baru keluar dari kamar ini tiba-tiba
mengeluarkan pisau dari lengan baju. "Cras" kontan dia kutungi leher kedua
temannya sendiri. Kedua orang itu sama mengeluarkan suara gerungan
terus roboh terkapar tak bernyawa lagi. Dua orang yang lain masingmasing
mengeluarkan segumpal kapuk terus dijejalkan ke dalam mulut
mereka, sehingga darah setetespun tidak bercucuran, cara kerja mereka
sungguh cekatan, gampang dan ahli, agaknya memang sudah biasa
membunuh mangsanya.
Sudah tentu perobahan ini amat di luar dugaan Oh Thi-hoa, sungguh tak
pernah terpikir dalam benaknya bahwa orang-orang ini akan saling bunuh
lebih dulu sebelum beroperasi dan berhasil dengan incarannya.
Tatkala itu dari kamar paling kanan sudah melompat keluar dua orang,
melihat perobahan ini agaknya amat kaget, seketika mereka menyurut
mundur serta memegang golok masing-masing, bentaknya bengis: "Luilosam,
apa yang ingin kau lakukan?"
Dengan alas sepatunya Lui losam kalem saja membersihkan darah di ujung
goloknya, katanya cengar-cengir: "Apapun tidak ingin kulakukan, cuma aku
merasa bila sesuatu benda harus dibagi empat orang, jatahnya tentu lebih
banyak daripada dibagi enam."
Mereka saling berpandangan lalu sama gelak tawa.
Berkata pula Liu losam: "Meski kita sudah menghilangkan jejak dari
kejaran kawanan alap-alap itu, namun yang mengincar dagangan besar ini
tentu masih ada rombongan lain pula, bukan mustahil di belakang kita ada
yang mengikuti jejak mereka, haraplah lekas berangkat."
Baru sekarang Oh Thi-hoa lebih jelas bahwa mereka ternyata adalah
kawanan begal, malah baru saja melakukan suatu dagang gelap tanpa modal,
demi menghilangkan jejak dari kejaran yang berwajib, maka mereka lari ke
kota pegunungan ini. Buntalan itu cukup besar dan menonjol entah apa yang
terbungkus di dalamnya. tapi karena buntalan ini tak segan-segan mereka
saling bunuh sendiri, terang buntalan itu pasti berisi sesuatu yang patut
dibuat rebutan.
Hati Oh Thi-hoa sudah gatal, tangannya lebih gatal lagi, batinnya: "Kalau
aku belum melihat apa isi buntalan ini mungkin malam ini aku tidak bisa
tidur." Bahwasanya bukan saja dia ingin melihat apa isi buntalan itu, ke
empat orang ini seolah-olah babi-babi gemuk yang diantar ke hadapannya,
bila dia tolak, rasanya terlalu tidak menghargai diri sendiri.
Tatkala itu Lui losam sudah menjinjing buntalan itu, baru saja Oh Thi-hoa
hendak menubruk keluar, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan putih
laksana segumpal kembang salju melayang turun dari tengah udara.
Lui losam dan teman-temannya seperti belum melihat, setelah bayangan
putih itu melayang turun di hadapan mereka dengan ringannya baru
serempak mereka dibuat kaget.
Oh Thi-hoa pun amat kaget, karena Gingkan bayangan ini sungguh amat
hebat, sungguh dia tak habis mengerti didalam kota kecil di pegunungan
ini, kenapa sekaligus tumplek beberapa tokoh-tokoh silat kosen yang
bermunculan. Kemudian orang membelakangi dirinya, maka dia tidak bisa melihat jelas
raut muka orang, namun dari potongan badannya yang semampai dan
ramping, rambutnya terurai mayang, kelihatannya adalah seorang gadis
cantik rupawan yang masih muda belia. Karena begitu rasa kejut Lui losam
dan teman-temannya hilang mereka lantas memicingkan mata, dengan
terpesona mengawasi gadis baju putih ini, kalau laki-laki sampai
memicingkan mata mengawasi dengan terpesona, gadis ini tentu tak
berparas buruk. Oh Thi-hoa cukup berpengalaman dalam bidang ini.
Terdengar gadis baju putih itu berkata: "Dua mayat diatas tanah ini,
apakah kalian yang membunuhnya?"
Lui losam malah menyengir tawa, katanya: "Apakah kami yang membunuh
kedua orang, nona secantik kau ini, malah kesudian menjadi opas memakan
sesuap nasi, dari pajak rakyat."
Berkata kalem gadis baju putih: "Kalau ditempat lain kalian membunuh
orang, sedikitpun tiada sangkut pautnya dengan aku, tapi disini."
"Memangnya ada bedanya ditempat ini?"
"Ditempat ini tak boleh membunuh orang!"
"Tapi sekarang aku sudah membunuh kedua orang ini, coba katakan
bagaimana persoalan ini harus diselesaikan?"
Sebetulnya hatinya rada takut berhadapan dengan gadis belia ini, karena
dia tahu Ginkang nona ini amat tinggi, namun sekarang agaknya dia sudah
kepincut kepati-pati oleh kecantikan si gadis dihadapannya, maka nyalinya
bertambah besar. Karena laki-laki memang jarang berhati-hati setiap kali
berhadapan dengan perempuan cantik. Oleh karena itulah gadis yang
cantik sering dengan mudah menipu lelaki.
Berkata gadis itu: "Setelah kau membunuh orang, memang hanya ada dua
cara untuk menyelesaikannya."
"Cara apa?"
"Cara pertama, mayat kedua orang ini harus kau makan sampai habis malah
dengan lidahmu kau harus jilat sampai bersih noda-noda darah yang
berceceran ditanah."
Lui losam tertawa lebar, katanya: "Aku orang ini sering makan apa saja,
cuma makanan benar tidak mau makan mayat orang, hidangan kecil tidak
mau makan lalat, gelak tawanya tiba-tiba terputus, seolah-olah dia sudah
merasakan bahwa gadis dihadapannya ini bukan sedang berkelakar. Walau
Oh Thi-hoa tak melihat muka orang tapi dia tahu paras orang tentu sudah
berubah. Terdengar gadis itu berkata dengan kalem: "Kalau kau tak ingin makan
mayat ini juga tak menjadi soal, toh masih ada cara kedua."
"Cara... cara apa lagi?" suara Liu losam mulai gemetar.
"Cara kedua jauh lebih mudah dilaksanakan. marilah kau ikut aku." ajak si
gadis lalu dengan gemulai dia putar badan, tahu-tahu sudah melayang naik
ke pagar tembok.
Dalam sekilas pandang inilah Oh Thi-hoa akhirnya berhasil melihat raut
muka orang. Sebetulnya dia tidak terhitung teramat cantik namun di
tengah malam yang tenang dan gelap ini, di bawah penerangan sinar bintang
yang remang-remang, kelihatannya dia orang memang memiliki suatu daya
sedot yang tak terlawankan oleh kawanan bandit itu.
Seolah-olah sudah melupakan tujuan semula. Lui losam dan ketiga
temannya sekejap mereka ragu-ragu namun kejap lain serempak mereka
sudah ikut lompat dan memburu.
Kamar tempat tinggal Soh Yong-yong masih seperti tak terdengar suara
apa-apa, gelagatnya dia terlalu pulas, setelah mengamati pelajaran yang
terdahulu, kali ini Oh Thi-hoa tidak berani ceroboh, dia tahu dirinya harus
berjaga di sini, jikalau sampai Soh Yong-yong terbokong dan kena diingusi
orang, bukan saja malu dia bertemu dengan Coh Liu-hiang, boleh dikata
malu pada diri sendiri, malu menjadi manusia.
Tapi gadis baju putih itu memang cantik dan terlalu aneh tindak
tanduknya, apa maksudnya menyuruh ke empat laki-laki itu mengikuti
dirinya" Hendak dibawa kemana mereka berempat" Apa pula yang berisi
didalam buntalan besar itu" Sungguh serasa hampir meledak rasa ingin
tahu Oh Thi-hoa, kalau segera tidak memburu kesana untuk menyaksikan
secara jelas, bukan mustahil dia kontan bisa menjadi gila. Dengan keras dia
mengelus-elus hidungnya, disaat dia kebingungan tak tahu apa yang harus
dia lakukan, siapa tahu saat itulah tiba-tiba Soh Yong-yong menongolkan
kepalanya dari balik jendela serta melambaikan tangan kepada dirinya.
Tersipu-sipu Oh Thi-hoa melompat turun, serunya: "Hah! Kiranya kau
belum tidur?"
Soh Yong-yong berseri tawa, katanya: "Setelah kalian minum arak, suara
bicaranya yang ribut bisa bikin si tuli kaget dan sadar dari pulasnya,
masakah aku bisa tidur" Apalagi malam ini pekarangan ini begini ramai."
"Jadi kau sudah saksikan seluruhnya?"
"Aku lihat kalian keluar mengejar bayangan seseorang, tak lama kemudian
hanya kau sendirian saja yang pulang."
Kalau dalam keadaan biasa mungkin Oh Thi-hoa akan menggoda
hubungannya dengan Coh Liu-hiang, supaya paras orang merah dan malu,
atau supaya orang lain gelisah menguatirkan keadaan Coh Liu-hiang. Tapi
sekarang, seleranya bukan atas persoalan ini. Maka segera dia bertanya:
"Peristiwa yang terjadi di pekarangan sebelah tadi, kaupun sudah
melihatnya?"
"Apakah kau ingin menguntit mereka untuk tahu jejak mereka?" tanya
Soh Yong-yong. Bersinar mata Oh Thi-hoa, serunya senang: "Kau juga ikut" Bagaimana
kalau kita pergi bersama-sama?"
"Aku tidak boleh pergi, karena perempuan itu bila diapun melihat diriku,
bukan mustahil bisa menimbulkan kesulitan, tapi aku sih tidak menjadi
soal." "Kenapa?"
"Karena dia kenal aku, namun tidak mengenalmu."
"Dia kenal kau" Apa akupun mengenalnya" Siapakah dia?"
"Dia itulah utusan pihak Sin-cui kiong yang menemui Coh Liu-hiang itu,
namanya Kiong lam Yan."
Oh Thi-hoa terperanjat, melongo sebentar, mulutnya menggumam: "Tak
heran ilmu silatnya amat tinggi, kiranya murid kesayangan Cui-bo-im-ki."
"Lebih besar hasratmu untuk melihatnya kesana, bukan?"
Kembali Oh Thi-hoa pegangi hidungnya, katanya: "Tapi kau..."
"Boleh silahkan kau pergi, aku kan bukan anak kecil, memangnya harus kau
lindungi?"
Oh Thi-hoa kegirangan, katanya: "Kau memang nona yang baik, tak heran
ulat busuk selalu memuji dirimu malah kuatir bila dia kurang hati-hati
mungkin bisa menelanmu bulat-bulat."
Akhirnya toh dia memang bikin wajah Soh Yong-yong bersemu merah,
diwaktu dia melesat ke atas pagar tembok, hatinya masih merasa riang,
karena dia senang bila melihat wajah gadis rupawan bersemu merah dan
malu-malu. Dia senang melihat hubungan muda mudi yang intim, bertautnya
dua hati yang sepaham dan sepengertian, dia merasa hal-hal seperti itu
merupakan kejadian paling sempurna baik dan indah dalam dunia ini.
Diam-diam diapun ikut bergirang bagi Coh Liu-hiang, karena diapun
merasakan Soh Yong-yong memang gadis pujaan yang serba lengkap, serba
baik. Dia menghirup napas panjang, mulutnya mengigau: "Ulat busuk
memang lebih beruntung dari diriku."
Tapi sekarang Oh Thi-hoa menghadapi keadaan yang merisaukan hati,
didalam waktu percakapannya ini, bayangan gadis baju putih dan Lui losam
berempat sudah tak kelihatan lagi.
