Petualang Asmara 14

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


betapa lawannya
sudah siap me-nyambutnya dengan kedua lengannya yang berbulu dan kuat sekali itu,
kedua lengan yang sudah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah terdengar suara
lawannya tertawa bergelak. Li Hwa maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan
lawan dari atas, dia akan tak berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh
kedua tangan yang kuat itu. Untuk mempergunakan jarum peraknya, dia tidak sudi
karena hal itu berarti bahwa dia jerih menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan
kehadiran dua orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan
ada gunanya. Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya
melayang turun seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakut-an.
"Ha-ha-ha, Nona manis, marilah kita main-main!" Orang Nepal itu berkata dengan logat
bicaranya yang kaku.
Ketika tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah
dan kedua tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari pegangan,
akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan pundaknya, Li
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
388 Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke arah pundak dan
teng-kuk. "Cusss! Cusss!"
"Auggghhh...!" Tubuh raksasa itu terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas.
Dia telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biarpun
tubuhnya kebal, na-mun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat mengenai
jalan darah-nya sehingga untuk sesaat tubuhnya se-perti lumpuh yang menyebabkan
tubuhnya terguling. Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari
tangan kirinya menjambak rambut panjang lawannya dan dengan pengerahan
tenaganya, ditariknya tubuh itu ke atas dan kemudian tangan kanannya yang
dimiringkan menghantam ke arah teng-kuk.
"Krekkkk!"
Tubuh itu terkulal dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton
pertandingan itu terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa raksasa Nepal yang
terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja!
"Tidak salah lagi, dia murid The Hoo...!" Toat-beng Hoat-su berkata lirih.
Ban-tok Coa-ong mengangguk. "Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The
Hoo..." Ban-tok Coa-ong kini menggapai ke-pada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil,
amat kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu
mengerikan sekali.
"Pek-mo (Iblis Putih), tangkap dia!"
Laki-laki bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu
mengangguk, mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba--
tiba, tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar
mengerikan dan ketika mulutnya meri-ngis, ternyata di dalam mulutnya tidak terdapat
gigi sepotong pun!
Li Hwa memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini sungguh merupakan
kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Kalau raksasa Nepal tadi membayangkan
kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya kelihatan seperti seorang berpenyakitan yang
sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan lemah dan agaknya hembusan angin yang
agak besar saja sudah akan cukup untuk merobohkannya. Akan tetapi Li Hwa tidak
tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang yang kecil seperti
mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga sin-kang
yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi saja sudah membuktikan betapa Si
Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak boleh dipandang ringan! Maka tanpa
menanti gerakan lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan
menyerang Si Mayat Hidup itu dengan totokan-totokan maut!
Orang kurus kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak
dan bersilat dengan cara yang aneh namun gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor
monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas dengan
serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman. Yang hebat, kalau tadi jari
tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi bertambah panjang oleh kuku-
kukunya! Ternyata orang itu mempunyai kuku-kuku jari yang aneh, yang dapat digulung
dan kalau perlu, dengan kekuatan sin-kangnya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat
menegang dan panjangnya setiap kuku tidak kurang dari sepuluh senti!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
389 "Brettt...!"
"Aihhh...!" Li Hwa menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini
adalah karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika
cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih dapat
mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar!
Marahlah Li Hwa. Dia tahu sekarang bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan
tubuhnya mainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat-sin-ciang--hoat, yang sukar dicari
tandingannya itu. Gerakan kedua tangannya yang menye-rang terisi dengan tenaga Im-
yang-sin-kang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan It-ci-sian mengarah
jalan darah yang berbahaya.
Ternyata bagi Li Hwa bahwa lawan-nya ini hanya kelihatannya saja menye-ramkan dan
berbahaya. Padahal ilmu silatnya hainyalah ilmu silat golongan hitam yang hanya
berbahaya tampaknya dan tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau berhadapan dengan
ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan yang berbahaya sekali dan
setiap serangannya dapat mendatangkan maut. Akan tetapi terhadap dia yang sudah
me-nerima gemblengan seorang sakti seperti The Hoo, segera dara ini dapat melihat
kelemahannya. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba Li Hwa
mengerahkan khi-kang, membentak keras sekali, kedua kakinya seperti kitiran angin
melakukan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) sehingga lawannya
merintih panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan
bertubi-tubi yang amat berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari atas,
dikebutkan ke arah pundak lawan.
"Krekk!"
Si Mayat Hidup mengeluh dan sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga
tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Di situ dia
merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak berdaging itu menjadi
biru! Terdengar orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak "Hidup calon isteriku
yang perkasa!" Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat. "Terimalah
rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik dan gagah perkasa!"
Biarpun dia sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini,
naik juga darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, matanya mendelik mengeluarkan sinar
berapi dan dia mem-bentak. "0rang gila menjemukan! Mampuslah!"
Tamparan tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang
hanya mengangkat sedikit kepalanya ke atas sehingga telapak ta-ngan Li Hwa yang
menampar kepala itu mengenal pipinya.
"Plakk...!"
"Wah, terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum sekali!"
kata Ouwyang Bouw sam-bil mengelus-elus pipinya yang kena tam-par.
Bukan main marahnya hati Li Hwa, apalagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau
Ular yang tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tidak beleh disamakan
dengan jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak
dapat mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanya mengadu
kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas atau kalau perlu berkorban
nyawa. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
390 "Srattt...!" Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Dengan sikap gagah dia lalu berkata
kepada Ban-tok Coa-ong, "Ban-tok Coa-ong, engkau sebagai tuan rumah di pulau ini,
majulah. Mari kita tentukan siapa yang herhak membawa bokor emas di ujung pedang.
Jangan mengajukan anakmu yang gila!"
"Ha-ha, Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ah!
Menggodaku beleh saja, tapi jangan ke-terlaluan. Aku memang gila, siapa tidak akan
tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis" Engkau ingin main--main dengan
pedang" Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri harus menge-nal kelihaian
masing-masing!"
Pemuda sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang
berbentuk tubuh ular telah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang
mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang
dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda
itu tersenyum--senyum dan melirik-lirik kepadanya!
"Iblis bermulut busuk!" Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak
menerjang dengan kecepatan laksana kilat.
"Trang-trang-cringgg...!" Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-
kali. Merasa betapa pedangya tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa
tenaga sin-kang lawannya tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan
ketika menangkis lagi untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan
kirinya diayun. Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-
ciam (jarum perak), senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai.
"Aihhh... engkau pandai main jarum. Bagus...!" Ouwyang Bouw menggerakkan tangan
kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang menancap dan berjajar
rapi di ujung lengan baju-nya! Sambil tersenyum dia menggerakkan lengan baju itu dan
sinar perak menyambar ke arah kaki Li Hwa yang masih belum turun ke atas tanah. Dara
ini cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar
pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan
pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw.
"Cuiiitttt... trakkk...!" Sinar perak itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-
jarum perak itu bertemu dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang
Bouw. Li Hwa terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting
itu tidak kalah pandai olehnya. Maka dia lalu berteriak nyaring dan menerjang maju,
memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk
merobohkan lawannya.
"Kau hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!" Ouwyang Bouw
terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan
menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat hebat. Dia
cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus menge-jarnya, menangkis dan terpaksa
balas menyerang ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dara itu benar-benar
amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan sambil bersendau-gurau!
Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa
tingkat kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan mau-pun tenaga sin-
kang. Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan
aseli, mempu-nyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan,
sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung
perkembangan yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura
yang amat curang. Akan tetapi, karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
391 lawan sedangkan sebaliknya pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apalagi
membunuh lawan, perlahan--lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya
makin tertekan.
"Jelas dia murid The Hoo dan kalau dia bisa dijadikan tawanan sebagai san-dera, tentu
The Hoo tidak berani mengganggu kita!" Toat-beng Hoat-su barkata.
"Benar sekali," jawah Ban-tok Coa--ong sambil memperhatikan pertandingan antara dara
itu dengan puteranya. "Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melu-kainya, keadaannya amat
berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri dan jangan-jangan dia
akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan menangkapnya."
Toat-beng Hoat-su tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalah-kan Li Hwa,
akan tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju ke
medan pertandingan. Pada saat itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan
pedang ular di tangan Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang
datuk yang lihai itu untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan
kanan Li Hwa sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoat-su menepuk
pundaknya. Li Hwa mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang
Bouw. Dara itu yang lumpuh kedua tangannya, menggerakkan kaki menendang pusar,
akan tetapi pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini
kedua kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh
dara itu dan tangan kanannya masih memegang pedang ular, lalu membawa dara itu
lari. "Bouw-ji... awas jangan kau sampai membunuhnya!" teriak Ban-tok Coa-ong.
Ouwyang Bouw menoleh sambil tertawa. "Apakah Ayah telah menjadi gila" Aku cinta
kepadanya, mana mungkin membunuhnya" Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha, engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!"
"Setahun lagi Ayah akan memondong cucu!" Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil lari
memhawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya.
Ban-tok Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula dan mayat
Sanghida yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoat-su dia kembali ke
dalam pondok besar.
"Harus dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu," kata
Toat-beng Hoat-su, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan itu.
"Jangan khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya
kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang perlu
dia ributkan lagi."
"Lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh
menjengkelkan. Susah-payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan kita, kita
tidak mampu membuka rahasianya." kata Toat-beng Hoat-su dengan wajah kesal.
Berhari-hari mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-
sini, namun belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor itu
mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang amat
luar bia-sa. Tidak takut bokor itu rusak dan raha-sianya ikut pula terusak, tentu mereka
sudah membanting pecah benda pusaka itu! Kini mereka memasuki kamar raha-sia dan
kembali kedua orang kakek yang menjadi datuk kaum sesat itu melanjut-kan
penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang ada guratan-guratan aneh di sebelah
dalam bokor, akan tetapi me-reka tidak dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
392 karena guratan-guratan itu bukan merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga
bukan merupakan peta yang dapat dimengerti.
Sementara itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki
tangannya itu dipondong oleh Ouw-yang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya,
terus memasuki kamarnya dan dengan hati-hati, bahkan dengan lemah -lembut dan
mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih dan
harum baunya. Namun diam-diam Li Hwa bergidik melihat be-tapa di dalam kamar itu
penuh dengan belasan ekor ular-ular berbisa yang me-lingkar di sana-sini, merayap di
sana-sini dalam keadaan jinak seolah-olah ular berbisa itu adalah binatang peliharaan
dan kesayangan! Diam-diam dia mengam-bil keputusan bahwa kalau dia sempat dia
akan memukul mati pemuda ini, ke-mudian mengamuk dan kalau perlu me-ngadu nyawa
karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat, bukan karena
nyawanya yang terancam, juga kehormatannya!
Setelah merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pemba-ringan itu,
menatap wajah yang cantik itu penuh kagum, penuh kasih sayang, bahkan dengan
pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandang
mata itu seolah--olah dapat dia rasakan menyelusuri se-luruh tubuhnya, seolah-olah
pandang mata itu mampu menelanjanginya!
"Moi-moi yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan
mulia di pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu...
adikku yang tercinta...!"
Namun Li Hwa memandang dengan mata mendelik penuh kebencian biarpun di dalam
hatinya dia merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat
dia lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tidak akan
mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia
pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini. Akan tetapi untung baginya
pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita dan biarpun dia ingin sekali
menguasai tubuh Li Hwa, namun dia mempunyai perasaan lain terhadap dara ini, tidak
seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah menjadi korbannya. Dia
sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li Hwa ini sebagai isterinya!
Karena itu, dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini,
hanya ingin mengandalkan bujukan dan rayuannya. Setelah dia menggunakan tali kain
sutera yang halus akan tetapi kuat sekali untuk membe-lenggu kaki tangan dara itu, dia
membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa se-hingga dara itu tidak terlalu tersiksa, dapat
menggerakkan kaki tangannya sungguhpun tidak berdaya melawan kare-na kaki dan
tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya.
"Adikku sayang, kalau menu-rut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan
pesta pernikahan kita di pulau ini"
"Huh, lebih baik aku mati!" Li Hwa menjawab sambil membuang muka.
Ouwyang Bouw tersenyum. "Kita sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku" Ha-ha, hendak memilih
yang macam yang macam bagaimana" Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda
yang tampan dan gagah?"
Melihat betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali
menotok, dia membuat Li Hwa tak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga ketika
mukanya dihadap-kan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka. Terpaksa
dia melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada
diangkat. Bahkan kemudian pemuda itu menyeli-nap ke kamar lain dan ketika muncul
kembali, dia telah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga kali pemuda
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
393 itu bertukar pakaian dan bergaya di depan Li Hwa seperti lagak seorang peragawan
memamerkan pakaian.
"Lihat, bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana" Banyak wanita
tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku cinta
kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku."
Li Hwa mencibirkan bibirnya, sengaja memperilhatkan muka dan sinar mata mengejek
dan memandang rendah.
