Rahasia 180 Patung Mas 1

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 1


Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
RAHASIA 180 PATUNG MAS
Disadur oleh : Gan KL
Chapter 1. Rahasia 180 Patung Mas
Wi-ho-lau, Wisma Bangau Kuning, sebuah gedung terletak di tepi sungai Yang-tse, provinsi Oh-lam, Tiong-kok Tengah, sebuah tempat tamasya yang termashur.
Oleh karena kota Bu-jiang dan Wi-ho-lau banyak terdapat tempat yang menimbulkan kenang-kenangan masa lampau, maka banyak pula pelancong dari golongan sastrawan dan seniman yang suka pesiar ke situ, terutama pada wisma Bangau kuning tersebut, malahan banyak pula orang persilatan juga suka ngendon di situ.
Di antara beberapa tempat minum di depan wisma Bangau Kuning itu justru terdapat sebuah rumah minum yang khusus sering menjadi tempat berkumpulnya orang persilatan, yaitu Bu-lim-teh-co, artinya warung minum orang persilatan.
Pemilik Bu-lim-teh-co bernama Wi-ho Lo-jin, si kakek bangau kuning, dulu juga seorang tokoh persilatan yang kini sudah purnawirawan alias pensiun.
Ilmu silat yang dikuasai Wi-ho Lo-jin tergolong tidak tinggi, tapi juga tidak rendah. Selama beberapa puluh tahun berkecimpung di dunia kang-ouw, dia satu-satunya tokoh yang disukai baik oleh golongan putih maupun oleh kalangan hitam (kaum penjahat), sebab dia tidak pernah bersengketa dengan siapa pun, sebaliknya ia sangat suka menjadi juru damai. Setiap kali bila terjadi pertengkaran di antara golongan putih dan golongan hitam, bilamana ia pandang urusannya dapat didamaikan, maka dia lantas tampil ke muka untuk melerai.
Mungkin karena caranya menjadi juru damai sangat pandai, maka setiap kali bila ia turun tangan selalu membuat kedua pihak sama puas dan gembira, lama-lama orang persilatan memandang si kakek Bangau Kuning ini seakan-akan semacam bumbu masak yang tidak boleh berkurang bagi dunia persilatan.
Beberapa tahun yang lalu, dalam perjamuan ulang tahunnya yang ke 80, di depan umum ia menyatakan mengundurkan diri dari dunia persilatan, tempat tirakatnya bukan di pegunungan sunyi atau lautan terpencil melainkan hendak berusaha sebuah rumah minum di Wi-ho-lau, diharapkan agar para kawan dunia persilatan sudi mampir sekedar pelepas dahaga di Wi-ho-lau bilamana kebetulan lalu.
Lantaran itulah, pada hari pembukaan Bu-lim-teh-co, suasana menjadi sangat ramai dikunjungi sobat andal, bahkan sampai sekarang keramaian pengunjung itu tidak pernah surut.
Sebenarnya, menurut adat umum, tempat berkumpulnya orang persilatan sukar terhindar dari percekcokan dan perkelahian. Hanya Bu-lim-teh-co saja harus dikecualikan.
Para pengunjung rumah minum ini, baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam, semuanya dapat berkumpul dengan damai dan sopan-santun, padahal para pengunjung sesungguhnya juga terdiri dari aneka ragam golongan dan aliran, mereka datang dari berbagai penjuru, ada yang cuma kebetulan lalu dan sengaja istirahat melepas lelah di situ, ada yang khusus berkumpul di rumah minum ini untuk membicarakan urusan bisnis, ada yang cuma berjanji untuk mengobrol saja di situ.
Selain itu masih banyak pengunjung dari berbagai kalangan, seperti tukang obat, tukang nujum, tukang sayur, pedagang keliling dan macam-macam lagi.
Terkadang, bilamana lagi iseng, Wi-ho Lo-jin sendiri juga suka duduk di tengah para pengunjungnya dan ikut mengobrol, terutama bercerita mengenai peristiwa menarik di dunia persilatan umumnya.
Dasar Wi-ho Lo-jin memang berbakat mendongeng, setiap kali dia duduk bersama para tetamunya tentu dia dikerumuni orang banyak, seperti kawanan anak kecil yang ribut minta dia bercerita atau berkisah.
Suatu hari, sehabis tidur siang, karena iseng kembali Wi-ho Lo-jin muncul pula di rumah minumnya.
Ia duduk di suatu tempat yang luang, pelayan bernama Su-Jit yang masih muda cepat membawakan sebuah mangkuk minum dan menuangkan semangkuk penuh air teh. Melihat cara Su-Jit menuang air teh yang cekatan, cepat lagi tepat tanpa tercecer setetes pun, sering orang suka bersorak memujinya dan banyak pula yang percaya pelayan muda itu pandai kung-fu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Setelah Su-Jit menuangkan air teh bagi Wi-ho Lo-jin, segera ada beberapa orang persilatan mengerumuni lagi kakek itu, seorang di antaranya lantas menyapa, "Lo-jin, kisah apa yang akan engkau ceritakan hari ini?"
"Tidak ada, hari ini aku cuma ingin menikmati teh saja, " jawab Wi-ho Lo-jin dengan tertawa sambil menggeleng kepala.
Seorang tamu yang merupakan langganan rumah minum ini segera menukas "Harap berceritalah seadanya, sedikitnya 50 tahun Lo-jin berkecimpung di dunia kang-ouw, engkau dikenal sebagai tokoh tertua yang masih ada di dunia persilatan sekarang, apa yang lo-jin lihat dan dengar pasti jauh lebih banyak daripada orang lain, aku yakin pasti masih banyak kisah simpananmu yang belum pernah diceritakan."
"Tidak ada lagi, sudah habis!" ujar Wi-ho Lo-jin sambil menggeleng."Segenap isi perutku sudah lama dikuras habis oleh kalian."
"Haha, setiap kali Lo-jin selalu berkata demikian, akhirnya setiap kali pula engkau tetap berkisah lagi sesuatu kejadian yang menarik, " seru orang itu dengan tertawa.
"Kalian tidak tahu, kisah-kisah itu sebagian besar hanya karangan kosong belaka, " ujar si kakek dengan tersenyum.
Orang pertama tadi menukas, "Karangan Lo-jin juga cukup menarik, apa pun mohon engkau sudi berkisah lagi."
Wi-ho Lo-jin mengusap jenggotnya yang putih bagai perak, sejenak kemudian ia berdehem lalu berkata,
"Kisahnya, sesungguhnya memang sudah terkuras habis. Biarlah sekarang kita bicara hal-hal yang terjadi di dunia persilatan paling akhir ini."
"Memangnya apa yang terjadi di dunia persilatan akhir-akhir ini?" tanya orang itu.
"Aku sendiri tidak begitu jelas, " ujar si kakek, "cuma aku dengar banyak tokoh dunia persilatan, baik golongan putih maupun kalangan hitam, semuanya lagi mencari jejak sepasang suami-istri, konon antara suami-istri itu, yang lelaki adalah seorang cacat badan, dan yang perempuan justru seorang nyonya muda yang sangat cantik"
"Oo, bagaimanakah kisahnya?" desak orang itu.
"Aku pun tidak begitu jelas. Cuma selama setengah tahun terakhir ini pernah beberapa kawan Bu-lim datang mencari kabar padaku tentang sepasang suami-istri itu, sebab itulah aku tahu ada peristiwa demikian."
"Apakah kawan-kawan Bu-lim yang mencari keterangan kepada Lo-jin itu semuanya tokoh kalangan hitam dan golongan putih?"
"Betul."
"Wah, siapakah mereka?"
"Untuk ini, maaf, tidak dapat aku beritahukan."
"Engkau tidak tanya apa maksud tujuan mereka mencari keterangan suami-istri itu?"
"Aku tanya, tetapi mereka tidak mau menjelaskan."
"Wah, aku kira pada suami-istri itu pasti terdapat sesuatu benda mestika atau barang berharga yang sangat menarik, " ujar orang tadi.
"Aku kira tidak, " kata Wi-ho Lo-jin."sebab beberapa orang yang mencari keterangan padaku itu, dua di antaranya terhitung tokoh terhormat dan bersih, dengan kedudukan dan nama baik mereka, mutlak tidak mungkin mereka ikut campur dalam gerakan berebut benda mestika atau harta karun segala."
"Jika begitu, sungguh aneh sekali, " kata orang tadi.
"Apakah tidak mungkin bahwa suami-istri itu adalah sampah masyarakat dunia persilatan dan setiap Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
orang Bu-lim ingin menumpasnya?" tukas kawannya.
"Mungkin juga tidak, " ujar Wi-ho Lo-jin."Sebab menurut kabar, yang lelaki itu cacat badan berat, yaitu buntung kaki dan tangannya, untuk makan nasi saja harus disuapi oleh istrinya. Jika dibilang dia adalah barang rongsokan dunia persilatan, buat apa pula orang mesti menumpas manusia yang sudah cacat total itu?"
"Betul, seorang yang sudah buntung kedua kaki dan tangannya, keadaannya boleh dikatakan lebih baik mati dari pada hidup, buat apa lagi membunuhnya?"
Waktu itu, belasan orang tamu yang duduk di sekitar sana ikut tertarik juga oleh cerita Wi-ho Lo-jin ini sehingga beramai ramai mereka pun ikut berkerumun.
Si kakek minum seteguk air teh yang masih hangat itu, ia pandang sekeliling orang banyak lalu bertanya dengan tersenyum, "Apakah ada di antara hadirin ini tahu lebih jelas peristiwa ini?"
Tiba-tiba seorang tua berusia 50-an dengan golok tergantung di pinggang menanggapi dengan wajah serius, "Aku kira, sebaiknya kita jangan membicarakan urusan ini!"
"Oo, sebab apa?" tanya Wi-ho Lo-jin dengan melengak.
Si kakek baju hijau seperti menguatirkan sesuatu, ia celingukan ke sana-sini, habis itu baru menghela napas perlahan, akhirnya berkata dengan sikap yang tetap serius dan prihatin, "Aku datang dari Jiang an, sepanjang jalan aku dengar cerita dari dua orang temanku di tempat yang berbeda, baru saja mereka mulai bercerita tentang kedua suami-istri itu, kontan mereka terbunuh oleh am-gi (senjata rahasia) yang tidak jelas dilakukan oleh siapa."
"Hah, bisa terjadi begitu?" seru Wi-ho Lo-jin.
Si kakek baju hijau mengangguk, katanya, "Betul terjadi begitu. Pertama kali terjadi di Cip-eng-lau, kota Liong-ki. Seorang kawan bernama Ji-Kiat berjuluk Te-ling-kui (setan bumi cerdik) sedang minum arak dengan beberapa teman, setelah menegak beberapa mangkuk arak, langsung ia menyerocos bercerita tentang suami-istri yang aneh itu. Ketika dia bicara bahwa ia tahu asal-usul kedua suami-istri itu, mendadak ia jatuh terjungkal dari tempat duduknya. Kemudian beberapa temannya menemukan sebatang jarum berbisa di punggungnya."
Ia berhenti sejenak, sesudah celingukan lagi kian kemari, kemudian ia menyambung ceritanya, "Kejadian yang kedua juga di rumah minum, di kota Siang-yang. Yang berkisah adalah Hu-Jiu-hong, berjuluk Tiang-ci-siu-cai, si sastrawan lidah panjang alias cerewet. Dia juga sedang mengobral ceritanya mengenai suami-istri aneh itu kepada beberapa sahabatnya. Ketika dia menyatakan ia melihat sendiri kedua suami-istri aneh dan kenal sang suami itu adalah ... Pada saat ia hendak mengucapkan nama orang, kontan ia pun roboh terjungkal, senjata yang membinasakan dia juga sebatang jarum berbisa."
Rupanya keterangan kakek baju hijau ini membuat para pendengarnya merasa tegang, air muka hadirin yang berkerumun itu sama berubah pucat dan merinding, mereka sama berpaling dan menoleh kian kemari, seperti kuatir mereka pun akan terbunuh oleh jarum berbisa yang entah akan menyambar dari jurusan mana.
Seketika suasana rumah minum itu berubah sunyi dan mencekam.
Suasana sunyi itu berlangsung hingga cukup lama, akhirnya si pelayan Su-Jit yang memecahkan kesunyian, dia menaruh teko tembaga yang besar itu dengan keras, lalu berseru, "Hadirin yang terhormat, apakah boleh hamba ikut menimbrung sepatah kata?"
Wi-ho Lo-jin menoleh dengan tercengang, katanya, "Su-Jit, kau mau bicara apa, silakan bicara!"
Dengan sungguh-sungguh Su-Jit berkata, "Mengenai kedua suami-istri aneh itu, menurut pendapat hamba sudah bukan sesuatu rahasia lagi. Maksud tujuan orang yang membunuh si setan bumi cerdik Ji-kiat dan si Siu-cai cerewet Hu-Jin-hong jelas adalah untuk menghilangkan saksi hidup."
"Apa ... apa katamu?" seru Wi-ho Lo-jin dengan melengong.
Bahwa seorang pelayan rumah minum yang tidak paham ilmu silat ikut bicara kisah rahasia dunia persilatan sudah merupakan kejadian aneh, sekarang dia malahan menyatakan kisah itu bukan lagi suatu rahasia, tentu saja hal ini membuat semua orang melengak heran.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Begitulah semua orang sama memandang Su-Jit dengan tercengang, sebaliknya Su-Jit memberi hormat kepada Wi-ho Lo-jin dan berkata dengan serius, "Lo-ya (tuan besar), apa yang hamba katakan itu ada dasar buktinya dan bukan cuma bualan belaka."
"Oo, dari mana kau tahu?" tanya Wi-ho Lo-jin heran."
"Hamba dengar dari seorang hwe-sio tua, " tutur Su-Jit. "Kemarin dulu hwe-sio tua itu minum teh di sini dan menceritakan semua kejadian itu kepadaku ..."
"Mengapa hwe-sio tua itu mau menceritakan kisah misteri dunia persilatan kepadamu?" tanya Wi-ho Lojin.
"Dia bilang umumnya orang kuatir rahasia akan bocor, dia justru tidak takut, dia malah minta hamba untuk menceritakan pula kepada setiap orang yang minum teh di sini agar setiap orang persilatan sama tahu peristiwa ini."
"Coba jelaskan, bagaimana ceritanya?" tanya pula Wi-ho Lo-jin dengan cepat.
"Dia bilang yang lelaki itu adalah ..." baru bicara sampai di sini, mendadak Su-Jit mendongak, wajahnya penuh mengunjuk rasa kaget dan bingung, lalu sinar matanya mulai buram, tubuh pun perlahan terkulai dan akhirnya roboh terjengkang, binasa.
"Jarum berbisa! ... Jarum berbisa!"
"Dia juga terkena jarum berbisa!"
Seketika suasana rumah minum itu menjadi kacau-balau, semua orang sama menyurut mundur sehingga beberapa meja tertumbuk dan terjungkir balik dengan suara gemuruh pecahnya mangkuk piring.
Inilah peristiwa malang pertama yang terjadi di Bu-lim-teh-co selama beberapa tahun menjadi tempat berkumpulnya orang persilatan. Tentu saja Wi-ho Lo-jin terkejut dan juga gusar. Cepat ia angkat jenazah Su-Jit, dengan mata melotot dan penuh emosi ia pandang para pengunjung yang berdiri melengong itu, lalu berkata dengan tersenyum pedih, "Sesungguhnya sia ... siapakah sahabat yang sengaja mencoreng mukaku yang tua bangka ini?"
