Petualang Asmara 25

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 25


dia tertawa. "Kepung dia!
Bunuh pemuda pengacau ini!"
Kun Liong menjadi mata gelap. Sejak kecil dia tidak suka akan kekerasan, tidak suka
memukul orang apalagi membunuh merupakan pantangan besar baginya. Kini, gelisah
akan keselamatan Giok Keng dan melihat kekejaman hati Liong Bu Kong yang membuat
gadis itu sengsara, dia menjadi mata gelap dan dengan bentakan nyaring dia menerima
semua sambaran pedang ke arah tubuhnya, hanya melindungi tubuh Giok Keng.
Berbareng ketika senjata-senjata mengenai tubuhnya dia sudah menerjang maju dengan
pedang Gin-hwa-kiam milik Giok Keng itu, menyerang Liong Bu Kong tanpa
mempedulikan hujan senjata mengenai tubuhnya. Terdengar suara bak-bik-buk dan
semua senjata itu terpental kembali. Liong Bu Kong terkejut melihat sinar perak
menyambar, cepat dia menangkis dengan Lui-kong-kiam.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
710 "Crangggg...!" Liong Bu Kong memekik kaget, pedangnya terlepas dari pegangan
tangannya dan cepat dia melempar tubuhnya ke atas tanah. Kalau tidak cepat
gerakannya ini, tentu dia telah menjadi korban pedang Gin-hwa-kiam. Melihat
serangannya hanya berhasil melepaskan pedang lawan yang dapat dengan cepat
menghindar dengan cara melempar diri ke atas tanah, Kun Liong mengayun kakinya
menendang ke arah kepala Liong Bu Kong. Bu Kong mengangkat kedua lengannya
menangkis. "Desss!" Tubuh Liong Bu Kong mencelat dan terguling-guling sampai sepuluh meter
jauhnya. Dia dapat bangkit berdiri lagi dengan kepala pening dan mata berkunang,
menggoyang-goyang kepalanya dan keringat dingin bercucuran keluar ketika dia melihat
Kun Liong sudah dikepung lagi. Kini para pengeroyok itu atas komando Loan Khi Tosu
yang cerdik, menujukan senjata mereka kepada tubuh Giok Keng! Akal ini benar-benar
membuat Kun Liong menjadi repot sekali. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri
yang dapat dibuatnya kebal terhadap senjata dengan sin-kangnya, akan tetapi Giok Keng
yang pingsan itu tentu akan celaka kalau terkena senjata lawan.
Lega dan girang juga hati Liong Bu Kong melihat betapa lawan yang amat tangguh itu
kini dikepung ketat. Dia hampir saja celaka tadi, seperti lolos dari lubang jarum. Dengan
tulang-tulang tubuhnya terasa nyeri, dia berjalan terincang-pincang mencari senjatanya
yang tadi terlepas. Akhirnya dia melihat senjata pedangnya itu dan dengan cepat dia
berlari menghampiri untuk mengambilnya. Selagi tangan Bu Kong meraih pedang, tiba-
tiba ada sebuah kaki kecil yang menginjak pedang itu! Bu Kong terkejut akan tetapi dia
sudah memegang gagang pedangnya, maka sekuat tenaga dia membetot gagang pedang
itu dan... pedang yang terinjak kaki kecil itu tidak berkutik sedikit pun! Betapa pun Bu
Kong mencabut sambil mengerahkan tenaga, sia-sia saja karena pedang itu seakan-akan
telah menjadi satu dengan kaki yang menginjaknya. Bu Kong cepat mengangkat
mukanya dan kaki itu ternyata milik seorang gadis cantik dan gagah, seorang dara cantik
yang matanya begitu tajam dan bening, indah seperti mata burung Hong, seorang gadis
berpakaian ringkas dan tampak dua batang pedang di tubuhnya, satu di punggungnya
dan sebatang lagi di ikat pinggangnya yang merupakan pedang pendek.
Liong Bu Kong terbelalak ketika dia mengenal wajah gadis yang cantik namun dingin dan
angkuh itu. "Kau..." Kau... Giok-hong-cu Yo Bi Kiok?" katanya memandang kepada
hiasan burung Hong dari kumala yang menghias baju di dada gadis itu. Rasa terkejut
dan heran bercampur dengan harapan dan kegirangan. Dia terkejut dan heran melihat
kelihaian gadis ini yang mampu menginjak pedangnya sedemikian kuatnya sehingga dia
sendiri tidak dapat menariknya kembali, dan dia girang dan penuh harapan akan
mendapat bantuan gadis ini. Bukankah Yo Bi Kiok ini dapat dikatakan segolongan dengan
dia, bahkan guru gadis ini, Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li pernah bersekutu
dengan ibunya, dan hiasan burung Hong kumala di dada gadis itu pun adalah pemberian
ibunya" Maka dia cepat melepaskan gagang pedangnya, bangkit berdiri dan berkata
sambil tersenyum, girang, "Aihh, kiranya Kiok-moi yang datang...! Dan kau hebat sekali!
Kiok-moi, kebetulan kau datang, marilah membantu kami menaklukkan iblis itu!" Dia
menuding ke arah Kun Liong yang masih mengamuk dan dikepung ketat seperti seekor
jengkerik dikeroyok segerombolan semut.
"Huh, siapa adikmu" Liong Bu Kong, aku datang untuk mengambil nyawamu!"
Tentu saja Liong Bu Kong merasa kaget bukan main sampai matanya terbelalak dan dia
tidak dapat menjawab.
"Ambil pedangmu dan bersiaplah!" kata pula Yo Bi Kiok dengan suara dan pandang mata
dingin. Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
711 Terpaksa Bu Kong mengambil pedangya yang sudah dilepaskan oleh kaki Bi Kiok dan dia
membantah, "Yo Bi Kiok, lupakah kau bahwa kita segolongan" Lihat, Giok-hong-cu itu
masih berada di dadamu. Bukankah itu pemberian ibuku?"
Yo Bi Kiok menjebikan bibirnya yang merah. "Hemm, memang kubawa dan tadinya akan
kukembalikan kepada Kwi-eng Niocu, sayang dia telah mampus, karena itu biarlah
kukembalikan kepada puteranya. Nih, terimalah kembali!" Tiba-tiba sekali, dengan
kecepatan yang tidak terduga-duga oleh Bu Kong, tangan kiri gadis itu merenggut hiasan
itu dan secepat kilat pula perhiasan dari kumala itu telah melayang menyambar antara
kedua mata Bu Kong! Pemuda ini berseru kaget, cepat dia mengelak dengan
merendahkan tubuh dan menundukkan kepala.
"Sswwtttt...!" Perhiasan itu melayang lewat di atas kepalanya dan menancap di dinding
karang. Dan pada saat itu, Bi Kiok telah menerjangnya dengan pedang pendek di tangan
kiri. Demikian cepatnya gerakan Bi Kiok, begitu melontarkan perhiasan tadi terus
langsung mencabut pedang di pinggang dan langsung pula menyerang, sehingga Bu
Kong terkejut setengah mati, cepat menangkis.
"Cring-trangggg...!"
"Ehhhh...?" Liong Bu Kong kembali terkejut. Tangannya sampai tergetar hebat ketika
pedangnya bertemu dengan pedang di tangan kiri gadis itu. Akan tetapi dia tidak sempat
terheran lebih lama lagi karena kembali pedang gadis itu telah menyambar dengan
kecepatan dan kekuatan yang amat luar biasa! Bu Kong menangkis dan berusaha untuk
balas menyerang, namun dalam waktu dua puluh jurus lebih saja dia telah terdesak
hebat sekali. Tiba-tiba, selagi Bu Kong membalas dengan bacokan dahayat, Bi Kiok
menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan sin-kang dan pedang itu
bergetar sedemikian hebat lalu diputar-putar sehingga pedang Bu Kong ikut pula
terputar tanpa dapat ditahannya lagi. Dan secepat kilat, tangan kanan Bi Kiok bergerak
dan hanya tampak sinar berkelebat ketika pedang panjang telah tercabut dari
punggungnya dan di lain saat pedang itu telah menembus dada Liong Bu Kong.
"Auhhhhgggg...!" Tubuh pemuda itu terjengkang ketika Bi Kiok mencabut pedangnya.
Sambil melihat tubuh pemuda yang berkelojotan di atas tanah itu, Bi Kiok menggunakan
kakinya mencokel pedang Lui-kong-kiam, menyambar gagang pedang dengan tangannya
dan menyelipkan pedang itu di pinggangnya pula, sementara itu kedua pedangnya tadi
sudah dengan cepat memasuki sarung pedang. Kemudian, dengan tenang dia
menghampiri dinding karang, mencabut Giok-hong-cu dan sekali lempar perhiasan itu
menancap di dahi Bu Kong, tepat di tengah-tengah dan tubub yang berkelojotan itu
diam, tak bergerak lagi.
Kini Yo Bi Kiok memandang ke arah pertempuran, mendengus perlahan dan tubuhnya
mencelat ke medan pertempuran, pedang rampasan tadi digerakkan dengan tangan
kirinya dan robohlah empat orang pengeroyok! Selanjutnya, gadis ini mengamuk dengan
pedang Lui-kong-kiam sehingga dalam waktu singkat, terjungkal tidak kurang dari
delapan orang anak buah Pek-lian-kauw! Tentu saja semua pengeroyok terkejut sekali
dan mereka menjadi gentar, cepat mereka meninggalkan Kun Liong dan Bi Kiok, mundur
ke dalam guha di mana sudah dipasangi alat-alat rahasia jebakan. Akan tetapi kedua
orang muda itu tidak mengejar, melainkan berdiri saling berpandangan, Bi Kiok dengan
pandang mata dingin, Kun Liong dengan mata terbelalak keheranan.
"Engkau... Bi Kiok...!"
"Kun Liong, engkau masih belum lupa kepadaku?" suara Bi Kiok dingin dan matanya
menatap tajam ke arah gadis yang pingsan di panggulan pemuda itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
712 "Melupakan engkau" Mungkin yang lain-lain aku dapat melupakan, akan tetapi betapa
mungkin aku melupakan matamu yang bersinar indah seperti bintang pagi itu?"
Yo Bi Kjok menjebikan bibirnya, dan mendengus, "Huh, perayu yang... mata keranjang!"
Dia memutar tubuhnya dan sekali meloncat dia telah melayang jauh ke depan lalu lari
cepat sekali. "Bi Kiok...!" Kun Liong memanggil akan tetapi gadis itu berlari terus. Terpaksa dia pun
berlari membawa tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Yang terutama sekali adalah
keselamatan Giok Keng. Biarpun dia merasa terheran-heran melihat Yo Bi Kiok yang
sekarang memiliki ilmu kepandaian sedemikian tingginya, bahkan Liong Bu Kong dapat
dibunuhnya dalam waktu singkat dan dia ingin sekali bicara dengan dara itu, namun
melihat keadaan Giok Keng, dia harus lebih dulu menyelamatkan gadis ini. Dia tahu
betapa jahatnya jarum merah Ouwyang Bouw itu.
Setelah berlarl-lari menuruni bukit dan jauh sekali meninggalkan sarang Pek-lian-kauw,
akhirnya Kun Liong tiba di sebuah dusun dan cepat dia mencari rumah penginapan.
Seorang pelayan menyambutnya dengan mata terbelalak heran memandang kepada
wanita muda yang pingsan dalam pondongan pemuda itu.
"Adikku ini sakit parah, harap kau cepat menyediakan kamar untuk kami agar dia dapat
kuobati," kata Kun Liong, tanpa banyak cakap lagi.
Pelayan itu seorang tua yang baik hati. Melihat keadaan Giok Keng yang pucat dan
pingsan, dia cepat membawa mereka ke sebuah kamar yang cukup besar, kemudian
memenuhi permintaan Kun Liong menyediakan sebaskom air mendidih yang dia taruh di
dalam kamar dan cepat dia meninggalkan mereka pergi.
Kun Liong mulai bekerja, tanpa ragu-ragu lagi dia menanggalkan pakaian Giok Keng
berikut sepatunya dan menyelimuti tubuh yang telanjang itu dengan sehelai selimut. Dia
membalikkan tubuh dara itu menelungkup dan memeriksa tubuh belakangnya. Terdapat
lima batang jarum merah menancap di tubub belakang dari punggung sampai ke pinggul!
Dan jarum-jarum itu menancap dalam sekali sampai yang tampak hanya sedikit
ujungnya membayang di bawah kulit yang telah mulai membiru kemerahan!
Setelah memeriksa sejenak, Kun Liong cepat menggunakan air mendidih untuk
membasahi bagian luka itu sehingga kulit dagingnya di bagian itu yang terkena air panas
menjadi lemas dan lunak. Kemudian, sambil duduk bersila di pinggir pembaringan, Kun
Liong menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan kepada luka jarum itu sambil
mengerahkan sin-kangnya. Hawa yang amat kuat tergetar melalui lengannya dan
setibanya di telapak tangannya, hawa yang merupakan tenaga sakti itu menyedot! Inilah
tenaga Thi-khi-i-beng yang sudah dikendalikan sehingga tenaga menyedotnya yang
hebat itu dapat dicurahkan dan dipusatkan pada lubang kecil bekas jarum. Setelah kedua
lengan itu menggigil beberapa lamanya, Kun Liong menarik kembali kedua tangannya
dan... dua batang jarum menempel di telapak tangannya. Dengan alis berkerut dia
menyimpan dua batang jarum itu, kemudian berturut-turut dia berhasil menyedot lima
batang jarum itu dari tubuh Giok Keng.
Setelah lima batang jarum itu terambil semua, pekerjaan Kun Liong masih jauh daripada
selesai. Biarpun jarum-jarum itu telah dikeluarkan, namun racunnya sudah mengeram di
tubuh dan dia tadi sebelum mengambil jarum telah menotok beberapa bagian jalan
darah untuk mencegah racun itu menjalar ke jantung. Kini, kembali dia menggunakan
sin-kang dari kedua telapak tangannya untuk menyedot dan melebarkan luka-luka itu,
kemudian, tanpa ragu-ragu, dia mendekatkan mukanya dan dengan mulutnya, dia
menyedot luka-luka itu satu demi satu. Darah menghitam yang tersedot keluar dari luka
itu, diludahkannya ke lantai, kemudian menyedot lagi sampai berkali-kali.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
713 Ketika melakukan ini, dia bukannya tidak sadar akan keindahan tubuh belakang dara itu
yang polos, dengan kulit putih kuning dan bersih halus, namun dengan penuh keyakinan
bahwa dia melakukan semua ini untuk menyelamatkan nyawa Giok Keng, maka segala
bentuk khayal yang mendatangkan nafsu berahi sama sekali tidak menampakkan
bayangannya. Setelah di setiap luka dia menyedot tidak kurang dari lima kali, barulah yang tersedot
keluar dari luka kecil itu darah merah. Ketika melakukan penyedotan dengan mulutnya
untuk yang terakhir kali, di luka yang berada paling bawah, yaitu di belahan bukit
pinggul, tiba-tiba dia mendengar suara halus di luar jendela dan melihat berkelebatnya
bayangan orang, Kun Liong tidak berani memecah perhatian karena pengobatan dengan
sin-kang itu membutuhkan pengerahan tenaga dan perhatiannya. Disangkanya bahwa
tentulah pelayan tadi yang mengintai untuk melihat bagaimana keadaan wanita sakit itu.
