Petualang Asmara 12

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


akan hal yang terpenting, yaitu melepaskan
mereka. Cepat dia lalu menggoyang tubuhnya, seperti seekor anjing menggoyang tubuh
untuk mengeringkan bulu-bulunya dan... tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri
dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan, wajah pucat dan napas empas-
empis! Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
329 Kun Liong terhuyung-huyung ke depan, menghampiri empat orang itu dan matanya
terbelalak ngeri. Celaka, jangan-jangan mereka itu mati! Akan tetapi tidak, mereka
masih bernapas dan dengan hati penuh penyesalan dan ngeri Kun Liong cepat
meninggalkan tempat itu. Ngeri dia kalau sampai orang-orang itu mati, mati di
tangannya, mati kehabisan hawa sin-kang. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor laba-
laba yang telah menyedot kering empat ekor lalat, dihisap semua air dan darahnya! Ia
bergidik dan terus berlari terhuyung-huyung. Mukanya sampai ke seluruh kepalanya
merah sekali, matanya juga merah, napasnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau
marah. Dia merasa seolah-olah dada dan pusarnya akan meledak karena penuh dengan
hawa sin-kang yang berputar-putar. Dia merasa seolah-olah menjadi sebuah balon karet
kepenuhan hawa.
Dengan pandang mata berkunang dan kepala pening Kun Liong berlari terus, menuju ke
tempat dari mana dia mendengar suara hiruk-pikuk. Dia tidak sadar bahwa dia telah lari
kembali ke arah perkampungan yang dijadikan sarang para pemberontak di tepi Sungai
Huang-ho. Ketika dia tiba di tepi sungai di luar perkampungan itup dia melihat banyak sekali tentara
berperang dengan ramai-nya. Dia menjadi heran karena agaknya yang berperang itu
kedua pihak adalah tentara pemerintah. Dalam kepeningannya dia sampai lupa bahwa
yang memberon-tak juga tentara pemerintah. Dasar kepa-la lagi pening dan bingung.
Melihat pe-rang dia malah mendekati untuk menon-ton!
Delapan orang tentara pemerintah mengenal Kun Liong sebagai bekas ta-wanan
pemimpin mereka, maka serentak mereka menyerbu dengan tombak dan golok di
tangan kanan, perisai di tangan kiri.
Kun Liong berdiri dengan tubuh ber-goyang-goyang seperti orang mabok ke-tika delapan
orang perajurit itu menyer-bunya. Melihat banyak senjata ditujukan kepada dirinya, Kun
Liong menggerakkan kedua tangannya, menyampok dan me-nangkis. Terdengar suara
nyaring berke-rontangan, tombak, golok dan perisai beterbangan disusul tubuh delapan
orang itu terlempar ke sana-sini. Ternyata bahwa dalam keadaan penuh dengan hawa
sin-kang itu, gerakan kedua lengan Kun Liong mendatangkan hawa sin-kang yang amat
kuat sehingga tanpa disadarinya sendiri, tangkisan itu selain membuat semua senjata
terlempar dan patah-patah juga delapan orang itu kena hantam hawa sin-kang,
terlempar dan roboh ping-san!
Kun Liong terbelalak, makin panik dia melihat hasil kedua tangannya. Dengan hati penuh
penyesalan dia lalu menghan-tam sebatang pohon di kirinya.
"Desss...! Braaakkk...!" Pohon yang besarnya tiga kali tubuh orang itu roboh!
Kun Liong melanjutkan gerakannya, menghantam sebuah batu besar di sebe-lah
kanannya. "Desss... krekk!" Batu itu pecah dan dalam kemarahannya terhadap diri sendiri
terdorong penyesalan babwa kem-bali dia mencelakai orang dengan pukulannya,
pemuda ini terus menghantami pe-cahan batu sehingga batu-batu itu men-jadi hancur
berkeping-keping.
Anehnya, kini kepeningannya berkurang dan napasnya menjadi enak kembali. Tahulah
dia, bahwa itu adalah karena kelebihan sin-kang liar yang memutari sebelah dalam dada
dan pusarnya telah tersalurkan keluar. Akan tetapi masih ada sin-kang yang "kelebihan",
sin-kang liar yang ditampungnya dari empat orang kakek tadi, yang masih berputar-
putar di dalam perutnya, mengamuk seperti sege-rombolan setan mencari tempat
tinggal. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
330 "Ihhh, bocah setan...!" Terdengar seruan perlahan dari belakangnya.
Kun Liong membalikkan tubuhnya dan melihat ada seorang kakek tinggi kurus
menyerangnya dengan tamparan hebat yang ditujukan kepada pundaknya, dia otomatis
menggerakkan kedua lengan menangkis.
"Bressss...! Hayaaaa...!" Kakek itu terlempar sampai empat meter dan terbanting lalu
bergulingan dan meloncat bangun dengan mulut terbuka lebar dan mata terheran-heran.
Sedangkan Kun Liong sendiri terpelanting.
"Kun Liong, pengkhianat engkau!"
Bentakan halus ini membuat Kun Liong terkejut dan dia tidak melawan ketika Li Hwa
memasangkan belenggu di kedua tangannya. Kakek tinggi kurus tadi menghampiri dan
menggeleng kepala. "Hebat sekali engkau, orang muda... eihhh, bukankah engkau Yap-
sicu yang kujumpai di Siauw-lim-si?"
Dengan kedua pergelangan tangan di-belenggu rantai baja kuat, Kun Liong menjura
kepada kakek itu. "Harap To-taihiap suka memaafkan saya..."
"Aihhh, aku yang telah menyerangmu, melihat engkau merobohkan delapan orang
perajurit kemudian mengamuk, menghantam pohon dan batu. Engkau hebat bukan
main, Yap-sicu... akan teta-pi, eh, Nona Souw, mengapa dia dibe-lenggu?"
"Tio-lopek harap jangan mudah dike-labuhi bocah ini! Dialah yang telah mendapatkan
bokor emas dan dia pula yang menyembunyikannya."
"Ahhh...!" Tio Hok Gwan, yang berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal kepercayaan The Hoo
yang mengantuk itu, kini berdiri dengan penuh keheranan, bersedakap dan memandang
Kun Liong dengan matanya yang sipit hampir terpejam.
"Hayo katakan di mana kausembunyikan bokor itu!" Li Hwa kini membentak dan pedang
yang telah dicabutnya menodong ulu hati Kun Liong.
Benturan tenaga sakti melawan pengawal she Tio tadi telah membikin normal kembali
keadaan Kun Liong. Kini dia berdiri dan memandang dara jelita yang menodongnya
dengan sinar mata tajam, alis berkerut dan bibir tersenyum mengejek.
"Aku tidak biasa bicara di bawah todongan pedang. Kalau kau bicara setelah ditodong,
sama artinya bahwa aku takut akan pedangmu, Li Hwa. Kalau kau ingin membunuhku,
teruskan saja tusukkan pedangmu. Mengapa ragu-ragu?"
Li Hwa merapatkan gigi dengan gemas. "Aku tahu bahwa engkau tentu telah mengambil
bokor iti dan menyem-bunyikannya lagi. Engkau manusia palsu dan hatimu kotor, tidak
sebersih kepala-mu!"
Panas rasa perut Kun Liong, akan tetapi dia menekan hatinya. "Masa bo-doh, aku baru
mau bicara tentang bokor kalau engkau bersikap lebih manis kepa-daku. Kalau tidak,
mau bunuh, mau tu-suk, mau bacok, terserah!" Dia lalu membalikkan tubuhnya
membelakangi gadis itu!
"Bedebah! Kalau kau tidak mengaku di mana kausimpan bokor itu, kau akan kubunuh!"
"Nona Souw... nanti dulu... Yap-sicu ini..."
"Tio-lopek, harap jangan mencampuri urusan ini. Suhu sendiri yang menyerah-kan tugas
ini kepadaku!" Li Hwa berkata agak kaku.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
331 Kakek itu mengangkat pundak. "Kalau begitu... aku akan membantu pasukan membasmi
para pemberontak!" Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat pergi ke medan
pertempuran yang ber-langsung ramai.
Mereka kini hanya berdua. Li Hwa sudah meloncat ke depan Kun Liong, mengelebatkan
pedangnya. "Yap Kun Liong, kau masih keras kepala?"
"Souw Li Hwa, apa yang kaukehen-daki?"
"Katakan di mana kausimpan bokor itu!"
"Simpan dulu pedangmu dan bersikap-lah manis!"
"Tidak sudi!"
"Aku pun tidak sudi memberi kete-rangan."
"Kau menantang?"
"Kau yang keterlaluan!"
"Kubunuh kau!"
"Terserah!"
Li Hwa dengan gemas menggerak--gerakkan pedangnya. Sinar pedang bergu-lung-
gulung menyambar ke sekeliling tubuh Kun Liong. Pemuda ini mendengar suara kain
robek berkali-kali, pandang matanya kabur oleh sinar pedang dan tak lama kemudian,
ketika pedang berhenti bergerak, masih tampak robekan bajunya beterbangan ke bawah
dan tubuh atasnya sudah telanjang sama sekali! Ternyata dara yang amat lihai ilmu
pedangnya itu telah "mengupasnya" bulat-bulat. Kagum sekali hati Kun Liong karena
gerakan pedang tadi memang luar biasa dan telah berhasil mengupas tubuh atasnya
dengan merobek-robek bajunya tanpa mengenai kulit tubuhnya sedikitpun juga!
Akan tetapi dia menyembunyikan rasa kagumnya, bahkan tersenyum lebar dan berkata
dengan nada mengejek sekali. "Nah, sudah puaskah, kau" Lihat bentuk tubuhku,
baguskah" Li Hwa, setelah eng-kau melibat tubuhku tanpa tertutup baju, aku jadi ingin
sekali melihat tubuhmu..."
"Plakkk!" Pipi kanan Kun Liong di-tampar oleh telapak tangan kiri yang halus namun
penuh terisi tenaga itu sehingga ada warna merah bekas tangan dara itu di pipi Kun
Liong. "Laki-laki ceriwis!"
"Ha-ha, memang aku ceriwis. Akah tetapi engkau ini entah apa namanya yang sudah
menelanjangi aku. Sekali waktu akan kubalas engkau!"
"Apa" Mau membalas tamparanku?"
"Bukan. Membalas karena engkau me-nelanjangiku."
Sepasang mata yang bening itu terbe-lalak, dagu yang meruncing manis itu dijulurkan ke
depan. "Kau... kau... hendak menelanjang... bedebah, manusia kurang ajar kau!"
Kembali tangan kiri Li Hwa bergerak, akan tetapi ditahannya dengan alis berkerut dan
marah. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
332 "Souw Li Hwa, engkau menelanjangiku dengan perbuatan, aku hanya dengan kata-kata
dan engkau sudah mengatakan kurang ajar. Engkau sungguh terlalu dan tidak adil!"
Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati tidak karuan rasanya. Selama
hidupnya belum pernah dia berte-mu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang
begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya.
Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hoat Tosu, dia bersabar
kembali dan bertanya, "Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tidak
mengerti sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah
ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?"
Kun Liong menarik napas panjang. "Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau si-kapmu ramah
dan halus, pada wajahmu terbayang kecantikan aseli dan engkau bertambah manis.
Sungguh, Li Hwa. Se-orang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah
dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta
supaya diberi sebuah baju lebih dulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan
setengah telanjang begini!"
Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena
memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua
baju dari tubuh atas pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira
dan meme-rintahkan perwira ini mengambilkan sepo-tong baju untuk "tawanan" ini.
Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum lalu mengambil sepotong baju, menyerah-
kannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang
masih terjadi di luar perkampungan.
