Petualang Asmara 10

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


ung-gu aku di luar
kota sebelah barat."
Kun Liong mengangguk dan sekali berkelebat, supeknya itu sudah lenyap. Kun Liong
memandang ke dalam ruangan itu dengan jantung berdebar tegang, ti-dak tahu apa
yang akan dilakukan supek-nya, namun dia sudah siap untuk meno-long dara cantik itu.
Tak lama kemudian, tampak sinar berkelebat ke beberapa penjuru di dalam ruangan itu
dan disusul suara nyaring. Ruangan itu menjadi remang-remang karena kaca lilin telah
pecah, lilinnya padam! Semua ini terjadi amat cepatnya dan mereka yang berada di
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
266 dalam ruangan menjadi panik ketika tampak bayang-an dua orang melayang ke dalam
ruangan itu. "Tar-tar-tar!"
"Wuuuutttt...!"
Pecut di tangan Legaspi dan golok besar di tangan Hek-bin Thian-sin berge-rak
menyambut bayangan dua orang itu. Dua orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas
seketika! Akan tetapi dapat diba-yangkan betapa marahnya kedua orang sakti ini ketika
melihat bahwa yang menjadi korban senjata mereka itu ada-lah dua orang penjaga yang
menjadi pe-ngawal Tung-taijin!
Kembali ada dua orang melayang masuk. Sekali ini dua orang sakti itu tidak mau
sembrono turun tangan, akan tetapi dua orang itu terbanting ke atas lantai dalam
keadaan sudah pingsan.
"Keparat, siapa berani main gila di rumahku?" Hek-bin Thian-sin sudah me-layang ke
luar melalui jendela kiri dari mana tadi para penjaga itu melayang masuk, disusul oleh
Legaspi dan puteranya yang bernama Hendrik itu. Bhong-ciangkun sudah mengawal
Tung-taijin untuk mundur dan masuk ke dalam melalui pintu, sedangkan dua orang tosu
Pek--lian-pai menjaga di situ agar dara yang tertawan itu tidak melarikan diri.
Di luar terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan seluruh tempat itu bahkan
rumah itu seperti ikut terge-tar! Mendengar ini Kun Liong menduga bahwa inilah suara
supeknya yang me-nantang dan memancing keluar orang-orang yang lihai dari dalam
ruangan. Maka dia lalu melayang masuk melalui jendela. Dua orang tosu terkejut. Keada-an
remang-remang maka mereka tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau
salah tangan seperti yang terjadi tadi. Akan tetapi betapa kaget dan marahnya ketika
bayangan yang me-layang masuk itu langsung menyambar tubuh dara yang menjadi
tawanan. Me-reka hendak mengejar, akan tetapi dua kali tangan kiri Kun Liong
mendorong disertai sin-kangnya sedangkan tangan kanan dipakai memanggul tubuh
dara itu, dan... dua orang tosu itu terpental dan terjengkang. Mereka tidak terluka
karena Kun Liong memang tidak mau melukai mereka, akan tetapi mereka terkejut
setengah mati karena dorongan hawa mujijat yang dapat merobohkan mercka tadi saja
sudah membuktikan bahwa "hwesio" yang menyelamatkan dara itu adalah lawan yang
terlalu tangguh untuk mereka. Betapapun juga, merasa bahwa hal itu menjadi kewajiban
mereka, me-reka meloncat lalu mengejar sambil ber-teriak. "Tahan penjahat yang
melarikan tawanan!"
Mereka semua berkumpul di atas gen-teng, bingung karena mereka kehilangan
"penjahat" yang mengacau tadi!
"Eh, ke mana perginya setan itu tadi?" Legaspi bertanya penuh penasaran. Dia
mendengar juga lengking yang luar biasa itu dan tahulah dia bahwa yang menge-luarkan
suara itu memiliki khi-kang yang amat hebat, yang membuat dia merasa seram juga.
Akan tetapi karena dia bu-kan seorang penakut, maka dia telah mengejar ke tempat itu,
dibayangi oleh Hek-bin Thian-sin yang memiliki gerakan tidak kalah cepatnya. Akan
tetapi me-reka hanya melihat bayangan orang ber-kelebat dan lenyap!
"Celaka, tawanan dilarikan orang...!"
Teriakan dua orang tosu Pek-lian--pai ini makin mengejutkan mereka. "Sia-pa yang
melarikan?" bentak Hek-bin Thian-sin penasaran.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
267 "Kami tidak mengenal karena cuaca agak gelap, akan tetapi dia seorang hwe-sio gundul.
Dia lihai sekali, merobohkan kami hanya dengan hawa dorongan ta-ngannya."
Dengan marah sekali Bhong-ciangkun lalu mengumpulkan pengawalnya dan pengawal
Tung-taiiin, memaki-maki me-reka kemudian memerintahkan untuk melakukan
pengejaran dan pencarian di seluruh kota!
Dengan waiah murung mereka kembali ke ruangan tadi dan menyuruh orang
menyingkirkan dua orang pengawal yang tewas dan dua orang lagi yang pingsan.
"Apa yang kukatakan tadi!" Bhong-ciangkun berkata, suaranya gemetar ka-rena dia
merasa tidak enak sekali. "Gadis itu memang tidak seberapa, akan tetapi baru muncul
dua orang itu saja sudah kacau kita!"
Legaspi Selado juga masih terkejut sekali. "Hemmm... kepandaian orang yang
mengeluarkan suara melengking itu memang hebat, kurasa belum tentu ada keduanya di
negeri ini..."
"HARAP Saudara Legaspi jangan ber-pendapat demikian," Hek-bin Thian--sin
membantah. "Memang kepandaiannya tadi hebat, akan tetapi di negeri ini ba-nyak sekali
terdapat orang sakti yang me-lebihi dia tadi! Kalau mau disebut nama Pendekar Sakti Cia
Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, sudah hebat bukan main. Dia memiliki Ilmu Thi-khi-i-
beng yang tidak dapat dilawan oleh ilmu yang ma-napun juga. Masih ada lagi yang
hebat--hebat, seperti para pengawal Panglima Besar The Hoo, yang bernama Tio Hok
Gwan berjuluk Ban-kin-kwi dan yang lain-lain. Itu semua masih belum sebera-pa hebat
kalau dibandingkan dengan ke-saktian Panglima Besar The Hoo sendiri, dan
pembantunya yang bernama Ma Huan..."
"Hemmm... kalau tadi aku membawa senjata api, agaknya dia tidak akan mudah saja
melarikan diri!" kata Hendrik dengan nada suara gemas dan kecewa. Tadi dia sudah
membayangkan betapa kalau gadis tawanan itu diserahkan dia, hemmm... tentu akan
asyik dan menyenangkan sekali malam ini baginya.
Peristiwa malam itu di rumah Hek-bin Thian-sin membikin kecut hati kedua orang
pembesar itu dan mereka segera berpamit pulang. Agak berkurang gairah semangat
mereka untuk menjadikan persekutuan pemberontak yang dipelopori oleh Pek-lian-pai
dan orang-orang asing itu.
Kun Liong kagum bukan main karena baru saja dia tiba di luar kota sebelah barat, baru
saja dia meloncat turun dari atas tembok kota karena dia tidak mau melewati penjagaan
di pintu gerbang, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri
supeknya! Baru sekarang dia mendapat bukti akan kesaktian supeknya yang berhasil
mengacaukan rumah Hek-bin Thian-sin Si Datuk Kaum Sesat, padahal di situ terdapat
orang lihai seperti kakek asing bemama Legaspi Selado, orang-orang Pek-lian-pai dan
lain-lain itu. "Supek!" katanya kagum.
Melihat dara itu masih pingsan, Keng Hong menjamah lehernya. "Tidak terluka, hanya
terkena guncangan oleh tamparan yang lihai tadi. Agaknya itulah cara mereka membikin
pingsan lawan. Kun Liong, kita harus berpisah di sini. Ada perkara hebat timbul seperti
yang kau telah dengar tadi. Kaularikan dara ini, sebaiknya ke barat memasuki hutan
agar jangan sampai dapat dikejar mereka. Ke-mudian kalau dia siuman, tanya siapa dia
dan di mana tinggalnya. Kalau perlu antarkan dia pulang sampai selamat dan pesan
padanya agar jangan lancang lagi menyerbu gua harimau. Aku sendiri harus pergi ke
kota raja, menghadap Panglima Besar The Hoo untuk melaporkan bahwa ada bahaya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
268 pemberontakan di Ceng-to agar jangan sampai berlarut-larut. Kemu-dian, kalau ada
waktu pergilah ke Cin--ling-san di mana kita dapat bicara lebih lanjut."
Kun Liong tak dapat membantah biarpun dia masih ingin melakukan perja-lanan bersama
supeknya yang sakti itu. "Baiklah, Supek." Dia tidak mau bilang bahwa dia akan
melanjutkan penyelidikan-penyelidikannya sendirian saja, karena takut kalau supeknya
tidak setuju dan melarangnya.
Mereka berpisah dari tempat itu. Kun Liong masih memanggul tubuh dara itu lari ke
barat sedangkan Keng Hong se-gera menuju ke utara, ke kota raja. Karena maklum
bahwa besar kemungkinan pihak Hek-bin Thian-sin akan melaku-kan pengejaran, maka
Kun Liong berjalan terus tidak mau berhenti sampai dia me-masuki hutan yang besar.
Dia memilih tempat yang baik, lalu merebahkan tubuh dara itu di bawah sebatang pohon
besar. Dara itu masih pingsan dan dia lalu membuat api unggun. Karena hawa dingin
sekali, biarpun di situ ada api unggun, dia tetap membuka jubahnya dan menye-limutkan
jubahnya itu ke atas tubuh Si Dara. Kemudian dia duduk termenung, memandang wajah
yang telentang itu.
Wajah yang cantik. Kulit muka itu halus sekali, dan kedua pipinya kemerah-an, apalagi
bibirnya yang setengah terbuka itu! Cahaya api unggun bermain--main di atas wajah
cantik, menimbulkan penglihatan yang luar biasa indahnya. Setelah puas menjelajahi
wajah itu de-ngan pandang matanya, akhirnya pandang mata itu terhenti pada mulut
yang se-tengah terbuka itu, terpesona! Teringat dia akan Giok Keng, teringat dia akan
mulut Giok Keng ketika diadu dengan mulutnya sendiri untuk ditiup dan jan-tungnya
berdebar aneh. Mulut ini tidak kalah manisnya dengan mulut Giok Keng! Bibirnya begitu
segar nampaknya, bagai-kan buah angco merah yang masak, men-datangkan gairah
kepadanya untuk menggigitnya!