Hadirin yang berdiri termangu di sekitar situ sama bermuka pucat dan saling pandang belaka tanpa ada yang bersuara.
Kulit muka Wi-ho Lo-jin tampak berkerut-kerut, dengan melotot ia pandang orang banyak dan berkata pula, "Silakan sahabat tampil ke depan, biar belajar kenal dulu dengan diriku yang tua bangka ini ...
Silakan tampil!"
Tapi semua orang tampak berdiri kaku, tiada seorang pun bergeser dari tempatnya.
Wi-ho Lo-jin mendengus gusar, tiba-tiba ia berkata kepada dua kakek di sebelahnya, "Kedua sahabat Sin dan Ko, mohon kalian bantu menjagakan pintu, siapa pun dilarang keluar."
Habis berkata, ia pondong jenazah Su-Jit dan dibawa ke ruang dalam.
Di belakang rumah minum itu masih ada lagi beberapa rumah yang bergandengan dengan rumah minum bagian depan, itulah tempat tinggal pribadi Wi-ho Lo-jin. Ia bawa Su-Jit menuju ke sebuah kamar yang terletak paling belakang, setelah merapatkan pintu kamar dan dipalang, ia taruh Su-Jit di tempat tidur.
Pada saat itu juga Su-Jit yang dibaringkan di tempat tidur itu mendadak melompat bangun dengan perkasa, ia tanya si kakek dengan suara lirih, "Siapa yang menyerang dengan senjata rahasia?"
"Seorang lelaki setengah umur berbaju hijau, dia membawa golok, pada kiri dahinya ada bekas luka sepanjang dua-tiga senti, kini masih berbaur di tengah para tetamu, lekas engkau menyamar dan mengeluyur ke luar dari pintu belakang, " jawab si kakek Bangau Kuning dengan tersenyum.
Cepat Su-Jit mendekati almari pakaian, ia keluarkan sebuah rangsel dan mulai menyamar di depan cermin perunggu almari.
Lebih dulu ia tempelkan kumis pendek di atas bibir, alisnya juga ditempel dengan lebih tebal, kemudian ia ganti pakaian sehingga berwujud seorang lelaki setengah baya dengan wajah kereng.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Melihat anak muda itu sudah selesai menyamar, segera Wi-ho Lo-jin membuka pintu kamar, ia melongok dulu keluar, habis itu baru menoleh dan memberi tanda kepada Su-Jit, "Aman, boleh berangkat sekarang!"
Su-Jit berhenti di samping pintu, katanya dengan hormat kepada Wi-ho Lo-jin, "Paman Wi, kepergianku ini mungkin tidak leluasa untuk putar balik lagi ..."
Wi-ho Lo-jin menepuk bahu anak muda itu katanya dengan tersenyum, "Tidak apa, Bila bertemu dengan gurumu, sampaikan saja salamku."
Su-Jit mengangguk, setelah yakin di luar kamar tiada orang lain, cepat ia menyelinap keluar. Ia buka pintu pagar tembok belakang, setelah mengitari beberapa rumah, sampailah dia di halaman depan Bu-lim-teh-co.
Pada waktu itu juga Wi-ho Lo-jin pun sudah keluar lagi di sana, melihat kemunculan si kakek, orang banyak yang sedang ribut membicarakan kejadian tadi seketika diam. Segera kakek she Sin yang diminta bantuannya untuk menjaga pintu tadi bertanya, "Bagaimana anak muda itu, Wi-heng?"
Wi-ho Lo-jin menggeleng kepala, sahutnya sedih, "Jarum berbisa itu sangat jahat, sukar ditolong lagi!"
Ia menghela napas panjang, lalu berkata pula sambil menatap orang banyak, "Hadirin sekalian, dulu sebelum aku buka warung minum ini, berulang pernah aku mohon para kawan kang-ouw agar jangan bikin perkara di sini, akan tetapi hari ini toh terjadi juga ... Ai, bilamana Su-Jit seorang persilatan, maka kematiannya masih bisa dimengerti. Namun dia justru tidak paham ilmu silat apa segala, malahan dia anak tunggal keluarga miskin..."
Habis berucap, kembali ia menghela napas menyesal tak terhingga.
"Sekarang silakan Wi-lo-cian-pwe mulai menggeledah, coba siapa yang kedapatan membawa jarum berbisa serupa, maka jelas dia itulah si pengganasnya, biarlah beramai-ramai kita membinasakan dia!"
Yang bicara ini adalah seorang lelaki setengah berbaju hijau, golok tampak tergantung di pinggangnya dan bagian kiri dahi ada bekas luka panjang.
Wi-ho Lo-jin memandangnya sekejap diam-diam ia mendengus, namun lahirnya ia berlagak setuju katanya dengan mengangguk, "Betul, memang begitulah maksudku, cuma aku kuatir akan membuat susah para sahabat ..."
Orang berbaju hijau itu menukas dengan sikap penasaran, "Jiwa manusia maha penting, masa harus kuatir bertindak secara tegas. Pendek kata, barang siapa yang hadir di sini saat ini tentu juga patut dicurigai, untuk membebaskan diri dari tuduhan harus siap untuk digeledah tubuhnya."
"Betul, silakan Wi-ho Lo-jin menggeledah saja, kami akan menerimanya dengan baik."
"Benar, setiap orang harus memperlihatkan barang yang dibawanya, satu persatu harus digeledah!"
Begitulah beramai-ramai orang banyak sama menyatakan setuju untuk digeledah, sampai akhirnya, tanpa disuruh sebagian besar orang sudah mendahului mengeluarkan segenap barang bawaan masing-masing dan ditaruh di atas meja.
Maka dengan lagak cermat Wi-ho Lo-jin memeriksa setiap benda yang tertaruh di atas meja, dan lantaran tidak menemukan jarum berbisa, lalu sasaran penggeledahan dilaksanakan atas tubuh setiap orang. Padahal tahu jelas tak akan menemukan sesuatu, namun caranya menggeledah tetap dilakukan dengan teliti. Dengan sendirinya, hasilnya tetap nihil.
Wi-ho Lo-jin menghela napas, katanya kepada orang banyak, "Baiklah, maaf jika telah aku ganggu hadirin, bagi mereka yang ada urusan dan tidak dapat tinggal lama di sini boleh silakan pergi dengan bebas."
"Hai, mana boleh jadi, kan pengganasnya belum ditemukan?" seru si kakek she Sin.
"Dari pemeriksaan tadi, para kawan yang hadir di rumah minum ini tidak terdapat membawa jarum berbisa apa pun, mana bisa aku temukan lagi si pembunuh?" ujar Wi-ho Lo-jin dengan tersenyum getir.
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Tentang kematian Su-Jit, biarlah nanti aku beri santunan pantas kepada ayah-bundanya, hanya ada suatu harapanku yaitu semoga selanjutnya para kawan yang mau minum di sini jangan lagi membikin onar."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Habis berkata ia lantas memohon diri dan masuk lagi ke ruangan belakang.
Karena itulah orang persilatan yang minum teh pun sama membayar dan tinggal pergi, hanya beberapa orang saja yang masih duduk di situ.
Pada saat para tamu sama meninggalkan rumah minum itu, si lelaki baju hijau tadi justru masuk ke ruangan belakang bersama Wi-ho Lo-jin.
Su-Jit yang mengawasi di luar rumah minum segera merasakan gelagat tidak enak. Ia pikir jika pembunuh itu ikut masuk ke dalam rumah Wi-ho Lo-jin tentu dia mempunyai rencana sesuatu pula, dirinya harus cepat masuk ke sana untuk membantu si kakek. Begitu timbul pikiran demikian dapat ia masuk ke rumah minum dan langsung menuju ruang belakang.
Para tamu beramai-ramai sedang meninggalkan tempat minum itu, para pelayan juga sibuk membersihkan barang pecah belah yang berserakan di lantai, sebab itulah si lelaki baju hijau dan Su-Jit yang sudah menyamar itu dapat masuk ke ruangan dalam tanpa diperhatikan orang lain.
Untuk mencapai ruangan belakang, lebih dulu harus melalui sebuah serambi kecil, ketika Su-Jit sampai di serambi dilihatnya lelaki berbaju hijau sedang berdiri di situ dan lagi bicara dengan Wi-ho Lo-jin, melihat keadaan itu, cepat Su-Jit menyurut mundur beberapa langkah dan berdiri di balik daun pintu serta berlagak mengangkat sebuah cangkir dan pura-pura minum.
"Mengganggu Wi-lo-cian-pwe pada saat demikian, sungguh tidak pantas, " kata si lelaki baju hijau.
"Tidak apa, " ujar Wi-ho Lo-jin."Siapakah nama adik yang terhormat?"
"Cai-he Ih-Wan-hui, berjuluk si tulang besi, Pok-Hong-tai dari Soa-sai adalah guruku."
"Oo, kiranya adik ini murid Pok-tai-hiap. Gurumu terkenal berjiwa luhur dan berhati baik, hal ini sama dikagumi setiap orang persilatan. Dahulu pernah beberapa kali bertemu dengan gurumu. Entah ada urusan apa adik mencari diriku sekarang?"
"Aku dengar tabib sakti dunia persilatan Sai-hoa-to (si duplikat Hoa-To) Sim-Tiong-ho mengasingkan diri di sekitar Wi-ho-lau sini, entah Wi-lo-cian-pwe tahu tidak tempat tinggalnya?"
"Eh, ada urusan apa adik mencari Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho?"
"Soalnya beberapa tahun yang lalu, dalam perjalanan ke arah selatan yang masih liar, sungguh sial guruku ketularan penyakit beracun sehingga sekarang masih terbaring dan belum sembuh. Konon Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho mahir mengobati penyakit darah panas, maka sengaja aku datang mengundangnya untuk mengobati guruku. Bila Wi-lo-cian-pwe tahu tempat tinggal, tolong memberi tahu padaku, sungguh Cai-he akan sangat berterima kasih."
"O, kiranya begitu. Apabila Lau-te (adik) ingin bertemu dengan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, mungkin perlu kau tunggu lagi satu dua hari ..."
"Mengapa harus tunggu lagi satu-dua hari?"
"Kau tahu, watak Sim-lo-ji (Sim tua) sangat aneh, suka menyendiri, meski dia tinggal di sekitar sini namun alamatnya yang jelas juga tidak aku ketahui. Cuma ..."
"Cuma apa?"
"Sim tua juga sering minum teh di sini, bila Lau-te datang kemari besok atau lusa mungkin akan dapat bertemu dengan dia."
"Apakah hari ini dia takkan datang kemari."
"Ya, biasanya tiga atau lima hari dia datang sekali, kemarin dulu dia baru datang ke sini, maka paling cepat besok atau lusa baru datang lagi."
"Jika begitu ..."
"Malam ini Lau-te boleh bermalam dulu di kota, coba datang lagi besok. Jika Lau-te ada urusan lain, silakan meninggalkan alamatmu, bila Sim tua datang, segera aku kirim kabar kepadamu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ah, biarlah besok saja aku datang lagi."
"Boleh juga. Hari ini aku pun harus mengurus jenazah Su-Jit dan tidak dapat melayani Lau-te, sungguh kurang hormat."
"Tidak apa, banyak terima kasih atas petunjuk Wi-lo-cian-pwe, biarlah aku mohon diri saja sekarang."
Bicara sampai di sini, si baju hijau lantas memberi hormat kepada Wi-ho Lo-jin dan memutar tubuh serta lewat di sisi Su-Jit serta meninggalkan Bu-lim-teh-co.
Su-Jit ikut keluar rumah minum dan mengawasi kepergian orang hingga jauh, lalu ia masuk lagi ke dalam, dilihatnya Wi-ho Lo-jin masih berada di serambi, segera ia mendekatinya sambil menyapa dengan tertawa, "Paman Wi, ucapan si pembunuh itu sudah aku dengar seluruhnya."
"Tampaknya kamu berubah pendirian?" ujar Wi-ho Lo-jin dengan tertawa.
Su-Jit mengangguk, "Ya, jika dia ingin mencari Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, biarlah sementara ini tidak perlu aku buntuti dia."
"Kau lihat dia murid Ban-hoa-to Pok-Hong-tai atau bukan?"
"Tentu saja bukan, " jengek Su-Jit."Tapi dia mencari Sai-hoa-to memang tidak dusta."
Wi-ho Lo-jin tersenyum."Aku tahu kau dengarkan di belakang pintu tadi, juga tahu pendirianmu pasti akan berubah setelah mendengar ceritanya. Sekarang kau keluar lagi sana, akan aku tunggu di pintu belakang, mari kita pergi bersama mencari Sim tua."
Su-Jit mengiakan dan segera keluar melalui pintu depan rumah minum itu, lalu mengitari ke pintu belakang. Wi-ho Lo-jin memang sudah menunggu di situ. Keduanya lantas berangkat ke Wi-go-san dengan langkah cepat.
Wi-go-san umumnya dikenal sebagai Coa-san alias gunung ular, diberi nama ini karena lereng pegunungan itu membentang panjang serupa ular, di bawah gunung terletak sungai Yang-tse dan di tepi sungai berdiri Wi-ho-lau dengan megahnya yang terletak di pangkal gunung. Jalan yang di ambil kedua orang itu justru bagian ekor dari pegunungan itu.
Setelah melintas lereng gunung dan menyusur hutan beberapa li jauhnya, akhirnya kedua orang itu sampai di depan sebuah rumah gubuk di tepi sungai.
Rumah gubuk itu sudah tua dan bobrok, tapi pemandangan sekitarnya yang indah menandakan penghuni rumah gubuk itu pasti bukan manusia biasa.
Saat itu, tidak jauh di depan rumah gubuk itu terdapat seorang kakek berbaju rombeng sedang berjongkok di tepi sungai, agaknya asyik mengail.
Ketika mendengar suara langkah orang, kakek itu berpaling, demi melihat Wi-ho Lo-jin, kakek itu berseru perlahan, "Aha tumben! Angin apakah yang membawa Wi-ho Lo-jin ke sini?"
Meski nadanya rada jenaka, namun air mukanya kaku, sekali pandang saja akan tahu kakek ini pasti seorang yang berwatak ketus dan angkuh. Wi-ho Lo-jin tergelak, katanya, "Haha, tidak ada urusan tentu tidak masuk istana. Sim tua, hendaknya simpan dulu pancingmu."
Kiranya si kakek inilah tabib sakti dunia persilatan, si duplikat Hoa-To (seorang tabib maha sakti di jaman Sam-Kok) Sim-Tiong-ho.
Dia tidak mengangkat pancingnya seperti di minta Wi-ho Lo-jin, ia cuma tersenyum hambar dan menjawab, "Ada urusan apa kan sama saja dibicarakan di sini."
"Boleh juga." ucap Wi-ho Lo-jin, bersama Su-Jit mereka lantas mendekat ke sana.
Su-Jit memberi hormat kepada Sim-Tiong-ho sambil menyapa, "Sim-lo-cian-pwe, terimalah hormatku."
Mestinya Sim-Tiong-ho telah menoleh kembali ke sana untuk memeriksa pancingnya, demi mendengar ucapan Su-Jit, agaknya merasa di luar dugaan, ia berpaling dan memandang Su-Jit dengan heran, katanya, "Eh, rasanya sudah aku kenal suaramu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Coba ingat ingat, mirip siapa suaranya?" tanya Wi-ho Lo-jin.
Sai-hoa-to diam sejenak, tiba-tiba ia berseru, "Aha, ingat sekarang. Kamu mirip Su-Jit si pelayan rumah minum itu."