"Li Hwa, kaulepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku dapat
memakai baju ini?"
Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, biarpun hatinya ge-mas bukan
main, Li Hwa terpaksa mem-buka belenggu dengan kunci belenggu, akan tetapi begitu
belenggu terputus, tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke
lambung pemuda itu.
Kun Liong melirik pedang, meman-dang wajah dara itu dan tersenyum le-bar,
menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seper-ti mengulur
waktu. "Hayo, cepat!" Li Hwa menghardik.
Setelah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada
kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan
tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.
"Nah, sekarang katakan di mana bo-kor itu."
"Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?"
"Enak saja! Kalau aku sudah menda-patkan bokor itu, baru kau akan kubebas-kan."
"Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang ber-kumpul
dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh..."
"Lekas katakan di mana!" Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut.
"Aduhh, galak benar, kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi--eng-pang..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
333 "Apa" Kwi-eng Niocu?"
"Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan ditambah empat orang
kakek yang tak kukenal, mengu-rungku dan karena aku merasa tidak sanggup
menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas
oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepa-danya."
"Kausengaja?" Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kema-rahan.
"Mengapa kau berikan dia?"
"Karena aku menggunakan ini!" De-ngan kedua tangannya yang dibelenggu, Kun Liong
mengusap kepalanya.
"Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!" Li Hwa mengomel. "Hayo kata-kan,
kenapa kau berikan wanita iblis itu?"
"Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui
dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan
dia yang telah men-curi dua buah benda pusaka Siauw-lim--pai. Karena itu, biar
sementara kutitip-kan bokor itu kepadanya."
"Kautitipkan" Tolol! Bodoh sekali! Kalau dia ketahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku
harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!"
"Memang aku tolol, habis mengapa?"
"Huh!" Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, meme-rintahkan
perwira itu untuk mengumpul-kan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.
"Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!" dia memerintah.
"Wah, galaknya, Li Hwa, jangan kha-watir, aku tidak akan lari darimu, apa-lagi karena
aku belum membalas per-buatanmu tadi." Kun Liong tertawa ke-tika melihat belasan
orang perajurit pe-merintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus.
Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun
Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan
dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk mem-bantu pengawal Tio Hok Gwan
bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidaklah sukar karena
pemberon-tak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri. Ketika Li Hwa
meninggalkan pasukannya yang tadinya me-ngalami kekalahan, di tengah jalan dia
bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia
lalu mendapat bantuan dan bersama--sama pasukannya yang menanti, mereka lalu
menyerbu perkampungan pemberon-tak dan sekali ini, karena jumlah pasukan
pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang diban-tu
oleh orang-orang asing itu.
Karena kini jumlah pasukan pemerin-tah lebih banyak, terutama sekali karena amukan
Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa perang itu tidak berlangsung ter-lalu lama dan pasukan
pemberontak di-pukul hancur, banyak jatuh korban, ba-nyak para pimpinan
pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik.
Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa
segera bersa-ma Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan
me-ngumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
334 Setelah perang selesai dan anak buah-nya sibuk mengurus korban, karena pa-kaiannya
kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah
tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan, menanggalkan
semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih peng-ganti di tepi sungai,
kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu.
Sambil merendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci se-luruh
tubuhnya, merasa segar dan gem-bira. Akan tetapi sambil menggosok-go-sok tubuhnya,
dia termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama
beberapa hari ini. Terbayang di depan matanya wajah tiga orang pemuda yang amat
mengesankan hati-nya dan yang menimbulkan bermacam perasaan. Wajah Hendrik yang
telah menawannya, menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang
besar dan diam-diam mengharapkan agar pemu-da asing yang dibencinya itu tewas
dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan! Wajah ke dua ada-lah
wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan,
kedua pipi Li Hwa menjadi merah, Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan
amat mesra, akan teta-pi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat
kurang sopan, melainkan ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman
untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa
merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya,
keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama! Wajah ke tiga adalah wajah
pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong, dan wajah ini menimbul-kan kegemasan di
hatinya, geram ke-cewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia
bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau teringat akan bokor emas, ha-tinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong.
Celaka benar pemuda itu. Bokor sudah terdapat, diserahkan kepada Kwi--eng Niocu! Dia
ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu betapa akan gembiranya hati
gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau dia dapat menyerahkan bokor itu kepada
gurunya. Gurunya me-rupakan orang satu-satunya di dunia ini, pengganti orang tuanya
yang telah tiada.
Li Hwa telah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah me-ninggal dunia
beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhunya, telah
meninggal lebih dahulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit
menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena... dia tidak mempunyai keluarga lain,
maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya.
Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhunya
untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri karena
suhunya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya
yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal
karena ketololan Kun Liong!
Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini.
Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu telah diambil murid
oleh The Hoo. Biarpun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya
yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li
Hwa, namun dara ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu
Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat yang mempergunakan tenaga Im-yang-sin-kang dan yang
lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai.
Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa makin
kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di
tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan
dalam, juga kadang-kadang Li Hwa me-wakili gurunya dalam urusan besar seper-ti
menumpas kaum penjahat dan pembe-rontak. Ketika The Hoo menerima lapor-an
Pendekar Sakti Cia Keng Hong tentang pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu
mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sen-diri disuruh mengepalai
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
335 pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan
penga-wal kepala yang lihai itu pun mengepa-lai pasukan sedangkan pasukan besar yang
menyerbu ke Ceng-to selain dipim-pin panglima-panglima perang yang ber-pengalaman,
juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas per-mintaan Panglima Besar
The Hoo! Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia
menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk
memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, menyerang Kwi-eng-pang
untuk merampas kembali bokor emas, sedangkan para tawanan pemberontak akan dia
serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.
Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan... "Ihhh...!"
Dara itu menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di
atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!
"Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!" Kun Liong berkata ke arah
punggung Li Hwa yang putih mulus itu.
"Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!" Li Hwa menjerit-jerit sambil
merendam tubuhnya makin dalam. Dia berjongkok ke dalam air sehingga air sampai ke
lehernya, baru dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata
terbelalak penuh kemarahan.
Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti
orang tidak mengerti. "Lho, kenapa marah-marah tidak karuan" Apa salahku sekali ini,
Nona manis?"
"Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemm... aku
bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!"
"Heh-heh-heh..." Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat
membalas dendam kepada dara yang telah beberapa kali menghinanya itu. "Engkau
memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang menjadi
pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman
penunggu Sungai Huang-ho."
"Apa... apa maksudmu?" Li Hwa membentak dengan kedua tangan menutupi dada,
seolah-olah air yang menutupi dadanya masib belum cukup untuk menyembunyikan
bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.
"Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau
telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir
aku pergi!"
"Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya" Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata
keranjang, cabul, muka tembok!"
"Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di situ atau
aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku."
Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengembil baju Li Hwa, mempermainkan baju
itu sambil mengomel, "Bagaimana ya rasanya baju dirobek-robek, orang?" Dan dia
membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.
"Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!" Saking marahnya, Li Hwa sampai
lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
336 Lengan kirinya dilingkarkan sedapatnya menutupi dadanya yang membusung, tangan
kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong
bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li
Hwa. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini
memegang baju Li Hwa.
"Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu
seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemm..."
"Celuppp...!" Li Hwa sudah berjongkok lagi.
"Kun Liong... jangan... jangan kaugoda aku begini..." Dia hampir menangis, kedua
pipinya kemerahan. Kemarahannya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan
bingungnya. "Siapa menggoda siapa" Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau menampar
pipiku, kau membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kaulakukan terhadap diriku"
Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada
yang menyuruhmu. Siapa menggoda?"
"Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih
dulu..." "Kau mau berpakaian" Siapa yang melarang" Nah, berpakaianlah!" Kun Liong kembali
mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil ter-senyum mengoda,
penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam ia kagum
bukan main karena baru sekarang dia melihat kein-dahan tubuh seorang dara, biarpun
ditu-tup-tutupi akan tetapi menambah kein-dahan yang melampaui apa yang pernah
dimimpikannya itu.
"Lemparkan pakaianku ke sini!" Li Hwa berteriak.
Kun Liong menggeleng kepala dan kembali duduk di atas batu. "Tidak, kau harus
mengambilnya ke sini."
"Kun Liong, tidak malukah kau de-ngan perbuatanmu ini" Kau tidak sopan, kau cabul!"
"Heh-heh, apanya yang cabul" Aku tidak berniat menjamahmu, tidak berniat
menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhnya, se-perti
engkau telah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?"
"Kun Liong, aku... aku malu. Pergilah kau lebih dulu. Atau kau berpaling, ja-ngan
menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara."
Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia
bersenandung! Rantai yang membelenggu kedua tangannya dipukul--pukulkan ke atas
batu sehingga menim-bulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara
senandungnya. Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa
yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada
beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan
kehabisan akal itu. Betapapun lihainya Li Hwa, betapapun galaknya dia, dalam keadaan
bertelanjang bulat di dalam air dan pa-kaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat dara
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
337 ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya
hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu
bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk te-rang-terangan menangis,
dia tidak sudi!
Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar
bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.
"Sang Dewi mandi di telaga
duhai cantik jelita
perawan remaja!"
"Kun Liong, lemparkan pakaianku ke- sini!" Li Hwa kembali menjerit.
"Rambutnya awan tipis di angkasa
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii"
"Kun Liong, kasihanilah aku...!"
"Tubuhnya batang pohon yangliu
penuh lekuk lengkung sempurna
kulitnya lilin putih diraut..."
"Kun Liong...!"
"Hidung mancung bibir...
haiii... gandewa terpentang...
dadanya..."
"Kun Liong!"
"Dadanya... wah, dadanya..."
"Kun Liong..."
Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian
dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!
"Datanglah seorang penggembala
melarikan pakaian Si Juwita
menangislah perawan remaja..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
338 Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu
menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.
"Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan
menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri
membelakangimu kalau kau malu. Pada-hal tidak semestinya malu. Kalau aku memiliki
tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya daripada malu, aku malah akan merasa
bangga sekali, Li Hwa."
Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air,
matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah
pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. "Jadi engkau
menjadi penggembala itu?"
"Heh-heh!" Kun Liong terkekeh dan mengangguk.
"Pantas kau berbau kerbau." Li Hwa berkata saja, karena maksudnya untuk menarik
perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian. Akan tetapi
karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini
selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaiannya
membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki
kaki tangannya.
"Sudah selesaikah?" Kun Liong bertanya.
"Nanti dulu...!"
AKAN tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu
telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan
penuh kagum dia memandang dara yang kini telah memakai pakaian dalam yang serba
ketat dan berwarna merah muda itu.
"Betapa cantiknya engkau, Li Hwa..."
Li Hwa makin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan
pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa
bergelak, maka marahlah dia.
"Jahanam keparat!"
"Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu
benar... ha-ha!"
Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa benar-
benar pakaian luarnya terbalik. "Hihhh... kubunuh kau...!" Gerutunya dan direnggutnya
terlepas pakaian luarnya lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong,
tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya
tertutup pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian
luarnya, Li Hwa menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata
bernyala. Kun Liong terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung
rambut di depannya. Gerakan kedua tangang sepasang lengan diangkat di atas kepala.
Betapa manisnya!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
339 "Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi" Setelah Si
Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa
kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!"
"Kau... kau..." Muka Li Hwa merah sekali.
"Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi
jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami
isteri seperti mereka."
Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata--katanya ini
malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan mata
berapi-api dia berkata, "Kun Liong, penghinaanmu kepa-daku sudah tiada taranya, dan
hanya dapat ditebus dengan nyawa! Biarpun engkau mencurigakan dan mungkin berse-
kutu dengan pemberontak, dan biarpun engkau telah berkhianat dengan menye-rahkan
bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hoat Tosu, aku masih
segan untuk membunuh-mu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi,
penghinaan-penghinaan yang kaulakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan
harus diselesaikan sekarang juga!"
"Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?"
"Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hoat
Tosu, kiranya engkau tidak diajar menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu.
Mungkin engkau bukan pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap
kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu
kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu
akan kucari sendiri."
"Kalau aku yang kalah?"
"Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurangajaranmu, selanjutnya menurut
segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh."
"Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan dan
sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan
penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, biarpun kau sudah beberapa kali
menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!" Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat
ke belakang, ke tempat yang datar.
Li Hwa juga menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut
pedangnya yang sudah diikat di punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya
memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, "Dekatkan kedua tanganmu, akan
kubuka dulu belenggumu."
Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak
perlu." "Hemm, kaukira aku berwatak pengecut, melawan orang yang kedua tangannya
terbelenggu" Akan kubebaskan dulu kau."
"Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri." Kun Liong
menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang. "Krekkrekkk...!"
Belenggu kedua tangannya itu patah-patah!
Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia
tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya dita-wan dan dibelenggu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
340 sehingga diam-diam tentu mentertawakannya
dan hal itu sama dengan

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempermainkannya.
"Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!"
Li Hwa menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet
menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan
tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat
dan berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan
kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari
Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang-sin-kang.
"Hayaaa...!" Kun Liong terkejut sekali, cepat membuang tubuh ke kanan untuk
menghindarkan tamparan, kemudian lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan
kanan lawannya yang lihai.
Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, Li Hwa dengan kecepatan mengagumkan sudah
menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit
sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari
gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan
maut yang berbahaya. Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia mak-lum
bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah amat tinggi dan sekali saja dia terkena cium
tangan dara itu, tentu kekebalannya akan dapat melin-dunginya baik-baik. Maka dia pun
lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong--sin-
kun. Dia sengaja memilih Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena
ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan
paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demi-kian gesitnya. Betapapun
juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah membalas dan tidak
mau mem-balas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan.
Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apalagi
merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong,
padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi
terkejut heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid
Bun Hoat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi sama
sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas
menyerang, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sin-kang dan gin-kang yang
dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat ciptaan
suhunya yang amat dahsyat!
Sesungguhnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa lawannya
selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, juga sudah
digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu
Tiang Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu kbusus seperti Im-yang
Sin-kun dan Pek-in-ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang
menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mujijat I-kin-keng!
I-kin-keng adalah ilmu silat mujijat yang dahulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu,
pendiri Siauw-lim-pai. Mula--mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk
mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang
menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk se-lagi
mendengarkan pelajaran kebatinan.
Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pen-tingnya olah raga untuk menjaga kese-hatan para
pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-
kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
341 Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo
Couwsu, akan tetapi dua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan
belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh
dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Kemudian, bersama-sama
dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng, dari Kansu dan Shansi,
Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh
puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya
Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat,
Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih
Khi-kang, Gaya Bangau Melatih Otot.
Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang aseli oleh Tiang Pek Hosiang
sehingga selain tubuhnya kuat, juga dia memiliki kecepatan yang didasari khi-kang dan
gin-kang. Karena inilah, biarpun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat
mengimbangi gerakan dara itu. Kalau dibuat perbandingan, biarpun gerakan Li Hwa
kelihatan lebih lincah dan indah, namun dia kalah gemblengan! Kun Liong digembleng
oleh dua orang kakek sakti terus-menerus selama sepuluh tahun, sebaliknya Li Hwa
hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi
dan tugas yang amat berat, dan banyak. Apalagi karena berhubung dengan tugasnya,
The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan
sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri.
Saking penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia
menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-
ci-san adalah ilmu tiam-hiat-boat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari,
hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang,
bahkan kalau mengenai sasaran jalan darah kematian, bisa mendatangkan maut. Dua
tangan yang mungil itu kini seolah-olah memegang senjata yang amat ampuh dan
berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin!
"Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!"
Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang mengelak ke sana-sini, dia terus
mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohken lawan dengan cara apapun juga,
karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali.
"Plak-plak-plak!" bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi dapat
ditangkis oleh Kun Liong dan sekali ini pemuda itu mengerahkan sin-kangnya sehingga
kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in-ciang-hoat, uap putih mengepul dari kedua
telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa terdorong ke belakang
dan hampir terjengkang.
"Aihhh...!" Li Hwa menjadi marah sekali.
"Singgg...!" Dia sudah mencabut pedang.
"Nah, ini dia... dia lari ke sini...!"
Lima belas orang perajurit muncul dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun
Liong. Mereka adalah orang-orang ying tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika
Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya
kepada perwira yang mempimpin pasukan kecil itu. "Bagaimana dia sampai dapat lolos?"
"Maaf, Li-hiap. Dia bilang ingin ken-cing, terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-
tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu
berada di sini dan untung ada Li-hiap yang menahan-nya..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
342 "Sudahlah, kalian semua tolol!" Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia
menyimpan kembali pedangnya. Dia merasa malu kalau harus mengeroyok, bahkan dia
harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, biarpun dia tidak sam-pai roboh, akan
tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Kalau tadi dia mencabut pedang
hanya karena dorongan kemarahannya, akan tetapi sete-lah dia menyadari bahwa dia
tidak mam-pu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka
dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok.
Setelah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biarpun kini ada lima belas
orang perajurit yang mengero-yoknya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia
dapat mengelak ke sana- sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke
depan Li Hwa, menjura dan berkata, "Terima kasih atas kebaik-anmu, Li Hwa. Kulihat
Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi berhati-hatilah terhadap Hendrik.
Nah, se-lamat tinggal dan sampai jumpa pula!"
Setelah berkata demikian, melihat para perajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu
melompat jauh dan lari dari
tempat itu. Para perajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak
yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa
lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing. "Apa
yang harus kita lakukan dengan mereka?" tanya Tio Hok Gwan. "Jumlah mereka terlalu
banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita."
"Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?" Li Hwa berkata, "Tio-lopek,
tawanan tetap tawanan apalagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah perajurit-
perajurit pemerintah. Kalau mereka dapat diinsyafkan, tentu tidak akan melanjutkan
penyelewengan mereka. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek,
mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimaria keputusan pengadilan di kota
raja. Adapun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang telah
merampas bokor emas."
"Hehh" Siapa dia?"
"Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang." Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong
tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.
"Memang harus cepat dikejar dan dirampas kembali bokor itu," kata kakek pengantuk
yang lihai ini, "Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw,
Kwi-eng Niocu amat lihai, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-
tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw."
"Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Kalau Lopek sudah selesai
mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusul aku dan
membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka."
Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia
berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut.
"Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup" Kubunuh engkau!" seerang penjaga
berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan.
"Hemm, mau bunuh boleh saja. Siapa takut mati" Setelah aku berada di dalam
cengkeraman kalian, memang terserah kepada kalian akan mati hidupku. Akan tetapi
jangan mengira bahwa setelah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
343 bukan anjing dan aku tidak sudi makan makanan anjing!" Terdengar suara
berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu.
"Bedebah, mampuslah!" Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam
kerangkeng. "Tahan...!" Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian
mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran akan tetapi tidak
berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya.
Seperti telah diduga oleh Li Hwa ketika mendengar suara tawanan yang menolak
makanan tadi, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di
situ dengan sikap angkuh! Pemuda asing yang tampan itu terluka dadanya dan lukanya
dibalut dengan robekan bajunya sendiri. Tubuh atasnya tidak berbaju, telanjang
memperlihatkan kulit yang putih kemerahan, dada yang bidang dan terhias bulu-bulu
pirang yang lembut, kedua lengannya berotot dan lehernya masih terbelit kain leher,
tubuh bawahnya memakai celana dengan sabuk kulit, rambutnya yang pirang itu masih
rapi, matanya penuh semangat, mata yang biru warnanya itu memandang tajam dan
dengan sikap angkuh melirik ke arah Li Hwa. Akan tetapi begitu dia mengenal gadis itu,
sikap angkuhnya segera berubah. Kedua lengah yang tadinya bersedakap dengan sikap
tak acuh segera terlepas dan dia membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata
terbelalak dan bibirnya membentuk senyum, dagunya yang terbelah dua itu bergerak-
gerak menandakan bahwa perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini.
"Nona Souw...! Ahhh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak
terluka dalam perang yang dahsyat itu."
Kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Betapa anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan
terluka dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dia selamat! Padahal
dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang
menawan pemuda itu.
"Kau... kau terluka...!" Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut, akan tetapi segera
mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia memandang terlalu lama dada telanjang yang
terhias bulu pirang halus itu.
"Aku..." Ah, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan, sudah
cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan kami. Bonar-
benar aku kagum!" Sepasang mata biru itu benar-benar memandang penuh kagum,
tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang yang dirasakan benar oleh Li
Hwa, membuat dia makin tertunduk dan bingung.
"Mengapa kau menolak makanan" Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak
dapat menyediakan hidangan yang lebih baik."
Muka pemuda itu menjadi marah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab,
"Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidanganya yang menjadi soal, akan tetapi ada
dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan. Pertama, karena
sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang kelaparan daripada
menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Ke dua, dalam keadaan
tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apalagi yang kuharapkan" Tidak urung aku akan
dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang hidup seperti ini. Kalau pintu kamar
ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati. Aku telah meninggalkan kapalku di mana
aku menjadi kaptennya, berarti aku akan mati konyol di sini. Ah... semua ini adalah
karena Ayah telah keliru menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti
keluarga Selado itu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
344 Li Hwa merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang jahat.
"Di mana kapalmu?"
"Di tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang kapten
yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya."
Hening sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan.
"Yuan..."
Wajah pemuda itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu.
"Apa yang hendak kaukatakan, Li Hwa?"
"Kau pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan
kau khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu
itu." "Jangan...!" Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji
besi. "Jangan kaukorbankan dirimu untukku, Li Hwa!"
Sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua
tangannya yang kecil. Kemudian perlahan-lahan dia menarik kedua tangannya dan
berkata, "Jangan khawatir, aku tidak akan membebaskanmu dengan menggelap, akan
tetapi terang-terangan."
"Akan tetapi... ada empat orang temanku yang tertawan juga. Aku tidak takut mati
terhukum, kalau engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu tidak
dibebaskan, tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, Li Hwa, terima kasih atas
kebaikanmu..."
Li Hwa makin kagum. Tepat persangkaannya bahwa pemuda ini bukanlah orang
sembarangan. Seorang yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan dan
gagah serta memiliki setia kawan yang besar.
"Kalau begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu."
Yuan de Gama membelalakkan mata-nya dan memandang Li Hwa yang sudah
melangkah pergi dari tempat itu. "Wanita yang hebat... betapa aku cinta kepada-mu...."
bisiknya. Lapat-lapat dia men-dengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala
penjaga, dan agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena
buktinya, tak lama kemudi-an kepala penjaga sendiri datang mem-bawa hidangan
dengan sikap biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah.