"Apa engkau belum puas" Bukan ha-nya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan
tampan dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, kaulihat baik-
baik!" Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Tadinya Li
Hwa mengira pemuda itu memamerkan bentuk tubuh-nya yang memang tegap berotot,
akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkan ketika tenyata bahwa
pemuda itu menanggalken seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya sehingga
pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya mengenakan sepatunya!
"Ha-ha-ha, engkau tidak tahan me-lihatku dan memejamkan mata" Bagus, kalau kau
tidak memejamkan mata, eng-kau tentu akan tergila-gila, kepadaku!"
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemu-da gila ini.
Ketika tadi dia melihat pemuda itu menanggalkan baju dalamnya, sebelum dia
memejamkan mata, dia me-lihat dada yang telanjang dan aneh, be-gitu dia
memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Le-bih aneh lagi,
muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap so-pan santun
kepadanya, menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam
keadaan terancam seperti itu, dia membayangkan wajah Yuan dan hati-nya menjeritkan
nama pemuda asing itu!
Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan lagi pakaiannya kemudian
meninggalkan kamar setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penja-gaan
di luar kamarnya. Li Hwa diting-galkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia
termenung, memutar otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat
berbahaya ini. Satu-satunya harapannya adalah gurunya. Gurunya tahu akan bokor
emas, telah menerima lapor-an pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa
dia sendirian melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai,
mungkin Tio Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk
menyerbu Pulau Ular dan saat inilah yang ditunggu-tunggunya karena hanya itu yang
mung-kin akan memberi harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini.
Maka Li Hwa juga tidak mengambil keputusan pendek setelah dengan jelas dia melihat
gelagat bahwa Ouwyang Bouw tidak akan memperkosanya, melain-kan hendak
membujuknya agar dia suka tunduk dan menyerahkan diri. Kini dia dipindahkan ke
dalam sebuah kamar ta-hanan. Belenggu kaki tangannya dilepas-kan, akan tetapi kedua
kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang memungkinkan untuk bergerak
dan berja-lan di dalam kamar tahanan itu, akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk
melarikan diri. Juga kedua tangannya dibelenggu dengan rantai baja yang pan-jang.
Hanya rantai itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari
rantai itu dia diperlakukan dengan baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan,
bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya karena dia dianggap sebagai calon
isteri Ouwyang Bouw! Sampai berhari-hari lamanya, Li Hwa tetap tidak mau tunduk dan
selalu menyambut kedatangan Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Di sam-
ping ini, dia berlaku hati-hati sekali, selalu menggunakan jarum peraknya un-tuk
memeriksa setiap makanan dan mi-numan agar jangan sampai dia dipenga-ruhi racun.
Akan tetapi, ternyata bahwa Ouwyang Bouw belum sampai sejauh itu usahanya untuk
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
394 menguasainya. Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang membuatnya tergila-gila
itu benar-benar tunduk bukan karena terpaksa oleh pe-ngaruh racun atau karena dia
perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali!
Tiga hari kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju
ke Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda
berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong. Pemuda ini mulai dengan
penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah lebih dahulu melakukan
penyelidikan. Kun Liong maklum betapa berbaha-yanya tempat tinggal orang-orang
seperti Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong maka dia sangat mengkhawatirkan ke-
selamatan Li Hwa. Dia mulai mencari Pulau Ular dan hari telah malam ketika dia melihat
bayangan pulau yang bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan
itu, presis seperti penjelasan dan gambaran yang didapat-kannya dari keterangan Cia
Keng Hong sebelum dia berangkat.
Tiba-tiba Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak tiba--tiba datang
bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bin-tang-bintang yang tadi
menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam. Wah, celaka! Benarkah datuk-datuk
kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang didongengkan orang, sehingga
setelah perahunya mendekati Pulau Ular dia diserang badai" Ilmu hitam atau bukan, dia
harus berjuang melawan ombak yang datang bergulung-gulung! Dia memegang
dayungnya dan sejenak pemuda yang bia-sanya tabah ini menjadi bingung juga. Tidak
tampak lagi pulau tadi, tidak tam-pak pula deratan. Di sekelilingnya air menghitam
dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak, tak tentu lagi
arahnya. Betapapun tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air
hanya di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho,
dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahu-nya terguling"
Dahulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah sukar baginya
untuk berenang ke tepi. Apalagi sampai hanyut di laut!
Tiba-tiba tampak otehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar itu
adalah sinar lampu yang bergantungan di sebuah perahu yang besar. Tahu-tahu di
depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan hendak melawannya.
"Heiii... ada perahu.. minggir...!" Kun Liong menggunakan suara yang didorong oleh
tenaga khi-kang yang amat kuat untuk berseru. Suaranya melengking tinggi melawan
gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi terlambat. Terdengar suara keras,
perahunya pecah terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!
"Heii...! Tolooong, auuupp...!" Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit itu
kemasukan air yang rasanya
sampai pahit saking asinnya!
Dia menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali dan lebih
mudah baginya untuk mengambang di permukaan air. Ini pengalaman baru baginya
karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih ringan, tidak seperti
di air tawar. Teriakan-teriakan Kun Liong yang amat nyaring tadi karena didorong oleh tenaga khi-
kang ternyata ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas
perahu. Beberapa sosok bayangan orang tampak di langkan ping-gir perahu, menjenguk
ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak segulung
tambang dilontar-kan ke bawah. Melihat ini, Kun Liong cepat menyambar tambang itu
dan de-ngan girang dia merasa betapa tubuhnya diseret. Kemudian ditarik naik ke tubuh
perahu. Beberapa pasang tangan memban-tunya naik. Kun Liong duduk terengah--engah
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
395 di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang yang datang membawa lampu
perahu yang bergoyang--goyang. Dia mengerahkan hawa di perut untuk mendorong
keluar air laut yang membuat perutnya membusung. Beberapa kali dia muntahkan air
laut sampai pe-rutnya kosong kembali. Terlalu kosong sampai lapar! Barulah dia
memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya. Muka-muka yang asing berkulit
putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya terpikat dan melekat pada se-
pasang mata biru indah yang... bukan main! Bulu matanya panjang, alisnya melengkung
dan hidungnya mancung se-kali di atas sepasang bibir yang... bukan main! Baru
sekarang Kun Liong menyak-sikan kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh
dan... khas. Tahulah dia bahwa wanita muda yang memandangnya dengan mata
setengah terpejam itu ada-lah seorang wanita sebangsa dengan Yuan de Gama, akan
tetapi cantik bukan main.
"Engkau siapakah" Mengapa malam--malam begini naik perahu kecil seorang diri"
Apakah kau seorang nelayan?" Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan.
Kun Liong tidak menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-ka-dang
memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah.
"Ahh, apakah bahasaku tidak jelas" Aku baru belajar bahasa pribumi, maaf-kan kalau
kaku..." "Aku mengerti semua, Nona. Baha-samu baik sekali... terima kasih... aku bukan nelayan,
aku... aku sedang melancong..."
"Ha-ha-ha, melancong di malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main
anehnya bangsa pribumi!" Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu bergelak
seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang. Kun Liong menoleh dan melihat seorang
laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah
tampan, namun ram-butnya yang keemasan sudah mulai memutih di atas kedua telinga.
Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar matanya lembut.
Tiba-tiba terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing disusul jeritan beberapa
orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu menjadi
kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perem-puan lainnya berlari-larian
memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah tadi mengeluarkan
suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari belasan orang laki-laki asing yang
berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas perahu.
Kun Liong merasa heran. Kesehatannya telah pulih kembali dan dia bangkit berdiri.
Keadaan di atas perahu itu kini terang benderang karena para anak buah perahu
menyalakan banyak lampu yang digantungkan di sekeliling perahu. Kira-nya di dekat
perahu besar itu kini tam-pak muncul enam buah perahu kecil yang seperti iblis
bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu kecil itu berdiri orang-orang
yang mremegang senjata golok dan pedang. Setiap perahu terdapat tiga orang sehingga
semuanya ada delapan belas orang. Setelah pera-hu-perahu kecil menempel pada
perahu besar seperti sekumpulan lintah, tampak tali-tali melayang dari bawah, ujungnya
ada kaitannya dan orang-orang itu memanjat ke atas, bahkan ada yang lang-sung
meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali.
"Hemmm, bajak-bajak laut," pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju.
Cepat sekali para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian
seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu pun ikut
berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk. Seorang bajak menyerangnya
dengan go-lok, kakek asing itu mengelak, akan te-tapi bahu kirinya terserempet golok
sehingga terluka. Tanpa mempedulikan lukanya, kakek itu menghantam dada bajak itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
396 dengan kepalan tangan kanannya, membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk.
Bajak ke dua sudah da-tang menyerbu dengan pedang diputar--putar di atas kepala,
langsung membacok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya men-jadi kaku karena dari belakang
dia telah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu, sekali dia
mengayun tangan, tubuh bajak itu ter-lempar ke luar perahu besar!
Kun Liong tidak mempedulikan seruan girang kakek berkumis melintang yang agaknya
menjadi pemilik perahu besar itu, terus dia menyerbu ke depan. Se-orang bajak
menyambutnya dengan bacokan golok. Kun Liong miringkan tubuhnya, menampar
lengan yang memegang golok. Orang itu berterlak kesakitan, goloknya terlepas, akan
tetapi dia nekat dan menerjang Kun Liong dengan tangan kanan mencengkeram leher,
Kun Liong menyambut tangan itu dengan tangkisan, kemudian kakinya menendang.
"Desss!" Tubuh bajak ini pun terlem-par keluar dari perahu besar.
Kun Liong tahu bahwa pada saat itu ada golok menusuk dari belakang meng-arah
punggungnya. "Saudara muda, hati-hati belakang-mu...!" Kakek itu berseru, akan tetapi Kun Liong
yang sudah menangkap seorang bajak lain, tidak mempedulikan tusukan itu melainkan
mengerahkan sin-kangnya. Ujung golok itu mengenai punggungnya, merobak bajunya
sampai terbuka lebar akan tetapi ketika mengenai kulitnya yang terlimdung sin-kang dari
dalam, golok itu meleset. Kun Liong melemparkan orang yang ditangkapnya, membalik
dan tendangannya membuat orang yang menusuknya tadi terjungkal, kemudian dia pun
melemparkan orang ini ke luar pera-hu.
Amukan Kun Liong membuat para bajak yang terdiri dari orang Nepal berambut panjang
dan orang-orang Han yang kasar itu menjadi jerih. Mereka bersuit panjang dan seorang
demi seorang melompat keluar dari perahu besar. Para anak buah perahu besar
menjenguk ke luar, melihat betapa para bajak yang pandai berenang itu saling bantu
menye-lamatkan diri dengan perahu-perahu kecil mereka dan sebentar saja perahu-
perahu itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Kun Liong dirubung semua orang. Kakek asing itu memerintahkan agar perahunya
mengambil arah ke utara, menjauhi sebuah pulau yang sore tadi nampak, karena dia
menduga bahwa agaknya bajak-bajak itu datang dari pu-lau itu, deratan yang terdekat
dari situ. Kun Liong menghapus peluh den air laut yang membasahi muka, leher dan kepalanya
yang gundul. Dia dihujani pertanyaan oleh orang-orang yang merubung-nya, akan tetapi
karena pertanyaan itu ditujukan dalam bahasa asing, dia hanya tersenyum, tak tahu apa
yang mereka maksudkan.
"Kalian telah menolong aku dari laut, sudah semestinya aku membantu kalian mengusir
bajak-bajak jahat itu," katanya berkali-kali karena dia menduga bahwa agaknya mereka
itu menyatakan terima kasih mereka.
Makin bingunglah Kun Liong ketika muncul dara jelita bermata biru tadi bersama tiga
orang wanita muda lain yang agaknya adalah pelayan-pelayannya. Tiga orang wanita
muda yang rambutnya memakai kerudung dan wajahnya manis--manis, sikapnya genit-
genit itu pun menghujaninya dengan pertanyaan, se-nyuman dan kerling mata penuh
kagum, membuat Kun Liong tersenyum meringis dengan kemalu-maluan sambil
memandang ke arah dara jelita yang sejak tadi me-mandangnya dengan senyum dan
pandang mata kagum.
"Ahhh, ternyata engkau sebangsa pendekar yang sering kudengar dicerita-kan kakakku.
Dan engkau mentang hebat, pendekar gundul...!" kata dara jelita itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
397 Kun Liong tersenyum-senyum dan menggerak-gerakkan kepalanya yang gun-dul. Baru
sekarang gundulnya tidak dipergunakan orang untuk mengejek atau dianggap pendeta,
melainkan dijadikan sebutan pendekar gundul!
"Aaaah, aku... aku biasa saja, Nona...!" katanya agak gagap karena sinar mata biru itu
benar-benar mempesona.