"Betul, " tukas Wi-ho Lo-jin dengan tertawa."Dia memang Su-Jit yang sering kau puji dan pernah ada maksudmu menerimanya sebagai ahli-warismu."
"Haah!" Sai-hoa-to melengak dan bersuara heran, "mengapa dia menyamar begini?"
"Ceritanya panjang." ujar Wi-ho Lo-jin."Apa bila Sim tua mau mengorbankan beberapa kali arak, bagaimana kalau kita bicara sambil makan di rumahmu?"
Dengan suka ria Sai-hoa-to menyatakan setuju, ia angkat alat pancingnya dan berkata, "Mari, siang tadi aku masak tiga ekor belut dan belum habis aku makan, kebetulan dapat kita gunakan sebagai teman minum arak."
Ke tiga orang lantas masuk ke rumah gubuk, Sai-hoa-to mengeluarkan arak dan santapan yang tersedia serta menyilakan duduk Wi-ho Lo-jin dan Su-Jit, sembari makan minum ke tiga orang lantas asyik mengobrol.
"Teringat pada tiga bulan yang lalu waktu anak Su-Jit ini baru datang di Bu-lim-teh-co ..." demikian Wi-ho Lo-jin mulai bicara dan diseling dengan minum seteguk arak, lalu menyambung sambil menatap Sai-hoa-to dengan tertawa, "ketika itu Sim tua pernah bilang anak ini sangat berbakat dan menyatakan sayang anak ini sampai bekerja sebagai pelayan, betul tidak?"
Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho mengangguk "Betul! Memangnya aku salah lihat?"
Wi-ho Lo-jin tidak menjawab, ia meneruskan ucapannya, "Kemudian, kau katakan pula bilamana aku berkenan, kau mau menerima dia sebagai murid, betul tidak?"
"Betul, dan sekarang engkau setuju?" Sai-ho-to menegas.
"Tidak, " Wi-ho Lo-jin menggeleng dengan tertawa."Hari ini hendak aku katakan terus terang padamu, Su-Jit si anak ini memang sudah menguasai kung-fu yang bagus."
Seketika Sai-hoa-to merasa kurang senang, dengusnya, "Hm, jika begitu, mengapa tidak kau katakan sejak dulu?"
"Waktu itu, berhubung sesuatu alasan, tidak leluasa aku beri tahu kan duduknya perkara, dan sekarang sudah boleh, " ujar Wi-ho Lo-jin.
"Yang jelas gurunya bukan dirimu toh?" ucap Sai-hoa-to dengan hambar.
"Memang bukan, gurunya ialah Kiam-ho Lok-Cing-hui, " jawab Wi-ho Lo-jin.
Kiam-ho Lok-Cing-hui, si jago pedang sakti terhitung tokoh dunia persilatan nomor dua pada jaman ini, tergolong tokoh sakti yang jarang ada bandingannya, biarpun watak Sai-hoa-to biasanya dingin dan angkuh, tidak urung ia terkejut juga oleh keterangan Wi-ho Lo-jin itu, serunya dengan terbelalak, "Oo, jadi anak ini murid Kiam-ho Lok-Cing-hui?"
"Betul, aslinya bernama Su-Kiam-eng!" tutur Wi-ho Lo-jin dengan tertawa.
Dengan tercengang Sai-hoa-to memandangi Su-Kiam-eng, kemudian pandangannya beralih pada wajah Wi-ho Lo-jin, tanyanya dengan tidak mengerti, "Lantas, sebab apa Kiam-ho Lok-Cing-hui menyuruh muridnya bekerja sebagai pelayan rumah minum?"
"Yang menjadi pelayan adalah Su-Jit dan bukan Su-Kiam-eng!" kata Wi-ho Lo-jin.
Segera Sai-hoa-to paham maksudnya, kembali ia pandang Su-Kiam-eng dan bertanya, "Apa maksud tujuan gurumu menyuruhmu menjadi pelayan rumah minum?"
"Mencari seorang Su-heng, " Jawab Su-Jit alias Su-Kiam-eng.
"Ada seorang su-heng mu kehilangan jejak?" Sai-hoa-to menegas.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul, " Su-Kiam-eng mengangguk."Su-heng bernama Gak-Sik-lam, tiga tahun yang lalu atas perintah su-hu menuju ke daerah liar di selatan untuk mencari sejenis bahan obat, yaitu Jian-lian-hok-leng (bahan obat berumur ribuan tahun) ..."
Sampai di sini ia merandek sejenak, dengan tersenyum kemudian meneruskan, "Sim-lo-cian-pwe adalah tabib sakti dunia persilatan yang tiada bandingannya, tentu engkau tahu khasiat Jian-lian-hok-leng."
"Ya, jian-lian-hok-leng adalah benda mestika yang sukar dicari" ucap Sai-hoa-to. Jika bahan obat mujarab itu diminum orang yang belajar ilmu silat, maka kekuatannya akan bertambah sekali lipat.
Padahal lwe-kang gurumu jelas sudah mencapai puncaknya, untuk apa lagi mencari bahan obat itu?"
"Bukan maksud su-hu hendak menggunakan obat itu untuk menambah tenaga melainkan hendak digunakan sebagai campuran obat untuk menyembuhkan daya ingat seorang nona, " tutur Su-Kiam-eng.
"Oo, memulihkan daya ingatan?" Sai-hoa-to menegas dengan tercengang.
"Betul, " sahut Su-Kiam-eng."Apakah Sim-lo-cian-pwe masih ingat peristiwa malapetaka yang menimpa ke-18 tokoh bu-lim di Hwe-liong-kok lima tahun yang lampau itu?"
"Masih ingat. Tahun itu ke-18 tokoh bu-lim sekaligus dibunuh orang secara keji di Hwe-liong-kok, tapi siapa pengganasnya justru tidak diketahui dan sampai kini masih tetap merupakan perkara buntu yang belum terpecahkan. Memangnya nona yang kau katakan itu ada sangkut-paut apa dengan peristiwa berdarah di Hwe-liong-kok?"
"Nona ini adalah putri salah seorang dari ke-18 tokoh bu-lim yang terbunuh itu, yaitu putri Bu-tek-sin-pian (si ruyung sakti tanpa tandingan) In-Giok-san, namanya In-Ang-bi, usianya sekarang 18 tahun, tapi pada lima tahun yang lampau, setelah ayahnya tertimpa nasib malang, daya ingatan nona In lantas terganggu dan sampai sekarang belum lagi sembuh."
"Mengapa dia bisa kehilangan daya ingatan?" tanya Sai-hoa-to.
"Entah, " jawab Su-Kiam-eng."Akan tetapi ketika terbunuhnya ke-18 tokoh Bu-lim di Hwe-liong-kok, diketahui nona In juga berada di sekitar lembah itu. Maka menurut pendapat guruku, jika daya ingat nona In dapat disembuhkan, bila jadi akan diketahui siapa pengganas di Hwe-liong-kok itu."
Sai-hoa-to mengangguk, "Ya, mungkin nona In itu menyaksikan sendiri ketika ayahnya terbunuh, saking sedih dan terguncang perasaannya sehingga kehilangan daya ingat. Tapi di antara tokoh yang tertimpa malang itu ada 12 orang pimpinan atau ketua berbagai aliran dan perguruan, jika ingin mengusut si pengganas, itu kan urusan berbagai aliran dan perguruan mereka, mengapa gurumu perlu mengirim suheng mu jauh-jauh ke daerah liar di selatan sana untuk mencari Jian-lian-hok-leng yang amat sukar ditemukan. Ini kan agak ..."
"Sebabnya guruku mau ikut campur urusan ini, " tukas Su-Kiam-eng dengan tertawa, "pertama, karena Bu-tek-sin-pian In-Giok-san adalah sahabat karib guruku. Kedua, banyak kawan Bu-lim menyatakan Kiam-ong (raja pedang) Ciong-Li-cin dan guruku adalah jago nomor satu, dan nomor dua dunia persilatan sekarang, adalah pantas bila mereka tampil ke muka untuk bantu mengusut siapa pembunuh itu. Namun Kiam-ong Ciong-Li-cin dikenal sebagai orang yang suka ketenangan dan tidak suka bergerak, maka guruku memutuskan tampil untuk ikut campur urusan ini.
"Ke tiga, kami guru dan murid sama berpendapat, apabila daya ingatan In Ang-bi dapat disembuhkan dan tetap tidak sanggup menerangkan siapa si pengganas di Hwe-liong-kok itu, hal ini pun tidak menjadi soal, yang penting kewarasan seorang nona dapat dipulihkan juga sesuatu amal kebaikan. Aku kira Sim-lo-cian-pwe pun sependapat dengan kami."
Habis berkata ia angkat poci dan menegak arak.
Muka Sai-hoa-to tampak merah, ia angkat bahu dan menjawab, "Mungkin kau benar. Coba teruskan lagi!"
Su-Kiam-eng menaruh kembali cangkir araknya dan menyambung, "Su-heng ku itu tahun ini berusia 32
tahun, sejak kecil hingga tiga tahun yang lalu ketika dia berangkat ke daerah selatan, selama itu ia gemar memelihara burung merpati, sering ia membawa burung dara piaraannya dalam perjalanannya dan dilepaskan dari tempat jauh agar burung-burung itu terbang pulang ke rumah. Ketika ia berangkat ke daerah liar di selatan itu dengan sendirinya kesempatan itu tidak di-sia-sia-kan, sekaligus ia bawa enam ekor burung dara piaraannya. Ia meninggalkan pesan, katanya bila menemukan Jian-lian-hok-leng, Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
lebih dulu ia akan mengirim berita melalui burung merpatinya."
Sampai di sini ia mengeluarkan dua helai kertas surat penuh bekas lipatan, lalu berumur pula, "Delapan bulan kemudian, melalui burung merpatinya kami menerima suratnya yang pertama.
Tapi surat ini ternyata bukan surat pertama yang ditulisnya melainkan surat ke tiga, atau dengan lain perkataan suratnya yang kedua dan ke tiga yang dikirim melalui merpatinya tidak kami terima, bisa jadi burung merpatinya tersesat di tengah jalan.
"Surat ke tiga ini tertulis demikian, 'Te-cu sudah tiba di Mo-pan-san, cuma sampai di sini Te-cu pun menghadapi jalan buntu. Tiga kuli pemikul yang aku sewa di Teng-ciong sama takut binatang pegunungan dan sama kabur di tengah malam, rangsum yang aku bawa juga sudah habis beberapa hari yang lalu, sekarang Te-cu hidup dari makan buah-buahan liar atau daging binatang. Cuaca di sini pun berubah tidak menentu, sebentar dingin lain saat panas, malam pun sukar pules. Mestinya Te-cu dapat putar balik, namun perjalanan sudah sejauh ini, sebelum menemukan Jian-lian-hok-leng rasanya tidak rela. Apalagi aku tahu Su-hu dan Su-te sedang menantikan kepulanganku dengan membawa Jian-lian-hok-leng, maka semoga Thian memberkahi agar selekasnya dapat aku temukan obat mujarab tersebut
..." "Dari surat itu barulah kami tahu Su-heng mengalami penderitaan di daerah liar itu dan setiap saat jiwanya bisa amblas. Selang sebulan pula, kembali kami menerima sepucuk suratnya. Tapi surat ini ada tanda 'enam', rupanya sebelum surat ke enam ini kembali ada dua ekor burung merpatinya tersesat pula dan tidak pernah pulang ke rumah.
"Surat ke-enam itu tertulis. 'Aku tahu tangan elmaut yang dingin itu tidak lama lagi akan meraba mukaku, pada detik terakhir ini harapanku hanya semoga peta bumi yang dibawa merpati ke-lima itu akan sampai di tangan Su-hu dengan selamat, dengan damikian Su-hu atau Kiam-eng akan tahu di mana letak Kim-sia, Kota Emas yang terpendam selama ribuan tahun ini sungguh megah dan cemerlang sehingga sukar untuk dipercaya di dunia ada bangunan sehebat ini. Di kota emas ini ada istana emas murni dan gedung megah yang dibangun dengan balok batu raksasa, yang paling berharga adalah ke 180 patung emas yang aku ceritakan dalam suratku yang ke lima, yaitu mengandung sejurus ilmu pedang yang tidak ada taranya. Sayang ajalku sudah dekat, sukar bagiku untuk mempelajarinya, semoga Su-hu atau Kiam-eng Su-te tidak lama lagi dapat datang kemari, dengan demikian jerih-payahku takkan tersia-sia dan mati pun aku akan tentram' ..."
Habis membaca isi surat, Su-Kiam-eng memandang Sai-hoa-to dengan tersenyum getir, katanya,
"Sekarang Sim-lo-cian-pwe tentu paham duduknya perkara."
Dengan penuh rasa heran Sai-hoa-to bertanya, "Jadi maksudmu di tengah hutan belukar di daerah selatan sana su-heng mu menemukan sebuah kota purba?"
"Begitulah, " Su-Kiam-eng mengangguk."Cuma sayang peta bumi yang dikirim melalui merpati ke-lima itu tidak pernah kami terima."
Makin menjadi rasa heran Sai-hoa-to, gumamnya sambil menatap Wi-ho Lo-jin, "Istana emas" 180
patung emas" Cara bagaimana menilai harta benda sebanyak itu" Apa lagi di dalam ke-180 patung emas itu tersembunyi pula sejurus ilmu pedang yang tiada taranya" Masya Allah!"
"Hm, tampaknya Sim tua juga tergelitik?" ucap Wi-ho Lo-jin dengan tersenyum.
"Mengapa tidak?" seru Sai-hoa-to bersemangat.
"Jika dapat membawa pulang emas sebanyak itu, bukankah akan lebih kaya daripada negara, bahkan dapat menjadi seorang ahli pedang tiada tandingan sejagat."
"Hm, biar aku beri tahukan padamu, " jengek Wi-ho Lo-jin."Saat ini sudah banyak tokoh dari berbagai kalangan yang berkepandaian jauh lebih tinggi daripada dirimu sedang mengincar kota emas itu, tokoh semacam Sim tua kalau ikut-ikutan hendak berebut harta karun, aku kira sama dengan mengantar kematian belaka."
"Oo, jadi rahasia ini sudah tersiar?" Sai-hoa-to menegas dengan air muka berubah.
Wi-ho Lo-jin mengangguk, katanya kepada Su-Kiam-eng, "Coba ceritakan lanjutannya, nak!"
Su-Kiam-eng menghela napas perlahan ucapnya, "Setelah kami menerima surat terakhir su-heng itu, sungguh rasa cemas kami sukar dilukiskan, tapi lantaran kami tidak tahu persis tempat su-heng Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menghadapi bahaya, pula dari nada isi suratnya, agaknya dia sudah tiba sampai di titik yang sukar dipertahankan lagi, jangankan dalam waktu singkat tidak mungkin kami menuju ke Mo-pan-san yang terletak beribu li jauhnya, seumpama dapat mencapai tempatnya juga sukar menemukan su-heng di tengah hutan belukar seluas itu. Sebab itulah terhadap nasib su-heng yang sedang menghadapi maut itu terpaksa aku tidak mampu berbuat apa pun.