Dia tahu langkah Lamkiong Yan takkan lebih lambat dari kecepatan
larinya, tapi kekuatan lari Lui losam berempat, dia yakin meski hanya
mengejar dengan satu kaki, dia masih kuasa menyandak mereka. Sekarang
dia bertanya tanya, ke arah mana barisan mereka menuju" Jalan di
sebelah kiri menuju ke jalan raya didalam kota, ke arah kanan ke jalan raya
keluar kota, ke sebelah depan adalah arah kemana tadi dia bersama Coh
Liu-hiang mengejar bayangan hitam tadi. Setelah meragu sebentar segera
dia melesat lempang ke depan, karena dengan mengambil jurusan ini
umpama tak berhasil menemukan Lamkiong Yan, paling tidak bisa bertemu
dengan Coh Liu-hiang.
Arah yang dituju ini tiada jalan, yang ada hanya wuwungan rumah orang
yang sambung menyambung. Masih segar dalam ingatannya diwaktu tadi dia
berlarian di wuwungan rumah-rumah itu, tadi lampu di sebelah bawah
sudah padam seluruhnya, maklumlah penduduk dalam kota pegunungan yang
biasanya harus menghemat minyak, maka jarang orang menyulut pelita


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diwaktu tidur. Tapi sekarang tiba-tiba dia lihat di depan sana ada beberapa rumah yang
menyulut lampu, malah terdengar pula suara ketukan yang ramai
kumandang dari sebelah pekarangan. Pekarangan dimana kedengaran suara
ramai itu banyak bertumpuk balok-balok kayu besar kecil di emperan
rumah tergantung lampion besar yang menyorotkan sinar terang.
Sebetulnya Oh Thi-hoa hendak membelok ke samping, namun sekilas ujung
matanya melihat dua orang, sedang sibuk mengerjakan peti mati.
Betapapun kecilnya sebuah kota bila penduduknya cukup banyak pasti
disana terdapat sebuah pertukangan yang khusus membuat peti mati,
karena setiap penduduk kota dalam waktu tertentu pasti ada orang yang
meninggal, orang mati ini memerlukan peti mati, hal ini tak perlu dibuat
heran. Bahwa pegawai pertukangan kayu sibuk menyelesaikan peti mati, pastilah
didalam peti itu ada jenazah orang. Hal inipun tak perlu dibuat heran.
Anehnya justru kedua orang ini bekerja ditengah malam buta-rata,
memangnya disekitar tempat ini ditengah malam ini ada orang mati
mendadak" Meski ada orang mati toh boleh dikerjakan besok pagi. Orang
yang sudah mati kan tak perlu tergesa-gesa harus masuk peti mati, orang
hidup sudah takkan sudi masuk ke dalam peti mati.
Mau tak mau tergerak juga pikiran Oh Thi-hoa, tak tahan dia akhirnya
menghentikan larinya, maka segera dia dapati didalam pekarangan
ternyata tersedia empat buah peti mati. Tiga diantara peti mati itu belum
terpakai, ketiga peti mati ini masing-masing berisi satu jenazah.
Tanpa ragu-ragu Oh Thi-hoa segera lompat ketengah pekarangan, dua
orang yang sedang sibuk memaku peti mati terperanjat, palu ditangan
mereka sampai mencelat terbang saking kagetnya.
Oh Thi-hoa tak hiraukan mereka, dengan seksama dia periksa tiga peti
mati yang masih terbuka itu, cukup sekilas saja dia melihat ketiga mayat
didalam peti mati itu, seketika berubah air mukanya, tak kuasa mulutpun
berteriak kaget: "Kiranya mereka"
Mayat-mayat yang berada di ketiga peti mati ini ternyata Lui-losam dan
kawan-kawannya. Sebelum ini Oh Thi-hoa masih melihat mereka hidup
segar bugar, mimpipun dia tak menyangka dalam waktu yang begitu singkat
keempat orang ini sudah rebah didalam peti mati tanpa bernyawa lagi.
Dua orang tukang kayu itu sudah berlutut dan menyembah ratapnya
ketakutan "Toaya ampun, kejadian ini bukan perbuatan kami."
Melihat muka pucat kedua orang ini, Oh Thi-hoa tahu orang pasti
menyangka dirinya sekomplotan dengan Lui-losam, terpaksa dia unjuk tawa,
dibuat-buat, katanya: "Akupun tahu kejadian ini bukan urusan kalian, tapi
apakah yang telah terjadi akan mereka?"
Laki-laki yang berusia agak tua agaknya adalah juragan dari perusahaan
pertukangan ini, dia membesarkan nyali menjawab: "Sebetulnya kami sudah
tidur, tiba-tiba ada seorang dewi masuk ke kamar kami menggigil kami
bangun, lalu suruh kami menyediakan empat peti mati dan menunggu di luar
pekarangan."
"Apakah nona cantik yang berpakaian putih-putih?"
"Benar, meski merasa heran, tapi di sini sering tersiar adanya bidadari
yang memberi berkah kepada para penduduk kota, malah katanya banyak
bidadari di puncak gunung sana maka kami tak berani membangkang
perintahnya."
"Mereka itu bukan bidadari, mereka adalah setan-setan air."
Dingin bulu kuduk juragan peti mati, katanya tergagap: "Bila... nona... air
itu tak lama kemudian kembali, membawa empat.. empat laki-laki kemari,
sikapnya tidak galak terhadap ke empat laki-laki itu, dia malah minta satu
diantaranya membayar dua puluh tail perak kepadaku."
"Apa yang dikatakan orang itu?"
"Laki-laki itu agaknya malah kegirangan, katanya: "Mereka memang adalah
temanku, membelikan peti mati juga pantas." Setelah mendengar
penjelasannya ini baru hati kami lega, kukira ada teman-teman mereka
yang meninggal, maka nona itu membawa mereka kemari untuk membeli
peti mati. Seolah-olah ketiban rejeki, belum pernah dalam satu hari kami
menjual empat peti mati sekaligus.. mana tahu.." giginya gemeretak,
suaranya pun tak terdengar lagi.
Mengawasi mayat-mayat Liu losam didalam peti mati, Oh Thi-hoa jadi geli
dan dongkol. Sesaat kemudian juragan peti mati melanjutkan ceritanya: "Siapa nyana
setelah uang kuterima, nona itu tiba-tiba berkata: "Cara kedua gampang
saja, yaitu menyerahkan jiwa kalian." Baru saja kami merasa kaget, belum
lagi tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu ke empat laki-laki itu sudah
terkapar roboh tak bernyawa lagi." badannya gemetar dan ngeri, katanya
dengan suara terputus-putus: "Selama hidup belum pernah aku... aku
melihat... orang mati begitu cepat, empat orang segar bugar, entah
kenapa.... tiba-tiba sudah menjadi mayat semuanya."
Oh Thi-hoa ikut melongo, tanyanya: "Selanjutnya bagaimana?"
"Selanjutnya... nona itu mendadak menghilang dari hadapan kami." getir
air muka juragan peti mati, katanya menyambung: "Peristiwa ini kalau
kuceritakan kepada orang lain pasti tak ada yang mau percaya, terpaksa
malam ini juga kami kerja lembur untuk menyelesaikan kerja ini, terus
diangkat keluar. mohon Toaya."
"Kau tak usah kuatir." Oh Thi-hoa tertawa: "Akupun bisa segera
menghilang, urusanmu aku tak mau perduli lagi, tapi ke empat orang itu ada
membawa buntalan besar, apa kau melihatnya?"
"Kelihatannya memang... agaknya sudah dibawa pergi oleh nona itu, kami
sudah ketakutan maka tidak melihat jelas..." belum habis dia bicara, Oh
Thi-hoa benar-benar sudah menghilang dari pandangannya.
Juragan peti mati ini jatuh sakit tujuh hari, kalau ada orang tanya
peristiwa apa yang terjadi pada tujuh hari yang lalu, maka dia lantas
menyumpah-nyumpah dikatakan kerja apapun tidak pernah dia lakukan,
cuma dikatakan malam itu dia bermimpi amat buruk.
xxx Di sebelah biara pemujaan untuk dewa bumi terdapat sebuah petak rumah
persegi, didalamnya banyak terdapat meja kursi, kiranya itulah sebuah
rumah sekolahan, tapi guru tiada muridpun tentu bubar, tiada satu
orangpun didalam ruang kelas. Tapi sinar api terpasang terang benderang,
api lilin bergoyang gontai tertiup angin, kelihatannya menjadi seram.
Waktu Coh Liu-hiang mengejar sampai di sini, bayangan hitam itu tibatiba
berhenti. Orang itu ternyata adalah seorang kakek kurus kering, rambutnya sudah
ubanan seluruhnya namun badannya masih kelihatan sehat dan kuat,
berdiri ditengah gelap seperti sebatang tongkat bambu. Tiba-tiba dia
membalik badan berhadapan dengan Coh Liu-hiang dengan tertawa:
"Ginkang Maling Romantis memang tak bernama kosong, tiada
bandingannya dikolong langit."
"Ah, Cianpwe terlalu memuji." Coh Liu-hiang merendahkan diri. Disaat
bicara ini dia sudah perhatikan orang tua dihadapannya ini katanya pula
dengan tertawa: "Dalam kolong langit ini, bila ada yang tak dapat kukejar
kecuali Ban-li-tok-hing Cay locianpwe pasti tiada orang lain, justru cianpwe
malam ini membuat wanpwe terbuka matanya."
Orang tua itu gelak-gelak ujarnya: "Mendengar pujian Maling Romantis,
Losiu jadi merasa berkecil hati, sebetulnya bukan Losiu sengaja hendak
pamer kepandaian, bahwa Losiu memancing Maling Romantis ke tempat ini,
karena didalam hotel itu terdapat beberapa kurcaci yang menyebalkan,
kukira kurang leluasa bila bicara di sana."
Banyak orang berpendapat orang yang usianya semakin menanjak tua
semakin sungkan dan suka merendah hati, hakekatnya bila jiwa seseorang
semakin tua, dia semakin tidak mau mengalah malah sebaliknya suka
mendengar puji sanjung orang lain akan kebolehan dirinya. Apalagi pujian
yang diucapkan oleh seseorang yang kira-kira setingkat dirinya, maka
rasanya lebih syuur, tiada orang yang tak suka mendengar pujian semacam
ini dalam dunia ini. Jikalau Cay Tok-hing tidak ingin supaya Coh Liu-hiang
tahu akan tingkat kepandaiannya kenapa dia tadi tidak mau jalan pelanpelan
saja" Setelah tertawa, lekas Coh Liu-hiang sudah mengerut kening, katanya:
"Orang-orang kurcaci yang dimaksud Cianpwe, bukanlah...."
"Yaitu kawanan bandit yang tinggal di kamar sebelah kalian itu, sebetulnya
tujuan Losiu menguntit jejak mereka, sehingga aku sampai di sini, sungguh
tak kira di sini pula aku bisa jumpa dengan Maling Romantis."
"Kalau demikian Wanpwe harus berterima kasih kepada mereka malah,
entah apa sih kerja mereka sebenarnya" Sampai Cianpwe susah harus
menguntit jejak mereka?"
Cay Tong hing tertawa-tawa, ujarnya: "Tua bangka seperti aku ini paling
takut kesepian, soalnya mereka kuatir jiwanya tercabut oleh raja akhirat
disaat tiada orang lain, demikian juga aku tua bangka ini, maka setiap hari
selalu ikut mencampuri urusan orang lain." sampai di sini dia menarik muka,
katanya lebih lanjut: "Mereka para kurcaci itu adalah Bu-bing-siau-cut
dari Bulim, tapi belakangan ini mereka melakukan perbuatan yang terkutuk,
aku tua bangka ini bersumpah hendak menghabisi jiwa mereka." Sebelum
orang menyebutkan perbuatan terkutuk apa yang dilakukan orang-orang
itu, Coh Liu-hiang pun tidak enak bertanya, maklumlah Coh Liu-hiang
selamanya tidak suka cerewet.