Setelah melihat bahwa lima luka itu sudah bersih dan menjadi merah darah, dengan
hati-hati Kun Liong mencucinya dengan air panas, menutupnya dengan kain bersih lalu
membalikkan tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Wajah dara itu masih pucat akan
tetapi sinar kebiruan telah lenyap dari wajahnya. Kun Liong membetulkan letak selimut
yang menutupi seluruh tubuh gadis itu, kemudian dia memasukkan kedua tangannya ke
dalam selimut, meletakkan kedua telapak tangannya ke bawah dada, memusatkan
seluruh batinnya agar tidak sampai tergoda oleh bayangan yang bukan-bukan mengenai
tubuh dara yang terlentang di depannya, kemudian dia menyalurkan sin-kang. Hawa
yang hangat memasuki tubuh dara itu dan membantU kelancaran jalan darahnya, juga
mengusir hawa beracun yang memenuhi dada rongga perutnya.
"Ouhhh...!" Akhirnya terdengar dara itu merintih, perapasannya menjadi normal kembali,
jalan darahnya juga pulih, dia masih setengah sadar setengah pingsan. Cepat Kun Liong
mengeluarkan kedua tangannya dari selimut karena dia tidak ingin gadis itu sadar
mendapatkan kedua tangannya masih terletak di atas dada dan perutnya! Wajahnya
agak pucat dan napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga
saktinya. Pada saat itulah, setelah perhatiannya terhadap Giok Keng terlepas, dia baru mendengar
bahwa benar-benar ada orang di luar kamar itu, mengintai di depan pintu. Dia menjadi
curiga sekali dan sambil meloncat ke dekat pintu dia membentak, "Siapa di luar...?"
Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang mendengus marah, daun pintu di tendang
terbuka dan seorang gadis cantik yang langsung menyerang dengan tusukan pedang
pendeknya yang dipegang dengan tangan kiri ke dada Kun Liong dengan kecepatan kilat!
"Bi Kiok...!" Kun Liong berscru kaget, miringkan tubuhnya ke kiri dan ketika pedang
meluncur di sebelah kanannya, dia cepat menggerakkan tangan kanan menangkap
pergelangan tangan gadis itu sambil mengerahkan sin-kangnya karena begitu
menyentuh lengan dia merasa ada tenaga dahsyat dari lengan itu kcluar menentang.
"Tranggg...! Plokkk...!"
Pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Bi Kiok yang seperti lumpuh oleh pegangan
tangan kanan Kun Liong akan tetapi dengan kemarahan meluap-luap gadis itu
menggunakan telapak tangan kanannya menampar pipi kiri pemuda itu.
Kun Liong meringis, pipinya terasa panas dan pedih, tentu giginya sudah rontok semua
kalau dia tadi tidak menerima tamparan itu dengan pengerahan tenaga.
"Laki-laki cabul! Laki-laki mata keranjang!" Yo Bi Kiok memaki ketika melihat Giok Keng
yang sudah sadar dan memandang dengan mata terbelalak itu berada dalam keadaan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
714 telanjang bulat dan hanya menutupi tubuhnya dengan sehelai seilmut. Kedua kaki yang
telanjang itu mencuat keluar dari dalam seilmut!
"Eh... ohhh... Bi Kiok... jangan...!" Kun Liong cepat menggunakan tangan kirinya untuk
menangkap lengan kanan gadis itu, melihat betapa Bi Kiok sudah menggerakkan tangan
kanan hendak mencabut pedang panjang di punggungnya. Dengan demikian, dia telah
menangkap kedua lengan gadis itu yang meronta-ronta hendak melepaskan kedua
tangannya. "Eh-eh... Bi Kiok... wah, sabarlah, mari kita bicara baik-baik..." Kun Liong membujuk
ketika gadis itu meronta-ronta, bahkan mengirim tendangan yang dapat dielakkannya,
akan tetapi terpaksa dia tangkis dengan kakinya pula.
"Laki-laki buaya!" Bi Kiok memaki lirih. "Dan aku selalu mengingat-ingat engkau...
mengharap-harap..." Dan gadis itu terisak, lalu meronta-ronta makin kuat. "Kiranya
engkau laki-laki cabul yang mempermainkan setiap wanita yang kautolong!"
Giok Keng yang sudah sadar dan sudah bangkit duduk sambil menyelimuti tubuh dengan
selimut itu sudah mendengar cukup banyak dan jelas. Cepat dia melangkah turun dan
sambil menyarungkan selimut itu rapat-rapat, dia berseru, "Tahan dulu...! Adik yang
baik, engkau salah duga...! Kun Liong telah menolongku dan karena aku terkena senjata
rahasia yang amat berbahaya, dia tadi telah mengobatiku... jangan menyangka yang
bukan-bukan! Aku adalah Cia Giok Keng, puteri Ketua Cin-ling-pai, apa kaukira aku akan
mudah saja dipermainkan orang seperti itu" Aku..." Tiba-tiba Giok Keng menghentikan
kata-katanya karena teringat betapa pemyataannya tadi berlawanan dengan sekali
dengan kenyataan. Dia berkata tidak mudah dipermainkan orang, akan tetapi buktinya,
dia dipermainkan oleh Liong Bu Kong sampai hampir saja menjadi korban!
Akan tetapi kata-katanya tadi sudah cukup bagi Bi Kiok. Ketika tadi dia mengintai dari
balik jendela dan melihat betapa Kun Liong "menciumi" punggung dan pinggul telanjang
gadis itu hatinya panas dan marah bukan main. Selama ini dia selalu terkenang kepada
Kun Liong yang dianggapnya sebagai pria yang paling baik dan hebat yang pernah
dijumpainya, dan yang perjumpaannya ketika melihat Kun Liong dikeroyok orang-orang
Pek-lian-kauw tadi membuat dia girang sekali. Akan tetapi godaan Kun Liong yang
memuji matanya membuat dia malu dan lari pergi, namun dia lalu membayangi Kun
Liong yang membawa pergi dara yang ditolongnya itu ke sebuah kamar di rumah
penginapan. Dapat dibayangkan betapa kecewa dan marah hatinya melihat Kun Liong
"menciumi" tubuh itu. Kini, mendengar keterangan Giok Keng yang ternyata adalah
puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai yang tentu saja sudah dikenal baik namanya itu,
dia maklum bahwa dia telah salah sangka!
Kiranya Kun Liong tadi bukanlah sedang menciumi punggung dan pinggul telanjang,
melainkan sedang menyedot racun dari luka-luka di punggung dan pinggul!
"Ahhhh...!" Dia terkejut dan merasa malu sekali, dan ketika Kun Liong melepaskan kedua
tangannya, dia melangkah mundur, mukanya merah dan matanya terkejap-kejap malu.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun Liong tersenyum lebar. "Bagaimana, Bi Kiok" Apakah kau masih hendak menampar
lagi mukaku" Aihhh, lama tak jumpa, engkau sekarang menjadi lihai luar biasa, ilmu
kepandaianmu maju dengan amat pesatnya dan... dan engkau makin cantik saja, apalagi
kalau engkau memandang seperti itu..."
Mata yang berkejap-kejap malu itu seketika mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi
ketika bertemu pandang dengan Kun Liong dan melihat betapa mulut dan mata Kun
Liong mentertawakannya, dia menjadi malu sekali. "Ihhh!" dengusnya, tubuhnya
membalik dan dia berkelebat lenyap dari situ setelah menyambar pedang pendeknya
yang tadi terjatuh.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
715 "Bi Kiok...! Heiii, tunggu dulu!"
Akan tetapi Yo Bi Kiok tidak peduli dan lari terus dengan amat cepatnya, dan Kun Liong
pun tidak mengejar, hanya berdiri di pintu dengan wajah berseri kemudian menarik
napas panjang. "Hemm, hebat sekali ilmunya berlari cepat, juga sin-kang dan
kepandaiannya. Lebih hebat dari tingkat gurunya sendiri, hemm..."
"Kun Liong, engkau tidak pernah dapat menghilangkan watakmu yang nakal dan suka
menggoda wanita," terdengar suara Giok Keng, dan ketika Kun Liong hendak membalik,
Giok Keng cepat melanjutkan, "Jangan menengok ke sini! Aku sedang berpakaian!"
OTOMATIS Kun Liong menarik kembali kepalanya yang hendak menengok tadi, kini
berdiri menghadap keluar, bahkan menutupkan daun pintu agar tidak ada orang yang
dapat melihat ke dalam kamar.
"Aku sudah selesai, Kun Liong."
Barulah pemuda itu membuka daun pintu lalu memasuki kamar. Giok Keng sudah
berpakaian lagi dengan rapi, dan duduk di atas ranjang. Kun Liong lalu duduk di atas
bangku. "Kun Liong, apakah kau mencinta gadis tadi?"
"Bi Kiok" Ah, tidak, mengapa?"
"Yang jelas, dia mencintamu, Kun Liong."
"Ehhhh...?" Kun Liong memandang heran tidak percaya.
"Percayalah kepadaku, seorang wanita lebih awas dalam hal itu. Dia mencintamu
sungguh-sungguh, Kun Liong, karena itu dapat dibayangkan betapa menyakitkan
godaan-godaanmu tadi."
"Hemm, aku memang seorang yang serba canggung, selalu mendatangkan rasa tidak
enak dalam hati dara-dara muda. Bahkan orang yang benar-benar kucinta pun merasa
tidak senang dan marah..."
Giok Keng memandang tajam. "Kun Liong, siapakah wanita yang kaucinta itu dan di
mana dia?"
Kun Liong mengangkat muka memandang, lalu menunduk dan menarik napas panjang
lagi. "Hemmm... adalah..."
"Kun Liong, mengapa kau tidak mau bercerita kepadaku" Aku telah berhutang nyawa
kepadamu, padahal aku telah menyakiti hatimu ketika memutuskan tali perjodohan.
Engkau seorang yang amat baik bagiku, akan tetapi sayang aku tidak cinta kepadamu
dan anggaplah aku ini adikmu sendiri, Kun Liong, atau setidaknya, engkau masih
terhitung suhengku, bukan" Nah, ceritakanlah semuanya kepada sumoimu ini, siapa tahu
aku akan dapat membantumu sebagai pembalasan budimu."
Terharu juga hati Kun Liong mendengar ini. Memang, dia pernah merasa terhina ketika
Giok Keng menyatakan tidak setuju akan perjodohan yang diikat ayahnya, apalagi ketika
ternyata bahwa gadis ini malah memilih seorang pemuda iblis Liong Bu Kong. Kini,
mendengar ucapan yang tulus dan terus terang dari gadis itu, dia merasa terharu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
716 "Giok Keng, bukan sama sekali bahwa aku tidak percaya kepadamu, hanya... hal yang
tidak menyenangkan perlukah diceritakan" Betapapun juga, mengingat bahwa nasibmu
dalam percintaan juga amat buruk, baiklah aku akan bercerita kepadamu tentang gadis
yang kucinta itu, yang bernama Pek Hong ing..."
Maka berceritalah Kun liong secara singkat namun lengkap tentang pengalamannya
bersama Pek Hong Ing, tentu saja tanpa menyinggung-nyinggung tentang sikap Hong
Ing terhadap dirinya ketika dara itu hendak dibawa pergi oleh tiga orang Lama yang
amat sakti itu.
"Nah, sebenarnya aku sedang dalam perjalanan mengejar para pendeta Lama yang telah
membawa pergi Hong Ing itu, kalau perlu sampai ke sarang mereka di Tibet." Kun Liong
mengakhiri ceritanya.
Giok Keng mendengarkan dengan terharu, lalu berkata dengan penuh kekhawatiran.
"Agaknya tiga orang pendeta Lama itu lihai bukan main, Kun Liong. Bagaimana engkau
akan dapat berhasil pergi seorang diri ke sana" Apakah tidak sebaiknya kau minta
bantuan Ayah?"
Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Aku akan pergi sendiri, dan aku yakin akan dapat
mengatasi mereka. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Giok Keng" Setelah peristiwa
menggemparkan di Pek-lian-kauw itu..." Kun Liong menghentikan kata-katanya karena
melihat dara itu menangis. Maklumlah dia bahwa dia telah menyentuh bagian yang
menyakitkan hati, mengingatkan gadis itu akan aib yang telah menimpa dirinya, maka
dia merasa menyesal sekali bertanya tadi.
"Maafkan, Giok Keng. Aku bukan bermaksud..."
"Tidak apa, Kun Liong. Bukan salahmu.... melainkan aku sendirilah yang seakan-akan
buta hati, mudah saja terbujuk dan tertipu oleh pemuda yang kelibatan tampan dan baik
itu. Siapa mengira bahwa hatinya busuk seperti iblis" Ahh, aku menyesal sekali, Kun
Liong... eh, Suheng! Aku harus menyebutmu suheng sekarang! Aku menyesal sekali dan
untung bahwa semua malapetaka itu belum terlambat, berkat kedatangan Ayah dan
kedatanganmu."
"Biarlah kesalahan kita yang lalu menjadi pengalaman, Sumoi, menjadi pelajaran bagi
kita sehingga kesalahan macam itu tidak akan terulang lagi."
"Tidak mungkin terulang! Aku tidak akan mencinta siapa pun, dan cintaku yang keliru
terhadap iblis itu telah mati. Aku tidak mau sembarangan mencinta pria lagi sungguhpun
banyak yang mencintaku. Sebenarnya, dahulu pun aku tidak mudah jatuh cinta. Sejak
dahulu, banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, Suheng, dari para murid ayah di Cin-
ling-pai sampai banyak laki-laki yang kutemui selama dalam perjalananku. Mereka
semua bermuka-muka dan berusaha untuk menguasai hatiku, dan sikap mereka yang
palsu dan memikat itu memuakkan hatiku. Cinta mereka itu semua palsu, sepalsu cinta
iblis Liong Bu Kong. Aku muak dengan cinta kaum pria yang berhati palsu. Aku tidak
maksudkan engkau, Suheng. Engkau adalah orang jujur dan terus terang mengatakan
bahwa engkau tidak mencinta aku. Betapapun juga, nasib kaum wanita memang amat
buruk, tidak seperti pria. Dalam soal perjodohan
sekalipun, kaum wanita selalu harus tunduk, dalam soal cinta pun, kaum wanita harus
menerinia dan menyesuaikan diri, tidak berhak memilih seperti pria. Betapa pun besar
cinta seorang wanita terhadap seorang pria, kalau si pria tidak mencintanya akan
percuma saja dan tidak mungkin wanita berani mendesak yang berarti tidak tahu malu!