"Dengan sendirinya pernah aku mohon agar Su-hu mengizinkanku pergi ke Mo-pan-san untuk mencari su-heng, waktu itu su-hu pun bermaksud meluluskan, tapi pada saat itu juga tiba-tiba kami dengar ada orang menemukan sepotong Jian-lian-ho-siu-oh (bahan obat Ho-siu-oh berumur ribuan tahun) di Tong-pek-san, su-hu menganggap Ho-siu-oh sebagus itu juga dapat menyembuhkan penyakit In-Ang-bi, maka su-hu lantas mengajak wan-pwe menuju ke sana. Siapa tahu setiba di Tong-pek-san, baru diketahui berita tentang ditemukannya Ho-siu-oh itu cuma isyu belaka, tentu saja kami sangat kecewa. Lantaran itu kami telah membuang waktu tiga bulan dengan percuma, maka su-hu lantas mengutamakan menyuruh wan-pwe mencari jejak su-heng di Mo-pan-san sekaligus juga mencari Jian-lian-hok-leng.
Akan tetapi ketika kami pulang dari Tong-pek-san, sampai di rumah kami justru menemukan sesuatu peristiwa aneh."
"Peristiwa aneh apa?" cepat Sai-hoa-to menegas.
"Kami menemukan tulisan yang ditulis su-heng di dinding kediaman kami."
"Hah, maksudmu su-heng mu tidak meninggal?" seru Sai-hoa-to.
"Betul, " tutur Su-Kiam-eng dengan prihatin."Cuma tulisan di dinding itu bukan tulisan tangan su-heng melainkan diuraikan oleh su-heng dan ditulis oleh seorang perempuan."
"Oo, jadi tulisan itu palsu?" tanya Sai-hoa-to.
"Tidak palsu, meski tulisan di dinding itu bukan ditulis sendiri oleh su-heng, namun pada akhir tulisan itu ada kode istimewa, kode itu hanya diketahui oleh kami bertiga antara guru dan murid. Sebab itulah dapat dipastikan tulisan itu asli diuraikan oleh su-heng dan ditulis oleh seorang lain."
"Mengapa su-heng mu tidak menulis sendiri?" tanya Sai-hoa-to.
"Sebab su-heng sudah berubah menjadi seorang cacat buntung kaki dan tangan!"
"Hahh, mengapa bisa begitu?"
"Begini bunyi tulisan di dinding itu. 'Su-hu tentu tidak menyangka te-cu dapat pulang ke rumah dengan hidup" Ya, bilamana tidak ditolong oleh Kalana yang berbudi, tentu te-cu sudah terkubur di tengah hutan belukar daerah liar sana. Hari ini, dengan penuh rasa gembira te-cu dapat pulang kemari, namun ternyata Su-hu dan Kiam-eng Su-te tidak berada lagi di sini, aku yakin kalian pasti menerima surat dan peta bumi yang aku kirim pulang itu dan sekarang telah berangkat ke sana untuk mencari ... bukan"' ..."
"Mencari apa lanjutannya?" tanya Sai-hoa-to.
"Dengan sendirinya Kota Emas yang dimaksud, cuma kedua huruf itu sudah dihapus orang!"
"Oo, siapa yang menghapusnya!"
"Entah. Pada akhir tulisan su-heng itu diberi tanggal 28 bulan 11, sedangkan kami pulang sampai di rumah adalah tanggal 2 bulan 12. Itu berarti empat hari sesudah su-heng meninggalkan tulisan itu kami lantas sampai di rumah juga. Dan di dalam empat hari itu pasti ada orang persilatan masuk juga tempat hunian kami dan menghapus kata-kata yang penting pada tulisan su-heng itu. Apa yang diperbuat orang itu tentunya sengaja membuat kami guru dan murid tidak tahu bahwa su-heng menemukan kota emas dengan harta karunnya."
"Hm, jika begitu, peta bumi yang dikirim su-heng mu itu pasti telah didapatkan oleh orang itu."
"Ya, aku pun berpikir begitu."
"Apakah cuma begitu saja tulisan di dinding itu?"
"Tidak, ada lanjutannya, begini tulisnya 'Sungguh bagus sekali, asalkan kalian mencarinya menurut peta, pasti ... itu akan ditemukan dan juga Jian-lian-hok-leng yang te-cu simpan di ... itu, dengan demikian tidak sia-sia pengalaman pahit te-cu.'"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Su-hu, bilamana engkau dan Kiam-eng pulang dari ... dan membaca tulisan di dinding ini, tentu kalian akan merasakan tulisan ini bukan tulisan tangan te-cu. Memang betul, tulisan ini memang ditulis oleh Kalana, yaitu lantaran sesuatu sebab, te-cu kini sudah berubah menjadi orang cacat buntung tangan dan kaki, karena itulah te-cu sudah putus asa, tapi lantaran cinta Kalana yang teguh dan murni membuat te-cu tidak sanggup meninggalkan dia, maka selanjutnya te-cu akan menyambung sisa hidup di bawah perawatan Kalana."
"Untung juga ... yang kami bawa dari ... ini rasanya cukup untuk bekal selama hidup kami. Tentu Su-hu sangat ingin tahu sebab musabab cacatnya te-cu. Namun te-cu tidak ingin memberi tahukan hal ikhwal ini, pula te-cu tidak ingin bertemu lagi dengan kalian, Kalana sudah memutuskan akan membawa te-cu mengasingkan diri ke suatu tempat yang terpencil, harap Su-hu menganggap te-cu sudah meninggal saja!' ..."
Sampai di sini tanpa terasa air mata Su-Kiam-eng bercucuran, duka luar biasa.
"Sudah habis?" tanya Sai-hoa-to.
"Ya, cuma sekian, " Kiam-eng mengangguk.
"Dan kamu lantas mulai mencari su-heng mu Gak-Sik-lam ke mana-mana?"
Kembali Kiam-eng mengangguk, "Ya, sebab pada hakikatnya kami tidak pernah menerima peta bumi yang dikirim su-heng itu, dengan sendirinya kami pun tidak mampu menemukan kota emas itu, sebab itulah wan-pwe bertekad menemukan kembali su-heng, dengan sendirinya tujuan kami bukan mengenal kota emas dan ilmu pedang sakti, kami cuma menghendaki Jian-lian-hok-leng yang ditinggalkan su-heng di kota emas itu. Kami menganggap membuat pulih kesehatan In-Ang-bi jauh lebih berharga dari pada mendapatkan kota emas itu."
Sai-hoa-to manggut-manggut, katanya dengan gegetun, "Ya jiwa luhur kalian guru dan murid sungguh membuatku malu dan juga kagum. Tapi kedatangan Su-lau-te menemuiku ini, jika maksudmu meminta aku obati penyakit anak perempuan itu maaf, terpaksa harus aku katakan aku pun tidak sanggup. Sebab seperti apa yang dikatakan gurumu, penyakit anak perempuan hanya dapat disembuhkan dengan obat campuran Jian-lian-hok-leng atau Ho-siu-oh."
"Eh, jangan terburu-buru, Sim tua, " tukas Wi-ho Lo-jin dengan tertawa. "Yang diminta adalah bantuanmu untuk mencari su-heng nya dan bukan minta tolong mengobati anak perempuan she In itu."
Sai-hoa-to melengak, "Minta bantuanku mencari su-heng nya?"
"Betul, entah sebab apa, misteri tentang su-heng nya menemukan kota emas di tengah rimba purba dan pulangnya dia ke Tiong-goan mulai diketahui orang luar. Karena itulah banyak tokoh dari berbagai kalangan lama ingin mencari su-heng nya dan memaksa dia menceritakan di mana letak kota emas.
Malahan melihat gelagat akhir-akhir ini, sangat mungkin su-heng nya telah jatuh dalam cengkeraman seorang tokoh tertentu ..."
"Tapi aku kau tidak tahu su-heng nya berada dalam cengkeraman siapa, cara bagaimana dapat aku bantu dia?" ujar Sai-hoa-to dengan bingung.
"Sim tua, engkau dapat membantunya, jika mau cukup engkau mengangguk saja, " ujar Wi-ho Lo-jin dengan tersenyum.


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

****** Lewat lohor esoknya, Bu-lim-teh-co yang terletak di depan Wi-ho-lau itu kembali ramai lagi serupa rumah minum yang lain.
Satu-satunya perbedaan antara Bu-lim-teh-co dengan rumah minum lain adalah tamu Bu-lim-teh-co kebanyakan terdiri dari tokoh bu-lim, maka langganan tetap tidak banyak, yang masuk keluar hampir seluruhnya berwajah asing.
Akan tetapi dalam pandangan pelayannya hari ini justru ada sebuah wajah yang cukup dikenalnya. Dia bukan lain daripada orang yang kemarin juga datang minum, orang yang membunuh Su-Jit dengan jarum berbisa, kemudian mencari keterangan alamat Sai-hoa-to kepada Wi-ho Lo-jin dan mengaku sebagai murid Ban-hoa-to Pok-Hong-tai serta memperkenalkan namanya sebagai Ih-Wan-hui itu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Pagi-pagi dia sudah datang di Bu-lim-teh-co, setelah tegur sapa dengan Wi-ho Lo-jin segera ia ambil tempat duduk di suatu sudut sana dan berlangsung sampai sekarang.
Wi-ho Lo-jin sendiri, seperti biasa, setelah tidur siang, kembali ia muncul lagi di ruang depan rumah minumnya serta menegur sapa dengan kawan bu-lim yang menjadi langganannya. Akhirnya ia mendekati Ih-Wan-hui yang berjuluk Thi-kut alias tulang besi, tanyanya dengan tertawa, "Apakah sudah makan siang?"
Ih-Wan-hui menjawab dengan hormat, "Sudah, tentu Wi-lo-cian-pwe juga sudah makan."
Wi-ho Lo-jin mengangguk, ia pandang keluar rumah minum, katanya, "Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho yang kau tunggu itu biasanya muncul pada waktu seperti sekarang ini, bilamana sebentar lagi tidak datang ...
aha, itu dia, baru datang ... Lihat, itu orang tua yang berbaju tambalan itu."
Benar juga, si tabib sakti Sim-Tiong-ho saat memang sedang memasuki rumah minum. Ia seperti sudah mempunyai tempat duduk yang tetap, begitu masuk langsung ia menuju ke sebuah meja yang terletak bagian dalam di sebelah kanan.
Cepat Wi-ho Lo-jin berseru, "Hei, Sim tua, duduklah kemari!"
Sai-hoa-to berpaling dan bertanya, "Ada urusan apa?"
Wi-ho Lo-jin menuding Ih-Wan-hui yang duduk bersamanya, "Ih-lau-te ini hendak mencarimu, dia sudah menunggu sejak kemarin."
Sai-hoa-to memandang Ih-Wan-hui sekejap, lalu mendekat sambil menanggalkan caping dan ditaruh di atas meja, dipandangnya pula Ih-Wan-hui, lalu memandang juga Wi-ho Lo-jin, tanyanya, "Ada urusan apa mencari diriku?"
Lebih dulu Wi-ho Lo-jin memperkenalkan mereka berdua, lalu berkata kepada Sai-hoa-to, "Menurut cerita Ih-lau-te ini, gurunya Pok-tai-hiap, terserang penyakit gas racun, maka hendak minta pertolonganmu untuk mengobatinya, sejak kemarin ..."
"Tidak, letak Soa-sai terlalu jauh, aku tidak dapat pergi ke sana, " potong Sai-hoa-to sebelum ucapan Wi-ho berakhir.
"Eh, biasanya Sim tua terkenal lebih unggul daripada tabib lain, baik ilmu pertabiban maupun cara pelayanannya. Mengapa sekarang kau tolak menolong orang?" ujar Wi-ho Lo-jin.
Dengan santai Sai-hoa-to menjawab, "Letak Soa-sai hampir ribuan li jauhnya, pergi-pulang sedikitnya diperlukan waktu sebulan. Coba pikir, dalam waktu sebulan bukankah dapat aku tolong orang sakit terlebih banyak di sini?"
"Sin-lo-cian-pwe, " mohon Ih-Wan-hui dengan sangat, "kedatanganku dari jauh ini, bila tidak berhasil mengundang Sim-lo-cian-pwe ke sana, sungguh Cai-he malu untuk pulang lagi ke rumah. Maka sedapatnya mohon Sim-lo-cian-pwe suka mengingat sedikit kebaktianku terhadap guru ini, apa pun juga mohon Sun-lo-cian-pwe sudi berangkat ke Soa-sai untuk mengobati penyakit guruku, sungguh budi kebaikanmu tentu takkan kami lupakan, tentang biaya pasti juga akan kami tanggung sepenuhnya."
Sai-hoa-to melirik Wi-ho Lo-jin sekejap, katanya kemudian, "Ehmm, umpama dapat aku sembuhkan penyakit gurumu, kira-kira kau berani bayar berapa?"
"Silakan Lo-cian-pwe menyebutkan saja jumlahnya, " kata Ih-Wan-hui.
"Ucapanmu agak kurang jelas, " ujar Sai-hoa-to. "Lebih baik kita pastikan saja honorarium yang harus kau bayar."
"Jika begitu, hendaknya Sim-lo-cian-pwe jangan sungkan, silakan mengatakan jumlahnya, " kata Ih-Wan-hui.
"Coba katakan dulu, gurumu terkena penyakit gas racun apa?" tanya Sai-hoa-to.
"Hal ini pernah kami minta keterangan beberapa tabib setempat, ada yang bilang racun ini dan ada yang mengatakan racun itu, tapi obat yang diberikan tidak ada yang manjur. Sebab itulah sesungguhnya terkena gas racun apa sukar untuk aku katakan."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sai-hoa-to manggut-manggut dan berpikir sejenak, aku tanya kemudian, "Wah, tentu gas racun yang sangat lihai. Begini saja, gurumu juga tokoh bu-lim yang dihormat dan disegani, mengingat sesama kaum, biarlah aku hitung agak ringan, boleh kalian bayar saja seribu tahil perak."
"Baik, " jawab Ih-Wan-hui tanpa ragu sedikitpun, "asalkan penyakit guruku dapat disembuhkan, biarpun tambah lagi sedikit juga tidak menjadi soal."
"Dan, dari jumlah tersebut harus dibayar separuh lebih dulu, " sambung Sai-hoa-to.
Segera Ih-Wan-hui mengeluarkan lima potong emas murni dan disodorkan kepada Sai-hoa-to, katanya,
"Ke lima potong emas ini kalau di nilai dengan perak tepat berjumlah 500 tahil, harap lo-cian-pwe menerimanya."
Tanpa sungkan Sai-hoa-to menerima ke lima potong emas itu dan disimpan dalam baju, lalu ia tanya pelayan yang datang menuang teh, "Li-Hok, mengapa hari ini tidak aku lihat bocah Su-Jit itu?"
"Kiranya Sim-lo-ya-cu belum tahu, Su-Jit sudah mati dianiaya orang kemarin, " tutur si pelayan bernama Li-Hok dengan sedih.
"Hahh, apa betul?" seru Sai-hoa-to kaget dan memandang Wi-ho Lo-jin.
"Betul, " jawab Wi-ho Lo-jin dengan menghela napas duka. "Begini peristiwanya ..."
Lalu ia ceritakan apa yang terjadi kemarin.
Sai-hoa-to menggeleng kepala penuh penyesalan, ucapnya, "Ini namanya penyakit masuk melalui mulut, petaka timbul dari mulut. Jika kalian dapat meniru diriku, setiap hari selain mengobati orang dan mencari duit, terhadap urusan lain tidak perlu tahu, kan segalanya menjadi aman tentram?"
Tampaknya Ih-Wan-hui tidak tertarik untuk membicarakan kejadian kemarin, segera ia menukas, "Sim-lo-cian-pwe, ada suatu permohonanku yang kurang pantas ..."
"Urusan apa?" potong Sai-Hoa-To.
"Penyakit guruku terasa sudah gawat, apakah lo-cian-pwe sudi segera berangkat bersamaku?"