"Sekarang Losiu sudah menemukan jejak mereka." demikian tutur Cay
Tok-hing lebih lanjut. Namun belum sempat turun tangan, tentunya Maling
Romantis merasa heran?"
"Ya, memangnya aku rada bingung."
"Itulah karena mereka seperti sudah picak matanya karena ketakutan
sehingga pandangan mata dikelabui setan, dunia selebar ini, mereka justru
lari ke tempat ini, tentunya kau tahu di dataran ini tak leluasa menghabisi
jiwa orang."
"Memang, Wanpwe juga ada dengar, Cui-bo-im-ki melarang orang
membunuh sesamanya di daerah seratus li sekitar Sin-cui-kiong, bila siapa
berani melanggar undang-undang ini, maka jiwanya harus dihabisi juga."
"Bukannya Losiu takut akan larangan itu, soalnya lelaki tak leluasa
berkelahi dengan perempuan, hidup setua ini buat apa aku harus
bertengkar dengan kaum hawa?" Orang ini ternyata memang berwatak
keras dan pedas sekali-kali dia tak mau tunduk kepada orang lain meski
hanya mengadu mulut secara berhadapan.
Walau merasa geli dalam hati, namun Coh Liu-hiang hanya mengingatkan
saja, "Memang benar ucapan Cianpwe, bertengkar dengan perempuan, lakilaki
juga yang rugi."
"Sebetulnya Losiu sudah lama ingin minum bersama Maling Romantis,
sayang sekali kaum pengemis seperti aku tidak leluasa duduk didalam
restoran, terpaksa kubawa kemari sementara meminjam tempat ini,
semoga besok pagi bila Ang-siansing datang mengajar, jangan sampai dia
jatuh mabuk mengendus bau arak yang kita tinggalkan di sini."
Berkata Coh Liu-hiang menahan tawa: "Entah Cianpwe sudah menyiapkan
daging anjing, Wanpwe tidak makan daging anjing lho."
Cay Tok-hing menepuk pundaknya, katanya gelak-gelak: "Kukira kaupun
sudah keracunan oleh teori dalam buku, para kutu buku bila
memperbincangkan kaum jembel seperti kami tentu mengira kami ini doyan
makan daging anjing, sebetulnya bukan setiap pengemis pasti suka makan
daging anjing."
Lilin yang tersulut sudah tinggal separo guci arak yang ditaruh di bawah
meja sudah terbuka segelnya, di atas meja masih terdapat sebungkus
sayur asin yang dibungkus oleh kertas minyak. Agaknya Cay Tok-hing
memang sudah menyiapkan perjamuan sederhana di sini.
Tapi beberapa hari yang lalu dia tak mau menemui diri Coh Liu-hiang,
kenapa hari ini mendadak dia merubah haluan" Tiba-tiba Coh Liu-hiang
menyadari bahwa pertemuan hari ini pasti bukan secara kebetulan. Orang
pasti ada urusan penting sehingga mencari dirinya, yang terang pasti
persoalan pasti sudah genting dan gawat.
Setelah nenggak beberapa cangkir arak, tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: "Apakah Cianpwe sebelumnya memang sudah tahu bila pihak Sin
cui kiong memang sudah sengaja hendak mencari perkara kepada Wanpwe,
sudah Cianpwe perhitungkan dengan masak bila Wanpwe pasti akan datang
ke tempat ini, maka siang-siang sudah menunggu di sini, siap membantu
kesulitan Wanpwe?"
Sekilas Cay Tok hing tertegun, katanya tertawa lebar sambil angkat
cangkir: "Sering Losiu mendengar orang bilang, Coh Liu-hiang mempunyai
nyali besi mempunyai hati yang luhur dan bajik lagi, kiranya tak berlebihan
pujian ini, agaknya segala persoalan takkan bisa mengelabui kau."
"Berita dari Kaypang memang amat tajam, bantuan Cianpwe justru
membuat orang tunduk lahir batin, tapi persoalan kali ini."
"Losiu tahu persoalan ini orang lain tak boleh ikut campur, kedatanganku
ini tak lain hanya mau melaporkan sesuatu persoalan saja, sekedar untuk
menebus jasa pertolongan Maling Romantis kepada pihak Pang kami."
Coh Liu-hiang berdiri terus menjura, katanya: "Terlalu berat ucapan
Cianpwe." "Persoalan yang hendak Losiu utarakan besar sangkut pautnya dengan
murid murtad Pang kami, Lamkiong Ling itu."
"Mengenai Bu Hoa juga?"
"Ya, Bu Hoa" ujar Cay Tok-hing sambil meletakkan cangkir diatas meja.
"Orang ini sudah beribadah namun tak mematuhi ajaran agama, dengan
licin dia memelet seorang nona suci bersih dari murid Sin-cui kiong serta
memperkosanya, sehingga jiwa orang akhirnya berkorban karenanya,
tentunya Maling Romantis sudah tahu akan kejadiannya."
"Tapi peristiwa ini Wanpwe belum pernah membicarakan kepada siapapun,
entah dari mana pula Cianpwe bisa mengetahui peristiwanya sedemikian
jelas?" "Maling Romantis membenci kejahatan pelindung kebenaran, tak sudi
membongkar rahasia pribadi orang lain, sungguh suatu sikap yang patut
dihargai, sayang sekali, kertas tak bisa membungkus api, betapapun
rahasia perbuatan seseorang didalam kejahatan cepat atau lambat
akhirnya pasti diketahui orang juga."
Dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan: "Dosa Lamkiong Ling
memang patut dicacah hancur, tapi sesudah dia mati segala dosanya pun
himpas, setelah dirundingkan oleh para Tianglo akhirnya diputuskan,
mereka tetap menguburkan jenazah Pangcu sesuai dengan kedudukannya,
ini... sudah tentu lantaran mereka berpendapat keburukan rumah tangga
tidak baik tersiar di luar, untuk pahit getirnya ini tentunya kau cukup
memahami."
"Ya." Coh Liu-hiang mengiakan dengan manggut-manggut prihatin.
"Murid-murid Pang kami diwaktu mengumpulkan barang-barang
peninggalan Lamkiong Ling, didapatnya di atas sekian barang-barangnya
terdapat sebuah Bok-hi yang amat antik."
"Bok-hi?" Coh Liu-hiang mengerut kening.
"Bok-hi yang biasa digunakan oleh kaum pendeta dalam bersembahyang,
murid Kaypang kami tidak bisa bersembahyang, darimana bisa ketinggalan
Bok-hi" Maka kami lantas berpikir Bok hi ini pasti barang peninggalan atau
titipan Bu Hoa."
"Ya, kukira demikian."
"Kita sama tahu Lamkiong Ling menjadi bejat dan nyeleweng lantaran
hasutan dan tekanan Bu Hoa yang jahat dan keji itu, tak urung muridmurid
yang memujanya sama merasa penasaran bagi kematiannya..." dia
berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara rawan. "Maklumlah sejak
kecil Lamkiong Ling adalah anak laki-laki yang patuh dan tunduk kepada
orang tua, tahu seluk-beluk kehidupan manusia, para Tianglo Pang kami
sama menaruh harapan besar atas dirinya, karenanya amat mendalam
dalam sanubari kami."
Coh Liu-hiang menghela napas sambil manggut-manggut, batinnya: "Putra
sendiri melakukan kesalahan jamak, kalau orang tuanya anggap orang
lainlah yang menyebabkan anaknya terjeblos ke dalam jurang hina."
Didengarnya Cay Tok-hing melanjutkan "Terutama Ih-tianglo yang paling
penasaran dan sangat haru, tak tahan lagi dia rebut Bok-hi itu terus
dibantingnya sampai hancur berkeping-keping. Siapa tahu setelah Bok-hi
pecah, dari dalamnya muncul sejilid buku tipis."
"Buku tipis?" tergerak hati Coh Liu-hiang.
"Apa yang tercatat didalam buku itu?"
"Buku tipis itu disimpan begini rahasia, kalau bukan mencatat pelajaran
ilmu Lwekang atau ilmu silat tinggi, pastilah mencatat sesuatu yang serba


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting dan rahasia. sebetulnya Losiu dan lain-lain bukan orang yang suka
melihat rahasia pribadi orang lain, sebetulnya kami sudah berkeputusan
untuk tidak membukanya, tapi Ong-tianglo berpendapat, bukan mustahil
rahasia yang tercatat didalam buku ini besar sangkut-pautnya dengan
Kaypang kami, maka dia berkukuh untuk membuka dan dibaca."
"Maklumlah sejak berdirinya sampai turun-temurun ratusan tahun secara
tradisi, Kaypang selalu mengutamakan kejujuran dan kebenaran apalagi
mencuri lihat catatan pribadi orang lain. betapapun dipandang sebagai
perbuatan yang kurang dapat dihargai." Oleh karena itu Cay Tok-hing
harus berputar kayun dulu dengan cerita panjangnya untuk menjelaskan
hal ini, sudah tentu Coh Liu-hiang mandah mengiakan saja.
Setelah menghabiskan secangkir arak pula, Cay Tok hing melanjutkan
ceritanya: "Benar juga dalam buku tipis itu mencatat rahasia Bu Hoa
selama hidupnya, sungguh Losiu tak habis mengerti kenapa dia sudi
mencatat segala perbuatan rendah dan hina serta memalukan itu."
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Kalau Cianpwe merasa semua
perbuatannya itu nista dan memalukan, Bu Hoa justru menganggap karya
hidupnya yang paling gemilang, kalau toh dia tak bisa membeber rahasia
dirinya, terpaksa dia catat seluruhnya, sebagai koleksi dan untuk bacaan
dikelak dihari tua."
Cay Tok hing ikut tertawa, katanya: "Agaknya Maling Romantis dapat
menyelami jalan pikiran orang-orang jahat ini begitu mendalam, kau
menyelidikinya tak heran betapapun licin licik dan nakal seseorang, sekali
kebentur dengan Maling Romantis, dia tak akan berdaya sama sekali."
Terpaksa Coh Liu-hiang berdiri dan menjura lagi, dengan rendah hati
tanyanya: "Apakah diantara catatan Bu Hoa itu ada juga menyinggung
pengalamannya di Sin cui kiong?"
"Ya, memang begitulah, oleh karena itu sengaja Losiu meluruk kemari
untuk melaporkan hal ini kepadamu."
"Tidak berani... banyak terima kasih..."
Coh Liu-hiang ragu-ragu sebentar, lalu tanyanya: "Maksud Cianpwe apa
hendak meminjamkan buku catatan itu untuk kubaca?"
"Sebetulnya Losiu ada maksud meminjamkan, tapi... Bu Hoa dijuluki Biau
ceng, banyak keluarga besar dari kaum Bulim di Kangouw sama berlomba
untuk mengundangnya ke rumah masing-masing sebagai suatu kebanggaan,
maka... didalam buku catatan itu tercatat pula tidak sedikit rahasia pribadi
anak gadis dari putri-putri bangsawan, tokoh-tokoh ternama, bila sampai
rahasia ini tersiar entah berapa banyak keluarga-keluarga kenamaan dalam
Bulim yang bakal pecah berantakan. berapa banyak gadis-gadis suci bakal
bunuh diri saking malu, oleh karena itu Losiu sudah bakar habis buku yang
kotor itu."
"Bagus, tindakan yang tepat."