"Plakk!" Kepala gundul itu ditamparnya sendiri. "Gila kau!" Dia memaki ketika mengenal
pikirannya sendiri tadi. Beginikah yang dikatakan orang timbulnya nafsu seorang yang
mata keranjang" Mata keranjangkah dia" Salahkah dia kalau dia terpesona dan tertarik,
kalau dia suka sekali melihat wajah seorang gadis ayu, terutama melihat mulutnya" Dia
bukan tertarik karena dibuat-buat atau disengaja! Dia memang benar-benar tertarik,
seperti orang tertarik melihat setangkai bunga yang indah! Dia ingin menciumnya,
seperti orang ingin mencium setangkai mawar yang harum. Salahkah itu"
Bibir setengah terbuka itu seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga tanpa
terasa lagi olehnya sendiri, kepala Kun Liong menunduk mendekati muka gadis yang
pingsan itu. Ingin dia menciumnya. Dia tidak tahu dan tidak pernah ada yang memberi
tahu bagaimana harus mencium seorang gadis. Akan tetapi pengalamannya ketika dia
mengadu mulut dengan Giok Keng ketika dia menolong gadis itu, mendatangkan
kenangan yang mesra dan nikmat luar biasa. Ketika bibirnya hampir menyentuh bibir
dara itu, tiba-tiba dia tersadar dan menarik kembali kepalanya.
"Plakkk!" Kembali kepala gundulnya menjadi korban tamparannya, agak keras sampai
muncul bintang-bintang menari di depan matanya. Tidak boleh! Demikian teriak
pikirannya. Ini namanya mencuri! Aku memang ingin menciumnya, akan tetapi hal itu
harus terjadi secara terang-terangan. Jika yang punya bibir memperbolehkan dicium,
baru dia mau mencium. Memaksa, dia tidak sudi, karena itu merupakan perkosaan yang
kotor. Mencuri juga kotor! Dahulu dengan Giok Keng lain lagi. Bukan mencium namanya
karena dia menolong dan pada saat itu pun dia tidak merasa apa-apa. Baru setelah
menjadi kenangan menimbulkan kemesraan nikmat. Akan tetapi, kalau terang-terangan
mungkinkah Giok Keng mau" Mungkinkah dara ini mau" Mengadu mulut, mengadu bibir
merupakan hal yang aneh, tentu dara-dara itu juga merasa aneh. Dia hanya tahu bahwa
mencium adalah penyentuhan pipi yang di-cium dengan hidung! Demikianlah kalau
ibunya dahulu menciumnya. Pikiran ini mengingatkan dia akan ibunya dan ayah-nya, dan
dia menjadi berduka, lalu me-rebahkan diri di dekat api unggun dan tertidur!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
269 Malam telah terganti pagi. Kun Liong menggeliat dan menelungkup. Tiba-tiba dia
terbangun, akan tetapi tidak berani bergerak karena jalan darahnya di teng-kuk telah
diancam oleh orang. Jalan darah di tengkuk adalah jalan darah ke-matian, dan kini ada
dua buah jari ta-ngan yang sudah menempel di tengkuknya dan terdengar bentakan,
"Jangan bergerak kalau masih ingin hidup!"
Mengendur kembali urat syaraf Kun Liong mendengar bentakan yang halus merdu ini.
Kiranya dara itu yang menodongnya! Tadinya dia hendak bergerak menangkap tangan
lawan yang berbahaya itu sambil menggunakan sin-kangnya menutup jalan darah di
tengkuk. Akan teta-pi begitu mendengar suara dara itu, dia membatalkan niatnya.
"Eh, eh, kau mau apa?" tanyanya tanpa menoleh, mukanya masih tersem-bunyi di
antara kedua lengannya.
"Hayo katakan, engkau hwesio dari mana dan bagaimana aku bisa berada di sini"
Engkau tentu kawan pemberontak- pemberontak itu, ya?"
"Hi-hi-hik!" Kun Liong tertawa geli.
"Eh, pendeta ceriwis! Mengapa engkau malah tertawa" Hayo jawab, atau engkau lebih
ingin mampus?"
"Mampus ya mampus, mau bunuh ya boleh saja, tapi dengar dulu kata-kata-ku, Nona
galak! Aku tertawa karena engkau telah tiga kali keliru!"
Gadis itu marah sekali, jari tangannya yang menempel di tengkuk itu gemetar sedikit
sehingga diam-diam Kun Liong sudah siap dengan sin-kangnya. Kalau perlu, untuk
menyelamatkan nyawanya, dia akan menggunakan Thi-khi-i-beng! Akan tetapi agaknya
dara itu curiga mendengar ucapan orang yang dianggap-nya hwesio itu maka dia
mendesak, "Ja-ngan kurang ajar! Kekeliruan apa yang kulakukan?"
"Pertama, aku bukan anggauta atau kawan para pemberontak itu, ke dua, akulah yang
melarikanmu ketika engkau pingsan di dalam ruangan rumah Hek-bin Thian-sin dan
bahwa ancamanmu di tengkuk ini pun sia-sia belaka, kemudian yang terakhir, kekeliruan
mutlak yang tak boleh diampunkan lagi, aku bukan seorang hwesio!"
"Tapi kau gundul... aihhh... engkaukah ini?" Dara itu membalikkan tubuh Kun Liong
sehingga pemuda itu telentang dan... kini dia pun teringat ketika melihat sepasang mata
itu. "Engkau..." Aku... aku seperti pernah mengenalmu, tapi siapa... ya?" Dia merasa yakin
sudah mengenal dara ini, akan tetapi benar-benar tidak ingat lagi siapa dia.
Dara itu tertawa. Bukan main manisnya. Bibir merah itu merekah dan tampak giginya
yang kecil dan putih teratur, dan ujung lidah yang merah meruncing tampak sekilas.
"Hik-hik, kau... kau... pemuda gundul itu. Mana aku bisa melupakan kepalamu" Aku Lim
Hwi Sian."
Kun Liong meloncat berdiri dan bertolak pinggang, pura-pura marah. "Jadi engkau ini,
ya" Kesalahanmu makin bertumpuk-tumpuk! Dahulu engkau menghinaku karena
kepalaku, sekarang kau ulangi lagi! Benar-benar tidak mau bertobat kau ini!"
Dara itu menahan ketawanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Maafkan
aku. Aku tadi salah sangka... ah, sungguh aku tidak mengenal budi. Engkau malah yang
kembali menolongku dari bahaya maut. Sudah dua kali kau menyelamatkan aku, dan
dua kali aku menghinamu tanpa kusengaja. Maafkan aku, Tai-hiap (Pendekar Besar)...!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
270 Kun Liong sengaja hendak menggoda, akan tetapi juga karena dia gemas mendengar
sebutan itu, dia membanting kakinya dan melotot sehingga matanya yang memang lebar
itu membulat. "Kau ini mengangkat atau memembanting! Minta maaf malah menambah
penghinaan!"
"Eihhh" Apa salahku?"
"Kau menyebut aku tai-hiap segala macam. Kau mengejek, ya?"
Dara itu menggeleng-geleng kepalanya, alisnya berkerut. Manis sekali! "Tidak! Tidak!
Aku tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi biarpun kau pura-
pura... eh, bodoh dan kepalamu kaucukur gundul. Dahulu pun aku sudah menduga.
Kalau kau tidak berilmu tinggi, mana bisa menolongku kali ini dari rumah seorang datuk
sesat seperti Hek-bin Thian-sin?"
Kun Liong merasa terdesak. "Ya sudahlah, tapi jangan menyebut aku tai-hiap. Sekali
lagi, aku benar-benar akan marah!"
Dara itu tersenyum dikulum, tahulah dia bahwa pemuda gundul ini hanya pura-pura
marah tadi. Maka timbul juga kenakalannya. "Habis, aku harus menyebut situ apa?"
"Kok situ" Situ mana?"
Hwi Sian menggigit bibir bawahnya. Manis sekali! "Jangan main-main lagi! Tentu saja
yang kumaksudkan situ adalah engkau."
"Hemm, omongan model mana ini" Namaku Yap Kun Liong. Aku menyebutmu Hwi Sian
begitu saja, kaupun menyebut namaku, tak usah pakai pendekar-pendekar, ya?"
"Hi-hik. Kau lucu!" Hwi Sian merasa geli dan tertawa, akan tetapi mengguna-kan tubuh
telunjuknya untuk menutupi bibir. Manis sekali!
"Hwi Sian, ingatkah engkau lima tahun yang lalu kita mula-mula bertemu" Kau masih
seorang perempuan yang manis, sekarang..."
"Sekarang apa?"
"Sekarang kau telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita."
Dara itu mengerutkan alisnya. "Yap Kun Liong, kalau aku tidak yakin bahwa engkau
memang seorang pemuda yang lucu dan aneh tapi baik budi, tentu kau kuanggap ceriwis
dengan ucapanmu itu."
"Terserah penilaianmu. Mungkin aku memang ceriwis. Akan tetapi aku tidak akan pernah
mclupakan betapa engkau telah mencium kepala gundulku yang kaubenci ini sampai tiga
kali!" Seketika wajah Hwi Sian menjadi merah sekali. "Kun Liong, mengapa engkau berkata
begitu" Aku tidak benci kepala-mu dan soal itu... ah, itu soal lalu, ka-rena aku merasa
menyesal telah menya-kitkan hatimu padahal engkau dahulu itu telah menyelamatkan
aku." "Hemm, kalau sekarang" Aku pun telah mati-matian menolongmu, akan tetapi apa
upahnya" Engkau menodongku, hampir membunuhku, dan masih mengnina lagi!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
271 "Kun Liong, maafkan aku... sungguh mati aku tidak tahu... eh, mengapa kau
memandangku seperti itu?"
"Tidak cukup dengan maaf! Kalau dulu kau menyatakan penyesalan dengan mencium
kepalaku, sekarang aku akan menghukummu dengan ciuman pula. Akan tetapi aku yang
akan menciummu, bukan kau yang menciumku."
Sepasang mata yang bening itu terbelalak, kedua pipinya bertambah merah. "Apa... apa
maksudmu..." Kau..." Kau... kau mau kurang ajar kepadaku?"


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terserah kau mau menganggap bagai-mana. Pokoknya, kau tadi minta maaf, kan" Dan
aku hanya mau memberi maaf kalau kau suka kucium. Dengar baik--baik, aku sudah
sejak semalam ingin menciummu, akan tetapi hal itu tidak kulakukan biarpun kau
sedang pingsan ka-rena aku tidak sudi melakukan hal kepada orang yang tidak tahu atau
tidak suka. Nah, aku hanya akan memaafkanmu de-ngan menciummu, akan tetapi kalau
kau suka, bukan paksaan!"
Muka yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah, agaknya bingung bukan main.
"Kalau... kalau aku tidak mau?"
"Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak akan memaksamu. Akan tetapi terus terang saja,
aku pun tidak mau memaaf-kanmu dan akan selalu mengaggap kau seorang gadis tak
tahu membalas budi!"
"Kun Liong..." Suara itu seperti ber-mohon agar pemuda itu tidak mengang-gapnya
demikian. "Kau tahu betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepada-mu. Akan
tetapi permintaanmu... sungguh aneh... bagaimana aku dapat melakukan-nya?"
"Bukan kau yang melakukan, melain-kan aku."
"Maksudku... eh, kau membikin bi-ngung aku. Aku... aku..."
"Dengar, Nona yang baik! Kalau kau merasa jijik kepadaku, kalau kau merasa benci
kepadaku karena kepalaku gundul, kalau kau merasa jijik kucium, katakan saja kau tidak
mau. Habis perkara."
"Kau mendesak, seperti memaksa."