Sai-hoa-to tertawa, "Paling cepat kan juga perlu tunggu selesai aku minum teh dulu?"
Ih-Wan-hui tidak berani banyak omong lagi, ia mengangguk, "Ya, tentunya lo-cian-pwe juga perlu pulang dulu untuk bebenah."
"Tidak perlu, sepanjang tahun selalu beginilah pakaianku, bilamana mengobati orang juga aku laksanakan di tempat, obat kan terdapat di mana-mana, maka tidak pernah aku bawa peti obat segala."
Segera Wi-ho Lo-jin menukas, "Begitulah tabib sakti kita ini memang punya kepandaian sejati, sama sekali berbeda daripada tukang obat dunia kang-ouw umumnya, untuk ini Ih-lau-te tidak perlu kuatir."
"Betul, " sambung Ih-Wan-hui, "sudah sering aku dengar Sim-lo-cian-pwe sanggup menghidupkan orang mati, terlebih dalam hal mengobati keracunan bahkan sukar ada tandingannya ..."
Sampai di sini, ia pandang Sai-hoa-to dan bertanya, "Apakah waktu muda Lo-cian-pwe dahulu pernah mengunjungi daerah selatan yang masih liar itu?"
Sai-hoa-to mengangguk, jawabnya dengan pongah, "Ya, malahan pernah aku tinggal di sana selama sepuluh tahun hingga cukup memahami segala macam gas racun."
"Wah, dapatkah Lo-cian-pwe memberi sedikit petunjuk, sesungguhnya gas racun itu benda macam apa?"
tanya Ih-Wan-hui dengan rasa kagum.
Sai-hoa-to minum teh seceguk, lalu bertutur, "Gas racun artinya hawa beracun sangat banyak ragamnya dan kebanyakan ditemui di hutan belukar daerah panas. Dari berbagai macam gas racun itu terbagi pula gas racun berwujud dan tidak berwujud. Yang berwujud dapat berbentuk serupa kabut atau mega, yang tidak berwujud adalah sejenis bau busuk atau bau harum yang tersebar di udara dan menyerang orang tanpa dapat dijaga. Ada lagi sejenis gas racun maha lihai, ketika mula-mula berjangkit di tengah hutan belukar akan terpancar cahaya emas dan tersebar di udara bagai hujan, lalu tercerai-berai dan memancarkan cahaya aneka warna dengan bau harum merangsang, barang siapa mencium bau harum Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
itu seketika akan keracunan, kalau berat bisa binasa seketika."
Ih-Wan-hui tampak sangat kagum oleh cerita tabib sakti itu, tanyanya pula, "Gas racun seperti apa yang digambarkan Lo-cian-pwe itu apakah tidak dapat ditangkal dengan obat?"
"Dapat, " jawab Sai-hoa-to. "Dahulu waktu aku tinggal di daerah selatan, pernah juga aku buat beberapa macam pil penangkal gas racun. Cuma obat ini hanya berguna bagi orang yang kenal berbagai jenis gas racun itu, bagi orang yang tidak tahu, biarpun aku beri obat penangkal racun itu juga percuma, sebab jenis gas racun itu tidak kau kenal, tentu kau pun tidak tahu harus menggunakan obat penangkal yang mana maka kendati kau bawa obat penangkalnya juga sama saja seperti tidak ada."
"Minum saja satu biji setiap macam obat penangkal itu, kan jadi?" kata Ih-Wan-hui.
"Hm, enak saja kau bicara, " jengek Sai-Hoa-To.
"Setiap macam obat penangkal racun adalah obat berkadar keras, bila diminum seperti gagasanmu itu, sebelum kau mati kena gas racun sudah mati lebih dulu keracunan obat yang kau minum itu."
Ih-Wan-hui menjulurkan lidah, katanya, "O, kiranya demikian, Cai-he memang tidak paham soal obat-obatan, kalau tidak ada penjelasan Lo-cian-pwe sekarang, bisa jadi ... Eh, lo-cian-pwe, aku kira kira dapat berangkat sekarang?"'
Sai-hoa-to menghabiskan isi mangkuknya, ia ambil capingnya dan dipakai, lalu berbangkit dan berkata,
"Baik mari berangkat!"
Segera Ih-Wan-hui mengucapkan terima kasih kepada Wi-ho Lo-jin dan membayarkan rekening minum Sai-hoa-to, habis itu baru mereka meninggalkan Bu-lim-teh-co.
Setelah meninggalkan rumah minum itu, segera Sai-hoa-to bertanya, "Ih-lau-te, cara bagaimana perjalanan kita ke Soa-sai ini?"
"Apakah Lo-cian-pwe biasa naik kuda?" tanya Ih-Wan-hui.
"Boleh juga, naik kuda akan jauh lebih enak daripada berjalan kaki, " ujar Sai-hoa-to.
"Jika begitu, setelah kita menyebrang sungai segera kita membeli kuda, " kata Ih-Wan-hui.
Begitulah sambil bicara mereka terus meninggalkan Wi-go-san, setelah beberapa li menuju ke utara, sampailah mereka di suatu jalan sunyi. Tiba-tiba Ih-Wan-hui menuding hutan tidak jauh di sebelah kiri sana dan berkata, "Lo-cian-pwe, marilah kita istirahat dulu di hutan sana."
"Hei, usiamu baru 40-an, terkenal sebagai murid Pok-Hong-tai yang disegani itu, mengapa baru menempuh perjalanan sekian jauh lantas merasa lelah?" tanya Sai-hoa-to.
"Ah, bukan lantaran lelah melainkan kemarin malam aku mondok di kelenteng bobrok dalam hutan sana, ada sesuatu barangku tertinggal di sana dan sekarang hendak aku ambil, " tutur Ih-Wan-hui jangan tertawa.
"Jika begitu, bolehlah sekalian kita istirahat dulu baru lewat lohor, panas sinar matahari memang menyengat, " Sai-hoa-to menyatakan setuju.
Masuk ke dalam hutan, benar juga terlihat sebuah biara bobrok, segera Ih-Wan-hui mendahului masuk ke situ, dari bawah meja sembahyang dikeluarkannya sebuah bungkusan. Lalu duduk di lantai, mengeluarkan handuk untuk mengusap keringat yang membasahi dahinya.
"Lo-cian-pwe tidak tampak berkeringat, suatu bukti memiliki lwe-kang luar biasa sungguh sangat mengagumkan, " katanya dengan tertawa.
Sai-hoa-to ikut duduk di lantai, jawabnya dengan tersenyum, "Ah, tidak berkeringat bukan lantaran lwekang ku tinggi melainkan karena ketenangan batin menjadi tubuh pun sejuk."
"Apakah dahulu Lo-cian-pwe pernah bertemu dengan guruku?" tanya Thi-kut Ih-Wan-hui, si tulang besi.
Sai-hoa-to menggeleng, "Belum pernah bertemu. Nama kebesaran gurumu sudah lama aku dengar, cuma sayang tidak sempat berkenalan langsung."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Ih-Wan-hui memandang kanan-kiri beberapa kejap tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Ada suatu urusan hendak aku katakan terus terang, mohon nanti Lo-cian-pwe jangan marah."
"Oo, urusan apa?" Sai-hoa-to menegas dengan terbelalak.
"Begini, " ucap Ih-Wan-hui dengan tersenyum, "sesungguhnya cai-he bukan murid Ban-hoa-to Pok-Hong-tai dari Soa-sai, apa yang aku katakan di rumah minum itu semuanya cuma karangan belaka."
Seketika berubah air muka Sai-hoa-to dan serentak ia berdiri, katanya, "0, kiranya begitu. Memangnya antara kita pernah ada sesuatu sengketa?"
"Tidak pernah, hendaknya Sim-lo-cian-pwe jangan salah paham, " sahut Ih-Wan-hui sambil goyang-goyang kedua tangan.
"Jika tidak pernah bersengketa apa pun, mengapa kau tipu diriku ke sini, apa tujuanmu?" tanya Sai-hoa-to dengan gusar.
"Cai-he ingin membicarakan sesuatu urusan dengan Sim-lo-cian-pwe harap duduk saja agar dapat bicara dengan baik."
Sai-hoa-to mendengus, perlahan ia duduk kembali, dengan sikap bermusuhan katanya, "Jika kamu bukan murid Pok-Hong-tai, rasanya perlu aku belajar kenal dulu dengan namamu yang terhormat."
"Nama dan julukanku tidak palsu, cai-he memang benar Thi-kut Ih-Wan-hui adanya."
"Tentunya juga kawan dari segolongan?" tanya Sai-hoa-to dengan ketus.
"Boleh juga dikatakan demikian. Tapi mohon Lo-cian-pwe percaya padaku, sama sekali tidak ada maksud jahat aku ajak Lo-cian-pwe ke sini."
"Baik, silakan bicara saja, sesungguhnya urusan apa yang hendak kau bicarakan denganku?"
"Kami ingin mengundang Lo-cian-pwe berangkat bersama ke suatu tempat dalam batas waktu setengah tahun, untuk itu kami sediakan honorarium 10 kati emas murni. Entah bagaimana pendapat Lo-cianpwe?" tutur Ih-Wan-hui.
Sai-hoa-to terbelalak mendengar honorarium 10 kati emas murni itu, serunya tanpa terasa, "Hah, kau bilang 10 kati emas murni?"
"Betul, Lo-cian-pwe bersedia atau tidak?" Ih-Wan-hui mengangguk dengan tertawa.
Sampai sekian lama Sai-hoa-to termangu-mangu dengan terbelalak, katanya kemudian dengan ragu,
"Kalian membayar honorarium sebanyak itu, memangnya urusan apa yang perlu aku kerjakan?"
"Mengobati kami, " jawab Ih-Wan-hui. "Apabila kami sakit, hendaknya Lo-cian-pwe mengobati kami, selain itu tiada pekerjaan lain lagi"
"Sungguh aku tidak paham, " Sai-hoa-to menggeleng kepala.
"Biarlah aku tuturkan terlebih jelas. Soalnya kami merencanakan menuju ke suatu tempat tertentu, tempat itu sangat berbahaya, sangat mudah terjangkit penyakit dan membuat orang mati. Sebab itulah kami merasa perlu membawa seorang tabib ternama dalam perjalanan bersama kami."
"Kalian hendak pergi ke mana?" tanya Sai-hoa-to.
Ih-Wan-hui menggeleng, "Hal ini baru akan aku beri tahukan apabila Lo-cian-pwe sudah menerima permintaan kami."
"Apa maksud tujuan kalian mendatangi tempat itu?"
"Begini, sebabnya kami mau membayar 10 kati emas murni sebagai honorariummu, maka ini pun merupakan suatu syarat, yaitu diharap Lo-cian-pwe jangan tanya urusan di luar tugasmu mengobati orang sakit. Tidak peduli apa yang Lo-cian-pwe lihat atau dengar, hendaknya dianggap tidak pernah lihat dan tidak pernah mendengar."
Kening Sai-hoa-to berkerenyit, "Hm, jelek-jelek aku pun cukup ternama, memangnya kalian ingin ..."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Jika kami tambah lima kati emas murni, Lo-cian-pwe bersedia atau tidak?" potong Ih-Wan-hui.
"Bilamana tidak aku terima, lalu bagaimana?" tanya Sai-hoa-to.
Ih-Wan-hui tidak langsung menjawab, ia cuma tertawa dan berkata, "Dengan hati setulusnya aku harap Lo-cian-pwe jangan menolak."
"Jika aku diharuskan membuta dan bertuli, rasanya 15 kati emas murni menjadi tidak banyak ..." gumam Sai-hoa-to.
"Kalau aku tambah lagi lima kati, bagaimana?" Ih-Wan-hui menegas.
Sai-hoa-to mengusap jenggotnya sambil berpikir, jawabnya kemudian, "Lantas kapan kalian akan membayar 20 kali emas murni padaku?"
"Begitu genap jangka waktu setengah tahun, kontan kami bayar!"
"Tapi kalau tiba saatnya kalian ingkar janji, lantas bagaimana?"
"Mutlak takkan terjadi demikian, " ujar Ih-Wan-hui dengan tertawa. "Meski kami tidak berani tepuk dada dan mengaku sebagai ksatria sejati tapi pasti juga kami bukan manusia yang tidak pegang janji. Bila locian-pwe merasa sangsi, biarlah aku beri lagi 500 tahil perak dan menuliskan sehelai surat perjanjian."
Sai-hoa-to mengangguk perlahan, katanya "Tunggu sebentar, biar aku pertimbangkan dulu."
Ih-Wan-hui tampak tidak sabar, terpaksa menjawab, "Baik, hendaknya lekas ambil keputusan."
Setelah termenung sejenak, tiba-tiba Sai-hoa-to berkata, "Begitu tiba jangka waktu setengah tahun, kalian yakin sanggup menyediakan 20 kati emas murni."
"Pasti dapat!" Ih-Wan-hui tegas.
Sai-hoa-to tersenyum, "Jika begitu, rasanya aku mulai paham urusannya. Tentu tempat yang hendak kalian datangi bersamaku itu, meski sangat berbahaya, tapi juga akan mendatangkan keuntungan yang sukar dinilai. Mungkin 20 kati emas murni yang hendak kalian bayar padaku itu cuma sekelumit saja daripada hasil yang akan kalian keduk itu. Betul tidak?"
"Ingat, Lo-cian-pwe, " ucap Ih-Wan-hui dengan serius. "20 kati emas murni bukan jumlah kecil. Jika kami tidak menemuimu, satu peser pun engkau tidak dapat. Pendek kata, kami berharap engkau menerima undangan kami. Paham tidak, Lo-cian-pwe?"
"Aku paham, " Sai-hoa-to mengangguk.
"Dan engkau setuju tidak?"
"Tidak."
Berubah air muka Ih-Wan-hui, ia menegas dengan tertawa seram, "Apa pun engkau tidak mau terima?"
"Tidak, " jawab Sai-hoa-to dengan santai. "Aku hanya mau terima bilamana persyaratannya sudah disetujui kedua pihak."
Mendadak Ih-Wan-hui menggebrak lantai, teriaknya dengan gusar, "Apa" Memangnya 20 kali emas murni masih kau anggap sedikit?"
Ia menepuk lantai tidak terlalu keras, akan tetapi ubin lantai serupa dipukul dengan palu dan hancur seketika.
Namun Sai-hoa-to tidak gentar sedikit pun, jawabnya dengan tersenyum, "Betul, 20 kati emas murni bagiku terasa terlalu sedikit."
Air muka Ih-Wan-hui menampilkan nafsu membunuh, tampaknya hendak menggunakan kekerasan, tapi entah teringat apa, akhirnya tidak jadi berdiri, ia hanya mendengus saja, "Hm, jika begitu berapa kau minta?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ingin aku tahu lebih dulu, seluruhnya kalian berjumlah berapa orang?"
"Tiga, selain beberapa orang kuli."
"Baik begini syaratku Kalian harus mengakui diriku sebagai salah seorang anggota, keuntungan yang akan diperoleh dibagi empat. Selain itu kalian juga harus beritahukan lebih dulu padaku tempat yang akan didatangi dan barang yang dicari."
Belum lenyap suaranya, mendadak di luar kelenteng ada orang membentak, "Jangan turun tangan dulu, Sam-te!"
Cepat orang itu bersuara, namun gerakan Ih-Wan-hui terlebih cepat, terlihat tangan kanannya terayun ke depan, sebatang jarum hitam sudah menyambar ke depan tenggorokan Sai-hoa-to.