Karena maklum bahwa semua ini adalah hasil usaha dara yang dicintanya, biarpun
hidangan itu masih serupa, amat sederhana, Yuan de Gama lalu makan dengan
lahapnya, kadang-kadang tersenyum dan matanya bersinar-sinar penuh bahagia. Dia
bukan girang mengingat bahwa dia akan dibebaskan sungguhpun hal ini merupakan
berita yang amat mengejutkan dan baik. Akan tetapi yang amat menggirangkan hatinya
adalah bahwa yang akan membebaskannya adalah Souw Li Hwa, dara yang telah
menjatuhkan hatinya karena kegagahan dan kecantikannya. Bukankah hal itu
mendatangkan harapan di hatinya bahwa cinta kasihnya tidak sia-sia, bahwa setidaknya
dara itu juga menaruh perhatian terhadap dirinya" Tentu saja dia belum berani
mengharapkan bahwa Li Hwa mencintanya. Hal ini merupakan ketidakmungkinan. Li Hwa
adalah murid Panglima Besar The Hoo, mana mungkin jatuh cinta kepadanya, seorang
pemuda asing yang dianggap bangsa "biadab" oleh para pribumi" Akan tetapi belum
tentu, bantah suara hatinya. Cinta kasib mengalahkan apa pun di dunia ini!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
345 Sementara itu, di dalam pondok yang dipergunakan sebagai pusat komando dan
ditinggali untuk sementara oleh para pemimpin pasukan termasuk Li Hwa dan Tio Hok
Gwan, dara itu bercakap-cakap dengan pengawal tua pengantuk itu.
"Nona Souw, apakah sudah kaupikir baik-baik keputusanmu untuk membebaskan para
orang asing yang menjadi tawanan itu?" Tanya Tio Hok Gwan sambil mengerutkan
alisnya. "Sudah saya pertimbangkan masak-masak, Lopek, dan saya berani menanggung semua
akibatnya. Dalam penyerbuan pertama, saya kurang hati-hati, pingsan oleh ledakan dan
tertawan musuh. Dalam keadaan tidak berdaya sama sekali itu, saya telah ditolong oleh
Yuan de Gama. Kini dia sendiri menjadi tawanan kita, maka sudah sepatutnya kalau saya
membalas kebaikannya dan membebaskannya."


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan tetapi empat yang lain?"
"Lopek, andaikata engkau menjadi tawanan musuh, saya akan rela menukarkan Lopek
dengan sepuluh orang tawanan dari pihak musuh. Maka, saya menganggap bahwa saya
telah ditukar dengan Yuan de Gama dan empat orang temannya. Saya kira hal itu tidak
terlalu merugikan kita. Selain itu, kita hanya berurusan dengan para pemberontak.
Merekalah yang harus kita hukum. Orang-orang asing itu hanya pedagang-pedagang,
kalau kita menawan mereka, berarti kita melibatkan pemerintah ke dalam permusuhan
dengan bangsa dan negara lain."
Tio Hok Gwan mengelus dagunya dan menarik napas panjang. "Hemm, semenjak dahulu
aku tidak mengerti tentang urusan pemerintah. Yang jelas saja, andaikata engkau
tertawan musuh, aku tentu dengan rela akan menukar pembebasanmu dengan
pembebasan sepuluh orang musuh yang tertawan olehku, Nona. Terserah, lakukan apa
yang kaukehendaki."
Lega hati Li Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, sungguhpun dia tahu
bahwa perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam
hari itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan
menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang teman
Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara dengan Li
Hwa. "Nona Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu..."
"Yuan, tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu."
"Li Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam
oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan wanita
mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan resmi..."
"Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang itu."
"Li Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kalau mendengar
penuturanku tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain."
"Engkau punya adik perempuan" Tentu cantik sekali..."
"Cantik jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik engkau..."
"Hemmm, ceritakan tentang dia." Li Hwa memotong dan mukan terasa panas.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
346 "Ayahku adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan
kapal di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun.
Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado..."
"Hemm, pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?"
Yuan menarik napas panjang. "Demi-kianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku. Legaspi
Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang peran-tau yang sudah
menjelajah banyak nega-ra dan sudah belasan tahun tinggal di India dan Nepal, memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah puteranya. Ketika guruku itu
menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak tahu bahwa kapalnya dan anaknya akan
dibawa oleh Legaspi Selado terlibat dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku
merasa menyesal sekali karena sebagai muridnya, aku pun tidak dapat membantah
perintahnya. Aku merasa menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pembe-rontak di
negeri yang indah dengan rak-yatnya ramah. Akan tetapi aku pun me-rasa bahagia
karena hal ini memungkin-kan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa."
"Hemm..." Li Hwa tak mampu menjawab dan merasa betapa mukanya makin panas.
Untung malam itu gelap sehingga tidak tampak dua titik air mata membasahi bulu
matanya. "Aku cinta kepadamu, Li Hwa. Demi Tuhan, aku cinta kepadamu, dan kalau keadaan
mengijinkan... tidak dalam keadaan sebagai musuh dalam perang, betapa ingin hatiku
untuk meminangmu kepada orang tuamu, sebagai isteriku..."
Tiba-tiba Li Hwa terisak, tak dapat menahan keharuan hatinya karena selain pernyataan
Yuan itu mengharukan, juga dia diingatkan kepada orang tuanya yang telah tiada.
"Li Hwa... maafkan aku... ah, harap jangan menangis, sayang..." Yuan segera merangkul
pundak dara itu penuh kasih
sayang. Sejenak Li Hwa membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. Setelah keharuan
hatinya agak mereda, dia cepat merenggangkan diri dan berkata lirih, "Yuan, ayah
bundaku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu..."
"Aduhhh... maafkan aku, Li Hwa... kau kasihan sekali."
"Tidak Yuan. Aku telah mempunyai pengganti orang tuaku, yaitu guruku, Panglima Besar
The Hoo yang bijaksana. Karena ini pula, maka harap kau jangan melamun yang bukan-
bukan. Aku adalah murid dan seperti anak sendiri dari Panglima Besar The Hoo, panglima
dan pahlawan negara kami, sedangkan kau... biarpun di dalam hatimu kau tidak setuju,
akan tetapi engkau adalah seorang di antara orang-orang yang membantu pemberontak.
Dan aku adalah seorang asing. Tidak mungkin lagi bicara tentang jodoh."
"Akan tetapi... kalau aku tidak salah mengira... bukankah engkau pun cinta kepadaku, Li
Hwa" Biarpun masih ragu-ragu, dan mungkin hanya sedikit, tidakkah kau cinta pula
kepadaku seperti aku mencintaimu dengan sepenub jiwa ragaku?"
"Sudahlah, jangan bicara tentang itu, Yuan. Kau tahu bahwa aku suka kepadamu karena
kau seorang yang amat baik dalam pandanganku. Pergilah, kita bersahabat dalam
kenangan saja!"
"Li Hwa...!" Yuan meloncat ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan memegang kedua
tangan Li Hwa. "Mungkinkah ini" Mungkinkah cinta kasih dihancurkan dan diputuskan
secara begini saja" Hanya karena kedudukan kita" Li Hwa, cinta kasih tidak dapat
dikalahkan oleh apapun juga. Bahwa kematian pun tidak akan dapat mengalahkan cinta
kasih. Aku cinta padamu, Li Hwa, apa pun yang akan terjadi!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
347 "Yuan...!" Dengan hati terharu, di luar kesadarannya jari tangan Li Hwa memegang
tangan pemuda itu erat-erat.
"Li Hwa sayang...!" Yuan bangkit berdiri, memeluk dara itu dan sebelum Li Hwa dapat
menguasai dirinya, mulutnya telah dicium dengan penuh kemesraan oleh pemuda itu.
Sejenak Li Hwa menjadi lemas, tak dapat menguasai dirinya dan hatinya yang berdebar
tidak karuan, kemudian dia mendorong dada yang tak berbaju itu sambil meloncat ke
belakang ketika Yuan merenggangkan bibir untuk bernapas.
"Yuan, jangan!"
Mendengar bentakan ini, Yuan hanya mengulurkan kedua lengan. Akan tetapi Li Hwa
melangkah mundur dan berkata, "Yuan, aku suka kepadamu, akan tetapi aku pun
melihat jelas hubungan antara kita tak mungkin dilanjutkan dan kalau kau memaksa,
aku akan menganggap engkau sama saja dengan Hendrik..."
"Li Hwa! Engkau tahu bahwa cintaku kepadamu murni dan aku bersumpah tidak akan
meninggalkan bumi Tiongkok dalam keadaan bernyawa kalau aku tidak dapat
menggandengmu sebagai isteriku yang tercinta. Li Hwa, selamat berpisah dan sampai
jumpa pula." Pemuda ini membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menyusul teman-
temannya. Li Hwa berdiri seperti arca di tempat itu, pipinya basah air mata. Diangkatnya perlahan
tangan kanannya menyentuh bibir yang masih berdenyut panas oleh ciuman pemuda itu.
Kemudian dia terisak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya dan menunduk,
dari mulutnya terdengar bisikan bingung, "... aku cinta padanya... aihhh... aku cinta
padanya..."
Kun Liong berjalan seorang diri memasuki hutan besar itu. Berkali-kali dia menghela
napas panjang kalau dia mengenangkan semua pengalamannya. Mengapa nasibnya
demikian sial" Semenjak sepuluh tahun lebih yang lalu dia meninggalkan rumah orang
tuanya di Leng--kok, dia selalu mengalami bermacam kesialan dalam hidupnya. Akhir-
akhir ini pun tidak pernah ada hasil baik dalam setiap usahanya. Mencari ayah bundanya
masih belum ada hasilnya sama sekali. Mencari dua buah benda pusaka Siauw--lim-pai
juga masih belum berhasil. Bah-kan bokor emas yang sudah berada di tangannya,
terpaksa harus dia serahkan kepada Kwi-eng Niocu! Sekali ini dia tidak mau gagal lagi.
Dia akan pergi ke Kwi-ouw, memasuki pulau yang menjadi sarang Kwi-eng-pang dan
terang-terangan dia akan menemui Kwi-eng Niocu minta dua benda pusaka Siauw-lim-
pai, bokor emas milik Panglima The Hoo, dan ber-tanya siapa yang membunuh Thian
Lee, sekalian menegur Kwi-eng-pang yang te-lah mengacau di Siauw-lim-si! Setelah itu,
baru dia akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencari ayah bunda-nya.
Ketika dia tiba di tengah hutan, tiba--tiba Kun Liong mendengar suara ribut-ribut banyak
orang. Cepat dia menuju ke tempat suara itu dan sebuah tikungan tampaklah olehnya
seorang kakek tua duduk bersila di atas sebuah batu besar dikurung oleh dua puluh
orang lebih yang mengeluarkan suara ribut-ribut tadi.
Kun Liong menyelinap di balik sebuah pohon tak jauh dari tempat itu dan me-mandang
penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang
sudah putih digelung ke atas. Melihat cara dia berpakaian dan melihat sanggul
rambutnya, tentu dia seorang pertapa atau seorang pendeta To. Di punggung kakek itu
tergantung sebuah buntalan kain kuning besar. Kakek itu duduk bersila diam seperti
orang tidur, duduk tegak dengan kedua tangan di atas pangkuannya, agaknya sama
sekali tidak mendengar suara ribut-ribut dari orang--orang yang mengurungnya.
"Hee, Kakek tua bangka! Apa kau sudah mampus?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
348 "Tosu hidung kerbau! Serahkan buntal-an di punggungmu!"
"Kita ambil bungkusannya dan pakaian yang dipakainya!"
"Benar! Kita tinggalkan dia telanjang bulat di sini, ha-ha!"
Tingkah dua puluh orang itu seperti segerombolan anjing liar dalam pandangan Kun
Liong yang sudah menjadi marah sekali.
"Dia diam saja, berarti menghina kita! Biar kuhantam kepalanya!" Seorang di antara
mereka berteriak, tangannya bergerak memukul kepala kakek itu.
"Desss...! Auuduhhh... tanganku..." Orang itu meringis dan mengaduh-aduh memegangi
kepalan tangan kanannya yang tadi menghantam kepala itu dan menjadi bengkak.
"Dia melawan! Bunuh saja!"