Karena itu, aku merasa kasihan sekali kepada Bi Kiok dan kepada Hwi Sian. Mereka
berdua benar-benar mencintamu, Suheng, akan tetapi engkau tidak membalas cinta
mereka. Betapa sengsara hati mereka."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
717 Kun Liong menarik napas panjang, apalagi teringat akan Hwi Siang gadis yang telah
menyerahkan kehormatannya kepadanya dan yahg membuatnya menyesal bukan main
kalau teringat akan peristiwa itu. "Cinta memang hanya mendatangkan duka nestapa
belakat ataukah... sebenarnya bukan cinta sejati yang mendatangkan duka itu"
Bagaimanapun juga, kalau benar kata-katamu tadi bahwa Bi Kiok mencintaku..."
"Aku berani bertaruh apapun juga, Suheng. Dia pasti mencintamu, dari pandang
matanya, kata-katanya, sikapnya, jelas sekali tampak bahwa dia mencintamu. Sayang,
akan patah harapannya kalau dia tahu bahwa pria yang dicintanya itu tidak akan
membalasnya."
"Hemm, kalau begitu aku harus mencarinya, akan kuberitahukan secara terus terang
agar dia dapat menghapus cinta yang salah alamat itu."
"Memang sebaiknya begitu, Suheng. Biarpun pahit, namun keterusterangan itu mungkin
akan dapat menjadi obat mujarab, seperti kenyataan yang amat pahit membuat mataku
terbuka. Akan tetapi, ke manakah kau hendak mencarinya?"
"Melihat kemunculannya tadi, kurasa tempat tinggalnya tidak jauh dari dusun ini, atau
mungkin juga, di dusun ini. Betapa pun, aku akan mencarinya, sekarang juga."
"Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini, Suheng. Aku juga akan melakukan
perjalananku."
"Kau harus beristirahat dulu..."
"Aku telah sembuh, berkat pertolonganmu."
"Akan tetapi, kau hendak ke mana?"
"Entahlah, yang jelas aku tidak akan pulang dulu ke Cin-ling-san sebelum aku berhasil
membunuh iblis Liong Bu Kong itu!"
"Ahh, dia sudah tewas, Sumoi!" Baru teringat oleh Kun Liong bahwa dia belum
menceritakan akan hal ini dan tentu saja gadis ini tidak tahu akan kematian Liong Bu
Kong, karena ketika itu dia masih pingsan.
Giok Keng terloncat dan memandang terbelalak, mukanya agak pucat. Betapapun juga,
laki-laki yang pernah dicintanya itu dikabarkan tewas, dan tanpa disadarinva dia terkejut
buken main. "Tewas...?"
Kon Liong mengangguk.
"Tewas di tanganmu, Suheng?"
"Untung sekali tidak! Aku merasa ngeri kalau sampai membunuh orang. Dia tewas dalam
tangan Yo Bi Kiok, dalam waktu hanya dalam belasan jurus sehingga aku merasa
terheran bukan main menyaksikan kepandaian Bi Kiok. Padahal dahulu, dia tidak akan
mampu mengalahkan Bu Kong."
Giok Keng termenung. "Mengapa..." Mengapa Bi Kiok membunuhnya?"
"Mungkin dendam antara guru. Bi Kiok adalah murid mendiang Siang-tok Mo-li Bu Leng
Ci yang tewas di tangan ibu Bu Kong, yaitu Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. Mungkin untuk
membalas kematian gurunya, Bi Kiok yang sekarang lihai sekali itu membunuh Bu Kong,
dan hal ini menguntungkan kita karena aku sudah payah juga menghadapi pengeroyokan
sambil memondongmu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
718 Kembali Giok Keng termenung, kemudian menarik napas panjang. "Begitulah nasib
manusia yang tersesat, akhirnya mampus di ujung senjata pula. Kalau begitu, tinggal
orang-orang Pek-lian-kauw! Merekalah yang membantu iblis itu sehingga aku hampir
saja tertimpa malapetaka hebat, aku harus menghancurkan Pek-lian-kauw, Suheng."
"Hemm, berhati-hatilah, Giok Keng. Mereka itu lihai sekali, terutama ketuanya."
"Aku tidak akan gegabah, Suheng. Aku akan pergi ke kota raja, minta bantuan, kalau
perlu akan menghadap The-locianpwe."
"Panglima The Hoo?"
Giok Keng mengangguk. "Syukur kalau dapat bertemu dengan Ayah, kalau tidak tentu
Locianpwe itu akan tertarik dan suka mengirim pasukan, karena Pek-lian-kauw adalah
perkumpulan pemberontak."
"Terserah kepadamu, akan tetapi hati-hatilah, Sumoi. Aku sendiri akan menemui Bi Kiok,
kemudian aku akan menyusul dan mencari Hong Ing ke Tibet."
"Aku hanya mendoakan semoga kau berhasil bertemu kembali dengan dia, Suheng.
Semoga kau tidak akan mengalami kegagalan dalam cinta kasih seperti aku."
Mereka berpisah, dan melihat gadis itu pergi dengan kepala menunduk, Kun Liong
menarik napas panjang dan hatinya merasa iba sekali. Tak disangkanya bahwa puteri
Ketua Cin-ling-pai akan mengalami nasib seburuk itu dalam hidupnya. Kalau saja di
dalam hatinya ada perasaan cinta kepada Giok Keng seperti perasaannya kepada Hong
Ing, tentu dia akan mengobati kepatahan hati gadis itu! Kembali dia menarik napas
panjang lalu dia pun mulai dengan penyelidikannya, mencari Yo Bi Kiok di dusun itu.
Memang tidak mudah mencari seorang dara seperti Yo Bi Kiok yang gerak-geriknya
penuh rahasia itu. Biarpun Kun Liong telah bertanya-tanya kepada semua penghuni
dusun itu, tidak seorang pun mengenal Yo Bi Kiok. Akhirnya Kun Liong mengambil
keputusan untuk mencari sendiri di dua buah dusun yang berada di daerah itu. Sehari
penuh dia mencari-cari di dusun pertama, kemudian hari berikutnya dia putar-putar di
dusun ke dua yang tak begitu besar, namun hasilnya sia-sia belaka. Dia sudah mulai
putus ada dan malam itu dia membayangkan ke mana dia harus mencari Bi Kiok kalau
besok, di dusun ke tiga, dia tidak dapat menemukan dara itu. Keesokan harinya, pagi-
pagi sekali, dia pergi ke dusun ke tiga, dusun terakhir yang terdapat di daerah itu.
Dusun ini agak besar, seperti dusun pertama di mana dia mengobati Giok Keng. Hari
masih pagi sekali, akan tetapi telah banyak penduduk yang hilir-mudik di jalan, mulai
dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Kun Liong memasang mata, melihat orang-orang
yang lalu lalang, juga melihat rumah-rumah dusun itu sebelum dia mulai bertanya-tanya
apakah ada seorang nona bernama Yo Bi Kiok tinggal di dusun ini.
"Huk! Huk! Hukkk...!"
Kun Liong tersenyum melihat seekor anjing yang keluar dari lorong dan menyalak-nyalak
kepadanya. Akan tetapi tiba-tiba dia membelalakkan matanya.
"Pek-pek!" Serunya heran. Tak salah lagi, inilah anjing peliharaannya ketika dia masih
kecil dahulu! Anjing berbulu putih yang menumpahkan obat di kamar ayahnya sehingga
menjadi awal dari semua perubahan dalam hidupnya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
719 "Pek-pek...!" Kun Liong berlutut mengelus kepala anjing itu yang mulai menggoyang-
goyangkan ekornya sambil mengeluarkan suara rintihan. Ternyata anjing itu pun mulai
mengenal kembali Kun Liong!
"Aihhh... Pek-pek...! Bagaimana kau dapat berada di sini?" Kun Liong berkata dengan
terheran-heran, masih ragu-ragu apakah benar ini anjing kesayangannya dahulu itu. Dia
mendapat akal. Untuk mengetahui apakah benar ini anjing kesayangannya itu, dia harus
tahu siapa kini yang memelihara anjing ini. Dengan gaya seperti ketika dia masih kecil
memerintah anjing itu, dia bangkit berdiri, menuding dan berseru, "Pek-pek, hayo
pulang!" Anjing itu mengeluarkan suara berkuik lalu membalikkan tubuhnya, terus lari.
Ketika beberapa kali dia menoleh dan melihat Kun Liong mengikutinya setengah berlari,
anjing itu kelihatannya girang sekali dan terus berlari keluar dari dusun itu melalui pintu
gerbang dusun bagian selatan. Kun Liong terus mengikutinya dan terheran-heran. Kalau
anjing ini ada yang memeliharanya, mengapa tinggalnya malah di luar dusun"
Kedaan mulai sunyi dan anjing itu memasuki sebuah hutan kecil! Tiba-tiba, dari balik
pohon-pohon muncullah dua orang yang membuat Kun Liong terkejut sekali. Mereka itu
adalah Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw yang amat lihai bersama Bhong Khi Tosu,
pembantunya! Kun Liong terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa anjing yang mirip
benar dengan Pek-pek itu adalah anjing peliharaan Ketua Pek-lian-kauw ini untuk
memancingnya. Dengan marah dia lalu memandang kepada Ketua Pek-lian-kauw itu
dan... terlambat dia ingat bahwa inilah kesalahan utamanya, yaitu memandang mata
kakek itu. Begitu bertemu pandang, Kun Liong merasa seolah-olah pandang matanya
melekat kepada sepasang mata yang bersinar aneh itu, kemudian dia mendengar suara
Thian Hwa Cinjin yang amat berpengaruh, "Yap Kun Liong, berlututlah engkau! Tak
pantas orang muda kurang ajar terhadap orang tua."
Kun Liong tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, akan tetapi karena pandang
matanya telah bertaut dan kepalanya pening, tak tahu harus berbuat apa, kedua kakinya
seperti lumpuh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut, tetap memandang kepada wajah
kakek itu tanpa berkedip seperti terkena pesona!
Melihat keadaan Kun Liong yang sudah tidak berdaya ini, Bong Khi Tosu yang memutar
dan berada di belakang Kun Liong mengangkat tongkatnya dan siap untuk
menghantamkan tongkatnya itu di kepala Kun Liong! Akan tetapi pada saat itu,
terdengar suara menyalak-nyalak marah dan anjing berbulu putih yang kecil itu meloncat
dan menerkam Bong Khi Tosu, langsung menggigit ke arah leher tosu itu. Tentu saja
Bong Khi Tosu terkejut akan tetapi dengan mudah dia menangkis dengan tangan kirinya,
membuat anjing kecil itu terbanting dekat dengan Thian Hwa Cinjin. Karena marah
diserang anjing kecil itu, Bong Khi Tosu meluncurkan tongkatnya ke arah anjing itu.
"Crapppp...!" Anjing itu menguik satu kali dan roboh tewas, darahnya muncrat-muncrat
mengenal pinggir jubah Thian Hwa Cinjin yang berada di dekat tempat itu.
"Bodoh kau...!" Thian Hwa Cinjin berteriak kaget dan menegur pembantunya.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara melengking keras dan tampak sinar terang
menyambar ke arah tubuh Bong Khi Tosu. Kakek ini terkejut, cepat berusaha mengelak
dari serangan pedang yang bersinar kilat itu karena tongkatnya telah dipergunakan
membunuh anjing tadi. Namun gerakannya kurang cepat sehingga terdengar teriakan
keras dan tubuhnya terjungkal lalu bergulingan sampai jauh, baru dia meloncat dengan
pundak berdarah. Kiranya yang menyerangnya adalah seorang dara muda yang
memegang pedang berkilauan, dan dia ini bukan lain adalah Yo Bi Kiok sedangkan
pedang yang dipergunakan menyerang Bong Khi Tosu adalah Lui-kong-kiam, pedang
rampasan dari tangan Liong Bu Kong itu!
"Keparat, berani kau membunuh anjingku?" teriak Yo Bi Kiok marah.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
720 Sementara itu, Kun Liong juga telah sadar dari keadaannya terkena sihir itu maka dia
cepat meloncat dan menerjang Thian Hwa Cinjin. Kakek ini berusaha mengerahkan ilmu
sihirnya, akan tetapi betapa kagetnya bahwa tenaga sihirnya telah menjadi lemah sekali
dan bahkan hampir lenyap. Tahulah dia bahwa ini disebabkan oleh darah anjing tadi,
maka dia cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya menangkis.
"Dukkk! Dess!" Biarpun dia berhasil menangkis hantaman tangan kanan Kun Liong,
namun dia tidak mampu menghindarkan tamparan tangan kiri Kun Liong yang mengenai
dadanya. Dia terjengkang dan cepat meloncat lagi lalu melarikan diri diikuti pembatunya
karena dia tahu bahwa melanjutkan pertandingan melawan pemuda itu amatlah
berbahaya. Tamparannya tadi saja sudah membuat napasnya sesak dan muntah darah
yang ditahannya di dalam mulutnya, tanda bahwa dia telah terkena hantaman sin-kang


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membuatnya terluka di sebelah dalam dadanya. Setelah mereka berlari jauh,
barulah Ketua Pek-lian-kauw ini muntahkan darah dari mulutnya!
Kun Liong yang sama sekali tidak menyangka-nyangka akan kemunculan dara yang
dicari-carinya itu di tempat ini, memandang wajah Yo Bi Kiok. Hatinya penuh keheranan
mendengar teriakan Bi Kiok yang mengaku bahwa anjing putih itu adalah anjingnya.
Juga Bi Kiok memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan sejenak
mereka lupa keadaan.
"Pek-pek... aduhh, Pek-pek... kenapa kau..." Uhu-hu-huk, Pek-pek mati... Subo (Ibu
Guru)... Pek-pek mati...!"
Kun Liong merasa terkejut seperti disambar petir mendengar sebutan Pek-pek ini. Dia
menengok dan melihat seorang anak perempuan berlutut di dekat bangkai anjing itu,
memeluki bangkai itu sambil menangis. Anak perempuan itu berusia kurang lebih empat
lima tahun dan mendengar betapa anak itu menyebut Yo Bi Kiok dengan sebutan subo,
dia mengerti bahwa anak itu adalah murid dara cantik yang luar biasa ini.
"Pek-pek" Apakah nama anjing itu Pek-pek, Bi Kiok?" tanyanya, seperti dalam mimpi.
Yo Bi Kiok mengangguk.
"Anjingmukah itu?"
Yo Bi Kiok menggeleng kepalanya. "Bukan anjingku, melainkan anjing muridku itu."