"Sama sekali tidak. Kau harus jujur. Kalau kau tidak suka, katakan tidak mau dan kita
berpisah takkan bertemu lagi. Habis perkara, kan?"
"Kun Liong, aku... aku tidak benci kepadamu, akan tetapi... soal itu... eihhh, aku malu,
ah!" "Malu kepada siapa" Di sini tidak ada orang!"
"Kalau di sini tidak ada orang, maka aku adalah siluman hutan dan kau se-tan..."
"... gundul!" Kun Liong menyambung.
Keduanya tertawa gembira dan sejenak lenyaplah ketegangan di antara mereka karena
permintaan Kun Liong yang luar biasa itu.
"Nah, bagaimana?" Kun Liong teringat lagi dan bertanya.
"Bagaimana, ya" Dahulu aku mencium kepalamu tiga kali..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
272 "Sekarang pun aku akan menciummu tiga kali!" Kun Liong memotong cepat.
"Tiga kali?" Sepasang mata itu terbe-lalak, tangannya meraba-raba rambutnya.
"Bagaimana kalau rambutku bau tidak enak" Sudah beberapa hari aku tidak ke-ramas."
"Siapa mau mencium rambutmu?"
Sepasang mata itu terbelalak, mulut-nya ternganga. Kun Liong terpaksa me-mejamkan
matanya. Manis sekali wajah itu!
"Tidak mencium... kepalaku" Habis... ihhh, Kun Liong, jangan main gila kau, ya?"
Kun Liong membuka matanya, tersenyum. "Siapa main gila. Aku main sung-guhan! Tidak
perlu banyak berbantahan, Hwi Sian. Hanya tinggal menjawab, mau atau tidak kau
kucium?" "Mau sih... mau, akan tetapi..."
"Kalau sudah mau masih ada tetapi-nya, namanya bukan mau..."
"Kau sih aneh! Dahulu aku mencium kepalamu, sekarang engkau hendak men-cium...
apa?" "Hwi Sian, memang agak sukar mem-beri pengakuan. Pendeknya aku baru suka
memaafkan engkau kalau engkau suka kucium tiga kali, kucium di mana saja, terserah
aku! Kalau engkau mau, aku akan menciumnya dan tak perlu ku-katakan mana yang
akan kucium. Pokok-nya engkau mau dan kalau mau berarti tidak pilih-pilih di bagian
mana... ahh, aku jadi bingung sendiri. Mau atau ti-dak?"
Sepasang mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena
gundul itu. Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepa-sang mata itu
menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu ter-senyum aneh! Lalu
Hwi Sian mengang-gukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya
menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat bagian
tu-buh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini!
Kun Liong menjadi girang sekali.
"Kau benar-benar mau?"
Hwi Sian mengangguk.
"Dengan suka rela" Dengan senang hati" Tidak terpaksa?"
Kembali Hwi Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar tidak karuan, mukanya
terasa panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa
manisnya! Kun Liong mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu,
mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak seperti kelinci ke-takutan akan
diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri!
"Hwi Sian, kau benar-benar mau?"
Hwi Sian tidak berani menjawav karena jantungnya yang berdebar itu tentu akan
membuat suaranya tidak karuan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
273 Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah tidak karuan, gemetar dan
nadanya sumbang! Maka dia hanya meng-angguk, kini dia benar-benar ingin di-cium,
ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang akan dicium!
"Kalau mau..." Suara Kun Liong ma-kin gemetar seperti orang sakit demam. "Kalau mau,
kaupejamkan matamu..."
Mata itu malah terbelalak, ageknya heran, kemudian sepasang mata yang in-dah itu
tertutup rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali
dia mendekatkan mu-lutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka itu.
Sentuhan ini mendatangkan getaran hebat sehingga tanpa dapat ditahannya lagi,
mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati, hendak berteriak akan
tetapi mulutnya yang baru terbuka se-dikit sudah tertutup dan diterkam bibir Kun Liong.
Kun Liong melepaskan bibirnya dan napasnya terengah, kedua lengannya kini tanpa
disadarinya telah memeluk pinggang Hwi Sian. "Satu kali..." bisiknya dan kembali dia
merapatkan mulut.
Hwi Sian tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan
kagetnya. Ketika, melihat muka Kun Liong mendekat lagi, ia menjadi ngeri dan cepat
memejamkan matanya. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka
sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong. Sekali ini, setelah melepaskan
bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia mencium untuk ketiga
kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tidak merasa lagi betapa kedua lengan Hwi
Sian sudah merangkul lehernya!
Ciuman yang ketiga kalinya ini amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau
melepaskannya lagi. Ketika Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat mena-han
napas, mereka terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua le-ngan yang
halus itu seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi
herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya.
"Eh... eh... kok menangis" Ada apa ini...?"
Pertanyaan itu membuat Hwi Slan makin sesenggukan.
"Wah, jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja.
Bukankah kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa" Kenapa sekarang
menangis dan... ehhh..." Kun Liong menghentikan kata-katanya dan terbelalak
memandang wajah yang kini diangkat itu. Gadis itu sesenggukan akan tetapi matanya
bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka,
begitu segar seolah-olah setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air!
"Eh... apa pula ini" Kau ini menangis atau tertawa" Kau marah atau tidak. Senang atau
susah?" "Kun Liong... hemmm... Kun Liong, aku, aku juga cinta kepadamu!"
Kun Liong terkejut seperti mendengar guntur di tengah hari. "Apa ini" Mengapa kau
mengatakan begitu?"
"Artinya, aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku..."
Kun Liong melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat ber-diri.
Dia memandang dengan alis berke-rut dan sikap sungguh-sungguh, "Hwi Sian, siapa
bilang... eh, bagaimana eng-kau tahu bahwa aku cinta kepadamu?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
274 Kini gadis ini pun meloncat berdiri, matanya memandang tajam dan alisnya berkerut.
"Tentu saja! Setelah apa yang kaulakukan tadi... tentu engkau cinta padaku... ahhh,
tidakkah begitu?"
Kun Liong menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala. "Aku tidak tahu apakah
aku cinta padamu, Hwi Sian."
"Kun Liong! Apa artinya ucapanmu itu" Setelah kau... kau menciumku seper-ti itu..."
"Hemmm... tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau
mau, agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan te-tapi, hal itu bukan
sudah berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepa-daku!"
Pucat wajah gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarah-an.
"Yap Kun Liong! Jadi kau... kau ha-nya mau mempermainkan aku?"
Kun Liong menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya
yang gundul. "Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapa- pun juga.
Sebelum aku menciummu, bu-kankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau
melakukannya kalau memang kau mau dan rela" Apa hubungannya itu dengan cinta"
Kalau kita berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu
sudah menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?"
"Tapi... tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti yang
kaulakukan tadi..."
"Apa bedanya kalau kita melakukan-nya dengan dasar sama suka dan rela?"
"Kun Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apalagi seperti yang kaulakukan tadi, hanya
patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!"
"Ehh! Siapa bilang begitu" Kita tadi pun telah melakukannya walaupun kita bukan suami
isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan" Hwi Sian, apa sih bedanya
bersentuhan tangan de-ngan bersentuhan bibir dan mulut" Apa benar bedanya" Asal
saja hal itu dilaku-kan dengan kerelaan kedua pihak..."
"Tapi aku cinta kepadamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi
melakukannya, dengan siapapun juga. Lebih baik aku mati!"
Kun Liong terkejut, memandang dan menggaruk kepalanya yang gundul. "Kau aneh
sekali..."
"Kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak
mencintaku, berarti kau menghina-ku!"
"Mungkin aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu
biarpun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh..."
Kun Liong cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya kalang--kabut! Dia
berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya
dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot meng-elak dan menangkis.
"Nanti dulu... ehhh... heiiittt... luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah eng-kau sudah
gila?" Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
275 "Aku memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!" Hwi
Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran.
"Waaahhh... celaka! Nah, kaulihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa
kau mau mengorbankan dirimu kepada cinta" Heiiittt...!" Kun Liong terpaksa melempar
diri ke bela-kang dan bergulingan, kemudian melom-pat bangun dan melihat Hwi Sian
benar--benar menyerangnya mati-matian, dia lalu melompat jauh dan melarikan diri!
"Yap Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?" Hwi Sian mengejar.
"Waah, aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka kalau
harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih aman!" Dia
mengerahkan gin-kang-nya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap
meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil menge-pal tinjunya. Setelah berlari
ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri ke atas tanah dan
menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan.
Gadis itu tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah
tangan dengan halus menyentuh pundaknya dan suara yang sama halusnya berkata,
"Hwi Sian, jangan menangis. Kaumaafkan aku kalau memang kau ang-gap aku
bersalah."
Mendengar suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah
datang lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh sekali
menyelinap di hatinya melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang kembali, dan
tangisnya makin menjadi-jadi!
Kun Liong duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia me-narik napas
panjang, lalu berkata, "Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat menggodamu,
tidak berniat meng-hinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu wajar, sama sekali
tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi, kalau aku harus mengaku
cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa engkau tentu tidak ingin kubo-
hongi, bukan?"
Hwi Sian menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan
pipi basah. Kun Liong menge-luarkan saputangannya dan menggunakan saputangan itu
menghapus pipi yang ba-sah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun Liong
ini seperti me-remas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis dan merebahkan
kepa-lanya di atas pundak Kun Liong!
"Sudahlah Hwi Sian," Kun Liong mengelus kepala gadis itu, "Mengapa engkau bersedih
sampai begini macam?"
"Kun Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti tadi...
mengapa kau tidak bisa mencintaku" Mengapa?"
"Hwi Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu."
Gadis itu kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan
pemuda itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda
ini tidak berniat bu-ruk dan sama sekali tidak menghinanya sungguhpun apa yang
dilakukannya amat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya, tentu tidak
akan datang kembali!
"Nah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka ber-bohong
apalagi kepadamu, biarpun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu
adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
276 Hwi Sian memandang bingung. "Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu,
dan tidak pernah memikirkannya. Hanya ketika aku... tadi... aku merasa bahwa kau
mencintaku dan aku..."
"Hemm, jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang
merasa suka kepada orang lain. Begitukah?"
"Ya, ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan...
eh, baik hati. Aku suka kepa-damu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku akan
merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya, itulah cinta!"
"Hemmm, jadi menurut pendapatmu, cinta adalah perasaan suka kepada se-seorang dan
mendapat balasan dari orang itu" Buktinya, ketika aku menyatakan tidak cinta
kepadamu, kau marah-marah dan cintamu berubah benci, malah kau hendak
membunuhku..."
"Maafkan aku, Kun Liong. Aku tahu bahwa aku takkan menang bertanding denganmu
dan tadi aku menyerang dan memakimu hanya untuk melampiaskan kekecewaan dan
kemarahanku saja."
"Jadi kalau begitu cinta bukanlah benci, cinta tidak akan mendatangkan benci! Cinta
bukan pula suka akan sesuatu, karena biasanya suka akan sesuatu itu akan berakhir
dengan kebosanan. Cin-ta bukan benci, bukan marah, bukan suka atau gairah nafsu.