"Tapi catatan mengenai Sin cui kiong sudah Losiu baca dengan teliti,
karena mungkin hanya dialah laki-laki yang benar-benar pernah memasuki
Sin cui kiong secara terang-terangan, maka apa yang dia catat tentunya
jauh lebih bernilai dan patut dihargai."
"Wanpwe mohon penjelasan."
"Bu Hoa memang seorang yang pintar dan cerdik, bukan saja mengenal
seni musik, seni lukis dan seni tulisan, lebih pandai pula berkhotbah,
sampaipun im-kiong cu dari Sin cui kiong pun ada mendengar nama
besarnya, perlu diketahui Im-kiong-cu adalah seorang pemeluk agama yang
saleh. "Hal ini wanpwe sudah pernah dengar orang bilang."
"Sin cui kiong cu mengundangnya untuk berkotbah bukan saja Bu Hoa
merasa amat bangga, malah kebetulan pula sesuai dengan keinginannya,
karena memang dia sudah mengincar Thian-it-siu cui."
"Untuk menamatkan jiwa seseorang, tanpa menimbulkan gejala-gejala
keracunan, kecuali Thian-it-sin cui, dalam dunia ini tiada benda lainnya
lagi." "Tapi meski dia sudah masuk ke dalam Sin cui kiong, toh dia tak punya
kesempatan untuk turun tangan, soalnya Im kongcu amat keras mengawasi
murid-muridnya, bahwasanya dia tidak pernah punya kesempatan untuk
bicara sepatah katapun kepada nona-nona itu."
"O?" "Dan lagi Im kongcu tidak menahannya tinggal di Sin cui kiong, setiap hari
setelah lohor, lantas mengundangnya masuk untuk berkhotbah selama satu
jam, setelah selesai kotbahnya segera mengantarnya keluar lembah, ingin
berhenti sedetik saja pun tak diperbolehkan."
Coh Liu-hiang menepekur, tanyanya: "Siapa saja orang-orang yang
menjemput antar dia?"
"Yang menjemput dan mengantarnya adalah empat murid perempuan Sin
cui kiong ke empat orang ini sama lain saling mengawasi, sebetulnya
memang tiada kesempatan sedikitpun, sampai pun Bu Hoa sendiri itu waktu
sudah putus asa, siapa nyana pada suatu hari, tiba-tiba dia melihat satu
diantara ke empat nona-nona itu ada yang diam-diam mengerling tawa
kepadanya."
"Tentunya nona inilah yang bernama Sutouw King?"
"Benar waktu itu diapun belum tahu bila nona ini bernama Sutouw King,
cuma terasa olehnya kerlingan mata gadis cantik ini mengandung rasa
manis mesra, seolah ada naksir kepada dirinya, sayang sekali mereka tak
punya kesempatan untuk bicara."
"Orang semacam Bu Hoa, untuk main asmara dan memelet gadis tak perlu
pakai bicara segala." ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi kalau tiada kesempatan, betapapun dia tidak bisa turun tangan."
"Orang seperti dia, sudah tentu selalu berusaha mencari kesempatan."
"Ya, memang begitulah" ujar Cay Tok hing gemas. "Menurut catatannya,
Sin cui kiong terletak didalam sebuah lembah gunung yang permai subur
laksana permadani, bunga berkembang biak, laksana alam dunia tersendiri,
diantara taburan kembang dan pepohonan yang teratur dan tumbuh rapi
terawat baik itu tersebar bangunan gubuk-gubuk dan gardu-gardu indah,
disanalah murid-murid Sin cui kiong bertempat tinggal."
Diam-diam Coh Liu-hiang berpikir: "Cerita Yong-ji ternyata tidak salah,
tapi apa yang dikisahkan Liu Bu-bi, apa pula yang terjadi akan dirinya?"
"Di dalam lembah terdapat air terjun," demikian Cay Tok-hing meneruskan
ceritanya, "air tumpah dari tempat ketinggian seperti naga yang menari
ditengah udara, di bawah air terjun terdapat sebuah kubangan, ditengah
tengah kubangan itu terdapat pula sebuah batu besar, disanalah tempat Bu
Hoa berkotbah. Begitu masuk ke lembah, Bu Hoa langsung duduk diatas
batu besar ini mulai berkotbah, habis berkotbah lantas berlalu, dasar
cerdik setelah dia rencanakan dan pikir pulang pergi, terasa hanya pada
batu besar ini saja dia bisa meninggalkan langkah-langkah tipu dayanya."
"Langkah tipu daya apa?"
"Batu besar ini memang licin dan mengkilap bagai kaca, pada suatu hari
waktu dia masuk lembah sengaja dia menginjak tempat becek yang
berlumut hijau maka begitu melangkah naik ke atas batu besar ini, kakinya
lantas terpeleset jatuh." dengan gemas Cay Toh-hing melanjutkan, "Semua
orang sama tahu Bu Hoa adalah murid Siaowlim yang tinggi kepandaiannya,
kalau dikata berdiripun dia tidak bisa tegak, orang lain tentu tidak mau
percaya, tapi setelah alas sepatunya kotor kena lumpur dan lumut,
sukarlah dikatakan apalagi dia sengaja merubah beberapa kali gerakan
baru terperosok jatuh ke air, betapa pintar gerak-gerik badannya sampai
Im kiong cu pun kena dia kelabui."
Jilid 39 Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya dalam hati: "Memangnya aku
sendiripun kena ditipu dan dikelabuinya beberapa kali" Seseorang bila dia
mampu mengapusi aku, mungkin jarang ada orang yang tidak bisa
ditipunya."
Terdengar Cay Tio-hing berkata pula: "Setelah badannya basah kuyup,
sudah tentu tak bisa berkotbah lagi dengan tenang, maka dia harus
mengeringkan dulu pakaiannya, sudah tentu permintaan bukannya tidak
masuk aturan, sampaipun Im-kiongcu pun tak bisa menolak permintaannya,
maka dia suruh orang untuk membawanya ke sebelah biara di kaki gunung,
di sana membuat api unggun untuk mengeringkan pakaiannya."
"Untuk mengeringkan pakaian paling tidak perlu setengah jam, dalam
jangka setengah jam banyak urusan yang bisa dia selesaikan." ujar Coh Liuhiang.
"Dia kira nona Sutouw King yang mengerling senyum kepadanya itu pasti
akan menggunakan kesempatan ini untuk berhadapan dua-duaan sama dia,
siapa tahu ternyata dua nona yang lain mengantarkannya ke dalam biara
itu, malah setelah api unggun berkobar, mereka lantas mengundurkan diri,
semua pintu dan jendela biara kecil itu ditutup rapat."
Coh Liu-hiang juga merasa heran, katanya: "Kalau begitu, bukankah Bu
Hoa tidak bisa berbuat apa-apa lagi?"
"Disaat dia mengeluh itulah, nona Sutouw itu tiba-tiba muncul dari
belakang patung pemujaan, malah secara sukarela menyerahkan
kesuciannya, perubahan ini menurut katanya dia sendiripun merasa di luar
dugaannya."
Coh Liu-hiang juga melengak keheranan, gumamnya: "Nona Sutouw itu
muncul dari belakang patung pemujaan" Kalau demikian, biara kecil itu
pasti ada jalan rahasia. Memangnya setiap rumah-rumah didalam Sin cui
kiong dipasangi jalan rahasia bawah tanah" Apakah setiap jalan bawah
tanah itu sama menembus ketempat tinggal Cui-bo-im-ki" Malahan ada
jalan rahasia yang tembus ke Bo-dhi-am yang didatangi Liu Bu-bi itu?"
Cay Tok-hing seperti tidak mengerti apa yang dikatakannya, namun dia
tidak bertanya, katanya: "Menurut apa yang dikatakan, Sutouw King
sebenarnya adalah salah satu murid kepercayaan Im-kiongcu, setelah
bersenggama dan main mesra-mesraan sekian lamanya, dia lantas jatuh
cinta kepati-pati, namun tujuannya hanya ingin memiliki Thian it-sin cui,
maka Sutouw King lantas mencurikan sebotol buat dia, dua hari kemudian
diwaktu dia turun lembah, secara diam-diam botol itu diserahkan
kepadanya."
Coh Liu-hiang melengak, katanya: "Masakah begitu gampang?"
"Dia sendiri memang tak menduga urusan bisa terjadi begitu lancar dan
gampang, karena meski murid-murid Sin cui kiong sama cantik-cantik,
namun sikap mereka tetap dingin dan kaku seperti tak berperasaan,
mimpipun dia tak pernah menduga bahwa Sutouw King rela menyerahkan
kesuciannya, begitu cabul melebihi perempuan lacur dan perempuan jalang
umumnya." Coh Liu-hiang semakin tak habis mengerti, katanya: "Apalagi dalam dua
hari dia sudah berhasil mencari sebotol penuh Thian-it-sin-cui, sudah
tentu dia memang murid Cui-bo-im-ki yang tersayang, sebagai murid
kesayangan tentunya bukan perempuan cabul dan genit, mana bisa begitu
melihat Bu Hoa lantas jatuh hati, berubah begitu cepat?"
"Mungkin itulah yang dinamakan karma."
Coh Liu-hiang tak sependapat, katanya: "Menurut pendapat tecu, dalam
kejadian ini masih ada tersembunyi latar belakang yang belum kita
ketahui." "Peduli apa benar ada latar belakang yang belum kami tahu, yang terang
kejadian ini sudah berselang, hari ini Losiu menyinggung hal ini, tidak lain
hanya ingin supaya Maling Romantis tahu sedikit keadaan Sin cui kiong
sebagai bahan-bahan pertimbangan." Cay Tok-hing tertawa-tawa, lalu
menyambung: "Catatan harian itu adalah tulisan Bu Hoa sendiri, apa yang
tercatat didalamnya pasti bukan bualan, oleh karena itu menurut pendapat
Losiu, tempat tinggal Im kiong cu pasti berada dipinggang gunung atau
didekat kubangan air di bawah air terjun itu, maka diwaktu Bu Hoa
berkotbah, dia baru bisa mendengar dengan jelas."
Pada saat itu juga keduanya mendadak berdiri, di luar terdengar suara
lambaian pakaian tertiup angin, seseorang berkata dengan tertawa: "Ada
arak dan masakan, kenapa tidak undang aku, agaknya Cay-locianpwe
memang pilih kasih dan berat sebelah!"
Ditengah gelak tawanya yang kumandang, seseorang menerobos masuk, dia
bukan lain adalah Oh Thi-hoa. Tapi diapun tahu sekarang bukan saatnya
minum arak, karena dia ingin lekas-lekas bicara.
Setelah mendengar cerita pengalamannya, tanpa sadar Coh Liu-hiang
mulai mengelus hidung, disaat dia merasa senang atau dirundung persoalan
pelik, selalu tak disadari pasti mengelus-ngelus hidung.
"Tak usah pegang hidung, jangan kuatir akan keselamatan Yong-ji, dia
lebih cerdik dan pandai bertindak seperti yang kau bayangkan!" kata Oh
Thi-hoa. "Menurut apa yang kau tuturkan, ke enam orang itu bukan terhitung
orang-orang Kangouw kelas satu, hanya secara kebetulan saja berhasil
melakukan pekerjaan besar." kata Coh Liu-hiang setelah berpikir sebentar.
Cay Tok-hing menimbrung: "Memangnya enam orang itu hanya kaum
keroco saja, bukan Losiu sengaja hendak menguntit mereka, cuma secara
kebetulan saja aku memergoki mereka."
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: "Kaum keroco seperti mereka sudah tentu
tak perlu bikin susah Locianpwe, tak usah Cianpwe jelaskan akupun sudah
mengetahui."
"Kalau demikian, Tonglam Yan keluar dari sarangnya jadi bukan hendak
menghadapi kami, agaknya ke enam orang itu yang bernasib sial, sehingga
kebentur di tangannya."