Kun Liong memandang anak perempuan itu, jantungnya berdebar tegang. Anjing itu,
yang juga bernama Pek-pek, telah mengenalnya! Tidak salah lagi, anjing itu pasti anjing
kesayangannya dahulu itu!
"Bi Kiok, siapakah nama muridmu ini?"
Yo Bi Kiok tersenyum, akan tetapi pandang matanya masih dingin. "Kautanyalah dia
sendiri." Kun Liong menghampiri anak perempuan yang masih terisak-isak menangis itu, lalu dia
berlutut dan menyentuh pundaknya. "Adik kecil, sudahlah jangan menangis. Biarpun
sudah mati, Pek-pek mati dengan gagah perkasa melawan orang jahat."
Anak perempuan itu menghapus air matanya dan mengangkat muka, memandang
kepada Kun Liong dengan mata dan pipi basah. Wajah anak itu manis sekali dan satu kali
pandang saja timbul rasa suka di hati Kun Liong. "Biarlah aku akan mencarikan seekor
anjing lain untukmu," kata Kun Liong karena merasa kasihan sekali, akan tetapi
sebetulnya dia ingin tahu dari mana anak itu mendapatkan Pek-pek yang telah mati.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
721 "Aku tidak suka anjing lain, yang kusuka hanya Pek-pek..." jawab anak itu, kembali air
matanya mengucur ketika dia menengok dan memandang anjing yang ditembusi tongkat
itu. "Adik yang baik, siapakah namamu dan dari mana engkau dahulu mendapatkan anjing
putih ini?"
"Dia... dia memang anjingku sejak dulu... Pek-pek adalah anjingku sejak dulu..."
"Dan namamu...?"
"Namaku Yap In Hong..."
"Ahhhh...!" Wajah Kun Liong menjadi pucat seketika. "Apa... apa artinya ini...?" Dia
meloncat dan menghadapi Bi Kiok.
Dara itu tersenyum dan mengangguk. "Dia memang adikmu, Kun Liong," jawab Bi Kiok
tenang. Kun Liong memandang kepada anak perempuan itu lagi, hatinya tidak karuan rasanya,
dilanda keharuan, keheranan dan juga keraguan. Benarkah ini adiknya, adik kandung
yang selamanya belum pernah dilihatnya" Anak inikah peninggalan ayah bundanya yang
telah meninggal dunia" Benarkah" Anak itu pun memandang kepadanya dengan
sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar setelah tidak menangis lagi.
"In Hong, kau masih ingat akan nama Yap Kun Liong?" tanya Bi Kiok kepada muridnya
yang masih kecil itu.
"Yap Kun Liong yang Subo ceritakan itu, yang kata Subo adalah kakak kandungku" Tentu
saja teecu (murid) ingat..." jawab anak itu dengan suara yang lucu, namun jelas
membayangkan kecerdikannya. "Apakah Subo hendak mengatakan bahwa orang ini
adalah kakakku itu?"
Yo Bi Kiok mengangguk dan Kun Liong lalu menghampiri anak itu, bertutut dan
memegang kedua lengannya. "Yap In Hong... adikku... kau adalah adikku... engkau adik
kandungku..." Kun Liong merangkul dan teringatlah dia akan ayah bundanya yang tewas
terbunuh orang, teringatlah dia akan perbuatannya yang melarikan diri dari orang tuanya
sehingga mereka menderita kesengsaraan sampai akhirnya ditewaskan musuh. Kun
Liong menggigit bibirnya menahan keharuan hatinya, memeluk dan mendekap muka
anak perempuan itu ke dadanya.
Akan tetapi In Hong meronta halus dan terpaksa dilepaskan oleh Kun Liong yang kini
menatap wajah itu. Tampak olehnya kini betapa anak perempuan itu amat cantiknya.
Teringat dia akan wajah ibunya. Mata dan mulut anak ini presis mata dan mulut ibunya.
"In Hong...!" Dia mengeluh dan memondong anak itu penuh kasih sayang. "Mulai
sekarang kita tidak akan saling berpisah lagi, Adikku!"
In Hong juga memandang wajah Kun Liong penuh perhatian. Dia masih terlalu kecil
untuk mengenal rasa keharuan karena perjumpaan ini. Sejak kecil dia tidak mengenal
lagi ayah bundanya, apalagi kakaknya ini. Pertemuannya dengan Kun Liong hanya
berkesan sebagai pertemuan dengan seorang laki-laki yang aneh dan asing.
Biarpun dia dipondong, namun ketika dia membuka mulut bicara, dia menujukan kata-
kata itu kepada Bi Kiok, "Subo, apakah benar dia ini kakak kandungku seperti yang
seringkali Subo ceritakan itu?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
722 "Benar, In Hong. Dialah kakak kandungmu," jawab Bi Kiok yang biarpun wajahnya tidak
membayangkan sesuatu dan tetap dingin, namun di dalam hatinya dia merasa terharu
juga menyaksikan pertemuan antara kakak dan adiknya yang selamanya belum pernah
jumpa itu, pertemuan yang amat ganjil. Dia terharu karena teringat kepada dirinya
sendiri yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini.
"Tapi... tapi dia..."
"Dia kenapa, In Hong" Dia kakakmu!" Bi Kiok agak kecewa menyaksikan sikap muridnya
yang seperti tidak senang hatinya itu.
"Kalau dia kakakku, kenapa begini jelek?"
Kun Liong tertawa dan Bi Kiok mengerutkan alisnya. "Jelek" Mengapa kaubilang jelek?"
"Rambutnya begitu sih..."
Kun Liong makin keras tertawa dan mencium pipi anak perempuan itu. "Kau genit, ya?"
Dia menggoda dan mau tidak mau Bi Kiok tersenyum juga menyaksikan adegan itu.
"Bi Kiok, aku makin berhutang budi kepadamu dengan perjumpaan dengan adikku ini.
Bagaimana engkau bisa bertemu dengan In Hong?"
"Mari kita ke pondokku dan akan kuceritakan kepadamu, Kun Liong."
Dengan memondong adiknya Kun Liong mengikuti Bi Kiok yang membawa pula bangkai
anjing bulu putih yang terbunuh tadi. Mereka memasuki hutan kecil dan di tengah hutan
itu terdapat sebuah pondok kecil dari kayu dan bambu. Amat sederhana akan tetapi
cukup mungil dan menyenangkan karena dikelilingi oleh bermacam bunga yang sengaja
ditanam oleh Bi Kiok sehingga pondoknya itu lebih menyerupai sebuah pondok taman
yang sedap dipandang.
Setelah membantu In Hong mengubur bangkai anjing Pek-pek dan menghibur anak itu
yang menangisi lagi kematian anjingnya, mereka masuk ke dalam pondok. In Hong yang
masih kecil itu telah pandai menghidangkan minuman dan makanan, kemudian atas
perintah gurunya dia disuruh ke kebun belakang untuk memetik sayur dan
mempersiapkan masakan untuk siang nanti.
"Liong-ko, aku sudah pandai masak!" katanya sebelum pergi, memamerkan
kepandaiannya kepada kakaknya yang kini sudah tidak begitu asing lagi baginya.
"Wah, ingin aku mencoba masakanmu, In Hong!" kata Kun Liong dengan sikap memuji.
"Tunggu saja! Akan kubuatkan masakan sayur yang amat lezat untukmu. Akan tetapi..."
"Hemm, mengapa" Teruskan!"
"Lain kali rambutmu jangan dipotong seperti itu lagi, ya" Biarkan panjang dan bagus!"
Kun Liong mengangguk-angguk dan memandang dengan gembira betapa adiknya itu
berlompatan meninggalkan mereka berdua, menuju ke belakang pondok.
Dia termenung dan sambil tersenyum-senyum dia teringat akan semua pengalamannya.
Tanpa disadarinya dia meraba kepala dan rambutnya yang masih pendek, rambut yang
kusut dan kacau, tersembul ke sana-sini. Bi Kiok yang melihat semua itu tersenyum lagi,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
723 agaknya dapat mengikuti jalan pikiran Kun Liong. "Agaknya memang sudah nasib kepala
dan rambutmu yang selalu menjadi sasaran celaan orang, Kun Liong."
"He..." Ohhh, agaknya begitulah."
"Dahulu engkau berkepala gundul kelimis, mengingatkan orang kepada seorang
pendeta." "Memang ke mana-mana aku disangka pendeta. Bi Kiok, sekarang ceritakanlah
bagaimana engkau dapat berjumpa dengan adikku dan dengan Pek-pek."
"Perjumpaan itu secara kebetulan saja, Kun Liong. Pada suatu hari, tiga bulan yang lalu,
aku melihat orang berkerumun di sebuah pasar kota tak jauh dari sini. Ketika aku
mendekat, kiranya orang-orang itu mengerumuni seorang nenek tua yang sedang sakit
payah. Yang menarik mereka adalah karena nenek ini menawarkan seorang anak
perempuan dan seekor anjing putih, menawarkan kepada siapa yang merasa dirinya ahli
silat untuk mengambil murid anak itu dan memelihara aniingnya. Tentu saja hal ini
mengherankan semua orang. Mengapa nenek itu hendak memberikan anak kecil yang
diaku sebagai cucunya itu kepada orang yang pandai ilmu silat" Nah, terjadilah keributan
karena anak perempuan kecil, yaitu adikmu, menarik hati beberapa orang laki-laki yang
kulihat sikapnya ceriwis dan agaknya mempunyai niat buruk terhadap adikmu yang
biarpun masih kecil sudah kelihatan cantik itu. Terjadilah adu kepandaian karena nenek
itu kukuh dengan tuntutannya bahwa siapa yang terpandai ilmu silatnya, dialah yang
berhak memiliki anak dan anjing itu."
"Siapakah nenek tua yang menawarkan In Hong dan Pek-pek itu?"
"Nanti dulu, kulanjutkan ceritaku. Karena aku tidak ingin melihat anak perempuan itu
terjatuh ke tangan seorang di antara laki-laki yang kasar dan saling berebutan, yang
mengeluarkan kata-kata kotor mengenai diri In Hong, aku lalu turun tangan merobohkan
dan mengusir mereka semua. Kemudian aku membawa Nenek Phoa itu bersama In Hong
dan Pek-pek ke pondokku. Sayang Nenek Phoa hanya dapat hidup sepekan lamanya,
namun sebelum dia meninggal dunia, dia telah menceritakan semua riwayat In Hong
sehingga tahulah aku bahwa Yap In Hong adalah adik kandungmu."
"Aduh, untung ada engkau, Bi Kiok. Andaikata adikku terjatuh ke tangan orang jahat,
betapa mungkin aku dapat bertemu dengannya?"
"Ah, belum tentu! Dari cerita Phoa Ma aku mendengar kematian ayah bundamu yang
dikeroyok oleh para datuk..."
"Aku sudah tahu pula tentang hal itu, dan semua pembunuh ibuku telah tewas,
sungguhpun bukan tewas oleh tanganku, terima kasih kepada Thian untuk itu! Akan
tetapi harap kauceritakan riwayat In Hong setelah kedua orang tuaku itu tewas di
Taigoan." "Menurut penuturan Phoa Ma, ketika ayah bundamu tewas bersama semua keluarga
Theng yang budiman, adikmu berhasil dibawa lari oleh Phoa Ma dan Pek-pek yang oleh
ayahmu diam-diam dibawa pula ke Taigoan secara sembunyi dari kota Lengkok,
mengikuti pelarian ini. Dengan susah payah Phoa Ma menyembunyikan adikmu itu dan
merantau sampai jauh. Namun karena dia sudah tua, maka tentu saja dia dan adikmu
menjalani hidup yang serba kekurangan dan amat sukar, bahkan akhirnya, setelah
adikmu berusia empat tahun lebih, Phoa Ma sering jatuh sakit sehingga tidak dapat
melakukan pekerjaannya sebagai tukang cuci pakaian. Karena merasa bahwa tak
mungkin dia dapat hidup lebih lama lagi, dia mencari akal dan menawarkan adikmu itu
dan Pek-pek kepada orang-orang di pasar itu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
724 "Aihh, budi Phoa Ma terhadap adikku sukar dapat dibalas, apalagi dia telah meninggal
dunia. Akan tetapi, Bi Kiok. Mengapa dia menawarkannya kepada orang yang pandai
ilmu silat?"
"Menurut pengakuan Phoa Ma ketika kutanya, dia berkata bahwa adikmu itu adalah
keturunan ayah ibu pendekar, sudah sepantasnya kalau adikmu itu menjadi murid orang
pandai pula agar kelak dapat membalaskan kematian orang tuanya. Pula kalau yang
melindungi seorang ahli silat yang lihai, tentu keselamatannya terjamin."
"Aduh, sungguh luhur budi Phoa Ma itu." Kun Liong menarik napas panjang dan merasa
terharu sekali."
"Memang benar, padahal dia hanyalah seorang pelayan di rumah keluarga Theng di
Taigoan." Kun Liong menarik napas panjang. "Kebajikan tidak memilih kedudukan maupun
keadaan harta seseorang, bahkan biasanya, makin tinggi kedudukan seseorang dan
makin banyak jumlah harta seseorang, makin jauhlah dia dari kebajikan. Orang yang
tidak pernah merasakan kemiskinan, betapa mungkin menaruh rasa belas kasihan
kepada orang miskin" Orang yang tidak pernah merasakan kelaparan, betapa mungkin
merasa iba kepada orang kelaparan" Budi yang dilimpahkan Phoa Ma terhadap In Hong
berdasarkan kasih tanpa mengingat lagi akan kepentingan dirinya sendiri. Sungguh budi
yang sukar ditemukan di antara seribu orang!"
"Aku yakin bahwa ayah bundamu yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw
tentulah merupakan orang-orang gagah yang sudah tak terhitung banyaknya menolong
manusia lain, maka biarpun mereka sendiri mengalami nasib buruk, namun puterinya
selalu dilindungi oleh bintang penolong."
"Dan engkau adalah seorang di antara bintang-bintang penolongnya."
"Hemm, aku tidak masuk hitungan."
"Engkau terlalu merendahkan diri. Entah sudah berapa kali engkau menolongku.
Seingatku, ketika aku hanyut di sungai, engkau pula menolongku dengan peringatan
tentang bokor setelah engkau bersama gurumu menyelamatkan aku dari tangan Kwi-eng
Niocu, betapa engkau menyembunyikan aku di guha dan..."
"Sudahlah, semua itu tidak ada gunanya dibicarakan kembali. Engkau pun telah
menyelamatkan aku ketika aku hendak disiksa dan mukaku hendak dirusak oleh Toat
Beng Hoatsu, kemudian engkau menyelamatkan aku dan malah mengorbankan diri
menyerah ketika kita bersembunyi di dalam guha sehingga engkau menjadi tawanan
pasukan pemerintah."