Orang-orang kasar itu adalah perampok-perampok rendahan yang biasa mengganggu
orang lewat di hutan yang lebat dan sunyi itu. Kini mereka sudah menca-but senjata,
masing-masing ada golok, pedang dan toya, dan beramai-ramai mereka menerjang
kakek yang duduk bersila tanpa bergerak itu.
"Heiii...! Kalian jahat...!" Kun Liong keluar dari tempat sembunyiannya namun dia
terlambat, karena senjata-senjata itu telah menyambar ke arah tubuh si kakek tua
seperti hujan. Akibatnya, orang-orang itu mundur ketakutan karena semua bacokan
yang mengenai tubuh kakek itu membuat senjata mereka terpental sedangkan tubuh
kakek itu sedikit pun tidak terluka, seolah-olah mereka menyerang sebuah arca baja
yang amat kuat. Hanya pakaian kakek itu yang terobek di sana-sini.
"Siluman... dia siluman...!"
"Wah, golokku malah rompal..."
"Toyaku bengkok!"
"Celaka...! Dia setan..."
Orang-orang kasar itu ketakutan dan tiba-tiba mereka mendengar hentakan Kun Liong
yang sudah melompat dekat, "Kalian ini manusia-manusia kejam!"
Ketika mereka menoleh dan melihat Kun Liong mereka makin kaget.
"Wah ini tentu temannya!"
"Setan gundul...!"
"Lari kawan-kawan...!"
Maka larilah dua puluh orang lebih itu tunggang-langgang karena kesaktian kakek itu
telah membuat mereka benar-benar menyangka bahwa Si Kakek adalah sebangsa setan,
dan pemuda gondul yang muncul itu adalah setan gundul.
Kun Liong menjadi geli menyaksikan tingkah mereka itu dan dia tertawa. Akan tetapi dia
segera menghentikan suara ketawanya ketika mendengar suara halus di belakangnya,
"Mereka itu patut dikasihani, bukan ditertawakan."
Kiranya kakek itu telah membuka matanya akan tetapi masih tetap duduk bersila di atas
batu. Sejenak mereka berpandangan dan diam-diam Kun Liong terkejut melihat sinar
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
349 mata kakek itu. Biarpun orangnya sudah amat tua, akan tetapi sinar matanya tajam
bukan main. "Totiang, pakaianmu robek-robek..."
Kakek itu menunduk dan memandangi bajunya yang robek di sana-sini, kemudian dia
tersenyum dan menjawab, "Pakaian rusak dan robek bisa dijahit, orang muda. Akan
tetapi kalau watak yang rusak..."
"Maaf, Totiang. Kurasa watak yang rusak pun dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Saya
kira tidak benar kalau dikatakan bahwa sekali rusak watak orang, selamanya akan tetap
rusak." Kakek itu membelalakkan matanya dan mengangguk-angguk. "Kau benar, orang muda.
Sungguh engkau aneh. Engkau bukan hwesio akan tetapi kepalamu tidak berambut,
agaknya engkau telah keracunan."
Tahulah Kun Liong bahwa kakek ini seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan
hanya karena tadi kebal terhadap senjata orang-orang kasar itu, akan tetapi sekali
pandang dapat menduga bahwa dia keracunan, hal ini membutuhkan pandangan seorang
yang ahli. Maka dia lalu duduk di atas batu di depan kakek itu, juga bersila karena dia
ingin sekali bercakap-cakap dengan kakek aneh itu.
"Totiang, mengapa Totiang tadi mengatakan bahwa orang-orang jahat tadi patut
dikasihani?"
"Orang muda, dahulu aku memang seorang tosu, akan tetapi semenjak aku menyadari
bahwa ikatan terhadap sesuatu agama merampas kebebasanku, aku bu-kanlah seorang
tosu lagi. Namun tidak mengapa kalau kau menyebutku Totiang karena sebutan adalah
kosong, dan nama bukankah menunjukkan keadaan yang dinamainya. Aku merasa
kasihan kepada mereka karena mereka itu buta karena nafsu keinginan mereka. Kita
hidup biasanya menjadi boneka permainan nafsu keinginan kita sendiri, tidak menyadari
bahwa nafsu keinginan, betapapun baiknya menurut pendapat orang, tetap saja
merupakan penyeret ke arah kesesatan dan kepalsuan, maka akhirnya hanya akan
mendorong kita ke dalam lembah kesengsaraan."
"Akan tetapi, Totiang. Apakah semua perbuatan yang mengandung keinginan itu buruk"
Bagaimana kalau keinginan yang terkandung dalam perbuatan itu merupakan keinginan
yang baik?"
"Baik dan buruknya keinginan hanya tergantung Si Penilai, padahal sebetulnya sama
saja. Keinginan tetap keinginan, merupakan hasrat dari seorang untuk memperoleh
sesuatu. Keinginan yang bersembmyi di balik sebuah perbuatan dinamakan pamrih dan
perbuatan itu akan menjadi perbuatan paisu kalau berpamrih."
"Mengapa palsu, Totiang?"
"Kalau kita melakukan suatu per-buatan dan ada pamrihnya, bukankah si pamrih itu
yang penting, bukan si perbuatan" Padahal kita harus tahu apa pamrih itu! Apakah
sebenarnya pamrih itu" Bukankah pamrih itu adalah keingin-an untuk menguntungkan
diri sendiri, baik lahiriah maupun batiniah" Dengan pamrih, maka perbuatan itu adalah
muna-fik, pura-pura, hanya dijadikan jembatan untuk memperoleh yang diinginkannya.
Katakanlah perbuatan menolong. Kalau menolong dengan ada pamrih, apakah itu
menolong namanya" Kalau yang dipamrihkan, yang diinginkan untuk didapat itu tidak
ada, apakah masih mau menolong" Hati-hati orang muda, jangan kita ter-tipu oleh
pikiran kita yang pandai sekali memabokkan kita dengan segala macam ujar-ujar dan
pelajaran yang kita kenal dari kitab-kitab. Bukalah mata dan mengenal dirimu sendiri,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
350 mengenal segala gerak hati dan pikiranmu, bukan hanya mengenal wajahmu, dan
engkau akan dapat melihat betapa segala macam kepalsuan diciptakan oleh pikiran.
Pikiran memperkuat si aku, dan sekali kita dikuasai oleh ini, segala macam gerakan
dalam hidup ini ditujukan demi keuntungan si aku, sehingga seperti perbuatan mereka
tadi, seringkali menimbulkan kekerasan dan pertentangan."
Kun Liong mengangguk-angguk. Biarpun belum jelas benar, namun dia merasa dapat
melihat dan mengerti isi pembicaraan itu. "Jadi untuk menguasai pengaruh nafsu
keinginan, maka orang-orang seperti Totiang ini lalu bertapa, dan menekan segala
macam nafsu?"
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, kalau hal
itu dilakukan untuk menghindarkan nafsu keinginan, adalah perbuatan yang sama sekali
salah. Nafsu keinginan timbul dari pikiran sendiri, penciptanya adalah diri sendiri. Betapa
mungkin kita melarikan diri dari nafsu keinginan" Biarpun kita melarikan diri ke puncak
Himalaya, nafsu keinginan takkan pernah dapat kita tinggalkan, bahkan melarikan diri ke
puncak Himalaya itu pun sudah merupakan pelaksanaan keinginan kita, bukan"
Keinginan untuk menghindar dari nafsu keinginan!"
"Jadi harus ditekan setiap kali nafsu keinginan timbul, Totiang?"
Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya. "Sekali kita mengalahkan nafsu, maka
nafsu itu harus setiap kali kita kalahkan. Sekali kita menekan, harus setiap kali kita
menekannya kembali. Nafsu yang ditekan, seperti kuda yang dipasangi kendali, harus
selalu dikendalikan. Nafsu yang ditekan, seperti api dalam sekam, setiap kali dapat
berkobar kembali. Tidak ada gunanya melarikan diri dari nafsu, tiada gunanya pula
menekannya. Yang penting kita menghadapinya, mengawasinya, dan mengerti akan
nafsu keinginan kita, mengawasinya tanpa menyetujui, tanpa menentang, hanya
mengawasi saja tanpa memikirkannya. Karena sekali pikiran masuk, sekali kita
menyetujui, menentang atau mengambil kesimpulan maka terciptalah si aku yang
mengawasi si nafsu dan timbul pertentangan! Akan tetapi tanpa adanya si aku dan si
nafsu, yang ada hanya pengawasan itu sendiri dan di sana tidak akan ada lagi nafsu
keinginan!"
Kun Liong mengerutkan alisnya. Baru sekali ini dia mendengar itu. Dia mencari ke dalam
dirinya sendiri berdasarkan keterangan kakek itu. Kemudian dia hertanya, "Akan tetapi,
Totiang. Biasanya setiap gerak perbuatan kita didorong oteh suatu keinginan tertentu.
Kalau nafsu keinginan tidak ada, habis apa yang menjadi dasar dan pendorong
perbuatan kita?"


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lakukanlah dan engkau akan menyatakan sendiri, orang muda! Engkau akan melihat
perbuatan yang wajar, bersih tanpa pamrih karena perbuatan itu hanya bergerak dalam
kasih." "Kalau begitu, Kasih adalah kebalikan atau lawan dari Nafsu Keinginan, Totiang?"
"Kukira tidak demikian, orang muda. Kasih bukanlah lawan Nafsu, akan tetapi untuk
mengenal kasih, nafsu haruslah pergi. Nafsu keinginan menimbulkan iri, dengki, benci
dan kecewa. Untuk mengenal nafsu, maka iri-dengki-benci-kecewa ini harus tidak ada.
Akan tetapi bukan berarti bahwa Cinta Kasih adalah kebalikan dari semua itu."
Hening sejenak. Kun Liong memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mengangkat muka
memandang kakek itu yang juga memandangnya dengan senyum halus pench
keagungan. "Totlang siapakah?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
351 "Dahulu, orang memanggilku Kiang Tojin, Ketua dari Kun-lun-pai, tetapi sekarang aku
hanyalah seorang pengembara yang menikmati hidup dalam alam yang amat indah ini."
Kun Liong terkejut sekali dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut. "Harap
Locianpwe sudi memaafkan teecu yang bersikap kurang hormat kepada Locianpwe."
Kakek itu tertawa, menyentuh pundak pemuda itu dan menyuruhnya bangkit. "Duduklah
kembali seperti tadi, orang muda. Lihat, betapa palsunya segala perbuatan kita dalam
hidup, karena kita telah menjadi boneka yang digerakkan oleh segala tradisi dan
pengetahuan mati. Engkau tadi bersikap biasa kepadaku, kemudian setelah mengetahui
bahwa aku Kiang Tojin dari Kun-lun-pai, engkau lalu merobah sikap dan menghormatiku
berlebih-lebihan! Kepada kakek biasa engkau bersikap biasa, kepada kakek Ketua Kun-
lun-pal engkau bersikap menghormat. Mengapa ada perbedaan ini" Mengapa kita selalu
memandang rendah kepada orang biasa dan memandang tinggi kepada orang yang
dianggap pandai atau berkedudukan tinggi" Bukankah kenyataan hidup yang
membelenggu cara hidup kita ini merupakan pelajaran yang membuka mata dan
berharga sekali untuk dimengerti" Kalau kita membuka mata, orang muda, maka setiap
lembar daun kering yang rontok, setiap ekor burung, hembusan angin, senyum seorang
anak--anak, setitik air mata seorang wanita, semua itu dapat merupakan guru bagi kita!
Hidup berarti berhubungan dengan sesuatu, baik mahluk hidup maupun benda mati.