"Darimana kau bisa berpendapat demikian?" tanya Cay Tok hing.
"Ah, masakah Cianpwe belum jelas, menangkap juntrungannya?" Oh Thihoa
tertawa. Cay Tok hing tertawa, Oh Thi-hoa melanjutkan: "Kionglam Yan adalah
orang yang diutus mencari Coh Liu-hiang, kalau Im-ki suruh dia menemui
Coh Liu-hiang yang kenamaan, dapatlah dibayangkan dia pasti salah satu
tokoh kepercayaan yang berkepandaian tinggi dari Sin cui kiong, tapi ke
enam orang itu toh kaum keroco belaka, tak perlu susah-susah dia sendiri
yang turun tangan."
Coh Liu-hiang mendelik kepadanya katanya: "Hari ini aku jadi heran
kenapa kau banyak bicara, sedikit minum arak?"
"Tapi kata-kata ini jangan disalah-artikan." ujar Cay Tok hing: "Orang
yang diutus pihak Sin cui kiong untuk menemui Coh Liu-hiang pasti
kedudukan dan tingkat kepandaiannya di dalam lembah amat tinggi, pasti
bukan khusus untuk menghadapi keenam orang itu."
"Kalau demikian kedatangan Kionglam Yan dikota kecil ini memangnya
khusus hendak menghadapi Coh Liu-hiang" Tapi darimana mereka bisa tahu
bila Coh Liu-hiang sudah berada di sini?"
Coh Liu-hiang menepekur, sementara Cay Tok hing sudah mengukuti
hidangan diatas meja dan masukan ke dalam sebuah karung lalu
memadamkan lilin lagi. Katanya dengan suara kereng: "Sinar api dimalam
nan gelap, dapat menjadi perhatian orang lain, kalau Oh-heng bisa
menemukan tempat ini, bukan mustahil orang lainpun bisa kemari, marilah
kita mencari tempat lain saja."
Baru saja Coh Liu-hiang putar badan sampai diambang pintu, tiba-tiba dia
hentikan langkahnya. Oh Thi-hoa yang sedang berdiri diambang jendela
harus makan waktu beberapa lamanya lagi baru bisa melihat jelas,
ditengah keremangan malam itu melayang datang dua sosok bayangan
orang. Gerakan kedua bayangan ini begitu enteng dan cepat serta aneh lagi,
terutama orang yang di sebelah kiri dengan perawakan agak pendek. Coh
Liu-hiang dan Tok hing merupakan ahli di bidang ilmu Ginkang, sekali
pandang lantas mereka tahu, bukan saja Ginkang orang ini amat tinggi,
malah gerak-geriknya selalu dapat bergaya dengan gemulai dan indah serta
lembut, seolah-olah sedang menari ditengah angkasa mengikuti irama
musik yang dibawa lalu oleh hembusan angin malam.
Oh Thi-hoa melirik kepada Cay Tok hing lalu melirik pula kepada Coh Liuhiang,
tak tahan ida menghela napas, biasanya diapun amat bangga akan
ilmu Ginkangnya sendiri tapi setiap orang yang dia lihat malam ini, ilmu
Ginkangnya justru jauh lebih tinggi dari dirinya, seolah-olah seluruh tokoh
Ginkang yang paling top di seluruh dunia malam ini sama meluruk dan
tumplek di kota ini.
Diam-diam Cay Tok hing memberi tanda dengan ulapan tangan, serempak
mereka bertiga segera mengundurkan diri lewat jendela di sebelah
belakang, kebetulan di luar jendela adalah lereng gunung yang lebat
ditumbuhi rumput liar.
Mereka tidak menyingkir jauh, namun terpencar tidak berjauhan
menyembunyikan diri didalam semak-semak rumput yang gelap, hati
masing-masing sama menerka dan menebak-nebak, Siapa kedua orang itu"
Untuk apa dia kemari" Mereka berkeputusan untuk mencari tahu sampai


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas duduknya persoalan.
Bukan saja kedua bayangan orang itu langsung menuju ke sekolahan itu,
agaknya mereka bukan untuk sekali ini datang ke tempat ini, agaknya
mereka sudah tahu dan apal benar akan situasi daerah sekitar ini. Ala
kadarnya mereka berputar memeriksa keadaan sekitarnya lalu masuk
kelas, begitu masuk ke belakang pintu orang yang bertubuh rada pendek
itu lantas berkata dengan suara berat: "Kenapa pintu ini tidak ditutup?"
Seorang yang lain tertawa, katanya: "Anak-anak kecil biasanya terburuburu
ingin lekas pulang, masakah mereka ingat untuk menutup pintu lagi?"
"Tapi Ong-siansing yang memberi pelajaran di sini itu, aku tahu adalah
seorang tua yang kolot dan keras terhadap murid-muridnya, kerjanya
selalu hati-hati dan rajin, mana bisa..."
"Bukan mustahil dia sudah dibikin pusing kepala oleh kenakalan muridmuridnya,
apalagi pintu tertutup atau tidak apa sih halangannya, yang
terang tempat seperti ini tiada sesuatu benda berharga yang bisa menarik
perhatian orang lain untuk datang kemari." Suara orang ini serak kalem
dan tua, kedengarannya seperti sudah amat dikenal.
Dalam waktu dekat sulit Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang teringat siapa
gerangan laki tinggi yang dikenal suaranya ini. Laki-laki yang bertubuh rada
pendek itu sudah beranjak mendekati jendela, tapi waktu mereka
mengundurkan diri, juga lupa menutup lagi. lapat-lapat masih kelihatan raut
muka orang ini, kontan Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang melengak keheranan
dibuatnya. Ternyata orang ini bukan lain adalah laki-laki berperawakan
sedang berpakaian serba hitam sebagai ahli pedang yang berkedok dan tak
dikenal asal usulnya itu, kini pakaiannya sudah ganti warna tidak seperti
waktu berada di Yong cui san cheng tempo hari. Maka tak perlu diragukan
lagi bahwa seorang yang lain pasti adalah Kuncu-kiam Ui Loh-ce.
Tengah malam buta rata kedua orang ini datang ke tempat sunyi ini, malah
gerak-geriknya sembunyi-sembunyi seperti takut dilihat orang, memangnya
apa pula tujuan mereka" Sudah tentu Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang
merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati.
Ditengah keremangan malam kelihatan sikap dan mimik muka laki-laki
sedang itu amat prihatin, sinar matanya aneh dan terang kelihatannya
amat haru dan terlalu emosi.
Mengawasi tabir malam di luar jendela orang ini terlongong beberapa
kejap lamanya, katanya setelah menghela napas panjang: "Selama beberapa
tahun ini hidupku seolah-olah selalu dibayangi setan dan ketakutan akan
bayanganku sendiri, mungkin kau..."
Ui Loh ce menghampiri menepuk pundaknya, ujarnya: "Aku tidak
menyalahkan kau, didalam situasi dan keadaan seperti ini, berhati-hati dan
selalu waspada memang jamak."
Laki-laki itu menunduk, katanya rawan: "Setiap orang dalam dunia ini sama
ingin membunuhku, hanya kau... sejak mula sampai kini sikapmu tidak
berubah dan tidak pernah meninggalkan aku, sebaliknya bukan saja aku
tidak bisa membalas kebaikanmu, malah selalu bikin susah dan ikut
terembet urusanku."
"Bersahabat mengutamakan setia kawan perduli bagaimana sikapmu
terhadap orang lain, terhadap aku, kau tetap setia dan akrab, didalam
pandangan mataku, kau dibanding siapapun dalam dunia ini kau jauh lebih
boleh dipercaya." sampai di sini dia tersenyum lalu meneruskan: "Dalam
jaman sekarang sahabat sejati memang sukar didapat, teman seperti kau,
mungkin selama hidupku takkan bisa kucari yang keduanya."
Laki-laki sedang itu amat haru, katanya tersenyum: "Seharusnya akulah
yang berkata demikian, kalau kaum persilatan tahu Kuncu-kiam sudi
bersahabat dengan orang seperti aku ini, mungkin bakal merupakan berita
gempar yang paling aneh daripada Thian Long Taysu dari Siauwlim itu
kembali preman mempersunting bini." suaranya riang dengan tertawa,
namun raut mukanya tetap kaku.
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa beradu pandang, dalam hati masing-masing
tanpa berjanji sama membatin: "Ternyata orang ini memang memakai
kedok muka."
Tapi siapakah sebenarnya orang ini" Kenapa setiap insan persilatan ingin
membunuhnya" Pada tengah malam buta rata seperti ini mendatangi
sekolahan yang kosong ini, apa sih sebetulnya maksud tujuannya"
Hampir tak tertahan ingin rasanya Oh Thi-hoa menerjang keluar,
merenggut kedok muka orang ini, ingin dia melihat jelas muka orang yang
sebenarnya. Hening sebentar, terdengar Ui Loh ce buka suara pula: "Malam ini, aku
seharusnya tidak perlu kemari."
"Aku justru ingin kau kemari, karena aku ingin kau bisa melihatnya." sorot
matanya menampilkan emosi hatinya, tak tertahan dia tertawa riang,
katanya pula "Mungkin selama hidupmu kau takkan pernah melihat gadis
rupawan secantik itu."
Ui Loh-ce tertawa ujarnya: "Tak usah melihat, aku sudah tahu, dia pasti
seorang nona pintar, cerdik, cantik, aku cuma... mungkin dengan
kehadiranku di sini, kalian tidak akan leluasa bicara."
"Apanya yang tidak leluasa, sejak lama dia sudah tahu tentang dirimu, hari
ini bila berhadapan dengan kau, pasti dia akan merasa amat senang." tibatiba
dia tertawa pula, katanya lebih lanjut "Hari ini aku pastikan minum
sepuasku, sudah lama aku belum pernah seriang malam ini, kelak mungkin
takkan kualami..."
Ui Loh ce kembali menukas: "Hari-hari gembira seperti ini jangan kau
mengeluarkan kata-kata yang mematahkan semangat, kini waktunya sudah
hampir tiba, lekaslah kau keluarkan arak hidangannya."
Ternyata kedua orang ini memang sedang menunggu kedatangan
seseorang, malah hendak minum merayakan pertemuan ini.
Tak urung berpikir Oh Thi-hoa dalam benaknya: "Tak kira ruang sekolahan
ini menjadi warung arak, malah dagangannya cukup laris, siapapun yang
datang kemari sama ingin menikmatinya dengan riang hati."
Coh Liu-hiang bertambah heran, mendengar pembicaraan mereka, agaknya
laki-laki sedang ini seperti sedang menunggu kedatangan kekasihnya, tapi
kenapa mereka janji pertemuan didalam ruang sekolahan ini" Memangnya
perempuan itu juga malu dilihat orang"
Tampak laki-laki sedang itu memang membawa sebuah kantongan besar,
satu persatu dia keluarkan terus ditaruh di atas meja, katanya dengan
tertawa: "Kacang bawang meski makanan kecil yang paling biasa, tapi dia
justru merasa jauh lebih nikmat dari segala maskan restoran yang paling
mahal, tempo hari seorang diri dia menghabiskan dua kati."
"Benar, barang yang paling biasa, justru ada orang menganggapnya sebagai
barang berharga."
Laki-laki sedang itu menepekur sebentar, tiba-tiba dia memutar badan,
katanya seperti menggumam: "Aku memang salah terhadapnya, seharusnya
kubawa pergi tapi aku ini jadi orang yang lemah tak punya keteguhan hati,
seakan-akan aku jadi tega melihat dia hidup didalam suasana kesepian yang
mencekam sanubari." kini dia sudah membelakangi Ui Loh ce, agaknya dia
segan dilihat oleh Ui Loh ce bila tangannya sedang menyeka airmata, di
luar tahunya bahwa tiga orang di luar jendela yang gelap itu menyaksikan
gerak-geriknya dengan jelas.