"Heiiii, jangan dirubung seperti ini! Minggir, minggir!" Tiba-tiba kakek asing itu datang
dan sambil tertawa girang dia menyodorkan tangannya kepada Kun Liong. Tentu saja
Kun Liong tidak me-ngerti dan memandang tangan yang diso-dorkan, bahkan otomatis
sin-kangnya bergerak ke arah perut dan dada karena dia mengira bahwa kakek itu akan
me-nyerangnya! Sebetulnya kakek asing itu mengajaknya bersalaman, tanda menghormat bagi
bangsanya. Akan tetapi persangkaan Kun
Liong lain lagi. Melihat tangan yang besar dan kelihatan kuat itu diacungkan miring
seperti hendak menyodoknya, otomatis dia "memasang" sin-kangnya melindungi perut
dan memandang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik!
"Perkenalkan, saya adalah Richardo de Gama. Siapakah nama Tuan Muda yang gagah
perkasa dan yang telah menolong dan menyelamatkan kami dari serbuan bajak laut?"
Mendengar ucapan yang kaku namun jelas itu barulah Kun Liong mengerti bahwa dia
salah sangka, maka ketika tangan itu menjabat tangannya, dan mengguncang-guncang,
dia diam saja tidak menarik tangannya dan balas tersenyum ramah. Apalagi mendengar
nama itu, teringatlah dia akan Yuan de Gama!
"Nama saya Yap Kun Liong dan harap Tuan jangan bicarakan tentang pertolongan.
Bajak-bajak itu memang jahat dan pantas diusir. Mendengar nama Tuan, apakah Tuan
masih ada hubungan dengan Yuan de Gama?"
"Yuan...?" Terdengar seruan halus dan ternyata dara permata biru tadi yang berseru dan
memegang lengan Kun Liong, memandangnya penuh perhatian. "Yuan adalah kakakku.
Apakah engkau kenal dengan Yuan?"
Berseri wajah Kun Liong. Kiranya dara jelita ini adalah adik perempuan Yuan de Gama.
Dengan mata terbelalak dan terpesona menatap wajah cantik dan mata biru itu, dia
menggumam, "Engkau... Adik Yuan?"
Gadis itu mengangguk. Manis sekali ketika senyum lebar memperlihatkan deretan gigi
putih mengkilap. "Aku Yua-nita... Yuanita de Gama."
"Yuanita...!" Nama yang terdengar aneh, lucu dan indah bagi telinga Kun Liong, dan
ketika dia menyebut nama itu, logat lidahnya juga terdengar aneh dan lucu bagi Yuanita,
lucu akan tetapi menyenangkan sehingga dia tertawa geli. "Aku pernah bertemu dan
berkenalan dengan dia, seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa," Kun Liong
melanjut-kan kata-katanya dengan setulusnya ka-rena memang dia menyaksikan sikap
Yuan de Gama yang pernah bertanding dalam beberapa jurus dengannya dan pernah


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilihatnya ketika pemuda itu menyelamatkan Li Hwa.
"Ha-ha-ha! Kiranya sahabat Yuan! Pantas saja begini hebat. Tuan Muda, ternyata engkau
adalah seorang tamu kehormatan, seorang sahabat baik. Te-rima kasih kepada Tuhan
yang telah mempertemukan kami dengan engkau!"
"Ayah, pakaian Yap-taihiap (Pendekar Besar Yap) basah semua dan robek-robek.
Selayaknya seorang tamu agung disambut dengan hormat dan baik," kata Yuanita.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
398 "Ha-ha-ha! Saking girang hatiku, aku sampai lupa. Terserah kepadamu!" kata kakek itu.
Yuanita lalu memberi aba-aba kepada tiga orang pelayannya. Tiga orang gadis yang
genit-genit itu tertawa, lalu mereka memegang kedua lengan Kun Liong dan menarik-
narik pemuda itu memasuki ruangan perahu di bawah.
"Eh-eh... apa ini..." Ke mana..." Eh, mengapa menyeret saya...?" Kun Liong membantah,
akan tetapi dia pun tidak tega untuk menggunakan kekerasan, maka dia membiarkan
dirinya ditarik-tarik oleh tiga orang pelayan muda itu, diikuti suara ketawa bergelak dari
Richardo de Gama dan anak buahnya serta senyum lebar yang manis dari Yuanita.
Kun Long yang tersenyum-senyum masam karena malu dan bingung itu ditarik oleh tiga
orang pelayan wanita muda dan genit-genit yang tertawa-tawa itu ke dalam sebuah
kamar di perahu itu.
"Eh, kalian ini mau apa?" Berkali--kali Kun Liong bertanya.
Akan tetapi tiga orang wanita itu mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing yang sama
sekali tidak dimengerti oleh Kun Liong. Mereka menunjuk-nunjuk ke sebuah tong kayu
besar bundar yang terisi air jernih. Karena tidak mengerti, Kun Liong menghampiri tong
air itu dan menjenguk ke dalam. Airnya jernih sekali, akan tetapi tidak ada apa--apanya
yang aneh, maka dia tersenyum menyeringai, memandang tiga orang gadis pelayan itu
berganti-ganti dan mengang-kat pundaknya.
"Ini air... dalam tong, airnya jernih sekali, tapi ada apa?" Kun Liong berta-nya.
Tiga orang itu saling pandang, lalu saling bicara ramai dalam bahasa yang bagi telinga
Kun Liong seperti kicau burung yang tidak karuan artinya. Kemu-dian seorang di antara
mereka, yang agaknya sudah dapat "memungut" sepatah dua patah kata-kata dalam
bahasa pri-bumi, menunjuk ke arah air di tong air itu sambil berkata kaku, "Mandi...!
Man-di...!"
"Mandi...!" Dua orang gadis lainnya bersorak dan menunjuk-nunjuk ke tong air.
Kun Liong terbelalak, "Mandi...?" Dia bertanya dan memandang bingung. Jadi dia disuruh
mandi" Dipandangnya pakai-annya yang basah kuyup dan robek, dan hidungnya
memang mencium bau amis air laut. Dilihatnya seorang di antara tiga pelayan wanita
muda itu menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil dan ter-ciumlah bau wangi sekali
ketika isi botol itu memasuki air di tong.
"Mandi...!" Tiga orang dara itu ber-kali-kali mendesaknya.
Kun Liong makin bingung. Ah, lebih baik diturut saja kehendak tiga siluman cantik ini,
pikirnya, kalau tidak tentu mereka tiada akan sudahnya mengganggunya.
"Baiklah. Aku akan mandi. Nah, kalian keluarlah dari kamar ini!" Telunjuknya menuding
ke arah pintu kamar itu.
Tiga orang gadis itu saling pandang dan kelihatan bingung. Mereka kelihatan menjadi
hilang sabar dan mendekati Kun Liong, mendorong-dorongnya dengan halus sambil
menunjuk-nunjuk ke arah tong air dan bibir mereka berkata dengan kaku dan sukar,
"Mandi... mandi... mandi...!" Celaka, pikir Kun Liong. Kalau dia menolak dan memaksa
diri lari keluar untuk membebaskan diri dari desakan tiga orang gadis itu, tentu dia akan
menghadapi keadaan yang membuatnya tidak enak dan canggung. Begitu pun aneh dan
asingnya, jelas bahwa pihak tuan rumah bersikap hormat dan baik kepadanya. Agaknya
karena mereka tadi melihat pakaiannya kotor basah dan robek, dia dipersilakan mandi
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
399 lebih dulu. Akan tetapi mana mungkin mandi dijaga oleh tiga orang gadis pelayan yang
cantik-cantik, genit-genit, dan cerewet akan tetapi tidak dia mengerti ucapannya itu"
"Baiklah! Mandi ya mandi...!" Akhirnya dia berkata kesal dan serta merta dia meloncat ke
dalam tong air!
"Byuuurrr...!" Air itu sungguh sejuk menyegarkan dan berbau harum!
Seperti induk-induk ayam berkotek, petok-petok dengan sikap yang sibuk sekali, tiga
orang gadis pelayan itu mengelilingi tong air. Mereka berteriak--teriak tanpa dimengerti
oleh Kun Liong, kemudian seorang di antara mereka
agaknya ingat akan hafalannya dan ber-kata, "Pakaian... pakaian...!"
"Hehh" Apa" Pakaian...?" Kun Liong tidak mengerti dan tiba-tiba tiga orang gadis
pelayan itu menyerbunya, menarik--narik baju dan celananya dengan paksa untuk
menanggalkan pakaiannya!
"Heiii... eh-eh, heeiiittt... aduh bagaimana ini...?" Kun Liong berteriak-teriak, akan tetapi
tiga orang wanita muda itu tertawa-tawa dan tidak mau melepaskan lagi pakaiannya
sehingga akhirnya baju dan celananya terlepas dan ditarik lolos dari tubuhnya.
"Wah, kalian rusuh...! Kailan melanggar susila...! Wah, bagaimana ini...?" Kun Liong
yang kini telanjang bulat itu merendam tubuh di dalam air dan menggunakan kedua
tangannya untuk menutupi bawah pusar. Hanya kepalanya yang gundul itu tampak di
atas permukaan air, kepalanya menjadi merah mengikuti warna mukanya, merah karena
jengah, malu, dan juga bingung dan ngeri!
Akan tetapi tiga orang gadis pelayan itu tidak mempedulikan semua protesannya. Mereka
melemparkan pakaian kotor itu di sudut kamar, kemudian dengan senyum manis mereka
menyerbu Kun Liong dan mulailah mereka memandikan pemuda itu. Ada yang
menyabuni tubuhnya, ada yang menggosok-gosok kepala gundulnya, dan ada yang
menggunakan air harum itu menyiram mukanya. Sabun itu pun wangi sekali dan kini
mengertilah Kun Liong bahwa mereka itu ternyata benar-benar sedang memandikannya!
Digosok-gosok dan dipijit-pijit pundaknya, terasa nyaman sekali sehingga dia tidak
meronta lagi. Hanya bersandar kepada pinggiran tong itu dengan kedua tangan masih
melindungi anggauta rahasianya dan matanya merem melek, bukan karena keenakan
saja melainkan karena kadang-kadang terasa pedas kemasukan air sabun. Mulutnya
mengomel panjang pendek, sungguhpun bukan omelan marah lagi. "Ihh, kalian ini apa-
apaan sih" Apakah aku ini dianggap bayi" Mentang-mentang kepalaku gundul... masa
ada bayi sebegini besarnya" Sudahlah, sudah... aku bisa mandi sendiri!"
Akan tetapi tentu saja tiga orang gadis itu tidak mengerti ucapannya dan terus
memandikannya sambil bicara sendiri dalam bahasa mereka, tersenyum-senyum dan
kadang-kadang, seorang di antara mereka yang termanis dan tergenit, menggunakan
telunjuk dan ibu jari tangannya mencubit paha Kun Liong.
Menghadapi tiga dara yang berwajah cantik manis, bersikap lincah dan genit, mencium
bau harum dari air tong, sabun, dan yang keluar dari rambut dan pakaian tiga orang
pelayan itu, merasakan betapa jari-jari tangan yang halus itu memijit-mijitnya dengan
mesra, mendengar suara mereka bersendau-gurau biarpun dia tidak mengerti artinya,
semua ini mendatangkan perasaan aneh pada dirinya. Debar jantungnya makin keras,
menggedur-gedur seperti akan memecahkan dadanya, tubuhnya panas dingin dan
tegang. Keadaan dirinya ini membuat Kun Liong menjadi makin bingung dan akhirnya dia
maklum bahwa kalau tiga orang pelayan itu tidak segera pergi, dia takkan kuat bertahan
dan entah akan apa jadinya!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
400 "Sudah! Sudah... cukup! Aku bisa mandi sendiri. Pergilah kalian, pergilah...!" katanya
sambil menggunakan sebelah tangan menepuk-nepuk air sehingga air memercik ke arah
muka tiga orang pelayan itu, sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap dipergunakan
untuk menutupi tubuh bawah. Karena Kun Liong mempergunakan sin-kang, maka
tepukannya itu mengandung tenaga kuat sekali sehingga percikan air itu terasa pedas
dan panas ketika mengenai muka tiga orang pelayan itu. Mereka menjerit dan mundur
kemudian bicara dalam baha-sa mereka dan seorang di antara mereka mengeluarkan
setumpuk pakaian yang ditaruhnya di atas bangku.
"Keluar! Keluarlah kalian!" Kun Liong berkata sambil menuding ke arah pintu. Tiga orang
pelayan itu mengangkat pun-dak, menggerakkan kepala untuk memin-dahkan gumpalan
rambut yang terurai itu ke belakang, kemudian sambil tersenyum dan tertawa-tawa
mereka keluar dari kamar itu.