Cinta tentu pantasnya lebih luhur lagi, lebih bersih, tiada awal tiada akhir."
"Ihhh! Kalau begitu, apa cinta itu?"
"Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu. Agaknya hatiku dan pikiranku masib ter-lalu kotor
sehingga belum mengenal cinta itu, Hwi Sian."
"Tapi, engkau suka kepadaku, bukan?"
"Aku suka kepadamu, aku suka menciummu, seperti aku suka melihat se-tangkai bunga
yang cantik jelita, seperti aku suka mencium bunga yang harum. Akan tetapi itu bukan
cinta, dan kalau kita menganggapnya cinta, kita akan menyesal dan kecewa. Nah, mau-
kah kau melupakan semua itu dan tinggal bersahabat denganku" Percayalah, aku masih
suka memandangmu, suka bergurau denganmu, bahkan aku masih suka sekali untuk...
menciummu, tentu saja kalau kau juga rela dan mau!"
Hwi Sian menunduk dan terjadi perang di dalam hatinya. Semenjak kecil dia telah
mendengar banyak tentang kesopanan, tentang kesusilaan, tentang hukum-hukum
kesopanan yang sama se-kali tidak boleh dilanggar, terutama oleh wanita! Banyak dia
mendengar nasihat tentang bahayanya menurutkan nafsu, terutama nafsu berahi.
Adakah tadi nafsu berahi yang mendorong sehingga dia me-rasakan nikmat dalam
pelukan dan mene-rima ciuman Kun Liong"
Tiba-tiba Kun Liong memegang ta-ngannya. "Eh, ada banyak orang datang berkuda!"
Mereka bangkit berdiri dan menoleh ke belakang. Benar saja, tak lama kemudian
muncullah serombongan orang ber-kuda. Kun Liong terkejut ketika melihat bahwa
rombongan itu adalah sepasukan tentara yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh
orang, dipimpin oleh panglima yang dilihatnya semalam di rumah Hek--bin Thian-sin dan
di samping panglima itu terdapat pula seorang pemuda asing yang juga dilihatnya di
rumah Hek-bin Thian-sin! Pemuda asing yang tampan dan gagah, yang bernama Hendrik
Selado, putera dari Legaspi Selado si kakek asing botak yang amat lihai.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

277 "Aihhh... pemberontak-pemberontak itu...!" Hwi Sian berseru marah dan juga kaget.
"Hwi Sian, mari kita lari!" Kun Liong berbisik.
"Tidak sudi! Aku harus membasmi mereka! Aku dan kedua orang suhengku memang
bertugas menyelidiki mereka, dan karena kami berpencar, maka aku yang kebetulan
dapat membongkar raha-sia mereka. Aku harus lawan mereka!" Tanpa menanti jawaban
Kun Liong, dara yang gagah perkasa itu sudah lari me-nyambut rombongan itu, dan
langsung dia meloncat dan menyerang panglima yang menunggang kuda terdepan
bersama Hen-drik pemuda asing.
"Pemberontak hina!" Hwi Sian mem-bentak marah.
Diserang secara tiba-tiba dengan dah-syat, panglima yang sudah berpengalaman itu
maklum bahwa dara itu tidak boleh dipandang ringan. Maka dia lalu menjatuhkan diri
dari atas kuda, berguling-an lalu meloncat bangun.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang kami sedang mencarimu, Nona!" katanya sambil
mencabut sebatang pedang.
"Tangkap dia!" Panglima itu memben-tak dan dua orang perajurit lalu meng-gunakan
pedang mereka menubruk. Hwi Sian menghadapi dua orang ini dengan tenang. Biarpun
dia bertangan kosong dia sama sekali tidak merasa gentar. Ketika dua orang itu
menubruk, secepat kilat dia mendahului, menggeser ke kanan, kakinya menyambar dan
tangannya me-raih. Seorang perajurit berteriak, tubuh-nya terjengkang dan pedangnya
terampas dan di lain saat, disusul teriakan keras oleh temannya yang juga tersungkur ja-
tuh dengan pundak terluka oleh pedang rampasan di tangan Hwi Sian!
Segera dara itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk de-ngan pedang
rampasannya dan dalam be-berapa gebrakan saja dia telah berhasil merobohkan empat
orang lawan lagi.
"Mundurlah kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!" Hendrik Selado berteriak
dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Tubuhnya sudah me-langkah maju dengan
langkah seperti seekor harimau kelaparan.
"Tak tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!" Tiba-tiba tampak bayangan ber-kelebat dan
Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu. Kun Liong sejak tadi sudah melihat
dan siap untuk mem-bantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi Sian dapat merampas pedang
dan dapat melayani pengeroyokan para perajurit, dia berdiam diri saja. Akan tetapi meli-
hat gerakan pemuda asing yang maju, tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa
Yuan de Gama yang cukup tangguh, maka dia sudah mendahului pe-muda itu,
menghadangnya dan mencela-nya.
Kini mereka saling berhadapan. Seorang pemuda tampan, gundul dan seorang pemuda
tampan bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak
mengenal pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentu
"pendeta" muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu
membungkuk dan sam-bil tersenyum berkata,
"Bapak Pendeta, datang dari kuil ma-nakah, dan apakah hubungan Bapak Pen-deta
dengan gadis pemberontak itu?"
Kun Liong tersenyum masam. Bangsa-nya sendiri saja, juga seorang gadis se-perti Hwi
Sian bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apalagi seorang asing seperti yang
dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah tentang kepala gundulnya yang menimbulkan
salah kira, maka dia menjawab,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
278 "Aku tidak datang dari kuil manapun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah seorang
yang mengetahui betul siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan pemberontak,
maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak maling!"
Tentu saja Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa
pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula bahwa
tentu pendeta muda inilah yang semalam telah meno-long gadis tawanan.
"Pendeta muda sombong, engkaulah pemberontak!" Hendrik sudah meneriang maju
dengan gerakan yang dahsyat. Pe-muda asing itu ternyata menguasai ilmu silat yang
aneh dan memiliki tenaga yang dahsyat, kedua tangannya bergerak bergantian dan
bertubi-tubi mengirim serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya
bergantian pula.
"Hemm... kau ganas...!" Kun Liong mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk
mengelak dan menangkis dan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera
mainkan ilmu silat Pat-hong--sin-kun yang ia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-
hong-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan
kecepatan dan bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan
ini menge-royok Hendrik dari delapan penjuru!
"Kau pendeta sombong hebat juga!" Hendrik berkata kemudian memaki dalam bahasa
asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan lemas
sekali. Pedang itu amat runcing dan tajam ringan dan begitu digerakkan, tampak sinar
bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati!
Kun Liong cepat menghindarken diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya
dia tidak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi dengan pedang
kecil panjang itu di tangan lawannya merupakan bahaya baginya. Pada saat itu, dia
mendengar teriakan Hwi Slan. Dia menoleh dan me-lihat betapa gadis itu dikeroyok oleh
banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah panglima yang menggunakan
pedang. Agaknya dara itu terancam ba-haya maut dan teriakan tadi menandakan bahwa
Hwi Sian telah terkena senjata lawan.
"Cuit-cuit-cuit-singg...!" Kun Liong cepat melompat ke belakang, hampir saja dia menjadi
korban pedang lawan ketika
dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi ka-rena saat itu telah dipergunakan oleh Hendrik
untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir akan keadaan Hwi
Sian, Kun Liong me-ngeluarkan teriakan nyaring, kedua ta-ngannya mendorong dan
tampak uap pu-tih keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Hendrik.
"Ougghh...!" Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus
bergulingan, cara yang tepat untuk menghindarkan diri. Kesem-patan ini dipergunakan
oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian.
Ternyata Hwi Sian telah terluka di paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring,
agaknya pingsan, akan tetapi di dekatnya tampak seorang laki--laki yang mengamuk
dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah ping-san itu. Kun Liong mengenal
orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki--laki tinggi besar yang menjadi ji-
suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian. Maka cepat dia meloncat mendekat
dan kedua kakinya merobohkan dua orang pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai
tulang kering kaki kedua orang itu yang berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil
berloncatan dan memegangi kaki yang tulang keringnya rusak!
Tan Swi Bu menoleh dan berkata, "Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong
sumoiku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
279 Kun Liong kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali memperoleh korban!
Tan Swi Bu tidak mengenalnya dan menyangkanya seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak
peduli menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia meloncat ke kiri,
mendorong roboh seorang perajurit yang menunggang kuda, kemudian dia meloncat ke
atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian.
"Tan-enghiong, lekas lari!" Dia berseru.
Melihat betapa "hwesio" itu telah berhasil melarikan sumoinya, Tan Swi Bu lalu memutar
pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lain yang berada di luar
lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan ia pun meloncat ke atas kuda itu lalu
membalapkan kudanya menyusul Kun Liong.
"Kejar...! Siapkan kuda...!" Terdengar panglima itu berteriak.
Pasukan itu segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang
perajurit dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing,
melakukan pengejaran.
Setelah membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat
betapa Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya dan para pengejar tidak jauh, Kun
Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat kepada Tan Swi Bu yang
membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong, dan berkata, "Tan-enghiong
harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka
melakukan pengejaran!"
"Akan tetapi..." Tan Swi Bu membantah ragu-ragu.
"Harap jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!" Dengan tangan kirinya Kun Liong
melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke arah Tan Swi Bu yang tentu saja
menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh sumoinya. Dari lontaran itu saja tahulah dia
bahwa pemuda gundul itu amat lihai, dan kini setelah melibat wajahnya, dia pun teringat
kembali kepada pemuda gundul yang dulu pernah dilihatnya.
"Jadi engkau... Siauw-hiap..."
"Pergilah cepat!" Kun Liong meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang
ditunggangi Tan Swi Bu. Kuda itu terkejut, membalap dan sebentar saja pemuda dan
sumoinya itu sudah jauh mendahului Kun Liong. Ketika melihat suheng Hwi Sian itu
memasuki sebuah hutan di depan, Kun Liong lalu menahan kudanya, membalikkan kuda,
meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon
besar. Dua batang pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga ketika para
pengejar tiba di situ, mereka menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai itu
yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras dan meloncat
turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan mengeroyok Kun
Liong! "Tuan Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!" Bhong-
ciangkun berseru setelah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang anak
buah untuk mengejar ke depan.
Akan tetapi tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang
pengeroyok roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda
gundul yang lihai itu sudah melompat melampaui kepala pengeroyok di belakangnya
sambil mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru
saja meloncat ke atas kuda. Serangannya dahsyat sekali, karena Kun Liong
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
280 menggunakan Im-yang-sin-kun dari Tiang Pek Hosiang. Biarpun panglima itu
menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh pemuda itu menerjang dari atas
namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat menendang pergelangan tangan yang
memegang pedang dan jari tangannya menghantam leher!
Bhong-ciangkun berteriak, pedangnya terlempar dan dia cepat secara terpaksa
melempar diri dari atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Biarpun dia
berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan
memang inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya. Kemudian Kun
Liong dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari sehingga pasukan
itu tidak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau dan tidak
ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran. Hal ini
membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua kekuatan
untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong!