Kun Liong tersenyum. "Memang di antara kita, siapa yang terancam
babaya harus ditelong oleh yang lain. Kalau kita tidak saling tolong-menolong, betapa
akan lebih sengsaranya hidup ini. Kalau seluruh manusia di dunia ini saling menolong
dan saling membantu, tentu dunia ini sudah berubah menjadi sorga! Akan tetapi, satu
hal membuat aku kagum bukan main dan terheran-heran, Bi Kiok. Bagaimana engkau
sekarang bisa begitu lihai" Kulihat ilmu kepandaianmu meningkat sepuluh kali lipat!
Bahkan aku berani bertaruh bahwa ilmumu telah mencapai tingkat lebih tinggi daripada
tingkat yang dimiliki gurumu dahulu."
Pada saat itu dengan suara nyaring gembira, In Hong memberitahukan bahwa
masakannya telah matang. Mereka bertiga lalu makan dan dengan setulus hati Kun Liong
memuji masakan sayur yang dibuat adiknya. Karena selama beberapa bulan hidup
berdua dengan gurunya In Hong diajar masak, dan memang suka masak, maka anak
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
725 kecil ini benar-benar sudah pandai membuat masakan sayur yang bumbunya sedap.
Sehabis makan, Bi Kiok memberi kesempatan kepada In Hong untuk ikut bercakap-
cakap, akan tetapi dia melihat bahwa muridnya itu masih belum dapat membiasakan diri
menghadapi seorang kakak maka biarpun dia sudah ramah sekali, tetap saja masih kaku
terhadap Kun Liong. Rasa kasih sayang antara saudara sekandung terjalin karena
kebiasaan hubungan sehari-hari, sedangkan kedua orang kakak beradik ini selama hidup
mereka baru sekarang saling bertemu. Kemesraan di hati Kun Liong hanya terdorong
oleh keharuannya mendapat kenyataan bahwa anak itu adalah adiknya, adik kandung
satu-satunya! Namun perasaan seperti ini belum terasa oleh In Hong, maka dia pun
hanya menganggap Kun Liong sebagai seorang laki-laki yang manis budi, yang
menganggapnya sebagai adiknya.
Setelah mereka duduk bercakap-cakap berdua lagi, Kun Liong mengulangi
pertanyaannya tentang kelihaian Bi Kiok yang dalam waktu singkat memperoleh
kemajuan yang amat luar biasa itu.
"Kun Liong, percayalah, kalau bukan engkau, sampai mati pun aku tidak akan membuka
rahasia ini. Engkaulah satu-satunya orang yang akan mendengar rahasiaku ini."
Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara dan sikap sungguh-sungguh itu, tak
disadarinya lagi saking herannya Kun Liong bertanya, "Mengapa aku?"
"Yaaah... justeru karena engkaulah..."
Kun Liong tersenyum. "Terima kasih, Bi Kiok. Ini menunjukkan bahwa engkau amat
percaya kepadaku. Nah, aku siap mendengar rahasia besar itu."
"Kun Liong, aku memperoleh kemajuan pesat setelah aku mempelajari ilmu kesaktian
yang terdapat di dalam... bokor pusaka yang diperebutkan itu."
"Hehhh...?" Kun Liong mencelat bangun dari bangkunya mendengar ini, saking heran dan
kagetnya. "Engkau marah?" Bi Kiok bertanya, sikapnya seperti menantang.
"Mengapa marah?" Kun Liong menggeleng kepalanya, matanya menjadi bundar ketika
memandang wajah dara itu. "Aku hanya kaget dan heran karena tidak menyangka-
nyangka. Yang kuketahui adalah bahwa bokor pusaka yang diperebutkan itu setelah
ditemukan, ternyata palsu."
"Memang kami yang memalsukan, mendiang Subo dan aku."
Kun Liong mengangguk-angguk. "Cerdik sekali! Pantas semua tidak berhasil, bahkan
Cia-supek sendiri, dan bahkan Panglima The Hoo sendiri, sampai dapat dikelabui. Hebat
sekali siasatmu itu, Bi Kiok."
"Mana aku bisa" Semua ini adalah siasat mendiang Subo. Ketika bokor terjatuh ke
tangan Subo, Subo cepat membuat tiruannya pada seorang tukang emas yang segera


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibunuhnya pula setelah pembuatannya selesai dan persis betul. Tidak ada seorang pun
mengetahui akan pembunuhan ini. Lalu Subo menyuruh aku menyimpan bokor yang
tulen sedangkan dia membawa yang palsu, hal ini menurut Subo adalah karena orang-
orang tentu akan mengejar Subo, bukan aku yang hanya seorang muridnya. Dugaan
Subo benar, bokor palsu yang diperebutkan sedangkan yang aseli berada di tanganku,
kusembunyikan baik-baik. Sayang sekali, siasat Subo yang berhasil baik itu tidak dapat
dinikmati oleh Subo sendiri yang keburu tewas. Maka aku lalu menyelidiki isinya,
menemukan rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab dan harta pusaka. Bokor itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
726 kumusnahkan kitabnya kubawa dan kupelajari, sedikit harta kubawa sebagai bekal. Nah,
dari sebagian kitab itulah aku memperoleh kemajuan ilmu silatku."
Kun Liong menjadi kagum bukan main. "Hebat! Baru sebagian saja sudah amat luar
biasa, apalagi kalau kau mempelajarinya semua!"
"Memang hebat sekali, Kun Liong. Dan harta itu pun cukup banyak. Dan begitu berjumpa
denganmu, tekadku sudah bulat bahwa semua harta pusaka dan kitab-kitab itu adalah
untuk kita. Aku tidak dapat hidup sendiri, menguasai pusaka sedemikian banyaknya."
"Kita...?"
"Ya, kau pun berhak. Bukankah engkau yang mula-mula menemukan bokor itu dari
dalam sungai" Engkau yang menemukan, aku yang menyelamatkannya dari tangan
orang-orang yang memperebutkannya, jadi kita berdua, bertiga dengan In Hong, yang
berhak memilikinya. Karena itu, Kun Liong, marilah kita pergi ke tempat rahasia itu,
bersama In Hong dan hidup bertiga penuh kebahagiaan di sana."
Kun Liong mengerutkan alisnya, memandang tajam. Sejenak mereka berpandangan, dua
pasang sinar mata bertemu, bertaut, saling menjajaki dan menyelidiki. Kemudian Bi Kiok
menghela napas dan berkata, "Kun Liong, aku... aku masih mencintamu, sejak dulu
sampai sekarang dan sampai mati. Selama ini, tidak ada seorang pun pria yang menarik
hatiku." "Bi Kiok! Jangan kau berkata demikian!"
"Hemm, Kun Liong, apakah kau tidak cinta padaku, setelah segala yang kulakukan
terhadap adik kandungmu?"
Kun Liong cepat bangkit berdiri, menjura dan membungkuk. "Untuk budimu itu, sampai
mati pun aku tidak akan melupakannya, Bi Kiok. Akan tetapi cinta..." Kurasa..." Dia tidak
tega untuk berterus terang dengan kata-kata, hanya
menggelengkan kepalanya.
"Kun Liong..." Suara Bi Kiok gemetar.
"Ya..."
"Lupakah kau...?"
"Ya..."
"Ketika kita bersembunyi di dalam guha gelap itu..."
"Hemmm... lalu..."
"Kau telah menciumku! Engkau telah menciumi mataku! Semenjak saat itulah aku jatuh
cinta padamu sampai sekarang dan sampai selamanya!"
Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri kalau dia teringat akan semua sifat ugal-
ugalannya dahulu. Karena sifatnya itu, main-main dan menggoda dara cantik, dia
melibatkan diri dalam pertalian cinta-mencinta yang amat ruwet dan berekor panjang.
Andaikata dia dahulu tidak mencium mata Bi Kiok, tentu tidak akan begini jadinya.
Belum tentu gadis yang pada dasarnya berwatak dingin ini jatuh cinta padanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
727 Dia mengangkat muka memandang. Memang cantik luar biasa dara ini, dan terutama
matanya! Bukan salahnya kalau dia dahulu mencium mata itu. Sekarang pun... hemm...,
jarang ada sepasang mata seindah itu!
"Bi Kiok, dahulu pun sudah kukatakan bahwa aku tidak mencinta padamu. Pada waktu
itu, aku tidak mencinta siapa-siapa. Cinta tidak mungkin bisa dipaksakan dan aku tidak
sudi menjadi seorang perayu yang mempergunakan senjata cinta palsu untuk
menjatuhkan hati seorang wanita. Aku telah berterus terang kepadamu waktu itu, dan
sekarang aku pun hendak berterus terang babwa lebih-lebih sekarang ini, tidak mungkin
bagiku untuk mencintamu atau wanita lain karena aku telah mencinta seorang gadis
lain." "Ouhhhh..." Wajah itu berubah pucat dan sinar mata yang indah itu seolah-olah lampu
yang menjadi hampir padam, sayu tanpa cahaya lagi.
"Maafkan aku, Bi Kiok..." bisik Kun Liong sambil menunduk karena menyaksikan sinar
mata itu dia merasa jantungnya seperti ditikam, tidak sampai hatinya untuk
memandang. "...puteri Cin-ling-san...?" Akhirnya, setelah hening beberapa lamanya yang merupakan
keheningan yang mencekam hati Kun Liong, terdengar suara Bi Kiok, suaranya lirih dan
tergetar. Kun Liong menggeleng kepala. "Bukan dia, Bi Kiok dan kuceritakan pun engkau tidak
akan mengenalnya. Kami pun dipisahkan secara keji dan sekarang aku sedang hendak
mencarinya, mungkin ke Tibet, entah akan berjumpa lagi dengan dia atau tidak aku
belum dapat memastikannya. Memang sudah nasibku harus berpisah selalu dari orang-
orang yang kucinta. Mula-mula dengan ayah bundaku, lalu dengan adik kandungku,
kemudian dengan gadis yang kucinta..."
"Dan sekarang dengan adik kandungmu lagi!"
Kun Liong mengangkat mukanya memandang. Wajah dara itu tetap cantik, tetapi pucat
dan bertambah dingin, namun suaranya tidak tergetar lagi, bahkan terdengar nyaring
dan penuh tantangan!
"Apa maksudmu?"
"Maksudku sudah jelas, Kun Liong! Engkau tidak mau hidup bersama kami berdua di
tempatku. Baik, nah, pergilah sekarang juga."
"Tapi adikku, In Hong...?"
"Dia itu aku yang menemukannya, dan dia adalah muridku. Kalau engkau hendak
berkumpul dengan dia, nah, ikutlah dengan kami. Kalau tidak, pergilah! Akan tetapi
kauingat selalu, aku tetap cinta padamu, sampai mati pun aku akan tetap cinta padamu,
maka setiap orang wanita yang merebutmu dari tanganku, dia akan mati di tanganku
pula!" "Bi Kiok...!"
"Aku sudah bicara! Pergilah!"
"Aku harus membawa adikku bersamaku!"
"Tidak boleh!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
728 "Bi Kiok, harap kau suka berpikir panjang, suka berlaku adil dan bersikap bijaksana. Dia
adalah adikku, adik kandungku!"
"Kakak kandung macam apa kau ini" Aku yang menemukannya, kalau tidak entah apa
jadinya dengan dia. Dia muridku, tidak boleh kaubawa seenakmu begitu saja!"
"Akan tetapi, dia adik kandungku. Dia adalah satu-satunya manusia yang kucinta di
dunia ini..."
"Dan kaulah satu-satunya manusia yang kucinta, akan tetapi engkau tega
menghancurkan pengharapan dan kebahagiaanku. Tidak, aku tidak akan membiarkan
engkau membawa pergi In Hong!"
"Bi Kiok, aku amat tidak suka kalau terpaksa harus bertengkar denganmu. Engkau
sahabat yang paling baik! Harap jangan memaksa aku menggunakan kekerasan
terhadapmu..."
"Huh, sombongnya! Kaukira aku takut kau menggunakan kekerasan" Jangan harap akan
dapat membawa pergi In Hong tanpa melalui mayatku!"
Keduanya berdiri saling pandang, Kun Liong penuh permohonan, Bi Kiok penuh kedukaan
dan kemarahan. Sampai lama keduanya hanya saling pandang, kemudian terdengar
kata-kata Kun Liong, membujuk dan halus, "Bi Kiok, kumohon padamu, ikhlaskanlah
seorang kakak berkumpul kembali dengan adik kandungnya."
"Hemmm, Kun Liong, aku pun mengharapkan agar kau suka memenuhi hasrat seorang
wanita yang mencinta pria idaman hatinya, namun hasilnya sia-sia. Pendeknya, engkau
hanya mempunyai dua pilihan. Pertama, engkau tinggal bersama dengan kami, hidup
bertiga dan kita bersama membesarkan dan mendidik In Hong, suka menerima
pelayananku sebagai seorang kekasih, sebagai seorang... isteri yang mencintamu
dengan seluruh jiwa raganya, atau... kau pergi dari sini dan kita tidak akan saling
bertemu lagi. Kecuali kalau kau membela calon isterimu yang tentu akan kucari dan
kubunuh." "Bi Kiok! Kau kejam...!" Kun Liong mulai marah.
"Kau lebih kejam lagi!" bentak Bi Kiok.
"Kalau begitu, aku akan menggunakan kekerasan!"
"Silakan!"
Kun Liong menerjang ke depan, maksudnya untuk merobohkan Bi Kiok dengan totokan
dan membuat dara itu tidak berdaya lagi agar dia dapat membawa pergi In Hong dari
tempat itu. Betapa pun kagumnya terhadap pribadi dara ini, baik kecantikan lahirnya
maupun budi pertolongannya, namun dia tidak merelakan adiknya berpisah lagi darinya
dan dididik oleh Bi Kiok yang betapa pun adalah murid dari datuk kaum sesat yang
terkenal sebagai seorang iblis betina yang amat kejam dan mengerikan. Dia harus
membawa pergi adiknya, mendidiknya menjadi seorang wanita yang penuh kelembutan,
halus lembut lahir batinnya, wanita seratus prosen, tidak seperti Bi Kiok yang
menyembunyikan kekerasan dan keganasan di balik kelembutan dan kecantikan.
"Plak-plak-plak!!"
Kun Liong terkejut sekali. Lengannya bertemu dengan lengan gadis itu yang menangkis
dan balas memukul lalu ditangkisnya. Pertemuan kedua lengan itu membuat dia dapat
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
729 merasakan kehebatan tenaga sin-kang yang keluar melalui lengan itu, sin-kang yang
mengandung hawa panas seperti api membara!
"Hebat...!" Serunya karena harus diakuinya bahwa tingkat sin-kang dari gadis ini tidak
kalah oleh tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya!