Bukan main lega hati Kun Liong. Cepat sekali, takut kalau mereka kemba-li, dia
meloncat keluar dari tong air. menyambar handuk dan menyusuti tubuh-nya yang basah,
kemudian mencari-cari pakaiannya. Celaka, pakaiannya tidak ada lagi, tentu diambil oleh
gadis-gadis itu! Karena takut mereka itu kembali sebe-lum tubuhnya yang telanjang itu
tertutup pakaian, dia lalu menyambar pakaian yang ditinggalkan oleh mereka di atas
bangku. Ternyata pakaian itu adalah se-potong celana dan sepotong baju yang bersih
dan aneh karena selain jubah ber-lengan panjang terdapat pula baju berlengan pendek
dan kain pembungkus atau pelindung leher. Terpaksa dia memakai pakaian itu dan diam-
diam dia mengeluh ketika dia melihat tubuh bawahnya yang sudah bercelana. Celana itu
potongannya sempit sekali sehingga biarpun seluruh pakaiannya tertutup, dia merasa
seperti masih telanjang! Betapapun juga, ini jauh lebih baik daripada tidak berpakaian
sama sekali. Maka, sambil mengingat--ingat cara Yuan de Gama berpakaian, dia lalu
memakai rompi dan jubahnya, sedangkan pelindung leher itu hanya dia kalungkan saja
di lehernya. Di ujung kamar itu terdapat sebuah cermin. Ke-tika Kun Liong melihat
bayangannya sendiri di cermin itu, dia menyeringai. Betapa lucu keadaannya!
Daun pintu kamar terbuka, dan ter-dengar suara halus, "Sudah selesaikah Tai-hiap
mandi" Kami telah menunggu--nunggu Tai-hiap untuk makan malam."
Kun Liong cepat membalikkan tubuh dan memandang Yuanita. Sejenak dia terpesona.
Dara ini agaknya sudah bertukar pakaian. Pakaian dari sutera biru yang panjang sampai
ke kaki, rambutnya disanggul indah dan dihias permata. Teringatlah dia akan
keadaannya sendiri dan tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Dara ini demikian
cantik jelita, sedangkan dia seperti badut!
"Maaf... aku... aku tentu kelihatan seperti seorang badut wayang!" Akhirnya dia berkata
ketika dia melihat betapa dara itu pun memperhatikannya.
Yuanita tertawa. Tertawa dengan bebas lepas, tidak malu-malu atau menutupi mulut
yang tertawa dengan tangan seperti kebiasaan dara-dara pribumi. Akan tetapi anehnya,
kebebasan dara ini tidak membayangkan kekasaran, padahal tertawa seperti itu kalau
dilakukan oleh seorang gadis pribumi, tentu akan kelihatan kasar dan tidak sopan!
Kun Liong makin kikuk, mengira bahwa dara itu tentu mentertawakan keadaan
pakaiannya yang lucu dan tidak cocok untuknya itu. "Aku seperti badut dan... dan
Nona... begitu cantik seperti bidadari...!"
Yuanita menghentikan tawanya dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan
sinar mata penuh kagum. "Yap-taihiap, engkau mengingatkan aku kepada seorang
panglima muda di Thian-cin yang menjadi utusan Kaisar menemui Ayah. Aku amat
kagum kepada panglima muda itu, tampan, gagah perkasa dan... seperti engkau. Hanya
bedanya, dia angkuh sedangkan engkau begini rendah hati. Hal ini membuat aku makin
kagum kepadamu, Tai-hiap. Engkau telah memperlihatkan kegagahan, menolong kami,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
401 engkau begini gagah dan tampan akan tetapi engkau merendahkan diri dan memuji-muji
orang lain."
Kata-kata ini membuat Kun Liong makin merasa canggung. "Ahhh, aku... aku orang
biasa saja... seorang gundul yang..."
Kembali Yuanita tertawa dan melangkah maju, menggandeng lengan Kun Liong sambil
berkata, "Sudahlah, kalau engkau merendah terus seperti itu, aku bisa menjadi bersedih
dan menangis! Ayah sudah menanti kita di ruangan makan. Hayolah!"
Jantung Kun Liong berdebar tidak karuan. Sikap dara ini begini bebas. Mana ada seorang
dara jelita yang baru saja dikenalnya telah berani menggandeng-gandengnya seperti itu,
lengan mereka saling bergandengan, ketika berjalan kadang-kadang si pinggul yang
meliuk-liuk itu menyentuh pahanya.
Ketika mereka memasuki ruangan di mana tampak Richardo de Gama duduk
menghadapi meja besar, Kun Liong hendak merenggut tangannya. Apa akan kata ayah
dara itu kalau melihat mereka bergandengan tangan seperti itu" Akan tetapi agaknya
Yuanita merasa akan gerakannya, maka dara itu menggandeng lebih erat lagi! Hal ini
membuat Kun Liong khawatir sekali dan dia memandang ke arah kakek asing itu dengan
bingung. Akan tetapi Richardo bangkit dan menyambutnya dengan tertawa lebar dan wajahnya
berseri-seri. "Aaakhhh... Yap Kun Liong-taihiap, engkau sudah berganti pakaian kering"
Kau gagah sekali. Silakan duduk dan mari kita makan bersama."
Yuanita melepaskan tangannya dan berkata kepada ayahnya, sengaja bicara dalam
bahasa pribumi agar tamunya mengerti, "Ayah, Tai-hiap terlalu meren-dahkan diri, bikin
orang penasaran saja!"
"Ha-ha-ha, begitulah sikap seorang pendekar sejati dari negeri ini, Anakku! Dalam
bicaranya merendah sampai tidak kelihatan, akan tetapi sepak terjangnya menonjol
tinggi penuh kegagahan."
Kun Liong duduk bersama ayah dan anak itu dan kembali dia merasa kikuk sekali ketika
harus makan dari piring dan menggunakan garpu, pisau dan sendok. Sambil tertawa-
tawa Yuanita mengajarinya, akan tetapi karena kikuk sekali akhirnya Richardo menyuruh
pelayan mengambil sepasang sumpit. Barulah lega hati Kun Liong dan dia dapat makan
seperti yang dikehendakinya. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan dalam pem-
bicaraan ini Kun Liong mendengar bahwa Richardo de Gama adalah pemimpin
rombongan saudagar yang hendak ber-dagang di Tiongkok. Bahkan setelah
pemberontakan yang dibantu oleh beberapa orang asing, hal yang tidak disetujui
Richardo itu gagal, Richdrdo yang mengajukan permohonan kepada Kaisar menemui
pejabat, akhirnya dapat bicara dengan utusan Kaisar sendiri dan memperoleh ijin untuk
berdagang di pantai Teluk Pohai.
"Kami sekarang sedang mencari Kapal Kuda Terbang yang disewa oleh rombongan
Legaspi Selado," kakek itu melanjutkan.
"Yang dipimpin oleh Yuan de Gama?" Kun Liong bertanya.
KAKEK itu menghela napas. "Benar dan itulah kesalahan kami. Kami telah menyewakan
kapal itu kepada rombongan Selado yang ternyata amat jahat sehingga anakku Yuan ikut
pula terbawa- bawa, terseret ke dalam petualangan Legaspi Selado. Mendengar betapa
Legaspi Selado bersekutu dengan pemberontak, aku segera menyusul ke sini dan aku
akan membatalkan kontrak persewaan Kapal Kuda Terbang itu karena telah
dipergunakan untuk pekerjaan buruk."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
402 "Siapakah sebenarnya Legaspi Selado yang berilmu tinggi itu?" Kun Liong ber-tanya lagi.
"Sebetuinya dia adalah bekas seorang jenderal yang telah dipecat oleh peme-rintah
karena perbuatannya yang kotor dan berkhianat. Sedangkan anak buahnya itu pun
ternyata adalah orang-orang ja-hat yang menjadi buruan pemerintah di negara kami."
"Anakku Yuan de Gama terpaksa ter-libat karena selain dia mewakili aku menjadi kapten
kapal juga dia menjadi murid Legaspi Selado."
Kun Liong mengangguk-angguk dan kini mengertilah dia mengapa seorang pemuda
sebaik Yuan de Gama sampai membantu orang jahat seperti Legaspi Selado kakek botak
yang lihai itu. "Akan tetapi persekutuan pemberontak itu telah dibancurkan, tentu
Legaspi Selado tidak akan menyusahkan Yuan lagi."
Kakek itu mengelus jenggotnya. "Hemmm... siapa tahu isi hati orang seperti Legaspi
Selado" Selama dia masih menyewa Kapal Kuda Terbang, Yuan akan terus terikat.
Sebagai kapten kapal, ten-tu Yuan tidak akan dapat meninggalkan kapalnya dan apa pun
yang dilakukan oleh Legaspi Selado, berarti Yuan akan ter-seret."
Mereka bercakap-cakap setelah makan dan Kun Liong merasa makin suka kepa-da kakek
yang luas pengetahuannya itu, sebaliknya Richardo juga kagum kepada Kun Liong yang
berwajah jujur dan polos, sepolos kepalanya yang gundul! Mereka bercakap-cakap di dek
perahu itu. Ketika Yuanita muncul, gadis itu berkata, "Ahh, kalian berdua bercakap-cakap
sejak tadi tiada sudahnya. Ayah, biasanya Ayah tidak berani terlalu lama terkena angin
malam membuat Ayah sakit." Dengan gaya manja gadis itu merangkul leher ayahnya.
Richardo tertawa, lalu bangkit berdiri. "Wah, asyik benar bicara dengan Yap--taihiap,
sampai aku lupa waktu. Yap-taihiap, aku hendak mengaso dulu, biar-lah Yuanita yang
menemanimu bercakap-cakap." Orang tua itu lalu meninggalkan dek dan bangku tempat
duduknya kini diduduki oleh Yuanita.
Berdebar jantung Kun Liong menyaksikan kebebasan kedua orang ayah dan anak itu.
Baru sekarang dia melihat betapa seorang ayah meninggalkan anak gadisnya begitu saja
untuk menemani seorang pemuda bercakap-cakap di dek yang sunyi, di waktu malam
lagi! "Nona..."
Yuanita menoleh kepadanya dan me-mandang dengan senyum, akan tetapi alisnya
berkerut ketika dia menegur, "Namaku Yuanita, dan setelah menjadi sahabat, harap
jangan menyebut nona lagi kepadaku, Tai-hiap."
Kun Liong tersenyum. "Kau mau me-nang sendiri saja, Yuanita. Aku bukan pendekar
besar kau selalu menyebutku tai-hiap, sedangkan kau, seorang nona yang cantik dan
kaya raya, pula terpela-jar dan pandai, begitu merendah minta disebut namanya saja. Di
mana keadilan kalau begini" Kaupun sudah tahu bahwa namaku Kun Liong."
Yuanita tertawa dan memegang ta-ngan pemuda itu. "Kau lucu dan baik sekali, Kun
Liong. Aku sungguh merasa gembira dapat bersahabat denganmu. Sama sekali aku tidak
mengira bahwa di antara bangsa pribumi di negara ini ter-dapat seorang seperti engkau.
Aku selalu membayangkan bahwa semua penduduk pribumi memandang rendah kepada
semua orang asing, menganggap semua orang asing sebangsa manusia biadab. Dan aku
membayangkan bahwa semua orang yang disebut pendekar di negaramu adalah orang-
orang kejam yang mudah memainkan pedang memenggal kepala orang dan mengirim
kepala itu sebagai hadiah ke-pada keluarga musuhnya! Kiranya engkau amat baik dan
rendah hati, engkau se-perti seorang kanak-kanak yang berhati tulus dan wajar..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
403 "Wah, karena kepalaku gundul kau menganggap aku kanak-kanak?" Kun Liong tertawa.
Yuanita juga tertawa. "Maaf, aku tahu kau bukan kanak-kanak lagi. Tiga orang pelayan
itu menceritakan sikapmu di waktu kau mandi..."


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun Liong cepat menoleh ke kanan kiri. "Tiga orang wanita genit itu" Iihhh, mereka
membikin aku merasa ngeri. Mengapa ada kebiasaan seaneh itu pada bangsamu,
Yuanita?" "Ah, mereka hanya pelayan-pelayan dan mereka sudah biasa melayani majikan dan para
tamu pria yang manja."
"Aku pun tadinya mendengar kabar yang menyeramkan tentang bangsamu, bangsa kulit
putih yang berambut berwarna dan bermata biru. Bahkan aku mendengar bahwa mereka
itu adalah bangsa biadab yang suka makan daging manusia, sebangsa siluman yang
berbahaya dan yang datang ke negeri kami hanya untuk menipu bangsa kami. Akan
tetapi setelah bercakap-cakap dengan ayahmu, aku mendapat kenyataan bahwa ayahmu
adalah seorang tua yang luas pengetahuannya, pandai dan bijaksana. Apalagi melihat
engkau..."
"Bagaimana?" Yuanita menyambung ketika Kun Liong berseru. "Apakah aku seperti
siluman berambut kuning berkulit putih bermata biru yang suka makan daging
manusia?" "Wah, sama sekali tidak! Sungguh tolol aku kalau dulu pernah merasa ngeri mendengar
kabar bohong itu. Ternyata di antara bangsamu yang dikabarkan menakutkan itu
terdapat orang-orang seperti ayahmu yang bijaksana, seperti Yuan yang tampan dan
gagah berani, seperti engkau yang... yang begini cantik jelita, jujur dan amat ramah dan
baik hati."
"Benarkah engkau menganggap aku cantik jelita" Bukankah karena perbedaan kulit dan
warna rambut serta mata membedakan pula selera pandangan ter-hadap kecantikan
seseorang?"