Namun Sai-hoa-to sempat sedikit mendoyong ke belakang, sambil mendongak mulut pun mengap
"krak", jarum hitam yang menyambar tiba dapat digigitnya terus ditumpahkan ke lantai, katanya dengan tertawa, "Ai, Ih-lau-te, hendaknya jangan terlalu keji begitu!"
Ih-Wan-hui hanya mendengus saja dan tidak menyerang pula, sebab pada saat itu juga dari pintu samping kanan-kiri telah menyelinap masuk dua orang.
Kedua pendatang ini yang seorang berusia 50 an, alis tipis dan jenggot pendek, perawakan kurus kecil, memakai jubah warna kelabu agak kedodoran sehingga kelihatan lucu. Seorang lagi berumur 46 47
tahun, alis tebal dan mata elang, muka lebar dan hidung pesek. Bertubuh kekar kuat, berbaju ringkas ketat, sepasang tumbak pendek terselip di punggungnya, sikapnya gagah dan garang.
Begitu melihat kedua orang ini, seketika hati Sai-hoa-to terkesiap, ia pandang si kakek berjubah longgar itu dan menyapa, "Hei, bukankah anda ini ketua Hing-ih-bun, Coa-hun-jiu Bun-In-tiok?"
Memang benar, orang tua ini memang betul ksatria perguruan Hing-ih-bun bernama Bun-In-tiok dan berjuluk Coa-hun-jiu, si tangan peraih awan.
Menurut pandangan dunia persilatan umum nya, apa yang disebut Ciang-bun-jin atau ketua ke-12
perguruan besar, yaitu Siau-lim, Bu-tong, Hoa-san, Cong-lam, Khong-tong, Go-bi, Jing-sia, Tiang-pek, Tiam-jong, Thai-kek dan Hing-ih-bun, tiada seorang pun di antaranya tergolong tokoh jahat.
Chapter 2. Rahasia 180 Patung Mas
Tapi sekarang seorang ketua Hing-ih-bun yang terkenal ternyata bersaudara dengan Thi-kut Ih-Wan-hui yang suka menggunakan jarum berbisa untuk mencelakai orang, pantas juga bilamana membuat Sai-hoa-to tercengang.
Rasa heran Sai-hoa-to itu ternyata tidak membuat Coa-hun-jiu Bun-In-tiok merasa canggung sedikit pun, ia malah memberi salam anggukan kepala kepada Sai-hoa-to dengan tertawa sewajarnya dan menyapa,
"Sai-hoa-to, sungguh tidak aku sangka engkau adalah seorang licik dan licin begini."
Dengan cepat Sai-hoa-to pulih kembali ketenangannya, jawabnya dengan tertawa, "Ah, apabila aku kau katakan sebagai orang licik dan licin, maka kau sendiri Bun-ciang-bun-jin terlebih adalah seekor siluman rase."
Coa-hun-jiu Bun-Ia-tiok terbahak-bahak, ia memberi isyarat tangan kepada lelaki penyandang tumbak itu agar duduk, lalu ia sendiri pun duduk di antara Sai-hoa-to dan Ih-Wan-hui, dengan serius ia pun berkata, "Bicara dengan sungguh-sungguh, Sim-hong, bagaimana kalau aku tambah lagi 10 kati emas murni bagimu?"
Sai-hoa-to menggoyang kepala, "Tidak, tanpa diriku, kalian pasti gagal mencapai tempat yang kalian tuju dan takkan mendapatkan barangnya. Maka aku minta seperempat bagian."
Dengan kening berkerenyit Bun-In-tiok berpikir sejenak, lalu berkata dengan suara ikhlas, "Baik, tapi cara bagaimana supaya aku yakin Sim-hong benar-benar mau bersekutu dengan jujur?"
"Untuk ini, terpaksa aku gunakan ucapan saudaramu she Ih ini untuk menjawab Bun-ciang-bun-jin, "
sahut Sai-hoa-to. "Yaitu, biarpun aku tidak berani mengaku sebagai lelaki sejati, tapi aku pun bukan manusia yang tidak bisa pegang janji."
"Bagus, cukup dengan ucapanmu ini, sekarang akan aku jelaskan urutannya padamu ... "
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Nanti dulu, " mendadak Sai-hoa-to memotong sambil menuding lelaki penyandang tumbak itu,
"hendaknya Bun-ciang-bun-jin memperkenalkan dulu saudara ini kepadaku."
"O, dia adalah ji-te (adik ke dua) Pia-mia-han Gu-Thong, " sahut Bun-In-tiok. Sai-hoa-to mengangguk dengan tertawa terhadap Pia-mia-han Gu-Thong alias si lelaki suka adu jiwa, lalu berpaling lagi dan berkata. "Baiklah, sekarang silakan Bun-heng mulai bercerita."
"Ceritanya harus dimulai dari awal, " tutur Bun-In-tiok setelah membersihkan kerongkongan dengan berdehem. "Tentunya Sim-heng tahu siapa Kiam-ho-Lok-Cing-hui, bukan?"
Sai-hoa-to mengangguk, "Kiam-ho-Lok-Cing-hui adalah tokoh nomor dua dunia persilatan jaman ini, siapa yang tidak tahu?"
"Bagus, " tukas Bun-In-tiok. "Meski kung-fu Kiam-ho-Lok-Cing-hui sedikit lebih asor daripada Kiam-ong Ciong-Li-cin, tapi kepribadiannya justru tidak dapat dibandingi oleh Ciong-Li-cin. Kira-kira tiga tahun yang lalu, di suatu tempat Lok-lo-ji (Lok tua) menemukan seorang nona gendeng yang hilang ingatan, timbul pikiran Lok tua untuk memulihkan kesehatan nona itu, maka ia suruh muridnya Gak-Sik-lam ke daerah selatan untuk mencari obat mujarab Jian-lian-hok-leng.
"Akibatnya Gak-Sik-lam tidak cuma menemukan Jian-lian-hok-leng, secara di luar dugaan dia juga menemukan sebuah kota purba di tengah rimba raya pegunungan Mo-pan-san. Konon kota itu berumur ribuan tahun di dalam kota terdapat banyak emas murni dan 180 patung yang terbuat dari emas.
"Setelah menemukan kota emas itu, Gak-Sik-lam lantas membuat sebuah peta bumi letak kota purba itu dan dikirim kembali ke Tiong-goan melalui merpati pos. Sayang merpati pos yang membawa peta pusaka itu tidak tempat pulang ke Ciok-lau-san, tempat kediaman Lok-Cing-hui, tapi ditemukan oleh seorang ...
" "Siapa orang itu?" tanya Sai-hoa-to.
"Entah, apa yang aku ceritakan ini sesungguhnya juga cuma aku dengar dari orang lain dalam perjalanan."
"Jika cuma desas-desus saja, kau percaya begitu saja?"
"Coba dengarkan ceritaku lebih lanjut, " tutur Bun-In-tiok. "Sesudah mendengar berita itu, tidak lama aku dengar pula kabar kepulangan Gak-Sik-lam ke Tiong-goan, tapi entah sebab apa, dia sudah berubah menjadi seorang cacat total, tidak punya kaki dan tangan, ia hanya didampingi seorang istri cantik yang selalu menggendongnya ke mana-mana.
"Kemudian aku dengar pula banyak orang yang sedang mencari orang yang menemukan peta bumi ini juga Gak-Sik-lam sendiri, tujuannya ingin merebut kota emas yang bernilai sukar ditaksir itu. Setelah mencari tahu lagi kian kemari dan terbukti berita itu memang betul, akhirnya aku pun ikut terjun dalam gerakan mencari kota emas.
"Tentang Mo-pan-san, pada waktu muda pernah juga aku pergi ke sana, di pegunungan itu penuh hutan purba dan rawa belaka, lereng pegunungan itu memanjang ratusan li, bahkan banyak binatang liar dan penuh gas racun, pada hakikatnya tempat yang sukar dicapai manusia. Maka kalau ingin masuk ke pegunungan itu untuk mencari kota emas, terkecuali diperlukan peta bumi dan petunjuk Gak-Sik-lam sendiri, masih diperlukan lagi persiapan yang cukup. Yang paling penting adalah cara bagaimana melawan gas racun pembunuh yang tak berwujud itu.
"Karena itulah aku lantas teringat kepada Sai-hoa-to kita, Sim-heng adalah tabib sakti dunia persilatan yang tiada bandingannya, terhadap gas racun juga mempunyai pengetahuan khusus, jika engkau ikut dalam ekspedisi kami ini, tentu segala persoalan dapat diatasi."
"Aku memang menguasai cara-cara melawan berbagai gas racun, tapi seperti apa yang dikatakan Bun-ciang-bun-jin. Lereng gunung Mo-pan-san memanjang beratus li, tanpa peta bumi dan petunjuk Gak-Sik-lam mungkin sangat sulit menemukan kota emas yang dimaksud, " kata Sai-hoa-to.
"Betul juga, namun hal ini sekarang tidak menjadi soal lagi."
"Oa, maksud Bun-ciang-bun-jin, peta bumi itu sudah didapatkan?"
"Betapa bagusnya peta kan tidak lebih bagus daripada orang yang menggambar peta itu, bukan?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Hah, jadi Bun-ciang-bun-jin sudah menemukan Gak-Sik-lam?"
"Betul, sekarang kira-kira ada lebih ratusan tokoh persilatan sedang mencari Gak-Sik-lam dan orang yang menemukan peta bumi. Rupanya nasibku lagi mujur, pada suatu pertemuan secara kebetulan dapat aku pergoki Gak-Sik-lam."
"Dan sekarang Gak-Sik-lam berada di mana?"
"Di suatu tempat yang sangat rahasia."
"Bun-ciang-bun-jin sudah berhasil memaksa dia menceritakan letak kota emas itu?"
"Belum, tapi sekarang setelah Sim-heng mau bekerja sama dapatlah kita mendesak dia mengatakan letak kota emas."
Bicara sampai di sini, serentak Coa-hun-jiu Bun-In-tiok berdiri, katanya dengan tertawa, "Mari berangkat Sim-heng, urusan tidak boleh tertunda lagi."
Sai-hoa-to ikut berdiri, tanyanya, "Apakah berada di sekitar sini?"
"Tidak, " Bun-In-tiok mendahului melangkah keluar kelenteng sambil menjawab, "tapi juga tidak terlalu jauh."
Ke empat orang meninggalkan kelenteng rusak itu. Pia-mia-han Gu-Thong memasukkan jari ke mulut dan bersuit, segera terdengar suara gemertak roda dari sebelah kanan hutan, muncul sebuah kereta kuda.
Karena itu berhenti di depan kelenteng, dengan tertawa Bun-In-tiok berkata kepada Sai-hoa-to,
"Menumpang kereta kan tidak mudah diketahui orang. Silakan Sim-heng naik!"
Sai-hoa-to tersenyum dan naik ke dalam kereta disusul oleh Bun-In-tiok bertiga. Kusir kereta segera mengayun cambuknya dan menghalau kereta menerobos hutan sana terus menuju ke selatan dengan cepat.
Pembicaraan mereka di dalam kereta tetap tidak meninggalkan soal kota emas.
Dengan nada kereng Sai-hoa-to berkata, "Ini merupakan suatu pertaruhan besar. Apakah terpikir oleh Bun-ciang-bun, bagaimana akibatnya bilamana diketahui oleh Kiam-ho-Lok-Cing-hui bahwa engkau menculik muridnya?"
Bun-In-tiok tersenyum licik, "Sekarang cuma kita berempat saja yang tahu Gak-Sik-lam berada dalam tawanan kita, asalkan persekutuan kita berlangsung dengan baik, dari mana Kiam-ho-Lok-Cing-hui bisa tahu?"
"Setelah Gak-Sik-lam berhasil didesak melukiskan peta bumi letak kota emas itu, lalu cara bagaimana Bun-ciang-bun hendak membereskan dia?" tanya Sai-hoa-to.
Kembali Bun-In-tiok tersenyum licik, "Menurut pendapat Sim-heng, sebaiknya cara bagaimana membereskan dia?"
"Jika dilepaskan, tentu dia akan jatuh ke tangan kawan bu-lim yang lain dan ini akan merugikan kita ... "
"Tidak cuma begitu saja, bila kita bebaskan dia, tentu Kiam-ho-Lok-Cing-hui juga akan mengetahui kita pernah menculik muridnya, akibatnya kita bisa celaka."
"Betul", kata Sai-hoa-to, "dengan gabungan kepandaian kita berempat jelas bukan tandingan Lok-Cing-hui, melulu muridnya yang kedua, yaitu Su-Kiam-eng saja bukan lawan empuk."
"Makanya kalau menurut pendapat Sim-heng, sebaiknya cara bagaimana kita membereskan Gak-Sik-lam?" tanya Bun-In-tiok.
"Haha, aku kira Bun-ciang-bun tentu sudah mempunyai perhitungan sendiri, kita sudah tahu sama tahu, buat apa kau tanya pula?" ujar Sai-hoa-to dengan tertawa.
Bun-In-tiok tertawa, ia ganti pokok pembicaraan, "Jika segalanya lancar, esok atau lusa kita dapat berangkat, cuma Sim-heng harus menyiapkan dulu obat-obatan yang diperlukan."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Bun-ciang-bun jangan kuatir, " kata Sai-hoa-to. "Setiba di Teng-ciong, tentu akan aku beli obat-obatan selengkapnya menurut keperluan."
"Selain itu, selanjutnya sebaiknya Sim-heng mengubah sedikit wajahmu agar orang lain pangling padamu sebagai Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, " ujar Bun-In-tiok.
Sai-hoa-to melengak, "Masa perlu begitu?"
"Pada saat ini, orang yang memenuhi syarat untuk mencari kota emas di lereng Mo-pan-san hanya ada dua kelompok saja, " tutur Bun-In-tiok dengan tertawa. "Kelompok pertama adalah rombongan kita.
Yang kedua adalah orang yang menemukan peta bumi itu. Namun orang yang memegang peta itu bila tidak mengadakan persiapan melawan gas racun dengan baik, andaikan dia dapat menemukan kota emas dengan hidup juga sukar untuk pulang lagi dengan hidup. Maka aku pikir, kelompok mereka tentu juga akan teringat kepada Sim-heng, bilamana wajah Sim-heng tidak dirias sedikit, mungkin sebelum terjadi perebutan kota emas akan terjadi dulu perebutan diri Sim-heng."
"Haha, bilamana benar aku menjadi sasaran perebutan antar kalian tentu akan sangat menarik, " seru Sai-hoa-to dengan tergelak.
"Sedikit pun tidak menarik, " jengek Bun-In-tiok. "Kau pikir, Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho hanya ada satu, bila pihak lawan gagal berebut, bukan mustahil mereka akan melakukan tindakan penghancuran total, kalau begitu, rejeki seperempat bagianmu tentu juga akan lenyap."
Sai-hoa-to tidak tertawa lagi, ia manggut-manggut, "Ya, betul juga. Biarlah nanti aku rias mukaku pada saat mau berangkat."
Roda kereta menggelinding dengan cepat, hari mulai gelap, menurut perkiraan sudah habis 30 li meninggalkan Wi-go-san. Mendadak kereta kuda membelok ke sebuah kampung, langsung masuk ke sebuah perbentengan kampung yang luas.
Perbentengan kampung itu seperti dihuni keluarga kaya, kompleks perumahannya lebih dari 50 buah, dikelilingi tembok yang tidak terlalu tinggi, di depan ada sebuah kolam ikan, sekilas pandang tidak terlihat berbau orang persilatan pada penghuni perbentengan ini."
Ketika kereta berhenti di depan perbentengan, seorang lelaki setengah baya berbadan gemuk dan berpakaian perlente dituntun oleh seorang centeng yang membawa sebuah lentera mendekati kereta.