Waktu itu Ui Loh ce sudah menyulut sebatang lilin, meski dalam rumah
sudah bertambah penerangan namun suasana menjadi hening dan dingin,
penerangan api lilin sedikitpun tak merubah suasana yang sepi dan menekan
perasaan ini. Karena mereka sedang menunggu, memangnya tiada sesuatu
yang bisa merubah suasana lebih meriah didalam keadaan sedang menunggu
seperti ini, lama kelamaan Ui Loh ce kelihatan tak sabar lagi. Kembali lelaki
sedang itu berdiri diambang jendela, dengan mendelong memandang ke
tempat nan jauh. Tabir malam dikejauhan terasa semakin pekat, akhirnya
dia menghela napas, mulutnya mengigau: "Sekarang mungkin sudah lewat
kentongan ketiga."
"Kukira waktu belum selarut itu."
Laki-laki itu, geleng-geleng kepala katanya: "Coba pikir, malam ini
mungkinkah dia kemari?"
Ui Loh ce tertawa dibuat-buat, sahutnya: "Pasti tidak datang."
Laki-laki itu membalik badan, katanya: "Sebetulnya memang baik juga bila
dia tidak kemari, kalau aku jadi dia belum tentu aku mau datang, aku..."
Tiba-tiba terdengar suara "Tok" di luar pintu serempak laki-laki itu dan
Ui Loh ce memutar badan, maka terlihat sesosok bayangan putih semampai
tahu-tahu sudah berdiri di luar pintu.
Keadaan di luar pintu masih gelap, Oh Thi-hoa tidak melihat jelas raut
muka bayangan putih ini, namun waktu dia melirik dilihatnya mulut Coh Liuhiang
terpentang lebar, seperti kakinya tiba-tiba diinjak orang. Soalnya
dia sudah jelas melihat bayangan putih di luar pintu itu, dilihatnya sorot
matanya yang dingin dan jeli itu, orang ini ternyata adalah Kionglam Yan.
Sungguh mimpipun dia tidak pernah menduga lelaki sedang itu ternyata
sedang menunggu kedatangan Kionglam Yan di sini. Kionglam Yan yang
bersikap dingin kasar itu, ternyata adalah kekasih yang selalu diimpikan
oleh lelaki sedang. Selama ini dia berpendapat Kionglam Yan adalah gadis
suci dan rupawan yang agung dan bersih, gadis yang tak boleh dijamah atau
disentuh oleh sembarang orang, siapa tahu ternyata diapun punya kekasih
gelap yang malu dilihat orang lain.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas seolah-olah merasa gegetun
bahwa dirinya telah ditipu mentah-mentah umpama orang di luar itu adalah
bininya diapun takkan seheran dan melengak begitu rupa. Karena sesuatu
yang bisa bikin lelaki dongkol dan marah, adalah perempuan yang tak bisa
dia miliki namun dengan gampang dimiliki orang lain malah, sungguh laki
manapun takkan bisa menerima kekalahan seperti ini secara konyol.
Tampak laki-laki itu menyongsong dengan kegirangan, namun tiba-tiba dia
hentikan langkahnya di depan pintu, teriaknya tertahan: "Nona King, kau!"
Dengan langkah gemetar Kionglam Yan melangkah masuk, katanya tawar:
"Tiba-tiba aku disibukkan urusan lain, maka datang terlambat, maaf ya."
mulutnya minta maaf, namun sikapnya dingin, siapapun dapat merasakan
sedikitpun dia tidak punya perasaan minta maaf. Coh Liu-hiang justru
diam-diam menghela napas lega. Karena dari sikap dan pembicaraan ini dia
sudah melihat bahwa Kionglam Yan dan laki-laki itu sedikitpun tak punya
hubungan mesra dan kasih, memangnya bukan dia orang yang ditunggu oleh
laki-laki ini" Kalau bukan dia, kenapa Kionglam Yan datang kesini"
Setelah melenggong sekian saat, akhirnya laki-laki itu menunduk dan
berkata: "Sian King dia... dia tidak bisa datang, betulkah?"
"Kalau dia bisa datang akupun takkan kemari, betul tidak?"
Lelaki itu manggut dengan hambar, "Tak datang juga baik, memang sudah
kukatakan lebih bagus ia tak usah kemari."
"Apakah waktunya diubah?" tanya Ui Loh ce penuh perhatian dan harapan
sambil mengawasi Kionglam Yan.
Kionglam Yan tidak acuh akan pertanyaannya, katanya tawar: "Selanjutnya
dia takkan bisa kemari lagi selamanya takkan datang kemari."
Kedua tangan lelaki sedang itu tiba-tiba gemetar dan saling genggam
dengan kencang, suaranya beringas: "Adakah dia... adakah dia menulis
surat buat aku?"
"Tiada!" sahut Kionglam Yan.
Sekujur badan lelaki sedang gemetar semakin keras, mendadak dia
menggembor seperti kalap: "Kenapa" Suhunya pernah berjanji kepadaku,
setiap lima tahun memberi izin untuk menemui aku di sini, kenapa sekarang
dia ingkar janji, kenapa?"
"Guruku tak pernah ingkar janji, omongan yang pernah terucap oleh beliau
selamanya tak pernah diubah lagi."
"Memangnya kenapa dia tidak kemari menemui aku" Aku tidak percaya
bila dia tidak mau menemui aku."
"Bukannya dia tak mau bertemu dengan kau, yang terang kau sudah tidak
bisa bertemu lagi dengan dia."
Mendadak seperti kena aliran strom sekujur badan laki-laki sedang itu
mengejang, kakinya menyurut mundur, suaranya gemetar: "Dia... apakah..
apakah dia sudah..."
Ternyata Kionglam Yan menghela napas, katanya pelan-pelan: "Selanjutnya
dia sudah takkan pernah mengecap derita kehidupan di dunia fana ini,
sungguh dia jauh lebih beruntung dari pada kau, dan aku." belum habis dia
bicara, laki-laki sedang itu sudah meloso jatuh dengan badan lemas lunglai.
Lekas Ui Loh-ce memburu maju memapahnya, suaranya meratap: "Entah
sudikah nona memberitahu kepada kami, cara bagaimana dia menemui
ajalnya?" Sesaat Kionglam Yan berdiri diam. katanya pelan-pelan: "Aku hanya bisa
bilang, dia gugur demi melindungi gengsi dan kewibawaan Sin cui kiong
kami, karena dia memang seorang gadis yang punya nama besar, luhur dan
bakti, kami sama merasa bangga oleh pengorbanannya."
Dengan hambar laki-laki sedang itu manggut-manggut, gumamnya: "Terima
kasih kau beritahu ini kepadaku, aku... aku amat senang." tak tertahan
airmata bercucuran deras.
Kembali Kionglam Yan menepekur sekian lamanya, katanya dengan suara
tangkas: "Kau punya seorang putri yang patut dipuji, sungguh merupakan
keberuntungan, karena sebetulnya kau tidak setimpal."
Mendengar sampai di sini, kembali hati Coh Liu-hiang menyesal dan
mendelu. Baru sekarang disadarinya bahwa segala rekaannya tadi ternyata
salah semua, yang ditunggu laki-laki sedang ini bukan kekasihnya namun
adalah putrinya.
Terdengar Kionglam Yan berkata dingin: "Sekarang dia sudah meninggal,
dengan Sin cui kiong kau sudah tiada sangkut paut atau ikatan apa-apa lagi,
maka suhu harap selanjutnya kau jangan berada disekitar tempat ini."
"Tapi... tapi jenazahnya..."
"Jenazahnya, kami sudah mengebumikan dengan baik."
"Bolehkah aku menengok pusaranya?"
"Tidak boleh." agaknya dia enggan bicara berlarut-larut dengan laki-laki
sedang ini, segera dia putar badan. Tapi setiba di depan pintu, tiba-tiba
berpaling dan berkata dengan suara merdu: "Tahukah kau di kalangan
Kangouw ada seorang yang bernama Coh Liu-hiang?"
Laki-laki itu hanya manggut-manggut saja.
"Bagus, kalau kau berhadapan sama dia lebih baik kau bunuh saja, karena
Sutouw King mati di tangannya."
Saking marah sampai pucat muka Coh Liu-hiang, namun tak pernah terpikir
olehnya nona Kionglam Yan yang dipandangnya suci agung ini ternyata
pandai membual seperti tukang jual sayuran yang menjajakan dagangannya,
lebih celaka lagi karena jiwanya yang diincar dan jadi sasaran. Kecuali itu
diapun melengak heran. Karena Sutouw King yang menjadi korban asmara
dan permainan Bu Hoa itu ternyata adalah putri dari laki-laki perawakan
sedang ini. "Blang" sebuah meja tahu-tahu remuk redam oleh gaplokan telapak tangan
lelaki sedang. Sekian lama Ui Loh-ce melongo, mulutnya mengigau: "Ada kejadian itu"
Apa benar dalam dunia ada kejadian seperti ini?"
Tiba-tiba lelaki itu berjingkrak berdiri "Bluk" tiba-tiba jatuh terduduk
pula, seluruh badannya seolah sudah lemas lunglai dan kosong melompong,
tanpa jiwa tanpa sukma, kedua tangan yang tergenggam tadipun sudah
terlepas. Sesaat lagi, tiba-tiba dia menengadah bergelak tawa seperti
orang kesurupan setan.
"Kau... kau..." berobah air muka Ui Loh-ce.
Lelaki sedang itu tertawa menggila serunya: "Aku tak apa-apa, aku sedang
mentertawakan diriku sendiri, selama hidupku aku Hiong nio-cu entah
pernah menodai beberapa banyak anak gadis dan bini orang, sekarang
orang hanya membunuh putri tunggalku kenapa aku harus membenci dia,
mungkin inilah yang dinamakan karma, Yang Maha Esa memberi hukuman
setimpal kepada diriku." gelak tawanya yang menggila sudah berubah jadi
ratapan tangis yang memilukan.
Tapi Cay Tok-hing, Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang begitu terkejut sampai
sekian lamanya melenggong tak bisa bersuara, malam ini mereka sama
kebentur berbagai kejadian yang aneh di luar dugaan tapi kejadian apapun
takkan jauh lebih mengejutkan daripada kejadian ini, laki-laki sedang yang
serba misterius ini kiranya adalah Hiong nio cu. Tak heran dia sendiri
bilang: "Orang di seluruh kolong langit ini masa hendak membunuhnya
untuk melampiaskan dendam." Tak heran pula buatan kedok muka yang
digunakannya itu begitu halus dan baik sekali, gerak-gerik dan tindaktanduknya
pun serba sembunyi-sembunyi. Demikian pula ilmu Ginkangnya
amat tinggi. Tak heran dia bilang: "Siapapun pasti tidak mau percaya Kuncu-
kiam sudi bersahabat dengan dirinya."


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuncu-kiam dipandang laki-laki sejati nomor wahid di kalangan Kangouw,
ternyata benar-benar bersahabat karib dengan maling pemetik kembang
nomor wahid pula di dunia ini, memangnya siapapun takkan menduga dan
mau percaya, tak heran bagai bayangan mengikuti bentuknya saja
hubungan intim mereka, ternyata memang dengan kedudukan dan
kewibawaan Ui Loh-ce dia hendak menyembunyikan dirinya.
Tak heran Ui Loh ce berkata wanti-wanti: "Dia mempunyai kesulitan yang
tak bisa dijelaskan kepada orang lain, harap Coh Liu-hiang tak menyelidiki
asal-usulnya." kiranya orang memang kuatir bila Coh Liu-hiang membongkar
kedok aslinya. Semua persoalan yang tak terpecahkan itu, kini sudah pecah
sendiri oleh pengakuan yang bersangkutan.