"Engkau memang cantik sekali, Yuanita," kata Kun Liong sambil memandang penuh
perhatian wajah yang tertimpa cahaya merah dari lampu gantung itu. "Dan kurasa,
cantik tidaknya seseorang tergantung dari rasa suka di hati. Kalau hati merasa cocok dan
suka, tentu kelihatan cantik, sebaliknya kalau tidak tentu akan kelihatan buruk. Dan
agaknya watak dan sikap seseoranglah yang menentukan cantik tidaknya orang itu. Dan
engkau... amat manis dan baik hati, siapa yang takkan merasa suka sehingga engkau
kelihatan selalu cantik jelita?"
Dara itu memandang dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri. "Wah, engkau
memang mengagumkan sekali, Kun Liong! Yuan tentu senang sekali denganmu, engkau
tentu menjadi sahabat baiknya!"
"Sayang bahwa pertemuan antara kami hanya sebentar saja," Kun Liong lalu
menceritakan pertemuannya dengan Yuan de Gama yang mengakibatkan me-reka untuk
beberapa gebrakan mengadu tenaga.
"Ahhh, kasihan kakakku itu..." Yuani-ta berkata setelah Kun Liong menyelesaikan
penuturannya. "Dia adalah seorang yang berhati baik, akan tetapi karena dia terlalu suka
mempelajari ilmu berkelahi, dia menjadi murid Kakek Legaspi Selado yang mengerikan
itu. Ketika kapal Ayah disewa oleh rombongan Legaspi, Yuan menjadi kapten kapal
menggantikan Ayah. Sama sekali kami tidak tahu bah-wa rombongan Legaspi terdiri dari
orang--orang jahat. Juga Yuan sama sekali tidak akan mengira bahwa gurunya dan rom-
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
404 bongannya yang katanya hanyalah orang--orang pedagang itu bertualang di nega-ramu
dan bersekutu dengan pemberontak. Yuan terkenal sebagai seorang yang kuat, bahkan
Hendrik, pemuda sombong dan kejam putera Legaspi itu sendiri merasa sungkan kepada
Yuan. Akan tetapi, aku tahu bahwa bertemu dengan engkau, dia kalah jauh!"
"Aahhh, tidak begitu, Yuanita. Kakak-mu kuat sekali, hanya di antara kami tidak ada
permusuhan, maka kami tidak melanjutkan pertandingan itu. Aku hanya seorang biasa
yang bodoh, apalagi me-ngenai pengalaman dan ilmu pengetahuan. dibandingkan
dengan Yuan atau engkau, aku bukan apa-apa."
Yuanita memegang tangan Kun Liong dan memandang dengan sungguh-sungguh.
"Engkau terlalu merendahkan diri dan inilah yang membuat aku kagum sekali, Kun
Liong. Aku suka kepadamu, dan aku akan... kalau diberi kesempatan... mung-kin bisa
jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau ini. Engkau telah menye-lamatkan aku,
bukan hanya aku, melain-kan juga Ayah dan semua anak-anak pe-rahu ini. Ayah sendiri
berkata demikian kepadaku. Orang-orang Nepal itu ganas, kejam dan kuat, kalau tidak
ada engkau, kami semua pasti menjadi korban. Akan tetapi engkau masih selalu
merendahkan diri. Betapa kuat kedua tanganmu yang tidak kelihatan kasar ini, seperti
tangan wanita..." Yuanita menarik kedua tangan Kun Liong dan mencium tangan itu de-
ngan bibirnya. Dengan bibirnya! Kun Liong merasa kecupan bibir hangat pada tangannya dan wajahnya
menjadi merah sampai ke kepalanya, jantungnya berdebar dan dia me-narik kedua
tangannya. "Ahhh, jangan berlebihan, Yuanita..." katanya agak terharu karena perbuatan dara itu
dianggapnya terlalu merendah.
Yuanita bangkit berdiri menarik ta-ngan Kun Liong. Mereka berdiri berha-dapan, dan
Yuanita merapatkan tubuhnya. "Kun Liong... kami berhutang nyawa kepadamu dan
sebagai tanda terima ka-sih, baru mencium tanganmu saja engkau sudah merasa aku
berlebihan. Kun Liong, aku tahu bahwa orang seperti engkau ini, seorang pendekar dari
bangsamu, seorang jantan yang berhati lembut, tentu tak mungkin bisa jatuh cinta
kepadaku, seorang wanita asing yang serba kasar, tidak selembut wanita-wanita
bangsamu yang seperti batang pohon yangliu tertiup angin lembut, yang bersikap malu-
malu dan agung... akan tetapi, untuk menyata-kan terima kasihku dengan setulus hati-
ku, kau... kau boleh... kalau engkau su-ka... kau menciumku, Kun Liong."
Kun Liong terkejut. Ucapan seperti ini sama sekali tak pernah disangka--sangkanya. Tak
pernah dia berani membayangkan untuk mencium dara itu, seorang dara asing, puteri
seorang hartawan besar dan puteri seorang yang bijaksana dan pandai seperti Richardo
de Gama! Tentu saja dia tidak tahu bahwa dara asing dari Barat ini mempunyai kesan lain terhadap
dirinya. Semenjak kecil, seperti anak-anak bangsanya yang lain, Yuanita sudah seringkali
mendengar do-ngeng tentang ksatria-ksatria berbaju
besi yang menolong puteri dari tangan mahluk-mahluk buas, dan setiap kali seorang
ksatria membebaskan seorang puteri cantik dari tangan mahluk buas dari ancaman
mengerikan yang lebih hebat dari maut, Si Pu-teri akan menghadiahkan ciuman mesra
dan hal ini biasanya bahkan menjadi tuntutan setiap orangi ksatria! Kesan ini amat
mendalam sehingga ketika melihat betapa dengan gagah perkasanya Kun Liong
menyelamatkan dia, bahkan ayah-nya dan seisi perahu dari keganasan ba-jak, apalagi
setelah bercakap-cakap dan melihat sikap Kun Liong yang rendah hati, timbul keinginan
di hati Yuanita unluk bersikap seperti seorang puteri yang tertolong oleh ksatria, dia
menawarkan ciuman kepada pemuda gun-dul itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
405 "Be... benarkah pendengaranku tadi, Yuanita?" Kun Libng bertanya, suaranya gemetar
karena jantungnya sudah bergelora. Sejak tadi merasakan betapa bibir yang hangat dan
lunak itu mencium tangannya, jantung Kun Liong sudah berdebar tidak karuan, apalagi
mendengar betapa dara yang mempunyai kecantikan aneh ini menawarkan ciuman!
"Pendengaran apa, Kun Liong?" Yua-nita bertanya, mengangkat mukanya sehingga
makin berdekatan dengan wajah pemuda itu, senyumnya menggoda, mata-nya setengah
terpejam sehingga bulu matanya hampir merapat dan menjadi tebal menimbulkan
bayang-bayang indah di atas pipinya tertimpa sinar lampu.
"Aku mendengar bahwa... bahwa... aku boleh menciummu?"
"He-hemmm... kalau kau suka..."
"Kalau aku suka..." Tentu saja aku suka..."
"Ihhh, canggung benar kau..." Yuanita tersenyum lebar mendengar kata-kata dan
melihat sikap pemuda itu. Kedua lengannya bergerak merangkul leher Kun Liong dan
dara itu dengan tarikan halus membuat muka Kun Liong menunduk dan tergetarlah
seluruh tubuh Kun Liong ketika merasa betapa dara itu yang menciumnya! Mencium bibir
dengan ke-mesraan dan kehangatan! Ketika dia mencium bibir Hwi Sian dahulu itu,
terdapat kecanggungan dan biarpun dia senang melakukannya dengan Hwi Sian, namun
karena dara itu sendiri pun takut dan tidak tahu caranya, maka perbuatan mereka itu
jauh sekali bedanya kalau dibandingkan dengan apa yang dia alami sekarang. Ciuman
Yuanita ini seolah-olah merupakan pertemuan lebih mendalam, antara kedua hati dan
kalbunya, seolah-olah dia merasa dilebur menjadi satu dengan dara ini, seolah-olah tiada
pemisah lagi antara kedua tubuh mereka. Seperti naik sedu-sedan dari dada Kun Liong,
kedua lengannya mendekap tubuh itu, seluruh tubuhnya menggigil dan dia tidak dapat
menguasai lagi kedua kakinya yang gemetar dan lemas, membuatnya terhuyung dan
akhirnya dia jatuh berlutut sambil memeluk Yuanita.
"Hemmm... Kun Liong..." Yuanita berbisik, hanya untuk bernapas dan mereka sudah
berciuman pula, kini Kun Liong duduk di atas papan perahu dan dara itu dipangkunya.
Entah apa yang akan terjadi dengan dua orang muda yang dilanda perasaan mesra yang
biasanya tentu akan membangkitkan berahi itu kalau dibiarkan terlalu lama dalam
keadaan seperti itu. Bagi Kun Liong, Yuanita merupakan seorang dara yang panas, segar
dan berani, seperti gelora air laut di luar perahu itu, merupakan seorang mahluk aneh
yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga membawanya terseret, hanyut dan
tenggelam. Kun Liong sudah tak dapat menguasai hati dan pikirannya sendiri, yang
terasa sepenuhnya hanyalah kelembutan bibir yang mengecup bibirnya, kepanasan hawa
dari mulut yang memabokkan, kehangatan dan kepadatan tubuh yang merapat dengan
tubuhnya, dan dia pun mabuk dibuai alunan nafsu berahi yang belum pernah
menyerangnya sehebat itu! Nafsu berahi memang seperti api menjalar, begitu bertemu
dengan bahan bakarnya, makin dibiarkan makin menjadi, makin diberi makin menuntut
dan takkan pernah mau berhenti, takkan mau sudah kalau belum sampai titik terakhir.
Bagi Yuanita sendiri Kun Liong me-rupakan seorang pemuda yang asing dan aneh
karenanya mendatangkan daya tarik yang luar biasa. Sebagai seorang dara berbangsa
Portugis yang jauh lebih bebas dalam pergaulan antara pria dan wanita, sudah tentu saja
dia pernah berkenalan dengan teman pria dan ciuman bukan merupekan hal baru dan
aneh baginya. Namun, belum pernah Yuanita mengalami guncangan perasaan seperti
saat itu. Hal ini terdorong oleh rasa terima kasihnya, rasa kagumnya terhadap Kun Liong,
ditambah keadaan Kun Liong yang asing dan aneh yang membuat pemuda itu
merupakan seorang pemuda atau pria yang lain daripada yang telah dikenalnya sebelum
itu. Maka dia pun terhanyut oleh gelombang peraaaannya sendiri se-hingga bersama Kun
Liong dia pun hampir lupa segalanya, hampir tidak mempeduli-kan lagi segala hal yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
406 terjadi di luar mereka, dan yang ada hanyalah membiar-kan diri terseret oleh nafsu
berahi yang membuai dan melayangkan mereka ke tengah-tengah awan kenikmatan.
"Tuuuttt... tuuuut... tuuutttt...!"
Suara bunyi tanda peluit dari tempat penjagaan di atas ini mengejutkan kedua ordng
muda itu dan serentak Kun Liong melepaskan pelukannya. Sejenak mereka saling
pandang, seperti baru sadar dari sebuah mimpi muluk dan pertukaran pan-dang ini
cukup menyadarkan mereka benar-benar.
"Ahh... Yuanita... maafkan aku..."
"Bukan salahmu... Kun Liong... aku pun membiarkan diriku terseret..."
"Untung kita sadar, Yuanita. Hampir saja...!" Kun Liong cepat merapikan pakaiannya
sendiri dan membantu mera-pikan pakaian dara itu yang dia sendiri tidak ingat lagi
bagaimana bisa menjadi tidak karuan dan setengah terbuka seper-ti itu!
Yuanita membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ke atas. Mereka berdiri dan
berpandangan. Yuanita memegang kedua tangan Kun Liong. "Memang... hampir saja,
Kun Liong. Akan tetapi... andaikata terjadi, aku.. aku akan merasa bahagia dan bangga,
kalau... kalau... engkau menjadi pria pertama..."
"Husss...! Bagaimana kau bisa bilang begitu, Yuanita" Kita bukan suami isteri, kita tidak
saling mencinta... betapa besar dosaku kalau sampai terjadi.. engkau tentu akan
menyesal seumur hidup, dan aku... aku... selamanya akan merasa berdosa kepadamu."
"Mungkin. Akan tetapi, kurasa tidak akan sukar bagiku untuk belajar mencintamu, Kun
Liong." Kun Liong memandang bingung. Segala ucapan dara asing ini mendatangkan perasaan
aneh dan membingungkan. "Aku tidak tahu... apakah mungkin cinta dipelajari"
Betapapun juga, maafkan aku, Yuanita, aku tadi lupa diri... dan percayalah, selama
bidupku aku takkan melupakan engkau. Engkau akan selalu kukenang sebagai seorang
perempuan yang amat baik, ramah, lembut dan cantik, jelita, seorang sahabatku yang
luar biasa..."
"Tuut... tuut... tuuuutttt!"
Mereka menengok ke atas kiri dan melihat penjaga di atas tali-temali layar meniupkan
terompetnya yang panjang.
"Ada apakah?" Kun Liong tertanya, tidak mengerti apa artinya itu.