Kun Liong melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk
dapat lari jauh membawa sumoinya. Sebetulnya tidak ada gairah sedikit pun di dalam
hatinya untuk ber-kelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan kalau terpaksa
sekali ba-ru dia merobohkan dua tiga orang penge-royok tanpa melukai berat. Biarpun
dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih memegang pendiriannya bahwa
dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul orang, kecuali hanya untuk
membela dan mempertahankan diri!
Kini mulailah Kun Liong melarikan diri, akan tetapi bukan lari untuk meninggalkan
pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tem-pat itu dan
membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari
beberapa ratus meter jauh-nya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan dia
dikeroyok lagi. Ku-rang lebih satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini kemudian dia
me-loncat ke belakang dan berkata, "Aku sudah lelah, lain kali saja kita main--main
lagi!" Kun Liong lalu melarikan diri. Hendrik dan Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha
mengejar, akan tetapi sebentar saja bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka
merasa marah sekali dan merasa dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, akan
tetapi mereka berdua, terutama Hendrik, belum mendapat kesempatan untuk mengadu
kepandaian sampai mati-matian karena pemuda gundul selalu lari ke sana ke mari,
seperti seekor kucing yang mem-permainkan pengeroyokan segerombolan tikus!
Hutan di dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun ma-nusia
kecuali dia sendiri. Celakanya, malam tiba dan sebelum dia memperoleh tempat untuk
melewatkan malam itu, hujan turun dari langit seperti dituang-kan. Bukan hanya hujan
yang mengamuk, akan tetapi juga angin yang membuat air hujan menampar muka
seperti jarum--jarum runcing dan membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil
mengeluarkan suara yang menyeramkan.
Kun Liong memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk
menembus kegelapan malam. Dia telah terjebak ke dalam hutan yang tidak dikenalnya.
Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia mendapat keterangan
babwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan ini. Maka dia berani memasuki
hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan ini tidak terlalu besar. Akan tetapi
agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan memasuki
hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya sampai malam tiba
dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu. Dia tersaruk-saruk terhuyung dan
mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang tidak dapat
melihat jelas karena diserang terus-menerus oleh air hujan. Pohon-pohon kecil bergerak
menggila, ranting-ranting seperti berubah menjadi tangan-tangan setan yang
menjangkau, menyergap dan mencekik! Pohon-pohon besar yang kadang-kadang hanya
tampak kalau ada kilat menyambar, seolah-olah iblis-iblis raksasa yang berlumba untuk
menerkamnya. Suara air hujan bercampur desis angin melanda daun-daun pohon
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
281 menimbulkan pendengaran yang mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka
bangkit memasuki hutan itu.
"Desss!!" Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya.
"Aduhhh...!" Kun Liong meraba tengkuknya. Sungguh celaka. Dalam keadaan seperti itu,
semua ilmu kepandaian yang dilatihnya selama ini tiada gunanya sama sekali. Betapapun
pandainya manusia menghadapi kekuatan dan kebesaran alam benar-benar tak ada
artinya. Mana mung-kin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air
hujan dan angin mengamuk seperti itu" Mana mungkin dia dapat menangkap angin pu-
kulan ranting tadi yang melecut tengkuk-nya kalau badai mengamuk dan meng-
hembuskan angin yang bergulung-gulung menenggelamkan dirinya seperti itu"
Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air
hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang amat lebat dari
pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu lebat, biarpun
tanahnya tertutup rumpul tipis yang basah semua sehingga tanah basah itu berlumpur
mengotori semua pakaiannya.
Kun Liong menggunakan kedua tangan mengusap air yang membasahi kepala dan
mukanya. Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuatnya menggigil. Cepat dia
duduk bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia
terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar telah membuat sin-kang yang
dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang menjadi amat
kuat dan sebentar saja tubuhnya terasa hangat.
Hujan tidak selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biarpun kini
tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari
seperti gila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tidak terlalu keras bergoyang
lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu dan kehabisan
tenaga. Suara angin yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar amat berisik
dan menyeramkan. Kun Liong merasa seram dan bulu tengkuknya bangun satu-satu
karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke
atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan, wajah-
wajah yang seperti dalam dongeng berada di atasnya dan menyeringai kepadanya
dengan bermacam-macam lagak, seolah-olah iblis-iblis itu hanya menanti saatnya saja
untuk menerkam dan memperebutkannya.
Kun Liong tersenyum sendiri. Mengapa dia harus takut, pikirnya" Benar-benar adakah
hantu seperti yang didengar-nya dan dibacanya dari dongeng" Selama hidupnya dia
belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andaikata malam ini dia
melihatnya, apakah yang ditihatnya itu benar-benar hantu dan iblis" Bukankah yang
dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain ha-nya bayangan pikirannya
sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang didengar dan
dibaca-nya" Andaikata sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah
membaca kitab tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal
sebutan iblis dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah
dia akan takut kepada hantu" Tak mungkin! Karena dia tidak akan dapat mengenal dan
mengetahui apakah yang dilihatnya itu bahkan mung-kin sekali dalam keadaan tidak
pernah mengenal sebutan iblis sama sekali se-perti itu, kalau dia kebetulan bertemu
sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan tertarik sekali seperti orang-orang terta-rik
melihat sebuah tanaman atau seekor mahluk yang selama hidupnya belum pernah
didengar dan dilihat sebelumnya! Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang
iblis, mendengar bahwa iblis itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
282 menyeramkan tentang iblis lagi, maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangan iblis di antara kegelapan yang samar-samar!
Tolol kalau aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan
masa lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak
menyenangkan sehingga pikir-an merenungkan semua itu dan memba-yangkan kalau-
kalau akan timbul lagi hal-hal itu di masa datang!
"Tidak! Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di
hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Mari kita beramah-tamah dan
mengobrol!" Pemuda itu ber-teriak-teriak, akan tetapi suaranya ha-nyut dalam desau
angin dan desau daun--daun pohon.
Badai mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh dari
daun-daun yang basah kuyup.
Setiap ada angin halus menghembus, bu-tiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok
semua ke bawah. Kun Liong berjalan perlahan, kedua tangannya meraba--raba di antara
pohon-pohon menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorongnya
untuk meninggalkan tempat berteduh itu biarpun malam ma-sih gelap pekat. Suara itu,
arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya, maka dia melangkah dengan hati-hati,
menggunakan tangan untuk meraba ke depan agar dia tidak sampai terjatuh, presis
seperti laku seorang buta melang-kah melalui jalan yang tidak dikenalnya. Ketika dia
duduk tadi, dia mendengar suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum menyadari
sepenuhnya tentang hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu akan menimbulkan
rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan, sehabis hujan badai seperti itu,
ada suara orang bernyanyi!
Suara itu tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan seringkali
tenggelam dan lenyap kemba-li. Akan tetapi kini mulai terdengar je-las, dan Kun Liong
menghentikan lang-kahnya untuk dapat menangkap kata-kata yang dinyanyikan dengan
suara pa-rau itu.
"Berani hidup mengapa takut mati"
siapa bilang hidup senang
dan mati sengsara"
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati dan akan mati, dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi "aku" tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!"
Kun Liong melangkah mendekat. Ka-lau dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut
terhadap hantu, mungkin dia saat itu akan ketakutan dan menduga bahwa itulah hantu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
283 yang dia hadapi se-karang. Bukankah ada dongeng mengata-kan bahwa hantu dapat
mengambil ben-tuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara cantik sekalipun"
Dia itu seorang kakek tua, usianya sukar ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari
enam puluh tahun, pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar rambutnya
yang berwama dua itu tidak terpelihara, demikian pula dengan kumis dan jenggotnya
yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi gambar-an kakek ini berkurang
kelayuannya ka-rena di depannya bernyala api unggun. Hal ini mengherankan hati Kun
Liong. Betapa mungkin orang membuat api ung-gun di hutan yang baru saja diamuk hu-
jan dan badai"
Kakek itu menengok. Mereka berpan-dangan sebentar, kakek tua yang duduk dan
pemuda gundul yang berdiri.
"Maaf, Kek, kalau aku mengganggu-mu." Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah.
"Kau mau apa?"
"Aku dingin, api unggunmu dan nya-nyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke
sini." "Kau hwesio?"
"Bukan, Kek, sungguhpun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta."
"Hem, kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu
engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!"
Kun Liong duduk dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu me-nyalakan api
unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat dan nyaman
sekali duduk di de-kat api unggun pada waktu malam se-dingin itu. Kun Liong menghela
napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah.
"Mengapa kau membenci hwesio, Kek?"
"Mereka itu munafik."
"Mengapa kau mengatakan begitu, Kek?"
"Mereka itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi
kebobrokan watak mereka!"
"Ah, tidak semua begitu, Kek! Me-mang dunia ini penuh dengan keganjilan dan
kekecualian. Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, ada pula orang
berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin, dan
ada orang miskin yang hati-nya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, dan ada
penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?"
"Akan tetapi pendeta yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh kotor
berpakaian kotor, apa anehnya" Akan tetapi pendeta adalah seorang bertubuh kotor
berpakaian ber-sih!"
"Tidak semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik."
"Phuah! Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!"
"Aku tidak mengerti, Kek."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
284 "Tidak mengerti ya sudah. Kau tadi bilang api unggunku menarik perhatianmu, hal itu
lumrah karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyi-anku menarik
perhatianmu?"
"Benar, karena nyanyianmu amat indah!"
"Kau suka mendengarnya?"
"Sama sekali tidak!"
Kakek itu mendengus, matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, lalu dia
mendengus lagi. "Mengapa tidak suka?"
"Karena dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!"
Tiba-tiba kakek itu tertawa dan Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu
melengking dan membuat dia terge-tar, tanda bahwa suara itu mengandung khi-kang
yang amat kuat! Tiba-tiba ka-kek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini
menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhati-an. Agaknya
kakek itu pun walau tidak kentara, melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal oleh suara
ketawanya. Padahal ketawanya itu diser-tai pengerahan khi-kang dan menjadi semacam
ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang mampu
merobohkan orang yang memiliki sin-kang lumayan sekalipun!
"Orang muda,memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati, bercerita
tentang kematian, dan dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun akan
mati!" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Kun Liong.
Tamparan yang amat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sin-kang yang amat
kuat! Kun Liong terkejut bukan main karena dia tidak menyangka akan diserang oleh kakek
aneh itu. Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil
mengerahkan sin-kangnya.
"Dessss...! Haiiiih!!"
Kedua orang itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan
main. Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar!
Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong telah mengerahkan sin-kang gabungan
yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan Pendekar Sakti
Cia Keng Hong! Sebetuinya, ketika mengadu tenaga sin-kang tadi, dapat saja kalau dia
hendak menggunakan Thi-khi--i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilaku-kannya karena
memang dia tidak bermu-suh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan,
pertemuan dua tenaga sin-kang itu membuat tubuhnya juga ter-lempar sampai jauh.
Kun Liong mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, maka dia
tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring otaknya itu,
maka dia segera mcloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam hutan yang gelap
yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun.