Kun Liong mendesak dengan gerakan cepat, mainkan Im-yang Sin-kun dan
mengerahkan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) sehingga dari kedua telapak
tangannya mengepul uap putih. Tentu saja dia hanya mengerahkan tenaga dan
mengarahkan pukulan untuk membuat gadis itu tidak berdaya, sama sekali tidak ingin
melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya.
"Wuuutt! Syuuuuuuttt!!" Dua telapak tangan yang mengeluarkan uap putih itu
menyambar, yang kiri menotok ke arah lambung, yang kanan mencengkeram ke arah
pundak. "Heiiiiitttt...!" Bi Kiok memekik, tubuhnya mencelat ke belakang, berjungkir balik dan
ketika Kun Liong melanjutkan serangannya dengan mengejar terus, dia menggerakkan
kedua tangannya menyambut dengan sampokan dari samping yang keras sekali.
"Plak! Dukk!"
Kembali Kun Liong merasa betapa kedua lengannya terpental, akan tetapi dia melihat
gadis itu terhuyung sedikit. Kalau Kun Liong menggunakan seluruh sin-kangnya, tentu
akibatnya lebih hebat lagi. Akan tetapi hanya sebentar Bi Kiok terhuyung karena dia
sudah cepat membalik dan tiba-tiba dia meloncat ke atas, seperti seekor burung garuda
menyambar turun, tubuhnya menerjang dari atas, kedua tangannya mencengkeram ke
arah ubun-ubun dan leher, dibarengi dengan lengking tajam menggetarkan jantung!
"Hyaaaaatttt...!"
"Uhhhh!" Kun Liong mendengus dan cepat menangkis dengan kedua lengannya karena
dia melihat betapa aneh dan ganasnya serangan dari atas ini. Kini dia mengerahkan lebih
banyak tenaga karena maksudnya agar dara itu terpelanting sehingga dapat ditotoknya.
Namun betapa kagetnya ketika baru saja lengannya menyentuh lengan gadis itu dalam
tangkisan, lengan gadis itu meleset seperti seekor belut licinnya dan pada saat tubuh
gadis itu turun, kedua tangannya yang berhasil menyelinap licin itu menotok ke arah
jalan darah di dada dan leher Kun Liong.
"Hemmm...!" Kun Liong mendengus penasaran. Dia yang ingin menotok, malah diserang
totokan. Betapa cepat dan hebatnya gerakan gadis ini! Dia dapat juga menangkis dan
kini, sambil menangkis dia menggunakan sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu,
yaitu yang mengandung tenaga membetot! Dengan sin-kang ini, begitu kedua lengannya
menangkis, dia dapat melakukan gerakan yang sama dengan yang dilakukan Bi Kiok
tadi, yaitu kedua lengannya menyelinap dan kedua lengan gadis itu seperti tersentak
kaget dan gadis itu tidak berdaya ketika dengan cepatnya kedua tangan Kun Liong
melakukan totokan pada kedua pundak Bi Kiok sambil berkata, "Maafkan aku, Bi Kiok!"
"Cuss! Cusssi!"
"Plak! Plak!"
Betapa kagetnya hati Kun Liong! Kedua totokannya itu tepat mengenai sasaran, yaitu
pada jalan darah di bawah pundak depan, agak di sebelah atas kedua buah dada gadis
itu, akan tetapi jari-jari tangannya bertemu dengan kulit dan daging lunak halus seolah-
olah tidak ada jalan darahnya dan gadis itu tidak apa-apa, malah sebagai "hadiahnya"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
730 dua kali telapak tangan gadis itu menampar pipinya. Tamparan ini mengenai sasaran
dengan tepat karena Kun Liong sedang melongo keheranan ketika totokan-totokannya
tidak membawa hasil sama sekali. Setelah ditampar, barulah dia sadar bahwa ternyata Bi
Kiok telah memiliki ilmu memindahkan jalan darah dan melindungi bagian yang tertotok
sehingga totokannya tadi mengenai tempat hampa!
Bi Kiok yang sudah marah itu menyerang kalang kabut dan harus diakui oleh Kun Liong
bahwa gadis ini mempunyai dasar ilmu silat yang amat aneh dan ampuh, hanya belum
terlatih baik. Diam-diam dia bergidik. Katanya tadi baru mempelajari sebagian saja,
kalau sudah mempelajari seluruh kitab pusaka milik Panglima The Hoo yang berada di
tempat rahasia, kitab pusaka yang tentu belum ditemukan oleh panglima itu sendiri,
entah bagaimana hebatnya gadis ini! Dia terus mengelak dan menangkis, kadang-kadang
membalas dengan totokan yang selalu gagal, sambil berpikir-pikir bagaimana sebaiknya
menjatuhkan gadis yang amat lihai ini.
Biar kuhabiskan saja napasnya, pikir Kun Liong. Dia kini main mundur, bahkan membuat
langkah-langkah yang diambil inti sarinya dari kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong.
Langkah ini pendek-pendek saja, amat ringan baginya, namun membuat Bi Kiok yang
mengejarnya terus itu harus berputaran dan menggunakan banyak tenaga gin-kang!
Sampai seratus jurus lebih Kun Liong "mempermainkan" Bi Kiok, berputaran dan
membuat gadis itu seolah-olah seorang anak-anak yang bermain-main mengejar
bayangannya sendiri! Namun hebatnya, Bi Kiok terus menyerang dan tidak pernah
kelihatan mengendor serangannya!
Dua ratus jurus telah lewat! Dan Kun Liong mulai berkeringat, akan tetapi Bi Kiok masih
terus menerjangnya dan tidak terdengar napas gadis itu memburu. Celaka, pikir Kun
Liong. Dia gagal lagi. Agaknya ada suatu cara latihan napas dalam kitab di tempat
rahasia yang ditunjukkan oleh bokor itu, yang membuat napas gadis itu menjadi amat
kuatnya melebihi kuatnya napas seekor kuda!
"Wah, kalau begini tak mungkin aku dapat merobohkannya," pikir Kun Liong sambil
cepat menghindarkan diri dari terjangan kedua kaki yang bentuknya indah membayang
di balik kain celana sutera tipis itu akan tetapi keindahan yang berbahaya karena
mengandung tendangan maut! Memang tadi terpikir olehnya untuk mempergunakan
satu-satunya ilmu yang menjadi simpanannya, yaitu Thi-khi-i-beng, akan tetapi dia tidak
tega. Ilmu ini kalau digunakan akibatnya akan menyedot sin-kang lawan dan tentu saja
dia tidak tega menggunakan ini dalam menghadapi Bi Kiok. Dia maklum betapa sukar
dan lama menghimpun sin-kang, apalagi sin-kang seperti yang dimiliki Bi Kiok. Kalau dia
menghendaki agar Bi Kiok roboh tanpa memperdulikan keselamatannya, kiranya tidak
nanti gadis itu sampai dapat menyerangnya terus selama dua ratus jurus. Yang sulit
adalah karena dia ingin merobohkan gadis ini tanpa melukai atau menyakiti. Setelah
mereka bertanding dengan hebat dan cepatnya sehingga bagi orang lain yang tampak
hanyalah dua bayangan berkelebatan saja itu selama hampir tiga ratus jurus dan tidak
nampak gadis itu lelah atau mau mengalah sedikit pun, Kun Liong mengambil keputusan
untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng!
"Maafkan aku, Bi Kiok!"
"Plak! Plakk!"
"Oughhhhh...!" Bi Kiok mengeluh dan matanya yang amat indah itu, terbelalak
memandang wajah Kun Liong ketika kedua tangannya yang bertemu dengan lengan Kun
Liong itu melekat pada lengan dan tidak dapat ditariknya kembali, dan yang
mengejutkannya adalah ketika dia merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar
seperti air hujan membanjir! Melihat sepasang mata yang amat indah dan amat
dikaguminya itu terbelalak kaget dan ngeri, Kun Liong menjadi tidak tega dan
memejamkan matanya agar tidak melihat mata itu!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
731 "Berani kau menyerang Subo (Ibu Guru)...?" Tiba-tiba terdengar bentakan anak kecil
dari belakang dan "buk! buk!" dua buah kepalan menghantami pinggulnya!
"Kau orang jahat! Kau bukan kakak kandungku! Kakak kandungku tidak akan jahat
terhadap Subo! Lepaskan Subo! Lepaskan! Buk-buk-buk-buk!" Kedua kepalan kecil itu
terus menghantam pinggul Kun Liong.
Kun Liong terkejut sekali mendengar suara In Hong ini. Cepat dia menyimpan kembali
tenaga Thi-khi-i-beng sambil melompat mundur. Yo Bi Kiok berdiri dengan napas agak
memburu, wajahnya agak pucat dan sejenak memejamkan mata dan membereskan
napasnya. Kemudian dia membuka matanya memandang Kun Liong dengan terbelalak
penuh rasa penasaran akan tetapi juga kagum.
"Kau... kau...!" Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena dia tidak tahu harus
berkata apa. "Kau orang jahat, aku tidak mau dekat denganmu!" In Hong berteriak lagi sambil lari
mendekati Bi Kiok dan merangkul pinggang dara ini seperti hendak melindungi gurunya.
Kun Liong menarik napas panjang. "Maafkan aku, Bi Kiok..."


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah, pergilah... akan tetapi ingat akan semua kata-kataku!" Bi Kiok berkata.
Kun Liong memandang kepada adiknya. Tanpa banyak cakap, mengertilah dia bahwa tak
mungkin dia dapat memaksa adiknya pergi bersamanya. Perbuatan itu sama dengan
menghancurkan hati Bi Kiok dan adiknya sendiri. Dia akan menjadi seorang yang amat
kejam kalau dia lakukan hal itu. Betapapun juga, dia ingin kepastian dan dengan muka
manis dia berkata kepada adiknya, "In Hong aku adalah kakak kandungmu. Aku hendak
mengajak engkau pergi karena sudah semestinya engkau ikut aku yang menjadi
kakakmu." "Tidak! Tidak sudi...!"
"In Hong, dengarlah baik-baik. Aku sama sekali tidak berbuat jahat terhadap gurumu.
Kami memperebutkan engkau. Sekarang engkau boleh pilih. Aku sebagai kakak
kandungmu dan dia sebagai gurumu, kau hendak memilih yang mana dan hendak ikut
yang mana?"
"Dia benar, In Hong. Kaupilihlah. Dia bukan orang jahat, akan tetapi kau boleh memilih
antara kami berdua."
"Aku memilih Subo! Aku ikut Subo!" In Hong berteriak penuh semangat dan memandang
kepada Kun Liong dengan mata bernyala marah.
Kun Liong dan Bi Kiok saling pandang, lalu pemuda itu menghela napas panjang.
"Apa boleh buat, terpaksa aku harus meninggalkannya kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi,
setiap waktu aku akan mengunjunginya dan melihat keadaannya. Harap saja engkau
tetap baik kepadanya dan mendidiknya menjadi seorang manusia yang baik..., tidak...
tidak seperti kakaknya." Tambahnya "Selamat tinggal!"
"Kun Liong...!" Suara mengandung isak itu menahan kakinya. Dia membalik. Tidak
nampak Bi Kiok menangis, akan tetapi wajahnya pucat, matanya sayu ketika
memandangnya. "Kun Liong, aku mohon sekali lagi padamu, tidak dapatkah engkau
merubah pendirianmu" Kita bertiga akan hidup bahagia..." Ucapan itu tidak dilanjutkan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
732 karena Kun Liong sudah menggeleng kepalanya, kemudian sekali berkelebat, Kun Liong
sudah lenyap dari tempat itu.
"In Hong... dia terlalu...! Kakakmu terlalu...!" Bi Kiok menjatuhkan diri berlutut,
memeluk muridnya dan baru sekarang air matanya tertumpah.
"Aku tidak mau...! Aku tidak mau pergi sebelum merawatnya! Harap Sam-wi (Anda
Bertiga) jangan memaksaku!" Hong Ing meronta-ronta, akan tetapi tangisnya itu tidak
dipedulikan, bahkan Hun Beng Lama, pendeta Lama yang selalu memegang tasbih itu
menggerakkan tangan kirinya menyentuh belakang telinganya dan Hong Ing seketika
menjadi lemas. Dia sama sekali tidak dapat mengeluh lagi, apa pula berontak, hanya
memandang ke arah Kun Liong yang rebah seperti mati itu ketika tubuhnya yang lumpuh
dikempit oleh Hun Beng Lama bersama dua orang Lama lainnya menuju ke perahu
mereka. Mulailah Hong Ing melakukan perjalanan yang sama sekali tidak menyenangkan hatinya,
bukan karena sikap para paman gurunya itu. Sama sekali tidak. Sikap mereka itu cukup
baik, bahkan lemah lembut terhadap dirinya, dan kalau saja tidak teringat kepada Kun
Liong yang ditinggalkan dalam keadaan terluka seperti mati, tentu dia senang melakukan
perjalanan dengan tiga orang paman gurunya yang memiliki kesaktian-kesaktian seperti
dewa itu. Selain mereka bersikap ramah dan baik, bahkan jarang mengeluarkan kata-
kata dan semua keperluan dan kebutuhannya di sepanjang perjalanan dicukupi, juga hati
siapa takkan senang mendengar bahwa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya
yang selama hidupnya belum pernah dijumpainya itu" Ayahnya adalah suheng (kakak
seperguruan) mereka, dan ayahnya adalah ketua mereka, dapat dibayangkan betapa
tinggi ilmu kepandaian ayahnya! Dia tentu akan girang sekali pergi menjumpai ayahnya.
Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Kun Liong yang rebah seperti mati, hatinya seperti
disayat-sayat. Pemuda itu dalam keadaan terluka parah, seorang diri saja di pulau
kosong itu. Membayangkan betapa pemuda itu akan mati dengan menyedihkan dan
tersiksa, hatinya menjadi ngeri, berduka dan terutama sekali dia merasa menyesal
karena dia meninggalkan Kun Liong yang sedang berduka.
Dia meninggalkan Kun Liong selagi pemuda itu hancur, setelah dia menampar pipi
pemuda itu! Tentu Kun Liong akan menganggap dia membencinya! Aihh, padahal dia
amat mencinta Kun Liong! Tidak ada seorang pun manusla lain yang akan dicintanya
melebihi cintanya kepada Kun Liong. Akan tetapi, pada saat terakhir sebelum mereka
berpisah, sebelum Kun Liong roboh ketika melawan tiga orang Lama itu, dia terpaksa
menampar pipi Kun Liong saking tidak kuat menahan kemarahan dan kepanasan
hatinya! Siapa yang kuat menahan! Dia amat dikecewakan, disakitkan hatinya. Kun
Liong yang mengaku mencintanya dengan sepenuh jiwa raganya itu, terialu memandang
rendah dirinya. Dia dikalahkan dalam perbandingan dengan seorang wanita bayangan,
seorang gadis khayal. Hanya seorang gadis khayal! Kalau dia bukan gadis impian Kun
Liong itu, mengapa Kun Liong menyatakan cinta kepadanya" Kalau dia tidak seperti
gadis khayal itu yang menurut Kun Liong tanpa cacad, mengapa Kun Liong berani
menyatakan cintanya" Dia tidak sudi menjadi seorang yang dijadiken tempat pelarian
setelah Kun Liong merasa bahwa di dunia ini tidak ada gadis yang diimpi-impikan itu. Dia
tidak sudi menjadi pengganti belaka, menjadi penghibur lara belaka. Padahal cinta
kasihnya terhadap Kun Liong mutlak dan lengkap, tanpa perbandingan karena memang
tidak ada bandingan dalam cinta kasihnya.