Akan tetapi, bukankah Hiong nio cu sudah mampus" Orang-orang Kangouw
sama tahu bila dia sudah menemui ajalnya oleh majikan Sin cui kiong,
kenapa justru sekarang masih hidup" Sin cui kiong cu yang tak pernah
menjilat ludahnya sendiri, kenapa harus membual dan menyebar kabar
bohong demi manusia durjana ini" Sin cui kiong cu yang selama hidupnya
amat membenci laki-laki kenapa pula harus mengelabui orang lain demi lakilaki
cabul manusia hina dina ini" Hal ini sungguh membuat Coh Liu-hiang
bertiga tak habis mengerti.
Disaat Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang melenggong, tiba-tiba terdengar
suara dengusan keras, tahu-tahu Cay Tok hing sudah menerjang keluar
lewat samping mereka, belum lagi badannya mencapai jendela ditengah
udara dia sudah membentak dengan bengis: "Hiong nio cu kenalkah
kepadaku Cay Tok hing" Dua puluh tahun yang lalu, aku sudah bertekad
membabat kejahatan bagi insan persilatan, hari ini apa pula yang ingin kau
katakan?" Hong nio cu duduk mematung seperti linglung, dengan mendelong dia awasi
sinar api yang kelap-kelip di depannya, seolah-olah tak mendengar makian
Cay Tok hing. Sebaliknya Ui Loh-ce lekas memapak selangkah berhadapan
dengan Cay Tok hing, katanya dengan kereng: "Dia bukan Hiong nio-cu,
Hiong nio cu sudah lama mati."
Cay Tok hing berkakakan, serunya: "Sudah lama kudengar Kuncu kiam
selama hidupnya tidak membual, tak nyana kau ini tak lebih hanya manusia
ringan lidah dan pandai menipu orang melulu, orang yang suka mencatut
kebaikan orang lain belaka, pada detik-detik seperti ini kau masih berani
berbohong?"
Teguh tekad Ui Loh-ce, katanya tegas: "Losiu bukan membual, Hiong niocu
yang jahat dan durjana itu sudah lama mati, yang duduk di sini ini
adalah laki-laki yang harus dikasihani karena dengan segala derita dia
sudah bertobat dua puluh tahun lamanya, seorang yang mesti dikasihani
karena selama ini tak pernah bisa tidur dan makan dengan tentram,
seorang ayah yang baru tahu bahwa putrinya telah dibunuh orang."
"Kasihan?" jengek Cay Tok hing, "Para gadis-gadis suci yang dia nodai dan
berkorban jiwanya itu apakah tidak lebih kasihan" Dosa-dosa selama
hidupnya apakah himpas begitu saja?"
"Umpama derita dan siksa yang dia alami ini belum setimpal buat menebus
dosanya, tapi sejak lama ia sudah bertobat dan memperbaiki kesalahan,
sekarang sudah berubah menjadi teman karibku yang paling berbudi, luhur
jiwa dan laki-laki yang tahu aturan, maka bila sekarang kau membunuhnya,
kau bukan membunuh seorang maling cabul tapi kau membunuh seorang
luhur, bajik dan penuh cinta kasih." sampai disini Ui Loh-ce menghela
napas, katanya pula: "Setelah kau dapat memahami hal ini, jikalau masih
ingin membunuhnya silahkan turun tangan! Bukan saja dia tidak akan
melawan akupun tak akan merintangi, cuma..."
"Cuma apa?"
"Cuma bila aku melihat teman karibku ini menemui ajal di hadapanku,
akupun takkan tinggal hidup seorang diri."
Sekilas Cay Tok hing tertegun, serta merta matanya melirik keluar
jendela, agaknya ingin minta pertimbangan Coh Liu-hiang. Tapi Coh Liuhiang
tak ingin unjuk diri! Sudah tentu dia tidak mau dituduh dan dijatuhi
dosa sebagai pembunuh Sutouw King, diapun tahu didalam waktu seperti
ini, siapapun takkan bisa memberi penjelasan mengenai liku-liku peristiwa
itu. Tampak sikap kereng dan tegang Ui Loh-ce semakin mengendor dan
kembali pada wajah welas asihnya, sorot matanya sebaliknya lebih tegas,
siapapun akan tahu orang seperti dia terang takkan bisa bicara bohong.
Cay Tok hing menghela napas, katanya: "Hiong nio cu dapat bersahabat
dengan orang seperti kau, sungguh merupakan keberuntungan besar,
anehnya, orang macam dia itu, bagaimana bisa bersahabat dengan laki-laki
sejati seperti kau ini?" tak memberi kesempatan Ui Loh-ce bersuara,
segera dia meneruskan: "Sebetulnya akupun sudah mengira, seorang yang
jahat dan cabul, pasti tak mungkin menaruh kasih sayang begitu besar
terhadap putrinya sendiri seperti sikapnya itu..."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang merasakan suara bicaranya berubah sumbang,
lama kelamaan kata-katanya semakin tak lancar dan kurang jelas malah
makin lama makin pelan. Tapi Cay Tok hing sendiri agaknya tidak
menyadari, katanya lebih lanjut: "Bahwa Hiong nio cu begitu besar kasih
sayangnya terhadap putrinya sendiri, sungguh suatu hal yang sukar
dipercaya oleh siapapun, dan untuk hal ini, aku memang patut memberi
kebebasan kepadanya." belum lagi kata-katanya terakhir terucapkan, tibatiba
berubah hebat air mukanya tepat pada pada kata-kata "memberi
kebebasan kepadanya", dia sudah menubruk kedepan Hiong nio cu serta
menggenjot sekuat tenaga.
Hiong nio cu tetap tenang-tenang ditempatnya, tidak berkelit tidak pula
menangkis, karena pukulan dahsyat dari Jian-li-tok-hing hiap yang sudah
kenamaan pada enam puluhan tahun yang lalu, ternyata tidak membawa
tenaga sedikitpun.
Ui Loh-ce berubah air mukanya, katanya mendelik kepada Hiong-nio-cu:
"Kau... kenapa kau..."
Suara Cay Tok hing serak tersendat: "Kau masih bisa apa, matamu dan
mataku memangnya tidak salah menilainya."
Baru sekarang Oh Thi-hoa menyadari bahwa Hiong-nio-cu secara diamdiam
tengah menyebar semacam racun tak berbau tak berwarna,
memabukkan, maka Cay Tok-hing dan sahabatnya sendiri Ui Loh-ce samasama
keracunan dan roboh terkapar. Orang begitu baik terhadapnya, ada
sebaliknya membokong dan merobohkan kawannya, memang Hiong nio cu
tak bernama kosong, manusia rendah budi yang hina dina dalam dunia ini.
Terasa darah memuncak keatas kepala, Oh Thi-hoa sudah bergerak
hendak menerjang keluar, tak kira Coh Liu-hiang sudah menarik dan
menahannya, malah mulutpun didekap.
Dalam pada itu Hiong nio cu sudah bangkit berdiri, airmata bercucuran
dengan deras, kelihatan amat kontras dengan kedok mukanya yang kaku
dan aneh itu. Tampak dia menjura kepada Cay Tok-hing, seraya berkata:
"Banyak terima kasih, akan budi Cay-siansing membatalkan niatnya
membunuh aku, selama hidup Cayhe takkan lupa, tapi Cay-siansing boleh
lega hati, Cayhe pasti tidak akan bikin kau kecewa karena kau batal
membunuhnya." lalu dia berputar menghadapi Ui Lih-ce, katanya dengan
kepala tertunduk "Tentang kau, aku sungguh tiada omongan apa-apa yang
perlu ku utarakan, kau... kau.." sampai disini tenggorokkannya seolah-olah
tersumbat buntu, kata-katanya terputus, sementara Cay Tok hing dan Ui
Loh ce saat itu memang sudah tidak dengar apa-apa lagi, mereka sudah
sama-sama roboh.
Setelah rebah terlentang Ui Loh ce masih sempat mengucapkan sepatah
dua patah kata, meski suaranya lemah dan lirih, tapi setiap patah katanya
diucapkan dengan jelas, terdengar dia berkata: "Aku pasti tidak akan salah
menilaimu!"
Airmata yang berkaca-kaca di kelopak mata Hiong nio cu tak tertahan
sudah berderai membasahi pipinya dengan deras. Dengan menjublek dia
awasi Ui Loh ce yang jatuh pingsan dan rebah di atas lantai, tiba-tiba dia
berlutut lalu menyembah tiga kali, lalu ditanggalkannya jubah luarnya yang
serba hitam itu ditutupkan ke atas badan Ui Loh ce. Tangannya kelihatan
gemetar menahan emosi, katanya: "Aku memang keterlaluan terhadap kau."
beberapa patah kata yang pendek ini entah mengandung betapa getirnya
hati dan remuknya perasaannya. Betapa besar persahabatan. Sungguh
siapapun yang melihat dan mendengar akan terkejut sanubarinya dan ikut
pilu dan simpatik.
Dilain saat dengan sigap dia sudah putar badan berlari-lari kencang
menyongsong kepekatan malam.
Oh Thi-hoa mengucek-ngucek hidung, katanya: "Dia... apakah maksudnya?"
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Dia hanya ingin masuk kedalam
Sin cui kiong karena peduli putrinya itu masih hidup atau sudah mati,
betapapun dia harus melihatnya untuk penghabisan kali, tapi dia toh tahu
bila Ui Loh-ce pasti akan menentang dan tidak membiarkan dirinya pergi.
"Karena kepergiannya ini tak ubahnya mengantar jiwa melulu." ujar Oh
Thi-ho. "Ui Loh ce agaknya tidak tega dia pergi mengantar kematian."
"Ya, memang begitulah, maka aku harus menguntitnya ikut dia masuk ke
Sin cui kiong, terpaksa Cay-locianpwe dan Ui-locianpwe berdua kuserahkan
kepadamu." sekali enjot kaki badannya seketika melejit dengan enteng
melampaui wuwungan rumah. Terdengar suaranya berkumandang
dikejauhan: "Jangan lupa masih ada Yong-ji."
Entah Oh Thi-hoa mendengar seruannya ini, yang terang mulutnya
mengigau. "Ternyata Hiong nio cu memang sudah bertobat dan membina
diri kembali, ternyata dia tidak bermaksud jahat terhadap Ui Loh ce dan
Cay Tok hing, tapi jikalau aku tadi tak tertahan benar-benar menerjang
keluar, jikalau kesalahan tangan sampai membunuh dia, tanpa memberi
kesempatan dia memberi penjelasan, bukankah selamanya dia akan mati
penasaran dan tidak tentram dialam baka" Sebaliknya bukan mustahil aku
akan tepuk dada dan merasa bangga." dia tidak berani berpikir lebih
lanjut. Keringat dingin gemerobyos membasahi badannya.
Untuk menguntit dan mengikuti jejak Hion nio cu bukan suatu hal yang
sepele, bukan saja gerak-geriknya cekatan, cepat, malah setiap langkah
dan tindak-tanduknya kelihatan amat waspada dan hati-hati, semua ini
sudah dia latih dengan matang didalam kehidupan menjadi pelarian yang
dikejar-kejar oleh setiap manusia, maka untuk menguntit dia secara diamdiam
serta tak konangan olehnya, dalam dunia ini kecuali Coh Liu-hiang,
mungkin sukar dicari orang keduanya.
Karena kecuali ilmu Ginkang Coh Liu-hiang yang tinggi luar biasa, diapun
memiliki sepasang mata yang jeli dan tajam sekali, oleh karena itu dia tak
perlu mengejar terlalu dekat, terlalu ketat.