Berturut-turut Bun-In-tiok berempat turun dari kereta, lelaki setengah baya berpakaian mewah itu cepat memberi hormat dan menyapa, "Aku kira Bun-ciang-bun baru akan tiba esok pagi, bila penyambutanku agak terlambat, mohon dimaafkan."
Bun-In-tiok mengangguk dengan tertawa, lalu diperkenalkan kepada Sai-hoa-to, "Sim-heng, inilah Ci-ceng-cu, putranya mengangkat guru padaku, kini belajar dalam perguruan kami."
Kemudian ia pun berkata terhadap Ci-ceng-cu. "Ci-ceng-cu, inilah tabib sakti Sai-hoa-to, tentu nama kebesarannya sudah kau kenal."
"Betul, betul, " seru Ci-ceng-cu sambil memberi hormat. "Nama kebesaran Sim-sian-sing sudah lama aku dengar, sungguh beruntung dapat bertemu."
Sikap Sai-hoa-to memang dingin dan angkuh, terhadap orang awam biasa tidak begitu digubrisnya, maka ia hanya mengangguk sekadarnya terhadap tuan rumah tanpa membalas hormat.
Namun Ci-ceng-cu itu pun tidak memperlihatkan rasa kurang senang, berulang ia memberi hormat lagi kepada mereka berempat dan berkata "Silakan, silakan masuk! Sudah aku siapkan perjamuan, tentunya kalian sudah lapar setelah menempuh perjalanan jauh ... "
"Eh, bagaimana dengan keadaan kedua suami istri itu?" Potong Bu-In-tiok.
"Baik, sangat baik, " jawab Ci-ceng-cu. "Segalanya telah aku kerjakan menurut pesan Bun-ciang-bun, mereka pun tinggal di lorong bawah dengan tenang."
"Bagus, sekarang biarlah kita makan dulu" kata Bun-In-tiok.
Setelah berada di ruang tamu centeng membawa air bersih, ke empat orang lantas cuci muka lalu makan Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
minum mengelilingi meja perjamuan.
Dalam perjamuan, dari percakapan antara Bun-In-tiok dan Ci-ceng-cu dapat diketahui oleh Sai-hoa-to bahwa Ci-ceng-cu memang seorang hartawan, lantaran kekayaannya berlimpah sehingga kuatir akan mendapat incaran orang jahat, maka putranya sengaja dikirim belajar silat pada perguruan Hing-ih-bun.
Apakah hasilnya baik atau tidak, yang penting asalkan orang lain tahu anaknya adalah murid Hing-ih-bun dan itu pun sudah cukup.
Agaknya Bun-In-tiok juga tahu tujuan Ci-ceng-cu, maka dia terima pelayanan yang diberikan oleh keluarga Ci tanpa merasa malu.
Habis makan malam, segera Bun-In-tiok membawa Sai-hoa-to ke ruang bawah tanah, yaitu kamar tahanan dengan maksud memaksa Gak-Sik-lam melukis peta letak kota emas.
Ruang bawah tanah itu seluas belasan meter persegi dan terbagi menjadi tiga kamar, dinding terbuat dari bata merah, mestinya digunakan sebagai gudang penyimpanan harta berharga Ci-ceng-cu, tapi sekarang kamar paling depan digunakan sebagai penjara, di situ dikurung seorang lelaki dan seorang perempuan.
Yang lelaki memang benar murid pertama Kiam-ho-Lok-Cing-hui, yaitu Gak-Sik-lam yang cacat. Dan yang perempuan adalah istrinya, Kalana.
Aslinya Gak-Sik-lam adalah seorang pemuda tampan, juga terhitung jago muda terkemuka dunia persilatan. Tapi sekarang pemuda yang rebah di atas dipan bambu itu sama sekali sudah bukan lagi Gak-Sik-lam yang dulu, wajahnya yang cakap itu jelas pernah mengalami luka berat, sekarang berubah menjadi sangat jelek dan membuat orang mengkirik, matanya satu besar satu kecil, bekas luka memenuhi kedua belah pipinya, bibir pun sumbing sehingga kelihatan baris giginya yang putih, sekilas pandang orang akan mengira dia sebagai drakula.
Selain itu, ke dua lengan baju dan lengan celananya kelihatan kosong melompong dan kempis tak berisi sehingga dia lebih mirip sebuah bola manusia.
Kalana, usianya seperti belum melebihi 20, kulit badan putih bersih laksana salju, perawakan ramping indah, rambut panjang mengkilat, mata besar dan alis lentik, mulut kecil mungil, berita yang tersiar memang bukan omong kosong, dia memang benar seorang nona cantik.
Cuma, setiap orang pun dapat mengetahuinya bahwa dia jelas bukan gadis daerah Tiong-goan, bukan bangsa Han.
Ketika Bun-In-tiok berempat menuruni ruang bawah tanah itu, secara naluri ia terus memeluk Gak-sik-lam yang menggeletak di dipan itu, sorot matanya memancarkan rasa takut dan seram.
"Tutup pintunya, " kata Bun-In-tiok kepada Gu-Thong yang masuk paling akhir, lalu langsung mendekati Gak-Sik-lam.
Dengan tenang Sai-hoa-to menyusul ketat di belakang Bun-In-tiok. Ke empat orang berhenti tepat di depan dipan Gak-Sik-lam.
Tubuh Kalana tampak gemetar dan merangkul Gak-Sik-lam seeratnya, seperti rela mengorbankan jiwanya asalkan sang suami dapat dilindunginya.
"Ka ... kalian mau apa?" tanyanya dengan suara gemetar kepada Bun-In-tiok berempat.
Bun-In-tiok terkekeh beberapa kali dan tidak segera menjawab.
Sebaliknya Gak-Sik-lam yang mendahului buka suara, seperti tidak ada orang lain, ia kecup pipi Kalana dengan mesra dan menghiburnya dengan suara lembut, "Jangan takut, Kalana. Kan sudah aku katakan, dia ketua Hing-ih-bun, dia takkan mencelakai kita."
"Betul, sahabat Gak, " sambung Bun-In-tiok dengan tertawa, "asalkan kau katakan di mana letak kota emas, tidak nanti aku bikin susah kalian."
Air muka Gak-Sik-lam berubah ucapnya dengan terperanjat, "Oo, jadi sebabnya Bun-ciang-bun-jin menawan kami suami-istri ke sini adalah karena kota emas itu?"
"Betul, sebelum ini tentu tidak pernah terpikir olehmu, bukan?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ya, memang tidak pernah terpikir olehku, sebab engkau kan seorang ketua suatu perguruan besar yang terhormat?" jengek Gak-Sik-lam.
Sama sekali Bun-In-tiok tidak kikuk oleh sindiran Gak-Sik-lam, ucapnya dengan tertawa, "Seorang Ciang-bun-jin juga manusia, asalkan manusia bila mendengar di Mo-pan-san ada sebuah kota emas, aku yakin hati siapa pun akan tergerak."
"Lantaran itu sehingga kulit mukamu pun tidak kau pikirkan lagi, " jengek Gak-Sik-lam dengan menahan gusar.
Bun-In-tiok tampak tersinggung, ucapnya dingin, "Dalam keadaan dan saat begini, hendaknya cara bicaramu perlu pakai aturan sedikit."
Sorot mata Gak-Sik-lam memancarkan cahaya tajam, tanyanya kemudian, "Dari mana kau tahu di lereng Mo-pan-san ada sebuah kota emas?"
"Dari cerita orang, " jawab Bun-In-tiok dengan tersenyum. "Mungkin kau sendiri belum lagi tahu bahwa peta bumi yang kau kirim pulang kepada gurumu itu telah dicegat orang lain di tengah jalan."
Terlintas rasa kaget pada sorot mata Gak-Sik-lam, tanyanya pula, "Siapa yang menemukan merpati pos itu?"
"Entah, " jawab Bun-In-tiok. "Cuma, bisa jadi orang yang menemukan merpati pos itu kurang hati-hati sehingga rahasianya bocor, saat ini ada berbagai orang persilatan sedang sibuk mencari orang yang memegang peta bumi itu dan juga sahabat Gak sendiri. Nasibku terhitung mujur dan berhasil menemukan dirimu lebih dulu."
Kejut dan juga gusar Gak-Sik-lam ia pandang Bun-In-tiok sejenak, mendadak berkata dengan tegas,


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biar aku katakan padamu, Bun-In-tiok, bilamana hendak kau paksa aku menceritakan letak kota emas, itu berarti kamu sedang mimpi!"
"Sebaiknya kau pertimbangkan lagi dengan masak, " kata Bun-In-tiok dengan tersenyum licik. "Kamu kan orang cacat, jika kau mau ceritakan letak kota emas itu, tentu keselamatan kalian suami-istri akan aku lindungi, bahkan aku jamin kehidupan kalian selanjutnya dapat berlangsung dengan menyenangkan."
"Cih, lekas enyah!" semprot Gak-Sik-lam dengan beringas. "Kamu tua bangka! Memangnya kau kira aku Gak-Sik-lam manusia takut mati dan tamak hidup?"
"Mungkin kamu tidak takut mati, tapi apakah tidak kau pikirkan diri istrimu?" tanya Bun-In-tiok sambil menuding Kalana.
"Memangnya apa kehendakmu?" teriak Gak-Sik-lam dengan muka pucat dan menggereget.
"Asalkan kau bilang satu kata tidak, segera kamu akan tahu apa yang terjadi atas istrimu, " ancam Bun-In-tiok.
Gak-Sik-lam hanya mendengus murka dan tidak menanggapi.
Bun-In-tiok tahu titik lemah lawan telah kena dipukulnya, segera ia berkata pula dengan tersenyum licik,
"Bagaimana, akan kau katakan atau tidak?"
Kulit muka Gak-Sik-lam tampak berkerut-kerut, seperti ingin menelan lawan bulat-bulat, seperti juga sedang menahan bara murka sekuatnya, tapi akhirnya sukar ditahan, mendadak ia meraung dengan beringas, "Tidak, takkan aku katakan. Coba apa abamu?"
Dengan tenang Bun-In-tiok mengangguk dan menyurut mundur dua tindak serta duduk di kursi, lalu ia mengedipi Pia-mia-han Gu-Thong dan berkata, "Ji-te, bolehlah mulai!"
Gu-Thong mengangguk dan melangkah maju, terjulur telapak tangannya yang berbulu lebat, serupa elang mencengkeram anak ayam saja segera Kalana diangkatnya.
Jelas Kalana seorang nona yang tidak paham ilmu silat, ia meronta dan berteriak sekuatnya, namun betapa dia meronta tetap sukar terlepas dari cengkeraman Gu-Thong.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Gak-Sik-lam juga ingin meronta bangun, tapi lantaran tidak punya tangan dan tiada kaki, hendak membalik badan saja sukar, sebab itulah biarpun urat hijau tampak menongol pada dahinya tetap tak berdaya, terpaksa ia hanya dapat meraung murka, "Lepaskan dia! Lepaskan! Kamu jahanam keparat!"
Pia-mia-han Gu-Thong menyeringai, ia malah menutuk pinggang Kalana sehingga tubuh nona itu menjadi kaku dan tidak sanggup berkutik lagi.
Ia taruh Kalana dan mengambil seutas tali, dilemparnya tali melintasi sepotong belandar, kemudian tangan Kalana diikat serta dikereknya ke atas.
Dalam keadaan begitu Bun-In-tiok yang duduk di kursi itu kembali buka suara dengan tertawa, "Nah, sahabat Gak, jika tidak ingin menyaksikan istrimu dihina, hendaknya lekas kau bicara saja."
Biarpun hiat-to kelumpuhan Kalana tertutuk, namun mulut masih dapat bersuara, mendadak ia berteriak,
"Tidak, Sik-lam, jangan kau katakan, sekali-kali jangan kau beri tahu. Sekali kau katakan letak kota emas itu, segera pula mereka akan membunuhmu."
Dengan sendirinya Gak-Sik-lam juga tahu bilamana dia memberi tahukan letak kota emas, dirinya dan Kalana pasti sukar lolos dari kematian.
Sebaliknya bila menyuruh dia menyaksikan istri kesayangan dianiaya orang, hal ini pun sukar ditahannya.
Seketika ia menjadi bingung, mata merah membara dan menggertak gigi sekuatnya sehingga mulut pun berdarah.
Melihat Gak-Sik-lam tidak bicara lagi. Bun-In-tiok memberi tanda kepada Gu-Thong, "Baiklah, boleh kau copot bajunya!"
Segera Gu-Thong menanggalkan pakaian Kalana, dengan cepat baju luar Kalana telah ditarik terlepas.
Waktu itu musim panas, baik lelaki maupun perempuan tidak banyak memakai baju rangkap, maka begitu baju luar Kalana ditanggalkan, seketika kelihatan kutangnya, apabila kutang juga dilepaskan ...
Air mata ksatria Gak-Sik-lam menitik, hati terasa hancur lebur, teriaknya murka, "Lepaskan, turunkan dia! Biar aku katakan!"
"Jangan, tidak perlu kau katakan!" yang bicara ini bukan Kalana melainkan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho.
Tentu saja Gu-Thong dan Ih-Wan-hui yang berdiri di samping sama merasa heran, mereka sama memandang Sai-hoa-to dengan tidak mengerti. Tapi sekali pandang, seketika air muka mereka berubah hebat.
Kiranya sebelah tangan Sai-hoa-to saat itu tampak mencengkeram Pek-hwe-hiat bagian ubun-ubun kepala Bun-In-tiok, sebaliknya wajah Bun-In-tiok kelihatan pucat pasi seperti mayat, rasa kejut dan takut pada wajahnya sukar dilukiskan.
Sambil memaki segera Ih-Wan-hui melolos golok dan bergaya hendak menerjang maju, bentaknya,
"Orang she Sim, sesungguhnya apa maksudmu ini?"
"Tenanglah sedikit dan jangan sembarang bergerak, " jengek Sai-hoa-to. "Apakah kalian tidak menghendaki jiwa Ciang-bun-jin sendiri?"
Merasa terdesak, dengan sendirinya Ih-Wan-hui tidak berani sembarang bertindak, ia cuma dapat meraung gusar, "Keparat! Hendaknya kau tahu jika kamu ingin mengangkangi sendiri kota emas itu, betapapun tidak mungkin terjadi!"
Sai-hoa-to tidak menggubrisnya, ia memberi tanda kepada Gu-Thong, katanya, "Menyingkir ke sana, berdiri mepet dinding sana!"
Pia-mia-han Gu-Thong hanya mendelik dan tetap berdiri di tempatnya.
Sai-hoa-to tertawa, katanya kepada Bun-In-tiok, "Bun-ciang-bun, bagaimana jika kau suruh Ji-te dan Sam-te mu berdiri mepet dinding sana."
Coa-hun-jiu Bun-In-tiok merasakan tangan orang yang menahan ubun-ubunnya keras luar biasa Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
sehingga mata pun berkunang-kunang, ia tidak berani membantah, serunya segera, "Lek ... lekas kalian berdiri di pojok sana."
Ih-Wan-hui dan Gu-Thong saling pandang sekejap, mereka tampak ragu, tapi akhirnya terpaksa menurut dan menyingkir ke pojok dinding.
Sai-hoa-to tersenyum, segera ditutuknya hiat-to kelumpuhan Bun-In-tiok, lalu menyeretnya ke depan dipan Gak-Sik-lam dan membiarkannya menggeletak di lantai serta menginjaknya dengan sebelah kaki, kemudian ia buka hiat-to Kalana dan menurunkannya, dengan tenang ia kerjakan semua itu, habis itu barulah ia mengusap muka sendiri, selapis salep perias muka dibersihkannya.