"He, pemuda gundul aneh! Ke mana kau...?"" Kakek itu melompat pula dan melakukan
pengejaran. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
285 Kun Liong menyelinap di balik sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali
kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu
kembali ke tempat tadi dan mengomel panjang pendek. Barulah Kun Liong berani keluar
dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat itu sampai akhirnya
secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu duduk di bawah pohon, tidak
berani tertidur karena kakek gila itu masih berada di hutan, dan menanti datangnya
fajar. SETELAH sinar matahari pagi mene-rangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas
amukan badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon tumbang
dan roboh malang melin-tang dilanda badai, terutarna pohon-pohon yang tumbuh di
pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak bekas
amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seolah-olah ada iblis-ibils
mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau seperti telah terjadi
perkelahian antara raksasa di dalam hutan menggunakan batang pohon-pohon besar
untuk saling menghantam.
Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari
tempat yang agak tinggi itu. Di sanalah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga
Setan. Dan tampak pula pulau-pulau kecil kehijauan, di tengah telaga. Sebuah di antara
pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng--pang yang dicarinya. Ya, dia harus
menemui Ketua Kwi-eng-pang dan secara jujur menanyakan tentang perbuatan anak
buah Kwi-eng-pang yang telah menyerbu kuil Siauw-lim-si. Dia masih menaruh harapan
besar bahwa Kwi-eng-pang, se-bagai sebuah perkumpulan besar yang terkenal, akan
memandang Siauw-lim--pai dan akan suka mengembalikan dua buah pusaka yang
dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang. Dia akan mengemu-kakan kebenaran dan
akan membujuk Kwi-eng-pangcu agar tidak menanam permusuhan dengan sebuah
perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai hanya karena urusan dua buah pusaka saja!
Biarpun dia mendengar dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya
menjumpai seorang di antara datuk-datuk kaum se-sat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi
Nio Ketua Kwi-eng-pang itu, akan tetapi dia tidak takut. Dia datang bukan untuk mencari
permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai mendapatkan kembali
pusaka-pusakanya yang tercuri. Dan dia melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh
mendiang gurunya, Tiang Pek Hosiang!
Setelah tiba di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran,
mengapa tempat itu demikian sunyi" Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan
pelancong seperti pada telaga-telaga besar yang lain" Dari tepi telaga kini tampak
olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok dan genteng
bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di belakang pulau
besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau yang agak kecil.
Tiada angin di pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani
beludru biru yang amat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Caha-ya matahari pagi
mulai menyapu per-mukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah air telaga yang
sedang tidur. Mulai tampak perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna
biru yang kini sebagian kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari sinar matahari.
Agaknya bukan hanya mahluk darat dan mahluk udara saja yang memulai kesibukan
hidup pada saat matahari muncul, akan tetapi juga mahluk air penghuni telaga. Ikan-
ikan mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah
meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air untuk
mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apalagi jika ada yang
meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah lingkaran-lingkaran yang makin
melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma, tak mungkin dibuat oleh tangan
manusia. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
286 Kun Liong terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tidak
ada lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat sudah
tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam.
Kalau saja dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak
bergerak didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan
di pagi hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan
menyeretnya kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua
keindahan karena perhatiannya tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya
timbul untuk dapat segera pergi ke pulau, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan perahu itu, tepat
seperti yang dikehendakinya, didayung ke arah daratan.
Akan tetapi setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata
adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang sederhana.
Sama sekali bukan! Jelas tampak dari dandanan rambut dan pakaiannya, dari gayanya,
bahwa yang mendayung perahu itu, wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah
cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling sedikit
tentu pelayan orang bangsawan! Hanya anehnya, wanita yang segalanya kelihatan halus
itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri" Betapapun juga, kesempatan ini tidak
boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak di daratan yang begitu sunyi, maka ia
cepat menghampiri wanita dalam perahu yang sudah mendekati pantai.
"Kouwnio, bolehkah saya menumpang perahumu?" Dia bertanya sambil tersenyum
ramah, senyum orang yang minta tolong!
Wanita itu mengangkat mukanya memandang sejenak memandang kepada pemuda itu,
kemudian pakaiannya. Agak-nya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong,
dia dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang
entah mengapa sengaja menggunduli kepalanya. Akan te-tapi kepala gundul itu tidak
buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Se-baiknya malah, mempunyai daya tarik
yang aneh dan kepala itu begitu bersih, begitu... telanjang sehingga wanita itu
memandang dengan kedua pipi menjadi merah!
"Siapakah engkau dan mengapa kau minta menumpang di perahuku?" Dengan kerling
genit wanita itu membalas bertanya.
Kun Liong yang merasa bahwa dia menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-
pang, merasa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang, maka dia
menjawab, "Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng-pangcu.
Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau ikut dengan
perahu Kouwnio pergi ke pulau itu."
Senyum dan kerling genit itu tiba-tiba lenyap dari wajah yang pukup cantik itu, dan
pandang matanya penuh curiga ketika dia bertanya, "Apakah engkau sahabat dari Kwi-
eng-pangcu?"
Kun Liong tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala. "Bukan!"
"Habis, apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?"
"Aku mempunyai sedikit urusan yang hendak kubicarakan dengan Kwi-eng-pangcu.
Urusan penting yang akan kusampaikan kepadanya sendiri. Kouwnio, harap suka
membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya."
Melihat pemuda gundul itu menyebutnya "kouwnio yang baik" beberapa kali dan
tersenyum-senyum, wanita itu berkata, "Sebetulnya aku mempunyai kepentingan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
287 berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau kuantar ke pulau. Aku
adalah pelayan dari Ang-pangcu."
Kun Liong terkejut, akan tetapi juga girang. Kiranya Kwi-eng-pang tidak se-perti yang
disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang berbahaya,
sarang dari golongan hitam. Buktinya sekarang sama sekali tidak demikian. Baru
pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan ma-nis!
Kun Liong menjura dan berkata girang, "Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik."
Perahu menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil agak
bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda bahwa
wanita itu biarpun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi tentu
"berisi"!
"Biarlah saya yang mendayungnya, Kouwnio."
Wanita itu menyerahkan dayung kepada Kun Liong dan duduk berhadapan dengan
pemuda itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, biarpun hatinya
tegang dan ingin dia cepat-cepat tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak
mengerahkan sin-kangnya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu
perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita itu menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya
terhadap ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya dan
pandang mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya
menjadi merah! "Itu teman-temanku sudah menanti dan melihat kita." Wanita itu menuding.
Kun Liong melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau.
"Mereka tentu terheran-heran mengapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan,
tetapi membawa seorang tamu." Wanita itu terkekeh genit. "Kita sudah dekat, biar aku
yang mendayung karena daerah dekat pulau terdapat banyak rahasia yang dapat
membuat perahu terbalik."
Kun Liong terkejut mendengar ini dan cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima
dayung, tiba-tiba jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah pangkal
lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu.
Wanita itu hampir menjerit ketika ujung jari tangannya bertemu dengan ketiak yang
berbulu dan totokannya tepat sekali, tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung
sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya dipergunakan untuk
menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis.
"Krakkk!" Ujung dayung itu patah!
"Ihhhh...!!" Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air membawa
dayungnya. "Eihhh. Toanio, kau mengapa...?" Kun Liong berseru kaget. Akan tetapi tiba-tiba perahu
itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga ikut terlempar ke dalam air. Dia masih dapat
melihat betapa tiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur
cepat sekali. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
288 "Byuurrr...!" Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan
untuk berenang. Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar
mencegah tubuhnya tenggelam saja, dia bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang
orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.
"Ahhhauuupppp!" Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri
mulutnya dan terus mengalir ke perutnya! Dia menggerakkan kakinya dan berhasil
membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas setelah
dia menjejak dasar telaga. Baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas
permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan
dia ditarik lagi ke bawah!
Biarpun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan
sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik. Dia menahan napas, akan tetapi lama-
lama dia terpaksa harus minum air juga den ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya
seperti hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan
memeganginya, dan betapa kedua tangannya juga diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya
diseret. Dengan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir
putus, Kun Liong masih dapat melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan ke daratan
pulau. Yang mesiyeretnya adalah seorang wanita yang cantik juga, dan di belakangnya
masih ada tiga orang wanita lagi, yang seorang adalah wanita yang membawanya tadi,
kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang
dua orang wanita lagi tadinya berenang den kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa
dan bersendau-gurau.
"Hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang
gemuk!" Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong.
"Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!"
"Wah, ikan apa ini kepalanya gundul dan bersih sekali tidak ada rambutnya selembar
pun!" "Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!"
"Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh."
Wanita yang menyeret berkata, "Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar
dia tidur bersamaku satu malam!"
"Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw" Aku yang menemukannya, tahu?"
"Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan
kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan."
"Kehabisan apa?"
"Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!"
Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar
percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap
wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya seperti serombongan siluman seperti yang
terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
289 Ketika tubuhnya diseret tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama
Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik
melalui sebatang dahan pohon dan tentu saja tubuhnya tergantung dengan kepala di
bawah! Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat,
menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong. Tak dapat ditahan lagi Kun Liong
muntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung.
Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena tubuhnya
terasa lemas semua dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar
tahanan! Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri!
Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tidak berada di pulau dan lima orang pelayan
ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggauta dan para murid Kwi-eng
pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun
Liong. Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang terdiri dari
laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi daripada lima orang
pelayan itu, akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apalagi
mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya bertanya. Ketika
mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan,
mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda
itu ditahan sampai ketua mereka pulang.
Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis
yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di
pulau kecil! Yo Bi Kiok kini telah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi
sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi. Memang dara ini memiliki
bakat yang amat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa sayang kepadanya telah
menggemblengnya sampai tingkat kepandaian gadis itu tidak berselisih banyak dari
tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai daripada murid-murid kepala Si
Bayangan Hantu. Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, dara ini lebih dikenal dengan
julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung
hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan
yang selalu dipakai di rambutnya.
Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu
berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari
para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu
menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari
lubang rahasia.
"Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona" Dia tampan sekali, akan tetapi sayang
kepalanya telanjang!"
"Telanjang...?" Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.
"Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan
bagus sekali kepalanya!"
Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tak
tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini benar orang
yang disangkanya, dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang
rahasia. "Kun Liong...!" Hati Bi Kiok berseru kaget ketika dia mengintai dan mengenal pemuda
gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
290 Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biarpun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada,
amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia
lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar
tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya
menggunakan akal. Setelah memutar otak, Bi Kiok bergegas mendayung perahunya
kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani
oleh beberapa orang pelayan waniia.
"Subo, ada kabar penting sekali dan kalau Subo tidak cepat-cepat turun ta-ngan selagi
Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang."
"Hemm, ceritakanlah."
"Akah tetapi, sebelumnya teecu minta supaya Subo suka mengampunkan kesalahan
teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo."
"Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku."
"Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apalagi mengingat akan segala kebaikan
Subo. Hal itu lalu menjadi gan-jalan hati teecu dan sekarang tiba saat-nya teecu
menebus kesalahan itu. Se-sungguhnya, dahulu ketika Subo membu-nuh orang-orang
Pek-lian-kauw dan me-ngalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo bertemu dengan
seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?"
Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa
itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya.
"Aku sudah tidak ingat lagi, muridku."
"Biarpun begitu, teecu mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo.
Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dahulu
menemukan bokor emas."
Bu Leng Ci meloncat bangun. "Mengapa baru kauceritakan sekarang" Di mana dia?"
Siluman betina itu membentak.
"Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor
itu sendiri. Setelah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada
teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo
atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang
Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi
Guru Ang!"
"Apa?"
"Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang
sebaiknya kalau Subo pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa
tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i
tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka
memberi tahu di mana adanya bokor emas itu."
"Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi
sekarang juga, Bi Kiok!" Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan
mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada
muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
291 Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat
keadaan yang ribut di situ, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng-
pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-
pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak
buah Kwi--eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor
jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar
atau terbanting roboh.
"Mundur semua!" Bu Leng Ci berte-riak. Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh
dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-
eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika
melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu dan timbul kembali
harapan mereka karena tadi mereka be-nar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu
yang lihai itu.
Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di depan tiga
orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking
sipitnya kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan melihat
pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia menjura
sambil bertanya, "Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"
"Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini" Apakah kalian
sudah bosan hidup?" Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat
gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan
dengan orang pandai.
"Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok
Gwan dan ini kedua orang te-manku Song Kin dan Kwi Siang Han, kami hanya
melaksanaken tugas mencari sesuatu, maka kami datang untuk menemui Kwi-eng-
pangcu dan menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng-
pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!"
"Kalian utusan siapa?"
"Utusan Panglima Besar The Hoo..."
"Hemm, kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa
Kati)?" "Benar."
"Dan yang kaucari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?"
Tio Hok Gwan kelihatan kaget dan curiga. "Kau tahu...?"
"Siapa yang tidak mendengar tentang itu" Engkau percuma saja mencari di sini, dan
kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira
kami mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kaukira kami takut kepadamu"
Majulah, aku ingin melihat sampai di mana kebenaran julukanmu itu!"
Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan
para datuk sesat dan dia tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di
antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia kang-
ouw, terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo yang tentu saja
mempertahankan nama dan kehormatannya, dia pun tidak mungkin menolak tantangan
orang karena hal itu akan merendahkan namanya sendiri.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
292 "Dukk!" Dia menangkis dan keduanya terkejut. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang
menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja sedangkan Tio Hok Gwan merasa betapa
lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah memiliki
tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kckuatannya dengan tenaga lemas
sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.
"Siang-tok Mo-li, aku hanya menjadi utusan mencari keterangan tentang bokor. Aku
tidak ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi kalau kau menantang, silakan, mau satu
lawan satu atau mau mengeroyok!"
Tio Hok Gwan adalah seorang tokoh besar yang sudah mempunyai banyak sekali
pengalaman, maka biarpun dia tidak pandai bicara dan wataknya pendiam, sekali
mengeluarkan suara tentu ada hasilnya! Dia tadi sengaja menantang untuk dikeroyok
dan tentu saja hal ini menyinggung perasaan Bu Leng Ci sebagai seorang datuk! Maka
dengan muka merah wanita itu membentak, "Manusia sombong! Perlu apa
mengeroyokmu" Kedua tanganku sudah cukup untuk membunuhmu!"
Bentakan ini ditutup dengan serangannya yang dahsyat, kedua lengannya meluncur
seperti dua ekor ular, yang kiri menusuk mata lawan, yang kanan mencengkeram ke
arah pusar, sedangkan kepalanya digerakkan dan rambutnya yang panjang itu
menyambar pula ke arah leher!
"Hemm... perempuan ganas!" Tio Hok Gwan berseru, memangkis kedua tangan lawan
dan sambil mengelak ke samping dia cepat menggunakan tangan yang baru saja
menangkis untuk menyambar rambut hitam itu. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah cepat
menarik kembali rambutnya.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kedua orang tokoh itu. Semua pukulan
dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang, gerakannya cepat bukan main dan
pukulan itu mengeluarkan angin mendesir, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau
ditangkis dengan kecepatan kilat pula. Mereka saling serang dan sukar dikatakan siapa
yang lebih unggul karena Bu Leng Ci juga membalas setiap serangan lawan dengan
serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Diam-diam Yo Bi Kiok menonton dengan hati kagum terhadap ilmu kepandaian Si
Pengantuk itu. Gerakannya demikian mantap dan dari setiap pertemuan lengan, dia
dapat melihat dengan hati kaget bahwa subonya masih kalah setingkat dalam hal
kekuatan sin-kang melawan kakek itu! Para anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang
berani bergerak dan mereka memandang dengan mata kabur dan kepala pening karena
gerakan kedua orang itu bagi mereka terlalu cepat untuk dapat diikuti oleh pandang
mata. Juga kedua orang pembantu Tio Hok Gwan tidak berani bergerak, hanya
menonton dengan hati tegang.
Pertandingan itu benar-benar amat menegangkan dan kedua pihak maklum bahwa
tingkat mereka tidak banyak selisihnya, sungguhpun gaya limu silat mereka jauh sekali
bedanya, seperti bumi dan langit. Hanya bedanya, kalau Tio Hok Gwan sebagai seorang
gagah menganggap pertandingan itu semata-mata untuk mengukur kepandaian,
sebaliknya Bu Leng Ci setiap kali menyerang didasari niat membunuh sehingga hanya


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurus-jurus maut saja yang dia keluarkan.
"Plak-plak-desss... aihhh...!" Pertemuan dua pasang tangan yang bertubi-tubi itu
akhirnya membuktikan bahwa tenaga sin-kang Tio Hok Gwan memang lebih kuat. Bu
Leng Ci menjerit ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut wanita ini keluar
darah yang mengalir dari ujung bibir.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
293 "Singgg...!" Tampak sinar berkilat ketika pedang samurai telah dicabutnya dan kini
dengan kedua tangan memegang gagang pedang panjang itu, Bu Leng Ci menerjang
sambil memekik nyaring mengerikan, "Haaiiittt...!"
Terpaksa Tio Hok Gwan meloncat amat cepatnya menggunakan gin-kang untuk
menyelamatkan diri dari pedang samurai yang menyambar-nyambar ganas itu. Ketika
melihat betapa lawannya yang galak dan marah sekali itu mengejarnya dengan samurai
diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, Tio Hok Gwan cepat melolos sabuknya.
Kelihatannya seperti sabuk, akan tetapi sebetuinya bukan sembarang sabuk, karena itu
adalah sebuah senjata joan-pian (ruyung lemas atau semacam pecut) yang terbuat dari
baja biru yang amat kuat! Pengawal Panglima Besar The Hoo ini mengikuti panglima
sakti itu berlayar mengelilingi dunia menjelajah ke negeri-negeri asing di selatan dan
barat dan dia pandai memainkan segala macam senjata. Joan-pian itu didapatkannya
ketika dia mengikuti rombongan pahglima besar menjelajah ke negeri Sailan dan
menjadi sebuah di antara senjata yang disenanginya karena selain dapat dipergunakan
dengan baiknya, juga dapat dibawa dengan mudah dan tidak kentara karena dililitkan di
pinggang seperti sebuah sabuk!
"Trang-trang-cring...!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika berkali-kali samurai itu tertangkis oleh joan-
pian di tangan Tio Hok Gwan. Biarpun pendekar pengantuk itu selalu dapat menangkis,
namun dia membarengi dengan elakan karena joan-piannya masih kurang kuat
menangkis samurai yang gerakannya amat kuat itu. Dan Bu Leng Ci memang seorang
ahli bermain samurai. Kepandaian dari bekas suaminya yang tua, seorang pendekar
samurai kenamaan di Jepang telah diwarisinya dan samurai di tangannya berkelebat ke
sana-sini amat mengerikan, seperti halilintar menyambar-nyambar di angkasa.
Namun Tio Hok Gwan yang sudah pernah beberapa kali bertanding melawan jagoan
samurai Jepang, sudah mengenal sifat ilmu pedang dari Jepang itu, maka dia dapat
mengimbanginya dengan permainan joan-piannya yang lihai. Bahkan kalau senjatanya
itu kalah kuat dan kalah berat, dia dapat menutup kerugiannya ini dengan kemenangan
dalam kecepatan.
"Tringgg... tringg...!"
Cepat sekali pertemuan senjata yang disusul berkelebatnya samurai dan joan-pian itu
sehingga sukar diikuti pandang mata. Tubuh Tio Hok Gwan terhuyung ke belakang
sedangkan tubuh Bu Leng Ci terlempar dan terbanting miring, akan tetapi wanita ini
dapat memcelat bangun kembali, mukanya agak pucat dan darah yang mengalir dari
mulutnya lebih banyak lagi. Adapun Tio Hak Gwah yang terluka pundaknya oleh ujung
samurai, cepat merobek ujung baju dan membalutnya dibantu oleh Song Kin. Lukanya
hanya luka kulit yang ringan saja, akan tetapi Bu Leng Ci mengalami luka yang lebih
berat, karena selain tadi sebelum menggunakan senjata dia telah terkena hantaman
angin pukulan lawan, baru saja pinggangnya kena disambar joan-pian sehingga di dalam
dadanya terasa sakit, tanda bahwa sin-kang yang ia pergunakan untuk melindungi tubuh
masih kalah kuat sehingga membalik dan melukai dirinya sendiri. Maklumlah Bu Leng Ci
bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan menang.
Adapun Tio Hok Gwan yang memang tidak ingin menanam permusuhan, sudah menjura
dan berkata, "Kepandaian Siang-tok Mo-li memang hebat dan namamu bukan kosong
belaka. Aku orang she Tio merasa kagum. Harap kau suka berbaik hati untuk memberi
tahu tentang bokor agar aku mempunyai bahan untuk dilaporkan kepada The-tai-
ciangkun."
"Ban-kin-kwi, apakah kau masih tidak percaya omonganku" Aku sudah mengatakan
bahwa kami tidak tahu-menahu tentang bokor emas yang hilang, apalagi melihatnya!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
294 Kalau kau tidak percaya, mari kita lanjutkan pertempuran sampai seorang di antara kita
menggeletak tak bernyawa!"
Tio Hok Gwan menjura. "Kalau begitu, terima kasih dan selamat berpisah." Ia inemberi
isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dengan langkah lebar meninggalkan tempat
itu, menuiu ke perahu kecil mereka di pantai pulau. Kemudian mereka mendayung
perahu meninggalkan pulau itu menuju ke darat.
Bu Leng Ci sambil menahan rasa nyeri di dadanya lalu memanggil para murid kepala dan
lima orang pelayan Kwi-eng Niocu dan berkata, "Pemuda yang kalian tawan itu adalah
seorang yang amat penting sekali bagi Pangcu dan aku. Karena itu, untuk menjaga agar
dia tidak sampai lolos dan ditolong orang, selagi Enci Ang Hwi Nio tidak berada di rumah,
aku yang akan menjaganya dan membawanya ke pulau. Hayo bawa aku kepadanya!"
Tentu saja para murid dan anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani membantah.