"Tentu penjaga itu melihat sesuatu," kata Yuanita.
Terdengar derap langkah sepatu ke luar dari dalam dan muncullah Richardo de Gama
dan orang-orang lain. Kakek ini memandang kepada puterinya, kemudian kepada Kun
Liong sejenak, lalu bertanya, "Apa yang terjadi" Mengapa terompet ditiup" Haiii! Ada
apa?" Teriaknya ke atas dalam bahasanya sendiri.
Penjaga di atas menjawab dengan teriakan parau, "Ada kapal di sebelah kiri!"
"Lekas nyalakan lampu sorot!" Richardo de Gama memerintah. Terjadi kesibukan di situ
dan tak lama kemudian kapal besar itu tampak bayangannya, seperti seorang raksasa
muncul dari dalam malam gelap di tengah lautan. Mula-mula terjadilah pertukaran
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
407 isyarat melalui gerakan lampu kemudian setelah makin mendekat, antara kedua
kendaraan air itu terjadi kontak dengan penggunaan corong dan teriakan mulut.
Terdengar sorak-sorai di kedua pihak dan semua orang di perahu yang ditumpangi Kun
Liong bergembira ria.
"Apakah yang terjadi, Yuanita?" tanya Kun Liong kepada dara yang berdiri di dekatnya.
Yuanita juga berseri wajahnya ketika menjawab, "Kapal itu adalah Kuda Terbang!"
Tentu saja Kun Liong terkejut dan juga gembira mendengar ini. "Dan aku akan dapat
berjumpa dengan Yuan di sana?" Dia menuding ke arah bayang-bayang hitam besar itu.
Yuanita mengangguk manis "Bukan hanya Yuan kakakku, juga di sana ada pula Legaspi
Selado dan isteri mudanya yang bernama Nina, dan puteranya bernama Hendrik, dan
masih banyak lagi karena semua bangsa kami yang berada di sini telah berkumpul di
kapal itu."
Terjadi kesibukan luar biasa ketika perahu besar dan kapal itu mepet. Sebuah anak
tangga dipasang dan Richardo de Gama mengajak Kun Liong dan Yuanita untuk
menyeberang ke Kapal Kuda Terbang yang jauh lebih besar dan lebih lengkap itu. Kung
Liong ikut bergembira melihat Yuan de Gama yang menyambut ayahnya dan adik
perempuannya. Dia terharu melihat Yuanita berpelukan dengan kakaknya, terkenang
betapa beberapa saat yang lalu dara yang cantik itu telah berpelukan dan berciuman
dengan dia! Ketika Yuanita membisiki sesuatu kepada kakaknya dan menoleh, Yuan
mengangkat muka memandang.
"Halooo...! Bukankah kau Yap Kun Liong-taihiap?" serunya, melepaskan adiknya dan
melangkah lebar menghampiri Kun Liong dan mengulur lengan kanannya.
Kun Liong tidak kaget lagi melihat ini. Dia sudah tahu sekarang bahwa cara pemberian
hormat, atau bersalaman dari orang-orang asing ini adalah dengan jalan berjabat tangan
dan mengguncang-guncangnya. Maka dia menyambut sodoran tangan itu dan mereka
berjabat tangan.
"Tuan Yuan de Gama, sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu di sini," kata
Kun Liong gembira.
Yuanita telah mendekat dan dengan sibuk menceritakan dalam bahasanya sendiri kepada
kakaknya tentang pertolongan yang diberikan oleh Kun Liong kepada anak buah Perahu
Ikan Duyung, yaitu perahu ayahnya itu, ketika Perahu Ikan Duyung diserbu penjahat.
"Ahhh, terima kasih banyak, Yap--taihiap..."
"Jangan menyebutnya tai-hiap, dia bisa marah. Namanya Kun Liong!" Yuani-ta mencela
kakaknya. "Dia benar, Yuan. Kita adalah saha-bat, sebut saja namaku," kata Kun Liong.
Yuan memandang kepada adiknya, kemudian kepada Kun Liong, lalu terse-nyum lebar.
"Apa pula ini" Eihhh, jangan main-main kau, Yuanita. Apakah kau hendak mengatakan
bahwa engkau telah menjatuhkan hatimu di depan kaki pen-dekar perkasa ini?" Dia
tertawa berge-lak.
"Andaikata benar demikian, apakah kau tidak setuju?" Yuanita juga berkata sambil
tertawa. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
408 "Tentu saja!"
Kun Liong benar-benar terkejut bukan main. Kelakar kakak beradik itu diang-gapnya
keterlaluan dan luar biasa sekali sampai muka dan kepalanya menjadi merah semua.
Mengapa mereka bicara bebas, seolah-olah urusan cinta merupa-kan hal yang boleh
dianggap main-main"
Mereka menghentikan sendau-gurau ketika melihat Legaspi Selado dan se-orang wanita
berusia tiga puluh tahun yang amat cantik dan yang berpakaian mewah, sedangkan
Hendrik Selado berja-lan di sebelah wanita ini, mata pemuda itu memandang kepada
Kun Liong dengan penuh perhatian. Kun Liong tidak mem-pedulikah yang lain, hanya dia
menatap tajam ke arah Legaspi Selado, kakek botak gendut yang dia tahu memiliki ilmu
kepandaian tinggi itu.
"Heiii! Bukankah ini penjahat itu...?"
Tiba-tiba Hendrik berseru ketika dia sudah datang dekat dan telunjuknya me-nuding ke
arah muka Kun Liong. "Tidak salah lagi, inilah dia Si Gundul yang dahulu menolong dan
melarikan mata--mata wanita di Ceng-to!"
Ucapan itu dikeluarkan dalam bahasa asing sehingga Kun Liong tidak mengerti
maksudnya, akan tetapi karena sejak tadi pemuda ini memperhatikan Legaspi Selado
maka dia dapat melihat ketika kakek itu menggerakkan tangan yang memegang cambuk
kuda. "Tar-tar-tarrr...!"


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun Liong sudah mengelak cepat sehingga tiga kali serangan itu luput.
"Tuan Selado, engkau tidak boleh menyerang dia!" Tiba-tiba Yuanita lari ke depan,
menghadang di depan kakek yang memegang cambuk itu dengan sikap menantang dan
membusungkan dadanya yang sudah membusung penuh itu.
Yuan meloncat ke depan dan berteriak. "Hendrik, jangan...!" Pemuda itu sudah
memegang tangan Hendrik yang telah mencabut pistolnya. "Jangan ganggu dia, dia telah
menyelamatkan Perahu Ikan Duyung, menyelamatkan ayahku dan adikku!"
Menyaksikan keributan ini, Richardo sudah melangkah maju dan segera terjadi
percakapan dan perbantahan antara orang-orang asing itu, ditonton dan didengarkan
oleh Kun Liong yang tidak mengerti artinya, namun dia dapat menduga dengan mudah,
bahwa terjadi perbantahan antara pihak Legaspi dan Hendrik melawan pihak Richardo
dan dua orang anaknya yang membela dia! Terutama sekali yang amat mengharukan
hatinya adalah sikap Yuanita yang seperti telah menjadi seekor harimau betina,
sepasang mata biru itu menyinarkan api, rambutnya terkena angin laut berkibar-kibar,
sikapnya penuh semangat.
Ketika terjadi percekcokan itu, nyonya muda cantik yang tadi datang bersama Legaspi
Selado dan Hendrik, mendekati Kun Liong dan menatap wajah pemuda ini dengan penuh
perhatian. Kun Liong dapat menduga tentu inilah yang bernama Nina Selado, isteri muda
Si Kakek Botak itu. Hem, seorang wanita yang cantik dan sikapnya berani dan masak,
pikirnya. "Jadi engkau seorang yang biasa disebut pendekar-pendekar itu?" tanya wanita itu
dengan suara kaku namun suaranya yang basah agak parau menda-tangkan sesuatu
yang memikat, juga menyeramkan bagi Kun Liong. Dia tidak menjawab, hanya
membalas pandang ma-ta itu dengan waspada, karena dia tidak tahu apakah wanita
cantik ini tidak berbahaya pula seperti Legaspi Selado. Ka-kek itu memanggil, "Nina...!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
409 dan wanita itu meninggalkan Kun Liong. Kemudian, Legaspi Selado, Nina, dan Hendrik
pergi memasuki kamar kapal dengan sikap tidak puas.
Yuan dan Yuanita menghampiri Kun Liong. "Kun Liong, untung Ayah dapat menekan
kemarahan Tuan Selado," kata Yuanita. "Dan terutama sekali Yuan sebagai kapten Kapal
Kuda Terbang ber-kuasa penuh untuk menanggungmu seba-gal seorang tamu yang tak
boleh digang-gu."
"Terima kasih, Yuan. Engkau baik sekali. Akan tetapi, bukankah dia itu gurumu"
Bagaimana engkau dapat menantang gurumu sendiri?"
"Biarpun dia guruku, akan tetapi se-bagai kapten kapal, akulah yang menjadi orang
pertama yang berkuasa menentukan segala yang terjadi di atas kapal ini. Aku
memberitahukan guruku bahwa per-musuhan antara dia dan kau terjadi ketika kami
masih bekerja sama dengan para pemberontak di Ceng-to. Karena kita semua berada di
kapal, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah pembe-rontakan di darat, maka saat
itu engkau tidak boleh dianggap musuh. Mari kita masuk ke kamarku dan kita berunding
bagaimana baiknya."
Kun Liong mengikuti Yuan, Yuanita dan Richardo de Gama memasuki kamar Yuan yang
cukup luas dan mereka duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap. -Dari Yuan,
mereka semua mendengar penuturan tentang pemberontakan yang gagal dan tentang
usaha pendekatan para pedagang asing itu terhadap pembesar pemerintah.
"Kaisar telah bersikap baik sekali kepada kami," Yuan menutup penuturan-nya dan
menarik panjang. "Setelah keributan mereda, kami masih diperkenankan untuk
mendarat dan berdagang di sekitar pantai Teluk Pohai. Karena itu, maka aku tadinya
mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan mengebar-kan kepada para pedagang
yang berniat membawa berang dagangan ke timur. Akan tetapi yang masih
memusingkan adalah sikap guruku, Tuan Legaspi Selado dan teman-temannya. Mereka
itu tidak merasa puas dengan keputusan dan kebi-jaksanaan Kaisar. Mereka
menganggap bahwa perdagangan di tempat terbatas, yaitu di pantai itu, tidak akan
menda-tangkan cukup keuntungan, tidak seperti kalau kita dapat mendarat sampai ke
pe-dalaman dan langsung membeli rempa--rempa dari para penduduk pribumi, juga
dengan langsung menjual barang-barang kepada mereka, tidak melalui perantara-
perantara yang akan memeras di pantai. Karena itu, aku khawatir sekali akan timbul hal-
hal tidak menyenangkan seperti pemberontakan ke dua dan sebagainya..."
"Apa pun yang akan mereka lakukan asal engkau tidak mencampurinya, Yuan. Lebih baik
engkau membentuk kelompok sendiri dari pedagang-pedagang yang jujur dan yang
memang beritikad baik, semata-mata untuk berdagang dan tidak hendak mencampuri
urusan pemerintah dan pemberontakan," kata Kun Liong.
"Apa yang dikatakan Yap-taihiap be-nar, Yuan," kata Richardo de Gama. "Semenjak
dahulu, kita bukanlah keluarga pemberontak dan petualang. Kita adalah keluarga
pedagang."
Yuan mengangguk-angguk. "Aku pun tidak suka terseret ke dalam pemberon-takan
pribumi terhadap kaisar mereka. Akan tetapi sayang hal itu telah terjadi dan tentu kami
telah mendapat kesan buruk dari Kaisar. Andaikata tidak pernah terjadi persekutuan
dengan pembe-rontak terkutuk itu, agaknya pihak peme-rintah akan lebih longgar
terhadap kita, apalagi mengingat akan hubungan pemerintah yang makin luas dengan
luar ne-geri berkat pelayaran-pelayaran Laksa-mana The Hoo yang bijaksana..."
"Ahhhh... ada jalan untuk berjasa kepada Panglima Beser The Hoo!" Tiba--tiba Kun Liong
berkata, teringat akan bokor emas di Pulau Ular. "Bokor emas pusaka milik Panglima The
Hoo yang hilang itu terampas orang dan berada tak jauh dari tempat ini. Kalau saja
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
410 engkau berhasil mengembalikan bokor itu, dan menyerahkannya kembali kepada
Panglima The Hoo, agaknya engkau akan berjasa besar dan soal ijin perdagangan ke
pedalaman tentu akan ditinjau kembali."
"Ha-ha-ha! Pendapat yang bagus sekali! Aku setuju seratus prosen. Di mana bokor itu?"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tubuh gendut Legaspi Selado memasuki kamar itu.
Yuan bangkit berdiri. "Tuan, terpaksa saya menyatakan tidak setuju kalau Tuan hendak
membawa kita memperebutkan bokor emas yang menghebohkan itu, yang bukan
menjadi hak kita!"