PERJALANAN yang amat jauh, melelahkan dan juga membuatnya kurus karena tertekan
batinnya teringat kepada kekasihnya itu, memakan waktu berbulan-bulan dan akhirnya
sampailah mereka di tempat yang dituju. Sebuah dusun besar di pegunungan dan di luar
dusun itu, di dekat puncak, terdapat sekelompok bangunan besar yang dikurung pagar
tembok seperti benteng. Itulah pusat dari perkumpulan agama para Lama Jubah Merah
yang terkenal di seluruh Tibet sebagai perkumpulan yang menyendiri dan dipimpin oleh
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
733 orang-orang yang sakti. Kuil mereka terdapat di tengah-tengah kelompok bangunan itu
dan setiap hari, dari pagi sampai sore, pintu gerbang tembok benteng itu terbuka dan
semua orang, dari dusun-dusun di daerah tempat itu, diperkenankan memasuki dan
mengunjungi kuil besar untuk bersembahyang dan mohon berkah. Konon dikabarkan
bahwa kuil Lama Jubah Merah ini amat sakti dan manjur sehingga amat terkenal, banyak
dikunjungi orang dan banyak pula menerima dana bantuan dari rakyat di daerah itu yang
terkenal pula berpenghasilan besar sebagai peternak-peternak. Memang bukan hanya
tempat tinggalnya saja yang kuat, dengan pagar tembok menyerupai benteng, akan
tetapi juga anggautanya cukup banyak, tidak kurang dari seratus orang! Karena rata-
rata mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja seratus orang Pendeta
Jubah Merah ini merupakan sebuah pasukan yang hebat! Perkembangan mereka ini
sudah lama diikuti dengan diam-diam oleh Pemerintah Tibet yang dipegang oleh Dalai
Lama, akan tetapi karena tidak ada bukti nyata bahwa Lama Jubah Merah menentang
Pemerintah Tibet yang sah, maka tidak pernah ada tindakan.
Kedatangan tiga orang Lama, yaitu Sin Beng Lama yang ditemani dua orang sutenya,
Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, disambut dengan penuh penghormatan oleh para
anggauta perkumpulan agama itu, bahkan diadakan pesta sebagai penyambutan mereka
yang telah meninggalkan Tibet selama berbulan-bulan itu. Apalagi karena tiga orang
tokoh utama itu telah berhasil membawa pulang Pek Hong Ing! Gadis ini begitu tiba di
situ lalu menanyakan tentang ayahnya. "Mana ayahku" Aku ingin sekali bertemu dengan
ayahku!" Memang di waktu melakukan perjalanan yang amat jauh itu, setelah dapat
mengatasi kedukaan hatinya karena meninggalkan Kun Liong, hanya satu tujuan hati
Hong Ing, yaitu dapat berjumpa secepatnya dengan ayahnya, kemudian hendak minta
bantuan kepada ayahnya untuk mengirim orang menjenguk dan menolong Kun Liong!
Sin Beng Lama sendiri lalu membawa Hong Ing ke sebuah kamar yang besar dan cukup
lengkap. Setelah mereka memasuki kamar itu yang ternyata kosong tidak ada siapa pun
di dalamnya, kakek ini berkata, "Engkau tinggallah di sini dan ayahmu pasti akan segera
datang asal engkau suka bekerja sama dengan kami."
Hong Ing memandang penuh selidik kepada pendeta tua berjubah merah itu, dan
mulailah dia merasa curiga.
"Apa artinya ini" Susiok... di mana Ayah?"
Sin Beng Lama mengerutkan alisnya. "Kalau kami tahu dia berada di mana, agaknya
kami tidak akan membawamu jauh-jauh ke sini, Pek Hong Ing. Kami membawamu ke
sini hanya untuk memancing agar ayahmu mencarimu ke sini."
Pucatlah wajah Hong Ing mendengar Ini. "Apa..." Bukankah kalian katakan bahwa Ayah
adalah Suheng kalian?"
"Benar demikian. Ayahmu adalah Kok Beng Lama, Suheng kami."
"Dan katanya Ayah adalah ketua di sini..."
"Sayang tidak demikian sesungguhnya. Sebaliknya malah, ayahmu adalah seorang yang
berdosa besar, seorang pelarian yang harus menerima hukuman karena telah melakukan
dosa-dosa yang amat banyak."
Terbelalak mata Hong Ing memandang kakek itu. "Apa... apa yang terjadi" Mengapa
para Susiok menipuku, membiarkan aku pergi meninggalkan Kun Liong yang terluka di
pulau itu..." Ahhh, apa yang telah kulakukan ini...?"
"Tenanglah, dan duduklah. Dengarkan cerita pinceng (aku)."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
734 Karena kedua kakinya memang menggigil saking tegang hatinya yang diliputi bermacam
perasaan itu, Hong Ing lalu menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan kakek
itu lalu duduk di atas bangku menghadapi pembaringan.
"Ibumu bernama Pek Cu Sian, seorang pendekar wanita dari Tiong-goan yang berani
lancang tangan mencampuri urusan
dalam perkumpulan agama kami sehingga terpaksa kami tangkap dan kami tawan.
Karena dia masih perawan dan cantik, maka para pimpinan perkumpulan kami
mengambil keputusan untuk menjadikan dia sebagai korban tahun itu, korban kepada
Dewa Syiwa. Akan tetapi, pada malam sebelum upacara pengorbanan dilakukan, Pek Cu
Sian lenyap dari kamar tahanan. Kami semua mengira bahwa dia telah dapat meloloskan
diri, maka hal ini terlupalah sudah sampai lima tahun kemudian ketika engkau, ketika itu
seorang anak perempuan kecil berusia empat tahun, kelihatan oleh scorang anggauta
kami. Barulah kami tahu bahwa Pek Cu Sian, ibumu itu, telah diselamatkan oleh Suheng
Kok Beng Lama sendiri yang menyembunyikannya dan mengambilnya sebagai isteri!
Betapa besar dosa Kok Beng Lama dapat kaubayangkan sendiri!"
"Tidak! Dia tidak berdosa!" Hong Ing membantah setelah mendengar penuturan itu. "Dia
adalah seorang manusia, tidak seperti kalian yang bagaikan segerombolan binatang buas
hendak membunuh mendiang ibuku! Ayah adalah seorang laki-laki sejati yang berani
mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
Namun kakek itu tidak mempedulikan bantahan ini dan melanjutkan ceritanya.
"Karena dosanya itu, Kong Beng Lama dihukum sepuluh tahun dan ibumu yang
melarikan diri bersamamu itu kami kejar
atau lebih tepat dikejar oleh anak buah kami karena kalau kami sendiri yang mengejar
dia tentu telah dapat kami tawan kembali bersamamu. Dia dapat melarikan engkau dan
lolos." "Ibu adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa!" Hong Ing berkata
penuh semangat. "Biarpun dikeroyok oleh para pendeta palsu, masih dapat
menyelamatkan aku sampai tiba di Go-bi-san dan ditemukan oleh Subo dalam keadaan
hampir mati oleh luka-lukanya akibat pengeroyokan pua pendeta yang curang!"
Kakek itu kembali tidak mempedulikan, seolah-olah tidak mendengar kata-kata Hong
Ing. "Setelah Kok Beng Lama keluar dari hukuman, dia melakukan dosa ke dua yang
lebih hebat. Dia telah membunuh ketua kami, yaitu Twa-suheng kami! Kemudian dia
melarikan diri..."
"Tentu untuk mencari Ibu dan aku!"
"Dosanya yang besar harus dihukum, maka pinceng sendiri bersama kedua orang
Sute..." "Kalian tiga orang pendeta jahat!"
"Kami turun gunung untuk mencarinya, namun tidak berhasil. Untung kami berjumpa
dengan Go-bi Sin-kouw dan dengan tusukan-tusukan hio (dupa biting) dia akhirnya
bercerita tentang dirimu."
"Kau... kau telah menyiksa Subo!" Biarpun dia tidak suka kepada ibu gurnya, namun
Hong Ing masih ingat betapa sejak kecil dia dipelihara dan dididik oleh Go-bi Sin-kouw,
maka mendengar subonya disiksa untuk mengaku, dia menjadi marah.
"Kami mencari jejakmu, dari sungai di mana menurut penuturan Go-bi Sin-kouw engkau
dan pemuda gundul itu terlempar ke muara sungai, masuk ke laut oleh Kok Beng Lama."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
735 "Aihh, tidak kusangka bahwa pendeta yang gagah perkawa itu adalah ayah kandungku
sendiri..." Hong Ing menutupi mukanya mengenangkan kembali peristiwa itu.
"Akhirnya kami berhasil menemukan engkau di pulau kosong bersama pemuda aneh itu
dan karena kami tidak sampai hati mempergunakan kekerasan terhadap seorang gadis
muda seperti engkau, kami terpaksa menjalankan siasat agar engkau
suka ikut pergi dengan suka rela."
Sin Beng Lama bangkit berdiri, melangkah ke pintu lalu membalik memandang kepada
gadis itu, berkata lagi, suaranya halus, "Kami akan menyebar berita ke Tiong-goan agar
ayahmu mendengar bahwa puterinya telah berada di tangan kami. Dengan demikian dia
pasti akan datang ke sini. Kami harap kau tidak banyak rewel dan berdiam saja di sini
dengan baik. Kalau tidak, terpaksa kami akan memperlakukan engkau sebagai tawanan
yang dikurung dalam kamar tahanan dan dibelenggu kaki tangannya." Setelah berkata
demikian, Sin Beng Lama melangkah keluar dari kamar dengan tenang.
Sejenak Hong Ing tertegun, mukanya pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa dia
dijadikan sandera untuk menjebak ayahnya sendiri! Dan dia telah pergi dengan suka
rela, bahkan telah meninggalkan Kun Liong dalam keadaan terluka parah! Akan tetapi
apa yang dapat dilakukannya" Tiga orang pendeta itu sakti sekali, bahkan Kun Liong
yang demikian gagah pun tak berdaya, apalagi dia.
Aku harus pergi dari sini! Demikianlah suara hati Hong Ing. Dia harus pergi dan kembali
ke Tiong-goan, kembali ke laut mencari pulau kosong, mencari Kun Liong dan mencari
ayahnya! Betapa rindunya kepada Kun Liong, juga kepada ayahnya, pendeta raksasa
yang baik hati dan sakti itu.
Akan tetapi ketika berindap-indap dia keluar dari kamar, dia melihat dua orang Pendeta
Jubah Merah berdiri di luar pintu, mata mereka memandang dengan bengis kepadanya!
Ketika dia memasuki kamamya lagi dan menjenguk ke jendela, juga di luar jendela
terdapat dua orang pendeta! Kamarnya telah dikurung dan dijaga!
Malam itu, kembali Hong Ing kecelik ketika dia menyelidiki pintu dan jendela kamarnya
karena ternyata olehnya kemudian bahwa penjagaan ketat itu diadakan siang malam
dengan bergilir! Semalam suntuk itu dia tidak tidur, mencari kesempatan untuk
melarikan diri, namun akhirnya dia mengerti bahwa kesempatan itu tidak pernah ada.
Selain kamarnya yang dikurung, juga penjagaan di pagar tembok menyerupai benteng
itu amat kuatnya sehingga andaikata dia dapat keluar dari kamar, kiranya tidak mungkin
dia akan dapat keluar dari markas itu! Di samping ini, sekiranya terjadi keajaiban dan dia
dapat keluar dari markas itu, apa dayanya menghadapi para pendeta sakti itu kalau dia
dikejar dan disusul" Dia tidak mengenal daerah pegunungan itu, apalagi ketika
melakukan perjalanan mengikuti tiga orang pendeta menuju ke Tibet, dia melihat gurun
pasir seolah-olah tanpa tepi. Tanpa penunjuk jalan, dia akan mati kehausan dan
kelaparan di daerah yang mengerikan itu.
Terpaksa Hong Ing hanyaa bisa menanti dan dia bukanlah seorang gadis bodoh yang
hanya mengubur diri dalam kedukaan dan keputusasaan. Tidak. Dia sudah bersiap-siap
dan karena itu dia menjaga kesehatan dirinya dengan baik, makan setiap hari, bahkan
membaiki para pendeta di situ dan minta petunjuk ketika dia melatih ilmu silatnya setiap
hari. Dia harus berada dalam keadaan kuat dan terlatih kalau saat yang ditunggu-tunggu
itu tiba, yaitu saatnya ayahnya yang dijebak itu muncul di sini!
Dan saat yang dinanti-nanti itu tiba beberapa bulan kemudian! Pada suatu hari, pagi-
pagi sekali, di antara suara orang berdoa, suara liam-keng (doa) diselingi suara ketukan
berirama yang mengiringi doa, terdengarlah teriakan yang amat gaduh.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
736 Hong Ing sudah bangun tidur dan sudah mencuci muka, siap untuk melakukan latihan
pagi ketika mendengar suara gaduh itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke pintu, hampir
dia bertumbukan dengan Lak Beng Lama yang menghadang dengan tongkat di tangan.
Melihat sikap susioknya ini, Hong Ing sudah curiga dan dapat menduga bahwa inilah
agaknya saat-saat yang dinanti-nantinya. Agaknya ayahnya telah tiba! Akan tetapi dia
pura-pura tidak tahu dan dengan suara heran dan nadanya halus dia bertanya, "Lak
Beng Suciok, apakah ribut-ribut itu?"
"Hemm, kau tidak perlu tahu dan tidak boleh keluar dari kamar ini. Pinceng sendiri yang
menjaga di sini!"
Jantung Hong Ing berdebar keras. Tak salah lagi, tentu ayahnya telah datang! Kalau
tidak, mengapa susioknya ini sendiri yang menjaganya"
"Susiok, aku mau pergi berlatih."
"Engkau tidak boleh meninggalkan kamar!"
"Eh, siapa itu di sana " Bukankah itu Ayah...?" Tiba-tiba gadis itu menuding ke atas
genteng yang tampak dari pintu kamarnya. Lak Beng Lama terkejut sekali, memutar
tubuh menghadapi arah yang ditunjuk dan siap dengan tongkatnya dan pada saat itu
Hong Ing sudah meloncat keluar dari kamarnya.