Mereka percaya penuh kepada wanita iblis ini, apalagi baru saja mereka melihat sendiri
betapa wanita ini mati-matian membela Kwi-eng-pang ketika datang lawan yang amat
lihai tadi. Segera guru dan murid ini dibawa ke kamar tahanan di mana Kun Liong masih
rebah telentang dalam keadaan lemah dan setengah pingsan.
Bu Leng Ci cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, kemudian
mengempit tubuh yang selain tertotok juga sudah dibelenggu kaki tangannya itu dan
bersama muridnya dia membawa Kun Liong ke atas perahu dan mendayung perahu
kembali ke pulaunya sendiri.
Ketika Kun Liong siuman, ia mengeluh dan membuka matanya. Dia masih ingat betapa
tadi dia ditawan oleh lima orang wanita pelayan Kwi-eng-pangcu yang cantik. Kemudian
dia setengah ingat dengan samar-samar betapa dia dibawa orang naik perahu. Kini tahu-
tahu dia telah rebah di atas sebuah dipan kayu dan di dalam kamar itu duduk dua orang
wanita memandangnya penuh perhatian. Kun Liong mengangkat muka memandang
wajah dua orang itu dan diam-diam dia mengeluh ketika mengenal wajah wanita pendek
yang tersenyum mengejek kepadanya itu. Wajah Siang-tok Mo-li! Dan di sebelah iblis
betina itu duduk seorang dara cantik yang bersikap dingin.
"Mengapa aku dibawa ke sini...?" Dia berkata dan menahan ingin memanggil nama Yo Bi
Kiok. Tentu saja dia mengenal Bi Kiok dan hampir dia memanggilnya kalau saja dia tidak
ingat bahwa dara itu bersikap tidak mengenalnya di depan gurunya yang kejam.
Akan tetapi betapa kaget dan heran-nya ketika dia mendengar suara Bi Kiok berkata
kepadanya, "Yap Kun Liong, Subo telah mengenalmu sebagai anak yang menemukan
bokor emas. Lebih baik engkau segera mengatakan di mana kau- simpan bokor itu agar
Subo dapat mem-pertimbangkan keampunan bagi nyawa-mu!"
Berkerut alis Kun Liong. Hemmm, dara ini telah berubah banyak sekali, pikirnya.
Wajahnya memang makin cantik menarik, tubuhnya makin padat dan ma-tang setelah
dewasa, akan tetapi watak-nya sudah berubah. Dia tidak mengharap-kan dara ini
membantunya atau meno-longnya. Satu kali Bi Kiok menolongnya sudah cukup baginya
dan tidak mengharapkan terus-menerus ditolong. Akan tetapi, bukan karena dara itu
tidak me-nolongnya yang membuat hatinya kecewa, melainkan melihat perubahan itu.
Agak-nya Bi Kiok bukan hanya mewarisi ke-pandaian gurunya, akan tetapi juga wa-
taknya. Siapa lagi kalau bukan dara ini yang membuka rahasianya tentang bokor emas
itu kepade Bu Leng Ci" Hanya Bi Kiok seoranglah yang tahu bahwa dia yang menemukan
bokor emas dan yang mungkin melarikan bokor itu ketika Phoa Sek It, bekas Pengawal
Panglima The Hoo, dibunuh oleh Bu Leng Ci.
Kun Liong tersenyum lebar. "Bi Kiok, engkau makin cantik dan manis saja."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
295 "Ihhh...!!" Bu Leng Ci membentak dan memandang penuh kebencian.
Wajah Yo Bi Kiok menjadi merah sekali dan sekilas tampak oleh Kun Liong sepasang hibir
itu tergetar. "Kun Liong, harap kau jangan main-main. Harap kau mengingat akan
persahabatan kita dan mengingat pula bahwa kau telah menjadi tawanan Subo. Katakan
saja di mana adanya bokor itu atau bawa kami ke sana..."
"Katakan saja, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Bu Leng Ci cepat memotong usul Bi
Kiok agar Kun Liong mengantar mereka ke tempat di mana bokor disembunyikan.
Sedikit sinar mata Kun Liong bertemu dengan pandang mata Bi Kiok, dan ini cukup bagi
Kun Liong. Hampir dia bersorak girang! Kiranya Bi Kiok sama sekali tidak berubah. Masih
Bi Kiok yang dulu, biarpun kini lebih cantik manis, lebih dewasa dan kelihatan dingin
pendiam, namun hatinya masih seperti dulu. Mengertilah dia sekarang mengapa dara itu
membujuknya. Kiranya dara itu melihat bahwa dia berada di dalam cengkeraman Bu
Leng Ci, dan dia tentu akan dibunuh, maka dara itu mengemukakan persoalan bokor
untuk mencegah Bu Leng Ci membunuhnya, dan untuk memberi kesempatan kepadanya
untuk dapat membebaskan diri, maka dara itu mengusulkan agar dia membawa mereka
ke tempat bokor disembunyikan. Jelas semuanya! Dalam keadaan tertotok dan
terbelenggu seperti itu, memang tak mungkin dia melepaskan diri. Akan tetapi kalau
sudah dikeluarkan dari pulau, agaknya akan muncul kesempatan! Ingin dia, kalau bisa,
bangkit merangkul dan mencium gadis itu!
Kun Liong tertawa makin keras dan dengan suara sengaja dibuat bernada mengejek dia
berkata, "Bi Kiok, biarpun kau cantik manis dan bujukanmu halus merayu, biarpun
gurumu bengis dan kejam, jangan kira bahwa bujukanmu dan ancaman Siang-tok Mo-li
akan dapat membujukku atau menakutkan aku!"
"Kun Liong...!" Bi Kiok berseru, benar-benar kaget.
"Bedebah, apa kauminta kusiksa dulu?" Bu Leng Ci sudah bangkit menghampiri.
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya bokor berada di tangan bocah gundul ini, pantas saja kau
bergegas memindahkannya dari tangan para pelayan Kwi-eng Niocu!" Tiba-tiba
terdengar suara halus dan tahu-tahu, seperti hantu saja layaknya, di situ telah muncul
seorang kakek tinggi kurus dan kakek itu lalu terbatuk-batuk. Melihat kakek ini, Kun
Liong terkejut sekali. Itulah kakek yang dia jumpai dalam badai di hutan semalam!
Kakek di dekat api unggun yang bernyanyi tentang kematian dan yang kemudian hendak
membunuhnya. Kakek yang aneh dan amat lihai, yang dianggapnya orang gila! Kiranya
kakek itu terus mengikutinya dan agaknya tahu akan semua pengalamannya, betapa dia
ditawan pelayan-pelayan Kwi-eng Niocu dan betapa dibawa ke pulau ini oleh Bu Leng Ci,
semua telah diketahuinya karena agaknya kakek itu memang terus mengikutinya!
Sementara itu, ketika Bu Leng Ci menoleh dan melihat kakek di ambang pintu kamar
itu, seketika wajahnya berubah pucat. "Toat Beng Hoatsu...!" teriaknya dan tangannya
meraba gagang samurai.
Mendengar disebutnya nama ini, Kun Liong makin terkejut. Dia sudah mendengar nama
ini, nama datuk nomor satu dari sekalian datuk kaum sesat! Kiranya kakek yang
dianggapnya orang gila itu adalah datuk nomor satu! Maka dia memandang penuh
kekhawatiran karena dia maklum bahwa sebagai datuk nomor satu, tentu kakek itu
memiliki keanehan dan kekejaman nomor satu pula!
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?" Bu Leng Ci bertanya dan matanya mengerling ke
luar pintu. Ke mana perginya para pelayannya"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
296 "Ha-ha-ha, kau mencari ini?" Tangan kakek itu merogoh jubahnya dan melemparkan
benda hitam ke atas lantai. Benda itu berserakan dan Kun Liong menelan ludahnya
saking ngeri dan tegang ketika melihat bahwa benda-benda itu adalah rambut kepala
manusia, agaknya rambut wanita dan rambut itu masih melekat pada kulit kepala yang
berdarah. Agaknya rambut-rambut itu dijebol berikut kulit kepalanya dari kepala tujuh
orang wanita! "Ihhh...!" Bi Kiok sendiri yang sudah memiliki ketabahan luar biasa menjadi pucat dan
ngeri membayangkan betapa tujuh orang pelayan wanita itu telah mengalami kematian
yang amat mengerikan, dijebol rambutnya berikut kulit kepala sampai terkupas dari
kepalanya. "Singggg...!" Bu Leng Ci mencabut samurainya. "Toat-beng Hoat-su, mengapa kau
melakukan ini" Apakah antara kita sekarang ada pertentangan dan menjadi musuh?"
"Ha-ha-ha, sama sekali tidak, Siang--tok Mo-li. Terserah kepadamu... heh- heh, terserah
kepadamu mau berkawan atau berlawan dengan aku. Aku hanya menghendaki agar
bocah gundul ini ber-sama bokornya diserahkan kepadaku, barulah kau pantas kusebut
kawan." "Keparat! Singggg...!" Samurai itu menyambar, akan tetapi dengan amat mudahnya
Toat-beng Hoat-su mengelak.
"Hemm, sabar dan tenanglah, Tio Hok Gwan tadi terlalu berat dan lihai bagimu, engkau
sudah terluka parah, perlu apa melawanku?"
"Aku masih cukup kuat untuk melawan seribu orang macam engkau!" Bu Leng Ci
menyerang lagi dengan samurainya, akan tetapi karena dia memang sudah terluka di
sebelah dalam tubuhnya, ketika dia menggerakkan samurai dengan pengerahan sin-kang
dan serangannya itu dielakkan, hampir saja dia terhuyung roboh.
"Toat-beng Hoat-su, akulah lawanmu!"
Tiba-tiba Bi Kiok menerjang dengan pedangnya. "Subo, mengasolah!"
Serangan pedang di tangan Bi Kiok ini hebat sekali berdesing menyambar ke arah leher
kakek itu. Toat-beng Hoat-su terkejut dan maklum bahwa gadis itu ternyata lebih lihai
daripada Bu Leng Ci yang sudah terluka parah.
"Hemm, siapa kau?"
"Orang menyebutku Giok-hong-cu!" jawab Bi Kiok sambil menerjang lagi.
"Ha-ha-ha, kiranya murid Bu Leng Ci" Gurumu saja tidak mampu menandingiku, apalagi
engkau" Ha-ha, bocah kurang ajar macam engkau harus dihajar!" Ketika pedang Bi Kiok
menusuk dada, gadis itu girang sekali melihat betapa gerakan mengelak dari kakek itu
kurang cepat sehingga pedangnya masih menge-nai pinggir dada. Akan tetapi betapa
kagetnya ketika tiba-tiba jubah itu terle-pas dari tubuh Toat-beng Hoat-su dan sekali
kakek itu menggerakkan jubah, pe-dangnya yang tadi menusuk jubah itu dipaksa
terlepas dari tangannya! Inilah kelihaian Toat-beng Hoat-su yang me-mang tidak pernah
menggunakan senjata kecuali jubahnya. Jubahnya merupakan senjata yang amat
ampuh, bahkan selagi
Bukit Pemakan Manusia 17 Bara Naga Karya Yin Yong Hikmah Pedang Hijau 4
^