Legaspi Selado menggerakkan tangannya mencela. "Aihh, Yuan. Mengapa begitu bodoh"
Siapa yang ingin merampas bokor" Segala yang telah kita lakukan, dari memperebutkan
bokor sampai ikut pemberontak, tiada lain hanya untuk memperoleh kesempatan
berdagang sebaiknya. Semua usaha kita gagal, sekarang sahabat muda ini telah
menunjukkan jalan yang amat baik. Kita usahakan agar bokor emas itu dapat kita
peroleh, kemudian kita haturkan kepada Panglima The Hoo, tentu kita mendapat jasa
dan tentang perdagangan, akan tetapi mudah saja. Ha-ha-ha! Sahabat Yap Kun Liong
yang baik, di manakah bokor itu?" Kun Liong adalah seorang muda yang cerdik. Dia
sudah terlanjur bicara, kalau merahasiakan, kakek aneh yang sakti ini tentu akan
menjadi pengha1ang dan musuh, dan amat tidak enak kalau terjadi perpecahan di kapal
itu. Kakek itu lihai, baik sekali kalau diajak bersama-sama merampas bokor karena Pulau
Ular merupakan tempat yang berbahaya. Apalagi dua orang datuk itu, Ban-tok Coa-ong
Ouwyang Kok dan puteranya, Ouwyang Bouw, dibantu lagi oleh Toat-beng Hoat-su dan
semua anak buah mereka, bukan merupakan lawan ringan.
"Memang kita harus bekerja sama," akhirnya dia berkata setelah semua du-duk. "Bokor
emas itu berada di tangan dua orang datuk kaum sesat. Ouwyang Kok yang berjuluk
Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su. Mereka bersama anak buah mereka
bersembunyi di Pulau Ular, tidak jauh dari sini, di sebelah selatan Teluk Pohai." Legaspi
Selado bangkit berdiri, "Yuan de Gama! Kalau begitu kita menunggu apalagi" Kita putar
haluan, ke selatan mencari Pulau Ular!"
Kun Liong menyambut pandang mata penuh pertanyaan dari Yuan itu dengan anggukan
kepala, maka Yuan lalu meneriakkan perintah melalui corong agar kapal itu diputar dan
digerakkan ke selatan sedangkan Perahu Ikan Duyung mengikuti dari betakang. Setelah
Legaspi Selado yang kelihatan gembira dan bertemangat itu meninggalkan kamar, Yuan
de Gama berkata lirih.
"Kun Liong, kenapa engkau membuka rahasia itu kepada guruku?"
"Sst... dia dapat merupakan pembantu yang amat kuat, Yuan. Ketahuilah, bukan hanya
bokor emas itu yang penting. Kita memang harus menyerbu ke Pulau Ular dan di sana
terdapat dua orang datuk yang sakti bersama anak buah mereka yang kuat."
"Aku tidak inginkan bokor emas!"
"Hussshhh,
engkau tidak mengingin-kannya,
akan tetapi kalau kau dapat mengembalikan kepada Panglima Besar The Hoo, besar sekali jasamu. Selain kau,
engkau tidak tahu bahwa kita harus me-nolong Nona Souw Li Hwa..."
Wajah Yuan de Gama berubah dan dia memegang lengan Kun Liong, mencengkeramya
erat-erat. "Apa katamu" Dia... dia... kenapa?"
Yuanita membelalakkan mata. "Yuan! Siapakoh nona itu?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
411 "Dia sahabat baikku. Dia seorang panglima wanita yang hebat. Kun Liong, lekas katakan
apa yang terjadi dengan dia?"
"Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, Nona Souw Li Hwa telah me-lakukan
penyelidikan sendiri ke Pulau Ular yang berbahaya itu sehingga aku khawatir sekali dia
akan menghadapi malapetaka di sana. Karena itu, bukan-kah tepat sekali kalau kita
pergi ke sana, selain untuk membantu mendapat-kan kembali pusaka Panglima Tht Hoo,
juga untuk melindungi Nona Souw Li Hwa?"
"Kalau begitu kita harus cepat ke sana!" Yuan de Gama kembali menyambar corong
untuk memerintahkan anak buahnya agar melakukan pelayaran secepatnya. Richardo de
Gama menghela napas panjang, mendekati Kun Liong dan berbisik, "Apakah dia telah
jatuh cinta kepada panglima wanita itu?" Kun Liong hanya mengangguk sambil
tersenyum, kemudian setelah minta diri, dia mundur dan memasuki kamarnya yang
sudah dipersiapkan untuk dia.
Kun Liong meniup padam lilin di atas meja kamar kecil itu, lalu menanggalkan pakaian
luarnya dan sepatunya. Setelah ia merebahkan diri di atas pembaringan, dia termenung.
Sungguh banyak pengalaman yang dialaminya selama ini, pengalaman yang aneh-aneh,
terutama sekali pengalaman dengan wanita-wanita cantik. Masih terasa olehnya cumbu
rayu yang saling ditukarnya dengan Yuanita. Di dalam kegelapan kamarnya itu,
terbayanglah wajah Yuanita yang cantik, terdengar bisikan halus menggetar yang
suaranya asing itu. Akan tetapi tak lama kemudian, wajah wanita yang dibayangkannya
ini sudah berganti rupa, berubah menjadi wajah Yo Bi Kiok, kemudian berubah lagi
menjadi wajah Souw Li Hwa, wajah Cia Giok Keng, dan akhirnya berubah menjadi wajah
Lim Hwi Sian yang takkan pernah dilupakannya! Diam-diam Kun Liong menghela napas
panjang. Mengapa hidupnya terisi oleh pertemuan-pertemuan yang mengesankan
dengan berbagai gadis cantik itu" Dan mengapa setiap kali bertemu dengan dara jelita,
dia merasa tertarik dan suka" Apakah ini yang disebut mata keranjang" Apakah dia mata
keranjang" Adakah di dunia ini seorang pemuda yang tidak suka melihat dara jelita"
Apakah hanya dia yang selelu merasa tertarik, ingin bercakap-cakap dengan mereka,
ingin bersahabat dengan mereka dan ingin... mencium bibir yang segar kemerahan itu"
Kotorkah pikiran seperti ini" Dia tidak dapat menjawab dan kembali dia menarik napas
panjang. Kau mata keranjang, tolol, dan anak durhaka! Dia memaki diri sendiri. Sampai selama
ini, dia masih belum berhasil mendengar berita tentang ayah bundanya. Dan tidak ada
sebuah pun di antara tugas-tugasnya yang dapat dia selesaikan dengan baik! Mencari
orang tua belum ada hasilnya. Urusan bokor emas yang telah berada di tangannya malah
berlarut-larut menjadi makin sulit diperoleh. Usaha mengembalikan pusaka Siauw-lim-
pai dan minta pusaka itu kembali dari Kwi-eng-pang juga belum berhasil. Sekarang
ditambah lagi dengan tugas membantu dan menyelamatkan Souw Li Hwa! Sekali ini dia
harus berhasil. Biarpun Pulau Ular kabarnya -berbabaya, akan tetapi Kapal Kuda Terbang
itu besar dan kuat, diperlengkapi dengan senjata meriam. Juga ia memperoleh bantuan
orang-orang pandai seperti Legaspi Selado, Hendrik, Yuan dan semua anak buah
mereka. Kalau dia berhasil membantu Li Hwa, apalagi berhasil merampas kembali bokor
emas, berarti tidak sia-sia semua jerih payahnya. Dia harus cepat menyelesaikan urusan
ini, kemudian dia harus mencari orang tuanya. Dia harus mengerahkan seluruh
perhatiannya untuk mencari jejak orang tuanya. Urusan pribadi ini sebetulnya paling
penting dan jantungnya berdebar agak tegang penuh kekhawatiran kalau dia teringat
akan ucapan Pendekar Sakti Cia Ken Hong. Bukan hanya kekhawatiran kosong yang
diucapkan supeknya itu. Kalau memang ayah bundanya masih hidup di dunia ini,
mengapa sekian lamanya mereka diam saja dan tidak ada kabar beritanya" Orang-orang
gagah perkasa seperti ayah bundanya, tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut
akan sesuatu! Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
412 Malam mulai larut dan Kun Liong yang tenggelam timbul dalam lamunan, mulai
berselubung rasa kantuk. Dia sudah memperoleh pegangan atau rencana masa
mendatang, yaitu setelah selesai dengan urusan Pulau Ular, dia akan meninggalkan
semua urusan untuk mencurahkan perhatian seluruhnya dalam mencari orang tuanya.
Rencana yang menjadi pegangan ini melegakan hatinya dan dia hampir tertidur pulas
ketika tiba-tiba pintu biliknya dibuka orang dari luar. Mula-mula, sesuai de-ngan ilmu
silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya, dalam saat itu juga semua urat
syarafnya menegang dalam kesiapsiagaan menghadapi suatu ancaman bahaya. Namun
ketika melihat bayangan tubuh yang tersorot penerangan dari luar kamar,
ketegangannya meningkat akan tetapi berubah, bahkan tegang karena khawatir,
melainkan karena heran. Jelas tampak sosok bayangan tubuh yang berpinggang
ramping, tubuh seorang wanita! Yuanita" Dadanya berdebar ke-ras. Benarkah Yuanita
yang masuk" Be-tapa beraninya memasuki kamarnya yang gelap. Akan terulang lagikah
peristiwa yang memabokkan itu" Sekarang amat berbahaya karena mereka berada di
dalam kamamya, kamar yang gelap! Timbul kekhawatiran di dalam hati Kun Liong. Dia
ingin melompat, ingin menyalakan lampunya, ingin membujuk agar Yuanita tidak
melanjutkan niatnya, agar dara itu keluar dari kamar, meninggalkannya. Akan tetapi
semua keinginannya itu tertunda ketika dia mondengar suara lirih, suara wanita yang
basah merdu, "Tuan... kekasihku..." Suara yang basah parau namun lunak merdu, suara
Nina! Kun Liong terpesona dan bagaikan se-ekor kelinci mencium bau harimau, dia bangkit
duduk, kemudian mengambil ke-putusan untuk cepat meninggalkan kamar itu karena
keadaannya amat "berbahaya". Tanpa berkata apa-apa dia lalu meloncat dan lari dari
kamarnya, akan tetapi baru saja keluar dari pintu, dia sudah diserbu wanita itu,
dirangkul dan ditarik kembali ke dalam kamar yang gelap! Wanita itu melempar daun
pintu tertutup, kemudian terdengar langkahnya mendekatinya, membuat Kun Liong
menggigil dan duduk di atas pembaringannya, tak dapat me-ngeluarkan suara sedikit
pun. "Yuan... gelap amat..." wanita itu berbisik lagi akan tetapi kini dua buah tangan meraba
pundak Kun Liong. Dua buah lengan merangkul dan sebuah tubuh yang lunak hangat
mendekapnya, sepasang bibir yang basah terengah-engah menjelajahi mukanya untuk
kemudian berhenti mengecup mulutnya dalam sebuah ciuman yang membuat Kun Liong
hampir pingsan! Tak pernah dia dapat membayangkan akan ada ciuman seperti itu!
Yuanita sudah merupakan pengalaman luar biasa ketika menciumnya, akan tetapi
dibandingkan dengan ini, Yuanita bukan apa-apa! Ciuman wanita ini seolah-olah
menembus jantungnya, terasa sampai di tulang sumsum dan membuat seluruh tubuh
Kun Liong panas dingin, kaki tangannya menggigil, kepalanya berdenyut dan pandang
matanya berkunang!
"Haiii...!" Tiba-tiba Nina berteriak lirih, tangan wanita yang halus itu mem-belai, meraba
muka dan kepala yang gundul, kemudian terdengar wanita itu menahan tawa, terkekeh
genit. "Kaukah ini..." Kau... pemuda yang katanya se-orang pendekar yang sakti" Ahh,
aku mendengar bahwa pendekar memiliki kekuatan yang luar biasa... aku kagum
padamu..."
Kun Liong gelagapan ketika wanita itu merayunya, membelainya, memeluk dan
menciumnya. Ucapan Nina dalam bahasa daerah bercampur bahasa asing membuatnya
bingung. Bau minyak wangi yang aneh memabokkannya, dan terutama sekali tubuh
wanita yang hidup mendekapnya itu membuat Kun Liong kehilangan akal.
"Jangan... Nyonya... jangan... maafkan aku, harap suka tinggalkan aku, aku... aku takut
kalau ketahuan orang..." kata-nya gagap.
"Hi-hik, beginikah pendekar" Mengapa penakut" Tidak sukakah kau kepadaku" Tidak
senangkah kau kucium seperti ini?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
413 Nina kembali menciuminya, mencium kepalanya, mukanya, bibirnya dan kedua
lengannya merangkul ketat sehingga tubuh Kun Liong menjadi panas dingin dibuatnya.