Heran Coh Liu-hiang dibuatnya karena orang yang dikuntitnya ini tak
berlari menuju ke atas pegunungan, sebaliknya orang berlari masuk kota
langsung mendatangi salah satu hotel, memangnya dia tak ingin pergi ke
Sin cui kiong" demikian Coh Liu-hiang bertanya tanya dalam hati. Coh Liuhiang
sudah yakin rekaannya meleset lagi.
Tempat penginapannya sendiri tak jauh dari sini, sebetulnya diapun ingin
pula menengok keadaan Soh Yong-yong akan tetapi dia tak mau menyianyiakan
kesempatan untuk menguntit jejak Hiong-nio cu, karena lapatlapat
dia sudah merasakan Hion nio cu pasti mempunyai hubungan atau
suatu ikatan yang erat dengan Sin cui kiong, malah suatu hubungan yang
lain dari yang lain, maka dia ingin menggunakan Hion nio cu sebagai batu
lompatan karena dia berpendapat hanya inilah satu-satunya jalan yang
harus dia tempuh.
Tak lama lagi hari mendekati subuh dan bakal terang tanah, kota
pegunungan yang kecil ini kelihatannya bercokol tenang diselimuti hawa
dingin dan bertabirkan malam dengan kabutnya yang tebal, sinar bulan
yang redup menyinari jagat raya, semua penghuni rumah-rumah didalam
kota masih lelap didalam tidurnya, meski kehidupan mereka sederhana dan
tawar, tapi bukankah kehidupan yang biasa dan sederhana itu merupakan
perlambang kehidupan yang bahagia dan makmur"
Boleh dikata Coh Liu-hiang sudah hampir lupa betapa nikmatnya tidur
nyenyak didalam kamar berselimut tebal memeluk guling. Walau keindahan
malam hari nan permai ini, ditengah malam buta sembunyi di wuwungan
rumah mengintip dan mencari lihat rahasia pribadi orang lain, sungguh
bukannya suatu pekerjaan enak menggembirakan hati.
Untung tak lama kemudian Hiong nio cu sudah melompat keluar dari
kamarnya, sorot matanya berkelebat ditengah malam, selincah kucing sigap
sekali dia orang sudah menyelinap dan menghilang ditengah malam nan
gelap ini. Terlihat oleh Coh Liu-hiang meski hanya sekilas saja orang kini
seperti ada membawa sebuah buntalan kulit warna hitam, jadi tujuannya
kembali dulu ke dalam hotel agaknya untu mengambil kantong kulit itu.
Apakah yang terisi didalam kantong kulit itu" Kenapa begitu besar
perhatiannya terhadap kantong ini sampai susah-susah harus kembali dulu
mengambilnya" Baru kali ini Hiong niu cu langsung berlari ke arah
pegunungan, setengah jam kemudian, dia sudah tiba di kaki gunung, tapi dia
tak memanjat ke atas, menyusuri kaki gunung laksana terbang dia tetap
berlari-lari cukup lama. Tempat-tempat yang dilalui semakin belukar dan
liar, ada kalanya harus melompati semak-semak berduri pula. ada kalanya
pula harus menyelinap melalui celah-celah batu gunung.
Walau Coh Liu-hiang amat memperhatikan tapi bila lain kali dia harus
datang sendiri, belum tentu dia bisa menemukan jalan-jalan yang sudah
dilalui tadi. Hiong nio cu sebaliknya sudah apal betul mengenai segala letak
batu, pohon dan rumput di sepanjang jalan-jalan ini dia berhenti atau
merandek untuk menemukan arah, seolah-olah sudah puluhan kali atau
ratusan kali dia pernah melewati jalan-jalan ini, umpama memejamkan mata
diapun bisa berjalan mencapai tujuannya.
Tapi setelah memasuki bilangan gunung sebelah dalam, gerak-geriknya
tampak semakin berhati-hati, disaat badannya terapung ditengah udara,
secara tiba-tiba dia sering celingukan kian kemari atau berpaling ke
belakang, maka untuk menguntit dan supaya tidak konangan oleh orang Coh
Liu-hiang harus bertindak lebih hati-hati, dan juga lebih payah. Apa lagi
cuaca sudah semakin terang, dan mega berwarna sudah muncul di belakang
puncak sebelah sana, ketiban sinar matahari, air embun di atas daun-daun
pohon pun mulai memancarkan sinar kemilau. Begitu terang tanah jelas
sekali, Coh Liu-hiang takkan mampu menguntitnya lagi. Tatkala itu
suryapun sudah terbit didalam lembah pegunungan nan sunyi dan liar serta
dingin ini, seperti diselimuti sari halus nan ringan, sehingga panorama
seolah-olah hanya terpandang didalam gambar lukisan yang serba
misterius. Tapi Coh Liu-hiang jadi was-was dan kuatir, bila kabut terlalu tebal bukan
saja dia bisa kehilangan jejak Hiong nio cu, malah bukan mustahil bisa
kehilangan arah. Jikalau ditempat seperti ini tersesat jalan, sungguh suatu
hal yang amat menakutkan sekali.
Hembusan angin yang sepoi membawa suara gemericiknya air yang
mengalir di tempat nan sunyi laksana perpaduan suara musik dewata,
sungguh suara irama yang mengasyikkan dan mengetuk kalbu. Teringat
akan kisah yang diceritakan oleh Soh Yong-yong, diam diam Coh Liu-hiang
membatin dengan senang: "Mungkinkah tempat ini merupakan mulut
permulaan untuk masuk ke dalam Sin cui kiong"
Akan tetapi setiba ditempat ini Hong nio cu malah berhenti. Ia jelajahkan
pandangannya ke sekitarnya lalu melambung tinggi melesat ke arah sebuah
ngarai. Lereng gunung di sebelah sini bentuknya curam dan berbahaya,
bagian bawahnya lurus tegak setinggi puluhan tombak di sebelah atasnya
batu-batu runcing mencuat keluar, ditengah menongol keluar sebuah batu
ngarai merupakan sebuah panggung dasar. Setiba di ngarai menyerupai
batu panggung ini Hiong nio-cu malah berhenti dan menghilang.
Ternyata di atas ngarai ini terdapat sebuah goa, soalnya teraling batubatu
runcing yang mencuat keluar dengan berbagai bentuk yang beraneka
ragamnya itu, maka dipandang dari bagian bawah, lobang goa ini tidak bisa
terlihat dengan jelas.
Apakah goa ini merupakan salah satu jalan rahasia yang bisa tembus ke
Sin cui kiong" Coh Liu-hiang tidak segera ikut melesat naik, sedikitpun dia
tidak berani bertindak secara gegabah soalnya keadaan di sekitarnya
teramat berbahaya, bila sedikit lena bukan saja seketika jejaknya
konangan oleh orang, kemungkinan dirinya terpojok pada posisi yang
berbahaya, bila lawan segera melontarkan serangan maut bahwasanya jalan
untuk mundur pun tiada lagi.
Seperti cecak, Coh Liu-hiang tempelkan badannya pada dinding gunung
terus merayap naik ke atas berputar ke sebelah sana, menyembunyikan
diri di atas ngarai yang berbentuk seperti panggung ini, lalu dia tempelkan
pula telinganya pada dinding gunung, mendengar dengan seksama.


Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayup-sayup didengarnya suara aneh dari dalam goa, seperti benturan
logam keras, seperti pula Hiong nio cu sedang menjajal beberapa senjata
besi yang kecil-kecil di atas batu keras, suaranya lirih namun jelas. Terang
Hiong nio cu masih berada didalam goa ini dan belum berlalu. Tak lama
kemudian Coh Liu-hiang mendengar pula suara air tertuang masuk
tenggorokan serta kecap mulut yang sedang menggerogoti sesuatu, kadang
kala diselingi helaan napas berat, langkah kaki yang mondar-mandir.
Sebetulnya Coh Liu-hiang sedang bertanya-tanya untuk apa dia
menyembunyikan diri di dalam gua ini, baru sekarang dia menyadari bahwa
orang sengaja menghabiskan waktu didalam goa ini untuk menunggu hari
menjadi gelap. Lebih gamblang lagi bahwa Hiong nio cu ternyata tidak
berani masuk ke dalam Sin cui kiong pada siang hari bolong.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, terpaksa diapun menunggu di
luar, kalau Hiong nio cu agaknya sudah mempersiapkan segalanya, terutama
ransum dan air sudah tersedia, sebaliknya Coh Liu-hiang tidak membawa
apa-apa, terpaksa dia menunggu di luar serba kekeringan. Untuk menunggu
sampai gelap kira-kira harus lima enam jam lagi, menunggu selama ini
sungguh merupakan suatu hal yang menyiksa, terpaksa dia mencari tempat
yang tersembunyi dan teraling di lereng gunung untuk merebahkan diri,
tapi sekejappun ia tidak berani memejamkan mata.
Soalnya umpama Hiong nio cu sudah keluar sebelum menjadi gelap, maka
dia bakal kehilangan kesempatan, walau sejak dulu Coh Liu-hiang suka
menyerempet bahaya, tapi bahaya seperti ini dia tak berani menempuhnya.
Menunggu orang apalagi dalam keadaan serba kering dan lapar, sudah
tentu merupakan suatu derita siksa yang luar biasa.
Orang macam Coh Liu-hiang yang memang sudah gemlengan umpama
kelaparan tiga atau lima hari dia tak akan roboh lemas, tapi kelaparan
bukan merupakan masalah kondisi badan melulu, soalnya kelaparan bisa
mengakibatkan suatu kekosongan semangat pada lahiriah seseorang, mana
sedapat mungkin Coh Liu-hiang giat memikirkan banyak persoalan supaya
dirinya tak terlalu kesepian, untung memang banyak persoalan yang harus
dia pikirkan. Selama hidupnya terdapat beraneka ragam kenangan yang
patut dia pikirkan kembali, meski diantara sekian kenangan itu ada pula
yang membuat hatinya terketuk dan menderita, tapi kebanyakan
pengalaman hidupnya sering membawa perasaan hangat dan ketentraman
bagi jiwanya. Teringat olehnya pula masa silam disaat-saat dirinya masih kecil
merupakan bocah belasan tahu, itulah suatu kehidupan serba emas,
kehidupan yang berlimpah-limpah.
Memangnya para enghiong besar yang kenamaan, dikala meyakinkan ilmu
dan menggembleng diri datang menempuh pelajaran ilmu silat sering
menderita dan sengsara, diri Coh Liu-hiang sendiri dan selamanya juga
tidak pernah merasakan adanya siksaan atau derita. Walau dia pernah
mengalami tidak tidur tak pernah istirahat, pernah pula berlari lari di atas
pegunungan yang penuh bertaburan bunga salju, untuk melatih kekuatan
kondisi badan serta ilmu Ginkangnya, pernah juga di bawah terik matahari
mengucurkan keringat, malah mengalirkan darah, tapi dia sendiri tak
pernah anggap sebagai derita karena semua itu memang hoby dan
kesenangannya, maka dimanakah dan dalam keadaan bagaimana juga dia
selalu bisa menemukan kesenangan hatinya.
Kembali terbayang para sahabatnya yang kental sejak masa kecilnya dulu,
yaitu Ki Ping yan, Oh Thi-hoa... teringat akan Oh Thi-hoa hampir saja tak
tahan dia hendak tertawa selama ini dia beranggapan Oh Thi-hoa bukan
laki-laki yang betul-betul gemar minum arak yang disukai hanyalah suasana
romantis bila seseorang sedang menikmati araknya.
Dia mempunyai banyak teman yang beraneka ragam, terasa olehnya semua
teman-teman itu tiada yang jelek bagi dirinya, maka didalam lubuk hatinya
yang paling dalam selalu diliputi kehangatan persahabatan, dan kehangatan
Harpa Iblis Jari Sakti 17 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Laknat 2
^