"Hai, adik Kiam-eng?" seru Gak-Sik-lam kejut-kejut girang.
"Hah, bukankah engkau ini ... si pelayan Su-Jit di Bu-lim-teh-co itu?" Ih-Wan-hui juga berteriak kaget.
Hanya Gu-Thong saja yang kelihatan bingung.
Su-Kiam-eng tertawa terhadap sang su-heng, lalu berkata kepada Ih-Wan-hui, "Betul, aku memang si pelayan Su Jit, sangat diluar dugaan bukan?"
Bukan cuma di luar dugaan saja, bahkan Ih-Wan-hui terheran-heran, ia pandang Su-Kiam-eng sekian lamanya dengan melongo, akhirnya berteriak pula. "Ti ... tidak, kamu bukan Su Jit!"
Su-Kiam-eng tertawa, "Aku bekerja sebagai pelayan selama tiga bulan, masa kamu sudah pangling?"
"Engkau menyaru sebagai pelayan, tujuanmu memang menunggu aku di sana?" tanya Ih-Wan-hui dengan terkesiap.
"Betul, " jawab Kiam-eng dengan tertawa. "Beberapa bulan yang lalu aku dengar cerita orang persilatan bahwa bila ada orang bicara mengenai sepasang suami-istri aneh, seketika orang itu terbinasa oleh jarum berbisa. Aku yakin ke dua suami-istri itu pasti su-heng dan su-so (kakak ipar seperguruan), aku tahu juga mereka pasti berada dalam cengkeraman kalian. Agar rahasia kota emas itu tidak diketahui orang lebih banyak, selalu kau bunuh orang yang banyak omong itu dengan jarum berbisa. Tapi waktu itu aku tidak tahu siapa dirimu, maka aku putuskan menanti kemunculanmu di Bu-lim-teh-co, setiap kali bila ada tamu yang mencurigakan segera Wi-ho-Lo-jin pura-pura mengobrol dengan beberapa kawan mengenai 'pasangan suami-istri yang misterius' itu. Haha, coba katakan, bagus tidak perangkap yang aku atur ini?"
"Ya, memang sangat pandai, " jengek Ih-Wan-hui, ketenangannya sudah mulai pulih. "Sesungguhnya apa yang kau pakai pada tubuhmu?"
"Dari cerita orang aku tahu orang yang kau bunuh itu semuanya terkena jarum berbisa pada Leng-tai-hiat bagian punggung, sebab itulah sengaja aku pasang sepotong besi tipis di punggungku."
"Hm, dasar kamu memang bocah licin, " jengek pula Ih-Wan hui. "Dan sekarang apa kehendakmu?"
Su-Kiam-eng melolos pedang yang selalu dibawa Coa-hun-jiu Bun-In-tiok dan melangkah maju, ucapnya dengan tersenyum, "Akan aku beri kesempatan kepada kalian, apabila kalian berdua mampu membunuh aku, kalian tetap ada harapan untuk mendapatkan kota emas itu."
Terlintas rasa girang pada wajah Ih-Wan-hui, ia tanya, "Kau ingin menghadapi serangan kami berdua?"
Su-Kiam-eng menimbang-nimbang pedang yang dipegangnya, jawabnya dengan tertawa, "Betul, kalau tidak pakai cara ini, kan kurang adil bagi kalian."
Segera Ih-Wan-hui mengedipi Gu-Thong, katanya, "Ji-ko, kurang hormat rasanya kalau kita menolak kehendak Su-siau-hiap, biarlah kita belajar kenal ilmu pedang ajaran Kiam-ho yang termashur!"
Gu-Thong mengangguk, dilolosnya kedua tumbak pendek dari punggungnya, bernama Ih-Wan-hui segera mereka hendak mengerubut Su-Kiam-eng.
Su-Kiam-eng berdiri tenang dengan tersenyum, ujung pedang menjulai ke bawah, dengan mantap. Ia tunggu gerak serangan musuh.
Kiam-ho-Lok-Cing-hui disegani orang persilatan karena Ping-lui-kiam-hoat atau ilmu pedang geledek menyambar, belasan tahun yang lalu, dalam suatu pertemuan para jagoan, dengan mudah ia mengalahkan jago pedang dari berbagai aliran dan golongan, akhirnya ia bertanding sehari semalam Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
dengan Kiam-ong atau raja pedang Ciong-Li-cin dan kalah satu jurus sehingga ke luar sebagai juara ke dua.
Walaupun begitu, dalam pandangan orang persilatan tidak ada yang menganggap dia lebih rendah daripada Ciong-Li-cin, baik Kiam-ong maupun Kiam-ho sama-sama merupakan tokoh sakti bagi orang persilatan, anak murid ke dua tokoh besar itu juga tokoh pujaan orang persilatan. Sebab itulah dua tokoh Hing-ih-bun seperti Ih-Wan-hui dan Gu-Thong harus menghadapi murid ke dua Kiam-ho yang masih muda belia itu sama sekali tidak berani meremehkan lawan."
Begitulah kedua pihak sama siap tempur, setelah saling melotot sekian lama, mendadak Gu-thong mendahului menerjang maju, ia membentak, ke dua tumbak bergerak, sekaligus ia tusuk leher dan hulu hati Su-Kiam-eng. Serangan keras dan ganas tanpa kenal ampun.
Akan tetapi sebelum kedua tumbak musuh mendekat, serentak pedang Su-Kiam-eng pun bergerak, di tengah berkelebatnya sinar pedang terdengarlah suara "trang-tring" dua kali, kedua tombak Gu-thong yang menusuk ke depan sama terguncang ke samping.
Menyusul sinar pedang masih terus menyambar ke depan, secepat kilat muka Gu-Thong terancam. Jadi Su-Kiam-eng telah menangkis serangan lawan dan sekaligus balas menyerang, hanya satu jurus saja ia sudah di atas angin.
Kung-fu Pia-mia-han Gu-Thong terhitung keras dan lihai juga, tapi begitu tombak terguncang ke samping, kedua lengan pun tergetar sakit, hal ini baru terjadi pertama kali sejak ia berkecimpung di dunia kang-ouw, keruan ia terkejut, seketika ia lupa pada julukan sendiri sebagai Pia-mia-han alias lelaki nekat. Cepat ia melompat mundur.
Untung Ih-Wan-hui keburu melancarkan sabetan goloknya ke pinggang Su-Kiam-eng dan memaksa lawan muda itu harus menjaga diri, kalau tidak, betapapun Pia-mia-han tetap sukar terhindar dari sambaran pedang Su-Kiam-eng.
Dalam pada itu, ketika pedang Su-Kiam-eng beradu dengan golok Ih-Wan-hui, sekalian ia tahan pedang ke bawah terus berputar dan menebas pinggang lawan. Jurus ini pun sangat sederhana kabagusannya terletak pada sedikit putar pedang, dan segera membuat Ih-Wan-hui menghadapi jalan buntu.
Untung juga waktu itu Gu-Thong masih berdiri di situ, melihat Ih-Wan-hui terancam bahaya, cepat ia sambitkan sebelah tombaknya dan dapat menahan sambaran pedang Su-Kiam-eng tepat pada waktunya.
"Trang", pedang menyampuk tombak dan tombak menerjang Ih-Wan-hui dan memaksanya melompat ke samping.
Setelah menimpukkan sebuah tombaknya, tombak Pia-mia-han yang lain menyusul lantas tertusuk dada Su-Kiam-eng. Sebaliknya setelah melompat mundur segera pula Ih-Wan-hui menubruk ke arah Gak-Sik-lam yang rebah di dipan.
Tujuan Ih-Wan-hui cukup jelas, dia ingin membekuk Gak-Sik-lam sebagai sandera untuk memojokkan Su-Kiam-eng supaya menyerah.
Namun Su-Kiam-eng tidak gelisah, juga tidak marah, di tengah suara tertawanya ia hindarkan tombak Pia-mia-han Gu-Thong, berbareng ia berputar dan pedang menyabat ke arah Ih-Wan-hui yang sedang menerjang ke arah Gak-Sik-lam.
Terdengar suara jeritan ngeri "ahhh", Ih-Wan-hui jatuh terjungkal dari udara, begitu menyentuh lantai, sebagian tubuhnya terpental ke kiri dan sebagian lagi tersungkur ke kanan, yang tertinggal di tengah adalah isi perut dan darah.
Pia-mia-Han Gu-Thong dan Kalana yang mendekap ketakutan di samping Gak-Sik-lam sama mengeluarkan jeritan kaget.
perlahan Su-Kiam-eng menarik kembali pedangnya dan berputar menghadapi Gu-Thong, jengeknya,
"Gu-Thong, kabarnya kamu seorang lelaki keras, maka bila kau mau membawa pergi Bun-ciang-bun ... "
Mendadak teriakan orang kalap memotong ucapannya, dengan nekat Gu-thong menerjang maju dengan tombaknya.
Su-Kiam-eng menjengek sekali dan menggeser ke samping, pedang berputar dengan cepat dan sinar perak berkelebat, kembali terdengar jeritan "ahhh" yang ngeri, tubuh Gu-Thong yang kekar itu Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
terjengkang, tombak pendek jatuh lebih dulu ke lantai, habis itu baru tubuhnya roboh dan menerbitkan suara keras.
Ternyata pada perutnya terbuka sebuah lubang dengan darah segar merembes keluar bagai air mancur.
Dengan sikap kereng Su-Kiam-eng menghela napas, lalu ia berpaling dan berseru pedih terhadap Gak-Sik-lam, "Su-heng, engkau..."
Ia tidak sanggup meneruskan ucapannya, kerongkongan serasa tersumbat.
Sungguh peristiwa yang teramat memilukan, seorang pemuda yang semula segar-bugar, gagah tangkas, setelah pergi ke daerah selatan yang masih liar itu, pulangnya sekarang sudah berubah menjadi orang cacat total, buntung kaki dan tangan, sungguh kejadian yang tragis, kejadian yang kejam.
Mengapa sang su-heng bisa cacat seperti itu" Mengapa dia tidak memberi tahukan sebab musabab kecacatannya itu" Benarkah dia menemukan sebuah kota emas purba di tengah rimba di pegunungan Mo-pan-san"
Jika benar dia sudah menemukan Jian-lian-hok-leng, mengapa obat mujarab itu tidak dibawanya pulang"
Semua tanda tanya itu akhirnya akan mendapatkan jawabannya sekarang!
Sebab itulah perasaan Su-Kiam-eng sekarang di samping pedih juga ada rasa gembira. Akan tetapi pada saat dia baru menyebut "su-heng" tadi, selagi perasaannya masih belum tenang, mendadak "blang"
sekali, suara daun pintu didobrak timbul di belakangnya.
Tergetar tubuh Su-Kiam-eng, secara naluri ia berjongkok dan cepat meraih kembali pedang yang dibuangnya ke lantai tadi. Sekilas pandang terlihat pintu kamar tahanan yang dijebol itu sedang terpental ke dalam, seorang berkedok dan berbaju hitam dengan perawakan tinggi kurus menyelinap masuk dengan pedang terhunus. Malahan di belakang orang ini terdapat pula dua orang berkedok dan juga berbaju hitam.
Akan tetapi hanya sekian saja yang dapat dilihat Su-Kiam-eng, apa yang terjadi selanjutnya sama sekali tidak dilihatnya lagi. Sebab begitu orang berkedok yang tinggi kurus menyelinap masuk kamar tahanan, serentak ia melemparkan sesuatu dan "blang", terdengar suara letusan dan seluruh kamar lantas penuh diliputi asap kuning. Malahan setelah mencium asap yang aneh itu, segera kepala Su-Kiam-eng terasa pusing, dunia seperti berputar dan bumi terbalik, dengan cepat ia kehilangan kesadaran ...
Entah berselang berapa lama, perlahan pikiran sehatnya mulai pulih, ketika ia membuka mata, pemandangan di depan masih samar-samar dan bergoyang-goyang, kepala terasa sakit seperti mau pecah, maka kembali ia memejamkan mata.
Tidak lama, waktu ia buka mata pula, kini semua dapat dilihatnya dengan jelas. Ia merasa dirinya masih berada di tempat semula, asap kuning tadi sudah lenyap. Baru sekarang ia teringat kepada apa yang terjadi tadi, terkesiap hatinya. Cepat ia merangkak bangun.
Waktu ia memandang sekitarnya, ternyata su-heng nya dan Kalana sudah hilang, dengan sendirinya ke tiga orang berkedok pun sudah lenyap, mayat Ih-Wan-hui, Gu-Thong dan Bun-In-tiok masih menggeletak di situ, tapi ketika pandangannya hinggap pada tubuh Bun-In-tiok, ia jadi terkejut, sebab diketahuinya pada hulu hati Coa-hun-jiu Bun-In-tiok tertancap sebilah belati.
Siapakah yang membunuh Bun-In-tiok"
Ya, pasti ke tiga orang berkedok tadi.
Jelas ke tiga orang berkedok itu tentu juga lagi mengincar kota emas yang terletak di Mo-pan-san itu.
Mungkin mereka mendapat kabar Coa-hun-jiu telah berhasil menawan su-heng, maka diam-diam mereka menguntit begitu melihat Ih-Wan-hui dan Gu-Thong sudah dibunuhnya, segera mereka menerjang masuk dan meledakkan granat berasap yang dapat membuat orang jatuh pingsan, habis itu lantas menculik su-heng dan su-so.
Terpikir sampai di sini, tanpa terasa Su-Kiam-eng menghela napas panjang, bukan menyesali kematian Bun-In-tiok yang merupakan seorang ketua suatu perguruan besar melainkan berduka atas nasib jelek sang su-heng dan usaha diri sendiri yang sia-sia. Selain itu juga menyesali angkara murka manusia ternyata sedemikian menakutkan sehingga bila perlu tindakan apa pun dapat dilakukannya.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Teringat olehnya waktu dirinya untuk pertama kali melihat nama "kota emas" yang tertulis di surat sang su-heng itu, tatkala itu tidak timbul setitik pun hasrat ingin menguasai atau memilikinya, yang dipikir hanya ingin mengambil Jian-lian-hok-leng yang disembunyikan sang su-heng di kota emas itu agar daya ingatan In-Ang-bi dapat dipulihkan. Tapi sekarang justru ada orang sebanyak ini rela mengorbankan jiwa raga untuk berusaha mengangkangi kota emas itu ...
Ia coba mencabut belati yang menancap ulu hati Bun-In-tiok itu, setelah diperiksa dengan teliti, ternyata tidak menemukan sesuatu kode apa pun. Ia buang belati itu dan meninggalkan kamar tahanan di bawah tanah itu.
Di luar, terlihat Ci-ceng-cu juga menggeletak kaku di tengah genangan darah, dari baju yang dikenakan tuan rumah itu, jelas waktu berada dalam kamar dia mendengar pintu diketuk, begitu dia membuka pintu untuk menerima tamu, pada saat itulah dia terbunuh.
Kiam-eng coba melongok keluar halaman, suasana gelap dan sunyi, tampaknya baru lewat tengah malam, mungkin belum ada orang yang tahu sang ceng-cu terbunuh, semuanya lagi tenggelam di alam mimpi.
Kiam-eng tidak heran oleh keadaan perkampungan ini, sebab keluarga Ci-ceng-cu ini bukan orang persilatan, bilamana perkampungan mereka dimasuki
Golok Halilintar 1 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Hati Budha Tangan Berbisa 14
^