"Bocah setan! Hendak lari ke mana kau?" Lak Beng Lama cepat mengejar dan dalam
beberapa loncatan saja pendeta yang sakti ini sudah dapat menyusul dan sudah
menghadang di depan Hong Ing dengan alis berkerut.
Suara ribut-ribut di bagian depan makin hebat dan tiba-tiba Hong Ing berteriak,
"Ayaaaahhhh...! Aku Pek Hong Ing berada di sini...!" Akan tetapi dia segera roboh
terkena totokan ujung tongkat yang amat cepat dan tubuhnya, yang lumpuh sudah
dikempit oleh Lak Beng Lama.
Di bagian depan markas itu memang sedang ribut. Tepat dugaan Hong Ing bahwa
ayahnyalah yang muncul. Pagi itu, di waktu semua pendeta sedang sibuk membaca doa


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bersembahyang sehingga penjagaan agak berkurang ketatnya, sesosok bayangan
berkelebat melompati pagar tembok tinggi itu dan ketika beberapa orang penjaga
melihat dan mengurungnya, dalam beberapa gebrakan saja empat orang di antara
mereka sudah roboh! Mulailah mereka berteriak-teriak memberi tanda bahaya dan
ributlah semua pendeta yang sedang berdoa, termasuk Sin Beng Lama, Hun Beng Lama,
dan Lak Beng Lama.
"Lak Beng Sute, kau cepat menjaga Hong Ing!" kata Sin Beng Lama yang bersama Hun
Beng Lama cepat berlari-lari ke luar. Ternyata Kok Beng Lama yang bertubuh tinggi
besar seperti raksasa itu sedang mengamuk. Kaki tangannya bergerak secara luar biasa
dan angin besar bersiut dari kedua ujung lengan bajunya yang lebar. Setiap kali kaki
tangannya bergerak, tentu ada pendeta yang terpelanting atau terlempar. Namun
pengeroyokan makin ketat dan kini semua pendeta telah menggunakan senjata masing-
masing. Hujan senjata menjatuhi tubuh pendeta raksasa itu, namun semua hantaman
senjata yang tajam maupun yang tumpul tidak ada yang membekas pada kulit tubuh
Kong Beng Lama, kecuali hanya merobek pakaiannya saja.
"Hayo bebaskan anakku, kalau tidak... demi Tuhan, kubunuh semua orang di tempat ini!"
Kok Beng Lama berteriak-teriak sambil dengan kedua tangannya menangkap empat
orang pengeroyok seperti mencengkeram garuda menerkam empat ekor anak ayam saja
layaknya, lalu melemparkan empat orang itu kepada para pengeroyoknya sehingga
mereka morat-marit.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
737 "Pemberontak hina! Berlututlah untuk menerima hukuman!" Tiba-tiba terdengar
bentakan lemah lembut dan para pengeroyok membuka jalan untuk Sin Beng Lama dan
Hun Beng Lama. Seperti biasa kalau menghadapi lawan berat, Sin Beng Lama membawa
lima batang hio membara, sedangkan Hun Beng Lama memutar-mutar biji tasbih di
antara jari-jari tangannya. Dilihat seperti itu, kedua orang pendeta ini lebih pantas
hendak bersembahyang dan membaca doa daripada bersiap-siap menghadapi lawan
tangguh. Akan tetapi tentu saja Kok Beng Lama mengenal kedua orang sutenya ini dan
dia menjawab bentakan Sin Beng Lama dengan suaranya yang nyaring, dan sinar
matanya mengandung penuh ancaman maut.
"Sin Beng Sute...!"
"Pinceng bukan sutemu lagi dan engkau tidak berhak menyebut Sute kepada pinceng!"
"Hemm, sesukamulah, Sin Beng Lama! Akan tetapi dengar baik-baik. Aku datang untuk
minta anakku, Pek Hong Ing. Kalau kalian menolak, aku akan membunuh kalian semua,
tidak ada kecualinya!"
"Omitohud...!" Sin Beng Lama berseru sambil mengacungkan lima batang hio di depan
dadanya. "Ucapan yang keluar dari mulut iblis! Pemberontak dan pengkhianat hina,
engkau telah melanggar undang-undang agamamu sendiri, engkau telah melakukan
dosa besar, membunuh ketua yang menjadi Twa-suheng (Kakak Tertua Seperguruan)
sendiri dan beberapa orang saudara lain. Dan sekarang engkau tidak bertaubat, tidak
minta ampun bahkan mengancam hendak membunuh kami semua! Tidak malukah
engkau yang sudah puluhan tahun tekun mempelajari semua ajaran agama yang suci?"
"Hemmm, Sin Beng Lama! Kita sama-sama adalah tua bangka-tua bangka, bukan anak
kecil yang mudah saja dibujuk dengan omongan manis dan dengan kedok agama!
Agama dan pelajarannya adalah untuk dilaksanakan, bukan sekedar dipakai untuk
senjata menekan orang lain, bukan dipergunakan sebagai jembatan untuk mencari
kekayaan, kedudukan, kesenangan lahir batin, bukan diperalat sebagai pencari sorga dan
nirwana! Kalian mempelajari kasih akan tetapi hati kalian penuh sesak dengan
kebencian. Kalian menjaga kebersihan lahiriah namun batin kalian kotor melebihi
keranjang sampah! Menghadapi tua bangka seperti aku, tidak perlu lagi kalian menakut-
nakuti dengan agama yang dibikin palsu oleh tingkah laku pemeluknya sendiri macam
kalian! Hayo bebaskan anakku, berikan kepadaku, dan aku akan pergi dari sini dengan
aman, bahkan bersumpah takkan menginjak tempat ini lagi. Kalau tidak, kalian akan
kubunuh semua dan tempat ini akan kubasmi, kuhancurkan!"
"Pemberontak keparat!" Hun Beng Lama membentak marah dan dia sudah melangkah
maju perlahan-lahan, tasbihnya diputar-putar di atas kepalanya yang gundul dan
terdengarlah suara "trikk... trikk... trikkk..." dengan irama tertentu dan biarpun tidak
begitu keras, namun seperti jarum tajam menusuk anak telinga sehingga para anggauta
Lama Jubah Merah yang kurang kuat sin-kangnya cepat mundur sambil menutupi telinga
mereka. Hanya yang sudah agak tinggi tingkatnya saja, yang jumiahnya paling banyak
tiga puluh orang, yang berani maju mengurung Kok Beng Lama.
Sin Beng Lama juga melangkah maju, lima batang hio pindah ke tangan kiri dan tangan
kanannya sudah mengeluarkan
sebatang pedang bersinar hijau yang amat tipis dan panjangnya ada empat kaki,
gagangnya terbuat dari perak, sebatang pedang pusaka yang amat indah dan ampuh.
Melihat ini, sinar mata Kok Beng Lama menjadi ganas dan mulutnya tersenyum
mengejek, tubuhnya tetap berdiri tegak tidak bergerak, yang bergerak hanya biji
matanya yang melirik ke kanan kiri, telinganya seolah-olah berdiri dengan penuh
perhatian mendengarkan setiap suara di sekelilingnya. Dalam keadaan seperti itu,
pandengaran pendeta Lama raksasa ini luar biasa tajamnya sehingga setiap tarikan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
738 napas para pengeroyoknya dapat ditangkapnya dengan jelas, bahkan suara detak
jantung lawan terdengar olehnya!
"Serbuuuu...!" Sin Beng Lama memberi aba-aba.
"Hyaaaatttt...!" suara bentakan para pengeroyok menjadi satu, terdengar nyaring
bergema ketika mereka serentak menerjang ke depan dengan senjata masing-masing
yang seperti hujan menyambar ke arah seluruh tubuh Kok Beng Lama, dari semua
penjuru. Kalau semua senjata itu mengenai tubuh Kok Beng Lama dan kalau tubuh
pendeta raksasa ini biasa seperti tubuh orang-orang lain, tentu dia akan roboh dengan
tubuh hancur lebur, tidak ada bagian sedikit pun yang masih utuh.
"Hoooouuuuhhh...!" Kok Beng Lama mengeluarkan suara yang amat dalam dan lebar,
bukan seperti suara manusia lagi, suara yang seolah-olah keluar dari dalam bumi!
Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak memutar, lenyap bentuk tubuhnya dan yang
tampak hanyalah gulungan yang amat cepat seperti angin puyuh mengamuk.
"Trangggg...!"
"Krekkkkk...!"
"Bukkkk...!"
"Dessss...!"
"Aughhh...! Aduhhh...! Ahhhh!"
Akibatnya hebat bukan main! Tidak kurang dari enam orang yang terlempar dan roboh
pingsan! Selain itu, banyak pula yang kehilangan senjata mereka, ada yang patah dan
banyak yang lepas dari tangan, terlempar entah ke mana. Bukan main hebatnya sepak-
terjang Kok Beng Lama yang selama sepuluh tahun dalam sel telah menciptakan dan
mematangkan banyak ilmu-ilmu yang mujijat dan dahsyat itu. Dengan putaran kedua
ujung lengan bajunya saja dia telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyoknya
dan merampas banyak senjata!
Melihat ini, Hun Beng Lama menjadi marah sekali, demikian pula Sin Beng Lama. Dalam
gebrakan pertama tadi, mereka berdua memang membiarkan para anak buah lain yang
maju menerjang karena mereka merasa yakin bahwa dengan mengandalkan jumlah
besar, tentu Kok Beng Lama yang dianggap pemberontak itu akan dapat dikuasai. Siapa
kira, raksasa itu memang hebat bukar main, maka terpaksa mereka harus turun tangan
sendiri. "Omitohud...! Haaaaiiiikkkk!" Hun Beng Lama sudah menerjang maju dengan tasbihnya
yang menyambar ke pelipis kiri sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar garuda
itu mencengkeram ke arah perut lawan. Gerakannya cepat dan mendatangkan angin
pukulan yang bendesing-desing saking kerasnya. Pada detik berikutnya, terdengar suara
tajam menulikan telinga ketika sinar hijau berkeredepan menyambar-nyambar seperti
seekor naga hijau bermain-main dan itulah pedang di tangan Sin Beng Lama yang dalam
satu jurus telah mengirim tiga bacokan dan delapan tusukan yang mengancam tiga belas
jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!
"Bagus...!" teriak Kok Beng Lama sambil menggerakkan kepalanya mengelak sambaran
tasbih ke pelipisnya kemudian mengangkat kaki menendang ke arah tangan kanan Hun
Beng Lama, sedangkan sepuluh kuku jari tangannya sibuk menyentil ke arah sinar-sinar
hijau yang menyambar-nyambar itu. Dia telah berhasil menangkis tiga belas serangan
pedang hijau itu dengan sentilan jari tangannya dan setiap kali dia menyentil
terdengarlah suara nyaring.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
739 "Tring-tring-tring-tring-tring...!"
Terkejutlah Sin Beng Lama ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang
pedang tergetar hebat karena sentilan kuku jari tangan lawannya itu! Dengan seruan
halus dia mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, tangan kirinya bergerak dan
tampaklah sinar api menyambar ke arah tubuh Kok Beng Lama! Itulah penyerangan hio-
hio membara yang amat luar biasa dan amat berbahaya pula karena biarpun hanya
berupa hio, namun dilepas dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat ampuh
sehingga kalau mengenai tubuh lawan dapat menancap dengan api masih membara!
"Keji, alat sembahyang dipakai membunuh!" Kok Beng Lama berseru keras,
menggerakkan kedua tangan bergantian didorongkan ke depan dengan telapak tangan
terbuka. Menyambarlah hawa dingin dari kedua telapak tangannya dan itulah inti tenaga
Im-kang yang amat dingin. Tampak asap mengepul dan lima batang hio itu padam
apinya, bahkan runtuh semua ke atas tanah, masih mengepulkan asap putih yang harum
baunya. Tentu saja Sin Beng Lama menjadi makin marah. Bersama sutenya, Hun Beng Lama dia
menerjang maju, menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali sehingga tubuhnya
lenyap digulung sinar pedang yang merupakan gulungan sinar hijau menyilaukan mata
yang kini bergulung-gulung menyelimuti tubuh Kok Beng Lama pula. Di antara sinar
hijau ini tampak sinar putih dari tasbih Hun Beng Lama yang mengeluarkan suara "trik-
trik" makin lama makin nyaring. Maka terdengarlah paduan suara yang menyeramkan
karena semua orang yang kurang kuat sin-kangnya merasa betapa jantung mereka
seperti ditarik-tarik dan telinga seperti ditusuk-tusuk oleh suara berdetrik dari tasbih,
bercampur dengan suara berdesingan dari pedang hijau, diseling geraman-geraman
marah dari dada Kok Beng Lama yang bidang. Pertempuran hebat dan mati-matian,
dilakukan oleh tiga orang sakti, terjadi dengan serunya, membuat para Lama yang
berada di situ tidak berani lagi turun tangan membantu karena mereka maklum bahwa
bantuan mereka tidak akan menguntungkan pihak kawan juga tidak merugikan pihak
lawan melainkan membahayakan nyawa sendiri.
Kalau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Kok Beng Lama dahulu pun setingkat dengan
Sin Beng Lama. Akan tetapi semenjak dia menjalani hukuman selama sepuluh tahun,
kepandaiannya bertambah hebat sedangkan Sin Beng Lama hanya mendapat kemajuan
biasa saja. Orang yang berada di dalam tahanan seperti Kok Beng Lama, kehilangan
kebebasannya dan tidak melakukan suatu pekerjaan tertentu, lebih tekun dalam berlatih,
apalagi karena memang dia mempunyai dendam. Sedangkan tingkat kepandaian Hun
Beng Lama masih kalah setingkat dari Sin Beng Lama, maka pertempuran hebat itu lebih
tepat dikatakan bahwa yang bertanding mati-matian adalah Sin Beng Lama melawan Kok
Beng Lama, sedangkan Hun Beng Lama hanyalah merupakan tenaga pengacau saja yang
mengacaukan pertahanan Kok Beng Lama.
Namun, biar dia bertangan kosong dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian
tinggi dan bersenjatakan senjata-senjata pusaka ampuh pula, ternyata Kok Beng Lama
memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Semua ini diperhebat lagi oleh kemarahannya
karena dia mengkhawatirkan nasib puterinya, maka dia seolah-olah iblis sendiri yang
mengamuk dan sukar ditandingi oleh dua orang pendeta Lama itu!
"Kalian bosan hidup! Kalian bosan hidup! Akan kubunuh semua...!" Demikian terdengar
Kok Beng Lama menggereng.
"Brettt! Plakk! Aughh...! Aduhhh...!"
Para pendeta yang menonton tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata mereka
Kekaisaran Rajawali Emas 3 Kuda Putih Karya Okt Kuda Putih 3
^