Kalau membuka mata terhadap hubungan kita dengan semua yang kita hadapi setiap
hari, dan kita membuka mata terhadap tanggapan kita akan hubungan kita dengan
semua itu setiap saat, maka kita akan mengenal diri sendiri. Dan mengenal diri sendiri
merupakan langkah pertama kepada kebijaksanaan, orang muda."
"Teecu menghaturkan terima kasih atas segala wejangan Locianpwe yang amat
berharga."
Kakek itu tersenyum lebar. "Tidak ada yang mewejang dan tidak ada yang diwejang,
orang muda. Engkau adalah muridnya dan engkau pula gurunya, dan seluruh isi alam ini
adalah guru yang dapat memberi petunjuk. Sudah terlampau lama aku duduk di sini,
mari kita bejalan-jalan menikmati keindahan alam, orang muda. Coba engkau membuka
mata melihat segala keindahan itu tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Belajarlah
menggunakan mata sebagaimana sewajarnya dan jangan biarkan pikiran mengaduk dan
mengacaunya dan engkau akan melihat."
Mereka kini berjalan perlahan-lahan di dalam hutan itu. Kun Liong menggunakan
matanya memandang dan tampaklah olehnya keindahan alam yang menyejukkan hati
dan yang serba baru, lain daripada sebelumnya! Pohon-pohon besar dengan daun-daun
yang hijau segar, seperti bernapas ketika angin menghembus, daun-daun kering yang
membusuk di bawah pohon, menjadi pupuk bagi pertumbuhan pohon. Pohon berbunga,
bunga berbuah, buah akan tua dan jatuh, membusuk di atas tanah kemudian berseri dan
tumbuh menjadi pohon! Tidak ada yang baik tidak ada yang buruk, semua indah, semua
berguna, semua hidup menurut kewajaran masing-masing, akan tetapi semua
merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, semua itu, pohon, rumput, burung, awan, dia
sendiri, kakek itu, semua itu merupakan kesatuan. Hanya pikiran yang memisah-
misahkan sehingga timbullah pertentangan dan bentrokan yang dimulai dari dalam diri
sendiri lalu tercetus ke luar menjadi pertentangan antara manusia, antara golongan,
antara bangsa dan antara ras!
"Locianpwe, teecu Yap Kun Liong selama hidup baru sekarang ini mengalami seperti di
pagi ini!" Kun Liong tak dapat menahan dirinya berseru.
Kakek itu menoleh dan tersenyum, akan tetapi senyumnya mengandung keheranan.
"Namamu Yap Kun Liong" Mengingatkan aku akan seorang she Yap... kalau tidak salah
dia adalah sahabat baik Cia Keng Hong-taihiap..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
352 "Aihh! Dia adalah ayah teecu, Locianpwe. Ayah teecu bemama Yap Cong San."
"Haiii, sungguh kebetulan sekali. Kiranya engkau adalah puteranya" Bagaimana dengan
ayahmu sekarang?"
Kun Liong menghela napas. "Sudah sepuluh tahun lebih teecu tidak pernah bertemu
dengan Ayah dan Ibu." Kemudian dengan singkat dia menceritakan riwayatnya yang
penting-penting saja.
Setelah mendengar penuturan itu Kiang Tojin berkata, "Memang demikianlah. Hidup
diombang-ambingkan antara suka duka. Semua adalah karena diri sendiri, akan tetapi
orang menyalahkannya kepada nasib."
"Memang banyak suka duka yang teecu alami dan teecu merasa bahwa semua kesukaan
itu bukanlah kebahagiaan. Apakah Locianwe seorang yang berbahagia?"
Kakek itu tertawa. "Kalau kaumaksudkan apakah aku seorang yang tidak sengsara, maka
aku dapat mengatakan bahwa aku bukan seorang yang sengsara."
"Loclaripwe, mohon petunjuk Locianpwe. Bagaimanakah caranya agar teecu dapat
berbahagia?"
"Ha-ha-ha, orang muda. Bahagia, seperti juga cinta, tidak mempunyai jalan atau cara!
Bahagia tidak dapat dikejar. Pengejaran bahagia menciptakan bermacam jalan atau cara
ini, dan pengejaran adalah kelanjutan dari nafsu keinginan memiliki sesuatu, dalam hal
ini memiliki kebahagiaan! Dan seperti telah kita bicarakan tadi, nafsu keinginan
menimbulkan iri-dengki-kecewa-benci! Kalau kita mengejar kebahagiaan, berarti kita
menggunakan nafsu untuk mengenal bahagia. Mungkinkah ini" Jangan kau menanyakan
cara untuk berbahagia, sebaiknya kaucari dalam dirimu sendiri, apa yang membuat
engkau tidak berbahagia. Setelah mengerti apa yang membuat engkau terbebas dari
penyebab tidak berbahagia, maka perlukah kau mencari lagi kebahagiaan?"
Kun Liong tercengang dan tak mampu bicara lagi. Segala sesuatu telah dibentangkan
oleh kakek itu, persoalan-persoalan telah ditelanjangi dan dia hanya tinggal membuka
mata untuk melihat!
Tiba-tiba dari depan datang serombongan Nikouw (pendeta wanita). Empat orang
memanggul sebuah joli (tandu) dan tiga orang lagi berjalan mengiringkan joli yang
tertutup sutera kuning itu. Para nikouw ini mengerudungi kepala gundul mereka dengan
kain kuning, pula dan wajah mereka kelihatan muram. Mereka itu terdiri dari wanita-
wanita antara usia tiga puluh dan empat puluh tahun, dan sikap mereka pendiam dan
serius. Ketika rombongan itu tiba dekat, Kiang Tojin dan Kun Liong mendengar suara rintihan
dari dalam joli. Kiang Tojin lalu menghadang di tengah jalan, menjura dan bertanya,
"Cu-wi, harap tahan dulu dan perkenankan saya menerima penderita sakit yang Cuwi
angkat, siapa tahu saya akan dapat menolongnya."
Dengan gerakan yang cepat bukan main sehingga mengejutkan Kun Liong, tiga orang
pengiring tandu itu meloncat ke depan, sejenak mereka memandang tajam kepada Kiang
Tojin, kemudian seorang di antara mereka menjura dan berkata. "Omitohud...! Bukankah
pinni (saya) berhadapan dengan Kiang Tojin dari Kun-lun-pai?"
Kiang Tojin tersenyum. "Sekarang saya bukan Ketua Kun-lun-pai lagi, telah
mengundurkan diri dan hanya menjadi seorang kakek biasa saja."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
353 Para nikouw itu segera memberi hormat dan menyuruh teman-teman mereka
menurunkan tandu. Nikouw pertama memberi hormat lagi dan berkata, "Terima kasih
banyak atas kebaikan hati Locianpwe. Memang Twa-suci (Kakak Seperguruan Pertama)
kami menderita luka cukup parah. Akan kami tanyakan dulu kepadanya apakah dia mau
menerima pertolongan Locianpwe."
Nikouw itu lalu menghampiri tandu, menyingkap tenda sutera sedikit dan berbisik-bisik.
Terdengar jawaban suara halus dari dalam tandu, "Persilakan dia untuk memeriksa nadi
tanganku." Dan sebuah lengan yang kecil dan berkulit putih halus diulur dari balik tenda
sutera. Melihat ini, Kiang Tojin tersenyum, melangkah ke dekat tandu kemudian berkata,
"Maafkan saya..." Dipegangnya pergelangan tangan itu dan tak lama kemudian
dilepaskannya kembali. Dia melangkah mundur tiga tindak, mengge-leng kepala dan
berkata, "Sungguh me-nyesal sekali. Luka itu diakibatkan oleh racun ular yang amat
jahat dan berbaha-ya, kalau tidak salah, racun dan ular yang hanya terdapat di
Pegunungan Himalaya, namanya Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun). Bukankah di sekitar
luka itu terdapat warna-warna hitam, merah, biru, kuning dan hijau?"
"Benar demikian...!" Terdengar suara halus dari balik tirai sutera.
"Ahhhh, seperti telah kuduga," kata Kiang Tojin. "Sayang sekali, saya tidak dapat
mengobati luka beracun dari Ngo--tok-coa dan saya kira agak sukar untuk mencari obat
penawarnya di sini. Obat penawarnya hanyalah berburu akar pohon ular hijau yang
terdapat di Himalaya, dan ke dua adalah darah ular beracun lainnya yang cukup kuat..."
Tujuh orang nikouw itu mengeluh, akan tetapi terdengar teguran dari dalam tandu,
"Sumoi sekalian mengapa mengeluh" Kalau ada obat penyembuhnya sukur. Kalau tidak
ada, ya sudah. Apa bedanya?"
Mendengar ini, wajah Kiang Tojin berseri. "Perkataan yang hebat...!"
"Terima kasih atas kebaikan Locianpwe. Sumoi, mari kita berangkat!" terdengar lagi
ucapan halus dari dalam tandu. Empat orang nikouw sudah menggotong lagi joli itu dan
hendak melangkah pergi.
"Tahan dulu...!" Kun Liong meloncat ke depan. "Mendengar keterangan Locianpwe tadi,
aku yakin akan dapat mengobatinya!"
Mendengar ini, para nikouw itu berhenti dan memandang kepada Kun Liong dengan
penuh keraguan. Kalau kakek bekas Ketua Kun-lun-pai yang amat sakti itu saja
menyatakan tidak sanggup, bagaimana hwesio muda itu menyanggupi untuk mengobati
twa-suci mereka"
Kiang Tojin juga merasa heran dan bertanya, "Yap-sicu, benarkah Sicu dapat
mengobatinya" Racun Ngo-tok-coa amat lihai dan racun itu tidak dapat disedot keluar
dengan mulut karena hal itu membahayakan nyawa si penyedot..."
"Locianpwe, sedikit-sedikit teecu pernah menerima pelajaran ilmu pengobatan dari ayah
bunda teecu, terutama mengenai racun ular. Teecu akan mengeluarkan racun itu dengan
tangan, kemudian akan memberi catatan obat yang tidak begitu sukar didapat, bisa
dibeli di toko obat."
Nikouw pertama yang mengawal tandu itu sudah menjura kepada Kun Liong sambil
berkata, "Kalau Siauw-suhu dapat mengobati Twa-suci, kami sebelumnya menghaturkan
banyak terima kasih dan semoga Sang Buddha mengangkat Siauw-suhu ke tingkat yang
lebih bersih dan sempurna."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
354 Kun Liong meringis. Lagi-lagi dia disangka hwesio, dan sekali ini yang menyangkanya
adalah seorang Nikouw! Saking gemasnya dia lalu nekat bersikap seperti hwesio,
merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, "Omitohud, semoga saja Sang
Buddha akan membantu pinceng (saya) untuk mengobati suci kalian."
Kiang Tojin melongo, kemudian menahan senyum dan mengerutkan alisnya mendengar
kata-kata dan melihat sikap Kun Liong ini. Pemuda putera Yap Cong San ini ternyata
aneh dan ugal-ugalan sungguhpun sikap itu hanya dipergunakan untuk melucu, atau
mungkin karena mendongkol disangka hwesio! Betapapun juga, Kiang Tojin ingin sekali
untuk melihat bagaimana caranya pemuda gundul aneh ini mengobati luka akibat Racun
Ngo-tok-coa yang dia tahu amat hebat dan sukar disembuhkan itu. Kalau pemuda yang
sikapnya ugal-ugalan ini ternyata mempermainkan orang sakit, mengingat pemuda itu
putera Yap Cong San, dia patut menegur pemuda itu!
"Harap buka tirai ini dan biarkan saya memeriksa Si Sakit," kata Kun Liong sambil
menggerakkan tangan hendak menyentuh tirai.