Kun Liong hanyalah seorang manusia biasa seorang pria muda yang tentu saja berdarah
panas. Menghadapi rayuan yang amat luar biasa itu, hampir dia tidak dapat menahan
dirinya. Tubuhnya panas dingin dan gemetar, dan seperti seorang yang mabok, pandang
matanya berkunang. Tubuh wanita yang masak itu kelihatan luar biasa menariknya
tersorot cahaya remang-remang dari sinar lampu yang memasuki kamar itu melalui
celah-celah jendela dan pintu. Akan tetapi dia masih teringat bahwa wanita ini adalah
isteri Legaspi Selado, bahwa merupakan perbuatan terkutuk untuk berjina dengan isteri
orang lain! Ingatan ini mengeraskan hatinya dan dia mendorong tubuh wanita itu dengan
halus. "Nyonya, jangan lakukan ini! Jangan lanjutkan perbuatan gila ini!" katanya lirih.
"Ahhh... berani engkau menolak aku" Engkau yang sudah menggigil penuh nafsu ini...


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hi-hik, orang muda yang kuat, ja-ngan kau berpura-pura alim..."
Mereka seperti bergulat. Kun Liong mencegah dan wanita itu hendak meng-gelutinya.
Pada saat itu terdengar suara Yuan, "Kun Liong, dengan siapakah kau di dalam?"
Kun Liong terkejut bukan main. Apalagi pintu kamar itu terbuka dari luar dan Yuan de
Gama masuk membawa sebuah lampu! Kun Liong cepat meloncat menjauhi Nina dan
membetulkan kancing bajunya yang hampir terlepas semua. Wanita itu hanya tersenyum
dengan mulut agak terengah, matanya seperti mata seekor singa kelaparan!
"Yuan... dia... dia ini..." Kun Liong berkata gagap.
Yuan mengangguk. "Aku tahu, Kun Liong. Karena itu aku masuk ke sini untuk menolong
dan membebaskanmu dari harimau betina kelaparan!"
Lega rasa hati Kun Liong. Dia memandang kepada sahabatnya itu penuh terima kasih,
kemudian tanpa berkata apa-apa dia meloncat keluar dari kamar, langsung menuju ke
dek kapal untuk mencari "hawa segar".
"Nina, sungguh kau terlalu sekali! Dia adalah penolong dan tamu terhormat, mengapa
kau begitu tidak tahu malu untuk..." Yuan de Gama menegur wanita muda yang kini
duduk di pembaringan Kun Liong dengan baju atas setengah terbuka membayangkan
dada yang membusung penuh, yang tersenyum dengan muka kemerahan dan mata
mengerling basah ke arah Yuan, senyum yang penuh ejekan dan tantangan!
"Yuan, kau tidak tahu. Semua ini gara-gara engkaulah! Betapa rinduku kepadamu
hampir tak dapat aku menguasai diriku lagi, dan kau selalu berpura-pura, selalu
menjauhkan diri setelah dahulu..."
"Cukup, Nina! Satu kali saja sudah cukup. Aku pernah gila, akan tetapi se-mua adalah
karena bujuk rayumu. Aku tidak akan mengulanginya lagi perbuatan terkutuk kita itu!"
"Hi-hik, Yuan! Ketahuilah, aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Siapa sudi bercumbu
dengan Si Gundul itu kalau ada engkau di gini" Kukira ini kamarmu, aku lupa bahwa kau
memberikan kamar ini kepada Si Gundul. Aku kesalahan masuk, dan karena sudah
terlanjur, untuk menu-tupi maluku, aku... hemm... dia pun..."
"Sudahlah, Nina. Tak perlu berpura-pura. Aku mengenal pemuda seperti Kun Liong,
seorang pendekar sakti, seorang jantan sejati yang tak mungkin akan sudi mengganggu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
414 seorang wanita kalau tidak kaubujuk rayu. Keluarlah dari kamar ini sebelum Tuan Selado
mengetahuinya sehingga terjadi hal yang memalukan."
Akan tetapi Nina malah bangkit, dengan melenggang-lenggok menggairahkan
menghampirl Yuan de Gama, merangkulnya dan berkata dengan sikap dan suara manja.
"Yuan, tidak kasihankah kau kepadaku" Aku rindu kepadamu, aku cinta kepadamu..."
"Diam!" Yuan merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu. "Orang seperti
engkau tidak patut bicara tentang cinta! Dan aku tidak cinta kepadamu! Ketahuilah,
hanya ada seorang wanita saja di dunia ini yang benar-benar patut kucinta, yang kucinta
sepenuh nyawaku. Dia adalah Souw Li Hwa!"
Kun Liong yang sudah kembali dan mendengarkan dari luar, terkejut dan menyelinap
pergi, akan tetapi dia tidak mengira bahwa pemuda asing itu akan terang-terangan
mengaku di depan Nina bahwa dia hanya mencinta Li Hwa seorang. Diam-diam Kun
Liong merasa terharu dan kasihan kepada Yuan de Gama. Li Hwa adalah seorang gadis
gagah perkasa dan keras hati, murid tunggal Pendekar Sakti The Hoo yang
berkedudukan tinggi. Mungkinkah seorang dara seperti Li Hwa akan dapat membalas
cinta seorang pemuda asing seperti Yuan de Gama"
Terjadi kegaduhan di kamar itu kare-na dengan berkeras Yuan menolak bujuk rayu Nina.
Akhirnya tampak oleh Kun Liong yang menyelinap bersembunyi be-tapa Nina berlari
keluar dari kamar itu sambil terisak menangis. Diam-diam Kun Liong merasa kasihan
juga kepada wanita itu, maka dia menyelinap dan memba-yangi dari jauh untuk melihat
apa yang akan terjadi dengan wanita yang dianggapnya bernasib malang itu. Biarpun dia
sendiri belum berpengalaman, namun dia dapat merasakan bahwa wanita itu tersiksa
oleh nafsunya sendiri, nafsu yang mendesak-desaknya membutuhkan penyaluran, akan
tetapi celaka bagi wanita itu, dua orang pria muda yang ditemuinya, dia sendiri dan Yuan
de Gama, tidak bersedia melayaninya.
Nina berlari menuju ke sebuah kamar di sudut depan, akan tetapi sebelum dia mengetuk
pintu kamar itu, pintu kamar dibuka orang dan keluarlah Legaspi Sela-do! Kakek botak
itu membawa sebuah batol yang tinggal sedikit isinya, mukanya merah dan begitu
melihat Nina, dia mengayun tangan kirinya menampar,
"Plakkk!!"
"Aughhh...!" Nina menjerit lirih dan mengelus pipinya yang membengkak me-rah,
matanya terbelalak memandang suaminya. Melihat ini, Kun Liong merasa langannya
gatal dan hatinya panas. Kalau dia tidak ingat bahwa yang menampar adalah suami
sedangkan yang ditampar adalah isterinya tentu dia sudah keluar menegur kakek botak
itu! "Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu!" Legapsi Selado memaki lalu menenggak
minuman keras yang masih tinggal sedikit di dalam botol, setelah itu sekali mengayun
tangan, botol yang sudah kosong itu melayang jauh sekali keluar dari kapal menuju ke
laut gelap. Kun Liong mendengar betapa Nina bicara dengan penuh semangat, agaknya wanita itu
marah-marah, mengata-ngatai-nya dengan gerakan tangan dan sambil bercucuran air
mata. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan wa-nita itu, akan tetapi dia
melihat betapa Nina kelihatan berduka, penasaran, dan marah sekali sedangkan Legaspi
Selado hanya menunduk, kemudian kakek itu menggerakkan pundak dengan acuh tak
acuh dan pergi meninggalkan Nina. Wa-nita itu membanting-banting kaki, berteriak-
teriak dan menangis. Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda yang bukan lain
adalah Hendrik Selado, putera Legapsi Selado. Melihat pemuda ini, Nina menubruk dan
merangkulnya, bergantung pada pundak pemuda itu, dan menangis terisak-isak. Hendrik
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
415 menge-luarkan kata-kata menghibur, bahkan mencium pipi ibu tirinya, kemudian dia
menarik tubuh ibu tirinya, diajak mema-suki kamar dan lenyaplah kedua orang itu di
balik pintu kamar yang tertutup.
Kun Liong berdiri tertegun. Semua pengalaman tadi merupakan hal yang baru dan aneh
sekali. Kelakuan Nina benar-benar mengejutkan hatinya. Tiba--tiba terdengar suara
tarikan napas pan-jang di belakangnya. Dia cepat menengok dan melihat bahwa Yunita
telah berdiri tak jauh dari situ.
"Keluarga yang luar biasa..." Yuanita berkata lirih, "Kotor dan mengerikan sekali..."
Kun Liong menghampiri. "Apa maksudmu, Yuanita" Aku tidak mengerti."
"Mereka itu..." Yuanita mengangkat muka ke arah pintu kamar di mana ibu tiri dan
pemuda itu tadi lenyap. "Sungguh mengerikan! Tentu engkau tidak mengerti apa yang
diucapkan oleh Nina tadi kepada suaminya."
Kun Liong menggeleng kepalanya dan memandeng wajah dara itu penuh perhati-an.
Wajah yang cantik sekali, agak pucat tertimpa sinar bulan, agaknya dara itu terkejut
menyaksikan adegan yang mene-gangkan tadi antara Nina, suaminya dan putera tirinya.
"Dia menegur dan menyalahkan suaminya. Dia berkata bahwa dia tidak pernah
mendapat kepuasan batiniah dari suaminya. Dia mengatakan bahwa suami-nya hanya
namanya saja suami, akan tetapi tidak pernah mencintanya, tidak pernah
memperlakukannya sebagai isteri, tidak pernah tidur dengannya. Dia bi-lang... suaminya
yang terkenal sebagai seorang sakti dan kuat itu hanyalah seorang yang mati
kejantanannya, tidak mampu lagi melakukan kewajiban seorang suami terhadap
isterinya. Nina menuntut dan mengatakan bahwa dia adalah se-orang wanita yang masih
muda, yang membutuhkan cinta kasih seorang pria. Dia tidak mau disiksa lebih lama lagi
dan katanya kalau dia mencari pria lain yang suka melayani kebutuhan tubuhnya sebagai
seorang wanita muda, bukan semata-mata karena dia serong dan suka berjina,
melainkan karena kesalahan sua-minya yang tak pernah dapat melayani nafsu
berahinya..."
"Sudahlah, Yuanita... sudah cukup..." kata Kun Liong yang menjadi merah sekali
mukanya sampai kepalanya. Dia merasa heran sekali akan kebebasan sikap dan kata-
kata orang wanita barat ini. Begitu bebas bicara tentang urusan yang bagi bangsanya
merupakan pelanggaran susila yang memalukan! Sungguhpun dia sendiri tidak melihat
sebabnya mengapa urusan manusia ini dianggap pentang untuk dibicarakan!
Yuanita memegang lengan Kun Liong dan tanpa berkata-kata kedua orang muda ini
berjalan bergandeng tangan menuju ke ujung kapal yang sunyi.
"Kasihan sekali Nina" kata Yuanita. "Dia hanya dipermainkan oleh nafsu berahi, dan tidak
mengenal cinta kasih. Aku merasa jauh lebih berbahagia karena aku mengenal cinta. Kun
Liong, engkau tahu siapa yang kumaksudkan. Tadinya sebelum berjumpa denganmu,
aku pun hanya melamunkan cinta, tak pernah aku mengenalnya. Akan tetapi, begitu
berte-mu denganmu, tahulah aku apa yang disebut cinta itu, Kun Liong, dan setelah
mengenal cinta, nafsu berahi sama sekali bukan hal yang terpenting."
Mereka duduk di atas dek di ujung kapal yang sunyi dan agak gelap karena terselimut
bayangan tihang-tihang layar dan tidak tampak dari tempat penjagaan di atas. Duduk
berdampingan dan sejenak mereka tidak bicara, hanya saling pan-dang dengan bantuan
sinar bulan yang menimpa di atas wajah masing-masing. Kemudian Kun Liong menarik
napas panjang dan berkata, "Tetap saja aku harus mengecewakan hatimu, Yuanita. Aku
tidak dapat membalas cinta kasihmu yang demikian murni, bahkan agaknya aku tidak
akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang manapun juga."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
416 Yuanita menatap wajah pemuda gundul itu dengan tajam penuh selidik, ke-mudian dia
berbisik, "Aku tahu bahwa engkau tidak dapat mencintaku, Kun Liong. Mungkin seleramu
berbeda dan kau tidak dapat memandang aku sebagai seorang wanita cantik yang
menarik ha-timu karena aku memang seorang asing. Mataku kebiruan tidak seperti
matamu yang hitam, rambutku keemasan tidak seperti rambutmu yang hitam arang dan
kulit tubuhku putih berbulu halus seperti kulitmu yang kekuningan dan halus licin tak
berbulu. Akan tetapi, kalau kau bilang bahwa kau tidak akan pernah dapat jatuh cinta
kepada wanita yang mana pun, hal itu... ah, bagaimana aku dapat percaya?"
"Percaya atau tidak terserah, Yuanita, akan tetapi setelah melihat segala peristiwa
tentang cinta, aku menjadi ngeri untuk jatuh cinta!"
"Aihh, mengapa?"
"Karena melihat cinta yang ada sekarang ini bagiku tampak palsu dan hanya
mendatangkan kesengsaraan belaka. Cinta yang banyak disebut-sebut orang, cinta
antara pria dan wanita, cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak-anaknya,
cinta antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan ta
Kisah Sepasang Rajawali 23 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Cacad 6
^