"Ohhh, jangan buka...!" Terdengar seruan halus dari dalam, dan nikouw pertama segera
berkata kepada Kun Liong, "Harap Siauw-suhu melakukan pemeriksaan nadi seperti yang
dilakukan oleh Locianpwe tadi. Twa-suci adalah seorang wanita, bagaimana mungkin
membiarkan lengannya disentuh sambil memperlihatkan diri" Biarpun Siauw-suhu
seorang hwesio, akan tetapi tetap saja Siauw-suhu seorang laki-laki."
Lengan yang kecil mungil dengan kulit halus putih itu sudah dijulurkan ke luar lagi dari
balik tirai. Akan tetapi Kun Liong hanya memandang saja tangan itu dan tidak
menyentuhnya. Dia mengomel, "Tadi Locianpwe telah memeriksa nadi dan saya telah
mendengar keterangan hasil pemeriksaannya. Untuk mengobati luka terkena racun, saya
harus memeriksa lukanya lebih dulu, kemudian mengeluarkan racun dari luka itu dan
menentukan obatnya."
"Aihhhh... tak mungkin...!" Terde-ngar jerit tertahan dari dalam tandu.
Kun Liong sudah melangkah mundur tiga tindak. "Sungguh aku tidak mengerti sama
sekali sikap Si Sakit" katanya dengan alis berkerut. "Memang benar aku seorang laki-laki
dan Si Sakit seorang wanita, akan tetapi Si Sakit adalah seorang nikouw, dan aku
seorang... hemm, katakanlah hwesio. Pula Si Sakit adalah penderita dan aku adalah
yang berusaha menolongnya. Mengapa hanya bertemu muka saja diharamkan?"
Mendengar suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama cepat melangkah maju dan
berkata lirih seolah-olah khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ
tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri. "Harap
Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan
malu karena luka itu berada di... di sini..." Nikouw itu tidak melanjutkan kata-katanya
melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis.
Hampir saja Kun Liong tertawa bergelak akan tetapi cepat ditahannya dan dia hanya
menutupi mulut dengan tangan kanan, kemudian berkata, suaranya menjadi sabar,
"Hemmm... sebetulnya tidak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi kalau memang
malu, ya sudahlah."
Hening sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu
itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian tedengar suara halus itu. "Sumoi, mari kita
pergi..." Para nikouw saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun
Liong, menggerakkan pundak dan joli itu diangkat kembali.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
355 "Tahan dulu...!" kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan,
"Sungguh sukar dimengerti sikap orang-orang muda. Mengapa perasaan malu yang tidak
pada tempatnya itu lebih dihargai daripada nyawa" Mengapa tidak dapat diambil usaha
yang tepat untuk pengobatan ini" Misalnya, muka Si Sakit dikerudung sehingga tidak
akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang diperlihatkan hanya sedikit bagian yang
terluka saja. Dengan cara begini, karena mukanya tidak dikenal, perlukah Si Sakit
merasa malu-malu lagi?"
Kembali joli diturunkan dan kini para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli.
Mereka mengerumuni joli dan terjadilah "percakapan" bisik-bisik yang menjadi ciri khas
wanita, biarpun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul! Kiang Tojin saling
pandang dengan Kun Liong dan kakek itu mengangguk-angguk perlahan Kun Liong
tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan "jalan keluar" yang
baik. Kini terjadi kesibukan di dalam joli itu. Tak lama kemudian, nikouw pertama menghadapi
Kun Liong dan berkata, "Twa-suci dapat menerima usul Locianpwe, dan kini
mempersilakan Siauw-suhu untuk melakukan pemeriksaan dan mengobatinya."
Kun Liong tersenyum lebar, dan karena wajahnya memang tampan, senyumnya juga
manis sekali dan para nikouw itu mengerutkan alis, di dalam hati mereka memaki,
"Hwesio genit!"
KETIKA Kun Liong mendekati joli, tirai itu disingkapkan sedikit oleh nikouw pertama,
memberi kesempatan ke-pada Kun Liong untuk memasukkan tubuh atasnya ke sebelah
dalam joli. Begitu- memandang Kun Liong terbelalak dengan hati geli, kasihan, dan juga
kagum sekali. Geli hatinya melihat Nikouw di dalam itu benar-henar tidak kelihatan
orangnya, mukanya dikerudung dan dia menelungkup di atas bangku joli, dan yang
tampak tidak tertutup hanya sebuah pinggul kanan sehingga kelihatan lucu sekali. Dan
kasihan karena melihat pinggul itu, tepat di tengah-tengah bagian yang menggu-nung
melengkung, terdapat luka yang kecil saja, akan tetapi bagian itu mem-bengkak dan
sekitar lubang luka kecil itu berwarna lima macam akan tetapi lebih banyak hitam dan
merahnya! Dan yang membuatnya kagum adalah panggul itu sendiri. Padat dan montok,
tidak seperti pinggul nikouw pertama yang tipis, pinggul ini penuh seperti buah
semangka, akan tetapi kulitnya putih halus seperti kulit bayi, demikian tipis kulitnya
sehingga membayang jalur-jalur urat kecil berwarna merah dan biru! Melihat bentuk
pinggul ini, timbul dugaannya bahwa nikouw yang menjadi twa-suci ini bukan seorang
nenek tua, biarpun para sumoinya ada yang sudah berusia mendekati empat puluh
tahun. Memang sukar menduga usia seseorang tanpa melihat wajahnya, akan tetapi,
biarpun selama hidupnya baru satu kali dia melihat pinggul seorang wanita muda, yaitu
pinggul Li Hwa yang hanya kelihatan sedikit karena sebagian tertutup air sungai, namun
dia dapat melihat bahwa pinggul yang hanya kelihatan sebelah kanan ini adalah pinggul
yang amat bagus!
"Hemmm, memang benar terkena senjata rahasia, agaknya jarum yang mengandung
lima macam racun," kata Kun Liong perlahan. Tubuh yang berkerudung itu bergerak
sedikit tanpa menjawab.
Kun Liong mulai memeriksa. Ketika pertama kali jari-jari tangannya menyentuh kulit
pinggul, pinggul itu tergetar hebat sehingga jari tangan Kun Liong ikut pula menggigil
karena jantungnya berdebar. Baru sekali ini selama hidupnya dia menyentuh pinggul


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang, apalagi pinggul telanjang seorang wanita! Dia cepat menenteramkan perasaannya
dan melanjutkan pemeriksaan.
Kun Liong kaget. Ternyata jalan darah di sekeliling pinggul telah ditotok dan dihentikan
sehingga racun itu tidak menjalar jauh, dan juga ada tenaga sin-kang yang menahan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
356 dari sebelah dalam untuk mendorong racun itu tetap berdiam di dalam pinggul itu saja.
Kiranya nikouw berkerudung ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi!
"Harap jangan mengerahkan sin-kang. Saya hendak mengeluarkan jarum dan racun.
Kalau Su-thai (sebutan pendeta wanita) mengerahkan sin-kang, bisa ber-bahaya."
Kerudung bagian kepala itu mengang-guk dan Kun Liong melihat dua buah mata dari
lubang di kerudung itu, sepa-sang mata yang jeli bening, dan tajam bukan main!
Kun Liong lalu menempelkan telapak tangannya menutupi luka itu. Telapak tangannya
merasa betapa halus dan hangatnya bagian tubuh itu. Dia harus me-lenyapkan pikiran
yang menimbulkan guncangan pada hatinya ini, dan mulailah dia mengerahkan sin-kang,
mempergunakan Thi-khi-i-beng! Hanya dengan ilmu inilah dia dapat mengharapkan
berhasil mengeluarkan jarum dan racun. Dia pun maklum bahwa ngo-tok merupakan
cam-puran lima racun yang berbahaya sekali kalau memasuki mulut, maka menyedot
dengan mulut membahayakan nyawanya, tepat seperti dikatakan Kiang Tojin tadi. Dan
obat penyedot yang ampuh tidak ada, maka jalan satu-satunya hanya
mempergunakan Thi-khi-i-beng.
"Ihhhh...!" Nikouw berkerudung itu mengeluarkan seruan tertahan ketika me-rasa
betapa dari telapak tangan hwesio muda itu muncul tenaga sedotan yang amat kuat dan
yang seolah-olah akan menyedot seluruh tubuhnya bagian dalam! Otomatis nikouw yang
memiliki kepan-daian tinggi ini menggerakkan sin-kang-nya untuk melawan dan...
tenaga sin-kangnya segera membanjir keluar terse-dot oleh telapak tangan Kun Liong.
"Ahhh, bodoh...!" Kun Liong berseru kaget dan cepat menggunakan tenaga sin-kang
yang dilatihnya dari Bun Hoat Tosu untuk melepaskan telapak tangan yang melekat dan
menyedot itu. Kalau dia tidak melakukan ini, tentu tenaga sakti nikouw itu akan habis
disedot oleh-nya!
Nikouw itu terengah-engah kaget dalam kerudungnya, dan dari luka kecil di pinggulnya
keluar darah berwarna hitam!
"Kenapa mengerahkan sin-kang?" Kun Liong mengomel.
"Maaf... maafkan... pinni (saya) terlupa..." Nikouw berkerudung itu berkata.
"Sudahlah, jangan terlupa lagi!" Kun Liong kembali menempelkan telapak tangan
kanannya ke kulit pinggul halus hangat yang mulai berdarah itu, mengerahkan Thi-khi-i-
beng. Darah hitam keluar makin banyak dan akhirnya Kun Liong menarik kembali telapak
tangannya. Di atas telapak tangannya menempel sebuah jarum kecil berwarna merah.
"Hemmm... jarum putera Ban-tok Coa-ong..." Kun Liong berseru keras ketika melihat
jarum itu. "Siauw-suhu mengenalnya?" Nikouw berkerudung itu bertanya sambil melirik ke arah
pinggulnya. Dari luka kecil itu kini keluar darah merah agak kekuningan, akan tetapi
tidak hitam macam tadi.
"Saya pernah bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan puteranya yang bernama Ouw-yang
Bouw." Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
357 "Pinni memang terkena jarum yang dilepas oleh seorang laki-laki yang seperti gila dan
yang mengaku bernama Ouw-yang Bouw." Nikouw itu berkata.
"Hemm, dia memang jahat dan kejam. Racun sudah keluar, tinggal sedikit yang dapat
disembuhkan dengan obat minum." Kun Liong lalu menuliskan resep obat minum dan
obat luar untuk nikouw yang terluka itu. Resep itu dituliskan di atas kain putih yang
disediakan oleh para nikouw dan untuk pensilnya dia menggunakan ranting dan getah
pohon. Nikouw itu kini duduk di dalam jolinya dan tirai di depan joli disingkapkan. Dari dua
lubang di kerudungnya, sepasang matanya yang bening memandang ke luar, ke arah
Kun Liong dan terdengar suaranya yang halus, "Pinni telah menerima budi pertolongan
Siauw-suhu, harap sudi memperkenalkan gelar (nama julukan) dan di mana kuil Siauw-
suhu." Setelah tugasnya mengobati selesai dengan hasil baik, sambil meneliti jarum merah di
tangannya, kemudian menyimpannya dengan hati-hati di saku bajunya setelah
membungkuskan rapi dengan sisa robekan kain putih, Kun Liong tak dapat menahan geli
hatinya. Dia tertawa, melepaskan kegelian dan kemengkalan hatinya karena selalu orang
menyangkanya seorang hwesio!
"Ha-ha-ha-ha! Benarkah kepala gundul menjadi ciri khas seorang hwesio" Benar-kah
bentuk pakaian menjadi ciri khas para pendeta dan pertapa" Kalau begitu, betapa
mudahnya setiap orang mengaku hwesio dan pendeta suci! Menilai isi dengan melihat
kulitnya, betapa menye-satkan! Saya bukan seorang hwesio biar-pun secara tidak
kusengaja kepalaku gundul. Nama saya Yap Kun Liong dan tidak mempunyai tempat
tinggal terten-tu." Dia menjura ke arah nikouw di da-lam tandu.
Para nikouw terkejut dan muka mereka yang tidak berkerudung menjadi merah. Kiranya
mereka semua telah salah menduga dan menganggap pemuda gundul itu seorang rekan
mereka! Nikouw di dalam tandu lebih-lebih lagi terkejut dan makin merasa malu.
Pinggulnya telah diraba-raba oleh seorang pria muda tampan, bukan seorang hwesio
yang sudah bersih hatinya!
"Sumoi sekalian, mari kita pergi!"
Tirai ditutup dan tandu diangkat, dari dalam tandu terdengar suara halus itu, "Yap Kun
Liong-sicu, pinni menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu, semoga Thian
yang akan membalasnya."
Rombongan nikouw itu pergi dan Kun Liong berdiri memandang dengan senyum lebar
dan juga merasa sedikit curiga dan herah mengapa nikouw yang terluka itu sama sekali
tidak mau memperlihatkan mukanya! Benarkah karena tidak ingin dikenal setelah
terpaksa memperlihatkan pinggulnya yang telanjang" Ataukah ada hal lain yang
membuat nikouw itu segan dikenal orang"
"Yap-sicu, kiranya Cia Keng Hong-tai-hiap telah, mengajarkan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng
kepadamu!"
Kun Liong membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang heran. "Bagaimana
Totiang dapat mengetahuinya?"
Kiang Tojin tersenyum lebar. "Hanya Thi-khi-i-beng saja yang mampu menyedot racun
dan jarum tadi melalui telapak tangan, Sicu masih muda telah memiliki ilmu kepandaian
tinggi, sungguh mengun-tungkan akan tetapi juga berbahaya sekali. Kalau boleh saya
mengetahui, apa-kah Sicu menjadi murid Cia-taihiap?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
358 Kun Liong menggeleng kepalanya dan dia tahu bahwa terhadap bekas ketua Kun-lun-pai
ini dia tidak perlu berbohong. "Hanya kebetulan saja Cia-supek mengajarkan Thi-khi-i-
beng kepada teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu adalah mu-rid dari Bun Hoat Tosu
selama lima tahun dan murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula."
Kiang Tojin membelalakkan kedua matanya, kemudian menarik napas pan-jang.
"Aaihhh... kiranya Sicu adalah mu-rid orang-orang sakti! Kalau boleh saya bertanya, Sicu
hendak pergi ke mana-kah?"
"Banyak sekali hal yang harus teecu kerjakan, Locianpwe. Pertama-tama tee-cu harus
mencari kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, yang dirampas Kwi--eng-pang, dan
berusaha mendapatkan kembali pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo yang
terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. Ke dua, teecu harus mencari kedua orang tua teecu
yang sampai kini tidak teecu ketahui di mana adanya. Dan ke tiga... hemmm, teecu
harus mencari Ban-tok Coa-ong dan me-negur puteranya atas kekejamannya me-lukai
nikouw tadi dengan jarum merah beracun."
Kiang Tojin makin terkejut dan heran. "Sicu memang berkepandaian tinggi, akan tetapi
Sicu hendak menentang datuk--datuk kaum sesat, sungguh merupakan pekerjaan yang
amat berbahaya dan be-rat. Betapa juga, mengingat akan guru-guru Sicu, saya tidak
akan heran kalau kelak mendengar bahwa mereka itu te-was di tangan Sicu."
"Wah, siapa yang mau membunuh orang, Locianpwe" Teecu sama sekali tidak ada
pikiran untuk membunuh siapa-pun juga."
"Ehhh" Kalau menentang mereka, bukankah berarti memancing pertandingan mati-
matian?" Kun Liong menggeleng kepalanya. "Sama sekali tidak, Locianpwe. Teecu akan
mendatangi Kwi-eng pangcu, minta kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai dan bokor
emas, mengajukan cengli- (aturan yang beralasan) menegur kepada-nya. Juga keluarga
Ouwyang Raja Ular itu hanya akan teecu tegur agar lain kali jangan bersikap demikian
kejam." Kiang Tojin melongo. Sejenak dia tidak dapat berkata-kata. Kemudian dia menarik napas
panjang dan menggelengkan kepalanya. "Aihhh, banyak sudah aku bertemu dengan
orang muda yang luar biasa, di antaranya dahulu aku kagum kepada Pendekar Sakti Cia
Keng Hong, akan tetapi belum pernah aku mendengar atau bertemu dengan seorang
muda seperti engkau, Sicu. Mau mendatangi datuk-datuk kaum sesat dan menegur
mereka dengan menggunakan cengli! Kalau tidak mendengar sendiri mana aku dapat
percaya" Mudah-mudahan saja kau berhasil, Sicu."
Kakek itu benar-benar kagum sekali terhadap pemuda gundul itu. Kiang Tojin tahu
bahwa pemuda itu telah digembleng oleh dua orang kakek sakti, bahkan telah mewarisi
Thi-khi-i-beng, sukar diukur sampai di mana kelihaiannya. Akan tetapi yang membuat
dia kagum adalah pendirian pemuda ini yang agaknya tidak mau menggunakan
kepandaian untuk membunuh orang, melainkan bermaksud untuk menasihati datuk-
datuk kaum sesat! Dulu dia kagum sekali kepada Cia Keng Hong (baca cerita Pedang
Kayu Harum) akan tetapi sekarang dia dibikin bengong menyaksikan sikap Yap Kun
Liong. "Terima kasih atas kebaikanmu, Locianpwe, terutama sekali terima kasih atas
percakapan yang amat berguna tadi sebelum para nikouw muncul. Uraian Locianpwe
tentang hidup tadi banyak membuka mata teecu. Kini teecu akan melanjutkan
perjalanan teecu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
359 "Selamat jalan, orang muda yang luar biasa. Kuharap saja kalau kelak kebetul-an kau
lewat di Kun-lun-san, kau suka singgah di Kun-lun-pai"
"Mudah-mudahan, Locianpwe. Selamat berpisah." Kun Liong memberi hormat lalu pergi
meninggalkan kakek itu yang masih berdiri memandangnya dengan sikap penuh kagum
dan terheran-heran.
"Bu-moi (Adik Bu)... terima ini...!"
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio melemparkan bokor emas itu kepada adik ang-katnya ketika
dia terdesak oleh tiga orang datuk pria, yaitu Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, dan
Hek-bin Thian--sin yang sudah berhasil menyusulnya ketika Ketua Kwi-eng-pang itu
melarikan diri sambil membawa bokor emas yang diterimanya dari Kun Liong.
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tentu saja cepat menyambut bokor emas yang melayang ke
arahnya itu dan membawa-nya lari, sedangkan Kwi-eng Niocu ber-usaha mencegah tiga
orang datuk yang hendak mengejar. Namun, tentu saja dia tidak mampu menahan
mereka bertiga dan kini Siang-tok Mo-li yang menjadi kejaran mereka. Tiga orang datuk
pria mengejar untuk merampas bokor sedangkan Kwi-eng Niocu mengejar untuk
membantu adik angkatnya itu.
Betapa cepatnya lari Siang-tok Mo--li, tetap saja dia tidak dapat membebas-kan diri dari
pengejaran para datuk itu. Tiga orang datuk pria itu memiliki tingkat kepandaian yang
amat tinggi, bahkan sedikit lebih tinggi daripada tingkat ke-pandaian Siang-tok Mo-li,
maka tak lama kemudian tiga orang datuk pria itu telah menyusulnya dan segera
mengepungnya. "Siang-tok Mo-li, serahkan bokor itu kepadaku!" Toat-beng Hoat-su menubruk ke depan.
Siang-tok Mo-li terkejut, cepat dia meloncat ke kiri menghindar, akan tetapi sambil
tertawa menyeramkan, Ban-tok Coa-ong sudah menyambutnya dengah lengannya yang
panjang seperti ular itu menyambar untuk merampas bokor! Bu Leng Ci terkejut sekali,
apalagi melihat betapa Hek-bin Thian-sin juga sudah me-nerkamnya.
"Ang-cici (Kakak Ang), terimalah bokor...!" Dia berseru dan cepat melemparkan bokor
melambung tinggi ke arah Kwi-eng Niocu yang sudah tiba di tem-pat itu. Tentu saja Kwi-
eng Niocu cepat menyambar bokor dan melarikan diri secepatnya. Ia ingin cepat-cepat
tiba di Kwi-ouw, karena kalau dia sudah tiba di tempat perkumpulannya itu, dengan me-
ngandalkan telaga yang penuh rahasia dan bantuan anak buahnya, tentu dia akan dapat
melawan tiga orang datuk pria itu. Akan tetapi sayang sekali, Kwi-ouw (Telaga Setan)
masih amat jauh dan kini tiga orang datuk pria itu telah me-ngejar lagi sambil berteriak-
teriak. "Wah, curang! Kalian berdua berse-kongkol!" Ban-tok Coa-ong berteriak.
"Dasar perempuan. licik dan selalu hendak menipu kita kaum pria!" Toat--beng Hoat-su
mengomel sambil memper-cepat larinya mengejar.
Hek-bin Thian-sin diam saja dan terus mengejar. Dia mendongkol sekali mengapa
Legaspi Selado, tokoh asing botak yang lihai itu, yang sudah berjanji akan membantu
memperebutkan bokor emas, masih juga belum muncul. Kalau ada Si Botak Asing itu
bersama pasukannya, tentu dia akan dapat merampas bokor dan mengatasi empat orang
datuk lain-nya.
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang me-ngejar di sebelah belakang, tiba-tiba mengeluarkan
suara melengking tinggi dua kali. Dari jauh terdengar lengkingan tinggi yang hampir
sama, juga dua kali.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
360 Bu Leng Ci tersenyum girang dan dia mempercepat larinya, akan tetapi tidak mengambil
jalan yang sama seperti yang dilalui Kwi-eng Niocu dan tiga orang pe-ngejarnya. Kwi-eng
Niocu mengambil jalan mendaki naik ke pegunungan, sedangkan Siang-tok Mo-li
memotong jalan melalui sebelah bawah dari mana tadi dia mendengar suara melengking
yang menyambut tanda rahasianya. Ketika dia tiba di seberang sebuah jurang, tampak-
lah olehnya di sebelah atas, terhalang oleh jurang itu, bayangan Kwi-eng Niocu
sedangkan tiga orang pengejarnya sudah hampir menyusul Ketua Kwi-eng-pang itu.
"Ang-cici...! Lekas lemparkan ke sini...!" Bu Leng Ci berseru.
Ang Hwi Nio sedang gelisah karena tiga orang datuk itu sudah dekat sedang-kan dia
tidak melihat bayangan adik angkatnya. Ketika mendengar suara ini dia menengok dan
giranglah hatinya me-lihat orang yang dicari-carinya itu berada di sebelah bawah,
terhalang jurang yang amat curam dan cukup lebar. Dia percaya bahwa dia mampu
melemparkan bokor itu sampai ke seberang jurang dan dia percaya pula bahwa adik
angkatnya cukup lihai untuk dapat menangkap bokor itu. Melihat betapa tiga orang datuk
pria sudah dekat, dia segera melontarkan bokor itu ke seberang jurang. Benda itu
meluncur dengan cepat sekali ke arah Bu Leng Ci yang sudah berdiri dan siap
menyambut. Bagaikan seekor burung ga-ruda menyambar seekor burung dara, S
Hikmah Pedang Hijau 13 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bukit Pemakan Manusia 10
^